bab ii landasan teori a. novel sebagai media dakwah.eprints.unisnu.ac.id/1517/3/bab ii.pdf ·...
Post on 05-Nov-2020
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. NOVEL SEBAGAI MEDIA DAKWAH.
Dakwah kadang kala perlu ditunjang dengan karya sastra yang bermutu
sehingga lebih indah dan menarik. Dalam karya ilmiah ini terdapat beberapa
pokok pembahasan yakni novel dan dakwah. Dua teori ini saling berkaitan satu
dengan yang lainnya, novel merupakan karya sastra dan alat penyampaian dakwah
sebagaimana salah satu bahasa dakwah yang disampaikan walisongo (dakwah
kontekstual), dakwah menggunakan media yang disukai masyarakat. Sedangkan
dakwah sebagai akfitas penyampaian dengan lisan, tulisan dan lainnya yang
bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia untuk beriman dan menaati
Allah sesuai dengan garis besar akidah dan syariat serta akhlak Islamiyah.1
Karena perlu pemahaman yang mendalam maka penulis akan menguraikan kedua
terori tersebut.
Istilah novel dalam bahasa Inggris disebut novel dan cerita pendek
(disingkat cerpen, dalam bahasa Inggris: short story) merupakan bentuk karya
sastra yang sekaligus disebut fiksi. Istilah ini yang kemudian masuk ke Indonesia,
berasal dari bahasa Itali yang disebut nivella (dalam bahasa Jerman disebut
novelle). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil dan
kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Dalam KBBI,
novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian
1 Moh Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada media Group, 2015), hlm. 13.
17
cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan
menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.2 Sedangkan novel sendiri mempunyai
unsur-unsur di antaranya adalah unsur intristik dan ekstrinsik. Intrinsik adalah
unsur-unsur yang membangun karya itu sendiri yang secara langsung turut serta
membangun cerita. Dan unsur yang dimaksud adalah : tema, cerita, plot,
penokohan, latar, sudut pandang, bahasa dan moral.3 Untuk bisa dipahami lebih
mendalam penulis penguraikan satu persatu dari unsur intrinsik tersebut.
Pertama Tema adalah pokok permasalahan yang mendominasi atau
menjiwai sebuah karya sastra.4 Tema berisikan gambaran luas tentang kisah yang
akan diangkat sebagai cerita dalam novel, sehingga sangat penting memilih tema
yang baik dan pada akhirnya menghasilkan cerita yang menarik.
Kedua Kenny berpendapat bahwa cerita adalah peristiwa-peristiwa yang
terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya sastra.
Dengan bercerita pengarang dapat menyampaikan suatu gagasan kepada
pembaca.5
Ketiga Alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita yang
akan membentuk jalannya cerita dalam novel. Alur/plot ada tiga macam yaitu:
Alur Maju (Progresif), yakni rangkaian peristiwa yang memiliki jalan cerita rapi
dan runtun dari awal sampai akhir. Alur mundur (flashback), yaitu rangkaian alur
2 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2008), hlm. 2-3. 3 Ibid., hlm. 23.
4 Widodo, Buku Ajar Bahasa Indonesia Untuk SMA/MA, (Surakarta: Citra Pustaka, 2006),
hlm. 66. 5 Burhan Nurgiyantoro, op.cit., hlm. 91.
18
jalan cerita yang diawali dengan tahap klimaks atau penyelesaian dan disusul
tahap-tahap seperti pendahuluan, pemunculan masalah, konflik dan peleraian.
Alur gabungan/campuran yaitu alur peristiwa yang di dalamnya bergerak secara
loncat dan tidak rapi (maju-mundur). Alur mempunyai bagian-bagian seperti
situation (pengarang mulai melukiskan kejadian), Generation circumstance
(peristiwa menunjukan adanya gerak), Rising Action (keadaan mulai tegang atau
memuncak), Klimaks (peristiwa mencapai puncaknya), Donouvement (pengarang
memberikan pemecahan dari semua peristiwa).6
Keempat Penokohan adalah penggambaran watak dan sifat-sifat tokoh
cerita yang merupakan unsur terpenting dalam karya sastra. Berdasarkan jenis
watak, tokoh dibagi dalam 3 katagori yaitu Tokoh protagonis yaitu tokoh yang
menjadi pusat cerita dan mempunyai sifat yang selalu baik dikagumi dan menjadi
terkenal. Tokoh antagonis yaitu tokoh yang menjadi lawan dari tokoh utama yang
mempunyai watak jahat dan kurang baik. Tokoh tritagonis yaitu tokoh yang
menjadi penengah antara protagonis dan antagonis.7
Kelima adalah latar atau setting Menurut Abrahams latar atau setting
adalah tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Keenam adalah bahasa Merupakan unsur terpenting yang dapat
menumbuhkan minat baca, dengan rangkaian kata-kata yang indah maka pembaca
6 Budi Waluyo dkk, Bahasa Indonesia Untuk Kelas SMA/MA kelas IX, (Solo: IKAPI,
2008), hlm. 26. 7 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2008), hlm. 178-179.
19
akan dapat memberikan kesan nilai lebih dalam bacaan tersebut. Bahasa dalam
sastra pun mengemban fungsi utama yaitu fungsi komunikatif.
