bab ii landasan teori -...
Post on 18-Jul-2019
215 Views
Preview:
TRANSCRIPT
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori
1. Pembelajaran Tematik
Teori pembelajaran Tematik dimotori para
tokoh Psikologi Gestalt, yang menekankan bahwa
keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian
atau unsur-unsur yang dipelajari, Koffka, 1963
(dalam Olson 2008).
Menurut Kohler (1925) dalam Olson (2008),
belajar menurut Gestalt adalah fenomena yang
terjadi pada otak manusia (Kognitif). Setiap manusia
dapat memikirkan suatu solusi setelah menatap
suatu masalah. Orang yang sedang belajar akan
memikirkan semua aspek dan unsur yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah dan
menempatkan bersama (secara kognitif) dalam suatu
cara dalam pemecahan masalah dan kemudian
seseorang yang sedang belajar dapat menggunakan
cara yang lain berdasarkan unsur-unsur yang ada
sampai masalah yang dihadapi dapat terselesaikan.
Permasalahan yang dihadapi akan menghadirkan
wawasan baru tentang cara atau solusi yang
digunakan dalam menyelesaikan masalah. Wawasan
tersebut adalah masalah terpecahkan dan masalah
tak terpecahkan. Proses pemecahan masalah dapat
13
diartikan sebagai upaya seorang manusia dalam
menggabungkan semua unsur yang ada dalam
masalah yang dihadapinya untuk digunakan dalam
proses pemecahan masalah. Adapun dalam hasilnya,
masalah yang dihadapi dapat terselesaikan atau
tidak tetap akan menghadirkan sebuah wawasan
baru.
Belajar adalah proses memuaskan secara
personal atau individu dan tidak perlu mendapat
dorongan dari pihak-pihak atau faktor eksternal
(Olson, 2008). Dalam proses pembelajaran, kelas
yang berorientasi Gestalt akan dicirikan dengan
hubungan timbal balik antara guru dan siswa. Guru
akan membantu siswa memandang suatu fenomena
yang dihadapi dengan menggabungkan pengalaman
yang mereka punya untuk menjadi pola yang
bermakna. Belajar berdasarkan Gestalt bisa dimulai
dari sesuatu yang dekat dengan siswa dan setiap
langkah dalam pembelajaran didasarkan pada hal-
hal yang sudah dikuasai berdasarkan pengalaman
mereka. Olson (2008) menjelaskan bahwa “Semua
aspek pelajaran dibagi menjadi unit-unit yang
bermakna, dan unit-unit itu harus berkaitan dengan
seluruh konsep atau pengalaman”.
Guru yang berorientasi Gestalt mungkin akan
menggunakan ceramah, tetapi ia akan berusaha agar
selalu ada dalam interaksi antara guru dan siswa
14
dalam proses pemaduan unit-unit yang saling
bermakna. Mengingat fakta tanpa pemahaman akan
dihindari. Setelah siswa memahami prinsip dibalik
pengalaman belajar barulah mereka bisa memahami
dengan sesungguhnya. Ketika hal-hal yang dipelajari
telah dipahami, bukan hanya diingat, maka ia dapat
mudah diaplikasikan ke situasi yang baru dan
dipertahankan dalam jangka waktu yang lama.
Peneliti menyetujui aliran psikologi Gestalt, bahwa
proses pembelajaran di kelas rendah SD diawali oleh
penggabungan berbagai unsur yang saling
berhubungan dalam suatu fenomena atau masalah
untuk digunakan dalam proses belajar, sehingga dari
berbagai unsur yang ada akan digabungkan menjadi
sesuatu yang utuh dan bermakna.
Proses penggabungan berbagai unsur yang
saling berhubungan dalam suatu fenomena atau
masalah untuk digunakan dalam proses belajar
menjadi dasar terbentuknya Pembelajaran Tematik.
Pembelajaran Tematik dimaknai sebagai
pembelajaran yang dirancang berdasarkan unsur-
unsur tertentu yang ada dalam sebuah
pembelajaran. Penggabungan unsur-unsur dapat
diambil dari tema-tema yang ada dalam setiap
kompetensi dalam mata pelajaran. Tema-tema yang
digabungkan atau dikaitkan dalam setiap mata
pelajaran harus saling berkaitan, sehingga
15
pembelajaran yang dilakukan menjadi bermakna bagi
siswa.
