ablasi radio frequensi pada trigeminal...
Post on 05-Feb-2018
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
ABLASI RADIO FREQUENSI PADA
TRIGEMINAL NEURALGIA
Nella Abdullah
KSM Anestesiologi, RSUP Fatmawati, Jakarta
Abstrak:
Trigeminal neuralgia adalah nyeri yang hebat disebabkan oleh injury atau kerusakan syaraf.
Tumor, vascular malformasi, sakit gigi, sinusitis mungkin jadi penyebab trigeminal neuralgia, tapi
sebagian besar etiologinya tidak diketahui. Trigeminal neuralgia kelainan yang gampang
diketahui dengan karakteristik unilateral, nyeri berat paroksismal, singkat, seperti listrik didaerah
region trigeminal. Seorang perempuan 68 tahun, datang ke pain klinik RSUP Fatmawati dengan
nyeri hebat di pinggir lidah dan sepertiga bibir kiri terutama seminggu ini. Pada status lokalis
ditemukan nyeri tengah lidah sampai kepinggir lidah kiri. Nyeri hebat sepertiga lidah kiri kadang-
kadang ke pipi kiri. Nyeri rasa ditusuk/perih kadang-kadang rasa terbakar. Nyeri sering pagi hari
jarang siang dan malam. Ditegakkan Diagnosis Trigeminal Neuralgia V 2-3 dan telah dilakukan
penatalaksanaan terapi dengan ablasi menggunakan radio frekuensi.
Kata kunci: trigeminal neuralgia, ablasi, radiofrekuensi
Pendahuluan
Trigeminal Neuralgia terdiri
dari dua kata yaitu trigeminal dan
neuralgia.Neuralgia berasal dari
bahasa Yunani yaitu “neuron “dan
algia (nyeri) Trigeminal neuralgia
adalah nyeri yang hebat disebabkan
oleh injury atau kerusakan syaraf.
Tumor, vascular malformasi, sakit
gigi, sinusitis mungkin jadi penyebab
Korespondensi: Nella Abdullah
KSM Anestesiologi, RSUP Fatmawati
Email:
trigeminal neuralgia, tapi sebagian
besar etiologinya tidak diketahui.
Nervus trigeminal adalah nervus
kranial kelima.
Nervus Trigeminal memberikan
impuls sensory kewajah, mulut, lidah
dan kulit kepala. (1, 2)
Nervus trigeminal terdiri dari
tiga cabang, divisi ophthalmik, divisi
maxilla dan divisi mandibular.Divisi
mandibular dari nervus trigeminal
2
juga mensupply otot mengunyah
seperti temporalis, masseter dan otot
pterygoid.Sensasi sepanjang
ophthalmik, maxilla dan mandibular
dari nervus trigeminal bisa di test
dengan suhu, pinprick dan sentuhan
ringan. (1, 2)
Trigeminal neuralgia kelainan yang
gampang diketahui dengan
karakteristik unilateral, nyeri berat
paroksismal, singkat, seperti listrik
didaerah region trigeminal.
Insiden trigeminal neuralgia
4/100000 penduduk, biasa pada laki -
laki lebih dari 50 tahun, wanita dua
kali lebih sering dari laki-
laki.Trigeminal neuralgia dua kali
lebih sering disebelah kanan (60%)
dan sebelah kiri 39%.Nyeri biasanya
di divisi maxilla (20%), mandibular
17%, divisi ophthalmik hanya 2%.
Kombinasi ophthalmik dan maxilla
14 %, kombinasi maksila dan
mandibular 42%,Kombinasi ketiga
divisi 5%.Trigeminal neuralgia tidak
ada faktor geografik dan etnis.Secara
patofisiologi 90% dari kasus adalah
pembuluh darah arteri kontak dengan
nervus trigeminal di root entry zone
saat keluar dari pons. (1, 2)
Trigeminal neuralgia
biasanya didiagnosis berdasarkan
historis klinis dengan kriteria
diagnostik spesifik yang diterima
secara luas .
Case report ini membahas seorang
pasien wanita trigeminal neuralgia
yang dilakukan management pain
dengan ablasi radiofrequensi.
