bab ii kajian pustaka dan kerangka pikir filememinta, menyarankan, melarang, menyuruh, memohon,...
Post on 29-Aug-2019
224 Views
Preview:
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Studi Terdahulu
Penelitian mengenai tindak tutur dan prinsip kesantunan telah banyak
dilakukan sebelumnya.Adapun beberapa penelitian tersebut antara lain sebagai
berikut.
Skripsi Nisa Afifah (2012), Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan
Seni Rupa (FSSR), Universitas Sebelas Maret, berjudul Tindak Tutur Direktif dan
Kesantunan Berbahasa Pemasar Kepada Konsumen dalam Penawaran Program
Solusi Haji dan Umrah di PT Arminareka Perdana Cabang Solo: Suatu Tinjauan
Pragmatik. Dalam penelitian tersebut diangkat dua permasalahan yaitu: 1)
Bagaimana tindak tutur direktif antara pemasar kepada konsumen dalam
penawaran program solusi haji dan umrah di kantor perwakilan PT ARP cabang
Solo? 2) Bagaimana bentuk wujud kesantunan baik yang menaati maupun yang
melanggar prinsip kesantunan dalam penawaran program solusi haji dan umrah di
kantor perwakilan PT ARP cabang Solo?Simpulan dari penelitian tersebut
meliputi dua hal, yaitu sebagai berikut. Pertama,dalam tuturan langsung yang
digunakan pemasar kepada konsumen dalam penawaran program solusi haji dan
umrah di PT ARP cabang Solo ditemukan delapan macam tindak tutur direktif,
yaitu menyarankan, memerintah, mengajak, mengingatkan, meminta, membujuk,
mempersilakan, dan melarang. Kedua, berdasarkan parameter kesantunan
Geoffrey Leech ditemukan enam maksim yang dipatuhi oleh tuturan pemasar,
yaitu meliputi: maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim
10
11
kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim simpati. Sementara itu,
ditemukan pula empat maksim yang dilanggar oleh tuturan pemasar kepada
konsumen, yaitu maksim kearifan, kedermawanan, maksim kerendahan hati, dan
maksim kesepakatan.
Skripsi Esti Ekawati (2013), Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan
Seni Rupa (FSSR), Universitas Sebelas Maret, berjudul Tindak Tutur Direktif dan
Prinsip Kesantunan dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Depok Jaya Kota (Suatu
Tinjauan Pragmatik). Dalam skripsi tersebut diangkat dua permasalahan yaitu: 1)
Bagaimanakah jenis tindak tutur direktif antara penjual dan pembeli dalam
transaksi jual beli di pasar Depok Jaya Kota Depok? 2) Bagaimanakah prinsip
kesantunan baik yang mematuhi maupun melanggar antara penjual dan pembeli
dalam transaksi jual beli di pasar Depok Jaya Kota Depok?Berdasarkan analisis
data yang dilakukaan dalam penelitian tersebut, diperoleh simpulan sebagai
berikut. 1) Jenis tindak tutur yang ditemukan dalam transaksi jual beli di pasar
Depok Jaya Kota Depok meliputi delapan subtindak tutur, yaitu,mempersilakan,
meminta, menyarankan, melarang, menyuruh, memohon, mengajak,
danmendesak, 2) Jenis prinsip kesantunan antara penjual dan pembeli yang
ditemukan dalam transaksi jual beli di pasar Depok Jaya Kota Depok meliputi
empat maksim pelanggaran, yaitu maksim kearifan, maksim kedermawanan,
maksim kesepakatan, dan maksim pertimbangan. Melalui pematuhan dan
pelanggaran prinsip kesantunan maka akan dapat diketahui tingkat kesantunan
dalam berbahasa.
Skripsi Kurnia Nur Hidayatullah (2016) Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas
Ilmu Budaya (FIB), Universitas Sebelas Maret, berjudul Tindak Tutur Direktif
12
dan Kesantunan Imperatif pada Papan Pengumuman dan Informasi di Wilayah
Surakarta.Penelitian ini mengangkat dua permasalahan, yaitu: 1) Jenis tindak
tutur apa sajakah yang terdapat pada papan pengumuman informasi di wilayah
Surakarta? 2) Bagaimana kesantunan imperatif yang terdapat pada papan
pengumuman informasi di wilayah Surakarta? Dari analisis data peneliti
menyimpulkan terdapat tujuh jenis tindak tutur direktif yang ditemukan, ketujuh
tindak tutur tersebut meliputi meminta, menyuruh, melarang, mengingatkan,
mengharapkan, memohon, dan menyarankan. Serta ditemukan adanya lima
maksim prinsip kesantunan, yaitu maksim kearifan, kedermawanan, maksim
kesepakatan, maksim simpati,dan maksim kerendahan hati.
Berdasarkan ulasan dari penelitian-penelitian terdahulu tersebut, dengan
demikian penelitian berjudul Tindak Tutur dan Prinsip Kesantunan
TrainerOutbound Kota Surakarta (Suatu Kajian Pragmatik)memiliki
perbedaan.Dari segi penelitian mengenai tindak tutur dengan menggunakan teori
Kreidler, penelitian ini melakukan klasifikasi dan analisis data secara lebih
mendetail sampai pada tataran yang menjelaskan situasi-situasi yang
melatarbelakangi munculnya suatu jenis tindak tutur.Sementara itu, dari segi
penelitian kesantunan, sumber data pada penelitian ini memiliki karakteristik yang
unik.Trainer outboundsebagai sumber data merupakan pihak atau penutur yang
memiliki otoritas atau kekuatan penuh atas mitra tuturnya, namun di lain sisi
penutur tidak dapat menggunakan otoritasnya tersebut secara penuh sebagai suatu
strategi kesantunan.
