bab ii tinjauan pustaka 2.1. deskripsi tanaman …repository.ump.ac.id/344/3/afifah sutrisni_bab...
Post on 31-Aug-2018
215 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Tanaman Cabai
2.1.1. Klasifikasi Tanaman Cabai
Berdasarkan sistematika (taksonomi) menurut Cronquist (1981) tanaman
cabai merah diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Classis : Magnoliopsida
Ordo : Solanales
Familia : Solanaceae
Genus : Capsicum
Species : Capsicum annuum L.
2.1.2. Anatomi Tanaman Cabai
Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman herba
berkayu dengan tinggi tanaman ± 1 meter. Tanaman cabai memiliki banyak
percabangan yang dilengkapi dengan daun tunggal. Memiliki helaian daun bentuk
bulat telur sampai elips dengan pangkal daun meruncing dan ujung daun runcing
serta tepi pada helaian daun gundul (Steenis, 1987). Pada ketiak daun muncul
bunga tunggal bentuk bintang berwarna putih. Buah cabai tergolong buah buni
bentuk lanset dan menggantung. Buah cabai mempunyai permukaan mengkilat
berwarna hijau dan berwarna merah ketika tua dengan biji putih kekuningan, pipih
dan saat tua biji berwarna cokelat.
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
7
Tanaman cabai tersebar di seluruh Indonesia mulai dari Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara. Tanaman dapat tumbuh di
daerah rendah sampai daerah pegunungan dengan ketinggian berkisar ± 10 – 700
mdpl (Setiadi, 1993). Umumnya tanaman cabai dapat dibudidayakan di sekitar
pekarangan rumah ataupun di perkebunan skala besar.
Gambar 2.1 Tanaman cabai merah
Sumber : Puslitbanghorti (2016)
2.1.3. Manfaat dan Kandungan Gizi Cabai
Buah cabai mengandung zat- zat gizi yang sangat diperlukan untuk
kesehatan manusia seperti, protein, lemak, karbohidrat, fosfor (P), vitamin-
vitamin (Tabel 2.1), dan juga mengandung senyawa-senyawa alkaloid seperti
capsaicin, flavonoid, dan minyak esensial (capsicol) (Setiadi, 1993).
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
8
Tabel 2.1. Kandungan Gizi Cabai Merah Per 100 Gram Bahan
Kandungan gizi Cabai merah segar Cabai merah kering
Kadar air (%)
Kalori (kal)
Proterin (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin C (mg)
90,9
31,0
1,0
0,3
7,3
29,0
24,0
470
18,0
10,0
311
15,9
6,2
61,8
160
370
576
50
Sumber: Setiadi (1993)
Capsaicin merupakan zat yang menimbulkan rasa pedas pada cabai yang
terdapat pada biji cabai dan plasenta pada buah cabai. Rasa pedas tersebut
bermanfaat untuk mengatur peredaran darah, memperkuat jantung, nadi, dan saraf
(Prajnanta, 1999). Capsaicin juga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan obat
gosok antireumatik dalam bentuk krim maupun dalam bentuk koyo cabai. Selain
capsicin cabai juga mengandung zat mucokinetik, yaitu zat yang mampu
mengatur, mengurangi, atau mengeluarkan lendir dari paru-paru. Oleh karena itu,
cabai sangat membantu bagi penderita bronkitis, mencegah influenza, sinuitis,
demam, dan asma dalam proses pengeluaran lendir.
2.2. Senyawa Bioaktif
Semua kelompok jamur umumnya melakukan metabolisme primer
maupun metabolisme sekunder. Metabolisme primer terdiri dari dua proses yaitu
proses anabolisme dan katabolisme, menggunakan nutrisi yang terdapat pada
lingkungan hidupnya dalam rangka menghasilkan metabolit primer yang
diperlukan bagi pertumbuhan jamur (Listiandiani, 2011).
