2. tinjauan pustaka 2.1. deskripsi waduk malahayu. · waduk malahayu berada di desa malahayu...
Post on 03-Mar-2019
227 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Waduk Malahayu.
Waduk Malahayu berada di Desa Malahayu Kecamatan Banjarharjo,
Kabupaten Brebes Jawa Tengah, dan terletak di daerah aliran sungai Cikabuyutan.
Waduk ini mulai dibangun pada bulan Desember tahun 1933 dan mulai beroperasi
tahun 1935. Pemanfaatan air Waduk Malahayu yang semula adalah untuk irigasi,
pengendali banjir, pertanian, peternakan, pariwisata dan saat ini telah berkembang
menjadi kegiatan penebaran benih ikan untuk usaha perikanan (ranching).
Menurut Wahyudi et al. (2002), telah tarjadi terjadi penyusutan volume
tampungan waduk akibat sedimentasi yaitu dari 41,88 juta m3 pada tahun 1995
menjadi 37,074 juta m3. Kondisi ini mengindikasikan Daerah Aliran Sungai
(DAS) waduk mengalami erosi dan terbawa ke reservoir. Karakteristik daerah
tangkapan tersebut 50% erosi dan cenderung menimbulkan sedimen di dalam
tampungan waduk yang perlu untuk direhablitasi sehingga tidak terjadi
pendangkalan yang mempengaruhi umur waduk, elevasi tertinggi daerah
tangkapan air mencapai +957 mdpl. Menurut Ilyas et al. (1992) umur pelayanan
waduk merupakan fungsi dari volume tangkapan aktif menandakan semakin
pendek umur pelayanan operasional waduk.
2.2. Morfometri Waduk Malahayu
Pengetahuan mengenai morfometrik waduk sangat penting dalam kajian
budidaya perikanan. Pengetahuan morfologi waduk dapat memberikan gambaran
tentang perubahan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Perubahan-perubahan
tersebut meliputi perubahan debit air, keanekaragaman ikan, dan tingkat
kesuburan, tingkat kesuburan sangat penting karena merupakan faktor yang
mempengaruhi budidaya perikanan.
Menurut Wahyudi et al. (2002) ciri morfometrik Waduk Malahayu
termasuk perairan terbuka, tepian perairan dan daerah derodon sedang, sebagian
besar terdiri dari daerah datar dan kemiringan landai sampai daerah kemiringan
sedang, kemiringan hilir 1:2,25. Aliran yang masuk ke tampungan waduk
mencapai 78 juta km2 dalam evaluasi tertinggi mencapai tampungan waduk + 987
7
mdpl. Terdapat tepian dinding waduk bagian selatan digunakan dinding batuan
dengan lebar dinding batuan yang digunakan sekitar 100 meter yang menjurus
sampai ke dasar waduk, jumlah teluk banyak, garis pantai yang panjang dan
daerah tangkap hujan luas. Bentuk gradien longitudal perairan Waduk Malahayu
secara umum dibagi dalam zona mengalir (riverin), dan zona (lakustrin). Zona
mengalir dari sumber utama berbeda di inlet waduk yang terjadi pengaliran air
masuk dari sungai Cikabuyutan, zona mengalir mempunyai kekuatan arus yang
cukup keras tergantung musim, ketersediaan hara tinggi serta terjadi penetrasi
cahaya optimal, dangkal. Sedangkan zona tergenang terdapat pada daerah
penebaran benih. Berdasarkan Ace et al. (1988) dalam Wahyudi et al. (2002)
Secara fisik bangunan utama Waduk Malahayu dibuat dengan ketinggian 24
meter, berupa timbunan tanah dan inti lempeng kemiringan 1:2,25 dengan tiga
dam selebar 1,7 meter pada elevasi 59,25 meter, panjang mercu 177 meter,
pelimpah dibuat dari pasangan batu pada elevasi mercu 55,75 meter dan panjang
40,22 meter, bangunan intake berupa menara beton setinggi 30 meter dengan
diameter 4,9 meter.
Luas genangan air 9,25 km2 dengan ketinggian muka air +55,75 meter
diatas air laut, volume air 38.880.080 m3 dan kedalaman air rata-rata 12,75 meter
(Wahyudi et al. 2002). Air waduk dialirkan ke Bendung Nambe kemudian
digunakan untuk operasional irigasi dari daerah Kabuyutan.
2.3. Hidroklimatologi dan DAS Waduk Malahayu.
Curah hujan rata-rata pertahun dapat dibagi menjadi bagian hulu dan
bagian hilir. Bagian hilir pada elevasi +56 m, curah hujan rata-rata 1.506-3.513
mm. Sedangkan pada bagian hulu pada elevasi +90 m, curah hujan rata-rata
1.753-4.268 mm, aliran yang masuk tampungan waduk rata-rata pertahun
mencapai 78 juta km3 yang dapat diperinci 77,5% aliran masuk pada bulan Januari
sampai April, 17,13% aliran masuk pada bulan Mei sampai Juni, Desember dan
5,2% aliran masuk pada bulan Juli (Wahyudi et al. 2004). Daerah Aliran Sungai
(DAS) Waduk Malahayu seluas 64 km2 pada posisi koordinat 70 7’25 LS, sekitar
40% dari luas DAS merupakan daerah berbukit-bukit dan berupa hutan pohon jati
(Widyayanti, 2007).
8
2.4. Daya Dukung Ekosistem Perairan waduk.
Waduk biasanya dibentuk dengan membangun dan melintasi sungai
sehingga air bendungan berada dibelakang dam (Ryding dan Rast, 1989).
Biasanya waduk memiliki drainase, kedalaman rata-rata, kedalaman maksimum,
luas beban perairan yang lebih besar dibanding danau, tetapi dengan waktu tinggal
yang lebih pendek dibanding danau. (Straskraba dan Tundisi, 1999) yang
menyatakan bahwa waduk dibuat dan diciptakan manusia untuk tujuan tertentu.
Waduk telah memberikan keuntungan dan konstribusi yang sangat besar untuk
manusia karena bisa dimanfaatakn untuk pembangkit tenaga listrik, irigasi,
ekoturisme, pertanian irigasi dan air minum. Namun peruntukan yang paling
banyak adalah sebagai sumber pembangkit tenaga listrik. Kondisi lingkungan
waduk sangat dipengaruhi oleh dua faktor. Faktor pertama adalah faktor dari
alam, yaitu semakin lama umur waduk akan mengalami pendangkalan karena
sedimentasi. Pendangkalan tentu akan berpengaruh terhadap volume air,
kandungan oksigen, plankton-plankton, yang pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap biota perairan yang hidup. Faktor yang kedua adalah faktor manusia juga
mendapat peran yang sangat penting terhadap memburuknya kondisi lingkugan
waduk.
