a. latar belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. orang...
Post on 30-Mar-2019
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau.
Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2010, Indonesia ditetapkan sebagai
negara terbesar ke-4 di dunia dengan jumlah penduduk mencapai 245 juta jiwa. Sejumlah 300
kelompok etnis yang ada di Indonesia. Bahkan dari data yang dihimpun BPS pada 2010 ada
sebanyak 1.340 suku bangsa di Indonesia.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia diakses pada 23 Oktober 2013).
Selain itu, hampir semua agama besar yang ada di dunia seperti Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha, Konghucu, juga turut menyemarakkan kemajemukan komunitas Indonesia.
Banyaknya jumlah suku bangsa di Indonesia, maka hal ini juga menambah kayanya jumlah
kepercayaan asli Indonesia yang tumbuh di tengah- tengah masyarakat sesuai dengan latar
belakang budaya masing- masing (Widiyatmadi dalam Susetyo, 2010: 2).
Sebagai bagian dari masyarakat yang hidup di negara dengan banyak suku bangsa, maka
kita pun dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Proses komunikasi
yang terjadi dalam masyarakat majemuk di Indonesia umumnya berkaitan dengan struktur,
lapisan, ragam jenis budaya serta proses- proses sosial yang ada di masyarakat tersebut.
Proses komunikasi tergantung pula pada adanya pengaruh dan khalayaknya.
Hadirnya kemajemukan masyarakat Indonesia turut dilatarbelakangi oleh kebudayaan
yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lainnya. Biasanya proses komunikasi yang
terjadi dalam masyarakat majemuk, dilakukan antara komunikator dan komunikan yang
berbeda latar belakang kebudayaannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang terjadi tidak dapat dielakkan. Proses
interaksi dalam komunikasi antarbudaya memang sebagian besar dipengaruhi oleh perbedaan
kultur. Orang- orang dari kultur yang berbeda akan berinteraksi secara berbeda pula, namun
perbedaan ini diharpakan tidak akan menjadi penghambat proses interaksi.
Senada dengan itu, Samovar (2010: 13) mengungkapkan bahwa komunikasi antarbudaya
terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu memberikan pesan tertentu pula kepada
anggota dari budaya yang lain pula. Jadi komunikasi antarbudaya merupakan sebuah proses
yang melibatkan interaksi antara orang- orang yang persepsi budaya maupun sistem
simbolnya berbeda dalam suatu komunikasi.
Seperti yang diungkapkan oleh Poespowardojo dalam (Liliweri, 2001: 159)
mengungkapkan bahwa dalam masyarakat Indonesia yang pluralistis dari segi ragam suku
bangsa, golongan, agama, hingga daerah itulah justru masalah integrasi bangsa adalah sebuah
hal krusial yang perlu dicari jalan keluarnya. Bahkan penanganan untuk masalah integrasi
bangsa ini harus senantiasa dicari, tanpa henti secara terus- menerus karena akan selalu ada
kemungkinan dan tantangan baru untuk ancaman perpecahan bangsa.
Bruner dalam Warnaen (2002) juga berpendapat bahwa salah satu masalah serius yang
dihadapi Indonesia sebagai bangsa multi etnis pada saat ini memang masalah integrasi
nasional. Ekspresi rasa kesukubangsaan tampak masih sering menimbulkan ketegangan
dalam hubungan antarsukubangsa. Jelas benar bahwa persepsi sosial, stereotip etnis, dan
sikap antargolongan etnis di Indonesia juga dapat memicu konflik dan mengancam integrasi
nasional.
Barna dalam Asante, dkk mengemukakan efektivitas komunikasi antarbudaya sangat
tergantung dari faktor- faktor luar yang mempengaruhinya. Misalnya faktor seperti bahasa,
pesan- pesan nonverbal, prasangka dan stereotip, kecenderungan untuk mengevaluasi, dan
tingginya kecemasan (Liliweri, 2001:174).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Prasangka merupakan penilaian yang tidak berdasar dan pengambilan sikap sebelum
menilai dengan cermat, sehingga terjadi bias dari kenyataan yang sesungguhnya, demikian
seperti dikutip menurut Sarwono dalam Susetyo (2010).
Prasangka dan stereotip kesukuan ini sebenarnya dapat menghambat komunikasi
antarbudaya yang ada. Apalagi Indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak suku
budaya, hal ini tentu mempersulit keadaan untuk bisa menyatukan perbedaan yang ada.
Allport (1958) seperti ditulis dalam Liliweri (2001:175) mengungkapkan makna dari
prasangka dengan pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang
tak diuji terlebih dahulu, stereotip evaluasinya bisa positif. Oleh karena itu, stereotip tidak
identik dengan prasangka. Stereotip dapat berubah- ubah sesuai dengan intensitas dan arah
prasangka.Orang yang sudah memiliki prasangka biasanya akan bersikap curiga di awal
pertemuan, dan menentang proses komunikasi yang terjadi. Prasangka memaksa kita untuk
menarik kesimpulan atas dasar syak wasangka tanpa menggunakan pikiran dan pandangan
kita terhadap fakta yang terjadi.
Stereotip adalah gambaran yang ada di kepala seseorang hasil dari rekonstruksi dari
keadaan lingkungan yang sebenarnya. Dengan demikian, gambaran kita tentang keadaan
lingkungan inilah yang menentukan apa yang akan kita lakukan. Sehingga tindakan seseorang
tidaklah didasarkan pada pengenalan langsung terhadap keadaan lingkungan sebenarnya
melainkan berdasarkan gambaran yang dibuatnya sendiri atau yang diberikan kepadanya oleh
orang lain.
Stereotip dengan demikian setidaknya menjadi salah satu sumber pemicu ketegangan
antarsuku bangsa di Indonesia. Di Indonesia yang memiliki banyak budaya dengan masing-
masing latar belakang lingkungan alam dan sosial budaya sendiri, stereotip telah menjadi
ancaman bagi kesatuan bangsa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Dengan adanya stereotip demikian, maka perlu diwaspadai tumbuhnya stereotip negatif
yang melekat pada suku bangsa yang ada di Indonesia, karena seperti yang telah disebutkan
di atas, stereotip dapat memecah belah bangsa dan mengakibatkan disintegrasi nasional.
Suku Batak merupakan salah satu diantara ratusan suku bangsa yang ada di Indonesia.
Dari hasil sensus penduduk Indonesia yang dilakukan pada tahun 2010, suku Batak
menempati posisi ke-6 dalam jumlah populasi masyarakat Indonesia. Suku Batak sendiri
berdasarkan data tersebut memiliki populasi sebanyak 6,1 juta jiwa atau setara dengan 3%
jumlah total penduduk Indonesia saat itu.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia diakses pada 23 Oktober 2013).
Dari sensus tahun 2010 tersebut diperoleh 17 suku besar yang ada di Indonesia.
Sementara itu, untuk urutan dengan jumlah populasi terbesar adalah Jawa, Sunda, Tionghoa-
Indonesia, Melayu, dan Madura yang menempati posisi 5 besar.
Sama seperti suku lainnya di Indonesia, orang Batak pun hidup begitu erat dengan
budayanya. Meski sudah tidak tinggal di tanah asalnya, orang Batak kerap tidak melupakan
adat dan kebiasaan sepertidi kampung halamannya. Terkait kehidupan orang Batak ini,
Tinambunan dan L. Toruan (2010: 145) menyebutkan bahwa orang Batak memiliki 7 falsafah
utama hidup yang dipegangnya, yaitu:
1. Mardebata (punya Tuhan). Sebelum pertama masuknya agama Kristen ke tanah
Batak, orang Batak awalnya telah memiliki kepercayaan dari agama suku yang
dianutnya. Nenek moyang orang Batak telah memiliki kebiasan untuk martonggo
(berdoa) kepada yang disebut penguasa benua atas.
2. Marpinompar (punya keturunan). Marpinompar merupakan suatu falsafah hidup
orang Batak yang dipegang guna menjamin keberlangsungan generasi selanjutnya.
3. Martutur (punya kekerabatan). Wujud dari kekerabatan ini adalah setiap orang
Batak diwajibkan untuk mengikuti aturan adat yang berhubungan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan ini biasanya ada di seputar
keluarga dari pihak istri, keluarga ibu, dan juga keluarga dari pihak nenek. Tradisi
untuk menghormati orang- orang yang ada di dalam silsilah keluarga ini berlaku
di semua sub suku Batak dan semua marga Batak. Panggilan kekerabatan ini
berlaku bagi setiap orang Batka yang baru dikenal. Oleh karena itu, dalam
kebiasan berkerabat dan beradat, orang Batak pun memiliki falsafah yang disebut
Dalihan Na Tolu (Tungku Berpilar Tiga). Tungku ini diibaratkan sebagai orang
Batak secara pribadi, sementara tiga pilarnya adalah tiga golongan masyarakat
Batak yang saling menyokong berdirinya tungku tersebut. Tiga golongan ini
terdiri dari hula- hula (besan/ ipar), dongan tubu, dan boru
4. Maradat (beradat). Adat yang dimaksud disini adalah setiap orang Batak
diharuskan untuk mengikuti ketentuan adatnya. Hal ini diperkuat juga oleh
Dalihan Na Tolu
5. Marparkirimon (berpengharapan). Bagi orang Batak, seorang anak, apalagi anak
laki- laki merupakan sumber pengharapan terbesarnya dan juga harta yang tak
ternilai. Setelah menikah dan berkeluarga, orang Batak umumnya memiliki 3
pengharapan, yaitu: hagabeon (punya keturunan laki-laki dan perempuan),
hasangapon (terpandang dan dihormati), dan hamoraon (kekayaan).
