bab ii dasar teorieprints.unram.ac.id/15073/3/bab ii - dasar teori ta.pdf · 2019. 12. 2. · 4 bab...
Post on 08-Mar-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
4
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Tinjuan Pustaka
Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang
terjadi hanya pada satu tempat atau titik saja (point rainfall). Mengingat hujan
sangat bervariasi terhadap tempat (space), maka untuk kawasan yang luas, satu
penakar hujan belum dapat menggambarkan hujan wilayah tersebut. Dalam hal ini
diperlukan hujan kawasan yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan beberapa
stasiun penakar hujan yang ada di dalam atau disekitar kawasan tersebut. Curah
hujan setiap hari yang direkam dari stasiun hujan digunakan sebagai masukan untuk
mengetahui intensitas hujan yang ada pada suatu wilayah. (Handayani, 2012).
Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu.
Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cenderung
makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya.
Intensitas hujan diperoleh dengan cara melakukan analisis data hujan baik secara
statistik maupun secara empiris. Biasanya intensitas hujan dihubungkan dengan
durasi hujan jangka pendek misalnya 5 menit, 30 menit, 60 menit dan jam-jaman.
Data curah hujan jangka pendek ini hanya dapat diperoleh dengan menggunakan
alat pencatat hujan otomatis. Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang
ada hanya data hujan harian, maka intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus
Mononobe. (Yulius, 2014)
Analisis IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri data
yang diperoleh dari rekaman data hujan. Dalam statistik dikenal empat macam
distribusi frekuensi yang banyak digunakan dalam hidrologi, yaitu distribusi
Normal, Log-Normal, Gumbel dan Log Pearson Type III. Masing-masing distribusi
mempunyai sifat yang khas, sehingga data curah hujan harus diuji kecocokannya
dengan sifat statistik masing-masing distribusi tersebut. Pemilihan jenis distribusi
yang tidak benar dapat menimbulkan kesalahan perkiraan yang cukup besar, baik
over estimated maupun under estimated. (Harto, 1993)
5
Analisis kurva Intensity Duration Frequency (IDF) dan Depth Area
Duration (DAD) telah dilakukan di Kota Praya. Dari hasil analisis tersebut dapat
diambil kesimpulan nilai IDF di Kota Praya dengan durasi 30 menit berdasarkan
kala ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan 25 tahun diperoleh intensitas hujan
berturut-turut yaitu I2 = 44,234 mm/jam, I5 = 57,934 mm/jam, I10 = 66,785 mm/jam
dan I25 = 77,809 mm/jam. Berdasarkan bentuk lengkung kurva IDF periode ulang
2, 5, 10 dan 25 tahun dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu hujan
yang terjadi maka intensitas hujan yang terjadi semakin kecil dan begitu juga
sebaliknya semakin pendek durasi hujan yang terjadi maka intensitas hujan semakin
besar. Berdasarkan analisis Depth Area Duration (DAD) diperoleh besaran hujan
maksimum per 6 jam dengan durasi 6 jam, 12 jam, 18 jam dan 24 jam untuk luasan
20 km2 berturut-turut adalah 76,09 mm; 81,4 mm; 80,42 mm dan 80,42 mm.
Berdasarkan bentuk lengkung kurva DAD yang tergambar dapat diambil
kesimpulan bahwa semakin besar luas area tangkapan hujannya maka kedalaman
hujan yang terjadi semakin kecil, dan begitu juga sebaliknya semakin kecil luas
area tangkapan hujannya maka kedalaman hujan yang terjadi semakin besar.
(Irwan, 2015)
2.2 Landasan Teori
2.2.1 DAS (Daerah Aliran Sungai)
Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh punggung-
punggung gunung atau pegunungan di mana air hujan yang jatuh di daerah tersebut
akan mengalir menuju sungai utama pada suatu titik atau stasiun yang ditinjau. Air
hujan yang jatuh di dalam DAS akan mengalir menuju sungai utama yang ditinjau,
sedangkan yang jatuh di luar DAS akan mengalir ke sungai lain disebelahnya. Luas
DAS diperkirakan dengan mengukur daerah itu pada peta topografi. Luas DAS
sangat berpengaruh terhadap debit sungai. Pada umumnya semakin besar DAS
semakin besar jumlah limpasan permukaan sehingga semakin besar pula aliran
permukaan atau debit sungai. (Triatmodjo, 2008)
Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat dipandang sebagai bagian dari
permukaan bumi tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan mengumpul ke
6
sungai menjadi aliran sungai menuju ke suatu titik di sebelah hilir (down stream
point) sebagai titik pengeluaran (catchment outlet). Setiap DAS besar yang
bermuara ke laut merupakan gabungan dari beberapa DAS sedangkan sub DAS
adalah gabungan dari sub DAS kecil-kecil. (Soewarno, 1995)
Gambar 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)
(Sumber : Google Image)
2.2.2 Hujan
Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses
hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan (rainfall depth) ini akan dialihragamkan
menjadi aliran sungai, baik melalui limpasan permukaan (surface runoff), aliran
antara (interflow, sub surface flow) maupun sebagai aliran air tanah (groundwater
flow). Untuk mendapatkan perkiraan besar hujan yang terjadi di seluruh DAS,
diperlukan data kedalaman hujan dari banyaknya stasiun hujan yang tersebar di
seluruh DAS. Kerapatan data hujan dan jumlah stasiun pencatat hujan dalam suatu
DAS akan memberikan perbedaan dalam besaran hujan yang didapatkan. (Harto,
1993).
