bab ii tinjauan kasus a. tinjauan konsep kebutuhan …repository.poltekkes-tjk.ac.id/218/3/bab...
Post on 21-Jun-2020
18 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN KASUS
A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar
1. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia
Kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow atau yang
disebut dengan Hierarki kebutuhan dasar Maslow yang meliputi lima
kategori kebutuhan dasar, yakni:
a. Kebutuhan Fisiologis (physiologic Needs)
Kebutuhan fisiologis memiliki prioritas tertinggi dalam
hierarki maslow. Umumnya, seseorang yang memiliki beberapa
kebutuhan yang belum terpenuhi akan lebih dulu memenuhi
kebutuhan fisiologisnya dibandingkan kebutuhan lainnya. Adapun
macam-macam kebutuhan dasar menurut hierarki maslow adalah
kebutuhan oksigen dan pertukaran gas, kebutuhan cairan dan
elektolit, kebutuhan makanan, kebutuhan eliminasi urine dan alvi,
kebutuhan istirahat tidur, kebutuhan aktivitas, kebutuhan kesehatan
temperature tubuh, dan kebutuhan seksual.
b. Kebutuhan Keselamatan dan Rasa Aman(Safety and Security
Needs)
Kebutuhan keselamatan dan rasa aman yang dimaksud
adalah aman dari berbagai aspek baik fisiologis maupun
psikologis. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan perlindungan diri
dari udara dingin, panas, kecelakaan, dan infeksi. Bebas dari rasa
takut dan kecemasan, bebas dari perasaan terancam karena
pengalaman yang baru atau asing.
c. Kebutuhan rasa cinta, memiliki dan dimiliki (Love and Belonging
Needs)
Kebutuhan ini meliputi memberi dan menerima kasih
sayang, perasaan dimiliki dan hubungan yang berarti dengan orang
7
lain, kehangatan, persahabatan, mendapat tempat atau diakui dalam
keluarga, kelompok serta lingkungan sosial. (Mubarak, 2008)
d. Kebutuhan Harga Diri (Self-Esteem Needs)
Kebutuhan ini meliputi perasaan tidak tergantung pada
orang lain, kompeten, penghargaan terhadap diri sendiri dan orang
lain.
e. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Needs for Self Actualization)
Kebutuhan ini meliputi dapat mengenal diri sendiri dengan
baik (mengenal dan memahami potensi diri), belajar memenuhi
kebutuhan diri sendiri, tidak emosional, mempunyai dedikasi yang
tinggi, kreatif, mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dan
sebagainya.
Konsep hierarki diatas menjelaskan bahwa manusia
senantiasa berubah dan kebutuhannya terus berkembang. Jika
seseorang merasakan kepuasan, ia akan menikmati kesejahteraan
dan bebas untuk berkembang menuju potensi yang lebih besar.
Sebaliknya, jika proses pemenuhan kebutuhan terganggu, akan
timbul suatu kondisi patologis. Karenanya, dengan memahami
konsep kebutuhan dasar manusia Maslow, akan didapat persepsi
yang sama bahwa untuk beralih ketingkat kebutuhan yang lebih
tinggi, kebutuhan dasar yang ada dibawahnya harus terpenuhi lebih
dahulu. Artinya, terdapat suatu jenjang kebutuhan yang lebih tinggi
yang harus dipenuhi sebelum kebutuhan yang lainnya terpenuhi
(Mubarak, W.I, dkk, 2008 dalam Ernawati, 2012).
2. Pengertian Spiritual
Spiritual merupakan konsep kompleks yang unik pada tiap
individu, dan tergantung pada budaya, perkembangan, pengalaman
hidup, kepercayaan, dan ide-ide tentang kehidupan seseorang (Mauk
dan Schmidt, 2004 dalam Potter and Perry, 2010).
8
Spiritual memberikan individu energi yang dibutuhkan untuk
menemukan diri mereka, untuk beradaptasi dengan situasi yang sulit,
dan untuk memelihara kesehatan. Energi yang berasal dari spiritual
membantu klien merasa sehat dan membantu membuat pilihan
sepanjang kehidupan (Chiu et al., 2004 dalam Potter and Perry, 2010).
3. Karakteristik Spiritual
Adapun karakteristik spiritual menurut Hamid (2009) meliputi :
a. Hubungan dengan diri sendiri (kekuatan dalam atau self-reliance)
meliputi: pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat
dilakukannya) dan sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada
kehidupan/masa depan, ketenangan pikiran, harmoni atau
keselarasan dengan diri sendiri.
b. Hubungan dengan alam (harmoni) meliputi: mengetahui tentang
tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan
alam (bertanam, berjalan kaki), mengabadikan dan melindungi
alam.
c. Hubungan dengan orang lain (harmonis atau suportif) meliputi:
berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik,
mengasuh anak, orang tua dan orang sakit, serta menyakini
kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat dll), dikatakan
tidak harmonis apabila: konflik dengan orang lain, resolusi yang
menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.
d. Hubungan dengan ketuhanan (agamais atau tidak agamais)
meliputi: sembahyang atau berdoa atau meditasi, perlengkapan
keagamaan dan bersatu dengan alam (Hamid, 2009).
4. Faktor yang Mempengaruhi Spiritual
Menurut Taylor dan Craven & Hirnle dalam Wahid, faktor penting
yang dapat mempengaruhi spiritual seseorang adalah:
9
a. Tahap perkembangan
Spiritual berhubungan dengan kekuasaan non material,
seseorang harus memiliki beberapa kemampuan berfikir abstrak
sebelum mulai mengerti spiritual dan menggali suatu hubungan
dengan yang Maha mengerti spiritual dan menggali suatu
hubungan dengan yang Maha Kuasa. Hal ini bukan berarti bahwa
Spiritual tidak memiliki makna bagi Kuasa. Hal ini bukan berarti
bahwa Spiritual tidak memiliki makna bagi seseorang.
b. Peranan keluarga penting dalam perkembangan spiritual individu
Tidak begitu banyak yang diajarkan keluarga tentang Tuhan
dan agama, kehidupan dan diri sendiri dari tapi individu belajar
tentang Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari tingkah laku
keluarganya. Oleh karena itu keluarga merupakan lingkungan
terdekat dan dunia pertama dimana individu mempunyai
pandangan, pengalaman terhadap dunia yang pengalaman tehadap
dunia yang diwarnai oleh pengalaman dengan iwarnai oleh
pengalaman dengan keluarganya.
c. Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang
etnik dan sosial budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti
tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya
menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai moral dari hubungan
keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan
keagamaan.
d. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat
mempengaruhi spiritual seseorang dan sebaliknya juga dipengaruhi
oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual
pengalaman tersebut. Peristiwa dalam kehidupan seseorang
dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan kepada
manusia.menguji keimanannya.