6. Marpatik (punya aturan). Patik berarti aturan atau hukum yang sifatnya
membatasi kehidupan agar lebih tertib. Adat Batak terdiri atas patik dohot uhum
(aturan dan hukum) sehingga dapat menjadi aturan baku yang membatasi hidup
orang Batak agar lebih terarah.
7. Maruhum (mempunyai hukum). Sama seperti aturan, hukum yang ada dalam adat
Batak ini dibuat sebagai ketentuan yang mengikat bagi orang Batak, sehingga
lebih menaati setiap aturan yang berlaku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Dari ketujuh poin falsafah hidup orang Batak tadi memperlihatkan bahwa hidup orang
Batak begitu erat dengan segi adat dan budaya yang dipegangnya. Itulah mengapa bahkan
hingga di tanah perantauan pun, orang Batah masih kukuh memegang kekerabatan dan
menyelenggarakan acara- acara adat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Warnaen (2002: 185) terhadap tujuh
golongan etnis yang tinggal di luar Jakarta tentang orang Batak adalah menghasilkan
stereotip sebagai berikut: kasar, emosional, cepat marah, ikatan kelurga kuat, kepala batu, dan
agresif.
Berkaitan dengan stereotip tersebut, Litbang Kompas pada Minggu (3/2/2013) juga
pernah mengadakan jajak pendapat mengenai suku Batak. Dari jajak pendapat ini diperoleh
hasil bahwa stereotip yang melekat pada orang Batak adalah jujur dan terbuka, gigih dan
pandai bicara, serta memiliki solidaritas budaya yang kuat.
Media massa lokal memegang peranan penting dalam penyebaran informasi di Indonesia.
Terlebih sejak munculnya otonomi daerah, maka pemerintah daerah diperkuat
keberadaannya. Demikian pula hal nya dengan media- media di daerah, maka kebutuhan
informasi lokal seputar kedaerahan tidak bisa dipenuhi seluruhnya oleh media nasional.
Otoritas media lokal sejak era reformasi memungkinkan untuk memperbesar jumlah media
lokal di Indonesia, bahkan setiap kota atau kabupaten dimungkinkan untuk memiliki media
sendiri. Pers daerah saat ini telah bangkit hingga memiliki fungsi dan peran yang sama
dengan pers nasional, sama seperti masa kolonialisme dulu yang sempat muncul media-
media kedaerahan. Media lokal ini menjadi suatu memiliki nilai tambah karena produk
informasi utamanya merupakan muatan informasi lokal. Muatan lokal ini adalah dasar bagi
pengembangan isu- isu lokal daerah tertentu sehingga dapat menjadi kebutuhan informasi
lokal pada suatu daerah (Sutrisno, 2011: 87).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Majalah HORAS merupakan salah satu media yang bersifat kedaerahan. Majalah Horas
yang pertama kali diterbitkan di Jakarta ini intens membahas orang Batak. Setelah berdiri
selama kurang lebih 11 tahun, majalah HORAS mampu bertahan sebagai salah satu media
yang khusus menuliskan berita dan informasi seputar orang Batak dan budaya Batak,
meskipun banyak diantara media- media sejenis yang justru malah tak mampu bertahan dan
akhirnya gulung tikar.
Meski mayoritas konten dalam majalah HORAS membahas mengenai suku Batak,
masyarakat Indonesia pada umumnya juga turut menjadi sasaran pembaca majalah ini.
Apalagi, majalah HORAS didirikan di Jakarta, ibukota Republik Indonesia yang memang
terkenal sebagai kota yang penuh dengan berbagai macam latar- belakang budaya orangnya.
Maka mau tak mau, majalah HORAS juga memiliki strategi tertentu untuk terus bertahan di
tengah pluralisme masyarakat Indonesia, namun tetap fokus membahas mengenai suku Batak
pada khususnya.
Sebagai salah satu budaya yang ada di Indonesia, budaya Batak tentu harus bisa hidup
berdampingan di antara suku bangsa lainnya di Indonesia. Tentulah hal ini bukan sesuatu
yang mudah, mengingat banyaknya hambatan dalam proses komunikasi antara orang yang
berbeda latar belakang budayanya. Apalagi dengan adanya stereotip yang melekat dalam
penilaian suku lainnya terhadap suku Batak.
Hal inilah yang kemudian memancing rasa keingintahuan penulis untuk meneliti
mengenai konten pemberitaan tentang orang Batak maupun suku Batak yang ada di majalah
HORAS. Dengan tujuan meneliti bagaimana cara orang Batak itu sendiri dalam membingkai
dirinya sendiri (sebagai orang Batak) dalam media cetak. Sebagai sebuah berita, tentulah
majalah HORAS juga harus memperhatikan kaidah- kaidah jurnalistik yang berlaku.
B. Rumusan Masalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimanakah Majalah HORAS periode April- Juni 2013 membingkai pemberitaan
seputar orang Batak?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan Rumusan Masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian
yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana Majalah HORAS membingkai pemberitaan mengenai
orang- orang Batak
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dijabarkan diatas maka dapat diperoleh manfaat
penelitian antara lain sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitian seputar media dan juga
seputar budaya Batak melalui pemberitaan yang ada di Majalah HORAS
2. Manfaat Praktis
Dari penelitian ini dapat diperoleh latar belakang ideologi yang menjadi dasar sebuah
media untuk menuliskan beritanya.
E. Tinjauan Pustaka
1. Teori Komunikasi Antarbudaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Saat membahas komunikasi antarbudaya, maka ada dua aspek yang dipelajari secara
bersamaan, yaitu komunikasi dan budaya. Saat mempelajari budaya, maka seseorang akan
melalui komunikasi, begitupun sebaliknya, saat mempelajari komunikasi maka komunikasi
merupakan refleksi dari budaya itu sendiri. Keduanya tidak dapat dipisahkan, dan dijelaskan
manakah yang menjadi topik utama dan yang mana hanya sekedar topik pengikutnya
(Samovar, 2010: 25).
Kebudayaan sendiri diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran,
struktur aturan, kebiasaan, nilai, pemrosesan informasi dan pengalihan pola- pola konvensi
pikiran, perkataan dan perbuatan atau tindakan. Keseluruhan unsur ini melalui proses
pembagian yang dibagikan kepada para anggota yang ada dalam suatu sistem sosial dan
kelompok sosial dalam suatu masyarakat (Liliweri, 2001: 4).
Budaya memiliki sebuah inti yang penting untuk dipelajari, yaitu sebuah pandangan yang
digunakan dalam mempermudah hidup. Budaya mengajarkan cara untuk beradaptasi dengan
lingkungannya. Triandis mengungkapkan bahwa sebuah budaya memiliki fungsi untuk dapat
memperbaiki cara anggota kelompok dari sebuah budaya untuk mampu beradaptasi dengan
ekologi tertentu. Adaptasi ini juga membutuhkan pengetahuan yang dimiliki oleh masing-
masing individu sehingga dapat berperan aktif dalam lingkungan sosialnya (Samovar, 2010:
28).
Sementara itu, komunikasi dapat diartikan sebagai proses peralihan dan pertukaran
informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem kehidupan manusia
dan lingkungannya. Proses inilah yang dilakukan dengan simbol-simbol bahasa verbal
maupun non verbal yang dapat dipahami bersama (Liliweri, 2001: 5).
Berlo dalam Liliweri (2001:1) menjelaskan bahwa komunikasi akan berhasil bila manusia
memperhatikan faktor- faktor SMCR, yaitu: sources, message, channel, receiver. Faktor-
faktor yang menentukan (source) dan penerima (receiver) ialah kemampuan berkomunikasi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
sikap, pengetahuan, sistem sosial, dan kebudayaan. Pada pesan inilah perlu juga diperhatikan
isi, perlakuan pesan, dan perlambangan; sedangkan pada saluran (channel) faktor yang
perlu diperhatikan tergantung pada pilihan saluran yang sesuai. Semua tindakan komunikasi
yang diungkapkan Berlo tersebut berasal dari konsep kebudayaan. Dari kebudayaanlah, para
anggota masyarakat belajar untuk melaksanakan tindakan- tindakan tersebut.
Pengertian komunikasi antarbudaya secara keseluruhan dapat diartikan dengan
pembagian pesan yang berbentuk informasi dari seorang yang berkebudayaan tertentu kepada
seorang yang berkebudayaan lain melalui saluran tertentu dan menghasilkan efek tertentu
(Liliweri, 2003: 9).
Dari pengertian komunikasi antarbudaya tersebut menerangkan bahwa ada penekanan
pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses
komunikasi antarbudaya. Komunikasi antar budaya memang mengakui dan mengurusi
permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar
pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi
individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk
melakukan interaksi.