Menurut Soemarto (1987), jika membicarakan data hujan ada 5 buah unsur
yang harus ditinjau :
7
1. Intensitas (I), adalah laju hujan = tinggi air per satuan waktu (mm/menit,
mm/jam, mm/hari),
2. Lama waktu (t), adalah lamanya curah hujan (durasi) dalam menit atau
jam,
3. Kedalaman hujan (d), adalah jumlah atau banyaknya hujan dinyatakan
dalam ketebalan air diatas permukaan datar dalam mm,
4. Frekuensi biasanya dinyatakan dengan kala ulang (return period) (T),
misalnya sekali dalam T tahun,
5. Luas (A), adalah luas geografi curah hujan, dalam m2.
Hujan merupakan sumber dari semua air yang mengalir di sungai dan di
dalam tampungan baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Jumlah dan
variasi debit sungai tergantung pada jumlah, intensitas dan distribusi hujan.
Terdapat hubungan antara debit sungai dan curah hujan yang jatuh di DAS yang
bersangkutan. Apabila data pencatatan debit tidak ada, data pencatatan hujan dapat
digunakan untuk memperkirakan debit aliran. (Triatmodjo, 2008).
2.2.3 Pengukuran Curah Hujan
Pengukuran hujan dilakukan dengan menampung hujan yang jatuh di
beberapa titik yang sudah ditentukan dengan menggunakan alat pengukur hujan.
Hujan yang terukur mewakili suatu luasan daerah disekitarnya yang dinyatakan
dengan kedalaman hujan. Derajat curah hujan biasanya dinyatakan oleh curah hujan
dalam suatu satuan waktu dan intensitas hujan. Jadi intensitas curah hujan berarti
jumlah presipitasi atau curah hujan dalam waktu relatif singkat. Intensitas curah
hujan ini dapat diperoleh atau dibaca dari kemiringan kurva (tangen kurva) yang
diukur oleh alat ukur hujan otomatis. (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).
2.2.4 Pengujian Konsistensi Data Hujan
Perubahan lokasi stasiun hujan atau perubahan prosedur pengukuran dapat
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap jumlah hujan yang terukur,
sehingga dapat menyebabkan terjadinya kesalahan yang berupa ketidakpanggahan
data (inconsistency). Uji konsistensi berarti menguji kebenaran data lapangan yang
8
tidak dipengaruhi oleh kesalahan pada saat pengiriman atau saat pengukuran.
Pengujian konsistensi data hujan dibagi dalam 2 (dua) tahap yaitu :
a. Analisis Kurva Massa Ganda
Jika terdapat data curah hujan tahunan dengan jangka waktu pengamatan
yang panjang, maka kurva massa ganda dapat digunakan untuk memperbaiki
kesalahan pengamatan yang terjadi yang disebabkan oleh perubahan posisi atau
cara pemasangan yang tidak baik dari alat ukur curah hujan. Kesalahan-kesalahan
pengamatan tidak dapat ditentukan dari setiap data pengamatan. Hal ini masih
sering menimbulkan keraguan karena masih terdapat kemungkinan tidak
panggahnya stasiun referensi. Cara ini tidak dapat digunakan untuk data curah
hujan jangka waktu yang singkat (curah hujan harian atau perjam). (Sosrodarsono
dan Takeda, 2003).
b. Rescaled Adjusted Partial Sums (RAPS)
Uji konsistensi dengan cara RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums)
merupakan pengujian untuk individual stasiun (stand alone station). Uji konsistensi
ini digunakan untuk menguji ketidakpanggahan antar data dalam stasiun itu sendiri
dengan mendeteksi pergeseran nilai rata-rata (mean).
Pengujian dilakukan terhadap penyimpangan kumulatif dari nilai reratanya
yang dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut :
Sk*0 = 0 (2-1)
Sk* = ∑ (𝑌𝑖 − 𝑌𝑟)𝑘𝐼+1 (2-2)
Dy2 = ∑ (𝑌𝑖−𝑌𝑟)𝑛
𝐼−1
𝑛 (2-3)
Sk** = 𝑆𝑘∗
𝐷𝑦 (2-4)
Dengan :
Yi = data curah hujan,
Yr = rerata curah hujan,
n = jumlah data hujan,
k = 1, 2, 3,……, n.
