bab ii tinjauan pustaka 2.1 biskuit -...
Post on 19-Oct-2019
1 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biskuit
Biskuit merupakan jenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan
penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan
(Badan Standariasi Nasional, 2011). Kadar air biskuit termasuk rendah, yaitu
sekitar 5%. Kadar air yang rendah pada biskuit sangat menguntungkan dari segi
penyimpanan. Biskuit dapat disimpan dalam waktu yang lama kurang lebih 6
bulan hingga 1 tahun lamanya. Produk biskuit juga dapat dikonsumsi untuk segala
kalangan usia, mulai dari bayi hingga dewasa dengan jenis yang berbeda-beda.
Berdasarkan informasi dari Departemen Perindustrian RI, biskuit dapat
dikategorikan dalam 4 jenis, yaitu biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer
(Ahza, 1998 dalam Claudia et al., 2015). Biskuit keras merupakan salah satu jenis
biskuit manis yang mempunyai bentuk pipih, bila dipatahkan penampang
potongannya bertekstur padat, dan dapat berkadar lemak tinggi maupun rendah.
Crackers merupakan jenis biskuit yang terbuat dari adonan keras melalui proses
fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya mengarah asin dan
relatif renyah, serta bila dipatahkan penampangnya potongannya berlapis-lapis.
Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi,
relatif renyah dan bila dipatahkan penampangnya potongannya bertekstur kurang
padat. Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori kasar,
relatif renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga.
6
Pada dasarnya bahan baku utama pembuatan biskuit adalah tepung terigu,
namun seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya kebutuhan
manusia untuk pangan yang sehat, penggunaan tepung non terigu dalam
pembuatan biskuit banyak dikembangkan terutama untuk jenis biskuit yang bebas
gluten (gluten free). Wulandari dan Handarsari (2010) menyatakan bahwa bahan-
bahan lain yang digunakan sebagai penunjang pembuatan biskuit ialah margarin,
susu bubuk, gula halus, dan kuning telur. Setiap bahan yang digunakan dalam
pembuatan biskuit memiliki fungsi masing-masing.
Penggunaan kuning telur pada biskuit dapat berfungsi untuk memperbesar
volume, memperbaiki tekstur, serta menambah protein pada biskuit yang akan
turut memperbaiki kualitasnya (Claudia et al., 2015). Biskuit yang hanya
menggunakan kuning telur akan menghasilkan tekstur yang lebih lembut
dibandingkan biskuit yang menggunakan seluruh telur. Hal ini disebabkan lesitin
pada kuning telur mempunyai daya pengemulsi yang dapat memperbaiki
tekstur, memperbesar volume serta menambah kandungan protein.
Pemakaian gula dalam adonan mempunyai peran untuk memberi makanan
pada ragi selama proses peragian berlangsung, memberi rasa dan aroma, memberi
kemampuan adonan untuk mengembang, kulit produk menjadi bagus, dan
mengontrol waktu pembongkaran. Gula juga mempunyai peran sebagai pemberi
rasa manis dan pengawet dengan menghambat pertumbuhan mikroorganisme
akibat penurunan aktivitas air dari bahan. Gula mempunyai tekanan osmotik yang
tinggi. Dengan penggulaan, cairan sel bahan akan keluar sehingga metabolisme
bahan pangan akan terganggu (Ayustaningwarno, 2014).
7
Margarin yang ditambahkan dalam pembuatan biskuit sebagai lemak
berfungsi untuk mengempukan biskuit karena margarin memiliki kandungan
lemak yang cukup tinggi sehingga dapat memperbaiki tekstur (Silalahi dan
Sanggam, 2002). Fungsi penambahan lemak dalam bentuk margarin pada
pembuatan biskuit adalah sebagai penghalus tekstur, sehingga dapat terbentuk
struktur biskuit yang elastis. Selain itu, lemak dapat memberikan sumbangan
terhadap citarasa biskuit yang khas dan membuat cepat melunak saat dimulut
(Matz and Matz, 1978).
Proses pembuatan biskuit konvensional meliputi tahap dasar seperti
pencampuran, pencetakan, dan pemanggangan. Selain penggunaan bahan, masing-
masing tahapan proses produksi juga dapat diatur sedemikian rupa agar sesuai
dengan karakteristik produk akhir yang diinginkan. Setiap proses produksi
mempunyai diagram alir proses yang terstruktur dan sistematis. Diagram alir
proses produksi biskuit konvensional dapat dilihat pada Gambar 1.
