analisis terhadap putusan hakim dalam ......untuk memutus perkara gugatan akad pembiayaan...
Post on 26-May-2018
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA
GUGATAN PEMENUHAN KEWAJIBAN AKAD PEMBIAYAAN
AL-MUSYARAKAH DI PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA
(Studi Terhadap Putusan Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg)
Penulisan Hukum
( Skripsi )
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
OLEH
PRATAMI WAHYUDYA NINGSIH
NIM : E0006198
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA
GUGATAN PEMENUHAN KEWAJIBAN AKAD PEMBIAYAAN
AL- MUSYARAKAH DI PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA
(Studi Terhadap Putusan Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg)
OLEH
PRATAMI WAHYUDYA NINGSIH
NIM : E0006198
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Maret 2010
Dosen Pembimbing Skripsi
Soehartono, S.H, M.Hum
NIP. 195604251985031002
ii
3
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA
GUGATAN PEMENUHAN KEWAJIBAN AKAD PEMBIAYAAN
AL-MUSYARAKAH DI PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA
(Studi Terhadap Putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg)
Oleh
Pratami Wahyudya Ningsih
NIM : E0006198
Telah diterima dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 30 Maret 2010
DEWAN PENGUJI
1. Harjono, S.H.,M.H : ………………………..
Ketua
2. Th. Kussunaryatun,S.H,.M.H : ………………………..
Sekertaris
3. Soehartono,S.H.,M.Hum : ……………………….
Anggota
Mengetahui,
Dekan
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.
NIP.1961 0930 1986 011001
iii
4
PERNYATAAN
Nama : Pratami Wahyudya Ningsih
NIM : E0006198
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA GUGATAN
PEMENUHAN KEWAJIBAN AKAD PEMBIAYAAN AL-MUSYARAKAH DI
PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA (STUDI TERHADAP PUTUSAN
NOMOR: 1047/PDT.G/2006/PA.PBG) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang
bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan
ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya
tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pancabutan
penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi)
ini.
Surakarta, 18 Maret 2010
Yang menyatakan
(Pratami Wahyudya Ningsih)
NIM. E 0006198
iv
5
ABSTRAK
Pratami Wahyudya Ningsih, 2010, ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM
DALAM PERKARA GUGATAN PEMENUHAN KEWAJIBAN AKAD
PEMBIAYAAN AL-MUSYARAKAH DI PENGADILAN AGAMA
PURBALINGGA (Studi Terhadap Putusan Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg).
Fakultas Hukum UNS.
Penelitian ini mengkaji mengenai dasar pertimbangan hakim yang digunakan
untuk memutus perkara gugatan akad pembiayaan Al-Musyarakah yang tertuang
dalam putusan nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Agama Purbalingga, dan untuk mengetahui kesesuaian dasar pertimbangan hakim
yang tertuang dalam putusan tersebut dengan pengaturan pembiayaan Al-
Musyarakah dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat
preskriptif, karena penelitian ini adalah suatu penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi. Jenis bahan hukum yang
penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan
hukum primer yang penulis gunakan adalah berupa putusan hakim nomor :
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg, Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peraturan mahkamah Agung
nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7
Tahun1989 tentang Peradilan Agama dan Referensi Fatwa DSN No. 08/DSN-
MUI/IV/2000 tentang akad pembiayaan Al-Musyarakah. Sedangkan bahan hukum
sekunder yang penulis gunakan adalah bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel,
makalah, literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan bahan
hukum dilakukan dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder dari
studi kepustakaan. Teknik analisis yang digunakan adalah dengan metode silogisme
dan interpretasi, dengan menggunakan pola berfikir deduktif serta tinjauan yuridis
yang bersifat logis dan sistematis.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, kesatu
dasar pertimbangan yang digunakan Hakim yang tertuang dalam Putusan nomor :
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg tersebut diantarannya adalah Tergugat tidak pernah hadir di
persidangan, maka sengketa diputus dengan verstek, Tergugat telah memenuhi unsur-
unsur wanprestasi sesuai dengan ketentuan hukum positif dan dalil-dalil syar’i
sehingga Tergugat menjadi pihak yang kalah. Kedua, kesesuaian Putusan nomor :
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dengan peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terletak pada BAB III mengenai ingkar
janji dan BAB VI mengenai ketentuan Al-Musyarakah.
Kata Kunci : Pengadilan Agama, dasar pertimbangan Hakim, dan Al-Musyarakah.
v
6
ABSTRACT
Pratami Wahyuda Ningsih, 2010, AN ANALYSIS ON THE JUDGE’S
DECISION IN THE LAWSUIT OF AL MUSYARAKAH FUNDING
CONTRACT OBLIGATION COMPLIANCE IN PURBALINGGA RELIGION
COURT (A Study on the Decision Number: 1047/PDT.G/2006/PA.PBG). Law
Faculty of UNS.
This research aims to examine the rationale of the Judge’s deliberation used for
deciding the lawsuit of Al-Musyarakah funding contract included in the decision
number: 1047/PDT.G/2006/PA.PBG, released by the Purbalingga religion court, and
to find out the compatibility of the rationale of the Judge’s deliberation included in
such decision with the regulation of Al-Musyarakah funding in the Supreme Court’s
Regulation Number 2 of 2008 about the Compilation of Syariah Economic Law.
This study belongs to a normative law research that is preskriptife in nature, because
it is a scientific research to find the truth based on the logic of law discipline from the
normative aspect. The law material types the writer uses include the primary and
secondary law material. The primary law material includes: the judge’s decision no:
1047/PDT.G/2006/PA.PBG, Act No. 7 of 1989 about the Religion Court, Act No. 3
of 2006 about the First Amendment of Act No. 7 of 1989 about the Religion Court,
Supreme Court’s Regulation Number 2 of 2008 about the Compilation of Syariah
Economic Law, Act No. 50 of 2009 about the Second Amendment of Act No. 7 of
1989 about the Religion Court and Instruction (Fatwa) Reference of DSN No.
08/DSN-MUI/IV/2000 about the Al-Musyarakah funding agreement. Meanwhile the
secondary law materials used include: literary material, document, archive, article,
magazine, and literature relevant to the research object. Technique of collecting law
material employed was the content identification primary and secondary law
materials from the literary study. Techniques of analyzing data used were syllogism
and interpretation methods, using deductive thinking pattern as well juridical review
that is logical and systematic in nature.
Based on the result of research and discussion, it can be concluded that: firstly, the
rationale the judge uses included in the decision number: 1047/PDT.G/2006/PA.PBG
include: the accused is never present in the trial, so that the dispute is decided as
verstek, the accused has met the element of contract breach according to the positive
law and syar’i proposition, so that the accused is the loser. Secondly, the
compatibility of decision number: 1047/PDT.G/2006/PA.PBG with the Supreme
Court’s Regulation Number 2 of 2008 about the Compilation of Syariah Economic
Law lies in the Chapter III about the promise denial and Chapter VI about the
provision of Al-Musyarakah.
Keywords: Religion Court, Rationale of Judge’s Deliberation, and Al-Musyarakah.
vi
7
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warrohmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT dimana hanya dengan rahmat dan
ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini dengan baik.
Penulisan hukum ini membahas mengenai dasar pertimbangan hakim yang digunakan
dalam memutus perkara gugatan pemenuhan akad pembiayaan Al-Musyarakah yang
tertuang dalam putusan Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg, yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Agama Purbalingga, selain itu penulis juga memaparkan menganai
kesesuaian dasar pertimbangan Hakim yang digunakan untuk memutus perkara
tersebut dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang dikeluarkan dengan alasan untuk mengisi
kekosongan hukum. Penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat memberikan
referensi mengenai bahan terkait, mengingat putusan nomor :
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga
tersebut hingga penulis menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini adalah satu-
satunya putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama sejak berlakunya Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
Penulisan hukum ini tidak lepas dari bantuan yang telah diberikan baik oleh
pihak lain kepada penulis, oleh karena itu penulis hendak mengucapkan banyak
terimakasih yang sebesar-sesarnya kepada :
1. Allah SWT. Dimana hanya dengan rahmat dan ridho-Nya penulisan hukum
(skripsi) ini dapat selesai.
vii
8
2. Nabi Muhammad SAW. Sebagai Nabi besar yang memberikan suri teladan
yang sempurna bagi umat-nya.
3. Bapak Drs. H. Joko Riyanto,S.H., M.M dan Ibu Hj. Wiwik Dwi Wahyuti
sebagai orang tua, Pratiwi Fatmasari Ningrum dan Pratama Rachmad Wijaya
sebagai satu keluarga yang selalu memberi semangat dan mendoakan.
4. Ibu Hj. Surip Priyo Sumarto (Alm) dan Hj. Sri Wiji Priyo Sumarto (Alm)
sebagai nenek yang semasa hidupnya senantiasa menyayangi dan sangat
berjasa dalam kehidupan Penulis.
5. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum UNS
dan seluruh jajaran dekanat Fakultas Hukum UNS.
6. Bapak Syafrudin Yudo Wibowo S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik.
7. Bapak Soehartono S.H., M.Hum. selaku Dosen pembimbing dan Penguji,
yang telah membimbing penulis hingga penilisan hukum ini dapat
diselesaikan dengan baik.
8. Bapak Harjono, S.H.,M.H. dan Ibu Th. Kussunaryatun, S.H,.M.H. selaku
dosen penguji penulisan hukum ini.
9. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H. selaku ketua Pengelola Penulisan Hukum
Fakultas Hukum UNS.
10. Bapak Muhammad Rustamaji S.H., M.H. selaku dosen yang mendorong
penulis untuk menjadi insan yang kreatif dan memperoleh prestasi non-
akademik.
11. Para dosen FH di semua bagian, Bagian Hukum Acara, Bagian Hukum
Pidana, Bagian Hukum Perdata, Bagian Hukum dan Masyarakat, Bagian
Hukum Tata Negara, Bagian Hukum Administrasi Negara, serta Bagian
Hukum Internasional, untuk ilmu yang tak akan terputus. Yang semoga
berguna bagi penulis dan menjadi amalan yang tak terputus.
viii
9
12. Mahendro Adiutomo, Amd. Kekasih yang setia menjaga cinta dan telah
mendedikasikan banyak waktu untuk penulis.
13. Erika Rovita Maharani, Erlina Septiyaningrum, Dian Rachma Fitria dan
Hanifah Endah Setyowati, sahabat yang senantiasa mendukung dan membawa
keceriaan dalam hari-hari Penulis.
14. Keluarga besar KSP Principium FH.UNS yang telah menjadi sosok keluarga,
mendewasakan, memberikan ilmu keorganisasian, pengetahuan ilmiah,
prestasi dan pengalaman yang sangat luar biasa. Terkhusus Kakak-kakak
teladan KSP Principium FH UNS Arif Maulana, S.H sebagai inspirator bagi
Penulis untuk selalu bersemangat dalam hidup, Mas Nurrahman Aji Utomo
kakak yang selalu membuat tersenyum dan membawa keceriaan, Mbak Recca
Ayu Hapsari, Mbak Aci Ariesta, Mbak Fitri Kurniati sebagai sosok kakak
yang memberikan banyak motifasi, pengalaman dan masukan bagi Penulis.
15. Teman-teman SD Muhammadiyah 1 Surakarta angkatan 1994, Teman-teman
SMP Batik Ska angkatan 2000, Teman-teman SMA Negeri 3 Surakarta
angkatan 2004, Teman-teman F.Hukum UNS angkatan 2006 yang senantiasa
menyayangi dan menjaga persahabatan yang tak terputus. Salam semangat
dan sukses selalu untuk kita.
16. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan
satu per satu semoga Allah SWT membalas semua bantuan yang telah
diberikan.
Semoga Penulisan Hukum ini bermanfaat bagi pihak yang membaca, menjadi
referensi dan dicatat sebagai amal kepada penulis dan seluruh pihak yang telah
membantu sampai selesainya penyusunan Penulisan Hukum ini.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabaraokatuh
ix
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING. .................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ x
DAFTAR BAGAN ................................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 8
E. Metode Penelitian.............................................................................. 9
F. Sistematika Penulisan........................................................................ 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritik
1. Tugas dan Kewenangan Hakim dalam Penemuan Hukum
a. Tugas dan Kewajiban Hakim…………………………… 17
b. Penemuan Hukum oleh Hakim…………………………… 19
2. Sejarah, Tugas dan Kewajiban Peradilan Agama
a. Sejarah Pengaturan Peradilan Agama di Indonesia …… . 20
b. Tugas dan Kewajiban Peradilan Agama………………… 26
3. Bentuk, Susunan dan Kekuatan Putusan Pengadilan Agama
a. Bentuk dan Macam Putusan Pengadilan Agama ……… . 30
b. Susunan dan Isi Putusan Pengadilan Agama …………… 33
x
11
c. Kekuatan Putusan Pengadilan Agama ………………… . 36
4. Pengertian, Dasar Hukum dan Ketentuan Al-Musyarakah
a. Pengertian Al-Musyarakah …………………………… .. 40
b. Dasar Hukum Al-Musyarakah ………………………… . 41
c. Ketentuan Al-Musyarakah ………………………… ....... 42
B. Kerangka Pemikiran …………...…………………................…....... 47
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ................................................................................. 51
B. Pembahasan……………………………………………………...... . 55
1. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara nomor :
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg mengenai gugatan pemenuhan akad
pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan
AgamaPurbalingga ……………………...…………………… 55
2. Kesesuaian dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor :
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara gugatan pemenuhan
kewajiban akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Agama Purbalingga dengan ketentuan Al-
Musyarakah dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 02Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah........................................................................... 67
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ....................................................................................... 76
B. Saran ........................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
12
DAFTAR BAGAN
Skema penyaluran dana Al-Musyarakah……………………………..……. 46
Bagan Kerangka Pemikiran ............................................................................ 47
xii
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peradilan agama adalah salah satu pilar kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Keberadaan peradilanagama, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 25 Ayat (1)
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan bahwa “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara”. Sedangkan dalam Pasal 25
Ayat (3) menyatakan bahwa “Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara antara
orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”. Berdasarkan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa peradilan agama
hanya dapat menyelesaikan perkara tertentu yang dialami oleh orang-orang
tertentu. Maksud dari orang-orang tertentu adalah peradilan agama hanya
diperuntukan bagi orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan yang dimaksud
dengan perkara-perkara tertentu adalah sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 49
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan
bahwa ;
Pengadilan agama berwenang menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang;
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
Seiring dengan perkembangan zaman yang ada, dan guna membawa
kepada kemaslahatan umat khususnya dalam bidang perekonomian yang semakin
berkembang pesat, maka peraturan mengenai peradilan agama yang tidak lain
adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dirasa
kurang sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat dan ketata negaraan
Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang
2
Yudhoyono telah mengesahkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, serta baru-baru ini telah disahkan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Salah satu materi penting dalam amandemen pertama tersebut
adalah mengenai perluasan kewenangan dari pengadilan agama, sedangkan
perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut lebih menitik
beratkan pada pengadilan khusus dan Hakim ad hoc, keamanan dan kesejahteraan
Hakim. Perluasan kewenangan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak lain adalah kewenangan untuk
menangani perkara ekonomi syari’ah. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 49
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa:
Pengadilan agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang;
1. Perkawinan;
2. Waris;
3. Wasiat;
4. Hibah;
5. Wakaf;
6. Zakat;
7. Infaq;
8. Shadaqah;
9. Ekonomi syari’ah.
Dengan adanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Pertama Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
maka tugas dan wewenang pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa
ekonomi syari’ah adalah untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
ekonomi syari’ah. “Ekonomi syari’ah, dapat diartikan sebagai segala aktivitas
yang berkaitan dengan produksi dan distribusi yang berupa barang dan jasa yang
3
bersifat material di antara orang-orang yang beragama Islam, yang didasari oleh
syariat Islam” (http://agustianto.niriah.com/2008/04/03/peradilan-agama-dan-
sengketa-ekonomi-syari’ah/). “Ekonomi syari’ah dapat dikatakan menjadi salah
satu dari dua sisi sistem ekonomi yang secara pararel berlaku di Indonesia
bersama-sama dengan sistem ekonomi kapitalis yang dipraktikan oleh hukum
konvensional dan bukan perbuatan hukum, maka siapa saja yang berhubungan
dengan ekonomi syari’ah tanpa membedakan agama harus tunduk pada sistem
yang dianut ekonomi Islam, termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa” (Chatib
Rasyid, 2009: 157).
Kewenangan pengadilan agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi
syari’ah merupakan sebuah upaya untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang
tertib, makmur dan berkeadilan dengan menjujung asas syari’ah Islam. Sedangkan
karakteristik ekonomi yang berbasis syari’ah adalah memiliki tujuan untuk menuju
kesejahteraan yang menyeluruh secara seimbang ( individu-sosial, dunia-akhirat,
alam-sosial). Ekonomi syari’ah juga tidak hanya sebatas pada perbankan syari’ah,
namun mencakup berbagai ruang lingkup perekonomian yang mendasarkan pada
pengetahuan dan nilai-nilai syari’ah Islam (http://www.mail-
archive.com/ekonomi-syari’ah@yahoogroups.com/msg00711.html).
