bab iv analisis a. substansi pemikiran ibn miskawaih...
Post on 29-May-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
55
BAB IV
ANALISIS
A. Substansi Pemikiran Ibn Miskawaih Tentang Kebahagiaan
Ibn Miskawaih merupakan salah seorang tokoh muslim di bidang filsafat
akhlak yang juga sejarawan yang hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi
(320-450H). perlu dipahami bahwa pemikiran Ibn Miskawaih tentang
kebahagiaan kurang banyak dikenal oleh bangsa Indonesia, akan tetapi
dikalangan tokoh tertentu seperti Muhammmad Natsir1 dan Ahmad Azhar
Basyir2 telah mengkaji sebagian pemikirannya. Para pemikir Islam umumnya
memberikan penilaian bahwa pemikiran akhlak Ibn Miskawaih ini antara lain
didasarkan pada dua asumsi pokok yaitu pertama : jiwa manusia yang dianalisis
secara filosofis dan kedua : analisis teori doktrin jalan tengah dalam akhla,
selain itu juga didasarkan kesaman analisisnya dengan etika Aristoteles3.
Sebagai seorang tokoh Ibn Miskawaih memperoleh banyak gelar, Abd al-
Aziz Izzat misalnya menyatakan bahwa Ibn Miskawaih adalah pemikir Islam
pertama di bidang akhlak, karena itu ia dapat digolongkan sebagai guru ketiga
setelah al Farabi dan Aristoteles4. MS Khan menilai Ibn Miskawaih telah
berhasil dengan baik mengkombinasikan pemikiran Yunani dengan al Qur’an
dan Sunnah5. Majid Fakri memberikan gelar kepada Ibn Miskawaih sebagai
Chief Moral Philoshopher of Islam6.
Secara garis besar konsep kebahagiaan menurut Ibn Miskawaih
merupakan konsep yang unik, tetapi untuk dunia sufi, pemikiran ini merupakan
hal yang sangat biasa. Ini dikarenakan pemikiran Ibn Miskawaih tentang
1 Muhammad Natsir, Capita Selecta, Bandung, Sumur bandung, 1961, hlm. 10-11 2 Ahmad Azhar Basyir, Miskawaih : Riwayat Hidup dan Pemikiran Filsafatnya, Yogyakarta
: Nur Cahaya, 1983, hlm.8 3 Ahmad Abd al Hamid al Syair, Manahaj al Bahs al Khuluqi fi al Islami, Kairo, Dar al
Thiba alt al Mahmudiyyat, Kairo, 1978, hlm. 28-29 4 Abd al Aziz Izzat, Ibn Miskawaih : Falsafatuhu al Akhlaqiyyat wa Mashadiruha, Kairo,
Mustafa al Babi Halaqi, 1946, hlm. 361 5 MS. Khan, An Unpublied Treatise of Miskawaih on Justice or Risala fi Mahiyyat al Adl li
Miskawaih, Leiden, Ej. Brill, 1964, hlm. 9 6 Majid Fakri, Ethical Theories is Islam, Leiden, Ej. Brill, 1991, hlm. 107
57
kebahagiaan yang berorientasi pada “penyaksian” Tuhan menjadi hal yang
mudah ditemukan dalam konsep, Ibn al-Arabi, al-Hallaj dan Robiah al-
Adawiyah. Berikut ini hal-hal menarik dari pemikiran Ibn Miskawaih tentang
kebahagiaan.
“Kebahagiaan seperti kami utarakan sebelumnya adalah kebaikan. Kebahagiaan merupakan kesempurnaan dan akhir dari kebaikan. Sesuatu bisa kita sebut sempurna kalau saja sesuatu itu, setelah berhasil kita peroleh, maka kita tidak akan memerlukan sesuatu yang lainnya lagi. Oleh karena itu kebahagiaan merupakan kebaikan yang paling utama diantara seluruh kebaikan lainnya, akan tetapi untuk memperoleh kesempurnaan ini, kita memerlukan kebahagiaan lain, tingkatan terakhir dalam kebajikan adalah apabila seluruh perbuatan manusia bersifat Ilahi. Seluruh perbuatannya merupakan kebaikan mutlak. Kalau sudah menjadi kebaikan mutlak, niscaya perbuatan itu dilakukan pelakunya demi sesuatu yang bukan perbuatan itu sendiri. Karena kebaikan mutlak merupakan tujuan yang diupayakan demi tujuan itu sendiri. Sedangkan tujuan, terutama jika tujuan itu amat mulia, maujud karena tujuan itu sendiri. Perbuatan manusia, kalau seluruhnya sudah menjadi perbuatan Ilahi, maka seluruh perbuatannya ini keluar dari diri sejatinya, yang merupakan akalnya yang bersifat Ilahi, dan esensi realnya berarti esensi-Nya juga. Seluruh hawa nafsunya akan pupus melalui berbagai kejadian yang menimpa dua jiwa binatang serta imajinasi, yang timbul dari dua jiwa binatang tersebut dan dari jiwa akal. Akibatnya, pada tahap ini dia melakukan apa yang ingin diperbuatnya tanpa keinginan apa pun, kecuali demi perbuatan itu sendiri. Tujuannya berbuat adalah demi perbuatan itu sendiri. Inilah pola aktifitas Ilahi. Maka kondisi semacam ini merupakan akhir dari tingkatan-tingkatan kebajikan dimana tindakan manusia menyerupai tindakan prinsip pertama, yaitu pencipta alam semesta. Maksud saya, bahwa apa saja yang dilakukannya tanpa disertai dengan harapan memperoleh untung, imbalan, ataupun tambahan, akan tetapi perbuatannya itu merupakan tujuannya itu sendiri. Dia melakukan perbuatan itu demi esensi perbuatan itu sendiri dan esensinya sendiri, atau dengan kata lain, dia melakukan demi perbuatan itu sendiri dan demi esensinya sendiri. Esensinya sendiri itu tak lain adalah akal Ilahiah itu sendiri.7
Gagasan kebahagiaan dalam perspektif Ibn Miskawaih, sebenarnya
bukanlah untuk konsumsi umum, tetapi ia mengharapkan semangat pencapaian
kebahagiaan itu masuk kepada keinginan setiap orang.
