analisis peranan sektor industri pengolahan … · jawa barat, pemerintah provinsi jawa barat...
Post on 13-Mar-2019
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS PERANAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI JAWA BARAT
(ANALISIS INPUT OUTPUT)
OLEH DEWINTA STANNY
H14052935
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
DEWINTA STANNY. Analisis Peranan Sektor Industri Pengolahan terhadap Perekonomian Provinsi Jawa Barat (Analisis Input-Output) (dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI ALEXANDI).
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu, dalam jangka waktu yang cukup panjang, dan di dalamnya terdapat kemungkinan terjadi penurunan atau kenaikan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dicerminkan dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB dapat diartikan sebagai total nilai barang dan jasa yang diproduksi di wilayah (regional) tertentu dalam waktu tertentu (satu tahun).
Kondisi geografis dapat menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan perekonomian suatu wilayah. Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penyangga ibukota negara Indonesia merupakan wilayah yang sangat strategis. Oleh karena itu, diperlukan kajian mengenai sektor industri pengolahan melihat kontribusinya yang sangat besar terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis peranan sektor industri pengolahan dalam pembentukan nilai tambah bruto, permintaan antara dan permintaan akhir di Provinsi Jawa Barat. Kemudian menganalisis keterkaitan sektor industri pengolahan dengan sektor –sektor perekonomian lainnya di Provinsi Jawa Barat, baik bagi penyedia input maupun sektor-sektor yang menggunakan output dari sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Barat. Menganalisis koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Barat, serta menganalisis dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh sektor industri pengolahan berdasarkan efek multiplier terhadap output, pendapatan, dan tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat dan menganalisis peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah untuk mendukung sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Barat.
Pada penelitian ini, untuk mengetahui peranan sektor industri digunakan analisis Input-Output untuk melihat keterkaitan, dampak penyebaran dan efek multiplier. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa tabel Input-Output Provinsi Jawa Barat 2003 klasifikasi 9 dan 29 sektor.
Hasil penelitian menunjukkan sektor industri pengolahan memiliki peranan yang diatas rata-rata terhadap perekonomian Provinsi Jawa Barat. Dilihat dari sumbangannya terhadap permintaan total sebesar 57,15 persen dari jumlah total output wilayah, dan sumbangan ekspor 77,57 persen dari total ekspor sektor-sektor perekonomian yang ada di Provinsi Jawa Barat, dengan surplus neraca perdagangan sebesar Rp. 80 trilyun atau 84,77 persen dari total surplus neraca perdagangan di Provinsi Jawa Barat.
Besarnya nilai tambah bruto yang dihasilkan sektor industri pengolahan dalam tahun 2003 adalah sebesar Rp. 131 trilyun (44,43%). Jika dilihat dari struktur permintaan akhir sektor industri pengolahan yang sebesar Rp. 201 triliun atau sekitar 57,98 persen dari total permintaan akhir wilayah ini. Sektor industri pengolahan mempunyai keterkaitan yang tinggi dengan sektor-sektor pengguna output dan juga
penyedia input. Hal ini dapat dilihat dari besarnya koefisien keterkaitan baik langsung maupun langsung dan tidak langsung.
Sedangkan dari analisis koefisien dan kepekaan penyebaran, nilai koefisien penyebaran sektor industri pengolahan lebih besar jika dibandingkan dengan nilai kepekaan penyebarannya, ini menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan lebih mampu untuk menarik pertumbuhan output industri hulunya dibandingkan dengan mendorong pertumbuhan industri hilirnya.
Untuk mendorong peningkatan kontribusi sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat hendaknya memprioritaskan kebijakan untuk mengembangkan subsektor industri pengolahan yang mampu mengahdapi permasalahan yang sedang dihadapi karena berperan besar terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat dan perekonomian di Provinsi Jawa Barat.
ANALISIS PERANAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI JAWA BARAT
(ANALISIS INPUT OUTPUT)
Oleh
DEWINTA STANNY H14052935
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Dewinta Stanny
Nomor Registrasi Pokok : H14052935
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi :Analisis Peranan Sektor Industri Pengolahan
terhadap Perekonomian Provinsi Jawa Barat
(Analisis Input-Output)
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Dr. Muhammad Findi A, M.E. NIP. 19730124 200710 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D. NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-
BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, 29 Juli 2009
Dewinta Stanny H14052935
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Dewinta Stanny pada tanggal 29 April 1988 di Jakarta. Penulis
adalah anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Somdi dan Sunaryati. Penulis
menamatkan pendidikan dasar di SD Kebon Baru V Cirebon pada tahun 1999,
kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Bekasi dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun
yang sama penulis diterima di SMAN 2 Bekasi dan lulus pada tahun 2005.
Setelah lulus dari SMA, Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis
dengan harapan penulis dapat memperoleh ilmu yang bermanfaat dan menggali potensi
diri sehingga bisa menjadi insan yang berguna bagi bangsa, negara, agama, dan
keluarga.
Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan
diterima sebagai mahasiswi Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan
Manajemen. Selama menjadi mahasiswi, penulis sempat aktif di beberapa organisasi
seperti menjadi anggota HIPOTESA (Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi
dan Studi Pembangunan), Tim Asisten Dosen Mata Kuliah Sosiologi Umum, ikut serta
di berbagai kepanitiaan acara, menjadi penerima beasiswa PPA-IPB 2008-2009 dan
juga sempat berpartisipasi sebagai surveyor di lembaga survey seperti RDI dan CIRUS.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini
adalah “Analisis Peranan Sektor Industri Pengolahan terhadap Perekonomian
Provinsi Jawa Barat (Analisis Input Output)”. Kajian tentang peranan sektor industri
pengolahan menjadi topik yang menarik karena dapat dilihat sejauh mana peran sektor
industri pengolahan sehingga tercipta pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,
khususnya di Provinsi Jawa Barat.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1) Dr. Muhammad Findi Alexandi, M.E. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
sabar membimbing penulis baik secara teknis maupun teoritis selama proses
penyusunan skripsi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
2) Dosen penguji utama Dr. Ir. Wiwiek Rindayati dan dosen penguji dari Komisi
Pendidikan Syamsul Hidayat Pasaribu, M.Si. atas saran dan kritiknya terkait
penulisan skripsi ini. Saran dan kritikan beliau sangat berharga bagi penyempurnaan
skripsi ini.
3) Para peserta Seminar Hasil Penelitian skripsi ini atas kritik dan sarannya.
4) Orang tua tercinta, Ayahanda Somdi, ibunda Sunaryati dan ibu Nurul, atas doa,
motivasi, kesabaran serta kasih sayang dan segala fasilitas yang membuat penulis
tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
5) Keluarga terkasih, bude, enin, teteh hanny, dan adik-adik tersayang atas segala
dukungan dan bantuannya, serta kenakalannya yang menyemangati.
6) Apa, Ibu, Aki, Ne, Teteh dan Nda atas kesediaannya membantu, menampung dan
menemani penulis dalam mencari data, juga atas doa dan motivasi yang telah
diberikan.
7) Teman-teman satu bimbingan: Etti, Diana dan Rininta atas motivasi, doa, dan
kesediaannya dalam membantu penulis.
8) Sahabat-sahabat satu sekolah yang terus menyemangati hingga sekarang atas
dukungannya Indra, Aria, Dhila, Rajendra, Tasya, Dodit, Yudha. Terima kasih atas
doanya.
9) Rekan-rekan Hardolin Family (Gerry, Inna, Tyas, Arisa), UPSA (GTA+Rajiv),
D^Coupies (The Dodol, Teh Imeh, A’Pansus, Bebeh, Ginna, Anggi, Lukman, Joger,
Buduy) dan partner Danusian (Tanjung, Dhinta, Yuli, Echa) atas segala
kebersamaan, pembelajaran, pengalaman dan dukungannya.
10) Renny, Mba Phella, Dinda, Bayu, Riri, Ciput, Triyanto, Babeh, Tia Rahmina, Vivi,
Vagha, Adhit, Rina, Fitri, K’ Surya, A’Eja, Jenny, Via, Bowo, Dito, Dhamar,
Adrian, Riza, Acun, Awi, atas segala kebersamaan dan yang telah banyak
membantu penulis.
11) Semua teman-teman seperjuangan IE ’42 yang namanya tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, namun penulis berterima kasih atas doa dan motivasi yang
telah diberikan.
12) Teman-teman kelas matrikulasi dan B-20 angkatan 42 atas segala kenangan dan
pembelajaran.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
maupun pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, 26 Juli 2009
Dewinta Stanny H14052935
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vi
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 5
1.4. Kegunaan Penelitian ...................................................................... 6
1.4. Ruang Lingkup Penelitian .............................................................. 6
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................ 8
2.1. Industri Pengolahan ....................................................................... 8
2.2. Peran Sektor Industri Pengolahan dalam Perekonomian................................... ................................... 8
2.3. Kebijakan Dalam Sektor Industri ................................................... 10
2.4. Penelitian Terdahulu ...................................................................... 12
2.5. Kerangka Pemikiran Teoritis ......................................................... 16
2.5.1. Model Input-Output ........................................................... 16
2.5.2. Struktur Input-Output ........................................................ 17
2.5.3. Analisis Keterkaitan ........................................................... 22
2.5.4. Analisis Multiplier ............................................................. 23
2.6. Kerangka Pemikiran Analitis ......................................................... 26
III. METODE PENELITIAN....................................................................... 30
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 30
3.2. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 30
3.3. Metode Analisis ............................................................................. 31
3.3.1. Analisis Keterkaitan ............................................................. 34
3.3.1.1. Keterkaitan Langsung ke Depan .................................... 34
3.3.1.2. Keterkaitan Langsung ke Belakang ............................... 34
3.3.1.3. Keterkaitan Langsung
ii
dan Tidak Langsung ke Depan........................................ 34
3.3.1.4. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Belakang ................................... 35
3.3.2. Dampak Penyebaran ............................................................. 35
3.3.2.1. Koefisien Penyebaran (Daya Penyebaran ke Belakang / Daya Menarik) ......................................... 36
3.3.2.2. Kepekaan Penyebaran (Daya Penyebaran ke Depan / Daya Mendorong) ........................................ 36
3.3.3. Analisis Multiplier ................................................................ 37
3.4. Definisi Operasional Data .............................................................. 39
IV. GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT ............................. 45
4.1. Gambaran Umum Wilayah……....... ............................................. 45
4.2. Perkembangan Penduduk dan Tenaga Kerja ................................. 48
4.3. Perkembangan Transportasi, Komunikasi dan Pariwisata ............. 50
4.4. Perkembangan Perekonomian ........................................................ 52
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 54
5.1. Industri Pengolahan dalam Perekonomian Provinsi Jawa Barat .... 54
5.1.1. Komposisi Permintaan dan Penawaran ................................. 54
5.1.2. Analisis Ekspor dan Impor Wilayah ..................................... 59
5.1.3. Struktur Nilai Tambah Bruto ................................................ 61
5.1.4. Struktur Permintaan Akhir .................................................... 65
5.2. Analisis Keterkaitan ....................................................................... 71
5.2.1. Keterkaitan ke Depan ............................................................ 71
5.2.2. Keterkaitan ke Belakang ....................................................... 75
5.3. Analisis Dampak Penyebaran ........................................................ 77
5.3.1. Koefisien Penyebaran (Daya Penyebaran ke Belakang) ....... 77
5.3.2. Kepekaan Penyebaran (Daya Penyebaran ke Depan) ........... 79
5.4. Analisis Multiplier ......................................................................... 82
5.4.1. Analisis Multiplier Output .................................................... 83
5.4.2. Analisis Multiplier Pendapatan ............................................. 86
5.4.3. Analisis Multiplier Tenaga Kerja .......................................... 87
5.5. Regulasi Sektor Industri Pengolahan di Provinsi Jawa Barat ........ 90
iii
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 102
6.1. Kesimpulan……....... ..................................................................... 102
6.2. Saran .............................................................................................. 103
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 106
LAMPIRAN .................................................................................................. 108
iv
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2004-2007 .. 4
2.1. Hasil Penelitian Terdahulu tentang Keterkaitan ................................. 13
2.2. Hasil Penelitian Terdahulu tentang Multiplier .................................... 14
2.3. Hasil Penelitian Terdahulu tentang Dampak Penyebaran ................... 15
2.4. Ilustrasi Input-Output ......................................................................... 18
3.1. Rumus Multiplier Output, Pendapatan, dan Tenaga Kerja ................. 38
4.1. Jumlah Kecamatan dan Klasifikasi Perkotaan/Perdesaan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat 2007 ...................... 46
4.2. Luas Wilayah, Rata-Rata Penduduk per Km2, per Desa di Provinsi Jawa Barat 2006 ................................................. 47
4.3. PDRB dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2007 ................................................................................. 52
4.4. Persentase Sumbangan PDRB Lima Provinsi Terbesar terhadap PDB Nasional Tahun 2003-2005 (Persen) .......................... 53
5.1. Struktur Output Provinsi Jawa Barat 2003 (dalam Juta Rupiah) ............................................................................. 55
5.2. Struktur Output Subsektor Industri Pengolahan di Provinsi Jawa Barat 2003 (dalam Juta Rupiah) ............................... 56
5.3. Permintaan Antara Dan Permintaan Akhir Sektor-Sektor Perekonomian Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 ................................. 58
5.4. Permintaan Antara Dan Permintaan Akhir Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 ........................ 59
5.5. Nilai Ekspor dan Impor 9 Sektor Ekonomi Provinsi Jawa Barat, 2003 (dalam Juta Rupiah) .................................. 60
5.6. Nilai Ekspor dan Impor Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat,2003 (dalam Juta Rupiah) ................................... 61
5.7. Struktur Nilai Tambah Bruto Provinsi Jawa Barat, 2003 (dalam Juta Rupiah) ............................................................................. 62
5.8. Nilai Tambah Bruto Provinsi Jawa Barat 2003 .................................. 63
5.9. Nilai Tambah Bruto Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat 2003 .................................................................................. 64
v
5.10. Struktur Nilai Tambah Bruto Sektor Industri Pengolahan di Provinsi Jawa Barat, 2003 (dalam Juta Rupiah) ............................ 65
5.11. Komposisi Permintaan Akhir Provinsi Jawa Barat 2003 Menurut Komponen .......................................................................... 66
5.12. Komponen Permintaan Akhir Provinsi Jawa Barat 2003 Per Sektor (dalam Juta Rupiah) ......................................................... 67
5.13. Komponen Permintaan Akhir Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat 2003 (dalam Juta Rupiah) ................................ 71
5.14. Keterkaitan Output ke Depan dan ke Belakang 9 Sektor Perekonomian Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 .............................. 72
5.15. Keterkaitan Output ke Depan Sektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 ..................................................................... 73
5.16. Keterkaitan Output ke Depan Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 ....................................................... 74
5.17. Keterkaitan Output ke Belakang Sektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 ....................................................... 76
5.18. Indeks Daya Penyebaran ke Belakang Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 ....................................................... 78
5.19. Indeks Daya Penyebaran ke Belakang Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 ................................... 79
5.20. Indeks Daya Penyebaran ke Depan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 ....................................................... 80
5.21. Indeks Daya Penyebaran ke Depan Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 ..................... 81
5.22. Multiplier Output Sektor Perekonomian Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 ........................................................................................ 84
5.23. Multiplier Output Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 ....................................................... 85
5.24. Multiplier Pendapatan Sektor Perekonomian Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 ....................................................... 86
5.25. Multiplier Pendapatan Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 ....................................................... 87
5.26. Multiplier Tenaga Kerja Sektor Perekonomian Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 ....................................................... 88
5.27. Multiplier Tenaga Kerja Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 ....................................................... 89
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Input-Output Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 .................................... 108
2. Koefisien Input Input-Output Provinsi Jawa Barat ................................ 111
3. Matriks Kebalikan Leontief ................................................................... 114
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Krisis ekonomi dunia seperti saat ini bisa terjadi kapan saja, bukan hanya
sekarang namun juga dapat terjadi lagi di masa yang akan datang. Untuk itu,
Indonesia harus siap untuk menghadapi dan mengantisipasi datangnya kembali
krisis ekonomi dengan penguatan industri dalam negeri. Langkah yang dapat
dilakukan untuk menguatkan industri dalam negeri diantaranya adalah dengan
melakukan pembatasan impor barang konsumsi dan penguatan industri unggulan
dalam negeri yang memiliki pasar ekspor.
Perindustrian Indonesia memerlukan strategi untuk melindungi industri
dalam negeri dari gelombang krisis. Konsep tentang industrialisasi baru harus
mulai dibahas secara serius dengan menjadikan krisis global ini sebagai dorongan
untuk mengembangkan industri bangsa, pengembangan industrialisasi baru dapat
dilakukan sambil berjalan sebagai solusi jangka panjang. Kita harus
mengembangkan beberapa industri baru yang memiliki keunggulan dan kekhasan
agar Indonesia dapat menjadi Negara Industri Baru (NIB) yang akan lebih kuat
terhadap hempasan krisis global di masa depan.
Ketika krisis ekonomi berlangsung ekspor dan impor harus sangat
diwaspadai. Pembatasan terhadap impor barang konsumsi harus segera dilakukan,
selain karena harganya yang tinggi seiring dengan kenaikan kurs dollar AS
terhadap Rupiah, impor ini juga berpotensi menurunkan daya beli dan mematikan
industri dalam negeri untuk barang sejenis. Namun kesempatan ini dapat
2
dimanfaatkan bagi industri dalam negeri untuk menjadi substitusi untuk impor
barang konsumtif dan mendapat tambahan pendapatan. Sebagaimana diusulkan
Kadin untuk segera mengadakan disinsentif untuk barang impor yang konsumtif,
dan tidak berlaku untuk impor barang modal. Meskipun tetap akan lebih baik jika
barang modal itu dibuat di dalam negeri seperti dulu Indonesia sempat memiliki
Texmaco yang harus dibangun kembali jika yang dibicarakan adalah
industrialisasi baru. Disamping itu ada juga insentif bagi industri dalam negeri
yang mampu mensubstitusi produk impor, daripada terus menerus dilakukan
ekspor terhadap barang yang harganya terus turun di pasar global, lebih baik
ditingkatkan penggunaannya oleh masyarakat dalam negeri agar dapat
menikmatinya dengan harga lebih murah.
Berdasarkan pernyataan Menteri Perindustrian Fahmi Idris, pemerintah
telah memiliki garis besar pembangunan industri hingga 2025. Untuk jangka
menengah sasaran kualitatif yang ingin dicapai adalah tumbuhnya industri yang
mampu menciptakan kesempatan kerja dalam jumlah besar, meningkatkan daya
saing industri berorientasi ekspor, dan tumbuhnya industri potensial yang menjadi
motor industri masa depan. Sedangkan untuk periode 2010-2020 diharapkan
Indonesia mampu menjadi Negara Industri Baru (NIB) dan pada 2025 menjadi
Negara Industri Tangguh (NIT).
Pertumbuhan ekonomi nasional tidak dapat dipisahkan dari peranan sektor
industri pengolahan yang menjadi primadona perekonomian Indonesia. Sejak
tahun 1991 sektor industri telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Di samping untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik, industri pengolahan
3
bukan migas juga memiliki pangsa pasar internasional yang baik. Pertumbuhan
sektor industri pengolahan dari tahun ke tahun selalu positif. Pada tahun 2007
pertumbuhan sektor industri pengolahan sekitar 4,7 persen, meningkat
dibandingkan tahun 2006 yaitu sebesar 4,6 persen. Meningkatnya permintaan
akan produk barang jadi atau setengah jadi baik domestik maupun internasional,
telah mendorong peranan sektor industri pengolahan menjadi peringkat pertama
dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) sejak tahun 1991.
Peranan sektor ekonomi suatu daerah terhadap pembentukan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) menggambarkan potensi perekonomian suatu
wilayah. Tingginya peranan suatu sektor dalam perekonomian, akan memberikan
gambaran bahwa sektor tersebut merupakan sektor andalan wilayah tersebut yang
terus dapat dikembangkan dan dapat menjadi pendorong roda perekonomian agar
semakin berkembang. Secara umum, yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi
Provinsi Jawa Barat adalah sektor industri pengolahan.
Hal ini dilihat dari peranan sektor industri yang tetap mendominasi
perekonomian Provinsi Jawa Barat dari tahun ke tahun. Sektor industri tersebut,
disamping mendominasi perekonomian Provinsi Jawa Barat, juga memiliki
kontribusi yang sangat besar terhadap industri nasional. Kondisi ini menunjukkan
bahwa sektor industri merupakan salah satu sektor andalan perekonomian
nasional. Bahkan sektor industri pengolahan, merupakan lapangan usaha terbesar
kedua menyerap tenaga kerja setelah Pertanian.
Pada tahun 2007 sektor industri pengolahan masih mendominasi PDRB
Provinsi Jawa Barat dengan kontribusi sebesar 44,97 persen terhadap
4
perekonomian Provinsi Jawa Barat. Begitu pula di beberapa kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat. Selain itu sektor industri pengolahan mengalami peningkatan
pertumbuhan sebesar 5 persen dengan nilai Rp. 119,89 triliun pada tahun 2007.
Pertumbuhan sektor industri pengolahan menempati posisi kedua dari seluruh
sektor ekonomi di Jawa Barat.
Tabel 1.1. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2004-2007
(Milyar Rupiah) Lapangan Usaha 2004 2005 2006 2007
Pertanian, Perkebunan, Peternakan,
Kehutanan dan Perikanan 34.457,71 34.942,01 34.822,02 35.687,49
Pertambangan dan Penggalian 7.705,21 7.143,20 6.982,24 6.491,51
Industri Pengolahan 96.978,41 105.334,04 114.299,62 122.702,67
Listrik, Gas dan Air Minum 5.337,89 5.649,82 5.427,57 5.750,57
Bangunan /Konstruksi 6.602,39 7.780,82 8.232,95 8.928,17
Perdagangan, Hotel,dan Restoran 45.529,02 47.259,96 50.719,35 54.789,91
Pengangkutan dan Komunikasi 10.309,02 10.329,16 11.143,25 12.271,02
Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan 7.247,00 7.623,68 7.672,32 8.645,55
Jasa-jasa 15.836,80 16.821,14 18.200,09 18.728,21
TOTAL PDRB 230.003,49 242.883,88 257.499,44 273.995,14
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2008.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas, beberapa hal yang
diidentifikasi adalah sebagai berikut :
5
(1) Bagaimana peranan sektor industri pengolahan terhadap perekonomian di
Provinsi Jawa Barat?
(2) Bagaimana keterkaitan sektor industri pengolahan dengan sektor-sektor
lainnya di Provinsi Jawa Barat?
(3) Bagaimana dampak penyebaran sektor industri pengolahan di Provinsi
Jawa Barat terhadap sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat?
(4) Bagaimana dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh sektor industri
pengolahan berdasarkan efek multiplier di Provinsi Jawa Barat?
(5) Peraturan apa saja yang diberlakukan oleh pemerintah dalam rangka
mendukung sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Barat?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka tujuan penulisan
skripsi ini adalah :
(1) Menganalisis peranan sektor industri pengolahan dalam pembentukan nilai
tambah bruto, permintaan antara dan permintaan akhir di Provinsi Jawa
Barat.
(2) Menganalisis keterkaitan sektor industri pengolahan dengan sektor –sektor
perekonomian lainnya di Provinsi Jawa Barat, baik bagi penyedia input
maupun sektor-sektor yang menggunakan output dari sektor industri
pengolahan di Provinsi Jawa Barat.
(3) Menganalisis koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran sektor
industri pengolahan di Provinsi Jawa Barat.
6
(4) Menganalisis dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh sektor industri
pengolahan berdasarkan efek multiplier terhadap output, pendapatan, dan
tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat.
