bab ii tinjauan pustaka karyawan untuk membantu para pelanggan dan merespon permintaan mereka, serta...
Post on 23-May-2018
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab tinjauan pustaka berisi studi pustaka terhadap buku, artikel, jurnal
ilmiah, penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan topik penelitian. Uraian
tinjauan pustaka diarahkan untuk menyusun kerangka pemikiran atau konsep yang
akan digunakan dalam penelitian. Adapun tinjauan pustaka pada penelitian ini
meliputi Konsep Jasa, Konsep Kualitas, Kualitas Jasa (SERVQUAL), Kepuasan
Konsumen, Konsep Lean, Konsep Six sigma, Konsep Lean Six sigma, dan Critical
Review.
2.1 Konsep Jasa
Jasa (service) adalah tindakan atau kerja yang menciptakan manfaat bagi
pelanggan pada waktu dan tempat tertentu, sebagai hasil dari tindakan mewujudkan
perubahan yang diinginkan dalam diri atau atas nama penerima jasa tersebut
(Lovelock and Wright, 1999: 5). Menurut Kotler (2000) dalam Tjiptono (2005), jasa
adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada
pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak
menghasilkan kepemilikan sesuatu. Sedangkan menurut Zeithaml dan Bitner (1996,5)
dalam Yazid, 2001), jasa mencakup semua aktivitas ekonomi yang keluarannya
bukanlah produk atau konstruksi fisik, yang secara umum konsumsi dan produksinya
dilakukan pada waktu yang sama, dan nilai tambah yang diberikannya dalam bentuk
kenyamanan, hiburan, kecepatan, dan kesehatan yang secara prinsip bersifat
intangible. Jasa merupakan aktivitas, manfaat, atau kepuasan yang ditawarkan untuk
dijual (Tjiptono, 2006 : 6). Jadi, jasa adalah setiap tindakan atau aktivitas dan bukan
benda, yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik), konsumen
terlibat secara aktif dalam proses produksi dan tidak menghasilkan kepemilikan
sesuatu (Jasfar, 2005 : 17)
10
2.1.1 Karakteristik Jasa
Jasa memiliki empat karakteristik unik yang membedakannya dari barang dan
berdampak pada strategi mengelola dan memasarkannya (Tjiptono, 2005 : 22).
Keempat karakteristik tersebut adalah :
1. Intangibility
Jasa yang bersifat intangibility, artinya jasa tidak dapat dilihat, dirasa, dicium,
didengar, atau diraba sebelum dibeli atau dikonsumsi.
2. Variability
Jasa bersifat sangat variabel karena merupakan non-standardized output,
artinya banyak variabel bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa,
kapan, dan dimana jasa tersebut dihasilkan.
3. Inseparability
Barang biasanya diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi. Sedangkan
jasa umumnya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan
dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi antara penyedia jasa dengan
pelanggan merupakan ciri khusus dalam pemasaran jasa. Kedua pihak
mempengaruhi outcome (hasil) dari jasa tersebut. Dengan demikian kunci
keberhasilan bisnis jasa ada pada proses rekrutmen, kompensasi, pelatihan,
dan pengembangan karyawanannya.
4. Perishability
Jasa merupakan komoditas tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Bila
permintaan berfluktuasi. Berbagai masalah akan mucul berkaitan dengan
kapasitas menganggur (saat permintaan sepi) dan pelanggan tidak terlayani
dengan resiko mereka kecewa ataupun beralih ke penyedia jasa lainnya (saat
permintaan puncak).
11
2.2 Kualitas
Menurut Gasper (2003 : 4) , kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda
dan bervariasi. Secara konvensional dari kualitas menggambarkan karakteristik
langsung dari suatu produk, sedangkan secara strategik bahwa kualitas adalah segala
sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan.
Menurut Crosby (1979 : 58) dalam Nasution (2004), menyatakan bahwa
kualitas adalah confomance to requirement, yaitu sesuai yang diisyaratkan atau
distandardkan. Menurut Juran (dalam Kolarik, 1995:5) menyatakan bahwa kualitas
sesuai dengan kegunaan. Deming (1982 : 176) dalam Nasution (2004), menyatakan
bahwa kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar. Menurut Feigenbaum
(dalam Kolarik, 2005:5) Kualitas adalah gabungan total dari suatu produk dan jasa,
dengan karakteristik dari pemasaran, teknik, produksi, dan perawatan yang mana
produk dan jasa dalam penggunaannya akan menghasilkan harapan
konsumen.Sedangkan Garvin dan Davis (1994) dalam Nasution (2004), kualitas
adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia atau tenaga
kerja, proses dan tugas, serta lingkungann yang memenuhi atau melebihi harapan
pelanggan atau konsumen.
2.3 Kualitas Jasa (Kualitas Layanan)
Definisi kualitas jasa berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan
keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan
pelanggan (Nasution, 2004:47). Menurut Lewis dan Booms (1983) (dalam Tjiptono ,
2005), kualitas jasa (service quality) sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan
yang diberikan mampu sesuai dengan ekspektasi pelanggan. Kualitas layanan adalah
ketidaksesuaian antara harapan konsumen dan persepsi konsumen ( Berry, Zeithaml,
Parasuraman,1990 : 19)
Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan
yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa
yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan
12
sebagai kualitas ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang
diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya
kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan
pelanggan secara konsisten (dikutip dalam : Tjiptono, 1996 : 60)
2.3.1. Dimensi Kualitas Layanan (Servqual )
Terdapat lima dimensi utama yang disusun sesuai urutan tingkat kepentingan
relatifnya sebagai berikut : (Parasuraman, Berry, Zeithaml, 1990 : 26), yaitu :
1. Reliabilitas (reliability), berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk
memberikan layanan yang akurat sejak pertama kali tanpa membuat kesalahan
apapun dan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu yang disepakati.
