bab ii landasan teori - repository.bsi.ac.idcontohnya adalah cukai tembakau, bea materai dan bea...
Post on 29-Feb-2020
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
9
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian Pajak
Menurut Muljono (2008:1) “Pajak adalah kontribusi Wajib Pajak kepada
negara yang terhutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Menurut Soemitro dalam Mardiasmo (2013:1) “Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Sedangkan Menurut Djajadiningrat dalam Resmi (2013:1) bahwa pajak
adalah:
Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas
negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut
peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada
jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan
secara umum.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pajak adalah suatu pembayaran
yang bersifat wajib oleh rakyat kepada Negara sesuai ketentuan Undang-undang atas
dasar asas pengabdian dan kepatuhan, tanpa mendapat jasa timbal dari negara secara
langsung melainkan pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai
kepentingan umum.
9
10
2.1.1. Fungsi Pajak
Menurut Pudyatmoko (2009:16) pajak sebagai sebuah realitas yang ada di
masyarakat mempunyai fungsi tertentu. Pada umumnya dikenal adanya dua fungsi
utama pajak, yakni fungsi budgeter (anggaran) dan fungsi regulerend (mengatur).
1. Fungsi Anggaran
Pajak mempunyai fungsi sebagai alat atau instrumen yang digunakan untuk
memasukan dana sebesar-besarnya kedalam kas negara. Dalam hal ini fungsi pajak
lebih diarahkan sebagai instrumen penarik dana dari masyarakat untuk dimasukan
kedalam kas negara.
2. Fungsi Mengatur
Disamping mempunyai fungsi sebagai alat penarik dana dari masyarakat untuk
dimasukkan ke dalam kas negara seperti tersebut di atas, pajak mempunyai fungsi
yang lain, yakni fungsi mengatur. Dalam hal ini pajak digunakan untuk mengatur
dan mengarahkan masyarakat ke arah yang dikehendaki pemerintah. Oleh
karenanya fungsi mengatur ini menggunakan pajak untuk dapat mendorong dan
mengendalikan kegiatan masyarakat agar sejalan dengan rencana dan keinginan
pemerintah.
2.1.2. Jenis Pajak
Menurut Sudirman dan Antong Amiruddin (2012:10) Pajak itu sendiri
dibagi/digolongkan menjadi beberapa pajak, adapun klasifikasi pajak itu meliputi:
a. Menurut Siapa yang Menanggung Pajak
11
1). Pajak Langsung, yaitu pajak yang dipungut pemerintah kepada Wajib Pajak
dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya adalah PPh,
PPnBM dan PBB.
2). Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah kepada
Wajib Pajak secara tidak langsung dan dapat dilimpahkan kepada orang lain.
Contohnya adalah cukai tembakau, bea materai dan bea balik nama.
b. Menurut Siapa yang Memungut Pajak
1). Pajak Negara atau Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut dan atau dikelola
oleh pemerintah pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat
Jenderal Pajak yaitu antara lain PPh, PPN, PPnBM, PBB, BPHTB, dan Bea
Materai.
2). Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut dan/atau dikelola oleh pemerintah
daerah, yang dalam hal ini ditangani oleh Dinas Pendapatan Daerah, yaitu
antara lain:
a. Pajak Kendaraan Bermotor baik di darat maupun di atas air (Provinsi);
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) baik di darat maupun di
atas air (Provinsi);
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air
(Provinsi);
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
Restoran (Provinsi);
e. Pajak Hotel (Kabupaten);
f. Pajak Reklame (Kabupaten);
12
g. Pajak Restoran (Kabupaten);
h. Pajak Hiburan (Kabupaten);
i. Pajak Penerangan Jalan (Kabupaten);
j. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C (Kabupaten).
2.1.3. Batas Waktu Pembayaran (Penyetoran Pajak)
Menurut Marsyahrul (2005:48) Pembayaran pajak diatur dalam Pasal 9 KUP,
juga dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 541/KMK 04/2000 tanggal 22
Desember 2000, ringkasannya sebagai berikut.
