bab ii kerangka teoritis a. pemahaman...
Post on 15-Mar-2019
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. PEMAHAMAN KONFLIK
Konflik yang di latarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam
suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa
sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam
setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar
anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan
Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan
menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Menurut Webster (1996), istilah “conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu
“perkelahian, peperangan, atau perjuangan”, yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa
pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang
tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide dan lain-lain”. Dengan kata lain, istilah
tersebut sekarang juga menyentuh apsek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi,
selain konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat, istilah “conflict” menjadi begitu meluas
sehingga berisiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.
Meskipun sejak zaman dahulu kala orang telah tertarik untuk meneliti mengenai
konflik, abad kesembilan belas telah membuat gebrakan yang dramatis dan enerjik, yang
dampaknya masih dapat dirasakan sampai sekarang. Charles Darwin tertarik mengenai
perjuangan yang dilakukan suatu spesies untuk tetap bertahan hidup (“survival of the fittest”).
Sigmund Freud mempelajari tentang perang antar berbagai kekuatan psikodinamika untuk
mengontrol Ego yang terjadi dalam diri seseorang.1 Orang pada umumnya mampu bergaul
dengan baik dengan orang-orang, kelompok, maupun organisasi lain, pergaulan itu mereka
lakukan dengan penuh perhatian, kemauan untuk membantu, dan keterampilan sedemikian rupa
sehingga hanya sedikit terjadi konflik didalamnya.
Dengan demikian apabila, konflik itu memang terjadi, maka lebih sering konflik itu
dapat diatasi daripada tidak, bahkan dapat diselesaikan dengan sedikit masalah dan dapat
memuaskan semua pihak. Dengan menarik kesimpulan dari hasil-hasil pemikiran pemikir abad
kesembilan belas, bahwa konflik selalu bersifat merusak, sebenarnya kita kehilangan inti dari
hasil kerja mereka.
Adapun penyebab dari konflik yang terjadi dalam masyarakat, yaitu melihat penyebab
konflik yang berada dalam "kontradiksi" atau "benturan kepentingan." Dalam teori dialektis
seperti itu, karena bawahan menjadi sadar akan kepentingan mereka, mereka mengejar konflik,
maka tugas teoritis yang utama adalah menentukan kondisi yang meningkatkan kesadaran
dalam lapisan di masyarakat. Tapi Coser berpendapat bahwa benturan kepentingan hanya
mungkin diekspos hanya setelah kaum tertolak mencabut keabsahan. Coser menekankan bahwa
tatanan sosial dipertahankan oleh beberapa tingkatan konsensus dari pengaturan sosial budaya
yang ada dan bahwa "gangguan" melalui konflik terjadi hanya ketika kondisi mengurangi
konsensus ini.2
B. TEORI KONFLIK DAN SOLIDARITAS
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi
melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya
konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.Teori
ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas
1 Dean G. Pruit & Jeffrey Z. Rubin Teori Konflik Sosial 2009 Pustaka Pelajar Offset, page 9
2 Ibid
dalam masyarakat. Konflik antara suatu kelompok dengan kelompok lain dapat menyebabkan
solidaritas anggota kelompok dan integrasi meningkat, dan berusaha agar anggota-anggota
jangan sampai pecah. Akan tetapi, tidaklah demikian halnya apabila suatu kelompok tidak lagi
merasa terancam oleh kelompok lain maka solidaritas kelompok akan mengendor, dan gejala
kemungkinannya adanya perbedaan dalam kelompok akan tampak. Di sisi lain, apabila suatu
kelompok selalu mendapat ancaman dari kelompok lain maka dapat menyebabkan tumbuh dan
meningkatnya solidaritas anggota-anggota kelompok.3
Sama juga seperti Lewis A. Coser ,Simmel melihat konflik ada di mana-mana dan
menjadikannya sebagai pokok analisa formal. Dalam esainya yang paling terkenal tentang
konflik, Simmel mencurahkan banyak upaya untuk menganalisis konsekuensi positif dari
konflik sebagai pemeliharaan keutuhan sosial dan subunit mereka. Simmel juga mengakui
bahwa masyarakat yang terlalu kooperatif, konsensual, dan terpadu akan menunjukkan “tidak
adanya proses kehidupan”, tetapi analisanya tentang konflik masih mengarah pada bagaimana
konflik mengarahkan pada solidaritas dan persatuan. Tidak seperti Marx yang melihat konflik
pasti berakhir menjadi kekerasan, revolusioner dan menyebabkan perubahan struktural dari
suatu sistem, Simmel menganalisis fenomena yang bertentangan dengan konflik yang tidak
terlalu intens dan keras yang mengarahkan pada perubahan kearah yang lebih kompak,
terintegrasi dan teratur.
