askep bising
Post on 09-Feb-2016
282 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman manusia pun membutuhkan industri untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembangunan industri memang telah memberikan
dampak positip bagi kekuatan ekonomi nasional yang ditandai dengan semakin
berkembangnya berbagai jenis industri dengan beranekaragam jenis produk. Keadaan ini
tidak dapat dipungkiri, memberikan lapangan pekerjaan yang semakin luas sehingga
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan bagi para pekerja dan keluarganya.
Industri yang ada pada saat ini ditinjau dari modal kerja yang digunakan dapat
dikelompokkan dalam beberapa kelompok yaitu industri besar (Industri Dasar), industri
menengah (Aneka industri) dan industri kecil dengan teknologi sederhana atau tradisional
dan dengan jumlah modal yang relatif terbatas merupakan industry yang banyak bergerak
disektor informal. Pekerja pada kelompok ini kebanyakan belum mendapatkan pelayanan
kesehatan kerja seperti yang diharapkan. Padahal, setiap aktifitas produksi tersebut
disadari atau tidak, dapat menjadi sumber bising yang dapat mempengaruhi kesehatan
pekerja tersebut dan mengganggu masyarakat sekitarnya.
Era industrialisasi saat ini dan dimasa mendatang memerlukan pelayanan
kesehatan kerja untuk mencegah terjadinya dua wabah atau pola penyakit yang paling
rentan ditemui di kelompok kerja industry yaitu penyakit infeksi dan penyakit non infeksi
yang disebabkan oleh "Non-Living Organism" atau "Non-Living Contaminant" seperti
zat-zat kimia, debu, panas, logam-logam berat, tekanan mental, perilaku hidup tak sehat
dan lain-lain. Penyakit-penyakit tersebut antara lain berupa pneumokoniosis, kanker,
gangguan kardiovaskuler, keracunan zat-zat kimia/logam berat, ketulian akibat bising,
kecelakaan akibat kerja dan lain-lain. Sejalan dengan era industrialisasi, penyakit non
infeksi, termasuk penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan penyakit akibat kerja
akan meningkat sehingga perlu upaya antisipasi secara tepat waktu dan dapat mencapai
seluruh sasaran.
Dalam rangka meningkatkan kesehatan kerja khususnya bagi pekerja sektor
informal, Departemen Kesehatan sebagai instansi pemerintah berkewajiban untuk
membina kesehatan masyarakat khususnya pekerja sektor informal, menyusun petunjuk
praktis tentang bagaimana cara bekerja secara baik dan benar menurut kaidah kesehatan
1
untuk berbagai jenis pekerjaan pada aneka ragam industri kecil sehingga kesehatan tenaga
kerja dapat terjaga dengan baik.
Kebisingan merupakan sebuah bentuk energi yang bila tidak disalurkan pada
tempatnya akan berdampak serius bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Upaya
pengawasan dan pengendalian kebisingan menjadi faktor yang menentukan kualifikasi
suatu perusahaan dalam menangani masalah lingkungan yang muncul.
Kebisingan merupakan salah satu aspek lingkungan yang perlu diperhatikan. Oleh
karena itu disini, kami akan membahas tentang asuhan keperawatan komunitas pada
kelompok kerja dengan kebisingan guna mengetahui dan memahami berbagai dampak
dan tindakan yang bisa diberikan dalam pemberian pelayanan kesehatan kerja pada
kelompok kerja dengan kebisingan.
1.2 Rumusan Masalah
a) Apa pengertian dari kebisingan?.
b) Bagaimana sifat dan sumber dari bising?.
c) Apa saja Jenis-jenis dari bising?.
d) Bagaimana Efek dari kebisingan?.
e) Bagaimana cara mengendalikan bising?.
f) Bagaimana cara mengukuran kebisingan?.
g) Apa standar dari kebisingan?.
h) Apa saja jenis pemeriksaan pendengaran?.
i) Bagaimana upaya keselamatan atau kesehatan kerja?.
j) Bagaimana asuhan keperawatan komunitas pada kelompok kerja dengan
kebisingan?.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari kebisingan, sifat dan sumber dari
bising, jenis-jenis dari bising, efek dari kebisingan, cara mengendalikan bising, cara
mengukuran kebisingan, standar dari kebisingan, jenis pemeriksaan pendengaran, upaya
keselamatan atau kesehatan kerja dan asuhan keperawatan komunitas pada kelompok
kerja dengan kebisingan.
1.4 Manfaat
2
a) Bagi Mahasiswa: dapat mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai
kesehatan di kelompok kerja yang perlu diketahui, dimengerti, dan dipahami sebagai
salah satu hal wajib dalam penguasaan materi untuk bekal Profesi nantinya dan
pengembangan serta pengelolaan pelayanan kesehatan nantinya.
b) Bagi Instansi Pendidikan: sebagai salah satu metode dalam memberikan pengajaran
atau proses belajar mengajar yang sangat efisien guna mengembangkan potensi dan
kompetensi mahasiswa.
c) Bagi Tenaga Kesehatan Keperawatan: sebagai bekal dalam melakukan tatanan
pelayanan kesehatan khususnya dalam memberikan bimbingan dan meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan kerja yang lebih optimal dan professional.
d) Bagi Tenaga Kerja: sebagai bahan kesadaran akan pentingnya keselamatan atau
kesehatan kerja dan sebagai upaya pencegahan akan timbulnya suatu penyakit di
tempat kerja akibat dari ketidaktahuan diri akan proteksi diri.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kebisingan
Pengertian kebisingan menurut beberapa ahli, antara lain:
1. Menurut Doelle (1993): suara atau bunyi secara fisis merupakan penyimpangan
tekanan, pergeseran partikel dalam medium elastis seperti misalnya udara. Secara
fisiologis merupakan sensasi yang timbul sebagai akibat propagasi energi getaran dari
suatu sumber getar yang sampai ke gendang telinga.
2. Menurut Patrick (1977): kebisingan dapat pula diartikan sebagai bentuk suara yang
tidak sesuai dengan tempat dan waktunya.
3. Menurut Prabu, Putra (2009) bising adalah suara yang mengganggu.
4. Menurut Ikron I Made Djaja, Ririn A.W, (2005) bising adalah bunyi yang tidak
dikehendaki yang dapat mengganggu dan atau membahayakan kesehatan.
5. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
KEP-48/MENLH/11/1996 definisi bising adalah bunyi yang tidak diinginkan dari
usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan dan kenyamanan lingkungan.
Jadi, kebisingan dapat juga diartikan sebagai bentuk suara yang tidak sesuai
dengan tempat dan waktunya sehingga dapat merugikan manusia dan lingkungan. Bising
dikategorikan sebagai polutan lingkungan/buangan yang tidak terlihat, tapi efeknya cukup
besar.
2.2 Sifat dan Sumber Bising
1. Sifat Bising
Sifat dari kebisingan (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003) antara lain :
a) Kadarnya berbeda.
b) Jumlah tingkat bising bertambah, maka gangguan akan bertambah pula.
c) Bising perlu dikendalikan karena sifatnya mengganggu.
2. Sumber Bising
Sumber-sumber bising sangat banyak, namun dikelompokkan menjadi kebisingan
industri, kebisingan kegiatan konstruksi, kebisingan kegiatan olahraga dan seni, dan
4
kebisingan lalu lintas. Selanjutnya, emisi kebisingan dipantulkan melalui lantai, atap,
dan alat-alat.
a) Sumber bising secara umum (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003):
Indoor : manusia, alat-alat rumah tangga dan mesin.
Outdoor: lalu lintas, industri dan kegiatan lain.
b) Pembagian sumber bising lain dapat dibedakan menjadi:
1. Sumber terbesar: lalu lintas (darat, laut dan udara)
Tingkat tekanan suara dari lalu lintas dapat diprediksi dari:
Kecepatan lalu lintas.
Kecepatan kendaraan.
Kondisi permukaan jalan.
2. Industri: tergantung kepada jenis industri dan peralatan
Mesin-mesin proses, pemotong, penggerinda, kompresor, kipas dan
pompa.
Sumber terbesarnya abrasi gas pada kecepatan tinggi, dan katup ketel uap.
3. Bidang jasa gedung.
Ventilasi, pembangkit pendingin ruangan, pompa pemanas, plambing dan
elevator.
4. Bidang domestic.
Kegiatan rumah tangga, vaccum cleaner, mesin cuci, danpemotong rumput.
5. Aktivitas waktu luang: balap mobil, diskotik, ski dan menembak.
2.3 Jenis-Jenis Bising
Jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan:
1. Bising terus menerus (continuous noise)
Bising terus menerus dihasilkan oleh mesin yang beroperasi tanpa henti, misalnya
blower, pompa, kipas angin, gergaji sirkuler, dapur pijar, dan peralatan pemprosesan
(Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
2. Bising terus-menerus (Prabu, Putra, 2009) adalah bising dimana fluktuasi dari
intensitasnya tidak lebih dari 6 db dan tidak putus-putus. Bising kontinyu dibagi
menjadi 2 (dua) yaitu:
a) Wide Spectrum adalah bising dengan spektrum frekuensi yang luas. Bising ini
relatif tetap dalam batas kurang dari 5 db untuk periode 0.5 detik berturut-turut,
seperti suara kipas angin, suara mesin tenun.
5
b) Norrow Spectrum adalah bising ini juga relatif tetap, akan tetapi hanya
mempunyai frekuensi tertentu saja (frekuensi 500, 1000, 4000) misalnya gergaji
sirkuler, katup gas.
