bab ii tinjauan pustaka a. empati 1. pengertian empatieprints.mercubuana-yogya.ac.id/1570/2/bab...
Post on 26-Apr-2019
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Empati
1. Pengertian Empati
Baron dan Byrne, 2005 yang menyatakan bahwa empati merupakan
kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan
mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Selain
pengertian diatas, Menurut Leiden, dkk, 1997 menyatakan Empati sebagai
kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain sehingga orang lain seakan -
akan menjadi bagian dalam diri. (dalam Asih dan Pratiwi, 2010).
Gottman, 1997 menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk
menempatkan diri sendiri dalam kedudukan orang lain serta memberi tanggapan
sesuai dengan itu. Stein dan Book, 2002 berpendapat bahwa empati merupakan
kemampuan untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran
orang lain (dalam Spica, 2008). Sedangkan menurut Santrock dalam buku
perkembangan anak, 2007 mengatakan empati adalah sebuah keadaan emosi,
tetapi memiliki komponen kognitif yang artinya kemampuan untuk melihat
keadaan psikologis dalam diri orang lain.
Empati adalah keadaan psikologis yang mendalam, seseorang
menempatkan pikiran dan perasaan diri sendiri ke dalam pikiran dan perasaan
orang lain yang dikenal maupun orang yang tidak dikenal (Hasyim, dkk, 2012).
11
Watson, dkk, 1984 kemampuan empati adalah kemampuan seseorang untuk
mengenal dan memahami emosi, pikiran, serta sifat orang lain (dalam Setiawan,
2010). Masa remaja adalah masa yang penting untuk pengembangan empati.
Empati adalah kemapuan dasar sosial yang menggaris bawahi pentingnya
kemampuan, tingkah laku dan sebuah peran yang sangat penting dalam
pengembangan moral dan perilaku prososial (dalam Graaff, dkk, 2014).
Menurut Blakemore dan Choudhury, 2006 berpendapat bahwa, Masa
remaja juga ditandai dengan perubahan fisik yang cepat dan pengembangan
empati yang mengalami kemunduran, sementara itu bertepatan dengan pubertas.
Empati adalah gejala yang komplek, meliputi kognitif dan proses afektif yang
diikuti dengan perkembangan yang nyata. Perubahan kognitif dan relational dapat
berpengaruh pada masa remaja atau perspektif untuk pendapat orang lain
mengalami perasaan dan perhatian (dalam Graaff, dkk, 2014).
2. Tahap Tahap dalam Perkembangan Empati
Hetherington dan Parker, 1993 membagi perkembangan empati kedalam
empat tahap utama, yakni empati global (Global Empathy), empati egosentris
(Egocentric Empathy), empati terhadap perasaan orang lain (Empathy for Another
Feeling) dan empati untuk kondisi hidup yang berbeda (Empathy for Another Life
Condition).
a. Empati global (Global Empathy)
Goleman, 1998 yang melihat adanya proses alamiah empati semenjak
masa – masa bayi. Bila menyaksikan penderitaan anak lain sebagian besar anak
12
yang berusia sekitar satu tahun, akan memeberikan respon empati yang bersifat
global. Anak akan merasakan penderitaan yang sama dan bereaksi seakan – akan
penderitaan tersebut terjadi padanya. Hal tersebut terjadi karena bayi belum dapat
membedakan dirinya dengan orang lain.
b. Empati egosentris (Egocentri Empathy)
Berkembang saat anak berusia sekitar 12 – 18 bulan dan mulai dapat
memahami bahwa orang lain secara fisik berbeda dengan dirinya. Meskipun
demikian, anak belum dapat mengetahui situasi batin atau emosi orang lain dan
dianggap sama dengan situasi batinnya sendiri. Anak kemudian akan
mengembangkan tindakan penyesuaian terhadap penderitaan orang lain, yang
bersifat egosentris, karena anak belum dapat membedakan interpretasi orang lain.
c. Empati terhadap perasaan orang lain (Empathy for Another Feeling)
Dimulai usia dua sampai tiga tahun, berlanjut hingga sekitar usia enam
tahun, saat anak mulai menyadari bahwa perasaan orang lain mungkin berbeda
dengan apa yang ia rasakan. Pada taraf usia ini, dalam diri anak mulai muncul
pertimbangan terhadap orang lains sebagai pribadi yang berbeda – beda dan
memiliki emosi, pikiran, maupun perasaan masing – masing. Sebagian anak telah
mampu melakukan role taking meskipun belum sempurna.
