2. analisis dan tinjauan teori 2.1. studi literatur...jati, karena sesudah mati sukma mereka...
Post on 30-Nov-2020
0 Views
Preview:
TRANSCRIPT
2. ANALISIS DAN TINJAUAN TEORI
2.1. Studi Literatur
2.1.1. Tinjauan Tentang Hutan
2.1.1.1. Pengertian Hutan
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh
pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di
wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon
dioksida, habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan
merupakan salah satu aspek Bumi yang paling penting (Ensiklopedi Umum 267).
Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat
menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di
dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar.
Orang awam mungkin melihat hutan lebih sebagai sekumpulan pohon kehijauan
dengan beraneka jenis satwa dan tumbuhan liar. Untuk sebagian, hutan berkesan
gelap, tak beraturan, dan jauh dari pusat peradaban. Sebagian lain bahkan akan
menganggapnya menakutkan. Namun, jika kita mengikuti pengertian ilmu
kehutanan, hutan merupakan “suatu kumpulan tetumbuhan, terutama pepohonan
atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.” Pohon
sendiri adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi,
tentu berbeda dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja.
Pohon juga berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak
berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas. Suatu
kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi
lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika
kita berada di hutan hujan tropis, misalnya, rasanya seperti masuk ke dalam ruang
sauna yang hangat dan lembab, yang berbeda daripada daerah perladangan
sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti segala tumbuhan lain dan
hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain
termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.
7 Universitas Kristen Petra
8
2.1.1.2. Sejarah Hutan
Pengetahuan manusia tentang hutan dimulai sejak keberadaan manusia di
bumi ini. Diawali pengetahuan hutan yang sederhana, manusia purba memulai
usahanya memperoleh bahan-bahan dari hutan bagi keperluan hidupnya.
Pengetahuan tersebut kemudian secara bertahap berkembang menjadi ilmu
kehutanan seperti pada akhirnya kita kenal pada jaman sekarang ini.
Menurut Altona (1930), penyebaran hutan (jati) di Indonesia pada awalnya
disebarkan oleh orang-orang Hindu, dan jati hanya ada di daerah yang pernah
dikunjungi orang Hindu itu juga. Hal ini dikarenakan menurut kepercayaan
mereka (Hindu Wisnu), demi kebahagiaan jiwa, mereka tidak dapat mengabaikan
jati, karena sesudah mati sukma mereka diyakini akan pindah ke pohon jadi.
Kalau di suatu daerah tidak ada jati, maka jenis ini harus dirantaukan ke sana
(Sejarah Kehutanan Indonesia I 13).
Pada sekitar tahun 900 sudah terdapat pejabat tinggi yang mengurusi
perburuan dan juga mengepalai Jawatan Kehutanan. Rakyat yang tinggal di dalam
hutan dikepalai oleh Juruwana, yang bertugas dalam pengadaan kayu.
Pengawalan hutan dan pemeliharaan jalan serta jembatan dipercayakan pada para
pengalasan. Ada tujuh orang petugas semacam itu yang sudah disebutkan di
dalam buku Pararaton sebelum tahun 1247 (Sejarah Kehutanan Indonesia I 14).
Menurut Prasasti Batutulis dekat Bogor, ada jabatan pengatur lahan
kosong dan lapangan yang ditinggalkan, sedang menurut Altona, kita dapat
menduga, bahwa mereka berwenang memutuskan apakah sesuatu lahan boleh
dipakai untuk usaha tani, ataukah harus ditanami jati dan kayu rimba.
Dikarenakan hubungan perdagangan yang ramai antara Hindustan dan
Indonesia, sehingga kebudayaan Hindu berpengaruh pula atas rakyat Indonesia.
Ketika rakyat di India ada yang memeluk agama Islam, maka agama inipun
menyebar ke Indonesia, hingga lambat laun agama ini merupakan agama sebagian
besar rakyat Indonesia. Masuknya agama Islam dengan akibat politiknya,
menyebabkan sebagian dari umat Hindu di Jawa Tengah melarikan diri ke
pegungungan Tengger, dan sejak akhir abad ke 15, di pegunungan tinggi itu hutan
belantara dibabat untuk dijadikan tanah pertanian (Jasper,1927). Pada waktu itu
hal itu tidak menjadi keberatan karena penduduk masih kurang, terlebih lagi
Universitas Kristen Petra
9
karena letaknya masih di atas zona hujan. Pemukimana baru ini terletak pada
suatu daerah yang sebenarnya penting untuk dipertahankan sebagai kawasan hutan
lindung untuk penyediaan air. Akibat dari penggundulan hutan di daerah ini lebih
parah lagi, karena adanya larangan adat untuk mebuat sawah, dikarenakan
pencetakan sawah dianjurkan oleh Pemerintah Islam. Sebaliknya, di daerah lain
areal hutan bertambah luas, dan pada abad ke 19 barulah terjadi perambahan hutan
untuk pembukaan lahan untuk pertanian (pegunungan Dieng) dan Blambangan di
Jawa Timur. Baru pada tahun 1900 an, dengan pertumbuhan penduduk dan
pembangunan kebun kopi pemerintah, maka timbulah tanah kosong dalam zone
hujan di hutan pegunungan (Sejarah Kehutanan Indonesia I 20).
Salah seorang wali penyebar agama Islam memakai gelar Sunan Gunung
Jati. Menurut Ten Oever (1912) nama ini diberikan karena beliau bertapa di ebuah
gunung yang diliputi oleh gunung jati, sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa
pohon jati sebelum itu sudah drantaukan atau ditanam di situ (Sejarah Kehutanan
Indonesia I 25).
Sesudah majapahit jatuh (1478), Mataram berkembang sebagai ekrajaan
adikuasa di Jawa. Pada masa gemilangnya kerajaan ini, VOC (Vereenidge Oost
Indische Compagnie), biasa disingkat Kompeni, dapat menancapkan kakinya ke
Jawa. Pada mulanya VOC itu sangat takut dengan Mataram. Akan tetapi, lambat
laun VOC menjadi lebih berkasa dari Mataram. Di daerah yang secara berangsur-
angsur tunduk pada VOC, lembaga pemerintahan dari Mataram tetap berfungsi.
Pada awalnya VOC sangat sedikit atau tidak mencampuri keadaan dalam negeri,
juga urusan yang berkaitan dengan kehutanan, dengan syarat bupati di daerah
tersebut memenuhi herendiest (kerja rodi), contingent (jatah penyerahan wajib),
dan sumbangan komoditi. (Sejarah Kehutanan Indonesia I 35).
Orang pertama yang khusus mengadakan penelitian tentang kehutanan
pada masa VOC adalah Brascamp (1922). Ia bukan saja berhasil mengisi atau
memperbaiki informasi untuk sejarah umum, tetapi ialah yang berjasa sebagai
orang pertama yang menonjolkan betapa pentingnya bahan baku kayu, khusunya
kayu jati, bagi VOC, yang karena didorong untuk memilikinya juga menentukan
arah politik yang dijalankan (Sejarah Kehutanan Indonesia I 36).
Universitas Kristen Petra
10
Pada permulaan awal abad ke-18, Mataram memindah sebagian rakyatnya
ke daerah yang jauh, untuk mematahkan perlawanan dari daerah yang
memberontak. Misalnya Sumedang, yang sejak dini sudah mengadakan penjualan
kayu dan ternak denga VOC di Batavia. Pada tahun 1625, rakyatnya dipindah ke
Solo, tetapi kembali lagi ketka Mataram mengepung Batavia. Pada tahun 1641,
dari Mataram dikirim 1000 keluarga untuk mendiamikembali Sumedang dan
Ukur. Banyumas dibangun dengan 300 keluarga, sedangkan 400 keluarga tinggal
di Ciasem di pantai Utara, dan sisanya pergi ke Adiarsa. Sebenarnya, kecuali
daerah Mataram yang sebenarnya, dan beberapa kota pantai, penduduk di
pedalaman Jawa dapat dikatakan jarang. Yaitu hanya 24 jiwa tiap kilometer
persegi. Hampir di seluruh pulau Jawa masih terdapat hutan belantara dan bahan
liar yang sangat luas, yang tidak memiliki arti bagi kehidupan polotik dan
ekonomi (Sejarah Kehutanan Indonesia I 36).
Untuk menelaah sejarah kehutanan di bawah pemerintahan Mataram dan
VOC, sudah tentu pengkajian status hukum dari hutan sangat penting. Menurut
para pembela hukum adat, daerah di luar Solo dan Jogjakarta seperti Kediri,
Madiun, Blora, Grobogan, Banyumas, dan daerah pesisir di utara, berada di luar
Domein (hak milik raja). Menurut faham mereka, hukum ketanahan bagi
penduduk Jawa, sebenarnya serupa saja dengan hukum di daerah Nusantara
lainnya. Ia lebih tua dari hak raja, dan hanya trkait dengan penataan desa. Namun
hal ini sukar diterima dikaernakan penduduk yang begitu jarang di daerah yang
luas, sampai akhir jaman mempunyai hak abadi atas hutan dan lahan liar (Sejarah
Kehutanan Indonesia I 40).
