bab ii kajian teori 2.1 komunikasi massa -...
Post on 18-Feb-2018
213 Views
Preview:
TRANSCRIPT
16
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Komunikasi Massa:
Di antara berbagai macam level komunikasi yang telah diuraikan oleh
para ahli, komunikasi massa memberikan kontribusi yang besar dalam
perkembangan Ilmu Komunikasi, hal tersebut disebabkan oleh, beberapa
keunggulannya yang dapat menjangkau khalayak dalam jumlah besar, dan
sekaligus menjadi kontrol sosial bagi masyarakat, dengan menyebarkan ide ide
baru. Berikut ini adalah beberapa ciri yang membedakan komunikasi massa
dengan level komunikasi yang lain (Nurudin 2008:19-31) :
a) Komunikator dalam komunikasi massa melembaga, yang artinya
gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam
sebuah lembaga yang menyerupai sebuah sistem. Adapun pengertian
sistem yang merujuk pada “Sekelompok orang, pedoman, dan media
yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan, menuangkan ide,
gagasan, simbol, lambang menjadi pesan dalam membuat kesepakatan
dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi
sumber informasi”.
b) Komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen atau beragam,
yang berarti terdiri dari beragam pendidikan, umur, jenis kelamin, status
sosial ekonomi, memiliki jabatan yang beragam, serta memiliki agama
dan kepercayaan yang berbeda.
c) Pesannya bersifat umum, yang memiliki arti pesan pesan dalam
komunikasi massa tidak ditujukan kepada satu orang atau kelompok
masyarakat tertentu. Dengan kata lain, pesan pesannya ditujukan pada
khalayak yang plural.
d) Komunikasinya berlangsung satu arah, yang merujuk pada khalayak yang
tidak bisa langsung memberikan respons kepada komunikatornya (media
massa yang bersangkutan). Kalaupun bisa sifatnya tertunda.
17
e) Komunikasi massa menimbulkan keserempakan yang berarti bahwa
dalam komunikasi massa ada keserempakan dalam proses penyebaran
pesan pesannya. Serempak berarti khalayak bisa menikmati media
tersebut hampir bersamaan.
f) Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis, yang memiliki arti
bahwa media sebagai alat utama dalam menyampaikan pesan kepada
khalayaknya sangat membutuhkan peralatan teknis. Peralatan teknis
dimaksudkan kepada media elektronik.
g) Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper yang sering juga disebut
dengan penapis informasi/penjaga gawang, adalah orang yang sangat
berperan dalam penyebaran informasi media massa. Gatekeeper ini
berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi,
menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan
lebih mudah dipahami.
Menurut sejarah, awal kemunculan komunikasi massa, bermula dari
semakin berkembangnya teknologi, dan keinginan untuk menyampaikan ide,
gagasan, serta propaganda politik dengan menggunakan media yang memiliki
kemampuan untuk menjangkau khalayak luas.
Nurudin menjelaskan bahwa komunikasi masa adalah komunikasi melalui
media massa (media cetak dan elektronik). Sebab awal perkembangannya,
komunikasi massa berasal dari kata media of mass communication (media
komunikasi massa), yang merujuk pada media massa atau saluran yang dihasilkan
oleh teknologi modern (Nurudin 2007:4).
Kemajuan teknologi sebagaimana diyakini memberikan kontribusi
terhadap perkembangan komunikasi massa, menurut Gunaratne (Mc Quail
2011:27) telah terjadi sejak awal penemuan mesin cetak oleh Gutenberg.
Gutenberg dianggap memberikan kontribusi terhadap perkembangan teknologi
komunikasi, karena penemuan mesin cetak pada abad ke 15, meskipun jauh
sebelumnya telah diketahui dan diterapkan di China dan Korea mengenai teknik
percetakan dan penggunaan huruf yang dapat digeser geser.
18
Penyebaran ide skala besar (massal), telah terjadi sejak masa lampau, yaitu
pada penyebaran mengenai kesadaran dan kewajiban politik serta agama. Pada
awal abad pertengahan, gereja di Eropa memiliki alat yang terperinci dan efektif
untuk memastikan penyiaran kepada semua orang tanpa terkecuali. Peristiwa ini
dapat dikatakan sebagai komunikasi massa, kendati sebagian besar bebas dari
bentuk media seperti pengertian saat ini, terlepas dari adanya teks yang berkaitan
dengan agama. Kemunculan media independen dalam bentuk cetak, menimbulkan
kekhawatiran bagi penguasa gereja dan Negara, hal tersebut didasari pada
pemikiran mengenai potensi kehilangan kontrol yang diwakili media, dan
penyebaran ide ide baru yang bersifat menyimpang. Propaganda negatif yang
dilancarkan pada masa perang agama yang terjadi abad ke-16 menjadi bukti. Hal
tersebut merupakan peristiwa bersejarah ketika komunikasi massa, yaitu media
cetak memperoleh definisi sosial dan budaya tertentu yang tidak dapat ditarik
kembali (Mc Quail 2011:26).
Dalam kajian komunikasi massa terdapat perbedaan istilah antara mass
communication dan mass communications, Back dan Whitney (Nurudin 2007:5-6)
menjelaskan bahwa mass communications lebih menunjuk pada media mekanis
yang digunakan, yakni media massa, sedangkan mass communication lebih
menunjuk pada teori atau proses teoritik. Nurudin menjelaskan bahwa tidak perlu
membedakan secara tajam mengenai istilah communication dan communications,
sebab bahasan komunikasi massa tidak lepas dari proses dan peran media
massanya yang saling mendukung satu sama lain (Nurudin 2007:5-6).
Selain memiliki perbedaan dari istilah antara mass communications dan
mass communication, komunikasi massa, juga mempunyai batasan konseptual
yang membedakan arti, massa dalam komunikasi massa. Bramson (Mc Quail
2011:60) menjelaskan bahwa massa awalnya cenderung diasosiasikan secara
negatif, yaitu merujuk pada gerombolan, atau orang biasa yang biasanya
dipandang tidak berpendidikan, tak acuh, dan berpotensi irasional untuk dikontrol
jika masyarakat ini berubah menjadi perusuh atau pengacau, namun di sisi lain
juga dapat dipandang positif, yang kerap dikonotasikan dengan solidaritas pekerja
biasa yang dibentuk melawan ketertindasan.