Pengetahuan tentang konsep daya dukung perairan telah lama dikenal dan
dikembangkan dalam lingkungan budidaya perikanan, seiring dengan peningkatan
pemahaman akan pentingnya pengelolaan lingkungan budidaya untuk menunjang
kontinuitas produksi. Dalam perencanaan atau desain suatu sistem produksi
budidaya perikanan, nilai daya dukung dimasukkan sebagai faktor penting untuk
dapat menjamin siklus produksi dalam waktu yang lama. Pengertian tentang daya
dukung lingkungan perairan adalah sesuatu yang berhubungan erat dengan
produktivitas lestari perairan tersebut. Artinya, daya dukung lingkungan perairan
itu sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua
unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan suatu
ekosistem (Poernomo, 1994). Daya dukung suatu lingkungan (ekologi) berperan
terhadap mempertahankan maksimum potensi produksi suatu spesies atau
populasi dalam kaitannya dengan sumber makanan alami di ekosistem tersebut
9
(FAO, 1992). Dalam budidaya air tawar, daya dukung dipahami dan ditegakkan
untuk perlindungan sumberdaya perairan sehingga hasil produksi maksimal dapat
dicapai (Buyukcapar et al. 2006).
Perkiraan daya dukung untuk budidaya perairan tawar adalah masalah
yang kompleks. Kompleksitas tersebut banyak berasal dari interaksi antara faktor
fisik, kimia dan biologi di lingkungan budidaya (Duarte et al. 2003). Daya
dukung kualitas perairan yang meliputi fisika, kimia dan biologi dipengaruhi oleh
aktifitas pertanian, pemukiman penduduk, pasar maupun industri yang berada
disekitar aliran sungai. Odum (1993) menyatakan bahwa kegiatan manusia yang
cenderung makin meningkat terutama di daerah aliran sungai memberikan
dampak terhadap perubahan kualitas perairan disekitarnya. Kualitas air dapat
dideteksi dengan berbagai cara, seperti dengan analisa fisika, kimia dan analisis
biologi (Hynes, 1978 dalam Rosenbreg, 1993). Perubahan lingkungan yang
mempengaruhi daya dukung dapat menyebabkan kepunahan spesies ikan dalam
pengelolaan perikanan yang berkelanjutan (Akpalu, 2009).
2.5. Kapasitas Asimilasi Daya Dukung Perairan.
Konsep daya dukung lingkungan beserta ukuran-ukuran kuantitatifnya
dimasing-masing lokasi (danau/waduk) menjadi sangat penting untuk diketahui.
Ukuran mengetahui daya dukung dengan mengetahui beban limbah yang berada
di dalam maupun yang masuk ke badan perairan budidaya. Limbah yang masuk
ke dalam sistem budidaya dapat berasal dari perairan sekitarnya di samping
sumbangan terbesar masukan dalam budidaya yang menghasilkan sisa pakan dan
kotoran yang terlarut ke dalam perairan sekitarnya Boyd dan Lichtkoppler,
(1979). Limbah tersebut akan diencerkan oleh perairan penerimanya dan akan
diasimilasi (didegradasi) menjadi unsur hara oleh mikroba yang ada di perairan
penerima. Kapasitas dan daya tampung perairan penerima limbah berbanding
lurus dengan kualitas dan kuantitas perairan (Widigdo et al. 2000).
Limbah yang masuk ke dalam lingkungan budidaya dalam jumlah
berlebihan akan menurunkan kualitas perairan dan dapat menghambat
pertumbuhan ikan budidaya, kosentrasi limbah pada batas tertentu dapat
menimbulkan kematian organisme. Untuk menghindari kondisi lingkungan yang
10
tidak diinginkan tersebut, perlu diketahui kemampuan perairan di dalam
menerima limbah tersebut sampai pada batas (nilai ambang) yang aman, artinya
tidak mengganggu siklus produksi budidaya.
2.6. Estimasi Daya Dukung Perairan Tawar.
Estimasi daya dukung dalam budidaya perikanan tawar dengan media
budidaya seperti di waduk atau danau jauh lebih mudah dan sederhana
dibandingkan untuk perairan terbuka seperti di estuari atau teluk. Daya dukung
lingkungan perairan sangat erat kaitannya dengan asimilasi dari lingkungan yang
menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa
menyebabkan polusi. ( UNEP, 1993). Kesederhanaan formula dan perhitungan-
perhitungan daya dukung perairan waduk atau danau karena disebabkan hidrologi
yang mempengaruhi dinamika limbah budidaya tidaklah tinggi bahkan kerap
dianggap stagnan (Beveridge, 1987)
Sistem budidaya yang memperhitungkan ukuran daya dukung lingkungan
perairan tempat berlangsungnya kegiatan budidaya dalam menentukan skala
usaha/ukuran unit usaha akan dapat menjamin kontinuitas hasil panen. Sistem
budidaya model ini sering diperkenalkan sebagai sistem budidaya berkelanjutan
(Piper et al. 1982 dalam Ali, 2004).
2.7. Karakteristik Badan Air dan Kualitas Lingkungan Perairan.
Parameter kualitas lingkungan perairan seperti suhu, pH, nitrogen,
phosphor, oksigen terlarut, dan sejumlah variabel penting lainnya sebagai
parameter kualitas perairan yang diteliti sebagai acuan pengembangan budidaya
ikan, harus berada dalam kisaran yang mendukung kehidupan dan pertumbuhan
spesies yang dibudidayakan (Lawson, 1995). Empat variabel daya dukung yang
mempengaruhi budidaya di Waduk yaitu temperatur, pH, DO, dan kedalaman
secchi Beveridge, (1996).
Karakteristik ekologi waduk, inflow dan outflow, volume harus
dipertimbangkan dalam menentukan pengelolaan sumberdaya perikanan budidaya
yang sesuai dengan kondisi suatu lingkungan (Buyukcapar et al. 2006). Badan
air dicirikan oleh empat komponen utama, yaitu komponen hidrologi, komponen
11
fisika, kimia, dan komponen biologi. Effendi, ( 2003) mengatakan air berasal dari
dua sumber, yaitu air permukaan (surface water) dan air tanah (ground water).
Air permukaan adalah air yang berasal dari sungai, danau, waduk, rawa dan badan
air lain yang tidak mengalami infiltrasi ke bawah tanah. Kedalaman badan air
memberikan dampak terhadap peningkatan beban nutrient waduk.
