bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/61153/3/bab ii.pdf · 2020. 4. 21. · rumah sakit umum...
Post on 01-Nov-2020
0 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Nomor : HK.02.03/I/1889/2013
RSUD kabupaten Sidoarjo adalah rumah sakit umum pemerintah kelas B
Pendidikan milik Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo, yang telah empat tahun
lebih menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Rumah Sakit Umum Daerah
Sidoarjo terletak di Jalan Mojopahit No. 667 kabupaten Sidoarjo ini memiliki visi
menjadi rumah sakit yang terakreditasi internasional dalam Pelayanan, Pendidikan,
dan Penelitian dengan nilai dasar profesional, integritas, dan beretika.
Gambar 2.1 Lokasi Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo.
2.2 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis (disingkat TBC) atau Tb (singkatan dari Tubercle bacillus)
merupakan penyakit menular yang umum dan dalam banyak kasus bersifat
mematikan. Sebagian besar tuberkulosis menyerang paru – paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculli. Bakteri ini berbentuk batang
dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA)
(Andareto, 2015). Ciri – ciri umum bakteri ini adalah memiliki panjang bervariasi
antara 1 – 4 mikron dan diameter 0,3 – 0,6 mikron, bentuknya agak melengkung
dan kelihatan seperti manik – manik atau bersegmen, tidak membentuk spora dan
6
basil yang bersifat parasit intraseluler, memiliki lapisan membran luar lipid, tahan
terhadap berbagai desinfektan lemah, dan dapat bertahan hidup dalam kondisi
kering selama berminggu – minggu, bila dilakukan uji perwanaan gram tidak
menunjukkan warna sama sekali atau menunjukkan pewarnaan Gram Positif yang
lemah, bakteri aerob, tetapi tidak tahan dengan sinar ultraviolet (Jindal, 2011).
Gambar 2.2 Anatomi bakteri Mycobacterium tuberculli .
Gambar 2.3 Anatomi Mycobacterium tuberculosis dalam mikroskop.
2.3 Epidemiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi
DOTS telah diterapkan di banyak Negara sejak tahun 1995 (Kemenkes, 2014).
Laporan World Health Organization dan Global Tuberculosis Report 2015
menyatakan bahwa dari 9,6 juta kasus – kasus TB baru pada tahun 2014, terdapat
58% berada di daerah Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Lebih dari separuh kasus
TB di dunia (54%) terjadi di China, India, Indonesia, Nigeria, dan Pakistan.
7
Indonesia sekarang berada pada ranking kedua negara dengan beban TB tertinggi
di dunia (World Heart Organization, 2015).
Gambar 2.4 Kasus Tuberculosis Pada Tahun 2015
Menurut data Center for Disease Control (CDC) pada tahun 2017, kasus
TBC mengalami sebanyak total 9.105 (tingkat 2,8 kasus per 100.000 orang).
Membedakan jumlah kasus yang dikaitkan dengan penularan ini kemungkinan
disebabkan oleh reaktivasi infeksi TB laten. Resiko TB lebih didasarkan atas sosial,
ekonomi, dan tingkat kesehatan individu. Angka kejadian TB meningkat pada usia
ekstrim (anak – anak dan orang tua) dan kelompok resiko tinggi seperti penderita
DM, pecandu alkohol, pecandu obat bius, Immunocompromizad conditions (HIV,
SLE, malnutrisi) (Center for Disease Control, 2019).
Penyakit ini menyerang semua golongan usia dan jenis kelamin, serta tidak
hanya pada golongan sosial ekonomi yang rendah. Rendahnya angka kesembuhan
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu penderita dalam perilaku dan karakteristik
individu, ketersediaan obat, lingkungan (geografis), dan PMO (Pengawas Minum
Obat) serta virulensi dan jumlah kuman (Widoyono, 2014).
Gambaran upaya penemuan kasus dapat dengan mengetahui banyaknya
semua kasus TB yang ditemukan dan tercatat melalui indikator Case Notification
Rate (CNR). CNR merupakan jumlah kasus TB baru yang ditemukan dan dicatat
antara 100.000 penduduk di wilayah dan periode waktu tertentu. Indikator ini dapat
8
digunakan untuk menggambarkan penemuan semua kasus TB maupun BTA positif.
Berdasarkan hasil angka notifikasi kasus BTA positif maupun semua kasus
menunjukkan pola yang tidak jauh berbeda. CNR TB untuk kedua tipe cenderung
menurun dalam empat tahun terakhir. Penurunan yang signifikan terjadi pada CNR
TB semua kasus, dari 138 per 100.000 penduduk pada tahun 2012 menjadi 125 per
100.000 penduduk pada tahun 2015 (Infodatin Kemenkes RI, 2016).
Gambar 2.5 Case Notification Rate (CNR) TB BTA Positif dan Semua
Kasus per 100.000 Penduduk di Indonesia tahun 2005 –
2015
Pasien TB pada provinsi Jawa Timur tahun 2015 yang tercatat hingga bulan
Februari tahun 2016 mencapai 38.912 orang. Tingginya kasus penyakit tuberkulosis
juga berdampak pada tingginya angka kematian di Jawa Timur yang mencapai 119
kasus sepanjang tahun 2014 hingga Maret 2015 (Dinkes Jatim, 2015). Dari data
laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo, di provinsi Jawa Timur jumlah
penderita TBC di kabupaten Sidoarjo berada di posisi ketiga, setelah Surabaya dan
Jember dengan jumlah kasus tuberkulosis paru tahun 2018 sebanyak 3.127 kasus
BTA positif (Dinkes Sidoarjo, 2019).
2.4 Etiologi Tuberkulosis
Penyebab penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis yang
secara klinis, dapat terjadi melalui infeksi primer dan paska primer. Infeksi primer
dapat terjadi saat seseorang terkena bakteri tuberkulosis untuk pertama kalinya.
Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam alveoli (gelembung
paru) terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh bakteri TB yang berkembang biak
9
dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya infeksi hingga pembentukan
komplek primer adalah sekitar 4 – 6 minggu.
Seseorang yang terinfeksi bakteri TB belum tentu sakit atau tidak
menularkan bakteri TB. Proses selanjutnya ditentukan oleh berbagai faktor risiko,
yaitu :
a. Risiko Eksternal
Faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat dan kumuh.
b. Risiko Internal
Penyebabnya ada pada tubuh penderita sendiri yang disebabkan oleh
terganggunnya sistem kekebalan dalam tubuh penderita seperti kurang gizi,
infeksi HIV/AIDS, pengobatan dengan immunosupresan dan lain sebagainya
(Depkes RI, 2005).
2.5 Patofisiologi Tuberkulosis
Seseorang dicurigai menghirup basil Mycobacterium tuberculli akan
menjadi terinfeksi. Bakteri menyebar melalui jalan nafas ke alveoli, dimana pada
daerah tersebut bakteri bertumpuk dan berkembang biak. Penyebaran ini bisa juga
melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang, korteks
serebri) dan area lain dari paru – paru (lobus atas) (Somantri, 2009).
Sistem kekebalan tubuh merespon dengan melakukan reaksi inflamasi.
Neutrofil dan makrofag memfagositosis bakteri. Limfosit yang spesifik terhadap
tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi
jaringan ini akan mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alveoli dan
terjadilah bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2 – 10
minggu setelah terpapar (Somantri, 2009).
Masa jaringan baru disebut granuloma, yang berisi gumpalan basil yang
hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding.