Hak dari Sunan atas kayu dan hutan sangat menonjol dalam beberapa
perundingan dengan VOC. Sunan dari tahun 1709. Yang memberi kekuasaan
penuh kepada VOC untuk meninjau hutan ji jipang (Bojonegoro, Sidayu, Tuban,
Lasem, Joana, dan Pati), karena di Lembang sudah tidak ada lagi kayu yang
memenuhi syarat. Semua mantra di daerah itu diperintahkan untuk meberibantuan
sepenuhnya untuk menebang kayu. Kira-kira tahun 1760, hutan derah Rembang
sebagian besar sudah habis ditebang oleh VOC. VOC kemudian menyuruh orang-
orangnya dari daerah Rembang untuk kayu di BLora, di daerah kekuasaan Sunan.
Oleh karena itu, Sunan atas permohonan Gubernur Pesisir Utara secara tegas
Universitas Kristen Petra
11
melimpahkan hak kepada VOC, untuk menebang hutan bukan saja di daerah
Blora, tetapi juga di semua daerah Kasunanan, yang berbatasan dengan daerah
VOC, tanpa mengeluarkan pembayaran kepada para bupati, Kepala Rendahan,
atau kepala desa.(Sejarah Kehutanan Indonesia I 53).
Di Jakarta, yang boleh dikatakan sudah kehabisan rakyat, dikarenakan
kalah perang, VOC kemudian menganggap dirinya sebagai tuan yang berkuasa
mutlak. Sudah sejak 1620 dikeluarkan larangan penebangan kayu tanpa ijin, dan
pada tahun yang sama diadakan pungutan cukai atas kayu dan hasil hutan. Selam
jaman VOC dapat ditemukan bukti bahwa di daerah sekitar Betawi ada larangan
penebangan kayu tanpa ijin, dan untuk penebangan itu dikenakan pembayaran
cukai 10%. Ketika pada akhir abad ke 18 ketika industry gula di daerah sekitar
Betawi terancam hancur, karena kelangkaan kayu bakar, berulangkali dikeluarkan
larangan membuat lading di dalam hutan, dengan ancaman hukuman. Saat itu,
VOC menganggap semua sumber daya alam sebagai hak miliknya sendiri.
Walaupun di satu sisi VOC sangat menginginkan perluasan jumlah penduduk dan
penanaman tanaman budidaya, karena keduanya berarti peningkatandaya dukung,
namun pembukaan lahan tanpa aturan, dan kehidupan berpindah-pindah secara
berangsur-angsur diberantas. Hal ini dilakukan bukan saja karena alasan
pemerintah dan pungutan cukai, tetapi juga dengan tujuan pelestarian hutan
(Sejarah Kehutanan Indonesia I 60).
Sejak 1690, ketika VOC baru saja mengusai Banyumas Barat, sudah
dikeluarkan larangan pembukaan gaga dalam hutan, di seberang pulau
Nusakambangan, dan memaksa penduduk pindah ke daerah pantai. Pada taun
1800, seorang residen di Cirebon menyerahkan kepada penggantinya agar setiap
tahun membuat perjalanan inspeksi dan mengawasi agar hutan kayu yang sangat
layak untuk pencetakan sawah, jangan sampai dirubah menjadi sawah. Setelah
VOC mengambil alih daerah yang diserahkan Sunan, tatacara pemerintahan
dibiarkan seperi sediakala. VOC mengangkat bupati, yang ditugasi mengelola
hutan. Tetapi para bupati tidak menerima gaji dari VOC, sehingga sesudah
melunasi berbagai contingent kepada VOC, masing-masing harus berusah
menggaruk keuntungan dari jabatannya sendiri, dari sumber daya alam,
diantaranya ialah hutan yang ada di daerahnya. Cukai lama 10% dipakai sendiri
Universitas Kristen Petra
12
oleh bupati di daerah kekuasaan VOC, dan tidak masuk bekas VOC sebagai
pengganti Sunan. Dari hutan ini dilunaskan hutang penyerahan wajib kepada
VOC, sedang di samping itu ada hutan milik bupati, yang dapat disewakan kepada
swasta. VOC membiarkan mereka menjual kayu untuk membantu mereka
mendapatkan penghasilan. Semua penghasilan dari penjualan kayu dapat
digunakan dengan syarat, secara diam-diam, sepanjang dan selama diperbolehkan
oleh VOC dan pejabat tinggi lainnya. Semua penghasilan dari hutan dimanfaatkan
dengan syarat, harus secara diam-diam, sepanjang dan diperbolehkan oleh VOC
dan pejabat tinggi lainnya (Sejarah Kehutanan Indonesia I 61).
Karena kelangkaan kayu semakin meningkat, VOC terpaksa mengambil
tindakan pengamanan untuk masa depan. Salah satunya mengumumkan bahwa
sebagian hutan dari hutan Bupati Tuban dan Lasem sebagai hutan VOC.
Sebaliknya sebagai ganti rugi, mereka diizinkan menyewakan hutanselebihnya
kepada pihak swasta. Hak masyarakat atas hutan pada saat itu sangat sedikit
sekali. Dimanapun, orang yang mengambil keputusan mengenai kehutanan adalah
Sunan, VOC, dan bupati (Sejarah Kehutanan Indonesia I 82).
Satu-satunya hak yang dapat dipandang betul-betul sebagai hak rakyat atas
hutan ialah “undang-undang keramat”, bahwa tidak ada seorangpun yang boleh
menebang pohon yang telah diberi “tetak”. Pemberian tanda ini hanya berarti
bahwa tidak seorangpun boleh memanfaatkan jerih keringat yang dilakukan oleh
seseorang sebagai pekerja paksa. Akan tetapi penduduk tidak dapat dilarang
menebang kayu yang mereka perlukan untuk pembangunan rumah, alat
pengolahan tanah, dan perahu penangkap ikan, sebab kayu tidak dapat diperoleh
dari tempat lain (Sejarah Kehutanan Indonesia I 84).
Oleh rakyat biasa, hutan dianggap sebagai milik umum. Setiap orang
berhak mengambil apa yang dibutuhkannya, misalkan saja seperti kayu bakar dan
kayu yang dibutuhkan sebagai bahan bangunan, tetapi tidak di semua tempat yang
dikehendakinya, melainkan hanya di tempat yang menurut pertimbangan
penguasa hutan tidak mendatangkan kerugian apa-apa. Diluar itu, rakyat tidak
mempunyai hak. Penebangan di sembarang tempat dilarang dengan ancaman
hukuman tertentu. Secara tidak langsung VOC telah merumuskan pendiriannya
sebagai domein. Dalam pasal 1 dari keputusan Agraria tahun 1870, diterangkan
Universitas Kristen Petra
13
bahwa semua lahan yang diatasnya tidak dapat dibuktikan hak miliknya, menjadi
milik negara. Tanah atau lahan adalah milik raja atau tuan tanah, dan karena lahan
di pesisir telah diserahkan kepadaVOC oleh Raja Mataram, maka lahan
dipantaipun menjadi miliknya. Hutan adalah milik negara, atau sekarang ini milik
VOC, dan hutan kayu hendaklah dipandang sebagai milik nasional (Sejarah
Kehutanan Indonesia I 84).
Dalam Palakat 8 September 1803 disebutkan bahwa, semua hutan di Jawa
di bawah pengawasan VOC sebagai domein (hak milik negara) dan regalia (hak
milik raja dan para penguasa). Tidak seorangpun boleh menebang atau
memangkas, apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan
dilanggar, akan dijatuhi hukuman badan. Plakat ini dikeluarkan untuk Pulau Jawa
pada saat itu, yaitu daratan dan pantai pesisir timur laut Pulau Jawa, yang berada
di bawah kekuasaan VOC, mulai dari Cirebon, sampai pojok timur (Sejarah
Kehutanan Indonesia I 85).
Seiring dengan berjalannya waktu, keadaan VOC semakin lama semakin
memburuk, hingga pada akhirnya pada tanggal 1 Maret 1796, VOC dibubarkan
ole pemerintah Hindia Belanda dan digantikan oleh sebuah konstitusi baru pada
tanggal 17 Maret 1798. Tugas pemerintahan di daerah jajahan di Asia dibebankan
pada Dewan Asia yang terdiri dari 9 anggota. Kemudian ketika Napoleon pada
1806 menjadi raja di Belanda, ia membentuk Kementerian Tanah jajahan, dan
Dewan Asia dibubarkan. Ketika itu orang Belanda mencari jalan bagaimana cara
memperkuat tanah jajahan mereka di Hindia Timur (Indonesia) karena keadaan
pertanahan buruk sekali. Raja kemudian mengangkat Herman Williem Daendels
menjadi Gubernur Jenderal, pada tanggal 28 Januari 1807 (Sejarah Kehutanan
Indonesia II 7).