Ketujuh Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan
hidup pengarang yang bersangkutan pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran,
dan itulah hal yang ingin disampaikan kepada pembaca.8 Sedangkan Unsur
ektrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, unsur ektrinsik
diantaranya yaitu : biografi pengarang, sejarah, sosial, latar belakang penciptaan,
kehidupan masyarakat tempat diceritakannya cerita dan agama.9
Karya sastra tersebut dapat berupa : syair, puisi, pantun, nasyid, novel dan
lain sebagainya. Tidak sedikit para pendakwah yang menyisipkan karya sastra
dalam pesan dakwahnya. Hampir setiap karya sastra memuat pesan-pesan bijak,
karna nilai sastra adalah nilai keindahan dan kebijakan. Keindahan menyentuh
perasaan, sementara kebijakan menggugah hati dan pikiran. Pesan yang bijak akan
mudah diterima dengan perasaan yang halus. Akan tetapi tidak semua karya sastra
bisa menjadi isi pesan dakwah, sebab ada karya sastra yang digunakan untuk
pemuja berhala, mengungkapkan cinta asmara, menggambarkan keindahan dunia,
dan sebagainya. Karya sastra yang dijadikan pesan dakwah harus berlandaskan
etika salah satunya adalah isinya mengandung hikmah yang mengajak kepada
Islam atau mendorong kepada kebaikan.10
Dari sekian animo manusia dunia
remaja khususnya, mengisi dunia fiksi itu dengan pesan-pesan Islam yang
menarik khalayak, seperti ketertarikan mereka pada fiksi-fiksi umumnya. Tablig
8 Ibid., hlm. 320-321.
9 Budi Waluyo dkk, log.cit., hlm. 26.
10 Moh Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 328-329.
20
melalui media fiksi itu merupakan sarana efektif membuat manusia berfantasi
tentang Islam, tentang kemajuan, tentang masa depan (akhirat), dan tentang
kehidupan yang sesungguhnya. Penanaman mental demikian melalui fiksi sudah
sangat urgen untuk mulai dilakukan.11
Oleh karna itu dari beberapa karya sastra yang berupa novel penyampaian
nilai-nilai agama ini mampu memberikan nuansa baru proses berdakwah. Seperti
karya novel- novel Indonesia yakni Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-Ayat Cinta,
Assalamualaikum Bejing, Kuntul Nucuk Mbulan, dan sebagainya. Dari contoh
novel tersebut isi karya sastranya yang mengandung pesan-pesan dakwah
membuat dunia dakwah menjadi lebih kuat. Karena mampu memberikan
progresitas dalam berdakwah. Metode karya sastra termasuk dalam katagori
dakwah bi al-qolam (dakwah dengan karya tulis). Tanpa tulisan, peradaban dunia
akan lenyap dan punah. Kita bisa memahami Al-Qur’an, hadist, fikih para
madzhab dari tulisan yang dipublikasikan. Metode karya tulis merupakan buah
dari ketrampilan tangan dalam menyampaikan pesan dakwah.12
Sebagai seorang muslim tentu sudah mengetahui bahwa pada dasarnya
dakwah merupakan proses komunikasi dalam rangka mengembangkan ajaran
Islam, dalam arti mengajak orang untuk menganut agama Islam13
, ajakan tersebut
mengandung pesan dakwah, merupakan salah satu unsur penting dalam
berdakwah. Ketika seseorang akan berdakwah, maka penting baginya selain
11
Acep Aripudin, Sosiologi Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 45. 12
Moh Ali Aziz, op.cit., hlm. 374. 13
Kustadi Suhandang, Ilmu Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), Cet 1.
hlm. 24.
21
terampil menguasai cara (metode) dakwah, juga menguasai benar tentang pesan
apa yang akan disampaikan melalui dakwahnya.14
Dalam Kamus besar Bahasa
Indonesia, pesan mengandung arti perintah, nasihat, permintaan, amanat yang
harus dilakukan atau disampaikan kepada orang lain, sedangkan menurut Toto
Tasmara, pesan adalah semua pernyataan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-
Sunah baik secara tertulis maupun pesan-pesan atau risalah.15
Jika dilihat dari
segi bahasa (etimologi), maka dakwah dapat berarti memanggil, mengundang,
mengajak, menyeru, mendorong ataupun memohon. Dalam ilmu tata bahasa arab,
kata dakwah merupakan bentuk mashdar dari kata kerja da’a, yad’u, da’watan,
yang berarti memanggil, menyeru, atau mengajak.16
Secara istilah (terminology)
menurut. Toha Yahya Oemar mengatakan, dakwah adalah upaya mengajak umat
dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah tuhan
untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.17
Dakwah bisa dilakukan dengan berbagai
cara asalkan tidak melanggar nilai-nilai yang ada. Melakukan dakwah dengan cara
dan media sesuai dengan perkembangan zaman, dalam kehidupan ini dari masa
kemasa mempunyai perkembangan peradaban yang berbeda. Dengan hal ini
tentunya proses kegiatan juga harus mampu menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman yang semakin berubah.
Untuk mendukung proses keberhasilan berdakwah salah satunya adalah
unsur-unsur dakwah. Unsur-unsur dakwah dalam istilah komunikasi, atau disebut
14
Asep Muhyidin dkk, Kajian Dakwah Multiperspektif, (Bandung: PT Remaja
Rodakarya, 2014), hlm. 219. 15
Acep Aripudin, Dakwah Antarbudaya, (Bandung: Rosdakarya, 2012), hlm.149. 16
Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta:
Amzah, 2008), hlm. 19-20. 17
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2011), hlm. 01.