13
B. Landasan Teori
1. Pragmatik
Pragmatik pertama kali muncul dari pemikiran seorang filsuf, Charles
Morris (1938), yang memiliki perhatian khusus terhadap ilmu semiotik atau
ilmu tentang sistem tanda.Morris merumuskan ilmu semiotik menjadi tiga
konsep dasar, yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik. Morris beranggapan
sintaktik berkaitan dengan hubungan formal antara tanda-tanda bahasa dengan
makna secara struktural dalam kalimat, sedangkan semantik mempelajari
hubungan antara tanda dengan objek, dan pragmatik mempelajari hubungan
antara tanda dengan penafsir (interpreters)(Rohmadi, 2010:3-4).
Setelah istilah pragmatik dimunculkan oleh Morris, pemahaman
mengenai pragmatik terus berkembang.Hal tersebut ditandai dengan
bermunculannya beberapa pengertian mengenai pragmatik oleh para ahli.
Pengertian tersebut di antaranya oleh Searle, Kiefre, Bierwisch (dalam Nadar,
2009:5), “Pragmatics is one of those words that‟s gives the impression that
something it has no clear meaning” (Pragmatik merupakan suatu istilah yang
mengesankan bahwa suatu yang sangat khusus dan teknis sedang menjadi
objek pembicaraan, padahal istilah tersebut tidak mempunyai arti yang jelas).
Definisi lain mengenai pragmatik disampaikan pula oleh Levinson
(dalam Nadar, 2009:4) sebagai berikut. “Pragmatic is the study of those
relation between language and context that are grammaticalized, or encoded
in the structure of language” (Pragmatik merupakan kajian hubungan antara
bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur
bahasa).
14
Parker (dalam Wijana, 1996: 2) berpendapat “Pragmatic is distinct
from grammar, which is study of the internal structure of language. Pragmatic
is the study of how language is used to communicate.” (Pragmatik adalah
cabang ilmu yang mempelajari struktur bahasa bahasa secara internal, yaitu
bagaimana satuan bahasa itu digunakan dalam komunikasi).
Sementara itu, Yule mengungkapkan pendapatnya mengenai pragmatik
melalui rumusan-rumusan batasan dalam bukunya yang berjudul Pragmatics
(terjemahan Indah Fajar Wahyuni dan Rombe Mustajab, 2006:3-4) sebagai
berikut.
a) Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur.
b) Pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual.
c) Pragmatik adalah studi tentang bagaimana lebih banyak yang
disampaikan dibandingkan yang dituturkan.
d) Pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan.
Sementara itu menurut Leech, pragmatik merupakan studi tentang
makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi atau aspek-aspek tutur
(terjemahan Oka, 2011:8).
2. Aspek-Aspek Situasi Ujar
Sehubungan dengan studi pragmatik yang merupakan kajian makna
yang berkaitan dengan situasi tutur, Leech (terjemahan Oka, 2011:19-20)
mengemukakan sejumlah aspek tutur yang perlu dipertimbangkan dalam
rangka studi pragmatik, sebagai berikut.
15
a) Yang menyapa (penyapa) dan yang disapa (pesapa)
Pesapa dan penyapa atau biasa disebut juga dengan sebutan
penutur dan petutur yaitu peserta dalam tuturan.
b) Konteks tuturan
Aspek-aspek yang gayut dengan lingkungan fisik dan lingkungan
sosial suatu tuturan.
c) Tujuan tuturan
Tujuan tuturan merupakan hal yang melatarbelakangi terjadinya
tuturan.
d) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak tutur.
Pragmatik berurusan dengan tindak-tindak atau perfomasi-
perfomasi verbal yang terjadi dalam situasi tertentu.
e) Tuturan sebagai produk tindak verbal
Sebagai produk suatu tindak verbal (bukan tindak verbal itu
sendiri) tuturan sebaiknya mengacu pada contoh-contoh maujud-
maujud gramatikal yang digunakan dalam situasi tertentu.Suatu
tuturan merupakan contoh atau tanda kalimat tetapi bukanlah
sebuah kalimat.
3. Tindak Tutur
Teori tindak tutur pertama kali dicetuskan oleh Austin pada 1955 di
Universitas Harvard, yang kemudian diterbitkan pada 1962 dengan judul
“How to Do Things with Words”. Lebih detail dalam tulisan tersebut, Austin
mengungkapkan bahwa pada dasarnya saat seseorang mengatakan sesuatu,
16
seseorang tersebut juga sedang melakukan sesuatu. Pada saat seseorang
menggunakan kata-kata kerja promise “berjanji”, apologize “minta maaf”,
name “menamakan”, pronounce “menyatakan”, maka sebenarnya yang
bersangkutan tidak hanya sedang mengucapkan, melainkan juga sedang
melakukan tindakan berjanji, meminta maaf, menamakan, dan memberikan
pernyataan. Tuturan-tuturan tersebut disebut tuturan performatif, sedangkan
kata kerjanya disebut kata kerja performatif (dalam Nadar, 2009:11).
