bab ii 1. pengertian agama -...
Post on 07-Mar-2019
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
14
BAB II
PENGAYAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP
A. Konsep Agama
1. Pengertian Agama
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia (2008: 15) agama berarti “aga.ma”
[n] ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Sementara itu, pengertian agama menurut Frezer (Syafaat, 2008: 13) yaitu:
menyembah atau menghormati kekuatan yang lebih agung dari manusia yang
dianggap mengatur dan menguasai jalannya alam semesta dan jalannya peri
manusia.
Sedangkan dalam Oxford English Dictionary (Hornby, 2000: 1119), religion
represent the human recognition ofsuper human controllingpower, and especially
of a personal God or Gods entitle toobedience and worship, agama menghadirkan
manusia yang kehidupannya dikontrol oleh sebuah kekuatan yang disebut Tuhan
atau para dewa-dewa untuk patuh dan menyembahnya.
Secara definitif, menurut H.M Arifin bahwa agama selain mengandung
hubungan dengan Tuhan, juga mengandung hubungan dengan masyarakat, di
mana terdapat peraturan-peraturan yang menjadi pedoman bagaimana seharusnya
hubungan-hubungan tersebut dilakukan dalam rangka mencapai kebahagiaan
hidup, baik dunia maupun ukhrāwī (Ahmadi dan Salimi, 2008: 4).
15
Dalam Islam, istilah agama berasal dari istilah al-Dīn. Istilah al-Dīn biasanya
digabung dengan istilah Allah atau Islam, sehingga menjadi dīnullah atau dīn al
Islām. Hal ini mengacu pada QS. Ᾱli ‘Imr ān [3] ayat 19, yaitu:
���� ������ ִ���� ��� ���������� �
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam…”*
Sebagian ahli agama mengatakan bahwa “Agama (al-Dīn) adalah tatanan
(undang-undang) Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia, melalui lisan salah
seorang pilihan dari kalangan mereka sendiri, tanpa diusahakan dan
diciptakannya” (Ahmad, 2008: 1).
Menurut M. A Tihami (Syafaat, 2008: 13) pengertian agama yaitu:
a. Menurut bahasa, al-Dīn mempunyai banyak makna antara lain al-Ṭā’aħ
(ketaatan), al-‘Ibādaħ (ibadah), al-Jaza (pembalasan), dan al-Ḥisāb
(perhitungan).
b. Menurut syara’, al-Dīn ialah keseluruhan jalan hidup yang ditetapkan Allah
melalui lisan nabi-Nya dalam bentuk ketentuan-ketentuan (hukum). Agama
dinamakan al-Dīn karena kita (manusia) menjalankan ajarannya berupa
keyakinan (kepercayaan) dan perbuatan. Agama dinamakan juga al-Millaħ,
karena Allah menuntut ketaatan kepada Rasul dan kemudian Rasul
menuntut ketaatan kepada kita. Agama juga dinamakan syara’ (syarīaħ)
karena Allah menetapkan atau menentukan cara hidup kepada kita
(manusia) melalui lisan Nabi Saw.
*Seluruh teks dan terjemah al-Qur`ān dalam skripsi ini dikutip dari terjemah Departemen Agama. 1996, penerbit: CV Toha Putra.
16
c. Ketetapan Tuhan yang menyeru kepada makhluk yang berakal untuk
menerima segala sesuatu yang dibawa oleh Rasul.
Dalam al-Qurā̀n kata al-Dīn mempunyai dua pengertian, yaitu pengertian
sempit dan pengertian luas. Adapun yang dimaksud dengan agama di sini adalah
kata al-Dīn dalam pengertian luas, yaitu aturan-aturan hidup yang lengkap dalam
segala aspek kehidupan, yang diciptakan oleh penguasa tertinggi (Allah) dan
setiap individu mempunyai wewenang untuk mematuhi atau menolaknya. Kata al-
Dīn dalam pengertian yang luas terdapat dalam firman Allah QS al-Taubaħ [10]
ayat 33:
���� !�֠#�� $%ִ�&'() *�)+��,��' �-ִ�,./0�1 23��4�( 2�5ִ+/0� *�78�.9:�;�0 <�7� >?@���
A�)C�:D &�+0�( E�F8$D �G�HI�J9K,☺/0�
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur`ān) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.”
Agama Islam adalah agama Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad,
untuk diteruskan kepada seluruh umat manusia, yang mengandung ketentuan-
ketentuan keimanan (‘aqīdaħ) serta ketentuan-ketentuan ibadah dan muamalah
(syarī’aħ), yang menentukan proses berpikir, merasa dan berbuat, serta
terbentuknya kata hati (Ahmadi dan Salimi, 2008: 4).
Dari semua pengertian di atas kita dapat mengetahui bahwa arti dari agama
adalah suatu sistem atau prinsip kepecayaan kepada aturan-aturan Tuhan yang
dibawa oleh manusia pilihan (Rasul) dalam segala aspek kehidupan termasuk
aqīdaħ, akhlāq, ‘ibādaħ, dan amal perbuatan yang diisyaratkan Allah untuk
17
manusia. Manusia diperintah untuk mengamalkannya dengan penuh rasa tunduk
dan patuh kepada-Nya dan Allah akan membalas kepatuhan atau keingkaran
terhadap sistem ini (Ahmad, 2008: 4).
2. Fungsi Agama Bagi Kehidupan
Beragama pada dasarnya merupakan kecenderungan manusia sesuai dengan
insting atau fitrahnya untuk mengakui kekuatan yang luar biasa atas kehidupan
ini. Menurut Ahmadi dan Salimi (2008: 15) bahwa insting itu lahir karena
kekaguman manusia melihat ciptaan yang tidak tertara ini. Sehingga kita sebagai
manusia ingin mencari tahu siapa yang menciptakannya dan sebagai wujud
pengakuan terhadap sesuatu yang menguasainya tersebut.
Agama merupakan bagian penting bagi kehidupan manusia, karena agama
berhubungan dengan keyakinan atau kepercayaan terhadap Tuhan serta sebagai
petunjuk hidup seseorang di dunia.
Menurut Zakiyah Daradjat, agama memiliki beberapa fungsi yaitu:
memberikan bimbingan dalam hidup, menolong dalam menghadapi kesukaran;
dan menentramkan batin (Syafaat, 2008: 172).
Selain mempunyai fungsi seperti di atas, agama juga tentunya mempunyai
fungsi bagi kehidupan manusia sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan,
selain itu pula agama juga mempunyai peran dan fungsi tertentu untuk memenuhi
kebutuhan hajat manusia. Selain itu, agama juga memiliki dua fungsi yaitu fungsi
maknawi dan fungsi identitas. Fungsi maknawi adalah dasar bagi semua agama
yang menyajikan wawasan dunia atau cosmos; karenanya segala ketidakadilan,
18
penderitaan, dan kematian dapat dipandang sebagai suatu yang penuh makna.
Termasuk ke dalam makna ini antara lain konsep, ide, tuntutan, dan kewajiban.
Adapun fungsi identitas dari agama berhubungan dengan perasaan dan
mendorong perilaku tertentu sesuai dengan identitas yang berada dalam diri
sehingga melahirkan kesadaran, kebanggaan dan tanggung jawab (Suryana, 1997:
25).
Dari kedua fungsi tersebut kita dapat mengetahui bahwa dengan agama kita
sebagai manusia dapat mengetahui dan memahami tentang segala fenomena yang
terjadi baik itu tentang penciptaan, kematian, tuntutan, dan kewajiban kita sebagai
manusia yang telah Tuhan ciptakan. Selain itu dengan agama pula kita dapat
membedakan adanya maksud dari Tuhan dalam menciptakan kita dengan mahluk
lainnya sehingga timbul kesadaran, kebanggaan, dan tanggung jawab kita sebagai
mahluk Tuhan.
B. Peran Agama Bagi Anak Usia Remaja (13-15 Tahun)
1. Pengertian Remaja
Remaja berasal dari kata latin Adolecere (kata bendanya Adolescentia) yang
berarti remaja, yaitu “tumbuh atau tumbuh dewasa” dan bukan anak-anak lagi.
Remaja menurut Zakiah Daradjat adalah tahap peralihan dari masa kanak-kanak;
tidak lagi anak, tetapi belum dipandang dewasa. Remaja adalah umur yang
menjembatani antara umur anak-anak dan umur dewasa (Syafaat, 2008: 87).
Ada perbedaan antara pengertian remaja dan perumusan istilahnya dalam
penggunaan kata remaja. Ada yang menggunakan istilah pubertas, ada pula yang
19
menggunakan istilah adolesensi. Remaja dalam arti adolesensi atau adolence
(bahasa Inggris) yang berasal dari bahasa latin adolence yang artinya tumbuh ke
arah kematangan. Kematangan di sini tidak hanya kematangan fisik saja, akan
tetapi kematangan psikologis. Dalam hal ini masa remaja dipandang sebagai tahap
perkembangan yang ditandai dengan kematangan fisik dan psikis secara
keseluruhan menuju kedewasaan.
Sementara remaja menurut Sarlito Wirawan (Syafaat, 2008: 88) bahwa untuk
istilah pubertas, dalam bahasa Inggris yaitu puberty atau dalam bahasa Latin
berarti usia kedewasaan (the age of manhood) berkaitan dengan kata Latin
lainnya, pubescere yang berarti masa pertumbuhan rambut daerah tulang pusic
(wilayah kemaluan). Dari arti pubertas tersebut terlihat bahwa pada masa remaja
ditandai dengan adanya pertumbuhan di sekitar fisik mereka seperti rambut di
sekitar tulang pusar, kumis, dada membesar, dan juga pertumbuhan fisik lainnya
yang pada masa anak-anak masih belum tampak.
