bab i pendahuluan a. latar belakang masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14686/1/t1... ·...
Post on 15-Apr-2019
234 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI istilah “perkawinan” dari
kata kawin yang berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau
beristri (menikah), sedangkan perkawinan diartikan sebagai perihal (urusan dan
sebagainya) kawin (pernikahan) yang sungguh-sungguh dilakukan sesuai dengan
cita-cita hidup berumah tangga yang bahagia. 1 Pengertian perkawinan juga dapat
dilihat dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang
pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk suatu
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, yang harus dilaksanakan sesuai agamanya masing-masing dan harus juga
dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan sendiri memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Dalam suatu
perkawinan yang sah selanjutnya akan menghalalkan hubungan atau pergaulan hidup
manusia sebagai suami istri, hal itu adalah sesuai dengan kedudukan manusia sebagai
mahluk yang memiliki derajat dan kehormatan. Maanfaat perkawinan juga dapat
terbentuknya hubungan rumah tangga yang tentram, damai dan diliputi rasa kasih
sayang, selanjutnya akan menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib dan teratur.
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia keyword perkawinan
2
Perkawinan juga merupakan suatu bentuk perbuatan ibadah, yang artinya perkawinan
merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera
melaksanakannya, karena dengan perkawinan dapat mengurangi perbuatan maksiat
dan memelihara diri dari perzinahan.
Karena itu, hukum Indonesia telah mengatur masalah perkawinan ini dalam
bentuk Undang-Undang yang selanjutnya disingkat UU, dan peraturan hukum
lainnya karena perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang penting bagi
manusia. Dalam peraturan-peraturan hukum di Indonesia perkawinan diatur dalam
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Menteri
Agama Nomor 11 Tahun 2007, UU No. 3 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan, Perpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI),
serta peraturan lain yang berkaitan dengan perkawinan baik dengan Hukum di
Indonesia maupun Hukum Internasional. Selanjutnya tata cara melangsungkan
perkawinan di Indonesia menurut Hukum Perkawinan di Indonesia sebagai berikut:
Perkawinan dilangsungkan antara seorang pria, dan seorang wanita.
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat (1) UU 1974)
Perkawinan harus dicatatkan menurut peraturan yang berlaku menurut Pasal 2
ayat (2) UU No.1 1974 dan dalam pengaturannya terkait dalam Peraturan Menteri
Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, dan UU No. 3 tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan
3
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (Pasal 6
UU No.1 1974)
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Bagi wanita yang melangsungkan perkawinan kedua kalinya undang-undang
mensyaratkan harus melewati masa tunggu sekurang-kurangnya 90 hari setelah
putusnya perkawinan melalui perceraian, dan 130 hari setelah putusnya
perkawinan akibat kematian suaminya (pasal 10 dan 11 UU No.1 1974)
Asas perkawinan di Indonesia menganut asas monogami Pasal 3 ayat (1) UU No.
1 Tahun 1974 yaitu seorang suami hanya diperkenankan mengawini seorang istri saja,
jadi tidak boleh memiliki lebih dari satu istri. Namun asas monogami tersebut dibuka
pengecualian atau tidak mutlak pada Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974. Artinya,
dalam hal-hal yang sangat khusus, berpoligami diperbolehkan asalkan memenuhi
syarat yang diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974.
Tidak selamanya suatu hubungan perkawinan dapat selalu bahagia dan berjalan
mulus seperti yang direncanakan mempelai waktu melangsungkan perkawinan ada
kalanya suatu ikatan perkawinan harus putus ditengah jalan karena perceraian.
Dalam perceraian lebih sering dan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang,
maka istilah “perceraian” hanya ditujukan terhadap cerai “hidup” saja. Undang-
undang menjelaskan dalam pasal 20 UU Perkawinan bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan didepan pengadilan melalui suatu gugatan perceraian. Jadi tidak
memungkinkan adanya perceraian yang dilakukan diluar pengadilan. Pengadilan
4
yang berwenang untuk perceraian ini adalah pengadilan agama untuk yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dan pengadilan negeri untuk yang
tidak melangsungkan perkawinan menurut agama Islam.