Ilustrasi Kasus
Seorang perempuan 68 tahun, datang
ke pain klinik RSUP Fatmawati tanggal
24 Agustus 2015 dengan nyeri hebat di
pinggir lidah dan sepertiga bibir kiri
terutama seminggu ini. Pasien sejak 2,5
tahun yang lalu nyeri tepi lidah sebelah
kiri.Nyeri tiba-tiba, berjalan dari
tengah lidah keujung sebelah kiri.
3
Awal nyeri hanya sekali-kali lama-
lama semakin kuat nyerinya. Setahun
pertama pasien berobat kedokter gigi
bedah mulut, dilakukan perawatan
tidak ada perubahan malahan nyeri
semakin bertambah sulit bicara tapi
masih bisa makan biasa.
Karena tidak sembuh akhirnya
pasien shopping dokter dari internis,
bedah onkologi, neurolog sampai
psikiater.Neurolog memberi obat
tegretol 2 x 100 mg dan obat anti
depresi. Karena refrakter pain
akhirnya neurolog konsulkan ke
neurologi intervensi.
Setelah di intervensi menurut
keluarga pasien tambah parah sampai
tidak bisa makan hanya bisa makan
cair. Pernah juga dilakukan
akupunktur tapi tetap tidak ada
perubahan. Terakhir pasien minum
tegretol 2 x 200 mg kalau nyeri
sekali 2 x 400 mg.Semua
pemeriksaan penunjang normal, tapi
pasien belum pernah di CT Scan.
Status Lokalis.
Nyeri tengah lindah sampai
kepinggir lidah kiri.Nyeri hebat
sepertiga lidah kiri kadang-kadang
ke pipi kiri.Nyeri rasa ditusuk/perih
kadang-kadang rasa terbakar.
Nyeri sering pagi hari jarang siang
dan malam.Diangnosa Trigeminal
Neuralgia V2-3. Management
therapy : Ablasi dengan radio
frekuensi.
Gambar 1 : Wajah pasien VAS 78
Gambar 2 : Pasien menunjukkan lokasi nyeri
4
ABLASI RADIO FREKUENSI NERVUS MAXILLA
Gambar 3 : Submenta View
Gambar 4 : Landmark 2,5cm dari sudut bibir kiri mengarah ke tengah pupil mata
kiri
Pasien di pasang intra vena
catheter no. 20
Dipasang monitor EKG, NIBP,
HR, SaO₂.
Diberikan analgetik dan sedasi :
Midazolam 1 – 2 mg (IV)
Fentanyl 25 – 50 ug (IV)
Gambar 5 : Fluoroscopy jarum
5
Gambar 6 : Tangan satu lagi guiding
dari dalam bibir agar jarum tidak
masuk kedalam mulut
Gambar 8 : Lateral view
Gambar 7: Fluoroscopy tunnel vision
jarum
Gambar 9 : Fluoroscopy jarum diforamen
ovale, LCS (+)
6
ABLASI PULSED RADIO FREKUENSI NERVUS MANDIBULA
Teknik dan cara sama hanya beda pada saat tes sensorik dan motorik
Gambar 10 : Dilakukan tes sensorik dan
motorik ada nyeri daerah pipi
Gambar 11 : RF dengan suhu 65° c
selama 60 detik
7
Follow up
Hari ke tiga nyeri di pipi hilang,
nyeri dilidah dan bibir tetap
Hari ke sepuluh nyeri di lidah
berkurang sudah bisa makan bubur
tapi nyeri di bibir tetap
Hari ke dua puluh nyeri di bibir
berkurang tapi belum hilang dan
pasien merasa jauh lebih baik.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Trigeminal Neuralgia terdiri
dari dua kata yaitu trigeminal dan
neuralgia. Neuralgia berasal dari
bahasa Yunani yaitu “neuron“ dan
algia (nyeri)”. Penyakit syaraf yang
ditandai oleh nyeri hebat
paroksismal, singkat, unilateral pada
satu atau lebih cabang nervus
trigeminus. (2, 5)
Anatomi
Nervus trigeminus adalah syaraf
kranial kelima yang punya tiga
cabang yaitu ophthalmik,maxilla dan
mandibular mempunyai serabut
sensorik pada ophthalmik dan
maxilla serta serabut motorik dan
sensorik pada cabang mandibular.
