analisis kritis implementasi program rehabilitasi sosial
Post on 28-Oct-2021
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS KRITIS IMPLEMENTASI PROGRAM REHABILITASI SOSIAL
PENANGANAN GELANDANGAN PENGEMIS (GEPENG) OLEH DINAS
SOSIAL KOTA SERANG
(Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,
Pemberantasan Dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat )
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Administrasi Publik Pada Program Studi Ilmu Administrasi Publik
Konsentrasi Kebijakan Publik
Oleh
Wildan Firdaus
NIM. 6661132268
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2018
ABSTRAK
Wildan Firdaus. NIM. 6661132268. Skripsi. Analisis Kritis Implementasi
Program Rehabilitasi Sosial Penanganan Gelandangan dan Pengemis oleh
Dinas Sosial Kota Serang. Program Studi Ilmu Administrasi Publik.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Pembimbing I: Riny Handayani, M.Si dan Pembimbing II: Riswanda, Ph.D.
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu lemahnya penegakan peraturan daerah
kota serang nomor 2 tahun 2010 tentang pencegahan, pemberantasan dan
penanggulangan penyakit masyarakat, kurangnya sosialisasi program rehabilitasi
sosial gelandangan dan pengemis, kurangnya koordinasi antar instansi terkait.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan dan mendeskripsikan secara kritis
mengenai bagaimana implementasi program rehabilitasi sosial penanganan
gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang. Teori
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Critical System Thinking dengan
menggunakan Boundary Categories menurut Ulrich (dalam Riswanda 2016:9)
yang memiliki 4 dimensi yaitu sumber motivasi, sumber kekuatan, sumber
pengetahuan, dan sumber legitimasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kualitatif yang bersifat deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukan program
rehabilitasi ini belum optimal karena kurangnya sumber daya yang dimiliki baik
itu sumber daya manusia maupun anggaran selain itu fasilitas dan sarana
prasaranapun belum memadai. Saran peneliti adalah merangkul semua kalangan
seperti unsur keagamaan, unsur masyarakat, maupun akademisi untuk ikut dalam
program ini. Mensosialisasikan peraturan daerah terkait dan program anti
memberi melalui media sosial, cetak, maupun elektronik. Melakukan rehabilitasi
di lingkungan gelandangan dan pengemis dengan melakukan koordinasi dengan
tokoh masyarakat setempat dalam proses rehabilitasi.
Kata Kunci : Rehabilitasi Sosial, Gelandangan, Pengemis
ABSTRACT
Wildan Firdaus. NIM. 6661132268. Thesis. Critical Analysis of Implementation
of Social Rehabilitation Program for Handling Homeless and Beggars by Social
Service of Serang City. Public Administration Science Program. Faculty of
Social Science and Political Science. University of Sultan Ageng Tirtayasa.
Councelor I: Riny Handayani, M.Si and Councelor II: Riswanda, Ph.D.
Problems in this research are weak enforcement of regulation of city area of
attack number 2 year 2010 about prevention, eradication and prevention of
community disease, lack of socialization of social rehabilitation program
homeless and beggars, lack of coordination among related institutions.The
purpose of this research is to describe and describe critically about how the
implementation of social rehabilitation programs handling homeless and beggars
conducted by the Serang City Social Service. The theory used in this research is
Critical System Thinking by using Boundary Categories according to Ulrich (in
Riswanda 2016: 9) which has 4 dimensions of motivation source, source of
strength, source of knowledge, and source of legitimacy. The method used in this
research is qualitative which is descriptive. The results of this study indicate the
rehabilitation program is not optimal because of the lack of resources owned both
human and budgetary resources in addition to facilities and infrastructure
facilities are not adequate. The researcher's suggestion is to embrace all circles
such as religious elements, community elements, and academics to participate in
this program. Socializing related local regulations and anti-giving programs
through social, print, or electronic media. Rehabilitate in homeless and begging
environments by coordinating with local community leaders in the rehabilitation
process.
Keywords: Social Rehabilitation, Homeless, Beggar
“Jangan bersedih atas apa yang telah berlalu, kecuali jika itu bisa membuatmu bekerja
lebih keras untuk apa yang akan datang”. – Umar bin Khattab
“Bantinglah otak untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya guna mencari rahasia besar
yang terkandung di dalam benda besar yang bernama dunia ini, tetapi pasanglah pelita
dalam hati sanubari, yaitu pelita kehidupan jiwa.” ( Al- Ghazali )
Skripsi ini kupersembahan untuk
Kedua orang tua ku terkasih dan tercinta
Alm. Ayah Somad dan Ibu Aisyah
Serta Kakak dan Adik serta kekasihku
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu,
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Rabbi
kemudian solawat serta salam semoga terlimpah dan tercurah kepada Nabi besar
Muhammad S.A.W yang telah mengiringi doa dan harapan penulis untuk
mewujudkan terselesaikannya penelitian skripsi ini yang berjudul ANALISIS
KRITIS IMPLEMENTASI PROGRAM REHABILITASI SOSIAL
PENANGANAN GELANDANGAN PENGEMIS (GEPENG) OLEH DINAS
SOSIAL KOTA SERANG (Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010
Tentang Pencegahan, Pemberantasan Dan Penanggulangan Penyakit
Masyarakat ). Penelitian skripsi ini dibuat sebagai persyaratan untuk
memperoleh Gelar Sarjana Strata satu (S1) Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada
konsentrasi Kebijakan Publik program studi Ilmu Administrasi Publik. Sekalipun
penulis menemukan hambatan dan kesulitan dalam memperoleh informasi akurasi
data dari para narasumber namun disisi lain penulis juga sangat bersyukur karena
banyak mendapat masukan untuk menambah wawasan dan pengetahuan
khususnya pada bidang yang sedang diteliti oleh penulis. Untuk terwujudnya
penulisan penelitian skripsi ini banyak pihak yang membantu penulis dalam
memberikan motifasi baik waktu, tenaga, dan ilmu pengetahuannya. Maka dengan
ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kepada kedua Orang tuaku tercinta
yaitu Ayahanda Alm. Abdul Somad yang selalu menjadi inspirasi walaupun
keberadaannya sudah tiada dan Ibunda Siti Aisyah, yang senantiasa memotivasi,
mendoakan, mendidik, membantu baik materil maupun non-materil dengan
ii
keringat yang senantiasa menetes dari mereka yang bisa mengantarkan saya
sampai sejauh ini dalam hidup dan tidak lupa kepada Kakak Hana Tiara dan Adik
tercinta Suci Ananda dan Jelita Tri Cahyani yang senantiasa menjadi
penyemangat dan motivasi dalam hidup penulis..
Pada kesempatan ini juga suatu kebanggaan bagi penulis untuk
mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang
telah membantu dan mendukung, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa.
2. Bapak DR. Agus Sjafari, M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Ibu Rahmawati, S.Sos., M.Si., Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Bapak Iman Mukhroman, S.Sos, M.Si., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S.Sos, M.Si., Wakil Dekan III
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa
6. Ibu Listyaningsih, M.Si., Ketua Program Studi Ilmu Administrasi
Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
iii
7. Ibu Arenawati M.Si., Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi
Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
8. Ibu Rini Handayani, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Skripsi I
sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan arahan dalam perkuliahan dan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Bapak Riswanda, Ph.D sebagai Dosen Pembimbing Skripsi II yang
telah memberikan bimbingan dan arahan dalam mengembangkan
pemikiran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Kepada seluruh Dosen dan Staff Program Studi Ilmu Administrasi
Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa yang tidak bisa Saya sebutkan satu persatu, yang telah
membekali ilmu selama perkuliahan dan membantu dalam
memberikan informasi selama proses perkuliahan.
11. Kepada Yuli Eka Putri yang penulis sangat sayangi dan cintai setelah
kedua orantua dan saudara-saudara penulis, terimakasih selalu setia
menemani penulis dalam keadaan sulit sekalipun dan selalu menjadi
penyemangat serta motivator bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini.
12. Kepada para sahabatku yang selalu memberikan kebahagiaan,
semangat dan doa yaitu Ahmad Fathony S.H, Febri WR, Asep F, Asep
iv
S, Furqan A, Galuh Melati, Maria, Rezky H, Evi, Vevi, Suci R, Diah
Utami, Diana serta yang lainnya.
13. Kepada teman-temen seperjuangan Angkatan 2013, khususnya kelas D
Administrasi Negara yang telah menjadi sumber kebahagiaan dan
selalu ada disaat duka selama menjalani perkuliahan.
14. Kepada kawan-kawan KKM Perumpera kelompok 9 yang telah
memberikan semangat dan memberikan pengalaman hidup kepada
penulis..
15. Kepada Om Ata, Tante Sari, Uwa serta saudara-saudara yang telah
memberikan semangat dan dukungan baik materiil maupun non-
materiil kepada penulis.
16. Serta semua informan seperti bapak Heli Priyatna, Ibu Hendri dari
pihak Dinas Sosial Kota Serang yang telah memberikan informasi
terkait penelitian yang peneliti lakukan serta infroman-informan
lainnya yang terlibat dalam membantu penulis untuk memberikan
informasi terkait penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa sebagai manusia yang tak luput dari
kesempurnaan yang tentunya memiliki keterbatasan yang terdapat kekurangan
dalam penyusunannya. Oleh sebab itu, penulis meminta maaf apabila ada
kesalahan dan kekurangan dalam skripsi ini. Penulis mengharapkan segala
masukan baik kritik maupun saran dari pembaca yang dapat membangun demi
penyempurnaan skripsi ini. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu,
Serang, Maret 2018
Penulis
v
Wildan Firdaus
v
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul
Lembar Persetujuan
Kata Pengantar .............................................................................................. i
Daftar Isi v
Daftar Gambar ix
Daftar Tabel x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Identifikasi Masalah 15
1.3 Batasan Masalah 15
1.4 Rumusan Masalah 15
1.5 Tujuan Penelitian 15
1.6 Manfaat Penelitian 16
1.7 Sistematika Penulisan 17
BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN ASUMSI
DASAR PENELITIAN
2.1 Tinjuan Pustaka 21
2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik 21
2.1.2 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik 24
vi
2.1.3 Model Implementasi Kebijakan Publik 25
2.1.4 Pengertian Gelandangan Pengemis 29
2.1.5 Karakteristik Gelandangan Pengemis 30
2.1.6 Konsep Kesejahteraan Sosial 33
2.1.7 Kebijakan Kesejahteraan Sosial 36
2.1.7.1. Analisa Kebijakan Kesejahteraan Sosial 37
2.1.8 Critycal System Thinking 41
2.2 Penelitian Terdahulu 49
2.3 Kerangka Berfikir 52
2.4 Asumsi Dasar 56
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian 57
3.2 Fokus Penelitian 58
3.3 Lokasi Penelitian 59
3.4 Variabel Penelitian 59
3.4.1 Definisi Konsep 59
3.4.1 Definisi Operasional 60
3.5 Istrumen Penelitian 63
3.6 Informan Penelitian 63
3.7 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 66
3.7.1 Teknik Pengumpulan Data 66
vii
3.7.2 Teknik Analisis Data 73
3.8 Uji Keabsahan Data 75
3.9 Jadwal Penelitian 76
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Deksripsi Objek Penelitian 77
4.1.1 Gambaran Umum Kota Serang 77
4.1.1.1 Visi dan Misi Kota Serang 79
4.1.1.2 Keadaan Penduduk Kota Serang 79
4.1.2 Profil Dinas Sosial Kota Serang 81
4.1.2.1 Kedudukan Dinas Sosial Kota Serang 82
4.1.2.2 Visi dan Misi Dinas Sosial Kota Serang 82
4.1.2.3 Tugas Pokok dan Fungsi Sosial Kota Serang 82
4.1.2.4 Susunan Organisasi Dinas Sosial Kota Serang 83
4.1.2.5 Strategi dan Arah Kebijakan 84
4.1.2.6 Program/Kegiatan prioritas OPD 85
4.2 Deksripsi Data 87
4.2.1 Deksripsi Data Penelitian 87
4.2.2 Deksripsi Informan Penelitian 90
4.3 Deksripsi Hasil Penelitian 93
4.3.1 Sources Of Motivation (Sumber Motivasi) 95
4.3.1.1 Stakeholder (Pihak Yang Terlibat) 96
4.3.1.2 Purpose (Tujuan) 100
4.3.1.3 Measure Of Improvement (Ukuran Perbaikan) 112
4.3.2 Sources Of Power (Sumber Kekuatan) 114
4.3.2.1 Decision-maker (Pembuat Keputusan ) 115
4.3.2.2 Resources (Sumber daya ) 123
4.3.2.3 Decision Environment (Keputusan Lingkungan) 127
viii
4.3.3 Sources Of Knowledge (Sumber Pengetahuan) 132
4.3.3.1 Professional (Tenaga Ahli) 133
4.3.3.2 Expertise (Keahlian) 136
4.3.3.3 Guarantee (Jaminan) 137
4.3.4 Sources Of Legitimation (Sumber Pengesahan) 138
4.3.4.1 Witness (Pembebasan) 139
4.3.4.2 Emancipation 140
4.3.4.2 World View (Pandangan Dunia) 142
4.4 Pembahasan 148
4.4.1 Sources Of Motivation (Sumber Motivasi) 148
4.4.2 Sources Of Power (Sumber Kekuatan) 153
4.4.3 Sources Of Knowledge (Sumber Pengetahuan) 158
4.4.4 Sources Of Legitimation (Sumber Pengesahan) 160
4.4.5 Karakteristik Gelandangan dan pengemis di Kota Serang 165
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan 181
5.2 Saran 184
Daftar Pustaka
Lampiran
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Kampung Pengemis 8
Gambar 1.2 Gelandangan dan Pengemis 10
Gambar 2.1 Model Analisa Kesejahteraan
Sosial (Segal dan Brzuay, 1998) 38
Gambar 2.2 The Eternal Triangle (Boundary Judgement) 42
Gambar 2.3 Table of Boundary Categories 44
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran 55
Gambar 3.1 The Eternal Triangle (Boundary Judgement) 57
Gambar 3.2 Analisis Data Miles dan Huberman 73
Gambar 4.1 Temuan Lapangan Sebetulnya dan Seharusnya 175
Gambar 4.3 Temuan Lapangan Skema Penelitian Analisis Kritis 176
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Data Pengemis Menurut Kab/Kota Provinsi Banten 2016 7
Tabel 2.1 Panduan Pertanyaan Kritis 46
Tabel 3.1 Informan Penelitian 65
Tabel 3.2 Pedoman Wawancara 67
Tabel 3.3 Jadwal Penelitian 76
Tabel 4.1 Luas Wilayah Kota Seran Menurut Kecamatan 2016 78
Tabel 4.2 Distribusi dan Kepadatan Penduduk Menurut Umur 2016 80
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Berumur 15 tahun keatas menurut
Pedidikan Tertinggi yang Ditamatkan 81
Tabel 4.4 Daftar Informan Penelitian 92
Tabel 4.5 Jumlah Gepeng Kota Serang Tahun 2016-2017 153
Tabel 4.6 Temuan Lapangan 168
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Mengacu pada cita-cita Bangsa Indonesia yang tercantum dalam
Pembukan Undang-undang Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita tersebut harus
menjadi suatu implementasi nyata dengan dilakukannya pembangunan
berkelanjutan dari segala sektor seperti sosial, ekonomi, budaya, dan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. Agar apa yang menjadi cita-cita tidak hanya sebuah
mimpi besar untuk kemajuan bangsa ini melainkan untuk menjadi sebuah panutan
dalam pembangunan bangsa Indonesia. Dengan terealisasinya cita-cita ini, dapat
menjadi suatu peningkatan standar kehidupan untuk seluruh masayarakat
Indonesia yang dapat merasakan langsung dari terealisasinya cita-cita bangsa ini.
Seluruh masyarakat Indonesia pada dasarnya mempunyai hak penuh untuk
mendapatkan kehidupan yang layak dari negara. Kehidupan yang layak seperti
tercukupinya segala kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani berupa
kebutuhan akan makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, dan
yang lainnya. Kebutuhan rohani seperti kebutuhan akan rasa aman, kebebasan
dalam menentukan kepercayaan (agama), ketenteraman, dan ketenangan. Maka
dari itu negarapun memiliki kewajiban untuk memberikan kehidupan yang layak
kepada rakyatnya dengan memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani
masyarakatnya.
2
Indonesia merupakan negara berkembang yang mana sebagian besar
masyarakatnya belum dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini dikarenakan
masih ada masyarakat yang hidup dalam permasalahan kesejahteraan, seperti
halnya kemiskinan. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Kemiskinan
yaitu ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasar,
baik makanan maupun non-makanan. Standar ini disebut garis kemiskinan, yaitu
nilai pengeluaran konsumsi kebutuhan dasar makananan setara dengan 2100
kalori energi per kapita per hari, ditambah lagi nilai pengeluaran untuk kebutuhan
dasar non-makanan yang paling pokok. (Sumodinigrat 2004 : 20)
Kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor, dan jarang sekali kemiskinan
disebabkan oleh faktor tunggal. Seseorang atau keluarga miskin bisa disebabkan
oleh beberapa faktor yang saling berkaitan satu sama lain, seperti mengalami
kecacatan, memiliki pendidikan rendah, tidak memiliki modal atau keterampilan
untuk berusaha, tidak tersedianya kesempatan kerja, tekena pemutusan hubungan
kerja (PHK), tidak adanya jaminan sosial (pensiun, kesehatan, kematian), atau
hidup terpencil dengan sumberdaya alam dan infrastruktur yang terbatas (Suharto,
2013: 17). Dari kemiskinan inilah mucul berbagai macam penyakit-penyakit
sosial yang muncul didalam masyarakat yang kerap sulit diatasi oleh pemerintah
diantaranya gelandangan pengemis, pekerja seks komersial (psk), anak jalanan,
anak punk, pengedar narkoba dan lainnya.
3
Sebenarnya dalam menanggulangi kemiskinan pemerintah sudah
meluncurkan program-program yang diharapkan bisa menurunkan jumlah
masyarakat miskin di Indonesia. Program-program tersebut diantaranya Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN), Kartu keluarga Sejahtera (KKS), Program Indonesia
Pintar (PIP), Program Keluarga Harapan (PKH), Beras Untuk Keluarga Miskin
(Raskin), Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Program-Program lainnya yg berkaitan
dengan penanggulangan kemiskinan. Namun pada kenyataannya Program tersebut
belum mampu mengurangi angka kemiskinan di Indonesia. Penduduk miskin
yang ada di Indonesia 28.00541 juta jiwa pada tahun 2016 semester 1 dengan
persentase 10.86% penduduk Indonesia. Masalah kemiskinan merupakan masalah
yang terus menjadi polemik di negeri ini. Yang mana masalah kemiskinan sampai
saat ini menjadi hambatan dalam proses pembangunan untuk kehidupan yang
sejahtera. Pembangunan di segala bidang pun terbilang berjalan ditempat akibat
dari kemiskinan yang terjadi sampai saat ini.
Salah satu penyebab terjadinya kemiskinan adalah tidak tersedianya
kesempatan kerja, yang berdampak pada munculnya pengangguran atau tuna
karya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat tahun 2016 tingkat
pengangguran di Indonesia sebesar 5,50 % dari penduduk Indonesia yang
berjumlah 237.641.326 jiwa. Hal ini sangat miris sekali mengingat dengan
banyaknya penduduk Indonesia yang menganggur atau tidak memiliki pekerjaan
akan timbul beberapa masalah-masalah sosial yang berdampak pada munculnya
penyakit-penyakit masyarakat yang mengganggu kestabilan kehidupan
bermasyarakat. Penyakit-penyakit masyarakat yang akan muncul seperti
4
munculnya pekerja seks komersial (psk), gelandangan pengemis, pengedar
narkoba, penjual minum-minuman keras dan lain sebagainya. Dari penyakit-
penyakit masyarakat ini bahkan dijadikan sebagai profesi oleh masyarakat miskin
yang bermentalkan lemah. Hal semacam itulah buntut dari masalah pengangguran
yang semakin hari semakin menjamur.
Bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki pekerjaan dan keterampilan,
pekerjaan apapun akan dilakukan demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya tanpa
memikirkan nilai-nilai dan aturan-aturan yang telah dilanggar. Ketidakmampuan
mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari membuat mereka rela melakukan
apasaja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti yang dilakukan oleh
gelandangan dan pengemis atau sering disebut gepeng. Oleh karena itu sangat
dikhawatirkan seiring bertambahnya jumlah masyarakat yang miskin dan
menganggur, akan berdampak pula pada bertumbuhnya jumlah gepeng di
Indonesia.
Dalam hal lain kemiskinan yang berlarut-larut di masyarakat dapat
membentuk sebuah kebiasaan yang mana masyarakat hanya ingin mendapatkan
penghasilan secara instan untuk mencari penghasilan dan terbebas dari pajak
pemerintah dengan menjadi gelandangan pengemis (gepeng). Hal ini tentunya
dapat mengakibatkan mental masyarakat menjadi lemah terutama dalam hal
mencari nafkah, mereka lebih memilih profesi sebagai gepeng yang dianggap
lebih mudah mendapatkan uang walaupun hal ini tentunya melanggar aturan baik
aturan tertulis maupun tidak tertulis.
5
Para gepeng memiliki berbagai cara dalam melakukan aksinya untuk
menggelandang dan mengemis ada yang memakai baju compang-camping,
berpenampilan lesu dengan wajah memelas, pura-pura cacat, memakai kedok
ceramah, meminta sumbangan, menggendong anak-anak dan lain-lainya. Gepeng
bukan hanya orang dewasa namun banyak juga yang masih anak-anak, hal ini
sangat miris sekali anak-anak yang seharusnya belajar dan bermain akantetapi
mereka malah mencari nafkah, terlebih dengan cara yang kurang layak dan
melanggar aturan ini. Gepeng yang masih tergolong anak-anak atau yang sering di
kenal sebagai anak jalanan ini tentunya sangat rentan dengan masalah-masalah
lainnya seperti, perdagangan manusia (human trafficking), pelecehan seksual,
tindak kekerasan, ekploitasi anak dan lainnya. Hal ini sungguh berbanding
terbalik dengan hak-hak anak yang seharusnya mereka peroleh seperti hak untuk
di besarkan oleh orang tua, pendidikan, kesehatan, tumbuh dan berkembang,
mendapat perlindungan, berkreasi, dan lainnya.
Anak jalanan yang sering ditemukan di lampu merah, pusat perbelanjaan,
pasar-pasar tradisional, jalan-jalan raya ini, sejak kecil sudah diajarkan menjadi
peminta-minta dan bisa saja semakin lama akan berpikir betapa mudahnya dalam
mencari uang hanya dengan mengharapkan orang lain merasa iba dan
mengenakan baju lusuh, kotor, dan compang-camping dapat membuat mereka
mendapat keuntungan yang mencapai ratusan ribu rupiah per hari. Jika masalah
ini dibiarkan terus menerus dan tidak ditangani dengan serius, pemerintah
pastinya akan lebih berpikir keras untuk membuat para generasi muda tersebut
merubah pola pikir tentang mudahnya mencari uang.
6
Pemerintah sebetulnya sudah mengadakan gerakan untuk menangani
permasalahan ini seperti kampanye “anti-memberi” yang bertujuan untuk
membuat jera para gepeng ini yang tidak henti-hentinya melakukan aksinya.
Selanjutnya pemerintah juga melakukan Operasi Penggarukan yaitu metode
pengangkutan dan pemindahan paksa para gelandangan dan pengemis yang
dilakukan oleh Dinas Sosial masing-masing daerah. Namun, nyatanya upaya-
upaya tersebut kurang efektif dan bahkan dinilai tidak mampu mengatasi laju
gepeng yang tiap tahun semakin menjamur.
Setiap daerah di Indonesia tidak terlepas dari perederan gepeng, tidak
terkecuali di kota-kota besar di Indonesia seperti Bandung, DKI Jakarta, Medan,
Makasar, Surabaya dan Yogyakarta yang dari tahun ke tahun gepeng seperti tidak
berkurang dan cenderung bertambah jumlahnya seiring dengan menigkatnya
kesenjangan ekonomi di kota-kota tersebut. Menurut Heru Setiawan (2012) dalam
Nabila (2014: 1) Indonesia termasuk dalam 5 besar negara yang memiliki jumlah
pengemis terbanyak di dunia dengan perkiraan jumlah pengemis ± 15 juta jiwa.
Jumlah tersebut akan terus bertambah sekitar 30-40% di tahun berikutnya. Bahkan
setiap menjelang Idul Fitri pun, jumlah pengemis sudah meningkat hingga 100%.
Hal ini merupakan catatan buruk pemerintah selaku pemegang kewenangan dalam
menentukan kebijakan yang baik dalam mengurangi jumlah pengemis di
Indonesia. Hal serupa dirasakan pula oleh Provinsi Banten yang mana jumlah
gepeng dari tahun ke tahunnya terus bertambah jumlahnya. Adapun data jumlah
gelandangan dan pengemis di Provinsi Banten tahun 2016 berdasarkan
kabupaten/kota sebagai berikut:
7
Tabel 1.1
Data Gelandangan dan Pengemis Menurut Kabupaten/Kota Provinsi
Banten tahun 2016
No Kabupaten/Kota
Jumlah Pengemis Jumlah Gelandangan
2016
Jumlah
2016
Jumlah
(L) (P) (L) (P)
1 Kab. Pandeglang 29 13 42 12 7 19
2 Kab. Lebak 26 8 34 19 4 23
3 Kab. Tangerang 61 104 165 68 16 84
4 Kab. Serang 125 38 163 68 34 102
5 Kota Tangerang 19 8 27 36 4 40
6 Kota Cilegon 1 1 2 25 5 30
7 Kota Serang 26 111 137 15 11 26
8 Kota Tangsel 4 7 11 0 0 0
Jumlah 291 290 581 243 81 324
(Sumber: Dinas Sosial Provinsi Banten 2016)
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa pada 2016 jumlah gelandangan
di Provinsi Banten mencapai 324 orang sedangkan jumlah pengemis di Provinsi
Banten mungkin mencapai 581 orang. Angka ini diprediksi akan terus meningkat
seiring dengan meningkatnya kesenjangan ekonomi dan juga mobilitas gepeng
yang cukup tinggi. Berdasarkan data dari tabel di atas jumlah gelandangan
terbanyak di tempati oleh Kabupaten Serang dengan jumlah 102 gelandangan dan
jumlah pengemis terbanyak di tempati oleh Kabupaten Tangerang.
8
Di Kota Serang terdapat kampung yang dijuluki sebagai kampung
pengemis yang letaknya berada tidak jauh dari jantung Kota Serang. Kampung
yang dijuluki kampung pengemis itu adalah Kampung Kebanyakan, Kelurahan
Sukawana, Kecamatan Serang, Kota Serang, Banten. Dijulukinya Kampung
Kebanyakan sebagai kampung pengemis karena hampir dalam setiap kegiatan
razia gepeng maka Kampung Kebanyakan selalu jadi sorotan, karena setiap
pendataan gepeng, sebagaian besarnya berasal dari Kampung Kebanyakan.
Gambar 1.1
Kampung Pengemis di Kota Serang
Sumber : Peneliti 2017
9
Adanya kampung pengemis ini menandakan bahwa kesenjangan ekonomi
di Kota Serang sangat tinggi, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kota
tidak berpengaruh signifikan pada wilayah-wilayah pinggiran kota. Kota Serang
sebagai Ibukota Provinsi Banten ini tentunya haruslah berbenah dalam mengatasi
hal ini, agar kesenjangan yang terjadi dapat menurun.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa Pemerintah Kota Serang telah
mempunyai peraturan daerah sebagai upaya pemberantasan gepeng, peraturan
daerah tersebut yaitu Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 tahun 2010 Tentang
Pencegahan, Pemberantasan Dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Dalam
pelarangan kegiatan gepeng peraturan tersebut tertuang pada pasal 9 ayat (1), (2),
dan (3) yang berbunyi:
1. Setiap orang dilarang menjadi gelandangan dan pengemis.
2. Setiap orang dilarang menyuruh atau memaksa orang lain menjadi
pengemis.
3. Setiap orang dilarang memberikan uang ataupun lainnya kepada
pengemis.
Dalam pasal 9 ayat (1), (2), dan (3) sudah sangat jelas pemerintah Kota
Serang melarang kepada masyarakatnya untuk tidak menjadi gelandangan dan
pengemis, dilarang pula untuk memaksa oranglain untuk mengemis, serta dilarang
juga untuk yang memberikan uang ataupun lainnya kepada pengemis. Bagi yang
melanggar peraturan tersebut seperti yang dijelaskan pada pasal 21 ayat (1)
bahwa:
“Setiap orang dan/atau badan hukum yang melanggar ketentuan
sebagaimnana diamaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 ayat (1),
ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11
Peraturan Daerah ini, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3
(tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah).”
10
Namun hal itu tidak membuat para gepeng takut dan faktanya Perda ini
seperti tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan laju pertumbuhan gepeng di
Kota Serang. Bahkan gepeng yang telah terjaring dan diberikan pencerahan serta
penjelasan tentang pelarangan kegiatanya berdasarkan pada perda yang
berlakupun tidak menghentikan kegiatannya itu, malahan mereka cenderung
bertambah jumlahnya dan juga para gepeng sering sekali ditemukan di jalan-jalan,
pusat perbelanjaan, rumah makan, alun-alun kota, tempat penziarahan, dan
tempat-tempat yang menjadi pusat keramaian lainnya di Kota Serang. Seperti
pada gambar berikut:
Gambar 1.2
Gelandangan dan Pengemis Kota Serang
Sumber : Peneliti 2017
11
Jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang ada di Provinsi
Banten seperti Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang,
Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan yang belum memiliki
Perda khusus untuk melarang gepeng seperti apa yang sudah dimiliki oleh Kota
Serang akan tetapi jumlah gepeng mereka lebih sedikit dari pada jumlah Kota
Serang (data tabel 1.1), dalam hal ini Perda Kota Serang untuk pelarangan para
gepeng ini masih belum maksimal dalam pengimplentasiannya dan terbilang tidak
berhasil.
Dengan mengacu pada Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 tahun
2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan Dan Penanggulangan Penyakit
Masyarakat, Pemerintah Kota Serang Sebenarnya telah membuat sebuah program
melalui Dinas Sosial Kota Serang untuk menangani permasalahan gepeng ini.
Program tersebut yaitu Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis.
Rehabilitasi sosial Gelandangan dan Pengemis merupakan langkah yang
dilakukan pemerintah Kota Serang sebagai upaya untuk mengembalikan para
gepeng agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya kembali secara wajar dalam
kehidupan masyarakat. Program ini pun diharapkan mampu menjadi alat untuk
mengurangi dan menekan jumlah gepeng yang ada di Kota Serang.
Dalam perda Kota Serang nomor 2 tahun 2010 pasal 17 ayat 1-3,
Rehabilitasi Sosial Gelandangan Pengemis ini merupakan bentuk pembinaan yang
dilakukan pemerintah kota serang khususnya Dinas Sosial yang menjadi
penanggung jawab dalam pelaksanaan program Rehabilitasi Sosial Gelandangan
Pengemis ini. Berikut bunyi peraturan tersebut :
12
1. Pemerintah Daerah dan masyarakat wajib melakukan pembinaan
terhadap orang atau sekelompok orang yang terbukti melakukan
perbuatan penyakit masyarakat.
2. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui
kegiatan rehabilitasi sosial dan pemberdayaan sosial.
3. Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan
melalui kegiatan:
a. Bimbingan, pendidikan, pelatihan dan keterampilan teknis;
b. Bimbingan, penyuluhan rohaniah dan jasmaniah;
c. Penyediaan lapangan kerja atau penyaluran tenaga kerja.
Dalam pelaksanaan Program Rehabilitasi sosial Gelandangan Pengemis ini
juga melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP) berperan sebagai aktor dalam penegakan perda Kota Serang
nomor 2 tahun 2010, dimana yang dilakukan Satpol PP tersebut adalah dengan
melakukan penjaringan atau merazia gepeng, setelah itu melakukan pembinaan
tentang pelarangan terhadap gepeng untuk beroperasi sebagaimana yang tertera
pada penegakan perda Kota Serang nomor 2 tahun 2010 tersebut, dan kemudian
menyerahkannya ke pihak Dinas Sosial untuk ditindak lanjuti.
Berdasarkan obervasi awal dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti,
bahwa dalam pelaksanaannya masih ditemukan permasalahan-permasalahan
terkait dengan program Rehabiltasi Sosial gelandangan pengengemis ini.
Pertama, lemahnya penegakan peraturan daerah kota serang nomor 2
tahun 2010 tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit
masyarakat. Kurang tegasnya penegak hukum yaitu Satpol PP dalam menegakan
perda tersebut membuat para gelandangan dan pengemis seakan merasa tidak
peraturan yang melarangnya. Pelarangan hanya dilakukan di lampu-lampu merah
saja, sedangkan di tempat-tempat lain tidak di larang seperti di tempat makan, di
13
pusat perbelanjaan, di kampus-kampus, dan di terminal-terminal. Alasan tidak di
larangannya gelandangan dan pengemis di tempat-tempat selain lampu merah
adalah alasan kemanusiaan. Seperti apa yang disampaikan oleh Bapak Raden
Kuncahyo selaku Kepala Bidang Penegak Hukum Daerah Satpol PP Kota Serang
tahun 2016 sebagai berikut:
“Kita manusiawi dong, kalo betul dia tidak punya mau apa,
kan gitu. Ya kita juga berpedoman pada ham nya, khawatir dia
laporan nanti pelanggaran ham juga kepada kami.” (wawancara
dengan Bapak Raden Kuncahyo selaku Kepala Bidang Penegak
Hukum Daerah Satpol PP Kota Serang pada 12-06-2016).
Bila melihat pada isi Peraturan Daerah Kota Serang nomor 2 tahun 2010
tentang penyakit masyarakat pasal 9 ayat 1, sangat jelas melarang kegiatan
gelandangan dan pengemis. Bila melihat pada isi perda tersebut seharusnya
pelarangan tidak hanya di lampu merah saja, di pusat-pusat keramaian juga harus
dilarang. Pada pasal 9 ayat 3 menerangkan bahwa masyarakat tidak boleh
memberikan uang atau yang lainnya kepada pengemis.
Kedua, kurangnya sosialisasi program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis ini yang dilakukan Dinas Sosial kepada publik untuk ikut andil dalam
program rehabilitasi ini. Pentingnya keikutsertaan masyarakat dalam program ini
sangat penting, keikutsertaan ini seperti yang tertuang dalam peraturan daerah
Kota Serang nomor 2 tahun 2010 tentang Penyakit Masyarakat pasal 12 ayat 2.
Pada pasal tersebut menjeleskan bahwa masyarakat perlu ikut serta untuk ikut
mencegah dan mengawasi segala perbuatan atau tindakan yang berhubungan
dengan penyakit masyarakat termasuk juga gelandangan dan pengemis di tempat
tinggalnya. Serta masyarakat harus melaporkannya kepada pihak yang berwenang.
14
Dengan apa yang tertuang dalam peraturan daerah tersebut betapa pentingnya
peran serta masyarakat untuk ikut andil dalam penyelenggaraan program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini. Namun faktanya masih banyak
masyarakat yang belum mengetahui program rehabilitasi ini. Bahkan masih
banyak juga masyarakat yang masih saja memberikan uang ataupun yang lainnya
kepada pengemis. Padahal pada program rehabilitasi gelandangan dan pengemis
ini salah satu bentuknya adalah kampanye untuk tidak memberi kepada pengemis.
Namun sosialisasi yang kurang membuat program ini tidak banyak di ketahui oleh
masyarakat luas.
Ketiga, kurangnya kordinasi antara Dinas Sosial dengan SATPOL PP
selaku pihak yang merazia para gelandangan dan pengemis di jalan atau tempat
umum. Kurangnya kordinasi yang dilakukan selama ini kurang begitu maksimal
menurut keterangangan dari bapak Cahyo Kepala Seksie Penegakan Hukum
Produk Hukum Daerah Satpol PP Kota Serang bahwa pihaknya selalu siap
disetiap dilakukannya penjaringan para gepeng¸ akan tetapi pihak Dinas Sosial
Kota Serang belum mampu menampung para gelandangan dan pengemis tersebut,
sehingga terjadilah saling lempar wewenang. Bapak Cahyo menjelaskan pihak
Dinas Sosial Kota Serang belum siap secara sarana dan prasarana.
Dengan masalah-maslah yang peneliti temukan maka peneliti tertarik
untuk meneliti mengenai “Analisis Krititis Implementasi Program Rehabilitasi
Sosial Penanganan Gelandangan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota
Serang (Perda Kota Serang no 2 Tahun 2010 tentang Penyakit Masyarakat).”
15
1.2 Identifikasi Masalah
1. Lemahnya penegakan peraturan daerah kota serang nomor 2 tahun 2010
tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit
masyarakat.
2. Kurangnya mensosialisasikan program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis yang dilakukan Dinas Sosial ini kepada publik untuk ikut andil
dalam program rehabilitasi ini.
3. Kurangnya koordinasi antara Dinas Sosial dengan SATPOL PP selaku
pihak yang merazia para gelandangan dan pengemis di jalan atau tempat
umum.
1.3 Batasan Masalah
Dari uraian-uraian latar belakang masalah dan identifikasi masalah diatas
peneliti mempunyai keterbatasan kemampuan dan berfikir secara menyeluruh.
Maka dengan itu peneliti membuat batasan masalah penelitian yaitu pada
Implementasi Program Rehabilitasi Sosial Penanganan Gelandangan Pengemis
(Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota Serang
1.4 Rumusan Masalah
Bagaimanakah Implementasi Program Rehabilitasi Sosial Penanganan
Gelandangan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota Serang (Perda Kota
Serang nomor 2 Tahun 2010 tentang Penyakit Masyarakat) ?
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan dan
mendeskripsikan secara kritis mengenai bagaimana Analisis Krititis Implementasi
16
Program Rehabilitasi Sosial Penanganan Gelandangan Pengemis Oleh Dinas
Sosial Kota Serang (Perda Kota Serang no 2 Tahun 2010 tentang Penyakit
Masyarakat) dan juga sebagai bahan masukan untuk pihak yang terkait dalam
penelitian ini.
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk semua pihak yang
bersangkutan dalam penelitian ini, baik manfaat secara praktis maupun secara
teoritis.
1.6.1 Manfaat Praktis
Beberapa manfaat secara praktis dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut
a. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai Analisis Krititis Implementasi Program Rehabilitasi Sosial
Penanganan Gelandangan Pengemis Oleh Dinas Sosial Kota Serang (Perda
Kota Serang no 2 Tahun 2010 tentang Penyakit Masyarakat).
b. Bagi pembaca, Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi penelitian
ini dapat memberikan informasi secara tertulis maupun sebagai referensi
instansi lokal khususnya Dinas Sosial kota Serang.
1.6.2 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi upaya aplikasi atas teori-
teori Administrasi Publik atas Permasalahan pada Pengimplementasian
Kebijakan Program Rehabilitasi Sosial pada lingkupan pengetahuan sosial.
17
1.7 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Latar belakang masalah menjelaskan mengapa peneliti mengambil judul
penelitian tersebut, juga menggambarkan ruang lingkup dan kedudukan masalah
yang akan diteliti yang tentunya relevan dengan judul yang diambil. Materi dari
uraian ini, dapat bersumber dari hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya, hasil
seminar ilmiah, hasil pengamatan, pengalaman pribadi, dan intuisi logik. Latar
belakang timbulnya masalah perlu diuraikan secara jelas, faktual dan logik.
1.2 Identifikasi Masalah
Mendeteksi aspek permasalahan yang muncul dan berkaitan dari judul
penelitian atau dengan masalah atau variable yang akan diteliti. Identifikasi
masalah biasanya dilakukan pada studi pendahuluan pada objek yang diteliti,
observasi dan wawancara ke berbagai sumber sehingga semua permasalahan dapat
diidentifikasi.
1.3 Rumusan Masalah
Menetapkan masalah yang paling penting dan berkaitan dengan judul
penelitian.
1.4 Tujuan Penelitian
Mengungkapkan tentang sasaran yang ingin dicapai dengan
dilaksanakannya penelitian, terhadap masalah yang telah dirumuskan. Isi dan
rumusan tujuan penelitian sejalan dengan isi dan rumusan masalah.
18
1.5 Manfaat Penelitian
Menggambarkan manfaat penelitian baik secara praktis maupun teoritis.
BAB II DESKRIPSI TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN ASUMSI
DASAR PENELITIAN
2.1 Deskripsi Teori
Mengkaji berbagai teori yang relevan dengan permasalahan variabel
penelitian, kemudian menyusunnya secara teratur dan rapi yang digunakan untuk
merumuskan masalah.
2.2 Kerangka Berpikir
Menggambarkan alur pikiran penelitian sebagai kelanjutan dari kajian
teori untuk memberikan penjelasan kepada pembaca.
2.3 Asumsi Dasar Penelitian
Menyajikan prediksi penelitian yang akan dihasilkan sebagai hipotesa
kerja yang mendasari penulisan sebagai landasan awal penelitian.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Sub bab ini menjelaskan metode yang digunakan dalam penelitian
3.2 Instrumen Penelitian
Sub bab ini menjelaskan tentang proses penyusunan dan jenis alat
pengumpul data yang digunakan. Dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah
peneliti itu sendiri.
19
3.3 Informan Penelitian
Sub bab ini menjelaskan tentang orang yang dijadikan sumber untuk
mendapatkan data dan sumber yang diperlukan dalam penelitian.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Menguraikan teknik pengumpulan data hasil penelitian dan cara
menganalisis yang telah diolah dengan menggunakan teknik pengolahan data
sesuai dengan sifat data yang diperoleh, melalui pengamatan, wawancara,
dokumentasi dan bahan-bahan visual.
3.5 Teknik Analisis Data
Sub bab ini menggambarkan tentang proses penyederhanaan data ke dalam
formula yang sederhana dna mudah dibaca serta mudah diinterpretasi, maksudnya
analisis data di sini tidak saja memberikan kemudahan interpretasi, tetapi mampu
memberikan kejelasan makna dari setiap fenomena yang diamati, sehingga
implikasi yang lebih luas dari hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan
simpulan akhir penelitian. Analisis data dapat dilakukan melalui pengkodean dan
berdasarkan kategorisasi data.
3.6 Uji Keabsahan Data
Sub bab ini menggambarkan sifat keabsahan data dilihat dari objektifitas
dalam subjektivitas. Untuk dapat mendapat data yang objektif berasal dari unsur
subjektivitas objek penelitian, yaitu bagaimana menginterpretasikan realitas sosial
terhadap fenomena-fenomena yang ada.
3.7 Lokasi Penelitian
Tempat yang dijadikan penelitian
20
3.8 Jadwal Penelitian
Menjelaskan tentang tahapan waktu penelitian.
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian
Menjelaskan tentang objek penelitian yang meliputi lokasi penelitian
secara jelas, struktur organisasi dari populasi atau sampel yang telah ditentukan
serta hal lain yang berhubungan dengan objek penelitian.
4.2 Hasil Penelitian
Menjelaskan hasil penelitian yang telah diolah dari data mentah dengan
menggunakan teknik analisis data kualitatif.
4.3 Pembahasan
Merupakan pembahasan lebih lanjut terhadap hasil analisis data dan
wawancara narasumber.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Menyimpulkan hasil penelitian yang diungkapkan secara singkat, jelas,
sejalan dan sesuai dengan permasalahan serta hipotesis penelitian.
5.2 Saran
Suatu pendapat dari peneliti untuk menyarankan kepada objek yang
diteliti.
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN ASUMSI DASAR
2.1 Tinjauan Pustaka
Pada tinjauan pustaka ini menjelaskan deskripsi teori-teori yang relevan
mengenai penelitian ini. Diantaranya menjelaskan teori tentang kebijakan publik
dan implementasi kebijakannya serta ada juga pembahasan mengenai kebijakan
kesejahteraan sosial yang menurut peneliti teori-teori ini sangat relevan dengan
masalah-masalah dalam penelitian ini. Tidak hanya tentang kebijakan saja yang
menjadi bahasan di tinjauan pustaka ini, peneliti juga membahas tentang definisi
gelandangan pengemis (gepeng), karakteristik gelandangan pengemis, dan
membahas juga mengenai critical analysis, yang mana critical analysis menjadi
pisau analisis peneliti dalam melakukan penelitian ini.
2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Istilah kebijakan publik merupakan terjemahan dari istilah bahasa
Inggris, yaitu public policy. Kata policy ada yang menerjemahkan menjadi
“kebijakan” (Samodra, Wibawa 1994; Muhadjir Darwin, 1998) dalam Soetari
(2014: 35), dan ada juga yang menerjemahkan menjadi “kebijaksanaan”
(Islamy, 2001; Abdul Wahap, 1990) dalam Soetari (2014: 35). Meskipun
belum ada kesepakatan bahwa policy diterjemahkan menjadi “kebijakan” atau
“kebijaksanaan”, kecenderungan untuk policy digunakan istilah kebijakan.
Oleh karena itu, public policy diterjemahkan menjadi kebijakan publik.
22
Menurut Thomas R. Dye (1992) dalam Soetari (2014: 35), “public
policy is whatever the government chose to do or not to do” (kebijakan publik
adalah apa pun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu). Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk
melakukan sesuatu, tentu ada tujuan karena kebijakan publik merupakan
“tindakan” pemerintah. Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan
sesuatu, juga merupakan kebijakan publik yang ada sesuatunya.
Sementara itu, Thomas Dye (1992: 2-4) dalam Soetari (2014: 35),
mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah, alasan suatu kebijakan
harus dilakukan dan manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi
pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang
besar bagi warganya dan tidak menimbulkan kerugian, disinilah pemerintah
harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan.
James E. Anderson (1970) dalam Soetari (2014: 35), menyatakan
bahwa “public policies are those policies developed by governmental bodies
and officials” (kebijakan publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh
badan dan pejabat pemerintah).
Chief J. O. Udoji, pakar dari Nigeria (1981), telah mendefinisikan
kebijakan publik sebagai suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu
tujuan tertentu yang saling berkaitan dan memengaruhi sebagian besar
masyarakat.
23
Menurut David Easton dalam Soetari (2014: 35), “public policies is
the authoritative alocation of values for the whole society” (kebijakan publik
adalah pengalokasian nilai-nilai secara sah kepada seluruh anggota
masyarakat).
Berdasarkan beberapa asumsi-asumsi dari para ahli tersebut mengenai
kebijakan publik dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa kebijakan publik
merupakan sikap dari pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu untuk menyelasaikan permasalahan sesuai dengan kepentingan
masyarakatnya. Kebijakan publik berarti juga sebagai sebuah langkah yang
diambil pemerintah guna untuk memperbaiki ataupun membuat sistem baru
sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Selanjutnya Mustopodidjaja dalam Rakhmat (2009: 132) dalam
Soetari (2014: 36) menawarkan working definition yang diharapkan dapat
mempermudah pengamatan atas fenomena kebijakan yang aktual. Dikatakan
bahwa kebijakan publik adalah suatu keputusan untuk mengatasi permasalahan
tertentu agar mencapai tujuan tertentu, yang dilaksanakan oleh instansi yang
berwenang dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan negara dan
pembangunan. Dalam kehidupan administrasi publik, secara formal keputusan
tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk perundang-undangan.
Aminullah dalam muhammadi (2001: 371-372) dalam Soetari
(2014:37) menyatakan bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan
untuk memengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan. Upaya dan
tindakan tersebut bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.
24
2.1.2 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris, yaitu to implement.
Dalam kamus besar webster (Wahab, 2006: 64) dalam Soetari (2014: 232), to
implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying
out (menyediakan sarana untuk melakasanakan sesuatu), dan to give practical
effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).
Dalam Bukunya Implementation and Public Policy (1983:61) Daniel
Mazmanian dan Paul Sabatier mendefinisakan Implementasi Kebijakan
sebagai:
“Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk
undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
keputusan-keputusan eksekutif yang penting, atau keputusan badan
peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang
ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin
dicapai, dengan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses
implementasinya.”
Van Meter dan Van Horn (1975), mendefinisikan implementasikan
kebijakan sebagai:
“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau
pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang di
arahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijaksanaan.”
Dari definisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa implementasi
kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu pertama, adanya tujuan atau sasaran
kebijakan. Kedua, adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan. Ketiga,
adanya hasil kegiatan.
25
Berdasarkan uraian tersebut dapat peneliti simpulkan bahwa
implementasi merupakan suatu proses penerapan dari apa yang sudah
diformulasikan sebelumnya oleh pembuat kebijakan, dimana pelaksana
kebijakan melakukan suatu aktifitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya
akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu
sendiri.
Pernyataan serupa juga dijelaskan pula oleh Lester dan Stewart Jr.
(2000: 104) dimana mereka katakan bahwa: implementasi sebagai suatu proses
dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu: tercapai atau tidaknya tujuan-
tujuan yang ingin diraih.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Merrile Grindle
(1980) sebagai berikut :
“Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya,
dengan mempertanyakan apakan pelaksanaan program sesuai dengan yang
telah ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual projects
dan yang kedua apakan tujuan program tersebut tercapai.”
Penting untuk diingat bahwa implementasi kebijakan yaitu tahapan
yang sangat penting dalam keseluruhan alur kebijakan, karena melalui
implementasi ini proses kebijakan dapat diwujudkan dan secara keseluruhan
dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan. Hal ini
dipertegas oleh Chief Udoji (1981) dengan mengatakan bahwa :
“Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh
lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya
akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam
arsip kalau tidak diimplementasikan”
2.1.3 Model Implementasi Kebijakan Publik
26
A. Implementasi Kebijakan Publik Model George C. Edward III
Model implementasi kebijakan yang berperspektif top down
dikembangkan oleh Edward III. Edward III menamakan implementasi
kebijakan publiknya dengan Direct And Indirect Impact On
Implementation. Dalam pendekatan yang diteoremakan oleh Edward III,
terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan
implementasi suatu kebijakan, yaitu : (1) komunikasi; (2) sumberdaya; (3)
disposisi; (4) struktur birokrasi.
B. Implementasi Kebijakan Publik Model Grindle
Model Implementasi Kebijakan Publik yang dikemukakan Grindle
(1980:7) menuturkan bahwa Keberhasilan proses implementasi kebijakan
sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang
telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh Content of
Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation (konteks
implementasinya). Isi kebijakan yang dimaksud meliputi:
1. Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected).
2. Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit).
3. Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned).
4. Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making).
5. Para pelaksana program (program implementators).
6. Sumber daya yang dikerahkan (Resources commited).
Contex of Implementation (konteks implementasinya) yang dimaksud
meliputi:
27
a. kekuasaan, kepentingan-kepentingan dan strategi dari indikator
yang terlibat
b. karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa
c. tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana
C. Implementasi Kebijakan Publik Daniel Mazmanian dan Paul
A. Sabatier
Model yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A.
Sabatier yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya
melaksanakan keputusan kebijakan. Model Mazmanian dan Sabatier
disebut Model Kerangka Analisis Implementasi (a framework for
implementation analysis).
Mazmanian-Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan
ke dalam tiga variabel, yaitu:
a) Variabel Independen
Mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan
indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan
perubahan seperti apa yang dikehendaki.
b) Variabel Intervening
Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan
proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan,
dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan
hirarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga
pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan
28
kepada pihak luar, variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses
implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan
teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan
pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari
pejabat pelaksana.
c) Variabel Dependen
Yaitu tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik dengan
lima tahapan, yang terdiri dari: Pertama, pemahaman dari lembaga/badan
pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana. Kedua,
kepatuhan objek. Ketiga, hasil nyata. Ke-empat, penerimaan atas hasil
nyata. Terakhir, kelima, tahapan yang mengarah pada revisi atas kebijakan
yang dibuat dan dilaksanakan, baik sebagian maupun keseluruhan
kebijakan yang bersifat mendasar.
