bab ii tinjauan umum tentang jaminan fidusia dan … ii.pdf · pembuktian dan eksekusi, rineka...
Post on 19-Mar-2019
229 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA DAN GADAI
2.1 Jaminan Fidusia
a. Pengertian dan Istilah Jaminan Fidusia
Lembaga jaminan fidusia merupakan lembaga jaminan yang secara
yuridis formal diakui sejak berlakunya Undang-undang No. 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia. Sebelum Undang-undang ini dibentuk, lembaga
ini disebut dengan bermacam-macam nama. Zaman Romawi menyebutnya
Fiducia cum creditore Asser Van Oven menyebutnya zekerheid-egindom
(hak milik sebagai jaminan), Blom menyebutnya bezitloos zekerheidsrecht
(hak jaminan tanpa penguasaan), Kahrel memberi nama Verruimd
Pandbegrip (pengertian gadai yang diperluas), A. Veenhooven
menyebutnya eigendoms overdracht tot zekergeid (penyerahan hak milik
sebagai jaminan) sebagai singkatan dapat dipergunakan istilah fidusia saja.1
Fidusia dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan istilah
penyerahan hak milik secara kepercayaan. Dalam terminologi Belandanya
sering disebut dengan istilah lengkapnya berupa Fiduciare Eigendoms
Overdracht (FEO), sedangkan dalam bahasa Inggrisnya secara lengkap
sering disebut istilah Fiduciary Transfer of Ownership.2
Perihal Fidusia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia. Dalam Pasal 1 Angka 1
dikemukakan, Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas
1 Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Bab Tentang Kredit Verband, Gadai & Fidusia,
Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman II), h. 90 2 Munir Fuady, 2000, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 3
21
22
dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dari pengertian
tersebut, tampak bahwa cirri khas dari Fidusia adalah benda yang dijadikan
jaminan tersebut tetap berada di bawah penguasaan pemberi fidusia. Yang
dialihkan adalah hak kepemilikannya atas dasar kepercayaan. Oleh karena
itu, jaminan fidusia merupakan perjanjian tambahan, dalam arti jika
perjanjian pokok berakhir, maka perjanjian fidusiapun berakhir. Agar
jaminan fidusia mendapat kepastian hukum, maka Undang-Undang
menentukan pembebanan benda dengan fidusia dibuat dengan akta notaris
yang memuat paling tidak :
1. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia
2. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia
3. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia
4. Nilai penjaminan
5. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia
Hal lain yang harus diperhatikan dalam menerima jaminan fidusia
yakni perlunya mendaftarkan jaminan fidusia. Hal ini dimaksudkan agar ada
kepastian hukum, tidak saja bagi penerima fidusia tetapi juga bagi pemberi
fidusia.3
b. Subyek dan Obyek Jaminan Fidusia
Subyek jaminan fidusia adalah pemberi dan penerima jaminan
fidusia. Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-undang Republik Indonesia
3 Sentosa Sembiring II, op.cit, h. 220-221
23
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, pemberi fidusia adalah orang
perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia. Sedangkan penerima fidusia adalah orang perseorangan atau
korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan
jaminan fidusia (Pasal 1 Angka 6 UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Fidusia).
Obyek jaminan fidusia adalah benda. Hal ini ada di dalam Pasal 1
Angka 4 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, benda
adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar,
yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan atau hipotek.
c. Kedudukan Kreditur Pemegang Fidusia
Kedudukan Kreditur Penerima Jaminan Fidusia adalah sebagai
Kreditur Preferen. Hak ini tidak hapus karena adanya Kepailitan likuidasi
Debitur Pemberi Jaminan Fidusia. Kreditur Preferen (Secured Creditors)
dalam Kepailitan biasanya disebut Kreditur Separatis. Eksekusi jaminan
fidusia diatur dalam Bab V Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia.
“Pasal 29 ayat (1) berbunyi Apabila debitur atau Pemberi Fidusia cidera
janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dapat
dilakukan dengan cara :
a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia.
24
b. Penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas
kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara
demikian dapat diperoleh harga tinggi yang menguntungkan para
pihak.”