Untuk data yang panggah atau homogen nilai Sk* akan berkisar mendekati
nol. Grafik kumulatif digunakan untuk menetapkan posisi dimana terjadi
9
perubahan, yaitu bilamana grafik menunjukkan perubahan secara nyata. Dalam
model ini nilai maksimum dari besaran Sk* merupakan petunjuk posisi titik
perubahan tersebut. RAPS diperoleh dengan cara membagi Sk* dengan nilai
simpangan baku Dy.
Pengujian dengan menggunakan data dari stasiun itu sendiri yaitu pengujian
dengan komulatif penyimpangan terhadap nilai rata-rata dibagi dengan akar
komulatif rerata penyimpangan kuadrat terhadap nilai reratanya, lebih jelas lagi
bisa dilihat pada rumus nilai statistik Qy dan Ry.
Nilai statistik Qy :
Qy = Maks |Sk**| (2-5)
0 ≤ k ≤ n
Nilai statistik R :
Ry = Maks Sk** - Min Sk** (2-6)
0 ≤ k ≤ n 0 ≤ k ≤ n
Dengan :
Sk*0 = simpangan awal,
Sk* = simpangan mutlak,
Sk** = nilai konsistensi data,
Q = nilai statistik Q untuk 0 ≤ k ≤ n,
n = jumlah data,
Dy = simpangan rata-rata,
R = nilai statistik (range)
Dengan melihat nilai statistik diatas maka dapat dicari nilai Qy/√n dan
Ry/√n. Hasil yang di dapat dibandingkan dengan nilai Qy/√n syarat dan Ry/√n
syarat, jika hasil lebih kecil maka data masih dalam batasan konsisten. Nilai statistik
Q dan R diberikan pada Tabel 2.1. (Harto, 1993)
10
Tabel 2.1 Persentase nilai Qy/√n dan Ry/√n
Jumlah
Data
Qy/√n Ry/√n
90% 95% 99% 90% 95% 99%
10 1,05 1,14 1,29 1,21 1,28 1,38
20 1,10 1,22 1,42 1,34 1,43 1,60
30 1,12 1,24 1,46 1,40 1,50 1,70
40 1,13 1,26 1,50 1,42 1,53 1,74
50 1,14 1,27 1,52 1,44 1,55 1,78
100 1,17 1,29 1,53 1,50 1,62 1,86
>100 1,22 1,36 1,55 1,62 1,75 2,00
(Sumber : Sri Harto Br, 1993)
2.2.5 Penetapan Seri Data
Menurut Sri Harto (1993) disebutkan bahwa penetapan seri data yang
dipergunakan dalam analisis frekuensi dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai
berikut :
1. Maximum annual series
Cara maximum annual series, dilakukan dengan mengambil data
maksimum setiap tahunnya, yang berarti jumlah seri data akan sama dengan
panjang data yang tersedia. Akibatnya, besar hujan atau banjir maksimum kedua
dalam satu tahun yang mungkin lebih besar dari hujan atau banjir maksimum tahun
lain yang tidak diikutkan dalam analisis. Hal seperti ini dianggap oleh sebagian
pihak kurang realistik. Untuk mengatasi itu digunakan partial series.
2. Partial series
Cara partial series, dilakukan dengan menetapkan suatu batas bawah
tertentu (threshold) dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya resiko
kegagalan, jenis proyek, daerah yang terkena imbas bila terjadi kegagalan, dan
peraturan yang berlaku bila ada. Dalam hal ini batasan yang diambil diusahakan
menghasilkan debit rancangan yang optimal baik dari segi keamanan struktur
maupun dari segi ekonomi. Selanjutnya, besaran yang ada di atas batasan tersebut
digunakan sebagai input dalam analisis frekuensi. Cara penentuan hujan rata-rata
11
dilakukan dengan cara mencari hujan maksimum tahunan stasiun I dalam satu tahun
tertentu. Selanjutnya dicari hujan untuk stasiun lainnya pada waktu yang sama,
selanjutnya dihitung hujan rata-rata DAS. Masih dalam tahun yang sama, dicari
hujan maksimum tahunan untuk stasiun II dan dicari hujan di stasiun lainnya pada
waktu yang sama dan dicari rata-ratanya. (Harto, 1993)
2.2.6 Penentuan Hujan Kawasan
Stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik dimana
stasiun tersebut berada (point rainfall) sehingga hujan pada suatu luasan harus
diperkirakan dari titik pengukuran tersebut. Apabila pada suatu daerah terdapat
lebih dari satu stasiun pengukuran yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang
tercatat di masing-masing stasiun dapat tidak sama. (Triatmodjo, 2008).
Dalam analisis hidrologi point rainfall harus diubah menjadi hujan kawasan
(areal rainfall). Beberapa cara yang dapat digunakan untuk merubah hujan lokal
(point rainfall) menjadi hujan kawasan (areal rainfall) adalah sebagai berikut :
1. Metode polygon Thiessen
Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang
mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa
hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan
yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan
apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Hitungan
curah hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap
stasiun.