Daendels mengadakan perubahan di segala bidang dengan caranya yang
tidak terang dan oportunistik. Ia merupakan pelaksana peraturan dengan tangan
besi menjaga supaya perintahnya ettap dipatuhi. Cara bertindaknya tidak halus,
dana adanya nafsu untuk menonjolkan diri sendiri. Akan tetapi peraturan yang
dibuatnya di dalam bidang kehutanan, menunjukkan adanya kemauan
mengadakan perbaikan, baik dari segi produksi dan keuangan, maupun dari segi
kesejahteraan masyarakat. Bisa dibuktikan pada dikeluarknnya pada tanggal 26
Universitas Kristen Petra
14
Mei 1808, 4 bulan setelah ia berkuasa, yang menyatakan akan dibentuk sebuah
badan inspeksi yang membawahi administrasi hutan kayu di seluruh pulau Jawa.
Tidak lama kemudian ia menerima instruksi dari Napoleon yang berisi tentang
beberapa ketentuan menegnai kehutanan, yang mempunyai kecenderungan sama
yang dibuat oleh Daendels (Sejarah Kehutanan Indonesia II 8).
Daendels jelas beranggapan, bahwa peraturan baru tida mungkin
terlaksana, tanpa melimpahkan kewenangan yang luaskepada para penguasa yang
bertanggung jawab atas pemangkuan hutan, untuk dapat menjalankan dan kalau
perlu memaksakan peraturan yang telah dikeluarkan itu, disetai pemberian
jurisdiksi untuk bertindak terhadap pelanggaran hak milik pemerintah atas hutan.
Hal ini dicantumkan padaplakat taggal 21 Agustus 1908 tentang instruksi bagi
ketua dan para anggota administrasi hutan yang memiliki hak untuk menghukum
segala kejahatan dan korupsi yang mungkin dilakukan terhadap hutan atau salah
satu bagian dari administrasi. Juga dijelaskan tentang kewenangan Sekertaris
Inspektur Jendral yang juga bertugas sebagai fiskal. Ia harus memeriksa semua
tindakan pidana administrasi (Sejarah Kehutanan Indonesia II 8).
Azas pokok, yang kemudian menjadi pedomana dituangkan dalam pasal 3
dari Instruksi 21 Agustus 1808yang berisi tentang cara administrasi di dalam
pengelolaan hutan harus mengutamakan tindakan untuk memberikan keuntungan
sebesar-sebesarnya pada negara. Masing-masing wilayah harus mengutamakan
pemenuhan tuntutan tahunan dari pemerintah akan kayu. Semua kegiatan harus
dilakukan dengan dinas paksa dengan pembayaran upah (Sejarah Kehutanan
Indonesia II 15).
Eksploitasi hutan secara besar-besaran akhirnya manyadarkan pemerintah
akan perlunya usaha perbaikan hutan, yang mana membutuhkan ahli kehutanan
yang dapat memberi penerangan tentang pekerjaan yang dilakukan pekerjaan yang
perlu dilakukan dan dapat diberi tugas pelaksanaan pengelolaan hutan. Pada tahun
1847, Gubernur jenderal J.J. Rochussen (1845-1851) mengajukan usul kepada
pemerintahan pusat Hindia belanda, supaya dikirim ke Indonesia beberapa orang
ahli kehutanan yang dididik di Jerman. Pada tahun 1849, dikirim 3 orang ahli, 2
diantaranya teknisi kehutanan (Bennich dan Mullier) dan seorang lagi ahli geodesi
(Balzar). Ketiganya bekerja di Rembang. Pada tahun 1855 didatangkan lagi
Universitas Kristen Petra
15
seorang ahli kehutanan, Von Roessler dari Nassau (Jerman), yang telah bekerja di
sana sebagai pejabat kehutanan selama 15 tahun. Pada tahun 1858 juga diangkat
menjadi Inspektur Bozwezen. pada tahun 1869 ditetapkan organisasi baru dengan
mengadakan pangkat houtvester (Beverluis, 1929), dengan kekuatan para
houtvester sebagai tenaga inti, terciptalah organisasi kedinasan dan personil
khusus yang lebih tangguh. Jawa dan Madura dibagi dalam 13 KPH, yang
masing-masing dikelola oleh houtvester. Formasi pegawai Jawatan Kehutanan
waktu itu sebagai berikut : Seorang Inspektur sebagai kepala jawatan, 13 orang
houtvester tigkat sarjana, 28 sider tingkat menengah, 108 pegawai teknik
rendahan (Sejarah Kehutanan Indonesia II 17).
Keadaan hutan saat itu yang sangat menyedihkan. Boschwezen diserahi
tugas untuk menjamin keuntungan dari hutan secara lestari. Tetapi banyak
kesulitan yang menghalangi untuk menciptakan keadaan yang lebih baik di hutan
jati, diperlukan banyak uang dan personil daripada yang disediakan pemerintah
saat itu. Keadaan ini menimbulkan kesempatan korupsi di dalam jawatan
kehutanan itu sendiri. Beberapa houtvester mendesak pemerintah untuk meninjau
kembali peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya. Pemerintah lalu
membentuk suatu komisi yang bertugas untuk merancang boschreglement baru
(Sejarah Kehutanan Indonesia II 17).
Salah seorang anggota komisi tersebut bernama A.E.J. Bruinsma. Ia
menunjukkan kelemahan organisasi yang tidak dapat dipertahankan lagi. Ia pun
menunjukkan jalan keluar yang harus ditempuh Boschwezen, untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. untuk itu perlu ada kepastian, bahwa kayu yang
bahwa kayu yang ditebang tidak boleh terlalu banyak. Hutan harus dipetakan
secara cermat dan diinventarisasi, supaya ada kepastian bahwa semua tindakan
harus dijalankan sebaik-baiknya (Sejarah Kehutanan Indonesia II 18).
Akhirnya pada 1897 diterbitkan undang-undang tentang kehutanan yang
baru, yang menjanjikan hutan yang lebih baik di masa depan. Lalu pada 1899 ia
diangkat menjadi hoofdinspecteur, chef Boschwezen, pangkat yang disarankannya
pada 1897. Namun dikarenakan batas wilayah yang dikelola oleh pemangku hutan
yang terlalu luas, hal ini lambat laun menimbulkan penyimpangan-penyimpangan
Universitas Kristen Petra
16
yang kemudian memberi akibat buruk hingga sekarang (Sejarah Kehutanan
Indonesia II 24).
Pada tahun 1926 diputuskan untuk mendirikan Djatibedriff sebagai bagian
dari Boschwezen, yang didorong oleh Direktur Departemen Pertanian saat itu, Dr.
Rutgers. Djatibedriff harus dianggap sebagai suatu perusahaan eksploitasi yang
mematuhi semua ketentuan dalam hal kehutanan. Pemerintah sebagai pemilik
hutan tidak mau melaksanakan pengusahaan hutan itu sendiri, tetapi lebih senang
agar usaha itu dijalankan oleh suatu badan usaha. Badan usaha itu pertama-tama
menebang sebidang hutan, barulah kemudian menanami kembali lahan kosong
bekas tebangan itu. Oleh karena itu, Djatibedriff secara tidak resmi oleh
pemerintah sebagai BUMN yang mana merupakan bagian dari Jawatan
Kehutanan. Pemberian tanggung jawab yang lebih besar kepada KKPH
mengakibatkan kedudukan dan kewenangan inspektur harus diubah. Reorganisasi
dimulai pada 1929, yang mana meletakkan pengawasan tertinggi Jawatan
Kehutanan berada pada Direktur Departemen Pertanian, yang kemudian menjadi
Departemen Perekonomian (Sejarah Kehutanan Indonesia II 37).
Terhitung mulai 1 Januari 1938, Djatibedrijf dan Dinas Kayu Rimba di
Jawa dan Madura dilebur menjadi 1 dengan nama Dienstvak. Pulau Jawa dibagi
menjadi 5 Inspeksi pemangkuan, yaitu Bandung, Jogjakarta, Semarang, Surabaya,
dan Malang. Sehubungan dengan perubahan Tata Pemerintahan di luar Jawa,
kemudian berubah menjadi 3 inspeksi, yaitu Sumatra (Medan), Borneo
(Banjarmasin), dan Grote Oost (Makasar). Organisasi Jawatan Kehutanan ini
bertahan hinga tahun 1942 ketika terjadi invasi Jepang ke Indonesia (Sejarah
Kehutanan Indonesia II 56).