7 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak; Buku Daras Pertama Tentang Filsafat
Etika, terj. Helmi Hidayat, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 98
58
Adapun saya sendiri (Ibn Miskawaih), mengatakan bahwa tujuan saya membeberkan tingkatan terakhir ini dari kebahagiaan bukanlah agar para remaja mencapainya, tetapi agar mereka mendengarnya dan mengetahui bahwa tingkatan ini adalah tingkatan kearifan yang dicapai hanya oleh orang-orang yang menduduki tingkatan tertinggi (saya menyebutkannya juga), agar siapa pun yang membaca tulisan ini dapat mengupayakan tingkatan pertama kebahagiaan dengan mengolah akhlak yang sudah saya kemukakan. Jika dia berhasil setelah itu dan ditunjang oleh keinginan yang kuat dan seluruh yang pernah saya cuplik dari Aristoteles, supaya dia menapaki langkah-langkah filsafat dan berupaya mendakinya, dan Allah Swt akan menolongnya dan memberikan keberhasilan kepadanya. Sekiranya manusia mencapai tingkatan kebahagiaan semacam itu, lalu bersama jasad kasarnya dia meninggalkan dunia rendah ini, dan hanya bersama jiwanya yang baik yang telah diupayakan untuk disucikan dari kotoran fisik demi kehidupan akhirat yang tinggi, maka dia akan berhasil dan menyiapkan spiritualitas untuk bertemu dengan pencipta Allah Swt. Dia akan bebas dari menginginkan fakultas-fakultas yang menghalanginya dari kebahagiaan, lantaran dia akan bersih dan bebas dari itu semua. Dia akan mensucikan diri untuk bertemu dengan Tuhan-Nya, Tuhan alam semesta dan siap menerima karunia dan pancaran sinar-Nya, yang tadinya belum siap diterimanya. Pada tahap inilah orang yang bertaqwa dan beramal saleh, sesuatu yang senantiasa ditunjukkan melalui firman-Nya yang berbunyi: “Tak seorangpun pernah tahu apa yang disembunyikan untuk mereka, berupa macam-macam nikmat yang menyedapkan pandangan mereka”. Atau sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw: “Yang tak sebelah matapun pernah melihat, tak sebuah telingapun sempat mendengar, dan tak sekalipun pernah terbesit di hati manusia”. Setelah membahas, secara ringkas dua tingkatan dari kebahagiaan puncak ini, cukup jelas bahwa satu dari keduanya berkenaan dengan kita8.
Konsep kebahagiaan Ibn Miskawaih yang secara garis besar berorientasi
pada ma’rifat kepada Allah sebagai kebahagiaan hakiki akan semakin lengkap
apabila dipadukan dengan “perjalanan cinta” Rabi’ah al-Adawiyah, pemikiran al
Ghazali, Mansur al-Hallaj, dan Maulay al-Arabi ad-Darqowi.
1. Rabiah al-Adawiyah
Rabiah al-Adawiyah (wafat 801) adalah satu diantara para sufi
Basrah (sekarang Iraq) yang paling terkenal. Dia dilahirkan dalam keluarga
8 Ibn Miskawaih, ibid., hlm. 101
59
yang sangat miskin. Ketika kedua orang tuanya meninggal, dia dijual sebagai
budak, tetapi akhirnya dibebaskan oleh tuannya karena kesufian dan
kesalehannya. Cinta dan gairah Rabiah kepada Allah sangat mendalam
hingga tidak ada satupun ruangan yang tersisa dan tertinggal di hati atau
pikirannya untuk pikiran atau kepentingan lain. Ia tidak menikah, dan dunia
tidak ada artinya baginya. Ia menutup jendela kamarnya di musim semi tanpa
melihat keluar pada bunga-bungaan, namun larut dalam kontemplasi kepada
yang meliput semuanya, Sang Khaliq. Kepada Tuhan, dalam bahasa puitis,
dia ungkapkan:
“O..Kekasihku hatiku, aku tidak mempunyai sesuatu pun seperti
Engkau
Maka di hari ini, kasihanilah para pendosa yang datang kepada-Mu
O Harapan-ku, saudaraku, dan Kegembiraanku
Hati ini tidak dapat mencintai apa pun kecuali Engkau”.9
Bagi Rabiah, satu-satunya yang penting dan berarti baginya adalah
kekhusukannya dalam melebur dirinya dengan Allah Swt, meletakkan semua
harapannya pada Tuhan dan meleburkan dirinya dalam puji-Nya. Shalat
malam baginya menjadi percakapan yang manis dan membahagiakan antara
ia dan kekasihnya.
Suatu ketika, Rabiah bertanya pada Sufyan ath-Thawri, seorang sufi
Basrah, “Apa yang engkau ketahui tentang kemurahan?” dia menjawab, bagi
penduduk dunia ini, kemurahan berarti memberikan milik seseorang, sedang
bagi alam nanti, kemurahan mencakup pengorbanan diri seseorang. Rabiah
sangat tidak setuju, dan berkata bahwa hal itu salah. Menurut Rabiah
kemurahan adalah untuk menyembah Allah karena cinta kepada Dia saja,
dan bukan untuk menerima balasan atau manfaat apa pun pada akhirnya.
9 Lihat dalam Syaikh Fadhlallah Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme, terj.Ibnu Burdah, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 170
60
Dalam sejarah sufisme, Rabiah telah menjadi legenda melambangkan
kesetiaan dan ketaatan karena cinta sejati sepanjang jalan asketisisme dan
cinta10.
2. Al-Ghazali
Kebahagiaan menurut al-Ghazali11 secara garis besar hampir sama
dengan yang dikonsepkan oleh Aristoteles yang dalam hal ini juga identik
dengan pendapat Ibn Miskawaih. Menurut al-Ghazali kebahagiaan
merupakan kebaikan utama manusia yang terdiri atas dua macam
kebahagiaan utama yaitu kebahagiaan ukhrowi dan kebahagiaan duniawi.
Kebahagiaan ukhrowi adalah kebahagiaan sejati sedangkan kebahagiaan
duniawi adalah kebahagiaan yang bersifat metaforis12. Keasyikan dengan
kebahagiaan ukhrowi bagaimanapun tidak akan memalingkan perhatian
manusia dari jenis-jenis kebahagiaan atau kebaikan lainnya.
Menurutnya kebahagiaan ukhrowi itu tidak dapat dicapai tanpa
kebaikan-kebaikan lain yang merupakan sarana untuk mencapainya yang
terdiri dari pertama ; empat kebaikan utama yang pada intinya merupakan
dasar-dasar agama, kedua ; kebaikan-kebaikan jasmaniah seperti kesehatan,
kekuatan, hidup teratur dan panjang umur, ketiga : kebaikan-kebaikan
10 A.J. Arbery dalam hal ini memberikan deskripsi menarik. Menurutnya ungkapan-
ungkapan puitis Rabi’ah adalah sebuah nada zuhud, ia selalu menolak lamaran beberapa pria salih dengan mengatakan “akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa sedangkan aku, hal itu tak ada karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujut dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya, aku hidup dalam naungan firman-Nya, bukan darinya” Rabiah tenggelam dalam kesadaran adakan kedekatan Tuhan. Ketika sakit ia berkata kepada seorang tamu yang menanyakan tentang sakitnya. “Demi Allah aku tak merasa sakit, lantaran surga telah ditampakkan bagiku sedangkan aku merindukannya dalam hati dan aku merasa Tuhanku cemburu kepadaku lantas mencelaku. Dialah yang dapat membuatku bahagia”. Nama Rabi’ah merupakan maskot dalam konsep “Cinta Ilahi” syair pendeknya tentang hal ini sering dikutip dalam literatur sufi.
