bab 2 tinjauan pustaka 2.1 sayur dan buahrepository.ub.ac.id/3850/3/5 bab 2.pdf · tumbuhan yang...
Post on 30-Nov-2020
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sayur dan Buah
Sayur merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk merujuk pada
tunas, daun, buah, dan akar tanaman yang lunak dan dapat dimakan secara utuh
atau sebagian, segar/mentah atau dimasak, serta sebagai pelengkap pada
makanan berpati atau daging (Williams et al. 1993). Menurut Muchtadi (2000),
sayur merupakan sumber zat pengatur, yaitu sumber vitamin dan mineral.
Sayuran merupakan salah satu sumber provitamin A, vitamin C, vitamin B,
kalsium, dan zat besi yang menyumbang kalori lebih sedikit serta sejumlah
elemen mikro. Sayuran juga merupakan sumber serat pangan yang mengandung
sejumlah antioksidan untuk menjaga kesehatan tubuh. Sayuran yang dimasak
berkuah sering dikonsumsi sebagai “pembasah nasi” agar lebih mudah ditelan
dan dapat memperkaya variasi hidangan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, buah merupakan bagian
tumbuhan yang berasal dari bunga atau putik dan biasanya berbiji. Menurut
Marliyati, Sulaeman, dan Anwar (1992), buah merupakan salah satu sumber
pangan nabati yang potensial dan banyak mengandung zat gizi, terutama
vitamin. Vitamin yang umumnya terdapat dalam buah adalah vitamin C, vitamin
A, vitamin B1 serta beberapa macam mineral seperti kalsium dan zat besi
(Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
6
Menurut Nasution, Riyadi dan Mudjajanto (1995), buah merupakan bahan
makanan sumber zat pengatur dan pelindung yang penting untuk mengantur
proses-proses biokimiawi di dalam tubuh, diantaranya dalam metabolisme
energi. Pada umumnya buah-buahan mempunyai kadar air yang tinggi yaitu 65-
90% tetapi rendah kadar protein dan lemak kecuali buah alpukat. Buah biasanya
dihidangkan setelah selesai makan utama artinya sebagai penutup hidangan
atau “pencuci mulut” setelah makan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) secara umum menganjurkan konsumsi
sayuran dan buah-buahan untuk hidup sehat sejumlah 400 gram per orang per
hari, yang terdiri dari 250 gram sayur (setara dengan 2 ½ porsi atau 2 ½ gelas
sayur setelah dimasak dan ditiriskan) dengan 150 gram konsumsi buah (setara
dengan 3 buah pisang ambon ukuran sedang atau 1 ½ potong pepaya ukuran
sedang atau 3 buah jeruk ukuran sedang). Bagi orang Indonesia dianjurkan
konsumsi sayuran dan buah-buahan 300-400 gram per orang per hari untuk anak
balita dan anak usia sekolah, dan 400-600 gram per orang per hari untuk remaja
dan orang dewasa. Sekitar 2/3 dari jumlah anjuran konsumsi sayuran dan buah-
buahan tersebut adalah porsi sayur.
2.2 Overweight
Overweight dalam istilah “gizi lebih” diartikan sebagai keadaan gizi
seseorang yang pemenuhan kebutuhannya melampaui batas lebih dari cukup
(kelebihan) dalam waktu cukup lama. Hal ini dicerminkan pada kelebihan berat
badan yang terdiri dari timbunan lemak, besar tulang dan otot/daging (Sandjaja,
2009). Sedangkan menurut Kamus Pangan dan Gizi, kegemukan adalah
akumulasi lemak tubuh yang berlebihan tetapi tidak sebanyak obesitas.
7
Overweight dapat juga didefinisikan sebagai kandungan lemak tubuh yang tidak
normal atau yang melebihi ukuran standar akibat peningkatan konsumsi lemak
sehingga dapat mengganggu kesehatan dan meningkatkan berat badan (Rauner
et al, 2013).
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara baik secara
langsung maupun tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung yaitu
melalui metode antropometri, biokimia, klinis, dan biofisik. Sedangkan penilaian
status gizi secara tidak langsung melalui metode statistik vital, faktor ekologi, dan
survei konsumsi.
2.3 Indeks Massa Tubuh (IMT)
Salah satu cara untuk menentukan status gizi seseorang yaitu dengan
menghitung nilai Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT dapat menjadi salah satu
perwujudan dari status kesehatan seseorang (Annas, 2011). IMT merupakan
pengukuran yang membandingkan berat dan tinggi badan dengan tujuan
memperkirakan berat badan ideal untuk tinggi badan tertentu. IMT secara tidak
langsung mengukur persentase lemak tubuh seseorang dan banyak digunakan
untuk menentukan kegemukan dan obesitas.