Simmel juga menekankan bahwa konflik merupakan hasil dorongan emosional.
Dorongan tersebut sangat mungkin timbul ketika kelompok-kelompok konflik memiliki
solidaritas internal yang besar. Simmel mengindikasikan bahwa bersamaan dengan dorongan
emosional, sampai pada suatu taraf para anggota melihat konflik melebihi tujuan dan
kepentingan pribadi mereka yang lalu meningkatkan kemungkinan terjadinya konflik yang
hebat. 4Simmel berpendapat bahwa semakin jelas kepentingan pihak yang berkonflik
3 Coser A Lewis The Function of Social Conflict, New York 1956 free press Page 151-210 4 Jonathan H Turner “The Structure of Socioogical Theory” University of California page 158
disampaikan, semakin jelas dan terfokuslah tujuan mereka; dengan tujuan yang jelas
tersampaikan, metode yang tidak agresif seperti tawar-menawar dan kompromi, lebih mungkin
untuk tujuan spesifik dari kelompok tersebut terpenuhi. Dengan demikian bagi Simmel,
kesadaran kepentingan bersama, dalam kondisi yang tidak ditentukan, menciptakan konflik
instrumental dan tanpa kekerasan, proposisi Simmel lebih akurat dibandingkan prediksi Marx;
kekerasan sering menyertai perselisihan pekerja dan pimpinan di awal terbentuknya serikat,
ketika kepentingan dan tujuan tidak tersampaikan dengan baik. Seiring tersampaikannya
kepentingan, konflik yang keras mulai tergantikan oleh bentuk-bentuk negosiasi sosial yang
lebih damai.
Simmel berpendapat bahwa konflik yang berintensitas rendah dan berfrekuensi tinggi
dalam sistem saling ketergantungan yang tinggi tidak selalu memperkuat atau menyebabkan
perubahan sosial yang radikal. Sebaliknya, konflik-konflik tersebut melepaskan ketegangan dan
menjadi aturan normatif, yang mana menggalakan stabilitas sistem sosial. Lebih jauh, dengan
meningkatnya pengaturan pada kelompok-kelompok yang saling bertentangan, dan
pembentukan koalisi antara kelompok-kelompok konflik, kekerasan akan menurun seiring
tersampaikannya tujuan mereka dengan lebih baik. Konsekuensi pengaturan dan penyampaian
kepentingan tersebut akan menjadi ketentuan yang lebih besar untuk meringankan konflik yang
melibatkan persaingan, tawar-menawar, dan kompromi.5
1. Konflik dan Solidaritas Kelompok
Menurut Lewis A. Coser dinyatakan bahwa konflik internal menguntungkan kelompok
secara positif. Ia menyadari bahwa dalam relasi-relasi social terkandung antagonisme,
ketegangan atau perasan-perasan negative termasuk untuk relasi-relasi kelompok dalam, (in
group) yang di dalamnya terkandung relasi-relasi intim yang lebih bersifat parsial. Perlu
diketahui bahwa semakin dekat hubungan akan semakin sulit rasa permusuhan itu
diungkapkan. Akan tetapi semakin lama perasaan ditekan maka mengungkapkan untuk
5 Ibid, 162
mempertahankan hubungan itu sendiri. Mengapa demikian? Karena dalam suatu hubungan
yang intim, keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlihat sehingga, pada saat konflik
meledak, mungkin akan sangat keras.
Konflik akan senantiasa ada sejauh masyarakat itu masih mempunyai dinamikanya.
