01 02 pendahuluan

Post on 20-Jun-2015

7.059 Views

Category:

Documents

1 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

PENDAHULUANQOWA’ID FIQHIYYAH

Oleh :

H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA

A. DEFINISI QAWA’ID FIQHIYYAH Etimologi : Qawa’id ( قواعد) bentuk jama’ dari

qa’idah ( قاعدة) yang berarti al-asas dasar, yaitu yang menjadi dasar:(األساس )berdirinya sesuatu. Atau : dasar dan fondasi sesuatu.

Terminologi :

1. menurut Jurjani dalam kitab at-Ta’rifat :

ه�ا / �ات ي ئ ج�ز� �ع ج�م ي ع�ل�ى ق�ة� �ط�ب م�ن �ة� !ي �ل ك �ة� ق����ض يKetentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya.

2. Menurut Taftazani dalam kitab at-Talwih ‘ala at-Tawdhih: كلي حكممنه أحكامها ليتعرف جزئياته على Hukum yang bersifat/ ينطبق

universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya, dimana hukum-hukumnya diketahui darinya.

3. Menurut Ibn as-Subkiy dlm kitab al-Asybah wa an-Nazhair : األمرمنها أحكامها يفهم كثيرة جزئيات عليه ينطبق الذي Perkara/ الكلي

yang bersifat universal (kulli) yang banyak bagian-bagiannya bersesuaian dengannya, dimana hukum-hukum bagian-bagian tersebut dipahami darinya.

4. Menurut al-Hamawiy dalam kitab Ghamzu ‘Uyun al-Bshair : م�� ح�ك�ه� م ن �ام�ه�ا �ح�ك أ ف� �ع�ر� ت ل ه �ات ي ئ ج�ز� �ر �ث ك

� أ ع�ل�ى ق� �ط�ب �ن ي �ل!ي6 ك ال� �ر ي6 �ث ك� Hukum/ أ

yang bersifat mayoritas –bukan universal- yang bersesuaian dengan kebanyakan bagian-bagiannya agar hukum-hukumnya diketahui darinya.

Tiga definisi pertama hanya berbeda redaksi saja, tapi pada hakikatnya sama. Tiga definisi itu didasarkan pada pemahaman bahwa qa’idah bersifat universal. Sedangkan definisi keempat didasarkan pada pemahaman bahwa qa’idah bersifat mayoritas,bukan menyeluruh; karena pendukung pemahaman ini berpendapat bahwa qa’idah itu tdk bisa diterapkan pada seluruh bagiannya, ada saja yang dikeluarkan atau dikecualikan. Menurut pendukung pemahaman yang pertama berpendapat bahwa pada dasarnya qa’idah itu mencakup seluruh bagiannya. Adanya pengecualian tidak berpengaruh, karena setiap qa’idah ada pengecualiannya.

Jadi pengertian Qawa’id Fiqhiyyah (gabungan Qawa’id dengan Fiqhiyyah yang dinisbahkan pada fiqh) adalah : األحكامجزئيات على تنطبق التي الفقهية الكلية

منها أحكامها �عرف Hukum fiqh yang/ . تbersifat universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya, dimana hukum bagian-bagian tersebut dapat diketahui darinya.

B. PERBEDAAN ANTARA QAWA’ID FIQHIYYAH DENGAN DHAWABITH FIQHIYYAH

Pada dasarnya qaidah semakna dengan dhabith (bentuk jama’nya : dhawabith), namun pada prakteknya para ulama membedakan antara qawa’id fiqhiyyah dengan dhwabith fiqhiyyah.

Qawa’id Fiqhiyyah mencakup berbagai cabang dan masalah dalam bab-bab fiqh yang berbeda-beda, seperti qaidah ( بمقاصدها yang ( األمورmencakup bab ibadah, jinayat, jihad, sumpah, dsb.

Sementara dhawabith fiqhiyyah mencakup berbagai cabang dan masalah dalam satu bab fiqh saja. Contoh كان ) : أو الزوج بإذن إال تطوعا المرأة التصوم seorang wanita tidak boleh melakukan/ مسافراshaum sunnah kecuali seizin suaminya atau suaminya dalam perjalanan )

As-Sayuthi berkata : “...Karena sesungguhnya qaidah menghimpun cabang-cabang dari berbagai bab yang berbeda-beda, sedangkan dhabith menghimpun cabang-cabang dari satu bab saja”.