Seperti dikutip dalam Liliweri (2001: 160), Porter dan Samovar menuliskan perlunya
memahami hubungan antara kebudayaan dengan komunikasi untuk dapat mengkaji
komunikasi antarbudaya. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik yang
tak dapat dipisahkan. Tidak ada batasan antara budaya dan komunikasi, seperti yang
dinyatakan Hall, “Budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya”. Dengan kata
lain, saat membahas budaya dan komunikasi sulit untuk memutuskan mana yang menjadi
suara dan mana yang menjadi gemanya. Alasannya adalah ketika kita mempelajari budaya
anda melalui komunikasi dan pada saat yang sama komunikasi merupakan refleksi budaya
anda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Dengan pengaruh budaya yang ada inilah manusia dapat belajar untuk berkomunikasi
serta memandang dunia dengan kategori- kategori, konsep- konsep, dan label- label yang
dihasilkan budayanya.
Komunikasi manusia terikat oleh budaya, sebagaimana budaya berbeda antara yang satu
dengan yang lainnya maka praktek dan perilaku komunikasi individu- individu yang diasuh
dalam budaya- budaya tersebut pun akan berbeda pula (Liliweri, 2001: 160).
Unsur- unsur proses komunikasi antarbudaya, antara lain:
A. Komunikator
Komunikator dalam proses komunikasi antarbudaya adalah pihak yang
memprakarsai terjadinya komunikasi, dimana ia mengawali pengiriman pesan tertentu
kepada pihak lain yang disebut dengan komunikan. Dalam komunikasi antarbudaya,
biasanya yang terjadi adalah si komunikator berasal dari latar belakang kebudayaan
tertentu, misalnya kebudayaan A yang berbeda dengan komunikan yang berasal dari
kebudayaan.
B. Komunikan
Komunikan dalam proses komunikasi antarbudaya adalah pihak yang menerima pesan
tertentu, ia menjadi tujuan atau sasaran komunikasi dari pihak lain (komunikator). Dalam
komunikasi antarbudaya, seorang komunikan berasal dari latar belakang sebuah
kebudayaan tertentu. Dalam proses komunikasi antarbudaya, komunikan diharapkan
mempunyai perhatian penuh untuk merespon dan menerjemahkan pesan agar tujuan
komunikasinya dapat tercapai.
C. Pesan atau Simbol
Pesan yang dimaksudkan berisi pikiran, ide atau gagasan, perasaan yang dikirim
komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol. Simbol adalah sesuatu yang
digunakan untuk mewakili maksud- maksud tertentu, misalnya dalam hal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
diucapkan atau ditulis, atau bisa juga simbol non verbal yang diperagakan melalui gerak-
gerak tubuh atau anggota tubuh, warna, artefak, gambar, pakaian dan lain- lain yang
semuanya harus dipahami secara konotatif. Sebuah pesan juga perlu mendapat perlakuan
berkaitan dengan penjelasan atau penataan isi pesan oleh komunikator.
D. Media
Media merupakan tempat, saluran yang dilalui oleh pesan atau simbol yang dikirim
melalui media tertulis juga media massa (cetak) seperti majalah, surat kabar dan buku,
juga media massa elektronik. Namun terkadang dalam komunikasi antarbudaya biasanya
pesan- pesan tersebut dikirim tidak melalui media, biasanya komunikasi terjadi melalui
tatap muka.
E. Efek atau Umpan Balik
Umpan balik merupakan tanggapan balik dari komunikan kepada komunikator atas
pesan- pesan yang telah dikirimkan kepadanya. Tanpa adanya umpan balik atas pesan
tersebut, maka komunikator dan komunikan tidak dapat saling memahami ide, pikiran,
dan perasaan yang terkandung dalam pesan tersebut.
F. Suasana (Setting dan Context)
Setting of communication yakni tempat atau ruang, dan waktu serta suasana (sosial,
psikologis) ketika komunikasi antarbudaya berlangsung. Suasana itu berkaitan dengan
waktu yang tepat untuk bertamu atau berkomunikasi, sedangkan tempat untuk
berkomunikasi, kualitas relasi (formalitas, informalitas) yang berpengaruh terhadap
komunikasi antar budaya.
G. Gangguan (Noise atau interference)
Gangguan dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu yang menjadi
penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan, atau hal
yang paling fatal adalah mengurangi makn yang ada dalam pesan antarbudaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Gangguan komunikasi yang bersumber dari komunikator dan komunikan misalnya
karena adanya perbedaan status sosial dan budaya, latar belakang pendidikan dan
pengetahuan terhadap tema yang dibicarakan, dan juga ketrampilan berkomunikasi
(kemampuan untuk memanipulasi pesan). Gangguan yang berasal dari pesan misalnya
perbedaan pemberian makna atas pesan yang disampaikan secara verbal, perbedaan tafsir
pesan nonverbal. Sementara itu gangguan dari media atau saluran diakibatkan karena
salah memilih media yang tidak sesuai dengan konteks komunikasi.
Sementara itu De Vito (dalam Liliweri 2003; 25) menggolongkan tiga macam gangguan,
yaitu:
- Fisik, berupa interfensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain, misalnya desingan
mobil yang lewat, dengungan komputer, dll.
- Psikologis, interfensi kognitif atau mental, misalnya prasangka dan bias pada sumber-
penerima-pikiran yang sempit; dan
- Semantik, berupa pembicara dan pendengar memberi arti yang berlainan, misalnya orang
berbicara dengan bahasa yang berbeda, dan menggunakan istilah yang terlalu rumit untuk
dipahami pendengarnya.
Ada 4 pokok bahasan dari komunikasi antarbudaya, yaitu: keunikan dari setiap individu,
bahaya stereotip, perlunya objektivitas, dan komunikasi tidak selalu dapat mengatasi masalah
(Samovar, 2010: 49).
1. Keunikan Individu
Di dunia ini, tidak pernah ada seorangpun yang benar- benar mirip dengan seorang
lainnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh karena tingkah laku seseorang terbentuk dari
banyak sumber dan budaya. Kedua faktor inilah yang juga membentuk kepribadian
seseorang. Ada hubungan yang saling mempengaruhi antara kepribadian dan budaya,
namun jika hanya bergantung pada budaya, ada pula permasalahannya. Hooker (dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Samovar, 2010: 50) menyebutkan bahwa kepribadian didapat dari pengaruh kuat sebuah
budaya. Meski demikian, kepribadian itu hampir dapat bertumbuh dalam budaya bawaan
yang bahyanya jika terlalu ditekan pada karakter nasional.
2. Stereotip
Stereotip adalah sejumlah asumsi yang tidak tepat mengenai sekelompok orang dalam
sebuah budaya yang dibuat oleh orang yang berbeda latar kebudayaannya. Stereotip
muncul saat mulai ada penyamarataan sekelompok orang saat menjelaskan budayanya.
Pemahaman sederhana mengenai konsep stereotip adalah stereotip berasal dari kata
Yunani, stereos artinya kaku dan tupos yang berarti jejak (Susetyo, 2010: 20). Verdeber
(1986) menjelaskan definis stereotip sebagai sikap dan karakter yang dimiliki oleh
seseorang untuk menilai orang lain semata- mata berdasarkan pengelompokan kelas atau
pengelompokan yang dibuatnya sendiri (Liliweri 2001: 176).
Sementara itu, Gerungen (1988) menjelaskan stereotip yaitu merupakan suatu
gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat- sifat dan watak pribadi orang
golongan lain yang umumnya bercorak negatif. Stereotip tentang orang lain sudah
terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk
bergaul sewajarnya dengan orang- orang lain yang dikenakan prasangka itu (Liliweri,
2001: 177).
Stereotip merupakan sebuah gambaran yang digeneralisasi atas golongan lain
berdasarkan karakteristik yang dimiliki oleh orang tersebut. Baron dan Paulus (dalam
Anugrah, 2008: 156) mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan
stereotip. Pertama, dikarenakan manusia cenderung membagi dunia ini ke dalam dua
kategori yaitu „kita dan mereka‟. Karena kekurangan informasi mengenai „mereka‟,
maka kita cenderung menyamaratakan mereka semua, dan menganggap mereka sebagai
homogen. Kedua, stereotip bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
kognitif sedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan kata lain, stereotip
menyebabkan persepsi selektif tentang orang- orang dan segala sesuatu di sekitar kita.
Konsep dasar stereotip yang diajukan Lippmann adalah konsep pseudo environment
(lingkungan palsu) yaitu bahwa stereotip merupakan gambaran yang hanya ada di benak
kepala kita tentang dunia sekitarnya. Dalam diri tiap orang terdapat cetakan kognitif
untuk mereproduksi gambaran mengenai orang- orang atau kejadian dalam pikirannya.
Manusia tidak memberikan tanggapan langsung terhadap realitas objektif tetapi
mengolahnya terlebih dahulu di dalam pikiran, karena dunia nyata terlalu besar dan
kompleks untuk dapat dikenali. Oleh karena itu, mengenal dunia nyata tersebut
diperlukan gambaran yang lebih sederhana di dalam pikiran seseorang. Gambaran
tersebut bisa benar atau salah atau gabungan antara benar dan salah. Jadi stereotip
merupakan beberapa kebiasaan tertentu dalam kognisi yang mengklasifikasikan dan
mengabstraksi fakta secara tidak benar (Susetyo, 2010: 20-21).
