bab-1 review satu
Post on 26-Dec-2015
44 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan jiwa adalah respon maladaptif dari lingkungan internal
dan eksternal, dibuktikan melalui pikiran, perasaan dan perilaku yang
tidak sesuai dengan norma lokal atau budaya setempat dan mengganggu
fungsi sosial, pekerjaan dan atau fisik (Townsend, 2005). Data American
Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% penduduk
dunia akan mengidap skizofrenia.
Gangguan jiwa di Indonesia menjadi masalah yang cukup serius.
Berdasarkan data Depkes (2001) ada satu dari lima penduduk Indonesia
menderita gangguan jiwa. Data dari World Heath Organizatiom (WHO)
pada tahun 2006, terdapat 26 juta penduduk Indonesia mengalami
gangguan jiwa. Hasil SKMRT menunjukkan gangguan mental emosional
pada usia di atas lima belas tahun adalah 140 orang per 1.000 penduduk
dan usia lima sampai 14 tahun sebanyak 104 orang per 1.000 penduduk
(Maramis, 2006)
Prevalensi gangguan jiwa di Indonesia tahun 2007 sebesar 4,6%
(Balitbangkes, 2008). WHO menyebutkan masalah utama gangguan jiwa
di dunia adalah skizofrenia, depresi unipolar, penggunaan alkohol,
gangguan bipolar, gangguan obsesif kompulsif (Stuart & Laraia, 2005).
Skizofrenia adalah gangguan pada otak dan pola piker (Torrey, 1997
dalam Carson, 2003). Perilaku yang sering muncul pada klien skizofrenia:
motivasi kurang (81%), isolasi social (72%), sukar menyelesaikan tugas
(72%), sukar mengatur keuangan (72%), penampilan tidak rapi (64%),
lupa melakukan sesuatu (64%), kurang perhatian pada orang lain (56%),
sering bertengkar (47%), bicara pada diri sendiri (41%), dan tidak teratur
makan obat (47%) (Stuart & Laraia, 2005).
Proses keperawatan pada pasien dengan masalah kesehatan jiwa
merupakan tantangan yang unik karena masalah kesehatan jiwa mungkin
tidak dapat dilihat langsung, seperti pada masalah fisik yang
memperlibatkan bermacam-macam gejala dan disebabkan berbagai hal.
Kejadian masa lalu yang sama dengan kejadian saat ini, tetapi mungkin
muncul gejala yang berbeda dan kontradiksi. Kemampuan mereka untuk
berperan dalam menyelesaikan masalah juga bervariasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis termotivasi
memilih keperawatan jiwa dalam rangka menyelesaikan tugas mata ajar
Praktik Belajar Lapangan Komprehensif (PBLK). PBLK merupakan mata
kuliah yang bertujuan untuk mempersiapkan mahasiswa dalam
menghadapi realita kerja dengan memberikan kesempatan untuk
meningkatkan kemampuan dalam mengaplikasikan semua teori dan
konsep yang telah diperoleh selama proses pendidikan. Kegiatan PBLK ini
juga diharapkan secara langsung dapat memberikan masukan untuk
peningkatan pelayanan keperawatan pada tempat yang menjadi lahan
praktik.
PBLK dilaksanakan di ruang Sipiso-piso Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Sumatera Utara Medan selama 4 minggu, dimulai tanggal 7 Juli
2014 sampai dengan 2 Agustus 2014. Kegiatan ini dimulai dengan
pengarahan dari dosen pembimbing PBLK masing-masing. Selanjutnya
kelompok melakukan survei, wawancara, dan observasi fenomena yang
terjadi di lapangan untuk mendapatkan gambaran umum tentang program
yang akan dilaksanakan.
Hubungan saling percaya antara perawat dan pasien merupakan
dasar utama dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien gangguan
jiwa. Hal ini penting karena peran perawat dalam asuhan keperawatan jiwa
adalah membantu pasien untuk dapat menyelesaikan masalah sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya. Cara pasien yang mengalami
gangguan jiwa untuk mengatasi masalah sangat unik kadang pasien
menghindar serta menolak berperan serta dan peran perawat bertanggung
jawab untuk melakukan pendekatan secara holistik untuk membantu
masalah yang dihadapi oleh pasien yang mengalami gangguan jiwa atau
hanya membiarkan khususnya terhadap pasien yang tidak menimbulkan
keributan dan tidak membahayakan.
B. Tujuan PBLK
Tujuan dari kegiatan PBLK ini adlah untuk meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam mensintesa ilmu pengetahuan,
melaksanakan asuhan keperawatan jiwa secara komprehensif dan
professional, baik kepada individu, keluarga, serta masyarakat,
menginterogasikan konsep berpikir logis dan analisis, berinisiatif dan
kreatif dalam pemecahan masalah dan koordinasi dengan tim dalam
praktek keperawatan yang didasarkan pada kondisi nyata. Di samping itu,
juga dapat melakukan manajemen pelayanan keperawatan melalui proses
pengorganisasian kegiatan-kegiatan keperawatan secara efektif dan efisien
dalam pelayanan keperawatan dengan selalu meningkatkan pengelolaan
pelayanan keperawatan.
C. Manfaat PBLK
Kegiatan PBLK ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Mahasiswa Keperawatan
Memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk meningkatkan
kemampuan dan mengaplikasikan semua teori dan konsep yang telah
diperoleh selama pendidikan secara komprehensif dalam bentuk
pelayanan professional baik pada pengelolaan manajemen pelayanan
keperawatan secara efektif dan efisien.
2. Institusi Pendidikan
Memberikan masukan metode pemberian asuhan keperawatan jiwa
melalui pengaplikasian konsep dan teori keperawatan jiwa ke dalam
praktek langsung, serta menigkatkan kompetensi lulusan institusi
sehingga dapat digunakan untuk peningkatan pengelolaan asuhan
keperawatan yang bermanfaat bagi institusi pendidikan.
3. Lahan Praktik/Rumah Sakit Jiwa
Secara langsung dapat memberikan masukan untuk peningkatan
pengelolaan asuhan keperawatan dan pengelolaan manajemen
keperawatan di ruang Sipiso-piso Rumah Sakit Jiwa Daerah
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Medan.
BAB II
PENGELOLAAN PELAYANAN KEPERAWATAN
1. Pengertian Manajemen Keperawatan
Manajemen keperawatan adalah suatu proses bekerja melalui anggota staf
keperawatan untuk memberikan perawatan, pengobatan, dan bantuan terhadap
pasien (Gillies, 1989). Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan telah
menerapkan pengelolaan pelayanan keperawatan menggunakan sistem MPKP
(Manjemen Pelayanan Keperawatan Profesional). Sistem MPKP ini
diterapkan di dua ruangan yaitu Sipiso-piso dan Cempaka. MPKP adalah
suatu model keperawatan profesional yang keilmuwannya bisa
dipertanggungjawabkan sesuai kode etik keperawatan dan kaidah keperawatan
yang meliputi bio, psiko, sosial, dan spiritual. Modifikasi MPKP yang
dilakukan meliputi 3 jenis yaitu:
a. MPKP Transisi
MPKP transisi yang tenaga perawatnya masih ada yang berlatar belakan
pendidikan SPK, nemun kepala ruangan dan ketua timnya minimal dari
D3 keperawatan
b. MPKP Pemula
MPKP dasar yang semua tenaganya minimal D3 keperawatan
c. MPKP Profesional dibagi 3 tingkatan yaitu:
1) MPKP I
MPKP dengan tenaga perawat pelaksana minimal D3 keperawatan,
kepala ruangan dan ketua tim mempunyai pendidikan minimal S1
keperawatan.
2) MPKP II
MPKP intermediet dengan tenaga perawat minimal D3 keperawatan
dan mayoritas Sarjana Ners Keperawatan, sudah memiliki tenaga
spesialis keperawatan jiwa.
3) MPKP III
MPKP Advance yang semua tenaga perawat minimal Sarjana Ners
Keperawatan, sudah memiliki tenaga spesialis keperawatan jiwa dan
doktor keperawatan yang bekerja di area keperawatan jiwa
Dari hasil penelitian menunjukkan tujuan diadakannya ruang atau bangsal
MPKP yaitu diharapkan keperawatan professional bisa diterapkan sehingga
pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai masalah keperawatan klien.
Program-program MPKP yang telah dibuat dan direncanakan tersebut tentu saja
terdapat di dalam asuhan keperawatan yang akan dilakukan kepada klien agar
asuhan keperawatan yang diberikan itu lebih fokus dan holistik.
MPKP merupakan suatu praktek keperawatan yang sesuai dengan kaidah
ilmu manajemen modern dimana kaidah yang dianut dalam pengelolaan
pelayanan keperawatan di ruang MPKP adalah pendekatan yang dimulai dengan
perencanaan. Perencanaan di ruang MPKP adalah kegiatan perencanaan yang
melibatkan seluruh personil (perawat) ruang MPKP mulai dari kepala ruangan,
ketua tim dan anggota tim (perawat asosiate).
Tugas dari karu MPKP yaitu membuat rencana bulanan, mingguan, harian;
mengorganisasi tim dan anggotanya, member pengarahan pelaksanaan tugas pada
staf keperawatan, pekarya, dan staf administrasi; memfasilitasi kolaborasi perawat
primer dengan anggota tim kesehatan lainnya, melakukan pengawasan
pelaksanaan tugas seluruh personil ruang MPKP, melakukan audit pelaksanaan
asuhan dan pelayanan keperawatan di ruangan, mewakili ruang MPKP dalam
koordinasi dengan unit kerja lainnya. Tugas dari perawat pelaksana di ruang
MPKP yaitu membuat rencana harian yang menjadi tanggung jawabnya,
melaksanakan tindakan keperawatan kepada klien, memberikan informasi, umpan
balik kepada perawat pelaksana bila ada perubahan pada kliennya, memberikan
pelayanan keperawatan yang profesional.
2. Uraian Tugas Perawat di Ruang Sipiso-piso RSJD Provsu Medan
a. Uraian tugas kepala ruangan
1) Mengatur pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan yang
diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan pasien
2) Mengatur penempatan tenaga keperawatan di ruangan
3) Mengatur penggunaan dan pemeliharaan logistik keperawatan agar
selalu siap pakai
4) Memberi pengarahan dan motivasi kepada ketua tim atau grup agar
melaksanakan asuhan keperawatan sesuai standar, etis, dan
professional
5) Melakukan program orientasi pada:
a. Tenaga baru
b. Siswa/mahasiswa peserta didik
c. Pasien baru
6) Mendampingi dokter/supervisor selama kunjungan visite
7) Mengelompokkan pasien, mengatur penempatannya di ruangan
menurut tingkat kegawatan untuk mempermudah asuhan keperawatan
8) Menciptakan, memelihara suasana kerja yang baik antar petugas,
pasien/keluarga sehingga member ketenangan
9) Mengadakan pertemuan berkala tenaga keperawatan minimal dua kali
per hari untuk membicarakan pelaksanaan kegiatan di ruangan
10) Memeriksa dan meneliti
a. Pengisian daftar permintaan makanan
b. Pengisian sensus harian
c. Pengisian buku register
d. Pengisian rekam medis
11) Mengawasi dan menilai pelaksanaan asuhan keperawatan lima (5)
tahapan:
a. Pengkajian keperawatan
b. Diagnosa keperawatan
c. Perencanaan keperawatan
d. Pelaksanaan keperawatan
e. Evaluasi keperawatan
12) Pertemuan secara rutin dengan pelaksana keperawatan
13) Membuat laporan pelaksanaan kegiatan di ruangan
b. Uraian tugas ketua tim
1) Bersama anggota tim/grup melaksanakan asuhan keperawatan sesuai
standar
2) Bersama anggota tim/grup mengadakan serah terima tugas dengan
tim/grup lain (grup petugas panti) mengenai :
a. Kondisi pasien
b. Logistik keperawatan
c. Administrasi rekam medis
d. Layanan pemeriksaan penunjang
e. Kolaborasi program pengobatan
3) Melanjutkan tugas-tugas yang belum dapat diselesaikan oleh grup
sebelumnya
4) Merundingkan pembagian tugas dengan anggota grupnya
5) Menyediakan perlengkapan untuk pelayanan dan visite dokter
6) Mendampingi dokter visite, mencatat dan melaksanakan program
pengobatan dokter
7) Membentuk melaksanakan rujukan
8) Melakukan orientasi terhadap pasien/keluarga baru mengenai :
a. Tata tertib ruangan/rumah sakit
b. Perawat yang bertugas
9) Mempersiapkan pasien pulang dan memberikan penyuluhan kesehatan
10) Memelihara kebersihan ruangan dengan :
a. Mengatur tugas cleaning service
b. Mengatur tata tertib ruangan yang ditujukan kepada semua
petugas, peserta didik, dan pengunjung ruangan
11) Membantu kepala ruangan membimbing peserta didik keperawatan
12) Membantu kepala ruangan untuk menilai mutu pelayanan asuhan
keperawatan serta tenaga keperawatan
13) Menulis laporan tim mengenai kondisi pasien dan lingkungannya
c. Uraian tugas perawat pelaksana
1) Melaksanakan asuhan keperawatan sesuai standar
2) Mengadakan serah terima tugas dengan tim/grup lain (grup petugas
pengganti) mengenai :
a. Kondisi pasien
b. Logistik keperawatan
c. Administrasi rekam medis
d. Layanan pemeriksaan penunjang
e. Kolaborasi program pengobatan
3) Melanjutkan tugas-tugas yang belum dapat diselesaikan oleh grup
sebelumnya
4) Merundingkan pembagian tugas dengan anggota grupnya
5) Menyediakan perlengkapan untuk pelayanan dan visite dokter
6) Mendampingi dokter visite, mencatat melaksanakan program
pengobatan dokter
7) Membantu melaksanakan rujukan
8) Melakukan orientasi terhadap pasien/keluarga baru mengenai :
a. Tata tertib ruangan/rumah sakit
b. Perawat yang bertugas
9) Mempersiapkan pasien pulang dan memberikan penyuluhan kesehatan
10) Memelihara kebersihan ruangan dengan :
a. Mengatur tugas cleaning service
b. Mengatur tata tertib ruangan yang ditujukan kepada semua
petugas, peserta didik, dan pengunjung ruangan
11) Membantu kepala ruangan membimbing peserta didik keperawatan
12) Membantu kepala ruangan untuk menilai mutu pelayanan asuhan
keperawatan serta tenaga keperawatan
13) Menulis laporan tim mengenai kondisi pasien dan lingkungannya
14) Memberikan penyuluhan kesehatan pada pasien /keluarga
15) Menjelaskan tata tertib rumah sakit, hak, dan kewajiban pasien
2. Analisa Ruang Rawat
a. Pengkajian
Pengkajian kegiatan praktik keperawatan jiwa profesional di Ruang Sipiso-
Piso RSJD Provsu Medan berdasarkan pada pendekatan MPKP yang meliputi
empat pilar nilai professional. Pendekatan manajemen (management approach)
sebagai pilar praktik professional yang pertama, diterapkan dalam bentuk fungsi
manajemen yang terdiri dari perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), pengarahan (directing) dan pengendalian (controlling). Selanjutnya
pilar kedua yaitu compensatory reward yang terkait dengan manajemen Sumber
Daya Manusia (SDM) yang meliputi rekrutmen, seleksi, orientasi,
evaluasi/penilaian kerja,pengembangan staf. Pilar ketiga yaitu Professional
relationship meliputi rapat tim kesehatan, rapat tim keperawatan, konferensi
kasus, dan visite dokter. Pilar keempat yaitu patien care delivery meliputi asuhan
keperawatan dengan menerapkan proses keperawatan berdasarkan survei masalah
yang dilakukan.