Adapun yang menyebabkan timbulnya konflik, yaitu karena adanya perbedaan-perbedaan,
apakah itu perbedaan kemampuan, tujuan, kepentingan, paham, nilai, dan norma. Di samping
itu, konflik juga akan terjadi apabila para anggota kelompok dalam (in group) terdapat
perbedaan. Akan tetapi, tidak demikian halnya apabila para anggota kelompok dalam (in group)
mempunyai kesamaan-kesamaan. Perbedaan-perbedaan antara para anggota di dalam kelompok
(in group) tersebut dapat pula disebabkan oleh adanya perbedaan pengertian mengenai konflik,
karena konflik itu bersifat negative dan merusak integrasi. Akan tetapi, ada pula pengertian dari
anggota kelompok dalam (in group) bahwa karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan
maka konflik akan tetap ada. Perlu diketahui bahwa suatu kelompok yang sering terlibat dalam
suatu konflik terbuka, hal tersebut sesungguhnya memiliki solidaritas yang lebih besar jika
dibandingkan dengan kelompok yang tidak terlibat konflik sama sekali.6
a. Konflik Realistis
Konflik Realistis ini berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi
dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang
ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok
kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
b. Konflik Non Realistis
Konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari
kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan
dalam masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti
teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan
6 Ibid,
pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya
menjadi lawan mereka.
Ketika konflik tidak-realistis, konflik akan menjadi kasar. Ketidak-realistisan tersebut
sangat mungkin ketika konflik menyinggung nilai-nilai inti, yang secara emosional
menggerakkan partisipan dan membuat mereka tidak mau berkompromi. Selain itu, jika konflik
bertahan untuk jangka waktu yang lama, konflik menjadi semakin tidak realistis karena pihak-
pihaknya menjadi terlibat secara emosional, seperti ideologi menjadi dikodifikasikan, dan
seperti "musuh" digambarkan dalam istilah yang semakin negative.
Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka
pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan.
Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang
yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang
mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti
misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. 7 Hal ini tidak
selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan
membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut.
Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan
yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya
dalam pandangan negatif saja, perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat
memperkuat struktur social. 8 Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan
konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.
C. SUMBER-SUMBER KONFLIK
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan
7 Lewis Coser, 1967. Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free Press. 8 Ibid
perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan
sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab
dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.
Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap
warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang
merasa terhibur.
Dengan mencermati berbagai anteseden konflik, kita harus mendefinisikan konsep
konflik secara lebih tepat. Menurut definisi kami, konflik adalah presepsi mengenai perbedaan
kepentingan (perceived divergence of interest). Tetapi apa yang dimaksud dengan
kepentingan?, istilah “kepentingan”, atau orang lain sementara ini menggunakan “nilai-nilai”
(values) atau “kebutuhan” (needs). Kepentingan adalah perasaan orang mengenai apa yang
sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan
seseorang.9 Ada beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk mendeskrisipkan kepentingan.
Beberapa kepentingan bersifat universal (seperti kebutuhan akan rasa aman, identitas, “restu
social”/ sosical approval). Suatu konflik dapat terjadi hanya karena salah satu pihak dalam
masyarakat memiliki aspirasi tinggi atau karena alternative yang bersifat integrative dinilai sulit
didapat. Ketika konflik semacam itu terjadi, maka ia akan semakin mendalam bila aspirasi
sendiri atau aspirasi pihak lain bersifat kaku dan menetap.10
Sebuah pertentangan dalam masyarakat dapat menyebabkan terjadinya suatu konflik
dan perubahan social kebudayaan, dan pertentangan-pertentangan yang terjadi tersebut di
antara individu dengan kelompok atau perantara kelompok dengan kelompok. Umumnya
masyarakat tradisional di Indonesia bersifat kolektif dalam artian segala kegiatan didasarkan
pada kepentingan masyarakat. Kepentingan individu walaupun diakui, tetap mempunyai fungsi
social, tidak jarang timbul pertentangan antara kepentingan individu dengan kepentingan
9 Dean G. Pruit & Jeffrey Z. Rubin Teori Konflik Sosial 2009 Pustaka Pelajar Offset
10 Ibid
kelompoknya, yang dalam hal-hal tertentu dapat menimbulkan perubahan-perubahan. Konflik
yang terjadi antar kelompok mungkin bisa melibatkan antara generasi tua dengan generasi
muda. Konflik yang seperti itu kerap kali terjadi, apalagi pada masyarakat yang sedang
berkembang dari tahap tradisional ke tahap modern, dan generasi mda yang belum terbentuk
kepribadiaanya lebih mudah menerima unsur-unsur kebudayaan.