Pembentukan polygon Thiessen adalah sebagai berikut :
a. Stasiun pencatat hujan digambarkan pada peta DAS yang ditinjau, termasuk
stasiun hujan di luar DAS yang berdekatan,
b. Stasiun-stasiun tersebut dihubungkan dengan garis lurus (garis terputus)
sehingga membentuk segitiga-segitiga, yang sebaiknya mempunyai sisi
dengan panjang yang kira-kira sama,
c. Dibuat garis berat pada sisi-sisi segitiga dengan garis penuh,
12
d. Garis-garis berat tersebut membentuk polygon yang mengelilingi tiap
stasiun. Tiap stasiun mewakili luasan yang dibentuk oleh polygon. Untuk
stasiun yang berada di dekat batas DAS, garis batas DAS membentuk batas
tertutup dari polygon,
e. Luas tiap polygon diukur dan kemudian dikalikan dengan kedalaman hujan
di stasiun yang berada di dalam polygon,
f. Jumlah dari hitungan pada butir e untuk semua stasiun dibagi dengan luas
daerah yang ditinjau menghasilkan hujan rerata daerah tersebut, yang dalam
bentuk matematik mempunyai bentuk berikut ini :
�̅� = 𝐴1𝑝1+𝐴2𝑝2+𝐴3𝑝3+⋯+𝐴𝑛𝑝𝑛
𝐴1+𝐴2+⋯+𝐴𝑛 (2-7)
dengan :
�̅� = hujan rerata kawasan
p1, p2, …., pn = hujan pada stasiun 1, 2, 3,…., n
A1, A2, .., An = luas daerah yang mewakili stasiun 1, 2, 3,…, n
Gambar 2.2 Polygon Thiessen
(Sumber : Jurnal Dewi Handayani, 2012)
Metode polygon Thiessen banyak digunakan untuk menghitung hujan rerata
kawasan. Polygon Thiessen adalah tetap untuk suatu jaringan stasiun hujan tertentu.
Apabila terdapat perubahan jaringan stasiun hujan, seperti pemindahan atau
13
penambahan stasiun, maka harus dibuat lagi polygon yang baru. (Triatmodjo,
2008).
2. Metode Isohyet
Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman
hujan yang sama. Pada metode isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah
di antara dua garis isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua
garis isohyet tersebut. Pembuatan garis isohyet dilakukan dengan prosedur berikut
ini :
a. Lokasi stasiun hujan dan kedalaman hujan digambarkan pada peta daerah
yang ditinjau,
b. Dari nilai kedalaman hujan di stasiun yang berdampingan dibuat interpolasi
dengan pertambahan nilai yang ditetapkan,
c. Dibuat kurva yang menghubungkan titik-titik interpolasi yang mempunyai
kedalaman hujan yang sama. Ketelitian tergantung pada pembuatan garis
isohyet dan intervalnya,
d. Diukur luas daerah antara dua isohyet yang berurutan dan kemudian
dikalikan dengan nilai rerata dari nilai kedua garis isohyet,
e. Jumlah dari hitungan pada butir d untuk seluruh garis isohyet dibagi dengan
luas daerah yang ditinjau menghasilkan kedalaman hujan rerata daerah
tersebut. Secara matematis hujan rerata tersebut dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut :
�̅� =
𝐼1+𝐼2
2 𝐴1+
𝐼2+𝐼3
2 𝐴2+⋯+
(𝐼𝑛−1)+𝐼𝑛
2 𝐴𝑛
𝐴1+𝐴2+⋯+𝐴𝑛 (2-8)
dengan :
�̅� = hujan rerata kawasan,
I1, I2, …., In = garis isohyet ke 1, 2, 3, …, n, n+1,
A1, A2, …, An = luas daerah yang dibatasi oleh garis isohyet ke 1 dan 2,
2 dan 3, …., n dan n+1.
14
Metode isohyet merupakan cara paling teliti untuk menghitung kedalaman
hujan rerata di suatu daerah, tetapi cara ini membutuhkan pekerjaan dan perhatian
yang lebih banyak dibanding dua metode sebelumnya. (Triatmodjo, 2008).
Gambar 2.3 Garis Isohyet
(Sumber : Soemarto, 1987)
2.2.7 Analisis Frekuensi
Analisis frekuensi digunakan untuk menetapkan besaran hujan atau debit
dengan kala ulang tertentu. Analisis frekuensi dapat dilakukan untuk seri data yang
diperoleh dari rekaman data baik data hujan atau debit, dan didasarkan pada sifat
statistik data yang tersedia untuk memperoleh probabilitas besaran hujan atau debit
di masa yang akan datang. Berdasarkan hal tersebut maka berarti bahwa sifat
statistik data yang akan datang diandaikan masih sama dengan sifat statistik data
yang telah tersedia. Secara fisik dapat diartikan bahwa sifat klimatologis dan sifat
hidrologi DAS diharapkan masih tetap sama. (Harto, 1993)
1. Parameter Statistik
Parameter-parameter yang digunakan dalam pemilihan jenis distribusi
curah hujan yaitu :
a. Nilai rerata (average)
Nilai rerata merupakan nilai yang dianggap cukup representatif dalam suatu
distribusi. Nilai rata-rata tersebut dianggap sebagai nilai sentral dan dapat
dipergunakan untuk pengukuran sebuah distribusi.