Menurut Austin tuturan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
tuturan konstantif (constantive) dan tuturan performatif (performative).
Tuturan konstantif merupakan tuturan yang digunakan untuk menyatakan
sesuatu,sedangkan tuturan performatif merupakan tuturan yang dituturkan
untuk melakukan sesuatu (1968:1-11).
Selanjutnya, Austin mengembangkan lagi teori tindak tuturnya dengan
membagi klasifikasi tuturan performatif ke dalam tiga jenis, yaitu tindak
lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak
perlokusi (perlocutionary act) (1968:94-107). Berikut adalah penjelasan
mengenai ketiga jenis tindak tutur tersebut.
a) Tindak Lokusi
Tindak lokusi merupakan tuturan yang menyatakan sesuatu, atau
sering disebut juga dengan The Act of Saying Somethings.Tindak
tutur lokusi dituturkan oleh penuturnya dengan tujuan
menginformasikan atau menyatakan sesuatu.
17
b) Tindak Ilokusi
Tindak ilokusi merupakan tuturan yang tidak hanya berfungsi
untuk menginformasikan sesuatu, melainkan juga untuk melakukan
suatu tujuan sesuai dengan situasi tutur yang melingkupi. Tindak
tutur ilokusi sering disebut dengan The Act of Doing Somethings.
c) Tindak Perlokusi
Tindak perlokusi merupakan tuturan yang memiliki daya pengaruh
dan memang dimaksudkan untuk mempengaruhi atau memberikan
efek bagi mitra tutur.
Selanjutnya, murid Austin yaitu Searle mengembangkan teori
tindak tutur yang telah dicetuskan oleh gurunya. Searle membagi tindak
ilokusi ke dalam lima kategori berikut (Searle,1999:12-17).
a) Asertif (Assertives)
Inti dari tindak tutur asertif adalah tuturan yang membuat penutur
terikat pada suatu keadaan kebenaran suatu preposisi yang
diungkapkan (Searle, 1999:12). Sementara itu, dalam buku
Foundations of Illocutionary Logic (1985:182), Searle
menyebutkan bentuk tuturan yang termasuk ke dalam tindak tutur
asertif antara lain, affirm “menegaskan”, state “menyatakan”, deny
“mengingkari”, disclaim “menyangkal”, argue “berpendapat’,
notify “memberitahukan, remind “mengingat”, dan sebagainya.
b) Direktif (Directives)
Tindak tutur direktif adalah tuturan yang dituturkan penutur
dengan tujuan menghasilkan suatu efek berupa suatu tindakan yang
18
dilakukan oleh mitra tutur, termasuk di dalam kategori ini
yaitucommand “memerintah”, request “meminta”, beg
“memohon”, advise “menasihati”, dan sebagainya (1999:13-14).
c) Komisif (Commisives)
Tindak tutur komisif merupakantindak tutur ilokusi yang membuat
penutur terikat pada suatu tindakan di masa depan (1999:14).
Dalam buku Foundations of Illocutionary Logic(1985:182), Searle
menyebutkantermasuk dalam kategori ini adalahcommit
“berkomitmen”, promise “berjanji”, swear “bersumpah”, offer
“menawarkan”, dan sebagainya.
d) Ekspresif (Expressive)
Tindak tutur ilokusi yang termasuk dalam kategori ekspresif adalah
tuturan yang berfungsi untuk mengungkapkan atau mengutarakan
sikap psikologis terhadap keadaan atau situasi yang tersirat dalam
ilokusi, termasuk dalam kategori ini misalnya mengucapkan,
thank“terima kasih”, congrulate “mengucapkan
selamat”,apologizei “meminta maaf”, condole“mengucapkan
belasungkawa”, dan sebagainya (1999:15).
e) Deklarasi (Declarations)
Tindak tutur deklaratif adalah tindak tutur ilokusi yang akan
mengakibatkan adanya perubahan status atau kondisi suatu objek
(1999:17).Dalam buku Foundations of Illocutionary
Logic(1985:182), Sarle menyebutkan termasuk dalam kategori ini
adalah declare “mendeklarasikan”, resign “mengundurkan diri”,
19
adjourn “menunda”, appoint “mengangkat”, nominate
“mencalonkan”, dan sebagainya.
Teori tindak tutur berikutnya dikemukakan oleh Kreidler dalam
bukunya yang berjudul Introducing English Semantic (2002:183)
menyebutkan, umumnya setiap tuturan mempunyai maksud. Untuk
mengerti maksud tersebut, mitra tutur perlu memaknai setiap tuturan
secara tepat, dengan memperhatikan situasi sosial yang meliputi tuturan
tersebut. Oleh karena itu, dalam menyampaikan suatu tuturan, penutur
juga harus menyampaikan tuturan dengan cara yang tepat, sehingga mitra
tutur dapat mengerti maksud dari tuturan tersebut.
Selanjutnya, Kreidler membagi tindak tutur ke dalam tujuh jenis
tindak tutur berikut.
a) Kreidler (2002:183-184) menyebutkan tindak tutur asertif,
yaitu tindak tutur yang digunakan penutur untuk
menyampaikan sesuatu yang penutur ketahui atau penutur
yakini, sehingga tindak tutur asertif selalu didasarkan pada
fakta. Tindak tutur asertif mempunyai tujuan
menginformasikan sesuatu. Tindak tutur asertif masih
digolongkan dalam enam jenis sebagai berikut.