Sebelumnya dalam Pasal 23 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia disebutkan bahwa “Pemberi Fidusia
dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda
persediaan kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari
Penerima Fidusia.”
d. Pengalihan Jaminan Fidusia
Prinsip dari jaminan fidusia adalah bahwa jaminan fidusia tersebut
mengikuti kemanapun benda jaminan tersebut berada. Jadi seandainya
karena alasan apapun, benda jaminan fidusia tersebut beralih ke tangan
orang lain, maka fidusia atas benda tersebut tetap saja berlaku. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Fidusia.
Pengalihan jaminan fidusia diatur dalam Pasal 19 sampai dengan
Pasal 24 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia. Pasal 19,
bunyinya yaitu :
25
(1) Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia
mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban
penerima fidusia kepada kreditur baru.
(2) Beralihnya jaminan fidusia didaftarkan oleh kreditur baru kepada
kantor pendaftaran fidusia.
Pengalihan hak atas hutang (cession), yaitu pengalihan piutang
yang dilakukan dengan akta otentik maupun akta dibawah tangan. Yang
dimaksud dengan mengalihkan antara lain termasuk dengan menjual atau
menyewakan dalam rangka kegiatan usahanya. Pengalihan hak atas hutang
dengan dengan jaminan fidusia dapat dialihkan oleh penerima fidusia
kepada penerima fidusia (kreditur baru). Kreditur baru inilah yang
melakukan pendaftaran tentang beralihnya jaminan fidusia pada kantor
pendaftaran fidusia.4
Pasal 23 Ayat (2) Undang-undng Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Fidusia menyatakan bahwa, pemberi fiduisa dilarang mengalihkan,
menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaa, kecuali
dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia.
e. Eksekusi Jaminan Fidusia
Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, dengan sertifikat
jaminan fidusia bagi kreditur selaku penerima fidusia akan mempermudah
dalam pelaksanaan eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia, pelaksanaan titel eksekutorial dari sertifikat jaminan fidusia
4 H. Salim HS, op.cit, h. 87-88
26
sebagaimana dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Fidusia dapat dilakukan dengan cara :
a. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia
b. Penjualan benda yang menjadi obyek fidusia atas kekuasaan penerima
fidusia sendiri melalui pelelangan umum, serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan
c. Penjualan di bawah tangan dilakukan berdasarkan kesepakatan antara
pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Sedangkan
dalam ruang lingkup pengadilan di Indonesia eksekusi ada 2 (dua)
bentuk, yakni :5
a. Eksekusi rill adalah yang hanya mungkin terjadi berdasarkan
putusan pengadilan untuk melakukan suatu tindakan nyata atau riil
yang :
1) Telah memperoleh kekuatan hukum tetap
2) bersifat dijalankan terlebih dahulu
3) berbentuk provisi
4) berbentuk akta perdamaian di sidang pengadilan
b. Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas
bentuk akta yang gunanya untuk melakukan pembayaran sejumlah
uang yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan
yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap berupa :
5Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1993, Grose Akta dalam
Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, h. 119-120
27
1) Grose akta pengakuan hutang
Grose akta pengakuan hutang diatur dalam Pasal 224 HIR,
Pasal 258 RBG, adalah sebuah akta yang di buat oleh
notaris antara orang biasa/badan hukum yang dengan kata-
kata sederhana yang bersangkutan mengaku berhutang uang
sejumlah tertentu dan ia berjanji mengembalikan uang itu
dalam waktu tertentu. Grose akta pengakuan hutang yang
berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” yang dipegang oleh kreditur, dalam hal debitur
melakukan ingkar janji, dapat langsung dimohonkan
eksekusi kepada ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
2) Grose akta hipotik
Dalam hal pengaturan grose akta hipotik tanah perlu
diketahui bahwa sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA) terdapat dualisme dalam hukum
pertanahan yaitu pengaturan yang terdapat dalam Hukum
Adat dan Hukum Perdata Barat yang berakibat pada
dualisme sistem hukum jaminan seperti hipotik dan
credietverband. Hipotik digunakan sebagai jaminan atas
hak-hak tanah yang tunduk pada Hukum Perdata Barat
sedangkan credietverband dgunakan sebagai jaminan atas
hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Adat. Setelah
28
berlakunya UUPA, perihal lembaga hak jaminan yang kuat
yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak
Tanggungan sebagai pengganti lembaga hipotik tanah dan
credietverband hal ini diatur dalam Pasal 51 UUPA di mana
lembaga Hak Tanggungan tersebut baru dapat berlaku pada
tahun 1996 dengan adanya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT). Pasal 13
angka 3 UUHT mengatur bahwa sertifikat hak tanggungan
berlaku sebagai pengganti grose akta hipotik sepanjang
mengenai hak atas tanah. Untuk grose akta hipotik kapal
pengaturannya diatur dalam Pasal 314 KUHDagang,
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
dan kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 51 tahun 2002 tentang Perkapalan dan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, pemberi
fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
Apabila pemberi fidusia tidak menyerahkannya pada waktu eksekusi
dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang
berwenang. Setiap jani untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan
ketentuan tersebut diatas, batal demi hukum.
