bab iv implikasi putusan mahkamah konstitusi nomor...
Post on 09-Sep-2019
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
60
BAB IV
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
86/PUU-X/2012 TERHADAP PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA
A. Isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012
1. Pokok Permohonan
Pemohon memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38, dan Pasal 41 Undang-
Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap Pasal
28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3),
Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28H ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia dengan alasan sebagai berikut:
a. Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 telah memusatkan pengelolaan zakat
nasional di tangan pemerintah melalui BAZNAS, sehingga
berpotensi mematikan lebih dari 300 LAZ di Indonesia;
b. Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 mensubordinasikan kedudukan LAZ
yang dibentuk masyarakat menjadi berada di bawah BAZNAS;
c. Pasal 18 yang mengatur bahwa pembentukan LAZ wajib mendapat
izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, telah membuka
kesempatan bagi negara untuk sewenang-wenang dengan
menambahkan syarat-syarat baru;
d. Pasal 18 ayat (2) huruf a yang mengatur izin pendirian LAZ hanya
diberikan bagi organisasi kemasyarakatan Islam, adalah bersifat
diskriminatif dan dapat mematikan lebih dari 300 LAZ yang ada,
61
karena hampir seluruh LAZ berbadan hukum Yayasan yang secara
hukum tidak dapat didaftarkan sebagai Ormas. Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menyatakan bahwa yayasan
adalah badan hukum yang tidak mempunyai anggota, sedangkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan menyatakan ormas sebagai entitas yang berbasis
keanggotaan;
e. Pasal 18 ayat (2) huruf a yang mensyaratkan LAZ harus berbentuk
ormas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang
sejak tiga dekade terakhir telah membangkitkan zakat nasional;
f. Pasal 18 ayat (2) huruf c menetapkan bahwa pendirian LAZ harus
mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS yang sekaligus bertindak
sebagai operator zakat;
g. Pasal 38 melarang setiap orang untuk dengan sengaja bertindak
selaku amil zakat tanpa izin pejabat yang berwenang. Terhadap
pelanggarnya, Pasal 41 memberikan ancaman pidana berupa pidana
kurungan dan/atau pidana denda. Pasal 38 junctoPasal 41 membuka
potensi terjadinya kriminalisasi terhadap amil zakat yang tidak
memiliki izin pejabat berwenang;
h. LAZ yang telah memperoleh izin dari Menteri diberi kesempatan
selama lima tahun untuk menyesuaikan diri, namun UU 23/2011
tidak menyediakan payung hukum bagi upaya perubahan badan
hukum dimaksud.
2. Kesimpulan
62
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan
di atas, Mahkamah berkesimpulan:
a. Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
b. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
c. Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076).
3. Amar Putusan
a. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1) Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5255) yang
menyatakan, ”a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan
Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial”;
63
“b. berbentuk lembaga berbadan hukum” bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai “terdaftar sebagai organisasi
kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan,
dakwah, dan sosial, atau lembaga berbadan hukum, harus
mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang, sedangkan untuk
perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim
ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla di suatu
komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan
LAZ, cukup dengan memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat
dimaksud kepada pejabat yang berwenang”;
2) Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5255) yang
menyatakan, ”a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan
Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial”;
huruf b yang menyatakan, ”berbentuk lembaga berbadan
hukum”tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai “terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan
Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial,
atau lembaga berbadan hukum harus mendapatkan izin dari
pejabat yang berwenang, sedangkan untuk perkumpulan orang,
perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau
64
pengurus/takmir masjid/musholla di suatu komunitas dan
wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, cukup
dengan memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud
kepada pejabat yang berwenang”;
3) Pasal 18 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5255) yang menyatakan, “Memiliki
pengawas syariat” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai, ”pengawas syariat, baik internal, atau eksternal”;
4) Pasal 18 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5255) yang menyatakan, “Memiliki
pengawas syariat” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai, ”pengawas syariat, baik internal, atau
eksternal”;
5) Frasa, “Setiap orang”dalam Pasal 38 dan Pasal 41 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115,
Tambahan Lembaran 109 Negara Republik Indonesia Nomor
5255) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
65
dengan “mengecualikan perkumpulan orang, perseorangan tokoh
umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla
di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ
dan LAZ, dan telah memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat
dimaksud kepada pejabat yang berwenang”;
6) Frasa, “Setiap orang”dalam Pasal 38 dan Pasal 41 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5255)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai dengan “mengecualikan perkumpulan orang,
perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau
pengurus/takmir masjid/musholla di suatu komunitas dan
wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, dan telah
memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada
pejabat yang berwenang”;
b. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
c. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
B. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012
terhadap Pengelolaan Zakat di Indonesia
Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang mengatur
mengenai zakat, yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat, zakat diartikan sebagai harta yang wajib dikeluarkan
66
oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Dalam ajaran islam, zakat
merupakan salah satu sendi utama keislaman seseorang karena posisinya
yang merupakan rukun islam bersamaan dengan syahadat, shalat, puasa, dan
haji. Dalam posisi tersebut, zakat dianggap sebagai ma’lûm min al dîn
biddhdharûrahatau diketahui adanya secara otomatis dan merupakan bagian
mutlak dari keislaman seseorang (Siradj, 2014: 410).
