atik stkip
Post on 03-Jul-2015
2.128 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa daerah sebagai unsur kebudayaan nasional telah sangat lama
menguasai kehidupan masyarakat kita dengan menempatkan diri pada posisi
yang sangat strategis sebagai alat komunikasi sosial dan sarana pendidikan
serta sebagai sarana pendukung kebudayaan daerah yang tetap hidup
berdampingan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Lebih dari 59 tahun yang lalu UUD 1945 telah menetapkan garis-garis
kebijaksanaan tentang kedudukan bahasa daerah sebagimana termaktub
dalam Bab XV, Pasal 36, bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa
Negara dan bahasa daerah yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik
akan dipelihara oleh negara sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang
hidup.
Berdasarkan pada penjelasan ketetapan UUD 1945 berarti bahasa
daerah memiliki kedudukan yang kuat untuk tetap dipelihara dan
dikembangkan, baik dalam hubungannya dengan kehidupan kebudayaan
daerah dan kebudayaan nasional maupun dalam hubungannya dengan dunia
pendidikan.
Selain daripada itu, bahasa daerah merupakan salah satu sumber yang
dapat dimanfaatkan untuk memperkaya khasanah bahasa Indonesia.
Namun pergeseran nilai dan perubahan bentuk yang terjadi pada
beberapa aspek kehidupan masyarakat kita sebagai dampak perkembangan
1
transformasi informasi, secara perlahan telah merambah pula pada
pergeseran kedudukan dan nilai bahasa daerah.
Hal ini terlihat jelas pada kehidupan masyarakat perkotaan yang
sepertinya telah lupa pada bahasa daerahnya sendiri dan menempatkan
bahasa daerah sebagai bahasa kedua. Padahal, tidak dapat dipungkiri bahwa
fungsi bahasa daerah tidak hanya sekedar sebagai linguafranca pada
lingkungannya tetapi lebih dari pada itu bahasa daerah telah membuktikan
diri sebagai bahasa budaya, bahasa ilmu dan bahasa yang tinggi. Di samping
itu, bahasa daerah dengan nilai moral yang tinggi dapat juga dijadikan alat
perekat dan pengatur dalam interaksi sosial masyarakat.
Salah satu bentuk bahasa dalam tataran bahasa daerah kita yang
memiliki fungsi dan kedudukan strategis dalam mengatur keharmonisan
hubungan pada tataran masyarakat suku Sasak adalah bahasa Sasak Alus.
Dengan berpegang pada prinsip-prinsip dalam pemakaiannya bahasa Sasak
Alus memiliki kekuatan tersendiri sebagi perekat hubungan antar individu
dalam kelompok masyarakat dan antar kelompok masyarakat dalam wilayah
suku Sasak.
Selain itu dapat dikemukakan bahwa dalam pemakaian bahasa Sasak
Alus tidak mengenal batasan dialek seperti yang terjadi pada pemakaian
bahasa daerah Sasak lainnya. Sebab antara kelompok mayarakat dalam suku
Sasak menggunakan bahasa Sasak Alus yang sama.
Bahasa Sasak Alus ini dapat juga dijadikan sarana pengatur hubungan
dalam masyarakat dengan mempertahankan nilai-nilai moral dalam
2
berbahasa adab dan etika pergaulan dalam pemakaiannya. Hal ini dapat
terlihat pada kesesuaian antara sikap penutur bahasa Sasak Alus dengan
bahasa itu sendiri.
Pemakaian bahasa Sasak Alus yang benar adalah adanya kesesuaian
antara bahasa Sasak Alus dengan tata krama dan sopan santun. Dengan
demikian, pemakaian bahasa Sasak Alus sebagai alat komunikasi dapat
menciptakan keserasian dan keharmonisan dalam pergaulan sehari-hari yang
mencerminkan pribadi-pribadi luhur pemakainya.
Sementara pada sisi lain, masyarakat suku Sasak yang merupakan
bagian dari bangsa Indonesia, tentulah akan mengenal dan menguasai serta
dapat menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasionalnya dengan
baik, di samping bahasa daerah yang menjadi sarana komunikasi utama
mereka sehari-hari. Kemampuan menguasai dua buah bahasa yang berbeda
secara baik ini menjadikan masyarakat suku Sasak sebagai masyarakat yang
dwi bahasawan.
Keberadaan masyarakat suku Sasak yang dwi bahasawan dengan
kemampuan yang sama dalam menggunakan dua buah bahasa sekaligus
inilah yang menyebabkan terjadinya peralihan kode dari dua buah bahasa
yang berbeda dalam satu komunikasi secara bersamaan.
Terjadinya perubahan kode bahasa dalam sebuah komunikasi, sering
pula terjadi pada tataran bahasa Sasak Alus . Hal ini dapat terlihat pada
bentuk pemakaian bahasa Sasak Alus yang sering menerima peralihan kode
bahasa dari bahasa Indonesia atau sebaliknya. Sehingga, terkadang diglosia
3
antara bahasa Sasak yang dalam kaitan ini adalah bahasa Sasak Alus,
dengan bahasa Indonesia menjadi hal yang biasa dalam sebuah komunikasi.
Bertolok dari uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan
penelitian tentang : Analisis Situasi Diglosia dalam Pemakaian Bahasa
Sasak Alus pada Masyarakat desa Lendang Nangka.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan permasalahan yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimanakah situasi Diglosia dalam pemakaian bahasa Sasak Alus pada
masyarakat suku Sasak di desa Lendang Nangka ?
2. Kode-kode bahasa apakah yang dipakai dalam situasi diglosia pada
pemakaian bahasa Sasak Alus di desa Lendang Nangka ?
3. Apakah penyebab terjadinya Diglosia dalam pemakaian bahasa Sasak
Alus pada masyarakat desa Lendang Nangka ?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:
1. Mendapatkan gambaran konkret tentang situasi Diglosia dalam
pemakaian bahasa Sasak Alus pada masyarakat suku Sasak di desa
Lendang Nangka.
2. Untuk mengetahui kode-kode bahasa yang sering beralih ke dalam
situasi diglosia dalam pemakaian bahasa Sasak Alus pada komunikasi
masyarakat suku Sasak di desa Lendang Nangka.
4
3. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya Diglosia dalam pemakaian
bahasa Sasak Alus pada masyarakat suku Sasak di desa Lendang
Nangka.
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan dapat dideskripsikannya bentuk Diglosia yang dalam
pemakaian bahasa Sasak Alus pada masyarakat desa Lendang Nangka,
maka hasil penelitian ini diharapkan:
1. Dapat dijadikan sebagai salah satu acuan penunjang pada mata pelajaran
muatan lokal di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
2. Dapat mengembangkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat
kebahasaan khususnya menyangkut pemakaian bahasa Sasak Alus.
3. Dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, generasi muda pada khususnya
untuk dapat memahami dan menggunakan bahasa Sasak Alus dengan
baik dan benar.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Masyarakat
Manusia semenjak lahir senantiasa mempunyai naluri untuk hidup
dengan orang lain. Hidup bersama berkelompok untuk saling mengenal,
berintraksi, bekerja sama dan hidup berdampingan dengan damai. Untuk itu,
pada hubungan manusia dengan sesamanya muncul kecenderungan untuk
menyelaraskan dan menyesuaikan diri sehingga terciptalah sekelompok
orang yang hidup bersama pada suatu tempat tertentu. Kehidupan
berkelompok seperti ini dinamakan masyarakat.
Dengan demikian, masyarakat merupakan sekelompok manusia yang
hidup dan bekerjasama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri
mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan
batas-batas yang dirumuskan dengan jelas ( Linthon dalam Soekanto,
2003 : 24 ).
Kehidupan yang cukup lama bagi sekelompok manusia ini tidaklah
sama dengan kumpulan benda-benda mati ataupun binatang di hutan
belantara, karena kehidupan berkelompok manusia akan menimbulkan
sistem kominikasi dan hubungan yang mengacu pada peraturan-peraturan
yang mengatur hubungan antar manusia tersebut.
Hal ini ditegaskan pula pada sebuah batasan bahwa masyarakat
merupakan suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan
kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan dan pengawasan
6
tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan. Masyarakat merupakan jalinan
hubungan social (Maclver dan Page dalam Soekanto, 2003 : 24).
Pada batasan lain, Selo Soemardjan menyatakan bahwa masyarakat
adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan
( 1974 : 15 ).
Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat adalah sekelompok orang yang hidup bersama untuk mencapai
tujuan bersama dengan menciptakan kebudayaan dan peraturan-peraturan
yang mengatur kehidupan mereka.
2.2 Masyarakat Bahasa
Dalam setiap kelompok masyarakat pastilah terdapat suatu
kebutuhan komunikatif untuk dapat saling memahami, mengungkapkan
keinginan dan sebagai suatu bentuk sosialisasi atau solidaritas kelompok.
Kebutuhan akan komunikasi tersebut tidak akan dapat terpenuhi jika dalam
sebuah kelompok masyarakat tidak memiliki norma-norma kebahasaan yang
dianut bersama.
Pada posisi dan situasi seperti ini bahasalah yang menjadikan suatu
masyarakat menjadi sentripetal. Artinya, bahasa cendrung mengabsorbsi
masyarakat menjadi satu kesatuan. Kesatuan masyarakat karena menganut
norma-norma linguistik yang sama inilah yang dinamakan masyarakat
bahasa. (Ohoiwutu, 1996:38)
7
Mengingat sifat bahasa yang merupakan sebuah konvensi
masyarakatnya, maka akan kita temukan berbagai ragam bahasa menurut
kesepakatan masyarakat pemakainya. Sehingga, tidak mengherankan jika
tiap-tiap kelompok masyarakat akan memiliki bentuk bahasa yang berbeda-
beda sesuai dengan karakter sosial masyarakatnya dengan norma-norma
yang telah disepakati bersama.
Kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama, yang
termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang pada bahasa standar
yang sama dinamakan sebagai masyarakat bahasa . (KBBI, 1995 : 635)
Senada dengan batasan-batasan tentang masyarakat bahasa di atas,
dikemukakan bahwa masyarakat bahasa adalah suatu kelompok masyarakat
yang anggota-anggotanya secara bersama-sama menganut aturan-aturan
fungsional yang sama. Aturan-aturan itulah yang menetapkan wajar
tidaknya suatu ujaran. (Fishman dalam Ohoiwutu, 1996 : 37 )
2.3 Pengertian Bahasa
Bahasa dilestarikan dari satu generasi kepada generasi berikutnya
secara budaya dan bukan diturunkan secara biologis. Artinya bahwa sistem
kebahasaan itu harus dipelajari oleh setiap penutur bahasa. Dengan
perkataan lain bahwa semua manusia di dunia ini dilahirkan tidak bersama-
sama dengan kemampuan berbahasa, namum manusia memperoleh
kemampuan ini diawali dengan mendengar lalu meniru orang-orang di
sekitarnya dan pada kemampuan puncaknya menyusun menjadi kalimat-
kalimat.
8
Sebagi salah satu unsur dari kebudayaan bahasa merupakan alat
berpikir dan alat menyatakan buah pikiran. ( Halim, 1980 : 40 ), yang
memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat strategis dalam mengatur
hubungan individu dengan individu lain dalam kelompok masyarakatnya,
dalam pengejawantahanya sabagai makhluk berbudaya dan merupakan
pembeda yang hakiki antara manusia dengan mahluk lainnya.
Demikian juga diungkapkan oleh Achmad .HP dalam bukunya
Linguistik Umum, bahwa penguasaan terhadap bahasa, melebihi segala
atribut di manapun, memberikan perbedaan antara manusia dan binatang.
Untuk memahami kita, orang harus memahami atau mengetahui bahasa
yang menjadikan kita sebagai makhluk manusia ( 1996 : 2 ).
Senada dengan itu, Fuad Hasan menyatakan bahwa bahasa sebagai
alat komunikasi manusia adalah salah satu ciri gejala kehidupan
bermasyarakat yang pengejawantahannya hanya terdapat dalam masyarakat
manusia. ( 1993:12)
Pada batasan lain disebutkan, bahwa bahasa merupakan sebuah sistem
lambang (simbol) bunyi yang arbitrer (sewenang-wenang, tanpa
direncanakan, bebas atau mana suka) dan bermakna, yang digunakan oleh
manusia secara konvensional, unik, bervariasi dan produktif dalam sebuah
kelompok sosial untuk berkomunikasi dan mengidentifikasi diri ( Yudibrata
1997 : 9 ).
Batasan lain mengenai bahasa dirumuskan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, bahwa bahasa adalah sistem lambang yang arbitrer, yang
digunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi
dan mengidentifikasikan diri (1995 : 77)
9
Tidak berbeda jauh dengan batasan-batasan dalam teori lainnya,
Gorys Keraf membatasi pengertian bahasa sebagai alat komunikasi
antaranggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat
ucap manusia ( 1984 : 1 ).
Dari batasan-batasan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa
bahasa :
1. merupakan sistem
2. merupakan lambang
3. merupakan bunyi
4. memiliki sifat arbitrer
5. merupakan kesepakatan kelompok pemakainya
6. merupakan alat komunikasi
7. merupakan alat identifikasi diri dan kelompok
8. merupakan pembeda antara menusia dengan makhluk lainnya.
2.4 Variasi Bahasa
Sebagai alat komunikasi, di dunia ini terdapat bentuk bahasa dalam
jenis yang beragam. Dalam suatu negara, kita akan jumpai berbagai bahasa
yang dipergunakan sebagai alat komunikasi . demikian pula ,pada suatu
daerah tertentu akan terdapat peggunaaan beratus bahasa yang berbeda.
Perbedaan bentuk bahasa yang digunakan ini adalah menghasilkan
ragam bahasa. Yaitu variasi bahasa menurutu pemahaman yang berbeda,
menurut topik yang dibicarakan. Menurut hubungan pembicara, lawan
10
bicara, orang yang dibicarakan dan menurut medium pembicara. ( KBB I.
1995 : 8109)
Ragam-ragam bahasa ini meliputi pula perbedaan lokasi geografis
yang sering di sebut dialog, ragam bahasa yang menghubungkan dengan
kelompok sosial disebut sosiolek. Yang berhubungan dengan situasi /
lingkungan formalitas dikenal dengan sebutan fungsiolek.
Jikalau kita memperhatikan bahasa dengan terperinci dan teliti, kita
akan melihat bahasa dalam bentuk dan maknanya menunjukkan perbedaan-
perbedaan kecil antara pengungkapan yang satu dengan yang lain
pengungkapan perbedaan-perbedaan bentuk bahasa seperti ini akan kita
sebut variasi ( Nababan. 1994 : 13)
Secara singkat dijelaskan dalam KBBI, bahwa variasi bahasa
merupakan bentuk (rupa) bahasa yang lain . pemakaian bahasa dalam bentuk
yang berbeda (KBBI , 1995 : 1117).
2.4 Ranah Bahasa
Sebagaimana telah diuraikan pada batasan variasi bahasa di atas,
dalam komunikasi pada masyarakat di dunia ini dikenal beragam bahasa
baik menyangkut bentuk bahasa yang digunakan maupun bentuk situasi
dalam berbahasa.
Antara bentuk bahasa dengan situasi berbahasa ini memiliki kaitan
yang sangat erat. Sehingga dalam sebuah komunikasi kita haruslah
11
memperhatikan bentuk situasi dan bentuk bahasa yang sesuai dengan situasi
komunikasi tersebut.
Perbedaan bahasa sesuai dengan situasi komunikasi ini dapat
dipahami sebagai ranah bahasa. Sebab, ranah dalam pengertiannya
merupakan elemen atau unsur yang dipisahkan ; pembagian sesuatu sesuai
dengan disiplinnya. ( KBBI, 1995: 725). Jadi, ranah bahasa dapat
didefinisikan sebagai bentuk pemakaian bahasa menurut bentuk dan
situasinya.
Perhatikan susunan kalimat pada dua buah paragraf yang berbeda
berikut ini !
Singgih dane pangarseng wacane kapindo dane kepale desa miwah
dane kadus kapindo malih dane sami pare [pengale desa ,pare wande
warge, warge wargie, pare santri, yadwangse sedaye tur pare putra
sentane. Kang utami malih dane rame biang temanten putri, dewek titiang
pribadi nyuwun agung panurgahe.
Jika dibandingkan dengan paragraf berikut, paragraf di atas
memiliki kesamaan makna :
Singgih, agung-agung panurgahe dewek titiang nyuwun maring
kang utami dane pangarseng wacane,kapindo dane kepala desa miwah dane
kadus, kapindu malih dane pare pengale desa, pare wande warge, warge
wargie, pare santri ,yadwangse sedaye, tur pare putra sentane, kang utami
mali dane rame biang temanten putri
.
12
Bentuk bahasa di atas merupakan salah satu bentuk bahasa dalam
tataran bahasa Sasak yang pemakaiannya khusus digunakan dalam situasi
resmi pelaksanaan upacara adat. Sehingga, bentuk bahasa di atas tidak dapat
dipergunakan dalam bentuk komunikasi lainnya.
2.6 Bahasa Daerah
Selain bahasa indonesia sebagai bahasa nasional dalam wilayah
Republik Indonesia, terdapat beratus-ratus bahasa daerah yang masih
dipergunakan dan dipelihara dengan baik oleh penduduk yang bersangkutan
sebagai alat komunikasi, seperti bahasa Jawa, bahasa Lombok, Sumbawa
dan sebagainya.
Maka sehubungan dengan itu, Kebijaksanaan Nasional dalam Politik
Bahasa Nasional menyebutkan bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang di
samping bahasa nasional dipakai sebagai bahasa perhubungan intradaerah di
wilayah Republik Indonesia. Bahasa-bahasa daerah merupakan bagian
daripada kebudayaan Indonesia yang hidup, sesuai dengan penjelasan
Undang-Undang dasar 1945, yang berhubungan dengan Bab XV, pasal 36 (
Halim, 1980 : 151 ).
Demikian juga dalam KBBI, disebutkan bahwa bahasa daerah adalah :
bahasa yang lazim dipakai dalam suatu daerah ; bahasa suku bangsa ( Team,
1995 : 66 ).
Pada batasan lain disebutkan bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang
dipakai oleh pemutur bahasa yang tinggal di daerah tertentu, misalnya
13
bahasa Jawa, bahasa Gorontalo, Kaili. bahasa daerah sering dihubungkan
dengan suku bangsa ( Anonim, 1987 : 55 ).
Mengingat demikian penting posisi bahasa daerah di tengah-tengah
masyarakat kita, yang merupakan alat komunikasi utama di samping bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional, maka sangatlah tepat kebijaksanaan
nasional dalam politik bahasa Nasional yang telah merumuskan dan
menetapkan kedudukan dan fungsi bahasa daerah, sebagai berikut :
1. Kedudukan
Di dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa
seperti : Sunda, Jawa, Bali, Madura, Bugis, Makasar dan Batak yang
terdapat di wilayah Republik Indonesia berkedudukan sebagai bahasa
daerah. Kedudukan ini berdasarkan kenyataan bahwa bahasa daerah itu
adalah salah satu untuk kebudayaan nasional dan dilindungi oleh
negara, sesuai dengan bunyi penjelasan pasal 36, Bab XV, Undang-
Undang Dasar 1945.
2. Fungsi
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa-bahasa
seperti : Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makasar dan Batak, berfungsi
sebagai :
(1) lambang kebanggaan daerah,
(2) lambang identitas daerah,
(3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah.
Di dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa
daerah berfungsi sebagai (1) pendukung Bahasa Indonesia, (2) bahasa
14
pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan
untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata
pelajaran lain, dan (3) alat pengembangan dan pendukung
kebudayaan daerah. ( Halim, 1989 : 151 )
2.7 Bahasa Sasak
Mengacu pada uraian di atas, salah satu bahasa daerah yang masih
dipelihara keberadaannya dengan baik oleh masyarakat pemakainya adalah
bahasa Sasak.
Bahasa Sasak adalah : bahasa yang dipakai oleh masyarakat suku
Sasak yang mendiami hampir sebagian besar pulau Lombok.
