bab ii landasan teori a. media televisi dalam komunikasi...
TRANSCRIPT
23
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Media Televisi Dalam Komunikasi Massa
Komunikasi massa menurut Jalaluddin Rakhmat adalah jenis
komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar,
heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan
yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.25
Komunikasi massa
merupakan sebuah proses yang terjadi dari rangkaian tahap sebagai berikut:
1. Formulasi pesan oleh komunikator profesional.
2. Penyebaran pesan dengan cara yang relatif cepat dan terus menerus
melalui media (media cetak, film, radio, tv dan broadcasting).
3. Pesan mencapai khalayak yang jumlahnya relatif besar dan beragam,
khalayak ini mengakses media dengan cara selektif.
4. Individu anggota dari khalayak mencoba menafsirkan pesan.
5. Sebagai hal memahami pesan, maka selanjutnya anggota kelompok ini
pada level tertentu akan terpengaruh oleh isi pesan tersebut.26
Komunikasi massa atau komunikasi melalui media massa bersifat
satu arah. Pembaca surat kabar, pendengar radio, penonton televisi dan film
tidak tampak oleh si komunikator, dengan demikian begitu pesan disebarkan
melalui komunikator, tidak diketahui apakah pesan itu diterima, dimengerti
25
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung 2009. Hal.
188. 26
Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa. Alih bahasa, Agus Dhaim dan Aminuddin
Ram. Erlangga. Jakarta 1987. Hal. 33-34
24
atau dilakukan oleh komunikan. Wartawan surat kabar, penyiar radio, penyiar
televisi atau sutradara film tidak mengatahui nasib pesan yang disampaikan
pada khalayak.27
Televisi merupakan salah satu media dalam komunikasi massa.
Menurut Effendy yang dimaksud dengan televisi adalah televisi siaran yang
merupakan media dari jaringan komunikasi dengan ciri-ciri yang dimiliki
komunikasi massa, yaitu berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga,
pesannya bersifat umum, sasarannya menmbulkan keserampakan, dan
komunikasinya bersifat heterogen.28
Lebih lanjut Effendi menjelaskan lima
ciri-ciri komunikasi massa sebagai berikut:
1. Komunikasi massa berlangsung satu arah.
Komunikasi hanya berlangsung satu arah dan tidak terdapat arus balik
langsung kepada komunikator karena arus balik dalam komunikasi
massa tidak dapat diketahui seketika oleh komunikator atau dengan kata
lain hanya diketahui setelah proses komunikasi itu terjadi. Dalam hal ini
arus balik yang tidak langsung sering disebut arus balik tertunda
(delayed feedback).
2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga,
Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga,
yakni suatu institusi atau organisasi yang oleh karena itu
komunikatornya juga melembaga. Komunikator pada komunikasi massa
27
Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung 1986.
Hal. 76. 28
Onong Uchjana Effendy, Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis. Remaja
Rosdakarya. Bandung 2002. Hal. 21.
25
bertindak atas nama lembaga sejalan dengan kebijakan surat kabar atau
stasiun televisi yang diwakilinya karena media yang dipergunakan
adalah suatu lembaga yang menyebarluaskan pesan komunikasinya.
3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum
Pesan yang disebarkan melalui media massa bersifat umum karena
ditujukan kepada umum dan mengenai kepentingan umum. Jadi tidak
ditujukan pada perorangan atau kepada kelompok yang tertentu.
4. Media massa menimbulkan keserampakan.
Kemampuan media massa untuk menimbulkan keserempakan pada
khalayak dalam menerima pesan-pesan yang disampaikan dan ini
merupakan ciri yang paling hakiki dibandingkan dengan media
komunikasi yang lainnya.
5. Komunikan pada komunikasi massa bersifat heterogen.
Komunikan atau khalayak merupakan kumpulan anggota masyarakat
yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang
dituju komunikator bersifat heterogen. Krena keberadaan mereka yang
terpencar-pencar,satu sama lain yang tidak saling mengenal dan tidak
memiliki kontak pribadi dan mereka saling berbeda dalam berbagai
hal.29
Televisi memiliki kekuatan ampuh untuk menyampaikan pesan
karena media ini dapat menghadirkan pengalaman yang seolah-olah dialami
sendiri dengan jangkauan yang luas dalam waktu yang bersamaan.
29
Sutaryo, Sosiologi Komunikasi. Arti Bumi Intaran. Yogyakarta 2005. Hal. 80-83.
26
Penyampaian isi pesan antara komunikator dan komunikan seolah-olah
berlangsung saat itu juga.30
B. Karakteristik dan Fungsi Televisi
1. Karakteristik Televisi
Dibandingkan dengan media massa lain seperti radio, surat kabar,
majalah, buku, dan sebagainya, televisi mempunyai sifat istimewa.
Televisi merupakan gabungan dari media dengar (audio) dan gambar
(visual) yang bisa bersifat informatif, hiburan, dan pendidikan, atau
bahkan gabungan dari ketiga unsur tersebut. Informasi yang disampaikan
oleh televisi, akan mudah dimengerti karena jelas terdengar secara audio
dan terlihat secara visual.31
Kelebihan tersebut tidak lepas dari
karakeristik khas yang ada pada televisi. Karyanti menjelaskan
karakteristik televisi sebagai berikut:
a. Audiovisual
Televisi memiliki kelebihan dibandingkan dengan media penyiaran
lainnya, yakni dapat didengar sekaligus dilihat. Jadi, apabila
khalayak radio siaran hanya mendengar kata-kata, musik dan efek
suara, maka khalayak televisi dapat melihat gambar yang bergerak.
Maka dari itu televisi disebut sebagai media massa elektronik
30
Sony Set, Menjadi Perancang Program TV Profesional. Andi Offset. Yogyakarta 2008.
Hal. 30 31
Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi. Rineka Cipta.
