bab ii kajian pustaka dan kerangka pikirtatap mata di trans 7. b. landasan teori 1. pragmatik ......
Post on 28-Dec-2019
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Studi Terdahulu
Penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis-penulis sebelumnya yang
sejenis dan relevan dengan penelitian yang dilakukan peneliti dalam upaya
menyusun skripsi adalah sebagai berikut.
Skripsi Devi Andriyani (2009) dengan judul “Tindak Tutur Ekspresif dalam
Reality Show John Pantau”. Berdasarkan analisisnya, ditemukan 20 tindak tutur
ekspresif. Pengelompokan 20 jenis tindak tutur ekspresif tersebut, yaitu tindak
tutur berterima kasih, memuji, menolak, menyalahkan, mencurigai, menuduh,
menyindir, mengkritik, meminta maaf, menyayangkan, mengungkapkan rasa
heran, mengungkapkan rasa kaget atau terkejut, mengungkapkan rasa jengkel,
mengungkapkan rasa marah, mengungkapkan rasa bangga, mengungkapkan rasa
malu, mengungkapkan rasa takut,mengungkapkan rasa simpati, mengungkapkan
rasa kecewa. Selain itu juga dijelaskan mengenai 23 tuturan yang mengandung
efek perlokusi. Dari 23 tuturan tersebut terbagi menjadi 9 efek perlokusi, yaitu
menyenangkan mitra tutur, melegakan, membujuk, menjengkelkan mitra tutur,
mendorong, membuat mitra tutur tau bahwa…, membuat mitra tutur berpikir
tentang…, membuat mitra tutur melakukan sesuatu dan mempermalukan mitra
tutur.
Skripsi Dian Purnamasari (2010) dengan judul “Tindak Tutur Direktif dan
Ekspresif dalam Acara Reality Show Termehek-Mehek di Trans TV” menjelaskan
bahwa dari hasil penelitian ditemukan 7 jenis tindak tutur direktif dan 8 jenis
tindak tutur ekspresif.Tujuh jenis tindak tutur direktif berupa mengajak,
12
mempersilakan, meminta, memohon, menyuruh, menyarankan, melarang, dan
mendesak.Delapan jenis tindak tutur ekspresif berupa berterima kasih, meminta
maaf, mengungkapkan rasa takut, menyalahkan, mengungkapkan rasa heran,
mengungkapkan rasa kaget, rasa kecewa, dan rasa marah.Selain itu juga
dijelaskan mengenai implikatur percakapan, implikatur percakapan tersebut
berupa implikatur menyatakan menolak, kerahasiaan, meminta, menenangkan,
kritikan, larangan, mengancam, tawaran, kekhawatiran, memaksa, dan mengajak.
Skripsi Jamilatun (2010) dengan judul “Tindak Tutur Direktif dan Ekspresif
pada Rubrik Kriing Solopos” berdasarkan analisis data, dalam penelitian tersebut
ditemukan 12 jenis tindak tutur direktif. Tindak tutur direktif itu meliputi tindak
tutur mengajak, mengingatkan, melarang, menasihati, meminta, memohon,
menyarankan, menyuruh, mengharap, mengusulkan, memperingatkan, dan
mempertanyakan.Wujud tindak tutur direktif yang paling banyak ditemui adalah
tindak tutur meminta dan memohon.Dalam RKS ditemukan 43 jenis tindak tutur
ekspresif. Tindak tutur ekspresif itu meliputi tindak tutur memprotes, mengkritik,
mendukung, menyetujui, menyetujui, menyindir, menyayangkan, berterima kasih,
mengeluh, membenarkan, memuji,mencurigai, meminta maaf, mengungkapkan
rasa iba, mengungkapkan rasa bangga,mengungkapkan rasa salut,
mengungkapkan rasa malu, mengungkapkan rasa kecewa, mengungkapkan rasa
kecewa, mengungkapkan rasa jengkel, mengungkapkan rasa prihatin,
mengungkapkan ketidaksetujuan, mengungkapkan rasa heran, mengungkapkan
rasa khawatir, mengungkapkan rasa ketidakperdulian, mengungkapkan rasa yakin,
mengungkapkan rasa bingung, mengungkapkan rasa sakit hati, mengungkapkan
rasa senang, mengungkapkan rasa simpati, mengungkapkan rasa marah,
13
mengungkapkan rasa muak, mengungkapkan rasa resah, mengungkapkan rasa
ngeri, mengungkapkan rasa sedih, mengungkapkan rasa syukur, mengucapkan
selamat, mengejek, menghina, menyesal, menolak, mengevaluasi,
mengungkapkan rasa berduka cita dan mengumpat. Wujud tindak tutur ekspresif
yang paling banyak ditemui adalah tindak tutur berterima kasih dan mengkritik.
Ririn Linda Tunggal Sari (2011) dalam skripsinya yang berjudul ”Tindak
Tutur Direktif dan Kesantunan Negatif dalam Reality Show Minta Tolong di
Rajawali Citra Televisi Indonesia” dalam penelitiannya tersebut diketahui bahwa
Wujud tindak tutur direktif yang terdapat dalam penelitian tersebut sebanyak 7
jenis yang meliputi, tindak tutur direktif meminta, menasihati, menyarankan,
melarang, memperingatkan, mengingatkan, dan membujuk. Dalam analisis data
menunjukkan bahwa tindak tutur direktif membujuk merupakan tindak tutur yang
sering digunakan. Wujud realisasi kesantunan negatif yang terdapat dalam
penelitian tersebut sebanyak lima bentuk strategi kesantunan negatif, yaitu (a)
strategi 1, menggunakan ungkapan tidak langsung, (b) strategi 2, menggunakan
pertanyaan berpagar, (c) strategi 4, meminimalkan paksaan, (d) strategi 5,
memberi penghormatan, dan (e) strategi 7, menghindari penyebutan penutur dan
lawan tutur. Dalam RSMT juga ditemukan lima bentuk kombinasi startegi
kesantunan negatif yang digunakan oleh A. Kelima kombinasi strategi kesantunan
negatif tersebut yaitu: (a) strategi 1 dan stretegi 5, (b) strategi 1 dan strategi 7, (c)
strategi 2 dan strategi 5, (d) strategi 4 dan strategi 5, dan (e) strategi 1, strategi 4,
dan strategi 5. Dari semua strategi tersebut, strategi yang paling banyak digunakan
adalah strategi 5, yaitu memberi penghormatan kepada lawan tuturnya.
14
Dari beberapa tinjauan studi terdahulu, penelitian-penelitian tersebut
membahas mengenai masalah tindak tutur dan kesantunan berbahasa dalam objek
kajian penelitiannya. Empat penelitian diatas digunakan sebagai tinjauan
terdahulu karena dalam penelitian ini, penulis juga membahas mengenai tindak
tutur ekspesif dan strategi kesantunan berbahasa. Walaupun pada beberapa
penelitian terdahulu telah dilakukan penelitian tentang tindak tutur dan
kesantunan berbahasa, namun data yang dikaji dan sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya. Dalam penelitian ini, penulis mencoba memfokuskan penelitian
mengenai tindak tutur ekpresif dan strategi kesantunan berbahasa pada acara
Tatap Mata di Trans 7.
B. Landasan Teori
1. Pragmatik
Konsep pragmatik pada awalnya digunakan oleh filosof kenamaan
Charles Morries (1938), yang memiliki perhatiaan besar terhadap ilmu
semiotik (sistem tanda). Dalam semiotik, Charles Morries membedakan tiga
konsep dasar, yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik. Sintaktik mempelajari
hubungan formal antara tanda-tanda bahasa dan makna secara struktural dalam
kalimat, semantik mempelajari hubungan antara tanda dengan objek, dan
pragmatik mengkaji hubungan antara tanda dengan penafsir (interpreters).