Susetyo (2002) menjelaskan stereotip terjadi karena ketidakmampuan manusia
mempersepsikan atau menangkap heterogenitas kelompok lain. Meski demikian ,seiring
dengan meningkatnya mobilitas serta peningkatan interaksi antarkelompok etnis di
Indonesia, maka stereotip yang merupakan generalisasi yang tidak akurat tentang sifat-
sifat kelompok lain dapat lebih dikoreksi. Pada kenyataannya, semakin tajam
permusuhan antarkelompok, stereotip akan semakin berkembang dalam intensitas negatif
yang semakin menguat (Susetyo, 2010:14).
Ada empat alasan alasan mengapa stereotip dapat menghambat proses komunikasi
antarbudaya, yaitu:
a. Stereotip merupakan sejenis penyaring yang dapat menyediakan informasi yang
konsisten dengan informasi yang dipercayai oleh seseorang. dengan ini, suatu hal
yang benar tidak memiliki kesempatan untuk diketahui.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
b. Pengelompokan tersebut bukanlah yang menjadi penyebab masalah antarbudaya
melainkan asumsi bahwa semua informasi spesifik mengenai suatu budaya
diterapkan pada semua orang dari kelompok tertentu.
c. Stereotip dapat menghalangi keberhasilan seseorang sebagai komunikator karena
stereotip biasanya berlebih- lebihan, terlalu sederhana, dan terlalu
menyamaratakan.
d. Stereotip jarang berubah, karena stereotip biasanya berkembang sejak awal
kehidupan dan terus berulang dan diperkuat dalam suatu kelompok, stereotip
berkembang setiap waktu. (Samovar, 2010: 205, Edisi Indonesia)
3. Objektivitas
Kata objektif berarti adil, tidak berprasangka buruk, tidak dipengaruhi emosi juga
prasangka pribadi Dalam proses komunikasi dengan orang lain, tentu sulit untuk
menyingkirkan prasangka pribadi. Apalagi dalam proses komunikasi antarbudaya kita
mendekati dan menanggapi budaya lain. Biasanya yang menjadi tolok ukur dalam
percakapan antarbudaya ini adalah budaya yang kita anut sendiri. Hal inilah yang
dinamakan etnosentrime, yaitu menjadikan budaya sendiri sebagai tolok ukur penilaian
terhadap budaya lain.
4. Komunikasi tidak selalu dapat memecahkan masalah
Proses komunikasi seringkali dianggap mampu menyelesaikan persoalan
ketidakenakan dalam perasaan dengan jalan klarifikasi atau mengadakan dialog antar
keduabelah pihak. Kenyataannya, komunikasi tak selalu dapat menyelesaikan semua
permasalahan dalam ranah interpersonal. Tak jarang pula, justru mula permasalahan ada
karena komunikasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Dalam kebudayaan, media memainkan peranan penting. Media dapat menjadi salah satu
sumber informasi akan fakta- fakta yang diterima oleh khalayaknya. Dalam jurnal
Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012, Analisis Framing
Sebuah Konflik Antarbudaya di Media (Widiastuti, 2011) disampaikan bahwa:
Dalam masyarakat yang semakin individual dan heterogen ini, media memainkan
peranan penting sebagai salah satu atau bahkan satu- satunya sumber sosialisasi dan
realitas sosial di masyarakat. Sementara realitas yang disampaikan oleh media berasal
dari sumber- sumber komunikasi yang secara nyata mengedepankan realitas
subyektifnya. Alih- alih membentuk realitas obyektif di masyarakat, media malahan
memelihara dan menginstitusionalkan kenyataan subyektif berdasarkan stereotip yang
berkembang di masyarakat, dan bukan yang obyektif; kenyataan sebagaimana yang
dipahami dalam kesadaran individu dan bukan kenyataan sebagaimana yang ditentukan
kelembagaan (masyarakat).
Selain hal yang telah disebutkan diatas, peranan penting media dalam komunikasi
kehidupan masyarakat multietnis juga berfungsi untuk menghasilkan konstruksi yang
melibatkan hal- hal seperti etnis atau suku bangsa. Hal ini seperti disebutkan oleh Pawito
pada Media Massa dalam Masyarakat Pluralis dalam jurnal Ilmu Komunikasi vol. 6 no. 1
tahun 2008, bahwa:
Media massa dalam masyarakat pluralis (secara etnis dan budaya) menghadapi
beberapa tantangan, baik dalam hal penyebarluasan informasi kepada khalayak (berita)
maupun dalam hal penumbuhan citra (image building). Dengan kedua muatan ini
(informasi dan citra) media massa bekerja dan mengembangkan wacana. Dalam
hubungan ini pengembangan wacana oleh media massa dapat diamati melalui cara- cara
bagaimana bentuk- bentuk isi media seperti berita, film, soap opera, musik, sinetron, dan
laporan perjalanan dikemas ke dalam konstruksi tertentu yang dalam konteks masyarakat
pluralis melibatkan berbagai persoalan penting seperti suku bangsa, budaya, dan agama.
Media massa memegang kendali atas informasi yang diperoleh khalayak. Media massa
melalui kontennya pun mengemas sebuah konstruksi tentang budaya yang berperan penting
untuk menyebarluaskan pesan serta menumbuhkan gambaran tertentu. Media massa di
Indonesia, selayaknya mampu membantu usaha- usaha persatuan dan kesatuan di Indonesia.
2. Jurnalistik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Jurnalistik merupakan salah satu hal yang berkaitan erat dengan profesi kewartawanan.
Jurnalistik dapat diartikan sebagai sebuah pengetahuan mengenai dunia berita serta
mempelajari segala hal tentang suatu kejadian, peristiwa, hingga sebuah gagasan yang
bertujuan untuk dapat diterima oleh khalayak umum dan heterogen (Barus, 2010:1).
Kata „jurnalistik‟ ataupun „jurnalisme‟ berasal dari kata journal dari bahasa Inggris, atau
du jour dari bahasa Prancis. Arti kedua kata tersebut adalah catatan harian atau catatan
tentang kegiatan sehari- hari. Kedua kata dari Inggris dan Prancis tersebut sebenarnya berakar
dari bahasa Latin diurnalis yang bermakna tiap hari atau harian. Maka tidak salah jika
menyebut surat kabar harian sebagai salah satu produk jurnalistik yang tepat melihat dari
definisi tersebut (Barus, 2010: 2).
Sementara itu, Sumadiria (2006: 3) menyebutkan bahwa jurnalistik adalah kegiatan yang
mempersiapkan, mencari, mengolah, menyajikan serta mengabarkan sebuah berita kepada
khalayak ramai dengan menggunakan media dalam waktu secepat mungkin segera setelah
peristiwa tersebut terjadi.
Dalam sebuah negara demokratis, hadirnya jurnalisme sangat diperlukan. Mengutip
pernyataan MacDougall dalam bukunya Interpretative Reporting menyebutkan jika
jurnalisme bermakna kegiatan mengumpulkan berita, mencari fakta- fakta yang ada di
lapangan, hingga sampai ke tahap pelaporan peristiwa (Kusumaningrat, 2009: 15).
Setiap perubahan yang terjadi dalam suatu negara memerlukan jurnalisme. Baik dalam
segi ekonomi, politik, sosial, ataupun budaya haruslah ada orang yang mencari kebenaran
tentang sebuah peristiwa, menyusunnya menjadi sebuah berita, dan kemudian
menyampaikannya ke hadapan masyarakat melalui media.
Orang- orang yang menyampaikan berita tersebut kepada khalayak disebut pers. Agar
apa yang disampaikan oleh pers tersebut benar- benar dapat dipertanggungjawabkan, maka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
pada tahun 1956 disusunlah The Hutchins Commision di Amerika Serikat. Kelima poin The
Hutchins Commision yang dikutip dari Kusumaningrat (2009: 3) adalah:
1. Media harus menyampaikan sebuah berita yang cerdas dalam hal konteksnya
mampu memberikan makna serta menyajikan peristiwa sehari- hari yang dapat
dipercaya dan dituturkan secara lengkap.
2. Media memegang posisi sebagai forum pertukaran komentar dan kritik di tengah-
tengah khalayaknya.
3. Media harus mampu menghadirkan gambaran yang benar guna mewakili kelompok
konstituen yang ada di masyarakat.
4. Media harus menyajikan serta mampu mendeskripsikan nilai dan tujuan yang
dianut oleh masyarakat.
5. Media harus punya akses penuh terhadap informasi yang sewaktu- waktu bisa
menjadi tersembunyi.
Menurut Sumadiria (2006: 4) jurnalistik dapat dibagi ke dalam 3 bagian besar
bedasarkan bentuk dan tata cara kelolanya, yaitu:
1. Jurnalistik Media Cetak
Jurnalistik media cetak ini dibutuhkan dua faktor yaitu verbal dan visual. Faktor
verbal meliputi kemampuan seseorang dalam menyusun dan memilih kalimat untuk
dirangkai menjadi sebuah berita. Sementara faktor visual memerlukan kemampuan
untuk mengatur tata letak, menata, dan merancang desain dari bentuk perwajahan
sebuah terbitan.
