abstrak - sinta.unud.ac.id fileacara pidana. dalam pembuatan akta ppat saksi merupakan syarat formal...

50
ABSTRAK Tanah merupakan suatu yang sangat berharga bagi warga Negara Indonesia pada khususnya sehingga tanah harus didaftarkan dalam pendaftaran tanah harus dilakukan oleh seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah yang telah diangkat atau ditunjuk oleh Negara dalam rangka pendaftaran tanah yang dituangkan dalam akta otentik. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian formil dan materiil. Sehingga syarat-syarat dari pembuatan akta otentik harus terpenuhi salah satunya adanya kehadiran saksi. Adanya saksi dalam pembuatan akta otentik merupakan salah satu alat bukti yang terdapat pada Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 184 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang- kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Lebih lanjut Peraturan Pemerintah tersebut tidak menjelaskan siapa yang dimaksud saksi apakah karyawan PPAT itu sendiri. Sehingga dalam hal ini terjadi pengkaburan norma mengenai kedudukan dan tanggung jawab hukum saksi terhadap akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Bertitik tolak dari uraian tersebut maka permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah Bagaimana Kedudukan dan Tanggung Jawab Hukum Saksi terhadap akta yang dibuat oleh PPAT berkaitan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan jenis pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan perundang-undangan. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan sistem kartu. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kedudukan hukum saksi dalam PP 24 tahun 2016 adalah merupakan syarat formal untuk membuat akta PPAT menjadi akta otentik sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata dan saksi tidak bertanggung jawab terhadap isi akta yang ditandatanganinya apabila timbul permasalahkan dikemudian hari oleh para pihak dalam akta PPAT. Saksi bertanggunga jawab hanya dalam menyiapkan akta sesuai kelengkapan administratif yang ditugaskan oleh PPAT. Kata Kunci : Akta PPAT, Kedudukan saksi, Tanggung jawab saksi.

Upload: doanque

Post on 15-Aug-2019

220 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

ABSTRAK

Tanah merupakan suatu yang sangat berharga bagi warga Negara

Indonesia pada khususnya sehingga tanah harus didaftarkan dalam pendaftaran

tanah harus dilakukan oleh seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah yang telah

diangkat atau ditunjuk oleh Negara dalam rangka pendaftaran tanah yang

dituangkan dalam akta otentik. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian

formil dan materiil. Sehingga syarat-syarat dari pembuatan akta otentik harus

terpenuhi salah satunya adanya kehadiran saksi. Adanya saksi dalam pembuatan

akta otentik merupakan salah satu alat bukti yang terdapat pada Pasal 1866

KUHPerdata dan Pasal 184 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum

Acara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal

sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu akta PPAT harus

dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-

kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para

pihak, saksi-saksi dan PPAT. Lebih lanjut Peraturan Pemerintah tersebut tidak

menjelaskan siapa yang dimaksud saksi apakah karyawan PPAT itu sendiri.

Sehingga dalam hal ini terjadi pengkaburan norma mengenai kedudukan dan

tanggung jawab hukum saksi terhadap akta otentik yang dibuat oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah. Bertitik tolak dari uraian tersebut maka permasalahan yang

dapat diangkat dalam penelitian ini adalah Bagaimana Kedudukan dan Tanggung

Jawab Hukum Saksi terhadap akta yang dibuat oleh PPAT berkaitan dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan

pemerintah nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan

jenis pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan perundang-undangan.

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian terdiri dari bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan

bahan hukum menggunakan sistem kartu.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kedudukan hukum saksi dalam PP

24 tahun 2016 adalah merupakan syarat formal untuk membuat akta PPAT

menjadi akta otentik sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata

dan saksi tidak bertanggung jawab terhadap isi akta yang ditandatanganinya

apabila timbul permasalahkan dikemudian hari oleh para pihak dalam akta PPAT.

Saksi bertanggunga jawab hanya dalam menyiapkan akta sesuai kelengkapan

administratif yang ditugaskan oleh PPAT.

Kata Kunci : Akta PPAT, Kedudukan saksi, Tanggung jawab saksi.

Page 2: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

ABSTRACT

Land is a very valuable particularly for Indonesian citizens. Therefore,

land shall be registered in the Land Register by a Land Conveyancer (PPAT)

nominated or appointed by the State in order to enable the land registration to be

concluded in an authentic deed. The reason is that an authentic deed has got

formal and material proofing powers. As such, the prerequisites for concluding an

authentic deed must be fulfilled. One of them is the presence of witnesses. The

presence of witnesses in concluding an authentic deed constitutes an evidence

outlined in article 1866 of the Civil Code of the Republic of Indonesia and in

article 184 paragraph (1) of Law No. 8 of 1981 concerning Criminal Law

Procedure. In concluding a deed of Land Conveyancer, witnesses constitute

formal prerequisites as regulated in article 22 of Bylaw No. 24 of 2016

concerning Amendment to Bylaw No. 37 of 1998 concerning Regulation of Land

Conveyancer Position, namely the contents of a deed of Land Conveyancer shall

be read/explained to the parties in the presence of at least two (2) witnesses prior

to being signed by the parties, witnesses and Land Conveyancer. Furthermore,

the Bylaw does not specify who shall become the witnesses whether they should be

employees of the Notary’s Office. In this case, the norm is unclear especially the

legal position and responsibilities of witnesses towards an authentic deed

concluded by Land Conveyancer. In reference to the aforementioned descriptions,

the arising issue in this study is how the legal position and responsibilities of

witnesses are towards an authentic deed concluded by Land Conveyancer in

relation to Bylaw No. 24 of 2016 concerning Amendment to Bylaw No. 37 of 1998

concerning Regulation of Land Conveyancer Position.

This study adopts the normative legal study method by using the

legislation approach. The legal material resources used in this study consist of

primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials.

Meanwhile, the legal material collecting technique uses the card system.

The results of this study indicate that the legal position of witnesses in

Bylaw No. 24 of 2016 constitutes the formal prerequisite to conclude a deed of

Land Conveyancer and the witnesses are not responsible for the contents of the

deed they sign if there are any problems in the future between the parties in a

deed of Land Conveyancer. The witnesses shall only be responsible for preparing

a deed in accordance with the administrative prerequisites assigned by a Land

Conveyancer.

Keywords: Deed of Land Conveyancer (PPAT), Position of witnesses,

Responsibilities of witnesses

Page 3: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

RINGKASAN

Tesis ini menganalisa mengenai kedudukan dan tanggung jawab hukum

saksi terhadap akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah berkaitan dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016.

Bab I menguraikan latar belakang masalah mengenai akta otentik yang

dibuat oleh PPAT dalam rangka pendaftaran tanah yang mana salah satu syarat

formalnya adalah kehadiran saksi. Saksi merupakan salah satu alat bukti yang

terdapat pada Pasal 1866 KUPerdata dan Pasal 184 ayat (1) UU No. 8 tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana. Dalam pembuatan akta PPAT merupakan syarat

formal yang terdapat pada pasal 22 PP 24 tahun 2016 yang mana akta harus

dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dan harus dihadiri oleh sekurang-

kurangnya 2 (dua) orang saksi. Tetapi dalam hal ini tidak dijelaskan siapa saja

yang menjadi saksi, bagaimana kedudukan dan tanggung jawabnya juga tidak

jelas sehingga terjadi pengkaburan norma.

Bab II menguraikan tinjauan umum tentang Pengertian akta, saksi dan

Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Bab III menguraikan tentang hasil penelitian untuk rumusan masalah

pertama yang diuraikan dalam 5 (lima) sub bab. Sub bab pertama menguraikan

tentang kedudukan wilayah Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sub bab kedua

menguraikan tentang Kedudukan saksi dalam hukum administrasi. Sub bab ketiga

menguraikan tentang Kedudukan saksi dalam hukum Perdata. Sub bab keempat

menguraikan tentang kedudukan saksi dalam hukum pidana dan sub bab kelima

menguraikan tentang kedudukan saksi bagi keotentikan akta PPAT.

Bab IV menguraikan hasil penelitian untuk rumusan masalah kedua yang

diuraikan dalam 2 (dua) sub bab. Sub bab pertama menguraikan tentang

Tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sub bab kedua menguraikan

tentang Tanggung Jawab saksi.

Bab V sebagai bab penutup yang menguraikan mengenai kesimpulan dan

saran. Adapun kesimpulan atas pembahasan diatas yaitu kedudukan saksi

merupakan syarat formal dalam pembuatan akta PPAT sebagaimana diamanatkan

dalam Pasal 1868 KUPerdata sehingga memiliki kekuatan mengikat bagi para

pihak dan saksi tidak bertanggung jawab terhadap isi akta karena saksi hanya

menjalankan perintah dari PPAT yang hanya menyiapkan kelengkapan

administratif yang ditugaskan oleh PPAT.