2. Daya tanggap (responsiveness), berkenaan dengan kesediaan dan kemampuan
para karyawan untuk membantu para pelanggan dan merespon permintaan
mereka, serta menginformasikan kapan jasa akan diberikan dan kemudian
memberikan jasa secara cepat.
3. Jaminan (assurance), yakni perilaku para karyawan mampu menumbuhkan
kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan, dan perusahaan bisa
menciptakan rasa aman bagi para pelanggannya. Jaminan juga berarti bahwa
karyawan selalu bersikap sopan dan menguasai pengetahuan dan ketrampilan
yang dibutuhkan untuk menangani setiap pertanyaan atau masalah pelanggan.
4. Empati (empathy), berarti perusahaan memahami masalah para pelanggannya
dan bertindak demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian
personal kepada pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman.
5. Bukti fisik (tangibles), berkenaan dengan daya tarik fasilitas, perlengkapan,
dan materialyan digunakan perusahaan, serta penampilan karyawan.
13
2.3.2 Model Service Quality (SERVQUAL)
Model kualitas jasa yang paling popular hingga kini banyak dijadikan acuan
dalam riset manajemen dan pemasaran adalah model SERVQUAL (service quality).
Model ini dikembangkan dengan maksud untuk membantu para manajer dalam
menganalisis sumber masalah kualitas dan memahami cara-cara memperbaiki
kualitas (Tjiptono,2005: 145). Model yang dikembangkan oleh Zeithaml et al (1990 :
45-46) yaitu model service quality (Servqual) dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut
ini :
Komunikasi Gethok Tular
PEMASAR
Persepsi manajemen atas harapan pelanggan
Jasa yang dipersepsikan
Jasa yang diharapkan
Pengalaman masa lalu
Kebutuhan pribadi
Spesifikasi Kualitas Jasa
Komunikasi eksternal kepada pelanggan
Penyampaian jasa
GAP 1
PELANGGAN
GAP 2
GAP 3
GAP 5
GAP 4
Gambar 2.1 : Model Konseptual SERVQUAL ; sumber dari Zeithaml,et al. (1990)
14
Keterangan :
Garis putus-putus horizontal memisahkan dua fenomena utama, pada bagian
atas berkaitan dengan pelanggan dan bagian bawah berkaitan dengan perusahaan atau
penyedia jasa.
Dalam penelitiannya, Parasuraman, et al., (1994) (dalam Nasution, 2004 : 63)
mengidentifikasikan lima kesenjangan (gap) yang menyebabkan kegagalan
penyampaian jasa. Lima gap utama tersebut adalah:
1. Gap antara harapan pelanggan dan persepsi manajemen (knowledge gap)
Gap ini berarti bahwa pihak manajemen mempersepsikan ekspektasi pelanggan
terhadap kualitas jasa secara tidak akurat.Akibatnya manajemen tidak mengetahui
bagaimana suatu jasa seharusnya di desain, dan jasa-jasa pendukung sekunder apa
saja yang diinginkan konsumen.
2. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi
kualitas jasa (standards gap).
Gap ini berarti bahwa spesifikasi kualitas jasa tidak konsisten dengan persepi
manajemen terhadap ekspektasi kualitas. Kadangkala manajemen mampu
memahami secara tepat apa yang diinginkan pelanggan, tetapi mereka tidak
menyusun suatu standard kinerja tertentu yang jelas. Hal ini dikarenakan tiga
faktor, yaitu : tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa,
kekurangan sumberdaya, adanya kelebihan permintaan.
3. Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa (delivery gap)
Gap ini berarti bahwa spesifikasi kualitas tidak terpenuhi oleh kinerja dalam
proses produksi dan penyampaian jasa.
4. Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksernal (communications gap)
Gap ini berarti bahwa janji-janji yang disampaikan melalui aktivitas
komunikasi pemasaran tidak konsisten dengan jasa yang disampaikan kepada para
15
pelanggan.Kecenderungan untuk melakukan ”over promise” dan ”under
deliver”.
5. Gap antara jasa yang dipersepsikan dan jasa yang diharapkan (service gap)
Gap ini berarti bahwa jasa yang dipersepsikan tidak konsisten dengan jasa
yang diharapkan. Gap ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja atau prestasi
perusahaan berdasarkan kriteria yang berbeda, atau bisa juga mereka keliru
mengintepretasikan kualitas jasa yang bersangkutan.
2.3.3 Pengukuran service quality (servqual)
Pengukuran kualitas jasa dalam model servqual didasarkan pada skala multi item
yang dirancang untuk mengukur harapan dan persepsi konsumen, serta gap di antara
keduanya pada lima dimensi utama kualitas jasa (servqual). Evaluasi kualitas jasa
menggunakan model servqual mencakup perhitungan perbedaan di antara nilai yang
diberikan para konsumen untuk setiap pasang pernyataan yang berkaitan dengan
harapan dan persepsi. Skor servqual untuk setiap pasang pernyataan, baik masing-
masing konsumen dapat dihitung berdasarkan berikut (Zeithaml,et al., 1990 : 176),
yaitu :
SERVQUAL Scores = Perception Scores – Expectation Scores x Bobot
2.4 Kepuasan Konsumen
Pada hakikatnya tujuan bisnis adalah menciptakan dan mempertahankan
kepuasan konsumen. Oleh karena itu hanya dengan memahami proses dan pelangan,
maka organisasi dapat menyadari dan menghargai makna kualitas. Kepuasan
pelanggan adalah perbandingan antara persepsinya terhadap jasa yang diterima
dengan harapannya sebelum menggunakan jasa tersebut (Jafar, 2005 : 49). Adanya
kepuasan pelanggan dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya
(Tjiptono,1994,p.9) :
16
1.Hubungan antara perusahaan dan para pelanggannya menjadi harmonis.
