bab ii landasan teori - abstrak.ta.uns.ac.id · interaktif teori hukum alam modern...
Post on 16-Mar-2019
234 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KAJIAN TEORI 1. Hukum dan Perundang-Undangan
a. Pendekatan Kajian Hukum
Hukum memiliki spektrum yang sangat luas sehingga pengertiannya sangat
bergantung dari sisi mana orang memandangnya. Pengertian hukum menjadi berbeda-beda
di antara orang-orang sesuai dengan konsep yang diberikan kepadanya. Adanya berbagai
arti hukum yang dikonsepsikan orang itu menunjukkan bahwa hukum bereksistensi dalam
berbagai rupa, yaitu berupa nilai-nilai yang abstrak, berupa norma atau kaidah yang positip,
berupa keputusan hakim, berupa perilaku sosial, serta berupa makna-makna simbolik.
Melihat luasnya arti hukum itu, maka dalam penelitian ini yang dimaksud hukum
menurut peneliti adalah lembaga sosial yang berfungsi sebagai mekanisme pemeliharaan
ketertiban dan penyelesaian sengketa, serta pembentukan pola perilaku yang baik dalam
bermasyarakat.
Luas cakupan hukum di dalam kehidupan bermasyarakat adalah sangat luas, sejak
dari yang bersifat privat seperti perjanjian yang dibuat oleh antar pribadi, sampai yang
bersifat publik yang dibuat oleh masyarakat, negara dan lembaga-lembaga antar negara.
Hukum mengandung norma dan keputusan dari para anggota masyarakat yang berwenang
yang bersifat mengikat dan memaksa. Aliran positivisme hokum memandang bahwa
hukum lebih berurusan dengan bentuk dari pada isi, maka hukum hampir identik dengan
undang-undang.1
Kajian tentang hukum dan peraturan perundangan oleh para sarjana dilakukan
dengan berbagai macam pendekatan yang beda-beda. Menurut Gerald Turkel untuk
memahami sistem hukum secara komprehensif diperlukan beberapa teori dan pendekatan.
1 Purnadi Purbacaraka. Perundang-undangan dan Yurisprudensi.Bandung: Alumni, 1982, hlm. 20
Menurutnya ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam mempelajari ilmu hukum,
yaitu:2
a. The moral approach to law (pendekatan moralitas), yang fokus perhatiannya pada
landasan moral hukum dan validitas hukumnya adalah konsistensi hukum dengan etika
eksternal atau nilai-nilai moral.
b. The jurisprudence approach to law (pendekatan ilmu hukum normatif), yang fokus
perhatiannya pada inde- pendensi hukum, dan validitas hu- kumnya adalah konsistensi
internal hukum dengan aturan-aturan norma, dan asas-asas yang dimiliki hukum sendiri;
dan
c. The sociological approach to law (pendekatan sosiologis), yang focus perhatiannya
tentang hukum dan tindakan sosial, di mana validitas hu- kumnya adalah konsekuensi-
konsekuensi hukum bagi masyarakatnya.
Teori dan pendekatan yang dikemukakan oleh Gerald Turkel tersebut kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh Werner Menski dengan memadukan ketiga pendekatan itu
sehingga muncul teori baru yang dikenal dengan teori triangular concept of legal
pluralism.3 Berikut ini akan diuraikan pokok-pokok yang terkandung di dalam teori
triangular tersebut.
Teori Triangular Concept of Legal Pluralism (Konsep segitiga pada pluralisme
hukum) diperkenalkan oleh Werner Menski, seorang profesor hukum dari University of
London, melalui bukunya yang terbit tahun 2006 yang berjudul: Comparative Law in a
Global Context, The Legal Systems of Asia and Africa.4
2 Turtel, Gerald, Law and Society Critical Approachs, Allyn and Bacon, USA, 1996, p. 10
3 Werner Menski, Comparative Law in a Global Context, The Legal Systems of Asia and Africa, second edition, Cambridge Universuty Press, UK, 2006, hlm. 173
4 Nama teori itu lengkapnya adalah “Triangular model of legal pluralism and interlegality” (Ibid, hlm.173), namundisingkat dengan “Triangular model of legal pluralism”. Sedangkan Achmad Ali mempopulerkan teori Menski itudengan nama Triangular Concept of Legal Pluralism (Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan,Kencana, Jakarta, 2009, hlm. 184). Werner Menski sendiri dalam halaman-halaman lain tidak selalu sama untukmenyebutkannya. Misalnya, triangular model of law (hlm. 285), triangular model of global jurisprudence (hlm.130), triangular model of global legal theory (hlm. 19 dan 279), Triangular model of understanding law (hlm.183), Triangular model of plurality-consciousness (hlm. 333).
Menurut Menski, hukum sebagai fenomena global memiliki kesamaan di seluruh
dunia, dalam arti bahwa dimana-mana hukum terdiri atas 3 elemen pokok, yaitu nilai
moral-etis, norma-norma sosial, dan hukum formal negara, meskipun di dalam realitasnya
muncul banyak variasi kultur yang khas (culture-specific). Variasi kultur itu menunjukkan
sifat alami hukum yang selalu plural, sebagai hasil dari interaksi faktor masyarakat, negara,
dan nilai-nilai moral/agama. Jadi dalam perspektif budaya atau kultural, hukum di mana-
mana selalu bersifat plural.5
Menurut Menski, sangat tidak realistis ketika berbagai sistem hukum yang sangat
plural atau beraneka ragam itu, hanya dikaji dengan menggunakan salah satu jenis
pendekatan hukum secara sempit, seperti hanya menggunakan pendekatan positivis-
normatif belaka, atau hanya menggunakan pendekatan empiris-sosiologis saja, atau
pendekatan hukum alam belaka. Oleh karenanya menurut Menski, tak ada metode yang
lebih relevan untuk menghadapi berbagai isu hukum di era globalisasi dunia dewasa ini,
kecuali dengan penggunaan secara proporsional dan serentak ketiga pendekatan hukum:
normatif, sosiologis, dan filosofis, dan itulah yang dikenal sebagai triangular concept of
legal pluralism (model segitiga tentang pluralisme hukum).
