bab i - layanan.hukum.uns.ac.id file... · yang dikenal dalam ajaran agama islam, yaitu kaedah...
Post on 12-May-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Norma dan Norma Hukum
Norma berasal dari kata bahasa Inggeris yang berasal dari istilah
‘norm’ istilah Yunani “nomoi” atau “nomos” yang berarti hukum atau kaidah
(qo’idah) dalam Bahasa Arab. Karena itu, judul buku Plato “Nomoi” juga biasa
diterjemahkan dengan kata “The Laws” dalam bahasa Inggris. Dalam
perkataan lain, “norma” juga dikenal dengan istilah “kaidah.” . Istilah kaidah
atau “qo’idah” dalam bahasa Arab juga biasa dikonotasikan pengertiannya
dengan hukum (singular) atau al-ahkam (plural). Karena itu, 5 (lima) kaedah
yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaedah wajib, haram, sunnah,
makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah” atau
“kaidah yang lima.”
Institutionalisasi nilai-nilai yang diidealkan sebagai kebaikan,
keluhuran, dan bahkan kemuliaan berhadapan dengan nilai-nilai yang
dipandang buruk, tidak luhur, atau tidak mulia. Nilai-nilai baik dan buruk itu
berisi keinginan dan harapan yang tercermin dalam perilaku setiap manusia.
Nilai baik dan buruk itulah yang dilembagakan atau dikonkretisasikan dalam
bentuk atau berupa norma atau kaedah perilaku dalam kehidupan bersama.
Sebagaimana tercermin dalam pengertian tentang “al-ahkam al-khamsah”
tersebut di atas, kaedah-kaedah perilaku itu dapat dibedakan dalam 5 (lima)
norma, yaitu (i) wajib atau “obligattere”, (ii) haram atau “prohibere”, (iii)
sunnah atau anjuran untuk melakukan, (iv) makruh atau anjuran untuk jangan
melakukan, dan (v) mubah atau kebolehan atau “permittere.”
Kelima norma tersebut, menurut Hazairin, dapat dibedakan dalam 3
(tiga) jenis sistem norma, yaitu norma agama, norma hukum, dan norma
kesusilaan. Norma agama mencakup kelima kaidah itu sekaligus. Tetapi norma
hukum hanya mencakup 3 (tiga) kaidah saja, yaitu (i) kaidah kewajiban
(obligattere), (ii) kaidah larangan (haram), dan (iii) kaidah kebolehan atau
(mubah, ibahah). Sebaliknya, norma kesusilaan berisi 3 (tiga) kaidah, yaitu
(i) kaidah kebolehan (mubah), (ii) kaidah anjuran untuk melakukan (sunnah),
dan (iii) kaidah anjuran untuk tidak melakukan (makruh). Pengelompokan
jenis kaidah yang lima (al-ahkam al-khamsah) menurut Hazairin tersebut
dapat dielaborasi lebih rinci dengan mengaitkannya dengan sistem norma
yang dikembangkan dalam filsafat hukum dan politik yang selalu dinisbatkan
berasal dari warisan tradisi Yunani kuno mengenai adanya tiga macam
kaedah yang meliputi (a) obligattere (kewajiban), (b) permittere (kebolehan),
dan (c) prohibere (larangan) seperti diuraikan di atas.1
Norma kesusilaan, menurut Soerjono Soekanto dan Purnadi
Purbacaraka, dapat dibedakan antara norma kesusilaan pribadi dan norma
kesusilaan antar pribadi.2 Keduanya dapat dicakup ke dalam pengertian etika
yang kita bahas dalam buku ini. Etika atau kesusilaan pribadi menyangkut
keinsyafan pribadi setiap manusia tentang nilai baik dan buruk dalam suatu
keadaan atau dalam menghadapi segala sesuatu yang perlu disikapi oleh
seseorang, terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Misalnya, seorang
yang kaya raya dan baru saja mendapat rizki yang besar, dengan mudah
dapat saja tergerak hatinya untuk berbuat baik dengan membagikan
rizki dengan memberikan bantuan beasiswa tanpa publikasi kepada anak-anak
sekolah SD dan SMP se-desa di suatu daerah terpencil. Dorongan untuk
membantu anak-anak desa itu merupakan dorongan etika yang murni bersifat
pribadi. Pengertian tentang etika pribadi inilah yang biasa disebut dengan
istilah kesusilaan saja.
1 Jimly Asshiddiqie, “Dinamika Perkembangan Sistem Norma Menuju TerbentuknyaSistem Peradilan Etika”, Makalah ini disampaikan untuk pembekalan bagi para calon HakimAgung yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial, 9 Maret 2015, hlm. 7.
2 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, 1993, Perihal Kaedah Hukum, CitraAditya Bakti, Bandung.
Sedangkan etika atau kesusilaan antar pribadi terkait dengan nilai
baik dan buruk dalam hubungan antar manusia dalam pergaulan bersama
secara interaktif dalam kehidupan bermasyarakat. Kesusilaan antar pribadi
inilah yang oleh Soekanto dan Purnadi Purbacaraka disebut sebagai kaidah
sopan-santun atau kesopanan.3 Misalnya dalam bertutur kepada seorang yang
usianya dan kedudukan sosialnya lebih tinggi harus menggunakan kata-kata
yang dipilih dan yang biasa dipakai dalam hubungan yang dianggap pantas.
Dalam pergaulan, diidealkan bahwa kita harus memakai pakaian yang pantas
menurut tempat dan waktunya. Ke pesta, tidaklah dianggap pantas untuk
berpakaian daster bagi perempuan atau piyama bagi laki-laki. Demikian pula
pakaian yang pantas dikenakan di kantor oleh perempuan bekerja,
bukanlah baju kebaya dengan sanggul yang biasa dikenakan untuk pergi ke
pesta atau juga bukan lah pakaian rok mini atau baju minim yang hanya
pantas dipakai untuk bertamasya ke pantai.
Dari kelima kaidah wajib, haram, mubah, sunnah, dan makruh
tersebut di atas, hanya 3 (tiga) kaedah saja yang dapat disebut sebagai norma
hukum, yaitu wajib, haram (larangan), dan mubah (boleh). Norma hukum
timbul bukan dari masyarakat tetapi berasal dari suatu negara yang bersifat
wajib untuk dipatuhi oleh setiap masyarakat yang ada di dalamnya. Ada
persamaan serta perebedaan antara norma hukum dengan norma lainya.
Perbedaannya norma hukum dengan norma lainya adalah sebagai berikut:4
1. Suatu norma hukum itu bersifat “Heteronom‟, dalam arti bahwa norma
hukum itu datang dari luar diri seseorang. Sedangkan norma lainnya
bersifat otonom, dalam arti norma itu berasal dari diri seseorang.
3 Ibid.4 Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar
Pembentukannya, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 25-26.
2. Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pidana maupun
sanksi pemaksa secara fisik, sedangkan norma yang lain tidak dapat
dilekati dengan sanksi pidana atau sanksi pemaksa secara fisik.
3. Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu dilaksanakan
oleh aparat negara (misalnya polisi, jaksa, hakim), sedangkan terhadap
pelanggaran norma-norma lainnya sanksi itu datangnya dari diri sendiri.
Sedangkan persamaannya adalah bahwa norma-norma itu
merupakan pedoman bagaiman seseorang harus bertindak,dan selain itu
norma-norma itu berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang
lebih tinggi, norma yang lebih tinggi ini berlaku, bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma
dasar yang disebut dengan Grundnorm. Norma-norma hukum dan norma-
norma lainnya itu berjenjang dan berlapis-lapis, serta membentuk suatu
hierarki.
Tujuan hukum menurut para filosof hukum mencakup tujuan
keadilan, tujuan kepastian, dan tujuan kemanfaatan. Karena itu, norma
hukum harus berisi keadilan yang pasti dan kepastian yang adil, yang secara
keseluruhan memberikan manfaat dan solusi bagi warga masyarakat dalam
menghadapi dinamika kehidupan bersama. Oleh karena itu, kaedah hukum di
samping berguna dan berkeadilan, juga harus bersifat pasti, formal, jelas, dan
tidak boleh abu-abu, dan semua itu hanya ada pada kaedah wajib, haram, dan
boleh. Menurut ajaran liberal, pada asal mulanya, semua hal merupakan
kebolehan, kecuali oleh hukum tegas dinyatakan sebagai larangan atau
kewajiban. Jika larangan dilanggar dan kewajiban tidak dijalankan
sebagaimana mestinya, norma hukum menyediakan sistem sanksi yang tegas
Namun, dalam implementasinya, sistem norma hukum itu sendiri
memang tidak selalu diikuti oleh sistem sanksi. Itu sebabnya kita mendapati
banyak sekali undang-undang yang tidak menentukan sistem sanksi sama
sekali. Misalnya, undang-undang yang mengatur mengenai pemerintahan
daerah, seperti UU tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, di dalamnya tidak
ditentukan ada sanksi karena sifat norma yang dituangkan di dalam undang-
undang ini hanya bersifat mengatur dan membimbing pelaksanaan
pemerintahan di ibukota Jakarta. Karena itu, dapat dikatakan bahwa
substansi norma hukum, di samping ada yang bersifat memaksa
(imperative), ada pula norma hukum yang hanya bersifat mengatur dan
membimbing saja (directive). Dalam perumusan norma yang bersifat
memaksa selalu ada sistem sanksi, baik berupa sanksi pidana, sanksi
perdata, atau pun sanksi administrasi, dan bentuk-bentuk lainnya. Tetapi,
dalam perumusan norma yang bersifat mengatur dan membimbing,
kadang-kadang tidak disediakan ancaman sanksi sama sekali. Namun, hal itu
tidak mengurangi makna normatif hukum yang berisi 3 (tiga) jenis norma,
yaitu wajib (obligattere), boleh (permittere), dan haram (prohibere)
sebagaimana dimaksudkan di atas.
Oleh karena itu, doktrin tentang norma hukum yang hanya berisi tiga
macam kaedah kewajiban (obligattere), kebolehan (permittere), dan larangan
(prohibere) patut dipertanyakan kembali. Ketiga sistem kaidah ini bersifat
khas terkait dengan konsepsi mengenai bidang hukum pidana dan bidang
hukum perdata. Kedua bidang hukum pidana dan perdata inilah yang menjadi
cikal bakal mula-mula berkembangnya sistem hukum dalam sejarah umat
manusia. Namun, dalam perkembangan sesudah abad ke-17, muncul
kesadaran baru mengenai pentingnya bidang hukum tata usaha negara
(hukum administrasi negara) dan bahkan hukum tata negara. Bahkan pada
abad ke-19 muncul doktrin baru mengenai ide “rechtsstaat” atau negara
hukum yang dikaitkan dengan gagasan pelembagaan peradilan administrasi
negara (administratieve rechtspraak) untuk maksud menyediakan mekanisme
upaya hukum bagi warga guna menggugat para pejabat yang membuat
keputusan-keputusan yang merugikan warga negara. Dengan
berkembangnya sistem hukum administrasi negara dan hukum tata negara
dalam arti luas, pengertian mengenai keharusan mutlak adanya sanksi dalam
perumusan norma hukum menjadi berubah.
Karena itu, menurut pendapat Jimly Asshiddiqie, pendapat Hazairin
sebagaimana dikemukakan di atas mengenai doktrin “al-ahkam al-khamsah”
itu perlu ditinjau kembali. Bahkan doktrin mengenai tiga kaedah “obligattere”
(kewajiban), “permittere” (kebolehan), dan “prohibere” (larangan) yang
diwarisi dari filsafat Yunani dan diterima luas dalam pemikiran filsafat hukum
kontemporer dapat pula ditinjau kembali. Perumusan norma hukum
sebagaimana tercermin dalam naskah-naskah undang-undang dasar, undang-
undang, dan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai dokumen
hukum yang bersifat mengikat untuk umum tidak selalu berisi sistem sanksi
yang bersifat memaksa. Ketegasan sifat memaksa yang terdapat dalam
kaedah kewajiban dan kaedah larangan tidak selalu diikuti dengan sanksi yang
konkrit. Sementara itu, kaedah kebolehan (permittere) yang terdapat dalam
norma hukum sekali pun, dalam implementasinya, juga bersifat sangat
dinamis, sehingga tidak dapat dipastikan secara mutlak tentang
kebolehannya. Sesuatu yang boleh dilakukan, jika didorong oleh motif yang
buruk (te kwade trouw) dapat berubah menjadi sesuatu yang jahat. Karena
itu, dalam norma hukum juga dapat termuat adanya nilai-nilai kaedah
anjuran, seperti dalam sistem norma agama atau pun norma etika.5
Dalam rumusan norma hukum dalam pelbagai naskah peraturan
perundang-undangan di zaman sekarang sering menemukan unsur-unsur nilai
kaedah anjuran positif atau pun anjuran negatif itu. Dalam perkembangan
dewasa ini, substansi sifat kaedah anjuran ini semakin banyak ditemukan
dalam pelbagai rumusan undang-undang, terutama dalam perumusan-
perumusan norma yang menyangkut prinsip-prinsip mengarahkan (directive
principles) atau prinsip-prinsip yang membimbing (guiding principles) yang
bersifat abstrak. Misalnya pasal-pasal yang memuat asas dan prinsip-prinsip,
5 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 12.
semuanya tidak bersifat konkrit, sehingga tidak menentukan dengan pasti
apakah berisi kaedah wajib atau larangan atau kebolehan.
Hal terakhir ini perlu diperhatikan dengan sekasama mengingat
pemahaman norma hukum itu sendiri sering bertumpu kepada pemaknaan
positivism yang menuntut kepastian dan kejelasan dalam perumusan. Secara
embrional, positivisme hukum merupakan turunan dari positivisme, suatu
paham falsafah yang berkembang di Eropa Kontinental, khususnya di
Prancis dengan dua eksponennya yang terkenal, yaitu Henri Saint-Simon
(1760-1825) dan August Comte (1798-1857).6 Dalam positivisme hukum-
hukum yang berlaku dalam ilmu pengetahuan alam dirumuskan berdasarkan
anggapan bahwa alam dapat diidentifikasi dan hasilnya tidak tergantung dari
ruang dan waktu. Positivisme ini berkembang berkat usaha gigih dari August
Comte. Comte mengatakan terdapat hukum perkembangan yang menguasai
manusia dan segala gejala hidup bersama dan itu mutlak. Inilah yang oleh
Comte disebutnya sebagai hukum 3 (tiga) tahap.7 Artinya, tiap-tiap
masyarakat mesti melalui tiga tahap itu; pertama, tahap teologis; kedua,
tahap metafisik; dan ketiga, tahap positif.
Pada tahap teologis ini manusia percaya pada kekuatan-kekuatan
ilahi di belakang gejala-gejala alam. Sedangkan pada tahap metafisik ini
dimulailah kritik terhadap segala pikiran termasuk teologis. Ide-ide teologi
diganti dengan ide-ide abstrak dari metafisika. Adapaun pada tahap positif
gejala-gejala tidak diterangkan lagi oleh suatu idea alam yang abstrak, tetapi
gejala diterangkan melalui gejala lain dengan mendapati hukum-hukum di
6 Soetandyo Wignjosoebroto, “Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum”, JurnalWacana, Vol 6, 2002, hlm. 12.
7 Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta:Kanisius, hlm. 122-126.
antara gejala-gejala yang bersangkutan. Hukum-hukum tersebut sebenarnya
merupakan bentuk relasi yang konstan di antara gejala-gejala tersebut.8
Pemikiran positivisme ini kemudian digunakan dalam hukum
sehingga menjelma menjadi aliran positivisme hukum. Aliran ini lahir pada
abad ke-19. Dua tokoh utamanya yang terkenal adalah John Austin dan Hans
Kelsen. Austin mengatakan bahwa hukum itu tidak lain adalah perintah
penguasa.9 Sedangkan Kelsen terkenal dengan teori hukum murninya (the
pure theory of law). Kelsen mengatakan bahwa teori hukum harus dibedakan
dari hukum itu sendiri, hukum harus seragam dalam arti dapat diterapkan
pada semua waktu dan tempat, hukum harus dilepaskan dari anasir- anasir
politik dan dipisahkan dari moral; dengan kata lain hukum harus benar-benar
murni, dan hukum merupakan pencerminan dari proposisi yang
“seharusnya”.10
Konsep yang dibangun oleh aliran positivisme hukum ini
menghendaki dilepaskannya pemikiran meteyuridis mengenai hukum
sebagaimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Karena itu,
setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objekif sebagai
norma-norma yang positif (all law is enacted law)11 ditegaskan sebagai wujud
kesepakatakan kontraktual yang konkrit antara warga masyarakat. Hukum
tidak lagi mesti dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang
abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami
positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa
8 F.X. Adji Samekto, 2005, Studi Hukum Kritis Kritik terhadap Hukum Modern, Bandung,Citra Aditya Bakti, hlm. 2.
9 Hedar Laudjeng dan Rikardo Simartana, “Pendekatan Mazhab Hukum Non-Positivistikdalam Bidang Hukum Sumberdaya Alam”, Jurnal Wacana, Vol 6, 2000, hlm. 122.
10 R.M Dworkin, 2007, Filsafat Hukum Sebuah Pengantar, Diterjemahkan oleh YudiSantoso, Yogyakarta, Merkid Press, hlm. 2.
11 George P. Fletcher, 1996, Basic Concepts of Legal Thought, New York: OxfordUniversity Press, hlm. 33.
yang terbilang hukum dan apa pula yang sekalian normatif harus dinyatakan
sebagai sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.12
Secara ideologis aliran positivisme hukum meyakini bahwa dalam
teori maupun dalam praktiknya hukum itu akan dapat dikonstruksikan dan
dikelola sebagai suatu institusi yang netral (neutrality of law) dan terlepas dari
politik (law politics distinction), mereka mengidealkan sebagai hasil positivisasi
norma-norma yang telah disepakati, yang berdasarkan prinsip rule of law,
dipastikan akan mempunyai otoritas internal yang akan mengikat siapapun
dari pihak manapun, tidak peduli kelas sosialnya. Dari sini kemudian
dirumuskan kaidah terkenal, yaitu persamaan di hadapan hukum (equality
before the law). Jadi hukum yang dipositifkan itu, karena merupakan
kesepakatan, akan benar-benar bersifat netral dan akan dapat ditegakkan
oleh badan yudisial yang netral pula dalam posisinya sebagai suatu badan
yang mandiri.13
Di samping itu, dalam perkembangan dewasa ini sistem norma etika
juga mengalami perubahan yang sangat mendasar. Seperti pernah dialami
oleh sistem norma hukum mulai abad ke 10 dalam sejarah Islam atau pun
mulai sekitar abad ke-17 di Eropah dimana sistem norma hukum mengalami
proses positivisasi, sistem norma etika dewasa ini mengalami proses
positivisasi yang serupa. Proses positivisasi hukum terjadi karena sistem
norma hukum pada saatnya memerlukan proses pelembagaan yang lebih
konkrit melalui proses penuangan secara tertulis disertai dengan
pelembagaan infra-struktur penegaknya. Karena itu, dalam sejarah Islam
muncul pengertian-pengertian mengenai “qanun” (perundang-undangan)
12 Soetandyo Wignjoseobroto, Permasalahan…op.cit., hlm. 13.13 Ifdhal Kasim, “Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ dalam Kajian Hukum di
Indonesia”, Jurnal Wacana, Vol 6, 2000, hlm. 25.
sebagai pelengkap terhadap sistem norma hukum yang sebelumnya hanya
tertuang dalam bentuk paham-paham fiqh yang bersifat ilmiah.14
Dalam sistem norma etika ada anjuran-anjuran yang, seperti dalam
sebagian substansi norma hukum, berisi prinsip-prinsip nilai yang
membimbing dan memandu (guiding principles) atau pun mengarahkan
(directive principles). Karena itu, fungsinya terutama berkaitan dengan sistem
sanksinya, lebih bersifat pencegahan, di samping pula penindakan. Untuk itu,
sanksinya biasa ditentukan berupa teguran atau peringatan yang bertingkat-
tingkat, mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, ataupun teguran ringan dan
teguran keras. Bahkan kadang-kadang ditentukan pula bahwa teguran itu
dapat dijatuhkan secara bertahap atau bertingkat, misalnya teguran tingkat
pertama, teguran kedua, dan teguran tingkat terakhir. Penentuan dan
pengaturan mengenai sistem dan mekanisme penjatuhan sanksi itu dalam
suatu pedoman penegakan kode etik dengan sebaik-baiknya, menurut
keperluan berdasarkan sifat pekerjaan yang perilaku aparatnya hendak
dikendalikan dengan sistem etik yang terkait. Bentuk yang paling keras karena
tingkat keseriusan atau beratnya pelanggaran etik yang dilakukan oleh
seorang aparat atau pemegang jabatan publik (ambts-dragger) adalah sanksi
pemberhentian atau pemecatan seseorang dari jabatan publik yang
bersangkutan.
Masalahnya sekarang, di masa kini, bagaimanakah sebaiknya
membangun dan memahami pola hubungan atau relasi yang ideal antara
sistem norma hukum, norma, etika, dan norma agama itu? Apakah cara
pandang para sarjana hukum yang menempatkan hukum pada posisi tertinggi
masih dapat dipertahankan? Lihatlah bagaimana para ulama, pendeta dan
rohaniawan lainnya memandang etika dan agama pada posisi yang lebih tinggi
daripada hukum. Hukum negara bagi para tokoh-tokoh agama justru tidak
boleh bertentangan dengan hukum-hukum agama, sehingga karena itu norma
14 Ibid., hlm. 14.
agama lah yang dianggap paling tinggi, bukan norma hukum. Jika kedua
pandangan ini dipertentangkan, secara mudah orang dapat berkesimpulan
bahwa kedua cara pandang tersebut sama-sama bias. Para sarjana hukum
tentu saja bias dan berusaha untuk memelihara kesombongannya sendiri
dengan hanya mengakui hukum sebagai panglima kehidupan, bukan agama
ataupun etika. Doktrin hukum yang diyakini benar selama selama ini adalah
prinsip “the rule of law, not of man” sebagai ciri utama negara hukum atau
“rechtsstaat.” Sebaliknya para rohaniawan atau agamawan sudah tentu akan
menempatkan kaedah agama dalam posisi tertinggi, bukan hukum.
Perdebatan mengenai kaidah mana yang lebih tinggi dan mana yang
lebih rendah itu terjadi karena berkembang-luasnya upaya untuk memisahkan
secara kaku sistem norma hukum itu sendiri dari sistem norma agama dan
etika. Namun dalam perkembangan di zaman sekarang, muncul praktik-
praktik baru yang justru memberikan gambaran yang berbeda mengenai pola
hubungan atau relasi ideal di antara ketiga sistem norma tersebut, terutama
antara sistem norma hukum dan sistem norma etika. Di zaman sekarang,
banyak bukti menunjukkan bahwa kedua sistem norma ini tidak dapat lagi
dipahami terpisah sama sekali satu dengan yang lain. Sistem hukum yang
selama ini dipercaya dan dijadikan tumpuan harapan yang dinilai paling
handal untuk menyelesaikan berbagai masalah kemanusiaan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, terbukti makin memperlihatkan
keterbatasannya. Pidana mati yang semula dianggap sebagai solusi semakin
dinilai tidak manusiawi, sedangkan pidana penjara yang dijadikan andalan
semakin tidak efektif dalam mencapai tujuan mulianya untuk resosialisasi. Di
mana-mana penjara penuh dan jumlah serta jenis kejahatan terus
berkembang biak semakin tidak teratasi.
Penanggulangan kejahatan pada mulanya berpijak kepada
keberlakuan hukum pidana. Penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan kriminal.
Menurut Marc Ancel, kebijakan kriminal adalah suatu usaha yang rasional dari
masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Penanggulangan kejahatan
tersebut adalah dalam rangka untuk mencapai tujuan akhir dari kebijakan
kriminal itu sendiri,yaitu memberikan perlindungan masyarakat dalam
rangka untuk mencapai kesejahteraan bagi masyarakat. Salah satu usaha
untuk mencegah dan menanggulangi masalah kejahatan adalah dengan
menggunakan hukum pidana (penal policy). Masalah kebijakan hukum
pidana tidak hanya sebatas membuat atau menciptakan suatu peraturan
perundang-undangan yang mengatur hal-hal tertentu. Lebih dari itu,
kebijakan hukum pidana memerlukan pendekatan yang menyeluruh yang
melibatkan berbagai disiplin ilmu hukum selain ilmu hukum pidana serta
kenyataan di dalam masyarakat sehingga kebijakan hukum pidana yang
digunakan tidak keluar dari konsep yang lebih luas yaitu kebijakan sosial dan
rencana pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat.
Ancas kesejahteraan masyarakat tadi menjadi kata kunci untuk
memetakan keberadaan hukum dalam sistem kehidupan masyarakat.
Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik
orientasi dan tujuan akhir hukum. Para penegak hukum menjadi ujung
tombak perubahan. Hal-hal terakhir inilah yang kemudian dianggap menjadi
fondasi dasar mengenai pemikiran hukum progresif, yang sering dilantangkan
oleh mendiang Satjipto Rahardjo, guru besar Universitas Diponegoro.15
Konfigurasi pemikiran Satjipto Rahardjo menawarkan perspektif, spirit, dan
cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari
kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti
perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala
dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan
15 Satjipto Rahardjo, “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15Juni 2002, hlm. 4.
pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.16
Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang
kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu
yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian
kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif, yang dapat
dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas
empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan
keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting
Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu, Satjipto
Rahardjo berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan
kualitas penegak hukum di Indonesai adalah dominasi paradigma positivisme
dengan sifat formalitasnya yang melekat.17
Dalam logika inilah revitalisasi hukum dilakukan. Perubahan tak lagi
pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum
dalam ruang dan waktu yang tepat. Aksi perubahan pun bisa segera dilakukan
tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law), karena
pelaku hukum progresif dapat melakukan pemaknaan yang progresif terhadap
peraturan yang ada. Menghadapi suatu aturan, meskipun aturan itu tidak
aspiratif misalnya, aparat penegak hukum yang progresif tidak harus menepis
keberadaan aturan itu. Ia setiap kali bisa melakukan interpretasi secara baru
terhadap aturan tersebut untuk memberi keadilan dan kebahagiaan kepada
pencari keadilan.18
Dalam perkembangan berikutnya, dalam ilmu pengetahuan maupun
praktik diterima pendekatan yang digunakan dalam rangka upaya melakukan
penanggulangan kejahatan melalui sarana pendekatan kriminal dengan
16 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Kompas, hlm. Ix.17 Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta, Kompas, hlm.
22-25.18 Sudijono Sastroatmojo, “Konfigurasi Hukum Progresif”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8
No. 2, 2005, hlm. 186.
menggunakan sarana nonpenal. Kebijakan kriminal dengan sarana non penal
artinya upaya penanggulangan kejahatan dengan tidak melakukan hukum
pidana. Upaya non penal dapat juga disrtikan sebgai upaya yang bersifat
preventif, misalnya memperbaiki kondisi-kondisi tertentu dalam masyarakat
atau melakukan pengwasan tertantu sebgai upaya prevensi terhadap
kejahatan. Selain itu, dapat juga berbentuk sosialisasi terhadap suatu
perundang-undangan yang baru, yang didalamnya mencangkup suatu
kriminalisasi perbuatan tertentu yang menjadi gejala sosial dalam masyarakat
modern. Peranan manusia di sini merupakan konsekuensi terhadap
pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada
teks formal suatu peraturan. Di atas telah dijelaskan betapa besar risiko dan
akibat yang akan dihadapi apabila kita “menyerah bulat-bulat” kepada
peraturan. Cara berhukum yang penting untuk mengatasi kemandegan atau
stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi yang membuta
kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bisa dilakukan, apabila kita
melibatkan unsur manusia atau perbuatan manusia dalam berhukum. Karena
pada dasarnya the life of law has not been logic, but experience.19
Perbedaan perlakuan dalam kasus demi kasus kadang-kadang dapat
dipolakan secara umum, misalnya, untuk kasus-kasus yang terkait di bidang
keperdataan yang seringkali harus lebih diutamakan adalah pendekatan
formalistik. Demi kepentingan nilai-nilai keadilan yang lebih luas, sistem
norma hukum dengan asas kepastian harus lebih diutamakan daripada norma
etika dan prinsip keadilan yang lebih sempit. Karena itu, dalam proses
pembuktian di pengadilan, biasa diterima luas adanya doktrin tentang
pembuktian formil versus pembuktian materiel. Di bidang hukum pidana
proses pembuktiannya harus bersifat materiel, tetapi di bidang hukum
perdata harus bersifat formil. Dalam urusan kepemiluan, perkara-perkara
yang terkait membutuhkan kepastian jadwal waktu, sehingga oleh sebab itu,
19 Satjipto Rahardjo, “Hukum itu Perilaku Kita Sendiri”, Kompas, 23 September 2002.
peradilan dalam urusan kepemiliuan (electoral justice) harus dipandang
sebagai salah satu bentuk atau jenis peradilan cepat (speedy trial) yang
prosesnya cukup dilakukan dengan pendekatan kepastian hukum yang adil
dan dengan asas pembuktian formil saja. Meskipun secara teoritis, asas
pembuktian materiel lebih dimuliakan tetapi pengadilan tidak perlu
mempersulit diri sendiri dengan bersusah payah melakukan pembuktian
materiel dengan akibat beban perkara tidak tertangani dengan baik dan
kualitas putusan menjadi terbengkalai yang pada gilirannya justru membebani
negara sebagai keseluruhan.
Kompleksitas kehidupan umat manusia di zaman modern dan post
modern terbukti sangat rumit dan tidak dapat diselesaikan secara sendiri-
sendiri hanya oleh sistem norma hukum, sistem etika, atau bahkan, dalam arti
yang sempit, hanya sistem norma agama saja. Dalam kenyataan praktiknya,
ketiga sistem norma itu sama-sama berurusan dengan kualitas prilaku
manusia yang dianggap ideal, sehingga oleh karena pemisahan formalistik dan
positivistik yang terjadi selama ini, ketiganya sering saling berbenturan atau
bahkan sengaja dibentur-benturkan satu sama lain untuk maksud yang
bersifat tidak seimbang dalam memberikan perlakuan kepada ketiganya
dengan lebih mengutamakan sistem norma hukum daripada yang lain.
Sekarang, baru disadari bahwa ternyata sistem norma hukum tidak dapat
lagi diharapkan sebagai andalan satu-satunya, sehingga oleh sebab itu
harus mulai disinergikan secara seimbang dengan sistem norma etika dan
bahkan sisrtem norma agama. Ketiganya tetap harus dibedakan dan tidak
boleh dicampuradukkan pengertian-pengertiannya. Tetapi ketiganya jangan
dipisahkan atau apalagi dipertentangkan.
Dalam proses pemberlakuan sistem norma yang dimaksudkan
sebagai sarana untuk mendidik dan membimbing ke arah perilaku ideal itu
tentu diperlukan iming-iming agar dorongan dan bimbingan itu efektif.
Untuk itulah dikenal adanya sistem “reward and punishment” atau imbalan
pujian bagi yang taat dan ganjaran sanksi atau hukuman bagi yang tidak
mentaatinya. Perkembangan pemikiran para ahli tentang sistem “reward and
punishment” ini juga berkembang pesat di dunia akademis. Adanya sistem
“reward and punishment” dan bahkan “rewards of punishmen”’ seperti yang
diistilahkan oleh Christine Horne tersebut dapat dikatakan merupakan gejala
yang bersifat alamiah. Ada norma, baik norma agama, norma, etika, dan
norma hukum, maka diperlukan adanya sistem imbalan pujian dan ganjaran
sanksi. Adanya ancaman sanksi atau hukuman itu penting untuk menuntun
perilaku warga agar tidak melakukan hal-hal yang tidak baik, sebaliknya
adanya janji atau iming-iming pujian agar orang melakukan sesuatu perbuatan
yang baik akan mendorong orang untuk benar-benar berbuat baik. Ketakutan
orang akan hukuman (punishment) seperti juga harapan orang akan pujian
dan penghargaan (reward) memberikan insentif untuk kerjasama dan
menyumbang terhadap kepentingan umum dan kebaikan publik. Hanya saja,
“reward and punishment”’ itu sendiri tidak mudah dan juga menelan biaya
(sosial) yang tidak kecil, sehingga menyebabkan orang yang rasional mencari
jalan yang paling aman untuk tidak menghukum ataupun memuji orang lain.
Akan tetapi, jika tidak ada orang yang menghukum ataupun memberi
penghargaan, insentif untuk kerjasama menjadi hilang. Akibatnya, hukuman
atau pujian bersendirian, dan tidak mungkin diharapkan mempromosikan
kerjasama secara persisten. Pendek kata, dalam kehidupan bermasyarakat,
keduanya, “reward and punishment”, haruslah sama-sama ada untuk
menjalankan fungsinya sebagai pendorong dan penuntut ke arah perilaku
ideal dalam kehidupan bersama.
B. Tujuan dan Pembentukan Norma Hukum
Dari segi tujuannya, norma hukum itu tertuju kepada cita kedamaian
hidup antarpribadi (het recht wil de vrede). Karena itu, sering dikatakan bahwa
penegak hukum itu bekerja “to preserve peace”. Dalam kedamaian atau
keadaan damai selalu terdapat “orde en rust.” “Orde” menyangkut ketertiban
dan keamanan, sedangkan “rust” berkenaan dengan ketentraman dan
ketenangan. “Orde” terkait dengan dimensi lahiriah, sedangkan “rust”
menyangkut dimensi “batiniah”. Keadaan damai yang menjadi tujuan akhir
norma hukum terletak pada keseimbangan antara “rust” dan “orde” itu, yaitu
antara dimensi lahiriah dan batiniah yang menghasilkan keseimbangan antara
ketertiban dan ketenteraman, antara keamanan dan ketenangan.
Sebagai pemenuhan akan kebutuhan pelayanan publik, pemerintah
dapat dituntut untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara permanen dan
rutin demi kesejahteraan rakyat. Adapun cara yang dilakukan oleh pemerintah
dalam memenuhi kebutuhan yang dimaksud adalah seperti halnya dengan
individu, yakni dengan melakukan suatu hubungan kontraktual dengan pihak
lain.
Instrumen hukum kontrak menjadi koridor hukum yang sangat
penting sebagai upaya perlindungan hukum terhadap aset negara. Urgensi
Kontrak Kerja Sama (KKS) sebagai upaya perlindungan hukum terhadap aset
negara. Kontrak tersebut merupakan aturan main (rule of the game) bagi para
pihak yang bertindak sebagai kontraktan. Di dalam kontrak- kontrak yang
melibatkan pemerintah sebagai salah satu kontraktannya, karakteristik
kontrak tersebut tidak sepenuhnya tunduk pada hukum privat. Salah satu
aspek terpenting dalam kontrak yang melibatkan pemerintah adalah
menyangkut imunitas (kekebalan) pemerintah manakala digugat di muka
pengadilan. Demi melindungi aset keuangan negara terdapat peraturan yang
juga berfungsi sebagai upaya untuk melindungi kekayaan negara. Di Indonesia
pengaturan ini terdapat di dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara.
Urgensi dari diterbitkannya aturan tersebut tidak lain adalah sebagai
sebuah landasan hukum bagi aparatur pengelola keuangan negara. Prinsip
larangan sita yang mana terkandung di dalam Pasal 50 tersebut merupakan
penyimpangan dari prinsip sita sebagaimana yang tercantum dalam Pasal
1131 jo. 1132 BW. Implikasi larangan sita atas aset negara dalam kaitan
dengan kontrak pemerintah yang dibuat dan tunduk pada hukum Indonesia
itu membawa konsekuensi bahwa pemerintah itu kebal atas tuntutan di muka
hakim. Konsekuensi kekebalan dimaksud juga tetap mengikat meskipun
terdapat suatu klausula yang menyatakan pelepasan terhadap aset negara
dan juga sepenuhnya tunduk pada hukum privat.20 Pada prinsipnya apabila
negara ingin melakukan hubungan kontraktual dengan pihak lain yakni negara
tidak boleh sampai dirugikan. Prinsip ini juga berlaku secara universal demi
melindungi aset negara. Dari segi ilmu negara, prinsip penting untuk
mempertahankan tujuan kedamaian hidup bersama.21
Tujuan kedamaian hidup bersama biasanya dikaitkan pula dengan
perumusan tugas kaidah hukum, yaitu untuk mewujudkan kepastian,
keadilan, dan kebergunaan. Artinya, setiap norma hukum itu haruslah
menghasilkan keseimbangan antara nilai kepastian (certainty, zekerheid),
keadilan (equity, billijkheid, evenredigheid), dan kebergunaan (utility). Ada
pula sarjana yang hanya menyebut pentingnya tugas dwitunggal norma
hukum, yaitu kepastian hukum (rechtszekerheid), dan keadilan hukum
(rechtsbillijkheid).
Percakapan tujuan hukum tidak dapat dilepaskan dari kehadiran
manusia dalam kebersamaannya. Manusia adalah subjek yang memiliki
kepribadian yang unik sebagai kodratnya yang tidak dapat disangkal tanpa
meniadakan kemanusiaannya. Karena itu setiap manusia untuk dapat tetap
menjadi manusia harus mengakui dan menerima adanya kepribadian
tersebut, termasuk kepribadian manusia-manusia lain sebagai konsekuensi
kodrat kebersamaannya. Pengakuan dan penerimaan kepribadian
mansusia itu mengimplikasikan juga pengakuan dan penghormatan atas
20 Y. Sogar Simamora, 2009, Prinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang danJasa oleh Pemerintah, Yogyakarta: Laksbang PRESSindo, hlm. 103.
21 Isharyanto, 2016, Ilmu Negara, Surakarta, Penerbit Oase Pustaka.
martabat kemanusiaan dari setiap manusia yang meliputi juga pengakuan dan
penghormatan terhadap “the Sanctity of (human) life”. Kesemuanya itu
membawa pengakuan terhadap hak setiap manusia untuk merealisasikan
dirinya secara penuh sepenuh mungkin. Untuk tetap mempertahankan
eksistensinya sebagai masyarakat manusia yang berkemanusiaan, maka
masyarakat harus mengakui dan memelihara serta melindungi kepribadian
masing-masing warganya, yakni manusia-manusia in konkreto melalui siapa
kemanusiaan diwujudkan (direalisasikan). Jadi, masyarakat sebagai suatu
kesatuan berkewajiban menciptakan dan memelihara kondisi yang
memungkinkan setiap manusia merealisasikan diri.
Sebaliknya hal itu tidak berarti bahwa masing-masing individu
manusialah yang terpenting, dan karena itu kepentingan tiap manusia
secara bersendiri harus didahulukan dari masyarakat (seperti pada
individualisme). Sebab, terbawa oleh kodrat kehadiran manusia dalam
kebersamaan dengan sesamanya, manusia hanya dapat merealisasikan dirinya
secara otentik (utuh) dalam masyarakat yang ke dalamnya setiap manusia
menjadi warga atau anggotanya.
Dengan demikian penyelenggaraan kehidupan manusia atau proses
merealisasikan diri dari setiap manusia berlangsung di dalam
kebersamaannya itu, yakni di dalam masyarakat. Untuk dapat merealisasikan
dirinya secara wajar, manusia memerlukan adanya ketertiban dan keteraturan
(berekenbaarheid, prediktabilitas, hal dapat diperhitungkan terlebih dahulu)
di dalam kebersamaannya itu. Ketertiban diwujudkan dalam perilaku manusia.
Untuk mewujudkan ketertiban itu, manusia memunculkan keharusan-
keharusan berperilaku dengan cara tertentu yang dirumuskan dalam bentuk
kaidah hukum. Kaidah hukum menetapkan bahwa jika terjadi situasi tertentu,
maka subjek tertentu dalam hubungannya dengan subjek lain harus bertindak
(melakukan perilaku) dengan cara tertentu. Jadi, pada hakikatnya kaidah
hukum menetapkan hubungan antara syarat dan apa yang seharusnya terjadi
jika syarat itu dipenuhi. Jika apa yang diharuskan itu dalam kenyataan ditaati
(dilaksanakan) maka akan terwujudlah ketertiban di dalam masyarakat.
Tetapi, ketertiban dan kaidah hukum yang diperlukan manusia adalah
ketertiban dan kaidah hukum yang secara otentik mampu menciptakan
kondisi yang memungkinkan manusia secara wajar dapat merealisasikan
dirinya secara utuh-penuh. Ketertiban dan kaidah hukum yang demikian
hanya mungkin terwujud, jika yang menjadi titik tolak dan tujuan
penyelenggaraan ketertiban adalah pengakuan dan penghormatan atas
martabat manusia dalam kebersamaannya, yang secara implisit memuat
pengakuan atas “the sanctity of life”.
Dengan demikian, hukum yang ditimbulkan oleh manusia itu dalam
aktualisasinya menguasai hidup dan kehidupan manusia. Sebaliknya, manusia
individual in konkreto tidak hanya sekedar hadir di dunia, melainkan
menghadirkan diri di (ke) dalam situasinya. Manusia menentukan situasinya
sendiri dengan memberikan nilai dan makna terhadap situasi yang di
dalamnya ia hadir bagi dirinya. Ini berarti, manusia mempunyai kebebasan
untuk menentukan sikap terhadap situasinya; manusia mempunyai kemauan
bebas. Dalam kaitan ini, manusia juga menghayati kehadiran hukum sebagai
bagian dari situasinya. Karena itu, manusia juga akan menentukan sikap
terhadap hukum, yakni untuk mentaati atau tidak mentaati apa yang
diharuskan oleh hukum. Tetapi, demi terwujudnya tujuan hukum itu sendiri,
maka penaatan terhadap hukum tidak dapat sepenuhnya diserahkan
kepada kemauan bebas masing-masing manusia. Untuk mempengaruhi
kemauan bebas itu, maka hukum menetapkan kaidah hukum yang
merumuskan apa yang seharusnya terjadi jika kemauan bebas manusia
individual tertentu memutuskan dan mewujudkan tindakan yang menyimpang
dari apa yang diharuskan.
Idealisasi dari apa yang seharusnya ini dinamakan sebagai sanksi
hukum. Jadi, sanksi hukum itu sendiri adalah kaidah hukum, artinya
dihadirkan atau ditampilkan dalam wujud kaidah hukum. Karena itu, sanksi
hukum juga harus berdasarkan dan tidak bertentangan dengan pengakuan
dan penghormatan atas martabat manusia, inklusif pengakuan dan
penghormatan atas “the sanctity of (human) Life”-nya. Hal ini berlaku bagi
semua jenis dan bentuk sanksi hukum.
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas
legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala
tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-
undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis
tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau
perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan
atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau “rules and
procedures” (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya seperti sangat
kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu,
untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam
menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip
“frijsermessen”’ yang memungkinkan para pejabat administrasi negara
mengembangkan dan menetapkan sendiri “beleidregels” atau “policy rules”
yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan
tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang
ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum
dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere), atau
keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere). Hukum negara
adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai
hasil tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan.
Oleh sebab itu, legitimasi hukum adalah kehendak rakyat yang
tertinggi. Tidak mengherankan bahwa tujuan ini sejak awal menjadi cita-cita
pendiri negara Indonesia. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ini menunjukkan bahwa
kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai
kegiatan pemilihan umum, rakyat langsung memilih siapa yang
dikehendakinya. Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya
legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif. Sebaliknya,
rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik
calon yang bersangkutan. Pemngutan suara itu akan menghasilkan lembaga
negara yang diberi kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, dikelola oleh
rakyat, dan untuk kepentingan seluruh rakyat itu sendiri. Jargon yang
kemudian dikembangkan sehubungan dengan ini adalah “kekuasaan itu dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Bahkan, dalam sistem ‘participatory
democracy’, dikembangkan pula tambahan “bersama rakyat”, sehingga
menjadi “kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh
rakyat dan bersama rakyat”.
Dalam hubungan dengan lingkup kegiatannya, ide kedaulatan rakyat
meliputi proses pengambilan keputusan, baik di bidang legislatif maupun di
bidang eksekutif. Artinya, rakyat mempunyai otoritas tertinggi untuk
menetapkan berlaku tidaknya suatu ketentuan hukum dan mempunyai
otoritas tertinggi untuk menjalankan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan
hukum itu. Dengan perkataan lain, rakyat berdaulat, baik dalam perencanaan,
penetapan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengawasan terhadap
pelaksanaan produk hukum yang mengatur proses pengambilan keputusan
dalam dinamika penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang berkaitan
dengan nasib dan masa depan mereka sendiri sebagai rakyat negara yang
bersangkutan. Dalam paham kedaulatan rakyat, yang didaulat dari segi politik
tentu saja bukanlah person rakyat itu sendiri, melainkan proses kehidupan
kenegaraan sebagai keseluruhan. Hubungan kedaulatan bukan lagi terjadi
antara Raja dengan Rakyatnya, tetapi antara rakyat dengan proses
pengambilan keputusan dalam negara itu sebagai keseluruhan. Oleh sebab
itu, tidak lagi relevan untuk memisahkan kedua konsep “imperium” versus
“dominium” itu secara diametral. Rakyat menurut paham modern sekarang,
berdaulat baik di lapangan politik maupun di lapangan perekonomian. Dengan
demikian, sebagaimana kekuasaan Raja dalam paham Kedaulatan Raja yang
meliputi aspek politik dan ekonomi, maka kedua aspek politik dan ekonomi ini
tetap tercakup dalam konsep kekuasaan tertinggi yang berada di tangan
rakyat dalam paham Kedaulatan Rakyat. Artinya, baik dalam bidang politik
maupun di bidang ekonomi, rakyatlah yang berperan sebagai pengambil
keputusan tertinggi. Karena itu, dalam hubungannya dengan “subject and
sovereign”, kedua pengertian kekuasaan di bidang politik dan di bidang
ekonomi tidak dapat dipisahkan. Kedaulatan rakyat di bidang politik disebut
demokrasi politik, sedangkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi disebut
demokrasi ekonomi.
Pengertian mengenai kekuasaan tertinggi itu sendiri, tidak perlu
dipahami bersifat monistik dan mutlak dalam arti tidak terbatas, karena sudah
dengan sendirinya kekuasaan tertinggi di tangan rakyat itu dibatasi oleh
kesepakatan yang mereka tentukan sendiri secara bersama-sama yang
dituangkan dalam rumusan konstitusi yang mereka susun dan sahkan
bersama, terutama mereka mendirikan negara yang bersangkutan. Inilah yang
disebut dengan “kontrak sosial” antara warga masyarakat yang tercermin
dalam konstitusi. Konstitusi itulah yang membatasi dan mengatur bagaimana
kedaulatan rakyat itu disalurkan, dijalankan dan diselenggarakan dalam
kegiatan kenegaraan dan kegiatan berpemerintahan sehari-hari.
Pada hakikatnya, dalam ide kedaulatan rakyat itu, tetap harus dijamin
bahwa rakyatlah yang sesungguhnya pemilik negara dengan segala
kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara, baik di
bidang legislatif, eksekutif, maupun yudisial. Rakyatlah yang berwenang
merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta
penilaian terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan itu. Bahkan lebih
jauh lagi, untuk kemanfaatan bagi rakyatlah sesungguhnya segala kegiatan
ditujukan dan diperuntukkannya segala manfaat yang didapat dari adanya dan
berfungsinya kegiatan bernegara itu. Inilah gagasan kedaulatan rakyat atau
demokrasi yang bersifat “total” dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan
bersama rakyat. Hanya saja, karena kebutuhan yang bersifat praktis, gagasan
demokrasi ini dianggap perlu dilakukan melalui prosedur perwakilan. Dari
sinilah munculnya ide lembaga perwakilan atau lembaga parlemen dalam
sejarah. Dalam sistem “representative democracy” ini tentu ada saja usaha
untuk mengebiri pengertian kedaulatan rakyat itu.
Dalam konteks Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan legislatif
sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yaitu “Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
Adapun fungsi DPR diatur dalam Pasal 20A UUD 1945 yaitu fungsi legislasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas
kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan
membentuk Undang-Undang. Fungsi anggaran mempertegas kedudukan DPR
untuk membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Fungsi pengawasan adalah fungsi
DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan oleh pemerintah.
Pada saat ini, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan
DPRD dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Dengan demikian,
rakyat dapat memilih dan menentukan wakil-wakilnya yang dicalonkan oleh
partai politik dalam Pemilu sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat
terwujud dengan harapan agar wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya
mementingkan kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa aspirasi
rakyat.
Dalam konteks ini, DPR sebagai salah satu lembaga perwakilan selain
DPD, dalam mekanisme pengisian anggota DPR dipilih seluruhnya melalui
pemilihan umum melalui partai politik yaitu berdasarkan sistem perwakilan
perorangan (people representative). Karena itu jumlah anggota DPR dari
setiap daerah adalah proporsional sesuai jumlah penduduknya. Secara
konseptual keterwakilan anggota DPR dalam lembaga menitikberatkan untuk
menyuarakan kepentingan nasional dengan tidak mengabaikan daerah yang
diwakilinya, sedangkan untuk memberikan tempat bagi wakil dari daerah-
daerah dalam lembaga perwakilan tingkat nasional untuk mengakomodir dan
memperjuangkan kepentingan daerahnya, terdapat DPD sebagai lembaga
perwakilan untuk mengakomodirnya. Dengan demikian sistem perwakilan
DPD adalah bersifat regional representative, sehingga pada hakikatnya
keterwakilan dari anggota DPD adalah merupakan wakil daerah di tingkat
nasional.
Dalam sistem perwakilan rakyat di Indonesia keanggotaan DPR
adalah representasi seluruh rakyat Indonesia secara proporsional melalui
partai politik (political representation), sedangkan DPD sebagai representasi
dari daerah di seluruh wilayah Indonesia (regional representation) yang
jumlah anggotanya sama banyaknya untuk setiap provinsi
Perwakilan merupakan sifat yang hakiki dari sistem demokrasi
modern. Di dalam badan perwakilan itulah wakil-wakil rakyat diorganisir
untuk mengambil peran dalam merepresentasikan kedaulatan rakyat. Untuk
itulah DPR sebagai lembaga perwakilan memiliki tugas untuk menyerap
aspirasi masyarakat. Anggota DPR yang dipilih oleh pemilih di suatu daerah
pemilihan memiliki kedekatan dan tanggung jawab politik terhadap
pemilihnya di daerah pemilihannya. Melalui kedekatan politik, anggota DPR
lebih mengetahui dan memahami permasalahan dan kebutuhan di daerah
pemilihannya, sedangkan melalui tanggung jawab politik, anggota DPR
memiliki keterikatan dan hubungan baik langsung maupun tidak langsung
kepada pemilih yang telah memilihnya di daerah pemilihannya. Untuk itulah
lembaga perwakilan tidak saja dapat melambangkan semua kekuatan sosial
politik masyarakat, tapi juga mampu menyalurkan aspirasi masyarakat dan
menerjemahkannya menjadi kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada
masyarakat.
Tugas DPR dalam menyerap aspirasi rakyat ini terkadang dikaitkan
dengan daerah pemilihan anggota DPR yang bersangkutan, sehingga anggota
DPR dari Daerah Pemilihan tertentu seakan-akan hanya menyerap aspirasi
dari daerah pemillihannya saja. Daerah pemilihan (Dapil) pada dasarnya
hanyalah tools untuk memudahkan dan/atau menyederhanakan sistem
Pemilu. Tujuan utamanya agar kursi DPR RI dapat tersebar secara
proporsional ke seluruh daerah, mengingat populasi penduduk Indonesia yang
tidak merata. Untuk itu, Dapil tidak dapat digunakan sebagai alat untuk
melaksanakan program pembangunan karena pendekatan dapil adalah
pendekatan jumlah kursi. Sehingga besar kecilnya anggaran untuk program
pembangunan nantinya akan didasarkan pada jumlah kursi. Akibatnya hanya
rakyat yang tinggal di wilayah dengan jumlah kursi terbanyak sajalah yang
akan mendapatkan anggaran untuk program pembangunan nantinya akan
didasarkan pada jumlah kursi. Akibatnya hanya rakyat yang tinggal di wilayah
dengan jumlah kursi terbanyak sajalah yang akan mendapatkan anggaran
paling banyak.
Hal demikian kerapkali menyebabkan benturan antara kepentingan
konstituen yang diwakili dengan kepentingan nasional yang lebih luas. Ada
konstruksi politik bahwa melalui Pemilu hubungan antara pemilih dengan
calon anggota DPR yang dipilih digambarkan sebagai kontrak politik yang
langsung ataupun tidak langsung mengikat pemilih dengan anggota DPR yang
dipilihnya. Benturan antara kepentingan daerah pemilihan dengan
kepentingan nasional seharusnya tidak pernah ada, karena daerah pemilihan
di seluruh Indonesia adalah bagian dari kepentingan nasional itu sendiri.
Walaupun anggota DPR mempunyai kewajiban untuk memperjuangkan
kepentingan rakyat di daerah pemilihannya, namun hal itu tidaklah berarti
bahwa anggota DPR hanya semata-mata memperjuangkan kepentingan rakyat
di daerah pemilihannya saja sebab hakikat anggota DPR adalah mewakili
rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Dalam mengimplementasikan tugas menyerap aspirasi rakyat
melainkan sekaligus amanat kepada seluruh anggota DPR untuk sungguh-
sungguh menyerap aspirasi rakyat di mana hal itu tidak terlepas dari fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan dari DPR. Ketiga fungsi
dimaksud berkaitan dengan fungsi pemerintah sebagai lembaga eksekutif
yang bertugas melaksanakan pembangunan nasional demi tercapainya tujuan
nasional. Pembagian tugas antar legislatif dan eksekutif telah jelas dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Keberadaan DPR sebagai penyerap aspirasi
rakyat yang mencakup seluruh wilayah Indonesia akan membawa aspirasi
tersebut ke forum dewan perwakilan rakyat sebagai lembaga perwakilan,
yang kemudian diserahkan kepada lembaga eksekutif, baik tingkat pusat
maupun daerah, untuk dilaksanakan.
Dalam konteks ini, wajar jika setiap anggota DPR mempunyai hak
mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah
pemilihan. Implementasi dari hak mengusulkan dan memperjuangkan
program pembangunan daerah pemilihan seharusnya memikirkan pula
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, dan jangan sampai mempertajam
kesenjangan pembangunan daerah, karena alokasi kursi DPR kepada setiap
provinsi tidak dilakukan berdasarkan prinsip kesetaraan keterwakilan (equal
representation) dan besaran daerah pemilihan bukan single-member
constituency (satu kursi untuk setiap Dapil), melainkan multi-member
constituency (satu Dapil untuk beberapa kursi). Pertimbangan-pertimbangan
demikian seharusnya menjadi kebijakan pembuat Undang-Undang demi
mewujudkan tujuan nasional, termasuk penentuan produk hukum yang sesuai
dengan kepentingan rakyat.
Sementara itu, seiring dengan manajemen desentralisasi yang
memberikan kewenangan kepada satuan-satuan pemerintahan di tingkat
lokal, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibentuk, baik di daerah propinsi
maupun di daerah kabupaten dan kota. Pada umumnya, dewan perwakilan ini
disebut sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan legislatif, dan karena
itu biasa disebut dengan lembaga legilsatif di daerah. Akan tetapi, sebenarnya
haruslah dicatat bahwa fungsi legislatif di daerah, tidaklah sepenuhnya berada
di tangan DPRD seperti fungsi DPR-RI dalam hubungan dengan Presiden.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) juncto Pasal 5 ayat (1) UUD
1945 hasil Perubahan Pertama. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR ditentukan
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dan dalam Pasal 5 ayat (1)
dinyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada DPR. Sedangkan kewenangan menetapkan Peraturan Daerah, baik
daerah propinsi maupun kabupaten, tetap berada di tangan Gubernur dan
Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD sebagaimana ketentuan UUD 1945
sebelum diamandemen. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Gubernur dan
Bupati/Walikota tetap merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dan
sekaligus legislatif, meskipun pelaksanaan fungsi legislatif itu harus dilakukan
dengan persetujuan DPRD yang merupakan lembaga pengontrol terhadap
kekuasaan pemerintahan di daerah.
Oleh karena itu, sesungguhnya, DPRD lebih berfungsi sebagai
lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah daripada sebagai
lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Namun dalam kenyataan
sehari-hari, lembaga DPRD itu biasa disebut sebagai lembaga legislatif.
Memang benar, seperti halnya pengaturan mengenai fungsi DPR-RI menurut
ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen, lembaga perwakilan rakyat ini
berhak mengajukan usul inisiatif perancangan produk hukum. Menurut
ketentuan UUD 1945 yang lama, DPR berhak memajukan usul inisiatif
perancangan undang-undang. Demikian pula DPRD, baik di daerah propinsi
maupun daerah kabupaten/ kota, berdasarkan ketentuan UU No. 23/2014
tentang Pemerintahan Daerah berhak mengajukan rancangan Peraturan
Daerah kepada Gubernur, Bupati dan Walikota. Namun, hak inisiatif ini
sebenarnya tidaklah menyebabkan kedudukan DPRD menjadi pemegang
kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan utama di bidang ini
tetap ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Gubernur atau Bupati/Walikota.
Oleh karena itu, fungsi utama DPRD adalah untuk mengontrol
jalannya pemerintahan di daerah, sedangkan berkenaan dengan fungsi
legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor yang dominan. Pemegang kekuasaan
yang dominan di bidang legislatif itu tetap Gubernur atau Bupati/Walikota.
Bahkan dalam UU No. 23 Tahun 2014, Gubernur dan Bupati/Walikota
(“diwajibkan”) mengajukan rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya
menjadi Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD. Artinya, DPRD itu hanya
bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat
menyetujui, menolak ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan, dan
sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri mengajukan rancangan
Peraturan Daerah.
Untuk melaksanakan peraturan perundangan yang melibatkan peran
para wakil rakyat tersebut maka kepala pemerintahan yang bersangkutan juga
perlu diberikan wewenang untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat
pelaksanaan. Karena itu, selain undang-undang, Presiden juga berwenang
mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden (Pouvoir
Reglementair). Demikian pula Gubernur, Bupati, Walikota dan Kepala Desa,
selain bersama-sama para wakil rakyat membentuk Perda dan Peraturan
Desa, juga berwenang mengeluarkan Peraturan Gubernur, Peraturan
Bupati/Walikota, dan Peraturan Kepala Desa sebagai pelaksanaan terhadap
peraturan yang lebih tinggi tersebut. Karena banyaknya kebijakan
pemerintahan yang perlu dituangkan dalam bentuk peraturan yang bersifat
pelaksanaan terhadap peraturan yang lebih tinggi, maka para Pembantu
Presiden, yaitu para Menteri atau Pejabat Tinggi yang menduduki jabatan
politis setingkat Menteri seperti Gubernur Bank Indonesia, Jaksa Agung,
Kepala Kepolisian, dan Panglima Tentara Nasional Indonesia, dapat pula
diberikan kewenangan untuk membuat peraturan yang bersifat pelaksanaan
tersebut. Dengan begitu, tidak perlu lagi menyaksikan penerbitan-penerbitan
Surat Edaran oleh Gubernur Bank Indonesia yang tidak jelas kedudukan
hukumnya untuk kepentingan mengatur perkembangan dunia perbankan
nasional. Gubernur Bank Indonesia nantinya secara resmi dapat menuangkan
kebijakan regulasi yang dibuatnya dalam bentuk Peraturan Gubernur Bank
Indonesia.22
Dengan demikian, secara tegas dapat diatur bahwa semua kebijakan
yang bersifat mengatur di bidang yang menjadi tugas kementerian tertentu,
haruslah dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri atau pejabat setingkat
Menteri. Sedangkan Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal dan pejabat yang
lebih rendah di tiap-tiap kementerian atau Departemen Pemerintahan tidak
berwenang mengatur kepentingan publik. Mereka hanya melaksanakan
kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh Menteri sebagai pemegang
tanggungjawab politik di kementerian atau Departemennya. Demikian pula
dengan para Kepala Kantor Wilayah Departemen di daerah-daerah tidak
diperkenankan membuat peraturan yang mengatur kepentingan publik. Tugas
Kepala Kantor Wilayah hanyalah melaksanakan kebijakan dan peraturan-
peraturan di tingkat Departemennya. Dalam hal diperlukan pengaturan yang
22 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, PenerbitKonstitusi Press, hlm. 126.
bersifat khusus di daerah, maka ketentuan demikian itu harus dituangkan
dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur.23
Selain itu, sebagaimana dikemukakan oleh Hamid Attamimi24,
Keputusan Presiden yang bersifat pengaturan dapat pula bersifat mandiri
dalam arti tidak dimaksudkan melaksanakan Undang-Undang ataupun
mengatur hal-hal yang ditunjuk oleh undang-undang untuk diatur lebih oleh
Presiden. Jenis Keputusan Presiden demikian itu disebut Attamimi sebagai
Keputusan Presiden yang mendiri. Logika pengaturan yang mandiri oleh
Presiden ini, meskipun banyak dipersoalkan di kalangan para ahli hukum,
tetapi dapat saja diterima dalam paradigma pemikiran UUD 1945 yang lama,
yaitu karena Presidenlah yang ditentukan dalam UUD sebagai pemegang
kekuasaan utama dalam pembentukan undang-undang. Akan tetapi, dalam
ketentuan yang baru berdasarkan Perubahan Pertama UUD maka logika yang
mungkin dapat dijadikan pertimbangan pembenar terhadap eksistensi
Keputusan yang mengatur secara mandiri tersebut dengan sendirinya tidak
dapat diterima lagi.
Pada prinsipnya, Presiden bukan lagi pemegang kekuasaan utama
dalam pembentukan UU. Kalaupun Presiden diberi hak untuk mengajukan
rancangan undang-undang, hak itu tidak memberikan kedudukan kepadanya
sebagai pemegang kekuasaan legislatif, melainkan sekedar memberikan hak
kepadanya untuk mengambil inisiatif karena kebutuhan yang sangat dirasakan
oleh pihak eksekutif untuk mengatur suatu kebijakan publik yang harus
dilayani oleh pemerintah, tetapi pihak DPR sendiri belum siap dengan
rancangan dari mereka sendiri. Dalam hal ini, Presiden dapat mengambil pra-
karsa untuk menyusun rancangan undang-undangan tersebut dan kemudian
mengajukannya kepada DPR. Oleh karena tidak boleh ada lagi peraturan-
23 Ibid., hlm. 127.24 A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan, Disertasi Universitas Indonesia.
peraturan untuk kepentingan pengaturan kepentingan publik yang dibuat
Presiden atau Pemerintah secara mandiri. Semua peraturan di bawah undang-
undang hanyalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Dasar
dan Undang-Undang.
Satu-satunya peraturan yang dapat berisi pengaturan yang mandiri
hanyalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dari segi
isinya seharusnya dituangkan dalam bentuk UU na- mun dari segi proses
pembuatannya ataupun karena adanya faktor eksternal berupa keadaan
bahaya atau kegentingan yang memaksa, maka oleh Presiden dapat
ditetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti UU (PERPU) yang bersifat
mandiri. Perpu tersebut harus diajukan untuk mendapat persetujuan DPR
menjadi UU selambat-lambatnya tahun sejak dikeluarkannya PERPU tersebut,
dan apa- bila tidak disetujui peraturan pemerintah (PERPU) ini harus dicabut
kembali oleh Presiden atau seperti dalam ketentuan Konstitusi RIS dan UUDS
1950, dinyatakan tidak berlaku lagi karena hukum. Jadi, dalam sistem
pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial, Presiden tidak dapat
lagi membuat peraturan-peraturan yang bersifat mandiri seperti kedudukan
Keputusan Presiden pada masa lalu. Satu-satunya peraturan yang dapat
ditetapkan oleh Presiden dengan sifat mandiri adalah Peraturan Pemerintah
sebagai Pengganti Undang-Undang seperti dikemukakan di atas. Karena itu,
eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) ini
menurut Jimly Asshiddiqie tetap dipertahankan dengan perubahan fungsi
seperti yang dikemukakan di atas.25
Bentuk Peraturan yang ditetapkan oleh Presiden ada dua macam,
yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Peraturan Pemerintah
adalah bentuk peraturan yang berkaitan dengan kewenangan regulatif yang
ada di tangan Presiden untuk melaksanakan perintah Undang-Undang (UU).
Dengan begitu, Peraturan Pemerintah dapat dipahami sebagai peraturan yang
25 Ibid., hlm. 250.
ditetapkan karena diperintahkan oleh UU untuk dibuat atau ditetapkan oleh
Presiden. Yang menjadi masalah adalah apakah jika UU tidak menentukan
sesuatu ketentuan tertentu harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah, maka berarti Presiden tidak boleh membuat aturan yang lebih
rinci dari apa yang sudah diatur dalam UU. Pengaturan regulatif lebih rinci
demikian kadang-kadang memang diperlukan dalam rangka melaksanakan
ketentuan UU tersebut.
Akan tetapi, dalam rangka melaksanakan undang-undang atau
menjalankan undang-undang itu, Presiden sebagai kepala pemerintah tentu
haruslah diberikan ruang gerak yang cukup untuk berkreatifitas. Presiden
harus memiliki keleluasaan untuk mengatur sendiri kebijakan yang akan
ditetapkannya dalam rangka melaksanakan undang-undang itu. Prinsip yang
berkenaan dengan ruang gerak inilah yang dalam konsep hukum administrasi
negara disebut sebagai frijs ermessen. Presiden dianggap sudah seyogyanya
dapat menentukan sendiri norma-norma aturan kebijakan atau policy rules
(beleids regels) yang diperlukan untuk menjalankan undang-undang. Jika
Pemerintah dibatasi terlalu kaku, sehingga tidak diizinkan mengatur
pelaksanaan tugasnya sendiri, kecuali apa yang sudah ditentukan secara
normatif oleh undang-undang, maka pemerintahan akan berjalan lamban dan
kaku, atau malah menjadi lame duck government yang tidak dapat efektif
bekerja, terutama dalam rangka meningkatkan pelayanan umum dan
kesejahteraan masyarakat.26
Tentu saja dapat dipertahankan pemikiran bahwa pengaturan dan
pembatasan mengenai tatacara pembentukan Peraturan Presiden. Di samping
itu, harus dibedakan pula dengan jelas, jenis putusan-putusan yang memuat
materi pengaturan (regeling) dengan jenis-jenis putusan yang hanya bersifat
administratif. Yang pertama dapat kita namakan dengan Peraturan Presiden,
sehingga penamaan atau nomenklatur yang digunakan bersifat konsisten
26 Ibid., hlm. 275.
mulai dari tingkat tinggi sampai ke tingkat paling rendah hingga ke Peraturan
Desa dan Peraturan Kepala Desa. Sedangkan yang kedua yang bersifat
administratif dapat kita namakan dengan Keputusan Presiden, yang juga
dicontoh sampai ke tingkat yang lebih rendah seperti Keputusan Menteri,
Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati, Keputusan Walikota, dan bahkan
Keputusan Kepala Desa.
C. Eksistensi Hukum Adat
1. Praktik Hukum Adat
Dalam sebuah perkara yang diputus Pengadilan Negeri Palu
pada 2010, majelis hakim mempertimbangkan bahwa pengertian zina tak
semata-mata yang adalah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), tetapi juga “makna menurut hukum adat.” Pertimbangan hakim
merujuk pada yurisprudensi MA No. 93 K/Kr/1975, yang intinya
menyebutkan delik adat zina adalah perbuatan terlarang lepas dari
apakah perbuatan itu dilakukan di tempat umum atau tidak, lepas dari
apakah salah satu pihak sudah menikah atau belum sesuai syarat Pasal
284 KUHP.
Overspel adalah perbuatan tercela yang beberapa kali
disidangkan di pengadilan, dan hakim tak semata merujuk pada rumusan
Pasal 284 KUHP. Pengadilan Tinggi Makassar juga pernah menghukum
seseorang karena bersalah melakukan tindak pidana adat yaitu
persetubuhan di luar perkawinan oleh orang yang sama-sama dewasa.
Hakim memutus demikian karena perbuatan itu tidak ada bandingannya
dalam KUHP. Jika tidak ada bandingannya dalam KUHP, maka hakim
mencari ke hukum adat (Putusan No. 427/Pid/2008/PT.MKS Tahun 2009).
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang,
Nyoman Serikat Putra Jaya, mengatakan sumber hukum pidana di
Indonesia bukan hanya pidana tertulis tetapi juga pidana tidak tertulis.
Secara formal, ketika Belanda memberlakukan Wetboek van Strafrecht
voor Nederlandch Indie (1 Januari 1918), hukum pidana adat memang
tidak diberlakukan. Tetapi secara materill tetap berlaku dan diterapkan
dalam praktek peradilan.
Setelah kemerdekaan, pidana adat mendapat tempat lewat UU
Darurat No. 1 Drt 1951. Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang ini
menjelaskan tentang pidana adat yang tidak ada bandinganya dalam
KUHP, pidana adat yang ada bandingannya dalam KUHP, dan sanksi adat.
Sanksi adat dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim
dalam memeriksa dan mengadili perbuatan yang menurut hukum yang
hidup dianggap sebagai tindak pidana yang tidak ada bandingannya
dalam KUHP.
Salah satu putusan yang menghargai pidana adat, adalah
putusan MA No. 984 K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996. Dalam putusan
ini, majelis hakim menyatakan jika pelaku (dader) perzinahan telah
dijatuhi sanksi adat atau mendapat reaksi adat oleh para pemangku desa
adat, dimana hukum adat masih dihormati dan hidup subur, maka
tuntutan oleh jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Putusan lain adalah putusan MA No. 1644 K/Pid/1988 tanggal
15 Mei 1991. Dalam putusan ini majelis mempertimbangkan:
“seseorang yang telah melakukan perbuatan yang menuruthukum yang hidup (hukum adat) di daerah tersebut merupakansuatu perbuatan yang melanggar hukum adat, yaitu ‘delikadat’. Kepala dan para pemuka adat memberikan reaksi reaksiadat (sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat itutelah dilaksanakan oleh terhukum. Terhadap si terhukum yangsudah dijatuhi ‘reaksi adat’ oleh kepala adat tersebut, maka iatidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagaiterdakwa dalam persidangan badan peradian negara(Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama, melanggarhukum adat, dan dijatuhi hukuman penjara menurut KUHP(Pasal 5 ayat 3 huruf b UU Darurat No. 1 Drt 1951). Dalamkeadaan yang demikian itu, maka pelimpahan berkas perkaraserta tuntutan kejaksaan di Pengadilan Negeri harusdinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).”
Kedua putusan itu, menunjukkan bahwa MA “mengakui
eksistensi hukum pidana adat beserta reaksi adatnya yang masih hidup
dalam masyarakat Indonesia”. Pijakan hukum pengakuan pidana adat tak
hanya yurisprudensi. Berdasarkan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.
Pasal 5 ayat (1) dan 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman juga menyebutkan hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan
dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-
undangan bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili.
Jika nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat mengakui dan
memberi nilai tinggi terhadap penyelesaian hukum pidana adat, maka
hakim pun bisa menjadikan perdamaian dalam kasus pidana bernilai
tinggi. Putusan yang mempertimbangkan restorative justice bisa dilihat
dari putusan MA No. 1600 K/Pid/2009. Dalam putusan MA berargumen
salah satu tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang
terjadi karena adanya tindak pidana. Walaupun pencabutan telah lewat
waktu tiga bulan sesuai syarat Pasal 75 KUHP, MA menilai pencabutan
perkara bisa memulihkan ketidakseimbangan yang terganggu. MA
mengatakan perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor
mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui. Bila perkara ini
dihentikan, manfaatnya lebih besar daripada dilanjutkan.