3. Bising terputus-putus (intermittent noise)
Adalah kebisingan saat tingkat kebisingan naik dan turun dengan cepat, seperti lalu
lintas dan suara kapal terbang di lapangan udara (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar,
2003). Bising jenis ini sering disebut juga intermittent noise, yaitu bising yang
berlangsung secar tidak terus-menerus, melainkan ada periode relatif tenang, misalnya
lalu lintas, kendaraan, kapal terbang, kereta api (Prabu,Putra, 2009).
4. Bising tiba-tiba (impulsive noise)
Merupakan kebisingan dengan kejadian yang singkat dan tiba-tiba. Efek awalnya
menyebabkan gangguan yang lebih besar, seperti akibat ledakan, misalnya dari mesin
pemancang, pukulan, tembakan bedil atau meriam, ledakan dan dari suara tembakan
senjata api (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003). Bising jenis ini memiliki
perubahan intensitas suara melebihi 40 db dalam waktu sangat cepat dan biasanya
mengejutkan pendengarnya seperti suara tembakan suara ledakan mercon, meriam
(Prabu,Putra, 2009).
5. Bising berpola (tones in noise)
Merupakan bising yang disebabkan oleh ketidakseimbangan atau pengulangan yang
ditransmisikan melalui permukaan ke udara. Pola gangguan misalnya disebabkan oleh
putaran bagian mesin seperti motor, kipas, dan pompa. Pola dapat diidentifikasi secara
subjektif dengan mendengarkan atau secara objektif dengan analisis frekuensi
(Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
6. Bising frekuensi rendah (low frequency noise)
Bising ini memiliki energi akustik yang penting dalam range frekuensi 8-100 Hz.
Bising jenis ini biasanya dihasilkan oleh mesin diesel besar di kereta api, kapal dan
pabrik, dimana bising jenis ini sukar ditutupi dan menyebar dengan mudah ke segala
arah dan dapat didengar sejauh bermil-mil (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
7. Bising impulsif berulang
Sama dengan bising impulsif, hanya bising ini terjadi berulang-ulang, misalnya mesin
tempa (Prabu,Putra, 2009).
6
Berdasarkan pengaruhnya pada manusia, bising dapat dibagi atas (Prabu,Putra, 2009):
1) Bising yang mengganggu (Irritating noise).
Merupakan bising yang mempunyai intensitas tidak terlalu keras, misalnya
mendengkur.
2) Bising yang menutupi (Masking noise)
Merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas, secara tidak
langsung bunyi ini akan membahayakan kesehatan dan keselamatan tenaga
kerja , karena teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam dalam bising dari
sumber lain.
3) Bising yang merusak (Damaging/Injurious noise)
Merupakan bunyi yang intensitasnya melampui Nilai Ambang Batas. Bunyi
jenis ini akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.
2.4 Efek Kebisingan
Kebisingan mempunyai pengaruh terhadap manusia, yaitu:
1. Gangguan kenyamanan dan stress pada anak-anak (Freddy Hernawan, 2008).
2. Kebisingan pada intensitas tinggi dan pemaparan yang lama dapat
menimbulkan gangguan pada fungsi pendengaran dan juga pada fungsi non
pendengaran yang bersifat subyektif seperti gangguan pada komunikasi, gangguan
tidur, gangguan pelaksanaan tugas dan perasaan tidak senang/mudah marah (Dian
Anggraeni, 2006).
3. Gangguan pendengaran sebesar 3,85 % untuk kebisingan impulsif dan gangguan
pendengaran sebesar 27,78% untuk kebisingan kontinyu pada pekerja di industri
kompor dan bengkel las Malang (Pasaoran Tamba I, 2001).
4. Gangguan terhadap konsentrasi kerja yang dapat mengakibatkan menurunnya kualitas
dan kuantitas kerja (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
5. Gangguan dalam kenikmatan bekerja terutama pada orang yang sangat rentan
terhadap kebisingan sehingga dapat menimbulkan rasa pusing, gangguan konsentrasi
dan kehilangan semangat kerja (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
6. Menurut (Prabu, Putra, 2009) dampak kebisingan bagi pekerja:
1. Gangguan Fisiologis
Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila
terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa
7
peningkatan tekanan darah (± 10 mmhg), peningkatan nadi, konstriksi
pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat
menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
Bising dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan pusing/sakit kepala. Hal
ini disebabkan bising dapat merangsang situasi reseptor vestibular dalam
telinga dalam yang akan menimbulkan evek pusing/vertigo. Perasaan
mual,susah tidur dan sesak nafas disbabkan oleh rangsangan bising terhadap
sistem saraf, keseimbangan organ, kelenjar endokrin, tekanan darah, sistem
pencernaan dan keseimbangan elektrolit.
2. Gangguan Psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi,
susah tidur, dan cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama
dapat menyebabkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, jantung, stres,
kelelahan dan lain-lain.
3. Gangguan Komunikasi
Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang
menutupi pendengaran yang kurang jelas) atau gangguan kejelasan suara.
Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan
ini menyebabkan terganggunya pekerjaan, sampai pada kemungkinan
terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya.
Gangguan komunikasi ini secara tidak langsung membahayakan keselamatan
seseorang.
4. Gangguan Keseimbangan
Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang angkasa
atau melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala
pusing (vertigo) atau mual-mual.
5. Efek pada pendengaran
Pengaruh utama dari bising pada kesehatan adalah kerusakan pada indera
pendengaran, yang menyebabkan tuli progresif dan efek ini telah diketahui
dan diterima secara umum dari zaman dulu. Mula-mula efek bising pada
pendengaran adalah sementara dan pemuliahan terjadi secara cepat sesudah
pekerjaan di area bising dihentikan. Akan tetapi apabila bekerja terus-menerus
di area bising maka akan terjadi tuli menetap dan tidak dapat normal kembali,
biasanya dimulai pada frekuensi 4000 Hz dan kemudian makin meluas
8
kefrekuensi sekitarnya dan akhirnya mengenai frekuensi yang biasanya
digunakan untuk percakapan. Penurunan daya dengar dapat dibagi dalam tiga
kategori, yaitu:
Trauma Akustik
Trauma akustik adalah efek dari pemaparan yang singkat terhadap
suara yang keras seperti sebuah letusan. Dalam kasus ini energi yang
masuk ke telinga dapat mencapai struktur telinga dalam dan bila
melampaui batas fisiologis dapat menyebabkan rusaknya membran
thympani, putusnya rantai tulang pendengaran atau rusak organ spirale
(Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003). Trauma akustik adalah
setiap perlukaan yamg merusak sebagian atau seluruh alat pendengaran
yang disebabkan oleh pengaruh pajanan tunggal atau beberapa pajanan
dari bising dengan intensitas yang sangat tinggi, ledakan-ledakan atau
suara yang sangat keras, seperti suara ledakan meriam yang dapat
memecahkan gendang telinga, merusakkan tulang pendengaran atau
saraf sensoris pendengaran (Prabu,Putra, 2009).
Temporary Threshold Shift (TTS)/Tuli Sementara
Tuli sementara merupakan efek jangka pendek dari pemaparan bising
berupa kenaikan ambang pendengaran sementara yang kemudian
setelah berakhirnya pemaparan bising, akan kembali pada kondisi
semula. TTS adalah kelelahan fungsi pada reseptor pendengaran yang
disebabkan oleh energi suara dengan tetap dan tidak melampui batas
tertentu. Maka apabila akhir pemaparan dapat terjadi pemulihan yang
sempurna. Akan tetapi jika kelelahan melampaui batas tertentu dan
pemaparan terus berlangsung setiap hari, maka TTS secara berlahan-
lahan akan berubah menjadi PTS (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar,
2003). TTS diakibatkan pemaparan terhadap bising dengan intensitas
tinggi. Seseorang akan mengalami penurunan daya dengar yang
sifatnya sementara dan biasanya waktu pemaparan terlalu singkat.
Apabila tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup, daya
dengarnya akan pulih kembali (Prabu,Putra, 2009).
Permanent Threshold Shift (PTS)/Tuli Permanen
Tuli permanen adalah kenaikan ambang pendengaran yang bersifat
irreversible sehingga tidak mungkin tejadi pemulihan. Gangguan dapat
9
terjadi pada syaraf-syaraf pendengaran, alat-alat korti atau dalam otak
sendiri. Ini dapat diakibatkan oleh efek kumulatif paparan terhadap
bising yang berulang-ulang selama bertahun (Goembira, Fadjar, Vera S
Bachtiar, 2003).
Fase-fase perkembangan kurangnya pendengaran akibat bising tetap menurut
Parmeggiani (dikutip dalam Rozita E.,Wahyuni T, 2005) adalah:
1) Fase I
Terjadi pada 10-20 hari pertama pemaparan bising. Pada saat sudah bekerja,
telinga penderita terasa penuh, mendenging, sakit kepala ringan, pusing, dan
merasa lelah.
2) Fase II
Terjadi pada jangka waktu pemaparan beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Pada fase ini semua gejala subjektif hilang, kecuali telinga yang mendenging
secara intermitten. Gejala lain tergantung dari sifat bising, lama waktu
pemaparan, dan prediposisi individual.
3) Fase III
Terjadi sebagai lanjutan fase II. Pada kondisi ini penderita merasa
pendengarannya tidak normal lagi. Penderita tidak dapat lagi mendengar
pembicaraan-pembicaraan terutama jika terdapat bising latar belakang.