Untuk masa pubertas ini, para ahli sepakat bahwa masa pubertas diawali
dengan menstruasi pada anak perempuan, dan mimpi basah pada anak laki-laki.
Akan tetapi tentang usia berapa anak tersebut mengalami pubertas masih sulit
ditetapkan, karena cepat atau lambatnya masa pubertas terjadi tergantung pada
kondisi tubuh setiap individu (Syafaat, 2008: 88).
Usia remaja tidak dapat ditentukan dengan pasti kapan dimulai dan
berakhirnya. Seperti yang disebutkan Dzakiyah Darajat (2003: 82) bahwa, para
ahli jiwa tidak sependapat tentang berapakah umur remaja itu dimulai dan kapan
pula berakhirnya. Karena memang dalam kenyataan hidup, umur permulaan dan
20
berakhirnya masa remaja itu berbeda dari seorang kepada yang lain. Bergantung
pada masing-masing individu itu hidup.
Sebagian para ahli menyebutkan bahwa masa remaja dimulai pada usia 12-21
tahun, seperti yang dikemukakan oleh Gunarsa Singgih (1992: 255) bahwa, Masa
remaja adalah masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa usia 12-
21 tahun. Secara global masa remaja berlangsung antara umur 12-21 tahun,
dengan pembagian umur: 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa
remaja pertengahan, 18-21 tahun masa remaja akhir.
2. Karakteristik Umum Perkembangan Remaja
Manusia hidup di muka bumi ini melalui beberapa tahap perkembangan di
antaranya yaitu masa remaja. Remaja adalah bagian umur yang sangat banyak
mengalami kesukaran dalam hidup manusia di mana remaja masih memiliki
kejiwaan yang labil dan justru kelabilan jiwa ini mengganggu ketertiban yang
merupakan tindakan kenakalan.
Kelabilan yang terjadi pada remaja disebabkan kondisi remaja tersebut
mengalami pertumbuhan fisik yang pesat, dan sudah menyamai fisik orang
dewasa. Namun, pesatnya pertumbuhan fisik itu belum diimbangi secara setara
oleh perkembangan psikologisnya (Jalaluddin, 2010: 81).
Remaja sangat peka terhadap pengaruh-pengaruh dari luar. Masa remaja
merupakan masa pancaroba, pada masa transisi dari kanak-kanak menjadi dewasa
ini ditandai dengan emosi yang labil dan berusaha untuk menujukkan identitas
diri. Bimbingan dan perhatian orang tua sangat diperlukan agar remaja tidak
terjerumus pada hal-hal yang negatif.
21
Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri, oleh Erickson
(Ali, 2009: 16) disebut dengan identitas ego (ego identity). Ini terjadi karena masa
remaja merupakan peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan kehidupan
orang dewasa. Oleh karena itu ada sejumlah sikap yang sering ditunjukkan oleh
remaja, yaitu: 1) Kegelisahan, 2) Pertentangan, 3) Mengkhayal, 4) Aktivitas
berkelompok, dan 5) Keinginan mencoba segala sesuatu.
Semua karakteristik yang ada pada remaja di atas, menunjukkan bahwa remaja
sangat membutuhkan bimbingan dan pengawasan agar remaja tidak salah jalan
dalam pencarian jati dirinya.
3. Peran Pendidikan Agama Bagi Remaja
Pendidikan agama yang mumpuni, baik itu di rumah maupun di sekolah adalah
salah satu contoh perhatian orang tua terhadap anak agar dapat tumbuh dan
berkembang menjadi manusia yang bermoral. Di samping itu pendidikan agama
juga merupakan benteng pertahanan bagi generasi muda muslim dalam
menghadapi berbagai aliran sesat dan dekadensi moral (Ahmad, 2008: 255).
Sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya fisik dan psikis remaja, maka
agama bagi remaja mengalami perkembangan yang tentunya dipengaruhi oleh
perkembangan fisik dan psikis remaja tersebut. Dalam perkembangan hidupnya
remaja dipengaruhi oleh dua faktor yaitu intern dan ekstern. Faktor intern berasal
dari individu itu sendiri sedangkan faktor ekstern berasal dari luar individu, baik
itu keluarga, lingkungan, dan juga sekolah. Kedua faktor tersebut yang kemudian
akan membentuk kepribadian remaja.
22
Agar remaja dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang bermoral,
tentunya peran agama menjadi sangat penting dalam pembentukan kepribadian
remaja tersebut. Karena pada hakikatnya setiap manusia membutuhkan pada
agama sebagai pembimbing dan petunjuk arah/haluan. Seperti yang telah
disebutkan terdahulu bahwa menurut Zakiyah Daradjat (Syafaat, 2008: 172)
agama memiliki beberapa fungsi, yaitu: memberikan bimbingan dalam hidup,
menolong dalam menghadapi kesukaran, dan menentramkan batin. Dalam
kehidupan remaja, agama memiliki peran yang sangat penting, karena agama
dapat membantu para remaja dalam menghadapi segala macam persoalan yang
dihadapi dalam hidupnya.
W. Starbuck (Jalaluddin, 2010: 74) menyebutkan perkembangan agama pada
remaja ditandai oleh berbagai faktor perkembangan rohani dan jasmaninya.
Perkembangan itu antara lain: pertumbuhan pikiran dan mental, perkembangan
perasaan, pertimbangan sosial, perkembangan moral, sikap dan minat, serta
ibadah.
Perkembangan agama bagi remaja yang ditandai dengan berkembangnya
pertumbuhan pikiran dan mental adalah karena pada usia remaja si anak mulai
dapat berpikir kritis. Ide-ide atau pokok ajaran agama yang diterima seseorang
pada masa kecilnya akan berkembang dan bertumbuh pesat serta menjadi
keyakinan yang dipegangnya selama mereka tidak mendapat kritikan dalam hal
kepercayaan atau agama tersebut.
Sejalan dengan bertumbuhnya pengertian dan ide-ide agama termasuk hal-hal
abstrak yang tidak dapat dirasakan atau dilihat langsung seperti pengertian
23
akhirat, surga, neraka, dan hal lainnya, dapat diterima oleh anak-anak apabila
pertumbuhan kecerdasannya telah memungkinkan untuk hal itu. Menurut Alfred
Binetc (Daradjat, 2003: 85-86), bahwa kemampuan untuk mengerti masalah-
masalah yang abstrak, tidak sempurna perkembangannya sebelum mencapai usia
12 tahun. Dan kemampuan untuk mengambil kesimpulan yang abstrak dari fakta-
fakta yang ada, baru tampak pada umur 14 tahun. Itulah sebabnya maka pada
umur 14 tahun itu, anak-anak telah dapat menolak saran-saran yang tidak dapat
dimengertinya dan mereka sudah dapat mengkritik pendapat-pendapat tertentu
yang berlawanan dengan kesimpulan yang diambilnya.
Pandangan remaja terhadap agama dapat berubah sesuai dengan kondisi
kejiwaannya. Apabila kondisi kejiwaannya stabil, maka agama dianggap baik,
begitu pula sebaliknya apabila kondisi jiwanya sedang kacau, maka agama tidak
berguna. Hal tersebut disebabkan perkembangan mental remaja ke arah berpikir
logis (falsafi) yang mempengaruhi pandangan dan kepercayaannya kepada Tuhan.
Karena mereka tidak dapat melupakan Tuhan dari segala peristiwa yang terjadi di
alam ini (Daradjat, 2003: 87).
Dalam ajaran agama Islam tidak dikenal secara khusus istilah remaja baik itu
menyangkut arti maupun batasan usia remaja. Menurut Abu Zahrah (Syafaat,
2008: 91) bahwa dalam bahasa Arab pengertian remaja dikategorikan kepada
)شابّ ( dan فتي( ) yang artinya pemuda. Merurutnya, pertumbuhan akal merupakan
hal yang abstrak dan berproses sejalan dengan perkembangan waktu sampai batas
perkembangannya. Sebagai tanda atau batas yang konkret adalah unsur balig yang
24
memisahkan antara kesempurnaan dan kekurangan akal. Pada saat sampai batas
umur itulah taklīf mulai berlaku.
Taklīf adalah tuntutan untuk mengerjakan suatu perbuatan atau untuk
meninggalkannya (Yahya, 1997: 124). Anak yang telah mencapai usia balig yang
secara tidak langsung telah berlaku baginya taklīf artinya bahwa anak tersebut
mulai dikenakan kewajiban untuk melaksanakan ibadah dan seluruh amalan wajib
lainnya.
Menurut al-Taftazani (Mujib dan Mudzakir, 2008: 109) bahwa fase ini
dianggap sebagai fase yang mana individu mampu bertindak menjalankan hukum,
baik yang terkait dengan perintah maupun larangan. Seluruh perilaku mukallaf
harus dipertanggungjawabkan, karena hal itu akan berimbas pada pahala dan dosa.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa anak usia remaja
mengalami pertumbuhan jasmani yang cepat sehingga menyebabkan
kegoncangan, kecemasan, dan kekhawatiran yang bisa juga terjadi pada
kepercayaan mereka kepada agama. Menurut Zakiyah Daradjat (2003: 133)
kepercayaan kepada agama yang telah bertumbuh pada usia anak sebelumnya,
mungkin pula mengalami kegoncangan, karena ia kecewa terhadap dirinya
sendiri. Maka kepercayaan remaja kepada Tuhan kadang-kadang sangat kuat,
akan tetapi kadang-kadang menjadi ragu dan berkurang, yang terlihat pada cara
ibadahnya yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas.
Selain itu, pertumbuhan jasmani itu juga membawa kepada timbulnya
dorongan seks, yang memantul dalam tingkah laku dan perhatian terhadap lawan
jenis lain dan teman-temannya (Daradjat, 2003: 134).
