bab iv hasil dan pembahasan 4.1. setting penelitian 4.1.1...
Post on 08-Mar-2019
214 Views
Preview:
TRANSCRIPT
40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Setting Penelitian
4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlangsung pada tanggal 28 April 2016
sampai dengan 28 Mei 2016 disesuaikan dengan waktu luang
partisipan yang sebelumnya peneliti sudah melakukan kontrak
waktu. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Nulle,
Kecamatan Amanuban Barat, Kabupaten TTS dan 8 Desa di
bawah binaan Puskesmas Nulle, yaitu Desa Nulle, Desa
Tublopo, Desa Nusa, Desa Mnelalete, Desa Pusu, Desa
Tubuhue, Desa Haumenbaki, dan Desa Nifukani. Luas wilayah
Kecamatan Amanuban Barat adalah 114.30 Km2, dengan
rincian luas perdesa sebagai berikut : Desa Nulle 33.68 Km2,
Tublopo 14.85 Km2, Nusa 13.94 Km2, Mnelalete 14.74 Km2,
Pusu 6.57 Km2, Tubuhue 11.13 Km2, Haumenbaki 11.51 Km2,
dan Nifukani 7.88 Km2. Secara keseluruhan dikecamatan
Amanuban Barat mayoritas penduduknya bermatapencaharian
sebagai petani dan beragama Kristen.
Puskesmas Nulle merupakan puskesmas rawat jalan,
bukan puskesmas rawat inap. Puskesmas ini memiliki 7 tenaga
kesehatan yang terdiri dari 3 orang perawat dan 4 orang bidan,
41
4 orang tenaga kesehatan yang masih berstatus magang, 4
pegawai tata usaha (administrasi dan keuangan). Puskesmas
ini melayani 8 desa, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Selain itu, Puskesmas Nulle memiliki 1 Postu yang terletak
diantara Desa Tublopo dan Desa Nifukani. Pelayanan
kesehatan puskesmas Nulle sendiri dibantu oleh kader
posyandu yang sudah dilatih sebelumnya, masing – masing
desa memiliki 4 sampai 5 kader posyandu.
4.1.2. Proses Penelitian
Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik
wawancara mendalam (semi-struktur) dengan total pertanyaan
untuk tenaga kesehatan berjumlah 5 pertanyaan dan untuk ibu
postpartum berjumlah 4 pertanyaan, adapun lamanya proses
wawancara pada masing-masing partisipan ± selama 25-30
menit dalam 1 kali pertemuan. Pada penelitian ini, pertemuan
yang berlangsung untuk membina hubungan saling percaya
dan wawancara mendalam sebanyak 2 kali kepada masing-
masing partisipan. Pada tanggal 3 Mei peneliti mengajukan
surat ijin penelitian dari kantor camat kepada kepala
puskesmas Nulle, kemudian pada tanggal 4 Mei peneliti
melakukan kontrak waktu dan menjelaskan tujuan dari
penelitian yang berlangsung kepada partisipan tenaga
42
kesehatan, dan peneliti melakukan wawancara pada tanggal 9
dan 11 Mei 2016. Untuk partisipan ibu-ibu postpartum, pada
tanggal 15 Mei peneliti mengajukan surat penelitian dari
fakultas kepada tiap-tiap kepala desa dan melakukan kontrak
waktu dengan kader posyandu dari desa-desa tersebut.
Kemudian pada tanggal 16 Mei sampai 17 Mei 2016 peneliti
ditemani oleh kader posyandu menemui tiap-tiap partisipan
untuk membina hubungan saling percaya, melakukan kontrak
waktu dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
wawancara peneliti, dengan maksud agar partisipan
mengetahui tujuan peneliti melakukan penelitian. Peneliti
melakukan wawancara pada tanggal 19 dan 21 Mei 2016.
Pada saat wawancara berlangsung, peneliti menggunakan
alat perekam untuk merekam proses wawancara. Wawancara
yang peneliti lakukan disesuaikan dengan aktivitas, kesediaan
dan kesiapan partisipan sendiri, sehingga proses penelitian ini
tidak menganggu aktivitas partisipan dan guna melancarkan
jalannya proses wawancara.
Saat penelitian berlangsung semua partisipan menyambut
dengan baik kehadiran peneliti dan partisipan terlihat antusias,
walaupun ada 2 diantara partisipan dari ibu-ibu postpartum
yang masih malu-malu dan takut untuk menjawab karena
43
mereka mengira peneliti adalah petugas kesehatan yang akan
menegur mereka karena melakukan tradisi se‟i dan tatobi.
4.2. Hasil Penelitian
4.2.1. Gambaran Partisipan
Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah tenaga
kesehatan di Puskesmas Nulle dan ibu-ibu postpartum di 8
Desa yaitu Desa Nulle, Desa Tublopo, Desa Nusa, Desa
Mnelalete, Desa Pusu, Desa Tubuhue, Desa Haumenbaki, dan
Desa Nifukani. Pada penelitian ini, jumlah partisipan adalah 14
orang dengan rincian 6 orang partisipan tenaga kesehatan di
Puskesmas Nulle dan 8 orang partisipan ibu-ibu postpartum di
tiap desanya sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan
peneliti. Partisipan pada penelitian ini diperoleh peneliti dari
wawancara dengan kepala Puskesmas Nulle dan para Kader
Posyandu. Tenaga kesehatan dan ibu-ibu postpartum yang
didatangi sudah bersedia menjadi partisipan, sehingga peneliti
selanjutnya dapat melakukan proses pengambilan data. Dalam
pengambilan data peneliti dan partisipan dapat beradaptasi
dengan baik, partisipan pun memiliki karakter yang ramah
sebab sebelumnya peneliti sudah beberapa kali mengunjungi
Puskesmas Nulle dan rumah partisipan, sehingga
memudahkan peneliti dalam berinteraksi dengan partisipan.
44
Tenaga kesehatan yang dilibatkan dalam penelitian ini
adalah perawat dan bidan karena kedua tenaga kesehatan
tersebut yang memenuhi kriteria partisipan yang dibuat oleh
peneliti yaitu tenaga kesehatan yang terlibat dalam pengkajian
dan penanganan masalah kesehatan terkait postpartum di
masyarakat.
4.2.2. Karakteristik Partisipan Penelitian
Tabel 1. Karakteristik Partisipan Tenaga Kesehatan Puskesmas Nulle
Parti-
sipan
Inisial Usia
(Thn)
Suku Tempat
Tinggal
Pendidika
n
Pekerjaan Lama
Kerja
(Tahun)
P1 Tn.
E.H
43 Bima Soe Ns. S.Kep Perawat 2
P2 Ny.
V.M
27 Timor Soe S.Kep Perawat 1.5
P3 Ny. E 26 Timor Soe D3
kebidanan
Bidan 1,2
P4 Ny. D 32 Timor Mnelalete D3
kebidanan
Bidan 1,4
P5 Ny.
D.L
34 Timor Soe S.Kep Perawat 6
P6 Ny. L 42 Timor Kesetnana D3
kebidanan
Bidan 6
Tabel 2. Karakteristik Partisipan Ibu Postpartum
Parti-
sipan
Inisial Usia
Ibu
(Thn)
Usia
Bayi
Jumlah
Anak
Suku Tempat
Tinggal
Pendidikan Pekerjaan
P1 Ny.Y.N 27 5 Hari 2 Timor Nifukani SMA Petani/ IRT
P2 Ny. D.
L 28 1
Minggu 2
Timor Haumen-
baki SD Petani/ IRT
P3 Ny. H.
S 26
2 Minggu
2 Timor Tublopo SMA Petani/ IRT
45
P4 Ny. J.
S 26 3 Hari 1
Timor Nulle D2
Perpustaka-an
Guru
P5 Ny. D.
S 24
2 Minggu
1 Jawa Mnelalete SMP Wira-swasta
P6 Ny. D 28
3 Minggu
2 Timor Tubuhue SMP Petani/ IRT
P7 Ny. A.
T 29
3 Minggu
3 Timor Nusa SD Petani/ IRT
P8 Ny. P.