Menanggapi gugatan perceraian di pengadilan, pertama-tama hakim akan
berusaha mendamaikan diantara suami istri yang akan bercerai tersebut. Jika usaha
perdamaian di antara suami dan istri yang akan bercerai tidak berhasil, maka para
pihak diperkenankan untuk melangsukan sidang perceraian setelah cukup alasan
bahwa antara suami istri tidak dapat lagi hidup secara rukun sebagai suami istri,
disamping itu harus memenuhi persyaratan perceraian di Indonesia. Alasan dapat
diajukan perceraian diantaranya sebagai berikut2:
Salah satu pihak melakukan zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama minimal dua tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lainnya dan tanpa alasan yang sah atau karena hal diluar
kemampuannya
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama minimal lima tahun setelah
perkawinan berlangsung.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dan tidak dapat menjalani
kewajiban sebagai suami istri.
2Dr. Munir Fuandy, S.H., LL.M , Konsep Hukum Perdata, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2015, h.
23
5
Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan, dan pertengkaran sehingga
tidak ada harapan lagi akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Kemudian 3 akibat putusnya perkawinan karena perceraian sebagai berikut :
Terhadap anak
Terhadap harta bersama
Terhadap putusnya hubungan Suami - Istri
Dalam putusnya perkawinan karena perceraian pada pembagian harta bersama
yang didapat dari perkawinan dibagi menurut hukum masing-masing (Pasal 37 UU
No. 1 tahun 1974).
Keterbukaan Indonesia dalam aktifitas dan hubungan internasional membawa
dampak tertentu pada hubungan manusia dalam bidang kekeluargaan, khususnya
perkawinan. Selain itu, manusia mempunyai rasa cinta yang universal, tidak
mengenal perbedaan warna kulit, agama, golongan maupun bangsa, sehingga
bukanlah hal yang mustahil bila terjadi perkawinan antar manusia yang mempunyai
kewarganegaraan yang berbeda. Perkawinan ini di Indonesia dikenal dengan istilah
perkawinan campuran. Pengertian Perkawinan campuran didefinisikan dalam Pasal
57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: ”Yang dimaksud
dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
6
Di Indonesia sering terjadi perkawinan campuran baik WNI dengan WNA yang
memutuskan melaksanakan perkawinan di negara lain dengan alasan-alasan
tersendiri, atau antar WNI dengan WNA melangsungkan perkawinan di Indonesia.
Dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
mencakup mengenai pasangan WNA dan WNA yang telah menikah diluar negeri
kemudian berdomisili di Indonesia. Perkawinan pasangan WNA yang berdomisili di
Indonesia, sering kali terjadi permasalahan hukum Internasional terjadi dengan
perpindahan keperdataan antar negara berkaitan dengan akta perkawinan, tempat
dimana pasangan tersebut berdomisili, dan apabila terjadi perceraian dimana akan
mengajukan gugatan perceraian. Maraknya perkawinan pasangan WNA juga tidak
terlepas dari perceraian yang marak pula.
Perbedaan peraturan perceraian suatu negara terhadap peraturan perceraian negara
lain pada saat ini semakin perlunya peraturan yang jelas di bidang hukum
internasional sendiri khususnya di bidang perkawinan. Lagipula dengan semakin
luasnya wilayah dari pengaturan hukum internasional itu sendiri makin
membutuhkan suatu pemikiran ulang atas posisi hukum internasional di level lokal.3
Persoalan penting antara kedudukan hukum nasional dengan hukum internasional.
Pertama, apakah hukum internasional dan hukum nasional, merupakan bagian dari
satu sistem hukum yang lebih besar, atau kedua hukum tersebut memiliki wilayah
yang berbeda? Kedua, apakah diantara kedua hukum tersebut secara hirarkis ada
yang lebih unggul dibanding lainnya? 4 Dalam hal ini para pihak baik pelaku
3 Philip Allot, Kutipan Eunomia, New Order of the New World, Oxford, Oxford University Press, 2001 4 Jawahir Thontowi, Hukum Internasional Kontemporer, SH.,Ph.D., Pranoto Iskandar, SH, Bandung,
Rafika Aditama, 2006, h. 79
7
perkawinan pasangan WNA yang berdomisili di Indonesia, maupun para aparat
hukum haruslah memiliki pemahaman dalam lingkup hukum perdata internasional
khususnya perceraian pasangan WNA yang perkawinannya dilangsungkan di luar
negeri.