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
9
Menurut Kavanagh (2005), metabolit sekunder merupakan senyawa dari
hasil metabolisme sekunder yang tidak diperlukan untuk pertumbuhan jamur
tersebut. Secara umum metabolit sekunder pada fungi terjadi pada fase akhir
pertumbuhan dan mulai memasuki fase stationer. Metabolisme sekunder pada
fungi diartikan sebagai suatu proses diferensiasi dan sporulasi.
Metabolit sekunder yang dihasilkan dari metabolisme sekunder fungi
adalah beragam, tergantung golongan senyawa yang dibentuk. Pembentukan
senyawa-senyawa metabolit sekunder melalui tiga jalur prekursor utama. Tiga
prekursor tersebut adalah asam shikimat, asam amino, dan asetil-CoA. Senyawa-
senyawa aromatik seperti senyawa amino aromatik, asam sinamat, dan berbagai
polifenol terbentuk melalui prekursor asam shikimat. Senyawa-senyawa alkaloid
dan antibiotik misalnya penisilin dan sefalosporin terbentuk melalui prekursor
asam amino. Sedangkan prekursor Asetil-CoA terlibat dalam pembentukan
poloasetilen, prostaglandin, antibiotik makrosiklik, polifenol, serta isoprenoid
(Listiandiani, 2011).
Pada umumnya jalur metabolisme sekunder pada fungi ditemukan dalam
jalur pembentukan poliketida yang melibatkan asetil-CoA sebagai prekursornya.
Pada jalur tersebut asetil-CoA mengalami karboksilasi dan membentuk malonil-
CoA. Tiga atau lebih molekul malonil-CoA terkondensasi dengan asetil-CoA
membentuk struktur cincin (rantai) dan termodifikasi menjadi produk metabolit
sekunder seperti antibiotik (griseofulvin yang dihasilkan Penicillium
griseofulvum), aflaktoksin yang dihasilkan dari kapang Aspergillus flavus dan A.
paraticus dan juga mikotoksin (Listiandiani, 2011).
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
10
Berikut merupakan kelompok senyawa metabolit sekunder di antanya
adalah flavonoid, saponin, dan alkaloid.
1. Flavonoid
Flavonoid merupakan kelompok senyawa yang banyak ditemukan pada
tumbuhan. Kerangka flavon yang umumnya dimiliki C6-C3-C6 dengan tiga atom
karbon yang menjadi penghubung antara gugus fenil yang biasanya terdapat atom
oksigen (Gambar 2.2). Senyawa flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol
yang ditemukan di alam sebagai zat warna merah, ungu, biru, dan kuning yang
ditemukan pada tumbuhan (Lenny, 2006).
Menurut Wiryowidagdo (2008), senyawa-senyawa flavonoid memiliki
kemampuan sebagai antifungi. Selain itu, flavonoid juga berperan sebagai
antivirus, antibakteri, antiradang, dan antialergi. Sebagai antifungi senyawa
flavonoid mampu menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel jamur
karena gugus hidroksil yang dimiliki flavonoid mampu merubah komponen
organik dan transport nutrisi yang menimbulkan efek toksik pada jamur.
Gambar 2.2 Kerangka dasar Isoflavon
Sumber : Wikipedia (2015)
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
11
2. Saponin
Menurut Harborne (1987), saponin merupakan senyawa bioaktif yang
tersusun dari glikosida triterpenoida maupun glikosida steroida yang merupakan
senyawa aktif permukaan bersifat seperti sabun (Gambar 2.3). Keberadaan
saponin dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya dalam membentuk busa dan
haemolisis sel darah. Saponin berguna dalam pengobatan karena saponin bersifat
mempengaruhi absorpsi zat aktif secara farmakologi. Menurut Masroh (2010),
beberapa jenis saponin mampu bekerja sebagai antimikroba.