B 39
3 Minggu
5 Timor Pusu SD Petani/ IRT
4.3. Analisa Data
Setelah peneliti mengumpulkan data dengan cara
wawancara dan observasi, kemudian peneliti menyusunnya
dalam bentuk verbatim. Lalu peneliti membuat garis bawah
pada pernyataan yang penting dan menentukan kategori. Dari
penelitian dan analisa data yang peneliti lakukan diperoleh 3
tema besar dari segi ibu postpartum dan 5 tema besar dari segi
tenaga kesehatan.
4.3.1. Tema Pada Ibu Postpartum
Dari hasil analisa data pada Ibu Postpartum, diperoleh
tema besar sebagai berikut :
1. Ibu-ibu postpartum merasa bahwa tradisi yang berlangsung
sangat membantu dalam proses pemulihan.
46
Keywords Sub Tema Tema
Dari hasil wawancara dan proses analisa yang dilakukan
peneliti menunjukkan bahwa ibu postpartum merasa bahwa
tradisi yang dilakukan sangat membantu dalam proses
pemulihan tubuh pasca melahirkan. Mereka mengatakan bahwa
setelah melakukan se‟i dan tatobi badan terasa lebih kuat dan
segar, luka jahitan di perineum juga cepat sembuh dan dapat
kembali beraktifitas normal dengan segera. Ibu postpartum juga
mempercayai bahwa melakukan se‟i dan tatobi dapat
mengeluarkan darah kotor dari dalam rahim sehingga terhindar
dari berbagai macam penyakit, hal ini dibuktikan dari:
“Sebelum panggang kita rasa kayak badan kaku semua,
setelah kita panggang dengan tatobi badan su agak lega,
segar dan darah kotor yang ada di kita pu rahim keluar,
Mengeluarkan
darah kotor Manfaat yang
dirasakan oleh ibu
dari pelaksanaan
se‟i dan tatobi
Ibu-ibu postpartum
merasa bahwa
tradisi yang
dilakukan sangat
membantu dalam
proses pemulihan
Badan terasa
lebih sehat
Bisa menimbulkan
penyakit
Dampak yang
dirasakan oleh ibu
jika tidak melakukan
se‟i dan tatobi
Badan terasa sakit
semua
Menguatkan badan
Bisa lebih cepat
beraktifitas
47
karena itu nanti bawa penyakit, bisa mempengaruhi untuk
jadi tumor kalau darah kotor masih tersisa didalam.”(P1)
“Kita se’i dengan tatobi supaya darah kotor keluar, terus
luka cepat kering. Ini juga tradisi orang Timor, kita abis
melahirkan harus tatobi dengan se’i jadi kita harus ikuti
begitu. Baru kalau selesai tatobi dengan se’i badan rasa
lebih enak.”(P2)
“Ini beta melahirkan anak pertama, tentang se’i dengan
tatobi baru beberapa hari saja tapi ya cukup membantu.
badan lebih enak, segar.”(P4)
“Tatobi itu pakai air hangat, sebelum tatobi itu saya pu
badan sakit semua, setelah tatobi abis itu sudah, badan
enak. Se’i itu untuk kasi kuat badan.”(P6)
2. Ibu-Ibu postpartum merasa berkewajiban melakukan tradisi
se’i dan tatobi.
Keywords Sub Tema Tema
Para ibu postpartum dalam penelitian ini memaknai
pelaksanaan se‟i dan tatobi sebagai suatu kewajiban yang
Kewajiban
menjalankan tradisi
Ibu postpartum
melakukan se‟i dan
tatobi sebagai tradisi
turun temurun Ibu-Ibu
postpartum
merasa
berkewajiban
melakukan tradisi
se‟i dan tatobi
Tradisi turun
temurun dari
orangtua
Melakukan se‟i dan
tatobi agar tidak
sakit
Ibu postpartum tetap melakukan se‟i dan tatobi agar tidak terkena penyakit walaupun ada larangan
Tetap melakukan
se‟i walaupun ada
larangan
48
harus dilakukan. Partisipan tetap memegang teguh adat istiadat
yang telah dianut selama ini, dan melakukannya walaupun ada
larangan dari pemerintah. Ibu postpartum mengakui bahwa jika
tidak melakukan tradisi tersebut partisipan merasa ada yang
kurang, selain itu bisa menimbulkan penyakit. Seperti
pernyataan dari partisipan berikut:
“Ia, kita orang Timor ini harus begitu, biar ada larangan dari
puskesmas bilang jangan se’i dan tatobi, tapi kita harus
tetap se’i dengan tatobi, kalau tidak kayak ada yang kurang
begitu. Tapi sekarang se’i hanya pake bara api secukupnya
saja, hanya untuk kasi hangat badan saja jadi tidak baasap
kayak dulu lagi.”(P2)
“Kalau kita namanya orang Timor itu harus. Su dari orang
tua dulu juga begitu jadi kita anak-anak ini ikut sa. Kadang
ada bidan dong yang tegur, ma tetap. Kita harus se’i,
karena tradisi.”(P3)
“Kalau sonde se’i dengan tatobi kayak ada yang kurang,
apa lagi kalau ini tradisi su turun temurun dari keluarga
dong. Itu kan manfaatnya untuk menyegarkan badan to, jadi
kalau selesai tatobi badan jadi segar.”(P4)
“Ia, kan kalau rumah sakit dan tradisi kan beda to, karena
kita kan ikut tradisi to. Tradisi timur kan harus tatobi
dengan se’i, karena kan dari kedokteran kan hanya kasi
obat antibiotik, tapi kan tradisional, tatobi dengan se’i kan
untuk kasi keluar darah-darah kotor to, membersihkan jadi
darah kotor keluar. Biar tidak ada penyakit di dalam.”(P5)
Pada saat proses wawancara, peneliti melihat partisipan
duduk diatas tempat tidur dengan bekas arang di bawah tempat
tidurnya. Pastisipan mengatakan bahwa arang tersebut akan
dinyalakan kembali saat malam hari.
49
3. Orang tua sebagai key person dalam pengambilan
keputusan.
Keywords Sub Tema Tema
Dari proses wawancara, peneliti melihat bahwa ke 8
partisipan yang melakukan tradisi se‟i dan tatobi mengikuti
saran yang diberikan orang tua dan mertua. Para partisipan
juga menganggap bahwa kebiasaan yang diturunkan dari orang
tua harus di ikuti oleh anak-anaknya. Mereka memiliki pemikiran
bahwa apa yang disarankan oleh orang tua itu adalah sesuatu
yang baik, tidak akan membahayakan tubuhnya. Dengan
pemahaman yang seperti itu, ibu postpartum akan melakukan
se‟i dan tatobi tanpa memikirkan dampak kedepannya. Seperti
pernyataan partisipan berikut:
“Karena manfaatnya itu tadi. Bisa bantu ibu melahirkan
kayak kami ini biar cepat sembuh. Apa lagi karena saran
untuk tatobi dan se’i ini dari bapa mantu sama mama
mantu, jadi saya ikut saja. Enggak mungkin keluarga dong
kasitau yang tidak baik to.”(P5)
“Saran untuk se’i dengan tatobi ini dari orang tua. Baru ini
su tradisi lama jadi ikuti saja.”(P6)
Mengikuti jejak
orang tua Ibu postpartum
melakukan tradisi
se‟i dan tatobi
karena saran dari
orang tua
Orang tua
sebagai key
person dalam
pengambilan
keputusan
Saran mertua
Kebiasaan keluarga
50
“Karena memang di kami punya keluarga itu sudah biasa.
Semua yang melahirkan harus panggang jadi beta juga
harus panggang. Apa lagi beta melahirkan pertama waktu
masih tinggal dengan mertua to, jadi mertua su siap semua,
beta tinggal lakukan sa.”(P7)
4.3.2. Tema Pada Tenaga Kesehatan
Dari hasil analisa data pada tenaga kesehatan, diperoleh
tema besar sebagai berikut :
1. Tenaga kesehatan menyetujui sebagian tradisi yang tidak
membahayakan kesehatan.