22
rukun dalam istilah fikih, memiliki makna segala sesuatu yang harus dipenuhi dan
jika tidak terpenuhi tidak bisa terjadi suatu kegiatan. Atas dasar itu, unsur-unsur
dakwah satu dengan yang lainnya saling bergantung dalam prosesnya. Rumusan
unsur-unsur dakwah tersebut didasarkan pada definisi Al-Qur’an sebagai sumber
ilmu dakwah bahwa Al-Qur’an adalah “Firman Allah yang diturunkan melalui
malaikat Jibril ke dalam kalbu utusan Allah, Muhammad Ibn Abdullah, dengan
kata-kata berbahasa Arab dan maknanya agar menjadi argumen atas kerasulan
Muhammad sebagai tuntunan hidup manusia, membacanya menjadi ibadah yang
ditulis dalam mushaf , diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri surat An-
Nas,yang sampai pada kita semua mutawatir, baik tulisan maupun penuturannya,
dari satu generasi ke generasi lain yang tetep terjaga dari perubahan dan berlaku
sepanjang masa.” Definisi tersebut menjelaskan mengenai proses tanzῑl Al-
Qur’an berikut unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Sedangkan unsur-unsur
nuzul Al-Qur’an antara lain : pertama Allah sebagai subjek (penazil Al-Qur’an,
kedua Al-Qur’an sebagai materi tanzῑl, ketiga Malaikat Jibrῑl sebagai media atau
wasilah al-Tanzῑl, keempat penampakan atau tidaknya malaikat Jibril dalam
menyampaikan wahyu adalah metode atau uslūb al-tanzῑl, kelima Muhammad
sebagai objek atau penerima tanzῑl. Proses serta unsur-unsur yang terdapat pada
tanzῑl Al-qur’an menjadi isyarat sekaligus syarat berlangsungnya proses dakwah
yang simultan antara unsur yang satu dengan yang lain. Menurut kajian Ilmu
Dakwah, terdapat lima unsur dakwah , yaitu : pertama Da’i sebagai penyampai
dakwah, kedua mawdū al-Da’wah atau pesan dakwah, ketiga Wasilah al-Da’wah
23
atau media dakwah, keempat Uslūb al-Da’wah atau metode dakwah. Kelima
Mad’ū atau objek dakwah. Selanjutnya dapat digambarkan sebagai berikut :18
No Unsur Nuzul
Dakwah
Posisi Nuzul
Dakwah
Posisi Ilmu
Dakwah
Posisi Ilmu
Komunikasi
1. Allah SWT Subjek
(penazil Al-
Qur’an)
Dai (subjek
atau pelaku
dakwah)
Komunikator
subjek atau
pelaku
komunikasi
2. Al-Qur’an Materi Tanzil Mawdū al-
Da’wah (pesan
dakwah)
Materi (pesan
komunikasi)
3. Malaikat Jibril Media tanzil Wasilah al-
Da’wah
(media
dakwah)
Media (media
komunikasi)
4. Berwujud atau
tidaknya malaikat
jibril
Metode tanzil Uslūb al-
Da’wah
(metode
dakwah)
Metode (metode
komunikasi)
5. Muhammad SAW Objek
(penerima
tanzil)
Mad’u (objek
dakwah)
Komunikan
(objek
komunikasi)
Untuk mempermudah pemahaman unsur-unsur tersebut, penulis akan
menjelaskan satu persatu: Pertama, Dai adalah orang melaksanakan dakwah, baik
melalui lisan, tulisan, maupun perbuatan, yang dilakukan secara individu,
kelompok, maupun organisasi atau lembaga. Perlu ditegaskan tentang problem
mengajak, bahwa berdakwah setidak-tidaknya terdapat tiga elemen yang harus
diperhatikan: pertama landasan mengajak, kedua pengajak ketiga tujuan.
Landasan berdakwah adalah Al-Qur’an dan nilai-nilai tambahan lainnya seperti
hadist dan pendapat para ulama. Tidak semua umat Islam memiliki kapasitas
mengakses makna-makna dalam Al-Qur’an.
18
Tata Sukayat, Ilmu Dakwah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015), hlm. 22-24.
24
Cukup logis apabila yang dipanggil untuk berdakwah adalah kalangan
umat Islam tertentu yang memiliki kecakapan untuk berdakwah. Da’i memiliki
posisi sentral dalam dakwah, sehingga da’i harus memiliki citra atau image yang
baik dalam masyarakat. Citra (image) bisa dipahami sebagai kesan berkenaan
dengan penilaian terhadap seseorang, instansi maupun organisasi yang diciptakan
da’i sebagai hasil langsung dari dakwahnya. Citra yang berhubungan dengan
seorang da’i dalam persepektif komunikasi erat kaitannya dengan kredibilitas
yang dimiliki. Citra terhadap da’i adalah penilaian mad’u terhadap da’i. Seorang
da’i yang kredibel adalah seorang yang memiliki kompetensi dibidangnya,
integritas kepribadian, ketulusan jiwa dan memiliki status yang cukup. Da’i harus
menjadi saksi kebenaran, menjadi teladan umat dan berakhlak baik yang
mencerminkan nilai-nilai Islam.19
Kedua, Mad’u adalah seluruh umat manusia baik laki-laki maupun
perempuan, tua maupun muda, miskin atau kaya, muslim maupun non muslim,
semuanya menjadi objek dari kegiatan dakwah Islam ini, semua berhak menerima
ajakan dan seruan ke jalan Allah SWT.20
Hal ini didasarkan juga kepada misi
Muhammad SAW, yang diutus oleh Allah mendakwahkan Islam kepada segenap
umat manusia, sebagaimana dalam firmah Allah surat Al-a'raf ayat 158.
19
Acep Aripudin, Pengembangan Metode Dakwah, (Jakarta: PT Raja Gafindo Persda,
2011), hlm. 4-5. 20
Muhammad Zamroni, Manhaj Dakwah Insan Pesantren, (Jatim: Kalam Santri Press,
2012), hlm. 76.
25
Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak
ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan
mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang
Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-
Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".