Sering terjadi dalam masyarakat terjadi perkawinan pasangan WNA tunduk
hukum Indonesia, karena berdomisili di Indonesia sering terjadi maka sering terjadi
pula perceraian dalam kaitanya dengan perkawinan pasangan WNA tersebut.
Perbedaan pendapat yang sering terjadi antar pihak kuasa hukum penggugat, dan
tergugat tentu akan terjadi demi kepentingan keuntungan akibat perceraian tersebut,
mengingat adanya kekosongan hukum yang terjadi dalam memutuskan perceraian
pasangan WNA. Berikut merupakan contoh pertimbangan majelis hakim Indonesia
dalam memutus perkara dalam hal ini Putusan Nomor 172/PdtG/2014/Pn.Dps dan
Nomor 47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel:
PUTUSAN NOMOR 172/PDTG/2014/PN.DPS
Sebagai latar belakang kasus pada penulisan ini yaitu pada Putusan Pengadilan
Negeri Denpasar dibawah register Nomor 172/PdtG/2014/Pn.Dps mengenai
perceraian warga negara asing di Indonesia merupakan salah satu kasus yang terkait
dengan Hukum Perdata Internasional. Gugatan ini diajukan oleh Penggugat yang
merupakan Warga Negara Afrika Selatan, pemegang Pasport No. M00096351 dan
Tergugat Warga Afrika Selatan pemegang pasport No. M00061509 berdasarkan
KITAS (Kartu Ijin Tinggal Terbatas) di Indonesia, yang dikeluarkan oleh Kantor
Imigrasi Ngurah Rai, yang saat ini beralamat di Badung Bali.
8
Sebagai pengantar, KITAS atau Kartu Izin Tinggal Terbatas adalah izin yang
diberikan pada orang asing pemegang Izin Tinggal Sementara. Menurut Pasal 31 PP
No. 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk, dan Izin Keimigrasian (“PP No.
32/1994”), Izin Tinggal Terbatas sendiri adalah salah satu jenis izin keimigrasian
yang diberikan pada orang asing untuk tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia
dalam jangka waktu yang terbatas. Orang asing yang boleh mendapatkan izin tinggal
terbatas adalah5:
1. Orang asing pemegang Visa Tinggal Terbatas
2. Orang asing pemegang Visa Terbatas
3. Orang asing yang bekerja sebagai nakhoda, anak buah kapal di kapal atau
alat apung atau sebagai tenaga ahli pada kapal atau alat apung yang langsung
bekerja di perairan nusantara, laut teritorial atau pada instalasi landas kontinen
atau pada zone ekonomi eksklusif.
Visa Tinggal Terbatas diberikan bagi orang asing untuk tinggal di wilayah Negara
Republik Indonesia paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diberikannya
Izin Masuk di wilayah Negara Republik Indonesia (lihat dalam pasal 13 PP No. 18
Tahun 2005 tentang Perubahan Atas PP No. 32/1994).
Kembali dalam kasus bahwa Tergugat dan penggugat sudah menikah sejak
tanggal 12 Desember 1975 dan diterangkan dalam Akte Perkawinan Lengkap yang
telah dikeluarkan Oleh Departemen Dalam Negeri Republik Afrika Selatan No.
Q10424 pada tanggal 12 Desember 2005. Bahwa sejak pernikahan dilangsungkan
hingga sekarang mereka tidak di karuniai seorang anak. Sudah 10 Tahun terakhir
5 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 32
Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk, dan Izin Keimigrasian
9
Pengugat dan Tergugat sudah tidak tinggal dalam satu rumah. Kedua pasangan suami
isteri tersebut sama-sama bekerja pada bidang perhotelan namun mereka bekerja
pada hotel yang berbeda sehingga mereka harus menjalani perjalanan ke luar negeri
sendiri-sendiri yang mengakibatkan mereka jarang bertemu satu sama lain. Karena
sudah 10 Tahun berpisah dalam arti mereka sudah tidak tinggal dalam satu rumah
kemudian Penggugat sebagai suami mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan
Negeri Denpasar dimana ia dan Tergugat isterinya berdomisili sekarang dan Isterinya
pun menyetujuinya.