Keywords Sub Tema Tema
Dari hasil wawancara dan proses analisa data yang
berlangsung, menunjukkan bahwa tenaga kesehatan
menyetujui sebagian tradisi yang berlangsung di masyarakat
yaitu tatobi, karena dinilai tidak membahayakan kesehatan,
Kurang setuju
dengan se‟i Pelaksanaan se‟i
dapat
membahayakan
kesehatan
Tenaga kesehatan
menyetujui sebagian
tradisi yang tidak
membahayakan
kesehatan.
Tatobi untuk
membersihkan
diri.
Se‟i
mengganggu
pernapasan.
Setuju dengan
tatobi.
Tenaga
kesehatan
menyetujui
pelaksanaan
tatobi
Tenaga
kesehatan
menyetujui
pelaksanaan
tatobi
51
dan kurang setuju dengan tradisi se‟i karena bisa membawa
dampak negatif bagi kesehatan ibu dan bayi. Dalam praktek
pelaksanaannya, tatobi dan se‟i berlangsung sebagai satu
kesatuan atau seperangkat tradisi yang berlangsung secara
bersamaan dan tidak dapat dipisahkan. Berikut adalah
beberapa pernyataan partisipan mengenai se‟i dan tatobi:
“Menurut masyarakat sini itu bisa membantu
mengeluarkan darah kotor pasca melahirkan. untuk se’i
saya sendiri kurang setuju, karena sudah ada larangan
dari pemerintah, selain itu bisa mengganggu kesehatan
juga. Kalau tatobi menurut saya tidak masalah, itu kan
seperti mandi, membersihkan badan dengan air
hangat.” (P1)
“Kalau untuk tatobi saja saya setuju, itu kan hanya
untuk kompres ibu punya badan supaya lebih bersih
dan segar, tidak berdampak ke bayi juga, tidak seperti
se’i.” (P2)
“Kalau se’i kurang setuju, karena bisa ganggu
pernapasan bayi dan ibu tapi kalau tatobi saya setuju,
itu kan hanya kompres badan ibu dengan air hangat jadi
tidak masalah.” (P6)
Mereka menganggap bahwa se‟i yang berlangsung
sekarang walaupun hanya menggunakan arang secukupnya
tetap bisa membahayakan kesehatan ibu maupun bayi,
karena partikel debu dari arang itu sendiri. Seperti yang
disampaikan oleh partisipan berikut:
”Mereka mungkin tidak akan lihat dampak itu sekarang, tapi kedepannya itu bagaimana kan kita tidak tahu.” (P2)
52
Sedangkan tatobi disetujui pelaksanaannya karena
tradisi tersebut sekarang hanya menggunakan air hangat
saja, bukan air panas lagi seperti dulu. Selain itu, dengan
cuaca didaerah tersebut yang sangat dingin, tatobi bisa
membantu membersihkan badan ibu tanpa merasa
kedinginan. Seperti pernyataan berikut :
“Kalau untuk se’i saya kurang setuju, biar hanya pakai
bara api tetap saja abu dari arang tadi bisa terbang –
terbang kalau angin tiup, bisa mengganggu pernapasan
bayi juga. Kalau tatobi sekarang hanya pakai air hangat
jadi itu tidak masalah.” (P3)
“Sebenarnya juga tidak boleh walaupun di dalam rumah
besar, karena tetap saja itu ada partikel-partikel debu to,
bisa terbang kalau angin tiup.” (P4)
2. Sebagian besar tenaga kesehatan yang sudah menikah
pernah melakukan tradisi se’i dan tatobi.
Keywords Sub Tema Tema
Tidak pernah
melakukan se‟i
Pengalaman
pribadi tenaga
kesehatan
terhadap se‟i Sebagian besar
tenaga kesehatan
yang sudah
menikah pernah
melakukan tradisi
se‟i dan tatobi.
Pernah
melakukan se‟i
Keluarga pernah
melakukan se‟i
Tenaga kesehatan
yang belum
menikah memiliki
pengalaman se‟i
dari keluarga
53
Sebagian tenaga kesehatan dalam penelitian ini
ternyata pernah melakukan tradisi se‟i dan tatobi saat
melahirkan. Menurut pengakuan mereka yang sudah
menikah dan memiliki anak, tradisi tersebut mereka lakukan
sebelum ada peraturan pemerintah yang melarang
pelaksanaan se‟i dan tatobi, seperti pernyataan berikut ini :
“Saya pernah se’i waktu melahirkan anak pertama, tapi
hanya satu kali itu saja. Seterusnya tidak lagi.” (P4)
“Kalau pengalaman, saya pernah se’i dan tatobi. Waktu
melahirkan saya punya anak pertama kan masih tinggal
dengan mertua, peraturan yang larang itu juga belum
ada, jadi saya masih se’i dan tatobi. Tapi setelah itu
tidak lagi.”(P5)
“Saya melahirkan anak pertama dengan kedua masih
sempat se’i dan tatobi. Waktu itu belum ada larangan
dari pemerintah untuk tidak boleh se’i dan tatobi, tapi
sekarang sudah ada to jadi sudah mulai berkurang.”(P6)
Terdapat 3 orang dari 6 tenaga kesehatan tersebut
yang tidak pernah melakukan tradisi ini dikarenakan 2
diantaranya belum menikah yaitu P2 dan P3, sedangkan 1
orang lainnya bukan suku Timor yaitu P1. Tetapi, dari 2
orang partisipan yang belum menikah tersebut diperoleh
fakta bahwa walaupun ada masyarakat yang anggota
keluarganya adalah tenaga kesehatan, mereka tetap
menjalankan tradisi se‟i dan tatobi. Memiliki anggota
keluarga sebagai tenaga kesehatan ternyata tidak menutup
54
kemungkinan masyarakat akan berhenti melakukan tradisi
tersebut, seperti pernyataan partisipan berikut:
“Tapi kalau keluarga, saudara tua dong se’i dengan tatobi
juga kalau selesai melahirkan.” (P2)
3. Sebagian besar program puskesmas yang berjalan efektif
berupa penyuluhan dan sosialisi.
Keywords Sub Tema Tema
Berdasarkan hasil wawancara, para tenaga
kesehatan mengatakan bahwa program yang dilakukan oleh
puskesmas guna meminimalisir pelaksanaan se‟i dan tatobi
di Kecamatan Amanuban Barat tidak semuanya berjalan
dengan efektif. Program penyuluhan biasanya dilakukan
pada saat ibu selesai melahirkan dan akan meninggalkan
puskesmas, sedangkan program sosialisasi dilakukan oleh
tenaga kesehatan pada saat posyandu di tiap Desanya,
karena pada saat posyandu sebagian besar ibu hamil dan
ibu postpartum berkumpul untuk melakukan pemeriksaan.
Melakukan
penyuluhan
Program puskesmas
yang berjalan
dengan efektif
Sebagian besar
program
puskesmas
yang berjalan
efektif berupa
penyuluhan
dan sosialisasi
Adakan sosialisasi
Kunjungan ibu
postpartum
Sebagian program
yang dilakukan
puskesmas tidak
berjalan efektif
55
Hal ini memudahkan tenaga kesehatan melakukan
sosialisasi dan menghemat waktu. Pelaksanaan penyuluhan
dan sosialisasi ini sesuai dengan pernyataan dari partisipan
berikut:
“Kalau dipuskesmas ini, biasanya kami melakukan
penyuluhan kepada ibu melahirkan dan keluarga
tentang se’i dan tatobi sebelum mereka pulang
kerumah, sosialisasi di posyandu juga, 1 bulan 1 kali.”
(P1)
“Biasanya sosialisasi di posyandu ibu hamil dan ibu
postpartum. Selain itu juga kadang – kadang bagi
brosur, penyuluhan waktu ibu melahirkan mau pulang
kerumah.”(P4)
“Biasanya itu di adakan penyuluhan pas melahirkan.