Tanda-tanda yang dimaksud di sini adalah tanda bahasa, bukan tanda yang
lain. Tanda-tanda bahasa dapat dipahami dari berbagai sudut pandang. Oleh
karena itu, sudut pandang penafsir bahasa sangat menentukan ketepatan
makna yang dimaksud oleh penuturnya.
15
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah pragmatik secara
berbeda-beda. Leech (dalam terjemahan M. D.D. Oka, 1993:8), pragmatik
adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar
(speech situations). Leech melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam
linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut
semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik;
pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari semantik; dan
komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang
yang saling melengkapi. Karya Leech yang paling menonjol di bidang
pragmatik adalah teori prinsip kesantunan (politeness principles).
Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur
bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam
komunikasi. Jadi, makna yang dikaji pragmatik adalah makna yang terikat
konteks (context dependent) atau dengan kata lain mengkaji maksud penutur.
Pragmatik dapat dimanfaatkan oleh setiap penutur untuk memahami maksud
lawan tutur. Penutur dan lawan tutur dapat memanfaatkan pengalaman
bersama (background knowledge) untuk memudahkan pengertian bersama (I
Dewa Putu Wijana, 1996:1-2).
Menurut Gunarwan, pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji
hubungan (timbal balik) fungsi ujaran dan bentuk (struktur) kalimat yang
mengungkapkan ujaran. Di dalam batasan yang sederhana itu, secara implisit
tercakup penggunaan bahasa, komunikasi, konteks, penafsiran (Rustono,
1999: 4).
16
Pragmatik mengungkapkan maksud suatu tuturan di dalam peristiwa
komunikasi, oleh karena itu analisis pragmatik berupaya menemukan maksud
penutur, baik yang diekspresikan secara tersurat maupun yang diungkapkan
secara tersirat di balik tuturan. Maksud tuturan dapat diidentifikasikan dengan
mempertimbangkan komponen situasi tutur yang mencakupi penutur, mitra
tutur, tujuan, konteks, tuturan sebagai hasil aktivitas, dan tuturan sebagai
tindakan verbal (Rustono, 1999: 17).
2. Aspek-Aspek Situasi Tutur
Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan (Rustono,
1999:25). Memperhitungkan situasi tutur amat penting di dalam pragmatik.
Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi
tutur yang mendukungnya.
Leech (dalam terjemahan M. D. D. Oka, 1993: 19-21),mengemukakan
sejumlah aspek untuk dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-
Aspek tersebut adalah:
a. Penyapa dan Pesapa
Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan
pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media
tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini
adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat
keakraban, dsb.
b. Konteks Sebuah Tuturan
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua
aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Di
17
dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang
pengetahuan (back ground knowledge) yang dipahami bersama oleh
penutur dan lawan tutur.
c. Tujuan Sebuah Tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur
dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tuturan adalah
sesuatu yang ingin disampaikan melalui makna yang dimaksud atau
maksud penutur mengucapkan sesuatu. Istilah tujuan dianggap lebih netral
daripada maksud, karena tidak membebani pemakaiannya dengan suatu
kemauan atau motivasi yang sadar, sehingga dapat digunakan secara
umum untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi tujuan.
d. Tuturan Sebagai Bentuk Tindakan Atau Kegiatan: Tindak Ujar
Pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih
kongkret dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang
kongkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat
pengutaraanya.
e. Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal
Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang
dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur.
Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak
verbal.
18
3. Tindak Tutur
Istilah dan teori mengenai tindak tutur diperkenalkan oleh J.L. Austin,
seorang guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang
berasal dari materi kuliah ini kemudian dibukukan olah J.O. Urmson (1965)
dengan judul How to do Things with Words? (FX Nadar 2009:11). Teori
tersebut menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969)
menerbitkan buku berjudul Speech Act and Essay in The Philoshopy of
Language.
Tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam
menghadapi situasi tertentu (I Dewa Putu Wijana, 1996:50). Pernyataan
tersebut senada dengan pernyataan Suwito dalam bukunya yang berjudul
Sosiolinguistik: Teori dan Problem. Suwito menjelaskan jika peristiwa tutur
(speech event) merupakan gejala sosial, terdapat interaksi antara penutur dalam
situasi tertentu dan tempat tertentu, maka tindak tutur (speech act) lebih
cenderung sebagai gejala individual, bersifat psikologis, dan ditentukan oleh
kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Berkaitan dengan tindak tutur, Austin mengemukakan dua terminologi
yang berkaitan dengan teori tindak tutur, yaitu tuturan konstatif (constative)
dan tuturan performatif (performative).Tuturan konstatif adalah tuturan yang
pengutaraannya hanya dipergunakan untuk menyatakan sesuatu.Tuturan
performatif adalah tuturan yang pengutaraanya dipergunakan untuk melakukan
sesuatu. Tindak tutur yang menggunakan kalimat performatif oleh Austin
(1968:100-102) digolongkan dalam tiga peristiwa tindakan, yaitu:
19
a. Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu.
Tindak tutur ini sering disebut sebagai The Act of Saying Something.
Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diidentifikasi,
karena dalam pengidentifikasian tindak lokusi tidak memperhitungkan
konteks tuturnya.
Contoh: Ikan paus adalah binatang menyusui.
b. Tindak Ilokusi
Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk
mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan
untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing
Something. Tindak ilokusi sangat sulit diidentifikasi karena terlebih dahulu
harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan di
mana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya.
Contoh: Saya tidak dapat datang.
c. Tindak Perlokusi
Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya
dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak perlokusi
disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Tindak perlokusi juga sulit
dideteksi, karena harus melibatkan konteks tuturannya.
Contoh: Kemarin saya sangat sibuk.
Sehubungan dengan pengertian tindak tutur atau tindak ujar, maka
tindak tutur dikategorikan oleh Searle (1996: 147-149), menjadi lima jenis,
yaitu:
20
a. Representatif (asertif) adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya akan
kebenaran atas apa yang diujarkannya. Termasuk ke dalam tindak tutur ini
adalah tuturan-tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan,
menunjukkan, menyebutkan, memberikan kesaksian, berspekulasi, dsb.
b. Direktif (impisiotif) adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya
agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu.
Tuturan memaksa, mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak,
memohon, menyarankan, memerintahkan, memberikan aba-aba,
menantang, termasuk ke dalam jenis tindak tutur direktif.
c. Ekspresif (evaluatif) adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya
agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di
dalam tuturan itu.Pada waktu menggunakan ekspresif, penutur
menyesuaikan kata-kata dengan dunia (perasaannya). Tuturan-tuturan
yang termasuk ke dalam tindak tutur ekspresif yaitu memuji,
mengucapkan terima kasih, meminta maaf,kecewa, mengkritik, mengeluh,
menyalahkan, mengucapkan selamat, menyanjung, mengucapkan rasa
bangga, mengucapkan rasa syukur..
d. Komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk
melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tuturan yang
termasuk ke dalam tindak tutur komisif, yaitu berjanji, bersumpah,
mengancam, menyatakan kesanggupan, berkaul, menawarkan.
e. Deklarasi (Isbati) adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk
menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru. Tuturan-tuturan dengan
maksud mengesahkan, memutuskan, membatalkan, melarang,
21
mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni,
memaafkan termasuk ke dalam tindak tutur deklarasi.