25
Maka dari itu, sebagai orang yang telah diwajibkan kepadanya mengerjakan
ibadah dan amalan-amalan wajib lainnya, maka remaja membutuhkan pendidikan
agama yang cara penyajiannya itu tepat bagi mereka sehingga kegoncangan
perasaan tersebut dapat teratasi.
Proses edukasi pada fase remaja ini adalah dengan cara memberikan suatu
model, mode, dan modus yang islami pada anak tersebut, sehingga ia mampu
hidup “remaja” di tengah-tengah masyarakat tanpa meninggalkan kode etis
Islaminya (Mujib dan Mudzakir, 2008: 111).
Hal tersebut karena apabila hukum dan ketentuan agama yang disampaikan
kepada remaja itu tepat, dengan cara menunjukkan sikap mengerti dan memahami
kegoncangan dan perkembangan yang sedang mereka lalui, disertai pula dengan
penjelasan tentang arti dan manfaat agama itu bagi mereka untuk membantunya
dalam mengatasi kegoncangan jiwanya. Di sini remaja akan merasa butuh kepada
ajaran dan ketentuan agama untuk mengembalikan jiwanya kepada ketenangan
dan kestabilan (Daradjat, 2008: 135).
C. Pendidikan Agama Islam di SMP
1. Pengertian SMP
Menurut Kemdiknas, SMP adalah merupakan jenjang pendidikan dasar pada
pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Dasar (sederajat). Sekolah
Menengah Pertama ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 7 sampai
kelas 9. Saat ini Sekolah Menengah Pertama menjadi program Wajar 9 Tahun
(SD, SMP) ( Kementrian pendidikan nasional).
26
2. Konsep Pendidikan Agama Islam
a. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Menurut Yudianto (Syafaat, 2008: 11) bahwa pendidikan agama terdiri dari
dua kata yaitu “pendidikan” dan “agama”. Dalam kamus umum bahasa
Indonesia, pendidikan berasal dari kata didik, dengan diberi awalan “pe” dan
akhiran “an”, yang berarti “proses pengubahan sikap dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan”.
Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa
agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang
bertakwa kepada Allah Swt. dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk
menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling
menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial.
Hal tersebut sejalan dengan pengertian pendidikan agama menurut Puskur
(2003: 7) bahwa, Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana
dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati
hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran
agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur`ān dan ḥadīṡ, melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman.
b. Kurikulum Pendidikan Agama Islam di SMP
1) Pengertian Kurikulum
Secara bahasa, kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang digunakan
dalam bidang olahraga, yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yakni
jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari start hingga
27
finish. Kemudian pengertian kurikulum diterapkan dalam bidang
pendidikan. Dalam bahasa Arab, kurikulum berarti “manhaj”, yakni jalan
yang terang. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang
dilalui oleh pendidik/guru dengan peserta didik untuk mengembangkan
pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai (Muhaimin, 2009: 1).
Ramayulis (2008: 150) menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan
(manhaj al-Dirāsaħ) dalam Qāmūs Tarbīyaħ adalah seperangkat
perencanaan dan media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan
dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.
Sementara secara terminologi, para ahli banyak memberikan pengertian
kurikulum yang bervariasi. Namun dari semua pengertian yang diberikan
dapat diambil benang merah bahwa di satu pihak ada yang menekankan
pada isi pelajaran, dan di lain pihak lebih menekankan pada proses atau
pengalaman belajar.
M. Arifin (Ramayulis, 2008: 150) memandang kurikulum sebagai
seluruh bahan pelajaran yang harus disajikan dalam proses kependidikan
dalam suatu sistem institusional pendidikan. Pengertian kurikulum ini masih
menitik beratkan pada materi pelajaran semata.
Berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh Dzakiyat Daradjat yang
memandang kurikulum sebagai suatu program yang direncanakan dalam
bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan
pendidikan tertentu (Ramayulis, 2008: 151).
28
Selain dua pihak tersebut, muncul pengertian atau definisi yang
menengahi masalah tersebut. Salah satunya definisi kurikulum yang
tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20/2003. Kurikulum tersebut
dikembangkan ke arah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu (Muhaimin, 2009: 2).
Dari definisi tersebut, kita dapat lihat bahwa ada tiga komponen yang
terdapat dalam kurikulum, yaitu tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
pembelajaran yang termasuk di dalamnya itu berupa strategi pembelajaran
maupun evaluasi dari pembelajaran tersebut.
2) Komponen-Komponen Kurikulum
Dalam penyusunan sebuah kurikulum seyogyanya diperhatikan fungsi
dari kurikulum tersebut. Kurikulum dalam proses pendidikan adalah sebagai
alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Ramayulis (2008: 153) menyatakan
bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan memiliki bagian-bagian penting
dan penunjang yang dapat mendukung operasinya dengan baik. Bagian-
bagian ini disebut komponen yang saling berkaitan, berinteraksi dalam
upaya mencapai tujuan. Komponen kurikulum itu, meliputi:
a) Tujuan yang ingin dicapai, meliputi: tujuan akhir, tujuan umum,
tujuan khusus, dan tujuan sementara.
29
b) Isi kurikulum, berupa materi pelajaran yang diprogram yang disusun
dalam silabus, dan dalam pengaplikasiannya dicantumkan dalam
satuan pembelajaran dan rencana pembelajaran.
c) Media (sarana dan prasarana), sebagai penjabaran isi kurikulum agar
lebih mudah dipahami oleh peserta didik.
d) Strategi, merujuk pada pendekatan dan metode serta teknik mengajar
yang digunakan. Termasuk juga komponen penunjang lainnya seperti:
sistem administrasi, pelayanan BK, remedial, pengayaan, dsb.
3) Dasar Kurikulum Pendidikan Islam
Sebagai salah satu komponen dalam pendidikan yang sangat berperan
dalam mengantarkan pada tujuan suatu pendidikan yang diharapkan, maka
kurikulum pendidikan Islam harus mempunyai dasar-dasar yang merupakan
kekuatan dari sebuah kurikulum tersebut.
Menurut Iskandar Wiyokusumo dan Usman Mulyadi (Ramayulis, 2008:
159) pendidikan Islam adalah usaha-usaha untuk menginternalisasikan nilai-
nilai agama Islam sebagai titik sentral tujuan dan proses pendidikan Islam
itu sendiri. Oleh karena itu yang menjadi dasar penyusunan kurikulum
pendidikan Islam adalah:
a) Dasar agama, dalam arti segala sistem yang ada alam masyarakat
termasuk pendidikan, harus meletakan dasar falsafah, tujuan dan
kurikulumnya pada dasar agama Islam dengan segala aspeknya. Dasar
agama ini dalam kurikulum pendidikan Islam jelas harus didasarkan
30
pada al-Qurā̀n, al-Sunnaħ, dan sumber-sumber yang bersifat furū’
lainnya.
b) Dasar falsafah, dasar ini memberikan pedoman bagi tujuan pendidikan
Islam secara filosofis sehingga tujuan, isi, dan organisasi kurikulum
mengandung suatu kebenaran dan pandangan hidup dalam bentuk
nilai-nilai yang diyakini sebagai suatu kebenaran, baik ditinjau dari
segi ontologi, epistimologi, dan aksiologi.
c) Dasar psikologis, dasar ini memberikan landasan dalam perumusan
kurikulum yang sejalan dengan ciri-ciri perkembangan psikis peserta
didik, sesuai dengan tahap kematangan dan bakatnya, memperhatikan
kecakapan pemikiran dan perbedaan perseorangan antara satu peserta
didik dengan yang lainnya.
d) Dasar sosial, dasar ini memberikan gambaran bagi kurikulum
pendidikan Islam yang tercermin pada dasar sosial yang mengandung
ciri-ciri masyarakat Islam dan kebudayaannya. Baik dari segi
pengetahuan, nilai-nilai ideal, cara berpikir dan adat kebiasaan, seni
dan sebagainya.
e) Dasar organisator, dasar ini memberikan landasan dalam penyusunan
bahan pembelajaran beserta penyajiannya dalam proses pembelajaran.
4) Kurikulum PAI di SMP
a) Pengertian
Pendidikan agama Islam yang diungkapkan oleh Puskur (2003: 7),
sebagai berikut :
31
Upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mmenjalankan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur`ān dan Ḥadīṡ, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan, serta penggunaan pengalaman.
Kurikulum pendidikan agama Islam berarti seperangkat rencana
kegiatan dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran PAI serta cara
yang digunakan dan segenap kegiatan yang dilakukan oleh guru agama
untuk membantu siswa dalam memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran Islam dan atau menumbuhkembangkan nilai-nilai Islam.
Kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMP
dirancang untuk mengantarkan siswa kepada peningkatan keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah SWT serta pembentukan akhlak yang mulia.
Keimanan dan ketaqwaan serta kemuliaan akhlak sebagaimana yang
tertuang dalam tujuan akan dapat dicapai dengan terlebih dahulu jika
siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman yang utuh dan benar
terhadap ajaran agama Islam, sehingga terinternalisasi dalam
penghayatan dan kesadaran untuk melaksanakannya dengan benar.
Dalam kurikulum 1975, 1984, dan 1994, target yang harus dicapai
(attainment target) dicantumkan dalam tujuan pembelajaran umum. Hal
ini kurang memberi kejelasan tentang kemampuan yang harus
dikembangkan. Atas dasar teori dan prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum yang dipraktekkan di berbagai negara seperti Singapura,
Australia, Inggris, dan Amerika; juga didorong oleh visi, misi, dan
32
paradigma baru Pendidikan Agama Islam, maka penyusunan kurikulum
Pendidikan Agama Islam kini perlu dilakukan dengan berbasis
kompetensi dasar (basic competency).