Kucintai Engkau lantaran aku cinta Dan lantaran Engkau patut dicintai Cintakulah yang membuatku rindu kepada-Mu Demi cinta suci ini, sibaklah Tabir penutup tatapan sembahku Janganlah engkau puji aku lantaran itu Bagi-Mulah segala puja dan puji
Lebih lanjut tentang kajian ini lihat A.J. Arbery, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Terj. Bambang Herawan, Mizan, Bandung, 1985, hlm. 49-50
11 Pemikiran al-Ghozali secara sekilas dapat dilihat dalam Abdul Mujib, Biografi Imam al Ghozali Beserta Karya-Karyanya, Bintang Remaja, Surabaya, 1996
12 Wacana ini juga dapat ditemukan dalam Jurnal Paramadina Vol.1 No.1 Juli - Desember 1999
61
eksternal, seperti kekayaan, keluarga, kedudukan sosial dan kehormatan,
keempat : kebaikan-kebaikan Tuhan seperti petunjuk dan pertolongan.
Al-Ghazali juga berpendapat bahwa ada korelasi antara kebahagiaan
dan kesenangan. Ini bisa dilihat dari tipologi kebaikan yang menurutnya ada
dua, pertama : kebaikan yang bermanfaat baik secara terus menerus maupun
sewaktu-waktu, dan kedua : kebaikan yang diinginkan dalam dirinya sendiri
maupun untuk mencari sesuatu yang lain. Sedangkan kesenangan menurut
al-Ghazali dibagi menjadi tiga, pertama : kesenangan intelektual, seperti
kesenangan pengetahuan dan kebijaksanaan, kedua ; kesenangan biologis
yang ada pada manusia dan binatang seperti makan, minum dan seks, ketiga :
kesenangan sosial dan politik. Kesenangan yang paling terhormat dan hanya
dimiliki oleh manusia adalah kesenangan pertama yang bersifat abadi13.
3. Mansur al-Hallaj
Mansur al-Hallaj, dilahirkan di propinsi Fars di Persia, tahun 858.
Ayahnya seorang pemintal kapas, yang merupakan arti kata Hallaj. Ia adalah
murid setia beberapa sufi terkenal di masanya, termasuk Sahal al-Tustari dari
Basrah, Amr al-Makki dan Imam Junaid dari Baghdad. Bagaimanapun di
kemudian hari sebagai pertanggungjawaban atas ucapannya “ana” Haqq"”
yang berarti Akulah kebenaran, dia dituduh menyebarkan sebuah klaim
religius yang berbahaya dan tidak diterima dan karenanya dia dieksekusi
oleh pemerintahan ortodoks, tahun 992. Dari fragmen karyanya yang
selamat, kita dapat menduga bahwa ia adalah seorang sufi yang dimabukkan
oleh cinta Ilahiyah. Puisinya yang sangat lembut dan penuh ekspresi
mendalam tentang kerinduan dan cinta spiritual. Misalnya, ia melagukan:
Bunuhlah aku, Oh sahabat terpercayaku
Karena dalam kematianku kutemukan kehidupanku.14
Cinta, dalam kenyataannya adalah kandungan utama dari doa dan
ucapan Mansur al-Hallaj yang menjelaskan cinta Ilahiyah, ia berkata :
13 Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyudin Baidhawi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1996, hlm. 137 14 Syaikh Fadhlallah, op.cit., hlm. 175
62
Cinta adalah ketika kamu tetap berdiri di depan Kekasihmu;
Ketika engkau kehilangan semua sifatmu
Lalu sifatNya menjadi sifatmu.15
Para sufi belakangan sampai masa sekarang, telah menetapkan
Mansur al-Hallaj sebagai lambang orang yang mabuk karena cinta
ketuhanan.
4. Moulay Al-Arabi Ad-Darqowi
Syekh Moulay Al-Arabi Ad-Darqowi dilahirkan di sekitar
pertengahan abad kedelapan di sebuah desa dekat Fes di Maroko. Dia belajar
al-Qur’an dan hukum Islam dibawah bimbingan guru tradisional didesanya,
kemudian pergi ke Fes tempat ia bertemu banyak ulama hukum Islam, juga
dengan banyak guru spiritual dalam ilmu kebatinan, tetapi belum menjadi
gurunya yang sebenarnya, ketika menyadari bahwa dirinya membutuhkan
seorang guru spiritual untuk membimbingnya, Moulay Arabi pergi ke
makam Moulay Idris, seorang sufi besar yang dimakamkan di Fes, dan
memulai mengaji al-Qur’an dengan tujuan agar mendapatkan pertolongan
dari Tuhan dalam mencari guru dan pembimbing spiritualnya. Setelah enam
kali mengkhatamkan al-Qur’an dan tidak ada patah hati dan sedih. Namun,
pertolongan Allah akhirnya datang kepadanya dan dia bertemu dengan
Moulay al-Imrani, yang terkenal dengan nama Sidi Ali Jamal, tahun 1767.
Dia berkata; “Oh guru, saya telah lama sekali mencari seorang Syekh”.
Diantara jawaban sufi Ali al-jamal yang dikutip Syekh ad-Darqowi dalam
tulisannya antara lain:
Inginkah kamu berada dalam kemanisan sedangkan hidup ini penuh dengan kepahitan. Inginkah kamu bersenang-senang sedang orang lain kelaparan. Yang kamu inginkan berada di antara kamu dan aku Ketika terpenuhi dan berjalan baik, dan bahwa Apa yang ada diantara aku dan dunia adalah sebuah kehancuran.
15 Ibid., hlm. 175
63
Jika cintamu benar-benar terbukti, Maka semuanya akan mudah, dan semua yang ada di bumi seperti adanya. Jika tidak ada api dan sengatan lebah Kenikmatan dari madu dan madunya Tidaklah akan sempurna. Ketika orang disibukkan dengan peribadatan, Maka kamu harus sibuk dengan yang disembah Ketika mereka disibukkan dengan cinta, Sibukkanlah dirimu dengan sang Kekasih.16
Ketiga pemikir ini memiliki korelasi pemikiran yang sama bahwa
hakekat kebahagiaan dan esensi dari kenikmatan adalah tercapainya sebuah
strata mistik yang memungkinkan manusia begitu dekat dengan Tuhan. Dalam
posisi ini tidak ada hal lain yang dibutuhkan kecuali tetap terlena dengan
keadaan tersebut tanpa ada niatan untuk mengakhirinya, tetapi bagaimanapun
juga ini adalah wilayah dan prestasi bagi orang-orang yang berhasil melalui
tahapan-tahapan spiritual secara sempurna. Tahapan ini menurutnya ada tiga
tingkatan, tingkatan dimana manusia mengarahkan kehendak dan upayanya
menuju kemaslahatan dirinya.