15
�̅� = ∑ 𝑋𝑖𝑛
𝑖=1
𝑛 (2-9)
dengan :
�̅� = rerata,
Xi = variabel random,
n = jumlah data.
b. Standar deviasi
Umumnya ukuran dispersi yang paling banyak digunakan adalah deviasi
standar (standard deviation). Apabila penyebaran data sangat besar terhadap nilai
rata-rata maka nilai deviasi standar (S) akan besar pula, akan tetapi apabila
penyebaran data sangat kecil terhadap nilai rata-rata maka (S) akan kecil.
S = √∑ (𝑋𝑖−�̅�)²𝑛
𝑖=1
𝑛−1 (2-10)
c. Koefisien variasi
Koefisien variasi (variation coefficient) adalah nilai perbandingan antara
standar deviasi dengan nilai rata-rata hitung dari suatu distribusi.
Cv = 𝑆
�̅� (2-11)
d. Koefisien kemencengan (asimetri)
Kemencengan (skewness) adalah suatu nilai yang menunjukan derajat
ketidaksimetrisan (asymmetry) dari suatu bentuk distribusi.
Cs = 𝑛 𝑥 ∑ (𝑋𝑖−�̅�)³𝑛
𝑖=1
(𝑛−1)(𝑛−2)𝑆³ (2-12)
e. Koefisien kurtosis
Pengukuran kurtosis dimaksudkan untuk mengukur keruncingan dari
bentuk kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal.
Ck = 𝑛2𝑥 ∑ (𝑋𝑖−�̅�)4𝑛
𝑖=1
(𝑛−1)(𝑛−2)(𝑛−3)𝑥 𝑆4 (2-13)
dengan :
S = simpangan baku dari sampel,
n = jumlah data,
Cs = koefisien kemencengan (asimetri),
Cv = koefisien variasi,
16
Ck = koefisien kurtosis,
Xi = data curah hujan,
�̅� = rerata curah hujan.
2. Penentuan Jenis Agihan
Berdasarkan hasil analisis parameter statistik, maka dapat ditentukan jenis
agihan yang dapat digunakan berdasarkan syarat dari masing-masing jenis agihan.
Pemilihan agihan yang tidak benar dapat mengakibatkan kesalahan perkiraan yang
cukup besar. Oleh karena itu, pengambilan salah satu agihan secara sembarang
untuk analisis tanpa pengujian data hidrologi sangat tidak dianjurkan. (Harto,
1993).
Tabel 2.2 Syarat Penentuan Agihan
No Agihan Syarat
1 Agihan Normal Cs ≈ 0
Ck = 3
2 Agihan Log Normal Cs ≈ 3Cv
Cs > 0
3 Agihan Gumbel Cs ≈ 1,14
Ck ≈ 5,4
4 Agihan Log Pearson Type III Tidak ada syarat (seluruh nilai diluar
agihan 1, 2, dan 3)
(Sumber : Sri Harto Br, 1993)
3. Uji Kecocokan Agihan
Untuk mengetahui data tersebut benar sesuai dengan jenis agihan yang
dipilih maka perlu dilakukan pengujian kecocokan data. Sebelum dilakukan
pengujian data yang telah diurutkan, digambarkan pada kertas probabilitas dengan
cara Weibull, yaitu :
P = 𝑚
𝑛+1𝑥100% (2-14)
dengan :
P = peluang empiris,
17
m = nomor urut data,
n = jumlah data.
Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menguji apakah jenis distribusi
yang dipilih sesuai dengan data yang ada, yaitu uji Chi-Kuadrat dan Smirnov
Kolmogorov. Pengujian ini dilakukan setelah digambarkan hubungan antara
kedalaman hujan atau debit dan nilai probabilitas pada kertas probabilitas.
(Triatmodjo, 2008).
a. Uji Chi-Kuadrat
Uji Chi-Kuadrat menggunakan nilai X2 yang dapat dihitung dengan
persamaan berikut :
X2 = ∑(𝑂𝑓−𝐸𝑓)²
𝐸𝑓
𝑁𝑡=1 (2-15)
dengan :
X2 = nilai Chi-Kuadrat terhitung,
Ef = frekuensi (banyak pengamatan) yang diharapkan sesuai dengan
pembagian kelasnya,
Of = frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama,
N = jumlah sub kelompok dalam satu grup.
