abstrak - sinta.unud.ac.id fileacara pidana. dalam pembuatan akta ppat saksi merupakan syarat formal...
Post on 15-Aug-2019
220 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ABSTRAK
Tanah merupakan suatu yang sangat berharga bagi warga Negara
Indonesia pada khususnya sehingga tanah harus didaftarkan dalam pendaftaran
tanah harus dilakukan oleh seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah yang telah
diangkat atau ditunjuk oleh Negara dalam rangka pendaftaran tanah yang
dituangkan dalam akta otentik. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian
formil dan materiil. Sehingga syarat-syarat dari pembuatan akta otentik harus
terpenuhi salah satunya adanya kehadiran saksi. Adanya saksi dalam pembuatan
akta otentik merupakan salah satu alat bukti yang terdapat pada Pasal 1866
KUHPerdata dan Pasal 184 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal
sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu akta PPAT harus
dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para
pihak, saksi-saksi dan PPAT. Lebih lanjut Peraturan Pemerintah tersebut tidak
menjelaskan siapa yang dimaksud saksi apakah karyawan PPAT itu sendiri.
Sehingga dalam hal ini terjadi pengkaburan norma mengenai kedudukan dan
tanggung jawab hukum saksi terhadap akta otentik yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Bertitik tolak dari uraian tersebut maka permasalahan yang
dapat diangkat dalam penelitian ini adalah Bagaimana Kedudukan dan Tanggung
Jawab Hukum Saksi terhadap akta yang dibuat oleh PPAT berkaitan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan
pemerintah nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan
jenis pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan perundang-undangan.
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan
bahan hukum menggunakan sistem kartu.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kedudukan hukum saksi dalam PP
24 tahun 2016 adalah merupakan syarat formal untuk membuat akta PPAT
menjadi akta otentik sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata
dan saksi tidak bertanggung jawab terhadap isi akta yang ditandatanganinya
apabila timbul permasalahkan dikemudian hari oleh para pihak dalam akta PPAT.
Saksi bertanggunga jawab hanya dalam menyiapkan akta sesuai kelengkapan
administratif yang ditugaskan oleh PPAT.
Kata Kunci : Akta PPAT, Kedudukan saksi, Tanggung jawab saksi.
ABSTRACT
Land is a very valuable particularly for Indonesian citizens. Therefore,
land shall be registered in the Land Register by a Land Conveyancer (PPAT)
nominated or appointed by the State in order to enable the land registration to be
concluded in an authentic deed. The reason is that an authentic deed has got
formal and material proofing powers. As such, the prerequisites for concluding an
authentic deed must be fulfilled. One of them is the presence of witnesses. The
presence of witnesses in concluding an authentic deed constitutes an evidence
outlined in article 1866 of the Civil Code of the Republic of Indonesia and in
article 184 paragraph (1) of Law No. 8 of 1981 concerning Criminal Law
Procedure. In concluding a deed of Land Conveyancer, witnesses constitute
formal prerequisites as regulated in article 22 of Bylaw No. 24 of 2016
concerning Amendment to Bylaw No. 37 of 1998 concerning Regulation of Land
Conveyancer Position, namely the contents of a deed of Land Conveyancer shall
be read/explained to the parties in the presence of at least two (2) witnesses prior
to being signed by the parties, witnesses and Land Conveyancer. Furthermore,
the Bylaw does not specify who shall become the witnesses whether they should be
employees of the Notary’s Office. In this case, the norm is unclear especially the
legal position and responsibilities of witnesses towards an authentic deed
concluded by Land Conveyancer. In reference to the aforementioned descriptions,
the arising issue in this study is how the legal position and responsibilities of
witnesses are towards an authentic deed concluded by Land Conveyancer in
relation to Bylaw No. 24 of 2016 concerning Amendment to Bylaw No. 37 of 1998
concerning Regulation of Land Conveyancer Position.
This study adopts the normative legal study method by using the
legislation approach. The legal material resources used in this study consist of
primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials.
Meanwhile, the legal material collecting technique uses the card system.
The results of this study indicate that the legal position of witnesses in
Bylaw No. 24 of 2016 constitutes the formal prerequisite to conclude a deed of
Land Conveyancer and the witnesses are not responsible for the contents of the
deed they sign if there are any problems in the future between the parties in a
deed of Land Conveyancer. The witnesses shall only be responsible for preparing
a deed in accordance with the administrative prerequisites assigned by a Land
Conveyancer.
Keywords: Deed of Land Conveyancer (PPAT), Position of witnesses,
Responsibilities of witnesses
RINGKASAN
Tesis ini menganalisa mengenai kedudukan dan tanggung jawab hukum
saksi terhadap akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah berkaitan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016.
Bab I menguraikan latar belakang masalah mengenai akta otentik yang
dibuat oleh PPAT dalam rangka pendaftaran tanah yang mana salah satu syarat
formalnya adalah kehadiran saksi. Saksi merupakan salah satu alat bukti yang
terdapat pada Pasal 1866 KUPerdata dan Pasal 184 ayat (1) UU No. 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana. Dalam pembuatan akta PPAT merupakan syarat
formal yang terdapat pada pasal 22 PP 24 tahun 2016 yang mana akta harus
dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dan harus dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang saksi. Tetapi dalam hal ini tidak dijelaskan siapa saja
yang menjadi saksi, bagaimana kedudukan dan tanggung jawabnya juga tidak
jelas sehingga terjadi pengkaburan norma.
Bab II menguraikan tinjauan umum tentang Pengertian akta, saksi dan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Bab III menguraikan tentang hasil penelitian untuk rumusan masalah
pertama yang diuraikan dalam 5 (lima) sub bab. Sub bab pertama menguraikan
tentang kedudukan wilayah Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sub bab kedua
menguraikan tentang Kedudukan saksi dalam hukum administrasi. Sub bab ketiga
menguraikan tentang Kedudukan saksi dalam hukum Perdata. Sub bab keempat
menguraikan tentang kedudukan saksi dalam hukum pidana dan sub bab kelima
menguraikan tentang kedudukan saksi bagi keotentikan akta PPAT.
Bab IV menguraikan hasil penelitian untuk rumusan masalah kedua yang
diuraikan dalam 2 (dua) sub bab. Sub bab pertama menguraikan tentang
Tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sub bab kedua menguraikan
tentang Tanggung Jawab saksi.