Page 4: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ......................................................................................... ii

PRASYARAT GELAR .................................................................................. iii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................. v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................ vi

UCAPAN TERIMAKASIH........................................................................... vii

ABSTRAK ...................................................................................................... ix

ABSTRACT .................................................................................................... x

RINGKASAN ................................................................................................. xi

DAFTAR ISI ................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1. Latar belakang masalah ..................................................................... 1

1.2. Rumusan masalah.............................................................................. 8

1.3. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir ........................................ 9

1.3.1. Asas-asas Hukum .................................................................... 11

1.3.2.Konsep Perlindungan Hukum .................................................. 13

1.3.3.Konsep Negara Hukum ............................................................ 14

1.3.4.Konsep Kepastian Hukum ....................................................... 17

1.3.5.Konsep Pejabat Pembuat Akta Tanah ...................................... 21

1.3.6.Doktrin Tanggung Jawab ......................................................... 26

1.3.7.Teori Pertanggung Jawaban Hukum ........................................ 27

1.3.8.Teori Interpretasi Hukum ......................................................... 30

1.4. Kerangka Berpikir ............................................................................. 35

1.5. Tujuan penelitian ............................................................................... 36

1.5.1 Tujuan umum ........................................................................... 36

Page 5: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

1.5.2 Tujuan Khusus ......................................................................... 36

1.6 .Manfaat penelitian ............................................................................. 37

1.5.1 Manfaat teoritis ........................................................................ 37

1.5.2 Manfaat praktis......................................................................... 37

1.7. Metode penelitian ............................................................................. 38

1.7.1 Jenis penelitian ......................................................................... 38

1.7.2 Jenis pendekatan....................................................................... 38

1.7.3 Sumber bahan hukum ............................................................... 40

1.7.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ......................................... 42

1.7.5 Teknik analisis bahan hukum ................................................... 42

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA, SAKSI DAN PEJABAT

PEMBUAT AKTA TANAH ........................................................... 44

2.1. Pengertian Tentang Akta .......................................................... 44

2.2. Pengertian Tentang Saksi ......................................................... 51

2.3. Pengertian, Tugas dan Fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah ... 60

2.3.1 Prinsip Yang Harus Dilaksanakan Oleh PPAT Dalam

Pembuatan Akta ............................................................ 76

2.3.2. Sanksi Pelanggaran Praktik Pelaksanaan Kewenangan

Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah .............................. 78

BAB III KEDUDUKAN HUKUM SAKSI DALAM PEMBUATAN

AKTA PPAT ............................................................................... 89

3.1. Kedudukan Wilayah Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) .......................................................................................... 89

Page 6: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

3.2 Kedudukan Saksi Dalam Hukum Administrasi ......................... 92

3.3. Kedudukan Saksi Dalam Hukum Perdata ................................ 96

3.4.Kedudukan Saksi Dalam Hukum Pidana ................................... 100

3.5. Kedudukan Hukum Saksi Bagi Keontetikan Akta PPAT ........ 106

BAB IV TANGGUNG JAWAB SAKSI DALAM PEMBUATAN

AKTA

PPAT ............................................................................................ 110

4.1. Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ......... 110

4.1.1 Pelaksanaan Kode Etik Profesi Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) ................................................................ 120

4.2 Tanggung Jawab Saksi .............................................................. 125

4.2.1. Tanggung Jawab Saksi Terhadap Akta PPAT ............... 127

BAB V PENUTUP ....................................................................................... 142

5.1. Simpulan ................................................................................................ 142

5.2. Saran-saran ............................................................................................. 143

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 145

Page 7: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bagi umat manusia tanah adalah suatu hak milik yang sangat berharga,

demikian pula untuk Negara Republik Indonesia, bagi orang Indonesia tanah

merupakan masalah yang paling pokok, hampir separuh penduduk Indonesia

menggantungkan jalanya roda perekonomian mereka di sektor pertanahan, baik

dalam skala kecil, menengah, dan bahkan dalam skala besar. Sementara kondisi

tata kota di Indonesia dewasa ini sering kali berubah-ubah sehingga menyebabkan

banyaknya masalah pertanahan. Hal ini juga sejalan dengan bertambahnya jumlah

penduduk di Indonesia. Semakin kompleksnya persoalan hidup manusia modern

saat ini mengharuskan ada sebuah tatanan yang mengatur semua lini kehidupan

yang ada. Berbagai aturan akhirnya diciptakan mulai dari aturan yang menyangkut

hajat hidup orang banyak dan aturan tentang kepemilikan secara perorangan atau

pribadi. Tentunya aturan-aturan itu bertujuan agar tercipta sebuah keteraturan

dalam hidup bermasyarakat.1

Dalam menciptakan keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat, tanah

harus dilakukan pendaftaran. Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut

PPAT), mempunyai peran yang penting, karena PPAT merupakan mitra dari

instansi Badan Petananahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) guna membantu

menguatkan atau mengukuhkan setiap perbuatan hukum atas bidang tanah yang

1Dyara Radhite Oryza Fea, 2016, Buku Pintar Mengurus Sertipikat Tanah Rumah &

Perizinannya, Buku Pintar, Yogyakarta, hal. 11

Page 8: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

8

dilakukan oleh subyek hak yang bersangkutan yang dituangkan dalam suatu akta

otentik. Akta otentik merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna

mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan

masyarakat. Dalam berbagai kegiatan pertanahan yang membutuhkan pembuktian

tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan meningkatnya

tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial,

baik pada tingkat nasional, regional maupun global. Dengan demikian melalui

akta otentik dapat ditentukan secara jelas hak dan kewajiban untuk menjamin

kepastian hukum.

Kepastian hukum dibutuhkan demi tegaknya ketertiban dan keadilan.

Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan

masyarakat, dan setiap anggota masyarakat akan saling berbuat sesuka hati serta

bertindak main hakim sendiri. Keadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada

dalam suasana kekacauan sosial.2 Sifat otentik dari akta inilah merupakan unsur

yang memenuhi keinginan terwujudnya kepastian hukum tersebut. Di dalam akta

otentik itu sendiri mengandung pernyataan atas hak dan kewajiban seseorang atau

individu dan oleh karena itu melindungi seseorang dalam kepentingan tersebut.

Keistimewaan suatu akta otentik merupakan suatu bukti yang sempurna

tentang apa yang dimuat di dalamnya, artinya jika seseorang mengajukan akta

resmi kepada hakim sebagai alat bukti, maka hakim harus menerima dan

menggangap apa yang tertulis dan termuat dalam akta tersebut merupakan

peristiwa yang sungguh-sungguh telah terjadi dan hakim tidak dapat

2M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar

Grafika, Jakarta, hal. 76

Page 9: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

9

menambahkan pembuktian lainnya. Apa yang dinyatakan dalam akta tersebut

sebagai yang dilihat dan didengar oleh PPAT, terutama mengenai tanggal akta,

tanda tangan didalam akta, identitas yang hadir dan tempat akta itu dibuat

merupakan kekuatan pembuktian formal sedangkan kekuatan materil adalah

menyangkut isi atau materi dari akta tersebut.3 Sejalan dengan hal itu Boedi

Harsono mengatakan bahwa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memang

berfungsi sebagai alat bukti dan benar telah dilakukan perbuatan hukum yang

bersangkutan dan karena perbuatan hukum itu sifatnya tunai sekaligus

membuktikan berpindahnya hak atas tanah yang bersangkutan kepada penerima

hak.4

Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian formil dan materiil. Formil

yaitu benar para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta itu.

Materiil yaitu bahwa apa yang diterangkan dalam akta adalah benar.5 Namun

demikian Pejabat Pembuat Akta Tanah juga mempunyai kewajiban untuk

memastikan bahwa apa yang termuat dalam akta adalah sunguh-sungguh telah

dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak yaitu dengan cara memberi

penjelasan sehingga jelas isi akta tersebut, serta memberikan akses terhadap

informasi, termasuk akses terhadap perundang-undangan yang terkait bagi para

pihak yang menandatangani akta tersebut.

3I.G.,Rai Widjaja, 2004, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting), Kesain Blanc,

Bekasi, hal. 13 4Boedi Harsono,2008, Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria, isi dan pelaksanaanya, Djambatan,Jakarta, hal. 515. 5Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2005, Hukum Acara Perdata

Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, hal. 67

Page 10: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

10

Jabatan PPAT diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum

dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat dalam membuat akta-

akta otentik dan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik

atas satuan Rumah Susun. PPAT berkewajiban menghadirkan sekurang-

kurangnya 2 (dua) orang saksi, yang pengenalan tentang identitas dan

kewenangan dari saksi disebut secara tegas dalam akta.