Pergerakan ekonomi syari’ah sejatinya dapat diwujudkan dalam
pembiayaan-pembiayaan syari’ah yang ada. Pembiayaan yang berbasis syari’ah
tersebut dapat dibedakan menjadi dua pembiayaan, yaitu pembiayaan syari’ah
melalui lembaga ekonomi bank dan pembiayaan syari’ah melalui lembaga
ekonomi bukan bank. Lembaga ekonomi yang berbasis syari’ah melalui lembaga
bank terelalisasi dengan adanya bank-bank syari’ah yang dewasa ini kian
menjamur. Karena semakin diminatinya sistem syari’ah yang ada, maka bank yang
sejatinya bank konvensional berbondong-bondong untuk membuka produk dengan
menerapkan sistem syari’ah. Perlu diketahui bahwa mengenai perekonomian Islam
4
terkhusus masalah perbankan syari’ah yang menjadi pelopor dari
perkembangannya adalah negara Swis yang memiliki latar belekang bukan negara
Islam. Hal ini menjadi sebuah bukti bahwa sebenarnya ekonomi syari’ah adalah
suatu hal yang sangat diminati oleh masyarakat luas.
Seperti yang telah Penulis kemukakan, bahwa syari’ah Islam menjadi dasar
dari pembiayaan syari’ah yang ada, namun bukan berarti operasional pembiayan
berbasis syari’ah tidak akan menemui suatu kendala atau sengketa. Hal tersebut
dapat terlihat dengan adannya perkara ekonomi syari’ah yang telah diputus
Pengadilan Agama Purbalingga, yaitu dengan putusan nomor :
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg tentang perkara gugatan pemenuhan kewajiban akad
pembiayaan Al-Musyarakah menjadi perkara ekonomi syari’ah yang pertama kali
diselesaikan melalui jalur pengadilan di Indonesia. Dalam perkara tersebut
terdapat dua pihak, yaitu AW dan MR selaku direktur utama dan direktur
operasional dari PT. BPR SBMP selaku Penggugat melawan HRW dan H selaku
Tergugat. Perkara gugatan tersebut muncul bermula dengan adannya akad
perjanjian pembiayaan Al-Musyarakah nomor : 123/MSA/VII/05 tertanggal 20
Juli 2005 para Tergugat telah menerima pemberian modal pembiayaan
musyarakah sebesar Rp. 30.000.000,- (Tiga puluh juta rupiah) dari Penggugat
untuk keperluan modal usaha dagang gula merah dan kelontong. Pada
kenyataanya, Tergugat tidak menggunakan modal yang diterima tersebut sesuai
dengan perjanjian, yaitu untuk modal usaha dagang gula merah dan kelontong
akan tetapi digunakan untuk keperluan lain. Berdasarkan hal tersebut Penggugat
merasa dirugikan maka Penggugat mengajukan perkara tersebut ke pengadilan
untuk diselesaikan melalui jalur hukum.
Dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah tersebut terdapat peran
Hakim sebagai pengambil keputusan yang tidak lain adalah figur sentral dalam
proses peradilan yang dituntut untuk membangun kecerdasan intelektual, moral
5
dan spiritual serta dapat melakukan adanya penemuan hukum. “Hakim melakukan
penemuan hukum, karena ia dihadapkan pada peristiwa konkret atau konflik untuk
diselesaikan, jadi sifatnya konklitif. Hasil penemuan hukumnya adalah hukum
yang dituangkan dalam bentuk putusan” (Bambang Sutiyoso, 2009 : 41).
Penemuan hukum yang menggunakan Hakim sebagai subyeknya, maka hasil
penemuan Hakim tersebut dapat dijadikan sumber hukum pula.
Perluasan kewenangan tersebut, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi
aparatur peradilan agama, terutama Hakim. Para Hakim ini dituntut untuk
memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Hal ini sesuai adagium
ius curia novit, yang artinya bahwa Hakim dianggap tahu akan hukumnya,
sehingga Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih
hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Keniscayaan Hakim untuk selalu
memperkaya pengetahuan hukum, juga sebagai sebuah pertanggungjawaban moral
atas klaim bahwa apa yang telah diputus oleh Hakim harus dianggap benar, hal
tersebut sesuai dengan adagium res judikata pro veriate habetur. Berdasarkan hal
tersebut, setiap Hakim pengadilan agama dituntut untuk lebih mendalami dan
menguasai soal perekonomian syari’ah. Hal tersebut sejalan dengan kutipan yang
menerangkan bahwa ”Memang, para Hakim Pengadilan Agama telah memiliki
latar belakang pendidikan hukum Islam, namun karena selama ini Pengadilan
Agama tidak menangani sengketa yang terkait dengan perekonomian syari’ah,
maka wawasan yang dimilikinya pun tentu masih terbatas”
(http://www.badilag.net/menggagas-legalitas-hukum-ekonomi-syari’ah-politik-
hukum.html).
Operasional ekonomi syari’ah memang di dasarkan pada prinsip syari’ah
Islam, namun dalam pelaksanaanya tetap menuai masalah. Hal tersebut dapat
tercermin dengan perkara ekonomi syari’ah yang telah ditangani oleh Pengadilan
Agama Purbalingga yang telah diputus dengan Nomor Putusan
6
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg. Sebagaimana putusan nomor register Pengadilan
Agama Purbalingga dan telah diputus dengan Putusan
Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg, problematika yang muncul ketika itu adalah
berkaitan dengan belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur
ekonomi syari’ah yang bersifat khusus, menjadikan Hakim Pengadilan Agama
harus berjuang keras menggali dan menemukan hukum dalam berbagai sumber
hukumnya.
Sementara itu, pada tahun 2008 Mahkamah Agung Republik Indonesia
sebagai lembaga tinggi negara menunjuk sebuah tim melalui Surat Keputusan
Mahkamah Agung Nomor 097/SK/X/2006, yang menghasilkan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah yang memuat ketentuan mengenai ekonomi syari’ah
(http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=5905
). Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah tersebut seakan menjadi sebuah jawaban atas kurang jelasnya
mengenai ekonomi syari’ah dan kelanjutan atau peraturan pelaksana dari Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang tidak lain berisi ketentuan
mengenai ekonomi syari’ah. Tujuan dari dikeluarkannya peraturan tersebut adalah
demi kelancaran pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah
sehingga peraturan ini dapat dijadikan rujukan bagi para Hakim untuk memutus
perkara ekonomi syari’ah.
Perluasan kewenangan absolut mengenai ekonomi syari’ah ini memang
belum lama terjadi, begitu pula dengan permasalahan yang dipersengketakan di
pengadilan agama pun masih sangat terbatas dan tergolong menjadi sebuah
sengketa baru. Putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dengan pembiayaan Al-
Musyarakah sebagai sengketa yang ditangani oleh Pengadilan Agama Purbalingga
7
menjadi sebuah sengketa ekonomi syari’ah yang pertama kali ditangani oleh
Pengadilan Agama di Indonesia yang menjadi sebuah bahasan yang menarik
untuk dikaji.
Bertitik tolak dari hal-hal yang telah Penulis paparkan yang menjadi dasar
dan latarbelakang dari penulisan hukum yang akan Penulis tuangkan dengan judul
: ”Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Perkara Gugatan Pemenuhan
Kewajiban Akad Pembiayaan Al-Musyarakah di Pengadilan Agama
Purbalingga (Studi Terhadap Putusan Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg)”.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang Penulis ketengahkan dan hendak
ditemukan jawabannya dalam penelitian ini adalah :
1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara Nomor
: 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara gugatan pemenuhan kewajiban
akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama
Purbalingga?
2. Apakah dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara Nomor :
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara gugatan pemenuhan kewajiban akad
pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama
Purbalingga sudah sesuai dengan ketentuan Al-Musyarakah dalam Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam Penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara
Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg mengenai gugatan pemenuhan akad
8
pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama
Purbalingga;
b. Untuk mengetahui kesesuaian dasar pertimbangan Hakim dalam memutus
perkara Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara gugatan
pemenuhan kewajiban akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Agama Purbalingga dengan ketentuan Al-Musyarakah
dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun
2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk mengembangkan dan memperdalam pengetahuan Penulis di
bidang Hukum Acara khususnya terkait dengan Hukum Acara Pengadilan
Agama;
b. Guna memenuhi persyaratan akademis untuk memperoleh gelar S1 dalam
bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Di dalam penelitian ini diharapkan adannya manfaat dan kegunaan, karena
nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari
penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan Penulis dari penelitian ini
antara lain :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pembangunan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya
dan bidang Hukum Acara Peradilan Agama pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur
kepustakaan terkait dengan kajian mengenai Hukum Acara Pengadilan
Agama khususnya mengenai putusan Pengadilan Agama dalam perkara
9
ekonomi syari’ah serta hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan
terhadap penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Guna mengembangkan penalaran ilmiah dan wacana keilmuan Penulis
serta untuk mengetahui kemampuan Penulis dalam menerapkan ilmu
hukum yang diperoleh melalui bangku perkuliahan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan tambahan
pengetahuan bagi semua pihak yang bersedia menerima dan tertarik
dengan masalah yang diteliti serta bermanfaat bagi para pihak yang
berminat pada permasalahan yang sama.
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.
”Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah
berdasarkan suatu sistim; sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang
bertentangangan dalam suatu kerangka tertentu” (Soerjono Soekanto, 2006: 42).
Sedangkan ”metode penelitian adalah cara dan langkah-langkah yang efektif dan
efisien untuk mencari dan menganalisis data dalam rangka menjawab masalah”
(Soerjono Soekanto, 2006 : 43 ).
Metode penelitian yang digunakan Penulis memuat uraian yang berisi
beberapa hal sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal.
Adapun yang dimaksud penelitian hukum normatif adalah ”suatu penelitian
ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari
sisi normatifnya” (Johnny Ibrahim, 2005:57). Sedangkan Peter Mahmud
10
Marzuki mendefinisikan ”penelitian hukum adalah suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”(Peter Mahmud Marzuki,
2009:35).
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 22). Dari hasil telaah
dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat hukum yang
dikemukakan oleh ahli hukum merupakan suatu preskripsi. Begitu juga
tuntutan jaksa, petitum atau eksepsi dalam pokok perkara di dalam litigasi
berisi preskripsi. Untuk dapat memberikan preskripsi itulah guna keperluan
praktik hukum dibutuhkan penelitian hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2009 :
37). Berdasarkan definisi penelitian hukum yang dikemukakan, maka hal
tersebut telah sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-
pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan
undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan comparatif
(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach)
(Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 93). Adapun dalam penelitian ini Penulis
hanya menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach).
“Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-
undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang
menjadi fokus sekaligus tema sentral” (Johnny Ibrahim, 2005:302). Menurut
11
Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya Metode Penelitian Hukum
menjelaskan “bahwa pendekatan perundang-undangan (statute approach)
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani” (Peter Mahmud
Marzuki, 2009 : 93).
Dalam penelitian ini Penulis menggunakan studi kasus (case study).
”Studi kasus merupakan suatu studi terhadap kasus tertentu dari berbagai
aspek hukum” (Peter mahmud Marzuki, 2009:94). Penelitian ini
menggunakan studi kasus, karena kasus yang digunakan Penulis hanya satu,
yaitu kasus gugatan pemenuhan akad pembiayaan Al-Musyarakah yang
ditangani oleh Pengadilan Agama Purbalingga.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Di dalam penelitian hukum tidak mengenal adanya data, yang ada
dalam penelitian hukum adalah bahan hukum, maka dalam hal ini Penulis
menggunakan istilah bahan hukum. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan
“bahwa untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogianya, diperlukan adannya sumber-sumber
penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan
bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum
yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas” (Peter Mahmud
Marzuki,2009:141). Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan dan putusan Hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen
resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus
12
hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan
(Peter Mahmud Marzuki,2009:141).
Dalam penelitian hukum ini Penulis menggunakan bahan hukum
primer yang terdiri dari :
a. Putusan Nomor 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg tentang gugatan pemenuhan
kewajiban akad pembiayaan Al-Musyarakah yang Penulis peroleh
melalui web resmi Pengadilan Agama Purbalingga dengan alamat
http://pa.purbalingga.ptasemarang.net/images/Data/putusan/put_1047.
pdf;
b. Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
c. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
d. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman;
e. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
f. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah;
g. Ref Fatwa DSN Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000.
Bahan hukum sekunder yang Penulis gunakan meliputi bahan-bahan yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti bahan
kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur, majalah serta surat
kabar.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam suatu penelitian merupakan hal
yang sangat penting. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer
13
dan sekunder hasil dari studi kepustakaan atau studi dokumen, baik dari media
cetak maupun elektronik yang kemudian dikategorisasi menurut jenisnya.
Teknik pengumpulan bahan hukum tersebut disebut studi pustaka.
6. Teknik Analisis
Mengingat jenis penelitian ini adalah normatif, maka teknik analisis
yang Penulis gunakan adalah dengan metode silogisme dan interpretasi,
dengan menggunakan pola berfikir deduktif serta suatu tinjauan yuridis yang
bersifat logis dan sistematis. Yuridis dapat diartikan sebagai ” suatu tinjauan
yang disesuaikan dengan pemikiran Penulis dan disusun dengan mencari
hubungan antara pemikiran dan teori-teori yang telah diteliti yang semuanya
itu dihubunngkan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku”
(http://dossuwanda.wordpress.com/2008/03/20/silogismedangeneralisasi-
kajian-tugas-makalah/).
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan
hukum yang memberi penjelasan mengenai teks undang-undang agar ruang
lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
”Penafsiran oleh Hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada
pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum
terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat
untuk mengetahui makna undang-undang”(Sudikno Mertokusumo, 2003:169).
Metode interpretasi yang akan digunakan oleh Penulis dalam penelitian ini
merupakan penjabaran dari putusan-putusan Hakim.
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya yang berjudul
mengenal hukum disebutkan bahwa ”dari pertimbangan-pertimbangan yang
digunakan oleh Hakim dalam menemukan suatu hukum dapat disimpulkan
adanya metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal), historis, sistematis,
teleologis, perbandingan hukum dan futuristis”(Sudikno Mertokusumo,
14
2003:169). Adapun metode interpretasi yang Penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah interpretasi sistematis. Menurut Sudikno Mertokusumo
interpretasi sitematis tidak lain adalah ”terjadinya undang-undang selalu
berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan
tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas dari sama sekali dari
keseluruhan perundang-undangan. Menafsirkan undang-undang sebagai
bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan
menghubungakan dengan undang-undang lain disebut interpretasi sistematis
atau logis” (Sudikno Mertokusumo, 2003 : 172).
Sedangkan yang dimaksud dengan silogisme adalah suatu proses
penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme tersebut disusun dari dua
proposisi atau yang sering disebut pernyataan dan terdiri dari satu kesimpulan
(http://dossuwanda.wordpress.com/2008/03/20/silogisme-dan-generalisasi-
kajian-tugas-makalah/). Silogisme yang Penulis gunakan adalah silogisme
dengan menggunakan pendekatan deduktif. Pendekatan deduktif adalah
proses penalaran yang bermula dari keadaan umum kekeadaan khusus sebagai
pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan aturan, prinsip
umum diikuti dengan contoh khusus atau penerapan aturan.
Menurut Philipus M. Hadjon dalam bukunya Peter Mahmud Marzuki,
menyatakan bahwa ”silogisme hukum tidak sesederhana silogisme tradisional.
Logika silogistik untuk penalaran hukum yang merupakan premis mayor
adalah aturan hukum, sedangkan premis minor adalah fakta hukum. Dan dari
keduannya kemudian dapat ditarik suatu konklusi” (Peter Mahmud
Marzuki,2009: 47).
Berpikir deduktif disebut juga berpikir dengan menggunakan
silogisme terdiri dari tiga preposisi statement yang terdiri dari premise, yaitu
dasar penarikan kesimpulan sebagai pernyataan akhir yang mengandung suatu
15
kebenaran. Berpikir deduktif prosesnya berlangsung dari yang umum menuju
ke yang khusus. Dalam berpikir deduktif ini orang bertolak dari suatu teori
prinsip, ataupun kesimpulan yang dianggapnya benar dan sudah bersifat
umum berdasarkan hal tersebut diterapkan kepada fenomena-fenomena
khusus dan mengambil kesimpulan yang berlaku bagi fenomena tersebut
(http://dossuwanda.wordpress.com/2008/03/20/silogisme-dan-generalisasi-
kajian-tugas-makalah/). ”Penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari
penggunaan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor. Dari kedua
premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion”(Peter
Mahmud Marzuki,2009: 47).
F.Sistematika Penulisan
Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan
pustaka, pembahasan dan penutup, serta daftar pustaka dan lampiran. Adapun
susunannya adalah sebagai berikut ;
BAB I. PENDAHULUAN
Pada bab ini Penulis mengemukakan latarbelakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,
dan sistematika Penulisan hukum.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini Penulis mengetengahkan landasan teori dari para pakar
maupun doktrin hukum berdasarkan litertur yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian. Landasan teoritik tersebut meliputi tinjauan
mengenai Hakim, Pengadilan Agama, Putusan Hakim Pengadilan
Agama, dan Al-Musyarakah. Guna memberikan gambaran secara
utuh mengenai penelitian ini Penulis juga memberikan kerangka
pemikiran.
16
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil
yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah
yang diteliti, terdapat dua pokok permasalahan yang dibahas dalam
bab ini yaitu pertimbangan Hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dan kesesuaian putusan
Hakim Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dengan pengaturan
mengenai Al-Musyarakah dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah.