Jakarta 1996. Hal. 8
27
audiovisual. Namun demikian, tidak berarti gambar lebih penting
dari kata-kata, keduanya harus ada kesesuaian secara harmonis.
b. Berpikir dalam Gambar
Ada dua tahap proses berpikir dalam gambar. Pertama adalah
visualisasi yakni menerjemahkan kata-kata yang mengandung
gagasan yang menjadi gambar secara individual. Kedua,
penggambaran yakni kegiatan merangkai gambar-gambar individual
sedemikian rupa sehingga kontinuitasnya mengandung makna
tertentu.
c. Pengoperasian Lebih Kompleks
Dibandingkan dengan radio siaran, pengoperasian televisi siaran
jauh lebih kompleks, dan lebih banyak melibatkan orang. Peralatan
yang digunakan lebih banyak dan untuk mengoperasikannya lebih
rumit dan harus dilakukan oleh orang-orang yang terampil dan
terlatih.32
2. Fungsi Televisi
Televisi merupakan media massa, dengan demikian menurut
Harold Laswell televisi mempunyai tiga fungsi dimana setiap fungsi
tidak berdiri sendiri melainkan saling berkaitan, yaitu:
32
Rema Karyanti S. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Simbiosa Rekatama Media.
Bandung 2005. Hal. 137-139.
28
a. The survilance of the environment.
Televisi bertindak sebagai pengamat lingkungan yang selalu akan
memberikan berbagai informasi atas hal-hal yang tidak terjangkau
khalayak.
b. The correlation of the parts if society in responding to the
environment.
Media massa lebih menekankan kepada pemilihan, penilaian,
penafsiran, tentang apa yang patut disampaikan kepada khalayak.
Dengan demikian madia massa dapat dinilai sebagai “Gate Keeper”
dari arus informasi.
c. The transmission of the social heritage from generation to the
generation.
Media massa berfungsi sebagai jembatan tata nilai dan budaya dari
generasi satu ke generasi berikutnya, atau dengan kata lain media
massa berfungsi sebagai media pendidikan.33
Fungsi televisi menurut Dominick, sebagaimana yang dikutip
oleh Elvinaro, adalah sebagai berikut:34
a. Surveillance (pengawasan)
Pengawasan peringatan ketika media massa menginformasikan
tentang ancaman, kondisi, efek yang memprihatinkan dan
33
Darwanto Sastro Subroto, Produksi Acara Televisi. Duta Wacana University Press.
Yogyakarta 1994. Hal. 15-16. 34
Ardianto Elvinaro,dkk., Komunikasi Massa. Simbiosa Rekatama Media. Bandung 2007.
Hal 15-17.
29
pengawasan instrumental yaitu penyampaian dan penyebaran
informasi memiliki kegunaan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Interpretation (penafsiran)
Fungsi penafsiran yaitu televisi tidak hanya memasok fakta dan
data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian
penting.
c. Linkage (pertalian)
Fungsi yang selanjutnya adalah pertalian yaitu merupakan
penyatuan anggota masyarakat yang beragam, membentuk pertalian
berdasarkan kepentingan dan minat yang sama, individu
mengadopsi prilaku dan nilai kelompok yang mereka saksikan.
d. Transmission of values (penyebaran nilai)
e. Entertainment (hiburan)
Televisi memberikan tayangan acara yang bersifat menghibur yang
tujuannya untuk mengurangi ketegangan fikiran khalayak.
C. Dampak Televisi Terhadap Khalayak
Pengaruh siaran televisi terhadap sistem komunikasi tidak pernah
terlepas dari pengaruh terhadap aspek-aspek kehidupan masyarakat. Acara
televisi pada umumnya mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi, dan
perasaan bagi para penontonnya. Hal ini disebabkan oleh pengaruh
psikologis dari program acara televisi itu sendiri. Televisi seakan-akan
30
menghipnotis penonton, sehingga mereka terhanyut dalam keterlibatan akan
kisah atau peristiwa yang disajikan oleh televisi.35
Menurut Kuswandi ada tiga dampak yang ditimbulkan dari acara
televisi terhadap khalayak pemirsa :
1. Dampak kognitif yaitu kemampuan seseorang atau pemirsa untuk
menyerap dan memahami acara yang ditayangkan televisi yang
melahirkan pengetahuan bagi pemirsa.
2. Dampak peniruan yaitu pemirsa dihadapkan pada trend aktual yang
ditayangkan televisi.
3. Dampak perilaku yaitu proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya
yang telah ditayangkan acara televisi yang diterapkan dalam
kehidupan pemirsa sehari-hari..36
Bersamaan dengan jalannya proses penyampaian isi pesan media
televisi kepada pemirsa, maka isi pesan itu juga akan diinterpretasikan secara
berbeda-beda menurut visi pemirsa. Serta dampak yang ditimbulkan juga
beraneka ragam. Hal ini terjadi karena tingkat pemahaman dan kebutuhan
pemirsa terhadap isi pesan acara televisi berkaitan erat dengan status sosial
ekonomi serta situasi dan kondisi pemirsa pada saat menonton televisi.
Dengan demikian apa yang diasumsikan televisi sebagai suatu acara yang
penting untuk disajikan bagi pemirsa, belum tentu penting bagi khalayak.
35
Onong Uchjana Effendy. Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis. Remaja
Rosdakarya. Bandung 2002. Hal. 122. 36
Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi. Rineka Cipta:
Jakarta 1996. Hal. 99.
31
D. Sinetron Dalam Program Acara Televisi di Indonesia
1. Program Televisi
Program televisi adalah bahan yang telah disusun dalam satu
format sajian dengan unsur video yang ditunjang unsur audio yang
secara teknis memenuhi persyaratan layak siar serta telah memenuhi
standar estetik dan artistik yang berlaku.37
Frank Jefkins (Effendy, 2002 :
105-108) menyebutkan ada sejumlah karakteristik khusus dalam
program acara, yaitu :38
a. Selain menghasilkan suara, televisi juga menghasilkan gerakan,
visi, dan warna.
b. Pembuatan program televisi lebih mahal dan lama.
c. Mengandalkan tayangan secara visual, maka segala sesuatu yang
nampak dibuat semenarik mungkin.
Adapun program acara televisi dapat dikelompokkan sebagai
berikut : 39
a. Buletin berita nasional, seperti : Siaran berita atau buletin berita
regional ang dihasilkan oleh stasiun televisi swasta lokal.
b. Liputan-liputan khusus yang membahas tentang berbagai masalah
aktual secara lebih mendalam.
37
Azhar Arsyad, Media Pembelajaran. Rajagrafindo Persada, Jakarta 2006. Hal.51. 38
Onong Uchjana Effendy. Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis. Remaja
Rosdakarya. Bandung 2002. Hal. 105-108. 39
Onong Uchjana Effendy. Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis. Remaja
Rosdakarya. Bandung 2002. Hal. 105-108.