Saponin pada bakteri mampu meningkatkan permeabilitas membran sel
bakteri sehingga struktur dan fungsi membran bakteri berubah, menyebabkan
denaturasi protein membran sehingga membran sel akan rusak dan lisis
(Siswandono & Soekarjo, 2000). Menurut Dwidjoseputro (1994), molekul-
molekul yang dimiliki saponin dapat bersifat menarik air atau hidrofilik dan dapat
melarutkan lemak atau lipofilik sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan
sel kuman yang akhirnya menyebabkan kehancuran kuman .
Gambar 2.3. Kerangka dasar saponin
Sumber : Wikipedia (2016b)
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
12
3. Alkaloid
Senyawa alkaloid merupakan senyawa kimia hasil metabolit sekunder dari
golongan senyawa basa nitrogen heterosiklik yang banyak terdapat pada
tumbuhan (Gambar 2.4). Menurut Harborne (1987), senyawa alkaloid merupakan
senyawa metabolit sekunder yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih
atom nitrogen yang biasanya dalam cincin heterosiklik. Sebagian besar alkaloid
tidak larut di air, tetapi larut dalam pelarut organik seperti kloform, eter, dan
benzena.
Alkaloid bersifat optis aktif, kebanyakan alkaloid berbentuk kristal dan
hanya sedikit yang dijumpai dalam bentuk cair. Hampir semua alkaloid bersifat
racun tetapi ada pula alkaloid yang berguna dalam pengobatan. Alkaloid
tergolong zat aktif yang berfungsi sebagai obat dan aktivator kuat bagi sel imun
yang mampu menghancurkan sel bakteri, virus, jamur, dan sel kanker (Olivia et
al., 2007). Mekanisme kerja alkaloid sebagai antifungi dilakukan dengan merusak
membran sel jamur. Alkaloid akan berikatan dengan ergosterol membentuk
lubang yang menyebabkan kebocoran membran sel. Hal ini mengakibatkan
kerusakan sel dan kematian sel jamur.
Gambar 2.4 Kerangka dasar nikotin
Sumber : Wikipedia (2016a)
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
13
2.3. Deskripsi Fusarium Fusarium Oxysporum f.sp. capsici
2.3.1. Klasifikasi Fusarium Oxysporum f.sp. capsici
Klasifikasi kapang fusarium capsici menurut Alexopoulus & Mims (1996):
Kingdom : Fungi
Divisi : Eumycota
Classis : Deuteromycetes
Ordo : Moniliales
Familia : Teberculariaceae
Genus : Fusarium
Species : Fusarium oxysporum f.sp. capsici
Kapang F. oxysporum f.sp. capsici merupakan patogen tular tanah yang
menyebabkan penyakit layu pada tanaman cabai merah. F. oxysporum f.sp.
capsici termasuk kelompok kapang yang mampu menghasilkan mikotoksin yang
dijumpai pada makanan maupun pada bahan makanan. Menurut Saragih &
Silalahi (2006), kapang F. oxysporum bersifat saprofit dan parasit serta
mempunyai kisaran inang yang luas.
Kapang F. oxysporum tidak hanya menyerang tanaman cabai, tetapi juga
menyerang tanaman lain seperti pada tanaman tomat, ketimun, vanili, pisang, dan
lain-lain. Kapang F. oxysporum mampu bertahan lama di dalam tanah tanpa
adanya inang dalam bentuk klamidiospora atau sebagai hifa pada sisa tanaman
dan bahan organik lainnya (Saragih & Silalahi, 2006). Umumnya infeksi terjadi di
sekitar perakaran tanaman yang terluka.