Aristoteles berkata: “Tingkatan kebajikan yang pertama yang dinamakan kebahagiaan adalah tingkatan dimana manusia mengarahkan kehendak dan upayanya menuju kemaslahatan dirinya di dunia inderawi ini termasuk perkara-perkara jiwa, tubuh, maupun keadaan jiwa yang berkaitan erat dengannya. Dalam kasus ini, perilaku manusia dalam keadaan-keadaan inderawi tidak berlebihan tapi sesuai dengan keadaan ini. Ini merupakan satu kondisi dimana manusia kiranya dipengaruhi hawa nafsu, tetapi dalam batas yang wajar, tidak berlebihan. Pada posisinya yang wajar seperti ini, dia lebih mungkin melakukan perbuatan yang benar atau tidak menyimpang dari penilaian nalar, dalam kehidupan sehari-harinya yang banyak bergelut dengan perkara-perkara inderawi. Setelah itu tingkatan kedua, pada tingkatan ini manusia mengarahkan kehendak dan upayanya untuk berbuat baik terhadap jiwa dan tubuhnya tanpa terpengaruh dengan hawa nafsu dan memperhatikan harta benda kecuali bila terpaksa. Setelah itu, tingkatan manusia dalam kebajikan ini terus meningkat, karena derajat dan tingkatan dalam kebajikan seperti itu banyak jumlahnya. Sebagian lebih tinggi dari pada sebagian lainnya. Dan sebab itu semua adalah karena berbeda-bedanya manusia; pertama dalam tabiat, kedua dalam kebiasaan, ketiga dalam peringkat, ilmu
16 Op. Cit, hlm. 198
64
pengetahuan, dan pemahaman, keempat dalam cita-cita dan terakhir dalam keinginan dan perhatian dan ada juga yang berpendapat dalam nasib baik. Kemudian pada akhir dari tingkatan kebajikan ini, orang melangkah menuju kebajikan Ilahi murni, yang di dalam tingkatan ini orang tak merindukan sesuatu yang akan datang, tak menoleh ke sesuatu yang telah lewat, tak mengharapkan yang jauh, tak terpaku dengan yang dekat, tak takut pada keadaan tertentu, tak mengharapkan nasib baik dan keberuntungan jiwa, bahkan kebutuhan tubuhnya, fakultas fisiknya, fakultas jiwanya. (dalam tingkatan ini) sisi akal (manusia) berupaya menumpahkan seluruh kemampuan dirinya untuk mencapai tingkatan kebajikan yang paling tinggi, yaitu menghabiskan seluruh waktunya untuk persoalan-persoalan Ilahi, menekuni dan mendalami tanpa menuntut balasan apa pun. Tegasnya upaya inisiatif serta ketekunan yang dilakukannya untuk mendalami persoalan-persoalan Ilahi itu hanya untuk esensi persoalan-persoalan itu sendiri, tingkatan ini terus meningkat pada diri manusia, sesuai dengan motivasi, kecenderungan, upaya dan tekadnya dan tergantung pada kesiapan orang yang telah mencapai tingkatan kebajikan itu, dengan kondisi yang telah kami tuturkan untuk mengikuti contoh sebab pertama17..
Tahapan-tahapan mencapai kebahagiaan ini semakin jelas apabila
dipadukan dengan konsep mistik Ronggowarsito dalam Serat Wirid Hidayat Jati.
Tingkatan kebahagiaan menurut Ibn Miskawaih dimulai dari kebahagiaan
tingkat rendah menuju kebahagiaan tingkat tinggi (Ma’rifat). Kebahagiaan
tingkat rendah adalah kebahagiaan manusia biasa yang masih terkait dengan
hedonisme duniawi sedangkan kebahagiaan hakiki adalah milik orang-orang
khusus yang menyucikan diri melalui thariqoh. Persoalannya adalah ia tidak
menjelaskan secara detail tingkatan itu dan pemikiran ini dapat ditemukan dalam
ajaran mistik Ronggowarsito.
Mistik adalah suatu kepercayaan bahwa manusia dapat mengadakan
komunikasi langsung atau bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tahapan batin
di dalam meditasi.18 Ajaran mistik yang diusahakan oleh segolongan umat Islam
dan disesuaikan dengan ajaran Islam disebut tasawuf.19 Tasawuf timbul pada
17 Ibn Miskawaih, op.cit, hlm. 97 18 Lihat dalam Simuh, Sufisme Jawa; Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa, Bentang,
Yogyakarta, 1995, hlm. 195 19 Abu Bakar Acjeh, Pengantar Ilmu Tarekat; Uraian Tentang Mistik, Ramadani, Solo,
1985, hlm. 29
65
pertengahan abad ke-2 H. (Abad ke-8 M), sesudah agama Islam menyebar dan
dipeluk pula oleh para pecinta ajaran mistik yang berada di daerah-daerah luar
Jazirah Arab. Tujuan utama menjalankan tasawuf untuk menetapkan keyakinan
agamanya dengan menyaksikan langsung Dzat Tuhan yang dalam ajaran tasawuf
disebut Hakekat atau Kasunyatan. Orang yang dapat mencapai tingkat ini
disebut Makrifat. Alat untuk melihat Tuhan atau makrifat, bukan panca indera
atau akal, akan tetapi adalah kalbu (mata hati, indera batin). Dalam paradigma
tasawuf, hati ini diibaratkan cermin. Apabila cermin hatinya dibersihkan dari
segala kotoran atau ikatan keduniaan, dan diarahkan ke hadirat Tuhan dengan
meditasi (dzikir), akan dapat menerima nur gaib dari alam gaib dan dari Tuhan,
sehingga Tuhan dapat terlihat dalam cermin hatinya. Itulah yang disebut dengan
makrifat. Dengan penghayatan makrifat, para sufi (pengikut ajaran tasawuf)
keyakinan agamanya menjadi semakin mantap. Yakni dapat mencapai tingkat
haqul yakin, bukan hanya ainul yaqin atau ilmu yaqin saja. Jalan untuk mencapai
penghayatan makrifat itu disebut tarekat. Tarekat ini pada dasarnya terdiri dari
dua bagian, yaitu penyucian hati dari segala bentuk ikatan keduniaan yang
dicapai melalui tujuh taraf peningkatan suasana batin yang dinamakan maqam.
Yaitu maqam taubat, wara (perwira, wirangi), zuhud, fakir, sabar, tawakal, dan
rela. Penyucian hati melalui tujuh maqam ini atau tujuh langkah ini pada
hakikatnya merupakan pembinaan ke arah budi luhur.