Inti motoriknya terletak di pons yang
mempersyarafi masseter , temporalis,
pterigoideus internus et eksternus.
Serabut motorik bergabung dengan
serabut sensorik nervus trigeminus
yang berasal dari ganglion Gasseri. (3,
5)
Serabut sensorik menghantar impuls
nyeri, suhu, raba dan perasaan
proprio septif.
Gambar 12 : Dilakukan tes sensorik tidak ada nyeri daerah lidah dan bibir, tes motorik twicing otot masseter (+)
Gambar 13 : PRF pada nervus mandibula
8
Trigeminal Neuralgia mempunyai
lima tanda klinis utama : (2, 5, 7)
1. Nyeri paroksismal
2. Nyeri terbatas pada region
nervus trigeminal .
3. Unilateral
4. Secara klinis pemeriksaan
sensory normal.
5. Nyeri mungkin terprovokasi
oleh sentuhan ringan di wajah
.(trigger zone).
Patofisiologi. (2, 5)
Sampai saat ini patofisiologi dan
etiologi belum ada penjelasan yang
pasti. Ada dua pendapat mengatakan
gangguan mekanisme perifer sebagai
penyebab trigeminal neuralgia dan
kedua mengatakan gangguan
mekanisme sentral.
Gangguan saraf tepi sebagai
penyebab trigeminal neuralgia
dengan klinis sebagai berikut :
1. Ditemukannya peregangan
atau kompresi nervus V.
2. Ditemukannya malformasi
vaskular pada beberapa
penderita trigeminal
neuralgia.
3. Adanya tumor dengan
pertumbuhan yang lambat.
Gambar 14 :
Gambar 15 :
9
4. Adanya proses inflamasi pada
N.V.
Gangguan saraf sentral sebagai
penyebab trigeminal neuralgia
dengan klinis sebagai berikut :
1. Adanya periode laten yang
dapat diukur antara waktu
stimulus terhadap trigger
point dan onset trigeminal
neuralgia.
2. Serangan tak dapat
dihentikan apabila sudah
berlangsung.
3. Setiap serangan selalu diikuti
oleh periode refrakter dan
selama periode ini pemicu
apapun tidak dapat
menimbulkan serangan.
4. Serangan seringkali dipicu
oleh stimulus ringan yang
pada orang normal tidak
menimbulkan gejala nyeri.
5. Nyeri yang menyebar keluar
daerah yang diberi stimulus.
Kriteria diagnostik. (5, 6)
A. Serangan–serangan
paroxysmal pada wajah atau
nyeri di frontal yang
berlangsung beberapa detik
tidak sampai 2 menit.
B. Nyeri setidaknya bercirikan 4
sifat berikut:
1. Menyebar sepanjang satu
atau lebih cabang N
trigeminus, tersering pada
cabang mandibularis atau
maksilaris.
2. Onset dan terminasinya
terjadi tiba-tiba, kuat,
tajam, superficial, serasa
menikam atau membakar.
3. Intensitas nyeri hebat,
biasanya unilateral, lebih
sering disisi kanan.
4. Nyeri dapat timbul
spontan atau dipicu oleh
aktifitas sehari seperti
makan, mencukur,
bercakap cakap,
mambasuh wajah atau
menggosok gigi, area picu
dapat ipsilateral atau
kontralateral.
5. Diantara serangan, tidak
ada gejala sama sekali.
C. Tidak ada kelainan
neurologis.
D. Serangan bersifat stereotipik.
10
E. Tersingkirnya kasus-kasus
nyeri wajah lainnya melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan khusus bila
diperlukan.
Differensial Diagnosa
• Specific facial pains
• Aspecific facial pains
• Temperomandibular arthrose
• Deviation teeth
• Vascular migraine
Managemen trigeminal neuralgia (1, 2,
3, 4, 5, 7)
a. Therapy Farmakologik.