Pengkajian mahasiswa PBLK dilakukan pada 2-4 Juli 2014 pada 10.00-12.00
WIB di Ruang Sipiso-Piso RSJD Provsu Medan. Pengkajian dilakukan dengan
menggunakan instrumen self evaluasi dan wawancara kepala ruangan serta
perawat pelaksana. Maka didapatkan hasil berikut ini :
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan merupakan rumah sakit tipe A yang
melayani seluruh lapisan masyarakat. Ruang Sipiso-Piso memiliki visi, misi,
motto, dan falsafah yaitu:
a. VISI : Menjadikan pelayanan asuhan keperawatan jiwa optimal dan
paripurna secara professional untuk kepuasan masyarakat.
b. MISI : Melaksanakan pelayanan asuhan keperawatan jiwa yang
paripurna dan professional secara terpadu untuk kesembuhan pasien.
c. MOTTO :
A : Arif
S : Sosial
K : Komunikatif
E : Efektif
P : Profesional
d. Falsafah dan tujuan keperawatan RSJD Provsu Medan adalah
1. Pelayanan keperawatan jiwa dilakukan secara professional didasari
pada ilmu perilaku dan keperawatan.
2. Pelayanan keperawatan jiwa diberikan sepanjang siklus kehidupan
manusia dengan respon psikososial tanpa membedakan suku, agama,
ras dan golongan
3. Perawat menggunakan proses keperawatan untuk membantu dalam
meningkatkan, mencegah, mempertahankan, dan memulihkan masalah
kesehatan jiwa
4. Pelayanan keperawatan jiwa pada umumnya meliputi perawatan fisik,
mental dan social budaya yang pada praktiknya tidak dapat dipisahkan
satu sama lain
5. Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku
6. Pendidikan keperawatan yang berkelanjutan harus dilaksanakan secara
terus-menerus untuk pengembangan staf dalam pelayanan keperawatan
7. Asuhan keperawatan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera
Utara mempunyai peran sentral dalam pemgembangan misi
keperawatan terhadap klien dengan masalah kejiwaan di Sumatera
Utara
e. Ketenagaan
Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan pada bulan Juli,
ketenagaan di Runag Sipiso-Piso RSJD Provsu Medan antara lain : jumlah
tenaga keperawatan ada 6 orang dengan latar pendidikan 3 orang S1
Keperawatan dan 3 orang D3 Keperawatan serta 1 orang Sarjana
Kesehatan Masyarakat. Proses rekrutmen tenaga kesehatan melalui seleksi
CPNS dan dilakukan masa orientasi selama satu bulan. Evaluasi tenaga
kerja dilakukan satu tahun sekali. Pengembangan untuk tenaga kerja
disediakan dari rumah sakit tanpa kriteria khusus.
b. Indikator Mutu
Adapun perhitungan indikator mutu yang dilakukan di Ruang
Sipiso-Piso RSJD Provsu Medan yaitu pengukuran Bed Occupancy Rate
(BOR) . Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan mahasiswa melalui
kuisioner dan wawancara pada bulan Juli 2014 adalah.
Tabel 1. Perhitungan Indikator Mutu Ruang Sipiso-Piso RSJDProvsu Medan
No Aspek yang dinilai Nilai (%)1 BOR 87,52 Angka lari 03 Angka scabies 04 Angka pengekangan 4,85 Angka cedera 0
c. Survei Masalah Keperawatan
Berdasrkan hasil pengkajian mahasiswa melalui observasi dan pengecekan
status pasien pada bulan Juli 2014 diperoleh masalah keperawatan di Ruang
Sipiso-Piso RSJD Provsu Medan dengan perincian sebagai berikut:
Tabel 2. Survei Masalah Keperawatan Ruang Sipiso-Piso RSJD Provsu
Medan
No Aspek yag dinilai Jumlah (%)1 Isolasi sosial 192 Halusinasi pendengaran 33,33 Harga diri rendah 14,34 Perilaku kekerasan 9,65 Waham 196 Kurang perawatan diri 4,8
7 Resiko bunuh diri 0
d. Evaluasi Kinerja Perawat (Self Evaluation)
Kinerja perawat di ruang MPKP dapat dinilai, salah satunya dengan
menggunakan kuisione self evaluation yang diberikan kepada kepala ruangan,
ketua tim, dan perawat pelaksana. Adapun kriteria kelulusan perawat
berdasarkan jumlah nilai yang dihasilkan perawat dari kuisioner tersebut. Jika
nilai perawat ≥75 maka dinyatakan lulus. Dibawah ini dipaparkan hasil dari
kuisioner self evaluation:
Tabel 3. Self Evaluation Kinerja Perawat Ruang Sipiso-Piso RSJD Provsu Medan
Jabatan Nilai (%) KeteranganKepala ruangan 88 Lulus Ketua Tim I 84 LulusKetua Tim II 84,5 LulusPerawat pelaksana I 35,5 Tidak LulusPerawat pelaksana II 39,5 Tidak LulusPerawat Pelaksana III 50 Tidak LulusPerawat Pelaksana IV 40,5 Tidak Lulus
Berdasarkan hasil observasi selama pengkajian, kinerja perawat cukup
baik, namun masih ada yang mengacu pada metode fungsional, padahal dalam
MPKP yang digunakan diruangan berupa metode tim.
2. Analisa SWOT
a. Kekuatan (Strenght)
1. Adanyan visi, misi, motto, dan falsafah bidang keperawatan di Ruang
Sipiso-Piso
2. Adanya rencana tahunan kepala ruangan
3. Adanya struktur organisasi dan pemggunaan metode penugasan tim
4. Adanya daftar dinas perawat di ruangan
5. Adanya uraian tugas yang jelas antara kepala ruangan, ketua tim, dan
perawat pelaksana
6. Adanya buku rawatan yang berisikan informasi tentang kondisi pasien
7. Kepala ruangan mendelegasikan tugas kepada ketua tim jika berhalangan
hadir
8. Perawat yang bekerja di ruangan melalui proses rekruitmen dan sesuai
kriteria yang ditetapkan oleh RSJD Provsu Medan
9. Adanya rapat antara tenaga kesehatan yang dilakukan satu bulan sekali
10. Adanya rapat bulanan antara tim keperawatan
11. Adanya program orientasi perawat baru
12. Adanya penilaian indikator mutu berdasarkan BOR
13. Adanya supervisi terhadap status pasien oleh kepala ruangan setiap harinya
dan kepala bidang keperawatan setiap minggu I dan III atau minggu II dan
IV.
b. Kelemahan (Weakness)
1. Belum optimalnya supervisi terhadap perawat pelaksana
2. Kurang optimalnya perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan kepada
keluarga pasien
3. Operan lebih sering melalui buku catatan tanpa tatap muka dengan pasien dan
perawat saat pergantian shift
4. Tidak adanya kebijakan reward dan denda bagi perawat
5. Belum optimalnya penerapan MPKP di ruangan Cempaka, dikarenakan
kekurangan ketenagaan
6. Belum optimalnya survei kepuasan pasien dan keluarga pasien
7. Belum adanya pelatihan MPKP bagi perawat di ruang Sipiso-Piso RSJD
Provsu Medan
8. Tidak adanya pemeriksaan tanda-tanda vital pasien di ruang Sipiso-Piso
setiap hari
c. Kesempatan (Opportunity)
Adanya mahasiswa dari institusi-institusi kesehatan yang dinas di RSJD
Provsu Medan
d. Ancaman (Threatened)
1. Adanya rumah sakit swasta memberikan pelayanan kesehatan yang
mungkin lebih baik
2. Adanya tuntutan masyarakat yang lebih untuk mendapatkan pelayanan
yang profesional
3. Rumusan Masalah
Gambaran hasil analisa situasi Ruang Sipiso-Piso RSJD Propsu Medan adalah
a. Pilar I (Management Approach)
1. Planning (Perencanaan)
Adanya rencana kerja harian di ruangan tetapi formatnya belum ada.
Standar Asuhan Keperawatan (SAK) di ruangan sudah ada, tetapi masih harus
direvisi sesuai diagnosa keperawatan pasien di ruangan. Berdasarkan hasil
kuisioner yang diberikan kepada kepala ruangan diperoleh bahwa kepala
ruangan selalu membuat rencana kerja harian, bulanan, dan tahunan.
Sedangkan untuk ketua tim diperoleh bahwa ketua tim sering membuat
rencana kerja harian dan bulanan. Sedangkan untuk perawat pelaksana
diperoleh 75% perawat pelaksana membuat rencana kerja harian.
Tindak Lanjut: Membuat format kerja harian
2. Organization (Pengorganisasian)
Perawat memiliki uraian tugas dan jadwal dinas yang dibuat berdasarkan
tim dengan proporsi jumlah perawat dinas pagi lebih besar dari dinas sore dan
malam. Perawat pagi biasanya 4 orang yaitu kepala ruangan, ketua tim, dan 2
perawat pelaksana. Sedangkan dinas sore satu perawat pelaksana dan dinas
malam satu perawat pelaksana serta satu perawat libur.
Belum tersedianya daftar nama pasien dan perawat yang bertanggung jawab.
Tindak lanjut: Menganjurkan kepala ruangan dan ketua tim untuk membuat
daftar nama pasien dan perawat yang bertanggung jawab.
3. Pengarahan
Belum optimalnya sistem operan antar shift. Operan biasanya melalui
buku rawatan. Berdasarkan hasil observasi diperoleh bahwa pre dan post
conference jarang dilakukan. Tindak lanjut : Mensosialisasikan dan
melakukan role play pelaksanaan pergantian shift dan menganjurkan kepala
ruangan dan ketua tim untuk melaksanaka pre dan post conference
4. Pengawasan
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi diperoleh bahwa penilaian
idikator mutu BOR 87,5%. Sedangkan indikator TOI tidak ada. Tindak lanjut:
Menganjurkan kepala ruangan untuk mengukur indikator mutu pelayanan
selain BOR seperti TOI dan AVLOS. Kuisioner kepuasan terhadap keluarga
pasien perlu dibuat untuk menilai asuhan keperawatan yang diberikan kepada
pasien.
b. Pilar II (Compensatory Reward)
Berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa tidak adanya reward bagi
perawat teladan dan denda bagi perawat yang terlambat ataupun tidak hadir tanpa
keterangan. Tindak lanjut: Menganjurkan kepada kepala ruangan untuk
menetapkan sistem reward dan denda di ruangan.
c. Pilar III (Proffesional Relationship)
Adanya case coference namun tidak ada waktu khusus untuk
melaksanakannya. Tindak lanjut : Menganjurkan kepala ruangan untuk membuat
jadwal untuk case conference agar dapat terlaksana secara rutin dan terjadwal.
d. Pilar IV (Patient Care Delivery)
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) jarang dilakukan oleh tim keperwatan di
Ruang Sipiso-Piso dan biasanya hanya dilakukan oleh mahasiswa yang dinas di
ruangan tersebut. Pengukuran tanda-tanda vital jarang dilakukan dan tidak ada
poster tentang gangguan jiwa di dalam ruangan. Selain itu, kurang optimalnya
pemberian pendidikan kesehatan kepada keluarga pasien.
Tindak lanjut: Membuat format TAK, melasanakan TAK sesuai dengan kasus,
menganjurkan perawat untuk menyusun jadwal perawat yang bertanggung jawab
dalam kegaiatan TAK serta membuat media seperti leaflet, sesuai diagnosa pasien
untuk keluarga pasien. Melakukan pengukuran tanda-tanda vital setiap hari dan
membuat poster sesuai dengan diagnosa terbanyak di ruangan.
4. Rencana Penyelesaian Masalah
a. Pilar I (Management Approach)
1) Sosialisasi penggunaan format kerja harian
2) Sosialisasi pelaksanaan pergantian shift
3) Anjurkan kepala ruangan dan ketua tim untuk membuat daftar nama
pasien dan perawat yang bertanggung jawab
4) Anjurkan untuk membuat kuisioner kepuasan terhadap keluarga pasien
perlu dibuat untuk menilai asuhan keperawatan yang diberikan kepada
pasien.
b. Pilar II (Compensatory Reward)
Anjurkan kepala ruangan untuk menetapkan sistem reward dan denda bagi
perawat di ruangan.
c. Pilar III (Proffesional Relationship)
Anjurkan kepala ruangan untuk membuat jadwal untuk case conference
agar dapat terlaksana secara rutin dan terjadwal
d. Pilar IV (Patient Care Delivery)
Buat format TAK, melasanakan TAK sesuai dengan kasus, menganjurkan
perawat untuk menyusun jadwal perawat yang bertanggung jawab dalam
kegaiatan TAK serta membuat media seperti leaflet sesuai diagnosa pasien
untuk keluarga pasien. Melakukan pengukuran tanda-tanda vital setiap hari
dan membuat poster sesuai dengan diagnosa terbanyak di ruangan.