Zakat juga memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya
pengentasan kemiskinan atau pembangunan ekonomi. Berbeda dengan
sumber keuangan untuk pembangunan yang lain, zakat tidak memiliki
dampak balik apapun kecuali ridha dan mengharap pahala dari Allah semata
(Sartika, 2008: 76). Zakat bagi kepentingan masyarakat juga bertujuan
untuk menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas
sosial di kalangan masyarakat islam. Selain itu, zakat juga dapat merapatkan
dan mendekatkan jarak dan kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat.
Landasan legal formal awal mengenai pelaksanaan zakat di
Indonesia dimulai pada masa reformasi dengan dibentuknya Undang-
Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Berdasarkan
undang-undang ini, pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat
(BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah yang terdiri dari masyarakat dan
unsur pemerintah untuk tingkat kewilayahan dan lembaga amil zakat (LAZ)
yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat yang terhimpun dalam berbagai
ORMAS (organisasi masyarakat) Islam, yayasan dan institusi lainnya.
67
Pada awalnya, sejak berlakunya Undang-Undang No. 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, pertumbuhan zakat di Indonesia mengalami
perubahan yang cukup signifikan. Hal ini terbukti dengan kenyataan di
masyarakat baik swasta maupun pemerintah yang berlomba untuk
membentuk organisasi pengelola zakat baru. Akan tetapi, sangat
disayangkan banyaknya organisasi pengelola zakat ternyata belum
diantisipasi oleh Undang-Undang No. 38 Tahun 1999, akibatnya meskipun
banyak lembaga zakat namun penghimpunan dan penyaluran zakat masih
belum efektif. Begitu juga dalam hal koordinasi dan pembagian tugas dan
fungsi, antara satu dengan lainnya tidak ada garis koordinasi yang jelas,
antara pemerintah, BAZNAS, Laznas, Bazda dan LAZ, masing-masing
berjalan sendiri-sendiri, semua lembaga zakat ingin menjadi pengelola,
sementara tidak ada yang berperan sebagai pengawas dan pembuat aturan
kebijakan.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi pada saat berlakunya
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, akhirnya
mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan terhadap undang-
undang tersebut. Hal ini karena Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat dinilai sudah tidak memadai lagi dengan perkembangan
kebutuhan hukum dalam masyarakat, sehingga diterbitkanlah Undang-
Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat untuk
menyempurnakan undang-undang sebelumnya yang masih menuai kontra
dari masyarakat terutama lembaga-lembaga amil zakat swasta.
68
Hal ini sesuai dengan objek utama lain dari kajian sosiologi hukum
adalah pembahasan tentang perubahan, yang mencakup perubahan hukum
dan perubahan masyarakat serta hubungan timbal balik di antara keduanya.
salah satu persepsi penting dari kajian sosiologi hukum ialah perubahan
yang terjadi dalam masyarakat dapat direkayasa, dalam hal ini direncanakan
terlebih dahulu oleh pemerintah dengan menggunakan perangkat hukum
sebagai alatnya (Hendra Akhdhiat, 2011:1).
Selanjutnya pengelolaan zakat di Indonesia mulai memasuki dimensi
baru dalam pengaturannya dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Perbedaan yang mencolok
dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya adalah bahwa pemerintah
bermaksud untuk memusatkan pengelolaan zakat secara nasional melalui
BAZNAS sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 Undang-
Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Atau dapat
diartikan juga bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, terjadi sentralisasi pengelolaan
zakat yang dilakukan oleh pemerintah melalui BAZNAS.
Pelaksanaan pengelolaan zakat yang dilakukan secara terpusat oleh
pemerintah melalui BAZNAS tersebut, ternyata justru menuai kontroversi.
Bukti konkret kontroversi tersebut adalah dengan dilakukannya uji materi
terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat ke
Mahkamah Konstitusi oleh lembaga-lembaga yang tergabung dalam Koalisi
Masyarakat Zakat (Komaz), antara lain Yayasan Dompet Dhuafa, Yayasan
Rumah Zakat Indonesia, Yayasan Dana Sosial Al-Falah Malang, dan
69
Yayasan Yatim Mandiri. Para pemohon uji materi Undang-Undang No. 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat tersebut, berpendapat bahwa dengan
dilakukannya pengelolaan zakat secara sentraliasi, maka akan mematikan
banyaknya lembaga-lembaga pengelolaan zakat yang sudah terbentuk di
Indonesia.
Para pemohon uji materi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat, selain melakukan yudicial review terhadap
permasalahan sentralisasi pengelolaan zakat di Indonesia sebagaimana
diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 Undang-Undang No. 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat, juga melakukan review terhadap beberapa
pasal lainnya, yaitu Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38, dan Pasal 41
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Mereka
berpendapat bahwa pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan
pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2),
Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28H ayat (3).
Pengajuan dan alasan yang dilakukan oleh para pemohon untuk
melakukan uji materi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat kepada Mahkamah Konstitusi, menurut Penulis
merupakan tindakan yang tepat. Hal ini sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri yaitu untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar serta mengaitkannya dengan pasal-
pasal berkenaan dengan hak konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Dasar. Sebab, lebih jauh dari itu, karena Mahkamah Konstitusi juga
70
dibebani kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia dan mengawal
demokrasi dalam kerangka negara hukum.