BAB IV. PENUTUP
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang dapat
diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti,
serta saran-saran yang dapat Penulis kemukakan kepada para pihak
yang terkait dengan bahasan Penulisan hukum ini.
17
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tugas dan Kewenangan Hakim dalam Penemuan Hukum
a. Tugas dan Kewenangan Hakim
Di dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa ”Hakim adalah pejabat yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”.
Sedangkan dalam Pasal 11 Ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, disebutkan bahwa ”Hakim Pengadilan adalah
pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman”.
Hakim memiliki kedudukan dan peran yang penting demi tegaknya
Negara Hukum. Secara khusus Amandemen Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 mengatur kekuasaan kehakiman ini dalam
Pasal 24 dan Pasal 25. Penjelasan kedua pasal tersebut menegaskan bahwa
”kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”.
Berdasarkan hal tersebut maka diwujudkan jaminan dalam undang-undang
tentang Hakim.
Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan
kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tersebut,
Hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibannya
sebagaimana yang telah diatur dalam perundang-undangan. Adapun
beberapa tugas dan kewajiban Hakim dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor
48 Tahun 2009 antara lain ;
17
18
1) Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat;
2) Hakim dan Hakim konstitusi harus memiliki intergritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan
berpengalaman di bidang hukum;
3) Hakim dan Hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
Menurut Bambang Sutiyoso tugas pokok Hakim dalam bidang peradilan
(teknis yuridis) adalah sebagai berikut (Bambang Sutiyoso, 2005:125-126);
1) Menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan
setiap perkara yang diajukan kepadannya;
2) Menggali menurut hukum dengan tidak membedakan orang;
3) Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya
mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan;
4) Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib memeriksa dan mengadilinnya.
Dengan tugas yang demikian, maka dapat dikatakan bahwa Hakim merupakan
pelaksana inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman.
Oleh karena itu keberadaanya sangat penting dalam penegakan hukum dan
keadilan melalui putusan-putusannya.
Adapun secara konkret tugas Hakim dalam mengadili suatu perkara
melalui tiga tindakan secara bertahap (Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti
Puspitasari, 2005 : 126-127) :
1) Mengkonstatir (mengkonstatasi) yaitu mengakui atau membenarkan
telah terjadinnya peristiwa yang telah diajukan para pihak di muka
persidangan. Syaratnya adalah peristiwa konkret itu harus dibuktikan
terlebih dahulu, tanpa pembuktian Hakim tidak boleh menyatakan
suatu peristiwa konkret itu benar-benar terjadi. Jadi mengkonstatir
peristiwa berarti juga membuktikan atau menganggap telah terbukti
peristiwa tersebut;
2) Mengkualifisir (mengkualifikasi) yaitu menilai peristiwa yang telah
dianggap benar-benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum
yang mana atau seperti apa. Dengan kata lain mengkualifisir adalah
19
menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikonstatir
dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut.
3) Mengkonstituir (mengkonstitusi) atau memberikan konstitusinnya,
yaitu Hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada
yang bersangkutan. Di sini Hakim mengambil kesimpulan dari adanya
premis mayor (peraturan hukumnya) dan premis minor
(peristiwannya). Dalam memberikan putusan Hakim perlu
memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional
yaitu : keadilan, kepastian hukumnya dan kemanfaatannya.
b. Penemuan Hukum oleh Hakim
Penemuan hukum, pada dasarnya merupakan wilayah kerja hukum
yang sangat luas cakupannya. Penemuan hukum dapat dilakukan oleh
orang-perorangan (individu), ilmuan atau peneliti hukum, para penegak
hukum (Hakim, Jaksa, dan Pengacara atau Advokat), direktur perusahaan
swasta dan BUMN/BUMD sekalipun. Menurut bambang Sutiyoso,
”penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi
peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan
peristiwa konkrit (das sein) tertantu, dalam penemuah hukum yang
penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk
peristiwa konkrit” (Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005 :
128).
”Hakim melakukan penemuan hukum, karena ia dihadapkan pada
peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikan, jadi sifatnya konfliktif.
Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum, karena mempunyai
kekuatan mengikat sebagai hukum yang dituangkan dalam bentuk
putusan”( Bambang Sutiyoso, 2006: 41). Berdasarkan hal tersebut,
penemuan hukum oleh Hakim itu sekaligus dapat dikayakan sebagai
sumber hukum juga.
20
2. Sejarah, Tugas, dan Kewajiban Peradilan Agama
a. Sejarah Pengaturan Peradilan Agama di Indonesia
Peradilan agama adalah peradilan yang dilandasi oleh ketentuan Islam.
Begitu pula dengan sejarah ada dan diakuinya peradilan agama di Indonesia.
Keberadaan peradilan agama di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup
panjang. Jauh sebelum kemerdekaan, sistem peradilan agama sudah lahir
sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tepatnya pada
masa kerajaan. Sebelum Islam datang ke Indonesia telah ada dua macam
peradilan, yaitu peradilan pradata dan peradilan padu. Materi hukum
peradilan pradata bersumber dari ajaran Hindhu dan ditulis dalam pakem.
Sedangkan peradilan padu menggunakan hukum materiil tidak tertulis yang
berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Dalam prateknya, peradilan
pradata menangani persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
wewenang Raja, sedangkan peradilan padu menangani perosalan-persoalan
yang tidak berhubungan dengan wewenang Raja. Keberadaan dua sistem
peradilan ini berakhir setelah Raja Mataram menggantikan dengan sistem
peradilan serambi yang berasaskan Islam. Penggantian tersebut tidak lain
bertujuan untuk menjaga integrasi dari wilayah Kerajan Mataram itu sendiri
(http://zanikhan.multiply.com/journal/item/2931).
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, peradilan agama mendapat
pengakuan secara resmi. Pada tahun 1882 Pemerintah Kolonial
mengeluarkan Staatsblad Nomor 152 yang merupakan pengakuan resmi
terhadap eksistensi peradilan agama dan hukum Islam di Indonesia. Karena
staatsblad ini tidak berjalan efektif dan karena pengaruh teori reseptie, maka
pada tahun 1937 keluarlah Staatsblad 1937 Nomor 116. Staatsblad ini
mencabut wewenang yang dipunyai oleh peradilan agama dalam persoalan
waris dan masalah-masalah lain yang berhubungan dngan harta benda,
terutama tanah. Sejak peristiwa tersebut kompetensi peradilan agama hanya
21
terbatas pada masalah perkawinan dan masalah perceraian saja
(http://zanikhan.multiply.com/journal/item/2931). Sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas, bahwa peradilan agama setelah pada masa tersebut tidak
dapat melaksanakan keputusannya sendiri, melainkan harus dimintakan
pegukuhan dari peradilan negeri.
Pada awal tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Januari 1946, dibentuklah
Kementiran Agama. Departemen Agama dimungkinkan konsolidasi atas
seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah badan yang
bersifat nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1946
menunjukkan dengan jelas maksud-maksud untuk mempersatukan
administrasi nikah, talak dan rujuk di seluruh Indonesia di bawah
pengawasan Departemen Agama sendiri. Dalam rentang waktu 12 tahun
sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ada tujuh hal yang dapat
di ungkapkan yang terkait langsung dengan Peradilan Agama di Indonesia:
1) Berkaitan dengan penyerahan Kementrian Agama melalui
Penetapan Pemerintah Nomor 5 sampai dengan tanggal 25 maret
1946;
2) Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946;
3) Lahirnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948;
4) Masa Indonesia RIS (Republik Indonesia Serikat) tanggal 27
Desember 1946 – 17 Agustus 1950;
5) Lahirnya Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951;
6) Lahirnya Undang-undang Nomor 32/1954.
Peradilan agama dalam rentang waktu lebih kurang 17 tahun, yakni
tahun 1957-1974 mengalami perkembangan dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah dan Undang-undang yakni Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 1957, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957,
22
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1970 dan penambahan kantor dan cabang
kantor peradilan agama. Kemudian pada tanggal 31 Oktober 1964 disah
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Menurut Undang-undang tersebut, Peradilan Negara
Republik Indonesia menjalankan dan melaksanakan hukum yang
mempunyai fungsi pengayoman yang dilaksanakan dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha
negara. Namun tidak lama kemudian, Undang-undang ini diganti dengan
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-Pokok
Kehakiman karena sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan. Dalam
Undang-undang baru tersebut ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan yang merdeka. Ditegaskan demikian karena sejak tahun
1945-1966 keempat lingkungan peradilan diatas bukanlah kekuasaan yang
merdeka secara utuh, melainkan disana sini masih mendapatkan intervensi
dari kekuasaan lain. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 merupakan
undang-undang organik, sehingga perlu adanya undang-undang lain sebagai
peraturan pelaksanaannya, yaitu undang-undang yang berkait dengan
peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, termasuk
juga peradilan agama.
Dalam masa kurang lebih 15 tahun yakni menjelang disahkannya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hingga
menjelang lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Ada dua hal yang menonjol dalam perjalanan Peradilan Agama di
Indonesia;
1) Tentang proses lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan dengan peraturan pelaksanaannya Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974
23
2) Tentang lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
tentang perwakafan tanah milik, sekarang telah diperbaharui Undang-
undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
Sebelum diberlakukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, peradilan agama di Indonesia adalah beraneka nama dan
dikategorikan sebagai peradilan kuasai, karena berdasar ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 63 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka semua putusan pengadilan agama harus
dikukuhkan oleh peradilan umum. Ketentuan ini membuat pengadilan
agama secara de facto lebih rendah kedudukannya dari pada peradilan
umum. Padahal secara yuridis formal dalam Pasal 10 Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dinyatakan, bahwa ada empat lingkup Peradilan di Indonesia,
yaitu :
1) Peradilan umum;
2) Peradilan Agama;
3) Peradilan Militer;
4) Peradilan Tata Usaha Negara.
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa terdapat empat lingkungan
peradilan di Indonesia yang memiliki kedudukan setara. Kesetaraan empat
lingkup peradilan tersebut merupakan koreksi terhadap ketentuan yang
terdapat dalam Staatblad 1882 Nomor 152 dan Statblad 1937 Nomor 116
dan Nomor 610 tentang Peraturan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura,
Staatblad 1937 Nomor 638 dan Nomor 639 tentang Peraturan Kerapatan
Qadi dan Qadi besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan
Timur serta Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan
24
Madura (Lembaran Negara tahun 1957 Nomor 99) yang telah menempatkan
peradilaan agama berada di bawah peradilan umum.
Koreksi yang dilakukan Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut
bukan hannya tidak ditindaklanjuti dengan mengeluarkan peraturan organik
yang dapat membuat peradilan agama mampu melaksanakan putusannya
secara mandiri, namun sebaliknya, empat tahun kemudian, Pasal 63 Ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah
mengembalikan peradilan agama secara utuh kepada peradilan kuasi dengan
cara mengharuskan setiap putusan peradilan agama dikukuhkan oleh
peradilan umum.
Pada tanggal 29 Desember 1989 disahkan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sehingga kewenangan absolut
peradilan agama yang didasarkan pada :
1) Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatblad
1882 Nomor 152 dan Staatblad 1937 Nomor 116 dan Nomor 610);
2) Peraturan tentang kerapatan Qadi dan Qadi Besar untuk sebagai
Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatblad 1937 Nomor 638
dan Nomor 639);
3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah di luar jawa dan Madura
(Lembar Negara tahun 1957 Nomor 99).
Ketentuan-ketentuan di atas dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga
sejak itu pula lembaga pengukuhan yang terdapat dalam Staatblad 1882
Nomor 152 jo. Staatblad 1937 Nomor 116 dan Nomor 610, Staatblad 1937
Nomor 638 dan Nomor 639, Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957
tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah di luar Jawa
25
dan Madura (Lembar Negara tahun 1957 nomor 99) dan Pasal 63 Ayat (2)
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan oleh
Pasal 107 Ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama tidak berlaku lagi.
Pernyataan tidak berlaku terhadap semua peraturan hukum tersebut
menempatkan peradilan agama sebagai peradilan yang sesungguhnya (court
of law), sehingga sejak itu peradilan agama mempunyai susunan peradilan
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama dan kewenangan absolut yang terunifikasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 serta hukum acara yang jelas menurut
Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Sebenarnya kemunculan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dianggap terlambat karena masyarakat semakin
membutuhkan wadah untuk memperkarakan hak yang dilanggar oleh orang
lain, namun tidak menimbulkan suatu gejolak yang berarti. Hal ini sesuai
dengan yang pemikiran Soehartono yang mengatakan bahwa “keterlambatan
pengesahan dan pengundangannya (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989)
bukan berarti mengurangi makna kehadirannya (Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989), tetapi sebagai akibat kandungan “sensitivitas” yang melekat
pada batang tubuhnya” (Soehartono,2004:757).
Seiring dengan berkembangnya masyarakat, maka ditemukan dua hal
yang cukup mengganjal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, yaitu mengenai pilihan hukum dan penyelesaian
sengketa hak milik serta sengketa kewenangan mengadili. Berkenaan
dengan hal ini maka pada tanggal 28 Februari 2006 dikeluarkan Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian
26
diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Berdasarkan perubahan tersebut tersurat bahwa amandemen ini membawa
perubahan besar dalam Peradilan Agama khususnya mengenai kewenangan
Peradilan Agama dalam menangani masalah ekonomi syari’ah.
Dewasa ini telah disahkan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang tidak lain menitik beratkan pada pengaturan
mengenai pengadilan khusus dan Hakim ad hoc, serta keamanan dan
kesejahteraan Hakim.
Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama mencantumkan bahwa “Peradilan Agama adalah peradilan
bagi orang-orang Islam”. Sedangkan Pasal 2 Undang-undang Nomor. 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjelaskan bahwa “Peradilan agama
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang ini”. Berdasarkan kedua difinisi tersebut jelas bahwa
peradilan agama adalah lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan
kekuasaan kehakiman guna menegakan hukum dan keadilan yang
didasarkan pada ketentuan Islam dan diperuntukan bagi orang-orang yang
beragama Islam.
b. Tugas dan Kewajiban Peradilan Agama
Pasal 1 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan
27
hukum dan keadilan berdasar Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia”. Berdasarkan hal tersebut pengadilan agama adalah
sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman disamping tiga
peradilan lainnya yaitu peradilan umum, peradilan militer dan peradilan
tata usaha negara.
Peradilan agama, dalam Pasal 52 Ayat (1) Undang-undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dinyatakan, “bahwa selain
mempunyai tugas pokok juga mempunyai tugas tambahan, yaitu dapat
memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam
kepada instansi Pemerintah di daerah hukum apabila diminta”. Pasal 52
Ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Pertama Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama
menyebutkan bahwa “Pengadilan agama dapat melaksanakan tugas dan
kewenangan lain yang diserahkan kepadannya berdasarkan undang-
undang”.
Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama menegaskan bahwa;
Pengadilan agama berwenang menyelesaikan perkara-perkara antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang;
1) perkawinan;
2) kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam;
3) wakaf dan shadaqah.
Setelah mengalami perubahan maka Pasal 49 Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Pengadilan Agama disebutkan bahwa;
28
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang ;
1) Perkawinan;
2) Kewarisan;
3) Wasiat;
4) Hibah;
5) Wakaf;
6) Zakat;
7) Infaq;
8) Shadaqah dan
9) Ekonomi syari’ah.
Pasal 24 UUD 1945 menyatakan bahwa "Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi". Berdasarkan pasal
tersebut maka, sebagai salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup
anggota masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan peradilan
agama mengemban tugas khusus pada bidang-bidang tertentu sesuai
undang-undang. Dimana ia berfungsi untuk menerima, memeriksa dan
memutus ketetapan hukum antara pihak-pihak yang bersengketa dengan
putusan yang dapat menghilangkan permusuhan berdasarkan bukti-bukti
dan keterangan dengan tetap mempertimbangkan dasar-dasar hukum yang
ada.
Dalam menjalankan tugasnya tersebut, pengadilan agama harus
memperhatikan batasan-batasan kewenangannya dan beberapa hal berikut
ini;
1) Kompetensi Absolut
”Di Indonesia terdapat empat lingkungan peradilan sebagai
pelaksana fungsi dan kewenangan kekuasaan kehakiman, yaitu
peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara dan
29
peradilan militer. Batas antara masing-masing lingkungan
ditentukan oleh bidang yurisdiksi tersebut masing-masing
melaksanakan fungsi kewenagan mengadili” (Yahya Harahap,
2003 101-102).
Pasal 47 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa ”lingkungan peradilan
agama adalah salah satu di antara lingkungan peradilan khusus
sama halnya seperti peradilan militer dan peradilan tata usaha
negara, yakni melaksanakan fungsi kewenangan mengadili
perkara “tertentu” dan terhadap rakyat tertentu”. Begitu pula
berdasarkan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, pasal tersebut mencantunkan
perkara-perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama, di
luar sengketa tersebut pengadilan agama tidak berwenang
memeriksa dan memutus perkaranya. Sifat kewenangan masing-
masing lingkungan peradilan bersifat absolut. Apa yang telah
ditentukan menjadi kekuasaan yurisdiksi atau lingkungan
peradilan, menjadi kewenangan mutlak baginnya untuk
memeriksa dan memutus perkara. Kewenangan mutlak ini disebut
“kompetensi absolut” atau “yurisdiksi absolut”.