Setelah ibu melahirkan dan mau pulang, itu nanti nakes
di puskesmas, khususnya bidan yang nanti beri
penyuluhan mengenai se’i dan tatobi.”(P5)
Tidak semua program yang direncanakan oleh
puskesmas berjalan dengan baik dan sesuai harapan. Salah
satu program puskesmas yang tidak bisa berjalan dengan
baik adalah kunjungan kerumah ibu postpartum. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal yaitu tidak seimbangnya
jumlah ibu postpartum dengan tenaga kesehatan dan jarak
rumah antar ibu postpartum yang berjauhan, ditambah
kondisi jalan yang tidak memungkinkan untuk dilewati saat
musim hujan menyebabkan tenaga kesehatan kesulitan
56
menjalankan program ini. Seperti pengakuan dari partisipan
berikut:
“Ada juga kunjungan kerumah, tapi itu kurang efisien,
kurang dijalankan soalnya banyak ibu melahirkan
sedangkan nakes terbatas, seperti itu.”(P3)
“Oh ada lagi, kunjungan kerumah ibu postpartum tapi
yang ini kadang tidak berjalan lancar karena jumlah ibu
melahirkan dengan jumlah nakes terbatas. Ditambah
jarak rumah yang berjauhan, kami setengah mati. Jadi
kalau sempat kami biasanya berkunjung, tetapi kalau
tidak kami lakukan sosialisasi di posyandu saja.”(P6)
4. Hambatan terbesar tenaga kesehatan adalah tradisi dan
pemikiran masyarakat yang sulit dirubah.
Keywords Sub Tema Tema
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan,
ditemukan bahwa hambatan dan tantangan terbesar yang
Tradisi sulit
dirubah Kewajiban
menjalankan tradisi
menyebabkan
masyarakat tetap
melakukan se‟i dan
tatobi walaupun ada
larangan
Hambatan
terbesar tenaga
kesehatan
adalah tradisi
dan pemikiran
masyarakat
yang sulit
dirubah.
Tetap melakukan se‟i
dan tatobi walaupun
ada larangan
Pemikiran masyarakat
sulit dirubah
Hambatan yang
dihadapi dalam
penanganan tradisi
se‟i dan tatobi Karakteristik ibu
postpartum berbeda-
beda
Tingkat pendidikan
rendah
57
dihadapi oleh tenaga kesehatan adalah tradisi dan
pemikiran masyarakat yang sulit dirubah. Berdasarkan
pernyataan partisipan, masyarakat Kecamatan Amanuban
Barat masih memegang teguh tradisi yang diwariskan dari
nenek moyang mereka secara turun temurun. Meskipun
sudah ada peraturan dari pemerintah yang melarang ibu
postpartum melakukan se‟i, tetapi mereka bersikeras
melakukannya, mereka merasa mempunyai kewajiban untuk
melakukannya. Pernyataan ini diungkapkan oleh partisipan
berikut:
“Itu tadi seperti yang saya bilang. Tradisi orang sini, jadi
susah untuk kita rubah. Tidak segampang apa yang kita
rencanakan. Pemerintah kasi larangan tapi tetap saja
masih ada yang berani lakukan.” (P2)
“Tradisi, itu tantangan yang berat. Karena se’i itu tradisi
jadi susah diubah. Selan itu, hampir semua ibu
postpartum disini masih memegang teguh tradisi sei
dan tatobi, jadi agak susah.”(P3)
“Ini kan tradisi to, yang namanya tradisi itu susah untuk
diubah. Meskipun ada larangan dari pemerintah supaya
jangan se’i dengan tatobi lagi tapi tetap, masih banyak
yang lakukan dengan diam – diam. Di puskesmas kita
kasi tahu mereka ia saja, tapi setelah sampai rumah
mereka tetap lakukan. Biasanya sembunyi – sembunyi
supaya nakes jangan tahu.”(P5)
Selain tradisi, tenaga kesehatan juga mengalami
kesulitan dalam menangani pelaksanaan se‟i dikarenakan
pendidikan masyarakat yang rendah sehingga
58
menyebabkan pola pikir mereka yang sulit dirubah dan
karakteristik tiap ibu yang berbeda membuat para tenaga
kesehatan mengalami kesulitan menghadapi mereka. Tidak
semua ibu yang diingatkan oleh tenaga kesehatan
menerima dengan baik apa yang disampaikan, itulah
penyebab pelaksanaan se‟i sulit dirubah apalagi
dihilangkan. Walaupun para tenaga kesehatan mengaku
kurang setuju dengan tradisi se‟i yang dijalankan, tetapi
tidak mudah untuk merubah cara pandang masyarakat.
Seperti pernyataan yang diungkapkan partisipan berikut:
“Kita tidak mungkin memaksa mereka mengubah,
meninggalkan tradisi dari nenek moyang mereka begitu
saja. Kami sebagai nakes akan mencoba merubah cara
pandang mereka mengenai kesehatan, terutama tentang
tradisi ini secara perlahan.”(P1)
“Hambatannya itu susah merubah pemikiran
masyarakat di sini mengenai se’i dan tatobi,
masalahnya ini menyangkut tradisi turun – temurun jadi
agak repot. Apa lagi ini di kampung, tingkat pendidikan
mereka juga terbatas, agak susah kasi pengertian ke
mereka untuk andalkan obat dari dokter, karena dalam
otak mereka itu seperti sudah ditanamkan kalau se’i dan
tatobi itu kewajiban ibu melahirkan.”(P4)
“Seperti yang saya ceritakan tadi. Ini tradisi orang
Timor. Selain itu kadang ada ibu melahirkan yang mati-
matian harus se’i dan tatobi didapur walaupun kita
sudah berusaha untuk mengingatkan begitu. Setiap
orang berbeda, jadi kami berusaha semampu kami.”(P6)
59
5. Tenaga kesehatan berusaha mengubah pemikiran
masyarakat terhadap tradisi secara perlahan.
Keywords Sub Tema Tema
Dalam analisa penelitian tentang pandangan ibu-ibu
postpartum terkait usaha yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
terhadap pelaksanaan se‟i dan tatobi, ibu postpartum
mengemukakan bahwa tenaga kesehatan akan menegur dan
mengingatkan dampak se‟i dan tatobi kepada partisipan.
Walaupun demikian para tenaga kesehatan tidak melarang
mereka melakukan se‟i dan tatobi, tetapi dengan ketentuan se‟i
hanya menggunakan arang secukupnya dan tatobi
menggunakan air hangat bukan air panas, selain itu partisipan
diperingatkan agar tatobi jangan mengenai luka jahitan di
Se‟i menggunakan
arang secukupnya
Ibu postpartum
merasa adanya
perubahan dalam
tradisi se‟i dan tatobi
secara perlahan
sebagai dampak
yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan.
Tenaga
kesehatan
berusaha
mengubah
pemikiran
masyarakat
terhadap tradisi
secara perlahan.
Se‟i jangan didapur
Tradisi dan
pengobatan modern
harus seimbang
Sebagian ibu postpartum merasa pengobatan tradisional dan modern harus seimbang
Puskesmas
mendukung dengan
ketentuan tertentu
Tatobi dengan air
hangat saja
60
perineum, agar luka tersebut bisa cepat pulih. Ibu postpartum
juga dilarang untuk melakukan tradisi tersebut di dapur,
dikarenakan sebagian besar dapur masyarakat setempat masih
berbentuk rumah bulat, sehingga jika melakukan se‟i di tempat
tersebut maka pertukaran udara menjadi tidak efisien, hal ini
bisa membahayakan pernapasan ibu maupun bayi. Hal ini
berdasarkan pernyataan dari partisipan berikut:
“Kalau orang puskesmas tahu nanti dong tegur. Boleh
panggang tapi arang jangan talalu banyak ko baasap, tatobi
juga air jangan talalu panas atau mendidih, harus hangat
sa.”(P1)
“Dari puskesmas dong hanya kasi tahu kalau se’i jangan
pakai arang talalu banyak, baru sonde boleh se’i di dapur,
harus dirumah besar supaya jangan baasap. Begitu ju
dengan tatobi, sonde pakai air mendidih lagi kayak dulu,
hanya pakai air hangat sa. Terus tatobi itu jangan sampai
kena luka jahitan abis melahirkan, bidan dong bilang itu
nanti bisa busuk, tatobi di badan sa.”(P2)
“Tapi kan dari dokter kita ikut, jalani. Tradisi juga kita ikuti
jalani, jadi seimbang. Selama saya se’i dan tatobi tidak ada
tenaga kesehatan yang datang melihat. Waktu di rumah
sakit pas melahirkan dikasi tahu kalau tatobi tidak boleh
kena jahitan.”(P5)
4.4. Pembahasan
Dalam pembahasan ini, peneliti akan mendiskusikan
tentang tema yang sudah didapat dari penelitian yang berfokus
pada persepsi ibu dan tenaga kesehatan mengenai tradisi se‟i
61
dan tatobi. Interpretasi hasil penelitian ini dilakukan dengan cara
membandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya.