10
e. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalam spiritual
seseorang. Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi
penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan bahkan
kematian, khususnya pasien dengan penyakit terminal atau dengan
prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang
dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual yang bersifat
fiskal dan emosional.
f. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering kali
membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan
pribadi dan sistem dukungan sosial. Kebiasaa hidup sehari-hari
juga berubah antara lain tidak dapat menghadiri acara resmi,
mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan
keluarga atau teman dekat yang bisa memberikan dukungan setiap
saat diinginkan.
g. Isu moral terkait dengan terapi
Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap
sebagai cara Tuhan untuk menunjukkan kebesaran-Nya, walaupun
ada juga agama yang menolak intervensi pengobatan (Hamid,
2009).
5. Tahap Perkembangan Spiritual
Beberapa aspek perkembangan spiritual dan perilaku keagaamaan
yang sehat pada setiap tahap perkembangan yaitu seperti:
a. 0-3 tahun : Neonatus dan todler mendapat kualitas spiritual
keyakinan, mutulitas, keberanian, harapan, dan cinta yang
mendasar.
b. 3-7 tahun : Fase penuh fantasi dan imitatif ketika anak dapat
dipengaruhi oleh contoh, alam perasaan, dan tindakan. Imajinasi
11
dianggap sebagai realitas (Santa Claus, Tuhan sebagai kakek di
langit).
c. 7-12 tahun : Anak berusaha memilah fantasi dari fakta dengan
menuntut adanya bukti atau demonstrasi kenyataan. Anak
menerima cerita dan keyakinan secara harfiah. Kemampuan untuk
mempelajari keyakinan dan praktik budaya serta keagamaan.
d. Remaja : Pengalaman mengenai dunia saat ini di luar unit keluarga
dan keyakinan spiritual dapat membantu pemahaman terhadap
lingkungan yang luas. Secara umum menyesuaikan diri dengan
keyakinan orang di sekitar mereka; belum dapat menilai keyakinan
secara objektif.
e. Dewasa muda : Perkembangan indentitas diri dan pandangan
terhadap dunia berbeda dari orang lain. Individu membentuk
komitmen, gaya hidup, keyakinan, dan sikap yang mandiri. Mulai
mengembangkan makna personal terhadap simbol keagamaan dan
keyakinan.
f. Dewasa menengah : Menghargai masa lalu; lebih memerhatikan
suara hati; lebih waspada terhadap mitos, prasangka, dan citra yang
ada karena latar belakang sosial. Berusaha menyelesaikan
kontradiksi dalam pikiran dan pengalaman dan untuk tetap terbuka
terhadap kebenaran orang lain.
g. Dewasa menengah sampai Lansia : Mampu menyakini, dan
memiliki rasa partisipasi dalam, komunitas noneksklusif. Dapat
berusaha menyelesaikan masalah sosial, politik, ekonomi, atau
ideologi dalam masyarakat. Mampu merangkul kehidupan
meskipun masih longgar (Kozier, 2010).
6. Kesehatan Spiritual
Kesehatan spiritual adalah kondisi yang dalam pandangan sufistik
disebut sebagai terbebasnya jiwa dari berbagai penyakit ruhaniah,
seperti syirik (polytheist), kufur (atheist), nifaq atau munafik
12
(hypocrite), dan fusuq (melanggar hukum). Kondisi spiritual yang
sehat terlihat dari hadirnya ikhlas (ridha dan senang menerima
pengaturan Illahi), tauhid (meng-Esa-kan Allah), tawakal (berserah
diri sepenuhnya kepada Allah). Spiritualitas adalah pandangan
pribadi dan perilaku yang mengekspresikan rasa keterkaitan ke
dimensi transcendental atau untuk sesuatu yang lebih besar dari diri
(Asy’arie, 2012). Dubos memandang sehat sebagai suatu proses
kreatif dan menjelaskannya sebagai kualitas hidup, termasuk
kesehatan sosial, emosional,mental,spiritual,dan biologis dari
individu, yang disebabkan oleha daptasi terhadap lingkungan.
Kontinum sehat dan kesehatan mencakup enam dimensi sehat yang
mempengaruhi gerakan di sepanjang kontinum. Dimensi ini
diuraikan sebagai berikut :
a. Sehat fisik adalah ukuran tubuh, ketajaman sensorik, kerentanan
terhadap penyakit, fungsi tubuh, kebugaran fisik, dan
kemampuan sembuh.
b. Sehat intelektual adalah kemampuan untuk berfikir dengan
jernih dan menganalisis secara kritis untuk memenuhi
tantanganhidup.
c. Sehat sosial adalah kemampuan untuk memiliki hubungan
interpersonal dan interaksi dengan orang lain yang memuaskan.
d. Sehat emosional adalah ekspresi yang sesuai dan control emosi;
harga diri, rasa percaya dan cinta.
e. Sehat lingkungan adalah penghargaan terhadap lingkungan
eksternal dan peran yang dimainkan seseorang dalam
mempertahankan, melindungi, dan memperbaiki kondisi
lingkungan.
f. Sehat spiritual adalah keyakinan terhadap Tuhan atau cara hidup
yang ditentukan oleh agama; rasa terbimbing akan makna atau
nilai kehidupan.
13
Manusia terdiri dari dimensi fisik, emosi, intelektual, sosial dan
spiritual dimana setiap dimensi harus dipenui kebutuhannya.
Seringkali permasalahan yang muncul pada klien ketika mengalami
suatu kondisi dengan penyakit tertentu (misalnya penyakit
fisik)mengakibatkan terjadinya masalah psikososial dan spiritual.
Ketika klien mengalami penyakit, kehilangan dan stress, kekuatan
spiritual dapat membantu individu tersebut menuju penyembuhan
dan terpenuhinya tujuan dengan atau melalui pemenuhan kebutuhan
spiritual (Yusuf. dkk, 2016).
7. Konsep Terkait Dalam Kesehatan Spiritual
Konsep yang menggambarkan kesehatan spiritual begitu beragam.
Untuk melaksanakan pelayanan spiritual yang suportif dan penuh arti,
penting bagi perawat untuk memahami konsep spiritual, kesejahteraan
spiritual, kepercayaan, agama, dan harapan.
Kesejahteraan Spiritual. Kesejahteraan spiritual memiliki efek yang
positif pada kesehatan. Semua yang mengalami kesejahteraan spiritual
merasa terhubung dengan orang lain dan dapat menemukan arti atau
tujuan dalam kehidupan mereka (Hammermeister et al., 2005 dalam
Potter & Perry, 2010). Kesejahteraan spiritual akan menciptakan
kesehatan spiritual. Semua yang sehat secara spiritual akan merasakan
kegembiraan, dapat memaafkan diri mereka dan orang lain, menerima
penderitaan dan kematian, melaporkan adanya peningkatan kualitas
hidup, dan memiliki pemahaman yang positif tentang kesejahteraan
fisik dan emosional (Fisch et al., 2003 dalam Potter and Perry, 2010).