Dengan adanya pembatasan kewenangan ini bertujuan untuk
memberikan ketentraman dan kepastian hukum bagi masyarakat
pencari keadilan mengenai lingkungan peradilan yang berwenang
untuk menyelesaikan perkarannya.
2) Kompetensi relatif
Kekuasaan atau kewenangan relatif adalah kekuasaan atau
kewenangan yang diberikan antar pengadilan dalam lingkungan
30
badan peradilan yang sama. Pengaturan kompetensi relatif
terdapat dalam Pasal 118 HIR yang secara garis besar menyatakan
gugatan diajukan ke pengadilan wilayah hukum tempat tinggal
Tergugat, apabila Tergugat lebih dari satu dan bertempat tinggal di
wilayah hukum yang berbeda gugatan diajukan di salah satu
tempat tinggal Tergugat, jika tempat tinggal Tergugat tidak
diketahui atau ghaib maka gugatan diajukan ke pengadilan
wilayah hukum Penggugat atau jika tuntutannya mengenai benda
tetap maka diajukan di mana benda tetap itu berada atau jika
ditentukan rempat kedudukan hukum dalam suatu akta maka
gugatan diajukan di pengadilan dimana tempat kedudukan hukum
ditentukan.
3. Bentuk, Susunan dan Kekuatan Putusan Peradilan Agama
a. Bentuk dan Macam Putusan Pengadilan Agama
Salah satu tugas pokok pengadilan agama adalah mengadili atau
memutus perkara yang diajukan kepadannya yang dituangkan dalam
putusan. ”Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan
dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa antara para pihak”(Sudikno Mertokusumo, 2002: 02). Berdasarkan
hal tersebut, putusan yang diucapkan oleh Hakim di persidangan adalah
harus sama dengan amar putusan yang tertulis (vonis).
”Putusan Pengadilan Agama adalah dalam bentuk tertulis dan
pengadilan agama adalah lembaga yang berwenang untuk membuat putusan
sesuai dengan kewenangan absolut yang diberikan kepadannya” (Chatib
Rasyid, 2009: 119). Berdasarkan penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
31
Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 47 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa yang dimaksud perkara
yang diterima di pengadilan adalah termasuk perkara voluntair. Dengan
demikian, perkara yang diajukan ke pengadilan agama adalah perkara
contentiosa (persengketaan) dan perkara voluntair (gugat yang bersifat
permohonan) (Chatib Rasyid, 2009: 119). Dalam penjelasan Pasal 60
Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama
disebutkan ada dua produk pengadilan agama, yaitu putusan dan penetapan.
Putusan disebutkan sebagai keputusan pengadilan atas perkara gugatan
karena adannya suatu sengketa, sedangkan penetapan adalah keputusan
pengadilan atas perkara permohonan.
Adapun macam-macam putusan dalam pengadilan agama dapat dibagi
dua, yaitu;
1). Putusan Sela
Putusan sela adalah putusan yang dujatuhkan sebelum putusan
akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau
mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Dalam hukum acara
perdata dikenal beberapa macam putusan sela, yaitu;
a) Putusan Preparatoir, yaitu putusan persiapan mengenai
jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuaitu guna
mengadakan putusan akhir;
b) Putusan Interlacutoir, yaitu putusan yang isinya
memerintahkan pembuktian;
c) Putusan Incidental, yaitu putusan yang berhubungan dengan
insiden, seperti putusan yang bertujuan untuk menghentikan
prosedur biasa;
d) Putusan Provisionol, yaitu putusan yang menjawab tuntutan
provisi dalam hal penggugat meminta agar diadakan tindakan
pendahuluan sebelum putusan akhir dijatuhkan(Chatib Rasyid,
2009: 119).
32
2). Putusan akhir
”Putusan akhir adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh
Majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu menyelesaikan
perkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”(Abdul
Manan, 2000: 173). Putusan akhir apabila dilihat dari amarnya dapat
dibagi menjadi tiga macam, yaitu (Chatib Rasyid, 2009: 118-119);
a) Putusan condemnatoir, yaitu yang amarnya bersifat
menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi.
Amar yang bersifat condemnatoir tersebut dirinci sebagai
berikut ;
(1) menghukum atau memerintahkan untuk menyerahkan;
(2) menghukum atau memerintahkan untuk pengosongan;
(3) menghukum atau memerintahkan untuk membegi;
(4) menghukum atau memerintahkan untuk melakukan
sesuatu;
(5) menghukum atau memerintahkan untuk menghentikan
sesuatu;
(6) menghukum atau memerintahkan untuk membayar
sesuatu;
(7) menghukum atau memerintahkan untuk membongkar;
(8) menghukum atau memerintahkan untuk tidak
melakukan sesuatu.
b) Putusan Declaratoir adalah putusan yang amarnya
menyatakan, bahwa keadaan tertentu sebagai keadaan yang
resmi menurut hukum. Misalnya ”Menyatakan sah atau tidak
suatu perbuatan hukum. Amarnya dimulai dengan
menyatakan.......”;
c) Putusan Konstitutif adalah putusan yang bersifat mengentikan
atau menimbulkan hukum baru. Misalnya memutuskan suatu
ikatan perkawinan. Contoh ”Menyatakan bahwa perkawinan
antara A dan B putus karena.
Disamping itu, seorang Hakim harus memperhatikan asas-asas
putusan yang mesti ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak
mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan dalam Pasal 178 HIR,
Pasal 189 RBG. Adapun asas-asas putusan tersebut adalah dalam
Pasal 178 HIR adalah sebagai berikut :
33
a) Pada waktu bermusyawarah, Hakim, karena jabatannya, wajib
melengkapi segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh
kedua belah pihak. (Rv. 39, 41; IR. 184.);
b) Hakim itu wajib mengadili semua bagian tuntutan;
c) Ia dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak
dituntut, atau memberikan lebih daripada yang dituntut(Rv.
50).
Sedangkan asas yang termuat dalam Pasal 189 RBG dan Pasal 13
dan Pasal 50 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman adalah :
a) Wajib mengadili seluruh bagian gugatan;
b) Diucapkan di muka umum atau dalam sidang terbuka untuk
umum. Pelanggaran terhadap asas yang kedua ini dapat
menyebabkan putusan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum;
c) Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan. Larangan ini
disebut ultra petitum partium;
d) Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci. Putusan yang tidak
memuat dasar dan alasan yang jelas dikategorikan putusan
yang tidak cukup pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) dan
mengakibatkan putusan seperti itu dapat dibatalkan pada
tingkat banding atau kasasi.
b. Susunan dan Isi Putusan Pengadilan Agama
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 60 Undang-undang
Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dan penjelasannya
ditemukan dua macam produk pengadilan agama, yaitu putusan dan
penetapan. Kedua hal tersebut harus dibuat secara tertulis dengan susunan
sebagai berikut ;
1). Kepala Putusan
Kepala putusan memuat hal-hal sebagai berikut ;
a) judul,yaitu : PUTUSAN
b) Nomor putusan
34
c) Irah-irahan, yaitu kalimat ”BISMILLA HIRRAHMAAN
IRROHIM” yang diikuti dengan kalimat ”DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
2) Identitas
Identitas dalam putusan sama dengan identitas yang ada dalam
surat gugatan atau permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 67
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
yaitu sekurang-kurangnya memuat nama, umur, dan alamat para
pihak yang berperkara.
3) Duduk Perkara
Dalam bagian tentang duduk perkara sebuah putusan harus
mengacu kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 195 R.bg /
Pasal 184 HIR dan Pasal 25 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu memuat hal-hal sebagai
berikut ;
a) Gugatan yang diajukan Penggugat;
b) Jawaban dan tanggapan yang diajukan Tergugat, termasuk
didalamnya eksepsi, jawaban terhadap pokok perkara,
tuntutan provisi dan rekonvensi.
c) Fakta kejadian dalam persidangan, hal ini dapat berupa
sikap para pihak yang berperkara di persidangan,
keterangan saksi dan keterangan yang diperoleh dari para
pihak tentang alat bukti yang diajukan para pihak;
d) Duduk perkara, adalah menguraikan seluruh fakta yang
terakumulasi mulai dari fakta yang terdapat dalam surat
gugatan sampai pada kesimpulan.
35
4) Pertimbangan Hukum
Pertimbangan hukum adalah suatu tahap dimana Majelis
Hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap selama
persidangan berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban dan eksepsi
dari Tergugat yang dihubungkan dengan alat bukti yang memenuhi
syarat formil dan meteriil yang mencapai batas minimal
pembuktian.
Dalam memutus perkara Hakim harus mempunyai alasan-
alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan. Dasar
pertimbangan tersebut bertitik tolak dari ketentuan sebagai pasal-
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan, hukum
kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin hukum. Sebagaimana
tercantum dalam Pasal 14 dan Pasal 50 Ayat (1) UU Nomor 48
Tahun 2009 yang menegaskan bahwa ”segala putusan pengadilan
harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan dan
mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu
yang bersangkutan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan
hukum tak tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin hukum”.
5) Amar / Diktum putusan
Amar atau diktum putusan adalah jawaban atas petitum yang
dimintakan oleh Penggugat, sama ada petitum dalam bagian
eksepsi, provisi, konvensi maupun dalam rekonvensi. Berdasarkan
Pasal 189 Ayat (3) R.bg, Hakim dilarang mengabulkan atau
memutus lebih dari yang diminta (petitum).
36
6) Penutup
Dalam bagian penutup disebutkan kapan perkara tersebut
diputuskan dan kapan diucapkan dengan menyebutkan susunan
majelis Hakim yang memutus perkara serta susunan Majelis Hakim
yang hadir pada saat putusan diucapkan dengan tidak boleh
melupakan pencantuman Panitera yang ikut bersidang sebagai
pembantu Majelis Hakim. Selain hal tersebut, juga harus
dicantumkan tentang hadir atau tidaknya Penggugat dan Tergugat
pada saat putusan diucapkan.
Adanya musyawarah Majelis Hakim dalam menjatuhkan
putusan harus sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. 189 Ayat (1) R.Bg.
sementara itu, tanggal dijatuhkannya putusan adalah sama dengan
tanggal musyawarah Majelis Hakim untuk menghasilkan putusan
tersebut. Tanggal putusan yaitu tanggal hari pengucapan putusan
dalam sidang terbuka untuk umum oleh ketua sidang dengan
dihadiri oleh Hakim anggota dan dibantu oleh panitera yang turut
bersidang. Putusan ditandatangani oleh Hakim Ketua Sidang,
Hakim Anggota dan Panitera yang turut bersidang, dengan
pembubuhan materai Rp. 6.000,- (enam ribu rupiah) pada tanda
tangan.
c. Kekuatan Putusan Pengadilan Agama
Putusan pengadilan agama memiliki tiga macam kekuatan pembuktian
diantarannya adalah;
1) Kekuatan mengikat kepada para pihak
Putusan pengadilan agama yang dijatuhkan oleh Hakim adalah
untuk menyelesaikan perkara yang terjadi antara Penggugat dan
37
Tergugat dengan menetapkan siapa yang berhak serta menentukan
hukumnya. Menurut Yahya Harahap putusan pengadilan agama
bersifat mengikat kepada beberapa pihak, diantaranya adalah (Yahya
Harahap, 2003 : 310);
a) Terhadap pihak yang berperkara
b) Terhadap orang yang mendapat hak dari merk, dan
c) Terhadap ahli waris mereka.
Oleh karena putusan mempunyai kekuatan mengikat maka para
pihak yang telah ditentukan mempunyai kewajiban untuk metaati
putusan yang ada.
Mukti Arta dalam meyebutkan bahwa putusan Hakim memiliki
kekuatan mengikat yang dapat diartikan sebagai berikut (Mukti
Arta.1996:264-265);
a) Putusan Hakim itu mengikat pada para pihak yang
berperkara dan yang terlibat dalam perkara itu;
b) Para pihak harus tunduk dan menghormati putusan itu;
c) Terikatnya para pihak kepada putusan Hakim ini, baik dalam
arti positif maupun negatif (Pasal 1917, 1920 BW, 134 Rv);
d) Mengikat dalam arti positif, yakni bahwa apa yang telah
diputus oleh Hakim harus dianggap benar (Res judicata pro
veritate habetur), dan tidak dimungkinkan pembuktian
lawan;
e) Mengikat dalam arti negatif, artinya bahwa Hakim tidak
boleh memutus lagi perkara yang pernah diputus
sebelumnya antara pihak yang sama serta pokok perkara
yang sama (nebis in idem), (Pasal 134 Rv);
f) Putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap tidak dapat dirubah, sekalipun oleh pengadilan yang
lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang luar biasa
(yaitu Reguest civil dan derdent verzet);
g) Segala pertimbangan Hakim yang dijadikan dasar putusan
serta amar putusan (dictum) merupakan satu kesatuan dan
mempunyai kekuatan mengikat;
h) Sedang mengenai hasil konstatiring Hakim (penetapan)
mengenai kebenaran peristiwa tertentu dengan alat bukti
tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih
dapat disengketakan.
38
2) Kekuatan Pembuktian
”Putusan pengadilan agama berbentuk tertulis, oleh karena itu
putusan pengadilan agama dapat digolongkan kepada akta otentik
yang mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan sempurna”
(Chatib Rasyid, 2009: 119). Berdasarkan hal tersebut maka putusan
pengadilan dapat dijadikan alat bukti yang sempurna tentang
penyelesaian apa yang disengketakan oleh para pihak. Selanjutnya
putusan pengadilan agama tersebut dapat digunakan oleh para pihak
untuk alat bukti untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi
Agama, kasasi ke Mahkamah Agung RI atau mengajukan permohonan
ekseskusi apabila pihak yang dikalahkan tidak bersedia melakukan isi
putusan pengadilan agama tersebut secara suka rela.
Mukti Arta menyebutkan bahwa putusan Hakim memiliki
kekuatan pembuktian yang bararti bahwa (Mukti Arta. 1996:265);
a) Dengan putusan Hakim itu telah diperoleh kepastian tentang
sesuatu yang terkandung dalam putusan itu;
b) Putusan Hakim menjadi bukti dalam kebenaran sesuatu yang
termuat di dalamnya;
c) Putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat menjadi bukti dalam sengketa perkara perdata mengenai
hal itu (tindak pidana) (Pasal 1918 dan 1919 Bw);
d) Demikian pula putusan perdata menjadi bukti dalam sengketa
perdata mengenai hal itu;
e) Apa yang diputuskan Hakim harus dianggap benar dan tidak
boleh diajukan lagi perkara baru mengenai hal yang sama dan
antara pihak-pihak yang sama pula (nebis in idem).
Salah satu keistimewaan dan perbedaan putusan pengadilan
agama dengan yang lainnya adalah adanya doktrin-doktrin dari Al-
Qur'an, hadits dan aqwal fuqaha. Karenanya jika kita meneliti
putusan-putusan yang terdapat pada buku yurisprudensi terutama buku
39
yurisprudensi lama, kita akan menemukan banyak sekali dalil-dalil Al-
Qur'an, hadits maupun aqwal fuqaha yang dijadikan sandaran
pertimbangan dalam putusan.
3). Kekuatan Eksekutorial
Putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan
eksekutorial hanyalah putusan yang bersifat condemnatoir yang kepala
putusannya tercantum kata ”BISMILLAHI-RRAHMANIRRAHIM”
dan diikuti dengan kata ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” (Chatib Rasyid, 2009: 120). Berdasarkan kata ” Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” inilah yang
memberi kekuatan eksekutorial pada putusan-putusan pengadilan.
Pasal 57 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Pertama Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama jo Pasal 4 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan kehakiman menegaskan bahwa maksud dari
putusan memiliki kekuatan eksekutorial adalah mempunyai kekuatan
untuk dilaksanakan secara paksa terhadap pihak yang tidak
melaksanakan putusan tersebut secara suka rela.
Putusan Hakim mempunyai kekuatan eksekutorial yakni
kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu
secara paksa oleh alat-alat negara. Dengan berlakunnya Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 (sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama), maka pengadilan agama telah
40
dapat melaksanakan sendiri tindakan eksekusi atas putusan yang
dijatuhkan itu tidak diperlukan lagi lembaga pengukuhan dan fiat
eksekusi oleh pengadilan negeri (Mukti Arto.1996 : 265).
