repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7034/1/heri... ·...
Post on 11-Apr-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Heri Junaidi NIM. 09.3.00.1.08.01.0015
EFISIENSI BERKEADILAN PADA KASUS USAHA SONGKET PALEMBANG
Disertasi
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Memperoleh Gelar Doktor di Bidang Pengkajian Islam
Promotor:
Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM
Prof. Dr. Ahmad Rodoni.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011
ii
ABSTRAK
Berdasarkan hasil studi ini disimpulkan bahwa efisiensi berkeadilan memiliki
nilai-nilai kekuatan ekonomi berbasis pemberdayaan dalam meningkatkan
kesejahteraan bersama. Nilai-nilai yang tidak berorientasi pada nilai ekonomis
semata seperti dipahami dalam teori trickle down effect maupun pareto optimum
yang hanya melahirkan kapitalis semu dan kejahatan moral karena kekayaan, harta,
dan penumpukan modal sebenarnya hanya dimiliki oleh para pelaku ekonomi
modal kuat, bukan oleh semua kalangan. Penguatan ekonomi berbasis
pemberdayaan berarti pemerintah berperan mengatur agar masyarakat kaya tidak
merugi (tidak worse off) dan masyarakat miskin memperoleh untung (menjadi
better off). Dalam perspektif tersebut, nilai-nilai efisiensi berkeadilan dipengaruhi
oleh nilai-nilai Islam yang mengarahkan seluruh umat Islam untuk meningkatkan
produkifitas namun tidak melupakan hak-hak orang lain dalam proses mendapatkan
hasil usaha.
Persamaan dan perbedaan dengan komunitas akademik lain (1) Efisiensi
berkeadilan yang termaktub dalam amandemen UUD 1945 pasal 33 (ayat 4) adalah
istilah yang diusung oleh Sri-Edi Swasono sebagai efisiensi sosial dalam mencapai
keadilan sosial ekonomi pada tataran mikro dan makro; (2) Jamaludin Atthiyah
menyebutkan bahwa sumber daya manusia dalam melakukan aktifitas dituntut
untuk melakukan efisiensi dengan tidak mengkonsumsi dan mengeksploitasi
nikmat Allah secara berlebihan; (3) Umar Chepra dan Mannan menilai efisiensi
berdasarkan maqa>s}id. Setiap penggunaan yang menggagalkan realisasi
maqa>s}id harus dipandang sebagai kesia-siaan, penetapan kesejahteraan dalam
pembangunan ekonomi dalam Islam harus bermuara kepada mas}lahat atau
kebaikan, dan kesejahteraan umat manusia untuk pemeliharaan lima mas}lahat
berdasarkan aturan syari‟ah; (4) Muhammad Amin Suma menguatkan dengan
keadilan sosial secara menyeluruh dimana kemakmuran rakyat yang diutamakan,
bukan kemakmuran orang-seorang, berkeadilan dan berkemakmuran dengan
tawaran ekonomi berbasis kitab suci. Sumber data dan cara membaca melalui
pemahaman dan perbandingan efisiensi berkeadilan dari perspektif ekonomi
kapitalis, konsep ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam serta pada kasus usaha
songket Palembang
Hasil studi menyimpulkan bahwa keterbatasan pemahaman terhadap makna
efisiensi berkeadilan dalam implementasi merupakan penjelasan penting dalam
menjawab pertanyaan pada kasus usaha songket Palembang. Nilai-nilai efisiensi
berkeadilan belum terbangun pada usaha songket Palembang. Indikator penting
memperlihatkan aktifitas yang hanya berorientasi untung rugi ekonomi.
iii
ABSTRACT
Equitable efficeincy embodied in the amandement of 1945 constitution
article 33 (paragraph 4) is one of the basic values to build social efficiency in
Indonesia. The term introduced in the amandement by Sri-Edi Swasono, as also
strengthened by earlier thinkers such as Mohammad Hatta, Posner, Prabhat Ranjan
Sarkar, Sritua Arief, Mubyarto, Umar Chepra, Baqir Shadr, Jamaluddin Attiyah,
Amin Suma, Han-Joon Chang and Ilene Grabel.
The dissertation is then shown that (1) the concept of equitable efficiency
oriented economic efficiency is not only the view of the economic costs and
benefits, (2) the equitable efficiency is a concept to build empowerment,
balance, sustainability, equality and shared prosperity. The main source of this
dissertation is the work of economists thought that examines the concept
of equitable efficiency and Palembang songket business activities. The data is
read through the concept of capitalist economics, Islam and the economy, while
providing a revision of the existing theories based on field findings and the concept
of Islamic Law reality (fiqh muamalah ). Actualization of the various theories are
assessed from activities of business development in South Sumatra in songket
(1)empowerment of capital, (2) development aspects of rights and mutual
obligations, (3) togetherness in human resource development, (4) free enterprise
and creativity, (5) enhance partnerships in distribution. In explore the equitable
efficiency in Palembang songket business done with the conceptual approach
and the comparative approach.
The study concluded that the values of equitable efficiency influenced the
concept of Islamic economics. The existence of such a term is needed to encourage
the accelaration of productivity that justice which every citizen can enjoy the
results in accordance with humanity and devotion dharma. It also reinforces the
implementation of the demands of Article 27 paragraph (2) of the 1945
Constitution (UUD 1945). Lack of understanding of the meaning of equitable
efficiency. Lack of and strength of the ideological struggle of economic democracy
building within the basic concept at the level of production and distribution
business Palembang‟s Songket.
The effort to build a future songket waves business by holding on values of
parameters the Equitable efficeincy and mumalah maliyah and muamalah
ma‟daniyah as reinforce basic awareness of Khalifatullah fi al-ardhi, contract
implementation in accordance with the values of Islamic law, and strengthening
partnership with the concept of sharing (murabaha and musharaka).
iv
v
vi
vii
viii
ix
x
xi
xii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Heri Junaidi
Nim : 09.2.00.1.09.01.0020
Konsentrasi : Ekonomi Islam
xiii
Dengan ini menyatakan bahwa disertasi Efisiensi Berkeadilan Pada Kasus
Usaha Songket Palembang adalah benar-benar karya saya sendiri, didukung
oleh berbagai sumber terkait. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di
dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Demikianlah surat
pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, Juli 2011
Heri Junaidi NIM. 09.3.00.1.08.01.0015
Kata Pengantar
Dengan rahmat dan Inayah Allah Swt penelitian disertasi berjudul
“Efisiensi Berkeadilan (Studi Kasus Usaha Songket Palembang)” yang merupakan
hasil pergulatan akademik selama masa studi di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dapat diselesaikan, salawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada nabi Muhammad Saw. Disertasi ini merupakan penggalian
mendalam terhadap salah satu kalimat dalam amandemen keempat tahun 2004,
Pasal 33 yang dikenal sebagai pasal pengelolaan ekonomi, ayat keempat
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
xiv
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
Konsep efisiensi berkeadilan yang diusung Sri-edi Swasono memberikan
banyak nilai yang memerlukan penafsiran yang lebih mendalam terhadap nilai-nilai
efisiensi berkeadilan tersebut terutama bagaimana mengimplementasikan ke
wilayah usaha mikro dan usaha kecil seperti usaha songket Palembang yang
menjadi kajian studi ini. Walaupun tidak mencerminkan keadaan usaha mikro dan
usaha kecil secara menyeluruh, namun hasil penelitian ini dapat memberikan
gagasan dan pemikiran untuk mengarusutamakan (mainstreaming) produktifitas
usaha mikro dan usaha kecil dalam melakukan persaingan global di dunia usaha.
Bagi sebagian kalangan, efisiensi berkeadilan mungkin masih sangat asing,
padahal didalamnya mempunyai nilai-nilai filosofis yang sangat penting untuk
dipahami oleh segenap komponen bangsa Indonesia di tengah kondisi usaha mikro
dan usaha kecil yang masih belum mampu bersaing. Seperti jaringan kebersamaan
(ukhuwah), solidaritas kerja, keuntungan dan produksi yang tidak memfokus pada
orang perorang, kemitraan yang sama-sama menguntungkan, memberdayakan dan
berkesinambungan, serta keterbawasertaan unit usaha kecil dan mikro dalam
program pembangunan lokal dan nasional. Keberhasilan konsep tersebut juga
masih bergantung pada kesadaran tindakan dalam menjalankan aspek-aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Studi ini lebih ditegaskan pada hasil observasi dan wawancara mendalam,
sehingga alur pendalaman materipun mengikuti aktifitas yang muncul dalam studi
ini. Sehingga konsep-konsep perhitungan dalam konsep ekonomi sebagai kajian
sekunder untuk mempertajam analisis studi. Pada bab II dikaji efisisiensi
berkeadilan dalam perdebatan akademik sehingga menemukan perbandingan
konsep terutama konsep efisiensi berkeadilan dalam perspektif kapitalis, ekonomi
Islam dan ekonomi kerakyatan.
Bab III menggali implementasi efisiensi berkeadilan dalam ranah produksi
dengan studi kasus utama usaha songket Palembang. Untuk mencapai kajian pada
ranah tersebut, digali terlebih dahulu akar budaya songket, karekteristik usaha
hingga penjelasan-penjelasan yang sangat terkait dengan bab-bab selanjutnya. Pada
bab IV penilaian efisiensi berkeadilan dalam ranah kemitraan distribusi. Bab ini
menggali berbagai dinamika yang berhubungan dengan kemitraan dalam aktifitas
penjualan songket serta akad-akad yang terjadi seiring dengan aktifitas tersebut.
Pada bab V lebih difokuskan untuk meramu problematika dan dinamika yang
muncul lebih mendalam sehingga memunculkan beberapa tawaran-tawaran
teoritisasi penguat atas teori efisiensi berkeadilan. Seperti penegasan dalam
“efisiensi berkeadilan sosial” dan “efisiensi humanis spritualis” beserta
argumentasi-argumentasinya. Bab VI merupakan kesimpulan studi, implikasi dan
beberapa rekomendasi tawaran pendalaman studi.
xv
Seiring dengan selesainya penelitian diucapkan penghargaan dan terima
kasih kepada mereka yang banyak sekali memberi bantuan yang amat berharga dari
banyak pihak secara langsung maupun tidak langsung. Ucapan terima kasih dan
sembah sujud serta doa yang tiada henti disampaikan kepada orang tua, ayahanda
almarhum Umar Usman dan ibunda Mariana, Almarhum M. Natsir dan Siti
Nurjannah yang telah memberikan ketauladanan tut wuri handayani kepada ananda
hingga mencapai gelar Doktor bidang pengkajian Agama Islam serta karier yang
sejalan dengan cita-cita masa kecil penulis, menjadi seorang pendidik. Selanjutnya
diucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Azumardi Azra, MA, Prof. Dr. Suwito,
MA, Dr. Fuad Jabali. MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA yang memberikan berbagai
masukan berkenaan dengan proses awal penulisan dan masa-masa work in progress
disertasi ini.
Terima kasih juga diucapkan kepada Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin
Suma, SH, MA. MM, dan Prof. Dr. Ahmad Rodoni yang keduanya menjadi
promotor penulis. Berbagai masukan, komentar selama proses studi ini menjadi
bagian yang sangat berharga dalam memperkuat data dan analisis disertasi, Prof.
Dr. Atho Muzhar, MA yang memberikan masukan terutama dalam penyederhanaan
judul dan metodologi disertasi yang diolah selama masa perkuliahan bersama
beliau. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Sri-Edi Swasono yang penulis sempat
menjadi mahasiswa tamu dalam perkuliahan beliau di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Berbagai informasi dan data baik dalam buku-buku, makalah seminar,
tulisan dalam berbagai media serta naskah ajar beliau menjadi data primer dalam
memahami konsep efisiensi berkeadilan tersebut. Kemudian semua tim teaching
dalam berbagai mata kuliah yang disajikan selama masa studi penulis, kesemuanya
juga diucapkan terima kasih. Jaza>kumulla>h Khairul jaza>’ Selama awal-awal pendalaman materi pra-proposal, penulis mendapatkan
banyak informasi dan masukan. Terima kasih terutama kepada Prof. Dr. Sirozi, MA. Phd, dengan motivasi dan spiritnya awalnya sehingga dapat kembali melanjutnya program S3 di sekolah pascasarjana UIN Jakarta ini. Prof. Dr. Izzan Fautanu. MA yang motivasi awal dan perhatiannya selama studi ini mengingatkan untuk tetap fokus studi. Dr. Izzomiddin, MA, Dr. Edison Saifullah, Lc, yang tidak pernah lelah mengajarkan penulis untuk memahami pemikiran tokoh-tokoh ekonom Muslim dunia. Dr. Muhammad Adil, Dr. Muhajirin,Dr. Kusnadi, Dr. Nur Fitriyani yang setiap saat menjadi teman dialog ilmiah penulis.
Segenap tim kerja di lingkungan IAIN Raden Fatah Palembang, Prof. Dr.
Aflatun Mukhtar, MA, Rektor IAIN Raden Fatah Palembang, Prof. Dr. Duski
Ibrahim, MA, Dekan Fakultas Syari‟ah beserta seluruh jajaran yang banyak
membantu memberikan kemudahan baik dari aspek admintrasi izin belajar, bantuan
pendanaan hingga selesai studi ini. Kepada Juwita Anggraini, SHI, MHI yang
banyak membantu dalam mengisi kuliah yang menjadi tanggung jawab penulis
selama masa studi ini, sekaligus memberikan waktu berlama-lama mengedit aspek
kebahasaan disertasi ini. tidak lupa mitraku Kun Budianto, SE. MHI, Dra. Nurmala
Hak, MHI, Drs. Legawan Isa, MHI, Yusida Fitri, MA, Titin Suhartini, ME,
xvi
Yuswalina, SH, dan Drs. Sunaryo, MHI dalam Labarotorium Terpadu Fakultas
Syari‟ah dimana penulis diamanatkan untuk memimpinnya serta semua civitas
akademik di lingkungan IAIN Raden Fatah. Terima kasih atas semua kebersamaan
yang terbangun walau saya sering meninggalkan tugas untuk izin belajar ini.
Kepada Prof. Dr. Suyitno, MA; Dr. Rr. Rina Antasari, SH. M.Hum, Nilawati,
MHI, Rika Lidyah, SE, MSi, Titin SE. Msi, Dinul Alfian Akbar, SE>. Msi, M.
Fatah, MA Kolega dalam Lembaga Kajian Hukum Islam (LKHI) Fakultas
Syari‟ah. Semoga sekecil apapun bantuan dari kolega civitas IAIN Raden Fatah
Palembang akan menjadi amal.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para pegawai Perpustakaan
sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional yang
telah memberikan kemudahan untuk mendapatkan data-data dalam studi ini, juga
kepada semua staff administrasi yang telah memberikan berbagai kemudahan
dalam semua proses studi ini. Para responden dari pengrajin, perajin songket yang
dengan keikhlasan memberikan waktu untuk berdialog dengan berbagai pertanyaan
sebagai penguat data primer studi, tidak ada ucapan kecuali terima kasih atas
semua informasi yang diberikan. Kepada adik-adikku, M. Zazili, SE, Sulhana, Sri Mulyati, S.Sos MM, Isman
Komari, SPd, MM, Eka Izzati, SE, Karsten Lohmeyer, Mustika Aini SE, Made, Ana Yusro, S.Kes, Farizal Hadriyanto, S.Kes, Rodhi Sabirin, SE, RA. Marisa serta semua keponakan yang turut mendoakan, memberikan bantuan finansial yang tidak terbatas. Kepada Kanda Komaruzzaman, Maryani, Imron, Yuliana, Dewi Hasriani, Putu, Julailah yang turut mendoakan, tidak ada ucapan kecuali terima kasih dan semoga amal ibadah tersebut mendapatkan imbalan yang tidak terhingga dari Allah Swt.
Dalam proses penulisan disertasi ini, banyak sekali para sahabat yang dapat
menjadi tempat berkomunikasi ilmiah, berlama-lama membaca berbagai
kekurangan dari aspek hurup, kalimat, hingga paragraf yang mungkin tidak relevan
dalam tulisan ini. Beberapa diantaranya Mas Tris, Ramadhanita, dan Dian Indriyani
yang selalu mencoba mengkritisi dan memperbaiki semua logika tulisan ini, Mas
Dekky, Mbak Ani, Mas Azan yang memberikan waktu berlama-lama untuk
mengkaji konsep ekonomi konvensional dan sistem ekonomi Islam, serta teman-
teman yang membantu dalam menguatkan pemahaman dalam bahasa Arab dan
Bahasa Inggris seperti Dr. Edison, Eva Nugraha, dan Sholeh Sakni. Kepada rekan
seangkatan kuliah tahun 2009 dan semua teman pada mata kuliah isu-isu ekonomi
Islam kontemporer, teman-teman dalam IMPASS (Ikatan Mahasiswa Pascasarjana
Sumatera Selatan) yang diketui oleh Syarifuddin, MA bersama Jhon Supriyanto,
MA, Maryuzi dan Abdul Hadi, MA yang memberikan nilai bahwa rentan waktu
berjuang hidup di kost semakin menambah persahabatan, keakraban, sekaligus
mempertajam dalam arisan pikiran kita. termasuk mereka yang buku-bukunya
dipinjam dan dibedah serta memberikan semangat dan motivasi untuk dapat
menyelesaikan studi ini, tiada kata kecuali ucapan, semoga apa yang telah
diberikan dengan segenap keikhlasan dapat menjadi pahala dari Allah, Swt.
xvii
Akhirnya secara sangat khusus ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada istriku Herlina yang telah menjadi fondasi aktifitas belajar dan karier, Ia
juga membangunkan nilai pengertian dan kesabarannya, memahami persoalan dan
dinamika perjuangan selama masa kuliah ini tanpa sedikitpun mengeluh. Dari
dirinya aku menemukan sebuah nilai ” cintailah buku seperti sungai, karna sungai
mengalir selamanya. Ia juga membuat saya bertemu pada satu kesimpulan
”kebahagian hadir dan memberi arti, saat kepahitan pernah singgah dan mengisi
kehidupan kita”. Terima kasih atas semua sugesti yang diberikan selama ini.
Kepada anak-anakku Nabilah Dea Afifah, Adrian Rofiq dan Alfian Ridwan,
ketiganya menjadi motivasi dan semangat perjuangan ini, walau dalam kesendirian
penulis selalu berungkap kata ”maafkan ayahanda tidak bisa selalu hadir bersama
menemani selama masa studi kalian, dan maafkan kasih sayang ayah berkurang
demi studi ini.
The last not the least, terucap terima kasih kepada guruku Drs. H. Mahir
Mallawi, MA yang semangat mengajar dan membimbingnya selalu kuikuti.
Khamami Zada, Yudhi R. Haryono, Pramono U. Tahtowi, Busman Edyard, Dr.
Mesraini, Dr. Nurhasanah, Dr. Suwendi, Dr. Asrina Irnaz, kritik panjenangan
selama berlatih menulis selalu ikut memotivasi untuk terus mempertajam tulisanku
dari masa ke masa.
Pada akhirnya, karya ini hanyalah awal untuk pengembangan ilmu dan
pengetahuan penulis, Sebagai sebuah karya ilmiah, tulisan ini memiliki nilai
perdebatan, dan karenanya menjadi sebuah studi yang menarik dan terus untuk
dapat dikaji secara ilmiah, untuk itu sumbang saran, ajakan dialog dan diskusi,
akan diterima dengan hati lapang. Di atas semua itu, saya sendirilah yang
bertanggung jawab atas segala kesalahan dan ketidaksempurnaan dalam penelitian
ini. Ciputat, 2011
TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA
A. Huruf Konsonan
q = ق z = ز ' = أ
k = ك s = س b = ب
l = ل sh = ش t = ت
m = م {s = ص th = ث
xviii
n = ن }d = ض j = ج
w = و {t = ط }h = ح
h = ه {z = ظ kh = خ
` = ء „ = ع d = د
y = ي gh = غ dh = ذ
f = ف r = ر
B. Huruf Vokal
Vokal Tunggal: a = ´ ; i = ; u =
Vokal Panjang: a< = ا ; i> = ي ; ū = و
Vokal Rangkap: ay = ا ي ; aw = ا و
DAFTAR ISI
Abstrak....................................................................................................... ii
Persetujuan Promotor................................................................................ v
Persetujuan Tim Penguji........................................................................... vii
Surat Pernyataan........................................................................................ xiii
Kata Pengantar............................................................................................ xiv
Transliterasi Arab....................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1
B. Permasalahan............................................................................ 8
C. Definisi Operasional................................................................ 10
D. Penelitian Terdahulu................................................................ 15
xix
E. Tujuan...................................................................................... 20
F. Manfaat .................................................................................. 20
G. Landasan Teori......................................................................... 20
H. Kerangka Berpikir.................................................................... 25
I. Metodologi............................................................................. 26
J. Sistematika Penulisan ............................................................ 30
BAB II EFISIENSI BERKEADILAN DALAM
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN EKONOMI
......................................................
32
A. Ekonomi Kapitalis.................................................................. 32
B. Ekonomi Kerakyatan.............................................................. 49
C. Ekonomi Islam ....................................................................... 72
D. Perbandingan Efisiensi Berkeadilan....................................... 103
BAB III PRODUK USAHA BERASAS
KEKELUARGAAN............
109
A. Karakteristik Usaha ................................................................ 109
B. Pendayagunaan kapital ........................................................... 127
C. Hak dan Kewajiban Bersama.................................................. 138
D. Kebebasan Berusaha dan Berkreatifitas.................................. 149
BAB IV DISTRIBUSI BERBASIS
KEMITRAAN...............................
156
A. Pola Kemitraan........................................................................ 156
B. Etika Nilai kemitraan………………………………………. 172
C. Kemitraan yang berkeadilan ……. …………………………. 191
BAB V PENGEMBANGAN PRODUKSI DAN DISTRIBUSI
BERWAWASAN HUMANIS
SPRITUAL............................
198
A. Analisis SWOT Usaha............................................................ 198
B. Penguatan Sumber Daya Manusia.......................................... 204
C. Corak Usaha Berbasis Nilai………………………………… 212
D. Strategi Pengembangan Usaha……. ……………………….. 234
E. Membangun Pola Usaha Berbasis Kemitraan ....................... 241
F. Rekonstruksi Pengembangan Usaha........................................ 268
BAB VI PENUTUP.............................................................................. 275
A. Kesimpulan............................................................................ 275
B. Implikasi ............................................................................... 278
C. Saran ...................................................................................... 280
xx
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… 274
LAMPIRAN-LAMPIRAN….……………………………………………. 310
INDEKS…………………………………………………………………... 309
GLOSARI………………………………………………………………… 326
BIOGRAFI PENULIS
Pengantar Penulis
Dengan rahmat dan Inayah Allah Swt penelitian saya tentang “Efisiensi Berkeadilan Usaha Songket Palembang” dapat diterbitkan dengan judul Efsiensi Berkeadilan: Membangun Ekonomi Kerakyatan Berbasis Syari’ah. Buku ini merupakan hasil pergulatan akademik selama masa penelitian disertasi saya pada pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2011), Disertasi yang kemudian menjadi buku ini merupakan penggalian mendalam terhadap salah satu kalimat dalam amandemen keempat tahun 2004, Pasal 33 yang dikenal sebagai pasal pengelolaan ekonomi, ayat keempat “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Konsep efisiensi berkeadilan yang diusung Sri-edi Swasono memberikan banyak nilai yang memerlukan penafsiran yang lebih mendalam terhadap nilai-nilai efisiensi berkeadilan tersebut terutama bagaimana mengimplementasikan ke wilayah usaha mikro dan usaha kecil seperti usaha songket Palembang yang menjadi kajian studi ini. Walaupun tidak mencerminkan keadaan usaha mikro dan usaha kecil secara menyeluruh, namun hasil penelitian ini dapat memberikan gagasan dan pemikiran untuk mengarusutamakan (mainstreaming) produktifitas usaha mikro dan usaha kecil dalam melakukan persaingan global di dunia usaha.
Bagi sebagian kalangan, efisiensi berkeadilan mungkin masih sangat asing, padahal didalamnya mempunyai nilai-nilai filosofis yang sangat penting untuk dipahami oleh segenap komponen bangsa Indonesia di tengah kondisi usaha mikro dan usaha kecil yang masih belum mampu bersaing. Seperti jaringan kebersamaan (ukhuwah), solidaritas kerja, keuntungan dan produksi yang tidak memfokus pada orang perorang, kemitraan
ii
yang sama-sama menguntungkan, memberdayakan dan berkesinambungan, serta keterbawasertaan unit usaha kecil dan mikro dalam program pembangunan lokal dan nasional. Keberhasilan konsep tersebut juga masih bergantung pada kesadaran tindakan dalam menjalankan aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seiring dengan selesainya penelitian diucapkan penghargaan dan terima kasih kepada mereka yang banyak sekali memberi bantuan yang amat berharga dari banyak pihak secara langsung maupun tidak langsung. Ucapan terima kasih dan sembah sujud serta doa yang tiada henti disampaikan kepada orang tua, ayahanda almarhum Umar Usman dan ibunda Mariana, Almarhum M. Natsir dan Siti Nurjannah yang telah memberikan ketauladanan tut wuri handayani kepada ananda hingga mencapai gelar Doktor bidang pengkajian Agama Islam serta karier yang sejalan dengan cita-cita masa kecil penulis, menjadi seorang pendidik. Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Azumardi Azra, MA, Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali. MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA yang memberikan berbagai masukan berkenaan dengan proses awal penulisan dan masa-masa work in progress disertasi ini.
Terima kasih juga diucapkan kepada Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM, dan Prof. Dr. Ahmad Rodoni yang keduanya menjadi promotor penulis. Berbagai masukan, komentar selama proses studi ini menjadi bagian yang sangat berharga dalam memperkuat data dan analisis disertasi, Prof. Dr. Atho Muzhar, MA yang memberikan masukan terutama dalam penyederhanaan judul dan metodologi disertasi yang diolah selama masa perkuliahan bersama beliau. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Sri-Edi Swasono yang penulis sempat dibimbing dan menjadi mahasiswa tamu dalam perkuliahan beliau di Fakultas Ekonomi UI dan sekolah pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berbagai informasi dan data baik dalam buku-buku, makalah seminar, tulisan dalam media surat kabar dan internet serta naskah ajar beliau menjadi data primer dalam memahami konsep efisiensi berkeadilan tersebut. Kemudian semua tim teaching dalam berbagai mata kuliah yang
iii
disajikan selama masa studi penulis, kesemuanya juga diucapkan terima kasih. Jaza>kumulla>h Khairul jaza>’
Selama awal-awal pendalaman materi pra-proposal, penulis mendapatkan banyak informasi dan masukan. Terima kasih terutama kepada Prof. Dr. Sirozi, MA. Phd, dengan motivasi dan spiritnya awalnya sehingga dapat kembali melanjutnya program S3 di sekolah pascasarjana UIN Jakarta ini. Prof. Dr. Romli, SA, MA yang semangat belajar nya selalu kuikuti. Prof. Dr. Izzan Fautanu. MA yang motivasi awal dan perhatiannya selama studi ini mengingatkan untuk tetap fokus studi. Dr. Izzomiddin, MA, Dr. Edison Saifullah, Lc, yang tidak pernah lelah mengajarkan penulis untuk memahami pemikiran tokoh-tokoh ekonom Muslim dunia. Dr. Muhammad Adil, Dr. Muhajirin, Dr. Kusnadi, Dr. Nur Fitriyani yang setiap saat menjadi teman dialog ilmiah penulis.
Segenap tim kerja di lingkungan IAIN Raden Fatah Palembang, Prof. Dr. Aflatun Mukhtar, MA, Rektor IAIN Raden Fatah Palembang, Prof. Dr. Duski Ibrahim, MA, Dekan Fakultas Syari’ah beserta seluruh jajaran yang banyak membantu memberikan kemudahan baik dari aspek admintrasi izin belajar, bantuan pendanaan hingga selesai studi ini. Kepada Juwita Anggraini, SHI, MHI yang banyak membantu dalam mengisi kuliah yang menjadi tanggung jawab penulis selama masa studi ini, sekaligus memberikan waktu berlama-lama dengan tekun dan tabah mengedit aspek kebahasaan disertasi ini.
Kepada semua mitraku Kun Budianto, SE. MHI, Dra. Nurmala Hak, MHI, Drs. Legawan Isa, MHI, Yusida Fitri, MA, Titin Suhartini, ME, Yuswalina, SH, dan Drs. Sunaryo, MHI dalam Labarotorium Terpadu Fakultas Syari’ah dimana penulis diamanatkan untuk memimpinnya serta semua civitas akademik di lingkungan IAIN Raden Fatah. Terima kasih atas semua kebersamaan yang terbangun walau saya sering meninggalkan tugas untuk izin belajar ini. Kepada Prof. Dr. Suyitno, MA; Dr. Rr. Rina Antasari, SH. M.Hum, Nilawati, MHI, Rika Lidyah, SE, MSi, Titin SE. Msi, Dinul Alfian Akbar, SE. Msi, M. Fatah, MA Kolega dalam Lembaga Kajian Hukum Islam (LKHI) Fakultas Syari’ah. Semoga sekecil apapun bantuan dari kolega civitas IAIN Raden Fatah Palembang akan menjadi amal.
iv
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para pegawai Perpustakaan sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional yang telah memberikan kemudahan untuk mendapatkan data-data dalam studi ini, juga kepada semua staff administrasi yang telah memberikan berbagai kemudahan dalam semua proses studi ini. Para responden dari pengrajin, perajin songket yang dengan keikhlasan memberikan waktu untuk berdialog dengan berbagai pertanyaan sebagai penguat data primer studi, tidak ada ucapan kecuali terima kasih atas semua informasi yang diberikan.
Kepada adik-adikku, M. Zazili, SE, Sulhana, Sri Mulyati, S.Sos MM, Isman Komari, SPd, MM, Eka Izzati, SE, Karsten Lohmeyer, Mustika Aini SE, Made, Ana Yusro, S.Kes, Farizal Hadriyanto, S.Kes, Rodhi Sabirin, SE, RA. Marisa serta semua keponakan yang turut mendoakan, memberikan bantuan finansial yang tidak terbatas. Kepada Kanda Komaruzzaman, Maryani, Imron, Yuliana, Dewi Hasriani, Putu, Julailah yang turut mendoakan, tidak ada ucapan kecuali terima kasih dan semoga amal ibadah tersebut mendapatkan imbalan yang tidak terhingga dari Allah Swt.
Dalam proses penulisan disertasi ini, banyak sekali para sahabat yang dapat menjadi tempat berkomunikasi ilmiah mengkaji konsep ekonomi konvensional dan sistem ekonomi Islam diantaranya Mas Tris, Mas Dekky, Mbak Ani, Mas Azan, kemudian Ramadhanita dengan bantuan menelaah indeks buku, dan menjadi editor akhir hingga menjadi buku. Komunitas Kost H. Maus yang sering sekali memberi support untuk konsisten dalam belajar yang digawangi oleh Dian Indriyani serta teman-teman yang membantu dalam menguatkan pemahaman dalam bahasa Arab dan Bahasa Inggris seperti Dr. Edison, Eva Nugraha, MA dan Sholeh Sakni. MA. Kepada rekan seangkatan kuliah tahun 2009 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, termasuk teman-teman dalam IMPASS (Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Sumatera Selatan) yang diketui oleh Syarifuddin, MA bersama Jhon Supriyanto, MA, Maryuzi dan Abdul Hadi, MA yang memberikan nilai bahwa rentan waktu berjuang hidup di kost semakin menambah persahabatan, keakraban, sekaligus mempertajam dalam arisan pikiran kita. termasuk mereka yang buku-bukunya dipinjam dan dibedah serta memberikan semangat dan motivasi
v
untuk dapat menyelesaikan studi ini, tiada kata kecuali ucapan, semoga apa yang telah diberikan dengan segenap keikhlasan dapat menjadi pahala dari Allah, Swt.
Akhirnya secara sangat khusus ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada istri Herlina dan anak-anak tercinta Nabilah Dea Afifah, Adrian Rofiq dan Alfian Ridwan yang telah menjadi fondasi aktifitas belajar dan karier, mereka membangunkan nilai pengertian dan kesabarannya, memahami persoalan dan dinamika perjuangan selama masa kuliah ini tanpa sedikitpun mengeluh, sehingga dalam proses kutemukan sebuah kesimpulan”kebahagian hadir dan memberi arti, saat kepahitan pernah singgah dan mengisi kehidupan kita, maafkan ayahanda tidak bisa selalu hadir bersama menemani selama masa studi kalian, dan maafkan kasih sayang ayah berkurang demi studi ini.
The last not the least, terucap terima kasih kepada guruku Drs. H. Mahir Mallawi, MA yang semangat mengajar dan membimbingnya selalu kuikuti. Dr. Khamami Zada, Mas Yudhi R. Haryono, MA, Dr. Pramono U. Tahtowi, Busman Edyard, MA, Dr. Mesraini, Dr. Nurhasanah, Dr. Suwendi, Dr. Asrina Irnaz, dan Dr. Thabib al-Asyhar. Kritik panjenangan selama berlatih menulis selalu ikut memotivasi untuk terus mempertajam tulisanku dari masa ke masa.
Pada akhirnya, karya ini hanyalah awal untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan penulis, Sebagai sebuah karya ilmiah, tulisan ini memiliki nilai perdebatan, dan karenanya menjadi sebuah studi yang menarik dan terus untuk dapat dikaji secara ilmiah, untuk itu sumbang saran, ajakan dialog dan diskusi, akan diterima dengan hati lapang. Di atas semua itu, saya sendirilah yang bertanggung jawab atas segala kesalahan dan ketidaksempurnaan dalam penelitian ini.
Ciputat, 2011
vi
TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA
A. Huruf Konsonan
q = ق z = ز ' = أ
k = ك s = س b = ب
l = ل sh = ش t = ت
m = م {s = ص th = ث
n = ن }d = ض j = ج
w = و {t = ط }h = ح
h = ه {z = ظ kh = خ
` = ء ‘ = ع d = د
y = ي gh = غ dh = ذ
f = ف r = ر
B. Huruf Vokal
Vokal Tunggal: a = ´ ; i = ; u =
Vokal Panjang: a< = ا ; i> = ي ; ū = و
Vokal Rangkap: ay = ا ي ; aw = ا و
vii
DAFTAR ISI
Pengantar Penulis i
Transliterasi Arab vi
Pendahuluan ……………………………………………………... 1
Kesatu Menuju Efisiensi Berkeadilan…………………….. 13
A. Latar Belakang dan Permasalahan…………………… 13
B. Penelitian Terdahulu…………………………………. 33
C. Landasan Teori………………………………………. 41
D. Metodologi…………………………………………… 50
Kedua Efisiensi Berkeadilan Dalam Perkembangan
Pemikiran Ekonomi…………………………………
57
A. Ekonomi Kapitalis…………………………………… 57
B. Ekonomi Kerakyatan………………………………… 85
C. Ekonomi Islam………………………………………. 124
D. Perbandingan Nilai Efisiensi Berkeadilan…………… 175
Ketiga Produk Usaha Berasas Kekeluargaan…………… 186
A. Karakteristik Usaha…………………………………. 186
B. Pendayagunaan Kapital……………………………… 216
C. Hak dan Kewajiban Bersama………………………… 236
D. Kebebasan Berusaha dan Berkreatifitas...…………… 251
Keempat Distribusi Berbasis Kemitraan…………………… 263
A. Pola Kemitraan………………………………………. 263
B. Etika Nilai Kemitraan……………………………….. 291
C. Kemitraan yang Berkeadilan………………………… 323
Kelima Pengembangan Produksi dan Dstribusi
Berwawasan Humanis Spritual……………………
334
A. Analisis SWOT Usaha………………………………. 334
B. Penguatan Sumber Daya Manusia…………………… 342
C. Corak Usaha Berbasis Nilai…………………………. 356
D. Strategi Pengembangan Usaha………………………. 392
E. Membangun Usaha Berbasis Kemitraan……………. 404
F. Rekonstruksi Pengembangan Usaha………………… 449
Keenam Kesimpulan, Implikasi dan Saran………………… 463
Lampiran………………………………………………………...
Indeks ……………………………………………………………
Glosari…………………………………………………………….
Biografi Penulis ………………………………………………….
Pendahuluan
Pembangunan dengan teori trickle down effect
diusung Walt W. Rostow1, Evsey Domar dan Roy Harrod
yang dikenal Harrod-Domar2 dan analisis pareto
optimumnya Vilfredo Federico Damaso Pareto3 yang
keduanya diharapkan menjadi pendekatan kemakmuran
rakyat ternyata justru melahirkan kapitalis semu dan
1Walt. W. Rostow, the Stages of Economic Growth: a Non
Communist Manifesto (1960) dalam N.S. mirovitskaia; William Ascher,
Guide to Sustainable Development and Environmental Policy (Durham:
Duke University Press, 2001); lihat juga Johan Norberg, in Defense of
Global Capitalism (Washinton: Cato Intitute, 2001); Jonathan Porritt,
Capitalism as if the World Matter (London: Cromwell Press, 2007). 2Lihat K. R. Gupta, Economics of Development and Planning:
History, Principles, Problems and Policies (New Delhi: Atlantic
Publishers and Distributors, 2009); lihat juga Kaushik Basu, Analytical
Development Economics: the Less Developed Economy Revisited
(Cambridge: MIT Press, 2003). 3Benoit Mandelbrot dan Richard L. Hudson, the (mis) Behavior
of Markets: a Fractal View of Risk, Ruin, and Reward (New York: Basic
Books, 2004; Robert S. Pindyck dan Daniel L. Rubinfeld,
Microeconomics 5th Ed (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 2007); Lihat
juga M. Fay and T. Yepes, “Investing in Infrastructure: What is Needed
from 2000 to 2010?” World Bank Policy Research Working Paper 3102,
Washington DC; Suroso Imam Jadjuli, Reformasi Ilmu Pengetahuan dan
Pembangunan Masyarakat (Surabaya: Pascasarjana Universitas
Airlangga, 2007); D.N. Dwivedi, Microeconomis: Theory and
Application, Singapore: Perason Education, ltd, 2008. lihat juga Bruce D
Craven; Sardar M N Islam, Optimization in Economics and Finance
(New York: Springer, 2005). Penegasan terhadap pola yang berkembang
lihat Sri-Edi Swasono,”Welfare Kontemporernya Boulding, Pareto,
Edgeworth, Samuelson, Arrow, Galbraith dan Scitovsky” dalam
Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: dari Klasik dan Neoklasikal
sampai ke the End of Laisse-Faire (Jakarta: Perkumpulan Perkasa,
2010).
1
2
kejahatan moral karena kekayaan, harta, dan penumpukan
modal sebenarnya hanya dimiliki oleh para pelaku ekonomi
modal kuat, bukan oleh semua kalangan.
Asumsi dasar yang dibangun bahwa manusia rasional
adalah manusia yang dengan dasar inisiatifnya sendiri
mengejar keuntungan maksimal dengan pengorbanan yang
minimal, bersaing di pasar bebas, dan menjadi pelaku yang
bebas dengan berpedoman pada laissez faire, laissez
passer.4 Ini artinya dalam dunia ekonomi berlaku hukum
“mendapatkan untung yang sebesar-besarnya”. Untuk
mendapatkan untung inilah kadang-kadang cara-cara yang
tidak bermoral dilakukan. Apakah caranya itu
mengakibatkan matinya usaha dagang orang lain atau tidak,
bukan menjadi pertimbangan. Asumsi yang selama ini
dijadikan acuan dalam pengembangan tersebut bersumber
dari mitos kapitalisme Smitan, yaitu: kebutuhan manusia
yang tidak terbatas, sumber-sumber ekonomi yang terbatas
4Lihat M. Teresa Lunati, Ethical Issues in Economic: from
Altruism to Cooperation to Equity (London: Mac Millan Press, 1997;
Deborah Waynes, ”Management of the United Nations Laissez-Passer,”
Articel 11.2 of Justatute (United Nations: Geneva, 2005); Sukasah
Sahdan, ”Menyikapi Paham-Paham Paradoks,” Jurnal Kebebasan: Akal
dan Kehendak, Vol. II, Edisi 35, Tanggal 23 Juni 2008; Perbandingan
lihat juga Karl W. Roskamp, “Pareto Optimal Redistribution, Utility
Interdependence and Social Optimum”, Journal Review of World
Economics, vol. 109, no. 2/Juni, 1973; lihat juga Deliarnov, Ekonomi
Politik (Jakarta: Erlangga, 2006). Laissez faire ini berasal dari bahasa
Prancis yang secara harfiah berarti membiarkan berbuat/melakukan.
Tuturan laissez faire secara lengkap “laissez faire, laissez passer, le
monds va de lui-meme” (biarkanlah, jangan campur tangan, alam semesta
dapat mengatur dirinya sendiri). Kalimat ini dilontarkan oleh kaum
fisiokrat Francis yang dipelopori oleh F. Quesney Mirabeau, A.R.J.
Turgot dan du Pont. Lihat Sumitra Djojohadikusumo, Perkembangan
Pemikiran Ekonomi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991).
3
dan berupaya memaksimalisasi kepuasan pribadi, bersaing
dalam kompetisi sempurna.5
Dalam pemikiran liberal klasik yang mengadvokasi
pasar bebas, kebebasan individu dan intervensi negara
minimal dalam perekonomian menjadi icon penting
perjuangan isme ini. Konstruk intervensi dilatarbelakangi
oleh (1) lahirnya ilmu ekonomi kesejahteraan (welfare
economics), yang dibidani oleh Arthur Pigou yang
bertentangan dengan konsepsi neoklasik, cabang ini
menunjukkan bahwa satu perekonomian yang semata
berdasarkan pasar bebas dan perilaku maksimisasi individu
bisa saja menghasilkan alokasi sumber daya yang tidak
optimal secara sosial. Hal ini menjustifikasi campur tangan
negara dalam memanipulasi harga; (2) pemikiran ekonomi
Keynesian yang menunjukkan bawah suatu perekonomian
pasar bebas bisa saja tidak mencapai alokasi optimal pada
saat tingkat output yang ada dalam kondisi kerja penuh.6
Selanjutnya dikenal pula neo-liberalis, dimana
doktrin ini memperjuangkan fundamentalisme pasar, yaitu
pandangan yang menekankan bahwa mekanisme pasar akan
5Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika: Waspadai Globalisme
dan Pasar Bebas (Yogyakarta: PUSTEP-UGM, 2010). Lihat juga M.
Teresa Lunati, Ethical Issues in Economic: from Altruism to Cooperation
to Equity (London: Mac Millan Press, 1997); Deborah Waynes,
”Management of The United Nations Laissez-Passer,” Articel 11.2 of
Justatute (United Nations: Geneva, 2005); Sukasah Sahdan, ”Menyikapi
Paham-Paham Paradoks,” Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak, Vol.
II, Edisi 35, Tanggal 23 Juni 2008, 27. Karl W. Roskamp, “Pareto
Optimal Redistribution, Utility Interdependence and Social Optimum”,
Journal Review of World Economics, Vol. 109, No. 2/Juni, 1973. Lihat
juga Deliarnov, Ekonomi Politik (Jakarta: Erlangga, 2006). 6Hayek, “Price Expectations, Monetary Disturbances, and
Malinvestments” in Profits, Interest, and Investment (New York:
Augustus M. Kelley, 1975). Lihat juga Ed Silvo, Transfomation: Change
the Market Place and You Change the World (California: Regal Books,
2010).
4
berjalan dengan baik apabila ia bebas bergerak tanpa
kendali dan intervensi dari pemerintah. Isme ini dikaitkan
deregulasi, liberalisasi pasar, dan kebijakan fiskal ketat
sebagai bentuk pengurangan intervensi pemerintah, dan
privatisasi.7 Pada akhirnya Islam dijadikan alat kritik
terhadap praktek kapitalisme dengan asumsi bahwa
perkembangan ilmu ekonomi sejak abad XVII sampai
sekarang mengalami perubahan paradigma, dari paradigma
Merkantilis, Fisiokrat, Klasik, Neo-Klasik, Marxian,
Keynesian, termasuk yang terakhir paradigma Syari’ah.8
Pendeknya, bahwa teori tersebut memproyeksikan
hasil kemajuan oleh sekelompok masyarakat, sehingga
dengan sendirinya keuntungan yang didapat akan merembes
ke bawah. Akibat dari hal tersebut akan menciptakan
lapangan kerja baru, serta berbagai peluang ekonomi yang
menciptakan produksi dan distribusi kepada masyarakat luas.
Selanjutnya, penggunaan sumber daya dan dana yang
terbatas dalam pola dan dengan cara yang membawa
kepuasaan optimal. Ini berarti secara makro ditunjukkan
dengan besaran pendapatan perkapita, dan secara mikro
para pelaku ekonomi mengejar maksimal utilitas untuk
konsumen, dan maksimal laba untuk produsen. Titik berat
dari tujuan tersebut mengejar kekayaan semata yang pada
akhirnya membuat individu semakin kehilangan sisi
sosialnya sebagai manusia. Untuk itu perbandingan
pemikiran ekonomi sosial, ekonomi kerakyatan dan
7Andrew Heywood, Politics (Basingstoke, London: Palgrave,
2002); David N. dan Michael Veseth, Introduction to International
Political Economy (New Jersey: Pearson Education Inc, 2005). 8Lihat Kuntowijoyo dan A E Priyono, Paradigma Islam:
Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 2008); Muhammad AS Hikam,
Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Civil Society (Jakarta:
Erlangga, 2000). Lihat juga M. Umer Chapra, The Future of Economic:
an Islamic Perfective).
5
ekonomi Islam menjadi pertimbangan penting untuk
menegaskan sistem ekonomi di Indonesia masa depan.
Kajian ini merupakan studi pertama yang menggali
nilai-nilai penting istilah efisiensi berkeadilan yang telah
diperjuangkan ekonom muslim, Sri-Edi Swasono dalam
pergulatan politik menggolkan pasal 33 dalam amandemen
UUD 1945 di MPR yang dikuatkannya dalam analisis
dalam buku-bukunya.9 Istilah efisiensi berkeadilan pada
dasarnya tertuang dalam amandemen keempat tahun 200410
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pasal 33 yang mengatur pengelolaan ekonomi. Dalam
ayat keempat disebutkan bahwa perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.11 Dalam berbagai pemahaman efisiensi
9Beberapa buku penting Sri-Edi Swasono yang banyak
membahas nilai-nilai efisiensi berkeadilan seperti Kebersamaan dan Asas
Kekeluargaan (Jakarta: UNJ Press, 2005; Indonesia dan Doktrin
Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Prakarsa, 2006). Ekspose Ekonomika:
Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas (Jogjakarta: Pusat Studi
Ekonomi Pancasila-UGM, 2010); Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan
Sosial dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez-Faire
(Jakarta: Perkumpulan Prakarsa, 2010); Kembali ke Pasal 33 UUD 1945
Menolak Neoliberalisme (Jakarta: Yayasan Hatta, 2010). 10
UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD
1945 Secara Lengkap (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 26, 59. 11
Rumusan lengkap: BAB XIV Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial. Pasal 33 (1) Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan”, “(2) Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan memenuhi hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara”, “(3) Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, “(4) Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
6
berkeadilan sudah menjadi asas, seperti yang tertuang
dalam UU No. 20 tahun 2008 Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah berasaskan bab II asas dan tujuan pada pasal 2
yang menyebutkan bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah berasaskan (1) kekeluargaan; (2) demokrasi
ekonomi; (3) kebersamaan; (4) efisiensi berkeadilan; (5)
berkelanjutan; (6) berwawasan lingkungan.
Hal yang paling krusial dari pemahaman pada nilai-
nilai Pancasila adalah sebuah kesatuan gagasan yang
koheren dan integratif. Sila pertama menjadi prasyarat atau
keniscayaan bagi sila kedua dan seterusnya. Artinya, tidak
mungkin mewujudkan sila kelima, tanpa berhasil
merealisasikan sila-sila sebelumnya. Begitulah pembukaan
atau mukadimmah konstitusi negara Republik Indonesia
menyebut empat sila awal tidak diikuti oleh kata sambung
“dan” melainkan frase “untuk mewujudkan” sila yang
terakhir. Maka membahas sila-sila Pancasila menjadi sia-sia
bila ia tidak menempatkan sila-sila sebelumnya sebagai
bagian yang integral atau semacam prakondisi bagi sila
berikutnya.12 Radar Panca Dahana seperti dikutip dari Sri-
Edi Swasono menyebutkan bung Hatta (1966): …revolusi
yang dicetuskan dengan proklamasi 17 Agustus 1945 yang
disemangati Pancasila tidak mengenal jalan kanan atau
jalan kiri, tetapi hanya mengenal jalan lurus yang diridhoi
oleh Tuhan yang Maha Esa…; Bung Syahrir: …mengapa
kita mesti memilih antara Barat yang kapitalis dan Timur
yang menghamba? Kita tidak perlu menginginkan salah
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional”, “(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”. 12
Radhar Panca Dahana, “Hikmah Kebudayaan Pancasila”,
http://www.metrotvnews.com, 12 Mei 2011; Lihat juga Radhar Panca
Dahana, Ekonomi-Politik Pancasila: Jejak Perlawanan Ekonom-Politik
Konstitusi Melawan Neoliberal (Jakarta: Kalam Nusantara, 2010).
7
satu dari keduanya. Kita mesti menolak kedua-duanya,
sebab kedua-duanya harus menjadi masa silam…; Jakob
Oetama (2005): pasal 33-nya Hatta mendahului the third
way Antony Giddens.
Studi ini melakukan komparasi dalam berbagai
sudut terutama dalam menelaah lewat kajian efisiensi
berkeadilan tersebut melalui ekonomi kerakyatan dan fiqh
muamalah. Studi ini juga memberikan wawasan yang lebih
mendetail dimulai dari akar sejarah penyatuan kata efisiensi
dan berkeadilan sehingga menjadi efisiensi berkeadilan dan
dianalisis melalui usaha songket Palembang sebagai salah
satu pintu masuk menilai implementasi efisiensi
berkeadilan terimplementasi atau tidak terimplementasi,
serta berbagai penyebab dan solusinya. Studi ini bermula
dari keinginan untuk memperoleh jawaban secara filosofis
mengenai efisiensi berkeadilan sebagai kekuatan demokrasi
ekonomi di Indonesia dan memiliki kekuatan dalam
meningkatkan pendayagunaan ekonomi kerakyatan.
Sebagai pintu kajian dilihat dari aktifitas produksi dan
distribusi usaha songket Palembang. Sehubungan dengan
itu, permasalahan yang ada dalam judul tersebut
diidentifikasi sebagai berikut.
Banyak hal yang dipahami dari efisiensi berkeadilan.
Diantaranya menyangkut pemahaman dari efisiensi
berkeadilan itu sendiri. Apakah konsep efisiensi
berkeadilan merupakan kontradiksi terhadap pareto
optimum? Kemudian nilai filosofis apa yang menjadikan
penyatuan kata ”efisiensi berkeadilan” disaat pemikiran
masih terpola pada pemisahan kata ”efisiensi”, dan
”berkeadilan”? Hal ini penting, untuk memaknai konsep
efisiensi itu sendiri dalam perkembangan ekonomi
kerakyatan di Indonesia, terutama memperdalan nilai-nilai
penyatuan kata ”efisiensi berkeadilan” yang diusung oleh
Sri-Edi Swasono sehingga termaktub dalam amandemen
8
pasal 33 UUD 1945. Ini membawa implikasi dari aspek
normatif; apa yang baik dan apa yang yang tidak baik; apa
yang harus dilakukan atau dihindari bukan semata-mata
dilihat dari aspek efisiensi sebagaimana dikenal dalam
ekonomi konvensional, melainkan bagaimana agar efisiensi
memiliki nilai keadilan sosial.
Hal yang juga menjadi perhatian penyatuan konsep
efisiensi dan konsep keadilan sosial sebagai sebuah proses
yang bersama-sama dan tidak menjadi parsial. Tetapi
pandangan yang mengedepankan kebersamaan ini nyaris
terkikis dari konstitusi negara RI, ketika terjadi
amandemen terhadap pasal 33 UUD 1945, karena dalam
konsep ayat 4 dari pasal 33 yang akan diamandemen
tersebut sudah dirancangkan prinsip efisiensi ke dalam
pengelolaan ekonomi bangsa. Bila hal ini terjadi maka tidak
mustahil, rakyat akan kalah oleh kepentingan orang
seorang. Dengan kata lain kepentingan bersama rakyat luas,
terutama orang-orang yang miskin akan kalah oleh
pertimbangan pertumbuhan ekonomi atau maksimalisasi
profit dari badan usaha dan atau oleh keuntungan
maksimal dari orang perorang.
Terjadi perbedaan pula ditinjau dari sudut
pemberdayaan ekonomi kerakyatan ditengah pergulatan
sistem ekonomi kapitalis dan liberal yang berkembang di
Indonesia pada saat penelitian ini disusun. Perbedaan sudut
pandang terhadap tersebut dinilai dari aspek ketidak-
efisiennya, berarti pelaku ekonomi dianggap tidak hanya
akan merusak sumber-sumber daya yang telah disediakan
sebagai suatu bentuk amanah, melainkan juga menimbulkan
ketidakadilan kepada para konsumen. Selanjutnya,
menimbulkan pertanyaan pula apakah strategi yang
dilakukan dalam pelaksanaan efisiensi berkeadilan tidak
sekedar mendapatkan keuntungan minimum dalam
memenuhi nilai anugrah dari Tuhan (primer) sebagai
9
tambahan pemasukan keluarga, tetapi dapat lebih
mengembangkan kreatifitas, sehingga mampu memenuhi
nilai-nilai sekunder. Hanya dari sekedar mendapatkan
tenunan songket dalam wilayah distribusi seadanya,
meningkat dengan mendesain berbagai bentuk dan
aksesories dari kain songket yang dibuat, sehingga bisa
bersaing di pasar global.
Pendalaman nilai filosofis tersebut dilihat dari salah
satu aktifitas usaha mikro dan usaha kecil, yaitu unit usaha
songket Palembang yang merupakan salah satu produk
andalan khas Sumatera Selatan. Pendalaman ini penting,
untuk menguatkan pentingnya nilai-nilai efisiensi
berkeadilan sebagai salah satu item dalam demokrasi
ekonomi yang termaktub dalam amandemen pasal 33 UUD
1945 tahun 2002. Istilah efisiensi berkeadilan pada
dasarnya tertuang dalam amandemen keempat tahun 200413
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pasal 33 yang mengatur pengelolaan ekonomi. Dalam
ayat keempat disebutkan bahwa perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
Dalam berbagai pemahaman efisiensi berkeadilan
sudah menjadi asas, seperti yang tertuang dalam UU No. 20
tahun 2008 Usaha Mikro, Kecil dan Menengah berasaskan
bab II asas dan tujuan pada pasal 2 yang menyebutkan
bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berasaskan (1)
kekeluargaan; (2) demokrasi ekonomi; (3) kebersamaan; (4)
13
UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD
1945 Secara Lengkap (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 26, 59.
10
efisiensi berkeadilan; (5) berkelanjutan; (6) berwawasan
lingkungan.
Pendalaman ini juga penting untuk mendapatkan
keadaan usaha songket tersebut melalui kerangka nilai-nilai
filosofis efisiensi berkeadilan, selanjutnya dapat
memberikan solusi untuk meningkatkan usaha tersebut
yang berdaya saing berbasis nilai-nilai efisiensi berkeadilan.
Dalam bab satu buku ini didasarkan pada pentingnya
efisiensi berkeadilan dalam membangun pemberdayaan
usaha dan data-data awal berdasarkan pendalaman kajian
kepustakaan terhadap studi ini dengan metode dan cara
membacanya.
Dalam bab dua membahas nilai efisiensi berkeadilan
dalam perkembangan pemikiran ekonomi. Pada bab ini
membahas perdebatan sekitar masalah efisiensi dalam
perspektif ekonomi kapitalis, ekonomi Islam dan ekonomi
Kerakyatan. Dari hasil kajian kemudian diadakan
perbandingan pemahaman efisiensi berkeadilan. Dari bab
dua ini disimpulkan pula hasil pemahaman efisiensi
berkeadilan tersebut, sehingga memberikan data yang jelas
munculnya eksistensi senafasnya kata efisiensi berkeadilan.
Bab ini berkaitan erat dengan bab-bab selanjutnya terutama
dalam menilai usaha songket Palembang pada (1)
pendayagunaan kapital; (2) upaya membangun hak dan
kewajiban bersama; (3) kebersamaan dalam
mengembangkan Sumber Daya Manusia; (4) kebebasan
berusaha dan berkreatifitas; (5) bagaimana membangun dan
meningkatkan kemitraan dalam distribusi usaha; dan (6)
bagaimana meningkatkan usaha yang berbasis nilai-nilai
efisiensi berkeadilan.
Bab tiga, difokuskan pada produksi usaha
berdimensi kebersamaan yang meliputi karakteristik usaha
kecil di kota Palembang, aktifitas dalam kebersamaan
menggunakan bahan baku, kerjasama antara pengrajin dan
11
perajin dalam menghasilkan kain songket, serta berbagai
dinamika dalam pendayagunaan kapital yang dimiliki pada
perajin dan pengrajin. Pada aspek hak dan kewajiban
bersama terutama keselarasan dalam memberikan upah,
kebersamaan peluang dalam mendapatkan akses bantuan
dan berbagai pelatihan yang dimotori oleh pemerintah
daerah. Aspek kemitraan, dan pengembangan Sumber Daya
Manusia. Dari studi ini diketahui dinamika persoalan yang
berkembang pada usaha songket Palembang. Bab empat,
membahas distribusi berbasis kemitraan dalam upaya
membangun usaha songket Palembang berdaya saing
melalui pola kemitraan dalam distribusi. Bab ini juga
menjadi bagian penting untuk mendapatkan berbagai
persoalan yang berkenaan dengan pola penjualan songket
oleh para pengrajin dan perajin. Dalam stui ini juga digali
etika nilai kemitraan yang bisa dijadikan langkah strategis
untuk pendalaman pada bab selanjutnya.
Bab lima, dalam bab ini saya mengajukan upaya
mengembangkan usaha kecil dan usaha mikro melalui nilai-
nilai filosofis efisiensi berkeadilan dengan memperluas
dalam ranah sosial dan spritual. Manfaat tersebut seperti
dijelaskan dalam pendahuluan adalah untuk membangun
suatu kerangka sistematik yang utuh dalam memahami
fenomena usaha songket Palembang, sekaligus memberikan
strategi konstruktif dalam membangun usaha kecil yang
berpijak pada nilai efisiensi berkeadilan berbasis ekonomi
kerakyatan dan ekonomi Islam. Serta beberapa tawaran
dalam pengembangan usaha berbasis efisiensi berkeadilan.
Bab enam yang berisi kesimpulan yang menjawab masalah
studi ini, implikasi terhadap penelitian ini dalam
pengembangan teori, saran yang dijadikan rekomendasi
penguatan efisiensi berkeadilan serta usaha untuk
memasyarakatkan nilai-nilai efisiensi berkeadilan pada
usaha kerakyatan.
Menuju Teori Efisiensi Berkeadilan
A. Latar Belakang dan Permasalahan
Kritik terhadap teori trickle down effect maupun
analisis pareto optimum dengan berbagai varian
pengejawantahannya telah banyak dilakukan oleh kalangan
pemikir ekonomi sosial, ekonomi kerakyatan dan ekonomi
Islam yang diantaranya dengan istilah efisiensi berkeadilan
sebagaimana fokus utama studi ini. Apa arti efisiensi?