19
Konsep massa yang kerap digunakan untuk kaum kelas rendah, mulai
mengalami perubahan makna sejak munculnya media yang kemampuannya dalam
hal ini mampu menjangkau orang dalam jumlah banyak. Blummer (Mc Quail
2011:63) mulai mengenalkan istilah khalayak yang diyakini lebih besar dari
kelompok, kerumunan, maupun publik. Khalayak ini sangat tersebar dan
anggotanya tidak mengenal satu sama lain. Khalayak umumnya heterogen dalam
hal yang terdiri atas sejumlah besar orang dari berbagai strata sosial dan kelompok
demografi,tetapi juga homogen dalam hal pilihan objek ketertarikan tertentu dan
menurut persepsi mereka yang ingin dimanipulasi. Serupa dengan hal tersebut,
Nurdin menjelaskan bahwa, massa dalam komunikasi massa lebih menunjuk pada
penerima pesan seperti khalayak, audience, penonton, pemirsa, atau pembaca
yang berkaitan dengan peran media massa (Nurudin 2007:4).
Berdasarkan ragam bentuknya, media massa dibedakan menjadi media
elektronik (televisi,radio), media cetak (surat kabar, majalah dan tabloid), buku,
film, dan yang terbaru yaitu internet (Nurudin 2007:5).
Di Indonesia beragam bentuk media massa, yang merupakan sarana
komunikasi massa, telah digolongkan sebagai lembaga sosial, atau disebut dengan
pers, oleh Dewan Perwakilan Rakyat, berikut bunyi Undang Undang nomor 40
tahun 1999 pasal 1 ayat 1 :
“Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi
massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik
maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran
yang tersedia”
(Tebba 2005:183).
Pers di Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu pers nasional dan pers
asing, pers nasional adalah pers yang dikelola oleh perusahaan pers Indonesia,
sedangkan pers asing adalah pers yang dikelola oleh perusahaan pers asing (Tebba
2005:184).
20
2.2 Surat Kabar
Surat kabar dipercaya memiliki bentuk inovasi yang lebih baik daripada
buku yang dicetak, terutama dengan penemuan bentuk literatur, sosial dan budaya
baru. Keunggulannya dibandingkan dengan bentuk komunikasi budaya yang lain,
terletak pada orientasinya kepada individu dan kepada realitas, kegunaannya serta
sifat yang sekular, diyakini cocok bagi kebutuhan kelas baru, yaitu pelaku bisnis
yang berbasis di kota kecil. Mc Quail menjelaskan lebih lanjut bahwa
kebaruannya bukan hanya pada teknologi atau cara penyebarannya saja, tetapi
juga pada fungsinya bagi kelas tertentu dalam perubahan iklim sosial politik yang
lebih liberal (Mc Quail 2011:30-31).
Dalam sejarah perkembangannya, pamflet, dan buletin merupakan
purwarupa dari surat kabar, yang bahkan telah ditemukan selama hampir dua ratus
tahun setelah penemuan mesin cetak, yaitu sejak akhir abad ke 16 dan awal abad
ke 17 (Mc Quail 2011:30). Raymond (Mc Quail 2011:30) menjelaskan bahwa
peran buku mulai tergantikan dengan pendahulu surat kabar ini, buletin yang
berisi tentang peristiwa baru dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan serta jual
beli Internasional, mulai disebarkan melalui sistem layanan pos. Aktivitas ini
merupakan perluasan dari aktivitas lama yang dilakukan pemerintah dengan
tujuan diplomatik, komersial maupun pribadi.
Surat kabar awal mulai diterbitkan secara komersial, atau dijual untuk
umum dengan karakternya yang terbuka, sehingga masyarakat dapat
menggunakannya untuk memperoleh informasi, rekaman, isu pengalihan dan
gosip. Surat kabar komersial pada abad ke 17, tidak berasal dari satu sumber
tertentu, tetapi merupakan kumpulan penerbit dan pencetak. Kerajaan atau
pemerintah juga menerbitkan surat kabar, dengan ciri khas yang tidak jauh
berbeda, hanya saja lebih difungsikan sebagai alat pemerintah dan perwakilan dari
suara penguasa (Mc Quail 2011:30).
Semangat perjuangan untuk mewakili kebebasan, seiring dengan kemajuan
teknologi dan ekonomi, merupakan bagian yang tidak terpisahkan pada awal
sejarah surat kabar sebagai lawan potensial dari pemerintah, hal tersebut tampak
pada kekerasan yang dilakukan terhadap para pencetak, penyunting dan wartawan.
21
Perjuangan surat kabar yang mengusung kebebasan berpendapat, dianggap
sebagai pergerakan hak hak kebebasan, demokrasi, yang mewakili warga negara
dalam jumlah besar (Mc Quail 2011:31). Penguasa sering menganggap pers yang
melakukan perlawanan sebagai pihak yang menyulitkan dan menyebalkan,
meskipun menurut Schroeder (Mc Quail 2011:32) pers terkadang juga bekerja
untuk pemerintah.
Surat kabar di Indonesia sebagaimana telah ditetapkan menurut aturan
hukum yang berlaku sebagai lembaga sosial, diharapkan mampu melaksanakan
fungsinya sesuai dengan undang undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, pasal
3 ayat 1 dan 2 (Tebba 2005:185), yang berbunyi sebagai berikut :
1. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
2. Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat
berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
2.3 Berita
Berita dan surat kabar, merupakan bagian yang tidak terpisahkan, sebab
sebagaimana sejarah dan fungsinya, surat kabar diyakini sebagai salah satu media
massa yang menyampaikan informasi atau yang disebut dengan berita kepada
target pembacanya. Secara sederhana, berita adalah jalan cerita tentang peristiwa.
Hal ini dapat dikatakan bahwa suatu berita setidaknya mengandung dua hal yaitu
peristiwa dan jalan cerita. Jalan cerita tanpa peristiwa, dan peristiwa tanpa cerita
tidak dapat dikatakan sebagai sebuah berita (Tebba 2005:55).