5. Implementasi
Setelah diadakan presentasi hasil pengkajian, disepakati prioritas masalah dan
rencana penyelesaian masalah, mahasiswa PBLK melakukan implementasi
kegiatan. Implementasi yang dilakukan mulai tanggal 7-19 Juli 2014 di ruang
Sipiso-piso RSJD Provsu Medan. Adapun implementasi yang dilakukan
mahasiswa PBLK yaitu menggunakan 4 pilar manajemen MPKP, sebagai berikut:
a. Pilar I (Management Aproach)
Dari segi pegelolaan pelayanan keperawatan, mahasiswa melakukan
sosialisasi kembali tentang format rencana kerja perawat baik harian, mingguan,
bulanan, untuk kepala ruangan, ketua tim, dan perawat pelaksana. Kegiatan
sosialisasi ini dilaksanakan tanggal 11 Juli 2014. Selain itu mahasiswa melakukan
role play dari tanggal 14-19 Juli 2014 sebagai kepala ruangan, ketua tim, dan
perawat pelaksana yang kemudian membuat daftar nama pasien dan perawat yang
bertanggung jawab (dapat dilihat di lampiran).
Dengan adanya kegiatan ini diharapkan dapat merefresh ulang pengetahuan
perawat serta memotivasi perawat untuk menjadi perawat profesional sebagai
manager untuk pelayanan keperawatan yang lebih baik.
b. Pilar II (Compensatory Reward)
Pada pilar kedua, mahasiswa hanya dapat memberikan saran kepada kepala
ruangan untuk mengusulkan diadakannya pelatihan manajemen MPKP dan
asuhan keperawatan terkait keperawatan jiwa bagi perawat di ruangan dan
menetapkan sistem reward dan denda bagi perawat di ruangan.
c. Pilar III (Profesional Relationship)
Pada pilar ketiga ini, mahasiswa hanya dapat memberikan saran kepada
kepala ruangan untuk membuat jadwal untuk case conference agar dapat
terlaksana secara rutin dan terjadwal.
d. Pilar IV (Patient Care Delivery)
Pada pilar keempat, mahasiswa PBLK melakukan Terapi Aktivitas Kelompok
(TAK) di Sipiso-piso berdasarkan diagnosa terbanyak, yaitu untuk halusinasi
pendengaran, dan isolasi sosial. Kegiatan TAK ini dilakukan 4 kali pada tanggal
11, 14, 17, dan 19 Juli 2014. Berdasarkan kesepakatan, mahasiswa juga membuat
poster tentang halusinasi pendengaran dan isolasi sosial di ruangan Sipiso-piso
pada tanggal 26 Juli 2014.
6. Evaluasi
Waktu pelaksanaan PBLK di ruang Sipiso-piso RSJD Provsu Medan
dilaksanakan lebih kurang 4 minggu. Berdasarkan hasil kesepakatan dengan
perawat ruang Cempaka, maka terdapat 5 kegiatan dari 3 pilar MPKP, yaitu
management approach, professional relationship, dan patient care delivery.
Kegiatan lain yang dilakukan oleh mahasiswa PBLK secara individu adalah
memberikan asuhan keperawatan kepada pasien sesuai dengan kasus yang
menjadi kelolaan.
Berdasarkan hasil dari penyelesaian masalah yang dilakukan di ruang Sipiso-
piso dengan menggunakan pendekatan MPKP dapat dievaluasi sebagai berikut:
a. Pilar I (Management Approach)
Selama proses implementasi dapat dianalisa bahwa kegiatan penerapan
pembuatan rencana kerja harian belum optimal pelaksanaannya. Sehingga perlu
ditetapkan pembuatan rencana harian sebagai suatu penilaian kinerja perawat.
Selain itu, pelaksanaan pre/post conference juga masih belum efektif dilakukan,
namun karena adanya buku rawatan pada tiap ruangan, dapat membantu perawat
pada shift berikutnya. Sehingga diharapkan perlu adanya supervisi terhadap
kegiatan pre/post conference untuk setiap shift, minimal setiap pergantian shift
pagi.
b. Pilar II (Compensatory Reward)
Hasil observasi menunjukkan bahwa penilaian kinerja dan pengembangan staf
belum optimal dilakukan oleh kepala ruangan, namun setiap harinya kepala
ruangan melakukan supervisi terhadap dokumentasi asuhan keperawatan yang
dilakukan. Selain itu, untuk daftar perawat yang bertanggung jawab atas tiap
pasien belum terlaksana secara optimal.
c. Pilar III (Professional Relationship)
Hasil observasi selama implemenntasi menunjukkan bahwa case conference
belum berjalan dengan optimal padahal kegiatan ini merupakan sarana yang tepat
untuk membagi dan menambah pengetahuan.
d. Pilar IV (Patient Care Delivery)
Pemberian asuhan keperawatan di ruang Sipiso-piso diarahkan berfokus
kepada tindakan keperawatan tanpa mengabaikan tindakan kolaborasi. Metode
penugasan yang digunakan di ruang Sipiso-piso yaitu metode tim, tetapi masih
sebagian menggunakan metode fungsional. Hal ini menyebabkan biasanya
perawat berinteraksi dengan klien hanya jika ada tindakan tertentu yang ingin
dilakukan misalnya menyuntik, mengukur tanda-tanda vital, atau memberi obat.
Hal paling nyata yang berdampak pada pasien yaitu kurang optimalnya asuhan
keperawatan yang diberikan perawat.. Strategi pertemuan dan terapi aktivitas
kelompok juga belum terlaksana secara optimal. Sehingga, pada implementasi
mahasiswa PBLK membuat TAK khususnya bagi pasien dengan diagnosa
terbanyak yaitu halusinasi pendengaran dan isolasi sosial. Berdasarkan hasil
observasi dan wawancara, pasien tampak lebih bersemangat dan memahami
masalah kesehatan jiwa yang sedang dihadapinya dan berusaha untuk
mengatasinya.
3. Pembahasan
Berdasarkan hasil dari penyelesaian masalah yang dilakukan di ruang
Cempaka dengan menggunakan pendekatan MPKP dapat dibahas sebagai berikut:
a. Pilar I (Management Aproach)
Pada pilar I MPKP, mahasiswa PBLK membuat rencana kerja harian
yang dilakukan sebagai suatu penilaian kinerja perawat di ruang Sipiso-
piso, selain itu dilakukan penyegaran (sosialisasi ulang) tentang cara
pembuatan rencana harian yang efektif, yang mengacu pada kegiatan
keperawatan berdasarkan masalah keperawatan tiap pasien. Hal ini sesuai
dengan fungsi manajemen yaitu perencanaan. Perencanaan adalah
memutuskan seberapa luas akan dilakukan, bagaimana melakukan dan
siapa yang melakukan (Swanburg, 2000), sedangkan rencana kerja harian
merupakan salah satu perencanaan seorang perawat, seperti yang
dikatakan oleh Keliat & Akemat (2009) bahwa rencana harian adalah
kegiatan yang akan dilaksanakan oleh perawat sesuai dengan perannya
masing-masing, yang dibuat pada setiap shift. Isi kegiatan disesuaikan
dengan peran dan fungsi perawat.
b. Pilar III (Professional relationship)
Mahasiswa melakukan kegiatan sosialisasi case conference kasus
kelolaan dan tindak lanjut dari kegiatan ini adalah penjadwalan secara
rutin. Kegiatan case conference merupakan salah satu kegiatan yang
mendukung pendekatan MPKP, selain rapat perawat ruangan, rapat tim
kesehatan dan visite dokter. Menurut Keliat & Akemat (2009), konferensi
kasus adalah diskusi kelompok tentang kasus asuhan keperawatan
klien/keluarga yang dilakukan dua kali perbulan dan kasusnya bergantian
antar tim yaitu dengan topik kasus pasien baru, kasus pasien yang tidak
ada perkembangan, kasus pasien pulang, kasus pasien yang meninggal,
dan kasus pasien dengan masalah yang jarang ditemukan.
c. Pilar IV (Patient Care Delivery)
Pada pilar IV, mahasiswa PBLK melakukan asuhan keperawatan pada
pasien kelolaan sesuai dengan diagnosa keperawatan yang dialami.
Asuhan keperawatan merupakan suatu pendekatan penyelesaian
masahalah yang sistematis dimulai dari pengkajian, diagnosa, rencana
tindakan, implementasi dan evaluasi keperawatan (Craven & Hirnle dalam
Keliat & Akemat, 2009). Intervensi dan implementasi keperawatan yang
dilakukan berdasarkan strategi pertemuan keperawatan jiwa yang sesuai
dengan diagnosa yang dialami pasien kelolaan.
Selain itu, mahasiswa juga melaksanakan kegiatan TAK (Terapi
Aktivitas Kelompok) sebanyak 2 kali. TAK adalah salah satu tindakan
tambahan keperawatan untuk pasien gangguan jiwa. TAK bertujuan untuk
mengembangkan stimulasi kognitif, sensoris, orientasi realitas, dan
sosialisasi.
Selain itu, mahasiswa juga membuat poster tentang halusinasi
pendengaran dan isolasi sosial untuk menambah poster edukasi di ruangan
Sipiso-piso. Poster merupakan salah satu sarana pendidikan kesehatan.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGELOLAAN ASUHAN
KEPERAWATAN
Konsep Dasar
1. Skizofrenia
3.1 Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian (Sadock, 2003).
Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya dibagi dalam tiga kategori yaitu
gejala positif termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif); gejala
negatif ini dimaksudkan karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi
normal seseorang, termasuk kurang atau tidak mampu
menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurang dorongan
untuk beraktifitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan
kurangnya kemampuan bicara (alogia); serta gejala disorganisasi, baik dari
perilaku aneh (Bizzare) dan ganguan pembicaraan (Wiramihardja,2005).
3.2 Tipe Skizofrenia
Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation,
1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation,1994) dan
DSM-IV-TR (American Psychiatric Assosiation,2000). Berikut ini adalah tipe
skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang
dominan yaitu (Davison, 2006) :
a. Tipe paranoid
Criteria diagnostik menurut PPDGJ-III Memenuhi criteria umum diagnosis skizofrenia
Sebagai tambahan Halusinasi dan waham harus menonjol
1. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau member perintah
atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal dan bunyi pluit,
mendengung, atau bunyi tawa
2. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual atau
lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol
3. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
atau passivity, dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam,
adalah yang paling khas
4. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala
katatonik secara relative tidak nyata dan tidak menonjol
Criteria diagnostic menurut DSM-IV1. Preokupasi dengan satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang
menonjol
2. Tidak ada yang berikut ini yang menonjol : bicara terdisorganisasi atau
katatonik, atau afek yang datar atau tidak sesuai
b. Tipe hebefrenik
Criteria diagnostic menurut PPDGJ – III1. Memenuhi criteria umum diagnosis skizofrenia
2. Diagnosis hebefrenia pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun)
3. Kepribadian premorbid menunjukkan cirri khas pemalu dan senang
menyendiri namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis
4. Diagnosis hebefrenia yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
yang kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa
gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan :
5. Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
manersm ; ada kecendrungan untuk slalu menyendiri dan perilaku
menunjukan hampa tujuan dan hampa perasaan
6. Afek pasien dangkal dan tidak wajar, sering disertai cekikikan atau
perasaan puas diri, senyum sendiri, atau oleh sikap tinggi hati, tertawa
menyeringai, mannerism, mengibuli secara bersenda gurau, keluhan
hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang
7. Proses fikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan yang tak menentu
serta inkoheren
8. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses fikir
umumnya menonjol
c. Tipe katatonik
Criteria diagnostic menurut PPDGJ-III1. Memenuhi criteria umum untuk diagnosis skizofrenia
2. Satu atau lebih perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya
: Stupor, Gaduh/gelisah, Menampilkan posisi tubuh tertentu, Negativism,
Rigiditas, Fleksibilitas serea, Gejala-gejala lain seperti command
automatism
3. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai
diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain
Criteria diagnostic menurut DSM-IV1. Imobilitas motorik seperti yang ditunjukkan katalepsi atau stupor
2. Aktivitas motorik yang berlebihan
3. Negativism yang ekstrem atau mutisme
4. Gerakan volunteer yang aneh seperti yang ditunjukkan oleh posturing,
gerakan stereotipik, mannerism yang menonjol atau seringai yang
menonjol
5. Ekolalia dan ekopraksia
d. Tipe tidak tergolongkan
Criteria diagnostic menurut PPDGJ-III1. Memenuhi criteria umum untuk diagnosis skizofrenia
2. Tidak memenuhi criteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,
atau katatonik
3. Tidak memenuhi criteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca-
skizofrenia
Criteria diagnostic menurut DSM-IV1. Suatu tipe skizofrenia dimana ditemukan gejala yang memenuhi criteria A,
tetapi tidak memenuhi criteria untuk tipe paranoid, terdisorganisasi, atau
katatonik
e. Skizofrenia residual
Criteria diagnostic menurut PPDGJ-III1. Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan persyaratan berikut ini harus
terpenuhi semua :
2. Gejala negative dari skizofrenia yang menonjol
3. Sedikitnya ada riwayat satu episodic psikotik yang jelas dimasa lampau
yang memenuhi criteria untuk diagnosis skizofrenia
4. Sedikitnya sudah melampui kurun waktu satu tahun diman a intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang dan timbul sindrom negative
5. Tidak terdapat demensia atau penyakit gangguan otak organic lain
Criteria diagnostik menurut DSM-IV1. Tidak adanya waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, dan perilaku
katatonik terdisorganisasi atau katatonik yang menonjol
2. Terdapat terus bukti-bukti gangguan
f. Skizofrenia simpleks
Criteria diagnostic menurut PPDGJ-III1. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secar meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari :
2. Gejala negative yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik
3. Disertai dengan perubahan prilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi
sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu tanpa
tujuan hidup dan penarikan diri secara sosial
4. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtype
lainnya
3.3. Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
Skizofrenia, yaitu pendekatan biologis (meliputi faktor genetik dan faktor
biokimia), pendekatan psikodinamik, pendekatan teori belajar. (Kaplan (4))
3.3.1 Pendekatan Biologis
a. Faktor Genetik
Seperti halnya psikosis lain, skizofrenia nampaknya cenderung
berkembang lewat keluarga.penelitian terhadap munculnya skizofrenia dalam
keluarga biasanya diadalakan dengan mengamati penderita skizofrenia yang
ada di RSJ dan kemudian meneliti tentang perkembangan kesehatannya serta
mencari keterangan dari berbagai pihak untuk menentukan bagaimana
skizofrenia dan psikosis lainnya muncul diantara keluarga penderita. Dari
penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa resiko timbulnya psikosis,
termasuk skizofrenia sekitar empat kali lebih besar pada hubungan dengan
masyarakat pada umumnya. Semakin dekat hubungan genetis antara penderita
skizofrenia dan anggota keluargannya, semakin besar kemungkinan untuk
terkena skizofrenia. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan terkena
skizofrenia dapat ditularkan secara genetis akan tetapi juga melalui
pengalaman sehari-hari.