(5) Menganalisis peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah untuk
mendukung sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Barat.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi sektoral yang akan membawa
dampak makro bagi perekonomian Jawa Barat dan perekonomian Indonesia.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi pemerintah
Provinsi Jawa Barat dalam pengambilan kebijakan atau sebagai literatur dalam
pengaplikasian Tabel Input-Output.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini menggunakan analisis input-output.
Dengan menggunakan tabel input output transaksi domestik atas dasar harga
produsen Provinsi Jawa Barat tahun 2003 klasifikasi 9 sektor dan 29 sektor. Tabel
I-O tahun 2003 merupakan tabel terbaru yang dikeluarkan oleh BPS Provinsi
Jawa Barat, tabel ini masih tetap dianggap masih relevan sampai 10 tahun setelah
tahun dikeluarkannya selama tidak ada kejadian ekonomi yang signifikan. Pada
klasifikasi 29 sektor industri pengolahan dibagi menjadi 10 sub sektor yang
mencakup pengilangan minyak bumi; industri makanan dan minuman; industri
tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki; industri kayu, bambu, rotan dan furnitur;
7
industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan penerbitan; industri
kimia, barang-barang dari bahan kimia, karet dan plastik; industri barang mineral
bukan logam; industri logam dasar; industri barang jadi dari logam; industri
pengolahan lainnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Industri Pengolahan
Sektor industri pengolahan meliputi semua kegiatan produksi yang
bertujuan meningkatkan mutu barang dan jasa (BPS, 2007). Proses produksi dapat
dilakukan secara mekanis, kimiawi ataupun proses yang lainnya dengan
menggunakan alat-alat sederhana dan mesin-mesin. Proses tersebut dapat
dilakukan oleh perusahaan industri, perusahaan pertanian, pertambangan atau
perusahaan lainnya. Jasa-jasa yang sifatnya menunjang sektor industri seperti jasa
maklon, perbaikan dan pemeliharaan mesin-mesin, kapal, kereta api dan pesawat
terbang juga termasuk dalam sektor ini.
Jasa perbaikan yang dicakup oleh sektor ini adalah perbaikan terhadap
barang modal, baik yang dilakukan oleh perusahaan itu sendiri maupun oleh pihak
lain. Perbaikan mesin-mesin milik rumah tangga dan kendaraan bermotor tidak
termasuk ke dalam sektor ini, melainkan dalam sektor jasa-jasa (Jasa
Perbengkelan). Sektor industri pengolahan mencakup pula kegiatan sederhana
seperti pembuatan gaplek dan sagu, kopra, minyak nabati rakyat, gula merah,
pengupasan dan pembersihan kopi, pengirisan tembakau serta penggaraman dan
pengeringan ikan (BPS, 2007).
2.2. Peran Sektor Industri Pengolahan dalam Perekonomian
Peranan sektor industri pengolahan tidak dapat dipisahkan dari
pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor industri pengolahan telah menjadi tulang
9
punggung perekonomian nasional sejak tahun 1991, di samping untuk memenuhi
kebutuhan pasar dalam negeri, industri pengolahan non migas juga memiliki
pangsa pasar luar negeri yang baik. Dari tahun ke tahun sektor industri
pengolahan selalu mengalami pertumbuhan yang positif. Pada tahun 2006 sektor
ini tumbuh 4,6 persen dan 4,7 persen di tahun 2007.
Sejak tahun 1991, sektor industri pengolahan telah menjadi kontributor
utama dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Peranannya
mencapai 27,00 persen pada tahun 2007, nilai ini jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebagai kontributor terbesar kedua.
Subsektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi terbesar
terhadap PDB Indonesia ialah subsektor industri bukan migas sebesar 22,4 persen
pada tahun 2007. Sementara subsektor industri migas menyumbang sekitar 4,6
persen. Pada tahun 2007 sumbangan industri bukan migas didominasi oleh
industri makanan, minuman dan tembakau sebesar 6,7 persen, disusul oleh
industri alat angkutan, mesin dan peralatan sebesar 6,4 persen terhadap PDB
Indonesia. Subsektor industri bukan migas yang lainnya hanya menyumbang
kurang dari 3 persen terhadap PDB Indonesia. Meskipun demikian kontribusi dari
tiap-tiap industri tersebut relatif meningkat jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya.
Peran sektor industri pengolahan dalam perekonomian nasional dan
Provinsi Jawa Barat beberapa tahun terakhir meningkat. Berdasarkan Nilai
Tambah Bruto (NTB) Tabel I-O Indonesia 2005, sektor industri pengolahan
merupakan sektor yang terbesar kontribusinya terhadap penciptaan Produk
10
Domestik Bruto (PDB) Indonesia. NTB sektor industri sebesar Rp. 779,513
trilyun atau sebesar 26,5 persen dari nilai PDB. Sektor ini juga menciptakan
permintaan akhir terbesar pada tahun 2005, yaitu sebesar Rp. 1.690,458 trilyun
atau sebesar 45,5 persen dari total nilai akhir dan mendominasi komposisi nilai
ekspor pada tahun 2005 dengan nilai ekspor mencapai Rp. 657,912 trilyun setara
dengan 67,3 persen dari total ekspor keseluruhan sektor. Hal lain yang
menunjukkan peran sektor ini dalam perekonomian Indonesia ialah permintaan
terhadap produk industri pengolahan merupakan yang terbesar dengan nilai Rp.
3.141,208 trilyun dan permintaan antara sebesar Rp. 1.450,750 trilyun sebagai
yang terbesar pula.
Peranan sektor industri tetap mendominasi perekonomian Provinsi Jawa
Barat dari tahun ke tahun. Bahkan sektor industri pengolahan, merupakan
lapangan usaha terbesar ke tiga penyerap tenaga kerja setelah sektor pertanian dan
sektor perdagangan, hotel dan restoran. Dan memberikan kontribusi 44,97 persen
terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat (BPS, 2008).
2.3. Kebijakan dalam Sektor Industri
Di bidang ekonomi, krisis berdampak pada menurunnya kinerja bisnis
pada berbagai sektor usaha dan sangat dirasakan terutama di sektor industri. Hal
ini karena umumnya industri-industri besar yang tidak berorientasi pada
pemanfaatan bahan baku dan bahan setengah jadi dalam negeri. Semakin
terpuruknya sektor swasta juga berdampak pada meningkatnya Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK).
11
Perekonomian Indonesia serta kondisi riil paska krisis ekonomi akan
menjadi faktor pendorong pertumbuhan sektor industri. Setelah terjadinya krisis
ekonomi pertumbuhan sektor industri masih sedikit lebih rendah bila
dibandingkan dengan pertumbuhannya pada saat sebelum krisis. Upaya
mempercepat pembangunan, membangun kemandirian ekonomi, pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya ke seluruh wilayah dengan cara memberikan
kesempatan kepada daerah untuk mengatur dan mengelola seluruh potensi sumber
daya yang dimiliki, telah dilakukan dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun
2004 dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi oleh
pemerintah dan DPR menjadi UU No. 33 Tahun 2004.
Di sisi lain, isu-isu globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia terkait
dengan sektor industri telah bergerak begitu cepat, secara kasat mata negara-
negara maju lebih siap sehingga cenderung lebih mampu memanfaatkan
kesempatan dibandingkan dengan negara-negara sedang berkembang. Dalam
upaya mempercepat proses industrialisasi untuk mendukung pembangunan
ekonomi nasional sekaligus mengantisipasi dampak negatif globalisasi dan
liberalisasi ekonomi dunia dan perkembangan di masa yang akan datang,
diperlukan suatu arahan dan kebijakan yang jelas dalam jangka menengah,
maupun jangka panjang baik oleh Pemerintah Pusat maupun prakarsa daerah.
Kebijakan ini dapat berupa Undang-Undang Industri Nasional, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Perindustrian, Peraturan
12
Menteri Perdagangan, dan lain lain. Dapat pula berupa regulasi dari pemerintah
dan Bank Indonesia. Peraturan daerah dibuat dengan pendekatan terhadap daerah
masing-masing dengan merujuk kepada peraturan pusat dengan tujuan agar
peraturan tersebut dapat lebih berhasil dalam pelaksanaannya.
Hal terpenting adalah arah dan kebijakan industri nasional yang disepakati
bersama, sangat dibutuhkan agar industri tidak tumbuh secara alami tanpa
kejelasan akan bentuk bangun industri yang akan terjadi, yang akan menimbulkan
dampak pemborosan sumber daya pembangunan (inefisiensi) dan tidak
terwujudnya tujuan pembangunan industri yang diinginkan.
Semua pihak yang bersangkutan dan berkepentingan mempunyai
kewajiban untuk berpartisipasi aktif terhadap peraturan/regulasi yang telah dibuat
agar dapat mencapai hasil yang optimal sehingga peraturan/regulasi tersebut tidak
sia-sia.
2.4. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai peran dan keterkaitan suatu sektor dalam
perekonomian dengan menggunakan analisis Input-Output telah banyak
dilakukan. Diantaranya ialah penelitian terhadap seluruh sektor perekonomian,
penelitian terhadap salah satu sektor dalam perekonomian, penelitian terhadap
sektor pertanian dan industri pengolahan, dan sebagainya.
Pada umumnya setiap penelitian memiliki tujuan yang sama yaitu
mempelajari keterkaitan, baik keterkaitan langsung ke depan (direct forward
linkage), keterkaitan langsung ke belakang (direct backward linkage), keterkaitan
13
langsung dan tidak langsung ke depan, dan keterkaitan langsung dan tidak
langsung ke belakang.
Tabel 2.1. Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Keterkaitan
Penelitian Keterkaitan Ke Depan Keterkaitan Ke Belakang
No Lokasi Tahun Langsung Langsung & Tidak Langsung Langsung Langsung &
Tidak Langsung 1 2 3
Sumatera Barat Pertanian Agroindustri Non Agroindustri Jawa Tengah Industri Pengolahan Pandeglang Padi Melinjo Pertanian Lainnya
2001
2005
2008
0,433 0,256 0,205
1,709
0,01 0,01 0,02
1,582 1,341 1,230
2,102
1,01 1,02 1,04
0,106 0,596 0,413
0,437
0,01 0,01 0,02
1,138 1,746 1,560
1,606
1,03 1,02 1,03
Sumber : Putri (2001), Mustikasari (2005), Ramanto (2008).
Secara umum, nilai keterkaitan langsung ke depan relatif kecil, kecuali
untuk Provinsi Jawa Tengah, yaitu sebesar 1,709 pada sektor industri pengolahan,
nilai ini lebih besar daripada nilai keterkaitan langsung ke belakangnya yaitu
sebesar 0,437. Hal ini mengartikan bahwa sektor industri pengolahan secara
langsung lebih peka dalam menciptakan kenaikan output apabila terjadi
peningkatan satu-satuan permintaan akhir terhadap sektor industri dibandingkan
dengan kemampuannya untuk mendorong pertumbuhan sektor yang menyediakan
input bagi keperluan proses produksi.
Nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung yang paling mencolok juga
ditunjukkan oleh data Provinsi Jawa Tengah untuk sektor industri pengolahan
yaitu sebesar 2,102 meskipun keterkaitan langsung dan tidak langsung ke
belakang tetap memiliki nilai yang lebih kecil yaitu sebesar 1,606. Hal ini
menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan secara langsung dan tidak
14
langsung lebih kuat mendorong peningkatan produksi terhadap sektor yang
membutuhkan input dari sektor ini dibandingkan dengan kemampuannya untuk
mendorong pertumbuhan sektor yang menyediakan input untuk keperluan proses
produksinya.
Tabel 2.2. Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Multiplier
Penelitian Multiplier
No Lokasi Tahun Output Pendapatan Tenaga Kerja
Tipe I Tipe II Tipe I Tipe II Tipe I Tipe II
1 2 3
Sumatera Barat Pertanian Agroindustri Non Agroindustri Jawa Tengah Industri Pengolahan Pandeglang Padi Melinjo Pertanian Lainnya
2001
2005
2008
1,738 1,746 1,510
1,606
1,0858 1,1511 1,2326
1,176 1,834 1,608
2,132
1,1688 1,1225 1,3401
1,192 1,506 1,383
1,314
1,3986 3,9292 1,3776
1,260 1,593 1,462
1,586
1,6214 4,552
1,5972
1,075 8,268 1,521
4,774
1,0296 1,1076 1,152
1,690 8,760 1,689
7,397
1,0391 1,1146 1,2065
Sumber : Putri (2001), Mustikasari (2005), Ramanto (2008).
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai multiplier output tipe I terbesar
ditunjukkan oleh Provinsi Sumatera Barat pada sektor agroindustri sebesar 1,746.
Sedangkan multiplier output tipe II terbesar oleh Provinsi Jawa Tengah pada
sektor industri pengolahan sebesar 2,123. Untuk multiplier pendapatan tipe I dan
II, nilai terbesar ialah 3,9292 dan 4,552 keduanya dari Kabupaten Pandeglang
pada sektor melinjo. Dan untuk multiplier tenaga kerja terbesar ditunjukkan oleh
Provinsi Sumatera Barat pada sektor agroindustri baik untuk tipe I maupun untuk
tipe II yaitu sebesar 8,268 dan 8,760.
15
Perbedaan multiplier tipe I dan II ialah pada faktor rumah tangga, dimana
pada multiplier tipe I rumah tangga dianggap sebagai faktor eksogen sedangkan
pada multiplier tipe II rumah tangga sebagai faktor endogen.
Tabel 2.3. Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Dampak Penyebaran
Penelitian Koefisien Penyebaran
Kepekaan Penyebaran No Lokasi Tahun
1 2 3
Sumatera Barat Pertanian Agroindustri Non Agroindustri Jawa Tengah Industri Pengolahan Pandeglang Padi Melinjo Pertanian Lainnya
2001 2005 2008
0,875 1,342 1,160
1,168
0,24 0,47 0,65
1,216 1,831 0,945
1,528
0,95 0,46 0,76
Sumber : Putri (2001), Mustikasari (2005), Ramanto (2008).
Tabel 2.3. memperlihatkan bahwa nilai dari koefisien penyebaran dan
kepekaan penyebaran bervariasi. Nilai koefisien penyebaran yang lebih besar dari
satu menandakan bahwa sektor tersebut mempunyai kemampuan untuk menarik
sektor hulunya. Dan nilai kepekaan penyebaran lebih besar dari satu berarti sektor
tersebut memiliki kemampuan untuk mendorong sektor hilirnya.
Dari tabel di atas nilai koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran
terbesar diperoleh Provinsi Sumatera Barat dari sektor agroindustri yaitu 1,342
dan 1,831, artinya sektor agroindustri selain mampu menarik sektor hulunya
melalui distribusi manfaat dari pengembangan sektor tersebut terhadap
perkembangan sektor yang lainnya, juga mampu untuk mendorong perkembangan
sektor hilirnya.
16
Analisis Input-Output telah banyak digunakan sebagai alat untuk
penelitian ekonomi. Dalam penelitian ini peneliti hanya akan meneliti salah satu
sektor perkonomian saja yaitu sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Barat.
2.5. Kerangka Pemikiran Teoritis
2.5.1. Model Input-Output
Tabel I-O adalah uraian statistik dalam bentuk matriks yang berisikan
informasi tentang barang dan jasa serta saling keterkaitan antarsektor, dalam suatu
wilayah pada suatu periode waktu tertentu. Dengan menggunakan tabel I-O dapat
dilihat bagaimana output dari suatu sektor di dalam perekonomian didistribusikan
ke sektor-sektor lainnya dan bagaimana pula suatu sektor memperoleh input yang
diperlukan dari sektor yang lainnya (BPS, 2007).
Dalam suatu model input-output yang bersifat terbuka statis, menurut
Jensen dan West (1986) transaksi-transaksi yang digunakan dalam penyusunan
tabel I-O harus memenuhi tiga asumsi atau prinsip dasar, yaitu berikut ini :
(1) Keseragaman (Homogenity), yaitu asumsi bahwa output hanya dihasilkan
secara tunggal, artinya setiap sektor ekonomi hanya memproduksi satu jenis
barang dan jasa dengan susunan input tunggal (seragam) dan tidak ada
substitusi otomatis antaroutput dari sektor yang berbeda.
(2) Kesebandingan (Proportionality), yaitu asumsi bahwa hubungan antara output
dan input pada setiap sektor produksi merupakan fungsi linier, yang berarti
kenaikan atau penurunan terhadap penggunaan input oleh suatu sektor akan
sebanding dengan kenaikan atau penurunan output sektor tersebut.
17
(3) Penjumlahan (Additivitas), yaitu asumsi bahwa total efek dari kegiatan
produksi berbagai sektor merupakan penjumlahan dari efek pada masing-
masing sektor tersebut.
Dalam Priyarsono, Sahara, dan Firdaus (2007), beberapa kegunaan dari
analisis I-O, antara lain adalah sebagai berikut.
(1) Untuk memperkirakan dampak permintaan akhir terhadap output, nilai
tambah, impor, penerimaan pajak dan penyerapan tenaga kerja di berbagai
sektor produksi.
(2) Untuk melihat komposisi penyediaan dan penggunaan barang dan jasa
terutama dalam analisis terhadap kebutuhan impor dan kemungkinan
substitusinya.
(3) Untuk mengetahui sektor-sektor yang pengaruhnya paling dominan terhadap
pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan
perekonomian.
(4) Untuk menggambarkan perekonomian suatu wilayah dan mengidentifikasi
karakteristik struktural suatu perekonomian wilayah.
2.5.2. Struktur Tabel Input-Output
Format dari Tabel I-O terdiri dari suatu kerangka matriks berukuran n x n
dimensi yang dibagi menjadi empat kuadran dan tiap kuadran mendeskripsikan
suatu hubungan tertentu (Priyarsono et al., 2007). Untuk memperoleh gambaran
tentang tabel I-O yang lebih lengkap disajikan contoh tabel 2.4.
18
Tabel 2.4. Ilustrasi Tabel Input-Output
Alokasi Output Susunan Output
Permintaan Antara Permintaan Akhir
Jumlah OutputSektor Produksi
1 2 … n
Input Antara
Sektor Produksi
1 2 . . n
x11 x21 . .
xn1
x12 x22 . .
xn2
… … . .
…
x1n x2n . .
xnn
F1 F2 . .
Fn
X1 X2 . .
Xn
Jumlah Input Primer V1 V2 … Vn
Jumlah Input X1 X2 … Xn Sumber : Tabel Input-Output Indonesia, BPS Pusat, 2007.
Dari tabel di atas isian sepanjang baris memerlihatkan bagaimana output
dari suatu sektor dialokasikan, yaitu sebagian untuk memenuhi permintaan antara
(intermediate demand) dan sebagian lagi untuk memenuhi permintaan akhir (final
demand). Sedangkan isian sepanjang kolomnya menunjukkan pemakaian input
antara dan input primer oleh suatu sektor.
Jika Tabel 2.4. dilihat secara baris maka alokasi output secara keseluruhan
dapat dituliskan dalam bentuk persamaan aljabar berikut :
x11
x21
.
.
xn1
+
+
+
x12
x22
.
.
xn2
+
+
+
…
…
.
.
…
+
+
+
x1n
x2n
.
.
xnn
+
+
+
F1
F2
.
.
Fn
=
=
=
X1
X2
.
.
Xn………....................(2.1)
19
Arti dari penjumlahan di atas ialah jika seluruh output suatu sektor yang
digunakan oleh sektor lain dijumlahkan secara baris kemudian ditambahkan
dengan permintaan akhir sektor tersebut, maka hasil penjumlahannya adalah
jumlah output total yang dihasilkan sektor tersebut.
dan secara umum persamaan di atas dapat dirumuskan kembali menjadi :
…………………...…..(2.2)
dimana xij adalah banyaknya output sektor i yang dipergunakan sebagai input oleh
sektor j dan Fi adalah permintaan akhir terhadap sektor i serta Xi adalah jumlah
output sektor i. Sebaliknya jika dibaca secara kolom, terutama di sektor produksi,
angka-angka itu menunjukkan susunan input suatu sektor. Dengan mengikuti
cara-cara membaca seperti secara baris di atas, maka persamaan secara aljabar
menurut kolom dapat dituliskan menjadi :
Arti dari penjumlahan di atas ialah jika seluruh input suatu sektor yang
diperoleh dari sektor lain dijumlahkan secara kolom kemudian ditambahkan
x11
x21
.
.
xn1
+
+
+
x12
x22
.
.
xn2
+
+
+
…
…
.
.
…
+
+
+
x1n
x2n
.
.
xnn
+
+
+
V1
V2
.
.
Vn
=
=
=
X1
X2
.
.
Xn………....................(2.3)
20
dengan input primer sektor tersebut, maka hasil penjumlahannya adalah jumlah
input total yang digunakan sektor tersebut.
dan secara umum dapat ditulis menjadi :
………………………….......(2.4)
dimana Vj adalah input primer (nilai tambah bruto) dari sektor j.
Selanjutnya empat kuadran yang terdapat dalam suatu tabel I-O dibagi
menjadi kuadran I, II, III, dan IV. Isi dan pengertian masing-masing kuadran
tersebut adalah sebagai berikut;
a. Kuadran I (Intermediate Quadran)
Setiap sel dalam kuadran I merupakan transaksi antara, yaitu transaksi
barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi. Kuadran ini memberikan
informasi mengenai saling ketergantungan antarsektor produksi dalam suatu
perekonomian. Dalam analisis I-O kuadran ini berperan penting karena
menunjukkan keterkaitan antarsektor ekonomi dalam melakukan proses
produksinya.
b. Kuadran II (Final Demand Quadran)
Kuadran ini menunjukkan penjualan barang dan jasa yang dihasilkan oleh
sektor-sektor perekonomian untuk memenuhi permintaan akhir. Permintaan akhir
adalah output suatu sektor yang langsung dipengaruhi oleh rumah tangga,
pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok dan ekspor. Konsumsi
rumah tangga terdiri dari pembelian barang dan jasa yang dilakukan oleh rumah
tangga dan badan-badan yang tidak mencari keuntungan dikurangi nilai neto
21
penjualan barang bekas dan sisa. Pengeluaran konsumsi pemerintah adalah
pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk konsumsi pemerintah itu sendiri.
Pembentukan modal tetap mencakup pembelian semua barang baru oleh semua
sektor produksi, termasuk pembelian barang bekas dari luar negeri. Perubahan
stok merupakan nilai persediaan akhir dikurangi persediaan awal tahun.
Kemudian komponen yang terakhir adalah ekspor, yaitu meliputi pembelian
barang dan jasa yang dihasilkan di dalam negeri oleh pihak asing.
c. Kuadran III (Primary Input Quadran)
Menunjukkan pembelian input yang dihasilkan di luar sistem produksi
oleh sektor-sektor dalam kuadran antara. Kuadran III terdiri dari pendapatan
rumah tangga (upah dan gaji), surplus usaha, penyusutan, dan pajak tak langsung.
Jumlah keseluruhan nilai tambah ini akan menghasilkan produk domestik bruto
yang dihasilkan oleh wilayah tersebut. Upah dan gaji adalah pembayaran para
buruh dan pegawai atas partisipasi mereka dalam kegiatan produksi. Surplus
usaha meliputi sewa tanah, bunga atas modal, dan keuntungan produsen.
Penyusutan merupakan perkiraan pengurangan nilai barang modal tetap yang
dipakai dalam proses produksi. Pajak tak langsung neto adalah selisih antara pajak
tak langsung dengan subsidi.
d. Kuadran IV (Primary Input-Final Demand Quadran)
Kuadran ini merupakan kuadran input primer permintaan akhir yang
menunjukkan transaksi langsung antara kuadran input primer dengan permintaan
akhir tanpa melalui sistem produksi atau kuadran antara.
22
Penyebab dari asumsi-asumsi yang ada maka tabel I-O sebagai model
kuantitatif memiliki keterbatasan, yaitu koefisien input atau koefisien teknis
diasumsikan tetap selama periode analisis. Jika koefisien teknis dianggap tetap
maka teknologi yang digunakan dalam proses produksi juga dianggap tetap.