29
Dalam hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia
wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia, namun
apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan hutang, debitur
tetap bertanggung jawab atas hutang yang belum terbayar.
e. Hapusnya Jaminan Fidusia
Hapusnya jaminan fidusia adalah tidak berlakunya lagi jaminan
fidusia. Ada tiga sebab hapusnya jaminan fidusia, sebagaimana diatur dalam
Pasal 25 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang fidusia, yaitu :
a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia, yang dimaksud
dengan hapusnya hutang adalah antara lain karena pelunasan
dan bukti hapusnya hutang berupa keterangan yang dibuat
kreditur.
b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia
c. Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
Musnahnya benda jaminan fidusia tidak menghapuskan klaim
asuransi.6
Apabila hutang dari pemberi fidusia telah dilunasi olehnya menjadi
kewajiban penerima fidusia, kuasanya, atau walaupun untuk
memberitahukan secara tertulis kepada Kantor Pendaftaran Fidusia
mengenai hapusnya jaminan fidusia yang disebabkan karena hapusnya
hutang pokok. Pemberitahuan itu dilakukan paling lambat 7 hari setelah
hapusnya jaminan fidusia yang bersangkutan dengan dilampiri dokumen
6 H. Salim HS, loc.cit
30
pendukung tentang hapusnya jaminan fidusia. Dengan diterimanya
pemberitahuan tersebut, maka ada 2 hal yang dilakukan Kantor Pendaftaran
Fidusia, yaitu :
a. Pada saat yang sama mencoret pencatatan jaminan fidusia dari buku
daftar fidusia.
b. Pada tanggal yang sama dengan tanggal pencoretan jaminan fidusia
dari buku daftar fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat
keterangan yang menyatakan sertifikat jaminan fidusia yang
bersangkutan tidak berlaku lagi.7
2.2 Gadai
a. Pengertian dan Sifat-sifat Gadai
Istilah gadai berasal dari terjemahan kata pand (bahasa Belanda)
atau pledge atau pawn (bahasa Inggris).8 Ketentuan-ketentuan mengenai
gadai diatur dalam KUH Perdata Bab XX Buku II Pasal 1150 sampai
dengan Pasal 1160. Pengertian gadai sendiri dijabarkan dalam pasal 1150
KUH Perdata, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang
atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang
berutang atau oleh orang lain atas namanya, dan yang memberikan
kekuasaan kepada pihak yang berpiutang untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan dari orang-orang berpiutang lainnya;
dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang
7 Ibid, h. 88-89
8 Ibid, h, 33
31
telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya
mana harus didahulukan. 9
Pengertian gadai yang tercantum dalam Pasal 1150 KUH Perdata
ini sangat luas, tidak hanya mengatur tentang pembebanan jaminan atas
barang bergerak, tetapi juga mengatur tentang kewenangan kreditur untuk
mengambil pelunasannya dan mengatur eksekusi barang gadai, apabila
debitur lalai dalam melaksanakan kewajibannya.10
Selain itu beberapa perumusan tentang gadai juga dikemukakan
oleh beberapa ahli hukum sebagai berikut :
1. Wirjono Prodjodikoro mengartikan gadai sebagai suatu hak yang
didapat oleh seorang berpiutang atas suatu benda bergerak, yang