Tidak semua cerita dan peristiwa dalam kehidupan sehari hari dapat
dimuat dalam pemberitaan, Tebba menjelaskan lebih lanjut bahwa peristiwa yang
diberitakan tergantung pada beberapa hal, yaitu:
”a) Aktualitas.
b) Jarak (dekat jauhnya) peristiwa dari khalayak (pembaca,
pendengar, penonton).
c) Penting tidaknya orang/figur yang diberitakan.
d) Keluarbiasaan peristiwa.
e) Akibat yang mungkin ditimbulkan dari berita itu.
f) Ketegangan dalam peristiwa.
g) Konflik dalam peristiwa.
h) Perilaku seks.
22
i) Kemajuan kemajuan yang diberitakan.
j) Emosi yang ditimbulkan oleh peristiwa.
k) Humor yang terkandung dalam peristiwa”
(Tebba 2005:55).
Berita juga dapat dibagi ke dalam beberapa macam, tergantung dari sudut
pandang melihatnya, seperti berikut:
”a) Sifat kejadian yang dibedakan antara berita yang terduga
seperti misalnya perayaan hari nasional, dan dapat juga
dibedakan sebagai berita yang tidak terduga, misalnya saja
ledakan bom, kebakaran, kecelakaan lalu lintas, dan
semacamnya.
b) Cakupan isi berita yang terbagi pada berita politik, ekonomi,
kebudayaan, pendidikan, hukum, seni, agama, kejahatan,
olahraga, militer, laporan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta sebagainya.
c) Bentuk penyajian berita yang dibedakan, seperti berita
langsung (sportnews), berita komprehensif (Comprehensive
news), dan feature” (Tebba 2005:56).
Sebagaimana berita telah dibedakan berdasarkan sudut pandang
melihatnya, dalam hal menulispun setiap berita memiliki ketentuan penulisan
yang berbeda, seperti misalnya berita langsung, biasanya ditulis dengan piramida
terbalik, dimana semua yang dianggap paling penting diletakkan pada lead atau
intro. Oleh sebab itu dalam sebuah lead, sebaiknya mencakup 5 W + 1 H, yaitu
(Tebba 2005:57):
”a) What (Apa yang terjadi)
b) Who (Siapa yang terlibat dalam peristiwa)
c) Where (Dimana peristiwa terjadi)
b) When (Kapan peristiwa terjadi)
c) Why (Mengapa terjadi)
d) How (Bagaimana melihat peristiwanya)”
Piramida terbalik dibutuhkan agar khalayak yang terlalu sibuk, bisa tetap
mengikuti peristiwa yang terjadi, selain itu gaya piramida terbalik juga
memudahkan para redaktur, produser atau penyunting untuk memotong bagian
berita yang kurang penting yang terletak pada bagian bawah, ketentuan seperti ini
biasanya berlaku pada media cetak seperti majalah atau surat kabar (Tebba
2005:57).
23
2.4 Rubrik
Setiap materi berita media cetak, yang diterbitkan, baik itu surat kabar,
majalah, maupun semacamnya, secara umum telah dikategorikan ke dalam
beberapa rubrik yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat
memiliki arti sebagai kepala ruangan (ruangan tetap) dalam surat kabar, majalah,
dan sebagainya: : surat kabar membuka -- untuk menampung pendapat pembaca.
Effendy menjelaskan, bahwa secara etimologi rubrik berasal dari bahasa Belanda
yaitu Rubriek, yang memiliki definisi ruangan pada halaman surat kabar, majalah
atau media cetak lainnya, mengenai suatu aspek atau kegiatan dalam kehidupan
masyarakat; misalnya rubrik wanita, rubrik olahraga, rubrik pendapat pembaca
dan sebagainya (Effendy 1989:316).
2.5 Wacana Perspektif Foucault
Bahasan mengenai wacana memiliki peran penting, dalam kajian media
massa, termasuk diantaranya membongkar praktik kekuasaan. Serupa dengan hal
tersebut Foucault (Eryanto 2001:65) menjelaskan bahwa wacana tidaklah
dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, melainkan lebih
kepada sesuatu yang memproduksi lain seperti misalnya sebuah gagasan, konsep
atau efek. Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini,
konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu. Bahkan lebih lanjut diyakini
bahwa, suatu wacana memiliki keterkaitan dengan kekuasaan, karena strategi
kuasa berlangsung di mana-mana.
Eriyanto menjelaskan lebih lanjut bahwa, jika banyak teoretisi lebih
memusatkan perhatian pada negara, maka Foucault meneliti kekuasaan lebih
kepada individu, subjek yang kecil. Kuasa tidak dimaknai dalam term
"kepemilikan", di mana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu,
melainkan dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi
yang secara strategis berkaitan satu sama lain.
Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di
mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan
24
dengan dunia, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar, tetapi
menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam.
Sebagai contoh dapat disebut hubungan-hubungan sosial ekonomi, hubungan-
hubungan yang menyangkut keluarga, seksualitas, media komunikasi, dinas
kesehatan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan.
Setiap rnasyarakat mengenal beberapa strategi kuasa yang menyangkut
kebenaran: beberapa diskursus diterima dan diedarkan sebagai benar. Ada
instansi-instansi yang menjamin perbedaan antara benar dan tidak benar. Ada
macam-macam aturan dan prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan
kebenaran (Eryanto 2001:65-66).
Bagi Foucault (Eryanto 2001:66), kekuasaan selalu terakumulasikan
melalui pengetahuan, yang memiliki efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan, selalu
memproduksi pengetahuan sebagai dasar dari kekuasaannya, yang dalam hal ini
hampir tidak mungkin mampu berdiri jika tidak ditopang oleh suatu ekonomi
politik kebenaran. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada
kuasa tanpa pengetahuan, konsep ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui
kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi
kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat
pengetahuan dan wacana tertentu, atau dengan kata lain suatu wacana
menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa.