Ahli lain, Leech(dalam terjemahan M. D. D. Oka, 1993: 327-329)
mengklasifikasikan tindak tutur menjadi enam macam, yaitu:
a. Asertif ialah tindak tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi
yang dituturkan, misalnya menceritakan, melaporkan, mengemukakan,
menyatakan, mengumumkan, dan mendesak.
b. Direktif ialah bentuk tindak tutur yang dimaksudkan oleh penutur untuk
membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan sesuatu tindakan,
misalnya memohon, meminta, memberi perintah, menuntut, dan
melarang.
c. Komisif ialah tindak tutur yang menyatakan janji atau penawaran,
misalnya menawarkan, menawarkan diri, menjanjikan, berkaul, dan
bersumpah.
d. Ekspresif ialah tindak tutur yang berfungsi untuk menunjukkan sikap
psikologis penutur terhadap keadaan yang sedang dialami oleh mitra
tutur, misalnya mengucapkan selamat, berterima kasih, bersimpati, dan
meminta maaf.
e. Deklaratif ialah tindak tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan
kenyataannya, misalnya memecat, membaptis, menikahkan, mengangkat,
menghukum, dan memutuskan.
f. Rogatif ialah tindak tutur yang dinyatakan oleh penutur untuk
menanyakan jika bermotif langsung atau mempertanyakan jika bermotif
ragu-ragu, misalnya menanyakan, mempertanyakan, dan menyangsikan.
22
FX Nadar (2009: 16-17) mengklasifikasikan tindak tutur menjadi
delapan macam, yaitu:
a. Tindakan asertif ditandai dengan verba menuduh, mengakui,
menyimpulkan, memberi tahu, menyatakan, dan menyatakan yakin.
b. Tindakan evaluasi ditandai dengan verba mendesak, memerikan,
mengevaluasi, menganggap, memvonis, dan menerka.
c. Tindakan refleksi perilaku ditandai dengan ekspresi pembicara, meliputi
verba memuji, mengeluh, bersimpati, menuduh, menyayangkan, dan
meminta maaf.
d. Tindakan penetapan ditandai dengan verba menetapkan, mencalonkan,
memilih, mengumumkan, mengatur, dan menggolongkan.
e. Tindakan permohonan ditandai dengan verba menuntut, memohon,
menawarkan, mengundang, mengarahkan, dan melarang.
f. Tindakan menyarankan ditandai dengan verba memperingatkan,
merekomendasikan, menyarankan, mengusulkan, mendukung, dan
menasehati.
g. Tindakan dari penggunaan kekuasaan ditandai dengan verba
membatalkan, memutuskan, memecat, mewariskan, dan menghukum.
h. Tindakan komisif ditandai dengan verba bersumpah, berjanji,
menawarkan diri, meyakinkan, berikrar, dan berkaul.
I Dewa Putu Wijana (1996:30), menjelaskan bahwa tindak tutur dapat
dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tak langsung, tindak
tutur literal dan tindak tutur tak literal.
1. Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tak Langsung
23
Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi
kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah
(imperatif). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk
memberitahukan sesuatu (informasi); kalimat tanya untuk menanyakan
sesuatu; dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan,
atau permohonan. Apabila kalimat berita difungsikan secara konvensional
untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah
untuk menyuruh, mengajak, memohon, dan sebagainya, maka akan terbentuk
tindak tutur langsung (direct speech), seperti dalam contoh berikut ini:
Sidin memiliki lima ekor kucing.
Di manakah letak pulau Bali?
Ambilkan baju saya! (I Dewa Putu Wijana, 1996:30).
Tindak tutur tak langsung (indirect speech act) ialah tindak tutur untuk
memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini
dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang
yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah (Rohmadi, 2004:33).
Di mana sapunya?
Kalimat di atas bila diutarakan oleh seorang ibu kepada seorang anak,
tidak semerta-merta berfungsi untuk menanyakan di mana letak sapu itu,
tetapi juga secara tidak langsung memerintah sang anak untuk mengambil
sapu itu (I Dewa Putu Wijana, 1996:30-31).
2. Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tak Literal
Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang
maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Sedangkan
24
tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang
maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan kata-kata yang
menyusunnya (I Dewa Putu Wijana, 1996:32).
(+) Penyanyi itu suaranya bagus.
(─) Suaramu bagus (tapi kamu tidak usah menyanyi).
Tuturan (+) jika diutarakan dengan maksud untuk memuji atau
mengagumi suara penyanyi yang dibicarakan, maka kalimat itu merupakan
tindak tutur literal. Tuturan (-) merupakan tindak tutur tak literal, penutur
bermaksud mengatakan bahwa suara lawan tuturnya jelek, yaitu dengan
mengatakan “tak usah menyanyi” (Rohmadi, 2004:34).
Bila tindak tutur langsung disinggungkan (diinterseksikan) dengan
tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, maka akan terdapat tindak
tutur-tindak tutur sebagai berikut:
a. Tindak tutur langsung literal
Tindak tutur literal (direct literal speech act) ialah tindak tutur yang
diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud
pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat
perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu
dengan kalimat tanya (I Dewa Putu Wijana, 1996:33).
b. Tindak tutur tidak langsung literal
Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah
tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai
dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang
25
menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur (I Dewa
Putu Wijana, 1996:34).
c. Tindak tutur langsung tidak literal
Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah
tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan
maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna
yang samadengan maksud penuturnya (I Dewa Putu Wijana, 1996:35).
d. Tindak tutur tidak langsung tidak literal
Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act)
adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak
sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan (I Dewa Putu Wijana,
1996:35).
4. Tindak Tutur Ekspresif
Tindak tutur yang dikemukakan oleh J.L Austin (1962:150-163) adalah
tindak tutur behabitif (behabitives utterances). Tindak tutur ini merupakan reaksi-
reaksi terhadap kebiasaan dan keberuntungan orang lain dan merupakan sikap
atau ekspresi seseorang terhadap kebiasaan orang lain, misalnya: berterima kasih,
meminta maaf, bersimpati, menantang, mengucapkan salam, mengucapkan
selamat.
Tindak tutur menurut Austin berbeda dengan yang dikemukakan Searle.
Searle menjelaskan bahwa tindak tutur ekspresif (evaluatif) adalah tindak tutur
yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang
hal yang disebutkan dalam tuturan itu. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam
26
tindak tutur ekspresif yaitu, memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik,
mengeluh, menyalahkan, mengucapkan selamat, menyanjung, meminta maaf
(dalam Rustono, 1999:370).
Berbeda lagi dengan tindak tutur ekspresif menurut ahli lain, yakni Leech.
Leech menjelaskan bahwa tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang
berfungsi untuk menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang
sedang dialami oleh mitra tutur, sebagai contoh mengucapkan terima kasih,
mengucapkan selamat, merasa ikut simpati, meminta maaf (dalam M. D. D. Oka,
1993:328).
Penelitian ini, dalam pembahasan tindak tutur ilokusi mengacu pada
kategori tindak tutur ekspresif yang dikemukakan oleh Searle (dalam Rustono,
1999:37). Dari kelima tindak tutur ilokusi yang dijabarkan oleh Searle, tindak
ilokusi ekspresif yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Pemilihan teori
Searle tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa dalam acara Tatap Mata di
Trans 7 terdapat banyak tuturan yang berupa ungkapan perasaan penutur yang
terdapat dalam acara tersebut.
Searle (dalam Leech, 1993: 164) menjelaskan bahwa tindak tutur ekspresif
adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengungkapkan atau mengutarakan
sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan yang tersirat dalam ilokusi.
Ilokusi ini misalnya, mengucapkan terima kasih, memberi maaf, ungkapan
kecewa, memuji, mengeluh, mengkritik, ungkapan rasa bangga, ungkapan rasa
syukur dan sebagainya.
27
George Yule (2006:93) menjelaskan bahwa tindak tutur ekspresif
adalah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh
penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan
dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian,
kesenangan atau kesengsaraandan sebagainya.Pada waktu menggunakan
ekspresif, penutur menyesuaikan kata-kata dengan dunia (perasaannya).
Leech dalam bukunya yang berjudul “Prinsip-Prinsip Pragmatik”
(1993:327) menjelaskan bahwa tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang
menyatakan ekspresi dari sikap psikologi penutur kepada keadaan mitra tutur,
misalnya minta maaf, merasa ikut bersimpati, memaafkan, mengucapkan
terima kasihdan sebagainya.