Kepercayaan. Kepercayaan memberikan tujuan dan arti bagi
kehidupan seseorang, memperbolehkan tindakan. Banyak klien yang
sedang sakit memiliki pandangan yang positif tentang hidup dan
mengikuti kegiatan setiap harinya dibandingkan dengan menyerahkan
diri mereka pada gejala penyakit. Kepercayaan mereka biasanya
14
menjadi lebih kuat karena mereka memandang penyakit sebagai suatu
kesempatan untuk pengembangan diri.
Agama.Ketika menyelenggarakan pelayanan spiritual untuk klien,
penting bagi perawat untuk memahami perbedaan antara agama dan
spiritualitas. Banyak individu cenderung menggunakan istilah
spiritual dan agama secara terbalik. Meskipun sangat berhubungan,
istilah ini tidak sama. Praktik agama meliputi spiritualitas, tetapi
spiritual tidak harus melibatkan praktik agama. Pelayanan agama
membantu klien mempertahankan kesetiaan mereka terhadap sistem
kepercayaan dan praktik pemujaan.
Harapan. Harapan adalah energi, memberikan individu motivasi
untuk mencapai dan sumber daya yang digunakan untuk pencapaian
tersebut. Individu mengungkapkan harapan dalam semua aspek
kehidupan untuk membantu mereka mengatasi tekanan hidup. Harapan
adalah sumber daya personal yang berharga ketika seseorang
menghadapi kehilangan atau tantangan yang sulit.
8. Masalah Spiritual
Ketika sakit, kehilangan, duka cita, atau perubahan hidup yang
besar, individu menggunakan sumber daya spiritual untuk membantu
mereka beradaptasi atau menimbulkan kebutuhan dan masalah
spiritual.
Tekanan spiritual. Tekanan spiritual sering menyebabkan seseorang
merasa sendiri atau bahkan merasa diabaikan. Individu sering
mempertanyakan nilai-nilai spiritual mereka, menimbulkan pertanyaan
pertanyaan tentang jalan hidup mereka, tujuan kehidupan, dan sumber
pemahaman. Tekanan spiritual juga timbul saat ada konflik antara
kepercayaan seseorang dan regimen kesehatan yang diresepkan atau
ketidakmampuan untuk mempraktikan ritual seperti biasanya.
Penyakit Akut. Tiba-tiba, penyakit yang tidak diharapkan (baik
jangka pendek atau panjang) yang mengancam kehidupan klien,
15
kesehatan, dan/atau kesejahteraan terus-menerus menyebabkan
tekanan spiritual yang signifikan. Kekuatan spiritualitas klien
mempengaruhi bagaimana klien beradaptasi dengan penyakit yang
tiba-tiba dan seberapa cepat klien beralih ke masa pemulihan.
Penyakit Kronis. Banyak penyakit kronis yang mengancam
kebebasan seseorang menyebabkan ketakutan, kecemasan, dan tekanan
spiritual. Ketidakberdayaan dan kehilangan pemahaman tujuan hidup
mengganggu kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan pada
fungsi tubuh. Spiritualitas secara signifikan membantu klien dan
pemberi layanan untuk beradaptasi terhadap perubahan yang
diakibatkan oleh penyakit kronis. Klien yang memiliki pemahaman
kesejahteraan spiritual, merasakan hubungan dengan kekuatan tertinggi
dan orang lain, dan dapat menemukan arti dan tujuan hidup, akan dapat
beradaptasi lebih baik dengan penyakit kronis yang dimilikinya, di
mana membantu mereka mencapai potensi dan peningkatan kualitas
hidup mereka (Adegbola, 2006 dalam Potter & Perry, 2010).
Penyakit Terminal. Penyakit terminal biasanya menyebabkan
ketakutan terhadap nyeri fisik, isolasi, hal yang tak terduga, dan
kematian. Penyakit terminal menciptakan ketidakpastian tentang apa
arti kematian dan membuat klien rentan terhadap tekanan spiritual.
Pengalaman Mendekati Kematian. Beberapa perawat akan merawat
klien yang memiliki pengalaman mendekati kematian (Near-Death
Experience [NDE]). Setelah klien selamat dari NDE, penting untuk
tetap terbuka dan memberikan klien kesempatan untuk menggali apa
yang telah terjadi. Berikan dukungan jika klien memutuskan untuk
berbagi pengalaman dengan orang-orang terdekat (James, 2004 dalam
Potter & Perry, 2010).
16
9. Kepercayaan Keagamaan Tentang Kesehatan
Setiap agama mempunyai beberapa kepercayaan mengenai
kesehatan baik secara pelayanan kesehatan, respon penyakit dan
penerapan kesehatan dalam keperawatan.
Tabel 2.1 Kepercayaan Keagamaan Tentang Kesehatan
No. Kelompok
Agama
atau
Budaya
Kepercayaan
terhadap
Pelayanan
Kesehatan
Respon terhadap Penyakit Penerapannya
pada
Kesehatan dan
Keperawatan
1. Islam a. Harus
dapat
mempra
ktikkan
lima
hukum
Islam
b. Terkada
ng
memilik
i
pandang
an
kesehata
n yang
salah
a. Menggunakan kepercayaan
penyembuhan.
b. Anggota keluarga merupakan
sumber kenyamanan.
c. Berdoa kelompok bersifat
menguatkan.
d. Biasanya memperbolehkan
menarik diri dari pendukung
hidup.
e. Tidak melakukan eutanasia.
f. Percaya waktu kematian telah
ditentukan sebelumnya dan
tidak dapat diubah.
g. Memelihara rasa
pengharapan dan sering
menghindari diskusi tentang
kematian.
a. Wanita
memilih
penyelang
gara
kesehatan
wanita.
b. Selama
bulan
Ramadhan
, wanita
tidak
boleh
makan
sampai
matahari
terbenam.
c. Kesehatan
dan
spiritualita
s saling
berhubung
an.
d. Keluarga
dan teman
biasanya
berkunjun
17
g selama
waktu
sakit.
e. Biasanya
tidak
memperti
mbangkan
transplanta
si organ
atau donor
dan
pemeriksa
an pasca-
kematian.
2. Hindu Menerima
ilmu
pengetahuan
medis
terkini.
a. Dosa masa lalu menyebabkan
penyakit.
b. Hidup yang lama merupakan
hal yang menakutkan.
a. Mengizin
kan
waktu
untuk
berdoa
dan ritual
suci.
b. Mengizin
kan klien
untuk
menggun
akan
jimat,
ritual,
dan
simbol.