Teori yang dikemukakan oleh Menski disusun di atas sebuah hipotesis kerja dan
proposisi yang mengacu pada pemahaman hukum yang “sadar-globalitas” dan “sadar-
pluralitas” sebagai berikut:6
a) Hukum adalah gejala universal namun termanifestasi dalam banyak cara yang berbeda.b) Hukum bukan hanya mengambil bentuk yang berlainan melainkan mempunyai sumber
yang berbeda-beda. Sumber-sumber ini, yang pada dasarnya berupa negara, masyarakat
dan moral/agama, bersaing dan berinteraksi dengan berbagai proses;c) Apakah sesuatu merupakan hukum atau bukan pada akhirnya sangat mungkin ditentukan
oleh para ahli hukum, namun mereka telah menggunakan anggapan sentralitas hukum
untuk mengedepankan suatu pandangan-dunia di mana 'hukum'-lah yang dominan. Hal
5 Ibid, hlm. 610
6 Ibid, hlm. 184-185
ini bisa dinamakan sebagai “determinisme hukum", sebuah bentuk positivisme yang
terwujud dalam sentralisme hukum
Model pendekatan pluralisme yang memadukan 3 pendekatan hukum secara serentak
berbentuk segitiga (trangular). Model triangular dari Menski ini mengombinasi secara
interaktif teori hukum alam modern (moral/etik/agama), positivime (hukum negara), dan
sosiologi hukum (masyarakat) untuk melihat pluralisme hukum yang merupakan realitas
dunia global.
Ketiga tipe utama hukum yang berbasis masyarakat, negara, dan etika, di dalam
realitasnya masing-masing elemen itu juga bersifat plural. Masing-masing elemen hukum
pada kenyataanya mengandung unsur-unsur dari kedua elemen lainnya.7
b. Perundang-undangan
Menurut Satjipto Rahardjo, pembuatan hukum yang dilakukan secara sengaja oleh
badan yang berwenang merupakan sumber hukum yang paling utama.8 Substansi hukum itu
tidak diragukan lagi kesahannya. Hukum yang diperoleh dari proses seperti itu disebut
sebagai hukum yang diundangkan (enacted law, statute law) berhadapan dengan hukum
yang tidak diundangkan (unenacted, common law). Istilah itu dalam bahasa Romawi disebut
Ius scriptum dan Ius non scriptum.
Menurut Werner Menski, karakteristik umum hukum perundang-undangan adalah:9
1. Bersifat tunggal (monist), yaitu suatu sistem hukum itu koheren secara internal (one
internally coherent legal system),
2. Berorientasi kenegaraan (statist), yaitu negara memegang kekuasaan tunggal di
wiayahnya (the state has a monopoly of law within its territory),
7 Ibid, hlm. 610
8 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1982, hlm. 113.
9 “Western legal theory has been dominated by conceptions of law that tend to be monist (one internally coherentlegal system), statist (the state has a monopoly of law within its territory), and positivist (what is not created orrecognised as law by the state is not law)“ (Werner Menski, op.cit, hlm.6).
3. Bersifat positip (positivist), yaitu hukum yang tidak dibuat atau tidak diakui oleh Negara,
itu bukanlah hukum (what is not created or recognised as law by the state is not law)
Kelebihan hukum perundang-undangan ialah: (1) memiliki tingkat prediktabilitas
yang besar dan (2) memiliki kepastian hukum secara formal dan material. Sebaliknya,
hukum perundang-undangan setidaknya juga memiliki 2 kelemahan, yaitu: (1) bersifat kaku
dan (2) sifat keumumannya sering mengorbankan kasus-kasus yang spesifik.10
Hukum yang menjadi pedoman tingkah laku anggota masyarakat terdiri dari
sekumpulan kaidah-kaidah yang merupakan satu kesatuan sehingga merupakan suatu sistem
kaidah atau sistem hukum. Sistem hukum seringkali juga memiliki arti yang sama dengan
Tata Hukum.11
Pengertian dasar yang terkandung dalam sistem adalah:12 (a) Sistem berorientasi pada
tujuan, (b) Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian (wholism), (c) Suatu
sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu lingkungannya (open system), (d)
Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga, (e) Masing-
masing bagian harus cocok satu sama lain, dan (f) Ada kekuatan pemersatu yang mengikat
sistem itu (mekanisme kontrol).
Jadi tata hukum akan merupakan sebuah sistem jika tidak sekedar kumpulan kaidah,
tetapi memiliki sistematika dan kesatuan. Menurut teori Stufenbau dari Hans Kelsen bahwa
sistem hukum itu merupakan suatu hirarkhi atau sistem pertanggaan kaidah.13 Suatu
perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah harus memiliki dasar pada kaidah
hukum yang lebih tinggi sifatnya. Setiap kaidah hukum harus mencerminkan adanya sistem
pertanggaan semacam ini demikian seterusnya ke atas. Kaedah hukum yang tertinggi yang
10 Dedi Sumardi, Sumber Sumber Hukum Positif. Alumni , Bandung, 1982, hlm. 20
11 Soepomo. Sistem Hukum Indonesia Sebelum Perang Dunia kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1971, hlm.3
12 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Alumni, Bandung, 1982, hlm. 88-89
13 Hans Kelsen, Pure Theory of Law (Teori Hukum Murni)¸ alih bahasa oleh Raisul Muttaqien, Cet.VI, Nusa Media,2008, hlm. 243-244
disebut konstitusi berdasarkan pada norma dasar yang disebut grundnorm.14 Norma dasar ini
mengandung asas-asas hukum15 yang bersifat umum yang berupa nilai-nilai moral atau
tuntutan etis yang akan menjadi dasar dari bangunan sistem hukum.
Menurut Jonathan H. Turner unsur-unsur yang terdapat dalam setiap sistem hukum
adalah sebagai berikut:16
(1) Explicit laws or rules of conduct (Adanya seperangkat kaedah atau aturan tingkah laku yang
dapat dikenali.)