Dalam prinsip dasar dan hukum dasar ilmu ekonomi,
efisiensi dapat dijelaskan dari tataran mikro maupun makro
ekonomi. Dalam tataran mikro ekonomi, efisiensi adalah
prinsip ekonomi “dengan biaya tertentu dapat dicapai hasil
maksima. Bila kondisi ini tercapai, maka disebut sebagai
kondisi optima” atau efisiensi dapat pula dikatakan sebagai
prinsip ekonomi “dimana dengan hasil tertentu dapat
dicapai dengan biaya minima”.1
1Selanjutnya Sri-Edi Swasono menguraikan macam-macam
dimensi efisiensi ekonomi meliputi: (1) efisiensi statis (mampu
memproduksi produk nasional sesuai preferensi sosial secara optimal; (2)
efisiensi distribusional (mampu melayani struktur permintaan efektif
yang mencerminkan distribusi pendapatan yang ada dan adil); (3)
efisiensi dinamis (efisiensi yang dikaitkan dengan ekspansi optimal untuk
memenuhi tuntutan transformasi ekonomi dan kemajuan ekonomi masa
depan). Ketiganya membeentukkan suatu (4) “efisiensi sosial” (melalui
penentuan social indefference curve yang rumit. Lihat, Sri-Edi Swasono,
Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas
(Jogjakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM, 2010),
Satu
13
14
Dalam tataran makro, maka efisiensi seperti
dimukakan di atas ditransformasi menjadi efisiensi sosial
yang liputannya tidak hanya orang seorang tetapi orang
banyak. Bahkan, meliputi/mencakup masyarakat luas
ataupun negara. Efisiensi berkeadilan berkaitan dengan
liputan/cakupan lebih luas daripada kegiatan ekonomi orang
perorang. Efisiensi sosial harus dapat menjamin bahwa
kepentingan masyarakat tidak diabaikan bahkan melalui
kerjasama sinergis antaranggota masyarakat, orang
perorang akan memberikan dampak benefit kepada
keseluruhan. Dalam kaitan ini, maka dikenal prinsip
efisiensi berkeadilan a la Pareto (dikenal dengan istilah
pareto optimum) dimana efisiensi sosial dicapai bila
sekelompok masyarakat sudah tidak bisa lagi menjadi
better-off tanpa mengakibatkan orang lain worse-off. 2
Secara khusus, akar sejarah efisiensi berkeadilan
merupakan istilah Sri-Edi Swasono untuk mengangkat pasal
33 ayat (4) hasil amandemen UUD 1945. Dalam
penjelasannya disebutkan bahwa naskah asli yang diajukan
badan pekerja MPR hanyalah “efisiensi” yang
dikhawatirkan olehnya dapat melumpuhkan ayat (1, 2, 3)
Pasal 33 UUD 1945. Alasan penting terhadap hal tersebut
karena perkataan “efisiensi” saja dapat diartikan sebagai
efisiensi ekonomi yang berorientasi hanya kepada
pandangan “untung rugi” ekonomi. Kata tersebut
merupakan eksistensi jati diri ekonomi kerakyatan sebagai
2Sri-Edi Swasono, Naskah Ajar, No 36 (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 13 Juni 2011). Efisiensi sosial a la pareto ini merupakan
dinamisasi dari pareto optimum yang dilakukan oleh Sri-Edi Swasono,
dinamisasi dua individu ditransformasi menjadi dua kelompok masyakat
(kelompok kaya versus kelompok miskin). Bandingkan dengan pareto
optimal yang belum ditranspormasi menjadi efisiensi sosial (berdasar
preferensi individual), lihat juga Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika:
Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas,
15
kekuatan pasca-penghilangan asas kekeluargaan dan
perubahan kata “kesejahteraan sosial” (BAB XIV UUD
1945) dengan “perekonomian dan kesejahteraan sosial”.3
Sri-Edi Swasono kemudian dengan tegas melakukan
koreksinya terhadap teori trikle down effect yang tidak
pernah menciptakan kemakmuran. Bahkan, dalam bukunya
Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Liberalisme,
Swasono menegaskan bahwa menerima mekanisme trikle
down berarti menganggap rakyat hanya berhak menerima
rembesan belaka, dan dianggapnya suatu moral-crime
terhadap rakyat.4 Disamping itu Swasono menunjukkan
pula kelemahan ekonomi neoklasikal dengan kegagalan
pasar dan ketidaksempurnaan pasar dalam mewujudkan an
invisible hand dan ketidakadilan ekonomi, dan menawarkan
ekonomi berdasar kerjasama.5 Dalam bukunya Indonesia
dan Dokrin Kesejahteraan Sosial, Swasono juga
menjelaskan ekonomi Pancasila pada dasarnya adalah
suatu solusi moral dan politik untuk dekonstruksi ekonomi
penindasan kolonial menuju rekonstruksi sistem ekonomi
3Lihat Sri-Edi Swasono, Kembali ke Pasal 33 UUD 1945
Menolak Liberalisme (Jakarta; Yayasan Hatta, 2010); lihat juga Sri-Edi
Swasono, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan (Jakarta: UNJ Press,
2005). 4lihat Sri-Edi Swasono Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak
Liberalisme. Lihat juga Mohammad Hatta, Beberapa Fasal Ekonomi,
Djalan ke Ekonomi dan Kooperasi I (Jakarta: Balai Pustaka, 1950, cet.4);
Mohammad Hatta, Beberapa Fasal Ekonomi, Djalan Ke Ekonomi dan
Bank II (Jakarta: Balai Pustaka, Jakarta, 1951, cet. 2). 5Sri-Edi Swasono, Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak
Neoliberalisme. Dalam bukunya Indonesia dan Dokrin Kesejahteraan
Sosial (2010) Ekonomi Pancasila pada dasarnya adalah suatu solusi moral
dan politik untuk dekonstruksi ekonomi penindasan kolonial menuju
rekonstruksi sistem ekonomi nasional Indonesia. Landasan hukum
Ekonomi Pancasila adalah Pasal 33 UUD 1945 yang dilatar belakangi
oleh jiwa pembukaan UUD 1945 dan didukung/dilengkapi oleh pasal-
pasal 18, 23, 27 ayat 2, dan 34.
16
nasional Indonesia. Landasan hukum Ekonomi Pancasila
adalah Pasal 33 UUD 1945 yang dilatar belakangi oleh jiwa
pembukaan UUD 1945 dan didukung/ dilengkapi oleh
pasal-pasal 18, 23, 27 ayat 2, dan 34.
Asshiddiqie menyebutkan bahwa prinsip-prinsip
efisiensi diimbangi dengan konsep keadilan, sehingga
terbingkai dalam satu nafas sebagai kata majemuk efisiensi
berkeadilan.6 Asas efisiensi berkeadilan adalah asas dalam
pengelolaan sumber daya yang harus mencapai
pemerataan akses dengan harga yang ekonomis dan
terjangkau, serta bertitik tolak pada nilai-nilai moral dan
etika.7 Efisiensi berkeadilan sama dengan efisiensi social,
yang diartikan dengan bagaimana ekonomi bisa dikelola
dengan baik dan tepat guna, sehingga dapat memberikan
kesejahteraan dan kemakmuran untuk semua.8 Dalam
filosofis efisiensi berkeadilan, katagori modal bukan hanya
berupa modal finansial dan modal manusia (human capital),
tetapi juga bentuk-bentuk modal lainnya yang diketemukan
dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu modal sosial (nilai-nilai
keutamaan), modal kultural (kreativitas dan estetika), modal
intelektual (teknologi dan informasi) serta modal spiritual
(keyakinan dan semangat).
Efisiensi berkeadilan dalam sistem ekonomi
kerakyatan disebut juga sebagai upaya pemberdayaan
6Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi (Jakarta: Buku Kompas,
2010). 7Misalnya terlihat dalam penjelasan pasal 2 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi yang
menjelaskan asas efisiensi berkeadilan adalah asas dalam pengelolaan
energi yang harus mencapai pemerataan akses terhadap energi
dengan harga yang ekonomis dan terjangkau. 8Anwar Abbas dan Mukhaer Pakkana, Bung Hatta dan Ekonomi
Islam: Menangkap Makna Maqasyid al Syari'ah (Jakarta: Buku Kompas,
2010); lihat juga Harsya W Bachtiar, Menuju Indonesia yang Demokratis,
Adil dan Pluralis (Jakarta: Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa, 2002).
17
maksimal masyarakat banyak dengan berpegang pada asas
produktifitas. Lebih tegas Hatta (1978), al-Haq (1991),
Dessler (2000), Mankiw (2001), dan Swasono (2010)
menyebutkan bahwa konsep efisiensi berkeadilan dalam
ekonomi berangkat dari persaudaraan dan kebersamaan
yang kemudian dikembangkan dalam salah satu konsep
dasar ekonomi kerakyatan,9 yang menciptakan pengunaan
tenaga kerja maksimal (full employment) dan mampu
mengunakan kapital atau modal secara penuh,10 yaitu
apabila alokasi dari kekayaan tidak membuat seseorang
sejahtera dengan membuat orang lain dirugikan.11 Sekaligus
memberikan jaminan keadilan bagi rakyat adalah tata
ekonomi yang pemilikan aset ekonomi nasional terdistribusi
secara baik kepada seluruh rakyat, sehingga sumber
penerimaan (income) rakyat tidak hanya dari penerimaan
upah tenaga kerja, tetapi juga dari sewa modal dan
deviden.12 Ini membawa implikasi dari aspek normatif: apa
yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan atau
dihindari bukan semata-mata dilihat dari aspek efisiensi,
9Mohammad Hatta, Pengembangan Usaha Kecil: Salah Satu
Aspek Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Idayu, 1979). Lihat juga, Sri-Edi
Swasono, Kebersamaan dan Asas. 10
Mahbub al-Haq, Islam Property and Income Distribution
(Leicester UK: The Islamic Foundation, 1991). 11
N. Gregory Mankiw, Priciples of Economics, 2nd
edition, 2001;
Thomson Learning, Pengantar Ekonomi, terjemahan (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2003); Dessler, Human Resource Management (New Jesrey:
Hall Inc, 2000); Rivai, Manajemen Sumber Daya Manusia untuk
Perusahaan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005). 12
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan
(Jakarta: LP3ES, 1993),; Marwan Ja‟far, Infrastruktur Pro-rakyat:
Strategi Investasi Infrastruktur Indonesia Abad 21 (Yogyakarta: Pustaka
Tokoh Bangsa, 2007). Sebagai perbandingan lihat Anderson,
Enviromental Improvement Through Economic Incentives: Resourch of
Future (Amerika: Baltimore, 1977), 93 dan Christianto Wibisono,
Anatonomi Efesiensi BUMN (Jakarta: Pusat Data Bisnis Indonesia, 1996).
18
sebagaimana dikenal dalam ekonomi konvensional,
melainkan bagaimana agar tindakan di kehidupan duniawi
juga menghasilkan imbalan di akhirat.
Lebih dalam lagi Sri-Edi Swasono menafsirkan
rumusan Muhammad Hatta dalam pasal 33 UUD 1945
”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
asas kekeluargaan” dengan memaknai perekonomian bukan
hanya badan usaha koperasi, tetapi juga meliputi Badan
Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Swasta yang
ketiganya harus disusun sebagai usaha bersama yang
berdasar asas kekeluargaan. Perkataan “disusun” berarti
tidak dibiarkan tersusun sesuai dengan kehendak dan selera
pasar yang merupakan selera kelompok orang-orang kaya
penentu wujud pola-produksi dan pola konsumsi nasional.
Usaha bersama merupakan cerminan doktrin kebangsaan
Indonesia yang mengutamakan rasa bersama, bergotong
royong saling menolong, tidak mengutamakan egoisme
pribadi (self-interest), mengemban solidaritas antar sesama,
mengetengahkan mutualisme yang dalam bahasa agama
disebut ke-jemaah-an. Sedangkan “asas kekeluargaan”
adalah budaya antara sesama sebagai saudara,
mengemukakan pentingnya the brotherhood of men atau ke-
ukhuwahan, wujud dari idealisme peaceful-coexistence
antar sesama dan seluruh umat yang bhineka namun
tunggal-ika itu.13
Dalam konstruk ekonomi Islam, efesiensi dalam
bahasa Arab dikenal juga kafa>'ah yaitu profesional.
Profesionalisme dalam pandangan Islam dicirikan oleh tiga
hal, yakni: (1) kafa>’ah, yaitu adanya keahlian dan
kecakapan dalam bidang pekerjaan yang dilakukan; (2)
himmatul ‘amal, yakni memiliki semangat atau etos kerja
13
Sri-Edi Swasono,”Keabadian Koperasi dan Kooperativisme”,
dalam media Suara Pembaharuan, Senin, 11 Juli 2011.
19
yang tinggi; (3) amanah, yakni terpercaya dan bertanggung
jawab dalam menjalankan berbagai tugas dan
kewajibannya, serta tidak berkhianat terhadap jabatan yang
didudukinya.14 Efisiensi diartikan juga dengan pengertian
usaha untuk melakukan yang terbaik, yaitu pengembangan
dari konsep ihsa>n sebagai kebaikan dan konsep itqa>n
sebagai kesempurnaan. Antara konsep ihsa>n dan itqa>n
dapat membantu mewujudkan penggunaan sumber-sumber
daya manusia dan alam, dengan cara yang paling efisien
dan adil.15
Dalam perspektif tersebut, memperlihatkan bahwa
efisiensi berkeadilan diartikan melakukan yang terbaik.
Rasulullah menjunjung tinggi kualitas dengan menekankan
ihsa>n (kebaikan) dan itqa>n (kesempurnaan).16
Rasulullah Saw bersabda ”Allah telah mewajibkan kamu
untuk berbuat baik (ihsa>n) dalam segala hal”.17 dan
Rasulullah Saw bersabda ”Allah menyukai orang yang
melakukan pekerjaan, ia melakukannya dengan
sempurna”.18 Upaya untuk merealisasikan ihsa>n dapat
melengkapi usaha melakukan itqa>n, dan keduanya
bersama-sama dapat membantu mewujudkan penggunaan
14
Imam Khomeini seperti dikutip dari al-Wilayat al-'Ammah,
Abu Sukainah, http://www.al-shia.org/html; dikutip juga dari
http://eei.fe.umy.ac.i, Enslikopedia ekonomi Islam. Diakses tanggal 12
November 2010. 15
Lihat Murasa Sarkaniputra, Ruqyah Syar’iyyah: Teori, Model
dan Sistem Ekonomi (Jakarta: al-Ishalah, 2009). 16
M. Umer Chepra, Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah Tinjauan
Islam (The Future Of Economics: an Islamic Perspective), terjemahan
Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani Press, 2001). 17
Hadits diriwayatkan dari Syaddat ibn Aus dalam Shahih
Bukhari dalam kitab ash-S{aid wa adzaba>ih, bab al-Amr bi al-Ihsa>n fi
al-dzabh wa qatl, vol. 3 no. 57. 18
Hadits diriwayatkan dari Aisyah dalam Kitab Syua‟abul Imam
Baihaqi, vol. 4. no. 57.
20
sumber-sumber daya manusia dan alam dengan cara yang
paling efisien dan adil. Dalam arti, ihsa>n menuntut
seseorang untuk memberikan lebih dari apa yang dituntut
oleh al-adl, umpamanya, jika seorang penjual memberikan
kepada pembeli secara ikhlas tidak saja timbangan atau
takaran yang disepakati, tetapi lebih daripada itu, maka ia
telah berbuat ihsa>n. Itqa>n menuntut manusia supaya
melaksanakan sesuatu amal atau kerja dengan cara yang
bersungguh-sungguh, melakukannya dengan sebaik-
baiknya, sehingga tercapai apa yang menjadi usaha.
Dari berbagai hal tersebut, maka efisiensi berkeadilan
dimaknai dengan (1) semua aktifitas usaha songket
terbangun sebuah jaringan kebersamaan (ukhuwah); (2)
berorientasi pada solidaritas kerja; (3) keuntungan tidak
terfokus pada orang perseorang; (4) kemitraan yang sama-
sama menguntungkan dan memberdayakan; (5)
keterbawasertaan usaha songket dalam program
pembangunan lokal dan nasional. (5) pengembangan usaha
yang berpegang pada moral dan etika bisnis Islam.19
Efisiensi berkeadilan juga dipahami membangun
pemberdayaan yaitu sebuah proses satu usaha yang
termarginal menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam
proses usaha yang dapat meningkatkan kehidupannya,
menekankan upaya memperoleh keterampilan,
pengetahuan, dan kemampuan yang cukup untuk
mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain
yang menjadi perhatiannya.20 Dengan demikian dapat
19
Lihat Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat
Ekonomi dan Keuangan Islam (Ciputat: Kholam Publishing, 2008),
terutama pada sub pokok-pokok aksioma etika Islam. 20
Herman Haeruman J. S.; Eriyanto, Kemitraan dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal (Jakarta: Yayasan Mitra Pembangun
Desa-kota, 2001).
21
meningkatkan kemampuan usaha lemah21 agar mampu
menguasai atau berkuasa atas kehidupannya dan membagi
kemampuan dan pengalaman kepada orang lain yang
bersama-sama untuk membangun usaha.22 Dengan
demikian, usaha kerajinan songket pada aspek produksi dan
distribusi dalam fokus studi ini mengarahkan kepada nilai-
nilai efisiensi berkeadilan yang tercipta suasana atau iklim
yang memungkinkan menguatnya potensi usaha songket
berkembang selaras, bersama, dan dilindungi oleh
pemerintah dengan meminimalisir terjadinya persaingan
yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang
lemah.
Calabresi dan Melamed dengan konsep efisiensi
melihat hakekat hak asasi dan isu tentang distribusi
berkeadilan.23 Keduanya kemudian menjelaskan bahwa
hakekat hak dan efisiensi dikelompokkan menjadi tiga
alasan untuk menentukan satu hak atas hak lainnya, yaitu
efisiensi ekonomi, preferensi distribusi, pertimbangan-
pertimbangan keadilan lainnya tanpa efisiensi yang
acceptable akan melemahkan dorongan pertumbuhan
ekonomi lebih maksimal,24 sebab efisiensi merupakan
faktor utama yang harus mendapatkan tekanan dalam
mensejahterakan masyarakat.25 Suma menguatkan dengan
keadilan sosial secara menyeluruh dimana kemakmuran
21
Jim Ife, Community Development: Creating Community
Alternatives (Melbourne: Longman, 2001). 22
Gilbert C. Rappaport, Grammatical Function and Syntactic
Structure (Columbus, Ohio: Slavica Publishers, 2004). 23
G. Calabresi and A.D. Melamed, “Property Rules, Liabbility
Rules and Inalienability: One View of the Cathedral”, Harvad Law
Review 85 (1972). 24
Haa-Joon Chang dan Ilene Grabel, Reclaiming Development:
an-Alternative Economic Policy Manual (New York: Zed Books, 2004). 25
Paul Heinze Keester, Tokoh-Tokoh Ekonomi Mengubah Dunia
(Jakarta: Gramedia, 1987).
22
rakyat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-
seorang, berkeadilan dan berkemakmuran dengan tawaran
ekonomi berbasis kitab suci.26
Posner menegaskan bahwa penggambaran kekayaan
tidak dapat lepas dari hukum yang memperbanyak
transaksi dengan berbagai macam cara,27 yang pada sisi
bersamaan hukum harus memperhatikan konsep ekonomi
yang dapat memberikan perlindungan kekayaan sebagai
suatu nilai efisiensi yang berkeadilan.28 Sekaligus usaha
untuk mencapai yang terbaik dalam bentuk ihsa>n dan
itqa>n yang saling melengkapi, sehingga keduanya
bersama-sama dapat membantu mewujudkan dengan cara
yang paling efisien (Q.S. al-Hujura>t [49]: 13, Q.S. al-
Ma>‟idah [5]: 8, Q.S. asy-Syu‟ara> [26]: 183).29 Oleh
karena itu, konsep sosialisme yang mengajak umat manusia
untuk meninggalkan kepemilikan individu atas alat
produksi, dan menyarankan perlunya penguasaan
komunitas (negara) atas perekonomian, sehingga seluruh
individu mempunyai tingkat kesejahteraan yang relatif
sama, tanpa ada ketimpangan distribusi pendapatan (Q.S.
26
Muhammad Amin Suma, Membangun Ekonomi Negeri
Berbasis Kitab Suci dan Konstitusi (Tangerang: Kholam Publishing, tt). 27
R.A. Posner, the Problem of Jurisprudence (Cambridge:
Harvard University Press, 1990). 28
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Oxford
University, 1999), tulisan yang hampir sama juga ditulis oleh Henry J.
Brutton, “A Reconsideration of Import Substitution,” Journal of
Economic Literature, vp. xxxvi. Sebagai perbandingan lihat, Mubyarto,
Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan (Yogyakarta: LP3ES,
1987). 29
Muhammad Baqir S{ada>r, Iqtis}a>duna (Beirut: Dar al-
Kita>b al-Lubha>ni, 1977); M. Umer Chapra, al-Isla>m wa al-Tahaddi>
al-Iqtis}a>di>, terj. Arab Muhammad Zuheir al-Samhuri> (Amma>n: tp,
1996); Habib Ahmad, Theoritical Foundation of Islamic Economics
(Jeddah: IRTI dan IDB, 2002).
23
al-An‟a>m [6]: 165, Q.S. an-Nah}l [16]: 71, az-Zukhruf
[43]: 32).30
Sejalan dengan pendapat tersebut, Atthiyah
menyebutkan bahwa manusia dalam melakukan aktifitas
dituntut untuk tidak mengkonsumsi dan mengeksploitasi
nikmat Allah dengan berlebihan, karenanya penggunaan
sumber-sumber daya manusia menciptakan kebebasan
individu dalam konteks kesejahteraan sosial dan
penggunaan Sumber Daya Alam dengan cara melakukan
efisiensi untuk menghasilkan tujuan maqa>s}id shari>’ah
yaitu kebaikan dan kesejahteraan umat manusia (Q.S. ar-
Ra‟d [13]: 36, Q.S. Luqma>n [31]: 22).31 Konsep tersebut
memberikan dasar bahwa usaha mempertahankan harga
pada tingkat sekarang tidak dapat dibuat menjadi lebih
bermanfaat, jika kelebihan output tersebut tidak
dihancurkan, harga akan turun atau kelebihan itu dapat
dibagikan kepada orang-orang miskin. Meskipun tidak
selalu penurunan output, sehingga menghambat
maksimalisasi output dan laba. Namun, jika dipandang dari
sudut kontribusi, pemilik modal yang akan dapat
menciptakan character building dan peningkatan spiritual
serta kesejahteraan manusia, maka efisiensi memiliki
keunggulan positif. Dasar lain dapat digali bahwa salah satu
kaidah us}ul membolehkan penetapan suatu pengorbanan
privat yang lebih sempit untuk mendapatkan kemas}lahatan
30
Murasa Sarkani Putra, Adil dan Ihsan dalam Perspektif Eknomi
Islam (Jakarta: P3EI, 2004). Bandingkan konsep pasar David C. Korten,
the Post-Corporate World; Life after Capitalism (London: Mc.Grow-
Hill, 2000). Joseph E. Stiglitz, Globalization and its Discontents (New
York: Norton, 2003).
31
Jamaluddin Athiyah, Nahwa Taf’il Maqa>s}id (Beirut:
Dar al-Kutub al-Arabiah, 2003). Lihat juga Syed Nawab Haider Naqvi,
Islam, Economic, and Society (London: Kegan Paul International, 1993);
lihat juga Raisu>ni>: Ahmad, Nażariya>t al-Maq}a>sid ‘inda al-Ima>m
al-Sya>ţibi> (Beiru>t: al-Ma‟had al-a>lami li al-fikri al-Isla>mi>, 1995).
24
publik yang lebih besar. Umumnya, para ulama memandang
bahwa syariat dengan strategi dan nilai-nilai moral yang
disediakan untuk menanamkan nilai-nilai ini secara efektif
dalam masyarakat, bukan saja akan membantu menjamin
keadilan dan kesejahteraan bagi semua, melainkan juga
mendorong kemajuan manusia.
Pentingnya ke arah efisiensi berkeadilan dalam
aktifitas ekonomi kerakyatan berangkat dari realitas yaitu:
Pertama, sistem ekonomi sosialis yang dibangun pada era
1959 hingga 1966 telah gagal karena tidak relevan dengan
nilai-nilai moral Pancasila dan pluralisme bangsa,
sedangkan eksperimen kedua yang “demokratis” berdasar
sistem kapitalisme pasar bebas yang dikembangkan pada
dekade 1966 hingga 1998 makin menguasai ekonomi
Indonesia secara membabi buta dengan semangat
globalisasi yang puncaknya adalah krisis moneter yang
menyerang ekonomi Indonesia tahun 1997 hampir
meruntuhkan sektor perbankan-modern yang kapitalistik
yang mengandalkan modal asing. Utang-utang luar negeri
yang makin besar, baik utang pemerintah maupun swasta,
makin menyulitkan ekonomi Indonesia karena resep-resep
penyehatan ekonomi dari ajaran ekonomi Neoklasik seperti
Dana Moneter Internasional (IMF) ditambah mulai
tergerusnya kepercayaan diri bangsa Indonesia atas jati
dirinya.32 Di tengah hal tersebut, ekonomi rakyat telah
menyelamatkan ekonomi nasional dari ancaman
kebangkrutan.
Kedua, sistem ekonomi nasional Indonesia adalah
sistem ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi berasas
32
Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan (Jakarta:
CIDES, 1998); Susan George, “A Short History of Neoliberalism,” dalam
Global Finance: New Thinking on Regulating Speculative Capital
Markets, ed. Walden Bello, Nicola Bullard, Kamal Malhotra (London:
Zed Books, 2000).
25
kekeluargaan yang demokratis dan bermoral dengan
pemihakan pada sektor ekonomi rakyat. Pemihakan dan
perlindungan pada ekonomi rakyat merupakan strategi
memampukan, dan memberdayakan pelaku-pelaku ekonomi
rakyat yang sejak zaman penjajahan, dan setengah abad
Indonesia merdeka selalu dalam posisi tidak berdaya. Ini
artinya, ekonomi kerakyatan adalah watak atau tatanan
ekonomi rakyat di Indonesia dimana, pemilikan aset
ekonomi harus didistribusikan kepada sebanyak-banyaknya
warga negara. Pendistribusian aset ekonomi kepada
sebanyak-banyaknya warga negara yang akan menjamin
pendistribusian barang dan jasa kepada sebanyak-
banyaknya warga negara secara adil. Pentingnya hal
tersebut juga diperkuat dengan data pareto Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah di Indonesia sebagai berikut: TABEL 1.1
PARETO UMKM DI INDONESIA No
Kreteria
Standar Jumlah Angka
Proporsi
(%) 1 Usah
a Besar
1. Kekayaan Bersih/tahun lebih dari Rp 10. Milyar
2. Hasil Penjualan lebih dari Rp. 50 milyar
± 4.37 ribu 0.01
2 Usaha Menengah
1. Kekayaan bersih/tahun diatas Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 milyar
2. Hasil penjualan diatas Rp 2.5 milyar sampai dengan Rp 50 milyar
39.66 ribu 0.08
3 Usaha kecil
1. Kekayaan bersih/tahun lebih dari Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta
2. Hasil penjualan lebih dari Rp 300 juta sampai dengan Rp 2.5 milyar
± 520.22 ribu
1.01
4 Usaha mikro
1. Kekayaan bersih/tahun kurang dari Rp 50 juta.
2. Hasil penjualan kurang dari Rp 300 juta
± 50.70 juta
98.90
26
Sumber: Olah data UMKM tahun 2008, BPS 2009, dikutip
dari Kadin Indonesia, “Strategi Pemberdayaan dan
Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) dan Koperasi”, Oktober, 2010.
Berdasarkan pengembangan hasil kajian survey
terdahulu UMKM merupakan mayoritas jumlah pelaku di
Indonesia sebesar 51,3 juta unit usaha 99.91%, menyerap
tenaga kerja terbanyak 90.9 juta pekerja (97.10%), 4.000
orang menjadi bagian dari usaha mikro dan kecil pada
kerajinan songket di Palembang. Kontribusi terhadap PDB
sebesar Rp 2.609.4 triliun atau 55.6%. Nilai ivestasi
UMKM sebeesar Rp 640.4 triliun (52.9%) dengan
penciptaan devisa sebesar Rp 183.8 triliun atau 20.2%.33
Hasil observasi diketahui bahwa rata-rata pengrajin songket
memiliki omzet (1) Rp 6 juta/bulan hingga Rp 50
juta/bulan; (2) 75 s/d 90 juta rupiah/ bulan. Penjualan harga
songket Palembang bervariasi tergantung dengan benang,
corak dan bahan dasarnya tetapi berkisar antara Rp 800 ribu
sampai Rp 15 juta per pasang yang terdiri atas sarung dan
selendang, dan aksesories dari bahan songket (gantungan
kunci, sepatu, hiasan dinding sampai baju berbahan
songket) antara Rp 10.000 sampai Rp 2 juta rupiah. Meutia
Hatta seperti dikutip dari Sri-Edi Swasono pada wawancara
tanggal 16 Juni 2011 bahkan menyebutkan bahwa harga
33
Sumber: Kadin Indonesia, “Strategi Pemberdayaan dan
Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan
Koperasi”, Oktober, 2010. Standar dalam tabel tersebut belum ada
batasan mengenai usaha kecil di Indonesia. Hal tersebut tergantung pada
fokus permasalahan yang dituju dan diinstansi yang berkaitan dengan
sektor ini. Biro Pusat Statistik (BPS), misalnya menggunakan ukuran
jumlah tenaga kerja, sementara menurut Kamar Dagang dan Industri
(KADIN), sektor usaha yang tergolong kecil tergantung modal aktif,
adapun menurut UU No 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, yang dimaksud
sektor usaha kecil adalah mengacu pada kekayaan bersih.
27
kain songket 4 Juta rupiah hingga 15 juta rupiah, bahkan
harga songket yang dipamerkan di Mesium Tekstil
Indonesia di Jalan K.S. Tubun / Petamburan No. 4 Tanah
Abang, Jakarta mencapai Rp 100 juta. Tingginya harga kain
songket tersebut berhubungan dengan keantikan songket
Palembang tersebut.34
Seperti juga usaha mikro dan usaha kecil lainnya,
berdasarkan hasil observasi didapatkan bahwa usaha
songket Palembang memiliki problem, diantaranya
diperlihatkan beberapa kasus yang berkenaan dengan proses
dan hasil efisiensi kerja, seperti hasil usaha bertenun
songket tidak diiringi dengan tingkat kesejahteraan
perajinnya, aktifitas usaha yang belum menunjukkan
efisiensi dan efektifitas,35 kebijakan-kebijakan efisiensi
internal antara pengrajin dan perajin belum bernilai
keadilan, produkifitas tidak dibarengi dengan manejemen
profesional,36 dan bantuan kemitraan yang belum berbasis
34
Hasil wawancara dengan responden pengrajin songket tanggal
23 September 2010. 35
Yudhy Syarofie, “Ketika Biduk Membutuhkan Dermaga:
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian dan Pemanfaatan Warisan
Budaya,” Hasil Penelitian (Palembang: Balai Arkeologi, 2003). Kajian
lebih luas lihat Olaf Cramme dan Patrick Diamond, Social Justice in the
Global Age (USA: Polity Press, 2009). Lihat juga Faisal Basri dan Haris
Munandar, Lanskap Ekonomi Indonesia; Kajian dan Renungan Terhadap
Masalah-Masalah Struktural, Transformasi Baru dan Prospek
Perekonomian Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009). 36
Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai
Budaya, “Traditional Ceremony in Relation with Natural Event and
Belief of The People in Sumatera Selatan Region,” (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian, Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, 2000). Sebagai perbandingan lihat
Hadisuwito, S., ”Memanfaatkan Momentum Kenaikan Upah,” Prisma
(Jakarta, 2001); Hendawan Supratikno, “Pengembangan Industri Kecil di
Indonesia: Pelajaran Analisis Dampak dari Jawa Tengah” Prisma, 23,
September, Jakarta.
28
pemberdayaan ekonomi kerakyatan,37 serta jaringan
pemasaran yang rendah,38 akibat produktifitas tidak
diimbangi dengan manajemen profesional. Asumsi yang
muncul akibat terputusnya rantai produksi oleh dominasi
unit usaha produksi dan distribusi dengan unit yang lain
dalam kluster usaha songket Palembang menjadi dasar
utama studi ini. Keterbatasan modal usaha yang dibarengi
dengan rendahnya manajemen usaha adalah hal yang sangat
mempengaruhi upaya peningkatan usaha.
Berdasarkan data awal tersebut, memperlihatkan
bahwa efisiensi berkeadilan memiliki berbagai konsep dan
strategi bergantung kepada sudut pandang dan sumber.
Dalam studi ini efisiensi berkeadilan merupakan
produktifitas usaha yang dibangun dengan kebersamaan,
memberdayakan dan bermoral dengan dasar rumusan
masalah Bagaimana nilai-nilai filosfis efisiensi berkeadilan
sebagai bagian dari konsep demokrasi ekonomi di
Indonesia? Pertanyaan yang dikembangkan dalam rumusan
masalah tersebut kepada pengrajin dan perajin songket yang
berkenaan dengan nilai-nilai filosofis konsep efisiensi
berkeadilan adalah (1) bagaimana pendayagunaan kapital?;
37
Megumi Uchino, Songket of Palembang: Socio-cultural and
Economic Change in a South Sumateran Textile Tradition Authors (USA:
University of Hull, 2006); Mari Elka Pangestu, (et al.), Studi Industri
Kreatif Indonesia (Jakarta: Departemen Perdagangan RI, 2008). 38
Grace I. Selvayagam, Songket Malaysia’s Woven Treasure
(New York: Oxford University Press, 1991); Sukanti, Tenun Tradisional
Sumatera Selatan (Palembang: Departemen Pendidikan Nasional, 2000);
Haziyah Hussin, “Peranan Songket dalam Perkawinan Melayu: Golongan
Istana dan Rakyat Biasa,” Jurnal Arkeologi Malaysia, Bilangan 17-2004.
KDN PP 6026/10/03, 34. Netti Tinerprilla, Jadi Kaya dengan Berbisnis
di Rumah (Jakarta: Alexmedia Komputindo, 2000). Sebagai
perbandingan lihat Jackie Ambadar, Nuranty Abidin, Yanti Isa,
Menentukan Mitra Usaha (Jakarta: Bina Karsa Mandiri, 2005); lihat
Penerbit Buku Kompas, Profil Daerah Kabupaten dan Kota (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2001).
29
(2) bagaimana upaya membangun hak dan kewajiban
bersama?; (3) bagaimana para pengrajin dan perajin songket
melakukan kebersamaan dalam mengembangkan sumber
daya manusia?; (4) bagaimana kebebasan berusaha dan
berkreatifitas para pengrajin dan perajin songket
Palembang?; (5) bagaimana membangun dan meningkatkan
kemitraan dalam distribusi usaha songket Palembang?; (6)
bagaimana meningkatkan usaha songket Palembang
berbasis nilai-nilai efisiensi berkeadilan.
Operasionalisasi objek studi pada aspek produksi dan
distribusi usaha songket Palembang dilihat lima hal, yaitu
Pertama. Aspek produksi dari sisi (1) pendayagunaan
kapital dimulai dari keadaan modal usaha pengrajin dalam
melakukan produksi dan problem mendapatkan tambahan
modal usaha, tingkat ketrampilan perajin songket, termasuk
keadaan alat-alat tenun dan bahan baku dalam proses
produksi; (2) hak dan kewajiban bersama dalam pemberian
upah baik dari pengrajin sebagai pengusaha, pemesan
maupun pengumpul hasil songket dengan menilai
pertimbangan alokasi waktu kerja, kebijakan UMR,
keadaan tempat kerja, dan hak-hak tunjangan sosial lainnya;
(3) kebersamaan dalam pengembangan sumber daya
pengrajin maupun perajin songket dalam bidang
manajemen usaha dan penambahan pelatihan ketrampilan
produsi songket serta kendala yang dihadapi. Kedua hal
tersebut penting untuk mengetahui implementasi kebijakan
bantuan modal usaha mikro dan kecil dari pemerintah
Sumatera Selatan dalam melestarikan usaha songket. Kedua
hal tersebut juga penting untuk mengetahui penerimaan
generasi muda terhadap aktifitas pertenunan songket
sebagai upaya menguatkan pelestarian budaya lokal; (4)
kebebasan berusaha dan berkreatifitas dinilai dari kreasi
pengrajin songket sesuai dengan kebutuhan pasar, serta
bagaimana penerimaan pasar atas hal tersebut dengan
30
melihat indikator jumlah pertumbuhan omset yang didapat
pengrajin maupun perajin pada tahun 2009-2010. Dari
aspek distribusi difokuskan pada pola kemitraan pada
penjualan hasil tenun songket baik melalui jalur distribusi
perorangan, aktifitas kelembagaan pemerintah BUMN,
BUMS dan koperasi serta berbagai kendala yang dihadapi.
Hasil studi tersebut digunakan kemudian untuk mencari
solusi konstuktif sesuai dengan konsep dasar efisiensi
berkeadilan.
Dalam kaitan dengan pelaku usaha songket
disebutkan dalam disertasi ini pada dua komponen yaitu
pengrajin dan perajin. Pengrajin adalah pemiliki modal,
memiliki nama usaha serta aktifitas menenun baik
dilokalisasi dalam satu wadah maupun dalam sentra-sentra
jaringan penenun (yang disebut kemudian dengan perajin)
serta memiliki jaringan distribusi yang jelas. Perajin adalah
orang yang memiliki keahlian pada proses penenunan
songket yang mengambil upah dari pengrajin maupun
bertenun menjual sendiri berdasarkan pesanan baik pribadi
maupun dari pengumpul.39
Efisiensi berkeadilan adalah salah satu pilar
penguatan ekonomi di Indonesia, karena itu studi ini
kemudian bertujuan untuk (1) menganalisis nilai-nilai
filosofis konsep efisiensi berkeadilan; (2) menganalisis
aspek produksi dan distribusi songket Palembang dalam
menerapkan nilai efisiensi berkeadilan dengan fokus pada
pendayagunaan kapital, pembangunan aspek hak dan
kewajiban bersama, kebersamaan dalam pengembangan
SDM, kebebasan berusaha dan berkreatifitas; meningkatkan
kemitraan dalam distibusi.
39
Perbedaan istilah tersebut didapat dari hasil observasi maupun
beberapa hasil studi yang berkenaan dengan aktifitas usaha songket
Palembang. Penjelasan lanjutan dapat dilihat pada bab ke 3 disertasi ini.
31
Manfaat dari hasil studi ini dapat memperkuat
eksistensi nilai-nilai filosofis efisiensi berkeadilan seperti
termaktub dalam amandemen UUD 1945 Tahun 2004.
Bermanfaat untuk membangun aktifitas ekonomi usaha
songket Palembang berbasis efisiensi berkeadilan yang
mampu meningkatkan usaha terbangun kebersamaan dan
persaudaraan. Sekaligus dapat memberikan strategi
konstruktif dalam membangun usaha kecil yang berpijak
pada nilai efisiensi berkeadilan berbasis ekonomi
kerakyatan dan ekonomi Islam. Kerangka implementasi
dalam studi ini melalui pintu masuk usaha songket
Palembang. Usaha songket Palembang memiliki akar
budaya yang dapat digali dalam ranah keilmuan. Aktifitas
tenun songket juga merupakan unit usaha berbasis budaya
lokal Sumatera Selatan yang terus dilestarikan. Pelestarian
songket didominasi oleh pengrajin dan perajin yang
memiliki ketrampilan turun temurun yang dijadikan lahan
mendapat keuntungan untuk membantu ekonomi keluarga
maupun untuk mengembangkan usaha bisnis songket
keluarga dan satu sisi lain untuk melestarikan hasil budaya
daerah. Dalam mencapai tujuan tersebut, pengrajin maupun
perajin menghadapi beberapa kendala. Tujuan yang hendak
dicapai dan kendala yang dihadapinya merupakan faktor
penentu bagi pengrajin maupun perajin untuk
mengambil keputusan dalam aktifitas usaha tenun
songketnya. Oleh karena itu, pelaku usaha songket akan
mengalokasikan produksi dan distribusi yang dimiliki
sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Masalah produksi berkaitan erat dengan keadaan
modal usaha, alat-alat tenun dan bahan baku
(pendayagunaan kapital). Keseimbangan hak dan
kewajiban. Kebebasan berkreatifitas dan berusaha yang
ditekankan pada kebersamaan dalam melakukan terobosan
kreasi sesuai pasar. Masalah distribusi dititiktekankan pada
32
kontribusi pola jaringan kemitraan yang terjadi pada usaha
songket. Besar kecilnya keuntungan yang diperoleh akan
sangat ditentukan oleh kemampuan pengrajin dan perajin
songket dalam menyelesaikan persoalan pada fokus studi
ini.
Kesejahteraan bersama akan tercapai apabila nilai-
nilai efisiensi berkeadilan yang dikaji dalam landasan
teori studi ini dapat diimplementasikan secara optimal.
Artinya, pengrajin dan perajin secara optimal melakukan
perbaikan tata aturan bisnis sesuai dengan penilaian dari
sikap kebersamaan, kekeluargaan, keselarasan, amanah,
ihsa>n dan itqa>n. Untuk mencapai penilaian pada aspek-
aspek tersebut di analisis dari observasi dan hasil
wawancara mendalam dengan para responden yang
hasilnya dapat diketahui implementasi efisiensi berkeadilan
pengrajin dan perajin songket Palembang. Studi ini lebih
ditegaskan pada hasil observasi dan wawancara mendalam,
sehingga alur pendalaman materipun mengikuti aktifitas
yang muncul dalam studi ini. Sehingga konsep-konsep
perhitungan hanya sebagai kajian sekunder untuk
mempertajam analisis studi mengikuti realitas yang
berkembang di lapangan.
B. Penelitian Terdahulu
Problematika efisiensi telah dikaji dalam beberapa
sudut pandang, Pertama, konsep efisiensi dipandang
sebagai pola meredam kebebasan distribusi negara-negara
otoritas dan membentuk pertumbuhan ekonomi menjadi
mundur (set back) telah dikaji oleh Barro,40 walaupun
40
Robert J. Barro, Getting it Right: Market and Choices in a Free
Society (USA: Massachusetts Institute of Technology, 1996). Tulisan
yang hampir sama seperti dikaji oleh Dale Adams and Robert C. Vogel,
”Rural Financial Markets in Low-Income Countries and Lesson,” World
Development, vol. 14, no. 4, 1986.
33
kemudian hasil itu dipertanyakan Sen yang menyebutkan
perkembangan ekonomi tidak cukup hanya melihat
hubungan-hubungan statistik belaka, namun juga menilai
pengambilan kebijakan ini merupakan trade-off, artinya
seringkali ada pihak-pihak yang dikorbankan. Karena
prinsip alokasi yang pareto optimum, artinya seseorang
tidak bisa menjadi better off , tanpa membuat orang lain
worse off. 41
Kedua, teoritisasi efisiensi berkeadilan dengan
berbagai kebijakan pendukung seperti persaingan terbuka,
pemanfaatan pasar internasional, tingkat pendidikan yang
tinggi, keberhasilan program landreform, dan tersedianya
insentif bagi masyarakat umum untuk melakukan investasi,
ekspor, dan industrialisasi. Profesionalisme yang dicirikan
dalam tiga hal, yakni efisiensi (kafa>’ah), himmatul ‘amal,
dan amanah.42 Ditambah pula dengan komitmen bahwa
kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya
uang di negara tersebut, tetapi hal itu bukan merupakan
refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi (baik barang
maupun jasa), maka uang yang melimpah itu tidak ada
nilainya. Sektor produksilah yang menjadi motor
pembangunan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan
pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan atas
faktor produksi lainnya.43 Hasil penelitian Singer, Jung dan
41
M. Fay and T. Yepes, “Investing in Infrastructure: What is
Needed from 2000 to 2010?” World Bank Policy Research Working
Paper 3102, Washington DC; Suroso Imam Jadjuli, Reformasi Ilmu
Pengetahuan dan Pembangunan Masyarakat (Surabaya: Pascasarjana
Universitas Airlangga, 2007); Muhammad Amin Suma, Mengugat Akar
Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam. 42
Muhammad Baqir S{ada>r, Iqtis}aduna (Buku Induk Ekonomi
Islam). 43
Mudrjat Kuncoro, Ekonomika Industri Indonesia: Menuju
Negara Industri 2030? (Yogyakarta: Andi, 2007); Perbandingan kajian
34
Marshall di negara-negara berkembang telah memberikan
basis empirik terhadap antisipasi Hatta sebagaimana yang
dikutip dari Arief bahwa pasaran dalam-negerilah yang
harus memperkukuh fundamental ekonomi Indonesia, yaitu
fundamental ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat
dalam-negeri.44
[Ketiga, efisiensi dan jawaban unsur-unsur ekonomi,
seperti: Apa yang diproduksi? (adalah unsur kebutuhan
masyarakat). Bagaimana memproduksi? (unsur pengaturan
produksi). Untuk siapa produksi yang dihasilkan? (unsur
distribusi).45 Dari ketiga unsur tersebut dapat dijelaskan:
apa yang menjadi prioritas keinginan dan kebutuhan secara
keseluruhan, atau berapa banyak barang dan jasa yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.46
Sedangkan, dari segi Sumber Daya Ekonomi, yaitu
bagaimana penyediaan barang dan jasa, sumber daya apa
saja yang akan digunakan, dengan teknologi atau cara
bagaimana, kemudian dari mana sumbernya (impor atau
produksi dalam negeri). Dalam hal ini, terkait dengan
faktor-faktor produksi dan distribusi, yakni tenaga kerja dan
kapital, serta kemitraan dan kelembagaan dalam
lihat Muhammad Baqir S{ada>r, Iqtis}aduna (Buku Induk Ekonomi
Islam). 44
Lihat Sritua Arief, Pemikiran Pembangunan Bung Hatta
(Jakarta: LP3ES). 45
Muhammad Yu>nus, Maba>di’ ‘ilmi al-Iqtisa>d (al-
Iskanda>riyah: al-Da>r al-Ja>mi‟iyyah, 1993). 46
Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economics: Theory and
Practice: a Comparative Study, terjemah, Nastangin (Jakarta: Intermasa,
1992), 55; Muhammad Ahmad S{aqar, Qira>t fi> al-Iqtis{}a>di al-
Isla>ma> Bahs Manshu>r, al-Iqtis}a>di al-Isla>mi> Mafa>him wa
Murtakaza>t (Jeddah: Markaz al-Nas}r al-„Ilmi, 1987).
35
distribusi.47 Walaupun kemudian, hal tersebut belum
dikembangkan dalam sistem nilai dan efisiensi berkeadilan,
dalam upaya maksimalisasi dan efisiensi pendayagunaan
setiap faktor produksi dan distribusi yang tersedia.
Selanjutnya, distribusi hasil produksi bagi masing-
masing faktor produksi merupakan sesuatu yang tidak
terpisahkan dari proses produksi, sebab hanya dengan
demikian akan tercipta agregat pertumbuhan ekonomi yang
semakin tinggi.48 Selain itu juga, bahwa produksi tidak
hanya bertujuan menghasilkan barang dan jasa semata, tapi
ia hanya sebagai media untuk mencapai tujuan
mensejahterakan, berkenaan dengan keterikatan antara
„keadilan distribusi‟ dengan „kesejahteraan‟ individu dan
masyarakat.49
Studi terhadap ekonomi kerakyatan telah banyak
dilakukan, terutama terhadap Hatta sebagai tokoh ekonomi
kerakyatan di Indonesia.50 Kajian ekonomi kerakyatan yang
berkaitan dengan penyerapan tenaga kerja, seperti
47
Priyonggo Suseno, “Analisis Efisiensi dan Skala Ekonomi pada
Industri Perbankan Syariah di Indonesia,” Journal of Islamic and
Economics, vol. 2, no. 1, Juni 2008. 48
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Ikhwan
Abidin. Lihat juga Ha>syim, Isma>‟i>l Muhammad dan Shari>kuhu>,
Usus ‘Ilmu al-Iqtis}a>d (Kairo: Da>r al-Nahd}ah al-„Arabiyah, 1976). 49
Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan
Praktek; Muhammad Ahmad S}aqar, Qira>t fi> al-Iqtis}a>di al-
Isla>ma> Bahs} Manshu>r, al-Iqtis}a>di al-Isla>mi> Mafa>him wa
Murtakaza>t.
50Lihat misalnya Anwar Abbas, Pemikiran Ekonomi Mohammad
Hatta Ditinjau dari Perspektif Islam (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008); Sri-Edi Swasono, Bung Hatta Bapak Kedaultan Rakyat,
(Jakarta: Yayasan Hatta, 2002); Yayasan Idayu, Bung Hatta Kita
dalam Pandangan Masyaraka (Jakarta: Yayasan Idayu, 1980);
Yasni, Z. Bung Hatta Menjawab (Jakarta: Gunung Agung, 1978); Sri-
Edi Swasono dan Fauzie Ridjal, Mohammad Hatta Demokrasi Kita
Bebas Aktif Ekonomi Masa Depan (Jakarta: UI Press,1992).
36
Tambunan,51 Isomo,52 dan Destha53. Dalam hubungannya
dengan kebijakan, program, dan intervensi pemerintah yang
pembahasannya merupakan bagian dari sektor ekonomi
telah dilakukan studi oleh Purba,54 Machwal,55 Irsan,56
Utomo,57 dan Hendro58. Model pembiayaan dan dampak
bagi pengusaha kecil oleh Widyaningrum,59 dan aktifitas
yang berhubungan dengan usaha rumahan,60 serta
menentukan mitra usaha.61 Disamping itu studi tentang
terjadi pemahaman terhadap nilai-nilai penguatan ekonomi
51
T. Tambunan, ”The Role of Small Industry in Indonesia: a
General Reviw,” Ekonomi Keuangan Indonesia, 37(1), Jakarta, 1990. 52
Isomo Sadoko, et al., Pengembangan Usaha Kecil: Pemihakan
Setengah Hati (Bandung: Akatiga, 1995). 53
Destha T Raharjana, ”Siasat Usaha Kaum Santri: Ekonomi
Moral dan Rasional dalam Usaha Konfeksi di Mlangi Yogyakarta,”
dalam Ahimsa-Putra (Yogyakarta: Kepel, 2003); Sarmini, ”Politik Usaha
Pengusaha Islam: Kiat Manipulatif dalam Industri Penyamakan Kulit di
Magetan Jawa Timur,” dalam Ahimsa-Putra (Yogyakarta: Kepel, 2003). 54
R. Purba, Produktivitas Tenaga Kerja Industri Kecil: Studi
Kasus pada Industri Barang-barang Kulit di Manding, Kabupaten Bantul
(Yogyakarta: UGM, 1990). 55
Machwal Huda, ”Etos Kerja, Kebijaksanaan Pembinaan dan
Perkembangan Industri Kecil: Studi Kasus INTAKO,” (UGM:
Yogyakarta). 56
Irsan Azhary Saleh, Industri Kecil: Pemihakan Setengah
(Bandung: Akatiga, 2000). 57
B.S. Utomo, Perkembangan Industri Kerajinan Rumah Tangga
dan Intervensi Pembinaan dan Yayasan Pekerti Dai Kabupaten
Tasikmalaya, Proyek Penelitian Sektor Non Pertanian Pedesaan Jawa
Barat no. A-4, PSP-IPB (Jawa Barat: Bogor, 1990). 58
E.P Hendro, Ketika Tenun Mengubah Desa Troso (Semarang:
Bendera, 2000). 59
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Pergulatan
Menangkap Makna Keadilan dan Kesejahteraan (Jakarta: LP3M STIE
Ahmad Dahlan). 60
Netti Tinerprilla, Jadi Kaya dengan Berbisnis di Rumah
(Jakarta: Alexmedia Komputindo, 2000). 61
Lihat Jackie Ambadar et.al., Menentukan Mitra Usaha (Jakarta:
Bina Karsa Mandiri, 2005).
37
kerakyatan dikaji melalui aspek penyimpangan dalam
mandat konstitusi pada UUD 1945 pasal 33 oleh Ruslina.62
Persoalan-persoalan anatomis di dalam industri
sendiri sebagaimana ia adanya, misalnya studi tentang
sejumlah faktor yang menjadi penghambat dan pendukung
baik yang berhubungan dengan ekonomi maupun non
ekonomi. Hal tersebut telah dikaji oleh Loekman,63
Weber64. Industri kecil juga dikaji dari aspek etos kerjanya
oleh Hadisuwito,65 upaya-upaya pengembangannya oleh
Hendawan,66 kategorisasi dan ciri-ciri industri kecil serta
kontribusinya dalam ekonomi nasional telah dikaji oleh
Mubyarto67. Industri kecil, sebagai faktor non-ekonomi
sesungguhnya juga telah diperhatikan oleh sejumlah
peneliti yang melihat dari perspektif strategi adaptasi,
sebenarnya di dalamnya juga telah terkandung pengertian
gerakan sosial (social movement) yang sudah selayaknya
mendapat perhatian yang memadai.68
62
Elli Ruslina, “Pasal 33 UUD 1945 Sebagai Dasar
Perekonomian Indonesia: Telah Terjadi Penyimpangan Terhadap Mandat
Konstitusi, Disertasi Pascasarjana Universitas Indonesia, 2010. 63
Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan, dan
Pemberdayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1997). 64
Weber, ”Industrialisasi di Pedesaan Indonesia: Isu dan
Masalah,” dalam Industrialisasi di Pedesaan Jawa, ed. T.N. Effendi dan
H. Weber (Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 1995). 65
S Hadisuwito, ”Memanfaatkan Momentum Kenaikan Upah,”
Prisma, no. 7 (Jakarta, 2001). 66
Hendawan Supratikno, “Pengembangan Industri Kecil di
Indonesia: Pelajaran Analisis Dampak dari Jawa Tengah,” Prisma, no.
23, September, Jakarta. 67
Mubyarto, Ekonomi Rakyat dan Program IDT (Yogyakarta:
Aditya Media, 1996); Mancur Olson, Kebangkitan dan Kemerosotan
Perkembangan Bangsa-Bangsa: dari Pertumbuhan Ekonomi ke Stagnasi-
Inflasi dan Kemandegan Sosial (Rajawali: Jakarta, tt). 68
Sarmini, ”Politik Usaha Pengusaha Islam: Kiat Manipulatif
dalam Industri Penyamakan Kulit di Magetan Jawa Timur,” dalam
Ahimsa-Putra (Yogyakarta: Kepel, 2003).
38
Raharjana yang melihat ekonomi moral dan rasional
dari para pelakunya dapat dihadirkan secara bersama-sama
dalam dinamika dan dialektika ekonomi moral-rasional.
Studi ini belum memaparkan secara terperinci, misalnya
perilaku yang mempermainkan harga sebagai bagian dari
gerakan sosial. Mempermainkan harga itu dari para
pengusahanya kepada para pembeli baik pelanggan maupun
calon pelanggan. Hal ini sebenarnya yang juga dapat dilihat
dalam kaitannya dengan gerakan sosial (social movement)
dari para pelakunya.69 Sementara itu nilai-nilai etika bisnis
sudah banyak digali seperti Fakhruddin yang memfokuskan
pada etika produksi dalam perspektif ekonomi Islam.70
Khusus untuk usaha songket Palembang, para
peneliti terdahulu telah mengkaji dalam berbagai perspektif.
James Bennett dalam penelitian menyimpulkan nilai seni
Islam terapresiasi dalam kain songket Palembang.71
Sedangkan Syarofy,72 Lindawati,73 dan Uchino74 menilai
69
Destha T Raharjana, ”Siasat Usaha Kaum Santri: Ekonomi
Moral dan Rasional dalam Usaha Konfeksi di Mlangi Yogyakarta,”
dalam Ahimsa-Putra (Yogyakarta: Kepel, 2003). 70
Fakhruddin Sukarno, “Etika Produksi dalam Perspektif
Ekonomi Islam”, (Disertasi Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2010). 71
James Bennett, Crescent Moon: Islamic Art and Civilisation in
Southeast Asia (Adelaide: Art Gallery of South Australia, 2005). 72
Yudhy Syarofy, Ketika Biduk Membutuhkan Dermaga:
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian dan Pemanfaatan
Warisan Budaya. 73
Lindawati, “Songket: Simbol Kekuatan Budaya Lokal,”
(Malaysia: Universitas Kebangsaan Malaysia, 2004). Sebagai
perbandingan dapat dilihat Suwati Kartiwa, Kain Songket Indonesia
(Jakarta: Djambatan, 1996); Haziyah Hussin, “Peranan Songket dalam
Perkawinan Melayu: Golongan Istana dan Rakyat Biasa,” dalam Jurnal
Arkeologi Malaysia, Bilangan 17-2004, KDN PP 6026/10/03. 74
Megumi Uchino, “Socio-Cultural History of Palembang,”
Songket, Indonesia and the Malay World”, vol. 33, Issue 96 July 2006.
39
efisiensi usaha perajin songket Palembang di tengah
perbenturan budaya global dan upaya efektif melestarikan
ciri khas kain songket bernilai sejarah dan budaya. Riyanti
bahkan menyimpulkan telah terjadi pergeseran makna atau
nilai simbolis kain songket.75 Orang lebih cenderung bebas
dalam memilih warna atau motif kain songket, tanpa
melihat pada makna simbolis yang terkandung dalam kain
songket itu sendiri. Sementara, Abdullah76; Tim Peneliti
Deperindag77; serta Tim Proyek Penelitian, Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Indonesia78 lebih
menekankan perhatian pada rendahnya kreatifitas dan
efisiensi dalam produktifitas para pengrajin kain songket
terutama dari kalangan perempuan.
Dalam bidang efisiensi kemitraan, Tim Peneliti
Direktorat Kerjasama dan Perdagangan Internasional
memberikan kesimpulan penelitian, yang menyebutkan satu
sisi, perlunya usaha segenap pihak menguatkan komoditas
songket Palembang sebagai salah satu komoditas Indonesia
75
Sari Ade Riyanti, “Makna Simbolis Kain Songket sebagai
Simbol Status,” (Semarang: Fakultas Teknik, Teknologi Jasa dan
Produksi Busana, Universitas Negeri Semarang, 2006). 76
Makmun Abdullah, Kota Palembang sebagai Kota Dagang dan
Industri (Jakarata: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional, tt), 77
Tim Peneliti Deperindag, Keberhasilan Pemberdayaan Usaha
Kecil dan Koperasi oleh BUMN di Lingkungan Departemen
Perdagangan dan Perindustrian (Jakarta: Departemen Perdagangan dan
Perindustrian, 2003). 78
Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai
Budaya, Traditional Ceremony in Relation with Natural Event and Belief
of The People in Sumatera Selatan Region (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, 2000). Sebagai perbandingan lihat Jeanne.
Beker, “Sari to Sarong: Five Hundred Years of Indian and Indonesia
Textile Exchange,” American Craft, Augst/Sep, vol. 64, Iss. 4 (New
York: 2004).
40
yang memiliki reputasi strategis, sekaligus sebagai
komoditas rakyat yang akan meningkatkan kesejahteraan
rakyat, disisi lain adanya niat peran serta para pengrajin
untuk menggunakan modal usaha dari para mitra secara
efisiensi dan berdaya guna.79
Perbedaan atas studi-studi sebelumnya terletak pada
teoritisasi yang dibangun. Studi ini mengkaji salah satu item
amandemen keempat tahun 2004 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 33 (ayat
4...efisiensi berkeadilan...) yang mengatur pengelolaan
ekonomi. Hasil studi atas dianalisis pada usaha songket
Palembang yang menjadi salah satu usaha mikro dan kecil
andalan produk di Indonesia. Perbedaan utama dengan
penelitian sebelumnya terletak pada analisis yang melalui
kajian efisiensi berkeadilan dengan parameter ekonomi
Islam seperti termaktub dalam nilai-nilai muamalah
maliyah dan muamalah ma’daniyah.