kepadanya diserahkan oleh si berhutang atau seorang lain atas
namanya, untuk menjamin pembayaran hutang, dan yang memberi
hak kepada si berpiutang lain, diambil dari uang pendapatan-
pendapatan barang itu.11
2. H. Salim HS menyatakan bahwa yang dimaksud dengan gadai
adalah suatu perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur
dimana debitur menyerahkan benda bergerak kepada kreditur untuk
menjamin pelunasan suatu hutang gadai, ketika debitur lalai
melaksanakan prestasinya. Dalam definisi ini, gadai dikonstruksikan
sebagai perjanjian accesoir (tambahan), sedangkan perjanjian
pokoknya adalah perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan
9 Sentosa Sembiring II, op.cit, h. 219
10 H. Salim HS, op.cit, h. 34
11Wirjono Prodjodikoro, 1960, Hukum Perdata Tentang Hak-Hak Atas Benda,
Soeorengan, Jakarta, h. 152
32
benda bergerak. Apabila debitur lalai dalam melaksanakan
kewajibannya, barang yang telah dijaminkan oleh debitur kepada
kreditur dapat dilakukan pelelangan untuk melunasi hutang debitur.12
Hak gadai memiliki sifat kebendaan pada umumnya yaitu hak
absolut, droit de suite, droit de preference, hak menggugat, dan lain-lain.
Menurut ketentuan Pasal 528 KUH Perdata, atas sesuatu kebendaan
seseorang dapat mempunyai suatu kedudukan berkuasa (bezit), hak milik
(eigendom), hak waris, hak pakai hasil, hak pengabdian tanah, hak gadai
ataupun hipotik. Kemudian dalam Pasal 1152 ayat (3) KUH Perdata
dinyatakan antara lain bahwa apabila barang gadai hilang dari tangan
penerima gadai atau kecurian, maka ia berhak menuntutnya kembali
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1977 ayat (2) KUH Perdata.13
Pasal ini mencerminkan adanya sifat droit de suite karena hak
gadai terus mengikuti bendanya di tangan siapapun. Demikian juga di
dalamnya terkandung suatu hak menggugat karena si penerima gadai berhak
menuntut kembali barang yang hilang tersebut. Selanjutnya menurut Pasal
1133 jo. Pasal 1150 KUH Perdata, gadai mempunyai sifat yang didahulukan
(droit de preference) artinya memberikan kekuasaan kepada seorang
kreditur untuk mengambil pelunasan dari hasil penjualan barang secara
didahulukan daripada kreditur lainnya.14
12
H. Salim HS, loc.ci 13
Frieda Husni Hasbullah, 2005, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang Memberi
Jaminan Jilid II, Cet. Kedua, Ind-Hill-C0, Jakarta, h. 23 14
Ibid, h. 26
33
Disamping sifat umum kebendaan seperti yang diuraikan di atas,
hak gadai memiliki sifat khusus antara lain sebagai berikut :15
1. Accesoir, yaitu berlakunya hak gadai tergantung pada ada tidaknya
perjanjian pokok atau hutang-piutang artinya jika perjanjian hutang-
piutang sah, maka perjanjian gadai sebagai perjanjian tambahan juga
sah, dan sebaliknya jika perjanjian hutang piutang tidak sah, maka
perjanjian gadai juga tidak sah. Dengan demikian jika perjanjian
hutang-piutang beralih, maka hak gadai otomatis juga beralih. Tetapi
sebaliknya, hak gadai tak dapat dipindahkan tanpa berpindahnya
perjanjian hutang piutang. Dan jika karena satu alasan tertentu
perjanjian gadai batal, maka perjanjian hutang-piutang masih tetap
berlaku asal dibuat secara sah.