Kualitas perairan yang buruk sering terjadi pada waduk yang telah tua
karena telah terjadi pembentukan sedimentasi di dasar perairan, dan genangan
perairan yang relatif permanen seperti pada Waduk Malahyu dan juga waduk lain
di Indonesia. Waduk Malahayu memiliki berbagai potensi pemanfaatan untuk
masyarakat baik dibidang sosial ekonomi, tempat budidaya ikan, tempat
pariwisata. Pemanfaatan ini harus berkelanjutan, untuk itu proses perubahan
kearah penurunan kualitas badan air Waduk Malahayu harus dihindarkan dengan
mendorong pemerintah untuk melakukan rehablitasi pengerukan sedimen dan
pembilasan. Thornton et al. (1990) menyatakan pelepasan musiman nutrient dari
tempat penyimpanan ke waduk (contoh sedimen) memberikan pengaruh terhadap
status nutrient waduk terutama selama periode ketika input dari sumber eksternal
minimal (Cooke et al. 1977 dalam Thornton et al. 1990).
Pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan manusia (Antropogenik)
merupakan permasalahan lingkungan yang berpengaruh terhadap perairan waduk
(Gambar 2). Pada ekosistem tergenang seperti danau atau waduk, unsur yang
berperan terhadap penurunan kualitas perairan adalah phosphor yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas perairan yang bersangkutan.
2.8. Stasus Trofik
Status trofik suatu perairan mencerminkan tingkat kesuburan perairan
sehingga berguna untuk pengelolaan. Status trofik dapat ditentukan berdasarkan
beberapa parameter seperti nutrien (nitrat) dan (fosfat), klorofil-a dan kecerahan.
Konsentrasi N dan P merupakan salah satu indikator kualitas air dengan
hubungannya dengan kesuburan perairan. Kedua unsur ini sangat dibutuhkan
untuk pertumbuhan fitoplankton. Sumber N dan P dapat berasal dari luar dan dari
dalam badan air. Sumber yang berasal dari luar antara lain dari atmosfer ke
permukaan air melalui hujan; jatuhan partikel kering (dry fallout); run off dari
12
lahan pertanian, peternakan, hutan dari limbah domestik maupun limbah industri.
Sumber yang berasal dari badan air sendiri antara lain dari proses dekomposisi
nutrien pada sedimen, tumbuhan air serta fiksasi N udara bebas oleh
mikroorganisme menjadi N organik (Ryding dan Rast, 1989).
Kualitas air sering dipakai sebagai acuan terhadap pendekatan tingkat
kesuburan suatu perairan, dan tingkat kesuburan perairan juga ditentukan oleh
unsur hara di dalamnya. Menurut USEPA dalam Henderson-Seller dan
Markland, (1987) menyebutkan bahwa secara garis besar suatu badan air telah
mengalami proses eutrofikasi dengan ditandai adanya penurunan konsentrasi
oksigen terlarut pada lapisan hipolimnion, kenaikan konsentrasi nutrien N dan P,
kenaikan Suspended solid terutama material organik, penurunan penetrasi cahaya
(kecerahan menurun), terjadi blooming alga, konsentrasi fosfor dan sedimen serta
keragaman jenis alga rendah tetapi padat serta tinggi produktivitasnya. Perairan
yang mengalami eutrofikasi mengakibatkan terjadinya kematian masal ikan dari
ukuran benih ikan hingga ikan dewasa yang berada dalam perairan tersebut.
Kematian masal ikan merupakan akibat dari akumulasi bahan organik baik pada
dasar perairan maupun pada kolom perairan. Tingkat kesuburan suatu perairan
adalah suatu gambaran yang mencerminkan kaya miskinnya sistem trofik dari
suatu ekosistem. (Odurn, 1971). Status trofik suatu perairan pada Tabel 1
(Wetzel, 2001).
Tabel 1. Kriteria klasifikasi status trofik perairan danau dan waduk (Ryding &
Rast, 1989; Wetzel, 2001).
Parameter Status Trofik Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik Hipereutrofik
Fosfat-Total (mg/m3) Rata-rata 8,0 26,7 84,4 - Antara 3,0-17,7 10,9-95,6 16,2-386 750 -1200 Nitrogen-Total (mg/m3) Rata-rata 661 753 1875 - Antara 307-1387 361-1630 393-6100 - Klorofil-a (mg/m3) Rata-rata 1,7 4,7 14,3 - Antara 0,3-4,5 3 -11 3-78 100 -150 Kedalaman Sekki (m) Rata-rata 9,9 4,2 2,45 - Jarak 5,4-28,3 1,5-8,1 1,5-7,0 0,4-0,5
13
Masuknya unsur hara kedalam badan air menyebabkan terjadinya proses
eutrofikasi perairan. Ciri-ciri perairan yang mengalami proses eutrofikasi adalah:
kensentrasi oksigen terlarut di zona hipolimnion menurun, konsentrasi unsur hara
meningkat, padatan tersuspensi terutama bahan organik meningkat, dominasi
diatom digantikan oleh alga biru dan alga hijau dan penetrasi cahaya menurun
(Henderson & Markland, 1987).
Perairan waduk berdasarkan tingkat kesuburannya diklasifikasikan
menjadi 3 yaitu oligotrofik, eutrofik dan mesotrofik menurut Colle, 1988 dalam
Effendi, (2003).
a. Perairan oligotrofik merupakan perairan yang tingkat kesuburannya rendah
dengan beberapa ciri sebagai berikut:
Sangat dalam, termoklin tinggi, hipolimnion, suhu epoliminion lebih
dingin.
Kandungan bahan organik yang tersuspensi dan didasar perairan kecil.
Kandungan kalsium, fosfat, dan nitrat miskin, bahan humus sangat sedikit
atau hampir tidak ada.
Kandungan oksigen terlarut tinggi pada seluruh kedalaman dan umumnya
terjadi sepanjang tahun;
Tanaman air tingkat tinggi sangat sedikit.
Kualitas (populasi) plankton terbatas.
b. Perairan mesotrofik merupakan perairan yang tingkat kesuburanya sedang
dengan beberapa ciri sebagai berikut:
Umumnya dangkal, temperatur bervariasi.
Kandungan humus tinggi.
c. Perairan eutrofikasi merupakan perairan yang tingkat kesuburanya tinggi
dengan beberapa ciri sebagai berikut:
Umumnya dangkal
Kandungan oksigen terlarut sedikit bahkan hampir tidak ada pada lapisan
hipolimnion .
Keanekaragaman algae rendah, densitas tinggi, produtivitas tinggi sering
didominasi oleh Cyanophiceae, sering terjadi peledakan pertumbuhan
algae.