Proses pembelajaran yang menganut aliran
Gestalt menjadi dasar pemerintah dalam membuat
peraturan pemerintah tentang Pembelajaran Tematik.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
nomor 22 tahun 2006 menyebutkan bahwa
pembelajaran yang ditekankan untuk kelas 1 sampai
kelas 3 SD adalah Pembelajaran Tematik. Penetapan
pemerintah tentang pembelajaran tematik telah
melalui pertimbangan dan kajian dari berbagai pihak
terkait sebagai pengambil kebijakan, yaitu bahwa
pembelajaran dengan pendekatan tematik dianggap
bermanfaat dan sesuai dengan perkembangan anak
kelas awal sekolah dasar. Penetapan pendekatan
tematik dalam pembelajaran disesuaikan dengan
karakteristik anak dimana pada usia tersebut
mereka masih berada pada rentangan usia dini 0-6
tahun (masa kanak-kanak awal) yang masih perlu
penggabungan berbagai unsur-unsur atau tema-
tema dalam memadukan suatu pelajaran sehingga
menjadi sesuatu yang utuh dan bermakna bagi
siswa.
Pelaksanaan pembelajaran Tematik perlu
direncanakan secara matang dalam implementasi di
kelas (Ernawati, dkk. 2011). Peraturan Pemerintah
No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
10
16
Pendidikan, disebutkan dalam pasal 16, ayat 1 yang
berbunyi ”penyusunan kurikulum pada tingkat
satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan
menengah berpedoman pada panduan yang disusun
oleh BSNP”. Perencanaan suatu kurikulum
merupakan rencana yang menggambarkan prosedur
dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai
satu kompetensi dasar yang telah ditetapkan dalam
standar isi dan telah dijabarkan dalam silabus.
Dalam KTSP (2011) perencanaan proses
pembelajaran meliputi silabus dan rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat
sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi
ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan
penilaian hasil belajar.
Menurut pendapat Joyce (1992) dalam Trianto
(2010) “Each model guides us as we design instruction
to help students achieve various objectives”.
Artinya bahwa setiap model mengarahkan kita
dalam merancang pembelajaran untuk membantu
peserta didik mencapai tujuan pembelajaran.
Diharapkan setiap Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran yang disusun pada masing-masing
tingkat satuan pendidikan dapat mencapai tujuan
pembelajaran sesuai kebutuhan masing-masing
tingkat satuan pendidikan.
17
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional nomor 22 tahun 2006 menyebutkan bahwa
pembelajaran yang ditekankan untuk kelas 1 sampai
kelas 3 SD adalah Pembelajaran Tematik.
Penyusunan RPP yang digunakan juga harus RPP
dengan model Tematik. Pada dasarnya prinsip-
prinsip pengembangan RPP tematik tetap memuat
komponen-komponen sebagaimana RPP yang ada
dalam RPP mata pelajaran, hanya saja dalam RPP
tematik penting memperlihatkan keterkaitan
rumusan-rumusan komponen utama RPP dengan
Tema yang diterapkan. Tanpa perencanaan yang
matang, mustahil target pembelajaran bisa tercapai
secara maksimal.
2. Kemampuan Membaca, Menulis, dan Berhitung
(Calistung)
a. Membaca
Membaca masuk dalam perkembangan
kognitif anak. Anak mulai dapat menguasai
membaca ketika menginjak umur 6 tahun atau
pada pertengahan masa kanak-kanak (Papalia
dkk. 2008).
Anak dapat mengidentifikasi kata-kata
melalui dua cara, yaitu decoding dan visually
based retrival. Menurut Papalia dkk. (2008)
Decoding diartikan sebagai mengucapkan suatu
kata, menerjemahkan kata yang tersebut dari
12
18
yang tercetak kepada suara sebelum
mengingatnya dari memori jangka panjang. Agar
dapat melakukan proses decoding, seorang anak
harus menguasi kode fonetik yang menyesuaikan
alfabet tercetak dengan suara yang keluar.
Sedangkan metode yang kedua adalah visually
based retrival, dimana anak melihat huruf
kemudian mengingatnya kembali.
