bab ii televisi video
Post on 21-Jul-2016
10 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Cara Kerja Pemancar TV
Di dalam Pemancar TV terdapat dua sinyal yang dipancarkan sekaligus, yaitu sinyal
gambar dan sinyal suara. Frekuensi kerja Pemancar TV berada pada spektrum frekuensi VHF
(174 - 230 MHz) dan UHF (470 - 806 MHz). Kedua sinyal tersebut dibangkitkan terlebih dahulu
di frekuensi antara (IF) dimana sesuai rekomendasi CCIR frekuensi sinyal pembawa gambar telah
ditetapkan sebesar 38,9 MHz dan frekuensi sinyal pembawa suara 33,4 MHz. Dari sini kemudian
frekuensi kedua sinyal ini digeser ke frekuensi kerjanya sesuai dengan nomor kanal yang
dikehendaki.
Gambar (1) Diagram Pemancar-TV dengan separate amplifier
Gambar (1) memperlihatkan diagram dari sebuah pemancar TV dimana di dalamnya terdapat dua
buah amplifier. Satu amplifier sebagai penguat sinyal gambar dan satu amplifier lagi sebagai
penguat sinyal suara. Dua buah RF amplifer di dalam Pemancar TV seperti ini sering disebut
dengan Separate Amplifier.
Di era sebelum tahun 90-an satu-satunya RF Amplfier yang mampu menghasilkan daya
pancar yang besar hanyalah tabung klystron. Tabung klystron memiliki gain yang sangat besar
(40dB), sehingga dengan gain sebesar ini penguat tabung klystron mampu menghasilkan daya
pancar hingga 70 kW cukup di-drive dengan sinyal input sebesar 7 watt saja. Di sisi lain penguat
driver dengan output 7 watt secara praktis sangat mudah dibuat, sehingga dengan demikian
transistor sebagai penguat driver dan tabung klystron sebagai penguat akhir (Op-Amp) menjadi
pasangan yang sangat serasi pada jamannya.
4
Kelemahan dari penguat tabung klystron adalah sifatnya yang kurang linier, sehingga
tidak cocok untuk digunakan memperkuat dua sinyal sekaligus (sinyal gambar dan suara). Sebab
sifat ketidak-linieran-nya itu akan menyebabkan intermodulasi antar kedua sinyal (saling
memodulasi satu sama lain). Itulah sebabnya di masa itu pemancar-pemancar TV berdaya pancar
besar, dengan tabung klystron sebagai amplifiernya, selalu menggunakan sistem Separate
Amplifier. Penjumlahan sinyal gambar dan sinyal suara kemudian dilakukan di sisi output kedua
amplifier.
Dengan semakin membaiknya teknologi komponen, kelinieran amplifier menjadi semakin
mudah diperoleh. Maka pemakaian sistem separate amplifier makin lama makin ditinggalkan.
Kini pemakaian common amplifier (satu amplifier untuk memperkuat dua sinyal) menjadi lebih
populer, karena lebih praktis, lebih sederhana dan lebih murah. Gambar (2) memperlihatkan
diagram pemancar TV dengan sistem Common Amplifier.
Gambar (2) Diagram Pemancar-TV dengan common amplifier
Transistor-transistor RF dengan daya output yang besar kini juga semakin banyak tersedia. Selain
itu transistor, ketika dioperasikan pada titik kerja yang tepat, akan mampu menghasilkan
penguatan yang sangat linier. Selanjutnya, berhubung transistor bekerja pada tegangan yang
relatif rendah (48 volt), maka beberapa penguat transistor dapat disusun secara paralel sedemikian
rupa sehingga diperoleh penjumlahan arus RF dari masing-masing penguat. Perkalian dari
tegangan dan jumlah arus RF ini akan menghasilkan daya RF output yang lebih besar. Susunan
penguat transistor dengan daya RF output hingga 20 kW kini sudah banyak tersedia di pasar.
Bila menginginkan daya pancar yang lebih besar lagi maka penguat Tabung Tetroda dan
penguat IOT (Inductive Output Tube) menjadi pilihan berikutnya. Penguat Tabung Tetroda
misalnya, mampu menghasilkan daya RF output sebesar 30 kW, sedangkan penguat IOT mampu
menghasilkan daya output hingga 100 kW. Kedua jenis penguat tabung ini juga dikenal sangat
linier sehingga cocok digunakan pada pemancar TV dengan sistem Common Amplifier.