Sehingga mengakibatkan besarnya perubahan yang terjadi pada kuantitas dan
harga input akan selalu sebanding dengan besarnya perubahan kuantitas dan harga
output. Meskipun demikian, model I-O masih menjadi model yang lengkap dan
komprehensif.
2.5.3. Analisis Keterkaitan
Konsep keterkaitan biasa digunakan sebagai dasar perumusan strategi
pembangunan ekonomi dengan melihat keterkaitan antarsektor dalam suatu sistem
perekonomian (Priyarsono, et al. 2007). Konsep keterkaitan ini dirumuskan
menjadi keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang
(backward linkage). Hubungan keterkaitan antar industri/sektor dalam penjualan
terhadap total penjualan output yang dihasilkannya diperlihatkan dalam
keterkaitan ke depan (forward linkage) sedangkan hubungan keterkaitan antar
industri/sektor dalam pembelian terhadap total pembelian input yang digunakan
untuk proses produksi diperlihatkan dalam keterkaitan ke belakang (backward
linkage).
Berdasarkan konsep ini kita dapat mengetahui besarnya pertumbuhan
suatu sektor yang dapat menstimulir pertumbuhan sektor lainnya melalui
mekanisme industri. Koefisien langsung akan menunjukkan keterkaitan langsung
23
antarsektor perekonomian dalam pembelian dan penjualan input antara,
sedangkan matriks kebalikan Leontief akan menunjukkan keterkaitan langsung
dan tidak langsungnya. Matriks kebalikan Leontief (α) disebut sebagai matriks
koefisien keterkaitan karena matriks ini mengandung informasi penting tentang
struktur perekonomian yang dipelajari dengan menentukan tingkat keterkaitan
antarsektor perekonomian.
2.5.4. Analisis Multiplier
Multiplier adalah pengukuran suatu respon atau merupakan dampak dari
stimulus ekonomi. Stimulus ekonomi yang dimaksud ialah output, pendapatan,
dan tenaga kerja. Ketiga stimulus ekonomi ini diasumsikan sebagai peningkatan
penjualan sebesar satu satuan mata uang kepada permintaan akhir suatu sektor
(Kriswantriyono, 1994).
a. Multiplier Output
Multiplier output dihitung dalam per unit perubahan output sebagai efek
awal, yaitu kenaikan atau penurunan output sebesar satu unit satuan moneter.
Setiap elemen dalam matriks kebalikan Leontief α menunjukkan total pembelian
input baik langsung maupun tidak langsung dari sektor i sebesar satu unit satuan
moneter ke permintaan akhir. Matriks invers dirumuskan dengan persamaan :
α = (I - A)-1 = [αij] …..…………………………………….(2.5)
Dengan demikian matriks kebalikan Leontief mengandung informasi
penting tentang struktur perekonomian yang dipelajari dengan menentukan tingkat
keterkaitan antarsektor dalam perekonomian suatu wilayah atau negara. Koefisien
24
dari matriks invers ini [αij] menunjukkan besarnya perubahan aktivitas dari suatu
sektor yang akan memengaruhi tingkat output dari sektor-sektor lain.
b. Multiplier Pendapatan
Dalam Jensen (1986), Multiplier pendapatan mengukur peningkatan
pendapatan akibat adanya perubahan output dalam perekonomian. Dalam tabel I-
O, yang dimaksud dengan pendapatan adalah upah dan gaji yang diterima oleh
rumah tangga. Pendapatan di sini tidak hanya mencakup beberapa jenis
pendapatan yang umumnya diklasifikasikan sebagai pendapatan rumah tangga
tetapi juga dividen dan bunga bank.
c. Multiplier Tenaga Kerja
Multiplier tenaga kerja menunjukkan perubahan tenaga kerja yang
disebabkan oleh perubahan awal dari sisi output. Multiplier tenaga kerja tidak
diperoleh dari elemen-elemen dalam tabel I-O seperti pada multiplier output dan
pendapatan, karena dalam tabel I-O tidak mengandung elemen-elemen yang
berhubungan dengan tenaga kerja. Multiplier tenaga kerja dapat diperoleh dengan
menambahkan baris yang menunjukkan jumlah dari tenaga kerja untuk masing-
masing sektor dalam perekonomian suatu negara atau wilayah. Penambahan baris
ini untuk mendapatkan koefisien tenaga kerja. Penambahan baris dilakukan untuk
mendapatkan koefisien tenaga kerja (ei). Cara untuk memeroleh koefisien tenaga
kerja adalah dengan membagi setiap jumlah tenaga kerja masing-masing sektor
dengan jumlah total output dari masing-masing sektor tersebut.
Koefisien tenaga kerja (ei) menunjukkan efek langsung ketenagakerjaan
dari setiap sektor akibat adanya perubahan output sektor ke-i. Efek langsung dan
25
tidak langsung ditunjukan dengan αij ei untuk setiap sektor, dan Σiαij ei untuk
semua sektor dalam perekonomian wilayah atau negara. Sedangkan efek total
ditunjukan dengan αij* ei.
d. Multiplier Tipe I dan Tipe II
Multiplier tipe I dan II digunakan untuk mengukur efek dari output,
pendapatan, dan tenaga kerja masing-masing sektor perekonomian yang
disebabkan karena adanya perubahan dalam jumlah output, pendapatan, dan
tenaga kerja yang ada di suatu negara atau wilayah. Efek multiplier output,
pendapatan, dan tenaga kerja terdiri dari beberapa tahap yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Efek Awal (Initial Impact)
Dampak awal merupakan stimulus perekonomian yang diasumsikan sebagai
peningkatan atau penurunan penjualan dalam satu unit satuan moneter.
Peningkatan output tersebut akan memberikan efek terhadap peningkatan
pendapatan dan kesempatan kerja. Efek awal dari sisi pendapatan ditunjukkan
oleh koefisien pendapatan rumah tangga (hi), sedangkan efek awal dari sisi
tenaga kerja ditunjukkan oleh koefisien tenaga kerja (ei).
2) Efek Putaran Pertama (First Round Effect)
Efek ini menunjukkan efek langsung dari pembelian masing-masing sektor
untuk setiap peningkatan output sebesar satu unit satuan moneter. Dari sisi
output, efek putaran pertama ditunjukkan oleh koefisien langsung (koefisien
input-output/aij), sedangkan efek putaran pertama dari sisi pendapatan (Σiaij hi)
menunjukkan adanya efek putaran pertama dari sisi output. Sementara efek
26
putaran pertama dari sisi tenaga kerja (Σiaij ei) menunjukkan peningkatan
penyerapan tenaga kerja akibat adanya efek putaran pertama dari sisi output.
3) Efek Dukungan Industri (Industrial Support Effect)
Dari sisi output, efek ini menunjukkan peningkatan output putaran kedua dan
selanjutnya akibat adanya stimulus ekonomi. Dari sisi pendapatan dan tenaga
kerja, efek dukungan industri menunjukkan adanya efek peningkatan
pendapatan dan penyerapan tenaga kerja putaran kedua dan selanjutnya akibat
adanya dukungan industri yang menghasilkan output.
4) Efek Induksi Konsumsi (Consumption Induced Effect)
Efek ini dari sisi output menunjukkan adanya suatu pengaruh induksi
(peningkatan konsumsi rumah tangga) akibat pendapatan rumah tangga yang
meningkat. Dari sisi pendapatan dan tenaga kerja, efek induksi konsumsi
diperoleh masing-masing dengan mengalikan efek induksi konsumsi output
dengan koefisien pendapatan rumah tangga dan koefisien tenaga kerja.
5) Efek Lanjutan (Flow-on_Effect)
Efek lanjutan merupakan efek yang terjadi pada semua sektor perekonomian
dalam suatu negara atau suatu wilayah akibat adanya peningkatan penjualan
dari suatu sektor. Efek lanjutan dapat diperoleh dari pengurangan efek total
dengan efek awal.
2.6. Kerangka Pemikiran Analitis
Pembangunan nasional pada dasarnya berusaha mewujudkan tatanan
masyarakat yang adil dan makmur. Dengan keadaan negara Indonesia yang
27
memiliki banyak sumber daya alam dan manusia, dan Provinsi Jawa Barat sebagai
provinsi terdekat dengan ibukota memiliki potensi yang sangat besar yang dalam
pengembangannya harus diatur dan ditata dengan baik agar membuahkan hasil
yang maksimal.
Sejarah pembangunan ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa selama
beberapa dasawarsa, sektor pertanian masih menjadi tumpuan harapan negara
sebagai penggerak ekonomi, terutama kemampuannya dalam menyerap tenaga
kerja. Potensi agraris yang demikian besar menjanjikan hasil yang sangat
menggiurkan jika diolah dan ditangani dengan benar, kondisi sosial-teknologi
negara yang masih dalam taraf seperti sekarang ini memberikan hasil yang kurang
maksimal dari sektor pertanian. Penebangan hutan liar, pencurian hasil laut oleh
nelayan asing dan berbagai masalah lainnya ikut serta di dalam menurunkan hasil
dari sektor pertanian.
Setelah sekian tahap pembangunan dilaksanakan, perkembangan
menunjukkan bahwa sektor pertanian tidak dapat selamanya dijadikan dasar
tumpuan sumber pendapatan negara karena ternyata kontribusi sektor ini dalam
perekonomian Indonesia menunjukkan kecenderungan yang menurun. Di sisi lain
sektor industri menunjukkan perkembangan yang pesat.
Seiring dengan kebutuhan berbagai kebijakan baru yang mendukung
bidang industri pengolahan yang dikeluarkan oleh pemerintah baik pusat maupun
daerah. Hasilnya adalah sektor industri pengolahan mengalami pertumbuhan yang
cepat. Industri yang umumnya tumbuh dengan cepat ialah industri yang bersifat
padat modal, jenis industri yang nilai produktivitasnya sangat tinggi. Suatu dilema
28
dalam mengembangkan sektor industri di Indonesia adalah masalah pemilihan
teknologi dan hubungannya dengan kesempatan kerja.
Pembangunan industri telah banyak berdampak positif dalam
pembangunan regional, sektor industri mampu meningkatkan kualitas daerah,
perataan investasi dan pendapatan daerah (Kriswantriyono, 1991). Tahun-tahun
belakangan ini sektor industri pengolahan memberikan kontribusi yang besar bagi
perekonomian Indonesia.
Berkembangnya sektor industri pengolahan di daerah tidak terlepas dari
perkembangan sektor industri nasional. Di Provinsi Jawa Barat, sifat sektor
industri pengolahan berhubungan erat dengan sektor pertanian. Kemunculan
bengkel-bengkel mesin di Provinsi Jawa Barat bersamaan dengan mulai
berkembangnya sektor industri nasional, dikarenakan pada saat awal industri
logam dan mesin didirikan untuk memenuhi kebutuhan sektor perkebunan.
Sampai saat ini sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Barat masih
mendapatkan modal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan
Penanaman Modal Asing (PMA) dalam jumlah yang terbesar. Rp. 10.713.020 juta
untuk PMA dan sebesar Rp. 11.295.288 juta untuk PMDN (BPMD Jawa Barat,
2007). Persentase penanaman modal untuk sektor industri pengolahan di Jawa
Barat mencapai 95,22 persen dari total keseluruhan modal yang ditanamkan di
seluruh sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat.
Tidak semua daerah mengalami hal yang serupa dengan Provinsi Jawa
Barat. Pola dan strategi pembangunan sektoral di daerah selalu didasarkan atas
potensi dan prospek masing-masing daerah, apalagi setelah adanya otonomi
29
daerah. Beberapa wilayah yang termasuk ke dalam Provinsi Jawa Barat
dikhususkan untuk dikembangkan sebagai daerah industri. Letaknya yang
strategis sebagai daerah penyangga bagi wilayah ibukota memberi arti yang
tersendiri. Bagaimana peranan sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Barat
sangat menarik bagi penulis untuk dilihat. Bagaimana pengaruh sektor industri
pengolahan terhadap perekonomian wilayah Provinsi Jawa Barat, keterkaitan
antarsektor, dampak multiplier, dan pengaruh kebijakan yang diambil. Untuk
mengetahui hal-hal tersebut, penulis menggunakan analisis Tabel Input Output
Provinsi Jawa Barat tahun 2003 serta analisis dilengkapi dengan regulasi dari
pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap sektor industri pengolahan agar tercipta
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan seperti yang tergambarkan dalam
kerangka di bawah ini.
Sektor Industri Pengolahan
Sektor Perekonomian
PDRB
Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
Regulasi Pemerintah
Analisis Multiplier
Analisis Keterkaitan
Analisis Input-Output
Analisis Pembentukan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Provinsi Jawa Barat dipilih sebagai tempat penelitian karena sektor
industri pengolahan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap PDRB
daerah ini, selain itu Provinsi Jawa Barat juga sebagai wilayah penyangga yang
berperan terhadap pembangunan ibukota. Dengan pertimbangan ini akan diteliti
perkembangan sektor industri pengolahan dalam perekonomian wilayah Provinsi
Jawa Barat, keterkaitannya dengan sektor lain, pengaruhnya terhadap penyerapan
dan perluasan kesempatan kerja, dan terhadap pendapatan daerah.
Penulisan penelitian telah dimulai sejak Februari 2009. Penelitian selesai
pada bulan Juli 2009, telah mencakup waktu yang diperlukan untuk penulisan
penelitian, pengumpulan data, pengolahan data, hingga penulisan laporan
diselesaikan.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Dalam Jensen (1986), metode yang digunakan dalam pengambilan data ini adalah
metode non-survei atau survei minimal. Kelemahan metode ini adalah analisis
akan sangat tergantung pada ketersediaan data yang ada serta hasil pengolahan
data. Terjadinya penyimpangan di luar teori akan sulit dijustifikasi, kecuali
peneliti sudah sangat memahami dan terbiasa dengan penelitian sejenis.
31
Kekurangan metode non-survei dalam penelitian ini akan tertutupi dengan
beberapa kelebihannya, yaitu diantaranya adalah murahnya biaya yang
dikeluarkan serta cepatnya waktu penelitian jika dibandingkan dengan bila
penelitian dilakukan dengan metode survei.
Data dari Tabel Input-Output Provinsi Jawa Barat tahun 2003. Data-data
tersebut diambil dari BPS Pusat, BPS Provinsi Jawa Barat, Lembaga Sumberdaya
Informasi (LSI) IPB, Departemen Perindustrian serta instansi-instansi terkait.
Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat keras komputer
serta perangkat lunak GRIMP dan Microsoft Excel 2007. Pemilihan perangkat
lunak ini didasarkan atas kemampuannya dalam melakukan analisis Input-Output
yang sangat lengkap dan komprehensif.
3.3. Metode Analisis
Alat analisis yang digunakan untuk memelajari peranan sektor industri
pengolahan terhadap sektor-sektor perekonomian lainnya adalah Tabel Input-
Output. Dari Tabel I-O dapat diketahui secara langsung peranan sektor industri
pengolahan dalam pembentukan output, nilai tambah bruto, permintaan akhir dan
permintaan antara karena sudah disajikan di dalam tabel. Sedangkan untuk
mengetahui peranan sektor industri pengolahan baik sebagai sektor penyedia input
maupun sebagai sektor pengguna input serta dampak yang ditimbulkan sektor
industri pengolahan terhadap perekonomian wilayah dapat dikaji dengan analisis
multiplier dan keterkaitan.
32
Dari persamaan dasar yang telah disajikan pada sub bab 2.4.2. yaitu :
Jika diketahui matriks koefisien input :
…………………………………………………….…(3.2)
Dan jika persamaan (2) disubstitusikan ke persamaan (1) maka didapat
persamaan (3) sebagai berikut :
x11
x21
.
.
xn1
+
+
+
x12
x22
.
.
xn2
+
+
+
…
…
.
.
…
+
+
+
x1n
x2n
.
.
xnn
+
+
+
F1
F2
.
.
Fn
=
=
=
X1
X2
.
.
Xn………....................(3.1)
a11X1
a21X1
.
.
an1X1
+
+
+
a12X2
a22X2
.
.
an2X2
+
+
+
…
…
.
.
…
+
+
+
a1nXn
a2nXn
.
.
annXn
+
+
+
F1
F2
.
.
Fn
=
=
=
X1
X2
.
.
Xn................................(3.3)
33
Jika ditulis dalam bentuk persamaan matriks, persamaan (3) akan menjadi
persamaan berikut :
A X + F = X
AX + F = X atau ( I –A ) X = F atau X = ( I - A)-1F ……...………..(3.4)
dimana :
I = matriks identitas yang elemennya memuat angka satu pada diagonalnya
dan nol pada selainnya,
F = permintaan akhir,
X = jumlah output,
(I - A) = matriks Leontief,
(I - A)-1= matriks kebalikan Leontief.
Dari persamaan (4) ini terlihat bahwa output setiap sektor memiliki
hubungan fungsional terhadap permintaan akhir, dengan (I - A)-1 sebagai koefisien
antaranya. Matriks kebalikan ini mempunyai peranan penting sebagai alat analisis
ekonomi karena menunjukkan adanya saling keterkaitan antara tingkat permintaan
akhir terhadap tingkat produksi.
a11
a21
:
:
a21
a12
a22
:
:
a22
…
…
…
a1n
a2n
:
:
a2n
Xn
Xn
:
:
Xn
+
F1
F2
:
:
Fn
=
X1
X2
.
.
Xn
34
3.3.1. Analisis Keterkaitan
3.3.1.1. Keterkaitan Langsung ke Depan
Keterkaitan langsung ke depan memperlihatkan akibat dari suatu sektor
terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian output sektor tersebut secara
langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan ini dirumuskan sebagai
berikut :
………………………………………………………….………….(3.5)
= keterkaitan langsung ke depan sektor i,
= unsur matriks koefisien teknis.
3.3.1.2. Keterkaitan Langsung ke Belakang
Keterkaitan jenis ini memperlihatkan akibat dari suatu sektor terhadap
sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut secara langsung
per unit kenaikan permintaan total. Dinyatakan dalam rumus berikut:
………………………………..……………………………………(3.6)
= keterkaitan langsung ke belakang sektor i,
= unsur matriks koefisien teknis.
3.3.1.3. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Depan
Jensen (1986), keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan
memperlihatkan akibat dari suatu sektor terhadap sektor-sektor yang
35
menggunakan output bagi sektor tersebut secara langsung maupun tidak langsung
per unit kenaikan permintaan total. Dirumuskan sebagai berikut:
………………………………………………………………(3.7)
= keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor i,
= unsur matriks kebalikan Leontief model terbuka.
3.3.1.4. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Belakang
Keterkaitan jenis ini menyatakan akibat dari suatu sektor terhadap sektor-
sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut baik secara langsung
maupun tidak langsung per unit kenaikan permintaan total (Jensen, 1986).
Dinyatakan dalam rumus berikut:
………………………………………….……………………(3.8)
= keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor i,
= unsur matriks kebalikan Leontief model terbuka.
3.3.2. Dampak Penyebaran
Indeks keterkaitan baik langsung maupun tidak langsung ke depan ataupun
ke belakang belum mencukupi dijadikan landasan pemilihan sektor kunci.
Indikatornya tidak dapat diperbandingkan antarsektor karena peranan permintaan
akhir setiap sektor tidak sama, sehingga harus dilakukan penormalan. Untuk
36
menormalkan indeks tersebut dilakukan dengan cara membandingkan rata-rata
dampak yang dilakukan oleh sektor tersebut dengan rata-rata dampak seluruh
sektor. Analisis ini dikenal dengan dampak penyebaran yang terbagi menjadi
kepekaan penyebaran dan koefisien penyebaran.
3.3.2.1. Koefisien Penyebaran (Daya Penyebaran ke Belakang / Daya Menarik)
Konsep koefisien penyebaran diartikan sebagai kemampuan suatu sektor
untuk meningkatkan pertumbuhan industri hulunya. Konsep ini bermanfaat untuk
mengetahui distribusi manfaat dari pengembangan suatu sektor terhadap
perkembangan sektor-sektor lainnya melalui mekanisme transaksi pasar input.
Sektor j dikatakan mempunyai kaitan ke belakang yang tinggi apabila Pdj
mempunyai nilai lebih besar dari satu, dan berlaku sebaliknya jika nilai Pdj lebih
kecil dari satu (Priyarsono, et al. 2007). Rumus yang digunakan untuk mencari
nilai koefisien penyebaran adalah:
…………………..……………………………….(3.9)
= koefisien penyebaran sektor j,
= unsur matriks kebalikan Leontief.
3.3.2.2. Kepekaan Penyebaran (Daya Penyebaran ke Depan / Daya Mendorong)
Konsep ini diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk mendorong
pertumbuhan produksi sektor-sektor lain yang memakai input dari sektor ini.
Kepekaan penyebaran bermanfaat untuk mengetahui tingkat kepekaan suatu
37
sektor terhadap sektor-sektor lainnya melalui mekanisme pasar output. Sektor I
dikatakan mempunyai kepekaan penyebaran yang tinggi apabila nilai Sdi lebih
besar dari satu. Berlaku pula sebaliknya bila nilai Sdi lebih kecil dari satu. Rumus
yang digunakan untuk mencari nilai kepekaan penyebaran adalah:
…………………………………………………………..(3.10)
= kepekaan penyebaran sektor i,
= unsur matriks kebalikan Leontief.
3.3.3. Analisis Multiplier
Berdasarkan matriks kebalikan Leontief, baik pada model terbuka (αij)
maupun pada model tertutup (α*ij) nilai-nilai multiplier output, pendapatan, dan
tenaga kerja dapat diperoleh melalui rumus-rumus pada Tabel 3.1. berikut
38
Tabel 3.1. Rumus Multiplier Output, Pendapatan, dan Tenaga Kerja
Nilai Output Pendapatan Tenaga Kerja
Efek Awal 1 hi ei
Efek Putaran Pertama Σiaij Σiaij hi Σiaij ei
Efek Dukungan Industri Σiαij - 1 - Σiaij Σiαij hi - hj - Σiaij hi Σiαij eij - ej - Σiaij ei
Efek Induksi Konsumsi Σiα*ij - Σiαij Σiα*ij hi - Σiαijhi Σiα*ijei - Σiαijei
Efek Total Σiα*ij Σiα*ijhi Σiα*ijei
Efek Lanjutan Σiα*ij – 1 Σiα*ijhi - hi Σiα*ijei - ei
Sumber: Priyarsono, et al. 2007.
Dimana :
aij = Koefisien Output,
hi = Koefisien Pendapatan Rumah Tangga,
ei = Koefisien Tenaga kerja,
αij = Matriks Kebalikan Leontief Model Terbuka,
α*ij = Matriks Kebalikan Leontief Model Tertutup.
39
Untuk melihat hubungan antara efek awal dan efek lanjutan per unit
pengukuran dari sisi output, pendapatan, dan tenaga kerja maka dihitung dengan
menggunakan rumus multiplier tipe I dan tipe II sebagai berikut:
Tipe II =
3.4. Definisi Operasional Data
a. Industri Pengolahan
Industri pengolahan ialah semua kegiatan mengubah suatu barang yang
bertujuan meningkatkan mutu barang dan jasa. Proses pengubahan dapat
dilakukan secara mekanis, kimiawi maupun dengan menggunakan alat-alat
sederhana dan mesin-mesin. Kegiatan jasa industri dan pekerjaan perakitan
termasuk ke dalam kegiatan ini.
Pada klasifikasi 29 sektor industri pengolahan dibagi menjadi 10 sub
sektor yang mencakup pengilangan minyak bumi; industri makanan dan
minuman; industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki; industri kayu, bambu,
rotan dan furnitur; industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan
penerbitan; industri kimia, barang-barang dari bahan kimia, karet dan plastik;
industri barang mineral bukan logam; industri logam dasar; industri barang jadi
dari logam; industri pengolahan lainnya.