4.4.1. Tema pada Ibu Postpartum
1. Ibu-ibu postpartum merasa bahwa tradisi yang dilakukan
sangat membantu dalam proses pemulihan.
Berdasarkan pada hasil penelitian, peneliti
menemukan bahwa ibu postpartum merasakan adanya
manfaat dari pelaksanaan tradisi se‟i dan tatobi yang saat ini
dilakukan di rumah modern tersebut seperti badan terasa
segar dan kuat setelah se‟i dan tatobi, luka jahitan lebih
cepat sembuh dan mengeluarkan darah kotor dari dalam
rahim sehingga tidak menimbulkan penyakit kedepannya.
Hal ini didukung oleh Barennes (2009) dalam penelitiannya
di Laos yang mengatakan bahwa ibu-ibu postpartum
merasakan manfaat dari ‘hot bed’ seperti membantu untuk
mengeringkan dan menyembuhkan vagina dan rahim, dan
untuk mengendurkan otot dan mengurangi rasa sakit. Selain
itu, Yeh (2014) mengungkapkan keyakinan wanita Taiwan
yaitu bahwa persalinan meninggalkan hawa dingin yang
bisa membahayakan ibu, sehingga ibu harus berbaring di
tepi api panas (yue fai), mandi air panas dan minum air
panas untuk menghangatkan tubuh mereka dan
mengeringkan bagian dalam mereka.
62
Manfaat yang dirasakan oleh ibu-ibu inilah yang
menyebabkan mereka terus melakukan tradisi se‟i dan
tatobi. Mereka menyimpulkan bahwa tradisi yang mereka
jalani tersebut tidak memberikan dampak buruk. Pemikiran
seperti ini juga dijelaskan oleh Noorkasiani (2009) yang
mengatakan bahwa individu menentukan sendiri apakah
dirinya mengalami suatu penyakit berdasarkan perasaan
dan penilaiannya sendiri. Pendapat atau kepercayaan ini
dapat sesuai dengan realitas, tetapi dapat pula berbeda
dengan keyakinan yang dilihat oleh orang lain, dalam hal ini
adalah tenaga kesehatan. Ibu postpartum meyakini bahwa
tradisi se‟i dan tatobi membawa dampak positif, tetapi
sebaliknya jika dilihat dari sudut pandang tenaga kesehatan
yang mana tradisi tersebut memberikan dampak negatif bagi
kesehatan ibu dan bayi seperti ISPA akibat asap dan debu.
Berdasarkan hal tersebut, harus dilakukan pendidikan
kesehatan guna mengubah perilaku masyarakat
berdasarkan faktor predisposisi, faktor pendukung dan
faktor pendorong. Hal ini juga disimpulkan oleh Maulana
(2009) bahwa pendidikan kesehatan mempunyai peranan
penting dalam mengubah dan menguatkan ketiga kelompok
faktor itu agar searah dengan tujuan kegiatan sehingga
63
menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap
program tersebut dan terhadap kesehatan pada umumnya.
2. Ibu-Ibu postpartum merasa berkewajiban melakukan tradisi
se’i dan tatobi.
Dari hasil analisa yang dilakukan peneliti terungkap
bahwa dalam pelaksanaan tradisi se‟i dan tatobi yang
dilakukan para ibu postpartum ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Hal ini dilengkapi dengan ungkapan
partisipan yang menyatakan bahwa faktor yang membuat
ibu postpartum mau melakukan tradisi tersebut adalah
kewajiban sebagai orang Timor, adat istiadat turun temurun
dan kebiasaan orang tua terdahulu yang harus diikuti. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian yang diungkapkan Raven,
dkk. (2007) bahwa responden menyatakan bahwa alasan
utama untuk mengikuti praktek-praktek tradisional ini adalah
menghormati tradisi dan mengikuti saran tetua.
Ibu-ibu postpartum tersebut sudah sering terpapar oleh
pelaksanaan tradisi ini dari ibu, ibu mertua atau saudara
perempuan yang telah lebih dulu melakukannya. Selain
anggota keluarga, terdapat tetangga dan masyarakat sekitar
yang juga melakukan hal yang sama. Dari pengamatan
mereka, semua wanita postpartum akan melakukan se‟i dan
tatobi mengikuti aturan yang ada. Hal inilah yang
64
menyebabkan terciptanya persepsi tentang pelaksanaan se‟i
dan tatobi sebagai sebuah kewajiban. Seperti yang
dijelaskan oleh Sunaryo (2004) bahwa persepsi merupakan
proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses
pengindraan, dengan persepsi individu dapat mengerti
tentang keadaan lingkungan yang ada disekitarnya maupun
tentang hal yang ada dalam diri individu yang bersangkutan.
Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Hardjana
(2007) yang mengatakan bahwa persepsi merupakan
proses yang kompleks yang dilakukan orang untuk memilih,
mengatur, dan memberi makna pada kenyataan yang
dijumpai disekelilingnya. Hal tersebut menjelaskan bahwa
lingkungan sekitar menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi perilaku seseorang, seperti penjelasan
Glanz (2015) yang mengatakan bahwa teridentifikasi lima
sumber pengaruh pada perilaku kesehatan yaitu faktor
intrapersonal, interpersonal dan kelompok utama, faktor
institusi, faktor masyarakat dan faktor kebijakan publik.
Menurut Sunaryo, terdapat 2 macam persepsi, yang
pertama adalah external perception, yaitu persepsi yang
terjadi karena adanya rangsangan yang datang dari luar diri
individu; dan yang kedua adalah self-perception, yaitu
persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang berasal
65
dari dalam individu. Penjelasan tersebut mendukung
pernyataan salah satu partisipan yang mengatakan bahwa
keputusannya melakukan tradisi ini bukan semata-mata
karena saran dari orang tua dan tradisi turun temurun tetapi
karena dalam dirinya sendiri ingin melakukannya. Persepsi
setiap orang berbeda, bergantung pada pengalaman masa
lalu, latar belakang, pengetahuan, dan status emosinya.
Karenanya, persepsi dapat memengaruhi semua perilaku
atau konsep lain yang berhubungan, seperti yang dijelaskan
oleh Asmadi (2008).
Ibu postpartum mengakui bahwa jika tidak melakukan
tradisi tersebut mereka merasa ada yang kurang. Selain itu
mereka meyakini bahwa tidak melakukan se‟i dan tatobi bisa
menimbulkan penyakit karena darah kotor dari tubuh
mereka tidak keluar semua, badan terasa sakit dan luka
jahitan diperineum akan lebih lama kering. Hal sebaliknya
terjadi jika mereka patuh melakukan se‟i dan tatobi.
Pernyataan partisipan ini didukung oleh hasil penelitian
Barennes (2009) bahwa ‘hot bed’ membantu untuk
mengeringkan dan menyembuhkan vagina dan rahim, dan
untuk mengendurkan otot dan mengurangi rasa sakit.
Selain tradisi, pendidikan yang rendah juga turut
mengambil bagian dalam hal ini. Pendidikan yang rendah
66
berpengaruh pada cara berpikir masyarakat di Kecamatan
Amanuban Barat, bukan saja ibu postpartum tetapi suami
serta keluarga. Cara berpikir masyarakat yang umumnya
berpendidikan rendah juga berdampak pada pemilihan
penolong dan tempat persalinan, serta pengobatan yang
akan dilakukan setelah persalinan. Hal ini juga di didukung
oleh hasil penelitian Ayaz (2008) yang mengatakan bahwa
pelaksanaan praktek-praktek tradisional biasanya
dipengaruhi oleh usia muda, status pendidikan, usia saat
menikah dan tempat persalinan.