1) Terfokus pada informasi, misalnya mengumumkan,
menjelaskan, menyatakan, menyebut, memproklamirkan,
melaporkan, menunjukkan dan sebagainya.
20
2) Terfokus pada nilai kebenaran tuturan, misalnya
menegaskan, membuktikan, menduga, menjamin, bertaruh,
berpendapat, dan sebagainya.
3) Terfokus pada komitmen penutur terkait tuturan, misalnya
menceritakan rahasia, menyangkal, memprotes.
4) Terfokus pada cara penutur menyampaikan tuturan,
misalnya mengisyaratkan, mengenal, menekankan.
5) Terfokus pada keaslian isi tuturan, misalnya diktat, narasi
atau cerita, pengajaran.
6) Terfokus pada sudut pandang, misalnya memprediksi,
mengingat.
b) Tindak tutur performatif, yaitu tindak tutur yang berkaitan
dengan tanggung jawab atau wewenang yang dimiliki
seseorang, termasuk dalam tindak tutur performatif, penawaran,
pencopotan, pembaptisan, penahanan, pernikahan,
pengumuman persidangan. Tuturan-tuturan yang termasuk
dalam tindak tutur performatif tersebut akan berlaku jika
dituturkan oleh seorang yang memang berwenang untuk
menuturkan tindak tutur tersebut (Kreidler, 2002:185).
c) Kreidler (2002:187) mengungkapkan tindak tutur verdikatif
merupakan tindak tutur yang terjadi ketika penutur membuat
penilaian tentang suatu tindakan yang dilakukan oleh mitra
tutur, termasuk di dalam tindak tutur verdikatif adalah
21
penilaian dan pemaafan.Secara umum, tindak tutur verdikatif
dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Tindak tutur verdikatif yang didasari tindakan yang positif,
misalnya menghormat, memuji, memberi selamat.
2) Tindak tutur verdikatif yang didasari pada tindakan yang
menguntungkan penutur, misalnya berterima kasih.
3) Tindak tutur verdikatif yang didasari tindakan yang dinilai
negatif, misalnya menegur, menyalahkan, menuduh.
d) Tindak tutur ekspresif merupakan tindak tutur yang
berhubungan dengan retrospektif dan melibatkan apa yang
sedang dirasakan oleh penutur, termasuk dalam tindak tutur
ekspresif adalah mengakui kesalahan, meminta maaf,
menyangkal (Kreidler, 2002:188).
e) Tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang terjadi ketika
penutur mencoba untuk memerintahkan suatu tindakan kepada
mitra tutur. Secara umum terdapat tiga macam tuturan direktif
yaitu memerintah, meminta, dan menyarankan (Kreidler,
2002:189-190).
f) Kreidler (2002:192) menyebutkan tindak tutur komisif
merupakan tindak tutur yang berhubungan dengan kesesuaian
antara tindakan yang dilakukan penutur dengan tuturan yang
telah penutur tuturkan. Tindak tutur komisif dibagi dalam tiga
golongan sebagai berikut.
1) Respons berupa tindakan, misalnya menyetujui, menolak.
22
2) Respons bukan berupa tindakan, melainkan berupa
motivasi diri, misalnya melakukan ancaman, atau
sebaliknya mengajukan diri (untuk perbuatan baik),
3) Berfokus pada nilai atau isi tuturan, misalnya berjanji,
bersumpah.
g) Tindak tutur fatis memiliki tujuan untuk menciptakan
hubungan antaranggota dalam suatu hubungan sosial. Tindak
tutur fatis tidak memiliki fungsi yang nyata melebihi
kepentingan berdiskusi, hal tersebut karena tindak tutur fatis
tidak begitu penting keberadaannya, termasuk di dalamnya,
menyapa, memberi salam, sampai jumpa (Kreidler, 2002:194).
Penelitian mengenai tindak tutur ini mengacu pada teori tindak
tutur yang digagas Kreidler. Hal tersebut karena teori tindak tutur dari
tokoh tersebut merupakan teori yang paling sesuai untuk digunakan dalam
menganalisis data tindak tutur trainer outbound kota Surakarta.
4. Alat Penunjuk Tekanan Ilokusi (APTI)
Yule (terjemahan Indah Fajar Wahyuni dan Rombe Mustajab,
2006:85-86) mengungkapkan bahwa APTI yang paling jelas yang dapat
menunjukkan tekanan ilokusi pada suatu tuturan adalah adanya kata kerja
performatif dalam tuturan tersebut, misalnya pada contoh berikut:
a) Saya berjanjibahwa…
Pada contoh di atas, kata kerja performatif ditunjukkan pada kata
yang bercetak tebal.Melalui kata-kata tersebut, diketahui bahwa tindakan
23
ilokusi yang terkandung pada tuturan tersebut adalah tindakan berjanji.
Selain itu, Yule juga menjambahkan (terjemahan Indah Fajar Wahyuni dan
Rombe Mustajab, 2006:85-86) APTI yang lain dapat pula muncul dalam
bentuk urutan kata atau perkataan, tekanan, dan intonasi.
5. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung
Secara formal kalimat dibedakan menjadi kalimat berita
(deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif).
Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk menyampaikan suatu
informasi, kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah
digunakan untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, dan
permohonan. Penggunaan kalimat secara konvensional tersebut merupakan
bentuk dari tindak tutur langsung (direct speech act) (Wijana, 1996:30).
Contoh:
(a) Buronan teroris itu akhirnya tertangkap.
(b) Buatkan aku secangkir kopi!
Selain tindak tutur langsung, terdapat pula tindak tutur tidak
langsung (indirect speech act) yang dapat berupa kalimat tanya maupun
kalimat berita, tujuannya agar orang yang diperintah melakukan perintah
tersebut, tanpa merasa dirinya diperintah (Wijana, 1996:30). Contoh:
(c) Adik : “Ibu, sepatuku sudah kekecilan.”
Ibu : “Iya Dik, besok kita beli sepatu, ya?”
24
6. Kesantunan
Menurut Gunarwan (1994:87), terdapat beberapa pakar yang telah
membahas kesantunan berbahasa di antaranya Lakoff, Fraser, Brown-
Levinson, dan Leech. Secara umum perbedaan pembahasan mengenai
kesantunan berbahasa dari keempat tokoh tersebut terdapat pada sudut
pandang wujud kesantunan yang digunakan (kaidah sosial).
a. Kesantunan Menurut Lakoff
Lakoff menyebutkan tiga kaidah kesantunan yang
digunakan yang harus dipenuhi dalam menerapkan kesantunan
berbicara.Kaidah kesantunan yang pertama bahwa penutur
seharusnyatidak memaksakan kehendak atau angkuh kepada
lawan bicara.Kaidah kesantunan yang kedua dapat dijabarkan
seorang penutur memberikan suatu pilihan kepada lawan
bicara. Kaidah kesantunan yang ketiga dapat dijabarkan bahwa
penutur harus bertindak atau bertutur seolah-olah bahwa lawan
bicara berkedudukan sama dengan penutur atau membuat
lawan bicara merasa senang dengan tuturan penutur. Dengan
demikian, menurut Lakoff, suatu tuturan dikatakan santun jika
tidak terdengar angkuh, memaksa, memberikan pilihan kepada
lawan bicara dan membuat lawan bicara merasa senang melalui
tuturan penutur (Gunarwan, 1994:87-88).
Menurut Lakoff (2005) kesantunan berbahasa
menghubungkan bahasa, (termasuk di dalamnya sintaksis,
sosiolinguistik, dan pragmatik) dengan psikologi, dan
25
sosial.Untuk mengkaji kesantunan kaitannya dengan peran atau
pelaku atau penutur dikaji melalui sudut pandang pragmatik,
sedangkan berdasarkan kaitannya dengan konteks sosial,
kesantunan dikaji dengan menggunakan sosiolingustik.
b. Kesantunan Menurut Fraser
Fraser mengungkapkan kesantunan tidak berdasarkan
pada kaidah-kaidah, melainkan berdasarkan strategi.Fraser juga
beranggapan kesantunan merupakan properti atau bagian dari
tuturan.Selain itu, suatu tuturan dapat dikatakan santun atau
tidaknya berdasarkan penilaian dari pendengar (Gunarwan,
1994:88).
Menurut Fraser, kesantunan dari suatu tuturan dapat
diukur berdasarkan pemenuhan hak dan kewajiban penyerta
interaksi. Dalam hal ini yang dimaksud hak dan kewajiban
penutur dan lawan bicara adalah menyangkut hal-hal yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan untuk dituturkan serta
cara dari penutur menuturkan tuturan tersebut (Gunarwan,
1994:88-89).
c. Kesantunan Menurut Brown dan Levinson
Gunarwan (1994:90), menjelaskan bahwa teori
kesantunan Brown dan Levinson berkisar pada nosi muka
(face). Sebuah tindak tutur merupakan tindakan mengancam
muka, atau yang oleh Brown dan Levinson disebut dengan
Face Threatening Act (FTA).
26
Brown dan Levinson (1988:61), membagi muka dalam
dua jenis yaitu muka positif dan muka negatif. Muka postif
merupakan keinginan seseorang untuk mendapatkan
penghargaan, sedangkan muka negatif merupakan keinginan
seseorang agar tindakannya tidak dihalangi oleh orang lain
Brown dan Levinson (1988:74) menyebutkan faktir-
faktor yang mempengaruhi FTA, di antaranya sebagai berikut:
1) jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, 2) besar
kekuasaan atau dominasiantara penutur dan mitra tutur, dan 3)
status relatif dari tindak tutur dalam budaya bersangkutan.
Sementara itu, Menurut Brown dan Levinson (1988:69-
70) terdapat beberapa strategi yang dapat digunakan dalam
FTA antara lain sebagai berikut.
1) On baldy (Strategi tanpa basa-basi)
Termasuk di dalam strategi langsung atau tanpa
basa-basi antara lain, perintah secara langsung,
klarifikasi, permintaan secara langsung.
2) Positive politeness (Strategi kesantunan positif)
Berorientasi terhadap muka positif dari mitra tutur,
citra positif mitra tutur.Strategi kesantunan positif
juga berkaitan dengan rasa hormat penutur terhadap
keinginan mitra tutur.