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
14
2.3.2. Morfologi F. oxysporum f.sp. capsici
Kapang F. oxysporum f.sp. capsici merupakan kapang dengan miselium
berseptat (bersekat). Permukaan koloni kapang berwarna putih keunguan, tepi
bergerigi dan permukaannya kasar berserabut juga bergelombang. Pada miselium
yang sudah tua terbentuk klamidiospora. Konidiofor bercabang dan
makrokonidumnya berbentuk kumparan, bertangkai kecil dan sering kali
berpasangan (Lucas et al., 1985). F. oxysporum merupakan kapang aseksual yang
menghasilkan 3 spora yaitu :
1. Makrokonidia
Makrokonidia memiliki bentuk yang panjang melengkung seperti
kumparan, tidak berwarna, dan pada kedua ujungnya sempit menyerupai bulan
sabit (Gambar 2.5.A) yang terdiri dari 3-5 sekat dengan ukuran 25-33 × 3,5-5,5
µm (Semangun,1996).
2. Mikrokonidia
Mikrokonidia merupakan spora bersel satu atau dua yang tidak berwarna,
berbentuk lonjong atau bulat telur (Gambar 2.5.B) dengan ukuran 6-15 ×2,5-4
µm (Semangun, 1996).
3. Klamidiospora
Klamidiospora merupakan spora berbentuk bulat yang terdapat di dalam
hifa atau di ujung hifa. Klamidiospora dapat terbentuk jika kondisi lingkungan
tida mendukung dan klamidiospora yang dihasilkan bersifat dorman (Semangun,
1996).
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
15
Gambar 2.5 (A) Makrokonidia, (B) Mikrokonidia
Sumber : Ellis (2015a)
2.3.3. Gejala Serangan
Gejala awal penyakit layu fusarium adalah tulang-tulang daun menjadi
pucat, terutama pada daun yang terletak di sebelah atas, yang selanjutnya diikuti
dengan merunduknya tangkai, dan akhirnya tanaman yang terinfeksi menjadi layu
secara keseluruhan (Gambar 2.6) (Semangun, 1996). Terkadang kelayuan yang
terjadi didahului dengan menguningnya daun, terutama daun-daun sebelah bawah.
Akibat infeksi F. oxysporum f.sp. capsici menyebabkan tanaman cabai menjadi
kerdil dan tumbuhnya merana. Jika pada tanaman yang sakit, batangnya dikelupas
atau dipotong maka akan terlihat cincin berwarna cokelat pada berkas pembuluh
tanaman.
Serangan F. oxysporum f.sp. capsici pada tanaman yang masih muda
menyebabkan matinya tanaman secara mendadak, dikerenakan pangkal batang
tanaman tersebut terjadi kerusakan atau kanker yang menggelang, sedangkan
infeksi F. oxysporum f.sp. capsici pada tanaman dewasa biasanya mampu
bertahan sampai berbuah tetapi hasil yang diperoleh sangat sedikit dan kecil-kecil
(Semangun, 1996).
A B
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
16
Gambar 2.6 Tanaman cabai yang terinfeksi
layu fusarium (sumber : Anonim, 2015)
2.3.4. Daur Hidup Kapang F. oxysporum f.sp. capsici
F. oxysporum f.sp. capsici dapat bertahan lama didalam tanah dalam
bentuk klamidiospora. Semangun (1996), mengatakan kapang F. oxysporum
mampu bertahan hingga 10 tahun di dalam tanah tanpa adanya inang. Tanah yang
sudah terinfeksi sukar dibebaskan kembali dari kapang tersebut. Infeksi dapat
terjadi pada akar yang mengalami luka atau melalui luka pada akar yang
diakibatkan munculnya akar lateral.
Kapang F. oxysporum f.sp. capsici menggunakan luka perantara jalannya
infeksi, misalnya luka karena pemindahan bibit, pembumbunan, dan luka karena
serangga. Infeksi yang terjadi pada buah memungkinkan spora kapang F.
oxysporum f.sp. capsici terbawa oleh biji. Spora kapang tersebut dapat tersebar
karena spora yang terdapat pada bibit, tanah, air, dan alat-alat pertanian dapat
membantu penyebaran spora kapang tersebut (Semangun, 1996).