13
d. Empati untuk kondisi hidup yang berbeda (Empathy for Another Life
Condotion)
Berlangsung pada masa kanak – kanak dan menjelang remaja, dimulai
sekitar usia enam hingga dua belas tahun. Pada tahap ini, individu tidak hanya
melihat kejadian yang tengah berlangsung saja, namun dapat berlanjut terus dalam
masa selanjutnya. Inidividu akan merasa tertekan saat mengetahui bahwa
penderitaan orang lain bersifat kronis dan tidak terselesaikan, atau bila secara
umum keadaan tersebut sangat memprihatinkan. Disamping itu, individu dapat
mengetahui bahwa terkadang seseorang dapat menyembunyikan emosi atau
perasaan dan bertindak bertentangan dengan apa yang sedang dirasakan saat itu.
Dari uraian diatas diatas dapat disimpulkan bahwa empati adalah
kemampuan merasakan keadaaan emosional orang lain, menempatkan dirinya
dalam posisi orang lain sehingga atau seakan akan orang tersebut merasakan apa
yang dirasakan orang tersebut.
3. Aspek – Aspek yang Terdapat dalam Empati
Menurut Baron dan Byrne, 2005 menyatakan bahwa dalam empati juga
terdapat aspek – aspek, yaitu :
a. Kognitif
Individu yang memiliki kemampuan empati dapat memahami apa yang
orang lain rasakan dan mengapa hal tersebut dapat terjadi pada orang tersebut.
Kognisi yang relevan termasuk kemampuan untuk mempertimbangkan sudut
14
pandang orang lain, kadang kadang disebut sebagai pengambilan perspektif
(Perspective Taking), mampu untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain.
Kemampuan untuk merasa empati pada karakter fiktif. Penonton yang merasa
berempati akan mengalami kesedihan, ketakutan, atau kegembiraan ketika emosi
emosi ini dialami oleh karakter dalam cerita.
b. Afektif
Individu yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan. Bahkan
anak anak beusia dua bulan tampak jelas merasakan stress sebagai respon dari
stress yang dirasakan orang lain (Brothers, 1990). Karakteristik yang sama juga
diobservasi pada primata yang lain (Ungerer, 1990), dan mengindikasikan
kepedulian. Aspek ini juga termasuk merasa simpati, tidak hanya penderitaan
orang lain tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan
sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka. Misalnya, individu yang
memiliki empati tinggi lebih termotivasi untuk menolong seorang teman daripada
mereka yang memiliki empati yang rendah (Schlenker dan Britt, 2001).
Berbagai aspek – aspek yang ada diatas penulis mengambil salah satu dari
aspek yang dikemkakan oleh Davis, 1983 yaitu Perspective Taking (PT), Fantacy
(F), Empathic Concern (EC) dan Personal Distress (PD). Dikarenakan aspek
tersebut sering muncul dikehidupan setiap remaja.
Davis, 1983 secara global ada dua komponen dalam empati, yaitu
komponen kognitif dan komponen afektif yang masing – masing mempunyai dua
aspek yaitu : Komponen kognitif terdiri dari Perspective Taking (PT) dan Fantacy
15
(F), sedangkan Komponen afektif meliputi Empathic Comcern (EC) dan Personal
Distress (PD). Keempat aspek tersebut mempunyai arti sebagai berikut :
a. Perspective Taking (PT)
Mead (dalam Davis, 1983) menenkankan pentingnya kemampuan dalam
perspective taking untuk perilaku non egosentrik, yaitu kemampuan yang tidak
berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi kepentingan orang lain. Coke (dalam
Davis, 1983) menyatakan bahwa perspective taking berhubungan dengan reaksi
emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. Perspektif taking
diharapkan memiliki skor yang lebih tinggi dengan sosial yang berfungsi lebih
baik. Kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang psikologis orang
lain secara spontan. Kemampuan perspective taking membuat seorang individu
mengetahui perilaku dan reaksi dari orang lain, karenanya memudahkan dan lebih
menghargai hubungan interpersonal. Kecenderungan menggunakan kemampuan
ini, yang diukur dengan skala PT, harus dikaitkan dengan fungsi sosial yang lebih
baik.