32
c. Program-program acara olahraga, baik olah raga di dalam atau
diluar ruangan, yang disiarkan langsung atau tidak langsung dari
dalam atau luar negeri.
d. Program acara mengenai topik-topik khusus yang bersifat
informatif, seperti : acara memasak, berkebun, dan acara kuis.
e. Acara drama, terdiri dari : sinetron, sandiwara, komedi, film, dan
lain sebagainya.
f. Acara musik, seperti konser musik pop, musik rock, dangdut,
klasik, dan lain sebagainya.
g. Acara bagi anak-anak, seperti penayangan film kartun.
h. Acara-acara keagamaan, sepert : siraman rohani, acara ramadhan,
dan hari-hari besar keagamaan lainnya.
i. Program acara yang membahas tentang ilmu pengetahuan dan
pendidikan.
j. Acara bincang-bincang atau sering juga disebut dengan talkshow.
Berbagai program televisi tersebut secara garis besar dapat
dikategorikan menjadi dua berdasarkan jenisnya, yaitu:40
a. Program Informasi
Program informasi adalah segala jenis siaran yang bertujuan
untuk memberikan tambahan pengetahuan (informasi) kepada
khalayak audien. Daya tarik dari program ini ialah informasi dan
sekaligus menjadi nilai jual kepada audien. Program informasi
40
Morisan, Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio & Televisi.
Kencana. Jakarta 2009. Hal. 207-220.
33
tidak selalu berita, tetapi segala bentuk penyajian informasi
termasuk talk show (perbincangan), misalnya wawancara dengan
artis.
b. Program Hiburan
Program hiburan adalah segala bentuk yang bertujuan untuk
menghibur audien. Program yang termasuk dalam kategori
hiburan adalah drama, permainan (game), musik, dan
pertunjukan.
2. Sinetron Sebagai Program Acara Hiburan
Pengertian sinetron dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah film yang dibuat khusus untuk penayangan di media
elektronik, seperti televisi.41
Effendi mendefinisikan film dengan suatu
alur cerita yang disajikan dalam bentuk sekali penayangan dalam durasi
tertentu, tetapi tidak menutup kemungkinan film ditayangkan dalam alur
cerita bersambung.42
Menurut Eduard Depari sebagaimana dikutip oleh
Kuswandi sinetron adalah sinema elektronik yang berisikan alur cerita
bersambung, cerita pendek dan memiliki pesan yang menggambarkan
kehidupan sosial yang menyangkut aspek hubungan dan pergaulan
sosial”. Sinetron merupakan bentuk alur cerita yang menggambarkan
permasalahan kehidupan manusia sehari-hari.43
Sinetron di Amerika
41
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), http://kbbi.web.id/sinetron. Diakses pada
Senin 21 Maret 2017. 42
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Remaja Rosdakarya.
Bandung 2000. Hal. 108. 43
Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi. Rineka Cipta.
Jakarta 1996. Hal. 131.
34
Latin dikenal dengan Telenovela (Television Novela) dan di Amerika
Serikat disebut (Movie) Made for Television (MTV) alias Television
Movie.44
Sinema elektronik atau yang dikenal dengan sinetron dalam
wacana televisi Indonesia merupakan cerita yang dibuat untuk media
televisi dan sudah menjadi bagian dari wacana publik dalam ruang sosial
masyarakat.45
Sinetron merupakan drama dalam rangkaian episode yang
menyajikan serita dari berbagai tokoh secara bersamaan. Masing-masing
tokoh memiliki alur cerita mereka sendiri-sendiri tanpa harus dirangkum
menjadi suatu kesimpulan. Kemasannya dibuat dalam satu konsep dasar
televisi.46
Kehadiran sinetron di televisi merupakan satu bentuk aktualitas
komunikasi dan interaksi manusia yang diolah berdasarkan alur cerita
untukmengangkat permasalahan hidup manusia sehari-hari. Cerita
sinetron tidak hanyasekedar menjadi sajian menarik di layar kaca, tetapi
juga telah menjadi bahandiskusi atau bahan “ngerumpi baru” di antara
para ibu di kelompok arisan, antar anggota keluarga, bahkan tidak jarang
nilai sosial di dalamnya hadir sebagai rujukan perilaku bagi para
penggemarnya.47
44
Muh. Labib, Potret Sinetron Indonesia Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial.
Mandar Utama Tiga Books Division. Jakarta2002. Hal. 1. 45
Muh. Labib, Potret Sinetron Indonesia Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial.
Mandar Utama Tiga Books Division. Jakarta2002. Hal. 1. 46
Andi Fachruddin, Cara Kreatif Memproduksi Program Televisi. Andi Offset.
Yogyakarta 2015. Hal. 76. 47
Muh. Labib, Potret Sinetron Indonesia Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial.
Mandar Utama Tiga Books Division. Jakarta2002. Hal. 1.
35
Terdapat beberapa karakter sinetron yang mendominasi jam-jam
siar utama (sinetron mainstream), yaitu dari sisi episode adalah jenis
serial dan seri,dari sisi tema cerita merupakan jenis drama atau komedi,
dari sisi segmentasinyamerupakan sinetron keluarga dan dewasa yang
mampu merangkul semua kalangan dan tidak terbatas etnis dan geografis
tertentu, dan dari sisi kemasan memiliki corak budaya populer.48
E. Analisis Resepsi Dalam Studi Komunikasi Massa
Tradisi studi khalayak dalam komunikasi massa mempunyai dua
pandangan arus besar (mainstream). Pertama khalayak sebagai audience
yang pasif, sebagai audience yang pasif orang hanya bereaksi pada apa yang
mereka lihat dan dengar dalam media. Khalayak tidak ambil bagian dalam
diskusi-diskusi publik. Khalayak merupakan sasaran media massa. Sementara
pandangan kedua khalayak merupakan partisipan aktif dalam publik. Publik
merupakan kelompok orang yang terbentuk atas isu tertentu dan aktif
mengambil bagian dalam diskusi atas isu-isu yang mengemuka.49
Dalam sejarah tradisi studi audience pernah berkembang beberapa
varian teori, secara berurutan berdasarkan perjalanan sejarah kelahirannya
yaitu: effect research, uses and gratification research, literary criticism,
cultrural studies, dan reception analysis. Adapun yang terakhir, reception
analysis, bisa dikatakan sebagai perspektif baru dalam aspek wacana dan
48
Muh. Labib, Potret Sinetron Indonesia Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial.