Bab V sebagai bab penutup yang menguraikan mengenai kesimpulan dan
saran. Adapun kesimpulan atas pembahasan diatas yaitu kedudukan saksi
merupakan syarat formal dalam pembuatan akta PPAT sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 1868 KUPerdata sehingga memiliki kekuatan mengikat bagi para
pihak dan saksi tidak bertanggung jawab terhadap isi akta karena saksi hanya
menjalankan perintah dari PPAT yang hanya menyiapkan kelengkapan
administratif yang ditugaskan oleh PPAT.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ......................................................................................... ii
PRASYARAT GELAR .................................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................. v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................ vi
UCAPAN TERIMAKASIH........................................................................... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... ix
ABSTRACT .................................................................................................... x
RINGKASAN ................................................................................................. xi
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar belakang masalah ..................................................................... 1
1.2. Rumusan masalah.............................................................................. 8
1.3. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir ........................................ 9
1.3.1. Asas-asas Hukum .................................................................... 11
1.3.2.Konsep Perlindungan Hukum .................................................. 13
1.3.3.Konsep Negara Hukum ............................................................ 14
1.3.4.Konsep Kepastian Hukum ....................................................... 17
1.3.5.Konsep Pejabat Pembuat Akta Tanah ...................................... 21
1.3.6.Doktrin Tanggung Jawab ......................................................... 26
1.3.7.Teori Pertanggung Jawaban Hukum ........................................ 27
1.3.8.Teori Interpretasi Hukum ......................................................... 30
1.4. Kerangka Berpikir ............................................................................. 35
1.5. Tujuan penelitian ............................................................................... 36
1.5.1 Tujuan umum ........................................................................... 36
1.5.2 Tujuan Khusus ......................................................................... 36
1.6 .Manfaat penelitian ............................................................................. 37
1.5.1 Manfaat teoritis ........................................................................ 37
1.5.2 Manfaat praktis......................................................................... 37
1.7. Metode penelitian ............................................................................. 38
1.7.1 Jenis penelitian ......................................................................... 38
1.7.2 Jenis pendekatan....................................................................... 38
1.7.3 Sumber bahan hukum ............................................................... 40
1.7.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ......................................... 42
1.7.5 Teknik analisis bahan hukum ................................................... 42
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA, SAKSI DAN PEJABAT
PEMBUAT AKTA TANAH ........................................................... 44
2.1. Pengertian Tentang Akta .......................................................... 44
2.2. Pengertian Tentang Saksi ......................................................... 51
2.3. Pengertian, Tugas dan Fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah ... 60
2.3.1 Prinsip Yang Harus Dilaksanakan Oleh PPAT Dalam
Pembuatan Akta ............................................................ 76
2.3.2. Sanksi Pelanggaran Praktik Pelaksanaan Kewenangan
Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah .............................. 78
BAB III KEDUDUKAN HUKUM SAKSI DALAM PEMBUATAN
AKTA PPAT ............................................................................... 89
3.1. Kedudukan Wilayah Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) .......................................................................................... 89
3.2 Kedudukan Saksi Dalam Hukum Administrasi ......................... 92
3.3. Kedudukan Saksi Dalam Hukum Perdata ................................ 96
3.4.Kedudukan Saksi Dalam Hukum Pidana ................................... 100
3.5. Kedudukan Hukum Saksi Bagi Keontetikan Akta PPAT ........ 106
BAB IV TANGGUNG JAWAB SAKSI DALAM PEMBUATAN
AKTA
PPAT ............................................................................................ 110
4.1. Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ......... 110
4.1.1 Pelaksanaan Kode Etik Profesi Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) ................................................................ 120
4.2 Tanggung Jawab Saksi .............................................................. 125
4.2.1. Tanggung Jawab Saksi Terhadap Akta PPAT ............... 127
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 142
5.1. Simpulan ................................................................................................ 142
5.2. Saran-saran ............................................................................................. 143
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 145
7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bagi umat manusia tanah adalah suatu hak milik yang sangat berharga,
demikian pula untuk Negara Republik Indonesia, bagi orang Indonesia tanah
merupakan masalah yang paling pokok, hampir separuh penduduk Indonesia
menggantungkan jalanya roda perekonomian mereka di sektor pertanahan, baik
dalam skala kecil, menengah, dan bahkan dalam skala besar. Sementara kondisi
tata kota di Indonesia dewasa ini sering kali berubah-ubah sehingga menyebabkan
banyaknya masalah pertanahan. Hal ini juga sejalan dengan bertambahnya jumlah
penduduk di Indonesia. Semakin kompleksnya persoalan hidup manusia modern
saat ini mengharuskan ada sebuah tatanan yang mengatur semua lini kehidupan
yang ada. Berbagai aturan akhirnya diciptakan mulai dari aturan yang menyangkut
hajat hidup orang banyak dan aturan tentang kepemilikan secara perorangan atau
pribadi. Tentunya aturan-aturan itu bertujuan agar tercipta sebuah keteraturan
dalam hidup bermasyarakat.1
Dalam menciptakan keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat, tanah
harus dilakukan pendaftaran. Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut
PPAT), mempunyai peran yang penting, karena PPAT merupakan mitra dari
instansi Badan Petananahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) guna membantu
menguatkan atau mengukuhkan setiap perbuatan hukum atas bidang tanah yang
1Dyara Radhite Oryza Fea, 2016, Buku Pintar Mengurus Sertipikat Tanah Rumah &
Perizinannya, Buku Pintar, Yogyakarta, hal. 11
8
dilakukan oleh subyek hak yang bersangkutan yang dituangkan dalam suatu akta
otentik. Akta otentik merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna
mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan
masyarakat. Dalam berbagai kegiatan pertanahan yang membutuhkan pembuktian
tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan meningkatnya
tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial,
baik pada tingkat nasional, regional maupun global. Dengan demikian melalui
akta otentik dapat ditentukan secara jelas hak dan kewajiban untuk menjamin
kepastian hukum.
Kepastian hukum dibutuhkan demi tegaknya ketertiban dan keadilan.
Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan
masyarakat, dan setiap anggota masyarakat akan saling berbuat sesuka hati serta
bertindak main hakim sendiri. Keadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada
dalam suasana kekacauan sosial.2 Sifat otentik dari akta inilah merupakan unsur
yang memenuhi keinginan terwujudnya kepastian hukum tersebut. Di dalam akta
otentik itu sendiri mengandung pernyataan atas hak dan kewajiban seseorang atau
individu dan oleh karena itu melindungi seseorang dalam kepentingan tersebut.
Keistimewaan suatu akta otentik merupakan suatu bukti yang sempurna
tentang apa yang dimuat di dalamnya, artinya jika seseorang mengajukan akta
resmi kepada hakim sebagai alat bukti, maka hakim harus menerima dan
menggangap apa yang tertulis dan termuat dalam akta tersebut merupakan
peristiwa yang sungguh-sungguh telah terjadi dan hakim tidak dapat
2M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 76
9
menambahkan pembuktian lainnya. Apa yang dinyatakan dalam akta tersebut
sebagai yang dilihat dan didengar oleh PPAT, terutama mengenai tanggal akta,
tanda tangan didalam akta, identitas yang hadir dan tempat akta itu dibuat
merupakan kekuatan pembuktian formal sedangkan kekuatan materil adalah
menyangkut isi atau materi dari akta tersebut.3 Sejalan dengan hal itu Boedi
Harsono mengatakan bahwa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memang
berfungsi sebagai alat bukti dan benar telah dilakukan perbuatan hukum yang
bersangkutan dan karena perbuatan hukum itu sifatnya tunai sekaligus
membuktikan berpindahnya hak atas tanah yang bersangkutan kepada penerima
hak.4
Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian formil dan materiil. Formil
yaitu benar para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta itu.
Materiil yaitu bahwa apa yang diterangkan dalam akta adalah benar.5 Namun
demikian Pejabat Pembuat Akta Tanah juga mempunyai kewajiban untuk
memastikan bahwa apa yang termuat dalam akta adalah sunguh-sungguh telah
dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak yaitu dengan cara memberi
penjelasan sehingga jelas isi akta tersebut, serta memberikan akses terhadap
informasi, termasuk akses terhadap perundang-undangan yang terkait bagi para
pihak yang menandatangani akta tersebut.
3I.G.,Rai Widjaja, 2004, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting), Kesain Blanc,
Bekasi, hal. 13 4Boedi Harsono,2008, Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, isi dan pelaksanaanya, Djambatan,Jakarta, hal. 515. 5Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2005, Hukum Acara Perdata
Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, hal. 67
10
Jabatan PPAT diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum
dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat dalam membuat akta-
akta otentik dan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik
atas satuan Rumah Susun. PPAT berkewajiban menghadirkan sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang saksi, yang pengenalan tentang identitas dan
kewenangan dari saksi disebut secara tegas dalam akta.
Dalam akta PPAT diharuskan adanya kehadiran saksi. Saksi tersebut harus
diyakini oleh PPAT secara teliti jika ia tidak ingin mengalami kerugian.
Kedudukan dari para saksi wajib diketahui oleh PPAT, jika perlu saksi diminta
untuk memperlihatkan identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal
tersebut karena PPAT bertanggung jawab atas kekurangan-kekurangan mengenai
formalitas-formalitas yang harus diperhatikan oleh PPAT.