Dari beberapa definisi tindak tutur ekspresif tersebut, maka dapat
dirumuskan bahwa tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang berfungsi
sebagai ungkapan perasaan penutur kepada mitra tuturterhadap suatu keadaan,
perasaan tersebut dapat berupa rasa senang, sedih, marah, takut dan
sebagainya.
a. Tindak Tutur Mengkritik
Menurut Rustono (1999: 39) dan Brown dan Levinson (1987:66),
tindak tutur mengkritik termasuk dalam tindak tutur ekspresif. Sebagaimana
dijelaskan Searle, tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang
mengekspresikan sikap atau keadaan psikologis penutur. Karena termasuk
kategori tindak tutur ekspresif, maka Brown dan Levinson (1987:66)
memasukkan mengkritik sebagai tindak tutur yang mengancam muka positif.
28
Menurut Nguyen (2005:14), tindak tutur mengkritik dapat terbentuk
dari berbagai tindak tutur yang berbeda-beda yang masing-masing membawa
daya ilokusi yang berbeda pula dan tidak ada satupun yang merupakan tindak
utama (inti). Sebagai contoh, mengkritik dapat merupakan kompilasi dari
ekspresi ketidaksetujuan, evaluasi negatif, statemen tentang tindakan salah,
dan saran untuk perbaikan.
Tindak tutur mengkritik merupakan tindakan ilokusi yang titik
ilokusinya adalah untuk memberikan evaluasi negatif atas tindakan, pilihan,
kata-kata, dan produk yang menjadi bertanggung jawab petutur. Tindakan ini
dilakukan dengan harapan mempengaruhi tindakan petutur di masa depan
untuk perbaikan mitra tutur, dilihat oleh penutur sebagai alat berkomunikasi.
Ketidakpuasan penutur dengan atau tidak menyukai mengenai apa yang telah
dilakukan mitra tutur, akan membawa konsekuensi yang tidak diinginkan
untuk penutur (Nguyen, 2008: 45).
Nguyen bertolak pada pandangan mengkritik yang dikemukakan
oleh Wierzbicka. Dijelaskan bahwa tindak tutur mengkritik adalah tindak
ilokusi yang ilokusi poinnya adalah untuk memberikan evaluasi negatif
terhadap tindakan, pilihan, kata-kata dan produk-produk yang menjadi
tanggung jawab penutur. Mengkritik dalam konteks ini berarti memberikan
komentar, baik berupa pendapat, saran, masukan maupun sanggahan kepada
seseorang. Kritik dilakukan dengan harapan dapat mempengaruhi tindakan
petutur pada masa yang akan datang agar menjadi lebih baik dan
manfaatnya ada pada petutur sendiri. Kritik juga dilakukan untuk
menyampaikan ketidakpuasan atau ketidaksukaan penutur mengenai apa
29
yang dilakukan petutur tetapi tanpa menyiratkan bahwa apa yang dilakukan
petutur memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan bagi penutur. Menurut
Nguyen, tindak tutur mengkritik dibagi menjadi dua yaitu tindak tutur
mengkritik langsung dan tindak tutur mengkritik tidak langsung. Tindak
tutur mengkritik langsung adalah kritik yang secara eksplisit menunjukkan
masalah denganpilihan, tindakan, dan kinerja dari mitra tutur. Sedangkan,
tindak Mengkritik tidak langsung adalah kritik yang menyiratkan masalah
dengan pilihan, tindakan, kinerja, atauproduk dari mitra tutur, dengan
memperbaiki, menunjukkan aturan dan standar, memberikan nasihat,
menunjukkan atau bahkan meminta dan menuntut perubahan kerja atau
pilihan, dan dengan cara jenis yang berbeda dari petunjuk untuk
meningkatkan kesadaran H dari ketidaktepatan pilihan mitra tutur. (Nguyen,
2008: 47-48)
b. Tindak tutur mengeluh
Tindak tutur mengeluh, dalam taksonomi yang diajukan Searle,
termasuk ke dalam kategori tuturan ekspresif karena memiliki daya ilokusi
berupa pengungkapan keadaan psikologis penutur terhadap mitra tutur.
Oleh karena itu, berdasarkan daya ilokusinya, tindak tutur mengeluh
didefinisikan sebagai tindak ilokusi yang memuat ungkapan
pendapat/perasaan negatif penutur terhadap sesuatu yang termuat dalam
proposisi (hal yang dikeluhkan) dan oleh karenanya mitra tutur harus
bertanggung jawab baik secara langsung atau tidak langsung. Dalam
tindak tutur mengeluh, pendapat atau perasaan negatif berupa
ketidakpuasan atau kekecewaan penutur tersebut timbul sebagai reaksi
30
terhadap aksi atau tindakan yang sudah atau sedang diterima (Olshtain &
Weinbach, 1987 dalam Muniroh 2012:17)
Terkait tindak tutur mengeluh, Trosborg (Muniroh, 2012:22)
mengklasifikasikan tuturan mengeluh ke dalam empat kategori yang
direalisasikan ke dalam delapan strategi, mulai dari yang paling tak
langsung sampai yang paling langsung.
Nama
Kategori
Nama
Strategi
Penjelasan
No explicit
reproach
(tidak ada
teguran
secara
eksplisit)
1. hints
(Petunjuk)
Penutur menggunakan isyarat, hal yang
dikeluhkan tidak dijelaskan dalam tuturan
sehingga kemungkinan mitra tutur tidak
menyadari bahwa keluhan itu dialamatkan
padanya.
Expression
of
disapproval
(ekspresi
mencela)
2. Annoyance
(Ekspresi
kekesalan)
Penutur mengekspresikan keluhan dengan
menyampaikan kejengkelan/
kekecewaannya dengan menunjuk
langsung suatu hal/benda yang
menurutnya tidak sesuai/jelek, tanpa
menyebutkan bahwa mitra tutur adalah
orang harus yang bertanggung jawab atas
hal yang dikeluhkan.
3. ill Penutur menyebutkan dampak dari
31
consequences
(Konsekuensi
yang
menyakitkan)
perilaku mitra tutur yang tidak
mengenakkan baginya.
Accusation
(tuduhan)
4. Indirect
(Tuduhan tidak
langsung)
Untuk menuduh mitra, penutur
menggunakan kalimat tanya mengenai
situasi yang dekat dengan hal yang
dikeluhkan.
5. Direct
(Tuduhan
langsung)
Penutur secara langsung menuduh mitra
tutur atas perilakunya yang telah
merugikan penutur.
Blame
(menyalahk
an)
6. Modified
blame
(Menyalahkanyan
g disamarkan)
Mitra tutur adalah orang yang harus
bertanggung jawab atas yang dikeluhkan
penutur. Untuk kenyamanannya, penutur
mengungkapkan alternatif tindakan yang
seharusnya dilakukan mitra.
7. Explicit blame
(behavior)
Menyalahkan
secara eksplisit
(sikap)
Tanpa basa-basi, penutur langsung
menyatakan bahwa tindakan yang
dilakukan mitra tutur tidak sesuai/ jelek.
8. Explicit
blame(person)
Penutur menyatakan secara eksplisit
bahwa mitra sebagai tertuduh ialah
32
Menyalahkan
secara eksplisit
(orang)
seorang yang tak bertanggung jawab.
c. Tindak Tutur Meminta Maaf
Meminta maaf adalah mengharap agar diberi maaf atau
dimaafkan (KBBI, 2007: 745). Sebuah permintaan maaf bisa
digolongkan dalam sopan santun berbahasa yang digunakan seseorang
untuk memuaskan orang yang merasa dirugikan oleh perbuatannya.
Permintaan maaf bisa dipakai untuk mengobati suatu kesalahan guna
menciptakan suasana damai pulih kembali (Holmes, 1995). Namun
demikian, tindak tutur meminta maaf lebih mengarah pada bentuk sopan
santun yang lebih menekankan rasa hormat orang yang memintaa maaf
dibandingkan rasa solidaritas atau keakraban seperti halnya pujian.