Mandar Utama Tiga Books Division. Jakarta 2002. Hal. 151. 49
Ido Prijana Hadi, “Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis.” Jurnal
Ilmiah Scriptura. Vol. 3, No. 1, Januari 2009. Hal, 1.
36
sosial dari teori komunikasi.50
Teori resepsi (reception) muncul pada tahun
1970 dalam hubungannya dengan media massa yang memfokuskan pada
hubungan pemaknaan isi media massa dan khalayak.51
Sebagai respon terhadap tradisi scientific dalam ilmu sosial, reception
analysis menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media,
apakan itu kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada teori
representasi dan wacana serta tidak sekedar menggunakan operasionalisasi
seperti penggunaan skala dan kategori semantik. Sebaliknya, sebagai respon
terhadap studi teks humanistik, reception analysis menyarankan baik
audience maupun konteks komunikasi massa perlu dilihat sebagai suatu
spesifik sosial tersendiri dan menjadi objek analisis empiris. Perpaduan dari
dua pendekatan (sosial dan perspektif diskursif) itulah yang kemudian
melahirkan konsep produksi sosial terhadap makna (the social production of
meaning). Analisis resepsi kemudian menjadi pendekatan tersendiri yang
mencoba mengkaji secara mendalam bagaimana proses-proses aktual melalui
makna wacana media diasimilasikan dengan berbagai wacana dan praktik
kultural audiensnya.52
Teori reception analysis mempunyai pengertian bahwa faktor
kontekstual mempengaruhi cara khalayak memirsa atau membaca media,
50
Tri Nugroho Adi, “Mengkaji Khalayak Media dengan Metode Penelitian Resepsi.”
Acta di Urna. Vol. 8, No. 1, 2012. Hal. 26. 51
Ido Prijana Hadi, “Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis.” Jurnal
Ilmiah Scriptura. Vol. 3, No. 1, Januari 2009. Hal, 2. 52
Tri Nugroho Adi, “Mengkaji Khalayak Media dengan Metode Penelitian Resepsi,”
Acta di Urna. Vol. 8, No. 1, 2012. Hal. 26.
37
misalnya film atau acara televisi.53
Secara metodologi, reception analysis
termasuk dalam paradigma interpretive konstruktivis, Hadi mengutip
Neuman yang menyatakan bahwa pendekatan interpretive:
is the systematic analysis of socially meaningful action through the
direct detailed observation of people in natural settings in order to
arrive at understandings and interpretations of how people create and
maintain their worlds”. 54
Paradigma interpretif dalam konteks penelitian sosial digunakan
untuk melakukan interpretasi dan memahami alasan-alasan dari para pelaku
terhadap tindakan sosial yang mereka lakukan, yaitu cara-cara dari para
pelaku untuk mengkonstruksikan kehidupan mereka dan makna yang mereka
berikan kepada kehidupan tersebut.
Studi mengenai hubungan yang terjadi antara media dan khalayak
(pembaca, pemirsa, pengguna internet) menjadi perhatian utama antara
industri media, akademisi, maupun pemerhati media dan masalah sosial.
Media mampu menjadi stimuli individu untuk menikmati sajian pesan atau
program yang ditampilkan. Isi media mampu menjadi wacana perbincangan
(penerimaan khalayak) yang menarik apabila dikaitkan dengan konteks
budaya, misalnya efek dramatisasi visual yang ditimbulkan, pemirsa mampu
mengkontruksi makna sesuai dengan teks dan konteks. Salah satu standar
untuk mengukur khalayak media adalah menggunakan reception analysis,
dimana analisis ini mencoba memberikan sebuah makna atas pemahaman
teks media (cetak, elektronik, internet) dengan memahami bagaimana
53
Ido Prijana Hadi, “Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis.” Jurnal
Ilmiah Scriptura. Vol. 3, No. 1, Januari 2009. Hal, 2. 54
Ido Prijana Hadi, “Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis.” Jurnal
Ilmiah Scriptura. Vol. 3, No. 1, Januari 2009. Hal. 4.
38
karakter teks media dibaca oleh khalayak. Individu yang menganalisis media
melalui kajian reception memfokuskan pada pengalaman dan pemirsaan
khalayak (penonton/pembaca), serta bagaimana makna diciptakan melalui
pengalaman tersebut. Konsep teoritik terpenting dari reception analysis
adalah bahwa teks media bukanlah makna yang melekat pada teks media
tersebut, tetapi makna diciptakan dalam interaksi antara khalayak
(penonton/pembaca) dan teks. Dengan kata lain makna diciptakan dengan
menonton atau membaca dan memproses teks media.55
Peran aktif khalayak
di dalam memaknai teks media dapat terlihat pada premis-premis dari model
encoding/decoding Stuart Hall yang merupakan dasar dari analisis resepsi.
1. Teori Encoding dan Decoding
Encoding dan decoding berasal dari reservasi Hall tentang teori-
teori komunikasi dalam lingkup penelitian komunikasi massa. Dalam
studi reception khalayak adalah partisipan aktif dalam membangun dan
menginterpretasikan makna atas apa yang mereka baca, dengar dan lihat
sesuai dengan konteks budaya sehingga makna teks media bukan lah
fitur yang transparan, tetapi produk interpretasi pembaca dan penonton.56
Pemanfaatan teori analisis resepsi sebagai pendukung dalam
kajian terhadap khalayak sesungguhnya hendak menempatkan khalayak
tidak semata pasif namun dilihat sebagai agen kultural (cultural agent)
yang memiliki kuasa tersendiri dalam hal menghasilkan makna dari
55
Ido Prijana Hadi, “Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis.” Jurnal
Ilmiah Scriptura, Vol. 3, No. 1, Januari 2009. Hal. 1-2. 56
Ido Prijana Hadi, “Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis,” Jurnal
Ilmiah Scriptura, Vol. 3, No. 1, Januari 2009. Hal, 3.