C. Landasan Teori
Studi ini berangkat dari kelompok pemikir yang
memunculkan teori efisiensi yang berdasarkan nilai-nilai
kesejahteraan dan keadilan. Efisiensi Kesejahteraan
79
Tim peneliti Direktorat Kerjasama dan Perdagangan
Internasional, Peningkatan Nilai Tambah Komoditas Indonesia dengan
Pengembangan Indikasi Geografis Non Pertanian (Jakarta: Direktorat
Kerjasama dan Perdagangan Internasional, 2008). Sebagai perbandingan
dapat dilihat juga hasil penelitian sejenis oleh Ozaman, N., “Protection of
Geographical Indications Food Products The Example of Champagne
Industry,” France. WIPO Asia and The Pacific Regional Symposium on
The Protection of Geographical Indications, November, New Delhi,
2005, 18-20; Blakeney, M., “Geographical Indications and TRIPS,”
Occasional Paper, no. 8, (Geneva: Quaker United Nations Office, 2001).
Lihat juga Escudero, S., “International Protection of Geographical
Indications and Developing Countries,” TRADE Working Papers, no. 10
(Geneva: South Centre, 2005).
41
mengandung dimensi sosial mencakup tersedianya
pelayanan hak-hak dasar bagi warga seperti papan, pangan,
pendidikan dan kesehatan; dan dimensi ekonomi mencakup
tersedianya lapangan pekerjaan bagi warga, kepemilikan
warga atas sumber-sumber produksi, maupun pendapatan
ekonomi masyarakat. Kedua dimensi akan memberikan
kontribusi kepada kesejahteraan secara merata dan adil
kepada rakyat, jika rakyat mempunyai akses terhadap
sumber-sumber produksi dan distribusi ekonomi.
Sedangkan, negara sebagai yang bertanggungjawab
mencapai janji kesejahteraan, terutama memainkan peran
distribusi sosial dan investasi ekonomi (kebijakan
ekonomi). Fungsi dasar negara adalah ”mengatur” untuk
menciptakan law and order dan ”mengurus” untuk
mencapai welfare, dengan menciptakan pembangunan yang
seimbang (balanced development), antara pembangunan
ekonomi dan pembangunan sosial.80 As}-Shadr
menekankan kedalam nilai kewajiban timbal balik.
Kewajiban untuk melakukan usaha yang terbaik satu sisi
dan memberikan bantuan kepada orang lain dalam batas-
batas kemampuan dan kekuasaannya.81
Hatta memaknai dengan efisiensi sosial atau “efisiensi
berkeadilan“, karena memang dalam pandangan Hatta
manusia sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai
makhluk sosial itulah yang harus diutamakan bukanlah
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Untuk
80
Didiet Widiowati, Kesejahteraan Sosial: Wacana,
Implementasi, dan Pengalaman (Jakarta: Penerbit Pusat Pengkajian
Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, 2005);
Isbandi Rukminto Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial
(Jakarta: FISIP UI Press, 2005). 81
Muhammad Baqir S}ada>r, Buku Induk Ekonomi Islam
(Jakarta: Zahra Publishing House, 2008); Lihat juga, M. Umer Chapra,
Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjuan Islam.
42
melindungi hal demikian, maka menurut Hatta cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak, juga bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus
dikuasai oleh negara.82 Swasono menyimpulkan bahwa
Hatta menolak teori trickle-down effect karena dalam teori
ini rakyat hanya diberi rembesan (spill-over), dan ini berarti
posisi rakyat telah direduksi menjadi residual dan tanpa
rugi. Karena itu, kesejahteraan sosial dalam konsep Hatta
tidak terpisahkan dari keadilan dan kemakmuran pada
tataran ideologi kerakyatan.83
Dalam teori manfaat progresif yang dibangun oleh
Sarkar bahwa efisiensi berkeadilan yang mengarahkan pada
nilai kesejahteraan berarti memiliki kekhasan yaitu
ketercukupannya kebutuhan minimum, penguatan koperasi,
pengembangan industri, dan perancangan pembangunan.84
Teori ini didasarkan atas upaya menjamin terpenuhinya
lima kebutuhan dasar manusia, meyakini akan perlunya
penggunaan sumber daya yang secara maksimal dan
distribusi yang rasional, menjamin hak untuk bekerja
82
Menurut Hatta setiap orang boleh mempunyai milik, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Miliknya itu
terjamin, tidak boleh dirampas dengan semena-mena. Tetapi jika hak
miliknya tidak dipergunakan untuk kepentingan umum sedangkan
masyarakat menghendakinya, pemerintah berhak mempergunakannya
untuk itu, Mohammad Hatta, Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Penerbit
Mutiara, 1979). 83
Lihat Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan
Sosial dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez-Faire
(Jakarta: Perkumpulan Prakarsa, 2010). 84
Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on
Economic Liberation (India: Ananda Marga Publications, 1991).
43
sebagai suatu yang mendasar, membentuk moralitas
spiritualis untuk menuntun masyarakat ekonomi.85
Penguatan atas teori itu ditegaskan dalam sudut
pandang efisiensi berkeadilan yang diusung Swasono.
Konsep yang dibangunnya berdasarkan pada pandang
juridis formal, yaitu berangkat dari keyakinan bahwa
landasan hukum sistem ekonomi Pancasila adalah Pasal 33
UUD 1945, yang dilatar belakangi oleh jiwa Pembukaan
UUD 1945 dan dilengkapi oleh Pasal 23, 27 Ayat (2), 34
serta Penjelasan Pasal 2 UUD 1945. Orientasi teorinya juga
menghubungkan sila-sila dalam Pancasila sebagai landasan
sistem demokrasi di Indonesia.86 Nilai-nilai filosofis
efisiensi berkeadilan yang dibangun dalam satu kalimat
memberikan nilai kekuatan ekonomi Indonesia untuk tetap
berpijak pada kesejahteraan sosial. Pertama, perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Kedua, cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara. Ketiga, bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Keempat, perekonomian nasional diselenggarakan
85
PROUT terdiri dari progress (maju), unilization (pemanfaatan),
dan theory (teori). Progress pada semua bidang fisik dan spiritual.
Membangun kemajuan efisien dan efektif dengan tetap melihat dampak
atas kemajuan, seperti penemuan mobil. Namun, selalu disertai
kecenderungan lawannya, seperti polusi dan meningkatnya resiko luka
dan kematian karena kecelakaan. Lihat Sohail Inayatullah, Understanding
Sarkar: the Indian Episteme, Macrohistory and Transformative
Knowledge (Leiden: Brill, 2002). 86
Lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika: Mewaspadai
Globalisasi dan Pasar Bebas (Jogjakarta: Pusat Studi Ekonomi
Pancasila-UGM, 2010); Hadi Soesastro, Pemikiran dan Permasalahan
Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2005).
44
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
Efisiensi berkeadilan menunjukkan bahwa perilaku
ekonomi bangsa tidaklah boleh semata-mata
mempertimbangkan maksimalisasi keuntungan dan kepuasan
dari para pelaku ekonomi tetapi juga harus memperhatikan
kepentingan orang lain. terutama hak-hak setiap warga
negara untuk mendapatkan pekerjaan seperti yang terdapat
dalam pasal 27 ayat 2, sehingga mereka dapat hidup layak
dan sejahtera dengan hasil kerjanya (societal welfare),
bukan karena karitas dan atau jaminan serta santunan
sosial dari negara (welfare state) seperti dimungkinkan
juga oleh konstitusi yang terdapat dalam pasal 34 UUD
1945. Kelompok fakir miskin dan anak-anak terlantar yang
harus dibantu, adalah memang orang-orang yang belum
sempat diberi dan disediakan pekerjaan oleh negara.
Seperti diamanatkan dalam pasal 27 ayat 2. Jadi, dengan
dimasukan kata berkeadilan setelah kata efisiensi seperti
yang terdapat dalam pasal 33 ayat 4 tersebut, maka
individual preferences diubah menjadi social preference,
dan pareto efficiency yang statis diubah menjadi pareto
social-eficiency.87
87
Konsep tersebut mengubah paradigma efisiensi dalam ilmu
ekonomi digunakan untuk merujuk pada sejumlah konsep yang terkait
pada kegunaan pemaksimalan, serta pemanfaatan seluruh sumber daya
dalam proses produksi barang dan jasa, seperti pandangan Schultz yang
menyebutkan bahwa sebuah sistem ekonomi dapat disebut efisien bila
memenuhi kriteria berikut: (1) tidak ada yang bisa dibuat menjadi lebih
makmur tanpa adanya pengorbanan; (2) tidak ada keluaran yang dapat
diperoleh tanpa adanya peningkatkan jumlah masukan; (3) tidak ada
produksi bila tanpa adanya biaya yang rendah dalam satuan unit. Lihat
45
Penyatuan efisiensi berkeadilan dalam satu kalimat
untuk mentransformasi makna efisiensi pada tataran
ekonomi mikro maupun pada tataran ekonomi makro yang
terbentuk dalam nilai-nilai keadilan. Memberikan kekuatan
produktifitas selalu mengarah kepada kemas}lahatan
manusia secara menyeluruh, dan juga sekaligus
menekankan pentingnya efisiensi sosial.88 Dengan
demikian, nilai-nilai efisiensi berkeadilan juga bersama
dengan asas kekeluargaan, sebab tidak akan ada keadilan
tanpa berada dalam suasana kekeluargaan (ukhuwah
wathoniah). Tanpa adanya asas kekeluargaan maka keadilan
akan berarti perebutan, yang kuatlah yang akan menentukan
apa adil bagi si lemah, berlakulah di sini peradaban homo
homini lupus. Sebaliknya, dengan dalam masyarakat yang
melaksanakan asas kekeluargaan, keadilan akan terwujud
sendiri.89 Lain daripada itu, tetap harus diingat bahwa
asas kekeluargaan tidak bisa diganti dengan asas keadilan,
karena tidak akan ada keadilan yang genuine tanpa berada
dalam suasana kekeluargaan (ukhuwah wathoniah).
Swasono juga menguatkan konsep kebersamaan,
gotong royong, maju dan makmur bersama dengan teori
triple-Co yaitu Co-ownership (ikut serta dalam pemilikan
bersama), Co-determination (ikut memiliki dan ikut
menentukan kebijakan perusahaan), Co-responsibility (ikut
serta bertanggung jawab).90 Filosofis atas nilai-nilai
efisiensi berkeadilan sebagaimana dijelaskan dalam
landasan teori ini digunakan untuk menganalisis aktifitas
Walter J. Schultz, the Moral Conditions of Economic Efficiency
(London: Cambridge University Press, 2001). 88
Lihat Sri-Edi Swasono, Kembali ke Pasal 33 UUD 1945
Menolak Liberalisme. 89
Lihat Sri-Edi Swasono, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan. 90
Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial:
dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke The End of Laissez-Faire.
46
pengrajin-perajin songket pada wilayah produksi dan
distribusi dalam batasan studi, sehingga diketahui akar
penyebab, akibat dan solusinya melalui asas kebersamaan
dan kekeluargaan sebagai fondasi efisiensi berkeadilan.
Penguatan atas nilai-nilai tersebut didukung pula dengan
teori maqa>s}id shari>’ah. Teori ini penting untuk studi ini
sebab Chapra menilai efisiensi sumber daya dalam
perekonomian Islam ditentukan berdasarkan maqa>s}id.
Setiap penggunaan yang menggagalkan realisasi maqa>s}id
harus dipandang sebagai infesiensi (kesia-sian),91 penetapan
kesejahteraan dalam pembangunan ekonomi dalam Islam
harus bermuara kepada mas}lahat atau kebaikan, dan
kesejahteraan umat manusia untuk pemeliharaan lima
mas}lahat berdasarkan aturan shari‟ah.92 Dalam arti bahwa
konsep mas}lahat dalam bingkai terwujudnya tujuan
maqa>s}id shari>’ah bertujuan melindungi kemas}lahatan
manusia. Kemas}lahatan, dalam hal ini diartikan sebagai
segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia,
pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa
yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan
intelektual dalam pengertian yang mutlak.
Hak dasar kebutuhan ekonomi, sebagai kebutuhan
setiap individu warga masyarakat yang mesti diprioritaskan
pemenuhannya; hal tersebut juga merupakan kebutuhan
91
Muhammad Umer Chepra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah
Tinjuan Islam. 92
Ahmad Raisu>ni>, Nażariyat al-Maqa>sid ‘Inda al-Ima>m al-
S}atibi (Beiru>t: al-Ma‟had al-„Lami li al-Fikri al-Islami, 1995). Sebagai
perbandingan lihat Shaikh „Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni al-H}asani, al-
Ghunyah li T}a>lib T{a>riq al-Haqq fi> al-Akhla>q wa al-Tas}awwuf
wa al-Ada>b al-Isla>miyyah (Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, t.t., Juz I).
Lihat juga Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawa>id al-Ahka>m fi> Masa>lih
al-Ana>m (Kairo: al-Istiqa>mat, t.t); Hamka Haq, Al-Shat}}}ibi Aspek
Teologis Konsep Mas}lahah dalam Kitab al-Muwafaqat (Jakarta:
Erlangga, 2007).
47
akan barang dan jasa paling besar dari secara kuantitatif,
maka untuk itu juga diperlukan produksi yang besar pula;
sehingga hal tersebut akan meningkatkan demand atas
tenaga kerja, yang berarti akan mengurangi pengangguran.
Untuk membangun hal tersebut digunakan prinsip-prinsip
keadilan sosial dalam perspektif Islam yang meliputi:
Pertama, prinsip-prinsip keadilan sosial dalam kepemilikan.
Kepemilikan merupakan subjek penting dalam kerangka
keadilan ekonomi. Pengakuan atas hak kepemilikan adalah
prasyarat untuk berhubungan dalam melakukan transaksi
atas kekayaan.
Kedua, prinsip-prinsip keadilan sosial dalam
produksi. Kebutuhan dasar manusia terbentang dari
kebutuhan yang sifatnya individual (private goods) seperti
sandang, pangan dan papan, dan kebutuhan publik (public
goods) seperti pendidikan, kesehatan dan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Semua bentuk kebutuhan tersebut
merupakan sarana kehidupan yang tak terelakkan. Untuk
memastikan keseimbangan dua kebutuhan tersebut,
penggunaan, penguasaan dan faktor-faktor produksi, serta
proses produksi harus berada dalam kerangka keadilan.
Ketiga, prinsip-prinsip keadilan dalam konsumsi. Keadilan
ekonomi dalam Islam tidak menghendaki dan mengakui
pola konsumsi yang murni materialistik.93 Perilaku
konsumsi harus berpijak pada prinsip keselamatan, yakni
sustainability dan investasi masa depan secara kontinyu.
Keempat, prinsip-prinsip keadilan dalam distribusi dan
redistribusi. Distribusi sebagaimana dirujuk dalam Islam
merupakan landasan pentingnya peredaran harta, kekayaan
dan pendapatan agar tidak terkonsentrasi di tangan orang-
orang tertentu yang sudah kaya atau berkecukupan secara
93
Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economics: Theory and
Practice.
48
ekonomi (QS. al-Hashr [59]: 7). Kelima, prinsip-prinsip
keadilan dalam peran pasar dan negara. Dari sudut pandang
legitimasi, prinsip Islam secara tegas mengundang peran
negara dalam menata dan menegakkan keadilan sosial-
ekonomi.
Tujuan penerapan prinsip-prinsip keadilan tersebut
dalam aktivitas ekonomi adalah untuk mencapai
kesejahteraan baik pada tingkat individu maupun kolektif,
yang indikatornya bebas dari kemiskinan, memelihara harga
diri (tidak mengemis) dan kemuliaan (bebas dari jeratan
hutang). Upaya menjaga rasa keadilan dan menerapkan
prinsip-prinsip keadilan dalam rangka menuju
kesejahteraan melahirkan sejumlah implikasi dalam proses
pelembagaannya melalui: (1) penumbuhan nilai-nilai
keadilan sebagai motif bertindak dalam aktivitas ekonomi;
(2) perwujudan kebaikan dan kewajiban-kewajiban agama
dalam aktivitas ekonomi; (3) penegakan suatu sistem
manajemen sosial-ekonomi yang berkeadilan, manusiawi,
dan ramah lingkungan; dan (4) implementasi peran
pemerintah dalam menjalankan sistem politik dan kebijakan
yang adil dan mensejahterakan untuk semua.94
Teori kedua adalah maqa>s}id shari>’ah sebagai
dasar dalam menguatkan konsep efisiensi berkeadilan yang
merupakan akar ekonomi Islam. Menurut al-Sya>t}ibi>,
bahwa nilai-nilai yang dibangun dalam maqa>s}id
shari>’ah adalah kemas}lahatan dunia dan akhirat untuk
lima hal pokok yang tercakup dalam al-d}aru>riya>t al-
94
M. Umer Chapra, the Future of Economics: an Islamic
Perspektif; Hilad Jone, Strategic Management: an Integrate Approach;
Ali Abdul Rasul, Maba>di al-Iqtis}a>di fi> al Isla>m wa al-Iqt}as}a>di
li ad-Daulah al-Isla>miyah.
49
khams.95 Lima hal tersebut adalah agama (al-di>n), jiwa
(al- nafs), akal (al-‘aql), keturunan (al-nasl) dan harta (al-
ma>l).96 Dalam studi ini untuk melakukan komparasi atas
teori efisiensi berkeadilan sekaligus membedah aktifitas
pengrajin dan perajin songket Palembang dalam memaknai
konsep-konsep yang berkembang dalam nilai-nilai
perekonomian Islam.
D. Metodologi
Penelitian ini adalah fundamental research97 dengan
menggunakan pendekatan penelitian induktif yang
bertujuan mengembangkan (generating) teori, dan
menemukan teori (grounded theory)98 yang berkenaan
dengan konsep efisiensi berkeadilan. Untuk mencapai
konsep efisiensi berkeadilan dilakukan pendekatan adaptif
yang berusaha melakukan penyesuaian diri berdasarkan
kondisi setempat seperti gagasan sosialisme Islam,
sosialisme kerakyatan, dan sosialisme demokrasi.99 Sumber
95Wahbah al-Zuhaili, Usu>l al-Fiqhi al-Isla>mi>
(Damaskus: Dar al Fikr, 1986), jld. 2; Muhammad Khali>d Mas‟u>d,
Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Surabaya: Al Ikhlas, 1995). 96
Abu Ishaq Syathibi. al-Muwa>faqāt fi> Us}ūl al-Shari>’ah.
jilid II. (Beirut: Da>r al-Ma‟rifah, 1973).
97
Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian dibagi dua
yaitu: penelitian dasar (fundamental research) dan penelitian terapan
(applied research). Jenis penelitian dasar adalah penelitian yang
bertujuan untuk mengembangkan teori. Lihat Muhammad Nazir, Metode
Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003). 98
Sekaren, Research Method for Business: a Skill Building
Approach (New York: John Wiley and Sons, Inc., 1992). Lihat juga Nur
Indriantoro dan Bambang Supomo, Metodologi Penelitian Bisnis untuk
Akuntansi dan Manajemen (Yogyakarta: BPFE-UGM, 2002). 99
Volker Nienhaus, “Islamic Economic, Finance and Banking,
Theory and Practice in Islamic Banking and Finance, edited by
Butterworth Editorial Staff, (London: Butterworth, 1986). Menurut
50
data penelitian ini adalah (1) berbagai teoritisasi yang
berkenaan dengan nilai-nilai efisiensi berkeadilan; (2) hasil
kajian terhadap para pengrajin dan perajin usaha songket
Palembang yang menjadi responden baik melalui observasi
maupun wawancara mendalam.
Responden penelitian ini adalah para pengrajin dan
perajin songket Palembang. Secara umum pengrajin dan
perajin songket menyebar di seluruh desa wilayah
kabupaten kota di Sumatera Selatan. Untuk itu batasan
wilayah sampel (area sampling) hanya difokuskan di
tempat-tempat yang diidentifikasikan sebagai wilayah
mayoritas berdomisili para pengrajin dan perajin, yaitu (1)
Ki Rangga Santika Tangga Buntung, Kecamatan Ilir Barat
II dan Di wilayah Kecamatan Ilr Barat I Palembang. (2)
daerah Seberang Ulu Palembang, dan (3) desa Tanjung
Laut, Tanjung Pinang dan Limbang Jaya Kecamatan
Tanjungbatu, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera
Selatan.100 Responden yang masuk dalam wilayah tersebut
Volker Nienhaus ada empat pendekatan utama dalam kajian mengenai
ekonomi Islam yaitu: Pertama, pragmatis; kecenderungan ini ditandai
dengan penolakan ideologi-ideologi ekonomi yang diikuti dengan upaya
mencampur berbagai gagasan dan teori yang dianggap paling praktis untuk
dilaksanakan. Kedua, resitatif; pendekatan yang mengacu pada teks ajaran
Islam, pendekatan ini mengacu pada hukum fikih, teologi, etika ekonomi.
Ketiga, pendekatan utopian dikembangkan dengan merumuskan model
manusia yang selanjutnya dikembangkan model masyarakat yang dicita-
citakan. Keempat, adaptif yang berusaha melakukan penyesuaian diri
berdasarkan kondisi setempat dan sejarah masing-masing umat Islam,
seperti gagasan sosialisme Islam; sosialisme kerakyatan; sosialisme
demokrasi. Lihat juga M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi
(Surabaya: Risalah Gusti,1999). 100
Pengungkapan kata “identifikasi” disebabkan tidak adanya
data kongkret jumlah masing-masing wilayah fokus kajian. Data-data
yang dimunculkan berdasarkan hasil observasi yang sering muncul nama
wilayah-wilayah tersebut ketika ditanya produksi hasil pada distribusi
songket Palembang. Data jumlah pengrajin berdasarkan penghitungan
51
menjadi fokus pengambilan data wawancara dengan
menggunakan metode snowball sampling.
Dalam menggali efisiensi berkeadilan pada usaha
songket Palembang dilakukan dengan pendekatan
konseptual (conceptual approach) dan pendekatan
perbandingan (comparative approach). Pendekatan
konseptual berkenaan dengan efisiensi dalam penggunaan
kapital, hak dan kewajiban bersama, sistem nilai, dan
kebersamaan peluang dari aspek kemitraan, bantuan, dan
pengembangan Sumber Daya Manusia dari konsep
kapitalis, ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam.
Pendekatan perbandingan (comparative approach) dalam
penelitian ini menggunakan komparasi mikro101 untuk
menilai efisiensi yang dibatasi pada teori efisiensi
berkeadilan dan teori maqa>s}id shari>’ah. Hasil kedua
pendekatan dinilai dari usaha songket Palembang pada
wilayah produksi dan distribusinya dalam batasan studi ini.
Pengumpulan data dilakukan dengan penelaahan
pustaka berkisar pada teori, efisiensi berkeadilan dalam
berbagai konsep ekonomi. Untuk menilai efisiensi
berkeadilan pada usaha songket Palembang sebagai objek
penelitian digunakan beberapa tahapan, yaitu: Pertama,
tahap observasi dengan mendatangi langsung sentra-sentra
usaha di wilayah responden yang telah ditentukan,
mengamati keadaan dan aktifitas orang-orang yang terlibat
dalam proses pembuatan songket, mencatat kejadian-
kejadian yang nampak terutama ekspresi saat menjawab
dari daftar nama-nama yang diinventarisir Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Koperasi (DesPerinDagKop) Kota Palembang tahun
2009-2010 yang menyebutkan bahwa di wilayah Sumatera Selatan sudah
ada 660 unit usaha songket, dengan jumlah 3.760 sampai 4000 pengrajin-
perajin. 101
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif (Surabaya: Bayumedia Publishing, 2006).
52
spontan beberapa pertanyaan peneliti. Sebelum peneliti
melakukan penelitian dengan fokus kajian ini, peneliti telah
melakukan studi terhadap aktifitas kerajinan songket di
Palembang diantaranya: (1) Usaha Songket dan Jumputan
Palembang dalam Perspektif Fiqh Muamalah; (2)
Efektifitas Akte di Bawah Tangan dalam Produksi dan
Distribusi Usaha Songket Mustika Mandiri Palembang.
Khusus untuk sejarah kain songket telah diteliti sebelumnya
dengan judul Etnografi Kain Songket Palembang. Dengan
demikian, peneliti sudah memiliki pengetahuan awal yang
cukup mendalam tentang sejarah dan dinamika pengrajin
dan perajin songket di Palembang. Sedangkan yang
berkaitan dengan responden dan informan penelitian,
peneliti tidak mengalami kesulitan dengan pengrajin dan
perajin songket, di mana peneliti sendiri tim pakar gender
Kementrian Pendidikan Nasional Provinsi Sumatera Selatan
(2004-2010) yang setiap pelatihan berhubungan dengan
narasumber dan peserta dari kepala sekolah, guru,
stakeholder yang juga pengrajin, ataupun pengggiat usaha
mikro dan kecil pada usaha songket maupun yang tinggal
disekitar lingkungan usaha songket. Dengan demikian,
peneliti telah memiliki modal yang memadai untuk
berhubungan dengan mereka, baik dalam konteks
kepentingan wawancara, maupun yang berkaitan dengan
observasi. Namun demikian sebagai seorang peneliti tetap
menjaga jarak yang memungkinkan terjadi bias dalam
menerima informasi.
Dalam tahapan observasi, peneliti telah melakukan
aktifitas observasi sejak 2007, dua tahun sebelum peneliti
diterima program doktor di sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
diantaranya hadir beberapa kali sebagai partisipan dalam
pelatihan manajemen sederhana Usaha Mikro Kecil dan
Menengah yang diselengarakan Kementrian Perindustrian
53
dan Perdagangan, dan nara sumber penggiat
pengarusutamaan gender untuk wilayah Sumatera Selatan.
Selama masa pelatihan, peneliti sudah mendapatkan info
awal dari peserta yang berkenaan dengan problematika
usaha songket di Sumatera Selatan. Kelanjutan observasi
juga digunakan dalam proses penelitian disertasi
berlangsung untuk memperoleh data tentang hal-hal, yang
karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek
penelitian secara terbuka dalam wawancara. Kedua,
wawancara dengan responden seputar produksi dan
distribusi dalam batasan studi ini baik secara langsung yang
direkam lewat media MP4, tape recorder, maupun jawaban
tertulis. Ketiga, dokumentasi yang berhubungan dengan
usaha songket Palembang, baik dalam bentuk poto,
manuskrif dan buku yang diterbitkan pengrajin songket.
Validitas data dilakukan dengan trianggulasi sumber dan
teori.
Secara umum wilayah observasi dibagi dalam 3
kelompok yang disimpulkan selama masa observasi dan
wawancara dengan ciri khas masing-masing. Pertama,
kelompok wilayah kecamatan Ilir Barat I Palembang
adalah: (1) kelompok pengrajin dan perajin yang memiliki
usaha dekat dengan instansi pemerintah yang cepat
mendapatkan akses informasi; (2) kelompok ini lebih
kreatif; (3) memiliki buku tentang sejarah songket; (4) tidak
terlalu bersentuhan dengan rumah-rumah penduduk, sebab
mereka terkoordinir dalam sentra-sentra kerja yang jarak
tinggal berjauhan; (5) antusias menjawab pertanyaan,
terbuka dan berwawasan.
Kedua, kelompok Wilayah Kecamatan Ilir Barat II
(wilayah sekitar Ki Rangga, Tangga Buntung). (1)
pengrajin dan perajin sebagian menerima dengan baik pada
masa wawancara, sebagian terkesan acuh dan tidak respon.
Hal ini terkait dengan kebosanan dengan berbagai
54
wawancara dan publikasi yang tidak pernah mereka rasakan
hasilnya; (2) aktifitas kerja berbagai bentuk. Sebagian
bekerja di rumah dan bertransaksi jual beli dirumah,
sebagian memiliki toko atau butik yang berhubungan
dengan rumah dan tempat bertenun, sebagian membentuk
kelompok-kelompok sentra pada masing-masing keahlian
(pada tenun, dan pemintalan benang); (3) lebih banyak
membanggakan bantuan pemerintah yang diterima; (4)
lebih banyak membanggakan jaringan dan tamu yang
berbelanja; (5) tertutup dalam memberikan info prosedur
mendapatkan bantuan dari BUMN.
Ketiga, kelompok Wilayah Seberang Ulu I
Palembang adalah: (1) aktifitas harian berkisar pada proses
tenun songket; (2) kreatifias menunggu pesanan; (3) terbuka
dalam menjelaskan proses usaha, namun tertutup masalah
jaringan kemitraan usaha; (4) aktifitas kerja banyak di
rumah; (5) bersentuhan dengan aktifitas masyarakat sekitar;
(6) lebih banyak mengeluh persoalan bantuan pemerintah.
Keempat, kelompok pengrajin dan perajin wilayah
Kabupaten Ogan Ilir (1) terbuka dengan pendatang yang
mewancarai berkenaan dengan hasil usaha kerja tenun
songket; (2) aktifitas komunikasi perempuan menunggu
masa senggang; (3) menenun di rumah-rumah dengan
kapasitas tempat terbatas; (4) tidak terlalu banyak
menuntut, sebab kesadaran mereka rendahnya pengetahuan
yang berkenaan dengan kinerja usaha yang baik; (5)
penjualan dengan sistem menunggu pembeli atau dibawa ke
pasar oleh keluarga penenun; (6) tertutup pada masalah-
masalah yang berkenaan dengan kebersamaan dalam
kemitraan usaha; (7) lebih banyak berkomunikasi dengan
“pengumpul”.
Analisis data adalah analisis kualitatif dengan
menggunakan grounded theory research dengan cara yaitu:
(1) mengumpulkan data untuk menyusun/menemukan suatu
55
teori baru. (2) berkonsentrasi pada deskripsi yang rinci
mengenai sifat atau ciri dari data yang dikumpulkan untuk
menghasilkan pernyataan teoritis secara umum. (3) menilai
jalinan hubungan antara realitas lapangan pada usaha
kerajinan songket Palembang, kemudian mengujinya
dengan teoritisasi efisiensi berkeadilan yang didapat. (4)
didasarkan dari akumulasi data yang telah di dapat, peneliti
mengembangkan suatu teori baru dalam konstruk efisiensi
berkeadilan.
EFISIENSI BERKEADILAN
DALAM PERKEMBANGAN PEMIKIRAN
EKONOMI
Bab ini dikaji dalam menilai konsep efisiensi berkeadilan
pada aspek produksi dan distribusi dalam pemikiran
ekonomi kapitalis, ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam.
Selanjutnya dilakukan perbandingan pemikiran ketiganya.
Penilaian dan perbandingan tersebut ikut memperkuat
teoritisasi akar munculnya efisiensi berkeadilan dalam
amandemen pasal 33 UUD 1945. Hasil kajian bab ini
menjadi penting untuk menilai implementasi konsep
efisiensi berkeadilan pada ranah usaha mikro dan kecil
dengan fokus usaha songket Palembang.
A. Ekonomi Kapitalis Pertanyaan dasar sub ini adalah bagaimana efisiensi
berkeadilan dalam hal produksi dan distribusi. Aspek
produksi yang meliputi (1) bagaimana pendayagunaan
kapital1 dalam membangun, menguatkan dan meningkatkan
1Kapital dalam studi ini adalah faktor produksi buatan manusia
seperti mesin dan pabrik yang dipergunakan untuk memproduksi barang
lain. Lihat Tony Hartono, Mekanisme Ekonomi, dalam Konteks Ekonomi
Indonesia (Bandung: Rosda Karya, 2006). Penjelasan lebih luas dapat
pula dilihat dalam Winardi, Kamus Ekonomi (Bandung: Alumni, 2000);
Kedua
57
58
barang dan jasa secara efisien untuk mencapai
kemakmuran; (2) nilai kebebasan berusaha dan
berkreatifitas; (3) hak dan kewajiban. Dari aspek distribusi
ditekankan pada kemitraan. Menjawab hal tersebut dikaji
lewat dua tokoh pemikir kapitalis yaitu Adam Smith dan
Vilfredo Pareto.2 Adam Smith merupakan pelopor sistem
kapitalisme,3 sedangkan pareto merupakan salah seorang
ekonom modern dalam barisan kynesian yang sangat
mashur di Amerika.4
Dua tokoh tersebut merupakan representasi utama
konsepsi ekonomi kapitalisme, yang dibuktikan dengan
banyaknya ekonom dewasa ini yang berpijak pada
pemikiran kedua tokoh tersebut. Diantaranya Walt W.
Rostow5, Evsey Domar dan Roy Harrod yang dikenal
Bas van Leeuwen, Human Capital and Economic Growth in India,
Indonesia, and Japan: a Quantitative Analysis, 1890-2000 (The
Netherlands: Universiteit Utrecht, 2007). 2G. Eisermann. "Pareto, Vilfredo (1848-1923)", International
Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences, 2001. Vilfredo
Pareto; Hans L Zetterberg, the Rise and Fall of Elites: an Application of
Theoretical Sociology (New Brunswick, N.J.: Transaction Publishers,
1991). 3Lihat Jhon Rae, Life of Adam Smith, 2006; Lihat juga
Baharuddin, Negara dan Sistem Perekonomian dalam Pemikiran Ibnu
Taimiyah dan Adam Smith (Mataram, Yayasan Cerdas Press, 2006). 4Lihat Michael Szenberg; Aron A. Gottesman; Lall Ramrattan,
Paul A. Samuelson: on Being an Economist (New York: Jorge Pinto
Books, 2005); Paul Anthony Samuelson; William D Nordhaus,
Economics (Boston, Mass.: McGraw-Hill/Irwin, 2001). 5Walt. W. Rostow, ”the Stages of Economic Growth: a Non
Communist Manifesto”, dalam Guide to Sustainable Development and
Environmental Policy, N S Mirovitskaia; William Ascher eds.
(Durham: Duke University Press, 2001); lihat juga Johan Norberg, in
Defense of Global Capitalsm (Washinton: Cato Intitute, 2001); Jonathan
Porritt, Capitalism as If the World Matter (London: Cromwell Press,
2007).
59
Harrod-Domar6, Nicolas Barr dalam Economics of the
Welfare State (2004), Pindyck dan Rubinfeld dalam
Microeconomics (2008), serta beberapa tokoh ekonomi
kapitalis kontemporer lainnya yang menjadi rujukan studi
ini. Sebagai dasar awal, sistem ekonomi kapitalis
merupakan sistem sosial yang lahir dari relasi hubungan
produksi dan tenaga produktif, sekaligus sebagai respon
atas perdebatan klasik antara kaum merkantilisme dan kaum
fisiokrat tentang upaya meningkatkan kekayaan.7
Hak milik atas barang modal atau alat-alat produksi
lain seperti tanah, mesin dan sebagainya akan efektif bila
berada dan dipergunakan melalui tangan perorangan. Setiap
6Lihat K. R. Gupta, Economics of Development and Planning:
History, Principles, Problems and Policies (New Delhi : Atlantic
Publishers and Distributors, 2009); lihat juga Kaushik Basu, Analytical
Development Economics: the Less Developed Economy Revisited
(Cambridge: MIT Press, 2003). 7Menurut kaum merkantilisme, kekayaan negara akan meningkat,
jika negara menjual (mengekspor) lebih banyak daripada membeli
(mengimpor), di samping itu sistem perekonomian yang terbaik adalah
suatu sistem perekonomian di mana negara harus melakukan campur
tangan seluas-luasnya terhadap dunia usaha dan perdagangan luar negeri.
Tokoh merkantilisme diantaranya Montchreten (1575-1621), Edward
Misselden (1608-1654), dan Thomas Mun (1571-1641). Sementara kaum
fisiokrat berpendapat bahwa kekayaan negara bisa meningkat, jika negara
mengembangkan basis perekonomiannya pada pertanian. Di antara pokok
pikiran fisiokrat yang dalam perkembangannya menjadi dasar liberalisme
adalah kebebasan ekonomi, yakni bebas dari segala macam kontrol akan
mengakibatkan terciptanya masyarakat yang makmur dan teratur. Tokoh
fisiokrat diantaranya Francois Quesnay, Barthelemy de Laffemas (1545-
1611), Antoine deMontchretien (1575-1621), Jean Baptiste Colbert
(1619-1683), Marshal Vauban (1633-1707), Pierre le Pesant de
Boisguilbert (1646-1714). Lihat Jean F. Lyotard, the Postmodern
Condition (USA: Manchester University Press, 1984); perbandingan lihat
Yunan Labib Rizq, Urubbah fi> ‟asr al-Ra‟sumaliyah (Kairo: Dar al-
Thaqafah al-Arabiyah, 2000); Deliarnov, Ekonomi Politik (Jakarta:
Gelora Aksara Pratama, 2006); Alan Greenspan, Abad Prahara: Ramalan
Kehancuran Ekonomi Dunia Abad ke-21 (Jakarta: Gramedia, 2007).
60
orang (individu) berhak dan bebas menggunakan,
mengembangkan dan mencari keuntungan dari modal yang
dimiliki untuk berusaha melakukan aktivitas ekonomi
melalui berbagai produksi, dan negara tidak boleh ikut
campur dalam semua aktivitas ekonomi yang bertujuan
mencari keuntungan (profit).8 Artinya, keabsahan efisiensi
sebuah aktifitas usaha dalam mencapai keuntungan
diperbolehkan selama aktivitas kegiatan tersebut sesuai
dengan peraturan yang ditetapkan negara. Sehingga
pembangunan sebagai sebuah proses mencapai kemajuan
kehidupan masyarakat. diukur dengan kemajuan material.9
Upaya mencapai kepuasaan diri melalui tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menjadi ciri pokok
kehidupan di seluruh dunia, dan konsumsi barang menjadi
sumber kenikmatan yang paling besar, sekaligus menjadi
8Deborah Waynes, ”Management of the United Nations Laissez-
passer”, Articel 11.2 of Justatute (Geneva: United Nations, 2005); Hayek,
“Price Expectations, Monetary Disturbances, and Malinvestments,”
dalam Profits, Interest, and Investment (New York: Augustus M. Kelley,
1975). Dalam buku Wilber Moore, Economy and Society (Random
House, 1955) yang meminjam dari buku besar Max Weber sosiolog
Jerman, Wirtschaft and Gesellschaft atau Economy and Society
(Tubingen, JCB Hohr, 1910) jelas bahwa ekonomi dianggap wilayah kecil
yang merupakan bagian dari wilayah besar masyarakat. Dengan
perkembangan masyarakat yang makin komplek, kehidupan ekonomi
menjadi makin penting dan lama-kelamaan dalam sistem (ekonomi)
kapitalisme seakan-akan menjadi jauh lebih penting ketimbang
masyarakat sendiri. Lihat Mubyarto, a Development Alternative for
Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002). Lihat juga
Nabil Abdul Salam Shakir, “al-Fasl al-Ma>li Li al Masru>‟at (al-
Sakhshiah-al Tan‟bi>u-al I‟laju-minha>j al-Tahli>l),” artikel diakses
pada 5 Mei 2010 dari www.kotubaria.com, 2006. 9T.S. Kuhn, 1996, the Structure of Scientific Revolutions, 7rd Ed.
(Chicago: The University of Chicago Press, 2001). Pemahaman terhadap
pembangunan dikaji pula dalam Muhammad ibn Ahmad al-Ansho>ri al-
Qurtu>bi, al-Ja>mi‟ah li Ahka>m al-Qur‟a>n, juz. 33 (Beirut: Da>r al-
Qutb al-„Ilmiyya, 1993).
61
tolak ukur manusia yang paling tinggi.10 Bergunanya suatu
barang merupakan syarat mutlak bagi berlakunya nilai
tukar.11
Pembahasan kategori pertama yang disebut nilai
guna (utility value) dalam kapitalisme diwakili oleh
pandangan teori kepuasan batas atau teori kepuasan akhir
(marginal satisfaction theory). Teori kepuasan batas
(marginal satisfaction theory) atau guna marginal
(marginal utility), ialah kepuasan atau nilai kegunaan yang
diperoleh seseorang (konsumen) dari mengkonsumsi unit
terakhir barang yang dikonsumsinya.12 Nilai guna yang
menjadi pandangan kapitalisme ini juga disebut “nilai
subyektif” karena sifatnya yang sangat subyektif bagi setiap
individu. Dalam pengukuran nilai guna, diasumsikan bahwa
tingkat kepuasan seseorang dapat diukur. Sedangkan satuan
ukur untuk mengukur kepuasan seseorang disebut util
(satuan kepuasan).13
Berdasarkan hal tersebut maka efisiensi nilai guna
suatu barang dan jasa dalam kapitalisme ditentukan oleh
penilaian subyektif individu dari satu unit atau beberapa
unit barang yang dikonsumsinya pada saat mencapai
kepuasan maksimum. Dengan demikian berdasarkan
10
Jhon K. Galbraith, the New Industrial State, 5th edition (New
York: New American Library, 2000). Lihat juga M. Umer Chapra, al-
Qur‟an Menuju Sistem Moneter yang Adil (Yogyakarta: Dana Bakti
Prima Yasa, 2003). 11
Joseph Francis Zimmerman, Interstate Economic Relations
(Albany: State University of New York Press, 2004). Lihat juga Anthony
James Gregor, et al, Ideology and Development (Berkeley: Inst. of East
Asian Studies, Univ. of Calif., Center for Chinese Studies, 1981); Mark
Blaug,Who's Who in Economics (Cheltenham: Elgar, 2003). 12
Soediyono Reksoprayitno, Ekonomi Makro: Analisis Islam dan
Permintaan-Penawaran Agregatif (Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi, 2000). 13
Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi
Alternatif: Perspektif Islam.
62
“hukum guna batas yang semakin menurun”, pada titik
tertentu nilai guna suatu barang menurun, pada titik tertentu
pula suatu barang tidak dianggap berguna bagi individu,
dan bahkan pada titik negatif barang tersebut dianggap
sama sekali tidak berguna. Dari teori ini diketahui bahwa
seorang individu dituntut mengkonsumsi barang sebanyak-
banyaknya sampai batas kepuasan maksimum, bukan
sampai batas sesuai kebutuhan. Nilai tukar (exchange
value) didefinisikan sebagai kekuatan tukar suatu barang
dengan barang lainnya atau nilai suatu barang yang diukur
dengan barang lainnya.14 Sedangkan, untuk mencapai
mekanisme pertukaran yang sempurna atau untuk
menghindari kesulitan penaksiran nilai tukar suatu barang
terhadap barang lainnya, maka harus ada alat tukar (medium
of exchange) yang menjadi ukuran bagi semua barang dan
jasa.
Nilai uang merupakan alat tukar yang memudahkan
transaksi. Pertemuan antara uang dengan barang yang
dinilai dengan sejumlah uang disebut harga (price). Jadi,
harga merupakan sebutan khusus nilai tukar suatu barang.
Atau dapat dikatakan perbedaan antara nilai tukar dengan
harga, adalah nilai tukar merupakan penisbatan pertukaran
suatu barang dengan barang-barang lainnya secara mutlak,
sedangkan harga merupakan penisbatan nilai tukar suatu
barang dengan uang. Sistem ekonomi yang
mengoperasionalkan dasar-dasar itu adalah ekonomi dengan
persaingan bebas, yang diatur oleh tangan yang
tersembunyi. Proteksi dalam berbagai kegiatan ekonomi
ditiadakan, monopoli dihapuskan, dan setiap orang tahu apa
yang terbaik untuk dirinya dan apa yang sebaiknya
14
Peter McLaren, Capitalists and Conquerors: a Critical
Pedagogy Against Empire (Lanham, MD: Rowman and Littlefield
Publishers, 2005); Anthony Cutler, Marx's 'Capital' and Capitalism
Today (London: Routledge, 1978).
63
dipertukarkan bagi orang lain, sehingga kekayaan bangsa
dapat meningkat.15
Teori nilai yang digunakan Adam Smith adalah teori
biaya produksi, walaupun semula dia menggunakan teori
nilai tenaga kerja. Barang mempunyai nilai guna dan nilai
tukar. Biaya produksi menentukan harga relatif barang,
sehingga tercipta dua macam harga, yakni harga alamiah
dan harga dasar. Dalam jangka panjang harga pasar akan
cenderung menyamai harga alamiah.16 Namun tidak
demikian, dengan teori nilai tersebut, timbul persoalan
diamond-water paradox, yaitu sebuah pertanyaan dasar
“efisienkah komoditas pokok dihargai murah, sedangkan
barang yang tidak pokok dihargai begitu mahal?”.
Rintisan teori produksi dan distribusi fungsional
Adam Smith tersebut berpijak pada sumber kekayaan
bangsa adalah kapital, tenaga kerja yang keterampilannya
berbeda-beda dan modal. Kapital memiliki berbagai makna,
dalam abad ke-16 dan 17 istilah "kapital" dipergunakan
untuk menunjuk kepada (1) stok uang yang akan dipakai
untuk membeli komoditi fisik yang kemudian dijual guna
15
Maurice Allais, “The General Theory of Surplus as a
Formalization of the Underlying Theoritical Thought of Adam Smith, His
Predecessors and His Contemporaries,”. Beberapa kajian terkait dengan
penolakan pemikiran Laissez-Faire dalam konteks Indonesia dapat dilihat
Sri-Edi Swasono, Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Liberalisme
(Jakarta: Yayasan Hatta, 2010); LAN, Beberapa Catatan Kecil
Menyongsng dan Melewati 2004: Fokus dan Solusi Menuju Terwujudnya
Good Governance (Jakarta: LAN, 2003); Hadi Susastro, Pemikiran dan
Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir:
1959-1966 (Jakarta: Kanisius, 2005). 16
James M. Buchanan, ”The Supply of Labour and Extent of the
Market,” dalam Adam Smith‟s Legacy: His Place in the Development of
Modern Economics, ed. Michal Frey (London: Taylor and Francis e-
Library, 2005). Lihat lebih luas penjelasan Rima, Inggrid H, eds.
Devolopment of Economics Analysis (London: Routledge, 2001); Murray
N. Rothbard, Classical Economics (Hants.: Edward Elgar, 1995).
64
memperoleh keuntungan, atau (2) stok komoditi itu sendiri.
Pada waktu itu, istilah stock dan istilah kapital sering
dipakai secara sinonim. Pembedaan ini didasarkan atas
kriteria sejauh mana suatu unsur modal itu terkonsumsi
dalam jangka waktu tertentu (misal satu tahun). Jika suatu
unsur modal itu dalam jangka waktu tertentu hanya
terkonsumsi sebagian, sehingga hanya sebagian (kecil)
nilainya menjadi susut, maka unsur itu disebut fixed kapital
(misal mesin, bangunan, dan sebagainya). Tetapi jika unsur
modal terkonsumsi secara total, maka ia disebut circulating
kapital (misal tenaga kerja, bahan mentah dan sarana
produksi).17
Dalam perspektif kapitalis, kapital bukanlah sekedar
uang untuk membeli barang-barang yang digunakan untuk
produksi. Kapital adalah continous transformation dari
Money-Commodity-Money (MCM). Jadi, ia adalah proses
repretitif dan ekspansif. Proses ini dilakukan lewat
organisasi perdagangan dan produksi. Keberadaan fisik dari
kapital justru merupakan kendala yang mesti dihilangkan
dengan mengkonversi komoditi kembali menjadi uang.
Meski komoditi ini dijual, uang yang dihasilkan tidak
dianggap sebagai produk atau hasil akhir, namun harus
dilihat sebagai sebuah tahapan dari siklus yang tak berakhir.
John Stuart Mill dalam Principle of Political Economy
(1848) menggunakan istilah "kapital" dengan arti: (1)
barang fisik yang dipergunakan untuk menghasilkan barang
lain, dan (2) suatu dana yang tersedia untuk mengupah
buruh. Pada akhir abad ke-19, modal dalam arti barang fisik
17
Nicolas Barr, Economics of the Welfare State. Lihat juga
Ah mad ibn Muhammad T ah a>wi> dan Jeanette A Wakin, the Function of
Documents in Islamic Law: the Chapters on Sales from T aha>wi's
Kita>b al-Shuru>t al-Kabi>r (Albany: State University of New York
Press, 1972). Bandingkan dengan Muhammad Hilmi Murod, Ma>lia al-
Daulah, www. kotobarabiah.com, 2000; Mahrus Husen, Ida>rah al-
Mansyaa>t al-Ma>liyah, www. kotobarabiah.com, 2001.
65
yang dipergunakan untuk menghasilkan barang lain,
dipandang sebagai salah satu di antara empat faktor utama
produksi (tiga lainnya adalah tanah, tenaga kerja, dan
organisasi atau managemen). Para ahli ekonomi neo-klasik
pun menggunakan pandangan ini, seperti Hiks dalam Value
and Kapital (1939), Marshall dalam Principles of
Economies (1891), dan Pareto dalam buku Manuel d‟
Economie Politique (1909).18
Manusia memiliki dorongan akan prestige dan
distinction. Dorongan untuk memperoleh prestige objects
meskipun perlu, bukanlah kondisi yang suffient bagi
dorongan akan kapital (wealth). Prestige dan distinction
memperbesar dan memberikan status bagi pemiliknya,
namun ia belum tentu memberikan kemampuan memaksa
kepada orang lain. Kapital dalam konsep kapitalis berbeda
dari prestige goods, karena pemiliknya mempunyai
kemampuan untuk mengarahkan dan memobilisasi aktivitas
masyarakat, meskipun ia mungkin tidak memiliki reputasi
atau otoritas politik, kapital adalah power. Dilihat dari
aspek kemunculan dan pertumbuhannya yang berhubungan
dengan kapital, maka kapitalisme adalah bentuk sosial
dimana di dalamnya akumulasi kapital menjadi dasar
organisasi dalam kehidupan sosio-politik. Akumulasi
kapital sendiri adalah proses sosial yang berkesinambungan
dari money to commodity to money yang lebih besar lagi
(M-C-M) yang didasari oleh kehendak individu untuk
mengakumulasi wealth yang menjadikannya memiliki
power, prestige dan dictinction sekaligus.19
18
Penjelasan lebih luas lihat Soemitro Djojohadikusumo,
Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1991). 19
Edward Wayne Younkins, Capitalism and Commerce:
Conceptual Foundations of Free Enterprise (Lanham: Md. Lexington
Books, 2002); Jerry Z. Muller, The Mind and The Market: Capitalism in
Modern European Thought (New York: Alfred A. Knopf, 2002). Lihat
66
Dengan demikian, kapital adalah suatu konsep
abstrak yang manifestasinya dapat berupa barang atau uang
dan tidak cukup diterangkan hanya dengan satu definisi.
Konseptualisasi Marx mengenai kapital, dijabarkan secara
sederhana dalam enam butir pokok berikut ini seperti
dikutip oleh Bottomore, yaitu: Pertama, transformasi uang
menjadi modal berjalan melalui proses tertentu, terdiri dari
dua rangkaian transaksi dalam suasana sirkulasi, yaitu: (1)
menjual komoditas (K) dan uang yang diterima (U) dipakai
untuk membeli komoditas lain; dan (2) membeli komoditas
untuk kemudian dijual lagi (secara bagan: K-U-K; dan U-
K-U). Kedua, dalam rangkaian transaksi itu faktor "nilai"
menjadi penting, sebab terutama dalam U-K-U, transaksi itu
hanya bermakna jika jumlah uang pada titik akhir menjadi
lebih besar daripada jumlah asal. Kalau pertukaran itu
merupakan pertukaran nilai yang setara, apabila tidak
setara, berarti nilai itu sendiri tidak tercipta. Marx
menjawab persoalan ini dengan menerapkan "nilai-guna".
Nilai guna mempunyai sifat "menciptakan" nilai tambahan
atau "nilai-lebih". Komoditas yang mempunyai nilai-guna
seperti itu adalah tenaga kerja.
Ketiga, jalur K-U-K, secara tipikal mengacu kepada
transaksi pengupahan tenaga kerja. Buruh menjual
tenaganya untuk memperoleh sejumlah uang (yang pada
gilirannya dipakai untuk membeli barang lain (pangan, dan
lain-lain kebutuhan) yang diperlukan untuk dapat
mereproduksi tenaganya. Karena itu dalam transaksi ini,
uang sama sekali tidak bertindak sebagai modal.20
juga Ann E. Cudd, Analyzing Oppression (New York: Oxford University
Press, 2006); sebagai perbandingan E. Ray Canterbery, The Making of
Economics (River Edge, N.J.: World Scientific Pub., 2003). 20
Tom Bottomore dan Robert J. Brym, the Capitalist Class: an
International Study (Hemel Hempstead: Harvester Wheatsheaf, 1989).
Lihat juga T B Bottomore, the Socialist Economy: Theory and Practice
(London: Harvester Wheatsheaf, 2000); Ross B. Emmett, Research in the
67
Keempat, sebaliknya, jalur U-K-U merupakan transaksi
yang mencakup pembelian sarana produksi, yang kemudian
diolah menjadi produk, untuk selanjutnya dijual dalam
rangka memperoleh uang lebih banyak. Berbeda dengan
upah yang dibelanjakan untuk membeli barang yang
dikonsumsi dan kemudian lenyap sama sekali, dalam jalur
U-K-U ini uang hanya merupakan "advance" untuk
kemudian muncul kembali dalam jumlah yang lebih
banyak. Disinilah, uang ditransformasikan menjadi kapital
dalam suatu proses historis ketika tenaga kerja menjadi
komoditas.
Kelima, dengan demikian, modal dalam konsep Marx
adalah "nilai yang membengkak sendiri" (self expanding
value) atau "nilai dalam gerak" (value in motion). Keenam,
constant kapital (CC) dan variable kapital (VC). CC adalah
bagian dari modal yang dikeluarkan (advance) untuk diubah
menjadi sarana produksi yang dalam proses produksi tidak
mengalami perubahan nilai. Artinya, "nilai" sarana produksi
itu disimpan dalam "nilai" produk yang dihasilkan, suatu
proses pengalihan "nilai" melalui proses kerja. Proses
produksi adalah transformasi "nilai-guna". Nilai-guna dari
barang (sarana produksi) yang diolah, dikonsumsi. Tetapi,
"nilai" barang itu sendiri dialihkan ke dalam produk baru.
VC adalah bagian dari modal yang dikeluarkan untuk
diubah menjadi tenaga kerja yang dalam proses produksi
kegiatannya menuju kepada dua arah, yaitu produksi nilai
setaranya sendiri, dan di lain pihak menghasilkan "nilai-
tambah", yang besarnya beragam menurut keadaan.21
Dari aspek pemahaman kapital, tenaga kerja hanya
sebagai buruh yang menjual tenaganya untuk memperoleh
History of Economic Thought and Methodology a Research Annual
(Emerald Group Pub Ltd, 2009). 21
Tom Bottomore dan Robert J. Brym, the Capitalist Class: an
International Study.
68
sejumlah uang selanjutnya dipakai untuk membeli barang
kebutuhan masing-masing buruh. Semua sarana produksi
hanya difokuskan pada pengolahan menjadi produk yan
kemudian menjual dengan mendapatkan keuntungan
maksimal. Artinya mesin, bangunan (fixed capital); Tenaga
kerja, bahan mentah, sarana produksi (circulating capital)
dalam pemikiran smithan bernilai guna untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya dan memberikan nilai
tambah orang perseorangan. Selanjutnya dari aspek hak
dan kewajiban, kelompok kapitalis berpijak pada
peningkatan utility sekaligus mengakui adanya hak
kepemilikan individual, kebebasan memiliki harta secara
persendirian, persaingan bebas dan ketidaksamaan
ekonomi, dan karenanya berlaku hukum untuk
mengeksploitasi tenaga kerja, baik laki-laki, perempuan dan
anak-anak dengan upah yang rendah.22
Dari hal tersebut, menunjukkan bahwa sistem ekonomi
kapitalis mengandung hak dan kewajiban dengan prinsip dasar
dimana kebebasan memilih harta secara perorangan; dimana
setiap negara mengetahui hak kebebasan individu untuk
memiliki harta perseorangan. Setiap individu dapat
memiliki, membeli dan menjual hartanya menurut yang
dikehendaki tanpa hambatan. Individu mempunyai kuasa
penuh terhadap hartanya dan bebas menggunakan sumber-
sumber ekonomi menurut cara yang dikehendaki. Setiap
individu berhak menikmati manfaat yang diperoleh dari
produksi dan distribusi, serta bebas untuk melakukan
pekerjaan. Hak dan kewajiban untuk andil dalam
melakukan kebebasan ekonomi dan melakukan persaingan
bebas. Setiap individu berhak untuk mendirikan,
mengorganisasi dan mengelola perusahaan yang diinginkan.
22
Allen E. Buchanan, Marx and Justice: the Radical Critique of
Liberalism (London: Methuen, 1982).
69
Individu juga berhak terjun dalam semua bidang perniagaan
dan memperoleh sebanyak-banyaknya keuntungan.
Ketidaksamaan dalam hak kewajiban merupakan
sebuah resiko dari siklus kehidupan manusia.23 Dalam hal
pertukaran didasari atas prinsip give and take (self interest),
bukan benevolence,24 sebab tenaga kerja dibatasi oleh pasar.
Jika pasar terlalu kecil, maka menjadi tidak ekonomis bila
dilakukan pembagian kerja. Hubungan jumlah penduduk
dan kapital, tidak dapat lepas dari proksi determinan
penawaran pekerja. Penawaran tenaga kerja dalam unit
efisiensi tergantung dari kemajuan teknik atau pada
pelatihan, dimana memenuhi pengaruh pelatihan. Karena
itu, produktifitas dan upah meningkat, tetapi pendapatan
berkurang. Hal ini mengarah pada penurunan dalam
tabungan dan pengeluaran untuk pendidikan. Sebagai
akibatnya, tingkat pertumbuhan modal fisik dan Sumber
Daya Manusia berkurang, dan pertumbuhan produktifitas
juga berkurang.
Akibat jangka panjang tergantung pada ukuran
pengaruh modal Sumber Daya Manusia dan pelatihan
dalam fungsi produksi, yaitu: (1) ketika modal Sumber
Daya Manusia tidak menjadi masalah dan tidak terdapat
pelatihan, pertumbuhan produktifitas kembali pada tingkat
eksogen tertentu. Lebih dari itu, bahkan tingkat
produktifitas tidak terpengaruh dalam jangka panjang; (2)
ketika tenaga kerja kasar produktif dan bahkan modal
Sumber Daya Manusia produktif juga atau terdapat
pelatihan, pertumbuhan produktifitas kembali pada tingkat
23
Fazlur Rahman, Economic Doctrines of Islam (Lahore: Islamic
Publications, 1980); sebagai perbandingan lihat Robert Benne, the Ethic
of Democratic Capitalism a Moral Reassessment (Philadelphia: Fortress
Press, 1981); Samuel Richard Freeman, the Cambridge Companion to
Rawls (Cambridge: Cambridge University Press, 2003). 24
Robert E. Frederick, at el, Business Ethics: Readings and Cases
in Corporate Morality (New York,NY: McGraw-Hill, 2001).
70
eksogen. Tetapi, penurunan transitor dalam pertumbuhan
produktifitas mengurangi tingkat produktifitas dalam jangka
panjang; (3) ketika terdapat pertumbuhan endogen baik
melalui pelatihan yang komplit maupun melalui akumulasi
modal Sumber Daya Manusia, tingkat pertumbuhan
produktifitas menurun ke tingkat kondisi stabil yang baru.
Sehingga, diperoleh pengurangan permanen dalam
pertumbuhan produktifitas.25
Hak dan kewajiban dikukung dalam eksploitasi
tenaga kerja (buruh). Hak buruh dibayar dengan murah,
jauh dari nilai produksi yang dihasilkan, sementara
kewajiban mereka bekerja maksimal. Para kapitalis
selanjutnya mengatur sistem upah kepada buruh, selain
serendah mungkin upah yang diterima, buruh disuruh
bekerja 12 jam perhari, bukan 10 jam. Kalau menggunakan
perhitungan produk, tiap satu jam buruh harus dapat
menghasilkan barang 5 atau 4 buah, dan kalau biasanya
hanya dapat menghasilkan 3 buah barang, maka harus
ditingkatkan menjadi 4 buah barang. Akibat perjuangan hak
dan kewajiban tersebut, membuat orang terasing dari proses
sosial ekonomi. Pekerja atau buruh dipisahkan dengan
produk yang mereka buat, dari proses produksi, bahkan
mereka tidak perlu mengetahui tujuan dari produk yang
dikerjakan. Dalam sistem kapitalis benda atau barang-
barang produksi mendominasi manusia. Hal ini dapat
dilihat dalam praktek kapitalisme misalnya di industri
otomotif, dan elektronik, manusia hanya mengetahui sedikit
dari proses produksi secara utuh. Kalau mereka
berkewajiban pada bagian perakitan televisi, radio atau
motor, hanya mengerjakan sesuai dengan job yang
25
Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy
(London: Routledge, 1994); Victor Nee, On Capitalism (Stanford: Calif.