Beberapa model memintaa maaf yang sering digunakan banyak orang.
(1) Menyatakan secara eksplisit kata-kata maaf dan menyesal.
(2) Menyatakan pengakuan dan bertanggung jawa atas perbuatannya.
(3) Menjelaskan alasan penyebab kesalahannya.
(4) Menawarkan untuk mengganti kerugian yang diakibatkan oleh
kesalahannya.
(5) Berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama lain kali.
d. Tindak tutur memuji
Memuji adalah tindak tutur yang secara langsung atau tidak
langsung memberikan penghargaan kepada seseorang selain penutur,
33
biasanya petutur atas beberapa “kelebihan yang dimilikinya, seperti
kepunyaan keahlian, dan lain-lain.tindak tutur yang secara langsung atau
tidak langsung memberikan penghargaan kepada seseorang. Jadi, tindak
tutur memuji adalah tindakan melakukan pujian yang dilakukan
seseorang (penutur) terhadap orang lain (petutur). Brown dan Levinson
(dalam Holmes, 2003:177) memaparkan bahwa pujian adalah contoh
utama tindak tutur yang memperhatikan dan mengikuti minat (interest),
keinginan (wants),kebutuhan (needs), dan penampilan (goods) petutur.
Brown dan Levinson juga menyatakan bahwa pujian merupakan strategi
kesantunan positif.
Holmes (2003:187) mengelompokkan jenis-jenis pujian menjadi
empat, yaitu pujian terhadap penampilan petutur (appearance
compliment), pujian terhadap kemampuan, prestasi atau perbuatan baik
petutur (ability/performance compliment), pujian terhadap benda yang
dimiliki petutur (possesions compliment), pujian terhadap terhadap
kepribadian atau keramahan petutur (personality/friendliness), dan
pujian terhadap kepribadian atau keramahan petutur
(personality/friendliness).
e. Tindak Tutur Berterima Kasih
Tuturan ekspresif ucapan terima kasih merupakan tindak tutur yang
biasanya terjadikarena beberapa faktor diantaranya, yaitu dikarenakan
mitra tutur atau lawan tuturnyabersedia melakukan apa yang diminta oleh
penutur, dikarenakan tuturan „memuji‟ yangdituturkan oleh penutur
34
kepada lawan tutur, atau dikarenakan kebaikan hati penutur yangtelah
memberikan sesuatu kepada lawan tutur.
f. Tindak tutur ungkapan rasa kecewa
Kekecewaan merupakan disconfirmed expectancies (harapan-
harapan yang tidak terpenuhi). Namun demikian, ungkapan kekecewaan
muncul dalam berbagai ragam yang mengindikasikan bahwa kekecewaan
dipengaruhi konteks yang yang melatar belakanginya. Oleh karena itu,
pemahaman yang lebih luas mengenai kekecewaan perlu untuk dipahami
terlebih dahulu. Emosi kecewa dapat berkombinasi dengan emosi yang lain,
emosi bukan semata-mata percampuran antara emosi-emosi primer yang
dianggap representatif saja misalnya (happiness, fear, anger, surprise,
sadness), namun merupakan percampuran antara sebuah emosi primer
dengan emosi-emosi lain di bawahemosi primer.
5. Strategi Kesantunan Berbahasa Brown dan Levinson
Prinsip kesantunan bermula dari strategi komunikasi yang sengaja
melanggar prinsip kerjasama, Grice (1975). Dalam prinsip kerjasama itu, Grice
mengemukakan empat maksim yang harus dipatuhi dalam percakapan antara
penutur dan mitra tutur, yaitu maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara.
Dalam prinsip tersebut, penutur dituntut untuk berbicara secukupnya (kuantitas),
berbicara jujur (kualitas), berbicara yang langsung mengena (relevansi), dan
berbicara teratur (cara) sehingga dapat disimpulkan bahwa prinsip kerjasama
Grice mengajarkan penutur untuk berbicara secara benar. Hal itu berbeda dengan
prinsip kesantunan Leech yang tujuannya adalah berbicara secara baik. Oleh
karena itu, prinsip kesantunan Leech sengaja melanggar prinsip kerjasama Grice.
35
Dalam prinsip kesantunan Leech, berbicara secara baik dikaitkan dengan strategi
biaya-maslahat (cost-benefit strategies) yaitu kerugian lebih dibebankan kepada
penutur dan keuntungan diberikan kepada mitra tutur (Jumanto, 2009:88).
Konsep kesantunan dikemukakan oleh banyak ahli, antara lain Lakoff
(1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), dan Leech (1983). Dasar
konsep kesantunan dari beberapa ahli tersebut berbeda-beda. Leech dan Lakoff
merumuskan konsep kesantunan dalam bentuk kaidah-kaidah yang akhirnya
menjadi prinsip kesantunan, sedangkan Fraser dan Brown dan Levinson
merumuskannya dalam bentuk strategi-strategi yang akhirnya menjadi teori
kesantunan (Rustono, 1999:61-62).
Prinsip kesantunan Lakoff (1972) berisi tiga kaidah yang harus dipatuhi
agar tuturan itu terdengar sopan oleh mitra tutur. Ketiga kaidah tersebut adalah
formalitas, ketidaktegasan, dan persamaan atau kesekawanan (Gunarwan,
1994:87-88). Kaidah formalitas berarti jangan memaksa atau jangan angkuh.
Konsekuensi kaidah ini adalah bahwa tuturan yang memaksa dan angkuh
dianggap tuturan yang kurang sopan. Kaidah ketidaktegasan berisi saran bahwa
penutur hendaknya menentukan pilihan. Tuturan yang memberikan pilihan kepada
mitra tutur akan dianggap lebih sopan daripada tuturan yang tidak memberikan
pilihan kepada mitra tutur. Sementara itu, kaidah persamaan atau kesekawanan
bermakna bahwa penutur hendaknya bertindak seolah-olah mitra tuturnya itu
sama, atau dengan kata lain buatlah mitra tutur merasa senang. Tuturan yang
membuat mitra tutur merasa senang, maka tuturan itu dianggap sopan. Dengan
demikian, menurut Lakoff, sebuah tuturan dikatakan sopan jika tuturan itu tidak
36
terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada
mitra tutur, dan mitra tutur itu menjadi senang.
Berbeda dengan Lakoff yang mendasarkan prinsip kesantunan atas dasar
kaidah, Fraser (1978) mendasarkan konsep kesantunannya atas dasar strategi.
Namun, sayang sekali, Fraser tidak merinci bentuk dan strategi kesantunannya.
Meskipun demikian, dia membedakan kesantunan dan penghormatan.
Menurutnya, penghormatan adalah bagian aktivitas yang berfungsi sebagai sarana
simbolis untuk menyatakan penghargaan secara reguler, sedangkan kesantunan
dimaknai sebagai properti yang diasosiasi dengan tuturan bahwa menurut mitra
tutur-penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak ingkar di dalam memenuhi
kewajibannya (Rustono, 1999:63).
Asim Gunarwan mengemukakan bahwa di antara hak-hak penutur di dalam
sebuah percakapan adalah hak untuk bertanya. Sementara itu, kewajiban mitra
tutur adalah kewajiban menjawab pertanyaan penutur, sedangkan yang termasuk
ke dalam hak dan kewajiban penutur-mitra tutur adalah yang menyangkut apa
yang boleh dituturkan serta cara bagaimana menuturkannya. Dengan demikian,
dapat diketahui bahwa pembedaan kesantunan dari penghormatan seperti yang
dibuat oleh Fraser itu sebenarnya terlalu dicari-cari. Alasannya, kewajiban
seorang penyerta percakapan dapat saja mencakup juga kewajiban untuk
menunjukkan penghormatan (1994:89).