4) Fase IV
Pada fase ini, diikuti oleh tinnitus yang tetap (terus menerus) yang
menunjukan bahwa terjadi kerusakan pada struktur syaraf dari cochlea. Hal ini
tidak hanya mengganggu pendengaran, tetapi juga mengganggu istirahat,
tidur, dan sebagainya.
10
Pengaruh yang ditimbulkan pada setiap tingkat bising dapat dilihat pada Tabel berikut :
Pengaruh Bunyi terhadap Fisiologis dan Psikologis Manusia
Bunyi (dba) Pengaruh terhadap Manusia
39-40 Tidak mengganggu
55-65Penyempitan pembuluh darah dan peningkatan frekuensi denyut
jantung
70 Kontinu akan berdampak penyakit jantung
80 Kelelahan mental dan fisik, psikomatis dan perasaan jengkel
90 Kerusakan alat pendengaran dan penurunan daya pendengaran
100Kontinu dapat kehilangan pendengaran secara permanen dan pada
waktu singkat dapat mengurangi daya dengar
120 Rasa nyeri dan sakit
150 Kehilangan pendengaran pada saat itu juga
Sumber: Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003
2.5 Pengendalian Bising
Permasalahan kebisingan bisa diuraikan menjadi tiga komponen, (Goembira, Fadjar, Vera
S Bachtiar, 2003), yaitu:
1. Sumber radiasi
2. Jalur tempuh radiasi
3. Penerima (telinga)
Antisipasi kebisingan dapat dilakukan dengan intervensi terhadap ketiga komponen ini.
Secara garis besar, ada dua jenis pengendalian kebisingan, yaitu pengendalian bising aktif
(active noise control) dan pengendalian bising pasif (passive noise control).
1) Active Noise Control
a) Kontrol Sumber
Pengontrolan kebisingan pada sumber dapat dilakukan dengan modifikasi
sumber, yaitu penggantian komponen atau mendisain ulang alat atau mesin
supaya kebisingan yang ditimbulkan bisa dikurangi. Program maintenance yang
baik supaya mesin tetap terpelihara, dan penggantian proses. Misalnya
mengurangi faktor gesekan dan kebocoran suara, memperkecil dan mengisolasi
11
elemen getar, melengkapi peredam pada mesin, serta pemeliharaan rutin
terhadap mesin. Tetapi cara ini memerlukan penelitian intensif dan umumnya
juga butuh biaya yang sangat tinggi (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
Beberapa upaya untuk mengurangi kebisingan di sumber antara lain (Tambunan,
2005):
b) Mengganti mesin-mesin lama dengan mesin baru dengan tingkat kebisingan
yang lebih rendah
c) Mengganti “jenis proses” mesin (dengan tingkat kebisingan yang lebih rendah)
dengan fungsi proses yang sama, contohnya pengelasan digunakan sebagai
penggantian proses riveting.
d) Modifikasi “tempat” mesin, spt pemberian dudukan mesin dengan material-
material yang memiliki koefisien redaman getaran lebih tinggi
e) Pemasangan peredam akustik (acoustic barrier) dalam ruang kerja
f) Antisipasi kebisingan dengan kontrol sumber ternyata 10 kali lebih murah (unit
harga terhadap reduksi db) daripada antisipasi pada propagasi atau kontrol
lingkungan. Pada area kerja dengan kebisingan > 100 db A, kontrol sumber
berupa kontrol rekayasa mesin adalah hal yang mutlak dilakukan menurut
Standard Basic Requirement OSHA.
a) Cladding
Cladding adalah salah satu jenis pengendali bising untuk mengurangi
pancaran bising dari pipa akibat aliran fluida di dalamnya. Cladding
terdiri atas lapisan penyerap suara dan bahan impermeable. Lapisan ini
ada berbagai jenis dengan tingkat atenuasi yang bervariasi.
b) Silencer, Attenuator, Muffler
Silencer, attenuator, muffler digunakan untuk mereduksi bising fluida
dengan meletakkannya di daerah atau jalur aliran fluida.
g) Kontrol Lingkungan
Rekayasa terhadap kebisingan di industri kurang diterapkan dengan baik.
Beberapa industri menyertakan spesifikasi tingkat kebisingan saat memilih alat
baru, namun terkadang masih mengalami masalah kebisingan. Hal lain yang
dapat dilakukan antara lain yaitu dengan pengendalian pada medium
perambatan. Sebenarnya upaya pengendalian ini memiliki tujuan untuk
menghalangi perambatan suara dari sumber suara yang menuju ke telinga
manusia. Untuk menghalangi perambatan, ditempatkanlah sound barrier antara
12
sumber suara dan telingan. Pemblokiran rambatan ini hanya akan berhasil jika
sound barrier tidak ikut bergetar saat tertimpa gelombang yang merambat (tidak
beresonansi). Faktor terpenting yang akan mempengaruhi keberhasilan sound
barrier adalah bahan dimensi. Pengendalian kebisingan pada medium rambat
terpaut pada:
Pemisahan ruangan dengan sekat atau pembatas akustik;
Menggunakan material yang memiliki daya serap suara;
Pembuatan barrier. Barrier digunakan untuk menghalangi paparan bising
dari sumber ke penerima dan dibangun di jalur propagasi antara sumber
dan penerima;
Memasang panel dan penghalang;
Memperluas jarak antar sumber dan melakukan pemagaran.
Proteksi Personal
Proteksi personal yang bisa diterapkan adalah penggunaan earplugs dan
earmuffs. Pemilihan antara kedua proteksi ini disesuaikan dengan
kondisi. Pada kenyataannya, earmuffs bisa mengurangi desibel yang
masuk ke telinga lebih besar dari earplugs. Namun, pengalaman
menunjukkan bahwa over proteksi juga dapat mengurangi efektifitas
proses.
a. Earmuffs
Earmuffs terbuat dari karet dan plastik. Earmuffs bisa digunakan untuk
intensitas tinggi (>95 db), bisa melindungi seluruh telinga, ukurannya
bisa disesuaikan untuk berbagai ukran telinga, mudah diawasi dan
walaupun terjadi infeksi pada telinga alat tetap dapat dipakai.
Kekurangannya, penggunaan earmuffs menimbulkan
ketidaknyamanan, rasa panas dan pusing, harga relatif lebih mahal,
sukar dipasang pada kacamata dan helm, membatasi gerakan kepala
dan kurang praktis karena ukurannya besar. Earmuffs lebih protektif
daripada earplugs jika digunakan dengan tepat, tapi kurang efektif jika
penggunaannya kurang pas dan pekerja menggunakan kaca mata
b. Earplugs
Earplugs lebih nyaman dari earmuffs, berlaku untuk tingkat kebisingan
sedang (80-95 db) untuk waktu paparan 8 jam. Jenis earplugs ada
bermacam-macam: padat dan berongga. Bahannya terbuat dari karet
13
lunak, karet keras, lilin, plastik atau kombinasi dari bahan-bahan
tersebut.
Keuntungan dari ear plug adalah: mudah dibawa karen akecil, lebih
nyaman bila digunakan pada tempat yang panas, tidak membatasi
gerakan kepala, lebih murah daripada ear muff, lebih mudah dipakai
bersama dengan kacamata dan helm. Sedangkan kekurangan dari ear
plug yaitu atenuasi lebih kecil, sukar mengontrol atau diawasi, saluran
telingan lebih mudah terkena infeksi dan apabila sakit ear plug tidak
dapat dipakai.
2) Passive Noise Control
Cara ini dilakukan dengan mereduksi sumber bising yang berbeda fase 180o dari
sumber bising. Misalnya suatu sumber bising di satu titik dalam ruang merambat
dengan gelombang p1. Jika dapat dibangkitkan suatu gelombang anti bising p2
dengan komponen amplitudo dan frekuensi yang sama dengan gelombang p1, dan
berbeda fasa 180o, maka super posisi kedua gelombang akan saling meniadakan.
3) Antisipasi Lain
Selain cara-cara pengendalian di atas, harus dilakukan antisipasi terhadap pekerja.
Salah satu tekniknya adalah dengan tes audiometric berkala terhadap pekerja,
pendidikan/pelatihan dan penghitungan fraksi dosis kebisingan. Tes audiometric
biasanya dilakukan oleh ahli THT secara medis.
2.6 Pengukuran Kebisingan
Suara atau bunyi memiliki intensitas yang berbeda, contohnya jika kita berteriak suara
kita lebih kuat daripada berbisik, sehingga teriakan itu memiliki energi lebih besar untuk
mencapai jarak yang lebih jauh. Unit untuk mengukur intensitas bunyi adalah desibel
(db). Skala desibel merupakan skala yang bersifat logaritmik. Penambahan tingkat desibel
berarti kenaikan tingkat kebisingan yang cukup besar. Contoh, jika bunyi bertambah 3 db,
volume suara sebenarnya meningkat 2 kali lipat. Kebisingan bisa menggangu karena
frekuensi dan volumenya. Sebagai contoh, suara berfrekuensi tinggi lebih menggangu
dari suara berfrekuensi rendah. Untuk menentukan tingkat bahaya dari kebisingan, maka
perlu dilakukan monitoring dengan bantuan alat:
1. Noise Level Meter dan Noise Analyzer, untuk mengidentifikasi paparan;
2. Peralatan audiometric, untuk mengetes secara periodik selama paparan dan untuk
menganalisis dampak paparan pada pekerja.