Dalam akta PPAT diharuskan adanya kehadiran saksi. Saksi tersebut harus

diyakini oleh PPAT secara teliti jika ia tidak ingin mengalami kerugian.

Kedudukan dari para saksi wajib diketahui oleh PPAT, jika perlu saksi diminta

untuk memperlihatkan identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal

tersebut karena PPAT bertanggung jawab atas kekurangan-kekurangan mengenai

formalitas-formalitas yang harus diperhatikan oleh PPAT.

Secara umum sebagaimana yang terdapat pada peraturan perundang-

undangan saksi adalah seseorang yang memberikan kesaksian, baik dengan lisan

maupun secara tertulis (dalam hal yang disebut terakhir ini dengan

menandatanganinya), yakni menerangkan apa yang ia saksikan, baik itu berupa

perbuatan atau tindakan dari orang lain atau suatu keadaan ataupun suatu

kejadian. Pengertian pihak dan saksi adalah pengertian-pengertian yang satu sama

lain tidak dapat disatukan. Menurut George Whitercross Patton alat bukti dapat

berupa oral (words spoken by a witness in court) dan documentary (the

production of a admissible documents) atau material (the production of a physical

Page 11: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

11

res other than a document).6 Alat bukti yang sah atau diterima dalam suatu

perkara (perdata), pada dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan

saksi-saksi, pengakuan, sumpah dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang

mempunyai nilai pembuktian. Dalam perkembangan alat bukti sekarang ini baik

untuk perkara pidana maupun perdata telah dapat diterima alat bukti elektronis

atau yang terekam atau yang disimpan secara elektronis sebagai alat bukti yang

sah dalam persidangan pengadilan. Secara umum saksi merupakan alat bukti yang

sah, sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata yaitu alat-

alat bukti terdiri atas: bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkataan-

persangkataan, pengakuan, sumpah, segala sesuatunya dengan mengindahkan

aturan-auran yang ditetapkan dalam bab-bab yang berikut. Sehingga dalam

KUHPerdata saksi berupakan alat bukti yang sah. Pasal 184 ayat (1) UU No. 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara No. 76 Tahun 1981,

Tambahan Lembaran Negara No. 3209). Yang berbunyi alat bukti yang sah ialah:

a. keterangan saksi, b. keterangan ahli, c. Surat, d. Petunjuk, e. Keterangan

terdakwa, sehingga keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, saksi adalah

seseorang yang memberikan kesaksian, baik dengan lisan maupun secara tertulis

atau tanda tangan, yakni menerangkan apa yang ia saksikan sendiri, baik itu

berupa perbuatan atau tindakan dari orang lain atau suatu keadaan ataupun suatu

kejadian.

Dalam pembentukan akta PPAT dikenal dengan adanya saksi akta

sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

6 George Whitecross Patton, 1953, A Text-Book Of Jurisprudence, Oxford at the

Clarendon Press, second edition, hal. 481.

Page 12: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

12

Nomor 24 Tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 37

Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52 dan tambahan lembaran

Negara Republik Indonesia tahun 2016 Nomor 5893), yaitu akta PPAT harus

dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-

kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para

pihak, saksi-saksi dan PPAT. Saksi menyaksikan formalitas peresmian akta

apakah persemian itu sudah sesuai dengan ketentuan undang-undang, serta ikut

menandatangani akta. Peran saksi dalam setiap pembuatan akta PPAT selain

berfungsi sebagai alat bukti juga dapat membantu posisi PPAT dalam hal akta

yang dibuat oleh PPAT diperkarakan oleh salah satu pihak dalam akta atau pihak

ketiga. Adapun yang berperan sebagai saksi dalam prakteknya adalah karyawan

PPAT itu sendiri.

Karyawan PPAT dalam melakukan pekerjaanya didasarkan pada perintah

atasannya, yaitu PPAT. Demikain pula PPAT dalam melaksanakan pekerjaanya

dalam pembuatan akta menugaskan karyawan tersebut sebagai saksi dalam hal ini,

hadir pada persemian akta, pembacaan akta dan penandatanganan akta. Karyawan

PPAT sebagai saksi tersebut dapat memberikan kesaksian bahwa benar telah

dipenuhinya formalitas-formalitas pembuatan akta yang telah ditentukan oleh

Peraturan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 PP No 24 Tahun 2016.

Dengan adanya dan keikutsertaannya sebagai saksi maka peresmian akta itu

menjadi sah, termasuk penggunaan Karyawan PPAT sebagai saksi.

Page 13: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

13

Posisi karyawan PPAT sebagai saksi dalam peresmian akta, sudah

termasuk dalam lalu lintas hukum yang memiliki akibat hukum. Sehingga apabila

suatu akta dikemudian hari terjadi masalah atau kasus yaitu gugatan dari para

pihak maupun pihak ketiga dalam akta maka karyawan PPAT dengan sendirinya

ikut terlibat dalam masalah atau kasus tersebut. Sebagaimana saksi dalam kasus

lain, maka Karyawan PPAT sebagai saksi dalam kasus akta PPAT juga harus

mendapat perlindungan hukum dan dalam hal terjadi kasus atau gugatan di

pengadilan terhadap suatu akta dimana karyawan tersebut menjadi saksi. Suatu

akta yang telah diresmikan atau ditandatangani telah mempunyai peranan sebagai

alat bukti otentik. Akta otentik yang merupakan bukti yang lengkap (mengikat)

berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta harus diakui oleh hakim,

yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada

pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.

Akta otentik yang dianggap sempurna tersebut masih dapat digugurkan

jika pihak lawan dapat membuktikan sebaliknya. Jadi bukan tidak mungkin akta

yang telah diresmikan dan dianggap sebagai bukti sempurna, akan menjadi

permasalahan dikemudian hari dan masuk perkara pengadilan. Selanjutnya dalam

sidang-sidang perkara tersebut sudah pasti diperlukan saksi-saksi, termasuk saksi

yang berasal dari Karyawan PPAT.

Saksi yang berasal dari Karyawan PPAT yang dihadirkan dalam

persidangan tersebut, memberikan kesaksian sebatas tanggung jawabnya dalam

melaksanakan kewajibannya yakni dalam melaksanakan perintah atau tugas yang

diberikan oleh PPAT. Para saksi tidak bertanggung jawab terhadap isi akta itu.

Page 14: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

14

Walaupun tindakan karyawan PPAT sebagai saksi dalam peresmian akta sudah

termasuk dalam bidang PPAT, akan tetapi dalam PP No 24 Tahun 2016 Pasal 22

yaitu Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan

dihadiri oleh sekurang-kurangnya (dua) orang saksi sebelum ditandatangani

seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT. Dalam peraturan

pemerintah ini tidak dijelaskan siapa saksi tersebut apakah saksi yang melihat,

mendengar dan mengalami suatu kejadian atau saksi akta yang diwajibkan oleh

hukum untuk hadir pada pembuatan akta PPAT. Sehingga dalam PP No.24 Tahun

2016 tidak memberikan aturan secara jelas dan pasti mengenai siapa saja yang

dijadikan saksi dalam akta PPAT dan bagaimana kedudukan dan tanggung

jawabnya terhadap akta tersebut sehingga dalam hal ini terjadi kekaburan norma

yang mana tidak mengatur secara jelas saksi dalam akta yang dibuat oleh PPAT,

sehingga dalam penelitian ini menarik untuk dibahas lebih lanjut dengan

mengangkat judul “ Kedudukan dan Tanggung jawab Hukum saksi terhadap akta

yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapatlah

ditarik permasalahn sebagai berikut;

1. Bagaimana kedudukan Hukum saksi terhadap akta yang dibuat oleh PPAT

berkaitan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang

perubahan atas peraturan pemerintah nomor 37 Tahun 1998 Tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah?

Page 15: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

15

2. Bagaimana Tanggung jawab Hukum saksi apabila terjadi sengketa oleh

para pihak berkaitan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah?

1.3 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk

menerangkan suatu fenomena sosial secarta sistematis dengan cara merumuskan

hubungan antar konsep.7 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk

memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang

diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif,

maka kerangka teori diarahkan secara khas ke ilmu hukum, maksudnya

penelitian ini berusaha untuk memahami fungsi saksi terhadap akta otentik yang

dibuat PPAT.

Landasan teoritis tidak sama pengertiannya dengan landasan teori.