D. Implementasi Kebijakan Publik Model Van Meter dan Van
Horn
Model yang paling klasik, yakni model yang diperkenalkan oleh
Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975). Model ini mengandaikan
bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan
publik, implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel
yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik
adalah variabel berikut :
1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi
2. Karakteristik agen pelaksana/implementator
3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik
4. Kecenderungan (disposition) pelaksana/implementor.
29
2.1.4 Pengertian Gelandangan Pengemis
Secara umum, pengertian pengemis adalah orang yang pekerjaannya
mengharapkan belaskasihan dengan cara meminta-minta uang kepada orang
lain. Kemudian menurut Sudarianto (2005:14) Pengemis adalah orang-orang
yang kerjanya suka meminta-minta kepada orang lain guna memenuhi
kebutuhannya. Adapun menurut Sudarianto dalam Engkus Kuswarno,
(2009:15) pengemis terbagi menjadi 2 kelompok yaitu:
1. Mengemis karena tak mampu bekerja. Pada kategori ini dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai kelainan fisik pada anggota tubuhnya.
Misalnya tak mampu bekerja karena tidak memiliki tangan, kaki,
lumpuh, buta. Jadi para dermawan memang harus terpanggil untuk
menyantuninya, sisihkanlah harta untuk mereka, karena menyantuni
mereka insya Allah mendapat pahala yang besar.
2. Mengemis karena malas bekerja. Pengemis karena malas bekerja inilah
yang menyebabkan jumlah pengemis di Indonesia sangat banyak.
Pengemis pada kategori ini, orangnya mempunyai anggota tubuh yang
sangat lengkap namun dihinggapi penyakit malas. Pengemis semacam
inilah yang harus diberantas oleh pemerintah.”
Suparlan (1993: 179) menyatakan bahwa istilah gelandangan yang
berasal dari kata gelandangan yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah
mempunyai tempat tinggal yang tetap.
Ali, dkk,. (1990) dalam Iqbali (2008: 2-3) menyatakan bahwa
gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau
berkelana (lelana). Selanjutnya gelandangan merupakan lapisan sosial,
ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasi masyarakat kota.
30
Gelandangan pengemis adalah orang-orang miskin yang hidup di
kota-kota yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu yang sah menurut
hukum. Orang-orang ini menjadi beban pemerintah kota karena mereka
menyedot dan memanfaatkan fasilitas perkotaan, tetapi tidak membayar
kembali fasilitas yang mereka nikmati itu, tidak membayar pajak misalnya.
(Sarlito, W. Sarwono 2005: 49).
Penjelasan mengenai gelandangan pengemis tersebut memberikan
pengertian bahwa mereka termasuk golongan yang mempunyai kedudukan
lebih terhormat daripada pengemis. Gelandangan pada umumnya mempunyai
pekerjaan tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (berpindah-pindah).
Sebaliknya pengemis hanya mengharapkan belas kasihan orang lain serta tidak
tertutup kemungkinan golongan ini mempunyai tempat tinggal yang tetap
(Iqbali 2005: 3).
Dengan berbagai definisi diatas mengenai gelandangan pengemis,
maka peneliti menyimpulkan bahwa yang dimaksud sebagai gelandangan
adalah seorang yang hidup tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang
tetap, tidak memliki tujuan yang jelas, berpindah-pindah tempat, jauh dari
kehidupan yang layak dan sering tinggal di fasilitas-fasilitas umum.
Sedangakan pengemis adalah seorang yang dalam sehari-harinya bekerja
dengan mengharapkan belas kasihan orang lain dengan cara meminta-minta.
2.1.5 Karakteristik Gelandangan dan Pengemis
Keith Harth (1973) dalam Iqbali (2005: 3) mengemukakan bahwa dari
kesempatan memperoleh penghasilan yang sah, pengemis dan gelandangan
31
termasuk pekerja sektor informal. Sementara itu, Jan Breman (1980) dalam
Iqbali (2005: 3) mengusulkan agar dibedakan tiga kelompok pekerja dalam
analisis terhadap kelas sosial di kota, yaitu
1. kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki
ketrampilan;
2. kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok yang berusaha
sendiri dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal;
3. kelompok miskin yang kegiatannya mirip gelandangan dan
pengemis. Kelompok kedua dan ketigalah yang paling banyak di
kota dunia ketiga. Ketiga kelompok ini masuk ke dalam golongan
pekerja sektor informal.
a. Pengemis
Pengemis ada lima kategori pengemis menurut Indra Pratama dalam
Engkus Kuswarno (2009:26) yaitu:
a. Pengemis Berpengalaman
Lahir karena tradisi. Bagi pengemis yang lahir karena tradisi, tindakan
mengemis adalah tindakan kebiasaan. Mereka sulit menghilangkan
kebiasaan tersebut karena orientasinya lebih pada masa lalu (motif
sebab).
b. Pengemis kontemporer kontinu tertutup
Hidup tanpa alternatif. Bagi kelompok pengemis yang hidup tanpa
alternatif pekerjaan lain, tindakan mengemis menjadi satu-satunya
pilihan yang harus diambil. Mereka secara kontinu mengemis, tetapi
mereka tidak mempunyai kemampuan untuk dapat hidup dengan
bekerja yang akan menjamin hidupnya dan mendapatkan uang.
c. Pengemis kontemporer kontinu terbuka
Hidup dengan peluang. Mereka masih memiliki alternatif pilihan,
karena memiliki keterampilan lain yang dapat mereka kembangkan
untuk menjamin hidupnya. Hanya saja keterampilan tersebut tidak
32
dapat berkembang, karena tidak menggunakan peluang tersebut
dengan sebaik-baiknya atau karena kekurangan potensi sumber daya
untuk mengembangkan peluang tersebut.
d. Pengemis kontemporer temporer
Hidup musiman. Pengemis yang hanya sementara dan bergantung pada
kondisi musim tidak dapat diabaikan keberadaannya. Jumlah mereka
biasanya meningkat jika menjelang hari raya. Daya dorong daerah
asalnya karena musim kemarau atau gagal panen menjadi salah satu
pemicu berkembangnya kelompok ini.
e. Pengemis rencana
Berjuang dengan harapan. Pengemis yang hidup berjuang dengan
harapan pada hakikatnya adalah pengemis yang sementara. Mereka
mengemis sebagai sebuah batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan
lain setelah waktu dan situasinya dipandang cukup.”
Kriteria :
a. Anak sampai usia dewasa
b. Meminta-minta di rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan
(lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah, dan tempat umum
lainnya, bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan berpura-
pura sakit, merintih, dan kadang-kadang mendoakan dengan
bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan untuk organisasi tertentu.
c. Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur
dengan penduduk pada umumnya.
b. Gelandangan
Muthalib dan Sudjarwo (dalam IqBali, 2005: 3) memberikan tiga
kategori gelandangan, yaitu pertama, sekelompok orang miskin atau
dimiskinkan oleh masyaratnya. Kedua, orang yang disingkirkan dari
33
kehidupan khalayak ramai. Ketiga, orang yang berpola hidup agar
mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan. Ali, dkk. (dalam
IqBali, 2005: 3) juga menggambarkan mata pencaharian gelandangan
seperti pemulung, peminta-minta, tukang semir sepatu, tukang becak,
penjaja makanan, dan pengamen.
Kriteria :
a. Tanpa Kartu Tanda Penduduk (KTP); b. Tanpa tempat tinggal yang pasti/tetap; c. Tanpa penghasilan yang tetap; dan d. Tanpa rencana hari depan anak-anaknya maupun dirinya.
2.1.6 Konsep Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial merupakan cita-cita dari negara indonesia yang
mana kesejahteraan sosial dapat di artikan sebagai kondisi dimana masyarakat
dapat memenuhi kebutuhan dasarnyanya seperti sandang, pangan, dan
papannya. Seperti apa yang Migdley (1997: 5) dalam Isbandi (2013: 23) lihat
bahwa kesejahteraan sosial sebagai:
“Suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika
berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik; ketika
kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial
dapat dimaksimalkan”
Sedangkan menurut Segal dan Bruzy (1998:8) dalam Suud (2006:6),
kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat.
Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagian, dan
kualitas hidup rakyat. Kesejahteraan sosial yang di rumuskan oleh Wilensky
dan lebeaux (1965:138) sebagai:
34
“sistem yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan dam lembaga-
lembaga sosial, yang dirancang untuk membantu individu-individu
dan kelompok-kelompok agar mencapai tingkat hidup dan kesehatan
yang memuaskan. Maksudnya agar tercipta hubungan-hubungan
personal dan sosial yang memberi kesempatan individu-individu
pengembangan kemampuan-kemampuan mereka seluas-luasnya dan
meningkatkan kesejahteraan mereka sesuai dengan kenutuhan-
kebutuhan masyarakat.”
Definisi yang serupa dikemukakan oleh Friedland (1968:13) dalam
Suud (2006:8) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai sistem yang
teroganisasi dari pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga sosial, yang
dimaksudkan untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok agar
mencapai tingkat hidup dan kesehatan yang memuaskan, dan hubungan-
hubungan personal dan sosial yang memberi kesempatan kepada mereka untuk
memperkembangkan seluruh kemampuannya dan untuk meningkatkan
kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan
masyarakatnya.
Romanyshyn (1971:3) dalam Suud (2006:11) menyebutkan bahwa
kesejahteraan sosial dapat :
“mencakup semua bentuk intervensi sosial yang mempunyai suatu
perhatian utama dan langsung pada usaha peningkatan kesejahteraan
individu dan masyarakat sebagai keseluruhan. Kesejahteraan sosial
mencakup penyediaan pertolongan dan proses-proses yang secara
langsung berkenaan dengan penyembuhan dan pencegahan masalah-
masalah sosial, pengembangan sumber daya manusia, dan perbaikan
kualitas hidup. Itu meliputi pelayanan-pelayanan sosial bagi individu
dan keluarga-keluarga juga usaha-usaha untuk memperkuat atau
memperbaiki lembaga-lembaga sosial.”
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Suahrto (2005:34)
memberikan definisikan bahwa kesejahteraan Sosial adalah kegiatan-kegiatan
yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat
35
guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan
kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat.
Kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat.
Dari beberapa definisi diatas dapat peniliti simpulkan bahwa
kesejahteraan sosial yaitu terpenuhinya segala kebutuhan dasar seperti
kebutuhan material dan spiritualnya sehingga dapat berdampak positif terhadap
lingkungan sosialnya. Kesejahteraan sosial juga merupakan serangkaian
kegiatan yang dilakukan lembaga/kelompok pemerintah untuk pengentasan
masalah kesejahteraan dari masyarakatnya untuk memberikan suatu dampak
positif untuk lingkungan sosial dari masyarakat agar terjalinnya interaksi sosial
yang lebih baik.
Kesejahteraan sosial memang sangat diperlukan untuk membentuk
masyarakat yang tertib dan disiplin serta menjunjung tinggi nilai-nilai sosial
yang ada dimasyarakat. Kesejahteraan sosial akan berimplikasi kepada cara
hidup suatu masyarakat di lingkungan sosialnya, jika suatu masyarakat
sejahtera maka masalah-masalah sosial maupun konflik-konflik sosial tidak
akan menjadi permasalahan yang kompleks yang bisa memecah belah
persatuan di masyarakat. Sebaliknya jika masyarakat tidak sejahtera, pasti
banyak sekali masalah-masalah sosial dan konflik-konflik sosial yang akan
terjadi seperti sekarang ini, banyak sekali masalah-masalah sosial yang muncul
sehingga dalam kesehariannya dan dalam mata pencahariannya mengabaikan
nilai-nilai sosial dan norma-norma yang ada di masyarakat contohnya
36
banyaknya gelandangan pengemis (gepeng), Pekerja Seks Komersial (PSK),
anak jalanan, anak terlantar, lanjut usia yang terlantar dan lainnya.
2.1.7 Kebijakan Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan Sosial merupakan upaya dari pemerintah untuk
mensejahterakan masyarakatnya sehingga masyarakatnya dapat hidup dengan
baik di lingkungan sosialnya sehingga tidak adanya nilai-nilai sosial yang ada
di masyarakat yang dilanggar. Menurut Segel dan Bruzuzy (1998) dalam Suud
(2006: 88) kebijakan sosial merupakan bagian dari sistem kesejahteraan sosial.
Karenanya, intervensi kesejahteraan sosial melalui kebijakan mesti
memperhatikan sistem kesejahteraan sosial di mana kebijakan tersebut dibuat.
Selanjutnya Segel dan Bruzuzy (1998: 9) dalam Suud (2006: 94)
secara singkat mendefiniskan bahwa kebijakan kesejahteraan sosial adalah
tanggapan yang terorganisasi atau tiadanya suatu tanggapan terahadap suatu isu
atau masalah sosial. Diana M. Dinitro (2003:2) dalam Suud (2006:95)
berpendapat bahwa kebijakan kesejahteraan sosial adalah apa saja yang dipilih
pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan, yang mengakibatkan kualitas
kehidupan rakyatnya. Macarov (1995) dalam Suud (2006:95) juga berpendapat
bahwa kebijakan kesejahteraan sosial meliputi keduanya tujuan dan aturan
yang menentukan pelaksana. Kebijakan kesejahteraan sosial diterapkan melalui
program kesejahteraan sosial yang dilaksanakan oleh pekerja sosial.
37
Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai
kebijakan kesejahteraan sosial peneliti dapat menyimpulkan bahwa kebijakan
kesejahteraan sosial merupakan apa saja yang dilakukan ataupun tidak
dilakukan pemerintah untuk menanggapi isu-isu sosial yang ada dimasyarakat
dan dalam penerapannya dengan membuat produk dari kebijakan itu sendiri
yaitu program-program kesejahteraan sosial.
2.1.7.1 Analisa Kebijakan Kesejahteraan Sosial
Analisa kebijakan kesejahteraan sosial dilakukan untuk
menyediakan bimbingan dan arahan bagi para pembuat kebijakan
(Dobelstein, 1996) dan untuk menawarkan solusi masalah sosial (Dunn,
2000). Informasi yang diperoleh melalui analisa kebijakan dapat digunakan
untuk membangun kebijakan alternatif di masa yang akan datang, menilai
kebijakan-kebijakan yang ada atau sebelumnya, atau menjelaskan masalah
fenomena kesejahteraan sosial. Berikut ada model analisa kebijakan
kesejahteraan sosial dari (Segal dan Brzuay, 1998) yang modelnya beralur
linier dalam model analisanya. Hal ini dimaksudkan untuk merefleksikan alur
umum dari kebijakan dan untuk tujuan penjelasan. Bagaimanapun,
pembuatan dan pengoperasian kebijakan kesejahteraan sosial itu dinamis dan
proses tersebut yang terbaik dipandang sebagai suatu keseluruhan. Model
berikut ini memiliki lapisian-lapisan berlipat, yang merefleksikan
kompleksitas dari sistem kesejahteraan sosial sebagaimana yang telah
disebutkan di atas yang mana dalam kebijakan dirumuskan. Berikut garis
besar model tersebut.
38
Gambar 2.1
Model Analisa Kesejahteraan Sosial (Segal dan Brzuay, 1998)
Menerapkan model tersebut mensyaratkan penggunaan banyak
pertanyaan untuk menganalisa evolusi dan penerapan kebijakan kesejahteraan
sosial. Daftar pertanyaan yang ada di bawah ini akan membantu kita menyusun
analisa kebijakan kesejahteraan sosial.
a. Masalah Sosial
Apakah masalahnya?; Bagaimana definisinya?; Seberapa luas
masalahnya?; Siapa yang mendefinisikannya sebagai masalah?; Siapa
yang tidak setuju tanda masalah tersebut?
Dampak
yang Aktual
Populasi yang
Diakibatkan
Penerapan
Program
Kesejahteraan
Sosial
Kebijakan/
Perundangan Tujuan
Isu Sosial/
Masalah
Sosial Dampak
yang
Dikehendaki
39
b. Tujuan
Apakah tujuan umumnya?; Apakah sub-sub tujuannya?; Apakah sub-
sub tujuan tersebut saling bertentangan?;
c. Kebijakan/perundangan
Apakah ada kebijakan yang relevan?; Jika tidak ada mengapa?;
Apakah sasaran-sasaran dari kebijakan tersebut?; Apakah ada agenda-
agenda dari kebijakan yang tersembunyi?; Siapakah yang mendukung
kebijakan tersebut?; Siapakah yang menentang kebijakan tersebut?.
d. Penerapan
Apakah program kesejahteraan sosial yang diterapkan merupakan dari
kebijakan?; Apakah program tersebut efektif?; Apakah kekuatan-
kekuatannya?; Apakah kelemahan-kelemahannya?.
e. Populasi yang dipengaruhi
Siapa yang disentuh oleh kebijakan dan program tersebut?; Apakah
akibat positifnya?; Apakah akibat negatifnya?.
f. Dampak yang dikehendaki
Apakah yang dimaksudkan menjadi kenyataan?; Apakah yang
dimaksudkan telah dipengaruhi?; Apakah masalah yang dimaksudkan
telah berubah?.
40
g. Dampak aktual
Bagaimana biaya dan keuntungannya?; Apakah masalah sosial tersebut
berubah?; Jika ya, bagaimana berubahnya?; Adakah akibat-akibat yang
tidak diinginkan?.
Kerapkali kondisi-kondisi sosial tertentu dipandang sebagai suatu
masalah oleh beberapa orang, tetapi tidak oleh semua anggota masyarakat.
Suatu persoalan mendapat penerimaan sebagai suatu keprihatinan sosial tatkala
semakin banyak orang, kelompok-kelompok sosial, dan para pembuat
kebijakan mendefinisikannya sebagai suatu masalah sosial. Sementara
mungkin ada persetujuan yang secara umum, pembelajaran nilai-nilai khusus
ideologis bisa mewarnai cara pandang terhadap persoalan tersebut. Sebagai
contoh, gelandangan pengemis (gepeng) bisa diakui oleh banyak orang sebagai
suatu masalah sosial, tetapi oleh sebagian orang dianggap sebagai masalah
kemiskinan, dan sementara bagi sebagian masyarakat lain ia bisa dipandang
sebagai merusak pandangan umum, dan bagi sebagian yang lain lagi ia bisa
dimasukan sebagai orang yang sakit mental yang kurang mendapat perlakuan
secara memadai (Suud 2006: 106).
Proses kebijakan secara keseluruhan dipengaruhi oleh nilai-nilai,
benar adanya pengenalan dan pendefinisian masalah-masalah sosial dan
rangkaian tujuan tersebut. Nilai-nilai sosial dan pandangan-pandangan yang
berpencar memaikan peranan dalam proses pembuatan kebijakan (Suud 2006:
107).
41
Konflik nilai kerapkali merupakan alasan mengapa kebijakan
kesejahteraan sosial sulit dibangun. Kebijakan-kebijakan kesejahteraan sosial
yang dikeluarkan biasanya mengandung kompromi-kompromi dan terdiri atas
sejumlah bagian yang tidak perlu cocok satu sama lain. Banyak sekali program
kebijkan kesejahteraan sosial pokok tidak secara tepat merupakan apa yang
diinginkan leh setiap orang, tetapi malah memberikan sesuatu bagi orang-orang
yang bebeda. Meraih konsensus dan kepentingan-kepentingan yang demikian
banyak kerapkali menciptakan perundangan atau kebijakan yang tidak jelas,
sangat panjang dan kompleks (Suud 2006: 108).
2.1.8 Critical System Thinking
Dalam penelitian yang berjudul “Analisis Kritis Implementasi
Program Rehabilitasi Sosial Penanganan Gelandangan Pengemis (Gepeng)
Oleh Dinas Sosial Kota Serang” ini, peneliti menggunakan pendekatan critical
sistem thinking. Critical systems thinking dalam Riswanda (2016)
didefinisikan:
“Sebagai sebuah proses berdialektika, berdiskusi, serta melakukan
refleksi pada pencarian „meanings‟ alternatif diantara kemajemukan,
dan sisi lainnya antara asumsi, nilai, dan sudut pandang dalam konteks
penelitian kualitatif, mencari keterkitan berbagai aspek dalam sebuah
permasalahan kebijakan, sebagai usaha untuk menemukan missing
link, dan keterkaitan antar fenomena yang dilupakan yang sebenarnya
berpotensi untuk dapat memberikan jawaban dari permasalahan yang
terjadi. Dengan sinergi penyajiannya pada pembangunan suatu
argument penelitian. Untuk kemudian dijadikan dasar pijakan
membangun argument penelitian dan mendesain kerangka teoritis di
dalamnya. Rangka pikir tersebut dapat digunakan di semua fase kajian
kebijakan-formulasi, implementasi, dan evaluasi.”
42
Critical sistem thinking ini peneliti anggap relevan dengan
permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. Peneliti anggap relevan
karena dengan konsep critical sistem thinking ini, peneliti akan diarahkan
untuk melihat suatu permasalahan kebijakan dengan berbagai sudut pandang
yang berbeda, yang nantinya merujuk pada fakta-fakta dalam suatu kebijakan
dengan membandingkannya dengan nilai-nilai yang ada dimasyarakat
sebagaimana yang ada dalam konsep „critical heuristics‟ yang menggunakan
paradigma segitiga batas penilaian (Boundary Judgements) yang disitu terdapat
fakta-fakta, nilai-nilai, dan sistem. Seperti pada gambar berikut :
Gambar 2.2
The Eternal Triangle (Boundary Judgement)
Sumber: „the triangle‟ of the buondary judgements, facts and values oleh Ulrich
(2000 hal.252) dalam Riswanda (2016: 3)
Gambar di atas menjelaskan bahwa pemahaman sistem ini digunakan
sebagai acuan kerangka berpikir dari sudut pandang seseorang yang
membentuk kontruksi dasar dari kebijakan. Menurut Riswanda (2016)
Boundary Judgments
“SISTEM”
“FAKTA-FAKTA” “NILAI-NILAI”
Observasi Evaluasi
43
menyatakan bahwa boundary judgments memberikan pesan pada peneliti
bahwa prinsip dasar metodologi penelitian dengan pendekatan kualitatif
merupakan refleksi dari konsep boundary judgments.
Tujuan dari critical sistem thinking yaitu “to give „voice of the
voiceless” yang berarti pemberian “voice” kepada masyarakat atau kelompok
yang selalu terpinggirkan, atau tidak mendapatkan tempat dalam proses
pembuatan kebijakan (Riswanda, 2015 dan Riswanda et.al, 2016). Dalam hal
ini tentunya penelitian tentang gelandangan pengemis (gepeng) yang peneliti
lakukan sangat relevan dengan konsep critical sistem thinking ini. Gelandangan
Pengemis (gepeng) disini merupakan masyarakat yang selalu terpinggirkan dan
“voice” dari gepeng ini tidak mendapat tempat dan terabaikan dalam proses
pembuatan kebijakan. Dengan mengedepankan “to give „voice of the voiceless”
diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang selama ini dirasakan oleh
masyarakat dan kelompok masyarakat yang selalu ini terpinggirkan seperti
halnya gepeng ini. Karena dalam setiap permasalahan kebijakan selalu ada
suara-suara dari masyarakat yang terabaikan oleh pemerintah. Maka dari itu
dengan menggunakan critical systems thinking ini maka ada tempat untuk
menempatkan kebijakan dengan memperhatikan unsur-unsur tertentu yang
terkait dengan kebijakan yang ada, seperti unsur religi, sosial, ekonomi,
budaya, maupun keanekaragaman cara pendang dan berfikir dalam masyarakat
saat menyikapi permasalahan sosial tertentu (Riswanda, 2016).
Dalam penelitian kebijakan ini, dengan menggunakan pendekatan
critical systems thinking nantinya akan menggunakan percakapan naratif dan
44
wawancara secara mendalam kepada individu-individu dan kelompok-
kelompok berbeda yang pada akhirnya ditemukan suara atau opini terkait
dengan permasalahan kebijakan dari individu dan kelompok yang nantinya
menjadi sebuah pandangan dan gambaran kepada peneliti tentang bagaimana
permasalahan kebijakan yang terjadi selama ini. Dengan melihat dari asumsi-
asumsi ini, peneliti dapat melihat nilai-nilai sosial kemasyarakatan bercampur
dan berbaur yang nantinya memperlihatkan asumsi dari suara individu yang
terpinggirkan yang dapat membentuk konstruksi sebuah kebijakan. (Riswanda,
2016).
Berikut adalah rangka penelitian untuk memetakan siapa yang terlibat
dalam pengambilan keputusan, dan siapa yang terkena dampak akhir dari
produk keputusan kebijakan.
Gambar 2.3
Table of Boundary Categories
Batas Kategori Batas Persoalan
1. Stakeholder
2. Purpose Sources of motivation
3. Measure of improvement Sistem referensi
(sistem perhatian)
4. Decision-maker yang menentukan
5. Resources Sources of power Yang terlibat pengamatan (* fakta *)
6. Decision environment dan evaluasi (* nilai *)
dianggap relevan ketika
7. Profesional datang untuk menilai
8. Expertise Sources of knowledge manfaat atau cacat dari
9. Guarantee proposisi
10. Witness
11. Emancipation Sources of legitimation Yang terpengaruh
12. World view
Sumber:... W. Ulrich (1983, hal. 258; hal. 43; dan 2000, hal. 256). Dalam
Riswanda (2016: 9).
45
Penjelasan tabel di atas yaitu bahwa ada empat dimensi yang menjadi
fokus dalam kajian kebijakan publik. Dimensi tersebut adalah sumber motivasi,
sumber kekuatan, sumber pengetahuan, dan sumber pengesahan. Keempat
dimensi ini membentuk „policy circle‟ yaitu lini garis lingkaran dari kebijakan
publik yang terdiri dari formulasi, analisis, implementasi, dan evaluasi yang
saling berhubungan (Riswanda, 2016).
Critical systems thinking ini menawarkan dua belas panduan pertanyaan
kritis yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi peneliti kebijakan dengan
metode kualitatif dalam mengupas tuntas akar permasalahan dari permasalahan
kebijakan karena dari dua belas pertanyaan kritis ini mencakup „policy circle‟
yang terdiri atas analisis, formulasi, implementasi, dan evaluasi. Dengan
melibatkan kedua selektivitas empiris dan normatif yaitu apa yang sebetulnya
(fakta aktual di lapangan) dengan apa yang seharusnya terjadi pada tataran ideal
(Riswanda, 2016). Berikut dua belas pertanyaan kritis yang ditawarkan oleh
Critical systems thinking:
46
Tabel 2.1
Panduan Pertanyaan Kritis
No. Sebetulnya
(temuan fakta actual di lapangan)
Seharusnya
(pada tataran ideal)
1. Siapa atau pihak mana yang secara
factual menjadi pemangku
kepentingan pada sebuah
permasalahan kebijakan?; Pihak
mana, dalam lingkup permasalahan
tersebut, yang suara kepentingannya
mewakili atau terwakili oleh
kelompok tertentu dalam
masyarakat, termasuk didalamnya
memuat nilai-nilai, tujuan, dan
keinginan per individu maupun
golongan?; Kepentingan pihak
mana yang sebetulnya terlayani/
terfasilitasi/ terwakili/ tercermin
dalam sebuah produk kebijakan?
baik berupa UU, PP, Perda, dan
seterusnya. Pihak mana di
masyarakat, dalam lingku kelompok
target kebijakan yang mungkin tidak
merasakan manfaat dari keputusan/
produk kebijakan tersebut, namun
menanggung dampak eksekusi
ataupun memiliki potensi untuk
menanggung akses dampaknya.
Siapa atau pihak mana yang
seharusnya menjadi pemangku
kepentingan dari kebijakan untuk di
formulasi-kan atau dikaji ulang?;
Siapa atau pihak mana yang
seharusnya secara factual menjadi
pemangku kepentingan pada sebuah
permasalahan kebijakan?; Pihak
mana dalam lingkup permasalahan
tersebut yang suara kepentingannya
mewakili atau terwakili.
47
2. Apa sebetulnya tujuan dari
rancangan kebijakan terkait
permasalahan publik di mana
kebijaan tersebut berpijak? Hal ini
ditinjau dari konsekuensi factual
dikeluarkannya kebijakan tersebut,
bukan hanya dari pernyataan
tertulis-strategis suatu kebijakan
publik.
Apa yang seharusnya menjadi tujuan
dari keebijakan dengan kata lain apa
yang seharusnya menjadi capaian
tujuan kebijakan untuk menjangkau
kepentingan semua pemangku
kepentingan?
3. Berdasarkan konsekuensi rancangan
kebijakan di atas, apa sebetulnya
yang menjadi tolak ukur
keberhasilan kebijakan?
Apa yang seharusnya menjadi tolak
ukur keberhasilan kebijakan?
4.
Siapa atau pihak mana secara
faktual menjadi pembuat kebijakan
dan penentu perubahan ukuran
keberhasilan kebijakan?
Siapa atau pihak mana seharusnya
menjadi pembuat kebijakan? Pihak
mana yang seharusnya memiliki
power perubahan tolak ukur
perbaikan kebijakan?
5. Apa sebetulnya yang menjadi (pra)
kondisi suksesnya formulasi dan
implementasi kebijakan? Apakah
(pra) kondisi ini sepenuhnya
dikontrol oleh pembuat kebijakan?
Seharusnya seberapa besar kontrol
pembuat kebijakan terhadap
sumberdayaa dan (penanganan)
keterbatasan-keterbatasan
penyediannya?
6. Kondisi apa saja yang secara factual
berada di luar kontrol pembuat
kebijakan? Impikasi apa yang
sebetulnya terjadi paada masalah
kebijakan saat pembuat kebijakan
tidak memiliki kontrol pada kondisi
tertentu dalam lingkup
permasalahan kebijakan?
Sumberdaya dan kondisi apa saja
yang seharusnya menjadi bagian
dari pengaturan (pelaksanaan
kebijakan?
7. Siapa atau pihak mana saja yang
sebetulnya dilibatkan sebagai
formulator kebijakan, terkait
permasalahan publik sebagai target
solusi kebijakan tersebut?
Siapa atau pihak mana saja yang
seharusnya dilibatkan sebagai
formulator dalam sistem pembuatan
kebijakan?
8. Siapa atau pihak mana yang
dilibatkan sebagai “pakar” jenis
kepakaran seperti apa dan peran apa
yang diberikan pada para “pakar”
tersebut terkait konteks pembuatan
keputusan kebijakan dan fokus
permasalahan publik berjalan?
Jenis kepakaran seperti apa yang
seharusnya dilibatkan dalam
formulasi kebijakan? Siapa atau
pihak mana saja seharusnya yang
terlibat sebagai “pakar” dan pada
aspek mana saja kepakaran mereka
diletakkan dalam proses pembuatan
keputusan kebijakan?
9. Di mana dan bagaimana sebetulnya
pihak yang dilibatkan dalam sistem
Siapa atau pihak mana yang
seharusnya dilibatkan sebagai
48
mendapatkan jaminan keberhasilan
perencanaan kebijakan. Hal ini
dapat ditinjau dari kompetensi
teoritis “pakar” yang terlibat,
kesepakatan para “pakar” tersebut
dala validitas data empiris yang
digunakan sebagai dasar
pertimbangan kebijakan, dukugan
politik keterwakilan kelompok
kepentingan terpaut isu kebijakan.
Selanjutnya, tinjuauan penelitian
dapat melihat seberapa jauh
kontribusi kepakaran tersebut
memberikan jaminan suksesnya
pelaksanaan kebijakan?
penjamin mutu formulasi kebijakan,
di mana formulator nantinya dapat
mencari tolak ukur kesuksesan dan
perbaikan kebijakan pada tataran
implementasi?
10. Siapa atau pihak mana diantaranya
mereka yang terlibat mewakili suara
those affected? Siapa saja kemudian
diantara pihak terkena dampak yang
justru tidak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan kebijakan?
Siapa atau pihak mana diantara
those affected, yang seharusnya
dilibatkan karena mewakili
kemungkinan terkena dampak dari
rancangan atau hasil keputusan
kebijakan?
11. Apakah the affected diberikan
kesempatan untuk menyuarakan dan
menentukan kepentingan mereka
sendiri, terlepas dari pendapat para
“pakar” menyangkut solusi
kebijakan berjalan? Apakah arti
kualitas hidup bagi mereka? Apakah
the affected pada kenyataannya
hanya menjadi “alat” pencapaian
tujuan dari pihak di luar lingkaran
solusi keputusan kebijakan?
Seberapa jauh dan dengan cara apa
seharusnya the affected diberikan
kesempatan untuk lepas dari lingkup
pengaruh the involved dalam
pengambilan keputusan san
eksekusi kebijakan?
12. Apakah sebetulnya world view
terpaut isu kebijakan publik yang
dihadapi? Apakah pandangan ini
merupakan atau menjadi lensa
pandang (sebagian dari) the
involved dan (sebagian dari) the
affected?
Pijakan world view apa yang
seharusnya menjadi nilai tumpuan
sistem pembuatan kebijakan? Nilai
tumpuan ini, pada tatanan ideal,
mewakili nilai-nilai yang dimiliki
oleh the involved dan the affected?
Sumber: Diterjemahkan, diadapsi dan dimodifikasi dari Midgley, G. (2000)
Systemic Intervention: Philosophy, Methodology and Practice. New York: Kluwer
Academic, hal. 141, dalam Riswanda. 2016. Metode Penelitian Kebijakan.
Dua belas panduan pertanyaan diatas menggambarkaan pendalaman
masalah kebijakan multi-layered dan multi dimensi melalui explorasi sudut
49
pandang multi-lenses. Ini berarti penelitian yang dilakukan secara mendalam
mengenai Program Rehabilitasi Sosial Gelandangan Pengemis (Gepeng) Oleh
Dinas Sosial Kota Serang dengan mengedepankan berbagai lapisan masyarakat
melalui berbagai sudut pandangnya dan berbagai lensa opini. Harapan peniliti
dengan menggunakan Critical systems thinking dapat menemukan suatu solusi
yang relevan terhadap permasalahan dari Program Rehabilitasi Sosial
Gelandangan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota Serang ini.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dijadikan sebagai penelitian terdahulu berkaitan dengan
peneleitian peneliti tentang Analisis Kritis Implementasi Program Rehabilitasi
Sosial Penanganan Gelandangan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota
Serang adalah penelitian yang dilakukan oleh Nitha Citrasari Program Studi Ilmu
Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa Serang, Banten. Penelitian tersebut membahas mengenai Kinerja
Dinas Sosial Kota Cilegon Dalam Penanganan Gelandangan Dan Pengemis Di
Kota Cilegon pada tahun 2012.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tentang Kinerja Dinas Sosial
Kota Cilegon Dalam Penanganan Gelandangan Dan Pengemis Di Kota Cilegon.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Metode
pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Subyek
dari penelitian ini adalah pegawai Dinas Sosial Kota Cilegon, Satpol PP Kota
Cilegon, LSM LKBHFPP, Tokoh Masyarakat Kota Cilegon, serta Gepeng.
50
Hasil dari penelitian ini yaitu Kinerja Dinas Sosial Kota Cilegon dalam
penanganan gelandangan dan pengemis di Kota Cilegon belum optimal. Hal
tersebut dikarenakan terkendala oleh belum tersedianya panti rehabilitasi serta
sarana dan prasarana untuk menangani mereka supaya menjadi masyarakat yang
mandiri. Untuk meningkatkan kinerja, Dinas Sosial perlu membangun panti
rehabilitasi agar program-program yang dibuat bisa menjadi lebih efektif sehingga
dapat mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Cilegon.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Rizki Amalia Program Studi Ilmu
Politik Dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
Penelitian tersebut terkait Rehabilitasi Pengemis Di Kota Pemalang (Studi Kasus
di Balai Rehabilitasi Sosial “Samekto Karti” Pemalang I) pada tahun 2013.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) Faktor-faktor
apa saja yang menyebabkan terjadinya pengemisan di kota Pemalang, (2)
Bagaimana partisipasi masyarakat dalam upaya penanggulangan pengemisan di
Balai Rehabilitasi Sosial “Samekto Karti” Pemalang I, (3) Bagaimana upaya-
upaya yang dilakukan Balai Rehabilitasi Sosial “ Samekto Karti” Pemalang I
untuk merehabilitasi pengemis.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah dengan
menggunakan metode kualitatif. Fokus dalam penelitian ini adalah (1) faktor
internal dan faktor eksternal penyebab munculnya pengemisan, (2) sejauh mana
keterlibatan dan bentuk nyata partisipasi masyarakat dalam penanggulangan
pengemisan, (3) upaya yang dilakukan dari Balai Rehabilitasi Sosial “Samekto
Karti” Pemalang I dalam merehabilitasi pengemis. Teknik pengumpulan data
51
dengan menggunakan teknik wawancara, observasi langsung dan dokumentasi.
Subjek penelitian adalah penerima manfaat di Balai Rehabilitasi Sosial “Samekto
Karti” Pemalang I dan petugas Balai Rehabilitasi Sosial “Samekto Karti”.
Informan pendukung adalah staf Dinas Sosial Kabupaten Pemalang, staf Satuan
Polisi Pamong Praja Kabupaten Pemalang, dan Masyarakat. Teknik analisis data
menggunakan teknik analisis yang terdiri dari: pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:
1. Faktor internal penyebab terjadinya pengemisan berkaitan dengan kondisi
diri sang peminta-minta yang meliputi sifat malas, tidak mau bekerja,
mental yang tidak kuat, cacat fisik ix maupun psikis. Sedangkan faktor
eksternal penyebab terjadinya pengemisan berkaitan dengan kondisi luar
dari sang peminta-minta yang meliputi faktor sosial, kultur, ekonomi,
pendidikan, lingkungan dan agama. Faktor lain dikarenakan kurang
efektifnya kegiatan penjaringan yang dilakukan Satpol PP sehingga belum
sepenuhnya terkena razia. Penyebab lain karena adanya buangan
pengemispengemis dari luar daerah ke Pemalang yang menyebabkan
mereka beroperasi di daerah Pemalang.
2. Keterlibatan dan bentuk nyata partisipasi masyarakat dalam
penanggulangan pengemisan di Balai Rehabilitasi berupa pemberian
bantuan berupa sandang dan pangan berupa sembako serta bimbingan
ketrampilan maupun bimbingan fisik, pemberian bantuan pertolongan oleh
masyarakat manakala kelayan Balai mengalami musibah, memberikan
52
pelatihan Usaha Ekonomi Produktif melalui kegiatan bimbingan dan
latihan ketrampilan bagi eks PGOT.
3. Upaya-upaya yang dilakukan Balai Rehabilitasi Sosial “Samekto Karti”
Pemalang I dalam merehabilitasi pengemis adalah dengan melakukan:
a) Rehabilitasi perilaku yang merupakan proses rehabilitasi sosial
melalui pelayanan pengubahan perilaku melalui pendidikan bela
Negara, bimbingan mental pembinaan keagamaan, dinamika dan
terapi kelompok,
b) Rehabilitasi sosial psikologi yang merupakan proses rehabilitasi
yang berusaha mengembalikan kondisi mental psikologi dan sosial.
c) Rehabilitasi karya merupakan proses rehabilitasi sosial yang
berusaha agar sasaran penanganannya dapat menjadi manusia
produktif dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan.
d) Rehabilitasi pendidikan merupakan proses rehabilitasi sosial yang
berusaha mengupayakan penambahan pengetahuan melalui
upgrading dan refreshing untuk mendukung pengambilan bentuk
jenis keterampilan.
2.3 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir adalah suatu model yang secara konseptual tentang
teori yang berhubungan dengan faktor yang diidentifikasikan sebagai masalah
yang terjadi. Kerangka berpikir ini digunakan sebagai dasar untuk menjawab
pertanyaan terkait permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Dalam penelitian
53
ini yang menjadi fokus penelitian adalah “Analisis Kritis Implementasi Program
Rehabilitasi Sosial Penanganan Gelandangan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas
Sosial Kota Serang.”
Dinas Sosial Kota Serang merupakan Organisasi Perangkat Daerah yang
berwenang membantu pemerintah daerah dalam hal masalah-masalah sosial
seperti penyakit masyarakat termasuk juga gelandangan dan pengemis di Kota
Serang dengan mengacu peraturan daerah kota serang nomor 2 tahun 2010
tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat
permasalahan dalam penelitian ini adalah lemahnya penegakan peraturan daerah
kota serang nomor 2 tahun 2010 tentang pencegahan, pemberantasan dan
penanggulangan penyakit masyarakat. Menjamurnya gelandangan dan pengemis
di Kota Serang, pemerintah kota melalui Dinas Sosial Kota Serang membuat suatu
program yang mana program ini dapat menyelesaikan masalah sosial seperti
gelandangan dan pengemis ini. Namun pada pengimplementasian program
tersebuat masih banyak masalah-masalah yang terjadi seperti kurangnya
sosialisasi program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis ini yang
dilakukan Dinas Sosial kepada publik untuk ikut andil dalam program rehabilitasi
ini. Serta kurangnya kordinasi antara Dinas Sosial dengan SATPOL PP selaku
pihak yang merazia para gelandangan dan pengemis di jalan atau tempat umum.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, maka peneliti
mengkajinya melalui Boundary Judgements dari Critcal Sistem Thinking.
Pemilihan konsep tersebut didasarkan pada temuan lapangan yang peneliti anggap
relevan dengan konsep teori ini, di mana konsep Critcal Sistem Thinking tersebut
54
mencakup empat dimensi yaitu sumber motivasi, sumber kekuatam, sumber
pengetahuan, dan sumber pengesahan. Teori tersebut merupakan sebuah
paradigma berpikir dengan melihat masalah suatu kebijakan dari sudut pandang
atau beberapa kacamata opini yang variatif. Dari sanalah dapat melihat perbedaan
nilai dari sudut pandang pemerintah dan non pemerintah, sehingga dapat
memaparkan realita yang terjadi. Sehingga dengan menggunakan Critcal Sistem
Thinking tersebut, maka pelaksanaan program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini bisa berjalan optimal dan mampu mengurangi populasi gelandangan
dan pengemis di Kota Serang.
55
Gambar 2.4
Kerangka Pemikiran
Dinas Sosial Kota Serang membuat
program Rehabilitasi Sosial
Penanganan Gelandangan dan
Pengemis.
Peraturan Daerah
Kota Serang Nomor
2 tahun 2010
Mengacu pada
Masalah-masalah :
1. Lemahnya penegakan
peraturan daerah kota serang
nomor 2 tahun 2010 tentang
pencegahan, pemberantasan
dan penanggulangan penyakit
masyarakat.
2. Kurangnya sosialisasi
program rehabilitasi sosial
gelandangan dan pengemis
ini yang dilakukan Dinas
Sosial kepada publik untuk
ikut andil dalam program
rehabilitasi ini.
3. Serta kurangnya kordinasi
antara Dinas Sosial dengan
SATPOL PP selaku pihak
yang merazia para
gelandangan dan pengemis di
jalan atau tempat umum.
Critical System Thinking
Dengan menggunakan
boundary categories
menurut Ulrich (dalam
Riswanda 2016:9) yaitu:
a. Sumber motivasi
b. Sumber kekuatan
c. Sumber pengetahuan
d. Sumber pengesahan
Fakta di lapangan
Proses
Pelaksanaan program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini bisa berjalan
optimal dan mampu mengurangi populasi
gelandangan dan pengemis di Kota Serang.
Output
56
2.4 Asumsi Dasar
Peneliti berasumsi bahwa Program Rehabilitasi Sosial Penanganan
Pengemis Oleh Dinas Sosial Kota Serang belum terlaksana dengan baik sesuai
dengan apa yang seharusnya tertuang dalam Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun
2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan Dan Penanggulangan Penyakit
Masyarakat. Peneliti dapat berasumsi demikian karena berdasarkan observasi awal
dan wawancara dengan pihak Dinas Sosial khususnya pada Seksi Rehabilitasi
Tuna Sosial, yang menyebutkan bahwa sumber daya manusia. Sumber dana atau
anggaran serta sarana dan prasarana yang dimiliki Dinas Sosial seperti tempat
rehabilitasi, alat-alat untuk pelatihan kerja, rumah singgah dan lainnya belum
memadai. Sehingga membuat pihak dinas sosial kurang efektif dalam
melaksanakan program rehabilitasi ini
57
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian
Dalam penelitian ini yang berjudul Analisis Kritis Implementasi Program
Rehablitasi Sosial Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas
Sosial Kota Serang, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang
bersifat deskriptif. Dalam penelitian kualitatif ini peneliti merefleksikan konsep
dari Boundary judgement. Yang artinya, kemampuan berpikir kritis (critical
competence) peneliti merujuk, mengaitkan dan memilah mana „facts‟(realitas
fenomena), dan mana „values’ (norma, nilai) menentukan bagaimana nantinya
hasil penelitian memetakan relevansi, keterhubungan, saling keterkaitan, ataupun
sebaliknya diantara kedua hal tersebut. Argumen ini hendaknya dipahami sebagai
„systemic triangulation’ Ulrich (2005, hal.6) dalam Riswanda (2016: 3), dimana
„facts’, „System’, dan „values’ tidak dapat dipahami secara terpisah.
Gambar 3.1 The Eternal Triangle (Boundary Judgement)
Sumber: ‘the triangle’ of the boundary judgements, facts and values oleh Ulrich
(2000 hal.252) dalam Riswanda (2016: 3).
Boundary Judgments
“SISTEM”
“FAKTA-FAKTA” “NILAI-NILAI”
Observasi Boudary judgement
58
Peneliti memberikan contoh, pada masalah pertama pada penelitian ini
yaitu lemahnya penegakan peraturan daerah kota serang nomor 2 tahun 2010
tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat.
Alasan tidak dilarangannya gelandangan dan pengemis di tempat-tempat selain
lampu merah adalah alasan kemanusiaan. Padahal sangat jelas di perda tersebut
melarang kegiatan gelandangan dan pengemis di manapun. Bila melihat pada
Boundary Judgment ini peneliti melihat bahwa peraturan daerah tersebut
merupakan sistem yang melarang adanya gelandangan dan pengemis, namun
faktanya yang ada adalah gelandangan dan pengemis masih melakukan
kegiatannya bahkan terus bertambah, karena pelarangannya hanya di area lampu-
lampu merah saja namun tidak untuk di tempat di tempat pusat keramaian lainnya
yang berasalan harus adanya nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini tentunya
nilai-nilai ini kembali lagi pada bagaimana sistem yang mengaturnya, dan sistem
inipun tentunya harus memasukan nilai-nilai ini dalam sistem tersebut.
3.2 Fokus Penelitian
Adapun fokus dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan fenomena
terkait bagaimana Implementasi Program Rehablitasi Sosial Penanganan
Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota Serang secara
mendalam yang berdasarkan peraturan daerah kota Serang tahun 2010 tentang
pencegahan, pemberantasan, dan penanggulangan penyakit masyarakat.
59
3.3 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian menjelaskan locus penelitian yang akan dilaksanakan,
dimana didalamnya menjelaskan tempat, serta alasan memilihnya. Penelitan yang
berjudul “Analisis Kritis Implementasi Program Rehablitasi Sosial Penanganan
Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota Serang”, lokasi
penelitian di Dinas Sosial Kota Serang, alasannya adalah kota merupakan ibu kota
provinsi Banten sedangkan keberadaan gelandangan dan pengemis di Kota Serang
begitu banyak bahkan tidak jauh dari pusat Kota Serang terdapat kampung
pengemis yaitu Kampung Kebanyakan, Desa Sukawana, Kecamatan Serang.
3.4 Variabel Penelitian
Variable dalam penelitian tentang “Analisis Kritis Implementasi Program
Rehablitasi Sosial Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas
Sosial Kota Serang” dapat didefinisikan sebagai berikut:
3.4.1 Definisi Konsep
Konsep yang digunakan adalah rangka penelitian adalah :
1. Critical System Thinking (CST)
Boundary category dari critical system thinking dari Ulrich (1983: hal.
258; 1996, hal. 43; 2000, hal. 256) dalam Riswanda (2016: 9)
“Terdiri empat dimensi, antara lain: sumber motivasi, sumber
kekuatan, sumber pengetahuan, dan sumber pengesahan. Keempat
dimensi ini membentuk ‘policy circle’ yaitu lini garis lingkaran dari
kebijakan publik yang terdiri dari formulasi, analisis, implementasi,
dan evaluasi”.
60
2. Gelandangan
Ali, dkk,. (1990) dalam Iqbali (2008: 2-3) menyatakan bahwa
gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau
berkelana (lelana).
3. Pengemis
Secara umum, pengertian pengemis adalah orang yang pekerjaannya
mengharapkan belaskasihan dengan cara meminta-minta uang kepada orang lain.
Kemudian menurut Sudarianto (2005:14) Pengemis adalah orang-orang yang
kerjanya suka meminta-minta kepada orang lain guna memenuhi kebutuhannya.
3.4.2 Definisi operasional
Berdasarkan kajian teori yang digunakan peneliti, maka definisi operasional
yang digunakan pada penelitian ini menggunakan Boundary Categories
menurut Ulrich (dalam Riswanda 2016: 9), yaitu:
1. Sources of motivation (Sumber motivasi), adalah suatu sumber yang dalam
situasi dan kondisi perehaban yang dijadikan sebagai gambaran kekuatan
guna tercapainya perehaban yang baik bagi gelandangan dan pengemis.
a. Stakeholder, pihak yang terlibat dalam penelitian ini adalah Dinas
Sosial Kota Serang di bagian Kepala Seksi Bagian Gelandangan dan
Pengemis, Satpol PP Kota Serang di bagian Kepala Seksi
Penegakan Produk Hukum Daerah, DPRD Kota Serang di bagian
Ketua Komisi II DPRD Kota Serang, Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK) di Kota Serang, Unsur kemasyarakatan di
bagian Ketua Karang Taruna.
61
b. Purpose (Tujuan), yaitu sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan
rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis.
c. Measure of improvement (Ukuran perbaikan), yaitu yang dijadikan
patokan atau standar keberhasilan Seksi Bagian Gelandangan dan
Pengemis dalam kebijakan rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis.
2. Sources of power (Sumber kekuatan), adalah suatu sumber yang menjadi
kelebihan dalam rehablitasi sosial Gelandangan dan Pengemis untuk
mencapai sebuah keberhasilan.
a. Decision-maker (Pengambilan keputusan), yaitu pihak yang
menjadi pembuat kebijakan rehablitasi sosial gelandangan dan
pengemis dan pihak yang mengambil keputusan di Seksi Bagian
Gelandangan dan Pengemis.
b. Resources (Sumber daya), yaitu potensi yang dimiliki Seksi Bagian
Gelandangan dan Pengemis dalam mengelola penyelenggaraan
program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis.
c. Decision environment (Keputusan lingkungan), yaitu kondisi yang
berada di luar kontrol lingkup seksi bagian gelandangan dan
pengemis.
3. Sources of knowledge (Sumber pengetahuan), adalah suatu sumber yang
dijadikan sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan tentang bagaimana
perehaban para gelandangan dan pengemis.
62
a. Professional (Tenaga ahli), yaitu seseorang yang dianggap sebagai
sumber terpercaya berdasarkan keahlian yang dimiliki dalam
menilai dan memutuskan sesuatu terkait rehabilitasi sosial
gelandangan dan pengemis.
b. Expertise (Keahlian), yaitu kemampuan dalam menangani
perehaban para gelandangan dan pengemis.
c. Guarantee (Jaminan), yaitu pihak yang dilibatkan dan berkontribusi
dalam program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis.
4. Sources of legitimation (Sumber pengesahan), merupakan legitimasi dari
badan-badan yang menanangani program rehablitasi sosial gelandangan
dan pengemis.
a. Witness, yaitu orang yang terkena efek atau dampak dari adanya
kebijakan rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis.
b. Emancipation, yaitu orang yang selama ini tidak terlibat dalam
pembuatan kebijakan pemasyarakatan sangat penting untuk
suaranya diangkat seperti organisasi dari unsur kemasyarakatan dan
unsur keagamaan.
c. World view (Pandangan dunia), yaitu pandangan secara universal
terhadap persoalan mengenai program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis dari kacamata atau lensa Unsur Kemasyarakatan seperti
Karang Taruna Kota Serang dan PKK Kota Serang, Unsur
Keagamaan, Akademisi, Pemerintah, para gelandangan dan
pengemis.