Stanford Univ. Press, 2007).
71
diberikan, sehingga mereka tidak mengetahui pekerjaan
yang lain.
Dalam sistem kapitalis, ekonomi dan politik negara
hanya ditujukan untuk memenuhi hasrat kapitalis (vested
interest). Orang kaya dan para kapitalis akan semakin kaya
dan terus memupuk kapitalnya semakin besar, sementara
rakyat tetap saja miskin, penghasilannya rendah dan tidak
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar. Richard
mencontohkan gambaran perbedaan penghasilan, ada yang
berpenghasilan 1.000.000 US $ pertahun, sementara yang
lain berpenghasilan 10.000 US $ pertahun.26 Menurut
Rawls, keadilan akan menjadi kenyataan kalau kesempatan
berusaha terbuka untuk semuanya, sementara realitas sistem
kapitalis mengajarkan bahwa individu memiliki hak untuk
menguasai suatu produk sebesar-besarnya dan dapat leluasa
mengambil alih perusahaan lain dengan menguasai saham
mayoritas dalam beberapa jenis usaha, misalnya properti,
agrobisnis, perhotelan, transportasi, perbankan, perkapalan
dan teknologi informasi,27 dan dari hal kemudian Meaney
dan Steven Best juga menunjukkan bahwa tidak ada konsep
“kebersamaan” dalam membangun hak dan kewajiban
dalam melakukan kegiatan ekonomi.28
Efisiensi dalam hak dan kewajiban pada wilayah
kapitalis tidak memiliki berkeadilan, kecuali aktifitas
kewajiban untuk meningkatkan maksimal produk dan
26
Richard Sennett, the Culture of the New Capitalism (London:
Yale University Press, 2006); sebagai perbandingan lihat Richard R.
Fagen, Capitalism and the State in U.S.-Latin American Relations
(Stanford, Calif.: Stanford University Press, 1979). 27
Robert E. Frederick, Business Ethics: Readings and Cases in
Corporate Morality (New York,NY: McGraw-Hill, 2001). 28
Steven Best dan Anthony J. Nocella, Igniting a Revolution:
Voices in Defense of the Earth (Edinburgh: AK Press, 2006); Mark E
Meaney, Capital As Organic Unity: the Role of Hegel's Science of Logic
in Marx's Grundrisse (Dordrech: Kluwer, 2002).
72
maksimal laba, sehingga mendapatkan hak gaji dan fasilitas
untuk meningkatkan kualitas hidup. Bagi pengusaha,
penggalang modal untuk melakukan produksi merupakan
suatu usaha untuk memperoleh keuntungan (profit).
Sedangkan bagi pekerja kesediaannya berada di bawah
pengusaha dengan melakukan aktivitas produksi merupakan
suatu usaha untuk mendapatkan upah.29 Keuntungan yang
diperoleh pengusaha dan upah yang didapatkan pekerja
esensinya adalah harga. Keuntungan bagi pengusaha
merupakan harga yang dia peroleh dari konsumen,
sedangkan upah bagi pekerja merupakan harga yang harus
dibayar pengusaha. Dengan demikian, harga merupakan
pendorong produksi. Artinya bahwa kapitalisme
memandang bahwa dalam dunia ekonomi suatu
pengorbanan manusia yang didorong oleh insentif materi.30
Dengan demikian, timbul persoalan pembagian pendapatan
yakni upah untuk pekerja, laba bagi pemilik modal dan
sewa untuk tuan lahan dan pengembangan usaha melalui
peningkatan Sumber daya manusia.31
Barr kemudian sejalan dengan konsep Smith yang
menyatakan bahwa pembagian kerja sangat berguna dalam
efisiensi usaha, dalam meningkatkan produktivitas, dan
29
Wizārat al-„Amal, Kita>b al-„Amal (Arab Saudi: Jam‟īyat
Nashr al-Thaqāfah li-Wizārat al-„Amal, 1979, didigitalkan 24 Juli 2006). 30
Nicolas Barr, Economics of the Welfare State (New York:
Oxford University Press, 2004); Robert S. Pindyck dan Daniel L.
Rubinfeld, Microeconomics 5th Ed. (New Jersey: Prentice-Hall Inc.,
2001). Untuk perbandingan lihat Adi Warman Karim. Ekonomi Mikro
Islami, ed. II (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003). 31
Jeremy N. Smith, “the Adam Smith of Supply Chain
Management,” World Trade. Troy, Sep 2006, vol. 19, Iss. 9. Lihat juga
Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia); M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Pancasila:
Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur (Yogyakarta: Aditya
Media Bekerjasama dengan Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP),
Universitas Gadjah Mada, 2004).
73
akan mengembangkan spesialisasi mempunyai kerugian
sosial, oleh karena suasana kerja yang monoton menjadi
problem sendiri di tengah pergulatan penguatan ekonomi,
karena itu Barr menolak pandangan pentingnya lahan dalam
mengembangkan kesejahteraan bagi masyarakat yang
mengabaikan sistem perburuhan dan pembagian kerja.32
Baginya, lahan yang luas akan berdaya guna manakala
pemberdayaan buruh serta pembagian kerja dapat
diefisiensikan.
Berbeda dengan Barr, Pindyck dan Rubinfeld
menyatakan bahwa buruh merupakan prioritas tinggi dan
pembagian buruh ke dalam beberapa unit kerja, akan
berakibat pada kenaikan yang signifikan terhadap hasil
produksi. Smith memakai contoh proses pembuatan jepitan.
Satu pekerja bisa membuat dua puluh pin sehari. Tapi, jika
sepuluh orang di bagi menjadi delapan belas langkah yang
diperlukan membuat sebuah jepitan, mereka bisa membuat
48.000 jepitan dalam sehari.33 Perkembangan pemikiran
ekonomi kapitalis di era pasar global juga mengkondisikan
pembangunan sebuah negara melalui spesialisasi produksi
sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya.
Aktifitas kerja yang komprehensif merupakan
instrumen utama dari masyarakat dalam mencapai
kesejahteraan individu. Satu contoh dari berbagai kajian
mendalam telah menemukan (discover) bahwa teknologi
sebenarnya merupakan hasil akhir dari suatu proses yang
terdiri dari rangkaian sub-proses penelitian dan
32
Nicolas Barr, Economics of the Welfare State (New York:
Oxford University Press, 2004). Lihat juga Masyhuri, Ekonomi Mikro
(Malang: UIN Malang, 2004). Bandingkan Dong-Sung Cho dan Hwy-
Chang Moon, from Adam Smith to Michael Porter: Evolution of
Competitiveness Theory (Singapore: World Scientific, 2000). 33
S. Pindyck dan Daniel L. Rubinfeld, Micro Economics 5th Ed.
(New Jersey: Prentice-Hall Inc., 2001). Perbandingan kajian lihat Sumitro
Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi.
74
pengembangan, invensi, rekayasa dan disain, manufaktur
dan pemasaran. Disini teknologi modern didefinisikan
sebagai ilmu pengetahuan yang ditransformasikan ke dalam
produk, proses, jasa dan struktur organisasi. Setiap sub-
proses dalam rangkaian tersebut merupakan unsur krusial
yang tidak dapat ditiadakan dan dihilangkan dalam nilai
komersialisasi.34 Komersialisasi merupakan proses
transformasi dari sesuatu yang tidak atau kurang memiliki
nilai ekonomi-langsung, menjadi suatu produk atau
komoditi bernilai pasar yang kompetitif. Agar transformasi
tersebut bermakna, maka tidak bisa tidak hal tersebut harus
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip kapitalisme.
Dari aspek kebersamaan pengembangan Sumber
Daya Manusia lebih dititik-beratkan pada investasi Sumber
Daya Manusia terhadap peningkatan produktivitas melalui
pendidikan, pelatihan, dan peningkatan derajat kesehatan.
Hal tersebut tidak lepas dari faktor pertumbuhan endogen
yang dapat meningkatkan stok pengetahuan dan ide baru
dalam perekonomian yang mendorong tumbuhnya daya
cipta dan inisiatif yang diwujudkan dalam kegiatan inovatif
dan produktif. Hal tersebut menuntut Sumber Daya
Manusia yang berkualitas.35 Tuntutan pengembangan
Sumber Daya Manusia tidak dibarengi dengan nilai
humanis, sebab kapitalisme berpijak pada konsep bahwa
34
J.D. Bernal, the Emergence of Science (Cambridge: MIT Press,
2000). Perbandingan dapat dilihat dalam F. Braudel, a History of
Civilizations (New York: Penguin Books, 1993); M. Kaku, Visions (New
York: Anchor Books, 1997). Lebih lengkap pemikiran Adam Smith lihat
Jhon Rae, Life of Adam Smith (New York: Cosimo, 2006); Knud
Haakonssen, The Cambridge Companion to Adam Smith (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006). 35
Clem Tisdell dan Keith Hartley, Microeconomic Policy: A New
Perspective (Cheltenham: Edward Elgar, 2008). Sebagai perbandingan
dapat dilihat Nan Lin, Social Capital: a Theory of Social Structure and
Action (New York: Cambridge University Press, 2007).
75
tenaga kerja merupakan komoditi dengan harga dan
imbalan.
Dari sisi ini pula, buruh tidak mempunyai
kebersamaan dalam hak pemilikan atas barang-barang yang
dibuatnya dan buruh tidak menjual buah hasil kerjanya,
melainkan kerja itu sendiri.36 Pengembangan Sumber Daya
Manusia teralienasi dari produk hasil kerja mereka. Artinya,
sebesar apapun pengembangan sumber daya manusia , tetap
saja kelompok pekerja tidak memiliki hak untuk memiliki
produk hasil produksi mereka, karena produk tersebut hak
milik kapitalis, dan pada akhirnya kerja tidak lagi menjadi
transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia.37 Dari
aspek tersebut pengembangan sumber daya manusia, adalah
penguatan nilai kreatifitas bukan untuk membentuk pekerja
berkembang menjadi otonom. Dalam arti bahwa manusia
tidak bisa merealisasi-diri dalam setiap arti yang signifikan,
kecuali lewat cara realisasi yang diinginkan kaum borjuis.
Alienasi dalam masyarakat kapitalis terjadi karena di dalam
kerja, setiap orang berkontribusi pada kemakmuran usaha.
Namun, mereka hanya bisa mengekspresikan secara
mendasar aspek sosial dari individualitas lewat sistem
produksi yang tidak dimiliki secara sosial, atau secara
publik. Namun, hal ini juga berlaku untuk perusahaan yang
dimiliki swasta, di mana masing-masing individu berfungsi
sebagai instrumen, bukan sebagai makhluk sosial.38
36
Aris Ananta (peny), Ekonomi Sumber Daya Manusia (Jakarta;
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Pusat antar-Universitas
Bidang Ekonomi Universitas Indonesia, 1990). Lihat juga James L.
Gibson, Organizations: Behavior Structure Process (America: McGraw
International Edition, 2006). 37
Lihat William L. Chenery, Industry and Human Welfare (New
York: Arno Press, 1977). 38
Robert J. Barro dan Xavier Sala-i-Martin, Economic Growth
(Cambridge, Mass.: MIT Press, 2003).
76
Kapitalisme memandang bahwa Sumber Daya
Manusia (human resources) tidak lain adalah faktor
produksi yang dipergunakan dalam proses produksi untuk
menghasilkan barang dan jasa. Karenanya kemampuan
tenaga kerja (labor) menjadi urgen dalam meningkatkan
keuntungan dan kemakmuran optimal. Nilai Sumber Daya
Manusia merupakan bagian tidak terpisahkan dalam
melakukan persaingan atas dan kemampuan wiraswasta
(enterpreneurial).39 Pengembangan efisiensi kerja tidak
bisa pula dipisahkan dengan Sumber Daya Manusia dan
aktifitas pasar. Sebab pasar berfungsi memberikan signal
kepada produsen dan konsumen produk yang harus dibuat
atau harus dikembangkan. Kapitalis membangun kreativitas
dengan menyerap ide-ide, serta toleransi terhadap berbagai
pemikiran. Menurut Rand, kebebasan dan hak individu
memberi ruang gerak manusia dalam berinovasi dan
berkarya demi tercapainya keberlangsungan hidup dan
kebahagiaan.40
Pengembangan sumber daya difokuskan pada upaya
penciptaan inovasi kerja karena konsep pemikiran Marx
adalah mengembalikan manusia sebagai manusia, dengan
asumsi: (a) kebebasan individu, (b) kepentingan diri
(selfishness), dan (c) pasar bebas. Pengembangan Sumber
Daya Manusia berdasarkan pula pada individu bebas
berpikir, berkarya dan berproduksi untuk keberlangsungan
39
Raghuram G. Rajan; Luigi Zingales, Saving Capitalism from
the Capitalists: Unleashing the Power of Financial Markets to Create
Wealth and Spread Opportunity (Princeton, NJ: Princeton University
Press, 2004); lihat juga Prijono Tjiptoherijanto; Laila Nagib,
Pengembangan Sumber Daya Manusia: di antara Peluang dan
Tantangan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008). 40
Jonathon Porritt, Capitalism as if the World Matters (Sterling,
VA: Earthscan, 2007); lihat juga Hermann Strasser; Karl Gabriel; Susan
C Randall, an Introduction to Theories of Social Change (London:
Routledge and Kegan Paul, 1981).
77
hidupnya.41 Pada gilirannya, pengakuan institusi hak
individu memungkinkan individu untuk memenuhi
kepentingan dirinya. Menurut Rand, manusia hidup
pertama-tama untuk dirinya sendiri, bukan untuk
kesejahteraan orang lain. Karenanya dalam pengembangan
Sumber Daya Manusia diberikan kebebasan dalam
mengikuti berbagai pendidikan pelatihan yang dapat
meningkatkan sumber daya sendiri dan sumber daya
ekonomi.
Kapitalis memandang bahwa problem dasar ekonomi
adalah produksi. Pandangan ini didasarkan pada sebuah
asumsi yang salah, “kebutuhan manusia tidak terbatas,
sedangkan alat pemuasnya terbatas”. Keterbatasan alat
pemuas merupakan problem dasar ekonomi yang harus
dipecahkan. Sebab, kebutuhan manusia tidak terbatas
sedangkan alat pemuasnya terbatas. Masalah ini bisa
diselesaikan dengan meningkatkan produksi semaksimal
mungkin.42 Dengan demikian, nilai-nilai yang dimunculkan
hanya pada efisiensi Sumber Daya Manusia yang
ditegaskan melalui penilaian human resources dengan
berbagai pelatihan yang disedia untuk bersaing
mendapatkan maksimal.
Aspek produksi lain yang dinilai dalam konsep
kebebasan berusaha dan berkreatifitas bersama prinsip
dasar bahwa hak milik atas barang modal atau alat-alat
produksi lain seperti tanah, mesin dan sebagainya, dapat
41
Tama s Szentes, the Transformation of the World Economy:
New Directions and New Interests (Tokyo: United Nations University,
1988). 42
Geoffrey K. Ingham, Capitalism (Cambridge, UK; Malden,
MA: Polity Press, 2008); sebagai perbandingan lihat juga Sumitro
Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1991); Jonathan Kramet dan Thomas Hyclak, “Why
Strikes Occur: Evidence from the Capital Markets,” Industrial Relaions,
vol. 41, Issue 1, 2002.
78
berada di tangan perorangan. Setiap orang (individu) berhak
dan bebas menggunakan, mengembangkan dan mencari
keuntungan dari modal yang dimiliki untuk berusaha
(melakukan aktivitas ekonomi seperti produksi dan
sebagainya), dan negara tidak boleh ikut campur dalam
semua aktivitas ekonomi yang bertujuan mencari
keuntungan (profit), selama aktivitas itu sah dan sesuai
dengan peraturan yang ditetapkan negara.43
Nilai-nilai yang dibangun kapitalis, adalah nilai
kepuasan maksimum dan tidak mengajarkan nilai batas
sesuai kebutuhan. Sehingga para pengikut kapitalisme dapat
bebas berusaha dan bebas berkreatifitas dengan dasar nilai
harga yang menentukan strata kaya dan miskin.44 Francis
Saunderaraj mengemukakan sejumlah isu yang dirasakan
manusia abad ke-20 seperti dikutip dari James L Crenshaw
yang menyebutkan bahwa semangat pencerahan
(enlightenment) yang muncul di Eropa sejak abad ke-18,
menurut Saunderaraj, telah menghasilkan ilmu
pengetahuan dan masyarakat hampa nilai sehingga erosi
nilai-nilai moral masyarakat karena tiga alasan utama.
Pertama, manusia hidup dalam suasana kompetitif yang
sangat tinggi untuk memperoleh materi yang sangat cepat.
Kecenderungan profit oriented menghalalkan segala cara.
Kedua, nilai-nilai moral menjadi sangat relatif, tergantung
pada situasi dan kondisi lingkungan, tidak ditentukan oleh
kekuatan eksternal dan ketentuan pasti yang menjadi
pegangan umat manusia. Ketiga, masyarakat lebih
berorientasi pada keberhasilan (succsess oriented society)
yang memunculkan succsess syndrome dengan ukuran
43
Mukhtar Sya‟rawi, Islam di antara Kapitalisme dan
Komunisme (Jakarta: Gema Insani Press, 1991). 44
Dong-Sung Cho dan Hwy-Chang Moon, from Adam Smith to
Michael Porter: Evolution of Competitiveness Theory (Singapore: World
Scientific, 2000).
79
perolehan posisi dan kekuatan yang mendorong pada
kehampaan nilai-nilai moral.45
Efisiensi pekerja dalam berkreatifitas bagi
kapitalisme, yakni bagaimana kekuatan mereka dapat
menjadi komoditi yang diperjualbelikan di pasar seperti
objek-objek pertukaran lainnya. Sistem outsourcing telah
melegalkan perbudakan buruh, eksploitasi secara besar-
besaran, pengurasan keringat dan tenaga buruh demi
akumulasi modal yang sebesar-besarnya.46 Dari perspektif
ini, efisiensi kapitalisme adalah sebuah sistem produksi,
distribusi, dan pertukaran dimana kekayaan yang
terakumulasi diinvestasikan kembali oleh pemilik pribadi
untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya,
sehingga dipahami bahwa efisiensi tidak memiliki konsep
baku, hanya dikembangkan atau diaplikasikan oleh pemiliki
usaha. Smith seperti dikutip dari Maurice Dobb
berpendapat bahwa jalan yang terbaik untuk memperoleh
kemakmuran, adalah dengan membiarkan individu-individu
45
James L. Crenshaw, Old Testament Wisdom: an Introduction
(Louisville, Ky.: Westminster John Knox Press, 2010); lihat juga Leemon
McHenry, Science and the Pursuit of Wisdom: Studies in the Philosophy
of Nicholas Maxwell (Frankfurt: Ontos, 2009). Lihat juga Henry L.
Petersen, Harrie Vredenburg, “Morals or Economics Institutional Investor
Preferences for Corporate Social Responsibility,” Journal of Business
Ethics, vol. 90, Iss., Nov 2009, Dordrecht, 1. Lihat juga Maurice Dobb,
Theories of Value and Distribution Since Adam Smith: Ideology and
Economic Theory (Cambridge: Cambridge, 1973); Jeremy N. Smith,
“The Adam Smith of Supply Chain Management,” World Trade, vol. 19,
Iss., 9 Sep 2006, Troy. Revrisond Bawsir, Kapitalisme Perkoncoan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). 46
Steven M. Bragg, Outsourcing: a Guide Toselecting the
Correct Business Unit Negotiating the Contractmaintaining Control of
the Process (Hoboken: Wiley, 2006). Bandingkan dengan Nicholas C
Burkholder, Outsourcing: the Definitive View, Applications and
Implications (Hoboken, N.J.: Wiley, 2006); Dawam, Raharjo,
Kapitalisme Dulu dan Sekarang (Jakarta: PT. New Aqua Press, 1987).
80
mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri, tanpa
keterlibatan perusahaan-perusahaan negara.47
Dengan mengejar kepentingan pribadi itu, ia akan
mendorong kemajuan masyarakat dengan dorongan yang
sering kali bahkan lebih efektif dari pada kalau ia sengaja
melakukannya. Pandangan tersebut mengatakan bahwa
pasar yang baik adalah pasar yang dibentuk oleh kompetisi
antara penawaran dan permintaan (supply and demand).
Negara harus tidak boleh mengintervensi pasar dalam
bentuk apapun (semisal penetapan harga barang, upah
kerja), agar tercipta harga yang wajar sebagai wujud
keseimbangan dari kompetisi bebas antara kekuatan
penawaran dan kekuatan permintaan. Biarkan pasar
digerakkan oleh kekuatan tersembunyi yang akan
menyeimbangkan antara supply dan demand. Peran negara
dianggap justru akan mengganggu terciptanya efisiensi
kebebasan berusaha dan berkreatifitas karena dorongan
untuk memenuhi peningkatan permintaan.48
Dari aspek tersebut, memperlihatkan ide invisible
hands secara langsung mendorong tuntutan kebebasan
berproduksi, dimana individu-individu haruslah dapat
mengembangkan kemampuan dan kuantitas produksinya,
sehingga diharapkan tercapainya kemakmuran, yaitu
kondisi dimana masyarakat bisa mendapatkan barang dan
47
Maurice Dobb, Theories of Value and Distribution Since Adam
Smith: Ideology and Economic Theory (Cambridge: Cambridge U.P.,
2000). Lihat juga Geoff Martz dan Laurice Pearson, Cracking the GED
(New York: Random House, 2005). 48
Michael C. Thomsett, Getting Started in Options (New York:
John Wiley and Sons Ltd, 2003). Sebagai perbandingan lihat J. Zucchetto
dan National Research Council (U.S.), Board on Energy and
Environmental Systems, Trends in Oil Supply and Demand, the Potential
for Peaking of Conventional Oil Production, and Possible Mitigation
Options: A Summary Report of the Workshop (Washington, DC: National
Academies Press, 2006).
81
jasa semurah mungkin. Untuk mewujudkan hal itu, maka
masyarakat harus bisa mengakses semua bentuk resources
baik itu berupa modal kapital, bahan baku industri, mesin,
tenaga kerja, dan lain-lain agar tercipta produksi secara
maksimal. Inilah semangat dari kapitalisme klasik yang
melahirkan revolusi industri.49 Dalam hal kebersamaan
peluang dari aspek kemitraan, bantuan, dan pengembangan
Sumber Daya Manusia perspektif kapitalis tidak bisa lepas
dari konsep yang jelas tentang hakikat manusia.
Asumsi dasarnya adalah manusia mengejar
kepentingan pribadinya, karena sistem persaingan bebas
akan menertibkannya. Orang yang terlalu serakah menjual
barangnya terlalu mahal, akan terpaksa membatasi
keinginannya ini dengan munculnya orang lain yang mau
menerima keuntungan yang lebih sedikit dengan menjual
barangnya secara lebih murah. Dalam pasar persaingan
sempurna dikatakan efisien, jika telah memaksimasi surplus
konsumen dan produsen.
Pengembangan dapat dinilai dari konsep ekonomi
pertukaran menganalisis perilaku dua orang individu dalam
suatu pasar yang saling melakukan perdagangan atau
pertukaran kedua barang yang dimilikinya. Masing-masing
individu dalam pasar pertukaran tersebut memiliki
keunggulan modal awal (endowment) yang berbeda satu
sama lain. Misalnya, endowment individu 1 lebih banyak
pada barang 1, sedangkan individu 2 memiliki lebih banyak
49
Neil J. Smelser, Social Change in the Industrial Revolution: an
Application of Theory to the British Cotton Industry (London: Routledge,
2005); lihat juga Vijay V. Vaitheeswaran, Power to the People: How the
Coming Energy Revolution Will Transform an Industry, Change Our
Lives, and Maybe Even Save the Planet (New York: Farrar, Straus and
Giroux, 2003); Peter N. Stearns, the Industrial Revolution in World
History (Oxford: Westview Press, 1998). Lihat juga Robert M. Solow,
”Growth Theory and After,” the American Economic Review, vol. 78,
Iss., 3 Jun 1988, Nashville.
82
barang 2. Kondisi tersebut akan memacu masing-masing
individu untuk membuat dirinya better-off dengan
melakukan perdagangan barang 1 dan 2. Pertukaran
tersebut akan berakhir pada kondisi alokasi yang efisien,
dimana tidak dapat lagi suatu individu menambah utility-
nya terhadap suatu barang (better-off) tanpa membuat utility
individu lainnya dirugikan (worse-off). Kondisi inilah yang
disebut sebagai kondisi pareto optimum. Dengan demikian
dalam ekonomi pertukaran, perdagangan antara individu
satu dengan lainnya akan membuat masing-masing individu
better-off sampai kondisi pareto optimum. Analisis efisiensi
dalam ekonomi pertukaran didasarkan kepada dua asumsi
dasar, yaitu: (1) kedua individu mengetahui preferensi satu
sama lain; dan (2) pertukaran barang costless. Secara
matematis ekonomi pertukaran merupakan fungsi dari
utilitas, barang yang diperdagangkan dan endowment
masing-masing individu. Efisiensi produktif yang lebih
besar dapat dicapai melalui spesialisasi sumber daya yang
ada dengan menggunakannya dalam bidang yang paling
produktif.
Pembagian kerja akan memanfaatkan ketrampilan
secara intensif dan akan memberikan hasil yang lebih besar
dalam penggunaan modal. Suatu produksi massal akan
mengakibatkan produksi yang berlebihan di atas kebutuhan
produsen, yang kelebihan produksi itu harus segera
diperdagangkan. Oleh karena itu, perdagangan memerlukan
suatu ekonomi pemasaran dan penggunaan uang. Dengan
demikian dapat ditegaskan bahwa manusia merupakan
wilayah berusaha, berekreatifitas bebas nilai untuk
mendapatkan keuntungan pribadi.
Aspek distribusi dalam ranah kemitraan bagi
kapitalisme berdasarkan pada interest base yang
menempatkan uang sebagai komoditi yang diperdagangkan
dan menjadikan uang pada nilai transaksi yang spekulatif
83
berdasarkan nilai suku bunga. Artinya kemitraan dan
kerjasama berkaitan erat dengan bagaimana nilai uang dapat
berdaya guna dengan menggunakan teori abstinence, yaitu:
bahwa kreditor menahan diri, atau menangguhkan
keinginan mamanfaatkan uangnya sendiri semata-mata
untuk memenuhi keinginan orang lain, ia meminjamkan
modal yang semestinya dapat mendatangkan keuntungan
bagi dirinya sendiri. Jika peminjam menggunakan uang
untuk memenuhi keinginan pribadi, ia dianggap wajib
membayar sewa atas uang yang dipinjamkannya.50
Kemitraan dinilai dari teori nilai uang, dimana uang
pada masa mendatang lebih rendah dibanding masa
sekarang. Melalui teori ini pemberi pinjaman manganggap
bunga sebagai agio (selisih nilai) yang diperoleh dari
barang-barang pada waktu sekarang terhadap perubahan
dan penukaran barang di waktu yang akan datang. Dengan
demikian, modal yang dipinjamkan kepada seseorang
sekarang lebih bernilai dibanding uang yang akan
dikembalikan beberapa tahun kemudian. Bunga merupakan
nilai lebih yang ditambahkan pada modal yang dipinjamkan
agar nilai pembayarannya sama dengan nilai modal
pinjaman semula; (g) inflasi atau dalam istilah lain
decreasing purchasing power of money (penurunan daya
beli uang ). Oleh karena itu pengambil bunga uang
sangatlah logis sebagai kompensasi penurunan daya beli
uang selama dipinjamkan.51
50
Lihat Malcolm Bull, dan Keith Lockhart, Seeking a Sanctuary:
Seventh-Day Adventism and the American Dream (Bloomington: Indiana
University Press, 2007); lihat juga Syafei Antonio, Bank Syari‟ah: dari
Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2001). 51
Ataul Haque, Riba: the Moral Economy of Usury, Interest, and
Profil\ (Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed and CO, 1995); Muhammad
Abdullah al-Araby, “Private Property and It‟s Limit‟s In Islam”, Akademi
al-Azhar untuk Riset Islam, konfrensi pertama, 1964; bandingkan Fahrul
Ahsan, “on the Nature and Signifance of BankingWithout Interest”,
84
Kemitraan dikaitkan dengan uang dimungkinkan,
karena filosofi positivisme yang mendewakan power of
rationality. Sehingga nilai-nilai etika dan moral yang
bersifat teologis tidak menjadi dasar utama. Seseorang yang
meminjam tidak memiliki nilai tawar, kecuali harus
mengembalikan dengan tambahan bunga, kemitraan yang
dibangun berpijak kepada profit oriented atau capital
oriented tidak menggunakan konsep nilai manfaat (benefit
oriented).52 Artinya kemitraan dalam profit oriented dan
capital oriented didasarkan pada kekuatan uang untuk
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi
kepentingan individu.
Dari berbagai kajian aktifitas kapitalisme hanya
sampai pada efisiensi ekonomi. Hakekat manusia pada
ranah produksi dan distribusi dibentuk untuk investasi
peningkatan produktifitas dan mengejar kepentingan
pribadi. Manusia kehilangan kontrol atas sosialisasi
kehidupan masing-masing dan hanya diwarnai dengan
bekerja sampai batas maksimal dengan berbagai cara pada
masing-masing perseorang. Dengan demikian hasil kajian
dari aspek penggunaan kapital, hak dan kewajiban bersama,
sistem nilai dan kebersamaan dalam peluang dari aspek
kemitraan, bantuan dan pengembangan Sumber Daya
Manusia dalam penguatan efisiensi tanpa penyatuan
berkeadilan adalah peningkatan produktifitas untuk satu
Bangladesh Bank Bulitten, vol. 56, February 1978; dan tanggapan
masalah bunga bank oleh Anwar Qureshi, Islam and the Theory of
Interest (Lahore: tp, 1970); Muhammad Syafei Antonio, Bank Syari‟ah:
Sebuah Pengenalan Umum. 52
Michele Dillon, Introduction to Sociological Theory: Theorists,
Concepts, and Their Applicability to the Twenty-First Century
(Chichester, U.K.; Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2010); lihat juga
Richard Swedberg, Max Weber and the Idea of Economic Sociology
(Princeton : Princeton University Press, 2000).
85
tujuan yaitu keuntungan, tanpa membuka peluang adanya
keadilan sosial yang muncul dari berbagai kajian tersebut.
B. Ekonomi Kerakyatan Sejarah ekonomi di Indonesia memunculkan istilah
ekonomi rakyat yang diciptakan oleh Mohammad Hatta,53
kemudian muncul berbagai konsep berdasarkan istilah
Hatta seperti ekonomi kerakyatan ataupun ekonomi
Pancasila sebagai watak atau tatanan ekonomi rakyat.54
Konsep-konsep tersebut bukan ekonomi penyantunan
kepada kelompok masyarakat yang kalah dalam persaingan,
tetapi, ekonomi kerakyatan adalah tatanan ekonomi dimana
aset ekonomi dalam perekonomian nasional didistribusikan
kepada sebanyak-banyaknya warga negara.55 Pemberdayaan
53
Sri-Edi Swasono, Kelengahan Kultural dalam Pemikiran
Ekonomi: Pancasila Pasal 33 UUD 1945 Koperasi Entrepreneurship-
Kooperatif (Jakarta: Bappenas, 2011). 54
Konsep ekonomi Pancasila yang dikembangkan Mubyarto dan
Sri-Edi Swasono (1981) misalnya walaupun memiliki ciri dan
penggambaran yang berbeda, Mubyarto melalui analisis sosialis, dan Sri-
Edi Swasono lewat penggambaran nilai-nilai Pancasila dan Shari>‟at
Islam, namun arahnya untuk membangun ekonomi kerakyatan di
Indonesia berdaya guna lewat payung UUD 1945 terutama pasal 33 dan
menegaskan komitmen untuk menolak self-interest dan konsep homo-
economicus Adam Smith mengikuti pemikiran Mohammad Hatta. Lihat,
Sri-Edi Swasono, Tentang Demokrasi Ekonomi dan Pasal 33 UUD 1945
(Jakarta: BAPPENAS, 2008). 55
Herman Haeruman J. S. dan Eriyanto, Kemitraan dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal: Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Mitra
Pembangunan Desa-Kota: Business Innovation Center of Indonesia,
2001); lihat juga H. Moh Ali Aziz; Rr Suhartini; A Halim, Dakwah
Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren atas Kerjasama dengan Dakwah Press, Fakultas
Dakwah, IAIN Sunan Ampel Surabaya: Distribusi, LKiS Pelangi Aksara,
2005). lihat juga Ahmad Syahbandi, Mardi Yatmo Hutomo, Mandiri
untuk Kejayaan Indonesia (Jakarta: Proyek Pengembangan Ekonomi
Masyarakat [di] Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasonal
[Bappenas]: Spasiwidya Consultant, 2000).
86
masyarakat dalam pembangunan ekonomi dimaksudkan
untuk: (1) menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang, (2)
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh
masyarakat, (3) melindungi yang lemah dalam menghadapi
yang kuat.56 Ada dua dasar yang melandasi konsep
pembangunan yang berpusat pada rakyat, yaitu:
Pertama, memusatkan pemikiran dan tindakan
kebijaksanaan pemerintah pada penciptaan keadaan yang
mendorong dan mendukung usaha-usaha rakyat untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, dan untuk
memecahkan masalah-masalah mereka sendiri pada tingkat
individual, keluarga, dan komunitas. Realitas di era pasar
global orientasi industrialisasi berbasis pada modal besar
dan teknologi tinggi, namun kurang berdasar atas kekuatan
ekonomi rakyat. Pengalaman Taiwan, sebagai
perbandingan, justru menunjukkan ekonominya dapat
tumbuh pesat, karena ditopang oleh sejumlah usaha kecil
dan menengah yang disebut community-based industry.
Perkembangan industri modern di Taiwan, yang sukses
menembus pasar global, ternyata ditopang oleh kontribusi
usaha kecil dan menengah yang dinamik. Keterkaitan yang
erat antara pengusaha besar dan pengusaha kecil lewat
program subcontracting terbukti mampu menciptakan
sinergi yang menopang perekonomian Taiwan. Hanya saja
strategi industrialisasi yang banyak mengandalkan
akumulasi modal, proteksi, dan teknologi tinggi telah
menimbulkan polarisasi dan dualisme dalam proses
pembangunan. Fakta menunjukkan sektor manufaktur yang
56
Masaaki Satake, People's Economy: Philippine Community-
Based Industries and Alternative Development (Manila, Philippines:
Solidaridad Pub. House, 2003). Lihat juga Adi Sasono dan Achmad
Rofi'ie, People's Economy (Jakarta: Southeast Asian Forum for
Development Alternatives, 1988).
87
modern hidup berdampingan dengan sektor pertanian yang
tradisional dan kurang produktif. Dualisme dalam sektor
manufaktur juga terjadi antara industri kecil dan rumah
tangga yang berdampingan dengan industri menengah dan
besar.
Kedua, mengembangkan struktur dan proses
organisasi yang berfungsi menurut kaidah-kaidah sistem
yang swa-organisasi. Mengembangkan sistem produksi
konsumsi yang diorganisasi secara teritorial yang
berlandasan pada kaidah-kaidah pemilikan dan
pengendalian lokal.57 Pertanyaan dasar sub judul ini adalah
bagaimana perspektif ekonomi kerakyatan dalam hal: (1)
efisiensi pendayagunaan kapital dalam membangun,
menguatkan dan meningkatkan barang dan jasa secara
efisien untuk mencapai kemakmuran; (2) efisiensi hak dan
kewajiban; (3) efisiensi sistem nilai; (4) efisiensi
kebersamaan peluang dari aspek kemitraan, bantuan, dan
pengembangan Sumber Daya Manusia.
Menjawab hal tersebut dikaji dari pemikiran efisiensi
berkeadilan yang menjadi istilah dari Sri-Edi Swasono.
Dalam bukunya Ekspose Ekonomika: Mewaspadai
Globalisasi dan Pasar Bebas dengan sangat peka Sri-Edi
Swasono mengkritisi efisiensi ekonomi yang ditinjau secara
teknis ekonomis semata yaitu dengan hasil tertentu
diperoleh hasil maksimal atau dengan hasil tertentu
diperoleh biaya minimal.58 Secara prinsip ekonomi,
terutama dari pendekatan mikro, efisiensi adalah prinsip
untuk memperoleh hasil kegiatan ekonomi oftima, artinya
dengan hasil tujuan tertentu dicapai biaya minimal, atau
57
Zulkarnain, Membangun Ekonomi Rakyat: Persepsi tentang
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Yogyakarta: Adicita, 2003). 58
Sri-Edi Swasono, Expose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi
dan Pasar Bebas (Jogjakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM,
2010).
88
dengan biaya tertentu dicapai hasil (tujuan) maksima59.
Dalam Perspektifnya efisiensi berkeadilan adalah efisiensi
sosial yaitu transformasi dari efisiensi berdimensi mikro
menjadi berdimensi makro. Dalam konteks pembangunan
Nasional (kepentingan masyarakat keseluruhan pada tataran
makro) dimensi efisiensi berkeadilan meliputi (1) efisiensi
statis yaitu mampu memproduksi produk nasional sesuai
preferensi sosial secara optimal; (2) efisiensi distribusional
yang mampu melayani struktur permintaan efekti,
mencerminkan distribusi pendapatan yang ada dan adil; (3)
efisiensi dinamis yaitu efisiensi yang dikaitkan dengan
ekspansi optimal untuk memenuhi tuntutan transformasi
ekonomi dan kemajuan ekonomi masa depan.60 Hal tersebut
berarti pula transformasi dari efisiensi a la Pareto Optimum
dalam tataran mikro kedalam tataran makro dimana peranan
negara mengatur agar masyarakat kaya tidak merugi (tidak
worse off) dan masyarakat miskin memperoleh untung
(menjadi better off).61
Prabhat Ranjan Sarkar62 yang membangun
progressive utilization theory menyebutkan bahwa kapital
59
Sri-Edi Swasono, “Sistem Ekonomi Indonesia”, Naskah Ajar
Kuliah 22 November 2010 (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2011). 60
Sri-Edi Swasono, Expose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi
dan Pasar Bebas. 61
Sri-Edi Swasono, “Pareto Optimum (Pareto Efficiency), Naskah
Ajar Mata Kuliah Sistem Ekonomika, No. 35, 13 Juni (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2011). Lihat juga Sritua Arief, Ekonomi Kerakyatan
Indonesia: Mengenang Bung Hatta, Bapak Ekonomi Kerakyatan
Indonesia (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002); Sri-
Edi Swasono dan Mohammad Hatta, Bung Hatta: Bapak Kedaulatan
Rakyat (Jakarta: Yayasan Hatta, 2002). Lihat juga Wangsa Widjaya dan
Meutia Farida Swasono, Mohammad Hatta: Membangun Ekonomi
(Jakarta: Inti Idayu Press, 1985). 62
Lihat Ann Arbor, the New York Times Biographical Service,
jilid 18, University Microfilms International; tulisan yang sama juga
dikaji oleh Johan Galtung and Sohail Inayatullah, eds. Macrohistory and
89
diberlakukan untuk memaksimalkan kegunaan dan
distribusi dari seluruh sumber dan potensi dunia secara
rasional baik itu fisik, mental, maupun spiritual dan
pembentukan tata tertib sosial humanistis yang harmonis,
serta keadilan merata. Pemenuhan akan kebutuhan pangan,
sandang, perumahan, pendidikan dan layanan kesehatan
merupakan hal yang sangat penting demi terciptanya
keamanan sosial. Lima kebutuhan pokok minimum ini
sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Untuk menjamin hal ini, prinsip produksi yang
berdasar pada konsumsi harus diadopsi. Sarkar kemudian
merancang kapital yang efisien didasarkan pada empat
faktor dasar, yaitu: (1) biaya produksi, produktivitas, daya
beli dan kepentingan bersama. Disamping itu kapital
berdaya guna didukung dengan faktor yang meliputi
sumber-sumber daya, ciri-ciri geografis, iklim, transfortasi,
potensi perindustrian, warisan budaya, serta keadaan-
keadaan sosial.63
Konsep dasar yang merujuk pada teori efisiensi
berkeadilan berdasarkan pada nilai efisiensi merupakan
pemaksimalan kegunaan dan distribusi dari seluruh sumber
dan potensi dunia secara rasional baik itu fisik, mental,
maupun spiritual dan pembentukan tata tertib sosial
humanistis yang harmonis, serta keadilan merata.64 Teori ini Macrohistorians: Perspectives on Individual, Social and Civilizational
Change (Wesport: Ct. Praeger, 1997). Tentang PROUT dapat dilihat
Phillip M. Parker, Utilization: Webster‟s Quatations, Facts and Phrases
(California: Icon Group, Inc.). 63
Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on
Economic Liberation (Calcutta, India: Ananda Marga Publications,
1991). 64
Sohail Inayatullah, Understanding Sarkar: The Indian
Episteme, Macrohistory and Transformative Knowledge (Leiden: Brill,
2002). Lihat juga Sohail Inayatullah and Jennifer Fitzgerald, ed,
Transcending Boundaries: Prabhat Rainjan Sarkar's Theories of
Individual and Social Transformation. Tulisan yang sama juga dikaji oleh
90
didasarkan atas upaya menjamin terpenuhinya lima
kebutuhan dasar (makanan, pakaian, tempat tinggal,
pendidikan dan perawatan kesehatan) kepada seluruh umat
manusia, meyakini akan perlunya penggunaan Sumber daya
yang secara maksimal dan distribusi yang rasional dari
seluruh Sumber daya yang ada di alam semesta, menjamin
hak untuk bekerja sebagai suatu yang mendasar. Ia juga
menganjurkan desentralisasi penuh dari ekonomi, dengan
sebagian besar melalui kontrol kooperatif.65 Sarkar
berpandangan bahwa pemilikan aset ekonomi tidak semua
diwakilkan oleh lembaga pemerintah. Pemerintah
ditempatkan dalam penggunaan kapital harus disinergikan
dengani penyedia barang publik dan jasa publik. Intervensi
pemerintah hanya diperlukan untuk menjamin mekanisme
distribusi aset terjadi melalui mekanisme pasar. Ini berarti
bahwa semua masyarakat dan komitmen pemerintah untuk
meningkatkan kehidupan rakyat dengan program-program
nyata yang koorporatif. Ia memberikan contoh usaha kecil
berdasarkan ciri khas usaha setiap wilayah untuk membeli
barang langsung ke pabrik, tanpa sistem grosir yang
dikontrol oleh pemerintah, hasilnya harga dapat bersaing
dengan perbelanjaan modern.66
Hatta memberikan pandangan bahwa penggunaan
kapital yang dapat menjamin efisiensi, adalah penggunaan
tenaga kerja secara penuh (full employment), dan mampu
Johan Galtung and Sohail Inayatullah, ed, Macrohistory and
Macrohistorians: Perspectives on Individual, Social and Civilizational
Change (Wesport: Ct. Praeger, 1997). 65
Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on
Economic Liberation. 66
Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on
Economic Liberation. Perbandingan dapat dilihat dari kajian Sohail
Inayatullah and Jennifer Fitzgerald, ed, Transcending Boundaries:
Prabhat Rainjan Sarkar's Theories of Individual and Social
Transformation.
91
menggunakan kapital atau modal secara penuh, modal atau
barang investasi berkaitan dengan keseluruhan bahan dan
alat yang dilibatkan dalam proses produksi seperti alat
(perkakas), mesin, perlengkapan, pabrik, gudang,
pengangkutan, dan fasilitas distribusi yang digunakan
memproduksi barang dan jasa bagi konsumen akhir.67
Dalam penggunaan kapital, para ekonom ekonomi
kerakyatan menegaskan bahwa tindakan menggunakan
kapital berdasarkan pada kebijaksanaan pemerintah pada
penciptaan keadaan yang mendorong dan mendukung
usaha-usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan mereka
sendiri, dan memecahkan masalah mereka sendiri pada
tingkat individu, keluarga, dan komunitas. Proses produksi
hanya bisa berlangsung, jika terpenuhinya faktor produksi
yang diperlukan. Faktor produksi yang dimaksud terdiri
dari Sumber Daya Alam (land), modal (kapital), tenaga
kerja (labour), dan kewirausahaan (entrepreneurship).68
Selanjutnya setelah proses tersebut, maka dilakukan
pendistribusian baik oleh orang maupun lembaga yang
ditujukan untuk menyalurkan barang dan jasa dari produsen
ke konsumen. Sedangkan, saluran distribusi merujuk pada
proses pemilihan atau rute yang akan ditempuh oleh suatu
produk ketika produk tersebut mengalir dari produsen ke
konsumen. Kegiatan distribusi, secara ekonomis,
merupakan suatu kegiatan ekonomi yang berupaya
menambah manfaat atau nilai guna suatu barang melalui
proses pemindahan tempat dan pengaturan waktu. Melalui
67
Achmad Rofi'ie, Adi Sasono, People's Economy. Lihat juga
Edward J. Blakely dan Ted K Bradshaw, Planning Local Economic
Development: Theory and Practice (London: Paul Chapman, 2002). 68
B. Onuma Okezie dan Vladimir Podsolonko, Strengthening
Teaching and Outreach Capabilities in Business and Management
Education at Tavrida National University, Ukraine, Under a Market-
oriented Economy: the Final Report (Alabama A And M University,
2004).
92
kegiatan inilah suatu produk akan disalurkan pada tempat
dan waktu yang tepat ke wilayah intensif, selektif, dan
eksklusif melalui grosir, agen, dan pedagang eceran .69
Pendayagunaan kapital tersebut dilakukan sebagai
usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, diakui
dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan masyarakat. Ini berarti aktifitas yang
berhubungan dengan hal tersebut tidak merugikan
kepentingan umum.70 Dengan demikian, sinerjisitas semua
faktor pada wilayah capital dimanfaatkan bersama dan
mendapatkan keuntungan bersama. Dalam konsep ekonomi
kerakyatan, konsep modal pun juga telah berkembang,
bukan hanya berupa modal finansial dan modal manusia,
tetapi juga bentuk-bentuk modal lainnya yang diketemukan
dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu: modal sosial (nilai-nilai
keutamaan), modal kultural (kreativitas dan estetika), modal
intelektual (teknologi dan informasi), dan modal spiritual
(keyakinan dan semangat). Modal-modal baru ini telah
membebaskan ekonomi dari sistem kapitalis yang hanya
mengenal modal finansial saja.71
Dalam aspek hak dan kewajiban, progressive
utilization theory berstandar pada eksistensi manusia dalam
tiga strata, yaitu: (1) strata fisik, (2) strata mental, dan (3)
strata spiritual. Dalam strata fisik, terdapat banyak strata:
69Noel W Thompson, the People's Science: the Popular Political
Economy of Exploitation and Crisis 1816-34 (Cambridge: Cambridge
University Press, 2002); Erhard W. Kropp dan B.R. Quinones, Financial
System Development in Support of People's Economy (Bangkok:
APRACA Publications, 1992). 70
Kampto Utomo, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dalam
Kancah Globalisasi (Bogor: Yayasan Agro-Ekonomika, Sains, Perhepi,
2005); M Dawam Rahardjo; Achmad Tirtosudiro, Pembangunan
Ekonomi Nasional: Suatu Pendekatan Pemerataan, Keadilan, dan
Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Intermasa, 1997). 71
Prabhat Ranjan Sarkar, Varn a Vijinana (the Science of Letters)
(Calcutta: Ananda Marga Publications, 2003).
93
sebutlah pencapaian ilmu pengetahuan (sains) untuk
pelayanan dan kesejahteraan, kemajuan sosial, kehidupan
politik, kehidupan ekonomi, kehidupan budaya yang
kesemuanya untuk membangun pelayanan dan
kesejahteraan. Dasar utama hak dan kewajiban yang
menjadi konsep ekonomi adalah menghilangkan
ketidakadilan sosial. Tiap-tiap anggota masyarakat manusia
harus menikmati persamaan hak, layaknya anggota dari satu
keluarga yang sama, menghilangkan perbedaan dan
membawa kesetaraan, serta keseimbangan dan keselarasan
antar manusia. Salah satunya cara untuk meminimalisir
ketimpangan hak dan kewajiban adalah dengan membangun
kepemimpinan yang koordinatif, bukan kepemimpinan sub-
ordinasi; harus terdapat suatu koordinasi, kepemimpinan
koperatif.72
Dalam kehidupan ekonomi harus menjamin
kebutuhan minimum bagi tiap individu dan semuanya.
Harus tidak boleh berpikir dua kali, tidak boleh ada
penyesuaian sejauh menyangkut hal ini. Daya beli
kebutuhan minimum harus terjamin bagi semua. Dewasa
ini, hal-hal pokok yang esensial itu belum dijamin. Bahkan,
masyarakat digiring oleh gagasan-gagasan ekonomi yang
deseptif (tipu daya) yang telah terbukti tidak efektif dalam
kehidupan praktis dan tidak berhasil diterapkan dimanapun
di dunia ini.73 Sarkar misalnya memberikan contoh dengan
72
Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on
Economic Liberation. 73
Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian PROUT: Pembebasan
Ekonomi (tp:tt). Lihat juga Carl Davidson, Solidarity Economy: Building
Alternatives for People and Planet (London: Changemaker Publications,
2001). Lihat juga Sadao Miyamoto, Introduction to Prout: A Spiritual
Socio-Economic Theory (Bellingham, Wash.: Huxley College of
Environmental Studies, Western Washington University, 1982); PROUT
juga digali dalam konsep spritual lihat Sarah Strauss, Positioning Yoga:
Balancing Acts Across Cultures (Oxford: Berg, 2004).
94
beberapa orang berpikir bahwa orang-orang dari kelompok
tertentu dimana mereka termasuk di dalamnya adalah
diberkati oleh Tuhan, sedangkan yang lainnya adalah
makhluk terkutuk. Ini adalah sebuah tipe dogma yang
sangat buruk, kaum oportunis telah memperkenalkan ajaran
ini. Dogma adalah penyakit psiko-fisikal. Kemudian ada
penyakit fisiko-psikis. Beberapa orang berpendapat bahwa
binatang telah diciptakan oleh Tuhan untuk makanan
manusia. Seseorang tertentu yang selalu berkata bahwa jika
orang tidak makan daging kambing, maka dunia akan
dipenuhi oleh kambing, dan yang lain juga berkata bahwa
apabila orang tidak makan ayam, maka bahkan tidak ada
ruang satu incipun di bumi ini akan dipenuhi oleh ayam.
Hanya karena kerakusan yang berlebihlah manusia
memakan ayam, kambing, dan hanya mencari-cari logika
untuk mendukung tindakan mereka dan menutupi
kelemahannya. Kelicikan semacam ini tidak akan berlaku.74
Dalam dunia psikis, terdapat kesalahan pemikiran
yang terjadi bahwa manusia ditakdirkan untuk berkuasa,
dan mahkluk hidup lainnya ditakdirkan untuk diatur oleh
manusia. Karena itu dalam konsep Sarkar, semua memiliki
hak yang sama untuk hidup didunia ini: alam semesta ini
adalah untuk semua. Ini bukanlah warisan bagi manusia
saja. Dalam level psikis murni, pemikiran salah terjadi
dalam masyarakat, dan sebagai hasilnya, seorang individu
atau kelompok masyarakat sering mencoba untuk menekan
atau menindas yang lain. Disebabkan oleh tipe psikologi
yang cacat inilah, sejumlah besar manusia menderita
74
Sedangkan dalam ungkapannya Prabhat Ranjan Sarkar
“sthulasuksma karanopayogah susantulitah vidheyah” (harus ada
penyesuaian yang tepat antara pemanfaatan fisik, metafisik, duniawi,
supraduniawi dan spiritual). Lihat Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian
PROUT: Pembebasan Ekonomi. Lihat juga Sadao Miyamoto,
Introduction to Prout: A Spiritual Socio-Economic Theory.
95
depresi psikis. Dalam strata spiritual, hak dan kewajiban
sudah teraplikasi secara benar, sehingga semua aplikasi dari
strata psiko-fisikal hingga strata spiritual disampaikan
dalam lingkup solidaritas.75 Dari aspek tersebut
memperlihatkan bahwa setiap manusia memanfaatkan
maksimum dan pembagian yang rasionil atas semua potensi
fisik, metafisik, dan spiritual dari suatu unit dan badan
bersama masyarakat. Artinya, kebersamaan merupakan
dasar untuk menghadapi persoalan-persoalan ekonomi dan
kebutuhan minimum semua orang harus terjamin, dengan
pembagian yang rasionil.76
Sistem Ekonomi Pancasila merupakan sistem
ekonomi campuran yang mengandung pada dirinya ciri-ciri
positif dari kedua sistem ekstrim yang dikenal yaitu
kapitalis-liberalis dan sosialis-komunis. Berbeda dengan
ekonomi peraturan yang jelas antitetikal dengan makna
Ekonomi Pancasila sebagai wadah berkembangnya manusia
Indonesia seutuhnya. Dalam Ekonomi Pancasila, satu
sumber legitimasi diambilnya tindakan pengaturan dalam
pembatasan kebebasan usaha adalah adanya ekses negatif
dari setiap tindakan. Peranan unsur agama sangat kuat
dalam konsep Ekonomi Pancasila. Karena unsur moral
dapat menjadi salah satu pembimbing utama pemikian dan
kegiatan ekonomi. Kalau moralitas ekonomi Smith adalah
kebebasan (liberalisme), dan ekonomi Marx adalah diktator
mayoritas (oleh kaum proletar), maka moralitas Ekonomi
Pancasila mencakup ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan sosial. Sehingga pelaku Ekonomi
75
Prabhat Ranjan Sarkar, Varn a Vijinana (The Science of Letters). 76
Lihat Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian PROUT:
Pembebasan Ekonomi. Lihat juga Raveendra N Batra, Progressive
Utilization Theory: Prout: an Economic Solution to Poverty in the Third
World (Philippines: Ananda Marga Publications, 1989).
96
Pancasila tidak hanya sebagai homo economicus, tapi juga
homo metafisikus, dan homo mysticus.
Hatta berstandar pada Pasal 33 UUD 1945, adalah
sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi,
salah satu prinsip dasar tersebut adalah perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan. Ini berarti hak dan kewajiban dalam
melaksanakan perekonomian memiliki nilai kekeluargaan.77
Tidak adanya diskriminasi bagi setiap warga negara, berarti
mengakui bahwa dibalik setiap perbedaan warga negara ada
sebuah kesamaan, yaitu: sebagai manusia yang sama-sama
memiliki hak dan kewajiban setara yang diakui undang-
undang dan dilandasi nilai-nilai kemanusiaan universal.78
Hal ini ditandai dengan kesamaan peluang dan akses (equal
opportunity) bagi setiap warga negara dalam berekonomi
dan menikmati pembangunan ekonomi. Dalam Pembukaan
UUD 1945 dijelaskan bahwa tujuan dari negara Indonesia
adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan sosial sebagai sila pamungkas Pancasila disini
seyogianya juga menjadi tujuan dari pelaksanaan ekonomi
di Indonesia.79
Dari sini, maka kalangan pemilik modal dan
kelompok masyarakat yang menyediakan faktor produksi
berupa tenaga kerja sama-sama memiliki hak dan kewajiban
77
Sri-Edi Swasono dan Mohammad Hatta, Bung Hatta: Bapak
Kedaulatan Rakyat. Lihat juga Wawan Tunggul Alam, Demi Bangsaku:
Pertentangan Bung Karno vs. Bung Hatta (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003). 78
Raveendra N. Batra, Progressive Utilization Theory: an
Economic Solution to Poverty in the Third World. 79
Gunawan Sumodiningrat, et al, Membangun Indonesia Emas:
Model Pembangunan Indonesia Baru Menuju Negara-Bangsa yang
Unggul dalam Persaingan Global (Jakarta: Elex Media Komputindo,
Kelompok Gramedia, 2005).
97
yang terjalin dalam proses produk. Dalam ungkapan Sarkar
badan usaha ekonomi utama yang menyediakaan kebutuhan
dasar bagi orang banyak janganlah ditaruh ditangan pribadi-
pribadi.80 Alam semesta raya ini merupakan milik bersama
setiap orang. Semua mempunyai hak pakai, semua
mempunyai hak menikmati, tetapi jelas tidak punya hak
menyalahgunakannya. Apabila ada sementara orang yang
mencari dan menimbun kekayaan, secara langsung iapun
menghambat kebahagiaan dan kebebasan orang lain.
Perilakunya tersebut bersifat anti-sosial. Karena itu, tidak
seorangpun diperbolehkan menimbun kekayaan tanpa
perkenan dari masyarakat. Setiap usaha ekonomi harus
dapat meningkatkan pemilikan bukan sekadar meningkat-
kan pendapatan masyarakat secara merata.
Bagi Indonesia pemikiran-pemikiran strategis,
cermat dan mendalam mengenai ketimpangan-ketimpangan
struktural harus tetap dikembangkan. Hanya dengan
demikian maka kebijakan restrukturisasi untuk mengatasi
ketimpangan struktural dapat didesain. Sri-Edi Swasono
menawarkan beberapa butir kebijakan restrukturisasi
ekonomi dalam artian reformasi makro yang meliputi
berbagai sektor, bidang dan dimensi antara lain: (1) restruk-
turisasi pemilikan dan penguasaan aset ekonomi: Pemilikan
dan penguasaan aset oleh rakyat harus makin merata dan
dapat mengurangi secara struktural konsentrasi-konsentrasi
pemilikan dan penguasaan aset pada sekelompok kecil
aktor-aktor ekonomi. Setiap usaha ekonomi harus dapat
meningkatkan pemilikan bukan sekadar meningkatkan
80
Sohail Inayatullah dan Jennifer Fitzgerald, eds. Transcending
Boundaries: Prabhat Rainjan Sarkar's Theories of Individual and Social
Transformation (Maleny, Australia: Gurukul Publications. 1999). Tulisan
yang sama juga dikaji oleh Johan Galtung dan Sohail Inayatullah, eds.
Macrohistory and Macrohistorians: Perspectives on Individual, Social
and Civilizational Change (Wesport: Ct. Praeger, 1997).
98
pendapatan masyarakat secara merata. Lebih dalam lagi
Sri-Edi Swasono seperti ditulis pada bab sebelumnya telah
menafsirkan rumusan Mohammad Hatta dalam pasal 33
UUD 1945 ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan” dengan memaknai
perekonomian bukan hanya badan usaha koperasi, tetapi
juga meliputi Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha
Milik Swasta yang ketiganya harus disusun sebagai usaha
bersama yang berdasar asas kekeluargaan.