Kasus gugatan perceraian Penggugat sebagai suami terhadap isterinya ini masuk
dalam perkara Hukum Perdata Internasional, karena terdapat unsur asing yaitu
Penggugat dan Tergugat yang berkewarganegaraan Afrika Selatan. Dimana dalam
menganalisa kasus ini yang menjadi fokus adalah gugatan perceraian yang diajukan
di Pengadilan Negeri Denpasar, Namun perkawinan kedua pasangan ini
dilangsungkan di Afrika Selatan. Pada putusannya hakim mengkabulkan
permohonan Penggugat, dan menceraikan pasangan suami istri tersebut secara
verstek karena selama persidangan tergugat tidak menghadiri persidangan.
PUTUSAN NOMOR 47/PDT.G/2008/PN.JAK.SEL
Penggugat atas nama Jonathan Kine dan Tergugat atas nama Manuella Verniel
merupakan warga Amerika telah melangsukan pernikahan pada tanggal 23 Mei 1997
di Philadelphia, Amerika Serikat yang tercatat dalam Mariiage Certificate Nomor
D.71700 dikeluarkan oleh Clerk of Orphan’s Court Devision of the Court of
Common of Philadelphia Country Pennsylvania. Dalam perkawinan tersebut telah
10
melahirkan anak perempuan bernama Lara Rose Kine, Akta kelahiran yang
didaftarkan di kantor catatan sipil DKI Jakarta dan didaftarkan di kantor Catatan
Sipil DKI Jakarta ke Kedutaan Amerika Serikat di Indonesia. Setelah menikah,
Penggugat dan Tergugat tinggal dan menetap di Indonesia tahun 2000, namun sering
berjalannya waktu, terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disertai kekerasan
fisik dan psikis serta penelantaran dalam rumah tangga sehingga mengakibatkan
Penggugat melayangkan gugatan perceraian melalui Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan
. Kemudian hakim menyatakan menolak permohonan kemudian memberikan
pertimbangan, terhadap perkawinan sedemikian, Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur bahwa “dalam waktu 1 (satu)
tahun setelah suami-isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan
mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.”
Keharusan pendaftaran perkawinan pada Pencatatan Sipil juga diatur dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, yang untuk
perkawinan yang dilangsungkan di luar wilayah Republik Indonesia diatur dalam
Pasal 37 yang pada pokoknya sebagai berikut :
Wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan
dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia ;
Pencatatan perkawinan tersebut dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada
Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
yang bersangkutan kembali ke Indonesia
11
Karena perkawinan Penggugat dengan Tergugat belum terdaftar di
Indonesia,maka gugatan perceraian dinyatakan tidak dapat diterima.