Sarana untuk membayar pajak ialah Surat Setoran Pajak (SSP). Tempat pembayaran
yang ada pada saat ini ialah kantor pos dan giro, serta bank-bank yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Anggaran.
Jangka waktu pembayaran:
1. Untuk PPh, Pasal 21 harus disetor paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya;
2. Untuk PPh, Pasal 22 harus disetor paling lambat tanggal 7 bulan berikutnya
(bukan Bea Cukai);
3. Untuk PPh, Pasal 22 impor yang dipungut Bea Cukai harus disetor dalam jangka
waktu satu hari setelah pemungutan;
4. Untuk PPh, Pasal 23 dan 26 harus disetor paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya setelah bulan saat terhutangnya pajak;
5. Untuk PPh, Pasal 25 harus disetor paling lamnbat tanggal 15 bulan berikutnya;
6. Untuk SPT, SKPKB dan SKPKBT, SK pembetulan, SK keberatan, putusan
banding, harus dibayar lunas paling lambat satu bulan sejak tanggal diterbitkan.
13
Untuk SK pembetulan, SK keberatan, putusan banding mengakibatkan pajak yang
harus dibayar bertambah. Tentang tanggal jatuh tempo pembayaran telah diubah
dengan Kep.Men.Nomor 541/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000.
2.2. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)
Menurut Resmi (2013:74), “Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang
dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam suatu tahun pajak”. Peraturan Perundang-udangan yang mengatur Pajak
Penghasilan di Indonesia adalah UU No. 7 Tahun 1983 yang telah disempurnakan
dengan UU No. 7 Tahun 1991, UU No. 10 Tahun 1994, UU No. 17 Tahun 2000,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan
Direktur Jenderal Pajak maupun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak.
2.2.1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)
Menurut Tatang (2013:209) Undang-Undang Pajak Penghasilan menganut
prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak
dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau
menambah kekayaan Wajib Pajak.
Pada situasi dan kondisi tertentu, pemerintah mengambil kebijakan perpajakan
tertentu dengan maksud dan tujuan yang tertentu pula. Misalnya untuk memajukan
usaha kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah, pemerintah memberlakukan
tarif pajak yang lebih rendah dari tarif pajak pada umumnya dan biasanya
14
pengenaannya bersifat final. Dengan kata lain, terdapat objek pajak penghasilan yang
pengenaan pajaknya diatur tersendiri, yaitu sebagaimana diamanatkan pada pasal 4
ayat (2) Undang-undang PPh. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis
penghasilan tersebut termasuk sifat,besaran, dan tata cara pelaksanaan pembayaran,
pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Apabila penghasilan berdasarkan pertimbangan tertentu dikenai pajak dengan
tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut
tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum. Adapun
pertimbangan-pertimbangan suatu objek pajak dikenakan PPh yang bersifat final
antara lain:
a. Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan
masyarakat;
b. Kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
c. Berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat
Jenderal Pajak;
d. Pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
e. Memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.
2.2.2. Objek dan Tarif Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2
Menurut Tatang (2013:211) Jenis-jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal
4 ayat (2) meliputi:
a. PPh Atas Penghasilan Bunga Deposito, Tabungan/Jasa Giro, dan Diskonto
Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
15
Pemajakan atas penghasilan berupa bunga deposito, bunga tabungan/jasa giro, dan
diskonto SBI mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 131
Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001.
Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
deposito berjangka, sertifikat deposito, deposit on call baik dalam mata uang
rupiah maupun dalam mata uang asing (valuta asing) yang ditempatkan pada atau
diterbitkan oleh bank.
Tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama apapun, termasuk giro, yang
penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh
masing-masing bank.
Termasuk bunga yang harus dipotong Pajak Penghasilan adalah bunga yang
diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan diluar negeri
melalui bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang
bank luar negeri di Indonesia. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap orang pribadi
Subjek Pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam 1 (satu) tahun
pajak termasuk bunga dan diskonto tidak melebih Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto
Sertifikat Bank Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto,
terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
2. Dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau
dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang
berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.