Leech (dalam terjemahan M. D. D. Oka, 1993: 206-207) merumuskan prinsip
kesantunan menjadi tujuh maksim, yakni sebagai berikut:
a. Maksim kearifan (tact maxim)
37
Gagasan dasar maksim kearifan dalam prinsip kesantunan adalah
bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk
selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan
keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur dapat
dikatakan santun apabila berpegang dan mengikuti maksim kearifan.
Contoh:
(2) Tuan rumah : “Silahkah makan saja dulu, nak!
Tadi kami semua sudah mendahului.”
Tamu : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
b. Maksim kedermawanan (generosity maxim)
Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para
peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Hal ini akan
terjadi jika orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan
memaksimalkankeuntungan bagi pihak lain.
Contoh:
(3) Anak kos A: “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak,
kok yang kotor.”
Anak kos B: “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya juga akan mencuci
kok.”
c. Maksim pujian (approvation maxim)
Dalam maksim ini orang dapat dikatakan santun apabila dalam
bertutur selalu berusaha memberikan ujian kepada pihak lain. Peserta tuturan
yang sering mengejek peserta tuturan lain dalam kegiatan pertuturan dapat
dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Oleh karena itu,dengan adanya
maksim pujian atau maksim penghargaan ini diharapkan antarpeserta tutur
tidak saling mengejek, saling mencaci, dan tidak merendahkan pihak lain.
Contoh:
38
(4) Dosen A: “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas
Business English.”
Dosen B: “Oya, tadi aku mendengar bahasa Inggrismu jelas sekali dari
sini.“
d. Maksim kerendahan hati (modesty maxim)
Sikap kerendahan hati peserta tutur dapat dilakukan dengan cara
mengurangi pujian kepada diri sendiri. Dalam kegiatan bertutur, orang
dikatakan sombong apabila dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan
mengunggulkan dirinya sendiri.Kesederhanaan dan kerendahan hati bisa
digunakan sebagai tolak ukur penilaian kesantunan seseorang.
Contoh:
(5) Ibu A: “Nanti ibu yang memberikan sambutan ya dalam rapat dasa
Wisma!”
Ibu B: “Waduh,….nanti grogi aku.”
e. Maksim kesepakatan (agreement maxim)
Para peseta tutur diharapkan dapat saling membina kesepakatan atau
kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Masing-masing dari peseta tutur
dapat dikatakan santun apabila terdapat kesepakatan antara diri penutur dan
mitra tutur dalam bertutur. Oleh karena itu, kurangi ketidaksesuaian antara
diri sendiri dan orang lain, dan tingkatkan kesesuaian antara diri sendiri dan
orang lain.
Contoh:
(6) Guru A: “Ruangannya gelap ya, Bu!”
Guru B: “He..eh! saklarnya mana, ya?”
f. Maksim simpati (symphaty maxim)
Para peserta tutur diharapkan agar dapat memaksimalkan sikap
simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Orang dikatakan tidak
39
santun apabila bersikap antipati terhadap peserta tutur yang lain.
Kesimpatisan seseorang terhadap pihak lain bisa ditunjukkan dengan
senyuman, anggukan, gandengan, tangan, dan sebagainya.
Contoh:
(7) Ani: “Tut, nenekku meninggal.”
Tuti: “Innalillahiwainnailaihi rojiun. Ikut berduka cita.”
Brown dan Levinson dalam bukunya yang berjudul Politeness Some
Universal in Language Usage, menjelaskan tentang konsep muka „face‟
penting dalam kajian penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Brown dan
Levinson memberikan batasan tentang konsep muka. Muka adalah „face‟ atau
citra diri yang dimiliki oleh setiap warga masyarakat yang senantiasa dijaga,
dihormati, dan tidak dilanggar dalam proses pertuturan antarpeserta tutur.
Tindakan pengancaman muka adalah tindak tutur yang secara alamiah
berpotensi untuk melukai citra atau muka „face‟ lawan tutur dan oleh karena
itu dalam pengutaraannya harus digunakan strategi-strategi tertentu.
Face, the public self-image that every wants to claim for himself,
consisting in two related aspects:
(a) Negative face: the basic claim to territories, personal
proserves, right to non-distraction-i.e. to freedom of action and
freedom from imposition.
(b) Positive face: the positive consistent self-image or „personality‟
(crucially including the desire that this self-image be appreciated
and approved of) claimed by interactants (Brown and Levinson,
1987:61).
40
Muka, citra diri yang bersifat umum yang ingin dimiliki setiap warga
masyarakat, meliputi dua aspek yang saling berkaitan, (a) muka negatif, yang
merupakan dari gangguan, yaitu kebebasan bertindak dan kebebasan dari
kewajiban melakukan sesuatu, dan (b) muka positif, yakni citra diri atau
kepribadian positif yang konsisten yang dimiliki oleh warga yang berinteraksi.
Dengan demikian ada dua tipe muka yaitu muka negatif dan muka positif.
Muka negatif, yaitu keinginan individu agar setiap keinginannya tidak dihalangi
oleh pihak lain, sedangkan muka positif yaitu keinginan setiap penutur agar dia
dapat diterima atau disenangi oleh pihak lain. Secara alamiah terdapat berbagai
tuturan yang cenderung merupakan tindakan yang tidak menyenangkan yang
disebut Face Threatening Act (tindakan yang mengancam muka) dan disingkat
menjadi FTA.
Brown dan Levinson (1987:65-68) membuat kategori FTA berdasarkan
dua kriteria, yaitu tindakan yang mengancam muka negatif lawan tutur dan
tindakan yang mengancam muka positif lawan tutur.FTA yang mengancam muka
negatif, antara lain:
(a) Tindakan yang mengakibatkan lawan tutur menyetujui atau menolak
melakukan sesuatu, seperti ungkapan mengenai: orders and request,
advice, remindings threats, warnings, dan deres (memerintah dan
meminta, memberi saran, memberi nasihat, mengingatkan, dan
mengancam).
(b) Tindakan yang mengungkapkan upaya penutur melakukan sesuatu
terhadap lawan tutur dan memaksa lawan tutur untuk menerima atau
41
menolak tindak tersebut, seperti ungkapan mengenai offers, promises
(menawarkan dan berjanji).
(c) Tindakan yang mengungkapkan keinginan penutur untuk melakukan
sesuatu terhadap lawan tutur atau apa yang dimiliki oleh lawan tutur,
seperti ungkapan mengenai compliments, expressions of strong
(negative) emotions toward H-e.g. hatred, anger (pujian atau memberi
ucapan selamat, mengagumi, membenci, dan marah), sedangkan FTA
yang mengancam muka positif, antara lain:
(a) Tindakan yang memperlihatkan bahwa penutur memberi penilaian
negatif terhadap lawan tutur, seperti ungkapan mengenai disapproval,
criticism, contempt or ridicule, complaints and reprimands,
accusations, insults (mengungkapkan sikap tidak setuju, mengkritik,
tindakan merendahkan atau yang mempermalukan, keluhan,
kemarahan, dakwaan, penghinaan).
(b) Tindakan yang memperlihatkan sikap tidak peduli penutur terhadap
muka positif lawan tutur, seperti ungkapan mengenai contradictions or
disagreements, challenges, emotions, irreverence, mention of taboo
topics, including those that are inappropriate in the context
(pertentangan, ketidaksetujuan atau tantangan, emosi, ungkapan yang
tidak sopan, membicarakan hal yang dianggap tabu atau pun yang tidak
selayaknya dalam suatu situasi, yaitu penutur menunjukkan bahwa
penutur tidak menghargai nilai-nilai lawan tutur dan juga tidak mau
mengindahkan hal-hal yang ditakuti oleh lawan tutur.