Pemerintah dan DPR masih terus melakukan pembahasan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Tujuan
terbesar dari langkah itu adalah mengganti kitab “warisan” pemerintah
kolonial Belanda dengan kitab hukum yang menjadi ciri khas Indonesia.
Dalam menyusun RKUHP, tim penyusun berupaya menggali kitab-kitab
hukum kuno di nusantara khas Indonesia sebagai inspirasi dalam
pembuatan RKUHP. Menurut Pemerintah, sistem hukum kuno yang
pernah ada di wilayah Indonesia telah mengatur banyak hal tentang
pidana dan pemidanaan serta falsafahnya. Sayangnya, di masa
kemerdekaan, para ahli hukum kurang memperhatikan hal ini. Akibatnya,
ada banyak naskah-naskah hukum kuno yang tersebar di bumi Indonesia
yang belum tersentuh. Misalnya, kakawin (syair dengan metrum
tertentu), pepakem (piagam), babad (teks sejarah), jayapattra (putusan
pengadilan), prasasti dan lontara. Kecuali di Bali dimana ditemukan awig-
awig, yang sampai kini masih dipergunakan untuk hal-hal tertentu dan
Lontara Latoa di Sulawesi Selatan.
Terdapat beberapa kitab-kitab hukum yang sudah ada di
nusantara sejak abad ke-10. Di antaranya, Ciwasana atau Purwadhigama
(abad ke-10), Kitab Gajamada (abad ke-14), Kutaramanawadharmasastra
(tahun 1350), dan Kitab Adhigama (tahun 1430). Ada lagi Kitab Simbur
Cahaya di Palembang (tahun 1630an), Kitab Kuntara Raja Niti di Lampung
(Abad 16), Kitab Lontara’ ade’ di Sulawesi Selatan yang berlaku hingga
abad 19. Sementara di Tanah Batak, ada Patik Dohot Uhum ni Halak
Batak yang tak jelas kurun waktunya. Dalam hal ini, meski dibuat
berabad-abad lalu dan jenis sanksi pidananya masih terbatas
dibandingkan masa kini, kitab-kitab hukum kuno ini ternyata telah
mengenal pilar-pilar hukum pidana modern. Misalnya, asas legalitas dan
proporsionalitas.
Dapat ditunjuk misalnya Pasal 65 Kitab Perundang-undangan
Agama tentang penjatuhan denda berbunyi,” …. Ingatlah, jangan sekali-
kali raja yang berkuasa menjatuhkan denda lebih besar daripada seketi
enam laksa…” Atau Lontara di Sulawesi Selatan yang menekankan, “…
adapun cemetinya negeri terhadap orang, tak aus, tak diubah dan tak
dibikin lain, walaupun balok besar ditimpakan kepadanya….. tetapi walau
hanya ujung kapas digulung dikipaskan kepadanya, (bila) pidananya tak
sesuai dengan hukum adat, maka mereka melayangkan dan pergi…”
Tidak hanya menyangkut hukum materil, kitab-kitab kuno itu
juga mengatur hukum acara pembuktian. Misalnya, dalam Tatya
Wyawahara disebutkan saksi wus wus winasu de sang pandita (saksi yang
telah direstui pendeta), likhita na inungwakneng tulis (ditempatkan di
surat atau keterangan tertulis) dan bhuki na ikang toya apan kna tinadah
(air yang dapat diminum). Pada sisi lain Kitab Adigama mengatur
ketentuan mengenai saksi. Yakni, “orang lain yang mengetahui”,
“kelihatan apa yang dikatakan”, “kelihatan semuanya oleh orang banyak”.
Sanksi denda merupakan sanksi yang umum dijatuhkan
manakala terjadi tindak pidana, walau beberapa yang termasuk dalam
astadusta dan asta corah dikenakan pidana mati. Dalam hal ini, falsafah
pemidaan deterrence atau pencegahan sebagai tujuan penjauhan pidana
di masa depan, ternyata telah dijumpai dalam Pasal 93 Kitab Perundang-
undangan Agama (Majapahit). Ketentuan itu berbunyi, “.. maksud raja
mengenakan denda ialah untuk mengendalikan nafsu orang, supaya
jangan tersesat budinya, jangan menerjang di jalan yang benar..” Asas
proporsionalitas juga dianut dalam Pasal 93 Kitab Perundang-undangan
Agama itu dengan menyebut “.. kesalahan besar dendanya besar, kesalah
kecil dendanya kecil…”
Uraian di atas menunjukan bahwa Indonesia meiliki harta karun
ilmu hukum pidana yang tersimpan dalam local wisdom. Itulah sebabnya
sejumlah pemikiran yang ada dalam kitab hukum pidana kuno
diinkorporasikan ke dalam RUU KUHP. Nmaun demikian, Masuknya
hukum adat dalam Rancangan KUHP menjadi kekhawatiran bagi sebagian
kalangan. Tak saja bakal terkena hukuman adat, bagi orang yang
melanggar juga akan dipidana atas hukum negara. Para anggota DPR
dalam melakukan pembahasan terhadap RKUHP mesti mengedepankan
kehati-hatian. Pasalnya, sejumlah perbuatan di luar KUHP kini masuk
dalam RKUHP. Setidaknya, RKUHP dinilai over kriminalisasi terhadap
masyarakat sipil.
Hukum adat yang memiliki otoritas dan terpisah dari hukum
positif menjadi ancaman bagi mereka pelanggarnya. Pelanggar tak saja
dikenakan hukum negara, tetapi juga hukum adat. Hal itu berdampak
pada kriminalisasi masyarakat sipil. Dengan demikian, perlu jalan tengah
agar tidak terjadi double hukuman. Setidaknya, ketika pengadilan negara
telah menjatuhkan hukuman, tidak kemudian pengadilan adat pun
memberikan hukuman adat. Apalagi, penerapan hukum adat tak dapat
dihilangkan di semua daerah. Sumatera Utara dan Papua misalnya,
hukum adat sedemikian kental dijaga penerapannya. Bahkan sudah
mengurat akar sekalipun adanya KUHP. Dalam rangka mencari jalan
tengah itulah, dapat diusulkan agar ada koneksitas antara peradilan adat
dengan peradilan negara. Penulis berpandangan, dengan terhubungnya
antara peradilan adat dengan peradilan negara, setidaknya dapat saling
mengontrol. Misalnya, ketika peradilan adat menjatuhkan hukuman
terhadap seseorang untuk membayar 10 babi, maka dibutuhkan
pengawas. Pengawas tersebut adalah peradilan negara yang tugasnya
memastikan pihak terhukum membayar 10 babi.
Dalam praktik, pemberlakuan dan jenis-jenis hukum adat,
terutama dalam ranah pemidanaan, berkembang dinamis. Seperti diteliti
oleh Ida Ayu Sadnyini di Bali27, sanksi hukum adat perkawinan antar-
wangsa pada zaman kerajaan (1352-1849), dibakar di atas rumput
kering, sanksi labuh geni bagi perempuan yaitu dijatuhkan dalam api
unggun sedangkan laki-laki dikenakan sanksi labuh batu dengan
ditenggelamkan di laut, kakinya diikat dan diperberat batu agar
tenggelam. Ada pula dibunuh dengan cara ditusuk dengan keris, selong
seumur hidup, dan denda. Sanksi hukum adat perkawinan antar-
wangsa pada zaman kolonial (1849-1945), dengan datangnya Belanda
ke Bali, terjadi perubahan hukum dalam hukum adat perkawinan antar-
wangsa karena faktor Politik Sanksi perkawinan antar-wangsa diatur
dalam peswara tahun 1900 dikenakan sanksi selong seumur hidup baik
laki-laki maupun perempuan ke luar pulau Bali. Peswara tahun 1910
mengatur sanksi selong 10 tahun kemudian berubah menjadi 6 tahun
terhadap pasangan Asu Pundung ke luar daerahnya, tetapi masih di
wilayah pulau Bali. Alangkahi Karang Hulu cukup dengan sanksi denda 50
feku (satu feku setara dengan 1000 uang kepeng bolong) ditambah
penurunan wangsa. Peswara 1927 mengatur sanksi selong selama 6
(enam) bulan di wilayah Pulau Bali ditambah upacara patiwangi terhadap
pasangan Asu Pundun. Perkawinan Alangkahi Karang Hulu dikenakan
sanksi denda, apabila tidak mampu memabayar akan dikenakan sanksi
selong.
Kemudian, pada zaman Orde Lama (1945-1965) terbitnya
Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1945 menghapus peswara 1927,
sepanjang mengenai lembaga adat perkawinan Asu Pundung dan
Alangkahi Karang Hulu termasuk sanksi patiwangi. Sanksi yang
dikenakan pada zaman ini adalah: sanksi melakukan upacara patiwangi,
27 Ida Ayu Sadnyini, 2015, Dinamika Sanksi Hukum Adat Dalam Perkawinan Antar-Wangsa Di Bali (Perspektif HAM), Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada ProgramDoktor, Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana.
tidak boleh ke Pura Tri Kahyangan apabila belum melakukan upacara
patiwangi, tidak dperbolehkan mengadakan lamaran, tidak
diperbolehkan pulang dalam waktu yang lama, tidak diperbolehkan
melakukan upacara mepamit/ mejauman, tidak diberikan air suci oleh
pendeta, adanya penggantian nama secara resmi.
Pada masa Orde-Baru (1966-1998) sanksi perkawinan antar-
wangsa pada zaman ini adalah: sanksi upacara patiwangi, dibuang oleh
keluarga namun hanya beberapa bulan/sanksi dari keluarga sudah
mengendor. Etika keluarga masih melarang orang tua untuk menyaksikan
upacara perkawinan anaknya. Nama diganti secara resmi/ simbolis saja.
Pasca reformasi, sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa
pada zaman ini masih seperti zaman sebelumnya. Namun kualitas sanksi
semakin ringan, upacara patiwangi ada yang melakukan ada yang tidak
melakukan, semakin pendek sanksi diperbolehkan pulang, semakin
pendek waktu untuk melaksanakan mepamit. Sudah ada yang melakukan
peminangan, sudah ada yang melakukan upacara mepamit setelah tiga
hari upacara adat perkawinan, etika keluarga sudah memperbolehkan
orang tua/keluarga perempuan menyaksikan perkawinan anaknya.
2. Desa dan Desa Adat
Di Indonesia, sebagai bangsa yang merdeka, dengan semboyan
“Bhineka Tunggal Ika” adalah inspirasi yang menegaskan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia sangat menjunjung paradigma masyarakat
kewargaan yang aktual dengan istilah Masyarakat Madani. Kondisi seperti ini
menghadapkan Negara Kesatuan Rebublik Indonesia pada masyarakat
Indonesia yang pluralis, sehingga hukumnyapun pun dalam konteks pluralisme
hukum. dalam rangka dimensi domestik, dihadapkan pada kenyataan
pluralisme hukum yang harus dijadikan sebagai berhak dan kekayaan.
Sehingga unsur- unsur hukum lokal harus dipelihara. Termasuk juga eksistensi
hukum adat dalam system pemerintahan.
Prinsip-prinsip politik pluralisme hukum sebagai arahan pengakuan
kesatuan masyarakat hukum adat adalah pengakuan terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat yang meliputi (i) pengakuan sebagai subjek hukum,
(ii) tata pemerintahan adat, (iii) keberlakuan hukum adat, dan (iv) hak-hak
atas benda adat, termasuk hak ulayat; kedua pengakuan, penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat
sebagai hak asasi manusia, baik sebagai hak kolektivitas maupun sebagai hak
perorangan warga kesatuan masyarakat hukum adat. Atas dasar politik
pluralisme hukum, negara hukum, dan fungsi peraturan daerah,
pemerintahan daerah mempunyai kewenangan membentuk peraturan daerah
tentang pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat yang dapat lebih
mengakomodasi kemajemukan, kejelasan rumusan sesuai dengan kekhasan
kesatuan masyarakat hukum adat, dan menjamin kemanfaatan bagi kesatuan
masyarakat hukum adat untuk mengenyam hak-haknya.
Lebih lanjut dalam disertasinya yang berjudul "Politik Pluralisme
Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan
Peraturan Daerah", Gede Marhaendra Wija Atmaja mengungkapkan
peraturan daerah tentang pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat
belum berkoherensi secara sempurna dengan prinsip-prinsip politik
pluralisme hukum, oleh karena perlindungan sebatas terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat sebagai kolektivitas, dan tidak meliputi perlindungan
terhadap perorangan warga kesatuan masyarakat hukum adat ketika
bersengketa dengan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai kolektivitas.
Selain itu, tidak ada ketentuan yang mengatur mekanisme penyelesaian
sengketa antara perorangan warga kesatuan masyarakat hukum adat dengan
kesatuan masyarakat hukum adat sebagai kolektivitas.
Dalam disertasi tersebut Gede menyarankan 3 (tiga) hal yaitu
pertama agar dibentuk undang-undang tentang kesatuan masyarakat hukum
adat yang mengelaborasi prinsip-prinsip politik pluralisme hukum sebagai
arahan pengakuan kesatuan masyarakat adat. Kedua, agar pemerintahan
daerah membentuk peraturan daerah yang menetapkan pengakuan atau
pengukuhan suatu kesatuan masyarakat hukum adat tertentu, selain
membentuk peraturan daerah yang mengatur tata cara pengakuan kesatuan
masyarakat hukum adat sesuai dengan kekhasan kesatuan masyarakat hukum
adat di daerah bersangkutan. Ketiga, agar ada pengaturan dalam peraturan
daerah tentang perlindungan secara holistik, yakni tidak saja terhadap
kesatuan masyarakat hukum adat sebagai suatu kolektivitas, juga terhadap
perorangan warga kesatuan masyarakat hukum adat, dan perlunya
pengaturan tentang mekanisme penyelesaian sengketa antara perorangan
warga kesatuan masyarakat hukum adat dengan kesatuan masyarakat hukum
adat sebagai suatu kolektivitas.
Politik pluralisme itu sendiri sudah berlangsung sejak era kolonial. Ciri
sistem hukum pada era kolonial adalah dualistik, bagi golongan Eropa berlaku
prosedur dan hukum seperti yang ada di Belanda; sementara bagi golongan
pribumi termasuk Tionghoa, mengikuti hukum lembaga dan kebiasaan mereka
sendiri. Ini cerminan dari politik diskriminasi yang terjadi saat itu. Kenyataan
dualisme hukum disikapi secara berbeda, ada yang mengusulkan pembaruan
berupa penyatuan (unifikasi), dan ada pula yang mempertahankan keduanya
sebagai bentuk pengakuan, meski untuk yang terakhir ini ada pula yang
memaknai sebagai pengefektifan eksploitasi pribumi.
Kelompok penentang berupaya mengakhiri dualisme itu dengan
mengusulkan penyeragaman. Pada tahun 1866, Mahkamah Agung Batavia
menugasi F. F. L. U. Last menyusun hukum pidana pribumi mengikuti hukum
Belanda. Ia menolaknya dengan resiko diberhentikan, sebab menurutnya
peniruan itu akan sangat tidak cocok bagi penduduk. Undang-Undang Pidana
tahun 1918 berhasil memisahkan secara bentuk daripada substansi antara
yang diberlakukan bagi orang Eropa dengan yang diberlakukan bagi orang
pribumi. Akan tetapi, rencana penyeragaman hukum acara pidana mendapat
tentangan keras pada tahun 1919 melalui argumen-argumen yang cerdas
Cornelis van Vollenhoven. Ia melawan usulan pemerintah, yang jika
diberlakukan, memaksakan prinsip-prinsip Barat bagi kepemilikan atas tanah
penduduk Pribumi yang itu hanya akan menguntungkan pembangunan agraria
skala besar bagi perusahaan-perusahaan Barat. Demikian pula ia menentang
Rancangan Undang-Undang (RUU) hukum perdata yang seragam yang
memuat 2220 pasal yang dianggap siap pakai (dan kenyataannya sangat
rumit) yang terbit tahun 1923.28
Perhatian hukum Indonesia terhadap eksistensi hukum adat, terlihat
dari kaidah-kaidah yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan.
Sebagai hukum dasar Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa serta mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Selain mengakui dan menghormati satuan-
satuan pemerintah daerah yang bersipat khusus, negara juga mengakui dan
menghormati hukum adat yang berlaku dalam kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat. Walaupun pengakuan tersebut haruslah sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Mengenai konsepsi satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa dapat kita lihat dalam Penjelasan
Undang Undang Dasar 1945 (Sebelum Perubahan) yang pada Bab IV Pasal 18
UUD 1945 mengatur masalah Pemerintahan Daerah.29 Dalam rangka
28 C. Fasseur, “Dilema Zaman Kolonial: Van Vollenhoven dan Perseturuan antaraHukum Adat dan Hukum Barat di Indonesia”, dalam Jamie S. Davidson, David Henley, dan SandraMoniaga, (eds.), 2010, Adat dalam Politik Indonesia, Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia,hlm. 64-71.
29 Di sini diatur bahwa, “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil,dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memperkuat konsepsi tentang daerah istimewa sebagaimana tercantum
dalam Penjelasan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945, pemerintah
menuangkannya kembali ke dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948
tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini dinyatakan: “Bahwa
daerah yang dapat mengatur rumah tangganya sendiri dapat dibedakan
dalam dua jenis, yaitu daerah otonomi biasa dan daerah otonomi
istimewa. Daerah-daerah ini dibagi atas tiga tingkatan yaitu: (1) Propinsi, (2)
Kabupaten/ Kota Besar, dan (3) Desa/ kota kecil. Yang dimaksud Daerah
Istimewa adalah daerah yang mempunyai hak asal-usul, yang di zaman
sebelum R.I. mempunyai pemerintahan yang bersifat istimewa”.30
Sejarah mencatat bahwa Daerah Istimewa ini mengalami beberapa
perubahan nama. Daerah Istimewa pernah diubah namanya menjadi
Desapraja. Perubahan penamaan tersebut berawal dari undang-Undang No. 1
Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.31 Kemudian pada
tahun 1965, dipertegas lagi melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 1965
tentang Desapraja.32 Daerah Istimewa kemudian berubah namanya
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, danhak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat Istimewa.”
30 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Bab 2 Pasal 3 angka 1.31 Dalam undang-undang ini, daerah otonom terdiri dari dua jenis, yaitu otonom biasa
dan daerah swapraja. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 mengamanatkan bahwa jumlahtingkatan daerah sebanyak-banyaknya ada tiga tingkatan. Pembentukan daerah Tingkat III harusdilakukan secara hati-hati, karena daerah itu merupakan batu dasar pertama dari susunannegara. Selain hati-hati, penyelenggaraannya juga harus secara tepat karena daerah itu bertaliandengan masyarakat hukum Indonesia yang coraknya beragam, yang sulit sembarangan untukdibikin menurut satu model. Bahwa pada dasarnya tidak akan dibentuk kesatuan kesatuanmasyarakat hukum secara bikin-bikinan tanpa berdasarkan kesatuan-kesatuan masyarakathukum seperti Desa, nagari, kampung dan lain-lain. Karena itu Desapraja (sebagai daerah TingkatIII) dan sebagai daerah otonom terbawah hingga Undang- Undang No. 1/ Tahun 1957 digantikanUndang-Undang yang lain, belum dapat dilaksanakan.
32 Menurut Pasal 1 Undang-Undang Desa praja, Desa praja adalah kesatuanmasyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganyasendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai harta bendanya sendiri. Dalam penjelasan nyadinyatakan bahwa kesatuan-kesatuan yang tercakup dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar1945 Pasal 18, Volksgemeenschappen seperti Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau,Dusun dan marga di Palembang dan sebagainya, yang bukan bekas swapraja adalah Desaprajamenurut Undang-Undang Desapraja. Dengan demikian, persekutuan- persekutuan masyarakat
menjadi Desa melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa.33
Pada tahun 2000 MPR melakukan Perubahan UUD 1945 dan
pengaturan tentang keberadaan masyarakat hukum adat yang keberadaannya
diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2) dalam Bab tentang Pemerintahan Daerah
dan Pasal 28 l ayat (3) dalam Bab tentang Hak Asasi Manusia. Berbeda dengan
perumusan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama, dalam perumusan
Pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen tersebut
dicantumkan sejumlah persyaratan terhadap pengakuan dan penghormatan
atas keberadaan kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut.
Dalam konteks implementatif data awal menunjukan, bahwa di
daerah-daerah ada hubungan yang khas antara penerapan adat dan
penyelenggaran pemerintahan desa.34 Di Papua, lembaga adat sangat
dominan sedangkan desa dinas tidak memiliki pengaruh. Berbeda dengan di
Jawa, sebagian besar Sulawesi, Kalimantan Timur, dan sebagian Sumatera, di
daerah tersebut, pengaruh adat sangat kecil. Desa dinas sudah tumbuh kuat.
hukum yang berada dalam (bekas) daerah swapraja tidak berhak atas status sebagai Desapraja.Keseluruhan kesatuan masyarakat hukum di wilayah Indonesia yang mempunyai nama asliberagam sebagaimana yang termaktub dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945 Pasal 18,diganti namanya menjadi Desapraja. Dalam penjelasan umum tentang Desapraja itu terdapatketerangan yang menyatakan bahwa Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tidak membentukbaru Desapraja, melainkan mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang telah ada diseluruh Indonesia dengan berbagai macam nama menjadi Desapraja. Kesatuan-kesatuanmasyarakat hukum lain yang tidak bersifat teritorial dan belum mengenal otonomi seperti yangterdapat di berbagai wilayah daerah administratif tidak dijadikan Desapraja, melainkan dapatlangsung dijadikan sebagai unit administratif dari daerah tingkat III. Penjelasan juga menyatakanbahwa Desapraja bukan merupakan satu tujuan tersendiri, melainkan hanya sebagai bentukperalihan untuk mempercepat terwujudnya daerah tingkat III dalam rangka Undang-UndangNo.18 Tahun1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan daerah. Suatu saat bila tiba waktunyasemua Desapraja harus ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat III dengan atau tanpapenggabungan lebih dahulu mengingat besar kecilnya Desapraja yang bersangkutan.
33 Undang-undang ini menegaskan bahwa: “Desa adalah wilayah yang ditempati olehsejumlah penduduk sebagai persatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakathukum yang mempunyai organisasi pemerintaha.”
34 Suherman Toha, 2011, Laporan Akhir Penelitian Hukum Eksistensi Hukum AdatDalam Pelaksanaan Pemerintahan Desa: Study Empiric Di Bali, Jakarta, Badan Pembinaan HukumNasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Di Sumatera Barat terjadi kompromi antara adat dan desa dinas, karenakan
lembaga adat dan desa dinas sama-sama kuat. Di Bali, seperti juga di
Kalimantan Barat, Aceh, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku, pengaruh
lembaga adat jauh lebih kuat ketimbang Desa dinas.
Provinsi Bali telah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1986
tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Bali (selanjutnya disebut dengan
Perda Desa Adat) sebagai pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3
Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Penegmbangan
Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat, dan Lemabaga Adat di
Daerah. Perda Desa Adat tersebeut untuk menegaskan bahwa desa adat
merupakan kesatuan masyarakat hukum adat. Akan tetapi, di samping sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat, desa adat juga sekaligus merupakan
suatu organisasi pemerintahan yang tidak langsung di bawah camat.
Pembinaan desa adat dilakukan oleh gubernur yang dibantu oleh Majelis
Pembinaan Lembaga Adat dan Badan Pembinaan Lembaga Adat. Pembinaan
juga dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali sebagaimana amanat
Perda No. 12 Tahun 1988 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Dinas Kebudayaan. Salah Satu pembinaan yang dilakukan adalah lomba desa
adat.
Dengan telah diberlakukannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa,
persoalan desa adat kemudian menjadi berkaitan dengan pengakuan
(rekognisi). Hingga 2 (dua) tahun sejak diundangkan, persoalan itu belum
terlaksana. Padahal, hanya Pasal 96-111 perihal desa adatlah yang menopang
konstitusionalitas mandat UUD 1945 Pasal 18B agar menghormati masyarakat
hukum adat. Artinya, ketiadaan desa adat yang resmi diakui pemerintah
berpeluang jadi lubang besar gugatan inkonstitusional UU ini. Sayang,
persiapan pemerintah pusat dan daerah untuk menjalankan rekognisi desa
adat hampir nihil. Program revitalisasi desa adat sebenarnya hanya berujung
penguatan lembaga adat, tetapi tak sampai membentuk desa adat definitif.
Padahal, penataan rekognisi membuka pintu kesahihan masyarakat adat
untuk mendirikan dua puluhan ribu desa, yang kemudian berhak mengelola
jutaan hektar hutan desa dan tanah ulayat. Hambatan rekognisi berpangkal
pada prasangka masyarakat adat sebagai komunitas pengelola sumber daya
secara tertutup (closed corporate community). Mereka tak pernah
membutuhkan masyarakat modern atau masuk program komunitas adat
terpencil (KAT). Menyetarakan kehidupan mereka dengan promiskuitas di
gua-gua purbakala, kartu keluarga (KK) dari pemerintah diisi nama istri
sebagai kepala keluarga. Anak-anak dirunut menurut keturunan ibu, sebagai
buah perkawinan primitif tanpa ayah sah. Buktinya, tak ada tulisan
perkawinan dalam dokumen resmi itu. Suami dipisahkan dan dicetak sebagai
orang lain dalam KK.
Penjelasan UU No 6 Tahun 2014 merujuk rekognisi sebagai
pengakuan terhadap hak asal usul lokal. Ketika hak tersebut berwujud aturan
adat yang tetap hidup di tengah warga, berikut dukungan sumber daya lahan
dan lingkungan adat, maka wewenang lokal boleh dijelmakan menjadi desa
adat. Sesuai Pasal 113-116, seharusnya pemerintah pusat dan pemerintah
daerah provinsi menyelesaikan kajian kesatuan masyarakat hukum adat
berikut peta batas desa adat hingga Januari 2016. Dalam proses itu dapat
dibuka partisipasi warga untuk merumuskan aturan adat, mendiskusikan
batas geografi mutakhir, merancang struktur organisasi dan personel
pemerintahan adat, penertiban aset tanah ulayat dan sumber daya
pendukung lain. Saat ini data masyarakat adat berikut potensi dan garis
wilayahnya lengkap tersedia pada potensi desa dan kelurahan yang dikelola
Kemendagri, serta basis data Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
ataupun lembaga swadaya masyarakat lain. Statistika potensi desa adat juga
disediakan Badan Pusat Statistik. Basis data hutan untuk masyarakat dan
rancangan hutan desa terpampang pada Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Ribuan komunitas adat telah dikompilasi Kementerian Sosial sejak
1980-an. Yang terbaru, penyusunan titik spasial desa adat dapat disediakan
oleh Badan Informasi Geospasial ataupun komunitas drone desa. Dengan data
yang lengkap tersebut, warga berhak mengajukan pembentukan desa adat
yang berdaulat penuh atas wilayah ulayat, berikut sumber daya di dalamnya.
Pemerintah kabupatenlah yang berwewenang menetapkan desa adat, lalu
dicatatkan secara resmi dan definitif pada Kemendagri. Sayang, norma-norma
mengenai desa adat dalam UU No. 6 Tahun 2014 terlalu umum untuk
dipraktikkan sehingga muncul perintah penyusunan prosedur terinci pada
tingkat peraturan menteri. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi pernah merinci wewenang adat dalam Peraturan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No. 1
Tahun 2015 tentang Kewenangan Lokal dan Hak Asal Usul. Namun, peraturan
ini belum pernah dilaksanakan, lalu gugur demi hukum lantaran Peraturan
Pemerintah No. 47 Tahun 2015 mengalihkan mandat penetapan wewenang
desa kepada Kementerian Dalam Negeri.
Meskipun UU No. 6 Tahun 2014 telah menentukan bahwa
masyarakat hukum adat dapat berkedudukan sebagai badan hukum publik
karena bisa menjadi bagian dari pemerintahan, kebanyakan undang-undang
mengenai masyarakat hukum adat tidak memposisikan masyarakat hukum
adat sebagai bagian dari pemerintahan. Oleh karena itu, saat ini dalam
kerangka hukum Indonesia, masyarakat hukum adat dapat berkedudukan
sebagai badan hukum privat yang berada di luar struktur pemerintahan atau
menjadi badan hukum publik dalam bentuk desa adat yang merupakan bagian
dari penyelenggaraan pemerintahan nasional.
3. Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat merupakan subyek hukum khusus
yang keberadaannya diakui oleh peraturan perundang-undangan baik
oleh UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
Sebagai sebuah subyek hukum, maka keberadaan masyarakat adat perlu
ditelaah apakah ia masuk kategori sebagai subyek hukum publik, subyek
hukum keperdataan, atau gabungan diantara keduanya. Bila masyarakat
hukum adat merupakan subyek hukum publik, maka masyarakat
hukum adat merupakan bagian dari badan hukum publik atau
menjadi badan hukum yang diberikan kewenangan oleh badan hukum
publik untuk melakukan kewenangan publik. Badan hukum publik dalam
hal ini adalah negara atau pemerintahan dalam arti luas. Sedangkan
bila masyarakat adat merupakan badan hukum privat, maka masyarakat
tidak merupakan bagian dari pemerintahan melainkan diperlakukan sama
sebagaimana badan hukum privat seperti perseorangan maupun badan
hukum privat lainnya.
Bila dilihat dalam sejarahnya pada masa kolonial,
keberadaan masyarakat hukum adat dalam bentuk unit-unit kekuasaan
lokal bukanlah bagian dari pemerintahan kolonial. Nagari, huta, marga,
winua, mukim/gampong dan sebutan lainnya merupakan persekutuan-
persekutuan atau masyarakat hukum yang tidak berada di dalam struktur
pemerintahan kolonial Belanda.
Langkah berbeda ditempuh oleh Pemerintah Republik
Indonesia pada masa Presiden Soekarno, terutama pada periode
demokrasi terpimpin yang menghendaki penyegeraan menjadikan
masyarakat hukum adat sebagai desapraja. Upaya ini terlihat dalam UU No.
1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 19
Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mencapai
Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Namun belum sampai upaya tersebut dilakukan, terjadi gejolak politik dan
perubahan pemerintahan, sehingga UU Desapraja tidak dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
Sebagai gantinya, pemerintahan Orde Baru mengeluarkan UU
No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU
No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Melalui undang-undang ini,
semua bentuk pemerintahan di kampung-kampung dijalankan oleh
pemerintahan desa yang kelembagaan dan kewenangannya ditentukan
secara seragam oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, maka
pemerintah memasukan bentuk pemerintahan desa kepada masyarakat
hukum adat dan kelembagaan masyarakat hukum adat tidak lagi
mendapatkan tempat untuk menjadi pemerintah yang resmi di dalam
masyarakat hukum adat. Pada tahapan ini, masyarakat hukum adat tidak
mendapatkan tempat untuk diposisikan sebagai badan hukum publik yang
menjadi bagian dari pemerintahan. Masyarakat hukum adat dengan
diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979 berada di luar lingkaran struktur
pemerintahan. Sehingga pada titik itu, masyarakat hukum adat
diperlakukan sama dengan entitas badan hukum privat lainnya
seperti yayasan, perkumpulan, koperasi maupun perusahaan yang
tidak melaksanakan tugas-tugas yang berasal dari otoritas publik yang
diberikan oleh negara.
Ketentuan UUD 1945 mengatur keberadaan masyarakat
hukum adat sebagai subyek hukum yang berbeda dengan subyek hukum
lainnya. Hal ini sudah tampak sejak UUD 1945 periode pertama di mana
pada bagian penjelasan UUD 1945 terdapat uraian mengenai “persekutuan
hukum rakyat” yaitu masyarakat hukum adat yang keberadaannya sudah
ada sebelum proklamasi Republik Indonesia.35 Ketika dilakukan perubahan
35 Di sini dikutipkan sebagian uraian tersebut, “Dalam territoir Negara Indonesiaterdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemenschappen, seperti desa diJawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerahyang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerahistimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akanmengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.”
terhadap UUD 1945, bagian penjelasan UUD 1945 dihapus keberadaannya.
Kemudian dasar hukum mengenai keberadaan masyarakat adat diletakkan
pada Batang Tubuh UUD 1945. Setidaknya terdapat tidak 3 (tiga) ketentuan
utama dalam UUD 1945 yang dapat menjadi dasar bagi keberadaan dan
hak-hak masyarakat hukum adat. Ketiga ketentuan tersebut yaitu Pasal 18B
ayat (2)36, Pasal 28I ayat (3)37 dan Pasal 32 ayat (1)38 dan ayat (2) UUD
1945.39
Ketiga ketentuan tersebut yang paling serig dirujuk ketika
membicarakan mengenai keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum
adat. Meskipun demikian tidak berarti bahwa dasar konstitusional bagi hak
masyarakat hukum adat hanya pada tiga ketentuan tersebut. Masyarakat
hukum adat sebagai bagian dari Warga Negara Indonesia juga memiliki
hak-hak konstitusional sebagai warga negara misalkan untuk mendapatkan
penghidupan yang layak, lingkungan yang baik, persamaan di hadapan
hukum dan hak-hak lainnya.
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu landasan
konstitusional masyarakat adat menyatakan pengakuan secara deklaratif
bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak
masyarakat hukum adat. Namun pengakuan tersebut memberikan
batasan-batasan atau persyaratan agar suatu komunitas dapat diakui
keberadaan sebagai masyarakat hukum adat. Ada 4 (empat) persyaratan
36 Ketentuan ini berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuaidengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diaturdalam undang-undang.”
37 Ketentuan ini berbunyi, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisionaldihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban."
38 Ketentuan ini berbunyi,” Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara danmengembangkan nilai-nilai budayanya.”
39 Ketentuan ini berbunyi, “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerahsebagai kekayaan budaya nasional.”
keberadaan masyarakat adat menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 antara
lain: (a) Sepanjang masih hidup; (b) Sesuai dengan perkembangan
masyarakat; (c) Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (d)
Diatur dalam undang-undang.
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 merupakan bentuk dari
pengakuan bersyarat terhadap keberadaan masyarakat hukum adat.
Rikardo Simarmata menyebutkan model pengakuan bersyarat itu
merupakan model yang diwariskan oleh pemerintahan colonial.40 Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa pengakuan dan penghormatan
terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat diatur dalam undang-
undang. Secara terminologis, frasa “diatur dalam undang-undang” memiliki
makna bahwa penjabaran ketentuan tentang pengakuan dan
penghormatan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat tidak
harus dibuat dalam satu undang-undang tersendiri. Hal ini berbeda dengan
frasa “diatur dengan undang-undang” yang mengharuskan penjabaran
suatu ketentuan dengan undang-undang tersendiri. Jadi bila dilihat secara
gramatikal, maka untuk menjalankan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tidak
harus dibentuk sebuah undang-undang khusus tentang masyarakat adat.
Akan tetapi, kebutuhan akan sebuah UU tentang masyarakat hukum adat
juga disampaikan oleh Mahkamah Konsitusi ketika memeriksa dan
memutus pengujian Undang-Undang Kehutanan.41
Menarik untuk diamati, bahwa ketentuan Pasal 28I ayat (3)
tersebut hampir sama dengan materi muatan Pasal 6 ayat (2) UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang berbunyi,
“Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah
ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.” Perlu dicatat
40 Rikardo Simarmata, 2006, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat diIndonesia, Jakarta: UNDP Regional Centre in Bangkok, hlm. 23.
41 Putusan No. 35/PUU-X/2012, hlm 184.
bahwa UU HAM lahir satu tahun sebelum dilakukannya amandemen
terhadap Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Kuat dugaan, Pasal 28I ayat (3) UUD
1945 dan juga beberapa ketentuan terkait hak asasi manusia lainnya di
dalam konstitusi mengadopsi materi muatan yang ada di dalam UU HAM.
Namun ada sedikit perbedaan antara Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 dengan
Pasal 6 ayat (2) UU HAM. Pasal 6 ayat (2) UU HAM mengatur lebih tegas
dengan menunjuk subyek masyarakat hukum adat dan hak atas tanah
ulayat. Sedangkan Pasal 28I ayat (3) membuat rumusan yang lebih
abstrak dengan menyebut hak masyarakat tradisional. Hak masyarakat
tradisional itu sendiri merupakan istilah baru yang sampai saat ini belum
memiliki definisi dan batasan yang jelas. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 juga
mempersyaratkan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat
sepanjang sesuai dengan perkembangan zaman. Bila dibandingkan dengan
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, maka rumusan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945
memberikan persyaratan yang lebih sedikit dan tidak rigid.
Pengaturan masyarakat hukum adat juga ditemukan dalam
sejumlah undang-undang. Dalam konteks tata pemerintahan, pertama kali
istilah masyarakat hukum adat ditemukan secara resmi di dalam undang-
undang yang berlaku di Indonesia adalah pada UU No. 1 Tahun 1957
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Di dalam undang- undang
tersebut masyarakat hukum adat dipertimbangkan sebagai bagian dari
pemerintahan republik yang akan berkedudukan sebagai daerah otonom
pada tingkat ketiga, bersamaan dengan desa. Selanjutnya dalam UU No. 19
Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mencapau
Terwujudnya Daerah Tingkat III Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Dalam undang-undang ini masyarakat hukum adat dan kesatuan-kesatuan
hukum lainnya yang berbasis territorial ditetapkan sebagai daerah tingkat
ketiga yang disebut dengan Desapraja. Bahkan di dalam undang-undang itu
pula disadari pentingnya peran masyarakat hukum adat dalam
menyukseskan agenda revolusi.
Kemudian dalam konteks hukum agraria pengaturan mengenai
masyarakat hukum adat terdapat di dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria (UUPA). Dalam Pasal 2 ayat (4)
UUPA disebutkan bahwa pelaksanaan hak menguasai dari negara dalam
pelaksanaannya bisa dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat. Dalam hal ini masyarakat hukum adat
bisa menerima delegasi kewenangan penguasaan negara atas bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam. Jika ada bidang tanah yang dikuasai
langsung oleh negara (tanah negara), termasuk yang berasal dari tanah
bekas hak erfpact bahkan bekas hak guna usaha (HGU), penguasaannya
dapat didelegasikan kepada masyarakat hukum adat, agar tujuan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat bisa dicapai. Kemudian penyebutan
masyarakat hukum adat terdapat dalam pengaturan pengakuan
keberadaan hak ulayat. Hal ini terdapat dalam Pasal 3 UUPA yang
menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa
itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi.
Pada masa Orde Baru tidak ada undang-undang baru yang
mengatur mengenai hak masyarakat hukum adat. Tercatat hanya UU No.
11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang menentukan bahwa pelaksanaan
hak menguasai negara dalam bidang pengairan tetap menghormati hak
yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional (Pasal 3 ayat [3]). Undang-
undang ini sekarang sudah tidak berlaku lagi karena sudah diganti dengan
UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, yang juga menyebut
masyarakat hukum adat yang harus diperhatikan. Pasal 6 ayat (2) UU ini
menyatakan bahwa penguasaan sumber daya air oleh negara
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan
tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang
serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan peraturan perundang- undangan. Kemudian, Pasal 6 ayat (3)
memberikan arahan teknis pengaturan bahwa hak ulayat masyarakat
hukum adat atas sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya
masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.
Berbeda dengan masa Orde Baru, pada masa pasca Orde Baru
sejak tahun 1998 ada banyak undang-undang yang dibuat oleh pemerintah
bersama-sama dengan DPR yang mengatur mengenai keberadaan dan hak-
hak masyarakat adat. Dalam 15 tahun sejak 1999 sampai tahun 2014 saja
telah terdapat sekurang-kurangnya 16 (enam) belas undang-undang
yang mengatur keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Undang-
Undang tersebut adalah:
a. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia42;
b. UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan43;
c. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi44;
d. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional45;
42 Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi, “Dalam rangka penegakan hakasasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dandilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah”. Dan Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi,“Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selarasdengan perkembangan zaman”.
43 Hal ini diatur dalam Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi, “Pembentukan wilayahpengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkankarakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya,ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batasadministrasi pemerintahan”.
44 Di dalam Undang-Undang ini, istilah yang digunakan adalah masyarakat adat.Pengaturannya terkait dengan Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana ketentuan Pasal 11 ayat (3)huruf p.
e. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi46;
f. UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi47;
g. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air48;
h. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan49;
i. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang50;
j. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil51;
k. UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan52;
l. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup53’
45 Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (3) yang berbunyi, “Warga negara di daerahterpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikanlayanan khusus”.
46 Masyarakat Hukum Adat menjadi salah satu pemohon dalam Undang-Undang inisebagaimana dimksud dalam Pasal 51 huruf b.
47 Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (3) huruf a yang berbunyi,” Kegiatan UsahaPertambangan Panas Bumi tidak dapat dilaksanakan Di tempat pemakaman, tempat yangdianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, sertatanah milik masyarakat adat”.
48 Hal ini diatur dalam penjelasan Pasal 6 ayat (3) huruf a yang berbunyi,”unsurmasyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatananhukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui danmenerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari”. Perludiketahui bahwa Undang-Undang ini sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
49 Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi,”Pengelolaan perikanan untukkepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adatdan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.”
50 Hal ini diatur dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (9) huruf f yang berbunyi,”hak,kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjaminketerlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraanpenataan ruang”.
51 Hal ini diatur dalam Pasal 61 ayat (1) yang berbunyi,”Pemerintah mengakui,menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan KearifanLokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun.”
52 Hal ini diatur dalam Pasal 30 ayat 6 yang berbunyi,”Dalam hal tanah yang digunakanpemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik terdapat tanah ulayat, penyelesaiannyadilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan denganmemperhatikan ketentuan hukum adat setempat”.
m. UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan54;
n. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil55;
o. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa56, serta
p. UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan57.
Di samping itu pengaturan keberadaan dan hak-hak
masyarakat hukum adat juga terdapat di dalam beberapa undang-undang
otonomi khusus sebagai berikut:
a. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua;
b. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; serta
c. UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewah
Yogyakarta.
Banyaknya jumlah undang-undang ini menunjukan bahwa
penempatan masyarakat hukum adat dalam peraturan perundang-
53 Hal ini diatur dalam Pasal 63 ayat (1) huruf t yang berbunyi,”menetapkan kebijakanmengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hakmasyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.”
54 Hal ini diatur dalam penjelasan Pasal 7 yang berbunyi,”Yang dimaksud dengan“masyarakat” adalah masyarakat setempat, masyarakat hukum adat, dan masyarakat umum.Masyarakat setempat merupakan masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau sekitar hutanyang merupakan kesatuan komunitas sosial berdasarkan mata pencaharian yang bergantungpada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupanbersama dalam wadah kelembagaan.”
55 Hal ini diatur dalam Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi,”Pemanfaatan ruang dansumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada wilayah Masyarakat HukumAdat oleh Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat.”
56 Hal ini diatur dalam Penjelasan Pasal 19 huruf a yang berbunyi,”Yang dimaksuddengan “hak asal usul” adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsaDesa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat,antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanahkas Desa, serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa. “
57 Hal ini diatur dalam Pasal 12 ayat (1) yang berbunyi,”Dalam hal Tanah yangdiperlukan untuk Usaha Perkebunan merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adatpemegang Hak Ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan Tanah danimbalannya”.
undangan, terutama dalam undang- undang yang berkaitan dengan tanah
dan sumber daya alam lainnya, merupakan kecenderungan legislasi pada
masa pasca Orde Baru. Secara kuantitatif telah banyak undang-undang
mengenai masyarakat hukum adat, bahkan ada kesan tidak lengkap bila
pemerintah atau menyiapkan undang-undang tanpa memasukkan
pengaturan mengenai masyarakat hukum adat. Namun pada sisi lain dapat
dipahami bahwa masa pasca Orde Baru atau Orde Reformasi juga
merupakan era kebangkitan masyarakat hukum adat dalam proses legislasi.
Hal ini tentu juga dapat dikatakan sebagai hasil perjuangan masyarakat sipil
terhadap hak-hak masyarakat hukum adat walaupun baru pada tahap
legislasi.
Meskipun banyak peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai masyarakat hukum adat, namun tidak semuanya
menyebutkan kriteria masyarakat hukum adat. Pada tingkat undang-
undang terdapat 4 (empat) undang-undang yang mengatur mengenai
kriteria masyarakat hukum adat, yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU
No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Perbedaan paling mendasar dari kriteria-kriteria di atas adalah
sifat kumulatif atau alternatif antara satu kriteria dengan kriteria lain. UU
No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi satu-satunya undang-undang yang
tidak mempersyaratkan kriteria masyarakat hukum adat secara kumulatif
untuk menjadi desa adat. Artinya, UU Desa hanya mewajibkan kriteria
wilayah (territorial) sebagai kriteria wajib ditambah dengan salah satu atau
beberapa dari empat kriteria lain yaitu (i) masyarakat yang warganya
memiliki perasaan bersama dalam kelompok; (ii) pranata pemerintahan
adat; (iii) harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau (iv) perangkat
norma hukum adat.
Sementara itu kriteria masyarakat hukum adat yang
diatur dalam UU Kehutanan, UU Perkebunan, serta UU Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merumuskan kriteria yang bersifat
kumulatif. Artinya keberadaan masyarakat hukum adat baru diakui apabila
memenuhi kesemua kriteria yang telah ditentukan. Dalam konteks
kehutanan, UU Kehutanan mengatur bahwa kriteria masyarakat hukum
adat meliputi: (i) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban
(rechsgemeenschap); (ii) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat
penguasa adatnya; (iii) ada wilayah hukum adat yang jelas; (iv) ada pranata
hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan (v) masih
mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Salah satu pembeda utama
antara kriteria masyarakat hukum adat dalam UU Kehutanan dengan
undang-undang lain adalah kriteria “masih mengadakan pemungutan hasil
hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari.” Kriteria ini mengandaikan bahwa masyarakat hukum adat
yang diakui dalam konteks kehutanan adalah mereka yang masih
melakukan hubungan langsung dengan hutan dan sumber daya hutan
untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Namun ketentuan ini belum
secara terperinci menjelaskan apa yang dimaksud dengan “pemenuhan
kebutuhan sehari-hari”, apakah itu berarti masyarakat yang memperoleh
pendapatan untuk kebutuhan ekonominya dari hutan, atau termasuk pula
manfaat yang secara tidak langsung yang diperoleh masyarakat dari
keberadaan hutan misalkan pasokan air, udara yang bersih dan manfaat-
manfaat lainnya yang diperoleh dari keberadaan hutan.
Berdasarkan identifikasi perundang-undangan di atas, terdapat
beragam kriteria kesatuan masyarakat hukum adat yang berbeda antara
satu undang-undang dan undang-undang lain. Padahal semua kriteria
tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 18B Ayat (2) UUD
1945. Kriteria lain ditemukan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam Perkara No. 31/PUU-V/2007 mengenai Pengujian UU No. 31
Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku. Dalam
putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menafsirkan maksud dari 3 (tiga)
syarat pengakuan keberadaan masyarakat adat di dalam Pasal 18B ayat (2)
UUD 1945 dan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dengan kriteria
berikut:
a. ada masyarakat yang warganya memiliki perasaan sebagai satu
kelompok karena adanya nilai-nilai yang dirawat secara bersama-sama;
b. ada lembaga adat yang tumbuh secara tradisional;
c. ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
d. ada norma hukum adat yang masih berlaku; dan
e. ada wilayah adat tertentu;
Dengan demikian, maka berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi terdapat 5 (lima) kriteria kesatuan masyarakat hukum adat yaitu ada
masyarakatnya, ada lembaga adatnya, ada harta kekayaan bersama, ada norma
hukum adatnya, dan ada wilayah tempat keberadaannya. Suatu kesatuan
masyarakat hukum adat yang memenuhi kelima kriteria itu berkedudukan
sebagai subyek hukum dan oleh karenanya memiliki hak dan kewajiban yang
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjelaskan
mengenai sifat kesatuan masyarakat hukum adat dalam 3 (tiga) karakter, yaitu
genalogis, territorial, dan fungsional. Sifat genealogis artinya suatu kesatuan
masyarakat hukum adat terikat karena satu asal usul keturanan atau pertalian
dasar. Sifat territorial menekankan kepada kesamaan wilayah tempat tinggal.
Sementara itu sifat fungsional berarti kesatuan masyarakat hukum adat tersebut
masih menjalankan fungsi-fungsi sosialnya melalui lembaga adat. Kesatuan
masyarakat hukum adat dapat bersifat genealogis dan teritoral, tetapi juga bisa
bersifat genalogis, territorial dan fungsional. Kesatuan masyarakat hukum adat
dengan sifat genealogis, territorial dan fungsional dapat ditetapkan sebagai desa
adat berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Pada tanggal 25 Mei 2015 yang lalu, telah diterbitkan Peraturan
Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal
atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat dalam Kawasan Tertentu
(Permen ATR 9/15). Penerbitan Permen ATR 9/15 ini semestinya diletakkan
dalam rangka menjawab kesenjangan hukum terkait hak-hak masyarakat hukum
adat atas sumber daya alam yang selama ini belum terlindungi dengan baik.
Kesenjangan hukum ini telah mengucilkan masyarakat hukum adat atas sumber
daya alamnya. Masyarakat hukum adat telah lama dipaksa untuk melepaskan
ikatannya dengan tanah, hutan, air dan kekayaan alam yang mereka miliki.
Dalam konteks tersebut, terdapat pertanyaan mendasar, yaitu;
apakah peraturan baru ini mampu menjawab persoalan kesenjangan hukum hak-
hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alamnya, atau sebaliknya; Permen
ATR 9/2015 ini malah memperkuat kesenjangan hukum tersebut. Untuk
menjawab pertanyaan diatas, maka mesti merujuk pada konsep yang mendasar
tentang pengakuan hak masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya
alamnya, yaitu (i) tentang bagaimana hukum mengatur perlindungan masyarakat
hukum adat sebagai subjek hak, (ii) bagaimana hukum melindungi ikatan-ikatan
hukum masyarakat hukum adat dengan tanah dan sumber daya alamnya, serta
(iii) bagaimana hukum mengatur tentang tanah dan sumber daya alam
masyarakat hukum adat itu sendiri.
Jika ditelusuri lebih lanjut, Permen ATR 9/15 mengatur subjek hak
komunal bukan hanya untuk masyarakat hukum adat, namun juga berlaku bagi
masyarakat lain, yang dalam Permen ATR 9/15 mengistilahkannya dengan
“masyarakat pada kawasan tertentu”, yaitu masyarakat yang berada di kawasan
hutan atau perkebunan. Masyarakat hukum adat sendiri dijabarkan sebagai
masyarakat yang terikat dengan hukum adat, baik secara geneologis (persamaan
garis keturunan) maupun teritorial (kesamaan tempat tinggal).
Dengan kata lain, masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang
mempunyai ikatan sosial-kultural dengan tanah dan sumber daya alamnya sejak
lama. Sedangkan masyarakat pada kawasan tertentu adalah masyarakat yang
menguasai tanah selama 10 tahun yang bergantung pada hasil hutan dan sumber
daya alam serta ada kegiatan sosial-ekonomi yang terintegrasi dalam kehidupan
masyarakat tersebut. Disparitas subyek hak komunal dalam Permen ATR 9/15 ini
kontroversial, karena menyamakan basis lahirnya hak komunal yang sosial-
kultural (geneologis dan atau teritorial) dengan basis penguasaan tanah pada
kurun waktu tertentu. Akibatnya, Permen ATR 9/15 potensial memunculkan
persoalan hukum, yaitu saling tumpang tindih antara masyarakat hukum adat
dengan masyarakat yang berada pada kawasan tertentu pada objek yang sama.
Van Vallenhoven menjelaskan “Hak ulayat” atau beschikkingsrecht
ini tidaklah dapat diketemukan dalam Burgelijk Wetboek, juga tidak dapat
disamakan dengan recht van heerschappij (semacam hak pertuanan) di negara
Barat. Namun di seluruh kepulauan Indonesia hal itu merupakan hak yang
tertinggi atas tanah. Hak ini dipunyai oleh suatu suku (stam), atau oleh sebuah
gabungan desa (dorpenbond), atau biasanya oleh sebuah desa saja tetapi tidak
pernah dipunyai oleh seorang individu.58 Beschikkingsrecht ini tidak dikenal dan
diakui oleh hukum Barat (Burgerlijk Wetboek). Traktat ini hanya mengenal 3
(tiga) jenis hak, yakni eerfelijk individueel bezitrecht (hak milik individual yang
bisa diwariskan), communaal bezitrecht (hak milik komunal), dan
gebruiksaandelen in communaal bezitrecht (hak milik komunal dengan
pemakaian bergiliran).59 Selain kritik atas domeinverklaring, soal
beschikkingsrecht inilah yang menjadi inti soalnya.
Hak ulayat dalam kemasyarakatan (hukum) adat dalam pengertian
Vollenhoven di atas yang juga kemudian diidealkan oleh politik hukum agraria
58 Van Vollenhoven, 2013, Orang Indonesia dan Tanahnya, Jakarta, STPN Press, SajogyoInstitute, HuMa, dan Tanah Air Beta, hlm. 8−9.
59 Ibid., hlm. 21.
Indonesia, bukanlah (kemasyarakatan) adat dalam pengertian kerajaan beserta
segenap hak-hak feodalnya. Konsep terakhir ini pada era kemerdekaan disebut
sebagai unit swapraja. Disebut swapraja dalam konteks hubungan kerajaan
dengan Vereenigde Oost−Indische Compagnie (VOC) atau selanjutnya
pemerintah Kolonial: kerajaan diberi kewenangan mengelola pemerintahannya
sendiri. Hubungan ini ditandai dengan kontrak politik (lange contract dan korte
verklaring). Tujuannya bukan untuk memerdekakan kerajaan, namun justru
dengan terikat secara politik itu kerajaan berada di bawah kendali kekuasaan
kolonial, serta tersembunyi tujuan agar rakyat mudah dikendalikan oleh raja-
rajanya sendiri sehingga tidak melakukan perlawanan.60
Pemerintahan swapraja sejalan dengan sistem indirect rules
pemerintahan kolonial. Di sisi lain karena kondisi obyektif yang dihadapi
pemerintah Belanda saat itu yang tidak cukup mempunyai uang dan tenaga
dalam menjalankan pemerintahan secara langsung di seluruh Nusantara. Dalam
sejarah politik agraria Indonesia, tanah-tanah kerajaan di-reorganisasi dan
dibagikan, misalnya pengalaman reorganisasi di Vorstenlanden pada tahun 1918
dan redistribusi tanah-tanah eks-perusahaan Belanda kepada rakyat Yogyakarta
melalui Undang-Undang Darurat Nomor 13/1948. Kebijakan landreform melalui
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 tahun 1961 justru menjadikan tanah-
tanah eks-swapraja sebagai obyek landreform, dan seluas 73.566 ha telah
berhasil dibagi pada tahun 1963. Hal ini karena hubungan kerajaan dengan tanah
dinilai berciri feodalistik. Oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 ia
dinyatakan dihapus. Nyata sekali UUPA 1960 membedakan hukum adat yang
membingkai hak-hak ulayat (diakui sebagaimana pasal 5) dengan adat berciri
feodalistik (dalam bingkai pemerintahan swa-praja) sehingga perlu di-retool atau
dihapuskan (lihat Memori Penjelasan Atas Rancangan Undang-Undang Pokok
Agraria, Bagian III, poin [1]).
60 Usep Ranawidjaja, 1955, Swapradja, Sekarang dan dihari Kemudian, Jakarta:Penerbit Djambatan, hlm. 2−5.
Dalam konteks pengajaran, di sinilah selanjutnya penting bagi
lembaga pendidikan memikirkan ulang jenis pengetahuan agraria yang perlu
diberikan kepada mahasiswa-mahasiswa dari berbagai daerah yang mereka lahir,
hidup bersama, dan menghadapi masyarakat dengan keragaman (sistem
keagrariaan) daerahnya. Tidak tepat jika terjadi penyeragaman pengetahuan dan
sistem pengelolaan pertanahan di Nusantara ini, dari ujung pulau Sumatera
hingga ujung Papua. Khawatir, jika terulang lagi apa yang telah diingatkan jauh-
jauh hari oleh Vollenhoven itu, “satu abad pelanggaran hak” atau “satu abad
ketidakadilan”.
Dari sisi regulasi, penafian hak-hak agraris penduduk dan lahirnya
regulasi berorientasi kapitalistik memang terjadi, sebagaimana dinyatakan
“berbagai peraturan agraria akhirnya menjadi alat menghalalkan ‘pencurian’
harta milik rakyat (het recht als instrument van diefstallen). Misalnya pemberian
ganti rugi pembebasan tanah yang tidak manusiawi, pengambilan tanah ulayat,
dan sebagainya.”61 Di sinilah perlu kritik dan koreksi terhadap peraturan-
perundang-undangan. Suatu produk legislasi dapat berarti legal, namun tidak
legitimate di hadapan publik dan bagi penciptaan keadilan dan jaminan hak-hak
dasar warga. Dalam konteks ini maka kata “supremasi hukum” dan “taat aturan”
dapat menjadi ironi. Hal demikian sebab kebijakan yang diekstrapolasi dari
peraturan-perundang-undangan tidaklah netral, tapi mencerminkan proses
interaksi antara kepentingan, wacana, dan aktor-aktor tertentu, yang ketiganya
ini dipengaruhi oleh ruang historis, kekuasaan, ekonomi-politik, dan budaya. Jika
dirujuk secara substantif terkadang peraturan-perundang-undangan tersebut
tidak sesuai dengan konstitusi. Oleh karena itulah Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung bertugas melakukan peninjauan yudisial di berbagai
tingkatannya. Debat dan polemik pada awal abad 20 di parlemen
Hindia−Belanda, baik di Majelis Tinggi (eerste Kamer) maupun Majelis Rendah
61 Achmad Sodiki, 2013, Politik Hukum Agraria, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm.13.
(tweede Kamer), dan Volksraad, mengimajinasikan soal-soal hukum dan hak-hak
warga negara itu diperjuangkan, yang sebagian ide-idenya tercermin dalam UUD
1945. Harus dilembagakan pentingnya pengetahuan mengenai hukum adat,
pengakuan hak-hak agraria rakyat Indonesia, dan kemasyarakatan adat,
mengingat matakuliah yang mengkaji masalah-masalah itu di beberapa kampus
tidak lagi banyak diminati bahkan tidak diajarkan.
Di tengah optimisme penyambutan terbitnya ulang buku ini di
beberapa tempat, gempita penyusunan 3 (tiga) Rancangan Undang-Undang
(RUU) yang berkenaan dengan adat dan hak ulayat (RUU Desa, RUU Pengakuan
dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, dan RUU Pertanahan), izinkan
penulis membersitkan kekhawatiran. Penulis khawatir masyarakat (hukum) adat
mengalami positivisasi ketika didefinisikan dan dengan syarat-syarat yang
menyertainya, penulis khawatir pengakuan atas hak ulayat tereduksi ketika
diterjemahkan secara teknis (rendering technical) oleh praktik administrasi
pertanahan Indonesia.
Pada awalnya, aturan operasional pengakuan hak masyarakat
hukum adat atas tanah dan sumber daya alam (Hak Ulayat) terdapat dalam
Permen Agraria No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Permanag 5/1999). Permenag 5/1999 mengatur
tentang tata cara penetapan subjek hak masyarakat hukum adat dan hak
ulayatnya dengan parameter tertentu, yaitu berdasarkan pada kriteria-kriteria
yang telah ditetapkan dalam aturan ini. Selanjutnya, Permenag 5/1999 juga
mengatur tentang prosedur penetapan hak ulayat, yaitu melalui penelitian
tentang keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya, dan menentukan
Peraturan Daerah sebagai instrumen penetapan. Pengaturan ini kemudian
dirujuk oleh pelbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur hak-hak
masyarakat hukum adat serupa terutama dalam bidang sumber daya alam.
Dengan dicabutnya Permenag 5/1999 oleh Permen ATR 9/2015,
maka pengaturan yang ada dalam Permanag 5/1999 tidak berlaku lagi. Namun
secara substansi, Permenag 9/2015 masih menggunakan kriteria-kriteria
keberadaan masyarakat hukum adat, prosedur penetapan masyarakat hukum
adat sebagai subjek hak dan penetapan haknya. Prosedur penetapan masyarakat
hukum adat sebagai subjek hak tidak lagi menggunakan penelitian oleh
Pemerintah Daerah, namun melalui lembaga kepanitiaan adhoc, yaitu;
Iventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah(IP4T).
Selanjutnya, IP4T dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten/kota dan
atau Provinsi yang terdiri dari unsur BPN, Dinas Kehutanan, Akademisi, LSM dan
Perwakilan Masyarakat Hukum Adat bersangkutan. IP4T bertugas untuk
melaksanakan identifikasi, verifikasi dan pemeriksaan lapangan yang bertujuan
untuk menghasilkan laporan tentang keberadaan masyarakat hukum adat
sebagai subjek hak, data fisik dan yuridis penguasaan tanah oleh masyarakat
hukum adat, termasuk batas-batas wilayahnya. Selanjutnya, Bupati/Walikota dan
atau Gubernur menetapkan hak komunal masyarakat hukum adat tersebut, yang
selanjutnya disampaikan kepada kantor BPN setempat untuk didaftarkan hak
atas tanahnya.
Penetapan hak komunal oleh Gubernur dan Bupati/Walikota
dalam Permenag 9/2015 tidak dijelaskan secara tertulis menggunakan Perda dan
atau Surat Keputusan Kepala Daerah. Namun dalam praktek hukum, penetapan
objek tertentu oleh Kepala Daerah melalui Surat Keputusan Kepala Daerah, maka
bisa ditafsir bahwa penetapan hak komunal tersebut dilaksanakan melalui Surat
Keputusan Kepala Daerah. Artinya, penetapan masyarakat hukum adat oleh
Perda dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang ada tidak lagi menjadi prasyarat untuk penetapan hak
masyarakat hukum adat dalam konteks hak komunal, sehingga Penetapan hak
komunal sekaligus penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek haknya
secara bersamaan.
Persoalan muncul ketika konstruksi hak mesti memastikan siapa
subjek hak dan jenis-jenis hak yang dimilikinya. Persoalan ini terkait dengan
karakter hak ulayat sebagai seperangkat hak (Bundle of Rights) yang dimiliki oleh
subjek-subjek hak yang beragam, namun terhubung dalam ikatan persekutuan
hukum masyarakat hukum adat tertentu. Selain itu, Hak ulayat mempunyai
dimensi publik dan privat. Hak publik adat adalah hak yang mirip dengan hak
menguasai Negara. Hak publik adat melingkupi hak untuk menentukan hubungan
hukum antara anggota/klan dalam masyarakat hukum adat atau diluar
masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, hak untuk mengatur
peruntukkan ruang, dan hak-hak untuk mengalokasikan lahan dan ruang untuk
kepentingan publik masyarakat hukum adat, misalnya penentuan hutan
larangan.
Dalam konteks ini, subjek hak publik adat semestinya adalah
persekutuan masyarakat hukum adat atau desa adat seperti nagari, negeri,
kasepuhan dan lain-lain. Sedangkan hak privat adat adalah hak anggota dan atau
klan (keluarga besar) yang merupakan bagian dari persekutuan masyarakat
hukum adat yang lebih luas. Anggota/Klan masyarakat hukum adat ini
mempunyai hak untuk memanfaatkan tanah dan sumber daya alamnya untuk
kepentingan individu, keluarga inti dan keluarga besarnya (Klan)-nya yang berada
di tanah milik adat. Model paling jelas dalam konteks hak privat adat ini adalah
tanah ulayat kaum di Minangkabau.
Persoalan hukum lainnya muncul dengan pemberlakukan Permen
ATR 9/2015 ini, yaitu terkait dengan 2 (dua) hal. Pertama, bagaimana dengan
status hak ulayat (berdimensi publik) sejak Permenag 5/1999 dicabut oleh
Permenag 9/2015 ini, Kedua, bagaimana dengan hak privat adat dan hak ulayat
yang berada di kawasan hutan yang mempersyaratkan penetapan masyarakat
hukum adat sebagai subjek hak terlebih dahulu.
Secara normatif, aturan operasional tentang Penetapan hak ulayat
yang berdimensi publik tidak lagi ada sejak dicabutnya Permenag 5/1999 untuk
persekutuan masyarakat hukum adat. Namun dalam konteks masyarakat hukum
adat sebagai “desa adat” yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa,
hak ulayat melebur dalam aset desa adat, sehingga penetapan desa adat
merupakan bagian dari penetapan hak asal usul atas wilayah adat yang disebut
juga dengan hak ulayat.
Persoalan selanjutnya muncul terkait implementasi Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (tentang hutan adat. Putusan tersebut
menyebutkan bahwa hutan adat tak terpisah dari wilayah adat. Atau dengan
kata lain, hutan adat tidak bisa dipisahkan dari hak-hak yang melekat dalam
wilayah adat, baik itu yang berdimensi publik adat maupun berdimensi privat
adat. Dalam konteks desa adat, persoalan sinkronisasi penetapan hutan adat
dimungkinkan karena UU Desa juga merujuk pada Putusan MK tersebut yang
mengatur hak ulayat yang berdimensi publik dalam aset desa adat. Namun
ketidakpastian hukum muncul pada masyarakat hukum adat non desa adat,
karena Permenag 5/1999 telah dicabut.
Prosedur penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek hak,
baik itu dalam bentuk desa adat maupun masyarakat hukum adat melalui
Peraturan Daerah dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah menggunakan
mekanisme yang beragam. Aturan peralihan Permenag 9/2015 mengakomodasi
keberagaman mekanisme penetapan tersebut, dengan memastikan penetapan
masyarakat hukum adat dan hak-haknya yang sudah ada maupun yang sedang
berproses diakui, sehingga hak-hak masyarakat adat tersebut dapat ditetapkan
sebagai hak komunal. Dengan pembatasan penetapan hak masyarakat hukum
adat hanya pada hak komunal yang bersifat privat tersebut, maka hak ulayat,
seperti halnya ulayat nagari yang ada dalam Perda Tanah Ulayat di Sumatera
Barat mengalami ketidakpastian hukum. Sehingga yang paling memungkinkan
adalah merubah status nagari sebagai desa adat yang memasukkan ulayat nagari
sebagai asset nagari sebagai desa adat.
Selain persoalan di atas, Permen ATR 9/2015 ini dikhawatirkan
melahirkan potensi konflik horizontal antar masyarakat hukum adat dengan non
masyarakat hukum adat yang mempunyai penguasaan pada objek yang sama,
yaitu diatas wilayah adat. Situasi ini mengkhawatirkan pada wilayah-wilayah adat
yang dikuasai oleh kelompok-kelompok masyarakat yang sedang berkonflik
dengan masyarakat hukum adat.
Di sisi lain, di lapangan telah ada proses sosial yang dibangun
masyarakat untuk penyelesaian konflik dan asimilasi sosial terkait tumpang
tindih klaim masyarakat hukum adat dengan non masyarakat hukum adat diatas
wilayah adat. Misalnya, prosesi “Malakok” masyarakat hukum adat terhadap non
masyarakat hukum adat yang telah menguasai wilayah adat di beberapa nagari-
nagari di Sumatera Barat. “Malakok” sendiri adalah pengakuan masyarakat
hukum adat pada kelompok masyarakat lain sebagai bagian dari masyarakat
hukum adat tersebut, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan akses pada
tanah dan sumber daya alam. Dengan lahirnya Permen ATR 9/2015
dikhawatirkan memperkuat klaim antar masyarakat, sehingga proses asimilasi
sosial yang telah atau sedang dibangun potensial goyah.
Dengan demikian, Permenag 9/2015 ini layak dikaji ulang sebagai
aturan penetapan hak masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya
alam, terutama terkait dengan; Pertama, tentang tidak adanya pengakuan
terhadap keberagaman jenis dan karakter hak-hak masyarakat hukum adat atas
tanah dan sumber daya alam. Kedua, tentang penyamaan masyarakat hukum
adat dan non masyarakat hukum adat sebagai subjek hak komunal. Penyamaan
tersebut menyederhanakan konsep hak komunal secara khusus dan hak ulayat
secara umum, sebatas pada penguasaan efektif atas wilayah. Ikatan-ikatan atas
tanah dan sumber daya alam oleh masyarakat hukum adat yang berbasis tradisi,
dan proses sosial penyelesaian konflik antar masyarakat melalui proses sosial
sebagai bagian dari asimilasi sosial seolah-olah di luar optik Permenag 9/2015 ini.
BAB II
NEGARA HUKUM
A. Pengantar
Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, maka dalam Perubahan Ketiga pada tahun 2001,
konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya
tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam
Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.”
Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan
panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik
ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa
Inggeris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of
man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai
sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari
skenario sistem yang mengaturnya.
Semula gagasan Negara Hukum terdapat dalam penjelasan UUD
1945. Soepomo selaku perancang utamanya, menulis bahwa Indonesia
adalah “rechtsstaat” bukan “machtsstaat.” Hampir lima tahun kemudian,
Indonesia mengadopsi konstitusi baru, yang juga dirancang oleh Soepomo,
dan di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat itu sekali lagi ditekankan
bahwa Indonesia Merdeka adalah negara hukum. Lebih eksplisit lagi, UUD
Sementara 1950 dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa Republik Indonesia
adalah negara-hukum yang demokratis, seperti yang juga diamanatkan dalam
Perubahan Ketiga atas UUD 1945, yang berlaku lagi sejak tahun 1959.
Dari posisi khusus negara hukum dalam UUD Indonesia, dapat
ditarik kesimpulan bahwa istilah ini menempati posisi yang istimewa dalam
pemikiran hukum tata negara Indonesia. Anehnya, istilah ini sangat berbeda
terjemahannya dalam institusi tata negara yang diciptakan oleh masing-
masing Konstitusi tersebut. Walaupun semuanya menyatakan bentuk negara
Indonesia adalah negara hukum, institusi dan hak yang mereka definisikan
sangat berbeda. Sehingga menjadi wajar jika pertanyaan apa yang dimaksud
dengan istilah negara hukum terus muncul dalam perdebatan para pakar
hukum tata negara maupun di diskusi politik dan bahkan di media massa.
Sekarang ini, banyak pakar di Indonesia tidak ingin menggunakan istilah
negara hukum lagi karena maknanya yang kontroversial.
Diskusi semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Apa pun
namanya rechtsstaat, état de droit, atau rule of law, perdebatan mengenai
maknanya seperti tidak bisa diselesaikan. Diskusi di bagian dunia lain
bahkan sangat membingungkan. Selama dekade terakhir banyak ilmuwan
bermaksud menentukan apa makna dari negara hukum, apa makna
seharusnya, atau paling tidak apa ciri-ciri pokoknya atau ciri-ciri yang
semestinya. Upaya-upaya ini sangat membantu pemahaman mengenai istilah
negara hukum, namun tak ada satupun dari upaya ini yang telah menyediakan
definisi yang dapat diterima oleh semua pihak. Definisi negara hukum tampak
terjerat oleh waktu, tempat, konteks, dan dari pengarang ke pengarang.
