3200 rd 201302004 harryindradjits
Post on 28-Nov-2015
56 Views
Preview:
TRANSCRIPT
RINGKASAN
PENGARUH BUDAYA BIROKRASI EWUH-PAKEWUH TERHADAP
EFEKTIVITAS SISTEM PENGENDALIAN INTERN
DISERTASI Program Studi Kebijakan
Oleh :
Harry Indradjit Soeharjono 08/277139/SMU/590
Diajukan Kepada
SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA
i
DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR ISI ............................................................................................................ i
INTISARI ................................................................................................................ ii
1. Latar Belakang ................................................................................................ 1
2. Rumusan Masalah ........................................................................................... 6
3. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 8
4. Keaslian Penelitian........................................................................................... 8
5. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 8
6. Landasan Teori.................................................................................................. 9
7. Hipotesis............................................................................................................ 19
8. Desain Penelitian ............................................................................................. 22
9. Obyek Penelitian dan Pengukuran Variabel..................................................... 23
10. Subyek Penelitian dan Penarikan Sampel ....................................................... 25
11. Pengumpulan Data............................................................................................ 26
12. Simpulan.......................................................................................................... 26
13. Saran................................................................................................................ 29
Daftar Pustaka
ii
INTISARI
Sebagaimana diketahui suatu organisasi meliputi kultur dan struktur. Selama ini pembenahan lebih difokuskan pada struktur organisasi daripada kultur yang terdapat dalam organisasi. Padahal dalam kenyataannya kultur dapat mempengaruhi struktur organisasi. Kultur yang diteliti dalam disertasi ini adalah budaya birokrasi ewuh-pakewuh, sedangkan struktur yang diteliti adalah sistem pengendalian intern. Melihat kemungkinan ada korelasi antara pengaruh budaya birokrasi ewuh-pakewuh dengan efektivitas sistem pengendalian intern, penelitian ini penting untuk dilakukan guna membuat pemetaan seberapa signifikan budaya birokrasi ewuh-pakewuh dapat berpengaruh terhadap efektivitas sistem pengendalian intern.
Penelitian ini menggunakan penggabungan metode, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif (mixed methods). Dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, peneliti melakukan survei menggunakan instrumen kuesioner kepada pejabat struktural eselon 2, eselon 3, eselon 4, pegawai non struktural, dan pejabat fungsional auditor sebagai unit analisis dengan lokasi (locus) di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Di samping itu digunakan pendekatan kualitatif sebagai fasilitator pendekatan kuantitatif, dengan melakukan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta wawancara mendalam (in-depth interview) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dengan pejabat struktural eselon 2, eselon 3, eselon 4, pegawai non struktural, dan pejabat fungsional auditor sebagai unit analisis.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) merupakan unit budaya (cultural units) yang merupakan representasi dari 67 unit budaya kementerian/lembaga. Dengan demikian, analisis yang dilakukan adalah atas tingkat budaya (culture level), tidak atas tingkat individu. Berdasarkan hasil analisis atas data kuantitatif dengan dukungan data kualitatif diperoleh pemaknaan secara empirik bahwa budaya ewuh-pakewuh terbukti dapat membahayakan eksistensi organisasi birokrasi untuk melaksanakan tata kelola kepemerintahan yang baik karena memunculkan risiko penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat birokrat untuk melakukan perbuatan korupsi sebagai dampak dari aktivitas risk assessment dan monitoring yang tidak efektif. Budaya birokrasi ewuh-pakewuh dapat diminimalisasi atau direduksi dengan mengembangkan kepemimpinan yang kondusif dan pembinaan sumber daya manusia yang sehat oleh para atasan terhadap para bawahan mereka disertai dengan implementasi regulasi berupa kebijakan, aturan, dan prosedur yang formal, impersonal dan rasional.
Kata kunci: Budaya Birokrasi dan Sistem Pengendalian Intern
1
PENGARUH BUDAYA BIROKRASI EWUH-PAKEWUH TERHADAP EFEKTIVITAS SISTEM PENGENDALIAN INTERN
1. Latar Belakang
Menurut Kuntowijoyo (1994: 184 dan 185), birokrasi sebagai sebuah
struktur teknis dalam masyarakat mempunyai kaitan erat dengan struktur sosial
dan struktur budaya. Bagaimana kedudukan birokrasi terhadap struktur sosial dan
struktur budaya pada suatu kurun sejarah tertentu disebut sebagai budaya
birokrasi.
Budaya birokrasi abdi dalem, priyayi dan pegawai negeri mencerminkan
evolusi sejarah birokrasi di Indonesia, yaitu sesuai dengan sistem sosial
patrimonial, kolonial, dan nasional secara kronologis. Kuntowijoyo (1994:186-
191) menguraikan bahwa mereka yang membantu raja dalam penyelenggaraan
kekuasaan disebut sebagai abdi dalem. Abdi dalem itulah yang duduk dalam
lembaga yang disebut birokrasi kerajaan. Mereka menjadi perantara antara raja
dengan kawulanya. Kedudukan birokrasi sebagai abdi dalem yang melayani raja
dalam hubungan atas-bawah yang bersifat konsentris membuat kedudukan
birokrasi dalam negara patrimonial hanya merupakan kepanjangan tangan dari
kekuasaan raja. Birokrasi tidak melayani kepentingan masyarakatnya, tetapi
melayani kepentingan raja.
Perubahan sebenarnya sudah terjadi sejak masuknya pemerintah kolonial
di Jawa. Sebagai sebuah usaha ekonomi dan politik, pemerintah kolonial
mengangkat pejabat-pejabatnya sendiri. Pada umumnya orang-orang pribumi
2
yang diangkat dalam jajaran birokrasi kolonial, termasuk semua saja yang
mendapat imbalan berupa gaji besar maupun kecil dapat disebut sebagai priyayi.
Priyayi tidak diangkat berdasarkan kualifikasi genealogis, tetapi berdasar kriteria
rasional, satu hal yang berbeda dengan para abdi dalem yang diangkat karena
kemurahan raja. Negara nasional yang muncul sejak kemerdekaan memberikan
definisi baru pada birokrasi, yaitu sekaligus sebagai penyelenggara kekuasaan dan
penyelenggara pelayanan. Sama seperti halnya priyayi yang berlapis-lapis,
pegawai negeri terdiri dari berbagai pangkat, golongan dan eselon.
Dalam semboyannya pegawai negeri adalah abdi negara, sebuah
ungkapan yang masih menyarankan betapa orientasi ke atas merupakan ciri utama
pegawai negeri. Artinya berorientasi pada kekuasaan, sebab negara adalah nama
lain dari kekuasaan. Kalau priyayi dapat disebut sebagai elite, pegawai negeri
lebih mirip dengan orang kebanyakan yang posisi sosialnya ditentukan oleh
ukuran-ukuran pelapisan yang berlaku umum.
Dengan berorientasi kepada kekuasaan maka budaya patron-klien dapat
timbul karena saling kebergantungan antara atasan (patron) dan bawahan (klien)
baik karena kedekatan kesukuan dan kekerabatan (ikatan primordial) maupun
saling pengertian dalam memandang nilai-nilai dan prinsip kehidupan. Menurut
Kausar (2009:221), budaya patron-klien sangat memengaruhi kinerja birokrasi
dan memperlemah kinerja birokrasi apabila diterapkan secara mutlak. Hubungan
antar elemen yang terkait dalam sistem organisasi birokrasi menjadi tidak
proporsional, tidak profesional, dan tidak rasional.