2. Berdasarkan ketentuan Pasal 1160 KUH Perdata, barang gadai tidak
dapat dibagi-bagi (ondelbuaar), sekalipun hutangnya di antara para
waris si berhutang atau diantara waris si berpiutang dapat dibagi-
bagi. Dengan demikian gadai meliputi seluruh benda sebagai satu
kesatuan, artinya sebagian hak gadai tidak menjadi hapus dengan
dibayarnya sebagian hutang.
3. Barang yang digadaikan merupakan jaminan bagi pembayaran
kembali hutang debitur kepada kreditur. Jadi barang jaminan tidak
boleh dipakai, dinikmati, kreditur hanya berkedudukan sebagai
houder bukan burgrlijke bezitter.
15
Ibid, h. 27
34
4. Barang gadai berada dalam kekuasaan kreditur atau penerima gadai
sebagai akibat adanya syarat inbezitstelling.
Syarat inbezitstelling yang dimaksud diatas dapat kita simpulkan
dari ketentuan Pasal 1150 dan 1152 KUH Perdata dan merupakan syarat
utama untuk sahnya suatu perjanjian diserahkan oleh debitur kepada
kreditur, perjanjian gadai akan selalu didahulukan dengan suatu perjanjian
pokok atau perjanjian hutang-piutang karena tanpa perjanjian pokok, maka
perjanjian gadai sebagai perjanjian accessoir tidak akan terjadi.16
b. Subyek dan Obyek Gadai
Obyek gadai adalah benda bergerak berwujud, bertubuh
(lichamelijk), dan benda bergerak tidak berwujud/tak bertubuh
(onlichamelijk). Benda bergerak karena sifatnya, menurut Pasal 509 KUH
Perdata adalah benda yang dapat dipindahkan, contohnya meja dan yang
dapat berpindah sendiri contohnya ternak. Benda bergerak karena ketentuan
Undang-Undang, menurut Pasal 511 KUH Perdata adalah hak-hak atas
benda bergerak, misalnya hak memungut hasil (Uruchtgebruik) atas benda-
benda bergerak, hak pakai (Gebruik) atas benda bergerak, dan saham-saham
perseroan terbatas. Benda tidak bergerak karena sifatnya, yakni tanah dan
segala sesuatu yang melekat diatasnya, misalnya pohon, tumbuh-tumbuhan,
area, dan patung. Benda tidak bergerak karena tujuannya yakni mesin-mesin
pabrik. Benda tidak bergerak karena ketentuan Undang-Undang berwujud
hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak misalnya hak memungut
hasil atas benda yang tidak dapat bergerak, hak pakai atas benda tidak
16
Ibid, h. 28
35
bergerak dan hipotik. Benda bergerak yang tidak berwujud berupa berbagai
hak untuk mendapatkan berbagai hutang yakni berwujud surat-surat piutang
kepada pembawa (aan toonder) atas tunjuk (aan order) dan atas nama (op
naam) serta hak paten.
Sedangkan subyeknya tidak ditetapkan, artinya siapapun, jadi
setiap manusia selaku pribadi (natuurlijke person) dan setiap badan hukum
(rechts persoon) berhak menggadaikan bendanya yang penting merupakan
orang atau pembawa hak yang cakap bertindak, atau orang yang berhak
berbuat bebas terhadap suatu benda (beschikkingsbevoegd).17
Menurut H. Salim, subyek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu
pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer). Pandgever,
yaitu orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk
benda bergerak selaku gadai kepada penerima gadai untuk pinjaman uang
yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Sedangkan penerima gadai
(pandnemer) adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai
jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi gadai
(pandgever).18
Transaksi penggadaian benda-benda bergerak dapat dilakukan
antara orang perorangan, dapat juga melalui perusahaan umum (perum)
Pegadaian yang sifatnya lebih formal dan mudah pertanggungjawabannya.
17
Ibid, h. 24 18
H. Salim HS, op.cit, h. 36
36
c. Syarat Sah dan Terjadinya Gadai
Secara umum syarat sah gadai adalah sebagai berikut :19
1. Harus ada perjanjian gadai
Hak gadai didasarkan atas suatu persetujuan antara si berpiutang
dengan si pemberi gadai yang biasanya adalah perjanjian pinjam uang
dengan janji sanggup memberikan benda bergerak sebagai jaminan.20
Bentuk perjanjian itu tidak disyaratkan apa-apa dalam KUH Perdata.