Sesudah hatinya menjadi suci, tidak memikirkan dan tidak terikat dengan
dunia, (apa-apa selain Tuhan), baru melangkah ke bagian kedua, yaitu meditasi
dan samadi (manekung), ialah mengkonsentrasikan seluruh pikiran dan
kesadaran untuk merenungkan keagungan Tuhan dengan melalui membaca
dzikir. Meditasi atau dzikir pada hakikatnya berusaha mengalihkan kesadaran
terhadap dunia luar untuk dipusatkan ke alam batin. Apabila usaha ini mendapat
hasil (mendapat keanugrahan), di dalam dzikir tersebut ia akan dapat melihat nur
gaib di dalam kaca hatinya. Dengan sinar gaib itu bermulalah penghayatan alam
gaib, maka seluruh kesadarannya telah berpusat ke alam batin, sehingga
66
kesadaran terhadap alam luar fana’ (lenyap).20 Penghayatan makrifat kepada
Tuhan yang merupakan tujuan utama yang dicita-citakan oleh para penganut
mistik, tidak dapat dinkmati oleh setiap orang, karena penyucian hati yang
menjadi syarat mutlak bagi tercapainya penghayatan makrifat atau penghayatan
kesatuan dengan Tuhan, adalah cukup berat. Oleh karena itu penghayatan
makrifat kepada Tuhan hanya bisa dicapai dan dinikmati oleh segolongan kecil
orang-orang pilihan. Orang awam tidak bisa mencapainya dan tidak akan bisa
memahaminya.21
Adapun mengenai puncak penghayatan makrifat dalam tasawuf terdapat
dua paham. Satu sisi mayoritas penganut tasawuf mempertahankan konsep
dualisme dalam ajaran Islam, menarik garis perbedaan yang tegas antara Tuhan
sebagai Dzat yang wajibul wujud dan bersifat transecendent (mengatasi alam).
Penganut paham ini menyatakan bahwa makrifat yang tertinggi hanyalah sampai
kehadirat Tuhan, Insan Kamil menurut paham ini adalah manusia yang hidupnya
diimbasi sifat-sifat Ketuhanan, laksana bayang-bayang Tuhan di atas alam.
Tokoh golongan ini adalah al-Ghozali (wafat 1111 M). Di samping itu terdapat
segolongan kecil para penganut tasawuf yang cenderung ke arah paham
pantheisme dan monisme. Aliran ini memandang Tuhan bersifat immanent atau
bersemayam dalam diri manusia atau alam semesta. Golongan ini mengatakan
bahwa dalam puncak kesatuan pengayatan makrifat manusia mengalami
penghayatan kesatuan dengan Tuhan atau Manunggaling Kawulo Gusti. Di
dalam penghayatan manunggaling dengan Tuhan, manusia merasa sama dengan
Tuhan. Dalam keadaan manunggal seperti ini timbul ungkapan yang mengaku
dirinya sebagai Tuhan, seperti halnya Husain bin Mansur al-Hallaj, mengatakan
“Ana al-Haqq” (Aku adalah Tuhan). Akibat ungkapan yang mengagetkan dan
menggegerkan masyarakat Islam ini al-Hallaj akhirnya dijatuhi hukuman mati
pada tahun 922 M, atas tuntutan ulama-ualama pembela syariat. Bagi para
penganut paham ini, batas antara manusia dengan Tuhan berbaur. Banyak
20 Lihat Zoelmolder, Manunggaling Kawulo Gusti; Pantheisme dan Monisme dalam Sastra
Sulur Jawa, Suatu Studi Filsafat, terj.Dick Hartono, Gramedia, Jakarta, 1990 21 Lihat dalam Abdul Munir Mulchan dkk., Bisnis Kaum Sufi; Studi Tarekat dalam
Masyarakat Industri, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 21-30
67
ungkapan tentang Tuhan bersifat Anthropomorphisme. Muhammad Ibnu
Fadlillah (seorang sufi Gujarat wafat 1620 M) mengajarkan bahwa alam dan
manusia tercipta dari tajalli (penampakan keluar) Dzat Tuhan sebanyak tujuh
martabat. Paham Martabat Tujuh ini mempengaruhi pemikiran-pemikiran ulama
sufi Aceh abad ke-17 (Hamzah Fansuri, Syamsudin Pase, Abdurrauf Singkel,
Ar-Raniri). Paham inilah yang kemudian mempengaruhi ajaran mistik
R.Ng.Ranggawarsito dalam Wirid Hidayat Jati.22
Martabat tujuh adalah pengembangan dari suatu paham ketuhanan dalam
tasawuf yang cenderung ke arah pantheisme-monis. Suatu paham yang
mengatakan bahwa segala yang ada di alam semesta ini merupakan aspek lahir
dari satu hakikat yang tunggal, yaitu Tuhan, Tuhan sebagai Dzat yang mutlak
(kadim) tidak dapat diketahui oleh panca indera, kalaupun khayal (waham).
Tuhan sebagai wujud mutlak baru bisa dikenal setelah bertajalli (menampakkan
keluar) sebanyak tujuh martabat. Ketujuh martabat itu berurutan sebagai berikut:
Alam ahadiyat yaitu martabat Dzat yang bersifat la’ta’yun atau martabat sepi. Yaitu Dzat yang bersifat mutlak, tiada dapat dikenal oleh siapa pun. Martabat Wahdat dan disebut pula Hakikat Muhammadiyah (Nur Muhammad), yaitu permulaan ta’yun (nyata yang pertama) merupakan kesatuan yang mengandung ketajaman dimana belum ada pemisahan satu terhadap lainnya. Belum ada perbedaan antara ilmu, alim dan maklum. Atau ibarat biji belum ada pemisah antara akar, batang dan daun. Martabar wahidiyat yang juga disebut hakikat manusia, wahidiyat adalah kesatuan yang mengandung kejamakan, dan merupakan ta’yun kedua dimana setiap bagian telah nampak terpisah-pisah secara jelas. Ibarat ilmu Tuhan terhadap Dzat, sifat, asma, serta segala perwujudan telah pasti dalam ilmu Tuhan. Dari ketiga martabat batin (Ahadiyat, Wahdat, dan Wahidiyat) yang bersifat kadim dan tetap, muncullah martabat lahir dan merupakan a’yan kharijah, yaitu martabat alam arwah (ibarat segala sesuatu yang masih mujarrad dan basit. Martabat alam mitsal, yaitu ibarat segala sesuatu yang tersusun secara halus, tidak dapat dibagi dan tak dapat dipisah-pisahkan satu dengan lainnya. Martabat alam ajsam, ibarat segala sesuatu yang telah terukur. Telah jelas tebal tipisnya dan dapat dibagi-bagi. Martabat insan kamil, mencakup keenam martabat yang terdahulu, yaitu tiga martabat batin (ahadiyat, wahdat dan wahidiyat) dan tiga martabat lahir (alam arwah, alam mitsal, dan alam ajsam)23.