14
Unsur hara tinggi, produktivitas hewan akuatik tinggi.
Menurut (Sukadi, 2007), klasifikasi tingkat kesuburan perairan secara
umum dan status trofik disajikan pada (Tabel 2).
Tabel 2. Klasifikasi tingkat kesuburan perairan berdasarkan unsur hara dan biomassa fitoplankton (klorofil-a)
Parameter Klasifikasi kesuburan
Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik Hypereutrofik
Rata-rata Total N (Ug/L) 661 753 1875 Tinggi
Rata-rata Total P 8,0 26,7 84,4 >200
Rata-rata
1 4,7 14,3 100-200> Klorofil-a (ug/L) Puncak konsentrasi 4,2 16,1 42,6 >500 klorofil-a (ug/L) Sumber: UNEP-ELEC, Vol.3, 2001 dalam Sukadi, 2007
2.9. Faktor Fisika Perairan
2.9.1. Suhu
Suhu adalah parameter lingkungan perairan yang merupakan salah satu
parameter yang mengatur baik proses fisika maupun proses kimia yang terjadi di
dalam suatu perairan untuk mengetahui daya dukung. Suhu perairan akan
mempengaruhi kelarutan oksigen, komposisi substrat, kekeruhan maupun
kecepatan reaksi kimia di dalam air.
Di air tawar suhu kolam air stabil akan menurun dengan bertambahnya
kedalaman jika suhu air lebih besar 40C. Peningkatan suhu juga menyebabkan
penurunan kelarutan gas dalam air. Menurut Effendi, (2003) Peningkatan suhu
menyebabkan peningkatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan
selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu juga
menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba.
Suhu dapat menyebabkan stratifikasi pada danau/waduk. Lapisannya di bedakan
antara lain; epilimnion adalah lapisan bagian atas yang lebih hangat, hypolimnion
adalah lapisan bagian bawah yang lebih dingin, dan metalimnion dengan
thermoklin di antara kedua lapisan tersebut (Goldman, dan Horne, 1983).
Thermoklin adalah lapisan air yang berada diantara lapisan permukaan yang lebih
15
hangat (epilimnion) dan lapisan dasar yang lebih dingin (hipolimnion) (Hehanusa
& Haryani, 2001).
Menurut Effendi (2003) menyatakan, pada lapisan thermoklin terjadi
penurunan suhu secara tajam. Dalam hal ini intensitas cahaya yang masuk dalam
suatu perairan akan menentukan derajat panas perairan, yakni semakin banyak
sinar matahari yang masuk kedalam suatu perairan, semakin tinggi suhu airnya.
Namun semakin bertambahnya kedalaman, akan menurunkan suhu perairan
(Welch, 1980). Variasi suhu dan kedalaman di sistem air tawar yang stabil dimana
suhu < 40C. Pada kasus ini kolom air lebih dingin daripda diatasnya sehingga suhu
yang lebih rendah ditemukan di permukaan. Kolom air meskipun demikian, stabil
karena densitas air tawar meningkat dengan bertambahnya suhu pada suhu di
bawah 40C (Liaws, 1993). Ketiak terjadi stratifikasi suhu musim panas, danau
memasuki periode stagnan, sampai di mana air dihioliminium menjadi stagnan
selama musim panas.
2.9.2. Kecerahan
Kecerahan perairan menunjukan tingkat intensitas cahaya matahari yang
mampu menembus kolom air hingga mendukung proses fotosintesis fitoplankton.
Sinar matahari dibutuhkan oleh fitoplankton dan tumbuhan air untuk untuk
fotosintesis yang menghasilkan oksigen (Effendi., 2003). Kecerahan air
tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi
perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan sechi disk (true
color) dan warna tampak (apparent color) (Effendi, 2003).
Kecerahan perairan menurut (Parson & Takahashi, 1973) merupakan suatu
kondisi yang menggambarkan suatu kemampuan penetrasi cahaya matahari untuk
menembus permukaan air sampai kedalaman tertentu. Bersarnya kecerahan suatu
perairan sangat tergantung pada warna air dan kekeruhan, dalam hal ini semakin
gelap warnanya akan semakin keruh, maka kecerahannya semakin rendah.
Kecerahan ditentukan secara visual dengan menggunakan piring sechi dan
nilainya dinyatakan dalam satuan meter atau persen nilai kecerahan sangat
dipengaruhi oleh cuaca, waktu pengukuran, padatan tersuspensi serta ketelitian
pengukuranya.
16
2.10. Faktor Kimia Perairan
2.10.1. pH
PH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen dalam perairan
yang menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Menurut Makereth et
al. (1989) pH terkait sangat erat dengan kandungan karbon dioksida dan
alkalinitas. Pada pH yang kurang dari 5 alkalinitasnya bisa tidak terdeteksi. Makin
tinggi nilai pH semakin tinggi nilai alkalinitas dan makin rendah kandungan
karbon dioksida bebasnya. Toksisitas dari senyawa kimia juga dipengaruhi oleh
pH. Nilai pH normal suatu perairan danau adalah 6-9 (Goldman & Horne, 1983).
Senyawa amonium yang dapat terionisasi benyak ditemukan pada perairan dengan
pH rendah. Amonium bersifat tidak toksik (innocuous). Pada suasana alkalis (pH
tinggi) lebih banyak ditemukan amonia yang tidak terionisasi (unionized) dan
bersifat toksik. Amonia lebih mudah terserap kedalam tubuh organisme akuatik
dibandingkan amonium. Proporsi dari total amonia nitrogen yang tidak terionisasi
(NH3) akan meningkat dengan meningkatnya suhu dan pH. Pengaruh dari pH bagi
konsentrasi amonia tidak terionisasi sangat tinggi dibandingkan pengaruh dari
suhu (Boyd, 1982). Proses biokimiawi perairan seperti nitrifikasi sangat
dipengaruhi oleh nilai pH. Proses nitrifikasi akan berakhir jika pH bersifat asam.
Pada pH 4,5 -5,5 proses nitrifikasi akan terhambat (Novonty & Olem, 1994 dalam
Effendi, 2003). Selanjutnya Effendi, (2003) menjelaskan bakteri pada umumnya
tumbuh dengan baik pada pH netral dan alkalis. Oleh karena itu proses
dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat pada kondisi pH netral dan
alkalis. Jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik yang tinggi, maka hasil
dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya adalah karbon dioksida. Didalam
karbondioksida ini akan membentuk asam karbonat (Moss, 1993), keadaan ini
juga bisa terjadi jika 1% dari karbon dioksida bereaksi dengan air, sehingga
membentuk asam karbonat (Cole, 1988).