Manusia sebagi sarana dakwah (mad’u) tidak lepas dari kultur kehidupan
yang melingkupinya harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan dakwah. Situasi
teologis, kultural dan stuktural mad’u (masyarakat) dalam dakwah Islam bahkan
selalu memunculkan dinamika dalam dakwah, karena dakwah Islam dilakukan
dalam situasi sosiokultural tertentu bukan dalam masyarakat nihil budaya dan
nihil sistem. Situasi strutural dan kultural seperti kekuasaan (al-mala), keadaan
masyarakat tertindas atau lemah (al-mustad’afin) dan penguasa ekonomi atau
konglomerasi (al-mustarifin). Sistem kekuasaan belaku bersifat menindas,
sehingga masyarakat sebagai sasaran dakwah menjadi lemah, seperti terjadi
menjelang kelahiran Islam. Masyarakat tidak berdaya menghadapi penguasa
dzalim yang mematikan hak-hak warganya, terutama dalam mengikuti serta
membangun wilayahnya. Sistem ekonomi hanya menguntungkan segelintir orang
saja, sehingga kemiskinan sulit dihindari melekat pada masyarakat, atau
sebaliknya kemiskinan terjadi karena faktor kultural.
26
Situasi dan kondisi demikian merupakan bagian kajian teori medan
dakwah.21
Mengacu pada uraian diatas hakikat dakwah budaya, hakikat dakwah
antarbudaya, telaah hakikat masyarakat, dakwah intrabudaya dan dakwah
antarbudaya sebagai solusi konflik vertikal maupun horizontal dari sudut pandang
Al-Qur’an, untuk mempermudah pemahaman berikut ini dikemukakan
konseptualisasi proses dakwah intrabudaya dan antarbudaya dalam dua bentuk
skesta gambar, yaitu:
Lingkungan Budaya yang Beragam
Gambar 1. Dakwah Intra Budaya Dakwah Antarbudaya
Gambar 3. Proses Transmisi nilai Dakwah Antarbudaya
21
Acep Aripudin, op.cit., hlm. 6-7.
Da’i Pesan Metode Media Mad’u
Respons
Transenden
Transenden
n Profan
Islam
Proses Dakwah Antar
Budaya Interaksi Simbolik
Budaya
Profan
Sistem Nilai Islam
Sistem Nilai Islam
budaya
27
Dari uraian diatas bahwa mad’u yang kita jumpai berbagai ragam, maka
dari itu seorang da’i perlu menggunakan pendekatan-pendakatan dalam
berdakwah, Pedekatan dakwah merupakan titik tolak atau sudut pandang kita
terhadap proses dakwah. Penentuan pendekatan di dasarkan pada mitra dakwah
dan suasana yang melingkupinya, mengutarakan tiga pendekatan dakwah, yaitu
pendekatan budaya, pendekatan pendidikan, dan pendekatan psikologis,
pendekatan-pendekatan ini lebih banyak pada kondisi mitra dakwah. Menurut
Toto Tasmara pendekatan dakwah adalah cara-cara yang dilakukan oleh seorang
mubaligh (komunikator) untuk mencapai suatu tujuan tertentu atas dasar hikmah
dan kasih sayang. 22
Dakwah kultural yaitu dakwah yang dilakukan dengan cara mengikuti
budaya masyarakat setempat, dengan tujuan agar pesan dakwahnya bisa diterima
dengan “tanpa terasa” oleh para mad’u. Dalam hal ini bahwa pendekatan kultural
sangat memperhatikan potensi dan kecendrungan manusia sebagai makhluk
budaya, sehingga pelaksanaan dakwah menjadi sangat luwes, guna menciptakan
kultur baru yang bernuansa Islami, dakwah kultural memanfaatkan adat, tradisi,
seni, dan budaya lokal.23
Salah satu strategi dakwah yang sedang berkembang dan di anggap lebih
ramah adalah strategi dakwah antarbudaya. Dakwah antarbudaya adalah sebagai
proses dakwah yang mempertimbangkan keragaman budaya antar da’i dan mad’u,
keragaman ini penyebab terjadinya gangguan interaksi pada tingkat intra dan
22
Moh Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 18. 23
Asep Muhyidin dkk, Kajian Dakwah Multiperspektif, (Bandung; PT Remaja
Rodakarya, 2014), hlm. 119.
28
antarbudaya agar pesan dakwah dapat tersampaikan dengan tetap sesuai situasi
dan damai. Adapun wujud produk dari dakwah antarbudaya, ketika terjadi proses
interaksi antara nilai Islam dengan budaya-budaya lokal, akan menghasilkan
wujud bertentangan dengan masing-masing nilai, terjadi pembauran sehingga
menimbulkan hegemoni nilai budaya atau terjadi perpaduan yang saling
mengisi.24
Hal ini selaras dengan dakwah melalui budaya dalam novel Kuntul
Nucuk Mbulan yang disampaikan oleh KH. Mutamakin Kajen. Dalam novel
tersebut menyebutkan beberapa simbol yang bermakna nilai-nilai ke-Islaman
sehingga dijadikan panutan bagi masyarakat sekitar.
Ketiga Materi Dakwah (Maddah) adalah pesan (message) yang dibawakan
oleh subjek dakwah untuk disampaikan kepada objek dakwah. Materi dakwah
yang biasa disebut juga dengan ideologi dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri
yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah.25
Secara umum, materi dakwah bisa
diklasifikasikan menjadi empat masalah. Pertama, masalah akidah merupakan
masalah pokok yang menjadi materi dakwah adalah akidah Islamiah. Akidah dan
iman menjadi materi utama dalam dakwah, karena aspek iman dan akidah
merupakan komponen utama yang akan membentuk moralitas atau akhlak umat.
