bab ii landasan teori 2.1 2.1.1 pengertian...
Post on 05-Mar-2018
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Vandalisme
2.1.1 Pengertian Vandalisme.
Menurut Sarwono (2006) masa remaja merupakan periode yang penuh
gejolak emosi tekanan jiwa sehingga remaja mudah berperilaku menyimpang dari
aturan dan norma sosial yang berlaku dikalangan masyarakat.
Salah satu tugas perkembangan tersulit pada masa remaja adalah
menyesuaikan diri terhadap pengaruh lingkungan sosial seperti meningkatnya
pengaruh teman sebaya yang akan membentuk kelompok. Kelompok teman
sebaya memiliki aturan tertentu yang harus dipatuhi oleh remaja terhadap norma
dengan berperilaku sama dengan kelompok tersebut. Vandalisme biasanya
dilakukan oleh remaja sebagai penulisan identitas kelompok, penulisan nama
orang yang disukai, penulisan kata-kata jorok, pengungkapan rasa, dsb. Tujuan
dari vandalisme tersebut adalah agar nama kelompok atau individu dikenal oleh
masyarakat.
Menurut Lase (2003) vandalisme merupakan tindakan atau perbuatan
yang mengganggu atau merusak berbagai obyek fisik dan buatan, baik milik
pribadi (private properties) maupun fasilitas atau milik umum (public amenities).
Vandalisme umumnya yang ditemui adalah mencorat- coret dinding, jembatan,
halte bus, merusak fasilitas umum seperti telpon umum, bus, WC umum, taman,
dsb.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa vandalisme merupakan
tindakan atau perilaku yang mengganggu atau merusak berbagai obyek fisik
maupun buatan, baik milik pribadi maupun fasilitas milik umum, yang berakibat
pada rusaknya keindahan dan kelestarian alam.
2.1.2 Faktor Penyebab Vandalisme Di kalangan Remaja
Salah satu yang menjadi masalah lingkungan yang trend di kalangan
remaja adalah vandalisme terhadap lingkungan fisik dan buatan. Vandalisme
disamping berdampak terhadap kerusakan lingkungan fisik dan lingkungan
buatan, juga memiliki dampak terhadap estetika dan kebersihan lingkungan.
Lase (2003) mengemukakan ada dua faktor yang menjadi pemicu
timbulnya vandalisme, yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Kedua
lingkungan di atas memiliki karakteristik permasalahan yang berbeda-beda
terhadap perilaku vandalisme yang dikemukakan sebagai berikut:
1. Lingkungan keluarga
Masalah dalam lingkungan keluarga yang memicu terjadinya tindakan
vandalisme remaja terhadap lingkungan buatan, adalah:
a. Ketidakharmonisan dalam keluarga mengakibatkan remaja
mengekspresikan perasaannya melalui tindakan vandalisme.
b. Tempat tinggal berjauhan dari sekolah, sehingga sang anak harus
berpisah dengan orang tua dan tinggal di kos, atau rumah saudara.
Perilaku anak menjadi bebas dan kurang mendapat kontrol dari
orang tua yang masih lebih ditakuti para remaja.
c. Pola asuh keluarga yang terlalu ketat atau terlalu longgar. Hal ini
terjadi sebagai ekspresi kasih orang tua yang berwujud kasihan.
Sebaliknya ketakutan orang tua akan rusak/hilangnya masa depan
anaknya sehingga menerapkan disiplin yang berlebihan. Kedua
kondisi tersebut memiliki dampak yang sama terhadap anak.
d. Kurangnya pembinaan melalui jalur agama, khususnya tentang
lingkungan hidup sebagai ciptaan Tuhan yang harus dimanfaatkan,
dipelihara dan dilestarikan.
e. Pekerjaan orang tua (ayah dan ibu) juga memiliki pengaruh besar,
khususnya pekerjaan ibu. Kurangnya waktu ibu bersama anak-
anaknya berdampak pada perilaku anak.
f. Pendidikan orang tua (ayah dan ibu) juga memiliki pengaruh besar,
khususnya pendidikan ibu.
g. Kurangnya kebebasan anak mengekspresikan perasaannya dalam
lingkungan yang menjadi haknya, misalnya memiliki kamar
sendiri, memiliki ruang belajar sendiri, dan sebagainya barakibat
pada perilaku anak.
h. Kurangnya kesempatan bersama-sama dengan orang tua, misalnya
ibadah bersama, makan bersama dan sebagainya.
i. Tidak memiliki halaman rumah yang cukup untuk
mengekspresikan gejola pertumbuhan yang berdampak pada
tingkah laku.