16
b. Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek.
Pemajakan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek
berdasarkan PP No. 41/1994, PP No. 14/1997, KMK 282/KMK.04/1997, dan SE
Dirjen Pajak Nomor: SE-06/PJ.4/1997.
Besarnya pajak penghasilan atas transaksi penjualan saham di bursa efek, sebagai
berikut:
1. Satu per seribu (0,1%) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan, untuk semua
transaksi penjualan saham.
2. Tambahan 0,5% (setengah persen) dari nilai jual saham, untuk transaksi
penjualan saham pendiri.
c. Penghasilan Berupa Bunga dan Diskonto Obligasi yang Dijual di Pasar Modal.
Pemajakan atas penghasilan berupa bunga dan diskonto obligasi yang dijual di
pasar modal diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2009.
Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih
dari 12 (dua belas) bulan.
Bunga obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegang
obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto.
Besarnya pajak penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang dijual di pasar
modal adalah sebagai berikut:
1. Bunga dari obligasi dengan kupon sebesar 15% (lima belas persen) bagi Wajib
Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap. Sebesar 20% (dua puluh persen)
atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda
17
bagi Wajib Pajak Luar Negeri selain bentuk usaha tetap, dari jumlah bruto
bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi.
2. Diskonto dari obligasi dengan kupon sebesar 15% (lima belas persen) bagi
Wajib Pajak Dalam Negeri dan bentuk usaha tetap. Sebesar 20% (dua puluh
persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi Wajib Pajak Luar Negeri selain bentuk usaha tetap.
3. Diskonto dari obligasi tanpa bunga sebesar 15% (lima belas persen) bagi Wajib
Pajak Dalam Negeri dan bentuk usaha tetap. Sebesar 20% (dua puluh persen)
atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda
bagi Wajib Pajak Luar Negeri selain usaha tetap.
4. Bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib
Pajak reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan sebesar 0% (nol persen) untuk tahun 2009 sampai dengan
tahun 2010, sebesar 5% (lima persen) untuk tahun 2011 sampai dengan tahun
2013 dan sebesar 15% (lima belas persen) untuk tahun 2014 dan seterusnya.
d. PPh Atas Bunga Simpanan yang Dibayar Kepada Anggota Koperasi Orang
Pribadi.
Pemajakan atas penghasilan bunga yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009
dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2010.
Besarnya pajak penghasilan atas bunga simpanan yang dibayar kepada anggota
koperasi orang pribadi, adalah:
18
1. 0% (nol persen) untuk penghasilan bunga simpanan sampai dengan Rp.
240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan; atau
2. 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan bunga
simpanan lebih dari Rp. 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per
bulan.
e. Pajak Penghasilan Atas Hadiah Dan Penghargaan.
Pemajakan atas penghasilan dari hadiah dan undian diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor-395/PJ./2001 yang berlaku mulai 1 Januari 2001.
Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan melalui undian, untuk membedakan pengertian hadiah undian dan
hadiah-hadiah lainnya, ada baiknya diketahui pula definisi hadiah dalam bentuk
lain sesuai dengan peraturan perpajakan, seperti hadiah atau penghargaan
perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang diberikan melalui suatu
perlombaan atau adu ketangkasan. Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan lainnya adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh
penerima hadiah. Sedangkan penghargaan adalah imbalan yang diberikan
sehubungan dengan prestasi dalam kegiatan tertentu. Tidak termasuk dalam
pengertian hadiah dan penghargaan yang dikenakan pajak penghasilan adalah
hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada
semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima
langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.
19
Atas hadiah undian dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah penghasilan bruto dan bersifat final.
f. Penghasilan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham/Pengalihan
Penyertaan Modal Perusahaan Pasangan Usahanya.
Pemajakan atas penghasilan modal ventura dari transaksi penjualan
saham/pengalihan penyertaan modal perusahaan pasangan usahanya berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/KMK.04/1995 dan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SEe-33/pj.4/1995.