5
2.2. Standar Siaran Televisi di Indonesia
Pemancar TV di Indonesia mengadopsi sistem PAL-B (VHF) dan PAL-G (UHF) dengan
spesifikasi teknik mengikuti rekomendasi ITU-RBT.470-4. Pemerintah Indonesia telah
menetapkan suatu standar melalui Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmen) Nomor 76 tahun
2004 tentang “Rencana Induk Frekuensi Radio untuk Keperluan Siaran Televisi Analog pada Pita
UHF”. Di dalam lampiran Kepmen ini diuraikan spesifikasi pemancar TV secara umum adalah
sebagai berikut:
A. Pemancar Gambar
Jenis Pancaran : C3F – Negatif
Sistem modulasi : AM – Vestegial Side Band (Analog)
Jenis Transmisi : Negatif
Indeks Modulasi : maksimum 90%
Frekuensi Pembawa IF :38,9 MHz
B. Pemancar Suara
Jenis Pancaran : F3E
Sistem Modulasi : FM (Analog)
Simpangan Frekuensi : +/- 50 kHz (maksimum)
Pre-Emphasis : 50 µs
Frekuensi Pembawa IF : 33,4 MHz
Daya pancar : Min 5% dan Maks 10% dari daya pancar Pemancar Gambar
C. SPEKTRUM FREKUENSI
6
2.3. Siaran Televisi Digital
Infiltrasi teknologi digital memang tak bisa dihindari. Tak terkecuali juga di dunia
broadcast. Padahal sebenarnya teknologi digital ini sudah sejak dari dulu digunakan, misalnya:
Video Switcher, Standard Converter, Character Generator, Still Store dan Komputer Graphic,
semuanya itu adalah peralatan standar broadcast berteknologi digital. Namun peralatan digital ini
hanya merupakan alat bantu untuk memperkaya tampilan sinyal video yang masih analog. Sinyal
video mulai dari kamera hingga pemancar pada waktu itu semuanya masih analog.
Teknologi analog mulai meredup ketika kamera dan perangkat editing sudah mengadopsi
teknologi digital. Mulai saat itu lengkaplah sudah teknologi digital mendominasi studio-studio
televisi di seluruh dunia. Sebab kamera merupakan perangkat utama produksi, sedangkan editing
merupakan perangkat utama paska produksi. Ketika dua perangkat utama ini sudah digital, maka
bisa dikatakan bahwa peralatan penghasil materi siaran sudah 100 persen digital. Justru satu-
satunya peralatan siaran yang masih analog adalah pemancar. Bila pemancar ini diganti dengan
pemancar digital maka semua peralatan siaran sudah 100 persen digital. Penggantian pemancar
menjadi digital tidak akan berpengaruh ke bagian produksi maupun paska produksi, karena bagian
ini sudah lebih dulu beralih ke digital.
Pertanyaannya kemudian adalah: mengapa pemancarnya harus diganti digital? Bukankah
pemancar analog selama ini sudah sangat memuaskan hasilnya?
Benar bahwa sudah lebih dari 50 tahun pemancar TV analog telah membuktikan
kinerjanya yang sangat baik. Namun dari sisi lain, yaitu ketika teknologi digital telah
memperlihatkan keunggulannya, pemancar analog itu sudah sepantasnya untuk diganti. Alasan
yang paling utama penggantian ini adalah: demi efisiensi atas pendudukan frekuensi. Sebab
frekuensi adalah sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui, sehingga keberadaannya haruslah 7
dimanfaatkan se-efisien mungkin. Nah satu-satunya cara yang mampu meningkatkan efisiensi
pemakaian frekuensi ini adalah teknologi digital.
Di Indonesia alokasi frekuensi untuk siaran TV swasta berada pada band UHF dengan
rentang frekuensi mulai dari 478 MHz hingga 806 MHz. Sementara itu hanya dibutuhkan
bandwidth sebesar 8 MHz saja untuk satu kanal siaran TV analog. Jadi dalam rentang frekuensi
itu seharusnya ada 40 kanal yang bisa digunakan untuk siaran TV. Tapi kenyataanya hanya 20
kanal saja yang bisa dimanfaatkan. Sebab kanal yang bersebelahan (adjacent channel) harus
dikosongkan. Kalau tidak, maka kedua kanal yang bersebalahan akan saling menggangu. Dari sini
sudah nampak jelas bahwa betapa borosnya pemakaian frekuensi oleh pemancar TV analog ini,
karena sebetulnya yang dibutuhkan hanya 8 MHz saja, tetapi harus mengorbankan 8 MHz lagi
untuk dikosongkan. Ini jelas merupakan sebuah pemborosan. Akibat dari sifatnya inilah yang
akhirnya membuat banyak calon penyelenggara siaran TV tidak kebagian frekuensi. Pemerintah
pun tidak bisa berbuat apa-apa untuk melayani permintaan itu, karena memang sudah tidak ada
lagi slot frekeunsi yang bisa diberikan. Nah kehadiran teknologi digital inilah yang pada akhirnya
harus dipilih untuk menyelesaikan persoalan keterbatasan frekuensi ini.