3. Buddha Menerima
ilmu
pengetahuan
medis
terkini.
a. Terkadang menolak
pengobatan pada hari-hari
suci.
b. Roh non-manusia yang
menyerang tubuh akan
menyebabkan penyakit.
c. Biasanya menerima kematian
a. Kesehatan
merupaka
n bagian
terpenting
dari
kehidupan.
b. Menjaga
18
sebagai tahap akhir kehidupan
dan biasanya
memperbolehkan menarik diri
dari pendukung hidup.
d. Tidak melakukan eutanasia.
e. Tidak sering mengambil
waktu cuti dari pekerjaan atau
tanggung jawab keluarga
ketika sedang sakit.
kesehatan
yang baik
dengan
merawat
dirinya
dan orang
lain.
c. Tidak
selalu
menerima
obat-
obatan
karena
percaya
bahwa
substansi
kimia
dalam
tubuh itu
berbahaya.
4. Kristiani a. Meneri
ma ilmu
pengeta
huan
medis
terkini.
b. Banyak
yang
mengiku
ti
pengoba
tan
alternati
f atau
pelengk
ap.
a. Menggunakan doa,
kepercayaan penyembuhan.
b. Menghargai kunjungan
pendeta.
c. Beberapa akan menggunakan
fungsi tangan.
d. Komuni suci terkadang
dilakukan.
e. Minyak orang sakit diberikan
ketika klien sedang sakit atau
mendekati kematian (Katolik).
a. Biasanya
mendukun
g donor
organ.
b. Kesehatan
merupaka
n hal yang
penting
untuk
dipelihara.
c. Mengizink
an waktu
bagi klien
untuk
berdoa
dengan
dirinya
19
sendiri,
keluarga,
atau
teman.
10. Spiritual dan Proses Penyembuhan
Menurut Florence Nightingale, Spirituality adalah proses kesadaran
menanamkan kebaikan secara alami, yang mana meemukan kondisi
terbaik bagi kualitas perkembangan yang lebih tinggi. Spiritualitas
mewakili totalitas keberadaan seseorang dan berfungsi sebagai
perspektif pendorong yang menyatukan berbagai aspek individual.
Spiritualitas dalam keperawatan adalah konsep yang luas meliputi
nilai, makna dan tujuan, menuju inti manusia seperti kejujuran, cinta,
peduli, bijaksana, penguasaan diri dan rasa kasih; sadar akan adanya
kualitas otoritas yang lebih tinggi, membimbing spirit atau transenden
yang penuh dengan kebatinan, mengalir dinamis seimbang dan
menimbulkan kesehatan tubuh-pikiran-spirit.
Keterkaitan spiritualitas dengan proses penyembuhan dapat
dijelaskan dengan konsep holistik dalam keperawatan. Konsep holistik
merupakan sarana petugas kesehatan dalam membantu proses
penyembuhan klien secara keseluruhan.Pelayanan holistik yang
dimaksud adalah dalam memberikan pelayanan kesehatan semua
petugas harus memperhatikan klien dari semua komponen seperti
biologis, psikologis, sosial,kultural bahkan spiritual.
Model holistik adalah model yang komprehensif dalam
memandang berbagai respon sehat sakit. Dalam model holistik, semua
penyakit mengandung komponen psikosomatik, biologis, psikologis,
sosial, spiritual. Penyakit dapat disebabkan faktor bio-psiko-sosial-
spiritual, demikian juga respons akibat penyakit (Dossey,2005 dalam
Yusuf, dkk, 2016).
20
11. Distress Spiritual
a. Gangguan pada keyakinan atau sistem nilai berupa kesulitan
merasakan makna dan tujuan hidup melalui hubungan dengan diri,
orang lain, lingkungan atau Tuhan.
Penyebab:
1) Menjelang ajal
2) Kondisi penyakit kronis
3) Kematian orang terdekat
4) Perubahan pola hidup
5) Kesepian
6) Pengasingan diri
7) Pengasingan sosial
8) Gangguan sosio-kultural
9) Peningkatan ketergantungan pada orang lain
10) Kejadian hidup yang tidak diharapkan
b. Gejala dan tanda mayor
1) Subjektif
a) Mempertanyakan makna/tujuan hidupnya
b) Menyatakan hidupnya terasa tidak/kurang bermakna
c) Merasa menderita/tidak berdaya
2) Objektif
a) Tidak mampu beribadah
b) Marah pada Tuhan
c. Gejala dan tanda minor
1) Subjektif
a) Menyatakan hidupnya terasa tidak/kurang tenang
b) Mengeluh tidak dapat menerima (kurang pasrah)
c) Merasa bersalah
d) Merasa terasing
e) Menyatakan telah diabaikan
21
2) Objektif
a) Menolak berinteraksi dengan orang terdekat/pemimpin
spiritual
b) Tidak mampu berkreativitas (mis. Menyanyi,
mendengarkan musik, menulis)
c) Koping tidak efektif
d) Tidak berminat pada alam/literatur spiritual
d. Kondisi klinis terkait
1) Penyakit kronis (mis. Arthritis rheumatoid, sklerosis multiple)
2) Penyakit terminal
3) Retardasi mental
4) Kehilangan bagian tubuh
5) Sudden infant death syndrome (SIDS)
6) Kelahiran mati, kematian janin, keguguran
7) Kemandulan
8) Gangguan psikiatrik
(SDKI edisi 1, 2017).
B. Tinjauan Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Arthritis Reumatoid
a. Identitas
Identitas klien yang biasa di kaji pada penyakit sistem
muskuloskeletal adalah usia, karena ada beberapa penyakit
muskuloskeletal banyak terjadi pada klien di atas usia 60 tahun.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien dengan penyakit
muskuloskeletal seperti: Rheumatoid Arthritis, Gout Arthtritis,
Osteoarthritis dan Osteopororis adalah klien mengeluh nyeri pada
persendian yang terkena karena adanya keterbatasan gerak yang
menyebabkan keterbatasan mobilitas.
22
c. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan saat ini berupa uraian mengenai penyakit yang
diderita oleh klien dari mulai timbulnya keluhan yang dirasakan
sampai kelayan dibawa ke Rumah Sakit, dan apakah pernah
memeriksakan diri ke tempat lain selain Rumah Sakit Umum serta
pengobatan apa yang pernah diberikan dan bagaimana
perubahannya dan data yang didapatkan saat pengkajian.
d. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat kesehatan yang lalu seperti riwayat penyakit
muskuloskeletal sebelumnya, riwayat pekerjan pada pekerja yang
berhubungan dengan adanya riwayat penyakit muskuloskeletal,
penggunaan, obat-obatan, riwayat mengkonsumsi alkohol dan
merokok.
e. Riwayat penyakit keluarga
Yang perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang menderita
penyakit yang sama karena faktor genetik/keturunan.
f. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Keadaan umum klien lansia yang mengalami gangguan
muskuloskeletal biasanya lemah.