(2) Mecanism for enforcing laws (adanya mekanisme penerapan hukum)
(3) Mecanism for mediating and adjudicating disputes in accordance with laws (adanya tata
cara untuk penyelesaian sengketa berdasarkan hukum yang berlaku)
(4) Mecanism for enacting new or changing old laws (adanya tata cara untuk pembuatan
hukum baru atau perubahan hukum)
Menurut Purnadi Purbacaraka, asas-asas peraturan perundang-undangan antara lain
ialah:17
a) Undang-undang tidak berlaku surutb) Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi pula (lex superiore derogat lex inferiore)c) Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan yang bersifat umum (lex
speciale derogat lex generale)d) Undang-undang yang belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terlebih
dahulu (lex posterior derogat lex priori).e) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
14 Ibid, hlm. 244.
15 Asas hukum merupakan ratio legis bagi pembentukan norma-norma hukum dan sebagai dasar filosofi daripembuatan peraturan perundang-undangan. Sebaliknya norma-norma hukum merupakan perwujudan dari asashukumnya (Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 134)
16 Dalam Winarno Yudho dan Agus Brotosusilo.. Sistem Hukum Indonesia, Karunika, Jakarta, 1986, hlm. 18
17 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Alumni, Bandung, 1979,hlm. 55
Sedangkan Lon L. Fuller menjelaskan 8 asas dalam pembuatan perundang-undangan
atau yang disebut dengan pinciples of legality, yaitu:18
a) Suatu sistem hukum harus mengandung aturan-aturan, artinya tidak boleh sekedar
mengandung keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.
b) Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan
c) Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, karena akan merusak integritas
peraturan sebagai pedoman yang ditujukan untuk waktu yang akan datang.
d) Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang mudah dimengerti
e) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu
sama lain.
f) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat
dilakukan.
g) Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan sehingga
menyebabkan seseorang kehilangan orientasi.
h) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya
sehari-hari.
Suatu peraturan perundang-undangan idealnya mengandung asas pembentukan dan
asas materi muatan yang baik sehingga memiliki keselarasan dan keharmonisan antara
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam perundangan yang satu dengan lainnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, setiap peraturan perundangan harus berlandasan pada asas-asas
sebagai berikut:
1) Asas Pembetukan Peraturan Perundang-undangan:19
a. Kejelasan tujuan;b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;d. dapat dilaksanakan;
18 Fuller, Lon. L.. Morality of Law, New Haven. Conn: Yale University Press, 1971, hlm. 39 - 91
19 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
2) Asas Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan:20 a. pengayoman; b. kemanusiaan;c. kebangsaan; d. kekeluargaan;e. kenusantaraan;f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan21 bertujuan untuk memberikan
kepastian bagi semua pihak. Bahasa perundang-undangan sangat berperan dalam
mewujudkan unsur kepastian tersebut, sehingga corak bahasa perundang-undangan perlu
bersifat bebas dari emosi, tanpa perasaan dan datar seperti rumusan matematik.
Kejelasan bahasa Undang-Undang akan diukur dari gaya penuturannya padat dan
sederhana (istilah-istilah yang dipilih bersifat mutlak dan tidak nisbi, sehingga tidak
menimbulkan perbedaan pendapat atau penafsiran). Kata dan kalimat dalam peraturan
perundangan itu terbatas pada hal-hal yang nyata atau aktual dan menghindari hal-hal yang
bersifat metaforis dan hipotetis. Bahasanya tidak terlalu tinggi karena peraturan ditujukan
untuk semua lapisan. Masalah pokoknya tidak dikacaukan dengan kekecualian, pembatasan
atau modifikasi, tidak mengandung argumentasi atau alasan terperinci, serta sangat penting
diatur dan berwibawa.22
Harmonisasi Hukum
Berdasarkan beberapa pandangan mengenai harmonisasi hukum seperti diuraikan di atas,
20 Ibid, Pasal 6 ayat (1)
21 Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umumdan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkandalam peraturan perundang-undangan (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang PembentukanPeraturan Perundang-undangan)
22 Satjipto Rahardjo, opc.cit., hlm. 124-125
maka pengertian dan luas cakupan harmonisasi mencakup kegiatan:
(1) Upaya untuk merealisasi keselarasan dan mengatasi perbedaan atau pertentangan hukum
demi kesatuan sistem hukum, baik terhadap rancangan hukum yang sedang dibuat (legal
drafting) maupun hukum yang telah berlaku (existing legal system). (2) Penyelarasan sistem hukum (legal system) mencakup penyerasian unsur-unsur dalam
tatanan hukum yang mencakup materi hukum (legal substance), struktur hukum (legal
structure) dan budaya hukum (legal culture).(3) Harmonisasi hukum yang ideal mencakup keharmonisan secara filosofis, yuridis,
sosiologis, dan ekonomis. (4) Upaya penyerasian dan penyelarasan substansi hukum seperti peraturan perundang-
undangan dilakukan secara vertikal maupun horizontal.
2. Perkoperasian
Pengertian koperasi menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang
atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip
koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas
kekeluargaan.23 Jadi koperasi adalah badan usaha yang dimiliki dan diselenggarakan
sekumpulan orang untuk kepentingan bersama. Koperasi melandaskan kegiatan
berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.
Prinsip koperasi terbaru yang dikembangkan International Cooperative Alliance
(Federasi koperasi non-pemerintah internasional), adalah:24 (a) Keanggotaan yang bersifat
terbuka dan sukarela, (b) Pengelolaan yang demokratis, (c) Partisipasi anggota dalam
ekonomi, (d) Kebebasan dan otonomi, dan (e) Pengembangan pendidikan, pelatihan, dan
informasi.
Di Indonesia, prinsip koperasi telah dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang kurang lebih sama dengan prinsip yang diakui
23 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
24 Hendar & Kusnadi, Ekonomi Koperasi, Lembaga Penerbit FEUI, 2005, hlm. 18-23
dunia internasional dengan adanya sedikit perbedaan, yaitu adanya penjelasan mengenai
SHU (Sisa Hasil Usaha). Prinsip-prinsip koperasi itu adalah:25
a) Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
b) Pengelolaan dilakukan secara demokrasi
c) Pembagian SHU dilakukan secara adil sesuai dengan jasa usaha masing-masing anggota
d) Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
e) Kemandirian
f) Pendidikan perkoperasian
g) Kerjasama antar koperasi
Sejak pertama kali muncul pada akhir abad 18, keberadaan koperasi di
Indonesia terus berkembang pesat. Hal ini tidak lepas dari nilai-nilai dalam sistem
kerja koperasi yang dianggap sebagai bangun usaha yang sesuai dengan konstitusi,
yakni ekonomi kerakyatan.