C. PERBEDAAN ANTARA QAWA’ID FIQHIYYAH DENGAN QAWA’ID USHULIYYAH

1. Pada umumnya Qawa’id Ushuliyyah lahir dari lafaz, kaidah, dan teks bahasa Arab. Sementara qawa’id fiqh lahir dari hukum-hukum syara’ dan masalah-masalah fiqih.

2. Qawa’id ushuliyyah khusus bagi seorang mujtahid. Ia menggunakannya untuk istinbath (menggali) hukum fiqih dan mengetahui hukum peristiwa-peristiwa dan masalah-masalah baru dari sumber-sumber hukumnya (dalil). Sementara qawa’id fiqhiyyah khusus digunakan oleh seorang faqih (ahli fiqih), mufti (yang memberi fatwa), dan yang belajar; untuk mengetahui hukum fiqih dan sebagai ganti dari kembali pada bab-bab fiqih yang berbeda-beda.

3. Qawa’id ushuliyyah bersifat umum dan menyeluruh yang mencakup cabang-cabangnya. Sedangkan qawaid fiqhiyyah walalupun bersifat umum dan menyeluruh, namun banyak pengecualiaannya. Pengecualian ini kadang-kadang membentuk kaidah tersendiri atau kaidah cabang. Oleh sebab itu banyak para ulama yang memandang bahwa qawaid fiqhiyyah adalah qaidah yang bersifat aghlabiyyah (mayoritas), bukan qaidah yang bersifat kulliyyah (universal)

4. Qawa’id ushuliyyah bersifat konsisten, tidak berubah-ubah. Sedangkan qawa’id fiqhiyyah tidak bersifat konsisten, tetapi kadang-kadang berubah-ubah disebabkan perubahan hukum yang didasarkan kepada ‘urf (adat), sadd adz-dzari’ah ( ), kemaslahatan, dsb.

5. Qawa’id ushuliyyah mendahului hukum-hukum fiqih. Sedangkan qawa’id fiqhiyyah muncul setelah adanya fiqih dan hukum-hukumnya.

D. HUBUNGAN ANTARA QAWA’ID FIQHIYYAH DENGAN FIQH, USHUL FIQH, DAN QAWA’ID USHULIYYAH

1. Ketiga ilmu tersebut sangat berkaitan erat tidak dipisahkan satu dengan yang lainnya.

2. Ketiga ilmu tsb sangat terkait dg perkembangan fiqih, karena pada dasarnya fiqh itu sendiri yang menjadi pokok pembicaraan qawa’id fiqhiyyah dan ushul fiqh.

3. Fiqh adalah ilmu tentang hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.

D. HUBUNGAN ANTARA QAWA’ID FIQHIYYAH DENGAN FIQH, USHUL FIQH, DAN QAWA’ID USHULIYYAH (lanjutan…)

4. Ushul Fiqh adalah sebuah ilmu yg mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari sumbernya. Hukum yg digali dari dalil atau sumber hukum itulah dinamakan fiqh.

5. Hukum yang dihasilkan dari istinbath (penggalian) dari sumbernya (dalil) itu sangat banyak sekali yang sulit untuk dihafal satu persatu. Maka utk memudahkannya, hukum-hukum yang berbeda-beda yang mempunyai kesamaan dihimpun dalam suatu ketentuan umum atau kaidah. Iketentuan umum atau kaidah itulah yang kemudian dinamakan qawa’id fiqhiyyah.

D. HUBUNGAN ANTARA QAWA’ID FIQHIYYAH DENGAN FIQH, USHUL FIQH, DAN QAWA’ID USHULIYYAH (lanjutan…)

E. TUJUAN DAN FAIDAH MEMPELAJARI QAWA’ID FIQHIYYAH

1. Dapat mendalami fiqh dan mampu menganalisa berbagai masalah.

2. Membantu penghapalan dan penetapan berbagai masalah yang berdekatan, dan mampu mencapai ketetapan hukum tanpa merasa lelah dan memerlukan waktu yang panjang.