Papalia dkk. (2008) menyebutkan bahwa
metode decoding dan visually based retrival telah
mengispirasi pendekatan pembelajaran membaca
yang saling bertolak belakang. Pertama,
pendekatan profesional yang menekankan
decoding disebut fonetik atau pendekatan yang
menekankan pada kode. Kedua, pendekatan
keseluruhan bahasa yang lebih menekankan pada
kemampuan mengingat visual dan penggunaan
isyarat kontekstual. Program keseluruhan
membaca dibangun berdasarkan literatur yang
sebenarnya dan aktifitas mandiri siswa dalam
mempelajari suatu bacaan. Program keseluruhan
membaca bertolak belakang dengan tugas-tugas
yang diarahkan guru yang lebih melibatkan
instruksi fonetik atau pengucapan bunyi suatu
bahasa.
Menurut Papalia dkk. (2008), pendekatan
keseluruhan membaca didasarkan pada
13
19
keyakinan bahwa anak dapat belajar membaca
dan menulis secara alami, sebanyak mereka
belajar memahami dan menggunakan dalam
percakapan. Untuk mendorong proses ini, sejak
awal anak didorong untuk mengetahui tujuan
bahasa yang tertulis dalam mengkomunikasikan
maknanya. Stahl, McKenna dan Pagnucco (1994
dalam Papalia dkk. 2008) menjelaskan bahwa
membaca merupakan keterampilan yang harus
diajarkan kepada seorang anak.
Pencampuran dari pendekatan fonetik dan
keseluruhan bahasa sangat dianjurkan dalam
proses belajar membaca (Papalia dkk. 2008). Anak
belajar keterampilan fonetik disertai dengan
berbagai strategi membantu mereka memahami
apa yang mereka baca. Pendekatan kombinasi
fonetik dan keseluruhan bahasa seperti ini sesuai
dengan cara kerja otak anak. Anak-anak yang
dapat memilih strategi berbasis visual atau
fonetik, akan menggunakan pengingat visual
untuk kata yang telah akrab dengan memori
anak, sedangkan pengkodean fonetik sebagai
cadangan untuk kata yang tidak akrab dengan
memori anak (Siegler, 1998 dalam Papalia dkk.
2008).
Menurut Siegler (1998 dalam Papalia dkk.
2008), proses perkembangan yang dapat
20
meningkatkan pemahaman kalimat yang tertulis
sama dengan perkembangan yang meningkatkan
memori. Seiring dengan semakin otomatisnya
pengidentifikasian kata, anak-anak dapat lebih
fokus pada makna dari apa yang anak-anak baca.
Strategi baru yang lebih rumit memungkinkan
anak untuk menyesuaikan kecepatan membaca
serta kemampuan dalam memahami isi dari suatu
bacaan.
Pendapat lain yang sesuai dengan teori
kognitif, menurut Tarigan (1990) membaca
merupakan salah satu keterampilan berbahasa
yang diajarkan dalam mata pelajaran bahasa
Indonesia di SD. Dalam Bahasa Indonesia,
kegiatan manusia dibagi menjadi 4 aspek yaitu:
menyimak, membaca, menulis, dan berbicara.
Keempat aspek tersebut dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu (1) Keterampilan yang
bersifat menerima (reseptif) yang meliputi
keterampilan membaca dan menyimak, (2)
Keterampilan yang bersifat mengungkapkan
(produktif) yang meliputi menulis dan berbicara.
Membaca merupakan salah satu jenis
kemampuan berbahasa tulis yang reseptif.
Disebut reseptif karena dengan membaca
seseorang akan dapat memperoleh informasi ilmu
pengetahuan dan pengalaman baru. Semua yang
21
diperoleh melalui bacaan itu akan memungkinkan
orang tersebut mampu mempertinggi daya
pikirnya, mempertajam pandangannya dan
memperluas wawasannya. Dengan demikian,
maka kegiatan membaca merupakan kegiatan
yang sangat diperlukan oleh siapapun yang ingin
maju dan meningkatkan diri, oleh karena itu
pembelajaran membaca permulaan di SD
mempunyai peran penting (Tarigan, 1990).
Papalia dkk. (2008) menyebutkan bahwa
membaca juga dapat didefinisikan sebagai proses
memperoleh makna dari cetakan. Kegiatan
membaca bukan sekedar aktifitas yang pasif dan
reseptif saja, melainkan menghendaki pembaca
untuk aktif berpikir. Untuk memperoleh makna
dari teks, pembaca harus menyertakan latar
belakang “bidang” pengetahuannya, topik, dan
pemahaman terhadap sistem bahasa itu sendiri.