Peneliti-peneliti dalam bidang
nyeri neuropatik telah
mengembangkan beberapa
pedoman terapi farmakologik.
Disarankan therapy trigeminal
neuralgia dengan carbamazepin
(200-1200mg sehari).
Oxcarbazepin (600-1800mg
sehari) sebagai terapi lini pertama.
Sedangkan terapai lini kedua
adalah baclofen dan lamotrigin.
Trigeminal neuralgia sering
mengalami remisi sehingga pasien
dinasehatkan untuk mengatur
dosis obat sesuai dengan
frekwensi serangannya. Studi
open label telah melaporkan
manfaat terapi obat-obatan anti
epilepsi yang lain seperti
clonazepam, gabapentin,
phenytoin dan valproat. Therapy
lini ketiga adalah lamotrigin dan
baclofen. Pregabalin yang telah
terbukti efektif dalam terapi nyeri
neuropatik mungkin juga
bermanfaat pada terapi trigeminal
neuralgia.
b. Therapy minimal invasif dan
surgery.
Therapy farmakologik umumnya
efektif akan tetapi ada juga pasien
yang tidak bereaksi atau timbul
efek samping yang tidak
diinginkan maka diperlukan
therapy pembedahan.
Tindakan operatif yang dapat
dilakukan adalah prosedur
ganglion gasseri, terapi gamma
knife dan dekompresi
mikrovaskuler. Pada prosedur
perifer dilakukan blok pada
trigeminus nervus bagian disatal
ganglion gasseri yaitu dengan
suntikan streptomisin, lidokain,
alkohol. Prosedur pada ganglion
gasseri ialah rhizotomi melalui
foramen ovale dengan
radiofrekwensi termoregulasi,
11
suntikan gliserol atau kompresi
dengan balon ke dalam kavum
Meckel. Therapy gamma knife
merupakan therapy radiasi yang
difokuskan pada radiks trigeminus
nervus di fossa posterior.
Dekompresi mikrovaskuler adalah
kraniotomi sampai trigeminus
nervus difossa posterior dengan
tujuan memisahkan pembuluh
darah yang menekan trigeminus
nervus.
RADIO FREQUENSI (3, 4)
Radiofrequensi pertama kali
digunakan tahun 1931 ketika
Krischner menggunakannya untuk
thermocoagulation pada kasus
trigeminal neuralgia pada ganglion
gasseri..
Arus tegangan tinggi yang
dihasilkan oleh radiofrequensi
melalui sebuah generator dengan
sebuah elektoda yang dihubungkan
lewat grounding pad pada jaringan
tubuh sehingga terbentuk sistim
sirkuit yang lengkap. Perbedaan
diantara elektoda dan elekroda
penerima (receptive electroda)
adalah perbedaan tegangan. Medan
elektromagnetik disekitar ujung
elektoda menyebabkan jaringan
disekitarnya menjadi panas dan
terbentuk lesi jika temperatur
didalam jaringan neuron melebihi
40° C. Selanjutnya elektoda
menyerap panas dan mencapai
keseimbangan membutuhkan waktu
antara 30 sampai 60 detik.
Temperatur yang dimonitor pada
elektroda adalah temperatur yang
paling tinggi
Ukuran dari elektrode, lama
waktu radio frequensi temperatur
yang dihasilkan konfigurasi lesi dan
karasteristik jaringan setempat
menentukan ukuran lesi. Pada
jaringan yang kaya pembuluh darah
keseimbangan temperatur yang
dicapai membutuhkan waktu yang
lebih lama karena pembuluh darah
sifatnya cenderung
mentidakstabilkan keseimbangan ini,
dikarenakan panas yang dihasilkan
banyak yang terlepas. Metoda yang
paling tepat untuk mengontrol
ukuran lesi tersebut dengan
mempertahankan temperatur ujung
elektrode selama 1 sampai 2 menit.