14
Ada beberapa macam peralatan pengukuran kebisingan, antara lain sound survey
meter, sound level meter, octave band analyzer, narrow band analyzer, dan lain-lain.
Untuk permasalahan bising kebanyakan sound level meter dan octave band analyzer
sudah cukup banyak memberikan informasi.
1) Sound Level Meter (SLM)
SLM (gambar 2.5) adalah instrumen dasar yang digunakan dalam pengukuran
kebisingan. SLM terdiri atas mikropon dan sebuah sirkuit elektronik termasuk
attenuator, 3 jaringan perespon frekuensi, skala indikator dan amplifier. Tiga
jaringan tersebut distandarisasi sesuai standar SLM. Tujuannya adalah untuk
memberikan pendekatan yang terbaik dalam pengukuran tingkat kebisingan total.
Respon manusia terhadap suara bermacam-macam sesuai dengan frekuensi dan
intensitasnya. Telinga kurang sensitif terhadap frekuensi lemah maupun tinggi
pada intensitas yang rendah. Pada tingkat kebisingan yang tinggi, ada perbedaan
respon manusia terhadap berbagai frekuensi. Tiga pembobotan tersebut berfungsi
untuk mengkompensasi perbedaan respon manusia.
2) Octave Band Analyzer (OBA)
Saat bunyi yang diukur bersifat komplek, terdiri atas tone yang berbeda-beda,
oktaf yang berbeda-beda, maka nilai yang dihasilkan di SLM tetap berupa nilai
tunggal. Hal ini tentu saja tidak representatif. Untuk kondisi pengukuran yang
rumit berdasarkan frekuensi, maka alat yang digunakan adalah OBA. Pengukuran
dapat dilakukan dalam satu oktaf dengan satu OBA. Untuk pengukuran lebih dari
satu oktaf, dapat digunakan OBA dengan tipe lain. Oktaf standar yang ada adalah
37,5 – 75, 75-150, 300-600,600-1200, 1200-2400, 2400-4800, dan 4800-9600 Hz.
2.7 Standar Kebisingan
Setelah pengukuran kebisingan dilakukan, maka perlu dianalisis apakah
kebisingan tersebut dapat diterima oleh telinga. Berikut ini standar atau kriteria
kebisingan yang ditetapkan oleh berbagai pihak.
1. Keputusan Menteri Negara Tenaga Kerja No.KEP-51/MEN/1999 tentang nilai
ambang batas kebisingan. Lihat Tabel 2.3 untuk lebih jelas.
2. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi No.SE
01/MEN/1978
15
2.8 Jenis Pemeriksaan Pendengaran
A. Tes Garpu Tala
Tes garpu tala adalah suatu tes untuk mengevaluasi fungsi pendengaran
individu secara kualitatif dengan menggunakan alat berupa seperangkat garpu tala
frekuensi rendah sampai tinggi 128 HZ-2048 Hz. Satu perangkat garpu tala
memberikan skala pendengaran dari frekuensi rendah hingga tinggi akan
memudahkan survei kepekaan pendengaran. Cara menggunakan garpu tala yaitu
garpu tala di pegang pada tangkainya, dan salah satu tangan garpu tala dipukul pada
permukaan yang berpegas seperti punggung tangan atau siku. Perhatikan jangan
memukulkan garpu tala pada ujung meja atau benda keras lainnya karena akan
menghasilkan nada berlebihan, yang adakalanya kedengaran dari jarak yang cukup
jauh dari garpu tala dan bahkan dapat menyebabkan perubahan menetap pada pola
getar garpu tala. Ada 6 jenis tes garpu tala , yaitu:
1. Tes batas atas dan batas bawah
a) Tujuan : menentukan frekuensi garpu tala yang dapat didengar penderita
melewati hantaran udara bila dibunyikan pada intensitas ambang normal.
b) Cara Pemeriksaan : Semua garpu tala (dapat dimulai dari frekuensi terendah
berurutan sampai frekuensi tertinggi atau sebaliknya) dibunyikan satu persatu,
dengan cara dipegang tangkainya kemudian kedua ujung kakinya dibunyikan
dengan lunak (dipetik dengan ujung jari kuku, didengarkan terlebih dahulu
oleh pemeriksa sampai bunyi hampir hilang untuk mencapa intensitas bunyi
yang terendah bagi orang normal/nilai ambang normal), kemudian
diperdengarkan pada penderita dengan meletakkan garpu tala di dekat MAE
pada jarak 1-2 cm dalam posisi tegak dan 2 kaki pada garis yang
menghubungkan MAE kanan dan kiri.
c) Interpretasi :
Normal : mendengar garpu tala pada semua frekuensi
Tuli Konduksi : batas bawah naik (frekunsi rendah tak terdengar)
Tuli sensori neural : batas atas turun (frekuensi tinggi tak terdengar)
Kesalahan terjadi bila garpu tala dibunyikan terlalu keras sehingga tidak dapat
mendeteksi pada frekuensi mana penderita tak mendengar.
2. Tes Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran tulang
dengan hantaran udara pada satu telinga pasien. Ada 2 macam tes rinne , yaitu :
16
a. Garputal 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya
tegak lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus
eksternus). Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita
pindahkan didepan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika
pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien
tidak dapat mendengarnya
b. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya
secara tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garputala
didepan meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah
bunyi garputala didepan meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada
dibelakang meatus skustikus eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika
pasien mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya
tes rinne negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus eksternus
lebih lemah atau lebih keras dibelakang.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne :
a) Normal : tes rinne positif
b) Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat didengar melalui tulang lebih
lama)
c) Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :
Bila pada posisi II penderita masih mendengar bunyi getaran garpu tala.
Jika posisi II penderita ragu-ragu mendengar atau tidak (tes rinne: +/-)
Pseudo negatif: terjadi pada penderita telinga kanan tuli persepsi pada
posisi I yang mendengar justru telinga kiri yang normal sehingga mula-
mula timbul.
Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat terjadi baik berasal dari
pemeriksa maupun pasien. Kesalah dari pemeriksa misalnya meletakkan garputala
tidak tegak lurus, tangkai garputala mengenai rambut pasien dan kaki garputala
mengenai aurikulum pasien. Juga bisa karena jaringan lemak planum mastoid
pasien tebal. Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat
bahwa ia sudah tidak mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan garputala
di planum mastoid pasien. Akibatnya getaran kedua kaki garputala sudah berhenti
saat kita memindahkan garputala kedepan meatus akustukus eksternus.
3. Tes Weber
a. Tujuan : membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga penderita.
17
b. Cara Pemeriksaan :
a) Garpu tala frekuensi 512 Hz dibunyikan, kemudian tangkainya diletakkan
tegak lurus di garis median, biasanya di dahi (dapat pula pada vertex, dagu
atau pada gigi insisivus) dengan kedua kaki pada garis horisontal.
Penderita diminta untuk menunjukkan telinga mana yang tidak mendengar
atau mendengar lebih keras . Bila mendengar pada satu telinga disebut
laterisasi ke sisi telinga tersebut. Bila kedua telinga tak mendengar atau
sama-sama mendengar berarti tak ada laterisasi.
b) Interpretasi :
Normal : Tidak ada lateralisasi
Tuli konduksi : Mendengar lebih keras di telinga yang sakit
Tuli sensorineural : Mendengar lebih keras pada telinga yang sehat
Karena menilai kedua telinga sekaligus maka kemungkinannya dapat
lebih dari satu. Contoh : lateralisasi ke kanan, telinga kiri normal, dapat
diinterpretasikan :
Tuli konduksi kanan, telinga kiri normal
Tuli konduksi kanan dan kiri, tetapi kanan lebih berat
Tuli sensorineural kiri, telinga kanan normal
Tuli sensorineural kanan dcan kiri, tetapi kiri lebih berat
Tuli konduksi kanan dan sensori neural kiri. 14
4. Tes Schwabach
a. Tujuan : membandingkan hantaran lewat tulang antara penderita dengan
pemeriksa
b. Cara pemeriksaan : garpu tala frekuensi 512 Hz dibunyikan kemudian
tangkainya diletakkan tegak lurus pada planum mastoid pemeriksa, bila
pemeriksa sudah tidak mendengar, secepatnya garpu tala dipindahkan ke
mastoid penderita. Bila penderita masih mendengar maka schwabach
memanjang, tetapi bila penderita tidak mendengar, terdapat 2 kemungkinan
yaitu Schwabah memendek atau normal. Untuk membedakan kedua
kemungkinan ini maka tes dibalik, yaitu tes pada penderita dulu baru ke
pemeriksa. Garpu tala 512 dibunyikan kemudian diletakkan tegak lurus pada
mastoid penderita, bila penderita sudah tidak mendengar maka secepatnya
garpu tala dipindahkan pada mastoid pemeriksa, bila pemeriksa tidak
18
mendengar berarti sam-sama normal, bila pemeriksa masih masih mendengar
berarti schwabach penderita memendek.
c. Interpretasi :
Normal : Schwabach normal
Tuli konduksi : Schwabach memanjang
Tuli sensorineural : Schwabach memendek
d. Kesalahan terjadi bila :
Garpu tala tidak di letakkan dengan benar, kakinya tersentuh sehingga
bunyi menghilang
Isyarat hilangnya bunyi tidak segera diberikan oleh penderita
5. Tes Bing
Tes Bing adalah aplikasi dari apa yang disebut sebagai efek oklusi, dimana garpu
tala terdengar lebih keras bila telinga normal ditutup.