2) Kesadaran
Kesadaran klien biasanya Composmentis dan Apatis.
3) Tanda-tanda vital
a) Suhu meningkat (>370 C).
b) Nadi meningkat (N : 70-82x/menit).
c) Tekanan darah meningkat atau dalam batas normal.
d) Pernafasan biasanya mengalami normal atau meningkat.
4) Pemeriksaan Review Of System (ROS)
a) Sistem pernafasan (B1: Breathing)
Dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau masih
dalam batas normal.
23
b) Sistem sirkulasi (B2: Bleeding)
Kaji adanya penyakit jantung, frekuensi nadi apikal,
sirkulasi perifer, warna, dan kehangatan.
c) Sistem pernafasan (B3: Brain)
Kaji adanya hilangnya gerakan/sensasi, spasme otot,
terlihat kelemahan/hilang fungsi. Pergerakan
mata/kejelasan, melihat, dilatasi pupil. Agitasi (mungkin
berhubungan dengan nyeri/ansietas).
d) Sistem perkemihan (B4: Bleder)
Perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urin,
distensi kandung kemih, warna dan bau urin, dan
kebersihannya.
e) Sistem pencernaan (B5: Bourel)
Konstipasi, konsisten feses, frekuensi eliminasi, auskultasi
bising, usus, anoreksia, adanya distensi abdomen, nyeri
tekan abdomen.
f) Sistem muskuloskeletal (B6: Bone)
Kaji adanya nyeri berat tiba-tiba/mungkin terlokalisasi pada
area jaringan, dapat berkurang pada imobilisasi, kekuatan
otot, kontraktur, atrofi otot, laserasi kulit dan perubahan
warna.
5) Pola fungsi kesehatan
Yang perlu dikaji adalah aktivitas apa saja yang biasa
dilakukan sehubungan dengan adanya nyeri pada persendian,
ketidakmampuan mobilisasi.
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan, dan penanganan
kesehatan.
24
b) Pola nutrisi
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan, dan elektolit,
nafsu makan, pola makan, diet, kesulitan menelan,
mual/muntah, dan makanan kesukaan.
c) Pola eliminasi
Menjelaskan pola fungsi ekskresi, kandung kemih, defekasi,
ada tidaknya masalah defekasi, masalah nutrisi, dan
penggunaan kateter.
d) Pola tidur dan istirahat
Menggambarkan pola tidur, istirahat, dan persepsi terhadap
energi, jumlah jam tidur pada siang dan malam, masalah tidur,
dan insomnia.
e) Pola aktivitas dan istirahat
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernafasan, dan
sirkulasi, riwayat penyakit jantung, frekuensi, irama dan
kedalaman pernafasan. Pengkajian Indeks KATZ.
f) Pola hubungan dan peran
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dengan peran
kelayan terhadap anggota keluarga dan masyarakat tempat
tinggal, pekerjaan, tidak punya rumah, dan masalah keuanan.
Pekajian APGAR Keluarga (Tabel APGAR Keluarga).
g) Pola sensori dan kognitif
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi
sensori meliputi pengkajian penglihatan, pendengaran,
perasaan, dan pembau. Pada klien katarak dapat ditemukan
gejala gangguan penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan
kerja dengan merasa diruang gelap. Sedangkan tandanya adalah
tampak kecoklatan atau putih susu pada pupil, peningkatan air
mata. Pengkajian Status Mental menggunakan tabel Short
Portable Mental StatusQuisionare (SPMSQ).
h) Pola persepsi dan konsep diri
25
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi
terhadap kemampuan konsep diri. Konsep diri menggambarkan
gambaran diri, harga diri, peran, identitas diri. Manusia sebagai
sistem terbuka dan makhluk bio-psiko-sosio-kultural-spiritual,
kecemasan, ketakutan, dan dampak terhadap sakit.
Pengkajian tingkat Depresi menggunakan Tabel Inventaris
Depresi Back.
i) Pola seksual dan reproduksi
Menggambarkan kepuasan/masalah terhadap seksualitas.
j) Pola mekanisme/penanggulangan stress dan koping
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stress.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Menggambarkan dan menjelaskan pola, nilai keyakinan
termasuk spiritual (Allen, 1998 dalam Aspiani, 2014).
Data mengenai keyakinan spiritual klien diperoleh dari riwayat
umum klien (pilihan agama atau orientasi agama); pengkajian
riwayat keperawatan yang menyeluruh, dan observasi klinis
perilaku klien, verbalisasi, alam perasaan, dan sebagainya.
g. Pemeriksaan penunjang
1) Faktor reumatoid : positif pada 80 – 95% kasus.
2) Fiksasi lateks : positif pada 75% dari kasus-kasus khas.
3) Reaksi-reaksi aglutinasi : positif pada lebih dari 50% kasus-
kasus khas.
4) LED : umumnya meningkat pesat (80-100 mm/h) mungkin
kembali normal sewaktu gejala-gejala meningkat.
5) Protein C-reaktif : positif selama masa eksaserbasi.
6) SDP : meningkat pada waktu timbul proses inflamasi.
7) Ig (Ig M dan Ig G) : peningkatan besar menunjukkan proses
autoimun sebagai penyebab AR.
26
8) Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembekakan pada
jaringan lunak, erosi sendi dan osteoporosis dari tulang yang
berdekatan (perubahan awal) berkembang menjadi formasi kista
tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan
osteoartistik yang terjadi secara bersamaan.
9) Scan radionuklida : identifikasi peradangan sinovium.
10) Artoskopi Langsung : visualisasi dari area yang menunjukkan
irregularitas / degenerasi tulang pada sendi.
11) Aspirasi cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang
lebih besar dari normal : buram, berkabut, munculnya warna
kuning (respon inflamasi, produk-produk pembuangan
degeneratif); elevasi SDP dan lekosit, penurunan viskositas dan
komplemen (C3 dan C4).
12) Biopsi membran sinovial : menunjukkan perubahan inflamasi
dan perkembangan panas.
2. Pengkajian Kebutuhan Spiritual
a. Pengkajian data subjektif
Pedoman pengkajian yang disusun oleh Stoll (dalam
Kozier, 2010) mencakup:
1) konsep tentang ketuhanan,
2) sumber kekuatan dan harapan,
3) praktik agama dan ritual, dan
4) hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan.
b. Pengkajian data objektif
Isyarat mengenai pilihan, kekuatan, kekhawatiran, atau
distres spiritual dan agama dapat terungkap melalui satu (atau
lebih) faktor berikut:
1) Lingkungan. Apakah klien memiliki Alquran, Injil, Taurat,
atau kitab suci yang lain, literatur keagamaan, liontin
keagamaan, salib, rosario, bintang David, atau kartu-kartu
27
keagamaan untuk kesembuhan dalam ruangan? Apakah
klien menerima kiriman tanda simpati dari unsur
keagamaan dan apakah klien memakai tanda keagamaan
(misalnya memakai jilbab?).