2.Memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang.
3. Dapat mendorong terciptanya loyalitas pelanggan.
4.Membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut (word-of-mouth) yang
menguntungkan bagi perusahaan.
5.Reputasi perusahaan menjadi lebih baik dimata pelanggan.
6. Laba yang diperoleh dapat meningkat.
Menurut Day (dalam Tse dan Wilton, 1988, p.204) dalam Nasution (2004),
menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi
ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja
lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. Menurut
Engel et al. (1990) dalam Nasution (2004), menyatakan bahwa kepuasan pelanggan
merupakan evaluasi purnabeli di mana alternatif yang dipilih sekurang–kurangnya
sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila
hasil (outcome) tidak memenuhi harapan. Sedangkan Kotler (1994) dalam Nasution
(2004) menandaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang
setelah membandingkan kinerja (hasil) yang ia rasakan dibandingkan dengan
harapannya. Kepuasan pelanggan adalah hasil akumulasi dari konsumen/pelanggan
dalam mengunakan produk dan jasa (Irawan, 2002 :3).
2.4.1 Pengukuran Kepuasan Konsumen
Beberapa macam metode dalam pengukuran kepuasan pelanggan adalah sebagai
berikut (Kotler, 1994, pp.41-43) dalam Tjiptno (2005) :
1. Sistem keluhan dan saran
Organisasi yang berpusat pada pelanggan (customer-centered) memberikan
kesempatan yang luas kepada para pelanggannya untuk menyampaikan saran dan
keluhannya. Misalnya dengan menyediakan kotak saran, kartu komentar,
customer hot lines, dan lain-lain.
17
2.Ghost shopping
Salah satu cara untuk memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan
adalah dengan memperkerjakan beberapa orang untuk berperan atau bersikap
sebagai pembeli potensial, kemudian melaporkan temuan-temuannya mengenai
kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing berdasarkan pengalaman
mereka dalam pembelian produk-produk tersebut. Selain itu para ghost shopper
dapat mengamati cara penanganan setiap keluhan.
3.Lost customer analysis
Menghubungi pelanggan yang telah berhenti membeli atau yang telah pindah
pemasok agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi.
4. Survai kepuasan pelanggan
Umumnya penelitian mengenai kepuasan pelanggan dapat dilakukan dengan
penelitian survai, baik melalui pos, telepon, maupun wawancara langsung
(McNeal dan Lamb dalam Peterson dan Wilson, 1992: p. 61) dalam Tjiptono
(2005).
Tujuh alat yang akan digunakan sebagai alat perbaikan kualitas jasa, yaitu
(Tjiptono, 1997, pp. 163 - 168) :
1.Diagram sebab akibat
Diagram ini sering disebut sebagai diagram tulang ikan (fishbone diagram).
Diagram ini digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis suatu proses
atau situasi dan menemukan kemungkinan penyebab persoalan / masalah tertentu
yang terjadi. Manfaat diagram ini adalah kemampuannya memisahkan penyebab
dari gejala, memfokuskan perhatian pada hal – hal yang relevan, serta diterapkan
pada setiap masalah.
2. Check sheet
Merupakan alat pengumpul dan analisis data. Tujuannya adalah untuk
mempermudah proses pengumpulan data bagi tujuan-tujuan tertentu dan
menyajikannya dalam bentuk yang komunikatif, sehingga dapat dikonversi
menjadi informasi.
18
3. Diagram pareto.
Digunakan untuk mengklasifikasikan masalah menurut sebab dan gejalanya.
Masalah di diagramkan menurut prioritas atau tingkat kepentingannya, dengan
menggunakan format grafik batang, dimana 100 % menunjukkan kerugian total.
Prisip yang mendasari diagram ini adalah aturan ’80 – 20 ’ yang menyatakan ’80
% of the trouble comes from 20% of the problems’.
4. Run chart dan Control chart
Run chart digunakan untuk mengidentifikasi kecenderungan (trend) yang
terjadi dengan jalan menggambarkan atau memetakan data selama periode waktu
tertentu. Kecenderungan (trend) tersebut sangat berguna dalam memisahkan
sebab dari gejala. Control chart digunakan untuk menganalisa proses dengan
tujuan memperbaikinya secara terus-menerus.
5. Histogram
Suatu diagram yang dapat menggambarkan penyebaran atau standar deviasi
sebuah proses. Data frekuensi yang diperoleh dari pengukuran menunjukkan
suatu puncak pada nilai tertentu. Variasi ciri khas kualitas yang dihasilkan disebut
distribusi. Angka yang menggambarkan frekuensi dalam bentuk batang disebut
histogram. Alat ini berguna untuk menentukan masalah dengan memeriksa bentuk
dispersi, nilai rata-rata, dan sifat dispersi.
6.Stratifikasi
Merupakan teknik pengelompokkan data ke dalam kategori-kategori tertentu,
agar dapat menggambarkan permasalahan secara jelas sehingga kesimpulan-
kesimpulan dapat lebih mudah diambil.