Secara akademik hal ini tidaklah mengejutkan, karena negara
hukum adalah “konsep yang sejatinya bersaingan” (esentially contested
concept). Artinya makna ‘sesungguhnya’ dari negara hukum tergantung pada
kesepakatan atas isu-isu normatif yang bersaing dan karenanya dapat diduga
pula adanya ketidaksepakatan. Beberapa dari persaingan konsep tentang
negara hukum dapat diselesaikan dengan cara mempertimbangkan konteks
nasional di mana konsep tersebut digunakan. Misalnya, menjadi masuk akal
untuk menimbang hak-hak warga negara mendapatkan peradilan oleh
seorang juri sebagai salah satu elemen penting negara hukum di sebuah
negara dengan tradisi Anglo Saxon. Akan tetapi, pengenalan sistem juri ke
dalam sistem hukum pidana di negara dengan tradisi dan sejarah yang
berbeda akan mensyaratkan sebuah pembenahan kelembagaan hukum yang
menyeluruh dan mahal, namun belum tentu mampu memperoleh
manfaat seketika. Walaupun demikian, di dalam satu konteks (nasional) pun
negara hukum juga dipersaingkan. Masalahnya, perdebatan-perdebatan
mengenai negara hukum tersebut termasuk perdebatan akademiknya acap
tidak jelas mengenai yang dimaksudkan oleh para pihak tersebut tentang
negara hukum karena mereka kerap mengungkapkannya dengan istilah-istilah
yang cukup umum.
Dengan demikian, ada beberapa alasan untuk mencari sebuah
pendekatan bernuansa analitis yang mampu menjawab masalah- masalah
semacam itu, tanpa harus mengorbankan kemampuan adaptasi dari konsep
negara hukum. Tulisan ini bermaksud untuk berkontribusi pada tujuan
tersebut dengan menawarkan sebuah kerangka konseptual untuk menata
perdebatan mengenai negara hukum.
B. Evolusi dan Relevansi Gagasan Negara Hukum
Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan
perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan
berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur
kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina
dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan
impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Demi mempermudah, istilah negara hukum dalam tulisan ini akan
digunakan untuk menyebutkan rule of law Inggris dan Amerika, rechtsstaat
Jerman dan Belanda, negara hukum Indonesia, dan lain-lain. Keputusan ini
mungkin menyiratkan bahwa tulisan ini memperlakukan negara hukum
sebagai suatu yang nonesensialis atau konsep “kosong.” Akan tetapi, memang
sudah ada sebuah pendasaran umum yang kokoh untuk mengawali
penyelidikan terhadap negara hukum. Kendati ada ketidaksepakatan
mengenai definisi-definisi negara hukum, namun hampir semua pihak sepakat
pada dua fungsi yang diberikan oleh negara hukum.
Yang pertama adalah membatasi kesewenang-wenangan dan
penggunaan yang tidak semestinya dari kekuasaan negara. Negara hukum
adalah konsep payung bagi beberapa instrumen hukum dan kelembagaan
demi melindungi warga negara dari kekuasaan negara. Fungsi negara hukum
ini pertama kali diajukan oleh Plato dan Aristoteles, namun lenyap selama
lebih dari seribu tahun, kemudian “ditemukan kembali” dan dielaborasi oleh
ahli-ahli keagamaan, khususnya Thomas Aquinas, sepanjang Abad
Pertengahan. Inti gagasannya adalah kedaulatan dibatasi oleh hukum,
gagasan yang semenjak itu dielaborasi dengan beragam cara. Fungsi kedua
tidak mengacu balik pada filsafat Yunani, tetapi masuk melalui “pintu
belakang” pada masa Pencerahan. Fungsinya adalah untuk melindungi
kepemilikan dan keselamatan warga dari pelanggaran dan serangan warga
lainnya.
Walaupun demikian, ada alasan-alasan yang kuat untuk tetap
membiarkan fungsi kedua ini. Pertama adalah bahwa fungsi perlindungan
kepemilikan warga ini menjadi sentral pada banyak diskusi terkini yang
memberi perhatian pada negara hukum. Membuangnya akan menghilangkan
pokok-pokok dari perdebatan- perdebatan yang tergantung di tiang pancang
negara hukum. Alasan tambahan yang bisa diberikan adalah posisi sentral
bahwa hak asasi manusia yang menurut pertimbangan banyak orang menjadi
bagian integral dari negara hukum, telah semakin dimanfaatkan sebagai
standar utama dalam hubungan antara warga dan warga lainnya; bukan
hanya di antara negara dengan warga negaranya. Isunya tidak lagi sekadar
bagaimana negara memperlakukan warganya, namun juga bagaimana warga
memperlakukan sesama warga.
Hal ini mempunyai implikasi penting bagi negara, yang harus
mencegah warga negaranya melanggar hak asasi sesama warga negara. Sejak
banyak penulis mendiskusikan isu-isu ini dalam istilah negara hukum, menjadi
masuk akal bila kita menimbang fungsi kedua sebagai isu sentral dari negara
hukum juga.
Penting pula untuk melihat bahwa fungsi-fungsi ini cenderung
bertentangan. Stephen Holmes secara meyakinkan berpendapat bahwa
pembatasan kekuasaan negara sesungguhnya mening- katkan keefektifan dari
kekuasaan itu. Negara kerap merasa bahwa mereka memerlukan kekuasaan
yang lebih besar dengan dalih bahwa mereka perlu melindungi warga dari
sesamanya. Ketegangan antara pengelolaan negara (governability) dan tujuan
negara hukum untuk membatasi kekuasaan adalah suatu masalah yang selalu
muncul dalam perdebatan-perdebatan mengenai upaya mempromosikan
negara hukum.
Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan
ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi
sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya
konstitusi itu sebagai hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the supreme
law of the land), dibentuk pula sebuah Mahkamah Konstitusi yang berfungsi
sebagai “the guardian” dan sekaligus “the ultimate interpreter of the
constitution.”
Dalam kepustakaan berbahasa Indonesia telah populer dengan
istilah “negara hukum”. Ada pendapat yang mengatakan istilah negara hukum
merupakan terjemahan dari istilah “rechtsstaat” atau “Rule of Law”, sehingga
menyamakan pengertian negara hukum dengan rechtsstaat atau rule of law.
Menurut Philipus Hadjon dari segi konsepnya negara hukum tidak
dapat disamakan dengan rechtsstaat dan Rule of law. Menurutnya
Rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, yakni
kekuasaan dari raja yang sewenang-wenang untuk mewujudkan negara yang
didasarkan pada peraturan perundang-undangan, atau sifatnya revolusioner.
Lain halnya dengan rule of law berkembang secara evolusioner. Selanjutnya
konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum Kontinental (civil law),
sedangkan konsep rule of law bertumpu pada sistem hukum common law.
Dengan demikian istilah Rechtsstaat dan Rule of law tidak bisa disamakan
begitu saja dengan negara hukum (Pancasila). Meskipun berbeda konsep
antara rechtsstaat dan Rule of law, namun keduanya mengarahkan dirinya
pada satu sasaran yang utama yaitu “pengakuan dan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia”, dengan sistem hukumnya sendiri (berbeda).
Jika melihat sejumlah literatur hukum tata negara, di kalangan
kebanyakan ahli hukum masih sering terpaku kepada unsur-unsur
pengertian sebagaimana dikembangkan pada abad ke-19 dan abad ke-20.
Sebagai contoh, tatkala merinci unsur-unsur pengertian Negara Hukum
(Rechtsstaat), para ahli selalu saja mengemukakan empat unsur
“rechtsstaat,” di mana unsurnya yang keempat adalah adanya
“administratieve rechtspraak” atau peradilan tata usaha Negara sebagai ciri
pokok Negara Hukum. Tidak ada yang mengaitkan unsur pengertian
Negara Hukum Modern itu dengan keharusan adanya kelembagaan atau
setidak-tidaknya fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengadilan
tata Negara. Jawabannya ialah karena konsepsi Negara Hukum (Rechtsstaat)
sebagaimana banyak dibahas oleh para ahli sampai sekarang adalah hasil
inovasi intelektual hukum pada abad ke 19 ketika Pengadilan Administrasi
Negara itu sendiri pada mulanya dikembangkan; sedangkan Mahkamah
Konstitusi baru dikembangkan sebagai lembaga tersendiri di samping
Mahkamah Agung atas jasa Professor Hans Kelsen pada tahun 1919, dan baru
dibentuk pertama kali di Austria pada tahun 1920. Oleh karena itu, jika
pengadilan tata usaha Negara merupakan fenomena abad ke-19, maka
pengadilan tata negara adalah fenomena abad ke-20 yang belum
dipertimbangkan menjadi salah satu ciri utama Negara Hukum kontemporer.
Oleh karena itu, patut kiranya dipertimbangkan kembali untuk
merumuskan secara baru konsepsi Negara Hukum modern itu sendiri untuk
kebutuhan praktek ketatanegaraan pada abad ke-21 sekarang ini.
Dalam studi ilmu negara, ide negara hukum rechtsstaat
sesungguhnya sejak lama telah dikembangkan oleh para filosuf Yunani Kuno
yang pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental yang
mulai populer pada abad ke-17 karena pada saat itu situasi dan kondisi sosial
politik di Eropa didominasi oleh absulutisme. Ide negara hukum rechtsstaat ini
sesungguhnya dipelopori oleh Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl. Kant
memahami negara hukum itu sebagai negara penjaga malam
(nachtwakersstaat). Artinya, negara itu bertugas untuk menjaga ketertiban
dan keamanan masyarakat. Pada awalnya Plato berpendapat bahwa adalah
mungkin mewujudkan negara edial untuk mencapai kebaikan yang berintikan
kebaikan. Karena itu, kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui
kebaikan, yaitu seorang filosof (the philosopher king). Pada kesempatan lain
Plato juga menyatakan bahwa yang dapat diwujudkan adalah bentuk paling
baik kedua (the second best) yang menempatkan supremasi hukum.
Pemerintahan yang mampu mencegak kekemerosotan kekuasaan seseorang
adalah pemerintahan oleh hukum. Plato tujuan negara menurut Aristoteles
adalah untuk mencapai kehidupan paling baik (the best life possible) yang
dapat dicapai dengan supremasi hukum.62
62 Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Pilar Demokrasi, SerpihanPemikiran Hukum, Media dan HAM, Jakarta, Konstitusi Perss, hlm. 129.
Sejak Plato menulis “Nomoi,” E. Kant memaparkan prinsip-prinsip
negara hukum (formil). J. Stahl mengetengahkan negara hukum (materil),
Descey mengajukan “Rule of law”. Ringkasnya, merupakan suatu negara
yang edial pada abad ke-20 ini, jika segala kegiatan kenegaraan didasarkan
pada hukum.63 Dalam pandangan Padmo Wahyono, pengisian pengertian
tersebut selalu berkembang sesuai dengan tingkat kecerdasan suatu bangsa.
Oleh karena itu, Padmo Wahjono berpegang pada perumusan sebagaimana
yang digariskan oleh pembentuk Undang-Undang Dasar, yaitu, Indonesia ialah
negara yang berdasarkan atas hukum, dengan rumusan “Reschtaas” dengan
anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara
hukum pada umumnya yang disesuaikan dengan keadaan Indonesia. Artinya
digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara.64
Pada awalnya konsep negara hukum sangat lekat dengan tradisi
politik negara-negara barat yaitu freedom under the rule of law. Karena itu
menurut Tamanaha65 liberalisme yang lahir pada akhir abad ke-17 dan akhir
abad ke-18 menempati ruang yang sangat esensial bagi konsep negara hukum
dan negara hukum pada masa kini secara keseluruhan dipahami dalam istilah
liberalisme. Tamanaha menulis “…every version of liberalism reserve and
essential place for the rule of law, and the rule of law today is thoroughly
understood in the terms of liberalism.” Akan tetapi di atas segala-galanya dari
liberalisme dalam tradisi politik barat adalah kebebasan individu, seperti
dalam terminologi klasik yang dikemukakan oleh John Stuart Mill “...the only
freedom which divers the name, is that of pursuing our own good in our own
way, so long as we do not attempt to deprive others of theirs or impede their
efforts to obtain it.”66 Di bawah hakekat kebebasan setiap individu adalah
63 Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: GhaliaIndonesia, hlm. 7.
64 Ibid.65 Brian Tamanaha, 2004, hlm. 2.66 Ibid., hlm. 32.
merdeka untuk mengejar cita-citanya tentang kebaikan. Setiap orang juga
mempunyai hak untuk diberi hukuman dan mendapatkan penggantian atas
pelanggaran hak-hak dasarnya oleh orang lain. Akan tetapi kebebasan
bukanlah berarti melakukan apa saja yang disukainya, sehingga kemudian
setiap orang berada di bawah ancaman yang sama yang dilakukan oleh orang
lain. Oleh karena itu Immanuel Kant berkesimpulan kebebasan adalah hak
untuk melakukan apapun yang sesuai hukum.
Menurut Tamanaha67 ada 4 (empat) tema pokok yang menjadi
landasan liberalism Barat, yaitu: pertama; setiap orang bebas dalam lingkup
dimana hukum dibuat secara demokratis, dimana setiap orang adalah
pengatur sekaligus yang diatur, tentunya mereka wajib taat hukum, kedua;
setiap orang bebas dalam lingkup dimana pejabat pemerintah diharuskan
bertindak berdasarkan hukum yang berlaku, ketiga; setiap orang bebas
sepanjang pemerintahan dibatasi dari pelanggaran atas diganggunya otonomi
individu, serta keempat; kebebasan mengalami kemajuan ketika kekuasaan
dipisahkan dalam beberapa kompartemen dengan tipe legislatif – eksekutif
dan yudikatif. Dari landasan pemikiran itulah yang melahirkan konsep negara
hukum Barat seperti yang dikemukakan oleh Julius Stahl, seperti dikutip Jimly
Asshidieqie68 yang mengemukakan empat elemen penting dari negara hukum
yang diistilahkannya dengan rechtstaat, yaitu perlindungan hak asasi manusia,
pembagian kekuasaan pemerintahan negara, pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan undang-undang serta peradilan tata usaha negara. Kemudian
Dicey yang dianggap sebagai teoretisi pertama yang mengembangkan istilah
rule of law dalam tradisi hukum Anglo-Amerika, rule of law mengandung 3
(tiga) elemen penting yang secara ringkas dapat dikemukakan yaitu: absolute
supremacy of law, equality before the law, dan due process of law, di mana
67 Ibid., hlm. 34-35.68 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, hlm. 152.
ketiga konsep ini sangat terkait dengan kebebasan individu dan hak-hak asasi
manusia.
Dalam suatu negara hukum, salah satu pilar terpentingnya adalah
perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Perlindungan
terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam
rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis.
Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara dan demikian
pula penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti
atau makna kebebasan dan hak asasi kemanusiaan itu. Bahkan dewasa ini
salah satu ciri yang disebut sebagai negara yang gagal adalah ketika negara
tersebut tidak berhasil melindungi dan menegakkan hak-asasi rakyatnya.
Suatu masalah penting untuk diperhatikan dalam isu ini adalah
banyak lembaga donor yang mempromosikan pengembangan negara hukum
berpura-pura mempromosikan sesuatu yang “melampaui politik.” Versi
mereka mengenai negara hukum ditampilkan sebagai “kebaikan universal”,
padahal banyak di antaranya yang tidak. Beberapa donor bahkan
menghilangkan instrumen-instrumen inti negara hukum tertentu yang
berseberangan dengan kepentingan mereka, biasanya kepentingan itu adalah
untuk tujuan ekonomi. Cara ini lebih baik bagi tujuan mereka daripada
menerima kenyataan bahwa beragam instrumen negara hukum itu bisa jadi
saling berkompetisi.
Sejumlah rezim otoritarian mengangkat hal ini lebih jauh lagi;
meregangkan definisi negara hukum sebegitu jauhnya sampai kita heran
apakah masih ada yang tersisa darinya. Mereka bisa saja mengabaikan
komponen-komponen utama dari negara hukum seperti peradilan yang
independen, namun tetap mengklaim bahwa mereka menjalankan doktrin-
doktrin negara hukum secara keseluruhan. Hal ini dapat dijelaskan
dengan gampang dari daya tarik universal istilah negara hukum. Menolak
negara hukum seluruhnya berarti mengambil risiko yang terkait dengan
legitimasi internal dan eksternal dari rezim, sama dengan menolak
sepenuhnya demokrasi. Bahkan suatu keuntungan politik untuk mengklaim
bahwa anda tetap di dalam batasan negara hukum, meskipun hanya berada
pada “jenis yang berbeda” dari negara hukum. Untuk ini, pemerintah akan
selalu menemukan advokat konstitusi yang siap untuk menyokong klaim
tersebut dengan argumen teoretisnya.
Kesimpulan pokok yang bisa diambil dari diskusi pendek ini adalah
bahwa bertentangan dengan kesepakatan atas fungsi-fungsi negara hukum,
pijakan bersama dari definisi-definisi negara hukum itu sangat tipis. Akan
mustahil menemukan sebuah definisi yang memuaskan bagi semua dan
karenanya memilih definisi yang lain sepertinya tidak akan banyak
menjernihkan perdebatan tentang negara hukum.
Kesemua konsep negara hukum Barat tersebut bermuara pada
perlindungan atas hak-hak dan kebebasan individu yang dapat diringkas
dalam istilah “dignity of man” dan pembatasan kekuasan serta tindakan
negara untuk menghormati hak-hak individu yang harus diperlakukan sama.
Karena itulah harus ada pemisahan kekuasaan negara untuk menghindari
obsolutisme satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya serta
perlunya lembaga peradilan yang independen untuk mengawasi dan jaminan
dihormatinya aturan-aturan hukum yang berlaku, yang dalam praktik negara-
negara Eropa kontinental memerlukan peradilan administrasi negara untuk
mengawasi tindakan pemerintah agar tetap sesuai dan konsisten dengan
ketentuan hukum. Pandangan negara hukum barat didasari oleh semangat
pembatasan kekuasaan negara terhadap hak-hak individu.
Pada sisi konsep rule of law ditentang oleh para ahli hukum yang
menganut paham Marxis yang memperkenalkan istilah socialist legality. Jika
konsep rule of law ditujukan pada satu titik sentral yaitu dignity of man
sehingga kekuasaan negara harus dibatasi, maka dalam konsep sosialist
legality, hukum sebagai guiding principles yang meliputi segala aktivitas dari
organ-organ negara, pemerintahnya, pejabat-pejabatnya serta warga-
warganya. Dalam kaitan ini, Oemar Seno Adji berkesimpulan bahwa socialist
legality lebih memberi kemungkinan bagi uniformitas dan similaritas dalam
asa-asanya daripada variatas yang bermacam-macam. Ia dapat dikembalikan
kepada putusan Lenin mengenai “On the precise observance of laws” yang
menghendaki agar supaya semua warga negara, organ-organ negara dan
pejabat-pejabat mematuhi hukum dan dektrit-dekrit dari penguasa Uni
Sovyet.69 Hak-hak individu dalam konsep socialist legality tetap dihormati,
akan tetapi harus dikaitkan dengan dan tunduk pada cita-cita masyarakat
sosialis. Karena itu pembatasan tidak saja difokuskan pada kekuasaan negara
terhadap individu tetapi juga pada kebebasan individu terhadap negara dan
cita masyarakat sosialis. Demikian juga pengadilan yang independen diakui,
tetapi memberikan hak kepada pemerintah untuk memberikan rekomendasi,
usul dan saran. Walaupun Uni Soviet sudah runtuh sebagai sebuah negara
namun konsep socialist legality tetap memiliki pengaruh dan menjadi kajian
yang menarik sebagai sumber pengembangan konsep negara hukum pada
masa kini dan ke depan.
Setelah mengkaji perkembangan praktik negara-negara hukum
moderen Jimly Asshiddiqie70, sampai pada kesimpulan bahwa ada 12 (dua
belas) prinsip pokok negara hukum (rechtstaat) yang berlaku di zaman
sekarang, yaitu: sumpremasi hukum (supremacy of law), persamaan dalam
hukum (equality before the law), asas legalitas (due process of law),
pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas
dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara,
perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana
69 Oemar Seno Adji, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta, Erlangga, hlm. 13.70 Op.cit., hlm. 151-162.
mewujudkan tujuan negara serta trasnparansi dan kontrol sosial. Kedua belas
prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri
tegaknya satu negara hukum modern dalam arti yang sebenarnya.
Negara hukum Indonesia yang dapat juga diistilahkan sebagai negara
hukum Pancasila, memiliki latar belakang kelahiran yang berbeda dengan
konsep negara hukum yang dikenal di Barat walaupun negara hukum sebagai
genus begrip yang tertuang dalam penjelasan UUD 1945 terinspirasi oleh
konsep negara hukum yang dikenal di Barat. Jika membaca dan memahami
apa yang dibayangkan oleh Soepomo ketika menulis penjelasan UUD 1945
jelas merujuk pada konsep rechtstaat. Karena negara hukum dipahami
sebagai konsep Barat, Satjipto Raharjo71 sampai pada kesimpulan bahwa
negara hukum adalah konsep moderen yang tidak tumbuh dari dalam
masyarakat Indonesia sendiri, tetapi “barang impor”. Negara hukum adalah
bangunan yang “dipaksakan dari luar”. Lebih lanjut menurut Satjipto, proses
menjadi negara hukum bukan menjadi bagian dari sejarah sosial politik bangsa
kita di masa lalu seperti terjadi di Eropa.
Akan tetapi apa yang dikehendaki oleh keseluruhan jiwa yang
tertuang dalam pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945, demikian juga
rumusan terakhir negara hukum dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah
suatu yang berbeda dengan konsep negara hukum Barat dalam arti rechtstaat
maupun rule of law. Dalam banyak hal konsep negara hukum Indonesia lebih
mendekati konsep socialist legality, sehingga ketika Indonesia lebih mendekat
pada sosialisme,Wirjono Prodjodikoro sampai pada kesimpulan negara
Indonesia menganut “Indonesia socialist legality”. Akan tetapi istilah tersebut
ditentang oleh Oemar Seno Adji yang berpandangan bahwa negara hukum
Indonesia bersifat spesifik dan banyak berbeda dengan yang dimaksud
socialist legality.
71 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Pemikiran Hukum Progresif, op.cit. hlm. 48.
Karena terinspirasi dari konsep negara hukum Barat dalam hal ini
rechtsstaat maka UUD 1945 menghendaki elemen-elemen rechtsstaat
maupun rule of law menjadi bagian dari prinsip-prinsip negara Indonesia.
Bahkan secara tegas rumusan penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa
negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) bukan
negara yang berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Rumusan
penjelasan UUD mencerminkan bahwa UUD 1945 menghendaki pembatasan
kekuasaan negara oleh hukum.
Untuk mendapatkan pemahaman utuh terhadap negara hukum
Pancasila harus dilihat dan diselami ke dalam proses dan latar belakang
lahirnya rumusan Pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kehendak
lahirnya negara Indonesia serta sebagai dasar filosofis dan tujuan negara. Dari
kajian dan pemahaman itu, kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa
konsep negara hukum Pancasila disamping memiliki kesamaan tetapi juga
memiliki perbedaan dengan konsep negara hukum Barat baik rechtstaat, rule
of law maupun socialist legality. Seperti disimpulkan oleh Oemar Seno Adji,
antara konsep negara hukum Barat dengan negara hukum Pancasila memiliki
“similarity” dan “divergency”.
Jika konsep negara hukum dalam pengertian - rechtstaat dan rule of
law – berpangkal pada “dignity of man” yaitu liberalisme, kebebasan dan hak-
hak individu (individualisme) serta prinsip pemisahan antara agama dan
negara (sekularisme), maka latar belakang lahirnya negara hukum Pancasila
didasari oleh semangat kebersamaan untuk bebas dari penjajahan dengan
cita-cita terbentuknya Indonesia merdeka yang bersatu berdaulat adil dan
makmur dengan pengakuan tegas adanya kekuasaan Tuhan. Karena itu prinsip
ketuhanan adalah elemen paling utama dari elemen negara hukum
Indonesia.
Lahirnya negara hukum Pancasila menurut Padmo Wahyono
sebagaimana dikutip oleh Tahir Azhary72, berbeda dengan cara pandang
liberal yang melihat negara sebagai suatu status tertentu yang dihasilkan oleh
suatu perjanjian bermasyarakat dari individu-individu yang bebas atau dari
status “naturalis” ke status “civis” dengan perlindungan terhadap civil rights.
Tetapi dalam negara hukum Pancasila terdapat anggapan bahwa manusia
dilahirkan dalam hubungannya atau keberadaannya dengan Tuhan Yang Maha
Esa. Karena itu negara tidak terbentuk karena perjanjian atau “vertrag yang
dualistis” melainkan “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang
bebas…”. Jadi posisi Tuhan dalam negara hukum Pancasila menjadi satu
elemen utama bahkan menurut Oemar Seno Adji73 merupakan “causa prima”.
Begitu pentingnya prinsip ketuhanan ini dalam negara Indonesia
menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai prinsip pertama
dari dasar negara Indonesia. Begitu pentingnya dasar ke-Tuhan-an ketika
dirumuskan oleh para founding fathers negara kita dapat dibaca pada pidato
Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika berbicara mengenai dasar negara
(philosophische grondslag ) yang menyatakan :
“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan,tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang kristen menyembah Tuhanmenurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam menurutpetunjuk Nabi Muhammad s.a.w, orang Budha menjalankanibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapimarilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negaraIndonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapatmenyembah Tuhannya dengan leluasa. Segenap rakyathendaknya ber-Tuhan. Secara kebudayaan yakni dengan
72 Muhammad Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah danMasa Kini, Jakarta, Bulan Bintang, hlm. 96.
73 Oemar Seno Adji, op.cit., hlm. 25.
tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesiasatu negara yang ber-Tuhan”.
Pidato Soekarno ini, nampaknya merupakan rangkuman pernyataan
dan pendapat dari para anggota BPUPK dalam pemandangan umum
mengenai dasar negara yang dimulai sejak tanggal 29 Mei sampai dengan 1
Juni itu. Kesemuanya mengemukakan pentingnya dasar ketuhanan ini menjadi
dasar negara, terutama pandangan dan tuntutan dari para tokoh Islam yang
menghendaki negara berdasarkan Islam. Dengan demikian negara hukum
Indonesia berbeda dengan konsep negara hukum barat yang menganut hak
asasi dan kebebasan untuk ber-Tuhan maupun tidak ber-Tuhan, serta tidak
memungkinkan kampanye anti Tuhan maupun anti agama dalam konsep
socialist legality.
Demikian juga posisi agama dalam hubungannya dengan negara yang
tidak terpisahkan. Walaupun terdapat sebahagian para founding fathers
menghendaki agar agama dipisahkan dengan negara akan tetapi pada tanggal
22 Juni 1945 disepakati secara bulat oleh panitia kecil hukum dasar dan
diterima penuh dalam Pleno BPUPK mengenai Mukadimah UUD atau yang
disebut Piagam Jakarta dasar negara yang pertama adalah “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-
pemeluknya”. Artinya sejak awal para founding fathers menyadari betul
betapa ajaran agama ini menjadi dasar negara yang pokok, khususnya ajaran
Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Walaupun Piagam Jakarta ini diubah dengan
Pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945, posisi Piagam
Jakarta kembali memperoleh tempat ketika Dektrit Presiden tanggal 5 Juli
1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 menempatkan Piagam Jakarta
sebagai menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian-kesatuan
dengan konstitusi tersebut.
Dengan demkian posisi agama dalam negara hukum Pancasila tidak
bisa dipisahkan dengan negara dan pemerintahan. Agama menjadi elemen
satu elemen yang sangat penting dalam negara hukum Pancasila. Negara
hukum Indonesia tidak mengenal doktrin “separation of state and Curch”.
Bahkan dalam UUD 1945 setelah perubahan nilai-nilai agama menjadi ukuran
untuk dapat membatasi hak-hak asasi manusia (lihat Pasal 28J UUD 1945).
Negara hukum Indonesia tidak memberikan kemungkinan untuk adanya
kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan untuk promosi anti agama serta
tidak memungkinkan untuk menghina atau mengotori ajaran agama atau
kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori
nama Tuhan. Elemen inilah yang merupakan salah satu elemen yang
menandakan perbedaan pokok antara negara hukum Indonesia dengan
hukum Barat, sehingga dalam pelaksanaan pemerintahan negara,
pembentukan hukum, pelaksanaan pemerintahan serta peradilan, dasar
ketuhanan dan ajaran serta nilai-nilai agama menjadi alat ukur untuk
menentukan hukum yang baik atau hukum buruk bahkan untuk menentukan
hukum yang konstitusional atau hukum yang tidak konstitusional.
Disamping kedua perbedaan di atas negara hukum Indonesia
memiliki perbedaan yang lain dengan negara hukum Barat, yaitu adanya
prinsip musyawarah, keadilan sosial serta hukum yang tuntuk pada
kepentingan nasional dan persatuan Indonesia yang melindungi segenap
tumpah darah Indonesia. Prinsip musyawarah dan keadilan sosial nampak
sederhana, tetapi mengandung makna yang dalam bagi elemen negara hukum
Indonesia.
Prinsip musyawarah merupakan salah satu dasar yang pokok bagi
hukum tata negara Indonesia sehingga merupakan salah satu elemen negara
hukum Indonesia. Apa yang nampak dalam praktik dan budaya politik
ketatanegaraan Indonesia dalam hubungan antara lembaga-lembaga negara
terlihat jelas bagaimana prinsip musyawarah ini dihormati. Pembahasan
undang-undang antara pemerintah dan DPR yang dirumuskan sebagai
pembahasan bersama dan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden
merupakan implementasi prinsip musyawarah dalam hukum tata negara
Indonesia. Demikian juga dalam budaya politik di DPR, perdebatan yang
dalam dan usaha mendapatkan keputusan melalui musyawarah adalah suatu
kenyataan politik yang betul-betul diterapkan. Prinsip musyawarah
memberikan warna kekhususan dalam hubungan antar lembaga negara dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia jika dikaitkan dengan teori pemisahan
kekuasaan dan check and balances. Artinya, pemisahan kekuasaan yang kaku
dapat dicairkan dengan prinsip musyawarah. Rusaknya hubungan antara
Presiden dan DPR serta MPR seperti tercermin dalam pemkazulan Presiden
Abdurrahman Wahid dan Presiden Soekarno adalah akibat telah buntunya
musyawarah.
Prinsip keadilan sosial menjadi elemen penting berikutnya dari
negara hukum Indonesia. Atas dasar prinsip itu, kepentingan umum,
kepentingan sosial pada tingkat tertentu dapat menjadi pembatasan terhadap
dignity of man dalam elemen negara hukum Barat. Dalam perdebatan di
BPUPK, prinsip keadilan sosial didasari oleh pandangan tentang kesejahteraan
sosial dan sifat kekeluargaan serta gotong royong dari masyarakat Indonesia,
bahkan menurut Soekarno jika diperas lima sila itu menjadi eka sila maka
prinsip gotong royong itulah yang menjadi eka sila itu. Dalam hal ini Soekarno
dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 berkata:
“sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan negaraIndonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semuabuat semua. Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golonganIslam buat Indonesia, bukan Hadikoesumo buat Indonesiabukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kayabuat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia – semuabuat semua. Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, yangtiga menjadi satu maka dapatlah saya satu perkataanIndonesia yang tulen yaitu perkataan “gotong royong”.Negara Indonesia yang kita dirikan adalah negara gotongroyong”.
Prinsip terakhir negara hukum Indonesia adalah elemen dimana
hukum mengabdi pada kepentingan Indonesia yang satu dan berdaulat yang
melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Indonesia dari Sabang sampai
Merauke yang masing-masing memiliki adat dan istiadat serta budaya yang
berbeda. Hukum harus mengayomi seluruh rakyat Indonesia yang beragam
sebagai satu kesatuan.
Dengan dasar-dasar dan elemen negara hukum yang spesifik itulah
dapat dipahami perubahan UUD 1945 ketika mengadopsi hak-hak asasi
manusia, diadopsi pula pembatasan hak-hak asasi yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan serta ketertiban umum
dalam masyarakat yang demokratis.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa elemen negara hukum
Indonesia disamping mengandung elemen negara hukum dalam arti
rechtsstaat maupun rule of law, juga mengandung elemen-elemen yang
spesifik yaitu elemen ketuhanan serta tidak ada pemisahan antara agama dan
negara, elemen musyawarah, keadilan sosial serta persatuan Indonesia.
C. Negara Hukum Indonesia dan Prinsip Konstitusionalisme
Unsur-unsur negara hukum Indonesia sebagai sebuah konsep seperti
telah diuraikan di atas adalah nilai yang dipetik dari seluruh proses lahirnya
negara Indonesia, dasar falsafah serta cita hukum negara Indonesia. Dengan
demikian posisi pembukaan ini menjadi sumber hukum yang tertinggi bagi
negara hukum Indonesia. Perubahan UUD 1945 (dalam Perubahan Keempat)
mempertegas perbedaan posisi dan kedudukan antara Pembukaan dengan
pasal-pasal UUD 1945. Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 menegaskan
bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri
dari Pembukaan dan pasal-pasal. Hanya pasal-pasal saja yang dapat menjadi
objek perubahan sedangkan Pembukaan tidak dapat menjadi objek
perubahan.
Pembukaan UUD 1945 memiliki nilai abstraksi yang sangat tinggi
sehingga kita hanya dapat menimba elemen-elemen yang sangat mendasar
bagi arah pembangunan negara hukum Indonesia. Nilai yang terkandung
dalam pembukaan itulah yang menjadi kaedah penuntun bagi penyusunan
pasal-pasal UUD 1945 sehinga tidak menyimpang dari nialai-nilai yang
menjadi dasar falsah dan cita negara Indonesia. Dalam tingkat implementatif,
bagaimana kongkritnya negara hukum Indonesia dalam kehidupan bernegara
harus dilihat pada pasal-pasal konstitusi. Kaedah-kaedah yang terkandung
dalam pasal-pasal konstitusilah yang menjadi kaedah penuntun bagi
pelaksanaan pemerintahan negara yang lebih operasional. Konsistensi
melaksanakan ketentuan-ketentuan konstitusi itulah yang dikenal dengan
prinsip konstitusionalisme. Karena itu, jika konsep negara hukum bersifat
abstrak maka konsep konstitusionalisme menjadi lebih nyata dan jelas.
Konstitusionalisme merupakan faham pembatasan kekuasaan negara
dalam tingkat yang lebih nyata dan operasional. Pasal undang-undang dasar
mengatur lebih jelas mengenai jaminan untuk tidak terjadinya monopoli satu
lembaga kekuasaan negara atas lembaga kekuasaan negara yang lainnya,
kewenangan masing masing lembaga negara, mekanisme pengisian jabatan-
jabatan bagi lembaga negara, hubungan antar lembaga negara serta
hubungan antara negara dengan warga negara yang mengandung jaminan
kebebasan dasar manusia yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara.
Seperti dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie, konstitusi dimaksudkan untuk
mengatur tiga hal penting yaitu: (i) menentukan (ii) pembatasan kekuasaan
organ negara, (iii) mengatur hubungan antara lembaga-lembaga yang satu
dengan yang lain, serta (iv) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-
lembaga negara dengan warga negara.74
74 Op.cit., hlm. 144.
Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan
erat dengan pengertian kita sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam
perkataan Yunani kuno “politeia” dan perkataan bahasa Latin ‘constitutio’
yang juga berkaitan dengan kata “jus.” Dalam kedua perkataan “politeia” dan
“constitution” itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh
umat manusia beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut dalam
sejarah. Jika kedua istilah tersebut dibanding- kan, dapat dikatakan bahwa
yang paling tua usianya adalah kata “politeia” yang berasal dari kebudayaan
Yunani.75 Namun, dalam bahasa Yunani kuno tidak dikenal adanya istilah yang
mencerminkan pengertian kata “jus” ataupun “constitution” seperti dalam
tradisi Romawi yang datang kemudian. Dalam keseluruhan sistem berpikir
para filosof Yunani kuno, perkataan “constitution” seperti yang kita
maksudkan sekarang, tidak dikenal. Menurut Charles Howard McIlwain dalam
bukunya Constitutionalism: Ancient and Modern ( 1947), perkataan
“constitution” di zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), dalam bentuk
bahasa Latinnya, mula-mula digunakan sebagai istilah teknis untuk menyebut
“the acts of legislation by the Emperor.” Bersamaan dengan banyak aspek dari
hukum Romawi yang dipinjam ke dalam sistem pemikiran hukum di kalangan
gereja, maka istilah teknis “constitution” juga dipinjam untuk menyebut
peraturan- peraturan eklesiastik yang berlaku di seluruh gereja ataupun untuk
beberapa peraturan eklesiastik yang berlaku di gereja-gereja tertentu
(ecclesiastical province). Karena itu, kitab-kitab Hukum Romawi dan Hukum
Gereja (Kanonik) itulah yang sering dianggap sebagai sumber rujukan
(referensi) paling awal mengenai penggunaan perkataan “constitution” dalam
sejarah.76
Kebutuhan akan naskah konstitusi tertulis itu merupakan sesuatu
yang niscaya, terutama dalam organisasi yang berbentuk badan hukum (legal
75 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 1.76 Ibid., hlm. 2.
entity). Misalnya saja akhir-akhir ini di tengah wacana mengenai organisasi
badan hukum di Indonesia, muncul bentuk badan hukum baru yang
dinamakan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) seperti misalnya yang
dikaitkan dengan status hukum perguruan tinggi negeri tertentu. Sebagai
badan hukum, maka setiap perguruan tinggi yang bersangkutan memerlukan
dokumen Anggaran Dasar tersendiri sebagai konstitusi seperti halnya badan-
badan hukum lain- nya, seperti yayasan (stichting), perkumpulan
(vereeniging), organisasi kemasyarakatan, dan partai politik. Di dunia usaha
dikenal adanya badan hukum berbentuk perusahaan, yaitu perseroan
terbatas, koperasi atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD). Semua bentuk badan hukum itu selalu memerlukan
Anggaran Dasar yang berfungsi sebagai konstitusinya.
Demikian pula negara, pada umumnya selalu memiliki naskah yang
disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan
Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis
yang disebut Undang-Undang Dasar. Undang- Undang Dasar di kedua negara
ini tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman
praktek ketatanegaraan.77 Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu
tercakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan dan konvensi-konvensi
kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedu- dukan
organ-organ negara, mengatur hubungan antar organ-organ negara itu, dan
mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat
didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dia- nut
dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat,
maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah
paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu
77 Brian Thompson, 1997, Textbook on Constitutional and Administrative Law, London,Blackstone Press Ltd., hlm. 5.
konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai “constituent power”
yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem
yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah
yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.78
Oleh sebab itu, konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap
sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seperti
dikemukakan oleh C.J. Friedrich sebagaimana dikutip di atas,
“constitutionalism is an institutionalized system of effective, regularized
restraints upon governmental action”. Basis pokoknya adalah kesepakatan
umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai
bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu
diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama
dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan
mekanisme yang disebut negara.
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman
modern pada umumnya dipahami bersandar pada 3 (tiga) elemen
kesepakatan (consensus), yaitu (i) Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita
bersama (the general goals of society or general acceptance of the same
philosophy of government); (ii) Kesepakatan tentang “the rule of law” sebagai
landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of
government); serta (iii) Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan
prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).79
Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan dengan cita- cita
bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konsti- tusionalisme di
suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya
paling mungkin mencerminkan kesa- maan-kesamaan kepentingan di antara
sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah
78 Ibid.79 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, op.cit., hlm. 21.
pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk
menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan
perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga
disebut sebagai falsafah kenegaraan atau “staatsidee” (cita negara) yang
berfungsi sebagai “filosofische grondslag” dan “common platforms” atau
“kalimatun sawa” di antara sesama warga masyarakat dalam konteks
kehidupan bernegara. Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan
itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima
prinsip dasar untuk mencapai atau mewujudkan empat tujuan bernegara.
Lima prinsip dasar Pancasila itu mencakup sila atau prinsip (i) ke- Tuhanan
Yang Maha Esa, (ii) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (iii) Persatuan
Indonesia, (iv) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar folosofis-ideologis untuk
mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara, yaitu: (i) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (ii)
meningkatkan kesejahteraan umum, (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis pemerin- tahan
didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus
kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada
keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks
penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas “rule of the game” yang
ditentukan bersama. Dari sinilah kita mengenal adanya istilah “constitutional
state” yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern.
Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting sehingga
konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan
segala sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus
semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi
sebagai kertas dokumen yang ‘mati’, hanya bernilai semantik dan tidak
berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.
Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a) bangunan organ
negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, (b) hubungan-
hubungan antar organ negara itu satu sama lain, serta (c) hubungan antara
organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan
itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar
mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraan
dan mekanisme ke- tatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka
kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kesepakatan-
kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi yang
diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama.
Para perancang dan perumus konstitusi tidak seharusnya membay- angkan,
bahkan naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu dekat.
Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah.
Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah
seharusnya tidak diubah semudah mengubah undang-undang. Sudah tentu,
tidak mudahnya mekanisme perubahan undang-undang dasar tidak boleh
menyebabkan undang-undang dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak
dapat diubah. Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemungkinan
perubahan seperti yang terjadi di masa Orde Baru.
Konstitusi di satu pihak (i) menentukan pembatasan terhadap
kekuasaan sebagai satu fungsi konstitusionalisme, tetapi di pihak lain (ii)
memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan. Konstitusi juga (iii)
berfungsi sebagai instrumen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang
kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau Raja dalam sistem
Monarki) kepada organ-organ kekuasaan negara.
Di sisi lain, konstitusionalisme sering disandingkan dengan negara
hukum (rule of law). Akibatnya, membawa pada makna yang agak negatif
terhadapnya. Sesungguhnya, konstitusionalisme menyiratkan bahwa negara
mempunyai hukum sebagai senjata yang dahsyat tanpa jadi sasaran dari
segala pembatasan yang secara inheren terkandung di dalamnya.80 Walau
demikian, jika kita membayangkan bahwa pemerintah memerintah dengan
hanya keputusan individual sehingga jelaslah bahwa persyaratan rule of law
adalah vital. Negara semacam Tiongkok sudah hampir mengakui versi
paling sempit ini dari negara hukum dan tidak sulit untuk melihat
kelebihannya ketika kita membandingkannya dengan situasi pada masa
Revolusi Kebudayaan. Konstitusionalisme lebih jauh lagi menganjurkan
bahwa hukum pada prinsipnya harus bersifat umum dalam muatannya dan
harus diketahui. Keperluan bagi hukum yang bersifat umum menjadi
sangat jelas dari kritik terhadap rezim yang “memerintah dengan
pengecualian” (rule by exception). Dalam situasi ini hukum-hukum yang
bersifat umum disisihkan untuk memberi jalan bagi keputusan individual,
yang menyingkirkan jaminan pada kepastian yang ada di dalam persyaratan
dari pemerintahan dengan hukum. Tindakan yang dilakukan dalam
“pemerintahan dengan pengecualian” menyiratkan bahwa konstitusionalisme
dapat dikurangi dengan cara-cara legal.
Mirip dengan itu, Shapiro telah mengungkap bagaimana dalam
penyelesaian perselisihan, kesepakatan para pihak mengenai aturan yang
akan diterapkan dan kesepakatan tentang pihak ketiga yang akan
memutus sengketa telah tergantikan oleh hukum dan jabatan. Tindakan ini
harus dilakukan pemerintah agar dapat mengendalikan masyarakat dengan
memutus sengketa sesuai aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Hal ini
juga menyiratkan bahwa segala bentuk kewenangan yang tersentralisasi
akan berhadapan, pada derajat tertentu, dengan negara hukum.
80 Tamanaha, op.cit., hlm. 92.
Pada awalnya, pendapat dominan menyatakan bahwa kekuasaan
tidak bisa dibatasi oleh hukum, karena penguasa dapat mengubah hukum
sekehendaknya, tetapi kemudian persyaratan prosedural memungkinkan
hukum, demokrasi, dan ide-ide tentang hukum alam digunakan untuk
mengatasi permasalahan ini.
Persyaratan tentang tiap tindakan negara memiliki landasan hukum
dapat tak bermakna jika landasan hukum ini kurang spesifik. Wilayah
tradisional dari persaingan ini adalah isu kekuasaan bertindak (discretionary
power), yang lebih baik mungkin diekspresikan dalam konsep Jerman
mengenai ‘freies ermessen’. Freies ermessen melekat pada lingkup
pemerintahan yang secara leluasa menentukan kebijakannya tanpa harus
mempertanggungjawabkannya secara hukum. Hal ini berarti mengakui suatu
kemustahilan dan ketidaknyamanan bahwa pembentuk undang-undang
menentukan tiap tindakan pemerintah secara terperinci sebelumnya. Namun,
di sisi lain hal ini menciptakan bahaya bahwa pemerintah akan bertindak
sewenang-wenang. Sama halnya dengan isu ketertundukan pada hukum,
masalah ini telah diselesaikan oleh ahli hukum dengan persyaratan kualitas
hukum yang inheren dalam elemen berikutnya dikategori ini, serta konsep
hukum administrasi sebagai prinsip pemerintahan yang baik.
Legalitas juga dapat digerogoti oleh negara melalui pembentukan
berbagai undang-undang, yang menyediakan landasan hukum untuk tindakan
tertentu yang berlaku surut. Ini bukan mengacu pada pemahaman yang lebih
umum mengenai prinsip tidak berlaku surut (non-retroactivity), yang berarti
bahwa tindak-tanduk warga negara dapat dihukum berdasarkan aturan yang
dibuat setelah peristiwa terjadi. Hal ini lebih mirip dengan “pemerintahan
dengan pengecualian” yang menyediakan pembenaran hukum bagi negara
ketika tindakannya tidak berlandaskan hukum. Isu ini jarang mendapat
perhatian, tetapi ini memang suatu cara yang secara mendasar bermasalah
karena negara bisa melonggarkan ikatan hukumnya sendiri.
Ada hal lain dari prinsip legalitas, yang tidak melibatkan penggunaan
hukum dan hanya dapat secara terbatas ditanggulangi oleh hukum. Prinsip ini
juga berkaitan dengan persyaratan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
selalu berdasar hukum, namun hal ini lebih sulit diselesaikan daripada
masalah sebelumnya dalam hal bahwa prinsip ini bahkan tidak ada pura-pura
memandang tindakan itu sah secara hukum dengan melegalisasi tindakan
berlaku surut. Ia melibatkan dua situasi di mana aparat negara bertindak
tanpa landasan hukum apa saja dan situasi di mana negara memanfaatkan
“warga kebanyakan” untuk tujuan ini, misalnya preman. Tentu saja bisa
dibuat peraturan-peraturan dan prosedur untuk mengendalikan pemerintah
dalam isu ini, namun jika perilaku tersebut telah meluas maka prosedur paling
‘liberal’ yang diterapkan oleh peradilan paling independen sekalipun tidak
dapat efektif. Pada akhirnya perilaku lembaga-lembaga negara sendiri yang
akan menentukannya.
Gagasan bahwa legalitas formal bersama-sama dengan hak atas
kepemilikan dan peradilan yang independen, elemen-elemen dalam kategori
kedua dan ketiga, mendukung pembangunan ekonomi sangat
berpengaruh dalam lingkaran donor internasional dan menjadi dasar bagi
banyak proyek di lapangan ini. Memang benar bahwa bagi sebuah negara
modern legalitas formal dapat menjadi perangkat yang sangat dahsyat dalam
rangka memperkenalkan prasyarat kepastian untuk pembangunan ekonomi,
dengan Singapura sebagai contoh yang mungkin paling meyakinkan. Meskipun
demikian, ada cara-cara lain pula untuk memperoleh kepastian, sebagaimana
ada jalan mencapa legitimasi selain daripada cara formal-rasionalitas.
Legalitas formal juga terkait dengan isu-isu yang membumi seperti
apakah hukum diketahui oleh para sasarannya. Rentang ini dari sarana yang
paling dasar seperti pengumuman “narkoba melanggar hukum” di bandara
Jakarta, lewat komik menjelaskan hak atas tanah kepada masyarakat adat
sampai ketersediaan bantuan hukum, terutama bagi kaum miskin dan yang
tak beruntung. Legalitas formal-lah yang pada gilirannya menyediakan rantai
pertama yang langsung antara konsep negara hukum yang terpusat pada
negara dengan pendekatan akses pada keadilan yang terpusat pada warga
negara.
Kendati demikian, secara umum ada kesepakatan bahwa legalitas
formal dapat menyokong tujuan ini secara baik pada sistem politik apapun
dan mungkin bukan hanya di negara-negara modern di mana peraturan-
peraturan yang terkodifikasi secara jelas memberikan jaminan terbaik bagi
transaksi antar-warga masyarakat yang tidak punya ikatan hubungan keluarga
atau klan. Pertanyaannya adalah apakah hal ini dapat dicapai dengan cara-
cara selain kodifikasi dan putusan hakim.
Dalam praktek, memang dapat dikemukakan adanya 2 (dua) aliran
pemikiran mengenai konstitusi, yaitu aliran pertama memfungsikan konstitusi
hanya sebagai dokumen yang memuat norma-norma yang hidup dalam
kenyataan. Kebanyakan konstitusi dimaksudkan untuk sekedar
mendeskripsikan kenyataan- kenyataan normatif yang ada ketika konstitusi itu
dirumuskan. Di samping itu, banyak juga konstitusi yang bersifat “prospective”
dengan mengartikulasikan cita-cita atau keinginan-keinginan ideal masyarakat
yang dilayaninya. Banyak konstitusi negara-negara modern yang juga
merumuskan tujuan-tujuan sosial dan ekonomi, belum dapat diwujudkan atau
dicapai dalam ma- syarakat menjadi materi muatan konstitusi. Konstitusi di
lingkungan negara-negara yang menganut paham sosialis atau dipengaruhi
oleh aliran sosialisme, biasa memuat ketentuan mengenai hal ini dalam
rumusan konstitusi. Hal inilah yang saya sebut sebagai “economic
constitution” dan “social constitution.”.
Konstitusi-konstitusi jenis demikian sangat berbeda dari konsti- tusi
yang ditulis menurut tradisi paham demokrasi liberal atau “libertarian
constitution.” Sebagai contoh, konstitusi Amerika Serikat tidak memuat sama
sekali ketentuan mengenai cita-cita ekonomi ataupun ketentuan mengenai
sistem ekonomi dan kegiatan ekonomi. Alasannya jelas, yaitu bahwa soal-soal
yang berkenaan dengan perekonomian tidaklah menyangkut urusan
kenegaraan, melainkan termasuk ke dalam wilayah urusan pasar yang
mempunyai mekanismenya tersendiri sesuai dengan prinsip “free market
liberalism” yang dianggap sebagai pilar penting dalam sistem kapitalisme.
Karena ekonomi adalah urusan pasar maka ketentuan mengenai hal itu tidak
seharusnya dicantumkan ke dalam naskah konstitusi. Demikian pula urusan
orang kaya dan orang miskin bukanlah persoalan negara, dan karena itu tidak
perlu diatur dalam UUD. Pandangan demikian jelas berbeda dari apa yang
dianut dalam sistem sosialisme yang mengembangkan pengertian “welfare
state”’. Dalam “welfare state”, negara bertanggungjawab untuk mengurusi
orang miskin. Karena itulah, UUD 1945 mengadopsikan perumusan Pasal 4
yang aslinya menentukan bahwa: “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara
oleh negara.”
Dalam penyusunan suatu konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma
dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktek penyelenggaraan
negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah
Undang-Undang Dasar. Karena itu, suasana keba- tinan
(geistichenhentergrund) yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis,
politis, dan historis perumusan juridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar
perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat mengerti dengan sebaik-
baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja.
Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami konteks filosofis,
sosio-historis, sosio-politis, sosio-yuridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang
mempe- ngaruhi perumusannya.
Di samping itu, setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula
kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka
pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (field of experience)
dengan muatan kepentingan yang berbeda, sehingga proses pemahaman
terhadap suatu ketentuan Undang-Undang Dasar dapat terus berkembang
dalam praktek di kemudian hari. Karena itu, penafsiran terhadap Undang-
Undang Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang,
memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan
sebaik-baiknya, sehingga Undang-Undang Dasar tidak menjadi alat kekuasaan
yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga.
Pada tingkat implementasi pelaksanaan kekuasaan negara baik dalam
pembentukan undang-undang, pengujian undang-undang maupun
pelaksanaan wewenang lembaga-lembaga negara dengan dasar prinsip
konstitusionalisme harus selalu merujuk pada ketentuan-ketentuan konstitusi.
Karena pasal-pasal konstitusi tidak mungkin mengatur segala hal mengenai
kehidupan negara yang sangat dinamis, maka pelaksanaan dan penafsiran
konstitusi dalam tingkat implementatif harus dilihat pada kerangka dasar
konsep dan elemen-elemen negara hukum Indonesia yang terkandung pada
Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya mengandung Pancasila. Sehingga
pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 menjadi lebih hidup dan dinamis.
Pembentuk undang-undang maupun Mahkamah Konstitusi memliki ruang
penafsiran yang luas terhadap pasal-pasal UUD 1945 dalam frame prinsip-
prinsip negara hukum Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945.
Pengujian konstitusional dalam UUD 1945 sebenarnya sudah menjadi
perdebatan dalam tahap awal pembentukan republik. Dalam sidang BPUPK,
isu itu mempertemukan secara diametral antara Soepomo dan Muhammad
Yamin. Yamin dikenal sebagai tokoh yang menggagas pentingnya judicial
review, sedangkan Soepomo sebaliknya. Ia menolak gagasan Yamin. Soepomo
beralasan saat itu pengujian undang-undang hasil kerja legislatif belum layak
karena jumlah ahli hukum di Indonesia masih sedikit. Soepomo juga beralasan
panitia penyusun konstitusi sudah sepakat sistem ketatangaraan yang akan
dianut bukan pemisahan kekuasaan ala Montesquieu, sehingga tak mungkin
memberikan kewenangan kepada satu cabang kekuasaan untuk membatalkan
produk cabang kekuasaan lain. Yamin melihat pentingnya checks and balances
antar lembaga negara. Karena itu ia mengusulkan agar Balai Agung tak hanya
melaksanakan kekuasaan kehakiman belaka. Balai Agung juga harus bisa
membanding undang-undang produk DPR jika undang-undang itu melanggar
konstitusi. Balai Agung yang dimaksud Yamin adalah Mahkamah Agung.
Sebaliknya, Soepomo khawatir jika diberi wewenang pengujian itu
akan muncul kesan Balai Agung lebih tinggi dibanding legislatif dan yudikatif.
Padahal sistem ketatanegaraan yang sudah disepakati para pendiri negara,
eksekutif, legislatif, dan yudikatif sama-sama lembaga tinggi negara.
Kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR.
Gagasan Yamin itu pada akhirnya memang tidak mendapat tempat dalam
konstitusi UUD 1945. Balai Agung (Mahkamah Agung) tak diberi wewenang
“membanding undang-undang” produk DPR.
Jika diamati, pemikiran Soepomo tidak statis, tetapi terus
berkembang sesuai kebutuhan zamannya. Dalam soal hak asasi manusia,
misalnya. Dulu ia berdebat dengan Yamin perlu tidaknya masuk pasal-pasal
HAM dalam konstitusi. Gagasan Yamin tentang HAM memang tak sepenuhnya
mentok karena penolakan Soepomo. Ada kompromi. Tetapi pada fase
berikutnya perjalanan Soepomo, ketika ia ditunjuk jadi panitia perancangan
konstitusi pasca kemerdekaan, Soepomo malah mengakomodasi isu-isu HAM.
Saldi Isra menunjuk bukti, UUD RIS dan UUD 1950, yang ikut disusun
Soepomo, bertabur dengan pasal-pasal HAM.
Barangkali alasan utama untuk memasukkan hak asasi manusia ke
dalam kerangka negara hukum adalah karena ranah ini telah menjadi tema
pengarah sentral dari kerja sama dalam pembangunan dan secara bertahap
menjadi jelas bahwa dalam rangka mencapai perbaikan apapun untuk
mewujudkan hak asasi manusia diperlukan suatu sistem hukum yang efektif
untuk mencapai hal tersebut. Bersatunya hak azasi manusia dengan sistem
yang efektif dalam satu konsep bermanfaat untuk menunjukkan secara
singkat kepada kesejahteraan manusia dan kerangka hukum yang diperlukan
untuk mencapai hal tersebut.
Catatan akhirnya bahwa secara akademik tidak harus meragukan
manfaat konstitusionalisme bagi seorang penguasa. Konstitusionalisme adalah
langkah pertama menuju legitimasi yang berbasis pada pemerintahan legal-
rasional. Menggunakan peraturan yang bersifat umum adalah lebih krusial
untuk sebuah pemerintahan atas sejumlah besar orang dalam rangka
menciptakan kejelasan dan stabilitas di mana regulasi-mandiri (self-
regulation) tidak diinginkan atau dikesampingkan. Tiap kasus mengenai
pengembangan negara pada titik tertentu mensyaratkan pengintroduksian
pemerintahan dengan hukum, tak peduli seberapa memihak atau
canggungnya upaya ini dilihat dari perspektif kontemporer.
Walaupun ada sumber yang relatif baru, penulisan riwayat proses-
proses hukum pada abad ke-17 oleh para pakar sejarah, seperti Hay dan
Thompson menunjukkan bagaimana pentingnya, bahkan sebelum
Montesquieu, gagasan tentang independensi peradilan terhadap negara
hukum. Dalam konteks ini, pengetahuan utama yang didapat dari analisis
mereka adalah bahwa penerapan suatu hukum yang keberpihakan pada kelas
yang berkuasa secara jelas mengarah pada hasil-hasil yang tidak adil, namun
hal ini dapat dikurangi oleh suatu lembaga peradilan yang independen, yang
dapat memastikan bahwa setidaknya hukum dapat sekali-sekali melawan
orang perorangan yang berasal dari kelas yang berkuasa tersebut dan hal ini
terbukti dengan adanya hukuman mati yang kadang-kadang juga dijatuhkan
terhadap individu dari kelas atas yang sangat menyalahgunakan posisi
mereka.
Suatu peradilan yang independen adalah bagian dari seluruh definisi
tentang negara hukum, kecuali definisi yang diberlakukan dalam negara-
negara otoriter, seperti Vietnam atau Tiongkok. Definisi-definisi yang
terdapat pada negara-negara tersebut berargumentasi bahwa peradilan
harus senantiasa melayani kepentingan negara, yang tujuannya tidak berbeda
dari negara-negara nonotoriter, namun negara- negara otoriter tersebut
kemudian berasumsi bahwa negara sama artinya dengan eksekutif. Meskipun
demikian, selain dari pandangan tersebut, suatu peradilan yang independen
secara umum dianggap sebagai elemen yang esensial dari negara hukum.
Fakta bahwa definisi selalu berbicara tentang independensi peradilan
daripada ketidakberpihakannya (impartiality) mencerminkan bahwa prioritas
sebagian besar definisi tentang negara hukum masih dihubungkan dengan
perlindungan atas warga negara terhadap eksekutif (dan terhadap badan
legislatif walaupun tidak sejauh seperti terhadap badan eksekutif).
Independensi adalah cara-cara untuk mencapai ketidakberpihakan, suatu
konsep yang secara mengejutkan tidak banyak dibahas dalam literatur
teoretis. Meskipun sebagian besar literatur tersebut membahas pengadilan-
pengadilan, beberapa dari literatur tersebut memperhatikan masalah
independensi yang berkaitan dengan mediasi dan bentuk-bentuk alternatif
penyelesaian sengketa lainnya, yang biasanya menghasilkan peringatan-
peringatan tentang adanya perbedaan kekuasaan antara pihak yang
bersengketa.
Untuk menjadi efektif, peradilan tidak hanya harus independen
namun juga harus mudah diperoleh, suatu kualitas kedua yang disyaratkan
oleh elemen ini. Hal ini berarti bahwa keseluruhan per- debatan tentang akses
terhadap peradilan dan bagaimana hal tersebut dapat dicapai memang
relevan dengan konteks negara hukum. Oleh karena sebagian besar literatur
memang terkait dengan akses terhadap pengadilan, hal ini menjadi wajar.
Perkembangan terakhir yang menjadikan akses terhadap keadilan sebagai
akses terhadap ragam lembaga yang lebih luas, termasuk lembaga-lembaga
nonpemerintah, menunjuk pada dua masalah yang relevan dengan
pembahasan ini: pertama, bahwa peradilan tidak memiliki monopoli atas
keadilan, dan kedua, bahwa relasi antara peradilan dan lembaga penyelesaian
sengketa lainnya juga relevan dengan perdebatan tentang negara hukum.
Meskipun demikian, hanya sedikit yang berpendapat bahwa pada akhirnya
suatu lembaga peradilan yang independen dapat dikesampingkan.
BAB III
PENGUJIAN KONSTITUSIONAL
A. Pengantar
Pendalaman prinsip Negara Hukum terwujud ke dalam sistem
konstitusional, yang melahirkan komitmen “self-binding procedure”, yang
mana pemerintah terikat oleh tata cara penggunaan kekuasaan yang
diatur dalam konstitusi.81 Jika konstitusi dilanggar, tentu akan mengusik
posisinya yang fundamental dan “tertinggi.” Perbuatan demikian
berpotensi membuat konstitusi terancam tidak lagi supreme sebagai
acuan dasar penyelenggaraan negara. Implikasinya konstitusi berlaku
tanpa konstitutionalitas.82 Keadaan itu berpotensi menyayat-nyayat
idealita bahwa suatu konstitusi merupakan “a higher order law (which)
will generally be entrenced.”83
Oleh karena pembicaraan mengenai konstitusi lebih mendekati
isu yang bersifat politik, maka pembebanan kepada strategi
mempertahankan konstitusi tak lepas pula akan diberi makna politik. Ada
banyak strategi mempertahankan konstitusi dan salah satu aktor yang
“menanggung” beban itu adalah pengadilan dengan pelekatan skema
pengujian konstitusional (constitutional review). Menyusul uraian lebih
rinci pada pembahasan berikutnya, pelekatan kepada pengadilan sebagai
strategi mempertahankan konstitusi telah melahirkan pemahaman “the
81 Juan Linz dan Alfred Stephen, “Defining and Crafting Democratic Transition,Constitution, and Consolidation”, dalam R. William Liddle (Editor), 2001, Crafting IndonesianDemocracy, Bandung, Penerbit Mizan Pustaka, hlm. 30. Bandingkan juga dengan tulisan menarikYonky Karman, yang antara lain mengatakan, “Konstitusi adalah hukum rakyat, bukan hukumAllah, juga bukan hukum pemerintah. Pemerintah dibentuk dan dikontrol oleh konstitusi.Otoritas pemerintah didelegasikan, bukan direbut, karena dipercaya oleh rakyat. Pemerintahharus menerjemahkan kepercayaan itu dalam kerja profesional dan jujur kepada masyarakat.”Lihat Yonky Karman, “Krisis Konstitusionalitas”, Kompas, Sabtu, 26 Maret 2011, hlm. 6.
82 Fadjar Laksono, “Constitutional Review sebagai Ikhtiar Menghentikan Kejahatanterhadap Konstitusi guna Mewujudkan Konstitusionalitas Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 5, No.2, November 2008, hlm. 84.
83 Peter Layland, 2007, The Constitution of The United Kingdom: a Contextual Analysis,Oxford, Hart Publishing, hlm. 1.
judicialization of politic” . Pemahaman tersebut mempunyai 2 (dua) aspek
yang berbeda akan tetapi berkaitan. Pertama, aspek yang memandang
bahwa pengadilan “have embraced a new, higher profile political role that
depicts them as defenders of constitutional commitments, advocates of
rights, and arbiters of social policy conflicts.”84 Pengadilan kemudian
“have been granted or have begun exerting the power to review
legislation under the constitution”85 dan sebagai akibatnya, pengadilan
“assumed a more significant role within important political and social
debates that were traditionally left to the elected branches.”86 Kedua,
“the judicialization of politic” dicirikan dengan “the growing use of law,
legal discourse, and litigation by a range of political actors, including
politicians, social movements, and individual actors.”87 Sebagai akibatnya,
seperti dituturkan sementara pakar tata negara, “legislators write laws
with the courts’ language and opinions in mind and social movements,
individual citizens and the political opposition alike frame their political
struggles in the language of rights, and turn to courts to advance them.”88
Penelitian ini menekankan kepada aspek yang pertama yang
berhubungan dengan “the discourse and activity of courts.” Dengan
demikian, CR menunjuk upaya mempertahankan konstitusi melalui
mekanisme pengadilan.
Upaya mempertahankan konstitusi melalui mekanisme
pengadilan tersebut sesungguhnya mempunyai relevansi gagasan
mengenai supremasi hukum. Dalam rumpun pemikiran dan hukum,
84 Neal Tate dan Torbjorn Vallinder (Editors), 1995, The Global Expansion of JudicialPower, New York: New York University Press, hlm. 6-7.
85 Ibid., hlm. 7.86 Ibid., hlm. 26.87 Alec Stone Sweet, 2000, Governing with Judges: Constitutional Politics in Europe.
Oxford and New York: Oxford University Press.88 Jean Comaroff dan John Comaroff, “Law and Disorder in the Postcolony”, Social
Anthropoloy, Vol. 15, Vol. 2007, hlm. 133.
demokrasi acapkali dimaknai sebagai relasi kekuasaan di mana rakyat
merupakan entitas tertinggi.89 Pemaknaan demikian menyusun bangun
kedaulatan rakyat dengan pandangan bahwa kekuasaan tertinggi terletak
di tangan rakyat. Akan tetapi, pengertian kedaulatan rakyat di sini
bukanlah seperti gagasan Rousseau yang “mengidentifikasi kehendak
negara dengan kehendak umum sehingga tidak bertentangan sama sekali
antara kehendak individu (volonte parti cullere) dengen kehendak
negara.”90 Pengertian kedaulatan rakyat dalam penelitian ini adalah
rakyat bukan sebagai totalitas akan tetapi sebagai komunitas yang
pluralis.91 Kedaulatan rakyat bukan bersumber kepada satu kekuasaan
yang memiliki totalitas, tetapi dalam bentuk pengearuh dari kekuatan-
kekuatan yang berkembang di dalam masyarakat.92 Hal ini tidak berarti
kedaulatan berada di tangan mayoritas, akan tetapi secara teoritis
terletak pada representasinya sebagai resultan atas semua pengaruh
89 Konsepsi mengenai kekuasaan tertinggi (supreme authority) ini dikenal sebagaikonsep “kedaulatan” atau “sovereignty.” Ide mengenai kedaulatan ini telah dikenal sejak zamanYunani Kuno. Aristoteles misalnya, pada saat melakukan studi atas berbagai konstitusi sempatmenyinggung adanya sesuatu yang “superior” dalam suatu unit politik, apakah itu satu, beberapaatau banyak. Lihat: Andrew Vincent, 1987, Theories of the State, Oxford, Basil Blackwell, hlm. 32.
90 Secara konseptual, gagasan ini berpijak pada pemahaman “rakyat” sebagai “bangsa”dengan meyakini adanya suatu entitas misterius dari kehendak umum dan konsepsi masyaratorganic sebagai fondasi nasional yang menggerakkan masyarakat. Lihat: J.J. Rousseau, 1986,Kontrak Sosial (terjemahan), Jakarta, Penerbit Erlangga, hlm. 15.
91 Pandangan pluralis berakar pada aliran pragmatism yang terutama berkembang diAS dan Inggris. Tokoh-tokoh yang terpenting adalah Wukkuan James dan John Dewey (AS) sertaF.C.S. Schiller (Inggris). Pragmatism adalah aliran filsafat yang menekankan kepada aplikasigagasan. Pada ranah pemikiran hukum, aliran ini menjadi dasar berkembangnya aliran realism-pragmatis (Pragmatic Legal Realism) yang sangat berpengaruh pada perkembangan hukumdewasa ini. Lihat: Andrew Vincent, op.cit., hlm. 181. Baca juga: Lili Rasjidi, 1993, Filsafat Hukum:Apakah Hukum Itu?, Bandung, Penerbit Rosda Karya, hlm. 50; Theo Huijbers, op.cit., hlm. 180;Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan Nasional, Bandung,Penerbit Bina Cipta, hlm. 9.
92 Pemikiran ini serupa dengan gagasan yang dikembangkan oleh Stanley I. Benn dalamkonsep “influential sovereignty”, yang menunjuk adanya pengaruh-pengaruh “a rulling class”,mayoritas di badan perwakilan, pendeta, atau kelompok-kelompok sejenis lainnya. Lihat: StanleyI. Benn, “The Uses of Sovereingty”, dalam Anthony Quinton (Editor), 1982, Political Philosophy,London, Oxford University Press, hlm. 68.
kekuatan politik.93 Dengan demikian, tidak dapat diklaim sepenuhnya
bahwa kekuatan mayoritas menjadi satu-satunya kekuatan dalam suatu
majelis pemilihan atau badan perwakilan, melainkan harus dipandang
sebagai resultan dari seluruh kekuatan-kekuatan politik yang bertarung di
tengah masyarakat.
Berkaitan dengan hal itu, sekalipun demokrasi modern
mempertahankan kehendak rakyat sebagai kekuasaan tertinggi, akan
tetapi sistem pengambilan keputusan dilaksanakan melalui badan
perwakilan. Oleh karena watak pluralis dari penyokong konfigurasi badan
tersebut, maka sangat dimungkinkan bahwa keputusan-keputusan yang
ditetapkan, termasuk Undang-Undang, berpotensi untuk bertentangan
dengan komitmen demokrasi itu sendiri terutama yang tertuang dalam
konstitusi sebagai kontrak politik tertinggi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan demikian, diperlukan suatu badan yang netral dan
imparsial untuk melaksanaan forum yang memungkinkan peninjauan
(review) terhadap keputusan-keputusan badan perwakilan dikaitkan
dengan konstitusi sebagai dasar hukum tertinggi.
B. Ruang Lingkup Pengujian Konstitusional
Sebagai suatu istilah hukum, pengujian konstitusional harus
dibedakan dari judicial review. Pertama, pengujian konstitusional selain
dilakukan oleh hakim, dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim
atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana konstitusi
memberikan kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep
judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas obyeknya, misalnya
mencakup soal legalitas peraturan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, sedangkan pengujian konstitusional hanya menyangkut
93 Arief Budiman, 1997, Teori Negara, Jakarta, Penerbit Pustaka Utama Gramedia, hlm.61-63.
pengujian konstitutionalitasnya yaitu terhadap konstitusi.94 Perlu juga
dicamkan di sini, bahwa judicial review itu sendiri tidak identik dengan
hak uji materiil (toetsingsrecht).95
Menelaah pengujian norma hukum, perlu membedakan
juga antara pengujian materiil (materiile toetsing) dan pengujian
formil (formile toetsing). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi
muatan undang-undang.96 Pengujian materiil adalah pengujian undang-
undang yang dilakukan atas materinya. Pengujian tersebut berakibat
pada dibatalkannya sebagian materi muatan atau bagian undang-
undang yang bersangkutan. Yang dimaksud materi muatan undang-
undang itu adalah isi ayat, asal dan/atau bagian-bagian tertentu dari
suatu undang-undang bahkan bisa hanya satu kata, satu titik, satu
koma atau satu huruf saja yang dinilai bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebaliknya,
yang dimaksud bagian dari undang-undang itu dapat pula berupa
94 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit., hlm. 3.95 Kekeliruan konsep ini misalnya terdapat dalam buku Sri Soemantri. Profesor hukum
tata negara Universitas Padjajaran, yang dari segi usia merupakan yang paling senior di Indonesia,dengan fasih menggunakan istilah “hak uji materiil” sebagai terjemahan konsep “materieletoetsingsrecht” yang ia bedakan dari istilah “hak uji formal” sebagai terjemahan “formeletoetsingsrecht. Dalam mebedakan keduanya, Sri Soemantri hanya mengulas secara ringkasbahwa “hak uji materiil” menyangkut penilaian mengenai isi peraturan perundang-undanganapakah bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Sedangkan “hakuji formil” berkenaan dengan tata cara pembentukan suatu undang-undang apakah sesuai atautidak dengan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pembahasansecara keseluruhan, masalah “hak uji materiil” dibahas tetapi kadang-kadang bercampur dengankonsepsi “hak uji formil” seperti yang tercermin dalam definisi “hak menguji materiil.” Di sampingitu, ketika menjelaskan “hak menguji materiil” di negara lain, istilah “hak uji materiil” atau “hakmenguji material” itu disejajarkan begitu saja dengan istilah “judicial review.” Bahkan ketikamenguraikan kosnepsi yang berlaku di Dewan Konstitusi Prancis, istilah yang tetap dipakai adalah“hak menguji material di Prancis.” Lihat: Sri Soemantri, loc.cit.
