bab ii tinjauan pustaka a. kualitas pelayanan 1 ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1726/3/bab...
Post on 16-Jul-2019
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Pelayanan
1. Pengertian Kualitas Pelayanan
Menurut Nasution (2004), kualitas pelayanan adalah tingkat
keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan
tersebut untuk memenuhi keinginan nasabah. Kualitas pelayanan dapat
diartikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan nasabah serta
ketepatan penyampaiannya dalam mengimbangi harapan nasabah (Tjiptono,
2007). Kualitas pelayanan adalah sebuah kinerja yang dapat ditawarkan oleh
seseorang kepada orang lain. Kinerja ini dapat berupa tindakan yang tidak
berwujud serta tidak berakibat pada kepemilikan barang apapun dan terhadap
siapapun. Poin utamanya adalah pelayanan merupakan suatu tindakan yang
dilakukan oleh seorang penjual kepada pembeli atau nasabahnya demi
memenuhi kebutuhan dan keinginan nasabah. Perilaku tersebut bertujuan
pada tercapainya kepuasan nasabah itu sendiri. Sebuah pelayanan dapat
dilakukan pada saat nasabah memilih produk maupun setelah selesai
melakukan transaksi pembelian produk. Kualitas pelayanan yang baik akan
memberikan dampak yang baik pula bagi perusahaan karena akan menjadi
nasabah yang royal dan memberikan keuntungan bagi perusahaan (Kotler,
2002).
18
Menurut Utaminigtyas (2001), kualitas pelayanan adalah tindakan
seseorang atau satu pihak kepada orang lain atau pihak lain melalui penyajian
produk atau jasa sesuai dengan ukuran yang berlaku pada produk jasa tersebut
untuk memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan orang lain dilayani.
Dalam kualitas pelayanan pencapaian kepuasan nasabah memerlukan
keseimbangan antara kebutuhan dan keinginan (need and want) dengan apa
yang diberikan (given).
Abdullah dan Rozario (2009) mendefinisikan kualitas pelayanan
sebagai sikap atau pendapat umum tentang keunggulan pelayanan. Kualitas
pelayanan merupakan salah satu faktor dalam budaya pelayanan mengukur
sejauh mana perusahaan mengutamakan respon pelayanan yang luar biasa
terhadap kebutuhan dan permintaan nasabah.
Sebagian besar penelitian yang dilakukan oleh para ahli perusahaan
untuk menemukan definisi pengukuran kualitas. Parasuraman dkk, (1985)
mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai pertimbangan sikap yang
berhubungan dengan keunggulan (superiority) dari suatu pelayanan jasa.
Parasuraman juga menambahkan bahwa kualitas pelayanan juga sama dengan
sikap individu secara umum terhadap kinerja perusahaan. Parasuraman (1985)
juga menambahkan kualitas pelayanan adalah tingkat dan arah perbedaan
antara persepsi dan harapan nasabah. Selisih antara persepsi dan harapan
inilah yang mendasari munculnya GAP (perception expectation gap) yang
sebagai dasar SERVQUAL. Dalam penelitian mereka ditemukan bahwa
19
kualitas pelayanan didasarkan pada lima dimensi kualitas yaitu tangible,
relliability, responsive, asserance, dan empathy.
Berdasarkan berbagai uraian di atas dapat dirumuskan kualitas
pelayanan sebagai suatu tindakan, manfaat, atau kepuasan yang ditawarkan,
melalui penyajian produk atau jasa sesuai dimensi atau ukuran yang berlaku.
Dilakukan untuk memenuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan, serta
melakukan perbaikan terus-menerus untuk orang lain, baik orang yang di
dalam perusahaan (nasabah internal), maupun orang di luar perusahaan
(nasabah eksternal).
2. Aspek-aspek kualitas pelayanan
Konsep kualitas terdiri dari sejumlah dimensi yang sukar dipahami.
Konsep kualitas termasuk kualitas pelayanan sering ditinjau dari perspektif
yang berbeda-beda. Konsep kualitas sangat relatif, meskipun demikian
konsep kualitas sangat diperlukan sebab menurut Crosby, Deming, serta
Juran (dalam Martin dan Kottner, 1996) kualitas merupakan akar bisnis yang
menjadi pertimbangan bagi nasabah.
Gronroos dalam bukunya business marketing management (dalam
Tung, 1997) mengemukakan bahwa kualitas total suatu jasa terdiri dari
beberapa komponen utama yaitu :
a. Technical Quality
Komponen yang berkaitan dengan kualitas produk jasa yang dapat
diterima oleh nasabah dapat dirinci lagi menjadi:
20
1) Search quality, yaitu kualitas yang dapat dievaluasi oleh
nasabah sebelum membeli, misalnya mencari data dari
pengguna yang sudah menggunakannya.
2) Experience quality, yaitu kualitas yang dapat dievaluasi oleh
nasabah sebelum membeli atau mengkonsumsi suatu jasa,
misalnya kualitas pelayanan, kecepatan pelayanan, ketepatan
waktu, kerapian hasil.
3) Credence quality, kualitas yang sukar dievaluasi meski
nasabah telah mengkonsumsi suatu jasa, misalnya kualitas
operasi di dunia kedokteran.
4) Functional quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan
kualitas penyampaian suatu jasa dalam hal ini penerapan dan
penggunaan teknologi informasi yang berkaitan dengan produk
jasa.
5) Corporate image, yaitu komponen yang lebih banyak
berkaitan dengan reputasi, citra perusahaan, dan daya tarik
keunggulan kualitas yang mengakar dalam benak nasabah.