Alasan-alasan pengajuan uji materi tersebut, dapat disampaikan
kembali sebagai berikut:
a. Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 telah memusatkan pengelolaan zakat
nasional di tangan pemerintah melalui BAZNAS, sehingga berpotensi
mematikan lebih dari 300 LAZ di Indonesia;
b. Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 mensubordinasikan kedudukan LAZ
yang dibentuk masyarakat menjadi berada di bawah BAZNAS;
c. Pasal 18 yang mengatur bahwa pembentukan LAZ wajib mendapat izin
Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, telah membuka
kesempatan bagi negara untuk sewenang-wenang dengan menambahkan
syarat-syarat baru;
d. Pasal 18 ayat (2) huruf a yang mengatur izin pendirian LAZ hanya
diberikan bagi organisasi kemasyarakatan Islam, adalah bersifat
diskriminatif dan dapat mematikan lebih dari 300 LAZ yang ada, karena
hampir seluruh LAZ berbadan hukum Yayasan yang secara hukum tidak
dapat didaftarkan sebagai Ormas. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan menyatakan bahwa yayasan adalah badan hukum yang
tidak mempunyai anggota, sedangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan menyatakan ormas sebagai
entitas yang berbasis keanggotaan;
71
e. Pasal 18 ayat (2) huruf a yang mensyaratkan LAZ harus berbentuk ormas
Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga
dekade terakhir telah membangkitkan zakat nasional;
f. Pasal 18 ayat (2) huruf c menetapkan bahwa pendirian LAZ harus
mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS yang sekaligus bertindak
sebagai operator zakat;
g. Pasal 38 melarang setiap orang untuk dengan sengaja bertindak selaku
amil zakat tanpa izin pejabat yang berwenang. Terhadap pelanggarnya,
Pasal 41 memberikan ancaman pidana berupa pidana kurungan dan/atau
pidana denda. Pasal 38 juncto Pasal 41 membuka potensi terjadinya
kriminalisasi terhadap amil zakat yang tidak memiliki izin pejabat
berwenang;
h. LAZ yang telah memperoleh izin dari Menteri diberi kesempatan selama
lima tahun untuk menyesuaikan diri, namun UU 23/2011 tidak
menyediakan payung hukum bagi upaya perubahan badan hukum
dimaksud.
Berdasarkan alasan-alasan pengajuan uji materi Undang-Undang No.
23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat tersebut, maka pada dasarnya
terdapat tiga hal yang menjadi perdebatan dalam Undang-Undang No. 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yaitu yaitu sentralisasi pengelolaan
zakat, kriminalisasi lembaga amil zakat, dan persyaratan lembaga pengelola
zakat. Terhadap alasan dan permasalah yang diajukan oleh pemohon,
Mahkamah Konstitusi sendiri berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum
menyimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili
72
permohonan a quo dan menyimpulkan bahwa para pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.
Penilaian atas fakta dan hukum tersebut merupakan penilaian
Mahkamah Konstitusi yang dilakukan secara formal. Adapun secara
materiil, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa sebagian pasal-pasal
yang diajukan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat khususnya Pasal 18 ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 41,
sementara pasal-pasal lainnya, yaitu Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17,
Pasal 18, dan Pasal 19 ditolak untuk selain dan selebihnya. Berdasarkan
penilaian Mahkamah Konstitusi terhadap pasal-pasal yang diterima
sebagaimana disebutkan dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
86/PUU-X/2012 ditafsirkan sebagai berikut:
a. Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5255) yang menyatakan, ”a. terdaftar sebagai
organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan,
dakwah, dan sosial”; “b. berbentuk lembaga berbadan hukum”
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “terdaftar sebagai organisasi
kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan
sosial, atau lembaga berbadan hukum, harus mendapatkan izin dari
pejabat yang berwenang, sedangkan untuk perkumpulan orang,
perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir
73
masjid/musholla di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau
oleh BAZ dan LAZ, cukup dengan memberitahukan kegiatan
pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang berwenang”;
b. Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5255) yang menyatakan, ”a. terdaftar sebagai
organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan,
dakwah, dan sosial”; huruf b yang menyatakan, ”berbentuk lembaga
berbadan hukum”tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai “terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang
mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial, atau lembaga
berbadan hukum harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang,
sedangkan untuk perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam
(alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla di suatu komunitas
dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, cukup dengan
memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat
yang berwenang”;
c. Pasal 18 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5255) yang menyatakan, “Memiliki pengawas syariat”
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
74
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, ”pengawas syariat, baik internal,
atau eksternal”;
d. Pasal 18 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5255) yang menyatakan, “Memiliki pengawas syariat” tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai,
”pengawas syariat, baik internal, atau eksternal”;
e. Frasa, “Setiap orang”dalam Pasal 38 dan Pasal 41 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran 109
Negara Republik Indonesia Nomor 5255) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai dengan “mengecualikan perkumpulan orang, perseorangan
tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla di
suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan
LAZ, dan telah memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud
kepada pejabat yang berwenang”;
f. Frasa, “Setiap orang”dalam Pasal 38 dan Pasal 41 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5255) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “mengecualikan
perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau
75
pengurus/takmir masjid/musholla di suatu komunitas dan wilayah yang
belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, dan telah memberitahukan
kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang berwenang”;
Memperhatikan bunyi Amar Putusan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dalam Putusan Nomor 86/PUU-X/2012, menurut Penulis pada
pokoknya permasalahan yang terkandung dalam putusan tersebut ditafsirkan
sebagai berikut:
1. Syarat terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dan berbentuk
lembaga berbadan hukum untuk Lembaga Amil Zakat (LAZ) harus
dibaca merupakan pilihan atau alternatif;
2. Pengawas syariah untuk LAZ harus dimaknai internal atau eksternal; dan
3. Pengecualian izin pejabat berwenang terhadap pengelola zakat
perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau
pengurus/takmir masjid/mushalla yang tidak terjangkau oleh BAZ atau
LAZ.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa sifat Putusan Mahkamah
Konstitusi merupakan putusan yang final. Sama halnya dengan putusan-
putusan pada badan peradilan lain, bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
merupakan sumber hukum. Artinya, putusan tersebut berakibat atau
berimplikasi terhadap undang-undang yang sedang diujikan. Tak terkecuali
juga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 berimplikasi
terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan berdampak terhadap
pengelolaan zakat di Indonesia.