96 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, op.cit., hlm. 57.
keseluruhan dari suatu bagian atau keseluruhan dari suatu bab undang-
undang yang bersangkutan.97
Dari perpektif teoritis, pengujian konstitusional bertujuan untuk
“transform public policy disputes into questions of constitutional
interpretation that can be decided by texts, procedures, principles, and
rules that are generally accepted as legal and not political.”98 Melalui
putusan pengujian konstitusional, “even onpopular ones, being accepted,
because courts are viewed as appropriate institutions for making such
decisions and commitmen to procedure and process trumps concerns over
outcomes.”99 Oleh sebab itu, kinerja pengujian konstitusional “operate in
an environment of national political constraints that compromise their
own institutional legitimacy and decisional effacy.”100
Kasus “judicial review” yang didasarkan atas pengalaman MA
Amerika Serikat memutus perkara Marbury versus Madison pada
tahun 1803 itu menjadi contoh dan model yang ditiru di seluruh dunia,
terutama oleh negara-negara demokrasi yang dipengaruhi oleh sistem
konstitusi Amerika Serikat. Dalam model ini, pengujian dilakukan
sepenuhnya oleh MA dengan status sebagai “the Guardian of the
Constitution‟. Di samping itu, menurut doktrin yang kemudian biasa
juga disebut sebagai doktrin John Marshall (John Marshall's doctrine),
“judicial review‟ juga dilakukan atas persoalan-persoalan
konstitusionalitas oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang
dinamakan pengujian terdesentralisasi atau pengujian tersebar (a
97 Ibid., hlm. 59-60.98 Adam Schwartz, 2000, The Struggle for Constitutional Justice in Post-Communist
Europem Chicago: University of Chicago Press, hlm. 5.99 James L. Gibson dan Gregory A. Caldeira, “Defenders of Democracy? Legitimacy,
Populair Acceptance, and the South African Constitutional Court”, Journal of Politics, Vol. 65,2005, hllm. 2.
100 George Vanberg, “Abstract Judicial Review, Legislative Bargaining, dan PolicyCompromise”, Journal of Theoritical Politics, Vol. 10, 1998, hlm. 299.
decentralized or diffuse or dispersed review) di dalam perkara yang
diperiksa di pengadilan biasa (incidenter). Artinya, pengujian demikian
itu, tidak bersifat institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri,
melainkan termasuk di dalam perkara lain yang sedang diperiksa oleh
hakim dalam semua lapisan pengadilan.
Karena itu, oleh para sarjana, model Amerika ini juga biasa
disebut sebagai “Decentralized Model”. Pengujian konstitusional yang
dilakukan secara tersebar itu bersifat spesifik dan termasuk kategori “a
posteriori review”. Sedangkan, MA dalam sistem tersebut
menyediakan mekanisme untuk kesatuan sistem sebagai keseluruhan
(the uniformity of jurisdiction). Dalam sistem yang tersebar,
putusanputusan yang diambil hanya mengikat para pihak yang
bersengketa dalam perkara yang bersangkutan (inter partes), kecuali
dalam kerangka prinsip “stare decisis‟ yang mengharuskan pengadilan
di kemudian hari terikat untuk mengikuti putusan serupa yang telah
diambil sebelumnya oleh hakim lain atau dalam kasus lain.
Dari segi kelembagaannya, sistem pengujian yang dilakukan
oleh MA Amerika ini jelas berbeda pula dari tradisi yang sama di Eropa.
Dalam sistem Amerika Serikat yang menganut tradisi ‘common law’,
peranan hakim penting penting dalam proses pembentukan hukum
menurut asas “precedent”. Bahkan hukum dalam sistem “common
law‟ itu biasa disebut sebagai “judge-made law’, atau hukum buatan
para hakim. Oleh karena itu, ketika John Marshall memprakarsai
praktek pengujian konstitusionalitas undangundang oleh MA dan
bahwa sejak masa-masa sebelumnyapun para hakim di semua
tingkatannya di Amerika Serikat memang telah mewarisi tradisi
pengujian atau mengesampingkan berlakunya sesuatu undang-undang
yang dinilai bertentangan dengan cita keadilan dalam memeriksa
setiap perkara yang dihadapkan kepada mereka, tergambar bahwa
peranan hakim di Amerika Serikat memang besar dan memang
seharusnya demikian.
Lagi pula jumlah undang-undang dalam sistem demikian
tidak sebanyak yang terdapat dalam tradisi di Eropa Kontinental yang
dari waktu ke waktu lembaga-lembaga parlemennya terus
memproduksi peraturan-peraturan tertulis. Karena itu, penerapan
sistem “judicial review” itu tidak memerlukan lembaga baru,
melainkan cukup dikaitkan dengan fungsi MA yang sudah ada.
Lembaga MA itulah yang selanjutnya akan bertindak dan berperan
sebagai Pengawal ataupun Pelindung Undang-Undang Dasar (the
Guardian or the Protector of the Constitution).
Sementara itu, sistem yang berkembang di Eropa
menyangkut hubungan yang saling berkaitan antara prinsip supremasi
konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan
prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the
Parliament). Asumsi dasarnya adalah bahwa pemberlakuan prinsip
“supremasi parlemen‟ harus diimbangi oleh penerapan prinsip
“supremasi konstitusi‟, sehingga pelaksanaan asas kedaulatan rakyat
yang tercermin di parlemen tidak menyimpang dari pesanpesan
konstitusi sebagai “the supreme law of the land”. Dengan perkataan
lain, dalam model ini, apabila prinsip kedaulatan rakyat yang tercermin
dalam doktrin supremasi parlemen bertentangan dengan prinsip
supremasi konstitusi, maka sesuai dengan cita-cita negara hukum,
prinsip supremasi konstitusilah yang harus diutamakan.
Proses pengujian konstitusionalitas dalam model ini,
dikehendaki adanya pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri dengan
hakim-hakimnya yang mempunyai kehalian khusus di bidang ini. Dalam
menjalankan kewenangannya MK melakukan pengujian konstitusional
terutama atas norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review),
meskipun pengujian atas norma konkrit juga dimungkinkan (concrete
review). Bahkan, dalam model Eropa ini, pengujian dapat bersifat “a
posteriori” (a posteriori review) ataupun bersifat “a priori” (a priori
review). Pada umumnya, pengujian memang dilakukan secara “a
poteriori”, tetapi pengujian “a priori” yang bersifat preventif juga biasa
dipraktekkan.
Segala putusan MK ini mempunyai kekuatan “erga omnes”
yang bersifat mutlak berdasarkan prinsip kewenangan mutlak yang
diberikan kepadanya oleh UUD (the absolute authority of the
institution). Lembaga MK ini dibentuk sebagai satu-satunya organ yang
berwenang menjalankan fungsi CR itu dengan kedudukan yang
tersendiri di luar MA dan di luar lembaga-lembaga dalam cabang-
cabang kekuasaan lainnya yang menjalankan otoritas publik.
C. Perkara Marbury sebagai Rintisan Pengujian Konstitusional
Pertumbuhan pengujian konstitusional dalam fase waktu ini
biasanya dikaitkan dengan pelembagaan Judicial Review pada
perkembangan hukum yang terjadi di Amerika Serikat yang pada tahun
1803, disentakkan oleh putusan yang sangat controversial dan
mengandung perdebatan luas diantara politisi dan pakar hukum, yaitu
putusan Mahkamah Agung atas perkara Marbury V.S. Madison. Adapun
kasus posisi atas perkara tersebut adalah sebagai berikut.
Dalam pemilu tahun 1800 untuk masa jabatan keduanya,
Presiden John Adams—sebagai incumbent--dikalahkan oleh Thomas
Jefferson dari Partai Democratic-Republic (yang dewasa ini dikenal
sebagai Partai Demokrat). Setelah kalah, dalam masa peralihan untuk
serah terima jabatan dengan Presiden terpilih Thomas Jefferson, John
Adams membuat keputusan-keputusan, yang menurut menurut para
pengkritiknya dimaksudkan untuk “menyelematkan sahabat-sahabatnya
sendiri supaya mendapatkan kedudukan-kedudukan yang penting.”101
Termasuk, Menteri Luar Negeri John Marshall yang diangkat sebagai
Ketua MA (Chief Justice). Bahkan sampai detik-detik menjelang pukul
00.00 tanggal 3 Maret 1801, masa peralihan pemerintahan ke presiden
baru, Presiden John Adams, dengan dibantu John Marshall yang tetap
merangkap sebagai Menteri Luar Negeri, masih terus menyiapkan dan
menandatangani surat-surat pengangkatan pejabat, termasuk beberapa
orang diantara diangkat menjadi duta besar dan hakim. Diantara pejabat
tersebut adalah William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend
Hooe, dan William Harper, yang diangkat menjadi hakim perdamaian
(justices of peace).102 Sayangnya, salinan surat pengangkatan mereka
tidak sempat lagi diserahterimakan sebagaimana mestinya. Pada
keesokan harinya, tanggal 4 Maret 1801, surat-surat tersebut masih
berada di kantor kepresidenan. Karena itu, ketika Thomas Jefferson
sebagai Presiden baru mulai bekerja pada hari pertama, surat-surat itu
ditahan oleh James Madison yang diangkat sebagai Menteri Luar Negeri
menggantikan John Adams.
Atas dasar penahanan surat itulah maka William Marbury dan
kawan-kawan melalui kuasa hukum mereka, Charles Lee (mantan Jaksa
Agung Federal), mengajukan tuntutan langsung ke MA yang dipimpin
oleh John Marshall agar sesuai kewenangannya memerintahkan
Pemerintah melaksanakan “writ of mandamus’ dalam rangka
penyerahkan surat-surat pengangkatan tersebut. Karena pengangkatan
mereka menjadi hakim telah mendapat persetujuan Kongres
sebagaiamana mestinya dan pengangkatan itu telah pula dituangkan
dalam Keputusan Presiden yang telah ditandatangani dan dicap resmi
(sealed).
101 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit., hlm. 17.102 Ibid., hlm. 18.
Dalam dalil gugatannya, Charles Lee menguraikan bahwa
berdasarkan Judiciary Act Tahun 1789, MA bewenang memeriksa dan
memutus perkata yang mereka ajukan serta mengeluarkan “writ of
mandamus” yang mereka tuntut. Namun Pemerintahan Jefferson tetap
menolak, bahkan menolak pula memberikan keterangan yang diminta
oleh MA agar pemerintah menunjukkan bukti-bukti mengapa menurut
Pemerintah “writ of mandamus” seperti yang didalihkan penggugat tidak
dapat dikeluarkan. Malah sebaliknya, Kongres yang dikuasai oleh kaum
Republik yang berpihak kepada Presiden Thomas Jefferson mengesahkan
UU yang menunda persidangan MA salama lebih dari 1 tahun.
Pada persidangan yang dibuka pada Februari 1803, Marbury Vs.
Madison ini kembali menjadi pusat perhatian. Dalam putusan yang ditulis
sendiri oleh John Marshall jelas sekali bahwa MA membenarkan bahwa
pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang
ditentutukan oleh hukum sehingga Marbury dan kawan-kawan dianggap
memang berhak atas surat-surat pengangkatan mereka itu menurut
hukum. Namun MA sendiri dalam putusannya menyatakan tidak
berwenang memerintahkan kepada aparat untuk menyerahkan surat-
surat dimaksud. Selanjutnya, MA menyatakan bahwa permohonan
mengenai “writ of mandamus” sebagaimana ditentukan oleh Section 13
dari Judiciary Act Tahun 1789 tidak dapat dibenarkan karena
bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika. Oleh karena
itu, dalil yang diajukan oleh MA untuk memeriksa perkara tersebut bukan
bersumber dari Judiciary Act Tahun 1789, akan tetapi dari kewenangan
untuk menafsirkan konstitusi.103
Dalam putusan tersebut, meskipun MA dalam
pertimbangannya menyatakan hak Marbury dan kawan-kawan adalah sah
menurut hukum, tetapi gugatan Marbury dan kawan-kawan ditolak
103 Ibid., hlm. 20.
karena MA menyatakan tidak berwenang mengeluarkan “writ of
mandamus” seperti yang diminta. Namun demikian, yang lebih penting
lagi putusan itu membatalkan UU yang mengatur mengenai “writ of
mandamus” itu sendiri yang dinilai oleh MA bertentangan dengan
ketentuan Article III Section 2 Konstitusi Amerika.
Dalam putusan itu, titik pemahaman penting adalah argumen
bahwa MA merupakan pengawal konstitusi (the Guardian of the
Constitution of the United States of America) yang bertanggung jawab
menjamin agar norma dasar yang terkandung di dalamnya sungguh-
sungguh ditaati dan dilaksanakan.104 Dengan sendirinya, menurut John
Marshall segala UU buatan Kongres apabila bertentangan dengan dengan
konstitusi sebagai “the supreme law of the land” harus dinyatakan “null
and void.” Kewenangan inilah yang kemudian dikenal sebagai Judicial
Review sebagai sesuatu yang sama sebali baru dalam perkembangan
hukum di Amerika Serikat sendiri maupun di dunia. Perlu dicatat bahwa
kewenangan membatalkan undang-undang itu sama sekali tidak pernah
dicantumkan dalam konstitusi105, karena itu merupakan sesuatu yang
sama seali baru bahkan dalam sejarah hukum di dunia, karena yang telah
berkembang sebelumnya adalah kewenangan untuk menilai106, dan tidak
sampai membatalkan seperti dalam perkara Marbury V.s. Madison itu.107
Oleh sebab itu, menurut penulis, dengan keaktifan hakim agung di bawah
104 Ibid., hlm. 19-20.105 Dikatakan oleh seorang penulis, “the text of the American Constitution is silent on
the issue and it was not until the 1803 in Marbury v. Madison.” Lihat: Louis Henkin, 1990, TheAge of Rights, New York: Columbia University Press, hlm. xviii dan 65.
106 Di Amerika Serikat sendiri, hanya ditemukan 5 (lima) perkara pada awalpelaksanaan konstitusi, termasuk perkara Marbury, yang mana putusannya menolakpemberlakuan Undang-Undang karena bertentangan dengan konstitusi. Lihat dalam Larry D.Kramer, “The Supreme Court 2000 Term: Foreword: We the Court”, Harvard Law Review, Vol115, No. 4, 2001.
107 Saikrishna B. Prakash & John C. Yoo, “The Origins of Judicial Review”, University ofChicago Law Review, Vol. 70, 2003, hlm. 913.
pimpinan John Marshall, maka lahirlah putusan yang melampaui
preseden dan konstitusi, untuk menegakkan paham supremasi konstitusi
itu sendiri.108 Dengan substansi demikian maka Judicial Review dalam
putusan John Marshall tersebut berada dalam kategori Judicial Activism
seperti sudah dipaparkan di bagian terdahulu dari bab ini.109
Pada awal revolusi sendiri, MA Amerika Serikat tidak menerima
perkara yang substansinya adalah Judicial Review, guna memeriksa suatu
UU yang bertentangan dengan konstitusi.110 Dalam riset yang dilakukan
oleh William Casto, sampai saat itu MA percaya bahwa tidak ada UU yang
dibatalkan, sepanjang tidak pernah ada perselisihan pelaksanaan
konstitusi.111 David Currie, yang melakukan riset terhadap kinerja MA
selama 100 tahun sejak 1801, mencatat bahwa sebelum putusan Marbury
itu tidak ada perkara yang meragukan untuk diputus menurut ketentuan
dalam konstitusi.112
Jika dicermati sesungguhnya dalam putusan Marbury “did not
found judicial review because the practice was well established before the
case was decided”113, dan juga karena para pendiri negara beranggapan
108 Dapat dikatakan bahwa konstitusi telah ditafsirkan sedemikian rupa dengankeaktifan hakim, yang menyebabkan timbulnya norma baru yang jauh dari kehendak parapembentuk Undang-Undang Dasar itu sendiri. Baca: Davison Douglas, “The Rhetorical Uses ofMarbury v. Madison: The Emergence of a Great Case”, Wake Forest Law Review, Vol. 28, 2003, ,hlm. 386.
109 Seorang pakar menulis, bahwa formulasi pemahaman yang harus disusun adalahadanya momentum dalam perkara Marbury dan judicial review merupakan doktrin baru akibatputusan itu. Ditulis bahwa “[I]f any legal doctrine can be said to have been created in a moment,judicial review is that doctrine and Marbury is the moment.” Selengkapnya lihat: Suzanna Sherry,“The Founders’ Unwritten Constitution”, University of Chicago Law Review, Vol. 54, 1987,hlm.1127.
110 Gordon Wood, “The Origins of Judicial Review Revisited, or How the Marshall CourtMade More out of Less”, Washington & Lee Law Review, Vol. 56, 1999, hlm. 787 dan 809.
111 Ibid., hlm. 799.112 Ibid., hlm. 789.113 Mary Sarah Bilder, “The Corporate Origins of Judicial Review”, Yale Law Journal,
Vol. 116, 2006, hlm. 504.
bahwa “that the Court would exercise this power.”114 Dengan demikian,
seorang penulis mengatakan bahwa “Marbury did not become a famous
case, moreover, until the latter part of the nineteenth century when the
Supreme Court first began to flex its power of judicial review.”115 Bahkan
“The Supreme Court did not seriously take up the invitation to enforce
individual rights until after World War II.”116 Lagipula, seperti disampaikan
oleh Philip Hamburger, “There is no evidence that seventeenth- and
eighteenth-century judges described their constitutional decisions as
judicial review.”117 Setelah memperhatikan paparan tersebut, kiranya
rasional apa yang dikemukakan oleh Philip Hamburger, bahwa dalam
Judicial Review tersebut “judges have a distinct power to review statutes
and other government acts for their constitutionality.”118 Konteks dari
Judicial Review tersebut adalah “a judge has an office or duty, in all
decisions, to exercise judgment in accordwith the law of the land”.119
Dengan pengertian, Philip Hamburger menyebutkan Judicial Review
merupakan bentuk lain dari Judicial Duty.
Sekalipun secara konvensional diperlihatkan dalam putusan
John Marshall yang amat terkenal dalam perkara Marbury Vs. Madison
(1803), praktis judicial review telah dikenal dengan baik pada masa
kolonial Amerika.120 Penyokong mekanisme ini adalah 3 gagasan besar
yang muncul saat revolusi awal yaitu konsep hukum tertinggi (the higher
114 Jack N. Rakove, “The Origins of Judicial Review: A Plea for New Contexts”, StandfordLaw Review, Vol. 49, 1997, hlm. 1031-1047.
115 Davison M. Douglas, op.cit., hlm. 375.116 Ibid., hlm. 377.117 Philip Hamburger, 2008, Law and Judicial Duty, Masschucet, Standford University
Press, hlm. 188-189.118 Philip Hamburger, “A Tale of Two Paradigm: Judicial Review and Judicial Duty”,
Stanford Law Review, Vol. 78, No, 6, 2010, hlm. 1162.119 Ibid.120 Diskusi yang menarik soal ini, periksa: W.M. Treanor, “Judicial Review Before
Marbury”, Stanford Law Review, Vol. 58, 2005, hlm. 455-462.
law), kontrak sosial, dan supremasi konstitusi. Konsep hukum tertinggi—
yang diwariskan dari tradisi Nasrani, mengisnyaratkan bahwa apabila di
dalam suatu sistem hukum terbagi atas hukum tertinggi dan hukum
dengan tingkatan lebih rendah, ada kebutuhan untuk membatasi bahwa
hukum yang lebih rendah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
hukum yang tertinggi. Teori kontrak sosial—versi John Locke—
memberikan pemahaman bahwa kewajiban pemerintah adalah untuk
menyelenggarakan hak-hak dasar individu. Jika pemerintah abai terhadap
komitmen tersebut, maka individu berhak untuk menuntut penegakan
kontrak tadi. Untuk mempertegas tuntutan tersebut, maka kontrak sosial
tadi—sebagai inovasi ketatanegaraan Amerika—diwujudkan dalam
dokumen konstitusi.121
Hanya saja penerimaan konstitusi sebagai hukum yang
tertinggi, tidak diikuti dengan ketentuan mengenai desain institusional
sebagai mekanisme untuk mempertahankan supremasi tersebut. Para
hakim sendiri tunduk kepada tradisi Anglo-American yang menjunjung
tinggi legalitas hukum, sebagai warisan tradisi otonomi hukum Inggris.
Menurut Ginsburg, “autonomy is not itself supremacy.”122 Bahkan,
pendapat hakim Coke dalam perkara Bonham (1609-1610) yang
memanggil hakim untuk meninggal kaidah hukum yang bertentangan
dengan tradisi common law dan nalar tidak mendapatkan tanggapan
selama kejayaan kedaulatan Parlemen pada abad ke-17 di Inggris.
Pendapat Coke tersebut bersandar kepada argumentasi para pengacara
muda di Amerika yang tidak menyukai prinsip supremasi parlemen di
Inggris. Tradisi yang mengakar mengenai otonomi hukum dan hukum
alam mendorong sistem common law sebagai sumber bagi para hakim
121 Tom Ginsburg, “The Global Spread of Constitutional Review”, op.cit., hlm. 82.122 Ibid.
untuk menciptakan mekanisme adjudikasi sebagai pengawal hukum
dalam kemerdekaan Amerika.
Oleh sebab itu, judicial review pada hekakatnya merupakan
ekspressi alamiah dari sistem Anglo-American dalam era positivisasi
legislasi; sesuatu yang tidak dikenal dalam tradisi hukum Islam, China,
atau Romawi.123 Seperti ditulis Saphiro, “The Islamic tradition had a
strong emphasis on religiously-rooted natural law contrainst on temporal
rulers, but lacked a general theory of legislation.”124 Sementara itu, tradisi
China “had a theory of legislation but no notion of institutional constraint
on the Emperor, who stood at the center of the cosmological system.”125
Pada awal revolusi sendiri, Mahkamah Agung Amerika Serikat
tidak menerima perkara yang substansinya adalah Judicial Review, guna
memeriksa suatu Undang-Undang yang bertentangan dengan
konstitusi.126 Dalam riset yang dilakukan oleh William Casto, sampai saat
itu Mahkamah Agung percaya bahwa tidak ada UU yang dibatalkan,
sepanjang tidak pernah ada perselisihan pelaksanaan konstitusi.127 David
Currie, yang melakukan riset terhadap kinerja Mahkamah Agung selama
100 tahun sejak 1801, mencatat bahwa sebelum putusan Marbury itu
tidak ada perkara yang meragukan untuk diputus menurut ketentuan
dalam konstitusi.128
Jika dicermati sesungguhnya dalam putusan Marbury “did not
found judicial review because the practice was well established before the
123 Ibid., hlm. 83.124 M. Saphiro, “The Globalization of Judicial Review”, dalam H. Scheiber dan L.
Friedman (Editors), 1996, Legal Culture and the Legal Profession, Boulder Colo, Westview, hlm.105.
125 Ibid.126 Gordon Wood, op.cit., hlm. 787 dan 809.127 Ibid., hlm. 799.128 Ibid., hlm. 789.
case was decided”129, dan juga karena para pendiri negara beranggapan
bahwa “that the Court would exercise this power.”130 Dengan demikian,
seorang penulis mengatakan bahwa “Marbury did not become a famous
case, moreover, until the latter part of the nineteenth century when the
Supreme Court first began to flex its power of judicial review.”131 Bahkan
“The Supreme Court did not seriously take up the invitation to enforce
individual rights until after World War II.”132 Lagipula, seperti disampaikan
oleh Philip Hamburger, “There is no evidence that seventeenth- and
eighteenth-century judges described their constitutional decisions as
judicial review.”133 Setelah memperhatikan paparan tersebut, kiranya
rasional apa yang dikemukakan oleh Philip Hamburger, bahwa dalam
Judicial Review tersebut “judges have a distinct power to review statutes
and other government acts for their constitutionality.”134 Konteks dari
Judicial Review tersebut adalah “a judge has an office or duty, in all
decisions, to exercise judgment in accordwith the law of the land”.135
Dengan pengertian, Philip Hamburger menyebutkan Judicial Review
merupakan bentuk lain dari Judicial Duty.
Menurut Philip Hamburger, memahami Judicial Review tanpa
mengkaitkannya dengan duty of judge, maka
[I]t is difficult to find constitutional authority forconstitutional decisions, and it therefore seems that earlyAmerican judges in the 1780s, and especially after 1789,must have created their own most significant power—as ifthey lifted themselves up by their bootstraps to achieve a
129 Mary Sarah Bilder, op.cit., hlm. 504.130 Jack N. Rakove, op.cit., hlm. 1031-1047.131 Davison M. Douglas, op.cit., Vol. 38, hlm. 375.132 Ibid., hlm. 377.133 Philip Hamburger, op.cit., hlm. 188-189.134 Philip Hamburger, “A Tale of Two Paradigm, op.cit., hlm. 1162.135 Ibid.
power their constitutions apparently did not give them. Thejudicial review paradigm thereby implies that constitutionaldecisions have only a rather contingent authority and thatthe judges have a remarkable degree of power, including adiscretionary power of their own rule.”136
Namun, apabila memahami Judicial Review atas dasar
kewajiban para hakim, maka di dalam praktik “judges have no distinct
power over the constitutionality of government acts, but rather must
make decisions on such matters because it is part of their office or
duty.”137 Oleh sebab itu, menurut penulis, Judicial Review dalam tradisi di
Amerika Serikat merupakan bagian dari Judicial Duty dan tidak
merupakan paradigm peradilan tersendiri. Menjadikan Judicial Review
sebagai paradigm akan menyebabkan kesulitan dan keragu-raguan
mengenai dasar legitimasinya karena tidak ada kualifikasi dalam
konstitusi.138
Sejauh ini menurut Suzanna Sherry, telah berkembang luas
mengenai gagasan Judicial Review.139 Dalam tulisan yang sama, Sherry
menegaskan bahwa hakekat Judicial Review adalah “that statutes would
be judged for their consistency with fundamental principles of natural
law, as well as for their consistency with the written constitution.”140
Substansi pendapat yang sama dianut oleh Randy Barnet141, Helen K.
Michael142, dan Althur Wilmarth, Jr.143 Hampir setengah abad kemudian,
136 Ibid.137 Ibid.138 Lihat juga komentar senada: William W. Van Alstyne, “A Critical Guide to Marbury v.
Madison”, Dule Law Journal, Vol. 22, 1989, No. 1.139 Suzanna Sherry, op.cit., hlm. 1127.140 Ibid.141 Randy Barnett, “Reconceiving the Ninth Amendment”, Cornell Law Review, Vol. 74,
1988.142 Helen K. Michael, “The Role of Natural Law in Early American Constitutionalism”,
North Carolina Law Review, Vol. 69, 1991, hlm. 421.
putusan serupa tidak pernah lagi terjadi, sampai dengan Putusan Dred
Scott selama terjadinya perang sipil.144
Praktik Mahkamah Agung Amerika Serikat dewasa ini juga telah
menghasilkan pemahaman yang lebih luas lagi sehubungan dengan
pengertian dan ruang lingkup Judicial Review. Mahkamah Agung
membatalkan Undang-Undang yang disusun oleh Konggres dengan alasan
bertentangan dengan prinsip-prinsip federalisme.145 Namum demikian,
perkembangan praktik itu tetap bertumpu pada satu pemahaman, bahwa
sejak semula hakekat Judicial Review adalah “Judicial supremacy in
constitutional interpretation.”146 Dalam bahasa lain, Kramer mengatakan
bahwa hakekat awal Judicial Review adalah “a power to be employed
cautiously, only where the unconstitutionality of a law was clear beyond
doubt.”147 Hal ini, lanjut Kramer, bahwa para pendiri negara “expected
constitutional limits to be enforced through politics and by the people
rather than in the courts”, yang berarti juga ““judges did not confine
themselves strictly to text” dan “drew on well-established principles of the
customary constitution.”148 Dengan demikian, dikembangkan justifikasi
Judicial Review dengan dalil “a theory of interpretation.”149
143 Arthur Wilmarth, Jr., “Elusive Foundation: John Marshall, James Wilson, and theProblem of Reconciling Popular Sovereignty and Natural Law Jurisprudence in the New FederalRepublic”, George Wahington University Law Reviwe, Vol. 72, 2003.
144 Lino A. Graglia, “Constitutional Law without the Constitution: The Supreme Court’sRemaking of America” dalam Robert H. Bork, ed., 2005, A Country I Do Not Recognize: The LegalAssault on American Values , Stanford: Hoover Institution Press, hlm. 8.
145 William Michael Treanor, “Judicial Review Before Marbury”, Stanford Law Review,2005, hlm. 11.
146 Ibid., hlm. 12.147 Larry D. Kramer, op.cit., hlm. 161-162.148 Ibid., hlm. 99.149 Rudolf B. Schlesinger et al, 1998, Comparative Law: Cases-Text-Materials, New York:
Foundation Press, hlm. 283.
Gagasan “judicial review” menjadi isu sangat strategis dalam 2
(dua) hal yaitu “why do social movements contest constitutional meaning
by fighting over judicial appointments in the United States, and why does
such a strategy make little sense in democracies that constitutionalized
rights in the late twentieth century?”150 Secara politik pula, pelembagaan
pengujian konstitusional di Amerika Serikat “has been both a model and
an anti-model in the worldwide spread.”151 Bagi yang setuju dengan
gagasan pengujian konstitusional—dan karena itu harus disebarkan ke
seluruh dunia—dilandaskan kepada asumsi bahwa “law is separate from
politics and that courts have the power and the duty to maintain that
distinction”152 dan juga karena “that courts that exercise judicial review
are powerful political as well as legal actors.”153
Dalam praktik pengujian di Amerika Serikat, pertumbuhan
pengujian UU sangat ketat. Dikatakan bahwa “Judicial review is not the
review of statutes at large; judicial review is constitutional review of
governmental action.”154 Pada sejumlah putusan, setiap Undang-Undang
yang dihasilkan Kongres, (i) “sejauh mungkin dihindarkan sebagai bagian
150 Baca: Mauro Cappelletti, “Repudiating Montesquieu? The Expansion and Legitimacyof ‘Constitutional Justice’”, Catholic University Law Review, Vol. 35, No. 1, 1995.
151 Heinz Klug, “Model and Anti-Model: The United States Constitution and the ‘Rise ofWorld Constitutionalism’”, George Washington Law Review, Vol. 3, 2000, hlm. 597.
152 Miguel Schor, “Mapping Comparative Judicial Review”, Washington University ofGlobal Studies Law Review, Vol. 7, 2008, hlm. 257.
153 Alec Stone Sweet, “Why Europe Rejected American Judicial Review and Why ItMayNot Matter” , Michigan Law Review, Vol. 101, 2003, hlm. 2744.
154 Black Law Dictionary 864 (8th ed. 2004) (defining judicial review as “[a] court’spower to review the actions of other branches or levels of government; esp., the courts’ power toinvalidate legislative and executive actions as being unconstitutional” (emphasis added). Dalamsuatu putusannya, Mahkamah Agung Federal mengatakan bahwa “The Court must either holdthat the Suspension Clause has ‘expanded’ in its application to aliens abroad, or acknowledgethat it has no basis to set aside the actions of Congress and the President.” Putusan PerkaraBoumediene v. Bush, 128 S. Ct. 2229, 2297 n.2 (2008).
dari pertentangan antarcabang kekuasaan”155, (ii) “ditetapkan sebagai
suatu rangkaian keputusan yang konstitusional hingga terbukti
sebaliknya”156, (iii)“dihindarkan dalam pengujian oleh badan
peradilan”157, dan (iv) “merupakan produk koordinatif antara pemerintah
dan Konggres sehingga harus dibuktikan batas-batas konstitusi yang
dilanggar oleh Konggres”158. Kemudian, jika pengadilan memandang
hanya terdapat satu doktrin saja untuk menyelesaikan sengketa
konstitusional, maka permohonan harus diabaikan kecuali permohonan
itu benar-benar tidak dapat dihindarkan.159 Bahkan, suatu pengujian
Undang-Undang oleh Mahkamah Agung merupakan suatu “one of great
gravity and delicacy.”160 Oleh karena itu, menyatakan suatu produk
Konggres atau parlemen negara bagian bertentangan dengan konstitusi
berarti has rendered void its attempt at legislation.161
Argumen diperlukannya “judicia review” dalam format
American style ini adalah “it contributes to the efficacious protection of
155 Putusan Perkara Almendarez-Torres v. United States, 523 U.S. 224, 238 (1998) (“The[constitutional avoidance] doctrine seeks in part to minimize disagreement between thebranches by preserving congressional enactments that might otherwise founder on constitutionalobjections.”
156 Putusan Perkara Hepburn v. Griswold, 75 U.S. (8 Wall.) 603, 610 (1869) (“This courtalways approaches the consideration of [constitutional] questions of this nature reluctantly; andits constant rule of decision has been, and is, that acts of Congress must be regarded asconstitutional, unless clearly shown to be otherwise.”).
157 Putusan Perkara Ashwander v. Tenn. Valley Auth., 297 U.S. 288, 345-49 (1936)(Brandeis, J., concurring) (affirming the principle that the judiciary should avoid constitutionalquestions and enumerating seven strategies for doing so”).
158 Putusan Perkara United States v. Morrison, 529 U.S. 598, 607 (2000) (“Due respectfor the decisions of a coordinate branch of Government demands that we invalidate acongressional enactment only upon a plain showing that Congress has exceeded its constitutionalbounds.”).
159 Putusan Perkara Spector Motor Serv. v. McLaughlin, 323 U.S. 101, 105 (1994) (“Ifthere is one doctrine more deeply rooted than any other in the process of constitutionaladjudication, it is that we ought not to pass on questions of constitutionality . . . unless suchadjudication is unavoidable.”
160 Putusan Perkara Adkins v. Children’s Hosp., 261 U.S. 525, 544 (1923).161 Putusan Garland, 71 U.S. (4 Wall.) 333, 382 (1866) (Miller, J., dissenting).
rights162, to the operation of representative institutions163, to the stability
of legal decisions and settlement of disputes, to the realization of
decisions made during constitutional moments or to the maintenance of
other valuable aspects of liberal democracy.”164 Namun demikian, tetap
saja bahwa “Judicial review can be successfully justified if it can be shown
that individuals have a right to the judicial review of legislative decisions
independent of the “correctness” of judicial decisions or other long-term
contingent effects of judicial decision-making.”165 Hal ini karena “Judicial
review provides an opportunity for individuals who believe (rightly or
wrongly) that their rights have been violated to raise their grievance
against the (actual or presumed) violation.”166
Penjelasan di atas membutuhkan sokongan ideologis terhadap
pengujian konstitusional, tetapi dalam sebagian tidak rinci sampai akhir
abad ke-18. Salah satu pemahaman mengenai hakekat judicial review
adalah “game theory” dan sebagian menyangkut pertentangan antara
Marshall dengan Jefferson dalam konteks perkara Marbury.167
Kontekstualisasi itu dijelaskan sebagai berikut:
162 Lihat uraian lengkap, antara lain: Jeremey Waldron, “Freeman’s Defense of JudicialReview”, Law & Philosophy, Vol. 13, 1994, hlm. 27-36; Richard H. Fallon, “An Uneasy Case forJudicial Review”, Harvard Law Review, Vol. 121, 2008, hlm. 1693-1699; dan Frank B. Cross,“Institutions and Enforcement of the Bill of Rights”, Cornell Law Review, Vol. 85, 2000, hlm. 1529-1576; dan Wojciech Sadurski, “Judicial Review and the Protection of Constitutional Rights”,Oxford Law Journal, Vol. 22, 2002, hlm. 275-278.
163 Hal ini disebabkan karena “the Constitution is designed to protect the representativenature of government.” Lihat dalam: Allan Hutchinson, ”A Hard Core Case against JudicialReview”, Harvard Law Review, Vol. 57, 2008.
164 Lihat uraian lengkap dalam: Thomas C. Grey, “Do We Have an UnwrittenConstitution?”, Stanford Law Review, Vol. 27, 1995, hlm. 703-714 dan Einer R. Elhauge, “DoesInterest Group Theory Justify More Intrusive Judicial Review”, Yale Law Journal, 1991, Vol. 101.
165 Yuval Eylon dan Alon Harel, “The Right to Judicial Review”, Virginia Law Review,Vol. 92, 2006, hlm. 991.
166 Ibid., hlm. 996.167 R. L. Clinton, “Game Theory, Legal History, and The Origins of Judicial Review: A
Revisionist Analysis of Marbury V. Madison, American Journal of Political Science, Vol. 38, 2004,hlm. 285.
Marshall, in deciding wheter to order Jefferson to deliver acommission he did not want to deliver, faced uncertaintyabout the prospects of compliance. Jefferson too faceduncertainty with regard to reactions of other political actorsto his various possible responses to Marshall. This set up agame theoretic situation in which alternative outcomesmight easily have resulted. Marshall could have declinded toclaim the power of judicial review, or deliverded it stillbornby ordering an action that woulrd generate presidentialdefiance. Instead, Marshall’s decision, to decline to irder thedelivery of Marbury’s ill-fated commission but to establishjudicial review, fit the strategic logic of the situation andestablished a new institutional equilibrium.
Pandangan pada perkara Marbury itu ditentang oleh Graber
yang mennggunakan “gradual political approach” terhadap pengujian
konstitusional, dengan mengatakan bahwa Madison dihadapkan pada
situasi tanpa pilihan apapun, sehingga Marshall menggagasnya sebagai
kunci untuk memberdayakan MA. Dalam hal ini Graber menguraikan
pendapatnya menurut konteks dan sejarah panjang relasi diantara
cabang-cabang kekuasaan dalam melaksanakan pengujian, dibandingkan
menurut pandangan pada kasus tunggal.168
Pandangan lain menggunakan pijakan federalisme sebagai
logika “judicial review” di masa awal pertumbuhan Amerika. Terdapat 2
alasan mendasar atau saling melengkapi dengan mengkaitkan
federalisme dan “judicial review.” Pertama, ketika terdapat 2 (dua)
badan atau tingkat pembentuk hukum dengan yurisdiksi yang berbeda,
maka memungkinkan munculnya potensi konflik kewenangan. Pihak
ketiga yang netral menyelesaikan persoalan yang timbul manakala kedua
badan atau tingkat tersebut mengalami perselisihan.169 Bahkan, sistem
168 Lihat selengkapnya: M. Graber, “The Problematic Establishment of Judicial Review”,dalam H. Gillman dan C.Clayton (Editors), 1999, The Supreme Court in American Politics,Lawrence, University of Kansas Press, hlm. 28-42.
169 M. Saphiro, “The Globalization of Judicial Review”, op.cit., hlm. 106-107.
federal nampaknya mempersyaratkan mekanisme semacam itu guna
menyelesaikan sengketa kewenangan, dan kesesuaian antara federalisme
dengan “judicial review” dapat diilustrasikan dengan banyaknya sistem
federalisme yang mengatur pula ketentuan mengenai “judicial review.”
Logika cabang-cabang kekuasaan dalam federalisme menampakkan
struktur yang berkarakter fungsional, yang menuntut mekanisme
penyelesaian perselisihan diantara cabang dan tingkat kekuasaan dalam
struktur negara yang kompleks dan pembentuk hukum yang majemuk.
Kedua, relasi federalisme dan “judicial review” adalah
menyangkut kawasan perdagangan bebas (free trade).170 Dalam suatu
kawasan perdagangan bebas dengan pembentuk hukum yang beragam,
negara di hadapkan pada tindakan yang problematik terkait dengan
otoritas legislasi pada setiap badan. Terdapat kecenderungan bahwa
setiap negara bagian akan memberikan aturan-aturan yang terkait
dengan proteksi. Jika demikian yang terjadi, maka konsep perdagangan
bebas tidak dapat diberlakukan di seluruh wilayah. Setiap negara bagian
harus mempunyai komitmen untuk melaksanakan sistem tersebut pada
wilayah masing-masing. Ketentuan konstitusi yang membentuk
pengadilan sebagai badan netral menjadi diperlukan karena untuk
memastikan aturan-aturan yang ditetapkan oleh tiap-tiap negara bagian
berkesesuaian dengan komitmen prinsip perdagangan bebas.171 Bahkan,
dalam awal revolusi di Amerika, MA memberikan perhatian khusus
terhadap persoalan ini yang dikaitkan dengan konsilidasi kekuatan
nasional.
Pendekatan fungsional (game theory, federalism) dapat
digunakan untuk menjelaskan perluasan pengujian konstitusional. Asumsi
170 Ibid., hlm. 107.171 Y. Qian dan B. Weingast, “Federalism as a Commitment to Market Insentives”,
Journal of Economic Perspektive, Vol. 11, 2007, hlm. 89-93.
logis yang diuraikan dalam suatu perkara dapat digunakan untuk perkara
yang muncul berikutnya. Di luar Amerika, pengujian konstitusional jarang
diterima sampai dengan berakhirnya Perang Dunia II. Sebagai contoh, MA
Norwegia mempunyai kekuasaan serupa tapi cenderung untuk tidak
menggunakannya.172 Portugal telah mengadopsi “judicial review” pada
tahun 1909. Kelembagaan “judicial review” yang aktif dilaksanakan di
hampir semua negara federal seperti Amerika, Kanada, dan Australia.173
Meksiko mengadopsi bentuk lain dari CR, dikenal sebagai “amparo” yang
terbatas pada upaya hukum terhadap tindakan individu yang melanggar
konstitusi dan bentuk ini pada awal pertumbuhannya menyangkut
masalah federalisme.174
Kesesuaian antara federalisme dengan pengujian konstitusional
termasuk juga “free trade area” berlaku pula untuk menjelaskan dinamika
pengujian konstitusional di luar Amerika (khususnya dalam kasus Uni
Eropa). Pemerhati federalisme menyatakan bahwa pada abad ke-20,
keterkaitan itu menjadi terbatas, mengingat penerapan federalisme yang
tidak sama. Namun demikian, perkembangan pengujian konstitusional
setelah Perang Dunia II di banyak negara tanpa mengkaitkannya dengan
federalisme dan masalah internal “free trade area” menunjukkan bahwa
kedua faktor itu bisa saja berkesusian tidak tidak dibutuhkan sebagai
syarat pengadopsian.175
172 Baca selengkapnya: C. Smith, “Judicial Review of Parliamentary Legislation in theNorwegian System”, Public Law Journal, Vol. 45, 2000, hlm. 595-606.
173 Badnar, et.al., 2001, hlm. 246.174 Ibid., hlm. 249.175 Tom Ginsburg, “The Global Spread of Constitutional Review”, op.cit., hlm. 84.
D. Mahkamah Konstitusi sebagai Pilihan
Pada masa-masa berikutnya, penerimaan gagasan pengujian
konstitusional sebagaimana akan diuraikan dalam bagian ini, sesungguhnya
merujuk kepada pertumbuhan pengujian di Eropa. Jika diperhatikan pada
uraian sebelumnya, nampak bahwa “judicial review” dalam tradisi Amerika
menunjukkan “virtually unique in having judicial review, if judicial review
means a system in which ordinary judges can review and strike down
legislation.”176 Dalam tahap berikutnya, negara lain, khususnya di Eropa yang
bersedia menerima gagasan pengujian konstitusional, menolak apabila para
hakim dalam lingkungan peradilan umum dilibatkan dalam mekanisme
konstitusional tersebut.
Suatu hal yang menarik bahwa sesungguhnya di Eropa pengujian
konstitusional berasal dari Inggris, negara yang sering dianggap menempatkan
supremasi parlemen dan menolak pengujian Undang-Undang. Pada abad ke-
18, Privy Council (semacam Penasehat Kerajaan) diberikan wewenang untuk
membatalkan suatu Undang-Undang yang disusun oleh negara yang menjadi
koloni Inggris dengan alasan bertentangan dengan produk hukum yang
ditetapkan oleh Parlemen Inggris atau bertentangan dengan tradisi Common
Law.177 Pada perkembangan selanjutnya, pelembagaan pengujian
konstitusional dilaksanakan oleh Austria setelah Perang Dunia I178, dan pada
era yang sama pada Kanada179 dan Swedia180, lalu dikembangkan di Jerman181
176 John E. Ferejohn, “Constitutional Review in the Global Contex”, Journal ofLegislation and Public Policy, Vol. 6, 2002, hlm. 49.
177 Gagik Harutyunnyan, et.al, Study on Individual Accses to Constitutional Justice,Venice Comission, 27 Januari 2011, hlm. 10.
178 Hans Kelsen, “Judicial Review of Legislation, op.cit., hlm. 185–186. Baca juga:Stanley L. Paulson, “Constitutional Review in the United States and Austria: Notes on theBeginnings”, Ratio Jurist, Vol.16, 2003, hlm. 223.
179 Jennifer Smith, “The Origins of Judicial Review in Canada”, Canada Journal PolticalScience, Vol. 16, No. 1, 1993.
180 Michael Crommelin, “Intergovernmental Relations: Dispute Resolution in FederalSystems”, International Social Science Journal, Vol. 53, 2001, hlm. 139.
dan Italia182 setelah Perang Dunia II. Pelembagaan selanjutnya dilaksanakan di
Spanyol183 dan Portugal184 setelah kejatuhan rezim otoritarian. Pelembagaan
serupa berkembang lagi setelah runtuhnya Uni Soviet, di mana negara-negara
yang tergabung sebagai federasi mandiri sebagai negara tersendiri.185 Di era
pasca komunis tersebut, pelembagaan pengujian konstitusioanal
menunjukkan, “Subjecting their policy choices to judicial review, post-
Communist rulers demonstrate their commitment to democracy and the rule
of law to their domestic constituencies and to therest of the world.”186 Sampai
sekarang telah 78 negara yang mengadopsi kelembagaan pengujian
konstitusional tersebut.187 Perkembangan itu sepaket dengan munculnya
gelombang demokrasi baru dalam 2 (dua) dekade terakhir pada abad ke-20.188
Di Eropa, penerimaan gagasan pengujian konstitusional
berkembang dalam 3 tahap. Pertama, perkembangan di Jerman dan Italia
selepas Perang Dunia II. Kedua, “was after the collapse of the Spanish and
Portuguese authoritarian governments, and of the Greek dictatorship about
181 Donald P. Kommers, “The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic ofGermany, Journal of Comparative Law, Vol 3 No. 4, 1989.
182 Alessandro Pizzorusso, op.cit., , hlm. 111-114.183 Francisco Rubio Llorente, op.cit., , hlm. 127-131.184 Rett R. Ludwikowski, loc.cit.185 Robert F. Utter dan David C. Lundsgaard, op.cit., hlm. 585.186 Alexei Trochev, op.cit., hlm. 514.187 Seorang penulis berkata, ”Not so in the rest of the world. Around the globe, popular
as well as academic interest in courts and judicial review is growing.” Baca: H. Kawshi Prempeh,“Marbury in Africa: Judicial Review and the Challenge of Constitutionalism in Africa”, Tulane LawReview, Vol. 80, 2006, hlm. 2.
188 Diskusi soal ini periksa: Cheryl Saunders, “The Use and Misuse of ComparativeConstitutional Law”, Indiana Journal of Global Legal Studies, Vol. 13, 2006.
quarter century ago.”189 Ketiga, “followed the collapse of the Soviet Union
about ten years ago.”190 Menurut Schwartz:
Before World War II, few European States had constitutionalcourts, and virtually none exercised any significant judicialreview over legislation. After 1945 all that changed. WestGermany, Italy, Austria, Cyprus, Turkey, Yugoslavia, Greece,Spain, Portugal and even France…created tribunals with powerto annul legislative enactments inconsistent with constitutionalrequirements. Many of these courts have become significant—even powerful—actors.191
Hal itu dirintis pada abad ke-19, saat para sarjana Eropa mulai
memikirkan dampak pengujian model Amerika Serikat.192 Gagasan pengujian
di Amerika Serikat memperoleh perhatian dalam suatu perdebatan Majelis
Nasional Jerman pada pertemuan di Frankfrut tahun 1848.193 Sekalipun di
Frankfrut berlangsung diskusi yang menaruh harapan besar terhadap
pengujian dengan mengkaji secara sungguh-sungguh perkara Marbury, akan
tetapi di belahan Eropa yang lain secara berbeda disodorkan pemikiran oleh
Prancis mengenai kemungkinan penerapan model lain dalam
kelembagaannya. Sejumlah pakar di Eropa cenderung mencemaskan
pengujian model Amerika Serikat tersebut karena akan menjerumuskan ke
dalam sistem legislasi yang dipengaruhi oleh gerakan-gerakan sosial.194
189 Stephen Gardbaum, “The New Commonwealth Model of Constitutionalism”,American Journal of Comparative Law, Vol. 49, 2001, hlm. 714-715.
190 Rett R. Ludwikowski, “Fundamental Constitutional Rights in the New Constitutionsof Eastern and Central Europe”, Cordozo Journal of International & Contemporary Law, Vol. 3,1995, hlm. 73.
191 Herman Schwartz, "The New Eastern European Constitutional Courts”, MichiganJournal of International Law, Vol. 13, 2002, hlm. 763.
192 Helmut Steinberger, “Historic Influences of American Constitutionalism uponGerman Constitutional Development: Federalism and Judicial Review”, Columbia Journal ofTransnasional Law, Vol. 36, 2008, hlm. 193.
193 Ibid., hlm. 194.194 Alec Stone, 1992, The Birth of Judicial Politics in France: The Constitutional Council in
Comparative Perspective , New York: Oxford University Press, hlm. 37-40.
Sama halnya dengan gagasan “judicial review”, ide pengujian
konsttitusional di Eropa juga diwarnai dengan penerimaan dan penolakan.
Pada satu sisi, affinitas pengujian terjadi karena, “Judges frequently make
discretionary judgments when adjudicating constitutional cases.”195 Dalam
konteks ini, disekresi merupakan “refer to those judgments that courts must
make when, due to the indeterminacy of the relevant legal texts, there are two
or more ways in which a judge who conscientiously applies the interpretive
conventions of the legal profession could resolve a given dispute.196
Maknanya, dalam perkara konstitusi, hakim “often must choose from an array
of conflicting—yet conventionally permissible—interpretive options.”197
Sekalipun di lingkungan pengadilan diskresi tersebut lumrah, akan tetapi “in
popular political rhetoric, one often encounters fierce resistance to the
proposition that much of the Constitution‘s text is indeterminate and that
judges thus can reasonably disagree about what the Constitution prohibits or
permits.”198
Gagasan pengujian konstitusional juga memunculkan diskursus pada
saat berbicara mengenai efek dari wewenang pengujian, apakah mencakup
pemberlakuan UU sebelum putusan pengujian dijatuhkan (Retroactive
Perspective) atau mencakup pemberlakuan UU ke depan (Prospective
Perspective)? Dalam hal sifat putusan pengujian itu Retroactive Perspective,
maka “the law no longer exists and never did exist.”199 Putusan ini terjadi
195 Theodore A. McKee, “Judges as Umpires”, Hofstra Law Review, Vol. 35, 2007, hlm.1709-1710.
196 Todd E. Pettys, “Judicial Discretion in Constitutional Cases”, University of Iowa LegalStudies Research Paper, No. 10-36, Desember, 2010, hlm. 2.
197 Kent Greenawalt, “Discretion and Judicial Decision: The Elusive Quest for theFetters that Bind Judges”, Columbia Law Review, Vol. 75, 1995, hlm. 359.
198 Harry T. Edwards, “The Role of a Judge in Modern Society: Some Reflections onCurrent Practice in Federal Appellate Adjudication”, Cleveland State Law Review, Vol.32, 2003,hlm. 385.
199 Sujid Choudrhy dan Kent Roach, “Putting the Past Behind Us? Prospective Judicialand Legislative Constitutional Remidies”, Supreme Court Law Review, Vol. 26, 2006, hlm.211-212.
manakala “the substantive legal principles in force at the time of the
unconstitutional act.”200 Basis pemikiran ini adalah “the courts is that these
judgments declare the law as it has always been — that judges discover, not
make the law — and apply the pre-existing law to the dispute at hand.”201
Sementara itu, sifat Prospektif putusan menggambarkan bahwa putusan itu
berlaku “postpone the operative date of the judgment”202, yang dapat
dikatakan sebagai suatu “an exception to the norm of retroactive judicial law-
making.”203 Di dalam praktik, putusan ini kadang-kadang mencampuradukkan
keadaan masa transisi dan penolakan pembatalan suatu UU di mana
substansinya adalah “the suspended declaration of invalidity for a temporary
period of time, in order to give the government an opportunity to respond to
the court’s judgment with new legislation that complies with the Constitution”
sehingga menimbulkan kesan “make courts look like legislatures”204, karena
“The courts have actively participated in this change in the legislative role, by
remanding remedial issues to legislatures.”205 Putusan ini dalam praktik
memnimbulkan kontroversi karena “Suspended declarations of invalidity are
deeply controversial, because they allow an unconstitutional state of affairs to
persist, thereby posing a threat to the very idea of constitutional
supremacy.”206
Oleh sebab itu tidak kurang pula sejumlah penulis yang menetang
adanya CR tersebut. Misalnya pemikir J.A.G. Griffith yang dalam basis
argumennya menolak adanya wewenang untuk menguji konstitusionalitas
200 Ibid., hlm. 213.201 Kent Roach, 1995, Constitutional Remedies in Canada, Aurora, Canada Law Book,
hlm. 920.202 Sujid Choudrhy dan Kent Roach,op.cit., hlm. 217.203 Ibid., hlm. 218.204 Ibid., hlm. 226.205 Ibid., hlm. 227.206 Ibid., hlm. 230.
Undang-Undang. Dalam pandangan Griffith, merupakan sesuatu yang
“misleading to speak of certain rights of the individual as being fundamental
and inherent in the person of the individu”207 dan akibatnya “so-called
individual or human rights are no more or no less than political claims made
by individuals on those in authority.”208 Griffith juga mengatakan pendapat itu
tersusun dari anggapan bahwa “law is not and cannot be a substitute for
politics”209 dan adanya Constittutional Review akan menyebabkan “pass
political decisions out of the hands of politicians and into the hands of judges
or other persons.”210 Demikian juga dengan J. Waldron211 dan R. Bellamy.212
Penentangan terhadap pengujian konstitusional tersebut secara
epistimologis berbeda dengan argumen bahwa pemenuhan hak-hak individu
dapat dipaksakan oleh pengadilan sebagai salah satu kelaziman dalam
demokrasi konstitusional. Dapat ditunjuk di sini penulis seperti John Rawls213,
207 J.A. G. Griffith, “The Political Constitution”, Michigan Law Review, Vol. 42, 1989,No. 1.
208 Ibid., hlm. 17. Baca juga: T. Poole, “Tilting at Windmills? Truth and Illusion in thePolitical Constitution’”, Michigan Law Review, Vol. 70, 2007, hlm. 250.
209 Ibid., hlm. 16.210 Ibid.211 J. Waldron, “The Core Case Againts Judicial Review”, Yale Law JournalVol. 115,
2006, hlm. 1346. Tulisan Waldron sangat populer dalam banyak law journal dan telahmemperoleh tanggapan dari para pakar. Pada intinya, Waldron mengatakan bahwa pengadilanberhadapan dengan suatu perkara. Oleh karena itu, apa yang mereka putuskan sesungguhnyaakan mencerminkan kebijakan para hakim mengenai perkara tersebut dan tidaklah hal inidipersamakan dengan pandangan serupa dari kalangan legislator maupun pejabat pemerintah.Oleh sebab itu, sekalipun memandang bahwa constitutional review sangat berkaitan dengandemokrasi, tetapi Waldron berpendapat hal itu dapat dilaksanakan jika didukung dengan kondisiyang demokratis juga. Salah satu tulisan yang menurut saya cukup bagus dalam mengupas dansekaligus melahirkan kritik terhadap Waldron adalah tulisan Richard H. Fallon. Baca: Richard H.Fallon, Jr., op.cit., , hlm. 1693.
212 R. Bellamy, 2007, Political Constitutionalism, A Republican Defence of theConstitutionality of Democracy, Cambridge: Cambridge University Press. Dalam salah satu bagiandari tulisan tersebut Bellamy menolak pandangan kalau pemenuhan hak individu akan terlaksanajika individu berhadapan dengan negara, karena pemenuhan tersebut lebih mencerminkankondisi “continuously reflexive process, with citizens reinterpreting the basis of their collective lifein new ways that correspond to their evolving needs and ideals.”
213 John Rawls, 1996, Political Liberalism, Columbia University Press.
R. Dworkin214, P. Pettit215, C. Sunstein216, dan F. Michelman.217 Sekalipun
berbasis liberal, menurut penulis, pandangan para penulis terakhir tersebut
dapat diterima dibandingkan argumen Waldron dan Belammy, karena
sesungguhnya tidak setiap keputusan yang dilakukan oleh para legislator
dapat mencerminkan kaidah-kaidah demokrasi itu sendiri. Dalam kaitan ini,
mempertahankan keberadaan hak-hak individu sebagaimana jaminan
konstitusi melalui pengujian konstitusional menjadi dapat diterima.
Figur utama dalam pemikiran pengujian konstitusional di Eropa
adalah Hans Kelsen.218 Menurut Kelsen, dalam penerapan di Eropa, pengujian
konstitusional akan menampakkan benturan pemikiran diantara sentuhan
konstitusi dengan persoalan politik. Hal ini karena “that civil law courts were
not attractive organs to endow with the power of constitutional interpretation
because they were staffed by civil servants and were ideologically accustomed
to being subservient to legislatures.”219 Dengan demikian yang diperlukan
adalah “a specialized constitutional court that could speak with a single,
authoritative voice and have equal dignity with the legislature.”220 Pada sisi
214 Ronald Dworkin, 1996, Freedom’s Law: The Moral Reading of the AmericanConstitution, Oxford: Oxford University Press.
215 P. Pettit, 1997, Republicanism, A Theory of Freedom and Government, Oxford:Clarendon Press.
216 C. Sunstein, “Beyond the Republican Revival”, Yale Law Journal, Vol. 97, 1998,hlm.1539.
217 F. Michelman, ‘Foreword: Traces of Self-Government”, Harvard Law Review, Vol.100, No. 4, 1996.
218 Profesor tata negara Austria ini memegang peran penting dalam menyusunKonstitusi Autria 1920, yang antara lain memuat mengenai ketentuan-ketentuan yang berkaitandengan Constitutional Review. Pengaturan ini dapat dikatakan sebagai pengalaman yang palingberharga mengenai kelembagaan Constitutional Review khas Eropa sebelum Perang Dunia II.Penting juga dicatat bahwa Kelsen juga memegang peran penting saat penyusunan konstitusiJerman pasca Perang Dunia II. Diskusi lebih lanjut mengenai masalah ini, baca: Stanley L. Paulson,op.cit., hlm. 223.
219 Miguel Schor, “Judicial Review and American Exeptionalism”, op.cit., hlm.554.220 Ibid.
lain, tradisi Eropa menempatkan parlemen sebagai pemegang kedaulatan
yang kekuasaannya merajalela di atas konstitusi itu sendiri.
Dengan gagasan itu, Kelsen menganjurkan penolakan pengujian
model Amerika Serikat karena menganggap konstitusi merupakan suatu
bentuk hukum yang bersifat khusus dan ditentukan oleh faktor politik.221
Menurut Kelsen, dalam proses pembentukan hukum positif, lembaga yang
menyusunnya dengan sengaja juga dilekatkan wewenang untuk mencabut
hukum positif tersebut dan hal ini adalah pekerjaan Parlemen. Keberadaan
pengadilan adalah “would therefore be circumscribed by carefully drafting
constitutions to exclude from judicial competence broad principles such as
equality, justice, and liberty.”222 Dengan demikian, akan tercipta “effect
horizontal and vertical separation of powers, but courts would gain too much
influence if they had a broad power to construct rights.”223
Namun gagasan Kelsen mengenai batasan pengadilan untuk
construct rights ditentang oleh pemikir hukum di Eropa. Pengalaman
kejahatan perang oleh Jerman dan praktik-praktik antidemokrasi lain justru
harus memaksa pengadilan untuk melaksanakan hak-hak asasi.224 Walaupun
demikian ada 3 hal pokok warisan pemikiran Hans Kelsen dalam pengujian di
Eropa. Pertama, pengujian dilakukan secara terkonsentrasi oleh suatu badan
pengadilan khusus yang menangani perkara konstitusi dibandingkan
wewenang yang terdesentralisasi di semua tingkatan pengadilan seperti di
Amerika Serikat. Kedua, pengujian tidak perlu mensyaratkan terjadinya suatu
perkara konkrit sehubungan dengan legislasi, bahkan suatu Undang-Undang
221 Mark Tushnet, “Marbury v. Madison Around the World”, Tennesse Law Review, Vol.71, 2004, hlm. 251.
222 Alec Stone Sweet, “Why Europe Rejected American Judicial Review and Why It MayNot Matter” , op.cit., hlm. 2766.
223 Stanley L. Paulson, “Constitutional Review in the United States and Austria: Noteson the Beginnings”, op.cit., hlm. 2767,
224 Mauro Cappelletti, “Repudiating Montesquieu? The Expansion and Legitimacy of‘Constitutional Justice’, op.cit., hlm. 5-6.
yang belum berlaku sekalipun dapat dimohonkan pengujian. Ketiga, pengisian
jabatan hakim memerlukan dukungan Parlemen.225
Sebelum mengerucut gagasan mengenai pengujian yang dilekatkan
pada organ khusus pengadilan di luar Mahkamah Agung, di Austria sendiri
sudah muncul gagasan untuk mengadopsi model Marbury. Pada tahun 1867,
MA Austria mendapatkan kewenangan baru untuk menangani sengketa
yuridis yang berkenaan dengan perlindungan hak-hak politik individu vis a vis
pemerintah (public administration).226 Sebaliknya, pengadilan negara-negara
bagian membuat putusan yang berkenaan dengan constitutional complaint
(Statliche Verfassungsbeschwerde). Perkembangan yang terjadi ini yang
selanjutnya makin mendorong lahirnya ide Hans Kelsen untuk membentuk
mahkamah yang berdiri sendiri di luar MA Austria.227
Sementara itu, di negara-negara lain, muncul pula berbagai
perkembangan baru untuk mengadopsi gagasan pengujian tersebut.
Pengaturan aspek-aspek pengujian di Swiss sudah diatur dalam Konstitusi
Federal 1848. Akan tetapi MA baru memperoleh wewenang resmi yang lebih
luas dengan Perubahan Konstitusi Federal pada tahun 1874. Di Norwegia, ide
mengenai pengujian tumbuh dari perkembangan pemikiran hukum sejak
tahun 1890. Sementara itu, Romania memperkenalkan pengujian
konstitusional sebelum Perang Dunia I dengan mengikuti model Amerika
Serikat.228 Negara lain yang hingga sebelum Perang Dunia II mengadopsi
pengadilan konstitusi model Austria adalah Cekoslovakia (1920),
Di Italia, secara resmi pengujian diterapkan pertama kali pada
Konstitusi 1948 pasca kejatuhan pemerintahan fasis. Konstitusi baru, yang
kerap disebut sebagai konstitusi demokrasi, menyandarkan kekuasaan pada
225 Patricio Navia & Julio Rios, “The Constitutional Adjudication Mosaic of LatinAmerica” , Comprative Politic Studies, hlm.189.
226 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitutional, op.cit., hlm. 24.227 Ibid.228 Ibid., hlm. 25.
kedaulatan rakyat, akan tetapi disertai dengan pengakuan supremasi
konstitusi dengan perubahan yang bersifat rigid. Mekanisme pengujian diatur
pada Pasal 134-139 Konstitusi 1948 dengan membentuk MK sebagai organ
khusus di luar MA. Pilihan ini ditetapkan diantara berbagai gagasan mengenai
guarantee of the Constitution, dengan menolak pengujian model Amerika
Serikat dan menerima pemikiran Hans Kelsen. Namun pendirian Mahkamah
Konstitusi itu sendiri baru terlaksana pada tahun 1956 dan hampir selama
setengah abad kemudian, praktik pengujian berjalan secara dinamis, karena
bagaimanapun, badan pengadilan di lingkungan peradilan umum juga
memberikan kontribusi yang penting dalam pengujian tersebut.229
Berkebalikan dengan keadaan di atas, Belanda hingga sekarang
konsisten menerapkan argumen bahwa “The constitutionality of Acts of
Parliament and treaties shall not be reviewed by the courts.”230 Hal ini
menjadikan Belanda sebagai “as one of the last liberal democracies to insist
that the courts desist from reviewing the constitutionality of acts of
parliament.”231 Di Belanda telah disusun Konstitusi 1814 dan direvisi tahun
1848, yang dalam proses tersebut “the inclusion of fundamental rights that
the question of the courts’ role regarding such new rights became a bone of
contention, one that ultimately led to the inclusion of the bar on constitutional
review.”232 Hal itu digambarkan oleh Thorbeke, pakar kenegaraan yang
pernah terlibat dalam penyusunan perubahan konstitusi pada masa itu, yang
mengatakan bahwa “adopting the bar on review would politically speaking be
easier to accomplish than to one day undo again.”233 Perdebatan mengenai
pengujian konstitusional terus diperbincangkan termasuk pada saat
229 Tannia Groppi, “The Italian Constitutional Court: Towards ‘A Multysystem’ ofConstitutional Review?”, op.cit., hlm. 101.
230 Charles F. Abernathy, op.cit., hlm. 595.231 Wolfgang Hoffmann‐Riem, op.cit., hlm. 595.232 Gerhard van der Schyff, op.cit., hlm. 276.233 Ibid.
Perubahan Konstitusi pada tahun 1983.234 Kondisi di Belanda dengan
demikian dapat digambarkan “it is intended to make the review of acts of
parliament impossible on constitutional grounds.”235
Sementara itu, Inggris dikenal sebagai negara yang memiliki tradisi
intelektual panjang untuk menolak memberdayakan pengadilan dalam skema
pengujian untuk melindungi hak-hak asasi. Jeremy Bentam merupakan sosok
penting dan berpengaruh untuk mengembangkan doktrin tersebut. Bentham
amat meragukan kemampuan pengadilan untuk dapat membatasi atau
mengawasi perilaku parlemen. Dikatakan oleh Bentham, “Give the judges the
power of annulling [Parliament’s] acts; and you transfer a portion of the
supreme power from an assembly which the people have had some share, at
least, in choosing, to a set of men in the choice of whom they have not had the
least imaginable share.”236 Wawasan Bentham itu lestari dalam formulasi
hukum tata negara Inggris baik dalam dimensi yang positif maupun negatif.
Dimensi positif maksudnya adalah memperkuat kedaulatan parlemen dalam
membentuk putusan-putusan yang partisipatorif, sementara dimensi negatif
adalah posisi untuk menolak memberikan kekuasaan pengujian kepada
pengadilan.237
Formulasi tersebut menjadi akar penolakan kuat terhadap pengujian
di Inggris dan kemudian telah menghasilkan banyak tulisan tentang itu.238
234 Maurice Adams & Gerhard van der Schyff, “Constitutional Review by the Judiciary inthe Netherlands: A Matter of Politics, Democracy or Compensating Strategy?”, Zeitchrift furAuslandisches Offentliches Recht Und Volkerrecht, Vol. 66, 2006, hlm. 399.
235 Ibid.236 Lord Hoffmann, ‘Bentham and Human Rights’, 2001, CLP, Vol. 54, hlm. 61.237 “The positive dimension celebrates the value of democracy and the supreme
importance of strong parliamentary government, in whose decision-making all citizens canparticipate to some degree. The negative dimension is contained in a deep-seated scepticismabout judges and judicial power.” Lihat: D. Dyzenhaus, “op.cit, hlm. 62.
238 Lihat, antara lain: C. O’Cinneide, “Democracy, Rights and the Constitution – NewDirections in the Human Rights Era”, CLP, Vol. 57, 2004, hlm. 175; G. Phillipson, “Deference,Discretion, and Democracy in the Human Rights Act Era”, CLP, Vol. 60, 2007, hlm. 40; S.
Berhadapan dengan demokrasi, pengujian tidak diterima di Inggris karena
alasan moral maupun empiris. Ditinjau dari sudut moral, “Constitutional
Review is democratically illegitimate, because it allows unelected judges to
constrain and sometimes override decisions made by our elected
representatives.”239 Sementara itu, dari segi empiris ada semacam anggapan
bahwa “that judges do not do a very good job of protecting rights” dan
kenyataannya juga “that parliament did a consistently better job of protecting
civil liberties over this period than judges and, moreover, that judges were
often bent on denying the protection of civil liberties to individuals who
belonged to groups which the judges considered politically dangerous.”240
Ketidakpercayaan kepada pengadilan akhirnya mengakibatkan “built upon
empirical evidence and came out of the experience of frustration about judicial
intervention in the social sphere over many years.”241
Walaupun demikian, Inggris tidaklah mengenal pengujian sepanjang
dipahami sebagai prinsip seperti supremasi parlemen, tetapi di negara ini
konstitusi tidaklah terkodifikasi dalam suatu naskah tertulis yang sistematis
lazimnya dikenal pada negara lain. Pengujian yang dikenal sebatas dalam
hukum administrasi negara dan tidak dalam pengertian pengujian. Melalui
pengujian administratif tersebut, segala tindakan pemerintah dikontrol agar
tetap tunduk pada aturan hukum. Setiap individu, penguasaha atau kelompok
bisnis dapat mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap legalisasi keputusan
Menteri, lembaga pemerintahan, maupun badan-badan publik yang lain,
termasuk otoritas lokal, otoritas imigrasi, badan-badan independen, dan
lembaga pemutus sengketa lain. Pengujian ini dianggap tepat untuk
Fredman, “Judging Democracy: The Role of the Judiciary under the HRA 1998”, CLP, Vol. 53,2000, hlm. 99.
239 Jeremy Waldron, “The Core of the Case Against Judicial Review”, op.cit, hlm. 1365.240 K. Ewing, “The Futility of the Human Rights Act – A Long Footnote”, Bracton Law
Journal, Vol. 37, 2005, hlm. 41.241 Ibid.
mempertahankan doktrin kedaulatan parlemen dengan sekaligus
menjalankan prinsip supremasi hukum.242
Di Prancis sendiri gagasan yang menentang pengujian model Amerika
Serikat memperoleh dukungan yang kuat hingga pembentukan Konstitusi
1958.243 Dalam perkembangannya, sekalipun dikenal skema pengujian oleh
Dewan Konstitusi, akan tetapi sifatnya lebih politik dibandingkan yuridis. Pada
masa Republik III (1875-1940) dan Republik IV (1946-1957), ketentuan
konstitusi menghindari adanya pengujian dan pengadilan konstitusi. Parlemen
dapat mengubah konstitusi dengan suara mayoritas. Pada masa Republik III
para pengamat sering berkomentar mengenai perilaku politisi yang tidak
ubahnya seorang hakim konstitusi yang mengemukakan justifikasi legal atas
tindakan-tindakannya. Pada masa Republik IV telah dibentuk alat internal
parlemen yang disebut Komisi Konstitusi tetapi lembaga ini tidak pernah
menghasilkan putusan apapun.244 Dewan Konstitusi sendiri sudah sejak tahun
1880-an dilepaskan dari Kementerian Kehakiman akibat tuntutan dari para
praktisi hukum. Dengan demikian, wewenang legislasi parlemen menjadi lebih
dominan, dibandingkan bahwa masalah pembentukan merupakan isu
konstitusi. Pada masa Republik V (sejak 1958), persoalan itu lalu menjadi
ajang perdebatan diantara politisi dan akademisi hukum.