Landasan teoritis cakupannya lebih luas dibandingkan landasan teori, yang

meliputi: teori hukum itu sendiri, asas hukum, konsep hukum, dan adagium

(maxim) hukum kendati harus diakui bahwa kedudukan teori hukum sebagai

landasan teoritis adalah sangat strategis dalam membangun argumentasi hukum.

Dalam kaitan ini, teori hukum yang dijadikan landasan teori untuk pemecahan

masalah hukum konkrit atau yang langsung diterapkan pada praktik hukum

7Burhan Ashofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 19

Page 16: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

16

adalah pemikiran para filsuf hukum yang telah diakui kebenarannya dari masa

kemasa secara universal.8

Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum

umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum,

norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas

permasalahan penelitian. Dalam setiap penelitian selalu harus disertai dengan

pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat

antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, analisa serta

konstruksi data. Dengan mengedepankan teori-teori dalam suatu penelitian dapat

dijelaskan fenomena yang dihadapi. Kerlinger mengemukakan bahwa: a theory is

a set of interrelated constructs (concept), definitions, and propositions that

presents a systematic view of phenomena by specifying relations among

variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena. Dengan

kata lain, dapat dikatakan bahwa teori-teori sebagai landasan untuk menjelaskan

fenomena atau sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian

merupakan pijakan untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang diperoleh

dari rangkaian upaya penelusuran (controleur baar). Oleh karena itu, dalam

suatu penelitian semakin banyak teori-teori, konsep, dan asas yang berhasil

diidentifikasi dan dikemukakan untuk mendukung penelitian yang sedang

dikerjakan maka semakin tinggi derajat kebenaran yang bisa dicapai.9

8I Md Pasek Diantha, 2016, Penelitian Hukum Normatif Dalam Jastifikasi Teori Hukum,

Prenada Media Group, Jakarta, hal. 23 9 Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2015, Buku Pedoman Pendidikan

Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal. 58

Page 17: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

17

Mengenai kewenangan dalam kaitannya dengan penulisan tesis ini yaitu

kewenangan dari seorang PPAT untuk membuat akta otentik, dimana akta otentik

tersebut berfungsi untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang

terikat didalamnya. Akta otentik juga dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian

sempurna dimuka pengadilan. Kehadiran saksi dalam pembuatan suatu akta yang

dilakukan dihadapan PPAT tentunya mempunyai peranan penting. Oleh karena itu

untuk menjawab permasalahan dalam tesis ini, maka ada beberapa teori-teori,

konsep serta asas-asas yang dipergunakan dapat diuraikan sebagai berikut:

1.3.1. Asas-asas Hukum

Menurut Gustav Radbruch, ada tiga tujuan dari hukum yaitu keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum. Teori kepastian hukum mengandung dua

pengertian. Pertama, adanya aturan yang bersifat umum yang membuat individu

mengetahui dan memahami perbuatan-perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh

dilakukan. Kedua, adanya keamanan hukum berupa jaminan kepastian hukum

bagi individudari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan hukum yang

bersifat umum sehingga individu dapat mengetahui apa yang boleh dilakukan oleh

Negara terhadap individu.10

Hukum menjalankan fungsinya sebagai sarana kepentingan manusia dalam

masyarakat. Tujuan hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai yang

membagi hak dan kewajiban antara setiap individu didalam masyarakat. Hukum

10

Peter Mahmud Marsuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Predana Media

Group, Jakarta, hlm.158.

Page 18: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

18

juga memberikan wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum

serta memelihara kepastian hukum.

Kepastian dapat diwujudkan dengan hukum yang berlaku harus ditaati dan

tidak boleh menyimpang atau menyimpangkan subyek hukum. Dengan kepastian

hukum maka diperoleh kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum.

Kepastian dapat diwujudkan melalui norma yang baik dan jelas dalam suatu

undang-undang sehingga kepastian hukum dapat menciptakan suatu ketertiban.

Keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang setara dengan

kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional,

tetapi juga bisa berarti memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang

menjadi bagiannya berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum tanpa keadilan

tidaklah ada artinya berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum tanpa keadilan

tidaklah ada artinya sama sekali. Kemanfaatan hukum dapat dikatakan sebagai

adanya suatu manfaat yang diperoleh dari masyarakat atas adanya suatu hukum

yang mengatur.

Hukum yang mengatur adalah demi tercapainya tujuan hukum yang

menuntut kedamaian, ketentraman, kesejahteraan dan ketertiban dalam

masyarakat yang mana asas prioritas dalam tujuan hukum dijadikan pedoman

dalam masyarakat Indonesia yang berasal dari berbagai latar belakang untuk

menjawab segala macam persoalan khususnya mengenai akta Pejabat Pembuat

Akta Tanah dalam hal ini kedudukan dan Tanggung jawab hukum saksi dalam

akta Pejabat Pembuat akta tanah.

Page 19: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

19

1.3.2. Konsep Perlindungan Hukum

Konsep perlindugan Hukum menurut Philipus M. Hadjon perlindungan

hukum dalam kepustakaan Belanda dikenal dengan sebutan “rechtbescherming

van de burgers”11

. Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum

merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu “rechtbescherming”.

Pengertian kata perlindungan tersebut, terdapat suatu usaha memberikan hak-hak

kepada pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan.

Satjipto Raharjo menyatakan bahwa perlindungan hukum itu adalah

memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan

orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat

menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. 12

Sedangkan Philipus

M.Hadjon menyebutkan bahwa pada dasarnya perlindungan hukum meliputi dua

hal yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.

Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa,

yang mengarahkan tindakan pemerintah hati-hati dalam pengambilan keputusan

berdasarkan diskresi dan perlindungan yang represif bertujuan untuk

menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga

peradilan. Perlindungan hukum preventif meliputi tindakan yang menuju kepada

upaya pencegahan terjadinya sengketa sedangkan perlindungan represif

maksudnya adalah perlindungan yang arahnya lebih kepada upaya untuk

11

Philipus M.Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyar Indonesia, Bina Ilmu,

Surabaya, hal. 1 12

Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 54

Page 20: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

20

menyelesaikan sengketa, seperti contohnya adalah penyelesaian sengketa di

pengadilan. 13

PPAT harus berpedoman kepada PP No. 24 Tahun 2016. Landasan filosofi

dibentuknya PP No. 24 Tahun 2016 adalah demi terwujudnya jaminan kepastian

hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan

keadilan. PPAT harus dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum

kepada masyarakat yang menggunakan jasa PPAT.

PPAT dalam menjalankan peranannya untuk menciptakan kepastian

hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakat yang lebih bersifat preventif,

yang berarti pencegahan terjadinya masalah hukum, dilakukan dengan

cara mengeluarkan akta otentik yang dibuat dihadapanya terkait dengan status

hukum, hak, dan kewajiban seseorang dalam hukum yang berfungsi sebagai alat

bukti yang paling sempurna. Mengenai kepastian peristiwa atau kepastian

perbuatan hukum akta yang dibuat dihadapan PPAT menjadi bukti otentik dalam

memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang berkepentingan terhadap

akta tersebut. Khususnya tanggung jawab saksi terkait akta yang dibuat oleh

PPAT.

1.3.3. Konsep Negara Hukum

Pemikiran Negara Hukum bermula dari pemikiran Plato yang menyatakan

bahwa penyelenggaraan Negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan

13

Budi Agus Riswandi dan Sabhi Mahmashani, 2009, Dinamika Hak Kekayaan Intelektual

Dalam Masyarakat Kreatif, Total Media, Yogyakarta, hal. 12

Page 21: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

21

(Hukum) yang baik yang disebut dengan istilah “nomoi”.14

Konsep Negara

Hukum ini berkembang dalam 2 (dua) sistem hukum yaitu sistem hukum Eropa

Kontinental (Rechtsstaat) dan sistem Anglo Saxon (Rule of Law).