Nilai X2 yang diperoleh harus lebih kecil dari nilai X2cr (Chi-Kuadrat
kritik), untuk suatu derajat nyata tertentu yang sering diambil 5%. Derajat
kebebasan dihitung dengan persamaan :
DK = K – (α + 1) (2-16)
dengan :
DK = derajat kebebasan,
K = banyaknya kelas,
α = banyaknya keterikatan (banyaknya parameter), untuk uji Chi-
Kuadrat adalah 2.
Nilai X2cr diperoleh dari Tabel 2.3. Disarankan agar banyaknya kelas tidak kurang
dari 5 dan frekuensi absolut tiap kelas tidak kurang dari 5 pula. (Triatmodjo, 2008).
18
Tabel 2.3. Nilai Xcr2 untuk uji chi – kuadrat
Derajat
Bebas (γ)
0.200 0.100 0.050 0.010 0.001
1 1,642 2,706 3,841 6,635 10,827
2 3,219 4,605 5,991 9,210 13,815
3 4,642 6,251 7,815 11,345 16,268
4 5,989 7,779 9,488 13,277 18,465
5 7,289 9,236 11,070 15,086 20,517
6 8,558 10,645 12,592 16,812 22,457 7 9,803 12,017 14,067 18,475 24,322
8 11,030 13,362 15,507 20,090 26,125
9 12,242 14,987 16,919 21,666 27,877
10 13,442 15,987 18,307 23,209 29,588
11 14,631 17,275 19,675 24,725 31,264
12 15,812 18,549 21,026 26,217 32,909
13 16,985 19,812 22,362 27,688 34,528
14 18,151 21,064 23,685 29,141 36,123
15 19,311 22,307 24,996 30,578 37,697
16 20,465 23,542 26,296 32,000 39,252
17 21,615 24,769 27,587 33,409 40,790 18 22,760 25,989 28,869 34,805 42,312
19 23,900 27,204 30,144 36,191 43,820
20 25,038 28,412 31,410 37,566 45,315
(Sumber : Bambang Triatmodjo, 2008)
b. Uji Smirnov Kolmogorov
Uji Smirnov Kolmogorov ini biasanya digunakan untuk menguji simpangan
atau selisih terbesar antara peluang pengamatan (empiris) dengan peluang teoritis.
Uji Smirnov Kolmogorov sering disebut juga dengan uji non parametrik, karena
pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu.
Prosedur dalam pengujian ini adalah sebagai berikut :
1. Urutkan data (dari yang terbesar ke yang terkecil atau sebaliknya) dan
tentukan besarnya peluang tak terlampaui dari masing-masing data tersebut.
X1 = P(X1)
X2 = P(X2)
Xn = P(Xn)
2. Tentukan nilai masing-masing peluang tak terlampaui teoritis dari hasil
penggambaran data (persamaan distribusinya).
19
X1 = P’(X1)
X2 = P’(X2)
Xn = P’(Xn)
3. Tentukan selisih terbesar antara peluang pengamatan dengan peluang
teoritis.
Rumus :
Dmax = [P(Xm) - P’(Xm)] (2-17)
dengan :
P(x) = 𝑚
𝑛+1 (2-18)
P’(x) = F(t) = 1-t (2-19)
F(t) = 𝑥𝑖−𝑥
𝑠 (2-20)
dimana :
D = selisih terbesar antara peluang empiris dengan teoritis,
P(x) = sebaran frekuensi teoritik berdasar Ho,
P’(x) = sebaran frekuensi komulatif berdasar sampel,
F(x) = nilai unit variable normal
m = nomor urut kejadian, atau peringkat kejadian,
n = jumlah data.
4. Tentukan harga Do berdasarkan tabel nilai kritis Smirnov-Kolmogorov.
Apabila D lebih kecil dari Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk
menentukan persamaan distribusi dapat diterima. Apabila nilai D lebih besar dari
Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi
tidak dapat diterima. (Soewarno, 1995).
Tabel 2.4. Nilai kritis Do untuk uji Smirnov – Kolmogorov.
N
α
0,20 0,10 0,05 0,01
20
5 0,45 0,51 0,56 0,67
10 0,32 0,37 0,41 0,49
15 0,27 0,30 0,34 0,40
20 0,23 0,26 0,29 0,36
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
35 0,18 0,20 0,23 0,27
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,16 0,18 0,20 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23
N > 50
(Sumber : Soewarno, 1995)
Catatan : α = derajat kepercayaan
4. Distribusi Curah Hujan
a. Distribusi Normal
Dalam analisis hidrologi distribusi normal banyak digunakan untuk
menganalisis frekuensi curah hujan, analisis statistik dari distribusi curah hujan
tahunan, dan debit rata-rata tahunan. Distribusi normal atau kurva normal disebut
pula distribusi Gauss. Persamaan umum yang digunakan adalah :
Xt = Xr + k.Sx (2-21)
dengan :
Xt = curah hujan rancangan (mm),
Xr = curah hujan rerata (mm),
k = faktor frekuensi,
Sx = standar deviasi.
b. Distribusi Log-Normal
1,07
𝑁0,5
1,22
𝑁0,5
1,36
𝑁0,5
1,63
𝑁0,5
21
Distribusi Log-Normal merupakan hasil transformasi dari distribusi
Normal, yaitu dengan mengubah varian X menjadi nilai logaritmik varian X.