40
b. Output
Berdasarkan Tabel Input-Output, output adalah output domestik, yaitu
nilai dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor-sektor produksi di wilayah
dalam negeri (domestik), tanpa membedakan asal usul yang melakukan produksi
barang dan jasa tersebut. Pelaku produksi dapat berupa perusahaan dan
perorangan baik dari dalam negeri maupun asing. Bagi unit usaha yang
produksinya berupa barang, maka output merupakan hasil kali kuantitas produksi
barang yang bersangkutan dengan harga produsen per unit barang tersebut.
Sedangkan bagi unit usaha yang bergerak di bidang jasa, maka outputnya
merupakan nilai penerimaan dari jasa yang diberikan kepada pihak lain.
c. Transaksi Antara
Transaksi antara adalah transaksi yang terjadi antara sektor yang berperan
sebagai konsumen dan produsen. Sektor yang berperan sebagai produsen atau
sektor produksi merupakan sektor pada masing-masing baris, sedangkan sektor
yang berperan sebagai konsumen merupakan sektor pada setiap kolom. Transaksi
antara hanya meliputi transaksi barang dan jasa yang terjadi dalam hubungannya
dalam proses produksi. Jadi, isian sepanjang baris pada transaksi antara
memperlihatkan alokasi output suatu sektor dalam memenuhi kebutuhan input
sektor-sektor lain untuk keperluan produksi dan disebut sebagai permintaan
antara. Sedangkan isian sepanjang kolom menunjukkan input barang dan jasa
yang digunakan dalam proses produksi suatu sektor dan disebut sebagai input
antara.
41
d. Permintaan Akhir dan Impor
Permintaan akhir adalah permintaan atas barang dan jasa untuk keperluan
konsumsi. Permintaan akhir terdiri dari pengeluaran konsumsi rumah tangga,
pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan
stok dan ekspor.
i. Pengeluaran Rumah Tangga
Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah pengeluaran yang dilakukan
rumah tangga untuk semua pembelian barang dan jasa dikurangi penjualan
netto barang bekas. Barang dan jasa dalam hal ini mencakup barang tahan
lama dan barang tidak tahan lama kecuali pembelian rumah tempat tinggal.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga mencakup konsumsi yang dilakukan di
dalam dan di luar negeri. Untuk menjaga konsistensi data, maka konsumsi
oleh penduduk asing di wilayah negara tersebut diperlakukan sebagai ekspor.
ii. Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
Pengeluaran konsumsi pemerintah mencakup semua pengeluaran barang dan
jasa untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan administrasi pemerintahan dan
pertahanan, baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah.
iii. Pembentukan Modal Tetap
Meliputi pengadaan, pembuatan atau pembelian barang-barang modal baru
baik dari dalam maupun luar negeri termasuk barang modal bekas dari luar
daerah.
42
iv. Perubahan Stok
Perubahan stok merupakan selisih antara nilai stok barang pada akhir tahun
dengan nilai stok barang pada awal tahun. Perubahan stok dapat digolongkan
menjadi : (1) perubahan stok barang jadi dan setengah jadi yang disimpan oleh
produsen, termasuk perubahan jumlah ternak dan unggas serta barang-barang
strategis yang merupakan cadangan nasional, (2) perubahan stok bahan
mentah dan bahan baku yang belum digunakan oleh produsen, (3) perubahan
stok di sektor perdagangan, yang terdiri dari barang-barang dagangan yang
belum terjual.
v. Ekspor dan Impor
Pada Tabel Input-Output regional, yang dimaksud dengan ekspor dan impor
barang dan jasa adalah meliputi transaksi barang dan jasa antara penduduk
suatu negara/daerah dengan penduduk negara/daerah lain. Transaksi tersebut
terdiri dari ekspor dan impor untuk barang dagangan, jasa pengangkutan,
komunikasi, asuransi dan berbagai jasa lainnya. Transaksi ekspor mencakup
juga pembelian langsung di suatu daerah oleh penduduk negara/daerah lain,
sebaliknya pembelian langsung di luar negeri/luar daerah oleh penduduk suatu
daerah dikategorikan sebagai transaksi impor.
Transaksi ekspor barang ke luar negeri dinyatakan dangan nilai free on board
(f.o.b) yaitu suatu nilai yang mencakup juga semua biaya angkutan di negara
pengekspor, bea ekspor dan biaya pemuatan barang sampai ke kapal yang
akan mengangkutnya. Sedangkan transaksi impor dari luar negeri dinyatakan
43
atas dasar biaya pendaratan (landed cost) yang terdiri dari nilai cost, insurance
and freight (c.i.f) ditambah dengan bea masuk dan pajak penjualan impor.
e. Input Primer
Input primer adalah balas jasa atas pemakaian faktor-faktor produksi yang
terdiri dari tenaga kerja, tanah, modal, dan kewiraswastaan. Input primer disebut
juga nilai tambah bruto dan merupakan selisih antara output dengan input antara.
i. Upah dan Gaji
Upah dan gaji mencakup semua balas jasa dalam bentuk uang maupun barang
dan jasa kepada tenaga kerja yang ikut dalam kegiatan produksi selain pekerja
keluarga yang tidak dibayar.
ii. Surplus Usaha
Merupakan balas jasa atas kewiraswastaan dan pendapatan atas pemilikan
modal. Surplus usaha antara lain terdiri dari keuntungan sebelum dipotong
pajak penghasilan, bunga atas modal, sewa tanah dan pendapatan atas hak
kepemilikan lainnya. Besarnya nilai surplus usaha adalah sama dengan nilai
tambah bruto dikurangi dengan upah/gaji, penyusutan dan pajak tak langsung
netto.
iii. Penyusutan
Yang dimaksud dengan penyusutan adalah penyusutan barang-barang modal
tetap yang digunakan dalam proses produksi. Penyusutan merupakan nilai
penggantian terhadap penurunan nilai barang modal tetap yang digunakan
dalam proses produksi.
44
iv. Pajak Tidak Langsung Netto
Pajak tak langsung netto adalah selisih antara pajak tak langsung dengan
subsidi. Pajak tak langsung mencakup pajak impor, pajak ekspor, bea masuk,
pajak pertambahan nilai, cukai dan sebagainya.
Sedangkan subsidi adalah bantuan yang diberikan pemerintah kepada
produsen. Subsidi pada dasarnya adalah tambahan pendapatan bagi produsen.
Oleh karena itu subsidi disebut juga sebagai pajak tak langsung negatif.
IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT
4.1. Gambaran Umum Wilayah
Secara geografis Provinsi Jawa Barat terletak di antara 104°48’ - 108°48’
Bujur Timur dan 5°50’ - 7°50’ Lintang Selatan. Wilayah ini berbatasan dengan
Laut Jawa dan DKI Jakarta di sebelah Utara, Samudra Indonesia di sebelah
Selatan, Provinsi Banten di sebelah Barat, dan Provinsi Jawa Tengah di sebelah
Timur.
Luas wilayah Jawa Barat kurang lebih 34.816,96 Km². Kawasan utara
merupakan daerah dataran rendah sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit
dengan sedikit pantai. Di bagian tengah merupakan dataran tinggi bergunung-
gunung, yakni bagian dari rangkaian pegunungan yang membujur dari barat
hingga timur Pulau Jawa. Titik tertingginya adalah Gunung Ciremay, yang berada
di sebelah barat daya Kota Cirebon. Sungai-sungai yang cukup penting adalah
Sungai Citarum dan Sungai Cimanuk, yang bermuara di Laut Jawa.
Dari segi pemerintahan, Jawa Barat dibagi menjadi 9 daerah otonom
tingkat I dan 19 daerah otonom tingkat II, termasuk Kabupaten Bandung Barat
yang telah diresmikan berdasarkan UU RI No. 12 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat pada 2 Januari
2007. Pada tahun 2000 provinsi ini dimekarkan dengan berdirinya Provinsi
Banten yang sekarang berbatasan langsung di sebelah barat. Jawa Barat memiliki
618 kecamatan, dengan 1.859 perkotaan dan 4.004 perdesaan, seperti yang terinci
pada Tabel 4.1.
46
Tabel 4.1. Jumlah Kecamatan dan Klasifikasi Perkotaan/Perdesaan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat 2007
Kabupaten/Kota Jumlah Kecamatan
Klasifikasi Jumlah Perkotaan Perdesaan
Kabupaten
01. Bogor 40 200 228 428
03. Cianjur 32 45 303 348
02. Sukabumi 47 66 301 367
04. Bandung 31 156 111 267
05. Garut 42 96 328 424
06. Tasikmalaya 39 34 317 351
07. Ciamis 36 48 299 347
08. Kuningan 32 74 302 376
09. Cirebon 40 217 207 424
10. Majalengka 26 80 254 334
11. Sumedang 26 52 225 277
12. Indramayu 31 64 249 313
13. Subang 30 34 219 253
14. Purwakarta 17 50 142 192
15. Karawang 30 68 241 309
16. Bekasi 23 65 122 187
17. Bandung Barat 15 53 112 165
Kota
18. Bogor 6 67 1 68
19. Sukabumi 7 31 2 33
20. Bandung 30 150 1 151
21. Cirebon 5 22 - 22
22. Bekasi 12 52 4 56
23. Depok 6 61 2 63
24. Tasikmalaya 8 50 19 69
25. Cimahi 3 15 - 15
26. Banjar 4 9 15 24
Jawa Barat 618 1.859 4.004 5.863 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2008.
47
Tabel 4.2. Luas Wilayah, Rata-Rata Penduduk per Km2, per Desa di Provinsi Jawa Barat 2006
Kabupaten/Kota Luas Wilayah (Km2)
Rata-rata Penduduk Per Km2 Per Desa/Kelurahan
Kabupaten
01. Bogor 2.239,09 1.884,67 9.897,15
03. Cianjur 3.160,51 709,03 6.533,24
02. Sukabumi 2.977,44 713,71 6.106,39
04. Bandung 2.286,61 1.925,55 9.998,02
05. Garut 2.179,51 1.090,03 5.669,99
06. Tasikmalaya 2.301,78 757,38 4.966,74
07. Ciamis 2.262,97 691,62 4.536,58
08. Kuningan 816,88 1.369,57 2.983,40
09. Cirebon 958,27 2.227,61 5.034,57
10. Majalengka 1.068,69 17.440,59 3.619,32
11. Sumedang 1.062,88 1.025,41 4.051,63
12. Indramayu 1.636,51 1.086,70 5.736,76
13. Subang 1.855,01 776,92 5.719,01
14. Purwakarta 757,57 1.035,94 4.087,48
15. Karawang 1.533,86 1.324,19 6.573,23
16. Bekasi 1.065,35 1.869,09 10.648,29
Kota 18. Bogor 108,98 7.853,24 12.585,97
19. Sukabumi 49,81 5.915,40 8.928,67
20. Bandung 167,91 13.939,75 16.839,02
21. Cirebon 36,97 7.718,77 12.971,05
22. Bekasi 209,55 9.736,38 36.433,18
23. Depok 212,24 6.566,00 22.120,13
24. Tasikmalaya 40,23 12.583,89 33.750,00
25. Cimahi 177,79 3.433,58 8.847,19
26. Banjar 114,21 1.549,45 8.050,82
Jawa Barat 29.276,72 1.391,47 7.014,05Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2007.
Dari tabel 4.1. Di atas terlihat bahwa Kabupaten Sukabumi merupakan
kabupaten dengan jumlah kecamatan terbanyak yaitu 47 kecamatan diikuti oleh
48
Kabupaten Garut dengan 42 kecamatan dan Kabupaten Bogor dan Kabupaten
Cirebon sejumlah 40 kecamatan. Jumlah perkotaan terbanyak dimiliki oleh
Kabupaten Cirebon sebanyak 217 daerah perkotaan disusul oleh Kabupaten Bogor
sebanyak 200 buah. Namun jumlah perkotaan/perdesaan terbesar dimiliki oleh
Kabupaten Bogor sebanyak 428 buah.
Dari tabel 4.2. terlihat bahwa Kabupaten Sukabumi memiliki wilayah yang
paling luas yaitu sebesar 3.160,51 Km2 diikuti oleh Kabupaten Cianjur dengan
luas 2.977,44 Km2 dan Kabupaten Tasikmalaya di posisi ketiga dengan luas
2.301,78 Km2.
4.2. Perkembangan Penduduk dan Tenaga Kerja
Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat setiap tahunnya terus meningkat, ini
dikarenakan letak Provinsi Jawa Barat yang sangat strategis dan sangat dekat
dengan ibukota negara Indonesia. Pada tahun 2003, 2004, 2005, 2006 berturut-
turut adalah sebesar 37.980 ribu jiwa, 38.472 ribu jiwa, 39.960 ribu jiwa, 40.738
ribu jiwa, 41.484 ribu jiwa.
Penduduk Jawa Barat pada tahun 2007 mencapai 41.484.000 jiwa,
penduduk terbanyak terdapat di Kabupaten Bogor sebesar 4,3 juta jiwa kemudian
diikuti oleh Kabupaten Bandung sebanyak 3,03 juta jiwa, sedangkan jumlah
penduduk terendah berada di Kota Banjar hanya sebanyak 0,18 juta jiwa. Terjadi
penurunan jumlah penduduk yang cukup besar di Kabupaten Bandung karena
sebagian wilayahnya sudah masuk ke Kabupaten Bandung Barat.
49
Pada tahun 2007 jumlah rumah tangga di Jawa Barat mencapai 11.046.016
rumah tangga, dengan rata-rata anggota 3,75 per rumah tangga. Kabupaten Bogor
menduduki peringkat pertama, yaitu sebanyak 1.022.976 rumah tangga, kemudian
Kabupaten Bandung pada posisi kedua sebesar 745.984 rumah tangga dan ketiga
terbanyak adalah Kota Bandung sebesar 686.400 rumah tangga.
Kepadatan penduduk di Jawa Barat mencapai 1.790 orang/Km2. Terpadat
di Kota Bandung, yaitu sebesar 14.081 orang/Km2 dan yang terendah di
Kabupaten Ciamis hanya sebesar 701 orang/Km2. Jumlah rumah tangga miskin
yang menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Jawa Barat pada tahun 2007
sebanyak 2.897.807 rumah tangga. Jumlah penerima terbanyak berada di wilayah
Kabupaten Bandung sebesar 279.692 (9,65 %), kedua Kabupaten Bogor sebesar
256.792 (8,86 %), dan peringkat ketiga Kabupaten Sukabumi sebesat 228.165
(7,87 %).
Angkatan kerja di Provinsi jawa Barat sebanyak 18.240.036 orang pada
tahun 2007. Yang aktif bekerja sebanyak 86,92 persen atau sekitar 15.854.239 dan
yang mengangur sebesar 13,08 persen atau 2.385.797 orang. Sebagian besar
penduduk bekerja di sektor perdagangan, jasa-jasa dan industri. Sedangkan
lowongan kerja yang terdaftar pada tahun 2007 terbesar ada di lapangan usaha
industri, kemudian menyusul sektor jasa-jasa, perdagangan dan keuangan. Jumlah
pencari kerja berdasarkan tingkat pendidikan didominasi oleh kelompok jenjang
pendidikan SLTA disusul oleh Sarjana Muda, SLTP dan Sarjana, masing-masing
dengan persentase 77,83; 14,33; 4,16; dan 3,5.
50
4.3. Perkembangan Transportasi, Komunikasi dan Pariwisata
Transportasi sangat dibutuhkan untuk melayani masyarakat, di Provinsi
Jawa Barat peranan perhubungan darat cukup dominan terutama untuk
memperlancar kegiatan perekonomian. Disamping itu perhubungan darat
merupakan salah satu sektor yang cukup besar peranannya karena kontribusinya
untuk menembus isolasi suatu daerah untuk pemerataan pembangunan seluruh
daerah.
Panjang jalan di Jawa Barat pada akhir tahun 2007 adalah 21.744,48 Km.
Dibandingkan tahun yang sebelumnya, kualitas jalan raya sedikit mengalami
peningkatan. Menurut jenis permukaan jalan maka sepanjang 17.556,73 Km atau
sebesar 80,74 persen sudah beraspal, 2.641,99 Km atau 12,15 persen berkerikil,
sisanya sepanjang 1.545,76 Km atau sebesar 7,11 persen masih batu. Dari seluruh
jalan yang ada di Provinsi Jawa Barat, hanya 7.417,31 Km dalam kondisi baik,
sepanjang 6.248,01 Km dalam kondisi sedang sedangkan sisanya sepanjang
8.079,17 Km dalam kondisi rusak dan rusak berat.
Jawa Barat juga memiliki angkutan udara meskipun kurang berkembang
dibandingkan dengan provinsi-provinsi yang lain di Indonesia. Sejak tahun 2004
penerbangan internasional di Bandara Husein Sastranegara telah aktif kembali hal
ini mendukung minat para wisatawan dalam dan luar negeri untuk mengunjungi
Jawa Barat yang kondisi alamnya sangat indah dan menjadi alternatif tempat
wisata bagi penduduk DKI Jakarta dan sekitarnya.
Jawa Barat ditetapkan sebagai salah satu tujuan wisata sehingga sektor
pariwisatanya cukup potensial untuk menunjang pembangunan daerah dan dapat
51
diandalkan sebagai sumber devisa negara. Jumlah kunjungan ke objek wisata di
Jawa Barat pada tahun 2007 tercatat sebanyak 6.113.815, 4,19 persen merupakan
kunjungan oleh wisatawan mencanegara dan 95,81 persen oleh wisatawan
mancanegara. Wisatawan mancanegara dan nusantara paling banyak melakukan
kunjungan ke Kota Bandung dan disusul oleh Kota Bogor.
Meskipun peranan pos dan telekomunikasi dalam struktur perekonomian
Jawa Barat tidak terlalu besar, namun cukup besar dalam menunjang
perekonomian daerah. Jika tanpa kontribusi dari telekomunikasi, dunia usaha di
daerah ini tidak akan semaju seperti saat ini. Dengan berkembangnya teknologi
informasi pemakaian jasa Pos semakin berkurang, sedangkan pemakain internet
dan telekomunikasi yang menggunakan teknologi wireless terus berkembang
pesat.
Hal ini tercermin dari jumlah surat yang dikirim lewat Pos pada tahun
2007 baik untuk dalam dan luar negeri jenis surat biasa dan surat tercatat,
semuanya mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Masing-masing sebesar 9,89 persen dan 51,27 persen untuk dalam negeri dan
34,80 persen,dan 8,26 persen untuk surat yang dikirim ke luar negeri.
Untuk mengikuti perkembangan telekomunikasi P.T Telkom terus
menerus berusaha untuk meningkatkan jasa pelayanan dengan memerlancar arus
informasi dan memerluas jangkauan jasa telekomunikasi ke pelosok tanah air.
Hasilnya pada tahun 2007 jumlah Telepon Umum Kartu sebanyak 80 unit, dan
Telepon Umum Koin sebanyak 2.974 unit telah tersebar di daerah-daerah. Jumlah
ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
52
4.4. Perkembangan Perekonomian
Kemajuan mengesankan di bidang ekonomi dan bisnis yang dicapai
Provinsi Jawa Barat tercermin dari laju pertumbuhan ekonomi yang tergolong
cukup tinggi. Laju pertumbuhan ekonomi dihitung dari kenaikan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tercatat 6,40 persen
pada tahun 2007, angka ini lebih tinggi dibanding laju pertumbuhan tahun 2006
yang sebesar 6,01 persen.
Tabel 4.3. PDRB dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2007
Tahun Harga berlaku Harga konstan (2000)
PDRB (Miliar Rupiah)
Kenaikan (persen)
PDRB (Miliar Rupiah)
Kenaikan (persen)
2005 389.244,65 - 242.883,88 -
2006 473.187,30 21,56 257.499,45 6,01
2007 526.220,23 11,20 273.995,14 6,40 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2008. Laju pertumbuhan yang cukup tinggi itu tidak terlepas dari kemajuan yang
dicapai oleh beberapa sektor ekonomi yang menjadi penggerak perekonomian di
Provinsi Jawa Barat. Potensi ekonomi yang dimiliki oleh Provinsi Jawa Barat juga
tercermin dari kontribusi yang diberikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia. Pada tahun 2003 sumbangan PDRB Provinsi Jawa Barat terhadap PDB
Indonesia ialah sebesar 14,40 persen, kemudian meningkat pada tahun 2004
menjadi 14,52 persen dan meningkat lagi pada tahun 2005 yaitu menjadi 14,55
persen. Dari tabel di bawah dapat terlihat bahwa Provinsi Jawa Barat menduduki
urutan ke tiga di bawah DKI Jakarta dan Jawa Timur.
53
Tabel 4.4. Persentase Sumbangan PDRB Lima Provinsi Terbesar Terhadap PDB Nasional Tahun 2003-2005 (Persen)
Sumber: BPS, 2007.
Urutan Provinsi Tahun
2003 2004 2005
1 DKI Jakarta 17,13 17,35 17,48
2 Jawa Timur 14,87 15,09 15,17
3 Jawa Barat 14,40 14,52 14,55
4 Jawa Tengah 8,39 8,46 8,47
5 Sumatera Utara 5,12 5,19 5,20
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Industri Pengolahan dalam Perekonomian Provinsi Jawa Barat
Sumbangan sektor industri pengolahan dalam perekonomian Provinsi
Jawa Barat dapat kita lihat dari komposisi dalam pembentukan permintaan dan
penawaran, ekspor-impor dan neraca perdagangan yang terbentuk, dan struktur
nilai tambah bruto.
5.1.1. Komposisi Permintaan dan Penawaran
Output yang dihasilkan oleh Provinsi Jawa Barat pada tahun 2003 adalah
sebesar Rp. 598.822.916 juta. Output sebesar itu dialokasikan untuk memenuhi
permintaan akhir sebesar Rp. 347.835.450 juta atau 58,09 persen dari total output
yang dihasilkan Provinsi Jawa Barat. Sisanya sebesar Rp. 250.987.466 juta atau
41,91 persen digunakan untuk memenuhi permintaan antara.
Dengan menambahkan jumlah total impor wilayah (dari luar Provinsi
Jawa Barat), yaitu sebesar Rp. 51.477.654 juta pada total output yang dihasilkan
dari wilayah Provinsi Jawa Barat sendiri akan dapat ditentukan besarnya
penawaran barang dan jasa yang akan digunakan untuk permintaan wilayah. Dari
jumlah penawaran sebesar Rp. 598.822.916 juta berarti 91,41 persen dihasilkan
dari dalam wilayah, sisanya 8,59 persen dipenuhi dari impor. Komposisi nilai
impor yang kecil dalam pembentukan penawaran barang dan jasa di Provinsi Jawa
Barat menunjukkan bahwa perekonomian Provinsi Jawa Barat sangat tergantung
pada produksinya dalam wilayahnya sendiri. Kemandirian wilayah sangat
menguntungkan Provinsi Jawa Barat dalam rangka pembangunan ekonomi dan
55
upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Daerah yang memiliki
ketergantungan ekonomi yang tinggi pada impor menunjukkan tingkat
swasembada daerah tersebut masih tergolong rendah. Persentase nilai impor yang
tinggi juga menunjukkan bahwa daerah tersebut masih tergolong muda, dalam
artian tingkat kematangan dalam membangun daerahnya sendiri masih rendah.
Gambaran perekonomian sektoral wilayah dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Struktur Output Provinsi Jawa Barat 2003 (dalam Juta Rupiah)
Sektor Nilai Output Persentase Peringkat Pertanian 44.735.288 7,471 3 Pertambangan Dan Penggalian 21.356.413 3,566 7 Industri Pengolahan 342.255.738 57,155 1 Listrik, Gas Dan Air Bersih 18.579.354 3,103 8 Bangunan/Konstruksi 22.908.981 3,826 6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 74.638.462 12,464 2 Pengangkutan Dan Komunikasi 24.526.963 4,096 5 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Perusahaan 15.342.293 2,562 9
Jasa-Jasa 34.479.424 5,758 4 Jumlah 598.822.916 100,00 -
Sumber: Tabel Transaksi IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
Dari tabel 5.1. dapat dilihat bahwa peranan sektor industri pengolahan
dalam Provinsi Jawa Barat masih mendominasi struktur perekonomian secara
sektoral. Dari kesembilan sektor ekonomi yang ada, sektor industri pengolahan
menempati peringkat pertama dalam menyumbang nilai output, yaitu sebesar Rp.