Ukuran lesi juga tergantung pada
diameter elektroda dan panjang dari
ujung elekrode yang aktif
12
(nonisulated). Cosman dan kawan
kawan pada tahun 1984 pertama kali
mengenalkan ujung elektrode aktif
yang dipanasi pada suhu 75 ° C,
ukuran lesi bertambah sekitar 20%
setelah diinduksi selama 30 detik.
Setelah dipanaskan selama 60 detik
ukuran dari lesi tidak bertambah lagi.
Bogduk dan rekan
melaporkan dalam penelitiannya, lesi
pada radiofrequensi tidak menyebar
ke arah distal dari elektrode
melainkan ke arah radial disekitar
ujung elektrode yang aktif, dalam
bentuk oblong spheroid dengan
radius maksimum 2 mm,
menggunakan elektrode ukuran 21
gauge (G) dengan ujung aktifnya
sepanjang 3 mm. Peneliti lainya telah
menyimpulkan bahwa ukuran lesi
tidak bertambah bermakna setelah 20
detik ketika lamanya waktu membuat
lesi berbeda dengan menggunakan
temperatur yang sama. lesi yang
dihasilkan berbentuk oval dan sejajar
dengan jarum yang biasanya tidak
melebihi dari ujung jarumnya, jadi
idealnya jarum sejajar dengan target
sarafnya, lengkungan 15° mungkin
akan lebih baik dalam mencapai
target saraf tersebut.
Setelah terjadi lesi diikuti
dengan terbentuknya scar di jaringan
lesi tersebut; pertama terjadi
coagulation, diikuti reaksi inflamasi
akut, nekrosis dan penumpukan
kolagen. Proses tersebut
membutuhkan waktu sekitar 3
minggu. Lamina basalis seringkali
terlindungi dan memungkinkan
untuk terjadinya regenerasi saraf .
Sudah menjadi wacana yang
luas kalau radiofrequensi ablasi
bekerja selektif pada serabut saraf C
dan Aδ, sementara itu serabut saraf
yang bermyelin serabut A dan AB
masih tetap intake, meskipun ini
masih perdebatan dan ada juga yang
ditolak pada penelitian penelitian
histological. Telah dinyatakan bahwa
yang mempengaruhi mekanisme
proses nyeri pada dorsal root
ganglion, dorsal horn dan level
molekular melalui perubahan
ekspresi gene pada neuron-neuron
yang memproses nyeri adalah medan
listrik (electric field) bukan
temperatur yang dihasilkan oleh
radio frequensi.
Pengelompokan Radiofrequensi (4)
Metoda radiofrequensi yang
digunakan didalam manajemen nyeri
13
saat ini dapat dikelompokan melalui
karasteristik masing masing
berdasarkan bentuk physical dan
pertimbangan klinis :
1. Waveform / Set Temperature
Thermal radiofrequency
(TRF) : temperatur jaringan
dipertahankan lebih dari 42°
C. Continuos radiofrequency
(CRF) bentuk gelombang dan
temperatur jaringan biasanya
berkisar antara 70-90° C.
Tujuan klinis adalah ablasi
saraf dengan panas. Yang
termasuk dalam katagori ini
salah satunya adalah metoda
" cooled RF " dimana
elektroda didalamnya terjadi
pendinginan, tapi
menyebabkan neurolitik
dengan menginduksi
temperatur jaringan.
Pulsed radiofrequency (PRF)
: temperatur jaringan
dipertahankan rata-rata
dibawah 42° C. Arus yang
dialirkan berupa ledakan
yang mempunyai intensitas
tinggi dan pendek, sehingga
kekuatan medan listriknya
ditingkatkan tanpa
terbentunya panas. Tujuan
secara klinis adalah
modifikasi neural melalui
medan listrik dan suhu
(Cosman and Cosman, 2005),
tapi mekanisme dalam
menurunkan nyeri sampai
saat ini masih dalam
penelitian ilmiah.
2. Electode Polarity
Monopolar RF : Arus listrik
lewat diantara jarum elektoda
dan area disekitar ground
pad. Intensitas arus
radiofrequensi paling tinggi
didekat ujung jarum elektrode
yang aktif (uninsulated). Pada
termal RF yang monopolar
dibuat lesi panas berbentuk
ellips.
gambar
Bipolar RF : arus listrik
lewat diantara dua ujung
jarum elektoda dan kekuatan
arus sangat tinggi pada kedua
lokasi tersebut. olek
karenanya bipolar thermal RF
lmenghasilkan lesi yang
ditimbulkan oleh panas dekat
kedua ujung elektroda.