Dengan teknologi digital tidak ada lagi masalah adjacent channel. Dengan kata lain, dari
total 40 kanal itu semuanya bisa diduduki. Satu kanal pemancar TV butuh 8 MHz untuk
beroperasi, ya 8 MHz itulah yang akan diduduki. Kanal di sebelahnya boleh diduduki oleh
pemancar digital lain tanpa keduanya saling menganggu. Dengan catatan, dua pemancar yang
bersebelahan itu dilengkapi dengan filter sesuai standar yang telah ditetapkan.
Tidak hanya itu, satu kanal yang semula hanya bisa untuk menyiarkan satu program TV
analog, dengan teknologi digital bisa untuk menyiarkan 12 program sekaligus. Jadi kalau ada 40
kanal yang tersedia, maka dengan teknologi digital bisa untuk menyiarkan 480 program yang
berbeda secara bersama-sama. Ini jelas merupakan terobosan yang luar biasa dalam hal
pemakaian frekuensi. Akan tetapi program sebanyak itu rasanya terlalu berlebihan, sehingga
Pemerintah kemudian menetapkan cukup 72 program saja yang boleah disiarkan di satu zona
tertentu untuk siaran komersial. Sementara bandwidth atau alokasi frekuensi sisanya akan
digunakan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat dan bernilai ekonomi tinggi. Jadi makin
jelas betapa efisiennya pemancar TV digital ini dalam hal pemakaian frekuensi.
Selain itu, transmisi digital juga dikenal sangat kebal terhadap noise atau gangguan luar.
Hal ini disebabkan karena pesawat penerima hanya diperintahkan untuk mengenali dua kondisi
saja yaitu "1" dan" 0". Pesawat penerima akan menjadi lebih peka karena hanya mengenal "1" dan
"0" saja, sehingga dikatakan transmisi digital ini kebal terhadap noise / gangguan dari luar.
8
Di dalam transmisi digital juga dilengkapi dengan sebuah sistem yang mampu
memperbaiki kesalahan penerimaan data akibat gangguan dari luar atau noise. Sistem ini disebut
dengan FEC (Forward Error Correction). Dengan rangkaian FEC informasi yang diterima di
pesawat penerima akan selalu utuh karena setiap kali ada kesalahan data yang diterimanya secara
otomatis akan langsung dikoreksi. Itulah sebabnya dengan transmisi digital, gambar dan suara
yang diterima di pesawat penerima bisa dikatakan sama kualitasnya dengan gambar dan suara
yang dikirim dari studio.
Dengan sifatnya yang kebal terhadap noise dan ditambah lagi dengan adanya rangkaian
FEC akan membuat pesawat penerima menjadi sangat peka dalam menangkap sinyal. Oleh karena
itu daya pancar di pemancar bisa diturunkan, karena kekuatan sinyal yang menurun ini masih
tetap bisa ditangkap dengan baik oleh pesawat penerima. Bahkan kalau ada kesalahan penerimaan
akan diperbaiki oleh rangkaian FEC. Dari sini bisa disimpulkan bahwa untuk menjangkau
wilayah yang sama, kebutuhan daya pancar pemancar digital lebih rendah dibanding pemancar
TV analog. Berkurangnya daya pancar berarti energi yang dibutuhkan juga berkurang. Jadi
pemancar digital tidak hanya hemat dalam hal pemakaian frekuensi tetapi juga sekaligus hemat
energi. Oleh karena itu alasan penggantian pemancar analog ke digital menjadi semakin jelas.