Tanpa latar belakang pengetahuan yang dimiliki
pembaca selembar teks tidak berarti apa-apa bagi
pembaca. Dalam kegiatan membaca terjadi proses
pengolahan informasi yang terdiri atas informasi
visual dan informasi nonvisual (Papalia dkk,
2008). Informasi visual merupakan informasi yang
dapat diperoleh melalui indera penglihatan,
sedangkan informasi nonvisual merupakan
informasi yang sudah ada dalam benak pembaca.
22
Karena setiap pembaca memiliki pengalaman yang
berbeda-beda dan dia menggunakan pengalaman
itu untuk menafsirkan informasi visual dalam
bacaan.
Berdasarkan pendapat dari Papalia dkk.
(2008) dan Tarigan (1990), peneliti sependapat
dengan Papalia dkk. (2008) yang menyebutkan
bahwa kegiatan membaca bukan sekedar aktifitas
yang pasif dan reseptif saja, melainkan
menghendaki pembaca untuk aktif berpikir
mengenali huruf demi huruf sesuai dengan kode
fonetik untuk mendapatkan makna dari teks
bacaan.
b. Menulis
Menulis berasal dari kata tulis, yang berarti
suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi)
dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat
atau medianya (Yunus, 2002). Penguasaan
keterampilan menulis bergerak beriringan dengan
perkembangan membaca (Papalia dkk. 2008).
Ketika anak belajar untuk menerjemahkan kata
yang tertulis ke dalam perkataan, mereka juga
mencoba menggunakan kata yang tertulis untuk
mengekspresikan ide, pemikiran, dan perasaan.
Menurut Whitehurst dan Lonigan (1998
dalam Papalia dkk. 2008) pada tahap prasekolah,
anak mulai mengenal huruf, angka, dan bentuk
23
seperti huruf sebagai simbol untuk
merepresentasikan kata atau bagian dari kata.
Sering kali ejaan yang mereka juga berdaya cipta,
bahkan karena jumlahnya yang beraneka ragam
berdasarkan kreatifitas anak, mengakibatkan
anak sendiri tidak dapat membacanya.
Menulis adalah menurunkan atau
melukiskan lambang-lambang grafik yang
menggambarkan suatu bahasa yang di pahami
oleh seseorang sehingga orang lain dapat
membaca langsung lambang- lambang grafik
tersebut kalau mereka memahami bahasa dan
gambaran grafik itu (Supriyadi, 1994). Menulis
adalah proses menggambarkan suatu bahasa
sehingga pesan yang disampaikan penulis dapat
di pahami pembaca (Tarigan,1986).
Papalia dkk. (2008) menyebutkan bahwa
menulis adalah sesuatu yang sulit bagi anak,
sehingga karangan pertamanya biasanya pendek.
Sering kali tugas menulis yang diberikan seolah
mengandung topik yang tidak akrab pada diri
anak. Semua memori jangka panjang berusaha
dikumpulkan menjadi satu untuk dapat menulis
suatu karangan. Berbeda dengan percakapan
yang memberikan umpan balik seketika, menulis
mensyaratkan anak untuk menilai secara
independen apa tujuannya sudah tercapai. Anak
24
juga harus mengingat kembali batasan lainnya,
seperti ejaan, tanda baca, tata bahasa, dan huruf
besar.
Berdasarkan pengertian menulis yang
disampaikan oleh Yunus (2002), Papalia dkk.
(2008), Supriyadi (1994), dan Tarigan (1986),
peneliti sependapat dengan Papalia dkk. (2008)
yang menyebutkan bahwa menulis merupakan
kegiatan menurunkan atau melukiskan lambang-
lambang grafik yang menggambarkan suatu
bahasa yang di pahami oleh seseorang yang
berasal dari memori jangka panjang, sehingga inti
dari tulisan dapat dipahami oleh pembaca.
c. Berhitung
Berhitung merupakan bagian dari
pembelajaran Matematika. Matematika mulai
dipelajari oleh anak sejak masa usia dini umur 3
tahun (Henniger, 2009). Pada masa anak usia
dini, anak-anak mengembangkan pemahaman
kognitif yang mendasar untuk dapat mempelajari
isi dari matematika.
Menurut Henninger (2009), dalam
mempelajari Matematika terdapat 5 aspek, yaitu:
1) Operasi Hitung
Pada masa tahun-tahun anak usia dini,
mereka harus belajar konsep dasar Matematika
tentang penomoran. Anak pada jenjang
25
Sekolah Dasar juga siap untuk
mengembangkan pemahaman mereka tentang
operasi hitung Matematika seperti
penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian.