27
3) Negative politeness (Strategi kesantunan negatif)
Berorientasi pada usaha untuk menyelamatkan
muka negatif mitra tutur.Strategi kesantunan negatif
berkaitan dengan keinginan mitra tutur untuk
mempertahankan keyakinan diri.
4) Off the record (Strategi tidak langsung)
Termasuk di dalam strategi tidak langsung antara
lain, bentuk metafora dan ironi, pertanyaan retoris,
keterangan yang mengecilkan permasalahan, dan
bentuk pengulangan.
5) Don‟t do the FTA(Tidak menggunakan FTA)
Dengan tidak menggunakan FTA penutur berusaha
menghindari tindakan yang menyinggung mitra
tutur.
d. Kesantunan Menurut Leech
Leech (dalam terjemahan Oka, 2011:124) beranggapan
bahwa prinsip kerja sama berfungsi untuk mengatur apa yang
dikatakan oleh peserta tutur sehingga tuturan tersebut mampu
terarah pada suatu wacana, sedangkan untuk mengatur aturan-
aturan dalam peristiwa tutur, digunakan prinsip kesantunan
yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding prinsip kerja
sama. Prinsip kesantunan berfungsi menjaga keseimbangan
antara hubungansosial dengan keramahan, yang dengan
keseimbangan tersebut diharapkan bahwa peserta tutur juga
28
dapat berhasil menerapkan prinsip kerja sama dalam
tuturannya. Oleh karena itu, Leech memandang prinsip
kesantunan berada di luar dari prinsip kerja sama.
Leech (dalam terjemahan Oka, 2011:206-207) membagi
prinsip kesantunan ke dalam enam maksim, sebagai berikut.
1) Maksim Kearifan (Tact Maxim)
Maksim kearifan berdasar pada dua segi yaitu
segi negatif dan segi positif.Segi negatif berpegang
pada prinsip “memberikan kerugian yang sekecil
mungkin bagi petutur”, sehingga menghasilkan segi
positif yaitu “memberikan keuntungan yang sebesar
mungkin bagi petutur”.Untuk menerapkan maksim
kearifan, penutur harus mengarahkan petutur untuk
memberikan respon berupa ilokusi yang positif (Leech,
dalam terjemahan Oka, 2011:170-171).
2) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)
Maksim kedermawanan berpegang pada prinsip
“membuat keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan
atau membuat kerugian diri sendiri sebesar mungkin”
(Leech, dalam terjemahan Oka, 2011:209).
3) Maksim Pujian (Aprobation Maxim)
Maksim pujian berpegang pada prinsip untuk
“sedikit mungkin mengecam orang lain, dan atau
sebanyak mungkin memberikan pujian untuk orang
29
lain.” Maksim pujian mempunyai nama lain yang
bermakna negatif yaitu maksim rayuan. Maksim rayuan
disematkan untuk tuturan pujian yang tidak tulus
(Leech, dalam terjemahan Oka, 2011:211).
4) Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
Maksim kerendahan hati dirumuskan dalam
prinsip “memuji diri sendiri sesedikit mungkin dan atau
mengecam diri sendiri sebanyak mungkin” (Leech,
dalam terjemahan Oka, 2011:214).
5) Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim)
Maksim kesepakatan berpegang pada prinsip
“usahakan agar ketidaksepakatan diri sendiri dengan
orang lain sekecil mungkin” dan “usahakan agar
kesepakatan antara diri sendri dan orang lain terjadi
sebanyak mungkin” (Leech, dalam terjemahan Oka,
2011:207).
6) Maksim Simpati (Sympathy Maxim)
Maksim simpati berpegang pada prinsip
“kurangi rasa antipati antara diri sendiri dengan orang
lain sekecil mungkin” dan “tingkatkan rasa simpati
antara diri sendiri dengan orang lain” (Leech, dalam
terjemahan Oka, 2011:207).
30
Selain berdasarkan maksim-maksim, menurut Leech
kesantunan tuturan juga dapat dilihat berdasarkan beberapa
skala sebagai berikut.
1) Skala Untung Rugi
Skala untung rugi berdasarkan pada perkiraan
keuntungan atau kerugian tindakan mitra tutur bagi
penutur atau bagi mitra tutur.Skala untung rugi terdiri
dari dua macam skala, yaitu untung rugi bagi penutur
dan untung rugi bagi petutur.Dua amacam skala untung
rugi tersebut saling bergantung tapi mungkin juga skala
keberagaman skala yang satu terlepas dari keberagaman
skala yang lain (Leech, dalam terjemahan Oka,
2011:194-195).
2) Skala Kemanasukaan
Skala kemanasukaan mengurut pada ilokusi-
ilokusi menurut jumlah pilihan yang diberikan oleh
penutur kepada petutur (Leech, dalam terjemahan Oka,
2011:195).Skala manasuka menunjuk pada banyak atau
sedikitnya pilihan yang disampaikan penutur kepada
petutur dalam peristiwa tutur.Semakin banyak dan
leluasanya pilihan yang diberikan oleh penutur kepada
petutur, maka tuturan tersebut dianggap semakin santun
dan berlaku pula sebaliknya (Rahardi, 2005:67).