Secara umum sebagaimana yang terdapat pada peraturan perundang-
undangan saksi adalah seseorang yang memberikan kesaksian, baik dengan lisan
maupun secara tertulis (dalam hal yang disebut terakhir ini dengan
menandatanganinya), yakni menerangkan apa yang ia saksikan, baik itu berupa
perbuatan atau tindakan dari orang lain atau suatu keadaan ataupun suatu
kejadian. Pengertian pihak dan saksi adalah pengertian-pengertian yang satu sama
lain tidak dapat disatukan. Menurut George Whitercross Patton alat bukti dapat
berupa oral (words spoken by a witness in court) dan documentary (the
production of a admissible documents) atau material (the production of a physical
11
res other than a document).6 Alat bukti yang sah atau diterima dalam suatu
perkara (perdata), pada dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan
saksi-saksi, pengakuan, sumpah dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang
mempunyai nilai pembuktian. Dalam perkembangan alat bukti sekarang ini baik
untuk perkara pidana maupun perdata telah dapat diterima alat bukti elektronis
atau yang terekam atau yang disimpan secara elektronis sebagai alat bukti yang
sah dalam persidangan pengadilan. Secara umum saksi merupakan alat bukti yang
sah, sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata yaitu alat-
alat bukti terdiri atas: bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkataan-
persangkataan, pengakuan, sumpah, segala sesuatunya dengan mengindahkan
aturan-auran yang ditetapkan dalam bab-bab yang berikut. Sehingga dalam
KUHPerdata saksi berupakan alat bukti yang sah. Pasal 184 ayat (1) UU No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara No. 76 Tahun 1981,
Tambahan Lembaran Negara No. 3209). Yang berbunyi alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi, b. keterangan ahli, c. Surat, d. Petunjuk, e. Keterangan
terdakwa, sehingga keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, saksi adalah
seseorang yang memberikan kesaksian, baik dengan lisan maupun secara tertulis
atau tanda tangan, yakni menerangkan apa yang ia saksikan sendiri, baik itu
berupa perbuatan atau tindakan dari orang lain atau suatu keadaan ataupun suatu
kejadian.
Dalam pembentukan akta PPAT dikenal dengan adanya saksi akta
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
6 George Whitecross Patton, 1953, A Text-Book Of Jurisprudence, Oxford at the
Clarendon Press, second edition, hal. 481.
12
Nomor 24 Tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 37
Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52 dan tambahan lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 2016 Nomor 5893), yaitu akta PPAT harus
dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para
pihak, saksi-saksi dan PPAT. Saksi menyaksikan formalitas peresmian akta
apakah persemian itu sudah sesuai dengan ketentuan undang-undang, serta ikut
menandatangani akta. Peran saksi dalam setiap pembuatan akta PPAT selain
berfungsi sebagai alat bukti juga dapat membantu posisi PPAT dalam hal akta
yang dibuat oleh PPAT diperkarakan oleh salah satu pihak dalam akta atau pihak
ketiga. Adapun yang berperan sebagai saksi dalam prakteknya adalah karyawan
PPAT itu sendiri.
Karyawan PPAT dalam melakukan pekerjaanya didasarkan pada perintah
atasannya, yaitu PPAT. Demikain pula PPAT dalam melaksanakan pekerjaanya
dalam pembuatan akta menugaskan karyawan tersebut sebagai saksi dalam hal ini,
hadir pada persemian akta, pembacaan akta dan penandatanganan akta. Karyawan
PPAT sebagai saksi tersebut dapat memberikan kesaksian bahwa benar telah
dipenuhinya formalitas-formalitas pembuatan akta yang telah ditentukan oleh
Peraturan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 PP No 24 Tahun 2016.
Dengan adanya dan keikutsertaannya sebagai saksi maka peresmian akta itu
menjadi sah, termasuk penggunaan Karyawan PPAT sebagai saksi.
13
Posisi karyawan PPAT sebagai saksi dalam peresmian akta, sudah
termasuk dalam lalu lintas hukum yang memiliki akibat hukum. Sehingga apabila
suatu akta dikemudian hari terjadi masalah atau kasus yaitu gugatan dari para
pihak maupun pihak ketiga dalam akta maka karyawan PPAT dengan sendirinya
ikut terlibat dalam masalah atau kasus tersebut. Sebagaimana saksi dalam kasus
lain, maka Karyawan PPAT sebagai saksi dalam kasus akta PPAT juga harus
mendapat perlindungan hukum dan dalam hal terjadi kasus atau gugatan di
pengadilan terhadap suatu akta dimana karyawan tersebut menjadi saksi. Suatu
akta yang telah diresmikan atau ditandatangani telah mempunyai peranan sebagai
alat bukti otentik. Akta otentik yang merupakan bukti yang lengkap (mengikat)
berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta harus diakui oleh hakim,
yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada
pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.
Akta otentik yang dianggap sempurna tersebut masih dapat digugurkan
jika pihak lawan dapat membuktikan sebaliknya. Jadi bukan tidak mungkin akta
yang telah diresmikan dan dianggap sebagai bukti sempurna, akan menjadi
permasalahan dikemudian hari dan masuk perkara pengadilan. Selanjutnya dalam
sidang-sidang perkara tersebut sudah pasti diperlukan saksi-saksi, termasuk saksi
yang berasal dari Karyawan PPAT.
Saksi yang berasal dari Karyawan PPAT yang dihadirkan dalam
persidangan tersebut, memberikan kesaksian sebatas tanggung jawabnya dalam
melaksanakan kewajibannya yakni dalam melaksanakan perintah atau tugas yang
diberikan oleh PPAT. Para saksi tidak bertanggung jawab terhadap isi akta itu.
14
Walaupun tindakan karyawan PPAT sebagai saksi dalam peresmian akta sudah
termasuk dalam bidang PPAT, akan tetapi dalam PP No 24 Tahun 2016 Pasal 22
yaitu Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan
dihadiri oleh sekurang-kurangnya (dua) orang saksi sebelum ditandatangani
seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Dalam peraturan
pemerintah ini tidak dijelaskan siapa saksi tersebut apakah saksi yang melihat,
mendengar dan mengalami suatu kejadian atau saksi akta yang diwajibkan oleh
hukum untuk hadir pada pembuatan akta PPAT. Sehingga dalam PP No.24 Tahun
2016 tidak memberikan aturan secara jelas dan pasti mengenai siapa saja yang
dijadikan saksi dalam akta PPAT dan bagaimana kedudukan dan tanggung
jawabnya terhadap akta tersebut sehingga dalam hal ini terjadi kekaburan norma
yang mana tidak mengatur secara jelas saksi dalam akta yang dibuat oleh PPAT,
sehingga dalam penelitian ini menarik untuk dibahas lebih lanjut dengan
mengangkat judul “ Kedudukan dan Tanggung jawab Hukum saksi terhadap akta
yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapatlah
ditarik permasalahn sebagai berikut;
1. Bagaimana kedudukan Hukum saksi terhadap akta yang dibuat oleh PPAT
berkaitan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang
perubahan atas peraturan pemerintah nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah?
15
2. Bagaimana Tanggung jawab Hukum saksi apabila terjadi sengketa oleh
para pihak berkaitan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016
Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah?
1.3 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secarta sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antar konsep.7 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk
memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang
diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif,
maka kerangka teori diarahkan secara khas ke ilmu hukum, maksudnya
penelitian ini berusaha untuk memahami fungsi saksi terhadap akta otentik yang
dibuat PPAT.
Landasan teoritis tidak sama pengertiannya dengan landasan teori.
Landasan teoritis cakupannya lebih luas dibandingkan landasan teori, yang
meliputi: teori hukum itu sendiri, asas hukum, konsep hukum, dan adagium
(maxim) hukum kendati harus diakui bahwa kedudukan teori hukum sebagai
landasan teoritis adalah sangat strategis dalam membangun argumentasi hukum.