2. Lingkungan sekolah
Masalah dalam lingkungan sekolah yang memicu terjadinya tindakan
vandalisme remaja terhadap lingkungan adalah:
a. Lepas kasih guru, artinya tidak mendapat perhatian dari guru dalam
proses belajar mengajar.
b. Ekspresi kejengkelan karena sering dipanggil guru, yang umumnya
berkaitan dengan tingkah laku negatif.
c. Sering berurusan dengan polisi dalam berbagai bentuk
permasalahan.
d. Tempat sekolah berpindah-pindah dengan berbagai alasan.
e. Banyaknya peluang untuk lepas setelah pulang sekolah, karena
sekolah pagi hari.
f. Senang buku eksak, umumnya mengindikasikan kemampuan
berfikir.
g. Senang buku komik, munculnya perilaku yang ditiru dari tokoh
yang diidolakan.
As’ad (2004) dalam artikel Mencermati Maraknya Vandalisme,
mengungkapkan bagi banyak remaja terutama yang haus kasih sayang dan
perhatian dari keluarga, teman sebaya merupakan orang yang paling dekat dengan
mereka. Teman sebaya sering dijadikan sandaran utama untuk mencurahkan
masalah yang sedang dihadapi, bertukar perasaan dan pengalaman. Kebersamaan
sehari-hari itulah yang menyebabkan teman sebaya mempunyai pengaruh besar
terhadap pembangunan nilai hidup bagi remaja, terutama dari segi tingkah laku
serta tindakan. Selain itu, remaja juga mudah terpengaruh dengan gaya hidup
negatif di kalangan teman sebaya seperti merokok, bolos sekolah, mencuri dan
juga vandalisme. Karena remaja butuh peran dalam masyarakat tetapi masyarakat
sering kurang memberikan peran yang berarti dan memberikan tempat bagi
remaja sehingga remaja menunjukkan hal-hal negatif untuk menujukkan bahwa
mereka ada. Mereka lari kepada teman yang kurang tepat dan bergabung dalam
suatu kelompok geng, dengan kelompok itulah mereka membuat suatu sikap
protes dengan melakukan hal yang kurang baik. Kalau misalnya mereka lari pada
suatu kelompok yang tepat contohnya kelompok musik maka mereka akan
melakukan hal yang baik dengan kelompok barunya tersebut.
2.1.3 Aspek-aspek Vandalisme Dalam Kehidupan Remaja
Lase (2003) mengungkapkan perilaku vandalisme yang tampak dalam
kehidupan remaja dapat dikelompokan sebagai berikut:
1. Aksi corat-coret (graffiti)
Corat-coret ini umumnya berobyekan tembok, jembatan, halte bis, bangunan,
telepon umum, wc umum dan sebagainya.
2. Memotong (cutting)
Memotong pohon, tanaman, kembang yang dijumpainya dengan berbagai
alasan.
3. Memetik (pluking)
Memetik kembang, daun dan buah tanaman orang lain tanpa alasan yang
berarti.
4. Mengambil (taking)
Barang, tanaman, aksesoris lingkungan dan sebagainya meskipun pada
hakekatnya tak bermakna untuk dimiliki, mungkin barang atau benda tersebut
terlalu besar, terlalu kuat, kurang keras, kurang dingin, terlalu aneh dan
sebagainya.
5. Merusak (destroying)
Merusak tatanan lingkungan yang sudah tersusun rapi misalnya mencongkel,
memindahkan, membuang sampah di sembarang tempat bahkan kencing di
depan rumah orang dan sebagainya.