Kedua masalah syari’at merupakan hukum atau syariat yang sering disebut
sebagai cermin peradaban mencerminkan diri dari hukum-hukumnya. Pelaksanaan
syari’at merupakan sumber yang melahirkan peradaban Islam. Ketiga, masalah
ibadah muamalah dipahami sebagai ibadah yang mencakup hubungan dengan
sesama makhluk dalam rangka mengabdi kepada Allah Swt. Islam lebih banyak
24
Acep Aripudin, Sosiologi Dakwah, (Bandung; Rosdakarya, 2013), hlm. 57. 25
Muhammad Zamroni, op.cit., hlm. 87.
29
memperhatikan aspek kehidupan sosial dari pada kehidupan ritual. Keempat,
masalah akhlak dalam Islam pada dasarnya meliputi kualtias perbuatan manusia
yang merupakan ekspresi kondisi jiwanya.26
Keempat, metode (thariqat atau manhaj) diartikan cara. Metode ialah cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksana suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan. Metode dakwah adalah cara yang digunakan da’i untuk
menyampaikan materi dakwah (Islam). Metode dakwah sangat penting perananya
dalam menyampaikan dakwah. Metode yang tidak benar, meskipun materi yang
disampaikan baik, maka pesan baik tersebut bisa ditolak. Seorang da’i mesti jeli
dan bijak dalam memilih metode karena metode sangat mempengaruhi kelancaran
dan keberhasilan dakwah. Metode dakwah dalam Al-Qur’an, salah satunya,
merujuk pada surat Al-Nahl sebgaimana firmah Allah :27
Artinya :serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-
Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
26
Tata Sukayat, Ilmu Dakwah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015), hlm. 26-27. 27
Acep Aripudin, Pengembangan Metode Dakwah, (Jakarta: PT RajaGafindo Persda,
2011), hlm. 8-9
30
Kelima, Media dakwah adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan
sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan28
atau sarana
yang digunakan dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. Deddy Mulyana
mengatakan bahwa media bisa merujuk pada alat maupun bentuk pesan, baik
verbal maupun nonverbal, seperti cahaya dan suara. Saluran juga bisa merujuk
pada cara penyajian, seperti tatap mula (langsung) atau lewat media, seperti surat
kabar, majalh, radio, novel, telepon dan televisi. Sering disebutkan bahwa apa
yang dikatagorikan sebagai media juga disebut sebagai cara atau metode, cara
dakwah dengan menerangkan maupun menginformasikan, terutama
menginformasikan lewat lisan misalnya, sering disebut dakwah bi-alisan, karena
menginformasikan dan menerangkan dengan lisan. Jadi, terkadang penggunaan
istilah memiliki konotasi sesuai maksud penggunaanya, terutama istilah-istilah
samar dan beragam.29
Menurut Hamzah Ya’qub, media dakwah adalah alat
objektif yang menjadi saluran menghubungkan ide dengan umat. Sungguh suatu
elemen yang vital dan merupakan urut nadi dalam total dakwah.30
Dalam hal ini
yang terdapat di karya ilmiah tersebut bahwasanya media yang digunakan adalah
wasilah yadawiyah (karya tulis).31
Melihat dari unsur-unsur dakwah diatas bahwasanya yang perlu kita
pahami adalah media dakwah secara mendalam, dalam perspektif dakwah
keberadaan media dakwah sangatlah penting untuk keaktifan dalam berdakwah,
28
Muhammad Zamroni, Manhaj Dakwah Insan Pesantren, (Jatim: Kalam Santri Press,
2012), hlm. 140. 29
Acep Aripudin, op.cit., hlm. 13. 30
Muhammad Zamroni, op.cit., hlm. 140-142. 31
Tata Sukayat, Ilmu Dakwah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015), hlm. 29.
31
karena gaung setiap kata yang terucap dari manusia hanya dapat menjangkau jarak
yang sangat terbatas. Sedangkan dengan memanfaatkan media atau alat-alat
komunikasi massa maka jangkauan berdakwah tidak lagi terbatas pada ruang dan
waktu. Media dakwah bukan saja berperan sebagai alat bantu dakwah. Namun
bila ditinjau dakwah sebagai suatu sisitem yang terdiri dari beberapa komponen
(unsur) yang saling berkaitan, maka dari itu media dakwah mempunyai peranan
atau kedudukan yang sama dibanding dengan komponen yang lain. Dengan
demikian media dakwah harus ada dalam keseluruhan aktivitas dakwah walaupun
hanya bersifat sederhana dan sementara. Media yang digunakan dalam berdakwah
tentunya tidaklah sama. Semakin berkembangnya zaman media yang dapat
digunakan dalam berdakwah juga semakin pesat perberkembangannya. Untuk
dapat menyentuh seluruh kalangan dalam berdakwah dituntut untuk menguasai
media-media yang terus berkembang.
Media dakwah dapat berfungsi dengan efektif jika dapat digunakanya
dengan menyesuaikan diri dengan unsur yang ada dan dapat terarah sesuai yang
diinginkan demi tercapainya tujuan dakwah itu sendiri. Seorang da’i dapat
menggunakan dan menyesuaikan media yang tepat untuk dijadikan sebagai media
berdakwah. Seorang da’i perlu mengetahui karakteristik media agar nantinya
dapat menyesuaikan pesan dakwah yang ingin disampaikan. Semua pesan dakwah
bisa disampaikan lewat media apapun, bisa melalui lisan, audiovisual, maupun
media yang berbentuk tulisan. Seperti seorang yang ingin menyampaikan pesan
agama tentang peristiwa atau kisah zaman perjuangan Islam. Pesan tersebut bisa
32
disampaikan melalui lisan, vidio atau film bahkan melalui tulisan. Tergantung
seseorang penyampaian pesannya menyesuaikan apa yang diinginkan.