Kedua, diharapakan skor perspektif lebih tinggi yang dikaitkan dengan
tingginya harga diri. Sebagian besar, ini harus mengikuti fungsi sosial yang
diharapkan untuk pengambilan perspektif yang tinggi. Artinya, dengan
ditingkatkannya harga diri dengan hubungan sosial bermanfaat untuk perspektif
taking yang harus meningkatkan konsep diri. Ketiga, tidak ada hubungan antara
perspektif taking dan emosionalitas kronis. Keempat, hubungan antara perspektif
taking dan langkah – langkah dari “kepekaan terhadap orang lain” diharapkan
16
bervariasi sesuai dengan langkah – langkah. Beberapa langkah dari kepekaan
terhadap orang lain (Misalnya, subskala Umum Self – kesadaran ; Fenigstein, dkk,
1975 dapat digambarkan sebagai orientasi diri, skor tinggi pada langkah – langkah
tersebut menunjukan kesadaran orang lain hanya berkaitan dengan bagaimana
orang lain melihat diri. Tindakan sensitivitas lainnya (misalnya, Personal Atribut
skala F Angket ini; Spence, Helmreich, & Stapp, 1974) kurang berorientasi diri
dan lebih lainnya berorientasi; tinggi skor pada langkah-langkah ini
mencerminkan kepedulian terhadap perasaan sendiri yang lain dan kebutuhan.
Diprediksi hanya itu perspektif taking skor akan berhubungan positif dengan lain
seperti berorientas langkah-langkah dan tidak selalu terkait dengan selforiented
yang.
b. Fantacy (F)
Kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif
dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, film
atau cerita yang dibaca dan ditontonnya. Stotland (dalam Davis, 1983)
mengemukakan bahwa fantacy merupakan aspek yang berpengaruh pada reaksi
emosi terhadap orang lain dan menimbulkan perilaku menolong. Demikian juga,
tidak ada hubungan antara harga diri dan F dengan skor yang diharapkan.
Tampaknya skor fantasi akan menunjukkan hubungan dengan ukuran
emosionalitas. Stotland (1978) bukti laporan bahwa orang-orang yang mendapat
skor tinggi pada Fantasi - Empati (F-E), skala cenderung menampilkan gairah
fisiologis yang lebih besar untuk gambaran dari lain pengalaman emosional dan
kecenderungan yang lebih besar untuk membantu orang lain (setidaknya di antara
17
anak sulung subyek). Karena skala F dari IRI berisi tiga item dari F - E Skala
(lihat bagian Method) dan sisanya item pada skala F mencerminkan konten yang
sama, skala F juga diharapkan untuk menampilkan hubungan yang signifikan
untuk ukuran emosionalitas. Akhirnya, tidak ada hubungan antara Skor dan
ukuran sensitivitas F kepada orang lain (dalam Davis, 1983).
c. Empathic Concern (EC)
Perasaan simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap
kemalangan orang lain. Aspek ini juga merupakan cermin dari perasaan
kehangatan yang erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang
lain. Tidak jelas apakah kecenderungan untuk mengalami perasaan simpati dan
kepedulian terhadap orang lain akan sistematis meningkatkan atau mengganggu
kemampuan seseorang untuk terlibat dalam hubungan sosial yang bermanfaat.
Kedua, itu juga tidak diharapkan bahwa skor EC akan konsisten terkait
pada harga diri. Ketiga, hubungan antara EC, dengan skala pengukur jenis tertentu
tentang respon tindakan emosional dan emosionalitas akan tergantung pada sifat
yang tepat tindakan emosionalitas ini. Skor keprihatinan empatik diharapkan,
untuk menampilkan beberapa asosiasi dengan Langkah - langkah "global" emosi,
karena membangun dari "reaktivitas emosional" yang mendasari baik langkah –
langkah. Skor EC diharapkan menunjukkan hubungan dengan lain, yang lebih
spesifik ukuran emosionalitas yang terkait dengan kekhawatiran empatik.