3
Dalam perkembangan selanjutnya, budaya patron-klien menimbulkan
pola perilaku ewuh-pakewuh dalam hubungan antara bawahan dan atasan. Diakui
atau tidak, dalam lingkungan birokrasi di Indonesia, budaya ketimuran dalam
konteks kesantunan Jawa ewuh-pakewuh, yaitu sikap sungkan atau rasa segan
serta menjunjung tinggi rasa hormat terhadap atasan atau senior, masih ada yang
melekat pada aparat birokrasi terutama aparat pengawas bila menghadapi pejabat
birokrat atau kepentingan tertentu (Martojo, 2008).
Menurut Nordholt (1987:48), perilaku ewuh-pakewuh yang telah
membudaya dalam lingkungan birokrasi di Indonesia dapat membuat para pejabat
birokrat pemegang posisi kunci berada dalam posisi kehilangan kontrol atau
kontrol yang lemah baik oleh pejabat birokrat bawahannya maupun oleh aparat
pengawas. Ketiadaan kontrol atau kontrol yang lemah terhadap para pejabat
birokrat pemegang posisi kunci tersebut mengakibatkan mereka yakin bahwa
semua instruksinya tidak akan dibantah oleh bawahan mereka. Kondisi tersebut
dimanfaatkan oleh atasan untuk menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya
dan melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu korupsi.
Kasus korupsi yang terjadi di lingkungan birokrasi sebagaimana gencar
diberitakan baik oleh media cetak maupun media elektronik, merugikan keuangan
negara milyaran rupiah. Berdasarkan hasil pengusutan oleh aparat penegak
hukum, ternyata perbuatan korupsi tersebut ada yang dilakukan oleh beberapa
oknum pejabat birokrat setingkat eselon 1 (satu) dan para oknum pejabat birokrat
bawahan mereka.
4
Sistem pengendalian intern yang merupakan elemen dari struktur
birokrasi yang diandalkan untuk mengamankan aset negara dan mengawal tata
kelola kepemerintahan yang baik, dalam kenyataannya tidak mampu untuk
mencegah penyalahgunaan wewenang dan korupsi yang dilakukan oleh para
oknum pejabat birokrat pemegang posisi kunci tersebut. Hal ini terjadi karena
para oknum pejabat birokrat pemegang posisi kunci yang seharusnya memiliki
komitmen untuk melaksanakan sistem pengendalian intern dengan baik, justru
terlibat dalam penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya, dan melakukan
perbuatan korupsi.
Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara sebagai salah satu pilar dari
tata kelola kepemerintahan yang baik, direkayasa untuk menutupi penyimpangan-
penyimpangan yang mereka lakukan. Secanggih apapun sistem pengendalian
intern, tentu tidak akan berarti bila sumber daya manusia yang harus
melaksanakannya ternyata memiliki itikad tidak baik yaitu berperilaku korup.
Perilaku korup yang dilakukan oleh para oknum pejabat birokrat ini tidak
semata-mata merupakan kemauan mereka sendiri, namun dapat juga dipengaruhi
oleh kultur dalam organisasi di mana mereka berada (cultural determinants of
behaviour). Sikap birokrat yang asertif dan bertindak obyektif serta berpegang
pada aturan-aturan normatif (formal impersonality) yang menurut Weber (1947)
dalam Masdiana (2004:1) adalah nilai-nilai dari budaya birokrasi rasional,
ternyata diabaikan oleh para oknum pejabat birokrat tersebut.
Melihat kemungkinan ada korelasi antara kultur dalam hal ini budaya
birokrasi ewuh-pakewuh dengan struktur birokrasi yang menyangkut sistem
5
pengendalian intern, maka penelitian ini penting untuk dilakukan guna membuat
pemetaan seberapa signifikan budaya birokrasi ewuh-pakewuh dapat berpengaruh
terhadap efektivitas sistem pengendalian intern dalam lingkungan birokrasi di
Indonesia.
Instansi pemerintah yang menjadi lokus penelitian terkait dengan budaya
birokrasi ewuh-pakewuh dan korelasinya dengan efektivitas sistem pengendalian
intern adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN).
Pemilihan lokus penelitian ini didasarkan pada daya tarik permasalahan
(fenomena) terkait kasus korupsi yang menonjol atau menarik perhatian publik,
yaitu kasus korupsi Automatic Fingerprint Identification System (AFIS) yang
ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2008 dengan
kerugian negara sebesar Rp 6 milyar. Kasus tersebut melibatkan seorang oknum
pejabat eselon 1 (satu) dan seorang bawahannya di Direktorat Jenderal
Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang
notabene merupakan instansi pemerintah pemegang amanah untuk menunjang
penegakan hukum dan hak asasi manusia.
Di samping itu, kasus korupsi yang menarik perhatian publik di
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi selaku pengawas dan regulator di
bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian adalah kasus Pengadaan
Peningkatan Fasilitas Mesin dan Peralatan Latihan di Direktorat Jenderal
Pembinaan Pelatihan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri dengan kerugian
negara sebesar Rp 1.965.398.255, kasus Pekerjaan Pemeriksaan Penggunaan
6
Tenaga Kerja Asing/Audit Investigasi pada 46 (empat puluh enam)
Kabupaten/Kota di Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan
dengan kerugian negara sebesar Rp 980.000.250, dan kasus Pengembangan
Sistem Pelatihan dan Pemagangan di Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan
Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri dengan kerugian negara sebesar Rp
613.291.319, yang kesemuanya dilakukan oleh Pemimpin Proyek. Kasus-kasus
tersebut ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2009.
Selanjutnya, kasus korupsi yang menarik perhatian publik di Badan
Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) selaku pengawas dan regulator di bidang
aplikasi tenaga nuklir adalah kasus Pengadaan Tanah pada Proyek Peningkatan
Kelembagaan dan Sarana yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada tahun 2009 dengan kerugian negara sebesar Rp 955.854.880. Kasus
tersebut melibatkan seorang oknum pejabat birokrat eselon 1 (satu) dan seorang
bawahannya (sumber: www.TRAKTUS.com)
2. Rumusan Masalah
Kasus korupsi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Badan Pengawas Tenaga
Nuklir (BAPETEN) yang dilakukan oleh oknum pejabat birokrat eselon 1 (satu)
dan para oknum pejabat birokrat bawahan mereka menimbulkan kerugian
keuangan negara dengan total besaran Rp 10.514.544.704 (sepuluh milyar lima
ratus empat belas juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus empat
rupiah).
7
Sistem pengendalian intern yang seharusnya mampu mencegah perbuatan
korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat birokrat pemegang posisi kunci di
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dengan
mengedepankan sistem peringatan dini (early warning system) dan sistem
pendeteksian dini (early detection system) dalam kenyataannya tidak berjalan
dengan baik atau tidak dapat diandalkan.
Aparat pengawasan intern dan pejabat birokrat selaku bawahan serta staf
birokrat sebagai bagian dari sistem pengendalian intern yang seharusnya
melakukan aktivitas pengendalian (kontrol) dalam kenyataannya tidak
melaksanakan tugasnya dengan baik karena ada kemungkinan terkendala oleh rasa
sungkan dan menjunjung tinggi rasa hormat terhadap atasan atau senior (budaya
birokrasi ewuh-pakewuh). Di sisi lain, para oknum pejabat birokrat pemegang
posisi kunci yang seharusnya memiliki komitmen untuk melaksanakan sistem
pengendalian intern dengan baik, justru terlibat dalam penyalahgunaan wewenang
yang dimilikinya, dan melakukan perbuatan korupsi.