Konsep Negara hukum “Rechtsstaat” dipelopori oleh Immanuel Kant dan

Frederich Julius Stahl. Konsep negara hukum menurut Immanuel Kant,

menyebutkan unsur-unsur negara hukum terdiri dari:

1. Perlindungan hak asasi manusia

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu

Unsur-unsur negara hukum menurut Immanuel Kant, merupakan unsur-

unsur negara hukum formal. Kemudian pada abad ke 19, munculnya pendapat dari

Frederich Julius Stahl yang menyempurnakan unsur-unsur Negara hukum formal

tersebut diatas menjadi unsur-unsur Negara materiil.15

Konsep negara hukum yang dianut Negara Kesatuan Republik Indonesia

adalah sistem hukum Eropa Kontinental (Rechtsstaat). Adapun ciri-ciri

Rechtsstaat diantaranya :16

1. Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan

tertulis tentang hubungan penguasa dan rakyat

2. Adanya pembagian kekuasaan negara.

3. Diakui serta dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.

Selanjutnya terkait dengan asas dalam Negara Hukum menurut Prajudi

Atmosudirdjo adalah:

14

Titik Triwulan Tutik, 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Tata Negara Indonesia

Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 61 15

Ibrahim R, 2003, Sistem Pengawasan Konstitusional Antara Kekuasaan Legislatif dan

Eksekutif Dalam Pembaharuan UUD 1945, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjajaran

Bandung, hal. 32-33.. (selanjutnya disebut R.Ibrahim 1) 16

Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hal. 82

Page 22: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

22

1. Asas monopoli paksa berarti, bahwa: monopoli penggunaan kekuasaan

negara dan monopoli penggunaan paksaan untuk membuat orang mentaati

apa yang menjadi keputusan penguasa Negara hanya berada di tangan

pejabat penguasa negara yang berwenang dan berwajib untuk itu.

Siapapun yang lain dari yang berwenang/berwajib dilarang, artinya barang

siapa melakukan penggunaan kekuasaan Negara dan menggunakan

paksaan tanpa wewenang seperti dimaksud diatas disebut”main hakim

sendiri”

2. Asas persetujuan rakyat berarti, bahwa orang (warga masyarakat) hanya

wajib tunduk dan dapat dipaksa untuk tunduk, kepada peraturan yang

dicipkatan secara sah dengan persetujuan langsung (undang-undang

formal), atau tidak langsung (legislasi delegatif, peraturan atas kuasa

Undang-undang) dari Dewan Perwakilan Rakyat. artinya, apabila ada

peraturan (misalnya : mengadakan pungutan pembayaran atau “sumbangan

wajib”) yang tidak diperintahkan atau dikuasakan oleh undang-undang,

maka peraturan itu tidak sah, dan hakim pengadilan wajib membebaskan

setiap orang yang dituntut oleh karena tidak mau mentaatinya dan apabila

pejabat memaksakan peraturan tersebut, maka ia dapat dituntut sebagai

penyalahgunaan kekuasaan negara, minimal digugat sebagai perkara

“perbuatan penguasa yang melawan hukum”.

3. Asas persekutuan hukum berarti, bahwa rakyat dan penguasa negara

bersama-sama merupakan suatu persekutuan hukum (rechtsgemeenschap,

legal partnership), sehingga para pejabat penguasa negara dalam

menjalankan tugas dan fungsi, serta menggunakan kekuasaan negara,

mereka tunduk kepada hukum (sama dengan rakyat/warga masyarakat).

Berarti baik para pejabat penguasa negara maupun para warga masyarakat

berada di bawah dan tunduk kepada hukum (undang-undang) yang sama.17

Ide negara hukum dalam sistem ketatanegaraan indonesia yang dikemukan

oleh Burkens yaitu:

1. Asas legalitas, setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar

Peraturan Perundang-undangan (wetterlijke-grondslag). Dengan landasan

ini undang-undang formal dan undang-undang dasar sendiri merupakan

tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentuk

undang-undang merupakan bagian penting negara hukum.

2. Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan

negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.

3. Hak-hak dasar (grondrechten), hak-hak dasar merupakan sasaran

perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi pembentukan

undang-undang.

17

Prajudi Atmosudirdjo, 1995, Hukum Administrasi Negara,Ghalia Indonesia,Jakarta,

hal. 29

Page 23: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

23

4. Pengawasan peradilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan

yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintahan

(rechtmatigeidstoetsing).18

Negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum adalah negara yang adil

dan demokrasi. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Negara

Indonesia merupakan negara yang tunduk pada hukum yang berlaku dan hukum

tersebut mengikat seluruh warga Negara Indonesia.

Berdasarkan ciri-ciri negara hukum yang dianut di Indonesia, maka

relevansi dengan permasalahan ini diperlukan adanya ketegasan dan kepastian

hukum yang berkaitan dengan kedudukan dan tanggung jawab saksi dalam akta

yang dibuat oleh PPAT berkaitan dengan PP No. 24 Tahun 2016 tentang

perubahan PP No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat

Akta Tanah. Teori ini berguna untuk memberikan kepastian hukum mengenai

kedudukan dan tanggung jawab saksi PPAT.

1.3.4. Konsep Kepastian Hukum

Indonesia merupakan Negara hukum dimana hukum bertujuan untuk

menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan

untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan antar manusia, yaitu bertujuan

untuk mencegah bahwa hak yang terkuat yang berlaku. Persoalan kepastian

hukum itu harus menjadi nilai bagi setiap orang dalam kehidupan di luar peranan

negara itu sendiri dalam penerapan hukum legislasi maupun yudikasi. Setiap

18

Philipus M.Hadjon, 1972, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: sebuah

Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya,Penerapannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan

Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu,Surabaya,hal. 1

Page 24: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

24

orang atau pihak tidak diperkenankan untuk bersikap atau bertindak semena-

mena.

Teori kepastian hukum lahir berdasarkan adanya aliran hukum kritis

(Critical Legal Studies). Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang

muncul pada tujuh puluhan di Amerika Serikat. Critical Legal Studies oleh Ifdhal

Kasim diterjemahkan dengan istilah bahasa Indonesia Gerakan Studi Hukum

Kritis (GSHK). Gerakan ini merupakan kelanjutan dari aliran hukum realism

Amerika yang menginginkan suatu pendekatan yang berbeda dalam memahami

hukum, tidak hanya seperti pemahaman selama ini yang bersifat Socratis.

Menurut aliran ini bahwa idealnya hukum itu:

1. Harus dirumuskan dalam rumusan yang tegas dan jelas demi kepastian

hukum melalui proses politik yang disebut demokratis.

2. Memiliki sifat formalisasi (menghasilkan hukum positif) dalam bentuk

peraturan-peraturan resmi yang ukurannya dipandang paling kuat.

3. Dipandangnya bahwa peraturan hukum itu pada hakikatnya bertingkat

(hierarki).

4. Hukum formal itu haruslah dicermati oleh para ahli dan profesional

hukum agar benar dalam kedudukannya dan benar dalam

keberlakuannya.19

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara

normatif bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu

peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan

logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis

dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak

berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan

19

Roberto M.Unger, 1999, Gerakan Hukum Kritis (Critical Legal Studies) diterjemahkan

oleh Ifdhal Kasim, Elsam Jakarta, hal. 65

Page 25: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

25

dari ketidak pastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau

distorsi norma.

Fungsi hukum adalah untuk mengatur hubungan antara negara dengan

warga masyarakatnya dan hubungan antara sesama warga masyarakat tersebut

agar kehidupan dalam masyarakat berjalan dengan tertib dan lancar. Hal ini

mengakibatkan bahwa tugas hukum untuk mencapai kepastian hukum (demi

adanya ketertiban) dan keadilan dalam masyarakat. Kepastian hukum

mengharuskan diciptakannya peraturan umum atau kaidah umum yang berlaku

umum. Agar tercipta suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat, maka

kaidah dimaksud harus ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas.20

Menurut pendapat Peter Mahmud Marzuki, konsep kepastian hukum

mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum

membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh

dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan

pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu

dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara

terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam

undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim, antara

putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa

yang telah diputuskan.21

20

Soerjono Soekanto, 1999, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung, hal. 15 21

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media

Group, Jakarta, hal. 158

Page 26: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

26

Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan

ketertiban dalam masyarakat karena kepastian hukum (peraturan/ketentuan

umum) mempunyai sifat sebagai berikut : adanya paksaan dari luar (sanksi) dari

penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat

dengan perantara alat-alatnya, sifat undang-undang yang berlaku bagi siapa saja.22

Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, kepastian hukum tidak

mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik dan buruk, yang

diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak

memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan

tetapi yang diberi sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut

atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit.