Perkataan “disusun” berarti tidak dibiarkan tersusun
sesuai dengan kehendak dan selera pasar yang merupakan
selera kelompok orang-orang kaya penentu wujud pola-
produksi dan pola konsumsi nasional.81 Usaha bersama
merupakan cerminan doktrin kebangsaan Indonesia yang
mengutamakan rasa bersama, bergotong royong saling
menolong, tidak mengutamakan egoisme pribadi (self-
interest), mengemban solidaritas antar sesama,
mengetengahkan mutualisme yang dalam bahasa agama
disebut ke-jemaah-an. Sedangkan “asas kekeluargaan”
adalah budaya antara sesama sebagai saudara,
mengemukakan pentingnya the brotherhood of men atau ke-
ukhuwahan, wujud dari idealisme peaceful-co-existence
81
Swasono mencontohkan dalam pasar bebas maka kredit untuk
membangun apartemen super mewah akan mudah diperoleh daripada
kredit untuk rumah sederhana. Kredit untuk investasi membangun
kawasan Barat akan lebih mudah cair daripada kredit investasi untuk
membangun kawasan Timur Indonesia. Akibatnya kemiskinan rata-rata
nasional Indonesia 13.33 persen, tetapi 36.80 persen di Papua, 27.74
persen di Maluku, 23.03 persen di NTT. Ia kemudian menegaskan bahwa
penyebaran investasi tidak merata ini adalah kehendak dan selera pasar
yang lebih mengutamakan kepentingan dan keselamatan modal daripada
kepentingan dan keselematan rakyat. Lihat Sri-Edi Swasono,”Keabadian
Koperasi dan Kooperativisme” dalam media Suara Pembaharuan, Senin,
11 Juli 2011.
99
antar sesama dan seluruh umat yang bhineka namun
tunggal-ika itu82
Restrukturisasi tersebut diarahkan untuk
membentukkan “Triple-Co”, yaitu co-ownership, co-
determination dan co-responsibility sebagai implementasi
demokratisasi ekonomi di dalam badan-badan usaha
ekonomi. Dalam restrukturisasi ini hendaknya dihindarkan
suatu perampasan; (2) restrukturisasi alokatif: Menyangkut
alokasi dana-dana pembangunan, baik dana anggaran
nasional ataupun daerah, baik yang berasal dari
perbankan ataupun dari lembaga-lembaga non-bank. Bank-
bank dan lembaga-lembaga keuangan non-bank harus tetap
memelihara perannya sebagai agen pembangunan, agen
reformasi dan agen restrukturisasi ke arah tercapainya
keseimbangan struktural yang lebih baik.
Selanjutnya dibutuhkan pula (3) restrukturisasi untuk
mencapai pemerataan dan keseimbangan pembangunan
serta pertumbuhan antara kawasan barat Indonesia dan ka-
wasan timur Indonesia, antara Jawa dan luar Jawa, antara
perkotaan dan perdesaan, dan seterusnya; (4)
Restrukturisasi sektoral: Hal ini diperlukan terutama untuk
mencapai keseimbangan dinamis antara sektor industri dan
sektor pertanian, antara sektor formal-modern dan sektor
informal-tradisional, antara sektor-sektor yang grass roots-
based dan yang non grassroots-based, menuju kukuhnya
perekonomian rakyat (dengan wadah koperasi) sebagai
sokoguru perekonomian nasional. Koperasi dan
kooperativisme lebih mengutamakan kerjasama untuk
menumbuhkan efisiensi melalui sinergisme daripada
mengutamakan persiangan kapitalistik yang melumpuhkan
kelompok lemah dan membesarkan sekelompok kuat yang
mampu efisien. (5) Restrukturisasi perpajakan: Selain
82
Sri-Edi Swasono,”Keabadian Koperasi dan Kooperativisme”.
100
berperan sebagai sumber penerimaan negara, pajak adalah
sarana redistribusi. Pada dasarnya pajak harus progresif
untuk mempersempit kesenjangan. Khususnya terhadap
kekayaan dan pemilikan barang mewah harus dikenakan
pajak kekayaan secara progresif. Sebaliknya terhadap ke-
lompok miskin yang memerlukan pemberdayaan diberikan
subsidi atau proteksi. Pajak merupakan insentif untuk
kegiatan produktif dan disinsentif terhadap konsumsi
mewah. (6) Restrukturisasi strategis: Restrukturisasi ini
untuk memperkukuh kemandirian ekonomi, mengurangi
dependensi dan meningkatkan interdependensi resiprokal
yang seimbang dan diperlukan untuk memperkukuh fun-
damental ekonomi. Dengan restrukturisasi strategis ini
perekonomian nasional diarahkan untuk berakar di dalam-
negeri dan menjadi people-centered dan resources-based.
(7) Restrukturisasi pola-pikir atau reorientasi budaya:
GBHN telah mendorong reorientasi semacam ini, yakni
antara lain reorientasi ke arah lebih banyak membuka akses
akan hak-hak rakyat dan mengembangkan perekonomian
rakyat melalui sistem ekonomi berdasar demokrasi
ekonomi. (8) Restrukturisasi sosial-politik dan sosial-
budaya: Restrukturisasi ekonomi ini tidak akan sepenuhnya
bermanfaat apabila tidak didukung oleh restrukturisasi di
bidang sosial-politik dan sosial-budaya. Restrukturisasi
sosial-politik menyangkut demokratisasi politik dan peran
masyarakat madani. Restrukturisasi sosial-budaya
menyangkut upaya mengubah mindset, melakukan unlearn-
ing terhadap pakem-pakem usang, khususnya restrukturisasi
dan demokratisasi pendidikan rakyat. 83
Efisiensi bukan banyak atau sedikitnya sebuah usaha,
tetapi bagaimana semua komponen dalam siklus produk
83
Lihat Sri-Edi Swasono, Pembangunan Berwawasan Sejarah:
Kedaulatan Rakyat, Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Politik (Jakarta:
UI-Press, 1990).
101
sama-sama merasakan nilai dari sebuah produk yang dibuat
dan dipasarkan.84 Ketika faktor produksi yang paling
dibutuhkan adalah modal, maka kelompok masyarakat yang
menyediakan modal akan membangun kemitraan dengan
kelompok masyarakat yang menyediakan faktor produksi
berupa tenaga kerja, dan melakukan pembagian kompensasi
berdasarkan keadilan. Jika terjadi penyimpangan hak dan
kewajiban akan menyebabkan ketidakseimbangan harga
faktor produksi yang dijual oleh masyarakat dengan
keuntungan yang diraih pengusaha. Untuk itu, peran negara
juga menjadi bagian penting mengontrol hak dan kewajiban
tersebut, sehingga harga yang diterima bisa setimpal dengan
pengorbanan yang dikeluarkan, misalnya pemberian
kompensasi (gaji dan fasilitas) seiring dengan jerih upaya
menjual faktor produksinya berupa tenaga kerja.85
Upaya menguatkan hak dan kewajiban ditegaskan
pula pada Pasal 33 ayat (1), “perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”.;
Pasal 33 ayat (2), menyatakan bahwa “cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.; Pasal 33
ayat (3), menyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.; Pasal 34 menyatakan bahwa “fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Pesan dari
pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa: (1) hak
memperoleh jaminan kesejahteraan ekonomi, misalnya
84
Hal ini sangat berbeda seperti yang diungkapkan David Ricardo
dalam teorinya the law of diminishing return yang menyatakan semakin
tidak efisien jika sebuah perusahaan memiliki banyak tenaga kerja. Lihat
William J. Baumol dan Alan S. Blinder, Economics: Principles and
Policy (Mason, Ohio: Cengage Learning, 2009). 85
Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian PROUT: Pembebasan
Ekonomi.
102
dengan tersedianya barang dan jasa keperluan hidup yang
terjangkau oleh daya beli rakyat; (2) kewajiban bekerja
keras dan terarah untuk menggali dan mengolah berbagai
Sumber Daya Alam; (3) kewajiban dalam mengembangkan
kehidupan ekonomi yang berazaskan kekeluargaan, tidak
merugikan kepentingan orang lain; (4) kewajiban
membantu negara dalam pembangunan, misalnya
membayar pajak tepat waktu.86
Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 itu, dapat disaksikan
bahwa substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya
mencakup tiga hal sebagai berikut: Pertama, partisipasi
seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi
nasional. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam
proses produksi nasional ini menempati kedudukan yang
sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu
tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan
seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga sebagai
dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota
masyarakat dalam menikmati hasil produksi nasional.87 Hal
ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang
menyatakan, "tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusian." Swasono
menegaskan bahwa berhak atas pekerjaan adalah
kewajiban negara untuk pro-poor, imperatif (anti
kemiskinan). ”Bagi kemanusiaan” adalah moralitas
humanitarian.88 Kedua, partisipasi seluruh anggota
86
Teguh Sulistia, Aspek Hukum Usaha Kecil dalam Ekonomi
Kerakyatan (Padang, Indonesia: Andalas University Press, 2006). Lihat
juga Mahmud Thoha, Globalisasi, Krisis Ekonomi, dan Kebangkitan
Ekonomi Kerakyatan (Jakarta, Indonesia: Pustaka Quantum, 2002). 87
Penegasan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial sebagai
response globalisasi lihat Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin
Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Prakarsa, 2006). 88
Sri-Edi Swasono, Strategi Percepatan Pembangunan Daerah
Tertinggal (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2011).
103
masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional.
Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada
jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menikmati
hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan
anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal
34 UUD 1945 yang menyatakan, "fakir miskin dan anak-
anak terlantar dipelihara oleh negara." Dengan kata lain,
dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi,
negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi
fakir miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia.
Ketiga, kegiatan pembentukan produksi dan
pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di
bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota
masyarakat. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan
atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh
hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota
masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan
ekonomi. Dengan demikian, walaupun kegiatan
pembentukan produksi nasional dapat dilakukan oleh para
pemodal asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan
itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan
angota-anggota masyarakat.89 Dengan demikian efisiensi
berkeadilan dalam membangun hak dan kewajiban dalam
ekonomi kerakyatan adalah keseimbangan antara kewajiban
dalam meningkatkan produktifitas secara bersama,
solidaritas dan berkesinambungan dengan gaji yang adil dan
proporsional beserta jaminan-jaminan sosial lainnya. Antara
keduanya memberikan kekuatan kualitas hidup.
89
Mahmud Thoha, Globalisasi, Krisis Ekonomi, dan Kebangkitan
Ekonomi Kerakyatan; Revrisond Baswir, Agenda Ekonomi Kerakyatan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Sebagai perbandingan lihat Tiktik
Sartika Partomo, Ekonomi Koperasi (Jakarta: Ghalia Indonesia);
Revrisond Baswir, Koperasi Indonesia (Yogyakarta: BPFE, 2000).
104
Ekonomi kerakyatan memberikan dasar dalam
kebersamaan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia
berdasarkan kebhinekaan. Aktifitas dalam kebersamaan
berangkat pula pada nilai kekeluargaan, kegotong-
royongan, perjuangan dinamis mengembangkan diri dan
mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat ini menjadi
sumber dari apa yang di dalam wawasan politik pada
tingkat nasional Indonesia sebut ketahanan nasional.90
Dengan kata lain kebersamaan adalah memberdayakan,
memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam
konsep ekonomi kerakyatan, aplikasi dari upaya
pemberdayaan Sumber Daya Manusia secara implisit
mengandung arti menegakkan demokrasi ekonomi, dimana
para pelaku ekonomi baik pemilik modal maupun karyawan
sama-sama meningkatkan diri dan kualitas bersama.
Karenanya pengembangan Sumber Daya Manusia
menyangkut masalah penguasaan teknologi, pemilikan
modal, akses ke pasar dan ke dalam sumber-sumber
informasi, serta keterampilan manajemen. Agar demokrasi
ekonomi dapat berjalan, maka aspirasi masyarakat yang
tertampung harus diterjemahkan menjadi rumusan-rumusan
kegiatan yang nyata. Untuk menerjemahkan rumusan
menjadi kegiatan nyata tersebut, negara mempunyai
birokrasi. Birokrasi ini harus dapat berjalan efektif, artinya
mampu menjabarkan dan melaksanakan rumusan-rumusan
90
Syahril Sabirin, Terobosan Pemulihan Ekonomi Indonesia
(Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002); Mappadjantji Amien,
Kemandirian Lokal: Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan
Pendidikan dari Perspektif Sains Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2005); sebagai perbandingan lihat juga Gunawan Sumodiningrat,
Membangun Perekonomian Rakyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bekerjasama dengan Institute of Development and Economic Analysis),
1998.
105
kebijaksanaan publik (public policies) dengan baik, untuk
mencapai tujuan dan sasaran yang dikehendaki.91
Dalam paham bangsa Indonesia, masyarakat adalah
pelaku utama pembangunan, sedangkan pemerintah
(birokrasi) berkewajiban untuk mengarahkan,
membimbing, serta menciptakan iklim yang menunjang.
Sehingga dalam hakekat perencanaan pembangunan dalam
istilah Swasono adalah “niat ingsun” (strong political will)
untuk mendesain masa depan sebagaimana yang dicita-
citakan dengan adigium “tanam satu tumbuh seribu”, “patah
tumbuh hilang berganti, “tak ada rotan akarpun jadi”
sebagai penuntun dalam menyusun prioritas dan strategi
pembangunan92. Dalam model progressive utilization
theory, pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh dua
unsur pokok, yaitu tingkat tabungan dan produktivitas
modal. Agar dapat tumbuh secara berkelanjutan,
masyarakat dalam suatu perekonomian harus mempunyai
tabungan yang merupakan sumber investasi. Makin besar
tabungan, yang berarti makin besar investasi, maka akan
semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, makin
rendah produktivitas kapital atau semakin tinggi capital
output ratio, makin rendah pertumbuhan ekonomi.
Karenanya, Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam
91
Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian PROUT: Pembebasan
Ekonomi.. Lihat juga Raveendra N Batra, Progressive Utilization Theory:
Prout: an Economic Solution to Poverty in the Third World; sebagai
perbandingan Sri-Edi Swasono dan Mohammad Hatta, Bung Hatta:
Bapak Kedaulatan Rakyat. 92
Sri-Edi Swasono, “Poverty, Impoverishment, Empowerment,
Disempowerment Pendekatan Paradigmatik: Mengatasi Kemiskinan
(Beyond the Economics of Poverty)”, Naskah Ajar Current Issue UIN,
2011, No. 32; lihat juga Sri-Edi Swasono, Strategi Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal.
106
konsep ekonomi kerakyatan menjadi modal untuk
meningkatkan kualitas produksi mereka.93
Dalam perspektif ini juga dibutuhkan kemandirian
yaitu sikap berdikari menolak ketergantungan nasib sendiri
pada pihak lain. Sikap menolak subordinasi, menolak
pengemisan. Kemandirian adalah kepahlawanan, suatu
prestasi diri menolak ketertundukan, penghambaan.
Merubah sikap menghamba (servile) dan minderwaardig
menjadi kedigdayaan.94 Dengan demikian pemberdayaan
masyarakat sebagai sebuah strategi pembangunan
partisipatif dapat digunakan sebagai alternatif dalam
memecahkan persoalan pembangunan yang dihadapi. Di
lain pihak konsep pembangunan yang selama ini diterapkan
belum mampu menjawab tuntutan-tuntutan yang
menyangkut keadilan dan pemerataan serta
keberpihakannya kepada masyarakat. Hal tersebut
dimungkinkan sejalan dengan pemahaman terhadap
pembangunan itu sendiri sebagai suatu proses yang dinamis
menuju keadaan sosial ekonomi yang lebih baik atau yang
lebih modern.95
93
Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian PROUT: Pembebasan
Ekonomi; lihat juga William J Baumol dan Alan S Blinder, Economics:
Principles and Policy. Sebagai perbandingan muncul pula konsep
ekonomi terbuka berkeadilan sosial lihat Sulastomo,the Indonesian
Dream: Kapita Selekta (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008); Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi (Jakarta: Buku Kompas, 2010). 94
Lihat Sri-Edi Swasono, “The End of Laissez-Faire” (Jakarta:
Bappenas, 2009). 95
Bambang Rudito, Akses Peran serta Masyarakat (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2003), 22-23. Lihat juga Jhingan, ML, Ekonomi
Pembangunan dan Perencanaan (Jakarta: Rajawali Pres, 2000). Kedua
buku tersebut mempertegas bahwa batasan tersebut jelas menggambarkan
bahwa pembangunan merupakan suatu gejala sosial yang berdimensi
banyak, dan haruslah didekati dari berbagai disiplin ilmu. Pembangunan
negara-negara di Asia hanya bisa berlangsung bila persyaratan-
persyaratan politis dan sosial terpenuhi.
107
Pemberdayaan merupakan satu istilah yang
diterjemahkan dari empowerment artinya selalu peningkatan
kemampuan atau peningkatan kualitas, harkat martabat. Ini
artinya pemberdayaan dikatakan berhasil bila menghasilkan
self-empowerment96. Pemberdayaan memiliki dua
kecendrungan yaitu kecendrungan primer dan
kecenderungan sekunder. Kecendrungan primer merupakan
pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan
atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau
kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih
berdaya. Kecenderungan sekunder, merupakan
pemberdayaan yang menekankan pada proses menstimulasi,
mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang
menjadi pilihan mereka.97
Adanya pengembangan sumber daya pada akhirnya
dapat meningkatkan kualitas. Peningkatan kualitas individu,
kualitas usaha, dan peningkatan usaha bersama. Sehingga
dari usaha pemberdayaan Sumber Daya Manusia semua
produktifias ekonomi bisa memberikan keuntungan yang
seiring dengan profesionalitas kerja dan hasil usaha. Dari
aspek ini, memperlihatkan bahwa ilmu ekonomi hendaknya
berdimensi luas tidak hanya berkaitan upaya melakukan
pilihan terhadap sumber daya yang terbatas,
meminimalisasi biaya, memaksimalisasi hasil atau
manfaat, tetapi harus pula menguraikan beberapa hal yang
berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat luas.
Sehingga mendapat perbaikan taraf hidup sejalan dengan
96
Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial:
Dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez-Faire
(Jakarta: Perkumpulan PraKarsa, 2010). 97
Sinis Munandar MS, Program Pemberdayaan Ekonomi
Kerakyatan Melalui Pembangunan Sumber Daya Manusia dan
Pelayanan Keuangan Mikro (Jakarta: Badan Pengembangan SDM,
Departemen Pertanian, 2002).
108
realisasi dari beraneka ragam potensi mereka sebagai
manusia.
Dari berbagai konsep tersebut terlihat bahwa
pembangunan tidak dapat didekati hanya dengan perubahan
ekonomi, tapi secara umum pembangunan juga harus
mampu menciptakan suatu kondisi yang dapat menjamin
keadaan sosial masyarakat yang berkeadilan, kapasitas
masyarakat yang dapat berkembang dengan pemberian
wewenang dan kekuasaan, serta lingkungan yang terjamin
kesalingtergantungannya. Sebagai contoh, Negera China
menekankan saerge taijin, yaitu dekat pada realitas, dekat
pada rakyat, dan dekat pada kehidupan. Sementara ekonomi
Jepang berangkat dari harmoni hubungan antar manusia,
dan antara manusia dan alam (soft path).98
Dari perspektif tersebut pula memperlihatkan bahwa
pengembangan Sumber Daya Manusia berprinsip
kebhinekaan, yaitu: kekeluargaan, kegotongroyongan,
kreatifitas pengembangan diri, memberdayakan dengan cara
memampukan dan memandirikan masyarakat. Capaian hal
tersebut tidak lepas dari kemitraan bersama pemerintah baik
dalam bentuk pelatihan, pendidikan dan kerjasama. Dalam
arti bahwa efisiensi berkeadilan terlihat dengan
pengembangan Sumber Daya Manusia berbasis
kebhinekaan dan kemitraan bersama pemerintah, sehingga
terjamin peningkatan kualitas individu, dan kualitas usaha
bersama sehingga tercapai keuntungan bersama berdasarkan
proporsi hasil usaha.
Berbagai wacana tersebut memperlihatkan bahwa
konsep ekonomi kerakyatan memberikan tatanan nilai
dalam kebebasan berusaha dan berkreatifitas, yang
bertumpu pada pembangunan berbasis masyarakat, atau
98
Lihat Siregar, Pembaharuan Ekonomi Tiongkok (Jakarta:
Pustaka Pena, 2002); Craig Freedman, Economic Reform in Japan: Can
the Japanese Change? (Cheltenham, UK Elgar 2001).
109
pembangunan yang berpusat pada manusia. Konsep pelaksanaan
pembangunan yang bertumpu pada masyarakat tersebut antara
lain berlandaskan azas-azas: (a) komitmen penuh pemerintah
dengan keterlibatan minimal, pemerintah berintervensi hanya
apabila terjadi distorsi pasar dengan cara selektif dan bijaksana;
(b) peran-serta aktif dari seluruh komponen masyarakat
madani; (c) keberlanjutan; serta (d) pendanaan bertumpu
pada prinsip-prinsip: efisiensi, efektivitas, transparansi, dan
accountability, serta dapat langsung diterima oleh
masyarakat yang betul-betul memerlukan. Sebagai
konsekuensinya semua pihak yang berkepentingan
(stakeholders) atau semua unsur masyarakat madani
(pemerintah, pengusaha, perguruan tinggi, serta masyarakat dan
LSM) haruslah dilibatkan di dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian yang dibangun berdasarkan pula
pada nilai-nilai moral.99
Swasono lebih tegas menyatakan bahwa koperasi dan
kooperativisme lebih mengutamakan kerjasama untuk
menumbuhkan efisiensi melalui sinergisme daripada
mengutamakan persaingan kapitalistik yang melumpuhkan
yang lemah dan membesarkan sekelompok kuat yang
mampu efisien100. Koperasi adalah soko guru
perekonomian. Soko guru industri sigaret adalah tembakau
rakyat dan cengkeh rakyat yang terhimpun dalam koperasi.
Begitu juga batik rakyat yang terhimpun dalam koperasi
merupakan soko guru industri busana. Termasuk pedagang-
pedagang kaki lima dan warung-warung makan yang
menyediakan hidangan murah merupakan soko guru yang
menghidupi para buruh pabrik-pabrik besar yang berupah
99
Y. Harsoyo, Ideologi Koperasi Menatap Masa Depan
(Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma Bekerjasama dengan
Penerbit Pustaka Widyatama, 2006); Tiktik Sartika Partomo, Ekonomi
Koperasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008). 100
Sri-Edi Swasono, “Keabadian Koperasi dan Kooperativisme”.
110
rendah. Ini artinya pedagang-pedagang kaki lima dan
warung-warung rakyat menompang kehidupan besar.101 Ia
mengkritisi pembangunan UKM lebih ditonjolkan daripada
pembangunan koperasi. Pembangunan UKM yang tidak di
dalam payung koperasi dan kooperativisme, ibarat
menyebarkan bibit kapitalisme kecil. Karena itu kalau mau
taat asas ia menegaskan bahwa koperasi harus menjadi
wadah pengembangan UKM102
Dari aspek ekonomi kerakyatan, efisiensi
kebersamaan pengembangan Sumber Daya Manusia
dibangun selalu berpijak pada nilai kemandirian, harga diri,
kebersamaan (gotong royong), keadilan (kemakmuran
bukan untuk orang perorang tetapi bersama), kemanusiaan,
kesejahteraan rakyat. Hal ini penting dikembangkan sebab
dalam konstelasi inilah, perhatian untuk
menumbuhkembangkan usaha kecil dan menengah
setidaknya didasarkan bahwa usaha kecil dan menengah
menyerap banyak tenaga kerja. Kecenderungan menerap
banyak tenaga kerja umumnya membuat banyak usaha juga
intensif dalam menggunakan Sumber Daya Alam lokal.103
Pertumbuhan usaha kecil dan menengah akan
menimbulkan dampak positif terhadap peningkatan jumlah
tenaga kerja, pengurangan jumlah kemiskinan, pemerataan
dalam distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di
pedesaan. Dari sisi kebijakan, usaha kecil dan menengah
jelas perlu mendapat perhatian karena tidak hanya
memberikan penghasilan bagi sebagian besar angkatan
kerja Indonesia, namun juga merupakan ujung tombak
101
Sri-Edi Swasono, Kelengahan Kultural dalam Pemikiran
Ekonomi: Pancasila Pasal 33 UUD 1945 Koperasi Entrepreneuship-
Kooperatif (Jakarta: Bappenas, 2011). 102
Sri-Edi Swasono, “Keabadian Koperasi dan Kooperativisme”. 103
Aburizal Bakrie, Merebut Hati Rakyat Melalui Nasionalisme,
Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi: Sumbangan Pemikiran Aburizal
Bakrie (Jakarta: Primamedia Pustaka, 2004).
111
dalam upaya pengentasan kemiskinan.104 Di perdesaan,
peran penting usaha kecil memberikan tambahan
pendapatan, merupakan seedbed bagi pengembangan
industri dan sebagai pelengkap produksi pertanian bagi
penduduk miskin.
Kuantitas yang banyak dengan menerapkan sistem
nilai akan membangun peningkatan usaha yang produktif,
berdaya saing dan memiliki kebersamaan, dan kemandirian.
Prinsip Prout dalam konsep nilainya berdasar bahwa: (1)
kebutuhan dasar semua orang dijamin sesuai dengan
jamannya; (2) surplus setelah distribusi kebutuhan dasar ini
lalu dibagikan sesuai dengan nilai sosial dan produktivitas
pelayanan individu; (3)peningkatan standar hidup manusia
adalah indikasi dari vitalitas suatu masyarakat.105
Berdasarkan wacana tersebut, memperlihatkan
bahwa efisiensi berkeadilan dalam tatanan ekonomi
kerakyatan mengarahkan eksistensi masyarakat yang kuat
bukan ekonomi belas kasihan maupun ekonomi
penyantunan kepada kelompok masyarakat yang kalah
dalam persaingan.106 Contoh tata nilai dimana petani,
tukang, guru, dokter, karyawan semua mendapatkan hak
pendapatan minimum cukup buat membeli lima kebutuhan
104
Sarbini Sumawinata, Politik Ekonomi Kerakyatan (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004); Iwan Triyuwono dan Ahmad Erani
Yustika, Emansipasi Nilai Lokal: Ekonomi dan Bisnis Pascasentralisasi
Pembangunan (Malang: Bayumedia Pub., 2003). 105
Sohail Inayatullah dan Jennifer Fitzgerald, eds. Transcending
Boundaries: Prabhat Rainjan Sarkar's Theories of Individual and Social
Transformation. Lihat juga Benny Susetyo, Teologi Ekonomi:
Partisipasi Kaum Awam dalam Pembangunan Menuju Kemandirian
Ekonomi (Malang: Averroes Press, 2006). Perbandingan lihat Mubyarto,
Reformasi Sistem Ekonomi: dari Kapitalisme Menuju Ekonomi
Kerakyatan (Yogyakarta: Aditya Media, 1998). 106
Kajian yang lebih luas lihat Sri-Edi Swasono, “Kemandirian
Ekonomi: Menghapus Sistem Ekonomi Subordinasi” dalam
Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan.
112
dasar. Setelah semuanya dapat yang memenuhi minimum
itu, dan masih bersisa, maka seorang dokter dapat mencicil
mobil sehingga kerja dokter jadi lebih efisien. Seorang guru
bisa membeli motor sehingga mengajar lebih efisien, begitu
juga petani dapat membayar angkot untuk aktifitas
pertanian. Ketika barang dan jasa semakin banyak, maka
dokter bisa menggaji sopir, guru bisa beli mobil, petani bisa
beli motor, sehingga terjadi penyesuaian standar dari waktu
ke waktu. Upaya mengatur hal tersebut melalui lewat upah
minimum yang standar dan benar-benar cukup untuk
kebutuhan dasar. Lalu ada batas upah maximum yang
disesuaikan dengan ketersediaan extra barang dan jasa.
Dalam sistem tersebut dapat dimaknai bahwa
"produksi berdasarkan kebutuhan", bukan "produksi untuk
profit semata". Perbandingan antara jumlah produk dan
permintaan dikendalikan stabil. Pemanfaatan maksimal
demi keuntungan bersama maupun invididu, dengan tetap
melihat kepentingan-kepentingan lain sebagai skala
prioritas dan ada penyesuaian yang tepat dalam
pemanfaatan.107
Contoh dalam nilai ini adalah bagaimana pengelolan
Sumber Daya Alam tanpa merugikan ekosistem. Kerja
keras untuk pemaksimalan potensi fisik dikurangi untuk
memaksimalkan potensi mental dan spiritual. Dengan
demikian dalam progressive utilization theory, di alam
semesta ini merupakan kekayaan bersama, walaupun
pembagiannya tidak sama bagi setiap orang dari persen ke
persen. Namun demikian, kebutuhan minimal bagi setiap
orang haruslah terjamin. Kebutuhan minimal yang
mendasar bagi setiap orang meliputi: makanan, pakaian,
perumahan, pengobatan dan pendidikan. Kebutuhan
minimum manusia tentu saja berubah seiring dengan
107
Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian PROUT: Pembebasan
Ekonomi.
113
perubahan zaman. Setelah kebutuhan minimal terpenuhi,
kelebihan yang dimiliki haruslah dibagi-bagikan kepada
orang-orang yang memiliki kelebihan khusus, sesuai
dengan tingkat kemampuannya itu.108
Penjelasan yang membahas sistem nilai tersebut
dijabarkan dalam sila pada Pancasila. Sila ke-1 dari
Pancasila memperlihatkan agama-agama yang dianut oleh
rakyat Indonesia mengandung nilai-nilai yang mengayomi,
meliputi, dan menjiwai keempat sila yang lain. Segala
sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara, termasuk moral penyelenggara
negara, politik negara, pemerintahan negara dan peraturan
perundang-undangan negera, kebebasan dan hak asasi
warga. Sila ke-2 memperlihatkan konstruk pemberlakuan
atas warga dalam keadilan, termasuk hak dan kebebasannya
beragama. Kemanusiaan yang adil dan beradab
mengandung nilai bahwa suatu tindakan yang berhubungan
dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat didasarkan
atas sikap moral, kebajikan dan hasrat menjunjung tinggi
martabat manusia, serta sejalan dengan norma-norma
agama dan sosial yang telah berkembang dalam
masyarakat.109
Sila ke-3 memberikan nilai dan sikap nasionalisme
yang menguatkan kebersatuan dalam keberagaman.
Sedangkan, sila ke-4 memiliki konsep demokrasi, dan
solidaritas kemanusiaan, menjunjung tinggi asas
musyawarah dan mufakat. Ditutup dengan konsep keadilan
108
Prabhat Ranjan Sarkar, Perekonomian PROUT: Pembebasan
Ekonomi. 109
Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia: Penelitian
Pancasila dengan Pendekatan, Historis, Filosofis dan Sosio-Yuridis
Kenegaraan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993). Konsep keadilan
dalam Pancasila dapat dilihat pula dalam Benyamin Fleming Intan,
Public Religion and The Pancasila Based State of Indonesia an Ethical
and Sociological Analysis (New York: Oxford Lang, 2006).
114
pada sila ke-5 didasarkan pada empat sila sebelumnya.110
Keadilan termaktub dalam tiga bentuk, yaitu: (1) keadilan
distributif, menyangkut hubungan negara terhadap warga
negara, berarti bahwa negaralah yang wajib memenuhi
keadilan dalam membagi kemakmuran, kesejahteraaan
penghasilan negara, yang terakhir ini dalam bentuk bantuan,
subsidi dan kesempatan untuk hidup bersama yang
didasarkan atas hak dan kewajiban yang setara dan
seimbang; (2) keadilan legal, yaitu: keadilan dalam
kaitannya dengan hak dan kewajiban warga negara terhadap
negara, tercermin dalam bentuk ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam negara; (3)
keadilan komulatif: yaitu suatu hubungan keadilan antara
warga dengan warga lainnya secara timbal balik.111 Dalam
arti memberdayakan masyarakat, adalah upaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang
masih terperangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan
memandirikan masyarakat. Pembangunan basis utama
ekonomi kerakyatan, bertujuan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi melalui peran serta masyarakat
110
Benyamin Fleming Intan, Public Religion and The Pancasila
Based State of Indonesia an Ethical and Sociological Analysis. Sebagai
perbandingan lihat Eka Darmaputera, Pancasila and the Search for
Identity and Modernity in Indonesian Society: A Cultural and Ethical
Analysis (Leiden: E.J. Brill, 1988); Sri-Edi Swasono, Ekonomi Islam
Dalam Pancasila, Naskah ajar Curent Issue, S3 UIN Jakarta (Surabaya:
UNAIR, 2008). 111
Muhammad Baqir S}ada>r dan M Hashem, Keunggulan
Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka
Pemikiran Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002); M Nur
Mufid; Ilyas Hassan, Falsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash-
Shadr Terhadap Berbagai Aliran Filsafat Dunia (Bandung: Mizan,
1991).
115
dalam rangka menciptakan kesempatan kerja dan
pengurangan angka pengangguran.112
Sistem ekonomi kerakyatan akan menyerap
determinan efisiensi berkeadilan sebagai basis daya saing
dan bagi penciptaan keuntungan dengan memanfaatkan
Sumber daya yang terbatas. Pergerakan skala usaha pun
bertahap dari skala usaha kecil, menengah, dan besar yang
saling mendukung dan saling memerlukan dengan atmosfer
keterbukaan. Interelasi pelaku-pelaku ekonomi tidak
dibenarkan mengingkari norma-norma, etika, dan dasar-
dasar moralitas yang menjadi dasar segala interaksi usaha
ekonomi sebagaimana alam juga tidak dapat mengingkari
hukum alam yang ada, sebab hal itu dapat memendekkan
umur kehidupan, padahal alam berusaha mencapai rentang
masa kehidupan yang panjang.113
Dalam konteks Indonesia, maka sistem ekonomi
Indonesia perlu mengacu pada nilai-nilai Pancasila dan
UUD 1945. Sila pertama Pancasila (ketuhanan) dan kedua
(kemanusiaan) sebagai dasar sistem, sila ketiga
(nasionalisme) dan keempat (kerakyatan) sebagai cara
penerapannya, dan sila kelima (keadilan sosial) sebagai
tujuannya.114 Tata nilai tersebut sebagaimana tertuang juga
112
Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia: Penelitian
Pancasila dengan Pendekatan, Historis, Filosofis dan Sosio-Yuridis
Kenegaraan; Nasruddin Anshoriy, Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi
Semangat Kebangsaan (Yogyakarta: LKiS, 2008). Lihat juga George
McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca, NY:
Cornell Southeast Asia Program, 2003); Sunoto, Mengenal Filsafat
Pancasila: Pendekatan Melalui Sejarah dan Pelaksanaannya
(Yogyakarta: Hanindita, 2001). 113
Teguh Sulistia, Aspek Hukum Usaha Kecil dalam Ekonomi
Kerakyatan (Padang, Indonesia: Andalas University Press, 2006). 114
Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah,
Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi (Jakarta: Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Republik Indonesia, 2003).
116
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
”...berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indoneisa
dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan /perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.” Nilai tersebut melihatkan bahwa tatanan
ekonomi memandang manusia tidak dilihat satu segi saja
sebagai homo-economicus, tetapi manusia juga berpikir,
bertingkah laku dan berbuat berdasarkan juga dengan nilai
sosial, moral dan agama. Bahwa titik sentral ideologi
ekonomi yang berlandaskan pada nilai Pancasila dan UUD
1945 adalah kekuasaan dan kewenangan manusia wajib
berpijak kepada nilai-nilai ilahiah.115
Secara substansi ekonomi Pancasila merupakan: (1)
varian dari sistem ekonomi campuran, (2) sistem ekonomi
Pancasila adalah landasan berpikir dan bertindak
pemerintah dan dari pelaku-pelaku ekonomi seluruhnya
yang beroperasi di Indonesia, (3) sistem ekonomi Pancasila
bertujuan untuk menciptakan sense of sosio-economic
equilibrium dan sense of sosio-economic balance pada
semua pelaku ekonomi. Sedangkan, kebaikan dari ekonomi
Pancasila yang utama: (1) mempunyai nilai ekonomi
kerakyatan. Artinya, ekonomi kerakyatan bagi sistem
ekonomi lain tidak diperhatikan, maka di dalam sistem
ekonomi Pancasila sebaliknya; (2) dasar dari pada ekonomi
Indonesia adalah sosialisme yang berorientasi pada
ketuhanan yang dijabarkan Swasono dengan istilah
Lihat juga Mubyarto, Reformasi Sistem Ekonomi: dari Kapitalisme
Menuju Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: Aditya Media, 1998). 115
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Renungan Satu Tahun
PUSTEP UGM (Yogyakarta: PUSTEP UGM, 2003). Lihat juga
Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Yogyakarta: Aditya Media,
1998).
117
ekonomi sosialis Indonesia, yaitu berorintasi pada
Ketuhanan Yang Maha Esa (adanya etik dan moral agama,
bukan materialisme); kemanusian yang adil dan beradab
(tidak mengenal pemerasan dan eksploitasi manusia);
persatuan (kekeluargaan, kebersamaan, nasionalisme, dan
patriotisme ekonomi); kerakyatan (mengutamakan ekonomi
rakyat dan hajat hidup orang banyak); serta keadilan sosial
(persamaan, kemakmuran masyarakat yang utama, bukan
kemakmuran orang perseorangan).116 Dan kapitalis yang
berorientasi pada ekonomi kerakyatan. Sedangkan,
kelemahan sistem ini yang paling utama belum
dipergunakannya nilai-nilai ekonomi kerakyatan, yang lebih
diperhitungkan adalah mereka yang mempunyai modal
besar dan dekat dengan patron pemerintah. Akibatnya,
nilai-nilai ekonomi Pancasila masih dalam konsep utuh
yang terus di benahi.
Kesejahteraan sosial Indonesia berdasar pada paham
“demokrasi ekonomi” Indonesia, artinya berdasar pada
tuntutan ideologi bahwa ”kemakmuran masyarakatlah yang
utama, bukan kemakmuran orang seorang, kemakmuran
bagi semua orang, produksi dikerjakan oleh semua, untuk
semua dibawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota
masyarakat”. Dalam konteks demokrasi ekonomi, Hatta
sebagaimana dikutip Swasono menyebutkan bahwa
kesejahteraan sosial Indonesia berdasar pada ”hak sosial
rakyat” (istilah), di mana “tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”, dari titik tolak itu jelaslah bahwa
penghidupan yang layak tidak terpisah dari pekerjaan.
Jelaslah pula dari rumusan tentang “hak sosial rakyat” ini
maka penghidupan yang layak seperti dimaksudkan
tidaklah bersifat filantropis, tetapi adalah kewajiban
116
Lihat Sri-Edi Swasono, “Orientasi Ekonomi Pancasila”, dalam
Abdul Madjid, et al, Wawasan Ekonomi Pancasila.
118
melaksanakan pemberdayaan(empowerment) rakyat, agar
rakyat memperoleh hak sosialnya sehingga mampu bekerja
dan memperoleh pekerjaan. suatu empowerment dikatakan
berhasil bila menghasilkan self-empowerment.
Kesejahteraan sosial Indonesia menganut faham
produktivisme ini.117
Bagi Indonesia, menurut Swasono kesejahteraan
sosial menempati posisi sentral dalam kemerdekaan
Indonesia. Di dalam UUD 1945\, ada pasal yang kita kenal
dengan “pasal ekonomi” yaitu pasal 33, berada di bawah
payung Bab XIV UUD 1945 yang berjudul “kesejahteraan
sosial”. Dengan demikian itu, maka posisi orde ekonomi
Indonesia menjadi gamblang dengan sendirinya (self
explanatory), bahwa kegiatan dan arah penyelenggaraan
perekonomian nasional dengan segala statika dan
dinamikanya, haruslah berujung pada “kesejahteraan
sosial”. “Kesejahteraan sosial”(sosietal welfare) merupakan
kelanjutan yang lebih utuh dari pemikiran tentang “ekonomi
kemakmuran” (welfare economics). Swasono menyebut
welfare sebagai “kemakmuran”, welfare economics sebagai
ilmu ekonomi yang berorientasi kemakmuran ”societal
welfare” sebagai ”kesejahteraan sosial yang mengutamakan
dimensi keadilan” dan “social welfare” sebagai
“kesejahteraaan sosial” atau sekedar “santunan sosial”,
well-being sebagai kesejahteraan hidup dalam arti luas
”welfare-state sebagai “negara kemakmuran” atau “negara
kesejahteraan”.118
117
Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan
Sosial: dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez-
Faire. 118
Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan
Sosial: dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez-
Faire, 2-3. Dalam bidang ekonomi wujud dari integralisme ini adalah
berlakunya paham kebersamaan (mutualism) dan kekeluargaan
(brotherhood) berikut kepentingan-bersama (mutual interest) yang
119
Secara khusus terlihat bangun ideologi Pancasila
yaitu: (1) dasar sistem pada ketuhanan (sila pertama) dan
kemanusian (sila kedua); (2) cara penerapannya dengan
nasionalisme (sila ketiga) dan kerakyatan (sila keempat);
(3) tujuan adalah keadilan (sila kelima). Dengan demikian
ideologi ketuhanan-kemanusian menjadi dasar yang
menunjukkan bahwa manusia mencari keseimbangan antara
hidup sebagai pribadi dan hidup sebagai anggota
masyarakat, antara hidup rohani dan materi. Manusia
Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa, selain homo-
economicus, juga homo metafisikus dan homo-mysticus.119
Hal ini berarti dalam ekonomi di Indonesia, manusia tidak
dilihat hanya dari satu sisi saja yaitu insting ekonominya,
tetapi sebagai manusia bulat, manusia seutuhnya.
Sebagaimana manusia yang utuh ia berpikir, bertingkah
laku, dan berbuat, tidak berdasar rangsangan ekonomi saja,
tetapi selalu memperhatikan rangsangan-rangsangan (atau
terangsang oleh faktor-faktor) sosial dan moral. Faktor
sosial dalam hubunganya dengan manusia lain dan
masyarakat dimana ia berada, dan faktor-faktor moral
menyertainya, ditempatkan pada kedudukan utama. Kolektivisme adalah
representasi paham kebersamaan (apa yang dimaksudkan dengan
brotherhood di atas bukanlah kinship atau kekerabatan). Singkat kata,
Indonesia menganut faham kolektifisme (kebersamaan). Indonesia
menolak individualisme dan liberalisme. Dengan ruh kebersamaan itu
Indonesia menegaskan kebersamaannya berdasar doktrin kebangsaan dan
kerakyatan berkat munculnya”rasa bersama” seperti dikemukakan di atas
(59). 119
Sri-Edi Swasono, ”Ekonomi Islam dalam Pancasila”, Paper for
International on Islamic Economics on Global Financial Cricis, IAEI
dan Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang, 4-5 Agustus
2008; Sarbini Sumawinata, Politik Ekonomi Kerakyatan (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004); Mubyarto, Amandemen Konstitusi dan
Pergulatan Pakar Ekonomi (Yogyakarta: Aditya Media, 2001).
120
dalam hubungannya dengan titah Tuhan sebagai
penciptanya.120
Ekonomi kerakyatan dalam konsepnya adalah sistem
ekonomi yang di jiwai ideologi Pancasila yang merupakan
usaha bersama yang berasaskan kekeluagaan dan kegotong-
royongan nasional. Memiliki lima ciri yatu: Pertama, roda
perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial
dan moral. Kedua, kehendak kuat dari seluruh masyarakat
ke arah keadaan kemerataan sosial (egalitarianisme), sesuai
asas-asas kemanusiaan. Ketiga, prioritas kebijakan ekonomi
adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh
yang berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi.
Keempat, koperasi merupakan soko guru perekonomian,
dan merupakan bentuk paling kongkrit dari usaha bersama.
Kelima, adanya imbangan yang jelas dan tegas antara
perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi
dengan pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin
keadilan nasional.121
Konsep efisiensi bukanlah domain ekonomi yang
statis. Efisiensi adalah bagian perjalanan evolusi. Efisiensi
adalah capaian mutlak untuk keberlanjutan hidup dan
kehidupan sebagai suatu syarat pra kondisi. Kesejahteraan
dan keuntungan hanya bisa diperoleh karena terpenuhinya
efisiensi. Hukum alam kedua yang dapat dipahami adalah
terdapatnya keragaman elemen yang dimiliki alam dengan
jumlah yang beragam pula. Tidak ada satu orang pun yang
120
Mahmud Thoha, Globalisasi, Krisis Ekonomi, dan
Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Pustaka Quantum, 2002);
Revrisond Baswir, Agenda Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Bekerjasama dengan Institute of Development and Economic
Analysis, 1997). 121
Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Renungan Satu Tahun
PUSTEP UGM. Lihat juga Mubyarto, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat,
10. Sebagai perbandingan lihat Dawam Rahardjo, Ekonomi Pancasila
(Yogyakarta: Aditya Media, 2004).
121
mampu menjawab mengapa jumlah elemen itu beragam
jumlahnya, kenapa tidak pada jumlah tertentu. Alam
terbentuk adalah sebagai bagian dari suatu evolusi yang
teraplikasi dengan cepat disusul dengan terbentuknya
keragaman bahan mentah sebagai sumber dari daya
kreativitas dan inovasi peradaban manusia.
Elemen pertama adalah Sumber Daya Ekonomi
meliputi manusia, kekayaan alam, akuatik, aeronatik, dan
unsur lain yang mendukung kegiatan produksi. Elemen
kedua adalah elemen pendukung yang terdiri dari lembaga
pasar tradisional, lembaga konsultasi, usaha keuangan
mikro, advokasi hukum, pendamping usaha, lembaga
penjamin usaha (fund insurance), dan unsur lain yang tidak
langsung terkait dengan kegiatan produksi. Sedangkan,
Elemen ketiga adalah lembaga adat, lembaga kebudayaan,
lembaga keagamaan, tokoh masyarakat yang semuanya
berfungsi sebagai pengontrol dan pemelihara etika dan
moralitas serta norma-norma. Sebagai suatu sistem
ekonomi, elemen-elemen tersebut berhubungan satu dengan
lainnya mengikuti aktivitas produksi, konsumsi, dan
distribusi yang didasarkan pada mekanisme pasar dan harga
dengan sasaran memroduksi barang dan jasa guna
memenuhi kebutuhan masyarakat dengan landasan saling
membutuhkan, saling membesarkan, dan saling
menguntungkan.122
Selanjutnya perlu disadari bahwa koperasi
merupakan “soko guru” dan bagian integral dari tata
perekonomian Nasional dan menjadi soko usaha rakyat.
122
Raveendra N Batra, the Crash of the Millennium: Surviving the
Coming Inflationary Depression (New York: Harmony Books, 1999),
273. Perbandingan terhadap elemen-elemen tersebut dapat dilihat dalam
Sohail Inayatullah dan Jennifer Fitzgerald, eds. Transcending
Boundaries: Prabhat Rainjan Sarkar's Theories of Individual and Social
Transformation, 25-26.
122
Lahirnya koperasi bukan hanya amanah dari para pendiri
bangsa yang tertuang dalam konstitusi, tetapi sekaligus
merupakan tuntutan pembangunan bagi
kemakmuran rakyat. Kehadiran koperasi tidak hanya
menampung, tetapi juga mempertahankan dan memperkokoh
identitas budaya bangsa. Bahkan Moh.Hatta secara ekstrim
menyatakan : “ koperasi merupakan satusatunya wadah
aparat produksi”. Pernyataan tersebut, tidak bisa ditafsirkan
secara a con trario bahwa koperasi merupakan satu-satunya
wadah produksi yang diakui secara konstitusional,
karena dalam pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945
masih mengakui bangun perusahaan selain koperasi, yaitu
Perusahaan Negara (BUMN) dan Perusahaan Swasta
(BUMS). Akan tetapi semangat untuk menjadikan koperasi
sebagai “soko guru” perekonomian nasional tetap
merupakan cita-cita yang harus diwujudkan.123
C. Ekonomi Islam Sebagaimana konsep ekonomi kapitalis dan ekonomi
kerakyatan, ekonomi Islam dalam studi ini juga membahas
efisiensi dalam pendayagunaan kapital, hak dan kewajiban
123
Dihapuskannya secara keseluruhan Penjelasan Pasal 33 UUD
1945, secara otomatis menjadikan hapusnya kata “koperasi” sebagai
bangun usaha yang sesuai dengan demokrasi ekonomi atau asas
kekeluargaan. Perlu diingat bahwa walaupun secara implisit kata koperasi
tidak tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 Pasca Amandemen, namun
secara ekplisit koperasi harus tetap diakui sebagai “soko guru” dalam
perekonomian nasional. Lihat Mubyarto, Amandemen Konstitusi dan
Pergulatan Pakar Ekonomi (Yogyakarta: Aditya Media, 2003). Presiden
Soeharto dalam pidatonya tanggal 27 Juli 1987 menegaskan:
“Pembangunan koperasi Indonesia bukan hanya merupakan selera
pemerintah atau selera presiden sebagai mandataris, tetapi merupakan
amanat rakyat, dengan dasar idiil Pancasila, landasan konstitusional
UUD 1945,serta amanat GBHN. Oleh karena itu, mutlak harus
dilaksanakan. Tidak seorangpun warga negara Indonesia yang bisa
mengelak dari jiwa dan semangat konstitusi. Dan harus yakin bahwa apa
yang diamanatkan kosntitusi harus dapat dilaksanakan”.
123
bersama, sistem nilai, dan kebersamaan peluang dari aspek
kemitraan, bantuan, dan pengembangan Sumber Daya
Manusia. Menjawab kajian tersebut digali dari pemikiran
Mannan124, Ash-Shadar,125 Chepra,126 Naqvi,127 Essid,128
Sarkaniputra,129 Suma130, Rivai131. Selanjutnya, beberapa
ilmuwan yang membahas teori maqa>s}id al-Shari>‟ah
seperti Raisuni>, Naża>riyat al-Maqa>s}id „inda al-
Ima>m al-S}at}ibi, dan Effendi dalam kajian Maqa>s}id
al-Shari>‟ah dan Perubahan Sosial dan Usul fiqh.132
Kapital mengandung arti barang yang dihasilkan oleh
alam semesta, termasuk manusia, adalah milik Allah, yang
124
Muhammad Abdul Mannan, the Making of Islamic Economic
Society: Islamic Dimensions In Economic Analysis (Islamabad:
International Association of Islamic Banks). 125
Muhammad Baqir S}ada>r dan M Hashem, Keunggulan
Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka
Pemikiran Sistem Ekonomi Islam; M Nur Mufid; Ilyas Hassan,
Falsafatuna: Pandangan Muhammad Baqir Ash-S}adr Terhadap
Berbagai Aliran Filsafat Dunia (Bandung: Mizan, 1991). 126
Lihat Bill Maurer, Mutual Life, Limited: Islamic Banking,
Alternative Currencies, Lateral Reason (Princeton,N.J.: Princeton
University Press, 2005), 172; Institute for Research in Biography (New
York, N.Y.), World Biography. (Bethpage [etc.] N.Y., Institute for
Research in Biography). 127
Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics, and Society
(London; New York: Kegan Paul International, 1993). 128
Yassine Essid, a Critique of the Origins of Islamic Economic
Thought (Leiden: Brill, 1995). 129
Murasa Sarkaniputra, Ruqyah Syar‟iyyah: Teori, Model dan
Sistem Ekonomi. General Equilibrium Ghazali-Khaldun-Syatibi Melalui
Analisis Leontif-Sraffa. 130
Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat
Ekonomi dan Keuangan Islam (Jakarta: Kholam Publishing, 2008),
terutama pada Etika Bisnis dalam Islam. 131
Veithzal Rivai, Islamic Human Capital (Jakarta:
Radjagrafindo, 2009). 132
Amir Mahmud, Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual
Muslim Indonesia (Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005).
124
memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sepenuhnya dan
sempurna atas makhluk-Nya. Manusia, tanpa diragukan,
merupakan tatanan makhluk tertinggi diantara makhluk-
makhluk yang telah dicipta-Nya, dan segala sesuatu yang
ada di muka bumi dan di langit ditempatkan di bawah
perintah manusia. Dia diberi hak untuk memanfaatkan
semuanya ini sebagai khalifatullah atau pengemban amanat
Allah.
Manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakan tugas
kekhalifahan ini dan untuk mengambil keuntungan dan
manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan
kemampuannya dari barang-barang ciptaan Allah ini atau
buatan manusia, yang diperlukan bukan untuk memenuhi
secara langsung keinginan manusia, tetapi untuk membantu
memproduksi barang lain yang nantinya akan dapat
memenuhi kebutuhan manusia secara langsung dan
menghasilkan keuntungan. Produktifitas dan distribusi
dalam konsep ekonomi Islam bersandarkan pada nilai-nilai
dasar bahwa harta dan kegiatan ekonomi sebagai wasi>lah
al-haya>t, sekaligus aturan-aturan yang melingkari
sekitarnya.133
Dunia ini, semua harta dan kekayaan sumber-sumber
adalah milik Allah dan menurut kepada kehendak-Nya (QS.
al-Baqarah [2]: 6; QS. Al-Ma>idah [5]: 120). Manusia
sebagai khalifah-Nya hanya mempunyai hak khilafat dan
tidak absolut dan wajib melaksanakan hukum-hukumnya,
serta menjauhi larangannya. Kepemilikan oleh manusia
bersifat relatif dan hanya sebatas untuk melaksanakan
amanat mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan
ketentuannya (Q.S. al-Hadi>d [57]: 7). Mereka yang
menyatakan pemilikan eksklusif tidak terbatas berarti
ingkar kepada kekuasaan Allah. Karenanya, hal yang sering
133
Lihat Masyhuri, Kajian Teori Ekonomi dalam Islam (Jakarta:
Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2003).
125
menjadi objek kajian adalah perihal barang dan jasa,
”barang” dalam al-Qur‟an dan al-Hadis disebut dengan
”ma>” ( .Q.S. al-Baqarah [2]: 168; Q.S. Yunus (11): 24) (ما
Dalam tata bahasa Arab, kata ma ( dalam kedua ayat (ما
diatas masing-masing terdapat pada kata ”kullu-min-ma>-
fi> al ard}i hala>lan t}ayyiban dan min ma> ya‟kulu>,
biasanya digunakan untuk menyebut semua benda/barang
apapun diluar makhluk berakal (manusia) yang lazim
menggunakan kata ”man”. dengan kalimat lain, kata “man”
biasa digunakan untuk menyebut orang, sedangkan (من)
kata ”ma>” digunakan untuk menyebut ”barang”. Termasuk
atau malahan terutama ”barang” yang digunakan oleh ilmu
ekonomi.134
Hanya saja, berlainan dengan ekonomi konvensional
yang membedakan ”barang” dan ”jasa” semata-mata dari
sudut pandang ekonomi dan kepentingan-kepentingan yang
bersifat pragmatis-ekonomis, ekonomi Islam membedakan
”barang” dari sudut pandang filosofis, nilai guna dan
dampak yang ditimbulkannya. Disinilah justru terletak ciri
khusus pengertian barang dalam sistem ekonomi Islam yang
membedakannya dari sistem-sistem ekonomi
konvensional.135
Berdasarkan sumber hukum ekonomi yang
dianutnya, para ahli hukum Islam (fuqaha) telah lama
membagi barang (al-a‟ya>n, kata tunggalnya ‟ain) ke
dalam beberapa bagian. Ibnu Rusd (520-595 H) membagi
134
Lihat Muhammad Sulaiman et.al., Jejak Bisnis Rasul (Jakarta:
Hikmah, 2010); Hilman Latief, Melayani Umat: Filantropi Islam Dan
Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2010). 135
Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat
Ekonomi dan Keuangan Islam; lihat juga Muhammad, Kebijakan Fiskal
dan Moneter dalam Ekonomi Islam (Jakarta: Salemba Empat, 2002); M
Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta:
Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999).
126
al-a‟aya>n (barang) ke dalam barang najis (naja>sat) dan
barang tidak najis (ghair naja>sat). Dilihat dari sudut
pemanfaatannya, barang (al-a‟ya>n) dapat dibedakan ke
dalam barang berharga (mutaqawwim) dan barang tidak
berharga (ghair mutaqawwim). Dilihat dari segi tujuan
penggunaan dan dampak yang akan ditimbulkannya, barang
juga bisa dibedakan ke dalam barang mas}lahat (berdampak
positif) dan barang madarat (berdampak
negatif/berbahaya).136
Diantara barang maslahat ialah: barang-barang yang
tujuan dari produksi, distribusi, pembelian dan
kepemilikannya dimaksudkan untuk memberikan manfaat
bagi konsumen dan bahkan orang lain pada umumnya.
Sebutlah diantara contohnya, yaitu kelengkapan rumah
tangga, kendaraan bermotor, sarana komunikasi. Tetapi
ketika produsen, distributor tahu benar bahwa barang yang
diproduksi, didistribusikan dan dijualnya itu hampir dapat
dipastikan atau di duga kuat akan disalah-gunakan
konsumen, misalnya senjata untuk merampok, maka dalam
ekonomi Islam penjual diharamkan menjual barang-barang
dagangannya kepada siapapun yang jelas-jelas diketahui
bahwa barang itu oleh pembeli atau pemakaianya akan
digunakan dalam hal-hal yang membahayakan kehidupan
manusia tersebut.
Pemilihan barang dan kehati-hatian hampir tidak
dijumpai dalam ekonomi konvensional tidak seperti
ekonomi Islam dengan konsep ihtiya>t} yaitu: prinsip
kehati-hatian dalam wilayah etika dan moral, bukan kehati-
hatian hanya pada uang dan untung ataupun tuntutan pasar.
Karakteristiknya diuraikan oleh Mannan bahwa kekhasan
konsep Islam mengenai hak milik pribadi terletak pada
136
Lihat Ahmad bin Abdurrazzaq al-Duwaisy, Fata>wa al-
Lajnah al-Da>imah li al-Buhu>ts al-Ilmiyyah wa al-Ifta‟ (Riyadh: Da>r
al As}imah, 2000).
127
kenyataan bahwa dalam Islam, legitimasi hak milik
tergantung pada moral yang dikaitkan padanya, seperti juga
jumlah matematika tergantung pada tanda aljabar yang
dikaitkan padanya. Dalam hal ini, lagi-lagi Islam berbeda
dengan kapitalisme dan komunisme, karena tidak satupun
dari keduanya itu yang berhasil dalam menempatkan
individu selaras dalam suatu mosaik sosial. Hak milik
pribadi merupakan dasar kapitalisme, sedang
penghapusannya merupakan sasaran pokok ajaran
sosialisme.137
Syariat mengajarkan bahwa harta hanya sebagai
perhiasan, dan manusia sebagai salah satu makhluk yang
berasal dari substansi yang sama memiliki perasaan dan
sikap untuk menguasai dan menikmati harta dengan tidak
berlebih-lebihan (QS. ali-Imra>n [3]: 14). Sedangkan
perbedaan jumlah harta tidaklah menunjukkan tingkat
kedekatan kepada Allah Swt. perbedaan terletak pada
ketaqwaan, dan perbuatan amal salehnya. (Q.S.al-Baqarah
[2]: 213; QS. al-Mu‟min [40]: 13). Sedangkan,
ketidakmerataan karunia nikmat dan kekayaan sumber-
sumber ekonomi kepada perorangan maupun bangsa adalah
kuasa pula, agar mereka diberi kelebihan untuk
menegakkan sikap egalitarian, yakni pandangan dimana
manusia itu mempunyai harkat dan martabat yang sama
sesuai dengan Allah berikan, yaitu predikat mulia terhadap
seluruh umat manusia.138
Gagasan seorang individu yang menciptakan suatu
benda bertanggungjawab atas wujud benda itu sebagai
137
Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan
Praktek (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993); lihat juga Iwan
Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari'ah (Yogyakarta: LKiS,
2000). 138
Moeslim Abdurrahman, Islam sebagai Kritik Sosial (Jakarta:
Erlangga, 2003); R. Lukman Fauroni, et al, Etika Bisnis dalam Al-Qur'an
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006).
128
pemiliknya, dan ia memiliki klaim penuh atasnya.
Sebagaimana individu memiliki kebebasan bertindak
berkenaan dengan dirinya, ia juga memiliki klaim yang tak
terbantah atas apa saja yang diciptakannya. Atas
pertimbangan ini, kepemilikan sebagai hasil kerja seseorang
dan bentuknya yang disadari olehnya, dianggap sebagai hal
yang natural dan logis. Kedua konsep di atas merupakan
doktrin etis Islam: yaitu Tuhan sebagai pemilik Mutlak atas
segala sesuatu (Q.S. ali-Imra>n [3]: 189). Sementara
manusia hanya menjadi wakilnya di bumi (QS al-Baqarah
[2]: 30). Dari premis pertama tersebut, selanjutnya dapat
ditarik premis kedua bahwa manusia dalam kehidupan
sosial yang ada, memiliki suatu klaim kepemilikan, baik
yang bersifat individual maupun kolektif.