63
3.5 Instrumen Penelitian
Karena menggunakan metode penelitian kualitatif, maka yang menjadi
instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Dalam penelitian ini,
jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Peneliti
merupakan key instrument dalam penelitian kualitatif karena dapat merasakan
langsung, mengalami, melihat sendiri objek atau subjek yang diteliti, selain itu
peneliti juga mampu menentukan kapan penyimpulan data telah mencukupi, data
telah jenuh dan kapan penelitian dapat dihentikan dan peneliti juga dapat langsung
melakukan pengumpulan data, melakukan refleksi secara terus-menerus dan
secara gradual membangun pemahaman yang tuntas mengenai suatu hal.
Data primer adalah data yang berupa kata-kata atau tindakan orang-orang
yang diamati dari hasil wawancara dan observasi. Sedangkan data-data sekunder
didapat berupa dokumen tertulis. Adapun alat-alat tambahan yang digunakan
dalam pengumpulan data terdiri dari pedoman wawancara, alat tulis, buku catatan
dan handphone.
3.6 Informan Penelitian
Informan penelitian adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan
informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian (Moleong, 2000:
97). Informan penelitian merupakan orang yang benar-benar mengetahui
permasalahan yang akan diteliti. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
teknik Purposive.
Untuk menentukan informan penelitian, peneliti melakukan pertimbangan-
pertimbangan tertentu. Pertimbangan itu misalnya orang tersebut dianggap paling
64
tahu tentang apa yang peneliti harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa
sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial yang
diteliti.
Berikut adalah informan terkait penelitian tentang Analisis Kritis
Implementasi Program Rehablitasi Sosial Penanganan Gelandangan dan Pengemis
(Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota Serang.
65
Tabel 3.1
Informan Penelitian
Informan Kode
Informan
Kategori
Informan
Dinas Sosial Kota
Serang
1. Kepala Seksi
Rehabilitasi Sosial Tuna
Sosial Dinas Sosial
Kota Serang
I1.1 Key
Informan
2. Kepala Seksi
Rehabilitasi Sosial Anak
Dinas Sosial Kota
Serang
I1.2 Key
Informan
Satuan Polisi
Pamong Praja Kota
Serang
1. Kepala Bidang
Penegakan Produk
Hukum Daerah
I2.1 Key
Informan
Dinas Sosial
Provinsi Banten
1. Kepala Seksi
Rehabilitasi Sosial Tuna
Sosial
I3.1 Secondary
Informan
Tenaga
Kesejahteraan
Sosial Kecamatan
(TKSK)
1. Tenaga Kesejahteraan
Sosial Kecamatan
Serang
I4.1
Secondary
Informan
Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah
Kota Serang
1. Alat Kelengkapan
Dewan
I5.1 Secondary
Informan
Unsur Keagamaan
1. Ketua MUI Kota Serang I6.1 Secondary
Informan
2. Humas yayasan Vihara
Avalokitesvara Kota
Serang
3. Sekretaris Gereja Paroki
Raja Kota Serang
I6.2
I6.3
Secondary
Informan
Unsur Masyarakat 1. Masyarakat Kecamatan
Serang
I7.1
Secondary
Informan
Akademisi 1. Dosen Fisip Untirta
I8.1 Secondary
Informan
Gelandangan dan
Pengemis Kota
Serang
1. Gelandangan Pengemis
Kota Serang
I9.1
I9.2
Secondary
Informan
Sumber: Peneliti, 2016.
66
3.7 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
3.7.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Wawancara
Dalam penelitian ini wawancara yang digunakan adalah narrative
dialogue/narrative interview. Dari narrative interview ini nantinya akan
memperlihatkan bagaimana kemajemukan asumsi pada suatu entitas
„voice‟ membuat sebuah kontruksi kebijakan. Melalui narrative interview
ini, refleksi kritis pencarian akar masalah kebijakan dapat dilakukan lewat
pencarian makna tersiratnya nilai-nilai, dan emosi pengalaman hidup
mereka yang berhadapan dengan kompleksitas, realitas sosial seputar isu
gelandangan pengemis (Riswanda, 2016 hal.6).
Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan wawancara dengan
berpedoman pada indikator Critical System Heuristics yang digunakan,
bentuk pernyataan akan lebih meluas dan bebas (tidak terstruktur) tanpa
keluar dari indikator Critical System Heuristics yang telah ditentukan. Hal
tersebut dilakukan peneliti guna menemukan jawaban dari permasalahan
yang ada dan tidak menutup kemungkinan permalahasan yang sudah
diidentifikasi sebelumnya akan bertambah. Adapun pedoman wawancara
pada penelitian Analisis Kritis Implementasi Program Rehablitasi Sosial
67
Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota
Serang
Tabel 3.2
Pedoman Wawancara
No. Dimensi Sub Dimensi Uraian Pertanyaan Informan
1. Sources of
motivation
(Sumber
motivasi)
Stakeholder
(Pihak yang
terlibat),
Purpose
(Tujuan),
Measure of
improvement
(Ukuran
Perbaikan)
a. Siapa atau pihak
mana yang secara
faktual yang
memproduk
kebijakan tentang
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
b. Siapa saja yang
terlibat dalam
pembuatan kebijakan
tentang rehabilitasi
sosial gelandangan
dan pengemis?
c. Apa tujuan adanya
kebijakan tentang
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
d. Siapa yang menjadi
sasaran adanya
kebijakan tentang
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
e. Siapa yang terkena
dampak dari adanya
kebijakan tentang
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
f. Apa yang menjadi
kendala dalam
penyelenggaraan
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
Kepala Seksi
Bagian
Gelandangan dan
Pengemis Dinas
Sosial Kota Serang
Kepala Seksi
Rehabilitasi Sosial
Anak
Satuan Polisi
Pamong Praja
Kota Serang
(Kepala Seksi
Penegakan Produk
Hukum Daerah )
Ketua Komisi II
DPRD Kota
Serang
68
g. Pihak mana yang
bertanggung jawab
dalam menangani
permasalahan
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis ini di Seksi
Bagian Gelandangan
dan Pengemis?
h. Upaya apa yang
dilakukan pemerintah
dalam menangani
permasalahan terkait
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
i. Apakah kebijakan
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis sudah
memberikan
pengaruh terhadap
kesejahteraan
gelandangan dan
pengemis khususnya?
j. Apa yang menjadi
tolak ukur
keberhasilan Seksi
Bagian Gelandangan
dan Pengemis dalam
penyelenggaraan
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
2. Sources of
power
(Sumber
kekuatan)
Decision-maker
(Pembuat
Keputusan),
Resources
(Sumber Daya),
Decision
environment
(Keputusan
lingkungan)
a. Siapa yang memiliki
power sebagai tolak
ukur perubahan
kebijakan tentang
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
b. Apakah Perda terkait
tentang gelandangan
dan pengemis perlu
di revisi?
c. Apa tujuan yang
Kepala Seksi
Rehabilitasi Sosial
Tuna Sosial Dinas
Sosial Kota Serang
Kepala Seksi
Rehabilitasi Sosial
Anak
Satuan Polisi
Pamong Praja
Kota Serang
(Kepala Seksi
Penegakan Produk
69
sebenarnya dari
adanya Perda tentang
gelandangan dan
pengemis?
d. Siapa saja yang
terlibat dalam
pembuatan Perda
Kota Serang nomor 2
tahun 2010 tentang
penyakit masyarakat
khususnya
gelandangan dan
pengemis?
e. Pihak mana yang pro
dan kontra dari
adanya Perda
tersebut?
f. Apa saja yang
dilakukan Seksi
Bagian Gelandangan
dan Pengemis dalam
memberikan
pelayanan
rehablitasi?
g. Apakah kebutuhan
gelandangan dan
pengemis selama di
rehab telah diberikan
secara maksimal?
h. Apakah kebijakan
tentang rehablitasi
sosial gelandangan
dan pengemis
didukung oleh
sumberdaya(dana,
manusia) yang
memadai?
i. Bagaimana Dinas
Sosial Kota Serang
dalam mengawasi
implementasi
kebijakan tentang
rehablitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
j. bagaimana Dinas
Hukum Daerah )
Ketua Komisi II
DPRD Kota
Serang
Tenaga
Kesejahteraan
Sosial Kecamatan
(TKSK) di Kota
Serang
70
Sosial Kota Serang
dalam mengevaluasi
kebijakan tentang
rehablitasi sosial
gelandangan dan
pengemis khususnya
tentang masalah
kesejahteraan?
3. Sources of
knowledge
(Sumber
pengetahuan)
Professional
(Tenaga Ahli),
Expertise
(Keahlian),
Guarantee
(Jaminan)
a. Apa peran Dinas
Sosial Kota Serang
dalam merumuskan
kebijakan tentang
rehablitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
b. Siapa yang dilibatkan
dalam formulasi/
perumusan kebijakan
tentang rehablitasi
sosial gelandangan
dan pengemis?
c. Siapa target dari
formulasi kebijakan
tentang rehablitasi
sosial gelandangan
dan pengemis?
d. Apa saja faktor
pendukung dan faktor
penghambat dalam
perumusan kebijakan
tentang rehablitasi
sosial gelandangan
dan pengemis?
e. Apa yang dihasilkan
dari perumusan
kebijakan tentang
rehablitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
f. Apakah perumusan
kebijakan tentang
rehablitasi sosial
gelandangan dan
pengemis akan dapat
merubah mainset
para gelandangan dan
Kepala Seksi
Bagian
Gelandangan dan
Pengemis Dinas
Sosial Kota
Serang
Satuan Polisi
Pamong Praja
Kota Serang
(Kepala Seksi
Penegakan
Produk Hukum
Daerah )
Ketua Komisi II
DPRD Kota
Serang
Tenaga
Kesejahteraan
Sosial Kecamatan
(TKSK) di Kota
Serang
71
pengemis di Kota
Serang?
g. Apa solusi yang
ditawarkan dari
perumusan kebijakan
tentang rehablitasi
sosial gelandangan
dan pengemis untuk
mengentaskan tingkat
gelandangan dan
pengemis agar
jumlahn ya turun?
4. Sources of
legitimation
(Sumber
pengesahan)
Witness,
Emancipation,
Worl view
a. Siapa yang
berwenang dalam
melayani pengaduan
terkait rehablitasi
sosial gelandangan
dan pengemis?
b. Apa persepsi Unsur
Kemasyarakatan,
Unsur Keagamaan,
dan Media di Kota
Serang terkait
permasalahan
gelandangan dan
pengemis ini?
c. Apa peran Unsur
Kemasyarakatan,
Unsur Keagamaan,
dan Media di Kota
Serang dalam
keikutsertaan dalam
program rehablitasi
sosial gelandangan
dan pengemis?
d. Apa peran media
dalam keikutsertaan
terkait isu-isu tentang
permasalahan
gelandangan dan
pengemis?
e. Seberapa sering
pemberitaan
mengenai
gelandangan dan
pengemis terekspose
Unsur Keagamaan
Ketua MUI Kota
Serang
PimpinanGereja
Paroki Kristus
Raja Serang
Pimpinan yayasan
Vihara
Avalokitesvara
Kota Serang
Unsur Masyarakat
Kota Serang
Ketua Karang
Taruna Kota
Serang
Ketua PKK Kota
Serang
Media/Pers
Redaktur Banten
Raya
72
di media?
2. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data dengan cara
memperoleh data dari karya ilmiah, media masa, teks book, artikel, Koran
dan lain sebagainya untuk menambah atau mendukung sumber informasi
atau data yang diperlukan dan relevan dalam penelitian ini.
3. Study Dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan salah satu sumber data sekunder yang
diperlukan dalam sebuah penelitian. Studi dokumentasi adalah setiap
bahan tertulis atau film, dan foto-foto yang dipersiapkan karena adanya
permintaan seorang penyisik. Selanjutnya study dokumentasi dapat
diartikan sebagai teknik pengumpulan data melalui bahan-bahan tertulis
yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga yang menjadi objek penelitian.
Baik berupa prosedur, peraturan-peraturan, gambar, laporan hasil
pekerjaan, serta berupa foto ataupun dokumen elektronik (rekaman).
4. Pengamatan/Observasi
Pada penelitian saat ini, teknik observasi yang dipakai ialah
observasi partisipasi pasif. Peneliti hanya sebagai pengamat saja tanpa
menjadi anggota resmi organisasi pelaksana maupun objek kebijakan yang
diteliti. Peneliti melakukan observasi dengan melakukan wawancara
kapada instansi pemerintah dan non pemerintah yang memiliki tugas untuk
melakukan penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang,
73
masyarakat guna mengetahui bagaimana Penanganan Gelandangan dan
Pengemis di Kota Serang. Observasi yang dilakukan peneliti dengan
mendatangi kantor Instansi terkait, tempat penanganan, dan tempat operasi
bagi gelandangan dan pengemis.
1.7.2 Teknik Analisa Data
Dalam Penelitian ini, teknik analisa data dilakukan pada saat
pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam
periode tertentu. Dalam menganalisis selama dilapangan, peneliti
menggunakan model Miles dan Huberman yang mengemukakan bahwa
aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif yang
berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah
jenuh. seperti pada gambar dibawah ini:
Gambar 3.2
Analisis Data Miles dan Huberman
A. Data Collectiion (Pengumpulan data)
Data Collection Data Display
Data Reduction
Conclusion
Drawing/Verifying
74
Pengumpulan data, dapat dimaknai juga sebagai kegiatan peneliti
dalam upaya mengumpulkan sejumlah data lapangan yang diperlukan
untuk menjawab pertanyaan penelitian (untuk penelitian kualitatif).
B. Data Reduction (Reduksi Data)
Mereduksi berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari pola dan temanya. Dengan
demikian data yang sudah direduksi, akan memberikan gambaran yang
lebih jelas, dan memudahkan peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya, dan mencarinya jika diperlukan.
C. Data Display (Penyajian Data)
Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah mendisplay data.
Penyajian data dapat dilakukan secara sistematis dan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori dan selanjutnya,yang paling
sering digunakan untuk menyajikan data dalam metode kualitatif adalah
dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplay data, maka akan
memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja
selanjutnya berdasarkanapa yang telah dipahami.
D. Conclusion Drawing/Verivication (Penarikan Kesimpulan)
Langkah keempat dalam menganalisis data kualitatif menurut Miles
dan Huberman adalah Penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan
yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak
75
ditemukan bukti-bukti dan data-data yang kuat yang mendukung pada
tahap-tahap pengumpulan data selanjutnya. Tetapi apabila kesimpulan
yang dikemukakan pada tahap awal sudah didukung oleh data-data dan
bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan
mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan
kesimpulan yang kredibel.
3.8 Uji Keabsahan Data
Uji keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode
triangulasi. Moleong (2013: 330) metode triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.
Dalam penelitian ini menggunakan dua teknik triangulasi pendekatan
untuk menguji keabsahan data dari hasil penelitian di lapangan. Teknik triangulasi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a) Triangulasi Sumber
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengecekkan kebenaran data
yang diperoleh dari berbagai sumber terkait Implementasi Program
Rehabilitasi Sosial Penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota
Serang.
b) Triangulasi Teknik
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan cara dengan mengecek data
kepada sumber lain yang sama namun dengan teknik yang berbeda. Dalam
76
hal ini dengan cara membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan
sumber data, melalui observasi maupun dengan dokumentasi.
Selain itu, peneliti juga menggunakan member check. Tujuannya adalah
untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang
diberikan oleh pemberi data. Dengan adanya kesepakatan dari pemberi data
berarti data tersebut dapat dikatakan valid, sehingga dapat dipercaya.
3.9 Jadwal Penelitian
Berikut adalah jadwal penelitian mengenai Analisis Kritis Implementasi
Program Rehablitasi Sosial Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng)
Oleh Dinas Sosial Kota Serang.
Tabel 3.3 Jadwal Penelitian
No. Kegiatan Waktu Penelitian
2016 2017 2018
September-Desember Januari-Mei Juni Juli-Deseber Januari-
februari
Maret
1. Pengajuan Judul 2. Penetapan Judul 3. Observasi Awal 4. Penyusunan
Proposal Skripsi
5. Bimbingan Bab
I-Bab III
6. Seminar
Proposal Skripsi
7. Revisi Proposal
Skripsi
8. Pengumpulan
Data
9. Pengolahan dan
Analisis Data
10. Penyusunan
Hasil Penelitian
11. Bimbingan Bab
IV-Bab V
12. Sidang Skripsi
57
77
BAB IV
HASI PENELITIAN
4.1 Deksripsi Objek Penelitian
Deskripsi objek penelitian ini akan menjelaskan tentang objek penelitian yang
meliputi lokasi penelitian yang diteliti dan memberikan gambaran umum Kota
Serang, gambaran umum Dinas Sosial Kota Serang. Hal tersebut akan dijelaskan
di bawah ini:
4.1.1 Gambaran Umum Kota Serang
Kota Serang merupakan pemekaran dari Kabupaten Serang yang terbentuk
pada tanggal 10 Agustus 2007 berdasarkan Undang-undang No. 32 tahun 2007.
Secara administratif Kota Serang dibagi dalam 6 kecamatan dan 66 kelurahan.
Kecamatan Kasemen merupakan kecamatan dengan wilayah terluas yaitu sekitar
63,36 km2 atau sekitar 23,75% dari luas wilayah Kota Serang. Sementara
kecamatan dengan luas wilayah paling sempit adalah Kecamatan Serang yang
hanya sekitar 9,7% dari luas wilayah Kota Serang, atau sekitar 25,88 km2.
Berdasarkan penjelasan Undang-undang No. 32 Tahun 2007, disebutkan bahwa
Kota Serang memiliki luas wilayah keseluruhan ± 266,71 km2, sedangkan hasil
inventarisasi luas wilayah dari 6 (enam) kecamatan tersebut adalah 266,74km2
atau sekitar 3,08% dari luas wilayah Provinsi Banten. Tabel berikut ini
memberikan gambaran tentang rincian jumlah kelurahan dan luas wilayah serta
persentase luas wilayah masing-masing kecamatan dimaksud di atas.
78
Tabel 4.1
Luas Wilayah Kota Serang Menurut Kecamatan 2016
No Kecamatan
Jumlah
Kelurahan
Luas
(km2)
%
1 Curug 10 49,6 18,59
2 Walantaka 14 48,48 18,18
3 Cipocok Jaya 8 31,54 11,82
4 Serang 12 25,88 9,70
5 Taktakan 12 47,88 17,95
6 Kasemen 10 63,36 23,75
Jumlah 66 266,74 100,00
Sumber: BPS Kota Serang 2016
Sesuai pasal 5 Undang-undang Nomor. 32 Tahun 2007 Kota Serang
memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
(1) sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Banten;
(2) sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pontang, Kecamatan
Ciruas, Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang;
(3) sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cikeusal, Kecamatan
Petir, Kecamatan Baros Kabupaten Serang; dan
sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Pabuaran, Kecamatan Waringin
Kurung, Kecamatan Kramat Watu Kabupaten Serang.
79
4.1.1.1 Visi dan Misi Kota Serang
a. Visi Kota Serang
”Terwujudnya Kota Serang Madani sebagai Kota Pendidikan yang
Bertumpu pada Potensi Perdagangan, Jasa, Pertanian dan Budaya.”
b. Misi Kota Serang
1. Pembangunan dan Peningkatan Infrastruktur;
2. Pembangunan dan Peningkatan Kualitas Pendidikan;
3. Pembangunan dan Peningkatan Kualitas Kesehatan;
4. Peningkatan Ekonomi Kerakyatan serta Optimalisasi Potensi
Pertanian dan Kelautan;
Peningkatan Tata Kelola Pemerintahan, Hukum, dan Peningkatan
Penghayatan terhadap Nilai Agama.
4.1.1.2 Keadaan Penduduk Kota Serang
Dalam konteks demografi, menurut data dari Badan Pusat Statistik Kota
Serang memiliki Jumlah penduduk Kota Serang Pada tahun 2016 sebesar 655.004
jiwa, dengan penduduk laki-laki sebanyak 355.803 jiwa dan lebih banyak
dibanding penduduk perempuan yang sebesar 319.201 jiwa. Tingkat kepadatan
penduduk di wilayah Kota Serang sebesar 2.456 jiwa/km² dimana sebagian besar
penduduknya mendiami daerah perkotaan. Gambaran tentang hal ini dapat dilihat
dari Distribusi dan Kepadatan Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kota
Serang tahun 2016 sebagai berikut:
80
Tabel 4.2
Distribusi dan Kepadatan Penduduk Menurut Kelompok Umur di
Kota Serang Tahun 2016
No Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
1 0 – 4 35 281 34 119 69 400
2 5 – 9 35 148 33 217 68 365
3 10 -14 32 258 30 512 62 770
4 15 – 19 31 464 30 180 61 664
5 20 – 24 30 815 28 567 59 382
6 25 – 29 28 902 27 050 55 852
7 30 – 34 28 419 27 563 55 982
8 35 – 39 26 992 26 747 53 739
9 40 – 44 24 722 22 809 47 531
10 45 – 49 20 183 18 505 38 688
11 50 – 54 15 664 13 853 29 517
12 55 – 59 11 147 10 289 21 436
13 60 – 64 6 899 6 470 13 369
14 65 – 69 4 044 4 317 8 361
15 70 – 74 2 277 2 697 4 974
16 75 > 1 588 2 306 3 894
Jumlah 335 803 319 201 589,581
Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010–2035, 2016
Berdasarkan data dari tabel di atas bila dilihat dari struktur usianya, di
kelompok usia 0 - 4 tahun jumlahnya paling banyak di bandingkan kelompok usia
lain yang berjumlah 69.400 jiwa yang mana kelompok usia ini merupakan
kategori usia non produktif. Sedangkan pada penduduk usia produktif yakni usia
15 - 64 tahun berjumlah sebanyak 437.260 jiwa. Untuk kelompok usia 70 – 74
dan 75 > masing-masing berjumlah 4.974 jiwa dan 3.894 jiwa.
Di Kota Serang sendiri untuk pendidikan yang ditamatkan pada jumlah
penduduk berumur 15 tahun ke atas untuk pendidikan tertinggi yang di tamatkan
masih di bilang cukup rendah. Hal ini bisa dilihat dari tabel di bawah ini :
81
Tabel 4.3
Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Menurut
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Kota Serang Tahun 2015
Angkatan Kerja
No Pendidikan Jumlah
1 Tidak/Blm pernah Sekolah 12 344
2 Tidak/Blm Tamat SD 35 544
3 Tamat SD 73 780
4 SLTP 45 950
5 SMA/SMK 81 086
6 D-I/II/ DIII/Akademi 36 306
7 Universitas 32 731
Total 284 893
Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus, 2015
Berdasarkan data dari tabel di atas bila melihat tingkat pendidikan
tertinggi yang di tamatkan pada jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas di
Kota Serang yang mana merupakan angkatan kerja maka yang tertinggi adalah
pada tingkatan Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK) sebanyak 81.086
orang. Selanjutnya tertinggi kedua pada lulusan Sekolah Dasar (SD) sebanyak
73.780. Sedangkan untuk jumlah yang tidak sekolah sebanyak 12.344 orang dan
yang tidak/belum tamat SD sebanyak 35.544 orang. Lulusan SLTP sebanyak
45.950 orang.
4.1.2 Profil Dinas Sosial Kota Serang
Dinas Sosial Kota Serang berdiri berdasarkan Peraturan Daerah Kota
Serang Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota
Serang Nomor 9 Tahun 2008, Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi
Daerah Dinas Kota Serang dan Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 7 Tahun
2016, Tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Serang. Dinas
82
Sosial Kota Serang, mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah
berdasarkan azas otonomi daerah dan tugas pembantuan di bidang sosial.
4.1.2.1 Kedudukan Dinas Sosial Kota Serang
Dinas Sosial merupakan unsur pelaksana otonomi daerah, yang dipimpin
oleh Kepala Dinas yang berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada
Walikota melalui Sekretaris Daerah
4.1.2.2 Visi dan Misi Dinas Sosial Kota Serang
a. Visi
“Terwujudnya Kemandirian Bagi Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial”
b. Misi
1. Meningkatkan kualitas sumber daya aparatur dan infrastruktur dalam
penataan kelembagaan
2. Meningkatkan akses pelayanan sosial dalam aspek: rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial
bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial.
3. Memperkuat kelembagaan dan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial
untuk mendorong inisiatif dan partisipasi aktif masyarakat,
organisasi sosial, karang taruna, TKSM dan lembaga sosial
keagamaan agar terjalin hubungan kemitraan yang baik dalam
pembangunan kesejahteraan sosial.
4. Meningkatkan sistem informasi pelaporan
4.1.2.3 Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial Kota Serang
a. Tugas Pokok
Dinas Sosial mempunyai tugas melaksanakan urusan Pemerintahan
Daerah berdasarkan azas otonomi daerah dan tugas pembantuan di
Bidang Sosial
83
b. Fungsi
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Dinas Sosial
menyelenggarakan fungsi:
1. Penyusunan perencanaan Bidang Sosial
2. Perumusan kebijakan teknis Bidang Sosial
3. Pelaksanaan urusan pemerintahan dan pelayanan Bidang Sosial
4. Pembinaan, Koordinasi, pengendalian dan fasilitasi pelaksanaan
kegiatan Bidang Sosial
5. Pelaksanaan kegiatan penatausahaan Dinas;
Pelaksana tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan
tugas dan fungsinya
4.1.2.4 Susunan Organisasi Dinas Sosial Kota Serang
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 7 Tahun 2016 Tentang
Susunan Perangkat Daerah Kota Serang. Struktur organisasi Dinas Sosial Kota
Serang, terdiri dari :
1. Kepala Dinas
2. Sekretaris
a. Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian
b. Kepala Sub Bagian Perencanaan Program
c. Kepala Sub Bagian Keuangan
3. Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial
a. Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Anak dan Lanjut Usia
b. Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Penyandang Disibilitas
c. Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial, Penyalahgunaan Napza
dan Korban Perdagangan Orang
4. Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial
a. Kepala Seksi Perlindungan Sosial Korban Bencana
b. Kepala Seksi Pengelolaan Data Kemiskinan, PMKS dan PSKS
c. Kepala Seksi Jaminan Sosial Keluarga
5. Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial
a. Kepala Seksi Penyuluhan Kesejahteraan Sosial dan
Pengelolaan Sumber Dana Sosial
b. Kepala Seksi Kepahlawanan, Keperintisan, Kejuangan,
Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial (K3KRS)
84
c. Kepala Seksi Pemberdayaan Sosial Perorangan, Keluarga dan
Kelembagaan Masyarakat
6. Kepala Bidang Penanganan Kemiskinan
a. Kepala Seksi Penanganan Fakir Miskin Perkotaan
b. Kepala Seksi Penanganan dan Penataan Lingkungan Sosial
c. Kepala Seksi Identifikasi dan Analisis
4.1.2.5 Strategi dan Arah Kebijakan
Untuk merealisasikan visi, misi dan tujuan tersebut, maka ditetapkan
Strategi dan Arah Kebijakan sebagai berikut :
Sasaran Strategis Pertama “Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) ”, dengan kebijakan :
a. Jumlah rumah tangga sangat miskin yang mendapatkan bantuan
beras miskin
b. Jumlah keluarga miskin yang telah mendapatkan keterampilan
berusaha
c. Jumlah keluarga miskin yang telah mendapatkan fasilitas
manajemen usaha
d. Jumlah lanjut usia (lansia) dan penyandang masalah kesejahteraan
sosial (PMKS) lainnya yang telah mendapatkan bantuan sosial
dan pelatihan keterampilan serta upaya peningkatan kesehatan,
dan prasarana Komda Lansia
e. Jumlah keluarga fakir miskin yang telah mendapatkan bantuan
pembangunan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH)
f. Jumlah wanita korban tindak kekerasan dan eksploitasi yang
mendapatkan perlindungan soisal dan hukum dan bantuan sosial
serta mendapatkan bimbingan dan pelatihan keterampilan
g. Jumlah masyarakat/PMKS yang menjadi peserta dan mengikuti
komunikasi, informasi, edukasi (KIE) konseling dan kampanye
sosial dalam rangka peningkatan pemahaman mengenal PMKS
h. Jumlah anak terlantar, anak jalanan, anak cacat dan anak nakal
yang mendapatkan pelatihan keterampilan dan praktek kerja
i. Jumlah tenaga pelatih dan pendidik yang terbina dan
mendapatkan pelatihan keterampilan
j. Jumlah masyarakat dan dinas instansi yang telah menjadi peserta
sosialisasi Program Keluarga Harapan (PKH) dan terbentuknya
tim PKH Tingkat Kota Serang dan terlaksananya validasi dan
verifikasi data Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Penerima
Bantuan Iuran (PBI)
k. Jumlah anak terlantar, yatim piatu yang dapat terpantau dan
mendapatkan pembinaan dan pengembangan bakat dan
keterampilan serta mendapatkan bantuan sosial
85
l. Jumlah penyandang cacat dan eks trauma yang telah mendapatkan
pendidikan dan pelatihan keterampilan
m. Jumlah lembaga / anggota Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS)
yang telah mendapatkan pembinaan
n. Jumlah eks penyandang penyakit sosial (eks napi, eks napza)
yang terbina dan mendapatkan pelatihan keterampilan
o. Tersedianya tempat persediaan bufferstock, bahan bufferstock dan
sekretariat tagana, meningkatnya keterampilan kesiapsiagaan
bencana bagi anggota tagana dan masyarakat serta terbentuknya
Kampung Siaga Bencana (KSB)
Sasaran Stragtegi Kedua “Meningkatkan partisipasi sosial masyarakat dalam
pelaksanaan penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan
terorganisir ”, dengan kebijkan :
a. Jumlah kelompok masyarakat, dunia usaha dan Pekerja Sosial
Masyarakat (PSM) yang telah mendapatkan peningkatan
pengetahuan tentang undian gratis berhadiah (UGB), pengumpulan
uang dan barang (PUB) dan penyandang masalah kesejahteraan
sosial (PMKS)
b. Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam melestarikan nilai-
nilai kepahlawanan dan terpelihara sarana dan prasarana
kepahlawanan
c. Jumlah Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat
(WKSBM) yang telah mendapatkan pembinaan
d. Jumlah anggota karang taruna yang telah mendapatkan pelatihan
manajemen
4.1.2.6 Program / Kegiatan Prioritas OPD (Organisasi Perangkat Daerah)
Arah Kebijakan Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial Dinas Sosial
Kota Serang, yaitu :
a. Meningkatkan kualitas pelayanan dan bantuan dasar kesejahteraan
sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
b. Meningkatkan Pemberdayaan Fakir Miskin, Penyandang Cacat dan
kelompok rentan lainnya
c. Meningkatkan kualitas hidup bagi PMKS terhadap pelayanan sosial
dasar, fasilitas pelayanan publik, dan jaminan kesejahteraan sosial
d. Mengembangkan dan menyerasikan kebijakan untuk penanganan
masalah-masalah strategis yang menyangkut masalah kesejahteraan
sosial
e. Memperkuat ketahanan sosial masyarakat berlandaskan prinsip
kemitraan dan nilai-nilai sosial budaya bangsa
86
f. Meningkatkan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan sosial
dalam mendayagunakan sumber-sumber kesejahteraan sosial
g. Meningkatkan pelayanan bagi korban bencana alam dan sosial
h. Meningkatkan prakarsa dan peran aktif masyarakat termasuk
masyarakat mampu, dunia usaha, perguruan tinggi, dan organisasi
sosial/LSM dalam penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan
sosial secara terpadu dan berkelanjutan.
Program – Program yang mendukung sebagai berikut :
1. Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) lainnya.
a. Peningkatan kemampuan (Capacity Building) petugas dan
pendamping sosial pemberdayaan fakir miskin, KAT dan PMKS
lainnya
b. Pelatihan Keterampilan berusaha bagi keluarga miskin
c. Fasilitasi manajemen usaha bagi keluarga miskin
d. Pelatihan keterampilan bagi penyandang masalah kesejahteraan
sosial
e. Fasilitasi dan Stimulasi Pembangunan Perumahan Masyarakat
Kurang mampu
2. Program Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial
a. Pelayanan dan perlindungan sosial, hukum bagi korban eksploitasi,
perdagangan perempuan dan anak
b. Pelaksanaan KIE konseling dan kampanye sosial bagi Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
c. Pelatihan keterampilan dan praktek belajar kerja bagi anak terlantar
termasuk anak jalanan, anak cacat dan anak nakal
d. Koordinasi perumusan kebijakan dan sinkronisasi pelaksanaan
upaya – upaya penanggulangan kemiskinan dan penurunan
kesenjangan
e. Penanganan masalah – masalah strategis yang menyangkut tanggap
cepat darurat dan kejadian luar biasa
3. Program Pembinaan anak terlantar
Pengembangan bakat dan keterampilan anak terlantar.
4. Program Pembinaan para penyandang cacat dan trauma
Pendidikan dan pelatihan bagi penyandang cacat dan eks trauma.
5. Program Pembinaan panti asuhan / panti jompo
87
Peningkatan keterampilan tenaga pelatih dan pendidik.
6. Program Pembinaan Eks Penyandang penyakit sosial (eks narapidana,
pekerja seks komersial, narkoba dan penyakit sosial lainnya)
Pendidikan dan pelatihan keterampilan berusaha bagi eks penyandang
penyakit sosial.
7. Program Pemberdayaan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial
a. Peningkatan peran aktif masyarakat dan dunia usaha
b. Peningkatan jenjang kerjasama pelaku – pelaku usaha
kesejahteraan sosial masyarakat
c. Peningkatan kualitas sumber daya manusia Kesejahteraan sosial
masyarakat
d. Peningkatan sarana dan prasarana kepahlawanan dan keperintisan
e. Pendataan dan Updating data PMKS dan potensi dan sumber
kesejahteraan sosial (PSKS)
4.2 Deskripsi Data
4.2.1 Deskripsi Data Penelitian
Menurut Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2014 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan Profesi Pekerjaan
Sosial yang dimaksud dengan rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi
dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi
sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Sasaran standar rehabilitasi
sosial ini ditujukan kepada:
a. Perseorangan
b. Keluarga
c. Masyarakat
d. Panti sosial pemerintah/daerah
e. Lembaga kesejahteraan sosial
88
Rehabilitasi Sosial ditujukan kepada seseorang yang mengalami kondisi
kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan
penyimpangan perilaku, serta yang memerlukan perlindungan khusus yang
meliputi:
a. penyandang cacat fisik;
b. penyandang cacat mental;
c. penyandang cacat fisik dan mental;
d. tuna susila;
e. gelandangan;
f. pengemis;
g. eks penderita penyakit kronis;
h. eks narapidana;
i. eks pencandu narkotika;
j. eks psikotik;
k. pengguna psikotropika sindroma ketergantungan;
l. orang dengan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno
Deficiency syndrome;
m. korban tindak kekerasan;
n. korban bencana;
o. korban perdagangan orang;
p. anak terlantar; dan
q. anak dengan kebutuhan khusus.
Jangka waktu pelaksanaan pemberian pelayanan rehabilitasi sosial di dalam
panti Pemerintah/pemerintah daerah dan Lembaga Kesejahteraan Sosial paling
singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan. Jangka waktu
pelaksanaan pemberian pelayanan rehabilitasi sosial sebagaimana disesuaikan
dengan kebutuhan penerima pelayanan. Rehabilitasi Sosial diberikan dalam
bentuk:
a. motivasi dan diagnosis psikososial;
b. perawatan dan pengasuhan;
c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
d. bimbingan mental spiritual;
e. bimbingan fisik;
f. bimbingan sosial dan konseling psikososial;
g. pelayanan aksesibilitas;
89
h. bantuan dan asistensi sosial;
i. bimbingan resosialisasi;
j. bimbingan lanjut; dan/atau
k. rujukan.
Rehabilitasi Sosial dilaksanakan dengan tahapan:
a. pendekatan awal;
b. pengungkapan dan pemahaman masalah;
c. penyusunan rencana pemecahan masalah;
d. pemecahan masalah;
e. resosialisasi;
f. terminasi; dan
g. bimbingan lanjut.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka dalam proses
menganalisis datanya pun peneliti melakukan analisa secara bersamaan. Seperti
yang telah dipaparkan dalam bab 3 sebelumnya, bahwa dalam prosesnya analisa
dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan teknik analisis data menurut
Miles and Huberman (2009:16), yaitu selama penelitian dilakukan dengan
menggunakan 4 tahap penting, diantaranya : pengumpulan data (data
collection) yaitu proses memasuki lingkungan penelitian dan melakukan
pengumpulan data penelitian. Ini merupakan tahap awal yang harus dilakukan
oleh peneliti agar peneliti dapat memperoleh informasi mengenai masalah-
masalah yang terjadi di lapangan. Reduksi data merupakan suatu proses
pemilihan, merangkum, memfokuskan pada hal yang penting, dicari tema dan
polanya. Untuk mempermudah peneliti dalam melakukan reduksi data, peneliti
memberikan kode pada aspek tertentu, yaitu :
1. Kode Q untuk menunjukan kode pertanyaan
2. Kode Q1, Q2, Q3 dan seterusnya untuk menunjukan urutan pertanyaan
3. Kode I untuk menunjukan informan
90
4. Kode I1, I2, I3 dan seterusnya untuk menunjukan urutan informan
5. Kode I1.1, I1.2, menunjukkan daftar informan dari kategori Pegawai Dinas
Sosial Kota Serang
6. Kode I2.1, I2.2, I2.3 menunjukkan daftar informan dari pengemis
7. Kode I3.1, I3.2, I3.3 menunjukkan daftar informan dari masyarakat Kota
Serang
Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data,
penyajian data di sini merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Beberapa
jenis bentuk penyajian data adalah matriks, grafik, jaringan, bagan dan lain
sebagainya yang semuanya dirancang untuk menggabungkan informasi tersusun
dalam suatu bentuk yang padu (Prastowo (2011:244). Kemudian penyajian data
dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan
selanjutnya, yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam
penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplay
data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan
kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami.
Analisis data kualitatif yang terakhir menurut Miles dan Huberman (2009 :16)
adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Setelah data bersifat jenuh artinya
telah ada pengulangan informasi, maka kesimpulan tersebut dapat dijadikan
jawaban atas masalah penelitian.
4.2.2 Deskripsi Informan Penelitian
91
Informan penelitian adalah narasumber yang memiliki pengetahuan terkait
masalah yang sedang diteliti. Pada penelitian mengenai Analisis Kritis
Implementasi Program Rehablitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis (Gepeng)
Oleh Dinas Sosial Kota Serang. Peneliti menggunakan teknik purposive. Teknik
purposive adalah teknik yang digunakan dalam melakukan wawancara dengan
mengetahui narasumber yang akan diwawancarai.
Berdasarkan lokasi penelitian yaitu Dinas Sosial Kota Serang maka peneliti
menetapkan informan yaitu Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan
Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Anak Dinas Sosial Kota Serang, serta informan
yang peneliti anggap berhubungan dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu
Kepala Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah Satuan Polisi Pamong Praja
Kota Serang, Dinas Sosial Provinsi Banten, Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK) di Kota Serang, Ketua Komisi II DPRD Kota Serang,
Pimpinan yayasan Vihara Avalokitesvara Kota Serang, Redaktur Banten Raya.
92
Tabel 4.4
Daftar Informan Penelitian
Informan Nama
Informan
Kode
Informan
Kategori
Informan
Dinas Sosial Kota
Serang
1. Kepala Seksi Rehabilitasi
Sosial Tuna Sosial Dinas
Sosial Kota Serang
Heli Priyatna I1.1
Key
Informan
2. Kepala Seksi Rehabilitasi
Sosial Anak Dinas Sosial
Kota Serang
Hendri I1.2 Key
Informan
Satuan Polisi
Pamong Praja Kota
Serang
1. Kepala Bidang Penegakan
Produk Hukum Daerah Juanda I2.1
Key
Informan
Dinas Sosial Provinsi
Banten
1. Kepala Seksi Rehabilitasi
Sosial Tuna Sosial Asep Hanan I3.1
Secondary
Informan
Tenaga
Kesejahteraan Sosial
Kecamatan (TKSK)
1. Tenaga Kesejahteraan
Sosial Kecamatan Serang Hasanudin I4.1
Secondary
Informan
Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kota
Serang
1. Alat Kelengkapan Dewan Furtasan Ali I5.1 Secondary
Informan
Unsur Keagamaan
1. Tokoh Agama Islam Gofur I6.1 Secondary
Informan
2. Humas Vihara
Avalokitesvara Kota
Serang
Asaji I6.2 Secondary
Informan
3. Sekretaris Gereja Katolik
Kritus Raja Serang Stefanus I6.3
Secondary
Informan
Unsur Masyarakat 1. Masyarakat Kecamatan
Serang Apip I7.1
Secondary
Informan
Akademisi 1. Dosen Fisip Untirta Agus S I8.1 Secondary
Informan
Gelandangan dan
Pengemis Kota 1. Pengemis Kota Serang Bisriah I9.1
Secondary
Informan
93
Serang 2. Pengemis Kota Serang Rodiyah I9.2
Secondary
Informan
Sumber : Peneliti, 2018
94
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian dengan menggunakan teknik analisa data kualitatif
deskriptif. Dalam menganalisa penelitian ini, peneliti menggunakan Boundary
Categories menurut Ulrich (dalam Riswanda 2016: 9), yaitu:
1. Sources of motivation (Sumber motivasi), adalah suatu sumber yang dalam
situasi dan kondisi perehaban yang dijadikan sebagai gambaran kekuatan
guna tercapainya perehaban yang baik bagi gelandangan dan pengemis.
a. Stakeholder, pihak yang terlibat dalam penelitian ini adalah Dinas
Sosial Kota Serang di bagian Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna
Sosial, Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Anak, Satpol PP Kota
Serang di Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah, DPRD Kota
Serang, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) di Kota
Serang Unsur Keagamaan, Unsur kemasyarakatan.
b. Purpose (Tujuan), yaitu sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan
rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis.
c. Measure of improvement (Ukuran perbaikan), yaitu yang dijadikan
patokan atau standar keberhasilan Seksi Bagian Gelandangan dan
Pengemis dalam kebijakan rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis.
2. Sources of power (Sumber kekuatan), adalah suatu sumber yang menjadi
kelebihan dalam rehablitasi sosial Gelandangan dan Pengemis untuk
mencapai sebuah keberhasilan.
95
a. Decision-maker (Pengambilan keputusan), yaitu pihak yang
menjadi pembuat kebijakan rehablitasi sosial gelandangan dan
pengemis dan pihak yang mengambil keputusan.
b. Resources (Sumber daya), yaitu potensi yang dimiliki Seksi
Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dalam mengelola penyelenggaraan
program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis.
c. Decision environment (Keputusan lingkungan), yaitu kondisi yang
berada di luar kontrol lingkup Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial.
3. Sources of knowledge (Sumber pengetahuan), adalah suatu sumber yang
dijadikan sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan tentang bagaimana
perehaban para gelandangan dan pengemis.
a. Professional (Tenaga ahli), yaitu seseorang yang dianggap sebagai
sumber terpercaya berdasarkan keahlian yang dimiliki dalam
menilai dan memutuskan sesuatu terkait rehabilitasi sosial
gelandangan dan pengemis.
b. Expertise (Keahlian), yaitu kemampuan dalam menangani
perehaban para gelandangan dan pengemis.
c. Guarantee (Jaminan), yaitu pihak yang dilibatkan dan berkontribusi
dalam program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis.
4. Sources of legitimation (Sumber pengesahan), merupakan legitimasi dari
badan-badan yang menanangani program rehablitasi sosial gelandangan
dan pengemis.
96
a. Witness, yaitu orang yang terkena efek atau dampak dari adanya
kebijakan rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis.
b. Emancipation, yaitu orang yang selama ini tidak terlibat dalam
pembuatan kebijakan pemasyarakatan sangat penting untuk
suaranya diangkat seperti organisasi dari unsur kemasyarakatan dan
unsur keagamaan.
c. World view (Pandangan dunia), yaitu pandangan secara universal
terhadap persoalan mengenai gelandangan dan pengemis dari
kacamata atau lensa Media, unsur keagamaan, unsur masyarakat.
4.3.1 Sources Of Motivation (Sumber Motivasi)
Sources of motivation (Sumber motivasi) adalah suatu sumber yang dalam
situasi dan kondisi dalam perehaban gelandangan dan pengemis yang dijadikan
sebagai gambaran kekuatan guna tercapainya perehaban yang baik bagi
gelandangan dan pengemis. Sumber Motivasi sebagai dasar dan kerangka dari
kebijakan, karena di dalamnya membahas adanya stakeholder (pihak yang
terlibat) yamg memiliki kepentingan dalam pengambilan keputusan kebijakan,
tujuan dari suatu kebijakan, dan tolak ukur keberhasilan dari suatu kebijakan.
Jadi sumber motivasi (sources of motivation) dalam penelitian ini
dideskripsikan sebagai kontruksi dasar program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang yang memuat pihak yang
terlibat, tujuan, dan tolak ukur keberhasilan dalam program rehablitasi
gelandangan dan pengemis ini.
97
4.3.1.1 Stakeholder (Pihak yang terlibat)
Stakeholder merupakan pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan suatu
kebijakan atau program yang memiliki kewenangan dan kepentingan terkait
kebijakan ataupun program tersebut. Pihak-pihak yang terlibat tentunya memiliki
keahlian serta kemampuan yang dibutuhkan dalam kebijakan tersebut. Sehingga
dengan adanya keterlibatan dari semua pihak-pihak terkait ini, akan menghasilkan
keputusan yang menjadi solusi dari masalah-masalah yang terjadi.
Pada program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini tentunya ada pihak-
pihak yang terlibat yang sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing.
Dalam pembuatan program ini tidak bisa dijalankan oleh satu pihak saja
melainkan butuh pihak-pihak lain yang memang memiliki keahlian di bidangnya.
Dengan adanya keterlibatan dari semua pihak yang mempunyai keahlian di
bidangnya akan mampu memberikan perbaikan dari kualitas program yang
menghasilkan keberhasilan dari suatu program.
“Tentunya untuk yang membuat program rehsos gepeng ini
yaitu dinsos, yaa khususnya seksi bagaian yang menangani
gelandangan dan pengemis ini, kami juga sebagai penanggung
jawab program ini.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota
Serang, 22 November 2017).
Berdasarkan wawancara dengan I1.1 dapat diketahui bahwa pihak yang
memproduk program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini adalah Dinas
Sosial Kota Serang, khususnya Bidang Rehablitasi Sosial pada Seksi Rehabilitasi
Sosial Tuna Susila. Pihak yang bertanggung jawab dalam program ini pun yaitu
Dinas Sosial Kota Serang.
Hal Serupa juga diutarakan oleh I1.2 sebagai berikut :
98
“Yang membuat program ini itu adalah kepala seksi sesuai
dengan tupoksi, karena yang tau permasalahan kan dari kita
sendiri sesuai dengan tupoksinya” (wawancara dengan I1.2 di Dinas
Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).
Hal senada pun peneliti dapatkan dari penjelasan Kepala Bidang Penegakan
Produk Hukum Daerah yang memproduk program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini adalah :
“Untuk pembinaan dan rehablitasi dan bantuan lain-lain
adalah tugas dari Dinas Sosial, dalam kapasitas kita itu tugas
pokoknya hanya mengeksekusi dari tempat kejadian terus dikirim
ke dinas sosial, yang buat program ini kan dinas sosial, jadi yang
ngebina, ngerehab, yang ngasih bantuan itu Dinas Sosial dan juga
perencanaan dan segala sesuatunya ada di Dinas Sosial, soalnya
mereka yang buat programnya.” (wawancara dengan I2.1 di kantor
Satpol PP Kota Serang, 27 November 2017).
Berdasarkan pemaparan oleh I2.1 dapat diketahui bahwa yang membuat atau
memproduk program rehabilitasi gelandangan dan pengemis adalah Dinas sosial.
Ungkapan serupa juga dipaparkan oleh :
“Yang punya kewenangan membuat program rehabilitasi
ini si di kabupaten/kota ya, kalo di kota kan Dinas Sosial Kota
Serang ya.” (wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial
Provinsi Banten, 18 Desember 2017).
Berdasarkan ungkapan seluruh informan di atas dapat disimpulkan bahwa
yang memproduk atau yang membuat program ini adalah Dinas Sosial Kota
Serang. Dinas Sosial juga yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab
terhadap program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini.
Di program ini tentunya banyak pihak-pihak yang terlibat dan yang memiliki
peranan dan keahlian dalam pengambilan keputusan. Pihak-pihak yang terkait
tersebut diantaranya :
99
“Keterlibatannyan dalam pemerintahan itu, pertama OPD
Dinas Sosial Kota Serang yang harus mempunyai peran sesuai
dengan yang ada tupoksinya rehabilitasi. Cuma rehabilitasi tidak
cukup Dinas Sosial bagaimana kalo dia umpamanya
pendidikannya ingin melanjutkan karena tidak mampu, lulusan
SMP yang tidak punya izasah maka harus kejar paket, nah itu
terlibatlah Dinas Pendidikan. Kita koordinasi dan bekerjasama
dengan Dinas Pendidikan. Bagaimana cara penanganannya,
pengambilannya, wewenang untuk menangkap dan membawa itu
adalah Satpol PP, selain itu juga bagaimana kalo dia nggak punya
dan pengen punya kartu keluarga, pengen punya KTP, nah Dinas
Kependudukan juga harus terlibat, nah bagaimana kalo dia
pengen bekerja kalo dia emang sudah punya keahlian, kita
libatkan juga Disnaker.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial
Kota Serang, 22 November 2017).
Berdasarkan apa yang dinyatakan I1.1 dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang
terlibat terkait dalam pelaksanaan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis
yang dilakukan Dinas Sosial Kota Serang yaitu Satuan Polisi Pamong Praja Kota
Serang, Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kota Serang, Dinas Tenaga Kerja
Kota Serang.
Senada dengan pernyataan diatas I1.2 juga menyatakan bahwa :
“Kepala Bidang disitu juga ada Pak Kadis, kita kan
awalnya lihat dari data dan kenyataan banyak di jalan anak
jalanan, gepeng, kita juga ngedata melalui pos sahabat anak itu
juga dibantu oleh Peksos setelah kita melihat data kan terus
gimana nih cara penanganannya, nah maka dari itu kita rempugin
bareng-bareng bersama bapak kabid dan bapak kadis. Banyak
juga kita berkoordinasi ada dari lembaga ada juga dinas-dinas
terkait yang menangani tentang program ini. Ya misalkan dengan
Disnaker, Kemenag, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan yang
sesuai tupoksinya kaya BPJS kesehatan, Kepolisian untuk
menangani anak jalanan kaya gitu. Jadi kita ga sendiri.”
(wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari
2018).
100
Penjelasan serupa juga diutarakan oleh Bapak Asep selaku Kepala Seksi
Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Dinas Sosial Provinsi Banten :
“Kalo untuk di lapangan itu misalkan penertiban, ngerazia
para gepeng itu kan kewenangannya ada di Kabupaten/Kota yaitu
di Dinas Sosial Kota Serang dan juga Satpol PP nya.” (wawancara
dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18 Desember
2017).
Kedua pernyataan diatas dibenarkan oleh Kepala Bidang Penegakan Hukum
Daerah, sebagai berikut :
“Dalam rehabilitasi gepeng ini kita emang dilibatkan
sesuai tupoksi kita yaitu menjaring atau merazia para gepeng yang
ada dijalanan. Ini juga kan masuk kewenangan kita, terus tupoksi
kita ini kan dari perwal yang didasari oleh perda pekat tersebut.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).
Berdasarkan penjelasan dari seluruh informan, peneliti menarik kesimpulkan
bahwa yang membuat atau memproduk program rehablitasi gelandangan dan
pengemis ini adalah Dinas Sosial Kota Serang karena Dinas Sosial Kota Serang
ini yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab sesuai dengan Perda Kota
Serang nomor 2 Tahun 2010 tentang penyakit masyarakat. Selanjutnya pihak-
pihak yang terlibat dalam pelaksaan program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini yaitu Dinas Sosial Kota Serang sebagai leading sector, Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Serang, Dinas Pendidikan Kota Serang, Dinas Kesehatan,
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Serang, Dinas Tenaga Kerja Kota
Serang, bahkan kepolisian yang ikut menangani anak jalanan.