Granuloma berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari
massa tersebut disebut Ghon Tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan
bakteri menjadi nekrotik, membentuk perkijuan (necrotizing caseosa). Setelah itu
akan berbentuk kalsifikasi, membentuk jaringan kolagen. Bakteri menjadi non-aktif
(Somantri, 2009).
10
Penyakit akan berkembang menjadi aktif setelah infeksi awal, karena
respons sistem imun yang tidak adekuat. Penyakit aktif dapat juga timbul akibat
infeksi ulang atau aktifnya kembali bakteri yang tidak aktif. Pada kasus ini, terjadi
ulserasi pada ghon tubercle dan akhirnya menjadi perkijuan. Tuberkel yang ulserasi
mengalami proses penyembuhan membentuk jaringan parut. Paru – paru yang
terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkan bronkopneumonia, pembentukan
tuberkel, dan seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya.
Proses ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam
sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar getah bening. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel
tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Daerah yang mengalami nekrosis
serta jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblast akan
menimbulkan respons berbeda dan akhirnya membentuk suatu kapsul yang
dikelilingi oleh tuberkel (Somantri, 2009).
Gambar 2.6 Patofisiologi Tuberkulosis
11
2.6 Perjalanan alamiah Tuberkulosis Pada Manusia
Menurut Kemenkes tahun 2014 menyatakan bahwa terdapat empat
tahapan perjalanan alamiah penyakit tuberkulosis. Tahapan tersebut meliputi
tahap paparan, infeksi, menderita sakit, dan meninggal dunia.
a. Paparan
Peluang peningkatan paparan terkait dengan jumlah kasus menular di
masyarakat, peluang kontak dengan kasus menular, tingkat daya tular dahak sumber
penularan, intensitas batuk sumber penularan, kedekatan kontak dengan sumber
penularan, lamanya waktu kontak dengan sumber penularan, faktor lingkungan
seperti konsentrasi kuman di udara (ventilasi, sinar ultra violet, penyaringan adalah
faktor yang dapat menurunkan konsentrasi). Paparan kepada pasien TB menular
merupakan syarat untuk terinfeksi. Setelah terinfeksi, ada beberapa faktor yang
menentukan seseorang akan terinfeksi, menjadi sakit, dan kemungkinan meninggal
dunia karena tuberkulosis.
b. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6 – 14 minggu setelah infeksi.
Reaksi Immunologi (Lokal)
Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian
berlangsung reaksi antigen – antibody.
Reaksi Immunologi (Umum)
Delayed hipersensitivity (hasil tuberkulin tes menjadi positif).
Lesi umumnya sembuh total namun kuman dapat tetap hidup dalam lesi
tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi.
c. Menderita sakit
Faktor risiko untuk menjadi sakit tuberkulosis adalah tergantung dari
konsentrasi/jumlah bakteri yang terhirup, lamanya waktu sejak terinfeksi, usia
seseorang yang terinfeksi, tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang degan
daya tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi
buruk) akan memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB). Bila jumlah orang
12
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Hanya sekitar 10% orang yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun
bila seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui proses
reaktifasi. TB umumnya terjadi pada paru – paru (TB paru). Namun penyebaran
melalui aliran darah atau getah bening dapat menyebabkan terjadinya TB diluar
organ paru (TB ekstra paru). Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah
dapat menyebabkan semua organ tubuh terkena (TB milier).
d. Meninggal dunia
Faktor risiko kematian karena TB adalah akibat dari keterlambatan
diagnosis, pengobatan tidak adekuat, adanya kondisi kesehatan awal yang buruk
atau penyakit penyerta. Pasien TB tanpa pengobatan memiliki angka 50% akan
meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV positif (Kemenkes,
2014).
2.7 Penularan Tuberkulosis
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif, pada waktu batuk atau
bersin, pasien menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet
nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Orang dapat
terinfeksi bila droplet tersebut terhirup dalam saluran pernafasan. Umumnya
penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang
lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam
dalam keadaan yang gelap dan lembab (Kemenkes RI, 2011).
Gambar 2.7 Cara Penularan Tuberkulosis.
13
TB dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening.
Oleh sebab itu infeksi TB dapat menginfeksi hampir ke seluruh organ tubuh lain
seperti paru – paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening,
dan lain – lain. Meskipun demikian, organ tubuh yang paling sering terkena ialah
paru – paru. Saat mikrobakterium tuberkulosis berhasil menginfeksi paru – paru,
dengan segera koloni bakteri yang berbentuk globural atau bulat akan bertumbuh.
Melalui serangkaian reaksi imunologis, pertumbuhan bakteri TB bisa dihambat
melalui pembentukan dinding di sekeliling oleh sel – sel paru. Mekanisme
pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan paru.
Dengan demikian, bakteri TB akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk – bentuk
dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai bakteri pada pemeriksaan foto
rontgen (Sandina, 2011).
Ada 4 faktor penentu terjadinya penyebaran penyakit TB menurut CDC
tahun 2016, yaitu :
1. Daya tahan tubuh seseorang rendah.
2. Tingkat penularan
Penderita dengan banyak turbecle bacillus bersifat lebih menular dibandingkan
penderita dengan sedikit pengeluaran bacilli atau tanpa bacilli. Makin tinggi
derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut.
Karakteristik yang mempengaruhi tingkat penularan adalah sebagai berikut :
a. Faktor klinis
Faktor klinis terdiri dari keberadaan batuk, penyakit saluran nafas
khususnya yang berhubungan dengan laring (sangat menular), mulut dan
hidung tidak ditutup ketika batuk.
b. Prosedur
Seseorang mengalami prosedur yang memicu batuk atau produksi aerosol,
contohnya bronchoscopy, induksi sputum, pemberian obat bentuk aerosol.
c. Radiografi dan laboratorium
Meliputi lubang atau rongga pada radiografi dada, kultur positif
Mycobacterium tuberculosis, dan hasil positif dari AFB (Acid-Fast Bacilli)
sputum smear.
14
3. Lingkungan
Faktor lingkunan mempengaruhi konsntrasi Mycobacterium tuberculli,
contohnya konsentrasi droplet nuclei, ruangan, ventilasi, sirkulasi udara,
penanganan spesimen, dan tekanan udara.
4. Kontak, seperti durasi kontak dengan penderita TB menular, frekuensi kontak
denga penderita, paparan fisik dengan penderita (CDC, 2016).
2.8 Gejala dan Tanda Tuberkulosis
Untuk mengetahui tentang penderita tuberkulosis dengan baik harus
dikenali tanda dan gejalanya. Gejala utama penderita TB paru adalah batuk
berdahak selama 2 – 3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala
tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas,
nafsu makan turun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Kemenkes, 2011).
Gambar 2.8 Gejala – Gejala Tuberkulosis.
Namun, gejala tuberkulosis dapat menyerang semua organ tubuh lain sesuai
dengan bagian tubuh yang diserang atau bisa disebut juga gejala khusus, misalnya:
a. TB kulit atau skrolufoderma
b. TB tulang dan sendi meliputi tulang punggung (spondilitis) yaitu gibbus, tulang
panggul (koksitis) yaitu pincang dan pembengkakan di pinggul, tulang lutut
yaitu pincang dan atau bengkak.
c. TB otak dan saraf yaitu meningitis dengan gejala kaku kuduk, muntah, dan
kesadaran menurun.
d. Gejala mata yaitu Conjunctivitis phlyctenularis dan tuburkel koroid (hanya
terlihat dengan funduskopi) (Depkes RI, 2005).