2.10.2. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen )
Komponen yang paling penting bagi ekosistem danau atau waduk adalah
oksigen terlarut dalam air untuk metabolisme tumbuhan dan hewan akuatik.
17
(Lytras, 2007). Dinamika distribusi oksigen terlarut diperairan merupakan dasar
untuk mengetahui perilaku organisme yang tumbuh diperairan, kelarutan oksigen
umumnya dipengaruhi oleh peningkatan suhu. Distribusi oksigen dalam kolom air
danau bervariasi saat fotosintetik berlangsung yang disebabkan oleh oksidasi
biochemichal dan kehadiran oksigen terlarut (Lytras, 2007).
Oksigen terlarut adalah salah satu parameter paling mendasar diperairan
karena mempengaruhi kehidupan organisme akuatik (Alabstar dan Liyod, 1980
dalam Hamilton dan Schaldov, 1994). Atmosfier bumi mengandung oksigen
sekitar 210 ml/liter. Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam
perairan. Kadar oksigen yang terlarut diperairan alami bervariasi, tergantung pada
suhu, salinitas dan turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan
ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut
semakin kecil (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003).
Proses fotosintesis mengahasilkan oksigen, yang merupakan input utama
di perairan yang subur (Seller dan Markland, 1987; Thornton et al. 1990). dan
perubahan kimia di sedimen interfase (Mortimer, 1971, Bostrim et al. 1982 dalam
Hamilton dan Schaldow, 1994). Fotosintesis bertanggungjawab terhadap pulse
oksigen diepiliminion waduk.
Oksigen terlarut dalam perairan merupakan konsentrasi gas oksigen yang
terlarut di dalam air yang berasal dari proses fotosintesa oleh fitoplankton atau
tumbuhan air lainnya di zone eufotik, serta difusi dari udara (APHA, 1989).
Oksigen terlarut merupakan zat yang paling penting dalam sistem kehidupan di
perairan, dalam hal ini berperan dalam proses metabolisme oleh makro dan
mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik yang berasal dari fotosintesis.
Selain itu juga mempunyai peranan yang penting dalam penguraian bahan-bahan
organik oleh berbagai jenis mikroorganisme yang bersifat aerobik (APHA, 1989),
sehingga jika ketersedian oksigen tidak mencukupi akan mengakibatkan
lingkungan perairan dan kehidupan dalam perairan menjadi terganggu, sekaligus
akan menurunkan kualitas air. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara
harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada pencampuran (mixing), dan
pergerakan (turbulance) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah
(effluent) yang masuk ke badan air (Effendi, 2003).
18
Kadar oksigen terlarut diperairan yang sama dengan kadar oksigen teoritis
disebut kadar oksigen jenuh atau saturasi. Sedangkan kadar oksigen yang lebih
kecil dari kadar oksigen secara teoritis disebut tidak jenuh, yang melebihi nilai
jenuh disebut super saturasi. Kejenuhan oksigen diperairan dinyatakan dengan
persen saturasi (Jeffries & Mills 1996 dalam Effendi, 2003). Kandungan oksigen
terlarut di danau dapat menentukan daerah trofik. Perairan yang oligotrofik
menunjukan variasi yang kecil dari oksigen saturasi, sedangkan perairan yang
eutrofik kisaran oksigen saturasinya bisa mencapai 250%. Selain itu bahan
organik dari sumber alam atau dari domestik dan industri merupakan limbah yang
dapat menyebabkan terjadinya penurunan kelarutan oksigen di perairan (Golman
& Horne, 1983).
Sumber oksigen terlarut di hipoliminium hampir tidak ada. Setelah
stratifikasi suhu yang permanen pada musim panas, danau akan mengalami
periode stagnan di bawah termoklin, dengan suhu yang rendah, densitas yang
lebih tinggi, lebih kental daripada lapisan atas, dimana gas-gas dan produk
dekomposisi terakumulasi (Welch, 1980). Sumber oksigen terlarut di perairan
yang utama adalah difusi udara. Laju transfer oksigen tergantung pada konsentrasi
oksigen terlarut di lapisan permukaan, konsentrasi saturasi oksigen, dan bervariasi
sesuai kecepatan angin (Seller dan Markland, 1987). Adsorpsi oksigen dari udara
ke air melalui dua cara yaitu: Difusi langsung ke permukaan air atau melalui
berbagai bentuk agitasi air permukaan, seperti gelombang, air tejun, turbulensi
(Wrlch, 1952). Sumber oksigen terlarut sebagian adalah aerasi permukaan (Seller
dan Markland, 1987). Susupan oksigen terlarut ke badan air dapat terjadi karena
inflow. Di waduk inflow yang utama masuk di bagian atas. Jika densitas inflow
berbeda dengan dengan densitas air permukaan, maka inflow masuk dan bergerak
di waduk sebagai arus densitas.
2.10.3. Fosfat
Kadar fosfat yang tinggi dalam perairan melebihi kebutuhan normal
organisme akan menyebabkan eutrofikasi yang memungkinkan plankton
berkembang dalam jumlah melimpah kemudian akan mengalami kematian masal.
Kematian masal plankton akan menurunkan oksigen terlarut secara drastis dan
19
kondisi ini akan membahayakan biota yang dibudidayakan. Kadar fosfat perairan
yang aman dan baik adalah 0,2-0,5 mg/l (Mayunar et al., 1995). Ortofosfat adalah
bentuk fosfor yang secara langsung dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik.
Sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis untuk membentuk Ortofosfat
sebelum dimanfaatkan sebagai fosfor. Fosfor merupakan salah satu unsur penting
dalam pertumbuhan dan metabolisme tubuh diatom. Fosfat dapat menjadi faktor
pembatas, baik secara temporal maupun spasial (Raymont, 1980). Keberadaan
fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, kadarnya lebih kecil daripada
nitrogen, karena sumber fosfor yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan
sumber nitrogen. Sumber fosfor alami yang terdapat di dalam air berasal dari
pelapukan batuan mineral dan hasil dekomposisi organisme yang telah mati.
Di alam biasanya fosfat berasal dari erosi batuan disebabkan perubahan
iklim, atau ekskresi manusia dan detergen serta pertanian atau penggunaan lahan
(Golterman, 1973). Pada umumnya fosfat yang berada di perairan banyak terdapat
dalam bentuk fosfat organik. Sumber utama fosfat anorganik terutama berasal dari
penggunaan deterjen, alat pembersih untuk keperluan rumah tangga serta berasal
dari industri pupuk pertanian. Sedangkan fosfat organik berasal dari makanan dan
buangan rumah tangga. Semua fosfat mengalami proses perubahan biologis
menjadi fosfat organik yang selanjutnya digunakan oleh tanaman untuk membuat
energi. Fosfat sangat berguna untuk pertumbuhan organisme dan merupakan
faktor yang menentukan produktivitas badan air.