Ketika jarum jarum elektroda
14
didekatkan secara paralel
maka medan listrik yang
dibentuk difokuskan diantara
kedua ujung jarum tersebut
dan terbentuklah lesi
berukuran lebih besar.
gambar
Monopolar thermal RF
adalah yang paling sering dan
merupakan dasar dari therapy
menggunakan radiofrequensi telah
sering digunakan secara luas untuk
pain management dan neurosurgery
sejak generator radiofrequensi
pertama kali dibuat oleh B.J.
Cosman, S. Aranow, dan O.A Wyss
pada awal tahun 1950 an. Pada
tahun 1990 an monopolar Pulsed
Radiofrquency (PRF) telah
diperkenalkan oleh Sluijter, Cosman,
Rittman, dan Van Kleef (1998) dan
digunakan saat konvensional
Thermal RF kontraindikasi
digunakan untuk seperti neuropathic
pain atau berpotensi menyebabkan
bahaya seperti lesi pada dorsal root
ganglion. Bipolar Thermal RF telah
digunakan untuk pain management
pada akhir dekade ini (Ferate at al,
2001; Burnham et al, 2007) tapi
hanya yang terakhir ini yang bisa
menghasilkan ukuran lesi lebih besar
dan telah diterima penggunaannya
(Cosman dan Gonzales, 2011). Ruiz-
Lopes tahun 2008 telah menjadi
pioner dan melaporkan penggunaan
bipolar PRF khususnya pada
penanganan nyeri carpal tunnel
syndrome.
Cosman dan Gonzales
berpendapat dengan pengalaman
klinisnya, ada beberapa aturan dasar
yang seharusnya diketahui saat
menggunakan radiofrequensi yang
dapat menimbulkan lesi. Thermal RF
seharusnya hanya digunakan untuk
mengobati nyeri nosiseptif.
Radiofrequensi seharusnya tidak
digunakan pada pasien yang
memiliki beban psikologi yang berat
dan ketergantungan obat.
Radiofrequensi juga seharusnya tidak
digunakan pada pasien yang
mengalami nyeri diseluruh tubuh.
Kita sebagai dokter seharusnya bisa
menyakinkan kepada pasien agar
memilki harapan yang realistik
karena untuk menghilangkan nyeri
total adalah sesuatu yang mustahil.
Kita seharusnya mencari semua
alternatif tindakan lainnya yang non-
destructive dan mencapai
15
kemanfaatan yang jelas dengan
menggunakan prognostic blocks.
Aplikasi radiofrequensi untuk
trigeminal neuralgia (7)
Van Zundert et al mempunyai
kasus berseri kecil sekitar lima
pasien dengan idiopathic trigeminal
neuralgia yang telah ditherapy
dengan PRF. Rata rata semua pasien
di follow up selama 19.2 bulan, dan
dilaporkan sebanyak tiga pasien
hasilnya sangat baik dan efek terapi
lama, efek yang sebagian sebanyak
satu pasien, dan satu pasien memiliki
efek therapy yang singkat. Erdin et al
melakukan penelitian acak
(RCT), prospektif dan dibandingkan
langsung antara PRF dengan RF
konvensional untuk gasserian
ganglion. Penelitian yang dilakukan
melibatkan 40 pasien dengan
diagnosa idiopatic trigeminal
neuralgia. Pada grup RF
konvensional rata-rata nilai VAS
pada bulan 0, 3, dan 6 adalah 1,0,5,
dan 0,5. Sementara pada grup PRF
rata rata nilai VAS pada bulan 0 dan
3 adalah 8, dan hanya 2 pasien yang
menurun nyeri secara bermakna
setelah 3 bulan. Semua pasien di
dalam grup PRF mengalami nyeri
intractable pada 3 bulan pertama, dan
RF konvensional dilakukan untuk
meringankan. Dalam penelitian ini
untuk kasus trigeminal neuralgia RF
konvensional jauh lebih unggul
dibandingkan PRF.