2.7.1 Dialek
Bahasa Sasak memiliki beberapa dialek besar yaitu : dialek
ngeno-ngene, nggeto-nggete, kuto-kute, meriaq-meriku, meno-
mene. Diantara dialek-dialek tersebut yang paling luas wilayah
pemakaiannya adalah dialek ngeno-ngene. Dialek ini paling umum
dipahami oleh kelompok-kelompok lain. Dialek ini dipergunakan
di wilayah bekas kerajaan Selaparang, dengan wilayah yang paling
luas,yaitu mulai dari tepi barat Pulau Lombok hingga tepi pantai
sebelah timur. (Team, 1998 : 48 ) Dialek ini juga diperkirakan
sebagai bahasa asli suku Sasak, karena dalam penulisan karya
sastra daerah di seluruh pelosok pulau Lombok menggunakan
bahasa dengan dialek Selaparang ini.
15
Berbeda dengan dialek meno-mene, pemakaiannya di
wilayah bekas kerajaan Pejanggik di sekitar Praya Kabupaten
Lombok Tengah. Dialek mriaq-meriku, dipergunakan oleh
masyarakat suku Sasak yang mendiami wilayah bekas kerajaan
Pujut, di bagian selatan pulau Lombok. Dialek nggeto-nggete
dipergunakan di sekitar wilayah Sembalun dan wilayah Dasan
Lekong. Sedangkan dialek kuto-kute pemakaiannya meliputi
wilayah kecamatan Tanjung, Gangga dan Bayan.
2.7.2 Stratifikasi Bahasa
Selain sistem pembagian wilayah bahasa daerah Sasak
berdasarkan dialek, bahasa Sasak juga mengenal stratifikasi bahasa,
yang secara umum meliputi tiga tingkatan bahasa, yaitu :
1. Bahasa Utama (Basa Utami )
Bahasa utama adalah bahasa dalam Tataran
Tertinggi dan biasanya digunakan terbatas pada acara-acara
adat.
2. Bahasa Menengah ( Basa Madya )
Bahasa dalam tataran ini, memiliki ciri-ciri “tiang-
nggih“. Bahasa inilah yang sering disebut bahasa alus
Sasak, dan merupakan salah satu alat komunikasi yang
masih tetap dipakai dan dipelihara dalam komunikasi
sehari-hari oleh sebagian masyarakat suku Sasak.
16
3. Bahasa Biasa ( Basa Jamaq atau Basa Indria )
Tataran bahasa ini dipergunakan sebagai alat sehari-
hari masyarakat suku Sasak.
Ciri dari pemakaian tataran bahasa ini adalah “aoq-
epe“. Dan pemakaian bahasa ini biasa digunakan oleh orang
yang usianya lebih tua kepada yang usianya lebih muda.
2.8 Pengertian Diglosia
Sebagaimana diketahui bahwa dalam wilayah Republik Indonesia
terdapat berratus-ratus bahasa daerah yang merupaka bahasa ibu bagi
masyarakat pemakai bahasa bersangkutan, di samping bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan yang memiliki daerah penggunaan yang jauh lebih
luas dari pada bahasa daerah dan meliputi seluruh wilayah negara Republik
Indonesia.
Kenyataan seperti ini menjadikan masyarakat Indonesia pada
umumnya adalah Dwi Bahasawan yaitu masyarakat yang mampu
menggunakan dua buah bahasa yang berbeda dengan baik dan lancar.
Dalam hal ini bahasa daerah mereka dan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional.
Kemampuan menggunakan dua buah bahasa sekaligus
memungkinkan terjadinya pemakaian kedua bahasa tersebut dalam konteks
yang bersamaan secara spontanitas.
17
Contoh dalam bahasa Sasak
Sejak kemarin tiang ingin memarek kepada pelungguh.
Pemakaian dua buah bahasa dalam satu konteks kalimat ini
dinamakan Diglosia.
Pada batasan lain disebutkan Diglosia adalah penggunan dua variasi
bahasa atau lebih oleh satu orang yang menyangkut bahasa, logat, tingkatan-
tingkatan, cerita dan gaya percakapan. Jadi setiap orang dapat menggunakan
berbagai kode jika situasi dan konteks memberikan kesempatan itu
kepadanya. ( Halim, 1980 : 71 )
Dalam suasana yang akrab orang sering merasa serek dalam
menyatakan isi hatinya dengan menggunakan bahasa gado-gado dengan
jalan beralih dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Kenyataan seperti
inilah yang disebut juga sebagai Diglosia. (Wojowasito dalam Halim, 1980 :
73).
Pada batasan lain Wojowasito menyatakan bahwa suasana perubahan
bentuk kode bahasa seperti uraian di atas diistilahkan dengan gejala
diglosia. ( Wojowasito dalam Halim, 1980 : 73 )
Charles A. Ferguson yang dikutip oleh Nancy Parrok Hickerson
mengatakan bahwa Diglosia merupakan kemampuan suatu masyarakat
menggunakan dua buah bahasa dalam berkomunikasi antar sesamanya.
( Halim, 1980 : 61 )
Lebih lanujut dijelaskan bahwa pada situasi-situasi tertentu seorang
dwi bahasawan dan eka bahasawan akan lebih mudah beralih dari bahasa
18
yang satu ke bahasa yang lain dari pada berubah dari gaya dalam bahasa
yang sama. ( Gumperz dalam ).
Bertolok dari uraian di atas, jelaslah bahwa diglosia tidak hanya
menunjuk pada masyarakat yang mempergunakan bahasa yang beraneka
ragam saja tetapi juga masyarakat yang mempergunakan dialek yang
berbeda,register yang berbeda atau bahasa yang secara fungsional berbeda.
Jadi, jelaslah bahwa yang dimaksudkan dengan Diglosia adalah
kemampuan seseorang dalam menggunakan dua buah bahasa atau lebih
dalam sebuah komunikasi yang mengakibatkan terjadinya peralihan bentuk
bahasa dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya.
19
BAB III
METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian adalah cara-cara yang dipakai dalam mendekati
objek atau sasaran yang diteliti, termasuk penentuan objek penelitian,teknik
penelitian, pengumpulan dan pengolahan data.
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian adalah gambaran tentang proses penelitian yang
hendak dilaksanakan. Pokok-pokok desain penelitian antara lain meliputi ;
judul, dasar, tujuan, objek, responden, lokasi, pendekatan, metode, tehnik,
organisasi, tenaga dan sebagainya. ( Ndraha dalam Erna dan Mukhtar,
2000 : 144 )
Adapun bentuk desain dalam penelitian ini adalah :
1. Tahap Pertama
a. Menetapkan tema yaitu Analisis Diglosia dalam Pemakaian
Bahasa Sasak Alus pada Masyarakat desa Lendang Nangka.
b. Menetapkan Tujuan
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:
1. Mendapatkan gambaran konkret tentang situasi Diglosia
dalam pemakaian bahasa sasak Alus pada masyarakat suku
Sasak di desa Lendang Nangka.
2. Untuk mengetahui kode-kode bahasa yang sering beralih ke
dalam situasi diglossia pada pemakaian bahasa sasak Alus di
desa Lendang Nangka.
20
3. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya Diglosia dalam
pemakaian bahasa Sasak Alus pada masyarakat suku Sasak di
desa Lendang Nangka.
2. Tahap Kedua
Studi Pendahuluan
Dalam studi pendahuluan ini peneliti menetapkan metode
penelitian berdasarkan tema yang sudah dirumuskan, maka metode
penelitian yang ditetapkan adalah metode deskriptif kualitatif.
3. Tahap Ketiga
Merumuskan Masalah.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah situasi Diglosia dalam pemakaian
bahasa Sasak Alus pada masyarakat suku Sasak di desa
Lendang Nangka ?
2. Kode-kode bahasa apakah yang sering beralih ke
dalam situasi diglosia pada pemakaian bahasa Sasak Alus
masyarakat suku Sasak di desa Lendang Nangka ?
3. Apakah penyebab terjadinya Diglosia dalam pemakaian bahasa
Sasak Alus pada masyarakat suku Sasak di desa Lendang
Nangka ?
4. Tahap Keempat
Menentukan ruang lingkup
Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini terdiri atas
lingkup materi dan lingkup lokasi, yang meliputi :
21
Lingkup Materi
1. Situasi Diglosia yang terjadi dalam komunikasi yang
menggunakan bahasa Sasak Alus pada masyarakat suku Sasak di
desa Lendang Nangka.
2. Kode-kode bahasa yang sering beralih ke dalam situasi diglosia
pada komunikasi yang menggunakan bahasa Sasak Alus pada
masyarakat suku Sasak di desa Lendang Nangka.
3. Sebab-sebab terjadinya Diglosia dalam pemakaian bahasa
Sasak Aluis dalam kopmunikasi pada masyarakat suku Sasak di
desa Lendang Nangka.
Lingkup Lokasi
Peneliti hanya mengambil desa Lendang Nangka sebagai
sumber penelitian utama dengan dasar pertimbangan sebagai
berikut:
1. Lokasi penelitian merupakan satu-satunya desa yang menjadi
lokasi penelitian dalam penelitian ini sesuai dengan tema
penelitian.
2. Lokasi penelitian merupakan tempat tinggal peneliti sehingga
akan memudahkan peneliti dalam mendapatkan data-data yang
dibutuhkan
3. Lokasi penelitian merupakan desa yang sebagian besar
masyarakatnya dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan
22
baik sebagai sarana komunikasi yang berdampingan dengan
bahasa Sasak sebagai alat komunikasi utama.
5. Tahap Kelima
Menetapka Data
Penetapan Data meliputi :
Bentuk data : Data Primer
Data sekunder
Sifat Data : Data Kualitatif
Sumber Data : Responden
6. Tahap Keenam
Pengumpulan data
Langkah-langkah dalam pengumpulan data meliputi :
1. Persiapan
1.1. Mengumpulkan data dengan menggunakan
:
a. Observasi
b. Wawancara
c. Dokumentasi
1.2. Menentukan dan mempersiapkan
instrumen pengumpulan data
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan metode yang sudah
ditetapkan dengan mengacu pada instrumen pengumpulan data.