Kualitas pelayanan menurut Gronroos (dalam Utaminigtyas,
2001) didasarkan pada tiga kriteria pokok yaitu : outcome-
related, process-related, dan image related yang diuraikan
menjadi enam unsur yaitu:
a. Profesionalism and skills, Merupakan outcome-related
criteria, nasabah menyadari bahwa penyedia jasa,
21
karyawan sistem operasional, dan sumber daya fisik,
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan
untuk memecahkan masalah nasabah secara profesional.
b. Attitudes and behavior, Merupakan process-related
criteria, nasabah merasa bahwa karyawan perusahaan
(contact personnel) menaruh perhatian terhadap mereka
dan berusaha membantu dalam memecahkan masalah
mereka secara spontan dan senang hati.
c. Accessibilty and flexibility, Termasuk process-related
criteria, nasabah merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, jam
kerja, karyawan dan sistem operasional, dirancang dan
dioperasikan sedemikian rupa sehingga dapat melakukan
akses dengan mudah, dan dapat bersifat fleksibel dalam
menyesuaian permintaan dan keinginan nasabah.
d. Relibiality and trustworthhinees, Termasuk dalam proses
process-related criteria, nasabah memahami apapun yang
terjadi mereka bisa mempercayakan sesuatunya kepada
penyedia jasa beserta karyawan dan sistemnya.
e. Recovery, Merupakan process-related criteria, nasabah
menyadari bahwa bila ada kesalahan atau bila terjadi
sesuatu yang tidak diharapkan, maka penyedia rasa akan
segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi
dan mencari pemecahan yang tepat.
22
f. Reputation and Credibility, Merupakan image-related
criteria, nasabah menyadari bahwa operasi dari penyedia
jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan
yang sesuai dengan pengorbanannya.
Menurut Parasuraman, dkk (dalam Bolton dan Drew, 2000), nasabah
mengevaluasi kualitas pelayanan berdasarkan 5 (lima) dimensi kualitas, yaitu:
a) Bukti langsung (tangibles)
Definisi bukti langsung dalam bukunya Lupiyoadi (2001), yaitu
kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensi
kepada pihak eksternal. Penanpilan dan kemampuan sarana dan
prasarana, fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya
adalah bukti nyata dari pelayanan yang di berikan oleh pemberi
jasa, yang meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang,dan lain
sebagainya). Perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan
(teknologi), serta penampilan pegawainya. Bukti langsung dalam
buku Tjiptono (1996) adalah bukti fisik dari jasa, bisa berupa fisik
peralatan yang digunakan, representasi fisik dari jasa (misalnya,
kartu kredit, plastik). Sedangkan Kotler (1997) mengungkapkan
bahwa bukti langsung adalah fasilitas dan peralatan fisik serta
penampilan karyawan yang professional.
b) Kehandalan (reliability)
Kehandalan menurut Lupiyoadi (2001) adalah kemampuan
perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan
23
secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan
nasabah yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama, untuk
semua nasabah tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan
akurasi yang tinggi. Menurut Tjiptono (1996) kehandalan
mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance)
dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Hal ini berarti
perusahaan memberikan jasanya secara tepat semenjak saat
pertama (right the first time). Selain itu juga berarti bahwa
perusahaan yang bersangkutan memenuhi janjinya, misalnya
menyampaikan jasanya sesuai dengan jadwal yang disepakati.
Secara definisi kehandalan dalam Tjiptono (1997) adalah
kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan cepat,
akurat, dan memuaskan.
c) Daya tanggap (responsiveness)
Menurut Lupiyoadi (2001) daya tanggap adalah suatu kemampuan
untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif)
dan tepat kepada nasabah, dengan penyampaian informasi yang
jelas. Membiarkan nasabah menunggu tanpa adanya suatu alasan
yang jelas menyebabkan persepsi yang negative dalam kualitas
pelayanan. Sedangkan menurut Tjiptono (1996) daya tanggap
adalah keinginan para staf untuk membantu para nasabah dan
memberikan pelayanan dengan tanggap.
24
d) Jaminan (assurance)
Definisi jaminan dalam Lupiyoadi (2001) yaitu pengetahuan,
kesopan santunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk
menumbuhkan rasa percaya para nasabah kepada perusahaan.
Terdiri dari beberapa komponen antara lain komunikasi
(communication). Kredibilitas (credibility), keamanan (security),
kompetensi (competence). Dan sopan santun (courtesy). Sedangkan
menurut Kotler (1997) jaminan adalah pengetahuan dan kesopanan
dari karyawan, dan kemampuan untuk mendapatkan kepercayaan
dan keyakinan.
e) Empati (empathy)
Menurut Lupiyoadi (2001) menerangkan empati adalah
memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau
pribadi, yang diberikan kepada para nasabah dengan, berupaya
memahami keinginan nasabah. Dimana suatu perusahaan
diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang nasabah,
memahami kebutuhan nasabah secara spesifik, serta memiliki
waktu pengoperasian yang nyaman bagi nasabah. Menurut Tjiptono
(1996) empati adalah kemudahan dalam melakukan hubungan,
komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami
kebutuhan para nasabah.