Lazimnya suatu keadaan sesudah perang, terdapat kerusakan yang terjadi
pada setiap sarana maupun prasana baik akibat pemboman musuh maupun taktik
bumi hangus agar tidak dapat digunakan oleh musuh. Boswezen tidak luput dari
perusakan. Kilang penggergajian Saradan dihancurkan. Tempat penimbunan kayu
berikut kayunya, dibakar (R. Soepriadi, 1974). Hilangnya kekuasaan ini memicu
munculnya loss control di mana banyak terdapat masyarakat yang melakukan
pengrusakan hutan seiring masuknya tentara jepang ke pelosok Pulau Jawa.
Universitas Kristen Petra
17
Hutan-hutan di Karesidenan Semarang, Jepara, rembang, dan Bojonegoro
menderita pengrusakan yang parah (Sejarah Kehutanan Indonesia II 67).
Di dalam masa pendudukan yang relatif singkat ini laju pengrusakan hutan
yang terjadi memang sangatlah luar biasa. Politik perang dan kebijakan
pengelolaan hutan, yang diabdikan untuk pemenuhan kebutuhan perang sama
sekali mengabaikan prinsip kelestarian dalam pengelolaan hutan yang sehat.
Penebangan dan penjarahan hutan untuk mendapatkan kayu sebanyaknya,
menyebabkan devastasi yang menuju kepada kehancuran sendi pengusahaan
hutan. Setelah tentara pendudukan jepang mulai berkuasa di Indonesia,
ditetapkanlah UU no. 1 tentang “Menjalankan Pemerintahan Balatentara” (The
Liang Gie, 1965). Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa bala tentara
Jepang untuk sementara waktu menjalankan pemerintahan militer di daerah yang
didudukinya. Semua badan pemerintah dengan kekuasaannya serta badan hukum
dan undang-undang dari pemerintah Hindia Belanda, untuk sementara tetap diakui
secara sah,asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintah milter Jepang
(Sejarah Kehutanan Indonesia II 72).
Pada Juni 1942, Boswezen yang menjadi RingyoTyuoo Zimusyo, tersusun
kembali. Akan tetapi organisasi yang tersusun ini hanya meliputiwilayah Jawa dan
Madura. Hal ini diketahui dari pengisahan Ir. Sewandono yang terlibat langsung
dalam penyusunan kembali Jawatan kehutanan tersebut (Sewandono 1947).
Dikarenakan politik yang dijalankan Jepang mengabdi pada perang, maka di
dalam perkembangannya RingyoTyuoo Zimusyo mengalami beberapa perubahan.
Semula kehutanan termasuk di dalam Departemen Urusan Ekonomi. Tetapi
dikarenakan kebutuhan kayu untuk kapal perang, maka pada akhir tahun 1943
dimasukkan ke dalam Departemen Perkapalan. Kemudian pada tahun 1945 hingga
akhir kekuasaannya, RingyoTyuoo Zimusyo telah masuk ke dalam Departemen
Produksi Kebutuhan Perang). Gerakan Jepangnisasi tanpa mempedulikan keahlian
individu, di mana saat itu tenaga Jepang yang ditempatkan tidak memiliki
pendidikan tentang kehutanan. Hal ini pada akhirnya memperburuk keadaan
kehutanan di Indonesia yang berdampak hingga masa pemerintahan kemerdekaan
(Sejarah Kehutanan Indonesia II 74).
Universitas Kristen Petra
18
Setelah kemerdekaan, Jawatan Kehutanan yang ada berfungsi sebagai
administrator hutan, dengan tugas pokok memanfaatkan hutan sebagai salah satu
sumber produksi untuk kemakmuran rakyat. Dikarenakan waktu yang sangat
singkat sesudah kemerdekaan, belum ada undang-undang dan peraturan-peraturan
pelaksanaan yang menyangkut tugas Jawatan Kehutanan. Untuk mengatasi hal
tersebut, pada Desember 1946 Jawatan Kehutanan menunjuk sebuah badan
pengarang untuk menerjemahkan peraturan-peraturan dinas dari zaman Belanda,
dengan tujuan agar dapat digunakan, sepanjang tidak bertentangan dengan cita-
cita kemerdekaan (Sejarah Kehutanan Indonesia II 79).
Pada waktu Agresi Militer Belanda I bergejolak, hubungan antarwilayah
yang ada di Jawa kurang baik akibat perang, bahkan, beberapa daerah seperti
Kalimantan, Indonesia Timur, Riau, Bangka, Belitung, dan berbagai kota di Pulau
Jawa diuduki oleh tentara Belanda. Akibatkanya, Jawatan Kehutanan yang telah
tersusun, tidak lagi secara bulat menguasai seluruh wilayah RI. Akan tetapi
beberapa daerah hutan, seperti di Jawa Barat sebagian hutan di sepanjang pantai
Utara dan ujung timur Jawa, walaupun berada di genggaman pemerintah Belanda,
namun di dalam kenyataannya daerah itu layaknya daerah tak bertuan, yang
cenderung dikuasai oleh pemerintah Indonesia. Hal ini terus berlangusng hingga
Agresi MIliter Belanda II. Setelah penyerahan kekuasaan dalam bulan Desember
1949, dibentuklah Jawatan Indonesia Serikat yang berpusat di Jakarta. Jawatan ini
berasal dari Jawatan kehutanan yang sebelumnya terdapat di Jogja (Sejarah
Kehutanan Indonesia II 84).
Setelah terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), bentuk Negara yang
semula Negara kesatuan diubah menjadi negara bagian, sehingga pada akhirnya
Jawatan Kehutanan yang ada terpecah-pecah dengan pusat di Jakarta. Setelah
timbul pergolakan di dalam negeri yang menuntut RI kembali menjadi negara
kesatuan, Jawatan Kehutanan pun menjadi satu kembali. Sejak itu terbentanglah
tugas dihadapannya yaitu mengurus dan mengusahakan hutan demi kemakmuran
rakyat yang sebesar-besarnya. Akan tetapi, dikrenakan zaman pendudukan Jepang
dan perang kemerdekaan, huta di Indonesia dan sarana pengelolannya mengalami
kerusakan yang parah. Untuk memulihkan daya produksi hutan di Jawa
umumnya, diperlukan pembuatan rencana yang menyangkut peralatan maupun
Universitas Kristen Petra
19
hutannya sendiri. Di dalam perkembangannya, dikarenakan produksi yang ada
pada tahun-tahun 50-an tidak dapat mencukupi kebutuhan penduduk Jawa yang
cenderung bertambang, sementara pengolaha hutan di luar Jawa masih terhambat
oleh tersedianya sarana yang ada. Akibatnya, kurang lebih 400.000 ha hutan
lindung di Jawa rusak, diduduki, dan ditanami tanaman pangan pada saat itu.
Penyadaran kepada warga terhalang oleh tingkat pendidikan warga yang masih
buta huruf dan tingginya tingkat kepadatan di pulau Jawa. Hal ini menjadi beban
yang berat bagi Jawatan Kehutanan pada saat itu (Sejarah Kehutanan Indonesia II
86).
Pada tahun 1957, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah no.64
tahun 1957, yang membahas tentang penyerahan urusan kehutanan pada daerah
tingkat 1, akan tetapi pelaksanaannya tidak bias berlangsung cepat, bergantng
pada pembentukan propinsi-propinsi. Pada awal tahun 1960-an, di wilayah NKRI,
masih berlaku peraturan lama. Di Jawa masih berlaku Bosordonantie voor Java en
Madura 1927, dan Provinciale Bosbeschermingsverordening (Peraturan
Perlindungan Hutan Daerah). Hal yang serupa juga terjadi pada daerah-daerah di
luar Jawa (Sejarah Kehutanan Indonesia II 90).
Dengan disahkannya ketetapan MPRS no. II/MPRS/1960, industri hutan
ditetapkan menjadi proyek B. Proyek B ini harus merupakan sumber penghasilan
untuk membiayai proyek-proyek lainnya. Pada waktu itu direncanakan untuk
mengubah status Jawatan Kehutanan menjadi Perusahaan Negara yang bersifat
komersial. Tujuannya, agar kehutanan dapat menghasilkan keuntungan bagi kas
negara. Untuk itu dikeluarkan Peraturan Pemerintah no.17 -30 tahun 1961 tentang
pembentukan “Perusahaan-perusahaan Kehutanan Negara” (Perhutani) yang
berkembang hingga pada akhirnya saat ini.
2.1.1.3. Jenis-Jenis Hutan
• Berdasarkan Letak Geografisnya
a. Hutan tropika, yakni hutan-hutan di daerah khatulistiwa.
b. Hutan temperate, hutan-hutan di daerah empat musim (antara garis
lintang 23,5º - 66º).
c. Hutan boreal, hutan-hutan di daerah lingkar kutub.
Universitas Kristen Petra
20
• Berdasarkan Sifat-Sifat Musimannya
a. Hutan hujan (rainforest).
b. Hutan selalu hijau (evergreen forest).
c. Hutan musim atau hutan gugur daun (deciduous forest).
d. Hutan sabana (savannah forest).