23
7. Tahap Ketujuh
Analisis Data
Langkah-langkah analisis data meliputi :
1. Tahap Persiapan
a. Mengecek identitas responden
b. Mengecek kelengkapan data
2. Setelah data dianggap cukup peneliti melakukan kegiatan :
a. Menganalisis untuk tujuan penarikan kesimpulan
b. Menarik kesimpulan
8. Tahap Kedelapan
Penyajian Data
Menyajikan data dengan cara mendeskripsikan hasil analisis data.
3.2 Data dan Sumber Data
3.2.1. Bentuk Data
Pada sebuah penelitian, data menempati posisi yang sangat
penting dan strategis. Dikatakan penting karena datalah yang
menjadikan bermakna tdaknya sebuah penelitian sesuai dengan
masalah yang diteliti sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan.
Sebab, data akan mencerminkan berkualitas tidaknya sebuah
penelitian.
Data pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang sudah
dicatat (recorded). Segala sesuatu itu bisa berbentuk dokumen,
24
batu, air, pohon, manusia dan sebagainya.(Erna dan Muhtar, 2000 :
115).
Berdasarkan rumusan tema dalam penelitian ini, dan objek
yang menjadi sasaran penelitian adalah bahasa yang merupakan
salah satu komunikasi utama manusia, maka jenis data yang
dibutuhkan, berupa :
1. Data Primer.
Adalah data yang diambil langsung dari sumber data oleh
peneliti tanpa perantara. Data primer ini diperoleh oleh peneliti
secara mentah dari sumber data sehingga memerlukan analisis
lebih lanjut (Subagyo,2004 : 87).
Dalam pengumpulan data primer ini, peneliti menitik
beratkan pada pemerolehan data langsung yang sesuai dengan
kebutuhan berdasar pada rumusan masalah dan instrumen
penelitian yang telah disiapkan.
2. Data Sekunder
Data yang diperoleh oleh seorang peneliti secara tidak
langsung dari obyeknya, tetapi melalui sumber lain baik lisan
maupun tulisan dinamakan data sekunder ( KBBI , 1995 : 187).
Sehubungan dengan tema dan objek dalam penilitian
ini, data sekunder merupakan salah satu bentuk data yang
dibutuhkan di samping data primer dengan tujuan agar peneliti
mendapatkan bentuk data yang lebih valid dan lebih sempurna
25
Data sekunder digunakan oleh peneliti untuk melengkapi
data primer yang peroleh dengan pertimbangan bahwa data
primer dapat dikatakan sebagai data praktek yang ada di
lapangan dan masih membutuhkan analisis. Sehingga,
keberadaan data sekunder mutlak dibutuhkan sebagai pemandu
dalam menganalisis data.
Data sekunder dalam sebuah penelitian dapat
berbentuk dokumen, arsip, data resmi pada pemerintah, data-
data lain dalam bentuk refrensi yang dipublikasikan.
Mengacu pada tema dan rumusan masalah dalam
penelitian, data sekunder yang digunakan oleh peneliti dalam
penelitian ini adalah cerita rakyat.
Kutipan cerita rakyat :
RADEN MAS PAHIT
Tekocapang hubungan gumi Majapahit kance gumi
Lombok leq zaman Datu Selaparang sampun karib,
kenyengkene jari datu Majapahit Raden Hayam Wuruk siq
begelar Prabu Rajasanegara. Raja Selaparang masih bekuri
leq Labuhan Lombok saq bepesengan Prabu Rengkasari.
Kesurah dateng selapuq gumi paer nusantara kelampan
pemerentahan Prabu Hayam Wuruk siq mula adil, timaq-
26
timaqna masih bajang ganteng. Tesebut bajang ganteng sengak
ia merentah jari datu masih berumur 16 taun.
Leq sopok waktu, mikir Maha Patih Gajah Mada, “ araq
sopoq kekurangan datu , iia masih bajang dait endeqna eman
bejangkep”. Beterus kuwurne selapuk peluklis-pelukis,
pematung-pematungsaq araq leq guni Majapahit. Senugaq
pelukis dait pematung tepelampaq ojok bilang istana raja-raja
saq araq leq seantero nusantara. Ia pade tetugasang yaqne
ngelukis putri-putri raja . lamun sampun jari, yaqne aturang
tipak Prabu Hayam Wuruk , embe saqbakal tekayunan jari
sebiniqanne.
Sampun kesurah dateng gumi Majapahit teragaq datu
Selaparang saq endoweang sopok bije ingesbepesengan Denda
Ratna Nila Sari. Beterus sopok pelukis istana Majapahit kuni
bija-jarin datu turunan datu Majapahit bepesengan Raden Mas
Pahit, tyetugasan isiq Maha Patih Gajah Mada belayar kance
pengiring-pengiringne tipaq gumi Lombok, yaq ne ngelukis
Denda Nila Sari.
Kontek cerita, Raden Mas Pahit dait pengiring-
pengiringne sampun rawuh leq gumi Lombok. Raden Mas
Pahit beterus betempuh sareng Ratna Nila Sari.
Bilang jelo ia pade betempuh nyekene saq telukis; tetap
saling kemosin. Lebih-lebih Ratna Nila Sari putri inges, awaq
27
puteq-kuning nyempake. Semenoan juaq Raden Mas Pahit
teruna gagah-ganteng, semet nyeririt, awaq penyampeq.
Tekocapang, ngoneq-ngoneq saq saling kemos bilang
waktu betempuh, akhirne saling meleq, saling kangen./ bnilang
malem endeqne iniq pade becat mesare.
………………………..
( Dikutip dari buku Reramputan Pelajaran Basa Sasak kelas 2)
3.2.2. Sumber Data
Yang dimaksud sumber data adalah : sumber dari mana data
diperoleh. (Erna dan Muhtar, 2000 : 92). Sehubungan dengan itu,
dalam penelitian ini sumber datanya adalah responden.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Pada tahap pengumpulan data, kegiatan yang termasuk di dalamnya
adalah pengumpulan data-data primer pada beberapa sumber data, mencari
informasi yang berhubungan dengan masalah data.
Tahapan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
memadukan beberapa metode seperti :
a. Observasi.
Obseravsi atau pengamatan adalah metode penelitian yang
digunakan untuk memperoleh informasi atau fakta-fakta yang
berkaitan, dan untuk lebih memahami karakter lokasi penelitian secara
lebih mendetail. Tujuan tahapan observasi ini untuk mendapatkan data
28
primer yang menyangkut regional dan karakter lokasi penelitian
secara detail.
b. Wawancara
Metode wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini. Mengingat parameter yang
digunakan adalah parameter sosial, penelitian dengan menggunakan
metode ini menjadi sangat penting karena data yang diperlukan berada
pada masyarakat budaya itu sendiri. Dalam metode wawancara ini
peneliti menggunakan beberapa informan yang dianggap sangat
menguasai informasi mengenai data yang dibutuhkan.
c. Metode Dokumentasi
Selain dari metode-metode pengumpulan data di atas, peneliti
juga menggunakan metode dokumentasi dengan tujuan untuk menjaga
keutuhan dan kevalitan data yang diperoleh dalam penelitian ini.
Dalam KBBI dijelaskan bahwa dokumentasi merupakan bentuk
pengumpulan bukti-bukti dan keterangan-keterangan (seperti gambar,
kutipan, guntingan koran dan bahan referensi lain). (Team, 1995 :211)
Adapun bentuk-bentuk metode dokumentasi yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi :
a. Pencatatan
Langkah pencatatan digunakan dalam penelitian ini
dimaksudkan agar tidak ada satu pun gejala yang lepas dari
29
pengamatan peneliti. Sehingga, diharapkan selama proses
pengumpulan data, peneliti mendapatkan data yang utuh dan tidak
kehilangan data.
Bentuk pencatatan yang dilakukan peneliti dengan metode
ini meliputi :
1. Pencatatan secara berkala
Yang dimaksud dengan pencatatan secara berkala dalam
penelitian ini adalah bentuk pencatatan yang dilakukan secara
tidak terus menerus melainkan pada waktu tertentu dan terbatas
pada jangka waktu untuk tiap-tiap pengamatan.
2. Sistematis
selain pencatatan yang dilakukan oleh peneliti secara
berkala, pencatatan dalam pengumpulan data penelitian
dilakukan juga dengan cara sistematis yaitu dengan
memasukkan tia- gejala yang diamati ke dalam kategori
tertentu tanpa memperhatikan urutan kejadian.
b. Transkripsi
Dalam sebuah batasan dijelaskan bahwa transkripsi adalah
penyalinan teks dengan mengubah ejaannya ke dalam ejaan lain
untuk menunjukkan lafal bunyi unsur bahasa yang bersangkutan.
(Margono, 2003 : 161)
Pemakaian metode transkripsi dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk memperjelas bentuk pemakaian bahasa dalam
30
komunikasi masyarakat suku Sasak di desa Lendang Nangka baik
menyangkut bentuk pemakaian kosa kata dalam stratifikasi bahasa
maupun berbagai gejala yang dapat diungkap oleh peneliti sebagai
data penelitian sesuai dengan instrumen penelitian.
c. Rekaman
Sifat data pada penelitian ini adalah data kualitatif yaitu
data-data berupa non angka, seperti kalimat, foto, rekaman suara
dan gambar.
Di samping menggunakan pencatatan dalam pengumpulan
data, peneliti juga memanfaatkan sarana teknologi sebagai salah
satu alternatif yang digunakan untuk mendokumentasikan data-data
yang diperoleh dalam penelitian.
Pemakaian tape recorder dipandang sangat membantu
peneliti dalam mengunpulkan data penelitian ,. Dengan cara
merekam setiap bentuk komunikasi yang terjadi antara peneliti
dengan responden untuk menghindari kehilangan gejala-gejala
yang penting pada waktu pengumpulan data.
Di samping itu, penggunaan alat rekaman ini dimaksudkan
agar data yang diperoleh utuh sesuai dengan wujud asli bahasa
yang digunakan oleh responden.