Kebenaran yang dimaksud oleh Foucault (Eryanto 2001:67), tidak
dipahami sebagai suatu konsep yang abstrak, melainkan sengaja diproduksi setiap
kekuasaan, untuk menghasilkan kebenaran sendiri yang menggiring khalayak
untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini, setiap
kekuasaan selalu berpura pura menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang
disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.
Foucault (Eryanto 2001:71-72 ) mengatakan lebih lanjut bahwa wacana
yang menghasilkan hubungan antara kekuasaan disatu sisi dan pengetahuan disisi
lain, dapat disimbolkan, bukan hanya secara referensial, melainkan juga produktif
dan kreatif. Simbol yang dihasilkan wacana itu, antara lain melalui bahasa,
25
moralitas, hukum, dan lainnya, yang tidak hanya mengacu pada sesuatu,
melainkan turut menghasilkan perilaku nilai-nilai, dan ideologi.
Kuasa tidak bekerja dengan cara negatif melalui penindasan dan
pengekangan, sebagaimana menurut analisis Foucault (Eryanto 2001:68-69)
terhadap hilangnya bentuk menghukum pada paruh kedua abad ke-18 yang
awalnya masih berbentuk hukuman keji dengan, pancung, dan cambuk yang
bahkan dipertontonkan di depan publik, hingga kemudian digantikan oleh
pelaksanaan hukuman yang tidak sewenang wenang, dan semakin tidak
menyentuh tubuh seperti misalnya hukuman penjara yang membentuk publik
menjadi disiplin. Dengan kata lain publik dikontrol, dan diatur, secara positif,
yaitu dengan undang-undang yang memuat ketentuan penghukuman ditetapkan.
Eriyanto menjelaskan lebih lanjut mengenai pemikiran Foucault, bahwa
sebagaimana, kehidupan bukan diatur melalui serangkaian represi, melainkan
melalui kekuatannya memberikan definisi dan melakukan regulasi, maka
berbagai regulasi itu di antaranya yang menentukan manusia, memilah,
mengklasifikasikan, dan menggolongkan mana yang benar dan mana yang salah,
mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari, mana yang sah mana
yang tidak.
Di sini, kekuasaan dipahami sebagai serangkaian prosedur yang
memproduksi, rnenyebarkan, dan mereproduksi pernyataan pernyataan. Misalnya,
definisi normal dan abnormal jelas merupakan pendefinisan sosial. Lewat definisi
semacam ini, individu dikontrol bahwa yang normal dan baik seperti ini, yang
tidak norrnal sehingga tidak baik seperti itu. Kalau ingin baik dan disebut normal,
berperilakulah seperti ini, sebab kalau berperilaku seperti itu tidak normal dan
tidak baik. Melalui wacana, individu bukan hanya didefinisikan tetapi juga
dibentuk, dikontrol. dan disiplinkan. Misalnya, pembagian kerja dalam rumah
tangga. Wacana yang berkembang menyatakan laki laki yang bekerja di luar
rumah menghidupi keluarganya, sementara perempuan berada di dalam rumah
mengurusi rumah tangga dan merawat anak-anak.
Definisi pembagian kerja perempuan dan laki laki ini mernbentuk individu
bagaimana seharusnya yang baik itu dan bagaimana pula menjadi perempuan
26
yang baik. Keberhasilan laki laki kalau ia bisa menghidupi keluarganya, dan akan
dianggap gagal kalau ekonomi rumah tangga kacau. Hal yang sebaliknya
dikenakan pada perempuan. Kalau ada perempuan yang bekerja, apalagi malam
hari, akan ditanggapi secara buruk menelantarkan anak anak. Sehingga kalau
karena pekerjaannya itu, anak-anak menjadi tidak terurus dan nakal, maka yang
disalahkan adalah perempuan karena ia memang yang bertugas mendidik anak-
anak. Berbagai simbol wacana seperti moral laki laki baik seperti ini, wanita baik
seperti itu), aturan hukum (wanita yang bekerja di malam hari harus meminta izin
dari suami) membentuk jaring bagaimana hubungan kekuasaan itu hendak
dikontrol dan didisiplinkan (Eryanto 2001:72-73).
Selain regulasi yang didefinisikan dalam norma masyarakat, Eriyanto juga
menjelaskan bahwa regulasi dalam perspektif Foucault dapat dilihat pada undang
undang yang dibuat. Kepada individu diberikan aturan tertulis mengenai hukuman
bagi setiap pelanggaran. Hukuman diterapkan bukan untuk balas dendam, tetapi
mencegah pengulangan tindak kejahatan. Pelaksanaan hukuman diarahkan pada
kesadaran, hasrat, dan kehendak individu, menjadi penaklukan ide. Gagasan untuk
berbuat jahat dikalahkan dengan pikiran mengenai beratnya hukuman. Kuasa
menghukum dilaksanakan lebih untuk menarik dan menimbulkan kesadaran pada
individu.
Di dalam strategi baru ini, bukan lagi tubuh fisik yang disentuh kuasa,
melainkan jiwa, pikiran, kesadaran dan kehendak individu yang mampu
menangkap tanda-tanda yang tersebar di dalam tubuh masyarakat Di dalam
prosedur pemenjaraan, hukuman dilaksanakan bukan untuk menghapus kejahatan
atau penjahat, melainkan untuk mengoreksi, melatih, dan menormalkan individu.
Foucoult menjelaskan lebih lanjut bahwa kekuasaan dengan sengaja menghasilkan
realitas, normalisasi, regulasi, dan bahkan melalui wacana, yang tujuannya
mengoreksi serta membuat individu menjadi patuh dan berguna (Eryanto
2001:69).
Foucault (Eryanto 2001:67) menolak pandangan yang menyatakan
kekuasaan sebagai subjek yang berkuasa seperti raja, negara, pemerintah, ayah,
laki-laki, sebagaimana subjek tersebut kerap dianggap melarang, membatasi, atau
27
menindas. Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif. Kekuasaan dalam
pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, di mana memproduksi
bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk, sebagai bentuk
pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk
subjektivitas dan perilaku lebih dari secara sederhana.