25
Gespersz (2010) menyatakan bahwa kualitas pelayanan meliputi
dimensi-dimensi sebagai berikut :
a. Waktu pelayanan berkaitan dengan waktu tunggu dan proses.
b. Akurasi atau ketepatan pelayanan.
c. Kesopanan dan keramahan pelaku bisnis.
d. Tanggung jawab dalam penanganan keluhan nasabah.
e. Banyaknya petugas yang melayani serta fasilitas pendukung lainnya.
f. Lokasi, ruangan tempat pelayanan, tempat parkir, ketersediaan
informasi, dan panduan lainnya.
g. Kondisi lingkungan, kebersihan, ruang tunggu, fasilitas musik, AC,
alat komunikasi, dan lain-lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti mengukur kualitas pelayanan
menggunakan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Parasuraman, dkk (dalam
Bolton dan Drew, 2000) yang meliputi, bukti langsung (tangibles),
kehandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance),
serta empati (empathy). Aspek-aspek di atas dirasa cukup sesuai dengan
kondisi penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Aspek ini telah dijabarkan
dalam bentuk indikator-indikator perilaku, sehingga lebih mudah dipahami
dan diterapkan. Di samping itu aspek ini banyak digunakan atau diterapkan
pada penelitian-penelitian lain mengenai kualitas pelayanan.
26
3. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut Moenir
(2001) terdapat beberapa faktor yang dapat mendukung berjalannya suatu
pelayanan dengan baik, yaitu : 1) faktor kesadaran para pejabat dan petugas
yang berkecimpung dalam pelayanan. 2) faktor aturan yang menjadi landasan
kerja pelayanan. 3) faktor organisasi yang merupakan alat serta sistem yang
memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan. 4) faktor
pendapatan, yaitu pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup
minimum. 5) faktor keterampilan petugas. 6) faktor sarana dalam pelaksanaan
tugas pelayanan.
Sureshchandar, Rajendran, dan Anantharaman (2002) mengidentifikasi
lima faktor kualitas pelayanan yang sangat penting dari sudut pandang
nasabah yaitu:
a. Inti pelayanan atau produk pelayanan (isi pelayanan).
b. Elemen manusia dalam pemberian pelayanan, seperti kehandalan,
daya tanggap, jaminan, empati, dan perbaikan pelayanan.
c. Sistematis dalam pemberian pelayanan-elemen bukan manusia,
seperti proses, prosedur, sistem, dan teknologi yang membuat
pelayanan tanpa cela.
d. Bukti fisik pelayanan, seperti perlengkapan, tanda, penampilan
karyawan, dan lingkungan fisik yang dibuat manusia di sekitar
pelayanan.
e. Tanggung jawab sosial-tingkah laku etis dari penyedia pelayanan.
27
Menurut Zeithaml, dkk (1998) juga menjelaskan ada dua faktor utama
yang mempengaruhi kualitas pelayanan yaitu: expected service dan perceived
Service. Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived Service) sesuai
dengan yang diharapkan (expected service ), maka kualitas pelayanan
dipersepsikan baik dan memuaskan, sedangkan apabila jasa yang diterima
melampaui harapan nasabah maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas
jasa yang ideal dan sebaliknya. Dengan demikian, baik tidaknya kualitas jasa
tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan nasabah
secara konsisten.
Christian Gronroos (1992) mengemukakan bahwa terdapat empat faktor
yang mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu :
a. Menjaga dan memperhatikan, bahwa nasabah akan merasakan
karyawan dan sistem operasional yang ada dapat menyelesaikan
problem mereka.
b. Spontanitas, dimana karyawan menunjukkan keinginan untuk
menyelesaikan masalah nasabah.
c. Penyelesaian masalah, karyawan yang berhubungan langsung
dengan nasabah harus memiliki kemampuan untuk menjalankan
tugas berdasarkan standar yang ada, termasuk pelatihan yang
diberikan untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik.
d. Perbaikan, apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan harus
mempunyai personel yang dapat menyiapkan usaha-usaha khusus
untuk mengatasi kondisi tersebut.
28
Kualitas pelayanan yang baik adalah salah satu faktor yang sangat
penting dalam keberhasilan suatu bisnis, termasuk dalam bidang jasa
pelayanan (Yenita, 2008). Menurut Nangoi (2004), ada empat faktor yang
mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu :
a. Kepemimpinan
Karyawan membangun kepemimpinan pada dirinya agar memiliki
motivasi kerja yang tinggi sehingga dapat memberikan pelayanan
yang maksimal. Atasan atau pimpinan diharapkan memiliki
kepemimpinan pelayanan, yaitu memiliki visi untuk melayani,
standar kerja yang tinggi, gaya kepemimpinan lapangan, dan
mempunyai integritas.
b. Semangat kerja tim
Tanpa semangat kerja tim, akan sulit menciptakan sikap yang
berorientasi kepada nasabah. Semangat kerja tim dapat melibatkan
partisipasi karyawan melalui pembagian informasi dan
pengambilan keputusan sehingga dapat memperkuat komitmen
untuk menampilkan yang terbaik.
c. Teknologi
Pemanfaatan teknologi dilakukan dalam meningkatkan kualitas
pelayanan. Teknologi lunak seperti sistem dan metode kerja yang
inovatif sebagai efisiensi arus kerja untuk menunjang keberhasilan
pelayanan kepada nasabah.
29
d. Kepuasan Kerja Karyawan
Pelayanan dapat optimal jika para karyawan merasakan kepuasan
kerja. Saat karyawan merasakah kepuasan kerja, aktualisasi potensi
kerja karyawan dapat terwujud, salah satunya yaitu dalam
memberikan pelayanan yang berkualitas kepada nasabah.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas
pelayanan dapat dipengaruhi beberapa faktor terdiri : 1) unsur organisasi,
diartikan sebagai sistem serta metode kerja yang inovatif sebagai cara yang
baik untuk penunjang keberhasilan menyelesaikan masalah nasabah. 2) unsur
manusia, yang dilatar belakangi dari keinginan untuk responsif, empati,
kehandalan, jaminan untuk bersikap sopan santun terhadap nasabah.