2) Aljabar
Kebanyakan orang menganggap aljabar harus
diajarkan di sekolah menengah dan sekolah
tinggi, namun anak-anak pada usia dini akan
mendapat keuntungan yang lebih apabila
sudah mulai diajarkan tentang dasar-dasar
aljabar.
3) Geometri
Anak-anak usia awal sekolah mulai
diperkenalkan pada bentuk geometris dasar
dan keterampilan menganalisis dengan
menggunakan penalaran awal mereka.
4) Pengukuran
Pengukuran dipelajari anak usia dini karena
langsung dapat diterapkan dalam kehidupan
nyata. Ada banyak kesempatan untuk
melibatkan anak-anak dalam kegiatan
pengukuran yang lebih, karena anak-anak
dapat mengukur tinggi, lebar, berat, dan
volume berdasarkan dari apa yang mereka
jumpa dalam kehidupan sehari-hari.
5) Analisis Data
26
Penalaran statistik memberikan kesempatan
kepada anak-anak untuk merumuskan
pertanyaan dan mengumpulkan data untuk
menyelesaikan masalah dalam kehidupan
sehari-hari yang berhubungan dengan
Matematika.
Berdasarkan pemahaman dari kelima aspek
yang perlu dipelajari, anak-anak akan mempunyai
kemampuan mengklasifikasikan objek atau ide
yang mereka temukan. Misalnya mampu
menempatkan abjek-objek yang memiliki
kesamaan bentuk. Keterampilan klasifikasi
merupakan dasar dari konsep-konsep Matematika
(Henniger, 2009), seperti penulisan nomor 46 yang
perlu memahami tentang puluhan dan satuan.
Menurut Murry dan Mayer (1998 dalam
Hanniger, 2009) mulai anak memahami konsep
bilangan akan berkembang pesat selama tahun-
tahun awal anak usia dini. Pada awal 3 tahun
sampai 4 tahun seringkali anak hanya memahami
bahwa angka 1 adalah angka yang paling kecil.
Pemahaman anak prasekolah, pemahaman tentang
penomoran berasal dari pengalaman menghitung
berulang-ulang. Banyak lagu anak-anak yang
dapat membantu belajar berhitung dan
memberikan kesempatan kepada anak untuk
memudahkan dalam mengingat angka-angka.
27
Bertambahnya umur otomatis membawa
anak untuk masuk pada masa sekolah dasar.
Anak-anak mulai dapat mengembangkan
kemampuan untuk menghitung maju dan mundur,
berhitung melompat, dan memahami angka
sampai ratusan yang lebih khususnya pada masa
usia 7 tahun atau pada jenjang Sekolah Dasar
(Charlesworth 2005 dalam Henniger, 2009).
Peneliti sependapat dengan Charlesworth
(2005 dalam Henniger, 2009) yang menjelaskan
bahwa kemampuan berhitung merupakan
kemampuan yang dimiliki anak untuk menghitung
maju dan mundur, berhitung melompat, serta
memahami angka sehingga dapat digunakan
untuk mengklasifikasikan objek atau ide yang
mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Supervisi Klinis
Supervisi mengandung pengertian
melakukan kegiatan pengawasan, membantu dan
turut serta dalam perbaikan dan meningkatkan mutu
(Sagala, 2010). Pada penelitian ini, supervisi yang
digunakan adalah supervisi klinis. Supervisi klinis
menurut Cogen, 1973 (dalam Sagala, 2010)
merupakan suatu proses bimbingan yang bertujuan
membantu guru untuk pengembangan profesional
dalam melakukan proses pembelajaran berdasarkan
hasil observasi dan analisis data secara teliti dan
28
objektif sebagai pegangan untuk perubahan yang
lebih baik. Supervisi klinis juga bertujuan untuk
meningkatkan prestasi belajar serta minta belajar
siswa di dalam kelas.
Cogen, 1973 (dalam Sagala, 2010) juga
menekankan bahwa supervisi klinis adalah upaya
bantuan secara langsung yang diberikan supervisor
kepada guru dengan cara melakukan observasi dan
melakukan analisis. Hasil observasi saat guru
mengajar, agar guru menjadi lebih efektif dalam
melaksanakan tugas mengajar.