Menurut Ahmad Erani Yustika26 koperasi berlandaskan kegiatan mengacu
prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Jadi koperasi
memiliki potensi antara lain pada skala ekonomi, aktivitas yang nyata, dan faktor
keuangan (pecuniary). Menurutnya, demokrasi ekonomi kerakyatan dalam praktik
usaha koperasi sesuai dengan Pasal 33 Ayat 1 yang sebenarnya tidak mengizinkan
economy competition, namun sebuah kegiatan ekonomi yang lebih mendorong
munculnya kerja sama ekonomi.27 Kerja sama ekonomi pada unit terkecil persis
25 Ibid¸ hlm. 23
26 Koran-Jakarta.com, Wujudkan Koperasi sebagai Basis Ekonomi Rakyat, http://koran-jakarta.com/?16395-wujudkan%20koperasi%20sebagai%20basis%20ekonomi%20rakyat diakses tanggal 11 Nopember 2014
27 Ibid
seperti yang dipraktikkan koperasi ini tidak pernah memunculkan dikotomi relasi
antara pekerja dan pemilik, yang di sering terlibat dalam perselisihan dalam
perusahaan biasa umumnya.
Kebersamaan dalam koperasi tampak pada tiga hal, yakni kepemilikan bersama
dari anggotanya, penentuan melalui keputusan bersama, dan tanggung jawab bersama
atas hasilnya. Setiap anggota merupakan pemilik, tidak terbagi dalam istilah saham
mayoritas atau minoritas, sedangkan penentuan keputusan bersama diambil secara
melalui hak suara ditentukan berdasarkan orang, bukan jumlah saham. Hal tersebut
akan melahirkan tanggung jawab bersama sebagai konsekuensi dari proses itu
sehingga seluruh manfaat dan risiko dari gerakan usaha koperasi itu dipikul bersama-
sama. Seluruh manifestasi ini merupakan ciri khas koperasi dan tidak dijumpai pada
badan usaha yang lain.28
Jenis Koperasi menurut fungsinya ada 4 jenis: (1) Koperasi konsumsi, yaitu
koperasi yang menyelenggarakan fungsi pembelian atau pengadaan barang dan jasa
untuk memenuhi kebutuhan anggota sebagai konsumen akhir. Anggota berperan
sebagai pemilik dan pembeli atau konsumen bagi koperasinya, (2) Koperasi
penjualan/pemasaran, yaitu koperasi yang menyelenggarakan fungsi distribusi barang
atau jasa yang dihasilkan oleh anggotanya agar sampai di tangan konsumen. Para
anggota berperan sebagai pemilik dan pemasok barang atau jasa kepada koperasinya,
(3) Koperasi produksi, yaitu koperasi yang menghasilkan barang dan jasa, dimana
anggotanya bekerja sebagai pegawai atau karyawan koperasi. Anggota berperan
sebagai pemilik dan pekerja koperasi, dan (4) Koperasi jasa, yaitu koperasi yang
menyelenggarakan pelayanan jasa yang dibutuhkan oleh anggota, seperti Koperasi
simpan pinjam, asuransi, angkutan, dan sebagainya. Para anggotanya berperan sebagai
pemilik dan pengguna layanan jasa koperasi.
28 Ibid.
Apabila koperasi menyelenggarakan satu fungsi disebut koperasi tunggal usaha
(single purpose cooperative), sedangkan koperasi yang menyelenggarakan lebih dari
satu fungsi disebut koperasi serba usaha (multi purpose cooperative).
Berkaitan dengan beberapa jenis koperasi tersebut, jenis koperasi yang erat
hubungannya dengan penelitian ini adalah jenis koperasi jasa, khususnya koperasi jasa
keuangan. Koperasi yang khusus menjalankan jasa keuangan, terdiri dari Koperasi
Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP), Koperasi Jasa Keuangan Syariah
(KJKS), dan Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS).
Secara umum Koperasi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.29 Sedangkan KSP dan USP diatur di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Simpan Pinjam oleh
Koperasi. Sedangkan Koperasi/ Unit Jasa Keuangan Syariah diatur dengan Keputusan
Menteri Negara Koperasi dan UKM Nomor: 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tanggal 2
Agustus 1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan
Syariah.30
Sejarah koperasi dan gerakan koperasi di Indonesia bermula pada abad ke-20
yang pada umumnya merupakan hasil dari usaha yang tidak spontan dan tidak
dilakukan oleh orang-orang yang sangat kaya. Koperasi tumbuh dari kalangan rakyat,
ketika penderitaan dalam lapangan ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh sistem
kapitalisme semakin memuncak.31 Beberapa orang yang penghidupannya sederhana
dengan kemampuan ekonomi terbatas, terdorong oleh penderitaan dan beban ekonomi
29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 ini sebenarnya sudah dilakukan perubahan dengan Undang-UndangNomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, tetapi Undang-Undang perubahan itu telah dibatalkan olehMahkamah Konstitusi dengan Keputusan MK Nomor 28/PUU-XI/2013 tanggal 28 Mei 2014. Selanjutnya MKmenetapkan bahwa sebelum dikeluarkan Undang-Undang yang baru untuk sementara yang berlaku adalah Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
30 Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor: 91/Kep/M.KUKM/IX/2004Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah tanggal 2 Agustus 1994.
31 Dahlan Djazh, Pengetahuan Koperasi, PN Balai Pustaka,), Jakarta, 1980, hlm. 16
yang sama, secara spontan mempersatukan diri untuk menolong dirinya sendiri dan
manusia sesamanya.32
Pada tahun 1896 seorang Pamong Praja Patih R. Aria Wiria Atmaja di
Purwokerto mendirikan sebuah Bank untuk para pegawai negeri (priyayi).33 Ia
terdorong oleh keinginannya untuk menolong para pegawai yang makin menderita
karena terjerat oleh lintah darat yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi.
Maksud Patih tersebut untuk mendirikan koperasi kredit model seperti di Jerman.