Keempat, nilai EC yang mewakili perasaan, kehangatan dan simpati, harus
sangat terkait dengan langkah - langkah lain yang berorientasi pada kepekaan
18
terhadap orang lain, tindakan yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain.
Tindakan sensitivitas yang lebih "Egois" tidak harus berhubungan dengan EC
skor.
d. Personal Distress (PD)
Menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri
serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak
menyenangkan. Personal Distress yang tinggi membuat kemampuan sosialisasi
seseorang menjadi rendah. Kedua, diperkirakan bahwa skor PD akan secara
signifikan negatif dan terkait dengan harga diri. Seperti prediksi PT / harga diri,
ini adalah berdasarkan pengaruh mediasi interpersonal yang berfungsi pada diri
sendiri. Karena tinggi skor PD yang diduga kurang menguntungkan hubungan
sosial dan harga diri mereka harus sepadan . Ketiga, Hubungan skor PD (seperti
skor EC) dengan langkah - langkah lain dari emosionalitas harus berbeda dengan
sifat mereka. Keempat, tidak ada prediksi yang jelas ditawarkan menyangkut
hubungan antara skor dan langkah - langkah PD terhadap sensitivitas kepada
orang lain.
3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Empati
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi proses perkembangan empati
pada diri seseorang yaitu (dalam Ginting 2009) :
19
a. Pola Asuh
Pola asuh adalah merupakan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang
tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada
anak (Oktavia, 2008). Franz (dalam Koestner, 1990) menemukan adanya
hubungan yang kuat antara pola asuh pada masa - masa awal dengan empathic
concern anak yang mempunyai ayah yang terlibat baik dalam pengasuhan dan ibu
yang sabar dalam menghadapi ketergantungan anak (tolerance of dependency)
akan mempunyai empati yang lebih tinggi. Keterlibatan ayah dalam hal ini
berhubungan dengan jumlah waktu yang diluangkan bersama anak, sedangkan
tolerance of dependency diinterpretasikan sebagai: (1) besarnya tingkat interaksi
ibu dan anak, (2) refleksi kelembutan, responsivitas dan penerimaan terhadap
perasaan anak, yang semuanya berhubungan dengan perilaku prososial (Siegel
dalam Laurence, 1982).
Ibu yang puas dengan perannya akan mampu menciptakan anak yang
memiliki empathic concern yang tinggi (Koestner, 1990). Hal ini terjadi karena
ibu yang mempunyai keyakinan akan kemampuannya dan tidak cemas dalam
pengasuhan anak akan menciptakan hubungan kelekatan antara ibu dan anak
secara aman (secure attachement). Ibu yang mempunyai kepercayaan lebih juga
dapat memberikan perhatian atau lebih peduli perasaan anak. Hal lain yang
mempengaruhi perkembangan empati adalah kehangatan orang tua (Shaffer,
2004).
20
Orang tua yang hangat dan penuh perhatian cenderung menghargai dan
jarang menggunakan hukuman dalam menilai perilaku anak. Orang tua akan lebih
banyak menggunakan alasan - alasan yang dapat diterima anak dalam
menjelaskan mengapa suatu perbuatan dinilai salah. Selanjutnya hal - hal di atas
akan dijadikan model bagi anak dalam mengembangkan empathic concern, atau
dengan kata lain anak akan melakukan proses modeling pada ibu dalam
berempati. Selanjutnya yang berhubungan dengan pola asuh adalah metode
pendisiplinan yang diterapkan orang tua terhadap anak. Metode ini diterapkan
dengan memfokuskan perhatian anak pada perasaan dan reaksi orang lain.
Matthews (Barnett, 1979) berpendapat bahwa perkembangan empati lebih besar
terjadi dalam lingkungan keluarga yang: (1). Memberikan kepuasan pada
kebutuhan emosional anak dan tidak terlalu mementingkan kepentingan pribadi,
(2). Mendorong anak untuk mengalami emosi dan mengekspresikan emosinya,
dan (3). Memberikan kesempatan untuk mengobservasi dan berinteraksi dengan
orang lain sehingga mengasah kepekaan dan kemampuan emosi.
Terdapat 4 macam pola asuh menurut Diana Baumirnd, 1917 yaitu :
(dalam Santrock, 2002)
1. Pola asuh otoriter (Authoritarian parenting)
Ialah suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk
mengikuti perintah – perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha.