Kurikulum pendidikan agama tahun 1994 juga lebih menekankan
materi pokok dan lebih bersifat memaksakan target bahan ajar sehingga
tingkat kemampuan peserta didik terabaikan. Hal ini kurang sesuai
dengan prinsip pendidikan yang menekankan pengembangan peserta
didik lewat fenomena bakat, minat serta dukungan sumber daya
lingkungan. Dalam implementasinya juga lebih didominasi pencapaian
kemampuan kognitif. Kurang mengakomodasikan keragaman kebutuhan
daerah. Meski secara nasional kebutuhan keberagamaan siswa SMP pada
dasarnya tidak berbeda. Dengan pertimbangan ini, maka disusun
kurikulum nasional Pendidikan Agama Islam SMP yang berbasis pada
kompetensi dasar (basic competency) yang mencerminkan kebutuhan
keberagamaan siswa SMP secara nasional. Standar ini diharapkan dapat
dipergunakan sebagai acuan dalam mengembangkan kurikulum
pendidikan agama Islam SMP sesuai dengan kebutuhan daerah/sekolah.
(Puskur, 2003: 6-7)
b) Tujuan
Pendidikan Agama Islam di SMP dalam kurikulum PAI Tahun 2002
(Majid, 2005: 135), bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan
keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan,
pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam
33
sehingga menjadi manusia Muslim yang terus berkembang dalam hal
keimanan, ketakwaannya kepada Allah Swt. serta berakhlak mulia dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta untuk
dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Muhamad al-Munir (Majid, 2005: 74) menjelaskan bahwa tujuan
pendidikan agama Islam adalah:
1) Tercapainya manusia seutuhnya, karena Islam itu agama yang
sempurna, sesuai dengan firman-Nya QS. al-Māidaħ [5] ayat 3:
7M&��;/0� :�N�ִ☺/I() &OH�+0 &OH�E�@�4
:�9☺EP/Q()�( &OH�/;��7R STUִ☺��W
:�4XY�'�( �OH�+0 ZO�������� ��@�4 [
pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.
2) Tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat, merupakan tujuan yang
seimbang, seperti disebutkan dalam firman-Nya QS. al-Baqaraħ [2]
ayat 201:
�,.��\�( ?�\ �]�:�7@ �E�^1�' E����H <�3 �;W'�0� _`�_abִc <�3�( E78XZdִ� _`�_abִc E��֠�( Ze�;7�
'�_0� dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka
3) Menumbuhkan kesadaran manusia mengabdi dan takut kepada-Nya
sesuai dengan firman Allah Swt. QS. al-Żāriyāt [56] ayat 51:
7\�( :�/���ִZ g?X./h� �iW����( jk�� 2�(,�l��;�0
34
dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
c) Fungsi
Pendidikan Agama Islam untuk SMP berfungsi untuk:
(1) Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat;
(2) Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. serta
akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah
ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga;
(3) Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan
sosial melalui Pendidikan Agama Islam;
(4) Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta
didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam
kehidupan sehari-hari;
(5) Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif budaya asing yang
akan dihadapinya sehari-hari;
(6) Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum
(alam nyata dan non nyata/ghaib), sistem dan fungsionalnya; dan,
(7) Penyaluran siswa untuk mendalami pendidikan agama ke
lembaga pendidikan yang lebih tinggi. (Majid, 2005: 134)
d) Ruang Lingkup
Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam di SMP meliputi keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan antara: hubungan manusia dengan Allah
35
Swt., hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia
dengan alam (selain manusia) dan lingkungan.
Adapun ruang lingkup bahan pelajaran Pendidikan Agama Islam di
Sekolah Menengah Pertama terfokus pada aspek: keimanan, al-Qu`rān/
Ḥadīṡ, akhlak, fiqh/ibadah, dan tarikh (Puskur, 2003: 10).
e) Standar Kompetensi Lintas Kurikulum
Standar Kompetensi Lintas Kurikulum dalam kurikulum PAI Tahun
2003 (Majid, 2005: 148) merupakan kecakapan untuk hidup dan belajar
sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik
melalui pengalaman belajar. Standar Kompetensi Lintas Kurikulum ini
meliputi:
(1) Memiliki keyakinan, menyadari serta menjalankan hak dan
kewajiban, saling menghargai dan memberi rasa aman sesuai
dengan agama yang dianutnya.
(2) Menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan
mengkomunikasikan gagasan dan informasi, serta untuk
berinteraksi dengan orang lain.
(3) Memilih, memadukan, dan menerapkan konsep-konsep,
teknikteknik, pola, struktur, dan hubungan.
(4) Memilih, mencari, dan menerapkan teknologi dan informasi yang
diperlukan dari berbagai sumber.
36
(5) Memahami dan menghargai lingkungan fisik, makhluk hidup, dan
teknologi, dan menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan
nilai-nilai untuk mengambil keputusan yang tepat.
(6) Berpartisipasi, berinteraksi, dan berkontribusi aktif dalam
masyarakat dan budaya global berdasarkan pemahaman konteks
budaya, geografis, dan historis.
(7) Berkreasi dan menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual
serta menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan
kematangan pribadi menuju masyarakat beradab.
(8) Berpikir logis, kritis, dan lateral dengan memperhitungkan
potensi dan peluang untuk menghadapi berbagai kemungkinan.
(9) Menunjukkan motivasi dalam belajar, percaya diri, bekerja
mandiri, dan bekerjasama dengan orang lain.
f) Standar Kompetensi Pendidikan Agama
Standar kompetensi bahan kajian pendidikan agama dalam Kurikulum
PAI Tahun 2003 (Majid, 2005: 134), adalah:
(1) Standar Kompetensi Pendidikan Agama
Siswa beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
(Allah Swt.), berakhlak mulia (berbudi pekerti luhur) yang tercermin
dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agamanya, serta
mampu menghormati agama lain dalam kerangka kerukunan antar
umat beragama.
37
(2) Standar Kompetensi Spesifik Pendidikan Agama Islam
Dengan landasan al-Qu`rān dan Sunnaħ/Ḥadīṡ Nabi Muhammad
Saw., siswa beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt.; berakhlak
mulia (berbudi pekerti luhur) yang tercermin dalam perilaku sehari-
hari dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, dan alam
sekitar; mampu membaca dan memahami al-Qu`rān/Ḥadīṡ; mampu
beribadah dan bermuamalah dengan baik dan benar; serta mampu
menjaga kerukunan intern dan antar umat beragama.
g) Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di
SMP
Standar kompetensi mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
berisi sekumpulan kemampuan minimal yang harus dikuasai siswa
selama menempuh PAI di SMP. Kemampuan ini berorientasi pada
perilaku afektif dan psikomotorik dengan dukungan pengetahuan kognitif
dalam rangka memperkuat keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt.
Kemampuan-kemampuan yang tercantum dalam komponen kemampuan
dasar ini merupakan penjabaran dari kemampuan dasar umum yang harus
dicapai di SMP yaitu:
(1) Mampu membaca al-Qu`rān surat-surat pilihan sesuai dengan
tajwidnya, mengartikan, dan menyalinnya, serta mampu
membaca, mengartikan, dan menyalin Ḥadīṡ- ḥadīṡ pilihan.
(2) Beriman kepada Allah Swt. dan lima rukun iman yang lain
dengan mengetahui fungsinya serta terrefleksi dalam sikap,
38
perilaku, dan akhlak peserta didik dalam dimensi vertikal maupun
horizontal.
(3) Mampu beribadah dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan
syarī’aħ Islam baik ibadah wajib dan ibadah sunnaħ maupun
muamalah.
(4) Mampu berakhlak mulia dengan meneladani sifat, sikap, dan
kepribadian Rasulullah serta Khulafā` al-Rāsyidīn.
(5) Mampu mengambil manfat dari sejarah peradaban Islam. Seperti
tergambar dalam kemampuan dasar umum di atas, kemampuan
dasar tiap kelas yang tercantum dalam Standar Nasional juga
dikelompokkan ke dalam lima unsur pokok mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam di SMP, yaitu: al-Qur`ān/Ḥadīṡ,
Keimanan; Akhlak; Fiqih/Ibadah; dan Tarikh.
Berdasarkan pengelompokan perunsur, kemampuan dasar mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMP adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Kemampuan Dasar Mata Pelajaran PAI di SMP
Mata pelajaran Kompetensi Dasar al-Qu`rān/Ḥadīṡ • Membaca, mengartikan, dan menyalin
surat-surat pilihan. • Membaca, mengartikan, dan menyalin
ḥadīṡ- ḥadīṡ pilihan. • Menerapkan hukum bacaan Alif Lām
Syamsiyyaħ dan Alif Lām Qomaryyiaħ, Nūn mati/tanwīn dan Mīm mati.
• Menerapkan bacaan qalqalaħ, tafkhīm dan tarqīq, huruf lām dan ra’, serta mad.
• Menerapkan hukum bacaan waqof dan idgām.
• Mengamalkan isi kandungan al-Qu`rān dan Ḥadīṡ dalam kehidupan sehari-hari.
39
Keimanan
• Beriman kepada Allah Swt. dan memahami sifat-sifat-Nya.
• Beriman kepada Malaikat-malaikat Allah Swt. dan memahami tugas-tugasnya.
• Beriman kepada Kitab-kitab Allah Swt. dan memahami arti beriman kepadanya.
• Beriman kepada Rasul-rasul Allah Swt. dan memahami arti beriman kepadanya.
• Beriman kepada hari akhir dan memahami arti beriman kepadanya.
• Beriman kepada qaḍā’ dan qadar Allah Swt. dan memahami arti beriman kepadanya.