Perusahaan modal ventura merupakan sarana dalam rangka mendorong
pemerataan pembangunan dan untuk lebih meningkatkan peran serta dari seluruh
lapisan masyarakat, yaitu dengan melakukan penyertaan modalnya pada
perusahaan pasangan usaha khususnya yang merupakan “usaha kecil dan
menengah atau perusahaan yang bergerak dalam sektor-sektor usaha tertentu”
yang mengingat keadaan perekonomiannya perlu memperoleh prioritas untuk
dikembangkan.
Perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha perusahaan modal ventura adalah
perusahaan yang pad saat perusahaan modal ventura melakukan penyertaan
modalnya penjualan bersih pada tahun pajak sebelumnya tidak melebihi Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setahun. Daalam hal perusahaan kecil dan
menengah pasangan usaha perusahaan modal ventura tersebut melakukan usaha
jasa, maka yang dimaksud dengan penjualan bersih adalah penerimaan bruto. Tarif
sebesar 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi dikenakan dengan syarat:
20
1. Pasangan usaha merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang melakukan
kegiatan di sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
2. Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.
g. Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
Pemajakan atas penghasilan sewa tanah dan bangunan diatur dalam PP Nomor 5
Tahun 2002, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002, Keputusan
Dirjen Pajak Nomor Kep-227/Pj./2002.
Penghasilan sewa tanah dan bangunan adalah penghasilan orang pribadi atau
badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun,
apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko,
gedung dan industri.
Besarnya PPh yang wajib dipotong atau dibayar sendiri adalah sebesar 10%
(sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan
bersifat final. Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua
jumlah yang dibayarkan atau terhutang oleh penyewa dengan nama dan dalam
bentuk apapun juga yang berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa
termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas
lainnya dan “service charge” baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah
maupun yang disatukan.
h. Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
Pemajakan atas penghasilan dari pengalihan atas tanah dan/atau bangunan diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah beberapa
kali dirubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008.
21
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dapat berupa:
1. Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain
selain pemerintah;
2. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain yang
disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk
pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan
khusus;
3. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain kepada
pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus.
Besarnya pajak penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Dan sebesar 1% (satu persen) dari
jumlah bruto nilai pengalihan untuk pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan
Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
i. Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi
Pemajakan atas penghasilan usaha jasa konstruksi diatur dalam PP No. 51 Tahun
2008 sebagaimana telah diperbaharui dengan PP No. 40 Tahun 2009.
Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi,
layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi
pengawasan pekerjaan konstruksi.
22
Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan
arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing
beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
Penyedia jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang
kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencana
konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya.
Tarif pajak penghasilan untuk usaha jasa konstruksi adalah sebagai berikut:
1. 2% (dua persen) untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia
jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
2. 4% (empat persen) untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia
jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
3. 3% (tiga persen) untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia
jasa selain penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf “a” dan huruf “b”;
4. 4% (empat persen) untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi
yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
5. 6% (enam persen) untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi
yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
j. Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Pembendaharaan Negara (SPN)
Pemajakan atas diskonto SPN diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2008.
Surat utang negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang baik
dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan
23
pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, yang
terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara.
Surat perbendaharaan negara yang selanjutnya disebut SPN adalah Surat Utang
Negara yang berjangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan
pembayaran bunga secara diskonto.
Diskonto SPN adalah selisih lebih antara nilai nominal pada saat jatuh tempo
dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di Pasar Sekunder atau harga jual di
Pasar Sekunder dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di Pasar Sekunder,
tidak termasuk Pajak Penghasilan yang dipotong.
Atas penghasilan tertentu dari Wajib Pajak berupa Diskonto SPN dikenakan
pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Besarnya Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
1. 20% (dua puluh persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha
Tetap (BUT); dan
2. 20% (dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda (P3B) yang berlaku bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan
di luar negeri dari Diskonto SPN.
k. Deviden yang Diterima Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Pemajakan atas Deviden yang diterima WPOP Dalam Negeri diatur dalam PP No.