Perhitungan IMT didapatkan dari pengukuran antropometri. Salah satu
parameter antropometri yang penting untuk melakukan evaluasi status gizi pada
remaja adalah pertumbuhan. Pertumbuhan ini dapat digambarkan melalui
pengukuran antropometri seperti berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang dan
beberapa pengukuran lainnya (Kemenkes RI, 2013). Berat badan merupakan
pilihan utama dan dinilai sebagai parameter yang paling baik dan dapat
digunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi. Sedangkan
8
pengukuran tinggi badan ditujukan untuk umur lebih dari 2 tahun dengan kondisi
dapat berdiri tegak (Gibson, 2005).
Pengukuran antropometri ini dinilai lebih sederhana, mudah, tidak
memerlukan teknik yang tinggi sehingga dapat dilakukan oleh petugas yang
relatif tidak ahli. Selain itu, peralatan yang digunakan tidak terlalu mahal dan
tahan lama. Dari hasil pengukuran ini dapat diperoleh informasi terkait riwayat
gizi masa lampau, mampu mengidentifikasi keadaan gizi ringan, sedang dan
buruk, serta dapat digunakan untuk memantau status gizi dari waktu ke waktu
(Jelliffe, 1996).
Indeks massa tubuh (IMT) dihitung dengan rumus berat badan (kg) dibagi
tinggi badan (m2). Dalam menentukan status gizi remaja yang belum berumur 18
tahun, masih digolongkan kategori anak yang mengacu pada standar WHO
tahun 2005. Kategori dan ambang batas status gizi anak umur 5-18 tahun
berdasarkan indeks adalah sebagai berikut.
Tabel 1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Umur 5-18 Tahun
Indeks Kategori Status Gizi
Ambang Batas (Z-Score)
Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
Anak umur 5-18 tahun
Sangat kurus < - 3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 1 SD
Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas >2 SD
Sumber: (Fomon, Haschke, Ziegler et al, 2003)
Indeks Massa Tubuh (IMT) memang sederhana dan cepat untuk
digunakan tetapi IMT memiliki kekurangan karena berdasarkan pada rasio berat
9
badan terhadap tinggi badan sehingga tidak memperhitungkan komposisi tubuh.
Misalnya seseorang yang kurus tetapi memiliki massa otot yang besar mungkin
memiliki IMT lebih dari 25 kg/m2 padahal tidak memiliki lemak tubuh yang
berlebihan. Oleh sebab itu, hal ini merupakan masalah bagi sebagian kecil
populasi yang menggunakan hasil perhitungan ini namun IMT tetap bersifat
praktis pada sebagian besar situasi dan masih digunakan secara luas (Gandy,
2011).
2.4 Remaja Putri
Menurut Arya dan Mishra (2013), masa remaja merupakan periode
setelah masa anak-anak yang dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu remaja awal
(11-14 tahun) yang ditandai dengan masa pubertas dan peningkatan
perkembangan kognitif, remaja tengah (15-17 tahun) yang ditandai dengan
peningkatan kemandirian dan eksperimen, dan remaja akhir (18-21 tahun) yang
ditandai dengan membuat keputusan pribadi dan pekerjaan penting. Kata “putri”
bermakna untuk menunjukkan jenis kelamin perempuan. Selama usia remaja
terjadi percepatan pertumbuhan yang dikaitkan dengan perubahan hormonal,
kognitif, dan emosional yang membuat remaja masuk dalam periode kehidupan
yang rentan.
Ada tiga perubahan mendasar yang terjadi selama masa remaja.
Pertama, remaja mengalami peningkatan kebutuhan kalori dan nutrisi karena
peningkatan pertumbuhan fisik dan perkembangan selama periode yang relatif
singkat. Kedua, remaja memasuki masa perubahan gaya hidup dan kebiasaan
makanan yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi dan asupannya. Ketiga,
10
semakin tinggi dorongan remaja untuk individualisasi yang berarti lebih banyak
kesempatan untuk menentukan pilihan makanannya.