Dengan demikian, permasalahan atau problematika yang dirumuskan
dalam penelitian ini (research problem) adalah sebagai berikut:
Seberapa signifikan pengaruh budaya birokrasi ewuh-pakewuh
terhadap efektivitas sistem pengendalian intern?
8
3. Tujuan Penelitian
Masalah utama yang ingin didalami dalam penelitian ini adalah
sejauhmana budaya ewuh-pakewuh di lingkungan birokrasi mempunyai pengaruh
terhadap efektivitas sistem pengendalian intern.
4. Keaslian Penelitian
Penelitian ini difokuskan untuk mengeksplanasi pengaruh budaya
birokrasi ewuh-pakewuh terhadap efektivitas sistem pengendalian intern. Dalam
penelitian ini, variabel-variabel budaya birokrasi ewuh-pakewuh diteliti
signifikansi pengaruhnya terhadap variabel-variabel efektivitas sistem
pengendalian intern.Sebelum dilakukan penelitian ini, telah banyak dilakukan
penelitian–penelitian terdahulu terkait dengan pengaruh budaya terhadap
lingkungan akuntansi (struktur dan praktik akuntansi).
Dari penelitian-penelitian terdahulu terlihat bahwa para peneliti
memfokuskan pada korelasi perspektif budaya dengan lingkungan akuntansi
(struktur dan praktik akuntansi) baik dalam lingkup nasional maupun
internasional, namun demikian penelitian atas pengaruh budaya birokrasi ewuh-
pakewuh terhadap efektivitas sistem pengendalian intern dalam lingkup birokrasi
di Indonesia sejauh yang diketahui belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti
yang lain.
5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat kepada para pihak
sebagai berikut:
9
a. Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan masukan-masukan
bagi jajaran pimpinan kementerian negara dan lembaga pemerintah
nonkementerian, terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dirumuskan
dalam implementasi sistem pengendalian intern untuk mengawal tata
kelola kepemerintahan yang baik (good governance)
b. Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi teoretis
dan menjadi model analisis bagi peneliti-peneliti berikutnya dalam
melaksanakan penelitian-penelitian dengan topik yang relevan.
6. Landasan Teori
Menurut Tylor, seorang antropologis, dalam Brown (1998:4) definisi
budaya adalah:
That complex whole which includes knowledge, beliefs, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society,
Abdullah (2007:51), seorang antropolog, menjelaskan pengertian
kebudayaan sebagai berikut:
Kebudayaan bagi suatu masyarakat bukan sekedar sebagai frame of reference yang menjadi pedoman tingkah laku dalam berbagai praktik sosial, tetapi lebih sebagai “barang” atau materi yang berguna dalam proses identifikasi diri dan kelompok. Sebagai kerangka acuan, kebudayaan telah merupakan serangkaian nilai yang disepakati dan yang mengatur bagaimana sesuatu yang bersifat ideal diwujudkan.
Hofstede (1980:21), seorang organizational psychologist, mendefinisikan
budaya sebagai berikut:
10
Culture is the collective programming of the mind which distinguishes the members of one human group from another. This definition highlights three important points about culture,
Culture is collective, rather than being a characteristic of any one individual.
It is not directly observable, but it can be inferred from people’s behaviour.
It is of interest only to the extent that it helps to differentiate between groups – due to cultural differences, groups will behave in different and definable ways.
Menurut Hofstede et al. (2010:8), budaya dibedakan dalam 4 (empat)
tingkatan sebagai berikut:
a. symbols are the most superficial of the four: they comprise words, gestures, pictures or objects that carry a particular meaning that is recognized as such only by those who share the culture;
b. heroes are persons, alive or dead, real or imaginary who possess characteristics that are highly prized in a culture and thus serve as models for behavior;
c. rituals are collective activities that are technically superfluous to reach desired ends but that, within a culture, are considered socially essential;
d. values are broad tendencies to prefer certain states of affairs over others.
Menurut Koentjaraningrat (2004:5), wujud kebudayaan adalah sebagai
berikut:
kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Brown (1998:34) menguraikan pengertian tentang budaya organisasi
sebagai berikut:
11
The pattern of beliefs, values and learned ways of coping with experience that have developed during the course of an organisation’s history, and which tend to be manifested in its material arrangements and in the behaviours of its members.
Schein (1985:9) menjelaskan pengertian atau definisi tentang budaya
organisasi sebagai berikut:
A pattern of basic assumptions-invented,discovered, or developed by a given group as it learns to cope with its problems of external adaption and internal integration-that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to those problems.
Menurut Vecchio (2006:342), pengertian tentang budaya organisasi
sebagai berikut:
The shared values and norms that exist in an organization and that are taught to incoming employees. It involves common beliefs and feelings, regularities in behavior, and a historical process for transmitting values and norms.
Susanto (2008:7) menguraikan definisi tentang budaya organisasi sebagai
berikut:
Budaya organisasi adalah suatu nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam organisasi, sehingga masing-masing anggota organisasi harus menyerap nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku.
Menurut Luthans dan Doh (2009:158), definisi budaya organisasi sebagai
berikut:
The shared values and beliefs that enable members to understand their roles and the norms of the organization.
12
Selanjutnya, Robbins (1996:687) menjelaskan budaya organisasi sebagai
berikut:
Organizational culture enhances organizational commitment and increases the consistency of employee behavior. But it shouldn’t ignore the potentially disfunctional aspects of culture, especially the strong one, on an organization’s effectiveness. Untuk dapat memahami budaya birokrasi, maka konsep budaya birokrasi
menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
Budaya organisasi birokrasi (budaya birokrasi) merupakan kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi birokrasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan. Budaya organisasi birokrasi menciptakan jati diri para anggota organisasi dan dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian tercipta pola pedoman perilaku para anggota organisasi (Siagian, 1995:10).
Kausar (2009:10) menjelaskan bahwa budaya birokrasi dapat
digambarkan sebagai sebuah sistem atau seperangkat nilai yang memiliki simbol,
orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang
terinternalisasi ke dalam pikiran. Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan
dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari
sebuah organisasi birokrasi dan selalu bersinggungan dengan aspek budaya
masyarakat setempat.
Kuntowijoyo (1994:184) menguraikan budaya birokrasi pegawai negeri
sebagai berikut:
Birokrasi sebagai sebuah struktur teknis dalam masyarakat mempunyai kaitan erat dengan struktur sosial dan struktur budaya. Bagaimana kedudukan birokrasi terhadap struktur sosial dan struktur budaya pada suatu kurun sejarah tertentu kita sebut sebagai budaya birokrasi.
13
Untuk dapat mengartikan atau memberikan makna tentang konsep
budaya birokrasi ewuh-pakewuh, maka konsep tersebut didefinisikan secara
konseptual atau teoretis oleh Nordholt (1987:48) sebagai berikut:
Apabila yang berkedudukan sosial lebih tinggi, dalam sikap dan perkataannya dengan lebih jelas memperlihatkan bahwa dia adalah atasan, maka mereka yang berkedudukan sosial lebih rendah akan merasa begitu tertekan serta merasa terdesak. Dalam situasi tertekan dan terdesak, tak ada cara apapun yang dapat digunakan oleh bawahan untuk menyatakan pendapatnya yang mungkin bersifat bertentangan. Dalam keadaan demikian orang akan tutup mulut, apabila yang berasal dari lapisan sosial yang lebih tinggi itu jelas melakukan kesalahan.