Dalam kaitan ini, teori hukum yang dijadikan landasan teori untuk pemecahan
masalah hukum konkrit atau yang langsung diterapkan pada praktik hukum
7Burhan Ashofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 19
16
adalah pemikiran para filsuf hukum yang telah diakui kebenarannya dari masa
kemasa secara universal.8
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum
umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum,
norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas
permasalahan penelitian. Dalam setiap penelitian selalu harus disertai dengan
pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat
antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, analisa serta
konstruksi data. Dengan mengedepankan teori-teori dalam suatu penelitian dapat
dijelaskan fenomena yang dihadapi. Kerlinger mengemukakan bahwa: a theory is
a set of interrelated constructs (concept), definitions, and propositions that
presents a systematic view of phenomena by specifying relations among
variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena. Dengan
kata lain, dapat dikatakan bahwa teori-teori sebagai landasan untuk menjelaskan
fenomena atau sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian
merupakan pijakan untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang diperoleh
dari rangkaian upaya penelusuran (controleur baar). Oleh karena itu, dalam
suatu penelitian semakin banyak teori-teori, konsep, dan asas yang berhasil
diidentifikasi dan dikemukakan untuk mendukung penelitian yang sedang
dikerjakan maka semakin tinggi derajat kebenaran yang bisa dicapai.9
8I Md Pasek Diantha, 2016, Penelitian Hukum Normatif Dalam Jastifikasi Teori Hukum,
Prenada Media Group, Jakarta, hal. 23 9 Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2015, Buku Pedoman Pendidikan
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal. 58
17
Mengenai kewenangan dalam kaitannya dengan penulisan tesis ini yaitu
kewenangan dari seorang PPAT untuk membuat akta otentik, dimana akta otentik
tersebut berfungsi untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang
terikat didalamnya. Akta otentik juga dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian
sempurna dimuka pengadilan. Kehadiran saksi dalam pembuatan suatu akta yang
dilakukan dihadapan PPAT tentunya mempunyai peranan penting. Oleh karena itu
untuk menjawab permasalahan dalam tesis ini, maka ada beberapa teori-teori,
konsep serta asas-asas yang dipergunakan dapat diuraikan sebagai berikut:
1.3.1. Asas-asas Hukum
Menurut Gustav Radbruch, ada tiga tujuan dari hukum yaitu keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Teori kepastian hukum mengandung dua
pengertian. Pertama, adanya aturan yang bersifat umum yang membuat individu
mengetahui dan memahami perbuatan-perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan. Kedua, adanya keamanan hukum berupa jaminan kepastian hukum
bagi individudari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan hukum yang
bersifat umum sehingga individu dapat mengetahui apa yang boleh dilakukan oleh
Negara terhadap individu.10
Hukum menjalankan fungsinya sebagai sarana kepentingan manusia dalam
masyarakat. Tujuan hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai yang
membagi hak dan kewajiban antara setiap individu didalam masyarakat. Hukum
10
Peter Mahmud Marsuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Predana Media
Group, Jakarta, hlm.158.
18
juga memberikan wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum
serta memelihara kepastian hukum.
Kepastian dapat diwujudkan dengan hukum yang berlaku harus ditaati dan
tidak boleh menyimpang atau menyimpangkan subyek hukum. Dengan kepastian
hukum maka diperoleh kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum.
Kepastian dapat diwujudkan melalui norma yang baik dan jelas dalam suatu
undang-undang sehingga kepastian hukum dapat menciptakan suatu ketertiban.
Keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang setara dengan
kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional,
tetapi juga bisa berarti memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang
menjadi bagiannya berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum tanpa keadilan
tidaklah ada artinya berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum tanpa keadilan
tidaklah ada artinya sama sekali. Kemanfaatan hukum dapat dikatakan sebagai
adanya suatu manfaat yang diperoleh dari masyarakat atas adanya suatu hukum
yang mengatur.
Hukum yang mengatur adalah demi tercapainya tujuan hukum yang
menuntut kedamaian, ketentraman, kesejahteraan dan ketertiban dalam
masyarakat yang mana asas prioritas dalam tujuan hukum dijadikan pedoman
dalam masyarakat Indonesia yang berasal dari berbagai latar belakang untuk
menjawab segala macam persoalan khususnya mengenai akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah dalam hal ini kedudukan dan Tanggung jawab hukum saksi dalam
akta Pejabat Pembuat akta tanah.
19
1.3.2. Konsep Perlindungan Hukum
Konsep perlindugan Hukum menurut Philipus M. Hadjon perlindungan
hukum dalam kepustakaan Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescherming
van de burgers”11
. Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum
merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu “rechtbescherming”.
Pengertian kata perlindungan tersebut, terdapat suatu usaha memberikan hak-hak
kepada pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan.
Satjipto Raharjo menyatakan bahwa perlindungan hukum itu adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan
orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. 12
Sedangkan Philipus
M.Hadjon menyebutkan bahwa pada dasarnya perlindungan hukum meliputi dua
hal yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa,
yang mengarahkan tindakan pemerintah hati-hati dalam pengambilan keputusan
berdasarkan diskresi dan perlindungan yang represif bertujuan untuk
menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga
peradilan. Perlindungan hukum preventif meliputi tindakan yang menuju kepada
upaya pencegahan terjadinya sengketa sedangkan perlindungan represif
maksudnya adalah perlindungan yang arahnya lebih kepada upaya untuk
11
Philipus M.Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyar Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, hal. 1 12
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 54
20
menyelesaikan sengketa, seperti contohnya adalah penyelesaian sengketa di
pengadilan. 13
PPAT harus berpedoman kepada PP No. 24 Tahun 2016. Landasan filosofi
dibentuknya PP No. 24 Tahun 2016 adalah demi terwujudnya jaminan kepastian
hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan
keadilan. PPAT harus dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum
kepada masyarakat yang menggunakan jasa PPAT.
PPAT dalam menjalankan peranannya untuk menciptakan kepastian
hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakat yang lebih bersifat preventif,
yang berarti pencegahan terjadinya masalah hukum, dilakukan dengan
cara mengeluarkan akta otentik yang dibuat dihadapanya terkait dengan status
hukum, hak, dan kewajiban seseorang dalam hukum yang berfungsi sebagai alat
bukti yang paling sempurna. Mengenai kepastian peristiwa atau kepastian
perbuatan hukum akta yang dibuat dihadapan PPAT menjadi bukti otentik dalam
memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang berkepentingan terhadap
akta tersebut. Khususnya tanggung jawab saksi terkait akta yang dibuat oleh
PPAT.
1.3.3. Konsep Negara Hukum
Pemikiran Negara Hukum bermula dari pemikiran Plato yang menyatakan
bahwa penyelenggaraan Negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan
13
Budi Agus Riswandi dan Sabhi Mahmashani, 2009, Dinamika Hak Kekayaan Intelektual
Dalam Masyarakat Kreatif, Total Media, Yogyakarta, hal. 12
21
(Hukum) yang baik yang disebut dengan istilah “nomoi”.14
Konsep Negara
Hukum ini berkembang dalam 2 (dua) sistem hukum yaitu sistem hukum Eropa
Kontinental (Rechtsstaat) dan sistem Anglo Saxon (Rule of Law).
Konsep Negara hukum “Rechtsstaat” dipelopori oleh Immanuel Kant dan
Frederich Julius Stahl. Konsep negara hukum menurut Immanuel Kant,
menyebutkan unsur-unsur negara hukum terdiri dari:
1. Perlindungan hak asasi manusia
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu
Unsur-unsur negara hukum menurut Immanuel Kant, merupakan unsur-
unsur negara hukum formal. Kemudian pada abad ke 19, munculnya pendapat dari
Frederich Julius Stahl yang menyempurnakan unsur-unsur Negara hukum formal
tersebut diatas menjadi unsur-unsur Negara materiil.15
Konsep negara hukum yang dianut Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah sistem hukum Eropa Kontinental (Rechtsstaat). Adapun ciri-ciri
Rechtsstaat diantaranya :16
1. Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan
tertulis tentang hubungan penguasa dan rakyat
2. Adanya pembagian kekuasaan negara.
3. Diakui serta dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.
Selanjutnya terkait dengan asas dalam Negara Hukum menurut Prajudi
Atmosudirdjo adalah:
14
Titik Triwulan Tutik, 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Tata Negara Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 61 15
Ibrahim R, 2003, Sistem Pengawasan Konstitusional Antara Kekuasaan Legislatif dan
Eksekutif Dalam Pembaharuan UUD 1945, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjajaran
Bandung, hal. 32-33.. (selanjutnya disebut R.Ibrahim 1) 16
Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 82
22
1. Asas monopoli paksa berarti, bahwa: monopoli penggunaan kekuasaan
negara dan monopoli penggunaan paksaan untuk membuat orang mentaati
apa yang menjadi keputusan penguasa Negara hanya berada di tangan
pejabat penguasa negara yang berwenang dan berwajib untuk itu.