2) Perilaku. Apakah klien tampak berdoa sebelum makan atau
pada waktu lain atau membaca kitab suci atau buku
keagamaan? Apakah klien mengalami mimpi buruk dan
gangguan tidur atau mengekspresikan rasa marah terhadap
perwakilan keagamaan atau terhadap Tuhan?
3) Verbalisasi. Apakah klien menyebutkan Tuhan atau Yang
Maha Kuasa, doa-doa, keyakinan, rumah ibadah, atau
topik-topik keagamaan? Apakah klien pernah minta
dikunjungi oleh pemuka agama? Atau apakah klien
mengekspresikan rasa takutnya terhadap kematiannya?
4) Afek dan sikap. Apakah klien tampak sendiri, depresi,
marah, cemas, agitasi, apatis, atau khusyuk?
5) Hubungan interpersonal. Siapa yang berkunjung?
Bagaimana respon klien terhadap pengunjung? Apakah
pemuka agama dapat mengunjungi klien? Dan bagaimana
klien berhubungan dengan klien yang lain dan juga dengan
personel keperawatan?
3. Diagnosis Keperawatan
Dalam mendiagnosis kesehatan spiritual, perawat dapat
menemukan bahwa masalah spiritual dapat dijadikan judul diagnostic,
atau bahwa distress spiritual adalah etiologi masalah. Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI, 2016) mengakui satu
diagnosis yang berhubungan dengan spiritual: Distress Spiritual.
28
4. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang diberikan pada klien dengan gangguan
kebutuhan spiritual menurut SIKI dilakukan dengan menggunakan intervensi
utama dan intervensi pendukung.
Tabel 2.2 Intervensi Masalah Keperawatan Distress Spiritual
Diagnosa Keperawatan Perencanaan Keperawatan
Intervensi Utama Intervensi Pendukung
Distress Spiritual
Definisi:
Gangguan pada keyakinan
atau sistem nilai berupa
kesulitan merasakan makna
dan tujuan hidup melalui
hubungan dengan diri, orang
lain, lingkungan atau Tuhan.
Penyebab:
1) Menjelang ajal
2) Kondisi penyakit kronis
3) Kematian orang terdekat
4) Perubahan pola hidup
5) Kesepian
6) Pengasingan diri
7) Pengasingan sosial
8) Gangguan sosio-kultural
9) Peningkatan
ketergantungan pada
orang lain
10)Kejadian hidup yang
tidak diharapkan
Batasan karakteristik
1. Gejala dan tanda mayor
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan di harapkan pasien
menunjukkan peningkatan spiritual
ditandai dengan kriteria hasil:
1. Klien mampu beristirahat dengan
tenang
2. Menyatakan penerimaan
moral/etika
3. Mengekspresikan rasa damai
berhubungan dengan Tuhan
4. Menunjukkan hubungan yang
hangat dan terbuka
5. Menunjukkan sikap efektif tanpa
rasa marah, rasa bersalah dan
ansietas
6. Menunjukkan perilaku lebih
positif
7. Mengekspresikan arti postitif
terhadap situasi dan
keberadaannya
1. Dukungan Spiritual
Observasi
a. Identifikasi perasaan
khawatir, kesepian dan
ketidakberdayaan
b. Identifikasi pandangan
tentang hubungan antara
1. Dukungan
Emosional
2. Dukungan
Keyakinan
3. Dukungan
Memaafkan
4. Dukungan
Pengambilan
Keputusan
5. Dukungan
Pelaksanaan Ibadah
6. Dukungan
Pengungkapan
Kebutuhan
7. Dukungan
Pengungkapan
Perasaan
8. Dukungan Perasaan
Bersalah
9. Dukungan
Perlindungan
Penganiayaan
Agama
10. Dukungan
Perkembangan
Spiritual
11. Dukungan
29
Subjektif
d) Mempertanyakan
makna/tujuan
hidupnya
e) Menyatakan
hidupnya terasa
tidak/kurang
bermakna
f) Merasa
menderita/tidak
berdaya
Objektif
c) Tidak mampu
beribadah
d) Marah pada Tuhan
2. Gejala dan tanda minor
Subjektif
f) Menyatakan
hidupnya terasa
tidak/kurang tenang
g) Mengeluh tidak dapat
menerima (kurang
pasrah)
h) Merasa bersalah
i) Merasa terasing
j) Menyatakan telah
diabaikan
Objektif
1. Menolak berinteraksi
dengan orang
terdekat/pemimpin spiritual
2. Tidak mampu
berkreativitas (mis.
Menyanyi, mendengarkan
musik, menulis)
spiritual dan kesehatan
c. Identifikasi harapan dan
kekuatan pasien
d. Identifikasi ketaatan dalam
beragama
Terapeutik
a. Berikan kesempatan
mengekspresikan perasaan
tentang penyakit dan
kematian
b. Berikan kesempatan
mengekspresikan dan
meredakan marah secara
tepat
c. Yakinkah bahwa perawat
bersedia mendukung selama
masa ketidakberdayaan
d. Sediakan privasi dan waktu
tenang untuk aktivitas
e. Diskusikan keyakinan
tentang makna dan tujuan
hidup, jika perlu
f. Fasilitasi melakukan
kegiatan ibadah
Edukasi
a. Anjurkan berinteraksi
dengan keluarga, teman,
dan/atau orang lain
b. Anjurkan berpartisipasi
dalam kelompok pendukung
c. Ajarkan metode relaksasi,
meditasi, dan imajinasi
terbimbing
Kolaborasi
a. Atur kunjungan dengan
rohaniawan (mis. Ustadz,
Perlindungan
Penganiayaan
Lansia
12. Dukungan Proses
Berduka
13. Konseling
14. Manajemen Stres
15. Mediasi Konflik
16. Pelibatan Keluarga
17. Promosi Harapan
18. Promosi Dukungan
Spiritual
19. Promosi Sistem
Pendukung
20. Teknik Imajinasi
Terbimbing
21. Teknik
Menenangkan
22. Terapi Reminisens
30
3. Koping tidak efektif
4. Tidak berminat pada
alam/literatur spiritual.