342.255.738 juta. Jumlah tersebut merupakan 57,15 persen dari jumlah total
output wilayah, yang berarti lebih dari separuh nilai output wilayah disumbang
oleh sektor industri pengolahan.
Di sisi sektor industri pengolahan itu sendiri, subsektor penyumbang
terbesar ialah sektor industri barang jadi dari logam, disusul oleh sektor industri
56
tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki, dan industri kimia, barang-barang dari
kimia, karet dan plastik pada posisi ke tiga. Berikut disajikan urutan subsektor
industri pengolahan terhadap output Provinsi Jawa Barat.
Tabel 5.2. Struktur Output Subsektor Industri Pengolahan di Provinsi Jawa Barat 2003 (dalam Juta Rupiah)
Subsektor Output Peringkat
Industri Makanan dan Minuman 36.918.125 4 Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Kulit dan Alas Kaki 72.603.671 2
Industri Kayu, Bambu, Rotan dan Furnitur 3.976.677 10
Industri Kertas dan Barang-Barang dari Kertas, Percetakan dan Penerbitan 11.945.013 5
Industri Kimia, Barang-Barang dari Bahan Kimia, Karet dan Plastik 37.134.154 3
Pengilangan Minyak Bumi 9.805.655 6 Industri Barang Mineral bukan Logam 6.780.397 8 Industri Logam Dasar 6.844.417 7 Industri Bahan Jadi dari Logam 150.552.725 1 Industri Pengolahan Lainnya 5.694.905 9
Jumlah 342.255.738 - Sumber: Tabel Transaksi IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
Keempat sektor penyumbang terbesar dalam output total urutan berikutnya
adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sebesar Rp.
74.638.462 juta (12,46 %), sektor pertanian menyumbang sebesar Rp. 44.735.288
juta (7,47%), sektor jasa-jasa menyumbang sebesar Rp. 34.479.424 juta (5,758%),
dan yang kelima adalah sektor pengangkutan dan komunikasi menyumbang
sebesar Rp. 24.526.963 juta (4,09%).
Sektor perdagangan, hotel dan restoran yang menempati urutan kedua dan
sektor pertanian yang menempati urutan ketiga, baik dari nilai sumbangannya
terhadap output maupun dari sisi peringkat kontribusinya terhadap output
57
(kuantitatif dan kualitatif) memiliki peranan yang besar dalam perekonomian
Provinsi Jawa Barat.
Sektor industri pengolahan menempati urutan pertama baik dalam nilai
permintaan antara maupun permintaan akhir. Dari segi permintaan antara terlihat
bahwa sektor industri pengolahan menghasilkan output terbesar yang digunakan
oleh seluruh sektor-sektor perekonomian lainnya yaitu sebesar Rp. 140.570.936
juta atau 56,01 persen dari total permintaan antara terhadap keseluruhan output
sektor perekonomian. Tingginya permintaan antara terhadap sektor industri
pengolahan menunjukkan pentingnya peranan output yang dihasilkan oleh sektor
tersebut untuk digunakan sebagai input oleh sektor-sektor perekonomian lainnya
di Provinsi Jawa Barat.
Disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sebesar
Rp. 28.147.494 juta (11,21%), sektor pertambangan dan galian sebesar Rp.
21.867.973 juta (8,71%), sektor pertanian menyumbang sebesar Rp. 19.283.136
juta (7,68%), dan yang kelima adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan menyumbang sebesar Rp. 11.851.747 juta atau 4,72 persen dari total
permintaan antara.
Dari segi pemintaan akhir sektor industri pengolahan tetap menjadi sektor
yang memiliki permintaan akhir yang tertinggi yaitu sebesar Rp. 201.684.802 juta
atau sekitar 57,98 persen dari total permintaan akhir wilayah ini. Sebagian besar
permintaan akhir ini diciptakan oleh ekspor baik ekspor domestik maupun ekspor
ke luar negeri.
58
Tabel 5.3. Permintaan Antara Dan Permintaan Akhir Sektor-Sektor Perekonomian Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 (dalam Milyar Rupiah)
Sektor
Permintaan Antara
Permintaan Akhir Total Permintaan
Jumlah persen Jumlah persen Jumlah perse
n Pertanian 19.283 7,68 25.452 7,32 44.735 7,47 Pertambangan Dan Penggalian 21.867 8,71 -511 -0,15 21.356 3,57 Industri Pengolahan 140.570 56,01 201.684 57,98 342.255 57,15 Listrik, Gas Dan Air Bersih 11.066 4,41 7.512 2,16 18.579 3,10 Bangunan/Konstruksi 1.884 0,75 21.024 6,04 22.908 3,83 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 28.147 11,21 46.490 13,37 74.638 12,46 Pengangkutan Dan Komunikasi 10.053 4,01 14.473 4,16 24.526 4,10 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Perusahaan
11.851 4,72 3.490 1,00 15.342 2,56
Jasa-Jasa 6.262 2,50 28.217 8,11 34.479 5,76 Jumlah 250.987 100 347.835 100 598.822 100
Sumber: Tabel Transaksi IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
Disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sebesar
Rp. 46.490.968 juta (13,37%), sektor jasa-jasa sebesar Rp. 28.217.214 juta
(8,11%), sektor pertanian menyumbang sebesar Rp. 25.452.152 juta (7,32%), dan
yang kelima adalah sektor bangunan/konstruksi menyumbang sebesar Rp.
21.024.963 juta atau 6,04 persen dari total permintaan akhir.
Lebih tingginya nilai permintaan akhir terhadap industri pengolahan
dibandingkan dengan nilai permintaan antaranya mengindikasikan bahwa output
industri pengolahan cenderung digunakan untuk memenuhi konsumsi langsung.
Tabel 5.4. Menunjukkan bahwa diantara ke sepuluh subsektor industri
pengolahan yang ada industri bahan jadi dari logam, memiliki permintaan antara
yang terbesar disusul oleh industri kimia, barang-barang dari bahan kimia, karet
dan plastik, dan industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki di posisi ke tiga.
Kemudian dari sisi permintaan akhir industri bahan jadi dari logam tetap
59
menduduki peringkat pertama disusul oleh industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan
alas kaki dan industri makanan dan minuman di posisi ke tiga.
Tabel 5.4. Permintaan Antara Dan Permintaan Akhir Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 (dalam Juta Rupiah)
Subsektor Permintaan Antara
Permintaan Akhir
Total Permintaan
Industri Makanan dan Minuman 8.863.716 28.054.410 36.918.126Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Kulit dan Alas Kaki 24.371.843 48.231.827 72.603.670Industri Kayu, Bambu, Rotan dan Furnitur 1.652.949 2.323.728 3.976.677Industri Kertas dan Barang-Barang dari Kertas, Percetakan dan Penerbitan 7.755.569 4.189.444 11.945.013Industri Kimia, Barang-Barang dari Bahan Kimia, Karet dan Plastik 26.541.447 10.592.707 37.134.154Pengilangan Minyak Bumi 8.170.621 1.635.034 9.805.655Industri Barang Mineral bukan Logam 4.283.710 2.496.686 6.780.396Industri Logam Dasar 5.254.142 1.590.275 6.844.417Industri Bahan Jadi dari Logam 52.398.275 98.154.450 150.552.725Industri Pengolahan Lainnya 1.278.664 4.416.241 5.694.905
Jumlah 140.570.936 201.684 802 342.255.738 Sumber: Tabel Transaksi IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
5.1.2. Analisis Ekspor dan Impor Wilayah
Neraca perdagangan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 menunjukkan
surplus sebesar Rp. 94.789.199 juta. Angka ini merupakan selisih antara nilai
ekspor dengan impor wilayah. Gambaran secara sektoral mengenai neraca
perdagangan Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 5.5. berikut.
Dapat dilihat kondisi sektor-sektor ekonomi Provinsi Jawa Barat dari
transaksi ekspor dan impor yang terjadi. Enam dari sembilan sektor tampak
memiliki neraca perdagangan yang positif/surplus, dan tiga sektor lainnya yaitu
sektor listrik, gas dan air bersih , sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
dan sektor bangunan/konstruksi bahkan tidak memiliki nilai ekspor sehingga
60
neraca perdagangannya defisit. Sektor-sektor dengan neraca negatif/defisit ini
menunjukkan kemandirian wilayah sektoral yang masih lemah.
Tabel 5.5. Nilai Ekspor dan Impor 9 Sektor Ekonomi Provinsi Jawa Barat, 2003 (dalam Juta Rupiah)
Sektor Ekspor Impor Neraca Perdagangan
Pertanian 2.437.451 1.421.120 1.016.331
Pertambangan Dan Penggalian 147.806 114.900 32.906
Industri Pengolahan 113.461.837 33.100.967 80.360.870
Listrik, Gas Dan Air Bersih 1.254.865 2.918.875 -1.664.010
Bangunan/Konstruksi 0 3.249.557 -3.249.557
Perdagangan, Hotel Dan Restoran 18.064.342 3.605.648 14.458.694
Pengangkutan Dan Komunikasi 6.630.262 3.246.512 3.383.750
Keuangan, Persewaan Dan Jasa Perusahaan 176.725 1.163.355 -986.630
Jasa-Jasa 4.093.565 2.656.720 1.436.845
Jumlah 146.266.853 51.477.654 94.789.199Sumber: Tabel Transaksi IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
Subsektor industri pengolahan yang memiliki nilai ekspor terbesar ialah
industri bahan jadi dari logam tetap di peringkat pertama disusul oleh industri
tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki dan industri kimia, barang-barang dari
bahan kimia, karet dan plastik. Namun untuk neraca perdagangan yang tercipta
sektor industri kimia, barang-barang dari bahan kimia, karet dan plastik memiliki
neraca perdagangan yang negatif sehingga urutan subsektor industri pengolahan
yang memberikan sumbangan neraca terbesar menjadi industri bahan jadi dari
logam, industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki dan industri kertas dan
barang-barang dari kertas, percetakan dan penerbitan.
61
Tabel 5.6. Nilai Ekspor dan Impor Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat, 2003 (dalam Juta Rupiah)
Subsektor Ekspor Impor Neraca Perdagangan
Industri Makanan dan Minuman 1.184.105 3.431.042 -2.246.937
Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Kulit dan Alas Kaki 32.695.816 7.722.219 24.973.597
Industri Kayu, Bambu, Rotan dan Furnitur 1.591.470 1.301.763 289.707
Industri Kertas dan Barang-Barang dari Kertas, Percetakan dan Penerbitan 3.372.337 713.236 2.659.101
Industri Kimia, Barang-Barang dari Bahan Kimia, Karet dan Plastik 3.470.404 5.404.306 -1.933.902
Pengilangan Minyak Bumi 102.861 237 102.624
Industri Barang Mineral bukan Logam 2.209.661 1.515.442 694.219
Industri Logam Dasar 1.315.414 752.953 562.461
Industri Bahan Jadi dari Logam 64.471.900 11.413.501 53.058.399
Industri Pengolahan Lainnya 3.047.869 846.268 2.201.601
Jumlah 113.461.837 33.100.967 80.360.870
Sumber: Tabel Transaksi IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
5.1.3. Struktur Nilai Tambah Bruto
Nilai tambah bruto merupakan balas jasa terhadap faktor-faktor produksi
yang terdiri atas upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak
langsung. Dari Tabel IO Provinsi Jawa Barat 2003, besarnya nilai tambah bruto
adalah Rp. 296.357.796 juta. Kontribusi penyusun nilai tambah bruto dapat dilihat
pada Tabel 5.7. Pangsa relatif untuk masing-masing komponen nilai tambah
bruto/unsur input primer diperoleh dengan cara membagi unsur-unsur tersebut
dengan total nilai tambah domestik bruto.
62
Dari Tabel 5.7. Dapat dilihat bahwa komponen penyusun nilai tambah
bruto terbesar adalah surplus usaha, yaitu sebesar Rp. 164.328.999 juta (55.45%),
kemudian disusul oleh komponen upah dan gaji sebesar Rp. 90.293.126 juta
(30.47%), penyusutan sebesar Rp. 27.772.732 juta (9,37%), dan yang terakhir
adalah komponen pajak tidak langsung netto sebesar Rp. 13.962.939 (4,71%).
Tabel 5.7. Struktur Nilai Tambah Bruto Provinsi Jawa Barat, 2003 (dalam Juta Rupiah)
Komponen Nilai
(Juta Rupiah) Kontribusi (Persen)
Upah Dan Gaji 90.293.126 30,47
Surplus Usaha 164.328.999 55,45
Penyusutan 27.772.732 9,37
Pajak Tidak Langsung 13.962.939 4,71
Subsidi 0 0
Jumlah 296.357.796 100,00Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003.
Pengembangan sektor industri pengolahan dalam wilayah Provinsi Jawa
Barat dimaksudkan untuk menghasilkan nilai pengganda yang besar pada sektor
industri pengolahan itu sendiri, selain itu juga untuk menghasilkan keterkaitan
yang erat dengan sektor pertanian maupun sektor perdagangan, hotel dan restoran.
Bentuk keterkaitan yang akan menghasilkan nilai tambah pada sektor pertanian
adalah bentuk pengembangan alternatif terhadap kedua sektor. Sektor agroindustri
adalah titik temu alternatif kebijakan tersebut. Industri-industri sedang dan besar
yang bergerak dibidang pengolahan pangan, minuman, dan produk pertanian
dalam arti luas lainnya harus lebih ditingkatkan sebagai upaya lebih lanjut
pengembangan sektor industri pengolahan.
63
Dari kesembilan sektor ekonomi, yang memberikan sumbangan terbesar
dalam menghasilkan nilai tambah adalah sektor industri pengolahan, disusul
kemudian oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pertanian, sektor
jasa-jasa dan yang kelima adalah sektor pertambangan dan penggalian.
Tabel 5.8. Nilai Tambah Bruto Provinsi Jawa Barat 2003
Sektor Jumlah
(Juta Rupiah) Persentase Peringkat
Pertanian 36.673.842 12,37 3
Pertambangan Dan Penggalian 16.433.588 5,55 5
Industri Pengolahan 131.670.802 44,43 1
Listrik, Gas Dan Air Bersih 6.273.425 2,12 9
Bangunan/Konstruksi 7.133.558 2,41 8
Perdagangan, Hotel Dan Restoran 54.170.113 18,28 2
Pengangkutan Dan Komunikasi 12.214.391 4,12 6
Keuangan, Persewaan Dan Jasa Perusahaan 10.941.789 3,69 7
Jasa-Jasa 20.846.288 7,03 4
Jumlah 296.357.796 100,00 - Sumber: Tabel Transaksi IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
Sektor industri pengolahan berhasil menciptakan nilai tambah sebesar Rp.
131.670.802 juta yang merupakan 44,43 persen dari total nilai tambah yang
berhasil diciptakan oleh semua sektor di Provinsi Jawa Barat. Di bawah sektor
industri pengolahan adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang
sebesar Rp. 54.170.113 juta (18,28%), sektor pertanian menyumbang sebesar Rp.
36.673.842 juta (12,37%), sektor jasa-jasa menyumbang sebesar Rp. 20.846.288
juta (7,03%), dan yang kelima adalah sektor pertambangan dan penggalian
menyumbang sebesar Rp. 16.433.588 juta (5,55%).
64
Tabel 5.9. Nilai Tambah Bruto Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat 2003
Subsektor Jumlah Peringkat
Industri Makanan dan Minuman 14.075.458 4
Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Kulit dan Alas Kaki 31.586.124 2
Industri Kayu, Bambu, Rotan dan Furnitur 1.292.984 10
Industri Kertas dan Barang-Barang dari Kertas, Percetakan dan Penerbitan 4.337.065 5
Industri Kimia, Barang-Barang dari Bahan Kimia, Karet dan Plastik 15.498.466 3
Pengilangan Minyak Bumi 3.477.164 6
Industri Barang Mineral bukan Logam 3.052.455 7
Industri Logam Dasar 2.333.425 9
Industri Bahan Jadi dari Logam 63.983.517 1
Industri Pengolahan Lainnya 2.737.214 8
Jumlah 142.373.872 -
Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003.
Subsektor industri pengolahan yang memiliki nilai tambah bruto terbesar
ialah industri bahan jadi dari logam tetap di peringkat pertama disusul oleh
industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki kemudian industri kimia, barang-
barang dari bahan kimia, karet dan plastik.
65
Tabel 5.10. Struktur Nilai Tambah Bruto Sektor Industri Pengolahan Di Provinsi Jawa Barat, 2003 (dalam Juta Rupiah)
Komponen Nilai
(Juta Rupiah) Kontribusi (Persen)
Upah Dan Gaji 40.864.385 31,04
Surplus Usaha 67.624.360 51,36
Penyusutan 14.811.687 11,25
Pajak Tidak Langsung 8.370.370 6,36
Subsidi 0 0
Jumlah 131.670.802 100,00 Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003.
Dari keseluruhan nilai tambah yang dihasilkan sektor industri pengolahan
komponen penyusun nilai tambah bruto terbesar adalah surplus usaha, yaitu
sebesar Rp. 67.624.360 juta (51,36%), kemudian disusul oleh komponen upah dan
gaji sebesar Rp. 40.864.385 juta (31,04%), penyusutan sebesar Rp. 14.811.687
juta (11,25%), dan yang terakhir adalah komponen pajak tidak langsung netto
sebesar Rp. 8.370.370 (6,36%).
5.1.4. Struktur Permintaan Akhir
Komponen permintaan akhir terdiri dari konsumsi rumah tangga,
pengeluaran pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok dan ekspor.
Tabel 17. memberi informasi bahwa jumlah permintaan akhir di Provinsi Jawa
Barat pada tahun 2003 sebesar Rp. 347.835.450 juta. Dari jumlah tersebut
sebagian besar dialokasikan untuk memenuhi ekspor sebesar Rp. 146.266.835 juta
atau 42,05 persen dari total permintaan akhir wilayah, 40,54 persen atau sebesar
Rp. 141.013.711 juta untuk konsumsi rumah tangga, 11,39 persen atau sebesar
Rp.39.634.069 juta untuk pembentukan modal tetap, 3,74 persen atau sebesar
66
Rp. 13.020.861 juta dialokasikan untuk pengeluaran pemerintah dan hanya 2,27
atau sebesar Rp. 7.899.956 juta untuk perubahan stok.
Tabel 5.11. Komposisi Permintaan Akhir Provinsi Jawa Barat 2003 Menurut Komponen
Komponen Nilai
(Juta Rupiah) Kontribusi (Persen) Peringkat
Konsumsi Rumah Tangga 141.013.711 40,54 2
Pengeluaran Pemerintah 13.020.861 3,74 4
Pembentukan Modal Tetap 39.634.069 11,39 3
Perubahan Stok 7.899.956 2,27 5
Ekspor 146.266.853 42,05 1
Jumlah 347.835.450 100,00 - Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
Pada tahun 2003 total permintaan akhir Provinsi Jawa Barat terhadap
industri pengolahan mencapai Rp. 201.684.802 juta atau sekitar 57,98 persen dari
total permintaan akhir wilayah ini. Permintaan akhir tersebut sebagian besar
dialokasikan untuk memenuhi ekspor keluar provinsi sebesar Rp. 113.461.837
juta atau 77,57 persen dari total ekspor sektor-sektor perekonomian yang ada di
Provinsi Jawa Barat. Selain untuk memenuhi ekspor, permintaan akhir juga
dialokasikan untuk memenuhi investasi sebesar Rp. 22.690.990 juta atau 47,73
persen dari total investasi terhadap output domestik dan untuk memenuhi
kebutuhan domestik sebesar Rp. 65.531.975 juta (46,47%) dari total konsumsi
rumah tangga.
67
Tabel 5.12. Komponen Permintaan Akhir Provinsi Jawa Barat 2003 Per Sektor (dalam Juta Rupiah)
Sektor Konsumsi
Rumah Tangga
Pengeluaran Pemerintah
Pembentukan Modal tetap
Perubahan Stok Ekspor Total
1 22.699.515 0 183.964 131.222 2.437.451 25.452.152
2 243 0 0 -659.609 147.806 -511.560
3 65.531.975 0 15.405.707 7.285.283 113.461.837 201.684.802
4 6.257.595 0 0 0 1.254.865 7.512.460
5 24.860 0 21.000.103 0 0 21.024.963
6 25.107.703 0 2.263.610 1.055.313 18.064.342 46.490.968
7 7.573.269 0 182.627 87.747 6.630.262 14.473.905
8 3.313.821 0 0 0 176.725 3.490.546
9 10.504.730 13.020.861 598.058 0 4.093.565 28.217.214
Jumlah 141.013.711 13.020.861 39.634.069 7.899.956 146.266.853 347.835.450
Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003. Keterangan: 1. Pertanian; 2. Pertambangan dan Penggalian; 3. Industri Pengolahan; 4.
Listrik, Gas, dan Air Minum; 5. Bangunan/Konstruksi; 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran; 7. Pengangkutan dan Komunikasi; 8. Lembaga Keuangan, Usaha Bangunan, dan Jasa Perusahaan; 9. Jasa-jasa.
Pada tabel 5.12. dapat kita lihat konsumsi masyarakat di Provinsi Jawa
Barat pada tahun 2003 terhadap output domestik adalah Rp. 141.013.711. Dari
jumlah tersebut pengeluaran untuk sektor industri pengolahan adalah sebesar Rp.
65.531.975 juta atau sebesar 46,47 persen dari total konsumsi rumah tangga
terhadap output domestik. Dengan jumlah tersebut sektor industri pengolahan
menjadi sektor terbesar pertama dalam memenuhi konsumsi rumah tangga.
Berikutnya adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp. 25.107.703
juta (17,80%), sektor pertanian sebesar Rp. 22.699.515 Juta (16,09%), sektor jasa-
jasa sebesar Rp. 10.504.730 Juta (7,44%), dan yang kelima adalah sektor
pengangkutan dan komunikasi sebesar Rp. 7.573.269 juta (5,37%).
68
Dari Tabel 5.12. Dapat dilihat bahwa konsumsi rumah tangga sebagian
besar berasal dari sektor industri pengolahan. Kondisi ini sebenarnya sangat
mendukung terjaminnya kontinuitas pasar domestik atas produk-produk sektor
industri pengolahan. Kuatnya permintaan domestik terhadap output sektor industri
pengolahan akan memacu dan merangsang daya produksi industri/perusahaan
yang termasuk ke dalam sektor ini. Terjaminnya pasar yang kontinu adalah daya
tarik utama bagi pengembangan sektor ini.
Untuk pemenuhan permintaan terhadap konsumsi pemerintah di Provinsi
Jawa Barat pada tahun 2003 hanya oleh sektor jasa-jasa, sektor-sektor yang lain
bernilai 0. Sektor jasa-jasa mengalokasikan Rp. 13.020.861 juta yaitu seluruh dari
konsumsi pemerintah dipenuhi oleh sektor ini.
Alokasi output permintaan akhir untuk pembelian barang-barang modal
tahan lama (barang modal tetap) di Provinsi Jawa Barat terbesar terjadi sektor
bangunan/konstruksi yaitu sebesar Rp. 21.000.103 juta atau sebesar 52 persen dari
total permintaan akhir untuk komponen pembentukan modal tetap. Pembelian
terbesar kedua oleh sektor industri pengolahan sebesar Rp. 15.405.707 juta
(38,89%), sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp. 2.263.610 juta
(5,71%), sektor jasa-jasa sebesar Rp. 598.058 juta (1,50%), kemudian sektor
pertanian dan sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar Rp. 183.964 juta dan
sebesar Rp. 182.627 juta dengan persentase kurang dari satu persen.