3. Membantu seseorang dalam menyelesaikan berbagai masalah kehidupan yang semakin kompleks .

4. Memudahkan para Ahli Fiqih dan Pemberi Fatwa dalam menetapkan hukum fiqih.

E. TUJUAN DAN FAIDAH MEMPELAJARI QAWA’ID FIQHIYYAH (lanjutan…)

5. Qawa’id fiqhiyyah mudah dihafal dan tidak cepat lupa, karena dibentuk dengan ungkapan yang mencakup seluruh kandungannya. Ketika di hadapan seorang faqih disebutkan suatu masalah, ia langsung ingat kaidah fiqh seperti “ la dharar wa la dhirar”.

6. Mempelajari dan mendalami Qawa’id Fiqhiyyah dapat memupuk seorang peneliti kemampuan perbandingan madzhab dan dapat menjelaskan sebab-sebab perbedaan madzhab tersbut. Sebab pada umumnya qaidah-qaidah fiqh tersebtu disepakati oleh para Imam Mujtahid dan hanya sedikit saja yang diperselisihkan.

E. TUJUAN DAN FAIDAH MEMPELAJARI QAWA’ID FIQHIYYAH (lanjutan…)

Untuk menunjukkan tujuan dan faidah mempelajari qawa’id fiqhiyyah berikut ini dikemukan pendapat 2 orang ulama ttg qawa’id fiqhiyyah :

1. Imam al-Qarafi (w.680 H) : Kaidah ini sangat penting bagi fiqih dan esar sekali manfaatnya. Orang yang benar-benar mempelajarinya akan menjadi seorang faqih dan mendapatkan kemualiaan, serta akan mendapatkan rahasia-rahasia fiqih. Ilmu ini juga akan memberi kemudahan dalam berfatwa.

E. TUJUAN DAN FAIDAH MEMPELAJARI QAWA’ID FIQHIYYAH (lanjutan…)

Siapa yang memutuskan suatu cabang permasalahan dan hanya berpegang pada juz’iyyah, serta tidak memperhatikan kulliyyah, dapat dipastikan cabang tersebut akan bertentangan dengan cabang-cabang yang lain. Hal ini akan menimbulkan kebingungan dan menyulitkan dirinya. Siapa yang berhujjah dengan hanya menghapal juz’iyyah saja, maka hujjahnya itu tidak akan ada batasnya, serta akan menghabiskan umurnya tanpa dapat mencapai cita-cita. Sebaliknya, siapa yang memperdalam fiqh melalui qaidah-qaidah fiqh tidak harus menghapalkan berbagai macam cabang fiqh, karena telah tercakup oleh kulliyyah.

E. TUJUAN DAN FAIDAH MEMPELAJARI QAWA’ID FIQHIYYAH (lanjutan…)

Di samping itu, ia pun dapat menyelesaikan berbagai macam perpecahan dan pertentangan. Dengan demikian, ia dapat menjawab berbagai permasalahan yang rumit dalam waktu singkat, sehingga dadanya menjadi lapang karena dapat menemukan pemecahan berbagaipermasalahan yang diinginkan.

2. Ibnu Nujaim (w. 970 H) : Qawa’id Fiqhiyyah pada dasarnya adalah ushul fiqh, dengan qawaid fiqhiyyah itu seorang faqih meningkat kepada derajat ijtihad walaupun dalam fawa.

F. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG PENYUSUNAN QAWA’ID FIQHIYYAH

Dapat ditarik dari pernyataan Muhamma az-Zarqa’ (w. 1357 H) dlm kitabnya Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah : “Seandainya tdk ada qawa’id (fiqhiyyah), tentu hukum-hukum fiqh akan menjadi (huku) furu’ yg berserakan dan kadang-kadang lahiriyahnya tampak saling bertentangan; tanpa ada ushul (Kaidah) yg dapat mengokohkannya dlm pikiran, menampakkan ‘illat-’illatnya, menentukan arah-arah pembentukannya, dan membentangkan jalan pengqiyasan dan penjenisan padanya”.

F. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG PENYUSUNAN QAWA’ID FIQHIYYAH (lanjutan….)

• Dapat ditarik juga dari pernyataan Imam al-Qarafi dlm kitabnya al-Furuq : “Siapa yang berhujjah dengan hanya menghapal juz’iyyah saja, maka hujjahnya itu tidak akan ada batasnya, serta akan menghabiskan umurnya tanpa dapat mencapai cita-cita. Sebaliknya, siapa yang memperdalam fiqh melalui qaidah-qaidah fiqh tidak harus menghapalkan berbagai macam cabang fiqh, karena telah tercakup oleh kulliyyah”.

F. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG PENYUSUNAN QAWA’ID FIQHIYYAH (lanjutan….)

Berdasarkan kedua pernyataan di atas, dapat dikemukakan beberapa faktor pendorong penyusunan qawa’id fiqhiyya sbb. :

1. Makin bertambah banyaknya hukum fiqh, sehingga menyebabkan semakin sulitnya menghapal hukum-hukum fiqh tsb. Maka utk mempermudah menghapal dan mengidentifikasi hukum fiqh yg sangat banyak tsb, disusunlah qawa’id fiqhiyyah.

F. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG PENYUSUNAN QAWA’ID FIQHIYYAH (lanjutan….)

2. Para Ulama dalam menyusun qawa’id fiqhiyyah terinspirasi oleh sebagian teks al-Qur’an dan Hadits yg bersifat jawami’ al-kalim (singkat padat).

3. Secara praktis, pembentukan qawa’id fiqhiyyah didorong oleh pengalaman para ulama di lapangan. Para ulama kadang-kadang dituntut utk memberikan jawaban yg cepat dan tepat thd pertanyaan yg diajukan kepada mereka. Dengan kecepatan dan ketajaman pemikiran, mereka memberikan jawaban yg singkat dan padat. Dlm perjalanan berikutnya, jawaban mereka disinyalir sebagai qawa’id fiqhiyyah.

G. RUANG LINGKUP BAHASAN QAWA’ID FIQHIYYAH

Ruang lingkup bahasan qawa’id fiqhiyyah atau yang disebut dlm kitab-kitab qawa’id fiqhiyah dg istilah jenis-jenis atau pembagian qawa’id fiqhiyyah, menurut M. az-Zuhayliy dlm kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan cakupannya yg luas thd cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tsb oleh madzhab-madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu :

1. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al-Kubra, yaitu qaidah2 fiqh yg bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah2 ini disepakati oleh seluruh madzhab. Yg termasuk kategori ini adalah : (1) al-Umuru bi maqashidiha, (2) al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk, (3) al-Masyaqqatu Tajlib at-Taysir, (4) adh-Dhararu Yuzal, (5) al-’Adatu Muhakkamah.

2. Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yg menyeluruh yg diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yg lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah : adh-Dharar al-Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf/Bahaya yg lebih besar dihadapi dg bahaya yg lebih ringan. Banyak kaidah-kaidah ini masuk pada kaidah yg 5, atau masuk di bawah kaidah yg lebih umum. Kebanyakannya disebutkan di Majalah al-Ahkam al-’Adliyyah. Kadang-kadang di bawah kaidah-kaidah ini masuk juga kaidah-kaidah cabang, dan kebanyakannya disepakati oleh madzhab-madzhab.

3. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yg menyeluruh pada sebagian madzhab, tdk pada madzhab yg lain. Kaidah ini terbagi pada 2 bagian : (1) kaidah yg ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab, (2) kaidah yg diperselisihkan pada satu madzhab. Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi al-Ma’ashiy/Dispensasi tdk didaptkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali, tdk di kalangan mazhab Hanafi, dan dirinci di kalangan madzhab Maliki.

4. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang diperselisihkan dlm sau madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dlm satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dlm furu’ satu madzhab. Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah hukum yg dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini diperselisihkan pada madzhab Syafi’i. oleh karena itu pada umumnya diawali dg kata :hal/هل/apakah.

H. SUMBER QAWA’ID FIQHIYYAH

1. Al-Qur’an Ayat-ayat al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip

umum, kaidah-kaidah menyeluruh, dan ketentuan-ketentuan syari’at agar menjadi petunjuk bagi para ulama dalam membentuk kaidah-kaidah menyeluruh dalam fiqih Islam untuk mewujudkan tujuan syari’at sesuai dengan kemaslahatan manusia, perkembangan zaman, dan perbedaan tempat.