2.5 Pengkajian Asupan Makan
Salah satu cara untuk menggali data terkait asupan makanan termasuk
komposisi, pola makan, diet yang sedang dijalani saat ini dapat dilakukan dengan
metode Dietary Assessment. Metode ini merupakan salah satu metode yang
dapat digunakan baik untuk level individu maupun kelompok tertentu atau
masyarakat untuk melihat tanda-tanda awal dari defisiensi zat gizi. Defisiensi zat
gizi dapat terjadi karena ketidakcukupan salah satu atau lebih zat gizi dari diet
atau asupan sehari-hari.
Gambaran mengenai asupan makan tersebut dapat diketahui baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Metode kuantitatif terdiri dari food record (estimasi
maupun dengan penimbangan) dan recall 24 jam. Kedua metode ini didasarkan
pada jumlah aktual makanan yang dikonsumsi dalam sehari (actual intake),
kemudian dilakukan analisa zat gizi dari seluruh makanan yang dikonsumsi
dengan merujuk pada daftar bahan makanan penukar atau daftar komposisi zat
gizi makanan.
Sedangkan metode kualitatif menggali informasi pada masa lampau
(retrospective) yang terdiri dari food frequency questionnaire (FFQ) dan dietary
history. Metode ini didasarkan pada persepsi individu terhadap kebiasaan makan
selama periode waktu tertentu. Pemilihan jenis metode yang digunakan
didasarkan pada tujuan (objective) dari dietary assessment yang akan dilakukan
dimana setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
11
2.5.1 Food Frequency Questionnaire (FFQ)
Food frequency questionnaire (FFQ) pada prinsipnya menggali informasi
frekuensi konsumsi makanan tertentu dan mengidentifikasi pola makan pada
individu yang diduga berisiko tinggi menderita defisiensi gizi atau kelebihan
asupan zat gizi tertentu pada periode waktu yang lalu. FFQ didesain untuk
memperoleh data kualitatif berupa deskripsi dari data “usual intake” selama
periode tertentu (minggu, bulan, tahun) yang spesifik menggambarkan pola
makan suatu budaya atau kelompok masyarakat tertentu. Selain itu, FFQ sering
digunakan dalam studi epidemiologi untuk meranking atau mengelompokkan
responden berdasarkan asupan zat gizi menjadi rendah, sedang atau tinggi.
Ada dua jenis FFQ yaitu FFQ murni dan semi-quantitative FFQ. FFQ murni
(kualitatif) berisi daftar makanan yang spesifik (fokus pada golongan makanan
atau makanan pada musim tertentu) dan tingkat keseringan (frekuensi) hari,
minggu, bulan dan tahun. Sedangkan Semi-quantitative FFQ (SQ-FFQ)
merupakan kualitatif FFQ dengan adanya tambahan berupa ukuran porsi yaitu
kecil, sedang, besar yang dapat dikonversikan ke dalam perhitungan zat gizi.
Instrumen FFQ terstandar dikembangkan melalui beberapa tahapan.
Pertama, metode FFQ harus didahului dengan survei database bahan makanan
atau pangan potensial. Database difokuskan pada jenis bahan makanan atau
pangan yang secara signifikan yang diketahui berhubungan dengan kejadian
penyakit atau kondisi patologis tertentu. Tidak semua jenis bahan makanan
dapat dimasukkan ke dalam formulir FFQ karena jumlahnya yang relatif banyak.
Peneliti hanya memfokuskan pada bahan makanan tertentu saja.
12
Shahar, Shai, Azrad et al. (2003) menjelaskan ada dua pertimbangan utama
dalam memasukkan bahan makanan atau makanan ke dalam formulir FFQ, yaitu
kandungan gizi dan frekuensi konsumsi. Sebaiknya zat gizi yang dimasukkan
memiliki korelasi kuat dengan penyebab masalah gizi. Selain itu, bahan makanan
yang dimasukkan sebaiknya memiliki frekuensi konsumsi yang relatif tinggi dan
dikonsumsi paling sedikit oleh 80% dari populasi dengan frekuensi minimal 1 kali
seminggu.
Kedua, daftar bahan makanan FFQ dapat diperoleh dengan melakukan 1 kali
recall 24 jam. Setelah itu dapat dilakukan FGD (Focus Group Discussion) pada
komunitas tertentu untuk mengidentifikasi sumber makanan yang tersedia dan
sering dikonsumsi oleh masyarakat setempat dalam kaitannya dengan bahan
makanan sebagai sumber zat gizi tertentu. Bahan makanan yang tidak pernah
atau tidak biasa dikonsumsi (dikonsumsi oleh <10% dari subyek) dikeluarkan dari
daftar.