4. Pengertian, Dasar, dan Ketentuan Al-Musyarakah
a. Pengertian Al-Musyarakah
Al-Musyarakah atau yang biasa disebut Musyarakah berasal dari kata
“syirkah” yang berarti percampuran. Secara Fiqih, Musyarakah berarti :
“akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan
keuntungan” (Muhammad, 2009:114). Definisi lain menyebutkan bahwa
Musyarakah adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam
suatu proyek di mana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan
dan bertanggungjawab akan segala kerugian yang terjadi sesuai dengan
penyertaannya masing-masing (Muhammad, 2008:9). Selain itu, di dunia
Internasional Al-Musyarakah diartikan sebagai “a partnership of limited
duration for the purpose of completing a specific project, and wich allows
patners to shere losses based on the proportion of their capital
contribution”( Hegazy, Walid S, 2007 : 581). Arti dari pendapat tersebut
kurang-lebih adalah Al-Musyarakah merupkan suatu kemitraan antara
durasi terbatas untuk tujuan menyelesaikan suatu proyek tertentu, dan
yang memungkinkan mitra untuk berbagi kerugian berdasarkan proporsi
kontribusi modal mereka.
b. Dasar Hukum Al-Musyarakah
Al-Musyarakah, yang tidak lain merupakan salah satu transaksi
keuangan yang berbasis syari’ah, selama ini dasar yang digunakan dalam
bertransaksi adalah menggunakan Ayat-Ayat dalam Al-Qur’an, apabila di
dalam Al-Qur’an belum mencantumkan secara lengkap maka dapat
diperjelas dengan menggunakan Hadist dan pendapat para Ulama’. Hal
41
tersebut sesuai dengan pendapat dari Timur Kuran, yaitu “The Qur'an
contains verses that address issues such as distribution and pricing, but it
is not, after all, a treatise in economics. The traditions of early Islam
(Sunna), rich as they are in commentary concerning such matters as
contracting, taxation, property rights, and inheritance, do not speak to
every contemporary issue” (Timur Kuran, 1995:8). Adapun dasar hukum
Al-Musyarakah adalah sebagai berikut;
1). Al-Qur’an
Ayat-Ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan rujukan atau dasar
akad pembiayaan syari’ah adalah : “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kalian bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskanya. Dan
hendaklah seorang Penulis diantara kalian menuliskannya dengan
benar. Dan jenganlah Penulis enggan menuliskannya, sebagaimana
Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakan (apa yang ditulis itu), dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan Rabb-nya, dan janganlah
ia mengurangi sedikitpun dari utangnya” (Al-Baqarah :282). Ayat
lain yang menunjukan adannya perkongsian secara adil dapat
tersurat pada; “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang
yang berkongsi itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian
lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yang
demikian itu sangat sedikit” (QS ash-Shad:24).
2). Hadis
Hadis Rasul yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi
Musyarakah dari Hadis Qudsi yang diriwAyatkan dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah SAW telah bersabda “Allah SWT telah
berkata kepada saya; menyertai dua pihak yang sedang berkongsi
42
selama salah satu dari keduannya tidak menghkianati yang lain,
seandainya berkhianat maka saya keluar dari penyertaan tersebut”
(HR.Abu Daud). Sementara itu beberapa Perowi juga
meriwAyatkan bahwa “Rakhmat Allah SWT tercurah atas dua
pihak yang sedang berkongsi selama mereka tidak melakukan
pengkhianatan, manakala berkhianat maka bisnisnya akan tercela
dan keberkatanpun akan sirna dari padanya” (HR. Abu Daud,
Baihaqi dan Al-Hakam). Adapun keniscayaan dari orang-orang
yang berbuat penyelewengan terhadap apa yang telah
disepakatinnya dapat tersurat dalam hadis yang berbunyi
“sesungguhnya orang-orang yang mengelola harta Allah dengan
tidak benar, maka bagi mereka api neraka pada hari kiamat” (HR.
Bukhari).
Berdasarkan hadis Rasulullah yang diriwAyatkan oleh Abu
Daud dan Tirmidzi, yang ada dalam bukum Mahkota Pokok-pokok
Hadis Rasulullah yang ditulis oleh Manshur Ali Nashif
menuliskan bahwa “ Tunaikanlah amanat kepada orang yang
mempercayaimu, dan jangan sekali-kali engkau berkhianat kepada
orang yang berkhianat terhadap mu (HR. Abu Daud dan
Tirmidzi)” (Manshur Ali Nashif, 2002:676).
c. Ketentuan Al-Musyarakah
Di dalam praktiknya Al-Musyarakah memiliki bentuk kerjasama yang
terbagi dalam beberapa golongan, di antarannya adalah (Muhammad,
2008:135);
1) Syirkah Al’Inan, penggabungan harta atau modal dua orang atau
lebih yang tidak harus sama jumlahnya dan keuntungannya
dibagi secara proporsional dengan jumlah modal masing-masing
atau sesuai dengan kesepakatan;
43
2) Syirkah Al Mufawadhah, peserikatan yang modal semua pihak
dan bentuk kerjasama dilakukan baik kualitas dan kuantitasnya
harus sama dan keuntungan dibagi rata;
3) Syirkah Al abdan/ Al Amal, perserikatan dalam bentuk kerja
yang hasilnya dibagi bersama;
4) Syirkah Al Wujuh, perserikatan tanpa modal;
5) Syirkah Al Mudharabah, bentuk kerjasama antara pemilik modal
seseorang yang punya keahlian dagang dan keuntungan
perdagangan dari modal itu dibagi sesuai dengan kesepakatan
bersama.
Ketentuan lain mengenai Al-Musyarakah terdapat dalam Fatwa DSN
Nomor:08/DSN-MUI/IV/2000 yang mengatur mengenai ;
1) Pernyataan ijab dan qobul harus dinyatakan oleh para pihak
untuk menunjukan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak
(akad), dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut;
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit
menunjukkan tujuan kontrak (akad);
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kotrak;
c. Akad dituangkan secara tertulis, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi moderen.
2) Pihak yang berkontrak harus cakap hukum dan memperhatikan
hal-hak sebagai serikut ;
a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan
kekuasaan perwakilan;
b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan,
dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil;
c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset
musyarakah dalam proses bisnis normal;
d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang
lain untuk mengelola aset masing-masing dianggap
telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas
musyarakah dengan memperhatikan kepentingan
mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan
yang disengaja;
e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau
menginvestasikan dana untuk kepentingan sendiri.
44
3) Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a. Modal
(1) Modal yang diberikan harus uang tunai, emas,
perak atau yang nilainnya sama. Modal dapat terdiri
dari aset perdagangan, seperti barang-barang,
properti, dan sebagainnya. Jika modal dalam bentuk
aset, harus lebih dahulu disepakati oleh para mitra;
(2) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan,
menyumbangkan atau menghadiahkan modal
Musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar
kesepakatan;
(3) Pada prinsipnya, dalam penyaluran dana
musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk
menghindari terjadinnya penyimpangan, Pemodal
dapat meminta jaminan.
b. Kerja
(1) Partisipasi para mitra dalam pekerjaanya
merupakan dasar dari pelaksanaan Musyarakah
akan tetapi kesamaan porsi kerja bukanlah
merupakan syarat. Seorang mitra boleh
melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya,
dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian
keuntungan tambahan bagi dirinnya;
(2) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam Musyarakah
atas nama pribadi dan wakil mitrannya. Kedudukan
masing-masing dalam organisasi kerja harus
dijelaskan dalam kontrak.
c. Keuntungan
(1) Keuntungan harus dikualifikasikan dengan jelas
untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada
waktu alokasi keuntungan atau ketika penghentian
Musyarakah;
(2) Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara
proporsional atas dasar seluruh keuntungandan
tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang
ditetapkan bagi seorang mitra;
(3) Sistem pembagian keuntungan harus tertuang
dengan jelas dalam akad.
45
d. Kerugian
Kerugian harus dibagi antara para mitra secara
proporsional menurut saham masing-masing modal.
Adapun aspek teknis yang berlaku bagi Al-Musyarakah adalah sebagai
berikut (Muhammad. 2008;116);
1) Secara teknis Al-Musyarakah, kesepakatan antara kedua belah
pihak sangat diperlukan dalam menentukan keputusan dan
memperlancar urusan. Dua belah pihak masing-masing
mempunyai hak dan kewajiban yang sama, serta bersama menjaga
amanah dana masyarakat;
2) Dokumentasi, adalah syarat transaksi yang harus dilakukan antara
kedua belah pihak sebagai bukti dari perjanjian;
3) Saksi, merupakan alat bukti bagi Hakim untuk memutuskan
perkara. Saksi harus orang yang adil bijaksana, tidak cacat mata,
bisa bicara (bukan bisu), dan juga tidak cacat hukum.
4) Wanprestasi, diberlakukan bila nasabah melalukan cidera janji,
yaitu tidak menepatijanjinya dalam perjanjian. Dalam hukum
Islam, seseorang diwajibkan untuk mematuhi setiap perjanjian
atau amanah yang dipercayakan kepadannya, sebagaimana yang
tercantum dalam Qs. Al-Anfal Ayat 27 yang berbunyi ”Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul
dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepada mu, sedang kamu mengetahui”.
Dalam sistem Al-Musyarakah terjadi kerja sama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu. Para pihak yang bekerja sama
memberikan kontribusi modal. Keuntungan ataupun risiko usaha tersebut
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Dalam sistem ini,
terkandung apa yang biasa disebut di bank konvensional sebagai sarana
pembiayaan. Secara konkret, bila kita memiliki usaha dan ingin
mendapatkan tambahan modal, kita bisa menggunakan produk Al-
Musyarakah ini. Inti dari pola Al-Musyarakah adalah, bank syari’ah dan
kita secara bersama-sama memberikan kontribusi modal yang kemudian
digunakan untuk menjalankan usaha. Porsi bank syari’ah akan
diberlakukan sebagai penyertaan dengan pembagian keuntungan yang
46
disepakati bersama. Dalam bank konvensional, pembiayaan seperti ini
mirip dengan kredit modal kerja.
Penyaluran dana Al-Musyarakah memiliki tujuan untuk digunakan
oleh lembaga pembiayaan untuk memfasilitasi pemenuhan sebagian
kebutuhan permodalan guna menjalankan usaha atau proyek yang
disepakati. Nasabah (peminjam) bertindak sebagai pengelola usaha dan
lembaga pembiayaan sebagai mitra dapat sebagai pengelola usaha sesuai
dengan kesepakatan. Adapun skema penyeluran dana Al-Musyarakah
dapat digambarkan sebagai berikut (Muhammad.2008:139);
Gambar 1
Skema penyaluran dana Al-Musyarakah
Berdasarkan bagan tersebut dapat terlihat bahwa lembaga penyalur
modal sebagai penyedia dana, sesuai dengan kemampuannya. Bersama
nasabah, bekerjasama untuk melakukan suatu usaha tertentu sesuai dengan
kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Keuntungan usaha yang
dijalankan didasarkan pada profit and loss sharing atau revenue sharing.
Nasabah
Proyek usaha
Keuntungan / kerugian
Bagi hasil keuntuang /
kerugian
Lembaga penyalur
47
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2
Bagan Kerangka Pemikiran
Kompetensi Absolut
Peradilan Agama
Pembiayaan ekonomi
syari’ah
Al-Musyarakah
Wanprestasi
Penyelesaian sengketa
Luar Pengadilan Pengadilan
HAKIM
Pertimbangan Hakim
Putusan Nomor
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
2. Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006
3. Undang-undang Nomor
50 Tahun 2009
4. Peraturan Mahkamah
Agung Republik
Indonesia Nomor 2
Tahun 2008
48
Keterangan;
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan
tambahan kewenangan kepada pengadilan agama sebagaimana yang tertuang dalam
Pasal 49 yaitu pengadilan agama berwenang untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah. Lahirnya Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama serta munculnya Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama adalah bersifat sebagai perubahan, sehingga ketentuan-ketentuan
yang ada dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 masih berlaku sepanjang tidak dirubah
dalam Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. Dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama mempunyai andil besar dalam kewenangan peradilan
agama, di dalam undang-undang tersebut ditambahkan kewenangan peradilan
agama yaitu untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa ekonomi syari’ah.
Ekonomi syari’ah diartikan sebagai aktifitas yang berkaitan dengan produksi
dan distribusi baik barang atau jasa yang bersifat material, yang didasari oleh
syariat islam (http://agustianto.niriah.com/2008/04/03/peradilan-agama-dan-
sengketa-ekonomi-syari’ah/). Secara garis besar ekonomi syari’ah adalah ekonomi
yang berlandaskan pada syari’ah Islam, sehingga siapapun yang menggunakan
ketentuan syari’ah, tunduk pada ketentuan syari’ah yang ada. Pergerakan ekonomi
syari’ah dapat terlihat melalui pembiayaan-pembiayaan syari’ah yang ada. Salah
satu pembiayaan syari’ah yang ada adalah Al-Musyarakah atau yang sering disebut
Musyarakah atau syirkah. Al-Musyarakah tidak lain adalah suatu kesepakatan
diantara dua pihak atau lebih dimana salah satu pihak meminjamkan sejumlah uang
kepada pihak yang lain untuk dipergunakan sebagai modal usaha yang
49
ketentuannya didasarkan pada kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah
pihak(Muhammad.2008:115).
Pembiayaan Al-Musyarakah yang didasarkan pada kesepakatan yang dibuat
sendiri oleh pihak yang ada senyatanya tidak begitu saja terhindar dari adanya
wanprestasi. Dengan adanya sengketa mengenai Al-Musyarakah ini sejatinya dapat
diselesaikan dengan dua alternatif penyelesaian, yaitu penyelesaian di luar
pengadilan dengan kesepakatan yang ada atau dengan cara diselesaikan di
pengadilan. Apabila dibawa ke peradilan, maka yang berhak menangani adalah
peradilan agama. Dalam hal ini Penulis mengangkat salah satu kasus yang ada di
Purbalingga yaitu perkara Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg tentang sengketa
gugatan akad pembiayaan Al-Musyarakah.
Dewasa ini sengketa ekonomi syari’ah yang diselesaikan melalui jalur
peradilan memang masih sangat minim, bahkan setelah Penulis mencari di berbagai
Pengadilan Agama di Indonesia sengketa tersebut adalah satu-satunya sengketa
ekonomi syari’ah yang pernah terjadi sejak Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama hingga munculnya Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Mengingat belum ada yurisprudensi dalam sengketa ekonomi
syari’ah sebelumnya, maka hal ini menjadi sebuah fenomena baru dalam Peradilan
Agama di Indonesia yang sangat menarik untuk dikaji. Dalam memeriksa dan
memutus perkara ekonomi syari’ah tentu saja Hakim harus mempertimbangkannya
dengan fakta-fakta hukum yang ada serta ketentuan-ketentuan baik hukum acara
perdata yang berlaku di pengadilan agama maupun syari’ah Islam, karena
pengadilan agama tidak lain adalah pengadilan yang berlandaskan pada syari’ah
Islam.
50
Walaupun ekonomi syari’ah adalah suatu sistim perekonomian yang didasarkan
pada syariat Islam, bukan berarti ekonomi syari’ah dioperasionalkan tanpa masalah.
Setelah Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama disahkan,
hingga tahun 2008 masih terdapat suatu kekosongan hukum, karena peraturan yang
mengatur mengenai ekonomi syari’ah secara khusus masih belum ada, sehingga
dalam memutus perkara Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg belum digunakan
peraturan secara khusus mengenai ekonomi syari’ah.
Dewasa ini, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah yang berisikan mengenai ketentuan-ketentuan ekonomi syari’ah
seakan menjadi tindak lanjut dari keberadaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Peraturan Mahakamah Agung tersebut menjadi sebuah titik
terang dan menjadi pedoman bagi Hakim dalam memutus perkara ekonomi
syaria’ah.
Putusan Pengadilan Agama Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg adalah premis
mayor yang Penulis kaji secara lebih mendalam khususnya mengenai dasar
pertimbangan Hakim dalam memutus sengketa tersebut dan kesesuaian dasar
pertimbangan Hakim putusan tersebut dengan ketentuan mengenai Al-Musyarakah
yang ada dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
51
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Di dalam bab III yang merupakan inti dari penulisan hukum berisi hasil
penelitian yang Penulis laksanakan dengan mengkaji dasar pertimbangan Hakim
dalam putusan Nomor:1047/2006/Pdt.G/PA.Pbg yang telah dikeluarkan oleh
Pengadilan Agama Purbalingga yaitu putusan mengenai perkara gugatan pemenuhan
akad pembiayaan Al-Musyarakah, dimana putusan tersebut mengacu pada Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sebagaimana yang diketahui bahwa
hingga dewasa ini putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama mengenai
ekonomi syari’ahsetelah berlakunnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 hanya
putusan Nomor:1047/2006/Pdt.G/PA.Pbg. Kemudian Penulis juga mengkaji
mengenai kesesuaian dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara Nomor:
1047/2006/Pdt.G/PA.Pbg dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang Penulis laksanakan dengan mengkaji
putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Agama Purbalingga dan peraturan lainya mengenai ekonomi syari’ah, maka
Penulis kemukakan hal-hal berikut:
1. Dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara Nomor :
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg mengenai gugatan pemenuhan akad
pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama
Purbalingga;
2. Kesesuaian dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara
Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara gugatan pemenuhan
kewajiban akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Agama Purbalingga dengan ketentuan Al-Musyarakah dalam
51
52
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Sebelum kedua hal tersebut Penulis uraikan, maka perlu dikemukakan terlebih
dahulu data yang dimuat dalam putusan Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga yang Penulis sajikan serta
Penulis bahas meliputi:
1. Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg.
2. Para Pihak
a. Penggugat
A.W., umur 40 tahun, pekerjaan Direktur Utama PT.BPR Syari’ah
B.M.P, bertempat tinggal di Rt.07/Rw.03, Desa Senon, Kecamatan
Kemangkon, Kabupaten Purbalingga dan M.R bin D.S, pekerjaan
Direktur Operasional PT BPR Syari’ah B.M.P, bertempat tinggal di
Desa Sendang Tirto, Kecamatan Berbak, Kabupaten Sleman.
b. Tergugat
H.R., umur 33 tahun, beragama Islam, pekerjaan dagang, bertempat
tinggal di Rt.02/Rw.05, Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet,
Kabupaten Purbalingga dan H, umur 29 tahun, pekerjaan dagang,
bertempat tinggal di Rt.02/Rw.05 Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet,
Kabupaten Purbalingga.