19 Tahun 2009 berlaku sejak 1 Januari 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 111/PMK.03/2010.
24
Deviden adalah bagian laba yang diperoleh pemegang saham, dengan nama dan
dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
Atas penghasilan berupa deviden yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen)
dari jumlah bruto dan bersifat final.
l. Penghasilan Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
Pengaturan pengenaan PPh untuk Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak Orang
Pribadi dan Badan yang memiliki peredaran bruto tertentu untuk melakukan
penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terhutang. Hal
ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah Wajib Pajak yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan tidak termasuk Bentuk
Usaha Tetap; dan
2. Menerima penghasilan dari usaha (tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas) dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu)
tahun pajak.
Tidak termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki peredaran tertentu
adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan
dan/atau jasa yang dalam usahanya:
25
1. Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang
menetap maupun tidak menetap; dan
2. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang
tidak diperuntukan bagi tempat usaha atau berjualan Wajib Pajak.
Tidak termasuk Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran tertentu adalah:
1. Wajib Pajak Badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
2. Wajib Pajak Badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi
secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp. 4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Besarnya tarif adalah 1% (satu persen).
Dasar Pengenaan Pajak berdasarkan jumlah peredaran bruto dalam satu bulan.
Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha
cabang, selain peredaran bruto dari usaha yang atas penghasilannya telah dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan dibidang perpajakan. Dengan demikian, dapat dihitung besarnya Pajak
Penghasilan dalam 1 (satu) bulan adalah: 1% x jumlah peredaran bruto dalam 1
(satu) bulan, dengan catatan:
1. Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha
dalam 1 (satu) tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang
bersangkutan.
2. Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah
melebihi jumlah Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
26
dalam suatu tahun pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan 1%
(satu persen) sampai dengan akhir tahun pajak yang bersangkutan.
3. Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp.
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu tahun
pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada tahun
pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
4. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
2.3. Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Prastowo (2010:26) “kepatuhan adalah aktivitas sehari-hari untuk
mematuhi peraturan perpajakan”.
Sedangkan kepatuhan perpajakan yang dikemukakan oleh Nowak dalam
Devano (2006:110) kepatuhan adalah sebagai “suatuiklim” kepatuhan dan kesadaran
pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi sebagai berikut:
1. Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan perundang-
undangan perpajakan.
2. Mengisi formulir pajak dengan jelas dan lengkap.
3. Menghitung jumlah pajak yang terhutang dengan benar.
4. Membayar pajak yang terhutang tepat pada waktunya.
27
Tidak dipatuhinya kewajiban-kewajiban perpajakan tersebut, dapat
mengakibatkan Wajib Pajak dikenai sanksi perpajakan yaitu sanksi administrative,
berupa bunga, denda kenaikan serta sanksi pidana denda dan pidana badan (kurungan
atau penjara).
Menurut Pudyatmoko (2009:22) “Wajib Pajak adalah subjek pajak yang telah
memenuhi syarat objektif, selain itu juga syarat subjektif”. Syarat objektif adalah
syarat yang berkaitan dengan sasaran pengenaan pajak (objekpajak). Sebagai contoh
adalah seorang yang telah tinggal di Indonesia yang memperoleh penghasilan dan
penghasilan tersebut memenuhi syarat untuk dikenakannya pajak. Hal ini kiranya
perlu diingat karena tidak semua penghasilan memenuhi syarat untuk dikenakan
pajak, misalnya menyangkut besarnya penghasilan itu sendiri. Bila ternyata
penghasilan tersebut memenuhi syarat untuk dikenakan pajak maka orang yang
mendapatkan penghasilan itu dapat dikatakan telah memenuhi syarat objektif
sehingga wajib membayar pajak dan disebut Wajib Pajak.