Rumus yang digunakan dalam perhitungan metode ini adalah sebagai berikut :
Log Xt = 𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑟̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅ + k. Slogx (2-22)
dengan :
Log Xt = nilai logaritmik curah hujan rancangan,
Log Xr = nilai logaritmik curah hujan rerata,
K = faktor frekuensi,
Slogx = nilai logaritmik standar deviasi.
c. Distribusi Gumbel
Distribusi Gumbel banyak digunakan untuk analisis data maksimum, seperti
untuk analisis frekuensi banjir. Rumus yang digunakan adalah :
Xt = �̅�+(𝑌𝑡−𝑌𝑛)
𝑆𝑛 x Sx (2-23)
dengan :
Xt = curah hujan rencana dalam periode ulang T tahun (mm),
�̅� = curah hujan rerata hasil pengamatan (mm),
Yt = reduced variabel, parameter Gumbel untuk periode T tahun,
Yn = reduced mean, merupakan fungsi dari banyaknya data (n),
Sn = reduced standar deviasi, merupakan fungsi dari banyaknya data (n),
Sx = standar deviasi.
d. Distribusi Log Pearson Type III
Bentuk distribusi Log Pearson Type III merupakan hasil transformasi dari
distribusi Pearson Type III dengan menggantikan varian menjadi logaritmik.
Persamaan-persamaan yang digunakan dalam menghitung curah hujan rancangan
dengan metode Log Pearson Type III adalah sebagai berikut :
Log X = 𝐿𝑜𝑔 𝑋̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ + k. Slogx (2-24)
Nilai rata-rata : 𝐿𝑜𝑔 𝑋̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ = ∑ 𝐿𝑜𝑔 𝑥
𝑛 (2-25)
22
Standar deviasi : S = √∑(𝐿𝑜𝑔 𝑥− 𝐿𝑜𝑔 𝑋̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ )²
𝑛−1 (2-26)
Koefisien kemencengan : Cs = ∑ (𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑖− 𝐿𝑜𝑔 𝑋̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ )³𝑛
𝑖=1
(𝑛−1)(𝑛−2)𝑆³ (2-27)
dimana :
Log X = logaritma curah hujan rancangan dalam periode ulang T tahun,
𝐿𝑜𝑔 𝑋̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ = logaritma rerata dari curah hujan,
n = jumlah data,
Cs = koefisien kemencengan,
k = faktor frekuensi,
S = simpangan baku dari logaritma curah hujan.
2.2.8 Intensitas Curah Hujan
Dalam membuat perencanaan bangunan air pertama-tama yang harus
ditentukan adalah berapa besar debit yang harus diperhitungkan atau sering disebut
dengan debit banjir rancangan. Besarnya debit banjir rancangan ditentukan oleh
intensitas hujan yang dinyatakan dengan rumus :
I = 𝑑
𝑡 (2-28)
dengan :
I = intensitas hujan,
d = tinggi hujan,
t = lama waktu.
Pada umumnya makin besar t intensitas hujan akan semakin kecil. Jika tidak
ada waktu untuk mengamati besarnya intensitas hujan atau disebabkan oleh karena
alatnya tidak ada, dapat ditempuh dengan cara empiris dengan menggunakan rumus
Mononobe :
I = 𝑅24
24 (
24
𝑡)
2
3 (2-29)
dengan :
I = intensitas hujan (mm/jam),
t = waktu (durasi) curah hujan,
23
R24 = tinggi hujan maksimum dalam 24 jam (mm).
Rumus Mononobe digunakan untuk waktu sembarang. (Soemarto, 1987).