a. Cara pemeriksaan : tragus telinga yang diperiksa ditekan sampai menutup
liang telinga, sehingga terdapat tuli konduktif kira-kira 30 dB. Garpu tala
digetarkan dan diletakkan pada pertengahan kepala (seperti pada tes Weber).
b. Interpretasi :
Bila terdapat lateralisasi ke telinga yang ditutup, berarti telinga tersebut
normal
Bila bunyi pada telinga yang ditutup tidak bertambah keras, berarti telinga
tersebut menderita tuli konduktif
6. Tes Stenger
Tes ini digunakan pada pemeriksaan tuli anorganik (simulasi atau pura-pura tuli).
a. Cara pemeriksaan : menggunakan prinsip masking. Misalnya pada seseorang
yang berpura-pura tuli pada telinga kiri. Dua buah garpu tala yang identik
digetarkan dan masing-masing diletakkan di depan telinga kiri dan kanan,
dengan cara tidak kelihatan oleh yang diperiksa. Garpu tala pertama
digetarkan dan diletakkan di depan telinga kanan (yang normal) sehingga jelas
terdengar. Kemudian garpu tala yang kedua digetarkan lebih keras dan
diletakkan di depan telinga kiri (yang pura-pura tuli).
b. Interpretasi : apabila kedua telinga normal karena efek masking, hanya telinga
kiri yang mendengar bunyi; jadi telinga kanan tidak akan mendengar bunyi.
Tetapi bila telinga kiri tuli, telinga kanan tetap mendengar bunyi.
Tes-tes ini memiliki tujuan khusus yang berbeda dan saling melengkapi.
19
2.9 Upaya Keselamatan atau Kesehatan Kerja
Upaya keselamatan atau kesehatan kerja adalah upaya penyerasian kapasitas kerja, beban
kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa
membahayakan dirinya sendiri maupun lingkungan agar diperoleh produktifitas kerja
yang optimal. Ruang lingkup kesehatan kerja meliputi berbagai upaya penyerasian antara
pekerja dengan pekerja dan lingkungan kerjanya baik secara fisik maupun psikis dalam
hal cara/metoda kerja, proses kerja dan kondisi kerja yang bertujuan untuk :
a. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pekerja di semua
lapangan pekerjaan yang setinggi-tingginya baik secara fisik, mental maupun
kesejahteraan sosialnya.
b. Mencegah gangguan kesehatan masyarakat pekerja yang diakibatkan oleh
keadaan/kondisi lingkungan kerjanya.
c. Memberikan perlindungan bagi pekerja didalam pekerjaannya dari kemungkinan
bahaya yang disebabkan oleh faktor-faktor yang membahayakan kesehatan.
d. Menempatkan dan memelihara pekerja disuatu lingkungan pekerjaannya yang sesuai
dengan kemampuan fisik dan psikis pekerjaannya.
Kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja merupakan tiga komponen utama
dalam kesehatan kerja, dimana hubungan interaktif dan serasi antara ketiga komponen
tersebut akan menghasilkan kesehatan kerja yang baik dan optimal. Kapasitas kerja yang
baik seperti status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta kemampuan fisik yang
prima diperlukan agar seseorang pekerja dapat melakukan pekerjaannya secara baik.
Beban kerja meliputi beban kerja fisik maupun mental. Akibat beban kerja yang terlalu
berat atau kemampuan fisik yang terlalu lemah dapat mengakibatkan seorang pekerja
menderita gangguan atau penyakit akibat kerja. Kondisi lingkungan kerja (misalnya
panas, bising, debu, zat kimia, dll) dapat merupakan beban tambahan terhadap pekerja.
Beban tambahan tersebut secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat
menimbulkan gangguan atau penyakit akibatnya. Gangguan kesehatan pada pekerja dapat
disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan maupun yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa status
kesehatan kerja dari masyarakat pekerja dipengaruhi tidak hanya oleh bahaya-bahaya
kesehatan ditempat kerja dan kingkungan kerja tetapi juga faktor-faktor pelayanan
kesehatan kerja, perilaku kerja serta faktor-faktor lainnya. Penyakit akibat kerja dan atau
penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh pemaparan terhadap
lingkungan kerja. Dewasa ini terhadap kesenjangan antara pengetahuan ilmiah tentang
20
bagaimana bahaya-bahaya kesehatan berperan dan usaha-usaha untuk mencegahnya. Juga
masih terdapat pendapat yang sesat bahwa dengan mendiagnosis secara benar penyakit-
penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh zat/bahan yang berbahaya dilingkungan kerja,
sudah membuat sutuasi terkendalikan. Walaupun merupakan langkah yang penting
namun hal ini bukan memecahkan masalah yang sebenarnya. Pendekatan tersebut tetap
membiarkan lingkungan kerja yang tidak sehat tetap tidak berubah, dengan demikian
potensi untuk menimbulkan gangguan kesehatan yang tidak diinginkan juga tidak
berubah. Untuk dapat mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya-bahaya
dilingkungan kerja yang diperkirakan dapat menimbulkan penyakit akibat kerja utamanya
terhadap para pekerja, ditempuh 3 langkah utama yaitu: pengenalan lingkungan kerja,
evaluasi lingkungan kerja dan pengendalian lingkungan dari berbagai bahaya dan resiko
kerja.
Pengenalan dari berbagai bahaya dan resiko kesehatan dilingkungan kerja biasanya
pada waktu survai pendahuluan dengan cara melihat dan mengenal ("walk-through
survey"), yang salah satu langkah dasar yang pertama-tama harus dilakukan dalam upaya
program kesehatan kerja. Beberapa diantara bahaya dan resiko tersebut dapat dengan
mudah dikenali, seperti masalah kebisingan disuatu tempat, bilamana sebuah percakapan
sulit untuk didengar, atau masalah panas disekitar tungku pembakaran atau peleburan
yang dengan segara dapat kita rasakan. Beberapa hal lainnya yang tidak jelas atau sulit
untuk dikenali seperti zat-zat kimia yang berbentuk dari suatu rangkaian proses produksi
tanpa adanya tanda-tanda sebelumnya. Untuk dapat mengenal bahaya dan resiko
lingkungan kerja dengan baik dan tepat, sebelum dilakukan survai pendahuluan perlu
didapatkan segala informasi mengenai proses dan cara kerja yang digunakan, bahan baku
dan bahan tambahan lainnya, hasil antara hasil akhir hasil sampingan serta limbah yang
dihasilkan. Kemungkinan-kemungkinan terbentuknya zat-zat kimia yang berbahaya
secara tak terduga perlu pula dipertimbangkan. Hal-hal lain yang harus diperhatikan pula
yaitu efek-efek terhadap kesehatan dari semua bahaya-bahaya dilingkungan kerja
termasuk pula jumlah pekerja yang potensial terpapar, sehingga langkah yang ditempuh,
evaluasi serta pengandaliannya dapat dilakukan sesuai dengan prioritas kenyataan yang
ada. Tingkat pemajanan dari zat/bahan yang berbahaya dilingkungan kerja yang
terkendali selama survai pendahuluan harus ditentukan secara kualitatif dan atau
kuantitatif, melalui berbagai teknik misalnya pengukuran kebisingan, penentuan indeks
tekanan panas, pengumpulan dan analisis dari sampel udara untuk zat-zat kimia dan
partikelpartikel (termasuk ukuran partikel) dan lain-lain. Hanya setelah didapatkan
21
gambaran yang lengkap dan menyeluruh dari proses pemajanan kemudian dapat
dibandingkan dengan standar kesehatan kerja yang berlaku, maka penilaian dari bahaya
atau resiko yang sebenarnya terdapat dilingkungan kerja yang telah tercapai.
Pengendalian lingkungan kerja dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan
pemajanan terhadap zat atau bahan yang berbahaya dilingkungan kerja. Pada dasarnya
pengendalian terhadap bahaya-bahaya lingkungan kerja dapat dikelompokkan kedalam 2
kategori yaitu pengendalian Lingkungan dan pengendalian Perorangan. Pengendalian
Lingkungan meliputi perubahan dari proses kerja dan atau lingkungan kerja dengan
maksud untuk pengendalian dari pada bahaya-bahaya kesehatan baik dengan meniadakan
zat/bahan tersebut sampai tingkat tidak membahayakan kesehatan, serta mencegah kontak
antara zat/ bahan dengan para pekerja. Salah satu cara yang digunakan adalah
penghapusan atau pengurangan zat/bahan berbahaya pada sumbernya. Suatu proses yang
diduga menghasilkan atau membentuk zat-zat yang berbahaya dapat dipertimbangkan
untuk dihentikan. Pengantian bahan-bahan yang lebih beracun (pelarut, bahan bakar,
bahan baku, bahan-bahan lainnya) dapat merupakan cara yang efektif untuk pengendalian
pemajanan bahan-bahan berbahaya. Misalnya Trichloroethylene dapat mengantikan
carbon tetrachoride (CC14) dalam penggunaanya sebagai bahan pelarut. Cara Isolasi
dapat digunakan terhadap zat-zat yang berbahaya untuk mencegah kontak dengan
pekerja. Berbagai cara isolasi yang dapat digunakan antara lain : sistem tertutup untuk
bahan-bahan kimia beracun, adanya dinding pemisah antara daerah yang berbahaya dan
tidak, penutup terhadap seluruh atau sebagaian dari proses-proses untuk mencegah
kontaminasi terhadap udara ruang kerja. Ventilasi ditempat kerja dapat digunakan antara
lain untuk menjamin suhu yang nyaman, sirkulasi udara segara diruang kerja sehingga
dapat melarutkan zat-zat pencemar ketingkat yang diperkenakan, serta mencegah zat-zat
pencemar diudara mencapai pernafasan para pekerja. Cara basah, digunakan untuk
mengendalaikan dispersi debu yang mengotori lingkungan kerja dengan menggunakan air
atau bahan-bahan basah lainnya. Cara ini banyak digunakan didalam industri-industri
kecil misalnya pada industry kayu, peleburan logam, asbes.