Tapi walaupun sudah sedemikian jelas, implementasi pergantian itu ternyata tidaklah
mudah. Sebab ada beberapa kendala yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Salah satunya
adalah: pesawat penerima TV biasa (analog) tidak bisa menerima siaran TV digital, kecuali
dengan alat bantu yang disebut dengan set top box. Oleh karena itu pergantian pemancar dari
analog ke digital akan berjalan dengan lancar apabila harga set top box ini sudah sangat rendah.
Sebab ada seratus juta lebih pesawat televisi yang membutuhkan set top box ketika pemancarnya
diganti ke digital.
Kendala yang kedua adalah bahwa satu unit pemancar TV analog yang semula hanya
untuk menyiarkan satu program saja, setelah diganti digital (DVB-T2) bisa digunakan untuk
menyiarkan 12 program yang berbeda secara bersamaan. Pertanyaan yang kemudian muncul
adalah: siapa yang harus mengoperasikan pemancar digital itu dan siapa saja yang berhak mengisi
ke 12 program siaran itu?
Kendala itulah yang membuat implementasi siaran TV digital agak terhambat karena
perlu proses dan waktu yang lama untuk melakukan perubahan peraturan maupun pendekatan
bisnis yang sesuai. Jika kendal-kendala itu sudah dapat diselesaikan maka secara teknis mengubah
siaran TV analog menjadi digital sangatlah mudah, yaitu cukup ganti saja TV-Exciter analog
dengan Digital Exiter. Selebihnya tidak ada perangkat existing lain yang perlu diubah.
9
Namun berhubung dalam pemancar digital ini ada 12 program yang akan disiarkan secara
bersamaan, maka perlu ditambahkan sebuah multiplexer yang berfungsi untuk menyusun 12
program itu ke dalam satu paket (transport stream). Kemudian untuk menghemat bandwidth,
setiap program yang berasal dari Playout atau Studio harus dimampatkan terlebih dulu di dalam
video encoder. Maksudnya, sinyal video SD dalam format SDI berkecepatan 270 Mbps itu harus
dimampatkan menjadi sekitar 3 Mbps menggunakan mesin kompresi MPEG4 yang ada di dalam
video encoder.
Gambar (3): Diagram perbandingan antara konfigurasi perangkat siaran TV analog dan digital
Dalam contoh pada gambar (1B) terlihat ada 12 program yang berasal dari 12 sumber yang
berbeda. Ke 12 program ini dimasukkan ke muliplexer untuk disusun menjadi satu paket data
(transport stream) dan kemudian dikirim ke pemancar untuk dipancarkan. Dalam contoh ini 3
program diasumsikan berada di lokasi dekat pemancar, sedangkan 9 lainnya berada jauh dari
pemancar sehingga memerlukan STL (Studio to Transmitter Link) sebagai penghubung.
10
Sebenarnya siaran TV digital merupakan produk turunan dari siaran TV via satelit. Dulu
satu transponder satelit hanya bisa untuk menyiarkan satu program TV analog saja, tapi berkat
teknologi kompresi (MPEG-4) dan sistem modulasi digital (DVB-S2) akhirnya satu transponder
bisa digunakan untuk menyiarkan lebih dari dua puluh program siaran yang berbeda secara
bersamaan. Ini merupakan penghematan bandwidth yang luar biasa, disamping penghematan yang
juga luar biasa atas beban beaya sewa transponder itu sendiri.
2.4. Peralatan Up-Link & Down Link
Pada prinsipnya peralatan up link terdiri dari 5 komponen sebagimana terlihat dalam gambar 1(a),
antara lain:
a. Video Encoder,
b. DVB Modulator,
c. Up-Converter,
d. HPA atau SSPA,
e. Antenna Parabola.
Video Encoder berfungsi sebagai mesin kompresi (dalam format MPEG2 atau MPEG4)
dan jika audio/video inputnya berupa sinyal analog, maka encoder ini sekaligus berfungsi sebagai
peralatan digitalisasi. Tujuan dari kompresi sinyal ini adalah untuk menghemat bandwidth.
Sekedar contoh, video input dalam format SDI memiliki data rate sekitar 270 Mbps (kualitas: SD
bukan HD), namun setelah di-encode menggunakan mesin MPEG2 data rate-nya bisa turun
menjadi 6 Mbps. Lebih tepatnya bisa turun menjadi 2 Mbps hingga 10 Mbps tergantung
kebutuhan.