Berbagai bentuk vandalisme yang dikelompokkan di atas, merupakan
ekspresi seseorang atau sekelompok orang dari apa yang dialaminya.
Pengalaman yang mengekspresikan tindakan vandalisme lebih kepada
kekecewaan, kebosanan, cemburu, loyalitas, iseng dan sebagainya. Dari lima
kelompok vandalisme tersebut di atas yang sering terjadi yaitu aksi corat-coret
atau grafiti.
Para vandalis itu, menurut As’ad (2004) memang saat ini belum begitu
terasa merugikan, namun mereka tetap harus ditangani sejak dini. Jika tidak, para
vandalis itu bukan tidak mungkin lambat laun akan melakukan aktivitas yang
merembet kearah kriminalitas. Mereka adalah anak-anak yang lapar peran dan
kepuasan emosional tidak mereka peroleh dari orangtuanya.
2.2 Konformitas
2.2.1 Pengertian Konformitas
Manusia mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar dapat
bertahan hidup. Cara yang termudah adalah melakukan tindakan sesuai dan
diterima secara sosial. Melakukan tindakan yang sesuai dengan norma sosial
dalam psikologi sosial disebut konformitas (Sarwono, 2006).
Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial dimana individu
mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial (Baron,
Branscombe, Byrne, 2008, dalam Sarwono, 2009).
Konformitas dapat timbul ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain.
Seseorang melakukan konformitas, disebabkan adanya ketakutan untuk tidak
diterima oleh kelompok, menghindari celaan, dan ketakutan dianggap
menyimpang.
Konformitas menurut Willis (dalam Sarwono 2008) adalah perilaku yang
murni adalah usaha terus menerus dari individu untuk selalu selaras dengan
norma-norma yang diharapkan oleh kelompok. Jika persepsi individu tentang
norma-norma kelompok(standar sosial) berubah, maka ia akan mengubah pula
tingkah lakunya.
Ada dua akibat yang dapat ditimbulkan karena perilaku konformitas yaitu
baik dan buruk.
Menurut Sears, dkk (1999) konformitas cenderung berkonotasi negatif.
Konformitas bergantung pada adanya orang yang selalu memperingatkan
timbulnya keyakinan dan kebiasaan yang bertentangan di antara orang-orang
disekitar. Kepatuhan terhadap otoritas akan sangat berhasil apabila pihak otoritas
tersebut hampir hadir secara fisik. Ganjaran atau hukuman akan berfungsi dengan
sangat baik bila ada orang yang senantiasa hadir untuk memberikan ganjaran.
Dengan adanya ganjaran ataupun ancaman seseorang akan melakukan apa saja
demi diakui oleh orang lain sebagai orang yang tidak menyimpang.
Penilaian perilaku konformitas positif dapat dilihat dari perilaku yang
ditampilkan oleh seseorang karena orang lain juga menampilkan perilaku tersebut
dan dinilai positif dilingkungan orang tersebut berada. Sedangkan penilaian
konformitas negatif dapat dilihat dari perilaku yang ditampilkan oleh seseorang
karena orang lain juga menampilkan perilaku tersebut dan dinilai negatif
dilingkungan orang tersebut berada.
Menurut Wall, dkk. (dalam Santrock, 2003) menyatakan bahwa konformitas
dengan tekanan teman sebaya pada masa remaja dapat bersifat positif ataupun
negatif. Bentuk perilaku konformitas negatif yaitu menggunakan bahasa jorok,
mencuri, merusak, dan mengolok-olok orang lain. Sedangkan bentuk konformitas
positif seperti berpakaian seperti teman-teman dan keinginan untuk meluangkan
waktu bersama kelompok. Konformitas negatif dalam penelitian Leventhal, dkk.
(dalam Santrock, 2003) yaitu remaja cenderung pergi bersama-sama dengan
seorang teman sebaya untuk mencuri dop mobil, menggambar grafitti di dinding,
atau mencuri kosmetik ditoko.
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi remaja melakukan konformitas
Pada dasarnya, orang menyesuaikan diri mempunyai alasan yang kuat.