Orang tua otoriter menetapkan batas yang tegas dan tidak memberi peluang yang
21
besar kepada anak – anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan yang
otoriter diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak – anak.
2. Pola asuh otoritatif (Authoritative parenting)
Mendorong anak – anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas –
batas dan pengendalian atas tindakan – tindakan mereka. Musyawarah verbal yang
ekstensif dimungkinkan, dan orang tua memperlihatkan kehangatan serta kasih
sayang kepada anak. Pengasuhan yang otoritatif diasosiasikan dengan kompetensi
sosial anak – anak.
3. Pola asuh permisif
Terjadi dalam 2 bentuk : Permissive indifferent dan Permissive indulgent
(Maccoby dan Martin, 1983). Pengasuhan yang permissive indifferent ialah suatu
gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, tipe
pengasuhan ini diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak khususnya
kurangnya kendali diri. Pengasuhan yang permissive indulgent ialah suatu gaya
pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak – anak
mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka. Pengasuhan
yang permissive indulgent diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak,
khususnya kurangnya kendali diri.
b. Kepribadian
Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan mempunyai
tingkat empat dan nilai prososial yang tinggi pula (Koestner, 1990), sedangkan
22
individu yang memiliki self direction, need for achievement dan need for power
yang tinggi akan mempunyai tingkat empati yang rendah.
c. Jenis Kelamin
Berdasarkan beberapa penelitian diketahui bahwa perempuan mempunyai
tingkat empat yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan laki - laki.
Karakteristik yang diatribusikan pada perempuan dibandingkan laki - laki adalah
kecenderungan berempati. Persepsi stereotip ini didasarkan pada kepercayaan
bahwa perempuan lebih nurturance (bersifat memelihara) dan lebih berorientasi
interpersonal dibandingkan laki - laki (Parsons dan Bales dalam Eisenberg &
Strayer, 1987). Penelitian yang dilakukan oleh Marcus (dalam Eisenberg &
Strayer, 1987) berupa cerita hipotetik yang diajukan untuk melihat respon empati,
didapatkan hasil bahwa anak perempuan lebih empatik dalam merespon secara
verbal keadaan distress orang lain. (Buck, 1995) dalam penelitiannya menemukan
hasil, ada perbedaan dalam hubungan dengan orientasi eksternal dan internal.
Perempuan lebih berorientasi eksternal (orientasi pada orang lain), sedangkan laki
- laki lebih berorientasi internal (orientasi pada diri sendiri).
d. Variasi Situasi, Pengalaman dan Objek Respon
Tinggi rendahnya kemampuan berempati seseorang akan sangat
dipengaruhi oleh situasi, pengalaman dan respon empati yang diberikan. Secara
umum anak akan lebih berempati pada orang yang lebih mirip dengan dirinya
dibandingkan dengan orang yang mempunyai perbedaan dengan dirinya (Krebs,
1987).
23
e. Usia
Kemampuan berempati akan semakin bertambah dengan meningkatnya
usia. Hal ini dikarenakan bertambahnya pemahaman perspektif (Mussen, 1989).
Usia juga akan mempengaruhi proses kematangan kognitif dalam diri seseorang.
f. Derajat Kematangan
Gunarsa (Gunarsa, 1979) mengatakan bahwa empati itu dipengaruhi oleh
derajat kematangan. Maksud derajat kematangan adalah besarnya kemampuan
seseorang dalam memandang sesuatu secara proporsional.
g. Sosialisasi
Semakin banyak dan semakin intensif seorang individu melakukan
sosialisasi maka akan semakin terasah kepekaannya terhadap emosi orang lain.
Matthew (Hoffman, 1996) menyatakan beberapa hal yang menjadikan sosialisasi
sebagai komponen yang berpengaruh terhadap empati, yaitu: (1). Sosialisasi
membuat seseorang mengalami banyak emosi, (2). Sosialisasi membuat seseorang
dapat mengamati secara langsung situasi internal orang lain, (3). Sosialisasi
membuka terjadinya proses role taking, (4). Terdapat banyak afeksi sehingga
seseorang akan menjadi lebih terbuka terhadap kebutuhan emosi orang lain, dan
(5). Dalam sosialisasi ditemukan banyak model yang dapat memberikan banyak
contoh kebiasaan prososial dan perasaan empati yang dinyatakan secara verbal.