Berdasarkan definisi konseptual tersebut di atas, maka dirumuskan
definisi operasional dari budaya birokrasi ewuh-pakewuh, yaitu pola sikap sopan
santun di lingkungan birokrasi yang dilakukan oleh pegawai atau pejabat selaku
bawahan yang segan atau sungkan menyatakan pendapatnya yang mungkin
bersifat bertentangan, demi menghindari konflik dan menjaga jalinan hubungan
baik dengan para atasan atau senior mereka yang dianggap lebih tinggi
kedudukan sosialnya.
Berdasarkan survei budaya yang ekstensif dan dilanjutkan dengan
analisis statistik, Hofstede (1980) telah menguraikan 4 (empat) dimensi preferensi
sosial untuk mengukur nilai-nilai dasar (the base values) dari individu-individu
dan mengukur perilaku dalam suatu masyarakat. Dimensi budaya Hofstede (1980)
tersebut adalah:
a. Individualism/IDV (individualitas), yaitu suatu preferensi sosial
dalam suatu komunitas atau instansi untuk menjalin hubungan sosial
yang longgar di mana individu-individu hanya memperhatikan diri
mereka dan keluarganya saja. Dimensi ini memiliki nilai atau
14
parameter: derajat interdependensi di antara individu-individu dalam
suatu komunitas atau instansi;
b. Power Distance/PD (rentang kekuasaan), yaitu suatu preferensi
sosial dalam suatu komunitas atau instansi di mana kekuasaan atau
kewenangan dalam suatu komunitas atau instansi didistribusikan
secara berjenjang (hierarki). Dimensi ini memiliki nilai atau
parameter: komunitas dalam suatu instansi dapat menerima
ketidaksamaan (inequality) yang terjadi di antara mereka;
c. Uncertainty Avoidance/UA (penghindaran ketidakpastian), yaitu
suatu preferensi sosial dalam suatu komunitas atau instansi untuk
menghindari ketidakpastian atau ambiguitas dengan nilai atau
parameter: tidak bersedia memberikan toleransi terhadap kondisi
ketidakpastian atau kondisi ambiguitas (mendua);
d. Masculinity/MAS (maskulinitas), yaitu suatu preferensi sosial dalam
suatu komunitas atau instansi untuk menonjolkan sikap keterbukaan
atau apa adanya dengan nilai-nilai atau parameter-parameter:
membuat prestasi, memompa semangat heroik, bersikap asertif, dan
keberhasilan secara materi.
Selain empat dimensi budaya Hofstede tersebut di atas, Schwartz (1994)
telah mendefinisikan 6 (enam) dimensi budaya, yaitu:
a. Mastery (penguasaan)
Mastery mempunyai pengertian sebagai upaya aktif dari seseorang
untuk menguasai, mengeksploitasi dan mengubah lingkungan sosial
untuk mencapai tujuan pribadi atau tujuan kelompok. Ambisi,
kompetensi, keberanian, dan sukses adalah nilai-nilai atau
parameter-parameter yang terkait dengan mastery;
15
b. Harmony (keselarasan)
Harmony mempunyai pengertian sebagai menjaga lingkungan secara
harmonis di mana perdamaian dan menyatu dengan alam merupakan
nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait;
c. Embeddedness (keterikatan)
Embeddednes mempunyai pengertian sebagai partisipasi dan
mengikuti cara hidup kelompoknya (the group’s way of life) serta
mengidentifikasikan dirinya dengan kelompoknya. Nilai-nilai atau
parameter-parameter dari dimensi ini adalah keamanan, tradisi,
tingkatan sosial (social order), dan kearifan (wisdom);
d. Autonomy (otonomi)
Autonomy mempunyai pengertian sebagai pernyataan yang terkait
dengan nilai-nilai atau parameter-parameter: atribut-atribut individu,
dan keunikan (uniqueness).
Menurut Schwartz dan Sagiv (2000), autonomy meliputi:
(1) Intellectual Autonomy, memotivasi individu untuk mengikuti
ide dan jalan mereka sendiri dengan nilai-nilai atau parameter-
parameter: cakrawala pandang yang luas (broadmindedness),
kreativitas, dan rasa ingin tahu (curiosity);
(2) Affective Autonomy, memotivasi individu untuk mencari
pengalaman positif dengan nilai-nilai atau parameter-
parameter: kegembiraan (excitement), dan kesenangan
(pleasure).
e. Hierarchy (hierarki)
Hierarchy mempunyai pengertian sebagai memberikan legitimasi
atas ketidaksamaan dalam membagi kekuasaan, sumber daya dan
peran. Nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait dengan
16
dimensi ini adalah: otoritas (authority), kekuasaan sosial (social
power), kekayaan (wealth), dan kerendahan hati (humility);
f. Egalitarianism (kesamaan kedudukan)
Egalitarianism mempunyai pengertian sebagai mendorong individu-
individu untuk mempertimbangkan satu sama lain sebagai kesamaan
moral (moral equals) untuk membagi kepentingan dan kebutuhan
dasar sebagai manusia. Kesamaan, kejujuran, tanggung jawab, dan
keadilan sosial merupakan nilai-nilai atau parameter-parameter yang
terkait dengan dimensi ini.
Selanjutnya, Gray (1988) telah mendefinisikan 4 (empat) nilai-nilai sub
budaya akuntansi (accounting sub culture values atau accounting values), yaitu:
a. Professionalism (profesionalitas)
Professionalism mempunyai pengertian sebagai suatu preferensi
sosial untuk melaksanakan pertimbangan profesional dan
memelihara aturan-aturan atau regulasi profesional yang dibuat
untuk kalangan sendiri, dengan nilai-nilai atau parameter-parameter:
melaksanakan keputusan individu secara profesional (individual
professional judgement), dan memelihara aturan-aturan profesional
(professional self-regulation);
b. Uniformity (keseragaman)
Uniformity mempunyai pengertian sebagai sebagai suatu preferensi
sosial dengan nilai atau parameter: menyelenggarakan keseragaman
praktik-praktik akuntansi di antara perusahaan-perusahaan, di mana
praktik-praktik ini digunakan secara konsisten sepanjang waktu;
c. Conservatism (konservatifitas)
Conservatism mempunyai pengertian sebagai sebagai suatu
preferensi sosial dengan nilai atau parameter: pendekatan kehati-
hatian (cautious approach), karena menghadapi kejadian-kejadian di
masa mendatang yang belum pasti;
17
d. Secrecy (kerahasiaan)
Secrecy mempunyai pengertian sebagai sebagai suatu preferensi
sosial dengan nilai-nilai atau parameter-parameter: menjaga
kerahasiaan, dan pembatasan informasi tentang bisnis, yaitu hanya
kepada mereka yang sangat terkait dengan manajemen.
Terkait dengan sistem pengendalian intern, The Committee of Sponsoring
Organization/COSO (1992) yang dibentuk di bawah kepemimpinan the Treadway
Commission telah mengembangkan suatu kerangka kerja di mana organisasi-
organisasi dapat memperbaiki pengendalian intern mereka, dan telah menerbitkan
suatu laporan yang berjudul Internal Control-Integrated Framework.