Fosfat yang terlarut dalam perairan pada keadaan normal biasanya
terbentuk Ortofosfat yang ada diperairan dalam jumlah yang rendah. Menurut
Sutamihardja (1978) dalam Prihadi (2005) kandungan fosfat terlarut dalam
perairan alam umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/L. Jika dalam suatu perairan
terjadi masukkan bahan pencemar dalam jumlah yang tinggi dan mengakibatkan
kandungan fosfatnya cukup tinggi dapat mengakibatkan terjadinya proses
eutrofikasi atau keadan lewat subur yang mengakibatkan terjadinya pertumbuhan
plankton yang tidak terkendali.
Phosphor memiliki peran utama dalam mengendalikan produktivitas di
perairan tawar (Linkes, 1972) dan merupakan elemen pertama pembatas di
perairan. Rasio N:P bervariasi sebagai bahan dasar dalam struktur tubuh
20
fitoplankton (Lytras, 2007). Unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas
sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut
(Ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat (Effendi,
2003).
Total P adalah salah satu nutrien yang penting untuk mengetahui mengenai
eutrofikasi. Fosfor sering digunakan sebagai kunci untuk menjelaskan kualitas
algae yang ada di danau. Soegiarto dan Birowo, (1976) menyatakan kandungan
fosfat pada lapisan permukaan lebih rendah daripada lapisan bawahnya, sehingga
kandungan fosfat yang tinggi di lapisan permukaan dapat dipakai sebagai indikasi
terjadinya proses penaikan masa air.
Fosfor merupakan unsur esensial bagi pembentukan protein dan
metabolisme sel organisme dan fosfor terdapat dalam bentuk senyawa orthofosfat
(P0430), metafosfat (P3O930 )dan polifosfat (PiO430) serta dalam bentuk organik
(Wardoyo, 1982). Kandungan fosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton
berada pada kisaran 0,27-5,51 ppm (Bruno et al.1979 dalam Widjaja et al.1994).
Fosfat mempengaruhi komposisi fitoplankton, pada perairan yang memiliki nilai
fosfat rendah (0,00-0,02 ppm) akan dijumpai dominasi diatom terhadap
fitoplankton yang lain, dan pada perairan dengan nilai fosfat sedang (0,02-0,05
ppm) akan banyak dijumpai jenis Cholorohyceae, sedangkan pada perairan
dengan nilai fosfat tinggi (>0,10 ppm) akan didominasi oleh Cyanophiceae
(Moyle 1946 dalam Kaswadji, (1976). Menurut (Hans W., Paerl et al. 2010)
Ledakan Cyanobacterial (Microcystis) mencerminkan ekosistem perairan tawar
terjadi eutrofikasi, karena perairan telah menunjukan peningkatan N & P
berlebihan. Upaya yang dilakukan dalam manajemen tradisional adalah
mengontrol terjadinya ledakan dengan cara pengurangan input Phospor.
2.10.4. Nitrogen Total
Nitrogen dan senyawa tersebar secara luas di biosfer. Lapisan atmosfer
bumi mengandung sekitar 78% gas nitrogen. Bebatuan juga mengandung
nitrogen. Pada tumbuhan dan hewan, senyawa nitrogen ditemukan sebagai
penyusun protein dan klorofil. (Efendi, 2003). Total nitrogen adalah penjumlahan
dari nitrogen anorganik berupa NO3-N, N02-N, NH3-N yang bersifat terlarut dan
21
nitrogen organik yang berupa partikulat, dan tidak larut dalam air (Makereth et al,
1989). Nitrogen organik adalah bentuk nitrogen yang terikat pada senyawa
organik terutama nitrogen bervalensi tiga, biasanya berupa partikulat yang tidak
larut dalam air. Nitrogen organik mencakup protein, polipeptida, asam amino,
urea, dan senyawa lainnya. Nitrogen adalah nutrisi utama yang mempengaruhi
produktivitas perairan, Nitrogen terdapat dalam perairan danau dalam bentuk
nitrat dan ammonia. Konsentrasi kedua bentuk nitrogen tergantung pada
satratifikasi dan aktifitas biologis dalam kolom air. (Lytras, 2007).
Nitrogen yang terdapat di perairan tawar ditemukan dalam berbagai bentuk
diantaranya molekul N2 terlarut, asam amino, ammonia (NH3), amonium (NH44),
nitrit (NO2"), dan nitrat (NO3"). Sumber nitrogen alami berasal dari air hujan
(presipitasi), fiksasi nitrogen dari air dan sedimen, dan limpasan dari daratan dan
air tanah (Wetzel, 1983). Goldman & Horne, (1983) menyatakan bahwa nitrogen
dapat berasal dari limbah pertanian, pemukiman, dan limbah industri. Nitrogen di
perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri
atas amonia (NH3), amonium (NH4'K), nitrit (N02"), nitrat (N03"), dan molekul
nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Nitrogen organik berupa protein, asam amino,
dan urea. Sumber nitrogen organik di perairan berasal dari proses pembusukan
makhluk hidup yang telah mati, karena protein dan polipeptida terdapat pada
semua makhluk hidup sedangkan sumber antropogenik (akibat aktivitas manusia)
adalah limbah industri dan limpasan dari daerah pertanian, kegiatan perikanan,
dan limbah domestik (Effendi, 2003).
Nitrogen ditemukan melimpah dalam bentuk gas di atmosfer, namun tidak
dapat digunakan secara langsung oleh organisme karena memerlukan energj yang
besar untuk memecah ikatan rangkap tiga gas nitrogen. Di perairan nitrogen
ditemukan dalam dua bentuk yaitu; nitrogen terlarut (disolved) dan tidak terlarut
(particulate) dan keduanya tidak dapat langsung digunakan oleh organisme yang
lebih tinggi, melainkan harus ditransformasikan terlebih dahulu oleh bakteri dan
jamur (Goldman dan Horne, 1983). Effendi, (2003) menjelaskan Bentuk-bentuk
nitrogen tersebut mengalami transformasi sebagai bagian dari siklus nitrogen
yaitu:
22
a. Asimilasi nitrogen anorganik (ammonia dan nitrat) oleh tumbuhan dan
mikroorganisme untuk membentuk nitrogen organik, misalnya asam amino
dan protein. Proses ini terutama dilakukan oleh bakteri autotrof dan
tumbuhan;
b. Fiksasi gas nitrogen menjadi amonia dan nitrogen organik oleh
mikroorganisme. Fiksasi gas nitrogen secara langsung dapat dilakukan oleh
beberapa jenis algae Cyanophyta (blue-green algae) dan bakteri;
c. Nitrifikasi, yaitu oksidasi amonia menjadi nitrat dan nitrat. Proses oksidasi ini
dilakukan oleh bakteri aerob. Nitrifikasi berjalan secara optimum pada pH 8
dan pH < 7 berkurang secara nyata. Bakteri nitrifikasi bersifat mesofilik,
menyukai suhu 30°C.