7. Scatter diagram
Dua buah variabel yang sesuai dipetakan dalam sebuah diagram sebar
(scatter). Hubungan antara titik-titik yang dipetakan menggambarkan hubungan
antara kedua variabel tersebut. Alat ini berguna dalam mempelajari dan mencari
faktor-faktor yang berpengaruh.
19
2.4.2 Manfaat Kepuasan Konsumen
Kepuasan pelanggan mempunyai banyak manfaat bagi perusahaan. Manfaat
kepuasan konsumen dan kualitas jasa terlihat pada gambar 2.2, yaitu :
2.5 Konsep Lean
Konsep lean adalah sekumpulan peralatan dan metode yang dirancang untuk
mengeliminasi waste, mengurangi waktu tunggu, memperbaiki performance, dan
mengurangi biaya ( william, 2006). Lean adalah suatu upaya terus-menerus untuk
menghilangkan pemborosan (waste) dan meningkatkan nilai tambah (value added)
produk (barang dan/atau jasa) agar memberikan nilai kepada pelanggan (customer
value) Gaspersz, 2007). Tujuan dari lean adalah untuk mengeliminasi waste semua
proses dan memaksimalkan efisiensi proses (Yang, 2005). Lean berfokus pada
Gambar 2.2 Manfaat Kepuasan Konsumen (Sumber : C.H. Lovelock,P.G. Petterson, dan R.H. Waller, Service Marketing:Australia and New Zealand
20
peningkatan terus-menerus customer value melalui identifikasi dan eliminasi
aktivitas-aktivitas tidak bernilai tambah yang merupakan pemborosan (waste).
Dimana waste adalah segala aktivitas kerja yang tidak memberikan nilai tambah
dalam proses transformasi input menjadi output sepanjang value stream.
2.5.1 Lean Thinking
Pada dasarnya konsep lean adalah konsep perampingan atau efisiensi. Konsep
ini dapat diterapkan pada perusahaan manufaktur maupun jasa. Konsep lean thinking
diprakarsai oleh sistem produksi Toyota di Jepang. Lean dirintis oleh Taicho Ohno
dan Sensei Shigeo Shingo dimana implementasi dari konsep ini didasarkan pada 5
prinsip utama (Hines & Taylor, 2000) yaitu :
1. Specify value
Menentukan apa yang dapat memberikan nilai dari suatu produk atau layanan
dilihat dari sudut pandang konsumen bukan sari sudut pandang perusahaan.
2. Identify whole value stream
Mengidentifikasikan tahapan-tahapan yang diperlukan , mulai dari proses
desain, pemesanan, dan pembuatan produk berdasarkan keseluruhan value
stream untuk menemukan pemborosan yang tidak memiliki nilai tambah (non
value adding waste)
3. Flow
Melakukan aktivitas yang dapat menciptakan suatu nilai tanpa adanya
gangguan, proses rework, aliran balik, aktivitas menunggu (waiting) ataupun
sisa produksi.
4. Pulled
Mengetahui aktivitas-aktivitas penting yang digunakan untuk membuat apa
yang diinginkan oleh konsumen.
5. Perfection
Berusaha mencapai kesempurnaan dengan menghilangkan waste
(pemborosan) secara bertahap dan berkelanjutan.
21
Dasar pemikiran dari lean thinking adalah berusaha meniadakan waste
(pemborosan) baik dalam tubuh perusahaan atau antar perusahaan. Dasar pemikiran
ini merupakan hal mendasar untuk mewujudkan sebuah value stream yang ramping
atau lean. Untuk dapat mengaplikasikan konsep lean dalam perusahaan diperlukan
pemahaman akan kebutuhan konsumen dan apa yang dipentingkan oleh konsumen.
Dari penggambaran value stream dari perusahaan akan diketahui aktivitas-aktivitas
yang tidak berguna bisa dieliminasi, sehingga nantinya konsumen tidak perlu
membayar suatu aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah dalam proses
produksi.
2.5.2 Metodologi Lean Thinking
Langkah – langkah yang dilakukan dalam proses lean thinking adalah sebagai
berikut (Hines dan Taylor,2000) :
1. Understanding waste
Pada langkah ini, pemborosan harus diketahui. Prinsip yang digunakan adalah
pemilahan aktivitas-aktivitas menjadi tiga jenis, yaitu value adding, non value
adding, serta necessary but non-value adding.
2. Setting the direction
Pada tahap ini, ditentukan arah dan tujuan dari perbaikan. Arah berupa alat
ukur keberhasilan, target keberhasilan untuk setiap alat ukur, pendefinisian
proses-proses inti, serta proses yang membutuhkan pemetaan secara detail.
3. Understanding the big picture
Pada tahap ini keinginan konsumen, aliran fisik serta aliran informasi dari
proses pemenuhan konsumen harus diketahui.
4. Detailed mapping
Pada tahap ini dilakukan pemetaan secara detail.
5.Getting suppliers and customers involved
Implementasi lean thinking harus melibatkan supplier dan pelanggan dalam
inisiatif perbaikan.
6.Checking the plan fits the direction and ensuring buy-in.
22
Pada tahap ini, dilakukan pengecekan kesesuaian antara arah yang dituju
dengan rencana awal.