Dari berbagai faktor - faktor yang mempengaruhi empati diatas penulis
mengambil salah satu dari faktor tersebut adalah pola asuh. Dan salah satunya
24
yang digunakan oleh penulis adalah pola asuh otoriter. Dalam kehidupan sekarang
ini perkembangan remaja sangat dipengaruhi oleh pola asuh dari setiap orang tua
walaupun perkembangan sosialnya tidak hanya dari orang tua tapi juga dari
lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar remaja tersebut tinggal tapi orang tua
lebih mengambil perannya karena pada masa remaja, orang tua lebih mengatur
pergaulan remaja tersebut
B. Pola Asuh Otoriter Orang Tua
1. Pengertian Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter (Authoritarian parenting) ialah suatu gaya membatasi
dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah – perintah orang
tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua otoriter menetapkan batas
yang tegas dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak – anak untuk
berbicara (bermusyawarah). Pengasuhan yang otoriter diasosiasikan dengan
inkompetensi sosial anak – anak (Santrock, 2002). Menurut Stewart dan Koch,
1983 orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri antara lain:
kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik. Orang tua
memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba
membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung
mengekang keinginan anak. Orang tua tidak mendorong serta memberi
kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian. Hak anak
dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa (dalam Aisyah, 2010).
25
Pola asuh otoriter adalah cara orang tua mengasuh anak dengan
menetapkan standar perilaku bagi anak, tetapi kurang responsif pada hak dan
keinginan anak. Orang tua berusaha membentuk, mengendalikan, serta
mengevaluasi tingkah laku anak sesuai dengan standar tingkah laku yang
ditetapkan orang tua. Dalam pola pengasuhan ini orang tua berlaku sangat ketat
dan mengontrol anak tapi kurang memiliki kedekatan dan komunikasi berpusat
pada orang tua (Rahmasari, 2014). Gaya pengasuhan otoriter, berusaha untuk
mengontrol anak – anak mereka melalui aturan, orang tua juga menggunakan
reward dan punishment untuk membuat anak – anaknya mengikuti aturan,
disamping itu orang tua mengontrol mereka dengan aturan dengan sedikit
penjelasan. Orang tua yang otoriter menuntut tapi tidak hangat, selain itu mereka
memberikan anak – anak mereka sedikit otonomi. (Dacey dan Kenny, 1997).
Santrock, 2009 menyatakan bahwa pola asuh otoriter ini adalah
membatasi, dengan gaya hukuman dimana orang tua mendesak remaja untuk
mengikuti arah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha mereka, batas
tegas dan control ditempatkan pada masa remaja, dan pertukaran lisan sedikit
diperbolehkan. Gaya ini dikaitkan dengan remaja perilaku tidak kompeten secara
sosial. Disamping itu menempatkan nilai tinggi pada ketaatan dan kesesuaian.
Mereka cenderung menghukum, mutlak dan kuat tindakan disiplinnya. Karena
yang mendasari orang tua otoriter adalah anak yanga harus menerima tanpa
pertanyaan aturan dan standar yang ditetapkan orang tua. Mereka cenderung tidak
mendorong perilaku independen dan, sebagai gantinya membatasi otonomi anak.
Selain itu orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter dimana orang tua
26
menerapkan displin yang kaku dan menuntut anak untuk mematuhi aturan –
aturannya, membuat remaja menjadi frustasi (dalam Soetjiningsih, 2014).
Menurut Dacey dan Kenny, 1997 mengemukakan bahwa beberapa orang tua
memakai gaya pengasuhan otoriter, mereka menanggapi tantangan remaja mereka
denga menjadi lebih ketat. Dan para orang tua juga merasa bahwa jika mereka
menenkankan segera, maka remaja akan pulang tepat waktu, membersihkan
kamar tidur mereka dan berpakaian rapi.