Dalam prakteknya apabila kepastian hukum di kaitkan dengan keadilan,

maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini di karenakan di

suatu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip-prinsip keadilan

dan sebaliknya tidak jarang pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian

hukum.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka PPAT dalam menjalankan

tugas jabatannya wajib berpedoman secara normatif kepada aturan hukum yang

berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan

dalam akta. Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku tentunya akan

memberikan kepastian kepada para pihak, bahwa akta yang dibuat di hadapan atau

22

Jan Gijssela dan Mark Van Hoecke, 2000, Terjemahan Arif Sidharta, Tentang Apakah

teori Hukum Itu, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 132

Page 27: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

27

oleh PPAT telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, sehingga jika terjadi

permasalahan, akta PPAT dapat dijadikan pedoman oleh para pihak.23

Kepastian hukum tentunya berkaitan dengan produk hukum yang

dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan

pemerintah lainnya yang berkaitan dengan kedudukan dan tanggung jawab saksi

dalam pembuatan akta PPAT. Dalam kaitannya dengan keberadaan saksi dalam

pembuatan suatu akta, tentunya saksi ini juga berperan dalam memberikan

kepastian hukum atas akta tersebut. Keberadaan saksi ini juga membuat akta

tersebut menjadi sah dan memberikan perlindungan hukum apabila suatu saat

terjadi permasalahan atas akta tersebut, maka saksi dapat dimintakan keterangan

di pengadilan.

1.3.5. Konsep Pejabat Pembuat Akta Tanah

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menentukan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998

Nomor 52 dan tambahan lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2016 Nomor

5893), selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan

untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai

hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. PPAT adalah Pejabat

umum sehingga jabatannya adalah jabatan publik (public office).

23

Habib Adjie,2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan

Tulisan Tentang Notaris dan PPAT), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Habib

Adjie I).hal. 185

Page 28: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

28

PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang telah diganti dengan Undang undang

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan peraturan

pelaksana dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok Pokok Agraria (UUPA). Dengan demikian, PPAT diangkat oleh

Pemerintah dengan diberikan tugas dan wewenang tertentu dalam rangka

melayani kebutuhan masyarakat akan akta pemindahan hak atas tanah, akta

pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan hak

tanggungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku24

Perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 hanya

beberapa Pasal saja yang dirubah dan ditambah pada Peraturan Pemerintah Nomor

24 tahun 2016 yang paling signifikan perubahan dalam umur seorang Pejabat

Pembuat Akta Tanah yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) yang mana seorang PPAT

dapat diangkat menjadi PPAT adalah berumur 22 tahun dan Pasal 12 mengenai

daerah kerja PPAT adalah satu wilayah provinsi. Pasal 1 angka 24 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan PPAT

adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tertentu.

Maksudnya yaitu akta pemindahan dan pembebanan hak atas tanah dan Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun dan akat pemberian kuasa untuk membebankan hak

tanggungan. Dengan kata lain, PPAT adalah Pejabat yang berfungsi membuat akta

24

A.P. Parlindungan, 1982, Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dan

Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Alumni, Bandung, hlm.40

Page 29: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

29

yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan hak baru dan

membebankan hak atas tanah.

Klasifikasi PPAT diatur dalam Pasal 1 angka 1 sampai 3 Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat

umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik

mengenai perubuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau

Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

2. PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena

jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat Akta

PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.

3. PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang

ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan

membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan

program atau tugas Pemerintah tertentu.

Pejabat yang berwenang mengangkat PPAT, yaitu Menteri.25

PPAT

diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu. Sementara itu, pejabat yang

berwenang mengangkat PPAT Sementara dan PPAT khusus adalah Menteri. Hal

ini diatur dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a dan b Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pasal itu,

menentukan:

Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang

belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan

masyarakattertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat

menunjuk pejabat-pejabat di bawah ini sebagai PPAT Sementara atau

PPAT Khusus:

a. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah

yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara;

25

Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah

Page 30: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

30

b. Kepala Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang

diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan

masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi

negara sahabat berdasarkan asasresiprositas sesuai pertimbangan dari

Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.

Apabila diperhatikan ketentuan di atas, maka yang dapat diangkat sebagai

PPAT Sementara, yaitu :

1. Camat; dan

2. Kepala Desa.26

Camat dan Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang

belum cukup terdapat PPAT dan sifatnya sementara. Sementara diartikan sebagai

waktu tertentu. Apabila PPAT nya sudah cukup, maka PPAT sementara ini, tidak

diperlukan lagi.27

PPAT juga memiliki tugas pokok dan kewenangan. Tugas pokok, yang

dalam bahasa Inggris, disebut the principal tasks, sedangkan dalam bahasa

Belanda, disebut dengan belangrijkste taken adalah kewajiban atau pekerjaan

yang utama yang harus dilakukan oleh PPAT.28

Pengaturan tentang tugas pokok

PPAT telah ditentukan dalam Pasal 2 Peraturan pemerintah Nomor 37 Tahun

1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Di dalam ketentuan itu,

ditentukan bahwa tugas pokok PPAT, yaitu melaksanakan sebagian kegiatan

pendaftaran tanah.29

26

Salim HS, 2016, Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Ed.1-

Cet.1, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.95 27

Ibid.,hal.96 28

Ibid,,hal.93 29

Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat akta Tanah.

Page 31: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

31

Dalam melakukan pendaftaran itu, maka PPAT harus membuat akta

sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu, mengenai:

1. Hak atas tanah; dan/atau

2. Hak milik atas satuan rumah susun.

Akta yang dibuat oleh PPAT itu, yang akan dijadikan dasar bagi

perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

Perbuatan hukum itu , meliputi:

1. Jual beli;

2. Tukar menukar;

3. Hibah;

4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

5. Pembagian hak bersama;

6. Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik;

7. Pemberian Hak Tangungan

8. Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.30

Sementara itu, kewenangan PPAT, yang dalam bahasa Inggris disebut

dengan authority, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan autoriteit

atau gezag merupakan kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada PPAT utnuk

membuat akta. Kewenangan itu, yaitu yang berkaitan dengan:

1. Pemindahan hak atas tanah;

2. Pemindahan hak milik atas satuan rumah susun;

3. Pembebanan hak atas tanah; dan

4. Surat kuasa membebankan hak tanggungan.

30

Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat akta Tanah.

Page 32: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

32

1.3.6. Doktrin Tanggung Jawab

Istilah tanggungjawab negara dalam Liability Convention 1972 dan

Deklarasi Stockholm 1972 dituangkan dalam dua istilah yang berbeda, yaitu;

1. Responsibility : lebih menunjuk kepada indikator penentu lahirnya

tanggungjawab yaitu standar perilaku yang telah ditetapkan terlebih

dahulu dalam bentuk kewajiban yang harus ditaati serta lahirnya suatu

tanggungjawab.

2. Liability : lebih menunjuk kepada akibat yang timbul dari akibat

kegagalan untuk memenuhi standar itu, dan bentuk tanggungjawab

yang harus diwujudkan dalam kaitan dengan akibat atau kerugian yang

timbul akibat kegagalan memenuhi kewajiban tersebut, yaitu

pemulihan (legal redress).31

Menurut Dawn Oliver dan Gavin Drewry, “Pengertian accountability

adalah keadaan untuk dipertanggungjawabkan dan accountable diartikan sebagai

bertanggungjawab.32

Liability merupakan istilah hukum yang luas yang

menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab. Liability meliputi

semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian,

ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk

melaksanakan undang-undang. Responsibility artinya hal yang dapat

dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, termasuk putusan, keterampilan,

kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas

undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,

istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung

31

Ida Bagus Wyasa Putra, 2001, Tanggung Jawab Negara Terhadap Dampak

Komersialisasi Ruang Angkasa. PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 54 32

Dawn Oliver and Gavin Drewry, 1996, Public Servise Reform, Issues Of Accountability

and Public Law, ReaderIn Public Law, King’s College,University Of London,London,hal. 3

Page 33: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

33

gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah

responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik. 33

Menurut Kranenburg dan Vegtig persoalan mengenai pertanggungjawaban

pejabat ada dua teori yang melandasinya yaitu:

a. Teori Fautes personalles, yaitu menyatakan bahwa kerugian terhadap

pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu

telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab

ditujukan pada manusia selaku pribadi.

b. Teori Fautes de services, yaitu menyatakan bahwa kerugian terhadap

pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan.

Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam

penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah

kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan

ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada

tanggung jawab yang harus ditanggung.34

Teori tradisional memiliki dua jenis tanggung jawab yaitu

pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan

pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility).35

Menurut Hans Kelsen

dalam teorinya menyatakan bahwa, “seseorang bertanggung jawab secara hukum

atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum,

subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal

perbuatan yang bertentangan”. 36

Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa:

Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum

disebut kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang

sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras

33

Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

hal.335-337 34

Ibid., hal. 365 35

Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi

Press, Jakarta, hal.61 36

Hans Kelsen, 2007, Genefral Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan

Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, terjemahan

Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta (selanjutnya ditulis Hans Kelsen II), hal. 81

Page 34: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

34

kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan

atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan. 37

Selanjutnya Hans Kelsen membagi tanggung jawab menjadi 4 (empat)

bagian yang terdiri dari:

a. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung

jawab terhadap pelanggaran yang dilakukan sendiri;

b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu

bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang

lain;

c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa

seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan

karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;

d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu

bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak

sengaja dan tidak diperkirakan.38

Menurut Pendapat Hans Kelsen tentang tanggung jawab hukum

menyatakan bahwa:

a concept related to that of legal duty is the concept of legal responsibility

(liability). That a person is legally responsible for a certain behavior or

that he bears the legal responsibility therefore means that he is liable to a

sanction in case contrary behavior. Normally,that is, in case the sanction

is directed against the immediate delinquent,it is his own behavior for

which an individual is responsible.in this case the subject of the legal

responsibility and the subject of the legal duty coincide.39

Dihubungkan dengan penelitian ini maka teori tanggung jawab

dipergunakan untuk mengetahui tanggung jawab saksi terhadap akta yang dibuat

PPAT berkaitan dengan PP No.24 Tahun 2016.

37

Ibid.,hal 83 38

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia

Widiasarana Indonesia, Jakarta,hal. 73-79. 39

Hans Kelsen, 1944,General Theory of Law And State, New York,hal. 65

Page 35: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

35

1.3.7. Teori Pertanggung Jawaban Hukum

1. Pertanggungjawaban Pidana dalam bahasa asing disebut sebagai toereken-

baarheid, criminal responsibility atau criminal liability. Pertanggungjawaban

pidana adalah dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut

dapat dipertanggungjawabkan pidana atau tidak terhadap tindakan yang

dilakukannya.40

2. Pertanggungjawaban Perdata dalam hukum perdata berupa tanggung jawab

seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan

hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan

perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup

perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja, akan tetapi

jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan

bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan

perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk

melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.41

3. Pertanggungjawaban Administrasi. Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta

Tanah secara administrasi sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 Tentang Peraturan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dapat

dilihat dari tugas pokok dan kewenangan PPAT dalam Pasal 2 ayat 1 yang

40

S.R.Sianturi, 1996, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Cet IV, Alumni,

Jakarta, hal.245 41

Komariah, 2001, Edisi Revisi Hukum Perdata, Universitas

Muhammadiyah,Malang,hal. 12

Page 36: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

36

mana PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran

tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan

hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah

Sususn, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data

pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu dan Pasal 2 ayat

2 perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai

berikut: jualbei, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan

(inbreng), pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak

Pakai atas Tanah Hak Milik, pemberian hak tanggungan, pemberian Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan. Serta Pasal 10 PP 24 Tahun 2016 PPAT

yang diberhentikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat

(1) huruf c terdiri atas: diberhentikan dengan hormat, diberhentikan dengan

tidak hormat,dan diberhentikan sementara.

1.3.8. Teori Interpretasi Hukum

Tidak semua aturan hukum dan tidak semua produk legislatif dirumuskan

dalam bentuk verbal yang tepat, yang diharapkan memberikan jawaban yang jelas

terhadap persoalan hukum praktis. Hampir setiap peraturan hukum menunjukkan

hubungan yang membingungkan dan tidak jelas dalam berbagai sengketa. Aturan

hukum yang dirumuskan dalam bahasa, seringkali merupakan rumusan yang

Page 37: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

37

kabur. Sengketa praktis dapat diselesaikan secara menginterpretasikan aturan

hukum atau rumusan yang kabur tersebut.42

Menurut Von Savigny, interpretasi adalah merupakan suatu rekontruksi

buah pikiran yang terungkapkan di dalam Undang-Undang.43

Mengintepretasi

adalah tindakan untuk memberi tafsir terhadap norma yang sedang berlaku,

apakah dalam penerapannya telah sesuai dengan arti, makna dan tujuan

dirumuskannya norma tersebut.44

Pengertian penafsiran hukum dan/atau legal

interpretasion, dapat dipahami ialah suatu usaha untuk menggali, menemukan dan

memahami nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dan berkembang di dalam

masyarakat, untuk dijadikan sebagai bahan (dasar) pertimbangan dalam menyusun

hukum dan menetapkan suatu keputusan dalam menyelesaikan suatu

permasalahan yang timbul dalam masyarakat, sehingga terwujud tujuan hukum itu

sendiri, yaitu “keadilan”.45

Penafsiran misalnya berupa:46

a. Penafsiran gramatikal, yaitu penafsiran dengan mencari arti kata-

katanya;

b. Penafsiran sistematikal, yaitu menafsirkan pasal Undang-Undang

dengan menghubungkan dengan pasal-pasal lain dalam satu Undang-

Undang atau pasal-pasal dalam Undang-Undang yang lainnya;

c. Penafsiran historikal yang mencakup penafsiran dengan melihat

sejarah terjadinya satu aturan perundang-undangan misalnya

pandangan-pandangan yang mengemuka dalam tahap pembahasan

42

Philipus M.Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, 2014, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, hal. 24 43

Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, Kencana Predana

Media Group, Jakarta, hal. 106 44

I Made Pasek Diantha, 2016, Op.Cit. hal.84 45

Zainuddin Ali, 2000, Ilmu Hukum dalam Masyaakat Indonesia, Yayasan Masyarakat

Indonesia, Palu, hal. 188 46

I Made Pasek Diantha,Op.Cit., hal. 154

Page 38: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

38

rancangan di parlemen; dan penafsiran dengan melihat perkembangan

suatu lembaga hukum yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

d. Penafsiran teleologis, yaitu mencari maksud dan tujuan dibuatnya

peraturan perundang-undangan;

e. Penafsiran ekstensif dan restriktif. Penafsiran ekstensif adalah

penafsiran yang memperluas arti kata dan penafsiran restriktif adalah

mempersempit atau membatasi arti kata yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan.

Menurut J.A.Pontier selain penafsiran-penafsiran tersebut di atas, ada juga

penafsiran antisipatif, yaitu suatu penafsiran yang melihat jauh kedepan dari

maksud norma tersebut dan penafsiran evolutif-dinamis, yaitu penafsiran yang

disesuaikan dengan perkembangan pandangan sosial atau susila atau situasi

kemasyarakatan.47

Menurut Peter Mahmud Marzuki, interpretasi dibedakan

menjadi interpretasi berdasarkan kata-kata Undang-Undang, interpretasi

berdasarkan kehendak pembentuk Undang-Undang, interpretasi sistematis,

interpretasi historis, interpretasi teleologis, interpretasi antipatoris, interpretasi

modern.48

Menafsirkan suatu Undang-Undang dan peraturan-peraturan dikenal pula

aturan prinsip interpretasi. Ibrahim R menyebutkan ada enam aturan prinsip

interpretasi suatu Undang-Undang dan peraturan.49

Prinsip-prinsip interpretasi

dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Deduct hypotetiko, suatu perbuatan yang harus dikontruksikan secara

keseluruhan, agar inskonsistensi internal dapat dihindari.

47

Kutipan dari J.A.Pointer, 2001, Rechtvinding, diterjemahkan oleh B.Areif Sidharta,

Cetakan 3, Laboratorium Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, hal. 24-33 48

Ibid. 49

Ibrahim R, 2006, Pernak Pernik Yuridis Dalam Nalar Hukum, Cet.1, UPT Penerbit

Universitas Udayana Denpasar, hal.12-13

Page 39: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

39

2. Literal rule, artinya kata-kata secara nalar harus memiliki makna.

3. Golden rule, artinya ketika suatu perbuatan bertujuan untuk

melenyapkan cacat dalam hukum.

4. Ujusden generis rule, artinya dari macam yang sama.

Menurut Bruggink, ada berbagai macam interpretasi. Bruggink

mengelompokkannya dalam 4 model yaitu: 50

1. Interpretasi bahasa (de taalkundige interpretatie)

2. Historis Undang-Undang (de wetshistorische interpretatie)

3. Sistematis (de systematische interpretatie)

4. Kemasyarakatan (de maatshappelijke interpretatie)

Dalam kaitan dengan interpretasi, menarik untuk disimak prinsip

Contextualism dalam interpretasi seperti yang dikemukakan oleh lan McLeod,

dalam bukunya Legal Method. McLeod mengemukakan 3 asas dalam

contextualism yaitu: 51

1. Asas Noscitur a Sociis

Suatu hal diketahui dari associatednya. Artinya suatu kata harus

diartikan dalam rangkaiannya.

2. Asas Ejusdem Generis

Artinya sesuai genusnya, artinya satu kata dibatasi makna secara

khusus dalam kelompoknya. Contoh: konsep Hukum Administrasi

belum tentu sama maknanya dalam Hukum Perdata atau Hukum

Pidana. Misal: Konsep rechtmatigheid.