Konsep lean tidak hanya diterapkan di sektor manufaktur, tetapi juga dapat
diterapkan pada sektor non-manufaktur. Beberapa penerapan prinsip Lean
Manufacturing dan Lean Service akan ditujukan pada tabel 2.1 seperti berikut :
Tabel 2.1 Prinsip-prinsip Lean Manufacturing dan Lean Service
No Manufacturing
(Barang)
Non-Manufacturing
(Produk : jasa, administrasi, kantor)
1. Spesifikasi secara tepat nilai
produk yang diinginkan konsumen
Spesifikasi secara tepat nilai produk yang
diinginkan konsumen
2. Identifikasi value stream untuk
setiap produk
Identifikasi value stream untuk setiap
proses jasa.
3. Eliminasi semua pemborosan
setiap produk yang terdapat dalam
aliran proses agar membuat nilai
mengalir tanpa hambatan.
Eliminasi semua pemborosan yang
terdapat dalam aliran proses jasa (moment
of truth) agar membuat nilai mengalir
tanpa hambatan.
4. Menetapkan sistem tarik (pull
system) menggunakan kanban
yang memungkinkan pelanggan
menarik niali dari prosedur.
Menetapkan sistem anti-kesalahan
(mistake-proof system) setiap proses jasa
(moment of truth) untuk menghindari
pemborosan dan penundaan.
5. Mengejar keunggulan untuk
mencapai kesempurnaan (zero
waste) melalui peningkatan terus
menerus secara radikal.
Mengejar keunggulan untuk mencapai
kesempurnaan (zero waste) melalui
peningkatan terus menerus
Sumber : Continuous Cost Reduction Through Lean-Sigma Approach, PT.
Gramedia Pustaka Utama.2006
23
2.5.3 Value Stream Mapping Tools
Value stream mapping adalah metode yang menggunakan gambar dari proses
dan mengidentifikasikan dan mengukur waste dalam proses. Value stream adalah
semua aktivitas (value added dan non value added) yang diminta untuk memberikan
produk dengan main flow (Yang, 2005). Value stream map adalah suatu cara yang
efektif untuk menemukan waste atau muda dan menunjukkan perbaikan proses
(Yang, 2005). Value stream mapping tools berfungsi untuk mereduksi waste. Tujuh
waste menurut Shigeo Shingo (Hines and Taylor, 2000) yaitu:
1. Defect adalah cacat atau kegagalan pada suatu proses produksi.
2. Transportation, pergerakan dari orang, informasi atau barang yang berlebihan
menyebabkan pemborosan waktu, biaya dan usaha.
3. Overproduction,melakukan produksi terlalu banyak daripada yang dibutuhkan.
4. Waiting, periode yang lama terhadap ketidak aktifan orang, informasi atau barang
sehingga menghasilkan idle time.
5. Processing, penambahan aktivitas tetapi tidak memberikan nilai tambah pada
produk yang dihasilkan.
6. Motion, pengaturan peralatan dan tempat kerja yang tidak ergonomis.
7. Inventory, persediaan yang melampaui batas pada suatu aliran proses produksi.
Monroe (2006),bahwa value stream attribute mapping (VSAM) adalah
dibangun dalam lima bagian, yaitu suppliers, input, process, output, customer.
Dengan menggunakan VSAM, diharapkan untuk melengkapi aktivitas pemetaan,
sekarang ataupun masa depan, dalam waktu yang singkat dapat menghilangkan waste
dan lebih efisien.
Womack (2006), memberikan langkah-langkah melakukan value stream
mapping, yaitu langkah pertama, mengidentifikasi product family, langkah kedua,
sering menggunakan analisis untuk menentukan masalah dengan organisasi. Tujuan
dengan menggambarkan pemetaan ini untuk mengidentifikasikan setiap aktifitas yang
tepat untuk menciptakan suatu nilai.
24
2. 6 Konsep Six sigma
Six sigma adalah suatu besaran (metric) yang dapat kita terjemahkan sebagai
suatu proses pengukuran dengan menggunakan tools-tools statistic dan teknik untuk
mengurangi cacat hingga tidak lebih dari 3,4 DPMO (Defect per Million
Opportunities) atau 99,99966 persen difokuskan untuk mencapai kepuasan
pelanggan. Six sigma adalah pendekatan disiplin yang berdasarkan pada lima tahap,
yaitu Define, Measure, Analyze, Improve, dan Control (Hargrove and Burge,2002).
Menurut Woodard (2005), Six sigma adalah sebuah program yang menggunakan
analisis data untuk mencapai proses bebas defect dan untuk mengurangi variasi.
William (2006), Six sigma adalah metodologi dengan penyelesaian permasalahan
yang disebut DMAIC, dimana DMAIC adalah sekumpulan alat yang digunakan
untuk mengidentifikasi, analisis, dan mengeliminasi sumber variasi dalam sebuah
proses. Six sigma melakukan perbaikan terhadap masalah yang terjadi dengan fokus
pada faktor penyebab masalah. Six sigma adalah strategi bisnis yang didalamnya
disediakan peralatan untuk memperbaiki kemampuan dari bisnis prosesnya (Yang,
2005).
Nilakantasrinivasan dan Nair (2005), ”DMAIC Failure modes” , six sigma
mempunyai penetrasi yang luas, termasuk organisasi kecil, menengah, besar dalam
manufaktur dan industri jasa berdasar pada pendekatan Define, Measure, Analyze,
Improve, Control (DMAIC). Ho dan Chuang (2006), dalam penelitiannya
menyatakan : dengan margin profit yang kecil, suatu perusahaan dengan cerdas
mencari cara untuk membedakannya dari kompetitor, rute persaingan, memperluas
market share, menciptakan kualitas yang berbeda dan untuk mencapai kualitas zero
defect. Six sigma secara efektif menyelesaikan permasalahan inti dalam kualitas
produksi. Pada studi kasus ini yaitu pemerintahan Taiwan menyatakan pentingnya
sistem manajemen kualitas six sigma dan mengimplementasikannya untuk
meningkatkan kualitas dari layanan yang diberikan.