Selanjutnya komponen perubahan stok dalam permintaan akhir merupakan
selisih antara nilai barang pada akhir tahun dengan awal tahun. Dari Tabel 5.12.
dapat dilihat ada empat sektor dengan nilai perubahan stok positif, empat sektor
69
bernilai nol, dan satu sektor bernilai negatif. Nilai perubahan stok untuk sektor
industri pengolahan adalah sebesar Rp. 7.285.283 juta, sektor perdagangan, hotel
dan restoran sebesar Rp. 1.055.313 juta, sektor pertanian sebesar Rp. 131.222 juta,
dan sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar Rp. 87.747 juta. Sektor yang
bernilai negatif ialah sektor pertambangan dan penggalian sebesar Rp. -659.609
juta.
Nilai ekspor untuk seluruh sektor di Provinsi Jawa Barat sebesar Rp.
146.266.853 juta atau 42,05 persen dari total permintaan akhir. Sektor industri
pengolahan mengekspor sebesar Rp. 113.461.837 juta yang merupakan 77,57
persen dari total ekspor semua sektor ekonomi dan menduduki peringkat pertama
diantara sektor-sektor lainnya. Disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan
restoran yang mengekspor sebesar Rp. 18.064.342 juta (12,35%), sektor
pengangkutan dan komunikasi Rp. 6.630.262 juta (2,79), sektor jasa-jasa Rp.
4.093.565 juta (4,53%), sektor pertanian Rp. 2.437.451 juta (1,66%).
Besarnya bagian rumah tangga dalam komposisi permintaan akhir
disebabkan karena komponen ini adalah pengkonsumsi potensial dalam lingkaran
perekonomian. Hal ini juga berimplikasi pada kuatnya permintaan pasar akan
output dari sektor-sektor ekonomi yang berada di wilayah Provinsi Jawa Barat.
Selanjutnya jika dilihat kontribusi masing-masing sektor terhadap
komponen permintaan akhir secara berturut-turut adalah: sektor industri
pengolahan Rp. 201.684.802 juta (57,98%), sektor perdagangan, hotel dan
restoran Rp. 46.490.968 juta (13,36%), sektor jasa-jasa Rp. 28.217.214 juta
(8,11%), sektor pertanian Rp. 25.452.152 juta (7,31%), dan yang kelima sektor
70
bangunan/konstruksi yang mengalokasikan outputnya sebesar Rp. 21.024.963 juta
atau 6,04 persen dari total permintaan akhir.
Tampak bahwa alokasi permintaan akhir untuk sektor industri pengolahan
menempati peringkat pertama dalam komposisi permintaan akhir untuk semua
sektor, jika dibandingkan dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang
berada diposisi kedua, nilai permintaan akhir sektor industri pengolahan 4,3 kali
lebih besar dari nilai permintaan akhir sektor perdagangan, hotel dan restoran.
Dan jika dibandingkan dengan nilai permintaan akhir sektor terkecil (sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan), nilai permintaan akhir sektor industri
pengolahan berada jauh diatas sektor tersebut. Bahkan sektor pertambangan dan
galian memiliki nilai permintaan akhir yang negatif.
Tabel 5.13. Menampilkan komponen permintaan akhir dari subsektor
industri pengolahan. Permintaan akhir yang terbesar disumbang oleh industri
bahan jadi dari logam, kemudian industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki,
dan yang ke tiga industri makanan dan minuman.
Penciptaan konsumsi rumah tangga yang terbesar terjadi di sektor industri
makanan dan minuman, disusul oleh sektor industri bahan jadi dari logam,
kemudian industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki di posisi ke tiga.
Sedangkan untuk subsektor industri pengolahan yang menciptakan ekspor terbesar
ialah industri bahan jadi dari logam, kemudian industri tekstil, pakaian jadi, kulit
dan alas kaki, dan yang ke tiga ialah industri kimia, barang-barang dari bahan
kimia, karet dan plastik.
71
Tabel 5.13. Komponen Permintaan Akhir Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat 2003(dalam Juta Rupiah)
Sektor Konsumsi
Rumah Tangga
Pengeluaran Pemerintah
Pembentukan Modal tetap
Perubahan Stok Ekspor Total
1 27.504.246 0 0 -633.941 1.184.105 28.054.410
2 14.712.943 0 26.706 796.362 32.695.816 48.231.827
3 619.552 0 12.588 100.118 1.591.470 2.323.728
4 463.258 0 0 353.849 3.372.337 4.189.444
5 7.029.488 0 0 92.815 3.470.404 10.592.707
6 1.752.555 0 0 -220.382 102.861 1.635.034
7 49.695 0 2.285 235.045 2.209.661 2.496.686
8 0 0 0 274.861 1.315.414 1.590.275
9 12.401.608 0 14.951.968 6.328.974 64.471.900 98.154.450
10 9.988.630 0 412.160 -42.418 3.047.869 4.416.241
Jumlah 74.521.975 0 15.405.707 7.285.283 113.461.837 201.684.802
Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003. Keterangan: 1. industri makanan dan minuman; 2. industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki; 3. industri kayu, bambu, rotan dan furniture; 4. industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan penerbitan; 5. industri kimia, barang-barang dari bahan kimia, karet dan plastik; 6. pengilangan minyak bumi; 7. industri barang mineral bukan logam; 8. industri logam dasar; 9. industri bahan jadi dari logam; 10. industri pengolahan lainnya.
5.2. Analisis Keterkaitan
Keterkaitan output ke depan dan ke belakang dapat dibagi menjadi dua
yaitu keterkaitan output langsung ke depan dan ke belakang dan keterkaitan
output langsung dan tidak langsung ke depan dan ke belakang. Keterkaitan output
langsung didapat dari koefisien input, sedangkan keterkaitan output langsung dan
tidak langsung diperoleh dari matriks Kebalikan Leontief terbuka.
5.2.1. Keterkaitan ke Depan
Dari tabel 5.14. dapat dilihat bahwa keterkaitan output langsung ke depan
sektor industri pengolahan paling tinggi jika dibandingkan dengan sektor-sektor
72
lainnya. Nilai keterkaitan ini menunjukkan keterkaitan langsung ke depan antara
sektor-sektor ekonomi lainnya termasuk dengan industri pengolahan itu sendiri.
Nilai sebesar 0,56007 berarti bahwa jika terjadi peningkatan permintaan akhir
sebesar satu rupiah maka output sektor industri pengolahan yang langsung dijual
ke seluruh sektor pertanian akan meningkat sebesar 0,56007 rupiah. Sedangkan
peringkat kedua sampai ke empat berturut-turut ditempati oleh sektor
perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai 0,11215, sektor pertambangan dan
penggalian sebesar 0,08713 dan sektor pertanian sebesar 0,07683.
Tabel 5.14. Keterkaitan Output ke Depan dan ke Belakang 9 Sektor Perekonomian Provinsi Jawa Barat Tahun 2003
Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003. Keterangan: 1 = keterkaitan langsung; 2 = keterkaitan langsung dan tidak langsung. Apabila ditelaah berdasarkan keterkaitan output langsung ke depan sektor
industri pengolahan terhadap masing-masing sektor, maka sektor industri
pengolahan di Provinsi Jawa Barat mempunyai keterkaitan output langsung ke
Sektor Keterkaitan Ke
Depan Keterkaitan Ke
Belakang
1 2 1 2
Pertanian 0,07683 1,25632 0,14844 1,24589
Pertambangan Dan Penggalian 0,08713 1,87832 0,22513 1,29566
Industri Pengolahan 0,56007 3,52994 0,51857 1,87793
Listrik, Gas Dan Air Bersih 0,04409 1,29701 0,50524 1,77190
Bangunan/Konstruksi 0,00751 1,09923 0,54677 1,97010
Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0,11215 1,56705 0,22593 1,35473
Pengangkutan Dan Komunikasi 0,04005 1,25197 0,36964 1,61038
Keuangan, Persewaan Dan Jasa Perusahaan 0,04722 1,35913 0,21100 1,33238
Jasa-Jasa 0,02495 1,26719 0,31835 1,53632
73
depan paling tinggi terhadap sektor bangunan/konstruksi yaitu sebesar 0,42961.
Nilai keterkaitan ini mempunyai arti jika terjadi kenaikan output di sektor industri
pengolahan sebesar satu rupiah maka output dari sektor industri pengolahan yang
dialokasikan kepada sektor bangunan/konstruksi secara langsung akan meningkat
sebesar Rp. 0,42961.
Selanjutnya secara berturut-turut keterkaitan output langsung ke depan
sektor industri pengolahan terhadap sektor industri pengolahan itu sendiri,
terhadap sektor angkutan dan komunikasi, sektor jasa-jasa dan sektor listrik, gas
dan air bersih. Terhadap keempat sektor tersebut, secara berturut-turut sektor
industri pengolahan mempunyai keterkaitan langsung ke depan sebesar 0,32634,
0,14991, 0,14365, dan 0,10304
Tabel 5.15. Keterkaitan Output ke Depan Sektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 (Klasifikasi 9 Sektor)
Sektor Keterkaitan Ke Depan
1 2
Pertanian 0,08895 0,14428
Pertambangan Dan Penggalian 0,00398 0,00971
Industri Pengolahan 0,32634 1,51943
Listrik, Gas Dan Air Bersih 0,10304 0,18644
Bangunan/Konstruksi 0,42961 0,66890
Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0,05572 0,11035
Pengangkutan Dan Komunikasi 0,14991 0,27299
Keuangan, Persewaan Dan Jasa Perusahaan 0,01755 0,07718
Jasa-Jasa 0,14365 0,25964 Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003. Keterangan: 1 = keterkaitan langsung; 2 = keterkaitan langsung dan tidak langsung
74
Tabel 5.16. Keterkaitan Output ke Depan dan ke Belakang Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 (Klasifikasi 29 Sektor)
Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003. Keterangan: 1 = keterkaitan langsung; 2 = keterkaitan langsung dan tidak langsung Subsektor industri pengolahan yang memiliki nilai keterkaitan langsung ke
depan terbesar ialah industri bahan jadi dari logam, kemudian industri kimia,
barang-barang dari bahan kimia, karet dan plastik dan yang ke tiga ialah industri
tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki. Untuk keterkaitan langsung dan tidak
langsung ke belakang ialah industri bahan jadi dari logam, kemudian industri
kimia, barang-barang dari bahan kimia, karet dan plastik dan yang ke tiga ialah
industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan penerbitan.
Subsektor Keterkaitan Ke
Depan Keterkaitan Ke
Belakang
1 2 1 2
Industri Makanan dan Minuman 0,01480 1,84094 0,56150 1,71931
Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Kulit dan Alas Kaki 0,04070 1,60932 0,54592 1,99505
Industri Kayu, Bambu, Rotan dan Furnitur 0,00276 1,24042 0,34751 1,52929
Industri Kertas dan Barang-Barang dari Kertas, Percetakan dan Penerbitan
0,01295 1,88603 0,57720 2,10176
Industri Kimia, Barang-Barang dari Bahan Kimia, Karet dan Plastik
0,04432 2,16084 0,43710 1,66545
Pengilangan Minyak Bumi 0,01364 1,68241 0,64537 1,83862
Industri Barang Mineral bukan Logam 0,00715 1,23774 0,34114 1,53948
Industri Logam Dasar 0,00877 1,35954 0,54907 1,91076
Industri Bahan Jadi dari Logam 0,08750 2,42014 0,51862 1,92518
Industri Pengolahan Lainnya 0,00214 1,05615 0,37427 1,58081
75
5.2.2. Keterkaitan ke Belakang
Dari Tabel 5.15. diatas dapat dilihat keterkaitan output ke belakang baik
secara langsung maupun tidak langsung. Keterkaitan ke belakang secara langsung
sektor industri pengolahan ternyata menduduki peringkat kedua setelah sektor
bangunan/konstruksi diikuti tempat ke tiga oleh sektor listrik, gas, dan air bersih
dan tempat ke empat diduduki oleh sektor pengangkutan dan komunikasi. Nilai
keterkaitan ke empat sektor tersebut berturut-turut dari yang terbesar hingga yang
terkecil adalah sebesar 0,546770, 0,51857, 0,50524 dan 0,3696 untuk keterkaitan
langsung ke belakang. Sedangkan untuk keterkaitan langsung dan tidak langsung
ke belakang sektor industri pengolahan menduduki peringkat kedua setelah sektor
bangunan/konstruksi dengan nilai 1,97010 dan 1,87793 disusul oleh sektor listrik,
gas, dan air bersih dan yang keempat sektor pengangkutan dan komunikasi
dengan masing-masing nilai sebesar 1,77190 dan 1,61038.
Di sisi sektor industri pengolahan, dengan nilai keterkaitan output
langsung ke belakang sebesar 0,32634 dan keterkaitan langsung dan tidak
langsung ke belakang sebesar 1,51943 menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan
permintaan akhir sebesar satu satuan pada sektor industri pengolahan maka sektor
industri pengolahan membutuhkan input secara langsung dari sektor-sektor
perekonomian lainnya termasuk sektor industri pengolahan itu sendiri sebesar
0,32634 satuan untuk keterkaitan ke belakang langsung dan sebesar 1,51943
satuan untuk keterkaitan output ke belakang langsung dan tidak langsung ke
belakang.
76
Ditinjau lebih lanjut dari keterkaitan langsung dan tidak langsung ke
belakang antara sektor industri pengolahan terhadap sektor ekonomi yang lain
menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan mempunyai keterkaitan terbesar
terhadap sektor industri pengolahan itu sendiri. Diurutan ke dua hingga ke empat
keterkaitannya dengan sektor ekonomi lain ditempati oleh sektor perdagangan,
hotel dan restoran, sektor pertanian, dan sektor pertambangan dan penggalian
(Tabel 5.16). Angka-angka yang terdapat dalam Tabel 5.16. menunjukkan bahwa
setiap terjadi peningkatan permintaan akhir di sektor industri pengolahan sebesar
satu satuan, sektor industri pengolahan membutuhkan tambahan input untuk
proses produksi dari sektor-sektor tersebut sebesar nilai-nilai keterkaitannya.
Tabel 5.17. Keterkaitan Output ke Belakang Sektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 (Klasifikasi 9 Sektor)
Sektor Keterkaitan Ke Belakang
1 2
Pertanian 0.04895 0.07789
Pertambangan Dan Penggalian 0.03689 0.08230
Industri Pengolahan 0.32634 1.51943
Listrik, Gas Dan Air Bersih 0.01780 0.03415
Bangunan/Konstruksi 0.00065 0.00268
Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0.05798 0.09533
Pengangkutan Dan Komunikasi 0.01498 0.02814
Keuangan, Persewaan Dan Jasa Perusahaan 0.01081 0.02641
Jasa-Jasa 0.00417 0.01151
Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003. Keterangan: 1 = keterkaitan langsung; 2 = keterkaitan langsung dan tidak langsung
Subsektor industri pengolahan yang memiliki nilai keterkaitan langsung ke
belakang terbesar ialah pengilangan minyak bumi, kemudian industri kertas dan
77
barang-barang dari kertas, percetakan dan penerbitan dan yang ke tiga ialah
industri makanan dan minuman. Untuk keterkaitan langsung dan tidak langsung
ke belakang ialah industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan
penerbitan, disusul oleh industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki dan
industri bahan jadi dari logam di posisi ke tiga.
5.3. Analisis Dampak Penyebaran
Keterkaitan langsung dan tidak langsung baik ke depan maupun ke
belakang belum cukup memadai untuk dipakai sebagai landasan pemilihan sektor
kunci. Indikator-indikator didalamnya tidak dapat diperbandingkan antarsektor
karena peranan permintaan akhir pada setiap sektor tidak sama. Oleh karena itu,
indeks tersebut harus dinormalkan dengan cara membandingkan rata-rata dampak
yang ditimbulkan oleh sektor tersebut dengan rata-rata dampak dari keseluruhan
sektor. Analisis ini disebut dengan dampak penyebaran yang terbagi menjadi dua
yaitu koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran.
5.3.1. Koefisien Penyebaran (Daya Penyebaran Ke Belakang)
Koefisien penyebaran menunjukkan efek relatif yang ditimbulkan oleh
keterkaitan ke belakang secara langsung dan tidak langsung antara suatu sektor
dengan semua sektor perekonomian yang ada. Koefisien penyebaran dapat juga
dikatakan sebagai efek yang ditimbulkan oleh suatu sektor karena peningkatan
output sektor yang bersangkutan terhadap output sektor-sektor lain yang
digunakan sebagai input oleh sektor tersebut baik secara langsung maupun tidak
langsung.
78
Koefisien penyebaran adalah keterkaitan output langsung dan tidak
langsung ke belakang yang dibobot dengan jumlah sektor kemudian dibagi
dengan total keterkaitan langsung dan tidak langsung semua sektor. Koefisien ini
diperoleh dari pengolahan lebih lanjut matriks kebalikan Leontief terbuka.
Tabel 5.18. menyajikan parameter koefisien sektor-sektor ekonomi yang
ada di Provinsi Jawa Barat. Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai koefisien
penyebaran sektor-sektor tersebut berada pada selang 0,80120-1,26692. Sektor
yang memiliki koefisien penyebaran tertinggi adalah sektor bangunan/konstruksi
sebesar 1,26692, disusul oleh sektor industri pengolahan sebesar 1,20765,
kemudian di tempat ke tiga sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 1.13946, di
tempat keempat diduduki oleh sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar
1,03559. Sedangkan sektor-sektor yang lain memiliki nilai koefisien penyebaran
yang kurang dari satu.
Tabel 5.18. Indeks Daya Penyebaran ke Belakang Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 (Klasifikasi 9 Sektor)
Sektor Koefisien Penyebaran
Pertanian 0,80120 Pertambangan Dan Penggalian 0,83320 Industri Pengolahan 1,20765 Listrik, Gas Dan Air Bersih 1,13946 Bangunan/Konstruksi 1,26692 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0,87119 Pengangkutan Dan Komunikasi 1,03559 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Perusahaan 0,85682 Jasa-Jasa 0,98797
Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
79
Besarnya nilai-nilai koefisien penyebaran sektor ekonomi yang lebih besar
dari satu menunjukkan kemampuan bahwa sektor tersebut mampu untuk
meningkatkan pertumbuhan industri hulunya.
Untuk koefisien penyebaran yang terbesar ialah industri kertas dan barang-
barang dari kertas, percetakan dan penerbitan, disusul oleh industri tekstil, pakaian
jadi, kulit dan alas kaki dan industri bahan jadi dari logam di posisi ke tiga.
Tabel 5.19. Indeks Daya Penyebaran ke Belakang Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 (Klasifikasi 29 Sektor)
Sektor Koefisien Penyebaran
Industri Makanan dan Minuman 1,11863
Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Kulit dan Alas Kaki 1,29803
Industri Kayu, Bambu, Rotan dan Furnitur 0,99500
Industri Kertas dan Barang-Barang dari Kertas, Percetakan dan Penerbitan 1,36746
Industri Kimia, Barang-Barang dari Bahan Kimia, Karet dan Plastik 1,08359
Pengilangan Minyak Bumi 1,19626
Industri Barang Mineral bukan Logam 1,00163
Industri Logam Dasar 1,24319
Industri Bahan Jadi dari Logam 1,25257
Industri Pengolahan Lainnya 1,02852 Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
5.3.2. Kepekaan Penyebaran (Daya Penyebaran ke Depan)
Kepekaan penyebaran ini sering juga disebut sebagai indeks daya
penyebaran ke depan, yaitu suatu indeks yang menunjukkan efek relatif yang
disebabkan oleh perubahan suatu sektor ekonomi yang akan menimbulkan
perubahan output sektor-sektor lain yang menggunakan output dari sektor tersebut
80
baik secara langsung maupun tidak langsung. Kepekaan penyebaran ini adalah
keterkaitan output langsung dan tidak langsung ke depan yang dibobot dengan
jumlah sektor kemudian dibagi dengan total keterkaitan langsung dan tidak
langsung keseluruhan sektor ekonomi.
Tabel 5.20. Indeks Daya Penyebaran ke Depan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 (Klasifikasi 9 Sektor)
Sektor Kepekaan Penyebaran
Pertanian 0,78911
Pertambangan Dan Penggalian 1,17881
Industri Pengolahan 2,08929
Listrik, Gas Dan Air Bersih 0,81992
Bangunan/Konstruksi 0,70353
Perdagangan, Hotel Dan Restoran 0,96987
Pengangkutan Dan Komunikasi 0,79028
Keuangan, Persewaan Dan Jasa Perusahaan 0,85690
Jasa-Jasa 0,80229 Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
Analisis kepekaan penyebaran sektor-sektor ekonomi berada pada selang
2,08929-0,70353. Berdasarkan klasifikasi 9 sektor memperlihatkan bahwa sektor
industri pengolahan memiliki indeks daya penyebaran tertinggi dengan nilai
2,08929 diikuti oleh sektor pertambangan dan penggalian sebesar 1.17881. Indeks
daya penyebaran yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa output yang
dihasilkan oleh kedua sektor tersebut merupakan komoditi intermedier, dalam
artian output sektor tersebut merupakan bahan baku bagi industri-industri dan
sektor-sektor perekonomian lainnya. Nilai tersebut juga menunjukkan besarnya
peranan kedua sektor tersebut dalam mendorong pertumbuhan di Provinsi Jawa
81
Barat. Hal ini terjadi karena secara rata-rata kedua sektor tersebut memiliki kaitan
ke depan yang kuat terhadap semua sektor ekonomi di Provinsi Jawa Barat
dibandingkan dengan 7 sektor ekonomi yang lainnya.
Nilai indeks kepekaan lebih kecil dari satu yang dimiliki ke tujuh sektor-
sektor lainnya menunjukkan bahwa produk dari sektor-sektor tersebut terutama
dipakai untuk konsumsi secara langsung. Akan tetapi sektor-sektor yang
mempunyai daya penyebaran ke depan yang kecil bukan berarti tidak dapat
diandalkan sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi wilayah.
Tabel 5.21. Indeks Daya Penyebaran ke Depan Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 (Klasifikasi 29 Sektor)
Sektor Kepekaan Penyebaran
Industri Makanan dan Minuman 1,19777
Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Kulit dan Alas Kaki 1,04707
Industri Kayu, Bambu, Rotan dan Furnitur 0,80705
Industri Kertas dan Barang-Barang dari Kertas, Percetakan dan Penerbitan 1,22710
Industri Kimia, Barang-Barang dari Bahan Kimia, Karet dan Plastik 1,40590
Pengilangan Minyak Bumi 1,09462
Industri Barang Mineral bukan Logam 0,80531
Industri Logam Dasar 0,88455
Industri Bahan Jadi dari Logam 1,57461
Industri Pengolahan Lainnya 0,68716 Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
Tabel 5.21. dapat kita lihat bahwa subsektor industri pengolahan yang
memiliki indeks daya penyebaran tertinggi ialah sektor industri bahan jadi dari
logam, industri kimia, barang-barang dari bahan kimia, karet dan plastik,
82
kemudian industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan
penerbitan.
Dari hasil analisis kepekaan penyebaran dan koefisien penyebaran terlihat
bahwa indeks daya penyebaran ke belakang lebih rendah jika dibandingkan
dengan indeks daya penyebaran ke depan. Hal ini menunjukkan bahwa sektor
industri pengolahan lebih banyak mepengaruhi daripada dipengaruhi pertumbuhan
sektor-sektor perekonomian lainnya di Provinsi Jawa Barat.
5.4. Analisis multiplier
Analisis multiplier bertujuan untuk melihat dampak perubahan permintaan
akhir suatu sektor ekonomi terhadap semua sektor yang ada tiap satu satuan
perubahan jenis pengganda yang biasanya berupa peningkatan. Tipe pengganda
yang sering digunakan adalah pengganda tipe I dan pengganda tipe II, kedua-
duanya digunakan dalam pengganda pendapatan, output, dan tenaga kerja.