Faktor keturunan (genetik) juga menentukan timbulnya skizofrenia.Hal
ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita
skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi
saudara tiri ialah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7–15%; bagi anak dengan
salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7–16%; bila kedua orangtua
menderita skizofrenia 40–68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2-15%;
bagi kembar satu telur (monozigot) 61–86%. Skizofrenia melibatkan lebih dari
satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia
yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang
berlokasi di tempat-tempat yang berbeda diseluruh kromosom. Ini juga
mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang
yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko
untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya
jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand & Barlow,
2007).
b. Neuropatologis
Sekitar 20-30% penderita skizofrenia mengalami beberapa bentuk
kerusakan otak. Penelitian dengan CAT (Computere Axial Tomography) dan
MRI (Magnetic resonance Imagins) memperlihatkan bahwa sebagian
penderita skizofrenia memeiliki ventrikel serebral (yaitu ruangan yang berisi
cairan serebrospinal) yang jauh lebih besar dari normal, jaringan otak pasti
lebih kecil dari normal. Pembesaran ventrikel berarti terdapat proses
memburuknya atau berhentinya pertumbuhan jaringan otak. Beberapa
penelitian memperlihatkan bahwa lobus frontalis, dan hipotalamus yang lebih
kecil pada penderita skizofrenia. Penelitian dengan PET (Positron Emission
Topography) yaitu pengamatan terhadap metabolism glukosa pada saat
seseorang sedang mengerjakan tes psikologi, pada penderita skizofrenia
memeprlihatkan tingkat metabolism yang rendah pada lobus frontalis.
Kelainan syaraf ini dapat pula dijelaskan sebagai akibat dari infeksi
yang disebabkan oleh virus yang masuk otak. Infeksi ini dapat terjadi selama
perkembangan janin. Akan tetapi, jika kerusakan otak terjadi pada masa awal
perkembangan seseorang, pertanyaan yang muncul adalah mengapa psikosis
ini baru muncul pada masa dewasa. Luka pada bagian otak saling
mempenagruhi dengan proses perkembangan otak normal. Lobus frontalis
merupakan struktur otak yang terlambat matang. Khususnya apa usia dewasa.
Dengan demikian, luka pada daerah tersebut belum berpengaruh pada masa
awal sampai lobus frontalis mulai berperan dalam perilaku.
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak
yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan
neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan
bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang
berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang
abnormal terhadap dopamine.Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas
dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa
neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga
memainkan peranan (Durand, 2007).
Neurotransmitter lainnya :
1. Serotonin
Aktivitas serotonin telah berperan dalam perilaku bunuh diri dan impulsive
yang juga dapat ditemukan pada pasien skizofrenik
2. Norepinefrin
System noradrenergic memodulasi system dopaminergic dengan cara tertentu
sehingga kelainan system noradrenergic predisposisi pasien untuk relaps
3. Asam amino
Neurotransmitter asam amino inhibitor gamma-aminobutiric acid (GABA)
mengalami penurunan dihipokampus yang menyebabkan hiperaktivitas neuron
dopaminergik dan noradrenergic
c. Psikoneuroendokrinologi
Beberapa data menunjukan data penurunan konsentrasi luteinzing hormone-
foliccle stimulating hormone (LH/FSH) , kemungkinan dihubungkan dengan
onset usia dan lamanya penyakit.
3.3.2 Pendekatan Psikososial
Perkembangan kepribadian individu menurut Freud (Kozier, 2010) akan
sangat ditentukan oleh perkembangan psikososial di masa kanak-kanaknya.
Apabila anak terus-menerus mengalami frustasi, mendapatkan cinta kasih, atau
sebaliknya terlalu dimanjakan secara berlebihan, ia akan mengalami keberhentian
dan kerugian dalam perkembangan kepribadiaannya, yang disebut dengan proses
fiksasi. Anak akan mengembangkan bermacam-macam sikap yang immature atau
tidak matang dan tingkah laku yang abnormal. Pola kepribadian yang demikian
tidak jarang terus berlarut-larut dan dapat menjadi predisposisi terjadinya
gangguan abnormalitas perilaku dimasa berikutnya.
Pada skizofrenia, pola kepribadian immature yang berkaitan dengan
impuls seksual dan agresi merupakan predisposisi untuk menimbulkan gangguan
tersebut. Berkembangnya gangguan skizofrenia lebih lanjut biasanya diawali oleh
apa yang disebut sebagai peristiwa pencetus.
3.3.3 Pendekatan Teori Belajar
Para ahli teori belajar, seperti Ullmann dan Krasner menerangkan tingkah
laku skizofrenia sebagai hasil proses belajar lewat pengorganisasian dan
pengamatan. Seseorang belajar untuk ‘menampakkan’ tingkah laku skizofrenia
bila tingkah laku demikian lebih memungkinkan untuk diperkuat daripada tingkah
laku normal. Teori ini menekankan nilai penguatan stimulus sosial. Skizofrenia
mungkin timbul oleh karena lingkungan tidak memberikan penguatan akibat pola
keluarga yang terganggu atau pengaruh lingkungan lainnya sehingga seseorang
tidak pernah belajar merespon stimulus sosial secara normal.bersamaan dengan
itu, mereka akan semakin menyesuaikan diri dengan stimulus pribadi atau
idiosinkratis. Selanjutnya, orang-orang akan melihat bahwa sebagai orang aneh
sehingga mengalami penolakan sosial dan pengasingan yang akan semakin
bertahan karena tidak ada penguatan dari orang lain berupa perhatian dan simpati.
3.4 Faktor-faktor yang Berpengaruh
a. Umur dan Jenis Kelamin
Skizofrenia mempunyai prevalensi yang hampir sama pada pria dan
wanita.tetapi kedua jenis kelamin ini menunjukkan perbedaan permulaan dan
perjalanan penyakitnya. Laki-laki mempunyai permulaan skizofrenia yang
lebih cepat daripada wanita. Lebih separuh penderita skizofrenia adalah laki-
laki. Umur puncak untuk terjadinya skizofrenia pada laki-laki antara 15 – 25
tahun, sedang pada wanita 25 -35 tahun. Onset skizofrenia, sebelum umur 10
dan sesudah umur 50 tahun adalah jarang terjadi. Lebih kurang dari 90 %
pasien skizofrenia yang dirawat dalam RSJ adalah antara usia 15 – 55 tahun.
b. Status Perkawinan
Dalam beberapa penelitian didapat bahwa status perkawinan mempunyai
hubungan dengan resiko terjadinya penyakit skizofrenia. Resiko skizofrenia
lebih tinggi pada orang yang belum menikah, perbandingannya dengan yang
sudah kawin adalah 7,2 : 2,6. Wanita yang lebih cepat menikah dari laki-laki
mempunyai onset lebih lambat untuk terkena skizofrenia.
c. Faktor Budaya dan Sosial Ekonomi
Lebih banyak penderita skizofrenia menduduki kelas sosial rendah. Penelitian
yang dilakukan di China periode tahun 1961 – 1963 didapat masyarakat yang
sosial ekonominya rendah pervalensi penderitaa skizofrenia 2,1 per 1000
penduduk sedangkan yang sosial ekonominya tinggi pervalensi 0,8 per 1000
penduduk.
d. Stres
Telah lamadiduga bahwa stress mempunyai hubungan penting dalam onset
skizofrenia. Pada penelitian yang dilakukan oleh Brown dan Birley pada tahun
1968 ditemukan bahwa ada hubungan stress dengan meningkatnya onset
skizofrenia.
e. Psikososial
Stressor psikosoisal adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan
perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu terpaksa
mengadakan penyesuaian diri (adaptasi) untuk menanggulangi stressor
(tekanan mental) yang timbul. Namun tidak semua orang mampu melakukan
adaptasi dan mampu menanggulangi sehingga timbullah keluhan-keluhan
kejiawaan, antara lain berbagai jenais gangguan jiwa yang salah satunnya
adalah skizofrenia.
Pada umumnya jenis stressor psikososial yang dimaksud dapat digolongan
sebagai berikut :
1. Perkawinan
Berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stress yang dialami
seseorang, misalnya pertengkaran,perpisahan, perceraian, kematian salah
satu pasangan, ketidaksetiaan dan lain sebagainya.
2. Problem Orang tua
Permasalahan yang dihadapi orang tua, misalnya tidak punya anak,
kebanyakan anak, kenakalan anak, anak sakit dan hubungan yang tidak
baik antara mertua, ipar, besan dan sebagainya.permasalahan tersebut di
atas bila tidak dapat diatasi oleh yang bersangkutan dapat merupakan
sumber stress yang pada gilitannya seseorang dapat jatuh sakit.
3. Hubungan interpersonal (antar pribadi)
Gangguan ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang
mengalami konflik atau konflik kekasih, konflik dengan rekan sekerja,
konflik antara atasan dan bawahan dan lain sebagainya.
4. Pekerjaan
Masalah pekerjaan dapat merupakan sumber stress pada diri seseorang
yang bila tidak dapat diatasi yang bersangkutan dapat jatuh sakit.
5. Lingkungan Hidup
Faktor lingkungan hidup tidak hanya dilihat dari lingkungan itu bebas
polusi, sampah dan lian sejenisnya tetapi terutama kondisi lingkungan
sosial dimana seseorang itu hidup.beberapa contoh masalah lingkungan
hidup yang dpaat menjadi stressor pada diri seseorang antara lain maslah
perumahan, pindah tempat tinggal, penggusuran, hidup dalam lingkungan
rawan (kriminalitas) dan lain sebagainya. Rasa aman dan tidak terlindungi
membuat jiwa seseorang tercekam sehingga mengganggu ketenagaan dan
ketentraman hidup yang lama kelamaan daya tahan seseorang menurun
sehingga jatuh sakit.
6. Keuangan
Masalah keuangan (kondisi sosial ekonomu) yang tidak sehat, misalnya
pendapatan jauh lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang,
kebangkrutan usaha, soal warisan dan lain sebagainya.
7. Hukum
Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan sumber
stree pula, misalnya masalah tuntutan hukum, pengadilan, penjara dan lain
sebagainya.
8. Perkembangan
Yang dimaksud dengan masalah perkembangan di sini adalah masalah
perkembangan baik fisik maupun mental seseorang, misalnya masa
remaja, masa dewasa, menopause, usia lanjut dan lain sebagainya. Kondisi
setiap perubahan fase-fase perkembangan tersebut di atas tidak selamanya
dapat mdilampaui dengan baik, ada sementara orang yang tidak mampu
sehingga jatuh sakit karenanya.
9. Penyakit fisik atau cedera
Sumber stress yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang
antara lain penyakit (terutama penyakit kronis), jantung, kanker,
kecelakaan, operasi, aborsi dan lain-lain.
10. Faktor keluarga
Yang dimaksud di sini juga dapat menimbulkan gangguan kejiawaan
(stree pasca trauma) adalah antara lain bencana alam, huru hara,
peperangan, kebakaran, perkosaan, kehamilan di luar nikah, aborsi dan
lain sebagainya.
3.5 Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap
individu.Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi
beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan
keadaan residual (Buchanan, 2005).Pola gejala premorbid merupakan tanda
pertama penyakit skizofrenia, walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara
retrospektif. Karakteristik gejala skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir
atau permulaan masa dewasa akan diikuti dengan perkembangan gejala prodromal
yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala
prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah (gelisah), merasa diteror atau
depresi.Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan
bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri
punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock, 2003).
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara
klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku.Penilaian
pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk
sampai tidak ada.Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala
klinis skizofrenia.Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu
nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku
aneh (Buchanan, 2005).
3.6 Gejala Klinis Skizofrenia2.5.1 Gejala positif skizofrenia
Gejala-gejala positif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia adalah
sebagai berikut :
a. Delusi atau waham, yaitu suatu keyakina yang tidak rasional (tidak
masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakina
itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya.
b. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan
(stimulus). Misalnya penderita mendengar suara-suara atau bisikan-
bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber suara atau bisikan itu.
c. Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya.
Misalnya pembicaraanya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur
pikirannya.
d. Gelisah, gaduh, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat dan gembira dengan berlebihan.
e. Merasa dirinya “orang besar”, merasa besar mampu, serta hebat dan
sejenisnya.
f. Pikiran penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman
terhadap dirinya.
g. Menyimpan rasa permusuhan.
2.5.2. Gejala negatif skizofrenia :
Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia adalah
sebagi berikut :
a. Alam perasaan (affect) tumpul dan mendatar. Gambaran alam perasaan ini
dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.
b. Menarik diri atau mengasingkan diri (with-drawn) tidak mau bergaul atau
kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming).
c. Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara dan pendiam.
d. Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
e. Sulit dalam berpikir abstrak
f. Pola pikir stereotip.
g. Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak (avolition) dan tidak ada
inisiatif, tidak ada upaya dan usaha, tidak ada spontanitas monoton, serta
tidak ingin apa-apa dan serba malas (Hawari, 2006).
3.7 Penatalaksanaan1. Farmakoterapi
Farmakoterapi merupakan terapi utama dalam pasien skizofrenia dengan tujuan
untuk mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa.
a. Haloperidol (Dores, Govotil, Haldol, Halonace, Lodomer, Serenace, Seradol,
Quilez, Upsikis)
Haloperidol berfungsi memblok reseptor dopaminergik D1 dan D2 di
postsinaptik mesolimbik otak. Menekan penglepasan hormon hipotalamus dan
hipofisa, menekan Reticular Activating System (RAS) sehingga mempengaruhi
metabolisme basal, temperatur tubuh, ;kesiagaan, tonus vasomotor dan emesis.
Indikasi : Management of manifestasi psikosis akut dan kronis, termasuk
skizofrenia dan manik negara. Ini mungkin juga nilai dalam pengelolaan perilaku
agresif dan gelisah pada pasien dengan sindrom otak kronis dan keterbelakangan
mental dan dalam mengendalikan gejala Gilles de la Tourette’s syndrome.