25
Lazarus dan Neely (2003 ) ”Six sigma Raising The Bar”, Six sigma fokus
pada pengurangan defect manajemen dan proses secara klinis, hal ini digunakan
analisa statistik untuk mendapatkan bagian yang paling defect dari proses dan
mengendalikan prosedur untuk perbaikan. Level six sigma mengidentifikasikan
kemungkinan sebuah proses dengan mengukur jumlah dan standard deviasi antara
performansi rata-rata dari proses dan mempertimbangkan batas penerimaan
performansi, yaitu hanya 0.00034 % defect dari proses. Hasilnya adalah bahwa six
sigma didefinisikan sebagai sebuah sistematik dan berdasarkan pada proses secara
statistik untuk menyatakan defect dalam kinerjanya dan diinginkan sesuai dengan
spesifikasi konsumen. Metodologi six sigma bertujuan untuk mengurangi variasi
dalam proses bisnis yang mana memberikan perputaran waktu yang panjang, biaya
yang tinggi dan hasil yang jelek. Benitez et al (2007), ”Hospital Reduces Medication
Error Using DMAIC and QFD”, mencoba memperbaiki kualitas dengan
mengeliminasi langkah proses mungkin terlihat berlawanan. Tim dengan
multidisiplin dibentuk saat pihak rumah sakit mendapatkan cara untuk mengurangi
kesalahan. Awalnya, tim mengikuti metodologi define, measure, analyze, improve,
control. Tim fokus pada tujuan perancangan standard pengobatan proses lain untuk
semua unit di rumah sakit kecuali unit gawat darurat. Untuk mencapai tujuan ini, tim
merancang metodologi six sigma dan quality function deployment, untuk
menghubungkan kebutuhan konsumen dengan perancangan dan pengembangan
proses.
2.6.1 Metodologi Six sigma
Menggunakan six sigma yaitu menggunakan siklus define, measure, analysis,
improve, control (DMAIC).
Siklus DMAIC (George, 2002), yaitu :
1.Define, mengkonfirmasikan kesempatan dan mendefinisikan batasan dan tujuan
dari suatu proyek. Pada tahap ini dilakukan identifikasi permasalahan.
2.Measure, mengumpulkan data untuk membangun suatu “current state” apa yang
terjadi secara aktual ditempat kerja dengan proses yang terjadi dilapangan. Pada
26
tahap ini dilakukan untuk memvalidasi, mengukur, menganalisis permasalahan
berdasarkan data yang ada.
3.Analyze, penggunaan data dan tool untuk memahami penyebab yang dapat
mempengaruhi hubungan proses, yaitu mengintepretasikan data untuk
membangun sebab akibat.
4.Improve, mengembangkan modifikasi dengan perbaikan yang valid terhadap proses
dari sistem.
5.Control, mengimplementasikan prosedur-prosedur untuk meyakinkan bahwa
perbaikan-perbaikan dapat berlangsung lama.
2.7 Konsep Lean Six sigma
Prinsip lean six sigma adalah segala aktivitas yang menyebabkan critical-
critical-to-quality pada konsumen dan hal-hal yang mnyebabkan waste delay yang
lama pada setiap proses merupakan peluang/ kesempatan yang sangat baik untuk
melakukan perbaikan dan peningkatan dalam hal biaya, kualitas, modal, dan lead
time (george, 2002). Lean six sigma merupakan kombinasi antara lean dan six sigma
didefinisikan sebagai suatu filosofi bisnis, pendekatan sistemik dan sistematik untuk
mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) atau aktivitas-aktivitas
yang tidak bernilai tambah (non value added activities) melalui peningkatan terus-
menerus secara radikal untuk mencapai tingkat kinerja enam sigma, dengan cara
mengalirkan produk (material, work-in-process, output) dan informasi menggunakan
sistem tarik dari pelanggan internal dan eksternal untuk mengejar keunggulan dan
kesempurnaan berupa hanya memproduksi 3,4 cacat untuk setiap satu juta
kesempatan atau operasi (Gaspersz, 2007). Integrasi antara lean dan Six sigma akan
meningkatkan kinerja bisnis dan industri melalui peningkatan kecepatan (shorter
cycle time) dan akurasi (zero defect). Pendekatan lean akan menyingkapkan non-
value added dan value added serta membuat value added sepanjang proses value
stream, sedangkan Six sigma akan mereduksi variasi value added (Gaspersz, 2007).
27
Menurut George (2002), bahwa lean six sigma diterapkan dengan mengikuti
tiga aliran aktivitas, yaitu :
1. Initiation, pada tahap ini didapatkan komitmen dari top management.
2. Resource and project selection, pada tahap ini dilakukan pemilihan orang yang
mempunyai kemampuan leadership yang potensial untuk mendukung pelaksanaan
proyek dan berhubungan langsung dengan konsumen pada permasalahan kritis
yang mengenai kualitas dan menciptakan nilai para pemegang saham.
3.Implementation, sustainable, evolution, langkah ini berfokus pada pelaksanaan
operasional secara efektif.
Tabel 2.2 Contoh pemborosan dalam industri manufaktur dan jasa The Seven Waste
Manufacturing Service
1. Defect
2. Transportation
3. Overproduction
4. Waiting
5. Processing
6. Movement
7. Inventory
1. Errors in documents
2.Transport of document
3.Doing work not requested
4.Waiting do for the next step
5.Process step and approvals
6.Unnecessary motion
7.Backlog of work
Sumber : Continuous Cost Reduction Through Lean-Sigma Approach, PT.