39
berbagai wacana yang ditawarkan media. Makna yang diusung oleh
media bersifat terbuka atau polysemic dan bahkan bisa ditanggapi secara
oposisif oleh khalayak.57
Analisis resepsi memfokuskan pada perhatian individu dalam
proses komunikasi massa (decoding), yaitu pada proses pemaknaan dan
pemahaman yang mendalam atas teks media, dan bagaimana individu
menginterpretasikan isi media). Individu secara aktif
menginterpretasikan teks media dengan cara memberikan makna atas
pemahaman pengalamannya sesuai apa yang dilihatnya dalam kehidupan
sehari-hari (verstehen atau understanding). Interpretasi didefinisikan
sebagai kondisi aktif seseorang dalam proses berpikir dan kegiatan
kreatif pencarian makna.58
Tahapan decodings yaitu pada proses memproduksi makna dan
membagikan kepada orang lain. Dalam social contexts, konsumer media
cenderung mengkonseptualisasikan media sebagai representasi daripada
sebagai sumber informasi. Audience merasakan (make sense) media
sebagai sebuah produk budaya dan bagaimana interpretasi atas apa yang
mereka baca, lihat dan dengar. Proses interpretasi terjadi apabila media
mampu memberikan makna tersendiri atas ritual konsumsi media yang
dilakukan setiap harinya, dalam konteks sosialnya. Konsumsi isi media
mampu memberikan sharing the experience seseorang dengan orang lain
57
Tri Nugroho Adi, “Mengkaji Khalayak Media dengan Metode Penelitian Resepsi,”
Acta di Urna Vol. 8, No. 1, 2012. Hal. 26-27. 58
Ido Prijana Hadi, “Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis,” Jurnal
Ilmiah Scriptura, Vol. 3, No. 1, Januari 2009. Hal, 3-4.
40
melalui tahapan penggunaan media (contexts of media use) dengan
interpretasi secara introspeksi, retrospeksi (persepsi), dan pernyataan
verbal seseorang atas kegiatannya mengkonsumsi media.59
Reception analysis bukan hanya sekedar apa yang lakukan media
kepada khalayaknya atau apa yang khalayak lakukan pada media tetapi
pada bagaimana media dan khalayak berinteraksi satu sama lain sebagai
agen. Reception analysis merujuk pada sebuah komparasi antara analisis
tekstual wacana media dan wacana khalayak, yang hasil interpretasinya
merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media
lain. Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang
selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak
hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna
yang diproduksi oleh media massa.60
2. Posisi Pemaknaan Khalayak Terhadap Pesan Media
Hall menyebut ada tiga hipotetis posisi pemaknaan yang akan
ditangkap oleh khalayak ketika menerima pesan media yaitu: the
dominant hegemonic position, the negotiated position, and the
oppositional position.61
Lebih lanjut posisi pemaknaan terhadap pesan
media dapat dijelaskan sebagai berikut:
59
Ido Prijana Hadi, “Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis,” Jurnal
Ilmiah Scriptura, Vol. 3, No. 1, Januari 2009. Hal, 4. 60
Ido Prijana Hadi, “Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis,” Jurnal
Ilmiah Scriptura, Vol. 3, No. 1, Januari 2009. Hal, 5. 61
James Procter, Stuart Hall (Routledge Critical Thinkers). Routledge. London 2004).
Hal.73.
41
a. The dominant hegemonic position atau posisi hegemoni dominan
yaitu situasi dimana khalayak menerima pesan yang disampaikan
oleh media. Ini adalah situasi dimana media menyampaikan
pesannya dengan menggunakan kode budaya dominan dalam
masyarakat. Dengan kata lain, baik media dan khalayak sama-sama
menggunakan budaya dominan yang berlaku. Media harus
memastikan bahwa pesan yang diproduksinya harus sesuai dengan
budaya dominan yang ada dalam masyarakat. Jika misalnya
khalayak menginterpretasikan pesan iklan di media melalui cara-
cara yang dikehendaki media maka media, pesan, dan khalayak
sama-sama menggunakan ideologi dominan.
b. The negotiated position atau posisi negosiasi yaitu posisi dimana
khalayak secara umum menerima ideologi dominan namun menolak
penerapannya dalam kasus-kasus tertentu, sebagaimana
dikemukakan Stuart Hall, “the audience assimilates the leading
ideology in general but opposes its application in specific case”.
Dalam hal ini, khalayak bersedia menerima ideologi dominanyang
bersifat umum, namun mereka akan melakukan beberapa
pengecualian dalam penerapannya yang disesuaikan dengan budaya
setempat.
c. The oppositional position atau posisi oposisi yaitu cara yang
dilakukan khalayak dalam melakukan decoding terhadap pesan
media dengan sikap oposisi yang terjadi ketika khalayak audiensi
42
yang kritis mengganti atau mengubah pesan atau kode yang
disampaikan media dengan pesan atau kode alternatif. Audiensi
menolak makna pesan yang dimaksudkan atau disukai media dan
menggantikannya dengan cara berpikir mereka sendiri terhadap
topik yang disampaikan media. Stuart Hall menerima fakta bahwa
media membingkai pesan dengan maksud tersembunyi yaitu untuk
membujuk, namun demikian khalayak juga memiliki kemampuan
untuk menghindari diri dari kemungkinan tertelan oleh ideologi
dominan. Namun demikian sering kali pesan bujukan yang diterima
khalayak bersifat sangat halus. Para ahli teori studi kultural tidak
berpandangan khalayak mudah dibodohi media, namun seringkali
khalayak tidak mengetahui bahwa mereka telah terpengaruh dan
menjadi bagian dari ideologi dominan.62
Teori reception mempunyai argumen bahwa faktor kontekstual
mempengaruhi cara khalayak memirsa atau membaca media, misalnya
film atau program televisi. Faktor kontekstual termasuk elemen identitas
khalayak, persepsi penonton atas film atau genre program televisi dan
produksi, bahkan termasuk latar belakang sosial, sejarah dan isu politik.
Singkatnya, teori reception menempatkan penonton/pembaca dalam
konteks berbagai macam faktor yang turut mempengaruhi bagaimana
menonton atau membaca serta menciptakan makna dari teks. Secara
konseptual khalayak mengkonsumsi media dalam berbagai cara dan
62
Morissan, Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa. Kencana. Jakarta 2013. Hal.