31
3) Skala Ketaklangsungan
Skala ketaklangsungan dilihat dari sudut
pandang penutur, skala ini mengurut ilokusi-ilokusi
menurut panjang jalan yang menghubungkan tindak
ilokusi dengan tujuan ilokusi, sesuai dengan analisis
cara tujuan. Selain itu, skala ketaklangsungan juga
dapat dilihat dari sudut pandang petutur, yaitu dengan
panjangnya jalan inferensial yang dibutuhkan oleh
makna sampai ke daya. Kedua sudut pandang ini
memiliki banyak kesepadanan karena dari sudut
pandang petutur untuk menginterpretasi rekonstruksi
langkah demi langkah pemahaman petutur mengenai
strategi ilokusi penutur.Oleh karena itu, dalam
membahas ketaklangsungan, biasanya sudut pandang
penutur tidak perlu dibedakan dengan sudut pandang
petutur (Leech, dalam terjemahan Oka, 2011:195).
4) Skala Otoritas
Menurut Leech skala otoritas dapat
digambarkan dengan sumbu vertikal yang mengukur
jarak sosial menurut “kekuasaan” atau otoritas yang
dimiliki seorang pemeran serta pemeran lain. Skala ini
merupakan skala yang bersifat asimetris, artinya
seseorang yang memiliki kekuasaan atau otoritas dapat
menggunakan bentuk sapaan yang akrab kepada orang
32
lain, tetapi orang yang disapa akan menjawab dengan
hormat (dalam terjemahan Oka, 2011:199).
5) Skala Jarak
Leech menjelaskan skala jarak sosial merupakan
skala yang diukur dari sumbu horizontal yang
mengukur sebuah faktor yang oleh Brown dan Gilman
disebut faktor “solidaritas” (solidarity), sedangkan
Leech menyebutnya “jarak sosial” (social distance).
Menurut skala ini, derajat rasa hormat yang ada pada
sebuah situasi tutur tertentu, sebagian bergantung pada
faktor yang relatif permanen, yaitu usia, kedudukan,
keakraban, dan sebagainya (dalam terjemahan Oka,
2011:199).
Pada penelitian ini peneliti memilih menggunakan teori
kesantunan yang digagas oleh Leech. Hal tersebut dikarenakan
menurut peneliti teori kesantunan Leech merupakan teori yang
paling sesuai untuk dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis
penerapan prinsip kesantunan dalam tindak tutur trainer
outbound kota Surakarta saat memandu kegiatan outbound.
7. Outbound
Ancok (2007:4) berpendapat, outbound merupakan sebuah metode
pelatihan atau pembelajaran yang menggunakan pendekatan belajar melalui
pengalaman pribadi (experience learning). Dengan adanya pengalaman
33
langsung terhadap sebuah fenomena, orang akan lebih mudah menangkap
esensi pengalaman tersebut. Outbound akan memberikan pengalaman pada
peserta, pengalaman akan kesuksesan dan kegagalan dalam permainannya,
sehingga melatih peserta untuk tepat bersikap, bersikap untuk meraih
kesuksesan maupun bersikap ketika mengalami kegagalan.
Sanoesi dalam buku Panduan Outbound 1 Low Game Impact
(2010:10-11) menjelaskan perkembangan outbound bermula dari seorang
pimpinan kelompok pelaut Blue Funnel Lines bernama Lawrence Holt yang
meminta seorang pendidik asal Jerman, Kurt Hahn untuk memberikan
motivasi sekaligus pelatihan kepada awak kapalnya. Pelatihan tersebut
bertujuan untuk menumbuhkan keberanian dan percaya diri awak kapal yang
tengah diselimuti rasa takut akibat perang dunia II. Hahn menyampaikan
pelatihan dalam bentuk outward bound (sekarang disebut outbound).
Selanjutnya outward bound berkembang dan masuk di Asia pertama
kali di Malaysia pada 1950, sedangkan di Indonesia outward bound pada 1990
ditandai dengan berdirinya sebuah lembaga penyedia jasa pelatihan bernama
Outward Bound Indonesia yang didirikan oleh Djoko Kusumowidagdo.
Pergeseran penggunaan istilah outward bound menjadi outbound
bermula dari mulai banyak bermunculannya lembaga penyedia jasa pelatihan
yang menyertakan kata “ward” dalam label usahanya. Khawatir akan adanya
tuntutan hukum dari pemilik label “outward” yang sesungguhnya yaitu Kurt
Hahn dengan penyedia jasa pelatihannya yang berlabel Outward Bound
International, para pemilik usaha penyedia jasa pelatihan outward perlahan
34
mulai menanggalkan kata “ward”dan menggantinya dengan istilah outbound
yang kemudian digunakan sampai saat ini.
Selanjutnya, Sanoesi berpendapat bahwa outbound merupakan media
pendidikan di alam terbuka yang diawali dari kekurangan kemudian
mengubah kekurangan tersebut menjadi kelebihan, misalnya dari yang kurang
berani menjadi lebih berani, dari yang kurang gigih menjadi lebih gigih, dari
yang kurang solid menjadi lebih solid, dan sebagainya (2010:14).