Gramedia Pustaka Utama.2006
Arnheiter dan Mateyeff (2005), ”Integration of lean management and six
sigma, six sigma digunakan untuk produk yang bebas defect. Dengan six sigma output
dari suatu organisasi bernilai tidak hanya pada kualitas saja, tetapi juga ketersediaan,
keandalan, kinerja dari penyampaian dan purna jual. Kinerja dalam setiap komponen
harus superior. Lean mengeliminasi waste, jadi semua aktivitas selama dalam value
stream menciptakan nilai atau disebut dengan kesempurnaan. Usahanya fokus pada
pengurangan waste dan perbaikan secara terus-menerus dan radikal. Suatu organisasi
28
yang mengimplementasikan lean six sigma akan memaksimalkan value added dan
meminimalkan variasi.
2.8 Failure mode Effect and Analyze
Failure mode Effect and Analyze (FMEA) adalah prosedur untuk
menganalisis potensial failure mode dalam sebuah sistem (http://en.wikipedia.org).
FMEA merupakan suatu metode evaluasi secara sistematis failure mode, dampak dari
setiap kerusakan fungsi, personel dan keselamatan, performa sistem, maintabilities,
dan kebutuhan perawatan. FMEA dikembangkan oleh militer United Stated pada
tahun 1949 untuk mengelompokkan failures yang mempengaruhi keberhasilan misi
mereka dan personel serta keselamatan peralatan. FMEA digunakan sejak tahun 1960-
an pada saat misi keluar angkasa Apollo. Pada tahun 1980-an digunakan oleh Ford
Motor Company untuk mengurangi resiko setelah satu model mobil selesai
Kekurangan dari FMEA adalah FMEA hanya alat untuk mengidentifikasi
major failure modes dalam sebuah sistem. Sedangkan keuntungan dari FMEA adalah
meningkatkan keandalan dan kualitas dari produk atau proses, meningkatkan
kepuasan konsumen, lebih awal mengidentifikasi dan mengeliminasi potensial failure
modes dari produk atau proses.
2.8.1 Menentukan Severity, Occurrence,Detection dan RPN
Untuk menentukan prioritas dari suatu bentuk kegagalan maka tim FMEA
harus mendefinisikan terlebih dahulu tentang Severity, Occurrence, Detection, serta
hasil akhirnya yang berupa Risk Priority Number.
1. Severity
Severity adalah langkah pertama untuk menganalisa risiko yaitu suatu
penilaian tingkat keparahan dari keseriusan effect yang ditimbulkan dari mode-
mode kegagalan (failure mode), menghitung seberapa besar dampak/intensitas
kejadian mempengaruhi output proses, maupun proses-proses selanjutnya.
Dampak tersebut diranking mulai skala 1 sampai 10, dimana 10 merupakan
dampak terburuk.
29
2. Occurrence
Occurrence adalah suatu penilaian mengenai peluang (probabilitas) frekuensi
penyebab mekanisme kegagalan yang akan terjadi, sehingga dapat menghasilkan
bentuk/mode kegagalan yang memberikan akibat tertentu selama masa
penggunaan produk. Dengan memperkirakan kemungkinan occurrence pada skala
1 sampai 10. Karena peringkat kegagalan jatuh antara dua angka skala.
3.Detection
Nilai detection diasosiasikan dengan pengendalian saat ini. Detection adalah
pengukuran terhadap kemampuan dari alat/proses kontrol dalam
mengendalikan/mengontrol kegagalan yang dapat terjadi, mendeteksi kesalahan
maupun mode-mode kegagalan (failure mode) yang menyebabkan terjadinya
kegagalan.
4. Risk Priority Number (Angka Prioritas Risiko)
RPN merupakan produk matematis dari keseriusan effects (Severity),
kemungkinan terjadinya cause akan menimbulkan kegagalan yang berhubungan
dengan effects (Occurrence), dan kemampuan untuk mendeteksi kegagalan sebelum
terjadi pada pelanggan (Detection). RPN dapat ditunjukkan dengan persamaan
sebagai berikut :
RPN = S x O x D
Angka ini digunakan untuk mengidentifikasikan risiko yang serius, sebagai
petunjuk ke arah tindakan perbaikan.
2.9 Root Cause Analyze
Root cause analysis merupakan struktur logik yang mendefinisikan kejadian apa
yang menyebabkan terjadinya suatu kejadian yang tidak diinginkan/diharapkan.
Struktur dari Root Cause akan menjelaskan bagaimana kejadian yang tidak
diinginkan disebabkan oleh kegagalan pada Level bawah baik secara individu
maupun bersamaan. Root cause analysis adalah sebuah metode yang dapat membantu
menjelaskan :
30
1. Apa yang terjadi ?
2. Bagaimana bisa terjadi ?
3. Mengapa itu terjadi ?
2.10 Perbandingan Metode Servqual, Lean, dan Six sigma
Untuk lebih memudahkan pengertian dan perbandingan masing-masing
metode adalah sebagai berikut :
31
Tabel 2.3 Perbandingan Metode Servqual, Lean dan Six sigma
Servqual Lean Six sigma Teori Mengukur kepuasan konsumen dengan
mencari nilai gap berasal dari nilai harapan dan persepsi konsumen
Mengeliminasi waste dan menyikap value added
Mereduksi variasi dan zero defect.