Tahapan selanjutnya adalah menentukan ukuran porsi standar. Beberapa
sumber yang biasanya digunakan adalah dengan perhitungan median atau
berdasarkan persentil ke-25 dan persentil ke-75. Sumber lainnya menggunakan
nilai rata-rata dikonsumsi serta ukuran porsi kecil dan besar didasarkan pada
±1SD (Formulir SQ-FFQ dapat dilihat di Lampiran 13).
Metode FFQ relatif lebih mudah dan terjangkau jika dibandingkan dengan
metode dietary assessment lainnya dan sering digunakan dalam studi skala
besar maupun studi kohort. Namun ukuran porsinya mungkin tidak
mencerminkan yang sebenarnya dikonsumsi oleh responden sehingga masih
memiliki kekurangan dalam akurasi, validitas dan kelayakannya. FFQ secara
13
konseptual lebih abstrak daripada metode recall 24 jam atau food record yang
lebih konkret karena responden harus mengingat frekuensi makan dalam jangka
waktu yang lebih lama (Fahmida dan Dillon, 2007).
Responden dengan memori jangka pendek tidak cocok untuk metode FFQ
karena harus mengingat konsumsi dalam jangka waktu 1-3 bulan. Selain itu,
sering terkendala bahasa antara responden dan pewawancara namun dapat
diatasi dengan alat bantu gambar. Penyebutan nama makanan dan bahan
makanan menyesuaikan dengan bahasa lokal jika penggunaan bahasa nasional
dianggap tidak familiar (Eysteindottir, Thorsdottir, Gunnarsdottir et al., 2012).
2.5.2 24 Hours Recall
Metode recall 24 jam digunakan untuk menilai asupan gizi harian individu,
kelompok, dan masyarakat. Metode ini dinilai paling murah dan mudah dilakukan.
Beberapa peneliti menganjurkan agar metode pengukuran konsumsi pangan
tidak bersifat tunggal dan direkomendasikan menggunakan tiga metode,
misalnya metode food recall, food frequency questionnaire, dan metode
laboratorium (biomarker analysis) (Sirajuddin, Mustamin, Nadimin, dkk., 2013).
Recall estimasi asupan individu tidak boleh dilakukan satu kali melainkan
minimal 2 kali dengan selang satu hari pengukuran. Jika dilakukan selama dua
atau tiga kali pada hari yang berbeda dalam seminggu, asupan makanan
tersebut dapat merepresentasikan asupan aktual responden. Hal ini disebabkan
oleh tiga variabel yang berpengaruh yaitu kebiasaan makan, daya beli, dan
ketersediaan pangan.yang bersifat inelastis (tidak mudah berubah) kecuali oleh
musim (iklim) dan adanya pesta (local culture) (Gibson, 2005).
14
Metode ini dapat digunakan pada responden yang berusia >8 tahun karena
ukuran porsi (portion size) yang digunakan tidak sama antar kelompok umur. Hal
ini dapat diminimalisasi dengan alat bantu visual seperti food model atau food
picture ((Eysteindottir, Thorsdottir, Gunnarsdottir et al., 2012). Formulir 1x Recall
24 Jam dapat dilihat di Lampiran 12.
Metode recall 24 jam mudah dilakukan dengan pengolahan data yang
sederhana, murah dan cepat (antara 20 menit hingga 1-1/2 jam). Selain itu,
beban responden lebih rendah dibandingkan dengan metode food record
sehingga dapat digunakan pada tingkat populasi. Namun hasilnya tergantung
pada kelengkapan daftar makanan dalam kuesioner sehingga makanan musiman
sulit untuk diukur. Selain itu, sering terjadi overestimate intake karena
mengandalkan ingatan (Fahmida dan Dillon, 2007).
2.6 Hubungan Jumlah dan Frekuensi Konsumsi Sayur dan Buah dengan
Kejadian Overweight
Penelitian National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion
D of N and PA (2010) menyatakan penggantian makanan berdensitas energi
tinggi (tinggi kalori per berat bahan makanan) dengan makanan berdensitas
energi rendah seperti buah-buahan dan sayur-sayuran dapat menjadi salah satu
strategi penting dalam manajemen berat badan. Air dan serat dapat
meningkatkan volume makanan dan menurunkan densitas energi yang dapat
membantu seseorang merasa kenyang walaupun hanya mengonsumsi beberapa
kalori.