Kontraindikasi : Pada keadaan koma dan dalam kehadiran depresi SSP
karena alkohol atau obat depresan lainnya. Hal ini juga kontraindikasi pada pasien
dengan depresi berat negara, penyakit kejang sebelumnya, lesi ganglia basal, dan
dalam sindrom Parkinson, kecuali dalam kasus dyskinesias akibat pengobatan
levodopa. Tidak boleh digunakan pada pasien yang diketahui sensitif terhadap
obat, atau di pikun pasien dengan Parkinson yang sudah ada gejala seperti. Anak-
anak: Keamanan dan efektivitas pada anak-anak belum ditetapkan, karena itu,
haloperidol adalah kontraindikasi pada kelompok usia ini.
Efek samping (terutama pada SSP) : Insomnia, reaksi depresif, dan
beracun negara confusional adalah efek yang lebih umum ditemui. Mengantuk,
kelesuan, pingsan dan katalepsia, kebingungan, kegelisahan, agitasi, gelisah,
euforia, vertigo, kejang grand mal, dan eksaserbasi gejala psikotik, termasuk
halusinasi, juga telah dilaporkan.
b. CPZ (Klorpromazin)
Memblok reseptor dopaminergik di postsinaptik mesolimbik otak.
Memblok kuat efek alfa adrenergik. ;Menekan penglepasan hormon hipotalamus
dan hipofisa, menekan Reticular Activating System (RAS) sehingga
mempengaruhi metabolisme basal, temperatur tubuh, kesiagaan, tonus vasomotor
dandan emesis.
Indikasi : psikosis, neurosis, gangguan susuan saraf pusat yang
membutuhkan sedasi, anestesi, pre medikasi, mengontrol hipotensi, induksi
hipotermia, antiemetic, skizofrenia, gangguan skizoafektif, psikosis akut,
sindroma paranoid dan stadium mania akut.
Kontraindikasi : Hipersensitifitas terhadap klorpromazin atau komponen
lain formulasi, reaksi hipersensitif silang antar fenotiazin mungkin terjadi, Depresi
SSP berat dan koma.
Efek Samping : Kardiovaskuler : hipotensi postural, takikardia, pusing,
perubahan interval QT tidak spesifik.;SSP : mengantuk, distonia, akathisia,
pseudoparkinsonism, diskinesia tardif, sindroma neurolepsi malignan,
kejang.;Kulit : fotosensitivitas, dermatitis, pigmentasi (abu-abu-biru).;Metabolik
& endokrin : laktasi, amenore, ginekomastia, pembesaran payudara,
hiperglisemia, hipoglisemia, test kehamilan positif palsu. ;Saluran cerna : mual,
konstipasi xerostomia. ;Agenitourinari : retensi urin, gangguan ejakulasi,
impotensi. ;Hematologi : agranulositosis, eosinofilia, leukopenia, anemia
hemolisis, anemia aplastik, purpura trombositopenia. ;Hati : jaundice. ;Mata :
penglihatan kabur, perubahan kornea dan lentikuler, keratopati epitel, retinopati
pigmen.
c. THP
Triheksilfenidil adalah antikolinergik yang mempunyai efek sentral lebih
kuat daripada perifer, sehingga banyak digunakan untuk terapi penyakit
Parkinson. Senyawa ini bekerja dengan menghambat pelepasan asetil kolin
endogen dan eksogen. Efek sentral terhadap susunan saraf pusat akan merangsang
pada dosis rendah dan mendepresi pada dosis toksik.
Indikasi : penyakit Parkinson dan gangguan akibat efek ekstrapiramidal
yang disebabkan oleh obat-obatan SSP.
Kontraindikasi : Hipersensitifitas terhadap triheksifenidil atau komponen
lain dalam sediaan, glaucoma sudut tertutup, obstruksi duodenal atau pyloric,
peptic ulcer,obstruksi saluran urin, achalasia, myasthenia gravis.
Efek Samping : Penglihatan kabur, sembelit, berkeringat bercucuran, sulit
atau nyeri buang air kecil (terutama bagi manula), pusing atau ringan ketika
bangkit dari posisi berbaring atau duduk, kantuk, keringnya mulut, hidung, atau
tenggorokan, sakit kepala, meningkatkan, sensitivitas mata terhadap cahaya,
kelemahan otot mual atau muntah, kegugupan rasa sakit pada mulut dan lidah,
sakit perut.
d. Diazepam
Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi hambatan
neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat
dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di
hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin akan bekerja
sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas farmakologi berbagai
benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan. Dengan adanya interaksi
benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan meningkat, dan dengan
ini kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion
klorida akan terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk
ke dalam sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel
bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang berkurang.
Indikasi : Diazepam digunakan untuk memperpendek mengatasi gejala
yang timbul seperti gelisah yang berlebihan, diazepam juga dapat diinginkan
untuk gemeteran, kegilaan dan dapat menyerang secara tiba-tiba. Halusinasi
sebagai akibat mengkonsumsi alkohol. diazepam juga dapat digunakan untuk
kejang otot, kejang otot merupakan penyakit neurologi. dizepam digunakan
sebagai obat penenang dan dapat juga dikombinasikan dengan obat lain.
Kontraindikasi : Hipersensitivitas, sensitivitas silang dengan
benzodiazepin lain, pasien koma, depresi SSP yang sudah ada sebelumnya, nyeri
berat tak terkendali, glaukoma sudut sempit, kehamilan atau laktasi, diketahui
intoleran terhadap alkohol atau glikol propilena (hanya injeksi)
Efek Samping : pusing, mengantuk, depresi, alergi, amnesia, anemia,
angioedema, behavioral disorders, kulit merah, mual, muntah, tremors.
2. Electro Convulsion Theraphy (ECT)a. Pengertian
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik yaitu bentuk terapi
pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan
pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall (Riyadi, 2009).
Terapi Kejang Listrik adalah suatu terapi dalam ilmu psikiatri yang
dilakukan dengan cara mengalirkan listrik melalui suatu elekktroda yang
ditempelkan di kepala penerita sehingga menimbulkan serangan kejang umum
(Mursalin, 2009).
Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik
dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada
pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya
diharapkan efek yang terapeutik tercapai (Taufik, 2010).
b. Indikasi
1. Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon terhadap
antidepresan atau yang tidak dapat meminum obat (Stuard, 2007).
Menurut Tomb (2004) gangguan afek yang berat: pasien dengan gangguan
bipolar, atau depresi menunjukkan respons yang baik dengan ECT. Pasien
dengan gejala vegetatif yang jelas cukup berespon. ECT lebih efektif dari
antidepresan untuk pasien depresi dengan gejala psikotik. Mania juja
memberikan respon yang baik pada ECT, terutama jika litium karbonat
gagal untuk mengontrol fase akut.
2. Pasien dengan bunuh diri akut yang cukup lama tidak menerima
pengobatan untuk mencapai efek terapeutik (Stuard, 2007). Menurut Tomb
(2004), pasien bunuh diri yang aktif dan tidak mungkin menunggu
antidepresan bekerja.
3. Ketika efek samping Electro Convulsive Therapy yang diantisipasi kurang
dari efek samping yang berhubungan dengan blok jantung, dan selama
kehamilan (Stuard, 2007).
4. Gangguan skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited
memberikan respons yang baik dengan ECT. Cobalah antipsikotik terlebih
dahulu, tetapi jika kondisinya mengancam kehidupan (delyrium
hyperexcited), segera lakukan ECT. Pasien psikotik akut (terutama tipe
skizoaktif) yang tidak berespons pada medikasi saja mungkin akan
membaik jika ditambahkan ECT, tetapi pada sebagian besar skizofrenia
(kronis), ECT tidak terlalu berguna (Tomb, 2004).
c. Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi yang mutlak. Pertimbangkan resiko prosedur
dengan bahaya yang akan terjadi jika pasien tidak diterapi. Penyakit neurologik
bukan suatu kontraindikasi
1. Resiko sangat tinggi:
a. Peningkatan tekanan intrakranial (karena tumor otak, infeksi sistem saraf
pusat), ECT dengan singkat meningkatkan tekanan SSP dan resiko
herniasi tentorium.
b. Infark miokard.: ECT sering menyebabkan aritmia berakibat fatal jika
terdapat kerusakan otot jantung, tunggu hingga enzim dan EKG stabil.
2. Resiko sedang:
a. Osteoatritis berat, osteoporosis, atau fraktur yang baru, siapkan selama
terapi (pelemas otot) dan ablasio retina.
b. Penyakit kardiovaskuler (misalnya hipertensi, angina, aneurisma, aritmia),
berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter spesialis jantung hendaknya
ada disana.
c. Infeksi berat, cedera serebrovaskular, kesulitan bernafas yang kronis,
ulkus peptik akut, feokromasitoma (Tomb, 2004).
d. Efek Samping ECT
a. Kematian, angka kematian yang disebabkan ECT adalah bervariasi antara 1-
1.000 dan 1-10.000 pasien. Resiko ini sama dengan resiko karena pemberian
anastesi umum. Kematian biasanya karena komplikasi kardiovaskuler.
b. Efek sistemik, pada pasien dengan gangguan jantung, dapat terjadi arritmia
jantung sementara. Arritmia ini terjadi karena bradikardia post ictal yang
sementara dan dapat dicegah dengan peningkatan dosis premedikasi anti
kolinerjik. Arritmia dapat juga terjadi karena hiperaktifitas simpathetik
sewaktu kejang atau saat pasien sadar kembali. Dilaporkan pula adanya reaksi
toksis dan allergi terhadap obat yang digunakan untuk prosedur ECT
premedikasi, tetapi frekwensinya sangat jarang.
c. Efek cerebral, pada pemberian ECT bilateral dapat terjadi amnesia dan acute
confusion. Fungsi memori akan membaik kembali 1-6 bulan setelah ECT,
tetapi ada pasien yang melaporkan tetap mengalami gangguan memori (Tomb,
2004).
3. Psikoterapi
Terapi kejiawaan atau psikoterapi pada penderita skizofrenia, baru dapat
diberikan apabila penderita dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan
di mana kemampuan menilai realitas (reality Testing Ability/RTA) sudah kembali
pulih dan pemahaman diri (instinght) sudah baik.Psikoterapi diberikan dengan
cacatan bahwa penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka.Psikoterapi ini
banyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan dan latar belakang penderita
sebelum sakit (pramorbid) :
a. Psikoterapi Suportif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan
motivasi agar penderita tidak merasa putus asa dan semangat juangnya
(fighting spirit) dalam menghadapi hidup ini tidak kendur dan menurun.
b. Psikoterapi Re-edukatif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang
maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu dan juga
pendidikan ini dimaksudkan mengubah pola pendidikan lama dengan yang
baru sehingga penderita lebih adaptif terhadap dunia luar.
c. Psikoterapi Re-konstruktif
Jenis psikoterpi ini dimaksudkan untuk memperbaiki kembali keperibadian
yang telah retak menjadi keperibadian utuh seperti semula sebelum sakit.
d. Psikoterapi Kognitif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif
(daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan
nilai-nilai moral etika, mana yang baik dan buruk dan lain sebagainya
(discriminative judgment).
e. Psikoterapi Psiko-dinamika
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk menganalisa dan menguraikan proses
dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya
mencari jalan keluarnya. Dengan psikoterapi ini diharapkan penderita dirinya
dan mampu menggunakan mekanisme pertahanan diri (defensemechanism)
dengan baik.
f. Psikoterapi Perilaku
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang
terganggu (maladaptif) menjadi perilaku yang adaftif (mampu menyesuaikan
diri).Kemampuan adaptasi penderita perlu dipulihkan agar penderita mampu
berfungsi kembali secara wajar dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah, di
lingkungan sosial.
g. Psikoterapi Keluarga
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan hubungan penderita
dengan keluarganya. Dengan psikoterapi ini diharapkan keluarga dapat
memahami mengenai ganguan jiwa Skizofrenia dan dapat membantu
mempercepat proses penyembuhan penderita.
4. Terapi Psikososial
Dengan terapi psikososial penderita mampu kembali beradaptasi dengan
lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak
tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga maupun
masyarakat. Penderita selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih
tetap mengkonsumsi obat psikofarmaka sebagaimana juga halnya waktu
menjalani psikoterapi.Kepada penderita diupayakan untuk tidak menyendiri,
tidak melamun, banyak kegiatan dan banyak bergaul.
5. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan terhadap penderita Skizofrenia ternyata mempunyai
manfaat. Terapi keagamaan yang dimaksudkan adalah berupa kegiatan ritual
keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memenjatkan puji-pujian kepada Tuhan,
ceramah keagamaan dan kajian Kitab Suci dan lain sebagainya. (Hawari, 2006)
3.8 Asuhan Keperawatan Skizofrenia
Skema Asuhan Keperawatan Skizofrenia
SKEMA 3.1 ASUHAN KEPERAWATAN SKIZOFRENIA
Gejala Positif
DelusiHalusinasi,Kekacauan alam pikir.Gelisah, gaduh, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira dengan berlebihan.Merasa dirinya “orang besar”, merasa besar mampu, serta hebat dan sejenisnya.Pikiran penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya.Menyimpan rasa permusuhan.