Berdasarkan dua faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan di atas, maka
peneliti mengkaitkan unsur manusia, yang dilatar belakangi dari keinginan
untuk responsif, empati, kehandalan, jaminan untuk bersikap sopan santun
terhadap nasabah berkaitan dengan aspek-aspek dari teori OCB.
Organization citizenship behavior (OCB) merupakan perilaku yang
melebihi peran yang diwajibkan, yang tidak secara langsung diakui oleh
sistem reward. Pelatihan OCB ini akan membuat para karyawan dapat
mengembangkan kompetensinya dalam membangun perilaku
conscientiousness, altruism, civic virtue, courtesy, dan sportmanship. Dengan
terbangunnya lima aspek tersebut karyawan akan bisa membangun altruisme
atau membantu orang lain dalam bekerja sehingga bisa lebih responsif dalam
membantu nasabah dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
30
Terbangunnya perilaku OCB yang tinggi akan memiliki ketrampilan dalam
menjalankan peran kerja dan bertanggung jawab dalam mencarikan solusi
dari masalah-masalah nasabah.
B. Organization Citizenship Behavior (OCB)
1. Pengertian Organization Citizenship Behavior (OCB)
Organization Citizenship Behavior (OCB) atau perilaku kewargaan
organisasi (PKO) adalah perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari
kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya
organisasi tersebut secara efektif (Robbin, 2006). Organization Citizenship
Behavior (OCB) dapat dikatakan kontribusi individu yang melebihi tuntutan
peran di tempat kerja, tidak berkaitan langsung dengan atau eksplisit dengan
sistem reward dan bisa meningkatkan fungsi efektif organisasi (Organ dkk,
2006). Contohnya meliputi bantuan terhadap teman kerja untuk meringankan
beban kerja, tidak banyak beristirahat, membantu orang lain menyelesaikan
tugasnya, melaksanakan tugasnya tanpa diperintah.
Wahono (2006) mengatakan OCB adalah terciptanya keefektifan
fungsi-fungsi dalam organisasi dan tindakan-tindakan tersebut secara eksplisit
tidak diminta atau sukarela yang secara formal tidak berada dalam sistem
reward. Dengan kata lain OCB merupakan perilaku yang selalu
mengutamakan kepentingan orang lain, hal itu diekspresikan dalam tindakan-
tindakan yang mengarah pada hal hal yang bukan untuk memenuhi
kepentingan diri sendiri tetapi demi terwujudnya kesejahteraan bagi orang
lain.
31
Berdasarkan definisi mengenai OCB di atas dapat ditarik garis besar,
yaitu OCB merupakan tindakan sukarela yang tidak diperuntukkan bagi
kepentingan pribadi tetapi untuk kepentingan orang lain, OCB tidak diakui
dengan penghargaan, dan tindakan yang tidak diperintahkan secara formal.
2. Dimensi Organization Citizenship Behavior
Marshall (1950) mengemukakan bahwa secara umum Organization
Citizenship Behavior (OCB) merujuk pada tiga elemen utama yaitu,
kepatuhan (obedience), loyalitas (loyalty), dan partisipasi. Kepatuhan dan
loyalitas secara alami merupakan definisi citizenship dalam pengertian yang
luas sehingga esensi dari citizenship behavior adalah partisipasi. Dalam
partisipasi, perhatian terutama ditujukan kepada arena nasional (governance),
arena lokal (local livers) dan arena organisasional (tempat kerja).
Graham (1991) memberikan konseptualisasi Organization Citizenship
Behavior (OCB) yang berbasis pada filosofi politik dan teori politik modern.
Dengan mengggunakan perspektif teori ini, dikemukakan tiga bentuk OCB,
yaitu:
1) Ketaatan (Obedience) yang menggambarkan kemauan karyawan
untuk menerima dan mematuhi peraturan dan prosedur organisasi.
2) Loyalitas (Loyalty) yang menggambarkan kemauan karyawan untuk
menempatkan kepentingan pribadi mereka untuk keuntungan dan
kelangsungan organisasi.
32
3) Partisipasi (Participation) yang menggambarkan kemauan karyawan
untuk secara aktif mengembangkan seluruh aspek kehidupan
organisasi. Partisipasi terdiri dari:
a) Partisipasi sosial yang menggambarkan keterlibatan karyawan
dalam urusan-urusan organisasi dan dalam aktifitas sosial
organisasi. Misalnya: selalu menaruh perhatian pada isu-isu
aktual organisasi atau menghadiri pertemuan-pertemuan tidak
resmi.
b) Partisipasi advokasi, yang menggambarkan kemauan karyawan
untuk mengembangkan organisasi dengan memberikan dukungan
dan pemikiran inovatif. Misalnya: memberikan masukan pada
organisasi dan memberikan dorongan pada karyawan lain untuk
turut memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan
organisasi.
c) Partisipasi fungsional, yang menggambarkan kontribusi karyawan
yang melebihi standar kerja yang diwajibkan. Misalnya:
kesukarelaan untuk melaksanakan tugas ekstra, bekerja lembur
untuk menyelesaikan proyek penting atau mengikuti pelatihan
tambahan yang berguna bagi pengembangan organisasi.