101
4.3.1.2 Purpose (Tujuan)
Pada dasarnya pemerintah membuat kebijakan atau program memiliki
maksud dan tujuan untuk memberikan solusi atas masalah-masalah yang terjadi
pada masyarakatnya. Setiap kebijakan pasti memiliki suatu tujuan, dan tujuan ini
biasanya dijadikan acuan dalam perencanaan suatu kebijakan yang akan
dilaksanakan. Tujuan juga dijadikan sebagai tolak ukur pemerintah dalam usaha
untuk menggapai sesuatu yang ingin dicapainya.
Dinas Sosial Kota Serang membuat program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis yang didasari oleh Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 tahun 2010
tentang Penyakit Masyarakat tentunya mempunyai suatu tujuan seperti apa yang
disampaikan oleh Bapak Heli Priatna selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna
Sosial, dan tujuannya yaitu:
“Ya untuk tujuannya mah inginnya kami pemerintah si tetep
satu, ingin mengentaskan kemiskinan kalo tujuan secara umumnya
mah itu, sama mengentaskan pengangguran. Ya khususnya dari
program ini inginnya mah itu, si gepeng itu mendapat
keterampilan juga dia bisa merubah prilakunya sama
mindsetnya.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang,
22 November 2017).
Hal Senada juga disampaikan oleh I1.2 yang menyatakan bahwa:
“sebenernya mah dari tujuannya mah kaya sederhana tapi
dalemnya rumet ya, itu menghilangkan si tidak mungkin, tapi kita
meminimalisir jumlahnya.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial
Kota Serang, 11 Januari 2018).
Peneliti juga mendapatkan penyataan serupa dari Kepala Bidang
Penegakan Produk Hukum Daerah, Bapak Juanda. Beliau mengatakan :
102
“dari kita mah tujuannya pengen si gepeng ini ngerasa
kapok lah ada di jalanan, jadi mereka itu si gepeng ini gak balik-
balik ke jalan lagi, kan dengan kaya gitu bisa ngubah
mindsetnya.” (wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota
Serang, 27 November 2017).
Senada dengan diatas, I3.1 mengutarakan:
“kalo tujuan program rehablitasi gepeng ini tentunya
pengen ngerubah mindsetnya lah dari tadinya dia ngemis, dia bisa
usaha kecil-kecilan kaya jualan gorengan atau buka warung kecil
kaya gitu. Kan kalo program rehabilitasi ini, si gepeng
keterampilan kaya bikin kue, atau keterampilan montir, dan kalo
dia mau dia dikasih modal sama kita. Ya kalopun misalkan gak
ngerubah dia, minimal dia turun ke jalannya ga sering, ya
misalkan tadinya dia di jalan 12 jam sekarang dia jalan cuma 5
jam.” (wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi
Banten, 18 Desember 2017).
Pernyataan yang sama pun disampaikan oleh bapak Hasanudin selaku
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan Serang sebagai berikut :
“Tujuannya, tentunya untuk mengurangi para gelandangan
dan pengemis jangan sampai ada yang turun ke jalan tentunya.”
(wawancara dengan I4.1 di kantor Kecamatan Serang, 25 Januari
2018).
Berdasarkan penyataanya dari semua informan di atas, peneliti dapat
menyimpulkan bahwa tujuan dari program rehabilitasi gelandangan dan pengemis
ini yaitu untuk mengurangi jumlahnya dan juga merubah prilaku dan mindset para
gelandangan dan pengemis, dengan cara memberikan pembinaan, memberikan
keterampilan dan keahlian kepada para gelandangan dan pengemis agar mereka
mempunyai keterampilan dan keahlian sehingga para gelandangan dan pengemis
ini untuk tidak terus berada di jalanan dan juga mereka bisa mencari nafkah
dengan tidak meminta-minta.
103
Adanya tujuan kebijakan pastinya kebijakan juga mempunyai sasaran yang
ingin dicapai. Jelasnya sasaran kebijakan yang ingin dicapai mengindikasikan
bahwa perumusan kebijakan tersebut berjalan dengan baik. Pastinya setiap
kebijakan memiliki target sasaran yang ingin dicapainya, seperti halnya program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini pastinya mempunyai sasaran yang
ingin dicapainya:
“tentunya yang jadi sasaran utamanya itu para
gelandangan pengemis, kalo untuk sasaran utamanya.”
(wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November
2017).
Seperti apa yang diutarakan oleh I1.1 bahwa yang menjadi sasaran dari
program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini adalah para gelandangan dan
pengemis (gepeng).
Hal yang sama juga disampaikan oleh I1.2 yang menytakan bahwa :
“Dalam Perda pekat ini kan tidak hanya untuk gepeng dan
anak jalanan ataupun pekat yang lainnya ya, kita kan ada berbasis
masyarakat ya otomatis masyarakat juga diikut sertakan, terutama
minimalnya tau bahwa ada peraturan atau perda yang ngelarang
gepeng dan anak jalanan itu tidak boleh gitu kan.” (wawancara
dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).
Hal serupa juga diutarakan oleh I2.1, sebagai berikut :
“pastinya yang kita jadiin target sasaran para penyakit
masyarakat termasuk juga para gelandangan dan pengemis. Kita
kan sebagai penegak hukum daerah, ya kita tugasnya merazia para
pekat penyakit masyarakat ini termasuk juga para gepeng.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).
104
Pendapat ini diperkuat oleh I3.1, sebagai berikut :
“yang jelas yang jadi sasaran dari program ini tuh para
gepeng, jangan sampe si gepeng itu terus di jalan, ya minimal
mereka itu produktif lah nggak terus nyari nafkahnya di jalanan.”
(wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18
Desember 2017).
Pendapat yang senada juga di sampaikan oleh I4.1 yang menyatakan
bahwa:
“ya yang pastinya yang jadi sasarannya itu para
gelandangan dan pengemis itu. Soalnya kan program ini
ditujukannya ke mereka.” (wawancara dengan I4.1 di kantor
Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).
Berdasarkan penjelasan dari para informan diatas, mereka menyebutkan
bahwa yang menjadi sasaran dari program rehablitasi gelandangan dan pengemis
ini yaitu para gelandangan dan pengemis.
Kebijakan pastinya akan memberikan dampak kepada sasaran kebijakan,
baik atau buruknya sebuah dampak yang dihasilkan oleh suatu kebijakan,
tentunya ini akan tetap berpengaruh kepada lingkungan kebijakan, khususnya
kepada sasaran kebijakan. Tak terkecuali dengan program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini, program ini memiliki dampak yang berpengaruh
terhadap :
“sebenernya mah gini ya, yang terkena dampak dari
program ini tuh kan para gepeng, ya artinya program ini
memberikan pengaruh ke si gepeng ini biar ga ke jalanan lagi. nah
kalo udah kaya gitu kan, si gepeng udah bisa nyari nafkahnya gak
turun ke jalan, bisa juga kan berdampaknya ke masyarakat.
Masyarakatkan nantinya gak keganggu lagi sama adanya gepeng
ini.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22
November 2017).
105
Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan oleh I1.1 bahwa yang terkena
dampak dari program ini yaitu para gelandangan dan pengemis itu sendiri yang
nantinya akan berdampak pula kepada masyarakat yang merasakan dampak para
gelandangan dan pengemis yang sudah berhenti melakukan aktifitasnya.
Hal serupa juga diutrakan oleh Ibu Hendri selaku Kepala Seksi
Rehabilitasi Sosial Anak yang menyatakan bahwa:
“tentunya yang terkena dampaknya itu para gepeng anak
jalanan itu sendiri ya, soalnya kan mereka yang kita kasih
pembinaan kasih bantuan, dengan kaya gitukan yang kena dampak
mereka.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11
Januari 2018).
Pendapat dari I2.1 mengenai yang terkena dampak dari program ini adalah
sebagai berikut:
“Masyarakat akan dirasakan langsung dampaknya, coba
kalo misalkan program ini bisa istilahnya membuat si gepeng ini
sadar, tentunya dampaknya ke masyarakat, masyarakat ga ke
ganggu lagi dong ama aktifitas gepeng ini.” (wawancara dengan
I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27 November 2017).
Senada dengan yang apa disampaikan oleh I2.1, I3.1 berpendapat bahwa :
“Di program ini kan kita ngasih pembinaan kaya semacem
ngasih keterampilan bikin kue kaya tata boga gitu, selain itu juga
kita ngasih keterapilan buat bengkel jadi si gepeng ini punya
keahlian lah semacem itu, nah kalo udah kaya gitu kita tinggal
ngasih modal tuh ke para gepeng, biar ga balik lagi ke jalan
mereka lebih produktif kan kaya gitu. Nah dari situ berdampak
juga ke prilaku si gepeng, jadi mindset si gepeng ini kan berubah.
Dengan kaya gitu masyarakat ikut merasakan juga kan
keuntungannya, jadi masyarakat juga ga merasa ke ganggu tuh
ama si gepeng.” (wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial
Provinsi Banten, 18 Desember 2017).
106
Pernyataan di atas juga di pertegas dengan pendapat yang disampaikan
oleh I4.1 yang menyatakan bahwa:
“Dampak dari program ini tentunya kepada masyarakat,
kalo misalkan gelandangan dan pengemis sudah berkurang lah
jumlahnya, tentunya masyarakat juga yang nyaman kan.”
(wawancara dengan I4.1 di kantor Kecamatan Serang, 25 Januari
2018).
Jadi dari pernyataan kelima informan ini, peneliti dapat menyimpulkan
bahwa yang terkena dampak dari program rehablitasi gelandangan dan pengemis
ini adalah para gelandangan dan pengemis itu sendiri sehingga masyarakat juga
ikut merasakan dampak dari program ini.
Setiap kebijakan pastinya memiliki kendala-kendala yang terkadang
menjadi hambatan dalam penyelanggaran sebuah kebijakan. Program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini pastinya memiliki kendala-kendala yang dihadapi
oleh penyelenggara.
“Hal-hal yang jadi kendalanya itu pertama, SDM. Di
bagaian bapak satu bidang aja belom punya staf, harunya mah
kasie itu minimal punya satu, pembantu bapak itu harusnya mah
ada minimal satu tapi bapak belom punya. Sebenrmya bukan
bapak aja ini yang belom punya malah di bidang ini belom punya
staf. Ya selain itu juga kendalanya kadang-kadang OPD-OPD
lainya itu istilahnya kurang harmonis. Sebenernya kalo bicara soal
itu mah jelek juga, ya mau gimana lagi begitu kenyataannya.
Kemudian kami dinsos belom punya juga tempat penampungan
buat para gepeng yang udah di razia sama Satpol PP. Gimana
mau nampung kita juga kantornya masih ngontrak kan ya gitu. Ya
otomatis juga penganggaran juga oleh kita sangat dibutuhkan.
Nah tempat rehabilitasi juga tuh, itu yang pertama tempat
107
rehabilitasi itu belom ada.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial
Kota Serang, 22 November 2017).
Berdasarkan pernyataan dari I1.1 diketahui bahwa yang menjadi kendala
dari program rehablitasi gelandangan dan pengemis yaitu sumber daya manusia
(SDM) yang belum memadai, kurang harmonis atau kurangnya koordinasi yang
dilakukan oleh organisasi perangkat daerah (OPD) terkait, belum adanya tempat
penampungan dan rehablitasi untuk para gelandangan dan pengemis, serta
anggran yang adapun belum sepenuhnya memadai untuk program ini.
Hal senada juga diutarakan oleh I1.2, yang menyatakan bahwa :
“kendalanya memang kebelum nyambungnya ya antara keinginan
dan tujuan pemerintah dan masyarakat belom sejalan gitu. Karena
kita juga sadar diri ya, SDM dari kita Dinas Sosial kurang ya
sehingga tidak mencukupi untuk tenaga di sosialisasi di jalan.
Karena kita harusnya banyak ke jalan ya, nah tenaga itulah kita
yang kurang. Sebenernya mah kendalanya juga kesadaran lah dari
kita semua ya khususnya masyarakat bahwa kita disini punya
program buat merubah anak jalanan.” (wawancara dengan I1.2 di
Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).
Pendapat yang hampir serupa juga diungkapkan oleh Kepala
Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah yang menyatakan bahwa :
“Kendalanya dari kita itu kurangnya SDM, kurangnya
disini itu dari segi kuantitas ya bukan dari kualitas. Kalo dari
kualitas si saya yakin lah kualitasnya bagus, tapi disini kami hanya
kekurangan kuantitas. Selain itu juga dari segi finansial, nah ini ni
yang susah. Nah kaya yang saya sebutin tadi susah kalo ga ada
duit mah mau jalannya ajasusah, ya mau gimana lagi itu faktanya.
Ya terkadang anggaran untuk kita kontrol aja, terkadang pake
kantong pribadi itu istilahnya buat bensin-bensin doang mah.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).
108
Pendapat lain juga disampaikan oleh I3.1, sebagai berikut :
“Kendalanya ya kadang-kadang kalo dirazia itu si gepeng
nya itu balik lagi balik lagi kaya gak kapok-kapok, terus juga
kategori kaya anak punk itu yang masih samar, itu masuknya
kemana nih, anak jalanan atau apa gitu kalo anak jalanan ada
seksinya lagi, kalo yang pake narkoba atau orang yang gila ada
juga seksinya disini tapi kadang-kadang di tangani oleh seksi kita
juga. Ya emang susah juga kita mengkategorikannya juga, ya jadi
kendalanya itu kita susah buat mengkategorikannya.” (wawancara
dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18 Desember
2017).
I4.1 juga berpendapat mengenai kendala yang dirasarkan dalam program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini:
“kendalanya ya memang itu terkadang para gepeng itu pas
kita samperin itu pada lari, terus dari si gepeng itu juga kurang
keterbukaan kitakan jadinya susah buat ngedatanya. Kita juga
butuh kerjasama dari masyarakat untuk berperan untuk ikut dalam
program ini ya minimal ikut mengikuti peraturan yang ada, kan di
perda juga ada pelarangan buat ngasih para gepeng.”
(wawancara dengan I4.1 di kantor Kecamatan Serang, 25 Januari
2018).
Berdasarkan penjelasan dari seluruh informan diatas peneliti dapat
menyimpulkan bahwa yang menjadi kendalanya dalam program rehabilitasi
gelandangn dan pengemis itu adalah SDM yang kurang memadai, ada juga dari
tempat penampungan dan tempat rehablitasi para gelandangan dan pengemis,
kurangnya keharmonisasian dan kurangnya koordinasi dari organisasi perangakat
daerah terkait, dan juga anggaran yang belum memadai serta kurangnya peran
serta masyarakat untuk mematuhi peraturan daerah yang melarang memberikan
uang pada pengemis.
109
Dengan adanya kendala-kendala yang di hadapi oleh suatu kebijakan
tentunya ada pihak-pihak bertanggung jawab sesuai dengan tugas dan
wewenangnya masing-masing. Pada dasarnya di dalam kebijakan pastinya
memiliki pihak yang bertanggung jawab untuk mencari solusi dari masalah-
masalah yang di hadapi. Pada program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini
pihak yang bertanggung jawab atas masalah-masalah yang terjadi adalah :
“Harusnya semuanya OPD-OPD terkait ikut bertanggung
jawab, ya terutama OPD Dinas Sosial dan Satpol PP.”
(wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November
2017).
Hal ini yang sama juga disampaikan oleh Ibu Hendri selaku Kepala Seksi
Rehabilitasi Sosial Anak yang menyatakan bahwa:
“sebenernya semua, cuma kan yang jadi leading sectornya
dan tupoksinya Dinas Sosial Kota Serang ya otomatis kita harus
bertanggung jawab merangkul kesemuanya ke OPD lain atau juga
ke masyarakatnya.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota
Serang, 11 Januari 2018).
Hal serupa juga diunkapkan oleh I2.1, yang memberi penjelasan sebagai
berikut :
“Kan yang jadi penanggung jawab program ini kan Dinas
Sosial, jadi kalo misalkan ada masalah-masalah yang terjadi
dinsosnya yang bertanggung jawab, kalo kita bertanggung jawab
kalo tiap penjaringan, ngerazia, baru kita yang tanggung jawab.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).
Pernyataan di atas di perkuat oleh pernyataan yang di ungkapkan oleh I3.1
yaitu, sebagai berikut:
110
“Kalo program ini si sebenernya yang punya kewenangan
itu yang di kabupaten kota, juga yang bertanggung jawab yang di
kabupaten kota, biasanya kan mereka itu yang langsung ke
lapangan melakukan razia atau apa gitu, itu udah kewenangan di
kabupaten kota, Dinsos kota sama Satpol PP kalo kita terima sini
ajalah.” (wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi
Banten, 18 Desember 2017).
Senada dengan pernyataan di atas, I4.1 menyatakan pendapat :
“Yang bertanggung jawab itu Dinas Sosial dan juga unsur
masyarakat seluruhnya. Dinas sosial kan lembaga pemerintah ya,
jadi untuk lembaga ini Dinas Sosial yang bertanggung jawab tapi
harus ada peran serta masyarakat.” (wawancara dengan I4.1 di
kantor Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).
Berdasarkan penjelasan dari semua informan Peneliti dapat menyimpulkan
bahwa pihak yang bertanggung jawab atas masalah-masalah yang terjadi dalam
program rehablitasi gelandangan dan pengemis ini yaitu terutama Dinas Sosial
Kota Serang sebagai penanggung jawab program, dan juga Satpol PP sebagai
penegak hukum daerah yang melakukan penjaringan dan razia kepada para
gelandangan dan pengemis.
Pihak yang tertanggung jawab tentunya memiliki cara untuk mengatasi
masalah-masalah yang terjadi, upaya-upaya yang dilakukan agar masalah dapat
diatasi dengan baik, sehingga kebijakan dapat berjalan dengan semestinya. Juga
dengan Program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini pihak Dinas Sosial
Kota Serang tentunya memiliki upaya-upaya yang dilakukan agar masalah dapat
teratasi:
“Saya juga kan gak punya staf, kalo ada anggarannya
bapak juga membentuk tim sukarelawan. Ya artinya semacem
petugas sosial, satgas satuan tugas sepuluh orang. Kalo misakan
111
anggaran kita gada, kita ngirim para gepeng ini ke provinsi,
Dinsos provinsi buat direhab disana kira-kira sepuluh orang kita
kirim ke sana, ya salah satu pelayanan kita kaya gitu kalo
anggarannya ngga ada.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial
Kota Serang, 22 November 2017).
Seperti yang sudah diungkapkan oleh I1.1 bahwa upaya yang dilakukan
pemerintah dalam mengatasi masalah yaitu dengan membentuk tim sukarelawan
seperti satuan tugas atau petugas social yang disesuaikan dengan anggaran yang
ada. Selanjutnya upaya yang dilakukan adalah dengan mengirimkan para
gelandangan dan pengemis kepada Dinas Sosial Provinsi Banten untuk direhab
disana. Dalam hal ini Dinas Sosial Kota Serang bekerja sama dengan pihak Dinas
Sosial Provinsi Banten untuk melakukan perehaban yang mana ini adalah salah
satu bentuk pelayanan yang diberikan Dinas Sosial Kota Serang kepada para
gelandangan dan pengemis.
Hampir sama seperti yang disampaikan oleh I1.1, I2.1 berpendapat :
“Dari faktor SDM yang sesungguhnya kami kekurangan.
ya walaupun istilahnya kami melakukan tugas cuma lima orang
tapi alhamdulillahnya di dalam lima orang ini kami merekrut
hampir tiga puluh orang. Dia tau upamanya kami operasi yang
tiga puluh orang ini harus ikut karena juga ada SP nya. Kalo dari
segi dana kami untuk kontrol aja seperti yang saya udah jelasin
kami sering pake kantong pribadi buat bensin-bensin mah, kan
kalo mau jalan buat ngontrol mah buat bensin mah harus ada.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).
Dari kedua pendapat ini, peneliti dapat memberi kesimpulan bahwa upaya-
upaya yang di lakukan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam
mengatasi masalah yang terjadi adalah seperti dari kekurang Sumber Daya
Manusia (SDM) pihak Dinas Sosial Kota Serang membentuk sebuat satuan tugas
112
(Satgas) atau Petugas Sosial yang akan membantu Dinas Sosial dalam menangani
para gelandangan dan pengemis. Hampir sama seperti pihak Dinas Sosial, Satpol
PP melakukan perekrutan petugas sebanyak 30 orang oleh anggota asli yang
sebanyak 5 orang. Pihak Dinas Sosial dalam mengatasi masalah anggaran mereka
mengirimkan para gelandangan dan pengemis ke pihak Dinas Sosial Provinsi
Banten untuk di rehablitasi. Sedangkan yang dilakukan Satpol PP untuk
mengatasi anggaran adalah sering menggunakan dana pribadi untuk setidaknya
melakukan kontrol di jalanan.
Selanjutnya kebijakan pasti memberi pengaruh terhadap kelompok yang
menjadi sasaran dari suatu kebijakan. Dalam program rehabilitasi gelandangan
dan pengemis, program ini cukup memberikan pengaruh terhadap kelompok
sasaran yaitu para gelandangan dan pengemis. Seperti yang dijelaskan oleh I1.1,
sebagai berikut:
“Ya artinya program ini memberikan pengaruh ke si
gepeng ini, ada juga yang sudah merasakan lelah, kepengen
berubah pekerjaannya, ada yang setelah ikut pelatihan anak-anak
berenti ngamen, ya kalo istilahnya mah ikut ngedesain nyetak foto
yang namanya itu pelatihan sablon. Termasuk juga yang telah
dilatih montir motor, dia udah bisa buka bengkel. Tapi ya itu, gak
begitu saja berubah jadi sewaktu-waktu dia bisa balik lagi ke
jalan, ya bisa aja ke pengaruh sama temen-temen jalanannya.”
(wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November
2017).
Senada dengan penyataan diatas, I1.2 juga berpendapat bahwa :
“Kalo untuk kesejahteraannya mah belom, namun berubah
gitu dari prilakunya kalo misalkan kesejahteraan mah dari jumlah
segitu palingan yang baru sedikit ya.” (wawancara dengan I1.2 di
Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).
113
I2.1 juga berpendapat bahwa:
“Pastinya ngasih pengaruh ke si para gepeng, ya sedikit
banyaknya ngasih pengaruh ke si gepeng. Ada juga kan yang udah
direhab dia berenti ngamen ngemis dia jadi usaha dagang, ya
sedikit banyaknya ngasih pengaruh.” (wawancara dengan I2.1 di
kantor Satpol PP Kota Serang, 27 November 2017).
Pernyataan sama juga disampaikan oleh I3.1, sebagai berikut :
“Memberikan pengaruh tentunya, disinikan kami ngasih
pelatihan kaya bikin kue, pelatihan bengkel yang kaya disebutin
tadi itu, keterampilan ngejahit. Nanti kami ngasih modal ke
mereka biar uang itu dijadiin modal usaha sama merek.”
(wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18
Desember 2017).
Pernyataan di atas diperkuat oleh pernyataan yang disampaikan oleh I4.1 :
“Sangat, sangat memberikan berpengaruh contoh, para
gepeng atau anak yang awalnya mengamen ya, nah saat diberikan
pelatihan secara kemampuan dan alhamdulillah di satu tahun yang
lalu kita ada keterampilan sablon, setelah itu skill kan ada nih,
sudah terasah gitu kan, kita berikan dari dinas sosial alat, nah
agar mereka kurang lah jumlahnya gitu.” (wawancara dengan I4.1
di kantor Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).
Berdasarkan dari pernyataan dari seluruh informan diatas mengenai
pengaruh yang diberikan dari program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini,
peneliti dapat memberikan kesimpulan bahwa program rehabilitasi gelandangan
dan pengemis ini memberikan pengaruh kepada para gelandangan dan pengemis,
karena dalam program rehabilitasi ini memberikan keterampilan dan keahlian
yang nantinya diberikan modal usaha kepada para gelandangan dan pengemis
untuk bisa menjadi mandiri dan lebih produktif, sehingga tidak harus kembali lagi
ke jalanan.
114
4.3.1.3 Measure of Improvement (Ukuran Perbaikan/Tolak Ukur)
Tolak ukur pada dasarnya dijadikan sebagai penilaian seberapa jauh
kebijakan itu berhasil untuk menjadi solusi atas masalah-masalah yang dirasakan
oleh masyarakat. Ukuran perbaikan dapat ditinjau dari seberapa jauh nilai-nilai
yang ada telah mempengaruhi suatu kebijakan. Dengan adanya ukuran perbaikan
ini berguna untuk perbaikan program di masa yang akan datang.
Pada penelitian ini mengenai program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis yang di lakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang tentunya memiliki tolak
ukur. Tolak ukur tersebut dijadikan sebagai acuan untuk meninjau bagaimana
pelaksanaan program ini berjalan, apakah sudah berjalan dengan semestinya atau
belum berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dalam program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini mempunyai tolak ukur yang dijadikan penilaian
apakan kebijakan ini berhasil ataupun belum berhasil adalah sebagai berikut:
“Yang menjadi tolak ukurnya ya sekarang udah keliatan
biasanya mah pagi-pagi sampai itu tuh udah ada para gepeng.
Kalo sekarang ya Alhamdulillah, jadi berkurangnya ya gitu,
berkurangnya para gepeng.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas
Sosial Kota Serang, 22 November 2017).
Berdasarkan pernyataan dari I1.1, diketahui bahwa yang menjadi tolak ukur
keberhasilan dari program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini adalah
dengan berkurangnya jumlah para gelandangan dan pengemis.
Senada dengan pernyataan diatas, I1.2 berpendapat bahwa :
“Kalo yang jadi tolak ukur keberhasilan dari ibu si
sederhana yah, kalo menghilangkan kan ga mungking, ya minimal
mengurangi jumlahnya itu.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas
Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).
115
Sama halnya yang diutarakan oleh I3.1, sebagai berikut :
“Minimal kita mengurangi jumlah gepeng tiap tahunnya
untuk meminimalisir, dan juga tolak ukurnya misalkan kita melatih
sepuluh orang, ya terlaksanakannya juga sepuluh orang, ya kita
mencapai apa yang ditargetkan lah bisa di bilang begitu.”
(wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18
Desember 2017).
Pendapat mengenai tolak ukur keberhasilan program ini juga disampaikan
oleh I2.1, sebagai berikut:
“Tugas Satpol PP itu cuma eksekutor pembinaannya kan
dari Dinsos, tugas kita tuh cuma sedikit cuma pelarangan saja. Ya
disini yang menjadi tolak ukur kita para gepeng ini ga balik lagi ke
jalan, dan masyarakatnya juga sadar kalo ngasih para pengamen
pengemis itu dilarang, jadi kalo misalkan ada gepeng yang minta-
minta coba lah jangan dikasih, ya walaupun istilahnya kita
ngerasa ga tega iba ke si gepeng itu. Soalnya nanti kebiasaan buat
para si gepeng.” (wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota
Serang, 27 November 2017).
Pendapat juga disampaikan oleh I4.1 yang menyatakan bahwa :
“Yang pasti tolak ukurnya jumlah gepeng atau anak
jalanan itu berkurang ada perubahan lah dari mereka untuk ngga
ke jalanan lagi.” (wawancara dengan I4.1 di kantor Kecamatan
Serang, 25 Januari 2018).
Dari pernyataan keempat informan di atas peneliti mengambil kesimpulan
bahwa tolak ukur keberhasilan dari program ini adalah berkurangnya jumlah
gelandangan dan pengemis di setiap tahunnya. Kemudian tercapainya jumlah para
gelandangan dan pengemis yang ingin direhab dari jumlah yang ditargetkan di
awal. Selain itu pula para gelandangan dan pengemis ini sadar dan tidak balik-
116
balik lagi ke jalanan, serta kesadaran dari masyarakat untuk tidak memberi kepada
para gelandangan dan pengemis.
4.3.2 Sources Of Power (Sumber Kekuatan)
Sumber kekuatan yang dimaksud disini adalah suatu sumber yang menjadi
kelebihan dari suatu kebijakan untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan
kebijakan. Peneliti menggambarkan sumber kekuatan dalam penelitian ini sebagai
kelebihan dari program Rehablitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis yang
dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang, yang meliputi diantara pembuat
keputusan, sumber daya, dan keputusan lingkungan.
4.3.2.1 Pembuat Keputusan (Decision-maker)
Sebuah keputusan merupakan hasil dari beberapa pertimbangan dan
tindakan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang. Keputusan diambil guna
memberi solusi untuk atas masalah-masalah yang terjadi pada suatu kebijakan.
Keputusan yang diambil dapat pula berupa suatu kebijakan alternatif, guna
memecahkan masalah yang terjadi pada permasalahan kebijakan sebelumnya.
Dalam penelitian ini pembuat keputusan dimaksudkan sebagai pihak
yang berwenang untuk memberikan keputusan dalam program rehablitasi
gelandangan dan pengemis. Suksesnya suatu kebijakan dapat ditinjau dari
seberapa jauh kebijakan itu memberi pengaruh atau memberi solusi atas masalah-
masalah
yang terjadi pada sasaran dari kebijakan tersebut dan juga dapat berdampak pada
kepuasan masyarakat atas kebijakan itu. Pihak yang berwenang dalam
117
pengambilan keputusan dalam program rehablitasi gelandangan dan pengemis itu
adalah :
“Kalo yang buat ngambil keputusan mah tentunya pihak
yang punya kewenangnya masing-masing ya kalo kita kan dinsos
yang ngasih pembinaan, pelatihan, keterampilan kaya gitu ya
jadinya kalo yang ngambil keputusan di program pembinaan ini
mah ya kita. Kalo Satpol PP kan kewenangannya buat ngejaring,
ngerazia para gepengnya, jadi kalo urusannya soal ngerazia mah
pihak Satpol PP.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota
Serang, 22 November 2017).
Berdasarkan penjelasan dari I1.1, diketahui bahwa yang mengambil
keputusan dalam program ini adalah sesuai dengan kewenangannya masing-
masing, seperti Dinas Sosial yang melakukan pembinaan, pelatihan keterampilan
maka yang punya kewenangan dalam pengambilan keputusan adalah pihak Dinas
Sosial. Sedangkan untuk Satpol PP yang mempunyai kewenangan dalam
melakukan penjaringan dan razia para gelandangan dan pengemis maka yang
berhak mengambil keputusannya adalah Satpol PP.
Pernytaan lain juga disampaikan oleh kepala seksi rehabilitasi sosial
anak ibu Hendri yang menyatakan:
“ya yang mengambil keputusannya ya masing-masing
kepala seksi di sini, kita kan ngerempugin bersama-sama ya.”
(wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari
2018).
Hal yang sama seperti pernyataan di atas, disampaikan oleh I2.1, yang
menyatakan bahwa:
“Yang punya kewenangan dalam urusan merazia itu kan
Satpol PP, jadi yang berhak mengambil dalam urusan merazia itu
pihak kami, Satpol PP. Kita mah gausah kemana mana dulu, kita
ngejalanin undang-undangnya dulu, amanatnya dulu gausah ke
118
yang lain, jadi kita kalo langsung ke sasaran dasarnya apa kita
ngelakuin itu” (wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota
Serang, 27 November 2017).
Pernyataan diatas diperkuat oleh apa yang disampaikan oleh I3.1,
sebagai berikut :
“Untuk masalah itu mah masing-masing punya
kewenanganannya masing-masing, ya kalo kita mah dinsos
provinsi cuma ngejalanin program yang emang pesertanya
kiriman dari kabupaten/kota.” (wawancara dengan I3.1 di kantor
Dinas Sosial Provinsi Banten, 18 Desember 2017).
Berdasarkan pernyataan seluruh informan, peneliti dapat memberikan
kesimpulan bahwa yang berhak mengambil keputusan dalam program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini adalah masing-masing pihak yang mempunyai
kewenangan. Seperti Dinas Sosial Kota Serang yang menjadi penanggung jawab
program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini mempunyai kewenangan
untuk memutuskan apa yang akan dilakukan. Satpol PP memiliki kewenangan
dalam menjaring dan merazia para gelandangan dan pengemis, maka dari itu
Satpol PP memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan untuk urusan
merazia para gepeng.
Dalam pengambilan keputusan tentunya memiliki dasar hukum yang
jelas, karena kewenangan setiap pengambil keputusan didasari oleh dasar hukum
tersebut. Namun terkadang dasar hukum tersebut tidak cukup kuat untuk
mendukung kebijakan ataupun program tersebut. Hal ini bisa disebabkan adanya
kekurang rincian atau kejelasan dari isi yang ada di dalam dasar hukum tersebut.
Tentunya hal ini sangat riskan sekali mengingat setiap kebijakan atau program
119
harus memiliki dasar hukum yang kuat agar kebijakan tersebut tidak lemah yang
mengakibatkan kegagalan dalam kebijakan tersebut.
Pada program rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang di lakukan
oleh Dinas Sosial Kota Serang ini tentunya memiliki dasar hukum, yang mana
dasar hukum ini menjadi kekuatan dari program ini. Dasar hukum dari program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini adalah Peraturan Daerah Kota Serang
Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan Dan Penanggulangan
Penyakit Masyarakat yang terdapat pada pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) yang
berbunyi :
(1) Pemerintah Daerah dan masyarakat wajib melakukan pembinaan
terhadap orang atau sekelompok orang yang terbukti melakukan
perbuatan penyakit masyarakat.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
melalui kegiatan rehabilitasi sosial dan pemberdayaan sosial.
(3) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilaksanakan melalui kegiatan,
a. Bimbingan, pendidikan, pelatihan dan keterampilan
teknis;
b. Bimbingan, penyuluhan rohaniah dan jasmaniah;
c. Penyediaan lapangan kerja atau penyaluran tenaga
kerja.
Peraturan Daerah (Perda) di atas merupakan dasar dari terbentuknya
program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini dan menjadi dasar hukum dari
program ini. Namun hal ini dirasa kurang kuat untuk menjadi dasar hukum untuk
program rehabilitasi ini sehingga perlunya untuk merevisi isi dari perda tersebut.
Hal ini seperti yang di sampaikan oleh Bapak Heli Priatna selaku Kepala Seksi
Rehabilitasi Tuna Sosial, yang mengatakan :
“Kalo menurut pandangan saya mah ya tetep perlu direvisi
karena dari kata-katanya juga terlalu kasar. Pemberantasan,
disitu ada kata-kata pemberantasan. Ya kalo pemberantasan harus
120
diberantas lah.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota
Serang, 22 November 2017).
Pernytaan lain juga disampaikan oleh I1.2 yang menyatakan bahwa :
“kalo liat dari itu mah diliat dari dalem isi perdanya itu ya
belom dilaksanakan semua ya, buktinya disosialisasikan ke
masyarakatnya juga belum ya, misalkan katanya orang-orang
yang ngasih ke gepeng katanya kena sanksi nyatanya tidak kena
sanksi. Sehingga perda itu belom kuat.”(wawancara dengan I1.2 di
Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).
I4.1 berpendapat bahwa:
“Saya pikir cukuplah, tinggal bagaimana sosialisasinya
saja yang memang kurang.” (wawancara dengan I4.1 di kantor
Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).
Pendapat lain disampaikan oleh I5.1 yang menyatakan :
“Ya kalo soal revisi itu, dilihat dulu sejauh mana
pelaksanaan implementasinya itu, perda itu direvisi itu banyak
alasannya, apa karena banyak aturan yang diubah, ada kebutuhan
di masyarakat yang berubah gitu kan. Soalnya kalo bikin perda tuh
mahal.” (wawancara dengan I5.1 di Kantor DPRD Kota Serang, 4
Desember 2017).
Dari pernyataan seluruh informan diketahui bahwa Perda Kota Serang
Nomor 2 Tahun 2010 tentang penyakit masyarakat belum cukup kuat guna
mecegah adanya pengemis serta belum cukup kuat pula untuk menjadi dasar
hukum untuk program rehabilitasi gelandangan dan pengemis sehingga perlunya
merevisi isi dari perda tersebut. Namun dalam mengganti perda tersebut tidak
mudah dikarenakan biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan perda cukup mahal.
Tentunya suatu perda memiliki tujuan yang ingin dicapainya. Adapun
tujuan dari Perda Kota Serang Nomor 2 tahun 2010 tentang pencegahan,
121
pemberantasan, dan penanggulangan Penyakit Masyarakat seperti yang di
sampaikan oleh Bapak Furtasan Ali selaku Alat kelengkapan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kota Serang :
“Ya tujuannya yang ada di perda itu, coba deh di baca apa
yang jadi tujuannya.” (wawancara dengan I5.1 di Kantor DPRD
Kota Serang, 4 Desember 2017).
Peraturan Daerah ini bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian hukum, dengan melarang kegiatan yang
termasuk dalam kategori penyakit masyarakat di Daerah.
Kemudian pada pelaksanaan program rehablitasi gelandangan dan
pengemis ini, pihak Dinas Sosial Kota Serang juga memberikan pelayanan terkait
rehabilitasi kepada para gelandangan dan pengemis. Seperti apa yang disampaikan
oleh Bapak Heli Priatna selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial, sebagai
berikut :
“Tentunya pelayanan yang diberikan itu pertama ya
artinya memberikan pembinaan seperti kita kumpulkan para
gepeng terus kita kasih pembinaan keagamaan biar balik ke jalan
yang benar menurut agama. Terus ya kebutuhannya, kalo memang
dia pengen kebutuhan ya kita berikan dengan cara kemudahan, ya
misalkan si gepeng minta pengen pelatihan montir motor ya kita
berikan lah gitu. Pengiriman ketempat pelatihan atau ketempat
rehabilitasi yang dilaksanak sama pihak Dinsos provinsi.”
(wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November
2017).
Dari pernyataan yang disampai oleh I1.1 di atas dapat diketahui bahwa
pihak Dinas Sosial memberikan pelayanan berupa pembinaan keagamaan,
pemberian pelatihan montir motor, dan mengirimkan para gelandangan dan
122
pengemis ini ke tempat rehabilitasi yang di lakukan oleh pihak Dinas Sosial
Provinsi Banten.
Senada dengan penyataan diatas, I1.2 berpendapat:
“kami kirimkan anak jalanan itu ke sekolah memberikan
program paket c, kita juga menawarkan kepada anak-anak jalanan
siapa yang mau ke sekolah atau ke pesantren bahwa ada anak
jalanan yang minta di beliin baju koko, peci, sarung, kami berikan.
Ya pokoknya kami pengennya mereka berubah biar ga di jalan
lagi” (wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11
Januari 2018).
Pendapat juga diutarakan oleh Bapak Asep selaku Kepala Seksi
Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Dinas Sosial Provinsi Banten, yang menyatakan
sebagai berikut :
“Kami memberi pelayanan ya berupa pembinaan,
pelatihan keterampilan kaya lpk gitu kan, tata boga, ada juga kami
beri pelatihan montir atau otomotif gitu.” (wawancara dengan I3.1
di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18 Desember 2017).
Hal yang sama juga disampaikan oleh I4.1 sebagai berikut:
“Pelayanan yang diberikannya itu, yaitu tadi kita kasih
pembinaan, pendidikannya juga kita kasih, pelatihan skill kaya
sablon, montir motor, nah kalo udah dikasih pelatihan gitu,
mereka udah punya keahlian kita kasih alatnya.” (wawancara
dengan I4.1 di kantor Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).
Berdasarkan penjelasan dari seluruh informan diatas, peneliti dapat
menyimpulkan bahwa Dinas Sosial Kota Serang dan Dinas Sosial Provinsi
melakukan koordinasi dalam pelaksanaan program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini. Pelayanan yang diberikan kepada gelandangan dan pengemis
123
berupa pembinaan keagamaan, pendidikan, pelatihan menyablon, tata boga dan
montir motor.
Selama proses perehaban tentunya kebutuhan para gelandangan dan
pengemis mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhinya. Dengan direhabnya
para gelandangan dan pengemis ini tentunya para gelandangan dan pengemis ini
tidak mendapatkan penghasilan seperti biasanya karena mereka berada dalam
proses rehabilitasi. Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab pelaksana program
yaitu Dinas Sosial Kota Serang yang seharusnya memberikan kebutuhan baik itu
konsumsi ataupun materi, karena bagi para gelandangan dan pengemis yang
memiliki keluarga tentunya memiliki tanggungan tersendiri untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya. Hal ini disampaikan oleh Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna
Sosial, sebagai berikut:
“Kalo di tempat rehabilitasi si dikasih kebutuhan secara
maksimal, itu kalo di tempat rehabilitasi, ya kalo cuma pembinaan
aja belom maksimal. Kalo sampe pendidikan keterampilan,
termasuk juga bantuan peralatannya itu udah maksimal. Ya
maksimal sertus persen si belum. Artinya udah maksimal aja, kalo
misalkan dikasih bantuan seratus persen mah dia juga harus di
kasih modal yang sepuluh juta itu.” (wawancara dengan I1.1 di
Dinas Sosial Kota Serang, 22 November 2017).
Berdasarkan penjelasan dari I1.1 dapat diketahui bahwa kebutuhan yang
diberikan oleh Dinas Sosial kepada para gelandangan dan pengemis sudah
diberikan secara maksimal jika dalam proses perehaban namun jika masih dalam
tahapan pembinaan kebutuhan yang diberikan belum maksimal. Walaupun sudah
diberikan bantuan kebutuhan yang maksimal dalam proses rehablitasi namun
124
bantuan yang diberikan 100%, karena bisa dikatakan 100% jika para gelandangan
dan pengemis diberikan bantuan 10 juta per orang untuk dijadikan modal usaha.
Hal yang serupa diungkapkan oleh I1.2 yang menyatakan bahwa :
“kalo kebutuhan si kita kasih ya, kaya kemaren ya anak
yang pengen masuk pesantren, kita kerjasama sama Kemenag kita
masukin pesantren. Eh baru dua hari si anak itu di jalan lagi
alesannya si pengen sarung, pengen Al-quran peci ibu turutin
pengennya kaya gimana coba, ibu kumplitin deh kita dateng ke
orang tuanya kita turutin si anak itu maunya apa. Ya karena kita
pengennya itu si anak ini bisa gitu ga ke jalan lagi” (wawancara
dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).
Hal senada pun diutarakan oleh I3.1 yang menyatakan bahwa:
“Terpenuhi, kita kasih makan. kalo kita kan pembinaannya
di luar panti, nah kalo di dalem panti terpenuhi kebutuhannya
karenakan disana sekitar sebulan yah, seperti sarapan pagi di situ
terus juga dalam pemberian materi juga di kasih disana.”
(wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18
Desember 2017).
Pendapat di atas juga diperkuat dengan pernyataan yang disampaikan oleh
I4.1 sebagai berikut :
“Nah kan kita melakukan pembinaan selama tiga hari.
Kebutuhan mereka juga alhamdulillah terpenuhi, mereka juga
dilatih dan dibina di anyer di hotel artinya mereka juga
membutuhkan refresing lah ya.” (wawancara dengan I4.1 di kantor
Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).
Berdasarkan keterangan seluruh informan peneliti dapat menyimpulkan
bahwa kebutuhan para gelandangan dan pengemis sudah dipenuhi walaupun tidak
dipenuhi 100% karena memang anggaran yang adapun belum memadai. Para
gelandangan dan pengemis pun diberi bantuan hanya pada proses perehaban saja,
dalam proses perehaban mereka diberikan makan setiap harinya, diberikan
125
pelatihan, dan diberikan peralatanya juga jika di dalam program rehabilitasi
tersebut. Pengemis yang masih anak-anak pun diberikan kebutuhan sesuai yang
apa yang mereka inginkan seperti ingin masuk pesantren, pihak Dinas Sosial Kota
Serang pun memasukannya ke pesantren. Dinas Sosial Kota Serang sudah
memenuhi kebutuhan para gelandangan dan pengemis walaupun belum memenuhi
kebutuhan secara maksimal dan belum total 100%.
4.3.2.2 Sumber Daya (Resources)
Suatu kebijakan publik dapat terimplementasi dengan baik apabila
didukung oleh sumber daya yang sehat dan memadai baik itu sumber daya
manusia, sumber pendanaan, maupun sarana dan prasarana. Apabila tidak
didukukng oleh sumber daya yang cukup, hal ini tentunya akan berpotensi pada
kegagalan dalam pengimplementasiannya karena pastinya banyak masalah yang
akan datang baik dari internal maupun eksternal. Oleh karenanya suatu kebijakan
haruslah ditunjang oleh sumber daya yang memadai.
Dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang dilakukan
oleh Dinas Sosial Kota Serang juga tentunya perlu didukung oleh sumber daya
yang memadai guna mensukseskan pengimplementasian program tersebut.
Namun pada kenyataannya dalam program ini belum ditunjang oleh sumber daya
yang kuat baik itu sumber daya manusia maupun dana. Hal ini seperti
disampaikan oleh Bapak Heli selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna
Sosial, yang menyatakan bahwa:
“Seperti yang udah jelasin tadi perbidang aja belom punya
staf, kasie ini aja kan ga punya staff. Ya minimal punya satu lah
staff.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22
November 2017).
126
Senada juga seperti apa yang disampaikan oleh I1.2 sebagai berikut :
“Memangnya juga Dari SDMnya juga kita kekurangan ya,
sehingga tidak mencukupi tenaga untuk kita bersosialisasi di
jalan.”(wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11
Januari 2018).
Pendapat yang lain juga disampaikan oleh Kepala Bidang Penegak hukum
Daerah Bapak Hj. Juanda menyatakan bahwa :
“yang saya jelasin tadi SDM di kita kekurang dari segi
jumlahnya secara kuantitas kita kekurangan.” (wawancara dengan
I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27 November 2017).
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh seluruh informan peneliti dapat
menyimpulkan bahwa sumber daya manusia dalam penyelenggaraan program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini kurang memadai. Sumber daya
manusia yang dimiliki Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Dinas Sosial Kota
Serang kurang mencukupi karena di seksi tersebut belum memiliki staff satu pun,
sama halnya juga dengan Seksi Rehablitasi Sosial Anak Dinas Sosial Kota Serang
yang belum memiliki staf. Sehingga kekurang sumber daya manusia juga
membuat seksi-seksi tersebut sulit untuk mensosialisasikan kepada pada
gelandangan dan pengemis. Untuk Satpol PP juga merasa kekurangan dari segi
jumlah sumber daya manusia namun untuk kualitas dari sumber daya manusia
dari Satpol PP dirasa sudah cukup memadai dan bisa dibilang sudah baik.
Kemudian untuk anggaran dalam program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini yaitu :
“Dana juga menurut saya mah kurang memadai, tempat
rehabilitasi juga kan gada kita mah. Jadi terkadang kita kirim ke
127
Dinsos provinsi buat direhab.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas
Sosial Kota Serang, 22 November 2017).
Senada dengan pernyataan diatas I1.2 juga berpendapat:
“Dan untuk dana sendiri, kita di situlah kelemahannya
memang minim sekali dari pendanaannya ya kurang mendukung
kalo dari dana. Ya tetapi walau minimnya pendanaan di situ kita
ya minimal kita bisa ngebantu mereka walau sedikit jumlahnya.”
(wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari
2018).
Pendapat seupa juga disampaikan oleh I2.1 sebagai berikut:
“Nah untuk dana juga kita juga kekurangan tadi juga saya
udah jelasin kalo misalkan kita buat kontrol-kontrol gitukan butuh
uang transport, buat orang yang kontrol juga kan butuh buat untuk
ngopi-ngopi mah.” (wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP
Kota Serang, 27 November 2017).
Pendapat diatas diperkuat oleh I3.1 yang berpendapat :
“Kalo dibilang memadai, ya kayanya belum memadai si
karena kita ingin targetnya banyak kuotanya yang ingin dilatih ya.
Itu juga untuk tahun depan si kayanya gada program ini karena
kan APBD sekarang terpangkas untuk prioritasnya ke sektor fisik
kaya infrasutruktur dan jalan atau apa gitu.”(wawancara dengan
I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18 Desember 2017).
Berdasarkan penjelasan dari seluruh informan di atas dapat disimpulkan
bahwa anggaran untuk menunjang program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini belum memadai. Bahkan rehabilitasi gelandangan dan pengemis
Dinas Sosial Provinsi Banten untuk tahun depan kemungkinan tidak ada karena
anggaran yang berasal dari APBD terpangkas oleh pembangunan untuk sektor
fisik seperti infrstruktur dan jalan.
128
Selain Sarana dan prasarana yang seharusnya menjadi penunjang untuk
suksesnya program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini belum memadai.
Hal tersebut separti apa yang disampaikan oleh I1.1 sebagai berikut:
“ya tadi itu kita belum memiliki tempat rehabilitasi untuk
para gelandangan dan pengemis. ya kita aja kantor dinas nya
statusnya masih ngontrak, ya istilahnya daripada buat tempat
rehabilitasi mending buat kantor dulu. Rumah singgah juga kan
kita belom punya.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota
Serang, 22 November 2017).
Berdasarkan apa yang sudah disampaikan oleh I1.1 dapat diketahui bahwa
sarana dan prasarana untuk menunjang program inipun belum memadai karena
tempat rehabilitasi dan rumah singgahpun Dinas Sosial Kota Serang belum ada.
Hal senadapun disampaikan oleh I1.2 yang menyatakan :
“ya kita sendiri dinas sosial belum memiliki tempat pusat
rehabilitasi untuk para gepeng atau anjal ini di berikan semacam
pembinaan atau pelatihan apa gitu. Ya kita sendiri bingung ya,
kalo buat nampungnya itu.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas
Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).
ungkapan serupa juga diutarakan oleh I2.1 yang menyatakan bahwa :
“Nah terkadang kita bingung nih pas kita baru beres
ngejaring, si para gepeng ini mau di kemanain nih. Dinsos juga
belom punya tempat penampungan gitu. Semacem tempat buat
ngerehabnya juga belom ada.” (wawancara dengan I2.1 di kantor
Satpol PP Kota Serang, 27 November 2017).
Berdasarkan keterangan dari informan di atas dapat disimpulkan bahwa
sarana dan prasarana sebagai penunjang program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang belum memadai. Dinas
Sosial Kota Serang sendiri belum mempunyai sebuah tempat untuk pusat
129
rehabilitasi para gelandangan dan pengemis. Rumah singgah juga yang
seharusnya digunakan untuk singgah ataupun untuk tempat penampungan para
gelandangan dan pengemis yang terjaring pun belum ada. Sehingga pihak Satpol
PP yang bertugas menjaring para gelandangan dan pengemis sering kebingungan
untuk menampungnya.
4.3.2.3 Keputusan Lingkungan (Decision Environment)
Suatu putusan dari kebijakan publik tidak terlepas dari adanya pengaruh
dari lingkungan kebijakan itu sendiri. Karena suatu kebijakan publik merupakan
satu kesatuan dari berbagai komponen yang saling berkaitan dan juga saling
mempengaruhi. Pengaruh lingkungan kebijakan akan berdampak juga pada
keberhasilan kebijakan itu sendiri karena lingkungan kebijakan merupakan faktor
pendukung sekaligus faktor penghamabat dari suatu kebijakan. Keputusan
lingkungan akan mempengaruhi suatu kebijakan publik karena para pelaku
kebijakan yang baik akan melihat apa yang menjadi tuntutan dari lingkungan
tersebut, dan juga melihat pada sisi luar kebijakan untuk mempertahankan
eksistensi dan juga untuk keberhasilan dari kebijakan itu sendiri. Hal ini patut
dilakukan kerena terkadang para pembuat keputusan sering kali tidak tepat dalam
membuat suatu keputusan.