Keadaan yang demikian menimbulkan suatu konflik dan perubahan-perubahan tertentu
dalam masyarakat, misalnya pergaulan yang lebih bebas antara wanita dan pria, atau
kedudukan mereka yang kian sederajat di dalam masyarakat dan lain-lainnya. 11
dan berikut
adalah salah satu bagian dari sumber terjadi suatu konflik dalam masyarakat.
1. Perbedaan Latar belakang kebudayaan
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian
kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan
perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
2. Perbedaan Kepentingan antara individu atau kelompok
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki
kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi
untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal
pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang
menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para
petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk
membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian
kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta
lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas
11 Prof Dr soerjono Soekanto & Dra Budi Sulistyowati, MA “Sosiologi suatu Pengantar” PT. Raja Grafindo
Persada-Jakarta 2013
terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga
akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini
dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, social, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi
antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok
buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para
buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan
yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
3. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik
sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang
mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional
yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotong royongan berganti menjadi nilai kontrak
kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan
bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-
nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu
yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja
dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau
mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi
upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan
kehidupan masyarakat yang telah ada.12
12 Margaret. M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
D. FUNGSI-FUNGSI SEBUAH KONFLIK
Konflik merupakan suatu fenomena kemasyarkatan yang senantiasa ada dalam
kehidupan bersama. Sebenarnya konflik tidak perlu dilenyapkan, akan tetapi konflik perlu
dikendalikan dalam masyarakat, dan konflik akan senantiasa ada di dalam masyarakat hal
tersebut karena dalam masyarakat itu terdapat otoritas. Hal tersebut mengartikan bahwa apabila
di suatu pihak bertambah otoritasnya maka di pihak lain akan berkurang otoritasnya. Selain itu
juga karena adanya perbedaan kepentingan antara kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Konsep "fungsi" menyajikan beberapa masalah. Jika beberapa proses atau struktur
memiliki fungsi untuk beberapa fitur lain dalam sistem, sering ada asumsi implisit tentang apa
yang baik dan buruk bagi sebuah sistem. Jika evaluasi implisit ini tidak operatif, bagaimana
kita menilai kapan sebuah item itu berfungsi atau tidak berfungsi ? Bahkan konsep yang
tampaknya netral, seperti kelangsungan hidup atau adaptasi, hanya menutupi evaluasi implisit
yang berlangsung. Sosiolog biasanya tidak dalam posisi untuk menentukan apa arti
kelangsungan hidup dan adaptasi. Untuk mengatakan bahwa sebuah item memiliki
kelangsungan hidup dan adaptasi lebih. Untuk mengatakan bahwa sebuah item memiliki nilai
kelangsungan hidup lebih atau meningkatkan adaptasi sering menjadi cara untuk menutupi
evaluasi atas apa yang "baik."
Masalah ini ada di proposisi Coser tentang fungsi konflik. Konflik itu baik ketika
mempromosikan integrasi berdasarkan solidaritas, kewenangan yang jelas, ketergantungan
fungsional, dan kontrol normatif. Dalam istilah Coser, itu lebih adaptif. Teoris konflik lainnya
mungkin berpendapat bahwa konflik di sistem tersebut buruk karena integrasi dan kemampuan
beradaptasi dalam konteks yang spesifik ini bisa menjadi eksploitatif. Meskipun demikian,
Coser membagi analisisnya mengenai fungsi konflik sepanjang garis yang serupa dengan milik
Simmel: fungsi konflik untuk (1) masing-masing pihak yang terlibat konflik, dan (2) seluruh
sistematis di mana konflik terjadi.13
Konflik dapat dikendalikan apabila kelompok yang terlibat dalam konflik dapat
menyadari adanya konflik, dan perlu dilaksanakannya prinsip-prinsip keadilan. Di samping itu
juga harus terorganisasi secara baik terutama yang menyangkut semua kekuatan social yang
bertentangan. Dalam hal ini, apabila upaya pengendalian konflik itu tidak dilakukan maka
konflik yang tertekan tidak tampak di permukaan dan dapat meledak sewaktu-waktu dan
mengakibatkan suatu tindakan kekerasan. Konflik yang tertekan dapat menyebabkan putusnya
hubungan tersebut dan dapat meledak secara tiba-tiba.