Menurut Organ (2006) Organization Citizenship Behavior (OCB)
mempunyai lima dimensi yaitu :
a) Altruisme merupakan perilaku personal individu untuk membantu
orang lain dalam konteks masalah kerja dalam organisasi,
33
contohnya terwujud dalam perilaku membantu rekan kerja baru
beradaptasi dengan pekerjaannya.
b) Conscientiousness perilaku yang mengindikasikan kepatuhan
terhadap peraturan dan prosedur organisasi. Contohnya datang
tepat waktu atau lebih awal, tidak melakukan hal-hal yang tidak
perlu, juga teliti dalam mengerjakan sesuatu.
c) Civic virtue perilaku partisipasi aktif karyawan terhadap
kelangsungan hidup organisasi, misalnya memberikan saran yang
membangun tentang bagaimana memperbaiki efektivitas kinerja
tim, termasuk kehadiran karyawan secara aktif dalam kegiatan
yang diadakan organisasi.
d) Courtesy merupakan usaha untuk mencegah masalah pekerjaan
yang akan timbul terhadap pihak luar ataupun relasi kerja.
Seseorang yang memiliki courtesy ini dalam tingkat tinggi adalah
orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain.
e) Sportmanship merupakan perilaku yang menunjukkan keinginan
untuk memberikan toleransi, tanpa mengeluh dalam menghadapi
masalah dan menemukan solusi dari masalah yang ada.
Perkembangan pelayanan jasa untuk nasabah selalu menjadi perhatian
untuk dapat memenangkan persaingan. Prioritas utama pengelolaan
pelayanan adalah kepuasan nasabah. Karyawan perusahaan harus memiliki
lima dimensi OCB: conscientiousness, altruisme, civic virtue, courtesy, dan
34
sportmanship untuk dapat memenuhi keinginan nasabah akan kualitas
layanan yang diberikan karyawan sehingga berujung pada kepuasan nasabah.
Berdasarkan teori di atas, maka dimensi OCB yang dipakai dalam
penelitian ini adalah menurut Organ (2006), yang meliputi,
conscientiousness, altruisme, civic virtue, courtesy, dan sportmanship. Hasil
yang diharapkan dari dimensi tersebut adalah terbangunnya perilaku disiplin
dalam bekerja, patuh terhadap peraturan perusahaan, dan jujur dalam
melaksanakan tugas. Peka terhadap orang lain baik dalam bekerja maupun di
kehidupan pribadi, bertanggung jawab dan aktif dalam memberikan masukan
untuk kemajuan organisasi.
3. Pelatihan Organization Citizenship Behavior (OCB)
Pelatihan (training) merupakan salah satu cara dalam upaya
pengembangan sumber daya manusia, selain pendidikan dan pengembangan.
Pelatihan dilakukan untuk memberikan kegiatan yang berfungsi
meningkatkan kinerja seseorang dalam pekerjaan dan tugas. Pelatihan
dilakukan untuk membantu individu agar menjadi individu yang efektif,
pelatihan diperlukan karena orang, pekerjaan dan organisasi selalu berubah,
baik yang disebabkan oleh dinamika internal (faktor dari dalam individu)
maupun oleh dinamika eksternal (faktor lingkungan). Pelatihan diperlukan
ketika dirasakan adanya kebutuhan bagaimana mengintegrasikan pengetahuan
ke dalam tindakan (Widyana, 2001).
35
Menurut Gomez-Mejia, Balkin, dan Cardy (2001), pelatihan biasanya
dilaksanakan pada saat para pekerja memiliki keahlian yang kurang atau pada
saat suatu organisasi mengubah suatu sistem dan perlu belajar tentang
keahlian baru. Pelaksanaan pelatihan merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kemampuan kerja karyawan untuk mengembangkan
pengetahuan, kecakapan pengalaman sehingga dapat melaksanakan pekerjaan
dengan lebih baik sesuai dengan keinginan dan tujuan perusahaan.
Organization Citizenship Behavior (OCB) atau perilaku kewargaan
organisasi (PKO) adalah perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari
kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya
organisasi tersebut secara efektif atau dengan kata lain, OCB adalah perilaku
karyawan yang melebihi peran yang diwajibkan, yang tidak secara langsung
atau eksplisit diakui oleh sistem reiward formal. OCB juga sering diartikan
sebagai perilaku yang melebihi kewajiban formal (extra role) yang tidak
berhubungan dengan kompensasi langsung (Ahdiyana, 2011).
Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan pelatihan OCB adalah
proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis
dan terorganisir yang dimaksudkan untuk memperbaiki penguasaan
keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu, serta untuk meningkatkan
perilaku yang melebihi kewajiban formal (extra role) yang tidak berhubungan
dengan kompensasi langsung.
36
Pelatihan khususnya pelatihan OCB dalam penelitian ini merupakan
metode yang dipilih dan dirancang oleh peneliti guna meningkatkan perilaku
OCB karyawan marketing Bank Syariah X kota Yogyakarta. Pelatihan OCB
dikembangkan berdasarkan aspek OCB yaitu, conscientiossness, altruism,
civic virtue, courtesy, sportmanship (Organ, 2006). Alasan dipilihnya
pelatihan OCB untuk meningkatkan kualitas pelayanan karyawan marketing
Bank Syariah X kota Yogyakarta adalah, dengan adanya pelatihan OCB maka
perilaku OCB karyawan marketing menjadi lebih meningkat. Hal ini akan
mencipatakan perilaku yang disiplin, tepat waktu dalam bekerja, suka
menolong rekan kerja dalam menyelesaikan pekerjaannya, memberikan
masukan untuk kemajuan organisasi, dan tidak udah mengelu dalam bekerja,
sehingga kualitas pelayanan menjadi meningkat.