Dari hasil penelitian yang diperoleh peneliti, ada
partisipan yang berpendidikan tinggi tetapi tetap
melaksanakan tradisi ini dengan alasan bahwa tradisi yang
sudah dilakukan secara turun temurun tidak bisa
ditinggalkan begitu saja walaupun ada larangan dari
pemerintah. Selain itu, partisipan tersebut juga mengakui
bahwa pelaksanaan tradisi ini dimanfaatkan untuk
beristirahat. Oleh karena itu peneliti berkesimpulan bahwa
tingkat pendidikan tidak memberikan pengaruh yang
signifikan pada pelaksanaan tradisi di masyarakat.
Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Barennes
(2009) yang mengatakan bahwa anehnya wanita yang
berpendidikan tinggi justru melakukan tradisi ‘hot bed’ lebih
67
lama dibanding wanita buta huruf. Hal serupa juga
disampaikan oleh Soerachman (2013) bahwa pemahaman
masyarakat diwilayah penelitian secara menyeluruh
mendukung sikap yang sesuai dengan kebudayaan
masyarakat NTT.
3. Orang tua sebagai key person dalam pengambilan
keputusan.
Hasil analisa data yang diperoleh peneliti ini juga
merupakan salah satu faktor penyebab ibu melakukan
tradisi se‟i dan tatobi. Dari ke 8 ibu postpartum yang
diwawancarai oleh peneliti semuanya melakukan tradisi ini
atas saran dari orang tua dan mertua. Mereka mengakui
bahwa saran yang diberikan oleh orang tua dan mertua
adalah untuk kebaikan dan kesehatan mereka, selain itu
suami mendukung penuh pelaksanaan se‟i dan tatobi
tersebut. Oleh karena itu ibu postpartum mengikuti tanpa
memikirkan dampak tradisi itu kedepannya. Hal ini
dijelaskan oleh Raven (2007) dalam penelitiannya, bahwa
ibu dan ibu mertua yang paling berpengaruh dalam
merekomendasikan perilaku ini.
Selain itu para ibu postpartum yang baru pertama kali
melahirkan merasa kurang berpengalaman sehingga
mereka memutuskan untuk tinggal dirumah orang tua atau
68
mertua mereka sampai proses melahirkan serta tradisi se‟i
dan tatobi selesai dilakukan. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Dennis, dkk. (2007) pada penelitiannya
bahwa dukungan yang biasanya dilakukan dalam bentuk
anggota keluarga merawat ibu baru dan bayinya untuk
jangka waktu tertentu, hampir secara universal dilakukan
pada periode postpartum awal dilakukan oleh ibu, ibu
mertua, saudara perempuan dan suami. Ini juga
membuktikan bahwa ibu postpartum membutuhkan
dukungan dari keluarga atau kerabat selama menjalani
kehamilan hingga periode postpartum.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa
perilaku individu (ibu-ibu postpartum) dipengaruhi oleh faktor
interpersonal, dalam hal ini keluarga sebagai kelompok
utama. Dibuktikan dengan pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh orang yang dianggap paling tua didalam
keluarga. Hal ini dijelaskan oleh Glanz (2015) bahwa salah
satu faktor yang mempengaruhi perilaku individu adalah
faktor interpersonal dan kelompok utama.
4.4.2. Tema Pada Tenaga Kesehatan
1. Tenaga kesehatan menyetujui sebagian tradisi yang tidak
membahayakan kesehatan.
69
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 6 partisipan,
ditemukan bahwa tidak semua tradisi dilarang oleh tenaga
kesehatan, ada sebagian tradisi yang disetujui karena
dianggap tidak membahayakan kesehatan. Tenaga
kesehatan mengakui bahwa mereka tidak
mempermasalahkan pelaksanaan tradisi tatobi asalkan
dilakukan menggunakan air hangat saja bukan
menggunakan air panas karena air panas dapat mengiritasi
kulit tubuh ibu. Kompres air hangat bermanfaat
menyegarkan tubuh ibu karena mengurangi ketegangan otot
dan memperlancar peredaran darah, hal tersebut didukung
oleh Sinclair (2008) dan Berman (2015) yang mengatakan
bahwa efek panas terhadap tubuh yaitu mengurangi kejang
otot, memperlancar aliran darah, mengurangi rasa sakit, dan
mengurangi kekakuan sendi.
Selain itu, menurut Bahiyatun (2009), salah satu hal
yang perlu diperhatian dalam perawatan postpartum adalah
hygiene personal ibu, hal ini dilakukan dengan mandi dan
membersihkan daerah perineum dengan menggunakan air
hangat untuk meningkatkan kenyamanan dan mencegah
infeksi. Kain yang digunakan untuk tatobi biasanya kain
tenun atau kain alas bayi yang lebar, setelah digunkan untuk
mengompres tubuh ibu, kain tersebut diperas dan dijemur.
70
Selain itu tatobi tidak dilakukan dirumah bulat tanpa jendela
lagi melainkan dirumah modern (rumah tembok) dengan
jendela yang bisa dibuka.
Tenaga kesehatan mengatakan bahwa mereka kurang
menyetujui pelaksanaan se‟i karena dampak yang
ditimbulkan kedepannya bisa membahayakan kesehatan ibu
dan bayi seperti ISPA karena asap dan debu yang
ditimbulkan dari pembakaran kayu untuk se‟i, hal ini
didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh
Soerachman (2013) bahwa saat dilakukan pemeriksaan
pada ibu yang melakukan se‟i di rumah bulat terdapat gejala
ISPA pada bayinya seperti batuk dan pilek selama 6 hari,
sedangkan untuk ibunya sendiri menunjukkan gejala batuk,
pilek, sakit kepala, mata bengkak dan pucat. Selain itu hasil
pembakaran tidak sempurna bahan bakar biomassa (kayu
bakar, jerami, arang) biasanya mengandung partikulat debu
yang dapat masuk kedalam saluran pernafasan dan
berbagai senyawa organik (volatile dan non volatile),
termasuk bahan yang bersifat karsinogenik seperti benzo,
formaldehyde, dan benzene. Pendapat tersebut didukung
oleh Kong (2010) yang mengatakan polusi berbentuk asap
pada saat pembakaran dapat menimbulkan gejala sesak
napas (ISPA) dan pada kasus-kasus tertentu lambat-laun
71
dapat menimbulkan efek karsinogenetik, terutama di paru-
paru manusia.
Oleh karena itu para tenaga kesehatan melarang para
ibu postpartum untuk melakukan se‟i didalam dapur, karena
biasanya tradisi ini dilakukan oleh masyarakat didalam
dapur (dapur masyarakat Amanuban Barat sebagian besar
masih berbentuk rumah bulat/Ume Kbubu tanpa jendela).
Selain itu pelaksanaan se‟i di rumah bulat yang tidak
berjendela membuat kualitas udara lebih buruk seperti yang
disampaikan pada hasil penelitian Anwar (2014), kondisi
rumah bulat tidak memenuhi standar dan nilai kelembaban
udara melampaui batas normal. Karena menyadari hal itu,
para tenaga kesehatan berupaya mengubah tradisi ini.
2. Sebagian besar tenaga kesehatan yang sudah menikah
pernah melakukan tradisi se’i dan tatobi.
Peraturan yang melarang pelaksanaan se‟i adalah
Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan no 6
tahun 2013, Tentang Pelayanan Kesehatan Ibu, Bayi Baru
Lahir, Bayi, dan Anak Bawah Lima Tahun. Didalam PERDA
tersebut pada Bab IV pasal 18 mengenai Pelayanan
Kesehatan Ibu Nifas tertulis bahwa “Ibu nifas dilarang
melakukan se‟i setelah melahirkan”. Pada penelitian ini,
peneliti mendapatkan hasil yang mengejutkan dimana para
72
tenaga kesehatan yang sudah menikah sebagian besar
pernah melakukan se‟i dan tatobi. Ada yang melakukannya
1 kali, tetapi ada juga yang berulang kali. Mereka mengakui
bahwa saat itu belum ada peraturan pemerintah yang
melarang pelaksanaan se‟i. Walaupun tingkat pendidikan
mereka cukup tinggi, tidak menjamin bahwa mereka akan
meninggalkan tradisi mereka sendiri, seperti yang
diungkapkan Maunati (2008) bahwa pendidikan yang tinggi
belum tentu dapat merubah tradisi yang sudah berakar
didalam masyarakat dengan mudah jika hanya dilakukan
secara individu.