Serupa dengan hal tersebut Staple (Eryanto 2001:69-70) menyatakan
pendapatnya bahwa, apa yang digambarkan oleh Foucault mengenai disiplin,
normalisasi, dan kontrol tersebut merupakan gambaran umum kehidupan modern
atau kapitalisme. Dalam kapitalisme, kehidupan pada dasarnya tidak diatur dan
dikontrol melalui sebuah kekuasaan yang sifatnya represif dan tunggal, tetapi
lewat sebuah mekanisme, aturan, dan tata cara yang mengontrol kehidupan
masyarakat agar terkontrol dan disiplin. Kekuasaan dalam masyarakat modern
terutama tidak bekerja secara terang-terangan, dengan adanya Raja yang
memerintah atau adanya otoritas individual yang berkuasa dan mengatur
kehidupan seseorang.
Kekuasaan justru bekerja secara tidak terlihat, dan tanpa disadari dengan
praktik disiplinisasi. Teknik disiplinisasi ini di antaranya melalui penetapan aturan
dan berbagai prosedur kegiatan, jadwal, pelaksanaan, dan tujuan kegiatan yang
menghasilkan keteraturan. Kontrol juga dilakukan dengan memberi ganjaran bagi
yang mengikuti dan hukuman bagi yang melanggar, bahkan kontrol mental lewat
aturan moral dan agama. Lewat disiplin tersebut, individu modern dikontrol tanpa
sadari. Semakin dia merasa bebas, sesungguhnya semakin ia masuk dalam
perangkap kekuasaan yang mengontrol dan mengatur dirinya.
Eriyanto secara keseluruhan menguraikan perspektif Foucoult mengenai
wacana dalam 2 bagian, yaitu produksi wacana dan wacana terpinggirkan,
sebagaimana berikut:
A. Produksi Wacana
Wacana dan keterkaitannya dengan realitas, menjadi salah satu fokus
penting bagi Foucoult, untuk membongkar praktik kekuasaan. Realitas itu sendiri,
menurut Foucault, tidak bisa didefinisikan, apabila tidak mempunyai akses
28
dengan pembentukan struktur diskursif. Persepsi serta cara menafsirkan objek dan
peristiwa dalam system makna tergantung pada struktur diskursif. Struktur
diskursif membuat objek atau peristiwa terlihat nyata.
Struktur wacana dari realitas, tidaklah dilihat sebagai sistem yang abstrak
dan tertutup. Pandangan tentang suatu objek dibentuk dalam batas batas yang
telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut, sebagaimana wacana dicirikan
oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan
dipandang benar sedangkan yang lain tidak. Dengan kata lain wacana tertentu
membatasi pandangan khalayak, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-
batas yang telah ditentukan, serta mengalihkan khalayak pada jalan pikiran
tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Ketika aturan dari wacana
dibentuk, pernyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan.
Di sini, pernyataan yang diterima dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang
tak diterima mengenai suatu objek. Objek bisa jadi tidak berubah, tetapi struktur
diskursif yang dibuat membuat objek menjadi berubah.
Wacana membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu dan
gabungan dari peristiwa-peristiwa ke dalam narasi yang dapat dikenali oleh
kebudayaan tertentu. Dalam prosesnya, khalayak mengkategorisasi dan
menafsirkan pungalaman serta peristiwa, dengan mengikuti struktur yang tersedia
dan dalam menafsirkan tersebut, khalayak sukar keluar dari struktur diskursif
yang terbentuk. Struktur diskursif tersebut adalah bangunan besar, dan secara
sistematis batas-batas itu berbentuk sebuah episteme, perangkat dari struktur
diskursif sebagai suatu keseluruhan melalui mana kebudayaan berpikir.
Mekanisme struktur diskursif tersebut dapat dilihat dari bagaimana suatu cara
berpikir didikte dan berpandangan dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh
struktur diskursif, bukan dengan yang lain (Eryanto 2001:73-76).
B. Wacana Terpinggirkan
Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat beragam wacana yang berbeda
satu sama lain, sehingga kemudian kekuasaan memilih dan mendukung wacana
tertentu, sebagaimana wacana yang dipilih oleh kekuasaan menjadi dominan,
29
sedangkan wacana wacana lainnya akan menjadi “terpinggirkan”(marginalized)
atau “terpendam” (submerged).
Terdapat dua konsekuensi dari wacana dominan. Pertama, wacana
dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami.
Pandangan yang lebih luas menjadi terhalang, karena kekuasaan dalam wacana
dominan memberikan pilihan yang tersedia dan siap pakai. Pandangan dibatasi
hanya dalam batas-batas struktur diskursif tersebut, tidak dengan yang lain.
Kedua. struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran.
Batas batas yang tercipta tersebut bukan hanya membatasi pandangan, tetapi juga
menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi terpinggirkan. Setiap
kekuasaan pada dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya menciptakan
rezim kebenaran sendiri. Kekuasaan selalu datang dengan memproduksi suatu
ekonomi politik kebenaran, melalui mana kekuasaan dengan begitu dimapankan,
disusun, dan diwujudkan serta dilestarikan. Oleh karena itu, dalam analisis
wacana perlu melihat bagaimana produksi wacana atas suatu hal diproduksi dan
bagaimana reproduksi itu dibuat oleh kelompok atau elemen dalam masyarakat.
Analisis wacana bukanlah melihat apa yang sebenarnya terjadi, tetapi
bagaimana setiap kelompok, terutama yang berkuasa, memproduksi kebenaran
atas suatu wacana. Produksi kebenaran itu terutama akan disebarkan dengan
berbagai organ yang dimiliki.
Wacana semacam ini tidak banyak dikedepankan dalam pemberitaan.
Proses terpinggirkannya wacana dalam proses pemberitaan ini membawa
beberapa kesimpulan. Pertama, khalayak tidak diberi kesempatan untuk
mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu
peristiwa. Di sini tidak harus dikatakan bahwa wacana yang terpinggirkan adalah
wacana yang benar mengenai suatu peristiwa, tetapi karena tidak banyak ragam
perspektif dari suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua, bisa
jadi peminggiran wacana menunjukkan praktik ideologi. Sering kali seseorang,
suatu kelompok tertentu, suatu gagasan, tindakan, kegiatan terpinggirkan, dan
menjadi marjinal lewat penciptaan wacana-wacana tertentu, seperti misalnya
wacana yang kerap memarjinalkan kaum perempuan, hal tersebut dapat dilihat
melalui terbentuknya wacana dominan bahwa perempuan itu lemah, di bawah
laki-laki, keibuan, berada di sektor privat, dan sebagainya.