Pelatihan OCB dibuat berdasarkan enam sesi. Sesi pertama menjelaskan
tentang konsep atau teori yang mendasari tentang OCB, seperti pengertian
OCB, karakteristik OCB, dimensi OCB, dan faktor yang mempengaruhi OCB.
Sesi ke dua menjelaskan tentang konsep atau teori conscientiossness dan
pentingnya perilaku conscientiossness dalam bekerja, dan dilanjutkan dengan
permainan pohon tumbang. Tujuan dari sesi ini adalah memberikan
pemahaman dan melatih peserta untuk tepat waktu, disiplin dan dapat
dipercaya dalam bekerja.
Sesi ke tiga dalam pelatihan OCB menjelaskan tentang konsep atau
teori yang mendasar perilaku altruism atau menolong orang lain dan
mengajarkan cara menolong orang lain. Pada sesi ini juga diberikan studi
37
kasus untuk memberikan pemahaman pentingnya perilaku menolong dalam
bekerja. Tujuan dari sesi ini adalah agar peserta mampu menerapkan perilaku
menolong saat bekerja maupun dalam kehidupan pribadi.
Sesi ke empat menjelaskan tentang konsep atau teori yang mendasari
perilaku civic virtue, pengertian civic virtue dan pentingnya civic virtue. Pada
sesi ini juga akan diberikan permainan kompak berdiri untuk memberikan
pemahaman pada peserta untuk menunjukkan perilaku bertanggung jawab
dalam bekerja dan mendukung visi dan misi perusahaan. Tujuan dari sesi ini
adalah memberikan pemahaman pada peserta bahwa pentingnya berperilaku
bertanggung jawab atas kelangsungan organisasi dan selalu mendukung dan
mempertahankan tujuan organisasi.
Sesi ke lima menjelaskan tentang konsep atau teori yang mendasar
tentang courtesy, pengertian courtesy dan pentingnya courtesy dalam
melayani nasabah. Pada sesi ini juga akan diberikan role play untuk
mengajarkan kepada peserta agar lebih menghargai orang lain. Tujuan dari
sesi ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada peserta pentingnya
saling menghargai orang lain, dengan saling menghargai akan mencegah
permasalahan yang akan timbul.
Sesi ke enam dalam pelatihan OCB menjelaskan tentang konsep atau
teori yang mendasari perilaku Sportmanship, pengertian Sportmanship dan
pentingnya berperilaku Sportmanship dalam bekerja. Pada sesi ini juga
diberikan games kursi jongkok untuk memberikan pemahaman kepada
peserta supaya selalu berpikiran positif dan tidak mudah mengeluh. Tujuan
38
dari sesi ini adalah memberikan pemahaman kepada peserta pentingnya
berperilaku sportmanship dalam bekerja sehingga peserta memiliki motivasi
yang tinggi, toleransi terhadap orang lain dan selalu memberikan masukan
untuk kemajuan perusahaan.
C. Pelatihan Organization Citizenship Behavior (OCB) Untuk
Meningkatkan Kualitas Pelayanan
Pelatihan secara keseluruhan menawarkan banyak manfaat kepada
karyawan dan organisasi. Karyawan menjadi percaya diri, terbuka untuk
perubahan dan mendukung satu sama lain (Donovan, Hannigan dan Crowe,
2001). Selain itu, karyawan akan lebih termotivasi untuk mencapai
peningkatan kinerja sebagai hasil pelatihan (Ahmad, 2011). Pelatihan
khususnya pelatihan OCB merupakan metode yang dipilih dan dirancang oleh
peneliti guna meningkatkan kualitas pelayanan karyawan marketing Bank
Syariah X kota Yogyakarta dengan mengembangkan beberapa aspek OCB
dari teori Organ (2006) yaitu : conscientiousness, altruism, civic virtue,
courtesy, dan sportmanship.
Conscientiousness didefinisikan sebagai perilaku sukarela yang bukan
merupakan kewajiban atau tugas pekerjaan. Perilaku ini ditandai dengan
kerapian, yang mana seseorang yang memiliki perilaku ini sangat
mementingkan tampilan fisiknya sehingga bisa bekerja dengan maksimal,
tepat waktu dalam bekerja, penuh kehati-hatian, mengutamakan kedisiplinan,
dan dapat dipercaya. Altruism merupakan perilaku membantu orang lain baik
yang berhubungan dengan tugas dalam organisasi ataupun masalah pribadi
39
orang lain, dalam kata lain sangat antusiasme untuk membantu satu sama lain
dan tidak mementingkan diri sendiri dalam mencapai tujuan organisasi.
Contohnya adalah perilaku seperti membantu seorang rekan yang tidak
masuk kerja, membantu orang lain yang memiliki beban kerja berat.
Civic virtue merupakan perilaku yang menunjukkan keinginan untuk
bertanggung jawab atas kelangsungan organisasi, memberikan pendapat yang
kontruktif, mendukung serta mempertahankan tujuan-tujuan organisasi.
Courtesy merupakan usaha untuk mencegah masalah pekerjaan yang kan
timbul terhadap pihak luar ataupun relasi kerja. Seseorang yang memiliki
courtesy ini dalam tingkat tinggi adalah orang yang menghargai dan
memperhatikan orang lain.
Sportmanship merupakan perilaku yang menunjukkan keinginan untuk
memberikan toleransi, tanpa mengeluh dalam menghadapi masalah dan
menemukan solusi dari masalah yang ada. Seseorang yang memiliki
sportmanship dalam tingkatan tinggi akan berperilaku positif dan
menghindari keluhan yang tidak perlu.