2.9 Diagnosa Penyakit Tuberkulosis
Diagnosis tuberkulosis berdasarkan klasifikasi pasien dapat ditegakkan
menurut Kemenkes tahun 2011 yaitu :
15
1. Diagnosis TB paru
a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
c. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan
fototoraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas
pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Gambar 2.9 Alur Diagnosis TB Paru.
2. Diagnosis TB ekstra paru
a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kudukpada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
pembesarankelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas
tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
16
b. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan
atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena
(Kemenkes, 2011).
Menurut Kemenkes tahun 2014 menyatakan bahwa untuk diagnosis
penyakit tuberkulosis yang utama adalah penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan, dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh
uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) :
S (sewaktu) yaitu dahak ditampung pada saat terduga pasien tuberkulosis
datang berkunjung pertama kali di fasyankes. Pada saat pulang, terduga
pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari
kedua.
P (pagi) yaitu dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
fasyankes.
S (sewaktu) yaitu dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi (Kemenkes RI, 2014).
b. Pemeriksaan foto toraks
Pola kelainan yaitu kelainan di apek berupa infiltrat, ditemukan kavitas atau
ditemukannya nodul retikuler. Sensitivitas dan spesifisitas foto toraks dalam
mendiagnosis tuberkulosis yaitu 86% dan 83% apabila ditemukan ketiga pola
kelainan diatas. Gambaran foto toraks pada penderita TB paru sebagai berikut:
1) infiltrat yaitu gambaran benang – benang halus yang berwarna radioopak di
lapangan paru, dimanapun dari lapangan paru.
2) Fibrosis yaitu gambaran radioopak menyerupai benang (lebih opak dari
infiltrat) dengan tarikan dari parenkim paru sekitar. Fibrosis terjadi akibat
infeksi kronik yang berupa jaringan parut.
17
3) Kavitas adalah rongga pada paru yang terbentuk akibat rusaknya jaringan
paru, biasanya alveoli. Kavitas memberikan gambaran bulat dengan
radioluscent tanpa corakan paru. Kadang kavitas dapat berisi cairan yang
merupakan produk radang yang memberikan gambaran air fluid level.
4) Kalsifikasi adalah pengapuran pada parenkim paru yang terjadi akibat
proses infeksi kronik. Kalsifikasi memberikan gambaran radioopak lebih
opak dari fibrosis. Diameter kalsifikasi berkisar kurang dari 0,5 cm.
5) Tuberkuloma adalah proses pembentukannya sama dengan kalsifikasi,
bedanya pada tuberkuloma diameter lebih besar dari kalsifikasi (> 0,5 cm)
(Majdawati, 2016).
Gambar 2.10 Gambaran Pola Tuberkulosis Paru.
c. Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberculosa
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu,
misalnya pasien TB ekstra paru, pasien TB anak, dan pasien TB dengan hasil
pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif. Pemeriksaan tersebut
dilakukan di sarana laboratorium yang terpantau mutunya. Apabila
dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang
direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk
memanfaatkan tes cepat tersebut (Kemenkes RI, 2014).
d. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi
Mycobacterium tuberculosa terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Untuk
A Sebelum terkena tuberkulosis
B Sesudah terkena tuberkulosis
18
menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus
dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan
mutu / Quality Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil
kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan
paduan pengobatan pasien dengan resisten obat (Kemenkes RI, 2014).
e. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan lain indikasi : foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Foto
toraks pada penderita TB memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif,
diantaranya :
1) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah.
2) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular.
3) Bayangan bercak milier.
4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif, yaitu : fibrotik, kalsifikasi,
Schwarte atau penebalan pleura (Yunus, 2006).
f. Uji tuberkulin atau Tuberculin Skin Test (TST)
TST ini digunakan untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi dengan M.
Tuberkulosis. Test ini dilakukan oleh dokter, dimana dokter menyuntikkan
bakteri TBC yang sudah dilemahkan dibawah kulit. Pembawa bakteri TBC akan
memperlihatkan bercak kemerahan di bagian suntikan tersebut dalam waktu 2
hari. Tetapi sayangnya test ini tidak bisa menjadi sumber informasi untuk
mengetahui apakah infeksi ini bisa menyebar ke orang lain (Andareto, 2015).
2.10 Klasifikasi Tuberkulosis
Diagnosis TB adalah upaya untuk menegakkan atau menetapkan seseorang
sebagai pasien TB sesuai dengan keluhan dan gejala penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosa. Selanjutnya untuk kepentingan pengobatan dan
survailan penyakit, pasien harus dibedakan berdasarkan klasifikasi penyakitnya.
Ada beberapa klasifikasi tuberkulosis paru menurut Depkes RI tahun 2011 yaitu :
19
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selian paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain – lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu :
1. Tuberkulosis paru BTA positif
Tuberkulosis dengan kriteria sekurang – kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
SPS hasilnya BTA positif, 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan
foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis, 1 spesimen dahak
SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman tuberkulosis positif, dan 1 atau
lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi paling tidak 3
spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif, foto toraks abnormal
menunjukkan gambaran tuberkulosis, tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT, dan ditentukan (dipertimbangkan) oleh
dokter untuk diberi pengobatan.
c. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
1. Kasus baru
Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps)
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
20
3. Kasus setelah putus berobat (default)
Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus lain
Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas, dalam kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2011).
2.11 Komplikasi Tuberkulosis
Pada penderita tuberkulosis sering terjadi komplikasi dan resistensi.
Komplikasi berikut menurut Depkes RI tahun 2005 sering terjadi pada penderita
stadium lanjut, yaitu :
a. Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
d. Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan : kolaps spontan
karena kerusakan jaringan paru.
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan
sebagainya.
f. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu perawatan di rumah sakit.
Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA
negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan
dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak
diperlukan, tapi cukup diberi pengobatan simptomatis. Bila perdarahan hebat,
penderita harus dirujuk ke unit spesialistik. Resistensi terhadap OAT terjadi
umumnya karena penggunaan OAT yang tidak sesuai. Resistensi dapat terjadi
karena penderita yang menggunakan obat tidak sesuai atau patuh dengan jadwal
21
atau dosisnya. Dapat pula terjadi karena mutu obat yang di bawah standar (Depkes
RI, 2005).
2.12 Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien dan memperbaiki
produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya kematian oleh karena TB
atau dampak buruk selanjutnya, mencegah terjadinya kekambuhan TB,
menurunkan penularan TB, mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat
(Kemenkes, 2014).
Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang dipakai dalam pengobatan
tuberkulosis adalah antibiotik dan anti infeksi sintesis untuk membunuh
Mycobacterium. Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas
membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum
dipakai adalah Isoniazid, Rifampisin, Ethambutol, Pirazinamid, dan Streptomisin
(Andareto, 2015).
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan tuberkulosis. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien
untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri TB. Pengobatan yang adekuat
harus memenuhi prinsip menurut Kemenkes tahun 2014, yaitu :
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
b. Diberikan dalam dosis yang tepat.
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Minum Obat) sampai selesai pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal
serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan dengan maksud, yaitu di tahap awal pengobatan diberikan setiap hari.
Paduan pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk menurunkan jumlah
bakteri yang ada dalam tubuh pasien secara efektif dan meminimalisir pengaruh
dari sebagian kecil bakteri yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus
diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan
22
tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan
selama 2 minggu.
Sedangkan pada tahap lanjutan, pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap
yang penting untuk membunuh sisa – sisa bakteri yang masih ada dala tubuh
khususnya pada bakteri persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan. Pasien mendapatkan jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lama (Kemenkes, 2014).