Sanoesi juga menambahkan seiring dengan berkembangnya outbound
di Indonesia saat ini, outbound memiliki tujuan yang beraneka ragam
bergantung pada lembaga penyelenggara. Outbound dapat diadakan sebagai
beberapa bentuk seperti, pre-test (tes awal) dalam perekrutan anggota sebuah
organisasi atau perusahaan, sebagai pelatihan manajemen, untuk
meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM), untuk membangun
kerja sama, rekreasi, dan lain-lain. Selain itu, outbound juga bertujuan untuk
menyampaikan nilai filosofi yang secara implisit terdapat dalam setiap
permainan outbound (2010:22-27).
9. Trainer
Trainermerupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Inggris yang
merupakan bentuk perluasan dari kata train yang berarti melatih atau training
yang berarti pelatihan, sedangkan dalam Kamus Inggris-Indonesia yang
disusun Echols dan Shadily (2003:600) kata trainer diartikan pelatih atau
penggembleng.
35
Ridha (2006:21) menyebut bahwa seorang trainer merupakan pelaku
penting dalam proses training. Trainer merupakan pengendali kegiatan
training, berperan sebagai pembimbing, pengarah, pengkritik, dan pengamat.
Lawsen dalam buku The Trainer‟s Handbook menyebutkan bahwa
seorang trainerjuga merangkap sebagai fasilitator dalam menyelenggarakan
pelatihan melalui permainan-permainan.
“The trainer as facilitator standing up in front of a group and
representing information is one thing; facilitating discussion
and interaction is another. Each requires a different set of
skills. If you accept the changing role of the trainer –from
"teacher" to „facilitator‟–then you will have to understand and
develop facilitation skills.” (Sebagai seorang fasilitator,
seorang trainer merupakan seorang yang berdiri di depan
kelompok dan menyampaikan informasi, memfasilitasi
terjadinya diskusi dan interaksi dalam kelompok. Oleh karena
itu, seorang trainer harus mempunyai kemampuan. Jika
seseorang dapat melakukan gaya pelatihan yang biasa
dilakukan seorang guru menjadi gaya seorang fasilitator, itu
artinya seseorang tersebut mempunyai dan telah
mengembangkan kemampuan sebagai fasilitator) (Lawsen,
2006:215)
Sebagai seorang trainer sekaligus fasilitator, seorang trainer
menyampaikan segala informasi baik secara verbal maupun secara
nonverbal.Lawsen (2006:215) juga mengungkapkan, “The most
importantthing to remember about your responbilities as a trainer is that you
are a role model. How you conduct yourself verbally and nonverbally
determines how participants conduct themselves” (Hal terpenting yang perlu
diingat dari tugas seorang trainer adalah bahwa seorang trainer merupakan
contoh. Seorang trainer harus mampu memposisikan perilaku mereka baik
secara verbal maupun nonverbal, sekaligus membuat peserta training mampu
memposisikan diri sendiri sesuai dengan yang telah dicontohkan trainer).
36
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir merupakan sebuah cara kerja yang dilakukan oleh
penulis untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka
pikir dalam penelitian ini secara garis besar akan digambarkan melalui
bagan di bawah ini.
Bagan 1 Kerangka Pikir
Tindak Tutur
1. Tindak Tutur Asertif
2. Tindak Tutur Perfomatif
3. Tindak Tutur Verdikatif
4. Tindak Tutur Direktif
5. Tindak Tutur Komisif
6. Tindak Tutur Ekspresif
7. Tindak Tutur Fatis
8.
Prinsip Kesantunan (PK)
1. Maksim Kearifan
2. Maksim Kedermawanan
3. Maksim Pujian
4. Maksim Kerendahan Hati
5. Maksim Kesepakatan
6. Maksim Simpati
Pematuhan KS Pelanggaran KS
Hasil Analisis
- Bentuk tindak tutur trainer outbound Kota Surakarta
- Bentuk penerapan prinsip kesantunan dalam tindak tutur trainer outbound
Kota Surakarta
Kegiatan Outbound Interaksi trainer dan peserta
Tuturan trainer outbound dalam memandu kegiatan
Tujuan Penelitian
- Mendeskripsikan jenis tindak tuturtrainer outbound Kota Surakarta
- Mendeskripsikan bentuk penerapan prinsip kesantunan dalam tindak
tuturtrainer outbound Kota Surakarta
37
Bagan pada kerangka pinkiran di atas menggambarkan bahwa data dalam
penelitian ini diperoleh dari tuturan trainer outbound kota Surakarta dalam
memandu kegiatan outbound.Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah
tindak tutur dan prinsip kesantunan, baik pematuhan maupun pelanggaran pada
tindak tutur traineroutbound kota Surakartadalam memandu kegiatan
outbound.Dalam hal ini, peneliti melakukan pengumpulan data pada rentang
waktu bulan Mei dan Agustus 2016.
Pragmatik menempatkan tindak tutur sebagai objek kajian dengan
memperhitungkan konteks pemakaiannya, sehingga tuturan yang dilakukan oleh
penutur (dalam hal ini trainer outbound kota Surakarta) dalam memandu kegiatan
outbound akan tersampaikan kepada pembaca melalui data penelitian. Tuturan-
tuturan tersebut kemudian dianalisis secara mendasar dengan melibatkan konteks
yang meliputi tuturan tindak tutur dan prinsip kesantunan. Pada akhirnya, dari
penelitian ini akan diperoleh bentuk tindak tutur dan penerapan prinsip
kesantunan, baik dalam bentuk pematuhan maupun pelanggaran pada tuturan
trainer outboundkota Surakarta.
top related