31
3.4. Teknik Analisis Data
Karena penelitian ini menitikberatkan pada analisis bahasa dan
pemakaian bahasa, maka metode yang dianggap tepat untuk proses analisis
data adalah analisis deskriptif kualitatif, dengan memaparkan implikasi-
implikasi karakter bahasa dan karakter sosial. Adapun langkah-langkah
dalam proses analisa deskriftif kualitatif ini dapat dipaparkan sebagai
berikut :
1. Mengidentifikasi kondisi eksisting kebahasaan pada kedua lokasi
penelitian yang pada tahap ini dibagi tiga yaitu :
a. Mengidentifikasi bentuk Diglosia yang terjadi pada bahasa
Sasak Alus.
b. Mengidentifikasi kode-kode bahasa yang sering bercampur
dengan bahasa Sasak Alus.
c. Mengidentifikasi sebab-sebab terjadinya Diglosia pada
pemakaian bahasa Sasak Alus.
2. Mengaji implikasi dari bentuk pemakaian bahasa Sasak Alus yang
meliputi :
a. Penemuan hubungan antara ketiga kajian dalam eksisting
kebahasaan.
b. Penemuan jawaban yang berupa kesimpulan bagi pemecahan
masalah.
32
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Bahasa Sasak Alus Dalam Komunikasi
Salah satu bentuk bahasa dalam tataran bahasa sasak adalah bahasa
Sasak Alus. Bahasa Sasak Alus ini merupakan salah satu bentuk bahasa yang
masih digunakan sebagai alat komunikasi dalam masyarakat. Meskipun tidak
dapat dipungkiri bahwa pemakaian tataran bahasa ini hanya terdapat pada
tempat-tempat tertentu saja atau pada kelompok masyarakat tertentu saja.
Sebagai alat komunikaasi , bahasa Sasak Alus memiliki posisi yang
sangat strategis dalam mengatur hubungan dalam masyarakat suku Sasak.
Hal ini dapat dilihat melalui kesesuaian antara pemakaian bahasa Sasak Alus
dengan prilaku sopan santun pemakainya.
Dalam fungsinya sebagai alat komunkasi dan pengatur hubungan
antar masyarakat, bahasa Sasak Alus memiliki kaidah-kaidah dan perinsif-
perinsif dalam pemakaiannya yang meliputi :
4.1.1. Ketepatan Pemakaian Kosa Kata Bentuk Alus dalam Kalimat
Dalam hubungannya dengan ketepatan penempatan kosa kata
bentuk alus dalam kalimat, pemakaian bahasa sasak alus lebih
menekankan pada pemakaian kalimat yang komunkatif dan ketepatan
pada pemilihan kata serta tidak terletak pada urutan fungsi kata dalam
kalimat.
Perhatikan bentuk kalimat berikut ;
33
Bapak akan pergi ke Masbagik nanti sore.
Dalam kalimat bahasa Sasak Alus, kalimat bahasa Indonesia
di atas dapat disampaikan dengan dengan beberapa pola kalimat yang
komunikatif , seperti :
( 1 ) Bapak yaqne margi Masbagik mangkin bian-bian.
( 2 ) Yaqne margi Masbagik Bapak mangkin bian-bian.
( 3 ) Mangkin bian-bian yakne margi Masbagik Bapak.
( 4 ) Masbagik yaqne margi Bapak mangkin bian-bian.
Dan sebagainya.
Memperhatikan bentuk kalimat-kalimat di atas, jelaslah bahwa
dalam pemakaian bahasa Sasak Alus, urutan fungsi kata dalam
kalimatnya tidak menjadi standar dalam kebenaran berbahasa tetapi
kebenaran penempatan kata bentuk aluslah yang menjadi tolok ukur
kebenaran berbahasa.
Dalam kaitannya dengan kebenaran pnempatan bentuk alus
dalam kalimat, pemakaian bahasa sasak alus memiliki kaidah-kaidah
baku yang menjadi standar kebenaran berbahasa, meliputi :
1. Bahasa Sasak Alus diperuntukkan bagi orang yang dihormati oleh
pembicara baik lawan bicara ataupun orang lain yang dibicarakan.
2. Untuk seorang komunikan, akan menggunakan bahasa dari tataran
bahasa biasa jika menyangkut dirinya.
34
4.2. Hubngan Bahasa Sasak Alus dengan Bahasa Kawi
Dalam hubungannya dengan bahasa Kawi, bahasa Sasak Alus
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan tataran bahasa ini.
Baik menyangkut bentuk kosa kata yang digunakan atau pun bentuk pola
kalimat serta tatacara pernyampaiannya..
Hubungan yang erat antara kedua bahasa ini dapat dipahami.
Sebab, bahasa Kawi merupakan sumber utama bahasa Sasak Alus.
Sehingga, dalam pemakaian bahasa Sasak Alus terdapat banyak sekali bentuk
kosa kata yang sama dengan yang digunakan dalam bahasa Kawi.
42.1. Hubungan Kosa Kata
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam
pemakaian bahasa Sasak Alus terdapat banyak kesamaan bentuk
dengan pemakaian bahasa Kawi. Kesamaan bentuk pada kedua bahasa
ini disebabkan oleh kedudukan bahasa Kawi yang merupakan sumber
dari bahasa Sasak Alus dalam komunikasi sehari-hari.
Perhatikan contoh kalimat kedua bahasa dimaksud :
Singgih, Dewek titiang nunas agung panurgahe maring dane sami
hingkang pulih rawuh malungguh malinggih luhuring panti lenggah
paseban agung puniki. (Bahasa Kawi Kepembayunan)
Sedangkan dalam bahasa Sasak Alus Komuinikasi, kalimat di
atas dapat berbentuk :
Inggih, Dewek titiang nunas agung panurgahe tipak dane sami saq
pulih rawuh malungguh malinggih leq paseban agung niki.
35
Jika diperhatikan, kedua bentuk bahasa tersebut menggunakan
bentuk kosa kata yang sama . Sehingga dapat diidentifikasi ,bentuk-
bentuk pemakaian kosa kata yang sama seperti kata :Inggih,Dewek
titiang, nunas, panurgahe, dane sami, pulih, rawuh, malungguh
malinggih, puniki.
Untuk lebih jelasnya perhatikan kembali bentuk pemakaian
kata pada kedua bahasa dimaksud dalam contoh berikut :
Singgih, yen wonten kasisipian dewek titiang sami, dewek titiang
sami nyuwun agung sinampura.
Sedangkan dalam bahasa Sasak Alus komunikasi, bentuk
kalimat di atas dapat disampaikan dengan bentuk kalimat :
Inggih, Lamun wentwn kesisipan dewek titiang sami, dewek titiang
sami nunas agung sinampura.
Pada kedua bentuk bahasa tersebut, terdapat persamaan dalam
beberapa bentuk kosa katanya, seperti kata : Inggih, wenten,
kasisipan, dewek titiang, sami, agung sinampura.
Akan tetapi, tidak semua kosa kata dalam bahasa Kawi
dugunakan sepenuhnya dalam bahasa Sasak Alus komunikasi sehari-
hari. Disamping itu, terkadang terjadi perubahan bentuk kosa kata
bahasa Sasak Alus yang diambil dari bahasa kepembayunan tersebut
misalnya : kata wonten dalam bahasa kawi ketika digunakan dalam
bahasa Sasak Alus komunikasi berubah bentuknya menjadi wenten.
Demikian juga bentuk-bentuk yang lainnya seperti :
36
Singgih = inggih
Panurgehe = nurge
Sinampure = ampurayan
dsb.