2.13 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat Anti Tuberkulosis digolongkan menjadi 5 kelompok berdasarkan bukti
efikasi, potensi, kelas obat, dan pengalaman penggunaannya (WHO, 2010). Daftar
kelompok obat tersebut dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Kelompok Obat Anti Tuberkulosis
OAT lini pertama Kelompok 1
Oral : Isoniazid (H), Rifampisin (R),
Ethambutol (E), dan Pirazinamid (Z).
OAT lini kedua Kelompok 2
Aminoglikosida injeksi : Streptomisin (S),
Kanamisin (Km), Amikasin (Amk)
Kelompok 3
Fluoroquinolon oral dan injeksi : ciproflosaksin
(Cfx), Levoflosaksin (Lfx), Oflosaksin (Ofx)
Kelompok 4
Oral : asam para-aminosalisilat (Pas), sikloserin
(Dcs), Etionamid (Eto)
OAT lini ketiga Kelompok 5
Clofazimin (Cfz), Linezolid (Lzd), Klaritomisin
(Clr)
23
A. OAT lini pertama
1. Isoniazid (H)
Definisi. Obat ini bersifat bakterisidal yang mudah berdifusi dalam sel
dan semua cairan tubuh, dan diekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam dan
seluruhnya dalam bentuk metabolit (FK UI, 2004).
Mekanisme Kerja. Isoniazid mengintervensi sintesis asam nukleat dan
asam mikolat pada Mikobakterium, dengan perombakan menjadi asam isonikotinat
di sel bakteri dan menyisip di dalam NAD+ sebagai ganti dari asam nikotinat,
sehingga menyebabkan DNA bakteri rusak dan kemudian bakteri tersebut akan
mati (Gery Schmitz et al, 2003).
Indikasi. Isoniazid adalah tuberkulosis dengan kombinasi obat lainnya
(Pionas, 2008).
Kontraindikasi. Isoniazid adalah penyakit hati yang akut, hipersensitivitas
terhadap isoniazid, epilepsi, gangguan fungsi ginjal, dan gangguan psikis (Pionas,
2008).
Dosis. Isoniazid biasanya diberikan dalam dosis tunggal per oral tiap hari.
Dosis umumnya 5 mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari. Untuk tubrkulosis berat
diberikan 10 mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari (FK UI, 2004).
Interaksi. Penggunaan bersamaan dengan antikonvulsan, sedatif,
neuroleptik, antikoagulan, narkotika, teofilin, kortikosteroid, asetaminofen, dan
obat bersifat hepatotoksik (Pionas, 2008).
Farmakokinetika. Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral
maupun parenteral, dengan kadar puncak dicapai pada waktu 1 – 2 jam setelah
pemberian oral. Isoniazid memiliki dua pengaruh toksik utama yaitu neuritis perifer
dan hepatotoksik (FK UI, 2004). Waktu paruh plasma berkisar 1 – 3 jam (Ernst
Mutschler, 1991). Isoniazid diekskresikan dalam bentuk utuh dan metabolit melalui
ginjal, dan juga lewat air susu ibu. Selain itu sebagian kecil diekskresi melalui
saliva, sputum, dan feses (So Hui L, et al, 2011).
Efek Samping. Isoniazid adalah berupasa rasa kesemutan dan baal pada
tangan dan kaki, mual, muntah, dan vertigo. Sedangkan efek – efek lain yang jarang
dijumpai yaitu pening, kejang, neuritis optik, dan gejala mental (BNF, 2011).
24
Gambar 2.11 Struktur Kimia Isoniazid.
Gambar 2.12 Obat Anti Tuberkulosis Isoniazid.
2. Rifampisin (R)
Definisi. Obat ini bersifat bakterisidal. Rifampisin merupakan obat yang
sangat efektif untuk pengobatan tuberkulosis dan sering digunakan bersama
isoniazid untuk terapi tuberkulosis jangka pendek (FK UI, 2004). Selain
mikobakteria, rifampisin juga membasmi bakteri gram positif dan gram negatif
(Gery Schmitz et al, 2003).
Mekanisme Kerja. Obatnya yaitu menghambat sintesis RNA bakteri
dengan mengikat sub unit beta dari RNA polimerasi yang tergantung DNA dan
memblokir transkripsi RNA (Aberg et al, 2009).
Indikasi. Terapi adjuvan tuberkulosis (Aberg et al, 2009).
Kontraindikasi. Hipersensitivitas terhadap rifampisin (Aberg et al, 2009)
dan gangguan hati yang berat (Gery Schmitz et al, 2003).
Dosis. Dosis umum Rifampisin yaitu 10 – 20 mg/kg/BB/hari dan dosis
maksimal yaitu 600 mg/hari (WHO, 2005). Di Indonesia terdapat rifampisin dalam
bentuk kapsul 150 mg dan 300 mg, tablet 450 mg dan 600 mg serta suspensi yang
mengandung 100mg/5ml rifampisin (FK UI, 2004).
25
Interaksi. Penggunaan dengan antasida, opiat, antikolinergik, ketokonazol,
dan kontrasepsi hormonal (Pionas, 2008).
Farmakokinetika. Rifampisin berdifusi secara baik ke berbagai jaringan
termasuk ke dalam cairan otak dan diekskresikan melalui saluran empedu dan
ginjal. Kadar puncak dalam plasma setelah 2 – 4 jam (FK UI, 2004). Waktu
paruhnya adalah 3 – 5 jam (pada penderita penyakit hati, waktu paruh lebih panjang
(Ernst Mutschler, 1991)
Efek Samping. Rifampisin yaitu terjadinya perubahan warna merah jingga
pada urin, tinja, ludah, sputum, air mata, dan keringat (FK UI, 2004).
Gambar 2.13 Struktur Kimia Rifampisin.
Gambar 2.14 Obat Anti Tuberkulosis Rifampisin.
3. Ethambutol (E)
Definisi. ethambutol merupakan isomer turunan etilendiamina sederhana
yang memutar ke kanan, yang spektrum kerjanya hanya terbatas pada mikrobakteri
saja (Ernst Mutschler, 1991). Obat ini hanya aktif terhadap sel yang tumbuh dengan
khasiat tuberkulostatik (FK UI, 2004) dan bakteri yang resisten terhadap agen
antimycobacterial lainnya (So Hui L, et al, 2011).
Mekanisme Kerja. obat ini adalah menekan penggandaan mikrobakteri
dengan mengganggu sintesis RNA (Aberg et al, 2009).
26
Indikasi. Tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain untuk
pengobatan tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan
Mycobacterium avium complex (Pionas, 2008).
Kontraindikasi. Hipersensitivitas terhadap zat aktif atau zat tambahan
obat, neuritis optik, dan gangguan visual (Pionas, 2008).
Dosis. Dosis harian sebesar 15 – 20 mg/kgBB, diberikan sekali sehari (FK
UI, 2004). Dosis maksimal sebesar 1250 mg/hari (WHO, 2005).
Farmakokinetika. Pada pemberian oral sekitar 75 – 80% ethambutol
diserap oleh saluran cerna dan diekskresikan lagi melalui urin (Ernst Mutschler,
1991), dengan kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2 – 4 jam setelah
pemberian (FK UI, 2004).
Efek Samping. Ethambutol memiliki efek samping neuritis retrobulbar
yaitu turunnya daya penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna dan
mengecilnya lapang pandang (FK UI, 2004).
Gambar 2.15 Struktur Kimia Ethambutol .
Gambar 2.16 Obat Anti Tuberkulosis Ethambutol.