Pembuatan biskuit konvensional meliputi tahap dasar seperti
pencampuran, pencetakan, dan pemanggangan. Pada proses pencampuran, bahan
yang dimasukkan sesuai dengan spesifikasi biskuit yang akan dibuat, kemudian
ditambahkan gula cair, garam, dan bahan-bahan lain. Adonan yang diperoleh dari
pencampuran bahan harus bersifat kohesif dan relatif tidak lengket sehingga
mudah dibentuk. Suhu yang baik selama pengadukan antara 25-40°C (Manley,
2000b). Proses pencampuran yang dilakukan harus sesuai dengan konsistensi suhu
dan waktu masing-masing adonan, evaluasi formula kadar lemak, serta proses
pengembangan, dan aerasi.
8
Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Biskuit
(Sumber: Sunaryo, 1985)
Proses selanjutnya ialah pencetakan. Pada proses ini, adonan dicetak
sesuai dengan ketebalan dan ukuran yang diinginkan. Menurut Manley (2000a),
proses pencetakan biskuit dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu pencetakan
dengan pengeplotan dan potongan, cetakan dengan rotary moulder, ekstrusi, dan
penyimpanan. Ukuran biskuit yang telah dicetak harus sama, agar ketika dioven
biskuit matang secara merata dan tidak hangus (Claudia et al., 2015).
Pemanggangan
T: 155°C, t: 15 menit
Telur, Gula,
Margarin
Pengocokan hingga halus
Pencampuran adonan
hingga merata
Pengadukan hingga
menjadi adonan
Tepung Terigu,
Vanili, Baking
Powder
Pencetakan dan peloyangan dengan
tebal 3 mm dan jarak 2 cm
Biskuit
9
Proses pemanggangan juga merupakan bagian penting dalam pembuatan
biskuit karena dapat ditemukan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kualitas
biskuit. Salah satu faktor yang paling utama ialah perubahan kimiawi yang dapat
terjadi, seperti gelatinisasi pati, penguapan air, reaksi Mailard, dan karamelisasi
gula. Menurut Fellow (2009), agar pemanggangan biskuit berjalan dengan baik,
penjagaan kelembaban oven perlu dilakukan setinggi mungkin pada zona awal
dan menjaga suhu bagian atas dan bawah oven tetap stabil.
2.2 Karakteristik Biskuit
Karakteristik biskuit yang sesuai dengan standar seperti SNI maupun
standar perusahaan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sanitasi, proses
produksi hingga peran bahan yang digunakan selama proses produksi.
Berdasarkan SNI 2973:2011 (Badan Standarisasi Nasional, 2011) tentang biskuit,
secara umum biskuit mempunyai standar kadar air yang rendah, yaitu maksimal
5%. Kadar air yang rendah membuat tekstur biskuit secara keseluruhan menjadi
renyah. Tekstur renyah juga dapat dihasilkan oleh penggunaan bahan yang
mengandung lemak. Di samping itu, penggunaan bahan yang mengandung lemak
juga dapat melembutkan dan menambah kelezatan dari produk biskuit (Astawan,
2009). Standar mutu biskuit menurut SNI 2973:2011 dapat dilihat pada Tabel 1.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara
penggunaan berbagai macam bahan utama pengganti tepung terigu untuk
pembuatan biskuit dengan karakteristik fisik produk biskuit yang dihasilkan.
Salah satunya ialah penelitian oleh Mayasari (2015) yang menunjukkan adanya
10
perbedaan karakteristik biskuit yang dibuat dengan beberapa perbandingan tepung
terigu, tepung ubi jalar, dan tepung kacang merah. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa biskuit dengan 100% tepung terigu tanpa penambahan
tepung ubi jalar dan tepung kacang merah mempunyai nilai rata-rata uji
organoleptik tekstur oleh panelis yang paling tinggi, yaitu 5,320 (dalam skala
penilaian 1-6). Hal ini dapat disebabkan oleh menurunnya sifat elastis pada gluten
sehingga biskuit dengan penambahan tepung ubi jalar dan tepung kacang merah
mempunyai tekstur lebih keras yang kurang disukai panelis (Mayasari, 2015).