Selanjutnya sinyal yang sudah terkompresi itu dimasukkan ke dalam DVB Modulator
untuk ditumpangkan kedalam sinyal pembawa. Frekuensi sinyal pembawa ini berada di sekitar 70
MHz, atau lebih tepatnya 70 MHz ± 18 MHz yang berarti frekuensi pembawa ini bisa diatur
mulai dari 52 MHz hingga 88 MHz tergantung kebutuhan.
Setelah itu sinyal pembawa yang telah termodulasi itu oleh Up-Converter digeser
frekuensinya ke frekuensi kerjanya, yaitu sesuai dengan nomor transponder dan slot frekuensi
11
yang telah ditentukan. Dengan kata lain Up-Converter berfungsi untuk menentukan nomor
transponder, sedangkan pengaturan frekuensi di Modulator adalah untuk menentukan pada
frekuensi berapa (dalam satu tansponder itu) sinyal pembawa tersebut harus ditempatkan.
Terakhir adalah parameter polarisasi sinyal, dan perangkat yang menentukan polarisasi ini ada
pada feed horn antena. Feed horn bisa diputar-putar sedemikian rupa sehingga diperoleh
polarisasi yang tepat.
Jika bandwidth, frekuensi dan polarisasi sudah sesuai dengan yang dikehendaki maka
sinyal ini sudah siap untuk dipancarkan ke arah satelit (up link) melalui antena parabola.
Kemudian agar bisa sampai ke satelit yang berjarak 36 ribu kilometer di atas bumi, sinyal yang
masih lemah ini perlu diperkuat terlebih dahulu. Perangkat yang berfungsi sebagai penguat adalah
HPA (High Power Amplifier). Ada dua jenis HPA, yaitu amplifier yang berbasis tabung atau
TWTA (Travelling Wave Tube Amplifier) dan amplifier yang berbasis solid state transistor atau
SSPA (Solid State Power Amplifier). TWTA dan SSPA adalah sama-sama amplifier. Fungsinya
adalah sebagai penguat sinyal.
Setelah diperkuat oleh TWTA atau SSPA, sinyal kemudian diperkuat lagi oleh antena
parabola. Jadi selain untuk memancarkan sinyal, antena parabola juga berfungsi sebagai penguat
sinyal. Gelombang elektromagnetik yang bersifat menyebar ke segala arah oleh piringan parabola
diarahkan ke satu titik tertentu, sehingga terjadilah pengumpulan energi ke satu arah tertentu.
Pengumpulan energi inilah yang kemudian disebut dengan Gain Antena. Jadi dalam sistem Up-
Link, penguatan sinyal tidak hanya dilakukan oleh amplifier tetapi juga oleh antena parabola.
12
Gambar 4 (a) Diagram blok perangkat Up-Link (b) Perangkat Up-Link dng BUC
(c) Perangkat Up-Link yang lebih sederhana
Antena Parabola adalah peralatan jenis outdoor, karena peralatan ini harus ditempatkan di luar
ruang agar syarat "Line of Sight" dengan satelit dapat terpenuhi. Sementara itu pada frekuensi C-
band (6 GHz) saluran transmisi yang digunakan harus sependek mungkin. Oleh karena itu
perangkat dengan output C-band harus ditempatkan sedekat mungkin dengan antena untuk
mengurangi redaman. Sementara itu Up-Converter adalah peralatan elektronik jenis indoor yang
sangat sensitif terhadap air hujan. Oleh karena itu akan sangat beresiko bila Up-Converter ini
harus ditempatkan secara outdoor di dekat antena. Itulah sebabnya perangkat BUC kini lebih
banyak disukai dibanding TWTA atau SSPA.
BUC (Block Up Converter) berisi SSPA dan sekaligus Up-Converter, dimana frekuensi
inputnya adalah L-band (950 MHz - 1.450 MHz). Dengan frekuensi yang lebih rendah ini maka
antara Modulator dan BUC bisa terpisah cukup jauh, karena Modulator umumnya ditempatkan di
dalam ruang (indoor) sedangkan BUC di luar ruang (outdoor). Kemudian keduanya bisa
dihubungkan dengan kabel coaxial yang cukup panjang (hingga 100 meter, tergantung tipe kabel).
Hal ini menjadi mungkin karena BUC adalah rangkaian elektronik yang berbasis transistor,
sehingga casing / housing-nya bisa dibuat dari bahan aluminium yang menyerap panas dan 13
didesain kedap air, sedangkan untuk mengatasi disipasi panas casing sudah dilengkapi dengan
sirip-sirip pembuang panas (heat sink) dan kipas angin dengan motor tanpa sikat (brush-less
blower) yang tahan air. Itulah sebabnya BUC sangat aman untuk ditempatkan secara outdoor di
dekat antena parabola.