550-551
43
kebutuhan. Media bukan lah sebuah institusi yang memiliki kekuatan
besar dalam mempengaruhi khalayak melalui pesan yang
disampaikannya. Khalayak lah yang diposisikan sebagai pihak yang
memiliki kekuatan dalam menciptakan makna secara bebas dan
bertindak atau berperilaku sesuai dengan makna yang mereka ciptakan
atas teks media tersebut.63
Reception analysis merupakan studi yang mendalam terhadap
proses aktual dimana wacana dalam media diasimilasikan kedalam
wacana dan praktik-praktik budaya khalayak. Reception analysis
menekankan pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks sosial
budaya dan sebagai proses dari pemberian makna melalui persepsi
khalayak atas pengalaman dan produksi.64
Hasil penelitian ini
merupakan representasi suara khalayak yang mencakup identitas sosial
dan posisi subyek.
F. Klub Motor di Indonesia
Klub motor adalah suatu perkumpulan atau organisasi kendaraan
bermotor baik berupa sepeda motor ataupun mobil yang biasanya hanya satu
varian atau satu jenis motor. Dalam organisasi tersebut pada umumnya
terdapat susunan kepengurusan dan AD/ART atau peraturan yang harus
63
Ido Prijana Hadi, “Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis.” Jurnal
Ilmiah Scriptura, Vol. 3. No. 1. Januari 2009. Hal. 2. 64
Ido Prijana Hadi, “Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis,” Jurnal
Ilmiah Scriptura, Vol. 3, No. 1, Januari 2009. Hal, 5.
44
dilaksanakan dan dipatuhi oleh para anggotanya.65
Klub motor
beranggotakan orang-orang yang mempunyai hobi motor. Biasanya berada di
bawah bendera pabrikan motor dan mempunyai nama yang dapat
dipertanggung jawabkan. Kegiatan club motor lebih mendasar ke arah
kampanye safety riding dan kegiatan sosial.
Salah satu ciri klub motor yaitu tidak ugal-ugalan di jalan walaupun
masih ada klub motor yang memiliki sifat arogan serta pengetahuan berlalu
lintas minim. Harga diri klub motor lebih terhina bila kedapatan anggotanya
tidak tertib di jalan raya dan tidak dianjurkan memecahkan masalah dengan
baku hantam tetapi lebih fleksibel dengan bermusywarah bila ada masalah di
jalan atau dalam perkumpulan.66
Karakteristik klub motor dapat diperinci
sebagai berikut yaitu:
1. Perlengkapan safety dalam berkendara komplit.
2. Motor dan pengendaranya sama-sama lengkap bahkan biasanya
ditambah box dibelakang motor buat menyimpan helm dan peralatan
motor agar barang bawaan saat touring dapat terlindungi.
3. Biasanya setiap club motor hanya terdiri dari satu merk dan satu tipe
motor saja namun ada juga yang bermacam-macam merk atau tipe.
4. Berkumpul atau kopdar (kopi darat) ditempat yang ramai agar bisa
dilihat masyarakat sekaligus ajang silahturahmi kepada klub motor
lain.
65
http://www.hsfci.com/ini-lho-perbedaan-antara-club-community-independent-single-
fighter-dan-geng-motor/. Diakses pada Senin 21 Maret 2017. 66
Club Motor: Perbedaan Genk, Community Dan Club Motor,
http://www.motormobile.net/more.php?id=820. Diakses pada Senin 21 Maret 2017.
45
5. Pelantikan anggota baru biasanya tanpa kekerasan, hanya untuk
having fun dan memberi pengetahuan tentang berlalu lintas yang
benar.
6. Mempunyai visi dan misi yang jelas dan jauh dari ruang lingkup yang
anarkis.
7. Melakukan kegiatan touring ke daerah-daerah dan biasanya diselingi
membagikan sumbangan.
8. AD/ART mereka jelas dan tercatat dalam kepolisian atau wadah dari
perkumpulan club motor.
9. Saling tolong menolong terhadap anggota club motor lain ketika
dijalan mendapatkan masalah atau musibah.
10. Setiap club motor memiliki tujuan dalam berkendara dan peraturan-
peraturan yang tidak membebankan anggotanya.
Keberadaan klub motor di Indonesia sudah sejak zaman kolonial
Belanda. Motor hadir sebelum mobil masuk ke Hindia Belanda. Sepeda
motor masuk Hindia Belanda tak lama setelah ditemukan. Orang pertama di
Indonesia pada masa Hindia Belanda yang memiliki motor adalah John C.
Potter, warga berkebangsaan Inggris yang bekerja sebagai masinis pabrik
gula di Umbul dekat Probolinggo. Potter membeli motor langsung ke
Hildebrand Und Wolfmuller, perusahaan penemu sepeda motor pertama pada
1883.
Keberadaan motor semakin berkembang di Hindia Belanda pada
tahun 1900-an. Para pemilik motor orang Belanda dan Eropa di Batavia
46
membentuk klub motor atau persatuan pengendara sepeda motor (motor-
wielrijders bond) bernama Magneet pada tahun 1913. Mereka menerbitkan
majalah sesuai dengan nama klub, Magneet. Sebagaian besar terbitan majalah
Magneet berisi pengumuman dan laporan dari clubtochten atau perjalanan
klub. 67
Sebagaimana klub motor pada zaman sekarang, Magneet melakukan
touring ke berbagai tempat. Perjalanan pertama Klub Motor Magneet pada 28
Desember 1931 dimulai dari Taman Wilhelmina, di pusat kota Batavia,
kemudian berkeliling kota Batavia, dan berakhir di hotel De Stam di
Gondangdia Baru, sebuah permukiman modern yang pada saat itu baru
dibangun. Klub motor Magneet juga melakukan perjalanan ke luar Batavia.
Mereka menyewa hotel dan restoran di Bogor dan Cipanas. Anggota-anggota
klub sepeda motor, sebagaimana dilaporkan Magneet, menembus lebih dalam
dari pusat menuju pinggiran-pinggiran dan pedalaman. 68
Magneet menyebut bahwa “tujuan kami...terutama melakukan
perjalanan-perjalanan klub oleh para anggotanya, dengan fokus, terutama,
mengemudi secara lambat dan saksama.” Pada kenyataannya Klub Motor
Magneet kerap merugikan masyarakat karena terjadi kecelakaan seperti
menabrak gerobak, pasar, ayam, hingga jatuh korban jiwa. Majalah Magneet
pernah mempublikasikan seorang anggota klub, W.A. van den Cappellen dari
Jalan Bekasi No. 3 dituduh membunuh seorang gadis bernama Moenah dari
67
Arief Ikhsanuddin, “Klub Motor Zaman Hindia Belanda, Historia”,
http://historia.id/kota/klub-motor-zaman-hindia-belanda. Diakses pada Senin 21 Maret 2017. 68
Arief Ikhsanuddin, “Klub Motor Zaman Hindia Belanda, Historia”,
http://historia.id/kota/klub-motor-zaman-hindia-belanda. Diakses pada Senin 21 Maret 2017.