Bertolok dari uraian di atas, maka dapat diidentifikasi bentuk-
bentuk kosa kata bahasa Sasak Alus yang bersumber dari kosa kata
bahasa kawi sebagai berikut :
37
Tabel Inventarisasi Bentuk Kata dalam Bahasa Sasak Alus
No
Bentuk Kosa Kata Arti kata dalam Bahasa
Indonesia
Ketera
nganBahasa kawiBahasa Sasak Alus
123
456789101112131415161718192021222324
25262728293031323334353637383940
AkseAmiku Ampura Gung sinampuraArep : (ka) repanAsade Aste Base : bebaseBebaos Balung BejangkepBelanggiq Lemer (be)Sengkedi (be)Besermin Bini : sebiniqBije : bebijeBosang Cokor Cangkem Dadi Dahar Dagu Dane Daresan
Dastar Denaya Dening DerikeDerikiDinaDoweDurung (se)DawuqDuringDakumEmpuGading, (-ang)GedengGentosCingakin
AkseAmiku Ampura Gung sinampuraArep : (ka) repanAsade Aste Base : bebaseBebaosBalung BejangkepBelanggiq Lemer (be)Sengkedi (be)Besermin Bini : sebiniqBije : bebijeBosang Cokor Cangkem Dadi Dahar Dagu Dane Daresan
Dastar Denaya Dening DerikeDerikiDinaDoweDurung (se)DawuqDuringDakumEmpuGading, (-ang)GedengGentosCingakin
MataSikuMaafMaaf sebesarnyaDepan;lebih ke depanLidahTanganKata : berkataBerbicaraTulangKawinSarapanBuang air kecilBuang air besarMenangisWanita : istriAnak : punya anakPerutKakiMulutJadiMakanDaguTuanMempersilahkan tamu pada waktu makanIkat kepalaKebajikan KarenaDi sanaDi siniHari, saatMilik andaBelum, sebelumSilahkanPipiTengkukIbu jariTangan : bawaRumahGanti Melihat
38
414243444546474849505152535455565758596061
6263646566676869
7071727374757677787980
Deweq DukanHantos HantukHanomHuripIcan (-in)Iling (-ang)InggihIring JateJenengJelamerJroJajaJitJanggeKarasKarang uluKarneKaryaBekaryaKampuhKayunKepatenKepresKiatKuaceLambeLati, layah, lemesanLelateLaki (se-lakian)Linggih,linggianLingsirLontekLuaranLungguhLunsuranLumbarManahManik-/be/manik-manik/-ang/
Deweq DukanHantos HantukHanomHuripIcan (-in)Iling (-ang)InggihIring JateJenengJelamerJroJajaJitJanggeKarasKarang uluKarneKaryaBekaryaKampuhKayunKepatenKepresKiatKuaceLambeLati, layah, lemesanLelateLaki (se-lakian)Linggih,linggianLingsirLontekLuaranLungguhLunsuranLumbarManahManik-/be/manik-manik/-ang/
SayaMarahTungguOleh, karenaMudaHidupBeri, memberiIngat, ingatkanYa, benarIkutRambutNamaBibirDalamDadaPantatLeherTempat sirihBantalTelingaPerbuatan/pekerjaanSyukuran, pestaDodotKehendakKematianRemahTawaBajuBibirLidah
AlisLaki-laki, suamiDuduk, kendaraanTuaLidahBerhentiDudukSisaPergiHati, keinginanKataBerkataPanggil
39
8182
8384858687888990919293949596979899100101102103
104105106107108109110111112
113114115116117118119120
MantukMangkin-semangkinan-/-an/mangkinMaturMawinangMecundukMedaranMegengMejejekMenengMenggahMererepanMesareMesiramMetaken/me-/tangiMunggahNapi : punapiNedeNentenNikeNikiNinggalNunasNunasangNurge/nurgeheNyandangOnangPaedanPadePanggihPageranPangandikaPamitPamitang PamuParekPawaryanPecandanganPelungguhPenjarupanPeragayanPenyingak
MantukMangkin/se-an/ mangkin-/-an/mangkinMaturMawinangMecundukMedaranMegengMejejekMenengMenggahMererepanMesareMesiramMetaken/me-/tangiMunggahNapi : punapiNedeNentenNikeNikiNinggalNunasNunasangNurge/nurgeNyandangOnangPaedanPadePanggihPageranPangandikaPamitPamitang PamuParekPawaryanPecandanganPelungguhPenjarupanPeragayanPenyingak
PulangSekarangSekarang iniNantiMenyampaikanMaksudBerjumpaMakanPuasaBerdiriDiamMarahMenginapTidurMandiBertanyaBangunMenunaikan ibadahApaMohon, makanTidak / bukanItuIniMatiMintabertanyaPermisiCukup, sesuaiKuasaTempat berludahTelapak kakiBerjumpaGigiPerkataan, ucapanIzin pulangMeminjam Tahi lalatMenghadapKakus/kamar mandiTempat sisrihAndaWajahBadanMata
40
121122123124125126127128129
130131132133134
135136137138139140141142
143144145146147148149150151152153154
155156157158159160
PewajikPiringangPorosPulihPungkurPuniaPupuhRade-radeRageNgerage RauhRawisRadeanSamiSampunSampunang SasihSekuhSeratSesebanSeseminSarengSerminSerminangBeserminPenyerminanSilakSimpangSisipSirahSirep mayaSiwakSokwentenSungkanTampekTampakgadingTangkilPenangkilanTepetekTiangTiang mindahTiti tataTertip tapsilaTendesTumbas
PewajikPiringangPorosPulihPungkurPuniaPupuhRade-radeRageNgerage RauhRawisRadeanSamiSampunSampunang SasihSekuhSeratSesebanSeseminSarengSerminSerminangBeserminPenyerminanSilakSimpangSisipSirahSirep mayaSiwakSokwentenSungkanTampekTapakgadingTangkilPenangkilanTepetekTiangTiang mindahTiti tataTertip tapsilaTendesTumbas
Cuci tangan (tp)DengarKelamin laki-lakiDapatBelakang, punggungPusatPahaAgakAndaMenjabatDatangKumis, jenggotJari manisSemuaSudahJanganBulanKelamin perempuanSurat / tulisanTembakauGodeqDengan,bersama LihatMelihatMenangisMataSilahkanMampirSalahKepalaAlisBedaKecuali, sekedarSakitKainTanda tanganMenghadapPaseban/tempat PenguburanSayaEntahlahAturanSopan santunKepalaBeli
161162163164165166167168169
UngasanUtawiWarekWentenWikanWatesYakti / sayaktiYenNyalat
UngasanUtawiWarekWentenWikanWatesYakti / sayaktiYenNyalat
HidungAtauKenyangAdaTahuBatasBenar, sebenarnyaJikaSholat
41
4.2.2. Hubungan pola kalimat.
Karena kedua bahasa ini berada pada tataran bahasa Sasak, kedua
bahasa ini memiliki bentuk kalimat yang sama, yaitu bentuk kalimat yang
lebih menekankan pada penggunaan bahasa komunikatif. Disamping itu,
pola kalimat kedua bahasa ini lebih mengacu kepada tata krama pergaulan
dan sopan santun dalam bermasyarakat.
Perhatikan kalimat-kalimat pada paragraf berikut :
Singgih, dewek titiang kepandikayang antuk dane pidute krame, jagi
nyuwun penginda menawi sampun mastuti pare tetamie, mangdane
seksana pidute krame dewek titiang hasebe maring ayun rage sami.
Pada penggalan paragraf di atas, jika diubah kedalam bentuk
bahasa Sasak Alus komunikasi berbentuk :
Singgih , dewek titiang sami kepandikayang isiq jro pembayun , yaq tiang
nunasang, sang sampun tapak temoe jari, adeqne saq becat isiq ne parek
pembayun dewek titiang .
Memperhatikan kedua bentuk paragraf di atas, nampaklah bahwa
kalimat-kalimat yang membentuk kedua paragraf tersebut memiliki pola
yang sama. Misalnya saja pada kalimat pertama
(5) Singgih , dewek titiang kepandikayang antuk dane pidutu krame
O P S
(6) Singgih, dewek titiyang kepandikayang isiq dane pembayun
O P S
42
Jika kita bandingkan kedua kalimat di atas, nampaklah bahwa
kedua kalimat tersebut memiliki pola kalimat yang sama. Disamping itu,
bentuk kedua pola kalimat ini bukanlah bentuk pola baku dalam bahasa
Sasak. Sebab, dapat saja pola kedua kalimat ini berubah selama tidak
merubah makna dan informasi yang disampaikannya.
Perhatikan kembali perubahan bentuk kalimat-kalimat di atas !
(7) Singgih, kepandikayang dewek titiang antuk dane pidute krame
P O S
(8) Singgih, kepandikayang tiang isiq dane pembayun
P O S
Pada dasarnya, bentuk pola kalimat dalam bahasa Sasak tidak
menitik beratkan pada susunan fungsi kata dalam kalimat tetapi lebih pada
bentuk kalimat yang komunikatif. Aturan seperti inipun secara tidak
langsung berlaku pula pada bentuk kalimat bahasa Sasak Alus dan bahasa
Kawi .Sehingga, tiap-tiap orang memiliki kebebasan dalam membuat dan
menyusun kalimatnya sendiri, selama kalimat tersebut dapat dipahami oleh
orang lain atau lawan bicara.
Perhatikan susunan kalimat pada dua buah paragraf yang berbeda
berikut ini !
Singgih dane pangarseng wacane kapindo dane kepale desa
miwah dane kadus kapindo malih dane sami pare [pengale desa ,pare
wande warge, warge wargie, pare santri, yadwangse sedaye tur pare
putra sentane. Kang utami malih dane rame biang temanten putri, dewek
43
titiang pribadi nyuwun agung panurgahe.
Jika dibandingkan dengan paragraf berikut, paragraf di atas
memiliki kesamaan makna :
Singgih, agung-agung panurgahe dewek titiang nyuwun maring
kang utami dane pangarseng wacane,kapindo dane kepala desa miwah
dane kadus, kapindu malih dane pare pengale desa, pare wande warge,
warge wargie, pare santri ,yadwangse sedaye, tur pare putra sentane,
kang utami mali dane rame biang temanten putri.
Bentuk susunan kalimat dan pola kalimat pada kedua paragraf di
atas tersebut bervariasi. Demikian juga jika penggalan paragraf tersebut
disampaikan dalam bentuk bahasa sasak alus komunikasi , dapat juga
disampaikan dalam beberapa bentuk susunan kalimat dan pola kalimat.
Perhatikan kembali bentuk kalimat tanya berikut :
(9) Punapi wonten bendake hinggane rage rade-rade kasepan rauh ?
(10) Kerauhan rage wantah rade-rade kasepan , puinapi wonten bendake ?
(11) Wonten punapi bendake hinggane rage rade-rade kasepan rawuh ?
(12) Rade-rade kasepan rage rawuh, punapi wonten bendake ?
Pada tataran bahasa Sasak Alus komunikasi, bentuk kalimat kalimat
di atas dapat pula diisampaikan dalam beberapa variasi bentuk ,
misalnya :
(13) Napi araq kendale, ampoq de saq telat rauh ?
(14) Kan pelungguh telat rawuh, napi araq kendale ?
44
(15) Araq napi kendale, ampoq pelungguh telat rawuh ?
(16) Kerawuhan pelungguh ye telat, araq kendale napi ?
Variasi bentuk kalimat pada kedua tataran bahasa ini dapat berterima
dalam komunikasi bahasa Sasak. Sebab, variasi-variasi ini merupakan
bentuk-bentuk yang komunikatif dengan makna dan informasi yang sama.
Bertolok dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa antara bahasa
Kawi dengan bahasa Sasak Alus dalam komunikasi sehari-hari memiliki
persamaan kaidah dalam bentuk susunan kalimatnya , yaitu mengacu pada
bentuk kalimat yang komunikatif tanpa memperhatikan susunan fungsi
kata dalam kalimatnya.
Jadi, dapat disampaikan bahwa keberadaan bahasa Basak Alus yang
menjadi salah satu alat komunikasi bagi masyarakat Suku Sasak
merupakan bentuk diglosia dari perpaduan dua buah bahasa secara
harmonis yaitu bahasa Kawi dengan bahasa Sasak Jamaq.
4.3. Hubungan Bahasa Ssak Alus dengan Bahasa Indonesia.
Sebagaimana telah diuraikan pada landasan teori bahwa diglosia
merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan dua buah bahasa atau
lebih dalam sebuah komunikasi yang mengakibatkan terjadinya peralihan
bentuk dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya.
Mengingat bangsa Indonesia pada umumnya memilki masyarakat
yang dwibahasawan,gejala diglosia dalam sebuah komunikasi menjadi sangat
sulit untuk dihindari dengan kata lain dalam sebuah komunikasi tidak resmi
gejala diglosia ini sering mewarnai sebuah tutur bahasa.