d. Amomfikasi nitrogen organik untuk menghasilkan amonia selama proses
dekomposisi bahan organik. Proses ini banyak dilakukan oleh mikroba dan
jamur. Autolisis (pecahnya) sel dan ekskresi amonia oleh zooplankton dan
ikan juga berperan sebagai pemasok amonia.
e. Denitrifikasi, yaitu reduksi nitrat menjadi nitrit, dinitrogen oksida (N2O), dan
molekul nitrogen (N2). Proses reduksi nitrat berjalan optimum pada kondisi
anoksik (tak ada oksigen). Proses ini juga melibatkan bakteri dan jamur.
Dinitrogen oksida adalah produk utama dari denitrifikasi pada perairan
dengan kadar oksigen sangat rendah, sedangkan molekul nitrogen adalah
produk utama dari proses denitrifikai pada perairan dengan kondisi anaerob.
Transformasi nitrogen yang tidak melibatkan faktor biologi adalah
volauisasi, penyerapan, dan pengendapan (sedimentasi). Sumber utama nitrogen
antropogenik di kegiatan domestik Nitrogen harus mengalami fiksasi terlebih
dahulu menjadi NH3, NH4, dan NO3 baru bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan dan
hewan. Proses ini akan meningkat pada danau yang telah mengalami eutrofikasi
(Goldman & Horne, 1983). Fiksasi nitrogen berdasarkan kedalaman mirip dengan
proses fotosintesis. Pada intensistas cahaya matahari yang tinggi proses fiksasi
akan terhambat pada permukaan, dan menjadi maksimum pada kedalaman
tertentu dan menurun drastis secara ekponensial dengan bertambahnya kedalaman.
Fiksasi nitrogen berkorelasi positif dengan konsentrasi bahan organik terlarut
yang terdapat pada perairan (Wetzel, 1983).Denitrifikasi tidak membebaskan
23
danau atau waduk dari input N berlebihan. Hasil menunjukan perlu mengurangi
nutrient yang masuk ke perairan baik N maupun P untuk mengendalikan
eutrofikasi jangka panjang hypereutrofik (Hans W. Paerl et al., 2010).
2.11. Faktor Biologi perairan
2.11.1. Produktivitas Primer
Terdapat hubungan yang positif antara kelimpahan fitoplankton dengan
produktivitas primer, jika kelimpahan fitoplankton disuatu perairan tinggi, maka
perairan tersebut cenderung mempunyai produktivitas yang tinggi pula (Raymont,
1963). Odum (1971) mendefinisikan produktivitas primer sebagai derajat
penyimpanan energi dalam bentuk bahan organik, sebagai hasil fotosintesis dan
kemosintesis dari produsen primer.
Produktivitas primer merupakan sumber utama energi bagi proses
metabolik yang terjadi dalam perairan. Pada ekosistem perairan sebagian besar
produktivitas primer dihasilkan oleh fitoplankton (Kennish 1990; Barnabe dan
Barnabe, 2000). Aliran energi dalam ekosistem perairan dimulai dengan fiksasi
energi oleh fitoplankton melalui proses fotosintesis. Melalui proses ini
fitoplankton mengakumulasi energi, energi yang diakumulasi oleh fitoplankton
inilah yang disebut produktivitas primer. Pengukuran produktivitas primer
fitoplankton merupakan suatu syarat dasar untuk mempelajari struktur dan fungsi
ekosistem perairan. 2.11.2. Klorofil -a
Klorofil adalah molekul komplek yang tersusun dari 4 cicin karbon
nitrogen yang mengelilingi satu atom Mg, dan bila Mg tersebut terlepas dari
krorofil (mati/terdegradasi), maka krorofil tersebut disebut phaeophitin atau
phaeofigmen. Klorofil a adalah klorofil yang dapat dilalui elektron, dalam hal ini
dengan adanya sinar matahari akan mengakibatkan elektron berpindah, dan
elektron ini selanjutnya diubah menjadi energi kimia yang berperan dalam
fotosintesis. Klorofil amempunyai kemampuan maksimum dalam menyerap sinar
matahari, kemampuan ini paling optimum dalam wilayah sinar merah yang
panjang gelombang 680 nm. Berdasarkan konsentrasi klorofil a (Ryding & Rast,
1989) mengklasifikasikan tingkat kesuburan perairan menjadi 3, yaitu jika suatu
24
perairan kandungan klorofil a-nya < 8 mg/m3 berarti perairan tersebut termasuk
perairan oligotrofik, jika konsentrasinya 8-25 mg/m3 dikategorikan pada perairan
mesotropik, dan jika mencapai 25 -27 mg/m3 masuk pada perairan eutrofik.
Klorofil-a merupakan 1-2 % dari berat kering seluruh organism fitoplankton
(APHA, 1980).
2.11.3. Plankton (Fitoplankton)
Pertumbuhan fitoplankton berinteraksi dengan serapan unsur hara
(Thomann, et al. 1987). Plankton adalah organisme renik yang bergerak melayang
dalam air atau kalaupun mampu berenang, kemampuan berenangnya sangat
lemah, pergerakannya selalu dipengaruhi oleh gerakan massa air. Pada dasamya
plankton dapat berupa tumbuhan (fitoplankton) dan juga berupa hewan
(zooplankton). Komposisi jenis fitoplankton yang umum dijumpai diperairan
tawar berasal dari kelas Bacillarophyceae, Chlorophyceae, Cyanophyceae,
Crysophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae, Euglenophyceae, dan
Xanthophyceae. Kelas Cyanophyceae dan Crysophyceae merupakan jenis
fitoplankton dominan diperairan tawar yang tergenang (Ruttner, 1973).
Fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu parameter ekologi yang dapat
menggambarkan kondisi kualitas perairan. Fitoplankton merupakan dasar
produsen mata rantai makanan (Dawes, 1981). Kehadirannya disuatu perairan
juga dapat menggambarkan status suatu perairan apakah berada dalam keadaan
subur atau tidak.