H. SUMBER QAWA’ID FIQHIYYAH … (lanjutan)

Prinsip-perinsip umum dalam al-Qur’an mewujudkan 2 sasaran : Menguatkan kesempurnaan dalam agama Islam yang

disebutkan dalam ayat : ( م�ت��م� �ت و�أ �م� �ك د ين �م� �ك ل �م�ل�ت� ك� أ �و�م� �ي ال

Iا د ين اإلس�الم� �م� �ك ل ض يت� و�ر� ي ع�م�ت ن �م� �ك �ي Pada hari ini telah/ع�لKusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. [QS. Al-Maidah:3])

Menunjukkan keluwesan syariat Islam sesuai dengan segala perkembangan zaman dan tempat sehingga bisa diterapkan di mana saja dan kapan saja.

H. SUMBER QAWA’ID FIQHIYYAH … (lanjutan)

2. as-Sunnah Rasulullah saw diberikan perkataan yang menyeluruh dan singkat

(jawami’ulkalim). Beliau berbicara dengan kata hikmah yang singkat setingkat pribahasa, kaidah yang menyeluruh, dan prinsip umum, sesuai dengan hukum cabang dan permasalahan yang banyak. Seperti sabda Rasulullah saw : م� وط�ه� ر� ش� ع�ل�ى ل�م�ون� Orang Muslim itu sesuai/ال�م�س�

dengan perjanjiannya. (HR. Abu Daud dan Hakim) ة� يح� الن�ص� ,Agama itu nasihat.(HR. Muslim, Abu Daud/الد�ين�

Tirmidzi, Nasa’I, dan Ahmad) ب�الن�ي�ات� ال� �ع�م� األ� ا �ن�م� Sesungguhnya setiap perbuatan/إ

tergantung niatnya. (Muttafaq ‘Alaih)

H. SUMBER QAWA’ID FIQHIYYAH … (lanjutan)

3. al-Ijtihad

Hal itu karena dengan menggali kaidah yang menyeluruh dari dalil-dalil syar’I, kaidah-kaidah bahasa Arab, logika yang sehat, dan dari menghimpun hukum-hukum fiqih yang mempunyai kesamaan dalam ‘illat penggalian hukum. Jadi seorang Ahli Fiqih kembali kepada sumber-sumber ini , mencurahkan potensinya, mengumpulkan hukum-hukum yang bersamaan, masalah-masalah yang serupa, mengeluarkan kaidah yang menyeluruh yang mencakup seluruh atau mayoritas hukum di bawahnya. Seperti kaidah ( د�ها اص� ب�م�ق� yang diambil (اال�م�ور)dari sekumpulan hadits tentang niat terutama hadits ( ا �ن�م� إ

ب�الن�ي�ات� ال� �ع�م� ( األ�

I. BERDALIL DENGAN QAWA’ID FIQHIYYAH Bolehkah menjadikan kaidahfiqih sebagai dalil sebagai

pengambilan hukum syara’ ? Masalah ini adalah maslah yang penting, karena kaidah ini akan

dijadikan landasan pengambilan banyak hukum. Pendapat yang kuat adalah tidak boleh menjadikan kaidah fiqih sebagai dalil pengambilan hukum syara’. Hal itu disebabkan kaidah fiqih ada pengecualiannya dan sifatnya tidak menyeluruh, sedangkan kita dituntut untuk berdalil dengan dalil yang eksis dan bersifat menyeluruh.

Namun sebagian kaidah fiqih mempunyai sifat lain, yaitu mencerminkan kaidah ushulilayah, atau hadits yang shahih. Maka dalam hal ini kita bersandar kepada siftanya, yaitu al-Qur’an, hadits Nabi, atau kaidah ushuliyah. Maka dalam hal ini hakikatnya berdalil dengan ayat, hadits, atau kaidah ushul fiqih yang eksis, bukan dengan kaidah fiqih.

J. PERKEMBANGAN ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH

1. Fase Pertama : fase kemunculan dan berdirinya qaidah fiqh.• Mulai zaman Rasulullah sampai akhir abad III H/

IX M. • Pada masa ini ada hadits, atsar sahabat dan perkataan

tabi’in yg bisa dikategorikan qaidah fiqh karean mencakup berbagai masalah furu’.

• Contoh Hadits : o الض�م�ان ب اج� artinya : orang yang menikmati الخ�ر�

hasil sesuatu bertanggung jawab atas resikonya.

o Contoh lain : �ار ض ر� � ال و� ر� ض�ر� � artinya : tidak , الboleh membahayakan dan tidak boleh dibahayakan.

o Contoh lain : على �مين� والي الم�د�عي على �ة� !ن �ي الب�كر �ن أ bukti bagi yang mendakwa , م�ن�

(penggugat) dan sumpah bagi yang mengingkari.o Contoh lain : ام� ح�ر� �ه� �ل ي ف�ق�ل ه� �ر� ي �ث ك �ر� ك �س� ا , م�ا

artinya : sesuatu yang banyaknya dapat memabukkan, maka yang sedikitnya juga haram.