Oleh karena itu penyampaian isi pesan dakwah agar bisa diterima ummat
bisa menggunakan berbagai media yang ada pada zaman sekarang ini, salah satu
media yang dapat digunakan berdakwah adalah karya tulis atau novel yang sering
digemari oleh kalangan anak muda, pesan moral yaang disampaikan dalam karya
sastra seperti novel ini dapat mengena dan merubah karakter seseorang, karna
dapat dibaca berulang kali, karya sastra dan gaya bahasa yang sangat indah.
Semua pesan dakwah yang dikemas sedemikian rupa melalui karya sastra dengan
bentuk nilai-nilai agama dan pesan moral yang disampaikan oleh penulis.
Sehingga menjadikan mad’u yang dalam hal ini adalah pembaca, dapat
melahirkan efek yang sangat kuat untuk membentuk kepribadian melalui karya
tulis tersebut.
Kekuatan media karya tulis sangat luar biasa. Pengaruh dari pembaca
sangat banyak sekali, mulai dari membentuk kepribadian sampai dengan
memperbaiki prilaku dan sikap masing-masing, hanya dengan membaca karya
tulis dengan gaya bahasa yang indah maka akan lebih menghayati dan dibaca
berulang kali. Dari situlah pesan dakwah yang disampaikan melalui karya tulis
sangat berpengaruhi sekali bagi pembaca atau mad’u. Seperti halnya dalam novel
Kuntul Nucuk Mbulan yang mengandung nilai moral keIslaman dan pembentukan
karakter jatidiri seseorang sehingga pesan yang disampaikan melalui media karya
tulis akan berpengaruh terhadap pembaca.
33
Oleh karena itu, perlu kita ketahui bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam
novel juga sama halnya unsur-unsur dalam dakwah tersebut.
UNSUR DAKWAH UNSUR NOVEL
Da’i Pengarang
Pesan Dakwah Cerita
Metode Dakwah Novel/karya tulis
Materi Dakwah Naskah
Mad’u Pembaca
B. SEMIOTIKA SEBAGAI ANALISA
Dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik
dapat dipandang sebagai sebuah tanda, sebagai suatu bentuk, karya Sastra secara
tertulis akan memiliki sifat keruangan. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah
cerita rekaan mengandung tabiat tanda- menanda yang menyiaratkan makna
semiotika.32
Oleh karna itu sangat sinkron sastra menggunakan analisa dengan
semiotika.
Manusia menggunakan berbagai alat untuk menyampaikan pesan pada objek
lain. Untuk menyampaikan pesan tersebut manusia dapat menggunakan bahasa
sebagai alat komunikasi. Bahasa ini dibentuk dari berbagai tanda, dan kajian ilmu
yang mempelajari tanda ini adalah semiotika. Semiotika pertama kali
diperkanalkan oleh Henry Stubbes pada tahun 1670. Hal itupun pertama kali
digunakan dalam ilmu kedokteran untuk menginterpretasikan tanda (simptom).33
32
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), cet.5,
hlm. 141. 33
Alo Liliweri, Komunikasi Serba Ada Serba Makna, (Jakarta: Kencana, 2011), ed. 1, cet.
1, hlm. 345.
34
Semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Suatu tanda akan memberikan arti sesuatu yang selain tanda itu sendiri. Dan
makna yang terkandung dalam tanda merupakan sebuah hubungan antara objek
dan suatu tanda. Konsep ini mengikat seperangkat teori yang amat luas yang
berurusan dengan simbol, bahasa, wacana dan bentuk-bentuk nonverbal. Teori-
teori yang menjelaskan hubungan antara makna dan tanda secara umum ini
merujuk pada semiotika. Semiotika atau penyelidikan simbol-simbol, membentuk
tradisi pemikiran yang penting dalam teori komunikasi. Tradisi semiotik terdiri
atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda mempresentasikan benda,
ide, kedaan, situasi, perasaan, dan kondisi diluar tanda-tanda itu sendiri.
Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda”, atau seme,
yang berarti penafsiran tanda. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik
atas seni logika, retorika, dan poetika. 34
Semiotika adalah studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang merupakan
tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup
teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan,
perasaan dan sebagainya yang berada diluar diri. Studi mengenai tanda tidak saja
memberikan jalan atau cara dalam mempelajari komunikasi, tetapi juga memiliki
efek besar hampir setiap aspek (perspektif) yang digunakan dalam teori
komunikasi.
Konsep dasar yang menyatukan tradisi semiotika ini adalah “tanda” diartikan
sebagai suatu stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri.
34
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), cet.5,
hlm. 15-16.
35
Pesan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam komunikasi. Menurut John
Pohn pesan memiliki tiga unsur, yaitu pertama, tanda dan simbol, kedua bahasa
dan ketiga wacana. Menurutnya, tanda merupakan dasar bagi semua komunikasi.
Tanda menunjukan atau mengacu pada sesuatu yang bukan sendiri, sedangkan
makna atau arti adalah hubungan antara objek atau ide dengan tanda. Kedua
konsep tersebut menyatu dalam berbagai teori komunikasi, khususnya teori
komunikasi yang memberikan perhatian pada simbol, bahasa serta tingkah laku
nonverbal. Kelompok teori ini menjelaskan bagaimana tanda dihubungkan dengan
makna dan bagaimana tanda organisasi. Studi yang membahas mengenai tanda ini
disebut dengan semiotika. Tanda mutlak diperlukan dalam menyusun pesan yang
hendak disampaikan tanpa memahami teori tanda, maka pesan disampaikan dapat
membingungkan penerima.35
Ada beberapa model-model dalam semiotika dan para tokohnya yang akan
menguraikan terkait semiotika.
