bab ii tinjauan pustaka 2.1 definisi 2.2 anatomi kandung ... 2.pdf · panjang kurang lebih 7,5 –...
Post on 02-Mar-2019
255 Views
Preview:
TRANSCRIPT
7
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Batu empedu merupakan deposit kristal padat yang terbentuk dikandung
empedu dimana batu empedu dapat bermigrasi ke saluran empedu sehingga dapat
menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam jiwa (Sjamsuhidayat, 2010;
Stinton, 2012).
2.2 Anatomi Kandung Empedu
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah pir yang
terletak di bagian sebelah dalam hati (scissura utama hati) di antara lobus kanan
dan lobus kiri hati. Panjang kurang lebih 7,5 – 12 cm, dengan kapasitas normal
sekitar 35-50 ml (Williams, 2013). Kandung empedu terdiri dari fundus, korpus,
infundibulum, dan kolum. Fundus mempunyai bentuk bulat dengan ujung yang
buntu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu yang sebagian
besar menempel dan tertanam didalam jaringan hati sedangkan Kolum adalah
bagian sempit dari kandung empedu (Williams, 2013; Hunter, 2014). Kandung
empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum viseral, tetapi infundibulum
kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritoneum.
Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian
infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut kantong Hartmann
(Sjamsuhidayat, 2010).
8
2.1 Gambar
Anatomi kandung empedu (Paulsen, F. 2013)
9
Duktus sistikus memiliki panjang yang bervariasi hingga 3 cm dengan
diameter antara 1-3 mm. Dinding lumennya terdapat katup berbentuk spiral yang
disebut katup spiral Heister dimana katup tersebut mengatur cairan empedu
mengalir masuk ke dalam kandung empedu, akan tetapi dapat menahan aliran
cairan empedu keluar. Duktus sistikus bergabung dengan duktus hepatikus
komunis membentuk duktus biliaris komunis (Sjamsuhidayat, 2010; Williams,
2013).
Duktus hepatikus komunis memiliki panjang kurang lebih 2,5 cm
merupakan penyatuan dari duktus hepatikus kanan dan duktus hepatikus kiri.
Selanjutnya penyatuan antara duktus sistikus dengan duktus hepatikus komunis
disebut sebagai common bile duct (duktus koledokus) yang memiliki panjang
sekitar 7 cm. Pertemuan (muara) duktus koledokus ke dalam duodenum, disebut
choledochoduodenal junction. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum
menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum membentuk papila vater
yang terletak di sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi
oleh otot sfingter oddi yang mengatur aliran empedu masuk ke dalam duodenum.
Duktus pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang sama dengan duktus
koledokus di dalam papila vater, tetapi dapat juga terpisah (Sjamsuhidayat, 2010;
Williams, 2013; Doherty, 2015).
Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri sistikus yang
terbagi menjadi anterior dan posterior dimana arteri sistikus merupakan cabang
dari arteri hepatikus kanan yang terletak di belakang dari arteri duktus hepatis
komunis tetapi arteri sistikus asesorius sesekali dapat muncul dari arteri
10
gastroduodenal. Arteri sistikus muncul dari segitiga Calot (dibentuk oleh duktus
sistikus, common hepatic ducts, dan ujung hepar) (Williams, 2013).
Gambar 2.2
Vaskularisasi kandung empedu (a) arteri hepatika kanan (b) arteri koledokus
kanan (c) arteri retroduodenal (d) cabang kiri arteri hepatika (e) arteri hepatika (f)
arteri koledokus kiri (g) arteri hepatika komunis (h) arteri gasroduodenal
(Williams, 2013).
11
2.3 Fisiologi
2.3.1 Fisiologi saluran empedu
Fungsi dari kandung empedu adalah sebagai reservoir (wadah) dari cairan
empedu sedangkan fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan
empedu dengan absorpsi air dan natrium (Doherty, 2015). Empedu diproduksi oleh
sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari. Dalam keadaan puasa, empedu yang
diproduksi akan dialirkan ke dalam kandung empedu dan akan mengalami
pemekatan 50%. Setelah makan, kandung empedu akan berkontraksi, sfingter
akan mengalami relaksasi kemudian empedu mengalir ke dalam duodenum.