Dari premis awal pula, logika menetapkan bahwa
produsen suatu barang dinisbahkan sebagai pemiliknya.
Atau dengan kata lain, seorang manusia yang memiliki diri
otentik diamanatkan sebagai pemilik kerjanya maupun
produk kerjanya. Ini merupakan salah satu asal usul
kepemilikan insaniah: yaitu Pertama, kerja kreatif. Kerja
kreatif dapat dianggap sebagai sumber kepemilikan karena
dapat menciptakan nilai konsumsi baru dan meningkatkan
kualitas dan kuantitas nilai konsumsi keseluruhan yang ada.
Tingkatan kepemilikan individu atas komoditas yang
diproduksinya dapat diukur oleh kontribusinya dalam
proses produksi tersebut. Dalam hal ini, kerja produktif
yang dimaksud mencakup baik aktivitas langsung maupun
tidak langsung yang memberikan tambahan bersih pada
kuantitas dan kualitas barang.
Al-Qur‟an menggunakan konsep produksi dalam
artian luas, dan lebih menekankan pada perolehan
manfaat dari barang yang akan diproduksi, yaitu harus
memiliki hubungan dengan kebutuhan hidup manusia.
Kegiatan memproduksi barang-barang secara
129
berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan manusia
dianggap sebagai kegiatan yang tidak produktif. Sebagai
ujian keimanan, manusia diberikan langkah-langkah
bagaimana mendapatkan dan memanfaatkannya secara baik
dan benar. Seperti melalui keimanan pada hari kiamat
sangat mempengaruhi tingkah laku dalam bermuamalah
menurut horison waktu. Salah satu contoh, seorang muslim
yang mendayagunakan akan mempertimbangkan akibatnya
pada hari perhitungan (kiamat). Artinya, menurut dalil
ekonomi orang akan mempertimbangkan manfaat dan biaya
(benefit-cost) dalam memilih kegiatan ekonomi dengan
menghitung nilai sekarang dari hasil yang akan dicapai
pada masa datang. Hasil kegiatan mendatang ialah semua
yang diperoleh baik sebelum maupun sesudah mati.
Artinya, iman kepada hari kiamat akan mempengaruhi
langsung tingkah laku ekonomi yang dipilih seorang
muslim, dan lebih bernilai daripada sekedar teori siklus
hidup suatu barang ekonomi, karena horison waktunya
menjangkau pula keadaan setelah mati (extended time
horizon).139
Konsep ekonomi Islam menilai bahwa kepemilikan
harta dapat dilakukan melalui usaha (a‟ma>l) yang halal
sesuai dengan aturan-Nya. Banyak sekali ayat-ayat Alquran
dan hadits yang menerangkan hukum dalam berusaha.140
Disamping itu, secara fisik terdapat dua jenis kapital, yaitu
139
Ahmad Muflih Saefuddin, “Filafat, Nilai Dasar, Nilai
Instrumental, dan Fungsionalisasi Konsep Ekonomi Islam,” dalam Solusi
Islam atas Problematika Umat, Adi Sasono, et.al (Jakarta: Gema Insani
Press, 1998); R. Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam Al-Qur'an
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006). 108
Lihat Q.S. al-Mulk [67]: 15, Q.S. al-A‟ra>f [7]: 10; Q.S. al-
Qas}a>s} (28): 77; Q.S. Hu>d [11]: 61, Q.S.al-Jumu‟ah [62]: 10; Q.S an-
Nisa> [4]: 32.
130
fixed capital dan circulating capital.141 Kapital dalam
konsep shari>‟ah tetap pada umumnya dapat disewakan,
tetapi tidak dapat dipinjamkan (qard}). Sedangkan modal
sirkulasi yang bersifat konsumtif bisa dipinjamkan (qard})
tetapi tidak dapat disewakan. Modal yang produktif bila
dapat menjadi faktor pendukung dalam memproduksi
barang-barang produksi, mempunyai kekuatan untuk
menghasilkan barang-barang dalam jumlah yang lebih
besar, menghasilkan nilai harga (price) yang dapat
dinikmati sesuai dengan tingkat kebutuhan dan keuangan
masyarakat.142 Contoh dalam hubungannya dengan upaya
menghindari segala bentuk perselisihan masalah modal,
maka kontrak mud}a>rabah harus merinci dengan jelas
jumlah modalnya. Ini dapat diwujudkan jika jumlah modal
dinyatakan dalam satuan mata uang.
Modal mud}a>rabah tidak boleh berupa suatu hutang
yang dipinjam mud}a>rib pada saat dilansungkannya
kontrak mud}a>rabah. Tak satu pun dari empat mazhab
fiqh Sunni yang mengizinkan suatu kontrak dimana kreditur
meminta debitur untuk menjalankan mud}a>rabah
berdasarkan pengertian bahwa modal kongsi adalah hutan
calon mud}a>rib kepada investor. Alasan pelarangan ini,
tampaknya karena dalam kontrak semacam ini, si investor
dapat dengan mudah menggunakan mud}a>rabah sebagai
alat untuk memperoleh kembali hutangnya sekaligus
mungkin mengambil untung darinya. Mengambil untung
141
Lihat Muhammad Nejatullah Siddiqi, Some Aspects of the
Islamic Economy (Delhi: Markazi Maktaba Islami, 1972); Muhammad
Baqir S{ada>r, Islam and Schools of Economic. 142
Muhammad Baqir S{ada>r, Keunggulan Ekonomi Islam:
Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem
Ekonomi Islam; lihat juga Didin Hafiduddin, Islam Aflikatif (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003).
131
dari suatu hutang dipandang sebagai riba yang diharamkan
dalam hukum Islam.143
Menurut Ibn Rusyd, Malik (w. 179/796) tidak
mengizinkan hal itu, karena khawatir kalau hal itu menjurus
kepada bentuk riba yang dipraktikkan pada masa pra-Islam.
Jika si debitur dalam kesulitan keuangan, si kreditur
mungkin mengeksploitasi situasi kesusahan debitur, dan
mungkin pula mendiktekan syarat-syarat yang tak masuk
akal dalam kontrak mud}a>rabah mereka. Si debitur
mungkin tidak akan punya pilihan lain, kecuali mengikuti
kehendak si kreditur. Untuk menghindari eksploitasi
semacam inilah tampaknya para fuqaha menutup jalan ini
bagi investor. Investor harus menyerahkan modal
mud}a>rabah kepada mud}a>rib agar kontrak ini menjadi
sah. Mud}a>rib bebas menginvestasikan dan menggunakan
modal tersebut dalam batas-batas klausul kontrak
mud}a>rabah yang secara umum menetapkan jenis usaha
yang dipilih, jangka waktu kongsi, dan lokasi-lokasi tempat
mud}a>rib boleh menjalankan usahanya.144
Konsep tersebut berhubungan pula dengan konstruk
ajaran Islam yang mencakup dua dimensi pokok, yakni
dimensi vertikal (hablun min Alla>h) dan dimensi
horizontal (hablun min al-na>s). Keduanya mempunyai
arti ibadah, yakni ketaatan seseorang hamba kepada
Allah Swt. Kualitas tertinggi dari ketaatan yang
bersifat vertikal adalah taqwa, sementara kualitas
tertinggi dari ketaatan yang bersifat horizontal adalah
berlaku adil. Kejujuran merupakan salah satu tangga
untuk mencapai tingkat adil yang dimaksud. Dimensi
143
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas
Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, diterjemahkan oleh Arif
Maftuhin (Jakarta: Paramadina, 2006). 144
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas
Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis.
132
vertikal dalam ajaran Islam bersifat mahdah, yakni
ibadah yang telah ditentukan cara pelaksanaannya dan
tidak bisa direkayasa, sementara dimensi horizontal
bersifat ghairu mah}d}ah, menyeluruh dan mujmal,
yang meliputi segala aspek kehidupan, yang masih
harus difahami dan ditafsirkan.145
Konsep circulating capital, uang tidak akan
mendapatkan return on capital dalam bentuk upah sewa
seperti dalam ijarah. Karena uang dalam Islam bukan
komoditas yang bisa disewakan atau dijualbelikan dengan
kelebihan. Ia dibutuhkan sebagai alat tukar saja.146 Uang
juga memiliki return on capital bila dikembangkan dalam
bentuk akad mud}arabah. Ia juga dapat dipinjamkan
(qard}), tetapi tidak diperbolehkan pengembaliannya
melebihi pokoknya. Kelebihan demikian masuk dalam
kategori riba.147 Karenanya uang tidak memenuhi syarat
sebagai sebuah komoditas.148 Konsep pengembangan
kapital dalam ekonomi Islam sangat terkait dengan
konsep kepemilikan Islam. Menurut Islam, kepemilikan
pada dasarnya adalah sebagai naluri alamiah yang dimiliki
145
M. Umer Chapra, the Future of Economics: an Islamic Perspective
(Leicester: The Islamic Foundation, 2000); sebagai perbandingan Ahmad
al-Raysuni, Naz}ariyah al-Maqa>sid „inda al-Ima>m al-Sha>tibi (Riyad}:
Dar al-„Alamiyyah Kita>b al-Isla>mi, 1992). 146
Muhammad Khali>k Bar‟i, Ali Hafi>z Manshu>r,
Muqaddimah fi> Iqt}is}a>diyyah al-Nuqu>d wa al-Bunu>k (Kairo:
Maktabah al-Shuru>q}, tt). Kajian lengkap konsep mata uang lihat
Ahmad Hasan, Mata Uang Islami: Telaah Komprehensif Sistem
Keuangan Islami (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005). 147
Ahmad bin Abdurrazzaq al-Duwaisy, Fata>wa al-Lajnah al-
Da>imah li al-Buhu>ts al-Ilmiyyah wa al-Ifta‟ (Riyadh: Da>r al
As}imah, 2000). 148
Penjelasan lengkap kajian uang dalam perspektif lihat
Muhammad Amin Suma, Menggali Akar, Mengurai Serat: Ekonomi dan
Keuangan Islam. Lihat juga Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, Telaah
Komprehensif Sistem Keuangan Islami.
133
manusia, dan hanya berfungsi sebagai sarana penunjang
untuk mencapai tujuan yang lebih besar, karena semua
yang ada di muka bumi (termasuk harta) adalah milik
Allah Swt. Sehingga, dalam konsep ekonomi Islam
kepemilikan itu haruslah merata, dan tidak terfokus pada
beberapa golongan saja, serta dalam mendapatkan dan
mengembangkannya haruslah melalui cara-cara yang
sesuai dengan ketentuan ajaran agama.
Konsep ekonomi Islam tidak memberikan toleransi
pengembangan kapital dengan menggunakan spekulasi semata,
dengan jalan riba berupa pengambilan keuntungan dengan
cara mengeksploitasi tenaga orang lain, atau jalan
penipuan (al-ghabn atau at-tadli>s), dan penimbunan
bertujuan menunggu waktu naiknya harga barang-
barang tersebut, sehingga ia bisa menjualnya dengan
harga tinggi menurut kehendaknya. Pada dasarnya ekonomi
Islam mendasarkan pada prinsip peningkatan dan
pembagian hasil untuk menciptakan sirkulasi yang benar
dan tepat bagi setiap golongan masyarakat dengan latar
belakang perekonomian yang berbeda. Hak miliki pribadi
dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi milik
umum. Di antara hal penting yang diungkapkan ajaran
Islam, adalah penetapan antara pemilikan bersama
menyangkut benda-benda yang bersifat d}aru>ri (yang
sangat dibutuhkan bagi semua manusia), sehingga
kepemilikannya bersifat bersama dan umum.149
Sejalan dengan kapital itu juga, ekonomi Islam
memberikan keterkaitan sebagai masyarakat zoon
politicum, yaitu memberikan pinjaman modal untuk
digunakan sebagai modal usaha, sehingga dapat
dikembangkan lagi menjadi lebih besar, ataupun dengan
memberikan modal kepada seseorang dengan perjanjian
149
Ikhwan Abidin Basri, Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama
Klasik (Solo: Aqwan, 2008).
134
membagi hasil yang didapat sesuai perjanjian
(mud}a>rabah).150 Secara teknis, konsep dimaksud adalah
kerjasama usaha antara dua pihak. Pihak pertama sebagai
penyedia modal, pihak kedua sebagai pengelola, yang
keduanya bergabung sebagai mitra usaha. Kemitraan
tersebut dituangkan dalam sebuah master of understanding
(nota kesepahaman) dengan segala pasal-pasal yang tertera
didalamnya, baik keuntungan maupun kerugian, serta hal-
hal yang berhubungan dengan human error.151 Secara
tersirat mudharabah menunjukkan bahwa sesungguhnya
manusia itu mempunyai kekurangan yang memerlukan
orang lain sebagai patner atau mitra, kekurangan tersebut
tidaklah manusia disuruh untuk bersifat fatalis, menerima
apa adanya tanpa mau berusaha. Oleh karenanya
mud}a>rabah merupakan salah satu jalan untuk berbuat atas
kekurangan yang dimiliki dan kelebihan yang dipunyai
orang lain, ataupun sebaliknya (Q.S. al-Muzammil [73]:
20). Rasulullah saw sebelum menjadi rasul telah melakukan
mud}a>rabah dengan Khadi>jah ra, beliau mendapatkan
modal dari Khadi>jah ra dan beliau pergi berniaga ke negeri
Syam.152
Nilai efisiensi berkeadilan dalam aspek
pendayagunaan kapital, berarti optimalisasi kapital baik
untuk kepentingan pemilik maupun untuk kepentingan
masyarakat, karena itu pendayagunaan kapital dapat
150
lihat juga Karnaen A. Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi
Islam di Indonesia (Jakarta: Usaha Kami, 1996). 115
Abdul Hamid Mahmu>d al-Ba>‟ly, al-Madkha>l li al-Fiqhi al
Banu>k al-Isl>miyah (Kairo: al-Ma‟had al-Dauli li al-Bu>nuk wa al-
Iqtisha>di al-Isla>miah, 1983). 152
M. Suyanto, Muhammad Business Strategy and Ethics
(Yogyakarta: Andi Offset, 2008). Lihat juga Muhammad Syafe`i
Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001). Adhiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian
Temporer (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).
135
disewakan, sebab benda-benda yang ketika manfaatnya
dinikmati tidak berkurang eksistensi substansinya.
Sementara modal sirkulasi yang bersifat konsumtif dapat
dipinjamkan, tapi tidak dapat disewakan. Ekonomi Islam
juga mengenal nilai-nilai sosial dan humanitarin yang
merupakan ultimat goal yang dilakukan oleh sistem
ekonomi Islam. Tindakan ekonomi individu melalui proses
filterisasi moral yang bertujuan menjaga self-interest dalam
batas-batas kemas}lahatan sosial.
Nilai-nilai mudharabah juga berhubungan pula
dengan upaya hak dan kewajiban bersama. Secara umum
hak dan kewajiban merupakan nilai aktifitas bermuamalah
yang saling membutuhkan. Karenanya konsep tersebut
bahwa berlaku larangan mengorbankan hak-hak individu
lainnya untuk mendapatkan hak dan kewajiban individu
dalam kerangka menguatkan al-D{aru>riya>t al-Khams,
yang meliputi agama (al-di>n), jiwa (al-nafs), akal (al-
„aql), keturunan (al-nasl) dan harta (al-ma>l). D{aru>riyat
adalah landasan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat
yang terletak pada pemeliharaan lima unsur pokok
kehidupan, yaitu: keimanan, jiwa, akal, keturunan dan harta
benda. Pengabaian terhadap maqa>s}id d}aruriyat ini akan
menimbulkan kerusakan di muka bumi, dan kerugian yang
nyata di akhirat kelak.
Hajiya>t adalah menghilangkan kesulitan atau
menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur kehidupan
menjadi lebih baik. Tahsiniyat adalah menyempurnakan
lima unsur pokok kehidupan. Ketiga tingkatan maqa>s}id
tersebut memiliki keterkaitan yang erat. Maqa>s}id
d}aruriyat adalah dasar bagi maqa>s}id hajiya>t dan
maqa>s}id tahsiniyat. Kerusakan pada maqas}id d}aruriyat
akan membawa kerusakan pada maqas}id hajiya>t dan
maqa>s}id tahsiniya>t. Namun demikian, pemeliharaan
maqa>s}id hajiya>t dan maqa>s}id tahsiniya>t adalah
136
diperlukan demi memelihara maqas}id d}aruriyat secara
tepat.153\ Perilaku dalam mendapatkan hak dan kewajiban
ditetapkan dalam hukum Allah (shari>‟ah) dan diawasi oleh
masyarakat secara keseluruhan, berdasarkan aturan dan
etika ekonomi Islam. Dalam perspektif ini, hak dan
kewajiban tidak dapat lepas dari eksistensi manusia itu
sendiri. Dari pandangan di atas tentang esensi manusia
sebagai cermin khali>fatulla>h fi> al-Ard}i, maka secara
khusus ekonomi Islam memandang manusia sebagai
makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani dalam
kesatuan.154
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas
untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka
memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat
beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu
untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang
lain.155 Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain
dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang
menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan
kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam
kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut
dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak.
153
M. Umer Chapra, al-Isla>m wa al-Tahaddi> al-Iqtis}a>di>,
terjemah Muhammad Zuheir al-Samhuri> (Amma>n: al-Ma‟had al-
„a>lami>, li al-Fikr al-Isla>mi>, 1996); Muhammad D{aifullah
Bathaniyah, fi> Ta>ri>kh al-Had}arah al-Arabiyah al-Isla>miyah al
Haya>t al-Iqtis}a>diyah fi> s}adr al-Isla>m (Oman: Da>r al-Furqa>n,
2000); Muhammad D{aifullah Bathaniyah, fi> Ta>ri>kh al-Had}arah
al-Arabiyah al-Isla>miyah al Haya>t al-Iqtis}a>diyah fi> s}adr al-
Isla>m. 154
M. Umer Chapra, al-Isla>m wa al-Tahaddi> al-Iqtis}a>di>.
Sebagai perbandingan terutama kajian atas kesejahteraan berbasis kaidah
al-d}aru>riya>t al-khams lihat Muhammad Abdul Mannan, Islamic
Economic: Theory and Practice (Hounder and Stouhgten, Ltd, 1992). 155
John Bunnell Davis, the Social Economics of Human Material
Need (Carbondale u.a. Southern Illinois Univ. Press 1994).
137
Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh
Allah, karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak
manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai
agama yang komprehensif dan universal memberikan
aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat
diimplementasikan dalam setiap masa.156
Dalam membangun hak dan kewajiban ekonomi
Islam menetapkan batas-batas tertentu terhadap perilaku
manusia, sehingga menguntungkan individu tanpa
mengorbankan hak-hak individu lainnya. Alam semesta,
termasuk manusia, adalah milik Allah, yang memiliki
kemahakuasaan (kedaulatan) sepenuhnya dan sempurna
atas makhluk-makhluk-Nya.157 Manusia, tanpa diragukan,
merupakan tatanan makhluk tertinggi diantara makhluk-
makhluk yang telah diciptaNya, dan segala sesuatu yang
ada di muka bumi dan di langit ditempatkan di bawah
perintah manusia. Dia diberi hak untuk memanfaatkan
semuanya ini sebagai khali>fah atau pengemban amanat
Allah. Manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakan tugas
kekhalifahan ini, dan untuk mengambil keuntungan dan
manfaat sebanyak-banyaknya, sesuai dengan
kemampuannya dari barang-barang ciptaan Allah ini,
dengan berpijak pada nilai-nilai hak dan kewajiban.158
156
Brian Morris, Western Conceptions of the Individual (New
York; Oxford: Berg, 1991); lihat juga Roger Smith, Being Human:
Historical Knowledge and the Creation of Human Nature (New York :
Columbia University Press, 2007). 157
Khondakar G Mowla, the Election of Caliph/Khalifah and
World Peace (tp: K.G. Mowla, 1998), 321-322; Matthew Clarke; Sardar
M N, Islam Economic Growth and Social Welfare: Operationalising
Normative Social Choice Theory (Boston: Elsevier, 2004). 158
M. Umer Chapra, Islam and Economic Development: A
Strategy for Development with Justice and Stability (Islamabad, Pakistan:
International Institute of Islamic Thought: Islamic Research Institute,
1993); lihat juga Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance
(Hoboken, NJ : John Wiley and Sons, 2007).
138
Status khali>fahtulla>h berlaku umum bagi semua
manusia; tidak ada hak istimewa bagi individu atau bangsa
tertentu sejauh berkaitan dengan tugas kekhalifahan itu.
Namun ini tidak berarti bahwa umat manusia selalu atau
harus memiliki hak yang sama untuk mendapatkan
keuntungan dari alam semesta itu. Mereka memiliki
kesamaan hanya dalam kesempatannya, dan setiap individu
bisa mendapatkan keuntungan itu sesuai dengan
kemampuannya.
Individu-individu dicipta oleh Allah Swt dengan
kemampuan yang berbeda-beda, sehingga mereka secara
instingtif diperintah untuk hidup bersama, bekerja bersama,
dan saling memanfaatkan keterampilan mereka masing-
masing. Namun demikian, Islam tidak memberikan
superioritas kepada pengusaha terhadap karyawan. Karena
itu individu-individu memiliki kesamaan dalam harga
dirinya sebagai manusia. Tidak ada pembedaan bisa
diterapkan atau dituntut berdasarkan warna kulit, ras,
kebangsaan, agama, jenis kelamin atau umur. Hak-hak
dan kewajiban-kewajiban ekonomik setiap individu
disesuaikan dengan kemampuan-kemampuan yang
dimilikinya dan dengan peranan-peranan normatif masing-
masing dalam struktur sosial.159
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban diatur sehingga
tercipta keseimbangan, arena itu prinsip persamaan
(musawah) maupun dengan prinsip persaudaraan
(ukhuwwah). Pemahaman terhadap hakekat manusia
sebagai “khali>fatulla>h fi al-Ard}i” mempunyai
konsekuensi pada landasan filosofis untuk membangun
159
Khondakar G Mowla, the Election of Caliph/Khalifah and
World Peace; Mohamed Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic
Thought: A Selected Comparative Analysis (Malaysia: Selangor Ikraq
1995); lihat juga Ridjaluddin, Nuansa-Nuansa Ekonomi Islam (Jakarta:
Sejahtera, 2007).
139
konsep ekonomi berdasarkan syari‟at Islam. Ahmad dan
Muhammad, misalnya memberikan landasan filosofis
sebagai berikut: Pertama, tauhid. Esensi tauhid ini adalah
komitmen total terhadap semua kehendak Allah, melibatkan
ketundukan dan tujuan pola hidup manusia terhadap
kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan merupakan sumber nilai
dan menjadi tujuan akhir manusia. Kedua, rububiyyah
terkait erat dengan hukum Tuhan atas alam yang
memberikan gambaran tentang model ketuhanan bagi
pengembangan sumberdaya dan hukum-hukumnya yang
saling terkait. Ketiga, khilafah yang didefinisikan sebagai
status dan peranan manusia, khususnya tanggungjawab
manusia muslim sebagai wadah khalifah. Dari konsep ini
berkembang dengan konsep-konsep lainnya. Seperti konsep
amanah, moral, politik, dan ekonomi. Keempat, tazkiyah
berhubungan dengan pertumbuhan dan ekspansi pada arah
kesempurnaan melalui pemurnian sikap dan hasilnya
berupa fala>h (kemenangan). Kelima, akuntabilitas yang
tumbuh dari diri muslim yang menyadari, dan yakin akan
adanya hari pembalasan, tempat segala sesuatu
dipertanggung jawabkan.160
Dalam hak kewajiban dibutuhkan tauhid, karena
merupakan fondasi ajaran Islam, sebab dunia dengan segala
isinya adalah milik Allah Swt dan berjalan menurut
kehendak-Nya (Q.S. al-Ma>‟idah [5]: 20, QS. al-Baqarah [2]: 6).
Manusia sebagai khalifah-Nya hanya mempunyai hak
khila>fat dan tidak absolut, serta harus tunduk melaksanakan
160
Landasan filosofis ini lihat Khurshid Ahmad, “Economic
Develovement in an Islamic Framework,” dalam Studies in Islamic
Economic, ed. Khurshid Ahmad (Jeddah: International Centre for
Research in Islamic Economics, King Abdul Aziz University, and the
Islamic Foudation, 1980); Muhammad Arif, “Toward the Syari‟ah
Paradigm of Islamic Economics: The Beginning of a Scientific
Revolution,” dalam the American Journal of Islamic Social Science 2
(1), 1985.
140
hukum-Nya, sehingga mereka yang menganggap kepemilikan
secara tak terbatas, berarti ingkar kepada kekuasaan Allah Swt.
Implikasi dari status kepemilikan menurut Islam, adalah hak
manusia atas barang atau jasa itu terbatas.161 Dalam konsep
tauhid, juga mengajarkan bahwa Allah Swt. adalah pencipta
semua makhluk dan semua makhluk tunduk kepada-Nya (Q.S.
al-An‟a>m [6]: 142-145; Q.S. an-Nahl [16]: 10-16; Q.S. Fa>t}ir
[35]: 27-29, QS. al-Z{umar [39]: 21).162 Pembangunan hak dan
kewajiban memberikan memberikan konstruk, bahwa
ketidakmerataan karunia nikmat, dan kekayaan yang
diberikan Allah kepada setiap makhluk-Nya merupakan
kuasa Allah Swt. semata. Tujuannya adalah agar mereka
yang diberi kelebihan, sadar menegakkan persamaan
masyarakat (egalitarian) dan bersyukur kepada-Nya (Q.S.
al-Hadi>d [57]: 7), persamaan dan persaudaraan dalam
kegiatan ekonomi, yakni shirkah dan qira>d atau bagi hasil (QS.
al-Baqarah [2]: 254, QS. al-Ma>‟idah [5]: 2).
Sehubungan dengan hak dan kewajiban dikontruk juga
dalam keadilan. Keadilan yang berimplikasi pada aktivitas
dan perilaku manusia. Implikasi itu terlihat pada keadilan
hokum, dalam makna bahwa al-Qur‟an memerintahkan agar
manusia memperlakukan semua orang sama dihadapan
hokum, dan tidak boleh membedakannya berdasarkan
aksiden-aksiden atau hal-hal yang melekat secara lahiriyah
yang dimilikinya (Q.S. an-Nisa> [4]: 58; Q.S. al-Ma>idah
[5]: 42; QS. at-Tat}fi>f [83]:1-3).163 Implikasi ekonomi dari
161
Yassine Essid, A Critique of the Origins of Islamic Economic
Thought (Leiden: Brill 1995); lihat juga Masudul Alam Choudhury,
Islamic Economic Co-Operation (Basingstoke: Macmillan, 1989). 162
Nimat Hafez Barazangi, Islamic Identity and the Struggle for
Justice (Gainesville: Univ. Press of Florida 2000). 163
Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of
Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982);
Muhammad Fu‟ad Abdul Ba>qi, al-Mu‟ja>m al-Mufahras li alfa>z al-
Qur‟a>n al-Kari>m (Mesir: Da>r al-Fikr, 1981); lihat juga M. Dawam
141
nilai ini, adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk
mengejar keuntungan pribadi, apabila hal itu merugikan orang
lain atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan
terkelompok dalam berbagai golongan yang men-z}alimi.
Dalam hubungan dengan hak dan kewajiban, tidak
lepas pula dari rasa tanggung jawab untuk berbagi, jika produk
dapat terjual dan keuntungan didapatkan. Berbagi dalam
pemakaian, yaitu kewajiban atas individu untuk tidak menyia-
nyiakan, menghancurkan ataupun untuk menggunakan
kepemilikan tersebut, untuk tujuan yang tidak dibolehkan oleh
syari‟at. Kedudukannya sesuai dengan konsep keadilan, dan hak
dalam Islam, dan tanggungjawab individu, serta komunitas.
Dalam sistem ekonomi Islam, setiap individu tidak hanya
membuat keputusan untuk dirinya sendiri, tetapi mereka juga
berinteraksi dengan anggota masyarakat yang lain, melalui
transaksi yang difasilitasi oleh kontrak eksplisit dan implisit.
Sebuah perjanjian, adalah suatu alat pengikat yang terikat
dengan waktu dan memiliki tujuan-tujuan. Konsep perjanjian
dalam Islam, tidak hanya penting untuk aspek pertukaran sah,
sebagai sebuah institusi yang diperlukan untuk pemuasan sah atas
kebutuhan manusia, tetapi juga merupakan konsep yang
berdasarkan pada shari>‟ah.
Landasan syariah adalah perjanjian antara Allah Swt.
dengan manusia/hamba, yang memaksa manusia atas
kewajiban setia dengan kata-katanya. Salah satu dengan
memahami perjanjian kontrak, sebagaimana mereka diminta
oleh keimanannya untuk menghormati perjanjian kontrak
tersebut. Hal ini juga, untuk menjamin bahwa semua pihak
dalam kontrak tersebut memiliki pengetahuan yang penuh
atas apa yang mereka komitmenkan, dan apa saja tangungjawab
mereka nantinya. Sebuah perjanjian dianggap mengikat, dan
terikat oleh syari‟ah. Hal juga yang tidak kalah pentingnya dalam
Raharjo, Ensiklopedi al-Quran:Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996).
142
membangun hak dan kewajiban bersama adalah rasa
kepercayaan. Kepercayaan dianggap sebagai elemen paling
penting dari permodalan sosial di dalam Islam atas hubungan
individu dengan Allah Swt. dan dengan yang lain dalam
masyarakat. Islam menempatkan penekanan yang sangat
besar atas kepercayaan, dan menganggap kepercayaan sebagai
sifat kepribadian yang wajib.164 Berdasarkan pertimbangan
kemas}lahatan (altruistic considerations) tidak semata-mata
didasarkan pada permintaan pasar (given demand
conditions). Kurva permintaan pasar tidak dapat
memberikan data sebagai landasan bagi suatu perusahaan
dalam mengambil keputusan tentang kuantitas produksi,
serta membangun hak dan kewajiban yang proporsional.165
Dari hal-hal tersebut, memperlihatkan bahwa nilai-
nilai efisiensi berkeadilan dalam membangun hak dan
kewajiban, dengan kata kunci bahwa bekerja dinilai sebagai
kebaikan, dan kemalasan dinilai sebagai kejahatan. Ibadah
yang paling baik adalah bekerja, dan pada saat yang sama
bekerja merupakan hak dan sekaligus kewajiban.
Karenanya eksistensi manusia diwajibkan untuk berusaha
dan bekerja untuk mengejar kesejahteraan. Status
kekhalifahan berlaku umum untuk setiap manusia, namun
tidak berarti selalu punya hak yang sama dalam
mendapatkan keuntungan. Kesamaan hanya dalam
164Mohamed Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic
Thought: A Selected Comparative Analysis; lihat juga Khurshid Ahmad,
“Economic Develovement in an Islamic Framework”. Akar kata “percaya”-
iman- sama dengan kata kepercayaan-amanah. Al-Qur‟an menekankan
kesetiaan atas perjanjian kontrak dan janji yang dibuat (QS. al-Mu‟minu>n
[23]: 1-8; QS. Bani> Isra>‟i>l [17]: 3-4; QS. ash-Shu>ra> [42]: 107, 125, 143, 162,
178, 193). 165
Muhammad Abdul Mannan, “the Behaviour of the Firm and Its
Objective in an Islamic Framework”, Readings in Microeconomics: an
Islamic Perspektif (Malaysia: Longman,1992); lihat juga M.M. Metwally,
“a Behavioural Model of an Islamic Firm,” Readings in Microeconomics:
an Islamic Perspektif (Malaysia: Longman,1992).
143
kesempatan, dan setiap individu dapat menikmati
keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya. Setiap orang
memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia,
sehingga hak dan kewajiban ekonomi individu disesuaikan
dengan kemampuan yang dimilikinya, dan dengan peranan
normatif masing-masing dalam struktur sosial.
Ekonomi Islam membangun kebersamaan dalam
pengembangan Sumber Daya Manusia bersandarkan pada
konsep penguasaan ketrampilan, kecakapan, dan
penilaian. Oleh karena itu pembangunan (development) yang
tepat, adalah pemberdayaan manusia dengan cara yang
terbaik, yang ditujukan untuk kegiatan produktivitas, yang
berupa pengembangan keterampilan, pengetahuan, dan
kapasitas kekuatan buruh. Sedangkan yang lainnya, seperti
pertumbuhan ekonomi, tingkat kesejahteraan yang lebih
tinggi, dan penyebaran pendapatan yang lebih adil, itu
semua sebenarnya merupakan dampak lebih lanjut dari
keberhasilan pemberdayaan manusia. Pada prinsipnya,
Sumber Daya Manusia bukanlah sesuatu yang sudah ada
sejak lahir, melainkan kemampuan yang diperoleh
kemudian sehingga Sumber Daya Manusia bisa
ditingkatkan dan diperbaiki. upaya menganalisis kualitas
sumber daya manusia dapat dinilai dari sisi fisik dan non
fisik. Dari sisi fisik dapat dinilai dari angka kematian, usia
harapan hidup, ukuran dan bentuk tubuh, kekuatan dan
kesegaran tubuh. Sedang dari sisi bukan fisik, tingkat
kepercayaan dan keimanan, tingkat kesetiakawanan sosial,
kemampuan hidup penduduk yang selaras dengan tuntutan
lingkungan.166
Dalam kehidupan ekonomi, Al-Qur‟an menunjukkan
banyak sekali tuntunan tatalaku agar manusia sukses di dunia
166
Abdul Hamid Mursi, asy-Syakhsiyatu al-Muntajah (Mesir:
Maktabah Wahbah, 1985); lihat M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu
Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam.
144
dan akhirat secara seimbang (Q.S. al-Qas}a>s [28]: 77).
Kebahagiaan dan keberuntungan di akhirat merupakan
insentif moral, agar orang menciptakan kebaikan dan menghindari
kerusakan dan agar orang memanfaatkan kesempatan yang diperoleh
dalam kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya. Karena
perhitungan dan kebahagiaan di akhirat ditentukan berdasarkan
pada perbuatan di dunia.167
Antara pola analisis kualitas sumber daya manusia
dengan dibangun etika ekonomi islam, menunjukkan bahwa
sumber daya manusia bukanlah alat produksi yang sekedar
memberi keuntungan semata, lebih dari itu peningkatan
sumber daya manusia bersama membangun sinergisitas
bersama dengan dasar etika dan manusiawi. Kebersamaan
dalam membangun Sumber Daya Manusia tidak dapat lepas
pada prinsip dasar, bahwa manusia adalah makhluk sosial
yang membentuk keseimbangan antara kebendaan dan
rohaniah. Keberhasilan sistem ekonomi Islam tergantung
kepada sejauh mana penyesuaian yang dapat dilakukan di
antara keperluan, kebendaan, dan keperluan rohani/etika
yang diperlukan manusia (Q.S. al-Ahza>b [33]: 72; QS.
Hu>d [11]: 61; Q.S. al-Baqarah [2]: 30).168 Pemanfaatan
kemajuan dicapai oleh ilmu pengetahuan bisa dinikmati
oleh masyarakat dari semua strata ekonomi. Karyawan
golongan rendah diberikan kesempatan mengembangkan
sumber daya manusia masing-masing sama dengan
167
Lihat Abdel Hamid el-Ghazali, Man is the Basis of the Islamic
Strategy for Economic Development (Jeddah: Islamic Research and
Training Institute Islamic Development Bank, 1994); M. Dawam Raharjo,
Etika Ekonomi dan Manajemen (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990); untuk
perbandingan lihat juga Riza Prima Henda, Kemiskinan dan
Kemandirian: Catatan Per]alanan dan Reneksi Bina Swadaya (Jakarta:
Yayasan Bina Swadaya, 2003). 168
Jamaluddin At}iyah, Nahwa Taf‟i>l al Maqa>sid (Beirut: Dar
al-Kutub al-Arabiah, 2003).
145
kesempatan pemimpin perusahaan dalam struktur seimbang
dan proporsional.169
Nilai-nilai sosial dan humanitarin merupakan
ultimat, melalui proses filterisasi moral, yang bertujuan
menjaga self-interest dalam batas-batas kemaslahatan sosial
(social interest), dalam arti bahwa pengembangan Sumber
Daya Manusia dilakukan dengan cara mengubah preference
individu menurut prioritas sosial, dan menghapuskan atau
meminimalkan penggunaan sumber-sumber daya yang
bertujuan menggagalkan realisasi kemas}lahatan sosial.
Sistem ekonomi Islam pada dasarnya mendorong terjadinya
equilibrium antara self-interest dan social interest, sehingga
paradoks-paradoks yang lahir dari ketidak- seimbangan
antara dua nilai ini dapat diminimalisir.170
Upaya mencapai hal tersebut, diperlukan
keorganisasian yang memungkinkan masyarakat mencapai
suatu tujuan yang tidak dapat dicapai individu secara
perseorangan. Organisasi sebagai satuan sosial yang
dikoordinasi secara sadar, terdiri dari dua orang atau
lebih yang berfungsi atas dasar yang relatif terus
menerus untuk mencapai tujuan atau seperangkat tujuan
bersama antar pemimpin (ar-ra>i) dan yang dipimpin
(ar-raiyyah). Perubahan lingkungan bisnis dan kemajuan
teknologi informasi menuntut organisasi untuk
memperbaharui konsep tentang kepemimpinan dalam
rangka menghadapi persaingan global, kepemimpinan
169
Antony Black, Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi
hingga Masa Kini (Jakarta: Serambi, 2006); lihat juga dinamika
keorganisasian dan manajerial masa kerajaan Islam dalam Abdullahi
Ahmed an-Na>'im, et al, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan
Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 1428). 170
Lihat M. Umer Chapra, al-Isla>m wa al-Tahaddi> al-
Iqtişa>d; lihat juga Ahmad Muhammad al-„Assâl, dan Fathi> Ahmad
„Abd al-Kari>m, al-Niza>m al-Iqtişa>di fi> al-Isla>m (Kairo: Maktabah
al-Wahbah, 1997).
146
kerap kali dipandang sebagai kualitas pribadi yang
didefinisikan dengan jelas seperti visi, kharisma,
intelegensi dan keuletan yang hanya dimiliki segelintir
orang saja, namun sebenarnya konsep kepemimpinan
hendaknya dipahami bukan saja sebagai serangkaian
kualitas individu, tetapi lebih sebagai fenomena
relasional.
Pengaruh pemimpin merupakan salah satu aspek
terpenting kepemimpinan, dalam kaitannya dengan
efektivitas kepemimpinan, usaha bawahan dan kepuasan
kerja bawahan. Kunci efektivitas kepemimpinan adalah
perilaku yang disesuaikan dengan situasinya. Pemimpin
efektif akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik,
tidak hanya ditunjukkan dari kekuasaan yang dimiliki,
tetapi juga ditunjukkan dari sikap atasan memotivasi
karyawan dalam melaksanakan tugasnya, dan
meningkatkan produktifitas kerja.171
Dalam perspektif ini, maka makin baik hubungan
antara pemimpin dengan karyawan, makin terstruktur
pekerjaan yang dilakukan, dan makin kuat kekuasaan
pemimpin, akan banyak kendali terhadap pengaruh
pemimpin. Di samping gaya kepemimpinan, motivasi juga
merupakan faktor lain penunjang kinerja dari seorang
karyawan, walaupun mesin-mesin otomatis sudah merajai
dunia ekonomi konvensional. Tetapi, perkembangan
Sumber Daya Manusia tetap merupakan satu penentu atas
tercapainya tujuan perusahaan, karena alat atau mesin-
mesin teknologi pada hakekatnya ciptaan hasil karya
manusia. Untuk pencapaian semua itu, perusahaan harus
171
Robert W. Hafner, Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal,
Kapitalisme dan Demokrasi (Yogyakarta: LKIs, 2000); sebagai
perbandingan membangun produktifitas kerja, Tony Hartono, Mekanisme
Ekonomi dalam Konteks Ekonomi Indonesia (Bandung: Rosdakarya,
2006).
147
dapat memberikan motivasi yang meliputi berbagai
aspek, yaitu: fisiologis, keselamatan dan keamanan kerja,
sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. Hal tersebut dapat
mendorong semangat kerja mereka.172
Kreatifitas kepemimpinan dan bawahan yang
berupaya bersama-sama mensinerjikan peningkatan Sumber
Daya Manusia, berarti terjadi sebuah prinsip gerakan untuk
maju dalam bekerja. Dengan prinsip ini, Islam menolak
pandangan yang statis, dan mengikuti pola hidup yang
dinamis. Prinsip kemajuan dalam Islam adalah bekerja untuk
mencapai falah, dan menyiapkan kondisi yang membantu
dirinya untuk menjadi manusia yang layak di setiap aspek
dan dimensi eksistensinya, maka dia akan terbebaskan dari
egoisme dan hawa nafsu yang membelenggu dirinya. Kerja
merupakan kunci untuk memanfaatkan Sumber Daya
Alam.173
Pada dasarnya, tidak ada kerja berarti tak ada
pendapatan, tidak ada usaha mengembangkan sumber daya
manusia bersama, berarti tidak ada peningkatan kualitas
dan kuantitas usaha yang berdaya saing. Dalam Islam,
orang yang bekerja keras mencari nafkah adalah setara
dengan orang yang berjuang di jalan Allah, bertujuan untuk
memperkuat basis integritas, dan moralitas manusia, serta
memasyarakatkan keadilan sosial. Disamping itu, sistem
ekonomi Islam yang mengedepankan sosial kapital sebagai
sebuah icon sentral, seperti dicontohkan Nabi Muhammad
Saw. dalam membangun tatanan perekonomian berbasis
partnership akan terwujud dengan kebersamaan, dalam
melakukan pengembangan Sumber Daya Manusia, yang
172
Nur al-Di>n Mukhta>r al-Kha>dimi, al-Ijtiha>d al-
Maqa>shid (Qatar: Wiza>rat al-Awqa>f wa al-Syuun al-Isla>miyah,
2003). 173
Muhammad Iqbal, the Reconstruction of Religious Thought in
Islam (Lahore: Sang-E-Mell Publications, 2004).
148
seiring dengan kemajuan, dan perkembangan
perekonomian.174
Perwujudan atas upaya meningkatkan Sumber Daya
Manusia bersama, berarti ada upaya meningkatkan
“kebutuhan” untuk memenuhi standar bagi pemeliharaan
keselamatan agama, sebagaimana “kebutuhan” dalam
Islam, dimana kemaslahatan jiwa, akal dan keturunan harus
terpelihara, dan dipenuhi segala hak dasar kebutuhan
ekonominya, dengan cara melakukan segala sesuatu yang
memungkinkan untuk itu, agar produksi berupa makanan
dan pakaian mencukupi kebutuhan, pendidikan yang
sinkron, pengembangan rohani dan akal, tempat tinggal dan
lingkungan secara rohani dan materi, sarana kesehatan dan
transportasi yang memadai, waktu istirahat yang cukup
untuk melaksanakan semua kewajiban-kewajiban pokok
bagi keluarga dan masyarakat, serta kesempatan kerja
secara layak.175
Dari berbagai perspektif tersebut, maka terlihat tata
letak efisiensi kebersamaan dalam pengembangan Sumber
Daya Manusia pada aspek pembangunan tata nilai
keseimbangan dalam struktur kerja. Kebersamaan dalam
meningkatkan kualitas etos kerja dan produktifitas, dengan
tidak memilah kelompok kerja, dan membangun informasi
berdaya saing di setiap kelompok usaha. Setiap pelaku
174Akhtar, Shamshad "Islamic Finance: Emerging Challenges of
Supervision", Paper presented in the 4th
Islamic Services Board Summit
held at Dubai, United Arab Emirates on May 15. (2007); lihat juga
Salman Ali, Islamic Capital Market Products: Developments and
Challenges, (Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 2005). 175
Lihat Al-Ghaza>li>, dalam M. Umer Chapra, al-Isla>m wa al-
tahadd> al-iqtis>d>; dan lihat Al-Khayya>ţ, al-Mujtama‟ al-mutaka>fil
fi> al-Isla>m, 91; Abdullahi Ahmed An-Na'im, Dekonstruksi Syari'ah:
Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan
Internasional dalam Islam (Yogyakarta: Penerbit LKiS, 2001); Krishna
Adityangga, Membumikan Ekonomi Islam: Diskursus Pengembangan
Ekonomi Berbasis Syari'ah (Yogyakarta: Pilar Media, 2006).
149
ekonomi diberikan kesempatan untuk meningkatkan
kualitas kerja, sehingga terjalin kebersamaan meningkatkan
“kebutuhan” untuk memenuhi hak dasar hidup. Kualitas
Sumber Daya Manusia tidak bisa terjalin dengan baik, jika
masih terjadi kesenjangan sosial dengan pola kerja statis,
dan pemimpin yang tidak membangun kemitraan.
Pengalaman kerja dan pelatihan tidak hanya untuk satu
kelompok, sementara kelompok lain hanya belajar dengan
realitas lingkup kecilnya sendiri. Karenanya, ilmu bantu
semisal studi kelayakan, manajemen usaha, dan manejemen
Sumber Daya Manusia semakin menjadi penting dalam
menilai pola dan cara kerja menuju kebersamaan usaha.
Ekonomi Islam membangun kebebasan berusaha dan
berkreatifitas berdasarkan prinsip nilai-nilai hak asasi
manusia.176 Manusia siapa pun dan dalam strata apapun
harus dihormati hak-haknya tanpa perbedaan. Semua
memiliki hak hidup, hak berbicara, dan mengeluarkan
pendapat, hak beragama, hak memperoleh pekerjaan dan
berserikat yang dicakup oleh Deklarasi Hak-Hak Asasi
Manusia (Q.S. al-Baqarah [2]: 30; Q.S. al-Jatsiyah [45]:
12-13; Q.S. al-Hujura>t [49]: 13). Dalam berbagai kajian
Islam bahwa kebebasan mengandung tiga makna sekaligus.
Makna pertama, kebebasan identik dengan „fitrah‟, orang
yang bebas ialah orang yang hidup selaras dengan fitrahnya,
karena pada dasarnya ruh setiap manusia telah bersaksi
bahwa Allah itu Tuhannya. Sebaliknya, orang yang
menyalahi fitrah dirinya sebagai abdi Allah sesungguhnya
176
Beberapa kajian penting yang bahas masalah HAM, lihat
Ahmed an-Naim, "Syari'ah and Basic Human Rights Concerns", dalam
Liberal Islam: A Sourcebook, ed. Charles Kurzman (Oxford: Oxford
University Press, 1998). Lihat juga Siraj Sait; Land Hilary Lim, Law and
Islam: Property and Human Rights in the Muslim World (London: Zed
Books, 2006).
150
tidak bebas dalam arti „bebas‟ (hur) dari ikatan hukum, dan
dari sifat-sifat mafsadah.177
Makna kedua dari kebebasan adalah manusia (Q.S.
al-Kahf [18]: 29; Q.S. asy Syu>ra> [42]: 20). Kebebasan
yang ketiga adalah „memilih yang baik‟ (ikhtiya>r).
Disamping itu, kebebasan dalam Islam bukan hanya
meliputi kemerdekaan/kebebasan dari perbudakan dan
penjajahan, tetapi mencakup arena atau bidang yang sangat
luas, yaitu: kebebasan berbicara atau melahirkan pendapat
(freedom of speech); kebebasan dari rasa ketakutan
(freedom from fear); kebebasan dari kemiskinan (freedom
from want); dan kebebasan beragama (freedom of
religion).178\ Salah satu kontribusi Islam yang paling
orisinil dalam filsafat sosial adalah konsep mengenai
manusia „bebas‟. Hanya Tuhanlah yang mutlak bebas, tetapi
dalam batas-batas skema penciptaan-Nya manusia juga
secara bebas. Kemahatahuan Tuhan, meliputi segala
kegiatan manusia selama ia tinggal di bumi, tetapi
kebebasan manusia juga diberikan oleh Tuhan.
Prinsip kebebasan ini pun mengalir dalam ekonomi
Islam. Prinsip transaksi ekonomi yang menyatakan asas
hukum ekonomi adalah halal, seolah mempersilahkan para
177
ar-Raghib al-Ishfaha>ni, Mufradat Alfa>zh al-Qur‟a>n
(Lubna>n: Da>r al-Kutb al-Ilmiah, tt); lihat juga Charles Birch; David
Paul, Life and Work: Challenging Economic Man (Sidney: UNSW Press,
2003). 178
Nagendra K Singh, Social Justice and Human Rights in Islam
(New Delhi: Gyan Publ. House, 1998). Seperti dijelaskan sebelumnya
bahwa dalam UUD 1945 ada beberapa hak asasi yang patut didapatkan
oleh setiap warga negara Indonesia, seperti hak untuk hidup, persamaan
kedudukan (pasal 27); kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat
(pasal 28); kemerdekaan beragama (pasal 29); dan hak mendapat
pengajaran (pasal 31). Konsep kebebasan yang termaktub dalam Piagam
Madinah, untuk penjelasan yang lebih luas lihat Ahmad Sukardja,
Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: UI Press;
1995).
151
pelakunya melaksanakan kegiatan ekonomi sesuai yang
diinginkan, menumpahkan kreativitas, modifikasi dan
ekspansi seluas sebesar-besarnya, bahkan transaksi bisnis
dapat dilakukan dengan siapa pun secara lintas agama.
Dalam kaitan ini, diperoleh pelajaran yang begitu banyak
dari Nabi Muhammad Saw., termasuk skema kerja sama
bisnis yang dieksplorasi Nabi Muhammad Saw. Di luar
praktek ribawi yang dianut masyarakat masa itu. Model-
model usaha tersebut, antara lain: mud}a>rabah,
musha>rakah, mura>bahah, „ija>rah, waka>lah, sala>m,
istis}na>.179
Jaminan atas implikasi kebebasan dalam konsep
Islam, diantaranya: (1) kebebasan yang terjamin maka hak-
hak individu seperti hak berpendapat lebih terjamin
(orientasi demokrasi); (2) kebebasan yang terjamin akan
memberikan stimulus atau rangsangan bagi setiap orang
untuk berpikir dan bertindak lebih kreatif dan inovatif,
karena tidak ada ketakutan kalau pikiran dan cara-cara
”baru” itu mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri; (3)
kebebasan (berpendapat) akan semakin memungkinkan
terciptanya tatanan yang lebih berkeadilan karena
memberikan kemungkinan yang semakin besar pada tiap
masyarakat untuk menyampaikan gagasan dan aspirasinya,
berpartisipasi secara lebih luas dalam pengambilan
kebijakan-kebijakan publik (demokrasi deliberatif); (4)
kebebasan (berpikir) akan memberikan peluang yang lebih
besar dalam pencarian kebenaran, karena dengan adanya
kebebasan berpikir bisa memperkuat atau merevisi
179
Husein Nasr, Islamic Work Ethics (England: Hamdard
Islamicus, tt); Ibn Rusyd, Bida>yatu al-Mujtahid wa Niha>yatu al-
Muqtashi>d, juz II (Beirut: Da>r al-Fikr, tt); Monzer Kahf, “a
Contribution to the Theory of Consumer Behavior in an Islamic Society”,
dalam Studies in Islamic Economics, disunting oleh Khursid Ahmed, the
Islamic Foundation (America: Leicester, 1980).
152
kebenaran saat ini yang telah mapan, atau bahkan
menemukan kebenaran-kebenaran lain berada di luar
kebenaran dominan.180
Semua aktifitas tersebut dibutuhkan pula kreatifitas
yang tidak bebas nilai. Kreativitas merupakan cara berpikir
yang selalu berkembang dan inovatif sesuai dengan
zamannya. Manusia diberikan kelebihan oleh Sang Pencipta
berupa akal dan pikiran. Dengan akal tersebut kita bisa
melakukan perenungan dan pemikiran sebagai proses untuk
dapat melakukan sesuatu yang akan membuahkan hasil.
Hasil itu akan baik dan bermanfaat jika dikemas dengan
sesuatu yang punya nilai kreatif. Kreatif merupakan kata
yang selalu ditujukan bagi orang-orang yang berhasil
menciptakan sesuatu yang berbeda dan menarik perhatian
secara umum. Orang-orang kreatif ini bekerja menggunakan
akal dan pikiran, selain tergantung mood pada pekerjaan
tersebut.181
Gaya kreativitas merupakan cara seseorang dalam
mengakomodasikasikan proses berpikir kreatifnya. Proses
tersebut dibagi dalam dua macam, yaitu: Pertama, adaptive
problem solving. Gaya ini cenderung dimiliki oleh orang
yang menggunakan kreativitasnya untuk menyempurnakan
sistem dimana mereka bekerja. Hal-hal yang terlihat pada
cara mereka yang akan berusaha sebaik mungkin untuk
membuat sistem menjadi lebih baik, lebih cepat, lebih
murah dan efisien. Apa yang mereka lakukan akan dapat
dilihat hasilnya secara cepat. Oleh karena itu, mereka lebih
sering mendapat penghargaan. Kedua, innovative problem
180
Muhammad Baqir S}ada>r, Keunggulan Ekonomi Islam:
Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem
Ekonomi Islam; M. Umer Chapra, the Future of Economics: an Islamic
Perspective. 181
Lihat Ozay Mehmed, Islamic Identity and Development:
Studies of the Islamic Periphery (New York: Chapman and Hall Inc,
2001).
153
solving, gaya ini dimiliki orang dimana cara kerjanya
cenderung menantang dan mengubah sistem yang sudah
ada. Mereka ini sering disebut sebagai “agent of change”,
karena lebih memfokuskan pada penemuan sistem baru
daripada menyempurnakan yang sudah ada. Dalam
perusahaan mereka biasanya ada pada bagian-bagian yang
melakukan riset, penciptaan produk baru, mengantisipasi
kebutuhan pelanggan tanpa diminta, dan orang-orang yang
menjaga kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan
datang. Kedua gaya tersebut tidak bisa bebas nilai, tetap
berpijak pada nilai-nilai Shari>‟ah.182
Dalam melakukan kreatifitas usaha dilakukan dengan
tahapan, yaitu: Pertama, eksplorasi. Di tahap ini pekerja
mengidentifikasikan hal-hal apa saja yang ingin dilakukan
dalam kondisi yang ada dalam lingkungan proses berpikir
kreatif. Kedua, inventing. Pada tahap ini, sangat penting
bagi perusahaan atau usaha untuk melihat atau mereview
berbagai alat, teknik dan metode yang telah dimiliki yang
mungkin dapat membantu dalam menghilangkan cara
berpikir yang tradisional. Ketiga, pemilihan, tahap memilih
dimana satu perusahaan atau satu usaha mengidentifikasi,
dan memilih ide-ide yang paling mungkin, serta mudah
untuk dilaksanakan. Keempat, implementasi. Tahap akhir
untuk dapat disebut kreatif adalah bagaimana membuat
suatu ide dapat diimplementasikan. Seseorang bisa saja
memiliki ide cemerlang, tetapi jika ide tersebut tidak dapat
diimplementasikan, maka hal itu menjadi sia-sia saja, atau
dapat diimplemtasikan namun melanggar aturan-aturan
shari>‟at Islam, maka hal itu juga tidak dapat dibenarkan.183
182
Lihat Masudul Alam Choudhury, Comparative Economic
Theory: Occidental and Islamic Perspectives (Boston: Kluwer 1999).
Lihat juga M Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. 183
Veithzal Rivai, Islamic Human Capital dari Teori ke Praktek
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009); Musa Asyarie, Islam, Etos Kerja
154
Beberapa cara untuk mendorong kreativitas dan inovasi
dalam sebuah perusahaan/usaha yaitu: Pertama,
pengukuran terhadap hal yang sudah dilakukan. Perusahaan
dianjurkan untuk memasukkan unsur kreativitas dan inovasi
ke dalam proses evaluasi kerja. Contoh: memasukkan unsur
penilaian tentang berapa banyak ide dari seseorang atau
kelompok yang dapat diimplementasikan oleh perusahaan;
Kedua, penempatan karyawan dengan konsep the right
people with the right job, juga merupakan salah satu cara
yang tepat untuk menstimulasi munculnya kreativitas dan
inovasi.184
Mencapai hal tersebut, diperlukan konsep
manajemen185 perusahaan Islami, dimana digariskan bahwa
hakekat amal perbuatan manusia harus berorientasi pada
pencapaian ridha Allah. Kebebasan berkreatifitas tetap
dalam niat dan cara yang sesuai dengan shari>‟at Islam,
sehingga selalu dalam golongan ahsan (ahsanul amal) [Q.S.
al-Mulk [67]: 2]. Keberadaan manajemen organisasi harus
dipandang pula sebagai suatu sarana untuk memudahkan
implementasi kaedah berfikir dan kaedah amal dalam
seluruh kreatifitas yang ingin dibuat dan dijalankan.
Sebagai kaedah berfikir, aqidah dan shari>‟ah difungsikan
sebagai asas atau landasan pola pikir dan beraktifitas,
sedangkan sebagai kaedah amal, shari>‟ah difungsikan dan Pemberdayaan Ekonomi Umatan (Yogyakarta: Lesfi, 2000); Suyoso
Sukarno, Pembinaan Tenaga Manusia (Jakarta: Logos, 2002). Lihat juga
Charles A. Job, “Waterlaw in Muslim Countries as to Ground Water”
dalam Groundwater Economics (USA: Taylor and Francis Group, LLc,
2010). 184
Veithzal Rivai, Islamic Human Capital: dari Teori ke Praktek;
Nick Boulter; Murray M Dalziel; Jackie Hill, Achieving the Perfect Fit:
How to Win with the Right People in the Right Jobs (Houston, Tex.: Gulf
Publication. Co., 2001). Lihat juga Ozay Mehmed, Islamic Identity and
Development: Studies of the Islamic Periphery. 185
Lihat Mamduh M. Hanafi, Manajemen (Yogyakarta: UPP
AMPYKM, tt).
155
sebagai tolak ukur kegiatan organisasi. Tolak ukur syari‟ah
digunakan untuk membedakan aktivitas yang halal dan
haram. Kebebasan berusaha dan berkreatifitas menjadi
aktivitas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang akan
selalu terikat dengan shari>‟ah. Maka disini nilai mas}lahah
yang termaktub dalam kaedah ushul fiqh ”al-As}lu fi> al-
Af‟a>l, at-Taqayyudu bi al-Hukm al-Shar‟iy”186 seperti
termaktub dalam ayat al-Qur‟an (Q.S. al-Ja>tsiyah [45]: 18;
Q.S. an-Nisa> [4]: 65; Q.S. al-Has}r [59]: 7). Ini berarti,
semua aktifitas mementingkan perilaku yang terkait denga
nilai-nilai keimanan dan ketauhidan, serta mementingkan
adanya struktur organisasi yang terorganisasi, terencana dan
terkontrol.187
Dalam kebebasan berusaha dan berkreatifitas,
kebersamaan pengembangan Sumber Daya Manusia tidak
dapat lepas dari hak dan kewajiban dalam masalah upah.
Upah sebagai pemberian imbalan kepada pekerja tidak
tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di
perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang
dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji
terkait dengan imbalan uang yang diterima oleh karyawan
atau pekerja tetap, dan dibayarkan sebulan sekali atau
berdasarkan kesepakatan kerja, maupun berdasarkan
peraturan yang sudah ditetapkan baik internal maupun
peraturan pemerintah.188
186
Hukum asal setiap perbuatan adalah terikat dengan syari‟ah,
Maji>d Hami>d, Atsaru al-Mas}lahah fi> al-Shari>‟at (Jordaniah: al-
Da>r al-I‟lmiyyah al-Dauliyah wa Da>r li an-Nasr wa al-Tauzi‟, jilid I,
2002). Lihat juga Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari Nalar
Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LkiS, 2005). 187
Veithzal Rivai, Islamic Human Capital: dari Teori ke Praktek;
Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari'ah (Yogyakarta: LKiS,
2000). 188
Lihat Ahmad S. Ruky, Manajemen Penggajian dan
Pengupahan Karyawan Perusahaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
156
Berbagai penafsiran terhadap konsep upah dalam
nash seperti dalam Q.S. at-Taubah [9]: 105; Q.S. an-Nahl
[16]: 97; Q.S. al-Kahf [18]: 30 yang disebutkan bahwa
seorang yang bekerja pada suatu badan usaha (perusahaan)
dapat dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat
perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau
mengusahakan barang-barang yang haram. Dengan
demikian, maka seorang karyawan yang bekerja dengan
benar, akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di dunia
dan imbalan di akhirat. Ayat di atas bermakna bahwa
janganlah seseorang merugikan orang lain, dengan cara
mengurangi hak-hak yang seharusnya diperolehnya.189
Dalam pengertian yang lebih jauh, hak-hak dalam
upah bermakna bahwa janganlah mempekerjakan upah
seseorang, jauh dibawah upah yang biasanya diberikan.