Demikian juga dengan orang melakukan konformitas disebabkan oleh beberapa
alasan dan faktor-faktor. Seseorang yang melakukan konfomitas juga akan
berdampak negatif dan positif. Hal-hal yang mempengaruhi adanya konformitas
yang berdampak baik (positif) atupun buruk (negatif) menurut Sears, dkk. (1999)
adalah:
1. Kurangnya Informasi. Orang lain merupakan sumber informasi yang penting.
Seringkali orang lain mengetahui sesuatu yang tidak diketahui seseorang,
dengan melakukan apa yang orang lain lakukan, seseorang akan memperoleh
manfaat dari pengetahuan orang lain.
2. Kepercayaan terhadap kelompok. Dalam situasi konformitas, individu
mempunyai suatu pandangan dan kemudian menyadari bahwa kelompoknya
menganut pandangan yang bertentangan. Semakin besar kepercayaan individu
terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula
kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. Semakin tinggi
keahlian anggota dalam kelompok tersebut dalam hubungannya dengan
individu, semakin tinggi tingkat kepercayaan dan penghargaan individu
terhadap kelompok tersebut.
3. Kepercayaan diri yang lemah. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang
tersebut pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi.
Semakin lemah kepercayaan seseorang akan penilaiannya sendiri, semakin
tinggi tingkat konformitasnya. Sebaliknya, jika seseorang merasa yakin akan
kemampuannya sendiri akan penilaian terhadap sesuatu hal, semakin turun
tingkat konformitasnya
4. Rasa takut terhadap celaan sosial. Celaan sosial memberikan efek yang
signifikan terhadap sikap individu karena pada dasarnya setiap manusia
cenderung mengusahakan persetujuan dan menghindari celaan kelompok
dalam setiap tindakannya.
2.2.3 Hal-Hal Yang Menyebabkan Konformitas Tinggi Dan Rendah
Konformitas yang dilakukan seseorang dapat meningkat atau justru
menurun. Sears, dkk (1999) menjelaskan ada beberapa hal yang dapat
meningkatkan konformitas, seperti yang dijelaskan di bawah ini:
1. Kepercayaan terhadap kelompok. Bila individu memiliki kepercayaan terhadap
kelompok maka konformitas akan menjadi tinggi. Kepercayaan ini timbul
ketika individu menyakini bahwa informasi yang diberikan dari kelompok itu
benar, maka orang tersebut akan merasa memperoleh informasi yang
dibutuhkan. Dalam situasi ini, konformitas akan meningkat.
2. Keahlian kelompok. Tingkat keahlian individu dalam kelompok juga bisa
menyebabkan konformitas menjadi tinggi. Semakin tinggi keahlian kelompok
itu berhubungan dengan individu, semakin tinggi tingkat kepercayaan dan
penghargaan individu terhadap pendapat kelompok. Oleh karena itu,
kepercayaan individu terhadap pendapat orang lain yang lebih ahli dapat
menyebabkan konformitas yang tinggi.
3. Kepercayaan diri yang lemah dalam diri individu. Semakin sulit individu
memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri, berarti semakin besar individu
untuk mengikuti penilainan dari orang lain. Dengan demikian individu
mengikuti penilaian orang lain dan dapat mengakibatkan konformitas
meningkat.
4. Keterikatan individu terhadap kelompok. Konformitas dapat meningkat ketika
individu melakukan cara untuk memperoleh persetujuan atau menghindari
celaan kelompok. Untuk menghindari celaan, individu berusaha menyesuaikan
diri agar dapat diterima kelompok. Dalam usaha tersebut individu akan dapat
meningkatkan konformitas. Konformitas juga akan semakin meningkat ketika
individu enggan disebut menyimpang menurut kelompok. Ketika individu
memandang bahwa kegiatan yang dilakukan suatu kelompok dapat
memperoleh keuntungan bagi orang tersebut, maka konformitas akan tinggi.
5. Kekompakan. Kekompakan yang tinggi antara anggota kelompok dapat
meningkatkan konformitas.
6. Perhatian terhadap kelompok. Semakin tinggi perhatian seseorang terhadap
kelompok juga dapat meningkatkan konformitas.