Gejala Negatif
Alam perasaan (affect) tumpul dan mendatar.. Menarik diri tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming). Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara dan pendiam. Sulit dalam berpikir abstrak Pola pikir stereotip. Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak (avolition) dan tidak ada inisiatif, tidak ada upaya dan usaha, tidak ada spontanitas monoton, serta tidak ingin apa-apa dan serba malas
Masalah Psikososial Faktor Biologis Teori Belajar
GenetikaPsikoneuroendokronologi
Neuropatologi
Neurotransmitter Gangguan Pada Sistem Limbic
Dopamin
Serotonin
Norepinefrin
As.Amino
Kelainan Pada Ganglia Basalis
↓ LH/FSH
SKIZOFRENIA
Kecemasan
Resiko Kekerasan : Kepada orang lain
NIC : Abuse protection support pg 95NIC : Anger control assistance pg 134
NIC : Coping Enhancement Pg 238NIC : Family Integrity Promotion Pg 345NIC : Mood Management Pg 498NIC : Recreation Therapy Pg 601NIC : Sosialization Enhancement Pg 670
Isolasi Sosial
Gangguan gambaran diri
NIC : Body Image Enhancement Pg 181NIC : Coping Enhancement Pg 238NIC : Self Esteem Enhancement Pg 641
NIC : Delution Management Pg 254NIC : Hallusination Management Pg 386NIC : Reality Orientation Pg 599
Gangguan identitas personal
Gangguan Proses Pikir
NIC :Anxiety Disorder Pg 138NIC : Cognitive Restruction Pg 223NIC : Cognitive Stimulation Pg 224NIC : Delusion Management Pg 254NIC : Hallucitation Management Pg 386
Harga diri rendah kronis
NIC : Mood management pg 498NIC : Self esttem enhancement pg 641
Pengabaian diri
NIC : Self care assistance pg 632NIC : Unilateral neglect management pg 775
Gangguana tidur
NIC :Sleep Enhancement Pg 665
Ketakutan
NIC : Sleep enhancement pg 665NIC : Anxiety reduction pg 138NIC : Coping enhancement pg 238NIC : Security enhancement pg 627
NIC : Coping Enhancement Pg 238NIC : Emotional Support Pg 314NIC : Family Support Pg 356
Ketidakefektifan Koping Keluarga
Resiko Kekerasan : diri sendiri,
NIC : Anger control assistance pg 134NIC : Behavior management, self harm pg 159NIC : Suicide prevention pg 688
NIC : Anger control assistance pg 134NIC : Anticipatory guidance pg 137NIC : Anxiety reduction pg 138NIC : Behavior management, self harm pg 159NIC : Coping enhancement pg 238
Koping Tidak Efektif
NIC : Anger control assistance pg 134NIC : Coping enhancement pg 238NIC : Environmental management : violence prevention pg 327NIC : Family involvement promotion pg 348
Resiko bunuh diri
NIC : Anger control assistance pg 134NIC : Environmental management pg 320NIC : Suicide prevention pg 688NIC : Surveillance : safety pg 704
Tabel 3.1 Nursing Intervention Classifications untuk Skizofrenia
Abuse protection support pg 95 Anger control assistance pg 134
a. Identifikasi riwayat masa kecil tidak bahagia yang terkait dengan penyalahgunaan, penolakan, kritik berlebihan, atau perasaan menjadi tidak berharga dan tidak dicintai sebagai anak-anak
b. Identifikasi kesulitan mempercayai orang lain atau merasa tidak suka dengan orang lain
c. Identifikasi apakah meminta bantuan merupakan indikasi ketidakmampuan bagi pasien
d. Identifikasi tingkat isolasi sosial dalam keluarga
e. Identifikasi situasi krisis yang dapat memicu kekerasan, seperti kemiskinan, pengangguran, perceraian, atau kematian orang yang dicintai
f. Catat waktu dan durasi dari selama kunjungan hospitalisasi
g. Dengarkan dengan penuh perhatian pasien yang berbicara tentang masalahnya
a. Bina hubungan saling percayab. Gunakan pendekatan yang tenang
dan meyakinkan c. Tentukan perilaku yang tepat
untuk mengekspresikan rasa marahd. Batasi akses ke situasi yang
menyebabkan frustasi sampai pasien mampu mengekspresikan kemarahan secara adaptif
e. Pantau potensi agresi yang tidak pantas danberikan intervensi sebelum muncul
f. Cegah kerusakan fisik jika kemarahan diarahkan pada diri sendiri atau orang lain
g. Gunakan kontrol eksternal seperti pengekangan
h. Berikan umpan balik pada perilaku untuk membantu pasien mengidentifikasi kemarahan
i. Bantu pasien dalam mengidentifikasi sumber kemarahan
j. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
Anxiety Reduction Pg 138 Behavior management, self harm pg 159
a. Gunakan pendekatan yang menenangkan : mendengarkan penuh perhatian
b. Berikan informasi terkait diagnosis, penanganan dan prosedur.
c. Identifikasi perubahan tingkat kecemasan
d. Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang mencetuskan kecemasan
e. Kaji tanda verbal dan nonverbal
a. Tentukan motif / alasan untuk perilaku
b. Jauhkan barang-barang berbahaya dari lingkungan pasien
c. Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi dan / atau perasaan yang mungkin akan mendorong perilaku yang merugikan diri
d. Kontrak dengan pasien, untuk tidak
kecemasanf. Ajarkan teknik relaksasi : Nafas
dalam, distraksig. Kolaborasi pemberian antiasietas
membahayakan dirinyae. Dorong pasien untuk mencari
penyedia layanan untuk berbicara dengan mereka ketika dorongan untuk menyakiti diri terjadi
f. Ajarkan dan kuatkan pasien untuk menggunakan perilaku koping yang efektif dan mengekspresikan perasaan dengan tepat
g. Hindari memberi penguatan positif terhadap perilaku melukai diri sendiri
h. Berikan konsekuensi yang telah ditentukan jika pasien terlibat dalam perilaku membahayakan diri
i. Membantu pasien untuk mengidentifikasi situasi pemicu dan perasaan yang mendorong perilaku membahayakan diri sendiri
j. Monitor pasien untuk efek samping obat dan hasil yang diinginkan
k. Monitor pasien untuk impuls berbahaya yang dapat berkembang menjadi pikiran / gerakan bunuh diri
Coping Enhancement Pg 238 Delusion Management Pg 254
a. Nilai penyesuaina pasien terhadap perubahan Body Image
b. Nilai dan diskusikan alternative respon untuk situasi
c. Gunakan pendekatan yang tenang dan menyenangkan, ciptakan lingkungan yang nyaman
d. Anjurkan pasien memiliki teman yang dia sukai
e. Gali perhargaa/pencapaian yang sebelumnya diterima psien dan alasan ia mengkritik diri sendiri
f. Anjurkan pasien mengidentifikasi kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya
g. Bantu pasien mnegidentifikasi respon positif dari orang lain
h. Kaji mekanisme koping sebelumnya
a. Berikan pasien kesempatan untuk mendiskusikan delusinya
b. Hindari perdebatan tentang isi delusi atau menguatkannya
c. Fokuskan diskusi pada penekanan perasaan, bukan isi delusi seperti “hal itu mungkin terjadi karena anda merasa takut”
d. Anjurkan pasien untuk menvalidasi delusi dengan orang yang dipercaya
e. Bantu pasien mengidentifikasi situasi dimana masyarakat tiak dapat menerima delusinya
f. Monitoring kemmapuan perawatan diri
g. Monitoring status fisik pasien, berikan istirahat dan nutrisi yang
digunakan pasieni. Dukung pengunaan mekanisme
koping yang tepatj. Anjurkan pasien mengutarakan
peraaan, persepsi dan rasa takut
adekuath. Monitoring delusi yang
membahayakan pasien atau orang lain
i. Berikan kenyamanan dan keselamatan pada pasien dan orang disekitarnya ketika pasien tidak dapat mengontrol tingkah lakunya : pengekangan fisik
j. Bantu pasien menghindari/menghilangkan stressor yang mencetuskan deluasi
k. Pertahankan aktivitas harianl. Kolaborasi pemberian obat
antipsikosis dan antiansietasm. Monitoring efek samping obatn. Berikan penkes pada keluarga
tentang cara mengahadi pasien dengan delusi
Cognitive Restruction Pg 223 Cognitive Stimulation Pg 224
a. Bantu pasien mengenali ketidakmampuan diri dalam mencapai ideal diri
b. Bantu pasien mengubah pikiran yang irrasional menjadi rasional
c. Bantu pasien menegenal emosi yang menyakitkan seperti rasa marah, kecemasan, putus harapan yang dirasakan pasien
d. Bantu pasien mengubah interpretasi yang salah dengan interperatsi berdasarkan kenyataan
a. Tawarkan stimulasi lingkungan melalui kontak dengan orang lain
b. Berikan sebuah kalenderc. Stimulasi ingatan dan dengan
mengulang hal terakhir yang dipikirkan pasien dan berikaan stimulasi sensori
d. Orientasi waktu, tempat dan orange. Gunakan TV, radio atau music
sebagai bagian dari rencana program stimulasi
f. Gunakan bantuan memori seperti Check List, atau catatan harian
g. Berikan intruksi verbal dan nonverbal
Coping Enhancement Pg 238 Delusion Management Pg 254
a. Nilai penyesuaina pasien terhadap perubahan Body Image
b. Nilai dan diskusikan alternative respon untuk situasi
c. Gunakan pendekatan yang tenang dan menyenangkan, ciptakan lingkungan yang nyaman
a. Berikan pasien kesempatan untuk mendiskusikan delusinya
b. Hindari perdebatan tentang isi delusi atau menguatkannya
c. Fokuskan diskusi pada penekanan perasaan, bukan isi delusi seperti “hal itu mungkin terjadi karena
d. Anjurkan pasien memiliki teman yang dia sukai
e. Gali perhargaa/pencapaian yang sebelumnya diterima psien dan alasan ia mengkritik diri sendiri
f. Anjurkan pasien mengidentifikasi kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya
g. Bantu pasien mnegidentifikasi respon positif dari orang lain
h. Kaji mekanisme koping sebelumnya digunakan pasien
i. Dukung pengunaan mekanisme koping yang tepat
j. Anjurkan pasien mengutarakan peraaan, persepsi dan rasa takut
anda merasa takut”d. Anjurkan pasien untuk
menvalidasi delusi dengan orang yang dipercaya
e. Bantu pasien mengidentifikasi situasi dimana masyarakat tiak dapat menerima delusinya
f. Monitoring kemmapuan perawatan diri
g. Monitoring status fisik pasien, berikan istirahat dan nutrisi yang adekuat
h. Monitoring delusi yang membahayakan pasien atau orang lain
i. Berikan kenyamanan dan keselamatan pada pasien dan orang disekitarnya ketika pasien tidak dapat mengontrol tingkah lakunya : pengekangan fisik
j. Bantu pasien menghindari/menghilangkan stressor yang mencetuskan deluasi
k. Pertahankan aktivitas harianl. Kolaborasi pemberian obat
antipsikosis dan antiansietasm. Monitoring efek samping obatn. Berikan penkes pada keluarga
tentang cara mengahadi pasien dengan delusi
Emotional Support Pg 314 Family Integrity Promotion Pg 345
a. Diskusikan dengan pasien tentang pengalaman emosional dan pencetusnya
b. Dukung penggunaan mekanisme pertahanan yang tepat
c. Bantu pasien mengenali perasaan seperti kecemasan, kemarahan, kesedihan dna mengekspresikannya
d. Berikan dukungan selama periode penyangkalan, marah, tawar menawar dan peneriaman
e. Anjurkan untuk menangis guna
a. Jadilah pendengar yang baik untuk anggota keluarga dan bina kepercayaan dengan pasien
b. Tentukan pemahaman keluarga tentang kondisi pasien
c. Bantu keluarga memecahkand. Bantu keluarga memecahkan
perasaan tidak realistic terhadapa rasa bersalah dan tanggung jawab
e. Tentukan tipe hubungan keluarga dan identifikasi mekanisme koping keluarga
menurunkan respon emosionalf. Tetap bersama pasien dan berikan
jaminan keselamatan selama periode kecemasan
g. Bantu dalam membuat keputusan dan anjurkan untuk konseling
f. Identifikasi masalah prioritas dalam keluarga dan bantu mencari solusinya
g. Berikan keluarga informasi tentang pasien
h. Kolaborasi dengan keluargauntuk memecahkan masalah dna mengambil keputusan
i. Bantu keluarga mempertahankan hubungan yang positif dan komunikasi terbuka antar keluarga
Family involvement promotion pg 348 Hallucination Management Pg 386
a. Bangun hubungan pribadi dengan pasien dan keluarga anggota yang akan terlibat dalam perawatan
b. Identifikasi kemampuan anggota keluarga untuk terlibat dalam perawatan pasien
c. Tentukan sumber daya fisik, emosional, dan pendidikan pengasuh utama
d. Identifikasi defisit self care pasien e. Identifikasi harapan anggota keluarga
untuk pasien f. Antisipasi dan mengidentifikasi
kebutuhan keluarga g. Pantau struktur dan peran keluargah. Pantau keterlibatan anggota keluarga
dalam perawatan pasieni. Identifikasi stres situasional lainnya
untuk anggota keluarga j. Dorong fokus pada setiap aspek
positif dari situasi pasien k. Identifikasi dengan anggota keluarga
koping pasien yang sulitl. Identifikasi dengan anggota keluarga
kekuatan pasien dan kemampuan bersama keluarga
a. Monitoring kecemasan dan stimulasi lingkungan
b. Pertahankan lingkungan yang aman
c. Catat tingkah laku yang mengindikasi halusinasi
d. Lakukan komunikasi terbuka dan jelas
e. Pertahankan kegiatan harianf. Berikan pasien kesempatan untuk
mendiskusikan halusinasinya dan mengekspresikan perasaannya
g. Monitoring halusinasi yang membahayakan
h. Hindari perdebatan tentang isi delusi atau menguatkannya
i. Fokuskan diskusi pada penekanan perasaan, bukan isi halusinasi seperti “hal itu mungkin terjadi karena anda merasa takut”
j. Anjurkan pasien untuk menvalidasi halusinasi dengan orang yang dipercaya
k. Bantu pasien mengidentifikasi situasi dimana masyarakat tiak dapat menerima halusinasinya
l. Monitoring kemampuan perawatan diri
m. Monitoring status fisik pasien, berikan istirahat dan nutrisi yang adekuat
n. Berikan kenyamanan dan
keselamatan pada pasien dan orang disekitarnya ketika pasien tidak dapat mengontrol tingkah lakunya : pengekangan fisik
o. Kolaborasi pemberian obat antipsikosis dan antiansietas
p. Monitoring efek samping obatq. Berikan penkes pada keluarga
tentang cara mengahadi pasien dengan halusinasi
Mood management pg 498 Recreation Therapy Pg 601
a. Evaluasi mood (misalnya, tanda, gejala, sejarah pribadi) dari awal, dan secara teratur, sebagai kemajuan pengobatan
b. Rujuk pasien untuk evaluasi dan / atau pengobatan yang mendasari penyakit medis yang mungkin berkontribusi terhadap disfungsional mood (misalnya, gangguan tiroid)
c. Pantau kemampuan perawatan diri (misalnya, perawatan, kebersihan, makanan / asupan cairan, eliminasi) dan Bantu pasien untuk meningkatkan tanggung jawab terhadap perawatan diri yang mampu dilakukannya
d. Pantau status fisik pasien (misalnya, berat badan, status hidrasi) dan fungsi kognitif (misalnya, konsentrasi, perhatian, memori, kemampuan untuk memproses informasi, dan kemampuan pengambilan keputusan)