30
2.6 Ideologi
Eriyanto menjelaskan bahwa salah satu konsep ideologi yang penting
untuk dibahas dalam wacana media adalah konsep ideologi Althusser,yang
memfokuskan pandangannya pada dialektika yang dikarakteristikkan dengan
kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. (Eriyanto 2001:98)
Salah satu ciri khas dari teori Althusser menurut Cahyadi (Eriyanto
2001:99) mengenai ideologi, adalah,konsepnya mengenai subjek dan ideologi,
yang pada intinya saling berkaitan, yaitu ideologi memerlukan subjek dan subjek
memerlukan ideologi. Ideologi yang merupakan rumusan dari individu individu
tertentu, keberlakuannya menuntut tidak hanya kelompok yang bersangkutan
tetapi juga selain membutuhkan subjek,ideologi turut menciptakan subjek, atau
yang dikenal dengan istilah interpelasi. Dalam interpelasi individu konkret
direkrut menjadi subjek ideologi.
Althusser (Eriyanto 2001:99-100) berpendapat bahwa kehidupan manusia
sebagai subjek sangat berkaitan dengan struktur yang bukan ciptaannya melainkan
ciptaan kelompok atau kelas tertentu. Oleh karenanya individu individu yang
merupakan subjek bagi struktur tidak lain hanya dimanfaatkan untuk pelayanan
kepentingan dari kelas tertentu yang menciptakan struktur tersebut.
Macdonell (Eriyanto 2001:100) berpandangan bahwa konsepsi Althusser
atas ideologi , menempatkan seseorang bukan pada posisi tertentu dalam suatu
relasi sosial tetapi juga hubungan antara individu dengan relasi sosial tersebut.
Relasi yang dimaksudkan, adalah imajiner, karena ia bekerja melalui
pengetahuan/ pengakuan dan identifikasi untuk menempatkan atau menyapa
seseorang dalam posisi tertentu. Ideologi menginterpelasi individu sebagai subjek
dan menempatkan seseorang dalam posisi tertentu.
Tolson (Eriyanto 2001: 101-102) menjelaskan lebih lanjut bahwa
interpelasi juga terjadi dalam isi media. Teks media diyakini selalu menyapa
seseorang dan menempatkan seseorang ketika harus membaca atau melihat suatu
teks, oleh karena isi media pada dasarnya bukan ditujukan untuk dirinya sendiri,
melainkan ditujukan untuk berkomunikasi dengan khalayak. Interpelasi berkaitan
dengan identifikasi, bagaimana, dan dengan siapa seseorang mengidentifikasi
31
dirinya dari teks yang disediakan. Bagian yang penting dari interpelasi adalah,
menunjukkan posisi ideologi yang diambil ketika membaca teks media.
Ideologi dalam keterkaitannya dengan wacana, yang dalam hal ini adalah
teks berita, kerap dianggap sebagai sesuatu yang tidak netral dan berlangsung
secara alamiah, karena didalamnya kerap diisi dengan kepentingan kepentingan
media massa untuk berebut pengaruhnya terhadap khalayak. Oleh karena itu,
cerminan dari ideologi suatu media, bisa dilihat dari teks berita yang
dimunculkan, seperti misalnya ideologi femininis, antifeminis, kapitalis, sosialis,
dan sebagainya (Eriyanto2001:14)
2.7 Feminisme
Sudarminta (Hardiman 2010:201) menjelaskan bahwa feminisme adalah
berbagai paham atau aliran pemikiran dan gerakan politik, ekonomi, sosial-budaya
(termasuk di dalamnya gerakan etis) yang memiliki keprihatinan dan kepedulian
terhadap realitas gender yang memperjuangkan kesamaan hak dan membela
kepentingan kaum perempuan. Dalam realitas politik, ekonomi, dan budaya
patriarki selama berabad abad, kesamaan hak dan kepentingan kaum perempuan
cenderung diabaikan atau bahkan ditindas.
2.8 Subordinasi
Subordinasi telah menjadi fokus perhatian penting dalam melihat
diskriminasi atau ketidakadilan gender. Dalam situs resminya, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjelaskan, bahwa arti dari
subordinasi adalah, suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang
dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain1. Fakih menjelaskan
lebih lanjut bahwa subordinasi dapat terlihat terjadi pada perempuan ketika,
misalnya, anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga
1 Dalam Aplikasi Data dan Informasi PP dan KPA. Subordinasi (Online)
http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_content&view=article&id=98:sub
ordinasi&catid=52:bentuk-ketidakadilan-gender&Itemid=108 diunduh pada 2 Desember 2012
pukul 21.00 WIB
32
perempuan tidak bisa tampil memimpin, yang berakibat pada munculnya sikap
yang menempatkan perempuan tidak pada posisi penting. Praktik tersebut
sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil (Fakih 2012
15-16).
2.9 ”Ruang Publik”
Ruang publik secara etimologi berasal dari bahasa latin, yaitu ‟publicus‟ ,
yang pada konteks masyarakat romawi kuno memiliki dua arti, yang pertama
adalah milik rakyat sebagai satuan politis atau milik negara; dan arti yang kedua,
sesuai dengan rakyat sebagai seluruh penduduk dengan kata lain untuk itu adalah
‟umum‟. Dalam konsep tersebut sudah tersirat dua hal, yakni suatu ‟ruang‟ tempat
hal hal yang bersifat umum dibicarakan, dan suatu subyek hukum, yakni rakyat
atau negara. Ruang di zaman Yunani Romawi terletak di luar rumah, yaitu di jalan
jalan, alun alun, dan di arena teater. Sementara itu ‟ruang‟ yang berada di bawah
kekuasaan pater familias (ayah), disebut privatus, maka kemudian tidak hanya
ada res publica (hal publik), melainkan juga res privata (hal privat). Kendati
distingsi eskplisit tentang ‟privat‟ dan ‟publik‟ itu adalah sebuah gagasan modern
yang belum berkembang dalam masyarakat kuno. Publicus juga mengandung arti
lain yang terkait dengan kekuasaan para pejabat negara. Dalam masyarakat Eropa
abad pertengahan pemaknaan kata publicus tidak banyak bergeser dari hal hal
yang dimengerti di zaman Yunani dan Romawi kuno (Hardiman 2010:4).