7. Ukuran Kelompok. Konformitas akan meningkat apabila ukuran dalam
kelompok juga meningkat. Ukuran kelompok yang optimal adalah tiga atau
empat orang atau lebih.
Konformitas juga dapat menurun atau menjadi rendah. Sears, dkk. (1999)
menjelaskan terdapat hal-hal yang dapat menurunkan konformitas, seperti yang
dijelaskan dibawah ini:
1. Meningkatnya rasa percaya diri individu terhadap pendapat sendiri. Sesuatu
yang dapat meningkatkan kepercayaan individu terhadap penilainannya sendiri
akan menurunkan konformitas. Individu yang percaya diri tentu akan
memberikan pendapat berdasarkan keinginannya bukan mengikuti pendapat
orang lain. Dengan demikian konformitas akan menurun.
2. Individu menguasai persoalan. Konformitas akan menjadi turun ketika individu
dapat menguasai persoalan tanpa mengantungkan dirinya kepada orang lain.
3. Perbedaan pendapat. Bila seseorang dalam situasi kelompok berbeda pendapat
dengan orang lain dalam kelompok maka konformitas akan menurun.
2.2.4 Aspek-Aspek Dalam Konformitas
Salah satu sebab seseorang melakukan konformitas adalah kurangnya rasa
kepercayaan diri terhadap pendapat sendiri dan rasa takut menjadi orang yang
menyimpang, akibatnya seseorang rela melakukan apa saja demi diakui oleh
kelompok. Kekuatan kedua motif tersebut mudah terlihat dengan ciri-ciri yang
khas.
Sears, dkk. (1999) mengemukakan secara eksplisit bahwa konformitas
remaja ditandai dengan adanya tiga hal yang dapat menyebabkan konformitas
menjadi berdampak baik (positif) ataupun buruk (negatif) adalah sebagai berikut :
a. Kekompakan
Kekuatan yang dimiliki kelompok acuan menyebabkan remaja tertarik dan
ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan remaja dengan
kelompok acuan disebabkan perasaan suka antara anggota kelompok serta
harapan memperoleh manfaat dari keanggotaannya. Semakin besar rasa suka
anggota yang satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan
untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok, serta semakin besar
kesetiaan mereka, maka akan semakin kompak kelompok tersebut dan
konformitas akan menjadi tinggi. Kekompakan dipengaruhi oleh hal-hal
dibawah ini:
1) Penyesuaian Diri
Kekompakan yang tinggi menimbulkan tingkat konformitas yang semakin
tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila orang merasa dekat dengan anggota
kelompok lain, akan semakin menyenangkan bagi orang lain untuk mengakui
orang tersebut dalam kelompok, dan semakin menyakitkan bila orang lain
mencela. Kemungkinan untuk menyesuaikan diri akan semakin besar bila
seseorang mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota sebuah
kelompok tertentu.
2) Perhatian terhadap Kelompok
Peningkatan koformitas terjadi karena anggotanya enggan disebut sebagai
orang yang menyimpang. Penyimpangan menimbulkan resiko ditolak. Orang
yang terlalu sering menyimpang pada saat-saat yang penting diperlukan, tidak
menyenangkan, dan bahkan bisa dikeluarkan dari kelompok. Semakin tinggi
perhatian seseorang dalam kelompok semakin serius tingkat rasa takutnya
terhadap penolakan, dan semakin kecil kemungkinan untuk tidak menyetujui
kelompok.
b. Kesepakatan
Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat sehingga
remaja harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat kelompok.
Kesepakatan dipengaruhi hal-hal dibawah ini:
1) Kepercayaan
Penurunan melakukan konformitas yang drastis karena hancurnya
kesepakatan disebabkan oleh faktor kepercayaan. Tingkat kepercayaan
terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat, meskipun
orang yang berbeda pendapat itu sebenarnya kurang ahli bila dibandingkan
anggota lain yang membentuk mayoritas. Bila seseorang sudah tidak
mempunyai kepercayaan terhadap pendapat kelompok, maka hal ini dapat
mengurangi ketergantungan individu terhadap kelompok sebagai sebuah
kesepakatan.