Convensional versus Pulsed
Radiofrequensi (4, 7
Pada type convensional
RFmemprokduksi lesi panas bisa di
tingkatkan sampai 85° C
Pada Pulsed RF medan listrik
menghasilkan lesi
Pada Pulsed RF temperatur tidak
lebih 42° C. Medan listrik
menghasilkan beberapa pukulan di
kapasitor serat nociceptive
berdiameter kecil, sehingga sinyal
transmisi dihentikan.
Pada convensional RF priode bebas
nyeri 3-4 tahun
Pada Pulsed RF priode bebas nyeri
4-24 bulan
16
DISKUSI DAN KESIMPULAN
Menurut referensi therapy
farmakologi trigeminal neuragial
carbamazepin adalah lini pertama
dengan dosis titrasi 200-1200 mg,
pasien ini sudah mendapat
carbamazepin dengan dosis tidak
adekuat sehingga nyeri tidak
terkontrol. Dampak dari management
nyeri yang tidak adekuat membuat
pasien depresi sehingga pasien
shopping dokter sampai ke psikiater.
Pasien datang ke Pain klinik
RSUP Fatmawati dengan diagnosa
severe chronic pain ec trigeminal
neuralgia yang refrakter dengan
medikamentosa.
Direncanakan ablasi RF pada pasien,
penggunaan radiofrequensi untuk
pasien trigeminal neuralgia sudah
diketahui sejak tahun 1931 ketika
Krischner menggunakan
thermocoagulation pada kasus
trigeminal neuralgia.
Pada pasien ini untuk nervus
maxilla dilakukan RF tapi pada
nervus mandibula dilakukan PRF.
Van Zundert et all mempunyai lima
kasus dengan idiopathic trigeminal
neuralgia yang telah ditherapy
dengan PRF.Hasil penelitian untuk
kasus trigeminal neuralgia RF
konvensional jauh lebih unggul dari
PRF.
PRF pada kasus trigeminal neuralgia
bukan suatu kontra indikasi tapi
efektifitasnya masih perlu diteliti
lebih lanjut.
Alasan dilakukan PRF pada
nervus mandibula karena saat test
sensorik tidak meyakinkan pasien
tidak merasa nyeri dilidah dan
bibirnya, sedangkan test mototik
positif dengan twiching otot
masseter.
Dari literatur diatas kita tahu bahwa
PRF lebih minimal invasif dari RF
karena ablasinya pada suhu 42°C,
sehingga lebih aman untuk pasien.
Hasil follow up pasien ini cukup
puas dengan tindakan yang
dilakukan dengan berkurangnya
nyeri pipi, lidah walau bibir masih
nyeri sedikit.VAS bibir lebih kurang
3.
Kesimpulan pada pasien ini tindakan
ablasi syaraf cukup berhasil dan
pasien puas.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Joshi, Muralidar, Pain
Management, 2rd edition, 2009.
2. Benzon. Honorio T, Rathmell.
James P, Raj’s Paractical
Management Of Pain, 4th
edition, 2008.
3. Charles A. Gauci, Manual of RF
Techniques, 3rd edition, 2011
4. Steven D. Waldman, Pain
Management, second edition,
Elseiver Saunders copyright
2011.
5. Spencer C.J, Neubert J.K,
Gremillion H, et al : Toothache
or Trigeminal
Neuralgia : Treatment
Dilemmas, The Journal of Pain,
2008 ; vol 9, 9 : 767 – 770.
6. Erdine S, Ozyalcin NS, Cimen
A, et al. Comparison of pulsed
radiofrequency with
conventional radifrequency in
the treatment of idiopath ic
trigeminal neuralgia. Eur J Pain
2007; 11 (3) : 309-313
7. Wiffen PJ , Collins S, McQuay
HJ caroll D, Jadad A, Moore
RA. Anticonvulsant drugs for
acute and chornic pain.
Cochrane database Syst Rev.
2010
top related