Mereka juga mengatakan bahwa se‟i bisa memberikan
waktu istirahat yang cukup bagi mereka. Pernyataan ini
didukung oleh hasil penelitian Berennes, dkk. (2009) di
Viantiane, Laos, bahwa wanita dengan pendidikan tinggi
lebih lama melakukan tradisi ‘hot bed’ (tradisi dimana ibu
berbaring di atas tempat tidur dengan bara api dibawahnya)
daripada wanita buta huruf. Mereka mengatakan bahwa ‘hot
bed’ adalah kesempatan untuk beristirahat, untuk menjauh
dari tugas sehari-hari dan untuk memperkuat hubungan
sosial dengan keluarga. Selain itu, aktivitas fisik berkurang
terkait dengan istirahat sehingga dapat menyeimbangkan
73
asupan kalori harian yang rendah karena pantangan
makanan.
Sedangkan tenaga kesehatan yang belum menikah
dalam penelitian ini mengatakan bahwa mereka tidak akan
melakukan tradisi se‟i dan tatobi jika memiliki anak karena
mereka menyadari dampak yang akan ditimbulkan oleh
tradisi tersebut dan adanya larangan dari pemerintah.
Mereka juga mengatakan bahwa pengalaman mereka
terkait tradisi se‟i dan tatobi selama ini hanya didapat dari
keluarga yang pernah melakukan, seperti hasil penelitian
yang dilakukan oleh Suryawati (2007) mengatakan bahwa
keluarga sangat berperan dalam pelaksanaan tradisi.
3. Sebagian besar program puskesmas yang berjalan efektif
berupa penyuluhan dan sosialisasi.
Susahnya merubah kebiasaan dan kepercayaan
masyarakat yang sudah menjadi tradisi tidak menyurutkan
niat tenaga kesehatan untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat Kecamatan Amanuban Barat menjadi lebih baik.
Ini merupakan suatu tantangan bagi tenaga kesehatan
sebagai pendidik kesehatan, dalam memadukan budaya
kedalam penyusunan program yang akan mereka gunakan.
Seperti yang dijelaskan oleh Bensley (2009) bahwa banyak
organisasi dan lembaga kesehatan yang masih menghadapi
74
kendala yang menghambat kemampuan mereka untuk
secara efektif memadukan budaya ke dalam penyusunan
program, pemilihan metode, dan pengembangan materi.
Bensley sendiri sudah memberikan beberapa cara untuk
menghindari kendala tersebut yaitu 1) menyadari dan
menerima perbedaan dan persamaan budaya; 2) memiliki
kemampuan untuk mengkaji diri budaya; 3) memiliki
kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman yang diperlukan
dari populasi sasaran; 4) mengembangkan keterampilan
yang memfasilitasi perbedaan; dan 5) memiliki kepekaan
yang dinamis terhadap interaksi budaya. Cara-cara tersebut
di harapkan dapat membantu para tenaga kesehatan dalam
menghadapi persoalan kesehatan yang berkaitan dengan
budaya.
Berdasarkan hasil analisa data, kesulitan yang
dihadapi oleh tenaga kesehatan disini berkaitan dengan
faktor perilaku kesehatan masyarakat setempat, dimana
mereka memiliki kepercayaan dan keyakinan terhadap
tradisi yang sudah mereka anut selama ini. Pernyataan ini
didukung oleh Maulana (2009) yang mengatakan bahwa
faktor perilaku ditentukan oleh tiga kelompok faktor, salah
satunya adalah faktor predisposisi yang mencakup
pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma
75
sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri
individu dan masyarakat.
Berbagai upaya dilakukan oleh tenaga kesehatan agar
masyarakat menyadari dampak se‟i kedepannya, seperti
melakukan penyuluhan dan sosialisasi sejak dikeluarkannya
PERDA Kab. TTS yang melarang pelaksanaan tradisi se‟i
pada tahun 2013. Pernyataan ini didukung oleh penelitian
dari Soerachman (2013) bahwa perlu dilakukan penyuluhan
pada masyarakat mengenai efek dari tradisi se‟i, juga
melakukan intervensi pada rumah bulat menjadi rumah bulat
sehat. Para tenaga kesehatan berusaha mengadakan
program yang bertujuan meningkatkan komunikasi dengan
masyarakat setempat. Mereka melakukan penyuluhan dan
sosialisasi karena mereka menyadari komunikasi adalah
salah satu faktor penting yang dapat melancarkan program-
program tersebut. Hal ini didukung oleh pernyataan dari
Liliweri (2007) bahwa komunikasi manusia merupakan
bagian yang sangat penting dalam layanan kesehatan,
mulai dari konsultasi kesehatan hingga ke penyebarluasan
informasi kesehatan. Dalam promosi kesehatan misalnya,
ditekankan tentang bagaimana merancang informasi yang
sesuai dengan kebutuhan sasaran layanan, termasuk
kampanye kesehatan yang didukung oleh teknologi
76
komunikasi yang dapat diterima oleh sasaran budaya yang
berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, tenaga
kesehatan melakukan penyuluhan saat ibu postpartum dan
keluarga akan pulang kembali kerumah setelah melahirkan.
Didalam penyuluhan tersebut tenaga kesehatan
menjelaskan dampak se‟i kepada ibu dan keluarga serta
menyarankan agar se‟i dengan menggunakan arang
secukupnya dan tatobi menggunakan air hangat. Tenaga
kesehatan juga melakukan sosialisasi ke posyandu-
posyandu ibu hamil dan ibu Nifas yang diadakan 1 bulan 1
kali. Hal ini dilakukan agar masyarakat yakin terhadap
dampak negatif yang ditimbulkan dan merubah pemikiran
mereka tentang tradisi yang mereka jalani. Hal ini juga
disimpulkan oleh Bastable (2002) yang mengatakan bahwa
perilaku individu ditentukan oleh motif dan kepercayaannya.
Menurut health belief model, kemungkinan seseorang
melakukan tindakan pencegahan dipengaruhi secara
langsung dari keyakinan atau penilaian kesehatan (health
beliefs), antara lain ancaman yang dirasakan dari sakit atau
luka, keuntungan dan kerugian, dan petunjuk berperilaku
untuk memulai proses perilaku, yang disebut sebagai
keyakinan terhadap posisi yang menonjol.
77
Selain dua program diatas, terdapat 1 program lagi
yang telah dirancang oleh puskesmas yaitu melakukan
kunjungan ke rumah ibu nifas. Tetapi program ini tidak
berjalan dengan efektif dikarenakan jumlah tenaga
kesehatan yang tidak seimbang dengan jumlah ibu nifas,
jarak rumah antar ibu nifas yang berjauhan dan jauh dari
tempat layanan kesehatan seperti puskesmas, serta kondisi
jalan yang tidak memungkinkan untuk dilewati kendaraan
apalagi saat kondisi hujan menjadi penyebab program ini
tidak berjalan, seperti pernyataan Alwi (2007) dalam
penelitiannya bahwa sarana dan prasarana yang memadai
mendukung keberhasilan suatu program.
4. Hambatan terbesar tenaga kesehatan adalah tradisi dan
pemikiran masyarakat yang sulit dirubah.
Dari hasil analisa peneliti, hambatan terbesar bagi
para tenaga kesehatan dalam menjalankan program guna
meminimalisir pelaksanaan se‟i dan tatobi adalah tradisi dan
pemikiran masyarakat yang sulit dirubah. Mengubah
pemikiran masyarakat dan tradisi turun temurun yang
selama ini mereka anut bukan sesuatu yang mudah. Hal ini
juga dijelaskan dalam teori yang dikemukakan oleh
Noorkasiani (2009) dan Maulana (2009) bahwa perilaku
seseorang ditentukan oleh 3 faktor, yaitu 1) faktor
78
predisposisi yang termasuk didalamnya adalah
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, kebiasaan,
nilai-nilai, norma sosial, budaya, dan faktor sosio-demografi;
2) faktor pendukung berupa lingkungan fisik, sarana
kesehatan atau sumber-sumber khusus yang mendukung,
dan keterjangkauan sumber dan fasilitas kesehatan; 3)
faktor pendorong yaitu sikap dan perilaku petugas
kesehatan.