Akhlak
• Beperilaku dengan sifat-sifat terpuji. • Menghindari sifat-sifat tercela. • Bertata karma
Fiqih/Ibadah • Melakukan ṭahāraħ/bersuci. • Melakukan shalat wajib. • Melakukan macam-macam sujud. • Melakukan shalat Jum’at. • Melakukan shalat jama’ dan qasar. • Melakukan macam-macam shalat sunnah. • Melakukan puasa. • Melakukan zakat. • Memahami hukum Islam tentang makanan,
minuman, dan binatang. • Memahami ketentuan ‘aqīqaħ dan qurban. • Memahami ibadah haji dan umrah. • Melakukan shalat janazah. • Memahami tata cara pernikahan.
Tarikh • Memahami keadaan masyarakat Makkah sebelum dan sesudah Islam datang.
• Memahami keadaan masyarakat Makkah periode Rasulullah SAW.
• Memahami keadaan masyarakat Madinah sebelum dan sesudah Islam datang.
• Memahami perkembangan Islam pada masa Khulafaur Rasyidin.
Sumber: Majid (2005: 150)
D. Teori Pengayaan Pendidikan Agama Islam
1. Pengayaan
40
Kata pengayan (enrichment) digunakan untuk menunjukan pada kurikulum
sebagai program layanan pengiriman (delivery services). Kurikulum yang
diperkaya menunjuk pada pengayaan, lebih bervariasi dalam pengalaman-
pengalaman pendidikan, suatu kurikulum yang telah dimodifikasi atau ditambah
dalam beberapa cara. Modifikasi dan penambahan ini mungkin pada isi atau
dalam strategi mengajar, dan idealnya didasarkan pada karakteristik siswa untuk
mereka desain (Sudarma, 2010: 1).
Di antara bebarapa model pengayaan yang dikenal, salah satunya adalah model
pengayaan Renzulli. Model pengayaan Renzulli didesain untuk menyediakan
variasi pengalaman pengayaan. Model ini menyediakan tiga tingkat pengayaan
yang mendukung pengalaman dan proses latihan untuk semua siswa di sekolah.
Siswa berbakat (intelegensi di atas rata-rata, kreativitas, dan komitmen terhadap
tugas) merespon pengalaman-pengalaman memecahkan masalah-masalah nyata
(seperti polusi udara) dan mengembangkan produk nyata (seperti surat-surat untuk
editor dan presentasi kepada konsul). Secara rinci model Renzulli ini ada tiga tipe,
yaitu:
Pengayaan tipe I, yaitu melibatkan pengalaman secara umum, yang
menunjukan kepada siswa tentang topik topik baru, gagasan-gagasan dan
pengetahuan yang tidak ditulis dalam kurikulum regular.
Pengayaan tipe II, yaitu kegiatan latihan kelompok, suatu kegiatan yang
dirancang untuk mengembangkan proses kognitif dan afektif, kegiatan ini
dikelompokan pada seluruh siswa, bukan hanya yang berbakat saja.
41
Pengayaan tipe III, ditujukan untuk meneliti individu dan kelompok kecil pada
masalah nyata. Kegiatan pada pengayan tipe III ini biasanya dibawah pada kelas
khusus dan ditangani oleh guru-guru yang memang dilatih secara khusus untuk
anak berbakat (Munandar, 2009: 175-177).
Kegiatan pengayaan dilaksanakan dengan tujuan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk memperdalam penguasaan materi pelajaran yang berkaitan
dengan tugas belajar yang sedang dilaksanakan sehingga tercapai tingkat
perkembangan yang optimal. Tugas yang dapat diberikan guru pada siswa yang
mengikuti kegiatan pengayaan di antaranya adalah memberikan kesempatan
menjadi tutor sebaya, mengembangkan latihan praktis dari materi yang sedang
dibahas, membuat hasil karya, melakukan suatu proyek, membahas masalah, atau
mengerjakan permainan yang harus diselesaikan siswa. Apapun kegiatan yang
dipilih guru, hendaknya kegiatan pengayaan tersebut menyenangkan dan
mengembangkan kemampuan kognitif tinggi sehingga mendorong siswa untuk
mengerjakan tugas yang diberikan(Massofa, 2008: 1).
Menurut Massofa (2008: 1), dalam memilih dan melaksanakan kegiatan
pengayaan, guru harus memperhatikan: faktor siswa, baik faktor minat maupun
faktor psikologis lainnya, faktor manfaat edukatif, dan faktor waktu.
a. Hakikat Pembelajaran Pengayaan
Dalam sistem penilaian KTSP: Panduan penyelenggaraan pembelajaran
pengayaan (Depdiknas, 2008: 1) Secara umum pengayaan dapat diartikan
sebagai pengalaman atau kegiatan peserta didik yang melampaui persyaratan
42
minimal yang ditentukan oleh kurikulum dan tidak semua peserta didik dapat
melakukannya.
Dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran
tuntas, lazimnya guru mengadakan penilaian awal untuk mengetahui
kemampuan peserta didik terhadap kompetensi atau materi yang akan
dipelajari sebelum pembelajaran dimulai. Kemudian dilaksanakan
pembelajaran dengan menggunakan berbagai strategi seperti ceramah,
demonstrasi, pembelajaran kolaboratif/kooperatif, inkuiri, discoveri, dsb.
Melengkapi strategi pembelajaran digunakan juga berbagai media seperti
media audio, video, dan audiovisual dalam berbagai format, mulai dari kaset
audio, slide, video, komputer multimedia, dsb. Di tengah pelaksanaan
pembelajaran atau pada saat kegiatan pembelajaran sedang berlangsung,
diadakan penilaian proses dengan menggunakan berbagai teknik dan instrumen
dengan tujuan untuk mengetahui kemajuan belajar serta seberapa jauh
penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah atau sedang
dipelajari. Penilaian proses juga digunakan untuk memperbaiki proses
pembelajaran bila dijumpai hambatan-hambatan.
Pada akhir program pembelajaran, diadakan penilaian yang lebih formal
berupa ulangan harian. Ulangan harian dimaksudkan untuk menentukan tingkat
pencapaian belajar, apakah seorang peserta didik gagal atau berhasil mencapai
tingkat penguasaan kompetensi tertentu. Penilaian akhir program ini
dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan apakah peserta didik telah mencapai
43
kompetensi (tingkat penguasaan) minimal atau ketuntasan belajar seperti yang
telah dirumuskan pada saat pembelajaran direncanakan.
Jika ada peserta didik yang lebih mudah dan cepat mencapai penguasaan
kompetensi minimal yang ditetapkan, maka sekolah perlu memberikan
perlakuan khusus berupa program pembelajaran pengayaan. Pembelajaran
pengayaan merupakan pembelajaran tambahan dengan tujuan untuk
memberikan kesempatan pembelajaran baru bagi peserta didik yang memiliki
kelebihan sedemikain rupa sehingga mereka dapat mengoptimalkan
perkembangan minat, bakat, dan kecakapannya. Pembelajaran pengayaan
berupaya mengembangkan keterampilan berpikir, kreativitas, keterampilan
memecahkan masalah, eksperimentasi, inovasi, penemuan, keterampilan seni,
keterampilan gerak, dsb. Pembelajaran pengayaan memberikan pelayanan
kepada peserta didik yang memiliki kecerdasan lebih dengan tantangan belajar
yang lebih tinggi untuk membantu mereka mencapai kapasitas optimal dalam
belajarnya (Depdiknas, 2008: 1).
b. Jenis Pembelajaran Pengayaan
Ada tiga jenis pembelajaran pengayaan, yaitu:
1) Kegiatan eksploratori yang bersifat umum yang dirancang untuk
disajikan kepada peserta didik. Sajian dimaksud berupa peristiwa sejarah,
buku, tokoh masyarakat, dsb, yang secara regular tidak tercakup dalam
kurikulum.
44
2) Keterampilan proses yang diperlukan oleh peserta didik agar berhasil
dalam melakukan pendalaman dan investigasi terhadap topik yang
diminati dalam bentuk pembelajaran mandiri.
3) Pemecahan masalah yang diberikan kepada peserta didik yang memiliki
kemampuan belajar lebih tinggi berupa pemecahan masalah nyata dengan
menggunakan pendekatan pemecahan masalah atau pendekatan
investigatif/penelitian ilmiah. Pemecahan masalah ditandai dengan: (a)
identifikasi bidang permasalahan yang akan dikerjakan; (b) penentuan
fokus masalah/problem yang akan dipecahkan; (c) penggunaan berbagai
sumber; (d) pengumpulan data menggunakan teknik yang relevan; (e)
analisis data; dan (f) penyimpulan hasil investigasi.
Sekolah tertentu, khususnya yang memiliki peserta didik lebih cepat belajar
dibanding sekolah-sekolah pada umumnya, dapat menaikkan tuntutan
kompetensi melebihi standari isi. Misalnya sekolah-sekolah yang
menginginkan memiliki keunggulan khusus (Depdiknas, 2008: 3).
c. Pelaksanaan Pembelajaran Pengayaan
Pemberian pembelajaran pengayaan pada hakikatnya adalah pemberian
bantuan bagi peserta didik yang memiliki kemampuan lebih, baik dalam
kecepatan maupun kualitas belajarnya. Agar pemberian pengayaan tepat
sasaran maka perlu ditempuh langkah-langkah sistematis, yaitu (1)
mengidentifikasi kelebihan kemampuan peserta didik, dan (2) memberikan
perlakuan (treatment) pembelajaran pengayaan.
45
1) Identifikasi Kelebihan Kemampuan Belajar
a) Tujuan
Identifikasi kemampuan berlebih peserta didik dimaksudkan untuk
mengetahui jenis serta tingkat kelebihan belajar peserta didik. Kelebihan
kemampuan belajar itu antara lain meliputi:
(1) Belajar lebih cepat. Peserta didik yang memiliki kecepatan belajar
tinggi ditandai dengan cepatnya penguasaan kompetensi (SK/KD)
mata pelajaran tertentu.