Kemudian jika bandingkan dalam putusan pertama antara WNA di Afrika merka
menikah bahwa Tergugat dan penggugat sudah menikah sejak tanggal 12 Desember
1975 dan dicatatkan kemudian Akte Perkawinan Lengkap yang telah dikeluarkan
Oleh Departemen Dalam Negeri Republik Afrika Selatan No. Q10424 pada tanggal
12 Desember 2005. Bagaimana bisa peraturan yang dinyatakan paling lambat 30 hari
kemudian diabaikan, dan 1 tahun setelah kembali ke Indonesia menurut pasal 52
Undang-Undang Perkawinan. Pendapat hakim dalam kasus Nomor
47/Pdt.G/2008/PN.Jak.Sel memberikan penjelasan, bahwa dari ketentuan-ketentuan
sebagaimana terurai di atas, adalah suatu ketentuan mutlak bahwa setiap perkawinan
yang dilangsungkan di luar negeri, wajib dilaporkan kepada Perwakilan Republik
Indonesia dan dalam tenggang waktu tertentu wajib didaftarkan di Kantor Pencatatan
Perkawinan tempat tinggal mereka apabila mereka telah kembali ke Indonesia,
sehingga apabila terjadi perceraian maka Pegawai Pencatat akan mencatatkan
perceraian tersebut pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan. Dalam
Hukum perdata Internasional unsur Forum Rei (tempat tinggal tergugat) dan Forum
Actoris (tempat tinggal penggugat) sudah terpenuhi, dan dalam putusannya tidak
terdapat saran hakim untuk mendaftarkan atau mengajukan kepada pengadilan di
Philadelphia, Amerika Serikat. Permasalahan yang terjadi berkaitan penerapan
yuridiksi dengan hukum internasional cakupannya masih diperdebatkan dan
12
merupakan hal yang bersifat relatif. 6 Pertentangan didalam lingkup hukum
internasional sudah bukan hal baru, karena pada setiap persoalan hukum perdata
internasional mempunyai pembela, dan penentangnya masing-masing hal ini
menimbulkan perdebatan yang menimbukan beberapa pendapat yang berbeda pada
suatu permasalahan yang sama.7
Selanjutnya apa yang harus dilakukan tergugat dan penggugat apabila mereka
sudah terlambat mendaftar perkawinan mereka, haruskah mereka bercerai di negara
dimana perkawinan dilangsungkan. Kemudian menjadi permasalahan di kemudian
pada putusan warga Afrika bagaimana dengan akibat dari perceraian salah satunya
pembagian harta perkawinan, kemudian yang diputus verstek karena tergugat tidak
hadir, pasti akan ada akibat-akibat perceraian lain yang akan menjadi masalah di
kemudian hari. Bagaimana dalam kasus perceraian WNA afrika hakim tidak
menerapkan kasus ini dalam asas Lex Loci Celebrationis. Dan apa alasan hakim tidak
menerapkan keterlembatan pendaftaran perkawinan dalam kasus pembanding dalam
kaitannya dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal
37 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
Mengingat dalam putusnya perkawinan di semua Negara baik Indonesia atau
Internasional, putusan perceraian karena putusan pengadilan akan memiliki kekuatan
hukum tetap, dan tidak dapat diputuskan dinegara lain dalam kasus yang sama. 8
Kedudukan KITAS dalam putusan WNA Afrika (Kartu Izin Tingal Terbatas) dimana
6 Michael Akehust, Jurisdiction in Internasional Law, dalam British Yearbook, of Internasional Law,
1974, hal 145 7 Prof. Dr. Gouwgioksiong, SH., Hukum Internasional Indonesia, Djakrta, 1965 hal 43 8 Erlies Septiana Nurbani, S.H., LLM, Dr. H. Salim HS., S.H., M.S., Perbandingan Hukum Perdata
Comparative Civil Law, Depok, 2014, hal 168
13
kedudukannya dalam putusan WNA menjadi alasan hakim berlakunya asas forum
rei dan forum actoris, karena secara hukum pasangan tersebut masih saja
berkewarganegaraan Afrika, yang seharusnya dalam putusan percerainya berlaku
pula asas Lex Loci Celebrationis karena pasangan tersebut bukan WNI. Dalam
KITAS sendiri tidak terdapat pengaturan terhadap pemindahan kewarganegaran yang
berdampak pada pengalihan tanggung jawab keperdataan Pemohon, dan Termohon.
Permasalahan tersebutlah yang menarik penulis mengkaji permasalahan ini agar
mendapat kepastian hukum khususnya perceraian pada perkawinan yang
dilangsungkan di luar negeri khususnya perceraian WNA yang sering terjadi
dimasyarakat, mengkaji permasalahan ini secara mendalam agar mendapat titik
terang, dan memberikan maanfaat secara luas kepada civitas akademisi, dan
masyarakat yang tertarik dalam permasalahan ini oleh karena itu penulis mengambil
judul “ANALISIS PERCERAIAN PERKAWINAN WNA YANG
DILANGSUNGKAN DILUAR NEGERI BERDASARKAN HUKUM PERDATA
INTERNASIONAL DI INDONESIA”
14
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah
yang akan dibahas adalah:
1. Bagaimana asas-asas Hukum Perdata Internasional Indonesia mengatur
perceraian pasangan WNA di Indonesia untuk perkawinan yang dilangsungkan di
luar negeri?