Hal ini membutuhkan waktu yang panjang dan
kesabaran. Selain itu tenaga kesehatan juga menyadari
bahwa mereka tidak bisa langsung merubah apa yang
selama ini sudah diyakini oleh masyarakat begitu saja.
Mereka harus melakukan pendekatan dalam
memperkenalkan pengobatan modern tanpa melupakan
nilai-nilai dari kebudayaan itu sendiri. Disini tenaga
kesehatan harus menyadari kemungkinan perbedaan dari
peraturan kesehatan dengan praktek tradisional yang
masyarakat jalani, seperti pernyataan yang disampaikan
Yeh (2014) dalam penelitiannya bahwa beberapa praktek
postpartum tetap dipertahankan berdasarkan penjelasan
tradisional, tetapi banyak yang diubah atau ditantang,
berdasarkan penjelasan dari pengetahuan ilmiah
kontemporer.
79
Tenaga kesehatan perlu menyadari bahwa mungkin
ada perbedaan antara budaya mereka dalam merawat dan
nilai-nilai budaya dari wanita yang mereka rawat. Hal serupa
juga diungkapkan oleh Soerachman (2013) yaitu dengan
memandang masyarakat sasaran sederajat dan memahami
patokan/cara mereka dalam menetapkan „baik‟ dan „buruk‟,
maka kita akan dapat mengira dampak yang akan terjadi
bila langkah tertentu diambil. Dengan demikian, tatanan
budaya masyarakatnya tidak akan rusak, dan mereka juga
tidak akan mencurigai orang luar yang dapat mengakibatkan
terjadi konflik atau masalah. Selain itu, perlu dilakukan
pemahaman mengenai konsepsi budaya masyarakat
setempat.
Berdasarkan pertimbangan diatas, tenaga kesehatan
berupaya mengubah tradisi ini secara perlahan. Hal ini
membuahkan hasil dengan adanya perubahan tradisi se‟i
dan tatobi walaupun belum signifikan. Awalnya dilakukan
dirumah bulat dengan bara api yang cukup banyak,
sekarang tidak boleh dilakukan di rumah bulat lagi dan
hanya menggunakan arang secukupnya. Perubahan yang
terjadi didalam tradisi ini didukung oleh pernyataan Maunati
(2006) bahwa tradisi bisa dikatakan sebagai identitas dari
suatu etnis atau kelompok. Identitas etnis dibangun sesuai
80
dengan situasi yang ada. Identitas bersifat situasional dan
bisa berubah, dengan kata lain tradisi bisa berubah sesuai
situasi. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa masyarakat yang melakukan tradisi saat ini secara
perlahan mulai membuka diri terhadap masukan dari pihak
luar dan mengalami perkembangan.
Jika tenaga kesehatan ingin mengadaptasi praktek
tradisional yang dilakukan masyarakat kedalam pengobatan
modern dengan peraturan kesehatan maka disini tenaga
kesehatan mengambil peran dari anggota keluarga, hal
tersebut bisa berakibat pada peran dan hubungan keluarga.
Hal ini didukung oleh pernyatan Chen Yeh (2014) bahwa
bidan mengambil peran tradisional yang dilakukan oleh
anggota keluarga, yang berdampak pada peran dan
hubungan keluarga.
5. Tenaga kesehatan berusaha mengubah pemikiran
masyarakat terhadap tradisi secara perlahan.
Sulitnya merubah tradisi menjadi satu tantangan
tersendiri bagi tenaga kesehatan di Puskesmas Nulle.
Infrastruktur perawatan kesehatan yang telah disediakan
oleh pemerintah belum digunakan secara maksimal oleh
masyarakat dengan berbagai alasan, salah satunya jarak
rumah yang jauh dari fasilitas tersebut serta transportasi
81
yang tidak memadai. Ini menjadi salah satu alasan yang
mendorong sebagian ibu postpartum melakukan perawatan
tradisional sendiri dirumah. Seperti yang dijelaskan oleh
Thind, dkk. (2004) dalam penelitiannya yaitu meskipun
kehadiran infrastruktur kesehatan yang luas di Indonesia
belum secara menyeluruh mengubah persepsi masyarakat
yang menganggap bahwa rumah sebagai penyedia
„kekuatan hidup‟ yang diperlukan.
Oleh karena itu, tenaga kesehatan berupaya
mengubah persepsi ibu postpartum mengenai tradisi yang
dilakukan dirumah secara perlahan. Mereka melakukan
sosialisasi dan penyuluhan guna menambah pengetahuan
dan membuka pikiran masyarakat tentang dampak negatif
yang ditimbulkan oleh tradisi se‟i. Jika masyarakat
menyadari ancaman yang ditimbulkan oleh se‟i, mereka
akan berusaha memperbaiki perilaku kesehatan mereka.
Hal ini dijelaskan oleh Efendi & Makhfudli (2009) terkait
proses adaptasi perilaku, dimana mereka mengatakan
bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
bertahan lebih lama dari perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Efendi & Makhfudli juga menjelaskan bahwa
seseorang yang mengadaptasi perilaku yang baru melalui
beberapa proses yang berurutan, yaitu 1) timbul kesadaran
82
(awarenes), yakni orang terrsebut menyadari stimulus
terlebih dahulu; 2) ketertarikan (interest), yakni orang
tersebut mulai tertarik kepada stimulus; 3)
mempertimbangkan baik tidaknya stimulus (evaluation); 4)
mulai mencoba (trial), yakni orang tersebut memutuskan
untuk mulai mencoba perilaku baru; 5) mengadaptasi
(adaptation), yakni orang tersebut telah berperilaku baru
sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya
terhadap stimulus. Proses adaptasi perilaku ini dapat
berjalan dengan baik jika faktor-faktor perilaku kesehatan
searah dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan
perilaku positif dari masyarakat, pernyataan ini didukung
oleh Maulana (2009).
Berdasarkan hasil penelitian, tenaga kesehatan
mengakui bahwa mereka tidak langsung melarang ibu
postpartum untuk meninggalkan tradisi se‟i dan tatobi, tetapi
para tenaga kesehatan mengurangi intensitas dari
pelaksanaan tradisi tersebut, yang semula bara api untuk
se‟i menyala selama 24 jam penuh, sekarang hanya
dilakukan pada pagi dan sore/malam hari. Selain itu, tenaga
kesehatan menyarankan agar menggunakan bara api
secukupnya saja serta tidak melakukannya didapur (dapur
83
ditempat penelitian sebagian besar masih berbentuk rumah
bulat).
Hal ini dilakukan oleh tenaga kesehatan bukan karena
mereka menyetujui pelaksanaan tradisi yang dianggap
membahayakan kesehatan, tetapi mereka berupaya
mengubah tradisi tanpa menyinggung perasaan dari
masyarakat yang masih memegang teguh tradisi tersebut.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Dennis, dkk (2007)
bahwa praktek postpartum tradisional memiliki implikasi
yang signifikan untuk penyediaan kesehatan yang kompeten
secara budaya.
Selain itu tenaga kesehatan juga mengadakan
program yang bertujuan untuk menambah pengetahuan,
menyadarkan masyarakat tentang pentingnya kesehatan ibu
dan anak serta mengetahui dampak negatif dari tradisi yang
dilakukan, seperti melakukan sosialisasi dan posyandu.
Dari ke 8 partisipan ibu postpartum yang diwawancarai
oleh peneliti mengakui bahwa tradisi yang mereka lakukan
sekarang tidak sepenuhnya „murni‟ seperti yang dulu. Hal ini
diungkapkan karena mereka merasa bahwa tradisi se‟i dan
tatobi yang mereka lakukan saat ini mengalami perubahan
secara perlahan, walaupun belum sepenuhnya ditinggalkan.
Perubahan yang terjadi sama seperti pernyataan yang
top related