• Contoh Atsar Sahabat : o Perkataan Umar bin Khatab :

وط ر� الش� �د� ن ع الح�ق! artinya : putusnya hak bergantung , م�ق�اط ع�pada syarat yang diperbuat.o ه� �ح� ر ب �ه� ف�ل I م�اال �ه� ل ض�م�ن� artinya : orang yang menanggung , م�ن�suatu harta benda, maka ia memperoleh keuntungannya .

Contoh Perkataan Tabi’in:o Perkataan Qadhi Syuraih : �ر� غ�ي عIا ط�ائ ه �ف�س ن ع�ل�ى ر ط� م�اش�

�ه �ي ع�ل ف�ه�و� Wو�ه �ر� artinya : sesuatu yang disyaratkan atas , م�كdirinya secara sukarela tanpa terpaksa, maka sesuatu itu mengikat atas dirinya.

Dalam perkembangan selanjutnya, qaidah fiqh semakin bertambah dan berkembang, akan tetapi qaidah-qaidah fiqh tersebut berserakan dalam berbagai kitab fiqh, seperti : Dalam kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf (w 182 H/798 M

و�ص غ�ر ه م الج�ر� ع ظ�م ق�د�ر ع�ل�ى م�ام اإل ل�ى ا �ر� �ع�ز ي الت , artinya : hukuman ta’zir diserahkan pada imam (pemimpin) sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran.

Dalam kitab al-Umm, Imam Syafi’I mengatakan :

�م ي �ت الي م ن� الو�ل ي! �ة� �ز ل م�ن �ة ي ع الر� م ن� م�ام اإل �ة� �ز ل , م�نkedudukan pemimpin atas rakyat sama dengan kedudukan wali atas anak yatim.

Dalam kitab syarh adab al-Qadhi, ash-Shadr asy-Syahid menyatakan : ار� ق�ر� اإل

ه �ف�س ن ب �ة� ب م�و�ج pengakuan itu , ح�ج�ة�merupakan hujjah yang efektif untuk diri yang melakukannya.

2. Fase Kedua : Masa Perkembangan dan Pembukuan Qaidah Fiqh• Dimulai pada abad 4 H/10 M – 13 H/19 M.• Pada masa ini, kitab-kitab fiqh sangat banyak

sekali, para ulama tidak melakukan ijtihad mutlak, tetapi menulis ushul fiqh dan merumuskan qaidah-qaidah fiqh.

• Penulisan terangkum dalam tema-tema semisal al-Qawaid wa adh-Dhawabith, al-Furuq, al-Asyabah wa an-Nazhair.

Penulisan dimulai dengan pernyataan umum (qaidah-qaidah) kemudian diikuti dengan penulisan furu’ spt dlm kitab al-Asyabah wa an-Nazhair oleh Jalaluddin as-Sayuthi.

Penulisan qaidah fiqh pada fase ini dimulai oleh al-Karakhi dan ad-Dabusi dari kalangan ulama Hanafiyah.

Penulisannya dg cara mengutip dan menghimpun qaidah-qaidah yang terdapat pada kitab-kitab fiqh masing-masing madzhab.

Juga dg cara mencantumkan qaidah-qaidah fiqh pada kitab fiqh ketika mencari ‘illat dan mentarjih suatu pendapat. Contoh : Ketika al-Juwaini (w 478 H/1085 M) menjelaskan bahwa

pelaksanaan shalat bergantung pada kemampuan seseorang, ia mencantumkan qaidah � ال �ه �ي ع�ل الم�ق�د�و�ر� ن� إ

�ه� ع�ن الم�ع�ج�و�ز ب ق�ط� �س� artinya : sesuatu yg bisa dilakukan , يtak bisa gugur karena ada yg tidak bisa dilakukan.

Kemudian qaidah itu berbunyi : ق�ط� �س� ي � ال و�ر� �س� الم�ي و�ر الم�ع�س� artinya : sesuatu yg mudah dilakukan tidak , بgugur dengan adanya yg sulit dilakukan.