pendeta, romo, biksu)
2. Promosi Koping
Observasi
a. Identifikasi kegiatan jangka
pendek dan panjang sesuai
tujuan
b. Identifikasi kemampuan
yang dimiliki
c. Identifikasi sumber daya
yang tersedia untuk
memenuhi tujuan
d. Identifikasi pemahaman
proses penyakit
e. Identifikasi dampak situasi
terhadap peran dan
hubungan
f. Identifikasi metode
penyelesaian masalah
g. Identifikasi kebutuhan dan
keinginan terhadap
dukungan sosial
Terapeutik
a. Diskusikan perubahan peran
yang dialami
b. Gunakan pendekatan yang
tenang dan menyakinkan
c. Diskusikan alasan
mengkritik diri sendiri
d. Diskusikan untuk
mengklarifikasi
kesalahpahaman dan
mengevaluasi perilaku
sendiri
e. Diskusikan konsekuensi
tidak menggunakan rasa
bersalah dan rasa malu
31
f. Diskusikan risiko yang
menimbulkan bahaya pada
diri sendiri
g. Fasilitasi dalam memperoleh
informasi yang dibutuhkan
h. Berikan pilihan realitas
mengenai aspek-aspek
tertentu dalam perawatan
i. Motivasi untuk menentukan
harapan yang realistis
j. Tinjau kembali kemampuan
dalam pengambilan
keputusan
k. Hindari mengambil
keputusan saat pasien berada
di bawah tekanan
l. Motivasi terlibat dalam
kegiatan sosial
m. Motivasi mengidentifikasi
sistem pendukung yang
tersedia
n. Dampingi saat berduka (mis.
penyakit kronis, kecacatan)
o. Perkenalkan dengan orang
atau kelompok yang berhasil
mengalami pengalaman
sama
p. Dukung penggunaan
mekanisme pertahanan yang
tepat
q. Kurangi rangsangan
lingkungan yang
mengancam
Edukasi
a. Anjurkan menjalin
hubungan yang memiliki
kepentingan dan tujuan
32
sama
b. Anjurkan penggunaan
sumber spiritual, jika perlu
c. Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi
d. Anjurkan keluarga terlibat
e. Anjurkan membuat tujuan
yang lebih spesifik
f. Ajarkan cara memecahkan
masalahsecara konstruktif
g. Latih penggunaan teknik
relaksasi
h. Latih keterampilan sosial,
sesuai kebutuhan
i. Latih mengembangkan
penilaian obyektif
33
4. Implementasi
Implementasi merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana
tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter
& Perry, 2009). Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan
keperawatan oleh perawat. Hal-hal yang perlu di perhatikan ketika
melakukan implementasi adalah intervensi dilakukan sesuai rencana
setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal,
intelektual dan teknikal, intervensi harus dilakukan dengan cermat dan
efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologi dilindungi
dan didokumentasi keperawatan berupa pencataan dan pelaporan (Rohman
dan Walid, 2016).
5. Evaluasi
Dengan menggunakan hasil yang diharapkan dan dapat diukur, yang
ditetapkan pada tahap perencanaan, perawat mengumpulkan data yang
diperlukan untuk memutuskan apakah tujuan dan hasil klien tercapai
(Kozier, 2010). Menurut Diniarti, Aryani, Nurheni, Chairani & Tutiany
(2013), evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk
SOAP (subjektif, objektif, assesment, planning). Komponen SOAP yaitu S
(subjektif) dimana perawat menemukan keluhan klien yang masih
dirasakan setelah dilakukan tindakan. O (objektif) adalah data yang
berdasarkan hasil pengukuran atau observasi klien secara langsung dan
dirasakan setelah selesai tindakan keperawatan. A (assesment) adalah
kesimpulan dari data subjektif dan objektif (biasanya ditulis dalam bentuk
masalah keperawatan). P (planning) adalah perencanaan keperawatan yang
akan dilanjutkan dihentikan, dimodifikasi atau ditambah dengan rencana
kegiatan yang sudah ditentukan sebelumnya.
34
C. Tinjauan Konsep Penyakit
1. Definisi lansia
a. Definisi lansia
Lansia atau menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang
berarti seseorang telah melalui 3 tahap kehidupannya, yaitu anak,
dewasa dan tua. 3 tahap ini berbeda baik secara biologis, maupun
psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran,
misalnya kemunduran fisk, yang ditandai dengan kulit yang
mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran
kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan
figur tubuh yang tidak proporsional.
b. Batas-batasan lanjut usia
Menurut WHO lanjut usia meliputi
1) Usia pertengahan (middle age), adalah kelompok usia (45-59
tahun);
2) Lanjut usia (eldery) antara (60-74 tahun);
3) Lanjut usia (old) antara (75 dan 90 tahun); dan
4) Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Menurut Prof DR. Ny.Sumiati Ahmad Muhammad (Alm), Guru
Besar Universitas Gajah Mada Fakultas Kedokteran, periodesasi
biologis perkembangan manusia dibagi sebagai berikut
1) Usia 0-1 tahun (masa bayi);
2) Usia 1-6 tahun (masa prasekolah);
3) Usia 6-10 tahun (masa sekolah);
4) Usia 10-20 tahun (masa pubertas);
5) Usia 40-65 tahun (masa setegah umur, prasenium); dan
6) Usia 65 tahun keatas (masa lanjut usia, senium).
35
Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (pisikolog dari Universitas
Indonesia), lanjut usia merupakan kelanjutan usia dewasa.
Kedewasaan dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu
1) Fase iuventus, antara usia 25-40 tahun;
2) Fase verilitas, antara usia 40-50 tahun;
3) Fase praesenium, antara usia 55-65 tahun; dan
4) Fase senium, antara usia 65 tahun hingga tutup usia.
2. Definisi Artritis Reumatoid
Artritis rheumatoid. Kata artritis berasal dari dua kata Yunani.
Pertama, arthron yang berarti sendi. kedua, itis yang berarti peradangan.
Secara harfiah, artritis berarti radang sendi. sedangkan rheumatoid arthritis
adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan
dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembekakan, nyeri dan
seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon,
2002 dalam Ernawati 2012).
3. Klasifikasi Artritis Reumatoid
Buffer (2010) mengklasifikasikan artritis rheumatoid menjadi 4 tipe,
yaitu:
a. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
b. Rheumatoid arthritis deficit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
c. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
36
d. Possibler rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 3 bulan.
4. Etiologi
Penyebab artritis reumatoid belum diketahui secara pasti walaupun
banyak hal mengenai patogenesisnya telah terungkap. Factor genetik dan
beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya
penyakit ini. Kecenderungan wanita untuk menderita arthritis rheumatoid
dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil
menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai
salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penyakit ini. Walaupun
demikian karena pembenaran hormon esterogen eksternal tidak pernah
menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini
belum dipastikan bahwa factor hormonal memang merupakan penyebab
penyakit ini.
Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab
arthritis rheumatoid. Dugaan factor infeksi timbul karena umumnya
omset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai
oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga kini belum
berhasil dilakukan isolasi suatu organisme dari jaringan synovial, hal ini
tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen
peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan
terjadinya arthritis rheumatoid. Agen infeksius yang diduga merupakan
penyebab arthritis rheumatoid antara lain bakteri, mikroplasma atau
virus.