Di bawah pengawasan Jenderal Charles de Gaulle, disusun Konstitusi
1958 untuk menggantikan Konstitusi 1946. Ketika itu Michel Debre bersama
dengan koleganya telah secara efektif mentransformasikan sebagian
kekuasaan legislatif dari parlemen menjadi kewenangan yang dimiliki oleh
eksekutif. Kemudian dibentuk Dewan Konstitusi sebagai organ tersendiri guna
menjamin keberlangsungan distribusi kekuasaan yang mengalami
restrukturisasi tersebut. Hal demikian tentu sangat berbeda dengan tradisi
242 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit., hlm. 65.243 Miguel Schor, “Judicial Review and American Exeptionalism”, op.cit., hlm.554.244 Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: Alec Stone Sweet, The Birth of Judicial Politic in
France, op.cit., , hlm. 23-45.
Bonapartis, di mana usaha-usaha untuk memperkuat kekuasaan eksekutif
dalam periode tersebut dilakukan tanpa kehadiran yudisial yang berperan
secara agresif.245
Sejak tahun 1970-an watak politik Dewan Konstitusi menjadi lebih
kentara dan salah satu wewenang penting adalah “tightly restricted to the
control of parliamentary statutes, after their adoption, but before
promulgation, upon referral by elected politicians.”246 Nampaklah bahwa
motif Dewan Konstitusi adalah untuk mengendalikan kekuasaan parlemen
melalui batas-batas konstitusi.247 Model pengujian di Prancis ini merupakan
salah satu model yang berpengaruh dan kemudian diadopsi oleh banyak
negara di Asia dan Afrika.
Sebelum menuju kepada pertumbuhan gagasan di gelombang ke-3,
sebagai akibat Perang Dunia II (1940-1945), maka telah terinterupsi perluasan
CR di seluruh dunia. Bahkan, dalam masa tersebut, sejumlah negara yang
mengoperasionalkan CR dalam suatu kelembagaan khusus kemudian gagal
dilaksanakan, seperti kasus MK di Austria (1933-1945) dan Cekoslovakia yang
bahkan terhenti sejak 1938.
E. Adopsi Pengadilan Konstitusi Spesifik
Sesudah Perang Dunia II, gagasan pengujian konstitusional menjadi
salah satu navigasi penting dalam format kehidupan bernegara, terutama di
Eropa. Ciri khas pada waktu itu adalah pilihan bentuk pengadilan khusus yang
“almost concurrently founded in European states, and their main task is to
ensure the comformity of laws and other normative acts with the
Fundamental Law.”248 Banyak negara yang kemudian juga mengadopsi
245 Ibid., hlm. 46.246 Alec Stone Sweet, “The Politics of Constitutional Review in France and Europe”,
Journal ICON, Vol. 69, 2007, hlm. 70.247 “The creation of the Conseil constitutional was originally intended as an additional
mechanism to ensure executive by keeping Parliament within constitutional rule.” Periksa: JohnBell, 1992, French Constitutional Law, Oxford University Press, hlm. 19-20.
248 Gagik Haruntyunnyan, op.cit., hlm. 3.
pengujian konstitusional setelah Perang Dunia II tersebut seperti Brazil (untuk
kedua kalinya sejak 1946), Jepang (1947), Burma (1947), Italia (1948), Thailand
(1949), Jerman (1949), India (1949), Luxemburg (1950), Syiria (1950), Uruguay
(1952), Prancis (1958), dan lain-lain.249 Sementara itu, di kalangan negara-
negara berhalauan Komunis dengan sistem partai tunggal, mekanisme
pengujian konstitusional dianggap sebagai simbol keberadaan kaum borjuis
sehingga ditolak.
Pada fase ini mulai muncul pemikiran khas pengujian seperti praktik
di Austria, Jerman, dan Spanyol, yang menentukan bahwa bukan saja kepada
pengadilan konstitusi diberikan mekanisme untuk perlindungan hak-hak
individual, akan tetapi kepada setiap warganegara pun mempunyai
wewenang untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Gagasan pengujian
semakin memperoleh tempat dengan munculnya gelombang demokratisasi
sebagai bentuk tranformasi politik di Eropa yang ditandai dengan jatuhnya
kediktatoran rezim militer seperti halnya di Yunani (1968), Portugal (1976),
dan Spanyol (1978). Sebelumnya, gagasan CR telah diterima di Syprus (1960),
Turki (1960), Aljazair (1963), dan Republik Federasi Yugoslavia (1963).
Pada fase konfigurasi gagasan di masa gelombang ke-4 ini merupakan
buah munculnya negara-negara independen baru. Runtuhnya Tembok Berlin
yang memicu bersatunya Jerman (1990), bubarnya Uni Soviet (1991), dan
konflik di Semenanjung Balkan, memunculkan negara-negara baru dan
kemudian mendesain konstitusi secara rumit dan kaku. Mulaih diterima
prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan, yang antara lain dirumuskan dalam
penerimaan gagasan pengujian secara komprehensif. Lebih dari itu, pengujian
dianggap sebagai jalan ke arah yang lebih baik dan mendorong transformasi
sosial dalam kondisi transisi.250 Gagasan pengujian konstitusional kemudian
acapkali dianggap berbarengan dengan penerimaan ide HAM yang semakin
249 Ibid.250 Ibid.
menglobal. Menurut Hamid Awaludin, ada 7 ciri utama yang menunjukkan
HAM semakin diterima dalam kancah global.251 Pertama, HAM telah menjadi
agenda utama dalam hubungan internasional. Kedua, negara telah diwajibkan
untuk melaksanakan norma-norma HAM melalui instrumen-instrumen hukum
internasional mengenai HAM yang telah disepakati bersama. Ketiga, individu
telah memiliki status hukum untuk dilindungi dari segala bentuk pelanggaran
HAM. Keempat, konsep kedaulatan negara terpenetrasi oleh HAM. Kelima,
aktor utama pemajuan dan penagakan HAM tidak lagi monopoli negara, tetapi
juga aktor nonnegara, bahkan perusahaan-perusahaan multinasional, sudah
ikut dalam agenda ini. Keenam, individu-individu yang memiliki pengaruh dan
charisma serta komitmen dan kepemimpinan kuat, ikut menentukan jalannya
pemajuan dan penegakan HAM. Ketujuh, telah terjadi perubahan persepsi dan
pendekatan mengenai HAM. Masalah HAM tidak lagi ditekankan pada aspek-
aspek legal semata, tetapi semua aspek kehidupan dilaksanakan dengan HAM.
Di negara-negara yang mengalami transisi ke demokrasi setelah
keruntuhan Uni Soviet pada dekade 1990-an misalnya, pengujian
konstitusional menjadi ide populer sepaket dengan perjuangan untuk
menegakkan kembali independensi badan pengadilan.252 Padahal sebelum
tahun-tahun tersebut, “only two states in the region possessed anything like a
constitutional tribunal neither of which gave the slightest hint of a robust
constitutional review power.”253 Tidak mengherankan bahwa anutan
pengujian konstitusional menjadi “a trade mark or as a proof of the
democratic character of the respective country.”254 Pelembagaan pengujian
konstitusional bahkan merupakan “the more important mystery is the success
251 Hamid Awaludin, op.cit. hlm. 7-8.252 W. Sadurski, “Postcommunist constitutional courts in search of political legitimacy,”
European University Institute Law Working Paper No. 2001/11, Department of Law, EuropeanUniversity Institute, Florence 2001, hlm. 8.
253 Ibid.254 L. Sólyom, op.cit., hlm. 134.
of some of these courts in propelling, guiding, safeguarding, and making
themselves essential to the larger transformations to constitutional democracy
of their respective states.”255 Dengan Constitutional Review tersebut, “The
courts contributed to the process of transition to democracy in a number of
vital ways ––some quite general, and some highly country-specific.”256
Mekanisme pengujian telah menghadirkan “an effective political check on
other branches of the national (and in some cases local) government, partially
diffused some of the most explosive conflicts over both substantive issues and
interbranch power struggles,9 and generated an until-then unfathomable
degree respect for the primacy of constitutional law and compliance with the
courts’ edicts.”257 Bahkan, pengujian “reveal[ed] a radical development in the
transition out of the Soviet-style governmental system of entirely centralised
state power.”258
Hal ini karena tradisi sebelumnya, disebabkan pengaruh ajaran
Marxis, “interpretations of the law, concepts such as justice, rule of law, and
equality before the law were fictions.”259 Hukum tidak lebih dari sekadar
instrumen pemerintah untuk memaksakan kehendak penguasa dan oleh
karena itu maka “law acted to maintain the existing political system and to
quash unrest” dan ”the judiciary in communist states was neither independent
nor active.”260 Pada negara Eropa post communist tersebut, kebanyakan
mengadopsi adanya kelembagaan pengadilan khusus yaitu MK setelah
mengalami transisi ke demokrasi, kecuali Yugoslavia dan Polandia, yang
255 Ibid.256 W. Sadurski, op.cit., hlm. 7-8.257 Herman Schwartz, op.cit.,, hlm. 100.258 M. Brzezinski, op.cit., hlm. 130.259 Gordon B. Smith, 1996, Reforming the Russian Legal System. New York: Cambridge
University Press, hlm. 28.260 Kathryn Hendley, 1996, Trying to Make Law Matter: Legal Reform and Labor Law in
the Soviet Union. Ann Arbor: University of Michigan Press, hlm. 16.
masing-masing sejak 1963 dan 1985 telah mengadopsi kelembagaan
tersebut.261 Hampir semua negara dalam dekade tersebut membentuk
Mahkamah Konstitusi seperti di Rusia, Polandia, Hongaria, Bulgaria, Ceko,
Slovakia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina, Macedonia, Lithuania, Georgia,
Armenia, dan Azerbaijan. Menurut Jimly Asshiddiqie, MK di negara-negara
demokrasi baru itu berhasil menempatkan diri sebagai pendatang baru yang
cukup produktif dan “menjanjikan perbaikan.”262 Seperti disimpulkan Jan Erick
Lane dan Ersson Svante, situasi di negara demokrasi baru itu terformat dalam
kata-kata “if a country wishes to introduce democracy, then the best
institutional devices it could employ in constitutional engineering are legal
institutions such asstrong legal [judicial or constitutional] review.”263
Gelombang demokratisasi sebagai penanda dinamika politik pada
tahun 1990-an memaksa juga negara-negara di kawasan Amerika Latin untuk
melakukan reformasi peradilan dan mendorong pelembagaan pengujian
konstitusional yang pada akhirnya menciptakan arus baru kekuasaan yang
menghormati hukum dan hak-hak asasi.264 Di negara Amerika Latin, adopsi
gaya pemisahan kekuasaan Amerika mengalami kegagalan karena “their
‘founding fathers’ were in fact rural oligarchs (caudillos) who adopted this
system, not to guarantee personal freedom, but rather to establish a strong
executive power for the purposesof preventing the disintegration of their
newly independent states.265 Implementasi sistem tersebut di negara kawasan
Amerika Latin menunjukkan “the model of governance concentrated around
261 Herman Schwartz, op.cit., hlm. 29-30.262 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 40.263 Jan-Erik Lane dan Ersson Svante op.cit., hlm. 178.264 Diskusi mengenai judicial reform di negara kawasan Amerika Latin dapat dibaca
antara lain: William Rafflift dan Edgardo Buscaglia, op.cit., hlm. 59-71 dan Peter DeShazo danJuan Enrique Vagas, “loc.cit.
265 Rett R. Ludwikowski, “Latin American Hybrid Constitutionalism: The United StatesPresidentialism in the Civil Law Melting Pot”, Boston University International Law Journal, Vol.21, No.29, 2003, hlm. 51.
the executive power.”266 Lagipula, semenjak masa penjajahan Portugis dan
Spanyol, “almost all Latin American constitutions are provisions that permit
both democracy and dictatorship.”267 Hal ini diperparah juga dengan
kenyataan bahwa “constitutions are not entrenched because political leaders
do not fear citizen mobilization when fundamental rules of the game are
violated.”268
Sekalipun di sejumlah negara pengujian konstitusional sudah diatur
dalam konstitusi pada abad ke-19 dan ke-20, mekanisme itu hanya akan
efektif apabila terjadi praksis yang memberikan independensi pengadilan di
hadapan pemerintah dan parlemen. Hingga awal abad ke-20, konstitusi di
kawasan ini gagal menghasilkan pengadilan yang independen. Praktik
demokrasi yang terhenti pada dekade 1960-an dan 1970-an menyebabkan
pengujian konstitusional menjadi tidak berfungsi. Hal ini disebabkan karena
pemerintah bebas untuk memilih mana diantara aturan-aturan dalam
konstitusi yang harus dihormati dan mana yang harus disingkirkan baik karena
watak diktatorial maupun karena pemerintahan dalam keadaan darurat, yang
menyebabkan isu-isu ketatanegaraan dianggap tidak relevan.
Pelembagaan pengujian yang populer di kawasan ini adalah
mengintegrasikan ke MA atau membentuk Dewan Konstitusi (Constitutional
Tribunal) secara khusus. Dalam hal diintegrasikan ke MA, maka ada yang
dilekatkan kepada fungsi peradilan dari badan ini maupun dibentuk special
chamber di lingkungan lembaga ini. Negara seperti Argentina (Konstitusi
1994), Brazil (Konstitusi 1994), Honduras (Konstitusi 1962), Meksiko
(Konstitusi 1995), Nikaragua (Konstitusi 1987), Panama (Konstitusi 1941), dan
Uruguay (Konstitusi 1967) merupakan contoh negara yang melembagakan CR
pada Mahkamah Agung. Sementara itu, Costa Rica (Konstitusi 1989), El
266 Ibid.267 Keith S. Rosenn, “The Success of Constitutionalism in the United States and Its
Failure in Latin America”, University of Miami Inter-American Law Review,Vol. 22, 1990, hlm. 33.268 Rett R. Ludwikowski, op.cit., hlm. 57.
Savador (Konstitusi 1983), Paraguay (Konstitusi 1992), dan Venezuela
(Konstitusi 2000) merupakan contoh negara yang membentuk special
chamber dalam lingkungan MA. Sedangkan negara yang melembagakan
pengujian dengan membentuk badan khusus adalah Bolivia (Konstitusi 1994),
Chile (Konstitusi 1990), Kolumbia (Konstitusi 1991), Ekuador (Konstitusi 1998),
Guetamala (Konstitusi 1985), dan Peru (Konstitusi 2001).
Pertumbuhan gelombang demokratisasi yang dicirikan antara lain
pelembagaan ide pengujian juga tidak luput di negara-negara kawasan Asia.
Kejatuhan rezim Ferdinand Marcos di Filipina (1986) diikuti dengan
demokratisasi di Korea Selatan (1987), Mongolia (1990), Taiwan dan Thailand
(1992), Kamboja (1993), Indonesia (1999), dan Timor Leste (2002). Wajah baru
demokratisasi di kawasan ini memberikan bahan untuk studi komparatif
politik dengan format baru.269 Kebanyakan studi tersebut sedkit
memperhatikan masalah penguatan secara politik dari pengadilan. Sekalipun
isu pengadilan menjadi bagian dari diskusi mengenai rule of law dan rule of
law sendiri merupakan salah satu konsentrasi utama dari transisi ke
demokrasi, sedikit studi yang melihat keterkaitan antara demokrasi dengan
peran pengadilan.270 Suatu pengecualian dari analisis ini adalah Singapura dan
Hong Kong. Kedua negara itu dikategorikan sebagai “never faced any credible
electoral” sehingga pembicaraan pengujian tidak dikaitkan dengan transisi ke
demokrasi. Institusi pengujian sendiri tumbuh seiring dengan tingkat
perkembangan ekonomi yang tinggi, minimalisasi korupsi, kepatuhan
terhadap tertib sipil, dan efisiensi pemerintahan. Oleh sebab itu, maka “the
269 “This development has inspired a new generation of comparative analyses ofinstitutions of democratic governance in the region.” Lihat: Aurel Croissant, Provisions, Practices,and Performances of Constitutional Review in Democrating East Asia, Paper to be Presented atIPSA-ECPR Joint Conference: Whatever Happened to North-South? Section: Transitional Justice,Reconciliation and the Quality of Democracies Panel: Constitutional Courts – Advocates ornotaries of democracy?, San Paulo, 19 Februari 2011, hlm. 2.
270 Diskusi lebih lanjut mengenai hal ini, dapat dilihat dalam: C. Sunstein, “Constitutionsand Democracy: An Epilogue”, dalam J. Elster dan R. Slagstad, 1993, (eds), Constitutionalism andDemocracy. Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 327-356.
Singapore Supreme Court has consistently deferred to the Government, the
Hong Kong Court of Final Appeal has taken a relatively activist stance in
constitutional adjudication.”271 Oleh sebab itu:272
In Singapore constitutional rights were adopted as part ofthe symbolism expressing the city-state’s modernity andequality to the West, but then the Judicial Committee ofthe Privy Council and the early Supreme Court beganimporting actually liberal elements into their rulings.Nonetheless, in the past two decades constitutional judicialreview was turned into a regularly used instrument forgiving authoritative legal credibility to the government’scontroversial decisions. In Hong Kong constitutional judicialreview was introduced to express the colonialgovernment’s disapproval of China’s human rights record,yet it has since 1997 became a robust and activist check ongovernment authority.
Dari kasus Singapura dan Hong Kong itu layak disampaikan bahwa
pengujian “appears more important to democratic than to authoritarian
polities.”273 Terkait dengan pengujian, Filipina menggunakan model Amerika
di mana wewenang itu melekat pada MA, sementara model Prancis dianut di
Kamboja dan Timor Leste. Indonesia dan Mongolia secara praksis tak pernah
menikmati kebebasan pengadilan sampai terjadinya demokratisasi era 1990-
an.di Taiwan Konstitusi 1947 mengadopsi the Council of Grand Justices yang
mempunyai wewenang untuk menafsirkan Undang-Undang secara ekslusif,
sekalipun badan ini melekat kepada pemerintah. Di Korea Selatan, Dewan
Konstitusi menurut Konstitusi Repulik I (1948-1960), Republik IV (1972-1980),
dan Republik V (1980-1987), maupun MK menurut Konstitusi Republik II
(1960-1961) dan MA menurut Konstitusi Republik III (1963-1972) tunduk di
bawah kekuasaan Pemerintah. Sementara itu, Thailand, beberapa diantara 15
271 Eric I.P., “A Positive Theory of Constitutional Judicial Review: Evidence in Singaporeand Hongkong”, http://ssrn.com/abstract=1928867, diakses di Sukoharjo, 12 Oktober 2011, hlm.15.
272 Ibid., hlm. 65.273 Ibid., hlm. 66
konstitusi yang dibentuk antara 1932-1991 mengatur MK yang berwenang
menentukan konstitusionalitas UU produk parlemen dan keputusan
pemerintah. Tetapi menurut Gisburg, “this power was not actively exercised
as the lack of a stable system of constitutional rule worked against the
emergence of an effective system of constitutional review.”
Seiring dengan terjadinya transis ke demokrasi, terdapat perubahan
adopsi mekanisme pengujian konstitusional. Korea Selatan pada tahun 1988
menganut MK yang dekat dengan model Jerman.274 Sementara dalam
reformasi konstitusi (1990-1992), Mongolia mengadopsi Dewan Konstitusi
(Tsets) yang mempunyai wewenang terbatas. Untuk pertama kalinya dalam
Konstitusi 1997 Thailand membentuk MK yang independen, akan tetapi
dengan kudeta militer 2006, diberlakukan Konstitusi sementara yang
mengatur mengenai Dewan Konstitusi, dan dengan telah diberlakukannya
Konstitusi 2007, diatur MK dengan kewenangan yang diperluas hingga
menangani constitutional complaint dan mengurangi pengaruh Senat dalam
rekrutmen hakim.
Sejak perubahan politik dari partai tunggal ke multipartai, pada
tahun 1980 Taiwan mengadopsi the Council of Grand Justices of the Judicial
Yuan yang memperkuat kelembagaan sejenis pada Konstitusi 1947.275 Dalam
perubahan Konstitusi 1992, wewenang the Council of Grand Justices of the
Judicial Yuan dperluas hingga menangani masalah pemilihan umum dan
reformasi konstitusi serta konstitusionalitas partai politik. Dengan
keaktifannya lembaga ini sejak 1995 menyatakan berwenang menangani
masalah constitutional petition dan sejak 1997 berhasil merombak masa
jabatan hakim konstitusi menjadi 8 tahun dan setengahnya diganti tiap 4
274 Herbert Han-pao Ma, The Rule of Law in a Contemporary Confucian Society: AReinterpretation, presentation to Harvard Law School’s East Asian Legal Studies Program (Spring1998).
275 G. Healy, “Judicial Activism in the New Constitutional Court of Korea”, ColumbiaJournal of Asian Law, Vol. 14, 2000, hlm. 213.
tahun dengan proses yang dimulai pada 2005. Di Indonesia, dengan
memperlajari kasus pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid (2001),
dibutuhkan lembaga yang merupakan forum hukum dibandingkan mekanisme
politik, sehingga pada tahun 2003 dibentuklah menurut UU No. 24 Tahun
2003 lembaga Mahkamah Konstitusi.276
Sementara itu, di Afrika, Perkembangan pengujian sudah
melampaui warisan Marbury (the legacy of Marbury) karena mekanisme
tersebut telah mencapai “taking the constitution away from the courts.”277
Salah kawasan yang dengan cepat mengadopsi pengujian tersebut adalah
kawasan Sub-Sahara Afrika. Sebelumnya, sistem politik di negara-negara
kawasan ini umumnya ditandai dengan mekanisme yang antikompetitif,
dikuasai oleh militer, partai tunggal, dan presiden yang berkuasa dalam jangka
lama (“life president”). Situasi itu, yang merupakan warisan pasca kolonial278,
kemudian berubah dengan dilaksanakannya pemilihan umum, pembatasan
kekuasaan presiden, dan pembentukan lembaga perwakilan rakyat, seperti
terjadi di Nigeria, Ghana, Kenya, Senegal, Mozambique, Zambia, Tanzania,
Malawi, Benin, Uganda, dan Mali. Tak kalah penting, dalam pembentukan
276 Jimly Asshiddiqie, 2009, “Creating a Constitutional Court for a New Democracy”,paper presented at Melbourne Law School, March 11, 2009, The University of Melbourne, hlm.10.
277 Sanford Levinson, “Why I Do Not Teach Marbury (Except to Eastern Europeans) andWhy You Shouldn’t Either”, Wake Forest Law Review, Vol. 38, 2003, hlm. 553. Baca juga: MichaelJ. Klarman, “How Great Were the “Great” Marshall Court Decisions?, Virginia Law Reviwe, Vol.87, 2001, hlm. 1111-1113.
278 Sistem ketatanegaraan, termasuk isu yudisial dan Constitutional Review secarapraksis sebenarnya bukanlah agenda baru dalam konteks post-colonial di Afrika. Pada umumnya,yang terjadi adalah penciptaan negara merdeka baru yang kemudian mereka melaksanakanbangun kenegaraan yang sebelumnya telah ditata selama kolonisasi. Pergantian konstitusiseketika menyebabkan terbentuknya rezim pemerintahan baru, suatu gambaran pula ketikajunta militer berkuasa, mereka dengan segera membuat restorasi konstitusi guna memberikancap legitimasi atas kekuasaan politiknya, yang kadang-kadang rezim seperti ini membuatkonstitusi yang juga diberi label konstitusi demokratis. Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: VictorT. Le Vine, “The Fall and Rise of Constitutionalism in West Africa”, Journal of Modern AfricaStudies, Vol. 35, 1997, hlm. 183-87 dan William Dale, “The Making and Remaking ofCommonwealth Constitutions”, International Law and Comperative Lagal Quartely, Vol.42,1993, hlm. 67.
gelombang baru demokrasi itu, terjadi reformasi konstitusi279, yang salah satu
isu yang menonjol adalah pemberdayaan badan pengadilan. Pemberdayaan
itu memberikan atribut konkrit kepada pengadilan untuk menafsirkan
konstitusi, menguji undang-undang baru, dan berbagai jaminan konstitusional
lain.280
Diantara negara di kawasan ini yang paling populer adalah Afrika
Selatan. Selepas penghapusan apharteid politic, Afrika Selatan
memberlakukan Konstitusi Sementara (1993) yang memuat prinsip-prinsip “a
non-racial, multiparty democracy, based on respect for universal rights.”281
Setelah terbentuknya pemerintahan sipil yang mendorong terpilihnya
Presiden Nelson Mandela dan diberlakukannya Konstitusi 1996, mekanisme
pengujian dilembagakan ke dalam Mahkamah Konstitusi, yang meniru model
Jerman dengan sedikit variasi.282 Mengenai yurisdiksi Mahkamah ini, Karl E.
Klare menulis:
This institutionalfeature is significant for theargument of this essay because it means that theCCSA, unlike courts of mixed jurisdiction, is not ableto build its legal legitimacy in nonconstitutionalmatters – even when deciding routine matters, theCCSA is declaring constitutional law that may haveapplication in later, more politically controversial
279 Dalam literature, perubahan politik yang disertai dengan reformasi konstitusimerupakan suatu “ a constitutional moment”, yaitu suatu istilah untuk “describe episodic pointsin a country’s constitutional history when previously settled understandings as to the nature andstructure of the constitutional order are repudiated without recourse to the formal amendmentprocedure and replaced by new understandings that are widely accepted as legitimate. “ Lihat H.Kawshi Prempeh, op.cit., hlm. 6.
280 Christopher S. Wren, “Katutura Journal: For Namibians, After the Battles, a CivicsClass”, N.Y.TIMES, 19 Maret 1991, hlm. A4.
281 Stephen Ellmann, “The New South African Constitution and Ethnic Division”,Columbia Human Rights Law Review, Vol. 26, 1994, hlm. 44.
282 Variasi tersebut adalah bahwa lingkungan pengadilan di bawah Mahkamah Agungmempunyai wewenang terbatas dalam melakukan judicial review, yang putusannya dapatdikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi. Lihat: Lech Garlicki, “Constitutional Courts versus SupremeCourts”, International Law Journal on Constituional Law, Vol. 44, 2007, hlm. 50-54. Baca jugaPasal 169-172 Konstitusi Afrika Selatan (1996).
cases. If the theoretical reflections in the previouspart are sound, this means that the CCSA must bealert in every case it decides to the potential impactof its decision on its institutional security.283
Pelembagaan seperti di Afrika Selatan juga dilaksanakan di
negara Rwanda dan Togo, sementara Nigeria, Seychelles, Sierra
Leone, dan Tanzania mengadoposi model Amerika Serikat.
Sedangkan Senegal menggunakan model Prancis dengan membentuk
Dewan Konstitusi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dianalisis bahwa “judicial
review” dalam awal mula tradisi di Amerika berangkat dari inovasi
konstitusional MA tanpa terlebih dahulu ada pengaturan dalam
konstitusi. Hal tersebut mengkonfirmasi sebagai “judicialization of
politics” yang berangkat dari relasi horizontal antara Presiden dan
Congress. Kemudian, dalam masa-masa selanjutnya, pengujian dalam
demokrasi di Eropa (Barat) yang tumbuh pada masa pasca Perang
Dunia II, penerimaan gagasannya berangkat dari asumsi bahwa para
pembentuk UU (legislature) dapat bertindak keliru dan oleh sebab
itu, pengadilan dianggap sebagai institusi yang tepat untuk
“merapikan” kembali pembentukan legislasi. Dengan demikian,
menjadi hal yang wajar, jika gagasan pengujiaan tumbuh berkesuaian
dengan anutan sistem parlementer. Pada perkembangan berikutnya,
gagasan pengujian diterima seiring dengan demokratisasi yang
mengadopsi kelembagaan khusus pengadilan konstitusi dengan
penyesuaian seperlunya. Dalam tahap ini, mekanisme pengujian
telah memberikan sumbangan yang penting bagi konsolidasi
demokrasi.
283 Karl E. Klare,”Legal Culture and Transformative Constitutionalism”, African Journalof Human Rights, Vol. 14, 1998, hlm. 146.
F. Penerimaan di Indonesia
Sebelum perubahan UUD 1945, pengujian UU terhadap UUD
berada pada MPR berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000
tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Alasan MA mempunyai wewenang menguji hanya terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah UU terhadap UU pada masa sebelum
perubahan UUD 1945, menurut Padmo Wahjono didasarkan pada pemikiran
bahwa UU sebagai konstruksi yuridis yang maksimal untuk mencerminkan
kekuasaan tertinggi pada rakyat, sebaiknya diuji/diganti/diubah oleh yang
berwenang membuatnya, yaitu MPR berdasarkan praktik ketatanegaraan
yang pernah berlaku.284
Gagasan pengujian konstitusional tidak dapat diakomodasi pada
pembentukan UU Kekuasaan Kehakiman dalam perjuangan peneguhan
konstitusionalisme di awal Orde Baru. Sudah sejak sidang BPUPKI gagasan itu
disampaikan285 dan kemudian dalam rapat Konstituante, IKAHI mengusulkan
agar “kompetensi konstitusional untuk memutuskan berlawanan-tidaknya
sesesuatu dengan undang-undang dasar diserahkan pada badan peradilan
yang harus berdiri bebas-merdeka dan terpisah benar-benar dari segala
kekuasaan negara lainnya.”286 Bahkan anggota Konstituante Hermanu
Kartodirejo, di samping mendukung rekomendasi itu menjadi bagian dari
UUD, juga sudah memikirkan kelembagaan pengujian itu yaitu dapat diberikan
kepada parlemen, MA, atau pengadilan konstitusi yang baru.287 Anggota
284 Padmo Wahjono, op.cit., hlm. 15. Baca juga: Ketetapan MPRS RI NomorXIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-produk Legislatif Negara di luar ProdukMajelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945.
285 Selaku Ketua Panitia Kecil, Soepomo menolak usul Yamin yang menghendakidicantumkannya secara tegas tentang kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD dalamrancangan konstitusi. Lihat: Joeniarto, 1996, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta, BumiAksara, hlm. 25.
286 Adnan Buyung Nasution, op.cit., hlm. 237.287 Ibid.
Konstituante lainnya, Renda Saroengalo mengeluh bahwa jika hanya dalil
bahwa undang-undang tidak dapat diganggu gugat dan pengadilan tidak
mempunyai wewenang pengujian, maka hanya Parlemen saja yang bisa
menentukan isi perundang-undangan.288 Lebih lanjut Astrawinata
memaparkan kecurigaannya jika UU tidak dapat diuji, maka andaikata UU
tersebut bertentangan dengan UUD maka akan tetap berlaku.289 Siauw Giok
Tjhan secara progresif bahkan mengatakan bahwa di samping harus ada
kelembagaan baru untuk pengujian, ada baiknya lembaga tersebut juga
kompeten untuk mencabut peraturan perundang-undangan yang melanggar
hak asasi dan memeriksa pengaduan soal HAM.290
Terbawa karena sifat negara federal, pada saat berlakunya
Konstitusi RIS (1949), pengadilan mempunyai kewenangan pengujian
konstitusional. Suatu peraturan dari daerah bagian tidak boleh bertentangan
dengan Konstitusi. Kepada MA dan pengadilan-pengadilan lain diberi
wewenang menyatakan dalam putusannya, bahwa suatu ketentuan dalam
peraturan ketatanegaraan atau undang-undang daerah bagian adalah “tak
menurut Konstitusi” (ongrondwettingverklaring).291
Pada tahun 1960, hakim agung Tirtaatmadja mengejutkan publik
dengan mengusulkan pelembagaan pengujian konstitusional di MA.292 Bahkan
pada tahun 1967, saat bertugas di PT Jakarta, Asikin Kusumah Atmadja
membuat putusan yang mengandung substansi pengujian konstitusional,
288 Ibid.289 Ibid., hlm. 238.290 Ibid.291 Pasal 31-33 UU MA 1948 dan Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS.292 Menurut Tirtaatmadja, ketentuan UUD 1945 sama sekali tidak mengatur larangan
MA melakukan hal tersebut. Bahkan dalam konstitusi sebelumnya, Konstitusi RIS (1949)pelembagaan CR itu telah dikenal. Gagasan tersebut merupakan penegakan prinsip konstitusi,sekalipun secara tegas dalam pasal-pasal UUD 1945 sama sekali tidak dikenal. Lihat: Pompe,op.cit., hlm. 89.
sebuah putusan yang oleh pers dianggap revolusioner.293 Putusan ini
dibenarkan oleh MA di bawah Soebekti.294 Pada tahun 1969, MA
membenarkan putusan PT Jakarta yang menyingkirkan ketentuan UU rasial
warisan kolonial.295 Bahkan, pada akhir tahun 1971, MA membatalkan
sejumlah ketentuan UU yang dianggap bertentangan dengan UUD.296
Pada saat gagasan semacam itu menyeruak di tengah rintisan
Orde Baru kemudian berkembang menjadi perdebatan populer. Seminar
LPHN di Semarang 27-30 Desember 1968 secara sistematis
mendokumentasikan aneka pandangan yang pada intinya mendukung
pelembagaan pengujian konstitusional tersebut.297 Dalam pengertian
terbatas, pengujian pernah dikenal dalam Konstiusi RIS (1949).298 Dalam
perkembanannya, MPRS merespon baik gagasan pengujian konstitusional
293 Putusan No. 25/1967 tanggal 15 Maret 1967. Menurut pertimbangan Asikin,Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 mengizinkan aturan-aturan yang sudah ada sebelum UUD1945 lahir dianggap berlaku sebelum ada pergantian. Dalam hal hakim menghadapi konflik UUterhadap UUD 1945 yang diterapkan dalam perkara yang sedang diperiksa, maka otomatis hakimharus mempertimbangkan kesesuain UU ini terhadap UUD 1945. Karena UUD 1945 sama sekalitidak memerintahkan larangan pengujian UU sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 124 ayat (2)Konstitusi Belanda dan Pasal 92 ayat (2) UUD Sementara, maka harus ditafsirkan UUD 1945mengenal gagasan untuk bahwa hakim dapat melakukan CR. Lihat: Soedargo Gautama dan R.N.Hornick, 1983, An Introduction of Indonesian Law, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 189.
294 Lihat: Setiawan, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Bandung,Penerbit Alumni, hlm. 464.
295 Soedargo Gautama dan R.N. Hornick, op.cit., hlm. 189-190.296 Ibid.297 Pandangan itu mencakup 5 hal alternatif. Pertama, pengujian dapat dilakukan dan
subyeknya adalah MA dengan obyek 3 alternatif yaitu (i) Tap MPRS, UU, dan peraturan di bawahUU; (ii) UU dan peraturan di bawah UU; dan (iii) peraturan di bawah UU. Kedua, pengujianperaturan hanya dapat dilakukan oleh peraturan yang harus diatur dalam UUD atau setidak-tidaknya dalam Ketetapan MPR. Ketiga, pengujian hanya dapat dilakukan oleh MPR. Keempat,pengujian peraturan perundang-undangan merupakan wewenang hakim dengan mengesampingUUmelalui suatu perkara yang dihadapinya. Kelima, khusus untuk Ketetapan MPR, MA diberiwewenang untuk menilai dan menyatakan pendapatnya apakah Ketetapan MPR tersebutbertentangan dengan UUD. Lihat: Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, op.cit., hlm.51.
298 Pada Pasal 130 ayat (2) dan Pasal 139 ayat (2) secara tegas UU Federal dan UUDarurat tidak dapat diganggu gugat. Akan tetapi Pasal 158 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)mengizinkan MA untuk memeriksa UU Negara Bagian sehubungan konsistensinya denganKonstitusi RIS. Jadi, yang menjadi obyek CR hanyalah UU yang ditetapkan oleh Negara Bagian.
tersebut dan bahkan menindaklanjuti dengan pembentukan Panitia Ad Hoc
untuk mempersiapkan peraturan-peraturan dasar bagi penyelenggaraan
pengujian tersebut. Sayangnya, dalam kerangka UU Kekuasaan Kehakiman,
Menteri Oemar Seno Adji menolak usul pemberian wewenang pengujian
terhadap MA.299 Akan tetapi kemudian dicapai kesepakatan kompromistis
dengan pemberian wewenang kepada MA untuk “menyatakan tidak sah”
peraturan perundang-undangan di bawah UU sebagai bagian dari UU
Kekuasaan Kehakiman.300 Ketentuan pengujian ini kemudian ditindaklanjuti—
hampir-hampir tanpa perubahan—baik melalui Ketetapan MPR301, UU302,
maupun peraturan internal MA303. Akan tetapi, seperti dicatat oleh Moh.
299 Menurut Oemar Seno Adji, pemberian wewenang pengujian kepada MA merupakanpersoalan politik dan lagipula hal itu haruslah diberikan kepada lembaga yang memang dikendakioleh UUD 1945 dan sekurang-kurangnya diatur oleh Ketetapan MPR. Andaikata gagasan iniditerima, maka MA akan menempati posisi di atas Presiden dan DPR. Dalam civil law system,kata Oemar, MA sudah terlalu berat fungsinya dalam rangka mengendalikan peradilan di tingkatbawah sehingga gagasan pengujian itu menjadi tidak berguna. Lihat: Oemar Seno Adji, PeradilanBebas Negara Hukum, op.cit., hlm. 170-171.
300 Rumusan kompromistis itu termaktub dalam UU Kekuasaan Kehakiman 1970 dalamPasal 26 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 26 ayat (1): Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakantidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Pasal 26 ayat (2) menyatakan Putusan tentang pernyataan tidak sah peraturan perundang-undangan tersebut diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
301 Pasal 11 ayat (4) Ketetapan MPR No. III/MPR/1978: Mahkamah Agung mempunyaiwewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawahundang-undang. Jika diperhatikan, ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman 1970menggunakan klausula “menyatakan tidak sah”, sementara Ketetapan MPR No. III/MPR/1978menggunakan klausula “mempunyai wewenang menguji secara materiil.”
302 Pasal 31 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 14/1985 tentang MA. Pasal 31 ayat (2):Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 31 ayat (3): Putusan tentang pernyataantidak sah peraturan perundang-undangan tersebut diambil berhubung dengan pemeriksaandalam tingkat kasasi.
303 Peraturan MA No. 1/1993 tentang Hak Uji Materiil dan Peraturan MA No. 1/1999tentang Hak Uji Materiil.
Mahfud M.D. formulasi rumusan pengujian dalam UU Kekuasaan Kehakiman
itu tidak dapat dioperasionalkan.304
Pelembagaan pengujian konstitusional baru terlaksana sesudah
dilaksanakan Perubahan UUD 1945. Dalam konsttiusi diatur bahwa kekuasan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.305
Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah MA dan badan peradilan
yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah MK.306 Dengan demikian,
kedudukan MK adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di
samping MA. MK adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan
hukum dan keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Kedudukan MK
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sejajar dengan pelaku kekuasaan
kehakiman lain, yaitu MA307, serta sejajar pula dengan lembaga negara lain
304 Menurut Mahfud, tidak operasionalnya ketentuan pengujian tersebut karena 2 hak.Pertama, prosedurnya tidak mendapat pintu masuk. Sebab pemeriksaan kasasi itu artinyapemeriksaan terakhir setelah ada putusan pengadilan di bawah (PN dan PT). Tentu MA tidakdapat melakukan pemeriksaan pengujian sebelum ada putusan pengujian di bawahnya;sebaliknya pengadilan tidak akan melakukan pengujian karena pengujian itu hanya menjadikompetensi MA. Kedua, subyek penggugat tidak representatif. Ketentuan Ketetapan MPR No.III/MPR/1978, UU No. 14/1970, UU No. 14/1985, dan Peraturan MA No. 1/1993 tidak menunjuksuatu badan hukum publik tertentu untuk melakukan gugatan atau permohonan. Ini menjadimasalah di dalam hukum sebab yang dipersoalkan adalah peraturan perundang-undanganyangberlaku umum dalam arti mengikat banyak orang. Lihat: Moh. Mahfud M.D., PergulatanPolitik dan Hukum di Indonesia, op.cit., hlm. 303-304.
305 UUD 1945 Pasal 24 ayat (1).306 UUD 1945 Pasal 24 ayat (2).307 MK dan MA sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman
(judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah(executive) dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature). Kedua mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Hanyastruktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah danberbeda sama sekali satu sama lain.Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyaistruktur organisasi sebesar Mahkamah Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yangstrukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima lingkunganperadilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkunganperadilan agama, dan lingkungan peradilan militer.
dari cabang kekuasaan yang berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip
supremasi konstitusi dan pemisahan atau pembagian kekuasaan.308
Melihat kewenangan dan kewajiban tersebut, tugas pokok dari MK
adalah untuk menegakkan konstitusi dalam kerangka negara hukum. MK
adalah pengawal sekaligus penafsir konstitusi (the guardian and interpreter of
constitution).309 Ini merupakan ide dasar dari pembentukan MK, yang
308 Menurut ketentuan UUD 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalamstruktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 buah organ negara yang secaralangsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organtersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) MajelisPermusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii)Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial. Di samping kesembilanlembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang datur kewenangannyadalam UUD, yaitu (a) Tentara Nasional Indonesia, (b) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (c)Pemerintah Daerah, (d) Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya,tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan dinyatakan akan diatur dengan undang-undang,yaitu: (i) bank central yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”, dan (ii) komisi pemilihanumum yang juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupunKomisi Pemilihan Umum yang sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umummerupakan lembagalembaga independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang. Karena itu, kita dapat membedakan dengan tegas antara kewenangan organ negaraberdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan kewenanganorgan negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted power),dan bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dariatau bersumber dari Keputusan Presiden belaka. Contoh yang terakhir ini misalnya adalahpembentukan Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, dan sebagainya. Sedangkancontoh lembaga-lembaga yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang, misalnya, adalahKomisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, Pusat Pelaporan dan AnalisaTraksaksi Keuangan (PPATK). Lihat: Jimly Asshiddiqie, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalamStruktur Ketatanegaraan Indonesia”, makalah Workshop tentang Koordinasi, Konsultasi, EvaluasiImplementasi MOU Helsinki dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sertaPenyelenggaraan Pemilukada Aceh 2011 yang Aman, Tertib, dan Damai, di Jakarta, Kamis, 8Desember, 2011, hlm. 1.
309 Perkara-perkara yang diadili di MK pada umumnya menyangkut persoalanpersoalankelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut kepentingan umum yang luasataupun berkenaan dengan pengujian terhadap norma-norma hukum yang bersifat umum danabstrak, bukan urusan orang per orang atau kasus demi kasus ketidakadilan secara individuil dankonkrit. Yang bersifat konkrit dan individuil paling-paling hanya yang berkenaan dengan perkara“impeachment‟ terhadap Presiden/Wakil Presiden. Oleh karena itu, pada pokoknya, untuktujuan memudahkan pembedaan, MA pada hakikatnya adalah “court of justice”, sedangkanMahkamah Konstitusi adalah “court of law.” Kedua istilah ini seringkali dikaitkan denganpembedaan pengertian antara keadilan formal dengan keadilan substantif, seperti dalam istilah“court of law” versus “court of just law” yang diidentikkan dengan pengertian “court of justice”.Namun disini kedua istilah ini dipakai untuk tujuan memudahkan pembedaan antara hakikatpengertian peradilan oleh MA dan oleh MK. LIhat: Ibid.
setidaknya dapat terlihat dari kewenangan untuk menguji konstitusionalitas
undang-undang dan memutus sengketa kewenangan konstitusional
antarlembaga. Umumnya MK dibanyak negara, diberikan pula kewenangan
seperti, constitutional complaint, constitutional question, interpreter of
constitution. Menurut Harjono, dapat dikatakan kewenangan uji
konstitusionalitas tersebut merupakan kewenangan yang utama, sedangkan
kewenangan lainnya bersifat asesoris atau pelengkap.310 Oleh karena itu, MK
disebut juga sebagai Peradilan Konstitusi (constitutional judiciary) yaitu organ
yang memiliki otoritas untuk menyelesaikan persengketaan hukum (legal
dispute) berdasarkan konstitusi.311 Peradilan ini dapat memfasilitasi setiap
individu atau kelompok masyarakat untuk mempertanyakan kelayakan suatu
kebijakan negara (eksekutif dan legislatif), yang biasanya dituangkan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan. Secara konseptual peradilan
konstitusi ini mengandung 2 fungsi strategis yaitu; (i) untuk melindungi hak-
hak fundamental masyarakat, dan (ii) untuk mengawasi aktifitas legeslatif
pemerintahan. Apabila hal itu dilaksanakan secara berkesinambungan maka
akan mencapai titik kulminasi yang disebut sebagai keadilan konstitusional
(constitutional justice).312
Dengan demikian, MK merupakan satu-satunya lembaga yang
paling berwenang untuk menjaga dan menegakkan konstitusi. MK adalah
mekanisme formal kenegaraan yang dibentuk untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konstitusi. MK dibentuk dan
diadakan lewat konstitusi, dan dasar bertindak atau mengambil keputusan
adalah konstitusi. Namun demikian bukan berarti MK lebih tinggi dari
lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk lebih tinggi dari MA. Pendekatan
310 Harjono, “Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam SistemKetatanegaraan Indonesia” dalam Firmansyah Arifin, et.al.,(Editors), 2004, Hukum dan KuasaKonstitusi, Jakarta, Penerbit KRHN, hlm. 25-27.
311 Achmad Syahrizal, op.cit., hlm. 75.312 Ibid., hlm. 82-85.
dan pandangan yang bersifat struktural-hierarkhis seperti itu, selayaknya
ditinggalkan dalam membaca sistem ketatanegaraan pascaamandemen UUD
1945. Jadi, posisi atau kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
perlu dilihat berdasarkan fungsi dan kewenangannya memperkuat cheks and
balances di dalam kerangka negara hukum.
Masalahnya, Bab II Pasal 2 UUMK tentang Susunan dan
Kedudukan, hanya menegaskan bahwa, ”MK merupakan salah satu lembaga
negara yang melakukan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.”
Ketentuan ini sedikit berbeda dengan pengaturan yang ada dalam UU
Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 UU KK menentukan bahwa, “Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Selanjutnya dinyatakan
dalam Pasal 3 ayat 2 UU Kekuasaan Kehakiman bahwa, MK sebagai peradilan
negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut, nampak ada ketidaksinkronan
antara ketentuan dalam UU MK dengan UU KK. Lebih dari itu, tidak jelas apa
yang dimaksud dengan ‘penegakan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila’, dan bagaimana hal itu harus dilaksanakan oleh MK.
Kekuasaan menjalankan peradilan yang dimiliki oleh MK sebagai
lembaga dijalankan oleh pejabat hakim konstitusi. Pasal 24C ayat (3) UUD
1945 menyatakan bahwa MK memiliki sembilan orang hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing 3 orang oleh MA, 3
orang oleh DPR, dan 3 orang oleh Presiden.313 Dalam mengajukan calon hakim
313 Lihat Pasal 18 ayat (1) UU MK. Meskipun dalam Penjelasan pasal ini dinyatakan“cukup jelas”, tetapi sebenarnya pembagian porsi kewenangan untuk mengajukan calon hakimkonstitusi dari tiga lembaga ini dimaksudkan untuk menjamin agar dalam menjalankan tugaskonstitusionalnya, para hakim konstitusi akan bersikap imparsial dan independent. Apalagi, salahsatu kewenangan MK adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, sehinggamengharuskan para hakim konstitusi untuk secara moral dan hukum bersikap netral dan tidak
konstitusi, MA, DPR, dan Presiden harus memperhatikan ketentuan Pasal 19
UU MK 2003 yang menyatakan bahwa pencalonan hakim konstitusi
dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Penjelasan ketentuan ini
menyatakan bahwa calon hakim konstitusi harus dipublikasikan di media
massa baik cetak maupun elektronik agar masyarakat mempunyai
kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim konstitusi yang
bersangkutan. Tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi
dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel, yang dapat diatur oleh masing-
masing lembaga.314
Tugas konstitusional MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD
1945, yaitu (i) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD; (ii) memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; (iii)
memutus pembubaran partai politik; dan (iv) memutus perselisihan tentang
hasil pemilu. Satu lagi kewajiban yang diemban oleh MK sebagaimana
tercantum dalam Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 adalah terkait dengan
pemakzulan (impeachment) yakni memberikan putusan atas pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Kemudian, dengan ditetapkannya
UU Penyelenggara Pemilu yang memastikan pemilukada masuk ke dalam
rezim pemilu315 maka MK memiliki kompetensi terhadap obyek perselisihan
berpihak kepada salah satu lembaga negara yang bersengketa. Di samping itu,dejaratindependensi hakim konstitusi juga diharapkan dapat lebih terjamin karena yangmenentukan pengangkatannya sebagai hakim bukan hanya satu lembaga, seperti apabilapengangkatan mereka hanya ditentukan oleh Presiden.
314 UU No. 24 Tahun 2003 Pasal 20.315 Sampai dengan diundangkannya UU Pemerintahan Daerah pada tahun 2004,
pemilukada dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, namun tidak dalam kualifikasi sebagai
pemilukada.316 Sekalipun demikian, perselisihan pemilukada ditangani oleh
MA317, sampai dengan diubahnya ketentuan UU Pemerintahan Daerah yang
memerintahkan penanganannya kepada MK.318
Pelaksanaan wewenang MK, yang merupakan bentuk judicial
activism319, dengan melakukan pengujian hukum, sesungguhnya menjaga
konstitusionalitas UU, yang dalam perspektif tertentu sering menjadi
“momok” (scourage) konstitusionalisme.320 Tidak berlebihan bahwa ada
sementara anggapan “A burgeoning consensus on all sides of the political
spectrum seems to be that judicial activism is bad.”321 Sebagai suatu konsep
konstitusional, “is used so often and so imprecisely, its significance
becomes questionable.”322
rezim pemilu karena menjadi domain pemerintahan daerah. Pada tahap berikutnya, MK mengujiUU Pemerintahan Daerah dan di masa depan pemilukada dilaksanakan secara langsung.
316 Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Penyelenggara Pemilu. Dengan regulasi baru ini, MKberwenang untuk mengadili perselisihan pemilukada yang mempengaruhi: (a) penentuanpasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua pemilukada; dan (b) terpilihnya pasangancalon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Inilah yang lazim dikenal sebagai “obyekperselisihan oemilukada.”
317 Lihat ketentuan Pasal 108 UU Pemerintahan Daerah.318 Lihat ketentuan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Pemerintahan
Daerah. Pasal 236C mengatakan, “penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihankepala daerah dan wakil kepala daerah oleh MA dialihkan kepada MK paling lambat 18 bulansejak Undang-Undang ini diundangkan.” Karena UU yang bersangkutan diundangkan pada 24April 2008, maka paling lambat penanganan oleh MK pada 24 Oktober 2009. Faktanya pengalihanitu terjadi pada Rabu, 29 Oktober 2008
319 The term “judicial activism” refers to a family of views concerning the natureof constitutional interpretation and the institutional role of the Court. Lihat William P. Marshall,“Conservatives and the Seven Sins of Judicial Activism”, Colorado Law Review, Vol. 73, 2002,hlm.1217-1220.
320 Lino Gralia, “ Rule of Law: Our Constitution Faces Death by ‘Due Process,’ WallStreet Journal, 24 Mei 2005, hlm. A12.
321 Bruce Hausknecht, “Focus on the Family’s Issue Analysis” The Law & the Courts”,Q & A - Judicial Activism, http://www.citizenlink.org/FOSI/Courts/A000001374.cfm, diakses 26Maret 2011.
322 Robert Justin Lipkin, “We Are Judicial Acitivist Now”, University of Cincinati LawReview, Vol. 77, 2008, hlm. 186.
Di dalam praktik, putusan-putusan MK telah memberikan warna
sendiri pada ketatanegaraan Indonesia. Khususnya dalam rangka
melaksanakan kewenangan pengujian konstitusional—yang antara lain
berpengaruh kepada pemilu dan pemilukada, baik langsung maupun tidak
langsung, MK telah memberikan warna baru bagi perkembangan hukum dan
sistem hukum di Indonesia. Melalui putusan-putusan MK untuk pengujian
konstitusional, pengaruh tersebut mencakup hukum konstitusi dan
menjangkau hampir semua lapangan hukum yaitu dalam bidang politik,
hukum perekonomian, HAM, pelaksanaan pengujian konstitusional oleh MK
telah menghasilkan putusan-putusan yang penting dan memberikan khasanah
baru.
Secara akademik, banyak persoalan yang dapat ditelusuri atas
putusan-putusan pengujian konstitusional tersebut. Ada putusan yang dinilai
melampaui batas kewenangan MK dan masuk ke ranah legislatif, padahal
putusannya bersifat final dan mengikat.323 Selain itu, seperti telah disinggung
di atas, pengaturan UUD 1945 tentang pengujian konstitusional telah sedikit
merancukan konsentrasi kekuasaan kehakiman dalam penanganan konflik
peraturan dan konflik orang atau lembaga.324 Selanjutnya, terdapat putusan
MK yang bersifat ultra petita (melampaui apa yang dimohonkan)325 seperti (ii)
323 Misalnya Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006, yang antara lain mengatakanbahwa UU Tindak Pidana Korupsi 2002 tidak mempunyai kkeuatan hukum mengikat dan mulaiefektif 3 tahun ke depan sejak putusan MK dibacakan. Padahal, ketentuan Pasal 47 UU MK 2003mengatakan bahwa putusan berlaku sejak selesai dibacakan di persidangan.
324 Misalnya Putusan No. 005/PUU-IV/2006 yang mengeluarkan hakim-hakim MK dariobyek kewenangan pengawasan oleh KY.
325 Penelitian ELSAM menilai bahwa putusan MK yang melebihi apa yang dimintaPemohon (ultra petita) tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap UU MK dan asaskardinal dalam hukum acara. Pertama, pelanggaran serius terhadap UU MK terjadi karena tidakada peraturan atau ketentuan dalam UU MK yang membolehkan MK memutuskan melebihi apayang dimohonkan. UU MK hanya mengatur mengenai prosedur pembuatan putusan dan formatputusan. Sama sekali tidak mengatur mengenai kewenangan ultra petita. Kedua, pelanggaranserius terhadap asas kardinal dalam hukum acara, yaitu asas non ultra petita principle, yaitu asasyang berfungsi untuk “governing the Court’s judicial process, which does not allow the Court todeal with a subject in the dispositif of its judgment that the parties to the case have not, in theirfinal submissions, asked it to adjudicate dan “to ensure that the Court does not exceed the
putusan pengujian UU Ketenagalistrikan326; (ii) putusan pengujian UU KKR327;
dan (iii) putusan pengujian UU BHP328 yang mengarah kepada intervensi ke
dalam bidang legislasi. Ada juga putusan yang dianggap melanggar asas nemo
judex in causa sua (larangan memutus hal-hal yang menyangkut diri sendiri),
serta putusan yang cenderung mengatur atau putusan yang didasarkan
kepada pertentangan satu undang-undang dengan undang-undang lain,
padahal mandat dari UUD 1945 adalah pengujian konstitusionalitas UU
terhadap konstitusi. Hal yang perlu mendapatkan perhatian selanjutnya
adalah masalah pelaksanaan putusan MK. Sebagai suatu kekuasaan yudisial,
putusan pengadilan merupakan produk kenegaraan yang mengikat329 antara
lain kemampuannya menciptakan atau menetapkan keadaan hukum baru.330
jurisdictional confines spelled out by the parties in their final submissions”. Sehingga seharusnyaMahkamah Konstitusi “strictly limited to the consent given by the parties to a case” pelanggaranserius terhadap asas kardinal dalam hukum acara, yaitu asas non ultra petita principle, yaitu asasyang berfungsi untuk “governing the Court’s judicial process, which does not allow the Court todeal with a subject in the dispositif of its judgment that the parties to the case have not, in theirfinal submissions, asked it to adjudicate28 dan “to ensure that the Court does not exceed thejurisdictional confines spelled out by the parties in their final submissions”. Sehingga seharusnyaMahkamah Konstitusi “strictly limited to the consent given by the parties to a case.” Pasal 45 s/d49. Bandingkan juga: Bagian Menimbang huruf c Tap MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasidan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lihat juga Nancy A. Combs, Daryl A.Mundis, Ucheora O. Onwuamaegbu, Mark B. Rees, and Jacqueline Weisman, “InternationalCourts and Tribunals”, http://www.abanet.org, diakses 27 April 2012.
326 Putusan No. 001-021-022.327 Putusan No. 006/PUU-IV/2006.328 Putusan No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009.329 Lihat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.330 Maruarar Siahaan menyebutkan bahwa sifat dari amar putusan Mahkamah
Konstitusi memiliki sifat declaratoir (menyatakan apa yang menjadi hukum), condemnatoir(menghukum tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi) dan constitutive(menciptakan suatu keadaan hukum baru). Lihat: Maruarar Siahaan, Hukum Acara Pengujian…,op.cit., hlm. 240-242.
Sejak awal memang didesain bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujianundang-undang bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusimeniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislator.Lihat: A. Fickar Hadjar, dkk. 2003. Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-undangMahkamah Konstitusi. Jakarta: KRHN dan Kemitraan, hlm. 34.
Oleh karena itu, MK sering dinilai menjadikan dirinya sebagai
lembaga yang super body, karena dengan berlindung di dalam ketentuan UUD
bahwa putusannya bersifat final dan mengikat, lembaga ini ada kalanya
membuat putusan-putusan yang justru dapat dinilai melampaui kewenangan
konstitusionalnya. Dengan melihat kecenderungan tersebut, muncul gagasan
agar ada Perubahan UUD 1945 dan/atau amandemen UU MK yang dapat
membatasi kewenangan dan dapat mengontrol MK. Arahnya adalah larangan
bagi MK agar tidak membuat putusan yang melampaui wewenangnya dan
masuk ke ranah lain seperti ranah legislatif dan yudisial.331
Pelaksanaan pengujian oleh MK sangat menarik untuk dikaji
terutama dalam konteks transisi demokrasi di Indonesia. Makna penting
format transisi demokrasi dalam memahami kinerja MK oleh karena secara
empirik Indonesia mengalami transisi sistemtik (systemtic transition).332
Transisi semacam ini tidak bisa dijelaskan hanya dengan menggunakan
catatan sejarah Indonesia terdahulu, karena ia harus dipandang sebagai suatu
historic discontinuity. Pada satu sisi, kelembagaan legislasi yang sejak
Perubahan UUD 1945 dialihkan ke DPR333 menampakkan kesan tidak diikuti
331 Walaupun sebenarnya kecenderungan praktik global menunjukkan bahwa MKdalam menjalankan fungsinya kadang-kadang membatasi Pemerintah dan penegak hukum.Dikatakan oleh seorang penulis bahwa: “The path to the constitutional court to determine theissue of legality is frequently confined to government and law makers. For example, in the case ofthe German Federal Constitutional Court the issue can be referred for resolution by the Federalgovernment, the Land government or by a third of Bundestag members. There are manyvariations granting a right of referral to PM, prosecutor general, ombudsman, president of thehigh council of local authorities (Mali), president of the high broadcasting authority (Benin), orvarying proportions of member of the legislature.” Lihat: Andrew Harding, Peter Leyland,danTania Groppi (Editors), “Constitutional Courts: Forms, Functions and Practice in ComparativePerspective”, Journal of Comparative Law, Vol. 3, No. 2, 2010, hlm. 15.
332 Terminologi systemic transition untuk Indonesia, diperkenalkan oleh Mishra yangmenjelaskan proses transisi politik dan ekonomi yang terjadi serta bagaimana seharusnya prosestersebut disikapi, belajar dari pengalaman negara lain yang telah lebih dahulu mengalami transisiserupa. Lihat dalam: Satish Mishra, “Systemic Transition in Indonesia: Implications for InvestorConfidence and Sustained Economic Recovery”, UNSFIR Working Paper 00/06, Jakarta, 2000.
333 Ketentuan Perubahan UUD 1945 yang dianggap menciptakan pergeseran kekuasaanlegislatif itu adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang awalnya berbunyi, “Presiden memegangkekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR” yang diubah menjadi,“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.” Lalu, ketentuan Pasal 20
dengan perencanaan dan kesadaran semangat pembentukan UU yang
memadai334, walaupun hal yang sama terjadi di lingkungan pemerintah
juga.335 Penelitian mengenai putusan MK menjadi penting karena posisi
semacam itu putusan itu akan dihormati oleh cabang kekuasaan lain,
ayat (1) yang semula berbunyi, “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR”,diubah menjadi “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Sementarapandangan mengatakan bahwa dengan adanya perubahan ketentuan UUD 1945 tersebut, makatelah terjadi pergeseran fungsi legislasi. Lihat pendapat-pendapat berikut: Jimly Aasshiddiqie,2005, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta, Pusat Studi HTN UI,hlm. 25; Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara PascaReformasi, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, hlm. 135; H.A.S Natabaya, 2006,Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK,hlm. 42; dan Wicipto Setiadi, “Makna Persetujuan Bersama dalam Pembentukan Undang-Undangserta Penandatangan oleh Presiden atas Rancangan Undang-Undang yang telah MendapatPeretujuan Bersama”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1, No. 2, 2006, hlm. 21. Sebagai wawasan,analisis implikasi ketentuan Perubahan UUD 1945 tersebut dalam praktik dapat dibaca, antaralain: Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementerdalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta, Penerbit Rajawali, hlm. 209-232.
334 Moh. Fajrul Falaakh, akademisi UGM dan anggota Komisi Hukum Nasional (KHN)mengatakan bahwa produk hukum yang dihasilkan oleh DPR makin tak keruan, tumpang tindih,dan menampakkan gejala otoritarianisme. Dalam beberapa hal, produk hukum itu justru mulaimenjauh dari semangat reformasi. Hampir semua UU memiliki bobot ancaman pidana. Bahkanterdapat perbedaan yang mencolok dalam hal pengaturan ancaman pidana antara UU yang satudan yang lain. Misalnya, di dalam KUHP, pencemaran nama baik diancam sanksi pidana yangrendah. Lain halnya dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal itu membuktikan carapandang pembentuk UU terkait dengan substansi hukum tidak sinkron satu sama lain. Filosofipemidanaan tidak dikuasai. Ancaman pemidanaan ini, sayangnya tidak dibarengi denganpembenahan/peningkatan kualitas aparat penegak hukum, yakni penyelidik, penyidik, danpenuntut umum. Jadi, ada sisi yang memang saling menunjang gagalnya reformasi di bidanghukum. Lihat: Kompas, Senin, 21 Mei 2012, hlm. 4.
335 Sebagai contoh adalah kasus Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33/2012 tentangPendaftaran Organisasi Kemasyarakatan. Dalam peraturan itu antara lain diatur: (i) setiaporganisasi kemasyarakatan (Ormas) harus terdaftar untuk memperoleh Surat KeteranganTerdaftar (SKT); (ii) pemerintah bisa menolak menerbitkan SKT dan juga bisa mencabutnya; (iii)ormas harus membuat surat pernyataan kesediaan atau persetujuan ormas dalamkepengurusannya mencantumkan nama pejabat negara, pejabat pemerintahan, dan tokohmasyarakat; dan (iv) menteri, gubernur, bupati/walikota diberi wewenang untuk membekukanSKT, antara lain jika ormas menyebarkan ideology marxisme, ateisme, kapitalisme, sosialisme,dan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila, termasuk merusak hubungan antaranegara Indonesia dengan negara lain. Peraturan itu dianggap bertentangan UU No. 8/1985 danbahkan dengan UUD 1945 terkait dengan kebebasan berserikat. Aturan itu dianggapmemunculkan otoritarianisme di era demokrasi. Lihat: Tajuk Rencana, “Menguji PeraturanMendagri”, Kompas, Sabtu, 19 Mei 2012, hlm. 6.
termasuk pengadilan, baik karena personalitas para hakim maupun karena
pertimbangan-pertimbangan hukum yang layak untuk dirujuk.336
G. Mahkamah Konstitusi dan Tafsir Konstitusi
Ketika UUD 1945 memposisikan MK sebagai penafsir tertinggi
konstitusi (the sole and the highest interpreter of the constitution) terutama
dalam kaitannya dengan pengujian konstitusionalitas undang-undang atas
undang-undang dasar337, kondisi demikian akan menimbulkan 2 (dua)
pertanyaan mendasar. Apakah MK akan menafsirkan konstitusionalitas suatu
undang-undang hanya didasarkan pada rumusan teks pasal berdasarkan
paradigma positivisme hukum dengan ciri khasnya yang silogistik dan
reduksionis338 sehingga kedudukan teks menjadi otonom dan independen
sifatnya serta terlepas dari posisi penafsir339, atau MK melakukan penafsiran
hukum berdasarkan spirit keadilan sosial dan keadilan substantif yang
menjadikan teks tidak sebagai pusat tapi pinggiran?
Jika penafsiran yang pertama yang diikuti MK maka hakikatnya
manusia diciptakan salah satunya untuk menjadi “budak” hukum (UUD 1945).
Semua tindakan manusia harus sesuai dengan hukum yang dibentuk itu,
336 Dalam tradisi penelitian di AS, kedua hal itu tercakup dalam pendekatan penelitianmasing-masing “attitudinal model” dan “legal model.” Dalam hal ini, model pertama “haveinherited the mantle of legal realists in arguing that judges are influenced far more by theirpersonal preferences than by the dictates of higher courts”, sedangkan yang kedua “havetheorized that judges do in fact abide by the governing legal regime as embodied in bindingprecedent.” Diskusi yang menarik mengenai kedua pendekatan ini lihat: Frank B. Cross, “PoliticalScience and the New Legal Realism: A Case of Unfortunate Interdisciplinary Ignorance”, New YorkUniversity Law Review, Vol. 92, 2007, hlm. 315 dan Nancy C. Staudt, “Modeling Standing”, NewYork University Law Review, Vol. 79, 2004, hlm. 614.
337 Jimly Asshiddiqie, “Pengenalan Mahkamah Konstitusi dan Pendidikan KesadaranBerkonstitusi” makalah disampaikan dalam “Temuwicara Mahkamah Konstitusi dengan PejabatPemerintah Daerah se-Indonesia tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Jakarta,April, 7-9, 2005, hlm 1.
338 Anthon F. Susanto, “Menggugat Fondasi Filsafat Ilmu Hukum Indonesia”, dalam SriRahayu Oktoberina dan Niken Savitri, (Penyunting), 2008, Butir-butir Pemikiran dalam HukumMemperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, Bandung, Refika Aditama, hlm. 14-16.
339 Michael J. Clark, “Faucault, Gadamer and the Law: Hermeneutics inPostmodern Legal Thought”, University of Toledo Law Review, Vol. 26, 1994, hlm 115.
tidak perduli apakah hukum yang dibentuk itu adil atau tidak adil,
bermanfaat atau tidak bermanfaat, dan memberikan kesejahteraan kepada
masyarakat atau tidak. Akan tetapi, jika MK melakukan penafsiran hukum
dengan mengabaikan rumusan teks dalam pasal UUD 1945, maka MK
sesungguhnya telah mengabaikan salah satu prinsip terpenting dalam negara
hukum, yakni kepastian hukum. Kepastian hukum tidak memiliki arti apa-apa
dengan penafsiran MK yang demikian.
Pilihan atas penafsiran yang seperti apa yang seyogyanya
dijadikan pedoman oleh MK untuk menafsiran konstitusionalitas suatu
undang-undang, pasti akan mendatangkan pro kontra terutama di kalangan
ahli dan pemerhati hukum. Tidak salah kalau Mahfud MD menyatakan,
putusan-putusan MK membuat banyak pihak harus mengernyitkan dahi
sebagai tanda keheranan atau ketidaksetujuan. Belum lagi apabila
terdapat pihak-pihak yang hingga saat ini masih mempertanyakan posisi
MK yang hanya digawangi oleh 9 (Sembilan) hakim konstitusi yang diangkat
dan bukan dipilih langsung oleh rakyat, namun mampu menggugurkan suatu
produk undang-undang yang telah disepakati dan diputuskan oleh 560 orang
anggota DPR bersama Presiden yang keduanya justru dipilih melalui proses
demokratis yang cukup panjang dan menelan biaya yang tidak sedikit.340
Namun demikian, penafsiran yang hanya bertumpu pada
otonomi dan independensi teks merupakan penafsiran yang bersifat artifisial
atau semu, karena yang dicari adalah keadilan menurut teks suatu Pasal.
Dalam konteks inilah, sudah seharusnya di dalam menafsirkan
konstitusionalitas suatu undang-undang atas UUD 1945, MK tidak lagi
menjadikan teks sebagai yang utama. Sebab, supremasi konstitusi tidak hanya
dimaknai semata-mata sebagai supremasi teks pasal-pasal UUD 1945
340 Moh. Mahfud MD, “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Pengembangan HukumProgresif untuk Keadilan Sosial”, makalah disampaikan dalam Seminar Menembus KebuntuhanLegalitas Formal Menuju Pembangunan Hukum dengan Pendekatan Hukum Progresif, UniversitasDiponegoro Semarang, 19 Desember 2009, hlm. 2.
melainkan juga memperhatikan konteks dan kontekstualisasi suatu pasal
dengan kondisi kekinian. MK dapat menjadikan penafsiran hukum yang
progresif di dalam menafsirkan konstitusionalitas suatu undang-undang
karena diyakini penafsiran tersebut tidak kaku dan tidak hanya bertumpu
pada otonomi teks, sehingga eksistensi UUD 1945 sebagai “living
constitution”, akan benar-benar terwujud.
Andaikata secara tegas MK menolak mempertahankan status quo
dalam berhukum dan lebih memberikan perhatian besar terhadap peranan
perilaku manusia dalam hukum, ini berarti dalam menafsirkan suatu teks,
seorang penafsir tidak menjadi tawanan teks. Maksudnya, karena
menafsirkan merupakan suatu proses menggali makna dari suatu objek yang
sempit (teks) ke dalam realitas sosial yang luas dan sangat kompleks, maka
eksistensi dan makna teks tidak menjadi satu-satunya dasar untuk
mewujudkan suatu keadilan hukum. Selain itu, teks suatu Pasal bersifat kaku
dengan ruang lingkup makna yang ditentukan sebelumnya pada saat teks itu
dibentuk. Padahal, masalah sosial bersifat dinamis dan seringkali tidak
berjalan secara linier. Ketika masalah tersebut hanya cukup dengan mengacu
pada rumusan suatu teks dengan makna tetap yang terkandung di dalamnya,
yang terjadi adalah terbelenggu atau menjadi tawanan suatu teks.
Sebab, penafsiran (interpretasi) merupakan fungsi dari hukum
tertulis yang membuat rumusan-rumusan. Pembuatan dan penafsiran
merupakan dua sisi dari barang yang sama, yaitu hukum. Teks hukum tidak
lain adalah suatu bentuk rumusan, suatu konseptualisasi dari sesuatu yang
ada dan terjadi di alam. Setiap perumusan adalah penegasan atau pencitraan
tentang suatu hal. Pencitraan adalah pembuatan konsep. Dalam pembuatan
konsep selalu dimulai dengan pembatasan atau pembedaan antara yang
dirumuskan atau tidak atau yang berada di luarnya.341
341 Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta, UKI Press, hlm.165-167.