(2) Menyimpan informasi lebih mudah Peserta didik yang memiliki
kemampuan menyimpan informasi lebih mudah, akan memiliki
banyak informasi yang tersimpan dalam memori/ ingatannya dan
mudah diakses untuk digunakan.
(3) Keingintahuan yang tinggi. Banyak bertanya dan menyelidiki
merupakan tanda bahwa seorang peserta didik memiliki hasrat
ingin tahu yang tinggi.
(4) Berpikir mandiri. Peserta didik dengan kemampuan berpikir
mandiri umumnya lebih menyukai tugas mandiri serta mempunyai
kapasitas sebagai pemimpin.
(5) Superior dalam berpikir abstrak. Peserta didik yang superior dalam
berpikir abstrak umumnya menyukai kegiatan pemecahan masalah.
46
(6) Memiliki banyak minat. Mudah termotivasi untuk meminati
masalah baru dan berpartisipasi dalam banyak kegiatan
(Depdiknas, 2008: 4).
b) Teknik
Teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kemampuan
berlebih peserta didik dapat dilakukan antara lain melalui :
(1) Tes IQ (Intelligence Quotient) adalah tes yang digunakan untuk
mengetahui tingkat kecerdasan peserta didik. Dari tes ini dapat
diketahui tingkat kemampuan spasial, interpersonal, musikal,
intrapersonal, verbal, logik/matematik, kinestetik, naturalistik,
dsb.
(2) Tes inventori. Tes inventori digunakan untuk menemukan dan
mengumpulkan data mengenai bakat, minat, hobi, kebiasaan
belajar, dsb.
(3) Wawancara. Wanwancara dilakukan dengan mengadakan
interaksi lisan dengan peserta didik untuk menggali lebih dalam
mengenai program pengayaan yang diminati peserta didik.
(4) Pengamatan (observasi). Pengamatan dilakukan dengan jalan
melihat secara cermat perilaku belajar peserta didik. Dari
pengamatan tersebut diharapkan dapat diketahui jenis maupun
tingkat pengayaan yang perlu diprogramkan untuk peserta didik
(Depdiknas, 2008: 6).
2) Bentuk Pelaksanaan Pembelajaran Pengayaan
47
Bentuk-bentuk pelaksanaan pembelajaran pengayaan dapat dilakukan
antara lain melalui:
a) Belajar Kelompok. Sekelompok peserta didik yang memiliki minat
tertentu diberikan pembelajaran bersama pada jam-jam pelajaran
sekolah biasa, sambil menunggu teman-temannya yang mengikuti
pembelajaran remedial karena belum mencapai ketuntasan.
b) Belajar mandiri. Secara mandiri peserta didik belajar mengenai
sesuatu yang diminati.
c) Pembelajaran berbasis tema. Memadukan kurikulum di bawah tema
besar sehingga peserta didik dapat mempelajari hubungan antara
berbagai disiplin ilmu.
d) Pemadatan kurikulum. Pemberian pembelajaran hanya untuk
kompetensi/materi yang belum diketahui peserta didik. Dengan
demikian tersedia waktu bagi peserta didik untuk memperoleh
kompetensi/materi baru, atau bekerja dalam proyek secara mandiri
sesuai dengan kapasitas maupun kapabilitas masing-masing.
Perlu diperhatikan bahwa penyelenggaraan pembelajaran pengayaan ini
terutama terkait dengan kegiatan tatap muka untuk jam-jam pelajaran sekolah
biasa. Sebagai bagian integral dari kegiatan pembelajaran, kegiatan pengayaan
tidak lepas kaitannya dengan penilaian. Penilaian hasil belajar kegiatan
pengayaan, tentu tidak sama dengan kegiatan pembelajaran biasa, tetapi cukup
dalam bentuk portofolio, dan harus dihargai sebagai nilai tambah (lebih) dari
peserta didik yang normal (Depdiknas, 2008: 8).
48
2. Pengayaan Pendidikan Agama Islam
Menurut Abudin Nata (Syafaat, 2008: 7) bahwa dalam pendidikan terdapat
tanggung jawab tiga angle, Rumah tangga sebagai pembentukan sikap (afektif),
sekolah sebagai wahana pengembangan kognitif (intelektual), dan masyarakat
sebagai psikomotorik. Ketiganya harus ada kesatuan.
Hal tersebut senada dengan fungsi pendidikan agama dalam sistem pendidikan
nasional. Menurut Djamas (2009: 120) bahwa pendidikan agama mempunyai
fungsi yang sangat fundamental terutama bagi pencapaian tujuan pendidikan
nasional, yaitu untuk membentuk watak dan kepribadian siswa yang beriman,
bertakwa, dan berakhlak mulia. Karena itu, pendidikan agama tidak semata-mata
diarahkan kepada transfer of knowledge pada tataran kognitif semata, tetapi
meliputi seluruh ranah pendidikan, termasuk aspek afektif dan psikomotorik.
Menurut Syahidin (2005: 2) pendidikan agama Islam mempunyai misi utama
yaitu, membina kepribadian siswa dan mahasiswa secara utuh dengan harapan
kelak mereka menjadi ilmuan yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt.,
mampu mengabdikan ilmunya untuk kesejahteraan umat manusia.
Untuk membina siswa menjadi pribadi yang utuh, maka diperlukan lah
pendidikan. Pendidikan bukan hanya sekedar transfer informasi tentang ilmu
pengetahuan dari guru kepada murid, melainkan suatu proses pembentukan
karakter. Ada tiga misi utama pendidikan yaitu pewarisan pengetahuan (transfer
of knowledge), pewarisan budaya (transfer of culture), dan pewarisan nilai
49
(transfer of value). Oleh karena itu, pendidikan dapat dipahami sebagai proses
tranformasi nilai-nilai dalam rangka pembentukkan kepribadian dengan segala
aspek yang dicakupnya (Syahidin, 2005: 3)
Dewasa ini, pendidikan agama di sekolah masih mengalami banyak
kelemahan. Menurut Mochtar Buchori (Djamas, 2005: 23) bahwa pendidikan
agama masih gagal, yang disebabkan karena praktik pendidikannya hanya
memperhatikan aspek kognitif semata dari kesadaran nilai-nilai (agama), dan
mengabaikan pembinaan dari aspek afektif dan konatif-volitif, yakni kemauan dan
tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.
Sementara apabila kita merujuk pada tujuan ideal pendidikan Islam yang
diklasifikasikan oleh al-Syaibani ke dalam tiga tujuan asasi, yaitu: tujuan
individual, tujuan sosial, dan tujuan profesional. Maka dapat ditafsirkan bahwa
tujuan ideal pendidikan Islam adalah mencapai derajat insan kamil atau manusia
taqwa (Syahidin, 2005: 18).
Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan kerjasama antara rumah
tangga, masyarakat, dan juga sekolah secara harmonis dan terintegrasi. Maka dari
itu, pendidikan agama tidak hanya akan berorientasi pada pengajaran teoritik
agama semata, namun ada pula pengamalan-pengamalan dari nilai-nilai
pendidikan agama tersebut.
Khusus menyimak pendidikan agama di sekolah, kiranya tidaklah cukup
pendidikan agama yang hanya diberikan di dalam kelas untuk mencapai tujuan
dari pendidikan Islam. Apalagi dengan memperhatikan adanya perbedaan
50
kemampuan dari pemahaman dari tiap individu dalam menerima materi, maka
akan sulit pendidikan sampai pada tujuannnya.
Pengayaan Pendidikan Agama Islam bagi anak yang mempunyai kemampuan
lebih cepat belajar dari yang lainnya mesti diperhatikan oleh pihak sekolah. Hal
tersebut merupakan keuntungan tersendiri dalam dunia pendidikan, dan jangan
sampai anak yang mempunyai kelebihan tersebut malah terabaikan hanya karena
pihak sekolah yang kurang memperhatikan hal tersebut.
Pengayaan Pendidikan Agama Islam di sekolah, bisa dilakukan dengan dua
cara, yaitu: pengembangan kurikulum PAI dan penciptaan suasana religius di
sekolah.
a. Pengembangan Kurikulum PAI
Menurut Muhadjir (Muhaimin, 2009: 139), di dalam teori kurikulum
setidak-tidaknya ada empat pendekatan yang dapat digunakan dalam
pengembangan kurikulum, yaitu: pendekatan subjek akademis; pendekatan
humanistik; pendekatan teknologis; dan pendekatan rekontruksi sosial. Namun,
karakteristik yang ada pada PAI menjadikan pengembangan kurikulumnya
dapat dengan cara pendekatan elektik, yakni dapat memilih yang terbaik dari
keempat pendekatan tersebut.
1) Pendekatan Subjek Akademis
Pengembangan kurikulum subjek akademis dilakukan dengan cara
menetapkan lebih dahulu mata pelajaran/mata kuliah apa yang akan
dipelajari peserta didik, yang diperlukan untuk (persiapan) pengembangan
disiplin ilmu (Muhaimin, 2009: 140)
51
Sementara menurut Longstreet (Rusman, 2009: 51) desain kurikulum ini
merupakan desain kurikulum yang berpusat kepada pengetahuan (the
knowledge centered design) yang dirancang berdasarkan struktur disiplin
ilmu. Penekanannya diarahkan untuk pengembangan intelektual siswa.
Ada tiga bentuk organisasi kurikulum subjek akademis, yaitu: a) subject
centered curriculum, yakni bahan atau isi kurikulum disusun dalam bentuk
pada pelajaran terpisah-pisah, misalnya mata pelajaran biologi, geografi,
dsb; b) correlated curriculum, pada kurikulum ini mata pelajaran tidak
disajikan secara terpisah-pisah. Akan tetapi, mata pelajaran yang memiliki
kedekatan atau yang sejenis dikelompokkan sehingga menjadi suatu bidang
studi (broadfield), misalnya mata pelajaran kimia, biologi, dan fisikan
dikelompokkan menjadi bidang studi IPA; dan c) integrated curriculum,
yaitu kurikulum yang tidak lagi menampilkan nama-nama mata pelajaran
atau bidang studi (Rusman, 2009: 59).