47
Kampung Dureng III dengan motornya. Pria itu sedang mengemudi tanpa
SIM. Di tempat lain, seorang anggota klub bernama Arriens yang mencelakai
dipukuli penduduk, tetapi ia beruntung karena seorang asisten residen
Belanda yang menyelamatkannya dari amuk massa. Kecelakaan lalu lintas
merupakan hal lumrah, sementara balapan yang memposisikan pengendara
kendaraan sebagai raja jalanan secara kuat diekspresikan oleh Magneet
sebagai kebenaran. 69
Kecelakaan-kecelakaan di jalan semakin sering terjadi tetapi mudah
diatasi dengan pemberitaan melalui majalah Magneet, seperti menyimpang
keluar dari berita itu atau memberitakannya sambil lalu. Majalah Magneet
berhasil menjadi media propagandis yang memainkan tafsir kekuasaan di
jalan raya.70
G. Perilaku Sebagai Tindakan Beralasan
Dalam Encyclopaedia Britannica perilaku manusia (human
behaviour) didefinisikan “the potential and expressed capacity for physical,
mental, and social activity during the phases of human life”.71
Perilaku
manusia adalah potensi dan kapasitas yang diungkapkan dalam bentuk
aktivitas fisik, mental, dan sosial selama fase kehidupan manusia. Menurut
Yayat, perilaku meliputi semua kegiatan atau aktivitas manusia baik yang
69
Arief Ikhsanuddin, “Klub Motor Zaman Hindia Belanda, Historia”,
http://historia.id/kota/klub-motor-zaman-hindia-belanda. Diakses pada Senin 21 Maret 2017. 70
Arief Ikhsanuddin, “Klub Motor Zaman Hindia Belanda, Historia”,
http://historia.id/kota/klub-motor-zaman-hindia-belanda. Diakses pada Senin 21 Maret 2017. 71
Richard M. Lerner Jerome Kagan Marc H. Bornstein, “Human Behavior”,
Encyclopaedia Britannica, https://www.britannica.com/topic/human-behavior
48
diamati langsung, maupun yang dapat diamati oleh pihak luar.72
Perilaku
merupakan objek kajian utama dalam disiplin ilmu psikologi. Hal tersebut
sejalan dengan definisi psikologi sebagaimana diungkapkan oleh Abdul
Chaer yang menyatakan bahwa psikologi secara umum diartikan sebagai satu
bidang ilmu yang mencoba mempelajari perilaku manusia. Para ahli
psikologi belakangan ini juga cenderung untuk menganggap psikologi
sebagai suatu ilmu yang mencoba mengkaji proses akal manusia dan segala
manifestasinya yang mengatur perilaku manusia itu. Tujuan pengkajian akal
ini adalah untuk menjelaskan, memprediksikan, dan mengontrol perilaku
manusia.73
Dengan demikian kajian tentang perilaku manusia merupakan
fokus utama dalam studi ilmu psikologi.
Perilaku (behaviour) memiliki hubungan erat dengan sikap (attitude).
Menurut Saefudin Azwar, sikap (attitude) adalah salah satu unsur
kepribadian yang dimiliki seseorang untuk menentukan tindakannya dan
bertingkah laku terhadap suatu objek yang disertai dengan perasaan positif
dan negatif. Lebih lanjut Azwar menjelaskan bahwa perilaku sebagai reaksi
bersifat sederhana maupun kompleks merupakan ekspresi sikap seseorang.74
Sikap sudah terbentuk dalam diri karena tekanan atau hambatan dari luar
maupun dalam diri. Potensi reaksi yang sudah terbentuk dalam diri akan
muncul dalam bentuk perilaku aktual sebagai cerminan dari sikap. Jadi jelas
72
Yayat Suharyat, “Hubungan Antara Sikap, Minat, dan Perilaku Manusia”, Academia,
http://www.academia.edu/25787317/HUBUNGAN_ANTARA_SIKAP_MINAT_DAN_PERILA
KU_MANUSIA 73
Abdul Chaer, Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. 2003, Hal. 2 74
Saifudin Azwar, Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002, Hal. 9.
49
bahwa perilaku dipengaruhi oleh faktor dalam diri maupun faktor lingkungan
yang ada di sekitarnya. 75
Icek Ajzen dan Martin Fishbein mengemukakan Teori Tindakan
Beralasan (Theory of Reasoned Action) yang menyatakan bahwa sikap
mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang
teliti, beralasan dan berdampak sebagai berikut:
1. Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tapi oleh sikap
yang spesifik terhadap sesuatu.
2. Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tetapi juga oleh norma-
norma subjektif yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain
inginkan agar kita perbuat.
3. Sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subjektif
membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.76
Berdasarkan paradigma Teori Tindakan Beralasan (Theory of
Reasoned Action) tersebut maka dapat dipahami bahwa perilaku timbul
karena pengaruh dari sikap dan norma-norma subjektif seseorang. Sikap
sendiri merupakan pandangan dan perasaan seseorang terhadap sesuatu baik
yang bersifat positif maupun negatif. Adapun norma merupakan keyakinan
yang dianut seseorang seperti agama, ideologi, stau pandangan hidup
tertentu. Kedua hal tersebut secara bersama-sama membentuk intensi untuk
berperilaku tertentu.
75
Yayat Suharyat, “Hubungan Antara Sikap, Minat, dan Perilaku Manusia”, Academia,
http://www.academia.edu/25787317/HUBUNGAN_ANTARA_SIKAP_MINAT_DAN_PERILA
KU_MANUSIA. diakses pada 21 Januari 2018. 76
Saifudin Azwar, Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
50
H. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelusuran penulis terdapat beberapa laporan penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Puji Susanti, “Pengaruh Intensitas Menonton Sinetron “Anak Jalanan” dan
Pengawasan Orang Tua terhadap Perilaku Kekerasan oleh Anak”, Skripsi,
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Diponegoro, Semarang, 2016.