76
Tafsiran syarat terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam
dan berbentuk lembaga berbadan hukum untuk Lembaga Amil Zakat (LAZ)
harus dibaca merupakan pilihan atau alternatif dan pengecualian izin pejabat
berwenang terhadap pengelola zakat perkumpulan orang, perseorangan
tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/mushalla yang
tidak terjangkau oleh BAZ atau LAZ sebagaimana disimpulkan dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, menurut Penulis akan
memperlonggar syarat pendirian Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan membuka
lebar peran pengelolaan zakat oleh lembaga milik masyarakat, serta
pengecualian keharusan perizinan untuk amil zakat perkumpulan orang atau
perseorangan sepanjang memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat kepada
pejabat yang berwenang. Hal ini akan mempersulit pengawasan yang
dilakukan pemerintah terhadap lembaga pengelola zakat di Indonesia.
Hal ini karena dengan tafsiran tersebut untuk mendirikan Lembaga
Amil Zakat (LAZ) dapat dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan Islam
atau berbentuk lembaga berbadan hukum. Berbeda dengan syarat dalam
undang-undang sebelumnya yang mensyaratkan bahwa untuk mendirikan
LAZ adalah harus dilakukan organisasi kemasyarakatan Islam dan
berbentuk lembaga berbadan hukum. Selain itu, untuk wilayah-wilayah
yang tidak terjangka BAZ dan LAZ, terhadap pengelola zakat perkumpulan
orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir
masjid/mushalla dikecualikan izin dari pejabat yang berwenang sepanjang
memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat kepada pejabat yang
berwenang.
77
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012
diartikan juga bahwa pasca putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat,
berbagai elemen masyarakat, baik terdaftar sebagai organisasi
kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan
sosial, atau lembaga berbadan hukum seperti yayasan dan sebagainya,
maupun perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama),
atau pengurus/takmir masjid/mushalla dapat menjadi pengelola zakat yang
legal. Perlindungan hukum terhadap pengelola zakat di luar Lembaga Amil
Zakat (LAZ) yang memenuhi persyaratan administratif, bersifat kondisional,
yaitu di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ atau
LAZ.
Akan tetapi, apabila dikaji secara mendalam, dengan banyak dan
longgarnya pendirian LAZ sampai dengan wilayah-wilayah yang belum
terjangkau oleh BAZ dan LAZ, dapat juga berimplikasi secara positif
terhadap pengelolaan zakat di Indonesia. Dengan hadirnya LAZ sampai ke
wilayah yang belum terjangkau, maka akan memudahkan masyarakat untuk
melakukan pembayaran zakat yang pada akhirnya memaksimalkan
penarikan dan penggunaan dana zakat bagi yang membutuhkan. Hal ini
karena tentu tidak wajar memaksakan muzakki di suatu wilayah mendatangi
Bazda, LAZ, atau unit pelayanan zakat terdekat jika jaraknya cukup jauh.
Kondisi ini tentu mengakibatkan terhalanginya hak warga negara untuk
membayar/menyalurkan zakat sebagai bagian dari ibadah. Terhalanginya
hak-hak warga negara untuk membayar atau menyalurkan zakat akibat
78
belum terjangkaunya pelayanan pemerintah dalam pelaksanaan Undang-
Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat ini, maka perumusan
Pasal 38 dan Pasal 41 tidak tepat secara sosiologis. Karena itu, setiap amil
zakat seperti perkumpulan orang, tokoh umat Islam (alim ulama), atau
pengurus/takmir masjid/musholla di suatu wilayah yang belum terjangkau
oleh BAZ dan LAZ boleh mengelola dan menyalurkan zakatnya tanpa
dikenai sanksi pidana.
C. Solusi Alternatif Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Bidang
Pengelolaan Zakat
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 yang
berdampak kepada Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 dan berimplikasi
terhadap pengeloaan zakat di Indonesia, maka akan semakin mempermudah
lahirnya LAZ yang terdapat di daerah-daerah. Hal ini karena selain syarat
untuk mendirikan LAZ semakin dipermudah, yaitu dapat dilakukan oleh
organisasi kemasyarakatan Islam atau berbentuk lembaga berbadan hukum,
juga terdapat pengecualian izin dari pejabat yang berwenang terhadap
pengelola zakat perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim
ulama), atau pengurus/takmir masjid/mushalla sepanjang memberitahukan
kegiatan pengelolaan zakat kepada pejabat yang berwenang.
Ditetapkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-
X/2012, tetap tidak merubah peran BAZNAS sebagai koordinator
pengelolaan zakat nasional. Pemerintah selaku regulator dan BAZNAS
sebagai koordinator tidak dirugikan dengan adanya putusan tersebut.
Tindakan mendasar yang harus dilakukan selanjutnya ialah menyusun
79
strategi integrasi pelaporan dan pertanggungjawaban pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat oleh banyak lembaga dan
perseorangan yang menjadi amil zakat. Jika dibaca dengan cermat, putusan
Mahkamah Konstitusi menyangkut pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No.
23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dapat dimaknai memberi peluang
kepada Menteri Agama apabila diperlukan untuk mengangkat atau
menugaskan pengawas syariah eksternal untuk mengaudit LAZ.
Putusan judicial review Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat tidak mengubah fungsi koordinatif BAZNAS. Lembaga
ini tetap berwenang melakukan pengelolaan zakat secara nasional dan
menghimpun laporan dari semua lembaga zakat. Dalam praktik, koordinasi
BAZNAS dengan BAZNAS provinsi dan kabupaten/kota, serta dengan
Lembaga Amil Zakat (LAZ) sampai saat ini belum terealisasi secara
paripurna karena berbagai kendala internal dan eksternal. Dalam kaitan ini,
penerapan asas pengelolaan zakat yang terintegrasi, memerlukan kearifan
ketika menyikapi dan memaknai putusan Mahkamah Konstitusi. Untuk itu
perlu dirumuskan seperti apa bentuk koordinasi dan sinergi antara UPZ
kecamatan, UPZ desa/kelurahan serta UPZ Masjid sebagai satuan organisasi
yang dibentuk oleh BAZNAS di satu sisi, dan para amil zakat kumpulan
orang atau perorangan di sisi lain.
Oleh karena itu, sebaliknya perlu diatur mekanisme pelaporan oleh
para amil zakat perkumpulan orang atau perseorangan kepada BAZNAS.
Pengaturan mengenai hal itu perlu ditetapkan dengan regulasi di bawah
undang-undang, sehingga setiap kegiatan pengelolaan zakat tetap
80
terintegrasi dalam satu kesatuan sistem (unified system) pengelolaan zakat
nasional. Pengaturan mengenai mekanisme pelaporan pada tingkat Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Menteri, karena tidak ingin fungsi koordinatif
BAZNAS berjalan efektif hanya terhadap BAZNAS daerah, sedangkan
terhadap LAZ dan amil zakat kumpulan orang dan perorangan tidak
tersentuh. Selain itu, yang terpenting adalah juga berkenaan dengan
akuntabilitas lembaga zakat. Bahwa setiap orang yang bertindak sebagai
amil zakat perlu menyadari bahwa uang zakat, infaq dan sedekah yang
dihimpunnya merupakan milik mustahik yang tidak bisa digunakan
semaunya dan hati-hati dengan hak orang miskin.
Setelah menganalisa dari sudut pandang isi putusan MK diatas
selanjutnya penulis menganalisa dari sudut pandang sosiologi hukum bahwa
lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 yang
berdampak kepada Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 dan berimplikasi
terhadap pengeloaan zakat di Indonesia adalah akibat dari semakin
tingginya kesadaran dan perhatian hukum di tengah masyarakat Indonesia
terutama terhadap hukum Islam yang seiring berjalannya waktu memang
mengalami pasang surut, hal ini juga dijelaskan Dijelaskan Ismatullah
(Ismatullah, 2011:370):
Hukum Islam di Indonesia memiliki perjalanan sejarah yang cukup
berliku. Setelah pernah menjadi rujukan dan pegangan sistem hukum
kesultanan masa lalu, hukum Islam di Indonesia pernah mengalami
pemarginalan, yaitu pada masa penjajahan Belanda, pada masa Orde
Lama dan beberapa dekade Orde Baru. Setelah itu Hukum Islam di
Indonesia menemukan bentuknya secara khusus sejak tahun 1990-
an. Hukum Islam menemukan bentuknya yang cukup sempurna
ketika ia dirumuskan sebagai Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
diberlakukan berdasarkan iInpres pada tahun 1991 dan masuk dalam
perundang-undangan. Transformasi hukum Islam ke dalam peraturan
81
perundang-undangan merupakan salah satu usaha yang dilakukan
oleh para pemimpin ormas. Dalam penyusunan dan pembahasan UU
nomor 1 tahun 1974 peran para pemimpin ormas Islam sangat
penting. Hal itu mereka lakukan melalui pertemuan dan pendekatan
dengan fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah.
Ormas Islam memiliki peran penting dalam proses perumusan UU
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pndidikan Nasional, karena hal
itu menyentuh kepentingan umat dan bangsa, yaitu pendidikan
agama. Peran ormas Islam yang cukup penting adalah dalam
perumusan UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Setelah sebuah hukum Islam atau disebut fiqih menjadi undang-
undang maka konsekuensi hukum yang terjadi adalah peraturan tersebut
menjadi mengikat, mengandung sanksi dan tidak seperti sebelumnya, begitu
pula dengan pengelolaan zakat setelah bertransformasi dari fiqih Islam
menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, hal ini dijelaskan Ismatullah
(Ismatullah, 2011:372):
Transformasi dari fiqih ke qanun adalah terintegrasinya hukum Islam
ke dalam hukum nasional. Ketika sudah mengalami transformasi,
fikih menjadi hukum yang mengikat, mengatur dan berdampak
sanksi padahal sebelumnya tidak demikian. Selain itu fikih
mengalami transformasi yang cukup signifikan dalam bidang
administrasi pemerintahan. Transformasi tersebut tampak dalam
administrasi perkawinan, perwakafan, pengelolaan zakat, haji dan
sertifikasi halal makanan dan minuman.