Gagasan itu selanjutnya diteruskan oleh De Wolffvan Westerrode34, yang setelah
mempelajari koperasi dan mengunjungi Jerman ia menganjurkan mengubah Bank
Pertolongan Tabungan yang sudah ada menjadi Bank Pertolongan, Tabungan dan
Pertanian. Selain pegawai negeri juga para petani perlu dibantu karena mereka makin
menderita karena tekanan para pengijon.35
Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di
Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Hari itu
kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia.36 Sekaligus membentuk Sentral
Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) yang berkedudukan di Tasikmalaya.37
Koperasi terus mengalami pertumbuhan sehingga pada tahun 1967 dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Perkoperasian. Pada era Orde Baru,
keberadaan koperasi semakin digiatkan oleh pemerintah dan diberikan dukungan
32 Ibid, hlm. 16
33 Sebelum tahun 1875 R. Bei Aria Wirjaatmadja yang menjabat sebagai patih di Purwokerto telah mengetahuibahwa banyak Pegawai Negeri terjerat hutang pada rentenir di daerah itu. Ia berusaha ingin membantumembebaskan hutang mereka kepada rentenir, yaitu mula-mula dengan uangnya sendiri dan kemudianmempergunakan uang kas mesjid yang dipercayakan kepadanya untuk pengurusannya, meksipun kemudian kasmesjid itu dikembalikan lagi (Ravik Karsidi, Peran dan Fungsi Lembaga Keuangan Pedesaan,http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=view&jen=Makalah, diakses tanggal 11 Nopember 2014, hlm. 4-5)
34 Ibid, hlm. 5)
35 Ibid, hlm. 27
36 Ibid, hlm. 27
37 Koos Arumdanie, Komitmen Pak Harto Terhadap Koperasi, http://soeharto.co/komitmen-pak-harto-terhadap-koperasi diakses tanggal 24 Nopember 2014
dengan berbagai fasilitas dan kemudahan.38 Kemudian pada tahun 1992 Undang-
Undang Perkoperasian yang lama diganti dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1992 tentang Perkoperasian yang berlaku sampai sekarang (2015).
3. Lembaga Keuangan Mikro
Lembaga Keuangan Mikro merupakan sebutan atau istilah yang sudah dibakukan
oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Sebelum
lahirnya Undang-Undang tersebut istilah Lembaga Keuangan Mikro mengandung
pengertian dan luas cakupan yang berbeda-beda. Menurut versi Bank Indonesia, yang
dimaksud Lembaga Keuangan Mikro yaitu lembaga keuangan yang berupa bank mikro
seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit, Unit Kerja
(UKM) Bank Umum, baik berjenis bank konvensional maupun syariah. Lembaga jasa
keuangan lain seperti Koperasi Simpan Pinjam, Credit Union, Baitul Maal wa Tamwil
(BMT) dan jasa-jasa keuangan informal dalam masyarakat tidak termasuk dalam
pengertian. Lembaga Keuangan Mikro Bank versi BI ini.
Sedangkan menurut Kementerian Keuangan, Lembaga Keuangan Mikro yaitu salah
satu jenis lembaga keuangan bukan-bank yang berupa keuangan mikro39, yaitu sebagai
layanan jasa keuangan berupa penghimpun dana dan pemberian pinjaman dalam jumlah
kecil dan penyediaan jasa-jasa keuangan terkait, yang ditujukan untuk kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah. Pengertian itu didasarkan pada Keputusan Menteri
Keuangan Nomor: KEP.29/MEN/II/2008 tanggal 12 Juli 2008.
Adapun luas cakupan Lembaga Keuangan Mikro menurut Keputusan Menteri
Keuangan tersebut meliputi: Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Perkreditan Desa (LPD),
Badan Kredit Kecamatan (BKK), Lembaga Kredit Kecamatan (LKK), Lumbung Pitih
Nagari, Koperasi Simpan Pinjam, Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Dana
38 Ibid.
39 Keputusan Menteri Keuangan RI No.792 Tahun 1990 tentang Lembaga Keuangan
Kredit Pedesaan (LDKP), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Lembaga sejenis
lainnya.
Kemudian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro (LKM), batasan pengertian LKM dirumuskan sebagai berikut:40
“ Lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembanganusaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalamusaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupunpemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencarikeuntungan”
Pemakaian istilah “mikro” untuk pemberian nama lembaga Keuangan Mikro (LKM)
di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro tidak
diberikan penjelasannya. Hal itu berbeda dengan istilah “mikro” yang terdapat di dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UKMK) yang memberikan pembedaan dan penjelasan antara “usaha mikro”, “usaha kecil”
dan “usaha menengah”.41 Jadi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013, semua jenis
LKM diklasifikasi secara sama sebagai usaha mikro, sehingga luas cakupan dan jumlah
LKM di Indonesia adalah demikian banyak LKM dan dengan corak yang sangat beragam.
Bentuk kelembagaan LKM sangat beragam, antara lain LKM berbentuk Koperasi, LKM
berbentuk Badan Usaha Milik Daerah/Desa (BUMD), serta LKM berbentuk lembaga
swadaya masyarakat (LSM) yang didirikan atau dimiliki oleh berbagai organisasi sosial,
pesantren, yayasan, atau lainnya.
LKM–BUMD antara lain terdiri dari Kredit Desa (BKD), Lembaga Perkreditan Desa
(LPD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Lembaga Kredit Kecamatan (LKK), Lumbung
Pitih Nagari, Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Dana Kredit Pedesaan/LDKP.
42
40 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
41 Pasal 6 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah
42 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KEP.29/MEN/II/2008 tanggal 11 Juni 200 Tentang “Penetapan StandarKompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Perantara Keuangan Sub Sektor Perantara Keuangan KecualiAsuransi Dan Dana Pensiun Bidang Jasa Perantara Moneter Lainnya Sub Bidang Lembaga Keuangan Mikro
LKM-LSM atau LKM yang berbentuk lembaga swadaya masyarakat antara lain
berupa Credit Union (CU), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitu Tamwil Muhammadiyah
(BTM), dan jasa-jasa keuangan informal lainnya dalam masyarakat.
LKM-Koperasi atau koperasi yang berkegiatan usaha jasa keuangan, meliputi
Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP), Koperasi Jasa Keauangan
Syariah (KJKS/ BMT).
Berdasarkan uraian mengenai pengertian dan ruang lingkup LKM di atas maka dapat
dipahami bahwa pengertian dan luas cakupan LKM menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro adalah sebagai berikut:
(a) Suatu lembaga keuangan legal-formal
(b) Usaha pinjaman atau pembiayaan dan pengelolaan simpanan
(c) Usaha skala mikro (tanpa batasan dan penjelasan dari Undang-Undang)
(d) Bukan-bank
(e) Bukan lembaga keuangan yang telah diatur dan mendapat perijinan khusus oleh
Departemen Keuangan (seperti Dana Pensiun, Perasuransian, Pegadaian, Modal
Ventura, dan Perusahaan Pembiayaan)
Lembaga keuangan mikro (microfinance) telah mengalami pertumbuhan yang pesat,
terutama mulai sekitar tahun 1980-an sejak keberhasilan Muhammad Yunus (peraih nobel
perdamaian tahun 2006) menciptakan program Grameen Bank di Bangladesh. Sejak itu
lembaga-lembaga keuangan dunia juga mulai menaruh perhatiannya yang besar kepada
pembiayaan mikro.