3. Asas Erpressio Unius Exclusio Alterius

50

Philipus M.Hadjon, Tatiek Sri Djatmiati, 2014, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, hal. 26 51

Ibid.

Page 40: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

40

Artinya, kalau satu konsep digunakan untuk satu hal, berarti

tidakberlaku untuk hal lain. Contoh: kalau konsep rechtmatigheid

sudah digunakan dalam Hukum Tata Usaha Negara, maka konsep

yang sama belum tentu berlaku untuk kalangan hukum perdata atau

hukum pidana.

Interpretasi sebetulnya sudah dilakukan oleh kelompok Scholastica dalam

usahanya memahami Codex Juris Civilis (Kitab Undang-Undang Perdata). 52

52

Ibid., hlm.27

Page 41: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

41

1.4. KERANGKA BERPIKIR

Latar Belakang

Tanah Didaftar PPAT Akta Otentik Syarat Formil Saksi

Rumusan Masalah

Kedudukan

Hukum Saksi

Tanggung Jawab

Hukum Saksi

Landasan Teoritis

1. Teori Interprestasi

Hukum

2. Teori Pertanggungjawaban

Hukum

Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Normatif

Jenis Pendekatan

Perundang-Undangan

Sumber

Bahan hukum

Primer Sekunder Tertier

Teknik Pengumpulan

Bahan Hukum

Teknik Analisa

Bahan Hukum

Sistem

Kartu

Pendekatan

Perundanga-

undangan

Pendekatan

Konsep

Simpulan dan

Saran

1. Kedudukan saksi adalah syarat

formal bagi Akta PPAT

2. Tanggungjawab saksi adalah

menyaksikan peresmian Akta PPAT

1. Agar Undang-Undang PPAT

disyahkan oleh DPR RI

2. Agar PPAT bertanggung jawab

baik secara hukum perdata, pidana

dan administrasi

Simpulan Saran

Page 42: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

42

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu berupa tujuan

umum dan tujuan khusus yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1.5.1 Tujuan Umum

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan ilmu

hukum dan memperluas pengetahuan sehingga dapat memahami khususnya

mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berkaitan dengan Kedudukan dan

Tanggung Jawab Hukum saksi terhadap Akta Otentik yang dibuat oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah berkaitan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

2016 Tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

1.5.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penelitian ini yaitu

sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan dan melakukan analisis mengenai Kedudukan

Hukum saksi terhadap akta otentik yang dibuat oleh PPAT berkaitan

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Page 43: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

43

2. Untuk mendeskripsikan dan melakukan analisis secara mendalam

tentang tanggung jawab Hukum saksi terhadap akta otentik yang dibuat

PPAT apabila terjadi sengketa oleh para pihak berkaitan dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah

1.6. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dari penelitian ini yaitu

sebagai berikut:

1.6.1. Manfaat Teoritis

Adapun yang menjadi manfaat teoritis dalam penelitian ini yaitu,

pengembangan pengetahuan hukum dan ilmu pengetahuan hukum. Khususnya

pengaturan yang terkait dengan hukum perdata, pidana dan administrasi di

bidang Pejabat Pembuat Akta Tanah.

1.6.2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis yang didapat dari penelitian ini yaitu, bagi

kalangan praktisi. Hasil ini dapat dijadikan referensi atau pengetahuan tambahan

untuk mengetahui kedudukan dan tanggunga jawab hukum saksi dalam membuat

suatu akta PPAT, manfaat bagi penulis adalah untuk mengembangkan ilmu

hukum di bidang Keperdataan, pidana, Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Page 44: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

44

1.7. Metode Penelitian

1.7.1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum ini termasuk dalam penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif merupakan suatu penelitian yang melihat hukum

terdiri atas peraturan-peraturan tingkah laku atau kaidah-kaidah, peraturan-

peraturan perbuatan manusia atas suruhan dan larangan. Dengan demikian

penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang melihat hukum sebagai

seperangkat norma (kaidah).53

Penelitian ini dilakukan beranjak dari adanya

kekaburan norma pada peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang

perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan

Jabatan Pembuat Akta Tanah yang tidak mengatur secara jelas mengenai

kedudukan dan tanggungjawab hukum saksi dalam peraturan pemerintah

tersebut.

1.7.2. Jenis Pendekatan

Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif

akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan

ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan analisis dan ekslanasi. Dalam

kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan yaitu:

1. Pendekatan Perundang-undangan (statue approach).

2. Pendekatan konsep (conceptual approach).

3. Pendekatan perbandingan (comparative approach).

4. Pendekatan historis (historical approach).

5. Pendekatan filsafat (philosophicl approach).

6. Pendekatan kasus (case approach). 54

53

L.J. Van Apeldoorn, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 18 54

Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,

Malang, hal. 295.

Page 45: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

45

Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu

penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan satu pendekatan atau lebih

yang sesuai. Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan perundang-undangan

(the statue approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan

perundang-undangan (the statue approach) dilakukan dengan menelaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

ditangani, yang dimaksud dengan statue adalah legislasi dan regulasi.55

Pendekatan perundang-undangan (the statue approach) dilakukan dengan

menelaah atau mengkaji ketentuan-ketentuan hukum serta peraturan perundang-

undangan yang mengatur mengenai kedudukan dan tanggung jawab hukum saksi

terhadap akta yang dibuat PPAT terkait dengan PP No.24 Tahun 2016.

Pendekatan konsep (conceptual approach) merujuk pada prinsip-prinsip hukum.

Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun

doktrin-doktrin hukium. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum juga

dapat ditemukan di dalam undang-undang.pendekatan ini menjadi penting sebab

pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum

dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika

menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas

ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum,

maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.

55

Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, cet 3, Universitas Indonesia

(UI-Press), Jakarta, hal. 93

Page 46: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

46

1.7.3 Sumber Bahan Hukum.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang memiliki

kekuatan hukum yang mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-

undangan, antara lain:

a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek

Staatblad 1847 No. 23)

b. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana (Lembaran Negara No. 76 Tahun 1981, Tambahan

Lembaran Negara No. 3209).

c. Undang-undang Republik Indonesia Nomr 2 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

Nomor 3).

d. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang

perubahan atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2014 Nomor 293).

e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997

Tentang Pendaftaran tanah oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

(lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3696)

Page 47: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

47

f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016

Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52 dan

tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016

Nomor 5893).

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalag bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer yang meliputi buku-buku,

literatur, artikel, majalah, makalah dan bahan-bahan hukum tertulis

lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Dokumen

pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk dalam

bahan hukum sekunder ini sepanjang relevan dengan objek kajian

penelitian hukum ini.56

3. Bahan hukum tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan hana

hukum sekunder, yaitu: kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia dan

ensiklopedi.

56

Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan

Jurimetri,Alumni,Jakarta, hal. 24

Page 48: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

48

1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan

hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan misalnya memahami dan

mengkaji lebih mendalam tentang literatur dan peraturan perundang-undangan

yang ada kolerasinya dengan pembahasan baik langsung maupun tidak

langsung.57

Dalam pengumpulan bahan-bahan hukum dipergunakan teknik studi

dokumen, yaitu menelaah peraturan-peraturan yang relevan, buku-buku atau

bahan-bahan bacaan atau, karya ilmiah para sarjana dan hasilnya dicatat dengan

sistem kartu. Kartu yang disusun berdasarkan topik, bukan berdasarkan nama

pengarang, hal ini dilakukan agar lebih memudahkan dalam penguraian,

menganalisa, dan membuat kesimpulan dari konsep ada. Studi kepustakaan

bertujuan untuk mencapai konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat

ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok-pokok

permasalahan.

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Mengenai teknik analisis bahan hukum yang diterapkan dalam penelitian

ini diawali dengan pengumpulan dan sistematis bahan-bahan hukum yang

diperoleh untuk kemudian dianalisis. Analisis dilakukan dalam rangka untuk

memecahkan permasalahan yang ada dengan menggambarkan apa yang menjadi

masalah (deskripsi), menjelaskan masalah (eksplanasi), mengkaji permasalahan

dari bahan-bahan hukum yang terkait (evaluasi) dan memberikan argumentasi

57

Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal.

23

Page 49: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

49

dari hasil evaluasi tersebut, sehingga didapat kesimpulan mengenai persoalan

yang dibahas pada penelitian ini.

Page 50: ABSTRAK - sinta.unud.ac.id fileAcara Pidana. Dalam Pembuatan Akta PPAT saksi merupakan syarat formal sebagaimana yang diatur pada Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016

50