Penggunaan alat pelindung perorangan merupakan alternatif lain untuk melindungi
pekerja dari bahaya-bahaya kesehatan. Namun perlu diperhatikan bahwa alat pelindung
perorangan harus sesuai dan adekuat untuk bahaya-bahaya tertentu, resisten terhadap
kontaminan-kontaminan udara, mudah dibersihkan dan dipelihara dengan baik, serta
sesuai untuk para pekerja yang memakainya. Untuk alat-alat tertentu seperti alat
pelindung pernafasan, sumbat/tutup telinga, pakaian kerja kedap air dan lain-lain
22
mungkin tidak nyaman untuk dipakai terutama dicuaca yang panas. Jadi mungkin
diperlukan pengurangan jam kerja paling tidak pada waktu-waktu yang memerlukan
pemakaian alat pelindung tersebut. Pembatasan waktu selama pekerja terpapar terhadap
zat tetentu yang berbahaya dapat menurunkan resiko terkenanya bahaya-bahaya
kesehatan dilingkungan kerja. Hal ini dapat dicapai melalui penerapan cara-cara kerja,
rotasi pekerja atau pengendalian administratif. Pengendalian administratif merupakan
prosedur yang memungkinkan dilakukan penyusuaian jadwal kerja untuk mengurangi
pemajanan Kebersihan perorangan yang meliputi kebersihan diri dan pakaian, merupakan
hal yang penting terutama untuk para pekerja yang dalam pekerjaannya berhubungan
dengan bahan-bahan kimia serta partikel-partikel lain.
Pelayanan program kesehatan kerja yang dianjurkan adalah program pelayanan
paripurna, terdiri dari pelayanan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif yang
kesemuanya dilaksanakan secara bersama-sama dalam suatu sistem yang terpadu.
Pelayanan ini diberikan sebagai perlindungan pada tenaga kerja sebelum adanya
proses gangguan akibat kerja. Kegiatannya antara lain meliputi :
a. Pemeriksaan kesehatan, terdiri dari pemeriksaan: sebelum kerja, berkala, khusus
b. Kesehatan Lingkungan Kerja
c. Perlindungan diri terhadap bahaya-bahaya dari pekerja
d. Penyelarasian manusia dengan mesin dan alat-alat kerja
e. Pengendalian bahaya lingkungan kerja agar ada dalam keadaan aman (pengenalan,
pengukuran dan evaluasi).
Pelayanan promotif kesehatan kerja diberikan kepada tenaga kerja yang sehat dengan
tujuan untuk meningkatkan kegairahan kerja, mempertinggi efesiensi dan daya
produktifitas tenaga kerja. Kegiatannya antara lain meliputi :
a. Pendidikan dan penerangan tentang kesehatan kerja.
b. Pemeliharaan berat badan ideal.
c. Perbaikan gizi : menu seimbang dan pemilihan makanan yang aman.
d. Pemeliharaan tempat, cara dan lingkungan kerja yang sehat.
e. Konsultasi (counseling) untuk perkembangan kejiwaan yang sehat nasehat
perkawinan dan keluarga berencana.
f. Olah raga dan rekreasi.
Pelayanan kuratif diberikan kepada tenaga kerja yang sudah memperhatikan
gangguan kesehatan/gejala dini dengan mengobati penyakitnya supaya cepat sembuh
dan mencegah komplikasi atau penularan terhadap keluarganya ataupun teman
23
sekerjanya. Pada tenaga kerja yang sudah menderita sakit, pelayanan ini diberikan
untuk menghentikan proses penyakit sehingga dapat sembuh, mempercepat masa
istirahat kerja dan mencegah terjadinya cacat atau kematian. Pelayanan yang
diberikan meliputi pengobatan terhadap penyakit umum maupun penyakit dan
kecelakaan akibat kerja.
Pelayanan rehabilitative diberikan kepada pekerja yang karena penyakit parah
atau kecelakaan parah telah mengakibatkan cacat sehingga menyebabkan ketidak
mampuan bekerja secara permanen baik sebagian atau seluruh kemampuan bekerjanya
yang biasanya mampu dilakukan sehari-hari kegiatan ini meliputi antara lain :
a. Latihan dan pendidikan pekerja untuk dapat menggunakan kemampuannya
yang masih ada secara maksimal.
b. Penempatan kembali tenaga kerja yang cacat secara selektif sesuai
kemampuannya.
c. Penyuluhan kepada masyarakat dan pengusaha agar mau menerima /
menggunakan tenaga kerja yang cacat.
Perilaku dan sikap para pekerja yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
kesehatan dapat mempengaruhi status kesehatan pekerja yang bersangkutan. Beberapa
contoh perilaku dan sikap tersebut adalah :
a. Merokok, terlebih lagi bekerja sambil merokok.
b. Pola makan yang tidak terartur dan tidak seimbang.
c. Ceroboh dan tidak mengindahkan aturan kerja yang berlaku misalnya menolak
anjuran menggunakan alat pelindung diri, bercanda dengan teman sekerja pada
waktu bekerja.
d. Menggunakan obat-obat terlarang atau minum-minuman keras (bir atau sejenis
minuman beralkohol lainnya).
Untuk mengurangi bahaya potensial yang mungkin timbul akibat kegiatan
berbagai jenis perajin, maka beberapa cara pencegahan dan penanggulangan yang
dapat dilakukan adalah didasarkan pada proses kegiatan yang ada serta bahaya
potensial yang dapat ditimbulkan pada setiap tahap kegiatan tersebut. Berbagai
cara pencegahan dan penanggulangan dari bahaya-bahaya potensial yang mungkin
timbul dapat dilihat pada uraian berikut ini.
a. Panas
Memperbaiki sistim penghawaan, dengan sistim ventilasi silang atas
ventilasi mekanis.
24
Jarak antara pekerja dengan sumber panas tidak terlalu dekat.
Posisi pekerja menghadap searah dengan arah angin.
Menggunakan pakaian dan alat pelindungan pada waktu kerja ( sarung
tangan, kaca mata dll).
Pengatur waktu kerja , agar pekerja tidak terlalu lama terpapar dengan
panas.
Pekerja harus cukup minum selama bekerja dilingkungan panas.
Pemindahan pekerja dari lingkungan yang panas ke tempat yang sejuk
secara berkala.
Bila timbul gejala-gejala gangguan kesehatan akibat panas, misalnya
kelelahan kejang otot atau gangguan
kesadaran, segera rujuk kesarana kesehatan terdekat.
b. Kebisingan
Mengurangi kebisingan pada sumbernya dengan cara :
Memberi sekat (dari bahan kain, gabus atau karet pada landasan mesin,
penempaan atau lainnya).
Penanaman pohon disekitar tempat kerja.
Penempaan dilakukan pada ruangan tersendiri atau ruang kedap suara.
Mengatur lama waktu kerja agar tidak melebihi dari ambang batas
kebisingan yang diperkenankan, misalnya: 85 db ( A) untuk 8 Jam
pemajanan, 90 db ( A) untuk 4 jam pemajanan, 95 db ( A ) untuk 2 Jam
pemajanan dan seterusnya.
Menggunakan sumbat telinga (ear plugs) atau tutup telinga (ear muffs)
pada waktu bekerja ditempat bising, karena alat tersebut mampu
mengurangi intensitas bising sampai sekitar 25 – 40 db.
Sikap kerja yang tidak benar (tidak ergonomis).
Menyesuaikan alat kerja dengan postur tubuh pekerja sesuai dengan jenis
dan sifat pekerjaan masing-masing, sehingga pekerjaan dapat dilakukan
dengan posisi duduk atau berdiri, misalnya: duduk dikursi dan
menggunakan meja yang sesuai, berdiri tegak, dengan peralatan kerja
diatas meja yang sesuai fungsinya.
Pekerja tidak membungkuk, jongkok atau duduk dilantai dan memaksakan
posisi tubuh pada keadaan alami.
Usahakan istirahat atau mengganti posisi kerja secara berkala.
25
Melakukan latihan pada otot yang mengalami gangguan.
c. Uap Logam / Zat-zat kimia
Posisi kerja menghadap searah dengan arah angin.
Menggunakan masker penutup mulut dan hidung
Tidak merokok sewaktu kerja
Penghawaan yang baik ditempat kerja dan menggunakan cerobong asap
diatas tungku
Pengaturan waktu kerja agar pekerja tidak terlalu terpapar oleh uap logam
atau zat-zat kimia
Bila timbul gejala gangguan saluran pernafasan segera ke sarana
kesehatan.