The COSO Framework of Internal Control meliputi lima komponen,
yaitu:
a. Control Environment (lingkungan pengendalian), yang menentukan
nada keseluruhan pengendalian dari suatu organisasi (the overall
controls tone of an organization), dan menjadi landasan (platform)
untuk empat komponen lainnya;
b. Entity’s Risk Assessment (penilaian risiko entitas) adalah melakukan
identifikasi dan analisis risiko dalam rangka mencapai tujuan entitas;
c. Control Activities (aktivitas pengendalian), adalah proses-proses,
kebijakan-kebijakan, dan prosedur-prosedur untuk memastikan
bahwa arahan manajemen (management directive) telah
diimplementasikan dengan benar;
d. Information and Communication (informasi dan komunikasi), adalah
sistem-sistem dan laporan-laporan yang memungkinkan manajemen
dan staf untuk melaksanakan tanggung jawabnya;
18
e. Monitoring (pemantauan) adalah suatu proses untuk mengawasi
kinerja pengendalian intern.
Konsep sistem pengendalian intern dalam lingkungan birokrasi
pemerintahan di Indonesia telah dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang berlandaskan The
COSO Framework of Internal Control meliputi 5 (lima) unsur, yaitu:
a. Lingkungan pengendalian (control environment)
Nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait dengan dimensi ini
adalah penegakan integritas dan nilai etika, komitmen terhadap
kompetensi, kepemimpinan yang kondusif, struktur organisasi yang
sesuai dengan kebutuhan, pendelegasian wewenang dan tanggung
jawab yang tepat, kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber
daya manusia, peran aparat pengawasan intern pemerintah yang
efektif, dan hubungan kerja yang baik dengan instansi pemerintah
terkait;
b. Penilaian risiko (risk assessment)
Nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait dengan dimensi ini
adalah identifikasi risiko, dan analisis risiko;
c. Aktivitas pengendalian (control activities)
Nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait dengan dimensi ini
adalah reviu atas kinerja, pengendalian sistem informasi,
pengendalian fisik atas aset, pemisahan fungsi, otorisasi atas
transaksi, pencatatan yang akurat dan tepat waktu, akuntabilitas
sumber daya, dan dokumentasi;
19
d. Informasi dan komunikasi (information and communication)
Nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait dengan dimensi ini
adalah menyediakan dan memanfaatkan berbagai sarana komunikasi,
serta mengelola dan mengembangkan sistem informasi;
e. Pemantauan (monitoring).
Nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait dengan dimensi ini
adalah pemantauan berkelanjutan, evaluasi, tindak lanjut
rekomendasi hasil audit, dan reviu lainnya.
Agar pengendalian intern (internal control) berjalan dengan efektif, maka
5 (lima) komponen tersebut harus diimplementasikan secara integral dan
berkesinambungan.
7. Hipotesis
Untuk melihat seberapa jauh signifikansi pengaruh budaya birokrasi
ewuh-pakewuh terhadap efektivitas sistem pengendalian intern, maka dirumuskan
hipotesis-hipotesis penelitian berdasarkan landasan teori dimensi budaya Hofstede
(1980), Gray (1988), Schwartz (1994), dan The COSO Framework of Internal
Control (1992).
Dengan variabel independen Budaya Birokrasi Ewuh-Pakewuh maka
dirumuskan indikator-indikator yang diambil dari dimensi budaya Hofstede,
Schwartz, dan Gray. Nilai-nilai dimensi budaya Hofstede, Schwartz, dan Gray
tersebut berkaitan dengan lingkup kerja (work-related cultural dimensions of
values),yaitu:
a. Individualism (individualitas)=X1;
b. Power Distance (rentang kekuasaan)=X2;
c. Uncertainty Avoidance (penghindaran ketidakpastian)=X3;
20
d. Masculinity (maskulinitas)=X4;
e. Mastery (penguasaan)=X5;
f. Harmony (keselarasan)=X6;
g. Embeddedness (keterikatan)=X7;
h. Autonomy (otonomi)=X8;
i. Professionalism (profesionalitas)=X9.
Indikator-indikator tersebut merupakan non actionable indicators, yaitu
indikator yang bersifat persepsi atau preferensi, tidak langsung dapat dipengaruhi,
dan untuk menunjukkan suatu kondisi ewuh-pakewuh diperoleh dari gabungan
dari berbagai indikator (composite index).
Di lain pihak, indikator-indikator dari variabel dependen Efektivitas
Sistem Pengendalian Intern dirumuskan dari dimensi The COSO Framework of
Internal Control yang merupakan actionable indicators, yaitu indikator yang
dapat dipengaruhi dan dicapai secara langsung melalui berbagai usaha, meliputi:
a. Control Environment (lingkungan pengendalian)=Y1;
b. Risk Assessment (penilaian risiko)=Y2;
c. Control Activities (kegiatan pengendalian)=Y3;
d. Information and Communication (informasi dan komunikasi)=Y4;
e. Monitoring (pemantauan)=Y5.
Berdasarkan indikator-indikator dimensi budaya Hofstede, Schwartz, dan
Gray, budaya birokrasi ewuh-pakewuh memiliki dimensi individualism rendah,
power distance tinggi, uncertainty avoidance tinggi, masculinity rendah, mastery
rendah, harmony tinggi, embeddedness rendah, autonomy rendah, dan
professionalism rendah. Dalam penelitian ini, budaya birokrasi ewuh-pakewuh
diduga mengakibatkan efektivitas sistem pengendalian intern rendah dalam
21
dimensi control environment rendah, risk assessment rendah, control activities
rendah, information and communication rendah, dan monitoring rendah.
Selanjutnya, korelasi variabel independen, yaitu budaya birokrasi ewuh-
pakewuh terhadap variabel dependen, yaitu efektivitas sistem pengendalian intern
dirumuskan dalam hipotesis-hipotesis sebagai berikut:
H1 Jika mastery rendah, professionalism rendah, sedangkan uncertainty avoidance tinggi, maka control environment rendah.
H2 Jika professionalism rendah, mastery rendah, sedangkan power
distance tinggi, maka risk assessment rendah. H3 Jika masculinity rendah, embeddedness rendah, sedangkan
harmony tinggi, maka control activities rendah. H4 Jika mastery rendah, individualism rendah, sedangkan uncertainty
avoidance tinggi, maka information and communication rendah.
H5 Jika autonomy rendah, mastery rendah, sedangkan uncertainty avoidance tinggi, maka monitoring rendah.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa 2 (dua) hipotesis yang
dirumuskan ternyata dapat diterima, yaitu:
H2 Jika professionalism rendah, mastery rendah, sedangkan power distance tinggi, maka risk assessment rendah;
H5 Jika autonomy rendah, mastery rendah sedangkan uncertainty avoidance tinggi, maka monitoring rendah,
sedangkan 3 (tiga) hipotesis lainnya ternyata tidak dapat diterima atau
ditolak, yaitu:
H1 Jika mastery rendah, professionalism rendah, sedangkan uncertainty avoidance tinggi, maka control environment rendah;
22
H3 Jika masculinity rendah, embeddedness rendah, sedangkan harmony tinggi, maka control activities rendah;
H4 Jika mastery rendah, individualism rendah, sedangkan uncertainty avoidance tinggi, maka information and communication rendah.
8. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan penggabungan metode atau pendekatan
kuantitatif dan kualitatif (mixed methods). Dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif, peneliti melakukan survei menggunakan instrumen kuesioner kepada
pejabat struktural eselon 2, eselon 3, eselon 4, pegawai non struktural, dan
pejabat fungsional auditor sebagai unit analisis dengan lokasi (locus) di
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi
Di samping itu digunakan metode kualitatif sebagai fasilitator metode
kuantitatif, dengan melakukan diskusi kelompok terfokus (focus group
discussion) di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta wawancara
mendalam (in-depth interview) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dengan pejabat struktural
eselon 2, eselon 3, eselon 4, pegawai non struktural, dan pejabat fungsional
auditor sebagai unit analisis.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) merupakan
unit budaya (cultural units). Dengan demikian, analisis dilakukan atas tingkat
budaya (culture level), tidak atas tingkat individu.
23
9. Obyek Penelitian dan Pengukuran Variabel
A. Variabel Obyek Penelitian
Variabel-variabel obyek penelitian yang dirumuskan meliputi:
a. Budaya Birokrasi Ewuh-Pakewuh sebagai variabel independen
(independent variable)=X
b. Efektivitas Sistem Pengendalian Intern sebagai variabel dependen
(dependent variable)=Y
Persamaan umum dari penelitian ini sebagai berikut:
Efektivitas Sistem Pengendalian Intern=f(Budaya Birokrasi
Ewuh-Pakewuh).
B. Pengukuran Variabel
Indikator-indikator untuk mengukur variabel independen Budaya
Birokrasi Ewuh-Pakewuh sebagai berikut:
a. Individualism (invidualitas)=X1;
b. Power Distance (rentang kekuasaan)=X2;
c. Uncertainty Avoidance (penghindaran ketidakpastian)=X3;
d. Masculinity (maskulinitas)=X4;
e. Mastery (penguasaan)=X5;
f. Harmony (keselarasan)=X6;
g. Embeddedness (keterikatan)=X7;
h. Autonomy (otonomi)=X8;
i. Professionalism (profesionalitas)=X9.
Di lain pihak, indikator-indikator untuk mengukur variabel dependen
Efektivitas Sistem Pengendalian Intern sebagai berikut:
24
a. Control Environment (lingkungan pengendalian)=Y1;
b. Risk Assessment (penilaian risiko)=Y2;
c. Control Activities (aktivitas pengendalian)=Y3;
d. Information and Communication (informasi &komunikasi)=Y4;
e. Monitoring (pemantauan)=Y5;
Mengingat peneliti melakukan pengamatan (observasi) secara
simultan terhadap lebih dari satu karakteristik pada subyek penelitian
yaitu manusia, sesuai dengan tujuan penelitiannya: mengukur
pengaruh budaya birokrasi ewuh-pakewuh terhadap efektivitas sistem
pengendalian intern, maka analisis yang digunakan adalah Analisis
Multivariat. Suatu teknik statistik yang menganalisis variabel
indikator, variabel laten dan kekeliruan pengukuran adalah Model
Persamaan Struktural (Structural Equation Model/SEM).
C. Instrumen Pengukuran Indikator
Instrumen yang digunakan untuk mengukur indikator-indikator dari
variabel-variabel yang diteliti adalah skala Likert (Likert scale).
Penggunaan skala Likert ini terkait dengan kebutuhan analisis atas
sikap dan persepsi responden yang dikategorikan dalam bentuk data
ordinal (skala pengukuran kualitatif), yaitu:
1=sangat tidak setuju;
2=tidak setuju;
3=setuju;
4=sangat setuju.
25
10. Subyek Penelitian dan Penarikan Sampel
Populasi target (target population) dari penelitian dengan metode
kuantitatif adalah seluruh pegawai Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
sebanyak 39.024 (tiga puluh sembilan ribu dua puluh empat) orang. Pemilihan
sampel sebanyak 620 (enam ratus dua puluh) responden di Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia dilakukan dengan teknik random sampling.
Di samping itu, untuk mendukung penelitian dengan metode kuantitatif,
dilakukan eksplorasi data dengan kuesioner sebanyak 100 (seratus) orang pegawai
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta 100 (seratus) orang pegawai
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Untuk mendukung data kuantitatif,
dilakukan wawancara mendalam terhadap responden dengan teknik purposive
sampling = pemilihan siapa subyek yang ada dalam posisi terbaik untuk
memberikan informasi yang dibutuhkan (key informan) di Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), dan
diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) di Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia sebagai data kualitatif.
Subyek penelitian (responden/unit analisis) kuantitatif di Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) meliputi pejabat struktural
eselon 2, eselon 3, eselon 4, pegawai non struktural, dan pejabat fungsional
auditor.
26
11. Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data primer dalam penelitian ini, digunakan metode
survei dengan menggunakan instrumen pengumpulan data berupa kuesioner, di
samping melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dan diskusi
kelompok terfokus (focus group discussion) dengan responden yang dipilih secara
sampel (purposive dan random sample). Data primer yang berasal dari jawaban
kuesioner dalam penelitian ini berupa data ordinal atau data non-metrik,
sedangkan data primer yang berasal dari wawancara mendalam, dan diskusi
kelompok terfokus berupa data kualitatif.
Untuk menjadikan instrumen kuesioner valid (benar-benar mengukur apa
yang seharusnya diukur) dan reliabel (mengukur dengan stabil dan konsisten)
dilakukan pengujian validitas instrumen dengan uji Validitas Internal (Internal
Validity) melalui uji Validitas Konstruk dengan metode Validitas Diskriminan
(Discriminant Validity) dan pengujian reliabilitas instrumen melalui uji
Reliabilitas Konsistensi Internal (Internal Consistency Reliability) dengan
menggunakan metode Cronbach’s Alpha.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: hasil
penelitian terdahulu, jurnal, literatur dan data lainnya yang relevan dengan topik
penelitian ini. Dokumen-dokumen tersebut dikaji untuk memperoleh data dan
informasi yang relevan dengan topik penelitian guna melengkapi hasil penelitian.
12. Simpulan
Berdasarkan pembuktian secara empirik atas 5 (lima) hipotesis penelitian
diperoleh hasil 2 (dua) hipotesis terpenuhi, yaitu budaya birokrasi ewuh-pakewuh
27
menjadikan sistem pengendalian intern dalam konteks risk assessment, dan
monitoring tidak efektif. Dengan risk assessment dan monitoring tidak efektif
sebagai dampak dari perilaku ewuh-pakewuh maka terbuka peluang terjadinya
penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang oleh para birokrat pemegang
posisi kunci yang memiliki kewenangan.
Kasus korupsi yang terjadi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Badan Pengawas
Tenaga Nuklir (BAPETEN) dengan total besaran kerugian keuangan negara Rp
10.514.544.704 (sepuluh milyar lima ratus empat belas juta lima ratus empat
puluh empat ribu tujuh ratus empat rupiah) sesungguhnya merupakan bukti
adanya peluang yang dimanfaatkan oleh para oknum pejabat birokrat pemegang
posisi kunci dengan menyalahgunakan kewenangan yang mereka miliki untuk
melakukan perbuatan korupsi. Hal ini tidak akan terjadi sekiranya risk assessment,
yaitu pemetaan risiko dan analisis risiko, serta monitoring, yaitu pemantauan
berkelanjutan, evaluasi, tindak lanjut rekomendasi hasil audit, dan reviu lainnya,
dilakukan sesuai dengan ketentuan sehingga setiap pejabat berada di bawah
pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin
sebagai tipe ideal birokrasi rasional menurut Max Weber dalam Thoha (2009:18).