2) Pendekatan Humanistik
Pendekatan humanistik dalam kurikulum bertolak dari ide
“memanusiakan manusia” berarti, usaha memberi kesadaran kepada peserta
didik untuk memngembangkan alat-alat potensialnya seoptimal mungkin
untuk dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan-pemecahan
masalah hidup dan kehidupan, pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta budaya manusia, dan pengembangan sikap iman dan takwa
kepada Allah Swt. (Muhaimin, 2009: 148).
52
Menurut Rusman (2009: 40) kurikulum humanistik adalah model
perencanaan kurikulum yang bertujuan pengembangan potensi peserta didik
secara total. Potensi yang dimaksud adalah perpaduan antara domain afektif
yang meliputi emosi, kepribadian, dan nilai serta kemampuan spiritual
dengan domain kognitif, yaitu kemampuan dan intelektualnya.
3) Pendekatan Teknologis
Dalam pengembangan kurikulum PAI, pendekatan ini dapat digunakan
untuk pembelajaran PAI yang menekankan pada know how atau cara
menjalankan tugas-tugas tertentu. Kalau kegiatan pembelajaran pendidikan
agam Islam hanya sampai pada penguasaan materi dan keterampilan
menjalankan ajaran agama, mungkin bisa menggunakan pendekatan
teknologis, sebab proses dan produknya bisa dirancang sebelumnya.
Namun, kalau pembelajaran pendidikan agama Islam harus sampai pada
taraf kesadaran iman dan pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan
sehari-hari, maka pendekatan ini akan sulit diterapkan, karena mungkin
prosesnya bisa dirancang tapi produk (hasil) pembelajarannya tidak bisa
dirancang dan sulit diukur (Muhaimin, 2009: 165).
4) Pendekatan Rekonstruksi Sosial
Pendekatan rekonstruksi sosial dalam menyusun kurikulum atau
program pendidikan keahlian bertolak dari problem yang dihadapi dalam
masyarakat. Kurikulum rekontruksi sosial selain menekankan isi
pembelajaran atau pendidikan juga sekaligus menekankan proses
pendidikan dan pengalaman belajar. Pendekatan ini berasumsi bahwa
53
manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan manusia lain, selalu
hidup bersama, berinteraksi, dan bekerja sama. Dan tugas pendidikan adalah
menjadikan peserta didik menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut
bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakat (Muhaimin, 2009:
173).
Model pembelajaran PAI berwawasan rekonstruksi sosial dapat
digambarkan sebagai berikut:
Bagan 2.1 Model pembelajaran PAI berwawasan rekonstruksi sosial
Sumber: Muhaimin (2009: 173)
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa, peserta didik terjun ke
masyarakat dengan dilandasi oleh internalisasi ajaran dan nilai-nilai Islam,
yang mengandung makna bahwa setiap langkah dan tahap kegiatan yang
hendak dilakukan di masyarakat selalu dilandasi oleh niat yang suci untuk
menjunjung tinggi ajaran dan nilai-nilai fundamental Islam sebagaimana
Internalisasi Doktrin Dan Nilai-Nilai
Agama Islam
Analisis
Desain pemb. PAI
Evaluasi dan
umpan balik
Implementasi
Masyarakat
Ma s y a r a k a t
Masyarakat
Ma s y a r a k a t
54
yang terkandung dalam al-Qur`ān dan sunnaħ/ḥadīṡ Rasulullah Saw., serta
berusaha membangun (kembali) masyarakat atas dasar komitmen, loyalitas,
dan dedikasi sebagai pelaku (aktor) terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam
tersebut (Muhaimin, 2009: 175).
b. Penciptaan Suasana Religius
Pengayaan pendidikan agama Islam selain diberikan dengan cara
pengembangan kurikulum, juga bisa dilakukan dengan berbagai kegiatan di
sekolah yang bernuansakan Islami. Menurut Muhaimin (2009: 59) bahwa
untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan yang Maha Esa serta berakhlak mulia ternyata tidak hanya bisa
mengandalkan pada mata pelajaran pendidikan agama yang hanya dua jam
pelajaran atau dua SKS, tetapi perlu pembinaan secara terus menerus dan
berkelanjutan di luar jam pelajaran pendidikan agama, baik di dalam kelas
maupun di luar kelas, atau di luar sekolah. Bahkan, diperlukan pula kerjasama
yang harmonis dan interaktif di antara para warga sekolah dan tenaga
kependidikan yang ada di dalamnya.
Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa, dengan kegiatan yang
berkelanjutan dan terorganisir, pemahaman siswa tentang agama justru akan
semakin mudah. Sementara untuk anak yang memiliki pemahaman lebih cepat,
justru hal tersebut akan semakin membantu agar mereka dapat lebih
mengoptimalkan pengetahuan mereka di luar kelas.
55
Bagan 2.2 Urgensi Penciptaan Suasana Religius
Sumber: Muhaimin (2009: 60)
Garis yang menghubungkan antara satu dimensi dengan dimensi yang lainnya
tersebut menunjukkan bahwa untuk membina keimanan peserta didik diperlukan
pengembangan dari ketiganya secara terpadu (Muhaimin, 2009: 60).
3. Fungsi-Fungsi Manajemen dalam Pengayaan PAI
Manajemen merupakan terjemahan secara langsung dari kata management
yang berarti pengelolaan, ketatalaksanaan, atau tata pimpinan. Management
berakar dari kata to manage yang berarti mengurus, mengatur, melaksanakan, atau
mengelola (Ramayulis, 2008: 259).
Dari definisi tersebut kita dapat mengetahui bahwa manajemen merupakan
suatu proses mengelola, mengatur, dan melaksanakan sesuatu. Menurut
Moral Knowing
1. Moral Awareness 2. Knowing moral
values 3. Perspective-taking 4. Moral reasoning 5. Decision making 6. Self-knowledge
Moral Feeling
1. Conscience 2. Self-esteem 3. Emphathy 4. Loving the good 5. Self-control 6. Humality
Moral Action 1. Competenc 2. Will 3. Habit
Penciptaan suasana religius
56
Ramayulis (2008: 270) peranan manajemen sangat ditentukan oleh fungsi-fungsi
manajemen. Fungsi-fungsi itulah yang menjadi inti dari manajemen itu sendiri.
Fungsi manajemen tersebut yaitu: perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), penggerakan (actuating), dan pengawasan (controlling).
Fungsi-fungsi yang disebutkan oleh Ramayulis tersebut berbeda dengan apa
yang disebutkan oleh Henry Fayol (Fattah, 2008: 13) yaitu, planning, organizing,
comanding, coordinating, dan controlling. Namun, fungsi manajemen yang akan
menjadi fokus penelitian adalah:
a. Perencanaan
Menurut Roger A. Kauffman (Fattah, 2008: 49) perencanaan adalah proses
penentuan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dan menetapkan jalan dan
sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu seefisien dan seefektif
mungkin.
Sementara itu Robbins (Uno, 2010: 1) mengemukakan bahwa perencanaan
adalah suatu cara untuk mengantisipasi dan menyeimbangkan perubahan.
Artinya perubahan yang terjadi di luar organisasi pengajaran tidak jauh berbeda
dengan perubahan yang terjadi pada organisasi itu, dengan harapan agar
organisasi tidak mengalami keguncangan. Jadi inti dari pengertian tersebut
adalah usaha mengubah organisasi agar sejalan dengan perubahan
lingkungannya.
1) Tahapan perencanaan
Kegiatan perencanaan adalah kegiatan yang sistematik dan sequensial,
karena itu kegiatan-kegiatan dalam proses penyusunan perencanaan dan
57
pelaksanaan perencanaan memerlukan tahapan-tahapan sesuai dengan
karakteristik perencanaan yang sedang dikembangkan (Makmun dan Sa’ud,
2007: 23).
Banghart dan trull (Makmun dan Sa’ud, 2007: 23-24) mengembangkan
tahapan perencanaan sebagai berikut:
(a) Prologue: pendahuluan atau langkah persiapan untuk memulai
kegiatan perencanaan.
(b) Identifying educational planning problems yang mencakup: (a)
delineating the scope of educational problem atau menentukan
ruang lingkup permasalahan perencanaan, (b) studying was have
been atau mengkaji apa yang telah direncanakan, (c) determining
was have been versus what should be artinya membandingkan apa
yang telah dicapai dengan apa yang seharusnya dicapai, (d)
resources and constraints atau sumber daya yang tersedia dan
keterbatasannya, (e) estabilishing educational planning parts and
priorities artinya mengembangkan bagian-bagian perencanaan dan
prioritas perencanaan.
(c) Analizing planning problem area artinya mengkaji permasalahan
perencanaan yang mencakup: (a) study areas and systems of
subareas artinya mengkaji permasalahan dan sub permasalahan, (b)
gathering date artinya pengumpulan data, tabulating data atau
tabulasi data, (c) forecasting atau proyeksi.
58
(d) Conceptualizing and designing plans, mengembangkan rencana yang
mencakup: (a) identifying prevailing trends atau identifikasi
kecenderungsn-kecenderungan yang ada, (b) estabilishing goals and
objective atau merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus, (c)
designing plans, menyusun rencana.
(e) Evaluating plan, menilai rencana yang telah disusun tersebut yang
mencakup: (a) planning through simulation, simulasi rencana, (b)
evaluating plan, evaluasi rencana, (c) selecting a plan, memilih
rencana.
(f) Specifying the plan, menguraikan rencana yang mencakup: (a)
problem formulation, merumuskan masalah, (b) Reporting result
atau menyusun hasil rumusan dalam bentuk final plan draft atau
rencana terakhir.