Hipotesis terbaru tentang penyebab penyakit ini adalah adanya
faktor genetik yang akan menjurus pada penyakit setelah terjangkit
beberapa penyakit virus, seperti infeksi virus Epstein-Barr. Heat Shock
Protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang (60-90 kDa)
yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respon terhadap stress.
37
Walaupun telah dikeatahui terdapat hubungan antara Heat Shock Protein
dan sel T pada pasien Arthritis Reumatoid namun mekanisme hubungan
ini belum diketahui secara jelas (Aspiani, 2014).
5. Patofisiologi
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan
sebelumnya) terutama terjadi dalam jaringan synovial. Proses fagositosis
menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim akan memcah
kolagen sehingga terjadi edema, poliferasi membrane synovial dan
akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang
rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya
permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. otot akan turut
terkena serabut otot akan mengalami perubahan degenerative dengan
menghilangnya elastisitas otot dan kekakuan konstraksi otot.
Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai
dengan adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada
orang yang sembuh dari serangan dan selanjutnya tidak diserang lagi.
Namun pada sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai
dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang
difus (Smeltzer dan Bare, 2002 dalam Ernawati, 2012).
38
6. Pathway
Gambar 2.1 Pathway Artritis Reumatoid
Kekuatan sendi Ankilosis tulang
Reaksi faktor R dengan
antibody, faktor metabolic,
infeksi dengan
kecenderungan virus
Kekauan sendi Hambatan mobilitas fisik
Reaksi peradangan Nyeri
Kurangnya informasi
tentang penyakit
Pennus Synovial menebal
Nodul Infiltrasi dalam os.
subcondria
Defisiensi pengetahuan
ansietas
Deformitas sendi
Gangguan body image
Mudah luksasi dan subluksasi
Resiko cidera
Hambatan nutrisi pada
kartilago artikularis
Kerusakan kartilago dan
tulang
Tendon dan ligament
melemah
Hilangnya kekuatan otot
Kartilago nekrosis
Erosi kartilago
Adhesi pada permukaan
sendi
Ankilosis fibrosa
Hambatan mobilitas fisik Distress spiritual
Keterbatasan gerakan sendi
39
7. Tanda dan Gejala
Pada pasien-pasien dnegan artritis rheumatoid akan menunjukkan
tanda dan gejala seperti :
a. Nyeri persendian.
b. Bengkak (rheumatoid nodule).
c. Kekakuan pada sendi terutama setelah bangun tidur pada pagi hari.
d. Terbatasnya pergerakan
e. Sendi-sendi terasa panas.
f. Demam (pireksia).
g. Anemia.
h. Berat badan menurun.
i. Kekuatan berkurang.
j. Tampak warna kemerahan di sekitar sendi.
k. Perubahan ukuran pada sendi dari ukuran normal.
l. Pasien tampak anemis.
Pada tahap yang lanjut akan ditemukan tanda dan gejala seperti :
a. Gerakan menjadi terbatas.
b. Adanya nyeri tekan.
c. Deformitas bertambah pembekakan.
d. Kelemahan.
e. Depresi (Ernawati, 2012).
8. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat:
a. Tes faktor rheumatoid biasanya positif pada lebih dari 75% pasien
artritis rheumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat
dijumpai pada pasien leprae, tuberculosis paru, sirosis hepatis, hepatitis
infeksiosa, endocarditis bakterialis, penyakit kolagen dan sarkoidosis.
b. Protein C reaktif biasanya meningkat.
c. LED meningkat.
d. Leukosit normal atau meningkat sedikit.
40
e. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
f. Trombosit meningkat.
g. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
h. Pada pemeriksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tetapi yang
tersering adalah metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi
sakroiliaka juga sering terkena. Pada awalnya terjadi pembekakan
jaringan lunak dan dimeneralisasi jukstra artikular kemudian terjadi
penyempitan ruang sendi dan erosi.
9. Penatalaksanan
Setelah diagnosis AR ditegakkan, pendekatan pertama yang harus
dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik
antara pasien dengan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang
merawatnya.
a. Pendidikan pada pasein mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan
yang akan dilakukan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan
terjamin ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama.
b. OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) diberikan sejak dini untuk
mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS
yang diberikan:
1) Aspirin, pasien dibawah umur 65 tahun dapat dimulai dengan dosis
3 – 4 x 1 g/hr, kemudian dinaikkan 0,3 – 0,6 perminggu sampai
terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20 – 30 mg/dl.
2) Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
c. DMARD (Disease Modifying Antirheumatoid Drugs) digunakan untuk
melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat arthritis
rheumatoid. Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan
risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah
diagnosis artritis rheumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak
ada, meski masih dalam status tersangka.
1) Klorokuin fosfat 250 mg/hr atau hidroksiklorokuin 400 mg/hr.
41
2) Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam
dosis 1 x 500 mg/hari, ditinggikan 500 mg/minggu, sampai
mencapai dosis 4 x 500 mg.
3) D – penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat.
Digunakan dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis
ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk
mencapai dosis total 4 x 250-300 mg/hari.
4) Garam emas adalah gold standart bagi DMARD.
5) Obat imunosupresif atau imunoregulator; metotreksat dosis
dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak
menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan.
6) Kortikosteroid, hanya dipakai untuk pengobatan arthritis
rheumatoid dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa seperti
vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat
berat.
d. Rehabilitasi
Bertujuan meningkatkan kualitas harapan hidup pasien. Caranya
antara lain dengan mengistirahakan sendi yang terlibat, latihan,
pemanasan dan sebagainya. Fisioterapi dimulai segera setelah rasa sakit
pada sendi berkurang atau minimal. Bila tidak juga berhasil, mungkin
diperlukan pertimbangan untuk tindakan operatif. Sering pula
diperlukan alat-alat, karena itu pengertian tentang rehabilitasi:
1) Pemakaian alat bidai, tongkat penyangga, kursi roda, sepatu dan
alat.
2) Alat ortotik protetik lainnya.
3) Terapi mekanik.
4) Pemanasan: baik hidroterapi maupun eletroterapi.
5) Occupational therapy.
e. Pembedahan
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil
serta terdapat alas an yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan
42
pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien atritis rheumatoid
umumnya bersifat orthopedic, misalnya sinovektomi, artodesis,
memperbaiki deviasi ulnar.
Untuk melihat kemajuan pengobatan dipakai parameter:
1) Lamanya morning stiffness.
2) Banyaknya sendi yang nyeri bila digerakkan atau berjalan.
3) Kekuatan menggenggam (dinilai dengan tensimetera).
4) Waktu yang diperlukan untuk berjalan 10 -15 meter.
5) Peningkatan LED.
6) Jumlah obat-obatan yang digunakan.
top related