Penulis yakin apabila peraturan pengelolaan zakat hanya sebatas
fikih Islam dan tidak sampai menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
maka tidak ada pihak yang memprotes, terbukti bahwa fikih zakat yang
sudah berabad-abad lalu ada sampai sebelum menjadi Undang-Undang No.
23 Tahun 2011 tidak pernah ada pihak yang memprotes. Terdapat interaksi
yang berbeda ketika peraturan pengelolaan zakat masih menjadi kaedah
fikih dengan setelah menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011. Hal ini
bila dilihat dari analisis sosiologi hukum adalah menjadi suatu kewajaran
82
dimana dapat dipastikan bahwa terdapat interaksi antara perubahan hukum
dengan perubahan sosial di tengah masyarakat dan bahkan interaksi dengan
rezim penguasa pada tiap periode, sejalan dengan itu dijelaskan Saifullah
(Saifullah, 2007:31):
Interaksi perubahan sosial di satu sisi dan perubahan hukum di sisi
lain merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan seperti dua sisi
keping mata uang. Interaksi tersebut membawa konsekuensi ilmiah
karena akan dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Perjalanan
Syari’ah Islam di Indonesia jika dilihat dari perspektif historis,
yuridis dan sosiologis menghadapi berbagai kekimpleksitasan
masalah, baik itu yang bersumber dari multi interpretasi atas situasi
maupun perubahan zaman berupa politisasi Syari’ah Islam,
khususnya dalam koridor pembentukan perundang-undangan.
Perjuangan kaum muslimin yang tiada henti sebagai upaya
penerapan Syari’ah Islam dalam hukum positif di Indonesia secara
kaffah sesungguhnya alur yang dibentuk atas responsifitas simbolik
dari rezim yang berkuasa.
Penulis berpendapat bahwa interaksi yang terjalin antara perubahan
sosial dan perubahan hukum merupakan sebuah keniscayaan karena
memang adanya hukum adalah untuk masyarakat sehingga perubahan
apapun yang terjadi pada masyarakat harus direspon oleh hukum, begitu
juga sebaliknya perubahan apapun yang terjadi pada hukum maka
masyarakat pasti akan meresponnya. Terlepas apakah sebuah perubahan
hukum terjadi dulu yang dibuat untuk merubah atau merekayasa sebuah
masyarakat ataupun sebaliknya masyarakat dulu yang berubah sehingga
kemudian mempengaruhi proses terjadinya perubahan hukum, penulis
berpendapat bahwa yang terjadi terlebih dahulu adalah perubahan pada
masyarakat sehingga hukum merespon untuk ikut pula dirubah. Seperti
halnya terkait dengan Undang-Undang Pengelolaan zakat di Indonesia,
jauh sebelum adanya aturan perundang-undangan yang mengatur
83
pengelolaan zakat, masyarakat sudah mengelolanya secara sederhana,
kemudian pemerindah merasa perlu untuk mengaturnya sehingga lahirlah
perundang-undangan pengelolaan zakat. Untuk lebih jelasnya, bagaimana
interaksi perubahan sosial dan perubahan hukum terlihat pada bagan
sebagai berikut (Saifullah, 2007: 34):
Bagan 1: Interaksi Perubahan Sosial Dan Perubahan Hukum
PERUBAHAN SOSIAL PERUBAHAN HUKUM
MENGHASILKAN DUA
PARADIGMA
Hukum Melayani Kebutuhan
masyarakat, agar hukum tidak
akan menjadi ketinggalan oleh
karena lajunya perkembangan
masyarakat.
Hukum dapat menciptakan
perubahan sosial dalam
masyarakat atau setidak-
tidaknya dapat memacu
perubahan-perubahan yang
berlangsung dalam masyarakat.
- Perubahan yang cenderung
diikuti oleh sistem lain
karena dalam kondisi
ketergantungan.
- Ketertinggalan hukum
dibelakang perubahan sosial.
- Penyesuaian yang cepat dari
hukum kepada keadaan baru
- Hukum sebagai fungsi
pengabdian
- Hukum berkembang
mengikuti kejadian berarti
ditempatnya adalah
dibelakang peristiwa bukan
mendahuluinya.