Di sisi lain, 3 (tiga) hipotesis lainnya tidak terbukti secara empirik
berpengaruh terhadap sistem pengendalian intern dalam konteks control
environment, control activities, dan information and communication.Terkait
dengan 3 (tiga) hipotesis yang tidak terbukti tersebut, terdapat fenomena yang
perlu digaribawahi, yaitu budaya birokrasi ewuh-pakewuh justru menjadikan
28
control environment berjalan dengan efektif dengan mengedepankan
kepemimpinan yang kondusif dan kebijakan yang sehat tentang pembinaan
sumber daya manusia.
Fenomena lain yang perlu digarisbawahi, yaitu control activities secara
empirik tidak dapat dipengaruhi oleh budaya birokrasi ewuh-pakewuh karena
pada hakikatnya control activities mengedepankan aturan-aturan, prosedur-
prosedur, dan kebijakan-kebijakan untuk mengendalikan aktivitas organisasi,
sedangkan fenomena berikutnya yang perlu digarisbawahi, yaitu budaya birokrasi
ewuh-pakewuh tidak memberikan pengaruh terhadap information and
communication, karena pada hakikatnya information and communication lebih
mengedepankan komitmen terhadap kompetensi pegawai yang tinggi.
Di samping itu, dari hasil survei di Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi serta Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), hasil diskusi
terfokus di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan hasil wawancara di
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Badan Pengawas Tenaga
Nuklir (BAPETEN) terdapat bawahan (pejabat struktural, pejabat fungsional
auditor, dan staf) yang memiliki preferensi untuk bersikap lugas, yaitu berani dan
tegas untuk mengatakan yang sebenarnya, bila kebijakan atasan atau tindakan
rekan sejawat tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, menyimpang dari
aturan atau mengandung risiko. Meskipun demikian, sikap lugas tersebut
bergantung kepada kondisi dan situasi yang terjadi (kondisional dan situasional),
yaitu melihat kondisi dan situasi yang berkenaan dengan atasan sebelum
menyampaikan pendapat, masukan atau bahkan kritik, dan hal tersebut dilakukan
29
dengan cara yang elegan atau sopan, dan penuh kehati-hatian (tepo seliro atau
tenggang rasa). Sikap lugas ini dimaknai sebagai komitmen pegawai untuk
melaksanakan tata kelola kepemerintahan yang baik melalui sistem pengendalian
intern yang efektif.
Dengan demikian, diperoleh pemaknaan secara empirik bahwa budaya
ewuh-pakewuh dapat membahayakan eksistensi organisasi birokrasi untuk
melaksanakan tata kelola kepemerintahan yang baik karena terdapat risiko
penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat birokrat untuk
melakukan perbuatan korupsi sebagai dampak dari aktivitas risk assessment dan
monitoring yang tidak efektif.
13. Saran
Berdasarkan hasil penelitian di mana budaya ewuh-pakewuh terbukti
dapat membahayakan eksistensi organisasi dalam melaksanakan tata kelola
kepemerintahan yang baik sebagai dampak dari aktivitas risk assessment dan
monitoring yang tidak efektif, maka disarankan kepada Pimpinan
Kementerian/Lembaga pada tataran eselon 1 (satu) mengambil langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Membentuk gugus tugas/unit budaya kerja yang beranggotakan
personil lintas unit kerja, lintas eselon mulai dari eselon 4 (empat)
sampai dengan eselon 2 (dua), pejabat fungsional auditor, dan staf,
dengan lingkup tugas sebagai berikut:
30
1) Mengembangkan budaya kerja yang berwawasan
kepemimpinan demokratis dengan model panutan (role model)
pejabat eselon 1 (satu) atau pejabat eselon 2 (dua);
2) Menyusun Sasaran Kerja Individu (SKI) untuk mengukur
kinerja individu pegawai dalam mengawal tata kelola
kepemerintahan yang baik;
3) Mengembangkan Performance Skill Management yang
menekankan pada hubungan antara budaya dan kinerja serta
hubungan antara kompetensi dan kinerja dengan tujuan untuk
membangun pemahaman bersama tentang apa yang ingin
dicapai oleh organisasi baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang.
4) Mengembangkan manajemen konflik yang bertujuan untuk
mengatasi konflik dalam komunikasi antar budaya, dan
menjadikan komunikasi antar budaya lebih efektif.
2. Membentuk gugus tugas/unit manajemen risiko yang beranggotakan
personil lintas unit kerja, lintas eselon mulai dari eselon 4 (empat)
sampai dengan eselon 2 (dua), pejabat fungsional auditor, dan staf,
dengan lingkup tugas sebagai berikut:
1) Melakukan pemetaan risiko aspek perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pelaporan, dengan mekanisme pemetaan
risiko secara berjenjang mulai dari unit kerja eselon 4 (empat)
31
sampai dengan unit kerja eselon 1 (satu) (bottom-up link
mechanism).
2) Menyusun program kerja pengelolaan (mitigating) risiko aspek
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan.
3) Melakukan analisis risiko yang muncul berkaitan dengan aspek
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan.
3. Membentuk gugus tugas/unit monitoring dan evaluasi yang
beranggotakan personil lintas unit kerja, lintas eselon mulai dari
eselon 4 (empat) sampai dengan eselon 2 (dua), pejabat fungsional
auditor, dan staf, dengan lingkup tugas sebagai berikut:
1) Menyusun program kerja monitoring dan evaluasi aspek
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan.
2) Menyusun program kerja tindak lanjut rekomendasi hasil audit
baik internal maupun eksternal.
3) Menyusun program kerja reviu atas aspek perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan
4. Membentuk gugus tugas/unit Fraud Control yang beranggotakan
personil lintas unit kerja, lintas eselon mulai dari eselon 4 (empat)
sampai dengan eselon 2 (dua), pejabat fungsional auditor, dan staf,
dengan lingkup tugas mencegah, menangkal dan memudahkan
pengungkapan kejadian yang berindikasi korupsi dengan penguatan
sistem tata kelola (sistem pengendalian intern) yang sudah ada.
32
5. Perlu dikembangkan penelitian oleh peneliti berikutnya tentang
dimensi lain di luar budaya birokrasi ewuh-pakewuh, antara lain
sumber daya manusia, dan ketersediaan sarana dan prasarana yang
berpotensi mempunyai pengaruh terhadap efektivitas sistem
pengendalian intern dalam lingkungan birokrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ali, Fachry. 1986. Refleksi Paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern”. Jakarta: Gramedia.
Alwasilah, A. Chaedar. 2011. Pokoknya Kualitatif, Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Ansari, Khizar Humayun dan Jackson, June. 1996. Managing Cultural Diversity at Work-Mengelola Keragaman Budaya Di Lingkungan Kerja.alih bahasa. M. Prihmanto Widodo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bachrudin, Achmad dan Harapan L. Tobing. 2003. Analisis Data Untuk Penelitian Survai Dengan Menggunakan LISREL 8. Bandung.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Deputi Bidang Investigasi. 2007. Fraud Control Plan. Jakarta.
Brannen,Julia. 2005. Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research, alih bahasa:Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif oleh H.Nuktah Arfawie Kurde et.al.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Brown, D. Andrew. 1998. Organizational Culture. Great Britain: Pearson Education Limited.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Collins, and Mc Laughlin. 1996. Effective Management. (Second Edition). Sydney: CCH.