1. Fungsi Positif sebuah Konflik
Konflik bisa dijadikan suatu proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,
penyatuan dan pemeliharaan struktur social.
Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih dari suatu
kelompok atau komunitas.
Konflik yang berhubungan dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas
kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia social yang ada di
sekelilingnya.
Adanya katup penyelamat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan,
yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan
semakin menajam. Katup penyelamat ( safety-value) disini mengartikan bahwa salah
satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok sari
kemungkinan konflik social. Katup penyelamat ini juga merupakan sebuah institusi
pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah system atau struktur.
13 Jonathan H Turner “The Structure of Socioogical Theory” University of California page 171
Menurut Simmel Konflik meningkatkan pembentukan batas-batas kelompok yang jelas,
pemusatan otoritas, pengontrolan penyimpangan dan perbedaan pendapat, dan
peningkatan solidaritas sosial dalam partai-partai yang terlibat konflik.
Konflik adalah persemian yang subur bagi terjadinya perubahan social. Dan juga
konflik social dapat memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan.
Kebanyakan konflik tidak berakhir dengan kemenangan di salah satu pihak dan
kekalahan di pihak lainnya. Sebaliknya, beberapa sintesis dari posisi kedua belah pihak
yang bertikai beberapa diantaranya berupa kesepakatan yang bersifat integrative yang
menguntungkan kedua belah pihak dan memberikan manfaat kolektif yang lebih besar
bagi para anggotanya sering kali terjadi. Bila pihak serikat buruh dan pihak manajemen,
pihak Mesir dan Israel, pihak Bagian Penjualan dan Bagian Produksi, atau kedua bocah
yang mempertengkarkan sebuah sepeda mampu mencapai rekonsiliasi atas kepentingan
masing-masing, maka mereka akan memperoleh keuntungan bagi mereka sendiri dan,
secara tidak langsung, bagi organisasi yang lebih besar, masyarakat dunia, atau
masyarakat di mana mereka menjadi anggotanya. Bila di dalam sebuah usaha untuk
menghindari konflik mereka tidak dibenarkan untuk saling mengklaim, maka
rekonsiliasi damai semacam itu kadangkala mungkin terjadi. Dalam pengertian ini,
konflik dapat dianggap sebagai sebuah kekuatan kreatif.14
Konflik dapat mempererat persatuan kelompok (in group). Tanpa adanya kapasitas
perubahan social atau rekonsiliasi atas kepentingan individual yan berbeda, maka
solidaritas kelompok tampaknya akan merosot, dengan membawa serta efektivitas
kelompok dan kenikmatan pengalaman berkelompok (Coser 1956). Hasil akhirnya
sering kali berupa disintegrasi kelompok. Tanpa konflik, kelompok akan seperti
pasangan suami-istri di dalam film Ingmar Bergman Couples , yang gagal mengenali
14 Dean G. Pruit & Jeffrey Z. Rubin Teori Konflik Sosial 2009 Pustaka Pelajar Offset page 14-15
dan menghadapi masalah-masalah yang dijumpai dalam perkawinan mereka sehingga
pada akhirnya berpisah, karena masing-masing merasa tidak memperbolehkan apa-apa
dari hubungan perkawinannya.15
E. MUNCULNYA KSEPAKATAN DAN NORMA BARU
Masyarakat dan kelompok-kelompok yag ada di dalamnya secara konstan
mengembangkan berbagai aturan untuk mengatur perilaku para anggotanya. Aturan yang lebih
meluas dan berlaku lebih lama disebut norma. Fungsi utama aturan-aturan tersebut adalah
untuk mengantisipasi aspirasi pihak-pihak oposan sehingga mengurangi kemungkinan
terjadinya konflik (Thibaut dan Kelley, 1959). Sebagai contoh adalah norma mengenai
pencurian. Bila aturan untuk itu tdak ada, maka konflik akan sangat sering terjadi sering terjadi
sehingga masyarakat tidak akan dapat berfungsi dengan baik. Contoh lain yang lebih ringan
adalah aturan mengenai upah minimum. Dengan menentukan suatu tingkat upah bagi
pekerjaan-pekerjaanya yang bersifat rutin, maka aspirasi pekerja maupun majikan dapat
dibatasi sedemikian rupa sehingga mengurangi resiko terjadinya konflik di antara mereka.16
Sebuah fungsi serupa yang dimainkan berdasarkan aturan, yang menjadi resep banyak
keluarga, adalah salah seorang di antara pasangan suami-istri bertugas memasak, sementara
pasangannya bertugas menghidangkan. Norma relevan dengan konflik karena norma
menetapkan hasil yang berhak diterima oleh seseorang sehingga juga menentukan aspirasi apa
yang menjadi haknya. (Ini adalah konsideransi yang idealistis). Ketika aspirasi yang dianggap
sesuai dengan hak seseorang dianggap tidak kompatibel dengan tujuan pihak lain, maka
hasilnya sering kali cukup eksplosif.