3. Duduk Perkara
Bahwa berdasarkan akad perjanjian pembiayaan Al-Musyarakah
nomor:123/MSA/VII/05 tertanggal 20 Juli 2005 para Tergugat telah
menerima pemberian modal atau pembiayaan Al-Musyarakah sebesar Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dari Penggugat untuk keperluan
modal dagang gula merah dan kelontong.
53
Bahwa para Tergugat telah dengan sengaja tidak menggunakan
modal atau pembiayaan yang diterima dari Penggugat sesuai yang
diperjanjikan yaitu untuk modal usaha dagang gula merah dan kelontong
akan tetapi untuk keperluan lain sehingga merugikan pihak Penggugat
dan oleh karenannya Penggugat berhak untuk seketika menarik kembali
modal atau pembiayaan yang telah diberikan.
Bahwa Penggugat telah melakukan berbagai upaya penagihan, akan
tetapi para Tergugat selalu ingkar janji dan tidak ada itikad untuk
menyelesaikan kewajiban-kewajibannya.
Bahwa para Tergugat segera memenuhi kewajiban untuk membayar
atau mengembalikan pembiayaan Al-Musyarakah yang telah diterima
kepada Penggugat berdasarkan akad perjanjian pembiayaan Al-
Musyarakah Nomor : 123/MSA/VII/05 tertanggal 20 Juli 2005 yang
perinciannya pertanggal 31 Oktober 2006 sebagai berikut :
a. Pokok Pembiayaan Rp. 29.080.000,-
b. Denda Ta’widh Rp. 7.729.569,-
c. Biaya APHT Rp. 262.000,- +
Total Rp. 37.071.569,-
Jumlah tersebut akan terus bertambah karena bagi hasil dan atau denda
Ta’widh, serta biaya-biaya yang timbul karenannya, sampai seluruh
kewajibannya dibayar lunas.
Bahwa apabila para Tergugat tidak melaksanakan kewajiban-
kewajibannya terhadap Penggugat, Penggugat memohon sita eksekusi
terhadap tanah berikut bangunan-bangunan yang berdiri di atasnya,
beserta segala sesuatu yang ditempatkan, ditanam, maupun yang berada
di atas tanah dan bangunan-bangunan tersebut termasuk mesin-mesin
yang karena sifatnya, peruntukannya oleh undang-undang dianggap
54
sebagai benda tetap, milik para Tergugat yang telah diikat Hak
tanggungan, sebagaimana yang tersebut di bawah ini :
a. Tanah hak milik nomor : 00332/Desa Cipaku, yang terletak di
Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Purbalingga, Kecamatan
Mrebet, Desa Cipaku seluas 598 M2 (lima ratus sembilan puluh
delapan meter persegi) sebagaimana diuraikan dalam surat ukur
nomor 224/Cipaku/2201 tertanggal 5 Pebruari 2001 sertifikat
tertanggal 27 Maret 2001 tertulis atas nama Harni;
b. Sebagaimana yang tersebut dalam sertifikat Hak Tanggungan
Nomor : 00069/2006, tanggal 1 Pebruari 2006 jo akta Hak
Tanggungan Nomor : 30/2006 tanggal 13 Januari 2006 yang
berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa“ yang dibuat dihadapan HP, Sarjana Hukum, Notiaris di
Purbalingga
4. Tuntutan
a. Mengabulkan gugatan Penggugat
b. Menetapkan para Tergugat telah wanprestasi ;
c. Menghukum para Tergugat untuk memenuhi kewajiban-
kewajibannya;
d. Meletakan Sita Eksekusi terhadap barang-barang jaminan
e. Menetapkan secara hukum Kantor Lelang dan atau KP2LN
Purwokerto untuk melaksanakan lelang jaminan ;
f. Menghukum para Tergugat untuk membayar semua biaya yang
timbul dalam perkara ini ;
Atau apabila pengadilan agama berpendapat lain, mohon agar perkara
ini diputus menurut hukum dengan seadil-adilnya
55
5. Putusan
a) Menyatakan para Tergugat yang telah dipanggil dengan patut
untuk menghadap dipersidangan, tidak hadir ;
b) Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek untuk sebagian ;
c) Menyatakan para Tergugat telah melakukan wanprestasi;
d) Membatalkan Akad Perjanjian pembiayaan Al-Musyarakah
Nomor: 123/MSA/VII/05,tanggal 20 Juli 2005;
e) Menghukum para Tergugat untuk membayar kepada Penggugat
uang sebesar Rp. 37.071.569,- (tiga puluh tujuh juta tujuh puluh
satu ribu lima ratus enam puluh sembilan rupiah) dengan perincian
pembayaran:
(1) Pokok Pembiayaan Rp. 29.080.000,-
(2) Denda Ta’widh Rp. 7.729.569,-
(3) Biaya APHT Rp. 262.000,-
f) Menolak dan tidak dapat diterima selain dan selebihnya;
g) Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya yang timbul
dalam perkara ini sebesar Rp. 261.000,- (dua ratus enam puluh
satu ribu rupiah).
B. Pembahasan
1. Dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara Nomor:
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg mengenai gugatan pemenuhan akad pembiayaan
Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga.
Dalam Putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Agama Purbalingga tersebut, Majelis Hakim menjatuhkan
putusan dengan pertimbangan:
a. Menimbang, bahwa para Tergugat tidak hadir di persidangan dan
tidak menyuruh orang lain hadir sebagai wakilnya, padahal telah
56
dipanggil dengan patut dan tidak ternyata ketidak hadirannya itu
disebabkan suatu halangan yang sah, maka harus dinyatakan para
Tergugat tidak hadir dan putusan atas perkara ini dapat dijatuhkan
dengan verstek, sesuai dengan Pasal 125 HIR dan dalil syar’i
dalam Kitab I’anatuth Thalibien Juz IV halaman 238 yang
berbunyi :
ا ناك يعدملا ةجح اضقلاو ء يلع اغ بئ نع دلبلا وا نع سلجملا راوتب وا ززعت زئاج ن
Artinya: "Memutus atas Tergugat yang ghaib (tidak ada) di
wilayah yurisdiksi atau Tergugat tidak hadir dalam persidangan
sebab tawari atau ta’azuz adalah boleh apabila Penggugat
mempunyai hujjah”.
b. Menimbang, bahwa Majelis akan mempertimbangkan hal-hal
yang digugat oleh Penggugat dalam surat gugatannya, apapun
mempunyai hujjah atau tidak;
c. Menimbang, bahwa Majelis akan mempertimbangkan tentang para
Tergugat telah melakukan wanprestasi. Dalam surat gugatan
Penggugat dijelaskan para Tergugat telah dengan sengaja
mengalihkan pembiayaan modal usaha dagang gula merah dan
kelontong sesuai dengan akad perjanjian untuk digunakan
keperluan lain dan Penggugat telah melakukan berbagai upaya
penagihan, akan tetapi para Tergugat tidak ada i’tikad baik untuk
menyelesaikan kewajiban-kewajibannya;
d. Menimbang, bahwa menurut Subekti, bahwa debitur dapat
dikatakan wanprestasi/lalai apabila tidak memenuhi kewajibannya
atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak
seperti yang telah diperjanjiknnya;
57
e. Menimbang, bahwa berdasar pertimbangan tersebut, Majelis
berpendapat bahwa para Tergugat harus dinyatakan telah
melakukan wanprestasi;
f. Menimbang, bahwa Penggugat dalam surat gugatannya tidak
secara tegas mohon agar akad perjanjian pembiayaan Al-
Musyarakah Nomor:123/MSA/VII/05 tanggal 20 Juli 2005
dibatalkan, namun Penggugat mohon agar pokok pembiayaan
dikembalikan kepadanya. Dalam hal Majelis berpendapat
hanyalah karena keterbatasan pengetahuan Penggugat tentang
hukum, hakekatnya Penggugat mohon agar akad perjanjian
dengan para Tergugat sebagai mana tersebut di atas untuk
dibatalkan;
g. Menimbang, bahwa Wahab Az Zuhaili di dalam Kitabnya Al
Fiqhul Islamy Waadillatuh menjelaskan bahwa akan perjanjian
yang tidak dilaksanakan atau dialihkan pelaksanaannya dari satu
pekerjaan ke pekerjaan lain seperti yang terjadi dalam kasus
perkara ini, yaitu dari pembiayaan dagang gula merah dan
kelontong dialihkan kepada yang lain, maka akad perjanjian itu
dapat dibatalkan (fasakh) dan dengan dibatalkannya akad
perjanjian itu, maka akad perjanjian tersebut telah berakhir;
h. Menimbang, bahwa berdasar pertimbangan tersebut dan berdasar
pula kepada Al-Qur’an surat Al-Maidah Ayat (1) :
دوقعالب اوفوأ اونمأ نیذلا اھیأ ای
58
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad
yang telah kamu buat itu “. Dan Hadits riwAyat Abu Dawud,
Ahmad, Tirmidzi dan Daruqutni :
مھطورش ىلع نوملسملا
Artinya : “ Orang-orang Islam terikat pada akad perjanjian yang
mereka buat ”.
Berdasarkan dalil tersebut, maka Majelis berpendapat bahwa akad
perjanjian pembiayaan Al -Musyarakah Nomor : 123/MSA/VII/05
tanggal 20 Juli 2005 harus dibatalkan;
i. Menimbang, bahwa Penggugat menuntut agar para Tergugat
dihukum untuk membayar kewajiban-kewajibannya kepada
Penggugat yang terdiri dari :
1) Pokok Pembiayaan Rp. 29.080.000,-
2) Denda Ta’widh Rp. 7.729.569,-
3) Biaya APHT Rp. 262.000,-
Majelis berpendapat bahwa tuntutan tersebut telah berdasar
hukum karena telah sesuai dengan pasal 8 dan pasal 19 Peraturan
Bank Indonesia Nomor : 7/46/PBI/2005 sehingga gugatan
Penggugat sepanjang tuntutan tersebut dapat dikabulkan;
j. Menimbang, bahwa Penggugat juga menuntut agar para Tergugat
membayar tambahan bagi hasil dan atau denda Ta’widh serta
biaya-biaya yang timbul karenanya, sampai seluruh kewajibannya
dibayar lunas. Majelis berpendapat bahwa tuntutan Penggugat
tersebut tidak berdasar hukum karena permbiayaan, yang macet
harus berada dalam status quo, baik mengenai jumlah pokok
pembiayaan, nisbah, Ta’widh atau ganti rugi dan sebagainya; hal
ini sesuai dengan Yurisprodensi Mahkamah Agung Nomor : 2899
59
K/Pdt/1994, tanggal 15 Pebruari 1996, oleh karena itu gugatan
Penggugat sepanjang tuntutan tersebut harus ditolak;
k. Menimbang, bahwa Penggugat dalam surat gugatannya pada
petitum 4 dan 5 memohon agar pengadilan meletakan sita
eksekusi dan menetapkan secara hukum kantor lelang dan atau
KP2LN Purwokerto untuk melaksanakan lelang jaminan. Majelis
berpendapat bahwa permohonan tersebut prematur, karena sita
eksekusi dan lelang adalah merupakan proses eksekusi yang baru
bisa dimohonkan setelah putusan ini berkekuatan hukum tetap dan
para Tergugat tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela.
Oleh karena itu gugatan Penggugat sepanjang sita eksekusi dan
lelang harus dinyatakan tidak dapat diterima;
l. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut, maka gugatan Penggugat dapat dikabulkan sebagain dan
menolak serta tidak dapat diterima selain dan selebihnya;
m. Menimbang, bahwa oleh karena para Tergugat adalah pihak yang
kalah, maka berdasar Pasal 181 HIR para Tergugat dihukum untuk
membayar biaya perkara;
Dari uraian mengenai dasar pertimbangan Hakim tersebut, maka dapat
dianalisis sebagai berikut:
a. Dalam persidangan para Tergugat ternyata tidak hadir dan tidak
menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal para
Tergugat telah dipanggil secara patut serta ketidak hadirannya
tidak disebabkan karena suatu halangan yang sah, hal tersebut
disebut dengan gaib . Berdasarkan hal tersebut putusan Nomor :
1047/2006/Pdt.G/PA.Pbg yang dikeluarkan oleh Pengadilan
60
Agama Purbalingga tersebut diputus dengan verstek sebagian.
Penjatuhan putusan secara verstek tersebut dilakukan apabila
Tergugat tidak hadir dan tidak mengutus orang lain sebagai wakil
atau kuasannya yang sah dan tidak pula mengajukan eksespsi
formil, maka Hakim Ketua Majelis dapat menjatuhkan salah satu
dari dua alternatif yaitu menjatuhkan putusan verstek telah diatur
dalan Pasal 125 Ayat (1) HIR yang berbunyi “Jika tergugat,
meskipun dipanggil dengan sah, tidak datang pada hari yang
ditentukan, dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai
wakilnya, maka tuntutan itu diterima dengan keputusan tanpa
kehadiran (verstek), kecuali kalau nyata bagi pengadilan negeri
bahwa tuntutan itu melawan hak atau tiada beralasan (RV. 78; IR.
102, 122 d,t.)” atau memanggil Tergugat sekali lagi sebagai mana
yang diatur dalam Pasal 126 HIR yang berbunyi “Dalam hal
tersebut pada kedua pasal di atas ini, pengadilan negeri, sebelum
menjatuhkan keputusan, boleh memerintahkan supaya pihak yang
tidak datang dipanggil sekali iagi untuk menghadap pada hari
persidangan lain, yang diberitahukan oleh ketua dalam
persidangan kepada pihak yang datang; bagi pihak yang datang
itu, pemberitahuan itu sama dengan panggilan”. Selain itu
ketentuan verstek juga telah termuat dalam dalil syar’i putusan
yang berbunyi”
ةجح يعدملا عم ناك نا زئاج بئ اغ يلع ءاضقلاو
Artinya:"Hakim boleh memutuskan perkara atas orang yang
gaib, apabila ada hujjah yang dikemukakan Penggugat".
Terdapat pula pendapat Ulama’ yang menyatakan bahwa;
ا ناك ملايعد ةجح قلاوضا ء يلع اغ بئ نع دلبلا وا نع سلجملا راوتب وا ززعت زئاج ن
Artinya: “Memutus atas Tergugat yang ghaib (tidak ada) di
wilayah yurisdiksi atau Tergugat tidak hadir dalam persidangan
61
sebab tawari atau ta’azuz adalah boleh apabila Penggugat
mempunyai hujjah”.
Maksud dari pendapat tersebut adalah Hakim boleh memutus
perkara atas orang yang tidak berada di tempat (gaib) atau dari
majelis Hakim, baik ketidak hadirannya itu bersembunyi atau
alasan lain, adalah diperbolehkan apabila penggugat mempunyai
bukti yang kuat atas ketidak hadirannya tersebut.
Putusan verstek dapat dikabulkan apabila memenuhi hal-hal
sebagai berikut (Chatib Rasyid dan Syaifudin.2009:79):
1) Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut;
2) Tergugat tidak hadir di persidangan dan juga tidak menyuruh
orang lain sebagai kuasa atau wakilnya yang sah dan tidak
ternyata ketidak hadirannya itu disebabkan oleh sesuatu
halangan/alasan yang sah;
3) Tergugat mengirim eksepsi kewenangan relatif;
4) Penggugat hadir di persidangan dan mohon putusan;
5) Gugatan telah beralasan dan tidak melawan hukum.
Penjatuhan putusan tanpa hadirnya Tergugat dapat diputus dengan
verstek dengan ketentuan bahwa terdapat saksi untuk
pembuktiannya, sehingga pembuktian masih tetap dilaksanakan.
Pembuktiannya juga harus terdapat saksi yang sah, hal ini sesuai
dengan pendapat Ulama’ yaitu berbunyi:
امو دصقی ھب لاملا عیبلاك ةراجالاو ةبھلاو و ةیصولا نھرلاو نمضلاو دھاشب نیتأرماو
تبثیو لاملا
Artinya:"Ditetapkan harta dan segala sesuatu yang menyangkut
dengan harta seperti jual beli, kontrak upah kerja, hibah, wasiat,
gadai dan jaminan utang dengan pembuktian kesaksian seorang
laki-laki dan dua orang perempuan".
ناف ززعت ززعتب وا راوت وا ةبیغ زاج ھتابثا ةنیبلاب
62
Artinya: ''Apabila dia enggan (tergugat), bersembunyi atau
memang dia ghaib (tidak diketahui alamatnya) maka perkara ini
diputus berdasarkan bukti-bukti (kesaksian)”.
b. Dalam memberikan putusan, Hakim mempertimbangkan gugatan
Penggugat yang tertuang dalam surat gugatanya, dengan melihat
bahwa gugatan tersebut benar-benar mempunyai alasan atau tidak.
c. Dalam putusan tersebut para Tergugat dinyatakan telah melakukan
wanprestasi dengan pertimbangan bahwa para Tergugat telah
dengan sengaja mengalihkan pembiayaan modal usaha dagang
gula merah dan kelontong untuk keperluan lainnya dan Penggugat
telah melakukan berbagai upaya untuk menagih namun tidak ada
itikad baik dari para Tergugat. Pertimbangan ini juga didasarkan
pada pendapat Subekti yang tercantum dalam putusan, yang
menyatakan bahwa ”Debitur dapat dikatakan wanprestasi atau
lalai apabila tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat
memenuhinnya atau memenuhinnya tetapi tidak seperti yang
diperjanjikan” (Putusan Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg).