Peneliti sependapat dengan pendapat Cogen
(1973), yang menyebutkan bahwa supervisi klinis
adalah suatu bentuk bimbingan professional yang
diberikan kepada calon guru berdasarkan
kebutuhannya melalui siklus yang sistematis dalam
perencanaan, observasi yang cermat atas
pelaksanaan, dan pengkajian balikan dengan segera
dan obyektif tentang penampilan mengajarnya yang
nyata untuk meningkatkan keterampilan dan sikap
profesional seorang guru.
Adapun menurut Cogen, 1973 (dalam Sagala 2010)
unsur-unsur supervisi klinis adalah sebagai berikut:
1. Adanya hubungan tatap muka antara supervisor
dengan guru dalam proses supervisi klinis.
2. Berfokus pada tingkah laku sebenarnya dari guru
dalam proses di kelas.
29
3. Observasi secara cermat.
4. Perdeskripsian data dalam observasi dilakukan
secara terperinci.
5. Supervisor dan guru bersama-sama dalam
melakukan penilaian dari apa yang sudah
dilakukan guru di kelas.
6. Fokus observasi sesuai dengan permintaan
kebutuhan dari guru.
Menurut Cogen, 1973 (dalam Sagala 2010) tujuan
supervisi klinis dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Tujuan umum
Memperbaiki dan meningkatkan keterampilan
mengajar seorang guru.
2. Tujuan khusus
a. Memberikan masukan yang obyektif kepada
guru dari kegiatan mengajar yang sudah
dilakukan.
b. Mendiagnosis memecahkan dan membantu
menyelesaikan masalah yang terjadi dalam
pembelajaran.
c. Membantu seorang guru mengembangkan
keterampilan dasar mengajar dan
mengembangkan model atau strategi dalam
pembelajaran.
d. Meningkatkan prestasi belajar siswa.
Dalam melakukan supervisi klinis harus dijalankan
sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan.
30
Menurut Cogen, 1973 (dalam Sagala 2010) prosedur
dalam melakukan supervisi, dapat dilihat dalam
tabel 2.1 berikut.
Gambar 2.1 Prosedur Supervisi Klinis
1. Pertemuan Perencanaan
Langkah-langkah yang dilakukan:
a. Usaha menciptakan suasan yang hangat
antara supervisor dengan guru.
b. Berdiskusi tentang kesulitan yang dialami
guru.
c. Berdiskusi rencana pembelajaran dan tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai.
d. Berdiskusi tentang penyusunan instrument
yang akan digunakan.
2. Pengamatan Mengajar
Kegiatan pengamatan yang dilakukan
supervisor fokus pada kegiatan pembelajaran yang
Pengamatan
Mengajar
Pertemuan
Balikan
Pertemuan
perencanaan
31
dilakukan guru maupun interaksi guru dengan
siswa, siswa dengan siswa menggunakan
instrument yang sudah disepakati. Penyusunan
instrument dalam kegiatan pengamatan disusun
berdasarkan karakteristik Pembelajaran Tematik.
Adapun karakteristik pembelajaran Tematik
menurut Imran (2011) adalah sebagai berikut:
a. Berpusat pada anak
b. Memberikan pengalaman langsung
c. Pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas
d. Menyajikan konsep dari berbagai mata
pelajaran dalam suatu proses pembelajaran.
e. Bersifat fleksibel.
f. Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai
dengan minat dan kebutuhan siswa.
3. Pertemuan Balikan
Kegiatan yang dilakukan dalam pertemuan
balikan meliputi:
a. Supervisor menanyakan kepada guru
bagaimana peranannya selama proses
pengajaran berlangsung.
b. Supervisor bersama dengan guru melihat
kembali pencapaian yang sudah dilakukan
guru dalam proses pembelajaran berdasarkan
instrumen pengamatan yang sudah disepakati.