Menurut penelitian National Center for Chronic Disease Prevention and
Health Promotion D of N and PA (2010) pada 213 responden menyatakan bahwa
15
penambahan sayuran (wortel dan bayam) kurang lebih 200 gram untuk makanan
dengan kalori yang sama dapat meningkatkan rasa kenyang. Studi ini tidak
membedakan apakah efek tersebut terkait dengan kandungan serat dan air atau
terjadi pengurangan kepadatan energi dari makanan. Tetapi tingkat kekenyangan
berkorelasi positif dengan konsumsi serat, kadar air dan berat total makanan
yang berkurang sehingga dapat menurunkan berat badan. Selain itu, melalui
metode Multiple Risk Factor Intervention Trial, 147 responden yang dikonseling
(69%) mengalami penurunan berat badan setelah mengonsumsi buah dan sayur
sebanyak 5 porsi atau lebih per hari.
Hasil analisis dari penelitian tersebut membuktikan bahwa 53%
responden mengalami penurunan berat badan dan mempertahankan berat
badan normal dalam rata-rata 25 bulan (pada penelitian 4 hingga 76 bulan)
sehingga dapat disimpulkan konsumsi buah dan sayur secara tidak langsung
dapat membantu menurunkan dan mempertahankan berat badan menjadi
normal.
Menurut Webster-Gandy, Madden, Holdsworth (2011), ada pengaruh
jumlah asupan serat terhadap penurunan berat badan. Rata-rata asupan pada
anak lebih rendah dibanding asupan pada orang dewasa yaitu 14 gram per hari.
Asupan serat dalam diet anak lebih rendah dibandingkan dengan angka yang
direkomendasikan (25 gram per hari). Rata-rata asupan serat anak yaitu 18 gram
per hari dimana pada anak perempuan rata-ratanya 10,6 gram per hari lebih
rendah dibandingkan dengan anak laki-laki dengan rata-rata 12,2 gram per hari.
Sedangkan rata-rata asupan serat pada anak yang lebih tua (11-18 tahun) lebih
tinggi daripada asupan pada anak yang lebih muda (4-10 tahun).
16
Penelitian Tucker dan Thomas (2009) menyatakan bahwa dalam periode
20 bulan, setiap 1 gram peningkatan total serat yang dikonsumsi per hari terjadi
penurunan berat badan sebesar 0,25 kg. Ada sekitar 50 studi yang menilai
hubungan antara asupan energi, berat badan, dan asupan serat. Menurut
penelitian Slavin (2013), meningkatkan asupan serat 14 gram per hari dapat
menurunkan 10% asupan energi dan 2 kg berat badan selama sekitar 4 bulan.
Perubahan yang diamati terjadi pada asupan energi dan berat badan tanpa
memperhatikan sumber serat sebagai makanan tinggi serat alami atau suplemen
serat fungsional.
Serat berfungsi untuk mengontrol nafsu makan dan mengontrol berat
badan. Waktu yang panjang dalam mengunyah dan mencerna makanan kaya
serat dapat meningkatkan rasa kenyang karena merangsang saliva dan produksi
asam lambung yang meningkatkan distensi lambung. Beberapa serat larut yang
mengikat air juga dapat meningkatkan distensi dan dapat memicu sinyal kenyang
pada vagal aferen sehingga mengakibatkan kejenuhan saat makan dan kenyang
setelah makan sehingga menurunkan asupan energi berikutnya (Ambrosini,
Alfonso, Reid et al., 2014).
Serat tertentu dapat memperlambat pengosongan lambung dan
mengurangi tingkat penyerapan glukosa di usus kecil. Ketika glukosa dilepaskan
perlahan, respon insulin juga berkurang. Tanggapan glukosa dan insulin post-
prandial yang secara stabil melambat terkadang menyebabkan rasa kenyang.
Selama proses pencernaan, beberapa hormon kenyang dilepaskan dan sinyal
dikirim ke otak. Hormon tersebut antara lain: ghrelin, polipeptida YY dan
17
glucagon-like peptide yang mengatur rasa kenyang, asupan makanan, dan
keseimbangan energi secara keseluruhan (Slavin, 2013).
Buah dan sayuran kaya air dan serat serta rendah energi. Oleh karena
itu, konsumsi buah dan sayuran telah diusulkan sebagai strategi pencegahan
obesitas. Buah dan sayuran menjadi pelindung dari adiposit terkait metabolisme
makanan padat energi. Efek yang mengenyangkan dari serat mengakibatkan
kalori yang dikonsumsi menjadi lebih sedikit (Ledoux et al, 2011). Sama halnya
dengan kejadian overweight, buah dan sayuran dapat menjadi alternatif strategi
pencegahan overweight karena kandungan serat yang tinggi
top related