Belakangan ini sudah banyak ditawarkan produk Encoder yang dilengkapi dengan modul
DVB Modulator. Dengan demikian perangkat Up-Link menjadi lebih sederhana, praktis dan
kompak. Hal ini sangat diperlukan terutama untuk perangkat Up-Link jenis SNG yang memang
harus didesain secara kompak, sederhana dan ringan.
Gambar 5: Diagram blok perangkat Up-Link & Down Link
Pada feed horn antena parabola umumnya sudah dilengkapi dengan dua port, yaitu port
Up-Link dan port Down Link. Kombinasi dua buah port yang berfungsi sebagai pemisah dua
sinyal dengan polarisasi yang berbeda ini sering disebut dengan OMT (Ortho Mode Transducer).
Dengan adanya fasilitas OMT ini maka pada jalur Down Link bisa dipasang LNB dan kemudian
dihubungkan dengan IRD untuk menangkap siaran TV dari satelit.
Dalam sistem komunikasi dua arah, perangkat Up-Link dan Down-Link seperti ini
merupakan suatu keharusan. Jika tidak, maka tidak mungkin akan terjadi komunikasi dua arah.
Namun dalam siaran TV, sistem komunikasi umumnya hanya dilakukan satu arah. Satu pihak
sebagai pemancar sedangkan pihak lain sebagai penerima saja. Konfigurasi perangkat Down-Link
yang tanpa Up-Link dan berfungsi sebagai alat penerima siaran TV dari satelit sering disebut
dengan TVRO (Television Receive Only).
2.5. Prinsip Kerja SNG Televisi Digital DVB-S (Satelit)
Satelit adalah stasiun relay yang digantung di langit. Disebut stasiun relay karena fungsi
utama satelit adalah merelay sinyal-sinyal yang berasal dari bumi. Sinyal-sinyal yang diterimanya 14
dari bumi itu digeser dulu frekuensinya baru kemudian dipancarkan kembali ke bumi. Jadi pada
dasarnya satelit itu berisi rangkaian translator frekuensi, yaitu rangkaian elektronik yang terdiri
dari penerima, penggeser frekuensi dan pemancar.
Gambar (6): Diagram blok rangkaian penggeser frekuensi di dalam satelit
Sinyal dari bumi yang sampai ke satelit sangat lemah. Sebab sinyal yang dikirim dari bumi hingga
mencapai satelit akan melalui lintasan (path) ruang yang sangat jauh sehingga sinyal akan
mengalami redaman (free space path loss) yang sangat besar. Redaman ini disebabkan karena
sifat radiasi gelombang elektromagnetik itu memancar ke segala arah (seperti bola yang
mengembang) sehingga kekuatan sinyal akan melemah sebanding dengan kuadrat dari jarak yang
ditempuhnya. Selain itu jarak tempuh itu akan terasa semakin jauh bagi sinyal yang panjang
gelombangnya makin pendek. Dengan demikian besarnya redaman ini berbanding lurus dengan
kuadrat dari jarak dan frekuensi yang digunakan, dimana secara matematis dituliskan sbb.:
Untuk memudahkan perhitungan, formula di atas bisa disederhanakan menjadi:
L = 32.4 + 20 Log d + 20 Log f
L = besarnya Loss atau redaman (dalam satuan dB),
f = frekuensi kerja yang digunakan (dalam satuan MHz),
d =jarak tempuh antara stasiun bumi dng satelit (dalam satuan km).
Redaman ini sangat besar sehingga sinyal yang diterima di satelit sangatlah lemah. Maka agar
sinyal yang sangat lemah ini bisa dipancarkan kembali ke bumi dengan daya pancar yang cukup, 15
dibutuhkan rangkaian penguat yang bertingkat-tingkat. Pada tingkat pertama sinyal diperkuat oleh
gain antenna penerima. Output dari antenna yang juga masih sangat lemah kemudian diperkuat
lagi dengan LNA (Low Noise Amplifier). Setelah levelnya cukup, sinyal ini kemudian
dimasukkan ke rangkaian mixer-1 untuk digeser frekuensinya ke frekuensi L-Band.