45
Demikian pula halnya dengan masyarakat Suku Sasak yang
sebagian besar masyarakatnya merupakan dwibahasawan yang dapat
menggunakan dua buah bahasa dengan baik yaitu bahasa daerah sebagai
bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, tidak lepas pula dari
gejala diglosia dalam komunikasi mereka.
Saling memasukinya dua bahasa atau terjadinya peralihan bentuk
bahasa dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa sasak atau sebaliknya sering
terjadi,baik pada peralihan dan pencampuran kosa kata,maupun pada pola
kalimatnya.
Perhatikan bentuk dialog antara penulis dengan nara sumber
berikut :
Penulis : Nunasang…,menurut pendapat pelungguh berembe posisi
Bahasa Sasak alus leq zaman mangkin niki ?
Nara Sumber : Lamun keadaan bahasa Sasak Alus semangkinan niki bau
teparan sangat memperihatinkan, terutama masalah
kekaduan saq sangat isiq ne kurang. Maraq minsal,bahasa
Sasak Alus semangkinan niki bau teparan,araq sekediq
dengan saq kuasain bahasa Sasak niki.
Penulis : Lamun maraq nike,nunasang taoq petokolan bahasa Sasak
Alus niki ?
Nara Sumber :Inggih,sepertinya,kedudukan bahasa Sasak Alus niki
memang sudah sangat terjepit. Padahal ini merupakan
46
salah satu alat komunikasi kita yang cukup strategis.
Laguq,lamun tiang ngiring semangkinan niki,pemakaian
bahasa Sasak Alus sepertinya sudah mulai ditinggalkan
oleh masyarakat kita. Sehingga,nampaklah bahasa Sasak
Alus ini hanya digunakan oleh sekelompok orang saja.
Memperhatikan contoh dialog di atas,nampaklah bahwa dalam
sebuah komunikasi dalam masyarakat Suku Sasak,seringkali terjadi
pergeseran bentuk bahasa dengan secara tidak disadari,baik bentuk kosa kata
maupun pola kalimatnya.
4.3.1. Diglosia dalam Bentuk Kosa Kata
Salah satu bentuk bahasa yang sering mengalami peralihan
kode bahasa dengan gejala Diglosia dalam pemakaian bahasa Sasak
Alus adalah peralihan pada bentuk kosa kata,baik sebagian maupun
keseluruhannya.
Perhatikan contoh kalimat berikut :
(17) Piran tiang yaq bau parek ? mekeranak sepertinya sulit sekali
untuk menemui pelungguh.
(18 ) Menurut tiang jak, sebaiknya pelungguh saja yang margi ke
Mataram.
(19 ) Sudah sejak kemarin bapak mererepan leq deriki.
47
Pada contoh kalimat-kalimat di atas terlihat bahwa dalam
sebuah konteks komunikasi pada masyarakat Suku Sasak sering terjadi
peralihan kode bahasa secara tidak disadari oleh seorang komunikan.
Jka diperhatikan bentuk kalimat-kalimat diatas, misalnya
saja kalimat kalimat (17) , terlihat adanya percampuran pemakaian kode
bahasa antara bahasa sasak alus dengan bahasa Indonesia. Pada kalimat
ini terdapat pemakaian bahasa yang bersumber dari bahasa Sasak Alus
seperti pada kalimat : piran tiang yaq bau parek dan beberapa kata
seperti : mekeranak dan pelungguh.
Demikian juga pada kalmat (18) terdapat beberapa bentuk
kata yang lazim digunakan dalam bahasa Sasak Alus seperti : tiang,
pelunggh dan margi. Sedangkan bentuk kata yang lainnya bersumber
dari kosa kata bahasa Indonesia.
Perhatikan juga kalimat berikut ini :
(20) Nunasang,…Bagaimana khabar adik tiang mangkin ?
Memperhatikan pemakaian kosa kata pada kalimat di
atas,terdapat bentuk peralihan kode bahasa dari bahasa Sasak Alus ke
dalam bahasa Indonesia.Pemakaian kata bagaimana, dan khabar
merupakan kata yang bersumber dari kosa kata bahasa Indonesia.
Sementara kosa kata lainnya merupakan bentuk kosa kata
yang lazim digunakan dalam bahasa Sasak Alus. Seperti,kata
nunasang,mangkin dan juga frase adik tiang.
48
Jadi,, pada pemakaian kalimat dalam sebuah konteks
komunikasi tidak resmi, sering terjadi perubahan kode bahasa secara
tidak disadari. Termasuk perubahan bahasa dengan bentuk percampuran
kosa kata dari dua bahasa yang berbeda.
4.3.2. Gejala Diglosia pada Bentuk Pola Kalimat.
Selain peralihan koda bahasa pada bentuk kosa kata,gejala
diglosia juga sering terjadi pada pola kalimat dengan bentuk peralihan
bentuk pola kalimat atau pemakaian bentuk pola kalimat suatu bahasa ke
dalam bahasa lain.
Misalnya saja pada kalimat yang digunakan dalam konteks
bahasa Sasak Alus sering mengikuti pola kalimat bahasa Indonesia atau
juga sebaliknya.
Hal ini terjadi karena pada komunikasi dalam bahasa Sasak
Alus tidak mengenal adanya urutan fungsi kata dalam kalimat. Selama
kalimat yang digunakan dalam komunikasi dapat dipahami oleh lawan
bicara dan berterima dalam sebuah komunikasi.
Perhatikan kalimat berikut :
(21) Bapak pergi ke Masbagik tadi pagi
S P KT KW
Kalimat di atas merupakan bentuk kalimat baku dalam tataran
Bahasa Indonesia.
Bandingkan dengan pola kalimat Bahasa Sasak Alus berikut :
49
(22 ) Bapak margi jok Masbagik oneq kelemak
S P KT KW
(23 ) Masbagik margi Bapak onek kelemak
KT P S KW
(24 ) Magi masbagk Bapak oneq kelemak.
P KT S KW
(25 ) Magi masbagik oneq kelemak bapak.
P KT KW S
(26 ) Oneq kelemak margi masbagik bapak
KW P KT S
dan sebagainya.
Variasi –variasi kalimat di atas, merupakan variasi kalimat
yang berterima dalam komunkasi pada masyarakat desa Lendang Nangka.
Dengan kata lain , keseluruhan bentuk pola kalimat ini dapat dibenarkan
jika digunakan dalam sebuah komunikasi.
Salah satu bentuk pola kalimat di atas yaitu kalimat (21)
merupakan bentuk pola kalimat yang sesuai dengan pola kalimat baku
bahasa Indonesia yang digunakan dalam sebuah komunikasi . hal ini
terjadi karena adanya peralihan bentuk kode bahasa dalam gejala diglosia.
4.3.3. Gejala Diglosia dalam Kontek Komunikasi atau Wacana
Di samping terjadi pada bentuk percampuran kosa kata dan
peralihan pola kalimat, gejala diglosia terjadi pula pada kontek komunikasi
50
dalam bentuk perubahan dan pencampran kode bahasa pada pemindahan
kode pada paragraf yang satu kepada paragraf lainnya dalam sebuah
wacana.
Gejala diglosia seperti ini sering kali terjadi, baik dalam sebuah
komunikasi timbal balik ataupun dalam komunikasi searah seperti : ceamah
agama, piodato oleh tokoh masyarakat , musyawarah dan sebagainya.
Perhatikan penggalan wacana yang diambil dari ceramah agama
berikut ini :
Inggih, Inaq Amaq semeton jari selapuan… maraq atur tiang saq oneq, leq dalem tiang ngiring ngelaksanaang ibadah sembahyang niki, mule pegawean sekat lamun tiang ngiring pete kesempurnaan dalam sembahyang. Sulit gati tiang ngrung bau ngelaksanang ibadah sembahyang niki secara khsuq oleq tunggak nyengke penutuk sembahyang.masih bae tiang pelungguh saq bau tegode pikirang dunia, pikirang dagangan, pikirang anak jari , pikirang selapuq dine.
Padahal, dalam agama telah dijelaskan bahwa hendaklah kita melaksanakan sholat dengan cara yang benar , mengembalikan diri pada kekuasaan Allah yang Maha Agung. Bahkan ditegaskan bahwa orang yang mmikirkan masalah keduniaan pada waktu sholat adalah orang-orang yang mencuri dalam sholat.
Maksudnya, nilai sholat itu tidak dapat dikatakan sempurna meskipun sholatnya orang-orang yang tidak khsuk tetap diterima sah oleh Allah selama mereka menjalankannya sesuai dengan rukun dan sarat sah sholat.
Laguq dakaqne meno, silaq tiang ngiring pelungguh sami tetap berusaha ngelaksanaang sembahyang niki dengan baik dan tiang ngiring tetap berusaha meningkatkan diri untuk mencapai kesempurnaan dalam sembahyang niki.
Jika kita perhatikan penggalan bentuk wacana dari sebuah
ceramah agama di atas, terdapat pemakaian bentuk kode bahasa antara
bahasaSasak Alus dengan bahasa Indonesia secara bersama-sama dalam
sebuah kontek komunikasi .
51
Pada paragraf pertama seorang komunikan menggunakan
bahasa Sasak Alus secara benar dan lengkap sesuai dengan kaidah
berbahasa yang menjadi standar kebenaran berbahasa dalam bahasa Sasak
Alus. Sedangkan pada paragraf kedua pembicara menggunakan kode
bahasa Indonesia dalam penyampaiannya secara menyeluruh .
Berbeda dengan kedua paragraf sebelumnya, pada paragraf
ketiga terjadi pencampuran kode bahasa dalam komunikasinya dengan
menggunaka kedua kode bahasa ini secara bersama-sama dan bebas.
Memperhatikan uraian di atas dapat disampaikan bahwa gejala
diglosia dapat terjadi pada sebuah komunikasi non formal secara bebas dan
tidak terencana. Sehingga diglosia ini sering terjadi dengan sendirinya
tanpa disengaja oleh seorang komunikan.
4.4. Kode Bahasa Yang Sering Bercampur dalam Pemakaian Bahasa Sasak
Alus.
Seperti dipahami bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia
mampu menggunakan dua buah bahasa dengan baik. Dua bahasa dimaksud
adalah bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai
bahasa kedua.