42
Kesantunan berbahasa yaitu kesantunan berbahasa yang diambil penutur
untuk mengurangi derajat perasaan tidak senang atau sakit hati sebagai akibat
tuturan yang diungkapkan oleh penutur. Strategi kesantunan berbahasa adalah
cara atau strategi yang secara sadar maupun tidak sadar dipergunakan oleh
seorang penutur dalam rangka mengurangi akibat tidak menyenangkan dari
tuturannya terhadap lawan tuturnya (FX Nadar, 2009:251).
Brown dan Levinson (1987:69) menyatakan bahwa dalam melakukan
FTA, seorang dapat menggunakan salah satu atau lebih dari lima strategi yang
ditawarkan, yaitu: melakukan FTA secara langsung (on record), menggunakan
strategi kesantunan positif, melakukan FTA secara tidak langsung (off record),
menggunakan strategi kesantunan negatif, dan tidak melakukan FTA.
a. Strategi Tanpa Basa-Basi/on record
Seandainya penutur memutuskan memilih membuat tuturannya secara on
record maka penutur masih harus menentukan apakah penutur harus membuat
tuturan secara lugas tanpa usaha menyelamatkan muka lawan „badly without
redress‟, ataukah dengan pertimbangan langkah-langkah penyelamatan muka
lawan „redressive action‟.
Melakukan tindakan secara lugas, tanpa usaha penyelamatan muka berarti
melakukan tindakan tersebut dengan cara yang paling langsung, jelas, tegas, dan
ringkas (misalnya untuk meminta seseorang, cukup mengatakan „Kerjakan X‟).
Tindakan semacam ini biasanya dilakukan manakala penutur tidak mempedulikan
akan adanya sanksi pembalasan dari lawan tutur, misalnya dalam situasi di mana
(a) penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa karena hal-hal yang
bersifat mendesak maka hal-hal yang terkait dengan muka dapat ditangguhkan
43
terlebih dahulu; (b) bilamana ancaman terhadap muka lawan tutur sangatlah kecil,
misalnya untuk tindakan terkait dengan penawaran, permintaan, saran, dan lain
sebagainya yang jelas-jelas mengacu pada kepentingan lawan tutur dan tidak
memerlukan pengorbanan yang besar pada pihak penutur; dan (c) di mana penutur
mempunyai kekuasaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan lawan tutur, atau
penutur memperoleh dukungan luas untuk melakukan tindakan yang mengancam
muka lawan tutur tanpa harus kehilangan mukanya sendiri (Brown Levinson,
1987:69).
Tindakan penyelamatan muka lawan tutur diperlukan karena penutur
biasanya berkeinginan untuk menjaga kelangsungan hubungan yang harmonis
dengan lawan tuturnya. Brown Levinson (1987:69-70), mendefinisikan tindakan
penyelamatan muka „redressive action‟ sebagai tindakan yang „memberikan
muka‟ kepada lawan tutur, yang berusaha untuk menangkal rasa kurang senang
lawan tutur akibat dari tindakan yang kurang menyenangkan dengan cara
melakukan penambahan dan perubahan tuturan sedemikian rupa yang dapat
menunjukkan secara jelas kepada lawan tutur bahwa keinginan untuk melakukan
tindakan yang kurang menyenangkan tersebut sebenarnya tidak dikehendaki atau
tidak dimaksudkan sama sekali oleh penutur, dan bahwa penutur sebenarnya
memahami keinginan lawan tutur dan penutur sendiri menginginkan keinginan
lawan tutur tersebut dapat tercapai. Tindakan penyelamatan muka tersebut
terwujud dalam dua bentuk tergantung aspek muka (negatif atau positif) yang
diberi tekanan S=penutur, H=lawan tutur.
44
b. Strategi Kesantunan Negatif
Brown dan Levinson (1987) dalam bukunya yang berjudul Politeness
Some Universals Usage memberikan batasan mengenai kesantunan negatif.
Kesantunan negatif adalah keinginan yang diasosiasikan dengan muka lawan
tutur, yaitu keinginan agar penutur tidak dilanggar hak-haknya oleh lawan tutur.
Negative politeness, on the other hand, is oriented
mainly toward partially satisfying (redressing) H‟s negative
face, his basic want to maintain claims of territory and self
determination. Negative politeness, thus, is essentially
avoidance based, and realizations of negative-politeness
strategies cinsists in assurances that the speaker recognizes
and respect the addressee‟s negative-face wants and will not
(or will only minimally) interfere with the addressee‟s freedom
of action (Brown and Levinson, 1987:70).
Kesantunan negatif pada hakikatnya ditujukan terhadap bagaimana
memenuhi atau menyelamatkan sebagian muka negatif lawan tutur, yaitu
keinginan dasar lawan tutur untuk mempertahankan apa yang dia anggap sebagai
wilayah dan keyakinan dirinya. Jadi, pada dasarnya strategi kesantunan negatif
mengandung jaminan dari lawan tutur bahwa penutur mengakui, menghormati,
dan seandainya terpaksa melakukan, akan sedikit mungkin melakukan
pelanggaran (keinginan muka negatif lawan tutur dan tidak akan mencampuri
ataupun melanggar kebebasan bertindak lawan tutur).
Brown dan Levinson (1987:132-210) menawarkan sepuluh strategi
kesantunan negatif sebagai berikut:
45
1. Strategi 1: be conventionally indirect (menggunakan tindak tutur tak
langsung, seperti memberi perintah)
Contoh: “Tolong pintunya ditutup”
2. Strategi 2: questions, hedge(menggunakan pertanyaan dengan partikel
tertentu)
Contoh: “Saya minta tolong, bisa kan?”
3. Strategi 3: be pessimistic (bersikap pesimistik)
Contoh: “Mungkin Anda dapat membantu saya”
4. Strategi 4: minimize the imposition, Rx (kurangi kekuatan atau daya
ancaman terhadap muka lawan tutur)
Contoh: “Sebentar saja ya”
5. Strategi 5: give deference (beri penghormatan)
Contoh: “Maaf Pak, apakah bapak keberatan kalau saya menutup jendela”
6. Strategi 6: apologize (gunakan permohonan maaf)
Contoh: “Maafkan saya, tetapi...”
7. Strategi 7: impersonalize S and H (menghindari penggunaan kata “saya”
atau penutur dan “anda” atau lawan tutur)
Contoh: “Mohon kerjakan ini untuk saya”
8. Strategi 8: state the FTA as a general rule (nyatakan tindakan mengancam
muka sebagai ketentuan sosial yang umum berlaku)
Contoh: “Para penumpang dimohon tidak menyiram toilet dalam kereta
ini”
9. Strategi 9: nominalize (nominalkan pernyataan)
Contoh: “Prestasi Anda dalam ujian sangat mengesankan kami”
46
10. Strategi 10: go on record as incurring a debt, or as not indebting H
(nyatakan secara jelas bahwa penutur telah memberikan kebaikan (hutang)
atau tidak kepada lawan tutur)
Contoh: “Saya selamanya akan berterima kasih seandainya Anda...”
c. Strategi Kesantunan Positif
Brown dan Levinson (1987) dalam bukunya yang berjudul Politeness
Some Universals Usage memberikan batasan mengenai kesantunan positif.
Kesantunan positif adalah kesantunan yang diasosiasikan dengan muka positif
lawan tutur, yaitu keinginan agar penutur dihargai dan dipahami keinginannya.
Positive politeness is oriented toward the positive face of H, the
positive self-image that he claims for himself. Positive politeness is
approach-based; it „anoints‟ the face of the addressee by
indicating that in some respects, S wants H‟s wants (e.g by treating
him as a member of an in group, a person whose wants and
personality traits are known and liked) (Brown and Levinson,
1987:70).
Pada hakikatnya kesantunan positif ditujukan terhadap muka positif lawan
tutur, yaitu citra positif yang dianggap dimiliki oleh lawan tutur. Kesantunan
positif berupa pendekatan yang menorehkan kesan pada muka lawan tutur bahwa
pada hal-hal tertentu penutur juga mempunyai keinginan yang sama dengan lawan
tutur.