e. Gunakan bahasa yang sederhana, konkrit, bahasa di sini dan sekarang selama interaksi dengan pasien yang kognitifnya terganggu
f. Ajarkan koping baru dan kemampuan memecahkan masalah
g. Monitor pasien untuk efek samping pengobatan dan dampak pada suasana hati
a. Bantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi kurangnya mobilitas
b. Bantu pasien mengeksplorasi arti personal dari aktivitas rekreasi favorit
c. Monitoring kapasitas fisik dan mental untuk berpartisipasi dalam aktivitas rekreasi
d. Ikutsertakan pasien dalam perencanaan aktivitas rekreasi
e. Bantu pasien memilih aktivitas rekreasi sesuai dengan fisik, psikologi dan sosial
f. Berikan aktivitas rekreasi yang sesuai kemampuan dan usaha serta dapat menurunkan kecemasan
g. Berikan pujian selama aktivitas berlangsung
h. Membantu dokter dengan pemberian terapi electroconvulsive (ECT) perawatan, ketika dibutuhkan
i. Monitor status fisiologis dan mental pasien segera setelah ECT
Security enhancement pg 627 Self care assistance pg 632
a. Sediakan lingkungan yang tenang tidak mengancam
b. Menghabiskan waktu dengan pasien c. Tetap dengan pasien dan
memberikan jaminan keselamatan dan keamanan selama periode kecemasan
d. Hindari menyebabkan situasi emosional yang kuat
e. Dengarkan ketakutan pasien f. Jawaban pertanyaan tentang status
kesehatan secara jujur
- Pertimbangkan budaya pasien ketika mempromosikan aktivitas perawatan diri
- Pertimbangkan usia pasien ketika mempromosikan aktivitas perawatan diri
- Pantau kemampuan pasien untuk perawatan diri independen
- Pantau kebutuhan pasien untuk perangkat adaptif untuk kebersihan pribadi, berpakaian, menata rambut, toileting, dan makan
- Gunakan pengulangan konsisten rutinitas kesehatan sebagai sarana membangun mereka
- Dorong pasien untuk melakukan aktivitas normal sehari-hari sesuai tingkat kemampuan
- Dorong kemandirian, bantu jikapasien tidak dapat melakukannya sendiri
- Tetapkan rutinitas kegiatan perawatan diri
Self Esteem Enhancement Sleep enhancement pg 665
a. Pantau pernyataan pasien tentang penghargaan diri
b. Tentukan rasa percaya diri pasien dalam penilaian diri
c. Pantau frekuensi pengungkapan diri yang negative
d. Temukan bantuan sumber-sumber dari rumah sakit (misalnya pekerja sosial, spesialisasi psikiatrik klinis, dan pelayanan agama, jika diperlukan)
a. Tekankan kekuatan diri yang dapat diidentifikasi oleh pasien
b. Bantu pasien untuk mengidentifikasi
a. Tentukan pola tidur dan aktivitas pasien
b. Perkirakan siklus tidur dan bangun pasien dalam perencanaan perawatan
c. Jelaskan pentingnya tidur yang cukup selama tekanan psikososial
d. Tentukan jenis dan efek dari obat pasien dalam pola tidur
e. Pantau pola tidur pasien dan jumlah jam tidur , anjurkan peningkatan jumlah jam tidur, jika diperlukan
f. Pantau pola tidur pasien dan
respon negative terhadap orang lainc. Hindari tindakan yang dapat
melemahkan pasiend. Bantu penyusunan tujuan yang
realistis untuk mencapai harga diri yang lebih tinggi
e. Bantu pasien untuk mengkaji kembali persepsi negatif terhadap dirinya
f. Bantu pasien untuk mengidentifikasi dampak teman sebaya terhadap perasaan penghargaan terhadap diri
g. Kaji pencapaian keberhasilan sebelumnya
h. Berikan penghargaan atau pujian terhadap perkembangan pasien dalam pencapaian tujuan
perhatikan keadaan fisik dan / atau psikologis yang mengganggu tidur
g. Anjurkan pasien untuk memonitor pola tidur
h. Bantu untuk menghilangkan situasi stres sebelum tidur
Sozialisation Enhancement Pg 670 Suicide prevention pg 688
a. Peningkatan Sosialisai : Fasilitasi kemampuan berinteraksi dengan orang lain
b. Bantu pasien untuk membedakan antara persepsi dan kenyataan
c. Identifikasi dengan pasien faktor-faktor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial
d. Dukung usaha-usaha yang dilakukan pasien, keluarga dan teman-teman untuk berinteraksi
e. Dukung hubungan dengan orang lain yang mempunyai ketertarikan dan tujuan yang sama
a. Anjurkan aktivitas sosial dan komunitas
b. Berikan umpan balik tentang peningkatan dalam perawatan penampilan diri atau aktivitas lainnya
c. Tingkatkan rasa berbagi diantara orang lain tentang masalah-masalah yang biasa terjadi.
d. dukung pasien dalam melakukan kegiatan seperti menonton tv
e. ikut sertakan klien dalam kegiatan berkelompok
f. bantu pasien meningkatkan kesadaran akan kekuatan dan pembatasan dalam
a. Tentukan keberadaan dan tingkat risiko bunuh diri
b. Tentukan apakah pasien memiliki sarana yang tersedia untuk menindaklanjuti rencana bunuh diri
c. Obati dan kelola segala penyakit jiwa atau gejala yang dapat menempatkan pada risiko untuk bunuh diri
d. Melakukan pemeriksaan mulut setelah pemberian obat untuk memastikan pasien tidak menyimpan obat di pipi untk upaya overdosis nantinya
e. Memberikan sejumlah kecil obat preskriptif yang mungkin mengurangi keinginan bunuh diri
f. Monitor untuk efek samping obat dan hasil yang diinginkan
g. Libatkan pasien dalam perencanaan / perawatannya sendiri, jika sesuai
h. Anjurkan pasien dalam menggunakan koping yang strategis
i. Kontrak (lisan atau tertulis) dengan pasien untuk tidak
berkomunikasi dengan orang laing. gunakan permainan peran untuk
berlatih mengembangkan kemampuan dan teknik komunikasi
h. anjurkan perencanaan grup kecil untuk aktivitas khusus
membahayakan diri untuk jangka waktu tertentu, kontrak kembali pada interval waktu tertentu, yang sesuai
j. Bantu individu dalam membahas perasaannya terkait kontrak yang dibuat
k. Amati individu untuk tanda ketidaksesuaian yang mungkin menunjukkan kurangnya komitmen untuk memenuhi kontrak
l. Berinteraksi dengan pasien secara berkala untuk menyampaikan kepedulian dan keterbukaan dan untuk memberikan kesempatan bagi pasien untuk berbicara tentang perasaan
m. Lakukan pendekatan yang tidak menghakimi dalam membahas bunuh diri
n. Bantu pasien untuk mengidentifikasi orang-orang yang mendukungnya
o. Periksa lingkungan secara rutin untuk menghilangkan barang yang berbahaya
p. Batasi pengunjung yang berpotensi memiliki alat yang bisa digunakan untuk bunuh diri
Surveillance : safety pg 704 Unilateral neglect management pg 775
a. Awasi pasien untuk perubahan dalam fungsi fisik atau kognitif yang dapat mengakibatkan perilaku yang tidak aman
b. Awasi lingkungan untuk potensi bahaya keamanan
c. Tentukan tingkat pengawasan yang dibutuhkan oleh pasien, berdasarkan tingkat fungsi dan bahaya dalam lingkungan
d. Berikan pengawasan yang sesuai untuk memantau pasien dan memungkinkan untuk tindakan
a. Pantau respon abnormal terhadap tiga jenis rangsangan utama: sensorik, visual, dan pendengaran
b. Evaluasi Status dasar mental, pemahaman, fungsi motorik, fungsi sensorik, rentang perhatian, dan respon afektif
c. Berikan umpan balik yang realistis tentang defisit persepsi pasien
d. Tunjukkan cara perawatan diri dengan tata cara yang konsisten dengan penjelasan
theraupetic, sesuai kebutuhan e. Tempatkan pasien di lingkungan
minim bahaya yang sesuai kebutuhan pengawasan
f. Mulai dan pertahankan status pencegahan dan pengaturan perawatan untuk pasien berisiko tinggi untuk bahaya khusus
g. Komunikasikan resiko bahaya pasien dengan petugas kesehatan lainnya
e. Sentuh bahu saat memulai percakapan
f. Hindari gerakan cepat di ruang g. Hindari benda bergerak dalam
lingkungan
C. Pembahasan Kasus
Masalah yang diangkat kedalam lapran PBLK ini adalah penyalahgunaan Napza.
Penyalahgunaan zat merupakan penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai
setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering
dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang
berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik
terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang
diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart &
Sundeen, 1998).
Rentang respon gangguan penggunaan napza berfluktuasi dari kondisi yang ringan sampai berat, indikator ini brdasarkan perilaku yan ditunjukkan oleh pengguna napza.
Respon adaptif respon maladaptive
Eksperimental rekreasional situasional penyalahgunaan ketergantungan
Eksperimental : kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tahu dari remaja.
Sesuai kebutuhan pada masa tumbuh kembangnya, klien biasanya ingin mencari pengalaman
baru atau sering dikatakan taraf coba-coba.
Rekreasional : penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya, misalnya
pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun. Penggunaan ini mempunyai tujuan
rekreasi bersama teman-temannya.
Situasional : mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi dirinya
sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri atau mengatasi masalah
yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai masalah,
stress, dan frustasi.
Penyalahgunaan : penggunaan zat yang sudah patologis, sudah mulai rutin digunakan, minimal
selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku mengganggu fungsi dalam peran di
lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
Ketergantungan : penggunaan zat yang sudah berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan
psikologis. Ketergantunga fisik ditandai dengan adanya toleransi dan sindroma putus zat ( suatu
kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertentu
menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan
kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan. Sedangkan toleransi adalah suatu
kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis, untuk mencapai tujuan yang biasa
diinginkannya.
Harboenangin mengemukakan ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi
pecandu napza yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
1. Faktor internal
Faktor kepribadian
Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini lebih cenderung terjadi pada
usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki konsep diri yang negative dan
harga diri rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan
mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi,
juga turut mempengaruhi. Selain itu, kemampuan untuk memecahkan masalah secara adekuat
berpengaruh terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan cara melarikan
diri. Remaja yang menyalahgunakan napza umumnya tidak mandiri dan menganggap segala
sesuatunya harus diperoleh dari lingkungn (Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia, 2010).
Inteligensia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang untuk melakukan
konseling di klinik rehabilitasi umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata kelompok usianya.
Usia
Mayoritas pengguna napza merupakan kelompok umur remaja. Kelompok umur remaja
merupakan kelompok umur yang paling rentan terkena penyalahgunaan napza karena merupakan
masa pencarian identitas diri. Remaja mulai melakukan berbagai hal dalam menemukan identitas
dirinya dan pengakuan akan eksistensinya (Rahma, 2008).
Penyelesaian masalah
Koping yang tidak efektif akhirnya membuat individu menggunakan nakoba sebagai
pelampiasan. Hal ini disebabkan karena narkoba dapat menurunkan tingkat kesadaran dan
membuat lupa kan permasalahan yang ada.
2. Faktor eksternal
Keluarga
Faktor teman sebaya
Faktor kesempatan
Faktor lingkungan sekolah
B. Tinjauan KasusPengkajian Pasien Di Rumah Sakit
I. Biodata
Identitas PasienNama : Tn. DJenis Kelamin : Laki-lakiUmur : 33 tahunStatus Perwakinan : Belum KawinAgama : IslamPendidikan : SMAPekerjaan : Buruh bangunanAlamat : Lubuk PakamTanggal Masuk RS : 5 Juli 2014No. Registrasi : Ruangan/kamar : Sipiso-pisoGolongan Darah : Tanggal Pengkajian : 10 Juli 2014Tanggal operasi : -Diagnosa Medis : Skizofrenia
II. Keluhan Utama
Tn. D masuk ke rumah sakit dengan kondisi kebingungan, badan kaku
III. Riwayat Kesehatan Sekarang
A. Provocative/palliative
1. Apa Penyebabnya : tidak diketahui
2. Hal-hal yang Memperbaiki Keadaan : tidak ada
B. Quantity/Quality
1. Bagaimana dirasakan : tn. D merasa diantar ke rumah sakit oleh keluarganya
untuk berobat
2. Bagimana dilihat : Pada saat pengkajian Tn. D sangat kooperatif. Namun Tn.
D seringkali terlihat kebingungan.
C. Region/lokasi
1. Dimana lokasinya : -
2. Apakah menyebar : -
D. Severity
E. Time/waktu
Setiap waktu
IV. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
a. Penyakit yang pernah dialami
Tn. D pernah mengalami sakit jiwa sebelumnya.b. Pengobatan atau tindakan yang dilakukan
Pasien mengatakan dirinya tidak pernah dirawat sebelumnya di rumah sakit.c. Lama rawat
d. Alergi
Tn. D mengatakan dirinya tidak memiliki riwayat alergi.e. Imunisasi
Tn. D mengatakan dirinya tidak mengingat riwayat imunisasinya terdahulu.
V. Riwayat Kesehatan Keluarga
a. Orang tua
Tn. D mengatakan kedua orang tuanya tidak pernah mengalami gangguan jiwa, b. Saudara kandung
Tn. D mengatakan semua saudara kandungnya sehat.c. Penyakit keturunan yang ada
Tn. D mengatakan keluarganya tidak ada yang memiliki penyakit sepertii hipertensi, diabetes.
d. Anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
Tn. D mengatakan tidak ada keluarganya yang menderita gangguan jiwa e. Anggota keluarga yang meninggal
Ayah Tn. D sudah meninggal dunia.f. Penyebab meninggal
Usia lanjut.VI. Riwayat Keadaan Psikososial
1. Persepsi pasien tentang penyakitnya
Tn. D mengatakan ingin cepat pulang kerumah. 2. Konsep Diri
a. Gambaran diri
Tn. D mengatakan bahwa dia menyukai dirinya.(pasien tidak mampu menjawab dengan tepat, pasien menjawab setelah diarahkan).
b. Ideal diri
Tn. D mengatakan ingin segera pulang dan berlebaran di rumah bersama ibunya.c. Harga diri
Tn. D tidak mampu menjawab. Pertanyaan dan jawaban tidak koheren.d. Peran diri
Tn. D anak ketiga dari tiga bersaudara. Semuanya laki-laki.e. Identitas diri
Sebelum masuk rumah sakit jiwa… Tn. D bekerja sebagai buruh bangunan.