4. Pirazinamid (Z)
Definisi. Pirazinamid mempunyai spektrum kerjanya hanya terhadap
Mycobacterium tuberculosis. Efeknya pada pH rendah lebih kuat daripada di
27
lingkungan basa, maka terutama efektif pada kuman intraseluler dan nekrosis
tuberkulus. Perkembangan resistensi terjadi dengan cepat (Gery Schmitz et al,
2003). Obat ini lebih aktif pada suasana asam dan merupakan bakterisid yang kuat
(FK UI, 2004).
Mekanisme Kerja. Mekanisme kerjanya yaitu pirazinamid dalam bentuk
prodrug akan dikonversi menjadi asam pirazinoat oleh enzim piramidase bakteri.
Asam pirazinoat dan analognya 5-kloro-pirazinamid dapat menghambat sintesis
asam lemak dari bakteri. Dan akumulasi dari asam pirazinoat di dalam kondisi asam
akan mengasamkan sitoplasma dan merusak sel bakteri (Zhang Y et al, 2014).
Indikasi. Tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
dalam kombinasi dengan anti tuberkulosis lainnya (Pionas, 2008).
Kontraindikasi. Gangguan fungsi hati berat, profiria, hipersensitivitas
terhadap pirazinamid, gout, wanita hamil dan menyusui (Pionas, 2008).
Dosis. Pirazinamid terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis
oral yang diberikan 20 – 35 mg/kgBB sehari (maksimum 3g) (FK UI, 2004).
Farmakokinetika. Mudah diabsorpsi dengan cepat mencapai kadar plasma
maksimum, waktu paruh plasma hanya sekitar beberapa jam. Ekskresi terjadi
terutama melalui ginjal. Karena cepatnya pembentukan resistensi, maka kombinasi
dengan antituberkulotika lain harus dilakukan (Ernst Mutschler, 1991).
Interaksi. Penggunaan bersama dengan probenesid, allopurinol, ofloksasin,
levofloksasin, dan obat hepatotoksik (Pionas, 2008).
Efek Samping. Efek samping yang utama adalah terjadinya peningkatan
SGOT dan SGPT, oleh karena itu hendaknya dilakukan pemeriksaan pada fungsi
hati sebelum pengobatan dengan pirazinamid dimulai (FK UI, 2004).
Gambar 2.17 Struktur Kimia Pirazinamid.
28
Gambar 2.18 Obat Anti Tuberkulosis Pirazinamid.
B. OAT lini kedua
1. Kelompok 2 (Aminoglikosida)
a. Streptomisin
Definisi. Streptomisin adalah antibiotika yang temasuk ke dalam
kelompok aminoglikosida yang mempunyai spektrum kerjanya sedang dan
perkembangan resistensi terjadi dengan cepat (Gery Schmitz et al, 2003).
Obat ini bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman tuberkulosis
(Goodman & Gilman, 2012).
Mekanisme Kerja. Mekanisme kerja dari Streptomisin yaitu
menghambat sintesa protein kuman dengan jalan pengikatan pada RNA
ribosomal (Goodman & Gilman, 2012).
Indikasi. Tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain; tularemia,
plague, pengobatan brusellosis, pengobatan glanders (Pionas, 2008).
Kontraindikasi. Kehamilan, alergi terhadap aminoglikosida (Pionas,
2008).
Dosis. Streptomisin terdapat dalam bentuk injeksi dalam vial 1 dan 5
gram. Dosisnya 20 mg/kgBB secara intramuskular (IM), maksimum 1
gram/hari selama 2 sampai 3 minggu. Kemudian frekuensi pemberian
dikurangi menjadi 2 – 3 kali seminggu (FK UI, 2004).
Farmakokinetika. Streptomisin dapat melewati plasenta karena
ekskresi hampir seluruhnya melalui ginjal (Goodman & Gilman, 2012).
Waktu paruhnya adalah 2 – 3 jam, yang biasanya akan memanjang pada
bayi baru lahir, orang tua, maupun pasien dengan gagal ginjal (WHO, 2010).
29
Efek Samping. Efek samping yang terdapat pada Streptomisin adalah
kulit menjadi hipersensitif dan terjadi gangguan pendengaran (kerusakan
pada saraf kedelapan) (Rian, 2010).
Gambar 2.19 Struktur Kimia Streptomisin.
Gambar 2.20 Obat Anti Tuberkulosis Streptomisin.
b. Kanamisin
Definisi. Kanamisin termasuk golongan aminoglikosida yang memiliki
aktivitas antimikroba untuk gram negatif yang aerob.
Mekanisme Kerja. Kanamisin bekerja dengan menghambat sintesis
protein dengan mengikat unit ribosom 70S sehingga membuat tuberkulosis
tidak kambuh (Tomlinson C, 2011).
Indikasi. Mengobati tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat
(Tomlinson C, 2011), Pneumonia nosokomial, infeksi bilier, meningitis,
dan infeksi SSP lainnya (Pionas, 2008).
Kontraindikasi. Ibu hamil (Pionas, 2008).
Dosis. IM : 250 mg tiap 6 jam atau 500 mg tiap 12 jam. IV : 15 – 30
mg/kg/BB/hari dalam dosis terbagi tiap 8 – 12 jam (Pionas, 2008).
Farmakokinetika. Kadar puncak tidak boleh lebih dari 30 mg/liter dan
kadar lembah tidak boleh lebih dari 10 mg/liter (Pionas, 2008). Waktu paruh
yang dimiliki yaitu 2 – 3 jam, dieliminasi di ginjal secara filtrasi glomerular
dalam bentuk tidak berubah (Gery Schmitz et al, 2003).
30
Interaksi. Hindari furosemide, asam etakrilat, dan manitol secara
bersamaan. Diuretik dapat meningkatkan toksisitas. Meningkatnya resiko
neurotoksisitas dan atau nefrotoksisitas dengan polimiksin B, colistin, dan
amfoteristin (Gery Schmitz et al, 2003).
Efek Samping. Kanamisin injeksi dapat menyebabkan pusing, nyeri di
tempat suntikan, ruam, neuropati perifer, dan kehilangan pendengaran
(Tomlinson C, 2011).
Gambar 2.21 Struktur Kimia Kanamisin.
c. Amikasin
Definisi. Amikasin merupakan obat antituberkulosis lini – kedua
setelah kanamisin. Obat ini tidak memiliki relatif kurang toksik jika
dibandigkan dengan kanamisin (Gunawan, 2011).
Mekanisme Kerja. Amikasin bekerja dengan menghambat sintesis
protein dengan mengikat unit ribosom 70S sehingga membuat tuberkulosis
tidak kambuh (Tomlinson C, 2011).
Indikasi. Infeksi gram negatif yang resisten terhadap gentamisin,
ISK serius, dan ISK berulang (Katzung, 2010).
Kontraindikasi. Ibu hamil (Pionas, 2008).
Dosis. IM/IV : 15 mg/kg/BB/hari selama 2 bulan kemudian
dilanjutkan dengan 1 – 1,5 mg seminggu 2 atau 3 kali selama 4 bulan
(Gunawan, 2011).
Farmakokinetika. Amikasin tidak diabsorpsi melalui saluran
pencernaan, masa paruh eliminasi obat ini sekitar 2 jam, dan ekskresinya
melalui ginjal sebanyak 90% dan dalam bentuk utuh (Katzung, 2010).
Interaksi. Digunakan dalam kombinasi dengan setidaknya satu atau
dua atau tiga obat yang masih efektif terhadap isolat (sensitif) pada terapi
tuberkulosis yang resisten terhadap obat (Gunawan, 2011).