Menurut data Microcredit Summit Campaign tahun 2012, telah dilakukan program
pembiayaan mikro sebanyak 1.746 dan telah mencapai sekitar 169 juta klien untuk
kawasan Asia Pasific.43 Tingkat jangkauan program yang diberikan Institusi Keuangan
(LKM) Bukan Bank)”
43 I Gde Kajeng Baskara, Lembaga Keuangan Mikro Di Indonesia, Jurnal Buletin Studi Ekonomi, Vol. 18,Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, 2 Agustus 2013, hlm 1
Mikro atau Micro Finance Institution (MFI) mencapai 68,8 persen, dengan kata lain dari
sekitar 182,4 juta penduduk miskin di kawasan tersebut, 125,53 juta yang mendapat akses
dalam program pembiayaan mikro.44
Undang-Undang No.1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
mendefinisikan LKM sebagai lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk
memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui
pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat,
pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembang an usaha yang
tidak semata-mata mencari keuntungan. Pengertian itu menunjukkan bahwa LKM
merupakan kegiatan usaha bisnis yang juga bersifat social motive, yang kegiatannya lebih
bersifat community development.
Keuangan mikro merupakan kegiatan usaha berupa penghimpunan dana dan
pemberian pinjaman skala kecil dengan proses-proses sederhana kepada masyarakat
miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Istilah microfinance atau pembiayaan mikro
mengacu pada jasa keuangan yang diberikan kepada pengusaha kecil atau bisnis kecil,
yang biasanya tidak mempunyai akses perbankan terkait berbagai persyaratan dan
mekanisme dari pihak perbankan.
Peran strategis LKM bagi pembiayaan rakyat kecil itu belumlah sepenuhnya
dipahami secara baik oleh berbagai kalangan, termasuk pemerintah sendiri. LKM masih
menghadapi banyak tantangan dan kendala yang kompleks. Menurut Hernando De Soto,
untuk menangani persoalan masyarakat mikro atau informal pemerintah perlu mengawali
dengan memetakan potensi sumber daya informal, yakni aset yang dikuasai penduduk
miskin secara informal, sekaligus memetakan hukum kebiasaan atau hukum informal lain
yang berlaku dalam masyarakat. Kemudian pemerintah memobilisasi sumber daya
(material) dan potensi mereka melalui kejelasan status hukum.45
44 Ibid, hlm. 1
Kejelasan status hukum46 membuat sektor informal akan mampu mengatasi
persoalan legalitas aset. Jika aset mereka tidak memiliki status hukum, kekayaan itu tidak
bersifat likuid. Aset yang legal itu kemudian bisa dipakai sebagai salah satu jaminan
mendapatkan permodalan. Pendekatan itu sudah dicoba diterapkan di negara asalnya, Peru.
Banyak petani dan usaha informal di negara itu yang berhasil meningkatkan kesejahteraan
dan usahanya berkembang berdasarkan modal dari penggadaian lahan ke bank.47
Menurut De Soto, musuh utama sektor informal di berbagai negara adalah
pemerintahnya sendiri.48 Pengejaran aparat atau preman adalah salah satu bentuk ketiadaan
proteksi dari pemerintah, yang terjadi di banyak negara di dunia ketiga. Pemerasan bukan
saja terjadi oleh mafia lokal, tetapi juga aparat dan birokrasi itu sendiri. Masih menurut
Hernando de Soto49, peran pemerintah dalam ekonomi semestinya semakin kecil. Ia
menunjuk ruwetnya birokrasi di pemerintahan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan
pemerintah lebih banyak menyusahkan aktivitas ekonomi, terutama bagi usaha dengan
skala kecil.
Permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah begitu banyak dan beragamnya
lembaga keuangan mikro dan jenis layanan keuangan mikro. Hal ini membuat mapping
atau pemetaan, pengawasan serta evaluasi layanan keuangan ini sulit dilakukan. Tumpang
tindihnya aturan, kewenangan dan cakupan luas layanan lembaga keuangan mikro juga
turut memberikan andil dalam sulitnya menerapkan strategi pengembangan yang tepat
untuk LKM.
45 Hernando De Soto, The Other Path: Invisible Revolution in the Third World (Masih Ada Jalan Lain: RevolusiTersembunyi di Negara Dunia Ketiga), terbitan Yayasan Obor, 1992, hlm. 45
46 Kejelasan status hukum yang dimaksud De Soto bukan semata-mata soal status tanah. De Soto juga menekankanpentingnya keberadaan aspek hukum dan penegakan hukum, yang membuat semua pihak, individu, terlindung danbukan menjadi sasaran pemerasan (Ibid, hlm. 45)
47 Ibid, hlm. 43
48 Ibid, hlm. 44
49 Dalam Wahyu Prasetyawan, “Hernando de Soto: Mengentaskan Kemiskinan Melalui Mekanisme Pasar”, KoranTEMPO, Edisi 27 Agustus 2006
B. PENELITIAN YANG RELEVAN
Penelitian tentang hukum lembaga keuangan, khususnya yang berkaitan dengan
perbankan dan lembaga keuangan mikro telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya.
Berikut ini dikemukakan tema-tema penelitian tersebut beserta temuan-temuannya.
B. PENELITIAN YANG RELEVAN
Penelitian tentang hukum lembaga keuangan, khususnya yang berkaitan dengan
perbankan dan lembaga keuangan mikro telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya.
Berikut ini dikemukakan tema-tema penelitian tersebut beserta temuan-temuannya.
Tabel 1Penelitian yang Relevan
No. Peneliti Hasil Penelitian
1.Damien Rousseli re & Martine V zina,
Constructing the legitimacy of afinancial cooperative in the culturalsector: a case study using textualanalysis, International Review ofSociology, Volume 19, Issue 2 July2009.