Kedua faktor tersebut sangat menunjang konten berita yang akan kita sampaikan
kepada pembaca. Dalam jurnalistik, informasi yang disampaikan tidak hanya harus
benar, akurat, dan tepat namun juga harus mampu menarik perhatian pembaca.
2. Jurnalistik Media Elektronik Auditif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Jenis jurnalistik ini disebut juga jurnalistik radio siaran. Jurnalistik media
elektronik auditif dipengaruhi oleh faktor verbal, teknologikal dan fisikal. Faktor verbal
berkaitan dengan cara menyusun dan merangkai kata menjadi sebuah kalimat yang
padu sehingga mampu dipahami dengan baik oleh pembaca. Teknologikal terkait
dengan hal- hal yang bersifat teknologi yang menunjsng sinyal radio sehingga
siarannya dapat didengar dengan baik dan jelas oleh pendengarnya. Fisikal
berhubungan dengan kondisi fisik dan kemampuan khalayak untuk bisa menangkap
makna dari siaran dan informasi yang disampaikan.
3. Jurnalistik Media Elektronik Audiovisual
Jurnalistik media elektronik audiovisual disebut juga sebagai jurnalistik televisi
siaran. Jurnalistik jenis ini meliputi keseluruhan faktor dari verbal, teknologikal,
dramatikal, dan visual. Segi verbal yaitu cara merangkai kata- kata sehingga mampu
dicerna maknanya dengan baik oleh pembaca. Segi teknologikal meliputi kemampuan
pancaran sinyal siaran serta kualitas tayangan televisi. Segi visual berkaitan dnegan
gambar yang ditayangkan pada televisi yang mampu menarik perhatian penonton. Serta
segi dramatikal yaitu meliputi hal- hal yang bersifat dramatis dari gambar- gambar yang
disajikan dengan simultan.
Andreas Harsono (2010: 16) merangkum sembilan elemen jurnalisme yang
diambilnya dari buku he Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and
The Public should Expect (2011) karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Kesembilan
elemen jurnalisme ini adalah:
a. Kebenaran. Kebenaran bisa dipandang berbeda oleh setiap orang. Maka kebenaran
yang dimaksud dalam hal ini adalah kebenaran fungsional, bukan kebenaran secara
filosofis. Kebenaran fungsional inilah yang ingin dicapai oleh masyarakat luas
dengan memperhatikan sebuah prosedur. Kebenaran ini terbentuk perlahan- lahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
dan sehari demi sehari, hingga akhirnya terbentuklah kebenaran yang lebih lengkap
lagi.
b. Loyalitas wartawan. Sejak tahun 1980, wartawan di Amerika mulai banyak yang
bergabung dengan dunia bisnis. Hal ini bisa menggoyahkan kepentingan mereka di
dunia bisnis ketimbang tetap bergelut dalam jurnalisme. Hal ini mengkhawatirkan
mengingat jika semakin banyaknya wartawan berbisnis maka hal ini akan semakin
menghapus kepentingan mereka untuk melayani masyarakat melalui medianya.
c. Disiplin dalam verifikasi. Dengan sikap disiplin ini seorang wartawan dapat
melakukan penyaringan terhadap berbagai isu ataupun manipulasi sehongga
mampu mendapatkan data yang benar- benar akurat.
d. Independensi wartawan. Seorang wartawan diperbolehkan mengemukakan
pendapatnya jika ditunagkan dalam rubrik opini, bukan dalam sebuah berita.
e. Memantau kekuasaan dengan melakukan investigasi. Dengan investigasi yang
dilakukan ini, maka seorang wartawan akan dapat menemukan asal muasal
terjadinya sebuah kasus dan dapat menguak sebuah rahasia yang sebelumnya masi
htersimpan dari ranah publik. Memantau kekuasaan ini dilakukan untuk turut
menegakkan demokrasi.
f. Jurnalisme sebagai forum publik. Dengan adanya media, maka sedikit demi sedikit
rasa keingintahuan masyarakat akan suatu informasi bisa terpenuhi. Pemenuhan
rasa ingin tahu ini terkadang memunculkan pertanyaan baru lagi di benak
masyarakat atau mereka ingin ikut memberikan saran maupun kritik terhadap
fenomena baru yan gsedang berkembang. Dari sinilah media hadir sebagai sarana
penampung aspirasi rakyat.
g. Jurnalisme harus menarik dan relevan. Tulisan jurnalistik yang mampu memikat
serta relevan ini seringkali bertolak belakang satu dengan lainnya. Tulisan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
menarik terkadang sudah tak relevan lagi untuk diangkat, sementara tulisan yang
relevan seringkali justru tak menarik untuk dibaca, dan tidak melibatkan emosi
pembaca. Menulis sebuah narasi yang mendalam namun sekaligus memikat
sebenarnya butuh waktu yang lama, sementara waktu tak bisa diulur terlalu lama
dalam sebuah bisnis media.
h. Berita harus proporsional dan komprehensif. Banyak sekali harian yang memuat
berita dengan judul yang berlebihan hanya demi menarik pembaca. Sayangnya,
judul yang bombastis ini seringkali tak proporsional dalam pengemasan beritanya.
Cara seleksi berita yang tepat bisa menghasilkan sebuah pemberitaan yang
proporsional dan komprehensif.
i. Wartawan harus mau mendengarkan kata hatinya. Dari hal ini diharapkan
wartawan bisa menerapkan kode etik bagi dirinya sendiri. Seorang wartawan
baiknya mempunyai pertimbangan sendiri akan berita ataupun kegiatan jurnalistik
yang ia lakukan apakah sudah memenuhi etika dan juga bertanggung jawab.
Dalam profesinya, seorang wartawan harus melakukan tahap pengecekan mandiri
terhadap tulisannya sendiri. Dalam proses penulisan berita, wartawan harus menyeleksi hal-
hal tertentu yang akan ditulisnya. Seleksi konten ini dapat disesuaikan bergantung pada
beberapa hal. Ross Tapsell menuliskan dalam Asian Studies Review sebagai berikut:
An examination of the precise features of self-censorship and its historical legacy in
Indonesia is crucial for understanding contemporary Indonesian journalism. To some
extent, all journalists self- censor their reports. A crucial part of journalistic practice is
to provide some details and omit others. This can depend on limitations of time, space,
clarity, editorial demands and views on audience or reader interests.
Tapsell menyebutkan bahwa sistem jurnalisme kontemporer di Indonesia mayoritas telah
melakukan self-censorship pada berita- berita yang mereka tulis. Bahkan dalam jurnalistik,
self-censorship ini merupakan sebuah hal yang krusial mengingat dalam menulis berita,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
seorang jurnalis dibatasi oleh beberapa hal, seperti waktu, ruang, kejelasan, tuntutan editorial
serta minat dari khalayaknya.
3. Berita
Berita adalah salah satu unsur utama dalam sebuah dunia jurnalisme. Dengan adanya
berita, maka kehidupan jurnalisme bisa berdenyut. Bahkan banyak yang menyimpulkan
bahwa kehidupan jurnalisme adalah dari hasil proses transaksi jual beli berita.
Berita merupakan sebuah laporan yang ditayangkan dalam waktu yang cepat. Isinya
seputar fakta ataupun ide-ide berupa inovasi yang disajikan dengan benar, menarik, dan
dianggap penting oleh mayoritas khalayaknya. Berita ini biasanya ditayangkan dengan
menggunakan media massa seperti koran, televisi, radio, atau internet (Sumadiria, 2006: 65).
Berita dapat diartikan sebagai peristiwa, kejadian, gagasan, atau fakta yang bersifat
terkini, menarik serta memiliki nilai kepentingan tinggi yang disampaikan kepada khalayak
umum. Oleh karena itu, sebuah fakta yang menarik itu tidaklah termasuk berita jika hanya
dibiarkan terjadi begitu saja tanpa disampaikan kepada masyarakat (Barus, 2010: 27).
Untuk bisa ditayangkan sebagai berita, sebuah tulisan haruslah memiliki nilai berita. Oleh
karena itu, tidak sembarangan tulisan yang dibuat dapat dikategorikan sebagai berita. Tulisan
tersebut tentu harus mengikuti patokan sehingga dalam menulis berita, reporter dapat
memperhatikan nilai berita yang ditulisnya. Nilai berita juga dapat mempermudah kerja
redaksi untuk menyeleksi berita mana yang layak ditampilkan maupun yang harus
disingkirkan (Sumadiria, 2006: 80).
Unsur- unsur yang disebut dengan nilai berita tersebut antara lain (Barus, 2010:33):
a. Penting (significance)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Penting diartikan sebagai berpengaruh bagi kehidupan khalayak ramai. Artinya
kejadian yang diangkat dalam berita haruslah memiliki dampak luas yang dirasakan oleh
banyak orang.
b. Besaran (magnitude)
Artinya sebuah berita haruslah berjumlah besar dan banyak. Besarnya ini bisa dari
nilai, jumlah, angka, atau hitungan yang ada di dalam berita. Besaran ini nantinya juga
menyangkut banyaknya jumlah orang yang mengetahui peristiwa tersebut, sehingga
menarik sebagian besar orang untuk membacanya.
c. Kebaruan (timeliness)
Kebaruan ini berarti berita harus memuat sebuah peristiwa yang benar- benar baru
terjadi atau aktual. Soal waktu adalah hal yang sangat mengikat dalam sebuah berita.