22 Lihat Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi; Jejak-jejak Sufi, Pengembangan Insan Kamil Ibn
Arabi oleh Konsep al-Jili, Paramadina, Jakarta, 1997 23 Simuh, op. cit., hlm 196
68
B. Konfigurasi Kebahagiaan Ibn Miskawaih Dalam Perspektif Filsafat Moral
Filsafat moral dalam perspektif Puspoprojo secara umum dapat
dikelompokkan menjadi empat yaitu, hedonisme, utilitarianisme, stoisisme dan
evolusimisme.24 Pertanyaan menarik yang layak untuk dikedepankan dalam hal
ini adalah dimanakah orang dapat menemukan kebahagiaan sempurna yang
menentukan arah baginya? Apakah tujuan terakhir objektif manusia?
Hedonisme secara garis besar menyatakan bahwa kenikmatan atau
kesenangan egoistis adalah tujuan terakhir tanpa perlu memperhatikan hidup
setelah hidup ini. Utilitarianisme memilih kesenangan altroisme dalam mencari
kesenangan tersebar dari jumlah yang terbanyak dan mengukur moralitas
menurut kegunaannya dalam memajukan kebaikan bersama. Stoisime
berpendapat bahwa kebajikan adalah tujuan terakhir manusia, memandang hina
kesenangan, mengendalikan emosi dengan apatis dan membina rasa pasrah
kepada sang nasib yang tidak dapat dibelokkan. Sedangkan evolusianisme
memandang taqdir manusia sebagai evolusi ke arah suatu keadaan yang tidak
diketahui, tetapi lebih tinggi, dimana ras manusia akan menemukan penyelesaian
atas konflik. Konfliknya dalam merealisasikan diri yang penuh, inilah
kebahagiaan. Dari keempat aliran ini pemikiran kebahagiaan Ibn Miskawaih
tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori salah satunya. Hal ini dikarenakan
secara ajaran dan tipologi berbeda, tetapi bagaimanapun juga konsep Ibn
Miskawaih dapat didekatkan dengan konsep hedonisme etis yang digagas Franz
Magnis Suseno.25 Gagasan in didasarkan pada pemahaman bahwa manusia
adalah makhluk dengan banyak nilai,26 jadi kebahagiaan tentu tidak tercapai
kalau manusia hanya mencari salah satu saja. Apalagi kalau nilai-nilai itu
24 Puspoprojo, Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Pustaka Grafika,
Bandung, 1999, hlm. 59-79 25 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar; Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius,
Yogyakarta, 1987, hlm. 113 26 Manusia yang memiliki banyak dimensi ini dalam perspektif Louis Leahy disebut sebagai
sebuah misteri, semakin banyak dikaji, banyak hal yang belum diketahui semakin beragam. Lihat Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri; Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal, Gramedia, Jakarta, 1985. Wacana tentang dimensi manusia juga dapat ditemukan dalam Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, dan Thoyibi, Psikologi Islam, UMS Press, Surakarta, 1996
69
bersifat inderawi dan terbatas. Pluralisme nilai itu tidak berarti bahwa manusia
seakan-akan harus berusaha untuk mencapai semua nilai itu, tetapi manakah di
antara nilai-nilai bukan jasmani perlu diberikan prioritas, sehingga jelaslah
bahwa orang hanya dapat menjadi manusia utuh kalau semua nilai atas jasmani
tidak asing baginya yaitu nilai-nilai kebenaran dan pengetahuan, kesosialan,
tanggung jawab, moral, estetis, dan religius.
Konsep hedonisme etis ini dikorelasikan dengan pemikian kebahagiaan
Ibn Miskawaih pada tahap pertama, yaitu pencapaian kebahagiaan orang-orang
biasa yang belum sampai pada kebahagiaan haqiqi yang selalu berorientasi
dengan nilai-nilai ketuhanan.
C. Spiritual Quotient; Aktualisasi Pemikiran Kebahagiaan Ibn Miskawaih
Pemikiran Ibn Miskawaih tentang kebahagiaan secara umum dapat
diaplikasikan kepada masyarakat dalam bentuk spiritual quotient (kecerdasan
spiritual). Menurut Danah Zohar, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang
bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar
ego atau jiwa dasar. Inilah kecerdasan yang kita gunakan bukan hanya untuk
mengetahui nilai-niai yang ada, melainkan juga untuk secara kreatif menemukan
nilai-nilai baru. Menurut Sinetar, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang
mendapat dorongan dan efektifitas yang terinspirasi, penghayatan ketuhanan
yang di dalamnya kita semua menjadi bagian. Menurut Khalil Khavari,
kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi non material kuta (ruh
manusia). Inilah intan yang belum terasah yang kita semua memilikinya, kita
harus mengenalinya apa adanya, menggosoknya, sehingga berkilab dengan tekad
yang besar dan mengunakannya untuk memperoleh kebahagiaan. Kecerdasan
spiritual ini dapat diturunkan dan ditingkatkan, tetapi kemampuannya untuk
ditingkatkan nampaknya tidak terbatas. Sedangkan menurut Muhammad Zuhri,
kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk
berhubungan dengan Tuhan.27
27 Definisi-definisi ini dapat ditemukan dalam Agus Noermanto, Quantum Quotient; Cara
Pikir Melejitkan IQ, EQ dan SQ Yang Harmonis, Nuansa, Bandung, 2001, hlm. 15-17
70
Menurut Sukidi,28 ada tiga kunci dasar dari spiritual quotient yang
berkorelasi dengan kebahagiaan. Ketiga kunci dasar tersebut adalah pertama,
cinta, cinta adalah perasaan (love is feeling), yang lebih menekankan kepekaan
emosi dan sekaligus menjadi energi kehidupan, maksudnya hidup ini menjadi
energik atau tidak. Sedikit banyak tergantung dari energi cinta. Energi ini
bersifat netral, jika kita pandai-pandai memaknai cinta secara positive, maka ia
akan menuntun hidup ini lebih bahagia, dan sebaliknya. Menurut Profesor Cholil
Khavari, energi cinta dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, positive love
dan negative love. Cinta positif mengalir secara konstruktif dan dipersembahkan
untuk kebajikan (the servis of the good), sedangkan cinta negatif berlangsung
secara destruktif dan diinvestasikan pada kerja-kerja yang buruk. Kunci
kecerdasan spiritual untuk meraih kebahagiaan didasarkan pada cinta sang
pencipta (love of creator). Inilah level tertinggi cinta (the highest of love). Pola
seperti inilah yang salah satunya ditampilkan oleh sufi besar, Jalaluddin Rumi.