Oleh karena itu, perumusan itu bekerja dengan cara membatasi
seperti itu, maka timbul risiko besar akan ketidaktepatan perumusan. Hampir
tidak ada jaminan, bahwa perumusan itu akan tetap sesuai kebenaran.
Dalam hubungan dengan inilah, perumusan selalu membawa kegagalan.
Dengan lain perkataan, perumusan merupakan proyek kegagalan.
Disebabkan oleh tuntutan untuk merumuskan ke dalam suatu teks, hukum
sudah masuk ke ranah kebahasaan dan dengan demikian memasuki
permainan bahasa (language game). Kalau hukum itu dituntut untuk
membuat rumusan-rumusan, maka pada waktu yang sama ia ditakdirkan akan
gagal menjalankan tugas tersebut. Dalam perspektif tersebut hukum itu sudah
cacat sejak dilahirkan.342
Sebagai teks hukum merupakan suatu konstruksi sosial melalui
proses legislasi. Berkaitan dengan pertanyaan tentang apa itu hukum dan
bagaimana hukum harus dipahami, ada dua kemungkinan yang bisa muncul.
Pertama, apakah teks hukum harus dipahami dan ditafsirkan berdasarkan
proposisi logis, yakni sebuah statemen yang dapat dinilai benar atau salah
(dalam pengertian tertentu) menurut aturan-aturan penalaran? Posisi formal-
estetis, Ronald Dworkin dalam A Matter of Principle dan Law’s Empire
menghendaki agar tugas utama ‘yurisprudensi analitis’ adalah memahami
integritas hukum sama seperti suatu objek estetik dimana ia dibangun
berdasarkan prinsip yang selaras seperti keadilan, kesetaraan, kejujuran, dan
dijadikan sebagai standar untuk menilai kasus-kasus hukum yang muncul
saat ini.
Kedua, pada sisi yang lain terdapat gagasan kritis-historis bahwa
teks hukum selalu tertanan dalam sejarah dan digerakkan secara politis
sehingga hukum tidak bisa dipahami sebagai poduk nalar dan argumen
semata. Maka teks hukum harus dipahami dan ditafsirkan sesuai dengan
kategori-kategori materialitas: kekuasaan, teknologi, hubungan sosial,
342 Ibid.
perspektif gender, dan sebagainya. Pemikir semacam Peter Goodrich dalam
bukunya The Reading the Law: A Critical Introduction to Legal Method and
Techniques, memahami hukum sebagai salah satu wacana di tengah wacana-
wacana disiplin normatif lain, terkait erat dan berutang budi pada wacana
lain, menjangkau masyarakat yang lebih luas daripada sekedar pelanggar
hukum atau pelaku kejahatan. Tetapi teks hukum selalu merupakan kanon
yang memaksa dan mengikat bahkan mengungkapkan diri dalam bentuk
kekuasaan (bukan nalar). Ungkapan “nalar hukum” merupakan ungkapan
dogmatis yang berlebihan sehingga membuat hukum dihormati dan
dipatuhi. Bahkan bahasa hukum yang khas dengan peristilahannya sendiri
merupakan upaya untuk mengontrol dan memanipulasi secara sengaja supaya
digunakan secara beranekaragam.
Di samping itu tradisi analitis menunjukkan bahwa interpretasi
hukum harus dijalankan berdasarkan kontrol argumentatif yang ketat
sehingga tidak ada ruang tersisa yang terbuka. Tetapi muncul argumen lain
bahwa gagasan mengenai interpretasi hukum melemahkan pengertian kita
mengenai legitimasi hukum. Maka sejauh interpretasi dipandang perlu, maka
hal itu harus bersifat ketat dan final. Maka perlu ditetapkan logika
interpretasi. Kita sudah memiliki tradisi dan pemahaman yang berbeda
tentang teks hukum dan pengertiannya pun bisa berbeda berdasarkan jenis
interpretasinya, tetapi kita pun merupakan bagian dari tradisi dan masa lalu
bahkan juga otoritas yang sama yang membantu pemahaman kita.
Meskipun penting, interpretasi akhirnya juga harus dipahami
bukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Interpretasi adalah sebuah sarana
untuk mengungkapkan makna hukum sebagai teks atau ketika berhadapan
dengan sebuah kasus hukum. Pertanyaannya, jika interpretasi hukum
merupakan sebuah “sarana”, apa yang merupakan tujuan dari interpretasi
hukum itu sendiri? Interpretasi memang bertujuan untuk mengungkap makna
“teks’”hukum. Tetapi tujuan interpretasi tidak berhenti di sini.
Pengungkapan makna hukum secara tepat, pada akhirnya, bertujuan untuk
menegakkan keadilan sebagai tujuan tertinggi hukum itu sendiri. Memang apa
yang disebut sebagai ‘adil’ masih selalu bisa diperdebatkan. Tetapi dalam
menangani suatu perkara hukum, interpretasi dan putusan yang adil adalah
interpretasi dan putusan yang mampu mempertimbangkan segala fakta dan
ketentuan hukum yang relevan serta prinsip-prinsip hukum yang lebih tinggi
sehingga setiap mereka yang terlibat dalam perkara hukum memperoleh
haknya. Singkatnya, kedua belah pihak memahami “posisi” masing-masing
berdasarkan fakta atau data yang terungkap di pengadilan dan konstruksi
argumentasi hukum yang tepat secara logis, legal dan moral sehingga pihak
yang berperkara tidak lagi memiliki opsi menolak putusan pengadilan. Dengan
rumusan lain, interpretasi hukum pun mesti mempertimbangkan “kebutuhan”
real masyarakat hukum itu sendiri.
Bahkan dalam kasus yang “meragukan” pihak yang lemah tidak
boleh dikorbankan meskipun tujuan umum hukum pun tidak boleh
dikalahkan. Prinsip ini menegaskan perlunya keseimbangan “kreatif” antara
kepentingan pihak yang lemah dan kepentingan masyarakat secara
keseluruhan. Dengan prinsip ini, keadilan sebagi tujuan hukum tidak lagi
berarti bahwa “setiap orang harus diperlakukan secara sama; jadi berlaku
prinsip “sama rata, sama rasa” melainkan kepentingan setiap komponen
masyarakat harus diperhatikan. Dalam keadilan distributif misalnya, “orang
lemah” yang tidak bisa berkembang dari dirinya sendiri mesti diberi “ruang”
lebih besar agar bisa berkembang jika dibandingkan dengan kelompok yang
mampu karena kelompok yang mampu dapat mengembangkan diri tanpa
bantuan pihak lain. Dengan demikian, bertindak adil berarti bahwa mereka
yang lemah “memperoleh” lebih banyak dari mereka yang mampu. Tertib
berpikir demikian mengingatkan para hakim, jaksa, dan advokat bahwa
menginterpretasikan ketentuan hukum yang berkaitan dengan kekuasaan
harus dilakukan secara cermat. Ketentuan ini merupakan salah satu ketentuan
penting karena kapan dan dimana pun kekuasaan dapat menyusup dan
mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung putusan pengadilan.
Pengalaman sejarah pemerintahan kita sebagai bangsa menunjukkan bahwa
kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto sebagian
dilegalkan melalui interpretasi Undang-Undang Dasar bahwa “Presiden dan
wakil presiden dipilih dalam 5 (lima) tahun dan setelah itu dapat dipilih
kembali.” Bagian kalimat “setelah itu dapat dipilih kembali” memiliki 2 (dua)
tafsiran. Pertama, setelah masa jabatan selesai dapat dipilih kembali sampai
kapan pun (senyatanya sampai 32 tahun). Kedua, setelah masa jabatan selesai
dapat dipilih kembali “hanya” untuk periode berikut tetapi tidak lagi bisa
mengikuti pemilihan presiden untuk ketiga kalinya. Adanya kemungkinan
“intervensi kekuasaan” dalam interpretasi hukum serta ketidakjelasan
ketentuan hukum itu sendiri membuka kemungkinan bagi kekuasaan untuk
menginterpretasikan ketentuan, aturan, atau undang-undang sesuai dengan
kepentingannya.
Ketentuan atau prinsip bahwa “Segala sesuatu yang terkait
dengan kekuasaan harus ditafsirkan secara cermat; segala sesuatu yang
terkait dengan keamanan warga negara dan perlindungan individu juga harus
ditafsirkan secara utuh dan meliputi semua pihak” juga menegaskan
prinsip atau kaidah lain yang mesti diperhitungkan dalam memutuskan
sebuah perkara hukum. Ketentuan atau prinsip itu adalah bahwa interpretasi
hukum tak boleh mengabaikan keamanan dan kepentingan individu dan
masyarakat secara keseluruhan (semua pihak). Istilah interpretasi secara utuh
pada konteks ini juga menunjukkan bahwa sebuah aturan mesti dipahami
dalam seluruh konteks, kondisi, dan relasi dengan kepentingan masyarakat
secara keseluruhan serta undang-undang yang lain, termasuk semangat yang
dikandung oleh aturan atau undang-undang tersebut.
Sebagai teks, rumusan atau kata-kata dalam produk hukum harus
dipahami sebagaimana yang mungkin dimaksudkan oleh penutur (publik).
Konstruksi sebuah teks hukum dimaksudkan sebagai upaya membangun
unsur-unsur dasar makna sebuah teks hukum, dan bukan berupa pemaksaan
suatu materi luar ke dalam teks. Guna mengungkap makna sesungguhnya
sebuah teks hukum, konstruksi hukum secara cermat dan tepat diperlukan.
Dengan pemikiran yang demikian, menyerahkan secara penuh
kepada penafsiran hukum berdasarkan otonomi teks hanya akan
menimbulkan keadilan berdasarkan teks, sedangkan yang hendak dicari
bukanlah keadilan seperti itu tapi suatu makna yang lebih dalam lagi,
yakni keadilan sosial atau keadilan substantif.
Keadilan berdasar teks akan tercipta proses silogisasi antara teks
dengan kejadian konkret. Jika kejadian konkret tersebut mencocoki rumusan
teks, kesimpulannya sudah dapat ditebak yaki teks akan selalu menjadi
panduan atau dasar, dan dengan demikian keadilan berdasar teks tercipta.
Singkatnya, keadilan berdasar teks diarahkan pada latar teks hukum positif,
diendapkan ke dalam kesadaran hukum, dan dari kesadaran hukum itu
kemudian lahir perilaku hukum.343
Jika pemikiran mengenai perlunya penafsir tidak menjadi tawanan
atau terbelenggu dengan teks dikaitkan dengan salah satu kewenangan
MK sebagai pegawai konstitusi penafsir tunggal atas konstitusi344, maka hakim
Mahkamah Konstitusi hendaknya memperlakukan teks UUD 1945 dan
konstitusi terpisah dan berada di luar konteks sosial kemasyarakatan dimana
teks itu diterapkan. Hal ini karena pengertian konstitusi tidak sama dengan
pengertian UUD 1945. Pengertian konstitusi adalah lebih luas karena bersifat
fundamental yang berkaitan dengan negara yang meliputi asas-asas dasar,
pranata-pranata, asas-asas hukum, norma-norma dasar, dan aturan-aturan
hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Konstitusi Indonesia merupakan
343 Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perilaku Hidup Baik adalah Dasar Hukum yangBaik, Jakarta, Kompas, hlm. 70.
344 Moh. Mahfud MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca AmandemenKonstitusi, Jakarta: LP3ES, hlm. 97.
terjemahan atau penjabaran atau pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945 yang tingkatannya lebih tinggi. Preambul
(pembukaan) mendasari sistem konstitusi dan mengikat sistem kenegaraan.345
Dengan kata lain, konstitusi tidak sama dengan UUD 1945 dan
tidak mengenal hierarkhi norma antara pembukaan dan batang tubuh, tetapi
kaidah yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 diwujudkan dalam bentuk
norma pada pasal-pasal UUD 1945. Di samping itu, organ (komponen) UUD
1945 merupakan kumpulan organ (komponen) konstitusi yang diambil dari
konstitusi untuk dimasukkan ke dalam Pasal-pasal UUD 1945. Artinya, ada
organ-organ dari konstitusi yang dimasukkan ke dalam UUD 1945. Organ-
organ itu berupa organ yang menopang sehingga UUD 1945 memenuhi syarat
sebagai konstitusi yang cocok untuk dipakai di Indonesia saat ini.346
Masalahnya, seorang penafsir teks memiliki kedudukan yang
istimewa dibandingkan dengan teks sejak makna teks dibentuk, tidak
ditemukan, sehingga interpretasi selalu menciptakan teks yang signifikan
(konsteks). Fokus interpretasi tidak pada teks, melainkan pada pembaca
yang pemikirannya mendominasi teks.347 Pentingnya memperhatikan konteks
dan tidak hanya berpangku pada otonomi teks karena pada dasarnya
kehidupan manusia dari produk-produk kulturalnya memperlihatkan suatu
perkaitan yang bermakna penuh. Berbeda dengan alam yang tidak
bernyawa, manusia tidak ditentukan oleh sebab akibat, melainkan dibimbing
oleh alasan-alasan atau aturan-aturan. Manusia memberikan sendiri makna
pada kehidupan mereka, dan ini tidak dapat diamati dan direkam dengan
observasi eksternal berdasarkan model keilmu-alaman.348
345 Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinyadalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 144.
346 Ibid., hlm. 123.347 Michael J. Clark, op.cit., hlm. 115-116.348 Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis terhadap
KUHP, Bandung, Refika Aditama, hlm. 32.
Selain itu, UUD 1945 secara ekplisit menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Makna negara hukum tidak dapat
direduksi maknanya dengan negara undang-undang. Makna hukum lebih luas
dari sekadar makna undang-undang. Jika MK menafsirkan konstitusionatas
suatu undang-undang atas UUD 1945 hanya bertumpu pada teks-teks Pasal di
dalamnya, MK mereduksi dan mempersempit makna negara hukum.
Akibatnya, penafsiran hukum MK bersifat kaku (rigid), hitam putih, dan
menyebabkan hukum jauh dari keadilan serta dari kebutuhan masyarakatnya.
Hukum bisa jadi menjadi asesori yang kurang bermanfaat bagi
masyarakat.
Sebagai penafsir tunggal konstitusi yang perlu dilakukan MK
adalah mendekonstruksi sakralitas teks, karena ketika teks disakralkan dan
diformalkan, maka kepentingan yang lebih kuat akan menjadi sangat dominan
khususnya dalam proses penafsiran terhadap teks tersebut. Formalisasi itu
kemudian menimbulkan reduksionis dan sakralitas teks.349 Sakralitas teks
inilah yang menjadikan produksi makna teks bersifat tertutup, dan realitas
tersembunyi sulit untuk diungkap. Inilah salah satu tanda tidak kreatifnya
penafsir, sehingga teks kehilangan prgoresivitas makna. Pada akhirnya proses
pengistimewaan teks, teks dibakukan dan substansinya tidak dapat diganggu
gugat.
Berdasarkan uraian di atas kewenangan MK sebagai penafsir
tunggal konstitusi hendaknya tidak dimaknai hanya sebagai kewenangan
menafsirkan Pasal-pasal dalam konstitusi yang memiliki kekuatan hukum350,
tapi lebih pada mencari makna yang terkandung di balik teks, dan
menghubungkannya dengan kondisi sosial masyarakat. Artinya, menyatakan
bahwa suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 tidak
349 Antoh Freedy Susanto, Semiotika…, op.cit., hlm. 186350 Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan Negara Hukum
yang Demokratis, Yogyakarta, Penerbit Total Media, hlm. 244.
cukup hanya menafsirkan pasal-pasal UUD 1945 yang menjadi rujukan
dengan penafsiran yang bersifat tekstual. MK perlu untuk melangkah lebih
jauh keterkaitan suatu pasal dalam UUD 1945 dengan esensi dan makna yang
terkandung dalam Pembukaannya dan butir-butir Pancasila.
Memang harus diakui bahwa tindakan MK yang kadangkala
melakukan penafsiran yang kontekstual dengan bertumpu pada keadilan
substantif dan penafsiran hukum yang progresif mengundang kritik.
Dikatakan bahwa penafsiran kontekstual telah menggelincirkan MK menjadi
lembaga kehakiman otoriter, karena MK memiliki cek kosong yang dapat
ditulisnya sendiri. Atas nama penafsiran kontekstual, MK bebas menafsirkan
konstitusi sesuai dengan keyakinannya meskipun bertolak belakang dengan
yang tertulis di konstitusi. Selain itu, penafsiran konstitusi yang lentur
(arbitrary interpretation) mengisyaratkan bahwa kedudukan MK lebih
tinggi (supreme) daripada konstitusi. Tidak ada perbedaan kedudukan
antara konstitusi dan MK karena keduanya telah menjelma menjadi satu-
kesatuan. Artinya, MK tidak dapat lagi disebut sebagai pengawal konstitusi,
karena yang mengawal dan dikawal telah melebur menjadi satu. Padahal,
dalam konteks prinsip supremasi konstitusi sebagaimana dikemukakan oleh
Hans Kelsen sebagai tokoh pencetus ide pembentukan MK di dunia, pengawal
harus patuh dan berkedudukan lebih rendah daripada yang dikawal.351
351 Munafrizal Manan, “Mahkamah Konstitusi dan Penafsiran Tekstual”, Koran Tempo,26 Februari 2009.
BAB IV
KUALITAS LEGISLASI DAN ASPEK BERACARA DALAM PENGUJIAN
KONSTITUSIONAL
A. Pengantar
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara baru
yang berdiri sendiri dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman
sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003. Eksistensi MK sebagai
pengadilan Konstitusi berdiri atas dasar asumsi adanya supremasi konstitusi
yang menjadi hukum tertinggi yang melandasi kegiatan negara serta sebagai
parameter untuk mencegah negara bertindak secara tidak konstitusional.
Dalam konteks ini MK memiliki peran strategis dalam membangun
demokrasi dan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Oleh karena itu, dalam
rangka penyempurnaan reformasi konstitusional di Indonesia,
keberadaan MK menjadi penting adanya sebagai salah satu pilar dari
proses demokratisasi yang integral dan progresif.
Kelahiran MK tidak saja membuktikan bahwa Indonesia
menganut kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka akan tetapi
sekaligus merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum yang
demokratis. Secara kelembagaan, MK dalam menjalankan fungsinya
sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) sesuai
dengan ketentuan UUD 1945, memiliki 4 (empat) kewenangan mengadili
dan satu kewajiban, yaitu (i) melakukan pengujian atas konstitusionalitas
Undang-Undang; (ii) mengambil putusan atau sengketa kewenangan antar
lembaga negara yang ditentukan menurut Undang-Undang Dasar; (iii)
memutuskan perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik; (iv)
memutuskan perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum.
Serta satu kewajiban tersebut yakni: mengambil putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum ataupun mengalami perubahan sehingga
secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden menjadi terbukti dan karena itu dapat dijadikan alasan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dari jabatannya.
Keberadaan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sekaligus
memperlihatkan adanya harapan baru bagi para pencari keadilan di tengah
masyarakat yang sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap institusi
peradilan. Adanya MK merupakan suatu bentuk upaya dalam
mengimbangi atas kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif.
Keberadaan MK di Indonesia dilatarbelakangi adanya kehendak untuk
membangun pemerintahan yang demokratis dengan checks and balances
system diantara cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum
dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak-hak konstitusional
warga negara. Selain itu, pembentukan MK dimaksudkan sebagai sarana
penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan
yang sebelumnya tidak ditentukan oleh konsitusi.
Upaya pembentukan MK merupakan salah satu wujud nyata dari
perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia, yang mempunyai tujuan
terciptanya keseimbangan dan kontrol yang ketat diantara lembaga-
lembaga negara. Secara teoritis, konteks tersebut di atas berkaitan dengan
ajaran trias politca dari Montesquieu yang mengingatkan kekuasaan negara
harus dicegah agar jangan terpusat pada satu tangan atau lembaga. Konsep
trias politica yang memisahkan secara tegas kekuasaan negara ke dalam 3
(tiga) kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan
kekuasaan yudikatif. Di Indonesia ajaran trias politica tersebut tidak diadopsi
secara utuh. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Bagir Manan bahwa
ajaran trias politica terdapat prinsip checks and balances yang berarti dalam
hubungan antar lembaga negara dapat saling menguji atau mengoreksi
kinerjanya sesuai dengan ruang lingkup kekuasaan yang telah ditentukan
dan diatur dalam konstitusi. Pemisahan dan pembagian kekuasaan dibagi
dalam 3 (tiga) kekuasaan untuk menjalankan kekuasaan negara, yakni
eksekutif, legislatif dan yudisial yang saling mempengaruhi. Dalam praktik,
relasi ketiga cabang kekuasaan itu bisa menjadi persoalan manakala unsur
politik lebih dikedepankan dan reaksi terhadapnya tak melulu menjadi jalan
untuk menyelesaikan masalah.
Kegalauan terhadap politik biasanya memunculkan inisiatif
teknokratisasi. Orde Baru adalah kasus historis yang menarik. Merespons
Orde Lama yang sepenuhnya politik, Orde Baru pun menarik politik
perlahan-lahan dari urusan bersama. Proliferasi ideologi politik direduksi
melalui fusi partai politik. Tujuannya jelas. Teknokrasi tak membutuhkan
ideologi, tetapi teknisi. Kenaikan harga kebutuhan pokok tak dapat
diselesaikan oleh ideologi, tetapi oleh kebijakan ekonomi yang terukur.
Alhasil, demokrasi digeser dari "pemerintahan oleh partisipasi" menjadi
"pemerintahan oleh teknisi". Dicabutnya politik dari urusan publik memang
membuahkan hasil yang memuaskan. Pertumbuhan ekonomi merangkak
naik. Kebijakan pemerintah dapat dilaksanakan tanpa gangguan oposisi.
Ekonomi pun diselamatkan dari "kecerewetan politik" yang berlebihan.
Ekonomi menjadi panglima. Garis besar haluan negara disesaki visi-visi
ekonomi berbasis stabilitas politik. Orde Baru sungguh membawa biduk
republik ini ke dermaga baru yaitu dermaga ekonomi.
Politik sejatinya bersandar pada aksi, bukan kerja. Aksi dapat
dimengerti dalam 2 (dua) modus. Pertama, aksi sebagai aktivitas manusia
yang menyingkapkan siapa dan bukan apa dirinya melalui transendensi
kefanaan dengan suri teladan. Kedua, aksi sebagai modus kebersamaan
manusia yang dapat membangun relasi yang didasarkan pada kesalingan dan
solidaritas. Aksi adalah tindak komunikasi yang mengakomodasi berbagai
pandangan demi keputusan bersama.
Logika distribusi dan harmoni mementingkan pemilahan bagian
dan posisi yang didasarkan pada ruang, waktu, dan jenis kegiatan.
Aristoteles, misalnya, mengemukakan bahwa warga negara adalah mereka
yang mengambil bagian dalam tindak memerintah dan diperintah. Namun,
jenis distribusi lain mendahului sekaligus menentukan partisipasi politik
warga negara. Distribusi yang dimaksud menentukan siapa yang memiliki
bagian dalam komunitas politik dan siapa yang tidak. Saat ekonomi menjadi
panglima, mereka yang berpartisipasi adalah para teknokrat, sementara
rakyat banyak dikesampingkan sebagai penonton kebijakan belaka.
Pada 2010, Indonesia menempati urutan ke-110 dari 178 negara
dengan nilai 28, pada 2011 menduduki peringkat ke-100 dari 182 negara
dengan nilai 30, pada 2012 turun menjadi ke-118 dari 176 dengan nilai 32,
dan pada 2013 naik sedikit menjadi ke-114 dari 177 negara dengan nilai yang
masih 32. Masih sulit bagi kita untuk mencapai nilai di atas 85 seperti yang
dicapai Singapura. Dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pada 2013
Indonesia masih menempati urutan ke-121 (naik tiga tingkat dari 124 pada
2012). Posisi Indonesia masih di bawah Singapura (18), Brunei (30), Malaysia
(64), dan Filipina (114), walau masih di atas Vietnam (127), Kamboja (138),
Laos (138), dan Myanmar (149). Namun, dari sisi jumlah kematian ibu
setelah melahirkan, ranking Indonesia termasuk yang terendah di Asia dan di
Asia Tenggara, bahkan di bawah Vietnam! Setiap lima juta ibu melahirkan,
20.000 meninggal atau 1 berbanding 65. Ini amat jauh di bawah Thailand
yang 1:1.100. Rata-rata orang Indonesia yang bersekolah juga masih rendah,
sekitar 6,7 untuk anak laki-laki dan 5,9 untuk anak perempuan.
Data yang dirangkum Pusat Penelitian Ekonomi LIPI menunjukkan
bahwa daya saing ekonomi Indonesia pada 2013 stagnan, hanya naik dari
posisi 129 ke 128. Dari sisi 64 komoditas ekspor hanya empat yang
mengalami peningkatan daya saing, sementara 28 tetap berdaya saing, 12
mengalami penurunan daya saing, dan 20 tetap tidak berdaya saing.
Penyerapan tenaga kerja di sektor industri menurun dari 13,2 persen pada
2002 menjadi 12,9 persen pada 2013, sementara porsi kredit perbankan
menurun tajam dari 37,6 persen (2002) menjadi 24,0 persen pada
September 2013. Ditinjau dari sumber daya manusia dan sistem
pengupahan, tingkat produktivitas hanya 74,9 persen dari China, 92,6 persen
dari Filipina, dan hanya 51,7 persen dari Thailand, sementara peningkatan
upah minimum tertinggi di Asia. Satu sisi yang menarik, Indonesia cenderung
lebih liberal dengan pungutan tarif bea masuk yang amat rendah. Namun,
dari sisi bunga bank, Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan China
yang hanya 5-6 persen, sementara Indonesia masih 12-13 persen. Rencana
Aksi di China juga lebih jelas dibandingkan dengan Indonesia, sementara
komitmen Indonesia menciptakan lingkungan bisnis yang baik semakin
dikalahkan oleh Vietnam. Penurunan angka kemiskinan di Indonesia juga
amat rendah, 34,96 juta pada Maret 2008 menjadi 28,59 juta pada
September 2012. Tingkat pengangguran terbuka usia muda di Indonesia
termasuk tertinggi di Asia Pasifik, yakni 19,9 persen, dan mereka yang
menganggur lebih banyak di perkotaan ketimbang di pedesaan. Kita juga
masih mengalami ketimpangan, baik secara horizontal maupun vertikal,
termasuk ketimpangan pembangunan antardaerah yang kian merisaukan.
Para pemegang otoritas politik terlelap dan terlena dengan
nikmatnya kekuasaan dan memuja ritus-ritus demokrasi tanpa memaknai
esensinya. Hakikat dan etika dipaksa tunduk dengan prosedur. Pendangkalan
kehidupan politik menghasilkan mantra bahwa proses menjadi sarana absah
dan ampuh meraih kekuasaan. Oleh sebab itu, tidak benar sama sekali kalau
demokrasi telah menggerus nilai-nilai luhur bangsa. Subyek politik tak selalu
mudah mewujudkan artikulasi politiknya ke dalam realitas begitu diskursif
dari praktik politik. Sama tidak mudahnya dengan mengatasi konflik yang
selalu muncul di antara subyek politik yang begitu plural untuk mencapai
kepentingan umum atau publik.
Perusak moral bangsa bukan demokrasi, melainkan perilaku korup
para petualang politik yang kalap dan rakus kekuasaan. Banyak kasus
menunjukkan, bahaya demagogi politik selalu mengintai politik demokrasi,
terutama ketika demokrasi mengalami krisis, yaitu ketika besarnya harapan
publik tidak diimbangi kapasitas pemimpin, atau di luar kapabilitasnya
memenuhi harapan. Seperti terjadi di banyak negara, kesulitan hidup
dihadapi rakyat justru sering kali dimanipulasi pemimpin demagog, entah
dari kelompok ekstrem tengah-kanan ataupun konservatif tengah-kiri
dengan melantunkan janji-janji mesianistik tanpa disertai dengan realitas
politik perubahan.
Seiring dengan upaya penataan sistem ketatanegaraan yang
hendak dibangun serta sejalan dengan ide dasar dan tujuan (perubahan)
UUD 1945, dalam perkembangannya akan mengalami disorientasi ketika
praktik penyelenggaraan ketatanegaraan negara tidak diikuti dengan proses
pembentukkan perundang- undangan yang baik, sebagai substansi yang
diinginkan oleh UUD 1945. Potret pembuatan undang-undang sebagai salah
satu produk hukum di Indonesia yang saat ini oleh banyak pihak dipandang
belum berhasil memenuhi harapan masyarakat. Secara empiris, hal itu
tergambar dari banyaknya permohonan pengujian terhadap produk legislasi
DPR dan Presiden tersebut. Dari data MK, dalam Rekapitulasi Perkara
Pengujian Undang-Undang sejak tahun 2003, terdapat 499 kali uji materiil
terhadap berbagai produk hukum berupa undang-undang.352
Dari akumulasi data tersebut, terdapat 141 permohonan uji
materiil yang dikabulkan oleh MK, 198 ditolak dan 160 tidak diterima.
Kontras, dengan konsekuensi ratusan pasal yang dibatalkan MK itu,
menandakan begitu buruknya pembuatan undang-undang selama ini. Tak
352 Data hingga 6 September 2014.
bisa dipungkiri juga, jika kualitasnya baik, sangat tidak mungkin MK
membatalkan sampai 141 kali. Sejauh ini terlihat, kewenangan pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah kewenangan yang
paling banyak dijalankan oleh MK. Dari semua itu, menimbulkan suatu
kekhawatiran bahwa undang-undang gagal menjadi instrumen untuk
menata sistem ketatanegaraan di Indonesia.353
Dalam hal substansi undang-undang yang dirasa merugikan
masyarakat, akan selalu menimbulkan penolakan, bahkan ketika proses
pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tengah berlangsung di DPR.
Hal ini seumpama yang pernah diungungkapkan oleh seorang pakar hukum
tata negara, Saldi Isra, “semakin dominan kepentingan (seperti politik)
pembentuk undang-undang, proses dan hasil legislasi seperti mengalami
mati rasa.”354
Sebagai contoh adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sepanjang pelaksanaan
pemilihan kepala daerah serentak 2015, banyak pihak yang menguji norma
undang-undang ini. Dari sekian banyak yang mengajukan pengujian,
setidaknya 6 (enam) putusan MK yang telah mengubah UU Pilkada.
Pertama, Kewajiban PNS mundur saat penetapan calon.355 Kedua, Kewajiban
Anggota DPR, DPD, dan DPRD mundur saat penetapan calon.356 Ketiga,
353 Zainuddin Ali,2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 32.354 Saldi Isra, “Legislasi Mati Rasa”, Kompas, 30 Desember 2008.355 Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) mengatur Pegawai Negeri Sipil (PNS) wajib
pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon kepala daerah. Akantetapi pasal ini dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai pengunduran diri secaratertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon, melainkanpengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon kepaladaerah.
356 Pasal 7 huruf s mengatur anggota DPR, DPD, dan DPRD cukup memberitahukanpencalonannya sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada pimpinan sehingga tidakperlu mengundurkan diri. Namun, MK menganggap ketentuan itu inkonstitusional danmewajibkan anggota legislatif mundur setelah ditetapkan sebagai calon kepala daerah.
Mantan narapidana dapat maju sebagai pasangan calon.357 Keempat,
Penghapusan syarat tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.358
Kelima, Daerah bercalon tunggal ikut pilkada.359 Keenam, Syarat dukungan
perseorangan dari jumlah penduduk menjadi DPT pemilu sebelumnya.360
Guna membangunkan proses pembentukan undang-undang dari
suasana mati rasa itu, berbagai kelompok masyarakat berupaya melakukan
lobi, membangun opini, dan menawarkan draf alternatif. Jika cara yang
paling lunak itu tidak tercapai, penolakan dengan ancaman mengajukan
pengujian konstitusional ke Mahkamah Konstitusi menjadi cara lain
berikutnya. Tidak jarang, penolakan diikuti dengan unjuk rasa dan aksi-aksi
lain yang terbilang satir.
B. Menakar Kualitas Legislasi
Masih segar dalam ingatan ketika MK merilis sebanyak 29 persen
produk undang-undang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi selama 2012.
Penyebabnya adalah kualitas undang-undang itu makin memburuk. Pada
waktu itu, Ketua MK Mahfud MD menjelaskan alasan banyaknya undang-
undang yang dibatalkan MK. Dia menyebut ada 3 (tiga) alasan. Alasan
pertama memang sudah terjadi persekongkolan sejak dibuatnya undang-
undang tersebut. Ada tukar menukar kepentingan politik di antara para
357 MK mengabulkan permohonan agar pasal 7 huruf g Undang-undang nomor 8 tahun2015 dibatalkan. Pasal tersebut memuat ketentuan mantan narapidana dilarang ikut pilkada.Dalam putusannya MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi dan mantanterpidana boleh maju di pilkada sepanjang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepadapublik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
358 Pasal 7 huruf f membatasi calon kepala daerah tidak boleh memiliki konflikkepentingan dengan petahana yaitu tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, dan/ataugaris keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping. MK berpandangan pasal inimenghalagi warga maju dalam pilkada karena membedakan perlakuan atas status kelahiran dankekerabatan.
359 MK menimbang hak untuk dipilh dan memilih tidak boleh tersandera aturan palingsedikit dua pasangan calon. Pemilihan harus tetap dilaksanakan meski hanya ada satu paslon.
360 Putusan MK meringankan calon independen dalam pilkada serentak 2017 danseterusnya. MK mengubah Pasal 41 ayat 1 dan 2, jika sebelumnya calon independen berdasarkanpersentase penduduk, kini cukup berdasarkan persentase daftar pemilih tetap (DPT).
pembuat undang-undang sendiri, antara pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR.
Alasan kedua adalah si pembuat undang-undang tidak becus. Banyak UU
yang salah memasukkan pasal atau menginterpretasi pasal per-pasal.
Sehingga ada pasal yang saling bertentangan. Sedangkan alasan ketiga,
memang ada faktor alami dari situasi negara. Sehingga UU itu sudah tidak
relevan mengakomodir keinginan publik.
Penelusuran sejarah dan analisis terhadap produk hukum
menunjukkan watak produk hukum sangat ditentukan oleh konfigurasi
politik yang melahirkannya. Artinya kelompok dominan (penguasa) dapat
membuat UU atau peraturan perundang-undangan menurut visi dan sikap
politiknya sendiri yang belum tentu sesuai dengan jiwa konstitusi yang
berlaku. Ada kecenderungan pemerintah mendapatkan peluang yang sangat
besar untuk membuat berbagai peraturan perundang-undangan sebagai
peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari setiap UU.
Di luar asumsi membaiknya kesadaran warga negara atas hak-hak
konstitusional mereka, yang dibuktikan dengan antusi- asme mereka untuk
menguji konstitusionalitas undang-undang yang mengatur mereka, tingginya
angka pengajuan pengujian undang-undang ke MK, baik atas materi muatan
undang-undang, maupun proses penyusunannya, adalah pertanda buruknya
kinerja legislasi DPR. Fakta di atas menunjukkan ketidakcermatan DPR dalam
menjalankan fungsi substansialnya,membentuk peraturan perundang-
undangan yang seharusnya berpihak pada pemajuan dan pemenuhan hak-
hak konstitusional warga negara, sekaligus memperlihatkan tingginya
pertentangan norma antinomi dalam peraturan perundang-undangan yang
diproduksi DPR dan Presiden.
Kesalahan baik karena ketidakprofesionalan atau banyaknya
kepentingan asing terhadap substansi perundang-undangan berakibat pada
terabaikannya hak-hak ribuan jiwa masyarakat Indonesia bahkan terhadap
kedaulatan suatu bangsa. Salah satu contoh yang belum lama ini dibatalkan
oleh MK tentang UU Migas yang ditengarai banyak kalangan dapat
menghilangkan kedaulatan energi baik secara ekonomi ataupun politik
apabila tidak segera dibatalkan. Perumpamaan di atas dapat sedikit
menggambarkan relasi antara politik dan hukum. Keduanya memiliki
keterikatan satu sama lain,di mana satu disiplin ilmu tidak memiliki makna
apa-apa tanpa melibatkan disiplin hukum yang lain. Dengan kata lain,
keduanya harus beriringan untuk menjaga kepentingan nasional.
Pada dasarnya ada beberapa faktor munculnya undang-undang
yang dibatalkan oleh MK. Pertama, adanya unsur kesengajaan legislatif
bersama eksekutif untuk melanggar konstitusi.Kepentingan asing terhadap
perundang-undangan yang akan dibuat oleh legislatif dan atau eksekutif
melalui peraturan perundangundangan yang berlaku di belakangan ini
sangatlah dominan kepentingan asing. PB PMII pernah merilis 26 UU yang
berbau kepentingan asing dan bernuansa memuat materi yang banyak
menguntungkan asing. Sebagai perbandingan, dalam sejarah Indonesia, ADB
pernah menawarkan USD300 juta dengan syarat Pemerintah Indonesia
membuat Undang-Undang Privatisasi BUMN. Begitu pun Undang-Undang
Privatisasi Air yang dipesan oleh Bank Dunia dengan memberikan pinjaman
USD400 juta. Jadi, air yang di dalam Undang-Undang Dasar kita dinyatakan
dengan tegas dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, itu pun mau diprivatisasi oleh asing, termasuk Undang-Undang
Migas.
Kedua, kualitas para pembuat perundang-undangan yang masih di
bawah standar. Dari banyaknya UU yang dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi, selain banyak yang menguntungkan asing dan tidak berpihak ke
rakyat, juga karena faktor lemahnya pengetahuan para pembuat peraturan.
Hal ini dapat dilihat dari sebagian undang-undang yang unpredictability dan
unfairness sehingga banyak investor takut menanamkan investasinya di
Indonesia. Ini menunjukkan bahwa para pembuat undang-undang tidak
memiliki profesionalisme dalam membuat peraturan perundang-undangan.
Indonesia akan mengalami kemajuan ekonomi apabila diatur dengan
peraturan yang memuat asas kepastian dan dijamin keadilannya.
Ketiga, tekanan partai politik. Sudah bukan rahasia umum lagi saat
ini partai politik disibukkan dengan usahausaha untuk mencari dukungan di
dapilnya. Tak jarang tugas sebagai Dewan Perwakilan Rakyat sudah banyak
ditinggalkan. Bahkan, fungsi utama sebagai pembuat undang-undang yang
dimandatkan untuk membela kepentingan rakyat banyak tersandera oleh
kepentingan elite partai politik. Pada 2003 hingga 2011 ada sekitar 11%
undang-undang yang dibuat kemudian dibatalkan. Pada 2012 saja, sebagai
tanda dimulainya kepentingan partai politik, sudah ada 29% undang-undang
yang dibatalkan oleh MK. Sejak 2009 hingga 2012 DPR RI masih punya
tanggungan menyelesaikan 252 RUU. Tapi, hingga Oktober 2012 baru 62
RUU yang disahkan menjadi UU. Secara tidak langsung ini menegaskan,
selain para anggota Dewan tidak memiliki profesionalisme dalam membuat
peraturan perundang-undangan juga karena faktor tekanan kepentingan
partai politik yang dominan. Hegemoni partai politik melalui elite-elite partai
dalam sistem multipartai seperti ini tampak jelas dalam kesepakatan partai-
partai dalam pemberlakuan parliamentary threshold di UU No 8 Tahun 2012
tentang Pemilu. salah satu penyebab terjadinya pelanggaran konstitusi
semacam itu adalah political threshold.
Banyaknya undang-undang produksi DPR dan Presiden yang
dibatalkan oleh MK, terjadi sebagai akibat materi muatan undang-undang
tersebut yang jamak mencerminkan ketidakadilan dan ketidakpastian
hukum. Seringkali pengaturan yang dilakukan DPR justru kontradiktif dengan
pengaturan yang telah ada sebelumnya, dan mengingkari ama nat undang-
undang dasar, serta tidak sesuai dengan keinginan masyarakat secara luas.
Tidak adanya keharmonisan pengaturan yang dilakukan DPR itulah yang
memberi dampak pada jamaknya undang-undang, yang diajukan pengujian
ke MK. Belum lagi beberapa undang-undang yang berkali-kali diajukan
pengujian.361
Perihal pengujian undang-undang sebenarnya tidak perlu banyak
terjadi, bilamana DPR jeli dalam menentukan materi muatan suatu undang-
undang. Perumusan suatu materi undang-undang seharusnya terlebih
dahulu dilakukan sinkronisasi dengan pe- ngaturan yang terdapat dalam
konstitusi, sebagai norma dasar tertinggi, dilakukan persandingan dengan
pengaturan serupa yang telah ada sebelumnya, serta disesuaikan dengan
kepentingan atau suara dari kons- tituen (masyarakat secara luas). Ketelitian
dan kecermatan DPR, dengan memformulasi antara aturan yuridis dan
situasi sosial di masyarakat, adalah kunci untuk menekan sekecil mungkin
adanya pertentangan norma dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Jauh-jauh hari, pada mula adanya MK, sesungguhnya DPR telah sering
diingatkan untuk lebih serius dalam melakukan pemba- hasan berbagai
rancangan undang-undang, sebab dengan mudahnya MK dapat
membatalkan kekuatan mengikat RUU tersebut setelah diundangkan,
apabila tidak dilakukan pembahasan secara serius. Tingginya tingkat
pengajuan pengujian berimplikasi pula pada melambatnya kinerja legislasi
DPR, sebab DPR diharuskan untuk melakukan revisi dengan segara atas
undang-undang yang dibatalkan kekuatan mengikatnya oleh MK, agar
supaya tidak terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum), yang dapat
berakibat pada terganggunya akses para pencari keadilan (justitiabelen).
Salah satu kecenderungan yang bisa dilihat dari perkembangan
perundang-undangan di Indonesia adalah banyaknya persoalan yang ingin
diatur dalam undang-undang. Seolah-olah undang-undang menjadi obat
yang paling ampuh untuk mengatasi persoalan yang ada. Sebagai contoh,
361 Sebagai contoh, Undang-Undang yang sering dimintakan pengujian ke MK, misalnya(i) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubahdengan UU No 20 Tahun 2001; (ii) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; (iii) UU No. 8Tahun 2003 tentang Advokat; (iv) Kitab Undang-undang Hukum Pidana; (v) Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; dan (vi) UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
untuk mengatasi permasalahan hubungan antar umat beragam, muncul
usulan untuk membentuk undang-undang yang mengatur kerukunan antar
umat beragama. Contoh lain, merespon aksi terorisme belakangan,
pemerintah menggagas revisi undang-undang antiterorisme. Beberapa
contoh lainnya dapat dicermati dari daftar RUU yang masuk dalam program
legislasi nasional 2015-2019.
nn Seydman dalam bukunya Penyusunan Rancangan Undang-
Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis menuliskan ada dua
alasan urgensi pengaturan dalam bentuk undang-undang. Pertama, alasan
kebutuhan untuk memerintah. Bagi pemerintah kedudukan undang-undang
berguna untuk menjalankan roda pemerintahan. Kedua, alasan tuntutan
legitimasi. Kebijakan pemerintah yang diformulasikan dalam bentuk undang-
undang memberikan pemerintah suatu legitimasi. Alasan yang dikemukakan
oleh Ann Seydman tersebut melihat dari kelanjutan perumusan kebijakan.
Pemerintah untuk mengefektifkan kebijakannya perlu mengubah bentuknya
menjadi undang-undang yang dapat mengikat secara umum baik masyarakat
maupun aparatur pemerintah sendiri. Legitimasi ini dibutuhkan pemerintah
dan aparaturnya untuk menguatkan posisi kebijakannya ketika berhadapan
dengan publik.
Dari pendapat tersebut juga dapat dilihat bahwa undang-undang
diperlukan untuk mengatur kepentingan umum. Pemerintah menjalankan
fungsinya untuk melayani kepentingan umum. John Locke sebagaimana
dikutip Bayu Dwi Anggono dalam bukunya Perkembangan Pembentukan
Undang-Undang di Indonesia menyatakan bahwa undang-undang yang
dibuat oleh kekuasaan legislatif merupakan undang-undang yang dapat
memberikan kebaikan bagi masyarakat luas atau memuat unsur-unsur
kepentingan umum.
Undang-undang yang dibentuk harus memberikan manfaat yang
luas bagi masyarakat. Akan tetapi, persoalan yang berkembang dalam sistem
undang-undang saat ini tidak jelas batasan materi yang harus diatur dalam
undang-undang. Walaupun pengaturan normatif mengenai batasan materi
muatan undang-undang sudah terdapat dalam UU No. 12/2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan meliputi: (i) pengaturan lebih
lanjut mengenai ketentuan UUD 1945; (ii) perintah suatu Undang-Undang
untuk diatur dengan Undang-Undang; (iii) pengesahan perjanjian
internasional tertentu; (iv) tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi;
dan/atau (v) pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Jadi sebenarnya sistem perundang-undangan sudah membatasi
materi yang dapat diatur dalam suatu undang-undang. Memang kalau
diperhatikan,materi muatan kelima yaitu pemenuhan kebutuhan hukum
dalam masyarakat menjadi materi yang terbuka. Undang-undang tidak
memberi batasan lebih lanjut mengenai kebutuhan hukum dalam
masyarakat tersebut. Hal ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengatur
banyak hal dalam suatu undang-undang.
Pakar perundang-undangan yang kini menjadi hakim konstitusi,
Maria Farida, menerangkan bahwa saat ini banyak materi muatan yang
seharusnya cukup diatur lewat peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang justru dipaksakan diatur dengan undang-undang. Padahal
seandainya diatur dengan peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, pelaksanaannya menjadi lebih sederhana dan anggaran
yang dibutuhkan relatif kecil.
Kita bisa mempertanyakan urgensi pembentukan berbagai
undang-undang yang tidak masuk dalam lingkup pengaturan kepentingan
umum, seperti undang-undang yang mengatur mengenai profesi, berbagai
peraturan di bidang kesehatan, sampai pada undang-undang yang bersifat
sangat teknis. Alasan legitimasi juga ditengarai muncul dalam pembentukan
berbagai undang-undang tersebut. Kebutuhan legitimasi yang menurut Ann
Seydman hanya tertuju pada pemerintah untuk menguatkan kebijakannya,
ternyata juga dibutuhkan oleh organisasi atau masyarakat, sehingga
keinginan membentuk undang-undang, didasarkan pada alasan prakmatis.
Tanpa mempertimbangkan apakah akan memberi manfaat bagi masyarakat
luas atau hanya sebagian kecil kelompok.
Sistem perundang-undangan mengenal berbagai jenis peraturan
perundang-undangan. Kewenangan membentuknya menyebar di berbagai
lembaga pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan
demikian, tidak mengherankan jumlah peraturan perundang-undangan di
Indonesia sangat banyak. Namun, sulit menyebutkan atau mencari rujukan
angka pasti jumlah peraturan yang masih berlaku. Situs peraturan.go.id yang
dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM menyediakan 32.806 (data 16
September 2015). Jumlah ini sangat mungkin lebih besar. Terutama untuk
peraturan di tingkat teknis atau peraturan di tingkat daerah. Jumlah
peraturan perundang-undangan yang sangat besar ini berpotensi
menimbulkan persoalan harmonisasi dan konsistensi pengaturan di antara
berbagai peraturan yang berkaitan sehingga memicu permasalahan dalam
implementasi. Seperti yang ditemukan Kementerian Koordinator
Perekonomian dan Kementerian PPN, dengan jumlah yang berbeda,
menemukan peraturan perundang-undangan yang menjadi kendala dalam
pembangunan. Angka regulasi yang bermasalah itu baru seputar materi
sektor ekonomi atau investasi. Jumlahnya semakin besar apabila menyentuh
bidang sosial, politik, dan lainnya. Terlebih lagi, apabila tidak dilakukan
perubahan mendasar dalam sistem perundang-undangan, produksi
peraturan perundang-undangan terus akan dilakukan.
Adanya kecenderungan pendapat bahwa setiap persoalan perlu
diatur dalam undang-undang, keinginan memperoleh legitimasi melalui
undang-undang, keyakinan bahwa undang-undang menjadi alternatif solusi
menyelesaikan masalah sosial akan menyebabkan tingginya produksi
undang-undang. Jumlah undang-undang akan semakin membengkak.
Indonesia masuk dalam situasi hiper regulasi. Banyak hal yang diatur dengan
undang-undang. Permasalahan ini juga akan berdampak pada pemborosan
anggaran negara. Pembahasan undang-undang melalui proses yang panjang
dengan tuntutan ketersediaan alokasi anggaran yang tidak sedikit. Ditambah
lagi dengan alokasi anggaran yang tidak relevan misalnya studi banding.
Permasalahan lain terkait dengan ongkos sosial yang muncul dari
pembahasan undang-undang yang menimbulkan pro kontra yang ekstrem di
masyarakat. Padahal belum tentu undang-undang yang diperdebatkan
tersebut akan dapat diimplementasikan secara efektif dan memberi manfaat
bagi masyarakat luas.
Proses legislasi seringkali dimaknai dengan proses membuat
peraturan perundang-undangan yang berhenti sampai dengan adanya
produk dari proses tersebut. Perlu dicatat, UU 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mendefinisikan
pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan
perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Definisi
normatif dalam Undang-Undang tersebut mengatur bahwa proses
pembentukan peraturan perundang-undangan dimulai dengan perencanaan
dan berakhir saat pengundangan.
Padahal dinamika yang terjadi setelah peraturan selesai dibentuk
juga menjadi area yang harus dipantau oleh pembentuk peraturan.
Implementasi peraturan merupakan kondisi riil yang dapat menunjukkan
adanya persoalan dalam peraturan perundang-undangan, seperti tumpang
tindih peraturan, inkonsistensi, maupun pertentangan antarperaturan.
Efektivitas peraturan diuji dengan situasi yang nyata. Temuan-temuan dalam
implementasi seharusnya menjadi umpan balik bagi pembentuk peraturan
perundang-undangan untuk memutuskan tindakan yang harus dilakukan
dalam mengatasi permasalahan peraturan tersebut. Di sinilah perlunya
proses legislasi juga memasukkan tahapan pengawasan pelaksanaan
(monitoring dan evaluasi). Jadi tidak sekedar membentuk atau memproduksi
tetapi juga memantau hasil dari proses pembentukan tersebut di dalam
implementasi.
Sebagai tahapan yang terabaikan dalam proses legislasi saat ini,
belum ada lembaga yang khusus melakukan fungsi monitoring evaluasi
regulasi. Padahal fungsi monitoring evaluasi sangat perlu dilakukan secara
rutin dan permanen masuk dalam tahapan proses legislasi. Lembaga yang
berhubungan dengan perundang-undangan masih berkutat pada
perencanaan, penyiapan, pembahasan sampai dengan pengundangan
dengan hasil akhir naskah akademik maupun naskah peraturan perundang-
undangan.
Fungsi yang diatur setelah pengundangan sebatas pada penyiapan
menjalani sidang judicial review peraturan perundang-undangan terkait.
Kurangnya perhatian atau bahkan tidak adanya perhatian terhadap
kebutuhan monitoring dan evaluasi ini bisa dilihat dari struktur organisasi
yang terdapat di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Kementerian Hukum dan HAM. Ditjen ini memiliki fungsi di bidang peraturan
perundang-undangan. Struktur organisasinya meliputi Direktorat
Perancangan, Direktorat Fasilitasi Peraturan Daerah, Direktorat Harmonisasi,
Direktorat Pengundangan, Publikasi dan Kerjasama Perundang-undangan,
dan Direktorat Litigasi. Susunan organisasi dalam Direktorat Jenderal yang
sangat berhubungan dengan peraturan perundang-undangan tersebut
mencerminkan pelaksanaan tugas pembentukan peraturan perundang-
undangan sampai dengan pengundangan dan litigasi dalam hal terdapat
pengujian konstitusional. Tidak ada unit kerja yang memiliki tugas
melakukan monitoring evaluasi atau analisis peraturan perundang-undangan
yang sudah dibentuk. Semua unit bekerja untuk tahapan sampai
menghasilkan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kekacauan kualitas
peraturan perundang-undangan yang terjadi tidak mudah diselesaikan.
Bahkan selama ini tidak pernah tersentuh. Solusi yang ditempuh seringkali
dengan membentuk peraturan baru. Tanpa melihat apakah substansi
pengaturannya masih diperlukan atau tidak. Padahal dalam kewenangan
membentuk peraturan perundang-undang juga melekat kewenangan untuk
mencabut. Fungsi mencabut ini yang jarang sekali digunakan. Kebijakan
deregulasi dan pernyataan banyaknya peraturan yang justru menghambat
pembangunan di awal tulisan ini, menegaskan perlunya dibentuk lembaga
khusus yang menangani monitoring evaluasi peraturan perundang-
undangan. Peran dan fungsinya tidak bisa dianggap menjadi tugas
“sampingan” dari lembaga yang berhubungan dengan perundang-undangan
yang sudah ada saat ini. Tidak bisa juga peran ini dijalankan melalui fungsi
koordinasi yang berisikan unsur Kementerian/Lembaga. Namun yang
diperlukan adalah lembaga khusus yang fungsinya mengawasi dan
menganalisis berbagai peraturan (existing regulation) yang menimbulkan
persoalan di masyarakat. Hasilnya adalah rekomendasi yang harus
ditindaklanjuti pembentuk peraturan perundang-undangan.
Definisi normatif dalam Undang-Undang tersebut mengatur
bahwa proses pembentukan peraturan perundang-undangan dimulai
dengan perencanaan dan berakhir saat pengundangan sehingga yang
dilakukan oleh pembentuk peraturan adalah membuat peraturan sesuai
dengan kewenangannya.
Sebenarnya kecenderungan memudahkan persoalan dengan
menerbitkan undang-undang sudah terjadi sejak Indonesia memasuki era
reformasi 1998. Hasil penelitian disertasi Dr Bayu Dwi Anggono dari Fakultas
Hukum Universitas Jember menyatakan bahwa tahun 1998-2013 di tingkat
pusat telah diterbitkan 428 undang-undang. Namun dia melihat indikasi
tidak terpenuhinya butir-butir muatan undang-undang.
Artinya, hal-hal yang diatur dalam undang-undang tersebut,
menurut ketentuan hukum di Indonesia, sebenarnya bukan materi yang
seharusnya diatur lewat undang-undang. Terjadilah apa yang disebut
hyperregulation. Fakta itu menunjukkan kesalahan cara berhukum di negara
kita, yang memperlakukan undang-undang layaknya sarana penjamin bahwa
segala sesuatunya telah sah karena telah dibuat peraturan hukumnya.
Temuan penelitian Bayu Dwi Anggono itu, bisa menunjukkan
beberapa hal. Pertama, cara berhukum di negara kita masih didominasi
peraturan belaka. Seolah-olah dengan menerbitkan perundang-undangan,
sudah sah memenuhi kualifikasi negara hukum. Nilai-nilai luhur seperti
kejujuran, iktikad baik, keadilan hukum,dan kebenaran kedaulatan rakyat,
tidak menjadi acuan yang melandasi. Padahal nilai-nilai itu tidak boleh
dilepaskan dari sebuah aturan hukum.
Kedua, perundang-undangan disusun tanpa dilandasi nilai-nilai
dasar hukum. Padahal penyusunan undang-undang —yang notabene adalah
hukum— harus selalu mendasarkan nilai-nilai (values) tertentu yang bersifat
metayuridis. Nilai-nilai itu adalah hal-hal abstrak yang diyakini
kebenarannya. Selain itu, dibangun berdasarkan perpaduan pengalaman
perjalanan suatu bangsa, berbasis realitas, dan perenungan mengenai
semua hal yang telah terjadi.
Ketiga, perundang-undangan disusun tanpa memperhatikan
efektivitas. Membicarakan efektivitas hukum adalah membicarakan
implementasinya. Membicarakan implementasi hukum, secara teori bukan
sekadar menerbitkan undang-undang lalu selesai. Kita juga harus
mempersiapkan kelembagaan yang melaksanakan dan menjaga ketaatan
atas undang-undang itu, termasuk budaya hukum yang mendukung
pelaksanaan regulasi tersebut.
Penambahan ini juga dipengaruhi adanya kecenderungan yang
menganggap peraturan perundang-undangan menjadi solusi atau pra syarat
dalam menyelesaikan persoalan di masyarakat. Kecenderungan lainnya yang
muncul adalah keinginan mengatur profesi dalam undang-undang. Contoh
Undang-Undang Nomor 11/2014 tentang Keinsinyuran, UU Nomor 38/2014
tentang Keperawatan sehingga persoalan yang sebenarnya bukan materi
perundangan-undangan diatur dalam produk hukum itu. Persoalan yang
muncul dengan peraturan yang sudah berlaku (existing regulation) belum
mampu diselesaikan. Justru akan bertambah dengan persoalan-persoalan
baru dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk
dengan kecenderungan yang ada saat ini.
Realitasnya, kita banya menerbitkan undang-undang atau perda
namun tak berjalan efektif karena tidak ditopang budaya hukum yang
mendukung keberhasilan pelaksanaan undang-undang. Contoh paling nyata
berkait dengan penerbitan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Walaupun regulasi tersebut
diberlakukan sejak 2009, hingga kini terlalu banyak pelanggaran atas
undang-undang itu, dan tak diikuti penegakan hukum sebagaimana
mestinya. Penyebabnya, karena tidak tumbuh kesadaran tentang betapa
penting melibatkan pertimbangan lingkungan dalam pengambilan keputusan
pembangunan. Hal itu mencakup wawasan berpikir yang pada giliran akan
membentuk budaya hukum.
Montesquieu berpendapat bahwa perubahan-perubahan yang
tidak penting dalam undang-undang yang ada, undang-undang yang sulit
dilaksanakan, dan undang-undang yang benar-benar tidak diperlukan, harus
dihindari karena hukum-hukum seperti itu akan memperlemah otoritas
hukum secara umum. Jadi membengkaknya undang-undang justru akan
berdampak negatif bagi keberadaan hukum itu sendiri. Undang-undang
hanya akan menjadi dokumen tertulis yang tidak berpengaruh bagi
perubahan masyarakat. Bahkan dapat berpengaruh pada kepercayaan
masyarakat terhadap hukum.
Undang-undang menjadi bagian penting dalam sistem hukum kita.
Ketidakcermatan dalam membentuk undang-undang dapat menimbulkan
dampak negatif bagi hukum itu sendiri. Oleh karena itu, DPR dan Presiden
sebagai pemegang kuasa membentuk undang-undang perlu melakukan
penataan ulang dengan melihat pada kecenderungan motiv membentuk
undang-undang saat ini. Seleksi usulan undang-undang perlu dilakukan
secara lebih ketat, prioritaskan pada undang-undang yang mengatur
kepentingan umum.
Sesungguhnya, negara hukum tak bisa disamakan dengan negara
undang-undang. Negara hukum bukan negara undang-undang. Ada 2 (dua)
unsur dalam definisi negara hukum, yakni hubungan antara negara dan
rakyat berdasarkan hukum, bukannya berdasarkan kekuasaan. Kemudian,
hukum yang dituangkan dalam perundang-undangan, bukan hanya
memenuhi syarat formal melainkan secara materi juga dibangun
berdasarkan nilai-nilai itu.
Peraturan perundang-undangan disebut memenuhi syarat formal
bila proses pembuatannya memenuhi syarat keterbukaan dan tidak
memanfaatkan keterbatasan waktu. Disebut memenuhi syarat material bila
secara substansi dapat dipertanggungjawabkan kesesuaiannya dengan
peraturan yang lebih tinggi. Yang paling hakiki adalah bisa
dipertanggungjawabkan berdasarkan tiga nilai dasar hukum: keadilan,
kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Berdasarkan ketiga nilai dasar hukum tersebut, tiap peraturan
perundang-undangan harus memenuhi sedikitnya lima kriteria. Pertama;
mencerminkan kehendak bersama. Kedua; disusun berdasarkan iktikad baik.
Ketiga; tidak memuat agenda tersembunyi, semisal menghancurkan pihak
lain. Keempat; tidak menyimpang dari nilai-nilai yang telah disepakati
bersama sehingga mendorong kepercayaan terhadap hukum. Kelima;
bertujuan menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kestabilan hidup.
Penulis menyuguhkan kriteria itu kepada sidang pembaca untuk
digunakan sebagai alat ukur. Artinya, kita bisa menilai sendiri apakah
peraturan perundang-undangan yang akhir-akhir ini banyak diwacanakan di
media massa bermanfaat bagi masyarakat atau tidak. Tentu sebagai warga
negara, pembaca berhak mengharapkan kehadiran Indonesia yang lebih
baik.
Selain itu, ketaatan pada ketentuan normatif yang mengatur
materi muatan undang-undang juga harus ditingkatkan kembali, sehingga
materi yang seharusnya diatur dalam jenis peraturan di bawah undang-
undang tidak perlu dibahas untuk menjadi undang-undang. Di sisi lain, perlu
mendorong berbagai kalangan untuk lebih memahami kedudukan undang-
undang dalam mengatur kepentingan negara dengan mengedepankan pada
pengaturan yang bersifat umum dan luas.
Banyaknya undang-undang yang dianulir Mahkamah Kontitusi baik
sebagian maupun seluruhnya karena terbukti melanggar hak kontitusi warga
negara, disikapi Mahkamah Agung dengan menggelar rapat pleno
jajarannya. Pleno yang digelar selama tiga hari, sejak 9 hingga 11 Oktober
2014 di Bandung, Jawa Barat itu juga mengagendakan pemaparan keadaan
perkara dan permasalahan di masing-masing kamar MA. Mulai dari Kamar
Agama, Kamar Peradilan Militer, Kamar Pembinaan, Kamar Perdata, Kamar
Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, Kamar Pengawasan dan
Kamar Pidana Mahkamah Agung. Langkah MA untuk menggelar rapat pleno
terkait permasalahan hukum ini, diduga adanya kasus pemidanaan yang
menggunakan pasal-pasal dalam UU yang telah dicabut MK.
Salah satu diantaranya kasus pemidanaan terhadap dr Bambang
Suprapto dalam pengajuan kasasinya. Dalam putusan kasasi majelis hakim
kasasi yang dipimpin hakim Agung Atridjo Alkotsar bersama Surya Jaya dan
Andi Samsan Nganro menjatuhkan hukuman kepada Bambang penjara
selama 1,5 tahun. Bambang dinilai melanggar pasal pasal 76 dan pasal 79
huruf c UU Praktik Kedokteran. Padahal seperti diketahui pada 19 Juni 2007
MK telah menganulir ancaman pidana dalam pasal 76 dan pasal 79 huruf c
itu, sehingga berbunyi Dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp
100 juta. Sedangkan pasal 79 huruf c menjadi Dipidana dengan denda paling
banyak Rp50 juta setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
Putusan-putusan MK, tidak hanya dapat diketahui dengan cepat
melalui publikasi media massa dan website MK, tetapi dapat diperoleh
secara gratis. Dengan kata lain, prinsip-prinsip peradilan yang cepat, mudah,
murah dan transparan telah diterapkan oleh MK. Suatu hal yang nampaknya
masih sulit dipraktekkan pada institusi peradilan umum ataupun institusi
negara lainnya.
Kendati demikian, selama ini dirasakan pula sejumlah
permasalahan dalam praktek penyelenggaraan MK. Permasalahan yang
seringkali menjadi sorotan adalah berkenaan dengan putusan-putusan yang
dikeluarkan MK, terutama dalam perkara pengujian konstitusionalitas
undang-undang. Tidak jarang putusan MK sangat kontroversial, yang
kemudian menimbulkan pro-kontra. Dalam hal ini, beberapa putusan
diantaranya dianggap merupakan putusan yang “progressif” dan bersejarah
(landmark decisions). Sebaliknya, ada juga putusan-putusan yang kemudian
dinilai janggal, membingungkan sekaligus mengecewakan. Kontroversi
lainnya adalah, ketika sejumlah putusan MK dinilai ‘melanggar’ prinsip yang
melarang hakim mengabulkan melebihi tuntutan atau permohonan (ultra
petita). Terkadang dalam mengadili dan memutus perkara, MK bertindak
“melampui kewenangan” dengan memasuki ranah legislasi. Bahkan
kemungkinan besar terjadi conflict of interest ketika MK harus menilai dan
mengadili dirinya sendiri.
Bisa jadi kontroversi dalam putusan MK, karena ada sudut
pandang, pemahaman dan juga “kepentingan” yang berbeda dalam
memaknainya. Sebagaimana hakim MK yang kerap kali berbeda tafsir atau
pendapat (dissenting atau concurring opinion) dalam putusan. Kemungkinan
pula karena pengaruh dari keluasan dimensi issue atau persoalan
(politik, ekonomi, hak asasi manusia, pidana, dan perdata) yang mesti
diputus MK dalam perkara pengujian undang-undang. Sehingga memaksa
putusan MK bersikap ‘moderat’, tetapi disisi lain menjadi ‘tidak tegas’.
Demikian halnya ketika putusan MK tidak implementatif, besar kemungkinan
karena selalu dihadang oleh kompleksitas masalah yang mengemuka
ditahap aplikasi putusan final. Namun jika dibiarkan terus berlangsung,
dapat dipastikan akan melahirkan ketidakadilan, menciptakan ketidakpastian
hukum dan hilangnya kepercayaan terhadap MK. Ini tentunya menjadi
persoalan serius yang perlu dicarikan jalan keluarnya.
Disadari bahwa putusan-putusan MK memiliki dampak yang luas
bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Beragam persoalan dan
respon yang muncul mengiringinya, mendorong keinginan kuat untuk
melihat dan mempertanyakan kembali peraturan perundang- undangan
tentang MK. Sejauh mana peraturan perundang-undangan, khususnya UU
No. 24 Tahun 2003, telah mengatur secara lengkap dan memadai. Sebab,
putusan sebagai hasil dari pelaksanaan kewenangan, memerlukan tatacara
(hukum acara) yang dapat menuntun dan menjadi pedoman terlaksananya
kewenangan dengan baik. Adakah yang keliru dalam pengaturannya,
ataukah belum secara lengkap UUMK mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan hukum acara? Apabila UUMK sudah mengatur secara lengkap,
sejumlah persoalan yang muncul dapat diantisipasi. Tentunya selain dapat
mendukung pelaksanaan kewenangan yang akan berpengaruh terhadap
putusan yang akan diambil. Sebagaimana diketahui UUMK memang belum
memberikan pengaturan secara lengkap bagi kebutuhan terselenggaranya
peranan MK. Masih terdapat sejumlah pertanyaan atau permasalahan dalam
UUMK yang memerlukan rincian, penjelasan dan penegasan lebih lanjut.
Kelemahan dan kekurangan itu dirasakan ketika UUMK
diterapkan, terutama dalam hal ketika MK menjalankan tugas dan
wewenang konstitusionalnya. Berbagai kelemahan dan permasalahan dalam
UUMK tentu saja memerlukan perbaikan dan perubahan. Perubahan yang
setidaknya dapat dilakukan secara komprehensif, tidak hanya menyangkut
aspek hukum acara, akan tetapi menyangkut juga persoalan lain yang
diperlukan bagi pengembangan dan penguatan peranan MK ke depan.
Sekalipun MK telah membuat beberapa Peraturan Mahkamah
Konstitusi (PMK), terutama berkaitan dengan hukum acara, kode etik dan
pedoman perilaku bagi hakim konstitusi, serta tata cara untuk pemilihan
Ketua MK. Namun demikian, PMK tersebut belum cukup memadai untuk
menutupi kelemahan UU No. 24 Tahun 2003 dan menunjang pelaksanaan
kewenangan MK kedepan. Selain karena legitimasinya kurang kuat,
meskipun dibenarkan atas perintah UUMK, PMK tidak bisa digunakan untuk
menjawab dan mengatasi seluruh kekurangan dan problem yang muncul
dari UUMK.
Di sisi lain, putusan MK seringkali tidak segera ditindaklanjuti
dengan merevisi undang-undang yang telah dibatalkan. Pemerintah dan DPR
sangat lamban dan cenderung tidak merespon secara positif putusan-
putusan MK. Ini bisa berakibat terjadinya kekosongan hukum. Pada
kenyataan lain juga menunjukkan bahwa, putusan MK yang bersifat final dan
mengikat (final and binding), terkadang bak macan diatas kertas. Bergigi
tapi tidak begitu efektif. Putusan final merupakan putusan pertama dan
terakhir, yang dapat dimaknai tidak ada lagi upaya hukum yang bisa
ditempuh. Putusan final yang semestinya dipatuhi, faktanya malah diabaikan
bahkan ditolak oleh aktor-aktor negara judicial maupun non judicial
Berhadapan dengan antinomi tentu saja diperlukan kearifan.
Pembentuk undang-undang dalam konteks positive legislature, maupun MK
sebagai negative legislature tentu tak bisa menghilangkannya, karena itu
menjadi bagian integral dari kerangka hukum itu sendiri. Namun bukan
berarti tak bisa diselesaikan secara arif dan bijaksana dengan kembali ke
pemenuhan hak konstitusional warga. Alasan hukum (legal reasoning) tepat
dan kuat itulah yang akan sangat membantu menyelesaikan ketegangan
yang lahir dari antinomia ini.
Pada dasarnya, wewenang uji materiil suatu UU ini dimiliki oleh
MK. Dalam konteks ini, MK memiliki kewenangan untuk mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk [Pasal 10
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014. Pengujian itu
sendiri kemudian memberikan akibat terhadap eksistensi undang-undang
dalam bentuk yang bervariasi.
C. Legal Standing Pengujian Undang-Undang
Perlu dicatat, semua perkara konstitusi di MK disebut sebagai
perkara permohonan, bukan gugatan. Alasannya karena hakikat perkara
konstitusi di MK tidaklah bersifat adversarial atau contentious yang berkenaan
dengan pihak-pihak yang saling bertabrakan kepentingan satu sama lain
seperti dalam perkara perdata ataupun tata usaha negara. Kepentingan yang
sedang digugat dalam perkara pengujian undang-undang adalah kepentingan
yang luas menyangkut kepentingan semua orang dalam kehidupan bersama.
Pengujian undang-undang oleh MK sesuai amanat UUD 1945 memberikan
prospek yang baik pada penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Artinya, pengujian undang-undang sebagai upaya mengidentifikasi,
menyelidiki lebih komprehensif, dan kemudian menilai secara objektif, akan
menghindarkan atau mencegah undang-undang menyalahi atau menyimpang
dari Undang-Undang Dasar. Filosofi yang dikenal dan dipahami negara-negara
hukum modern, bahwa pengujian konstitusioal sebagai kontrol antar
lembaga-lembaga negara untuk terwujudnya cita negara hukum yang
demokratis. Tegasnya, pengujian undang-undang adalah persoalan
fundamental dalam kehidupan sebuah negara hukum. Undang-undang adalah
produk politik yang notabene merupakan kristalisasi kepentingan-
kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin
saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi.
Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang
yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di
atasnya.
Undang-undang yang digugat adalah undang-undang yang
mengikat umum terhadap segenap warga negara. Oleh sebab itu, perkara
yang diajukan tidak dalam bentuk gugatan, melainkan permohonan. Karena
itu, subjek hukum yang mengajukannya disebut sebagai Pemohon, bukan
Penggugat.