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
17
2.3.5. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kehidupan Fusarium oxysporum
f.sp. capsici
Kapang F. oxysporum f.sp. capsici. dapat bertahan hidup pada kisaran
suhu tanah antara 210C - 33
0C, dengan suhu optimumnya 28˚C. Kematian dapat
terjadi jika kapang tersebut berada di dalam tanah pada kisaran suhu 57,50C -
600C selama 30 menit (Semangun, 1996). Kapang Fusarium oxysporum f.sp.
capsici mampu bertahan hidup pada kisaran pH tanah yang luas yaitu 3,8-8,4 dan
pH optimum untuk pertumbuhan berada pada pH 7,7. Sumber karbon (C) sangat
diperlukan kapang F. oxysporum f.sp. capsici dalam pembentukan spora.
Pembentukan spora terjadi pada kisaran suhu antara 20-250C (Soesanto, 2008).
Fusarium oxysporum f.sp. capsici akan berkembang sangat cepat bila tanah
mengandung banyak nitrogen tapi miskin kalium.
2.4. Deskripsi Kapang Gliocladium sp.
2.4.1. Klasifikasi Kapang Gliocladium sp.
Menurut Alexopoulos & Mims (1996), Gliocladium sp. diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Divisio : Amastigomycota
Sub Divisio : Deuteromycotina
Classis : Deuteromycetes
Ordo : Hypocreales
Familia : Hypocreaceae
Genus : Gliocladium
Species : Gliocladium sp.
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
18
Menurut Djatnika et al. (2003), Gliocladium sp. merupakan kapang agen
hayati yang diketahui dapat mengendalikan pneyakit tular tanah. Sebagai agens
hayati, Gliocladium sp. mampu bertahan hidup meskipun ketika tidak ada
tanaman inangya, sehingga keberadaannya di alam relatif lama.
2.4.2. Morfologi Kapang Gliocladium sp.
Pertumbuhan koloni kapang Gliocladium sp. sangat cepat dan dapat
mencapai 4-6 cm dalam waktu 3-4 hari inkubasi pada media PDA cawan. Tekstur
koloni Gliocladium sp. berbulu halus, koloni mula-mula berwarna putih dan pucat
hingga hijau tua dengan sporulasi. Konidium berbentuk bulat telur pendek,
berdinding halus, agak besar dan pada umumnya konidium kapang Gliocladium
sp. berukuran 4,5-6×3,5-4 µm (Soesanto, 2008).
Kapang Gliocladium sp. menghasilkan hifa, konidiofor, fialid, dan konidia
(Gambar 2.7). Hifa yang dimiliki berupa hifa bersepta dan hialin (jelas). Pada
cabang terakhir akan muncul fialid yang bentuknya menyerupai botol. Konidia
bersel satu berbentuk oval atau silinder. Kapang Gliocladium sp. memiliki
konidiofor berbentuk penicilliate, konidia bersel satu, hialin (jelas), dan
berdinding halus (Domsch et al., 1980).
Gambar 2.7 Gambar mikroskopis kapang Gliocladium sp.
Sumber: Ellis (2015b)
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
19
2.4.3. Manfaat Gliocladium sp.
Kapang Gliocladium sp. menghasilkan senyawa metabolit sekunder berupa
senyawa gliotoksin, glioviridin, dan viridin yang bersifat fungistatik. Senyawa
gliotoksin mampu menghambat pertumpuhan kapang dan bekteri, sedangkan
senyawa viridin mampu menghambat pertumbuhan cendawan (Lee & Landis,
2000).
Hifa Gliocladium sp. yang sudah berinteraksi dengan tanah akan tersebar
di sekitar perakaran tanaman, dengan laju pertumbuhan yang cepat dan dalam
waktu yang singkat yaitu sekitar 7 hari. Kapang Gliocladium sp. bersifat
mikoparasit terhadap kapang patogen dan mampu menekan populasi kapang
patogen yang sebelumnya mendominasi sekitar perakaran tanaman. Kapang
Gliocladium sp. akan tumbuh dengan baik pada perakaran tanaman yang sehat,
sehingga terjadi simbiosis mutualisme antara Gliocladium sp. dengan tanaman
yang dilindunginnya.