Kelimpahan fitoplankton di suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa
parameter lingkungan dan karakteristik fisiologisnya. Komposisi dan kelimpahan
fitoplankton akan berubah pada berbagai tingkatan sebagai respon terhadap
perubahan-perubahan kondisi lingkungan baik fisik, kimia, maupun biologi
(Reynolds et al.,1984). Muatan unsur hara yang berlebihan dapat merangsang
pertumbuhan fitoplankton dengan cepat dan berlimpah sehingga dapat
mempengaruhi fluktuasi dan kelimpahan fitoplankton di perairan. Fitoplankton
sebagai organisme autotrof menghasilkan oksigen yang akan dimanfaatkan oleh
organisme lain, sehingga fitoplankton mempunyai peranan penting dalam
menunjang produktivitas perairan.
25
Keberadaan fitoplankton dapat dilihat berdasarkan kelimpahannya di
perairan, yang dipengaruhi oleh parameter lingkungan perairan tersebut.
Komposis dan kelimpahan fitoplankton akan berbeda di setiap lapisan kedalaman
sebagai akibat dari perbedaan kondisi perairan pada masing-masing lapisan
tersebut. Kelimpahan fitoplankton dalam suatu perairan sangat mpengaruhi oleh
faktor-faktor lingkungan yang meliputi faktor fisika, kimia, dan biologi, yakni
suhu, kekeruhan, kecerahan, Ph, gas terlarut, unsur hara serta dipengaruhi pula
oleh adanya interaksi dengan organisme lain. Proses eutrofikasi pada sistem
perairan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi jenis fitoplankton. Kondisi
ini mengakibatkan dominasi dari jenis tertentu dan tumbuh secara berlebihan
(blooming). Blooming dapat menyebabkan komposisi fitoplankton berbeda di
setiap kedalaman. Pada kondisi demikian fitoplankton yang terdapat pada masing-
masing lapisan tersebut juga berbeda.
Menurut Davis, (1955) pada suatu perairan pada lokasi tertentu sering
didapat jumlah individu plankton yang berlimpah, sedangkan pada lokasi lainnya
diperairan yang sama, jumlahnya sangat sedikit. Keadaan ini merupakan suatu
petunjuk bahwa distribusi plankton di suatu perairan belum tentu homogen.
Selajutnya dikatakan bahwa kelimpahan fitoplankton terbesar ada pada beberapa
centi meter di bawah permukaan air.
2.12. Kesejahteraan Rakyat
Kesejahteraan adalah suatu ukuran tingkat kehidupan masyarakat yang
layak di mana tingkat kesejahteraan tersebut menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
dapat diukur berdasarkan variabel pendapatan. Kegiatan-kegiatan yang mencakup
berbagai upaya baik langsung maupun tidak langsung yang ditujukan untuk
pengembangan sumberdaya manusia, perbaikan kualitas kehidupan,
penyembuhan, dan pencegahan masalah-masalah sosial dipandang sebagai
kegaiatan kesejahteraan sosial. Kebutuhan manusia pada dasarnya dibedakan
menjadi dua aspek yaitu kebutuhan jasmaniah bersifat fisiologis untuk
pertumbuhan dan pemeliharaan, sehingga diperlukan makan, pakaian, tempat
tinggal, pemeliharaan kesehatan dan istirahat yang cukup. Sedangkan aspek
26
rohaniyah dipenuhi melalui pemenuhan rasa aman, ketentraman dan perlindungan
baik hubungan antar manusia maupun dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Dimensi kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat visible, jika dilihat dari
aspek tertentu. Menurut BPS, (2000) indikator kesejahteraan rakyat diamati dari
berbagai aspek spesifik yaitu kependudukan, kesehatan, pendidikan, kesejahteaan,
ketenagakerjaan, konsumsi rumah tangga dan perumahan. Masyarakat
dikategorikan miskin jika pengeluaran perkapita <Rp.925.564 pengeluaran
keluarga/bulan (BPS, 2000). Dalam penelitian ini kesejahteraan rakyat difokuskan
pada masyarakat nelayan tangkap (nila jaya) Waduk Malahayu. Berkembangnya
kegiatan perikanan tangkap dan minawisata, pengembangan KJA di Waduk
Malahayu diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena
terjadi peningkatan pendapatan ekonomi karena terdapat variatif usaha tersebut.
Tingkat kesejahteraan rumah tangga nelayan dapat diukur dari tingkat
pendapatan yang dibandingkan dengan kebutuhan minimal untuk kebutuhan hidup
layak. Selain aspek kesehatan, pendidikan, pendapatan dan kondisi perumahan,
rasa aman merupakan kebutuahan manusia yang makin mendesak sejalan dengan
kemajuan ekonomi. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Nasional (1999) diacu
dalam Sulaksmi (2007) menyebutkan bahwa keluarga sejahtera adalah: (1)
Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggota baik sandang, pangan dan
papan, sosial maupun agama. (2) keluarga yang mempunyai penghasilan antara
penghasilan dengan jumlah anggota keluarganya dan (3) keluarga yang dapat
memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, kehidupan bersama dengan
masyarakat sekitar, beribadah khusuk, disamping terpenuhinya kebutuhan
pokoknya.
Disamping indikator-indikator tersebut di atas, untuk mengukur tingkat
kesejahteraan masyarakat nelayan juga dinyatakan dalam tingkat kemiskinan.
Rumah tangga miskin ditentukan berdasarkan sejumlah variabel yang berkaitan
dengan masalah kemiskinan yaitu sebagai berikut:
1. Kelompok ciri tempat tinggal:
a. Luas lantai per kapita/anggota rumah tangga
27
b. Jenis lantai
c. Fasilitas jamban
d. Fasilitas air bersih
2. Aspek Pangan (makanan) yaitu variasi konsumsi lauk pauk dalam seminggu
3. Aspek sandang yaitu kemampuan membeli pakaian minimal 1 stel setahun
untuk setiap anggota rumah tangga
4. Kepemilikan aset yaitu ada tidaknya meja dan kursi tamu.
Keberadaan Waduk Malahayu memberikan dampak baik langsung
maupun tidak langsung kepada masyarakat sekitarnya khususnya masyarakat
nelayan tangkap yang berada di Desa Malahayu, Kecamatan Banjarejo Kabupaten
Brebes. Untuk menganalisis kesejahteraan masyarakat nelayan tangkap (Nila
Jaya) yang mengambil manfaat dengan keberadaan Waduk Malahayu, maka
dilakukan survei untuk memperoleh data pendapatan nelayan tangkap setiap hari,
bulan dan tahun.
top related