Kedua, doa (prayer). Doa yang ekspresi spiritualnya menjelma dalam
bentuk doa, shalat, dzikir, meditasi dan yang lain menjadi medium sentral
kecerdasan spiritual untuk menjadikan hidup lebih bermakna dan bahagia secara
spiritual. Ketiga, kebajikan (virtues), berbuat kebajikan menjadi penting
dikarenakan dapat membawa hidup pada kebenaran dan kebahagiaan hidup.
Hidup dengan cinta dan kasih sayang akan mengantarkan kita pada kebajikan
yang menjadikan kita lebih bahagia.
Dalam perspektif Amin Syukur, spiritual quotient yang bermuara pada
kebahagiaan ini dapat dipelajari melalui seni mendidik hati.29 Secara garis besar
kondisi hati dapat dikelompokkan ke dalam 3 bagian yaitu pertama, hati yang
sehat, hati yang mati dan hati yang sakit. Pertama, hati yang shahih, yang dapat
menjadi salam (selamat), ini yang dijanjikan akan dapat bertemu dengan Allah.
28 Sukidi, Rahasia Sukses Hidup Bahagia, Kecerdasan Spiritual; Mengapa SQ Lebih
Penting Daripada IQ dan EQ, Gramedia, Jakarta, 2002, hlm. 101-125 29 Seni mendidik hati menurut Amin Syukur, dapat dilihat dalam Paket Pelatihan Seni
Menata Hati, Insan Kamil di Gedung Dewan Riset Daerah, Jateng tgl 6-7 Maret 2004. Oleh Lembaga Bimbingan dan Konsultasi tasawuf yang diketuai oleh Prof. Amin Syukur. Paket ini berisi tentang : mengenal tasawuf, memahami fitrah manusia, mengubah virus hati menjadi aset diri, oleh raga dzikrullah, cinta rasulullah, dzikir dan penguatan hati, meredam konflik dari hati ke hati, keluarga yang harmonis, insan kamil sebuah proses dan dzikrul maut.
71
Ia memiliki tanda-tanda, antara lain imannya kokoh, mensyukuri nikmat, tidak
serakah, hidupnya tenteram, khusyu, banyak berdzikir, kebaikannya selalu
meningkat, segera sadar jika lalai atau berbuat salah.
Kedua, hati yang mayyit, yang telah mengeras dan membatu karena
banyak kerak (akibat dosa-dosa yang dilakukan), sehingga menghalangi jalannya
dan datangnya petunjuk Allah Swt. Tanda-tandanya antara lain tidak ada atau
tipisnya iman, keras kepala, egois, tak pernah merasa bersalah, dan tak
berperikemanusiaan.
Ketiga, hati yang maridl (sakit), yang di dalamnya ada iman, ada ibadah,
ada pahala, tetapi juga ada kemaksiatan dan dosa-dosa (kecil atau besar). Tanda-
tandanya ialah hati gelisah, suka marah, tidak pernah punya rasa puas, susah
menghargai orang lain, serba tidak nyaman lahir dan batin dan tidak bahagia.
Guna mendidik hati dan mejadikannya bening, tasawuf memiliki banyak
ajaran yang dapat dilakukan oleh setiap orang yang berminat, dalam hal ini akan
dikemukakan sembilan shufiyah yang harus diamalkan sebagai berikut :
a. Bertaubat, siapapun dan kapanpun, seorang salik harus melakukannya,
karena taubat adalah modal dasar baginya, manfaatnya juga untuk dirinya.
Guna menjaga kelestarian taubatnya, ada bebarapa hal yang perlu dilakukan
terus menerus seperti muhasabah, menjaga tujuh anggota badan dari kerja
mereka yang dapat mendorong kepada maksiat dan dosa, tekun beribadah,
ibaratnya taubat adalah pondasi dan ibadah ialah bangunan diatasnya.
Keinginan setiap orang tentu pondasi harus kuat dan bangunan juga harus
seindah mungkin.
b. Qana’ah, yaitu perasaan rela menerima pemberian yang sedikit, maka dia tak
pernah rakus ataupun tamak dalam kehidupannya. Yang menyebabkan
berhasilnya qana’ah dalam mencari ‘hidup akhirat’, rela meninggalkan
sesuatu yang amat menarik dan membanggakannya dari duniawi.
c. Zuhud al-dunya, artinya adalah menentang keinginan atau kesenangan,
makna zuhud adalah berpaling dari mencintai dunia menuju cinta Ilahi, maka
yang perlu dilakukan zuhud ialah menghilangkan rasa cinta dunia dari dalam
72
hatinya, tapi tidak perlu menghilangkan dunianya, karena jika hati dipenuhi
oleh duniawi, akan susah untuk memasukkan Allah ke dalam hatinya.
d. Mempelajari syariat guna meningkatkan kualitas takwanya, secara garis
besar ada tiga kandungan syariat Islam yaitu ibadah, aqidah dan akhlaq.
Ketiganya merupakan serangkaian amalan lahir dan batin sebagai bukti
kesempurnaan iman seseorang.
e. Memelihara sunnah Nabi, baik dalam pengertian melaksanakan amalan
ibadah sunah maupun mencontoh adab (budi pekerti) Nabi.
f. Tawakkal, arti bahasanya ialah penyerahan dan penyandaran, maka makna
tawakkal ialah menyandarkan hati dan segala urusan hidupnya sepenuhnya
hanya kepada Yang Maha Esa, Allah..
g. Ikhlas semata-mata karena Allah, merupakan dasar gerakan hati dan sebagai
pusat seluruh ibadah, maka yang harus dihindari ialah riya, ujub, takabur
dan sum’ah.
h. ‘Uzlah, yaitu menyendiri dari kehidupan sesama manusia, memang ada yang
memahaminya secara pisik, tapi sebenarnya yang lebih utama ialah tetap al-
julus (berdampingan), dan bergaul dengan masyarakat umum namun
bersikap uzlah, menjaga diri, maka untuk itu dibutuhkan kesabaran,
ketabahan, kebesaran jiwa dan kedewasaan.
i. Memperbanyak wirid dan dzikir, baik dengan hati, lisan, sikap maupun
perbuatannya.30
Dengan berbagai amalan tersebut di atas diharapkan seorang salik dapat
menempuh perjalanan spiritualnya dengan baik dan benar, benar-benar sampai
pada kondisi ma’rifatullah dengan hati yang mukasyafah (terbukanya hijab).
Diakhir kajian ini menurut Agus Noermanto, kecerdasan spiritual dapat
ditempuh melalui tahapan-tahapan yang spesifik. Langkah pertama, kita harus
menyadari dimana kita sekarang, misalnya bagaimana situasi kita saat ini?