3. Keadaan emosi Keadaan emosional Tn. D pada saat pengkajian dilakukan pada tahapan stabil.
4. Hubungan sosial
a. Orang yang berarti : Ibunya
b. Hubungan dengan keluarga : baik, ketika keluarga berkunjung, berinteraksi
dengan baik dan tidak ada upaya menjaga jarak.
c. Hubungan dengan orang lain : Tn. D mampu bersosialisasi dengan teman-teman
satu ruangannya.
d. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain : Pembicaraan yang tidak
koheren.
1. Spiritual
1. Nilai dan keyakinan : Tn. D memeluk agama islam.
2. Kegiatan ibadah : Tn. D mengatakan sholat sebelum masuk rumah sakit.
VII. Status Mental
1. Tingkat kesadaran
Compos mentiso Bingung/orientasi
o Sedasi
o Supor
2. Penampilan
Rapi
o Tidak rapi
o Penggunaan pakaian tidak sesuai
3. Pembicaraan
o Cepat
Jelas
o Keras
o Gagap
o Inkoheren
o Apatis
o Lambat
o Membisu
o Tidak mampu memulai pembicaraan
4. Alam perasaan
Ketakutan
Putus asa
Gembira berlebihan5. Afek
Datar
o Tumpul
o Labil
o Tidak sesuai
6. Interaksi selama wawancara
Kooperatif
Mau diajak bicara
Kontak mata bagus
o Bermusuhan
o Tidak kooperatif
o Mudah tersinggung
o Kontak mata kurang
o Defensif
o curiga
7. Persepsi
Pendengaran
Penglihatano Perabaan
Pengecapano penghirupan
8. Proses pikir
Tidak ada gangguan
o Sirkumstansial
o Tangensial
o Kehilangan asosiasi
o Flight of ideas
o Blocking
o Pengulangan pembicaraan/persepsi
9. Isi pikir
Obsesi
Fobia
o Hipokondria
o Deporsonalisai
o Ide yang terkait
o Pikiran magis
10. Waham
Tidak mengalami gangguan Agamao Somatik
Kebesarano Curiga
o Nihilstik
o Sisip pikir
o Siap pikir
o Kontrol piki
11. Memori
Gangguan daya ingat jangka panjang
o Gangguan daya ingat jangka pendek
o Gangguan daya ingat saat ini
VIII. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan Umum
Kesadaran compos mentis, tampak tenang pada saat berkomunikasi namun kurang mampu mendeskripsikan alam perasaannya dengan jelas.
B. Tanda-tanda Vital
1. Suhu tubuh : 370C
2. Tekanan darah : 90/60 mmHg
3. Nadi : 84 x/i
4. Pernapasan : 18 x/i
5. Skala nyeri : -
6. TB : cm
7. BB : kg
C. Pemerikasaan Head to toe
1. Kepala dan rambut
a) Bentuk : normal, simetris kiri dan kanan, tidak ada benjolan
b) Ubun-ubun : tertutup dan keras
c) Kulit kepala : bersih, tidak ada masalah
2. Rambut
a) Penyebaran dan keadaan rambut : bagus, penyebaran merata, keadaan normal
b) Bau : tidak berbau
c) Warna kulit : normal, bewarna hitam
3. Wajah
a) Warna kulit : normal, sawo matang
b) Struktur wajah : normal, simetris, tidak ada kelainan
4. Mata
a) Kelengkapan dan kesimetrisan : normal, mata lengkap dan simetris
b) Palpebra : normal, tidak ada ptosis, tidak ada oedema, tidak
ada tanda-tanda radang
c) Konjungtiva dan sklera : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus
d) Pupil : isokor, kontraksi pupil (+/+), reflek cahaya (+)
e) Cornea dan iris : pengapuran katarak (-), oedema (-), tidak ada
tanda-tanda radang
f) Visus : klien dapat melihat lambaian tangan dalam jarak
satu meter
g) Tekanan bola mata : tekanan bola mata normal kiri dan kanan
5. Hidung
a) Tulang hidung dan posisi septumnasi : normal, tulang hidung simetris,
posisi septum nasi simetris dan diposisi medial
b) Lubang hidung : normal, bersih, tidak ada sumbatan,
secret (-)
c) Cuping hidung : normal, tidak ada pernapasan
cuping hidung
6. Telinga
a) Bentuk telinga : normal, daun teling simetris kiri dan kanan
b) Ukuran telinga : normal, sama besar, simetris kiri dan kanan
c) Lubang telinga : normal, lubang telinga bersih, serumen (+)
d) Ketajaman pendengaran : baik, tidak ada gangguan
7. Mulut dan faring
a) Keadaan bibir : lembab, bentuk bibir simetris
b) Keadaan gusi dan gigi : gigi masih lengkap, namun berwarna kuning, gusi
tidak ada perdarahan
c) Keadaan lidah : lidah bersih, tidak ada stomatitis
d) Orofaring : normal tidak ada tanda-tanda peradangan, mampu
menelan dengan baik
8. Leher
a) Posisi trachea : medial normal
b) Thyroid : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid
c) Suara : terdengar dengan cukup jelas
d) Kelenjar limfe : tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening
e) Vena jugularis : tidak ada distensi vena jugularis
f) Denyut nadi karotis : teraba jelas dan reguler
9. Pemeriksaan integumen
a) Kebersihan : kulit lembab dan berminyak, ada panu di lengan kiri
b) Kehangatan : akral tarasa hangat ( dalam keadaan normal)
c) Warna : normal, warna kulit sawo matang
d) Turgor : normal, turgor kembali < 2”
e) Kelembaban : terasa lembab
f) Kelainan pada kulit : ada panu di lengan kiri
10. Pemeriksaan thoraks/dada
a) Inspeksi thorak : bentuk normal
b) Pernafasan : frekuensi 18 x/i, irama teratur dan reguler
c) Tanda kesulitan bernafas : tidak ada tanda kesulitan bernafas
11. Pemeriksaan paru
a) Palpasi getaran suara : fremitus taktil seimbang kiri & kanan
b) Perkusi : terdengar bunyi sonor
c) Auskultasi : suara nafas normal, suara ucapan jelas, suara
tambahan tidak ada terdengar
12. Pemeriksaan jantung
a) Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
b) Palpasi : ictus cordis (PMI) pada ics 5 mid clavicula sinistra, teratur
c) Perkusi : batas jantung intercosta 4-5
d) Auskultasi : bunyi jantung didapat s1 dan s2 tunggal, lup dup (normal),
murmur tidak ada, frekuensi 84 x/i
13. Pemeriksaan abdomen
a) Inspeksi : bentuk abdomen normal, simetris, tidak tampak massa/benjolan,
bayangan pembuluh darah tidak tampak
b) Auskultasi : peristaltik 7 x/i, tidak ada suara tambahan
c) Palpasi : tanda nyeri tekan tidak ada, tidak teraba massa/benjolan, tidak
ada tanda ascites, tidak ada pembengkakan hepar
d) Perkusi : suara abdomen timpani, ascites (-)
14. Pemeriksaan kelamin dan daerah sekitarnya
a) Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
b) Anus dan perinium : tidak dilakukan pemeriksaan
15. Pemeriksaan muskuloskeletal/ekstremitas
a) Kesimetrisan otot : normal, simetris
b) Pemeriksaan oedema : tidak ada oedema
c) Kekuatan otot : 5, mampu melawan gravitasi, tidak ada gangguan
d) Kelainan pada ekstremitas dan kuku : ekstremitas hangat, tidak ada
clubing finger
16. Pemeriksaan neurologi
a) Tingkat kesadaran : GCS 15
b) Meningeal sign : kaku kuduk (-), kernig (-), babinsky (-), brudzinky (-)
c) Nervus cranialis
1) Nervus olfaktorius/N 1
Dapat membedakan bau-bauan2) Nervus optikus/N 2
Penglihatan normal, tidak kabur3) Nervus okulomotoris/N 3, Trochlearis/N 4, Abdusen/N 6
Tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata, pupil isokor, gerakan bola mata normal
4) Nervus trigeminus/N 5
Tidak mengalami paralis pada otot wajah , reflek kornea baik5) Nervus fasialis/N 7
Wajah simetris, tidak ada kelainan pada saraf wajah, persepsi pengecapan dalam batas normal
6) Nervus vestibulocochlearis/N 8
Tidak dilakukan pemeriksaan7) Nervus glossopharingeus/N 9, Vagus/N 10
Kemampuan menelan baik, palatum sedikit terangkat dan letak uvula relatif ditengah saat mengatakan “aa”, ada refleks tersedak
8) Nervus asesorisus/N 11
Tidak ada atrofi otot sternocleidomastoideus dan trapesius9) Nervus Hipoglossus/N 12
Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi indra pengecapan normal
17. Fungsi motorik
a) Cara berjalan : pasien berjalan normal
b) Romberg test : mampu menggerakkan tangan dengan mata
tertutup, dapat berdiri tegak dengan satu kaki tetapi sebentar
c) Pronasi-supinasi test : klien dapat menelentangkan dan menelungkupkan
telapak tangan
18. Fungsi sensorik
a) Identifikasi sentuhan ringan : klien dapat mengidentifikasi sentuhan
kapas tanpa melihat
b) Test tajam-tumpul : klien dapat membedakan sentuhan tajam
tumpul
c) Test panas dingin : klien dapat membedakan sensasi panas dan
dingin
d) Streognosis test : klien dapat mengidentifikasi benda yang
diletakkan pada telapak tangan
e) Graphestesia test : klien dapat merasakan tulisan yang dibuat
pada telapak tangan
f) Membedakan dua titik : klien dapat menbedakan dua titik
g) Topognosis test : klien dapat mengidentifikasi lokasi
sentuhan
19. Refleks
a) Bisep : tidak dilakukan pemeriksaan
b) Trisep : tidak dilakukan pemeriksaan
c) Brachioradialis : tidak dilakukan pemeriksaan
d) Patelar : tidak dilakukan pemeriksaan
e) Tendon achiles : tidak dilakukan pemeriksaan
f) Plantar : tidak dilakukan pemeriksaan
IX. Pola Kebiasaan Sehari-Hari
1. Pola makan dan minum
a. Frekuensi makan/hari : 3 kali sehari
b. Nafsu/selera makan : selera makan baik
c. Nyeri ulu hati : tidak ada nyeri ulu hati
d. Alergi : tidak ada riwayat alergi.
e. Mual dan muntah : tidak ada mual dan muntah
f. Tampak makan memisahkan diri (pasien gangguan jiwa) : tidak memisahkan
diri, tampak makan bersama dengan teman yang lain
g. Waktu pemberian makanan : pagi, siang, sore
h. Jumlah dan jenis makanan : sesuai porsi nasi, lauk, sayur
i. Waktu pemberian cairan/minum : setelah makan dan ketika haus
j. Masalah makanan dan minuman (kesulitan mengunyah, menelan) : normal, tidak
ada maslah makan dan minum
2. Perawatan diri/personal hygiene
a. Kebersihan tubuh : tubuh tampak bersih
b. Kebersihan gigi dan mulut : gigi tampak kuning, tapi bersih
c. Kebersihan kuku kaki dan tangan : kuku dan kaki tangan pendek dan bersih
3. Pola kegiatan/aktivitas
a. Uraian aktivitas pasien mandi, makan, eliminasi, ganti pakaian dilakukan secara
mandiri, sebahagian, atau total.
Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri, seperti mandi, makan, eliminasi, ganti pakaian
b. Uraian aktivitas ibadah pasien selama dirawat/sakit
Pasien selama dirawat di RS tidak ada melakukan ibadah.4. Pola eliminasi
a. BAB
a) Pola BAB : teratur 1 x/hari
b) Karakter feses : lunak
c) Riwayat perdarahan : tidak ada riwayat perdarahan
d) BAB terakhir : pagi hari
e) Diare : tidak ada diare
f) Penggunaan laksatif: tidak ada penggunaan laktasif
b. BAK
a) Pola BAK : 5-6 x/hari
b) Karakter urine : kuning jernih
c) Nyeri/rasa terbakar/kesulitan BAK : tidak ada rasa nyeri/kesulitan
d) Riwayat penyakit ginjal/kandung kemih : tidak ada
e) Penggunaan diuretik : tidak ada penggunaan diuretik
f) Upaya mengatasi masalah : tidak ada upaya mengatasi masalah
5. Mekanisme koping
a. Adaptif
Bicara dengan orang lain Mampu menyelesaikan masalah Tekhnik relaksasi Aktivitas konstruksi Olah raga
b. Maladaptif
c. Minum alkohol
Reaksi lambat/ berlebihanBekerja berlebihanMenghindarMencederai diri
2. Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan
Tabel 3. Analisa data asuhan keperawatan pada Tn. D dengan prioritas masalah penyalahgunaan Napza di Ruang Cempaka RS Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Medan
No Data Masalah keperawatan
1 Data Objektif :1. Tidak mampu bertahan lama dalam
satu pembicaraan yang sama.
2. Jawaban yang diberikan seringkali
berbeda dengan apa yang ditanyakan
3. Tidak mampu memberikan lasan
atas jawaban yang diberikan
4. Seringkali terlihat bingung ketika
akan melakukan suatu perintah
5. Bersikap seperti anak kecil ketika
bicara
Gangguan proses pikir
no Data Masalah Keperawatan
2 Data Objektif :1. Merasa tidak mampu melakukan
sesuatu sendiri tanpa bantuan orang
lain
2. Pasif/tidak asertif
3. Bimbang
4. Pengabaian diri sendiri
Harga diri rendah
No Data Masalah Keperawatan
3 Data Objektif:1. Mengabaikan mandi : mandi harus
dipaksa kalau tidak, tidak mau mandi
2. Mengabaikan kerapian pakaian :
habis mandi badan tidak dilap.
3. Tidak memiliki inisiatif untuk
menyikat gigi, harus diingatkan.
4. Selesai mandi harus diingatkan untuk
mengganti baju dengan yang baru.
Pengabaian Diri
top related