Imam Nawawi (w 676 H/1191 M) dalam kitabnya al-Majmu’ sering menghubungkan ketetapan hukum berbagai masalah dg qaidah :

ك! الش� ب ال� �ز� ي ال� �ن� �ق ي artinya : suatu keyakinan , اليtidak hilang dengan adanya keraguan.

Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ Fatawa melakukan hal yg sama dg menggunakan qaidah : ا�ه و�ال ز� ب ال� ز� �ة ع ل ب �ت� �ب ث إذ�ا �م� �ح�ك : artinya , الhukum yg ditetapkan berdasarkan illat bisa hilang (berubah) dg hilangnya illat.

Abad 8 H adalah masa keemasan dari pembukuan qaidah-qaidah fiqh dengan banyaknya penulisan kitab-kitab qaidah terutama di kalangan ulama Syafi’iyah.

Abad 9 H adalah masa penyempurnaan secara sistimatis, spt lahirnya kitab al-Asyabah wa an-Nazhair oleh Ibnu Mulaqqin (w 804 H/1402 M), al-Qawaid oleh Abu Bakr al-Hishal (w 829 H/1425 M ).

Abad 10 H adalah masa puncak keemasan pembukuan qaidah fiqh dengan lahirnya kitab al-Asyabah wa an-Nazhair oleh Jalaluddin as-Sayuthi.

3. Fase Ketiga : Fase Kemajuan dan Sistematisasi Qaidah Fiqh• Dimulai dg kelahiran Majallah al-Ahkam al-Adliyyah

(Kompilasi Hukum Islam di masa Turki Usmani).• Kompilasi ini hasil ulama Turki di zaman Sultan ‘Abd

al-’Aziz Khan al-Usmani, yg ditetapkan pada tgl 26 Sya’ban 1292 H/28 Sept 1875 M.

• Merupakan ensiklopedi Fiqh Islam dlm bidang mu’amalah dan hukum acara peradilan yg terdiri atas 1851 pasal.

• Dalam majalah tsb tidak semua pasal berupa qaidah fiqih, tetapi terdapat pula qaidah ushul. Di antara qaidah fiqh adalah :

- �ق�ة� �ح�ق ي ال �م �ال الك ف ي ص�ل�� artinya : asal , األ

dalam suatu perkataan adalah makna hakikat.

- �ص! الن م�و�ر د ف ي ه�اد ت ج� لإل اغ� م�س� � artinya , ال: tidak dibenarkan berijtihad ketika ada nash (qath’i).

E. KITAB-KITAB STANDAR QAIDAH FIQH PADA MADZHAB FIQH

Madzhab Hanafi : Ushul al-Jami’ al-Kabir, Malik al-Mu’azzham ‘Isa al-

Ayubi (623 H) Al-Asyabah wa an-Nazhair, Ibnu Nujaim (970 H) Al-Faraid al-Bahiyyah fi al-Qawaid wa al-Fawaid al-

Fiqhiyah, Hamzah al-Husaini (1305 H)• Madzhab Maliki :

Al-Furuq, Abu Abbas al-Qarafi (758) Al-Qawaid, Abdullah al-Muqaara (758 H) Al-Kulliyah fi al-Fiqh, Ibnu Gazi (901 H)

Madzhab asy-Syafi’i : Al-Majmu’ al-Mudzahhab fi Qawaid al-Madzhab, al-’Alai

(761 H) Al-Mantsur fi al-Qawaid, Imam Zarkasyi (794 H) Al-Asybah wa an-Nazhair, Imam as-Sayuthi (911 H)

Madzhab Hanbali : Al-Qawaid an-Nuraniyah al-Fiqhiyah, Ibnu Taimiyah (728

H) Al-Qawaid, Ibnu Rajab (795 H) Al-Qawaid wa al-Ushul al-Jami’ah, Abdurrahman as-Sa’diy

(1378 H)

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن الاله إال انت استغفرك واتوب إليكوالسالم عليكم ورحمة الله وبركاته

Semoga bermanfaat!!!

جزاكم الله خيرا كثيرا

وشكرا على حسن : أخوكم في اللهاستماعكم !

أسنين شفيع الدين082110609056

asnin_syafiuddin@yahoo.co.idhttp://abufathirabbani.blogspot.com

top related