Sewaktu-waktu aliran tersebut dapat disemprotkan secara intermitten karena
tekanan saluran empedu lebih tinggi daripada tahanan sfingter. Aliran cairan
empedu diatur oleh tiga faktor yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung
empedu, dan tahanan dari sfingter koledokus (Sjamsuhidayat, 2010; Williams,
2013).
Menurut Guyton & Hall, 2008 empedu melakukan dua fungsi penting
yaitu :
Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi
lemak, karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam
empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar
menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pankreas, asam empedu membantu transpor dan
absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran
mukosa intestinal.
12
Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk
oleh sel- sel hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin,
hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit
setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik
dinding kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan
relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus
biliaris komunis kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga
dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang mensekresi asetilkolin dari sistem
saraf vagus dan enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu
pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan
kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung
empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam
makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu
sekitar 1 jam (Townsend, 2012).
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar
(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal
dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik
yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan
(Sjamsuhidayat, 2010; Hunter, 2014).
13
2.3.2 Pengosongan kandung empedu
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak
kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin
dari mukosa duodenum. Hormon kemudian masuk kedalam peredaran darah,
menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos
yang terletak pada ujung distal duktus koledokus dan ampula mengalami
relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam
duodenum. Garam-garam empedu dalam cairan empedu penting untuk
emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi
lemak (Hunter, 2014).
Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung
empedu.
Neurogen :
- Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi
cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan
menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
- Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan
14
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit.
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal
memegang peran penting dalam perkembangan inti batu (Williams, 2013).
2.3.3 Komposisi cairan empedu
Komposisi Cairan Empedu
Tabel 2.1
Komposisi cairan empedu (Guyton & Hall, 2008).
Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu
Air 97,5 gm % 95 gm %
Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %
Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %
Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %
Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %
Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %
1. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua
macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
15
Fungsi garam empedu adalah :
Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat
dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah
menjadi partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan
vitamin yang larut dalam lemak.
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman
usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %)
garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa
usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk
lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari
ilium. Sehingga apabila terjadi gangguan pada daerah tersebut misalnya
oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan
terganggu (Townsend, 2012).
2. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan
globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi
bilverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam
plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat
lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel
darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang
terbentuk sangat banyak. Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan
empedu, normalnya antara 600-1200 ml/hari (Guyton & Hall, 2008).
16
Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu. Diluar waktu
makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan
di sini mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer dari kandung
empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium.
Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang
terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-
90% (Garden, 2007).
2.4 Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian di
Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara
(Sjamsuhidayat, 2010; Lesmana , 2014). Peningkatan insiden batu empedu dapat
dilihat dalam kelompok risiko tinggi yang disebut ”4 Fs” : forty (usia diatas 40
tahun lebih berisiko), female (perempuan lebih berisiko), fertile (paritas), fatty
(obesitas) (Reeves, 2001). Pembentukan batu empedu adalah multifaktorial. Studi
sebelumnya telah mengindentifikasi jenis kelamin perempuan, bertambahnya usia,
kegemukan, riwayat keluarga dengan batu empedu, etnis, jumlah kehamilan
merupakan faktor risiko batu empedu (Hung, 2011; Chen, 2014;Tsai, CH, 2014).
1. Umur
Frekwensi batu empedu akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Setelah usia 40 tahun risiko terjadi batu empedu 4 hingga 9 kali lipat. Lin dkk
menjelaskan bahwa usia tua memiliki paparan panjang untuk banyak faktor kronis
seperti hiperlipidemia, konsumsi alkohol, dan DM. Hal ini akan menyebabkan
penurunan motilitas kandung empedu dan terbentuknya batu empedu (Lin, 2014).