Dalam penelitian ini keputusan lingkungan juga dapat memberikan
pengaruh pada program rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang dilakukan
oleh Dinas Sosial Kota Serang. Situasi yang berada di luar kontrol dari lingkup
Dinas Sosial Kota Serang dapat mempengaruhi putusan atau tindakan yang di
lakukan para pembuat keputusan. Dalam situasi seperti ini pengawasan sangatlah
130
penting dalam proses pelaksanaan kebijakan untuk mengetahui apakah kebijakan
tersebut berjalan dengan baik atau tidak, serta mengatasi masalah-masalah yang
terjadi, dan juga untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Tidak terkecuali
dengan penyelenggaraan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang
dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang ini, dan pendapat diungkapkan oleh
Bapak Heli selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial sebagai berikut:
“Kalo pengawasan dari kita si cuma turun ke jalanan terus
ngontrol gepeng itu masih banyak ga atau yang kemaren kita
rehab itu turun lagi ga ke jalan, kalo misalkan jalan-jalan sepi
dari gepeng kan berarti berhasil program kita ini.” (wawancara
dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November 2017).
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh I1.1 dapat diketahui bahwa
pengawasan yang dilakukan Dinas Sosial Kota Serang khususnya pada Seksi
Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial yaitu dengan turun ke jalanan untuk mengawasi
apakah para gelandangan dan pengemis masih banyak berada di jalan dan apakah
para gelandangan dan pengemis yang sudah direhab balik ke jalanan atau tidak.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui dan mengukur keberhasilan dari program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini.
Kemudian pendapat lain juga di sampaikan oleh I1.2 yang berpendapat:
“ya memang pengawasannya kita melalui petugas pos
sahabat anak, apakah dia berfungsi atau mereka berjalan sesuai
dengan tupoksinya dan bisa di manfaatkan gitu. Juga
pengawasannya ke mereka yang dapet bantuan dari kita, kaya gitu
pengawasannya.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota
Serang, 11 Januari 2018).
Dari pendapat yang diutarakan oleh I1.2 di atas dapat di ketahui bahwa
pengawasan yang dilakukan dengan mengawasi fungsi dari petugas pos sahabat
131
anak dan juga mengawasi para gelandangan dan pengemis yang menerima
bantuan, apakah sudah digunakan dengan semestinya atau tidak.
Namun pada pengawasan ini pihak Satpol PP tidak ikut terlibat selaku
penjaring atau perazia para gelandangan dan pengemis, pengawasan hanya
dilakukan oleh pihak Dinas Sosial Kota Serang saja. Pihak Satpol PP hanya
mengawasi jika pihak Dinas Sosial membutuhkannya saja. Pihak Satpol PP
mengaku jika pengawasan di luar dari kewenangan dari Satpol PP. Hal ini seperti
apa yang di sampaikan oleh Bapak Hj. Juanda selaku Kepala Bidang Penegak
Hukum Daerah :
“Kita mah ga ikut mengawasi kan itu di luar kewenangan
dari kita, yang mengawasi program ini ya dinsos aja selaku
penanggung jawab program, kalo itu mah dari kewenangan kita,
kita ikut mengawasi kalo misalkan dinsos membutuhkan kita aja.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).
Namun berbeda halnya dengan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan
Serang yang dilibatkan dalam pengawasan dalam program rehabilitasi ini. Seperti
yang disampaikan oleh I4.1 :
“Untuk pengawasan kami dilibatkan, karena ketika gepeng
atau anak-anak jalanan kita sudah ada ketentuan tetep kita
kontrol, pengawasan kan gitu.” (wawancara dengan I4.1 di kantor
Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).
Berdasarkan penjelasan dari seluruh informan dapat diketahui bahwa
pengawasan untuk program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini hanya
dilakukan oleh pihak Dinas Sosial Kota Serang Saja, pihak Satpol PP sebagai
pihak yang merazia para gelandangan dan pengemis tidak diikut sertakan karena
132
memang bukan menjadi kewenangan dan pihak Satpol PP. Pihak Satpol PP hanya
di libatkan jika Dinas Sosial membutuhkannya saja. Dalam pengawasan ini tenaga
kesejahteraan sosial kecamatan serang lah yang dilibatkan dalam pengawasan.
Kemudian pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang
yaitu dengan turun ke jalan untuk mengawasi para gelandangan dan pengemis
apakah masih banyak keberadaan mereka di jalan-jalan dan apakah para
gelandangan dan pengemis yang sudah direhab kembali ke jalanan atau tidak.
Serta pengawasan yang dilakukan juga dengan mengawasi para gelandangan dan
pengemis yang sudah mendapat bantuan dari Dinas Sosial yang melalui program
rehabilitasi ini digunakan dengan semestinya atau tidak. Hal ini dilakukan untuk
mengukur apakah program yang di selenggarakan oleh Dinas Sosial Kota Serang
sudah berhasil atau belum.
Program rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh
Dinas Sosial Kota Serang bisa di katakan masih lemah baik dari segi anggaran,
maupun sarana dan prasarana. Masalah-masalah ini di dapat dari hasil
pengawasan dan juga evaluasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial di setiap
tahunnya. Selain itu dari evaluasi yang di hasilkan pun Dinas Sosial Kota Serang
menginginkan adanya UPT (Unit Pelaksana Tugas) yang khusus menangani
gelandangan dan pengemis, sehingga Dinas Sosial nantinya membawahi UPT
tersebut. Memang, baik anggaran maupun sarana dan prasarana sudah menjadi
kendala utama dari tahun ke tahunnya. Disetiap evaluasi yang dilakukan oleh
pihak Dinas Sosial Kota Serang masalah ini selalu menjadi perhatian khusus. Hal
133
ini seperti apa yang di sampaikan oleh bapak Heli selaku kepala seksi rehabilitasi
sosial tuna sosial yang menyatakan bahwa :
“Ya yang harus dibenahi itu terutama tadi itu tempat
rehabilitasi atau UPT, harus ada secara khusus yang menangani
gepeng ini. Jadi Dinas Sosial itu membawahi yaitu UPT
evaluasinya itu. Selain itu juga yang tadi itu penambahan SDM,
kalo untuk anggaran mah itu udah jelas harus ada.” (wawancara
dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November 2017).
Pernyataan di atas diperkuat oleh pendapat yang sampaikan I1.2
sebagaimana berikut:
“Kalo kita mengevaluasi ya itu tadi, ibu suka mengevaluasi
kalo ada pertemuan-pertemuan baik di intern yang mana
melibatkan awal dari kita lihat dari sarana dan prasarana yang
selama ini belom ada buat pembinaannya, anggarannya juga kan
sedikit kurang mendukung. Selain itu juga kita membahas tentang
petugas pos sahabat anak, terus jumlah daripada kita pelaksanaan
penjaringan atau penjangkauan bukan termasuk razia kareba kalo
razia itu Satpol PP, terus selain itu juga dari lingkungan para
gepeng itu. Nih ada kepedulian ga nih lingkungan mereka
terhadap si gepeng ini di jalan. Dalam hal ini para gepeng masih
banyak tidak yang ada di jalanan.” (wawancara dengan I1.2 di
Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).
Dari pernyataan yang disampaikan oleh kedua informan di atas peneliti
dapat memberikan kesimpulan bahwa hal yang di evaluasi dalam program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini adalah dari segi sarana dan prasarana,
anggaran, dan juga sumber daya manusia yang belum memadai. Dinas Sosial
Kota Serang juga mengevaluasi kinerja dari petugas sahabat anak yang menangani
pengemis yang masih anak-anak atau yang sering di kenal dengan anak jalanan.
Selain itu Dinas Sosial mengevaluasi bagaimana penjangkauan terhadap para
gelandangan dan pengemis, dan juga Dinas Sosial mengevaluasi kepedulian
134
lingkungan para gelandangan dan pengemis yang ada di jalanan. Dinas Sosial
Kota Serang juga menginginkan adanya unit pelaksana tugas (UPT) yang khusus
menangani masalah gelandangan dan pengemis ini.
4.3.3 Sources Of Knowledge (Sumber Pengetahuan)
Suatu kebijakan didasari dengan temuan-temuan yang ada dilapangan
berdasarkan analisa dan penelitian para ahli atau pakar dalam bidangnya. Suatu
pengetahuan sangatlah penting untuk suatu kebijakan khususnya pada perumusan
kebijakannya yang merupakan tahap awal dalam membuat suatu kebijakan.
Manfaat dari pengadopsian suatu pengetahuan untuk sebuah kebijakan adalah
untuk menjadikan kebijakan tersebut mampu mengobati masalah-masalah yang
terjadi di masyarakat dan menjadikan kebijakan tersebut menjadi berkualitas.
Sumber pengetahuan dalam penelitian ini terdiri atas tenaga ahli (professional),
keahliat (expertise), dan jaminan (guarantee).
4.3.3.1 Tenaga Ahli (Professional)
Tenaga ahli dalam hal ini merupakan seseorang yang dipercaya
memiliki kehalian atau kemampuan dalam menilai dan memberikan putusan
terkait program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini. Tenaga ahli sangatlah
dibutuhkan dalam perumusan dan juga pada pelaksanaannya, karena tenaga ahli
lah yang mengetahui bagaimana masalah-masalah yang terjadi yang nantinya
memberikan putusan terhadap perumusan program rehabilitasi ini. Dalam tenaga
ahli ini mencakup siapa saja yang terlibat dan menjadi aktor dalam perumusan dan
juga pelaksanaan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini. berguna
135
untuk mengetahui bagaimana cara penanganan para gelandangan dan pengemis
yang sesuai dengan apa yang di rumuskan diawal.
Dalam penelitian ini peran Dinas Sosial khususnya pada seksi
rehabilitasi sosial tuna sosial dalam perumusan program rehabilitasi gelandangan
dan pengemis, yang seperti disampaikan oleh I1.1 sebagai berikut:
“Ya kita berperan sebagai leading sectornya sebagai
penanggung jawabnya kita juga merumuskan dan juga jadi
pelaksananya. Di sini kan yang punya wewenangnya dinsos.”
(wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November
2017).
Dalam pernyataan diatas dapat diketahui bahwa Dinas Sosial Kota
Serang berperan sebagai leading sector dan juga sebagai penanggung jawab
program yang bertugas dalam perumusan dan juga sebagai pelaksana program.
Pernyataan berikutnya juga disampaikan oleh I1.2 yang menyatakan :
“Ya kita merumuskan pertama dari kepala seksinya dulu
karena kan sesuai dengan tupoksinya, terus dengan kepala bidang,
selanjutnya ke kadin atau kepada dinas untuk disetujui atau tidak.”
(wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari
2018).
Dari pernytaan kedua informan di atas dapat disimpulkan bahwa Dinas
Sosial berperan sebagai leading sector dan juga penanggung jawab program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis. Yang mana dalam merumuskannya yaitu
pertama dari kepala seksi rehabilitasi sosial tuna sosial, yang nantinya di
136
koordinasikan dengan kepala bidang dan selanjutnya diberikan kepada kepala
dinas untuk dimintai persetujuannya.
Dalam perumusan program ini pun tidak melibatkan pihak-pihak lain yang
peneliti rasa bisa memberikan masukan yang berguna dalam perumusan. Hal ini
seperti apa yang di sampaikan oleh Bapak Hj. Juanda selaku Kepala Bidang
Penegak Hukum Daerah Satpol PP (I2.1):
“Tidak, kami tidak ikut dalam perumusannya ya karena
kan itu diluar kewenangan kita, kalo memang membutuhkan
masukan dari kita baru kita berikan masukan-masukannya.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).
Selanjutnya pernyataan juga disampaikan oleh Bapak Hasanudin TKSK
Serang (I4.1):
“Kalo untuk perumusan tidak, artinya kan itu internal
dinas ya. Macem hal tahun ini apa nih, berapa anggaranya,
artinya itukan internal dinas ya.” (wawancara dengan I4.1 di kantor
Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).
Dari pernyataan kedua informan di atas dapat diketahui bahwa Satpol PP
dan TKSK tidak terlibat dalam perumusan program rehabilitasi ini karena mereka
beranggapan hal itu diluar wewenangnya masing-masing dan itu ada urusan
internal Dinas Sosial Kota Serang.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses perumusan dalam
program ini, yaitu faktor pendukung dan penghambat dalam merumuskan
program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini. Berikut pernyataan yang
disampaikan oleh I1.1 :
137
“Nah yang sudah dijelasin tadi kalo faktor yang
menghambatnya itu dari anggaranya itu sendiri belom memadai,
tempat pusat rehabilitasi juga kita belom ada, SDM juga kita
kekurangan. Kalo untuk faktor pendukungnya kita bisa kerjasama
dengan pihak-pihak terkait kaya dinsos provinsi kita juga bisa
kerjasama dengan balai yang ada dibekasi itu buat ngerehabnya”
(wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November
2017).
Berikutnya Pendapat yang lain juga disampaikan oleh I1.2 :
“Faktor penghambatnya yang kita rasain itu ya dari
anggaran itu sendiri ibu rasa kita lemah dari situ. Untuk faktor
pendukungnya ya hanya dari dinas-dinas atau instansi terkait saja
kita bisa bekerjasama.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial
Kota Serang, 11 Januari 2018).
Berdasarkan pernyataan dari kedua informan di atas dapat diketahui bahwa
yang menjadi faktor pendukungnya adalah dengan adanya kerjasama dengan
pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan program ini seperti Dinas Sosial
Provinsi Banten, Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Bekasi dan juga dinas-dinas
atau instansi terkait. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat utamanya
adalah anggaran dari Dinas Sosial Kota Serang itu sendiri yang kurang memadai,
belum adanya tempat pusat rehabilitasi, dan juga belum memadainya Sumber
Daya Manusia yang dimiliki Dinas Sosial Kota Serang.
4.3.3.2 Keahlian (Expertise)
Keahlian merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
menghasilkan kebijakan yang berkualitas guna mengentaskan masalah-masalah
yang terjadi. Maka dari itu sangatlah diperlukan keahlian dalam menangani
permasalahan dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis.
138
Dalam penelitian ini keahlian dari para ahli seperti yang disampaikan
oleh I1.1 bahwa perumusan dari program rehabilitasi gelandangan dan pengemis
ini telah menghasilkan :
“Ya kalo misalkan kita sudah disetujui sama kepala dinas
maka kita laksanakan programnya. Hasilnya ya itu tadi kita bina,
kita kasih pelatihan, kita kasih juga kebutuhannya walaupun tidak
maksimal.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang,
22 November 2017).
Berikutnya pendapat juga disampaikan oleh I1.2 sebagai berikut:
“ya kalau dari rumusan program ini si yang pastinya ya
yang dihasilkannya itu langkah-langkah kita apa aja yang akan
kita lakuin pas pelaksanaannya, bagaimana anggarannya,
bagaimana kita memberi pembinaannya, bagaimana kita
koordinasinya dengan pihak-pihak terkait, kaya gitu kan.”
(wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari
2018).
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh kedua informan di atas
dapat diketahui bahwa yang di hasilkan dari rumusan program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini yaitu menghasilkan langkah-langkah yang akan
dilakukan dalam pelaksanaan program, mengatur anggaran yang ada,
merencanakan bagaimana memberikan pembinaan serta melakukan koordinasi
dengan pihak-pihak terkait.
4.3.3.3 Jaminan (Guarantee)
Dalam penelitian ini jaminan yang dimaksud adalah kepastian yang
diberikan dari perumusan pada keberhasilan kebijakan dan juga bagaiamana
keterlibatan berbagai pihak dalam perumusan kebijakan sudah dapat
menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi atau belum karena pada dasarnya
keberhasilan suatu kebijakan salah satunya ditentukan oleh bagaimana
139
perumusannya. Maka dari itu perumusan kebijakan tersebut haruslah bisa menjadi
patokan awal yang baik dari pengimpelementasian kebijakan tersebut.
Dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini jaminan
yang diberikan dari perumusan program ini yaitu dengan dapat merubah mental
dan juga cara berpikir (mindset) para gelandangan dan pengemis agar berhenti
dari apa yang mereka lakukan selama ini karena hal itu telah melanggar peraturan
yang ada baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini seperti apa yang disampaikan
oleh Bapak Heli Priatna selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial
Dinas Sosial Kota Serang:
“ya seperti yang udah di jelasin tadi kan kita kan membuat
program ini tujuannya pengenya mengentaskan kemiskinan
umumnya mah. Ya selain itu juga kita pengen menurunkan angka
atau jumlah gelandangan dan pengemis juga kita ingin merubah
mindsetnya lah biar ngga mengemis lagi kan secara logikanya
mah itu ga baik ya dilihat dari sisi agama dan juga hukum yang
ada pun melarang mengemis itu. Nah untuk melakukan pembinaan
dan keterampilan kita ga bisa berdiri sendiri dong, kita juga
membutuhkan dari OPD lainnya juga misal Dinas Pendidikan,
Dinas Tenaga Kerja, Dinas Kependudukan.” (wawancara dengan
I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November 2017).
Berdasarkan apa yang telah disampaikan oleh I1.1 dapat diketahui bahwa
jaminan yang diberikan dalam rumusan program rehabilitasi ini adalah dengan
dapat menurunkan jumlah para gelandangan dan pengemis dan juga bisa merubah
mental dan mindset para gelandangan dan pengemis agar menghentikan aktivitas
menggelandang dan mengemisnya. Pihak Dinas Sosial juga tidak bisa berdiri
sendiri dalam pelaksanaan programnya dan Dinas Sosial berkoordinasi dengan
140
OPD lainya seperti Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja, dan Dinas
Kependudukan.
Senada dengan pernyataan di atas I1.2 juga menyatakan:
“Dari rumusan ini saya berharap dalam pelaksanaannya
kita dapat mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis di Kota
Serang ini. Serta para gelandangan dan pengemis bisa mandiri
cari nafkahnya ya bisa dari berjualan. Bisa juga dari dia kerja di
bengkel atau apa gitu.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial
Kota Serang, 11 Januari 2018).
Berdasarkan pernyataan dari kedua informan di atas dapat diketahui bahwa
jaminan dari perumusan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini
adalah dapat mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Serang, dan
juga dapat merubah mental dan mindset para gelandangan dan pengemis untuk
lebih mandiri dengan membuka usaha atau juga dengan bekerja. Selain itu juga
dalam pelaksanaannya Dinas Sosial Kota Serang membutuhkan bantuan dari OPD
lain untuk membantu mensuksesnya program rehabilitasi ini.
4.3.4 Sources Of Legitimation (Sumber Pengesahan)
Sumber pengesahan (Sources Of Legitimation) dalam penelitian ini
adalah legitimasi dari pihak-pihak atau badan-badan yang berwenang dalam
menangani terkait rehabilitasi gelandangan dan pengemis. Sumber pengesahan di
sini meliputi Witness, emancipation, world view. Dalam sumber pengesahan ini
termuat berbagai persepektif dari sudut pandang yang beragam dan mempunyai
nilai tersendiri dalam pandangannya tersebut. Yang mana terkadang suara-suara
tersebut selalu tersisihkan dan terabaikan untuk ikut serta dalam penyelenggaraan
suatu kebijakan. Padahal dari persepektif dari beragam sudut pandang inilah yang
141
nantinya memberikan suatu aspirasi yang berguna dalam perumusan dan
penyelenggaraan suatu kebijakan.
4.3.4.1 Witness
Pembebasan (Witness) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
orang yang terkena efek atau dampak dari adanya program rehabilitasi ini. Karena
orang yang terkena dampak ini dapat memberikan aspirasi dalam program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini. Berikut adalah aspirasi yang
disampaikan oleh seorang pengemis yang peneliti temukan di lapangan (I9 .1):
“Ya saya si pengenya mah pemerintah tuh lebih merhatiin
kitanya ya, ngasih lah modal usaha, kita juga bakal bikin usaha.
Ga perlu si menurut saya mah rehab-rehab gitu.” (wawancara
dengan I9.1 di Mesjid Agung Kota Serang , 30 Januari 2018).
Pendapat juga disampaikan oleh pengemis kota serang I9.2 lainnya,
sebagai berikut:
“Ya kita mah gimana ya, mau berenti ngemis juga nantinya
ngga ada buat makan. Maunya pemerintah tuh ngasih kita bantuan
ya ngasih modal buat kita bikin usaha, harusnya pemerintah peduli
sama kita.” (wawancara dengan I9.2 di Indomaret dekat Untirta , 30
Januari 2018).
Berdasarkan pendapat dari seluruh informan diatas dapat diketahui bahwa
para gelandangan dan pengemis menginginkan perhatian dari pemerintah untuk
memberikan bantuan kepada para gelandangan dan pengemis agar bisa membuka
usaha.
Para gelandangan dan pengemis pastinya mempunyai alasan mengapa
mereka menggelandang dan mengemis. Tentunya ada faktor-faktor kenapa
mereka melakukan hal demikian baik faktor ekonomi, faktor mentalitas dari
142
individu, maupun faktor lingkungan yang mempengaruhi cara berpikirnya.
Berikut adalah faktor yang mempengaruhi mereka menjadi gelandangan dan
pengemis:
“gada beras di rumahnya, kita kaya gini juga buat makan,
buat sehari-hari. Gimana lagi kalo bukan dengan kaya gini mah,
sekarang apa-apanya geh susah.” (wawancara dengan I9.1 di
Mesjid Agung Kota Serang , 30 Januari 2018).
Pendapat lain juga disampaikan oleh I9.2, sebagai berikut:
“cari kerjaan susah, cari duit juga susah kemana lagi kita
nyari buat makan, saya ngeliat temen saya juga sama mengemis,
enak di jalan bisa dapet duit.” (wawancara dengan I9.2 di
indomaret dekat untirta , 30 Januari 2018).
Berdasarkan penjelasan seluruh informan dapat diketahui bahwa yang
menjadi faktor mereka menjadi gelandangan dan pengemis adalah faktor
ekonomi. Mereka beranggapan bahwa dengan cara mengemis ini mereka dapat
dengan mudah mendapatkan uang daripada harus bekerja.
4.3.4.2 Emancipation
Emansipasi (Emancipation) pada umumnya digambarkan sebagai
diberikannya persamaan hak-hak tanpa membedakan gender atau golongan
tertentu. Sedangkan dalam penelitian ini emansipasi dalam proses
penyelenggaraan program rehabilitasi ini tidak membeda-bedakan pemberian hak-
hak kepada para gelandangan dan pengemis. Namun dengan kondisi anggaran
yang tidak memadai dan juga ketidak mauan para gelandangan dan pengemis
untuk direhab biasanya hanya beberapa saja yang direhab oleh Dinas Sosial Kota
Serang ataupun dikirim Panti Sosial. Hal ini seperti disampaikan oleh bapak Heli
selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial (I1.1):
143
“Kita ga membeda-bedakan setiap gepeng yang mau kita
rehab, namun kita menyeleksi para gepeng itu dia mau ngga nih
kita rehab gitu. Dengan keterbatasan dana yang kita miliki juga ga
semuanya terkadang kita rehab, dari dinas provinsi juga kan
mintanya 10 orang saja disitu kita pilih siapa saja yang kita
kirim.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22
November 2017).
Berdasarkan penjelasan dari I1.1 peneliti memberi kesimpulan bahwa tidak ada
perbedaan dalam pemberian hak-hak kepada para gelandangan dan pengemis
dalam proses perehaban.
Dalam proses rehabilitasi ini tentunya harus ada peran serta masyarakat
untuk mengadukan atau melaporkan bila mana ada prilaku penyakit masyarakat
dalam hal ini gelandangan dan pengemis, dan ada juga pihak yang dianggap
memiliki kewenangan untuk melayani dan menangani pengaduan di dalam
program rehabilitasi ini. Dalam hal ini pihak yang berwenang untuk menangani
pengaduan terkait masalah gelandangan dan pengemis dalam program rehabilitasi
ini adalah Satpol PP sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Perda Kota Serang
nomor 2 tahun 2010 tentang penyakit masyarakat pasal 15 ayat (2) poin c yang
berbunyi:
“Melaporkan kepada Pejabat atau pihak yang berwenang apabila
mengetahui atau menemukan tindakan, perbuatan dan perilaku penyakit
masyarakat.”
Berdasarkan hal di atas bahwa masyarakat harus melaporkan kepada
pertugas yang berwenang jika ada atau menemukan perbuatan dan prilaku
penyakit masyarakat yang di dalamnya termasuk juga para gelandangan dan
144
pengemis untuk hal ini adalah Satpol PP. Hal ini juga seperti apa yang
disampaikan oleh I2.1:
“Sebetulnya perda mengatakan setiap warga masyarakat
yang ada di wilayah Kota Serang wajib melapor apabila
ditemukan hal-hal apa itu namanya, ya itulah gelandangan dan
pengemis yang mengganggu ya termasuk juga yang menjurus ke
kriminalitas, namun sampai detik ini belom ada pelaporan kepada
kami. Ya minimum ke saya ada laporan. Laporannya jangan cuma
ngomong tapi tertulis bahwa di anu terjadi anu kan gitu.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa yang mempunyai
wewenang untuk melayani dan menangani pengaduan terkait masalah
gelandangan dan pengemis ini adalah Satpol PP. Diperlukannya peran serta
masyarakat jika menemukan tindakan prilaku yang menjurus kepada penyakit
masyarakat untuk melaporkan kepada Satpol PP dalam bentuk tertulis yang mana
waktu dan tempatnya haruslah jelas.
4.3.4.3 World View
World View (pandangan dunia), yaitu pandangan secara universal
terhadap persoalan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini dari
berbagai persepektif yang beragam seperti dari unsur keagamaan yang mana
mempunyai nilai-nilai nya masing-masing dalam melihat sesuatunya, dan juga
persepektif media yang mana berperan sebagai pemberi informasi melalui
pemberitaan yang dimuatnya. Dimana dalam persepsi tersebut dapat memberikan
sudut pandang tersendiri yang dapat memberikan warna dalam menilai
penyelenggaraan kebijakan yang justru tidak dapat ditemukan dalam lensa
pemerintahan karena suara-suara dari persepektif tersebut selalu tersisihkan.
145
Berikut adalah persepsi dari Bapak Asaji selaku Humas Vihara
Avalokitesvara Banten:
“Gelandangan dan pengemis jika dikait kan dengan
kondisi dari agama budha, itu jelas itu kenapa dia jadi
gelandangan, jadi pengemis, menurut pandangan agama Budha
seseorangan menjadi demikian karena masa lampaunya dan masa
sekarang dia kurang terdana jadi otomatis dia terlahir menjadi
gelandangan dan pengemis. Kedua, kenapa di jadi gelandangan,
jadi pengemis, itu pada kehidupan lampaunya di seorang manusia
menelantarkan orang tuanya.” (wawancara dengan I6.2 di Vihara
Avalokitesvara Banten, 15 Januari 2018).
Pendapat juga disampaikan oleh Bapak Stefanus selaku Sekretaris Gereja
Kristus Raja Serang :
“Untuk gelandangan dan pengemis menurut saya suatu
kondisi dimana dia itu malas buat bekerja atau usaha sehingga
tanpa dia mengeluarkan tenaga atau mohon maaf dengan dia
menadahkan tangannya dia mendapatkan uang. Sebagai contoh
ada salah satu orang dia ketangkep ternayata dia punya
pembakaran kapur, dan sampai sekarang begitu dia tertangkap
terus di masukan ke panti dia balik lagi kejalan.” (wawancara
dengan I6.3 di Sekretariat Gereja Paroki Serang, 29 Januari 2018).
Pendapat lain juga disampaikan oleh Ustad Gofur selaku tokoh agama
dari Kampung Pencancangan yang berpendapat bahwa :
“Di agama islam sendiri mengemis itu diharamkan
hukumnya, meminta-minta sehingga menjadikan mengemis itu
dijadikan pekerjaan dalam mencari rezeki. Sangatlah dilarang
orang meminta-minta. Namun islam selalu menganjurkan untuk
sedekah kepada orang yang fakir dan miskin, nah disini
masalahnya gelandangan atau pengemis bener ngga dia itu orang
yang miskin, kan kita ngga gatau ya. Banyak juga kan ya pengemis
taunya punya pabrik batako, punya toko segala macem. Nah kita
niatinnya aja buat sedekah dan jadi pahala juga buat kita.
Banyak.” (wawancara dengan I6.1 di Rumah ustad Gofur, 15
Januari 2018).
146
Berdasarkan pernyataan informan di atas dapat diketahui bahwa semua
pandangan dari agama Islam, Katolik dan Budha memandang bahwa yang
dilakukan oleh gelandangan dan pengemis itu adalah negatif dan tidak boleh
dilakukan karena hal itu mencirikan sifat malas dari individu yang tidak mau
berusaha dengan cara yang benar. Dalam agama budha sendiri orang yang
menjadi gelandangan dan pengemis dikarenakan di masa lampaunya dan masa
sekarang orang tersebut tidak mempunya harta dan orang tersebut terlahir kembali
menjadi gelandangan dan pengemis. Selanjutnya, pada kehidupan lampaunya
orang tersebut menelantarkan orang tuanya. Menurut pandangan pribadi dari
seorang yang beragama katolik yaitu Sekretaris Gereja Kristus Raja Serang yang
beranggapan bahwa para gelandangan dan pengemis ada ciri dari orang yang
malas dan tidak mau berusaha untuk mencari nafkah dari cara yang lebih baik dan
lebih terhormat walaupun pada kenyataannya mereka tidak benar-benar miskin.
Sedangakan menurut pandangan dari agama islam bahwa kegiatan mengemis atau
meminta-minta itu diharamkan hukumnya. Namun dalam islam dianjurkan
umatnya untuk selalu bersedekah khususnya kepada fakir miskin. Namun banyak
biasanya para pengemis menyalah artikan paham yang menjelaskan bahwa di
dalam rezeki seseorang ada rezeki orang-orang miskin. Dengan hal ini para
gelandangan dan pengemis melakukan kegiatannya dengan dalih tersebut.
Pandangan lain mengenai masalah gelandangan dan pengemis ini
dikemukakam oleh masyarakat Kota Serang, sebagai berikut :
“Menurut saya kalo namanya pengemis itu dia itu orang
yang males kerja, banyak kan yang masih bisa kerja malah ngemis
minta-minta, padahal kalo dia mau berusaha mah ya bisa dapet
kerja. Itu jelas mengganggu ya, apalagi yang di lampu-lampu
147
merah tuh kalo saya lagi bawa mobil tiba-tiba langsung tuh
muncul pengemis ini kan mengganggu ya untuk kesalamatan dia
juga, kalo ketabrak bagaimana coba kita juga yang nanti ribet
ya.” (wawancara dengan I7.1 di Komplek Taman Mutiara Indah, 13
Februari 2018).
Berdasarkan pendapat dari I7.1 dapat diketahui bahwa gelandangan dan
pengemis adalah seseorang yang malas bekerja dan tidak mau berusaha. Dari dari
aktivitas gelandangan dan pengemis ini sangatlah mengganggu masyarakat,
khususnya di lampu-lampu merah.
Dari akademisi juga memberikan pandangannya sebagai berikut:
“Gelandangan dan pengemis saya melihat ini di bagi dua
yah, pertama memang ada yang alamiah dan ada juga yang di
koordinir. Maksudnya alamiah itu saya melihat memang terjadi
dengan sendirinya dan mereka itu penduduk asli Serang. Nah yang
dikoordinir itu dia bukan penduduk dari Kota Serang melainkan
dari kota-kota lain yang mereka mencari penghidupannya di Kota
Serang. Yang alamiah ini memang mereka itu kondisinya miskin
dari keluarganya miskin. Kalo yang dikoordinir itu memang dia
datang dari luar Serang seperti dari Tangerang, Pandeglang.
Kalo yang di koordinir itu sebenernya mereka hanya penghidupan,
nah kalo yang di koordinir itu bukan tanggung jawab pemerintah
Kota Serang, yang alamiah memang menjadi kewajiban khususnya
dari Dinas Sosial Kota Serang sendiri. Ada beberapa faktor juga
seseorang menjadi pengemis pertama keluarga, kedua faktor
lingkungan. Menurut saya faktor keluarga yang menjadi faktor
utamanya ya, walaupun faktor lingkungan mempengaruhi. Dari
faktor keluarga juga kan ada ya faktor kemiskinan, juga ada faktor
pendidikan keluarganya jadi keluarganya itu tidak bisa
memberikan pendidikan yang berkualitas sehingga anaknya tidak
sekolah akhirnya mereka menjadi pengemis kan. Nah kalo faktor
lingkungan lebih ke faktor teman ya, mereka bergaul di situ,
dengan anak-anak jalanan, di situ juga ada berbagai motivasi ya
ada yang memang mereka untuk mencari uang, ada juga dia dapet
duitnya buat rokok, minum, buat ngobat. Nah ini yang menjadi
148
masalah ni.” (wawancara dengan I8.1 di Ruang Dekan Fisip
Untirta, 26 Februari 2018).
Pandangan dari I8.1 di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa
gelandangan dan pengemis dibagi menjadi dua yaitu alamiah dan juga
dikoordinir. Pengemis alamiah yang dimaksud adalah gelandangan dan pengemis
asli masyarakat Kota Serang yang miskin. Sedangkan yang dikoordinir adalah
gelandangan dan pengemis yang berasal dari luar Kota Serang seperti dari
Tangerang maupun Pandeglang dan mereka mencari penghidupan di Kota Serang.
Faktor-faktor seseorang menjadi gelandangan dan pengemis yaitu faktor keluarga,
faktor lingkungan dari gelandangan dan pengemis.
Selain itu partisipasi dalam penyelenggaraan rehabilitasi gelandangan
dan pengemis tersebut seperti yang disampaikan oleh Bapak Asaji selaku humas
Vihara Avalokitesvara Banten, sebagai berikut :
“Untuk terlibat langsung dalam programnya si kami tidak
terlibat tidak fokus ke gelandangan dan pengemisnya, tetapi kita
vihara mempunyai program membentuk sebuah puskesmas hanya
dengan bayar sepuluh ribu periksa apapun gratis untuk semua
warga. Jadi kita mengarah ke yang laen, kalo misalkan mereka
sehatkan minimal mereka bisa mencari-cari nafkah, kalo misalkan
mereka bisa mencari nafkah kan mereka tidak perlu menjadi
pengemis. jadi arahnya juga kesana kan.” (wawancara dengan I6.2
di Vihara Avalokitesvara Banten, 15 Januari 2018).
Pendapat lain juga disampaikan oleh I6.3 mengenai keterlibatannya
dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini:
“Sebenernya kami tidak terlibat dalam rehabilitasi ini tapi
kami ada program seperti penyaluran dana yang dipotong dari
gaji yang disalurkan ke lembaga tertentu yang jelas juga kan. Kita
juga ada program penyantunan kepada yatim piatu. Kalo untuk
149
bakti sosial biasanya anak-anak muda yang melakukannya, anak-
anak muda itu dia masak di sini, pagi-pagi mereka memberikan
kepada tukang becak.” (wawancara dengan I6.3 di Sekretariat
Gereja Paroki Serang, 29 Januari 2018).
Berdasarkan penjelasan seluruh informan dapat diketahui bahwa
keterlibatan lembaga keagamaan seperti Vihara Avalokitesvara Banten dan Gereja
Paroki Raja Serang tidak ikut secara langsung. Namun keduanya memiliki
programnya masing-masing seperti vihara yang memiliki program dengan
membentuk puskesmas untuk masyarakat sekitar yang bertujuan untuk melayani
masyarakat dari sisi kesehatan. Sedangkan dari Gereja Paroki Raja Serang
membuat program dengan menyalurkan sebagian gajinya ke lembaga teruntu
untuk disalurkan lagi kepada yang membutuhkannya. Selain itu juga ada program
menyantuni para yatim piatu serta ada bakti sosial yang dilakukan oleh para
pemuda.
150
4.4 Pembahasan
Pembahasan merupakan isi dari hasil analisis data dan fakta yang peneliti
dapatkan di lapangan serta disesuaikan dengan teori yang peneliti gunakan. Dalam
penelitian ini Peneliti menggunakan teori boundary categories dari critical system
thinking yang meliputi sumber motivasi, sumber kekuatan, sumber pengetahuan,
sumber pengesahan.
4.4.1 Sources Of Motivation (Sumber Motivasi)
Sumber motivasi dalam penelitian ini merupakan sebagai kontruksi dasar
dari Program Rehabilitasi Gelandangan dan Pengemis yang dilakukan oleh Dinas
Sosial Kota Serang yang meliputi pihak yang terlibat dalam pengambilan
keputusan, tujuan kebijakan, dan ukuran perbaikan. Sumber motivasi pada
penelitian ini bisa dibilang belum maksimal dan juga penyelenggaraannyapun
belum optimal.
Peneliti menemukan beberapa temuan di lapangan antara lain: Pada aspek
stakeholder (pihak yang terlibat) bahwa pihak yang memproduk program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini adalah Dinas Sosial Kota Serang,
khususnya Bidang Rehablitasi Sosial pada Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial
sekaligus menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam program ini. Selain itu
yang menjadi pelaksana dari pelaksanaan program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini Dinas Sosial Kota Serang. Serta pihak-pihak yang terlibat dalam
pelaksaan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini yaitu Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Serang yang bertugas untuk menjaring atau merazia para
gelandangan dan pengemis, Dinas Pendidikan Kota Serang yang memberikan
151
pendidikan formal untuk mengadakan program sekolah paket, Dinas Kesehatan
yang memberikan pelayanan kesehatan bagi para gelandangan dan pengemis yang
mempunyai masalah kesehatan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota
Serang yang memberikan identitas bagi para gelandangan dan pengemis yang
belum memiliki identitas, Dinas Tenaga Kerja Kota Serang yang memberikan
pelatihan keterampilan pada para gelandangan dan pengemis, bahkan juga
kepolisian yang ikut terlibat untuk menangani anak jalanan yang berbuat kriminal.
Sehingga bisa dibilang pihak-pihak tersebutlah yang memberikan andil dalam
proses penangannya dan proses perehabannya walaupun pada kenyataannya
koordinasi yang dilakukan belum cukup optimal. Dinas Sosial Kota Serang dalam
program rehabilitasi gelandangan dan pengemis merupakan pihak yang
berwenang untuk menyelenggrakan program ini sebagaimana yang dimaksudkan
dalam Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan,
Pemberantasan, dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat pasal 18 ayat 1 yang
berbunyi :
“Guna mengefektifkan pelaksanaan di lapangan, penyiapan sarana
dan prasarana untuk pelaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17, dilakukan secara terpadu dibawah koordinasi Walikota
atau Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai tugas, pokok dan
fungsi di bidang sosial.”
Berdasarkan isi dari pasal 18 ayat 1 dijelaskan bahwa pelaksanaan pembinaan
dilakukan secara terpadu dibawah koordinasi walikota atau satuan kerja perangkat
daerah (SKPD) atau sekarang yang lebih dikenal organisasi perangkat daerah
(OPD) yang mempunyai tugas, pokok dan fungsi di bidang sosial, dan yang
dimaksud adalah Dinas Sosial Kota Serang.
152
Pada aspek tujuan bisa di bilang sudah cukup baik, yang mana tujuan dari
program rehabilitasi gelandangan dan pengemis tersebut yaitu untuk mengurangi
jumlah gelandangan dan pengemis tersebut dan juga merubah prilaku dan mindset
para gelandangan dan pengemis, dengan cara memberikan pembinaan,
memberikan keterampilan dan keahlian kepada para gelandangan dan pengemis
agar mereka mempunyai keterampilan dan keahlian sehingga para gelandangan
dan pengemis ini untuk tidak terus berada di jalanan dan juga mereka bisa
mencari nafkah dengan tidak meminta-minta.
Program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini tentunya memiliki
sasaran yang ingin dicapainya. Dan yang menjadi sasaran dari program rehablitasi
gelandangan dan pengemis ini yaitu para gelandangan dan pengemis.
Dibuatnya program rehabilitasi gelandangan dan pengemis oleh Dinas
Sosial Kota Serang pastinya akan berdampak pada kelompok sasaran dari
program ini. Kelompok sasaran yang terkena dampak adalah para gelandangan
dan pengemis. Maka dari itu program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini
haruslah memiliki dampak yang baik yaitu dengan berkurangnya jumlah ataupun
tidak adanya gelandangan dan pengemis di jalan-jalan ataupun di tempat-tempat
pusat keramaian sehingga masyarakat juga ikut merasakan kenyamanan,
keindahan, dan kerapihan.
Dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini tentunya
memiliki kendala-kendala yang dihadapi. Kendalanya dalam program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis tersebut adalah SDM yang kurang memadai, ada juga
dari tempat penampungan dan tempat rehablitasi para gelandangan dan pengemis,
153
kurangnya keharmonisasian dan kurangnya koordinasi dari organisasi perangakat
daerah terkait, dan juga anggaran yang belum memadai serta kurangnya peran
serta masyarakat untuk mematuhi peraturan daerah yang melarang memberikan
uang pada pengemis.
Dari kendala-kendala yang ada tentunya ada pihak yang bertanggung
jawab dalam menangani permasalahan tersebut dan yang bertanggung jawab atas
masalah-masalah yang terjadi dalam program rehablitasi gelandangan dan
pengemis ini yaitu terutama Dinas Sosial Kota Serang sebagai penanggung jawab
program, namun seharusnya tidak hanya Dinas Sosial Kota Serang saja yang
bertanggung jawab seluruh elemen masyarakat juga harus memiliki rasa
bertanggung jawab untuk ikut andil dalam program ini dengan tidak memberi
apapun kepada gelandangan dan pengemis. Selain itu instansi-instansi terkait juga
harus mempunyai rasa tanggung jawab dalam menangani masalah yang ada.
Pihak yang tertanggung jawab tentunya memiliki cara untuk mengatasi
masalah-masalah yang terjadi, upaya-upaya yang dilakukan agar masalah dapat
diatasi dengan baik, sehingga kebijakan dapat berjalan dengan semestinya. Juga
dengan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini pihak Dinas Sosial
Kota Serang tentunya memiliki upaya-upaya yang dilakukan agar masalah dapat
teratasi. Upaya yang dilakukan oleh pihak yang bertanggung jawab dalam
mengatasi masalah yang terjadi adalah seperti dari kekurang Sumber Daya
Manusia (SDM) pihak Dinas Sosial Kota Serang membentuk sebuat satuan tugas
(Satgas) atau Petugas Sosial yang akan membantu Dinas Sosial dalam menangani
para gelandangan dan pengemis. Hampir sama seperti pihak Dinas Sosial, Satpol
154
PP melakukan perekrutan petugas sebanyak 30 orang oleh anggota asli yang
sebanyak 5 orang. Pihak Dinas Sosial dalam mengatasi masalah anggaran mereka
mengirimkan para gelandangan dan pengemis ke pihak Dinas Sosial Provinsi
Banten untuk di rehablitasi. Sedangkan yang dilakukan Satpol PP untuk
mengatasi anggaran adalah sering menggunakan dana pribadi untuk setidaknya
melakukan kontrol di jalanan.
Selanjutnya kebijakan pasti memberi pengaruh terhadap kelompok yang
menjadi sasaran dari suatu kebijakan. Dalam program rehabilitasi gelandangan
dan pengemis, program ini cukup memberikan pengaruh terhadap kelompok
sasaran yaitu para gelandangan dan pengemis. Program rehabilitasi gelandangan
dan pengemis ini memberikan pengaruh kepada para gelandangan dan pengemis,
karena dalam program rehabilitasi ini memberikan keterampilan dan keahlian
yang nantinya diberikan modal usaha kepada para gelandangan dan pengemis
untuk bisa menjadi mandiri dan lebih produktif, sehingga tidak harus kembali lagi
ke jalanan.
Pada aspek ukuran perbaikan atau tolak ukur pada dasarnya dijadikan
sebagai penilaian seberapa jauh kebijakan itu berhasil untuk menjadi solusi atas
masalah-masalah yang dirasakan oleh masyarakat. Ukuran perbaikan dapat
ditinjau dari seberapa jauh nilai-nilai yang ada telah mempengaruhi suatu
kebijakan. Dengan adanya ukuran perbaikan ini berguna untuk perbaikan
program di masa yang akan datang. Tolak ukur keberhasilan dari program ini
adalah berkurangnya jumlah gelandangan dan pengemis di setiap tahunnya.
Kemudian tercapainya jumlah para gelandangan dan pengemis yang ingin direhab
155
dari jumlah yang ditargetkan di awal. Selain itu pula para gelandangan dan
pengemis ini sadar dan tidak balik-balik lagi ke jalanan, serta kesadaran dari
masyarakat untuk tidak memberi kepada para gelandangan dan pengemis. Namun
jika melihat pada data yang ada di lapangan dan membandingkannya dengan tolak
ukur keberhasilan yang telah dipaparkan di atas menjelaskan bahwa program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini belum berjalan baik atau bisa di bilang
belum berhasil. Melihat jumlah gelandangan dan pengemis yang meningkat di
setiap tahunnya seperti data berikut:
Tabel 4.5
Jumlah Gepeng tahun 2016 dan 2017 Kota Serang
Jumlah Gelandangan dan Pengemis
Gelandangan Pengemis
2016 2017 2016 2017
26 45 137 183
Berdasarkan data dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2016
jumlah gelandangan yang terdata berjumlah 26 dan meningkat di tahun 2017
menjadi 45. Sedangkan pengemis yang terdata pada tahun 2016 berjumlah 137
dan pada tahun 2017 jumlahnya meningkat menjadi 183. Dengan peningkatan
jumlah gelandangan dan pengemis ini bisa di katakan program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini belum berhasil.
4.4.2 Sources Of Power (Sumber Kekuatan)
156
Sumber kekuatan yang dimaksud disini adalah suatu sumber yang
menjadi kelebihan dari suatu kebijakan untuk mencapai kesuksesan dan
keberhasilan kebijakan. Peneliti menggambarkan sumber kekuatan dalam
penelitian ini sebagai kelebihan dari program Rehablitasi Sosial Gelandangan dan
Pengemis yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang, yang meliputi diantara
pembuat keputusan, sumber daya, dan keputusan lingkungan. Pada sumber
kekuasaan dalam penelitian ini dapat dikatakan belum baik terutama pada aspek
sumber daya baik dana maupun manusia yang dimiliki oleh Dinas Sosial Kota
Serang yang mana akan peneliti paparkan berikut ini:
Pada aspek pembuat keputusan (Decision maker) ini yang berhak
mengambil keputusan dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini
adalah masing-masing pihak yang mempunyai kewenangan. Seperti Dinas Sosial
Kota Serang yang menjadi penanggung jawab program rehabilitasi gelandangan
dan pengemis ini mempunyai kewenangan untuk memutuskan apa yang akan
dilakukan. Satpol PP memiliki kewenangan dalam menjaring dan merazia para
gelandangan dan pengemis, maka dari itu Satpol PP memiliki kewenangan dalam
pengambilan keputusan untuk urusan merazia para gepeng.
Dalam pengambilan keputusan tentunya memiliki dasar hukum yang
jelas, karena kewenangan setiap pengambil keputusan didasari oleh dasar hukum
tersebut. Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 tentang penyakit masyarakat ini
bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
kepastian hukum, dengan melarang kegiatan yang termasuk dalam kategori
penyakit masyarakat di Daerah. Namun berdasarkan temuan lapangan yang
157
peneliti dapatkan peraturan daerah tersebut belum cukup kuat guna mencegah
adanya gelandangan dan pengemis serta belum cukup kuat pula untuk menjadi
dasar hukum untuk program rehabilitasi gelandangan dan pengemis sehingga
perlunya merevisi isi dari perda tersebut. Akan tetapi dalam mengganti perda
tersebut tidak mudah dikarenakan biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan perda
cukup mahal.
Dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini untuk
melakukan pelayanannya Dinas Sosial Kota Serang dan Dinas Sosial Provinsi
melakukan koordinasi dalam pelaksanaan program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini. Pelayanan yang diberikan kepada gelandangan dan pengemis
berupa pembinaan keagamaan, pendidikan, pelatihan menyablon, tata boga dan
montir motor.
Dengan direhabnya para gelandangan dan pengemis ini tentunya para
gelandangan dan pengemis ini tidak mendapatkan penghasilan seperti biasanya
karena mereka berada dalam proses rehabilitasi. Maka dari itu Selama proses
perehaban berlangsung kebutuhan para gelandangan dan pengemis sudah dipenuhi
walaupun tidak dipenuhi 100% karena memang anggaran yang adapun belum
memadai. Para gelandangan dan pengemis pun diberi bantuan hanya pada proses
perehaban saja, dalam proses perehaban mereka diberikan makan setiap harinya,
diberikan pelatihan, dan diberikan peralatanya juga jika di dalam program
rehabilitasi tersebut. Pengemis yang masih anak-anak pun diberikan kebutuhan
sesuai yang apa yang mereka inginkan seperti ingin masuk pesantren, pihak Dinas
Sosial Kota Serang pun memasukannya ke pesantren. Dinas Sosial Kota Serang
158
sudah memenuhi kebutuhan para gelandangan dan pengemis walaupun belum
memenuhi kebutuhan secara maksimal dan belum total 100%.
Pada aspek sumber daya baik dana maupun manusianya dapat
dijelaskan bahwa sumber daya manusia dalam penyelenggaraan program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini kurang memadai. Sumber daya
manusia yang dimiliki Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Dinas Sosial Kota
Serang kurang mencukupi karena di seksi tersebut belum memiliki staff satu pun,
sama halnya juga dengan Seksi Rehablitasi Sosial Anak Dinas Sosial Kota Serang
yang belum memiliki staf. Sehingga kekurang sumber daya manusia juga
membuat seksi-seksi tersebut sulit untuk mensosialisasikan kepada pada
gelandangan dan pengemis. Untuk Satpol PP juga merasa kekurangan dari segi
jumlah sumber daya manusia namun untuk kualitas dari sumber daya manusia
dari Satpol PP dirasa sudah cukup memadai dan bisa dibilang sudah baik.
Anggaran untuk menunjang program rehabilitasi gelandangan dan pengemis
inipun belum memadai. Bahkan rehabilitasi gelandangan dan pengemis Dinas
Sosial Provinsi Banten untuk tahun depan kemungkinan tidak ada karena
anggaran yang berasal dari APBD terpangkas oleh pembangunan untuk sektor
fisik seperti infrstruktur dan jalan. Serta sarana dan prasarana sebagai penunjang
program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini belum memadai. Dinas Sosial
Kota Serang sendiri belum mempunyai sebuah tempat untuk pusat rehabilitasi
para gelandangan dan pengemis. Rumah singgah juga yang seharusnya digunakan
untuk singgah ataupun untuk tempat penampungan para gelandangan dan
pengemis yang terjaring pun belum ada. Sehingga pihak Satpol PP yang bertugas
159
menjaring para gelandangan dan pengemis sering kebingungan untuk
menampungnya.
Pada aspek keputusan lingkungan ini meliputi pengawasan dan juga
evalusasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang. Dalam pengawasan
untuk program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini hanya dilakukan oleh
pihak Dinas Sosial Kota Serang Saja, pihak Satpol PP sebagai pihak yang merazia
para gelandangan dan pengemis tidak diikut sertakan karena memang bukan
menjadi kewenangan dan pihak Satpol PP. Pihak Satpol PP hanya di libatkan jika
Dinas Sosial membutuhkannya saja. Dalam pengawasan ini tenaga kesejahteraan
sosial kecamatan serang lah yang dilibatkan dalam pengawasan.
Kemudian pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota
Serang yaitu dengan turun ke jalan untuk mengawasi para gelandangan dan
pengemis apakah masih banyak keberadaan mereka di jalan-jalan dan apakah para
gelandangan dan pengemis yang sudah direhab kembali ke jalanan atau tidak.
Serta pengawasan yang dilakukan juga dengan mengawasi para gelandangan dan
pengemis yang sudah mendapat bantuan dari Dinas Sosial yang melalui program
rehabilitasi ini digunakan dengan semestinya atau tidak. Hal ini dilakukan untuk
mengukur apakah program yang di selenggarakan oleh Dinas Sosial Kota Serang
sudah berhasil atau belum.