Pertama Peirce lahir dalam sebuah keluarga intelektual pada tahun 1839.
Ayahnya yang bernama Benjamin adalah seorang profesor matematika di
Harvard.36
Peirce berpendapat bahwa tanda-tanda yang berkaitan dengan objek
yang menyerupainya, keberadaan objek memiliki hubungan sebab akibat dengan
tanda-tanda tersebut. Teori semiotika Peirce berangkat dari tiga elemen utama
yang disebut dengan pairce teori segi tiga makna (triangle meaning).37
Teori ini
35
Morissan, Teori Komunikasi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013), cet.1, hlm. 27. 36
Apriadi Tamburaka, Literasi media, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013), hlm. 61. 37
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.
266.
36
terdiri dari tiga hal pokok yang saling berhubungan, yaitu: Tanda, acuan tanda
(objek) dan pengguna tanda.
Menurut Peirce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah
sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah sebuah tanda yang ada
dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.38
Apabila ketiga
elemen ini berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncul makna tentang
sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Makna sebuah tanda akan muncul
sesuai persepsi orang yang berkomunikasi dengan latar belakang yang berbeda-
beda. Hubungan segi tiga makna Charles Sander Peirce ini lazimnya digambarkan
sebagai berikut:
Sumber: https://komunikasiana.wordpress.com.
a) Tanda (sign). Sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh
panca indera yang merujuk pada hal lain diluar tanda itu sendiri.
b) Acuan tanda (objek). Yaitu konteks social yang menjadi referensi dari
tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
38
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet. 6, hlm.
115.
37
Pengguna tanda (interpretant). Yaitu konsep pemikiran dari orang yang
menggunakan tanda dan menurunkannya kesuatu makna tertentu atau makna yang
ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.
Kedua Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia
dengan melakukan pemilihan antara apa yang disebut dengan signifer (penanda)
dan signifed (petanda). Jadi ide sentral dalam semiotik adalah konsepsi khusus
(particular) dan srtuktur sebuah tanda (sign) yang didefinisikan sebagai ikatan
antara yang menandai (signifer) dan yang ditandai (signifed).39
Signifer adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek
material) yakni apa yang dikatakan, ditulis dan dibaca sedangkan signifed adalah
gambaran mental dari bahasa. Saussure menggambarkan tanda yang terdiri dari
atas signifer dan signifed sebagai berikut :
Hubungan antara penanda dan petanda adalah produk kultural. Hubungan
antara produk keduanya bersifat arbiter dan hanya berdasarkan konvensi,
kesepakatan atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut. berdasarkan
model pemaknaan ini, petanda-petanda merupakan konsep mental yang kita
39
Adam Kuper Dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Edisi Kedua, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 958.
38
gunakan untuk membagi realitas dan mengkatagorikan sehingga kita dapat
memahami realitas tersebut. Petanda dibuat oleh manusia dan ditentukan oleh
kultur atau subkultur yang dimiliki manusia tersebut.40
Ketiga Roland Barthes lahir tahun 1915 dari kelas menengah Protestan di
Cherbourg dan dibesarkan di Beyonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah
barat daya Prancis. Ayahnya, seorang perwira angkatan laut, meninggal dalam
sebuah pertempuran di Laut Utara sebelum usia Barthes genap mencapai satu
tahun. Sepeninggal ayahnya, ia kemudian diasuh oleh ibu, kakek, dan neneknya.
Roland Barthes dikenal sebagai salah satu soerang pemikir strukturalis yang
getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussure. Ia juga intelektual
dan kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan
semiotika pada studi sastra. Barthes menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan
peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an. Barthes
berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan
asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.
Barthes telah menulis banyak buku, yang beberapa diantaranya, telah menjadi
bahan rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Dalam bukunya yang
terkenal, S/Z (1970), yang oleh Bertens pantas disebut sebuah buku dengan judul
cukup aneh, buku ini merupakan salah satu contoh bagus tentang cara kerja
Barthes. Ia menganalisis sebuah novel kecil yang relatif kurang dikenal, berjudul
Sarrasine, ditulis oleh sastrawan Prancis abad ke 19, Honore de Balzac. Dalam
penilaian John Lechte, buku ini ditulis Barthes sebagai upaya untuk
40
M.S. Suprapto, Pengantar Ilmu Komunikasi Dan Manajemen Dalam Komunikasi,
(Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm.101.
39
mengeksplisitikan kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis.
Berthes berpendapat bahwa Sarrasine ini terangkai dalam kode rasionalisasi,
suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dealam retorika tentang tanda mode.
Ada lima kode yang ditinjau Barthes yaitu, kode hermeneutik (kode teka-teki),
kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan),
dan kode gnomik atau kode kultural yang membangkitkan suatu badan
pengetahuan tertentu.
Pada 1954-1956, sebuah rangkaian tulisan muncul dalam majalah Prancis,
Les Letters nouvelles. Pada setiap terbitannya Roland Barthes membahas
“Methology of the Month”(mitologi Bulan Ini), sebagian besar dengan
menunjukkan aspek denotatif tanda-tanda dalam budaya pop menyingkapkan
konotasi yang pada dasarnya adalah “mitos-mitos” (myths) yang dibangkitkan
oleh sistem tanda yang lebih luas dan membentuk masyarakat.