17
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Jenis batu
juga akan berubah dengan bertambahnya usia. Pada awalnya terutama jenis batu
kolesterol (sekresi kolesterol meningkat dan saturasi empedu) namun dengan
bertambahnya usia cenderung menjadi batu pigmen. Selanjutnya gejala dan
komplikasi akan meningkat dengan bertambahnya usia hal tersebut sering
dilakukan tindakan kolesistektomi (Stinton, 2012).
2. Jenis Kelamin dan Paritas
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung
empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki (Garden, 2007). Pada
wanita usia reproduksi, risiko cholelithiasis adalah 2-3 kali lebih tinggi dari pada
laki-laki. Alasan untuk ini belum dijelaskan secara penuh. Kehamilan juga
berkontribusi terhadap pembentukan batu di kandung empedu (Ko, 2006; Shaffer,
2006). Kolelitiasis adalah sangat umum pada multipara (paritas 4 atau lebih).
Studi lain melaporkan bahwa wanita multipara memiliki prevalensi lebih tinggi
dari GSD dari yang nulipara. Perbedaan gender dan seringnya batu empedu
terdeteksi pada wanita hamil dikaitkan dengan latar belakang hormonal.
Peningkatan kadar estrogen diketahui untuk meningkatkan ekskresi kolesterol
dalam empedu dengan menyebabkan supersaturasi kolesterol. Selama kehamilan,
selain peningkatan kadar estrogen, fungsi pengosongan kandung empedu
menurun, sehingga menimbulkan endapan empedu dan batu empedu (Ko, 2006;
Chen, 2014).
18
3. Genetik
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa riwayat keluarga, genetika, diet,
dan kebiasaan budaya memiliki peran utama dalam timbulnya batu empedu.
Analisis pasangan kembar dari The Swedish Twin Registry menunjukkan faktor
genetik 25% merupakan faktor risiko terjadinya batu empedu. Dimana ABCG8
D19H genotipe heterozigot atau homozigot telah meningkatan risiko terjadinya
batu empedu secara signifikan. ABCG8 D19H dapat menyebabkan penyerapan
kolesterol di usus rendah, meningkatkan kolesterol serum, dan sintesis kolesterol
di hati tinggi, saturasi kolesterol empedu, dan resistensi insulin. Penelitian baru-
baru ini didapatkan fakta bahwa, kerentanan seseorang terhadap terjadinya batu
empedu dipengaruhi oleh Mucin gene polymorphisms atau FGFR4 polymorphism.
The mucin-like protocadherin gene (MUPCDH) polymorphism rs3758650
dianggap sebagai penanda genetik untuk memprediksi terjadinya penyakit batu
empedu (Ciaula, 2013).
4. Obesitas
Pada obesitas terjadi kondisi peradangan kronis dan sangat terkait dengan
faktor pro-inflamasi. Hal ini akan meningkatkan sekresi hati dari kolesterol dan
membuat empedu menjadi jenuh dengan meningkatkan sekresi empedu dari
kolesterol dan menyebabkan pembentukan batu empedu (Lin, 2014). Berat badan
lebih dan obesitas merupakan faktor risiko penting dari kolelitiasis (Ko, 2006).
Orang dengan obesitas terjadi peningkatan sintesis dan ekskresi kolesterol dalam
empedu. Pada saat yang sama, jumlah yang dihasilkan kolesterol berbanding lurus
19
dengan kelebihan berat badan (Doggrell SA, 2006). Siklus berat badan,
independen dari BMI, dapat meningkatkan risiko kolelitiasis pada pria. Fluktuasi
berat badan yang lebih besar dan siklus berat badan lebih terkait dengan risiko
yang lebih besar (Tsai CJ, 2006).