• Berdasarkan Ketinggian Tempatnya
a. Hutan pantai (beach forest).
b. Hutan dataran rendah (lowland forest).
c. Hutan pegunungan bawah (sub-montane forest).
d. Hutan pegunungan atas (montane forest).
e. Hutan kabut (cloud forest).
f. Hutan elfin (alpine forest).
• Berdasarkan Keadaan Tanahnya
a. Hutan rawa air tawar atau hutan rawa (freshwater swamp-forest).
b. Hutan rawa gambut (peat swamp-forest).
c. Hutan rawa bakau, atau hutan bakau (mangrove forest).
d. Hutan kerangas (heath forest).
e. Hutan tanah kapur (limestone forest).
• Berdasarkan Jenis Pohon yang Dominan
a. Hutan jati (teak forest).
b. Hutan pinus (pine forest).
c. Hutan dipterokarpa (dipterocarp forest).
d. Hutan ekaliptus (eucalyptus forest).
• Berdasarkan Tujuan Pengelolaannya
a. Hutan produksi, yang dikelola untuk menghasilkan kayu ataupun hasil
hutan bukan kayu (non-timber forest product).
b. Hutan lindung, dikelola untuk melindungi tanah dan tata air.
c. Hutan suaka alam, dikelola untuk melindungi kekayaan
keanekaragaman hayati atau keindahan alam.
d. Hutan konversi, yakni hutan yang dicadangkan untuk penggunaan lain,
dapat dikonversi untuk pengelolaan non-kehutanan.
• Berdasarkan Sifat-Sifat Pembuatannya
Universitas Kristen Petra
21
a. Hutan Alam (natural forest).
b. Hutan Buatan (man-made forest), misalnya:
Hutan kota (urban forest).
Hutan tanaman industri (timber plantation).
Hutan rakyat (community forest).
2.1.2. Tinjauan Hutan Rakyat
Hutan rakyat adalah hutan-hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat,
kebanyakan berada di atas tanah milik atau tanah adat; meskipun ada pula yang
berada di atas tanah negara atau kawasan hutan negara. Secara teknik, hutan-hutan
rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani, yakni campuran antara pohon-
pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon. Baik berupa wanatani
sederhana, ataupun wanatani kompleks (agroforest) yang sangat mirip strukturnya
dengan hutan alam.
2.1.2.1. Jenis-Jenis Hutan Rakyat
• Hutan Milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik.
Ini adalah model hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa.
Luasnya bervariasi, mulai dari seperempat hektare atau kurang, sampai
sedemikian luas sehingga bisa menutupi seluruh desa dan bahkan
melebihinya (Suwelo, Ismu S., par. 11).
• Hutan Adat/ Hutan Desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun di atas
tanah komunal; biasanya juga dikelola untuk tujuan-tujuan bersama atau
untuk kepentingan komunitas setempat (Suwelo, Ismu S., par. 12).
• Hutan Kemasyarakatan (HKm) , adalah hutan rakyat yang dibangun di atas
lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam
hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada
sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan
atau koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai hutan rakyat, dan
umumnya dianggap terpisah (Suwelo, Ismu S., par. 13).
2.1.2.2. Hasil Produksi Hutan Rakyat
Hutan rakyat jaman sekarang telah banyak yang dikelola dengan orientasi
komersial, untuk memenuhi kebutuhan pasar komoditas hasil hutan. Tidak seperti
Universitas Kristen Petra
22
pada masa lampau, utamanya sebelum tahun 1980an, di mana kebanyakan hutan
rakyat berorientasi subsisten, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga petani
sendiri. Pengelolaan hutan rakyat secara komersial telah dimulai semenjak
beberapa ratus tahun yang silam, terutama dari wilayah-wilayah di luar Jawa.
Hutan-hutan, atau tepatnya kebun-kebun rakyat dalam rupa hutan ini
menghasilkan aneka komoditas perdagangan dengan nilai yang beraneka ragam.
Terutama hasil-hasil hutan non-kayu (HHNK). Bermacam-macam jenis getah dan
resin, buah-buahan, kulit kayu dan lain-lain. Bahkan kemungkinan aneka rempah-
rempah yang menarik kedatangan bangsa-bangsa Eropah ke Nusantara, sebagian
besarnya dihasilkan oleh hutan-hutan rakyat ini.
Belakangan ini hutan-hutan rakyat juga dikenal sebagai penghasil kayu
yang handal. Sebetulnya, semua jenis hutan rakyat juga menghasilkan kayu. Akan
tetapi pada masa lalu perdagangan kayu ini terlarang bagi rakyat jelata. Kayu
mulai menjadi komoditas diperkirakan semenjak jaman VOC, yakni pada saat
kayu-kayu jati dari Jawa diperlukan untuk membangun kapal-kapal samudera dan
benteng-benteng bagi kepentingan perang dan perdagangan. Pada saat itu kayu jati
dikuasai dan dimonopoli oleh VOC dan raja-raja Jawa. Rakyat jelata terlarang
untuk memperdagangkannya, meski tenaganya diperas untuk menebang dan
mengangkut kayu-kayu ini untuk keperluan raja dan VOC.
Monopoli kayu oleh penguasa ini dilanjutkan hingga pada masa
kemerdekaan. Di Jawa, hingga saat ini petani masih diharuskan memiliki
semacam surat ijin menebang kayu dan surat ijin mengangkut kayu; terutama jika
kayu yang ditebang atau diangkut adalah jenis yang juga ditanam oleh Perum
Perhutani. Misalnya jati, mahoni, sonokeling, pinus dan beberapa jenis lainnya.
Hak untuk memperdagangkan kayu sampai beberapa tahun yang lalu masih
terbatas dipunyai oleh HPH, sebagai perpanjangan tangan negara.
• Getah dan Resin
a. Karet (Hevea brasiliensis).
b. Jelutung (Dyera spp.).
c. Nyatoh (Palaquium spp., Payena spp.)
d. Damar mata-kucing (Hopea spp., Shorea javanica).
e. Damar batu (Shorea spp.).
Universitas Kristen Petra
23
f. Kemenyan (Styrax benzoin).
• Buah-Buahan
a. Durian (Durio spp., terutama D. zibethinus).
b. Jambu mente (Anacardium occidentale).
c. Kluwek atau kepayang (Pangium edule).
d. Kemiri (Aleurites moluccana).
e. Kopi (Coffea spp.).
f. Lada (Piper nigrum).
g. Pala (Myristica fragrans).
h. Petai (Parkia speciosa).
i. Tengkawang (Shorea spp.).
• Rempah-Rempah
a. Kulit manis atau kayu manis (Cinnamomum spp.).
b. Cengkeh (Syzygium aromaticum).
c. Aneka jahe-jahean (empon-empon).
• Kayu-Kayuan
a. Jeunjing (Paraserianthes falcataria).
b. Jati (Tectona grandis).
c. Mahoni (Swietenia macrophylla).
• Lain-Lain
a. Rotan (banyak jenis).
b. Cendana (Santalum album).
c. Sagu (Metroxylon sago).
2.1.3. Tinjauan tentang Taman Nasional
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan
rekreasi (pasal 1 butir 14 UU no. 5 tahun 1990).
Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik
di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
Universitas Kristen Petra
24
serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal
1 butir 13 UU No. 5 Tahun 1990).
2.1.3.1. Sejarah Taman Nasional
Gagasan dari sebuah taman nasional pertama kali muncul pada awal abad
ke-19. Pada 1810 puitris Inggris William Wordsworth menggambarkan Danau
District sebagai "sebuah bagian dari hak milik nasional di mana setiap orang
memiliki hak bagi yang memiliki mata untuk menerima dan sebuah hati untuk
menikmati". Pelukis George Catlin, dalam perjalanannya ke Amerika Barat,
menjadi khawatir akan masa depan penduduk asli Amerika yang dia temui dan
keajaiban alami yang dia lihat. Tanah terlindungi tersebut dilakukan oleh Amerika
Serikat, ketika Presiden Abraham Lincoln menandatangani "Act of Congress"
pada 30 Juni 1864, menetapakan Lembah Yosemite dan Mariposa Grove di Giant
Sequoia kepada negara bagian California
Namun, visi Taman Nasional belum lengkap di Yosemite, dan
membutuhkan usaha dari John Muir untuk memberikan hasil. Yosemite tidak
menjadi taman nasional secara legal sampai 1 Oktober 1890.
Pada 1872, Taman Nasional Yellowstone diresmikan sebagai taman
nasional pertama di dunia. Tidak seperti Yosemite, tidak ada pemerintah negara
bagian yang melindunginya, jadi Pemerintah Federal mengambil tanggung jawab
secara langsung taman tersebut.