Pengganda tipe I diperoleh dari pengolahan lebih lanjut dari matriks kebalikan
Leontief model terbuka, sedangkan pengganda tipe II diperoleh dari matriks
kebalikan Leontif model tertutup dengan memperlakukan rumah tangga sebagai
endogenous dari model.
Kedua jenis pengganda, baik pengganda tipe I maupun pengganda tipe II
merupakan hasil dari proses mekanisme dampak yang terdiri dari efek awal, efek
putaran pertama, efek dukungan industri, dan efek induksi konsumsi. Pengganda
tipe I didapatkan dari penjumlahan efek awal, efek putaran pertama, dan efek
dukungan induksi untuk tiap satu satuan efek awal. Sedangkan untuk pengganda
83
tipe II diperoleh dari penjumlahan semua tahap dalam proses mekanisme dampak
untuk tiap satu satuan efek awal. Pada pengganda output, baik tipe I maupun tipe
II, dampak diukur tiap satu satuan output, sedangkan pada pengganda pendapatan
dan tenaga kerja tipe I dan tipe II, keduanya diukur tiap satu satuan perubahan
pendapatan dan tenaga kerja.
5.4.1. Analisis Multiplier Output
Nilai-nilai multiplier output sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa
Barat tersaji pada Tabel 5.22. di bawah ini.
Nilai multiplier output tipe I sektor industri pengolahan sebesar 1,878
yang menempati urutan kedua setelah sektor bangunan/konstruksi. Nilai 1,878
berarti jika terjadi peningkatan permintaan akhir di sektor industri pengolahan
sebesar satu rupiah maka output pada semua sektor perekonomian akan meningkat
sebesar Rp. 1,878. Dari pengganda output tipe I ini dapat dilihat kemampuan
sektor industri pengolahan dalam meningkatkan output bagi sektor-sektor lainnya
termasuk terhadap sektor industri pengolahan itu sendiri relatif besar. Hal ini
sejalan dengan nilai keterkaitan ke belakang sektor industri pengolahan yang
menduduki peringkat pertama.
84
Tabel 5.22. Multiplier Output Sektor Perekonomian Provinsi Jawa Barat Tahun 2003
Sektor Tipe I Tipe II
Pertanian 1,246 1,341
Pertambangan Dan Penggalian 1,296 1,312
Industri Pengolahan 1,878 2,190
Listrik, Gas Dan Air Bersih 1,772 2,152
Bangunan/Konstruksi 1,970 2,391
Perdagangan, Hotel Dan Restoran 1,355 1,504
Pengangkutan Dan Komunikasi 1,610 1,959
Keuangan, Persewaan Dan Jasa Perusahaan 1,332 1,532
Jasa-Jasa 1,536 1,768 Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
Dengan memasukkan rumah tangga ke dalam model maka efek konsumsi
masyarakat diperhitungkan sehingga akan didapatkan nilai pengganda tipe II.
Pengganda tipe II selalu memiliki nilai yang lebih besar daripada pengganda tipe I
karena dalam pengganda tipe II efek konsumsi rumah tangga juga diperhitungkan.
Dilihat dari sisi pengganda output tipe II sektor industri pengolahan menduduki
peringkat kedua setelah sektor bangunan/konstruksi dengan nilai pengganda tipe
II sebesar 2,190. Nilai ini mengandung arti bahwa jika terjadi peningkatan
konsumsi rumah tangga yang bekerja di sektor industri pengolahan sebesar satu
satuan maka output di semua sektor perekonomian akan meningkat sebesar 2,190.
Tingginya peringkat sektor industri pengolahan ini menunjukkan bahwa
efek induksi konsumsi di sektor industri pengolahan relatif besar jika
dibandingkan dengan ketujuh sektor perekonomian yang lainnya secara berturut-
turut dari yang terbesar hingga yang terkecil yaitu sektor listrik, gas dan air bersih,
85
sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor jasa-jasa, sektor keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor
pertanian dan yang terakhir sektor pertambangan dan penggalian.
Subsektor industri pengolahan yang memiliki nilai multiplier output tipe I
terbesar ialah sektor industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan
penerbitan pada peringkat pertama kemudian sektor industri bahan jadi dari
logam, dan industri makanan dan minuman. Sedangkan untuk multiplier output
tipe II ialah industri makanan dan minuman, industri kayu, bambu, rotan dan
furnitur dan industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan
penerbitan.
Tabel 5.23. Multiplier Output Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003
Sektor Tipe I Tipe II
Industri Makanan dan Minuman 2,0854 2,4592
Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Kulit dan Alas Kaki
1,5878 2,0010
Industri Kayu, Bambu, Rotan dan Furnitur 1,8119 2,4176
Industri Kertas dan Barang-Barang dari Kertas, Percetakan dan Penerbitan 2,1112 2,3922
Industri Kimia, Barang-Barang dari Bahan Kimia, Karet dan Plastik 1,7105 2,1050
Pengilangan Minyak Bumi 1,8386 1,8430
Industri Barang Mineral bukan Logam 1,5415 2,0891
Industri Logam Dasar 1,9115 2,2560
Industri Bahan Jadi dari Logam 1,8943 2,2214
Industri Pengolahan Lainnya 1,6335 2,0538
Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
86
5.4.2. Analisis Multiplier Pendapatan
Dari hasil analisis multiplier pendapatan terlihat bahwa sektor industri
pengolahan menduduki peringkat pertama baik untuk pengganda pendapatan tipe I
maupun tipe II. Dengan nilai pengganda pendapatan tipe I sebesar 1,725 berarti
bahwa jika terjadi kenaikan permintaan akhir di sektor industri pengolahan
sebesar satu rupiah maka akan meningkatkan pendapatan rumah tangga di semua
sektor perekonomian sebesar Rp. 1,725 baik langsung maupun tidak langsung
dengan rumah tangga sebagai eksogenous dari model.
Sedangkan jika dilihat dari sisi pengganda pendapatan tipe II, nilai
pengganda pendapatan untuk industri pengolahan akan semakin besar yaitu
menjadi 1,984. Dengan nilai pengganda pendapatan sebesar itu berarti jika terjadi
peningkatan konsumsi rumah tangga yang bekerja pada sektor industri pengolahan
sebesar satu rupiah maka akan meningkatkan pendapatan di seluruh sektor
perekonomian sebesar Rp. 1,984.
Tabel 5.24. Multiplier Pendapatan Sektor Perekonomian Provinsi Jawa Barat Tahun 2003
Sektor Tipe I Tipe II
Pertanian 1,607 1,849 Pertambangan Dan Penggalian 1,627 1,872 Industri Pengolahan 1,725 1,985 Listrik, Gas Dan Air Bersih 1,293 1,488 Bangunan/Konstruksi 1,585 1,824 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 1,654 1,903 Pengangkutan Dan Komunikasi 1,407 1,618 Keuangan, Persewaan Dan Jasa Perusahaan 1,404 1,615 Jasa-Jasa 1,609 1,851
Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
87
Multiplier pendapatan tipe I tiga terbesar dimiliki oleh pengilangan minyak
bumi, sektor industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan
penerbitan dan industri bahan jadi dari logam. Sedangkan untuk multiplier
pendapatan tipe II ialah pengilangan minyak bumi, sektor industri kertas dan
barang-barang dari kertas, percetakan dan penerbitan dan industri makanan dan
minuman.
Tabel 5.25. Multiplier Pendapatan Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003
Sektor Tipe I Tipe II
Industri Makanan dan Minuman 1,9715 2,3253
Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Kulit dan Alas Kaki 1,3622 1,6066
Industri Kayu, Bambu, Rotan dan Furnitur 1,3039 1,5378
Industri Kertas dan Barang-Barang dari Kertas, Percetakan dan Penerbitan 2,3069 2,7208
Industri Kimia, Barang-Barang dari Bahan Kimia, Karet dan Plastik 1,4030 1,6548
Pengilangan Minyak Bumi 8,9568 10,564
Industri Barang Mineral bukan Logam 1,2012 1,4167
Industri Logam Dasar 1,5348 1,8102
Industri Bahan Jadi dari Logam 2,0027 2,3620
Industri Pengolahan Lainnya 1,8544 2,5461
Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
5.4.3. Analisis Multiplier Tenaga Kerja
Nilai pada multiplier tenaga kerja baik tipe I maupun tipe II menunjukkan
adanya peningkatan penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor perkonomian yang
disebabkan oleh kenaikan permintaan akhir sebesar satu satuan di suatu sektor
88
tertentu. Nilai pengganda tenaga kerja sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa
Barat menduduki peringkat kedua setelah sektor bangunan/konstruksi.
Dari hasil analisis multiplier tenaga kerja didapatkan nilai pengganda
tenaga kerja tipe I sektor industri pengolahan sebesar 3,842 yang berarti sektor
industri pengolahan akan menciptakan lapangan kerja bagi 3,842 orang tenaga
kerja di semua sektor perekonomian jika output sektor industri pengolahan
meningkat sebesar satu juta rupiah.
Untuk nilai pengganda tenaga kerja tipe II sektor industri pengolahan yaitu
sebesar 5,246, yang berarti apabila terjadi peningkatan konsumsi rumah tangga
yang bekerja pada sektor industri pengolahan sebesar satu juta rupiah maka akan
meningkatkan penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor perekonomian sebesar
5,246 orang.
Tabel 5.26. Multiplier Tenaga Kerja Sektor Perekonomian Provinsi Jawa Barat Tahun 2003
Sektor Tipe I Tipe II
Pertanian 1,067 1,093
Pertambangan Dan Penggalian 1,357 1,453
Industri Pengolahan 3,842 5,246
Listrik, Gas Dan Air Bersih 3,950 8,243
Bangunan/Konstruksi 1,557 1,970
Perdagangan, Hotel Dan Restoran 1,183 1,286
Pengangkutan Dan Komunikasi 1,346 1,594
Keuangan, Persewaan Dan Jasa Perusahaan 1,667 2,147
Jasa-Jasa 1,249 1,389 Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
89
Tabel 5.27. Multiplier Tenaga Kerja Subsektor Industri Pengolahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003
Sektor Tipe I Tipe II
Industri Makanan dan Minuman 6,8679 8,5861
Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Kulit dan Alas Kaki 2,2893 3,6931
Industri Kayu, Bambu, Rotan dan Furnitur 7,3003 12,1578
Industri Kertas dan Barang-Barang dari Kertas, Percetakan dan Penerbitan 3,0721 4,1366
Industri Kimia, Barang-Barang dari Bahan Kimia, Karet dan Plastik 2,8601 4,4982
Pengilangan Minyak Bumi 2,0017 2,0348
Industri Barang Mineral bukan Logam 1,2620 1,8607
Industri Logam Dasar 1,5498 1,8829
Industri Bahan Jadi dari Logam 1,6533 1,8994
Industri Pengolahan Lainnya 1,8544 2,5461
Sumber: Tabel IO Provinsi Jawa Barat, 2003 (diolah).
Multiplier tenaga kerja tipe I tiga terbesar dimiliki oleh industri kayu,
bambu, rotan dan furnitur, industri makanan dan minuman, dan sektor industri
kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan penerbitan. Sedangkan untuk
multiplier tenaga kerja tipe II ialah oleh industri kayu, bambu, rotan dan furnitur,
sektor industri makanan dan minuman dan industri kimia, barang-barang dari
bahan kimia, karet dan plastik.
Berdasarkan hasil perhitungan dalam analisis multiplier output, multiplier
pendapatan dan multiplier tenaga kerja, dapat disimpulkan bahwa sektor industri
pengolahan relatif cukup besar peranannya dalam meningkatkan output,
pendapatan dan tenaga kerja pada sektor-sektor perekonomian di wilayah Provinsi
Jawa Barat.
90
5.5. Regulasi Sektor Industri Pengolahan Di Provinsi Jawa Barat
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat pada tahun 1993-1995
sebelum terjadinya krisis ekonomi tumbuh rata-rata sebesar 8,16 persen terutama
disumbang oleh sektor industri dan jasa. Kemudian pada pertengahan tahun 1997
laju pertumbuhan ekonomi terkontraksi sampai angka 4,87 persen dan titik
terparahnya terjadi pada tahun 1998 sebesar -17,17 persen yang terutama
diakibatkan oleh terpuruknya sektor keuangan khususnya perbankan dan industri
pengolahan. Selanjutnya pada masa pemulihan, mulai terjadi kenaikan kembali
secara bertahap seiring dengan makin membaiknya kondisi ekonomi nasional
terutama semakin terkendalinya sektor keuangan, jasa perdagangan dan industri
pengolahan.
Provinsi Jawa Barat memiliki sektor yang dominan (memiliki peranan dan
pertumbuhan sektor di atas rata-rata) adalah sektor industri pengolahan dan sektor
perdagangan, hotel dan restoran. Sektor dominan dan potensial merupakan
kegiatan utama yang perlu dikembangkan dalam rangka membangun struktur
ekonomi yang kuat, yaitu : agribisnis, industri pengolahan, kelautan, industri jasa
dan pariwisata, yang ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur dan manusia yang
professional. Untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan suatu sektor
perekonomian khususnya sektor industri pengolahan yang akan dibahas lebih
lanjut dibutuhkan regulasi dari pemerintah sebagai acuan dalam pelaksanaan
kebijakan.
Kebijakan pembangunan Provinsi Jawa Barat secara garis besar ditandai
oleh pendekatan kewilayahan dan sektoral, yang secara sinergis diharapkan dapat
91
menjadi pedoman bagi seluruh pelaku kunci pembangunan. Berdasarkan
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pola Dasar
Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2003-2007, sesuai dengan tahun
data yang digunakan dalam penelitian ini, kebijakan pembangunan yang
ditetapkan untuk bidang perekonomian ialah mengembangkan perekonomian yang
berbasis ekonomi kerakyatan, persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan
terjadinya struktur pasar yang bersifat monopoli. Kebijakan pembangunan bidang
perekonomian yang kedua adalah mengembangkan enam kegiatan utama yang
salah satu diantaranya adalah pengembangan industri di kawasan andalan.
Dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat
Nomor 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat,
untuk mewujudkan suatu kawasan yang mampu mendorong pertumbuhan
ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan sekitarnya, pengembangan industri
menjadi salah satu program pengembangan kawasan andalan seperti yang tertuang
dalam paragraph 3 mengenai Kawasan Andalan huruf b Pasal 62.
Dalam pasal 63 (2) Pengembangan industri sebagaimana dimaksud dalam
huruf b Pasal 62 Peraturan Daerah ini, dilakukan melalui kegiatan :
a. identifikasi dan pengembangan kelompok industri;
b. penanganan produk-produk industri berbasis bahan baku lokal (resources
based);
c. mendorong masuknya investasi melalui regulasi dan perizinan;
d. pengembangan jaringan pemasaran produk-produk industri;
92
e. mengarahkan pengembangan kegiatan industri di lokasi kawasan industri
(industrial estate).
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2003
tentang Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Provinsi Jawa Barat Tahun
2003-2007, ada beberapa poin kebijakan yang sangat mendukung berkembangnya
sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Barat. Diantaranya strategi yang
diambil untuk melaksanakan kebijakan pembangunan ekonomi adalah
mengembangkan kegiatan industri yang berbasis sumber daya lokal dengan sistem
ekonomi kerakyatan, memperkuat keterkaitan usaha untuk memantapkan struktur
ekonomi, menyederhanakan berbagai regulasi untuk meningkatkan daya tarik
investasi agar sektor industri pengolahan terus berkembang, dan juga pemerintah
memberikan kesempatan berusaha melalui penguatan usaha kecil dan menengah
baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Kebijakan dan strategi pembangunan Provinsi Jawa Barat dijabarkan ke
dalam program bidang perindustrian dan perdagangan sebagai berikut :
1. Program Penataan dan Penguatan Struktur Keterkaitan Industri.
a. Tujuan
1) Terciptanya industri yang memanfaatkan bahan baku lokal, efisien,
dan berdaya saing.
2) Meningkatkan keterkaitan usaha industri hulu sampai hilir yang
berbasis bahan baku lokal.
3) Menumbuhkan kluster industri pengolahan yang ramah lingkungan.
93
4) Meningkatkan produk-produk industri manufaktur yang memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif di daerah.
b. Sasaran
1) Berkembangnya agroindustri.
2) Tersedianya bahan baku lokal yang memenuhi standar bagi industri.
3) Terjaminnya produk yang memenuhi standard an ekonomis.
4) Tersedianya akses pasar.
5) Terwujudnya industri pengolahan yang berbasis sumber daya lokal
serta berdaya saing tinggi.
6) Terwujudnya efisiensi pemanfaatan sektor-sektor industri.
7) Terisinya mata rantai industri serta terwujudnya keterkaitan yang
saling mendukung antarsektor ekonomi lainnya.
8) Berkembangnya produk industri pengolahan unggulan daerah.
9) Berkembangnya kluster-kluster industri pengolahan.
10) Terpenuhinya kebutuhan produk industri lokal maupun regional.
11) Terjalinnya hubungan kelembagaan dan kemitraan usaha antara
pelaku industri pengolahan.
12) Terjalinnya kontinuitas produk industri pengolahan.
2. Program Pengembangan Teknologi Industri
a. Tujuan
Meningkatkan dan memanfaatkan inovasi dan kreasi teknologi.
b. Sasaran
Meningkatnya hasil produk industri yang berdaya saing tinggi.
94
3. Program Pemberdayaan Industri Kecil Menengah
a. Tujuan
Mewujudkan industri kecil menengah dan usaha kecil menengah yang
maju dan tangguh serta mandiri yang berperan sebagai motor penggerak
dalam perekonomian nasional yang berbasis ekonomi kerakyatan dan
mampu memasuki pasar global.
b. Sasaran
1) Meningkatnya peran industri kecil dan menengah dalam struktur
industri dan perekonomian daerah.
2) Tersedianya lapangan dan usaha serta meningkatnya pendapatan
masyarakat.
3) Meningkatnya daya saing produk industri kecil dan menengah dalam
meningkatkan pemasaran produk industri kecil dan menengah.
4) Meningkatnya daya saing produk industri kecil dan menengah dalam
meningkatkan pangsa pasar produksi IKM.
4. Program Pengembangan Dalam Negeri
a. Tujuan
1) Meningkatkan pemasaran produk.
2) Meningkatkan kegiatan perdagangan barang dan jasa dalam negeri
serta terciptanya tertib niaga dan perlindungan konsumen dan
produsen.
3) Menciptakan kestabilan harga melalui kelancaraan distribusi barang
dan jasa.
95
b. Sasaran
1) Berkembangnya jaringan informasi dan akses pasar.
2) Meningkatnya kemampuan pengelolaan usaha di bidang perdagangan
dan jasa.
3) Terciptanya tertib niaga dan perlindungan konsumen.
4) Terciptanya sistem distribusi barang dan jasa yang efisien serta
tersedianya kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau.
5. Program Pengembangan Perdagangan Luar Negeri
a. Tujuan
1) Meningkatkan daya saing komoditas ekspor dan mengembangkan
sistem pemasaran ekspor.
2) Meningkatnya pemasaran produk.
3) Mengembangkan sistem regulasi perdagangan pasar luar negeri.
b. Sasaran
1) Berkembangnya komoditas unggulan ekspor.
2) Meningkatnya pelaksanaan promosi dagang dan kerjasama
perdagangan luar negeri.
3) Meningkatnya hubungan kerjasama ekonomi dengan luar negeri.
4) Meningkatnya pelayanan sistem informasi pasar, perdagangan dalam
dan luar negeri.
6. Program Penataan Standar Mutu Pelayanan Jasa
a. Tujuan
Meningkatkan kualitas pelayanan usaha bidang jasa.
96
b. Sasaran
Meningkatnya wawasan dan kemampuan bagi pelaku usaha tentang
standar pelayanan usaha bidang jasa.
Sedangkan regulasi terbaru dari pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat
yang mendukung pengembangan sektor industri pengolahan tertuang dalam
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun
2008-2013. Kebijakan dan program untuk bidang industri pada RPJM 2008-2013
adalah meningkatkan dayasaing industri, yang dilaksanakan melalui program,
yang pertama Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah, dengan
empat sasaran yaitu meningkatnya unit usaha industri kecil menengah,
meningkatnya penyerapan tenaga kerja industri kecil menengah, meningkatnya
kemitraan antar industri, dan meningkatnya pelayanan terhadap pelaku usaha
IKM.
Kemudian program yang ke dua adalah Program Penataan Struktur dan
Peningkatan Kemampuan Teknologi Industri dengan sasaran sebagai berikut :
mendorong tumbuhnya industri-industri andalan masa depan (industri agro,
industri kreatif dan industri teknologi informasi komunikasi), meningkatnya
sinergitas pengembangan industri, meningkatnya penguasaan teknologi industri
terutama industri tekstil dan produk tekstil, serta industri keramik, dan sasaran
yang terakhir adalah meningkatnya penyerapan tenaga kerja oleh industri besar.
Selain beberapa Peraturan Daerah di atas, ada pula peraturan lain yang ikut
mempengaruhi pengembangan sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Barat.
97
Pengembangan industri kecil menengah diarahkan agar menjadi pelaku ekonomi
yang makin berbasis iptek dan berdaya saing impor agar mampu memberikan
kntribusi yang signifikan dalam perubahan struktural dan memperkuat
perekonomian domestik.
Dalam rangka meningkatkan kualitas produksi dan pelayanan terhadap
pelaku usaha industri kecil menengah di Jawa Barat perlu didukung dengan
pengembangan dan pemberdayaan potensi Instalasi yang dimiliki Balai
Pengembangan Perindustrian pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi
Jawa Barat. Sarana dan prasarana yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh Pemerintah
Daerah selama ini telah dimanfaatkan oleh pelaku usaha industri kecil dan
menengah, dan memiliki potensi untuk peningkatan sumber pendapatan dan
pelayanan maka setiap IKM yang telah ditentukan perlu dikenai biaya (retribusi)
sehingga perlu ditetapkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 19 Tahun
2008 tentang Retribusi Jasa Pelayanan Industri Kecil Menengah yang meliputi
industri bahan jadi dari logam; industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki
dan industri kayu, bambu, rotan dan furnitur.
Dalam proses pemungutan retribusi Pemerintah Daerah dengan sangat
selektif dapat mengajak bekerja sama badan-badan tertentu yang
profesionalismenya layak dipercaya untuk ikut melaksanakan sebagian tugas
pemungutan jenis retribusi secara lebih efisien. Kegiatan yang tidak dapat
dikerjasamakan adalah kegiatan penghitungan besarnya retribusi yang terhutang,
pengawasan penyetoran retribusi, dan penagihan retribusi.
98
Peraturan terkait industri kayu, bambu, rotan dan furnitur bahwa hutan
sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran
rakyat Indonesia, saat ini kondisinya cenderung terus mengalami penurunan,
sehingga keberadaannya harus dipertahankan secara optimal dan dijaga daya
dukungnya secara lestari; salah satu produk yang dihasilkan dari hutan adalah
rotan yang merupakan bahan baku industri yang dapat memberikan kesempatan
kerja yang sangat luas khususnya bagi masyarakat kecil; perlu dilakukan upaya
penataan kembali pemanfaatan rotan sebagai bahan baku industri guna
meningkatkan nilai tambah yang lebih tinggi, sekaligus menjaga pelestarian hutan
melalui pengaturan ekspor rotan dituangkan dalam Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 355/MPP/Kep/5/2004
Tentang Pengaturan Ekspor Rotan.