5. Dislipidemia
Dislipidemia merupakan salah satu dari sindroma metabolik. Pada studi
yang dilakukan di Taiwan menunjukkan bahwa sindroma metabolik berkaitan
dengan peningkatan risiko terjadinya batu empedu dihubungan dengan usia dan
jenis kelamin (Smelt, 2010). Beberapa penelitian yang dilakukan di negara barat
dilaporkan bahwa usia, jenis kelamin, BMI, hiperlipidemia, penggunaan
kontrasepsi oral, konsumsi alkohol, diabetes mellitus berkaitan erat dengan
terjadinya batu empedu (Lin, 2014). Penurunan level High density lipoprotein
(HDL) merupakan salah satu risiko terjadinya batu empedu. Kolesterol bilier
utamanya berasal dari HDL – C. Penurunan konsentrasi HDL – C dikaitkan
dengan resistensi insulin. Penelitian lain menyebutkan bahwa peningkatan kadar
Trigliserida (TG) menyebabkan penurunan kontraksi dari kandung empedu yang
berakibat pembentukan batu empedu (Mendez, 2005).
6. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus (DM) dikaitkan dengan terjadinya batu empedu masih
kontroversi. Beberapa studi di barat dilaporkan bahwa DM berkaitan dengan batu
empedu dimana hiperglikemi umumnya terdapat pada grup batu empedu pada
analisis univariat tetapi tidak terdapat pada grup batu empedu dengan multi
20
logistik regresi. Penelitian pada tikus dengan hiperinsulinemia terdapat spesifik
spesifik FOXO1 protein yang dapat mengakibatkan peningkatan konsentrasi
kolesterol dalam bile (Kovacs, 2008). Hiperglikemia menghambat sekresi bile
dari hati dan dapat menggangu kontraksi dari kantung empedu serta menpunyai
efek terhadap molititas dari kandung empedu hal ini dapat meningkatkan risiko
terjadinya batu empedu (Chen, 2014).
2.5 Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu
dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan
yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan
kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus (Erpecum, 2011).
Sekresi kolesterol berhubungan dengan terjadinya pembentukan batu
empedu. Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan
pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan
pengendapan kolesterol yaitu terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu
21
banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak
sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian
ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis
kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk
alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa
tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu (Guyton & Hall,
2008).
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui
duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut
dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada
disana sebagai batu duktus sistikus (Sjamsuhidayat, 2010).
2.6 Patofisiologi
2.6.1 Patofisiologi batu empedu
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan
empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3)
berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan
masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen.
Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu
dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu.
Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu
22
dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti
sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan
lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah,
atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik (Garden, 2007).
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti
pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol
keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan.
Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel
sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai
benih pengkristalan (Hunter, 2014).
2.6.2 Klasifikasi kolelitiasis
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan (Hung,2011; Lesmana, 2014).
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih
dari 70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu
yang mengandung > 50% kolesterol) (Bhangu, 2007). Batu kolestrol murni
merupakan hal yang jarang ditemui dan prevalensinya kurang dari 10%.
Biasanya merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus. Empedu
yang disupersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari
90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan
batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol
23
berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu,
senyawa organik dan inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam
empedu dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya
tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan lesitin. Ini dapat
dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan persentase
konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol (Hunter, 2014).
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap :
Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
Pembentukan nidus.
Kristalisasi/presipitasi.
Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol
dan senyawa lain yang membentuk matriks batu.
Gambar 2.3.
Perbandingan kolestrol, lesithin, dan garam empedu dalam hal kelarutan (Hunter,
2014).
24
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis batu empedu yang
mengandung < 20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubin (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu
pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi
saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi
sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila
terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-
glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi
bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin
menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang
dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri
dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen
cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang
terinfeksi (Townsend, 2012).
b. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk,
seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi (
Lesmana, 2014). Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak
ditemukan pada penderita dengan hemolisis kronik atau sirosis
hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat
25
polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum
jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung
empedu dengan empedu yang steril (Doherty, 2015).
3. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung
20-50% kolesterol. Merupakan batu campuran kolesterol yang
mengandung kalsium. Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 %
pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua.
Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme yang
sama dengan batu kolesterol (Garden, 2007).
Gambar 2.4
Klasifikasi batu dalam kandung empedu (Garden, 2007).
26
2.7 Manifestasi Klinis
2.7.1. Batu kandung empedu (Kolesistolitiasis)
1. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan
gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis,
nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual (Lesmana,
2014). Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua penderita dengan batu
kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik.
Kurang dari 25 % dari penderita yang benar-benar mempunyai batu empedu
asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah
periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi
rutin dalam semua penderita dengan batu empedu asimtomatik (Hunter, 2014).
2. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan
atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit,
dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pasca
prandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak,
terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian
pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan
muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris (Beat, 2008).
3. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling
umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita
27
usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan
dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari
kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang tajam dan konstan, baik
berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di
daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau dengan
pergerakan dan dapat menjalar ke punggung atau ke ujung skapula. Keluhan ini
dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung
berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada
kanan atas abdomen dan tanda klasik ”Murphy sign” (penderita berhenti bernafas
sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya
dalam 20% kasus. Kebanyakan penderita akhirnya akan mengalami
kolesistektomi terbuka atau laparoskopik (Garden, 2007; Beat, 2008).
Penderita batu empedu sering mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau
kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada abdomen bagian
atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu
kanan (Murphy sign). Penderita dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-
kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama
berjam-jam atau dapat kembali terulang (Doherty, 2015).
Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya
nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat riwayat dispepsia,
intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah
terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan
tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi
28
yang paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi
pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat
sementara, intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus
dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering
menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung empedu
(Alina, 2008).
2.7.2 Batu saluran empedu (Koledokolitiasis)
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan
perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi
kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi,
akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut.
Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non
piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri
didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis
piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala
trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran
sampai koma (Alina, 2008).
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena
komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus
koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen penderita serta dengan
adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah
kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui
ampula vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal dan
29
duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya
batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif (Garden, 2007).
2.8 Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan.
Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak (Sjamsuhidayat, 2010). Jika batu kandung
empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan
perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung
empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan
kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan
makanan (Alina, 2008; Sjamsuhidayat, 2010).
Pilihan penatalaksanaan antara lain (Sjamsuhidayat, 2010; Doherty,
2015) :
1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan penderita
dengan kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang
dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% penderita.
Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
30
2. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990
dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi.
80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena
memperkecil risiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk
operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru-paru
Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan
kecil di dinding perut. Indikasi awal hanya penderita dengan kolelitiasis
simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya
pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada
penderita dengan kolesistitis akut dan penderita dengan batu duktus
koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur
konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya
yang dikeluarkan, penderita dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan
perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari
prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus
biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi
laparaskopi (Garden, 2007).
31
Gambar 2.5
Kolesistektomi laparaskopi (Williams, 2013).
3. Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan
adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat
disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis
kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah
mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi
sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50%
penderita. Kurang dari 10% batu empedu yang dilakukan dengan cara ini
sukses. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non
operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari
4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten (Hunter, 2014).
32
4. Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang
poten yaitu Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE) ke dalam kandung empedu
melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam
melarutkan batu empedu pada penderita-penderita tertentu. Prosedur ini
invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50%
dalam 5 tahun) (Garden, 2007).
5. Extracorporal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Manfaat pada
saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada penderita
yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini
(Garden, 2007; Alina, 2008).
6. Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan
di samping tempat tidur penderita terus berlanjut sebagai prosedur yang
bermanfaat, terutama untuk penderita yang sakitnya kritis (Sjamsuhidayat,
2010).
7. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP adalah suatu endoskop yang dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak
masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter
oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu
empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan
33
sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari
setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi,
sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP
saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang
lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat (Hunter, 2014).
Gambar 2.6
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) (Williams, 2013).
top related