Siapapun yang lain dari yang berwenang/berwajib dilarang, artinya barang
siapa melakukan penggunaan kekuasaan Negara dan menggunakan
paksaan tanpa wewenang seperti dimaksud diatas disebut”main hakim
sendiri”
2. Asas persetujuan rakyat berarti, bahwa orang (warga masyarakat) hanya
wajib tunduk dan dapat dipaksa untuk tunduk, kepada peraturan yang
dicipkatan secara sah dengan persetujuan langsung (undang-undang
formal), atau tidak langsung (legislasi delegatif, peraturan atas kuasa
Undang-undang) dari Dewan Perwakilan Rakyat. artinya, apabila ada
peraturan (misalnya : mengadakan pungutan pembayaran atau “sumbangan
wajib”) yang tidak diperintahkan atau dikuasakan oleh undang-undang,
maka peraturan itu tidak sah, dan hakim pengadilan wajib membebaskan
setiap orang yang dituntut oleh karena tidak mau mentaatinya dan apabila
pejabat memaksakan peraturan tersebut, maka ia dapat dituntut sebagai
penyalahgunaan kekuasaan negara, minimal digugat sebagai perkara
“perbuatan penguasa yang melawan hukum”.
3. Asas persekutuan hukum berarti, bahwa rakyat dan penguasa negara
bersama-sama merupakan suatu persekutuan hukum (rechtsgemeenschap,
legal partnership), sehingga para pejabat penguasa negara dalam
menjalankan tugas dan fungsi, serta menggunakan kekuasaan negara,
mereka tunduk kepada hukum (sama dengan rakyat/warga masyarakat).
Berarti baik para pejabat penguasa negara maupun para warga masyarakat
berada di bawah dan tunduk kepada hukum (undang-undang) yang sama.17
Ide negara hukum dalam sistem ketatanegaraan indonesia yang dikemukan
oleh Burkens yaitu:
1. Asas legalitas, setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar
Peraturan Perundang-undangan (wetterlijke-grondslag). Dengan landasan
ini undang-undang formal dan undang-undang dasar sendiri merupakan
tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentuk
undang-undang merupakan bagian penting negara hukum.
2. Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan
negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
3. Hak-hak dasar (grondrechten), hak-hak dasar merupakan sasaran
perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi pembentukan
undang-undang.
17
Prajudi Atmosudirdjo, 1995, Hukum Administrasi Negara,Ghalia Indonesia,Jakarta,
hal. 29
23
4. Pengawasan peradilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan
yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintahan
(rechtmatigeidstoetsing).18
Negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum adalah negara yang adil
dan demokrasi. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Negara
Indonesia merupakan negara yang tunduk pada hukum yang berlaku dan hukum
tersebut mengikat seluruh warga Negara Indonesia.
Berdasarkan ciri-ciri negara hukum yang dianut di Indonesia, maka
relevansi dengan permasalahan ini diperlukan adanya ketegasan dan kepastian
hukum yang berkaitan dengan kedudukan dan tanggung jawab saksi dalam akta
yang dibuat oleh PPAT berkaitan dengan PP No. 24 Tahun 2016 tentang
perubahan PP No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah. Teori ini berguna untuk memberikan kepastian hukum mengenai
kedudukan dan tanggung jawab saksi PPAT.
1.3.4. Konsep Kepastian Hukum
Indonesia merupakan Negara hukum dimana hukum bertujuan untuk
menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan
untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan antar manusia, yaitu bertujuan
untuk mencegah bahwa hak yang terkuat yang berlaku. Persoalan kepastian
hukum itu harus menjadi nilai bagi setiap orang dalam kehidupan di luar peranan
negara itu sendiri dalam penerapan hukum legislasi maupun yudikasi. Setiap
18
Philipus M.Hadjon, 1972, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: sebuah
Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya,Penerapannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu,Surabaya,hal. 1
24
orang atau pihak tidak diperkenankan untuk bersikap atau bertindak semena-
mena.
Teori kepastian hukum lahir berdasarkan adanya aliran hukum kritis
(Critical Legal Studies). Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang
muncul pada tujuh puluhan di Amerika Serikat. Critical Legal Studies oleh Ifdhal
Kasim diterjemahkan dengan istilah bahasa Indonesia Gerakan Studi Hukum
Kritis (GSHK). Gerakan ini merupakan kelanjutan dari aliran hukum realism
Amerika yang menginginkan suatu pendekatan yang berbeda dalam memahami
hukum, tidak hanya seperti pemahaman selama ini yang bersifat Socratis.
Menurut aliran ini bahwa idealnya hukum itu:
1. Harus dirumuskan dalam rumusan yang tegas dan jelas demi kepastian
hukum melalui proses politik yang disebut demokratis.
2. Memiliki sifat formalisasi (menghasilkan hukum positif) dalam bentuk
peraturan-peraturan resmi yang ukurannya dipandang paling kuat.
3. Dipandangnya bahwa peraturan hukum itu pada hakikatnya bertingkat
(hierarki).
4. Hukum formal itu haruslah dicermati oleh para ahli dan profesional
hukum agar benar dalam kedudukannya dan benar dalam
keberlakuannya.19
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara
normatif bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis
dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak
berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan
19
Roberto M.Unger, 1999, Gerakan Hukum Kritis (Critical Legal Studies) diterjemahkan
oleh Ifdhal Kasim, Elsam Jakarta, hal. 65
25
dari ketidak pastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau
distorsi norma.
Fungsi hukum adalah untuk mengatur hubungan antara negara dengan
warga masyarakatnya dan hubungan antara sesama warga masyarakat tersebut
agar kehidupan dalam masyarakat berjalan dengan tertib dan lancar. Hal ini
mengakibatkan bahwa tugas hukum untuk mencapai kepastian hukum (demi
adanya ketertiban) dan keadilan dalam masyarakat. Kepastian hukum
mengharuskan diciptakannya peraturan umum atau kaidah umum yang berlaku
umum. Agar tercipta suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat, maka
kaidah dimaksud harus ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas.20
Menurut pendapat Peter Mahmud Marzuki, konsep kepastian hukum
mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum
membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh
dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara
terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam
undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim, antara
putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa
yang telah diputuskan.21
20
Soerjono Soekanto, 1999, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung, hal. 15 21
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media
Group, Jakarta, hal. 158
26
Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan
ketertiban dalam masyarakat karena kepastian hukum (peraturan/ketentuan
umum) mempunyai sifat sebagai berikut : adanya paksaan dari luar (sanksi) dari
penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat
dengan perantara alat-alatnya, sifat undang-undang yang berlaku bagi siapa saja.22
Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, kepastian hukum tidak
mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik dan buruk, yang
diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak
memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan
tetapi yang diberi sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut
atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit.
Dalam prakteknya apabila kepastian hukum di kaitkan dengan keadilan,
maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini di karenakan di
suatu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip-prinsip keadilan
dan sebaliknya tidak jarang pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian
hukum.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka PPAT dalam menjalankan
tugas jabatannya wajib berpedoman secara normatif kepada aturan hukum yang
berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan
dalam akta. Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku tentunya akan
memberikan kepastian kepada para pihak, bahwa akta yang dibuat di hadapan atau
22
Jan Gijssela dan Mark Van Hoecke, 2000, Terjemahan Arif Sidharta, Tentang Apakah
teori Hukum Itu, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 132
27
oleh PPAT telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, sehingga jika terjadi
permasalahan, akta PPAT dapat dijadikan pedoman oleh para pihak.23
Kepastian hukum tentunya berkaitan dengan produk hukum yang
dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan
pemerintah lainnya yang berkaitan dengan kedudukan dan tanggung jawab saksi
dalam pembuatan akta PPAT. Dalam kaitannya dengan keberadaan saksi dalam
pembuatan suatu akta, tentunya saksi ini juga berperan dalam memberikan
kepastian hukum atas akta tersebut. Keberadaan saksi ini juga membuat akta
tersebut menjadi sah dan memberikan perlindungan hukum apabila suatu saat
terjadi permasalahan atas akta tersebut, maka saksi dapat dimintakan keterangan
di pengadilan.