Program rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh
Dinas Sosial Kota Serang bisa di katakan masih lemah baik dari segi anggaran,
maupun sarana dan prasarana. Masalah-masalah ini di dapat dari hasil
pengawasan dan juga evaluasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial di setiap
160
tahunnya. Dari evaluasi yang di hasilkan pun Dinas Sosial Kota Serang
menginginkan adanya UPT (Unit Pelaksana Tugas) yang khusus menangani
gelandangan dan pengemis, sehingga Dinas Sosial nantinya membawahi UPT
tersebut. Dari segi sarana dan prasarana, anggaran, dan juga sumber daya manusia
yang belum memadai. Dinas Sosial Kota Serang juga mengevaluasi kinerja dari
petugas sahabat anak yang menangani pengemis yang masih anak-anak atau yang
sering di kenal dengan anak jalanan. Selain itu Dinas Sosial mengevaluasi
bagaimana penjangkauan terhadap para gelandangan dan pengemis, dan juga
Dinas Sosial mengevaluasi kepedulian lingkungan para gelandangan dan
pengemis yang ada di jalanan.
4.4.3 Sources Of Knowledge (Sumber Pengetahuan)
Sumber pengetahuan dalam penelitian ini meliputi Professional
(tenaga ahli), Expertise (keahlian), Guarantee (jaminan). Suatu pengetahuan
sangatlah penting untuk suatu kebijakan khususnya pada perumusan kebijakannya
yang merupakan tahap awal dalam membuat suatu kebijakan. Manfaat dari
pengadopsian suatu pengetahuan untuk sebuah kebijakan adalah untuk
menjadikan kebijakan tersebut mampu mengatasi masalah-masalah yang terjadi di
masyarakat dan menjadikan kebijakan tersebut menjadi berkualitas. Dalam
sumber pengetahuan ini bisa dibilang sudah baik, berikut akan peneliti paparkan
hasil temuan yang peneliti dapatkan di lapangan :
Pada aspek tenaga ahli di sini mencakup siapa saja yang terlibat dan
menjadi aktor dalam perumusan serta pelaksanaan program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini. Dalam hal ini Dinas Sosial berperan sebagai
161
leading sector dan juga penanggung jawab program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis. Dinas Sosial Kota Serang juga lah yang melakukan perumusan
program rehabilitasi gelandangan dan pengemis. Dinas Sosial Kota Serang dalam
merumuskannya yaitu pertama dari kepala seksi rehabilitasi sosial tuna sosial,
yang nantinya dikoordinasikan dengan kepala bidang dan selanjutnya diberikan
kepada kepala dinas untuk dimintai persetujuannya. Namun dalam perumusannya
itu tidak melibatkan pihak-pihak lain yang terkait seperti Satpol PP dan Tenaga
Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang mana keduanya adalah mitra dari
Dinas Sosial Kota Serang dalam pelaksanaan program rehabilitasi ini. Tidak
terlibatnya Satpol PP dan TKSK dalam perumusan program rehabilitasi ini karena
mereka beranggapan hal itu diluar wewenangnya masing-masing dan itu ada
urusan internal Dinas Sosial Kota Serang.
Dalam perumusan program ini tentu tidak telepas dari faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Fakator-faktor tersebut adalah faktor pendukung dan
penghambat dalam merumuskan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis
ini. Adapun menjadi faktor pendukungnya adalah dengan adanya kerjasama
dengan pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan program ini seperti Dinas
Sosial Provinsi Banten, Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Bekasi dan juga dinas-
dinas atau instansi terkait. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat utamanya
adalah anggaran dari Dinas Sosial Kota Serang itu sendiri yang kurang memadai,
belum adanya tempat pusat rehabilitasi, dan juga belum memadainya Sumber
Daya Manusia yang dimiliki Dinas Sosial Kota Serang.
162
Pada aspek keahlian (expertise) ini merupakan kemampuan yang
dimiliki seseorang dalam menghasilkan kebijakan yang berkualitas guna
mengentaskan masalah-masalah yang terjadi. Maka dari itu sangatlah diperlukan
keahlian dalam menangani permasalahan dalam program rehabilitasi gelandangan
dan pengemis. Adapun yang di hasilkan dari rumusan program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini yaitu menghasilkan langkah-langkah yang akan
dilakukan dalam pelaksanaan program, mengatur anggaran yang ada,
merencanakan bagaimana memberikan pembinaan serta melakukan koordinasi
dengan pihak-pihak terkait.
Dalam aspek jaminan (guarentee) yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah kepastian yang diberikan dari perumusan pada keberhasilan kebijakan dan
juga bagaiamana keterlibatan berbagai pihak dalam perumusan kebijakan sudah
dapat menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi atau belum karena pada
dasarnya keberhasilan suatu kebijakan salah satunya ditentukan oleh bagaimana
perumusannya. Maka dari itu perumusan kebijakan tersebut haruslah bisa menjadi
patokan awal yang baik dari pengimpelementasian kebijakan tersebut. Dalam
program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini jaminan yang diberikan dari
perumusan program ini yaitu dengan dapat mengurangi jumlah dan merubah
mental serta cara berpikir (mindset) para gelandangan dan pengemis agar berhenti
dari apa yang mereka lakukan selama ini karena hal itu telah melanggar peraturan
yang ada baik tertulis maupun tidak tertulis. Dari program inipun pemerintah
berharap para gelandangan dan pengemis ini lebih mandiri dengan membuka
usaha atau juga dengan bekerja. Selain itu juga dalam pelaksanaannya Dinas
163
Sosial Kota Serang membutuhkan bantuan dari OPD lain untuk membantu
mensuksesnya program rehabilitasi ini.
4.4.4 Sources Of Legitimation (Sumber Pengesahan)
Sumber pengesahan dalam penelitian ini merupakan legitimasi dari
pihak-pihak atau badan-badan yang berwenang terkait pelayanan yang diberikan
dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini. Sumber pengesahan ini
sendiri terdiri atas witness, emancipation, dan world view. Pada sumber
pengesahan ini akan dapat memberikan persepektif beragam dari berbagai sudut
pandang yang berbeda yang berasal dari berbagai agama seperti Islam, Katolik,
dan Budha. Sudut pandang dari berbagai agama yang berbeda akan senantiasa
memberikan warna dan nilai-nilai tersendiri dalam pemberian suara terkait
permasalahan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini. Yang mana
biasanya suara-suara seperti ini selalu tersisihkan oleh berbagai kepentingan yang
ada. Suara-suara dari para sasaran programpun yaitu gelandangan dan pengemis
wajib untuk diambil agar senantiasa dapat memberikan suatu kecocokan dalam
pemberian pelayan dalam program rehabilitasi ini. Berdasarkan hasil penelitian ini
peneliti akan memaparkan bahwa:
Para gelandangan dan pengemis menginginkan perhatian dari
pemerintah untuk memberikan bantuan kepada para gelandangan dan pengemis
agar bisa membuka usaha. Selain itu juga yang para gelandangan dan pengemis
menganggap bahwa yang menjadi faktor mereka menjadi gelandangan dan
pengemis adalah faktor ekonomi. Mereka berpikir bahwa dengan cara mengemis
ini mereka dapat dengan mudah mendapatkan uang daripada harus bekerja.
164
Peneliti dapat melihat dari sisi mental para gelandangan dan pengemis ini yang
bisa di bilang lemah dan prilaku malas untuk bekerja. Sehingga merekapun
memilih cara yang instan seperti meminta-minta dengan berharap orang lain iba
dan mendapatkan uang dari orang lain. Hal ini tentunya tidak baik mengingat hal
tersebut telah melanggar hukum yang ada baik tertulis maupun tidak tertulis,
dalam kelas sosialpun terbilang kelas rendah.
Pada aspek Emancipation ini pada umumnya digambarkan sebagai
diberikannya persamaan hak-hak tanpa membedakan gender atau golongan
tertentu. Sedangkan dalam penelitian ini emansipasi dalam proses
penyelenggaraan program rehabilitasi ini tidak membeda-bedakan pemberian hak-
hak kepada para gelandangan dan pengemis. Namun dengan kondisi anggaran
yang tidak memadai dan juga ketidak mauan para gelandangan dan pengemis
untuk direhab biasanya hanya beberapa saja yang direhab oleh Dinas Sosial Kota
Serang ataupun dikirim ke panti sosial.
Dalam proses rehabilitasi ini tentunya harus ada peran serta masyarakat
untuk mengadukan atau melaporkan bila mana ada prilaku penyakit masyarakat
dalam hal ini gelandangan dan pengemis, dan ada juga pihak yang dianggap
memiliki kewenangan untuk melayani dan menangani pengaduan di dalam
program rehabilitasi ini. Dalam hal ini pihak yang berwenang untuk menangani
pengaduan terkait masalah gelandangan dan pengemis dalam program rehabilitasi
ini adalah Satpol sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Perda Kota Serang
nomor 2 tahun 2010 tentang penyakit masyarakat pasal 15 ayat (2) poin c yang
berbunyi:
165
“Melaporkan kepada Pejabat atau pihak yang berwenang apabila
mengetahui atau menemukan tindakan, perbuatan dan perilaku penyakit
masyarakat.”
Yang mempunyai wewenang untuk melayani dan menangani
pengaduan terkait masalah gelandangan dan pengemis ini adalah Satpol PP.
Diperlukannya peran serta masyarakat jika menemukan tindakan prilaku yang
menjurus kepada penyakit masyarakat untuk melaporkan kepada Satpol PP dalam
bentuk tertulis yang mana waktu dan tempatnya haruslah jelas.
Pada aspek World View (pandangan dunia) ini merupakan pandangan
secara universal terhadap persoalan program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini dari berbagai persepektif yang beragam seperti dari unsur
keagamaan yang mana mempunyai nilai-nilai nya masing-masing dalam melihat
sesuatunya.
semua pandangan dari agama Islam, Katolik dan Budha memandang bahwa yang
dilakukan oleh gelandangan dan pengemis itu adalah negatif dan tidak boleh
dilakukan karena hal itu mencirikan sifat malas dari individu yang tidak mau
berusaha dengan cara yang benar.
Dalam agama budha sendiri orang yang menjadi gelandangan dan
pengemis dikarenakan di masa lampaunya dan masa sekarang orang tersebut tidak
mempunya harta dan orang tersebut terlahir kembali menjadi gelandangan dan
pengemis. Kedua, pada kehidupan lampaunya orang tersebut menelantarkan orang
tuanya.
166
Menurut pandangan pribadi dari seorang yang beragama katolik yaitu
Sekretaris Gereja Kristus Raja Serang yang beranggapan bahwa para gelandangan
dan pengemis ada ciri dari orang yang malas dan tidak mau berusaha untuk
mencari nafkah dari cara yang lebih baik dan lebih terhormat walaupun pada
kenyataannya mereka tidak benar-benar miskin.
Sedangakan menurut pandangan dari agama islam bahwa kegiatan
mengemis atau meminta-minta itu diharamkan hukumnya. Namun dalam islam
dianjurkan umatnya untuk selalu bersedekah khususnya kepada fakir miskin.
Namun banyak biasanya para pengemis menyalah artikan paham yang
menjelaskan bahwa di dalam rezeki seseorang ada rezeki orang-orang miskin.
Dengan hal ini para gelandangan dan pengemis melakukan kegiatannya dengan
dalih tersebut.
Masyarakat memandang gelandangan dan pengemis sebagai sifat
malas seseorang untuk bekerja dan hanya mengandalkan belas kasihan orang lain
untuk mendapatkan uang. Hal ini tentunya menjadi gangguan kenyaman untuk
masyarakat sendiri karena terkadang banyak yang meminta-minta dengan cara
mamaksa.
Akademisi melihat gelandangan dan pengemis ini dibagi dua, pertama
yang alamiah dan kedua yang dikoordinir. Maksud dari alamiah itu sendiri adalah
mereka penduduk asli Serang dari keluarganya miskin. Sedangkan yang
dikoordinir yaitu mereka bukan penduduk dari Kota Serang melainkan dari kota-
kota lain yang mana mereka mencari penghidupannya di Kota Serang. Untuk yang
dikoordinir mereka bukanlah tanggung jawab pemerintah Kota Serang, sedangkan
167
yang alamiah memang menjadi kewajiban dari Dinas Sosial Kota Serang. Ada
beberapa faktor seseorang menjadi gelandangan dan pengemis pertama keluarga,
kedua faktor lingkungan. Faktor keluarga yang menjadi faktor utama karena dari
faktor keluarga ada faktor kemiskinan, juga ada faktor pendidikan keluarganya
yang tidak bisa memberikan pendidikan yang berkualitas sehingga anaknya tidak
sekolah akhirnya mereka menjadi gelandangan dan pengemis. Sedangkan faktor
lingkungan lebih ke faktor teman bermain dan bergaul sehari-hari yang
merupakan anak-anak jalanan.
Keterlibatan lembaga keagamaan seperti Vihara Avalokitesvara
Banten dan Gereja Paroki Raja Serang tidak ikut secara langsung. Namun
keduanya memiliki programnya masing-masing seperti vihara yang memiliki
program dengan membentuk puskesmas untuk masyarakat sekitar yang bertujuan
untuk melayani masyarakat dari sisi kesehatan. Sedangkan dari Gereja Paroki
Raja Serang membuat program dengan menyalurkan sebagian gajinya ke lembaga
teruntu untuk disalurkan lagi kepada yang membutuhkannya. Selain itu juga ada
program menyantuni para yatim piatu serta ada bakti sosial yang dilakukan oleh
para pemuda.
4.4.5 Karakteristik Gelandangan dan Pengemis
Berdasarkan hasil dari observasi yang dan analisis data yang di lakukan
peneliti, peneliti menemukan temuan yang menggambarkan bagaiama
karakteristik gelandangan dan pengemis di Kota Serang. Gelandangan dan
pengemis di Kota Serang terdiri atas berbagai jenis kelompok usia mulai dari yang
masih anak-anak sampai yang sudah lanjut usia. Peneliti memukan di lampu-
168
lampu merah di Kota Serang banyak pengemis yang usianya masih dibawah 18
tahun bahkan tergolong masih perlu anak-anak sampai mengemis sendiri di
tengah jalan. Selain itu sering ditemukan pengemis yang sudah renta membawa
anaknya mengemis di tempat pusat perbelanjaan, di tempat-tempat makan, dan
tempat pusat keramaian lainnya.
Faktor ekonomilah yang menjadi alasan mengapa mereka mengemis dan
kurangnya perhatian pemerintah kota untuk memberikan bantuannya kepada
gelandangan dan pengemis ini. Berdasarkan apa yang peneliti temukan di
lapangan bahwa faktor ekonomi bukanlah faktor utama yang menjadi alasan
mengapa mereka mengemis. Karena bila melihat kepada kondisi ekonomi para
pengemis ini, mereka bisa dikatakan mampu, peneliti menemukan salah seorang
pengemis yang bisa dibilang sudang tua diantarkan oleh entah itu anak laki-
lakinya ataupun yang mengkoordinirnya. Bila melihat pada perkampungan yang
dijuluki sebagai kampung pengemis yaitu kampung kebanyakan di Desa
Sukawana, Kecamatan Serang sungguh bukan seperti kampung pengemis, karena
tidak sedikit rumah yang bisa dibilang layak huni. Hal ini tentunya membuat
peneliti berasumsi bahwa mengemis ini sudah dijadikan sebagai profesi oleh
masyarakat setempat.
Peneliti menggunakan teori menurut Sudarianto dalam Engkus Kuswarno,
(2009:15) yang membagi pengemis menjadi 2 kelompok yaitu:
1. Mengemis karena tak mampu bekerja. Pada kategori ini dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai kelainan fisik pada anggota tubuhnya.
Misalnya tak mampu bekerja karena tidak memiliki tangan, kaki,
lumpuh, buta. Jadi para dermawan memang harus terpanggil untuk
menyantuninya, sisihkanlah harta untuk mereka, karena menyantuni
mereka insya Allah mendapat pahala yang besar.
169
2. Mengemis karena malas bekerja. Pengemis karena malas bekerja inilah
yang menyebabkan jumlah pengemis di Indonesia sangat banyak.
Pengemis pada kategori ini, orangnya mempunyai anggota tubuh yang
sangat lengkap namun dihinggapi penyakit malas. Pengemis semacam
inilah yang harus diberantas oleh pemerintah.”
Berdasarkan temuan yang peneliti temukan di Lapangan pengemis di Kota
Serang paling banyak masuk kepada kelompok 2, yang mana banyak sekali
pengemis yang anggota tubuhnya lengkap dan bisa dikatakan sehat secara fisik
namun tetap mengemis.
Peneliti menggunakan teori menurut Indra Pratama dalam Engkus
Kuswarno (2009:26) untuk menkategorikan pengemis di Kota Serang yaitu:
1. Pengemis Berpengalaman
Lahir karena tradisi. Bagi pengemis yang lahir karena tradisi, tindakan
mengemis adalah tindakan kebiasaan. Mereka sulit menghilangkan
kebiasaan tersebut karena orientasinya lebih pada masa lalu (motif
sebab).
2. Pengemis kontemporer kontinu tertutup
Hidup tanpa alternatif. Bagi kelompok pengemis yang hidup tanpa
alternatif pekerjaan lain, tindakan mengemis menjadi satu-satunya
pilihan yang harus diambil. Mereka secara kontinu mengemis, tetapi
mereka tidak mempunyai kemampuan untuk dapat hidup dengan
bekerja yang akan menjamin hidupnya dan mendapatkan uang.
3. Pengemis kontemporer kontinu terbuka
Hidup dengan peluang. Mereka masih memiliki alternatif pilihan,
karena memiliki keterampilan lain yang dapat mereka kembangkan
untuk menjamin hidupnya. Hanya saja keterampilan tersebut tidak
170
dapat berkembang, karena tidak menggunakan peluang tersebut
dengan sebaik-baiknya atau karena kekurangan potensi sumber daya
untuk mengembangkan peluang tersebut.
4. Pengemis kontemporer temporer
Hidup musiman. Pengemis yang hanya sementara dan bergantung pada
kondisi musim tidak dapat diabaikan keberadaannya. Jumlah mereka
biasanya meningkat jika menjelang hari raya. Daya dorong daerah
asalnya karena musim kemarau atau gagal panen menjadi salah satu
pemicu berkembangnya kelompok ini.
5. Pengemis rencana
Berjuang dengan harapan. Pengemis yang hidup berjuang dengan
harapan pada hakikatnya adalah pengemis yang sementara. Mereka
mengemis sebagai sebuah batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan
lain setelah waktu dan situasinya dipandang cukup.
Berdasarkan temuan dari peneliti pengemis di Kota serang masuk pada
kategori ke 3. Peneliti melihat pengemis ini masih sanggup untuk bekerja dan
memiliki keterampilan untuk bekerja ataupun usaha namun mereka memilih
untuk mengemis dikarenakan mengemis adalah cara yang mudah tanpa
memerlukan banyak modal atau biaya untuk mendapatkan uang.
Tabel 4.6
Temuan Lapangan
Boundary Category, Ulrich (dalam Riswanda 2016:9)
Dimensi Temuan Lapangan
Sumber motivasi (sources of
motivation)
1. Pihak yang memproduk atau yang membuat program
ini adalah Dinas Sosial Kota Serang. Dinas Sosial juga
yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab
terhadap program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini.
171
2. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksaan program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini yaitu Dinas
Sosial Kota Serang sebagai leading sector, Satuan
Polisi Pamong Praja Kota Serang, Dinas Pendidikan
Kota Serang, Dinas Kesehatan, Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil Kota Serang, Dinas Tenaga Kerja
Kota Serang, bahkan kepolisian yang ikut menangani
anak jalanan.
3. Tujuan dari program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini yaitu untuk mengurangi jumlahnya dan
juga merubah prilaku dan mindset para gelandangan
dan pengemis, dengan cara memberikan pembinaan,
memberikan keterampilan dan keahlian kepada para
gelandangan dan pengemis agar mereka mempunyai
keterampilan dan keahlian sehingga para gelandangan
dan pengemis ini untuk tidak terus berada di jalanan
dan juga mereka bisa mencari nafkah dengan tidak
meminta-minta.
4. Yang menjadi sasaran dari program rehablitasi
gelandangan dan pengemis ini yaitu para gelandangan
dan pengemis.
5. Yang terkena dampak dari program rehablitasi
gelandangan dan pengemis ini adalah para gelandangan
dan pengemis itu sendiri sehingga masyarakat juga ikut
merasakan dampak dari program ini
6. yang menjadi kendalanya dalam program rehabilitasi
gelandangn dan pengemis itu adalah SDM yang kurang
memadai, ada juga dari tempat penampungan dan
tempat rehablitasi para gelandangan dan pengemis,
kurangnya keharmonisasian dan kurangnya koordinasi
dari organisasi perangakat daerah terkait, dan juga
anggaran yang belum memadai serta kurangnya peran
serta masyarakat untuk mematuhi peraturan daerah
yang melarang memberikan uang pada pengemis.
7. Pihak yang bertanggung jawab atas masalah-masalah
yang terjadi dalam program rehablitasi gelandangan
dan pengemis ini yaitu terutama Dinas Sosial Kota
Serang sebagai instansi yang menjadi penanggung
jawab program, namun seluruh elemen masyarakat juga
harus bertanggung jawab untuk ikut andil dalam
program ini dengan tidak memberi apapun kepada
gelandangan dan pengemis. Selain itu instansi-instansi
terkait juga harus mempunyai rasa tanggung jawab
172
dalam menangani masalah yang ada.
8. Upaya-upaya yang di lakukan oleh pihak-pihak yang
bertanggung jawab dalam mengatasi masalah yang
terjadi adalah seperti dari kekurang Sumber Daya
Manusia (SDM) pihak Dinas Sosial Kota Serang
membentuk sebuat satuan tugas (Satgas) atau Petugas
Sosial yang akan membantu Dinas Sosial dalam
menangani para gelandangan dan pengemis. Hampir
sama seperti pihak Dinas Sosial, Satpol PP melakukan
perekrutan petugas sebanyak 30 orang oleh anggota asli
yang sebanyak 5 orang. Pihak Dinas Sosial dalam
mengatasi masalah anggaran mereka mengirimkan para
gelandangan dan pengemis ke pihak Dinas Sosial
Provinsi Banten untuk di rehablitasi. Sedangkan yang
dilakukan Satpol PP untuk mengatasi anggaran adalah
sering menggunakan dana pribadi untuk setidaknya
melakukan kontrol di jalanan.
9. Program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini
memberikan pengaruh kepada para gelandangan dan
pengemis, karena dalam program rehabilitasi ini
memberikan keterampilan dan keahlian yang nantinya
diberikan modal usaha kepada para gelandangan dan
pengemis untuk bisa menjadi mandiri dan lebih
produktif, sehingga tidak harus kembali lagi ke jalanan.
10. tolak ukur keberhasilan dari program ini adalah
berkurangnya jumlah gelandangan dan pengemis di
setiap tahunnya. Kemudian tercapainya jumlah para
gelandangan dan pengemis yang ingin direhab dari
jumlah yang ditargetkan di awal. Selain itu pula para
gelandangan dan pengemis ini sadar dan tidak balik-
balik lagi ke jalanan, serta kesadaran dari masyarakat
untuk tidak memberi kepada para gelandangan dan
pengemis.
Sumber kekuatan (sources of
power)
1. Yang berhak mengambil keputusan dalam program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini adalah
masing-masing pihak yang mempunyai
kewenangan. Seperti Dinas Sosial Kota Serang
yang menjadi penanggung jawab program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini
mempunyai kewenangan untuk memutuskan apa
yang akan dilakukan. Satpol PP memiliki
kewenangan dalam menjaring dan merazia para
173
gelandangan dan pengemis, maka dari itu Satpol PP
memiliki kewenangan dalam pengambilan
keputusan untuk urusan merazia para gepeng.
2. Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 tentang
penyakit masyarakat belum cukup kuat guna
mecegah adanya pengemis serta belum cukup kuat
pula untuk menjadi dasar hukum untuk program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis sehingga
perlunya merevisi isi dari perda tersebut.
3. Peraturan Daerah ini bertujuan untuk menciptakan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
kepastian hukum, dengan melarang kegiatan yang
termasuk dalam kategori penyakit masyarakat di
Daerah.
4. Dinas Sosial Kota Serang dan Dinas Sosial Provinsi
Banten melakukan koordinasi dalam pelaksanaan
program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini.
Pelayanan yang diberikan kepada gelandangan dan
pengemis berupa pembinaan keagamaan,
pendidikan, pelatihan menyablon, tata boga dan
montir motor.
5. Kebutuhan para gelandangan dan pengemis sudah
dipenuhi walaupun tidak dipenuhi 100% karena
memang anggaran yang adapun belum memadai.
Para gelandangan dan pengemis pun diberi bantuan
hanya pada proses perehaban saja, dalam proses
perehaban mereka diberikan makan setiap harinya,
diberikan pelatihan, dan diberikan peralatanya juga
jika di dalam program rehabilitasi tersebut.
Pengemis yang masih anak-anak pun diberikan
kebutuhan sesuai yang apa yang mereka inginkan
seperti ingin masuk pesantren, pihak Dinas Sosial
Kota Serang pun memasukannya ke pesantren.
Dinas Sosial Kota Serang sudah memenuhi
kebutuhan para gelandangan dan pengemis
walaupun belum memenuhi kebutuhan secara
maksimal dan belum total 100%.
6. Sumber daya manusia dalam penyelenggaraan
program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini
kurang memadai.
7. Anggaran untuk menunjang program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini belum memadai.
8. Sarana dan prasarana sebagai penunjang program
174
rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang
dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang belum
memadai.
9. Pengawasan untuk program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini hanya dilakukan
oleh pihak Dinas Sosial Kota Serang Saja, pihak
Satpol PP sebagai pihak yang merazia para
gelandangan dan pengemis tidak diikut sertakan
karena memang bukan menjadi kewenangan dan
pihak Satpol PP. Pihak Satpol PP hanya di libatkan
jika Dinas Sosial membutuhkannya saja. Dalam
pengawasan ini tenaga kesejahteraan sosial
kecamatan serang lah yang dilibatkan dalam
pengawasan.
10. Hal yang di evaluasi dalam program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini adalah dari segi
sarana dan prasarana, anggaran, dan juga sumber
daya manusia yang belum memadai. Dinas Sosial
Kota Serang juga mengevaluasi kinerja dari petugas
sahabat anak yang menangani pengemis yang masih
anak-anak atau yang sering di kenal dengan anak
jalanan. Selain itu Dinas Sosial mengevaluasi
bagaimana penjangkauan terhadap para
gelandangan dan pengemis, dan juga Dinas Sosial
mengevaluasi kepedulian lingkungan para
gelandangan dan pengemis yang ada di jalanan.
Dinas Sosial Kota Serang juga menginginkan
adanya unit pelaksana tugas (UPT) yang khusus
menangani masalah gelandangan dan pengemis ini.
Sumber pengetahuan (sources
of knowledge)
1. Dinas Sosial berperan sebagai leading sector dan
juga penanggung jawab program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis. Yang mana dalam
merumuskannya yaitu pertama dari kepala seksi
rehabilitasi sosial tuna sosial, yang nantinya di
koordinasikan dengan kepala bidang dan
selanjutnya diberikan kepada kepala dinas untuk
dimintai persetujuannya.
2. Satpol PP dan TKSK tidak terlibat dalam
perumusan program rehabilitasi ini karena mereka
beranggapan hal itu diluar wewenangnya masing-
masing dan itu ada urusan internal Dinas Sosial
Kota Serang.
175
3. Yang menjadi faktor pendukungnya adalah dengan
adanya kerjasama dengan pihak-pihak terkait yang
berhubungan dengan program ini seperti Dinas
Sosial Provinsi Banten, Panti Sosial Bina Karya
(PSBK) Bekasi dan juga dinas-dinas atau instansi
terkait. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat
utamanya adalah anggaran dari Dinas Sosial Kota
Serang itu sendiri yang kurang memadai, belum
adanya tempat pusat rehabilitasi, dan juga belum
memadainya Sumber Daya Manusia yang dimiliki
Dinas Sosial Kota Serang.
4. Yang di hasilkan dari rumusan program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini yaitu menghasilkan
langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
pelaksanaan program, mengatur anggaran yang ada,
merencanakan bagaimana memberikan pembinaan
serta melakukan koordinasi dengan pihak-pihak
terkait.
Sumber pengesahan (sources
of legitimation)
1. Para gelandangan dan pengemis menginginkan
perhatian dari pemerintah untuk memberikan
bantuan kepada para gelandangan dan pengemis
agar bisa membuka usaha.
2. Para gelandangan dan pengemis berpendapat bahwa
yang menjadi faktor mereka menjadi gelandangan
dan pengemis adalah faktor ekonomi. Selain itu
Mereka beranggapan bahwa dengan cara mengemis
ini mereka dapat dengan mudah mendapatkan uang
daripada harus bekerja.
3. Tidak membeda-bedakan pemberian hak-hak
kepada para gelandangan dan pengemis dalam
proses rehabilitasi. Namun dengan kondisi
anggaran yang tidak memadai dan juga ketidak
mauan para gelandangan dan pengemis untuk
direhab biasanya hanya beberapa saja yang direhab
oleh Dinas Sosial Kota Serang ataupun dikirim ke
panti sosial.
4. Yang mempunyai wewenang untuk melayani dan
menangani pengaduan terkait masalah gelandangan
dan pengemis ini adalah Satpol PP. Diperlukannya
peran serta masyarakat jika menemukan tindakan
prilaku yang menjurus kepada penyakit masyarakat
untuk melaporkan kepada Satpol PP dalam bentuk
176
tertulis yang mana waktu dan tempatnya haruslah
jelas.
5. Semua pandangan dari agama Islam, Katolik dan
Budha memandang bahwa yang dilakukan oleh
gelandangan dan pengemis itu adalah negatif dan
tidak boleh dilakukan karena hal itu mencirikan
sifat malas dari individu yang tidak mau berusaha
dengan cara yang benar.
6. Dalam agama budha sendiri orang yang menjadi
gelandangan dan pengemis dikarenakan di masa
lampaunya dan masa sekarang orang tersebut tidak
mempunya harta dan orang tersebut terlahir
kembali menjadi gelandangan dan pengemis. serta
pada kehidupan lampaunya orang tersebut
menelantarkan orang tuanya.
7. Menurut pandangan pribadi dari seorang yang
beragama katolik yaitu Sekretaris Gereja Kristus
Raja Serang yang beranggapan bahwa para
gelandangan dan pengemis ada ciri dari orang yang
malas dan tidak mau berusaha untuk mencari
nafkah dari cara yang lebih baik dan lebih
terhormat walaupun pada kenyataannya mereka
tidak benar-benar miskin.
8. Pandangan dari agama islam bahwa kegiatan
mengemis atau meminta-minta itu diharamkan
hukumnya. Namun dalam islam dianjurkan
umatnya untuk selalu bersedekah khususnya kepada
fakir miskin. Namun banyak biasanya para
pengemis menyalah artikan paham yang
menjelaskan bahwa di dalam rezeki seseorang ada
rezeki orang-orang miskin. Dengan hal ini para
gelandangan dan pengemis melakukan kegiatannya
dengan dalih tersebut.
9. Gelandangan dan pengemis adalah seseorang yang
malas bekerja dan tidak mau berusaha. Dari dari
aktivitas gelandangan dan pengemis ini sangatlah
mengganggu masyarakat, khususnya di lampu-
lampu merah.
10. Gelandangan dan pengemis dibagi menjadi dua
yaitu alamiah dan juga dikoordinir. Pengemis
alamiah yang dimaksud adalah gelandangan dan
pengemis asli masyarakat Kota Serang yang
miskin. Sedangkan yang dikoordinir adalah
177
gelandangan dan pengemis yang berasal dari luar
Kota Serang seperti dari Tangerang maupun
Pandeglang dan mereka mencari penghidupan di
Kota Serang. Faktor-faktor seseorang menjadi
gelandangan dan pengemis yaitu faktor keluarga,
faktor lingkungan dari gelandangan dan pengemis.
11. Keterlibatan lembaga keagamaan seperti Vihara
Avalokitesvara Banten tidak ikut secara langsung.
Namun vihara memiliki program dengan
membentuk puskesmas untuk masyarakat sekitar
yang bertujuan untuk melayani masyarakat dari sisi
kesehatan.
12. Keterlibatan lembaga keagamaan seperti Gereja
Paroki Raja Serang tidak ikut secara langsung.
Namun Gereja Paroki Raja Serang membuat
program dengan menyalurkan sebagian gajinya ke
lembaga teruntu untuk disalurkan lagi kepada yang
membutuhkannya. Selain itu juga ada program
menyantuni para yatim piatu serta ada bakti sosial
yang dilakukan oleh para pemuda.
Sumber : Peneliti, 2018
178
Sebetulnya
Gambar 4.1
Temuan Lapangan
Sebetulnya dan Seharusnya
Seharusnya
Program
Rehabilitasi
Gelandangan dan
Pengemis
Peraturan Daerah Kota Serang
Nomor 2 Tahun 2010 Tentang
Penyakit Masyarakat
Berkurangnya jumlah
gelandangan dan
pengemis di setiap
tahunnya
Memadainya sumber
daya baik itu manusia
maupun dana anggaran
dalam program
rehabilitasi ini. Dan juga
memadainya sarana dan
prasarana.
Diperkuatnya Perda Kota
Serang Nomor 2 Tahun
2010 Tentang Penyakit
Masyarakat dalam
mengatasi masalah
gelandangn dan pengemis
Diperkuatnya Koordinasi
antara Dinas Sosial Kota
Serang dengan instansi-
instansi terkait
pelaksanaan program
rehabilitasi ini
Belum tercapainya tolak
ukur keberhasilan
program rehabilitasi ini
yaitu berkurangnya
jumlah gelandangan dan
pengemis di setiap
tahunnya
Belum memadainya
sumber daya baik itu
manusia maupun dana
anggaran dalam
program rehabilitasi ini.
Serta belum
memadainya sarana dan
prasarana.
Belum cukup kuatnya
Perda Kota Serang Nomor
2 Tahun 2010 Tentang
Penyakit Masyarakat dalam
mengatasi masalah
gelandangn dan pengemis
Masih lemahnya Koordinasi
antara Dinas Sosial Kota
Serang dengan instansi-
instansi terkait pelaksanaan
program rehabilitasi ini
179
Persepektif Keagamaan
Budha
Katolik
Islam
Masyarakat
terganggu adanya
gelandangan dan
pengemis
Dinas Sosial
Kota Serang
Satpol PP
Kota Serang
Islam Mengharamkan
menjadi pengemis
Tidak adanya
larangan khusus
namun tidak
membenarkan
menjadi
gelandangan
pengemis
Faktor menjadi gelandangan
pengemis karena faktor ekonomi
Melihat bahwa
gelandangan
pengemis
dikoordinatori oleh
pihak-pihak tertentu
Perda
tersebut
belum
cukup kuat
Gambar 4.2
Temuan Lapangan
Skema Penelitian Analisis Kritis
Persepektif Masyarakat
Persepektif Akademisi Persepektif Pemerintah
Program
Rehabilitasi Sosial
Peraturan Daerah
Kota Serang Nomor
2 Tahun 2010
Tentang Penyakit
Masyarakat
Gelandangan
Pengemis
Dasar Hukum
Larangan Masih banyaknya
masyarakat yang
masih acuh dan tidak
tahu tentang larangan
memberi pengemis
Penegakan perda yang
kurang tegas dan masih
kurang untuk
disosialisasikan
Masih adanya
toleransi
dengan alasan
kemanusiaan
180
Dari skema penelitian di atas peneliti dapat menjelaskan bahwa dalam
Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Penyakit
Masyarakat ini mengatur bagaimana larangan terhadap masyarakat untuk menjadi
gelandangan dan pengemis, memaksa seseorang untuk menjadi pengemis dan
melarang memberikan apapun kepada pengemis sebagaimana dalam pasal 9 ayat
1-3 yang berbunyi:
1. Setiap orang dilarang menjadi gelandangan dan pengemis.
2. Setiap orang dilarang menyuruh atau memaksa orang lain menjadi
pengemis.
3. Setiap orang dilarang memberikan uang ataupun lainnya kepada
pengemis.
Dalam hal ini perda tentunya melarang setiap kegiatan yang dilakukan
oleh gelandangan dan pengemis sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 9 ayat 1-
3. Tidak hanya melarang para gelandangan dan pengemis, Peraturan Daerah Kota
Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Penyakit Masyarakat menjadi dasar hukum
adanya program rehabilitasi sosial untuk penangan gelandangan dan pengemis,
sebagaimana dalam pasal 17 ayat 1-3:
1. Pemerintah Daerah dan masyarakat wajib melakukan pembinaan terhadap
orang atau sekelompok orang yang terbukti melakukan perbuatan penyakit
masyarakat.
2. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dilaksanakan melalui
kegiatan rehabilitasi sosial dan pemberdayaan sosial.
3. Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat 2, dilaksanakan
melalui kegiatan:
a. Bimbingan, pendidikan, pelatihan dan keterampilan
teknis;
b. Bimbingan, penyuluhan rohaniah dan jasmaniah;
c. Penyediaan lapangan kerja atau penyaluran tenaga
kerja.
181
Dalam penjelasan dari pasal ini pun pemerintah wajib membuat sebuah
pembinaan terhadap penyakit masyarakat termasuk juga gelandangan dan
pengemis. Sedangkan pembinaan tersebut dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi
sosial yang kegiatan meliputi bimbingan pendidikan, pelatihan dan keterampilan
teknis, bimbingan penyuluhan rohaniah dan jasmaniah, penyediaan lapangan kerja
atau penyaluran tenaga kerja.
Dapat disimpulkan bahwa Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun
2010 Tentang Penyakit Masyarakat melahirkan sebuah larangan terhadap
gelandangan dan pengemis dan juga menjadi dasar hukum adanya program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis.
Berbagai persepektif pun muncul dalam penelitian ini terkait masalah
gelandangan dan pengemis. Persepektif muncul dari berbagai kalangan seperti
persepektif dari pemerintah, akademisi, masyarakat dan keagamaan serta
persepektif juga muncul dari target sasaran yaitu gelandangan dan pengemis.
Dari persepektif target sasaran yaitu gelandangan dan pengemis mereka
mengatakan bahwa yang menjadi faktor mereka menjadi gelandangan dan
pengemis adalah faktor ekonomi. Selain itu Mereka beranggapan bahwa dengan
cara mengemis ini mereka dapat dengan mudah mendapatkan uang daripada harus
bekerja. Para gelandangan dan pengemis menginginkan adanya perhatian dari
pemerintah untuk memberikan bantuan kepada mereka agar bisa membuka usaha
sendiri.
Persepektif keagamaan sendiri memandang gelandangan dan pengemis
berupa kegiatan yang negatif dan dan tidak boleh dilakukan karena hal itu
182
mencirikan sifat malas dari individu yang tidak mau berusaha dengan cara yang
benar. Dalam agama budha sendiri orang yang menjadi gelandangan dan
pengemis dikarenakan di masa lampaunya dan masa sekarang orang tersebut tidak
mempunya harta dan orang tersebut terlahir kembali menjadi gelandangan dan
pengemis. Selanjutnya, pada kehidupan lampaunya orang tersebut menelantarkan
orang tuanya. Menurut pandangan dari seorang yang beragama katolik yaitu
Sekretaris Gereja Kristus Raja Serang yang beranggapan bahwa para gelandangan
dan pengemis ada ciri dari orang yang malas dan tidak mau berusaha untuk
mencari nafkah dari cara yang lebih baik dan lebih terhormat walaupun pada
kenyataannya mereka tidak benar-benar miskin. Sedangakan menurut pandangan
dari agama islam bahwa kegiatan mengemis atau meminta-minta itu diharamkan
hukumnya. Banyak biasanya para pengemis menyalah artikan paham yang
menjelaskan bahwa di dalam rezeki seseorang ada rezeki orang-orang miskin.
Dengan hal ini para gelandangan dan pengemis melakukan kegiatannya dengan
dalih tersebut.
Persepektif akademisi dalam melihat masalah gelandangan dan pengemis
ini adalah gelandangan dan pengemis dibagi dua, pertama yang alamiah dan
kedua yang dikoordinir. Maksud dari alamiah itu sendiri adalah mereka penduduk
asli Serang dari keluarganya miskin. Sedangkan yang dikoordinir yaitu mereka
bukan penduduk dari Kota Serang melainkan dari kota-kota lain yang mana
mereka mencari penghidupannya di Kota Serang. Untuk yang dikoordinir mereka
bukanlah tanggung jawab pemerintah Kota Serang, sedangkan yang alamiah
memang menjadi kewajiban dari Dinas Sosial Kota Serang. Ada beberapa faktor
183
seseorang menjadi gelandangan dan pengemis pertama keluarga, kedua faktor
lingkungan. Faktor keluarga yang menjadi faktor utama karena dari faktor
keluarga ada faktor kemiskinan, juga ada faktor pendidikan keluarganya yang
tidak bisa memberikan pendidikan yang berkualitas sehingga anaknya tidak
sekolah akhirnya mereka menjadi gelandangan dan pengemis. Sedangkan faktor
lingkungan lebih ke faktor teman bermain dan bergaul sehari-hari yang
merupakan anak-anak jalanan.
Persepektif masyarakat melihatnya sebagai sifat malas seseorang untuk
bekerja dan hanya mengandalkan belas kasihan orang lain untuk mendapatkan
uang. Hal ini tentunya menjadi gangguan kenyaman untuk masyarakat sendiri
karena terkadang banyak yang meminta-minta dengan cara mamaksa.
Dari persepektif pemerintah sendiri dalam mamandang masalah
gelandangan dan pengemis ini yaitu gelandangan dan pengemis sebagai masalah
yang di latar belakangi oleh masalah ekonomi sehingga muncul masalah baru
yaitu masalah sosial berupa gelandangan dan pengemis ini. Maka dari itu
pemerintah membuat suatu program pembinaan yang bertujuan untuk mengurangi
jumlah dari gelandangan dan pengemis itu sendiri.
Dari skema penelitian ini peneliti menyimpulkan bahwa Peraturan Daerah
Kota Serang nomor 2 tahun 2010 tentang pencegahan, pemberantasan, dan
penanggulangan penyakit masyarakat dijadikan sebagai acuan Dinas Sosial Kota
Serang dalam membuat dan melaksanakan program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis, dan juga sebagai pelarangan kepada kegiatan gelandangan dan
pengemis. Gelandangan dan pengemis ini tentunya bila dilihat dari berbagai
184
persepektif atau sudut pandang seperti unsur masyarakat, unsur keagamaan,
pemerintahan, dan akademisi adalah suatu masalah sosial yang memang harus
diselesaikan.
181
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Peraturan Daerah Kota Serang nomor 2 tahun 2010 tentang pencegahan,
pemberantasan, dan penanggulangan penyakit masyarakat ini sebenarnya sudah
terlaksana namun pelaksanaannya tersebut belum maksimal dan belum cukup kuat
sebagai acuan Dinas Sosial untuk mengimplementasikan program rehabilitasi
penanganan gelandangan dan pengemis yang dilakukan Oleh Dinas Sosial Kota
Serang ini karena masih banyak yang dilanggar dalam peraturan-peraturan
tersebut. Hal ini tentunya membuat pengimplementasian dari program ini belum
berjalan optimal seperti masih meningkatnya jumlah gelandangan dan pengemis
setiap tahunnya.
1. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksaan program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini yaitu Dinas Sosial Kota Serang sebagai
leading sector, Satuan Polisi Pamong Praja Kota Serang, Dinas Pendidikan
Kota Serang, Dinas Kesehatan Kota Serang, Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kota Serang, Dinas Tenaga Kerja Kota Serang, bahkan
kepolisian yang ikut menangani anak jalanan yang bertindak kriminal.
Namun pada koordinasinya masih sangat lemah sekali, dan belum
bersinergi dengan baik.
2. Tujuan dari program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini yaitu
untuk mengurangi jumlahnya dan juga merubah prilaku dan mindset para
gelandangan dan pengemis, dengan cara memberikan pembinaan,
182
memberikan keterampilan dan keahlian kepada para gelandangan dan
pengemis agar mereka mempunyai keterampilan dan keahlian sehingga
para gelandangan dan pengemis ini untuk tidak terus berada di jalanan dan
juga mereka bisa mencari nafkah dengan tidak meminta-minta.
3. Yang menjadi kendalanya dalam program rehabilitasi gelandangn dan
pengemis itu adalah SDM yang kurang memadai, ada juga dari tempat
penampungan dan tempat rehablitasi para gelandangan dan pengemis,
kurangnya keharmonisasian dan kurangnya koordinasi dari organisasi
perangakat daerah terkait, dan juga anggaran yang belum memadai serta
kurangnya peran serta masyarakat untuk mematuhi peraturan daerah yang
melarang memberikan uang pada pengemis.
4. Tolak ukur keberhasilan dari program ini adalah berkurangnya jumlah
gelandangan dan pengemis di setiap tahunnya. Kemudian tercapainya
jumlah para gelandangan dan pengemis yang ingin direhab dari jumlah
yang ditargetkan di awal. Selain itu pula para gelandangan dan pengemis
ini sadar dan tidak kembali lagi ke jalanan, serta kesadaran dari
masyarakat untuk tidak memberi kepada para gelandangan dan pengemis.
Namun peneliti menemukan bahwa fakta di lapangan belum sesuai dengan
apa yang menjadi tolak ukur keberhasilan program ini karena setiap
tahunnya jumlah gelandangan dan pengemis bertambah. Program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh Dinas Sosial
Provinsi Banten akan dihilangkan karena kebijakan pemerintah Provinsi
183
Banten lebih memfokuskan pembangunan fisik seperti infrastruktur, jalan
raya, dan tempat-tempat umum lainnya.
5. Sumber daya manusia dan Anggaran untuk menunjang penyelenggaraan
program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini kurang memadai. Serta
sarana dan prasarana pada program rehabilitasi gelandangan dan pengemis
yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang inipun belum memadai.
6. Yang menjadi faktor pendukungnya adalah dengan adanya kerjasama
dengan pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan program ini seperti
Dinas Sosial Provinsi Banten, Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Bekasi dan
juga dinas-dinas atau instansi terkait. Sedangkan yang menjadi faktor
penghambat utamanya adalah anggaran dari Dinas Sosial Kota Serang itu
sendiri yang kurang memadai, belum adanya tempat pusat rehabilitasi, dan
juga belum memadainya sumber daya manusia yang dimiliki Dinas Sosial
Kota Serang.
7. Yang mempunyai wewenang untuk melayani dan menangani pengaduan
terkait masalah gelandangan dan pengemis ini adalah Satpol PP.
Diperlukannya peran serta masyarakat jika menemukan tindakan prilaku
yang menjurus kepada penyakit masyarakat untuk melaporkan kepada
Satpol PP dalam bentuk tertulis yang mana waktu dan tempatnya haruslah
jelas.
184
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian Analisis Kritis Implementasi Program
Rehabilitasi Penanganan Gelandangan Dan Pengemis Oleh Dinas Sosial Kota
Serang, peneliti mencoba untuk memberikan masukan atau saran agar dalam
penyelenggaraan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini dapat
berjalan optimal.
1. Merangkul semua kalangan seperti unsur keagamaan seperti dari
MUI, Gereja Paroki Raja Serang, Vihara Avalokitesvara karena
lembaga-lembaga tersebut mempunyai program sosial yang mungkin
bisa berguna untuk program rehabilitasi ini. Selanjutnya unsur
masyarakat seperti kumpulan pemuda Karang Taruna untuk ikut
mensosialisasikan program rehabilitasi ini dan juga ikut membantu
dalam proses perehaban. Selain itu akademisi seperti Dosen-dosen
yang biasanya melakukan penelitian terkait masalah-masalah sosial
sebaiknya ikut sertakan untuk menjadi tenaga ahli dalam program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini karena biasanya mereka
mempunyai inovasi tentang bagaimana penanganannya.
2. Mensosialisasikan peraturan daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun
2010 Tentang Penyakit Masyarakat dan program anti memberi
pengemis kepada masyarakat luas melalui media sosial, cetak,
maupun elektronik.
185
3. Pemerintah sebaiknya melakukan rehabilitasi di lingkukan para
gelandangan dan pengemis agar lingkungan para gelandangan dan
pengemis itu tidak mempengerahui untuk balik lagi ke jalan.
4. Pihak Dinas Sosial sebaiknya melakukan koordinasi dengan tokoh
masyarakat setempat seperti RT/RW untuk bisa membantu dalam
proses pembinaan dan pendataan, karena para RT/RW biasanya
memiliki data lengkap dari warganya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Agustino, Leo. 2012. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta.
Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi: Metode penelitian komunikasi.
Bandung: Widya Padjadjaran
Moleong, Lexy.J., 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosa
Karya.
Prastowo, Andi. 2011. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Prespektif Rancangan
Penelitian. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media
Riswanda. 2016. Metode Penelitian Kebijakan (Publik): Critical System
Discourse
dalam Analisis Penelitian Kualitatif Kontemporer, handbook Metodologi
Penelitian Kualitatif, CPMS Universitas Parahyangan- Asosiasi Peneliti
Kualitatif Indonesia (AKPI).
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2005. Masalah-Masalah Kemasyarakatan di Indonesia.
Jakarta: Sinar Harapan
Soetari, Endang. 2014. Kebijakan Publik. Bandung: CV Pustaka Setia
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2010. Memahami Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suharto, Edi. 2013. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Bandung:
Alfabeta.
Sumodinigrat, Gunawan. 2004. Otonomi Daerah Dalam Penanggulangan
Kemiskinan. Jakarta: PerPod
Suud, Mohammad. 2006. 3 Orientasi Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher.
Dokumen:
Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,
Pemberantasan Dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat.
Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan
dan Pengemis.
Sumber lainnya:
Amalia, Rizki. 2013. Skripsi Universitas Negeri Semarang Fakultas Ilmu Sosial
Program Studi Ilmu Politik Dan Kewarganegaraan. Rehabilitasi Pengemis
Di
Kota Pemalang (Studi Kasus di Balai Rehabilitasi Sosial “Samekto Karti”
Pemalang I).
Nitha Chitrasari, 2012. Skripsi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. Kinerja Dinas Sosial Kota Cilegon Dalam
Penanganan Gelandangan Dan Pengemis Di Kota Cilegon.
Iqbali, S. 2008. Jurnal. Studi Kasus Gelandangan–Pengemis (Gepeng) Di
Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem. PIRAMIDA, 4(1).
Nabila, Fairuzia Nisa, et al. Jurnal. “BRAINWASHING MOTIVASI” TEKNIK
MINIMALISASI PENGEMIS DENGAN MAKSIMALISASI POTENSI DAN
MOTIVASI MELALUI KONSEP BRAINWASHING. Program Kreativitas
Mahasiswa-Gagasan Tertulis (2014).
Badan Pusat Statistik Kota Serang. 2017. Kota Serang Dalam Angka
http://banten.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/72. Di akses 10 Juni 2016.
http://news.okezone.com/read/2016/09/01/340/1478969/hikayat-kampung
pengemis-di-jantung-kota-serang. Diakses 12 Februari 2016.
https://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=312.
Diakses 12 Februari 2016.
https://serangkota.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/4. Diakses 20 November
2017.
http://www.satubanten.com/index.php/news/banten-news/item/1094-pemkot-
cilegon-akan-bangun-panti-rehabilitasi-terpadu. Diakses 2 Maret 2017.
Wildan Firdaus
Data Pribadi
Tmp, Tgl Lahir : Bogor, 16 Maret 1995
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Kp Susukan RT 01/02. Desa Gunung Picung Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor.