- Law as a tool of social
engineering
- Law as a tool of direct social
change
- Berorientasi ke masa depan
(forward look-ing)
- Ius constituendum
- Hukum beperan aktif
- Tidak hanya sekedar
menciptakan ketertiban tetapi
menciptakan dan mendorong
terjadinya perubahan dan
perkembangan tersebut
- Per-UU-an
- Pengkajian Hukum
- Pendidikan Hukum
84
Terjadinya transformasi hukum-hukum Islam atau fikih Islam
menjadi Undang-Undang, seperti halnya Pengelolaan zakat dan juga
beberapa Undang-undang lainnya membuktikan bahwa sistem hukum yang
diterapkan di Indonesia tidak hanya menganut eropa continental secara
murni namun sistem hukum di Indonesia sudah menerapkan perpaduan dari
dua sistem hukum, baik itu Civil Law System maupun Common Law
System, hal ini Dijelaskan Saifullah (Saifullah, 2007:76):
Menelaah transformasi Syariah Islam dalam hukum positif di
Indonesia , yang dijembatani oleh pengakuan yuridis formal dan
kebebasan kreatifitas hakim dalam mengkonstruksi (rechtsverfijning
atau argumentum a contrario), menafsirkan dan menemukan kasus
hukum (rechtsvinding), merupakan bukti empiris bahwa sistem
hukum di Indonesia tidak menganut sistem hukum Eropa
Ckontinental atau Civil Law System secara murni seperti yang
selama ini diyakini dan ditulis dalam berbagai literatur hukum, tetapi
sistem hukum di Indonesia sudah menerapkan perpaduan dari dua
sistem hukum, baik itu Civil Law System maupun Common Law
System. Sistem hukum tertulis dan sistem hukum tidak tertulis.
Proses transformasi hukum Islam bukannya tidak ada hambatan,
namun terdapat hambatan seperti, dijelaskan Ismatullah (2011:369):
Berdasarkan fakta sosiologis, hukum Islam di Indonesia memeiliki
hambatan konseptual, baik yang datang dari luar maupun dari dalam.
Hambatan konseptual yang datang dari luar adalah adanya upaya
penganut teori resepsi yang menolak hukum Islam masuk pada
sistem hukum nasional. Para penganut teori resepsi berusaha dengan
berbagai jalan agar umat Islam tidak melaksanakan hukum Islam.
Memang, kehadiran Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974,
yang berlaku efektif sejak 1Oktober 1975, mematikan teori resepsi.
Akan tetapi, teori ini masih dianut di kalangan para sarjana hukum di
Indonesia, terutama bagi mereka yang tidak tahu dan tidak paham
hukum Islam. Sementara itu hambatan dari dalam terhadap hukum
Islam adalah tidak tertatanya konsep-konsep hukum Islam secara
sistematis. Hal ini terkait dengan keberadaan kitab kuning sebagai
referensi hukum Islam di Indonesia yang penulisannya berceceran.
Hal ini wajar karena kitab kuning bukan produk kebijakan
kelembagaan, melainkan produk pemikiran perseorangan yang
dilandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadis.
85
Oleh karena itu, ada pembagian secara umum terhadap hukum Islam
yang diterapkan di Indonesia, Dijelaskan Ismatullah (Ismatullah, 2011:369):
Dalam perjalanan sejarahnya, hukum Islam yang berlaku di
Indonesia dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, hukum Islam
yang berlaku secara formal. Hukum Islam kategori pertama ini
masuk pada wilayah hukum nasional, baik sebagai bahan bakunya
maupun sebagai materinya. Hukum Islam kategori pertama
manjadikan hukum Islam sebagai hukum positif atau hukum lokal.
Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif. Hukum Islam
kategori kedua ini adalah hukum Islam yangg menyangkut praktik
keagamaan individu, seperti shalat, puasa dan ibadah individu
lainnya. Untuk melaksanakan hukum Islam yang berlaku secara
formal di Indonesia diperlukan banyuan dari penyelenggara negara.
Adapun untuk melaksanakan hukum Islam yang bersifat normatif,
bantuan penyelenggara negara tidak diperlukan
Selanjutnya penulis berpendapat bahwa tranformasi hukum
pengelolaan zakat dari fikih menjadi Undang-Undang adalah sebagai bagian
dari usaha pemerintah untuk merekayasa masyarakat agar hukum dapat
menjawab tantangan dan perubahan zaman. Sejalan dengan itu Prof.Dr.
Zainuddin Ali menjelaskan (Ali,2006:38):
Ada 4 (empat) faktor minimal yang perlu diperhatikan dalam hal
penggunaan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Faktor
dimaksud diungkapkan sebagai berikut:
1. Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta
ajaran-ajaran hukum.
2. Melakukan studi sosiologis dalam mempersiapkan peraturan
perundang-undangan serta dampak yang ditimbulkan dari
undang-undang itu.
3. Melakukan studi tentang peraturan perundang-undangan yang
efektif.
4. Memperhatikan sejarah hukum tentang bagaimana suatu hukum
itu muncul dan bagaimana diterapkan dalam masyarakat.
Seperti yang penulis jelaskan pada bab sebelumnya bahwa lahirnya
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 yang berdampak
kepada Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 dan berimplikasi terhadap
pengeloaan zakat di Indonesia merupakan hasil dari judicial review
86
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 dan lahirnya Undang-Undang No. 23
Tahun 2011 adalah menjadi bagaian dari usaha pemerintah untuk
menyempurnakan Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang No.