15
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui asas-asas Hukum Perdata Internasional Indonesia mengatur
perceraian pasangan WNA di Indonesia untuk perkawinan yang dilangsungkan di
luar negeri.
16
D. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi ilmu
pengetahuan pada umumnya, dan ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum
perdata, dan dapat dijadikan sebagai referensi bagi para akademisi yang berminat
pada masalah-masalah hukum perdata dalam pelaksanaan hukum perceraian di
Indonesia terhadap perkawinan WNA yang berlangsung diluar negeri dan telah
diputus cerai Pengadilan di Indonesia terhadap Hukum Perdata Internasional
2. Manfaat Praktis
Guna sebagai informasi dalam penanganan kasus hukum perceraian di Indonesia
terhadap perkawinan WNA yang berlangsung diluar negeri dan telah diputus cerai
Pengadilan di Indonesia terhadap Hukum Perdata Internasional
Memberikan saran kepada masyarakat, dan aparat penegakan hukum dalam hal
perceraian khususnya dalam hal kaitannya hukum perdata dalam kasus perceraian.
17
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya, maka jenis
penelitian yang dipakai adalah Yuridis Normatif, karena yang diteliti ialah
pertimbangan hakim dan penelitian hukum dilakukan dengan menelaah putusan
hakim dikaitkan dengan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah hukum
yang sedang penulis amati.9 Pendekatan secara yuridis dalam penelitian ini adalah
kesesuaian pertimbangan hakim terhadap putusan dari segi peraturan perundang-
undangan dan norma-norma hukum sesuai dengan permasalahan yang ada.
2. Jenis Pendekatan
Adapun pendekatan dalam penelitian ini mengunakan pendekatan normatif yang
bertitik fokus pada kasus (Case Approach) dimana yang akan diteliti adalah sumber
hukum primer yang merupakan data yang diperoleh dari Direktori Putusan
Makhamah Agung melalui peninjauan putusan pengadilan Putusan Nomor
172/PDT.G/2014/PN.DPS, dan putusan yang berkaitan, serta sumber hukum
sekunder. Dalam kaitanya dengan penilitian normatif akan di gunakan beberapa
pendekatan meliputi:10
9 Peter Mahmud M., Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, h. 136 10 Teori Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Johnny Ibrahim, Bayumedia Publising, Malang,
2007, h. 300
18
Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu pendekatan yang
dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan kasus yang diteliti.
Pendekatan konsep (conceptual approach)
Pendekatan konsep (conceptual approach) digunakan untuk memahami konsep-
konsep tentang perceraian yang perkawinannya dilangsungkan diluar negeri. Bahan
yang memberikan penjelasan konsep sekaligus mengenai berkaitan dengan bahan
hukum primer. Dengan didapatkan konsep yang jelas maka diharapkan penormaan
dalam aturan hukum kedepan tidak lagi terjadi pemahaman yang kabur dan ambigu.
Sedangkan bahan hukum yang digunakan didalamnya meliputi:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang membuat
orang taat pada hukum. Dalam hal ini yang digunakan meliputi:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b) Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
c) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
d) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun
1974
e) Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk, dan Izin
Keimigrasian
f) Konvensi Internasional Deen Hag 1968
g) Algemene Bepalingen
19
2. Bahan Hukum Sekunder
Dalam bahan hukum sekunder meliputi:
a) Putusan Pengadilan No. 172/PdtG/2014/PN.DPS
b) Putusan Pengadilan No. 47/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL
c) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2640K/Pdt/2009
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas
bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipakai meliputi KBBI, Kamus Hukum,
buku, bahan-bahan hukum yang bersumber dari literatur-literatur, jurnal ilmiah,
media online dan lain-lain yang berkaitan dengan kasus yang diangkat.
top related