31
Efek Samping. Ototoksisitas irreversibel dan nefrotoksisitas
(Gunawan, 2011).
Gambar 2.22 Struktur Kimia Amikasin.
2. Kelompok 3 (Florokuinolon)
a. Ciproflosaksin dan Ofloksasin
Definisi. Ciprofloksasin dan ofloksasin merupakan antibiotika golongan
kuinolon generasi kedua yang bersifat bakterisid primer. Obat – obat ini
bekerja dengan spektrum aktivitas bakteri gram negatif dan gram positif
(Gery Schmitz et al, 2003).
Mekanisme Kerja. Subunit A dari DNA-girase dihambat, sehingga
penghambat girase menghambat puntiran DNA (supercolling) yang mutlak
diperlukan untuk fase istirahat (Gery Schmitz et al, 2003)
Indikasi. Infeksi organ oleh bakteri yang sensitif, gonore, infeksi
urologis, dan tuberkulosis (Gery Schmitz et al, 2003).
Kontraindikasi. Epilepsi, kehamilan dan masa menyusui, gangguan
hati dan ginjal (Gery Schmitz et al, 2003).
Dosis. Ciprofloksasin dosis dewasa yaitu 0,25 – 0,75 g dua kali sehari
sedangkan Ofloksasin dosis dewasa yaitu 0,1 – 0,4 g 1 sampai 2 kali sehari
(Gery Schmitz et al, 2003).
Farmakokinetika. Ciprofloksasin memiliki waktu paruh yaitu 3 – 4
jam sedangkan ofloksasin memiliki waktu paruh 7 – 8 jam. Sebagian besar
32
dieliminasi melalui ginjal dalam bentuk yang sebagian aktif (Gery Schmitz
et al, 2003).
Efek Samping. Gangguan gastrointestinal, kerusakan tubulus ginjal,
dan reaksi alergi (Gery Schmitz et al, 2003).
Gambar 2.23 Struktur Kimia Ciprofloksasin.
Gambar 2.24 Struktur Kimia Ofloksasin.
b. Levofloksasin
Definisi. Obat ini merupakan antibiotik golongan kuinolon generasi
ketiga yang bersifat bakterisid primer (Gery Schmitz et al, 2003).
Mekanisme Kerja. Subunit A dari DNA-girase dihambat, sehingga
penghambat girase menghambat puntiran DNA (supercolling) yang mutlak
diperlukan untuk fase istirahat (Gery Schmitz et al, 2003).
Indikasi. Infeksi organ oleh bakteri yang sensitif, gonore, infeksi
urologis, dan tuberkulosis (Gery Schmitz et al, 2003).
Kontraindikasi. Epilepsi, kehamilan dan masa menyusui, gangguan
hati dan ginjal, dan alergi (Gery Schmitz et al, 2003).
Dosis. Dosis dewasa yaitu 0,1 – 0,4 g sehari 1 sampai 2 kali (Gery
Schmitz et al, 2003).
Farmakokinetika. Levofloksasin memiliki waktu paruh 7 – 8 jam.
Sebagian besar dieliminasi melalui ginjal dalam bentuk yang sebagian aktif
(Gery Schmitz et al, 2003).
33
Efek Samping. Gangguan gastrointestinal, kerusakan tubulus ginjal,
dan reaksi alergi (Gery Schmitz et al, 2003).
Gambar 2.25 Struktur Kimia Levofloksasin.
3. Kelompok 4
a. Asam para-aminosalisilat
Definisi. Asam aminosalisilat adalah antagonis sintesis folat yang
hampir hanya aktif terhadap Mycobacterium tuberculosis. Struktru PAS
mirip dengan asam p-aminobenzoat (PABA) dan kerjanya mirip sulfonamid
(Irianti, 2016).
Mekanisme Kerja. PAS dapat menggangu perolehan besi pada oleh
bakteri. Data terbaru pada transporter ABC, virulensi M. tuberculosis dan
inhibitor karboksimikobaktin dapat memperbaharui ketertarikan pada area
uptake besi mikobakteri sebagai target obat (Rodriguez dan Smith, 2006).
Indikasi. Antituberkulosis sekunder yang harus dikombinasi dengan
antituberkulosis lain bila obat primer tidak efektif lagi atau bila kumannya
resisten terhadap obat – obat itu (Gunawan, 2011). Obat ini digunakan untuk
MDR-TB (Irianti, 2016).
Kontraindikasi. Hipersensitivitas terhadap PAS dan gangguan ginjal
parah (Gunawan, 2011).
Dosis. Dosis dewasa 12 – 16 g/hari (Gunawan, 2011).
Farmakokinetika. Obat ini mudah diabsorpsi melalui saluran cerna,
distribusi luas dalam berbagai jaringan dan cairan tubuh kecuali cairan
serebrospinal, masa paruh obat sekitar 1 jam, dan 80% PAS diekskresi
melalui ginjal (urin) (Irianti, 2016).
34
Efek Samping. Menimbulkan gejala demam, nyeri sendi, ruam kulit,
hepatitis (Gunawan, 2011).
Gambar 2.26 Struktur Kimia asam p-aminosalisilat.
b. Sikloserin
Definisi. Sikloserin merupakan antibiotik yang dihasilkan oleh
Stertomyces orchidaceus, dan sekarang daoat dibuat secara sintetik
(Gunawan, 2011). Antibiotik ini memiliki spektrum kerja yang luas (Gery
Schmitz et al, 2003).
Mekanisme Kerja. Penghambatan sintesis Murein melalui inhibisi D-
alanin-rasemase (bekerja sebagai antimetabolit D-alanin) (Gery Schmitz et
al, 2003).
Indikasi. Antituberkulosis sekunder yang harus dikombinasi dengan
antituberkulosis lain bila obat primer tidak efektif lagi atau bila kumannya
resisten terhadap obat – obat itu (Gunawan, 2011).
Kontraindikasi. Penyakit serebral seperti psikosis, epilepsi, depresi
atau mengalami ansietas, alkoholis, dan gangguan renal (Gunawan, 2011).
Dosis. Dosis dewasa yaitu 0,75 – 1 g/hari (Gery Schmitz et al, 2003).
Farmakokinetika. Diabsorpsi dengan baik diberikan secara per oral,
kadar puncak dalam darah dicapai 4 – 8 jam setelah pemberian obat,
distribusi dan difusi ke seluruh cairan dan jaringan tubuh dengan baik, dan
diekskresikan melalui urin dalam bentuk utuh selama 12 jam pertama
(Katzung, 2010).
Interaksi. Gejala neurologis diperingan dengan pemberian piridoksin
dan resiko konvulsi bertambah bila sikloserin diberikan bersama etil alkohol
(Gunawan, 2011).
35
Efek Samping. Neurotoksik seperti nyeri kepala, kantuk, tremor,
kejang, gangguan psikis (Gery Schmitz et al, 2003).
Gambar 2.27 Struktur Kimia Sikloserin.
c. Etionamid
Definisi. Etionamid merupakan turunan tioisonikotinamid (Irianti,
2016).
Mekanisme Kerja. Etionamid juga merupakan prodrug yang perlu
aktivasi. Aktivasi dilakukan oleh monooksigenase yang dikode oleh gen
ethA. Obat ini akan membentuk adduct dengan NAD sehingga terjadi
penghambatan enzim enoil-ACP reductase. Akibatnya, sintesis asam
mikolat terganggu (Irianti, 2016).
Indikasi. Antituberkulosis sekunder yang harus dikombinasi dengan
antituberkulosis lain bila obat primer tidak efektif lagi. Namun, obat ini
tidak beredar di Indonesia (Gunawan, 2011).