Unsur aktual inilah yang nantinya akan memancing masyarakat umum untuk mencari
berita tersebut, sehingga peristiwa itu masih menjadi topik pembicaraan terbaru di
masyarakat.
d. Kedekatan (proximity)
Kedekatan secara lokasi geografis atau bahkan secara emosional terhadap khalayak
merupakan salah satu nilai berita lainnya. Kedekatan inilah yang akan mudah menarik
perhatian pembaca, apalagi jika berita tersebut memuat hal- hal yang menyangkut
dirinya.
e. Ketermukaan (prominence)
Ketermukaan ini merupakan sebuah hal yang menarik dan mencuat dari sebuah
peristiwa, tempat, atau seseorang. Hal yang terjadi jika menyangkut seseorang yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
termuka atau terjadi di tempat yang sedang menjadi sorotan publik menjadi sebuah berita
yang penting untuk ditulis.
f. Sentuhan manusiawi (human interest)
Hal- hal yang memiliki daya tarik bersifat kemanusiaan juga semakin menambah
tinggi nilai dari sebuah berita. Suatu peristiwa yang sangat menyentuh atau menggugah
perasaan merupakan sebuah berita yang mampu menarik pembaca.
Dalam menulis sebuah berita dibutuhkan pedoman penulisan. Beberapa pakar
menyebutkan teori 5W+1H sebagai rumus penulisan berita. Rumus 5W+1H ini sering pula
disebut sebagai syarat kelengkapan dalam sebuah berita.
Unsur 5W+1H ini meliputi Who, What, Where, When, Why, How (Barus, 2010: 36).
1. Who
Who atau siapa dalam sebuah berita berarti sebuah berita harus mempunyai
unsur „siapa‟. Unsur siapa ini merujuk kepada pelaku atau sumber berita dan bisa
berupa individu, kelompok, atau sebuah institusi.
2. What
Apa yang dikatakan oleh sumber berita merupakan sebuah hal yang penting.
Oleh karena itu, ketika sudah mengetahui siapa orang yang telibat dalam sebuah
peristiwa, sebuah berita harus mampu mengetahui topik yang diberitakannya dari
unsur „apa‟ yang dikatakan oleh narasumbernya.
3. When
Kapan terjadinya sebuah peristiwa juga tak boleh luput untuk dituliskan dalam
sebuah berita. Dari unsur ini dapat diketahui apakah sebuah berita masih hangat atau
tidaknya. Dan unsur waktu itu memenuhi salah satu nilai berita yaitu kebaruan.
4. Where
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Tempat berlangsungnya sebuah peristiwa harus dimuat dalam sebuah berita.
Tempat kejadian ini nantinya akan terkait dengan nilai berita kedekatan (proximity)
karena jarak geografis yang dekat akan memancing rasa keingintahuan penduduk
sekitar untuk mengetahui peristiwa tersebut.
5. Why
Mengapa sebuah peristiwa bisa terjadi, merupakan salah satu pertanyaan yang
juga harus dimuat dalam sebuah berita. Unsur yang satu ini melengkapi sebuah
tulisan dengan runtutan kejadian yang menjadi sebab akibat dari sebuah peristiwa.
6. How
How merupakan unsur yang menceritakan detail sebuah peristiwa, bagian
yang bercerita bagaimana terjadinya peristiwa tersebut.
4. Framing Sebagai Sebuah Teknik Analisis
Analisis framing adalah hasil perkembangan terbaru dari analisis wacana, terutama dalam
hal menganalisis teks media. Framing muncul karena adanya elaborasi berkelanjutan dari
analisis wacana, sehingga munculnya analisis framing yang dianggap lebih mutakhir untuk
mengupas fenomena terkini dari media. Di awal kemunculannya pada tahun 1955 oleh sang
penemu, Beterson, framing dilihat sebagai struktur konseptual atau disebut juga perangkat
kepercayaan yang dapat mengatur sebuah pandangan politik, kebijakan, wacana.
Setelah itu, konsep framing dikembangkan kembali oleh Goffman pada tahun 1974,
seperti disebutkan dalam Journal Of Visual Literacy: The levels of visual framing (Dimitrova
dan Rodriguez, 2011: 48) sebagai sebagai “The idea of framing first appeared in Goffman's
seminal work in 1974, which postulated that the context and organization of messages affect
audiences' subsequent thoughts and actions about those messages.”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Selain itu awalnya framing juga menjadi penyedia patokan kategori standar untuk
menilai sebuah realitas. Sementara mulai belakangan ini, dalam penerapannya di ilmu
komunikasi, analisis framing digunakan dalam proses penyeleksian berita dan juga pemilihan
bagian- bagian khusus dari sebuah realita. Framing merupakan analisis yang digunakan untuk
membedah perspektif atau cara yang dipilih wartawan saat menyeleksi isu yang diangkat
menjadi berita. Dari cara pandang tersebut akan diketahui nantinya fakta apa yang ditekan
dan yang mana yang lebih menonjol. Dari situ pula akan terlihat kemana arah berita akan
dibawa oleh si wartawan (Sobur 2006: 162).
Menurut Deddy Mulyana, framing digunakan sebagai cara menganalisis konteks sosial-
budaya yang hadir dalam sebuah wacana, terutama di dalam relasi antara berita dan ideologi.
Relasi antara berita dan ideologi yaitu proses ataupun mekanisme tentang bagaimana cara
berita mampu membangun, merancang, mereproduksi, mengubah, hingga bahkan sampai ke
taraf meruntuhkan sebuah ideologi.
Selain itu, Dedy Mulyana juga mengungkapkan bahwa framing dapat melihat siapa
dalang dibalik sebuah hierarki kekuasaan, pihak yang diuntungkan maupun yang dirugikan,
siapa yang ditindas atau yang tertindas, tindakan politik yang konstitusional maupun
inkonstitusional, hingga kebijakan publik yang seperti apa yang harus didukung atau
sebaliknya (Eriyanto, 2002: xiv).
Scheufele dan Tewksbury (2007:11) dalam Journal of Communication yang berjudul
Framing, Agenda Setting, and Priming: The Evolution of Three Media Effects Models
mengungkapkan bahwa framing ada berdasarkan asumsi dari hasil sebuah isu yang diberi
sebuah penekanan dalam sebuah berita dan dipahami serta berpengaruh bagi khalayaknya.
Pernyataan Scheufele (2009) seperti dikutip Scheufele dan Tewksbury (2007: 12) dalam
tulisan yang sama, yaitu:
Framing therefore is both a macrolevel and a microlevel construct. As a
macroconstruct, the term „„framing‟‟ refers to modes of presentation that journalists and
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
other communicators use to present information in a way that resonates with existing
underlying schemas among their audience (Shoemaker & Reese, 1996). This does not
mean, of course, that most journalists try to spin a story or deceive their audiences. In
fact, framing, for them, is a necessary tool to reduce the complexity of an issue, given the
constraints of their respective media related to news holes and airtime (Gans, 1979).
Frames, in other words, become invaluable tools for presenting relatively complex
issues, such as stem cell research, efficiently and in a way that makes them accessible to
lay audiences because they play to existing cognitive schemas. As a microconstruct,
framing describes how people use information and presentation features regarding
issues as they form impressions.
Framing memiliki mikrolevel dan makrolevel. Pada level mikro, framing menjelaskan
bagaimana orang menggunakan informasi dan isu yang berkesan. Sementara pada tataran
makro, framing menyajikan informasi yang bisa bergema atau menjadi bahan perbincangan
di antara khalayaknya. Scheufele dan Tewksbury menilai framing merupakan sebuah alat
yang tepat untuk menyajikan masalah yang kompleks sehingga mudah diakses oleh khalayak
umum.
Dalam analisis framing, langkah pertama yang dilakukan adalah melihat bagaimana cara
media mengkontruksi realitas. Sebenarnya, wartawan dan media lah orang yang nyata dan
aktif membentuk realitas. Letak realitas tersebut ada dalam konsepsi wartawan, artinya semua
fakta peristiwa yang terjadi diabstraksikan oleh sang wartawan menjadi sebuah peristiwa
yang kemudian ditampilkan kembali kepada khalayaknya (Eriyanto, 2002: 7).
Dengan metode yang digunakan dalam analisis framing, peneliti melihat bagaimana cara
media memahami, memberikan makna, dan membingkai sebuah berita. Dengan demikian,
framing berusaha untuk mengerti, dan memahami makna sebuah teks berita dengan cara
menguraikan bagaimana cara media tersebut membingkai isu (Eriyanto, 2002: 9).
F. METODE PENELITIAN
Metode penelitian digunakan oleh peneliti untuk memberikan kerangka kerja agar dapat
memahami objek yang akan menjadi sasaran penelitian. Dalam penelitian ini metode yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
digunakan ditunjukkan untuk mengetahui bagaimana cara majalah HORAS membingkai
pemberitan seputar orang Batak adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif tidak digunakan
untuk menjelaskan, mengontrol gejala- gejala komunikasi, mengemukakan prediksi atau
untuk menguji teori tertentu, melainkan untuk memberikan pemahaman mengenai
bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi (Pawito, 2007: 35).