Petunjuk aplikasi
Mengidentifikasi atribut kepuasan konsumen Menyebar kuisioner Menghitung nilai tingkat kepentingan, harapan, persepsi dari konsumen. Menghitung nilai gap Identifikasi nilai gap negatif tertinggi sebagai acuan perbaikan,
Identifikasi value stream. Identifikasi Big Picture Mapping. Perbaikan aliran Identifikasi non value added activities dan value added activities. Perbaikan berkesinambungan
Define Measure Analyze Improve Control
Fokus Kepuasan konsumen Value Stream Variasi dan zero defect Asumsi
Konsumen puas bila apa yang dirasakan lebih besar dari apa yang diharapkan dari layanan yang diterimanya Konsumen membandingkan layanan pada atribut-atribut yang relevan dengan standard ideal untuk masing-masing atribut jasa
Eliminasi waste akan meningkatkan kinerja perusahaan Perbaikan kecil lebih baik daripada analisa sistem
Masalah terjadi Output sistem akan meningkat jika variasi di setiap proses dikurangi.
Efek utama Mengetahui tingkat kepuasan konsumen atas layanan yang diberikan
Mengurangi waktu Output proses seragam
Efek sekunder Mengetahui atribut-atribut terpenting bagi kepuasan konsumen Mengetahui dimensi kualitas terpenting bagi kepuasan konsumen. Mengetahui nilai gap negatif tertinggi yang digunkan sebagai acuan perbaikan
Waste berkurang Proses lebih cepat Peningkatan kualitas
Variasi berkurang Output seragam Peningkatan kualitas.
Kelebihan Data kepuasan konsumen langsung dari Mengeliminasi waste Mengurangi variasi
32
konsumen dengan cara penyebaran kuisioner. Dapat langsung mengetahui atribut-atribut yang mempengaruhi kepuasan konsumen. Mudah dalam pengukurannya .
Mengetahui value added activities Mempercepat proses
Kualitas produk (barang dan atau/ jasa) zero defect. Proses improve menggunakan statistic tools
Kelemahan Jumlah pertanyaan yang banyak mempunyai potensi bias. Penilaian yang subyektif dari konsumen Pengukuran gap kurang dikomunikasikan, Lebih berfokus pada proses penyampaian jasa/layanan bukan pada hasil.
Proses dibawah pengendalian secara statistik Tidak dapat memperbaiki kecepatan proses. Peningkatan proses secara independen Interaksi sistem tidak diperhatikan
Tabel 2.3 Perbandingan Metode Sevqual, Lean dan Six sigma (Lanjutan)
33
2.9 Positioning Penelitian
Posisi penelitian ini dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya adalah penelitian ini mencoba mengintegrasikan tiga metode servqual,
lean dan six sigma, yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu
literature yang berupa jurnal atau penelitian sebelumnya masih bersifat independent.
Disini akan dilakukan pengintegrasian, dengan tujuan apakah dengan
mengintegrasikan metode servqual, lean dan six sigma akan berdampak pada
kepuasan konsumen dan kinerja kualitas layanan. Berikut table 2.4 tabel tabulasi yang
berisi tentang penelitian-penelitian sebelumnya dan nantinya akan dilakukan
positioning penelitian ini.
34
Penulis
Judul
Metode
Hasil
Servqual
Lean Six
sigma Lean Six
sigma
Karna (2004)
Analyzing customer satisfaction and
quality in construction-the case of public and private
customer
-
-
-
- Fokus pada kepuasan konsumen dan kualitas pada kualitas dalam industri konstruksi.
- Tujuan dari kepuasan konsumen untuk mencapai customer loyalty.
- Menggunakan pengukuran Servqual dengan skala 5 poin dari poin 1 sangat tidak puas, sampai poin 5 sangat puas, sebanyak 22 item pertanyaan mencakup lima dimensi.
Parasuraman et al (1985)
Quality count in service, Too
-
-
-
- Persepsi konsumen pada kualitas layanan adalah hasil dari perbandingan harapan untuk menerima layanan dengan layanan yang diterimanya.
- Evaluasi kualitas didukung dari proses layanan dan hasil layanan
- Ada dua tipe kualitas layanan, yang pertama tingkat kualitas yang biasanya disampaikan, dan yang kedua kualitas layanan ketika ada keluhan dan masalah.
- Ketika masalah timbul, rendahnya kontak layanan perusahaan menjadi tingginya kontak perusahaan.
Monroe (2006)
Analysing Value Stream
-
-
-
- Membuat value stream mapping atribut dengan dibangun lima bagian, yaitu supplier, input, process, output, customer.
- Dengan VSAM, diharapkan dengan waktu
Tabel 2.4 Positioning penelitian
35
yang singkat dapat menghilangkan waste dan lebih efisien.
Lazarus et al (2003)
Six sigma Raising
Bar
-
-
-
Six sigma fokus pada pengurangan defect. Menggunakan analisis statistic Metodologi six sigma bertujuan untuk mengurangi variasi.
Brett dan
Queen (2005)
Streamlining enterprise record management with
lean six sigma -
-
-
Six sigma bertujuan untuk mengurangi variasi dan mengeliminasi defect pada proses. Lean berpusat pada meminimalkan sumber daya dan menyampaikan dengan tepat waktu. Integrasi Lean Six sigma untuk meningkatkan kecepatan dan mengurangi waste serta memperbaiki kualitas yang berfokus pada voice of customer.
Penelitian ini
Integrasi metode Servqual, Lean dan
Six sigma
Bertujuan untuk meningkatkan kepuasan konsumen dan kinerja kualitas layanan.
Tabel 2.4 Positioning Penelitian (Lanjutan)
top related