John Lechte memaparkan, imaji dan pesan iklan, hiburan, kultur populer dan
literer, serta barang-barang konsumsi sehari-hari menemui telaah subjektif yang
cukup unik dalam hasil dan penerapannya. Cobley dan Jans mengungkapkan
bahwa Barthes membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Dan
menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang
terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi
yang cermat.
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda
adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli
40
tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara
panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran
kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra
merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan kedua yang dibangun di atas
bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut
dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari
denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Barthes menciptakan tentang
bagaimana tanda bekerja. 41
Semiotik berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak keluar
kaidah tata bahasa dan sintaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit ,
tersembunyi dan bergantung pada kebudayaan. Hal ini menimbulkan perhatian
pada makna tambahan (connotative) dan arti penunjukkan (denotative)42
Representasi menurut Barthes menunjukkan bahwa pembentukan makna
tersebut mencakup sistem tanda menyeluruh yang mendaur ulang berbagai makna
yang tertanam dalam-dalam di budaya Barat misalnya, dan menyelewengkan ke
tujuan-tujuan komersil. Hal ini disebut sebagai struktur. Sehingga dalam
semiotika Roland Barthes, proses representasi itu berpusat pada makna denotasi,
konotasi dan mitos. Untuk itulah Barthes meneruskan pemikiran Saussure dengan
menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural
penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami
41
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 63-
69. 42
Alex Sobur, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana , Analisis
Semiotik Dan Analisis Framing, (Bandung; PT Rosdakarya, 2004), hlm. 126-127.
41
diharapkan oleh penggunanya. Gagasan barthes dikenal dengan “Two Order
Signification” (signifikasi dua tahap)
Sumber: https://komunikasiana.wordpress.com.
Melalui gambar diatas, Barthes seperti yang dikutip fiske, menjelaskan
signifikansi tahap pertama merupakan hubungan antara signifer dan signifed
didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai
denotasi. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk signifikansi tahap
kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan. Pada
signifikansi tahap kedua yang berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos.
Makna denotasi adalah makna awal utama dari sebuah tanda, teks , dan
sebagainya. Makna ini tidak bisa dipastikan dengan tepat, karena makna denotasi
42
merupakan generalisasi. Dalam terminologi Barthes denotasi adalah sistem
signifikansi tahap pertama43
.
Makna konotasi yang memiliki sejarah budaya dibelakangnya yaitu bahwa ia
hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan signifikansi tertentu. Konotasi
adalah mode operatif dalam pembentukan dan penyandaian teks kreatif seperti
novel, puisi, komposisi musik dan karya-karya seni.44
Mitos, dalam kerangka Barthes konotasi identik dengan operasi ideologi,
yang disebut dengan mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.45
Jadi mitos memiliki tugas untuk memberikan sebuah justifikasi ilmiah kepada
kehendak sejarah, dan membuat kemungkinan tampak abadi.46
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis semiotika model Roland
Barthes, yang mengembangkan dua tingkatan penandaan yang disebut dengan
denotasi, konotasi dan mitos.47
Pada hakikatnya dari ketiga tokoh di atas sama-sama membahas tentang tanda
penanda. Akan tetapi, cara mereprentasikannya saja yang berbeda dengan
berbagai model dari masing-masing tokoh tersebut. Beberapa alasan peneliti
memilih konsep semiotika Roland Barthes. Pertama karya sastra lebih mudah
menggunakan model tersebut karna makna yang tersirat perlu ditafsirkan, kedua
43
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasustra, 2010),
hlm. 247. 44
Ibid., hlm. 43. 45
Ibid., hlm. 71. 46
Roland Barthes, Metiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), hlm. 208. 47
Parwito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 163.
43
karna konotasi pembentukan dalam mengartikan kretifitas seperti puisi, novel
musikal dan lain sebagainya, ketiga karena konsep Roland Barthes mengartikan
nilai-nilai budaya dalam lokal.
Untuk memperlihatkan hubungan antara kajian teoritis dalam penelitian ini
dengan analisis data pada Bab IV, maka dibuatlah definisi singkat istilah
penelitian yang dibutuhkan sesuai dengan rumusan masalah penelitian.
Pertama, semiotika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana tanda-tanda
itu diproduksi sehingga menghasilkan makna. Tanda-tanda itu dikolaborasikan
untuk memberikan makna yang di inginkan oleh pembuat tanda interpretannya.
Kedua , cara kerja semiotika Roland Barthes bertumpu pada tiga hal yaitu
makna denotasi, konotasi dan mitos. Makna denotasi adalah makna yang paling
nyata dari makna yang tersurat dalam novel Kuntul Nucuk Mbulan dalam bentuk
kalimat-kalimat yang menjelaskan dari makna tersurat tersebut. Sedangkan
konotasi, penelitian membuat interpretasi dari makna denotasi yang didasarkan
pada rumusan masalah yang dibuat oleh peneliti, sehingga konotasinya akan
mempresentasikan konsep Kuntul Nucuk Mbulan. Pada akhirnya peneliti akan
menemukan makna mitos yang terkandung dalam suatu makna tersirat dengan
mengkolaborasikan makna denotasi dan makna konotasinya. Dalam penelitian ini,
mitos merupakan wacana simbol Kuntul Nucuk Mbulan dan Sing Pendhitku
Ngusap Ing Mbun yang dipakai dalam novel tersebut.
44
Ketiga, representasi dalam penelitian ini adalah penggambaran suatu
wacana yang disampaiakan lewat media novel, sehingga dapat dirasakan dalam
bentuk fisik tertentu. Karena yang digunakan adalah media novel, maka
representasi terlingat dari rangkaian simbol-simbol yang diungkapkan dengan
karya sastra.
top related