Steinberg, 2002 mengemukakan bahwa gaya pengasuhan otoirter,
menempatkan nilai tinggi pada ketaatan dan kesesuaian. mereka cenderung
menghukum, mutlak, dan kuat tindakan disipliner. Karena keyakinan yang
mendasari orang tua otoriter adalah bahwa anak harus menerima tanpa bertanya
aturan dan standar yang ditetapkan oleh orang tua. Mereka cenderung tidak
mendorong, dan membatasi pada pentignya otonomi anak. Remaja yang besar
dirumah otoriter, lebih tergantung, lebih pasif, kurang mahir sosial, kurang
meyakinkan diri, dan kurang intelektual, sebagai lawan untuk penelitian tentang
pola asuh otoritatif. (dalam Chao, 1994 ; Dornbusch, dkk, 1987 ; Lamborn, dkk
1996 ; Steinberg dkk, 1994).
Beberapa penjelasan telah ditawarkan atau temuan ini. Pertama, beberapa
penulis telah menyarankan bahwa, karena keluarga etnis minoritas lebih mungkin
untuk hidup dalam masyarakat yang berbahaya. Pola asuh otoriter, dengan
penekanan pada pengendalian, mungkin tidak berbahaya dan bahkan dapat
membawa beberapa manfaat. Kedua, karena beberapa peneliti telah menunjukkan
Chao, 1994 ; Gonzales, 1996, perbedaan antara orangtua otoritatif dan otoriter
27
mungkin tidak selalu masuk akal bila diterapkan orang tua dari budaya lain.
Misalnya, orang tua kulit putih sering menggabungkan tingkat yang sangat tinggi
dari ketatnya (seperti orang tua otoriter putih) dengan kehangatan (seperti orang
tua otoritatif putih). Formoso, dkk, 1997 ; Rohner, dkk, 1986) ; Smetana, dkk,
2000 ; Yau, dkk, 1996 menyatakan bahwa jika mereka terlalu fokus pada orang
tua, ketika peneliti mengamati hubungan keluarga, peneliti dapat melabeli
kelompok etnis lain pendekatan untuk membesarkan anak (yang muncul sangat
mengontrol tetapi yang tidak menyendiri atau bermusuhan) sebagai otoriter
(dalam Steinberg, 2002).
Ahadi, dkk, 2014 mengemukakan bahwa gaya pengasuhan otoriter
merupakan memamerkan kekuasaan orangtua adalah faktor pertama membedakan
gaya ini dengan dua gaya yang lain. Orang tua ini menempatkan tuntutan tinggi
pada anak tetapi tidak responsif terhadap kebutuhan anak. Orang tua otoriter
membawa efek negatif tentang perkembangan kreativitas dan kognisi anak. Anak-
anak yang berulang kali mengancam memiliki kecenderungan isolasi, depresi,
rendah diri, banyak stres, keingintahuan rendah dan permusuhan kepada orang
lain. Para peneliti telah menemukan bahwa orang tua otoriter membina anak-anak
dengan kurangnya otonomi, rasa ingin tahu dan kreativitas. Dari uaraian diatas
dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang
memberikan aturan yang tegas terhadap remaja denga memberikan sedikit
otonomi, selain tegas juga mengontrol tingkah laku atau kegiatan yang harus
dilakukan oleh remaja tersebut. Pola asuh ini berdampak pada perilaku dan
perkembangan sosial mereka.
28
2. Ciri – Ciri Pola Asuh Otoriter
Hurlock (1993) mengemukankan ciri – ciri pola asuh, yaitu : (dalam
Yusuf, 2002)
a. Anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua dan
memperlakukan anak dengan tegas yang dimaksudkan bahwa orang tua
bersikap kaku atau keras pada anak.
b. Pengontrolan orang tua pada tingkah laku anak sangat ketat hampir tidak
pernah memberi pujian, kurang kasih sayang, kurang simpatik dan mudah
menyalahkan segala aktivitas anak terutama ketika anak ingin berlaku
kreatif yang orang tua lakukan dengan anak seperti diatas akan bersikap
mengomando atau mengharuskan / memerintah anak untuk melakukan
sesuatu tanpa kompromi, dan juga memiliki sikap menerimanya rendah
tetapi mengontrolnya tinggi.
c. Sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan memenuhi
standar yang telah ditetapkan orang tua karena selain itu dihukum karena
orang tua menganggap tidak sesuai dengan keinginan orang tua dan orang
tua bersikap dengan memberi hukuman.
d. Terlalu banyak aturan yang cenderung sikap orang tuanya emosional dan
bersikap menolak yang hanya menuntut kepatuhan semata.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter
sangat mempengaruhi kepribadian remaja dan perkembangan sosialnya. Remaja
29
yang mendapat pola asuh ini akan menjadi remaja yang mudah tersinggung,
penakut, pemurung, tidak bahagia, mudah terpengaruhi, mudah stress, tidak
mempunyai arah masa depan yang jelas dan juga tidak bersahabat (Yusuf, 2002).