32
c. Berdasarkan hasil pengamatan yang sudah
dilakukan, supervisor menanyakan kesan dari
guru.
d. Supervisor menyajikan data berupa hasil
rekaman kemudian bersama-sama
menganalisis dan menafsirkan hasil
pengamatan.
e. Berdasarkan hasil pengamatan yang sudah
dilakukan, supervisor menanyakan kembali
kasan dari guru tentang hasil pengamatan
yang sudah dilakukan.
f. Supervisor bersama dengan guru
membandingkan hasil pengamatan dari
pertemuan pertama dengan target
pembelajaran yang sudah disepakati bersama.
g. Berdasarkan hasil pengamatan bersama,
supervisor membantu guru dalam
merencanakan proses pembelajaran pada
pertemuan selanjutnya.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Peneliti menemukan ada 2 penelitian yang relevan
dengan penelitian yang peneliti lakukan tentang
Perbedaan hasil belajar Calistung siswa melalui
Pembelajaran Tematik Tersupervisi di SD Negeri Giyono
dengan Tanpa Supervisi di SD Negeri Gunung Gempol
yaitu penelitian yang dilakukan oleh Salimudin (2010)
dengan judul Supervisi Klinis sebagai Alternatif untuk
29
33
Meningkatkan Kemampuan Guru Kelas 3 dan
Meningkatkan Prestasi Belajar Calistung Siswa dalam
Pembelajaran Tematik di Gugus Cut Nyak Dien
Kecamatan Wanasari Brebes, yang menyimpulkan
bahwa Pelaksanaan supervisi dengan teknik supervisi
klinis mengubah pandangan guru dari merasa takut
ketika akan disupervisi menjadi merasa senang dan
nyaman karena supervisi klinis bertujuan memberikan
layanan dan bantuan sehingga supervisi yang dilakukan
terbukti dapat meningkatkan prestasi belajar Calistung
siswa serta mengataasi permasalahan yang terjadi
dalam pembelajaran Tematik bisa teratasi. Hasil
penelitian Salimudin (2010) dibuktikan dengan data
peningkatan secara signifikan pada kemampuan guru
kelas III dalam pembelajaran tematik, yaitu dari skor
nilai pelakasaan pembelajaran Tematik sebesar 41,3
atau 58,8 % kategori cukup pada siklus 1 menjadi 55,7
atau 78,4 % pada siklus 2. Dengan demikian, ada
peningkatan skor nilai pelakasaan pembelajaran
Tematik sebesar 13,8 atau 19,6 %.
Penelitian dari Rahayuningsih (2011) dengan
judul Supervisi Klinis dalam Pembelajaran Tematik pada
Guru di SD Negeri Dadapsari Semarang, yang
menyimpulkan bahwa supervisi yang dilakukan dapat
membantu pemecahan masalah dalam Pembelajaran
Tematik. Permasalah yang terjadi dalam tahap
persiapan pembelajaran yang mencakup penyusunan
34
RPP Tematik. Kepala sekolah sebagai supervisor
memberikan masukan dan pengawasan kepada guru
dalam penyusunan RPP Tematik. Selain itu, supervisi
yang dilakukan dapat meningkatkan proses
pembelajaran. Hal ini dapat dibuktikan bahwa guru di
SD Negeri Dadapsari dapat melaksanakan pembelajaran
sesuai dengan tahap-tahap yang sudah disusun dalam
RPP. Kepala sekolah juga memberikan kesempatan
kepada guru untuk mengoreksi sendiri kegiatan
pembelajaran yang sudah dilakukan pada saat
pertemuan individu dengan kepala sekolah. Dalam
pertemuan umum, kepala sekolah memberikan solusi
kepada guru dalam pemecahan masalah mengajarnya
seperti mengikuti kegiatan study banding, workshop,
pelatihan, dan juga KKG. Sehingga supervisi yang sudah
dilakukan berdampak pada peningkatan prestasi belajar
Calistung siswa.
C. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan hasil kajian teori dan penelitian-
penelitian sebelumnya, terdapat 2 penelitian yang
menyimpulkan bahwa Supervisi Klinis efektif dapat
meningkatkan prestasi belajar Calistung siswa, oleh
karena itu hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Ada perbedaan yang signifikan antara hasil
belajar Calistung siswa melalui Pembelajaran Tematik
35
Tersupervisi di SD Negeri Giyono dengan Tanpa
Supervisi di SD Negeri Gunung Gempol. Hipotesis
tersebut dirumuskan secara statistik sebagai berikut:
H1 : µ1 ≠ µ2 : Ada perbedaan yang signifikan
antara hasil belajar Calistung siswa
melalui Pembelajaran Tematik
Tersupervisi dengan Pembelajaran
Tematik tanpa Supervisi.
Hasil pehitungan uji t koefisien signifikansi ≤ 0,05 maka
H1 diterima dan H0 ditolak.
32
top related