Konsep dasar dari penelitian kualitatif ini adalah penelitian yang menghasilkan
prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara
kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif berdasarkan upaya untuk membangun
pandangan yang lebih diteliti rinci dan dibentuk dari rangkaian kata- kata (Moleong,
2010: 6).
Karakteristik penelitian kualitatif menurut Pawito yaitu:
Tabel 1
Karakter Penelitian Kualititatif
Orientasi Orientasi pada kasus dan konteks, seperti sifat unik, lain,
urgent, menakjubkan, atau memilukan.
Tujuan Memberikan gambaran atau pemahaman mengenai gejala
dan membuat teori
Penggunaan
Bukti Empirik
Menekankan pada materi diskursif serta konversi ke
dalam materi diskursif dari materi nondiskursif.
Sifat Analisis Bersifat siklis dan fleksibel dan sangat memperhatikan
konteks yang ada berkenaan dengan kategori yang
dipakai.
Prosedur Bersifat eklektif, subjektif (atau intersbujektif), cenderung
interpretif namun tetap memakai triangulasi
Sumber: Pawito (2007 : 44)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
2. Objek Penelitian
Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Majalah Horas yang
diterbitkan oleh PT Rupaloan. Pemilihan Majalah Horas sebagai objek penelitian
dikarenakan Majalah Horas merupakan media yang bersifat lokal dan kedaerahan.
Penelitian seputar media- media lokal pun sampai saat ini belum terlalu banyak, sehingga
peneliti menganggap karakteristik Majalah Horas ini menarik untuk diteliti.
Pernyataan Siebert & Peterson seperti dikutip oleh Titus Febrianto (2011) dalam
When Local Fights Global: A Case Study of the Survival of Javanese Local-Language
Magazine in Indonesia, menyatakan bahwa terkait bahasa daerah dan budaya merupakan
tanggung jawab sosial yang harus diemban oleh media lokal.
As mentioned the numbers of publications even have been increasing
significantly after reformation. Nevertheless, almost all are merely inclined to
industry and profit oriented businesses. So few, if anything, which are still
withholding what so-called social responsibility of the press ( Siebert&
Peterson, 1956). Language and culture preservation is one of those social
responsibilities that media could undertake. In order to compromise with
market competition, they uphold strategies of maintaining relations with
readers, embracing intervention from outside sources, keeping innovating, and
avoiding speculation. Nevertheless, in the increasingly competitive media
industry, idealism solely is not enough. Further negligence towards those
magazines is an ironic tragedy. Indonesia is prominently rich not only for its
resources, but also cultures. It requires public concerns and collective efforts,
and government support especially, to preserve it.
Konten dari Majalah Horas sebagian besar berisi seputar suku Batak, mulai dari adat,
pelestarian budaya, politik, hingga berita seputar orang- orang Batak. Media lokal seperti
Majalah Horas ini menarik untuk diteliti mengingat unsur budaya dan lokal yang
diangkatnya. Majalah Horas menjawab kebutuhan informasi akan suku Batak di daerah,
juga tidak lepas dari konteks sosial dan budaya seperti yang diharapkan pula oleh
pembacanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
3. Teknik Sampling
Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan teknik purposive sampling.
Penggunaan jenis sampling ini karena sampel dipilih sesuai dengan karakteristik tertentu
yang dianggap mempunyai kaitan dengan karakteristik populasi yang sudah diketahui
sebelumnya (Ruslan, 2006: 157).
Pemilihan teknik sampling ini dikarenakan hanya dibutuhkan sebagian teks berita
yang berkaitan dengan tema penelitian dari keseluruhan teks yang ada dalam periode
terbit majalah tersebut. Pemilihan sampel ini dilakukan untuk memperoleh berita- berita
seputar suku Batak dan yang memiliki tema beragam, sehingga dapat menghasilkan
representasi yang berbeda dari hasil analisis terhadap beragam tema yang muncul.
Pemilihan sampel dilakukan pada Majalah Horas periode April- Juni 2013, dan
kemudian menyeleksi berita- berita seputar suku Batak. Setelah itu berita yang sudah
diseleksi dipilih dan dikategorikan sesuai dengan tema masing- masing berita. Dari hasil
seleksi berita tersebut, maka muncullah sampel berita sebanyak 16 dan terbagi ke dalam
5 kategori tema.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis,yaitu:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Majalah Horas
edisi April- Juni 2013. Pemilihan edisi ini dikarenakan dianggap peneliti cukup
representatif menggambarkan berita keseluruhan Majalah dan objektif. Selain itu,
pada edisi April- Juni 2013 terdapat cukup banyak berita seputar suku Batak dengan
tema yang beragam dan sesuai dengan kriteria seleksi penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kajian
kepustakaan dan wawancara. Untuk kajian pustaka, peneliti menggunakan beragam
buku dan jurnal yang sesuai dengan penelitian ini sebagai acuan dan data penelitian.
Sementara wawancara, dilakukan terhadap pemimpin redaksi Majalah Horas guna
mendapat gambaran umum seputar Majalah Horas.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif digunakan bila data- data yang terkumpul dalam riset adalah
data kualitatif, dan riset kualitatif adalah riset yang menggunakan cara berpikir induktif
yakni cara berpikir yang berangkat dari hal- hal yang khusus (fakta empiris) menuju hal-
hal yang umum (tataran umum). Pada dasarnya, analisis data dalam penelitian
komunikasi kualitatif dikembangkan dengan maksud hendak memberikan makna
terhadap data dengan cara menafsirkan, atau mentransformasikan data ke dalam bentuk-
bentuk narasi yang kemudian mengarah pada temuan yang bernuansakan proposisi-
proposisi ilmiah yang akhirnya sampai pada kesimpulan- kesimpulan final (Pawito,
2007: 101).
Analisis framing merupakan sebuah analisis yang difokuskan pada komentar-
komentar yang bersifat menginterpretasi sebuah konten sebuah teks komunikasi.
Komentar interpretatif tersebut biasanya muncul di sekeliling isi manifes dari sebuah
teks komunikasi (Sobur, 2006: 3).
Konsep dari analisis framing yaitu cara memilih dan meniadakan berita yang akan
ditampilkan. Jadi, ada unsur pemilihan mana berita yang akan ditampilkan, dan berita
mana yang tidak akan ditulis. Oleh karena itu, media sebenarnya tidaklah bebas dalam
memberitakan realitas. Media justru mengkonstruksi kejadian yang ada dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
sedemikian rupa, hingga tak heran jika ada media yang mengorek sebuah berita
berulang-ulang. Satu realitas bisa dijadikan beragam sudut pandang oleh seluruh media.
Media memilih peristiwa mana yang layak diberitakan, dan peristiwa mana yang tak
layak diangkat jadi berita (Eriyanto, 2002: 2).
Framing digunakan untuk mengetahui bagaimana kontruksi realitas sosial yang
dibingkai oleh media. Pengkonstruksian tersebut juga sekaligus pemberian makna
tertentu pada realitas sosial yang terjadi. Inti dari konsep analisis framing adalah
bagaimana cara sebuah media dalam memahami dan menampilkan realitas serta
memaknainya, dan juga dengan cara seperti apa realitas tersebut dihadirkan kepada
khalayak (Eriyanto, 2002: 3).
Seperti yang diutarakan Gamson dalam konsep framingnya yang diambil dari Sudibyo
(1999a:24-27), ada dua pendekatan yang terbagi menjadi pendekatan kultural dan
pendekatan psikologis. Pendekatan kultural merupakan konsep framing yang ada dalam
level kultural dimana frame merupakan batasan wacana dan elemen konstitutif yang
menyebar dalam konstruksi wacana. Sementara pendekatan psikologis ada pada level
individu dengan dasar bahwa setiap individu mampu berpikir dan mengambil keputusan
berdasarkan pertimbangan yang dipikirkan dengan sadar juga mampu berpikir rasional
dan intensional (Sobur, 2006: 172).
Model analisis framing yang digunakan adalah dari Zhongdan Pan dan Gerald M.
Kosicki (selanjutnya disebut dengan Pan dan Kosicki). Model framing dari Pan dan
Kosicki ini mereka definisikan sebagai sebuah proses untuk membuat sebuah pesan
menjadi lebih menonjol dengan memposisikan informasi sedemikian rupa sehingga
perhatian khalayak lebih tertuju pada informasi tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Dalam konsep Pan dan Kosicki, framing terbagi ke dalam empat struktur besar yaitu
sintaksis, skrip, tematik, dan retoris (Eriyanto, 2002: 255).