Aspek-aspek OCB di atas berimplikasi terhadap penilaian nasabah
terhadap layanan yang diberikan. Ada dua argumen dalam mendukung
hubungan positif antara OCB dengan kualitas pelayanan. Pertama, OCB dapat
memiliki efek langsung yang berasal dari interaksi antara karyawan dan
nasabah. Kedua, efek yang lebih positif dapat terjadi melalui faktor internal
organisasi seperti lingkungan kerja, climate service, dan konsistensi proses
pelayanan (Bell & Manguc, 2002). OCB memberikan kontribusi baik secara
40
langsung maupun tidak langsung dalam menciptakan persepsi yang unggul
dalam kualitas pelayanan (Morrison, 1996). Jika karyawan menampilkan
perilaku OCB dalam bekerja akan berdampak pada kualitas layanan, karena
mereka berusaha membantu nasabah dengan sebaik mungkin.
Pelatihan OCB efektif untuk meningkatkan kualitas pelayanan
karyawan. Banyak penelitian yang telah membahas tentang pentingnya
hubungan antara OCB terhadap kualitas pelayanan antara lain: penelitian
Bienstock, et al. (2003), Yoon and Suh (2003), Hui et.al. (2001), Bell (2004),
Castro et al. (2004), menyatakan bahwa ada pengaruh positif antara OCB
dengan kualitas pelayanan. Inti dasar dari hasil penelitian tersebut menyatakan
bahwa faktor yang dapat mendukung untuk karyawan melakukan kualitas
pelayanan yang baik adalah dengan mempunyai perilaku OCB (Djati, 2009).
Karyawan marketing yang mengikuti pelatihan OCB akan mencerminkan
sifat positif yang menunjukkan perasaan kuat perilaku OCB terhadap
perusahaan, seperti: rela mengorbankan waktu untuk membantu orang lain
dalam bekerja sehingga lebih responsif dalam membantu masalah nasabah dan
memberikan pelayanan dengan tanggap. Datang bekerja lebih awal jika
diperlukan dan mematuhi peraturan perusahaan dengan selalu memperhatikan
penampilan fisik ketika bertemu dengan nasabah. Berpartisipasi aktif dalam
pencitraan perusahaan, dengan cara menyerahkan uang pinjaman nasabah tepat
waktu sesuai yang dijanjikan (Ahmad, 2011).
41
Sejalan dengan hasil penelitian Suyono (2015) menyebutkan bahwa
terdapat hubungan positif dan signifikan antara OCB dengan kualitas
pelayanan (r=2,122 ; p<0,05). Mendukung penelitian tersebut, Djati (2009)
membuktikan bahwa ada pengaruh OCB terhadap kualitas pelayanan
karyawan. Hal ini berarti semakin tinggi karyawan melakukan pekerjaan-
pekerjaan extra role, kerja sama tim, komunikasi antar karyawan dan
manajemen, maka semakin tinggi persepsi nasabah terhadap kualitas
pelayanan yang dilakukan karyawan tersebut.
D. Landasan Teori
Kepuasan nasabah mempunyai keterkaitan yang erat dengan kualitas
pelayanan. Apabila pelayanan di bawah standar, maka nasabah akan
kehilangan kepuasannya, sebaliknya kepuasan akan mencapai titik
optimalnya apabila apa yang didapatkannya sebanding atau lebih besar dari
harapannya Kotler (2000).
Kualitas jasa merupakan performance of quality atau perfomansi
langsung, karena produk jasa bersifat pelayanan. Sifat pelayanan berarti
sangat membutuhkan keterlibatan manusia dalam pengadaan dan
penyampaian, sehingga sangat tergantung pada kinerja karyawan yang
bermutu. Karakteristik produk jasa berbeda dengan karakteristik produk
barang (Carrel dkk, 1997). Karakteristik produk jasa meliputi bersifat
intangible atau tidak berwujud, tidak dapat menentukan produk sendiri tetapi
berdasarkan permintaan merupakan suatu aktivitas atau kegiatan untuk
42
menghasilkan sesuatu, nasabah terlibat dan berperan serta dalam produksi
jasa, pada jasa produksi dan konsumsi terjadi secara simultan.
Pelayanan yang berkualitas haruslah berorientasi pada tercapainya
kepuasan nasabah yang pada gilirannya akan menciptakan loyalitas nasabah
kepada pemberi pelayanan tersebit sehingga perusahaan dapat tetap eksis di
tengah persaingan global (Pratiwi, 2009). Loyalitas nasabah merupakan
dorongan perilaku untuk pembelian secara berulang-ulang (Musanto, 2004).
Nasabah yang loyal umumnya akan melanjutkan pembelian produk tersebut
meskipun dihadapkan pada banyak alternatif produk pesaing yang
menawarkan jasa yang lebih unggul dipandang dari berbagai sudut atributnya
(Palilati, 2007). Terciptanya loyalitas nasabah memungkinkan perusahaan
mengembangkan hubungan jangka panjang dengan nasabah. Selain itu, biaya
yang dibutuhkan untuk menarik nasabah baru juga jauh lebih besar
dibandingkan biaya untuk mempertahankan nasabah yang loyal pada
perusahaan (Kotler, 2000).
Banyak faktor untuk mencapai kualitas pelayanan yang baik bagi
penyedia jasa adalah dengan menumbuhkan ketulusan, perasaan senang hati
dan timbulnya suatu budaya dimana karyawan akan bekerja sama saling tolong
menolong demi memberikan yang terbaik kepada nasabah (Olorunniwo, et al.,
2006). Sikap perilaku karyawan yang dilakukan dengan sukarela, tulus,
senang hati tanpa harus diperintah dan dikendalikan oleh perusahaan dalam
memberikan pelayanan dengan baik yang menurut Organ et al. (2006) dikenal
dengan istilah OCB.