2.5. Pengujian Aktifitas Anti Jamur
Pengujian aktivitas anti jamur secara invitro dapat dilakuakan melalui dua
cara yaitu sebagai berikut.
1. Metode Dilusi
Metode dilusi yaitu suatu metode untuk menekan kadar hambat minimum
dan kadar bunuh minimum dari suatu bahan antimikroba. Prinsip dari cara kerja
metode dilusi yaitu menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi medium cair
dan sejumlah sel mikroba tertentu yang diuji. Selanjutnya masing-masing dari
tabung diisi suatu antimikrobial yang telah dilakukan pengenceran pada serial
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
20
tertentu, kemudian seri tabung tersebut diinkkubasi pada suhu 370C selama 16-20
jam. Mengamati terjadinya kekeruhan konsentrasi terendah bahan antimikroba
pada tabung dengan adanya hasil biakan yang mulai tanpak jernih (tidak ada
pertumbuhan jamur merupakan zona hambat). Biakan dari semua tabung yang
jernih selanjutnya ditumbuhkan pada medium PDA miring dan diinkubasi selama
16-20 jam. Mengamati ada tidaknya koloni jamur yang tumbuh. Konsentrasi
terendah obat pada biakan pada medium padat yaitu dengan tidak adanya
pertumbuhan jamur adalah merupakan konsentrasi bunuh minimum bahan
antimikroba terhadap jamur uji (Tortora et al., 2001)
2. Metode Difusi Cakram (Uji Kirby-Bauer)
Perinsip dalam metode difusi cakram (uji Kirby Baurer) yaitu dengan
menempatkan kertas cakram yang mengandung antimikroba tertentu pada media
PDA cawan yang telah ditambahkan dengan jamur yang akan diuji. Medium
tersebut diinkubasi pada suhu 370C selama 16-20 jam. Mengamati zona hambat
jernih yang terdapat disekitar kertas cakram. Zona jernih tersebut menunjukkan
tidak adanya pertumbuhan mikroba. Jamur yang sensitif terhadap suatu bahan
antimikroba akan ditandai dengan adanya daerah hambatan disekitar kertas
cakram, sedangkan jamur yang resisten terhadap antimikroba ditandai dengan
adanya pertumbuhan jamur di tepi kertas cakram (Tortora et al., 2001)
2.6. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi merupakan teknik pemisahan dengan menggunakan fase
diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Kromatografi merupakan
teknik pemisahan yang paling umum dan sering digunakan dalam bidang kimia
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
21
analisis dan dapat digunakan untuk melakukan analisis kuantitatif, kualitatif atau
preparatif dalam bidang farmasi, lingkungan, industri, dan sebagainya.
Kromatografi dilakukan untuk memisahkan dan mengkuantitatifkan komponen-
komponen dari suatu senyawanya (Gandjar & Rohman, 2007)
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk proses pemisahan senyawa
adalah kromatografi lapis tipis (KLT) atau thin layer chromatography (TCL).
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pilihan untuk memisahkan
suatu senyawa yang larut dalam lipid. Plat silika digunakan sebegai fase diam,
sedangkan fase gerak dalam kromatografi lapis tipis berupa pelarut maupun
campuran pelarut yang disebut larutan pengembang. Pelarut atau eluen sebagai
fase gerak sangat berperan dalam keberhasilan kromatografi lapis tipis. Kelarutan
antara senyawa dengan eluen tergantung sifat kepolaran dari masing-masing
komponen dalam uji kromatografi lapis tipis (Harborne, 1987).
Uji Aktivitas Senyawa..., Afifah Sutrisni, FKIP, UMP, 2016
top related