Tujuan penelitian Puji Susanti adalah untuk mengetahui
pengaruh intensitas menonton sinetron “Anak Jalanan” dan
pengawasan orang tua terhadap perilaku kekerasan oleh anak. Teori
yang digunakan adalah Teori Belajar Sosial dan Parental Mediation.
Penelitian ini merupakan tipe penelitian eksplanatori dengan 100
sampel yang diambil menggunakan teknik non-probability sampling.
Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis Regresi Linier
yang dilakukan setelah melewati uji asumsi klasik dan uji korelasi
Pearson Product Moment.
Berdasarkan hasil pengujian asumsi klasik, penelitian ini
memenuhi syarat untuk menjadi model regresi, namun berdasarkan
hasil uji korelasi, nilai signifikansi ketiga variabel dependent lebih
besar dari 0,05, yaitu sebesar 0,255 untuk variabel intensitas menonton
sinetron “Anak Jalanan”, 0,614 untuk variabel restrictive mediation,
dan 0,165 untuk variabel active mediation. Hasil korelasi tersebut
menunjukan ketiga variabel dependent tidak memiliki hubungan
dengan perilaku kekerasan oleh anak. Dengan tidak adanya hubungan
51
tersebut, maka tidak ada pula pengaruh intensitas menonton sinetron
“Anak Jalanan” terhadap perilaku kekerasan oleh anak, pengaruh
restrictive mediation terhadap perilaku kekerasan oleh anak, dan
pengaruh active mediation terhadap perilaku kekerasan oleh anak.
Semua hipotesis dalam penelitian ini ditolak. Artinya perilaku
kekerasan oleh anak lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lain diluar
intensitas menonton sinetron “Anak Jalanan” dan pengawasan orang
tua.
2. Sizka Septhani, “Analisis Resepsi Khalayak Terhadap Motivasi Hidup
Dalam Film Merry Riana,”Skripsi, Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Mercu Buana, Jakarta, 2015.
Penelitian ini bertujuan untuk mellihat bagaimana khalayak
memaknai pesan dari Film Merry Riana. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam sebagai metode
untuk mencari data primer. Penelitian ini mengacu kepada teori
decoding-encoding Stuart Hall bahwa analisis resepsi khalayak terbagi
menjadi tiga posisi pemaknaan, yaitu dominan, negosiasi, dan oposisi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makna yang
disampaikan di film Merry Riana cukup baik, dari sepuluh informan
yang di wawancarai, setidaknya ada 6 orang yang termasuk dalam
posisi pemaknaan dominan, sedangkan empat informan lainnya
menyetujui makna yaang terdapat fim Merry Riana tetapi tidak
52
sepenuhnya setuju, sehingga emapat narasumber tersebut termasuk
dalam posisi negosiasi.
3. Billy Susanti,“Analisis Resepsi Terhadap Rasisme Dalam Film (Studi
Analisis Resepsi Film 12 Years A Slave pada Mahasiswa Multi
Etnis),” Skripsi, Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas
Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta,
2014.
Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan pemaknaan
audiens terhadap rasisme yang terjadi di Amerika Serikat. Penelitian
ini menggunakan metode analisis resepsi encoding-decoding Stuart
Hall, dengan jenis penelitian kualitatif yang berfokus pada rasisme
yang terjadi di Amerika Serikat. Data diperoleh melalui wawancara
terhadap informan dari latar belakang etnis minoritas di pulau Jawa.
Hal ini dilakukan karena mereka yang paling memungkinkan
mengalami diskriminasi ras.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh informan berada
pada posisi oposisi yaitu menolak adegan perbudakan dan kekerasan
akibat rasisme yang ditampilkan. Beberapa informan pada posisi
dominan dalam adegan tertentu. Latar belakang informan menjadi
sangat berpengaruh ketika mahasiswa keturunan China setuju dengan
salah satu adegan yang merugikan kulit hitam. Secara umum, menurut
informan rasisme adalah tindakan yang tidak berperikemanusiaan dan
sangat kejam.
53
4. Ria Avriyanty “Analisis Resepsi Penonton di Youtube terhadap
Konstruksi Gender dalam Video Musik If I Were a Boy Karya
Beyonce Knowles,” Skripsi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Program Studi Inggris Universitas Indonesia, Jakarta, 2012.
Penelitian ini membahas video musik If I Were a Boy (2010)
karya Beyonce Knowles beserta komentar penontonnya di Youtube.
Penelitian ini menerapkan konsep encoding-decoding milik Stuart Hall
(1973). Hasil penelitian ini menunjukkan sedikit perbedaan dari segi
jumlah responden yang menempati masing posisi. Pada kenyatannya,
fenomena ini merupakan bentuk nyata dari adanya cyberculture
dimana penonton memanfaatkan Youtube sebagai sebuah ruang untuk
memaknai teks digital dan bernegosiasi dengan stereotip gender
dengan memberikan respon.
5. Dona Devianti, “Penafsiran Khalayak Terhadap Poligami Dalam
Sinetron Religi,”Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang, 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
interpretasi khalayak terhadap konstruksi sosial poligami dalam
program sinetron religi. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode analisis resepsi. Pendekatan ini memfokuskan pada
teks media dan pembacaan yang dilakukan khalayak. teks media
dipandang sebagai pesan yang polisemik, terbuka terhadap berbagai
54
kemungkinan pembacaan, dan khalayak dipandang sebagai produsen
makna.Teknik pengumpulan data dilakukan dengan indepth interview.
Khalayak memaknai dan mengintepretasi teks media sesuai
dengan faktor sosiokultural mereka dan juga dipengaruhi oleh
pengalaman pribadi. Khalayak yang menonton melakukan tiga posisi
pembacaan yaitu dominant hegemonic, negotiated reading, dan
oppositional reading. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemaknaan khalayak terhadap poligami tidak berubah setelah
menonton sinetron religi Ketika Cinta Bertasbih. Ada faktor yang
lebih kuat mempengaruhi pemaknaan khalayak dibanding agama yaitu
jenis kelamin, pendidikan, dan latar belakang budaya yang dimiliki
khalayak.
Berdasarkan telaah pustaka yang penulis lakukan terdapat beberapa
penelitian yang menggunakan analisis resepsi tetapi belum ada penelitian
yang mengkaji tentang sinetron Anak Jalanan dengan menggunakan analisis
resepsi.