Mengikuti diresmikannya Yellowstone negara lain juga meresmikan taman
nasional mereka. Di Australia, Taman Nasional Royal diresmikan di sebelah
selatan Sydney pada 1879. Taman Nasional Banff menjadi taman nasional
pertama Kanada pada 1887. Selandia Baru memiliki taman nasional pertamanya
pada 1887. Di Eropa taman nasional pertama diresmikan pada 1910 di Swedia.
Terutama setelah PD II banyak taman nasional diresmikan di seluruh dunia.
2.1.4. Tinjauan tentang Iklan
Adalah segala bentuk pesan tentang suatu produk disampaikan melalui
suatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada
sebagian atau seluruh masyarakat.
Universitas Kristen Petra
25
Iklan merupakan suatu proses komunikasi yang memiliki kekuatan sangat
penting untuk digunakan sebagai alat pemasaran yang membantu dalam hal
penjualan barang dengan memberikan layanan serta gagasan maupun ide-ide
melalui saluran tertentu dalam bentuk animasi yang persuasif. Pengertian ini
mengandung dua makna yaitu iklan yang dipandang sebagai alat pemasaran dan
iklan dalam pengertian proses komunikasi yang memiliki sifat persuasif. Kedua
makna tersebut memiliki pengertian yang sama yaitu sebagai kegiatan untuk
menjual barang, jasa, ide dan gagasan kepada pihak khalayak.
Suatu iklan yang dibuat agar dapat bersaing dengan iklan-iklan yang lain
haruslah dibuat dengan kreatif. Banyak sekali orang-orang kreatif dalam dunia
periklanan yang menghasilkan karya-karya kreatif. Menurut David Ogilvy sebuah
iklan bukanlah hiburan atau seni melainkan sebuah medium informasi. Melihat
hal tersebut maka iklan yang dibuat secara kreatif harus mampu memberikan
pesan yang jelas. Jika suatu iklan dibuat dengan kreatif namun pesan yang ada
pada iklan tersebut tidak dapat ditangkap dengan jelas oleh pembacanya maka
iklan tersebut menjadi tidak ada gunanya.
2.1.4.1. Sejarah Iklan
Metode iklan pertama yang dilakukan oleh manusia sangat sederhana.
Pemilik barang yang ingin menjual barangnya akan berteriak di gerbang kota
menawarkan barangnya pada pengunjung yang masuk ke kota tersebut. Iklan tulis
mulai dikenal pada jaman Yunani Kuno, berisi tentang budak-budak yang lari dari
majikannya atau memberitahu akan berlangsungnya pertandingan gladiator. Iklan
pada jaman ini hanya berupa surat edaran. Beberapa waktu kemudian mulai
muncul metode iklan dengan tulisan tangan dan dicetak di kertas besar yang
berkembang di Inggris.
Iklan pertama yang dicetak di Inggris ditemukan pada Imperial
Intelligencer Maret 1648. Sampai tahun 1850an, di Eropa iklan belum sepenuhnya
dimuat di surat kabar. Kebanyakan masih berupa pamflet, leaflet, dan brosur.
Iklan majalah pertama muncul dalam majalah Harper tahun 1864. Pada masa-
masa itu, periklanan berkembang seiring perkembangan pers yang juga ditandai
berkembangnya perusahaan periklanan dengan fungsi sederhana. Pada abad ke-
18, beberapa toko di Eropa mulai berfungsi sebagai agen yang mengumpulkan
Universitas Kristen Petra
26
iklan untuk suratkabar. Pada abad ke-19 mulai dikenal pembelian ruang iklan
melalui agen perseorangan (menyalurkan lagi ke perusahaan periklanan). Setelah
1880an, perusahaan periklanan meningkatkan fungsi dengan menawarkan
konsultasi dan jasa periklanan lain. Pada peralihan menuju abad ke-20, sistem
manajemen periklanan modern seperti posisi manajer iklan mulai
diterapkan.Periklanan di Indonesia
RTS Masli dalam pengantar buku Reka Reklame menjelaskan bahwa iklan
pertama di Indonesia hanya berupa sebuah pengumuman mengenai kedatangan
kapal dagang Bataviaasche Nouvelles tahun 1744. Pemanfaatan iklan menunjang
pemasarannya antara lain dilakukan oleh surat kabar Bientang Timoor yang hanya
berisi teks.
Pertumbuhan iklan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh modal swasta di
sektor perkebunan dan pertambangan pada tahun 1870. Pada jaman ini, beredar
iklan brosur untuk pertama kalinya. Iklan tersebut berisi promosi perusahaan
komersial. Selain brosur, digunakan pula iklan display.Pada awal abad 20, biro
reklame mulai bermunculan walau tidak bertahan lama karena masalah
perekonomian. Biro reklame pada masa itu dapat dikelompokkan dalam kategori
besar (biasanya dimiliki oleh orang Belanda), menengah, dan kecil (dimiliki oleh
orang Tionghoa dan bumiputera). Biro reklame Indonesia kembali bangkit sekitar
1930-1942. Iklan yang dikeluarkan semakin beragam ( pencarian kerja,
pernikahan, kematian, serta perjalanan). Iklan juga sempat menjadi sarana
propaganda Jepang di Indonesia. Berbagai poster dan selebaran
mengkampanyekan Jepang sebagai “Pelindung, Cahaya, dan Pemimpin”.
Namun, pada masa itu tetap banyak iklan lain seperti pasta gigi, batik,
tawaran kursus dan tak ketinggalan iklan bioskop yang menayangkan film Jepang.
Pasca kemerdekaan, muncul iklan himbauan untuk menyumbangkan dana bagi
kepentingan perjuangan, pertahanan kemerdekaan, pembangunan atau perbaikan
sekolah dan mengaktifkan BPKKP. Iklan ini tercatat sebagai iklan layanan
masyarakat pertama dalam sejarah periklanan Indonesia.
Pada tahun 1963, berdiri perusahaan periklanan InterVista Ltd yang
dikelola (sekaligus didirikan) oleh Nuradi, mantan diplomat yang pernah bekerja
di perusahaan periklanan SH Benson cabang Singapura. Perusahaan ini dianggap
Universitas Kristen Petra
27
sebagai perintis periklanan modern di Indonesia dengan pelayanan menyeluruh
seperti media planning, account management, riset, dan bidang lain.Saat ini,
berbagai perusahaan periklanan di Indonesia tergabung dalam suatu asosiasi yaitu
PPPI. Asosiasi perusahaan periklanan ini terwakili pula dalam keanggotaan
Dewan Pers yang secara resmi dituangkan dalam UU No. 4 Tahun 1967.
2.1.5. Tinjauan tentang Iklan Layanan Masyarakat (ILM)
Iklan Layanan Masyarakat ialah pesan komunikasi pemasaran untuk
kepentingan publik tentang gagasan atau wacana, untuk mengubah, memperbaiki,
atau meningkatkan sikap atau perilaku mereka. Produksi maupun penyiaran media
ini, sebagaian atau seluruhnya dikelola dan atau didanai oleh pelaku periklanan.
Biasanya pesan ILM berupa ajakan atau himbauan kepada masyarakat
untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan demi kepentingan umum
atau mengubah suatu kebiasaan atau perilaku masyarakat yang “tidak baik”
supaya menjadi “lebih baik”, misalnya kampanye “Say no to drugs”. Siapapun
atau lembaga apapun dapat melancarkan ILM. Biasanya pesan ILM. Biasanya
pesan ILM diberi logo, slogan, atau nama sponsor.
2.1.5.1. Sejarah Iklan Layanan Masyarakat
Iklan Layanan Masyarakat sudah dikenal di Amerika Serikat sejak tahun
1942 ketika dibentuk The Advertising Council, beberapa hari setelah pembomban
Pearl Harbour. Perang Dunia II telah mendorong terciptanya suatu organisasi para
ahli komunikasi untuk memanfaatkan bakat-bakat terampil dalam memobilisasi
masyarakat Amerika guna memenangkan perang dunia. Semula mereka
menamakan lembaga ini War Advertising Council yang berupaya mendorong
penghematan bahan, mendorong kaum muda menjadi sukarelawan perang,
motivasi rakyat Amerika agar membeli surat-surat berharga untuk membiayai
perang, merekrut perawat, sampai memberikan penjelasan tentang pentingnya
menjaga informasi rahasia. Semua ini menuntut pengerahan vitalitas, penentuan
fokus dan keyakinan dalam pekerjaan untuk kelak dilanjutkan sekalipun perang
sudah usai.
Setelah perang usai dan keadaan masyarakat telah berubah, misi yang
dicanangkan tetap sama. Ad Council telah menggabungkan berbagai kekuatan,
Universitas Kristen Petra
28
diantaranya kalangan periklanan, bisnis, dan media untuk menanggulangi
berbagai pemberitaan kontroversial yang mengancam masyarakat.. Dengan
dukungan yang demikian kuat dari berbagai kalangan, Ad Council tidak hanya
tangguh dan disegani di tengah masyarakat, melainkan juga dapat mencapai
tujuan dengan lebih profesional dan tampil dengan pesan-pesan yang menggigit.