Menurut Suyono dan Takeda (1993) cara-cara perhitungan intensitas curah
hujan jangka pendek disampaikan oleh Talbot, Sherman dan Ishiguro. Adapun
rumus-rumus tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Rumus Talbot
I = 𝑎
𝑡+𝑏 (2-30)
a = ∑(𝐼.𝑡).∑(𝐼2)−∑(𝐼2.𝑡).∑ 𝐼
𝑁.∑(𝐼2)−∑(𝐼).∑(𝐼) (2-31)
b = ∑(𝐼).∑(𝐼.𝑡)−𝑁.∑(𝐼2.𝑡)
𝑁.∑(𝐼2)−∑(𝐼).∑(𝐼) (2-32)
Rumus Sherman
I = 𝑎
𝑡𝑛 (2-33)
a = ∑(log 𝐼).∑(log 𝑡)²−∑(log 𝑡.log 𝐼).∑(log 𝑡)
𝑁.∑(log 𝑡)²−∑(log 𝑡).∑(log 𝑡) (2-34)
n = ∑(log 𝐼).∑(log 𝑡)−𝑁.∑(log 𝑡.log 𝐼)
𝑁.∑(log 𝑡)²−∑(log 𝑡).∑(log 𝑡) (2-35)
Rumus Ishiguro
I = 𝑎
√𝑡+𝑏 (2-36)
a = ∑(𝐼.√𝑡).∑(𝐼2)−∑(𝐼2.√𝑡).∑ 𝐼
𝑁.∑(𝐼2)−∑(𝐼).∑(𝐼) (2-37)
b = ∑(𝐼).∑(𝐼.√𝑡)−𝑁.∑(𝐼2.√𝑡)
𝑁.∑(𝐼2)−∑(𝐼).∑(𝐼) (2-38)
2.2.9 Analisis Intensity Duration Frequency (IDF)
Intensitas Durasi Frekuensi (IDF) biasanya diberikan dalam bentuk kurva
yang memberikan hubungan antara intensitas hujan sebagai ordinat, durasi hujan
sebagai absis dan beberapa grafik yang menunjukkan frekuensi atau periode ulang.
Analisis IDF dilakukan untuk memperkirakan debit puncak di daerah tangkapan
kecil, seperti dalam perencanaan sistem drainase kota, gorong-gorong dan
jembatan. Di daerah tangkapan yang kecil, hujan deras dengan durasi singkat
24
(intensitas hujan dengan durasi singkat adalah sangat tinggi) yang jatuh di berbagai
titik pada seluruh daerah tangkapan hujan dapat terkonsentrasi di titik kontrol yang
ditinjau dalam waktu yang bersamaan, yang dapat menghasilkan debit puncak.
Hujan deras dengan durasi singkat (5, 10 atau 15 menit) dapat diperoleh dari kurva
IDF yang berlaku untuk daerah yang ditinjau. (Triatmodjo, 2008)
Analisis intensitas durasi frekuensi (IDF) dilakukan untuk memperkirakan
debit aliran puncak berdasar data hujan titik (satu stasiun pencatat hujan). Data yang
digunakan adalah data hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi dalam waktu
singkat, seperti hujan 5, 10, 15, 20 menit atau lebih. Untuk itu diperlukan data hujan
dari stasiun pencatat hujan otomatis. (Triatmodjo, 2008)
Pembuatan kurva IDF dapat dilakukan dengan prosedur berikut ini :
1. Ditetapkan durasi hujan tertentu, misalnya 5, 10, 15 menit atau lebih.
2. Dari data pencatatan hujan otomatis, yang menunjukkan jumlah kumulatif
hujan terhadap waktu, dicatat kedalaman hujan deras dengan beberapa
durasi tersebut. Selanjutnya dipilih kedalaman hujan maksimum untuk
masing-masing tahun pencatatan, sehingga terdapat sejumlah data yang
mewakili seluruh tahun pencatatan.
3. Kedalaman hujan yang diperoleh dalam butir 2 dapat dikonversi menjadi
intensitas hujan dengan menggunakan hubungan I=𝑑
𝑡, dimana d adalah
kedalaman hujan dan t adalah durasi hujan.
4. Dihitung intensitas hujan ekstrim untuk beberapa periode ulang.
5. Dibuat kurva hubungan antara intensitas hujan dan durasi hujan untuk
beberapa periode ulang, sehingga didapat kurva IDF.
2.2.10 Analisis Depth Area Duration (DAD)
Setelah data curah hujan yang memadai untuk suatu wilayah dikumpulkan,
data-data tersebut dapat dianalisis dan diproses untuk menghasilkan informasi yang
berguna dalam bentuk kurva atau nilai statistik untuk digunakan dalam perencanaan
proyek pengembangan sumber daya air. Banyak masalah hidrologi yang
membutuhkan analisis waktu serta distribusi areal curah hujan badai. Analisis
Depth Area Duration (DAD) dari badai dilakukan untuk menentukan jumlah
25
maksimum curah hujan dalam berbagai durasi di suatu wilayah dengan luas area
yang beragam. (Sen, 2008).
Penggambaran kurva DAD dapat dilakukan dengan langkah-langkah
berikut :
1. Periksa data curah hujan dari wilayah dimana daerah tangkapan air yang
dipertimbangkan berada. Dari data tersebut pilih data badai yang paling
tinggi serta lihat juga tanggal terjadi dan durasinya.
2. Siapkan peta isohyet untuk data hujan atau badai tertinggi tersebut dan
tentukan nilai curah hujan di area masing-masing isohyet (kontur curah
hujan).
3. Gambarlah kurva grafik yang menghubungkan luas daerah dan curah hujan
untuk jangka waktu yang berbeda, misalnya curah hujan 1 hari, 2 hari dan
seterusnya.
top related