Menggunakan sarung tangan
Tidak makan dan tidak merokok waktu bekerja
Segera cuci tangan atau mandi setelah selesai bekerja
Bila timbul gangguan pada kulit , segera berobat kesarana kesehatan.
d. Gangguan Penglihatan
Penerangan yang cukup dan tidak silau
Menggunakan pelindung mata pada saat mengerjakan pengelasan atau
pekerjaan-pekerjaan lain yang membahayakan mata
Bila terdapat gangguan penglihatan , segera berobat kesarana kesehatan.
e. Kecelakaan
Melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur kerja
Pencahayaan yang cukup sesuai dengan sifat dan jenis pekerjaan.
Penempatan alat-alat kerja pada tempat yang sama.
Pemberian label yang jelas pada wadah bahan kimia yang digunakan .
Menggunakan alat pelindung perorangan yang sesuai dengan sifat dan
jenis pekerjaan.
f. Pencahayaan
Pengaturan pencahayaan ditempat kerja yang memenuhi persyaratan
sesuai dengan jenis dan sifat pekerjaannya.
Hindari kesilauan yang berlebihan dengan menggunakan kaca mata
penahan sinar.
g. Cara kerja yang kurang hati-hati
Memeriksa alat yang akan sebelum bekerja.
26
Menggunakan ruangan yang cukup leluasa untuk melakukan pekerjaan.
Bekerja secara ergonomis
Kondisi badan dalam keadaan layak kerja.
Melakukan pertolongan pertama pada luka ringan, bila tidak berhasil
dirujuk kesarana kesehatan.
27
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS PADA KELOMPOK KERJA
DENGAN KEBISINGAN (TUKANG LAS)
3.1 Pengkajian
1) Identitas Pemilik
1. Nama : Tn. J
2. Umur : 55 th
3. Agama : Islam
4. Pendidikan : SMP
5. Pekerjaan : Wiraswasta ( Pengrajin pagar dan kaca rumah )
6. Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
7. Lama mendirikan usaha : 20 tahun
2) Identitas Karyawan
1. Nama Karyawan 1 : Tn. S
a. Umur : -
b. Agama : Islam
c. Pendidikan : SMP
d. Pekerjaan : karyawan las
e. Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
f. Lama bekerja : 18 tahun
2. Nama karyawan 2 : Tn. M
a. Umur : -
b. Agama : Islam
c. Pendidikan : SMP
d. Pekerjaan : karyawan las
e. Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
f. Lama bekerja : 15 tahun
3. Nama karyawan 3 : Tn. A
a. Umur : -
b. Agama : Islam
c. Pendidikan : SD
d. Pekerjaan : karyawan las
e. Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
f. Lama bekerja : 6 tahun
28
4. Nama karyawan 4 : Tn. B
a. Umur : -
b. Agama : Islam
c. Pendidikan : SMA
d. Pekerjaan : karyawan las
e. Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
f. Lama bekerja : 2 tahun
3) Status kesehatan dahulu dan sekarang
Tn. J dan Para karyawan mengatakan sebelum menjalani pekerjaan ini mereka tidak
merasakan keluhan apapun namun setelah menjalani pekerjaan ini beberapa tahun
kemudian mereka mengeluh sering merasakan telinganya berdengung dan itu sering
terjadi ketika mereka sedang tidak beraktivitas juga terjadinya penurunan
pendengaran
4) Pola persepsi pemeliharaan kesehatan
Tn J dan para karyawan mengatakan tidak pernah memeriksakan kesehatannya
secara berkala
5) Pola aktivitas dan latihan
Tn.J dan para karyawan mengatakan aktivitas sehari-harinya melakukan pekerjaan
sebagai pembuat pagar rumah maupun kaca jendela mulai dari jam 07.00 – 16.00
6) Pola nutrisi
Tn.J dan para karyawan mengatakan pola makannya teratur (3x/hari) dan nutrisi
yang di konsumsi tergolong sudah memenuhi gizi
7) Pola eliminasi
BAK : BAB :
Warna : kuning keruh Warna : Kuning kecoklatan
Bau : Khas Bau : Khas
Jumlah : 500cc Frekuensi : 2 x /hari
8) Pola istirahat
Siang : Istirahat kerja 1 jam Malam : tidur 5 jam/hari
9) Pola kognitif persepsual
Tn J dan para karyawan mengatakan telinganya sering mendengung dan mengalami
penurunan pendengaran
10) Pola toleransi stress/koping
Mekanisme koping adaptif
29
11) Penampilan umum
Dari segi fisik Tn.J dan para karyawan tampak sehat
12) Perilaku selama wawancara
Tn J dan para karyawan sangat kooperatif
13) Pola komunikasi
Bisa diajak berinteraktif dengan baik walaupun dengan suara tinggi
3.2 Data Sosial dan Ekonomi
A. Penghasilan rata-rata perbulan:
( ) kurang dari Rp 500.000
( ) Rp 500.000- 1000.000
(√ ) Lebih dari 1000.000
3.3 Data Lingkungan Fisik
1. Tempat Kerja
a. Kepemilikan : ( ) Sewa ( ) Numpang ( √ ) Milik Sendiri
b. Jenis : ( √ ) Permanen ( ) Semi ( ) Tidak Permanet
c. Lantai : ( ) Tanah ( ) Papan ( √ ) Tegel/Semen
d. Ventilasi : ( ) Baik (√ ) Kurang
e. Apakah jendela dibuka setiap hari : (√ ) Ya ( ) Tidak
f. Penerangan : ( ) Baik (√ ) Cukup ( ) Kurang
g. Berapa luas tempat kerja : 250 M2.
2. Sumber Air
a. Penyediaan air bersih :
( ) PDAM, (√ ) Sumur Pompa, ( ) Sumur Gali,
( ) Mata Air, ( ) Sungai, ( ) Beli
b. Penyediaan air minum :
( ) PDAM (√ ) Sumur Pompa, ( ) Sumur Gali
( ) Mata Air ( ) Sungai ( ) Beli
c. Pengelolaan air minum : ( √ ) Dimasak ( ) Tidak Dimasak
3. Tempat Penampungan Air :
a. Jenis tempat penampungan air : (√ ) Bak ( ) Gentong ( ) Ember
b. Kondisi : ( ) Tertutup (√ ) Terbuka.
c. Pengurasan : (√ ) Ya ( ) Tidak.
30
d. Bila Ya, berapa kali dalam seminggu :
(√ ) 2kali ( ) 3kali ( ) Lebih 3 Kali.
e. Kondisi airnya :
( ) Berbau ( ) Berwarna ( ) Berasa
(√ ) Tidak Berbau, Tidak Berasa Dan Tidak Berwarna.
4. Pembuangan Sampah dan Limbah
a. Cara pembuangan sampah :
( ) Ditimbun ( ) Dibakar (√ ) Tempat Sampah Umum
( ) Sungai ( ) Sembarang Tempat ( ) Diangkut Petugas.
b. Tempat pembuangan sampah : (√ ) Ada ( ) Tidak.
c. Bila ada : ( ) Tertutup (√ ) Terbuka
d. Pembuangan air limbah :
(√ ) Got ( ) Sungai ( ) Sembarang Tempat
( ) Penampungan ( ) Lain-Lain Sebutkan.
e. Kondisi saluran limbah :
( ) Terbuka ( ) Tertutup (√ ) Lancer ( ) Tergenang
f. Binatang yang banyak berkeliaran disekitar tempat sampah :
(√) Lalat ( ) Kecoa ( ) Tikus ( ) Kucing
( ) Anjing (√ ) Nyamuk ( ) Lain-Lain, Sebutkan;
g. Apakah lingkungan ini sering terjadi banjir : ( ) Ya (√ ) Tidak
3.4 Data Status Kesehatan
1. Sarana kesehatan
a. Sarana kesehatan terdekat :
( ) Rumah Sakit ( ) Puskesmas ( ) Balai Pengobatan,
( ) Posyandu (√) Dokter Praktek ( ) Perawat ( ) Bidan
b. Pemanfaatan sarana kesehatan : (√ ) Ya ( ) Tidak
c. Bila Tidak, alasannya : ( ) Sulit Dijangkau ( ) Biaya
( ) Lain-lain, Sebutkan __________________
2. Masalah kesakitan :
a. Apakah ada anggota keluarga dan karyawan yeng menderita penyakit (1 tahun
terakhir) : (√ ) Ya, Bila Ya berapa orang 2 dan sebutkan Hipertensi
dan ISPA ( ) Tidak
31
b. Sebelum dibawa ke pusat kesehatan, tindakan apakah biasanya yang dilakukan keluarga :
(√) Beli Obat Bebas ( ) Minum Jamu ( ) Lainya, Sebutkan :
c. Bagaimana upaya keluarga menolong anggota keluarga yang sakit :
( ) Ke Rumah Sakit ( ) Ke Puskesmas (√) Ke Dokter Praktek
( ) Keperawat/Bidan Praktek ( ) Kedukun
( ) Lain-lain, Sebutkan.____________
d. Sarana transportasi yang mudah untuk menuju pusat kesehatan :
( ) Bemo ( ) Becak ( ) Jalan Kaki
( ) Mobil Pribadi (√ ) Sepeda Motor
3.5 Pemeriksaan Fisik
1. Persyarafan (B 3 : Brain)
a. Tingkat kesadaran : Compos Mentis, GCS : 456
b. Persepsi Sensori :
Pendengaran Tuli konduksi dan tuli sensori
Telinganya berdengung
Penciuman Penurunan penciuman
Pengecapan Tidak ada kelainan
Penglihatan Tidak ada kelainan
Perabaan Tidak ada kelainan
32
3.6 Analisa Data
No Data Fokus Penyebab Masalah
1 a. Tn. J dan Para karyawan mengatakan sebelum menjalani
pekerjaan ini mereka tidak merasakan keluhan apapun
namun setelah menjalani pekerjaan ini beberapa tahun
kemudian mereka mengeluh sering merasakan telinganya
berdengung dan itu sering terjadi ketika mereka sedang
tidak beraktivitas juga terjadinya penurunan pendengaran.