Tabel 1. Syarat Mutu Biskuit Berdasarkan SNI 2973:2011
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
1.1 Bau - Normal
1.2 Rasa - Normal
1.3 Warna - Normal
2 Kadar air (b/b) % Maks. 5
3 Protein (N x 6,25) (b/b) % Min. 5
4 Asam Lemak Bebas
(sebagai asam oleat) (b/b)
% Maks. 1,0
5 Cemaran Logam
5.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,5
5.2 Kadmium (Cd) mg/kg Maks. 0,2
5.3 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40
5.4 Merkuri (Hg) mg/kg Maks. 0,05
6 Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5
7 Cemaran Mikroba
7.1 Angka Lempeng Total koloni/g Maks. 1 x 104
7.2 Coliform APM/g 20
7.3 Eschericia coli APM/g < 3
7.4 Salmonella Sp. - Negatif / 25 g
7.5 Staphylococcus aureus Koloni/g Maks. 1 x 102
7.6 Bacillus cereus Koloni/g Maks. 1 x 102
7.7 Kapang dan Khamir Koloni/g Maks. 2 x 102
(Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2011)
11
Penelitian oleh Pratama dan Nendra (2017) menunjukkan bahwa tidak ada
pengaruh nyata terhadap ketebalan, diameter, dan volume pengembangan cookies
yang menggunakan tepung pisang dibandingkan dengan cookies tepung terigu.
Hal ini disebabkan oleh cairan yang terdapat di dalam cookies terlampau sedikit
sehingga terjadi kurangnya interaksi antara air dan gluten untuk membentuk
jaringan gluten yang dapat menahan gas memuai selama proses pemanggangan di
oven. Hal ini menunjukkan bahwa daya serap air oleh komponen tepung yang
digunakan dapat mempengaruhi pengembangan adonan selama proses
pemanggangan berlangsung. Mancebo et al., (2015) dalam Pratama dan Nendra
(2017) juga menyatakan bahwa adonan cookies yang mempunyai viskositas lebih
tinggi memiliki kecenderungan untuk lebih sedikit mengembang saat
pemanggangan.
2.3 Tepung Terigu
Tepung terigu merupakan tepung hasil penggilingan gandum yang populer
digunakan dalam industri pangan. Sesaat setelah penggilingan, tepung terigu
berwarna kekuningan dan mempunyai sifat yang kurang elastis sehingga belum
dapat dikatakan sebagai tepung terigu yang baik. Tepung terigu akan melewati
masa pemeraman atau penambahan bahan pemutih tepung untuk mendapatkan
sifat lebih elastis dan berwarna putih seperti yang beredar di pasaran. Kandungan
utama tepung terigu ialah pati dengan kadar hingga 70% yang terdiri dari amilosa
(sekitar 20%) dan amilopektin (Belitz & Grosch, 2009). Tepung terigu juga
mengandung gluten yang mempunyai sifat dapat menggumpal dan mengembang
12
bila dicampur air. Gluten pada industri pangan berfungsi untuk meningkatkan
elastisitas produk seperti roti dan biskuit serta memperkaya kandungan proteinnya
(Astawan, 2009). Kenampakan tepung terigu dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Tepung Terigu
(Sumber: Tribun, 2018)
Rustandi (2011) mengatakan bahwa tepung terigu dapat digolongkan
menjadi tiga jenis berdasarkan kandungan proteinnya, yaitu:
a. Soft wheat
Tepung jenis ini mempunyai kandungan protein sebesar 8-9%.
Karakteristiknya ialah mempunyai daya serap rendah, sulit diuleni, serta daya
pengembangan yang rendah. Berdasarkan sifat dan karakeristiknya, tepung jenis
ini cocok untuk membuat produk seperti kue kering, biskuit, maupun pastel.
b. Medium wheat
Kandungan protein teping jenis ini ialah 10,5-11,5%. Tepung ini
merupakan campuran dari jenis soft wheat dan hard wheat, sehingga mempunyai
sifat dan karakteristik di antara kedua jenis tepung tersebut. Tepung jenis medium
wheat biasa dikenal dengan all-purpose-flour. Tingkat fermentasinya sedang,
sehingga cocok untuk membuat produk seperti bakso, donat, cake, dan muffin.