(g) Implementing the plan, melaksanakan rencana yang mencakup: (a)
problem preparation, persiapan rencana operasional, (b) plan
approval, legal justification, persetujuan dan pengesahan rencana,
(c) organizing operational units, mengatur aparat organisasi.
(h) Plan feedback, balikan pelaksanaan rencana yang mencakup: (a)
monitoring the plan, memantau pelaksanaan rencana, (b) evaluating
the plan, evaluasi pelaksanaan rencana, (c) adjusting, altering or
planning for what, how, and by whom yang berarti mengadakan
penyesuaian, mengadakan perubahan rencana atau merancang apa
yang perlu dirancang lagi bagaimana rancangannya, dan oleh siapa.
59
Sementara menurut Fattah (2008: 49) setiap perencanaan itu meliputi
beberapa kegiatan, seperti 1) perumusan tujuan yang ingin dicapai; 2)
pemilihan program untuk mencapai tujuan itu; 3) identifikasi dan
pengarahan sumber yang jumlahnya selalu terbatas.
2) Fungsi Perencanaan
Perencanaan mempunyai beberapa fungsi, yaitu: sebagai pedoman
pelaksanaan dan pengendalian, menghindari pemborosan sumber daya, alat
bagi pengembangan quality assurance, dan upaya untuk memenuhi
accountability kelembagaan (Makmun dan Sa’ud, 2007: 27).
3) Syarat-syarat Perencanaan
Menurut Purwanto (2008: 15), ada beberapa syarat yamg mesti
diperhatikan dalam menyusun sebuah perencanaan, seperti:
(a) Perencanaan harus berdasarkan atas tujuan yang jelas.
(b) Bersifat sederhana, realistis, dan praktik.
(c) Terinci, memuat segala uraian serta klasifikasi kegiatan dan
rangkaian tindakan sehingga mudah dipedomani dan dijalankan.
(d) Memiliki fleksibelitas sehingga mudah disesuaikan dengan
kebutuhan serta kondisi dan situasi sewaktu-waktu.
(e) Terdapat perimbangan antara bermacam-macam bidang yang akan
digarap dengan perencanaan itu, menurut urgensinya masing-
masing.
60
(f) Diusahakan adanya penghematan tenaga, biaya, dan waktu serta
kemungkinan penggunaan sumber-sumber daya dan dana yang
tersedia dengan sebaik-baiknya.
(g) Diusahakan agar sedapat mungkin tidak terjadi adanya duplikasi
pelaksanaan.
b. Pelaksanaan
Dalam ilmu manajemen terdapat beberapa istilah yang mempunyai
pengertian yang sama dengan pelaksanaan (actuating). Istilah tersebut yaitu
motivating, directing, dan leading. Semua istilah tersebut erat kaitannya
dengan dengan motivasi. Sedang motivasi adalah inti dari actuating. Motivasi
adalah suatu keadaan dalam diri seseorang yang mendorong, mengaktifkan
atau menggerakan yang mengarahkan atau menyalurkan perilaku ke arah
tujuan (Ramayulis, 2008: 273).
Dalam pelaksanaan ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, menurut
Ramayulis (2008: 273) prinsip tersebut yaitu: 1) keteladanan, 2) konsistensi, 3)
keterbukaan, 4) kelembutan, dan 5) kebijakan. Semua prinsip-prinsip itu
mempercepat dan meningkatkan kualitas penggerakan (pelaksanaan).
c. Monitoring
Setiap perencanaan dan pelaksanaan merupakan suatu kesatuan tindakan
yang di dalamnya dibutuhkan pengawasan (monitoring) untuk melihat sejuah
mana hasil yang telah dicapai.
Proses monitoring menurut Fattah (2008: 101) terdiri dari dua tahap, yaitu:
a) Menetapkan Standar-Standar Pelaksanaan Pekerjaan
61
Dengan mengadaptasi karya Koonts dan O. Donnel, murdick
mengemukakan lima ukuran kritis sebagai standar, yaitu: fisik, ongkos,
program, pendapatan, dan standar yang tidak dapat diraba (intangible).
b) Pengukuran hasil/pelaksanaan pekerjaan, yaitu metode dan teknik
koreksinya dapat dilihat/dijelaskan klasifikasi dari fungsi-fungsi
manajemen. Untuk lebih jelasnya dapat dilukiskan sebagai berikut:
Bagan 2.3 Langkah-Langkah Dasar Proses Pengawasan (monitoring)
Tidak
Ya
Sumber: Fattah (2008: 101)
Menurut Ramayulis (2008: 274) pengawasan didefinisikan sebagai proses
pemantauan yang terus menerus untuk menjamin terlaksananya perencanaan
secara konsekuen baik yang bersifat materil maupun spirituil.
Menurut sagala (2010: 66) bahwa, kegiatan pengawasan adalah kegiatan
untuk mengumpulkan data tentang penyelenggaraan suatu kerja sama antara
guru, kepala sekolah, konselor, supervisor, dan petugas sekolah lainnya dalam
institusi sekolah. Data tersebut dipakai untuk mengidentifikasikan apakah
proses pencapaian tujuan melalui proses pembelajaran berjalan dengan baik.
Menerapkan standar untuk mengukur prestasi
Mengukur prestasi kerja
Apakah prestasi memenuhi standar
Ambil tindakan korektif
Tidak berbuat apa-apa
62
Apakah ada penyimpangan dalam kegiatan itu serta kelemahan apa yang
didapatkan dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran sekolah tersebut.
Menurut fattah (2008: 106) ada beberapa kondisi yang mesti diperhatikan
jika pengawasan (monitoring) dapat berfungsi dengan efektif, yaitu:
a) Pengawasan harus dikaitkan dengan tujuan dan kriteria yag
dipergunakan dalam sistem pendidikan, yaitu relevansi, efektivitas,
efisiensi, dan produktifitas.
b) Sulit, tetapi standar yang masih dicapai harus ditentukan. Ada dua
tujuan pokok, yaitu: untuk memotivasi dan untuk dijadikan patokan
guna membandingkan dengan prestasi.
c) Pengawasan hendaknya disesuaikan dengan sifat dan kebutuhan
organisasi. Di sini perlu diperhatikan pola dan tata organisasi, seperti:
susunan, peraturan, kewenangan dan tugas-tugas yang telah digariskan
dalam uraian tugas (job deskription).
d) Banyaknya pengawasan harus dibatasi. Artinya jika pengawasan
terhadap karyawan terlampau sering, ada kecenderungan mereka
kehilangan otonominya dan dapat dipersepsi pengawasan itu sebagai
pengekangan.
e) Sistem pengawasan harus dikemudi (steering controls) tanpa
mengorbankan otonomi dan kehormatan manajerial tetapi fleksibel,
artinya sistem pengawasan menunjukkan kapan, dan di mana tindakan
korektif harus diambil.
63
f) Pengawasan hendaknya mengacu pada tindakan perbaikan, artinya tidak
hanya mengungkap penyimpangan dari standar, tetapi penyediaan
alternatif perbaikan, menentukan tindakan perbaikan.
g) Pengawasan hendaknya mengacu pada prosedur pemecahan masalah,
yaitu: menemukan masalah, melakukan perbaikan, mengecek hasil
perbaikan, mencegah timbulnya masalah yang serupa.
d. Evaluasi
Menurut Fattah, (2008: 107) evaluasi adalah pembuatan pertimbangan
menurut suatu perangkat kriteria yang disepakati dan dapat
dipertanggungjawabkan. Sementara menurut Oemar Hamalik (Mujib dan
Mudzakir, 2008: 211) evaluasi dalam pendidikan adalah suatu proses
penaksiran terhadap kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan peserta didik
untuk tujuan pendidikan.
a) Konsep Evaluasi
Menurut TR Morrison (Fattah, 2008: 107) ada tiga faktor penting dalam
konsep evaluasi, yaitu: pertimbangan (judgement), deskrifsi objek penilaian,
dan kriteria yang bertanggung jawab (defensible criteria).
Aspek keputusan itu yang membedakan evaluasi sebagai suatu kegiatan
dan konsep dari kegiatan lainnya, seperti pengukuran (measurement).
b) Tujuan Evaluasi
Dalam hubungannya dengan manajemen pendidikan, tujuan evaluasi
antara lain:
64
(1) Untuk memperoleh dasar bagi pertimbangan akhir suatu periode
kerja, apa yang telah dicapai, apa yang belum dicapai, dan apa yang
perlu mendapat perhatian khusus.
(2) Untuk menjamin cara kerja yang efektif dan efisien yang membawa
organisasi pada penggunaan sumber daya pendidikan
(manusia/tenaga, sarana/prasarana, biaya) secara efisiensi ekonomis.
(3) Untuk memperoleh data tentang kesulitan, hambatan, penyimpangan
dilihat dari aspek tertentu misalnya program tahunan, kemajuan
belajar (Fattah, 2008: 108).
c) Prinsip Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian tentang suatu aspek yang dihubungkan dengan
situasi aspek lainnya, sehingga diperoleh gambaran menyeluruh yang
ditinjau dari berbagai segi. Sehubungan denga itu dalam pelaksanaan
evaluasi harus diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
(1) Prinsip kesinambungan (kontinuitas), artinya evaluasi tidak hanya
cukup dilaksanakan setahun sekali atau per semester, tetapi
dilakukan secara terus menerus.
(2) Prinsip menyeluruh (komprehensif), yakni evaluasi melihat dari
segala aspek.
(3) Prinsip objektivitas, yakni dalam mengevaluasi mesti berdasarkan
kenyataan yang sebenarnya, tidak boleh dipengaruhi oleh hal-hal
yang bersifat emosional dan irasional (Mujib dan Mudzakir, 2008:
214).
65
top related