b. Pola komunikasi, bisa diajak berinteraktif dengan baik
walaupun dengan suara tinggi.
c. 4 dari 9 pekerja mengalami tuli konduksi (frekunsi rendah
tak terdengar)
d. 3 dari 9 pekerja mengalami tuli sensori neural (frekuensi
tinggi tak terdengar)
Ketidakmampuan dalam
memodivikasi perlindungan
diri dari kebisingan
Penurunan pendengaran
2 a. Ventilasinya kurang
b. Penerangan di tempat kerja cukup terang
c. Proteksi diri kurang
d. Waktu bekerja lama mulai dari jam 07.00 – 16.00
e. Istirahat kurang
f. Mesin yang masih tradisional
Kurangnya pengetahuan
tentang perlindungan diri dan
kesehatan
Resiko terjadi cedera
33
No. Masalah
Kriteria Penapisan
JumlahSe
suai
den
gan
pera
n pe
raw
at
kom
unita
s
Res
iko
terja
di
Res
iko
para
h
Pote
nsi u
ntuk
pe
ndid
ikan
ke
seha
tan
Inte
res
kom
unita
s
Kem
ungk
inan
di
atas
i
Rel
evan
den
gan
prog
ram
Ters
edia
sum
ber
tem
pat
Ters
edia
sum
ber
wak
tu
Ters
edia
sum
ber
dana
Ters
edia
sum
ber
fasi
litas
1. Penurunan pendengaran 4 5 5 5 5 5 5 5 3 4 3 44
2. Resiko terjadi cedera 5 5 5 5 5 5 5 5 3 3 2 48
34
3.7 Diagnosa Keperawatan, Intervensi dan Implementasi
1) Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul
1. Penurunan pendengaran b.d kebisingan suara mesin (ngelas)
2. Resiko terjadi cedera b.d kelalaian dalam bekerja
2) Intervensi keperawatan
1. Diagnosa 1 : Penurunan pendengaran b.d kebisingan suara mesin (ngelas)
Berikan tutup telinga selama melakukan pengelasan
Lakukan health education pada para pekerja agar sering melakukan
istirahat 2 jam sekali terutama pada pekerja yang berada pada mesin
pengelasan
Modifikasi ruangan mesin
Anjurkan untuk mengganti mesin-mesin lama dengan mesin baru dengan
tingkat kebisingan yang lebih rendah
2. Diagnosa 2 : Resiko terjadi cedera b.d kelalaian dalam bekerja
Berikan alat perlindungan diri
Anjurkan pada para pekerja untuk tetap berkonsentrasi
Anjurkan pada para pekerja untuk selalu melakukan pengecekan berkala
pada mesin – mesin yang akan di gunakan
3) Implementasi keperawatan
Diagnosa 1 : Penurunan pendengaran b.d kebisingan suara mesin (ngelas)
a. Memberikan tutup telinga selama melakukan penggelasan
b. Melakukan health education pada para pekerja agar sering melakukan istirahat
2 jam sekali terutama pada pekerja yang berada pada mesin pengelasan.
c. Memodifikasi ruangan (untuk mesin penggilingan lebih baik di berikan
ventilasi atau pada ruangan terbuka, seperti pemberian dudukan mesin dengan
material-material yang memiliki koefisien redaman getaran lebih tinggi).
d. Menganjurkan untuk mengganti mesin-mesin lama dengan mesin baru dengan
tingkat kebisingan yang lebih rendah
Diagnosa 2 : Penurunan pendengaran b.d kebisingan suara mesin (ngelas).
a. Memberikan sarung tangan, masker, penutup telinga dan sepatu boat.
b. Menganjurkan pada para pekerja untuk tetap berkonsentrasi dalam
pekerjaanya.
c. Menganjurkan pada para pekerja untuk selalu melakukan pengecekan berkala
pada mesin – mesin yang akan di gunakan minimal 1 bulan sekali
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Bising merupakan suatu polusi lingkungan yang tidak terlihat namun efeknya
cukup besar. Kerusakan yang diakibatkan oleh bising kebanyakan merupakan kerusakan
setempat dan sporadis. Selain berpengaruh pada fisiologis dan psikologis manusia,
bising juga berpengaruh terhadap auditori manusia. Komponen utama timbulnya bising
adalah sumber bising, media penghantar dan objek pendengar atau manusia.
Pengendaliannya dapat dilakukan terhadap salah satu bagian maupun keseluruhan dari
komponen tersebut.
Pendengaran merupakan salah satu panca indera manusia yang terpenting di
samping penglihatan. Gangguan pendengaran bagi seseorang dapat sangat merugikan
karena menghambat komunikasi individu dengan sekelilingnya. Peranan tes
pendengaran saat ini makin penting, terutama dalam menentukan diagnosis dan
prognosis penyakit pada telinga. Tes garpu tala adalah suatu tes untuk mengevaluasi
fungsi pendengaran individu secara kualitatif.
Upaya keselamatan atau kesehatan kerja adalah upaya penyerasian kapasitas kerja,
beban kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa
membahayakan dirinya sendiri maupun lingkungan agar diperoleh produktifitas kerja
yang optimal. Ruang lingkup kesehatan kerja meliputi berbagai upaya penyerasian
antara pekerja dengan pekerja dan lingkungan kerjanya baik secara fisik maupun psikis
dalam hal cara/metoda kerja, proses kerja dan kondisi kerja.
Penggunaan alat pelindung perorangan merupakan alternatif lain untuk
melindungi pekerja dari bahaya-bahaya kesehatan. Namun perlu diperhatikan bahwa alat
pelindung perorangan harus sesuai dan adekuat.
Upaya keselamatan atau kesehatan kerja di lingkungan kebisingan yaitu dengan
mengurangi kebisingan pada sumbernya melalui cara :
a. Memberi sekat (dari bahan kain, gabus atau karet pada landasan mesin,
penempaan atau lainnya).
b. Penanaman pohon disekitar tempat kerja.
c. Penempaan dilakukan pada ruangan tersendiri atau ruang kedap suara.
d. Mengatur lama waktu kerja agar tidak melebihi dari ambang batas kebisingan
yang diperkenankan, misalnya: 85 db ( A) untuk 8 Jam pemajanan, 90 db ( A)
untuk 4 jam pemajanan, 95 db ( A ) untuk 2 Jam pemajanan dan seterusnya.
e. Menggunakan sumbat telinga (ear plugs) atau tutup telinga (ear muffs) pada
waktu bekerja ditempat bising, karena alat tersebut mampu mengurangi
intensitas bising sampai sekitar 25 – 40 db.
f. Sikap kerja yang tidak benar (tidak ergonomis). Menyesuaikan alat kerja
dengan postur tubuh pekerja sesuai dengan jenis dan sifat pekerjaan masing-
masing, sehingga pekerjaan dapat dilakukan dengan posisi duduk atau berdiri,
misalnya: duduk dikursi dan menggunakan meja yang sesuai, berdiri tegak,
dengan peralatan kerja diatas meja yang sesuai fungsinya.
g. Pekerja tidak membungkuk, jongkok atau duduk dilantai dan memaksakan
posisi tubuh pada keadaan alami. Usahakan istirahat atau mengganti posisi
kerja secara berkala dan melakukan latihan pada otot yang mengalami
gangguan.
4.2 Saran
1. Sebaiknya kita harus mengetahui batasan kebisingan yang normal ditempat kerja.
2. Sebaiknya kita mengetahui komponen utama yang menyebabkan kebisingan agar
mampu mengidentifikasi masalah yang muncul nantinya.
3. Sebaiknya selalu melindungi diri di tempat kerja melalui pengunaan-penggunaan
alat pelindung diri untuk keamanan diri dari kecelakaan kerja maupun dari
timbulnya masalah kesehatan akibat dari lingkungan kerja yang kurang sehat.
4. Sebaiknya rutin melakukan pemeriksaan kesehatan saat cuti kerja untuk menjaga
kesehatan dan mengetahui perkembangan kesehatan pada diri.
5. Sebaiknya dalam bekerja disesuaikan dengan kemampuan diri, diseimbangkan
dengan diri akan beban kerja dan tanggung jawab kerja sehingga kesehatan diri
akan terjaga secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, Dian. 2006. Hubungan Antara Lama Pemaparan Kebisingan Menurut Masa
Kerja Dengan Keluhan Subyektif Tenaga Kerja Bagian Produksi PT. Sinar Sosro
Ungaran Semarang. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang.
Jawa Tengah.
Mubarak, Wahid Iqbal, Chayatin, Nurul. 2009. “Ilmu Keperawatan Komunitas/Pengantar
dan Teori/Buku 1”. Jakarta : Salemba Medika.
Effendi Nasrul. 1998. “Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat/Edisi 2”. Jakarta :
EGC.
Http://unnung.wordpress.com/2013/12/3/tes-garpu-tala/.
Http://wikipedia.com/2013/10/3/kebisingan/.
Http://wordpress.com/2013/10/3/kebisingan/.
Http://blogspot.com/2013/12/3/pemeriksaan-pendengaran/.
top related