Masyarakat suku Sasak yang merupakan bagian dari kemajemukan
bangsa Indonesia juga merupakan masyarakat yang dwi bahasawan dengan
menguasai bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari dan bahasa Indonesia
52
sebagai bahasa kedua. Sehingga sering sekali terjadi percampuran antara
kedua tataran bahasa ini dalam sebuah komunikasi.
Hingga saat ini,secara umum masyarakat suku Sasak,hanya
mengenal bahasa Sasak dan bahasa Indonesia. Termasuk pula bagi
masyarakat desa Lendang Nangka,disamping mampu berkomunikasi dengan
bahasa Sasak, mereka juga menguasai bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi.
Bahasa Sasak Alus yang merupakan salah satu sarana komunikasi
dalam intraksi sosial masyarakt desa Lendang Nangka selalu berdampngan
harmonis dengan bahasa Indonesai. Sehingga, hal ini sering menyebabkan
terjadinya peralihan dan percampuran kode bahasa dari kedua bahasa
dimaksud.
Karena masyarakat suku Sasak pada umumnya dan masyarakat desa
Lendang Nangka pada khususnya menguasai hanya dua bahasa secara baik
dan lancar, yaitu bahasa sasak dan bahasa Indonesia, maka yang sering
mengalami percampuran kode bahasa adalah kedua bahasa ini.
Sementara itu, bahasa Sasak Alus merupakan salah satu bentuk
bahasa yang masih menjadi salah satu sarana komunikasi dalam masyarakat
Suku Sasak dan masyarakat desa Lendang Nangka sehingga dalam
pemakaiannyapun tidak lepas pula dari pengaruh bahasa Indonesia..
Hanya saja, mengingat masyarakat desa Lendang Nnagka hanya
mengenal dan menguasai bahasa Indonesia setelah bahasa bahasa daerahnya,
maka kode bahasa yang sering mempengaruhi pemakaian bahasa daerah
53
terutama bahasa Sasak Alus yang menjadi objek penelitian ini tentulah
bahasa Indonesia.
Bertolok dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hanya kde dari
bahasa Indonesia sajalah yang sering mempengaruhi pemakaian Bahasa
Sasak Alus pada masa sekarang ini. Meskipun telah disampaikan bahwa
keberadaan bahasa sasak Alus juga merupakan sebuah proses diglosia antara
pemakaian bahasa Kawi dengan pemakaian bahasa Sasak Jamak.
Dengan demikian, bahasa Sasak Alus telah mengalami proses
diglosia sejak keberadaannya hingga dengan proses diglosia dewasa ini .
4.5. Sebab-Sebab Terjadinya Gejala Diglosia dalam Pemakaian Bahasa Sasak
Alus.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa gejala diglosia
ini seringkali terjadi secara tidak disengaja dalam sebuah komunikasi,
termasuk juga banyak terjadi pada masyarakat desa Lendang Nangka.
Terjadinya proses peralihan kode bahasa dari suatu bahasa kepada bahasa
lainnya merupakan sebuah proses yang biasanya dialami dalam komunikasi
lisan.
Perhatikan kembali bentuk penggalan dialog berikut ini :
Penulis : Nunasang ..napi tekarye mangkin ?
Nara Sumber: Nentenne araq, kebetulan endah tiang sampun
toaq jari uwah nenten araq balung tiang saq
begawean laloq.
54
Penulis :Oh…inggih, jari mangkin jak girangan
pelungguh meneng-meneng leq gedeng
Nara Sumber :Inggih , kuatan tioang momot-momot sambil saq
beye-beye acara TV.
Penulis :Napi saq pelungguih girangang gati leq acara TV
saq mangkin niki, sementara acara mangkin kan
lueqan acara kanak-kanak bajang saq terkadang
girang nyimpang leq ajaran agama dait aturan
adat tiang pelungguh ?
Nara Sumber :Nyandang maraq pengandika, kalo kita
perhatikan memang acara-acara yang dikemas
dalam tayangan – tayangan TV , banyak sekali
yang sepertinya menyimpang dari norma-norma
baik norma agama maupun adat. Laguq tiang niki
kan lebih banyak menonton acara berita.
Ya..meskipun sudah tua tetapi tidak boleh kita
ketinggalan informasi. Sampunang tiang saq pede
toaq niki kalah isiq dengan bajang. Nunasang ?
Penulis Inggih, nyandang maraq pengandika.
Gejala diglossia yang terjadi seperti pada penggalan dialog di atas,
merupakan kejadian yang sering kita jumpai pada komunikasi dalam
55
masyarakat kita. Sehingga, kejadian seperti ini seolah-olah merupakan hal
yang biasa dan bukan hal yang salah dalam sebuah komunikasi.
Sering pula terberesit dalam benak kita sebuah pertanyaan , mengapa
diglosia ini terjadi dalam masyarakat kita? Jawabannya mungkin seperti
yang sering dikupas dalam konsep-konsep para ahli bahwa hal ini sangat
dipengaruhi oleh kemampuan seorang komunikan dalam berkomunikasi
dengan menggunakan dua bahasa atau lebih secara baik.
Akan tetapi, apakah hanya sesederhana itu jawaban kita ?
Ternyata, dalam komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat desa
Lendang Nangka yang menjadi lokasi penelitian ini, ditemukan beberapa
faktor penyebab terjadinya proses peralihan kode bahasa dari suatu bahasa
kepada bahasa lainnya atau yang sering disebut dengan diglosia ini, meliputi :
3. Adanya kemampuan masyarakat menggunakan dua buah bahasa secara
baik dan lancar dalam sebnuah komunikasi.
Adanya kemampuan masyarakat dalam berkomunikasi dengan
menggunakan dua buah bahasa secara baik dan lancar , memang telah
dijelaskan sebagai faktor utama penyebab terjadinya gejala diglosia ini.
Sehingga, dalam sebuah komunikasi, sering terjadi perpindahan kode
bahasa antara kedua bahasa dimaksud secara tidak disadari.
Demikian pula halnya dengan masyarakat desa Lendang Nangka
yang hampir 90 % dari jumlah penduduknya mampu berkomunikasi
dengan menggunakan dua buah bahasa dengan baik yaitu bahasa Sasak ,
termasuk bahasa Sasak Alus dan bahasa Indonesia. Sangat
56
memungkinkian terjadinya peralihan kode bahasa dari kedua bahasa
tersebut secara tidak disadari.
Sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan para nara sumber,
terjadinya diglossia dalam komunikasi ini memang sering terjadi secara
tidak disadari .
2. Adanya kaitan nilai rasa dalam sebuah komunikasi
Bagi masyarakat desa Lendang Nangka yang masih sangat kental
dengan berbagai bentuk norma dalam hubuingan bermasyarakat, tidak
pernah lepas dengan etika yang mengatur kehidupan mereka.
Salah satu bentuk etika pergaulan yang mewarnai kehidupan
bermmasyarakat dimaksud adalah nilai rasa dalam berbahasa ketika
berkomunikasi dengan orang lain. Sehingga, dalam sebuah komunikasi, ,
masyarakat desa Lendang Nangka selalu menjaga perasaan orang lain.
Hal ini juga tercermin dalam sebuah sesenggak yang masih menjadi
panutan dalam bermasyarakat yaitu :Bewacan manis,betingkah alus,
beradat tindih . artinya ; dalam sebuah komunikasi , ditekankan
pemakaian bahasa yang santun dan menjaga perasaan orang lain, tetap
menjaga kesopan dalam berprilaku dan mengikuti segala aturan yang
berlaku.
Hal ini juga diakui oleh para nara sumber yang menjadi subjek
penelitian bahwa terkadang untuk menjaga keharmonisan dengan orang
lain mereka sering kali beralih kepada bahasa Indonesia. Terutama
ketika berbicara dengan orang lain yang dalam aturan berkomunikasi
57
bukan termasuk dalam kategori orang-orang yang mereka hormati.
Misalnya saja : seorang komunikan yang bersetatus sosial lehih tinggi
dengan usia relatif lebih muda dari lawan bicara yang berstatus sosial di
bawahnya akan memilih untuk sering berpindah kepada bahasa
Indonesia demi menjaga perasaan lawan bicara mereka.
Demikian pula dengan seorang komunikan yang memiliki status
sosial lebih rendah dalam strata sosial , ketika berbicara dengan lawan
bicara yang usianya jauh lebih muda tetapi berasal dari status sosial yang
lebih tinggi, terkadang akan memilih untuk sering berpindah kepada
bahasa Indonesia demi menjaga nilai rasa dalam berbahasa.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
bahasa salah satu sarana komunikasi yang masih dipergunakan dan
terpelihara dengan baikdalam hubungan sosial masyarakat Suku Sasak .
Sebagai alat komunikasi bahasa di dunia ini terampil dalam jenis yang
beragam. Dalam suatu negara akan kita jumpai berbagai bahasa yang
dipergunakan pahaasa pada suatu daerah tertentu dengan meggunakan beratus
bahasa yang berbeda.
Perbedaan bentuk bahasa yang digunakan ini adalah menghasilkan ragam
bahasa. Yaitu variasi bahasa menurutu pemahaman yang berbeda, menurut topik
58
yang dibicarakan. Menurut hubungan pembicara, lawan bicara, orang yang
dibicarakan dan menurut medium pembicara. ( KBB I. 1995 : 8109)
Ragam-ragam bahasa ini meliputi pula perbedaan likasi geografis yang
sering di sebut dialog, ragam bahasa yang menghubungkan dengan kelompok
sosial disebut sosiolok. Yang berhubungan dengan situasi / lingkungan formalitas
yang dikenal dengan sesuatu fungsulan.
Jikalau kita memperhatikan bahasa dengan terperinci dan teliti, kita akan
melihat bahasa dalam bentuk dan maknanya menunjukkan perbedaan-perbedaan
kecil antara pengungkapan yang satu dengan yang lain pengungkapan perbedaan-
perbedaan bentuk bahasa seperti ini akan kita sebut variasi ( Nababan. 1994 : 13)
Secara singkat dijelaskan KBBI, bahwa fariasi bahasa merupakan bentuk
(rupa) bahasa yang lain . pemakaian bahasa dalam bentuk yang berbeda (KBBI ,
1995 : 1117)
59
top related