38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Hal inilah yang penulis sebut dengan Undang-Undang No. 23 Tahun
2011 tentang pengelolaan zakat sebenarnya adalah upaya rekayasa
pemerintah untuk merubah masyarakat terutama terkait pengelolaan zakat
agar lebih efektif dan sesuai harapan. Seperti yang sudah diketahui bahwa
sejak berlakunya Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat, pertumbuhan zakat di Indonesia mengalami perubahan signifikan di
masyarakat, baik swasta maupun pemerintah berlomba untuk membentuk
organisasi pengelola zakat baru. Akan tetapi, sangat banyaknya organisasi
pengelola zakat ternyata belum diantisipasi oleh Undang-Undang No. 38
Tahun 1999, akibatnya meskipun banyak lembaga zakat namun
penghimpunan dan penyaluran zakat masih belum efektif. Begitu juga
dalam hal koordinasi dan pembagian tugas dan fungsi, antara satu dengan
lainnya tidak ada garis koordinasi yang jelas, antara pemerintah, BAZNAS,
Laznas, Bazda dan LAZ, masing-masing berjalan sendiri-sendiri, semua
lembaga zakat ingin menjadi pengelola, sementara tidak ada yang berperan
sebagai pengawas dan pembuat aturan kebijakan.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi pada saat berlakunya
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, mendorong
pemerintah untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang tersebut
karena dinilai sudah tidak memadai lagi dengan perkembangan kebutuhan
87
hukum dalam masyarakat, sehingga diterbitkanlah Undang-Undang No. 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Selain itu secara teori memang
begitulah hukum bekerja, yaitu sebagi kontrol sosial di masyarakat. Untuk
lebih jelasnya terlihat pada bagan seperti berikut (Saifullah, 2007: 30):
Bagan 2:Reorientasi Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat
Interaksi Kehidupan Manusia
Dalam Masyarakat
Kaidah Agama Kaidah Sosial
Social Control
Sanksi Sosial
Sistem Hukum
Struktur Hukum,Subtansi
Hukum, Kultur Hukum Kaidah Normatif
Modernisasi Timbul Perubahan Sosial
Kesenjangan
Terjadi Perubahan Hukum Evolusi Revolusi
Kesadaran Hukum
Fungsi Hukum Sebagai Sarana
Pengendalian Sosial Dan Sarana Sosial
Dibutuhkan Pengaturan
Hukum Formal
Kepastian Hukum
Kekakuan
Implementasi Pengaturan Pengaruh Faktor
Sosial
Penafsiran
Metode Penafsiran Hukum
Dibutuhkan Pengaturan
88
Tarik menarik antara hukum Islam dengan Hukum Umum haruslah
disikapi dengan arif dan bijak, jangan sampai proses transformasi hukum
Islam kedalam Perundang-undangan juga menjadi formalisasi hukum Islam
yang keblabasan tanpa memperhatikan perkembangan ditengah-tengah
masyarakat, maka itulah Eklektisisme hukum nasional menjadi jawaban
tengah, logis dan aman untuk ditindak lanjuti di Indonesia.
Sudah saatnya setelah ide eklektisisme hukum nasional dilontarkan,
para ilmuan hukum Islam menyambut dan meneruskannya sebagai projek
luhur sehingga menjadi solusi penengah antara tarik-menariknya ekslusifnya
hukum Islam dengan formalisasi hukum Islam. Bukan malahan terbawa arus
ekslusifisme maupun konservatisme hukum Islam. Hal ini sudah diingatkan
dan disindir 13 tahun silam oleh Prof. Dr. Qodry Azizy (Azizy, 2002:180):
Para ahli hukum enggan atau bahkan takut untuk mengkaji Islam
yang berkaitan dengan hukum atau dengan istilah baku “hukumk
Islam”, karena “Islam phobia” penguasa selama beberapa dekade.
Keengganan ini juga mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa
banyak ahli hukum kita sangat taat menjadi pengikut setia ilmu
hukum Belanda. Namun dalam waktu bersamaan juga tidak sedikit
muncul ahli hukum umum yang berbalikan, yaitu bersikap
konservatif terhadap agama, yang memproklamirkan hukum Islam
secara normatif dan bahkan juga ideologis.
Lebih lanjut lagi memang yang terlihat sampai sekarang masih
terjadi kesenjangan antara hukum umum dan huklum Islam, baik secara
fisik maupun non fisik. Yang dimaksud fisik oleh penulis adalah bagaimana
penulis lihat sangat jelas perbedaan antara kajian hukum di perguruan tinggi
atau universitas umum dan universitas Islam. Walaupun penelitian atau
karya ilmiah dari kedua perguruan tinggi atau universitas tersebut tidak
membatasi kajian hukum Islam sendiri dan hukum umum tersendiri. Hal ini
89
terbukti bahwa banyak karya ilmiah dari universitas atau perguruan tinggi
umum yang tidak sedikit mulai membahas tentang hukum Islam begitu pula
sebaliknya mulai banyak pula karya ilmiah dari universitas atau perguruan
tinggi Islam yang membahas tentang hukum Umum. Hal perbedaan tajam
tersebut juga pernah dijelaskan Qodry Azizy (Azizy, 2002:181):
Masih terjadi dualisme terminologi, bahkan juga kesenjangan antara
terminologi hukum umum dan terminologi hukum Islam. Yang
terakhir ini adalah wilayah akademik dan menjadi tanggung jawab
para akademisi atau ilmuwan baik akademisi ilmu hukum umum
maupun ilmu hukum Islam. Dikotomi yang tajam antara hukum
umum dan hukum Islam mendominasi dunia ilmu hukum di
Indonesia dan keduanya seolah tidak dapat bertemu apalagi saling
mengisi (eklektik).
Oleh kerana itu dalam anasisis ini penulis membatasi diri untuk tidak
terlalu jauh membahas ekslusivisme dan konservatisme hukum Islam,
karena itu berharap dapat dikaji lebih lanjut oleh penelitian-penelitian yang
lain dalam bidang hukum Islam baik itu tesis bahkan disertasi.
top related