43
Menurut Organ et al (2006) OCB memiliki lima dimensi yaitu altruism,
conscientiousness, civic virtue, courtesy dan sportmanships. Altruism
merupakan perilaku yang membantu orang lain dalam menghadapi masalah
dalam pekerjaannya. Conscientiousness mengacu pada perilaku seseorang
yang tepat waktu, tingkat kehadiran tinggi, dan berada di atas persyaratan
normal yang diharapkan. Civic virtue menunjukkan kontribusi terhadap isu-
isu politik dalam suatu organisasi pada suatu tanggung jawab. Courtesy
menunjukkan sikap sopan santun dan hormat ditunjukkan dalam setiap
perilaku. Sportmanships menunjukkan seseorang yang tidak suka memprotes
atau mengajukan ketidakpuasan terhadap masalah-masalah kecil.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi di Bank Syariah X kota
Yogyakarta disertai kajian teoritis mengenai adanya hubungan positif antara
OCB dengan kualitas pelayanan, maka salah satu cara untuk menjembatani
masalah yang terjadi di Bank Syariah X kota Yogyakarta adalah
menumbuhkan perilaku OCB dengan memberikan pelatihan OCB. Pelatihan
OCB ditengarai memberikan pengaruh positif dalam meningkatkan kualitas
pelayanan (Djati, 2009).
Pelatihan khususnya pelatihan OCB merupakan metode yang dipilih
dan dirancang oleh peneliti guna meningkatkan kualitas pelayanan karyawan
Bank Syariah X kota Yogyakarta dengan mengembangkan beberapa aspek
OCB yaitu, Altruisme, conscientiouness, civic virtue, courtesy, sportmanship
(Organ, 2006). Pelatihan didefinisikan sebagai aktivitas untuk meningkatkan
pengetahuan, keahlian dan sikap melalui pengalaman belajar yang dirancang
44
dalam rangka meningkatkan kinerja masa sekarang dan masa yang akan
datang (Goldstein & Ford, 2002; Noe, 1999). Dessler (2009) juga
mendefinisikan pelatihan sebagai sebuah proses mengajarkan kepada
karyawan mengenai keterampilan dasar yang mereka butuhkan untuk
kelancaran tugas mereka.
Pelatihan OCB efektif untuk meningkatkan kualitas pelayanan
karyawan. Banyak penelitian yang telah membahas tentang pentingnya
hubungan antara OCB terhadap kualitas pelayanan antara lain: penelitian
Bienstock, et al. (2003), Yoon and Suh (2003), Hui et.al. (2001), Bell (2004),
Castro et al. (2004), menyatakan bahwa ada pengaruh positif antara OCB
dengan kualitas pelayanan. Inti dasar dari hasil penelitian tersebut menyatakan
bahwa faktor yang dapat mendukung untuk karyawan melakukan kualitas
pelayanan yang baik adalah dengan mempunyai perilaku OCB (Djati, 2009).
Adapun kerangka berfikir berkaitan dengan pentingnya pelatihan
organization citizenship behavior untuk meningkatkan kualitas layanan
sebagai berikut:
45
Keterangan Gambar : (Hasil)
(Intervensi yang diberikan) (Akibat)
Kualitas Pelayanan Rendah
Cara berpakaian tidak sesuai
Tidak ramah kepada nasabah
Tidak cepat dalam melayani nasabah
Tidak merespon keinginan nasabah
Tidak menyampaikan informasi
secara jelas
Tidak menjelaskan secara terperinci
tentang SOP peminjaman sehingga
terjadinya kesalah pahaman nasabah
Tidak menyerahkan rekap pencairan
pinjaman sehingga terjadi
keterlambatan penyerahan pinjaman
nasabah
Tidak mampu memecahkan masalah
nasabah
Pelatihan OCB
Conscientiouness Altruism Civic Virtue Courtesy Sportmanship
Efek Pelatihan OCB
Berperilaku suka rela di
luar job description
Munculnya perilaku
menolong
Memikirkan kemajuan
organisasi
Menghargai dan
memperhatikan orang
lain
Menghindari keluhan
yang tidak perlu
Kualitas Pelayanan
Meningkat
Mempunyai sikap
profesional
Mampu berkomunikasi
dengan baik
Memiliki keinginan untuk
meningkatkan
kepercayaan nasabah
Mengikuti SOP yang telah
dibuat
Mampu mencarikan solusi
yang tepat terhadap
masalah
46
E. Hipotesis
Hipotesis yang digunakan dalam dalam penelitian ini adalah :
1. Terdapat perbedaan kualitas pelayanan pada karyawan Bank Syariah X
kota Yogyakarta antara sebelum dengan sesudah diberikan pelatihan
organization citizenship behavior (OCB) pada kelompok eksperimen
(KE), dimana tingkat kualitas pelayanan karyawan setelah pelatihan
organization citizenship behavior (OCB) lebih tinggi dibanding kualitas
pelayanan karyawan sebelum pelatihan diberikan.
2. Terdapat perbedaan kualitas pelayanan antara kelompok eksperimen
(KE) setelah diberi pelatihan organization citizenship behavior (OCB)
dengan kelompok kontrol (KK), dimana kualitas pelayanan pada
kelompok eksperimen (KE) setelah diberi pelatihan organization
citizenship behavior (OCB) lebih tinggi dibanding kelompok kontrol
(KK).
top related