Dari hal tersebut menyiratkan bahwa konflik biasanya terjadi ketika norma social dalam
keadaan lemah atau sedang mengalami perubahan. Pada saat-saat semacam itu orang akan
15
ibid 16
ibid 31
cenderung membentuk cara-pandang yang bersifat idiosyncratic mengenai hak-haknya, cara-
pandang yang tidak cocok dengan cara pandang yang dibentuk oleh orang lain. Masalah yang
dialami dalam hubungan suami-istri yang banyak terjadi saat ini bisa menjadi contoh dalam hal
ini.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketika konflik terjadi, maka setelah konflik tersebut
dapat diatasi oleh kedua kelompok yang berkonflik aka nada sebuah norma baru yang tercipta
agar konflik tidak terulang lagi, dan norma tersebut tecipta dari hasil sebuah kesepakatan
bersama.
F. DAMPAK SEBUAH KONFLIK
Dalam kehidupan masyarakat majemuk sering terjadi pertentangan antara satu aspek
dengan aspek lainnya. sumber potensi konflik yang rentan terjadi dalam kehidupan masyarakat
Indonesia adalah agama, ras, dan suku bangsa. Dan setiap konflik yang terjadi dalam
masyarakat akan membawa dampak, baik dampak secara langsung maupun tidak langsung.
1. Dampak Secara Langsung
Menimbulkan keretakan hubungan antara individu atau kelompok dengan individu atau
kelompok lainnya.
Adanya perubahan kepribadian seseorang seperti selalu memunculkan rasa curiga, rasa
benci, dan akhirnya dapat berubah menjadi tindakan kekerasan.
Hancurnya harta benda dan korban jiwa, jika konflik benrubah menjadi tindakan
kekerasan.
Kemiskinan bertambah akibat tidak kondusifnya keamanan
Hancurnya harta benda dan korban jiwa, jika konflik benrubah menjadi tindakan
kekerasan.
Pendidikan formal dan informal terhambat karena rusaknya sarana dan prasarana
pendidikan.
2. Dampak Tidak Langsung
Dampak tidak langsung merupakan dampak yang dirasakan oleh orang-orang yang
tidak terlibat langsung dalam sebuah konflik ataupun dampak jangka panjang dari suatu konflik
yang tidak secara langsung dirasakan oleh pihak-pihak yang berkonflik. Misalnya agresi militer
Israel yang dilakukan kepada para pejuang Hizbullah di Lebanon akan membawa dampak pada
kenaikan harga minyak dunia yang akan merembet pada kenaikan harga-harga barang di
pasaran.17
Dengan hal ini semakin membuktikan bahwa dampak dari suatu konflik tidak hanya
mengakibatkan kekerasan semata, akan tetapi konflik juga berdampak bagi perubahan social ,
namun tidak hanya perubahan social saja yang terjadi, akan tetapi jua perubahan pada pribadi
diri individu dan juga menyebabkan dominasi kelompok pemenang. Konflik dapat
menimbulkan keretakan hubungan antara individu dan kelompok. Konflik menyebabkan
rusaknya berbagai harta benda dan jatuhnya korban jiwa sehingga konflik menyebabkan
adanya perubahan kepribadian.
17 Soerjono soekamto 2007, “Sosiologi Suatu Pengantar”, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
top related