Kemudian dalam Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri
Nomor 41/Daglu/Kep/Xii/2004 Tanggal 23 Desember 2004 Tentang Penetapan
Harga Patokan Ekspor Untuk Komoditi Pasir, Kayu Dan Rotan dengan
mempertimbangkan bahwa masa berlaku Harga Patokan Ekspor (HPE) untuk
Pasir, Kayu dan Rotan Periode Oktober-Desember 2004 berakhir pada tanggal 31
Desember 2004 dan dalam rangka pelaksanaan Pasal 4 Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
558/MPP/Kep/12/1998 tentang Ketentuan Umum Dibidang Ekspor.
Peraturan pemerintah mengenai industri kimia, barang-barang dari bahan
kimia, karet dan plastik ialah dengan dibuatnya Peraturan Bersama
Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor :
99
02/M-IND/PER/3/2005 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perindustrian
Dan Perdagangan Nomor: 595/MPP/Kep/9/2004 Tentang Pemberlakuan Standar
Nasional Indonesia (SNI) Ban Secara Wajib. Peraturan ini dibuat dengan
mengingat bahwa dalam rangka pemberlakuan SNI Wajib Ban perlu didukung
dengan prasarana sesuai ketentuan yang berlaku, sampai saat ini prasarana yang
diperlukan untuk pemberlakuan SNI Wajib Ban belum seluruhnya terpenuhi,
untuk itu perlu melakukan penundaan pemberlakuan SNI Wajib Ban.
Dalam pengembangan industri makanan diperlukan suatu kebijakan
peraturan-peraturan yang komprehensif sehingga mendukung penciptaan iklim
usaha kondusif yang mampu mendorong masuknya investasi ke dalam negeri
serta peningkatan daya saing. Beberapa Kebijakan tersebut diantaranya:
Kebijakan Pembangunan Industri Nasional (KPIN) UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, PP No 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas
PP No. 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai PP No 1 Tahun 2007, Fasilitas Pajak Untuk Penanaman Modal
di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu, Peraturan
Presiden No. 77 Tahun 2007 Terkait dengan Daftar Negatif Investasi (DNI), PP
No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.
Industri makanan dan minuman mengalami sedikit masalah terkait dengan
beberapa aturan yang diterbitkan Badan pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
baru-baru ini. Ada lima hal yang menjadi sorotan para pengusaha makanan dan
minuman. Tiga diantaranya adalah peraturan mengenai label, pendaftaran merek,
100
dan larangan penggunaan kata superlatif dalam merek. Mengenai label, BPOM
menetapkan, pengusaha harus mengganti label produknya dan mendaftarkan
kembali setiap lima tahun sekali. Nomor produksinya juga harus disesuaikan.
Artinya label di kemasan lama diganti dan membuat kemasan baru lagi. Para
pengusaha juga memprotes aturan yang mewajibkan perusahaan yang
memproduksi satu produk di beberapa lokasi agar mendaftarkan produk ini di
masing-masing daerah. Pengusaha usul pendaftaran produk cukup satu kali saja di
BPOM pusat. Tujuan BPOM menetapkan aturan tersebut adalah agar produk
tersebut gampang dilacak. Namun hal ini menyulitkan para pelaku usah di bidang
makanan dan minuman.
Peraturan terkait industri bahan jadi dari logam yaitu Peraturan Tentang
Impor Mesin Dan Peralatan Mesin Bukan Baru yag dibuat dalam rangka
mendukung kelancaran arus distribusi barang serta penyediaan sarana produksi
bagi pengguna barang modal, yang kemampuan daya belinya masih rendah, maka
dipandang perlu melanjutkan kebijakan tentang impor mesin dan peralatan mesin
bukan baru. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa waktu pelaksanaan
kebijakan impor mesin dan peralatan mesin bukan baru sebagaimana diatur dalam
Keputusan Menperindag No. 756/MPP/Kep/11/2002 masih belum mampu
mewujudkan iklim perekonomian Indonesia yang lebih kondusif utamanya bagi
kalangan dunia usaha secara keseluruhan. Peraturan baru impor mesin dan
peralatan mesin bukan baru tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No. 756/MPP/Kep/12/2003, tanggal 31 Desember
2003.
101
Dalam rangka melindungi industri barang jadi dari logam dikeluarkan pula
peraturan barang modal bukan baru yang tidak dapat diimpor, sebagaimana
tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Ri Nomor 05/M-Dag/Per/4/2005
Tentang Ketentuan Impor Mesin, Peralatan Mesin, Bahan Baku, Dan Cakram
Optik. Dengan tujuan untuk mendukung upaya perlindungan hak kekayaan
intelektual, khususnya di bidang hak cipta, maka dalam rangka pelaksanaan Pasal
11 ayat (5) Peraturan Pemerintah RI No. 29 Tahun 2004 tentang Sarana Produksi
Berteknologi Tinggi untuk Cakram Optik (Optical Disc) dipandang perlu untuk
menetapkan ketentuan impor mesin, peralatan mesin, bahan baku, cakram optik
kosong, dan cakram optik isi. Bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas
tujuan perlindungan hak kekayaan intelektual sekaligus mendorong terciptanya
iklim usaha yang lebih kondusif di bidang industri cakram optik.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil analisis terhadap Tabel I-O Provinsi Jawa Barat klasifikasi 9
dan 29 sektor sektor terlihat bahwa peranan sektor industri pengolahan dalam
perekonomian Provinsi Jawa Barat cukup besar. Hal ini tercermin dari peranannya
dalam pembentukan output, permintaan akhir, nilai tambah bruto dan permintaan
antara, analisis keterkaitan, analisis dampak penyebaran dan analisis multiplier.
1) Dilihat dari nilai tambah bruto (44,43%), permintaan akhir (57,98%), dan
permintaan antara (56,01%) sektor industri pengolahan memiliki peranan yang
besar terhadap perekonomian Provinsi Jawa Barat. Sub sektor penyumbang
terbesar ialah industri bahan jadi dari logam disusul oleh industri tekstil,
pakaian jadi, kulit dan alas kaki kemudian industri kimia, barang-barang dari
bahan kimia, karet dan plastik.
2) Nilai keterkaitan ke depan yang lebih besar dari nilai keterkaitan ke belakang
menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan lebih mampu untuk
mendorong pertumbuhan sektor hilirnya.
3) Nilai koefisien penyebaran dan kepekaan penyebaran sektor industri
pengolahan yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa sektor industri
pengolahan mampu meningkatkan pertumbuhan sektor hulu dan hilirnya.
103
4) Dilihat dari nilai multiplier yang tercipta peranan sektor industri pengolahan
relatif cukup besar dalam meningkatkan output, pendapatan dan tenaga kerja
di Provinsi Jawa Barat.
5) Regulasi yang ditetapkan pemerintah Provinsi Jawa Barat secara umum
bertujuan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan sektor industri
pengolahan. Dalam pembangunan jangka menengah pun sektor industri
mendapat perhatian khusus seperti yang tertuang dalam Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013.
Kebijakan dan program untuk Bidang Industri pada RPJM 2008-2013 adalah
meningkatkan dayasaing industri. dan juga dalam rangka penyedian sarana
dan prasarana pendukung industri dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi
Jawa Barat Nomor 19 Tahun 2008 tentang Retribusi Jasa Pelayanan Industri
Kecil Menengah yang meliputi industri bahan jadi dari logam; industri tekstil,
pakaian jadi, kulit dan alas kaki dan industri kayu, bambu, rotan dan furnitur.
6.2. Saran
Dalam upaya meningkatkan peranan sektor industri pengolahan dalam
pembangunan ekonomi Provinsi Jawa Barat, hendaknya pemerintah Provinsi Jawa
Barat lebih memprioritaskan kepada pengembangan sub sektor industri
pengolahan yang mampu mengatasi permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi.
1) Dalam penciptaan nilai tambah, permintaan akhir dan permintaan antara maka
sub sektor industri pengolahan penyumbang yang dipriorotaskan adalah
104
industri bahan jadi dari logam disusul oleh industri tekstil, pakaian jadi, kulit
dan alas kaki kemudian industri kimia, barang-barang dari bahan kimia, karet
dan plastik.
2) Berdasarkan analisis keterkaitan ke depan sub sektor industri pengolahan yang
prioritaskan ialah industri bahan jadi dari logam kemudian industri kimia,
barang-barang dari bahan kimia, karet dan plastik. Sedangkan dari analisis
keterkaitan langsung ke belakang ialah pengilangan minyak bumi dan industri
kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan penerbitan. Berdasarkan
keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang industri kertas dan
barang-barang dari kertas, percetakan dan penerbitan kemudian industri
tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki.
3) Nilai koefisien penyebaran menunjukkan bahwa industri bahan jadi dari
logam kemudian industri kimia, barang-barang dari bahan kimia, karet dan
plastik memiliki kemampuan yang lebih dan untuk kepekaan penyebaran
industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan dan penerbitan dan
industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan alas kaki yang lebih diprioritaskan.
4) Dilihat dari sisi output maka sub sektor yang menjadi prioritas adalah industri
makanan dan minuman dan industri kertas dan barang-barang dari kertas,
percetakan dan penerbitan. Dari sisi pendapatan dilihat dari nilai multiplier
pendapatan maka sub sektor yang menjadi prioritas adalah pengilangan
minyak bumi dan industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan
dan penerbitan. Sedangkan jika dari sisi tenaga kerja maka sub sektor yang
105
menjadi prioritas adalah industri kayu, bambu, rotan dan furniture dan industri
makanan dan minuman.
5) Pemerintah Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat menetapkan peraturan yang
bertujuan untuk mengembangkan sub sektor industri pengolahan yang
memiliki kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat
yang lebih sesuai dengan kondisi di Provinsi Jawa Barat merujuk kepada
peraturan pemerintah pusat.
DAFTAR PUSTAKA BPS. 2003. Tabel Input Output Jawa Barat Tahun 2003. Kerjasama Badan Pusat
Statistik Provinsi Jawa Barat dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat, Bandung.
BPS. 2005. Jawa Barat dalam angka 2004/2005. Kerjasama Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat dengan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Bandung.
BPS. 2007. Indikator Ekonomi Jawa Barat 2007. Badan Pusat Statistik Provinsi
Jawa Barat, Bandung. BPS. 2007. Jawa Barat dalam angka 2007. Kerjasama Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat dengan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Bandung.
BPS. 2007. Pendapatan Nasional Indonesia 2004-2007. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. BPS. 2007. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Barat 2005-2007.
Kerja sama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Barat dengan Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Bandung.
BPS. 2007. Tabel Input Output Indonesia 2005 jilid I. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. BPS. 2007. Tinjauan Ekonomi Provinsi Jawa Barat Tahun 2007. Badan Pusat
Statistik Provinsi Jawa Barat, Bandung. BPS. 2008. Jawa Barat dalam angka 2008. Kerjasama Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat dengan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Bandung.
BPS. 2008. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input-Output. Badan Pusat
Statistik, Jakarta. BPS. 2008. Teknik Penyusunan Tabel Input-Output. Badan Pusat Statistik,
Jakarta. BPS. 2003. Jawa Barat dalam angka 2003. Kerjasama Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat dengan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, Bandung.
107
Disikom. 2007. “Revitalisasi 5 Kawasan Sentra Perdagangan Pemkot Siapkan Rp 10,4 Milyar Untuk Bantuan Modal Usaha” [Website Resmi Pemerintah Kota Bandung]. http://www.bandung.go.id/?fa=berita.detail&id=334.htm [10 Juli 2009].
Hardiyansyah, H. 2009. ”Revitalisasi, Baru Tataran Konsep” [Pikiran Rakyat
Online]. http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail &id=59307.htm [10 Juli 2009].
Hidayat, M.S. 2008. Urgent, Konsep Baru Industrialisasi. Sharing: 26-28. Jensen, R.C dan West, G.R. 1986. Input-Output For Practitioners. Theory And
Applications. Department of Economics, University of Queensland. Canberra: Australian Government Publishing Service.
Kriswantriyono, A. 1994. Dampak Pengembangan Sektor Industri Pengolahan
Terhadap Perekonomian Wilayah Kab. DATI II Bekasi : Analisis Derivasi Tabel Input-Output [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mustikasari, D. 2005. Peran Sektor Industri Pengolahan Dalam Perekonomian Di
Propinsi Jawa Tengah : Analisis Input-Output [Skripsi]. Fakultas Ekonomi Dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Prabudi, A. 2009. “Jati Wangi, Pusat Penghasil Genteng Majalengka” [Berita
Cirebon Online]. http://www.beritacerbon.com/berita/2009-01/jati-wangi-pusat-penghasil-genteng-majalengka.htm [10 Juli 2009].
Priyarsono, D.S., Sahara, dan M. Firdaus. 2007. Ekonomi Regional. Universitas
Terbuka, Jakarta. Putri, D. E. 2001. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Provinsi
Sumatera Barat : Analisis Input-Output [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ramanto, D. A. 2008. Analisis Dampak Sektor Padi, Melinjo Dan Pertanian
Lainnya Terhadap Perekonomian Kabupaten Pandeglang : Analisis Input-Output [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sahara. 1998. Analisis Peranan Sektor Industri Pengolahan Terhadap
Perekonomian Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lampiran 1. Tabel Input Output Provinsi Jawa Barat 2003 Klasifikasi 9 sektor Kode Sektor 1 2 3 4 5 6
1 Pertanian 1.502.521 1 16.753.162 0 68.786 696.2902 Pertambangan dan Penggalian 61 4.607.590 12.625.750 4.620.512 14.050 43 Industri Pengolahan 3.979.043 84.895 111.692.478 1.914.417 9.841.926 4.159.0924 Listrik. Gas dan Air Bersih 16.416 10.758 6.091.733 2.007.738 15.923 2.222.3495 Bangunan\Konstruksi 78.785 30.031 222.465 5.689 17.137 19.3616 Perdagangan. Hotel dan Restoran 772.898 28.165 19.845.091 482.244 1.901.405 2.083.7187 Pengangkutan dan Komunikasi 91.404 15.353 5.127.232 89.394 297.133 2.225.709
8 Keuangan. Persewaan dan Jasa Perusahaan 141.316 21.326 3.699.049 81.367 228.158 4.741.311
9 Jasa-Jasa 57.882 9.806 1.427.009 185.693 141.348 714.867
190 Jumlah Input Antara 6.640.326 4.807.925 177.483.969 9.387.054 12.525.866 16.862.701200 Input Antara Impor 1.421.120 114.900 33.100.967 2.918.875 3.249.557 3.605.648201 Upah dan Gaji 9.167.669 1.805.591 40.864.385 1.203.825 4.081.014 12.978.772202 Surplus Usaha 26.597.882 13.337.802 67.624.360 2.514.753 2.173.821 35.499.087203 Penyusutan 520.050 746.310 14.811.687 2.504.672 512.876 2.552.270204 Pajak Tidak Langsung 388.241 543.885 8.370.370 50.175 365.847 3.139.984205 Subsidi 0 0 0 0 0 0209 Nilai Tambah Bruto 36.673.842 16.433.588 131.670.802 6.273.425 7.133.558 54.170.113210 Jumlah 44.735.288 21.356.413 342.255.738 18.579.354 22.908.981 74.638.462
Tenaga Kerja 5.158.605 113.718 2.361.807 51.056 723.327 3.339.491
109
Tabel Input Output Provinsi Jawa Barat 2003 Klasifikasi 9 sektor (lanjutan)
Kode 7 8 9 180 301 302 303 304 305 1 56 0 262.320 19.283.136 22.699.515 0 183.964 131.222 2.437.4512 0 0 6 21.867.973 243 0 0 -659.609 147.8063 3.676.906 269.302 4.952.877 140.570.936 65.531.975 0 15.405.707 7.285.283 13.461.8374 178.829 87.786 435.362 11.066.894 6.257.595 0 0 0 1.254.8655 112.965 578.612 818.973 1.884.018 24.860 0 21.000.103 0 06 1.000.503 127.824 1.905.646 28.147.494 25.107.703 0 2.263.610 1.055.313 18.064.3427 1.203.617 286.258 716.958 10.053.058 7.573.269 0 182.627 87.747 6.630.2628 1.043.011 1.154.909 741.300 11.851.747 3.313.821 0 0 0 176.7259 1.850.173 732.458 1.142.974 6.262.210 10.504.730 13.020.861 598.058 0 4.093.565
190 9.066.060 3.237.149 10.976.416 250.987.466 141.013.711 13.020.861 39.634.069 7.899.956 46.266.853200 3.246.512 1.163.355 2.656.720 51.477.654201 3.057.094 1.839.827 15.294.949 90.293.126202 5.056.076 7.976.569 3.548.649 164.328.999203 3.578.849 769.273 1.776.745 27.772.732204 522.372 356.120 225.945 13.962.939205 0 0 0 0209 12.214.391 10.941.789 20.846.288 296.357.796210 24.526.963 15.342.293 34.479.424 598.822.916TK 1.067.487 197.584 1.769.571 14.782.646
110
Tabel Input Output Provinsi Jawa Barat 2003 Klasifikasi 9 sektor (lanjutan)
Kode 309 310 409 509 600 700 1 25.452.152 44.735.288 0 0 44.735.288 44.735.2882 -511.560 21.356.413 0 0 21.356.413 21.356.4133 201.684.802 342.255.738 0 0 342.255.738 342.255.7384 7.512.460 18.579.354 0 0 18.579.354 18.579.3545 21.024.963 22.908.981 0 0 22.908.981 22.908.9816 46.490.968 74.638.462 0 0 74.638.462 74.638.4627 14.473.905 24.526.963 0 0 24.526.963 24.526.9638 3.490.546 15.342.293 0 0 15.342.293 15.342.2939 28.217.214 34.479.424 0 0 34.479.424 34.479.424
190 347.835.450 598.822.916 0 0 598.822.916 598.822.916
111
Lampiran 2. Koefisien Input Tabel Input-Output Provinsi Jawa Barat 2003 Kode Sektor 1 2 3 4 5 6
1 Pertanian 0,03359 0,00000 0,04895 0,00000 0,00300 0,009332 Pertambangan dan Penggalian 0,00000 0,21575 0,03689 0,24869 0,00061 0,000003 Industri Pengolahan 0,08895 0,00398 0,32634 0,10304 0,42961 0,055724 Listrik. Gas dan Air Bersih 0,00037 0,00050 0,01780 0,10806 0,00070 0,029775 Bangunan\Konstruksi 0,00176 0,00141 0,00065 0,00031 0,00075 0,000266 Perdagangan. Hotel dan Restoran 0,01728 0,00132 0,05798 0,02596 0,08300 0,027927 Pengangkutan dan Komunikasi 0,00204 0,00072 0,01498 0,00481 0,01297 0,02982
8 Keuangan. Persewaan dan Jasa Perusahaan 0,00316 0,00100 0,01081 0,00438 0,00996 0,06352
9 Jasa-Jasa 0,00129 0,00046 0,00417 0,00999 0,00617 0,00958
190 Jumlah Input Antara 0,14844 0,22513 0,51857 0,50524 0,54677 0,22592200 Input Antara Impor 0,03177 0,00538 0,09671 0,15710 0,14185 0,04831201 Upah dan Gaji 0,20493 0,08455 0,11940 0,06479 0,17814 0,17389202 Surplus Usaha 0,59456 0,62453 0,19758 0,13535 0,09489 0,47561203 Penyusutan 0,01163 0,03495 0,04328 0,13481 0,02239 0,03420204 Pajak Tidak Langsung 0,00868 0,02547 0,02446 0,00270 0,01597 0,04207205 Subsidi 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000209 Nilai Tambah Bruto 0,81980 0,76949 0,38471 0,33766 0,31139 0,72577210 Jumlah 1,00000 1,00000 1,00000 1,00000 1,00000 1,00000
112
Koefisien Input Tabel Input-Output Provinsi Jawa Barat 2003 (lanjutan)
Kode 7 8 9 180 301 302 303 304 305 1 0,00000 0,00000 0,00761 0,07683 0,16097 0.00000 0.00464 0.01661 0.016662 0,00000 0,00000 0,00000 0,08713 0,00000 0.00000 0.00000 -0.08350 0.001013 0,14991 0,01755 0,14365 0,56007 0,46472 0.00000 0.38870 0.92219 0.775724 0,00729 0,00573 0,01263 0,04409 0,04438 0.00000 0.00000 0.00000 0.008585 0,00461 0,03771 0,02375 0,00751 0,00018 0.00000 0.52985 0.00000 0.000006 0,04079 0,00833 0,05527 0,11215 0,17805 0.00000 0.05711 0.13359 0.123507 0,04907 0,01866 0,02079 0,04005 0,05371 0.00000 0.00461 0.01111 0.045338 0,04253 0,07528 0,02150 0,04722 0,02350 0.00000 0.00000 0.00000 0.001219 0,07543 0,04774 0,03315 0,02495 0,07449 1.00000 0.01509 0.00000 0.02799
190 0,36963 0,21100 0,31835 1,00000 1,00000 1.00000 1.00000 1.00000 1.00000200 0,13237 0,07583 0,07705 0,08596201 0,12464 0,11992 0,44360 0,15078202 0,20614 0,51991 0,10292 0,27442203 0,14591 0,05014 0,05153 0,04638204 0,02130 0,02321 0,00655 0,02332205 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000209 0,49800 0,71318 0,60460 0,49490210 1,00000 1,00000 1,00000 1,00000
113
Koefisien Input Tabel Input-Output Provinsi Jawa Barat 2003 (lanjutan)
Kode 309 310 409 509 600 700 1 0,07317 0,07471 0,00000 0,00000 0,07471 0,074712 -0,00147 0,03566 0,00000 0,00000 0,03566 0,035663 0,57983 0,57155 0,00000 0,00000 0,57155 0,571554 0,02160 0,03103 0,00000 0,00000 0,03103 0,031035 0,06045 0,03826 0,00000 0,00000 0,03826 0,038266 0,13365 0,12464 0,00000 0,00000 0,12464 0,124647 0,04161 0,04095 0,00000 0,00000 0,04095 0,040958 0,01004 0,02562 0,00000 0,00000 0,02562 0,025629 0,08112 0,05758 0,00000 0,00000 0,05758 0,05758
190 1,00000 1,00000 0,00000 0,00000 1,00000 1,00000
114
Lampiran 3. Matriks Kebalikan Leontief Tabel Input-Output Provinsi Jawa Barat 2003
Kode Sektor 1 2 3 4 5 6 1 Pertanian 1,04236 0,00053 0,07798 0,00998 0,03836 0,01578
2 Pertambangan dan Penggalian 0,00818 1,27589 0,08230 0,36612 0,03831 0,01724 3 Industri Pengolahan 0,14428 0,00971 1,51943 0,18644 0,66890 0,11035 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0,00439 0,00104 0,03415 1,12691 0,01911 0,03798 5 Bangunan\Konstruksi 0,00234 0,00190 0,00268 0,00185 1,00294 0,00383 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 0,02794 0,00263 0,09533 0,04343 0,12909 1,04013 7 Pengangkutan dan Komunikasi 0,00567 0,00129 0,02814 0,01087 0,02937 0,03651
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 0,00756 0,00178 0,02641 0,01179 0,02944 0,07531
9 Jasa-Jasa 0,00317 0,00089 0,01151 0,01451 0,01451 0,01776 Jumlah 1,24589 1,29566 1,87793 1,77190 1,97010 1,35473
Kode Sektor 7 8 9 Jumlah 1 Pertanian 0,01521 0,00470 0,02219 1,25632
2 Pertambangan dan Penggalian 0,01857 0,00693 0,01955 1,87832 3 Industri Pengolahan 0,27299 0,07718 0,25964 3,52994 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0,01804 0,01030 0,02308 1,29701 5 Bangunan\Konstruksi 0,00946 0,04256 0,02645 1,09923 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 0,06791 0,02216 0,07953 1,56705 7 Pengangkutan dan Komunikasi 1,06138 0,02512 0,03056 1,25197
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 0,05897 1,08683 0,03459 1,35913
9 Jasa-Jasa 0,08785 0,05657 1,04073 1,26719 Jumlah 1,61038 1,33238 1,53632 14,50616
top related