Penggeseran frekuensi menurunkan level sinyal, sehingga sinyal harus diperkuat lagi
pada tahap ini. Setelah levelnya cukup, sinyal dimasukkan lagi ke mixer-2 untuk digeser lagi
frekuensinya ke frekuensi kerjanya (frekuensi down link). Pada tahap ini sinyal diperkuat lagi
oleh driver amplifier dan kemudian diperkuat oleh HPA (High Power Amplifier) agar diperolah
daya pancar yang cukup besar. Pada tahap akhir, sinyal kemudian diperkuat lagi oleh antenna
pemancar untuk menghasilkan apa yang disebut dengan EIRP (Equivalent Isotropic Radiated
Power). Besaran EIRP inilah yang kemudian oleh satelit dipancarkan kembali ke bumi.
Pergeseran frekuensi sama sekali tidak mengubah nilai informasi yang terkandung di
dalam sinyal tersebut. Jadi meskipun di satelit frekuensi sinyal di geser sebanyak dua kali, akan
tetapi informasi yang terkandung di dalamnya masih tetap utuh (sama sekali tidak berubah). Oleh
karena itu menjadi jelas bahwa fungsi satelit dalam hal ini hanya merelay sinyal yang berasal dari
bumi untuk kemudian dipancarkan lagi kembali ke bumi.
Pergeseran frekuensi sebanyak dua kali dimaksudkan untuk memperoleh gain yang sangat
tinggi. Sebab memperkuat sinyal di satu frekuensi kerja akan menyebabkan amplifier mudah
berosilasi (sinyal output masuk kembali ke input). Penguatan sinyal mulai dari antenna penerima,
LNA, HPA hingga antena pemancar disebut dengan Gain Satelit. Besarnya Gain Satelit telah
didesain sedemikian rupa sehingga sinyal yang diterima dari bumi mampu menghasilkan daya
pancar maksimum sesuai kapasitas HPA yang terpasang di satelit. Daya output dari HPA
selanjutnya diperkuat lagi oleh antenna sehingga diperoleh EIRP yang tinggi. Sebab sinyal yang
dipancarkan oleh satelit ke bumi akan mengalami redaman yang sangat besar.
Redaman down-link ini sangat besar, sehingga sinyal yang diterima di bumi juga sangat
lemah. Itulah sebabnya dibutuhkan gain yang cukup besar di stasiun penerima di bumi agar
informasi yang terkandung dalam sinyal dapat dideteksi kembali. Apabila kualitas sinyal yang
diterima belum sesuai dengan kebutuhan, maka daya pancar di sisi pengirim perlu diperbesar.
Dengan cara ini maka secara otomatis daya yang dipancarkan oleh satelt juga ikut membesar.
Kenaikan daya pancar di satelit merupakan fungsi linier dari kenaikan daya pancar di pengirim.
Apabila daya pancar di sisi pengirim sudah tidak bisa lagi dinaikkan, sedangkan sinyal
yang diterima masih belum sesuai dengan kebutuhan, maka jalan satu-satunya adalah dengan
16
memperbesar diameter antena penerima. Makin besar diameter antena penerima akan semakin
baik, karena sistem penerima akan menjadi lebih sensitif, artinya lebih mampu menerima sinyal-
sinyal yang lemah. Namun makin besar diameter antena akan memerlukan lahan yang lebih besar,
ukuran yang besar jelas tidak praktis dan harganya pun juga pasti lebih mahal. Oleh karena itu
perhitungan daya pancar di sisi pengirim maupun besarnya diameter antena di sisi penerima harus
dihitung dengan benar. Untuk itu ada beberapa paremeter yang perlu diketahui. Parameter satelit
seperti G/T, Saturated Field Density (SFD) dan EIRP serta peta contour atau foot print umumnya
diberikan oleh operator/pemilik satelit kepada para pelanggannya, sehinga masing-masing
pelanggan dapat menghitung sendiri apa-apa yang dibutuhkannya.
Gambar (7): Illustrasi redaman up-link dan down-link
17
Gambar (8): Illustrasi level sinyal mulai dari pengirim, satelit hingga penerima di bumi.
Klik di sini untuk gambar yang lebih besar.
18
2.6. Contoh Rancangan SNG Portbale DVB-S (Satelit)
Gambar 9: Contoh implementasi SNG menggunakan Portable Rack
19
Gambar 10: Diagram rancangan Portable SNG
Gambar 11: Contoh produk Portable Rack 8 RU (a) Penutup dipasang (b) Penutup dibuka
20
top related