Persetujuan atau perjanjian gadai (pand-overeenkomst), berdasarkan
ketentuan Pasal 1151 KUH Perdata menyatakan bahwa persetujuan gadai
dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian
persetujuan pokoknya. Bila dilakukan secara tertulis, dapat dilakukan
baik dengan akta notaris maupun dengan akta dibawah tangan.21
2. Benda gadai harus diserahkan pemberi gadai kepada pemegang gadai
Titik berat terjadinya gadai adalah barang harus dilepaskan dar
kekuasaan si pemberi gadai.22
Cara penyerahan benda gadai adalah
berbeda, tergantung kepada jenis benda gadainya. Terhadap benda gadai
berwujud atau bertubuh maka dapat dilakukan penyerahan secara fisik
atau secara nyata sesuai dengan ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUH
Perdata. Sedangkan terhadap benda gadai bergerak tidak berwujud atau
bertubuh, yang berupa macam-macam hak tagihan, maka penyerahannya
dilakukan dengan surat-surat piutang sebagaimana diatur dalam Pasal
1152 dan Pasal 1153 KUH Perdata.
19
Hartono Hadi Suprapto, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,
Liberty, Yogyakarta, h. 57 20
Ibid 21
Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h. 156 22
Ibid
37
d. Hak dan kewajiban Pemberi dan Penerima Gadai
1. Hak pemberi gadai
a) Jika hasil penjualan barang gadai setelah diperhitungkan untuk
pelunasan hutang debitur termasuk bunga dan biaya-biaya lain
masih berlebihan, maka debitur berhak menerima kelebihan dari
hasil penjualan barang gadai tersebut.
b) Apabila barang gadai yang diserahkan debitur kepada kreditur
menghasilkan pendapatan sehingga dapat dipergunakan untuk
mengurangi hutang debitur, maka dimungkinkan debitur yang
bersangkutan meminta diperhitungkan ke dalam pembayaran
hutangnya.
2. Kewajiban pemberi gadai
a) Pemberi gadai wajib menyerahkan fisik benda yang digadaikan
kepada penerima gadai (syarat inbezitstelling).
b) Debitur wajib memberikan kelengkapan dokumen (jika ada)
sebagai bukti kepemilikan benda gadai.
c) Pemberi gadai wajib mengganti segala biaya yang berguna dan
diperlukan yang telah dikeluarkan oleh kreditur penerima gadai
guna keselamatan barang gadai (Pasal 1157 ayat (2) KUH Perdata).
3. Hak penerima gadai
a) Seorang kreditur dapat melakukan parate executie (eigenmachtige
verkoop) yaitu menjual atas kekuasaan sendiri benda-benda debitur
38
dalam hal debitur lalai atau wanprestasi. Hal ini tertuang dalam
Pasal 1155 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi :
“Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka si
berpiutang adalah berhak jika si berutang atau si pemberi gadai
cidera janji, setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau atau
jika tidak telah ditentukan suatu tenggang waktu, setelah
dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh
menjual barang gadainya di muka umum menurut kebiasaan-
kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku,
dengan maksud untuk mengambil pelunasan sejumlah piutangnya
beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut”.
b) Kreditur berhak menjual benda bergerak melalui perantaraan
Hakim dan disebut rieel executie. Mengenai hal ini Pasal 1156
KUH Perdata merumuskan sebagai berikut :
“Bagaimanapun, apabila si berhutang atau si pemberi gadai cidera
janji, si berpiutang dapat menuntut dia di muka hakim supaya
barang gadai dijual menurut cara yang ditentukan oleh Hakim atas
tuntutan si berpiutang, dapat mengabulkan bahwa barang gadai
akan tetap pada si berpiutang untuk suatu jumlah yang akan
ditetapkan dalam pelunasan hingga sebesar utangnya beserta bunga
dan biaya”.