1.3.5. Konsep Pejabat Pembuat Akta Tanah
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menentukan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 52 dan tambahan lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2016 Nomor
5893), selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan
untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. PPAT adalah Pejabat
umum sehingga jabatannya adalah jabatan publik (public office).
23
Habib Adjie,2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan
Tulisan Tentang Notaris dan PPAT), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Habib
Adjie I).hal. 185
28
PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang telah diganti dengan Undang undang
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan peraturan
pelaksana dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Pokok Agraria (UUPA). Dengan demikian, PPAT diangkat oleh
Pemerintah dengan diberikan tugas dan wewenang tertentu dalam rangka
melayani kebutuhan masyarakat akan akta pemindahan hak atas tanah, akta
pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan hak
tanggungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku24
Perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 hanya
beberapa Pasal saja yang dirubah dan ditambah pada Peraturan Pemerintah Nomor
24 tahun 2016 yang paling signifikan perubahan dalam umur seorang Pejabat
Pembuat Akta Tanah yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) yang mana seorang PPAT
dapat diangkat menjadi PPAT adalah berumur 22 tahun dan Pasal 12 mengenai
daerah kerja PPAT adalah satu wilayah provinsi. Pasal 1 angka 24 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan PPAT
adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tertentu.
Maksudnya yaitu akta pemindahan dan pembebanan hak atas tanah dan Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun dan akat pemberian kuasa untuk membebankan hak
tanggungan. Dengan kata lain, PPAT adalah Pejabat yang berfungsi membuat akta
24
A.P. Parlindungan, 1982, Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan
Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Alumni, Bandung, hlm.40
29
yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan hak baru dan
membebankan hak atas tanah.
Klasifikasi PPAT diatur dalam Pasal 1 angka 1 sampai 3 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat
umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perubuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
2. PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena
jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat Akta
PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.
3. PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan
membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan
program atau tugas Pemerintah tertentu.
Pejabat yang berwenang mengangkat PPAT, yaitu Menteri.25
PPAT
diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu. Sementara itu, pejabat yang
berwenang mengangkat PPAT Sementara dan PPAT khusus adalah Menteri. Hal
ini diatur dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a dan b Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pasal itu,
menentukan:
Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan
masyarakattertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat
menunjuk pejabat-pejabat di bawah ini sebagai PPAT Sementara atau
PPAT Khusus:
a. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah
yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara;
25
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah
30
b. Kepala Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang
diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan
masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi
negara sahabat berdasarkan asasresiprositas sesuai pertimbangan dari
Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.
Apabila diperhatikan ketentuan di atas, maka yang dapat diangkat sebagai
PPAT Sementara, yaitu :
1. Camat; dan
2. Kepala Desa.26
Camat dan Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT dan sifatnya sementara. Sementara diartikan sebagai
waktu tertentu. Apabila PPAT nya sudah cukup, maka PPAT sementara ini, tidak
diperlukan lagi.27
PPAT juga memiliki tugas pokok dan kewenangan. Tugas pokok, yang
dalam bahasa Inggris, disebut the principal tasks, sedangkan dalam bahasa
Belanda, disebut dengan belangrijkste taken adalah kewajiban atau pekerjaan
yang utama yang harus dilakukan oleh PPAT.28
Pengaturan tentang tugas pokok
PPAT telah ditentukan dalam Pasal 2 Peraturan pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Di dalam ketentuan itu,
ditentukan bahwa tugas pokok PPAT, yaitu melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah.29
26
Salim HS, 2016, Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Ed.1-
Cet.1, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.95 27
Ibid.,hal.96 28
Ibid,,hal.93 29
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat akta Tanah.
31
Dalam melakukan pendaftaran itu, maka PPAT harus membuat akta
sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu, mengenai:
1. Hak atas tanah; dan/atau
2. Hak milik atas satuan rumah susun.
Akta yang dibuat oleh PPAT itu, yang akan dijadikan dasar bagi
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Perbuatan hukum itu , meliputi:
1. Jual beli;
2. Tukar menukar;
3. Hibah;
4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5. Pembagian hak bersama;
6. Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik;
7. Pemberian Hak Tangungan
8. Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.30
Sementara itu, kewenangan PPAT, yang dalam bahasa Inggris disebut
dengan authority, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan autoriteit
atau gezag merupakan kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada PPAT utnuk
membuat akta. Kewenangan itu, yaitu yang berkaitan dengan:
1. Pemindahan hak atas tanah;
2. Pemindahan hak milik atas satuan rumah susun;
3. Pembebanan hak atas tanah; dan
4. Surat kuasa membebankan hak tanggungan.
30
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat akta Tanah.
32
1.3.6. Doktrin Tanggung Jawab
Istilah tanggungjawab negara dalam Liability Convention 1972 dan
Deklarasi Stockholm 1972 dituangkan dalam dua istilah yang berbeda, yaitu;
1. Responsibility : lebih menunjuk kepada indikator penentu lahirnya
tanggungjawab yaitu standar perilaku yang telah ditetapkan terlebih
dahulu dalam bentuk kewajiban yang harus ditaati serta lahirnya suatu
tanggungjawab.
2. Liability : lebih menunjuk kepada akibat yang timbul dari akibat
kegagalan untuk memenuhi standar itu, dan bentuk tanggungjawab
yang harus diwujudkan dalam kaitan dengan akibat atau kerugian yang
timbul akibat kegagalan memenuhi kewajiban tersebut, yaitu
pemulihan (legal redress).31
Menurut Dawn Oliver dan Gavin Drewry, “Pengertian accountability
adalah keadaan untuk dipertanggungjawabkan dan accountable diartikan sebagai
bertanggungjawab.32
Liability merupakan istilah hukum yang luas yang
menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab. Liability meliputi
semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian,
ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk
melaksanakan undang-undang. Responsibility artinya hal yang dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, termasuk putusan, keterampilan,
kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas
undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,
istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung
31
Ida Bagus Wyasa Putra, 2001, Tanggung Jawab Negara Terhadap Dampak
Komersialisasi Ruang Angkasa. PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 54 32
Dawn Oliver and Gavin Drewry, 1996, Public Servise Reform, Issues Of Accountability
and Public Law, ReaderIn Public Law, King’s College,University Of London,London,hal. 3
33
gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah
responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik. 33
Menurut Kranenburg dan Vegtig persoalan mengenai pertanggungjawaban
pejabat ada dua teori yang melandasinya yaitu:
a. Teori Fautes personalles, yaitu menyatakan bahwa kerugian terhadap
pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu
telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab
ditujukan pada manusia selaku pribadi.
b. Teori Fautes de services, yaitu menyatakan bahwa kerugian terhadap
pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan.
Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam
penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah
kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan
ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada
tanggung jawab yang harus ditanggung.34
Teori tradisional memiliki dua jenis tanggung jawab yaitu
pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan
pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility).35
Menurut Hans Kelsen
dalam teorinya menyatakan bahwa, “seseorang bertanggung jawab secara hukum
atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum,
subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal
perbuatan yang bertentangan”. 36
Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa:
Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum
disebut kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang
sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras
33
Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal.335-337 34
Ibid., hal. 365 35
Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi
Press, Jakarta, hal.61 36
Hans Kelsen, 2007, Genefral Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan
Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, terjemahan
Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta (selanjutnya ditulis Hans Kelsen II), hal. 81
34
kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan
atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan. 37
Selanjutnya Hans Kelsen membagi tanggung jawab menjadi 4 (empat)
bagian yang terdiri dari:
a. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung
jawab terhadap pelanggaran yang dilakukan sendiri;
b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang
lain;
c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa
seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan
karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;
d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak
sengaja dan tidak diperkirakan.38
Menurut Pendapat Hans Kelsen tentang tanggung jawab hukum
menyatakan bahwa:
a concept related to that of legal duty is the concept of legal responsibility
(liability). That a person is legally responsible for a certain behavior or
that he bears the legal responsibility therefore means that he is liable to a
sanction in case contrary behavior. Normally,that is, in case the sanction
is directed against the immediate delinquent,it is his own behavior for
which an individual is responsible.in this case the subject of the legal
responsibility and the subject of the legal duty coincide.39
Dihubungkan dengan penelitian ini maka teori tanggung jawab
dipergunakan untuk mengetahui tanggung jawab saksi terhadap akta yang dibuat
PPAT berkaitan dengan PP No.24 Tahun 2016.