Creswell, John W.1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. California: SAGE Publications, Inc.
“Data Korupsi 2008 dan 2009” Dari KPK <http://www.traktus.com/2012/03/2012 /data-korupsi-2008/>
Denzin, Norman K. 2009. The Research Act. New Jersey: Prentice Hall.
Direktorat Aparatur Negara Bappenas. 2004. Kajian Rencana Tindak Reformasi Birokrasi. Jakarta.
Effendi, Sofian. 2005. Membangun Budaya Birokrasi untuk Good Governance. Makalah.Yogyakarta: Lokakarya Nasional ReformasiBirokrasi.http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/MEMBANGUN-BUDAYA-BIROKRASI.pdf.
Graham, Lynford. 2008. Internal Controls: Guidance for Private, Government, and Non Profit Entities. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Gray, Sidney J. and Hazel M. Vint. 1995. “The Impact of Culture on Accounting Disclosures: Some International Evidence.” Asia-PacificJournal of Accounting: 33-43.
Gray, Sidney J. 1988. Towards a Theory of Cultural Influence on the Development of Accounting Systems Internally. Abacus 24: 1-15.
Harrison, Graeme L. and Jill L. McKinnon. 1986. “Culture and Accounting Change: A New Perspective on Corporate Reporting Regulation and Accounting Policy Formulation.” Accounting Organizations and Society 11 (3):233-252.
Hill, Michael J. 2005. The Public Policy Process. Essex: Pearson Education Limited.
Hofstede, Geert. 1980. Culture’s Consequenses: International Differences in Work-Related Values. California: SAGE Publications, Inc.
1984. Cultural Dimensions In Management And Planning. Asia Pacific Journal of Management: 81-99
Hofstede, Geert, Gert Jan Hofstede, and Michael Minkov. 2010. Cultures and Organizations-3rd edition. New York: Mc Graw Hill.
Hope, Ole-Kristian. 2003. “Firm-level Disclosures and the Relative Roles of Culture and Legal Origin.” Journal of International Financial Management and Accounting 14 (3): 218-248.
Ikhsan, Arfan danMuhammadIshak. 2005. Akuntansi Keperilakuan. Jakarta: Salemba Empat.
Jaggi, Bikki and Pek YeeLow. 2000. “Impact of Culture, Market Forces, and Legal System on Financial Disclosures.” The International Journal of Accounting 35 (4):495-519.
Jeddawi, Murtir. 2008. Reformasi Birokrasi, Kelembagaan, dan Pembinaaan PNS. Yogyakarta: Kreasi Total Media.
Kausar. 2009. Sistem Birokrasi Pemerintahan Di Daerah Dalam Bayang-Bayang Budaya Patron-Klien, Bandung: Alumni.
Kim, Uichol, Harry C. Triandis, Cigdem Kagitcibasi, Sang-Chin Choi, and Gene Yoon.1994. Individualism and Collectivism, Theory, Method, and Applications. California: SAGE Publications, Inc.
Koentjaraningrat. 1975. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.
1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
2004. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijoyo. 1994. Demokrasi dan Budaya Birokrasi. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Luthans, Fred dan Jonathan P. Doh. 2009. International Management-Culture, Strategy, and Behavior.New York: McGraw-Hill/Irwin.
Martojo, Hendro. 2008. Kinerja Aparat Pemerintah Masih Diwarnai Budaya Negatif dan Ketimuran.http://www.bpkp.go.id
Masdiana, Erlangga. 2004. Nepotisme dan “Bureaumania” dalam Birokrasi. Makalah.
Mas’oed, Mochtar. 1997. Politik, Birokrasi, dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhtar, Entang Adhy. 2008. Pelayanan Publik Di Indonesia Dalam Perspektif Kultural Dan Etika. Makalah.
Nordholt, Nico Schulte. 1987. Ojo Dumeh, Perilaku Kepemimpinan Lokal dalam Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang, Model-Model Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2007. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Uraian Sederhana tentang Gaya Bahasa atau Majas.Yogyakarta: Indonesia Tera.
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi.Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ratminto, dan Atik Septi Winarsih. 2007. Manajemen Pelayanan, Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Revida, Erika. 2007. Penataan Ulang Birokrasi dan Kualitas Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Administrasi Kepegawaian Negara pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) – Universitas Sumatra Utara. http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb 2007 erika revida.pdf.
Robbins, Stephen P. 1996. Organizational Behavior. alih bahasa: Perilaku Organisasi. Hadyana Pujaatmaka. 1996. Jakarta: Prenhallindo.
Root, Steven J. 1998. Beyond COSO: Internal Control to Enhance Corporate Governance. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Salter, Stephen B. and FrederickNiswander. 1994. “Cultural Influence on The Development of Accounting Systems Internationally: A Test of Gray’s (1988) Theory.” Journal of International Business Studies: 379-397.
Schein, Edgar H. 1985. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco, California: The Josses-Bass Business & Management Series.
Schwartz, S.H. 1994. Beyond Individualism/Collectivism: New Cultural Dimensions of Values. California: SAGE Publications.
Schwartz, S.H. 2004. Mapping and Interpreting Cultural Differences around the World appear in Comparing Cultures, Dimensions of Culture in a Comparative Perspective by H. Vinken, J. Soeters & P. Ester (Eds). Leiden, The Netherlands: Brill.
Siagian, Sondang P. 1995. Patologi Birokrasi Analisis, Identifikasi, dan Terapinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Statement of Accounting Standards (SAS) No. 99. 2002. “Consideration of Fraud in A Financial Statement Audit.”
Sudarwan, M. and Fogarty, Timothy J. 1996. ”Culture and Accounting in Indonesia: An Empirical Examination.” The International Journal of Accounting 31 (4): 463-481.
Sugiyono.2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Supranto, J. 2004. Analisis Multivariat, Arti dan Interprestasi. Jakarta: Rineka Cipta.
Susanto, A.B.,et al. 2008. Corporate Culture & Organization Culture. Jakarta: Divisi Penerbitan The Jakarta Consulting Group.
Suseno, Franz Magnis.2001. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sutardjo, Imam. 2006. Mutiara Budaya Jawa. Surakarta: Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret
Syafiie, Inu Kencana. 2004. Birokrasi Pemerintahan Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission. 1992. Internal Control-Integrated Framework. Jersey City, New Jersey: COSO.
Thoha,Miftah.1991. Perspektif Perilaku Birokrasi. Jakarta: Rajawali Pers.
2009. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Umar, Husein. 1997. Metodologi Penelitian : Aplikasi dalam Pemasaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Vecchio, Robert P. 2006. Organizational Behavior: Core Concepts.Ohio: South-Western, part of the Thomson Corporation.
Violet, William J. 1983. “The Development of International Accounting Standards: An Anthropological Perspective.” The International Journal of Accounting 18 (2): 1-12.
Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik ( Teori, Proses, dan Studi Kasus).Yogyakarta: CAPS
Zarzeski, Marilyn Taylor. 1996. “Spontaneous Harmonization Effects of Culture and Market Forces on Accounting Disclosure Practices.” Accounting Horizons 10 (1): 18-37.
Zuhro,Siti, Umar Juoro dan AndrinofChaniago. 2007. Profesionalitas dan Netralitas Birokrasi: Menuju Daya Saing Ekonomi Daerah (Studi di Empat Provinsi). Jakarta: The Habibie Center.
top related