Berdasarkan hal tersebut, maka Tergugat telah masuk dalam
kriteria tidak memenuhi kewajibannya, sehingga para Tergugat
dinyatakan telah wanprestasi.
d. Apabila dikatakan bahwa para Tergugat telah melakukan
wanprestasi atau penyimpangan atas akad nomor :
123/MSA/VII/2005, maka akad tersebut dibatalkan, dasar yang
digunakan hanya mengunakan dalil-dalil mengenai pembiayaan
syari’ah. Pertimbangan tersebut didasarkan pada Al-Qur’an Surat
Al-Maidah (5) Ayat (1) yang berbunyi bahwa :
ای اھیأ نیذلا اونمأ اوفوأ دوقعالب
63
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad
itu". Selain itu juga berdasarkan pada Dalam sebuah hadits
riwAyat Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan Daruqutni, yang
berbunyi:
مھطورش ىلع نوملسملا
Artinya:"Orang-orang Islam itu terikat pada akad perjanjian yang
mereka buat".
Walaupun kedua dasar tersebut memang tepat namun masih
terdapat Ayat yang dapat digunakan, diatarannnya adalah ;
QS. al-Isra Ayat 34 yang berbunyi:
الوئسم ناك دھعلا نا دھعلاب اوفوا و
Artinya: "Dan tepatilah janjimu, sesungguhnya janji itu pasti
diminta pertanggung jawabannya".
Namun dalam hal ini, Penggugat tidak mengajukan gugatan untuk
membatalkan akad Al-Musyarakah nomor 123/MSA/VII/05
tertanggal 20 Juli 2005. Pembatalan akad tersebut adalah
dikarenakan pendapat Hakim untuk menafsirkan tuntutan dari
Penggugat yang ada, yaitu untuk mengembalikan pokok
pembiayaan kepadanya.
e. Dalam salah satu pertimbangannya dinyatakan bahwa “Penggugat
telah mengalami kerugian akibat perbuatan para Tergugat,
sehingga Tergugat diharuskan membayar;
1) Pokok Pembiayaan Rp. 29.080.000,-
2) Denda Ta’widh Rp. 7.729.569,-
3) Biaya APHT Rp. 262.000,-“.
Berdasarkan rincian di atas, dapat diketahui bahwa pada akta
Nomor:123/MSA/VII/2005 tertanggal 20 Juli 2005 para Tergugat
telah menerima pemberian modal / pembiayaan sebesar Rp.
64
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) namun dalam petitum dan
pertimbanganya dituliskan pokok pembiayaan hanya sebesar Rp
29.080.000,- ( dua puluh sembilan juta delapan puluh ribu rupiah).
Hakim menggabulkan sesuai dengan tuntutan yang diajukan
Penggugat sebesar Rp 29.080.000,- (dua puluh sembilan juta
delapan puluh ribu rupiah).
Sedangkan denda Ta’widh adalah denda yang dibebankan kepada
pihak yang kalah karena telah melakukan kesalahan dalam hal ini
adalah telah melakukan wanprestasi, sehingga denda Ta’widh
tersebut diberikan sebagai suatu bentuk kemanusiaan atau ganti
rugi. Pengaturan mengenai denda Ta’widh tersebut sesuai dengan
Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/pbi/2005 Tentang
Akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip syari’ah yang
memuat bahwa;
1) Bank dapat mengenakan ganti rugi (ta`widh) hanya atas
kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas kepada
nasabah yang dengan sengaja atau karena kelalaian
melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan Akad
dan mengakibatkan kerugian pada Bank;
2) Besar ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan Bank
adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang
berkaitan dengan upaya Bank untuk memperoleh
pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang
diperkirakan diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena
adanya peluang yang hilang(opportunity loss/al-furshah al-
dha-i’ah);
3) ganti rugi hanya boleh dikenakan pada Akad Ijarah dan
Akad yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti Salam,
Istishna’ serta Murabahah, yang pembayarannya dilakukan
tidak secara tunai;
4) ganti rugi dalam Akad Mudharabah dan Musyarakah, hanya
boleh dikenakan Bank sebagai shahibul maal apabila bagian
keuntungan Bank yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh
nasabah sebagai mudharib;
65
5) klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas
dalam Akad dan dipahami oleh nasabah; dan
6) Besarnya ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara Bank dengan nasabah.
Keenam poin tersebut telah terpenuhi dalam pembiayaan Al-
Musyarakah Nomor:123/MSA/VII/2005, karena bank mengalami
kerugian secara riil karena pembiayaan Al-Musyarakah yang telah
macet dan pemberian ganti rugi serta besarnya ganti rugi telah
diatur dalam perjanjian atau akad pembiayaan Al-Musyarakah
Nomor:123/MSA/VII/2005. Sedangkan APHT adalah Akta
Pembebanan Hak Tanggungan. Pengaturan mengenai hak
tanggungan tersebut, terdapat dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-
benda yang Berkaitan dengan Tanah. Pasal 1 Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah menjelaskan
bahwa:
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Pengaturan dasar Pokok-pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
kesatuan dengan tanah itu, untuk dilunaskan hutang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap Kreditor-kreditor yang lain.
Ketentuan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang
Berkaitan dengan Tanah, dijelaskan oleh Purwahid Patrik yang
mengatakan bahwa (Purwahid Patrik.2001:53-54):
Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan
hutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa
debitor cidera janji (wanpretasi) maka kreditor pemegang Hak
66
Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang
dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan.
Maksud APHT dalam putusan tersebut adalah biaya pendaftaran
APHT yang dibebankan pada hak atas tanah yang menjadi
tanggungan dari akad tersebut yaitu tanah hak milik nomor
:00332/Desa Cipaku, yang terletak di Propinsi Jawa Tengah,
Kabupaten Purbalingga, Kecamatan Mrebet, Desa cipaku seluas
598 M2 (lima ratus sembilan puluh delapan meter persegi).
Sebagaimana sertifikat hak tanggungan tersebut dengan
Nomor:00069/2006, tertanggal 1 Februari 2006 jo Akta Hak
Tanggungan Nomor : 30/2006 tertanggal 13 Januari 2006 yang
dibuat dihadapan seorang Notaris di Purbalingga.
f. Dalam putusan tersebut Penggugat menuntut agar para Tergugat
membayar tambahan bagi hasil dan atau denda Ta’widh serta
biaya-biaya yang timbul karenannya, sampai kewajibannya
dibayar lunas. Dalam hal ini Majelis Hakim berpendapat bahwa
tuntutan Penggugat tersebut tidak berdasar hukum karena
pembiayaan yang macet harus berada dalam status quo, baik
mengenai jumlah pokok pembiayaan, nisbah, Ta’widh/ ganti rugi
dan sebagainnya. Hal tersebut didasarkan pada Yurisprudensi
Mahkamah Agung Nomor :2899/K/Pdt/1994 tertanggal 15
Februari 1996, oleh karena itu gugatan Penggugat sepanjang
tuntutan tersebut harus ditolak. Mengenai hal tersebut
pertimbangan Hakim menyatakan pembayaran biaya atau denda
Ta’widh harus ditolak.
g. Permohonan eksekusi yang diajukan oleh Penggugat dinyatakan
tidak diterima, hal tersebut dengan pertimbangan bahwa
67
permohonan tersebut bersifat prematur, karena sita eksekusi dan
lelang adalah merupakan proses eksekusi yang baru dapat
dimohonkan setelah putusan berkekuatan hukum tetap dan para
Tergugat tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela.
h. Karena para Tergugat adalah pihak yang kalah, maka berdasar
Pasal 181 Ayat (1) HIR yang mencantumkan bahwa ;
Barangsiapa dikalahkan dengan keputusan Hakim, akan dihukum
pula membayar biaya perkara. Akan tetapi biaya perkara itu
semuanya atau sebagian boleh diperhitungkan antara suami-istri,
keluarga sedarah dalam garis lurus, saudara laki-laki dan saudara
perempuan, atau keluarga semenda dalam derajat yang sama;
begitu pula halnya jika masing-masing pihak dikalahkan dalam
hal-hal tertentu.
Pasal 181 Ayat (3) HIR juga mencantumkan bahwa ;
Biaya perkara yang diputuskan dengan keputusan tanpa kehadiran,
harus dibayar oleh pihak yang dikalahkan, meskipun la menang
perkara sesudah membantah atau meminta banding, kecuali kalau
pada waktu diperiksa bantahannya atau bandingnya, ternyata
bahwa ia tidak dipanggil dengan sah.
Dalam perkara yang penulis angkat, para Tergugat adalah pihak
yang kalah serta tidak hadir dalam persidangan, berdasarkan hal
tersebut telah memenuhi kriteria berdasarkan Pasal 181 Ayat (1)
dan (3) HIR, maka para Tergugat dihukum untuk membayar biaya
perkara.
2. Kesesuaian dasar pertimbangan Hakim dalam putusan Nomor :
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara gugatan pemenuhan kewajiban
akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Agama Purbalingga dengan ketentuan Al-Musyarakah dalam Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
68
Dalam pembahasan yang kedua, Penulis menguraikan alasan
dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Konpilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dan menggunakan pengaturan
mengenai akad, ingkar janji dan sanksinya pada Bab III dan pengaturan
mengenai syirkah atau Al-Musyarakah Bab VI pada peraturan tersebut
guna menyesuaikan dengan pertimbangan Hakim yang digunakan sebagai
dasar untuk mengeluarkan putusan Nomor:1047/Pdt.g/2006/PA.Pbg.
Peraturan Mahkamah Agung yang Penulis gunakan adalah peraturan yang
dikeluarkan pada tahun 2008, memang peraturan tersebut keluar setelah
putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg diputus, namun Peraturan
Mahkamah Agung tersebut Penulis pilih karena dewasa ini pengaturan
mengenai ekonomi syari’ah yang digunakan sebagai rujukan Hakim
Pengadilan Agama dalam memutus perkara masih sangat terbatas.
Hadirnya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah tersebut dianggap sebagai
prestasi monumental sebagai pedoman bagi para Hakim dalam
Lingkungan Peradilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah.
Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas
membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi
dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang
diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
Mahkamah Agung memiliki fungsi mengatur yaitu;
a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila
terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang
tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi
kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi
69
kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 79 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung).
b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri
bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang
sudah diatur Undang-undang.
Mahkamah Agung juga sebagai Lembaga Tinggi Negara yang
bertugas untuk melakukan pembinaan terhadap pengadilan agama. Hal
tersebut sesuai dengan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan “Pembinaan teknis
peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan
oleh Mahkamah Agung”. Salah satu pembinaan tersebut adalah
pembinaan secara teknis, pembinaan ini secara garis besar meliputi
penerimaan perkara, pemeriksaan, putusan dan pelaksanaan putusan. Pada
umumnya pembinaan teknis peradilan dilakukan Mahkamah Agung
dalam berbagai bentuk dan cara, yang paling umum melalui Surat Edaran
atau Peraturan Mahkamah Agung.
Peraturan Mahkamah Agung bertujuan untuk memberi pembinaan
kepada para Hakim mengenai cara penanganan parkara tertentu. Baik
Surat edaran maupun Peraturan Mahkamah Agung dapat melihat hal-hal
yang berkenaan dengan petunjuk dan pedoman hukum acara atau hukum
materil( Yahya Harahap.2003:103). Fungsi dari Peraturan Mahkamah
Agung tersebut dapat dijadikan sebagai peraturan darurat untuk
menghindari kekosongan hukum, yang berbeda hanya pada payung
hukumnya (umbrella provision). Belum adanya instrument hukum yang
memadai bagi Hakim dalam mengemban amanah tersebut, patut
dikhawatirkan dalam menangani perkara yang sama muncul putusan yang
70
berdisparitas, seperti adegium different judge different sentence. Dalam
perspektif teori hukum, hal ini berbenturan dengan prinsip kepastian
hukum.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum ekonomi Syari’ah seolah menjadi sebuah jawaban
atas banyaknya kebingungan yang timbul setelah adanya perluasan
kewenangan peradilan agama, yaitu mengenai ekonomi syari’ah. Setelah
adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, maka Penulis menyesuaikan dasar
pertimbangan yang digunakan oleh Hakim dengan ketentuan Al-
Musyarakah yang ada dalam ketentuan tersebut, sehingga peraturan
tersebut selanjutnya dapat menjadi rujukan bagi para Hakim untuk
memutus perkara ekonomi syari’ah.
Adapun dasar atau alasan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah adalah untuk kelancaran pemeriksaan dan penyelesaian sengketa
ekonomi syari’ah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf I beserta
penjelasan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pertadilan
Agama, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syari’ah Negara, Pasal 55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syari’ah perlu dibuat pedoman bagi Hakim mengenai
hukum ekonomi menurut prinsip syari’ah. Dalam pembahasan berikut
Penulis paparkan berurutan dari BABIII dan BAB IV.
a. Kesesuaian dengan BAB III Mengenai Pembatalan Akad
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah pengaturan mengenai
71
akad pembiayaan khususnya mengenai ingkar janji dan sanksinya
diatur dalam BAB III, yaitu
(1) Pada Pasal 36 disebutkan bahwa para pihak dianggap
melakukan ingkar janji apabila karena kesalahannya ;
a) Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk
melakukannya;
b) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak
sebagaimana dijanjikan;
c) Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat;
atau
d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan
Dalam putusan nomor 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang
dikeluarkan Pengadilan Agama Purbalingga tersebut Hakim
menyatakan Tergugat telah wanprestasi dengan alasan
gugatan dari Penggugat yang menyatakan bahwa para
Tergugat telah dengan sengaja mengalihkan pembiayaan
modal usaha dagang gula merah dan kelontong sesuai
dengan akad perjanjian untuk digunakan keperluan lain serta
didasarkan pada pendapat Subekti yang tercantum dalam
putusan, yang menyatakan bahwa debitur dapat dikatakan
wanprestasi / lalai apabila tidak memenuhi kewajibannya
atau terlambat memenuhinnya atau memenuhinnya tetapi
tidak seperti yang telah diperjanjikan. Berdasarkan hal
tersebut maka walaupun Peraturan Mahkamah Agung
tersebut belum dijadikan dasar namun alasan yang
digunakan adalah alasan yang sama. Pada Pasal 36 tersebut
yang telah memenuhi kriteria terhadap kasus wanprestasi
yang penulis angkat adalah terdapat dalam dua poin, yaitu:
a) Poin ”a’ yang mencantumkan ”Tidak melakukan apa
yang dijanjikan untuk melakukannya”, dalam hal ini
72
para Tergugat tidak menggunakan modal usaha yang
telah diterima sesuai dengan kesepakatan yang dibuat
dengan pihak bank, yaitu untuk modal berdagang gula
merah dan kelontong.
b) Poin ”d” yang mencantumkan ”Melakukan sesuatu yang
menurut perjanjian tidak boleh dilakukan”, berdasarkan
hal tersebut para Tergugat telah dengan sengaja
mengalihkan pembiayaan untuk kegiatan konsumtif lain
yang seharusnya tidak diperbolehkan dalam akad.
(2) Pasal 37 menyebutkan bahwa ”Pihak dalam akad melakukan
ingkar janji, apabila dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan ingkar janji atau
demi perjanjiannya sendiri ingkar janji dengan lewatnya
waktu yang ditentukan”.
Dalam putusan tersebut tertera bahwa perjanjian Al-
Musyarakah dibuat pada tanggal 20 Juli 2005 dan perkara
terdaftar di Kepanitraan Pengadilan Agama Purbalingga
pada tanggal 23 November 2006, hal tersebut telah lewat
waktu jatuh tempo piutang yang jatuh pada tanggal 20 juli
2006, sehingga hal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk
ingkar janji.
(3) Pasal 38 menyebutkan bahwa ”Pihak dalam akad yang
melakukan ingkar janji dapat dijatuhi sanksi;
a) Membayar ganti rugi;
b) Pembatalan akad;
c) Peralihan risiko;
d) Denda; dan/atau
e) Membayar biaya perkara
73
Di dalam putusan tersebut tergugat dihukum untuk
membayar pokok perkara, denda Ta’widh dan biaya APHT,
akad Nomor 123/MSA/VII/2005 dinyatakan telah
dibatalkan, serta para Tergugat telah dihukum untuk
membayar biaya perkara. Keseluruhan hal tersebut telah
sesuai dengan ketentuan Pasal 38 tersebut.
(4) Pasal 39 menyebutkan bahwa;
Sanksi pembayaran gantu rugi dapat dijatuhkan apabila ;
a) Pihak yang melakukan ingkar janji setelah dinyatakan
ingkar janji, tetap melakukan ingkar janji;
b) Sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya
dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang
telah dilampauakannya;
c) Pihak yang melakukan ingkar janji tidak dapat
membuktikan bahwa perbuatan ingkar janji yang
dilakukannya tidak dibawah paksaan.
Berdasarkan Pasal tersebut, pertimbangan Hakim yang
digunakan sebagai dasar untuk memutus perkara telah
memenuhi ketentuan Pasal 39 poin ”a”dan pon ”b”.