Kontraindikasi. Gangguan hepar, severe liver disease, Porphyria
(Katzung, 2010).
Dosis. Etionamid terdapat dalam bentuk tablet 250 mg. Dosis awal 2
kali 250 mg sehari, kemudian dinaikkan setiap 5 hari dengan 125 mg sampai
maksimal 1 g/hari (Katzung, 2010).
Farmakokinetika. Pemberian etionamid secara per oral mudah
diabsorpsi, distribusi cepat dan merata ke seluruh jaringan tubuh, dan obat
ini ekskresinta cepat dalam bentuk metabolitnya (Katzung, 2010).
Interaksi. Gejala neurologis diperingan dengan pemberian piridoksin
(Gunawan, 2011).
36
Efek Samping. Efek samping yang sering dijumpai adalah anoreksia,
mual, dan muntah. Sering juga terjadi depresi mental, mengantuk, dan
asthenia (Gunawan, 2011).
Gambar 2.28 Struktur Kimia Etionamid.
C. OAT lini ketiga
1. Clofazimin
Definisi. Clofazimin adalah suatu senyawa riminophenazin yang memiliki
aktivitas antituberkulosis sejak lama dan masuk ke dalam golongan obat untuk
pengobatan MDR-TB (Irianti, 2016).
Mekanisme Kerja. Clofazimin direduksi oleh NADH dehydrogenase
kemudian setelah terjadi reoksidase spontan maka reactive oxygen species
(ROS) dilepaskan hingga tingkat kadar efek bakterisida (Irianti, 2016).
Indikasi. Penggunaan antituberkulosis MDR-TB (Irianti, 2016).
Kontraindikasi. Gangguan hematologi seperti leukopeni dan
trombositopenia (Irianti, 2016).
Dosis. Dosis Clofazimin dalam kapsul adalah 50 mg dan 100 mg (Irianti,
2016).
Farmakokinetika. Tingkat absorpsi variabel pada pasien dengan kusta
sebesar 45 – 62%, sangat lipofilik dan cenderung diendapkan terutama dalam
jaringan lemak, waktu paruh 70 hari, dan diekskresikan urin, sebum dan
keringat (sejumlah kecil) (Irianti, 2016).
Interaksi. Penggunaan antasida dapat menurunkan konsentrasi obat
clofazimin, penggunaan bersamaan dengan bedaquiline dapat menyebabkan
terjadinya efek samping torsades de points akibat pemanjangan interval QT
(Sangana, 2018).
37
Efek Samping. Obstruksi abdomen, gangguan gastrointestinal,
pemanjangan interval QT pada EKG, dan gangguan pigmentasi kulit (FDA,
2016).
Gambar 2.29 Struktur Kimia Clofazimin.
2. Linezolid
Definisi. Linezolid merupakan generasi pertama oksazolidinon yang
awalnya digunakan untuk terapi infeksi kulit dan pneumonia nosokomial akibat
bakteri gram positif. Pada pengobatan TB, linezolid mampu menembus
makrofag sehingga dapat melawan bacilli intraseluler. Obat ini paling umum
digunakan pada kasus resistensi (Irianti, 2016).
Mekanisme Kerja. Linezolid mengganggu inisiasi sintesis protein dengan
menghambat pembentukan ikatan peptide antara ujung karboksil dari residu
komplek N-formilmetionin-tRNA pada sisi P dan ujung amino dari asam
amino-tRNA pada sisi A (Irianti, 2016).
Indikasi. Terapi pada pasien XDR-TB (Irianti, 2016).
Kontraindikasi. Gangguan hematologi seperti leukopeni dan
trombositopenia (Irianti, 2016).
Dosis. Dosis dewasa yaitu 300 – 600 mg per hari (Irianti, 2016).
Efek Samping. Konstipasi, diare, mual, muntah, sakit kepala, insomnia,
dan pusing (Irianti, 2016).
Gambar 2.30 Struktur Kimia Linezolid.
38
Berikut adalah tinjauan dari OAT yang umum digunakan di Indonesia :
Tabel 2.2 Obat Anti Tuberkulosis.
Nama obat Sifat Efek samping
Isoniasid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksik,
gangguan fungsi hati, kejang
Rifampisin (R) Bakterisidal
Flu syndrome, gangguan
gastrointestinal, urine berwarna merah,
gangguan fungsi hati, trombositopeni,
demam, skinrash, sesak nafas, anemia
hemolitik
Pirazinamide(Z) Bakterisidal Gangguan gatrointestinal, gangguan
fungsi hati, gout artritis
Streptomisin(S) Bakterisidal
Nyeri ditempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran,
renjatan anafilaktik, anemia,
agranulositosis, trombositopeni
Etambutol(E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna,
neuritis perifer
(Kemenkes, 2014)
Tabel 2.3 Efek Samping OAT dan Tata Pelaksanaannya.
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Minor
Tidak nafsu
makan, mual, sakit
perut
(gangguan GI)
Isoniazid, Rifampisisn,
Pirazinamid.
Obat diminum malam
sebelum tidur. Apabila masih
ada keluhan, OAT ditelan
dengan sedikit makanan.
Apabila keluhan semakin
hebat disertai muntah,
waspada efek samping berat
dan segera rujuk ke dokter.
39
Nyeri Sendi Pirazinamid
Beri Aspirin, Parasetamol
atau obat anti radang non
steroid.
Kesemutan hingga
rasa terbakar di
telapak kaki atau
tangan
Isoniazid Beri vitamin B6 (Piridoxin)
50-75 mg/hari.
Warna kemerahan
pada air seni (urin) Rifampisin
Tidak membahayakan dan
tidak perlu diberi obat
penawar tapi perlu penjelasan
kepada pasien
Flu sindrom
(demam,
menggigil, lemas,
sakit kepala, nyeri
tulang)
Rifampisin dosis
intermiten
Pemberian Rifampisin diubah
dari intermiten menjadi setiap
hari
Mayor
Bercak
kemerahan, kulit
(rash) dengan atau
tanpa rasa gatal
Isoniazid, Rifampisisn,
Pirazinamid,
Streptomisin.
Bila keluhan gatal tanpa rash
dan tidak ada penyebab lain,
maka diberikan antihistamin,
namun jika keluhan disertai
rash semua OAT harus
dihentikan dan segeera rujuk
ke dokter.
Gangguan
pendengaran
(tanpa ditemukan
serumen),
gangguan
keseimbangan,
penurunan
produksi urine
Streptomisin
Streptomisin dihentikan
40
Ikterus tanpa
penyebab lain
(penyakit kuning)
Isoniazid, Rifampisisn,
Pirazinamid.
Semua OAT dihentikan
sampai ikterus menghilang
Bingung, mual
muntah (dicurigai
terjadi gangguan
fungsi hati apabila
disertai ikterus)
Smua jenis OAT (RHZ)
Semua OAT dihentikan dan
segera melakukan
pemeriksaan fungsi hati
Gangguan
penglihatan Etambutol Etambutol dihentikan
Purpura, renjatan
(syok), gagal
ginjal akut
Rifampisin Rifampisin dihentikan
(Kemenkes, 2014).
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia sesuai rekomendasi WHO dan ISTC menurut Kemenkes
tahun 2014 adalah sebagai berikut :
a. Paduan OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT).
Disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet
OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam
satu paket untuk satu pasien.