Permohonan yang diajukan kepada MK diterima oleh petugas
penerima permohonan untuk disampaikan kepada Panitera MK yang akan
melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan. Selain berkas
permohonan perkara (hard copy) dalam praktik pemohon juga diminta untuk
menyerahkan permohonan dalam bentuk soft copy atau file. Pemeriksaan
yang dilakukan oleh panitera ini bersifat kelengkapan administratif, bukan
terhadap substansi permohonan. Pemeriksaan administrasi ini misalnya
meliputi jumlah rangkap permohonan, surat kuasa, kejelasan identitas, serta
daftar alat bukti.362 Permohonan yang dinyatakan belum lengkap belum dapat
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Pemohon wajib
362 Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003.
melengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon. Hanya
permohonan yang telah dinyatakan lengkap yang dicatat dalam BRPK yang
memuat antara lain catatan tentang kelengkapan administrasi disertai dengan
pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama
pemohon, dan pokok perkara.363
Setelah permohonan dinyatakan lengkap dan diregistrasi dalam
BRPK, MK akan menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling
lambat 14 hari kerja. Artinya, penetapan jadwal sidang pertama dimaksud
adalah paling lambat 14 hari kerja sejak diregistrasi, sedangkan sidang
pertama itu sendiri dapat dilakukan lebih dari 14 hari kerja. Penetapan jadwal
sidang pertama ini harus diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan
kepada masyarakat. Pengumuman ini dilakukan dengan cara menempelkan
salinan pemberitahuan di papan pengumuman MK yang khusus disediakan
untuk itu. Setiap permohonan yang diajukan kepada MK dapat ditarik
kembali, baik sebelum maupun selama sidang pemeriksaan oleh MK. Pada
saat suatu permohonan ditarik kembali, pemohon dimaksud tidak dapat
mengajukan kembali permohonan dimaksud, kecuali dengan alasan
konstitusional yang berbeda.
Di samping permohonan yang disampaikan secara fisik ke kantor
MK, permohonan juga dapat dilakukan secara online melalui sistem informasi
yang dikembangkan dan menjadi satu dengan laman MK. Namun demikian,
pengajuan perkara secara online harus tetap diikuti dengan penyampaian
berkas perkara secara fisik. Permohonan perkara online diatur dalam PMK
Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik
(Electronic Filing) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video
Conference). Untuk mengajukan permohonan secara online, pemohon harus
melakukan registrasi, baik secara online maupun offline, guna mendapatkan
363 Pasal 32 dan Pasal 33 UU No. 24 Tahun 2003.
nama identifikasi (user name) dan kode akses (password) untuk dapat
mengakses program Sistem Informasi Manajemen Permohonan Elektronik
(SIMPEL). Melalui SIMPEL, dapat diajukan permohonan, alat bukti,
penambahan dokumen, serta daftar saksi dan ahli yang diajukan. User name
dan password tersebut juga akan berfungsi sebagai tanda tangan elektronik
(electronic signature) dalam proses perkara di MK.
Permohonan dianggap diterima apabila permohonan dimaksud
sudah masuk dalam jaringan komputer Kepaniteraan MK. Apabila
permohonan dimaksud telah masuk, Kepaniteraan MK menyampaikan
konfirmasi kepada pemohon dan/atau kuasanya dalam waktu 1 hari setelah
dokumen permohonan masuk dalam SIMPEL. Pemohon atau kuasanya harus
menjawab konfirmasi itu secara tertulis kepada Kepaniteraan MK dalam
waktu selambat-lambatnya 3 hari sejak permintaan konfirmasi disampaikan
oleh Kepaniteraan MK. Jawaban atas konfirmasi tersebut disertai dengan
penyerahan 12 rangkap dokumen asli (hard copy) permohonan. Proses
pemeriksaan kelengkapan permohonan dan pemberitahuan dilakukan melalui
e-mail. Permohonan online yang telah memenuhi syarat didokumentasikan
dan disimpan oleh Panitera disertai dengan penomoran perkara. Panitera
mengirimkan Akta Registrasi Perkara kepada pemohon melalui e-mail dalam
waktu 7 hari sejak diregistrasi.
Terhadap beberapa permohonan perkara yang diterima, MK dapat
menetapkan penggabungan perkara, baik dalam pemeriksaan persidangan
maupun dalam putusan. Penggabungan perkara dilakukan melalui Penetapan
Mahkamah Konstitusi apabila terdapat dua perkara atau lebih yang memiliki
obyek atau substansi permohonan yang sama. Penggabungan perkara
biasanya dilakukan untuk perkara sejenis walaupun ada kemungkinan
terdapat dua perkara yang masuk dalam dua wewenang yang berbeda yang
memiliki isu hukum atau pokok perkara yang sama.
Penggabungan juga dapat dilakukan apabila ditengah proses
persidangan terdapat perkara baru yang mengajukan pengujian ketentuan
yang sama atau memiiki isu konstitusional yang sama. Perkara baru ini akan
digabungkan pemeriksaan dan putusannya dengan perkara yang sedang
diperiksa.
Penggabungan perkara untuk perkara pengujian UU diatur dalam
PMK No. 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian
Undang- Undang. Pasal 11 ayat (6) PMK No. 6 Tahun 2005 dinyatakan bahwa
penggabungan perkara dapat dilakukan berdasarkan usulan panel hakim
terhadap perkara yang (a) memiliki kesamaan pokok permohonan; (b)
memiliki keterkaitan materi permohonan; atau (c) pertimbangan atas
permintaan pemohon.
Penggabungan perkara dalam perkara pengujian undang-
undang dilakukan terhadap dua atau lebih permohonan yang meminta
pengujian ketentuan pasal-pasal yang sama atau saling terkait dalam satu
undang-undang. Penggabungan perkara dan putusan pertama kali dilakukan
terhadap perkara Nomor 011/PUU-I/2003 dan Perkara Nomor 017/PUU-
I/2003 yang keduanya diputus dalam satu Putusan Nomor 011-017/PUU-
I/2003 pada Selasa, 24 Februari 2004. Kedua permohonan itu terkait dengan
ketentuan Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD,
dan DPRD yang memuat ketentuan persyaratan calon anggota DPR, DPD, dan
DPRD salah satunya adalah “bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai
Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang
terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam G.30.S./PKI, atau organisasi
terlarang lainnya”.
Contoh penggabungan perkara pengujian undang-undang yang
lain adalah pada Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, yang
menggabungkan Perkara Nomor 001/PUU-I/2003, Nomor 021/PUU-I/2003,
dan Nomor 022/PUU- I/2003, karena ketiganya mengajukan pengujian
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
Penggabungan perkara dilakukan tidak hanya terhadap
permohonan yang mengajukan ketentuan pasal yang sama dari suatu undang-
undang. Terhadap permohonan pengujian pasal yang berbeda dalam satu
undang-undang dapat dilakukan penggabungan apabila memiliki keterkaitan
isu hukum. Hal ini misalnya dapat dilihat pada Putusan Nomor 072-073/PUU-
II/2004 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, serta Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006
mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penggabungan perkara juga dapat dilakukan sepanjang
memiliki kesamaan jenis perkara dan pokok permohonan atau isu hukum.
Untuk perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU) juga dapat dilakukan
penggabungan perkara apabila terkait dengan permasalahan yang sama.
Misalnya, perselisihan hasil Pemilu DPR di suatu daerah pemilihan yang sama,
tetapi diajukan oleh partai politik yang berbeda-beda dapat digabungkan
pemeriksaan dan putusannya.
Di sisi lain, terdapat kemungkinan adanya pokok permohonan
yang sama tetapi diajukan melalui permohonan perkara yang berbeda. Pada
kasus demikian dalam praktiknya tidak dilakukan penggabungan perkara,
tetapi hanya diputus dalam waktu yang hampir bersamaan. Dalam praktik hal
ini pernah terjadi terkait dengan perselisihan hasil pemilihan Wali Kota dan
Wakil Wali Kota Depok, yang diajukan ke dalam dua perkara, yaitu perkara
Nomor 01/PUU-IV/2006 dengan pokok perkara pengajuan pengujian Putusan
PK MA Nomor 01/PK/PILKADA/2005 yang dikonstruksikan sebagai
yurisprudensi yang berkedudukan sama dengan Undang-Undang, serta
Perkara Nomor 02/SKLN-IV/2006 mengenai Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara antara Pasangan Calon Wali Kota dan Wali Kota Depok Terhadap
KPUD Kota Depok. Walaupun kedua perkara tersebut pada prinsipnya adalah
satu perkara, yaitu perselisihan dalam proses pemilihan Wali Kota dan Wakil
Wali Kota Depok, namun karena masuk dalam dua jenis perkara yang berbeda
sehingga tidak dapat dilakukan penggabungan perkara. Namun demikian
perkara dimaksud diputus pada hari yang sama, yaitu pada 25 Januari 2006.
Ketatnya seleksi atas permohonan atau petisi ini berkaitan pula
dengan ketentuan mengenai “legal standing” pemohon. Mahkamah Agung
Amerika Serikat menentukan beberapa persyaratan “legal standing” untuk
dapat secara resmi memeriksa sesuatu permohonan atau petisi. Sebanyak 3
(tiga) kriteria ‘standing’ dirumuskan dari konstitusi, dan 3 (tiga) lainnya dari
undang-undang tetapi ditafsirkan oleh Mahkamah Agung tidak bertentangan
dengan pembatasan yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar.
Di Austria, persyaratan untuk mengajukan “individual request”
untuk pengujian konstitusional ini cukup ketat. Misalnya, dipersyaratkan
adanya gangguan aktual yang sangat serius (Betroffenheitsdichte) terhadap
hak-hak seorang individu warga negara, sehingga terpenuhi unsur-unsur (i)
kerugian aktual, yang tidak hanya bersifat potential, (ii) gangguan yang
bersifat langsung, bukan tidak langsung, (iii) dengan tingkat ‘seriousness’ yang
tinggi, dan (iv) upaya untuk mengembalikan atau memulihkan kerugian itu
benar-benar sudah final (exhausted) dan tidak tersedia lagi upaya hukum yang
lain (Umwegsunzumutbarkeit).
Menarik juga mengamati praktik di Prancis. Mengenai
kewenangan Dewan Konstitusi ini, dalam article 61 UUD Tahun 1958
ditentukan “Organic laws, before their promulgation, and regulations of
Parliamentary assemblies, before they come into application, must be
submitted to the Constitutional Council, which shall rule on their
constitutionality”. Untuk disahkan menjadi undang-undang, rancangan
undang-undang dapat diajukan kepada Dewan Konstitusi oleh Presiden
Republik, Perdana Menteri atau oleh salah satu Ketua dari kedua kamar
parlemen (Majelis Nasional dan Senat). Jika rancangan peraturan dimaksud
memang benar-benar diajukan untuk diperiksa, maka pemeriksaan tersebut
harus segera dilakukan oleh Dewan Konstitusi dan dalam waktu selambat-
lambatnya 1 (satu) bulan setelah itu, putusan final sudah harus ditetapkan,
meskipun, apabila terdapat keadaan memaksa (in case of emergency), atas
permintaan Pemerintah, tenggat waktu tersebut dapat pula diperpendek
menjadi hanya 8 (delapan) hari. Selama masa pemeriksaan oleh Dewan
Konstitusi, rancangan undang- undang atau segala peraturan dimaksud belum
dapat diberlakukan sebagai peraturan yang mengikat sampai putusan final
Dewan Konstitusi ditetapkan. Apabila putusan Dewan menyatakan bahwa
rancangan peraturan dimaksud tidak konstitusional, maka peraturan
dimaksud tidak boleh diundangkan atau diimplementasikan sebagai hukum.
Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan
menurut undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara
konstitusi kepada MK. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan
kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi
pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Dengan
perkataan lain, pemohon diharuskan membuktikan bahwa ia atau mereka
benar-benar memiliki legal standing atau kedudukan hukum, sehingga
permohonan yang diajukannya dapat diperiksa, diadili, dan diputus
sebagaimana mestinya oleh MK. Persyaratan legal standing atau kedudukan
hukum dimaksud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau
kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang
dipersoalkan.
Legal standing adalah adaptasi dari istilah personae standi in
judicio yang artinya adalah hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan
di depan pengadilan.364 Intinya adalah Legal standing atau kedudukan hukum
merupakan penentu apakah seseorang yang berperkara merupakan subyek
hukum yang telah memenuhi syarat menrut undang-undang untuk
mengajukan perkara di muka pengadilan dalam perkara sebagaimana undang-
undang tersebut mengatur.365
Tidak semua orang boleh mengajukan permohonan ke MK dan
menjadi pemohon. Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal
dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usaha negara tidak
dapat dijadikan dasar. Dalam hukum acara perdata dikenal adagium point
d’interet point d’action yaitu apabila ada kepentingan hukum boleh
mengajukan gugatan. Standing atau personae standi in judicion adalah hak
atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan di
depan pengadilan (standing to sue). Doktrin yang dikenal di Amerika tentang
standing to sue diartikan bahwa pihak tersebut mempunyai kepentingan yang
cukup dalam satu perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan
keputusan pengadilan atas perselisihan tersebut. Standing adalah satu konsep
yang digunakan untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara
cukup sehingga satu perselisihan diajukan ke depan pengadilan. Ini adalah
satu hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar
memperoleh putusan akhir dari pengadilan.366
Pengertian legal standing adalah keadaan di mana seseorang
atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai
hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa
atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi. Pemohon yang tidak memiliki
364 Harjono, 2008, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Dr. Harjono.,S.H., MCLWakil Ketua MK, Jakarta, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hlm. 176.
365 Henry Campbell Black, 1999, Black’s Law Dictionary, (st. Paul, West Group, hlm.1413.
366 Maruarar Siahaan, 2006, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,Edisi Revisi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran Mahkamah Konstitusi RI, hlm. 94.
kedudukan hukum akan menerima putusan MK yang menyatakan
permohonannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).367
Kedudukan hukum (legal standing) mencakup syarat formal
sebagaimana ditentukan dalam UU, dan syarat materiil yang kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya UU yang
dimohonkan pengujiannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU
No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Pengaturan dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi tersebut diatur lebih lanjut dengan ketentuan yang sama dalam
Pasal 3 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang. Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-
undang, yang meliputi: (i) Perorangan warga negara Indonesia; (ii) Kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangannya masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (iii) Badan hukum publik atau
privat; atau (iv) Lembaga negara.
Untuk itu, dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003
sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan MK No. 06/PMK /2005,
ditentukan bahwa Pemohon adalah pihak yang mengganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,
yaitu (i) perorangan warga negara Indonesia; (ii) kesatuan masyarakat hukum
adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang; (iii) badan hukum publik atau privat; atau (iv) lembaga negara.
Perseorangan Warga Negara Indonesia
367 Ibid., 98-99.
Konsep tentang orang dalam hukum memegang kedudukan
sentral, karena semua konsep yang lain seperti hak, kewajiban, pemilikan,
hubungan hukum dan seterusnya, pada akhirnya berpusat pada konsep
mengenai orang.368 Orang inilah yang menjadi pembawa hak, yang bisa
dikenai kewajiban, dimana seorang yang mempunyai hak oleh hukum diberi
kekuasaan untuk mewujudkan haknya itu, yaitu dengan cara meminta pihak
lain untuk menjalankan kewajiban tertentu.369 Termasuk dalam kriteria
perorangan disini adalah kelompok orang yang memiliki kepentingan yang
sama.370 Seperti yang dirumuskan dalam Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi, orang disini adalah Warga Negara Indonesia, yang dibuktikan
dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP).371
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Kesatuan masyarakat hukum adapt sebagai pihak yang diberikan legal
standing untuk menjadi pemohon di MK merupakan pengakuan atas hak asli
masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945.372 Kesatuan
masyarakat menunjuk kepada pengertian masyarakat organik yang tersusun
dalam kerangka kehidupan berorganisasi dengan saling mengikatkan diri untuk
kepentingan mencapai tujuan bersama.373 Berdasarkan peraturan MK, kesatuan
masyarakat hukum adat dibuktikan dengan bukti keberadaan masyarakat hukum
adat menurut undang-undang.374
Badan Hukum Publik atau Privat
368 Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti, hlm. 66.369 Ibid., hlm. 67.370 Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi.371 Penjelasan Pasal 6 ayat (3) huruf a angka 1, UU Mahkamah Konstitusi.372 Dalam ketentuan ini diatur bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak traditionalnya sepanjang masih hidup dansesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yangdiatur dalam undang-undang.”
373 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, op.cit., hlm. 76.374 Pasal 6 ayat (3) huruf a angka 3 UU Mahkamah Konstitusi.
Badan hukum bersifat publik apabila didirikan baik dengan undang-
undang maupun perbuatan pemerintahan lainnya yang tidak saja memiliki hak
tetapi juga mempunyai kewenangan tertentu menjalankan sebagaimana tugas
dan kewenangan pemerintahan.375 Sedangkan badan hukum privat biasanya
merupakan perjanjian antara lebih dari dua orang yang menyendirikan sebagian
kekayaannya untuk disendirikan pada badan yang dibentuk dengan perjanjian.376
Kriteria utama yang menentukan suatu badan hukum itu perdata atau publik
terletak pada kepentingan yang diwakili badan hukum yang bersangkutan yang
tercermin dalam tujuan dan kepentingan para pendiri badan hukum itu
sendiri.377 Oleh karena itu pembuktian badan hukum ini adalah dengan akta
pendirian dan pengesahan badan hukum.378
Lembaga Negara
Lembaga negara yang dimaksud disini bukan hanya lembaga negara
yang memperoleh kewenangan dari UUD 1945, tetapi juga lembaga negara
sebagai auxiliary institution yang dalam praktik banyak dibentuk oleh undang-
undang, bahkan juga atas dasar Keputusan Presiden.379 Dalam hal ini lembaga
negara ditingkat pusat dapat digolongkan menjadi: (i) Lembaga yang dibentuk
berdasarkan UUD 1945, contohnya; Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR,
MK, MA, dan BPK; (ii) Lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang,
contohnya Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, KPU, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), dan sebagainya; (iii) Lembaga yang dibentuk berdasarkan
Peraturan Presiden; dan (iv) Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Menteri.
375 Maruarar Siahaan, op.cit., hlm. 89.376 Ibid., hlm. 90.377 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 90.378 Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 3 UU Mahkamah Konstitusi.379 Maruarar Siahaan, op.cit., hlm. 93.
Keempat pihak sebagaimana disebutkan diatas, tidak serta merta dapat
menjadi pemohon dalam pengujian, melainkan harus memenuhi persyaratan
agar keempat pihak tersebut memiliki legal standing sehingga permohonan yang
diajukannya dapat diperiksa, diadili, dan diputus sebagaimana mestinya oleh MK.
Persyaratan dimaksud adalah (i) Salah satu dari keempat kelompok subjek
hukum tersebut diatas; (ii) Subyek hukum dimaksud memang mempunyai hak-
hak atau kewenangan- kewenangan sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Apa
yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD
1945380; (iii) hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersangkutan
memang telah dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya undang-undang atau
bagian dari undang-undang yang dipersoalkannya itu;381 (iv) adanya atau
timbulnya kerugian dimaksud memang terbukti mempunyai hubungan kausal
(causal verband) dengan berlakunya undang- undang yang dimaksud;382 dan (v)
apabila permohonan yang bersangkutan, memang dapat dipulihkan kembali
dengan dibatalkannya undang-undang yang dimaksud.
Untuk membuktikan bahwa seseorang atau ke lompok orang ataupun
badan tertentu adalah salah satu dari keempat kelompok subjek hukum seperti
yang dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003, maka yang
bersangkutan diharuskan memperlihatkan bukti-bukti yang mencukupi,
380 Lihat Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi.381 Kerugian konstitusional berkaitan erat dengan pengertian hak konstitusional yaitu
yang menyangkut hak-hak yang diatur dalam UUd 1945. Jika hak-hak yang dijamin oleh UUDtersebut ternyata dikurangi, dibatasi, atau menjadi tidak dapt diwujudkan sebagaimanamestinya, karena adanya atau berlakunya undang-undang yang bersangkutan, berarti undang-undang tersebut dapat dinilai atau dianggap merugikan hak konstitusional orang atau subyekhukum yang bersangkutan. Lihat: Jimly Asshiddiqie., op. cit., hal. 102.
382 Hubungan kausal dapat dijelaskan dengan teori-teori kausalitas. Dalam hukumpidana dikenal teori-teori kausalitas, yang diantaranya adalah: (i) Teori condition sine qua non,yaitu semua faktor atau syarat yang turut menyebabkan suatu akibat, yang tidak dapatdihilangkan dari rangkaian faktor-faktor yang perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan,harus dianggap causa (sebab) akibat itu; dan (ii) Teori adaequaat, dimana diantara faktor-faktordalam rangkaian faktor- faktor yang dapat dihubungkan dengan terjadinya kerugian, ada satuyang dapat dianggap sebagai causa, yaitu faktor yang adaequaat (sesuai, seimbang) denganterjadinya akibat yang bersangkutan. Lihat: E. Utrecht, 2000, Rangkaian Sari Kuliah HukumPidana I, Surabaya, Pustaka Tinta Mas, hlm. 383-387.
misalnya, dengan kartu tanda pengenal, kartu penduduk, passport, akta
kelahiran, akta yayasan atau surat pengesahan badan hukum, atau dokumen-
dokumen lain yang perlu.383 Mengenai lembaga negara, juga perlu dibuktikan
dengan dokumen -dokumen hukum yang sah, seperti ketentuan pasal
Undang-Undang Dasar, ataupun pasal-pasal Undang-Undang tertentu, pasal
peraturan pemerintah, atau keputusan presiden (peraturan presiden) tertentu,
dan sebagainya.
Setelah itu, selanjutnya harus dibuktikan pula bahwa dalam konstitusi,
memang benar terdapat jaminan-jaminan bahwa yang bersangkutan
mempunyai hak atau kewenangan konstitusional tertentu, yang hak atau
kewenangan konstitusional dimaksudkan itu dianggap telah dirugikan atau
dilanggar oleh berlakunya undang-undang yang bersangkutan.
Di samping itu, penilaian mengenai legal standing berdasarkan kelima
kriteria di atas, kadang-kadang juga tidak dapat dilakukan sebelum memeriksa
pokok perkara. Bahkan, kesimpulan mengenai kelima hal tersebut di atas,
kadang-kadang baru dapat diketahui setelah proses pembuktian. Setelah
dilakukan penilaian yang mendalam terhadap alat -alat bukti yang diajukan, baik
oleh pemohon, oleh pembentuk undang-undang, ataupun oleh pihak terkait,
seringkali majelis hakim baru mendapatkan kesimpulan mengenai kualitas legal
standing pemohon yang mengajukan permohonan pengujian undang-undang
yang bersangkutan. Jika telah terbukti bahwa seseorang atau kelompok orang,
atau badan/lembaga yang bersangkutan sebagai subjek hukum memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagaimana dimaksud, maka subyek hukum yang
bersangkutan dapat dianggap mempunyai kedudukan hukum atau legal standing
383 Menurut Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 900/4627/SJ tentang penajamanKetentuan Pasal 298 ayat (5) Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang PemerintahanDaerah, yang dimaksud dengan badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadanhukum Indonesia adalah Badan dan lembaga kemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela, dansosial yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selain itu, badan dan lembagakemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela, dan sosial yang telah memiliki Surat KeteranganTerdaftar (SKT) yang diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri, gubernur, atau bupati atau walikota.
untuk tampil sebagai pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-
undang di MK.
Jimly Asshiddiqie mengemukakan 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi
untuk sahnya kedudukan hukum (legal standing) pemohon dalam perkara
pengujian UU terhadap UUD di Mahkamah Konstitusi, keempat pihak atau
subjek hukum tersebut di atas (perorangan WNI, kesatuan masyarakat hukum
adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara), pertama-tama
haruslah terlebih dahulu membuktikan identitas dirinya memang memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003
tersebut. Kedua, pihak yang bersangkutan haruslah membuktikan bahwa dirinya
memang mempunyai hak-hak tertentu yang dijamin atau kewenangan-
kewenangan tertentu yang ditentukan dalam UUD 1945. Ketiga, hak-hak atau
kewenangan konstitusional dimaksud memang terbukti telah dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang yang bersangkutan.384
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dalam putusan
nomor 006/PUU- III/2005 dan 011/PUU-V/2007 tentang persyaratan legal
standing, pendapat Laica Marzuki bahwa legal standing adalah suatu dasar dari
seseorang atau kelompok orang untuk mengajukan permohonan pengujian
undang-undang. apabila seorang pemohon tidak dirugikan oleh adanya undang-
undang tersebut, ia dapat dipandang tidak memiliki legal standing. Ia juga
menambahkan bahwa hal ini sesuai dengan asas yang berlaku universal dalam
gugatan di pengadilan, yaitu point d’interet point d’action. Mahkamah dalam
pertimbangan hukumnya memberikan legal standing merujuk pada syarat ketiga
yaitu bahwa kerugian yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi.
384 Ibid., hlm. 95-96.
Dalam perkara nomor 36/PUU-X/2012 para pemohon tidak terlibat
langsung dalam pengelolaan minyak dan gas bumi, para pemohon dikategorikan
oleh Mahkamah sebagai perorangan warga negara Indonesia (termasuk
kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama) yang secara potensial
dirugikan hak konstitusional mereka oleh berlakunya pasal-pasal dari UU Migas
yang dimohonkan pengujian dan apabila permohonan dikabulkan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Dalam
perkara nomor 7/PUU-XI/2013 para pemohon sampai detik terakhir pembukaan
lowongan hakim konstitusi di DPR para pemohon tidak pernah mendaftar,
hanya berkemungkinan sewaktu-waktu diangkat menjadi hakim konstitusi dan
kemungkinan pula diperpanjang masa jabatannya. Dalam perkara No. 7/PUU-
XI/2013 terdapat 2 (dua) hakim konstitusi yang berbeda pendapat (dissenting
opinion) dalam hal pemberian legal standing kepada para pemohon yaitu Hakim
Konstitusi Maria Farida Indrati dan Hakim Konstitusi Harjono menilai para
pemohon tidak memiliki legal standing, seharusnya Mahkamah menolak
memeriksa pokok perkara dan menyatakan permohonan para Pemohon
seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Sehingga tidak tepat mahkamah menilai para pemohon memiliki legal standing.
Dalam perkara nomor 7/PUU-XI/2013 seharusnya MK juga harus lebih berhati-
hati, karena menguji masa jabatan untuk pengangkatan hakim konstitusi periode
kedua, dalam hal ini terkait dengan conflict of interest terhadap diri sendiri.
Abdul Mukhtie Fadjar mengemukakan kedudukan hukum pemohon
(legal standing) merupakan masalah yang rumit dan memerlukan pengkajian
lebih lanjut, termasuk diantaranya mengenai pemohon perseorangan dan
kesatuan masyarakat hukum adat. Pada tahun 2012 dan 2013 MK mendapat
permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi terhadap UUD 1945 yang diregistrasi dengan Perkara Nomor 36/PUU-
X/2012 dan Perkara Nomor 7/PUU-XI/2013. Pengujian konstitusional perkara
nomor 36/PUU-X/2012 yang dimohonkan pengujiannya oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah dan perkara nomor 7/PUU-XI/2013 yang dimohonkan
pengujiannya oleh Dr. Andi Muhammad Asrun S.H., M.H. dan Dr. Zainal Arifin
Hoesein, S.H., M.H. Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya mengabulkan
permohonan para pemohon untuk sebagian. Para pemohon adalah perorangan
dan Badan Hukum Privat atau organisasi Masyarakat Islam. Pertanyaan yang
kemudian timbul adalah mengenai legal standing para pemohon mengajukan
permohonan Pengujian undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Pertimbangan apa yang mendasari para pemohon diberikan legal
standing oleh MK. Kejelasan mengenai legal standing yang rumit memerlukan
pengkajian lebih lanjut.
D. Sistem dan Prinsip Pembuktian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Dalam ilmu hukum dikenal luas adanya doktrin yang menyatakan
bahwa pembuktian dalam hukum acara pidana bertujuan mencari
kebenaran materiil, sedangkan pembuktian dalam hukum acara perdata
bertujuan mencari kebenaran formil. Dengan kebenaran materiil,
dimaksudkan bahwa kebenaran itu tidak cukup dibuktikan berdasarkan alat-
alat bukti formal belaka, melainkan harus didasarkan atas galian keterangan
yang tersembunyi di balik fakta-fakta yang nampak di permukaan (the
underlying truth behind the concrete facts). Karena itu, hakim pidana tidak
boleh berhenti hanya dengan memeriksa alat-alat bukti yang nampak tanpa
berusaha sungguh-sungguh mendalami untuk menemukan kebenaran yang
lebih sejati yang ada di balik fakta-fakta yang nampak di permukaan
tersebut. Sebaliknya, para hakim perdata, cukup mengandalkan pembuktian
yang bersifat formal dengan hanya mengandalkan apa yang dapat diketahui
dan alat-alat bukti formal, seperti surat-surat berupa akta otentik yang
dibuat oleh pejabat umum (public official)385 ataupun surat-surat yang
dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.386
Proses peradilan konstitusional jelas berbeda dan peradilan
pidana ataupun perdata. Baik proses peradilan perdata maupun pidana
berkenaan dengan kepentingan orang per orang atau satu-satu badan
hukum konkret yang terlibat dalam perkara. Sedangkan dalam perkara
pengujian undang-undang, meskipun pintu masuk perkara konstitusional itu
di Mahkamah dapat diawali oleh persoalan kepentingan konkret orang per
orang yang dinyatakan memiliki legal stand-ing untuk berperkara, tetapi
substansi perkara yang dipermasalahkan oleh pemohon adalah menyangkut
undang-undang yang berisi norma hukum yang bersifat umum dan abstrak
(general and abstract norms).387
Oleh karena itu, proses peradilan yang dilakukan dalam perkara
pengujian undang-undang berkaitan erat dengan kepentingan umum (public
interest). Jika suatu norma dalam undang-undang itu terbukti bertentangan
dengan UUD dan karena itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat, maka alasan yang dipakai untuk itu haruslah didasarkan atas
pertimbangan kepentingan umum (public interest) juga, yaitu setidak-
tidaknya untuk kepentingan umum yang lebih besar atau lebih luas.
Malahan, jika dikaitkan dengan kenyataan umum itu, maka mau tidak mau
hakim konstitusi haruslah membuat putusan berdasarkan pembuktian yang
benar-benar sangat mendalam. Artinya, pembuktian dalam perkara
pengujian undang-undang haruslah diorientasikan untuk menemukan
kebenaran yang hakiki dan pokok persoalan yang sedang diuji nilai
385 Pasal 1868 KUHPerdata berbunyi, “Satu akta otentik adalah satu akta yang dibuatdalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, oleh atau di hadapan pejabat umum yangberwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.
386 Pasal 1874 KUHPerdata menyatakan, “Yang dianggap sebagai tulisan di bawahtangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumahtangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum”.
387 Jimly Assihiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, hlm. 203.
konstitusionalitasnya. Dengan demikian, pembuktian adalah penyajian alat-
alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu
perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
dikemukakan.388 Mengenai beban pembuktian, bahwa pada pokoknya, siapa
yang mendalilkan, maka dialah yang harus membuktikan. Prinsip umum ini
juga berlaku dalam pembuktian perkara pengujian undang-undang. Artinya,
pihak pemohonlah yang harus membuktikan dalil-dalil yang diajukannya
bahwa sesuatu undang-undang bertentangan dengan undang-undang
dasar.389
Dalam jawab menjawab di muka sidang pengadilan, pihak-pihak
yang berperkara dapat mengemukakan peristiwa-peristiwa yang dapat
dijadikan dasar untuk meneguhkan hak perdatanya ataupun untuk
membantah hak perdata pihak lain. Peristiwa-peristiwa tersebut sudah tentu
tidak cukup dikemukakan begitu saja, baik secara tertulis maupun lisan.
Akan tetapi, harus diiringi atau disertai bukti-bukti yang sah menurut hukum
agar dapat dipastikan kebenarannya. Dengan kata lain, peristiwa-peristiwa
itu harus disertai pembuktian secara yuridis.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar permohonan harus
dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi
diakui sepenuhnya oleh pihak termohon tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam
hal pembuktian tidak selalu pihak pemohon saja yang harus membuktikan
dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara tersebut yang akan
menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang
diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak pemohon atau pihak lain.
Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana
388 Riduan Syahrani, 2004, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung, CitraAditya Bakti, hlm. 83.
389 Pasal 283 RBg/163 HIR menyatakan “ Barangsiapa mengatakan mempunyai suatuhak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untukmembantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.”
akan memikul beban pembuktian. Hakim berwenang membebankan kepada
para pihak untuk mengajukan suatu pembuktian dengan cara yang
seadil- adilnya.
Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak
bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel),
seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian
kebenaran. Cara pembuktian bertitik tolak dan keyakinan hakim sampai
kepada batas tertentu berdasarkan alasan yang logis berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, dalam metode keempat
(negative wettelijk), titik tolaknya adalah norma-norma undang-undang yang
mengatur secara limitatif mengenai pembuktian tersebut. Namun demikian,
titik tolak normatif tersebut harus diikuti dengan keyakinan hakim sendiri
untuk memberi konklusi dan keputusan yang dianggap adil atas pembuktian
perkara yang bersangkutan. Kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam
proses peradilan pidana, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan
mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu harus diyakini hakim.
Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang
diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan,
sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki.390
Sistem Pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Namun, tidak
demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan
diwujudkan hakim cukup kebenaran formil ( formeel waarheid ). Pada
dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan
kebenaran materiil. Akan tetapi bila kebenaran materiil tidak ditemukan,
hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran
formil.391
390 R. Subekti, 2007, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm. 9.391 M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 498.
Sebagai jalan tengah dikembangkan pula metode ketiga yang
tetap mempertahankan pembuktian yang bersifat positif berdasarkan
undang-undang, akan tetapi keyakinan-keyakinan bebas para hakim juga
dianggap menentukan sampai kepada batas-batas tertentu. Alasan yang
dimaksud adalah alasan yang logis sebagai kriteria pembatas atas kebebasan
para hakim menerapkan keyakinannya sendiri. Karena itu, metode ketiga ini
biasa disebut juga sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas
alasan yang logis (conviction rasionee).
Di dalam UU MK tidak ditentukan secara khusus tentang beban
pembuktian ini. hanya menyatakan bahwa untuk memutus perkara
konstitusi, harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti392, baik
yang diajukan oleh pemohon, termohon, atau pihak terkait. Tidak ditentukan
siapa yang harus membuktikan sesuatu. Oleh karena itu berlaku prinsip
umum hukum acara bahwa barang siapa mendalilkan sesuatu, maka dia
wajib membuktikan. Walaupun demikian, karena perkara konstitusi yang
sangat terkait dengan kepentingan umum, hakim dalam persidangan MK
dapat aktif memerintahkan kepada saksi atau ahli tertentu yang diperlukan.
Oleh karena itu pembuktian dalam peradilan MK dapat disebut menerapkan
“ajaran pembuktian bebas yang terbatas.”393 Dikatakan sebagai bebas
karena hakim dapat menentukan secara bebas kepada beban pembuktian
suatu hal akan diberikan. Tentu saja dalam menentukan hal tersebut hakim
dapat menggunakan salah satu atau beberapa teori dan ajaran pembuktian
yang ada. Namun dalam kebebasan tersebut hakim juga masih dalam
batasan tertentu. Paling tidak pihak pemohon yang mendalilkan
memilikikedudukan hukum untuk suatu perkara, harus membuktikan
dalil tersebut. Beban pembuktian terkait kedudukan hukum ini tentu saja
tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Ketentuan tentang pembuktian
392 Maruarar Siahaan, op. cit., hlm. 157-160.393 Ibid., hlm. 156.
“bebas yang terbatas” dapat dijumpai dalam PMK yang mengatur pedoman
beracara untuk setiap wewenang MK.394
Alat-alat bukti yang diajukan ke peradilan MK, baik yang diajukan
oleh pemohon maupun yang diajukan oleh termohon dan/atau pihak terkait,
perolehannya atau cara mendapatkannya harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Alat bukti yang didapatkan atau
diperoleh dengan cara yang bertentangan dengan hukum (illegally obtained
evidence) tidak dapat disahkan oleh hakim konstitusi sebagai alat bukti. Oleh
karena itu setiap pemohon dan atau pihak lainnya mengajukan alat bukti
kepada hakim konstitusi, selalu diperiksa cara memperoleh atau
mendapatkan alat bukti tersebut. Untuk alat bukti dari pemohon, biasanya
dilakukan dalam sidang pendahuluan.
Alat bukti yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 memiliki
perbedaan dengan alat bukti yang lazim dalam proses peradilan lain.
Menurut Maruarar Siahaan, perbedaan tersebut antara lain, Pertama, tidak
dikenal alat bukti pengakuan para pihak dan pengetahuan hakim yang
berlaku pada hukum acara PTUN, atau yang dalam hukum acara perdata
disebut dengan “persangkaan”, pengakuan, dan sumpah, serta dalam
hukum acara pidana disebut dengan keterangan terdakwa. Pengakuan
pihak yang berperkara dipandang tidak relevan dalam Hukum Acara
Konstitusi karena hal itu tidak menghilangkan kewajiban hakim konstitusi
mencari kebenaran mengingat perkara yang diperiksa dan akan diputus
terkait dengan kepentingan umum dan akan mengikat semua warga negara,
bukan hanya pihak yang berperkara.395
Namun demikian, ada pula hal yang tidak termasuk dalam alat
bukti namun dalam proses berpekara ternyata memengaruhi pemeriksaan,
394 Lihat Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (3) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentangPedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
395 Ibid., hlm. 160-161.
yaitu “pengetahuan hakim”. Hal ini terjadi terutama dalam perkara
pengujian undang- undang di mana salah satu metode yang dapat digunakan
untuk mengetahui makna ketentuan dalam konstitusi adalah dengan
mencari maksud dari pembentuk Undang-Undang Dasar (original intent). Di
antara hakim periode pertama, terdapat beberapa hakim konstitusi yang
mengetahui bahkan terlibat dalam proses pembahasan suatu ketentuan
dalam UUD 1945 karena pada saat itu menjadi anggota PAH BP MPR yang
merumuskan Perubahan UUD 1945. Bahkan pengetahuan hakim konstitusi
dimaksud lebih dalam dan tidak terekam dengan baik dalam risalah rapat
Perubahan UUD 1945.
E. Model Putusan Pengujian Undang-Undang
1. Putusan Sela (Provisi)
Terdapat 2 (dua) jenis putusan hakim dalam suatu proses
peradilan, yaitu putusan yang mengakhiri perkara atau sengketa yang
diadili atau putusan akhir dan putusan yang dibuat dalam dan menjadi
bagian dari proses peradilan yang belum mengakhiri perkara atau
sengketa yang disebut dengan putusan sela atau putusan provisi. Putusan
sela atau putusan provisi adalah putusan yang diberikan oleh majelis
hakim atas permohonan pihak yang bersengketa terkait dengan suatu hal
yang berhubungan dengan perkara yang diperiksa. Putusan sela dapat
berupa permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau
terkait dengan status hukum tertentu sebelum putusan akhir dijatuhkan.
Dalam hukum acara MK, putusan provisi pada awalnya hanya
terdapat dalam perkara Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga
Negara. Pasal 63 UU MK menyatakan bahwa MK dapat mengeluarkan
penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon
untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan sampai ada putusan MK. Pada perkembangannya,
putusan sela juga dikenal dalam perkara pengujian UU dan perselisihan
hasil Pemilu. Putusan sela dalam perkara pengujian UU pertama kali
dijatuhkan dalam proses pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), perkara Nomor
133/PUU-VII/2009. Dalam proses persidangan perkara tersebut atas
permohonan dari pemohon MK memberikan putusan sela yang pada
intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 30 UU KPK mengenai
pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa tidak dapat
dilaksanakan terlebih dahulu sebelum ada putusan MK mengenai
pengujian pasal dimaksud.
Untuk perkara perselisihan hasil Pemilu, putusan sela diatur
dalam PMK Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah; PMK Nomor 16 Tahun
2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD; dan PMK Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil
Presiden. Putusan Sela dalam PMK Nomor 16 dan PMK Nomor 17
diartikan sebagai putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan
akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
berkaitan dengan obyek yang dipersengketakan yang hasilnya akan
dipertimbangkan dalam putusan akhir.396
Salah satu contoh putusan sela pada perkara perselisihan hasil
Pemilu adalah dalam Perkara Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009 yaitu
Putusan Sela Nomor Nomor 47-81/PHPU.AVII/2009, tanggal 9 Juni 2009.
Di dalam putusan sela tersebut MK memerintahkan kepada Termohon
(Komisi Pemilihan Umum), Turut Termohon I (Komisi Pemilihan Umum
Provinsi Papua) dan Turut Termohon II (Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Yahukimo) untuk melaksanakan pemungutan suara ulang
396 Lihat Pasal 1 angka 19 PMK Nomor 16/PMK/2009 dan Pasal 1 angka 9 PMK Nomor17/PMK/2009.
pemilihan umum calon anggota DPD pada Distrik Ninia, Distrik Holuwon,
Distrik Soba, Distrik Kayo, Distrik Hilipuk, Distrik Sobaham, Distrik Kwikma,
Distrik Kabianggema, Distrik Lolat, Distrik Soloikma, Distrik Duram, Distrik
Korupun, Distrik Sela, Distrik Kwelamdua, Distrik Langda, Distrik Bomela,
Distrik Suntamon, Distrik Dekai, Distrik Sumo, Distrik Obio, Distrik
Seradala, Distrik Anggruk, Distrik Walma, Distrik Pronggoli, Distrik
Panggema, Distrik Ubahak, Distrik Yahuliambut, Distrik Kosarek, Distrik
Nipsan, Distrik Talambo, Distrik Endomen, Distrik Fuldama, Distrik Kona,
Distrik Dirwemna, Distrik Nalca, Distrik Ubalihi, dan Distrik
Hereapini, dan pelaksanaan Penghitungan Suara Ulang pemilihan
umum calon anggota DPD pada Distrik Kurima, Distrik Tangma, Distrik
Ukha, Distrik Mugi, Distrik Yogosem, Distrik Werima, Distrik Pasema,
Distrik Samenage, Distrik Silimo, Distrik Hogio, Distrik Amuma, Distrik
Musaik, Distrik Suru-Suru, dan Distrik Wusama.
2. Putusan Akhir
Dalam hal putusan akhir untuk perkara pengujian undang-
undang, berdasarkan Pasal 56 UU No. 24 Tahun 2003 terdapat 3 (tiga)
kemungkinan yaitu (i) Putusan yang menyatakan permohonan pengujian
tidak dapat diterima; (ii) Putusan yang menyatakan permohonan
pengujian ditolak; dan (iii) Putusan yang menyatakan mengabulkan
permohonan pengujian.
a. Putusan yang Menyatakan Permohonan Tidak Dapat Diterima
Putusan MK menyatakan dalam putusannya bahwa
permohonan ditolak apabila pemohon dan/atau permohonannya tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU No. 24
Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa, “Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya undang-undang”. Yang dimaksud dengan hak
konstitusionalnya adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.
Apabila pemohon atau permohonannya tidak memenuhi
syarat seperti yang dinyatakan dalam Pasal 51 tersebut maka amar
putusan akan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Hal ini
didasarkan pada Pasal 56 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003. Permohonan
yang tidak dapat diterima merupakan permohonan yang tidak sesuai
secara administratif sebagai suatu pengajuan perkara pengujian
undang-undang ke MK yaitu dalam hal (i) legal standing pemohon dan
(ii) dalam hal permohonan tidak diuraikan secara jelas dan rinci
mengenai alasan yang menjadi dasar permohonan. Hal ini sama
dengan pengajuan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri maupun
pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Serupa seperti pemeriksaan perkara di Pengadilan Tata
Usaha Negara, dalam pemeriksaan perkara di MK juga ada
Pemeriksaan Pendahukuan sebelum Pemeriksaan Pokok Perkara
dalam persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU No. 24
Tahun 2003. Pemeriksaan Pendahuluan ini digunakan untuk
memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Dalam
proses pemeriksaan pendahuluan ini, MK wajib memberi nasihat
kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki
permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.
Sebagaimana dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan Tata
Usaha Negara, apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari
pemohon tidak melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan maka
MK akan menyatakan dalam amar putusannya bahwa permohonan
tidak dapat diterima. Jadi, permohonan tidak dapat diterima ini
berkaitan dengan hal-hal administratif dan bukan pada pokok
perkaranya.
Dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Tata Usaha
Negara terhadap putusan yang tidak dapat diterima tersebut tidak
dapat diajukan upaya hukum tetapi dapat diajukan gugatan baru. Hal
ini berbeda dengan penyelesaian perkara di MK, karena putusan
Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat maka jelas tidak
ada upaya hukum bentuk apapun.
b. Putusan yang Menyatakan Permohonan Ditolak
Suatu permohonan pengujian undang-undang akan ditolak
apabila tidak bertentangan dengan UUD 1945 baik materi muatannya
maupun pembentukannya. Hal ini diatur dalam Pasal 56 ayat (5) UU
No. 24 Tahun 2003 yang menyatakan “Dalam hal undang-undang
dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 baik mengenai pembentukan maupun
materinya, sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan
permohonan ditolak”. Permohonan yang amar putusannya
menyatakan ditolak juga tidak bisa diuji kembali oleh MK.
Pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi yang lain yang
berlaku untuk semua perkara pengujian undang-undang terhadap UUD
1945 yaitu undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap
berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-
undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana diatur
dalam Pasal 58 UU No. 24 Tahun 2003.
Selain itu, diatur dalam Pasal 59 UU No. 24 Tahun 2003
bahwa putusan MK mengenai pengujian undang-undang disampaikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden
dan Mahkamah Agung. Pemberitahuan ini penting agar lembaga yang
berkaitan dengan pembentukan maupun pelaksana undang-undang
mengetahui apalagi kalau putusannya menyatakan materi ayat, pasal
dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945
proses pembentukannya yang bertentangan maka undang-undang
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan
demikian, undang-undang yangt tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam tindakan apapun.
Selain itu, hal ini sebagai tindak lanjut dari Pasal 55 yang menyatakan
bahwa pengujian peraturan perundang-undangan yang sedang
dilakukan MA wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi
dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalm proses pengajuan MK
sampai ada putusan MK.
Kemudian bentuk pelaksanaan putusan MK berdasarkan
pola pelaksanaan di atas, yaitu, pertama, ditindaklanjuti. Suatu
putusan mempunyai bentuk pelaksanaan putusan ditindak lanjuti
penulis artikan dengan tindak lanjut pengumuman pada Berita Negara
serta tidak dapat dimohonkannya pengujian kembali terhadap materi
muatan undang-undang yang telah diujikan tersebut. Bentuk
pelaksanaan putusan seperti ini dilakukan untuk putusan yang polanya
adalah dikabulkan. Mengenai pengumuman dalam Berita Negara siatur
dalam Pasal 57 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003. Pengumuman dalam
Berita Negara dilakukan paling lambat (30) hari sejak putusan
diucapkan. Kemudian mengenai tidak dapat dimohonkannya pengujian
kembali diatur dalam Pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003. Kedua, Tidak
perlu ditindaklanjuti. Suatu putusan mempunyai bentuk pelaksanaan
tidak perlu ditindaklanjuti ketika pola pelaksanaan putusan tersebut
adalah ditolak atau tidak dapat diterima. Sama seperti bentuk
sebelumnya, bentuk pelaksanaan ini juga termasuk didalamnya
terhadap materi muatan undang-undang tersebut tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali.
c. Putusan yang Mengabulkan Permohonan
Berdasarkan Pasal 56 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003, suatu
permohonan pengujian undang-undang bisa dikabulkan apabila MK
berpendapat bahwa permohonan beralasan. Kemudian ayat (3)
menyatakan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan, MK menyatakan
dengan tegas materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-
undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya, ayat (4)
menyatakan bahwa dalam pembentukan undang-undang tidak
memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD
1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
Pasal 57 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 menyatakan bahwa
putusan MK yang amar putusannya menyatakan materi muatan ayat,
pasal dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945,
maka materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikian pula
putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan
undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang berdasarkan UUD 1945, undang-undang tersebut juga
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti yang dinyatakan
dalam Pasal 57 ayat (2). Selanjutnya, Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
putusan MK yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita
Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
putusan diucapkan.
Permohonan yang sudah diuji oleh MK tidak dapat diuji
kembali. Hal ini berdasarkan Pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003 bahwa
materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang yang sudah
diuji tidak dapat diuji kembali. Pengecualian terhadap ketentuan pasal ini
diatur dalam Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
6/PMK/2005 yng menyatakan bahwa permohonan pengujian undang-
undang terhadap muatan ayat, pasal dan/atau bagian yang sama dengan
perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dapat
dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas
yang menjadi alasan permohonan pemohon yang bersangkutan berbeda.
BAB V
DINAMIKA PENGUJIAN KONSTITUSIONAL DI INDONESIA
A. Pengantar
Ketentuan UUD 1945 secara tegas menyatakan Negara Indonesia
adalah Negara Hukum, karena itu pengakuan hukum dan keadilan merupakan
syarat mutlak dalam mencapai tegaknya negara hukum yang dijamin oleh
konstitusi. Salah satu prinsip negara hukum yang dijamin oleh konstitusi
adalah mengenai proses hukum yang adil (due process of law). Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).
Dari segi filsafat hukum manusia hendak mencapai kepastian hukum
dan keadilan. Meskipun demikian, harus disadari bahwa kepastian hukum dan
kemudian keadilan yang hendak dicapai melalui penyelenggara hukum itu
hanya bisa dicapai dan dipertahankan secara dinamis sebagai
penyelenggaraan hukum dalam suatu proses hukum yang adil. Dalam
penyelenggaraan, hukum itu bisa (atau tidak bisa) memperoleh kepercayaan
dari masyarakat akan memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada
kehidupan bersama. Konsekuensinya adalah, hukum itu sendiri harus
memiliki suatu kredibilitas, dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya, bila
penyelenggara hukum mampu memperlihatkan suatu alur kinerja yang
konsisten. Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak akan
membuat masyarakat mau mengandalkannya sebagai perangkat norma
yang mengatur kehidupan bersama. Karena itu konsistensi dalam
penyelenggaraan hukum lalu menjadi sangat potensial untuk menghasilkan
kepastian hukum.397
397 Radbruch mula-mula merefleksikan kepastian hukum itu adalah semata-matamasalah kekuasaan. Ia menyatakan bahwa hukum yang mengandung kekuasaan itu terdiri atas 3(tiga) aspek, yaitu (i) hukum memberikan manfaat umum; (ii) hukum memberikan keadilan; dan(iii) hukum pun memberikan kepastian hukum.Radbruch mengakui bahwa persoalan kepastianhukum itu hampir tidak pernah dipersoalkan secara serius dengan kebijaksanaan dan keadilan,karena dalam refleksinya, Radbruch juga memahami bahwa kepastian hukum malah bisa
Kendati demikian, dapat dibayangkan bahwa konsistensi dalam
penyelenggaraan hukum itu bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya,
sehingga bisa saja terdapat risiko bahwa penyelenggaraan hukum itu menjadi
tidak konsisten. John Rawls berpendapat bahwa bahkan penyelenggaraan
hukum yang tidak konsisten harus tetap konsisten dalam inkonsistensinya itu:
“… even where laws and institutions are unjust, it is aften better that they
should be consistently applied. In this way those subject to them at least know
what is demanded and they can try to protect themselves accordingly…”398
Walaupun pernyataan Rawls ini sebenarnya absurd, konotasinya adalah setiap
orang lalu bisa paham akan keadaan yang tidak konsisten dari hukum dan
institusi masyarakat, sehingga setiap orang boleh dikata secara tidak langsung
dianjurkan untuk tidak mengharapkan terlalu banyak dari penyelenggaraan
hukum dan membela dirinya masing-masing.
Kendati kepastian hukum itu harus memiliki kewibawaan yang
formal (prosedurnya harus benar) maupun yang materiil (substansinya
harus benar) untuk bisa dirasakan kehadirannya, supaya kepastian hukum
itu juga mempunyai kinerja yang dapa diamati oleh masyarakat,
“masyarakat biasanya mempunyai perasaan cukup peka terhadap
ketidakadilan.” Artinya kepastian hukum itu dinilai melalui dampak
keadilan yang (seharusnya) dihasilkannya.399 Kinerja penegakan hukum
membenarkan hukum yang tidak bijaksana dan tidak adil. Lihat: Suri Ratnapala, 2009,Jurisprudence, Cambridge, Cambridge University Press, hlm. 163-164.
398 John Rawls, 1999, A Theory of Justice, Harvard University Press., hlm. 56.399 Rawls malahan memberi nilai yang sedemikian tinggi kepada konsistensi sistemik
dari hukum, sehingga hukum seperti itu menurut Rawls bisa menjadi jaminan bagitercapainya keadilan yang substansil. “… where we find formal justice, the rule of law and thehonoring of legitimate expectations, we are likely to find substantive justice as well.” Kita pahambahwa apa yang menjadi keyakinan dari Rawls ini tentunya terbuka untuk pemikiran lebih lanjut,karena kinerja formal dari hukum tidak bebas dari manipulasi yang berasal dari sektor yangbukan hukum, misalnya sektor politik dan ekonomi yang menjadi motivasi dasar bagi Kelsenuntuk mengembangkan ajarannya tentang hukum murni. Berbeda dengan kepastian hukumformal yang diperoleh terutama melalui kinerja yang konsisten, kepastian hukum materialakan terbaca dalam rasa keadilan yang proporsional yang mengemuka manakala perilaku yangmenyimpang dari norma hukum memperoleh penilaian dengan bobot yang berbeda-beda. Lihat
formal dihasilkan oleh konsistensi dalam penerapan cara dan prosedur yang
relatif sama terhadap suatu perilaku yang menyimpang dari norma hukum,
atau seperti yang dikemukakan oleh Rawls “Formal justice is adherence to
principle or as some have said, obedience to system”.400
Dengan asumsi-asumsi bahwa pengertian hukum mencakup hukum
yang “bersih” dari elemen-elemen lain, seperti digagas oleh Hans Kelsen,
maka norma hukum akan ditempatkan dengan ruang yang berisi 2 (dua)
dimensi eksis. Kaidah hukum yang positif itu dianggao berlaku, atau memiliki
validitasnya, karena ia memuat hal yang seharusnya. Ini dibedakan dengan
kenyataan yang terjadi. Jadi sepanjang suatu kaidah dituangkan dalam suatu
hukum yang positif, maka ia dianggap berlaku atau memiliki validitas, terlepas
dari tindakan nyata yang diatur dalam hukum positif tersebut. Di sini Kelsen
menunjukkan bahwa keberadaan suatu kaidah hukum yang positif itu dapat
dilihat dari segi validitas dan efektifitasnya. Keduanya eksis, namun bagi
Kelsen, karena ia berniat dari awal hendak mengeluarkan unsur-unsur bukan
hukum, maka ia tidak menaruh perhatian pada efektifitas kaidah hukum yang
positif.401
Dalam perspetif konstitusional, yang mengandaikan adanya relasi
hukum dengan kekuasaan, memuja legalitas yang dikonfirmasi lewat validitas
dan kemudian abai terhadap efek hukum itu dalam kenyataan, merupakan
sebuah problematik serius. Ia bisa dengan sengaja mencocoki sebagai kaidah
yang dikehendaki oleh konstitusi, akan tetapi bisa jadia ia dengan sengaja
menyingkir dari kehendak tulus untuk memberlakukan gagasan konstitusi
dalam kenyataan. Pada titik ini harus ditolak bahwa legalitas menjadi
prasyarat secara mandiri keberlakuan sebuah rumusan hukum. Pemahaman
Rawls, hlm. 60. Baca juga: Budiono Kusumohamidjojo, 2004, Filsafat Hukum (ProblematikKetertiban yang Adil, Jakarta, Grasindo, hlm. 207-211.
400 Ibid., hlm. 58.401 E. Fernando M. Manullang, 2016. Legisme, Legalitas, dan Kepastian Hukum, Jakarta,
Prenada Media Group, hlm. 145.
semacam ini mengandaikan sebuah keadaan yang terumuskan dalam suatu
rumusan undang-undang dan ia diadakan secara obyektif tanpa campur
tangan pihak manapun, karena ia ditentukan ada oleh si undang-undang itu
sendiri.402 Padahal apa yang dirumuskan dalam sebuah hukum atau undang-
undang, itu melibatkan sebuah struktur kekuasaan yang menentukan sesuatu
itu menjadi bagian dari rumusanhukum atau tidak.403 Penegakan kepastian
hukum itu bertumpu pada 2 (dua) komponen utama yaitu; Pertama, kepastian
dalam orientasi bagi masyarakat (asas kepastian orientasi) bahwa orang
memahami, perilaku yang bagaimana yang diharapkan oleh orang lain
daripadanya, dan respon yang bagaimana yang dapat diharapkannya dari
orang lain bagi perilakunya itu. Kedua, kepastian dalam penerapan hukum
oleh penegak hukum. Asas kepastian realisasi hukum yang memungkinkan
orang untuk mengandalkan diri pada perhitungan bahwa norma-norma yang
berlaku memang dihormati dan dilaksanakan, keputusan-keputusan
Pengadilan sungguh-sungguh dilaksanakan dan ditaati.404
Secara keliru arti dari “proses hukum yang adil” ini, oleh
penegak hukum (polisi dan jaksa) dan pengadilan (hakim), sering diartikan
dengan hanya penerapan secara harfiah hukum acara pidana yang berlaku.
Padahal makna yang seharusnya dipergunakan adalah sebagai sikap batin
penghormatan terhadap hak-hak yan dipunyai warga negara, meskipun ia
adalah pelaku kejahatan. Dalam kaitan inipun kita selalu diingatkan, bahwa
meskipun kita selalu dapat menjaga dan mendisiplinkan diri untuk tidak
melanggar hukum, namun kita tidak dapat menjamin diri kita bebas dari risiko
untuk menjadi tersangka menurut keyakinan penegak hukum semata-
402 Ibid., hlm. 144.403 Ibid.404 Abdul Latif, “Jaminan UUD 1945 Dalam Proses Hukum Yang Adil”, Jurnal
Konstitusi, Vol. 7 No. 1, Februari 2010, hlm. 55.
mata.405 Jaminan konstitusi atau UUD 1945 (constitutional guaranty) bahwa
sistem peradilan kita berpegang teguh pada asas proses hukum yang adil
menjadi sangat penting, apabila kita mau menyadari bahwa setelah
seorang menjadi “tersangka”, status hukumnya sebagai warga negara
segera menjadi berubah. Seorang tersangka akan selalu mengalami berbagai
pembatasan dalam kebebasannya dan sebagai individu warga negara sering
pula mengalami degradasi secara fisik maupun moral. Hukum hendaknya
mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan
zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat
dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia
penegak hukum itu sendiri.406
Karena itu, faktor-faktor terpenting yang merupakan acuan bagi
suatu kepastian hukum bagi masyarakat adalah pertama, norma-norma yang
jelas menetapkan apa yang diharuskan dan apa yang dilarang. Sebagai
perangkat hukum cenderung dapat ditafsirkan berlainan baik di antara para
penegak hukum itu sendiri maupun di antara pihak yang dikenai sanksi
menurut selera dan keuntungannya sendiri. Kedua, transparansi hukum yang
menghindarkan masyarakat dari kebingungan normatif. Konsistensi dalam
tindakan dan ucapan dari para pejabat negara dan penegak hukum adalah
bagian yang menentukan dari transparansi hukum. Pertentangan dalam
tindakan dan ucapan di antara mereka akan semakin memperdalam
”kebingungan normatif” dikalangan rakyat, karena di negara mana pun juga,
rakyat memandang (dan acapkali mengingat) ucapan dan perilaku dari para
pejabat negara dan penegak hukum sebagai acuannya. Ketiga,
kesinambungan tertib hukum yang memberi acuan bagi perilaku di masa
akan datang. Jika seorang pejabat negara pada suatu ketika menyatakan
405 Mardjono Reksodiputro, 1993, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan PidanaKumpulan Karangan, Jakarta, hlm. 35-45.
406 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Kompas, loc.cit.
bahwa pemerintah tidak akan melakukan campur tangan dalam proses
hukum, namun dalam kenyataannya kemudian pemerintah melakukan
campur tangan, dia akan menghasilkan ketidakpercayaan rakyat terhadap
kesinambungan tertib hukum.
Penerapan faktor-faktor acuan bagi orientasi kepastian hukum
masyarakat maupun penerapan asas atau prinsip hukum yang berlaku umum
itu harus dilaksanakan berdasarkan 2 (dua) asas atau prinsip keadilan, agar
tidak mencederai rasa keadilan masyarakat. Kedua, asas atau prinsip keadilan
bagi penerapan hukum itu adalah asas atau prinsip daya–laku hukum yang
umum, dan asas atau prinsip kesamaan di hadapan hukum. Prinsip daya
laku hukum yang umum sebagai prinsip keadilan keadilan yang pertama
mensyaratkan, bahwa suatu norma hukum yang diberlakukan sebagai
hukum positif akan menjangkau setiap dan semua orang dalam yurisdiksi
hukum tersebut, tanpa kecuali. Prinsip kesamaan di hadapan hukum sebagai
prinsip keadilan yang kedua mensyaratkan, bahwa semua dan setiap warga
negara berkedudukan sama di hadapan hakim yang harus menerapkan
hukum.
Pada sisi inilah, diperlukan sebuah konfirmasi melalui pelembagaan
tata cara yang memungkinkan untuk meninjau eksistensi sebuah undang-
undang. Dengan tata cara tersebut sangat dimungkinkan untuk menjauhkan
legalitas semata-mata hanya pada keberlakuan sebuah rumusan dalam
undang-undang, atau justru hanya mengkaitkannya dengan campur tangan
kekuasaan saja. Peninjauan eksistensi undang-undang itu harus dilakukan oleh
pengadilan, yang diandaikan sebagai aktor yang jauh dari kapasitas politik dan
melulu berdiri di atas legitimasi koersif kekuasaan.
B. Ide Constitutional Question
Istilah constitutional question bagi kalangan awam barangkali hal
tersebut adalah istilah baru namun tidak halnya bagi penstudi hukum maupun
praktisi atau akademisi hukum, sudah tentu paham dan tidak asing lagi
dengan istilah tersebut. Akan tetapi penulis hanya mencoba menyegarkan
kembali (refresh) dalam memori ketatanegaraan kita, bahwa istilah tersebut
sangat penting untuk dikaji secara mendalam dan komprehensif serta
kebermanfaatannya dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Pengertian constitutional question secara leksikal dapat diartikan
sebagai persoalan konstitusional atau pertanyaan konstitusional.
Mekanisme constitusional question secara maknawi merujuk pada
setiap persoalan yang berkaitan dengan konstitusi yang sifatnya (sangat
luas), dan berada dalam ranah kewenangan pengadilan konstitusi untuk
memutusnya. Secara spesifik pengertian constitutional question itu terkait
dengan mekanisme pengujian konstitusionalitas suatu Undang-Undang, di
mana seorang hakim yang sedang mengadili suatu perkara menilai atau ragu-
ragu akan konstitusionalitas Undang-Undang yang berlaku tersebut. Oleh
sebab itu maka hakim dapat mengajukan pertanyaan konstitusionalnya
kepada MK, dan dalam hal ini MK hanya memutus persoalan
konstitusionalitas UU, bukan memutus kasus, namun selama MK belum
menyatakan putusannya, pemeriksaan terhadap kasus tersebut harus
dihentikan. Demikian secara sederhana dan singkat penulis memahami istilah
tersebut.
Constitutional question dalam arti khusus merujuk pada suatu
mekanisme pengujian konstitusionalitas UU di mana seorang hakim (dari
pengadilan umum) yang sedang mengadili suatu perkara menilai atau ragu-
ragu akan konstitusionalitas UU yang berlaku untuk perkara itu, maka ia
mengajukan "pertanyaan konstitusional" ke MK (mengenai konstitusional-
tidaknya undang-undang ini). Kemudian MK hanya memutus persoalan
konstitusionalitas undang-undang itu dan bukan memutus kasus.
Dalam tradisi Amerika Serikat, seperi tercermin dalam beberapa
yurisprudensi, keragu-raguan konstitusional itu dapat muncul karena problem
konstitusional undang-undang atau karena sama sekali tidak mau
mengkaitkan eksis undang-undang dengan konstitusi.407 Pengadilan
cenderung menghindari untuk memeriksa keragu-raguan konstitusional ini,
karena sejak awal hanya akan membangun saluran untuk memberi jalan bagi
terciptanya konflik antara Kongres dengan pengadilan. Doktrin ini dikenal
sebagai “avoidance cannon.” Manakala pengadilan menyadasri bahwa sebuah
penafsiran undang-undang justru akan menimbulkan keragu-raguan
konstitusional, maka hakim harus menghindari penafsiran tersebut dan segera
memutus penolakan permohonan pengujian. Dalam konteks ini, pengadilan
telah menahan diri (judicial restraint) untuk tidak melampaui pemahaman
tradisional mengenai pengujian konstitusional. Ia dipandang sebagai upaya
menghormati pemisahan kekuasaan yang menjadi inti konstitusi. Sebuah
penafsiran, diwajibkan untuk menghormati prinsip-prinsip tersebut sehingga
pengadilan tidak terjebak ke dalam upaya untuk mencederai landasan
konstitusi yang paling fundamental.
Sebagai a passive instrument government, pengadilan tak boleh
memeriksa masalah hukum tanpa benar-benar ada permohonan para pihak
dalam sebuah sengketa yang bersifat konkrit. Pengadilan, bahkan andaikata
sungguh-sungguh dimohon oleh para pihak, harus menolak untuk membuat
putusan yang bersifat pernyataan atau pendapat. Ini berlaku untuk semua
perkara yang ditangani oleh Mahkamah Agung Federal. Prinsip ini harus
dipegang oleh mahkamah, sekalipun dalam perkara konstitusi, sama sekali
tidak ditemukan jalan keluar untuk direkam dalam sebuah putusan
penyelesaian perkara. Semua keragu-raguan konstitusional adalah wewenang
eksklusif Kongres dan Presiden untuk menyelesaikannya. Sudah barang tentu,
doktrin “avoidance canon” merupakan bentuk lain dari supremasi parlemen.
Bersama-sama doktrin lain seperti “presumption of constitutionality”,
“doctrine of severability”, diperlukan untuk “a decent respect due to the
wisdom, the integrity, and the patriotism of the legislative body."
407 Putusan Perkara Jones vs. United States, 1999.
Ringkasnya seperti diilustrasikan dalam sebuah perkara, “pengadilan sama
sekali tidak memiliki lisensi untuk menulis ulang kata-kata dalam undang-
undang.”408
Akan tetapi belakangan, argumen ini dikritik karena
sesungguhnya, skema konstitusional dalam eksistensi undang-undang sejak
awal melibatkan Kongres dan Presiden.409 Kemudian, mulai muncul sanggahan
seberapa jauh kekuatan lembaga perwakilan untuk membungkam para hakim
dan sudah menjadi keniscayaan, bahwa pengadilan pun turut serta dalam
merumuskan sebuah kebijakan.410 Hakim tidak dapat dipaksa untuk menebak-
nebak kemauan legislator yang sungguh-sungguh tidak pernah dinyatakan
secara tegas.411
Terdapat 2 (dua) kasus yang cukup populer untuk memberikan
gambaran bagaimana keragu-raguan konstitusional undang-undang dibiarkan
tanpa memberikan putusan yang paling memadai. Kasus tersebut adalah
perkara New Labour Relation Board Vs. Catholic Bishop (1979) dan kasus Kent
Vs. Dulles (1958).
Kasus yang pertama berkaitan dengan undang-undang
perburuhan yang berlaku antara 1935-1974, yang mana dipersoalkan
konstitusionalitasnya karena melarang para pekerja di lingkungan organisasi
keagamaan untuk membetuk serikat pekerja. Hakim Agung Brenann bersama-
sama 4 orang hakim agung lain meyakini, dalam posisi memberikan pendapat
yang berbeda, bahwa undang-undang dimaksud tidak bermaksud menihilkan
para pekerja di lingkungan organisasi keagamaan. Dari penafsiran historis,
Brenann meyakini bahwa terdapat keinginan anggota Kongres untuk
408 United States Vs. Albertini (1985).409 William K. Kelly, “Avoiding Constitutional Question As A Tree Branch Problems”,
Cornell Law Review, Vol. 86, 2001, hlm. 834.410 William N. Eskridge,Jr., “Spinning Legislative Supremacy”, Georgetown Law Journal,
Vol. 78, 1989, hlm. 322.411 Daniel A Farber, “Statutory Interpretation and Legislative Supremacy”, Georgetown
Law Journal, Vol. 78, 1989, hlm. 292-293.
menihilkan para pekerja tersebut, namun pada saat pengesahan undang-
undang nampak bahwa aspirasi itu tidak menjadi norma. Oleh sebab itu,
pengadilan harus melakukan rekonstruksi ulang secara fair, terhadap
ketentuan undang-undang tersebut. Rekonstruksi itu diperlukan guna
menghindari keragu-raguan konstitusional, dan apabila dilakukan penafsiran
secara ekstensif, bahwa larangan membentuk serikat pekerja berlaku pula
bagi organisasi keagamaan, maka hal itu bertentangan dengan konstitusi.
Oleh sebab itu, diperlukan konfirmasi dari Kongres mengenai makna
ketentuan undang-undang tersebut. Pengadilan kemudian menyimpulkan
bahwa karena larangan itu tidak tegas-tegas diatur dalam ketentuan undang-
undang, maka badan perburuhan dilarang mengatur ketanegakerjaan di
lingkungan organisasi keagamaan.
Kasus Kent Vs. Dulles, mungkin termasuk kasus yang paling
termuka soal keragu-raguan konstitusional tersebut. Mahkamah dalam kasus
ini bersikukuh, bahwa karena tidak diatur secara tegas, maka Menteri Luar
Negeri tidak boleh menolak permohonan paspor oleh aktivis partai komunis
dan para warganegara dari negara dengan ideologi komunis. Karena
pembatasan itu tidak terang diatur dalam undang-undang, maka Mahkamah
pun tidak bisa mengeluarkan putusan untuk menghasilkan norma pelarangan
tersebut.
Pemahaman Mahkamah didasarkan kepada sejarah pembentukan
undang-undang dan kewenangan Kementerian Luar Negeri untuk
mengeluarkan dan menolak mengeluarkan sebuah paspor. Kewenangan
kementerian pertama kali diperoleh pada tahun 1926, di mana lembaga ini
berwenang untuk menerbitkan paspor dengan memperhatikan peraturan-
peraturan yang ditetapkan oleh Presiden. Namun, pada tahun 1952, timbul
aturan mengenai kewajiban memperoleh paspor bagi setiap orang yang
hendak melakukan perjalanan ke luar negeri. Sebelum perubahan undang-
undang pada tahun 1952, Kementerian Luar Negeri dalam memiliki
kewenangan menerbitkan paspor yang diajukan secara sukarela, tanpa ada
delegasi untuk mengatur pembatasan-pembatasan dokumen perjalanan
tersebut. Akan tetapi sesudah 1952, Kementerian Luar Negeri membuat
aturan yang berisi antara lain larangan penerbitkan paspor bagi aktivis partai
komunis atau negara-negara komunis. Dengan kenyataan itu, Mahkamah
lantas menyimpulkan bahwa karena tidak tercantum dalam undang-undang,
maka pembatasan kewenangan penerbitan parpor tidak dimiliki oleh
Kementerian. Dengan demikian, Mahkamah mengasumsikan bahwa Kongres
sejak awal tidak pernah memberikan delegasi untuk pengaturan tata cara
penerbitan dan/atau penolakan paspor. Dari kedua kasus itu, penolakan
Mahkamah untuk menjawab keragu-raguan konstitusional disertai dengan
keyakinan bahwa apa yang dirumuskan sebagai aturan oleh Kongres adalah
bahasa yang paling baik dan tidak dapat ditafsirkan lebih lanjut.