Setelah perang, mereka melakukan kampanye dalam berbagai bidang
untuk melihat kecenderungan kehidupan di Amerika Serikat. Pada dasawarsa
1950-an dilakukan kampanye untuk memeperbaiki sistem pendidikan serta
promosi vaksin polio. Pada dasawarsa 1060-an mereka menggunakan model
seorang Indian yang tengah menangis untuk mencegah bahaya polusi. Kampanye
ini kemudian mendorong lahirnya korps perdamaian. Dan pada dasawarsa 1970-
an mereka melakukan kampanye yang sampai sekarang tetap relevan, kampanye
yang dinamakan Partnership for a Drug-Free America. Kampanye ini akhirnya
disebarluaskan oleh hampir seluruh media massa utama dengan dibantu oleh 200
biro iklan yang mendesain 42 jenis spot untuk televisi, 30 jenis iklan radio, dan 78
jenis iklan cetak. Tujuan kampanye ini adalah meyakinkan masyarakat bahwa
penggunaan obat-obat terlarang tidak bisa diterima dan benar-benar bodoh.
Kesungguhan kalangan bisnis, periklanan, dan media Amerika Serikat dalam
keikutsertaan memperjuangkan perbaikan lingkungan tersebut patut dijadikan
contoh. Yang penting adalah keseriusan menghadapi masalah secara bersama-
sama. Mereka menyadari, masalah itu sangat mustahil diatasi sendirisendiri.
Di Amerika Serikat, organisasi ini hanya dijalankan oleh 40 orang
karyawan tetap. Namun di luar itu, ada ratusan tenaga sukarela yang setiap saat
siap membantu. Yang menarik, ada 85 anggota Dewan Pengurus yang berasal dari
kalangan yang sangat terpandang. Pertemuan yang diadakan empat kali setiap
tahun rata-rata dihadiri oleh 60 orang anggota dewan. Suatu hal yang nyaris
mustahil bisa dilakukan di negara ini, namun demikianlah adanya.
Pada tahun 1989, Ad Council menerima antara 300 sampai 400
permintaan dari berbagai pihak, seperti berbagai organisasi nirlaba dan
pemerintah, untuk mengampanyekan sesuatu pemecahan masalah sosial.
2.1.5.2. Sejarah Iklan Layanan Masyarakat di Indonesia
Universitas Kristen Petra
29
Iklan Layanan Masyarakat berawal dari kemenangan sekutu pada tahun
1945, tentu saja berarti pula segera kembalinya situasi ekonomi maupun
periklanan seperti masa pra pendudukan Jepang. Beberapa iklan pertama yang
muncul di surat kabar memuat himbauan membantu dana bagi kebutuhan
mendesak pada masa pasca kemerdekaan.
Perjuangan memenangkan perang sebagai pemicu lahirnya layanan
masyarakat di Indonesia itu, ternyata mirip dengan yang terjadi di Amerika
Serikat tahun 1939. Hanya saja, praktisi periklanan Amerika menggunakan iklan
layanan masyarakat ini lebih untuk membentu para korban bangsa Amerika dalam
Perang Dunia I. Selain iklan-iklan penghimpun dana, di Indonesia saat itu praktis
hanya terdapat iklan-iklan yang menawarkan jasa perbaikan radio dan alat-alat
kantor. Memang banyak sekali barang-barang yang rusak akibat peperangan atau
perebutan kembali oleh anggota masyarakat terhadap barang-barang yang
dikuasai anggota tentara Jepang.
Iklan Layanan Masyarakat di Indonesia pada umumnya dibuat secara
sendiri-sendiri oleh biro iklan yang melakukan kerja sama dengan pihak media.
Karena dilakukan sendiri-sendiri tanpa adanya suatu pengorganisasian secara
menyeluruh maka seringkali pesan-pesan yang disampaikan dipersepsikan
berbeda-beda oleh audience.
2.2. Identifikasi Data
2.2.1. Landasan Hukum
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1999 tentang
Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi.
2.2.2 Tinjauan tentang Perum Perhutani
Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara yang berada di bawah
naungan Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Sebagai Badan Usaha Milik
Negara (BUMN). Perum Perhutani diberi tugas dan wewenang untuk
menyelenggarakan perencanaan, pengurusan, pengusahaan dan perlindungan
hutan di wilayah kerjanya.
Universitas Kristen Petra
30
Sifat usahanya seperti lazimnya sebuah perusahaan umum, yakni
mengusahakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
Dalam menyelenggarakan pengusahaan hutan dan usaha lainnya Perum
Perhutani berkewajiban menyelenggarakan usaha-usaha dibidang kehutanan untuk
memproduksi barang dan jasa bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup
orang banyak dengan harus mengindahkan prinsip-prinsip ekonomi, kelestarian
serta harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara.
Disamping itu turut aktif pula melaksanakan kebijakan dan program pemerintah di
bidang ekonomi serta pembangunan pada umumnya.
2.2.2.1. Visi Perum Perhutani
Menjadi pengelola hutan tropis terbaik di dunia.
2.2.2.2. Misi Perum Perhutani
a. Mengelola hutan tropis dengan prinsip Pengelolaan Hutan Lestari Bersama
Masyarakat.
b. Meningkatkan produktivitas, kualitas dan nilai sumber daya hutan.
c. Mengoptimalkan manfaat hasil hutan kayu, non kayu dan jasa lingkungan
d. serta potensi lainnya, dalam rangka meningkatkan pendapatan dan
keuntungan perusahaan serta kesejahteraan masyarakat (sekitar hutan).
e. Membangun sumberdaya manusia perusahaan yang bersih, berwibawa dan
profesional.
f. Mendukung dan berperan serta dalam pembangunan wilayah dan
perekonomian nasional
2.2.3. Tinjauan Taman Nasional Tennger Bromo Semeru (TNBTS)
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memiliki tipe ekosistem sub-
montana, montana dan sub-alphin dengan pohon-pohon yang besar dan berusia
ratusan tahun. Beberapa jenis tumbuhan yang terdapat di Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru antara lain jamuju (Dacrycarpus imbricatus), cemara gunung
(Casuarina sp.), eidelweis (Anaphalis javanica), berbagai jenis anggrek dan jenis
rumput langka (Styphelia pungieus). Terdapat sekitar 137 jenis burung, 22 jenis
mamalia dan 4 jenis reptilia di taman nasional ini.
Universitas Kristen Petra
31
Satwa langka dan dilindungi yang terdapat di taman nasional ini antara
lain luwak (Pardofelis marmorata), rusa (Cervus timorensis ), kera ekor panjang
(Macaca fascicularis), kijang (Muntiacus muntjak ), ayam hutan merah (Gallus
gallus), macan tutul (Panthera pardus ), ajag (Cuon alpinus ); dan berbagai jenis
burung seperti alap-alap burung (Accipiter virgatus ), rangkong (Buceros
rhinoceros silvestris), elang ular bido (Spilornis cheela bido), srigunting hitam
(Dicrurus macrocercus), elang bondol (Haliastur indus), dan belibis yang hidup
di Ranupane, Ranu Regulo, dan Ranu Kumbolo.
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru merupakan satu-satunya
kawasan konservasi di Indonesia yang memiliki keunikan berupa laut pasir seluas
5.250 hektar, yang berada pada ketinggian ± 2.100 meter dari permukaan laut. Di
laut pasir ditemukan tujuh buah pusat letusan dalam dua jalur yang silang-
menyilang yaitu dari timur-barat dan timur laut-barat daya. Dari timur laut-barat
daya inilah muncul Gunung Bromo yang termasuk gunung api aktif yang
sewaktu-waktu dapat mengeluarkan asap letusan dan mengancam kehidupan
manusia di sekitarnya (± 3.500 jiwa). Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah
dengan garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat).
Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat
kawah Bromo.
Gambar 2.1
Sumber : Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Universitas Kristen Petra
32
Suku Tengger yang berada di sekitar taman nasional merupakan suku asli
yang beragama Hindu. Menurut legenda, asal-usul suku tersebut dari Kerajaan
Majapahit yang mengasingkan diri. Uniknya, melihat penduduk di sekitar (Suku
Tengger) tampak tidak ada rasa ketakutan walaupun mengetahui Gunung Bromo
itu berbahaya, termasuk juga wisatawan yang banyak mengunjungi Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru pada saat Upacara Kasodo.
Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi:
a. Cemorolawang. Salah satu pintu masuk menuju taman nasional yang
banyak dikunjungi untuk melihat dari kejauhan hamparan laut pasir dan
kawah Bromo, dan berkemah.
b. Laut Pasir Tengger dan Gunung Bromo. Berkuda dan mendaki gunung
Bromo melalui tangga dan melihat matahari terbit.
c. Pananjakan. Melihat panorama alam gunung Bromo, gunung Batok dan
gunung Semeru.
d. Ranupane, Ranu Regulo, Ranu Kumbolo dan Puncak Gunung Semeru.
Danau-danau yang sangat dingin dan selalu berkabut (± 2.200 m. dpl)
sering digunakan sebagai tempat transit pendaki Gunung Semeru (3.676
meter dpl).
2.2.4. Tinjauan tentang Ranupane
Ranupane merupakan daerah yang termasuk di dalam Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru (TNBTS), yang mana daerah ini memiliki luas wilayah
mencapai 3.144,5 ha dengan ketinggian 2.200 m di atas permukaan laut. Pada
daerah ini terdapat suatu desa yang dikelilingi oleh hutan yang dikelola oleh pihak
TNBTS. Menurut Bapak Thomas Hadi Sanjaya, Kepala Desa Ranupane,
penduduk desa ini sebagian besar berasal dari keturunan pelarian dari orang-orang
Majapahit ketika pada saat itu terjadi transisi dari agama Hindu-Budha menjadi
Islam. Dikarenakan mereka tidak mau mengakui agama baru tersebut, mereka
melarikan dari ke lereng Gunung Semeru dan lambat laun dikenal dengan nama
Suku Tengger. Untuk dapat bertahan hidup, mereka pada umumnya bekerja
sebagai petani sayur-mayur, seperti kubis, wortel, bawang pre, dan lain-lain.
Walaupun pekerjaan mereka sebagai petani, mereka masih memiliki suatu
hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan hutan di sekelilingnya. Masyarakat
Universitas Kristen Petra
33
di Ranupane terbiasa untuk menggunakan kayu bakar di dalam kehidupannya
sehari-hari.selain itu, transportasi antara Ranupane dengan daerah di sekitarnya
amat bergantung pada kondisi di daerah terebut. Musim hujan sering
mengakibatkan timbulnya tanah longsor dan pohon tumbang yang menghambat
aktifitas masyarakat Ranupane dengan daerah baik di Lumajang maupun Malang
Selatan.
Gambar 2.2
Jumlah penduduk desa yang mencapai 334 kepala keluarga / 1220 jiwa.
Kebutuhan kayu bakar yang cukup tinggi ini pada awalnya juga memberikan
dampak negatif bagi keadaan hutan di sekitarnya. Tercatat hingga tahun 2006
masih terdapat pencurian kayu hingga 179 batang pohon.
Gambar 2. 2
Sumber : Perum Perhutani KPH Senduro
Untuk menghindari hal tersebut, maka pada awalnya pihak TNBTS melakukan
pelarangan kepada warga untuk menebang pohon untuk mengambil kayu bakar,
Universitas Kristen Petra
34
akan tetapi kemudian diberi kelonggaran bahwa kayu yang boleh ditebang adalah
kayu yang berasal dari pohon yang sudah mati/kering.
Menurut Kepala Desa Ranupane, pernah terjadi suatu hal dimana pernah
terjadi kebakaran hutan yang mengakibatkan rusaknya sebagian hutan di sekitar
sana. Setelah kebakaran tersebut, terdapat beberapa sumber mata air yang
mengering ketika terjadi musim kemarau. Seiring dengan pulihnya hutan yang
rusak tersebut, maka mata air tersebut mulai muncul lagi. Hal ini seolah
memberikan suatu pengajaran bagi penduduk desa bahwa kerusakan hutan akan
memberikan dampak negatif bagi kehidupan di sekitarnya.
2.2.5. Peranan Pemerintah dan Masyarakat
Hutan di Indonesia secara keseluruhan setelah reformasi mengalami
kerusakan yang cukup berat akibat penjarahan pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab. Di daerah Semeru, hal ini juga terjadi sehingga
mengakibatkan kerusakan yang cukup parah. Di Ranupane, masyarakat sekitar
juga melakukan penjarahan hasil-hasil hutan alam, utamanya kayu, baik untuk
kebutuhan hidup mereka sehari-hari maupun dijual kepada pihak lain.
Untuk menanggulangi masalah tersebut, pada awalnya pemerintah
melakukan operasi gabungan baik dari pihak kehutanan maupun kepolisian untuk
menjaga hutan. Setelah angka pencurian di hutan menurun tajam, cara kerja
pemerintah dalam menjaga hutan kini turut mengikutsertakan masyarakat sekitar.
Hal ini dapat dilihat dari program-progaram yang telah disusun oleh pemerintah
misalkan Program Hubungan Bersama Masyarakat (PHBM) yang diusung oleh
Perum Perhutani dengan masyarakat di sekitar hutan.
Dalam hal ini, daerah Senduro yang mana luas wilayah Perum Perhutani
rata-rata adalah hutan damar (Agathis Coranthifolia Salibs), masyarakat dapat
berpartisipasi di dalam masa pertumbuhan kayu damar. Dalam hal ini, Perum
Perhutani menyediakan bibit pada lahan-lahan yang kosong, sementara
masyarakat dapat menanami tanah disekelilingnya sekaligus merawat bibit pohon
yang dititipkan oleh Perhutani.
Di daerah Ranupane, yang termasuk di dalam kawasan Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru (TNBTS), juga memiliki keterlibatan secara langsung di
Universitas Kristen Petra
35
dalam menjaga hutan. Terdapat program dari TNBTS yang mana menanami
kembali tanah hutan dengan pepohonan cemara, akibat tinggi daerah Ranupane
yang di atas 2000 m.
2.2.6. Usulan Pemecahan Masalah
2.2.6.1. Permasalahan
Di atas telah dijelaskan tentang hubungan antara masyarakat Ranupane
baik dengan TNBTS maupun dengan hutan. Hanya saja, hubungan dalam bentuk
kampanye kurang dikelola secara baik. Kampanye yang terjadi selama ini
hanyalah penanaman kembali hutan di sekitar Ranupane yang juga melibatkan
masyarakat sekitar. Tidak terdapat interaksi secara positif antara masyarakat
dengan hutan yang dapat dirasakan secara langsung.
TNBTS sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah di dalam menjaga
hutan dirasa kurang mengoptimalkan interaksi mereka baik dengan masyarakat
Ranupane, maupun menciptakan suatu kondisi di mana terdapat interaksi yang
menguntungkan antara masyarakat dengan hutan. Selama ini, banyak terdapat
kejadian baik yang disebabkan oleh alam maupun akibat dari penjarahan yang
pada akhirnya berdampak buruk pada penduduk sekitar, misalnya seringnya
terjadi tanah longsor, pohon-pohon di pinggir jalan menuju Ranupane yang
kadang roboh akibat hujan atau angin yang keras, akibat dari kebakaran hutan
yang mengakibatkan matinya beberapa sumber air di Ranupane, erosi pada tanah,
dan lain-lain.
2.2.6.2. Kesimpulan
Dari berbagai permasalahan di atas, dapat dilihat interaksi masyarakat
dengan hutan sangatlah minim. Hal ini lambat laun dapat mengakibatkan
terjadinya hal-hal negatif di kemudian hari. Seharusnya TNBTS lebih
mengoptimalkan hubungan masyarakat dengan hutan sehingga timbul rasa perlu
dan peduli dari masyarakat kepada hutan di sekitarnya.
2.2.6.3. Pemecahan Masalah
Pertama-tama, pihak dari TNBTS membangun suatu hubungan yang lebih
baik dengan masyarakat Ranupane dengan program-program yang mendekatkan
diri mereka dengan masyarakat. Misalkan mengenai masalah-masalah yang
selama ini selalu mengganggu masyarakat desa, pihak TNBTS secara proaktif
Universitas Kristen Petra
36
berinisiatif mengajak penduduk untuk bersama-sama mengatasinya. Barulah
setelah timbul hubungan yang baik, diusahakan untuk menciptakan interaksi yang
positif baik masyarakat dengan lingkungan hutan di sekitarnya. Kampanye yang
dapat digunakan oleh pihak TNBTS untuk mendekatkan diri dengan masyarakat
sekitar Ranupane antara lain :
a. Memperbaiki jalan desa yang rusak akibat erosi tanah
b. Menanami pohon pada sekitar daerah yang rawan longsor untuk
memperkuat permukaan tanah.
c. Membersihkan pohon-pohon mati/kering di sepanjang jalan menuju
Ranupane (pohon yang rawan tumbang).
d. Penyuluhan dan bantuan kepada masyarakat akan pentingnya terasering.
Diharapkan dari kampanye di atas timbul suatu hubungan yang lebih baik dari
pihak TNBTS dan masyarakat desa. Selain itu, diharapakan terdapat hasil positif
baik yang langsung maupun tidak langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat
Ranupane.
Universitas Kristen Petra
top related