Misalnya saja untuk seorang staf administrasi, yang upah
perbulannya menurut pasaran adalah Rp 900.000,-. tetapi
di perusahaan tertentu diberi upah Rp 500.000,-. hal ini
berarti mengurangi hak-hak pekerja tersebut. Dengan kata
lain, perusahaan tersebut telah memotong hak pegawai
tersebut sebanyak Rp 400.000,- perbulan. Jika ini dibiarkan
terjadi, maka pengusaha sudah tidak melakukan nilai-nilai
efisiensi bagi si pekerja tersebut.
Kebebasan berusaha dan berkreatifitas dapat berjalan
dengan optimal, manakala upah dalam dimensi moral yang
bercirikan adil dan layak dilaksanakan. Dalam arti bahwa
adil diberikan harus jelas, transparan dan proporsional
sesuai dengan tingkat kreatifitas yang dibuat, layak berarti
dapat mencukupi kebutuhan pangan, sandang, dan papan
serta tidak jauh berada di bawah pasaran. Aturan
2001). Lihat juga Aris Ananta, Ekonomi Sumber Daya Manusia (Jakarta:
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, tt). 189
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 5 (Bandung: Mizan,
2000).
157
manajemen upah ini perlu didudukkan pada posisinya, agar
memudahkan bagi kaum muslimin atau pengusaha muslim
dalam mengimplementasikan manajemen shari>‟ah dalam
pengupahan karyawannya di perusahaan.190 Selanjutnya,
Nabi Muhammad Saw. mewariskan pula pilar tanggung
jawab dalam kerangka dasar etika bisnisnya. Kebebasan
harus diimbangi dengan pertanggungjawaban manusia,
setelah menentukan daya pilih antara yang baik dan buruk,
harus menjalani konsekuensi logisnya (Q.S. al-Muddaththir
[74]: 3; Q.S. al-An'a>m [6]:164; Q.S. al-Ra‟ad [13]: 11;
Q.S. al-Anfa>l [8]: 25.
Dengan penilaian tersebut, efisiensi berkeadilan
dalam kebebasan berusaha dan berkreatifitas berpijak pada
nilai-nilai syariah, sehingga semua aktifitas kerja dapat
berdaya guna baik untuk pribadi maupun untuk
kemas}lahatan umat. Selanjutnya, dalam memahami sistem
nilai diawali dari prinsip kegiatan produksi yang merupakan
mata rantai dari konsumsi, maka tanpa kegiatan produksi
yang menghasilkan barang dan jasa tak akan ada yang bisa
dikonsumsi. Oleh karena itu, kegiatan produksi merupakan
suatu hal yang diwajibkan, karena tanpa kegiatan produksi,
maka aktifitas kehidupan akan berhenti. Manusia butuh
makan, minum agar bisa beraktifitas dan beribadah, perlu
pakaian untuk menutupi aurat dan beribadah, serta butuh
tempat tinggal untuk melindungi dirinya serta beribadah
juga berbagai kebutuhan lainnya.
Allah Swt. telah menyediakan bahan bakunya
berupa kekayaan alam yang sepenuhnya diciptakan untuk
kepentingan manusia (Q.S. an-Nahl [16]: 10, 11,12,18).
Karena itu nilai dasar dalam berekonomi adalah bekerja
keras memanfaatkan semua sumber daya itu seoptimal
190
Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi
Islam; Ahmad S. Ruky, Manajemen Penggajian dan Pengupahan
Karyawan Perusahaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001).
158
mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (QS al-
Qas}as} [28]: 73; Q.S. al-Ru>m [30]: 23; Q.S. al-Nisa>
[4]: 32; dan Q.S. al-Saba> [78]: 11). Allah memerintahkan
manusia untuk melakukan perubahan yang lebih baik,
dengan menggali dan menggunakan Sumber Daya Alam
yang tak terbatas di dunia ini, melalui pengelolaan, modal,
kemampuan dan kecenderungannya di dalam proses
produksi.191
Secara umum tata nilai produksi adalah suatu usaha
untuk menghasilkan dan menambah daya guna dari suatu
barang, baik dari sisi fisik materialnya maupun dari sisi
moralitasnya, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup
manusia sebagaimana yang digariskan dalam nilai-nilai
agama, yaitu mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat
sebagai upaya menguatkan pembangunan.192 Karena pada
dasarnya produksi adalah kegiatan yang menghasilkan
barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh
konsumen, maka tujuan produksi harus sejalan dengan
tujuan konsumsi sendiri, mencapai falah.193 Dengan
demikian, maka akan teraplikasi dimana seluruh kegiatan
produksi terikat pada tatanan nilai moral dan tehnikal yang
Islami, seperti halnya dalam kegiatan konsumsi. Artinya,
bahwa seluruh kegiatan produksi mulai dari kegiatan
mengorganisir faktor-faktor produksi, proses produksi
191Muqrin, Khālid ibn Sad ibn Muhammad, Awa>bi al-intaj fi>
al-iqtia>d al-isla>mi> wa-atharuha> alá al-inta>j wa-al-inta>ji>yah
(al-Riyād: al-Mamlakah al-Arabīyah al-Sa‟ūdīyah, Wizārat al-Ta‟līm al-
Āli>, Jāmi‟at al-Imām Muhammad ibn Sa‟ūd al-Islāmīyah, 2004). 192
Muhammad Abdul Mun‟im A‟fa>r, al-Tanmiya al-
Iqtis}a>diya li Duwali al-„Ālam al-Isla>mi> (Jeddah, Da>r al-Mujtama‟
al-Ilmi>, tt). 193
Falah atau muflihun adalah kesuksesan jangka panjang, dunia
dan akherat seperti termaktub dalam Q.S. Ali Imron (3): 104. Lihat Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam
Indonesia Jogjakarta, Ekonomi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2008).
159
hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen harus
mengikuti aturan-aturan dalam Islam. Seperti larangan
memproduksi barang-barang dan jasa yang dapat merusak
nilai-nilai moralitas sehingga menjauhkan manusia dari
nilai-nilai religius, walaupun secara ekonomi
menguntungkan.194
Dalam sistem nilai produksi diupayakan
memperhatikan aspek sosial kemasyarakatan. Artinya,
kegiatan produksi harus menjaga nilai-nilai keseimbangan,
dan harmoni lingkungan sosial, serta lingkungan hidup
masyarakat. Jadi, produksi bukan hanya untuk kepentingan
produsen semata, tetapi masyarakat secara keseluruhan
harus dapat menikmati hasil produksi secara memadai dan
berkualitas. Dari aspek ini, kemalasan dan pengabaian
optimalisasi segala karunia Allah Swt., baik dalam bentuk
Sumber Daya Manusia, maupun Sumber Daya Alam
menjadi kesalahan yang tidak bisa diabaikan. Dengan
demikian, prinsip produksi dalam pandangan Islam bukan
sekedar efisiensi, tetapi secara luas adalah bagaimana
mengoptimalkan Sumber Daya Ekonomi dalam upaya
pengabdian manusia kepada Tuhannya.
Menurut al-Qard}a>wi195 ada empat aspek terkait
keadilan distribusi, yaitu: (1) gaji yang setara (al-ujrah al-
mithl) bagi para pekerja; (2) profit atau keuntungan untuk
pihak yang menjalankan usaha atau melakukan
perdagangan melalui mekanisme mudharabah maupun bagi
hasil (profit sharing) untuk modal dana melalui mekanisme
musyarakah; (3) biaya sewa tanah serta alat produksi
194
Mahmu>d Muhammad Bablali>, al-Kasbu wa al-infa>q wa
ada>lat al-Tauzi>‟ fi> al-Mujtama‟ al-Isla>mi> (Beirut: Maktab al-
Isla>mi>, 1988). Lihat juga Muhamad Alimin, Etika dan Perlindungan
Konsumen dalam Ekonomi Islam (Yogyakarta: Badan Penerbitan
Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, 2004). 195
Yusu>f Qard}a>wi, Da>r al-Qiya>m wa al-Akhla>q fi> al-
Iqtisha>di al-Isla>mi (Kairo: Maktabah Wahwah , 1995).
160
lainya; (4) tanggung jawab pemerintah terkait dengan
peraturan kebijakannya. Adapun sistem yang kedua,
dimensi sosial, yaitu Islam menciptakannya untuk
memastikan keseimbangan pendapatan di masyarakat.
Mengingat tidak semua orang mampu terlibat dalam proses
ekonomi karena yatim piatu, jompo dan cacat tubuh, Islam
memastikan distribusi bagi mereka dalam bentuk zaka>t,
infaq dan s}adakah.196
Hal tersebut ditegaskan Mannan bahwa kegiatan
produksi dalam perspektif Islam bersifat altruistik, yaitu
mementingkan kepentingan orang lain tanpa mengabaikan
kepentingan diri sendiri, karena secara umum Islam
menekankan keseimbangan antara keduanya. Sehingga
produsen tidak hanya mengejar keuntungan maksimum
saja, sebagaimana dalam kapitalisme, tetapi dia mempunyai
tujuan lebih luas, yaitu mencapai falah di dunia dan
akhirat.197 Tahapan-tahapan yang ditawarkan oleh Mannan
cukup konkrit dan realistik. Hal ini berangkat dari
pemahamannya bahwa dalam melihat ekonomi Islam tidak
ada dikhotomi antara aspek normatif dengan aspek positif.
Secara jelas Mannan mengatakan “...ilmu ekonomi positif
mempelajari masalah-masalah ekonomi sebagaimana
adanya (as it is). Ilmu ekonomi normatif peduli dengan apa
seharusnya (ought to be)...” penelitian ilmiah ekonomi
modern (Barat) biasanya membatasi diri pada masalah
196
Lihat Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi
Islam; Armiadi, Zakat Produktif: Solusi Alternatif Pemberdayaan
Ekonomi Umat (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2008). 197
Lihat Muhammad Abdul Mannan, the Making of Islamic
Economic Society: Islamic Dimensions in Economic Analysis (Kairo,
Egypt: International Association of Islamic Banks; Turkish Federated
State of Kibris, Turkish Cyprus: International Institute for Islamic
Banking and Economics, 1984). Lihat juga Muhammad Abdul Mannan,
the Frontiers of Islamic Economics (Delhi: Ida>rah Adabiyyati Delli,
1984).
161
positif daripada normatif. Aspek-aspek positif dan normatif
dari ilmu ekonomi Islam saling terkait, memisahkan kedua
aspek ini akan menyesatkan dan menjadi counter produktif.
Dalam mengembangkan ilmu ekonomi Islam, maka
langkah pertama adalah menentukan basic economic
functions yang secara sederhana meliputi tiga fungsi, yaitu:
konsumsi, produksi dan distribusi. Lima prinsip dasar yang
berakar pada nilai-nilai syariah untuk basic economic
functions berupa fungsi konsumsi, yakni prinsip
righteousness, cleanliness, moderation, beneficence dan
morality. Perilaku konsumsi seseorang dipengaruhi oleh
kebutuhannya sendiri yang secara umum kebutuhan
manusia terdiri dari necessities, comforts dan luxuries.198
Sama seperti aplikasi produksi, distribusi dalam konstruk
ekonomi Islam diarahkan dalam upaya memenuhi hak dasar
kebutuhan ekonomi untuk mendapatkan nilai
„kesejahteraan‟ dan „kehidupan yang baik‟ sesuai dengan
maqa>s}id shari>‟ah. Ketimpangan dalam distribusi,
mengakibatkan ketimpangan ekonomi secara keseluruhan,
ketidakstabilan perekonomian, meluasnya kriminalitas dan
perselisihan dan kondisi kekacauan sosial. Para ekonom
menyadari bahwa ekonomi secara historis-empiris yang
berhasil adalah ekonomi yang tidak bebas atau tidak dapat
membebaskan diri dari pengendalian nilai, yaitu nilai yang
bersumber dari agama (value comitted). Sehingga di dalam
Islam, ilmu ekonomi umat berasaskan iman dan
berfondasikan taqwa.
Chepra mencontohkan disamping Nabi Muhammad
sebagai tauladan operasional ekonomi, Nabi Syu‟aib,
disebut sebagai nabi ilmu ekonomi yang mendasarkan
198
John L. Esposito dan John Obert Voll, Makers of
Contemporary Islam (Oxford: Oxford University Press, 2001); John H.
Dunning, Making Globalization Good: the Moral Challenges of Global
Capitalism (Oxford: Oxford University Press, 2003).
162
ekonomi kepada iman dan tauhid (Q.S. Hu>d [11]: 84-
87).199 Kajian tingkah laku ekonomi manusia merupakan
ibadah. Kekayaan ekonomi adalah satu alat untuk
memenuhi hajat dan kepuasaan hidup dalam rangka
meningkatkan kemampuannya agar dapat mengabdi lebih
baik kepada Allah Swt. mencari dan menimba kekayaan
bukan untuk pengabdian kepada harta semata, tetapi
pencarian itu merupakan jalan menuju tingkat kekhusuan
ibadah kepada Allah.200 Untuk itu, penguatan nilai dasar
ekonomi Islam, yaitu: Pertama, dunia dan semua isinya
adalah milik Allah Swt. dan menurut kepada kehendaknya.
Kepemilikan manusia pada barang di dunia terbatas dan
tidak absolut.201 Kedua, semua manusia di dunia itu tidak
mengenal kelas, ataupun kasta. Ketidakmerataan karunia
merupakan bagian dari ketentuan Allah agar manusia lebih
sadar untuk bisa menegakkan egaliatarian secara riel,
membawa sifat saling membantu dan menyadari bahwa
setiap orang mempunyai kekurangan.
Ketiga, Kepercayaan pada hari pengadilan akan
memberi implikasi memberikan nilai ekonomi sekarang
untuk mendapatkan keuntungan dimasa depan, dan di hari
akhir. Hal inilah kemudian membentuk prilaku muslim
untuk menyadari tindakannya dalam melakukan kegiatan
ekonomi selalu dalam bayangan untuk kebahagian masa
depan (fi> al-dunya> wa al-a>>khirat). Sedangkan nilai
dasar ekonomi Islam merupakan implikasi dari asas filsafat
199
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (USA:
The Islamic Foundation and the International Institute Of Islamic
Thought UK, 1992). 200
Dalam Adi Sasono, et. Al., Solusi Islam atas Problematika
Umat: Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah (Jakarta: Gema Insani Press,
1998). 201
Landasan filosofisnya dikutip dari Q.S. al-Baqarah [2]: 6; Q.S.
al-Ma>‟idah [5]: 120. Muhammad Baqir S}ada>r, Buku Induk Ekonomi
Islam.
163
sistem yang dijadikan sebagai kerangka konstruksi sosial
dan tingkah laku sistem. Nilai-nilai dasar trersebut adalah:
Pertama, kepemilikan atau ownership dalam ekonomi Islam
adalah: (a) pemilikan terletak pada memiliki
kemanfaatannya bukan menguasai; (b) kepemilikan hanya
terbatas sampai akhir hayat manusia, yang kemudian dialih
generasikan atau diwariskan menurut syari‟at Islam; (c)
kepemilikan seseorang tidak berlaku untuk kepemilikan
orang banyak dan negara.202
Keempat, keseimbangan sebagai nilai equlibrium
antara hak dan kewajiban dalam sirkulasi ekonomi.
Konstruk kebutuhan ekonomi adalah keinginan untuk
memperoleh barang dan jasa, sebagai sesuatu yang mampu
memberikan manfaat tertentu bagi kehidupan manusia.203
Selanjutnya, nilai dasar kelima adalah keadilan yang telah
dibahas pada sub-bab sebelumnya, yang pada intinya
berada dalam (a) kebebasan yang bersyarat akhlak, (b)
dalam semua fase kegiatan ekonomi. Baik filsafat ekonomi
Islam, maupun nilai dasarnya tidak dapat dipisahkan dalam
sistem ekonomi secara operasional. Pelanggaran terhadap
keduanya akan menimbulkan ketimpangan dalam usaha,
dan bahkan lebih buruk dari sistem ekonomi modern yang
sekarang sedang dipertanyakan kembali.
Wujud dari etika ini adalah terbangunnya transaksi
yang fair dan bertanggungjawab. Nabi menunjukkan
integritas yang tinggi dalam memenuhi segenap klausul
kontraknya dengan pihak lain seperti dalam hal pelayanan
kepada pembeli, pengiriman barang secara tepat waktu, dan
kualitas barang yang dikirim. Di samping itu, beliau pun
kerap mengaitkan suatu proses ekonomi dengan
202
Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi
Islam; lihat juga Muhammad Baqir S{ada>r, Buku Induk Ekonomi Islam. 203
„Afar, al-Iqtis}a>d al-Isla>mi al-Juz-I, jilid III (Jeddah: Da>r
al-Baya>n al-„Arabi>, 1985).
164
pengaruhnya terhadap masyarakat dan lingkungan. Untuk
itu, ia melarang diperjualbelikannya produk-produk tertentu
(yang dapat merusak masyarakat dan lingkungan). Dalam
konsep distribusi dengan fokus kemitraan berangkat dari
nilai-nilai keadilan sosial.204
Berdasarkan nilai-nilai ilahiyah yang membimbing
tanggungjawab manusia dalam mengembangkan persepsi
moral dan spiritual, serta motivasi dalam melakukan
kerjasama. Nilai dasar yang dipertegas dalam hal tersebut
bahwa manusia seluruhnya sebagai satu bangsa untuk saling
membangun kebersamaan dalam melakukan aktifitas
ekonomi sesuai dengan usaha yang dikembangkan masing-
masing, sehingga memunculkan kemitraan dalam tatanan
sosial yang proporsional. Dasar penting lain bahwa manusia
sebagai wakil (khalifah) Allah di dunia tidak mungkin
bersifat individualistik karena semua (kekayaan) yang ada
di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah
kepercayaannya di bumi dan secara simultan sekaligus
menjamin kebebasan individu tanpa mengorbankan
kebijakan sosial.205
Dengan demikian pembangunan ekonomi harus
mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat
204
Lihat Mubyarto, Etika, Agama dan Sistem Ekonomi (Jakarta:
YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, 2002). Lihat juga Sonny Keraf,
Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 1998); Adiwarman A Karim,
Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan (Teori, Praktek, dan Realitas
Ekonomi Islam) (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004); Carl
Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis (Bandung: Nuansa
dan Nusamedia, 2004); Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). Lihat juga John Rawls, A Theory of
Justice, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). 205
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, UII
Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008); Syed
Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, terj. M. Saiful
Anam dan M. Ufuqul Mubin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
165
berdasarkan azas demokrasi, kebersamaan, dan
kekeluargaan yang, serta mampu memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada semua pelaku ekonomi untuk
berperan sesuai dengan bidang usaha masing-masing.
Untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat,
dibutuhkan sebuah bentuk kemitraan yang diartikan sebagai
kerjasama pihak yang mempunyai modal dengan pihak
yang mempunyai keahlian atau peluang usaha dengan
memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat, dan saling menguntungkan.
Esensi kemitraan, jika secara umum konsep ini
diimplementasikan dalam konsep mud}a>rabah206 dan
musha>rakah207. Secara tersirat mud}a>rabah
206
Mud}arabah atau trust financing adalah kerjasama usaha
antara dua pihak. Pihak pertama sebagai penyedia modal, pihak kedua
sebagai pengelola yang keduanya bergabung sebagai mitra usaha.
Kemitraan tersebut dituangkan dalam sebuah master of understanding
(nota kesepahaman) dengan segala pasal-pasal yang tertera didalamnya,
baik keuntungan maupun kerugian, serta hal-hal yang berhubungan
dengan human error. Lihat Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah:
Suatu Pengenalan Umum (Jakarta: Tazkie Institut dan Bank Indonesia,
1999). Lihat juga Karnaen A. Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi
Islam di Indonesia (Jakarta: Usaha Kami, 1996); Lois Ma‟luf, al-Munji}d
fi> al-Lughah wa al-„A‟la>m, (Beirut: Da>r al Masyri>q, 1987).
Sedangkan pengertian lain kata mud}a>rabah, yakni: mereka yang
melakukan perniagaan (d}arb) mencari sebagian karunia Allah adalah
para pengusaha (entrepreneur) yang bertindak sebagai mud}arib yang
terikat dalam perjanjian mud}a>rabah (qira>d) dengan sistem bagi hasil.
Lihat Abdul Ha>mid Mahmu>d al-Ba>ly, al-Madjal li al-Fiqhi al
Banu>k al-Isla>miyah (Cairo: al-Ma‟had al-Dauli li al-Bunu>k wa al-
Iqtis}a>di al-Isla>miah, 1983). Lihat juga Ahmad Rodoni dan Abdul
Hamid, Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Zikrul Hakim, 2008). 207
Musha>rakah, S{irkah, ikhtila>t} (percampuran). Menurut
mazhab Hanafi, syirkah adalah akad antara orang-orang berserikat dalam
hal modal dan keuntungan. Lihat Muhammad Ahma>d Sira>j, al-
Nid}a>m al-Masha>rafi fi>> al-Isla>m (Lahore: Muhammad Asharaf,
2003); Musthafa Ahmad Zarqa, al-Uqu>d al-Musamma (Damascus: al-
Mat}baah Fata al-Arab, tt).
166
menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia itu mempunyai
kekurangan yang memerlukan orang lain sebagai patner
atau mitra, kekurangan tersebut tidaklah manusia disuruh
untuk bersifat fatalis, menerima apa adanya tanpa mau
berusaha. Oleh karenanya, mud}a>rabah merupakan salah
satu jalan untuk berbuat atas kekurangan yang dimiliki dan
kelebihan yang dipunyai orang lain, ataupun sebaliknya
(Q.S. al-Muzzammil [73]: 20; QS. al-Jumu‟ah [62]: 10).
Rasulullah Saw. sebelum menjadi Rasul telah melakukan
mud}a>rabah dengan Khadijah ra, beliau mendapatkan
modal dari Khadijah ra. dan beliau pergi berniaga ke negeri
Syam. Disamping itu, salah satu hadits Rasulullah yang
menjelaskan tentang mud}a>rabah adalah: اهلل صلى اهلل رسىل قال قال أبيو عن صهيب بن صاحل عن
أجل اىل البيع الربكة فيهن ثالث وسلن عليو
رواه )للبيع آل للبيت بالشعري الرب وأخلط واملقارضة
(هاجو ابن
Secara umum mudharabah di bagi dua: Pertama, mudharabah mutlaq, yaitu bentuk kerjasama antara pemilik harta dengan pengelola dalam usaha yang mencakup luas, tanpa dibatasi. Kedua, mudaharabah muqayyad, yaitu bentuk kerjasama yang dibatasi dengan usaha tertentu atas instruksi pemilik modal. Baik mud}a>rabah mut}laqah maupun mud}a>rabah muqayyad sama-sama mempunyai satu tujuan untuk mendapatkan keuntungan bersama. Dibangun nilai-nilai: (1) penentuan besarnya nisbah (rasio) bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untug rugi, tidak terlihat adanya konsep bunga dalam pelaksanaannya; (2) besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh; (3)
208
Dari Sha>lih ibn Suhaib ra bahwa Rasulullah saw bersabda,
“tiga hal di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tanggung,
muqad}arah (mud}arabah, dan mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah, bukan untuk dijual”. Lihat ibn Majah, Kitab Tija>rah,
no. 2280.
167
bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak; (d) jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan jumlah peningkatan jumlah pendapatan.
Perbedaan antara bunga dan bagi hasil dapat diketahui bahwa dalam konsep bunga, yaitu: (1) penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung; (2) besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan; (3) pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi; (4) jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”; (5) eksistensi bunga diragukan oleh semua agama.209
Disamping mud}a>rabah, Islam mengajarkan juga serikat perdagangan atau sarikat (musha>rakah) dengan beberapa jenis, yaitu: Pertama, syarikat„inan merupakan kontrak yang dilakukan oleh persero yang menyerahkan harta masing-masing untuk dijadikan kapital dagang, kedua belah pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana menjadi agreement bersama,210 namun porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja ataupun bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka.211 Kedua, syarikat mufawad}ah, yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dengan syarat-syarat sebagai berikut: (1) nilai saham dari masing-masing persero harus sama; (2) persamaan
209
Lihat Muhammad Syafe‟i Antonio, Bank Syari‟ah: Suatu
Pengenalan Umum. 210
Akmaluddin Muhammad ibn Mahmu>d al-Babarti>, al-
Ina>yah Ma‟a al-Hida>yah biha>s}iati Fathi al-Qa>dir (Mesir:
Maktabah Must}afa al-Ba>bi al-Halaby, 1970). 211
Muhammad Ahmad Siraj, al-Nid}am al-Mas}arafi fi> al-
Isla>m (Lahore: Muhammad Asharaf, 1987).
168
wewenang dalam perbelanjaan;212 (3) persamaan agama; (4) setiap persero harus dapat menjadi penjamin, atau wakil persero lainnya dalam pembelian maupun penjualan barang-barang yang dibutuhkan.213
Ketiga, syarikat abdan yaitu dua orang yang satu propesi ataupun berlainan propesi sepakat untuk menerima pekerjaan baik secara upah harian, mingguan maupun borongan dengan pembagian upah diambil berdasarkan kesepakatan diantara mereka.214 Hal ini biasanya dilakukan oleh tukang-tukang kayu, kuli angkut, tukang jahit, tukang-tukang disentra pembuatan kain songket Palembang. Seluruh imam mazhab mengakui sahnya shari>kat ini, dengan mengambil dalil dari Abdullah ibn Mas‟u>d r.a. yang mengungkapkan:
رواه )بدر يىم نصيب فيوا وسعد وعوار أنا ااشرتكت 215(النسائى
Keempat, syarikat wujuh. Berbeda dengan macam-macam shari>kat yang lain, shari>kat wujuh adalah
212
Muhammad Baqir ash-S{adr, Buku Induk Ekonomi Islam, terj.
(Jakarta: az-Zahra, 2008). 213
Lihat Sayi>d Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 13; Musthafa Ahmad
Zarqa, al-Uqu>d al-Musamma (Damascus: al-Mat}baah Fata al-Ara>b,
tt). 214
Disebut juga dengan istilah syirkah a‟ma>l, syirkah sina>‟i,
atau syirkah taqabbul. Lihat Heri Junaidi, Fiqh Muamalah Kontemporer
(Palembang: IAIN RF, 2008). 215
Dari Abdullah ibn Mas‟ud r.a, “saya dan Sa‟ad bersekutu pada
apa-apa (ghanimah) yang akan kita dapat di hari peperangan Badar. (H.R.
Nasa‟i). Sejalan dengan hadits di atas, di dalam kitab al-Raud}ah al-
Nad}iyah sebagaimana dikutip Sayyid Sabiq yang disebutkan bahwa
semua nama-nama yang ada dalam kitab furu‟ tentang nama-nama
syirkah seperti: mufawwad}ah,‟ina>n, wuju>}h dan a‟bdan, bukanlah
sebagai nama-nama syari‟ah dan bukan pula lughawi, akan tetapi
merupakan istilah baru dan diperbaharui. Tidak ada larangan bagi dua
orang mencampur hartanya untuk mereka perdagangkan, seperti yang
dikenal dengan istilah mufawwad}ah. Karena pemilik berhak
menggunakan miliknya sebagaimana ia kehendaki, selama tindakannya
tidak membawa kepada haram yang diharamkan oleh syari‟at. Lihat
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 13.
169
kerjasama antara pemilik barang dengan orang yang hanya bermodalkan kewibawaan dan kepercayaan. Secara teknis, kegiatan ini adalah seseorang datang mengambil barang kepada pemilik barang dengan maksud di jual kembali. Pengambilan barang tersebut di ambil dengan hanya sikap kewibawaan dan kepercayaan yang ditinjau oleh si pemilik barang. Shari>kat seperti ini banyak berlaku pada saat sekarang. Seperti seorang yang dikenal baik oleh pemilik modal, terutama akhlak dan kejujurannya datang kepada pemilik modal tersebut, kemudian ia membawa barang-barang untuk dijualkan oleh diberi kepercayaan. Selanjutnya, pembayaran dan keuntungan hasil penjualan barang berdasarkan kesepakatan pada waktu pengambilan barang. Dalam bentuk lain, seperti yang ditulis Antonio, yaitu kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi baik serta ahli dalam bisnis, mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan, menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra.216
Dari konsep tersebut, memperlihatkan nilai-nilai sosial dan humanitarin merupakan ultimate goal yang dibedakan oleh sistem ekonomi Islam. Tindakan ekonomi individu melalui proses filterisasi moral yang bertujuan menjaga self-interest dalam batas-batas kemas}lahatan sosial (social interest). Sistem ekonomi Islam pada dasarnya mendorong terjadinya equilibrium antara self-interest dan social interest, sehingga paradoks-paradoks yang lahir dari ketidak-keseimbangan antara dua nilai ini dapat diminimalisir. Ekonomi Islam sebagai sebuah sistem lebih mendorong lahirnya sikap patnership antar sesama masyarakat di tingkat bawah (grass root), artinya nilai-nilai pemberdayaan dari kaum ghaniyyin (kaya) terhadap kaum d}uafa> (lemah) merupakan crusial point yang didorong
216
Muhammad Syafe‟i Antonio, Bank Syari‟ah: Suatu
Pengenalan Umum. Lihat juga Abdul Jalil, Teologi Buruh (Yogyakarta:
LKiS, 2008).
170
oleh sistem ekonomi Islam.217 Kemas}lahatan tersebut juga dibangun berdasarkan pada kekuatan komitmen untuk mengikuti aturan dan tidak membahayakan orang lain.218Aspek penggunaan kapital, hak dan kewajiban, pengembangan Sumber Daya Manusia, sampai kemitraan tidak dapat lepas dari dasar ekonomi Islam itu sendiri yang berpijak pada saling bermusyawarah,219 yang merupakan salah satu prinsip ajaran Islam mengenai kehidupan bermasyarakat.220 Beberapa ayat dalam al-Qur‟an menjelaskan pentingnya musyawarah (Q.S. az-Z{ukhruf [43]: 38; Q.S. ali-Imra>n [3]: 159).
Dari sejumlah ayat yang membicarakan masalah musyawarah dalam al-Qur‟an terdapat dalam tiga kasus, yakni: (1) dalam hubungannya dengan rumah tangga, yaitu antara suami istri; (2) berhubungan dengan muamalah
217
Nauwaf al-Qudaimi, Muhawarat: al-Islamiyun wa -AsIlat an -
Nahda al-Mua>qa (Beirut: al-Muassasa al-Arabiya li al-Dirasat wa-'n-
Nasr, 2006); lihat juga Veithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic
Economics: Ekonomi Syari‟ah bukan Opsi, tetapi Solusi (Jakarta: Bumi
Aksara, 2009). 218
Abdullah al-Muslih dan Shalah ash-Shawi, Ma> la Yasa‟ al-
ta>jira Jahluhu>, diterjemahkan oleh Abu Umar Basyir, Fiqh Ekonomi
Keuangan Islam (Jakarta: Dar al-Haq, 2008). 219
Lihat Abu Husain ibn Faris ibn Zakaria, Mu‟ja>m Muqayis al-
Lugha>t, jilid III (Mesir: Must}afa al-Ba>bi al-Halabi, 1972);
bandingkan dengan Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, Tafsir
Maudhu‟i atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1999); lihat
juga Nauwaf al- Qudaimi, Muhawarat: al-Islamiyun wa-Aslat an-Nahda
al-Mua}qa (Beirut: al-Muassasa al-Arabiya li al-Dira>sat wa-'n-Nasr,
2006). 220
Lihat Munawir Sjazali, Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1990); Masykuri Abdillah,
”Kata Pengantar Syura dan Demokrasi”, dalam Musyawarah dan
Demokrasi: Analisis Konseptual Aplikatif dalam Lintasan Sejarah
Pemikiran Politik Islam, Artani Hasbi (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2001); lihat juga Fahmi Jad‟a>ni, al-Muqaddas wa al-Huriyah: wa
Abhatsu wa Maqa>lat Ukhra min Athya>fi al-Hada>shah wa
Maqa>shid (Beirut: al-Arabiyah li-Dirashat wa Natsr al-Mu‟assasah,
2000).
171
dalam rangka menciptakan masyarakat yang ideal dan harmonis; (3) dalam rangka mengatur kehidupan berpolitik dalam sebuah negara dalam mencapai “baldatun t}ayyibatun warabbun ghafu>r”.221 Dengan demikian, melakukan konsultasi untuk mendapatkan nilai bersama dalam kehidupan bermuamalah merupakan wajib fard}u. Argumentasi berdasarkan pada: (1) ayat-ayat musyawarah diungkapkan dalam bentuk jumlah ismiyah yang berfungsi untuk menyatakan bahwa sesuatu berjalan tetap dan terus berlangsung;222 (2) karena Allah Swt. memuji orang-orang mukmin yang menjadikan musyawarah sebagai kebiasaan; (3) karena Allah mengungkap kata “shura>” diantara dua kalimat, Shalat (aqi>mu al-S{a>lat) dan zakat (a‟t}u al-zaka>t). Artinya jika orang Islam tidak boleh meninggalkan sholat, maka berarti ia juga tidak boleh meninggalkan musyawarah; (4) Rasulullah Saw. selalu melakukan dan mengajak musyawarah dalam urusan duniawi.223
Islam dengan tegas menyangkal anggapan bahwa alam memiliki sifat kikir seperti itu. Allah Swt. Yang Maha Pemurah telah menganugerahkan kepada manusia apa saja yang mereka perlukan melalui ketersediaan berbagai sumber daya di alam semesta ini (Q.S. al-Baqarah [2]: 29). Keterbatasan perspektif manusialah yang menimbulkan adanya kelangkaan sumber daya, perspektif ini dipengaruhi oleh dua hal: Pertama, kurangnya pengetahuan, informasi; dan Kedua, kurangnya kemampuan untuk melakukan eksplorasi sumber daya yang tersedia, atau bahkan kombinasi dari keduanya.
221
Lihat Yusuf al-Qard}awi, al-Isla>m wa al-Ilmaniyah, Wajhan
li Wajhin (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000); Saqr Abu Fakhr, al-Din wa
al-Dahma wa al -Dam: al-Arab wa Istisa al -Hada Thah (Beirut: al
Muassasah al-Arabiyah lil-Dirasat wa-al-Nashr, 2007). 222
Abu al-Fad}al Syiha>b al-Di>n al-Sayyid Mahmu>d al-Alusy,
Tafsir Ru>h al-Ma‟a>ni Fi> Tafsi>r al-Qur‟a>n al-Ad}im wa al Sab‟a
al-Ma‟a>ni, jilid XII (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.). 223
Ibn Hajar Al-Asqa>lani, Fath al-Ba>ri bi Sarh al-Bukha>ri,
jilid XVII (Cairo: Da>r al-Fikr, tt).
172
Dalam arti luas, sumber daya natural ini tidak akan pernah habis kecuali Allah menentukannya di Hari Kiamat. Habisnya satu bentuk sumber daya melahirkan bentuk yang lain yang bisa baru sama sekali, baik secara natural ataupun melalui intervensi pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Jadi, kelangkaan ini lebih merupakan persoalan ilmu (pengetahuan) sebagai fungsi “waktu”. Karenanya Islam amat menegaskan perlunya penguasaan ilmu pengetahuan (al-Muja>dilah [58]: 11) dan pengelolaan waktu (al-„As}r [103]: 1-4). Tambahan lagi bahwa pemberian sumber daya secara bertahap ini juga memberi pelajaran manusia agar tidak arogan, dan agar manusia menyadari posisinya sebagai pengemban amanah Allah sebagai Khalifatullah fi> al-Ard}i
Rasionalitas dalam Islam bukannya kemudian membatasi peluang untuk melakukan pemaksimalan kepentingan atau kebutuhan secara mutlak. Term “maksimisasi” bisa saja tetap digunakan, hanya ia dibatasi oleh kendala etika dan moral Islam. Maka istilah “kepuasan” pun mengalami transformasi pengertian dari “kepuasan tak terbatas” menjadi falah, dalam arti yang luas, dunia dan akhirat. Falah di akhirat adalah menjadi tujuan akhir dari proses di dunia secara terus-menerus. Dalam relasi tujuan akhir kepuasan duniawi dengan berbagai kerja dan usaha yang halal dan mampu meningkatkan kualitas hidup pada tingkat maksimal berdasarkan pada itqan dan ihsan untuk mencapai kebahagian hakiki di akherat (Q.S al-Qas}as} [28]: 77). Dengan demikian pengejaran sarana material di dunia dapat dimaksimalkan guna memaksimalkan pelaksanaan ibadah kepada Allah dengan lebih sempurna terealisasikan dalam institusi zakat, infaq, dan sedakah, yang dalam konsep Islam mampu memberikan peluang pada golongan yang lemah untuk berusaha, karena mereka memiliki hak yang melekat dalam harta benda si-kaya.224
224
Pemahaman lebih luas terhadap konsep zakat, infaq dan
shadaqah lihat Heri Junaidi dan Suyitno (ed), Fiqh Zakat Sumatera
173
Dari berbagai kajian tersebut dapat dipahami bahwa konsep efisiensi berkeadilan seperti tertuang dalam amandemen pasal 33 UUD 1945 dalam kajian pemikiran ekonomi kerakyatan, ekonomi Pancasila dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Hal ini memperlihatkan bahwa para pengusung pemikiran tersebut adalah orang-orang muslim yang mampu mentransfer nilai-nilai syari‟at Islam kedalam ekonomi di Indonesia, seperti Mohammad Hatta, Sritua Arif, Mubyarto, dan Sri-Edi Swasono serta para pemikir ekonomi di lingkungan perguruan tinggi Agama Islam.
D. Perbandingan Nilai Efisiensi Berkeadilan
Seperti dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwa efisiensi berkeadilan merupakan asas pengelolaan sumber daya yang harus mencapai pemerataan akses terhadap semua masyarakat dengan harga yang ekonomis dan terjangkau dan bertitik tolak pada nilai-nilai moral dan etika, dikelola dengan baik dan tepat guna, sehingga dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran untuk semua. Sehingga konsep efisiensi berkeadilan merupakan upaya pemberdayaan maksimal masyarakat berbasis persaudaraan dan kebersamaan yang tidak membuat seseorang sejahtera dengan membuat orang lain dirugikan. Hasil kajian produksi dan distribusi dalam studi ini (pendayagunaan kapital, hak dan kewajiban, kebersamaan dalam pengembangan sumber daya, kebebasan berusaha dan berkreatifitas, serta kemitraan) memperlihatkan perbedaan. Nilai-nilai efisiensi berkeadilan sebagaimana dimaknai dalam studi ini, tidak terlihat dalam wacana kapitalis. Pendekatan kapitalis sampai pada konstruk efisiensi yang membangun keuntungan sehingga perdagangan bebas, Selatan (Jogjakarta: Gama Media, 2004). Lihat juga Peraturan Menteri
Agama RI Nomor 4 tahun 1968 tanggal 15 juli 1968 tentang
pembentukan Badan/Amil Zakat; Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999;
Keputusan Direktorat Jenderal Binmas Islam dan Urusan Haji No.D/291
Tahun 2000 tentang petunjuk tehnis pengelolaan zakat; Keputusan
Menteri Agama nomor 373/2003 tentang pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999.
174
investasi bebas, termasuk bebasnya kapital keluar masuk sebuah negara menjadi pendekatan dalam membangun efisiensi tersebut. Efisiensi ada bila berada dan dipergunakan melalui tangan perorangan yang mampu membangun dan mengelola, sehingga mendapatkan keuntungan maksimal, negara tidak boleh ikut campur dalam semua aktivitas ekonomi yang bertujuan mencari keuntungan (profit), serta memberikan perhatian lebih banyak kepada manusia yang beretika dan manusiawi.
Sistem kapitalis bersandar pada kepemilikan individu, melepaskan pemikirannya dari kerangka nilai sehingga menimbulkan ketidakadilan dalam berbagai aspek ekonomi dan kecemburuan sosial. Akibatnya kelompok ekonomi kapitalis menjadi penguasa menguatkan monopolistik (ihtikar), penimbunan (iktinâz), penarikan bunga (faidah) yang memberatkan kelompok ekonomi lemah. Teori, model dan sistem ekonomi kapitalis dijadikan alat oleh negara-negara maju melakukan eksploitasi kekayaan alam dan sumber daya manusia negara-negara berkembang melalui investasi dan bunga pinjaman.225
Efisiensi berkeadilan adalah konsepsi makro ekonomi sebagai transformasi dari konsepsi efisiensi pada tataran mikro ekonomi. Efisiensi berkeadilan adalah efisiensi sosial dalam mencapai keadilan sosial ekonomi pada tataran makro. Apabila efisiensi ekonomi terjadi pada titik optimun pada indefferent curve, maka efisiensi berkeadilan terletak pada optimum di dalam social indefferent curve. Demikian pula efisiensi, ekonomi pada tataran mikro terletak pada titik optimum perolehan laba usaha (titik optimum di mana marginal cost sama dengan marginal revenue atau MC=MR), maka efisiensi berkeadilan dicapai pada titik sesudah melampaui titik MC=MR dimana harga lebih murah dan laba perusahaan
225
Murasa Sarkaniputra, Adil dan Ihsan dalam Perspektif
Ekonomi Islam.
175
(kapitalistik) yang memproduksi lebih kecil226. Dalam bidang ekonomi wujud dari integralisme ini adalah berlakunya paham kebersamaan (mutualism) dan kekeluargaan (brotherhood) berikut kepentingan-bersama (mutual interest) yang menyertainya, ditempatkan pada kedudukan utama. Kolektivisme adalah representasi paham kebersamaan (apa yang dimaksudkan dengan brotherhood di atas bukanlah kinship atau kekerabatan). Ini artinya Indonesia menganut faham kolektifisme (kebersamaan). Indonesia menolak individualisme dan liberalisme. Dengan ruh kebersamaan itu Indonesia menegaskan kebersamaannya berdasar doktrin kebangsaan dan kerakyatan berkat munculnya”rasa bersama”227.
Status kapital yang dimiliki manusia hanya sebagai amanah (as a trust) dan ujian dari Allah Swt, dimana seseorang yang memiliki suatu barang pada hakekatnya memperoleh suatu titipan yang diamanatkan kepadanya untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sementara pandangan dunia dalam definisi ekonomi konvensional menempatkan Tuhan pada wilayah yang berbeda sama sekali dan tidak dapat disentuh oleh domain yang lain, yang terkait dengan masalah kemanusiaan dan alam semesta. Dalam bidang ekonomi, Dia (Tuhan) tidak ada campur tangan apapun dalam urusan manusia, terutama menyangkut persoalan materi. Oleh karenanya, pengejaran materi merupakan standar rasionalitas dalam definisi ilmu ekonomi sekular,
226
Sri-Edi Swasono, Kelengahan Kultural dalam Pemikiran
Ekonomi: Pancasila, Pasal 33 UUD 1945 Koperasi Entrepreneuship-
Koorperatif (Jakarta: Bappenas, 2011), 9. Ada empat buku Sri-Edi
Swasono menggambarkan pembelaannya kepada ekonomi rakyat ini dan
ketegasannya dalam menolak neoliberalisme, yakni Ekspose Ekonomika
(Pustep-UGM, Maret 2010), Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial
(Jakarta: Perkumpulan PraKarsa, April 2010), Kebersamaan dan Asas
Kekeluargaan (Jakarta: UNJ Press, Agustus 2005), Kembali ke Pasal 33
UUD 1945 Menolak Liberalisme (Penerbit Yayasan Hatta, Juli 2010). 227
Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan
Sosial: dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez-
Faire.
176
yang oleh Adam Smith dan diikuti pula oleh Alfred Marshall diformulasikan sebagai the wealth atau well-being, yaitu kesejahteraan; dan oleh Lionel Robbins sebagai the means, sarana dan sekaligus, dengan nilai yang mungkin lebih tinggi, sebagai the ends atau tujuan.228
Perbedaan dengan prinsip ekonomi kerakyatan maupun ekonomi Islam terletak pada prinsip kesejahteraan dan pemberdayaan. Kapital diberlakukan untuk memaksimalkan kegunaan dan distribusi dari seluruh sumber dan potensi dunia secara rasional baik itu fisik, mental, maupun spiritual dan pembentukan tata tertib sosial humanistis yang harmonis, serta keadilan merata. Secara normatif landasan ideal sistem ekonomi kerakyatan adalah Pancasila dan UUD 1945. Hal ini berarti bahwa keadilan menjadi syarat utama, dan Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya secara tegas mengamanatkan bahwa asas dan sendi perekonomian nasional harus dibangun sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan.229 Hal ini berarti pula, bahwa perekonomian nasional harus dibangun berdasar demokrasi ekonomi, di mana kegiatan ekonomi pada intinya dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam doktrin ekonomi Islam, efisiensi berkeadilan memberikan sinyal bahwa segala sesuatunya adalah milik Allah, manusia diberi hak untuk memanfaatkan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini sebagai Khalifatullah atau pengemban amanat Allah, untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya dari barang-barang ciptaan Allah.
228
Hasan, Zubair, “Profit Maximization: Secular versus Islamic”
dalam Sayyid Taher et.al., Reading in Microeconomics: an Islamic
Perspective (Kuala Lumpur: Longman Malaysia, 2000). 229
Lihat Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan
Sosial: dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez-
Faire; As‟ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan
Berbangsa (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2009).
177
Upaya pemberlakuan tersebut diberikan batasan-batasan, sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya. Status kekhalifahan berlaku umum untuk setiap manusia, namun tidak berarti selalu punya hak yang sama dalam mendapatkan keuntungan. Kesamaan hanya dalam kesempatan, dan setiap individu dapat menikmati keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya. Individu-individu memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia, sehingga aktifitas produksi dan distribusi yang diberlakukan disesuaikan dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya, dan dengan peranan-peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial.
Sistem kapitalisme dan sosialisme berbasis bebas nilai atau keadaan yang netral, jelas hal itu karena mereka tidak mengakui nilai-nilai moral dan etika, dengan memusatkan kepentingan segala sesuatu daam kehidupan ekonomi menurut tolak ukur kebendaan semata. Sebaliknya, nilai atau etika merupakan pandangan pokok sistem ekonomi Islam atau Islam secara keseluruhan. Ilmu ekonomi Islam dapat digambarkan sebagai ilmu ekonomi yang bernuansa keagamaan (religious economics), dan ilmu ekonomi yang beretika (ethical economics). Sehingga dalam anggapan dasar analisisnya ilmu ekonomi Islam didasarkan pada pengertian manusia yang beretika (ethical man) dan tidak pada pengertian manusia ekonomi (economic man), sebagaimana dalam kapitalisme atau prinsip manusia yang berkelompok (social cogwheel) dalam sosialisme. Oleh karena itu, ilmu ekonomi Islam didasarkan pada sendi-sendi etika yang jelas dengan memberikan perhatian lebih banyak kepada manusia yang beretika dan manusiawi.
Dalam konsep ekonomi Islam, efisiensi berkeadilan dari aspek kapital ketika misalnya, tidak dijadikan sebagai lahan untuk memperkaya diri sendiri. Modal tetap pada umumnya dapat disewakan. Penyewaan yang efisien berkeadilan adalah untuk membantu kesejahteraan orang lain sementara pemikiran kapitalis berupaya untuk meningkatkan nilai sewa setiap saat dengan niat
178
keuntungan pribadi. Ekonomi kerakyatan maupun ekonomi Islam berdasarkan pada konsep ijarah yang bernilai kemitraan (patnership) dan bukan hanya sekedar keuntungan (utility).230 Artinya, efisiensi juga perlu dalam berbagai konteks sementara sumber-sumber daya tidak boleh disia-siakan atau disalahgunakan, karena adanya pertanggungjawaban kepada Tuhan. Pertanggungjawaban ini berlaku bagi semua sumber daya yang dipergunakan untuk membantu memaksimalkan kesejahteraan manusia. Pertanggungan ini berlaku bagi sumber-sumber daya langka atau melimpah, mengandung biaya atau gratis.231
Titik perbedaan yang terlihat pada ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam dalam memaknai konsep efisiensi berkeadilan. Konsep ekonomi kerakyatan yang ditegaskan dalam UUD 1945 belum memiliki nilai dasar yang tegas bagaimana memberlakukan ekonomi bebas riba yang dikembangkan adalah social capital (modal sosial), sementara ekonomi Islam dengan tegas melarang konsep riba. Sehingga perdebatan sekitar boleh dan tidak bolehnya bunga masih menjadi perdebatan di dunia ekonomi kerakyatan. Pertama, kelompok yang membolehkan bunga. Mereka yang membolehkan bunga bank berpijak pada: (a) teori abstinence, yaitu bahwa kreditor menahan diri, atau menangguhkan keinginan memanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain. Ia meminjamkan modal yang semestinya dapat mendatangkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Jika peminjam menggunakan uang untuk memenuhi keinginan pribadi, ia dianggap wajib membayar sewa atas uang yang dipinjamkannya. Sama halnya dengan membayar sewa terhadap sebuah rumah, perabotan, maupun kendaraan; (b) bunga sebagai imbalan sewa; (c) faktor produktif dan konsumtif sebagai pembolehan bunga; (d) opportunity cost,
230Veithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics: Ekonomi
Syari‟ah bukan Opsi tapi Solusi. 231
M. Umer Chepra, Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah
Tinjauan Islam (the Future of Economics: an Islamic Perspective),
terjemahan Ikhwan Abidin Basri.
179
didasarkan pada alasan bahwa kreditor berhak menikmati keuntungan terkait langsung dengan besar kecilnya waktu; (e) fungsi modal dalam produksi sangatlah penting; (f) teori nilai uang pada masa mendatang lebih rendah dibanding masa sekarang; (g) inflasi.
Kedua, kelompok yang melarang bunga. Mereka yang berkeyakinan untuk mengharamkan riba disebabkan: (a) bunga menumbuhkan sikap egois, bakhil dan berwawasan sempit, cenderung bersikap tidak mengenal belas kasih. Maududi memberikan analisa psikologis, bahwa praktek pembungaan uang menjadikan seorang malas untuk menginvestasikan dananya dalam sektor usaha; (b) bunga adalah bagian dari hidup ribawi; (c) secara sosial, institusi bunga merusak semangat berkhidmat kepada masyarakat, menghancukan solidaritas dan kepentingan yang akan membawa kepada perpecahan; (d) bunga membawa kepada kezaliman ekonomi, dan merendahkan standar kehidupan masyarakat; (e) bunga menimbulkan kecemasan bagi individu yang malah menghancurkan efesiensi kerja mereka. Sebab, setiap hari dia selalu berpikir pada suku bunga pinjamannya; (f) dengan bunga menimbulkan monopoli sumber dana.232 Penegasan tersebut penting, sebab efisiensi dalam konsep ekonomi Islam mengenai persoalan sirkulasi keuangan sangat penting. Jika seseorang meminjam uang untuk pengembangan usaha, maka ia menanggung utang sebesar jumlah yang digunakan dan harus mengembalikan dalam jumlah yang sama (mithl), bukan substansinya.
232
Haque, Riba: The Moral Economy of Usury, Interest, and
Profit (Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed and CO, 1995); Fahrul Ahsan,
“on the Nature and Signifance of Banking without Interest”, Bangladesh
Bank Bulitten, vol. 56, February 2007, 9-11; dan tanggapan masalah
bunga bank oleh Anwar Qureshi, Islam and the Theory of Interest
(Lahore: tp, 2000) dan Muhammad Syafei Antonio, Bank Syari‟ah:
Sebuah Pengenalan Umum. Hasibuan, S., Case Study of Muslim-
managed Organizations, the Case of Indonesian Development Agenda
(Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Al Azhar 2006), acceed www.
uai.ac.id.
180
Modal memiliki return on capital bila dikembangkan dalam bentuk akad mud}ara>bah atau dipinjamkan (qard}), tetapi tidak diperbolehkan pengembaliannya melebihi pokoknya. Kelebihan demikian masuk dalam kategori riba. Karena itu Islam melarang berkembangnya riba dalam dunia perekonomian. Ini juga ditegaskan dalam musyarakah dengan capital return-nya dalam bentuk bagian dari laba (profit). Mudarabah atau dalam istilah ekonomi dikenal dengan trust financing atau trust investment233 menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia itu mempunyai kekurangan yang memerlukan orang lain sebagai patner atau mitra, kekurangan tersebut tidaklah manusia disuruh untuk bersifat fatalis, menerima apa adanya tanpa mau berusaha. Oleh karenanya Mudarabah merupakan salah satu jalan untuk berbuat atas kekurangan yang dimiliki dan kelebihan yang dipunyai orang lain, ataupun sebaliknya. Hal tersebut memperlihatkan efisiensi berkeadilan yang tegas dalam konsep ekonomi Islam, merealisasikan kesejahteraan untuk semua dalam cara yang seimbang dan adil.
Chapra merangkum nilai-nilai efisiensi berkeadilan, yaitu: Pertama, suatu kerugian atau pengorbanan privat dapat ditimpakan untuk menyelamatkan pengorbanan atau kerugian publik, dan suatu mas}lahat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk merealisasikan mas}lahat yang lebih besar. Kedua, suatu kerugian yang lebih besar dapat digantikan oleh kerugian yang lebih kecil. Kemas}lahatan mayoritas yang lebih besar harus didahulukan daripada kemas}lahatan minoritas yang lebih sempit; kemas}lahatan publik harus dikedepankan daripada kemas}lahatan privat. Ketiga, penghapusan kesulitan dan bahaya harus
233
Lihat Karnaen A. Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi
Islam di Indonesia (Jakarta: Usaha Kami, 1996); Muhammad Syafi‟i
Antonio, Bank Syari‟ah: Suatu Pengenalan Umum. Lihat juga Abdul
Ha>mid Mahmu>d al-Ba‟ly, al-Madkha>l li al-Fiqhi al Banu>k al-
Isla>miyah (Cairo: al-Ma‟had al-Dauli li al-Bunu>k wa al-Iqtis}a>di al-
Isla>miah, 1983).
181
didahulukan daripada mendapatkan kemas}lahatan. Keempat, bahaya harus dihilangkan sejauh mungkin.234
Semua kaidah ushul di atas jelas bertentangan dengan konsep optimum pareto, yang tidak mengakui solusi apapun yang menuntut pengorbanan dari pihak sekelompok kecil (orang kaya) untuk meningkatkan kesejahteraan jumlah yang lebih banyak (orang-orang miskin). Dengan demikian, penggunaan sumber-sumber daya yang paling efisien ditentukan berdasarkan maqas}id. Setiap penggunaan yang menggagalkan realisasi maqas}id harus dipandang sebagai kesia-siaan dan in-efisiensi. Dalam paradigma Islam, perilaku seperti ini tidak hanya akan merusak sumber-sumber daya yang telah disediakan oleh Allah sebagai suatu bentuk amanah, melainkan juga menimbulkan ketidakadilan kepada para konsumen. Meskipun usaha mempertahankan harga pada tingkat sekarang tidak dapat membuat konsumen menjadi lebih buruk, namun barang-barang itu dapat dibuat menjadi lebih bermanfaat, jika kelebihan output tersebut tidak dihancurkan, harga akan turun atau kelebihan itu dapat dibagikan kepada orang-orang miskin. Begitu juga, waktu dan energi yang dipergunakan untuk s}alat dan berpuasa akan nampak sia-sia, jika dipandang menurut kerangka materialisme, karena hal itu akan menyebabkan kerugian, meskipun tidak selalu, penurunan output sehingga menghambat maksimalisasi output dan laba. Namun, jika dipandang dari sudut kontribusi si kaya yang akan dapat menciptakan character building, dan peningkatan spiritual, serta kesejahteraan manusia, maka s{alat dan puasa sesungguhnya memiliki keunggulan positif.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan efisiensi berkeadilan dalam perspektif ekonomi kapitalis, ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam. Pertama, efisiensi berkeadilan dalam ekonomi kapitalis dimunculkan dalam konstruk bebas nilai, tanpa intervensi pemerintah,
234
M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah
Tinjauan Islam.
182
orientasi pasar bebas, dan kemitraan dibangun untuk mendapatkan keuntungan maksimal orang perseorangan. Kedua, ekonomi kerakyatan dalam konstruk kebersamaan, kemandirian, keseimbangan, dibatasi dengan peraturan dan perundang-undangan dalam mengatur pasar, sehingga rakyat yang berdaulat dan bukan pasar yang berdaulat. Sementara aktifitas kemitraan terutama dalam pengembangan usaha masih mengggunakan mekanisme sistem bunga; Ketiga, ekonomi Islam didasarkan pada nash dan fiqh muamalah, adanya keseimbangan pasar, negara, dan individu, dan menuju kesejahteraan bersama melalui prinsip bagi hasil (non ribawi). Tujuan ekonomi Islam adalah menciptakan kehidupan manusia yang aman dan sejahatera. Dengan demikian dalam ekonomi Islam, manusia dan faktor kemanusiaan merupakan faktor utama. Faktor kemanusiaan dalam ekonomi Islam terdapat dalam kumpulan etika, yang ada pada Al-Qur‟an, hadist serta ijma para ulama yang mencakup etika, kebebasan, kemanusian, keadilan, sikap moderat dan persaudaraan sesama manusia. Etika Islam menjajarkan dan mengajukan manusia untuk menjalin kerjasama, tolong menolong dan menjauhi sikap iri, dengki dan dendam.
Konsep Ekonomi Pancasila dan ekonomi kerakyatan maupun termasuk demokrasi ekonomi termasuk istilah Efisiensi Berkeadilan dalam amandemen pasal 33 UUD 1945 dengan varian yang dibangun didalamnya di pengaruhi nilai-nilai Islam. Hal tersebut tidak lepas dari para pengusung adalah ekonom ekonom muslim seperti Mohammad Hatta, Mubyarto, Sritua Arief, Sri-Edi Swasono. Kajian disertasi ini mengarah pada instrumental dalam wilayah fiqh muamalah maliyah dan muamalah ma‟daniyah seperti konsep mud}arabah, musharakah, etika akhlak ekonomi yang dikaji oleh pemikir-pemikir muslim. Sehingga semakin menguatkan konsep efisiensi berkeadilan dalam amandemen pasal 33 UUD 1945.
PRODUK USAHA BERASAS KEKELUARGAAN
Dalam bab ini menunjukkan nilai-nilai efisiensi berkeadilan
berdasarkan hasil penelaahan pada bab-bab sebelumnya
yang terjadi dan berkembang pada usaha songket
Palembang sebagai salah satu usaha kecil objek studi.
Observasi tidak terstuktur untuk mencari gambaran awal,
wawancara mendalam untuk mencari informasi, studi
literer untuk mencari data. Responden dan informan
kunci dari pengrajin dan perajin songket dipilih secara
purposive, dikembangkan dengan metode snowball.
Observasi dan wawancara dilakukan secara bertahap antara
tanggal 22 September hingga 18 Oktober 2010. Sebagai
penegasan ulang indikator adanya efisiensi berkeadilan
seperti dijelaskan bab sebelumnya adalah: (1) semua
aktifitas usaha songket terbangun sebuah jaringan
kebersamaan (ukhuwah); (2) berorientasi pada solidaritas
kerja; (3) keuntungan tidak terfokus pada orang perseorang;
(4) kemitraan yang sama-sama menguntungkan dan
memberdayakan; (5) keikutsertaan usaha songket dalam
program pembangunan lokal dan nasional.