Mulai abad ke 18 kata ‟publik‟ dihubungkan dengan sesuatu yang baru,
yakni dengan tulis menulis sebagai ‟publik pembaca‟ yang di Jerman sejak waktu
itu disebut Lesepublicum, seiring dengan semakin berkembangnya percetakan dan
pos yang membuat intensitas tulis menulis menjadi sangat tinggi dan menyentuh
persoalan persoalan publik. Di dalam masyarakat sendiri terbentuk suatu lapisan
sosial kaum terdidik yang dapat membaca dan menulis sehingga membentuk
‟publik‟ sendiri, yakni ‟publik‟ pembaca. Penyebaran buku buku akibat penemuan
mesin cetak telah menghasilkan perkembangan yang sangat menakjubkan dalam
membangun kepedulian warga tergadap persoalan persoalan publik (Hardiman
2010:6).
33
Habermas (Hardiman 2010:269-270) merumuskan ”public sphere” atau
ruang publik dalam penjelasan berikut: ”Dengan 'ruang publik' kami maksudkan
pertama tama suatu wilayah kehidupan sosial kita di mana apa yang disebut opini
publik terbentuk. Akses kepada ruang publik terbuka bagi semua warga negara.
Sebagian dari ruang publik terbentuk dalam setiap pembicaraan di mana pribadi
pribadi berkumpul untuk membentuk suatu 'publik'. Bila publik menjadi besar,
komunikasi ini menuntut suatu sarana untuk diseminasi dan pengaruh ; zaman
sekarang surat kabar dan majalah,radio,dan televisi menjadi ruang publik”
Dalam definisi tersebut, tiga unsur seperti media, pembicaraan, dan opini
publik secara erat terhubung. Ruang publik bukan merupakan suatu ruang fisik,
tetapi ruang sosial yang diproduksi oleh tindakan komunikatif. Ruang publik juga
bukan suatu institusi atau organisasi politik,melainkan suatu ruang tempat warga
negara terlibat dalam diskusi mengenai isi publik. Habermas (Hardiman
2010:270-271) menjelaskan lebih lanjut bahwa kemunculan "public sphere",
dimulai pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke 18 di Paris,dan London, yaitu
timbul debat dan diskusi yang terjadi di salon salon dan kafetaria. Di situ orang
orang berkumpul dan berdiskusi mengenai isu publik. Diskusi ini difasilitasi oleh
penerbitan lembaran lembaran berita dan surat kabar, yang merupakan forum bagi
debat politik dimana orang (laki laki dan golongan menengah) dapat melontarkan
kritik kepada pemerintah. Meskipun hanya mewakili kaum borjuis, ruang publik
mewujudkan gagasan mengenai komunitas warganegara, yang berkumpul
bersama sebagai orang orang sederajat dalam suatu forum masyarakat sipil,dan
berbeda dari otoritas negara dan ruang privat keluarga. Forum itu mampu
membentuk opini melalui debat debat rasional.
Habermas (Hardiman 2010:194-195) menjelaskan lebih lanjut bahwa, pada
masa transisi kapitalisme liberal abad ke 19 menuju tahap kapitalisme yang
dikendalikan oleh monopoli dan negara abad ke 20, ruang publik mulai memasuki
masa kemunduran. Refeodalisasi yang merujuk pada pengertian bahwa negara dan
pasar melakukan intervensi intervensi hegemonis ke dalam ruang publik,
membuat ruang publik yang di dalam era pencerahan borjuis abad ke 18 berciri
otonom dan kritis terhadap ekonomi dan birokrasi, kini malah semakin
34
memprihatinkan, karena cenderung dijadikan arena kepentingan kepentingan
pasar dan birokrasi.
Wilayah wilayah privat dan keseharian warga negara, mulai dieksploitasi
dan diangkat ke ranah publik demi kepentingan komersial. Serupa dengan hal
tersebut Habermas (Hardiman 2010:195) mengatakan lebih lanjut bahwa
kepentingan kepentingan pribadi korporasi korporasi bisnis memiliki fungsi
fungsi politis untuk mengendalikan media dan bahkan birokrasi birokrasi negara,
sehingga kebijakan kebijakan negara lebih mengekspresikan kepentingan bisnis,
selain itu pihak birokrasi sendiri juga mulai mencampuri urusan urusan wilayah
privat dan keseharian warga negara, dan mengaburkan perbedaan antara ranah
privat dan publik yang dalam era borjuis cukup jelas dipertahankan.
Segala bentuk aspirasi dan pendapat warga negara sudah beralih fungsi
dari sekedar berpartisipasi menyikapi permasalahan yang terjadi demi
kepentingan bersama, menjadi sekedar hiburan yang dibentuk oleh media demi
kepentingan komersial. Habermas (Hardiman 2010:195) berpendapat bahwa
ruang publik di dalam negara negara kapitalis maju telah dirampas oleh kekuatan
investasi raksasa yang segera mengubah ruang lingkup perdebatan rasional yang
bebas menjadi lingkup manipulasi,konsumsi, dan pasivitas. Opini publik bahkan
bukan lagi mencerminkan aspirasi murni masyarakat warga, melainkan
merupakan hasil bentukan para elit media yang berkolaborasi dengan para elit
pasar dan birokrasi.
Warga masyarakat secara tidak langsung dipaksa dan dibatasi untuk lebih
memperhatikan pemberitaan pemberitaan bentukan media. Segala berita,
informasi, komentar, dan kontribusi dalam media,telah berubah fungsinya menjadi
komoditas komoditas yang dapat dipertukarkan dengan uang,seperti komoditas
komoditas lain dalam bisnis kapitalis. Istilah 'refeodalisasi sendiri berubah
memiliki arti selain hegemoni pasar atas demokrasi, yaitu : ruang publik tidak
menjadi arena diskursus bagi masyarakat warga, melainkan menjadi panggung
representasi diri para elit media yang menjadi alat kepantingan kepentingan pasar
dan kekuasaan (Hardiman 2010:196).