13
c. Hard wheat
Tepung ini mempunyai kandungan protein 12-14%. Tepung jenis ini
mudah dicampur dan difermentasi, mempunyai daya serap air yang tinggi, elastis,
serta mudah dibentuk atau digiling. Produk yang cocok menggunakan jenis
tepung ini ialah roti, mie, dan pasta.
Jenis tepung terigu yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah
tepung dari jenis gandum lunak (soft wheat). Tepung terigu dalam pembuatan
biskuit berperan sebagai pembentuk adonan, pengikat bahan-bahan lain, dan
pembentuk struktur biskuit selama pemanggangan (Matz and Matz, 1978).
Standar kualitas tepung terigu di Indonesia terdapat pada SNI 01-3751-2009
(Badan Standarisasi Nasional, 2009) yang dapat dilihat pada Tabel 2.
2.4 Metode Solvent Retention Capacity (SRC)
Pengujian kualitas mutu tepung terigu perlu dilakukan guna mengetahui
keefektifan penggunaan tepung tersebut sebagai bahan dasar pembuatan biskuit.
Kegiatan ini menjadi penting dilakukan karena berkaitan dengan kualitas produk
akhir yang dihasilkan. Metode Solvent Retention Capacity (SRC) merupakan
salah satu metode pengujian kualitas mutu tepung terigu yang biasa digunakan
pada industri pangan olahan dengan bahan baku tepung terigu. Secara umum,
Solvent Retention Capacity (SRC) merupakan hasil perhitungan berat pelarut yang
diikat oleh tepung setelah proses sentrifugasi dan dinyatakan dalam bentuk persen
(%) dari berat sampel tepung terigu yang digunakan (Pasha et al., 2009).
14
Tabel 2. SNI Tepung Terigu (SNI 01-3751-2009)
No. Jenis uji Satuan Persyaratan
1
1.1
1.2
1.3
Keadaan
Bentuk
Bau
Warna
-
Serbuk
Normal (bebas dari
bau asing)
Putih, khas terigu
2 Benda asing - Tidak ada
3 Serangga dalam semua
bentuk stadia dan potongan-
potongan yang tampak
- Tidak ada
4 Kehalusan, lolos ayalan 212
µm No. 70 (b/b)
% Min 95
5 Kadar air (b/b) % Maks 14,5
6 Kadar abu (b/b) % Maks 0,6
7 Kadar protein (b/b) % Min 7,0
8 Keasaman mg KOH/100 g Maks 50
9 Falling number (atas dasar
kadar air 14%)
Detik Min 300
10 Besi (Fe) mg/kg Min 50
11 Seng (Zn) mg/kg Min 30
12 Vitamin B1 (thiamin) mg/kg Min 2,5
13 Vitamin B2 (rioboflavin) mg/kg Min 4
14 Asam folat mg/kg Min 2
15
15.1
15.2
15.3
Cemaran logam
Timbal (Pb)
Raksa (Hg)
Tembaga (Cu)
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Maks 1,00
Maks 0,05
Maks 10
16 Cemaran arsen Mg/kg Maks 0,50
17 Cemaran mikroba
Angka lempeng total
E. Coli
Kapang
Koloni/g
APM/g
Koloni/g
Maks 106
Maks 10
Maks 104
(Sumber: Badan Standarisasi Nasional, 2009)
Metode SRC pertama dikembangkan oleh peneliti bernama Louis Slade
dan Levine yang berkeinginan untuk menganalisis kualitas tepung berdasarkan
kemampuan mengikat airnya atau biasa disebut Water Holding Capacity (WHC).
Kadar WHC penting untuk diketahui karena berkaitan dengan jenis tepung yang
digunakan dalam proses pembuatan produk, yang mana jika digunakan tepung
15
jenis soft wheat untuk membuat biskuit / crackers maka dibutuhkan kadar WHC
yang rendah, sedangkan apabila digunakan tepung berjenis hard wheat untuk
membuat roti maka dibutuhkan kadar WHC yang tinggi (Slade & Levine, 1994).
Kadar WHC dipengaruhi oleh tiga komponen penting, yaitu glutenin,
damaged starch, dan pentosan (Kweon et al., 2011). Analisis kadar masing-
masing komponen tersebut akhirnya dirangkum dan dikembangkan oleh AACC
(American Association of Cereal Chemists) menjadi sebuah metode baru dengan
kode Approved Method (AAC Method 56-11) atau disebut juga metode SRC.