Kontak
Telepon : 083813223108
Email : Wfirdaus09@gmail.com
HOBI
Sepak Bola
Bola Basket
Game
CURRICULUM VITAE
Pengalaman Organisasi
OSIS SMAN 1 PAMIJAHAN
» Periode 2012
HIMPUNAN MAHASISWA ILMU ADMINISTRASI NEGARA
» Periode 2015
Pendidikan
FORMAL
SDN Gunung Picung 04
» Tahun 2001 – 2007
SMP PGRI GUNUNG PICUNG
» Tahun 2007 – 2010
SMAN 1 PAMIJAHAN
» Tahun 2010 – 2013
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
» Tahun 2013 – 2018
Moto Hidup
Lakukan yang terbaik hari ini untuk kehidupan ke depan yang lebih baik
LAMPIRAN
(SURAT IJIN PENELITIAN)
LAMPIRAN
(DOKUMENTASI PENELITIAN)
Pengemis Kota Serang yang dibawah umur
Pengemis di Kota Serang yang membawa anak ataupun bayinya sebagai alat bantu
untuk mendapatkan belas kasihan orang lain
Pengemis (memakai sarung) di Kota Serang yang sedang bertukar uang, hasil dari
mengemisnya dengan seorang pedagang (celana panjang)
Proses penyerahan gelandangan dan pengemis hasil razia Satpol PP ke Dinas
Sosial untuk di tindak lanjuti
Foto Gelandangan yang sedang tertidur di pinggir jalan Sumur Pecung
Foto Kampung Pengemis Desa Sukawana
Wawancara dengan bapak Heli Priyatna selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna
Sosial dan Eks Penyalahgunaan Napza Dinas Sosial Kota Serang
Wawancara dengan ibu Hendri selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Anak dan
Lansia Dinas Sosial Kota Serang
Wawancara dengan Bapak Asep Hanan Selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna
Sosial Dinas Sosial Provinsi Banten
Wawancara dengan Bapak Haji Juanda selaku Kepala Bidang Penegak Hukum
Daerah Satuan Polisi Pamong Praja Kota Serang
Wawancara dengan Bapak Hasanudin selaku Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan Serang
Wawancara dengan Bapak Dr. H. Furtasan Ali Yusuf selaku Anggota DPRD Kota
Serang sekaligus Ketua STIE Bina Bangsa
Wawancara dengan Bapak Assaji selaku Humas Vihara Avalokitesvara Serang
Wawancara dengan Bapak Stefanus Sekretaris Gereja Katolik Kritus Raja Serang
LAMPIRAN
LAIN-LAINNYA
MEMBERCHECK
Kode : I1.1
Hari/Tanggal : 27 November 2017
Tempat wawancara : Kantor Dinas Sosial Kota Serang
Nama Informan : Heli Priyatna
Pekerjaan / Jabatan : Kepala seksi Rehabilitasi Tuna Sosial Dinas Sosial Kota
Serang
Catatan Wawancara :
Sources of motivation (Sumber motivasi)
1. Siapa atau pihak mana yang secara faktual yang memproduk kebijakan tentang
rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis
Tentunya untuk yang membuat program rehsos gepeng ini yaitu dinsos, yaa khususnya
seksi bagaian yang menangani gelandangan dan pengemis ini, kami juga sebagai
penanggung jawab program ini.
2. Siapa saja yang terlibat dalam pembuatan program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Keterlibatannyan dalam pemerintahan itu, pertama OPD Dinas Sosial Kota Serang yang
harus mempunyai peran sesuai dengan yang ada tupoksinya rehabilitasi. Cuma rehabilitasi
tidak cukup Dinas Sosial bagaimana kalo dia umpamanya pendidikannya ingin
melanjutkan karena tidak mampu, lulusan SMP yang tidak punya izasah maka harus kejar
paket, nah itu terlibatlah Dinas Pendidikan. Kita koordinasi dan bekerjasama dengan
Dinas Pendidikan. Bagaimana cara penanganannya, pengambilannya, wewenang untuk
menangkap dan membawa itu adalah Satpol PP, selain itu juga bagaimana kalo dia nggak
punya dan pengen punya kartu keluarga, pengen punya KTP, nah Dinas Kependudukan
juga harus terlibat, nah bagaimana kalo dia pengen bekerja kalo dia emang sudah punya
keahlian, kita libatkan juga Disnaker.
3. Apa tujuan dan manfaat adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Ya untuk tujuannya mah inginnya kami pemerintah si tetep satu, ingin mengentaskan
kemiskinan kalo tujuan secara umumnya mah itu, sama mengentaskan pengangguran. Ya
khususnya dari program ini inginnya mah itu, si gepeng itu mendapat keterampilan juga
dia bisa merubah prilakunya sama mainsetnya
4. Siapa yang menjadi sasaran adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Tentunya yang jadi sasaran utamanya itu para gelandangan pengemis, kalo untuk sasaran
utamanya
5. Siapa yang terkena dampak dari adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Sebenernya mah gini ya, yang terkena dampak dari program ini tuh kan para gepeng, ya
artinya program ini memberikan pengaruh ke si gepeng ini biar ga ke jalanan lagi. nah
kalo udah kaya gitu kan, si gepeng udah bisa nyari nafkahnya gak turun ke jalan, bisa juga
kan berdampaknya ke masyarakat. Masyarakatkan nantinya gak keganggu lagi sama
adanya gepeng ini.
6. Apa yang menjadi kendala dalam penyelenggaraan program rehabilitasi sosial
gelandangan dan pengemis?
Hal-hal yang jadi kendalanya itu pertama, SDM. Di bagaian bapak satu bidang aja belom
punya staf, harunya mah kasie itu minimal punya satu, pembantu bapak itu harusnya mah
ada minimal satu tapi bapak belom punya. Sebenrmya bukan bapak aja ini yang belom
punya malah di bidang ini belom punya staf. Ya selain itu juga kendalanya kadang-kadang
OPD-OPD lainya itu istilahnya kurang harmonis. Sebenernya kalo bicara soal itu mah
jelek juga, ya mau gimana lagi begitu kenyataannya. Kemudian kami dinsos belom punya
juga tempat penampungan buat para gepeng yang udah di razia sama Satpol PP. Gimana
mau nampung kita juga kantornya masih ngontrak kan ya gitu. Ya otomatis juga
penganggaran juga oleh kita sangat dibutuhkan. Nah tempat rehabilitasi juga tuh, itu yang
pertama tempat rehabilitasi itu belom ada.
7. Pihak mana yang bertanggung jawab dalam menangani permasalahan program
rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis ini?
Harusnya semuanya OPD-OPD terkait ikut bertanggung jawab, ya terutama OPD Dinas
Sosial dan Satpol PP
8. Upaya apa yang dilakukan pemerintah dalam menangani permasalahan terkait
program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?
Saya juga kan gak punya staf, kalo ada anggarannya bapak juga membentuk tim
sukarelawan. Ya artinya semacem petugas sosial, satgas satuan tugas sepuluh orang.
Kalo misakan anggaran kita gada, kita ngirim para gepeng ini ke provinsi, Dinsos provinsi
buat direhab disana kira-kira sepuluh orang kita kirim ke sana, ya salah satu pelayanan
kita kaya gitu kalo anggarannya ngga ada.
9. Apakah program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis sudah memberikan
pengaruh terhadap kesejahteraan gelandangan dan pengemis khususnya?
Ya artinya program ini memberikan pengaruh ke si gepeng ini, ada juga yang sudah
merasakan lelah, kepengen berubah pekerjaannya, ada yang setelah ikut pelatihan anak-
anak berenti ngamen, ya kalo istilahnya mah ikut ngedesain nyetak foto yang namanya itu
pelatihan sablon. Termasuk juga yang telah dilatih montir motor, dia udah bisa buka
bengkel. Tapi ya itu, gak begitu saja berubah jadi sewaktu-waktu dia bisa balik lagi ke
jalan, ya bisa aja ke pengaruh sama temen-temen jalanannya.
10. Apa yang menjadi tolak ukur keberhasilan Seksi Bagian Gelandangan dan Pengemis
dalam penyelenggaraan program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?
Yang menjadi tolak ukurnya ya sekarang udah keliatan biasanya mah pagi-pagi sampai itu
tuh udah ada para gepeng. Kalo sekarang ya Alhamdulillah, jadi berkurangnya ya gitu,
berkurangnya para gepeng.
Sources of power (Sumber kekuatan)
11. Siapa yang memiliki kekuatan atau yang berwenang untuk memberikan keputusan
dalam program rehablitasi gelandangan dan pengemis?
Kalo yang buat ngambil keputusan mah tentunya pihak yang punya kewenangnya masing-
masing ya kalo kita kan dinsos yang ngasih pembinaan, pelatihan, keterampilan kaya gitu
ya jadinya kalo yang ngambil keputusan di program pembinaan ini mah ya kita. Kalo
Satpol PP kan kewenangannya buat ngejaring, ngerazia para gepengnya, jadi kalo
urusannya soal ngerazia mah pihak Satpol PP.
12. Apakah Perda terkait tentang gelandangan dan pengemis perlu direvisi?
Kalo menurut pandangan saya mah ya tetep perlu direvisi karena dari kata-katanya juga
terlalu kasar. Pemberantasan, disitu ada kata-kata pemberantasan. Ya kalo pemberantasan
harus diberantas lah.
13. Apa saja yang dilakukan Seksi Bagian Gelandangan dan Pengemis dalam memberikan
pelayanan rehablitasi?
Tentunya pelayanan yang diberikan itu pertama ya artinya memberikan pembinaan seperti
kita kumpulkan para gepeng terus kita kasih pembinaan keagamaan biar balik ke jalan
yang benar menurut agama. Terus ya kebutuhannya, kalo memang dia pengen kebutuhan
ya kita berikan dengan cara kemudahan, ya misalkan si gepeng minta pengen pelatihan
montir motor ya kita berikan lah gitu. Pengiriman ketempat pelatihan atau ketempat
rehabilitasi yang dilaksanak sama pihak Dinsos provinsi
14. Apakah kebutuhan gelandangan dan pengemis selama di rehab telah diberikan secara
maksimal?
Kalo di tempat rehabilitasi si dikasih kebutuhan secara maksimal, itu kalo di tempat
rehabilitasi, ya kalo cuma pembinaan aja belom maksimal. Kalo sampe pendidikan
keterampilan, termasuk juga bantuan peralatannya itu udah maksimal. Ya maksimal sertus
persen si belum. Artinya udah maksimal aja, kalo misalkan dikasih bantuan seratus persen
mah dia juga harus di kasih modal yang sepuluh juta itu.
15. Apakah program rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis didukung oleh
sumberdaya (dana, manusia) yang memadai?
Seperti yang udah jelasin tadi perbidang aja belom punya staf, kasie ini aja kan ga punya
staff. Ya minimal punya satu lah staff.
Dana juga menurut saya mah kurang memadai, tempat rehabilitasi juga kan gada kita mah.
Jadi terkadang kita kirim ke Dinsos provinsi buat direhab
Ya tadi itu kita belum memiliki tempat rehabilitasi untuk para gelandangan dan pengemis.
ya kita aja kantor dinas nya statusnya masih ngontrak, ya istilahnya daripada buat tempat
rehabilitasi mending buat kantor dulu. Rumah singgah juga kan kita belom punya.
16. Bagaimana Dinas Sosial Kota Serang dalam mengawasi implementasi kebijakan
tentang rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis?
Kalo pengawasan dari kita si cuma turun ke jalanan terus ngontrol gepeng itu masih
banyak ga atau yang kemaren kita rehab itu turun lagi ga ke jalan, kalo misalkan jalan-
jalan sepi dari gepeng kan berarti berhasil program kita ini.
17. Bagaimana Dinas Sosial Kota Serang dalam mengevaluasi program rehablitasi sosial
gelandangan dan pengemis?
Ya yang harus dibenahi itu terutama tadi itu tempat rehabilitasi atau UPT, harus ada
secara khusus yang menangani gepeng ini.
Jadi Dinas Sosial itu membawahi yaitu UPT evaluasinya itu. Selain itu juga yang tadi itu
penambahan SDM, kalo untuk anggaran mah itu udah jelas harus ada.
Sources of knowledge (Sumber pengetahuan)
MEMBERCHECK
Kode : I1.2
Hari/Tanggal : 11 Januari 2018
Tempat wawancara : Kantor Dinas Sosial Kota Serang
Nama Informan : Hendri
Pekerjaan / Jabatan : Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Anak & Lansia Dinas Sosial
Kota Serang
Catatan Wawancara :
Sources of motivation (Sumber motivasi)
1. Siapa atau pihak mana yang secara faktual yang memproduk kebijakan tentang
rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis
Yang membuat program ini itu adalah kepala seksi sesuai dengan tupoksi, karena yang tau
permasalahan kan dari kita sendiri sesuai dengan tupoksinya
2. Siapa saja yang terlibat dalam pembuatan program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Kepala Bidang disitu juga ada Pak Kadis, kita kan awalnya lihat dari data dan kenyataan
banyak di jalan anak jalanan, gepeng, kita juga ngedata melalui pos sahabat anak itu juga
dibantu oleh Peksos setelah kita melihat data kan terus gimana nih cara penanganannya,
nah maka dari itu kita rempugin bareng-bareng bersama bapak kabid dan bapak kadis.
Banyak juga kita berkoordinasi ada dari lembaga ada juga dinas-dinas terkait yang
menangani tentang program ini. Ya misalkan dengan Disnaker, Kemenag, Dinas
Pendidikan, Dinas Kesehatan yang sesuai tupoksinya kaya BPJS kesehatan, Kepolisian
untuk menangani anak jalanan kaya gitu. Jadi kita ga sendiri
3. Apa tujuan dan manfaat adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
sebenernya mah dari tujuannya mah kaya sederhana tapi dalemnya rumet ya, itu
menghilangkan si tidak mungkin, tapi kita meminimalisir jumlahnya.
4. Siapa yang menjadi sasaran adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Dalam Perda pekat ini kan tidak hanya untuk gepeng dan anak jalanan ataupun pekat yang
lainnya ya, kita kan ada berbasis masyarakat ya otomatis masyarakat juga diikut sertakan,
terutama minimalnya tau bahwa ada peraturan atau perda yang ngelarang gepeng dan anak
jalanan itu tidak boleh gitu kan
5. Siapa yang terkena dampak dari adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Tentunya yang terkena dampaknya itu para gepeng anak jalanan itu sendiri ya, soalnya
kan mereka yang kita kasih pembinaan kasih bantuan, dengan kaya gitukan yang kena
dampak mereka.
6. Apa yang menjadi kendala dalam penyelenggaraan program rehabilitasi sosial
gelandangan dan pengemis?
kendalanya memang belum nyambungnya ya antara keinginan dan tujuan pemerintah dan
masyarakat belom sejalan gitu. Karena kita juga sadar diri ya, SDM dari kita Dinas Sosial
kurang ya sehingga tidak mencukupi untuk tenaga di sosialisasi di jalan. Karena kita
harusnya banyak ke jalan ya, nah tenaga itulah kita yang kurang. Sebenernya mah
kendalanya juga kesadaran lah dari kita semua ya khususnya masyarakat bahwa kita disini
punya program buat merubah anak jalanan.
7. Pihak mana yang bertanggung jawab dalam menangani permasalahan program
rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis ini?
Sebenernya semua, cuma kan yang jadi leading sectornya dan tupoksinya Dinas Sosial
Kota Serang ya otomatis kita harus bertanggung jawab merangkul kesemuanya ke OPD
lain atau juga ke masyarakatnya
8. Upaya apa yang dilakukan pemerintah dalam menangani permasalahan terkait
program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?
Dari faktor SDM yang sesungguhnya kami kekurangan. ya walaupun istilahnya kami
melakukan tugas cuma lima orang tapi alhamdulillahnya di dalam lima orang ini kami
merekrut hampir tiga puluh orang. Dia tau upamanya kami operasi yang tiga puluh orang
ini harus ikut karena juga ada SP nya. Kalo dari segi dana kami untuk kontrol aja seperti
yang saya udah jelasin kami sering pake kantong pribadi buat bensin-bensin mah, kan
kalo mau jalan buat ngontrol mah buat bensin mah harus ada.
9. Apakah program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis sudah memberikan
pengaruh terhadap kesejahteraan gelandangan dan pengemis khususnya?
Kalo untuk kesejahteraannya mah belom, namun berubah gitu dari prilakunya kalo
misalkan kesejahteraan mah dari jumlah segitu palingan yang baru sedikit ya
10. Apa yang menjadi tolak ukur keberhasilan Seksi Bagian Gelandangan dan Pengemis
dalam penyelenggaraan program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?
Kalo yang jadi tolak ukur keberhasilan dari ibu si sederhana yah, kalo menghilangkan kan
ga mungking, ya minimal mengurangi jumlahnya itu
Sources of power (Sumber kekuatan)
11. Siapa yang memiliki kekuatan atau yang berwenang untuk memberikan keputusan
dalam program rehablitasi gelandangan dan pengemis?
Ya yang mengambil keputusannya ya masing-masing kepala seksi di sini, kita kan
ngerempugin bersama-sama ya.
12. Apakah Perda terkait tentang gelandangan dan pengemis perlu direvisi?
kalo liat dari itu mah diliat dari dalem isi perdanya itu ya belom dilaksanakan semua ya,
buktinya disosialisasikan ke masyarakatnya juga belum ya, misalkan katanya orang-orang
yang ngasih ke gepeng katanya kena sanksi nyatanya tidak kena sanksi. Sehingga perda
itu belom kuat.
13. Apa saja yang dilakukan Seksi Bagian Gelandangan dan Pengemis dalam memberikan
pelayanan rehablitasi?
kami kirimkan anak jalanan itu ke sekolah memberikan program paket c, kita juga
menawarkan kepada anak-anak jalanan siapa yang mau ke sekolah atau ke pesantren
bahwa ada anak jalanan yang minta di beliin baju koko, peci, sarung, kami berikan. Ya
pokoknya kami pengennya mereka berubah biar ga di jalan lagi
14. Apakah kebutuhan gelandangan dan pengemis selama di rehab telah diberikan secara
maksimal?
kalo kebutuhan si kita kasih ya, kaya kemaren ya anak yang pengen masuk pesantren, kita
kerjasama sama Kemenag kita masukin pesantren. Eh baru dua hari si anak itu di jalan
lagi alesannya si pengen sarung, pengen Al-quran peci ibu turutin pengennya kaya gimana
coba, ibu kumplitin deh kita dateng ke orang tuanya kita turutin si anak itu maunya apa.
Ya karena kita pengennya itu si anak ini bisa gitu ga ke jalan lagi
15. Apakah program rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis didukung oleh
sumberdaya (dana, manusia) yang memadai?
Memangnya juga Dari SDMnya juga kita kekurangan ya, sehingga tidak mencukupi
tenaga untuk kita bersosialisasi di jalan.
Dan untuk dana sendiri, kita di situlah kelemahannya memang minim sekali dari
pendanaannya ya kurang mendukung kalo dari dana. Ya tetapi walau minimnya
pendanaan di situ kita ya minimal kita bisa ngebantu mereka walau sedikit jumlahnya
Ya kita sendiri dinas sosial belum memiliki tempat pusat rehabilitasi untuk para gepeng
atau anjal ini di berikan semacam pembinaan atau pelatihan apa gitu. Ya kita sendiri
bingung ya, kalo buat nampungnya itu.
16. Bagaimana Dinas Sosial Kota Serang dalam mengawasi implementasi kebijakan
tentang rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis?
Ya memang pengawasannya kita melalui petugas pos sahabat anak, apakah dia berfungsi
atau mereka berjalan sesuai dengan tupoksinya dan bisa di manfaatkan gitu. Juga
pengawasannya ke mereka yang dapet bantuan dari kita, kaya gitu pengawasannya.
17. Bagaimana Dinas Sosial Kota Serang dalam mengevaluasi program rehablitasi sosial
gelandangan dan pengemis?
Kalo kita mengevaluasi ya itu tadi, ibu suka mengevaluasi kalo ada pertemuan-pertemuan
baik di intern yang mana melibatkan awal dari kita lihat dari sarana dan prasarana yang
selama ini belom ada buat pembinaannya, anggarannya juga kan sedikit kurang
mendukung. Selain itu juga kita membahas tentang petugas pos sahabat anak, terus jumlah
daripada kita pelaksanaan penjaringan atau penjangkauan bukan termasuk razia kareba
kalo razia itu Satpol PP, terus selain itu juga dari lingkungan para gepeng itu. Nih ada
kepedulian ga nih lingkungan mereka terhadap si gepeng ini di jalan. Dalam hal ini para
gepeng masih banyak tidak yang ada di jalanan.
Sources of knowledge (Sumber pengetahuan)
18. Apa peran Dinas Sosial Kota Serang dalam perumusan program rehablitasi sosial
gelandangan dan pengemis?
Ya kita merumuskan pertama dari kepala seksinya dulu karena kan sesuai dengan
tupoksinya, terus dengan kepala bidang, selanjutnya ke kadin atau kepada dinas untuk
disetujui atau tidak.
MEMBERCHECK
Kode : I2.1
Hari/Tanggal : Senin, 27 November 2017
Tempat wawancara : Kantor Satpol PP Kota Serang
Nama Informan : Hj. Juanda
Pekerjaan / Jabatan : Kepala Bidang Pengegak Hukum Daerah Satpol PP Kota
Serang
Catatan Wawancara :
Sources of motivation (Sumber motivasi)
1. Siapa atau pihak mana yang secara faktual yang memproduk kebijakan tentang
rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis
Untuk pembinaan dan rehablitasi dan bantuan lain-lain adalah tugas dari Dinas Sosial,
dalam kapasitas kita itu tugas pokoknya hanya mengeksekusi dari tempat kejadian terus
dikirim ke dinas sosial, yang buat program ini kan dinas sosial, jadi yang ngebina,
ngerehab, yang ngasih bantuan itu Dinas Sosial dan juga perencanaan dan segala
sesuatunya ada di Dinas Sosial, soalnya mereka yang buat programnya.
2. Siapa saja yang terlibat dalam pembuatan program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Dalam rehabilitasi gepeng ini kita emang dilibatkan sesuai tupoksi kita yaitu menjaring
atau merazia para gepeng yang ada dijalanan. Ini juga kan masuk kewenangan kita, terus
tupoksi kita ini kan dari perwal yang didasari oleh perda pekat tersebut.
3. Apa tujuan dan manfaat adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Dari kita mah tujuannya pengen si gepeng ini ngerasa kapok lah ada di jalanan, jadi
mereka itu si gepeng ini gak balik-balik ke jalan lagi, kan dengan kaya gitu bisa ngubah
mainsetnya.
4. Siapa yang menjadi sasaran adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Pastinya yang kita jadiin target sasaran para penyakit masyarakat termasuk juga para
gelandangan dan pengemis. Kita kan sebagai penegak hukum daerah, ya kita tugasnya
merazia para pekat penyakit masyarakat ini termasuk juga para gepeng.
5. Siapa yang terkena dampak dari adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Masyarakat akan dirasakan langsung dampaknya, coba kalo misalkan program ini bisa
istilahnya membuat si gepeng ini sadar, tentunya dampaknya ke masyarakat, masyarakat
ga ke ganggu lagi dong ama aktifitas gepeng ini.
6. Apa yang menjadi kendala dalam penyelenggaraan program rehabilitasi sosial
gelandangan dan pengemis?
Kendalanya dari kita itu kurangnya SDM, kurangnya disini itu dari segi kuantitas ya
bukan dari kualitas. Kalo dari kualitas si saya yakin lah kualitasnya bagus, tapi disini kami
hanya kekurangan kuantitas. Selain itu juga dari segi finansial, nah ini ni yang susah. Nah
kaya yang saya sebutin tadi susah kalo ga ada duit mah mau jalannya ajasusah, ya mau
gimana lagi itu faktanya. Ya terkadang anggaran untuk kita kontrol aja, terkadang pake
kantong pribadi itu istilahnya buat bensin-bensin doang mah.
7. Pihak mana yang bertanggung jawab dalam menangani permasalahan program
rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis ini?
Kan yang jadi penanggung jawab program ini kan Dinas Sosial, jadi kalo misalkan ada
masalah-masalah yang terjadi dinsosnya yang bertanggung jawab, kalo kita bertanggung
jawab kalo tiap penjaringan, ngerazia, baru kita yang tanggung jawab.
8. Upaya apa yang dilakukan pemerintah dalam menangani permasalahan terkait
program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?
Dari faktor SDM yang sesungguhnya kami kekurangan. ya walaupun istilahnya kami
melakukan tugas cuma lima orang tapi alhamdulillahnya di dalam lima orang ini kami
merekrut hampir tiga puluh orang. Dia tau upamanya kami operasi yang tiga puluh orang
ini harus ikut karena juga ada SP nya. Kalo dari segi dana kami untuk kontrol aja seperti
yang saya udah jelasin kami sering pake kantong pribadi buat bensin-bensin mah, kan
kalo mau jalan buat ngontrol mah buat bensin mah harus ada.
9. Apakah program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis sudah memberikan
pengaruh terhadap gelandangan dan pengemis khususnya?
Pastinya ngasih pengaruh ke si para gepeng, ya sedikit banyaknya ngasih pengaruh ke si
gepeng. Ada juga kan yang udah direhab dia berenti ngamen ngemis dia jadi usaha
dagang, ya sedikit banyaknya ngasih pengaruh.
10. Apa yang menjadi tolak ukur keberhasilan Seksi Bagian Gelandangan dan Pengemis
dalam penyelenggaraan program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?
Tugas Satpol PP itu cuma eksekutor pembinaannya kan dari Dinsos, tugas kita tuh cuma
sedikit cuma pelarangan saja. Ya disini yang menjadi tolak ukur kita para gepeng ini ga
balik lagi ke jalan, dan masyarakatnya juga sadar kalo ngasih para pengamen pengemis itu
dilarang, jadi kalo misalkan ada gepeng yang minta-minta coba lah jangan dikasih, ya
walaupun istilahnya kita ngerasa ga tega iba ke si gepeng itu. Soalnya nanti kebiasaan
buat para si gepeng.
Sources of power (Sumber kekuatan)
11. Siapa yang memiliki kekuatan atau yang berwenang untuk memberikan keputusan
dalam program rehablitasi gelandangan dan pengemis?
Yang punya kewenangan dalam urusan merazia itu kan Satpol PP, jadi yang berhak
mengambil dalam urusan merazia itu pihak kami, Satpol PP. Kita mah gausah kemana
mana dulu, kita ngejalanin undang-undangnya dulu, amanatnya dulu gausah ke yang lain,
jadi kita kalo langsung ke sasaran dasarnya apa kita ngelakuin itu.
12. Apakah program rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis didukung oleh
sumberdaya (dana, manusia) yang memadai?
Yang saya jelasin tadi SDM di kita kekurang dari segi jumlahnya secara kuantitas kita
kekurangan.
Nah untuk dana juga kita juga kekurangan tadi juga saya udah jelasin kalo misalkan kita
buat kontrol-kontrol gitukan butuh uang transport, buat orang yang kontrol juga kan butuh
buat untuk ngopi-ngopi mah.
Nah terkadang kita bingung nih pas kita baru beres ngejaring, si para gepeng ini mau di
kemanain nih. Dinsos juga belom punya tempat penampungan gitu. Semacem tempat buat
ngerehabnya juga belom ada.
13. Bagaimana Keterlibatan Satpol PP dalam mengawasi implementasi kebijakan tentang
rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis?
MEMBERCHECK
Kode : I3.1
Hari/Tanggal : Senin, 18 Desember 2017
Tempat wawancara : Kantor Dinas Sosial Provinsi Banten
Nama Informan : Asep Hanan
Pekerjaan / Jabatan : Kepala seksi Rehabilitasi Tuna Sosial Dinas Sosial Provinsi
Banten
Catatan Wawancara :
Sources of motivation (Sumber motivasi)
1. Siapa atau pihak mana yang secara faktual yang memproduk kebijakan tentang
rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?
Yang punya kewenangan membuat program rehabilitasi ini si di kabupaten/kota ya, kalo
di kota kan Dinas Sosial Kota Serang ya.
2. Siapa saja yang terlibat dalam pembuatan program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Kalo untuk di lapangan itu misalkan penertiban, ngerazia para gepeng itu kan
kewenangannya ada di Kabupaten/Kota yaitu di Dinas Sosial Kota Serang dan juga Satpol
PP nya
3. Apa tujuan dan manfaat adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Kalo tujuan program rehablitasi gepeng ini tentunya pengen ngerubah mindsetnya lah dari
tadinya dia ngemis, dia bisa usaha kecil-kecilan kaya jualan gorengan atau buka warung
kecil kaya gitu. Kan kalo program rehabilitasi ini, si gepeng keterampilan kaya bikin kue,
atau keterampilan montir, dan kalo dia mau dia dikasih modal sama kita. Ya kalopun
misalkan gak ngerubah dia, minimal dia turun ke jalannya ga sering, ya misalkan tadinya
dia di jalan 12 jam sekarang dia jalan cuma 5 jam.
4. Siapa yang menjadi sasaran adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Yang jelas yang jadi sasaran dari program ini tuh para gepeng, jangan sampe si gepeng itu
terus di jalan, ya minimal mereka itu produktif lah nggak terus nyari nafkahnya di jalanan.
5. Siapa yang terkena dampak dari adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Di program ini kan kita ngasih pembinaan kaya semacem ngasih keterampilan bikin kue
kaya tata boga gitu, selain itu juga kita ngasih keterapilan buat bengkel jadi si gepeng ini
punya keahlian lah semacem itu, nah kalo udah kaya gitu kita tinggal ngasih modal tuh ke
para gepeng, biar ga balik lagi ke jalan mereka lebih produktif kan kaya gitu. Nah dari situ
berdampak juga ke prilaku si gepeng, jadi mindset si gepeng ini kan berubah. Dengan
kaya gitu masyarakat ikut merasakan juga kan keuntungannya, jadi masyarakat juga ga
merasa ke ganggu tuh ama si gepeng.
6. Apa yang menjadi kendala dalam penyelenggaraan program rehabilitasi sosial
gelandangan dan pengemis?
Kendalanya ya kadang-kadang kalo dirazia itu si gepeng nya itu balik lagi balik lagi kaya
gak kapok-kapok, terus juga kategori kaya anak punk itu yang masih samar, itu masuknya
kemana nih, anak jalanan atau apa gitu kalo anak jalanan ada seksinya lagi, kalo yang
pake narkoba atau orang yang gila ada juga seksinya disini tapi kadang-kadang di tangani
oleh seksi kita juga. Ya emang susah juga kita mengkategorikannya juga, ya jadi
kendalanya itu kita susah buat mengkategorikannya
7. Pihak mana yang bertanggung jawab dalam menangani permasalahan program
rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis ini?
Kalo program ini si sebenernya yang punya kewenangan itu yang di kabupaten kota, juga
yang bertanggung jawab yang di kabupaten kota, biasanya kan mereka itu yang langsung
ke lapangan melakukan razia atau apa gitu, itu udah kewenangan di kabupaten kota,
Dinsos kota sama Satpol PP kalo kita terima sini ajalah.
8. Apakah program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis sudah memberikan
pengaruh terhadap kesejahteraan gelandangan dan pengemis khususnya?
Memberikan pengaruh tentunya, disinikan kami ngasih pelatihan kaya bikin kue, pelatihan
bengkel yang kaya disebutin tadi itu, keterampilan ngejahit. Nanti kami ngasih modal ke
mereka biar uang itu dijadiin modal usaha sama mereka.
9. Apa yang menjadi tolak ukur keberhasilan dalam penyelenggaraan program
rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?
MATRIK WAWANCARA
Sources Of Motivation (Sumber Motivasi)
a. Stakeholder (Pihak yang terlibat)
Q1 Siapa atau pihak mana yang
secara faktual yang memproduk
kebijakan tentang rehabilitasi
sosial gelandangan dan
pengemis?
Kesimpulan :
Pihak yang memproduk atau yang
membuat program ini adalah Dinas
Sosial Kota Serang. Dinas Sosial
juga yang mempunyai kewenangan
dan tanggung jawab terhadap
program rehabilitasi gelandangan
dan pengemis ini.
I1.1 Tentunya untuk yang membuat
program rehsos gepeng ini yaitu
dinsos, yaa khususnya seksi
bagaian yang menangani
gelandangan dan pengemis ini,
kami juga sebagai penanggung
jawab program ini
I1.2 Yang membuat program ini itu
adalah kepala seksi sesuai
dengan tupoksi, karena yang tau
permasalahan kan dari kita
sendiri sesuai dengan tupoksinya
I2.1 Untuk pembinaan dan rehablitasi
dan bantuan lain-lain adalah
tugas dari Dinas Sosial, dalam
kapasitas kita itu tugas
pokoknya hanya mengeksekusi
dari tempat kejadian terus
dikirim ke dinas sosial, yang
buat program ini kan dinas
sosial, jadi yang ngebina,
ngerehab, yang ngasih bantuan
itu Dinas Sosial dan juga
perencanaan dan segala
sesuatunya ada di Dinas Sosial,
soalnya mereka yang buat
programnya
I3.1 Yang punya kewenangan
membuat program rehabilitasi
ini si di kabupaten/kota ya, kalo
di kota kan Dinas Sosial Kota
Serang ya
Q2 Siapa saja yang terlibat dalam
pembuatan program rehabilitasi
sosial gelandangan dan
pengemis?
Kesimpulan :
Pihak-pihak yang terlibat dalam
pelaksaan program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini yaitu
Dinas Sosial Kota Serang sebagai
leading sector, Satuan Polisi Pamong
Praja Kota Serang, Dinas Pendidikan
Kota Serang, Dinas Kesehatan,
Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Serang, Dinas Tenaga
Kerja Kota Serang, bahkan
kepolisian yang ikut menangani anak
jalanan.
I1.1 Keterlibatannyan dalam
pemerintahan itu, pertama OPD
Dinas Sosial Kota Serang yang
harus mempunyai peran sesuai
dengan yang ada tupoksinya
rehabilitasi. Cuma rehabilitasi
tidak cukup Dinas Sosial
bagaimana kalo dia umpamanya
pendidikannya ingin
melanjutkan karena tidak
mampu, lulusan SMP yang tidak
punya izasah maka harus kejar
paket, nah itu terlibatlah Dinas
Pendidikan. Kita koordinasi dan
bekerjasama dengan Dinas
Pendidikan. Bagaimana cara
penanganannya,
pengambilannya, wewenang
untuk menangkap dan membawa
itu adalah Satpol PP, selain itu
juga bagaimana kalo dia nggak
punya dan pengen punya kartu
keluarga, pengen punya KTP,
nah Dinas Kependudukan juga
harus terlibat, nah bagaimana
kalo dia pengen bekerja kalo dia
emang sudah punya keahlian,
kita libatkan juga Disnaker
I1.2 Kepala Bidang disitu juga ada
Pak Kadis, kita kan awalnya
lihat dari data dan kenyataan
banyak di jalan anak jalanan,
gepeng, kita juga ngedata
melalui pos sahabat anak itu
juga dibantu oleh Peksos setelah
kita melihat data kan terus
gimana nih cara penanganannya,
nah maka dari itu kita rempugin
bareng-bareng bersama bapak
kabid dan bapak kadis. Banyak
juga kita berkoordinasi ada dari
lembaga ada juga dinas-dinas
terkait yang menangani tentang
program ini. Ya misalkan
dengan Disnaker, Kemenag,
Dinas Pendidikan, Dinas
Kesehatan yang sesuai
tupoksinya kaya BPJS
kesehatan, Kepolisian untuk
menangani anak jalanan kaya
gitu. Jadi kita ga sendiri
I2.1 Dalam rehabilitasi gepeng ini
kita emang dilibatkan sesuai
tupoksi kita yaitu menjaring atau
merazia para gepeng yang ada
dijalanan. Ini juga kan masuk
kewenangan kita, terus tupoksi
kita ini kan dari perwal yang
didasari oleh perda pekat
tersebut
I3.1 Kalo untuk di lapangan itu
misalkan penertiban, ngerazia
para gepeng itu kan
kewenangannya ada di
Kabupaten/Kota yaitu di Dinas
Sosial Kota Serang dan juga
Satpol PP nya
b. Purpose (Tujuan)
Q3 Apa yang menjadi tujuan dari
program rehabilitasi sosial
gelandangan dan pengemis?
I1.1 Ya untuk tujuannya mah
inginnya kami pemerintah si
tetep satu, ingin mengentaskan
kemiskinan kalo tujuan secara
umumnya mah itu, sama
mengentaskan pengangguran.
Ya khususnya dari program ini
inginnya mah itu, si gepeng itu
mendapat keterampilan juga dia
bisa merubah prilakunya sama
mindsetnya
Kesimpulan :
Tujuan dari program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini yaitu
untuk mengurangi jumlahnya dan
juga merubah prilaku dan mainset
para gelandangan dan pengemis,
dengan cara memberikan pembinaan,
memberikan keterampilan dan
keahlian kepada para gelandangan
dan pengemis agar mereka
mempunyai keterampilan dan
keahlian sehingga para gelandangan
dan pengemis ini untuk tidak terus
berada di jalanan dan juga mereka
bisa mencari nafkah dengan tidak
meminta-minta.
I1.2 Sebenernya mah dari tujuannya
mah kaya sederhana tapi
dalemnya rumet ya, itu
menghilangkan si tidak
mungkin, tapi kita
meminimalisir jumlahnya
I2.1 Dari kita mah tujuannya pengen
si gepeng ini ngerasa kapok lah
ada di jalanan, jadi mereka itu si
gepeng ini gak balik-balik ke
jalan lagi, kan dengan kaya gitu
bisa ngubah mainsetnya
I3.1 Kalo tujuan program rehablitasi
gepeng ini tentunya pengen
ngerubah mainsetnya lah dari
tadinya dia ngemis, dia bisa
usaha kecil-kecilan kaya jualan
gorengan atau buka warung kecil
kaya gitu. Kan kalo program
rehabilitasi ini, si gepeng
keterampilan kaya bikin kue,
atau keterampilan montir, dan
kalo dia mau dia dikasih modal
sama kita. Ya kalopun misalkan
gak ngerubah dia, minimal dia
turun ke jalannya ga sering, ya
misalkan tadinya dia di jalan 12
jam sekarang dia jalan cuma 5
jam
I4.1 Tujuannya, tentunya untuk
mengurangi para gelandangan
dan pengemis jangan sampai ada
yang turun ke jalan tentunya
Q4 Siapa yang menjadi sasaran
adanya program rehabilitasi
sosial gelandangan dan
pengemis?
Kesimpulan :
yang menjadi sasaran dari program
rehablitasi gelandangan dan
pengemis ini yaitu para gelandangan
dan pengemis
I1.1 Tentunya yang jadi sasaran
utamanya itu para gelandangan
pengemis, kalo untuk sasaran
utamanya.
I1.2 Dalam Perda pekat ini kan tidak
hanya untuk gepeng dan anak
jalanan ataupun pekat yang
lainnya ya, kita kan ada berbasis
masyarakat ya otomatis
masyarakat juga diikut sertakan,
terutama minimalnya tau bahwa
ada peraturan atau perda yang
ngelarang gepeng dan anak
jalanan itu tidak boleh gitu kan
I2.1 Pastinya yang kita jadiin target
sasaran para penyakit
masyarakat termasuk juga para
gelandangan dan pengemis. Kita
kan sebagai penegak hukum
daerah, ya kita tugasnya merazia
para pekat penyakit masyarakat
ini termasuk juga para gepeng.
I3.1 Yang jelas yang jadi sasaran dari
program ini tuh para gepeng,
jangan sampe si gepeng itu terus
di jalan, ya minimal mereka itu
produktif lah nggak terus nyari
nafkahnya di jalanan
I4.1 Ya yang pastinya yang jadi
sasarannya itu para gelandangan
dan pengemis itu. Soalnya kan
program ini ditujukannya ke
mereka.
Q5 Siapa yang terkena dampak dari
adanya program rehabilitasi
sosial gelandangan dan
pengemis?
Kesimpulan :
Yang terkena dampak dari program
rehablitasi gelandangan dan
pengemis ini adalah para
gelandangan dan pengemis itu
sendiri sehingga masyarakat juga
ikut merasakan dampak dari program
ini.
I1.1 Sebenernya mah gini ya, yang
terkena dampak dari program ini
tuh kan para gepeng, ya artinya
program ini memberikan
pengaruh ke si gepeng ini biar ga
ke jalanan lagi. nah kalo udah
kaya gitu kan, si gepeng udah
bisa nyari nafkahnya gak turun
ke jalan, bisa juga kan
berdampaknya ke masyarakat.
Masyarakatkan nantinya gak
keganggu lagi sama adanya
gepeng ini
I1.2 Tentunya yang terkena
dampaknya itu para gepeng anak
jalanan itu sendiri ya, soalnya
kan mereka yang kita kasih
pembinaan kasih bantuan,
dengan kaya gitukan yang kena
dampak mereka
I2.1 Masyarakat akan dirasakan
langsung dampaknya, coba kalo
misalkan program ini bisa
istilahnya membuat si gepeng ini
sadar, tentunya dampaknya ke
masyarakat, masyarakat ga ke
ganggu lagi dong ama aktifitas
gepeng ini
I3.1 Di program ini kan kita ngasih
pembinaan kaya semacem
ngasih keterampilan bikin kue
kaya tata boga gitu, selain itu
juga kita ngasih keterapilan buat
bengkel jadi si gepeng ini punya
keahlian lah semacem itu, nah
kalo udah kaya gitu kita tinggal
ngasih modal tuh ke para
gepeng, biar ga balik lagi ke
jalan mereka lebih produktif kan
kaya gitu. Nah dari situ
berdampak juga ke prilaku si
gepeng, jadi mainset si gepeng
ini kan berubah. Dengan kaya
gitu masyarakat ikut merasakan
juga kan keuntungannya, jadi
masyarakat juga ga merasa ke
ganggu tuh ama si gepeng
I4.1 Dampak dari program ini
tentunya kepada masyarakat,
kalo misalkan gelandangan dan
pengemis sudah berkurang lah
jumlahnya, tentunya masyarakat
juga yang nyaman kan
Q6 Apa yang menjadi kendala
dalam penyelenggaraan program
rehabilitasi sosial gelandangan
dan pengemis?
Kesimpulan :
Yang menjadi kendalanya dalam
program rehabilitasi gelandangn dan
pengemis itu adalah SDM yang
kurang memadai, ada juga dari
tempat penampungan dan tempat
rehablitasi para gelandangan dan
pengemis, kurangnya
keharmonisasian dan kurangnya
koordinasi dari organisasi perangakat
daerah terkait, dan juga anggaran
yang belum memadai serta
kurangnya peran serta masyarakat
untuk mematuhi peraturan daerah
yang melarang memberikan uang
pada pengemis.
I1.1 Hal-hal yang jadi kendalanya itu
pertama, SDM. Di bagaian
bapak satu bidang aja belom
punya staf, harunya mah kasie
itu minimal punya satu,
pembantu bapak itu harusnya
mah ada minimal satu tapi bapak
belom punya. Sebenrmya bukan
bapak aja ini yang belom punya
malah di bidang ini belom punya
staf. Ya selain itu juga
kendalanya kadang-kadang
OPD-OPD lainya itu istilahnya
kurang harmonis. Sebenernya
kalo bicara soal itu mah jelek
juga, ya mau gimana lagi begitu
kenyataannya. Kemudian kami
dinsos belom punya juga tempat
penampungan buat para gepeng
yang udah di razia sama Satpol
PP. Gimana mau nampung kita
juga kantornya masih ngontrak
kan ya gitu. Ya otomatis juga
penganggaran juga oleh kita
sangat dibutuhkan. Nah tempat
rehabilitasi juga tuh, itu yang
pertama tempat rehabilitasi itu
belom ada
I1.2 Kendalanya memang belum
nyambungnya ya antara
keinginan dan tujuan pemerintah
dan masyarakat belom sejalan
gitu. Karena kita juga sadar diri
ya, SDM dari kita Dinas Sosial
kurang ya sehingga tidak
mencukupi untuk tenaga di
sosialisasi di jalan. Karena kita
harusnya banyak ke jalan ya, nah
tenaga itulah kita yang kurang.
Sebenernya mah kendalanya
juga kesadaran lah dari kita
semua ya khususnya masyarakat
bahwa kita disini punya program
buat merubah anak jalanan.
I2.1 Kendalanya dari kita itu
kurangnya SDM, kurangnya
disini itu dari segi kuantitas ya
bukan dari kualitas. Kalo dari
kualitas si saya yakin lah
kualitasnya bagus, tapi disini
kami hanya kekurangan
kuantitas. Selain itu juga dari
segi finansial, nah ini ni yang
susah. Nah kaya yang saya
sebutin tadi susah kalo ga ada
duit mah mau jalannya ajasusah,
ya mau gimana lagi itu faktanya.
Ya terkadang anggaran untuk
kita kontrol aja, terkadang pake
kantong pribadi itu istilahnya
buat bensin-bensin doang mah.
I3.1 Kendalanya ya kadang-kadang
kalo dirazia itu si gepeng nya itu
balik lagi balik lagi kaya gak
kapok-kapok, terus juga kategori
kaya anak punk itu yang masih
samar, itu masuknya kemana
nih, anak jalanan atau apa gitu
kalo anak jalanan ada seksinya
lagi, kalo yang pake narkoba
atau orang yang gila ada juga
seksinya disini tapi kadang-
kadang di tangani oleh seksi kita
juga. Ya emang susah juga kita
mengkategorikannya juga, ya
jadi kendalanya itu kita susah
buat mengkategorikannya.
I4.1 Kendalanya ya memang itu
terkadang para gepeng itu pas
kita samperin itu pada lari, terus
dari si gepeng itu juga kurang
keterbukaan kitakan jadinya
susah buat ngedatanya. Kita juga
butuh kerjasama dari masyarakat
untuk berperan untuk ikut dalam
program ini ya minimal ikut
mengikuti peraturan yang ada,
kan di perda juga ada pelarangan
buat ngasih para gepeng.
Q7 Pihak mana yang bertanggung
jawab dalam menangani
permasalahan program
rehabilitasi sosial gelandangan
dan pengemis ini?
Kesimpulan :
Pihak yang bertanggung jawab atas
masalah-masalah yang terjadi dalam
program rehablitasi gelandangan dan
pengemis ini yaitu terutama Dinas
Sosial Kota Serang sebagai instansi
yang menjadi penanggung jawab
program, namun seluruh elemen
masyarakat juga harus bertanggung
jawab untuk ikut andil dalam
program ini dengan tidak memberi
apapun kepada gelandangan dan
pengemis. Selain itu instansi-instansi
terkait juga harus mempunyai rasa
tanggung jawab dalam menangani
masalah yang ada.
I1.1 Harusnya semuanya OPD-OPD
terkait ikut bertanggung jawab,
ya terutama OPD Dinas Sosial
dan Satpol PP
I1.2 Sebenernya semua, cuma kan
yang jadi leading sectornya dan
tupoksinya Dinas Sosial Kota
Serang ya otomatis kita harus
bertanggung jawab merangkul
kesemuanya ke OPD lain atau
juga ke masyarakatnya.
I2.1 Kan yang jadi penanggung
jawab program ini kan Dinas
Sosial, jadi kalo misalkan ada
masalah-masalah yang terjadi
dinsosnya yang bertanggung
jawab, kalo kita bertanggung
jawab kalo tiap penjaringan,
ngerazia, baru kita yang
tanggung jawab
I3.1 Kalo program ini si sebenernya
yang punya kewenangan itu
yang di kabupaten kota, juga
yang bertanggung jawab yang di
kabupaten kota, biasanya kan
mereka itu yang langsung ke
lapangan melakukan razia atau
apa gitu, itu udah kewenangan di
kabupaten kota, Dinsos kota
sama Satpol PP kalo kita terima
sini ajalah.
I4.1 Yang bertanggung jawab itu
Dinas Sosial dan juga unsur
masyarakat seluruhnya. Dinas
sosial kan lembaga pemerintah
ya, jadi untuk lembaga ini Dinas
Sosial yang bertanggung jawab
tapi harus ada peran serta
masyarakat.
Q8 Upaya apa yang dilakukan
pemerintah dalam menangani
permasalahan terkait program
rehabilitasi sosial gelandangan
dan pengemis?
Kesimpulan :
Upaya-upaya yang di lakukan oleh
pihak-pihak yang bertanggung jawab
dalam mengatasi masalah yang
terjadi adalah seperti dari kekurang
Sumber Daya Manusia (SDM) pihak
Dinas Sosial Kota Serang
membentuk sebuat satuan tugas
(Satgas) atau Petugas Sosial yang
akan membantu Dinas Sosial dalam
menangani para gelandangan dan
pengemis. Hampir sama seperti
pihak Dinas Sosial, Satpol PP
melakukan perekrutan petugas
sebanyak 30 orang oleh anggota asli
yang sebanyak 5 orang. Pihak Dinas
Sosial dalam mengatasi masalah
anggaran mereka mengirimkan para
gelandangan dan pengemis ke pihak
I1.1 Saya juga kan gak punya staf,
kalo ada anggarannya bapak
juga membentuk tim
sukarelawan. Ya artinya
semacem petugas sosial, satgas
satuan tugas sepuluh orang. Kalo
misakan anggaran kita gada, kita
ngirim para gepeng ini ke
provinsi, Dinsos provinsi buat
direhab disana kira-kira sepuluh
orang kita kirim ke sana, ya
salah satu pelayanan kita kaya
gitu kalo anggarannya ngga ada.
I2.1 Dari faktor SDM yang
sesungguhnya kami kekurangan.
ya walaupun istilahnya kami
melakukan tugas cuma lima
orang tapi alhamdulillahnya di
dalam lima orang ini kami
merekrut hampir tiga puluh
orang. Dia tau upamanya kami
operasi yang tiga puluh orang ini
harus ikut karena juga ada SP
nya. Kalo dari segi dana kami
untuk kontrol aja seperti yang
saya udah jelasin kami sering
pake kantong pribadi buat
bensin-bensin mah, kan kalo
mau jalan buat ngontrol mah
buat bensin mah harus ada
Dinas Sosial Provinsi Banten untuk
di rehablitasi. Sedangkan yang
dilakukan Satpol PP untuk mengatasi
anggaran adalah sering
menggunakan dana pribadi untuk
setidaknya melakukan kontrol di
jalanan.
Q9 Apakah program rehabilitasi
sosial gelandangan dan
pengemis sudah memberikan
pengaruh terhadap kesejahteraan
gelandangan dan pengemis
khususnya?
Kesimpulan :
Program rehabilitasi gelandangan
dan pengemis ini memberikan
pengaruh kepada para gelandangan
dan pengemis, karena dalam
program rehabilitasi ini memberikan
keterampilan dan keahlian yang
nantinya diberikan modal usaha
kepada para gelandangan dan
pengemis untuk bisa menjadi
mandiri dan lebih produktif,
sehingga tidak harus kembali lagi ke
jalanan.
I1.1 Ya artinya program ini
memberikan pengaruh ke si
gepeng ini, ada juga yang sudah
merasakan lelah, kepengen
berubah pekerjaannya, ada yang
setelah ikut pelatihan anak-anak
berenti ngamen, ya kalo
istilahnya mah ikut ngedesain
nyetak foto yang namanya itu
pelatihan sablon. Termasuk juga
yang telah dilatih montir motor,
dia udah bisa buka bengkel. Tapi
ya itu, gak begitu saja berubah
jadi sewaktu-waktu dia bisa
balik lagi ke jalan, ya bisa aja ke
pengaruh sama temen-temen
jalanannya.
I1.2 Kalo untuk kesejahteraannya
mah belom, namun berubah gitu
dari prilakunya kalo misalkan
kesejahteraan mah dari jumlah
segitu palingan yang baru sedikit
ya.
I2.1 Pastinya ngasih pengaruh ke si
para gepeng, ya sedikit
banyaknya ngasih pengaruh ke si
gepeng. Ada juga kan yang udah
direhab dia berenti ngamen
ngemis dia jadi usaha dagang, ya
sedikit banyaknya ngasih
pengaruh.
I3.1 Memberikan pengaruh tentunya,
disinikan kami ngasih pelatihan
kaya bikin kue, pelatihan
bengkel yang kaya disebutin tadi
itu, keterampilan ngejahit. Nanti
kami ngasih modal ke mereka
biar uang itu dijadiin modal
usaha sama merek.