Tergugat setelah dinyatakan melakukan wanprestasi tetap
tidak melaksanakan putusan Hakim dengan suka rela, dan
para Tergugat tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan
ingkar janji yang dilakukan adalah tidak dibawah paksaan.
b. Kesesuaian Dengan BAB VI mengenai Syirkah (Al-Musyarakah)
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah pengaturan mengenai
akad pembiayaan khususnya mengenai syirkah diatur dalam BAB VI,
yaitu;
(1) Pasal 134 menyatakan ”Syirkah dapat dilakukan dalam
bentuk syirkah amwal, syirkah abdan, dan syirkah wujuh”.
74
Sedangkan Pasal 135 menyatakan bahwa ” Syirkah amwal
dan syirkah abdan dapat dilakukan dalam bentuk syirkah
’inan, syirkah mufawaadhah, dan syirkah Mudharabah”.
Berdasarkan difinisi tersebut maka perkara yang ada dalam
putusan Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg adalah syirkah
Al-Amwal jenis Mudharabah. Hal ini didasarkan pada
perjanjian Nomor:123/MSA/VII/2005 adalah kesepakatan
antara dua pihak , dimana pihak bank sebagai shohibul
maal yang memberikan modal kepada nasabah, serta
nasabah sebagai pihak yng memiliki keterampilan
berdagang. Dua hal tersebut sebagai kriteria dari
pembiayaan syirkah jenis Mudharabah.
(2) Pasal 138 menyebutkan bahwa ”Kerjasama dapat dilakukan
antara dua pihak atau lebih yang memiliki keterampilan
untuk melakukan usaha bersama”. Hal tersebut merupakan
ketentuan syarat dari Al-Musyarakah. Dimana dalam
perkara gugatan Al-Musyarakah tersebut dilakukan oleh
Tergugat yang memiliki kemampuan dan keterampilan
untuk berdagang.
(3) Pasal 139 menyatakan;
a) Kerjasama dapat dilakukan antara pemilik modal
dengan pihak yang mempunyai keterampilan untuk
menjalankan usaha;
b) Dalam kerjasama Mudharabah, pemilik modal tidak
turut serta dalam menjalankan perusahaan;
c) Keuntungan dalam kerjasama Mudharabah dibagi
berdasarkan kesepakatan; dan kerugian ditanggung oleh
pemilik modal.
75
Berdasarkan pasal tersebut menyatakan mengenai kriteria
dari pembiayaan syirkah, ketiga poin tersebut telah
memenuhi kriteria dari pembiayaan yang dilakukan dalam
kasus yang penulis angkat. Kesesuaian tersebut adalah
kerjasama telah dilakukan oleh pihak bank yang
memberikan modal usaha, dan nasabah yang memiliki
keterampilan usaha dagang, pihak bank sebagai pemilik
modal tidak turut serta dalam melakukan usaha, serta di
keuntuangan yang didapat seharusnya dibagi berdasarkan
kesepakatan yang telah para pihak lakukan, namun dalam
kasus yang Penulis angkat tidak ada keuntungan yang
dibagi karena pembiayaan telah macet dan pihak bank
mengalami kerugian.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah merupakan peraturan yang
memuat mengenai kriteria dan lebih cenderung mengatur pada akad
atau perjanjian pembiayaan syari’ah, peraturan ini sangat sejalan
dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Walaupun Peraturan Mahkamah Agung tersebut dikeluarkan
dua tahun setelah putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Pubalingga, namun
pertimbangan yang digunakan oleh Hakim untuk memutus putusan
tersebut telah sesuai dengan Peraturan Mahakamah Agung Nomor 2
Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
76
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah Penulis kemukakan pada bab
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara Nomor :
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg mengenai gugatan pemenuhan akad
pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama
Purbalingga.
Dalam putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg, Majelis
Hakim menjatuhkan putusan terhadap Tergugat sebagai pihak yang
kalah berdasarkan pertimbangan yang secara garis besar, yaitu sebagai
berikut:
a. Bahwa gugatan Penggugat dikabulkan dengan vestek untuk
sebagaian, hal ini di dasarkan karena para tergugat tidak hadir
dalam persidangan walaupun dan tidak menyuruh orang lain
untuk untuk hadir sebagai wakilnya, padahal para Tergugat telah
dipanggil secara patut serta ketidak hadirannya tidak disebabkan
karena suatu halangan yang sah. Hal tersebut sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 125 Ayat (1) HIR. Selain itu ketentuan
verstek juga telah termuat dalam dalil syar’i yang berbunyi”
ا ناك عم يعدملا ةجح ءاضقلاو يلع اغ بئ زئاج ن
Artinya:"Hakim boleh memutuskan perkara atas orang yang
gaib, apabila ada hujjah yang dikemukakan Penggugat".
Terdapat pendapat Ulama’ yang menyatakan bahwa;
ا ناك يعدملا ةجح ءاضقلاو يلع اغ بئ نع لادلب وا نع سلجملا راوتب وا ززعت زئاج ن
Artinya: " Memutus atas Tergugat yang ghaib (tidak ada) di
wilayah yurisdiksi atau Tergugat tidak hadir dalam persidangan
76
77
sebab tawari atau ta’azuz adalah boleh apabila Penggugat
mempunyai hujjah”.
b. Bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para Tergugat, telah
memenuhi unsur-unsur wanprestasi yaitu sesuai dengan
pendapat dari Subekti yang tertcantum di dalam putusan, yang
menyatakan bahwa ”Debitur dapat dikatakan wanprestasi apabila
tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinnya
atau memenuhinnya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan”
(Putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg). Kesesuaian tersebut
karena para Tergugat telah tidak melakukan apa yang telah
diperjanjikannya.
c. Bahwa akad perjanjian Al-Musyarakah dinyatakan batal dengan
didasarkan pada pendapat Wahab Az Zuhaili di dalam Kitabnya
Al Fiqhul Islamy Waadillatuh menjelaskan bahwa akan
perjanjian yang tidak dilaksanakan atau dialihkan
pelaksanaannya dari satu pekerjaan ke pekerjaan serta berdasar
pula kepada Al-Qur’an surat Al Maidah Ayat (1) :
ای اھیأ نیذلا اونمأ اوفوأ دوقعالب
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad
yang telah kamu buat itu “. Dan Hadits riwAyat Abu Dawud,
Ahmad, Tirmidzi dan Daruqutni :
نوملسملا ىلع مھطورش
Artinya : “ Orang-orang Islam terikat pada akad perjanjian yang
mereka buat ”.
d. Bahwa tuntutan Tergugat yang terdiri dari;
1. Pokok Pembiayaan Rp. 29.080.000,-
2. Denda Ta’widh Rp. 7.729.569,-
78
3. Biaya APHT Rp. 262.000,-
Hal tersebut telah sesuai dengan Pasal 8 dan Pasal 19 Peraturan
Bank Indonesia nomor : 7/46/PBI/2005, sehingga Majelis Hakim
mengabulkan gugatan Penggugat.
e. Bahwa Penggugat menuntut agar para Tergugat membayar
tambahan bagi hasil dan atau denda Ta’widh serta biaya yang
timbul karenannya sampai kewajibannya dibayar lunas, tuntutat
tersebut ditolak oleh majelis Hakim dengan dasar bahwa
tuntutan Tergugat tersebut tidak berdasar hukum, karena
pembayaran yang macet harus pada status quo, baik mengenai
jumlah pokok pembiayaan, nisbah, Ta’widh/ ganti rugi dan
sebagainya, hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah
Agung Nomor : 2899/K/Pdt/1994 tertanggal 15 Februari 1996.
f. Bahwa karena para Tergugat adalah menjadi pihak yang kalah
maka para Tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara,
hal ini sesuai dengan Pasal 181 Ayat (1) HIR yang berbunyi
“Barangsiapa dikalahkan dengan keputusan Hakim, akan
dihukum pula membayar biaya perkara. Akan tetapi biaya
perkara itu semuanya atau sebagian boleh diperhitungkan antara
suami-istri, keluarga sedarah dalam garis lurus, saudara laki-laki
dan saudara perempuan, atau keluarga semenda dalam derajat
yang sama; begitu pula halnya jika masing-masing pihak
dikalahkan dalam hal-hal tertentu”.
2. Kesesuaian pertimbangan Hakim dalam putusan nomor :
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara gugatan pemenuhan kewajiban
akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Agama Purbalingga dengan ketentuan Al-Musyarakah dalam Peraturan
79
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Adapun kesesuaian antara dasar pertimbangan Hakim untuk
memutus perkara Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dalam perkara
gugatan pemenuhan kewajiban akad pembiayaan Al-Musyarakah yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Purbalingga dengan ketentuan Al-
Musyarakah dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
secara garis besar terdapat dalam:
a. Pasal 36, mencantumkan “bahwa seseorang dikatakan ingkar
janji apabila tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk
melakukannya dan melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukan”. Dalam putusan Nomor
1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg, Hakim menyatakan Tergugat telah
wanprestasi dengan alasan gugatan dari Penggugat yang
menyatakan bahwa para Tergugat telah dengan sengaja
mengalihkan pembiayaan modal usaha dagang gula merah dan
kelontong sesuai dengan akad perjanjian untuk digunakan
keperluan lain. Berdasarkan hal tersebut para Tergugat telah
tidak memenuhi kewajibannya dan melakukan apa yang tidak
diperbolehkan dalam perjanjian, maka alasan yang digunakan
adalah alasan yang sama.
b. Pasal 37 menyebutkan bahwa ”Pihak dalam akad melakukan
ingkar janji, apabila dengan surat perintah atau dengan sebuah
akta sejenis itu telah dinyatakan ingkar janji atau demi
perjanjiannya sendiri ingkar janji dengan lewatnya waktu yang
ditentukan”. Dalam putusan tersebut tertera bahwa perjanjian
80
Al-Musyarakah dibuat pada tanggal 20 Juli 2005 dan perkara
terdaftar di Kepanitraan Pengadilan Agama Purbalingga pada
tanggal 23 November 2006, hal tersebut telah lewat waktu jatuh
tempo piutang yang jatuh pada tanggal 20 juli 2006, sehingga
hal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk ingkar janji.
c. Pasal 38, Di dalam putusan tersebut tergugat dihukum untuk
membayar pokok perkara, denda Ta’widh dan biaya APHT, yang
hal ini sesuai dengan yang dituntut oleh Penggugat, karena
Hakim tidak boleh memutus melebihi apa yang menjadi tuntutan
(ultra petita). Sehingga pertimbangan yang digunakan oleh
Hakim dalam memutus perkara tersebut sudah sesuai dengan
ketentuan pada Pasal 38.
d. Pasal 39, Berdasarkan Pasal tersebut, pertimbangan Hakim yang
digunakan sebagai dasar untuk memutus perkara telah
memenuhi ketentuan pasal tersebut. Diantarannya para Tergugat
setelah dinyatakan melakukan wanprestasi tetap tidak
melaksanakan putusan Hakim dengan suka rela, perjanjian yang
dibuat telah lampau waktu tetapi para Tergugat tidak mempunyai
itikad baik untuk menyelesaikannya.
e. Pasal 134, berdasarkan difinisi syirkah pada pasal tersebut maka
perkara yang ada dalam putusan nomor :
1047/Pdt.g/2006/PA.Pbg tersebut adalah syirkah Al-Amwal
jenis Mudharabah.
f. Pasal 138 menyebutkan bahwa ”Kerjasama dapat dilakukan
antara dua pihak atau lebih yang memiliki keterampilan untuk
melakukan usaha bersama”. Hal tersebut merupakan ketentuan
81
syarat dari Al-Musyarakah. Dimana dalam perkara gugatan Al-
Musyarakah tersebut dilakukan oleh Tergugat yang memiliki
kemampuan dan keterampilan untuk berdagang.
g. Berdasarkan Pasal 139 hanya menyatakan mengenai kriteria dari
pembiayaan syirkah, yang secara garis besar mengenai ketentuan
jatuh tempo, bagi hasil, wanprestasi, ganti rugi, penyelesaian
sengketa dilaksanakan sesuai dengan akad yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak.
Walaupun Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dikeluarkan dua tahun setelah putusan
nomor 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama
Pubalingga diputus, namun pertimbangan yang digunakan oleh Hakim untuk
memutus putusan tersebut telah sesuai dengan Peraturan Mahakamah Agung
nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah khususnya
mengenai pembiayaan Al-Musyarakah dan ketentuan menganai akad
pembiayaan.
B. Saran
Setelah mengetahui dasar pertimbangan Hakim yang digunakan dalam
memutus perkara Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg tentang gugatan
pemenuhan akad pembiayaan Al-Musyarakah yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Agama Purbalingga dan kesesuaiannya dengan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum ekonomi
Syari’ah, Penulis hendak memberi saran sebagai berikut :
1. Hendaknya dalam memutus perkara, selain berdasarkan pada ketentuan
hukum yang berlaku, Hakim harus mendasarkan putusan pada ketentuan
teori mengenai obyek sengketa.
82
2. Dengan adanya perluasan kewenangan Pengadilan Agama, yaitu
kewenangan untuk memutus perkara ekonomi syari’ah hendaknya para
Hakim Pengadilan Agama harus terus meningkatkan wawasan hukum
tentang perekonomian syari’ah dalam bingkai regulasi Indonesia dan
aktualisai fiqh Islam.
3. Selama ini yurisprudensi mengenai putusan Pengadilan Agama dalam
memutus perkara ekonomi syari’ah masih sangat terbatas, maka dengan
adanya putusan Nomor : 1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg dapat dijadikan
yurisprudensi yang dipergunakan sebagai bahan perbandingan dalam
pemeriksaan dan memutus perkara ekonomi syari’ah.
4. Dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor : 2 Tahun 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah adalah suatu momentum
yang luar biasa, sehingga peraturan tersebut dapat menjadi salah satu
rujukan bagi Hakim dalam memutus perkara ekonomi syari’ah.
5. Dengan adanya perluasan kewenangan Peradilan Agama, yaitu dalam
ekonomi syari’ah dan setelah dikeluarkanya Peraturan Mahkamah
Agung Nomor : 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah, maka hendaknya perlu dibentuk kodifikasi hukum ekonomi
syari’ah dalam sebuah Kitab Undang Undang Hukum Ekonomi Syari’ah
(KUHES), sehingga kepastian hukum dalam memutus sengketa
ekonomi syari’ah dapat tercapai.
83
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan. 2000. Pokok-pokok Hukum Perdata dan Kewenangan Peradilan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Al-Qur’an dan Terjemahanya. Semarang: PT Karya Toha.
Azhari akmal Tarigan. Marhaban Kompilasi Hukum ekonomi Syari’ah.
http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=5
905>[ 22 November 2009 pukul 10.46].
Bambang Sutiyoso. 2009. Metode Penemuan hukum. Yogyakarta: UII Perss.
_______________ dan Sri Hastuti Puspita Sari. 2005. Aspek-aspek Perkembangan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Chatib Rasyid dan Syaifuddin. 2009. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik
pada Peradilan Agama. Yogyakarta:UII Perss.
Dossuwanda.Silogismedangeneralisasi.http://dossuwanda.wordpress.com/2008/03/20
/silogisme-dan-generalisasi-kajiantugas-makalah/ >[22 November 2009 pukul
10.22].
Hendri Tanjung. Konsep Manajemen Syari’ah dalam Pengupahan Karyawan
Perusahaan.http://zanikhan.multiply.com/journal/item/2931>[10 September
2009 pukul 11.10].
Hegazy, Walid S. Contemporary Islamic Finance: Dari sosioekonomi Idealisme ke
Legalisme Murni. Chicago Journal of International Law 7, Nomor 2.
Johnny Ibrahim. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia.
Manshur Ali Nashif. 2002. Mahkota Pokok-pokok Hadis Rasulullah SAW. Bandung :
Sinar Baru Algensindo.
Muhammad. 2008. Sistem dan Prosedur operasional bank syari’ah. Yogyakarta: UII
Perss.
_______________. 2009. Model-model Akad Pembiayaan di Bank Syari’ah.
Yogyakarta : UII Perss.
84
Muhammad Syafi'i Antonio. Bangun Bisnis yang Sehat dengan Manajemen Syari’ah.
http://www.mailarchive.com/ekonomisyari’ah@yahoogroups.com/msg00711.
html>[10 September 2009 pukul 10.59].
Mukti Arto.1996. Praktek Peradilan Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
PengadilanAgamaPurbalingga.http://papurbalingga.ptasemarang.net/images/Data/put
usan/put_1047.pdf. >[2 September 2009 pukul 10.12].
Purwahid Patrik.2001.Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT. Semarang:
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Soehartono. 2004. Gejala Transformasi Hukum Islam ke Dalam Hukum Nasional.
Jurnal Hukum Yustisia. Edisi 64, Nomor9.
Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Perss.
Subekti dan Tjitrosudibio.1996. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pradya
Paramita. Jakarta.
Sudikno Mertokusumo. 2003. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty.Jogyakarta.
_______________.2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty
SuhartoNomorhttp://www.badilag.net/menggagas-legalitas-hukum-ekonomi-syari’ah-
politik-hukum.html>[21 Januari 2010 pukul 13.12].
Timur Kuran. 1995. Islamic Economics and the Islamic Subeconomy. Jounal of
Economic Perspectives. Volume 9, Number 4.
Yahya Harahap. 2003. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta
: Sinar Grafika.
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 08/Dsn-Mui/Iv/2000 Tentang Pembiayaan
Musyarakah
Peraturan Bank Indonesia nomor : 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan
Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syari’ah.
85
Peraturan Mahkamah Agung Nomor : 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang Nomor. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
top related