Para peneliti ini telah melakukanpenelitian tentang ciri khas yangmendasari koperasi dan bagaimanacara identitas tersebut dibangundalam organisasi. Penelitian itumefokuskan pada persoalanpembangunan secara berkelanjutanterhadap budaya kegiatanintermediasi keuangan Koperasi.Dengan menggunakan teori“Economies of Worth” dari Boltanskiand Th venot (2006), Damien &Martin di dalam penelitian itu telahmenemukan model analisis teks untukproses penilaian kinerja koperasidengan beraneka ragam teknikevaluasi.50
2. Patrick Meagher, MicrofinanceRegulation in Developing Countries: AComparative Review of Current Practice, IRIS Center, University of Maryland.2002.51
Patrick Meagher menyimpulkan didalam penelitiannya bahwa KeadaanLKM di tiap negara berbeda-bedasehingga masalah pengaturan danpengawasan terhadap lembaga-lembagatersebut di tiap negara juga bervariasi.Sebagian negara-negara di duniamenerapkan kebijakan pengaturan dan
50 Damien Rousseli
51
pengawasan secara ketat terhadap LKM,seperti di Bolivia, Ethiopia, Ghana,Peru, Philippina, dan Uganda. Negara-negara lainnya, seperti Bangladesh,Indonesia, atau Afrika Selatan tidakmelakukan pengawasan secara langsung.
3. Burhanuddin (2008), Tinjauan ProspekKoperasi Indonesia Dari PerspektifDisiplin Ilmu Manajemen Bisnis yangtelah dimuat di dalam Jurnal PengkajianKoperasi dan UKM.
Dari hasil penelitiannya Burhanuddindengan sudut pandang disiplin ilmumanajemen bisnis menyimpulkan bahwaperubahan lingkungan bisnis globalmenuntut organisasi koperasi untukmenerapkan disiplin ilmu manajemenmodern yang mendorong reformulasitujuan dan strategi, restrukturisasi, danrealokasi sumberdaya kearah yang lebihinovatif untuk menciptakan keunggulankompetitif di pasar. Namun ditinjau dariperspektif tersebut pada saat ini praktekmanajemen di koperasi sudah jauhtertinggal dan menjadi tidak relevandengan tuntutan jaman.52
4. Jannes Situmorang juga pernahmelakukan penelitian berjudul KajiTindak Peningkatan Peran KoperasiDan UKM Sebagai Lembaga KeuanganAlternatif yang dimuat dalam JurnalPengkajian Koperasi dan UKM
Dari hasil penelitiannya iamenyimpulkan; (1). Dilihat dariprosedur pembiayaan dan jangkauanpelayanannya, BMT merupakanlembaga keuangan alternatif yang sangatefektif dalam melayani kebutuhanpembiayaan modal kerja jangka pendekyang sangat diperlukan pengusaha kecilmikro. Dalam menjalankan usahanya,baik BMT yang berbentuk KSMmaupun berbentuk koperasimenggunakan prinsip-prinsip koperasiyang orientasi pelayanannya selaluberpegang pada prinsip sederhana,murah dan cepat, (2). Perkembanganasset BMT yang sangat cepat ditentukanadanya mobilisasi dana dari pihak ketigaserta cepatnya perputaran pengembalianpinjaman para nasabah yang selanjutnyadipinjamkan kepada nasabah lain, (3).Lembaga keuangan ini dapatmenghasilkan profit yang cukup besardan sangat menguntungkan parapemiliknya, (4). Untuk mendorongorang menabung, BMT menggunakanpola nisbah bagi hasil, misalnya 65 %untuk BMT :35 untuk Penabung, (5).Analisis penilaian terhadap kesehatankelembagaan BMT yang meliputi aspekpendirinya, keaktifan pengurus maupun
52
kualitas pengelola dapat dinyatakanbahwa BMT yang diteliti dinyatakansangat sehat, (6) Kesehatan keuanganBMT dinilai dari lima aspek yaitustruktur permodalan, kualitas aktivaproduktif, likuiditas, efisiensi, danrentabilitas. Dilihat dari kelima aspektersebut maka BMT sampel yangdiamati ada yang amat sehat, sehat,kurang sehat dan sangat tidak sehat.53
5. Prijadi Atmadja pada tahun 2002 yangberjudul Pengembangan KSP dan USPKoperasi Sebagai Lembaga Keuangandan telah diterbitkan oleh PenerbitYayasan Studi Perkotaan.54
Di dalam penelitiannya Prijadimengungkapkan tentang potensikoperasi simpan pinjam (KSP) dan Unitsimpan Pinjam (USP) Koperasi yangbelakangan ini semakin mengalamikemajuan pesat dalam membantumemberdayakan sektor usaha mikro.Strategi bisnis yang ditempuh besertakendala-kendala legalitas yangdihadapinya. Penelitian ini lebihmenekankan pada pendekatan ekonomidaripada pendekatan hukumnya.
6. Sumantoro Martowijoyo, Masa DepanLembaga Keuangan Mikro Di IndonesiaTinjauan Dari Aspek Pengaturan DanPengawasan.
Dari penelitiannya Sumantoromenyimpulkan bahwa: 55 (1) Perlupenghayatan oleh otoritas pengatur danpengawas perbankan Indonesiamengenai konsep LKM yang tidaksemata-mata berdasarkan konsepperbankan, kemudian melakukanperenungan kembali kebijakan yangtelah dikeluarkannya serta mengambillangkah-langkah untuk menghindarkandampak negatif kebijakan yang kurangmendukung kelangsungan hidup LKM,(2) Untuk pengembangan LKM, yangterbukti telah dapat menjagakesinambungan hidupnya denganmandiri, diperlukan perhatian daripemerintah pusat dan daerah. Adapunsaran yang diajukan si peneliti adalahbahwa untuk mendorong perkembanganLKM Pemerintah akademisi danpetinggi dalam negeri yang terpentingadalah memberikan perhatian, tidakusah disertai bantuan dana yang besar,hal itu sudah cukup memadahi bagiLKM Masa depan LKM Indonesia
535455
sangat tergantung kepada kebijakanpengaturan dan pengawasan yang tepat,yang memahami misi yang diembanoleh LKM dan kondisi yangdihadapinya, bukan berupa kebijakanPemerintah dalam membuat proyek ataulembaga kredit baru, dengan suku bungamurah yang mengakibatkan LKM sukarmengembangkan usahanya.