Apakah konsekuensi dan reaksi yang ditimbulkannya?. Apakah anda
30 Pola semacam ini juga dapat ditemukan dalam Yunahar Ilyas, Kuliyah Akhlaq, LPPI,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1999
73
membahayakan diri sendiri atau orang lain?. Langkah ini menuntut kita untuk
menggali kesadaran diri, yang pada gilirannya menuntut kita menggali kebiasaan
merenungkan pengalaman. Banyak di antara kita tidak pernah merenung. Kita
hanya hidup dari hari ke hari, dari aktifitas ke aktifitas dan seterusnya. SQ yang
lebih tinggi berarti sampai pada kedalaman dari segala hal, memikirkan segala
hal, menilai diri sendiri dan perilaku dari waktu ke waktu. Paling baik dilakukan
setiap hari. Ini dapat dilakukan dengan menyisihkan beberapa saat untuk
berdiam diri, bermeditasi setiap hari, bekerja dengan penasehat atau ahli terapi,
atau sekedar mengevaluasi setiap hari sebelum anda jauh tertidur di malam hari.
Langkah kedua, jika renungan kita mendorong kita untuk merasa bahwa
kita dapat lebih baik, kita harus ingin berubah, berjanji dalam hati untuk
berubah. Ini akan menuntut kita memikirkan secara jujur apa yang harus kita
tanggung demi perubahan itu dalam bentuk energi dan pengorbanan. Apakah
kita siap berhenti untuk minum-minum atau merokok? Memberikan perhatian
lebih besar untuk mendengarkan diri sendiri atau orang lain? Menjalankan
disiplin sehari-hari, seperti membaca atau olah raga atau merawat seekor hewan?
Langkah ketiga, kini dibutuhkan tingkat perenungan yang lebih
mendalam, kita harus mengenali diri sendiri, letak pusat kita dan motivasi kita
yang paling dalam. Jika kita ingin bisa katakan mengenai apa yang telah kita
capai atau sumbangkan dalam kehidupan? Jika kita diberi waktu setahun lagi,
apa yang akan kita lakukan dengan waktu tersebut.
Langkah keempat, apakah penghalang yang merintangi kita, apa yang
mencegah kita sehingga menjalani kehidupan di luar pusat kita? Kemarahan?
Kerakusan? Rasa bersalah? Sekedar kemalasan? Kebodohan? Pemanjaan diri?
Kini buatlah daftar hal yang menghambat dan menyingkirkan penghalang-
penghalang ini. Mungkin itu berupa tindakan sederhana, seperti kesadaran atau
ketetapan hati atau perasaan memuncak dari apa yang disebut oleh kaum
Budhisme perubahan perasaan yang muak terhadap diri sendiri, akan tetapi
mungkin itu juga suatu proses yang panjang dan lambat, dan akan membutuhkan
pembimbing atau ahli terapi, sahabat, atau penasehat spiritual. Langkah ini
74
sering diabaikan, namun sangat penting dan membutuhkan perhatian terus
menerus.
Langkah kelima, praktik atau dispilin apa yang seharusnya kita ambil?
Jalan apa yang seharusnya kita ikuti? Komitmen apa yang akan bermanfaat?
Pada tahap ini, kita perlu menyadari berbagai kemungkinan untuk bergerak
maju. Curahkan usaha mental dan spiritual untuk menggali sebagian
kemungkinan ini, biarkan mereka bermain dalam imajinasi kita, temukan
tuntutan praktis yang dibutuhkan dan putuskan kelayakan setiap tuntutan
tersebut bagi kita.
Langkah keenam, kini kita harus menetapkan hati pada satu jalan dalam
kehidupan dan berusaha menuju pusat sementara kita melangkah di jalan itu.
Sekali lagi, renungkan setiap hari apakah kita berusaha sebaik-baiknya demi diri
kita sendiri dan orang lain, apakah kita rela mengambil manfaat sebanyak
mungkin dari setiap situasi, apakah kita merasa damai dan puas dengan keadaan
sekarang, apakah ada makna bagi kita di sini. Menjalani hidup di jalan menuju
pusat berarti mengubah pikiran dan aktifitas sehari-hari menjadi ibadah terus-
menerus dan memunculkan kesucian alamiah yang ada dalam setiap situasi yang
bermakna.
Langkah ketujuh, dan akhirnya sementara kita melangkah di jalan yang
kita pilih sendiri, tetaplah sadar bahwa masih ada jalan-jalan yang lain.
Hormatilah mereka yang melangkah di jalan-jalan tersebut dan apa yang ada
dalam diri kita sendiri yang di masa mendatang mungkin perlu mengambil jalan
lain.31
Ada beberapa ayat al-Qur’an yang berkorelasi dengan realitas upaya
pencapaian kebahagiaan ini bagi manusia diantaranya adalah ;
31 Agus Noermanto, op.cit., hlm. 143-147, Gagasan ini juga dapat ditemukan dalam Hanna
Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam; Menuju Psikologi Insani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 155
75
Ketahuilah bahwa sesunguhnya kehidupan di dunia hanyalah permainan dan hiburan, perhiasan, bermegah-megah dan adu kesombongan. Berlomba-lomba mencari kekayaan dan keturunan. Tidak ubahnya seperti hujan di mana para petani bangga dan kagum akan tanam-tanamannya, yang kemudian menjadi kering dan kuning, lalu layu. Di akhirat nanti ada azab yang pedih dan ada pula ampunan dan keridhaan Allah. Kehidupan di dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang semu dan tipuan. (Qs. al Hadid : 20-21) Dijadikan indah dalam pandangan manusia cinta kepada berbagai obyek hawa nafsu, yaitu wanita, anak, harta dari emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Semuanya itu adalah kesenangan hidup di dunia, tetapi Allah adalah tempat adalah tempat untuk kembali (Qs. Ali Imran : 14).
Dan di antara mereka ada orang yang berdoa : “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (Qs. al-Baqarah : 201)
D. Kelebihan dan Kekurangan Konsep Kebahagiaan Ibn Miskawaih
Menurut Anwar Jundi32 Kelebihan dari pemikiran Kebahagiaan Ibn
Miskawaih ini adalah sikap dia yang mempraktekkan secara langsung wacana
32 Anwar Jundi, Pancaran Pemikiran Islam terj. Afif Muhammad, Pustaka, Bandung, 1985,
hlm. 130-131
76
itu menurutnya Ibn Miskawaih adalah salah seorang diantara tokoh pemikir yang
mengamalkan pikiran-pikirannya. Ia selalu menganjurkan menutup mulut disaat
hati ingin bicara sampai saatnya otak mengisaratkan untuk berbicara.
Keutamaan pemikirannya yang lain adalah ia termasuk sedikit pemikir Islam
klasik yang mengkaji tentang moral sehingga pemikirannya menjadi rujukan dan
kajian pemikir berikutnya.
Kelemahan pemikiran Ibn Miskawaih adalah tidak adanya hal baru
dalam mengkonsepkan wacana tentang kebahagiaan bahkan terkesan sangat
simple. Dan gagasan gagasannya merupakan konsep yang lumrah dalam dunia
tasawuf.
top related