37
Ibid.,hal 83 38
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta,hal. 73-79. 39
Hans Kelsen, 1944,General Theory of Law And State, New York,hal. 65
35
1.3.7. Teori Pertanggung Jawaban Hukum
1. Pertanggungjawaban Pidana dalam bahasa asing disebut sebagai toereken-
baarheid, criminal responsibility atau criminal liability. Pertanggungjawaban
pidana adalah dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut
dapat dipertanggungjawabkan pidana atau tidak terhadap tindakan yang
dilakukannya.40
2. Pertanggungjawaban Perdata dalam hukum perdata berupa tanggung jawab
seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan
hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan
perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup
perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja, akan tetapi
jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan
bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan
perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk
melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.41
3. Pertanggungjawaban Administrasi. Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta
Tanah secara administrasi sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 Tentang Peraturan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dapat
dilihat dari tugas pokok dan kewenangan PPAT dalam Pasal 2 ayat 1 yang
40
S.R.Sianturi, 1996, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Cet IV, Alumni,
Jakarta, hal.245 41
Komariah, 2001, Edisi Revisi Hukum Perdata, Universitas
Muhammadiyah,Malang,hal. 12
36
mana PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Sususn, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu dan Pasal 2 ayat
2 perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut: jualbei, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan
(inbreng), pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak
Pakai atas Tanah Hak Milik, pemberian hak tanggungan, pemberian Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan. Serta Pasal 10 PP 24 Tahun 2016 PPAT
yang diberhentikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) huruf c terdiri atas: diberhentikan dengan hormat, diberhentikan dengan
tidak hormat,dan diberhentikan sementara.
1.3.8. Teori Interpretasi Hukum
Tidak semua aturan hukum dan tidak semua produk legislatif dirumuskan
dalam bentuk verbal yang tepat, yang diharapkan memberikan jawaban yang jelas
terhadap persoalan hukum praktis. Hampir setiap peraturan hukum menunjukkan
hubungan yang membingungkan dan tidak jelas dalam berbagai sengketa. Aturan
hukum yang dirumuskan dalam bahasa, seringkali merupakan rumusan yang
37
kabur. Sengketa praktis dapat diselesaikan secara menginterpretasikan aturan
hukum atau rumusan yang kabur tersebut.42
Menurut Von Savigny, interpretasi adalah merupakan suatu rekontruksi
buah pikiran yang terungkapkan di dalam Undang-Undang.43
Mengintepretasi
adalah tindakan untuk memberi tafsir terhadap norma yang sedang berlaku,
apakah dalam penerapannya telah sesuai dengan arti, makna dan tujuan
dirumuskannya norma tersebut.44
Pengertian penafsiran hukum dan/atau legal
interpretasion, dapat dipahami ialah suatu usaha untuk menggali, menemukan dan
memahami nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dan berkembang di dalam
masyarakat, untuk dijadikan sebagai bahan (dasar) pertimbangan dalam menyusun
hukum dan menetapkan suatu keputusan dalam menyelesaikan suatu
permasalahan yang timbul dalam masyarakat, sehingga terwujud tujuan hukum itu
sendiri, yaitu “keadilan”.45
Penafsiran misalnya berupa:46
a. Penafsiran gramatikal, yaitu penafsiran dengan mencari arti kata-
katanya;
b. Penafsiran sistematikal, yaitu menafsirkan pasal Undang-Undang
dengan menghubungkan dengan pasal-pasal lain dalam satu Undang-
Undang atau pasal-pasal dalam Undang-Undang yang lainnya;
c. Penafsiran historikal yang mencakup penafsiran dengan melihat
sejarah terjadinya satu aturan perundang-undangan misalnya
pandangan-pandangan yang mengemuka dalam tahap pembahasan
42
Philipus M.Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, 2014, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, hal. 24 43
Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, Kencana Predana
Media Group, Jakarta, hal. 106 44
I Made Pasek Diantha, 2016, Op.Cit. hal.84 45
Zainuddin Ali, 2000, Ilmu Hukum dalam Masyaakat Indonesia, Yayasan Masyarakat
Indonesia, Palu, hal. 188 46
I Made Pasek Diantha,Op.Cit., hal. 154
38
rancangan di parlemen; dan penafsiran dengan melihat perkembangan
suatu lembaga hukum yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
d. Penafsiran teleologis, yaitu mencari maksud dan tujuan dibuatnya
peraturan perundang-undangan;
e. Penafsiran ekstensif dan restriktif. Penafsiran ekstensif adalah
penafsiran yang memperluas arti kata dan penafsiran restriktif adalah
mempersempit atau membatasi arti kata yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan.
Menurut J.A.Pontier selain penafsiran-penafsiran tersebut di atas, ada juga
penafsiran antisipatif, yaitu suatu penafsiran yang melihat jauh kedepan dari
maksud norma tersebut dan penafsiran evolutif-dinamis, yaitu penafsiran yang
disesuaikan dengan perkembangan pandangan sosial atau susila atau situasi
kemasyarakatan.47
Menurut Peter Mahmud Marzuki, interpretasi dibedakan
menjadi interpretasi berdasarkan kata-kata Undang-Undang, interpretasi
berdasarkan kehendak pembentuk Undang-Undang, interpretasi sistematis,
interpretasi historis, interpretasi teleologis, interpretasi antipatoris, interpretasi
modern.48
Menafsirkan suatu Undang-Undang dan peraturan-peraturan dikenal pula
aturan prinsip interpretasi. Ibrahim R menyebutkan ada enam aturan prinsip
interpretasi suatu Undang-Undang dan peraturan.49
Prinsip-prinsip interpretasi
dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Deduct hypotetiko, suatu perbuatan yang harus dikontruksikan secara
keseluruhan, agar inskonsistensi internal dapat dihindari.
47
Kutipan dari J.A.Pointer, 2001, Rechtvinding, diterjemahkan oleh B.Areif Sidharta,
Cetakan 3, Laboratorium Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, hal. 24-33 48
Ibid. 49
Ibrahim R, 2006, Pernak Pernik Yuridis Dalam Nalar Hukum, Cet.1, UPT Penerbit
Universitas Udayana Denpasar, hal.12-13
39
2. Literal rule, artinya kata-kata secara nalar harus memiliki makna.
3. Golden rule, artinya ketika suatu perbuatan bertujuan untuk
melenyapkan cacat dalam hukum.
4. Ujusden generis rule, artinya dari macam yang sama.
Menurut Bruggink, ada berbagai macam interpretasi. Bruggink
mengelompokkannya dalam 4 model yaitu: 50
1. Interpretasi bahasa (de taalkundige interpretatie)
2. Historis Undang-Undang (de wetshistorische interpretatie)
3. Sistematis (de systematische interpretatie)
4. Kemasyarakatan (de maatshappelijke interpretatie)
Dalam kaitan dengan interpretasi, menarik untuk disimak prinsip
Contextualism dalam interpretasi seperti yang dikemukakan oleh lan McLeod,
dalam bukunya Legal Method. McLeod mengemukakan 3 asas dalam
contextualism yaitu: 51
1. Asas Noscitur a Sociis
Suatu hal diketahui dari associatednya. Artinya suatu kata harus
diartikan dalam rangkaiannya.