c) Sesuai dengan bunyi Pasal 1157 ayat (2) KUH Perdata kreditur
berhak mendapatkan penggantian dari debitur semua biaya yang
39
bermanfaat yang telah dikeluarkan kreditur untuk keselamatan
benda gadai.
d) Kemudian Pasal 1158 KUH Perdata menyatakan, jika suatu piutang
digadaikan dan piutang itu menghasilkan bunga maka kreditur
berhak memperhitungkan bunga piutang tersebut untuk dibayarkan
kepadanya.
e) Kreditur mempunyai hak retentive yaitu hak kreditur untuk
menahan benda debitur sampai debitur membayar sepenuhnya
hutang pokok ditambah bunga dan biaya-biaya lainnya yang telah
dikeluarkan oleh kreditur untuk menjaga keselamatan benda gadai.
Hal ini sesuai ketentuan Pasal 1159 KUH Perdata.
4. Kewajiban penerima gadai
a) Hanya menguasan benda selaku houder bukan sebagai bezitter
serta menjaga keselamatannya. Dengan demikian kreditur tidak
boleh menikmati dan memindahtangankan benda-benda debitur
yang dijaminkan itu.
b) Kreditur wajib memberi tahu debitur bila benda gadai akan dijual
selambat-lambatnya pada hari yang berikutnya apabila ada suatu
perhubungan pos harian atau suatu perhubungan telegrap, atau
jika tidak dapat dilakukan, diperbolehkan melalui pos yang
berangkat pertama (Pasal 1156 ayat 2 KUH Perdata)
c) Kreditur bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya nilai
gadai jika terjadi karena kelalaiannya (Pasal 1157 KUH Perdata)
40
d) Kreditur wajib mengembalikan benda gadai setelah hutang pokok,
bunga, biaya atau ongkos untuk penyelamatan benda yang
bersangkutan telah dibayar lunas (Pasal 1159 ayat 1 KUH
Perdata).
e. Kedudukan Kreditur Pemegang Gadai
Berdasarkan Pasal 1133 KUH Perdata, gadai sama dengan hipotik
dilindungi dengan hak preferen atau hak didahulukan. Dengan demikian,
pemegang gadai mempunyai hak mengambil pelunasan utang dari barang
gadai dengan cara mengesampingkan kreditur lain. Pasal 1134 KUH Perdata
menempatkan pemegang gadai sebagai kreditur yang lebih tinggi
tingkatannya dari kreditur konkuren. Perjanjian gadai hanya terbatas atas
barang bergerak dan piutang, tidak dibenarkan atas barang tidak bergerak
karena untuk itu telah diatur secara khusus, obyek tanah diikat dengan Hak
Tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Kapal di
atas 20 m3 diikat dengan hipotik berdasarkan Bab XXI Buku II KUH
Perdata, pesawat terbang diikat dengan hipotik berdasarkan aturan yang
sama dengan kapal. Barang gadai mesti berpindah tangan di bawah
kekuasaan kreditur (pemegang gadai).
Apabila obyek gadai adalah benda yang sebelumnya telah
dibebankan dengan jaminan fidusia dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran
Fidusia, maka pihak ketiga (Kreditur Pemegang Gadai), terlepas dari apakah
pihak ketiga mengetahui atau tidak mengetahui bahwa barang tersebut telah
dijadikan jaminan fidusia, pihak ketiga tersebut tidak dilindugi oleh hukum.
Ini karena pada prinsipnya ketentuan mengenai larangan menggadaikan
41
benda jaminan fidusia telah diatur dalam Undang-Undang (Pasal 23 Ayat 2
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia). Dengan
demikian, semua orang dianggap mengetahuinya dan dalam hal ini pihak
ketiga lalai untuk memperhatikan/ mengontrol register/ memeriksa pada
Kantor Pendaftaran Fidusia, maka ia harus memikul resiko kerugian sendiri.
Sehingga, pada dasarnya akibat hukum bagi pihak ketiga dari pemberian
gadai atas benda yang telah dijadikan jaminan fidusia adalah tidak adanya
perlindungan hukum yang pasti bagi penerima gadai untuk mengambil
pemenuhan pembayaran dari eksekusi benda jaminan jika debitur
wanprestasi.
top related