Metode SRC menurut Kweon et al., (2011), ialah sebuah pengujian pelarutan atau
dapat disebut pengujian solvasi tepung berdasarkan sifat pembengkakan jaringan
polimer akibat interaksi dengan satu jenis pelarut tertentu, yaitu air, larutan asam
laktat 5% (untuk kandungan glutenin), larutan Natrium Karbonat (Na2CO3) 5%
(untuk kandungan damaged starch), dan larutan Sukrosa (untuk kandungan
pentosan), yang mana hasilnya dapat memprediksikan kontribusi fungsional dari
masing-masing komponen pembentuk tepung tersebut. Sedangkan menurut
Walker et al., (2008), hasil pengujian SRC dengan pelarut air dapat menentukan
pengaruh semua konstituen yang terkandung di dalam tepung tersebut.
Beberapa pelarut lain juga pernah digunakan untuk analisis SRC, yaitu
larutan 0,006% natrium metabisulfit (NaMBS) yang dapat menganalisis gluten
(kekuatan secara umum), 0,75% sodium dodecyl sulfate (SDS) untuk
menganalisis glutenin macropolymer (GMP), dan larutan ethanol 55% yang
berkaitan dengan komponen protein gliadin (Kweon et al., 2011). Penggunaan
pelarut ethanol 55% untuk analisis SRC masih perlu dikaji lebih lanjut karena
16
walaupun gliadin larut dalam ethanol 55%, pelarut ini bukan termasuk ke dalam
pelarut metode SRC karena teknologi SRC didasari oleh pembengkakan jaringan
komponen dan bukan merupakan proses ekstraksi supernatant (Kweon et al.,
2011). Peran pelarut tersebut juga masih dapat diwakilkan oleh pelarut asam laktat
5% pada analisis metode SRC yang berkaitan dengan protein gluten di dalam
tepung terigu (Lindgren, 2016). Selain itu, terdapat pula pelarut alkali, yaitu
Na2HCO3 0,1N (pH ≈ 8) sebagai analisis AWRC (Alkali Water Retention
Capacity) yang dapat menentukan daya penyerapan air dari tepung, namun belum
spesifik untuk menentukan peran dari masing-masing komponen yang terdapat di
dalam tepung terigu (Pasha et al., 2009).
Analisis SRC mempunyai perbedaan signifikan jika dibandingkan dengan
pengujian rheology tepung lainnya seperti mixography, farinography, rapid visco
analysis yang menggunakan pelarut terbatas dan peningkatan suhu. Analisis
metode SRC tidak hanya mengukur kombinasi dan kumulatif dari gugus
fungsional pada tepung terigu (protein gluten, damaged starch, dan pentosan),
namun lebih menganalisis kontribusi dari masing-masing komponennya dalam
membentuk karakteristik produk akhir biskuit (Kweon et al., 2011). Hasil analisis
SRC dinyatakan dalam satuan persen (%). Hasil persentase tersebut akan
menyatakan jumlah banyaknya pelarut yang terserap ke dalam komponen polimer
tepung terigu dengan syarat kadar air tepung terigu tidak melebihi 14%, sehingga
dibutuhkan pengukuran kadar air sampel tepung terigu sebelum dilakukan
pengujian.
17
Pada analisis menggunakan metode SRC, sampel tepung terigu akan
melalui beberapa proses utama, yaitu penimbangan, pengocokan, sentrifugasi, dan
perhitungan berat gel hasil sentrifugasi. Metode standar untuk pengocokan ialah
secara manual menggunakan tangan, namun hal ini kurang efektif bagi beberapa
industri tepung terigu yang secara rutin menganalisis sampel dengan jumlah
banyak, sehingga pengocokan manual dengan tangan digantikan dengan alat
pengocok otomatis (Kweon et al., 2011). Alat pengocok otomatis yang digunakan
ialah shakematic dan vortex shaker yang telah diatur sesuai dengan prosedur
standar pelaksanaan analisis SRC. Gambar alat pengocok yang digunakan pada
analisis SRC dapat dilihat pada Gambar 3.
(a) (b)
Gambar 3. (a) shakematic; (b) vortex shaker
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)
top related