2. Asas Ejusdem Generis
Artinya sesuai genusnya, artinya satu kata dibatasi makna secara
khusus dalam kelompoknya. Contoh: konsep Hukum Administrasi
belum tentu sama maknanya dalam Hukum Perdata atau Hukum
Pidana. Misal: Konsep rechtmatigheid.
3. Asas Erpressio Unius Exclusio Alterius
50
Philipus M.Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, 2014, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, hal. 26 51
Ibid.
40
Artinya, kalau satu konsep digunakan untuk satu hal, berarti
tidakberlaku untuk hal lain. Contoh: kalau konsep rechtmatigheid
sudah digunakan dalam Hukum Tata Usaha Negara, maka konsep
yang sama belum tentu berlaku untuk kalangan hukum perdata atau
hukum pidana.
Interpretasi sebetulnya sudah dilakukan oleh kelompok Scholastica dalam
usahanya memahami Codex Juris Civilis (Kitab Undang-Undang Perdata). 52
52
Ibid., hlm.27
41
1.4. KERANGKA BERPIKIR
Latar Belakang
Tanah Didaftar PPAT Akta Otentik Syarat Formil Saksi
Rumusan Masalah
Kedudukan
Hukum Saksi
Tanggung Jawab
Hukum Saksi
Landasan Teoritis
1. Teori Interprestasi
Hukum
2. Teori Pertanggungjawaban
Hukum
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Normatif
Jenis Pendekatan
Perundang-Undangan
Sumber
Bahan hukum
Primer Sekunder Tertier
Teknik Pengumpulan
Bahan Hukum
Teknik Analisa
Bahan Hukum
Sistem
Kartu
Pendekatan
Perundanga-
undangan
Pendekatan
Konsep
Simpulan dan
Saran
1. Kedudukan saksi adalah syarat
formal bagi Akta PPAT
2. Tanggungjawab saksi adalah
menyaksikan peresmian Akta PPAT
1. Agar Undang-Undang PPAT
disyahkan oleh DPR RI
2. Agar PPAT bertanggung jawab
baik secara hukum perdata, pidana
dan administrasi
Simpulan Saran
42
1.5. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu berupa tujuan
umum dan tujuan khusus yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1.5.1 Tujuan Umum
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan ilmu
hukum dan memperluas pengetahuan sehingga dapat memahami khususnya
mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berkaitan dengan Kedudukan dan
Tanggung Jawab Hukum saksi terhadap Akta Otentik yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah berkaitan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2016 Tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
1.5.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penelitian ini yaitu
sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan dan melakukan analisis mengenai Kedudukan
Hukum saksi terhadap akta otentik yang dibuat oleh PPAT berkaitan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
43
2. Untuk mendeskripsikan dan melakukan analisis secara mendalam
tentang tanggung jawab Hukum saksi terhadap akta otentik yang dibuat
PPAT apabila terjadi sengketa oleh para pihak berkaitan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah
1.6. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dari penelitian ini yaitu
sebagai berikut:
1.6.1. Manfaat Teoritis
Adapun yang menjadi manfaat teoritis dalam penelitian ini yaitu,
pengembangan pengetahuan hukum dan ilmu pengetahuan hukum. Khususnya
pengaturan yang terkait dengan hukum perdata, pidana dan administrasi di
bidang Pejabat Pembuat Akta Tanah.
1.6.2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis yang didapat dari penelitian ini yaitu, bagi
kalangan praktisi. Hasil ini dapat dijadikan referensi atau pengetahuan tambahan
untuk mengetahui kedudukan dan tanggunga jawab hukum saksi dalam membuat
suatu akta PPAT, manfaat bagi penulis adalah untuk mengembangkan ilmu
hukum di bidang Keperdataan, pidana, Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
44
1.7. Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum ini termasuk dalam penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif merupakan suatu penelitian yang melihat hukum
terdiri atas peraturan-peraturan tingkah laku atau kaidah-kaidah, peraturan-
peraturan perbuatan manusia atas suruhan dan larangan. Dengan demikian
penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang melihat hukum sebagai
seperangkat norma (kaidah).53
Penelitian ini dilakukan beranjak dari adanya
kekaburan norma pada peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang
perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pembuat Akta Tanah yang tidak mengatur secara jelas mengenai
kedudukan dan tanggungjawab hukum saksi dalam peraturan pemerintah
tersebut.
1.7.2. Jenis Pendekatan
Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif
akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan
ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan analisis dan ekslanasi. Dalam
kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan yaitu:
1. Pendekatan Perundang-undangan (statue approach).
2. Pendekatan konsep (conceptual approach).
3. Pendekatan perbandingan (comparative approach).
4. Pendekatan historis (historical approach).
5. Pendekatan filsafat (philosophicl approach).
6. Pendekatan kasus (case approach). 54
53
L.J. Van Apeldoorn, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 18 54
Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,
Malang, hal. 295.
45
Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu
penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan satu pendekatan atau lebih
yang sesuai. Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan perundang-undangan
(the statue approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan
perundang-undangan (the statue approach) dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
ditangani, yang dimaksud dengan statue adalah legislasi dan regulasi.55
Pendekatan perundang-undangan (the statue approach) dilakukan dengan
menelaah atau mengkaji ketentuan-ketentuan hukum serta peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai kedudukan dan tanggung jawab hukum saksi
terhadap akta yang dibuat PPAT terkait dengan PP No.24 Tahun 2016.
Pendekatan konsep (conceptual approach) merujuk pada prinsip-prinsip hukum.
Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun
doktrin-doktrin hukium. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum juga
dapat ditemukan di dalam undang-undang.pendekatan ini menjadi penting sebab
pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum
dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika
menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas
ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum,
maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.
55
Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, cet 3, Universitas Indonesia
(UI-Press), Jakarta, hal. 93
46
1.7.3 Sumber Bahan Hukum.
1. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang memiliki
kekuatan hukum yang mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-
undangan, antara lain:
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek
Staatblad 1847 No. 23)
b. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara No. 76 Tahun 1981, Tambahan
Lembaran Negara No. 3209).
c. Undang-undang Republik Indonesia Nomr 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 3).
d. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 293).
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran tanah oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
(lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3696)
47
f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016
Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52 dan
tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 5893).
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalag bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer yang meliputi buku-buku,
literatur, artikel, majalah, makalah dan bahan-bahan hukum tertulis
lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Dokumen
pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk dalam
bahan hukum sekunder ini sepanjang relevan dengan objek kajian
penelitian hukum ini.56
3. Bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan hana
hukum sekunder, yaitu: kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia dan
ensiklopedi.
56
Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan
Jurimetri,Alumni,Jakarta, hal. 24
48
1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan misalnya memahami dan
mengkaji lebih mendalam tentang literatur dan peraturan perundang-undangan
yang ada kolerasinya dengan pembahasan baik langsung maupun tidak
langsung.57
Dalam pengumpulan bahan-bahan hukum dipergunakan teknik studi
dokumen, yaitu menelaah peraturan-peraturan yang relevan, buku-buku atau
bahan-bahan bacaan atau, karya ilmiah para sarjana dan hasilnya dicatat dengan
sistem kartu. Kartu yang disusun berdasarkan topik, bukan berdasarkan nama
pengarang, hal ini dilakukan agar lebih memudahkan dalam penguraian,
menganalisa, dan membuat kesimpulan dari konsep ada. Studi kepustakaan
bertujuan untuk mencapai konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat
ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok-pokok
permasalahan.
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Mengenai teknik analisis bahan hukum yang diterapkan dalam penelitian
ini diawali dengan pengumpulan dan sistematis bahan-bahan hukum yang
diperoleh untuk kemudian dianalisis. Analisis dilakukan dalam rangka untuk
memecahkan permasalahan yang ada dengan menggambarkan apa yang menjadi
masalah (deskripsi), menjelaskan masalah (eksplanasi), mengkaji permasalahan
dari bahan-bahan hukum yang terkait (evaluasi) dan memberikan argumentasi
57
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
23
49
dari hasil evaluasi tersebut, sehingga didapat kesimpulan mengenai persoalan
yang dibahas pada penelitian ini.
50
top related