I4.1 Sangat, sangat memberikan
berpengaruh contoh, para
gepeng atau anak yang awalnya
mengamen ya, nah saat
diberikan pelatihan secara
kemampuan dan alhamdulillah
di satu tahun yang lalu kita ada
keterampilan sablon, setelah itu
skill kan ada nih, sudah terasah
gitu kan, kita berikan dari dinas
sosial alat, nah agar mereka
kurang lah jumlahnya gitu.
c. Measure of Improvement (Ukuran Perbaikan/Tolak Ukur)
Q10 Apa yang menjadi tolak ukur
keberhasilan Seksi Bagian
Gelandangan dan Pengemis
dalam penyelenggaraan program
rehabilitasi sosial gelandangan
dan pengemis?
Kesimpulan :
Tolak ukur keberhasilan dari
program ini adalah berkurangnya
jumlah gelandangan dan pengemis di
setiap tahunnya. Kemudian
tercapainya jumlah para gelandangan
dan pengemis yang ingin direhab
dari jumlah yang ditargetkan di awal.
Selain itu pula para gelandangan dan
pengemis ini sadar dan tidak balik-
balik lagi ke jalanan, serta kesadaran
dari masyarakat untuk tidak memberi
kepada para gelandangan dan
pengemis.
I1.1 Yang menjadi tolak ukurnya ya
sekarang udah keliatan biasanya
mah pagi-pagi sampai itu tuh
udah ada para gepeng. Kalo
sekarang ya Alhamdulillah, jadi
berkurangnya ya gitu,
berkurangnya para gepeng.
I1.2 Kalo yang jadi tolak ukur
keberhasilan dari ibu si
sederhana yah, kalo
menghilangkan kan ga
mungking, ya minimal
mengurangi jumlahnya itu.
I2.1 Tugas Satpol PP itu cuma
eksekutor pembinaannya kan
dari Dinsos, tugas kita tuh cuma
sedikit cuma pelarangan saja. Ya
disini yang menjadi tolak ukur
kita para gepeng ini ga balik lagi
ke jalan, dan masyarakatnya
juga sadar kalo ngasih para
pengamen pengemis itu dilarang,
jadi kalo misalkan ada gepeng
yang minta-minta coba lah
jangan dikasih, ya walaupun
istilahnya kita ngerasa ga tega
iba ke si gepeng itu. Soalnya
nanti kebiasaan buat para si
gepeng
I3.1 Minimal kita mengurangi jumlah
gepeng tiap tahunnya untuk
meminimalisir, dan juga tolak
ukurnya misalkan kita melatih
sepuluh orang, ya
terlaksanakannya juga sepuluh
orang, ya kita mencapai apa
yang ditargetkan lah bisa di
bilang begitu.
I4.1 Yang pasti tolak ukurnya jumlah
gepeng atau anak jalanan itu
berkurang ada perubahan lah
dari mereka untuk ngga ke
jalanan lagi.
Sources Of Power (Sumber Kekuatan)
a. Decision-maker (Pembuat Keputusan)
Q11 Siapa yang memiliki kekuatan
atau yang berwenang untuk
memberikan keputusan dalam
program rehablitasi gelandangan
dan pengemis?
Kesimpulan :
Yang berhak mengambil keputusan
dalam program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini adalah
masing-masing pihak yang
mempunyai kewenangan. Seperti I1.1 Kalo yang buat ngambil
keputusan mah tentunya pihak
yang punya kewenangnya
masing-masing ya kalo kita kan
dinsos yang ngasih pembinaan,
pelatihan, keterampilan kaya
gitu ya jadinya kalo yang
ngambil keputusan di program
pembinaan ini mah ya kita. Kalo
Satpol PP kan kewenangannya
buat ngejaring, ngerazia para
gepengnya, jadi kalo urusannya
soal ngerazia mah pihak Satpol
PP.
Dinas Sosial Kota Serang yang
menjadi penanggung jawab program
rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini mempunyai
kewenangan untuk memutuskan apa
yang akan dilakukan. Satpol PP
memiliki kewenangan dalam
menjaring dan merazia para
gelandangan dan pengemis, maka
dari itu Satpol PP memiliki
kewenangan dalam pengambilan
keputusan untuk urusan merazia para
gepeng. I1.2 Ya yang mengambil
keputusannya ya masing-masing
kepala seksi di sini, kita kan
ngerempugin bersama-sama ya.
I2.1 Yang punya kewenangan dalam
urusan merazia itu kan Satpol
PP, jadi yang berhak mengambil
dalam urusan merazia itu pihak
kami, Satpol PP. Kita mah
gausah kemana mana dulu, kita
ngejalanin undang-undangnya
dulu, amanatnya dulu gausah ke
yang lain, jadi kita kalo langsung
ke sasaran dasarnya apa kita
ngelakuin itu
I3.1 Untuk masalah itu mah masing-
masing punya kewenanganannya
masing-masing, ya kalo kita mah
dinsos provinsi cuma ngejalanin
program yang emang pesertanya
kiriman dari kabupaten/kota
Q12 Apakah Perda terkait tentang
gelandangan dan pengemis perlu
direvisi?
Kesimpulan :
Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun
2010 tentang penyakit masyarakat
belum cukup kuat guna mecegah
adanya pengemis serta belum cukup
kuat pula untuk menjadi dasar
hukum untuk program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis sehingga
perlunya merevisi isi dari perda
tersebut. Namun dalam mengganti
perda tersebut tidak mudah
dikarenakan biaya yang dibutuhkan
I1.1 Kalo menurut pandangan saya
mah ya tetep perlu direvisi
karena dari kata-katanya juga
terlalu kasar. Pemberantasan,
disitu ada kata-kata
pemberantasan. Ya kalo
pemberantasan harus diberantas
lah.
I1.2 Kalo liat dari itu mah diliat dari
dalem isi perdanya itu ya belom
dilaksanakan semua ya, buktinya
disosialisasikan ke
masyarakatnya juga belum ya,
misalkan katanya orang-orang
yang ngasih ke gepeng katanya
kena sanksi nyatanya tidak kena
sanksi. Sehingga perda itu belom
kuat.
untuk pembuatan perda cukup
mahal.
I4.1 Saya pikir cukuplah, tinggal
bagaimana sosialisasinya saja
yang memang kurang.
I5.1 Ya kalo soal revisi itu, dilihat
dulu sejauh mana pelaksanaan
implementasinya itu, perda itu
direvisi itu banyak alasannya,
apa karena banyak aturan yang
diubah, ada kebutuhan di
masyarakat yang berubah gitu
kan. Soalnya kalo bikin perda
tuh mahal.
Q13 Apa saja yang dilakukan dalam
memberikan pelayanan
rehablitasi?
Kesimpulan :
Dinas Sosial Kota Serang dan Dinas
Sosial melakukan koordinasi dalam
pelaksanaan program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini.
Pelayanan yang diberikan kepada
gelandangan dan pengemis berupa
pembinaan keagamaan, pendidikan,
pelatihan menyablon, tata boga dan
montir motor.
I1.1 Tentunya pelayanan yang
diberikan itu pertama ya artinya
memberikan pembinaan seperti
kita kumpulkan para gepeng
terus kita kasih pembinaan
keagamaan biar balik ke jalan
yang benar menurut agama.
Terus ya kebutuhannya, kalo
memang dia pengen kebutuhan
ya kita berikan dengan cara
kemudahan, ya misalkan si
gepeng minta pengen pelatihan
montir motor ya kita berikan lah
gitu. Pengiriman ketempat
pelatihan atau ketempat
rehabilitasi yang dilaksanak
sama pihak Dinsos provinsi
I1.2 Kami kirimkan anak jalanan itu
ke sekolah memberikan program
paket c, kita juga menawarkan
kepada anak-anak jalanan siapa
yang mau ke sekolah atau ke
pesantren bahwa ada anak
jalanan yang minta di beliin baju
koko, peci, sarung, kami
berikan. Ya pokoknya kami
pengennya mereka berubah biar
ga di jalan lagi
I3.1 Kami memberi pelayanan ya
berupa pembinaan, pelatihan
keterampilan kaya lpk gitu kan,
tata boga, ada juga kami beri
pelatihan montir atau otomotif
gitu.
I4.1 Pelayanan yang diberikannya
itu, yaitu tadi kita kasih
pembinaan, pendidikannya juga
kita kasih, pelatihan skill kaya
sablon, montir motor, nah kalo
udah dikasih pelatihan gitu,
mereka udah punya keahlian kita
kasih alatnya
Q14 Apakah kebutuhan gelandangan
dan pengemis selama di rehab
telah diberikan secara
maksimal?
Kesimpulan :
Kebutuhan para gelandangan dan
pengemis sudah dipenuhi walaupun
tidak dipenuhi 100% karena memang
anggaran yang adapun belum
memadai. Para gelandangan dan
pengemis pun diberi bantuan hanya
pada proses perehaban saja, dalam
proses perehaban mereka diberikan
makan setiap harinya, diberikan
pelatihan, dan diberikan peralatanya
juga jika di dalam program
rehabilitasi tersebut. Pengemis yang
masih anak-anak pun diberikan
kebutuhan sesuai yang apa yang
mereka inginkan seperti ingin masuk
pesantren, pihak Dinas Sosial Kota
Serang pun memasukannya ke
pesantren. Dinas Sosial Kota Serang
sudah memenuhi kebutuhan para
gelandangan dan pengemis walaupun
belum memenuhi kebutuhan secara
maksimal dan belum total 100%.
I1.1 Kalo di tempat rehabilitasi si
dikasih kebutuhan secara
maksimal, itu kalo di tempat
rehabilitasi, ya kalo cuma
pembinaan aja belom maksimal.
Kalo sampe pendidikan
keterampilan, termasuk juga
bantuan peralatannya itu udah
maksimal. Ya maksimal sertus
persen si belum. Artinya udah
maksimal aja, kalo misalkan
dikasih bantuan seratus persen
mah dia juga harus di kasih
modal yang sepuluh juta itu
I1.2 Kalo kebutuhan si kita kasih ya,
kaya kemaren ya anak yang
pengen masuk pesantren, kita
kerjasama sama Kemenag kita
masukin pesantren. Eh baru dua
hari si anak itu di jalan lagi
alesannya si pengen sarung,
pengen Al-quran peci ibu turutin
pengennya kaya gimana coba,
ibu kumplitin deh kita dateng ke
orang tuanya kita turutin si anak
itu maunya apa. Ya karena kita
pengennya itu si anak ini bisa
gitu ga ke jalan lagi
I3.1 Terpenuhi, kita kasih makan.
kalo kita kan pembinaannya di
luar panti, nah kalo di dalem
panti terpenuhi kebutuhannya
karenakan disana sekitar sebulan
yah, seperti sarapan pagi di situ
terus juga dalam pemberian
materi juga di kasih disana.
I4.1 Nah kan kita melakukan
pembinaan selama tiga hari.
Kebutuhan mereka juga
alhamdulillah terpenuhi, mereka
juga dilatih dan dibina di anyer
di hotel artinya mereka juga
membutuhkan refresing lah ya
b. Resources (Sumber Daya)
Q15 Apakah program rehablitasi
sosial gelandangan dan
pengemis didukung oleh
sumberdaya (dana, manusia)
yang memadai?
Kesimpulan :
Sumber daya manusia dalam
penyelenggaraan program
rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini kurang memadai.
Sumber daya manusia yang dimiliki
Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial
Dinas Sosial Kota Serang kurang
mencukupi karena di seksi tersebut
belum memiliki staff satu pun, sama
halnya juga dengan Seksi Rehablitasi
Sosial Anak Dinas Sosial Kota
Serang yang belum memiliki staf.
Sehingga kekurang sumber daya
manusia juga membuat seksi-seksi
tersebut sulit untuk
mensosialisasikan kepada pada
gelandangan dan pengemis. Untuk
Satpol PP juga merasa kekurangan
dari segi jumlah sumber daya
manusia namun untuk kualitas dari
sumber daya manusia dari Satpol PP
I1.1 Seperti yang udah jelasin tadi
perbidang aja belom punya staf,
kasie ini aja kan ga punya staff.
Ya minimal punya satu lah staff.
Dana juga menurut saya mah
kurang memadai, tempat
rehabilitasi juga kan gada kita
mah. Jadi terkadang kita kirim
ke Dinsos provinsi buat direhab.
Ya tadi itu kita belum memiliki
tempat rehabilitasi untuk para
gelandangan dan pengemis. ya
kita aja kantor dinas nya
statusnya masih ngontrak, ya
istilahnya daripada buat tempat
rehabilitasi mending buat kantor
dulu. Rumah singgah juga kan
kita belom punya.
I1.2 Memangnya juga Dari SDMnya
juga kita kekurangan ya,
sehingga tidak mencukupi
tenaga untuk kita bersosialisasi
di jalan.
Dan untuk dana sendiri, kita di
situlah kelemahannya memang
minim sekali dari pendanaannya
ya kurang mendukung kalo dari
dana. Ya tetapi walau minimnya
pendanaan di situ kita ya
minimal kita bisa ngebantu
mereka walau sedikit jumlahnya.
Ya kita sendiri dinas sosial
belum memiliki tempat pusat
rehabilitasi untuk para gepeng
atau anjal ini di berikan
semacam pembinaan atau
pelatihan apa gitu. Ya kita
sendiri bingung ya, kalo buat
nampungnya itu.
dirasa sudah cukup memadai dan
bisa dibilang sudah baik. Anggaran
untuk menunjang program
rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini belum memadai.
Bahkan rehabilitasi gelandangan dan
pengemis Dinas Sosial Provinsi
Banten untuk tahun depan
kemungkinan tidak ada karena
anggaran yang berasal dari APBD
terpangkas oleh pembangunan untuk
sektor fisik seperti infrstruktur dan
jalan. Sarana dan prasarana sebagai
penunjang program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis yang
dilakukan oleh Dinas Sosial Kota
Serang belum memadai. Dinas Sosial
Kota Serang sendiri belum
mempunyai sebuah tempat untuk
pusat rehabilitasi para gelandangan
dan pengemis. Rumah singgah juga
yang seharusnya digunakan untuk
singgah ataupun untuk tempat
penampungan para gelandangan dan
pengemis yang terjaring pun belum
ada.
I2.1 Yang saya jelasin tadi SDM di
kita kekurang dari segi
jumlahnya secara kuantitas kita
kekurangan. Nah untuk dana
juga kita juga kekurangan tadi
juga saya udah jelasin kalo
misalkan kita buat kontrol-
kontrol gitukan butuh uang
transport, buat orang yang
kontrol juga kan butuh buat
untuk ngopi-ngopi mah.
Terkadang kita bingung nih pas
kita baru beres ngejaring, si para
gepeng ini mau di kemanain nih.
Dinsos juga belom punya tempat
penampungan gitu. Semacem
tempat buat ngerehabnya juga
belom ada.
I3.1 Kalo dibilang memadai, ya
kayanya belum memadai si
karena kita ingin targetnya
banyak kuotanya yang ingin
dilatih ya. Itu juga untuk tahun
depan si kayanya gada program
ini karena kan APBD sekarang
terpangkas untuk prioritasnya ke
sektor fisik kaya infrasutruktur
dan jalan atau apa gitu.
c. Decision Environment (Keputusan Lingkungan)
Q16 Bagaimana Dinas Sosial Kota
Serang dalam mengawasi
implementasi kebijakan tentang
rehablitasi sosial gelandangan
dan pengemis dan apakah
melibatkan pihak lain?
Kesimpulan :
Pengawasan yang dilakukan oleh
Dinas Sosial Kota Serang yaitu
dengan turun ke jalan untuk
mengawasi para gelandangan dan
pengemis apakah masih banyak
keberadaan mereka di jalan-jalan dan
apakah para gelandangan dan
pengemis yang sudah direhab
kembali ke jalanan atau tidak. Serta
pengawasan yang dilakukan juga
dengan mengawasi para gelandangan
dan pengemis yang sudah mendapat
bantuan dari Dinas Sosial yang
melalui program rehabilitasi ini
digunakan dengan semestinya atau
tidak. Hal ini dilakukan untuk
mengukur apakah program yang di
selenggarakan oleh Dinas Sosial
Kota Serang sudah berhasil atau
belum. pengawasan untuk program
rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini hanya dilakukan oleh
pihak Dinas Sosial Kota Serang Saja,
pihak Satpol PP sebagai pihak yang
merazia para gelandangan dan
pengemis tidak diikut sertakan
karena memang bukan menjadi
kewenangan dan pihak Satpol PP.
Pihak Satpol PP hanya di libatkan
jika Dinas Sosial membutuhkannya
saja. Dalam pengawasan ini tenaga
kesejahteraan sosial kecamatan
serang lah yang dilibatkan dalam
pengawasan.
I1.1 Kalo pengawasan dari kita si
cuma turun ke jalanan terus
ngontrol gepeng itu masih
banyak ga atau yang kemaren
kita rehab itu turun lagi ga ke
jalan, kalo misalkan jalan-jalan
sepi dari gepeng kan berarti
berhasil program kita ini
I1.2 Ya memang pengawasannya kita
melalui petugas pos sahabat
anak, apakah dia berfungsi atau
mereka berjalan sesuai dengan
tupoksinya dan bisa di
manfaatkan gitu. Juga
pengawasannya ke mereka yang
dapet bantuan dari kita, kaya
gitu pengawasannya
I2.1 Kita mah ga ikut mengawasi kan
itu di luar kewenangan dari kita,
yang mengawasi program ini ya
dinsos aja selaku penanggung
jawab program, kalo itu mah
dari kewenangan kita, kita ikut
mengawasi kalo misalkan dinsos
membutuhkan kita aja.
I4.1 Untuk pengawasan kami
dilibatkan, karena ketika gepeng
atau anak-anak jalanan kita
sudah ada ketentuan tetep kita
kontrol, pengawasan kan gitu.
Q17 Bagaimana Dinas Sosial Kota
Serang dalam mengevaluasi
program rehablitasi sosial
gelandangan dan pengemis?
Kesimpulan :
bahwa hal yang di evaluasi dalam
program rehabilitasi gelandangan
I1.1 Ya yang harus dibenahi itu
terutama tadi itu tempat
rehabilitasi atau UPT, harus ada
secara khusus yang menangani
gepeng ini. Jadi Dinas Sosial itu
membawahi yaitu UPT
evaluasinya itu. Selain itu juga
yang tadi itu penambahan SDM,
kalo untuk anggaran mah itu
udah jelas harus ada.
dan pengemis ini adalah dari segi
sarana dan prasarana, anggaran, dan
juga sumber daya manusia yang
belum memadai. Dinas Sosial Kota
Serang juga mengevaluasi kinerja
dari petugas sahabat anak yang
menangani pengemis yang masih
anak-anak atau yang sering di kenal
dengan anak jalanan. Selain itu
Dinas Sosial mengevaluasi
bagaimana penjangkauan terhadap
para gelandangan dan pengemis, dan
juga Dinas Sosial mengevaluasi
kepedulian lingkungan para
gelandangan dan pengemis yang ada
di jalanan. Dinas Sosial Kota Serang
juga menginginkan adanya unit
pelaksana tugas (UPT) yang khusus
menangani masalah gelandangan dan
pengemis ini.
I1.2 Kalo kita mengevaluasi ya itu
tadi, ibu suka mengevaluasi kalo
ada pertemuan-pertemuan baik
di intern yang mana melibatkan
awal dari kita lihat dari sarana
dan prasarana yang selama ini
belom ada buat pembinaannya,
anggarannya juga kan sedikit
kurang mendukung. Selain itu
juga kita membahas tentang
petugas pos sahabat anak, terus
jumlah daripada kita
pelaksanaan penjaringan atau
penjangkauan bukan termasuk
razia kareba kalo razia itu Satpol
PP, terus selain itu juga dari
lingkungan para gepeng itu. Nih
ada kepedulian ga nih
lingkungan mereka terhadap si
gepeng ini di jalan. Dalam hal
ini para gepeng masih banyak
tidak yang ada di jalanan.
Sources of knowledge (Sumber pengetahuan)
a. Professional (Tenaga Ahli)
Q18 Apa peran Dinas Sosial Kota
Serang dalam perumusan
program rehablitasi sosial
gelandangan dan pengemis dan
siapa saja yang dilibatkan?
Kesimpulan :
Dinas Sosial berperan sebagai
leading sector dan juga penanggung
jawab program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis. Yang
mana dalam merumuskannya yaitu
pertama dari kepala seksi rehabilitasi
sosial tuna sosial, yang nantinya di
koordinasikan dengan kepala bidang
I1.1 Ya kita berperan sebagai leading
sectornya sebagai penanggung
jawabnya kita juga merumuskan
dan juga jadi pelaksananya. Di
sini kan yang punya
wewenangnya dinsos. dan selanjutnya diberikan kepada
kepala dinas untuk dimintai
persetujuannya. Satpol PP dan
TKSK tidak terlibat dalam
perumusan program rehabilitasi ini
karena mereka beranggapan hal itu
diluar wewenangnya masing-masing
dan itu ada urusan internal Dinas
Sosial Kota Serang.
I1.2 Ya kita merumuskan pertama
dari kepala seksinya dulu karena
kan sesuai dengan tupoksinya,
terus dengan kepala bidang,
selanjutnya ke kadin atau kepada
dinas untuk disetujui atau tidak.
I2.1 Tidak, kami tidak ikut dalam
perumusannya ya karena kan itu
diluar kewenangan kita, kalo
memang membutuhkan masukan
dari kita baru kita berikan
masukan-masukannya.
I4.1 Kalo untuk perumusan tidak,
artinya kan itu internal dinas ya.
Macem hal tahun ini apa nih,
berapa anggaranya, artinya
itukan internal dinas ya.
Q19 Apa saja faktor pendukung dan
faktor penghambat dalam
perumusan kebijakan tentang
rehablitasi sosial gelandangan
dan pengemis?
Kesimpulan :
Faktor pendukungnya adalah dengan
adanya kerjasama dengan pihak-
pihak terkait yang berhubungan
dengan program ini seperti Dinas
Sosial Provinsi Banten, Panti Sosial
Bina Karya (PSBK) Bekasi dan juga
dinas-dinas atau instansi terkait.
Sedangkan yang menjadi faktor
penghambat utamanya adalah
anggaran dari Dinas Sosial Kota
Serang itu sendiri yang kurang
memadai, belum adanya tempat
pusat rehabilitasi, dan juga belum
memadainya Sumber Daya Manusia
yang dimiliki Dinas Sosial Kota
Serang
I1.1 Nah yang sudah dijelasin tadi
kalo faktor yang
menghambatnya itu dari
anggaranya itu sendiri belom
memadai, tempat pusat
rehabilitasi juga kita belom ada,
SDM juga kita kekurangan. Kalo
untuk faktor pendukungnya kita
bisa kerjasama dengan pihak-
pihak terkait kaya dinsos
provinsi kita juga bisa kerjasama
dengan balai yang ada dibekasi
itu buat ngerehabnya
I1.2 Faktor penghambatnya yang kita
rasain itu ya dari anggaran itu
sendiri ibu rasa kita lemah dari
situ. Untuk faktor pendukungnya
ya hanya dari dinas-dinas atau
instansi terkait saja kita bisa
bekerjasama.
b. Expertise (Keahlian)
Q20 Apa yang dihasilkan dari
perumusan kebijakan tentang
rehablitasi sosial gelandangan
dan pengemis?
Kesimpulan :
Yang di hasilkan dari rumusan
program rehabilitasi gelandangan
dan pengemis ini yaitu menghasilkan
langkah-langkah yang akan
dilakukan dalam pelaksanaan
program, mengatur anggaran yang
ada, merencanakan bagaimana
memberikan pembinaan serta
melakukan koordinasi dengan pihak-
pihak terkait.
I1.1 Ya kalo misalkan kita sudah
disetujui sama kepala dinas
maka kita laksanakan
programnya. Hasilnya ya itu tadi
kita bina, kita kasih pelatihan,
kita kasih juga kebutuhannya
walaupun tidak maksimal.
I1.2 Ya kalau dari rumusan program
ini si yang pastinya ya yang
dihasilkannya itu langkah-
langkah kita apa aja yang akan
kita lakuin pas pelaksanaannya,
bagaimana anggarannya,
bagaimana kita memberi
pembinaannya, bagaimana kita
koordinasinya dengan pihak-
pihak terkait, kaya gitu kan.
c. Guarantee (Jaminan)
Q21 Apakah perumusan kebijakan
tentang rehablitasi sosial
gelandangan dan pengemis akan
dapat merubah mindset para
gelandangan dan pengemis di
Kota Serang?
Kesimpulan :
Jaminan dari perumusan program
rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini adalah dapat
mengurangi jumlah gelandangan dan
pengemis di Kota Serang, dan juga
dapat merubah mental dan mainset
para gelandangan dan pengemis
untuk lebih mandiri dengan
membuka usaha atau juga dengan
bekerja. Selain itu juga dalam
pelaksanaannya Dinas Sosial Kota
Serang membutuhkan bantuan dari
OPD lain untuk membantu
mensuksesnya program rehabilitasi
ini.
I1.1 Ya seperti yang udah di jelasin
tadi kan kita kan membuat
program ini tujuannya pengenya
mengentaskan kemiskinan
umumnya mah. Ya selain itu
juga kita pengen menurunkan
angka atau jumlah gelandangan
dan pengemis juga kita ingin
merubah mainsetnya lah biar
ngga mengemis lagi kan secara
logikanya mah itu ga baik ya
dilihat dari sisi agama dan juga
hukum yang ada pun melarang
mengemis itu. Nah untuk
melakukan pembinaan dan
keterampilan kita ga bisa berdiri
sendiri dong, kita juga
membutuhkan dari OPD lainnya
juga misal Dinas Pendidikan,
Dinas Tenaga Kerja, Dinas
Kependudukan
I1.2 Dari rumusan ini saya berharap
dalam pelaksanaannya kita dapat
mengurangi jumlah gelandangan
dan pengemis di Kota Serang
ini. Serta para gelandangan dan
pengemis bisa mandiri cari
nafkahnya ya bisa dari berjualan.
Bisa juga dari dia kerja di
bengkel atau apa gitu.
Sources Of Legitimation (Sumber Pengesahan)
a. Witness (Pembebasan)
Q22 Apa sebenarnya yang ingin
disampaikan oleh para
gelandangan dan pengemis
kepada pemerintah ?
Kesimpulan :
Para gelandangan dan pengemis
menginginkan perhatian dari
pemerintah untuk memberikan
bantuan kepada para gelandangan
dan pengemis agar bisa membuka
usaha.
I7.1 Ya saya si pengenya mah
pemerintah tuh lebih merhatiin
kitanya ya, ngasih lah modal
usaha, kita juga bakal bikin
usaha. Ga perlu si menurut saya
mah rehab-rehab gitu.
I7.2 Ya kita mah gimana ya, mau
berenti ngemis juga nantinya
ngga ada buat makan. Maunya
pemerintah tuh ngasih kita
bantuan ya ngasih modal buat
kita bikin usaha, harusnya
pemerintah peduli sama kita
Q23 Apa yang menjadi faktor
penyebab menjadi gelandangan
dan pengemis?
Kesimpulan :
Yang menjadi faktornya adalah
faktor ekonomi I7.1 Kitanya bingung cari duit
kemana lagi, kita cari buat
makan
I7.2 Cari kerjaan susah, cari duit juga
susah kemana lagi kita nyarinya,
saya ngeliat temen saya juga
sama mengemis, enak di jalan
bisa dapet duit.
b. Emancipation (emansipasi)
Q24 Apakah dalam proses perehaban
hak-hak para gelandangan dan
pengemis diberikan secara
merata dan tidak membeda-
bedakan?
Kesimpulan :
Tidak ada perbedaan dalam
pemberian hak-hak kepada para
gelandangan dan pengemis dalam
proses perehaban. I1.1 Kita ga membeda-bedakan
setiap gepeng yang mau kita
rehab, namun kita menyeleksi
para gepeng itu dia mau ngga
nih kita rehab gitu. Dengan
keterbatasan dana yang kita
miliki juga ga semuanya
terkadang kita rehab, dari dinas
provinsi juga kan mintanya 10
orang saja disitu kita pilih siapa
saja yang kita kirim.
Q25 Siapa yang berwenang dalam
melayani pengaduan terkait
masalah gelandangan dan
pengemis?
Kesimpulan :
Yang mempunyai wewenang untuk
melayani dan menangani pengaduan
terkait masalah gelandangan dan
pengemis ini adalah Satpol PP. I2.1 Sebetulnya perda mengatakan
setiap warga masyarakat yang
ada di wilayah Kota Serang
wajib melapor apabila
ditemukan hal-hal apa itu
namanya, ya itulah gelandangan
dan pengemis yang mengganggu
ya termasuk juga yang menjurus
ke kriminalitas, namun sampai
detik ini belom ada pelaporan
kepada kami. Ya minimum ke
saya ada laporan. Laporannya
jangan cuma ngomong tapi
tertulis bahwa di anu terjadi anu
kan gitu.
c. World View (pandangan dunia)
Q26 Apa persepsi terkait
permasalahan gelandangan dan
pengemis ini
Kesimpulan :
Semua pandangan dari agama Islam,
Katolik dan Budha memandang
bahwa yang dilakukan oleh
gelandangan dan pengemis itu adalah
negatif dan tidak boleh dilakukan
I6.1 Di agama islam sendiri
mengemis itu diharamkan
hukumnya, meminta-minta
sehingga menjadikan mengemis
itu dijadikan pekerjaan dalam
mencari rezeki. Sangatlah
dilarang orang meminta-minta.
Namun islam selalu
menganjurkan untuk sedekah
kepada orang yang fakir dan
miskin, nah disini masalahnya
gelandangan atau pengemis
bener ngga dia itu orang yang
miskin, kan kita ngga gatau ya.
Banyak juga kan ya pengemis
taunya punya pabrik batako,
punya toko segala macem. Nah
kita niatinnya aja buat sedekah
dan jadi pahala juga buat kita.
Banyak
karena hal itu mencirikan sifat malas
dari individu yang tidak mau
berusaha dengan cara yang benar.
I6.2 Gelandangan dan pengemis jika
dikait kan dengan kondisi dari
agama budha, itu jelas itu
kenapa dia jadi gelandangan,
jadi pengemis, menurut
pandangan agama Budha
seseorangan menjadi demikian
karena masa lampaunya dan
masa sekarang dia kurang
terdana jadi otomatis dia terlahir
menjadi gelandangan dan
pengemis. Kedua, kenapa di jadi
gelandangan, jadi pengemis, itu
pada kehidupan lampaunya di
seorang manusia menelantarkan
orang tuanya.
I6.3 Untuk gelandangan dan
pengemis menurut saya suatu
kondisi dimana dia itu malas
buat bekerja atau usaha sehingga
tanpa dia mengeluarkan tenaga
atau mohon maaf dengan dia
menadahkan tangannya dia
mendapatkan uang. Sebagai
contoh ada salah satu orang dia
ketangkep ternayata dia punya
pembakaran kapur, dan sampai
sekarang begitu dia tertangkap
terus di masukan ke panti dia
balik lagi kejalan.
Q27 Bagaimana keteribatan dalam
program rehablitasi sosial
gelandangan dan pengemis?
Kesimpulan :
Dari Agama Budha dan Katolik tidak
terlibat secara langsung dalam
program rehabilitasi gelandangan
dan pengemis ini namun keduanya
memiliki programnya masing-
masing seperti dari Budha memiliki
program membentuk puskesmas.
Sedangkan dari katolik mereka
mengadakan program penyaluran
dana ke lembaga tertentu yang
berasal dari pemotongan gaji
kemudian diberikan ke yatim piatu.
Serta ada juga program bakti sosial.
I6.2 Untuk terlibat langsung dalam
programnya si kami tidak
terlibat tidak fokus ke
gelandangan dan pengemisnya,
tetapi kita vihara mempunyai
program membentuk sebuah
puskesmas hanya dengan bayar
sepuluh ribu periksa apapun
gratis untuk semua warga. Jadi
kita mengarah ke yang laen, kalo
misalkan mereka sehatkan
minimal mereka bisa mencari-
cari nafkah, kalo misalkan
mereka bisa mencari nafkah kan
mereka tidak perlu menjadi
pengemis. jadi arahnya juga
kesana kan.
I6.3 Sebenernya kami tidak terlibat
dalam rehabilitasi ini tapi kami
ada program seperti penyaluran
dana yang dipotong dari gaji
yang disalurkan ke lembaga
tertentu yang jelas juga kan. Kita
juga ada program penyantunan
kepada yatim piatu. Kalo untuk
bakti sosial biasanya anak-anak
muda yang melakukannya, anak-
anak muda itu dia masak di sini,
pagi-pagi mereka memberikan
kepada tukang becak.
PERATURAN DAERAH KOTA SERANG
NOMOR 2 TAHUN 2010
TENTANG
PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA SERANG,
Menimbang : a. bahwa Kota Serang adalah daerah dengan landasan
kehidupan masyarakat yang berbudaya dan beragama,
sejalan dengan visi dan misi Kota Serang;
b. bahwa berbagai bentuk perbuatan yang merupakan
penyakit masyarakat merupakan perbuatan yang
meresahkan masyarakat, ketertiban umum, keamanan,
kesehatan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
Kota Serang;
c. bahwa rasa aman, nyaman dan tentram perlu diwujudkan
di Kota Serang oleh karena itu perbuatan penyakit
masyarakat yang ada di Kota Serang diperlukan aturan
tentang pembinaan, pengawasan dan pengendalian,
pelarangan serta penindakan terhadap penyakit
masyarakat agar terhindar dari gangguan / dampak
negatif yang akan timbul di dalam masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b dan huruf c perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Pencegahan, Pemberantasan dan
Penanggulangan Penyakit Masyarakat.
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974
tentang Ketentuan - ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial
( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor
53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3039 );
3. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209 );
4. Undang-Undang ………………..
- 2 -
4. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
5. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
6. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
7. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Serang di Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4748);
8. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);
9. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5104);
13. Peraturan ………………….
- 3 -
13. Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Daerah Kota Serang (Lembaran Daerah Kota Serang Tahun 2008 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Serang Nomor 7);
14. Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kota Serang (Lembaran Daerah Kota Serang tahun 2008 Nomor 13).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SERANG
dan
WALIKOTA SERANG
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kota Serang;
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas - luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah;
4. Walikota adalah Walikota Serang;
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Serang;
6. Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Kota Serang;
7. Tim adalah Tim pengendalian dan pengawasan Peraturan Daerah yang keanggotaannya terdiri dari Dinas atau Instansi dan pihak terkait lainnya;
8. Pejabat yang berwenang adalah pejabat atau pegawai yang diberi tugas di bidang tertentu sesuai dengan peraturan perundang – undangan;
9. Penyidik adalah Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang – undang untuk melakukan penyidikan;
10. Satuan ………………….
- 4 -
10. Satuan Polisi Pamong Praja yang selanjutnya disingkat SATPOL PP adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Peraturan Daerah dan pelaksanaan kebijakan daerah dibidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
11. Ketertiban umum dan ketentraman masyarakat adalah suatu keadaan dinamis yang memungkinkan Pemerintah, Pemerintah daerah dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tentram, tertib dan teratur;
12. Pencegahan adalah upaya mendeteksi sedini mungkin disertai usaha terhadap segala sesuatu yang akan menimbulkan keadaan tertentu;
13. Penanggulangan adalah suatu proses, cara, dan perbuatan mengatasi permasalahan melalui upaya pencegahan (preventif), pembinaan dan rehabilitasi (kuratif) dan penindakan (represif);
14. Penyakit masyarakat adalah hal - hal atau perbuatan yang terjadi ditengah - tengah masyarakat yang tidak menyenangkan masyarakat atau meresahkan masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan agama dan adat serta tata krama kesopanan dalam masyarakat;
15. Maksiat adalah setiap perbuatan yang menyimpang dari ketentuan hukum, agama, adat dan tata krama kesopanan, meliputi pelacuran atau prostitusi dan mabuk-mabukan;
16. Tempat maksiat adalah lokasi yang diduga atau dipandang sebagai sarana untuk melakukan transaksi atau negosiasi kearah perbuatan maksiat maupun sarana untuk melakukan perbuatan maksiat itu sendiri;
17. Pelacuran adalah perbuatan atau kegiatan seseorang atau sekelompok orang baik pria, wanita atau waria, yang menyediakan dirinya kepada umum atau seseorang tertentu untuk melakukan perbuatan atau kegiatan cabul atau hubungan seksual atau perbuatan yang mengarah pada hubungan seksual di luar perkawinan yang dilakukan di hotel atau penginapan, restoran, tempat hiburan, lokasi pelacuran atau di tempat-tempat lain di daerah, dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan berupa uang, barang dan / atau jasa lainnya;
18. Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang tidak senonoh atau perbuatan yang melanggar kesusilaan, norma social dan agama;
19. Pekerja Seks Komersial yang selanjutnya disebut PSK adalah wanita atau pria atau waria yang memenuhi kebutuhan hidupnya baik memperoleh imbalan maupun tidak dengan cara menjual diri atau melakukan persetubuhan yang menyimpang dari ketentuan hukum, agama, adat dan tata krama, kesopanan yang berlaku di masyarakat;
20. Waria adalah seseorang yang memiliki kelamin pria atau kelamin ganda yang mempunyai jiwa atau tingkah laku seperti wanita;
21. Perantara adalah orang yang menghubungkan secara langsung maupun tidak langsung antara pasangan berlawanan jenis atau sejenis kearah terlaksananya perbuatan maksiat, baik mendapat atau tidak mendapat imbalan atas usahanya tersebut;
22. Backing adalah orang atau sekelompok orang yang melindungi, menjamin atau memberikan jasa, baik secara fisik maupun non fisik sehingga terjadi perbuatan maksiat;
23. Minuman ……………….
- 5 -
23. Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung ethanol yang di proses dari bahan hasil kimia atau pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara pengenceran minuman mengandung ethanol dengan kadar alkohol 1 % sampai 5 % untuk Golongan A, 5 % sampai 20 % untuk Golongan B dan 20 % sampai 55 % untuk Golongan C;
24. Pengedaran minuman beralkohol adalah penyaluran minuman beralkohol untuk diperdagangkan di daerah;
25. Hotel adalah rumah atau fasilitas berbentuk bangunan tempat orang menginap, makan maupun fasilitas lainnya yang disediakan;
26. Wisma adalah fasilitas berbentuk rumah yang terdiri dari kamar - kamar untuk disewakan sebagai tempat bermalam;
27. Pemondokan atau tempat kos - kosan adalah rumah yang terdiri dari kamar - kamar untuk disewakan sebagai tempat tinggal dengan sewa per bulan atau per tahun;
28. Obyek wisata adalah fasilitas umum untuk berekreasi baik yang bersifat alami maupun buatan;
29. Tempat hiburan adalah fasilitas umum dimana orang bisa menikmati hiburan seperti : film, musik, sauna dan karaoke atau menikmati minuman atau tempat bersenang-senang;
30. Salon kecantikan adalah tempat usaha melayani jasa perawatan rambut, perawatan kecantikan dan perawatan tubuh;
31. Kafe adalah tempat pelayanan mendapatkan minuman yang pengunjungnya mendapatkan sajian hiburan berupa musik atau dalam bentuk lainnya;
32. Prostitusi adalah praktek pelacuran yang dilakukan oleh pria atau wanita dan/ atau waria dengan mengharapkan imbalan uang;
33. Homoseks adalah pemenuhan hasrat seks yang dilakukan sesama laki - laki;
34. Lesbian adalah pemenuhan hasrat seks yang dilakukan sesama wanita;
35. Sodomi adalah hubungan seks melalui anus;
36. Penyimpangan seksual lainnya adalah penyaluran seksual yang dilakukan oleh perseorangan atau lebih diluar kewajaran selain homoseks, lesbian dan sodomi;
37. Warnet adalah tempat usaha yang menyediakan layanan internet, browsing, chating, facebook, email ataupun konten sejenisnya berbasis website;
38. Pengemis adalah seseorang yang melakukan pekerjaannya dengan cara meminta-minta baik dilakukan sendiri-sendiri atau berkelompok yang terorganisir secara sistematis dengan mengatasnamakan lembaga-lembaga social, bertempat di jalan, rumah warga maupun fasilitas umum;
39. Gelandangan adalah setiap orang yang hidup tidak menetap atau tuna wisma menempati fasilitas sosial dan fasilitas umum sebagai tempat aktifitasnya;
40. Anak jalanan adalah anak–anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk bekerja atau hidup di jalanan dan tempat–tempat umum, seperti jalan umum, terminal, pasar, stasiun dan taman kota;
41. Rehabilitasi ........................
- 6 -
41. Rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat;
42. Pemberdayaan sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara khususnya warga Daerah yang mengalami masalah sosial, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.
BAB II
TUJUAN
Pasal 2
Peraturan Daerah ini bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum, dengan melarang kegiatan yang termasuk dalam kategori penyakit masyarakat di Daerah.
BAB III
KLASIFIKASI PENYAKIT MASYARAKAT
Pasal 3
(1) Klasifikasi penyakit masyarakat yang diatur dalam Peraturan Daerah ini, mencakup segala bentuk perbuatan, tindakan atau perilaku yang tidak menyenangkan dan meresahkan masyarakat dan/atau melanggar nilai – nilai ajaran agama dan norma susila.
(2) Penyakit masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. Pelacuran dan penyimpangan seksual; b. Waria yang menjajakan diri; c. Minuman beralkohol; d. Gelandangan dan pengemis; e. Anak jalanan; f. Kegiatan yang dilarang pada bulan ramadhan.
(3) Semua tindakan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan penyakit masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), adalah tindakan dan/atau perbuatan yang melanggar ketertiban sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang - undangan.
BAB IV
LARANGAN
Pasal 4
(1) Pejabat yang berwenang dilarang mengeluarkan izin usaha dan/atau kegiatan yang merangsang tumbuh dan berkembangnya perbuatan, tindakan dan perilaku penyakit masyarakat.
(2) Pejabat yang berwenang dilarang memperpanjang izin usaha dan/atau kegiatan yang diduga dan/atau pantas diduga telah merangsang tumbuh dan berkembangnya penyakit masyarakat.
(3) Pejabat ………………
- 7 -
(3) Pejabat yang berwenang dapat mencabut izin usaha dan/atau menghentikan kegiatan yang diduga dan/atau pantas diduga telah merangsang tumbuh dan berkembangnya perbuatan, tindakan dan perilaku penyakit masyarakat.
(4) Pejabat yang berwenang berhak melarang setiap orang yang sikap atau perilakunya menunjukkan indikasi yang kuat patut diduga sebagai pelaku penyakit masyarakat, berada di tempat ibadah, jalan- jalan umum, lapangan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk atau kontrakan, warung kopi, warung internet, tempat hiburan, gedung atau tempat tontonan, sudut jalan atau lorong jalan dan tempat lainnya di daerah.
Bagian Kesatu
Pelacuran dan Penyimpangan Seksual
Pasal 5 Setiap orang dilarang :
a. Melakukan pelacuran atau perzinahan;
b. Menjadi pelacur dan/atau PSK;
c. Memakai jasa PSK;
d. Membujuk atau merayu, mempengaruhi, memikat, mengajak dan memaksa orang lain dengan kata-kata, isyarat, tanda atau perbuatan lainnya yang dapat mengakibatkan perbuatan yang mengarah pada terjadinya perzinahan;
e. Memperlihatkan sikap bermesraan, berpelukan dan/atau berciuman yang mengarah pada hubungan seksual di tempat umum;
f. Melakukan penyimpangan seksual dalam bentuk hubungan homoseks, lesbian, sodomi atau penyimpangan seksual lainnya;
g. Melakukan tindakan yang bertujuan untuk mempertemukan atau menghubungkan para pelaku perzinahan baik dengan atau tanpa imbalan;
h. Menawarkan dirinya kepada orang lain untuk melakukan hubungan seks, homoseks atau lesbian baik dengan atau tanpa imbalan;
i. Menjadikan atau membiarkan tempat yang dikuasainya sebagai tempat dilakukannya perzinahan atau pelacuran;
j. Menjamin keberadaan tempat dilakukannya perzinahan atau pelacuran.
Bagian Kedua
Waria Yang Menjajakan Diri
Pasal 6
Setiap waria baik sendiri–sendiri ataupun berkelompok, dilarang berada di tempat
umum atau tempat lain untuk menjajakan atau menawarkan dirinya, membujuk
atau merayu, mempengaruhi, memikat, mengajak dan memaksa orang lain untuk
melakukan perzinahan atau penyimpangan seksual baik dengan atau tanpa
imbalan.
Bagian Ketiga .......................
- 8 -
Bagian Ketiga
Minuman Keras
Pasal 7
(1) Setiap orang dilarang meminum minuman beralkohol.
(2) Setiap orang dan/atau badan usaha dilarang menyimpan, mengedarkan dan/
atau menjual minuman beralkohol golongan A, golongan B dan golongan C.
(3) Setiap orang dan/atau badan usaha dilarang menjadikan atau membiarkan
tempatnya sebagai tempat dilakukannya perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Setiap orang dilarang menjadi backing bagi tempat dilakukannya perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(5) Pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), adalah
minuman beralkohol yang mengandung rempah - rempah, jamu dan
sejenisnya untuk tujuan kesehatan dan yang berada di hotel berbintang.
(6) Minuman untuk tujuan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
ditetapkan oleh Walikota sesuai peraturan perundang–undangan.
Bagian Keempat
Permainan Ketangkasan
Pasal 8
(1) Setiap pengusaha tempat permainan ketangkasan atau jasa layanan internet
dilarang membiarkan anak–anak berpakaian seragam sekolah bermain
ditempatnya pada jam–jam sekolah.
(2) Permainan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah play station, video
game dan on line internet.
Bagian Kelima
Gelandangan dan Pengemis
Pasal 9
(1) Setiap orang dilarang menjadi gelandangan dan pengemis.
(2) Setiap orang dilarang menyuruh atau memaksa orang lain menjadi pengemis.
(3) Setiap orang dilarang memberikan uang ataupun lainnya kepada pengemis.
Bagian Keenam
Kegiatan Yang Dilarang pada Bulan Ramadhan
Pasal 10
(1) Setiap orang dilarang merokok, makan atau minum di tempat umum atau
tempat yang dilintasi oleh umum pada siang hari di bulan ramadhan.
(2) Setiap ………………..
- 9 -
(3) Setiap orang dilarang menjadi becking bagi tempat dilakukannya perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Setiap pengusaha restoran atau rumah makan atau warung dan pedagang
makanan dilarang menyediakan tempat dan melayani orang menyantap
makanan dan minuman pada siang hari selama bulan ramadhan.
Bagian Ketujuh
Penyalahgunaan Tempat Usaha
Pasal 11
(1) Setiap orang baik sendiri ataupun bersama - sama dilarang mendirikan dan/
atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau orang untuk
melakukan perbuatan maksiat.
(2) Setiap pemilik dan/atau pengusaha hotel, wisma, penginapan, pemondokan
atau rumah kontrakan, tempat hiburan, obyek wisata, salon kecantikan, cafe,
warung internet dan warung kopi dilarang mempergunakan fasilitas
sebgaimana dimaksud pada ayat (1), sehingga memungkinkan terjadinya
penyakit masyarakat, yaitu:
a. Memberi dan memperlancar kesempatan terjadinya penyakit masyarakat;
b. Memperdagangkan benda-benda yang merangsang terjadinya penyakit
masyarakat;
c. Menyediakan prasarana dan sarana terjadinya penyakit masyarakat;
d. Meminjamkan fasilitas yang merangsang terjadinya penyakit masyarakat.
(3) Setiap orang atau kelompok dilarang menjadi backing yang memberi peluang
untuk terjadinya penyakit masyarakat.
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 12
(1) Setiap orang berhak dan bertanggungjawab untuk berperan serta dalam
mewujudkan kehidupan dalam satu lingkungan yang aman, tertib dan
tentram serta terbebas dari perbuatan, tindakan dan perilaku penyakit
masyarakat.
(2) Wujud peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:
a. Mencegah segala perbuatan tindakan atau perilaku penyakit masyarakat
yang diketahui atau yang dimungkinkan akan terjadi;
b. Mengawasi semua tindakan dan/atau perbuatan yang berhubungan
dengan penyakit masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya;
c. Melaporkan kepada Pejabat atau pihak yang berwenang apabila
mengetahui atau menemukan tindakan, perbuatan dan perilaku penyakit
masyarakat.
BAB VI …………………..
- 10 -
BAB VI
PENCEGAHAN, PENINDAKAN, PENGENDALIAN
DAN PENGAWASAN SERTA PEMBINAAN
Bagian Kesatu
Pencegahan
Pasal 13
Pejabat atau pihak yang berwenang berhak untuk mencegah dan melarang kegiatan yang mengarah pada perbuatan, tindakan dan perilaku penyakit masyarakat.
Bagian Kedua
Penindakan
Pasal 14
(1) Pejabat atau pihak yang berwenang dapat melakukan tindakan untuk menutup
atau menyegel tempat yang digunakan atau diduga digunakan sebagai tempat
dilakukannya tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(2) Tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang untuk dibuka kembali
sepanjang belum ada jaminan dari pemilik atau pengelola bahwa tempat itu
tidak akan digunakan kembali untuk perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13.
(3) Masyarakat maupun pihak ketiga berhak mengajukan permohonan kepada
Pejabat atau pihak yang berwenang agar dilakukan penindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Tata cara penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
Pasal 15
(1) SATPOL PP berwenang melakukan razia terhadap tempat atau rumah, tempat
usaha, jalan atau tempat umum, yang digunakan atau mempunyai indikasi
atau bukti yang kuat, sehingga patut diduga tempat tersebut digunakan
sebagai tempat kegiatan penyakit masyarakat.
(2) Tata cara pelaksanaan razia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Walikota.
Bagian Ketiga
Pengendalian dan Pengawasan
Pasal 16
(1) Pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah ini, dilakukan oleh Tim yang bersifat lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Walikota.
Bagian Keempat …………………..
- 11 -
Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal 17
(1) Pemerintah Daerah dan masyarakat wajib melakukan pembinaan terhadap orang atau sekelompok orang yang terbukti melakukan perbuatan penyakit masyarakat.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui kegiatan rehabilitasi sosial dan pemberdayaan sosial.
(3) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan melalui kegiatan:
a. Bimbingan, pendidikan, pelatihan dan keterampilan teknis;
b. Bimbingan, penyuluhan rohaniah dan jasmaniah;
c. Penyediaan lapangan kerja atau penyaluran tenaga kerja.
(4) Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan melalui kegiatan:
a. Peningkatan kemauan dan kemampuan;
b. Penggalian sumber daya.
(5) Pembinaan terhadap orang atau sekelompok orang yang melanggar ketentuan Peraturan Daerah ini, selain diberikan tindakan sebagimana dimaksud pada ayat (2), dapat juga diberikan tindakan berupa sanksi administrasi.
Pasal 18
(1) Guna mengefektifkan pelaksanaan di lapangan, penyiapan sarana dan prasarana untuk pelaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dilakukan secara terpadu dibawah koordinasi Walikota atau Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai tugas, pokok dan fungsi dibidang sosial.
(2) Tata Cara mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
Pasal 19
Pemerintah Daerah menyediakan anggaran untuk kegiatan pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat yang dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan sumber lain yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PENYIDIKAN
Pasal 20
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota Serang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan Penyidikan tindak pidana dibidang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
(2) Wewenang………………
- 12 -
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah:
a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. Meneliti, mencari, mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan
tindak pidana;
c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana;
d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana;
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan
terhadap bahan bukti tersebut;
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana;
g. Memerintahkan berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan
memeriksa identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana
dimaksud pada huruf e;
h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
j. Menghentikan penyidikan;
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak
pidana menurut aturan yang berlaku.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum
melalui Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 21
(1) Setiap orang dan/atau badan hukum yang melanggar ketentuan sebagaimnana
diamaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan Daerah ini, diancam
dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling
banyak Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pelanggaran.
Bab IX ………………….
- 13 -
BA B IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
Pasal 23
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Serang.
Ditetapkan di Serang pada tanggal 1155 JJuullii 22001100
WALIKOTA SERANG,
ttttdd
BBUUNNYYAAMMIINN
Diundangkan di Serang
pada tanggal 19 Juli 2010 SEKRETARIS DAERAH KOTA SERANG,
ttd
SS UU LL HH II
top related