Pada sisi lain, mekanisme peradilan konstitusi (constitusional
adjudication) itu sendiri merupakan hal baru yang diadopsi ke dalam sistem
konstitusional negara kita dengan dibentuknya pengadilan konstitusi.
Peradilan konstitusi dimaksudkan untuk memastikan bahwa UUD benar-benar
dijalankan dan ditegakkan sebagai pedoman dalam kegiatan penyelenggaraan
negara. Pada hakikatnya konstitusi sebagai hukum tertinggi yang mengatur
penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi
dari konstitusi adalah melindungi hak asasi manusia yang dijamin dalam
konstitusi, sehingga menjadi hak konstitusional warga negara. Sebagai the
guardian of constitution Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai pengawal
dan sekaligus penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution), yang
memiliki 4 (empat) kewenangan dan satu kewajiban. Oleh sebab itu maka, MK
harus dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya dengan baik.
Kewenangan konstitusional MK merupakan perwujudan dari
prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga-lembaga
negara dalam kedudukan setara, sehingga dapat saling mengawasi atau
kontrol dalam praktek penyelenggaraan negara. Keberadaan MK jelas
merupakan langkah progresif untuk mengoreksi kinerja antar lembaga
negara khususnya dalam proses pendewasaan politik berbangsa dan
bernegara. Diakui atau tidak banyak hal yang sudah dilakukan oleh lembaga
negara ini (MK), sebagai institusi hukum yang dapat dipercaya dan terhormat
(reliable and honoured court) di Indonesia.
Sejumlah negara sudah menerapkan ketentuan ini seperti Jerman,
Austria, Belgia, Italia, Luxemburg dan Spanyol. Jerman memiliki sistem
pelaksanaan MK yang paling menonjol dan berpengaruh bukan saja di
kawasan benua Eropa namun juga Asia, Amerika Latin, dan Afrika.
Kewenangan MK Jerman untuk mengadili perkara constitutional question
diatur dalam konstitusi Federal Jerman (Grundgesetz) dan Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman
(Bundesverfassungsgerichtsgesetz). Bahkan, MK Jerman menurutnya memiliki
kewenangan yang luas, mencakup pelaksanaan dan penafsiran Grungesetz
dan kewenangan eksklusif terhadap semua proses peradilan yang secara
langsung tercakup dalam ketaatan terhadap konstitusi (Grungesetz). Di negeri
ini, persoalan Constitutional Question akan muncul dalam tiga kondisi. Yang
pertama jika suatu pengadilan menganggap bahwa suatu UU tidak
konstitusional dengan konstitusi Negara bagian (Land) ataupun konstitusi
Federal (Bundesgesetz). Yang kedua jika suatu pengadilan menganggap bahwa
suatu UU Negara bagian tidak sesuai dengan UU Federal dan yang ketiga
suatu pengadilan selama berlangsungnya persidangan dalam suatu kasus
merasa ragu apakah suatu ketentuan hukum internasional merupakan bagian
dari UU Federal dan apakah ketentuan hukum internasional itu secara
langsung melahirkan hak dan kewajiban pada individu.
Dalam beberapa literatur istilah constitutional question
mengandung dua pengertian, umum dan khusus. Dalam pengertian yang
umum, constitutional question adalah istilah yang merujuk pada setiap
persoalan yang berkaitan dengan konstitusi dan yang lazimnya merupakan
kewenangan mahkamah konstitusi untuk memutusnya.412 Sedangkan dalam
arti khusus, constitutional question adalah merujuk pada suatu mekanisme
pengujian konstitusionalitas undang-undang di mana seorang hakim (dari
regular courts) yang sedang mengadili suatu perkara menilai atau ragu-
ragu akan konstitusionalitas undang-undang yang berlaku untuk perkara itu
maka ia mengajukan “pertanyaan konstitusional” ke MK (mengenai
konstisional-tidaknya undang-undang itu). Selanjutnya, MK hanya memutus
persoalan konstitusionalitas undang-undang itu, jadi bukan memutus kasus itu
sendiri, namu selama MK belum menyatakan putusannya, pemeriksaan
terhadap kasus tersebut dihentikan.413
Secara historis kelahiran constitutional question tidak terlepas dari
sejarah kelahiran mahkamah konstitusi. Sebagaimana diketahui, ide
membentuk peradilan konstitusi mula pertama digagas oleh Hans Kelsen
setelah berakhirnya Perang Dunia I, yang antara lain diikuti oleh runtuhnya
Kekaisaran Austro-Hungaria dan berdirinya Republik Austria. Di republik yang
baru terbentuk ini Hans Kelsen diangkat menjadi Chancelery yang bertugas
menyusun konstitusi dalam rangka pembaruan konstitusi Austria (1919-1920).
Di sinilah Kelsen mengemukakan gagasannya tentang perlunya Austria
memiliki peradilan konstitusi (yang terpisah dari sistem peradilan biasa) yang
fungsinya adalah untuk menegakkan konstitusi dengan kewenangan utama
membatalkan undang-undang jika undang-undang itu bertentangan dengan
412 I Dewa Gede Palguna, “Constitusional Question: Latar Belakang dan Praktik DiNegara Lain serta Kemungkinan Penerapannya di Indoinesia”, Makalah Pada Seminar NasionalMekanisme Constitutional Question Sebagai Sarana Menjamin Supremasi Konstitusi yangdiselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Konstitusi (PPK) Fakultas Hukum Universitas Brawijayabekerjasama dengan Setjen dan Kepaniteraan MK RI di Malang, 21 November 2009. hlm. 1-4.
413 Ibid.
konstitusi. Kewenangan ini yang kemudian dikenal sebagai pengujian
konstitusional (constitutional review).414
Oleh karena itu, MK disebut juga sebagai Peradilan Konstitusi
(constitutional judiciary) yaitu organ yang memiliki otoritas untuk
menyelesaikan persengketaan hukum (legal dispute) berdasarkan
konstitusi.415 Peradilan ini dapat memfasilitasi setiap individu atau kelompok
masyarakat untuk mempertanyakan kelayakan suatu kebijakan negara
(eksekutif dan legeslatif), yang biasanya dituangkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Secara konseptual peradilan konstitusi ini mengandung
2 (dua) fungsi strategis yaitu; (i) untuk melindungi hak-hak fundamental
masyarakat, dan (ii) untuk mengawasi aktifitas legeslatif pemerintahan.
Apabila hal itu dilaksanakan secara berkesinambungan maka akan
mencapai titik kulminasi yang disebut sebagai keadilan konstitusional
(constitutional justice).416
Dengan demikian, MK merupakan satu-satunya lembaga yang
paling berwenang untuk menjaga dan menegakkan konstitusi. MK adalah
mekanisme formal kenegaraan yang dibentuk untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konstitusi. MK dibentuk dan
diadakan lewat konstitusi, dan dasar bertindak atau mengambil keputusan
adalah konstitusi. Namun demikian bukan berarti MK lebih tinggi dari
lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk lebih tinggi dari MA. Pendekatan
dan pandangan yang bersifat struktural-hierarkhis seperti itu, selayaknya
ditinggalkan dalam membaca sistem ketatanegaraan pascaamandemen UUD
1945. Jadi, posisi atau kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan
414 Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional, Jakarta, PenerbitKonstitusi Press, hlm. 1-47.
415 Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tentang AdjudikasiKonstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta-Pradnya Paramita,hlm. 75.
416 Ibid., hlm. 82-85.
Indonesia perlu dilihat berdasarkan fungsi dan kewenangannya memperkuat
cheks and balances di dalam kerangka negara hukum.
Dari sisi praktik pengujian Undang-Undang yang pernah
dilakukan oleh MK, ada alasan yang cukup kuat untuk menerapkan
constitusional question terlepas bahwa penerapan tersebut adalah sebuah
perluasan atau penambahan kewenangan MK. Realitanya sudah cukup banyak
keluh kesah atau surat pengaduan dari warga masyarakat (baik
peorangan, atau kolektif) yang masuk ke MK. Padahal berbagai persoalan
tersebut tidak atau belum termasuk pada ranah kewenangan MK baik itu
constitusional question atau constitusional complaint. Sebagai contoh
perkara pengujian Undang-Undang dengan alasan kerugian konstitusional
yang diderita oleh pemohon karena sudah di adili dan bahkan dihukum
berdasarkan ketentuan yang diragukan konstitusionalitasnya. Menurut
Harjono, dapat dikatakan kewenangan uji konstitusionalitas tersebut
merupakan kewenangan yang utama, sedangkan kewenangan lainnya
bersifat asesoris atau pelengkap.417
Perkara pengujian KUHP yaitu Perkara Nomor 013-022/PUU-
IV/2006 yang diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandopatan Lubis, Perkara
Nomor 6/PUU-V/2007 yang diajukan oleh Panji Utomo, Perkara Nomor
7/PUU-VII/2009 yang diajukan oleh Rizal Ramly. Perkara Nomor 14/PUU-
VI/2008 yang diajukan oleh Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis. Semua
pemohon dalam perkara-perkara tersebut telah diadili dan divonis bahkan
telah menjalani hukuman sebelum mengajukan permohonan ke MK.
Beberapa perkara yang mendapat perhatian luas yang diperiksa
dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi antara lain: Perkara Nomor 016/PUU-
I/2003 (permohonan pembatalan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah
Agung), Perkara Nomor 061/PUU-II/2004 (permohonan pembatalan dua
Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung yang saling bertentangan),
417 Harjono, op.cit., hlm. 25-27.
Perkara Nomor 004/PUU-III/2005 (dugaan adanya unsur penyuapan dalam
putusan Mahkamah Agung), Perkara Nomor 013/PUU-III/2005 (penyimpangan
penerapan norma undang-undang), Perkara Nomor 018/PUU-III/2005
(penafsiran yang keliru dalam penerapan undang-undang), Perkara Nomor
025/PUU-III/2006 (dua putusan Mahkamah Agung yang saling bertentangan),
Perkara Nomor 007/PUU-IV/2006 (ketidakpastian penanganan perkara di
peradilan umum dan dugaan adanya unsur penyuapan), Perkara Nomor
030/PUU-IV/2006 (kewenangan mengeluarkan izin penyiaran), Perkara Nomor
20/PUU-V/2007 (pembuatan kontrak kerjasama pertambangan yang tidak
melibatkan persetujuan DPR), Perkara Nomor 026/PUU-V/2007 (sengketa
tentang pemenang pemilihan kepala daerah), Perkara Nomor 1/SKLN-VI/2008
(laporan temuan pelanggaran pemilihan kepala daerah yang tidak
ditindaklanjuti), Perkara Nomor 133/PUU- VII/2009 (kriminalisasi pimpinan
KPK), dan lain-lain.
Selain itu, constitutional question juga disinggung dalam putusan
perkara Nomor 14/PUU-VI/2008. Dalam putusan tersebut, Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa apa yang dialami Pemohon bukan merupakan
persoalan norma, melainkan penerapan hukum yang sesungguhnya dapat
diwadahi dalam mekanisme constitutional question yang saat ini tidak dimiliki
MK. Perkara tersebut adalah uji materi Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2),
Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Contoh lain yang serupa menggenai praktek penerapan
constitusional question yaitu; seorang warga negara dapat
mempertanyakan ke MK soal adanya benturan nilai dan ruang lingkup makna
antara Pasal 28E ayat (1) dan (2) dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang
mengatakan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.” Benturan nilai antar Pasal dalam UUD
1945 tersebut dapat dipertanyakan karena efeknya dapat meyebabkan
kesalahan penafsiran pada setiap individu masyarakat. Bahwa setiap
individu hanya percaya terhadap adanya Tuhan saja, akan tetapi mereka juga
bisa ingkar terhadap syariat/ritual formal yang dimiliki masing-masing agama
yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Atau sebaliknya setiap warga
dimungkinkan dalam satu kurun waktu memeluk dua agama sekaligus untuk
kepentingan tertentu (melakukan murtad pindah agama seenaknya
sendiri). Hal ini berbeda jauh dengan kewajiban negara untuk melindungi
pelaksanaan kehidupan keber-agama-an sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaannya (Pasal 29 UUD 1945).
Persoalan constitutional question yang lain seperti tertuang
pada Pasal 18 ayat 4 dengan Pasal 22E17 UUD 1945 yang debatebel.
Ketentuan tentang pemilihan umum diatur lebih lanjut dalam Pasal 22E ayat
(1) sampai dengan ayat (6) UUD 1945, sedangkan ketentuan mengenai
pemilihan kepala daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Pengaturan
pemilihan kepala daerah bagian (rezim) dari pemilihan umum hanya
diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 22 Tahun 2007. Perihal kewenangan MK
dalam memutus sengketa pemilihan kepala daerah yang hanya diatur melalui
UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah khususnya Pasal 236C, juga patut untuk dipertanyakan
konstitusionalitasnya.
Keseluran contoh tersebut merupakan case study dari
qonstitusional question, di mana setiap individu masyarakat atau badan
hukum dapat mengajukan pertanyaan konstitusionalnya kepada MK sebagai
lembaga yang berkompeten untuk menafsirkan hal tersebut.
Realitas yang lain dari penerapan constitusioanal quetion yang
sebenarnya sudah dilaksanakan misalnya adalah (i) seseorang yang divonis
melalui putusan PK, tetapi putusan tersebut salah dalam penerapan
hukumnya dan jika terpidana itu memiliki novum (bukti-bukti baru),
perkaranya bisa dipertanyakan atau diajukan kembali melalui constitusioanal
question; (ii) pemutaran hasil rekaman atau penyadapan KPK di dalam
persidangan MK; (iii) kasus Amrozi menguji UU yang mengatur tata cara
hukuman mati yang dianggap konstitusional, hakim yang menyidangkan
perkara tersebut terlebih dahulu bertanya ke MK sebelum melanjutkan
pemeriksaan perkaranya.
Dalam hubungan dengan usul untuk mengadopsi mekanisme
pengaduan konstitusional secara terbatas, ada 2 (dua) hal yang harus
dicermati. Pertama, meskipun substansi permohonan itu sesungguhnya
adalah pengaduan konstitusional, permohonan itu sendiri dikonstruksikan
sebagai permohonan pengujian undang-undang. Artinya, sama sekali tidak
menambah kewenangan MK yang telah ditentukan secara limitatif oleh
UUD 1945. Kedua, permohonan itu hanya dapat dilakukan oleh pihak
yang secara faktual telah menderita kerugian hak konstitusional yang
disebabkan oleh kekeliruan penafsiran dan penerapan undang-undang. Jadi,
berbeda dengan praktik yang selama ini berlangsung di MK, di mana bukan
hanya pihak yang secara faktual telah menderita kerugian hak konstitusional
tetapi pihak yang (menurut penalaran yang wajar) potensial menderita
kerugian konstitusional oleh berlakunya suatu undang-undang pun telah
dianggap cukup memenuhi syarat untuk bisa diterima legal standing-nya
sebagai pemohon, dalam mekanisme pengaduan konstitusional yang
diusulkan ini, kerugian faktual merupakan keharusan untuk memenuhi syarat
legal standing.
Memperhatikan permasalahan seperti diuraikan di atas, ada
keuntungan apabila menerapkan mekanisme constitutional question, antara
lain yaitu: (i) dapat dihindari adanya putusan hakim yang bertentangan
dengan konstitusi dan melanggar hak konstitusional warga negara; (ii) ruang
pengujian terhadap peraturan perundang-undangan semakin luas, apalagi
hakim pengadilan adalah profesi yang mempunyai kapasitas lebih untuk
mengetahui adanya kemungkinan pertentangan norma; dan (iii) dapat
dihindari adanya pelanggaran hak konstitusional yang tidak perlu karena
dengan adanya pengajuan constitutional question proses pengadilan yang
sedang berlangsung di pengadilan lain yang meragukan konstitusionalitas
suatu norma undang-undang, dihentikan sementara sampai adanya putusan
MK.
Pengakuan dan penghargaan terhadap hak-hak konstitusional
warga negara merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa di tawar, serta
diatur dan ditegakkan dalam konstitusi oleh setiap negara di dunia, terlebih
bagi negara yang menjadikan demokrasi sebagai cita-cita dan tujuan yang
ingin di capai. Tak terkecuali dengan negara Indonesia, yang masih
mendambakan demokrasi sebagai sebuah sistem yang perlu dan harus terus
di kawal demi terwujudnya pemerintahan yang diidealkan. Salah satunya
adalah dengan gagasan mengadopsi mekanisme constitusional question
kedalam sistem peradilan konstitusi (constitusional adjudication). Urgensi
penerapan mekanisme constitusional question di Indonesia merupakan wujud
konkrit dari upaya penghormatan dan perlindungan maksimum terhadap hak-
hak konstitusional warga negara, selain itu adalah sebagai salah satu solusi
alternatif dalam memulihkan citra dan wajah penegakan hukum yang
selama ini sudah tercabik-cabik oleh keserakahan sistem yang sengaja
“dikondisikan”. Sudah saatnya kedaulatan itu dikembalikan kepada rakyat
dan bukan kedaulatan yang utopis. Bermula dari sebuah gagasan yang
sangat penting untuk diperdebatkan kebermanfaatannya tersebut, persoalan
constitusional question merupkan dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan dalam konteks penerapannya.
C. Gagasan Constitutional Complaint
Constitutional complaint adalah salah satu upaya hukum untuk
menjamin tidak dilanggarnya hak konstitusional warga negara oleh seluruh
kebijakan pemerintah maupun putusan peradilan. Di berbagai negara,
constitutional complaint menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah
Konstitusi (MK). Namun, kewenangan consti- tutional complaint masih
belum dimiliki oleh MK di Indonesia.
Seiring dengan menguatnya kesadaran akan hak konstitutional
masyarakat, gagasan constitutional complaint kini mulai diusung sebagai
salah satu alternatif perlindungan hak asasi manusia. Meskipun belum
populer di kalangan masyarakat umum, constitutional complaint kini tengah
menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi serta praktisi hukum
tata negara untuk melihat kemungkinannya diterapkan di Indonesia.
Pan Mohammad Faiz, S.H. lebih spesifik menjelaskan
constitusional complaint. Dalam Jurnal hukum yang berjudul Menabur Benih
Constitusional Complaint, Faiz berpendapat, bahwa constitusional complaint
sangat dimungkinkan menjadi kewenangan MK di Indonesia, yang sangat
disayangkan saat ini kewenangan tersebut belum bisa diberikan kepada MK
selaku lembaga yang dapat menampung dan menyalurkan keluh kesah
(personal grievance) atau pengaduan konstitusional sebagai upaya hukum
yang luar biasa dalam mempertahankan hak-hak konstitusional bagi setiap
individu warga negara. Dalam tulisannya menyatakan konstitusi harus
diutamakan, dan maksud atau kehendak rakyat harus lebih utama dari pada
wakil-wakilnya sehingga dapat menjadikan konstitusi yang selalu hidup
(living constitution).
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Abdul Latif. Dalam
tulisannya tersebut, penulis menyoroti fungsi Mahkamah Konstitusi yang
belum mampu mewujudkan negara hukum yang demokratis yang salah satu
kendalanya adalah sistem pembatasan subtansi undang-undang yang boleh
diuji oleh MK, yaitu tidak berwenangnya menilai efektif tidaknya sebuah
undang-undang dan juga tidak berwenangnya menilai maksud dan tujuan
pembentukan UU, karena hal itu menjadi kopetensi pembentuk UU.
Sehingga Latif mengusulkan Pengaduan konstitusional (constitutional
complaint) sebagai alternatif salah satu pemecahan masalah belum
tercapainya fungsi Mahkamah Konstitusi dalam mewujudkan negara hukum
demokrasi.418
Vino Devanta Anjas Krisdanar mengeksplorasi wacana
constitutional complaint terkait masalah Ahmadiyah. Dalam tulisannya
penulis menyatakan, bahwa constitutional complaint sangat berfungsi dalam
menjaga hak konstitusi masyarakat yang salah satu hak konstitusi tersebut
adalah hak kebebasan beragama.419
Kebutuhan akan constitutional complaint menjadi sangat nyata
disebabkan adanya sejumlah kebijakan lembaga negara yang tidak memiliki
salurah hukum apabila hendak diuji. Salah satu contohnya adalah Surat
Keputusan Bersama (SKB) yang tidak dapat diujikan baik melalui Mahkamah
Agung (MA) maupun MK. Pasalnya, SKB tidak masuk dalam kualifikasi
peraturan di bawah undang-undang yang dapat diuji ke MA serta tidak
sederajat dengan undang-undang (UU) yang dapat diuji ke MK.
Constitutional complaint atau yang beberapa ahli
menerjemahkannya sebagai Pengaduan Konstitusional adalah pengaduan
atau gugatan yang diajukan oleh perorangan (warga negara) ke pengadilan,
dalam hal ini mahkamah konstitusi, terhadap suatu perbuatan atau kelalaian
yang dilakukan oleh suatu lembaga atau otoritas publik (public
institution/public authority) yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak
dasar (basic rights) orang yang bersangkutan. Pada umumnya, constitutional
complaint baru dapat diterima (admissible) apabila semua upaya hukum
yang tersedia bagi penyelesaian persoalan tersebut telah dilalui (exhausted).
418 Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi Upaya Mewujudkan NegaraHukum Demokrasi, Yogyakarta, Penerbit Kreasi Total Media.
419 Vino Devanta Anjas Krisdanar, “Menggagas Constitutional Complaint dalamMemproteksi Hak Konstitusional Masyarakat Mengenai Kehidupan dan Kebebasan Beragama diIndonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 3, Juni 2010, hlm.185-205.
Constitutional complaint adalah pengajuan perkara ke Mahkamah
Konstitusi atas pelanggaran hak konstitusional yang tidak ada
instrument hukum atasnya untuk memperkarakannya atau tidak tersedia
lagi atasnya jalur penyelesaian hukum (peradilan). Perkara yang bisa
dilakukan constitutional complaint yaitu kebijakan pemerintah, peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang yang langsung melanggar
isi konstitusi, tetapi tidak secara jelas melanggar peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi di bawah UUD, dan putusan pengadilan yang
melanggar hak konstitusi padahal sudah mempunyai kekuatah hukum yang
tetap dan tidak dapat dilawan lagi dengan upaya hukum ke pengadilan
yang lebih tinggi, misalnya adanya putusan kasasi atau herziening
(peninjauan kembali) dari MA yang ternyata merugikan hak konstitusional
seseorang.420
Constitutional complaint berfungsi untuk melindungi hak
individual seseorang yang telah dijamin oleh konstitusi di mana pada saat
yang sama juga merupakan upaya untuk menegakkan konstitusi sebagai
bagian dari aturan hukum. Biasanya constitutional complaint memiliki 4
(empat) karakteristik umum, yakni, pertama, menyediakan upaya hukum
atas pelanggaran dari hak-hak konstitusional. Kedua, hanya memainkan
peranan dalam perkara yang berhubungan dengan konstitusi dan bukan
mengenai perkara hukum lainnya yang mungkin berkaitan dengan kasus
tersebut. Ketiga, hanya bisa diajukan oleh orang yang telah secara langsung
dirugikan dengan berlakunya peraturan yang berlaku. Keempat, pengadilan
yang menangani constitutional complaint memiliki kewenangan untuk
membatalkan keberlakuan kebijakan atau peraturan yang dianggap tidak
konstitutional.
420 Mahfud MD, 2011, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta, Rajawali,hlm.287.
Salah satu negara yang terkenal dengan praktik pengujian
constitutional complaint adalah negara Jerman. Tercatat, dalam kurun waktu
dari tahun 1951 hingga tahun 2005, terdapat 157.233 permohonan yang
didaftarkan ke Federal Constitutional Court. Sebanyak 151.424 masuk dalam
kategori constitutional complaint, namun hanya 2,5% dari permohonan atau
sekitar 3.699 permohonan yang berhasil dikabulkan.
Jerman memang merupakan negara yang kental dengan praktik
pengujian konstitutional yang sangat dinamis di dunia. Basic Law Jerman
tahun 1949 memberikan kewenangan yang sangat besar kepada Mahkamah
Konstitusi Republik Federal Jerman (Bundesverfassungsgericht).
Kewenangan tersebut lebih detail tercantum dalam Pasal 93 Basic Law
Tahun 1949 antara lain, pertama, Constitutional Review, yang digunakan
untuk menyelesaikan perselisihan sengketa kewenangan antara Pemerintah
Federasi dengan negara bagian (federal states) atau perselisihan yang
melibatkan organ-organ tinggi dalam pemerintah federal saja. Kedua,
Judicial Review, yang digunakan ketika MK melaksanakan pengujian norma
hukum secara konkrit (concrete norm control), atau pada saat organ tersebut
melakukan pengujian UU secara umum (abstract norm control). Ketiga,
Constitutional Complaint, di mana hak mengajukan petisi yang dimiliki
secara perorangan ataupun kelompok, ketika pemohon mendalilkan bahwa
hak konstitusional yang bersangkutan, seperti yang tercantum dalam Basic
Law tahun 1949 telah dilanggar oleh aneka produk hukum atau putusan
peradilan umum (ordinary judges). Keempat, menyelesaikan sengketa hasil
pemilihan umum, seperti ditentukan dalam Pasal 41 II Basic Law.
Bacis Law tahun 1949 juga mengatur bahwa constitutional
complaint hanya dapat dilakukan dengan beberapa syarat yang mampu
mengendalikan bahwa kebijakan lembaga publik telah mencederai hak
konstitusional yang telah dijamin oleh Konstitusi. Berdasarkan Article 23(1)
Bagian II Basic Law Jerman, setidaknya gugatan atau permohonan
constitutional complaint harus setidaknya mencakup hal berikut, pertama,
dalam gugatan tersebut harus secara jelas menyatakan kebijakan/keputusan
berbentuk putusan pengadilan, kebijakan administratif, hukum, dan
sebagainya yang dianggap telah merugikan dan juga harus disertai dengan
nomor putusan, nomor peraturan pemerintah dengan tanggal
pemberlakuannya hingga saat berlaku. Kedua, dalam gugatan harus secara
jelas menerangkan hak konstitusional yang telah dilanggar dengan
berlakunya sebuah peraturan atau putusan. Ketiga, gugatan harus secara
gamblang menjelaskan bagaimana peraturan tersebut telah atau dapat
memberikan kerugian konstitusional yang dijamin oleh konstitusi.
Praktik constitutional complaint juga diadopsi di Korea Selatan.
Hingga 30 September 2009, MK Korea Selatan telah menerima 17.826 kasus
dan 17.154 kasus di antaranya sebanyak adalah permohonan constitutional
complaint. Kewenangan MK Korea Selatan untuk mengadili perkara
constitutional complaint adalah sebuah hal baru dalam proses litigasi
konstitusi di Korea Selatan. Namun menurut sejarah, konsep ini telah hadir
dalam kebudayaan Dinasti Chosun Korea sejak A.D 1392- A.D 1910. Hal ini
dikenal sebagai tradisi “Shinmoonko”, seseorang yang hendak memberikan
petisi langsung kepada Raja, akan memukul sebuah drum besar bernama
“Shinmoonko”.
Kewenangan MK Korea untuk mengadili perkara constitutional
complaint diatur dalam Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi Korea (Constitutional Court Act). Petisi perorangan ini dapat
dilakukan oleh setiap warga negara yang haknya telah dilanggar oleh UU
(non-exercise) dan juga tindakan langsung aparatur negara (exercise).
Namun, ada batas waktu untuk mengajukan constitutional
complaint di Korea Hal tersebut harus diajukan dalam jangka waktu 90 hari
sejak kerugian konstitusional ditemukan atau setahun ketika akibat kerugian
tersebut terjadi. MK Korea juga hanya dapat menerima constitutional
complaint ini setelah yang bersangkutan selesai menempuh upaya hukum
biasa guna memperoleh haknya (remedies). Apabila perkara tersebut telah
mendapatkan putusan pengadilan biasa maka hanya dapat diajukan ke MK
dalam jangka waktu 90 sejak putusan diterima.
Hal yang menarik dari kewenangan yang diberikan kepada MK
Korea adalah bahwa selain putusan peradilan umum yang dapat diuji di MK,
putusan peradilan militer juga dapat diuji melalui MK. Adapun Pasal 41 ayat
(1) menentukan bahwa putusan dari MK yang menyatakan bahwa sebuah
UU atau peraturan adalah inkonstitusional maka akan sekaligus mengikat
peradilan umum dan lembaga negara lain maupun pemerintah lokal.
Di Indonesia, Pengujian konstitutional yang ditawarkan oleh Pasal
24C UUD 1945 baru sebatas pengujian terhadap UUD 1945. Seorang
maupun kelompok warga negara dapat mengajukan permohonan pengujian
undang-undang apabila dengan berlakunya sebuah pasal atau bagian dalam
UU bertentangan dengan UUD 1945. Tercatat, sejak tahun 2003 berdiri
hingga 25 Oktober 2009, MK telah menerima permohonan PUU sebanyak
300 perkara. Dari 300 perkara tersebut, sebanyak 55 permohonan
dikabulkan dan sisanya ditolak, tidak diterima atau ditarik kembali oleh
pemohon yang bersangkutan.
Pengertian dari dikabulkannya 55 permohonan adalah bahwa
putusan MK telah menyatakan bahwa berlakunya sebuah pasal dalam UU
maupun keseluruhan UU yang diputuskan oleh legislatif bertentangan
dengan UUD 1945. Akibat hukum yang ditimbulkan adalah tidak berlakunya
UU atau pasal dalam UU tersebut secara otomatis.
Salah satu pengujian UU yang dikabulkan permohonannya adalah
perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mengenai Pengujian Undang-
Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Dampak dari
dikabulkannya permohonan pemohon adalah pernyataan tidak berlaku
mengikat keseluruhan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
Pemohon yang merupakan gabungan LSM Indonesia merasa hak
kosntitusional dengan berlakunya UU No. 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan. Pemohon beranggapan bahwa UU tersebut yang
memperbolehkan privatisasi listrik adalah bertentangan dengan Pasal 28 dan
Pasal 33 UUD 1945 yang berkenaan dengan hak asasi dan perekonomian
rakyat. Setelah persidangan lebih dari satu tahun kemudian MK
memutuskan mengabulkan permohonan dan menyatakan bahwa UU Nomor
20 Tahun 2002 bertentangan dengan UUD 1945. Melalui contoh di atas,
dapat dicermati bahwa MK memberikan tafsir atas Pasal 33 UUD 1945
sebagai keharusan negara untuk menguasai segala sumber ekonomi
masyarakat juga mencakup pada penguasaan terhadap listrik. Oleh karena
itu, amanat konstitusi untuk menguasai SDA dan sumber daya ekonomi yang
menyangkut hajat hidup orang banyak tidak dapat diwakili oleh swasta
melalui program privatisasi.
Sayangnya, MK memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian
konstitusionalitas hanya pada UU saja. Masih banyak kebijakan otoritas
publik lainnya yang tidak dapat dilakukan uji konstitusionalitasnya meskipun
berpotensi melanggar hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945.
Belajar dari praktik dan kewenangan yang dimiliki oleh MK Jerman dan Korea
Selatan maka menjadi penting untuk menambahkan satu kewenangan ke
MK Indonesia bernama constitutional complaint. Melalui sejumlah contoh
yang diberikan, constitutional complaint dapat memberikan peluang untuk
pengujian konstitutional mulai dari putusan pengadilan tentang ekstradisi,
perjanjian bilateral mengenai perdagangan hingga penerapan sebuah
konvensi di Indonesia.
Pada akhirnya, melalui constitutional complaint, tidak akan ada
kebijakan pemerintah (otoritas publik) maupun peradilan yang dapat
terbebas dari kewajiban mewujudkan cita-cita konstitusi. Constitutional
complaint memungkinkan bagi setiap warga negara untuk memberikan
pengawasan maksimal bagi pemerintah maupun lembaga peradilan atas hak
konstitutional yang telah dijamin oleh konstitusi sebagai sumber hukum
tertinggi di Indonesia.
Constitutional complaint berpotensi untuk menjadi kewenangan
dari MK di Indonesia. Hal ini dilandaskan pada Pasal 24C UUD 1945 yang
memberikan kewenangan MK untuk melakukan uji konstitusionalitas hanya
pada UU saja. Adapun, kebutuhan untuk melakukan uji terhadap keputusan
atau kebijakan pemerintah lainnya yang besifat abstrak dan umum masih
belum dimungkinkan. Namun, menambahkan kewenangan constitutional
complaint ini mengharuskan adanya amandemen UUD 1945 karena
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
D. Putusan Ultra Petita
Pada dasarnya wewenang pengujian konstitusional sebagai bagian
dari penerapan prinsip pemerintahan yang terbatas. Pembatasan ini terutama
ditujukan terhadap organ kekuasaan pembentuk undang-undang (DPR
bersama Presiden). Berdasarkan penelitian sejarah dan analisa hukum, watak
produk hukum sangat ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya.
Artinya, kelompok dominan (penguasa) dapat membentuk undang-undang
atau peraturan perundang-undangan menurut visi dan sikap politiknya sendiri
yang belum tentu sesuai dengan jiwa konstitusi yang berlaku.421 Pelaksanaan
dari kewenangan ini dilakukan agar konsistensi tindakan bernegara
seperti yang telah disepakati dalam konstitusi dapat dipertahankan. Dengan
demikian, potensi ketidaksesuaian (diskrepansi) antara preferensi atau
kepentingan rakyat dengan yang mewakilinya dapat diatasi.
Selain sebagai penerapan pemerintahan yang terbatas, kewenangan
menguji ini disebabkan oleh adanya kecenderungan yang mengharuskan
persoalan diatur melalui serangkaian peraturan perundang-undangan. Kondisi
demikian berpotensi menimbulkan ketidakselarasan baik secara vertikal
421 Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, op.cit.,hlm. 359.
maupun horizontal antarsesama norma hukum yang lebih rendah, atau antara
norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih
tinggi. Dalam sebuah doktrin hukum yang bersifat hierarkhi struktural, yang
juga digunakan dalam sistem hukum di Indonesia422 bahwa peraturan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang diatasnya.
Untuk hal itu, baik UUD 1945 maupun UU No. 24 Tahun 2003
memberikan pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga cenderung
membatasi upaya pencapaian perlindungan dan keadilan konstitusional
secara utuh. Ketentuan UUD 1945 menentukan dengan cara membagi
kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD oleh MK. Sedangkan
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).423 Ketentuan UU No. 234
Tahun 2003 memberikan pengaturan yang membatasi bahwa, Undang-
undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang
diundangkan setelah Perubahan UUD 1945.424 Artinya, undang-undang yang
lahir dan dibuat sebelum amandemen UUD 1945 tidak dapat dilakukan
pengujian oleh MK.425 Sedangkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (3),
422 Lihat UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
423 Pengujian produk hukum oleh Peradilan Konstitusi biasanya diselenggarakandengan 3 cara, yaitu (i) pengujian abstrak, sebelum produk hukum disahkan, (ii) pengujiankonkret, dilakukan setelah produk hukum disahkan, (iii) pengaduan konstitusional. Masing-masing memiliki prosedur acara persidangan sendiri, manfaat dan implikasi hukum yangberbeda satu dengan yang lainnya. Untuk hal ini lihat, Ahmad Syahrizal, dalam PeradilanKonstitusi., op.cit., hlm. 88.
424 Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003, menentukan bahwa undang-undang yang dapatdimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah Perubahan UUD 1945.
425 Dalam perkembangannya, MK menyatakan Pasal 50 UU Nomer 24 Tahun 2003 tidakmengikat. Putusan ditetapkan sehubungan dengan Pengujian UU No. 1 tahun 1997 tentangKamar Dagang dan Industri (Kadin) yang lahir sebelum ada perubahan UUD 1945). Putusandiucapkan tanggal 12 April 2005. Namun dalam putusan ini ada tiga hakim yang menyatakanpendapat yang berbeda yaitu Laica Marzuki, Ahmad Roestandi, dan HAS Natabaya. Ketiga hakimtersebut menyatakan MK tidak boleh menjangkau terlalu jauh guna menguji UU Kadin karenapasal 50 UU MK tidak saja menentukan pengujian sebatas UU yang diundangkan setelahperubahan UUD 1945 guna menghindari tumpukan perkara tapi juga MK merupakan lembagaproduk masa perubahan UUD 1945. Menurut Laiza, pasal 50 UU MK tidak dimaksudkan untuk
pengujian dapat dimohonkan terhadap; (i) pembentukan undang-undang
tidak memenuhi ketentuan UUD 1945 (uji formil), dan/atau (ii) materi muatan
dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan
dengan UUD 1945 (uji materiil). undang-undang dasar dapat menyangkut
aspek formal, yaitu dari proses pembentukan dan/atau kewenangan,
maupun aspek materil dari ayat, pasal dan/atau bagian Undang-Undang.
Jikalau menyangkut aspek formal, baik karena tidak adanya dasar
kewenangan maupun mekanisme dan tatacara dalam proses pembentukan
yang ditentukan dalam UUD 1945 tidak dipenuhi, maka secara keseluruhan
Undang- Undang yang dimohon diuji tersebut akan dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jikalau
pengujian menyangkut materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari
Undang-Undang, maka materi muatan ayat, pasal dan atau bagian Undang-
Undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 tersebut akan
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ada kalanya bahwa yang dimohon untuk diuji adalah beberapa pasal
saja, dan kemudian satu atau dua dari pasal tersebut ditemukan bertentangan
dengan UUD 1945, akan tetapi diluar dari permohonan yang hanya meminta
beberapa pasal itu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan diminta
untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK telah dua
kali menemukan yaitu dalam perkara pengujian Undang-Undang
Ketenagalistrikan dan Undang-Undang KKR, di mana justru kemudian
dinyatakan bahwa Undang-Undang yang dimohon untuk diuji tersebut secara
keseluruhan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, meskipun petitum
permohonan Pemohon tidak meminta demikian.
Suatu putusan MK diambil setelah mempertimbangkan permohonan
yang terdiri dari bagian posita atau uraian perihal yang menjadi dasar
mereduki kewenangan MK tetapi justru melaksanakan dan menjabarkan kewenangankonstitusional yang dimaksud sebagaimana lazimnya suatu UU.
permohonan dan petitum berdasarkan bukti yang ada. Dalam hal
permohonan beralasan dan dikabulkan, amar putusan menyatakan bahwa
materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan
dengan UUD 1945, dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat [Pasal 56 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 57 ayat (1), ayat
(2)]. Permohonan pengujian Undang-Undang terhadap
Dalam melaksanakan kewenangan menguji ini, tidak jarang MK
melakukan penafsiran terhadap ketentuan undang-undang yang dianggap
bertentangan dengan konstitusi. Pengujian konstitusional undang-undang
adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas suatu undang-undang,
baik dari segi formil maupaun materil. Artinya, MK memberi tafsir atas
undang-undang apakah sudah sesuai dengan UUD atau justru bertentangan
dengan UUD. MK menentukan apakan perintah UUD sudah termaktub dalam
undang-undang, sekaligus menentukan apakah proses pembentukannya telah
sesuai dengan perintah UUD atau belum. MK menjadi pengaman (the
guardian) konstitusi agar tidak dilanggar oleh undang-undang.
Permasalahan yang kemudian muncul ke permukaan adalah
bahwa MK ternyata tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak menafsirkan
undang-undang terhadap undang-undang. Meskipun MK dianggap melakukan
penafsiran dengan metode teristematis, dengan tetap menggunakan UUD
sebagai pijakan utama tafsir, akan tetapi jika dilihat dari pertimbangan hukum
yang dipilih, terang pada perkara tertentu MK membenturkan undang-
undang satu dengan undang-undang lain. Kasus ini terjadi pada pengujian UU
No. 45 Tahun 1999 jo UU No, 5 Tahun 2000 yang dianggap bertentangan
dengan UU No. 21 Tahun 2001, dengan argumen asas lex posterior derogat
legi priori dan lex specialis derogat legi generalis. Kasus semacam ini berulang
kembali pada perkara pengujian UU No. 25 Tahun 2008 tentang Penanaman
Modal. Meski pijakan utama penafsiran adalah Pasal 33 UUD 45, namun pada
dasarnya MK menganggap UU No. 25 Tahun 2008 bertentangan dengan UU
Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Di sini tidak berlaku asas lex posterior
derogat legi priori dan lex specialis derogat legi generalis. Walaupun kedua
putusan tersebut mendapat apresiasi positif dari masyarakat, sebagai pijakan
hukum, hal-hal yang demikian ke depan harus dihindari, karena bisa
memunculkan persepsi bahwa MK telah keluar dari kewenangannya.
Wewenang menafsirkan itu memang melekat, dan dapat dikatakan secara
langsung sudah menjadi bagian atau hak yang harus dilakukan oleh para
hakim ketika mengadili perkara. Namun sekiranya hal ini perlu ditegaskan
dalam ketentuan UU No. 24 Tahun 2003.
Dalam rangka perubahan UU No. 24 Tahun 2003 yang dituangkan
dalam UU No. 8 Tahun 2011, diatur ketentuan bahwa dalam menguji undang-
undang terhadap UUD 1945, MK tidak menggunakan undang-undang lain
sebagai dasar pertimbangan hukum (Pasal 50A). Namun norma ini kemudian
dinyatakan tidak berlaku mengikat oleh MK dalam putusan pengujian yang
diajukan oleh Saldi Isra, dan kawan-kawan.426 Putusan itu penulis anggap
tepat sebab tidaklah mungkin Mahkamah Konstitusi dalam hal-hal tertentu
tidak memperhatikan ketentuan Undang-Undang selain UUD 1945 dalam
pertimbangan hukumnya. Apalagi jika kemudian terdapat proses
pengujian undang-undang secara formil, tentu ketentuan Undang-Undang
terkait tata cara pembentukan Undang-Undang menjadi acuan MK. Ketentuan
Pasal 50A UU MK telah menyebabkan kerugian konstitusional warga negara
Keberadaan Pasal 50A tersebut menyebabkan MK tidak maksimal
dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara. pembentuk Undang-
Undang tidak memperhatikan ketentuan UUD 1945 terutama Pasal 22A
UUD 1945.427 Sulit bagi MK, misalnya dalam pengujian formil jika tidak
memperhatikan ketentuan Undang-Undang terkait tata cara
426 Putusan No. 49/PUU-/2011.427 Ketentuan ini mengatur bahwa, ““Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara
pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.”
pembentukan Undang-Undang yang didelegasikan oleh ketentuan konstitusi.
Mustahil pula bagi MK mengabaikan keberadaan Undang-Undang tentang
tata cara pembentukan Undang-Undang dalam pengujian materil Undang-
Undang dikarenakan terkait dengan asas-asas pembentukan undang-undang
pastilah diatur dalam Undang-Undang tentang tata cara pembentukan
Undang-Undang. Apalagi jelas-jelas berdasarkan bunyi ketentuan Pasal 22A
UUD 1945 terdapat delegasi konstitusional kepada Undang-Undang untuk
pengaturannya.
Dalam argumentasinya, MK berpendapat bahwa Indonesia telah
menyatakan sebagai negara hukum yang demokrasi konstitusional atau
negara demokrasi yang berdasar atas hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 1
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Salah satu syarat setiap negara yang
menganut paham rule of law dan constitutional democracy adalah prinsip
konstitusionalisme (constitutionalism), antara lain yaitu prinsip yang
menempatkan undang-undang dasar atau konstitusi sebagai hukum
tertinggi dalam suatu negara. Untuk menjamin tegak dan dilaksanakannya
konstitusi itu maka harus terdapat mekanisme yang menjamin bahwa
ketentuan-ketentuan konstitusi dimaksud benar-benar dilaksanakan dalam
praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 24 ayat (2)
UUD 1945 telah memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang berfungsi mengawal konstitusi
atau Undang-Undang Dasar (the guardian of the constitution) dan karena
fungsinya itu Mahkamah Konstitusi merupakan penafsir tertinggi Undang-
Undang Dasar (the ultimate interpreter of the constitution). Dalam kerangka
pemikiran demikian maka seluruh kewenangan yang diberikan oleh konstitusi
kepada MK, sebagaimana tertulis dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C ayat
(1) dan ayat (2) UUD 1945, bersumber dan mendapatkan landasan
konstitusionalnya. Salah satu kewenangan Mahkamah adalah menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan kewenangan yang
diberikan tersebut Mahkamah dalam mengadili suatu Undang-Undang wajib
menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
berdasarkan UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi maupun Undang-
Undang sebagai penjabaran dari UUD 1945. Pelarangan terhadap
Mahkamah untuk menggunakan Undang-Undang lain sebagai dasar
pertimbangan hukum adalah mereduksi kewenangan Mahkamah sebagai
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Penggunaan Undang-Undang lain
sebagai dasar pertimbangan hukum justru untuk menciptakan kepastian
hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam praktik Putusan Mahkamah terkait dengan pengujian materil
Mahkamah tidak pernah menggunakan Undang-Undang sebagai dasar
pertimbangan, akan tetapi dalam permohonan-permohonan tertentu,
Mahkamah harus melihat seluruh dengan yang lain sehingga apabila
Mahkamah menemukan ada satu Undang- Undang bertentangan dengan
Undang-Undang lain, hal itu berarti bertentangan dengan kepastian hukum
yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
Dalam pengujian formil memang benar Mahkamah dalam putusan
Nomor 27/PUU- VII/2009, tanggal 16 Juni 2010 antara lain menyatakan
“...sepanjang Undang- Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil
prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi maka
peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau
dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil”.
Hal itu dilakukan Mahkamah karena Pasal 22A UUD 1945 menentukan
bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tatacara pembentukan Undang-
Undang diatur dengan Undang-Undang. Adapun mekanisme pembentukan
Undang-Undang di DPR diatur dengan tata tertib DPR sehingga menurut
Mahkamah penggunaan Undang-Undang mengenai pembentukan Undang-
Undang dan tata tertib DPR sebagai dasar putusan Mahkamah dimaknai
sebagai penjabaran dari UUD 1945 secara langsung. Oleh karena itu menurut
Mahkamah jika pasal tersebut diterapkan maka akan membatasi tugas dan
fungsi Mahkamah dalam melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh UUD
1945.428
Putusan dalam suatu peradilan adalah merupakan perbuatan hakim
sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa/perkara
yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang
akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan
hakim itu merupakan tindakan negara dimana kewenangannya
dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan Undang-Undang Dasar maupun
undang-undang. Putusan hakim seringkali diibaratkan dengan putusan Tuhan
(judicium dei).429 Oleh karena itu, putusan yang dijatuhkan harus benar-benar
melalui proses pemeriksaan peradilan yang jujur (fairtrial) dengan
pertimbangan yang didasarkan pada keadilan berdasarkan (moral justice), dan
bukan semata- mata berdasarkan keadilan undang-undang (legal justice)
berdasarkan Undang-Undang Dasar maupun undang-undang. Putusan hakim
seringkali diibaratkan dengan putusan Tuhan (judicium dei). Oleh karena itu,
putusan yang dijatuhkan harus benar-benar melalui proses pemeriksaan
peradilan yang jujur (fairtrial) dengan pertimbangan yang didasarkan pada
keadilan berdasarkan (moral justice), dan bukan semata-mata berdasarkan
keadilan undang-undang (legal justice).
Dalam mengadili perkara yang menjadi kewenangannya, konstitusi
(Pasal 24C ayat 1 UUD 1945) menempatkan MK sebagai pengadilan tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Ketentuan ini
428 Putusan MK No. 49/PUU-IX/2011, hlm. 74-75.429 Maruara Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, op.cit.,
hlm. `123.
kemudian diikuti pengaturannya di Pasal 10 ayat (1) UU No 24 Tahun
2003. Putusan final berarti bahwa putusan MK secara langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang
dapat ditempuh. Putusan final ini langsung berlaku mengikat, yang juga dapat
diartikan bahwa pihak-pihak, semua orang, badan publik atau lembaga negara
akan mematuhi dan melaksanakan putusan yang telah dijatuhkan. Dengan
kata lain, sebuah putusan apabila tidak ada upaya hukum yang dapat
digunakan, berarti putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap
(in kracht van gewijsde) dan memperoleh kekuatan mengikat (resjudicata pro
veritate habetur).
Perkara-perkara yang menjadi kewenangan MK merupakan
perkara konstitusi. Artinya, konstitusi yang akan menjadi tolak ukur atau alat
untuk menguji dan menyelesaikan perkara yang diajukan ke MK. Oleh karena
konstitusi yang menjadi rujukan, dan konstitusi merupakan sumber dari
segala sumber hukum tertinggi dalam kontreks negara hukum Indonesia,
maka tidak tepat jika MK diposisikan bukan sebagai pengadilan tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Di samping itu, karena
perkara yang menjadi kewenangan MK memiliki dimensi yang luas (sifat,
kepentingan dan akibatnya) dari segi sosial-politik, ekonomi maupun lingkup
ketatanegaraan. Dengan melihat keluasan dimensi perkara tersebut,
apabila disediakan upaya hukum terhadap putusan MK, maka akan
mengakibatkan ketidakpastian dan ketidakadilan bukan hanya pada para
pihak pemohon tetapi juga banyak pihak. Ketidakpastian dan ketidakadilan
itu tentu saja dapat berujung pada “kekacauan” dan “instabilitas” di dalam
masyarakat maupun pemerintahan.
Dalam ketentuan Pasal 58 UUMK dinyatakan bahwa, “Undang-
undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada
putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan
dengan UUD 1945”. Ketentuan ini berarti memposisikan putusan MK berlaku
kedepan (prospektif), tidak berlaku surut (retroaktif). Konsekuensi dari
putusan prospektif adalah segala peristiwa, perbuatan atau keputusan yang
telah terjadi sebelum ketentuan pasal/ayat/undang-undang dibatalkan, selalu
dianggap sah dan tidak bertentangan dengan putusan yang telah dijatuhkan
(rechtmatig). Keputusannya hanya dapat dibatalkan dan bukan batal demi
hukum.
Suatu hal yang dirasakan dan oleh banyak pihak sulit dipahami
adalah putusan prospektif itu mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum
(Rechtvacuum). Landasan hukumnya sudah tidak ada, tetapi secara de facto
fakta atau peristiwa hukumnya masih berlangsung. Dalam hal ini, masalahnya
organ pembentuk UU tidak cepat tanggap terhadap sifat mengikat dari
putusan MK. Bahkan mereka terkesan mengacuhkan kehendak putusan MK.
Akibatnya putusan MK memiliki problem di tingkat implementasi. Banyak
UU yang sudah dibatalkan kekuatan mengikatnya, kemudian tidak jelas
kelanjutannya, sehingga berimplikasi pada tidak adanya aturan hukum yang
bisa menjadi pegangan. Pada sisi lain, jamak juga UU yang kekuatan
mengikatnya telah dibatalkan, tetapi masih tetap digunakan sebagai kaidah
hukum yang berlaku.
Melihat perkembangan yang demikian, untuk menghindari
terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum), khususnya bagi perkara-
perkara yang krusial, strategi yang ditempuh MK selanjutnya adalah dengan
cara mengundurkan periode pembatalan suatu UU. Guna memberikan
tenggat waktu bagi organ undang-undang, untuk menyiapkan pengganti UU
yang dibatalkan, sehingga tidak terjadi periode kekosongan hukum.
Contoh nyata tindakan ini adalah pada perkara pengujian pengadilan tindak
pidana korupsi. Dalam putusannya secara de jure Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi sudah dinyatakan inkonstitusional, namun MK memberikan tenggat
waktu tiga tahun bagi organ pembentuk UU, untuk menyiapkan UU
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang baru, sebelum Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi secara defacto dinyatakan inkonstitusional. Meskipun
demikian, organ pembentuk UU pun masih lambat menanggapinya.
Pemberlakuan putusan bagi UU selain yang diuji (erga omnes) adalah
sebuah bentuk bahwa putusan tersebut dipatuhi oleh berbagai pihak.
walaupun tidak dapat diartikan mengikat terhadap ketentuan serupa dalam
UU yang berbeda (UU yang tidak diuji) namun dalam hal ketentuan serupa
menjadi dasar sengketa di pengadilan mestinya hakim memperhatikan
putusan MK. Dalam hal di luar pengadilan mestinya pembentuk UU termasuk
Perda segera merubah produk hukum yang bersangkutan untuk
disesuaikan dengan putusan MK. Misalnya tentang syarat untuk calon
legislatif Pasal 60 huruf g UU No. 22 Tahun 2003. Dengan demikian perlu
diatur agar sifat final dan mengikat putusan MK dirinci tentang tindakan yang
harus dilakukan oleh penyelenggara negara yang lain untuk tidak
memberlakukan ketentuan yang sudah dinyatakan tidak mengikat atau segera
mereviu produk hukum yang memiliki ketentuan senada.
Selama ini putusan MK bisa dikatakan tidak berwatak implementatif,
di mana ketika mencapai tahap aplikasi, seringkali putusan MK dihadang oleh
sekian banyak rintangan yang menggangu eksekusi putusan tersebut. Oleh
karenanya, kiranya perlu suatu strategi kesadaran kolektif untuk bersama-
sama mengaplikasikan putusan MK pada kondisi yang dikehendaki konstitusi.
Akan sangat absurd pengimplementasian putusan MK tanpa adanya respon
positif dari organ pembentuk undang-undang dan pemerintah berkuasa.
Selama ini kerap kali terjadi kesenjangan dan disparitas antara tahap
pembacaan dengan implementasi putusan final di lapangan. Jika persoalan ini
terus dibiarkan, niscaya putusan MK hanya akan memiliki kekuatan simbolik
yang menghiasi lembaran berita negara.
Ke depan, organ MK sebaiknya tidak sekedar memiliki kewenangan
yang besar dalam hal pengujian konstitusionalitas, melainkan juga harus
dibekali kewenangan untuk mengawasi putusannya, artinya putusan final
harus disertai dengan judicial order yang diarahkan kepada perorangan atau
pun institusi negara. Selanjutnya harus pula diadakan ketentuan formal
yang mengatur implementasi putusan final dan mengikat, selain diperkuat
dengan adanya kesepakatan kolektif dari lembaga dan aktor negara untuk
melakukan tindakan koordinatif dan kolaboratif yang mendukung
pelaksanaan/implementasi dari putusan MK. Persoalan besarnya pada
dasarnya terdapat pada daya ikat atau keberlakukan putusan MK. Bilamana
organ pembentuk undang-undang memiliki kesadaran untuk segara
menindaklanjuti atau melakukan eksekusi atas keluarnya suatu putusan MK,
yang membatalkan UU tertentu, sebenarnya permasalahan kekosongan
hukum tidak akan pernah terjadi. Artinya, yang perlu didorong adalah
bagaimana membuat putusan MK memiliki daya eksekutorial yang kuat.
Di samping masalah kekosongan hukum, putusan pengujian undang-
undang juga dirasakan tidak memberi rasa keadilan secara langsung kepada
para pemohon, maupun masyarakat lain yang potensial merasakan keadilan
sebagai akibat dari putusan yang dijatuhkan. Hak atas keadilan dari pemohon
atau masyarakat yang mendapatkan akibat dari putusan MK, tidak serta merta
didapatkan, melainkan harus menunggu atau menempuh suatu proses lain di
lembaga lain. Bahkan besar kemungkinan malah diabaikan atau ditolak. Jika
hal ini terus berlanjut, bisa jadi MK akan ditinggalkan para pencari keadilan.
Kondisi demikian terjadi karena faktor-faktor yang saling berkaitan, antara
putusan MK yang berlaku prospektif dengan respon negatif dari aktor
dan lembaga negara terhadap putusan MK. Ada baiknya kemudian
memberikan kemungkinan untuk pemberlakukan putusan yang dapat
berlaku surut (retroaktif), seperti MK di Italia dan Korea, terutama dalam
kasus-kasus pidana atau yang mendapatkan perhatian dan berdampak luas
kepada masyarakat.430
430 Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Sjahrizal, op.cit., hlm. 243-244.
Dalam beberapa putusan pengujian undang-undang, MK telah
bertindak ultra petita atau memutus melebihi yang dimintakan oleh
pemohon. Misalnya, putusan tentang pengujian UU No. 31 Tahun 1999 jo
UU No. 30 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, putusan
pengujian UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, serta putusan
judicial review UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Pada putusan
pengujian UU PTPK, MK mengambil langkah ultra petita, dengan menyatakan
tidak mengikat penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, yang mempersempit
ruang lingkup ajaran sifat melawan hukum. Sedangkan pemohon pada waktu
itu hanya sekedar memohonkan pembatalan beberapa frasa dari UU PTPK,
tidak keseluruhan kalimat. Pada putusan pengujian UU KY, MK membatalkan
kewenangan KY untuk melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi,
padahal pemohon hanya memintakan pembatalan kewenangan KY untuk
mengawasi hakim agung. Fungsi substansial KY menjadi terhapuskan, KY
sekedar memiliki kewenangan untuk melakukan seleksi hakim agung, dan
pengawasan hakim pada lingkungan peradilan umum, di bawah MA.
Sedangkan pada putusan pengujian UU KKR, MK memotong jantung UU KKR,
sehingga tamatlah riwayat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Terhadap ketiga putusan tersebut MK beralasan, bahwa materi yang
dilakukan pengujian adalah materi inti (organ vital) undang-undang, yang
berakibat pada batalnya materi-materi lain, sebagai implikasi batalnya organ
vital tersebut. Sebagian pakar kemudian berpendapat, bahwa secara tidak
langsung, MK sebagai negative legislature telah mengambil peran DPR sebagai
positif legislature, karena MK membuat putusan yang sifatnya mengatur
(regeling), melalui putusan yang sifatnya ultra petita. Padahal fungsi MK
adalah untuk menjaga agar tidak ada UU yang bertentangan dengan UUD,
bukan membatalkan UU yang pengaturannya dinyatakan terbuka oleh
UUD, dan menjadi kewenangan DPR untuk menafsirkannya.431
Ketentuan yang memuat larangan bagi Hakim untuk mengabulkan
diluar atau lebih dari permohonan pemohon, dikenal dalam hukum acara
perdata. Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta padanannya Pasal 189 ayat
(2) dan ayat (3) Rbg, dikenal sebagai hukum acara perdata yang berlaku di
pengadilan negeri dan pengadilan agama, memuat larangan untuk mengadili
dan memutus melebihi dari pada yang diminta (petitum). Hal tersebut sangat
mudah dipahami, karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak satu hak
yang bersifat keperdataan yang dimiliki orang-perorangan, terletak pada
kehendak atau pertimbangan orang-perorang tersebut. Permintaannya tidak
dapat dilampaui, karena ada kalanya mengabulkan melebihi apa yang
diminta, justru merugikan kepentingan yang bersangkutan. Karakter
hukum acara perdata sebagai demikian adalah untuk mempertahankan
kepentingan individu, yang hanya digerakkan (triggered) oleh
permohonan atau gugatan seorang penggugat. Oleh karena itu pula
kekuatan mengikat dan akibat hukum putusan hakim demikian hanya
menyangkut pihak-pihak dalam perkara tersebut atau disebut mengikat inter-
partes. Akan tetapi perkembangan yang terjadi dan kebutuhan
kemasyarakatan serta tuntutan keadilan, menyebabkan aturan demikian juga
tidak sepenuhnya lagi ditaati. Dalam beberapa kesempatan dan putusan
Mahkamah Agung, aturan demikian tidak lagi diperlakukan secara mutlak.
Pertimbangan keadilan dan kepantasan dijadikan alasan untuk tidak
menggunakan aturan tersebut secara mutlak, sebagaimana tampak dalam
beberapa putusan Mahkamah Agung.
Pakar hukum generasi pertama Indonesia, Soepomo pernah
mengkritik ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR tersebut, dengan mengatakan
431 Moh. Mahfud MD, “Mendudukkan Soal Ultra Petita”, Kompas, Senin, 5 Februari2007, hlm. 4.
bahwa ketentuan itu adalah buah semangat zaman lampau di Dunia
Barat, yang menganggap peradilan perdata sebagai urusan kedua belah
pihak semata-mata, dan Jurisprudensi pada zaman Hindia Belanda telah
mengosongkan (uithollen) isi larangan Pasal 178 ayat (3) tersebut karena
alasan sifat dan praktek Pengadilan.432 Klassifikasi hukum yang demikian
dikenal dengan sebutan hukum yang responsif, dimana hukum dipandang
sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi
sosial. Hukum responsif demikian bertujuan untuk merespon tuntutan
keadilan.433 Hukum acara perdata yang sifatnya mempertahankan
kepentingan perseorangan juga telah menafsirkan larangan ultra petita dalam
Pasal 178 ayat (3) HIR, sehingga hakim tidak memperlakukannya secara
mutlak dalam praktik.
Dengan demikian, pada dasarnya ultra petita hanya dilarang dalam
ranah peradilan perdata, sebab mereka yang bersengketa adalah individu
melawan individu, sehingga jika diperbolehkan ultra petita dikhawatirkan
akan menguntungkan sekaligus merugikan salah satu pihak yang bersengketa.
Lagipula dalam mekanisme sengketa perdata, diperkenankan adanya tahapan
banding yang dapat melawan kembali putusan yang telah dijatuhkan
pengadilan dibahwanya.
Hal ini akan sangat berbeda dengan karakter hukum acara di MK.
Khusus dalam perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka
tugas hukum acara MK adalah untuk mempertahankan hak dan kepentingan
konstitusional yang dilindungi oleh konstitusi, yang dijabarkan dalam Undang-
Undang. Undang-Undang tersebut mempunyai daya laku yang bersifat umum
(erga omnes). Meskipun perorangan atau kelompok orang yang memiliki
kepentingan yang sama mengajukan pengujian satu Undang-Undang karena
432 Soepomo, 2002, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, PT Pradnya Paramita, ,hlm. 92.
433 Philippe Nonet & Philip Selznick, 2003, Hukum Responsif, Pilihan DimasaTransisi,Terjemahan oleh Rafael Edy Bosco,Jakarta, Penerbit Huma, hlm. 12.
dipandang melanggar hak konstitusional nya yang dilindungi oleh UUD 1945,
akan tetapi kepentingan demikian tidak hanya menyangkut perorangan yang
mengklaim kepentingan dan hak konstitusionalnya dilanggar, karena undang-
undang yang dimohonkan pengujian tersebut berlaku umum dan mengikat
secara hukum serta menimbulkan akibat hukum yang lebih luas dari pada
sekedar mengenai kepentingan Pemohon sebagai perorangan. Oleh karena itu
apabila kepentingan umum menghendaki, Hakim Konstitusi tidak boleh
terpaku hanya pada permohonan atau petitum yang diajukan. Kalaupun yang
dikabulkan dari permohonan Pemohon misalnya hanya menyangkut satu
pasal saja, akan tetapi apabila dengan dinyatakannya pasal tertentu tersebut
Undang-Undang yang dimohonkan diuji menjadi tidak mungkin untuk
diperlakukan lagi, maka Undang-Undang demikian tidak dapat dipertahankan
dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
keseluruhan. Hal itu merupakan aturan hukum acara dan praktik yang lazim
diterapkan oleh MK negara lain.
Pasal 45 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Korea Selatan (1987)
menentukan,”The Constitutional Court shall decide only whether or not the
requested statute or any provision of the statute is unconstitutional: Provided,
that if it is deemed that the whole provisions of the statute are unable to
enforce due to a decision of unconstitutionality of the requested provision, a
decision of unconstitutionality may be made on the whole statute”. Artinya,
MK memutus konstitusionalitas Undang-Undang atau suatu ketentuan dari
Undang-Undang hanya terhadap ketentuan yang dimohonkan pengujian.
Dalam hal seluruh ketentuan dalam Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian dinilai tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat putusan yang
menyatakan inkonstitusionalnya pasal yang dimohonkan, maka putusan
tentang inkonstitusionaitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan Undang-
Undang tersebut. Dalam praktik, MK telah menerapkan hal tersebut dalam
perkara Nomor 001, 021, 022/PUU-I/2003 mengenai Undang-Undang
Ketenagalistrikan (Undang-Undang 20 Tahun 2002) dan perkara Nomor
06/PUU- III/2006 dalam perkara pengujian Undang-Undang KKR.
Juga dalam hal seluruh ketentuan dalam Undang-Undang yang
dimohonkan untuk diuji dinilai tidak dapat dilaksanakan (impossibility of
performance) sebagai akibat putusan yang menyatakan inkonstitusionalnya
pasal yang dimohonkan, maka putusan inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan
terhadap keseluruhan Undang-Undang tersebut. MK telah menerapkan hal
tersebut dalam perkara 001,021,022/PUU-I/2003 mengenai Undang-Undang
Ketenagalistrikan (UU Nomor 20 Tahun 2002) dan perkara nomor 06/PUU-
III/2006 dalam perkara pengujian UU KKR. Justru hal itu menjadi tugas pokok
MK.
Berbeda dengan MK yang perkaranya menyangkut kepentingan
umum, tidak hanya terkait kepentingan para pemohon secara an sich.
Para hakim konstitusi dapat secara “leluasa” memberikan penafsiran yang
dibutuhkan untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum berdasarkan
konstitusi. Oleh karena itu, dengan karakteristik sikap aktifnya hakim
konstitusi memang dapat melakukan memutus diluar permohonan (ultra
petita). Meski demikian, hakim tidak boleh memutus tentang hal-hal yang
berada di luar batas permasalahan dan isi dari kebijakan (undang-undang)
yang dimohonkan. Hakim hanya dapat memeriksa dan memutus tentang hal-
hal yang langsung terkait dengan permasalahan pokok yang digugat,
meskipun hal tersebut tidak dimohonkan oleh pemohon untuk diputus. Dari
ultra petita itu, dapat pula menjurus kepada adanya ”reformatio in peius”,
dimana putusan yang nantinya dikeluarkan bisa jadi merugikan atau
mengurangi kepentingan hukum penggugat/pemohon. Artinya, putusan yang
dikeluarkan akan membawa situasi yang lebih merugikan baginya daripada
keadaan sebelum perkara diajukan.
Oleh karenanya, ultra petita seharusnya tidak dilarang dalam
ranah peradilan tata negara. Jika ultra petita dilarang, MK akan menjadi
sangat positivis dan legalistik, yang akan merugikan kepentingan banyak
pihak, sebab hanya mengabulkan permohonan yang diajukan para pemohon
saja. Tugas MK adalah menguji norma-norma yang sifatnya umum, bukan
sengketa antara individu yang satu dengan lainnya, dan bukan perkara yang
sifatnya legalistik saja, melainkan norma konstitusi. Karenanya ultra petita
dibutuhkan untuk menjaga tetap berdirinya norma-norma umum/konstitusi,
dan tidak dilanggaranya kepentingan umum. Dan yang paling mendasar
adalah, larangan terhadap ultra petita akan menabrak prinsip independensi
hakim yang sudah ditegaskan dalam konstitusi. Putusan merupakan ranah
independensi hakim yang patut dijaga dan dijunjung tinggi, dan tidak boleh
diintervensi. Dengan kata lain, larangan ultra petita akan bertentangan
dengan konstitusi yang berpotensi diajukan pengujiannya ke MK.
Tuduhan selama ini bahwa MK melakukan abuse of power dengan
putusan yang dianggap ultra petita tersebut sesungguhnya disebabkan
ketidak pahaman banyak pembuat Undang-Undang tentang fungsi judicial
review. Ketika praktek pertama yang memicu lahirnya lembaga constitutional
review tersebut diputuskan Mahkamah Agung Amerika Serikat tahun 1803
dalam perkara Marbury vs Madison, yang terjadi pada masa pemerintahan
baru dibawah Presiden Thomas Jefferson menolak untuk mengakui
pengangkatan hakim-hakim yang dilakukan oleh Presiden John Adams dalam
saat-saat terakhir dari pemerintahannya. Yang dimohon Penggugat
Marbury adalah agar surat pengangkatannya oleh Presiden terdahulu John
Adams yang sudah disahkan, berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman
(Judiciary-Act) tahun 1789, oleh MA Amerika dengan menggunakan writ of
mandamuss memerintahkan Pemerintah baru menyerahkan surat keputusan
pengangkatan tersebut kepada penggugat untuk dapat melaksanakan
tugasnya. MA tidak mengabulkan gugatan tersebut, dengan alasan bahwa MA
tidak dapat menggunakan Undang-Undang demikian, karena Undang-Undang
tersebut menurut pendapat MA, bertentangan dengan konstitusi Amerika.
Dalam keputusannya MA menyatakan Judiciary Act 1789 inkonstitusional dan
dinyatakan tidak berlaku.
Dalam putusan tersebut kita menyaksikan bahwa antara petitum
gugat dengan putusan MA justru jauh melebihi sekadar ultra petita, dan
bahkan secara keseluruhan bukan menyangkut hal yang diminta penggugat.
Pertimbangannya tentu bahwa dalam melaksakan tugas konstitusionalnya,
hakim tidak boleh diikat sekedar pada kotak permohonan penggugat yang
didasari dan dimotivasi kepentingan pribadi yang bersifat individual.
Kepentingan umum mengharuskan Hakim akan melaksanakan tugas dan
fungsinya mengawal konstitusi lebih luas dari sekedar kepentingan pribadi
dan bersifat individual, melainkan sebagai the guardian of the constitution,
ada kewajiban konstitusional yang diletakkan padanya untuk melihat dari
perspektif kepentingan umum.
Dalam rangka perubahan UU No. 24 Tahun 2003 melalui UU No. 8
Tahun 2011, pada waktu Presiden dan DPR sepakat untuk melarang MK
mengeluarkan putusan ultra petita. Ha; itu diatur di dalam ketentuan Pasal
Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2) huruf a. Akan tetapi, MK kemudian
menyatakan ketentuan-ketentuan tersebut tidak berlaku mengikat dalam
putusan pengujian undang-undang yang dimohonkan oleh Saldi Isra, dan
kawan-kawan.434
Ketentuan Pasal 45A mengatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi
tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau
melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait
dengan pokok PermohonanI. Ketentuan Pasal 57 ayata (2) huruf a semual
memerintahkan agar Putusan MK tidak memuat: (i) amar selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); (ii) perintah kepada pembuat undang-
undang; (iii) rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang
yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan ini mengatur
434 Putusan MK No. 49/PUU-IX/2011. Lihat juga Putusan Nomor 48/PUU-IX/2011.
mengenai pembatasan bentuk dan amar putusan MK. Secara normatif, MK
bertugas melindungi hak-hak konstitusional yang ada tidak hanya pada teks
UUD 1945 tetapi juga kandungan tersembunyi dari maksud UUD 1945. Untuk
itu upaya membatasi putusan Mahkamah Konstitusi jelas berseberangan
dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menghendaki MK menjadi
peradilan yang menegakkan hukum (termasuk juga ide-ide
konstitusionalisme) dan keadilan.
Dalam kajian dalam kajian hukum tata negara, hakim diberikan
kewenangan untuk membentuk Undang-Undang apabila terjadi kekhilafan
pembentukan (formil) maupun muatan pasal-pasalnya (materiil). Hal itu juga
dikemukakan oleh Douglas E. Edlin dalam perspektif common law bahwa
kewajiban hakim untuk menerapkan hukum, namun apabila hukum tersebut
tidak adil (unjust) maka hakim kemudian dapat mengabaikan hukum itu
dengan membentuk hukum yang lebih baik.435 Singkatnya, hakim jika
diperlukan dapat membentuk hukum baru demi kepentingan yuridis.436
435 Douglas E. Edlin, 2010, Judges and Unjust Laws, Common Law Constitutionalismand the Foundations of Judicial Review, the University of Michigan Press, hlm. 52.
436 Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara,op.cit., hlm. 11.
top related