2) Persamaan Pendapat
Bila dalam suatu kelompok terdapat satu orang saja tidak sependapat
dengan anggota kelompok yang lain maka konformitas akan turun. Kehadiran
orang yang tidak sependapat tersebut menunjukkan terjadinya perbedaan yang
dapat berakibat pada berkurangnya kesepakatan kelompok. Jadi, dengan
persamaan pendapat antar anggota kelompok maka konformitas akan semakin
tinggi.
3) Penyimpangan terhadap pendapat kelompok
Bila orang mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang lain, maka
akan dikucilkan dan dipandang sebagai orang yang menyimpang, baik dalam
pandangannya sendiri maupun dalam pandangan orang lain. orang yang
menyimpang akan menyebabkan penurunan kesepakatan yang merupakan
aspek penting dalam melakukan konformitas.
c. Ketaatan
Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja membuatnya rela
melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkannya. Bila
ketaatannya tinggi maka konformitasnya akan tinggi juga. Ketaatan
dipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini:
1) Tekanan karena Ganjaran, Ancaman, atau Hukuman
Salah satu cara untuk menimbulkan ketaatan adalah dengan meningkatkan
tekanan terhadap individu untuk menampilkan perilaku yang diinginkan
melalui ganjaran, ancaman, atau hukuman karena akan menimbulkan ketaatan
yang semakin besar. Semua itu merupakan insentif pokok untuk mengubah
perilaku seseorang.
2) Harapan Orang Lain
Seseorang akan rela memenuhi permintaan orang lain hanya karena orang
lain tersebut mengharapkannya. Dan ini akan mudah dilihat bila permintaan
diajukan secara langsung. Harapan-harapan orang lain dapat menimbulkan
ketaatan, bahkan meskipun harapan itu bersifat implisit. Salah satu cara untuk
memaksimalkan ketaatan adalah dengan menempatkan individu dalam situasi
yang terkendali, dimana segala sesuatunya diatur sedemikian rupa sehingga
ketidaktaatan merupakan hal yang hampir tidak mungkin timbul.
2.3 Hubungan Konformitas negatif dengan vandalisme
Konformitas muncul ketika individu meniru sikap/ tingkah laku orang lain
dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka. Tekanan
untuk mengikuti teman sebaya menjadi sangat kuat pada masa remaja.
Konformitas terhadap tekanan teman sebaya pada remaja dapat menjadi
positif atau negatif. (Wall, 1993 dalam Santrock, 2003). Remaja terlibat dengan
tingkah laku sebagai akibat dari konformitas yang negatif menggunakan bahasa
yang asal-asalan, mencuri, merusak (vandalisme) dan mempermainkan orang tua
dan guru.
Konformitas positif akan melahirkan perilaku positif dan konformitas
negatif akan melahirkan perilaku vandalisme. Semakin tinggi konformitas negatif
maka akan semakin tinggi pula perilaku vandalisme dan sebaliknya, bila tingkat
konformitas negatif semakin rendah maka perilaku vandalisme juga akan semakin
rendah.
2.4 Penelitian Yang Relevan
Menurut penelitian Carolina Dwi Rahayu (2008) tentang hubungan antara
kematangan emosi dan konformitas dengan perilaku agresif pada suporter
sepakbola yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
konformitas negatif dengan perilaku agresif dengan hasil = 0,729 dan P ≤ 0,01.
Menurut penelitian Sugunah Ramamoorthy (2005) tentang hubungan
konformitas remaja putra dengan perilaku agresif siswa SMK Negeri Medan
tahun ajaran 2004/2005 yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara
konformitas dengan perilaku agresif.
Menurut penelitian Kadek Reqno Astyka Putri tentang hubungan antara
identitas sosial dan konformitas dengan perilaku agresi pada suporter sepakbola
persisam putra Samarinda yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara konformitas dengan perilaku agresi dengan nilai P = 0,423
(P>0,05).
2.5 Hipotesis
Ada hubungan yang signifikan antara konformitas negatif dengan
vandalisme siswa di SMA Negeri 1 Ampel Kabupaten Boyolali.
top related