7. Hernando de SotoThe Other Path: Invisible Revolution inthe Third World (Masih Ada Jalan Lain:Revolusi Tersembunyi di Negara DuniaKetiga), terbitan Yayasan Obor, 1992
Untuk menangani persoalan masyarakatmikro atau informal pemerintah perlumengawali dengan memetakan potensisumber daya informal, yakni aset yangdikuasai penduduk miskin secarainformal, sekaligus memetakan hukumadat atau hukum informal lain yangberlaku dalam masyarakat. Kemudianpemerintah memobilisasi sumber daya(material) dan potensi mereka melaluikejelasan status hukum.56 Kejelasan status hukum57 membuatsektor informal akan mampu mengatasipersoalan legalitas aset. Jika aset merekatidak memiliki status hukum, kekayaanitu tidak bersifat likuid. Aset yang legalitu kemudian bisa dipakai sebagai salahsatu jaminan mendapatkan permodalan.Pendekatan itu sudah dicoba diterapkandi negara asalnya, Peru. Banyak petanidan usaha informal di negara itu yangberhasil meningkatkan kesejahteraandan usahanya berkembang berdasarkanmodal dari penggadaian lahan ke bank.58
Menurut De Soto, musuh utama sektorinformal di berbagai negara adalahpemerintahnya sendiri. Pengejaranaparat atau preman adalah salah satubentuk ketiadaan proteksi daripemerintah, yang terjadi di banyaknegara di dunia ketiga. Pemerasan bukansaja terjadi oleh mafia lokal, tetapi jugaaparat dan birokrasi itu sendiri. Masihmenurut Hernando de Soto59, peranpemerintah dalam ekonomi semestinyasemakin kecil. Ia menunjuk ruwetnyabirokrasi di pemerintahan dan peraturan-
56575859
peraturan yang dikeluarkan pemerintahlebih banyak menyusahkan aktivitasekonomi, terutama bagi usaha denganskala kecil.
8. Muhammad YunusExpanding Microcredit Outreach toReach, Presented at the InternationalSeminar on Attacking Poverty withMicrocredit, organized by PKSF inDhaka, January 8-9, 2003
Untuk pemberdayaan ekonomi rakyatmikro Yunus merintis pembentukanGrameen Bank yang bertujuan untukmemberikan fasilitas kredit tanpaagunan kepada masyarakat miskin.60
Fleksibilitas pemberian kredit inidiperlukan di Bangladesh yangmayoritas penduduknya buta huruf danmiskin.Pendekatan yang bersifat informal dannon-birokratis dalam kegiatanintermediasi mikro atau microcredit itudiuangkapkan oleh Yunus denganmengatakan: 61 “Most distinctive feature ofGrameencredit is that it is not based onany collateral, or legally enforceablecontracts. It is based on "trust", not onlegal procedures and system”Kredit tanpa agunan memang memilikirisiko tinggi, akan tetapi ataskeberhasilan Yunus membangunkepercayaan (trust) bank mikro yangdikembangkannya berjalan sukses danmenjadi contoh model oleh banyaknegara.62
Menurut Yunus, faktor utama dariterjadinya kemiskinan rakyat adalahakibat kesalahan pendekatan yangdilakukan terhadap mereka dan bukankarena mereka tidak memiliki potensidan skill.
9. Staschen, S. , Regulatory Requirementsfor Microfinance: A Comparison ofLegal Frameworks in 11 CountriesWorldwide, GTZ - Deutsche Gesellschaftfür Technische Zusammenarbeit GmbH,2003. 63
Di dalam penelitiannya Staschen, S.menyimpulkan bahwa isu-isu pokokyang berkaitan dengan masalahpengaturan dan pengawasan lembagakeuangan mikro (LKM) pada umumnyaadalah:a. Cara yang berbeda-beda untuk
membedakan antara keuangan mikroyang berbasis perbankan dankeuangan mikro informal yang tidak
60616263
perlu diatur
b. Pertentangan kepentingan antarapemberian otonomi dan kelonggarandengan masalah tuntutan akuntabilitasLKM
c. Cara mengadaptasikan norma-normakehati-hatian, pelaporan, dan sistempengawasan pada lembaga mikroinformal64
d. Cara yang berbeda-beda untukmenetapkan aturan
e. Masalah pelimpahan kekuasaanpembuatan aturan
f. Masalah tanggung jawab untukpengawasan dan tindak-lanjut
Berdasarkan paparan hasil penelitian-penelitian tersebut di atas dapat diketahui bahwa
kegiatan usaha keuangan LKM Koperasi telah banyak disinggung dan dibahas oleh para
peneliti. Demikian pula aspek legalitas yang dilakukan oleh lembaga keuangan mikro bukan-
bank seperti koperasi juga telah disimpulkan sebagai problem hukum yang dihadapi oleh LKM.
Namun demikian problem hukum yang berakitan dengan inkonsistensi dan disharmoni
pengaturan LKM Koperasi setelah kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro, yang menyebabkan adanya dualisme pengaturan yang mengandung
ketidak-selarasan dengan peraturan perundangan perkoperasian belum pernah diadakan
penelitian sebelumnya. Di sinilah letak perbedaan penelitian Disertai ini dibanding penelitian-
penelitian yang dilakukan sebelum ini sebagaimana yang dikemukakan di atas.
C. KERANGKA PEMIKIRAN
Kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
telah menyebabkan terjadinya dualisme pengaturan hukum bagi LKM Koperasi. Dualisme
pengaturan hukum tersebut telah menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar instansi yang
mengaturnya, ketidak-harmonisan pengaturan, dan ketikapastian hukum bagi LKM Koperasi.
Ketidak-harmonisan hukum yang terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan pada masing-
64
masing peraturan perundangan yang terkait mengenai: (a) perbedaan kepentingan dan tujuan
pengaturan, (b) pertentangan asas/ prinsip antara keduanya, dan (c) tumpang-tindih kewenangan
antar instansi yang mengatur LKM-Koperasi. Dualisme pengaturan itu telah menyebabkan
ketidak-pastian hukum bagi LKM-Koperasi, sehingga perlu langkah harmonisasi hukum.
Berlakunya secara fleksibel dan selaras antara realitas banyaknya LKM informal dan
hukum formal dalam sistem hukum yang mengatur LKM mengindikasikan bahwa corak sistem
hukum dalam bisnis mikro bersifat majmuk (plural).
Melalui pendekatan model hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht) dan
pendekatan hukum yang bersifat mengatur dan mengarahkan seperti model peraturan
perkoperasian, diharapkan pengaturan tentang LKM-Koperasi akan lebih selaras dan sesuai
dengan karakteristik hukum yang diperlukan bagi LKM-Koperasi. Dengan demikian akar
permasalahan terjadinya disharmoni hukum akan terpahami lebih jelas, sehingga hasil
analisisnya sangat membantu dalam mengkonseptualisasi harmonisasi hukum LKM dalam
hukum nasional.
Untuk memperjelas kerangka berpikir di atas maka dipetakan dalam gambar di bawah ini.
top related