1. OAT KDT kategori 1
Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid
(Z), dan Ethambutol (E). Obat – obat tersebut diberikan setiap hari selama 2
bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4
bulan 4(HR)3. Obat ini diberikan untuk penderita baru TBC paru BTA positif,
penderita TBC paru BTA positif rontgen positif yang “sakit berat”, penderita
TBC ekstra paru berat.
41
Tabel 2.4 Dosis paduan OAT KDT kategori 1
Berat Badan
Tahap Intensif tiap hari
selama 56 hari RHZE
(150/75/400/275) mg
Tahap Lanjutan 3 kali
seminggu selama 16
minggu RH (150/150)
mg
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Keterangan : 4 KDT yaitu kombinasi dosis tetap yang terdiri dari 4 obat
(Rifampisin, Isoniazid, Ethambutol, Pirazinamid), 2 KDT yaitu kombinasi dosis
tetap yang terdiri dari 2 obat (Rifampisin dan Isoniazid).
2. OAT KDT kategori 2
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan
dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Ethambutol (E), dan
suntikan Streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid
(H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E) setiap hari. Setelah
itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan Isoniazid (H),
Rifampisin (R), dan Ethambutol (E) yang diberikan tiga kali dalam seminggu.
Obat ini diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure),
penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
Tabel 2.5 Dosis paduan OAT KDT Kategori 2
Berat
Badan
Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) mg
+ S
Tahap Lanjutan 3
kali seminggu RH
(150/150) mg + E
(400) mg
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg
Streptomisin inj. 2 tab 4KDT
2 tab 2KDT + 2 tab
Ethambutol
38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg
Streptomisin inj. 3 tab 4KDT
3 tab 2KDT + 3 tab
Ethambutol
42
55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000 mg
Streptomisin inj. 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
Ethambutol
≥ 71 kg 5 tab 4KDT + 1000 mg
streptomisin inj. 5 tab 4KDT
5 tab 2KDT + 5 tab
Ethambutol
Keterangan : 4 KDT yaitu kombinasi dosis tetap yang terdiri dari 4 obat
(Rifampisin, Isoniazid, Ethambutol, Parazinamid), 2 KDT yaitu kombinasi dosis
tetap yang terdiri dari 2 obat (Rifampisin dan Isoniazid).
b. Paduan OAT Paket Kombipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid,
Ethambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami
efek samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
Tabel 2.6 Dosis paduan OAT kombipak kategori 1
Tahap
Pengoba-
tan
Lama
Pengoba-
tan
Dosis per hari / kali Jumlah
hari /
kali
menelan
obat
Tablet
Isoniazid
@ 300 mg
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg
Tablet
Pirazinamid
@ 500 mg
Tablet
Ethambutol
@250 mg
Intensif 2 Bulan 1 2 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 2 - - 48
Tabel 2.7 Dosis paduan OAT kombipak kategori 2
Tahap
Pengoba-
tan
Lama
Pengo-
batan
Tablet
Isonia-
zid @
300 mg
Kaplet
Rifam-
pisin @
450 mg
Tablet
Pirazi-
namid
@ 500
mg
Ethambutol Strepto
-misin
injeksi
Jumlah
hari /
kali
mene-
lan obat
Tab
@
250
mg
Tab
@
400
mg
Intensif
2 Bulan
1 Bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
-
-
0,75 g
-
56
28
Lanjutan 5 Bulan 2 1 - 1 2 - 60
43
c. OAT sisipan (HRZE)
Bila pada tahap akhir intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan lategori 2, hasil
pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan sisipan (HRZE) setiap hari
selama 1 bulan.
Tabel 2.8 Dosis paduan OAT KDT untuk sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT
Tabel 2.9 Dosis paduan OAT kombipak untuk sisipan
Tahap
Pengobatan
Lama
Pengoba
-tan
Tablet
Isoniasid
@ 300
mg
Kaplet
Ripamfisin
@ 450 mg
Tablet
Pirazina-
mid
@ 500 mg
Tablet
Etam-
butol
@
250mg
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Tahap
intensif
(dosis
harian)
1 bulan
1
1
3
3
28
2.14 Terapi Penunjang Tuberkulosis
1. Vitamin D
Peran vitamin D sangat penting dalam pertahanan tubuh terhadap TB melalui
aksinya pada peningkatan fagositosis makrofag. Vitamin D baik secara
endogen diproduksi (vitamin D3) atau dikonsumsi (vitamin D2 atau vitamin
D3), harus diaktifkan untuk menghasilkan efek. Pada kasus TB yang
menggunakan obat anti tuberkulosis menjadikan TB resisten pada sebagian
pasien, vitamin D sebagai hormon imunomodulator dijadikan sebagai salah
satu terapi penyembuhannya (Sutaria, 2014).
44
2. Piridoksin (Vitamin B6)
Penggunaan Piridoksin direkomendasikan untuk semua pasien dewasa yang
memulai pengobatan TB untuk mencegah neuropati perifer yang paling
sering disebabkan oleh Isoniazid. Dosis Piridoksin : 25 mg setiap hari. Jika
pasien mengalami neuropati perifer pada setiap tahap selama pengobatan TB,
dosis dapat ditingkatkan sampai 50 – 75 mg (hingga maksimum 200 mg)
sampai gejala mereda, kemudian dosis diturunkan ke 25 mg setiap hari
(Department of Health, 2014).
3. Steroid
Penggunaan steroid dianjurkan dalam TB ekstra paru, terutama untuk
meningitis TB dan perikarditis. Dosis tinggi pengobatan steroid selama 2 –
4 minggu dan taper off secara bertahap selama beberapa minggu, tergantung
pada kemajuan klinis dianjurkan. Respon terhadap pengobatan dinilai secara
klinis (Department of Health, 2014).
2.15 Terapi Non Farmakologis Tuberkulosis
Pasien TB juga membutuhkan terapi non farmakologi yang bertujuan untuk
menunjang terapi selain terapi dengan OAT yang sedang dijalankan oleh pasien.
Terapi non farmakologi yang diberikan antara lain :
1. Pengendalian diri
Tingkat penularan TB bergantung pada penyebaran pendertita tuberkulosis
untuk menurunkan tingkat penularan, penderita tuberkulosis perlu melakukan
aktivitas pengendalian diri seperti sering berjemur di bawah matahari (pukul 6
– 8 pagi), mengkonsumsi banyak lemak dan vitamin A untuk membentuk
jaringan lemak baru dan meningkatkan sistem imun, dan berolahraga secara
teratur (Kemenkes, 2014).
2. Pengendalian lingkungan
Tujuan dari pengendalian lingkungan adalah untuk mengurangi konsentrasi
droplet nuclei di udara dan mengurangi keberadaan benda – benda yang
terkontaminasi sesuai dengan epidemiologi infeksi. Lingkungan yang sehat
akan membantu penderita TB untuk segera sembuh, karena penyakit ini
disebabkan oleh virus sehingga jika penderita berada di lingkungan yang kotor
45
maka akan menyebabkan virus tersebut semakin berkembang sehingga akan
memperburuk keadaan (Depkes, 2013).
3. Edukasi kepada pasien dan keluarga
Berikan edukasi kepada pasien serta keluarga pasien mengenai transmisi /
penularan tuberkulosis. Edukasi kepada pasien untuk selalu menutup mulut
ketika batuk / bersin. Idealnya, pasien harus tidur di ruang yang terpisah dengan
pintu tertutup dan jendela yang selalu terbuka. Untuk pasien dengan BTA (+)
maka edukasikan untuk menggunakan masker apabila berada di daerah yang
sirkulasi udaranya terbatas (CDC, 2013).
top related