Didalam ketentuan, khususnya didalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
dimasukan pula sebagai WajibPajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa KepatuhanWajib Pajak adalah
aktivitas seseorang yang telah memenuhi syarat untuk diwajibkan turut berkontribusi
28
dalam pembayaran pajak dan kesadaran seseorang terhadap pemenuhan kewajiban
perpajakannya.
2.3.1. Kewajiban Umum Wajib Pajak
Menurut Pudyatmoko (2009:131) terdapat beberapa kewajiban umum Wajib
Pajak yang harus dipenuhi/dipatuhi, yaitu:
a. Kewajiban Mendaftarkan Diri
Menurut ketentuan Pasal 2 UU No. 28 Tahun 2007, setiap Wajib Pajak yang telah
memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
b. Kewajiban Mengisi dan Menyampaikan SPT
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan
objek pajak dan/atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Dalam rangka pemenuhan self assessment
system, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan menetapkan
sendiri pajaknya.
c. Kewajiban Membayar Pajak
Pajak yang hasilnya dimasukan ke dalam kas negara sangat diperlukan untuk
membiayai segala aktivitas dan berjalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu
secara bergotong-royong melalui pajak rakyat diberi beban untuk dipikul bersama.
29
Akan tetapi tidak setiap warga atau rakyat Indonesia diwajibkan membayar pajak.
Hanya mereka yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak yang mempunyai
kewajiban itu.
d. Kewajiban Membayar Denda
Pemenuhan kewajiban pajak ada kemungkinan terjadi kesalahan, baik itu karena
kealpaan maupun karena unsur kesengajaan dari Wajib Pajak atau penanggung
pajak. Kesalahan seperti itu perlu diluruskan kembali dan kepada wajib pajak
ataupun penanggung pajak dapat dikenakan sanksi berupa denda.
e. Kewajiban Melakukan Pembukuan dan Pencatatan
Berkaitan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak, di dalam Pasal 6 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (KUHD) ditentukan bahwa setiap warga masyarakat yang
melakukan kegiatan usaha diwajibkan melakukan pembukuan, yang diatur
sedemikian rupa sehingga setiap saat dapat diketahui kewajiban-kewajibannya
terhadap pihak ketiga.
f. Kewajiban Menyerahkan Dokumen Pada Waktu Pemeriksaan
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan berwenang melakukan
pemeriksaan, baik untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
maupun untuk tujuan lain. Pihak aparat yang memeriksa mesti diberi kesempatan
untuk mendapatkan akses memeriksa semua dokumen, buku, catatan, maupun
keterangan yang diperlukan sesuai ketentuan yang berlaku.
30
2.4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
BerdasarkanPeraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 46 Tahun 2013
tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
2.4.1. Maksud dan Tujuan PP No. 46 Tahun 2013
Kebijakan Pemerintah dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 46
Tahun 2013 didasari dengan:
Maksud:
a. Untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan;
b. Mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi;
c. Mengedukasi masyarakat untuk transparansi;
d. Memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan
negara;
Tujuan:
a. Kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan;
b. Meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan bagi masyarakat;
c. Terciptanya kondisi kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban perpajakan;
31
2.4.2. Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak yang Dikenai Pajak Penghasilan
Berdasarkan Ketentuan PP No. 46 Tahun 2013
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, objek pajak dan
pengecualian dari objek pajak atas Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan PP No.
46 Tahun 2013 adalah:
1. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai pajak penghasilan yang bersifat final.
2. Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah Wajib Pajak yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha
tetap; dan
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun
pajak.
3. Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi adalah Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang
menetap maupun tidak menetap; dan
b. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang
tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
4. Tidak termasuk Wajib Pajak badan, adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; dan
32
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi
secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah).
2.4.3. Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan
PP No. 46 Tahun 2013
Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah 1% (satu persen).
Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1
(satu) tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan. Dalam
hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu tahun pajak,
Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan.
Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan
yang bersifat final atas usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Pajak
Penghasilan terhutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu persen) dikalikan dengan
jumlah peredaran bruto setiap bulan.
top related