Dapat dikatakan bahwa remaja yang memiliki perilaku yang seperti itu, terhambat
dalam perkembangan sosialnya.
C. Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter Orang Tua Dengan Empati
Pada Remaja Awal
Orang tua yang otoriter sangat berkuasa terhadap anak, memegang
kekuasaan tertinggi serta mengharuskan anak patuh pada perintahnya. Dengan
berbegai cara, segala tingkah laku anak dikontrol dengan ketat (dalam Aisyah,
2010). Pola asuh otoirter menjadikan remaja berperilaku mudah tersinggung,
penakut, pemurung, tidak bahagia, mudah terpengaruh, mudah stress, tidak
mempunyai arah masa depan yang jelas, dan tidak bersahabat (Yusuf, 2002).
Pola asuh otoriter cenderung menjadikan kepribadian remaja mudah
tersinggung ini dikarenakan remaja tersebut cenderung mengambil sudut pandang
dirinya sendiri, misalnya disaat temannya berkata atau menyampaikan suatu
pendapat yang menurut temannya hal tersebut bukanlah hal serius tetapi dalam
sudut pandangnya itu merupakan hal serius. Hal ini menjadikan remaja tersebut
memiliki empati yang rendah. Selain menjadikan remaja mudah tersinggung, pola
asuh otoriter orang tua juga menjadikan remaja memiliki kepribadian yang mudah
stres karena remaja mengalami kecemasan dan kegelisahan dalam mengahadapi
30
dirinya sendiri dilihat dari sisi yang tidak menyenangkan, kepribadian tersebut
menjadikan remaja memiliki empati yang rendah.
Lebih lanjut, orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter terhadap
remaja, remaja tersebut cenderung memiliki kepribadian yang mudah terpengaruh
dan penakut, yang dimaksudkan disini bahwa remaja ini cenderung merasa bahwa
sudut pandangnya benar tanpa memperhatikan sudut pandang orang lain, seperti
disaat temannya mengatakan atau memberitahukan harus berperilaku baik atau
buruk remaja tersebut akan mengikutinya tanpa menyaring terlebih dahulu yang
dilakukan atau dikatakan ini benar atau salah hal ini dapat menjadikan remaja ini
memiliki empati yang rendah.
Remaja yang memiliki kepribadian tidak mempunyai arah masa depan
yang jelas dikarenakan orang tuanya menerapakan pola asuh otoriter sehingga
remaja tersebut tidak memiliki kemampuan untuk berimajinasi atau berkhayal
mengenai masa depan dari kepribadian ini dapat menjadikan remaja memiliki
empati yang rendah. Disamping itu pola asuh otoriter orang tua ini juga memiliki
kepribadian yang tidak bahagia dan permurung dikarenakan remaja tersebut
mengalami kecemasan dan kegelisahan yang berorientasi pada dirinya sendiri dari
sisi tidak menyenangkan, menjadikan remaja tersebut memiliki empati yang
rendah. Pola asuh otoriter ini memiliki kepribadian yang tidak bersahabat
dikarenakan remaja tersebut tidak memiliki perasaan simpati atau perhatian
terhadap orang lain, kerpibadian ini menjadikan remaja tersebut susah menjalin
hubungan dengan teman sebaya dan jarang memiliki teman, hal ini dapat
menjadikan remaja tersebut memiliki empati yang rendah.
31
D. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara pola
asuh otoriter dengan empati pada remaja awal. artinya semakin tinggi pola asuh
otoriter, maka semakin rendah empati pada remaja awal, begitu juga sebaliknya,
semakin rendah pola asuh otoriter, maka semakin tinggi empati pada remaja awal.
top related