1. Sintaksis
Sintaksis berarti susunan kata atau frasa dalam sebuah kalimat.Pada sebuah
berita, sintaksis ini merujuk pada bagian- bagian berita. Struktur yang paling umum
yang dkenal dalam sebuah berita ialah yang terdiri dari judul headline, lead, episode,
latar dan penutup atau yang biasa dikenal dengan susunan piramida terbalik.
a. Headline. Dalam sintaksis, headline memegang peranan yang amat penting
karena dalam headline lah terlihat kecenderungan sebuah berita. Headline
memegang kendali atas framing sebuah berita, karena dari situlah ia mampu
memengaruhi sebuah cerita hingga bisa dimengerti. Wartawan menggunakan
headline untuk mengkonstruksi isu dengan cara menonjolkan makna tertentu
melalui pemakaian tanda tanya untuk mengetahui adanya perubahan dan tanda
seru untuk memperlihatkan adanya jarak perbedaan.
b. Lead. Lead biasanya memuat sudut pandang dari sebuah berita sehingga pembaca
dapat mengerti perspektif media dari peristiwa yang diliput.
c. Latar. Pada bagian ini, wartawan dapar mempengaruhi pembaca melalui makna
yang ingin ditampilkannya. Latar yang dipilih dan kemudian dituliskan wartawan
akan menggiring khalayak ke arah mana sesuai yang diinginkan sang wartawan.
d. Kutipan. Cara mengutip dari sumber berita dibangun dengaan objektivitas dimana
ada prinsip keseimbangan dan tidak memihak kepada pihak manapun yang
terlibat dari sebuah peristiwa. Dari cara pengutipan ini, semakin menguatkan
bahwa berita yang dimuat bukan hanya berdasarkan pendapat sang wartawan
saja, melainkan juga dari pihak lain yang mempunyai otoritas dalam kasus
tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
1. Skrip
Skrip merupakan cara wartawan dalam menceritakan fakta- fakta yang
dirangkainya menjadi sebuah berita. Fakta yang ada diambil wartawan dan
kemudian ditempatkan pada bagan berita. Bentuk umum dari struktur skrip
mengandung 5W+1H yaitu who, what, when, where, dan why. Unsur kelengkapan
berita ini menjadi penting dalam framing. Dengan cara bercerita tertentu maka
khalayak diberikan informasi sesuai dengan salah satu unsur 5W+1H yang
diangkat, misalnya ketika unsur who yang dibahas, maka wartawan
menginginkan khalayaknya untuk mengetahui siapa dalang dibalik peristiwa
tersebut.
2. Tematik
Struktur tematik ini dapat dicermati dari gaya menulis wartawan, dengan cara
bagaimanakah sebuah peristiwa dibahas oleh seorang wartawan, dan bagaimana
seorang wartawan menuliskan fakta- fakta yang ada.
3. Retoris
Retoris menggambarkan pilihan gaya atau kata yang digunakan oleh wartawan
untuk menuliskan berita dengan menonjolkan sebuah makna. Biasanya, perangkat
retoris ini dipakai oleh wartawan untuk membentuk citra, dan meningkatkan sisi
tertentu yang ingin ditonjolkan serta meningkatkan gambaran dari sebuah berita.
Struktur retoris ini juga dapat digunakan untuk mengetahui kecenderungan
sebuah berita adalah fakta dan benar, dan tidak hanya sekedar kalimat yang
persuasif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Dalam struktur retoris, unit- unit yang diamati meliputi leksikon, metafor, dan
grafis.
- Leksikon melihat cara pemilihan dan pemakaian kata yang digunakan
wartawan dalam menyampaikan fakta.
- Penggunaan kata kiasan ini disebut juga dengan metafor. Dengan
menggunakan pemilihan kata- kata ini secara ideologis menunjukkan
pemaknaan wartaean terhadap fakta tersebut. Sering pula metafor ini
menggunakan kata- kata yang diperhalus, yang biasanya disebut
eufemisme.
- Grafis yaitu unsur yang ada dalam bagian tulisan yang terlihat dibedakan dari
tulisan lainnya. Misalnya dengan penggunaan tulisan cetak miring, huruf
tebal, penambahan gambar ataupun grafik. Penggunaan jenis huruf yang
dibedakan tadi beserta penambahan unsur penjelas lainnya biasanya
digunakan untuk menekankan pentingnya bagian tersebut kepada khalayak.
Kerangka Framing model Pan dan Kosicki tadi dapat disimpulkan dalam tabel
berikut (Eriyanto, 2002: 256) :
Tabel 2
Kerangka Framing Model Pan dan Kosicki
STRUKTUR PERANGKAT
FRAMING
UNIT YANG
DIAMATI
SINTAKSIS
Cara wartawan menyusun
1. Skema berita Headline, lead, latar
informasi, kutipan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
fakta sumber, pernyataan,
penutup.
SKRIP
Cara wartawan
mengisahkan fakta
2. Kelengkapan berita 5W+ 1H
TEMATIK
Cara wartawan
menuliskan fakta
3. Detail
4. Koherensi
5. Bentuk Kalimat
6. Kata Ganti
Paragraf, proposisi
RETORIS
Cara wartawan
menekankan fakta
7. Leksikon
8. Grafis
9. Metafor
Kata, idiom, gambar/
foto, grafik
Sumber: Sobur, 2001:176
6. Teknik Pengumpulan Data
Pawito (2007: 96) menuliskan bahwa data penelitian komunikasi kualitatif secara
umum berbentuk informasi kategori substantif yang sulit untuk dinumerasikan.
Umumnya data penelitian komunikasi kualitatif ini dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis
yakni: a). Data dari hasil interview, b). Data hasil observasi, c). Data dari dokumen, teks,
atau karya seni yang dinarasikan.
Sementara Moleong (2010: 157) mengungkapkan ada 4 jenis data yaitu: a). Kata- kata
dan tindakan orang yang diamati, b). Sumber data tertulis, c) foto, d). Statistik.
Berdasarkan kajian- kajian tersebut, peneliti mengumpulkan data penelitian, maka
peneliti ini menggunakan teknik sebagai berikut:
a. Dokumen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Mengumpulkan seluruh teks berita Majalah Horas yang terbit pada periode April
hingga Juni 2013. Periode April- Juni 2013 ini merupakan salah satu periode yang
representatif akan kesuluruhan berita- berita di Majalah Horas dan juga terdapat
banyak berita seputar suku Batak yang sesuai dengan kriteria penelitian.
b. Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap pemimpin redaksi sekaligus perintis Majalah
Horas yaitu Ampuan Situmeang.
7. Validitas Data
Lexy J. Moleong (2010: 320) mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif sejak
awal telah ada dasar untuk meningkatkan kepercayaan pada hasil data, dalam hal ini
dinamakan keabsahan data. Pemeriksaan terhadap keabsahan data (validitas) ini
dilakukan untuk mengembalikan sanggahan yang diarahkan pada penelitian kualitatif
yang dianggap tidak ilmiah. Selain itu, pemeriksaan keabsahan data ini merupakan salah
satu unsur yang melekat dalam kesatuan tubuh penelitian kualitatif. Dapat diartikan pula
bahwa jika peneliti melakukan pemeriksaan keabsahan data ini dengan cermat sesuai
dengan teknik yang tepat, maka hasil penelitiannya dapat benar- benar
dipertanggungjawabkan dari berbagai aspek.
Salah satu cara validasi data adalah dengan teknik triangulasi data. Triangulasi
merupakan teknik validitas data ini menggunakan sesuatu yang ada di luar data
penelitian untuk pengecekan atau sebagai bahan pembanding terhadap data penelitian.
Denzin dalam Moleong (2010: 330) menyebutkan ada 4 macam triangulasi, yaitu dengan
menggunakan sumber, metode, penyidik, dan teori.
- Triangulasi sumber yaitu triangulasi data yang membandingkan dan mengecek
kembali derajat kepercayaan informasi yang didapatkan dengan alat dan dalam waktu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
yang berbeda. Teknik ini dapat dilakukan dengan cara: 1) Membandingkan data hasil
pengamatan dengan hasil wawancara, 2) Membandingkan yang dikatakan orang di depan
umum dengan yang dikatakan secara pribadi, 3) Membandingkan apa yang dikatakan
orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikomentari mengenai keseluruhan
waktu, 4) Membandingkan keadaan dan persepektif melalui orang yang berbeda- beda,
5) Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan dengan
penelitian.
- Triangulasi dengan metode. Sistem ini dilakukan dengan cara: 1) Mengecek derajat
kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, dan 2)
Mengecek beberapa sumber data menggunakan metode yang sama.
- Triangulasi dengan peneliti yang berbeda. Cara ini menggunakan peneliti lainnya
untuk mengecek kembali derajat kepercayaan data sedang diteliti. Menggunakan peneliti
yang berbeda ini setidaknya dapat meminimalisir kesalahan atau melesetnya
pengumpulan data.
- Triangulasi teori yaitu dengan menggunakan usaha pencarian cara yang lain untuk
dapat mengusahakan organisasi data yang bisa saja mengarahkan kepada penemuan
penelitian lainnya. Hal ini disebut dengan penjelasan banding atau rival explanation.
Dapat pula memikirkan kemungkinan logis yang lain dan melihat apakah kemungkinan
yang dihasilkan tersebut dapat ditunjang dengan data.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis triangulasi sumber. Peneliti
menggunakan beragam sumber data sehingga memperoleh data sehubungan dengan hal
yang sama. Sehingga data yang diperoleh dari satu sumber dapat diuji atau dibandingkan
dengan data lainnya. Peneliti menggunakan kajian pustaka dari buku-buku dan juga
mencocokkan data yang diperoleh dengan jurnal yang terkini. Selain itu peneliti pun
top related