47
Brown dan Levinson (1987:103-129) menawarkan lima belas strategi-strategi
kesantunan positif sebagai berikut:
1. Strategi 1:notice; attend to H (his interest, wants, deeds, goods
(memperhatikan minat petutur, kepentingannya, keinginan, kebutuhan,
atau segala sesuatu yang menjadi milik petutur)
Contoh: “Wah, baru saja potong rambut ya.... omong-omong saya datang
untuk meminjam sedikit tepung terigu.”
2. Strategi 2: exaggerate interest, approval, aympathy with H e(membesar-
besarkan minat, dukungan, simpati kepada petutur)
Contoh: “Kebun Anda betul-betul luar biasa bagusnya.”
3. Strategi 3: intensity interest to H (meningkatkan rasa tertarik kepada
petutur)
Contoh: “Kau tahu?”
4. Strategi 4: use in-group identity markers (menggunakan penanda identitas
dalam kelompok)
Contoh: “Bantu saya membawa tas ini ya Nak?.”
5. Strategi 5: seek agreement (menunjukkan kecocokan)
Contoh: J: Yohanes pergi ke London akhir pekan ini!
B: Ke London.
6. Strategi 6: avoid disagreement (menghindari ketidakcocokan)
Contoh: “Ideku kan hampir sama dengan idemu.”
7. Strategi 7: presuppose/raise assert common ground (mempraanggapkan
atau meningkatkan atau menegaskan kesamaan pijaan)
Contoh: “Ah, nggak apa-apa. Kita kan sudah seperti saudara.”
48
8. Strategi 8: joke (berkelakar atau lelucon)
Contoh: “Nah, kalau cemberut, makin cakep aja kamu.”
9. Strategi 9: assert or presuppose S‟s knowledge of and corcern for H‟s
(mempraanggapkan bahwa penutur memahami keinginan-keinginan dari
petutur)
Contoh: “Ya, saya tahu kamu tidak suka pesta, tetapi pesta ini betul-betul
baik. Datanglah!”
10. Strategi 10: offer, promise (penawaran, janji)
Contoh: “Saya akan singgah kapan-kapan minggu depan.”
11. Strategi 11: be optimistic (bersikap optimistis)
Contoh: “Anda pasti dapat meminjamkan mesin pemotong rumput akhir
pekan ini.”
12. Strategi 12: include both S and H in the activity (melibatkan penutur dan
petutur dalam kegiatan)
Contoh: “Kalau begitu, mari makan kue.”
13. Strategi 13: give (or ask for) reasons (memberikan atau meminta alasan)
Contoh: “Mengapa kita tidak pergi ke pantai!”
14. Strategi 14: assume or assert reciprocity (menyiratkan atau menyatakan
hal yang timbal balik)
Contoh: “Saya akan meminjamkan buku novel saya kalau Anda
meminjami saya artikel Anda.”
15. Strategi 15: give sympathy to H (memberikan simpati kepada lawan tutur)
Contoh: “Kalau ada yang dapat saya lakukan untuk Anda, mohon saya
diberitahu.”
49
d. Strategi Melakukan Tindak Tutur Secara Tidak Langsung/off record
Brown dan Levinson (1987, 213-227), menawarkan lima belas strategi secara
tidak langsung sebagai berikut:
1. Strategi 1: give hints (memberi isyarat)
Contoh: “Wah, saya haus sekali” (= Berikan saya minum)
2. Strategi 2: give association clues (memberi petunjuk asosiasi)
Contoh: “Kamu pulang lewat Pasar Minggu, nggak?” (=Kamu bawa
mobil. Aku mau numpang sampai Pasar Minggu)
3. Strategi 3: presuppose (menggunakan prasuposisi)
Contoh: “Aku nraktir lagi, nih” (= Sebelumnya sudah mentraktir
temannya)
4. Strategi 4: understate (menggunakan ungkapan yang lebih halus)
Contoh: “Dia kurang pandai di sekolah” (Dia bodoh, tidak pandai)
5. Strategi 5: overstate (menggunakan ungkapan yang berlebihan)
Contoh: “Aku telepon ratusan kali, kon nggak jawab!”
6. Strategi 6: use tautologies (menggunakan tautologi)
Contoh: “Kamu kemarin kok nggak datang, sih. Janji tinggal janji”
7. Strategi 7: use contradictions (menggunakan kontradiksi)
Contoh: “Ah, saya nggak apa-apa. Kecewa, tidak. Nggak kecewa, juga
tidak”
8. Strategi 8: be ironic (menggunakan ironi)
Contoh: “Kamu selalu datang tepat waktu, ya”
9. Strategi 9: use metephors (menggunakan metafora)
Contoh: “Wah, kamu ini kuda, ya” (= tidak mengenal lelah)
50
10. Strategi 10: use rhetorical questions (menggunakan pertanyaan retorik)
Contoh: “Aku harus ngomong apa lagi?” (= sudah aku jelaskan panjang
lebar, kamu tetap tidak mengerti)
11. Strategi 11: be ambiguous (menggunakan ungkapan yang ambigu)
Contoh: “Wah, ada yang baru menang lotere, nih!” (= tidak jelas
maknanya, tergantung konteks)
12. Strategi 12: be vague (menggunakan ungkapan yang samar-samar)
Contoh: “Kamu tahu kan, aku pergi ke mana”
13. Strategi 13: over-generalize (menggunakan generalisasi yang berlebihan)
Contoh: “Kamu itu gampang sekali nangis. Orang dewasa kan nggak
begitu!”
14. Strategi 14: displace H (tidak mengacu ke lawan tutur secara langsung)
Contoh: “Tito bawakan koper ayah, ya” (= Tito masih balita, istrinya yang
datang, membawakan koper)
15. Strategi 15: be incomplete, use ellipsis (menggunakan ungkapan yang
tidak lengkap)
Contoh: “Aduh panasnya....” (= Aduh panasnya ruangan ini. Tolong AC
dinyalakan”
e. Strategi Diam Saja
Strategi tidak melakukan tindak tutur atau diam saja ini dilakukan oleh
penutur untuk menanggapi ujaran lain yang kurang pantas jika dijawab, sehingga
dengan diam saja penutur menunjukkan kesantunan daripada menjawab atau
melakukan tindak tutur tertentu (Jumanto, 2007:43).
51
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh penulis
untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka berpikir yang
terkait dalam penelitian ini secara garis besar dilukiskan pada bagan di bawah ini
.
Acara Tatap Mata
Tindak Tutur Ekspresif Strategi Kesantunan Berbahasa
TuturanPembawa Acara,
Narasumber, dan Panelis
Acara Tatap Mata
1. Berterima kasih
2. Meminta Maaf
3. Ungkapan Rasa
Kecewa
4. Mengeluh
5. Mengkritik
6. Memuji
7. Ungkapan Rasa
Bangga
8. Ungkapan Rasa
Syukur
1. Bald On Record
2. Kesantunan
Positif
3. Kesantunan
Negatif
4. Strategi
Melakukan
Tindak Tutur
Tidak Langsung
(Off Record)
52
Penjelasan bagan di atas:
Objek kajian penelitian ini adalah tindak tutur ekspresif dan strategi
kesantunan berbahasa. Sumber data dalam penelitian ini adalah acara Tatap Mata
di Trans 7. Dari sumber data akan diperoleh data penelitian berupa dialog
percakapan dari pembawa acara, panelis dan narasumber yang mengandung
tindak tutur ekspresif dan strategi kesantunan berbahasa. Dialog dalam acara
Tatap Mata di Trans 7akan dianalisis menggunakan teori tindak tutur ekspresif
Searle dan strategi kesantunan berbahasa dari Brown dan Levinson. Tuturan-
tuturan tersebut akan dianalisis dengan mendasar, memperhitungkan dan
mengaitkannya dengan konteks-konteks yang ada.
top related