35
2.10 Penelitian Sebelumnya
Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil
SEPTIAN
WIDYA
WARDANI
(362006048)
ANALISIS
WACANA
FEMINISME
SARA MILLS
PADA
PROGRAM
TUPPERWARE
SHE CAN! ON
RADIO (Studi
Kasus di radio
Female
Semarang Tahun
2010)
Menggambarkan
strategi wacana
yang dilakukan
dalam membangun
representasi
perempuan.
Analisis
Wacana
Metode
Sara Mills
(Analisis
wacana
Feminisme)
Radio Female Semarang
melalui program
Tupperware She Can! on
Radio telah
merepresentasikan
perempuan dengan baik.
Perempuan tidak hanya
diposisikan sebagai obyek
namun juga diberi
kesempatan menjadi
subyek dalam
perbincangan. Peran
perempuan di sektor
publik tampil sebagai
sosok yang tak kalah dari
laki-laki, namun dalam
sektor domestik
perempuan tetap
bertanggungjawab.
MARTHA
PRISCILLA
MADA
WAROUW
(362006073)
REPRESETASI
FEMINISME
DALAM
PROGRAM
REALITY
SHOW TAKE
HIM OUT
INDONESIA
(Analisis
Wacana Feminis
Sara Mills)
Menggambarkan
representasi
feminisme dalam
program reality
show Take Him
Out Indonesia
(analisis wacana
perspektif feminis
Sara Mills).
Analisis
Wacana
Metode
Sara Mills
(Analisis
Wacana
Feminisme)
Tayangan Take Him Out
telah berupaya untuk
merepresenatsikan
dengan apik mengenai
kondisi perempuan dalam
memperjuangkan hak
untuk memilih untuk
menemukan pasangan,
walaupun pada
realitasnya kelanjutan
hubungan tersebut
dikembalikan kepada
36
pasangan yang dipilih.
MARIA
DOROTEA.
D.A.
STEVIANITA
(362008078)
REPRESENTA
SI FEMINIS
DALAM BUKU
13
PEREMPUAN
KARYA
YONATHAN
RAHARDJO
Menggambarkan
representasi
feminis dalam
buku 13
Perempuan karya
Yonathan
Rahardjo
Analisis
Wacana
Kritis
Metode
Sara Mills
(Analisis
Wacana
Feminisme)
Enam cerpen menunjukan
ideologi perjuangan
gender, dengan empat
diantaranya beraliran
liberal (”Cermin
Peninggalan”, ”Rumah
Warisan”, ”Korban
Banjir” dan ”Hubungan
Abadi”) dan dua cerpen
menampilkan ideologi
feminis sosialis
(”Kekuatanku” dan ”Ingat
Pesan Sarni”). Sementara
tujuh cerpen lainnya
menampilkan ideologi
patriakhi dari pengarang.
Meski masih patriakhi,
penggambaran
perempuan yang
ditampilkan pada setiap
cerpennya, tidak lagi
perempuan yang lemah,
pasif dan tidak berdaya.
Kedekatan Yonathan
dengan perempuan-
perempuan dalam
hidupnya, menjadikan
Yonathan Rahardjo
sensitif mengangkat
pengalaman hidupnya
menjadi kenyataan baru.
Hasilnya muncullah
gambaran-gambaran
37
perempuan apa adanya
dan berbeda. Berdasarkan
hal ini, pengarang dapat
dikategorikan sebagai
„feminis setengah jalan‟,
karena pandangan
feminismenya masih
terangkai dalam bingkai
pemikiran dan perspektif
patriarki. Hal ini
disebabkan kesadaran
akan perjuangan feminis
beserta alirannya belum
sepenuhnya menjadi
pemikiran dari Yonathan
Rahardjo. Faktor lainnya
adalah karena kelelakian
pengarang, latar belakang
pendidikan dan
lingkungan dimana
Yonathan Rahardjo tinggal
turut memberikan pengaruh.
NATALIA
ANGGREAN
Y (51404108)
TINGKAT
PENGETAHUA
N REMAJA
SURABAYA
MENGENAI
RUBRIK
"DETEKSI" DI
HARIAN
JAWA POS
Mengetahui
tingkat
pengetahuan
Surabaya
mengenai rubrik
Deteksi di harian
Jawa Pos.
Survei Melalui rubrik “DetEksi” di
harian Jawa Pos, khususnya
remaja di Surabaya dapat
mengetahui fenomena
fenomena remaja yang
terjadi, karena berdasarkan
analisa diketahui bahwa
sebagian besar responden
menyatakan pengetahuan
mereka tentang rubrik
“DetEksi” bertambah
38
setelah membaca rubrik
”DetEksi”, melalui Rubrik
“DetEksi”, para responden
dapat mengetahui informasi
mengenai musik, film,
buku-buku baru, game,
pacaran remaja, otomotif,
dan lain lain yang
sebelumnya belum mereka
ketahui menjadi tahu.
Terdapat hubungan bahwa
semakin tinggi frekuensi,
durasi dan atensi responden
membaca rubrik “DetEksi”
maka semakin banyak pula
pengetahuan yang mereka
dapat baik itu pengetahuan
tentang informasi yang
disampaikan maupun
karakteristik rubrik ini
39
2.11 Kerangka Pikir
Bagan 2.1
Kerangka Pikir
Minat Baca
Khalayak usia
muda menurun
Persaingan
Media Massa
(Media Cetak/
Surat Kabar)
“Ruang Publik”
Jawa Pos Mengemas
pesan dan opini
target pembaca usia
muda
Rubrik DetEksi
Jawa Pos
Isi Rubrik
Deteksi
Jawa Pos
Analisis Wacana Kritis
Sara Mills
Wacana
Subordinasi
Perempuan Pada
Rubrik DetEksi
Jawa Pos
top related