A. Karakteristik Usaha
Memaknai songket sebagai sebuah produk dapat
didasarkan akar budaya songket itu sendiri. Usaha songket
adalah salah satu aktifitas kerajinan tradisional masyarakat
Ketiga
186
187
di Indonesia yang sudah dikenal sejak zaman pra sejarah1
yang berhubungan pula dengan sejarah pertenunan di
Indonesia. Hal tersebut bisa dibaca ketika tanaman kapas2
sudah dikenal dan mampu dibuat menjadi benang.
Sejarawan Robyn dan Maxwell menulis ”…tradisi tenun
sutra dan songket dibawa oleh pedagang Cina dan India
yang menguasai perdagangan Asia Tenggara melalui selat
Malaka dan pelabuhan-pelabuhan Sumatera dan pantai
utara pulau Jawa sekitar abad VII-XV”.3 Selanjutnya
berkembang dalam ranah pertekstilan dari industri rumahan
tahun 1929, dimulai dari sub-sektor pertenunan (weaving)
dan perajutan (knitting) dengan menggunakan alat Textile
Inrichting Bandung (TIB) gethouw atau yang dikenal
1Sejarah kapas dimulai di negara asal India selama hampir 5000
tahun yang lalu. India menjadi produsen kapas terkemuka dalam
beberapa ribu tahun. Selama 300 SM, ketika pasukan Macedonia
dipimpin oleh Alexander Agung melewati Indonesia dalam perjalanan ke
Persia. Lihat Steve Mull, The Cotton History (Kansas City: Walsworth
Publishing Company); A. Widyamartaya, Manusia Kain Kapan
(Jogjakarta: Kanisius, 2006); lihat juga Sulistiyo dan Agnes Mawarni,
Kapas: Kajian Sosial-Ekonomi (Yogyakarta: Adity Media, 1991). 2Kapas adalah serat yang dihasilkan oleh tanaman kapas
(gossypium hirsutum ) tanaman kapas ini mempunyai banyak spesies,
diperkirakan berjumlah 30-40 spesies yang tersebar di seluruh belahan
dunia dari daerah yang beriklim tropis hingga subtropis. Sedangkan yang
paling banya digunakan untuk produksi pakaian, adalah tanaman kapas
jenis gossypium hirsutum yang tingkat penggunaanya mencapai 90% dari
produksi kapas di dunia. Republik China adalah produsen kapas terbesar,
disusul kemudian India, Amerika Serikat, Pakistan, hingga Syria. Lihat
Stephen H Yafa, Cotton: the Biography of a Revolutionary Fiber (New
York: Penguin Books, 2005); Jane Bingham, Science and Technology
(Chicago: Raintree, 2006). 3Robyn Maxwell, Textiles of Southeast Asia: Tradition, Trade
and Transformation (Singapore: Periplus, 2003). Lihat juga Sayyed
Hossein Nasr and Oliver Leaman, Routledge History of World
Philosophies (USA and Canada: Rouldge, Inc, Vol.1, 2002); Michael
Mass, Readings in Late Antiquity: a Sources Book (USA and Canada:
Rouldge, Inc, 2000).
188
dengan nama Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), yang
diciptakan oleh Daalennoord pada tahun 1926 dengan
produknya berupa tekstil tradisional seperti sarung, kain
panjang, lurik, stagen (sabuk), dan selendang.
Penggunaan ATBM mulai tergeser oleh Alat Tenun
Mesin (ATM) yang pertama kali digunakan pada tahun
1939 di Majalaya-Jawa Barat disaat daerah tersebut
mendapat pasokan listrik pada tahun 1935.4 Aktifitas
ATBM dengan fasilitas tersebut tetap menjadi andalan
dalam produksi pertenunan. Hal tersebut tidak lepas dari
perjalanan sejarah bangsa Indonesia, dimana kreativitas
pemintalan benang di Indonesia bukanlah aktifitas yang
baru bagi masyarakat muslim, lama sebelum proses
pertenunan di Indonesia dan diberbagai wilayah lain di
dunia. Di samping itu, sejarah membuktikan bahwa aktifitas
4Tahun 1960-an, sesuai dengan iklim ekonomi terpimpin,
pemerintah Indonesia membentuk Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS)
yang antara lain, seperti OPS Tenun Mesin; OPS Tenun Tangan; OPS
Perajutan; OPS Batik. Sejarah pertekstilan kemudan mencatat bahwa
pertengahan tahun 1965-an, OPS dan GPS dilebur menjadi satu dengan
nama OPS Tekstil dengan beberapa bagian menurut jenisnya atau sub-
sektornya, yaitu pemintalan (spinning); pertenunan (weaving); perajutan
(knitting); dan penyempurnaan (finishing). Menjelang tahun 1970,
berdirilah berbagai organisasi seperti Perteksi; Printer‟s Club (kemudian
menjadi Textile Club); perusahaan milik pemerintah (Industri Sandang,
Pinda Sandang Jabar, Pinda Sandang Jateng, Pinda Sandang Jatim), dan
Koperasi (GKBI, Inkopteksi). Tanggal 17 Juni 1974, organisasi-
organisasi tersebut melaksanakan Kongres yang hasilnya menyepakati
mendirikan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), dan sekaligus menjadi
anggota API. Lihat Chamroel Djafri, Gagasan Seputar Pengembangan
Industri dan Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil (Jakarta: Asosiasi
Pertekstilan Indonesia (API) dan Cidesindo, 2003); Gunadi, Pengetahuan
Dasar tentang Kain-kain Tekstil dan Pakaian Jadi (Jakarta: Yayasan
Pembinaan Keluarga UPN Veteran, 1984); sebagai perbandingan lihat
juga Benny Soetrisno, Perspektif dan Tantangan Industri Tekstil
Nasional Pasca Kuota, Implikasi dan Urgensinya terhadap Perbankan
(Jakarta: Asosiasi Pertekstilan Indonesia [API], 2004).
189
pemintalan benang menjadi salah satu simbol sejarah
peradaban Islam terutama di era zaman kekhalifahan. Para
sejarawan mengungkapkan bahwa industri tekstil menjadi
salah satu pendorong bergeraknya roda perekonomian dunia
Islam.
Para sejarawan mengungkapkan, pada masa
kekhilafahan Turki Usmani dikenal ‟peradaban tekstil‟,
terjadi investasi besar-besar di sektor industri tekstil (wol,
linen, katun dan sutera). Tekstil pun industri menjadi
andalan pada era tersebut. Pada abad ke-12 M, industri
tekstil telah berkembang pesat di wilayah Andalusia,
terutama sentra produksi wol dan sutera Islam.5 Sejarah
penemuan mesin pemintalan, terutama mesin pemintal
sutera yang lebih maju dengan negara lain pada saat itu
membuktikan bahwa kreativitas pemintalan benang dan
industri tekstil menjadi salah satu aset penting dalam
perkembangan perekonomian Islam di dunia muslim.6
Seiring dengan sejarah kapas, pemintalan dan
pertekstilan, Indonesia kemudian menjadikan pula simbol
5Di saat dunia Barat belum mengenal cara membuat katun dan
sutera. Berkat kualitas dan keunggulannya, industri tekstil umat Islam ini
ternyata mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap Barat. Hal itu
dibuktikan banyaknya kata-kata Arab dan Islam untuk tekstil ditemukan
dalam bahasa-bahasa Eropa, seperti damask, muslin, mohair, sarsanet,
tafffeta, dan tabby. Berkembangnya industri tekstil di dunia Islam
ternyata ditopang oleh peralatan dan teknologi yang maju. Saat itu,
peradaban Islam telah menguasai beragam peralatan yang digunakan
industri tekstil, seperti alat pemintal, alat tenun, dan teknologi yang
digunakan pada tahap akhir pembuatan tekstil. Lihat Murice Lombard,
the Golden Age of Islam (New York: Markus Wiener Publishers, 2003). 6Selain berfungsi untuk memintal, alat itu juga berperan penting
bagi perkembangan teknik mekanik. Roda pemintal diperkenalkan bangsa
Arab dalam masa kejayaan Sisilia dan Spanyol. Bersamaan dengan
pengetahuan kulturasi sutera, dan cara penggunaan mesin pemintal
benang dari beberapa buah kokon menjadi helai benang yang kuat. Lihat
Ahmad Yusuf Hasan dan Donald Routledge Hill, Islamic Technology: an
Illustrated (Cambridge: Cambridge University Press, 1992).
190
kapas salah satu lambang Negara Republik Indonesia yang
mencerminkan kemakmuran masyarakat.7 Indonesia juga
memiliki ragam tenun terbanyak di dunia dengan populasi
pengrajin tenun tersebar di 33 provinsi, yang
konsentrasinya dan sebaran utamanya ada 19 provinsi,
yakni: Nangro Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi,
Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, NTT, Bali,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan.
Diantaranya usaha kerajinan tenun songket yang merupakan
seni tenun asli budaya melayu Indonesia, baik itu melayu
Aceh, melayu Deli Medan, melayu Riau, melayu Jambi,
melayu Sumatera Barat, melayu Palembang, melayu
Bengkulu, melayu Nusa Tenggara dan seluruh Puak Melayu
Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Hal tersebut dilihat dari ketuaan Kerajaan Suku
Melayu Indonesia dibandingkan kerajaan suku melayu
negara lain. Dalam sejarahnya, songket yang dijuluki “ratu
tenun songket (queen of woven cloth)” secara umum
merupakan perpaduan benang sutera Tionghoa dan dengan
benang emas dan perak dari India, yang mana kedua suku
tersebut menjalin perdagangan dengan suku Melayu,
dengan titik temu di pesisir pantai timur pulau Sumatera,
dan umumnya mereka berlabuh di Pulau Bintan.8 Gabungan
sutera Tionghoa dengan benang emas dan perak India lah
yang dijadikan tenunan songket oleh suku Melayu.9
7Edi Sigar, Buku Pintar Budaya Bangsa Nusantara (Jakarta:
Penerbit AMA, 2000); Sartono Kartodirdjo, 700 Tahun Majapahit, 1293-
1993: Suatu Bunga Rampai (Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah, Propinsi
Daerah Tingkat I Jawa Timur, tt); Burhanuddin Salam, Filsafat
Pancasilaisme (Jakarta: Penerbit Bina Aksara, tt). 8Ki Agus Zainal Arifin, Songket Palembang: a Resplendent
Tradition Woven with Devout Passions (Jakarta: Dian Rakyat, 2006). 9Menurut sejarah Melayu, sebelum Kerajaan Melayu Singapura,
Melaka, Johor, Riau dan Siak Indrapura; di Kepulauan Riau telah berdiri
191
Sumatera Selatan sebagai pusat wilayah usaha
songket dengan ibukota Palembang10. Sumatera Selatan sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Bintan. Pusat kerajaannya
berada di Pulau Basar yang kemudian terkenal dengan nama Pulau
“Bintan”. Pulau ini pada mulanya dihuni oleh pendatang dari berbagai
daerah, bahkan ada yang dari Kamboja dan India. Disebabkan keadaan
letaknya yang baik untuk lalu lintas perdagangan di Selat Melaka,
menyebabkan negeri ini cepat berkembang. Dengan demikian, budaya
Malaysia jauh lebih muda daripada budaya melayu Indonesia, sehingga
tidak mungkin budaya Indonesia berasal dari budaya Malaysia. Situs-
situs sejarah pun membuktikan hal ini. Tari Pendet (karya Wayan Rindi
yang bermula dari tarian suci di pura-pura Bali), keris, batik, angklung,
wayang, reog, dan seluruh budaya Indonesia itu memang berasal dari
tanah kedaulatan Indonesia. Karena itu, songket merupakan warisan
budaya Indonesia yang tidak dapat diklaim oleh negara manapun. Lihat
Supartono Widyosiswoyo, Sejarah Seni Rupa Indonesia, jilid 2 (Jakarta:
Universitas Trisakti, 2001); Suwita Kartiwa, Tenun Ikat: Ragam Kain
Tradisional Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007); lihat
juga Siti Zainon Ismail, Tekstil Tenunan Melayu: Keindahan Budaya
Tradisional Nusantara (Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kementerian Pendidikan, 1994). 10
Kota Palembang berasal dari kata “limbang” yang berarti
membersihkan dan memilih suatu benda dalam air untuk diambil dan
dipergunakan, dalam hal ini dimaksudkan adalah melimbang biji emas
yang baru diperoleh dari dalam tangah. Konon kabarnya di muara Sungai
Ogan, mata pencarian penduduk sekitarnya adalah melimbang, maka
tempat itu kemudian disebut dengan “pelimbang” kemudian diucapkan
dengan kata-kata “Palembang” sampai sekarang. Ada juga yang
mengartikan Palembang dengan asal kata “lembeng” (bahasa yang
menyebut genangan air) yang kemudian ditambah dengan awalan “pa”
(sebagai kata penunjuk tempat, sehingga terjadi kata “pa lembeng‟‟
dengan arti, kota yang selalu tergenang air atau di lembeng air. Legenda
rakyat ini dapat dihubungkan dengan data sejarah munculnya Kerajaan
Sriwijaya. Dari kronik-kronik Cina yang diterjemahkan W.P.Groenerveld
tahun 1876, diperoleh data bahwa sejak abad ke-empat belas ada suatu
negeri atau kerajaan di laut Selatan yang disebut “san-fo-shi” yang
disamakan dengan Palembang. Sanfoshi berarti kerajaan Sriwijaya.
Disebut juga dalam tulisan Cina “Chau-Ju-Kuan” (1225) menyebutkan
dengan “Pa-Lin-Fong”, begitu juga pada tulisan “Wang-ta-Yuan”, yang
berjudul “Toi-ichi-Lio (1349-1350),dan catatan perjalanan Ying-Ysi yang
ditulis Ma-huan, yang selalu menyebut dengan kata Po-Lin-Pang. Pola
192
adalah wilayah yang berbatasan dengan Jambi, Bengkulu,
dan Lampung.11 Sungai Musi merupakan pusat dari sungai-
sungai kecil sekitarnya. Seperti, sungai Kikim, sungai
Kelingi, sungai Lakitan, sungai Rawas, sungai Lematang,
sungai Enim, sungai Ogan, sungai Komering, dan sungai
Banyuasin. Sungai-sungai tersebut merupakan alat
transfortasi dari pusat kesultanan di daerah pedalaman yang
kaya dengan berbagai hasil bumi. Di samping sungai,
Sumatera Selatan memiliki danau, yaitu danan Ranau dan
Danau Teluk Gelam. Kota Palembang sebagai ibukota
propinsi Sumatera Selatan merupakan bandar yang letaknya
sangat strategis, terletak di kedua tepi sungai musi yang
dalam, yang sibuk dengan jalur perdagangan dalam dan luar
negeri. Penduduk Sumatera Selatan dibedakan atas
penduduk asli dan pendatang, baik dari Arab (datang tahun
pemukiman dan bentuk rumah adat di Palembang cukup memberikan
keunikan sendiri. Pembelahan sungai musi yang disetiap bantaran sungai
dibuat pemukiman yang dibangun diatas tiang tinggi menghadap ke arah
sungai. Biasanya arah Timur dan Selatan merupakan arah yang paling
dikehendaki dalam pendirian rumah di tanah Sriwijaya, sedangkan arah
Barat dan Utara merupakan arah yang dihindari, karena dipandang
kurang sehat. Sebagian lain mendirikan bangunan di atas permukaan air,
sehingga ketinggian bangunan menurutkan ketinggian air. Beberapa
istilah nama untuk rumah dikenal rumah rakit, restoran apung. Propinsi
Sumatera Selatan terdiri dari 8 kabupaten dan 4 kota yang terdiri atas 143
kecamatan dan terbagi dalam 280 kelurahan/desa dengan luas wilayah
seluruhnya 97.159.321 km. Lihat Anonimus, Penemuan Hari Jadi Kota
Palembang (Palembang: Humas Pemda Kotamadya Palembang, 1973);
Jalaluddin, Petunjuk Kota Palembang dari Manua ke Kotamadaya
(Palembang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tk-II, 1992); lihat
juga Latifah Ratnawati, “Kebudayaan Palembang”, dalam Achdiati
Ikram, Jati Diri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang
(Palembang YANASSA, 2004).
193
1690), Cina (datang tahun 1720), Hindustan (datang tahun
1800, dan Eropah (mulai VOC muncul).12
Sumatera Selatan dibagi dalam dua golongan:
golongan priyayi dengan tiga tingkatan, yaitu: Pangeran,
Raden dan Masagus; golongan kedua adalah rakyat. Pada
masa Kesultanan Palembang Darussalam tempo dulu
menjadi dalam tingkatan, yaitu: Kemas, Kiagus, dan rakyat
kebanyakan.13 Golongan rakyat kebanyakan dibagi atas:
Miji, Senan, dan Budak. Untuk beberapa daerah kabupaten
sebutan panggilan macam sebutan seperti klawai, puyang
dan sebagainya. Tingkatan-tingkatan ini akan berhubungan
erat dengan pola dan bentuk kain songket Palembang14.
12
Yudhy Syarofie, Legenda Tepian Musi (Palembang: Pemerintah
Provinsi Sumatera Selatan, Kegiatan Pengelolaan Kelestarian dan
Pembinaan Nilai Budaya, Sumatera Selatan, 2008); Kiagus Zainal Arifin,
“Negeri di Tepi Sungai Musi”, dalam Songket Palembang: Indahnya
Tradisi di tenun Sepenuh Hati (Songket Palembang: a Resplendent
Tradition Woven with Devout Passions (Jakarta: Dian Rakyat, 2006). 13
Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia
(Jakarta: LP3ES, 1996); Bambang Budi Utomo, Pertanggalan dan
Arsitektur Bangunan Gedingsuro (Jakarta: Badan Pengembangan
Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Bidang Pelestarian dan
Pengembangan Kebudayaan, Bagian Proyek Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi, 2002); K.O.H Gadjahnata; Sri-Edi Swasono,
Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1986); Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan
Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005). 14
Secara khusus tidak ditemukan mengapa pengucapan kata
songket di wilayah Sumatera Selatan dengan kata songket Palembang.
Namun peneliti menilai bahwa kata songket yang ditambah dengan
Palembang disebabkan eksistensi Palembang yang merupakan ibukota
Palembang, dan lebih dikenal dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain
disekitar Sumatera Selatan. Sama seperti kata “duku Palembang”
walaupun sebenarnya produksi dari kabupaten Komering, atau “durian
Palembang”, walaupun produksi tanamannya berasal dari Muara Enim,
Musi Banyu Asin, Lahat. Lihat juga Yudhy Syarofy, Ketika Biduk
Membutuhkan Dermaga: Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelestarian
194
Secara umum songket dari kata sangko yang berarti
saat pertama orang menggunakan hiasan kepala. Dapat juga
dipahami dengan bahwa songket ucapan bahasa dari kata
tusuk dan cukit yang kemudian disingkat menjadi suk-kit,
selanjutnya berubah menjadi sungkit dan disebut kemudian
oleh orang-orang Palembang dengan nama songket.15 Asal
mula teknik tenun tersebut diilhami oleh sarang laba-laba
yang dikembangkan dengan berbagai eksperimen, hingga
penguasa Mesir di tahun 2500 SM memerintahkan
rakyatnya untuk membuat bentuk yang serupa dalam
membuat busana para bangsawan pada saat itu. Pada
perkembangan selanjutnya, tenun ikat mulai diperkenalkan
pula ke Eropa sekitar tahun 1880 oleh Hein dengan nama
ikatten. Sejak itu nama “ikat” menjadi populer di manca
dan Pemanfaatan Warisan Budaya (Palembang: Balai Arkeologi
Palembang). Lindawati, “Songket: Simbol Kekuatan Budaya Lokal,”
Tesis (Malaysia: Universitas Kebangsaan Malaysia, 2004). Sebagai
perbandingan dapat dilihat Suwati Kartiwa, Kain Songket Indonesia
(Jakarta: Djambatan, 1996); Haziyah Hussin, “Peranan Songket dalam
Perkawinan Melayu: Golongan Istana dan Rakyat Biasa,” dalam Jurnal
Arkeologi Malaysia, Bilangan 17-2004, KDN PP 6026/10/03. 15
Sukanti, Tenun Tradisional Sumatera Selatan (Palembang:
Departemen Pendidikan Nasional, 2000), 23. Secara umum data sejarah
menjelaskan bahwa sejak zaman neolitikum, di Indonesia pada umumnya
dan Palembang pada khususnya telah mengenal ragam hias. Hal tersebut
dapat diketahui dari penemuan gua, peralatan pertanian, dan peralatan
rumah tangga yang terbuat dari bahan batu, kayu, logam dan tekstil. Pada
masa itu, hiasan tidak hanya merupakan suatu keindahan yang
dipergunakan sebagai hiasan an sich, tetapi memberi kandungan makna
yang sesuai dengan pengetahuan dan kepercayaan dan upacara ritual.
Karenanya, usaha tenun terutama tenun songket di tanah Sriwijaya
menjadi bagian dari penggalian nilai-nilai seni artistektur dan budaya
masyarakat. Lihat Suwati Kartiwa, Kain Songket Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1996); Kiagus Zainal Arifin, Songket Palembang: Indahnya
Tradisi di Tenun Sepenuh Hati (Songket Palembang: a Resplendent
Tradition Woven With Devout Passions).
195
negara sebagai sebuah istilah internasional untuk menyebut
jenis tenunan dengan menggunakan teknik ini.16
Warming dan Gaworski menulis bahwa pada zaman
dahulu tenunan dengan desain ikat pakan diterapkan di
Indonesia, yang dibawa oleh pedagang Islam India dan
Arab ke Sumatera dan Jawa. Terutama di daerah yang telah
kontak dengan Islam, dan letaknya strategis penting bagi
lalu lintas perdagangan. Pada saat itulah, awal mulanya
berkembang seni tenun yang menggunakan sutera dan
benang emas ini.17 Gittinger menambahkan bahwa daerah
yang menghasilkan tenunan dengan desain benang emas
dan perak terdapat di daerah yang membuat desain ikat
pakan dan mempergunakan benang sutera. Daerah itu
diantaranya Sumatera dan kepulauan Riau. Bahkan, di
Palembang sejak abad ke-15 telah ditanam pohon murbei
dan peternakan ulat sutera.18
Tradisi tenun pada masa Kerajaan Sriwijaya lebih
terfokus pada penggunaan benang emas dari asli emas
16
Lihat Anesia Aryunda Dofa, Batik Indonesia (Jakarta: Golden
Terayon Press), 1996; Suwita Kartiwa, Tenun Ikat: Ragam Kain
Tradisional Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007); Nian, S.
Djoemena, Lurik: Garis-Garis Bertuah (Jakarta: Djambatan, 2000).
Sejarah tokoh Mahatma Gandhi membuat sendiri pakaian sederhana yang
ditenun dengan alat tenun bukan mesin; sebagai sebuah propaganda
kepada rakyatnya agar melakukan gerakan swadesi, yaitu membuat
barang-barang produksi negaranya sendiri dan menolak hasil dan barang
dari Negara lain (Inggris). 17
Wanda Warming dan Michael Gaworski, the World of
Indonesian Textiles (New York: Kodanska Internat, 1981); Megumi
Uchino, “Socio-Cultural History of Palembang,” Songket, Indonesia and
the Malay World”, vol. 33, Issue 96 July 2006; Sari Ade Riyanti, “Makna
Simbolis Kain Songket sebagai Simbol Status,” (Semarang: Fakultas
Teknik, Teknologi Jasa dan Produksi Busana, Universitas Negeri
Semarang, 2006). 18
Mattiebelle Gittinger dan H Leedom Lefferts, Textiles and the
Tai Experience in Southeast Asia (Washington, D.C.: Textile Museum,
1992).
196
dalam membuat kain songket. Maka pada saat itu, Songket
emas lebih dikenal dengan songket jantung yang dipakai
oleh para pembesar raja Majapahit. Unsur kebudayaan yang
memakai kain songket sebagai simbol terutama pada
pakaian upacara adat atau dalam penyambutan tamu
kehormatan dari kerajaan di luar Sriwijaya. Data juga
memperlihatkan bahwa kain songket dijadikan sebagai
hadiah semasa istiadat perkawinan lingkungan pembesar
raja. Pada masa ini, kain songket belum menjadi simbol
utama sebuah kebangsawanan. Artinya, masih sebagai
hadiah istimewa kepada keluarga yang menikah baik dari
pembesar raja dan para bangsawan, hingga kini simbol
pemberian songket dalam proses pernikahan menjadi salah
satu bagian penting.19
19
Pada masa kerajaan Sriwijaya itu sudah terjadi barter barang
para pedagang luar untuk mengambil rempah-rempah sebagai komoditi
internasional, sementara para pedagang kerajaan Sriwijaya mendapatkan
tekstil dan bahan-bahan untuk menenun, antara lain: benang perak dan zat
pewarna. Hal tersebut terbukti berdasarkan penggalian arkeologis yang
menyimpulkan bahwa pada abad VIII dan IX, diyakini adanya orang
yang memperdagangkan kisi, benang, zat warna, menjual kapur yang
dipergubakan dalam campuran pembuatan kain, di samping
ditemukannya mata uang Cina yang berasal dari dinasti Song (960-1279)
sampai Ming (abad 14-17 M). Kekayaan Sriwijaya menjadikan emas
sebagai logam mulia melimpah ruah. Sebagian emas itu kemudian
dikirim ke negara Siam, di mana di negara tersebut, emas tadi diolah dan
dijadikan benang emas untuk kemudian dikirim kembali ke kerajaan
Sriwijaya. Bersamaan itu pula, Kerajaan Sriwijaya mengimpor benang
sutra dari kota Canton (Cina). Dasar impor benang sutra dan pembuatan
benang emas pada masa itu untuk melestarikan seni menenun yang telah
ada sebelum kerajaan Sriwijaya muncul. Indikasi dari distribusi benang
sutra dan pembuatan benang emas juga menunjukkan bahwa tanah
Sriwijaya pada waktu itu termasuk daerah memiliki tradisi tenun. Suwati
Kartiwa, Kain Songket Indonesia, 32; V.J. Herman, Seni Ragam Hias
pada Kain Tenun (Mataram: Depdikbud, 1990); I Wibowo, Belajar dari
Cina: Bagaimana Cina Merebut Peluang Pasar Global (Jakarta:
Kompas, 2004); lihat juga Ali M. A. Rachman. Masyarakat Kecil dalam
Era Global (Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 2000).
197
Pada masa ini, para penenun songket sudah
dilestarikan, dihormati dan mendapat tempat tersendiri di
kalangan kaum bangsawan kerajaan, sementara dari
kelompok rakyat jelata tidak memperlihatkan antusias besar
terhadap kain tersebut. Indikasinya terlihat dari tidak
nampaknya data yang menjelaskan upaya masyarakat jelata
untuk membeli dan mengoleksi pakaian tenun, kecuali bagi
pemuka adat atau tetua adat yang menjadi bagian dari
pegawai kerajaan Sriwijaya. Namun demikian, hal yang
menarik dari penggalian data sejarah dengan penggunaan
benang emas kain songket hampir bersamaan dengan
bentuk bangunan adat, rumah adat yang disebut limas di
Tanah Sriwijaya. Sebagai bukti adanya hubungan songket
dan rumah adat limas terlihat dari definisi limas yang
pahami dari kata lima dan emas.20
Emas adalah logam mulia sebagai simbol melimpah
ruahnya kerajaan Sriwijaya. Hal tersebut diimprovisasikan
menjadi lima tujuan mulia berupa: (1) simbol keagungan
dan kebesaran; (2) simbol rukun dan damai; (3) adab dan
sopan santun; (4) aman, subur sentosa dan (5) simbol
kemakmuran dan kesejahteraan. Seiring dengan hal tersebut
kain songket mengidentifikasi tingkat kekayaan dan
keagungan si pemakai.21 Motif-motif yang dimunculkan
pada masa Sriwijaya mengikuti tradisi India yang
memperlihatkan adanya hubungan diplomatik dan
20
Reimar Schefold dan P. Nas; Gaudenz Domenig, Indonesian
Houses (Singapore: Singapore University Press, 2004); Dahlan, Sejarah
Ringkas Museum Sumatera Selatan (Palembang: Penerbit Proyek
Pengembangan Permuseuman Sumatera Selatan, 1984); lihat juga Yudhi
Syarofie, Songket Palembang: Nilai Filosofis, Jejak Sejarah, dan Tradisi
(Palembang: Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Kegiatan
Pengelolaan Kelestarian dan Pembinaan Nilai Budaya Sumatera Selatan,
2007). 21
Achadiati Ikram, Jati Diri yang Terlupakan: Naskah-Naskah
Palembang (Palembang: Yanassa, 2004).
198
kebudayaan antar negara. Indikator kesamaan motif dengan
desain yang dibuat, dapat dilihat dari cara ikat lungsi dan
pakan yang sama-sama menggunakan benang dan sutera,
dengan simbol utama bunga teratai yang melambangkan
kekuasaan besar kerajaan Sriwijaya dan perluasan wilayah
kekuasaan.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam
dunia pertekstilan, maka era kerajaan Sriwijaya melakukan
pengembangan motif yang membawa sumbangan yang
besar bagi seni budaya kerajaan Sriwijaya, terutama dalam
melestarikan bermacam-macam jenis tenunan lain yang
telah ada sejak zaman pra-sejarah Indonesia.22 Dengan
demikian, motif dan desain kain songket pada masa
kerajaan Sriwijaya telah mengikuti pola dan desain kain
tenunan Melayu lainnya.23 Karakteristik usaha songket pada
masa kesultanan Palembang Darussalam terkait erat dengan
asimilasi budaya dan agama, terutama pasca masuknya
agama Islam. Pada era 1629, kesultanan Palembang
Darussalam dikenal masa berkembangnya aspirasi desain
dan motif songket. Meningkatnya aktifitas tenun songket
masa tersebut dikaitkan dengan tingkat kekayaan dan
kebangsawaan seorang pemakai. Disamping itu, kain
songket seperti masa-masa sebelumnya menjadi simbol
kedudukan seseorang dalam lingkungan kesultanan.24
Usaha awal dalam mengelola kain songket dengan
membudidayakan bahan baku dasar songket, diantaranya
pembudidayaan ulat sutera melalui kemitraan dengan
22
Mattiebelle Gittinger, to Speak with Cloth: Studies in
Indonesian (USA: Museum of Cultural History, University of California,
1989). 23
Tini Sardadi dan Amy Wirabudi, Seri Serasi dan Gaya Berkain
(Jakarta: Gramedia, 2007); lihat juga Suwati Kartiwa, Kain Songket
Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1986). 24
Barbara Watson Andaya, the Cloth Trade in Jambi and
Palembang During The 17th and 18 th Centuries (New York: tp. 1989).
199
kerajaan di Sulawesi, dan metode pencelupan benang emas
di wilayah kesultanan Palembang. Penggunaan bahan baku
yang sudah diambil di lokal, menambah kemampuan para
penenun untuk melakukan eksperimen motif dan desain
songket. Karena itu, pada masa Kesultanan Palembang
Darussalam pewarnaan mulai menggunakan warna-warna
terang lebih dari pewarnaan songket semasa kerajaan
Sriwijaya. Warna merah, hijau, biru dan ungu semakin
menonjol. Penggunaan benang emas dan perak merupakan
bahan tambahan sebagai pemanis kain songket, dengan
menonjolkan benang emas dan perak pada permukaan kain
tenun.25 Hal yang menarik dalam usaha mengembangkan
kain songket pada masa kesultanan Palembang terkait
dengan nilai-nilai syariat Islam yang disampaikan oleh para
ulama masa itu. Artinya, kebebasan apresiasi para penenun
tidak lepas dari agama dan budaya yang telah berlangsung
pada saat itu.26
25
Suwati Kartiwi, Kain Songket Indonesia. 26
Pemaknaan motif yang terdapat dalam kain songket Palembang
penuh dengan perlambangan yang sakral dalam setiap coraknya, yakni:
(1) motif bunga mawar dalam desain kain songket mempunyai arti
perlambangan sebagai penawar malapetaka. Kain songket yang memiliki
motif bunga mawar biasanya dipakai sebagai kelengkapan upacara cukur
rambut bayi, sebagai selimut, dan kain gendongan. Kain songket dengan
motif bunga mawar digunakan dengan harapan kehidupan si anak yang
akan datang selalu terhindar dari bahaya, dan selalu dalam lindungan
Tuhan Yang Maha Esa; (2) motif bunga tanjung melambangkan keramah
tamahan sebagai nyonya rumah juga sebagai lambang ucapan selamat
dating; (3) motif bunga melati dalam desain kain songket melambangkan
kesucian, keanggungan dan sopan santun. Kain songket yang memiliki
motif bunga melati biasanya digunakan oleh gadis-gadis dalam lingkup
kerajaan yang belum menikah karena motif bunga melati
menggambarkan kesucian; (4) motif pucuk rebung melambangkan
harapan baik, karena bambu adalah pohon yang tidak mudah rebah oleh
tiupan angin kencang. Motif pucuk rebung selalu ada dalam setiap kain
songket, sebagai kepala kain atau tumpal. Penggunaan motif pucuk
rebung pada kain songket dimaksudkan agar si pemakai selalu
200
Era kesultanan Palembang Darussalam, karakteristik
penenun dan usaha tenun songket terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu: Pertama, kelompok yang menenun
songket untuk kepentingan Sultan dan para bangsawan;
Kedua, kelompok yang menenun untuk masyarakat
kebanyakan. Polarisasi penenun tersebut membentuk
tingkatan para penenun di era tersebut. Polarisasi itu
kemudian membangun berbagai macam motif dan desain,
yang akhirnya bersatu dalam pluralitas simbol. Berbagai
penelitian sebelumnya, menyimpulkan bahwa usaha tenun
pada masa kesultanan Palembang merupakan puncak
peningkatan usaha songket, dengan berbagai motif dan
berkembang pada masa-masa selanjutnya.27
Karakteristik tersebut kemudian memunculkan adat
Palembang yang melarang seorang gadis untuk memakai
pakaian songket sampai ia menikah. Hal ini berdasarkan
pengalaman para penenun yang mendapatkan wajah para
gadis yang belum menikah tidak bercahaya (munggah paes)
saat memakai kain songket. Berkembang kemudian, adat
bahwa pemakaian kain songket melalui proses masa
pingitan dimana pada masa itu diajarkan pendidikan
kerumahtanggaan bagi seorang gadis, diantaranya
mempunyai keberuntungan dan harapan baik dalam setiap langkah hidup.
Lihat Djamarin, Pengetahuan Barang Tekstil (Bandung: ITT Bandung,
1977); lihat juga Tim Penulis Depdikbud Dinas Permuseuman Pembinaan
Sumatera Selatan. 2000. Tenun Tradisional Sumatera Selatan (Jakarta:
tp). 27
Lindawati, “Songket: Simbol Kekuatan Budaya Lokal”.
Sebagai perbandingan dapat dilihat Suwati Kartiwa, Kain Songket
Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1996); Haziyah Hussin, “Peranan
Songket dalam Perkawinan Melayu: Golongan Istana dan Rakyat Biasa,”
dalam Jurnal Arkeologi Malaysia, Bilangan 17-2004, KDN PP
6026/10/03; Megumi Uchino, “Socio-Cultural History of Palembang,”
Songket, Indonesia and the Malay World”, vol. 33, Issue 96 July 2006;
Sari Ade Riyanti, “Makna Simbolis Kain Songket sebagai Simbol
Status”.
201
menyulam. Selanjutnya, setelah menikah berkembang
dengan memberikan ketrampilan membuat kain songket
bersama generasi tua lainnya.28
Masa kemerdekaan hingga masa Orde Baru
karakteristik para penenun songket Palembang merupakan
masa kerja para kader penenun yang masih ada dan masih
hidup hingga akhir penjajahan pada era 1945-an.
Disamping itu, mereka mempertahankan budaya tenun dan
nilai-nilai adat pada simbol-simbol songket, pada saat
bersamaan para penenun lebih berorientasi pada motivasi
kebutuhan hidup29. Para penenun sudah mulai merubah
orientasi usahanya pada konsumtif, walaupun tetap
meningkatkan produktifitas. Artinya, disadari atau tidak
disadari motif-motif dan bahan andalan pada masa kejayaan
kain songket mulai memudar, dan berganti dengan motif
yang lebih sederhana dengan bahan-bahan yang lebih
murah.
Hasil data lapangan diketahui karakteristik usaha
songket Palembang terbagi dalam beberapa karakter, yakni:
28
Ade Riyanti, Makna Simbolis Kain Songket sebagai Simbol Status
Sosial di Kelurahan Serengam 32, Ilir Kecamatan Ilir Barat Palembang.
Lihat juga J.L. Van Sevenhoven, Lukisan Ibukota Palembang (Jakarta:
Bhatara, 1998). 29
Pada titik yang paling Hierarki, Maslow memiliki teori
kebutuhan adalah salah satu teori motivasi yang paling dikenal. Teori ini
sangat berpengaruh dalam psikologi industri, perdagangan dan organisasi
sebagai teori motivasi kerja dan sering digunakan dalam bidang-bidang
terapan lain. Secara singkat, Maslow berpendapat bahwa kebutuhan
manusia sebagai pendorong (motivator) membentuk suatu hierarki atau
jenjang peringkat. Pada awalnya, ia mengajukan hierareki lima tingkat,
yang terdiri atas: kebutuhan fisiologi, rasa aman, cinta, penghargaan, dan
mewujudkan jati diri (self-actualization). Tenun songket menjadi bagian
dari kebutuhan karena motivasi economy oriented. Lihat Boone dan Kurt,
Contemporary Business (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2007); lihat
juga M. Suyanto, Revolusi Organisasi dengan Memberdayakan
Kecerdasan Spritual (Jogjakarta: Andi, 2006).
202
Pertama, perajin songket merupakan kelompok membantu
usaha keluarga, karena itu mereka berpatokan pada
bagaimana keinginan pemesan, atau pasar. Kedua,
pengrajin dan perajin kreatif yang melakukan berbagai
modifikasi dan kreasi sovenir. Berdasarkan hasil observasi
disimpulkan bahwa perbedaan penting antara pengrajin
kreatif dan perajin kreatif terletak pada dasar kerja awal.
Pengrajin kreatif adalah komunitas masyarakat yang tahu
prospek market songket, memiliki dana dan jaringan namun
tidak memiliki kemampuan menenun. Kelompok ini
kemudian melakukan kemitraan dengan perajin yang
memiliki ketrampilan turun temurun untuk memesan dan
membuat kain songket. Perajin kreatif adalah kelompok
penenun yang ahli menenun, dan membangun kelompok-
kelompok kecil sesama penenun yang berusaha membuat
Kelompok Usaha Bersama (KUB) berdasarkan kedekatan
keluarga maupun berdasarkan kedekatan tempat tinggal
(satu desa). Ketiga, penenun yang bekerja dan berusaha
sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan modal masing-
masing.
Dari rekapitulasi jawaban responden, dapat
disimpulkan bahwa tipologi pelaksana dalam unit usaha
songket Palembang terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu: (1)
pengrajin, yakni pemilik usaha songket dan pemilik
sekaligus koordinator sentra usaha perajin songket; (2)
perajin songket mandiri (kepala dari bisnis keluarga, orang
yang mempekerjakan diri sendiri, tenaga kerja keluarga tak
di bayar); dan (3) perajin songket upahan (perajin dari
pengrajin, perajin songket rumahan yang tidak terdaftar).
Karakteristik lain menunjukkan bahwa para perajin tenun
songket Palembang membuat aktifitas usaha rumah (home
industry) dengan pengelolaan manajemen keluarga. Pada
saat itu, para penenun dibagi dalam dua kelompok,
sehingga istilah penenun mulai bergeser kesebutan
203
Pengrajin dan perajin songket. Pengrajin adalah orang yang
memiliki usaha kerajinan songket, dan perajin adalah
pegawai yang dibentuk dalam beberapa koordinasi
kelompok kerja maupun dalam kooordinasi sentra usaha.
Kelompok kerja terbangun dalam: (1) kelompok kerja
bidang melerai bahan; kelompok kerja menganing;
kelompok kerja menggulung; (2) kelompok menghubung
dan mengarak; dan (3) kelompok kerja yang menenun.
Hasil observasi diketahui model kegiatan usaha
terbagi dua kelompok, yakni: Pertama, perajin songket
tradisional, yaitu perajin yang eksis untuk tetap menjadikan
songket apa adanya seperti bentuk masa-masa dahulu,
kelompok ini tidak menerima desain modifikasi mengikuti
pasar. Bagi mereka aktifitas modifikasi menjadikan songket
kehilangan ciri khas dan nilai sejarahnya. Mereka
berpandangan bahwa lebih baik menjual songket apa
adanya, dan jika tidak laku bisa disimpan, daripada harus
mengikuti selera pasar. Kelompok ini berpandangan bahwa
melestarikan seni menenun adalah lebih penting, daripada
merubah ciri khas dengan atas nama mengikuti selera pasar.
Kedua, perajin songket modernis, yaitu perajin yang mau
mengikuti selera pasar, mau melakukan modifikasi songket
menjadi berbagai bentuk aksesories yang dapat dijadikan
cidera mata yang beragam, murah, namun tetap tidak
menghilangkan ciri khas songket. Bagi kelompok ini, nilai
filosofis dan sejarah songket tidak akan hilang maknanya,
bahkan dapat semakin membuat terkenal kerajinan tenun
songket Palembang. Mereka juga berpandangan bahwa
dengan banyaknya kreativitas yang tidak menghilangkan
ciri khas songket menjadikan usaha songket tidak mati
sebagai budaya adi luhung anak bangsa.30
30
Hasil observasi dan wawancara dengan responden tanggal 25-
27 September 2010.
204
Secara umum prinsip perajin songket tradisional kain
tenun songket dapat dimaklumi, sebab songket merupakan
suatu warisan kekayaan peninggalan para leluhur bangsa
Indonesia yang tak ternilai harganya. Hampir seluruh
kelompok etnis di wilayah Nusantara hingga saat ini masih
melakukan pembuatan tenun, baik secara turun temurun
maupun dalam wilayah industri kecil dan menengah. Hasil-
hasil tenun dari Nusantara juga menjadi salah satu bentuk
artefak budaya yang paling menyebar dihampir seluruh
museum dibelahan dunia. Kekaguman pada corak atau
motif dan pola-pola yang rumit, namun indah, serta halus,
dan mempunyai kandungan makna budaya, menjadikan
para pencinta kain tenun dan peneliti diseluruh dunia
mengakui bahwa estetika kain tenun di Indonesia memang
begitu beragam dan bernilai budaya tinggi.31 Maka, selain
sebagai identitas budaya, hasil-hasil tenunan dan tekstil
lainnya memainkan peranan penting dalam kehidupan
sosial-ekonomi masyarakatnya.
Di beberapa daerah di tanah air, seperti kain batik
telah menjadi industri yang bukan hanya mendatangkan
pendapatan bagi sekelompok orang, tetapi menjadi sumber
pendapatan daerah, sebab bagaimanapun kain tenun dan
hasil tekstil lainnya masih dipergunakan untuk upacara-
upacara khusus adat istiadat dan ritual lainnya, bahkan
penggunaannya masih berlangsung dalam keseharian
masyarakat. Dalam perkembangannya, secara inovasi, kain
tenun telah mengalami evolusi dalam teknik maupun
coraknya. Namun dari bahan, motif, serta pola tersebut bisa
menangkap pengaruh-pengaruh zamannya. Bahkan, dalam
penerapannya kain-kain tenun bisa menjadi materi yang
menarik dijadikan gubahan yang dikreasikan pada pakaian
oleh para disainer, fashion kontemporer, maupun untuk kain
31
Lihat pandangan Kathleen Cee, Pendidikan Seni Visual
(Jakarta: Pelangi, 2009).
205
pelapis. Ini juga menunjukan bahwa seni tradisi tidaklah
mandek, bahkan sebaliknya menunjukan kreativitasnya.32
Istilah sentra usaha adalah kelompok-kelompok
perajin yang berkerja di rumah masing-masing dalam
koordinasi para pengrajin. Aktifitas dalam sentra dilakukan
dengan pertimbangan: (1) tempat usaha pengrajin tidak
mencukupi untuk bekerja dalam satu tempat; (2) keterkaitan
dengan efisiensi pengeluaran operasional yang harus diatur
sebagaimana kinerja layaknya karyawan pada satu usaha
atau perusahaan; (3) keterkaitan dengan efektifitas kerja
para perajin. Setiap kelompok dalam masing-masing perajin
memiliki tanggungjawab pada bidang masing-masing dan
saling bekerjasama untuk mendapatkan hasil kain songket
yang baik dan bermutu dalam koordinasi para pengrajin.33
Perbedaan penting dengan pekerja rumahan dalam berbagai
perspektif dengan pekerja rumahan proses tenun songket
adalah pada aspek pekerja. Dalam berbagai penelitian
diketahui bahwa pekerja rumahan lebih identik dengan
perempuan,34 sementara hasil wawancara dan observasi di
lapangan didapatkan pada proses tenun songket identik
32
Pemahaman sejenis dapat dilihat dari Tedi Sutardi,
Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya (Bandung: Setia Purna
Inves, 2005). 33
Heri Junaidi, “Efektifitas Perjanjian Akte di Bawah Tangan
Usaha Songket Palembang dalam Perspektif Fiqh Muamalah”,
(Palembang: Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Fatah Palembang, 1997);
lihat juga Lindawati, “Songket: Simbol Kekuatan Budaya Lokal. Hasil
wawancara responden perajin songket, Tanggal 4-11 Oktober 2010. 34
Lihat misalnya Charles B Hennon; Suzanne LokerRosemary
Adams Walker, Gender and Home-Based Employment (Westport, Conn:
Auburn House, 2000); Eka Chandra, Membangun Forum Warga:
Implementasi Gagasan Partisipasi dan Penguatan Masyarakat Sipil di
Kabupaten Bandung (Bandung: Akatiga, 2003); Ricky. W. Graffin,
Ronald. J. Ebert, Bisnis, alih bahasa oleh Wardani (Jakarta: Erlangga,
2010); Wahyu.W, Basjir, “Informalisasi dan Tantangan Perburuhan”,
Jurnal Analisis Sosial. Vol. 1, No.3, Desember 2003.
206
dengan laki-laki maupun perempuan yang saling membantu
dalam proses pembuatan songket. Struktur kerjasama ini
memperlihatkan ada kontruk responsif gender yang berbasis
kebersamaan bekerja.
Para responden menilai bahwa dalam menenun tidak
membedakan antara laki-laki dan perempuan, semua bisa
melakukan yang penting memiliki kriteria dalam bekerja
sepenuh hati. Dalam pandangan responden mungkin sedikit
berbau mistis namun sering terjadi, bila si penenun sedang
marah atau kesal, maka benangnya sering putus atau hasil
tenunannnya kasar dan banyak kesalahan, sehingga
menurunkan nilai songketnya.35 Pekerjaan menenun adalah
serangkaian proses yang panjang dan melibatkan banyak
orang. Dimulai dari menentukan warna dan desain,
mengelola benang, membuat pola di kertas, menyiapkan
peralatan, memasang, benang, barulah kain diangin-
anginkan, dan siap dikenakan. Seluruh rangkain ini
memakan waktu sekitar 2 minggu hingga 3 bulan.
Proses ini juga tidak bisa dikerjakan oleh satu orang,
tapi merupakan semacam kerja tim. Menurut para
responden, pekerjaan tenun songket dimulai dengan
menentukan warna dasar, jenis lepus atau tawur, polos atau
limar dan motif ragam hiasnya. Bila ragam hias belum ada
contoh, maka harus digambar pada kertas berpetak sebagia
pola atau patoknya. Gambar dibentuk menyerupai sulam
cruisstick. Pola meliputi motif pinggir, tumpal, dan isian
tengahnya. Warna-warna songket palembang adalah warna
yang terang dan kuat seperti merah, anggur, ungu terung,
35
Olah data wawancara dengan responden kelompok perajin
songket desa Tanjung Laut, Tanjung Pinang dan Limbang Jaya
Kecamatan Tanjungbatu, Kabupaten Ogan Ilir), Tanggal 22-28
September 2010. Penegasan hasil wawancara dapat juga dilihat Ki Agus
Zainal Arifin, Songket Palembang: Indahnya Tradisi di Tenun Sepenuh
Hati.
207
hijau tua, hijau pupus, oranye, biru, dan hitam. Sekarang
warna-warna muda dan pastel juga disukai seperti pink, biru
muda, ungu muda, krem, dan putih. Dulu warna-warna
diperoleh dari tumbuhan yang juga dipakai untuk pewarna
batik dan tenun ikat. Sekarang pengrajin lebih banyak
memakai pewarna kimia lebih cepat menyerap. Ragam
warnanya pun sangat banyak.
Dalam selembar kain bisa ditemukan lebih dari dua
kombinasi warna. Bahkan, pada kain limar bisa dipakai
sampai lebih dari lima warna. Responden juga menilai
bahwa ragam hias songket Palembang sangat banyak,
namun yang tidak boleh dilupakan adalah tumpal yang
bentuk dasarnya adalah pucuk rebung, meskipun dibuat
dalam berbagai variasi. Pucuk rebung melambangkan
bahwa setiap manusia harus berguna sepanjang hidupnya
seperti pohon bambu (rebung), yang sejak muda hingga tua
dapat dimanfaatkan.36
Para responden mengungkapkan bahwa dalam
mengelola benang pada awalnya dari katun sebagai bahan
baku utama. Kini, kain dihasilkan dari berbagai jenis
benang, sutera, bulu domba, (wool), serat nanas, polyester,
selulosa, dan lycra. Songket Palembang menggunakan
benang sutera dengan beragam mutu sesuai dengan target
pasar yang akan dituju. Namun, umumnya songket
menggunakan benang sutera. Benang-benang itu
didatangkan dari Cina, Thailand, dan Jepang dalam
gulungan besar dan berwarna asli, putih kecokelatan
(broken white). Benang mentah tersebut kemudian dicelup
dala air tawar biasa sambil pelan-pelan diremas agar benang
lebih lembut. Setelah diperas benang siap dicelup.37 Bila
benang sudah siap, dan desain sudah ditentukan, tiba
saatnya mulai menenun. Alat tenun adalah dari jenis
36
Olah data wawancara tanggal 4-18 Oktober, 2010. 37
Olah data wawancara tanggal 4-18 Oktober 2010.
208
gedongan dimana penenun duduk tegak di lantai dengan
kaki lurus ke depan.
Bagian pinggang belakang penenun ditahan oleh
sebilah papan yang disebut por. Bagian-bagian lain dari
alat tenun ini adalah cakcak yang bentuknya seperti telinga
sebagai kepala dayan. Apit adalah penggulung hasil tenunan
yang sudah jadi, posisinya dekat perut penenun. Beliro,
sebilah kayu pipih untuk merapatkan benang pakan.
Pemipil, alat untuk membentuk bunga. Penyencang yag
berguna untuk membuka katup saat benang pakan
dimasukkan. Lidi adalah bagian penting untuk membentuk
desain atau ragam hiasnya. Suri untuk mengatur alur
benang lungsi.
Langkah pertama adalah menyiapkan benang lungsi
yang panjangnya 20 m. Lalu dimasukkan ke dalam suri
yang mirip sisir rapat sekali dari bamboo. Pekerjaan ini
dinamakan nyucuk suri. Perlu ketelitian dan ketrampilan
yang sangat terlatih untuk memasukkan lebih dari 1000
helai benang, dan dibagi dalam kumpulan beberapa helai
sesuai dengan kebutuhan desain. Setelah semua siap, maka
proses menenun pun dimulai. Tahap menenun bagian ragam
hias yang merupakan bagian tambahan dari benang pakan.
Dalam pembuatan songket biasanya para perajin
menggunakan tiga tehnik penyulaman. Pertama, dengan
satu benang. Jadi satu persatu benang diurai ke kanan dan
ke kiri. Tehnik ini merupakan tehnik yang paling lama
pengerjaannya. Dan hasilnya pun tentu paling bagus.
Biasanya pembuatan songket dengan menggunakan tehnik
ini membutuhkan waktu tiga sampai empat bulan. Kedua,
dengan tehnik benang rangkap dua. Ketika menggunakan
tehnik ini, para perajin menggunakan dua helai benang.
Karena benangnya rangkap, motif yang dihasilkannya pun
terlihat lebih jarang dibanding dengan yang pertama.
Ketiga, tehnik dengan menggunakan benang rangkap
209
empat. Tentu dengan tehnik inilah, satu kain songket dapat
dihasilkan dalam waktu yang cukup singkat. Namun,
hasilnya lebih kaku dan motifnya nampak lebih jarang.38
Kaki memainkan pedal, kedua tangan menarik beliro,
dan penyecang dibuka, maka benang emas pun disisipkan.
Setiap kali beliro ditarik yang disebut menyentek, wajah
atau pandangan mata harus dipalingkan ke kanan bawah,
agar mata tidak silau oleh kilau benang emas. Apalagi bila
hasil tenunan sudah mulai banyak dan terbentuk motifnya.
Pekerjaan menenun ini bisa diselesaikan dalam waktu 1-3
bulan tergantung kepandaian penenun dan kerumitan
motifnya. Songket lepus pasti lebih lama dibandingkan
songket tawur. Satu set songket, yaitu kain sarung dan
selendang bisa dikerjakan oleh dua orang penenun atau
sendiri, tergantung pada kesanggupan masing-masing.
Bahkan, bila di tengah pekerjaan sang penenun sakit,
pekerjaan ini bisa diteruskan oleh lainnya.39
Sepanjang hari, suasana di rumah-rumah pengrajin
maupun perajin selalu ramai oleh suara gedokan belira dan
sentakan, diselingi canda para penenun yang rata-rata kaum
perempuan paruh baya, perempuan dan laki laki muda usia
putus sekolah. Dalam kelompok pengrajin, para perajin
datang dari desa-desa di luar kota Palembang yang
memiliki keahlian menenun secara turun temurun. Tidak
aneh bila di rumah-rumah pengrajin banyak anak beranak,
dan kakak beradik bekerja sebagai penenun. Kerajinan ini
mampu memberi banyak lapangan kerja terutama para gadis
remaja yang putus sekolah, dan tenaga kerja sektor informal
lainnya, seperti: tukang celup benang, tukang menggulung
benang, pembuat cinderamata barang aksesoris dari tenun
songket, penjahit, pengepakan, hingga penjualan.
38
Wawancara responden tanggal 22 September-18 Oktober 2010. 39
Olah data wawancara tanggal 4-18 Oktober 2010.
210
Satu set sarung dan selendang masing-masing
mempunyai lebar 80-90 cm dengan panjang 200 cm untuk
sarung (sewed), dan lebar 60 cm dengan panjang 200 cm
untuk selendangnya. Bila songket telah selesai, maka tahap
akhir adalah melepas kain dari dayan. Sisa-sisa benang
dibuang, dan tepi kain dijahit rapi dengan jarum tangan.
Agar lebih mewah dan indah selendang bisa tambah dengan
renda rajut lebar berwarna keemasan. Untuk busana
pengantin masih ditambah dengan taburan payet dan mote.
Kain diangin-anginkan sebentar, lalu digulung, dan dapat
disimpan dalam lemari, tapi harus dijaga jangan sampai
terlalu lembab.40 Setiap kelompok memiliki tim perajin
yang menguasai bidang masing-masing. Mereka yang biasa
menggulung benang tidak memiliki kapasitas untuk
menenun. Para pembuat motif tidak memiliki kapasitas
dalam pewarnaan dan penenun. Dari sisi ini, nilai-nilai
pembagian tenaga kerja atau spesialisasi kerja (divition of
labor) telah terbangun baik.41
Dari proses tersebut dapat disimpulkan bahwa secara
garis besar pembuatan kain songket ini dilakukan melalui
tiga tahapan. Pertama, pencungkilan, artinya tahap ini
merupakan tahap pembuatan motif kain songket itu sendiri.
Dengan cara menyilah-milah benang dari benang songket,
lama prosesnya tergantung dari kerumitan motif kain
40Songket jangan dilipat karena benang emasnya bisa patah-
patah. Tidak boleh juga dicuci apalagi dengan mesin cuci. Bila terkena
noda cukup dibersihkan dengan kain basah pada bagian kotornya saja lalu
diangin-anginkan. Pada masa sekarang songket bisa dicuci dengan sistem
dry clean pada binatu modern. Olah data responden dari wawancara
tanggal 4-18 Oktober 2010. 41
Secara sederhana nilai-nilai divition of labor yang diusung
Adam Smith dalam konsep dan implementasi. Lihat Rob Paton dan
James McCalman, Change Management: a Guide to Effective
Implementation (London: SAGE, 2008); Teresa A Daniel dan Gary S
Metcalf, The Management of People in Mergers and Acquisitions
(Westport, Conn.: Quorum Books, 2001).
211
songket itu. Motif songket digambarkan dengan tuntunan
lidi yang dipasang ditenunan yang disebut sebagai “dayan”.
Kedua, proses penyambungan, artinya memisahkan benang
untuk pakan songket, dengan cara diuraikan untuk
persiapan penenunan. Para perajin biasanya menggulung
dengan alat yang dinamakan “undaran benang”.
Ketiga, kreativitas perajin. Kemudian dilanjutkan
dengan tahap pencukitan yang mirip dengan proses
streamin dalam penyulaman sesuai pola corak dan motif
yang sudah didesain. Baru kemudian penenunan di mulai.
Alat tenunnya yang berbahan dasar kayu ada berbagai
macam. Masing-masing memiliki nama dan fungsi
tersendiri seperti dayan, beliro, pelipir, penyincing, tuju
bilang, chacha, suri (sisir) buluh bambu, apit, dan pur. Tak
hanya perangkat peralatan dan tahapan pembuatannya yang
rumit, dalam pola corak warna dan motif benang emasnya
pun juga banyak macamnya. Setiap bentang kain ada 4
bagian, yaitu: pinggiran, tumpal, tengah, dan tretes untuk
ujung siku kain. Setiap bagiannya itu motifnya berbeda.
Bahkan, di bagian tumpal terdapat 4 jenis motif, yakni:
ombak, rumpak, carebung, dan tawur. Begitu juga di bagian
tengah ada beberapa macam, seperti lepus, tabor, limar, dan
bungo Cino.42
Kreativitas songket pun mengalami perubahan-
perubahan yang berkembang dari masa ke masa. Awalnya
kain ditenun dari benang kapas mentah (lawe), dan berubah
ketika benang sutera dan benang emas belum dikenal,
sehingga mutu benang membaik dan sistem pewarnaan
lebih menarik. Songket Palembang dari masa ke masa
meskipun tetap pada pakemnya mengalami perubahan-
perubahan. Pada tahun awal 1900-an banyak songket
42
Wawancara dengan perajin songket tanggal 25 September 2010.
Lihat juga Yudhi Syarofie, Songket Palembang: Nilai Filosofis, Jejak
Sejarah, dan Tradisi, 14-22.
212
berbentuk sarung yang menyambung seperti sebuah tabung,
tanpa ada sambungan jahitan yang dalam bahasa Palembang
disebut pa ujung pa bongkot yang merupakan kain limar
sumping dengan motif tetes mider. Benang yang tipis dan
halus sehingga menghasilkan songket yang transparan dapat
dilihat pada songket lepus bintang berantai. Kombinasi
berbagai warna juga sudah dikenal seperti pada songket
lepus bintang berakam. Sarung rumpuk lanang atau sarung
untuk pria mendapat pengaruh dari Bugis, Sulawesi Selatan.
Sekitar 1950-an songket Palembang tampak lagi
perubahannya. Warna-warna lebih berani dalam bentuk
songket limar berantai tampuk manggis, lepus naga besaung
dengan kombinasi berani antara merah dan ungu terong,
lepus nampan perak yang anggun menunjukkan
perkembangan tersebut, meskipun lebar kain sama, hanya
80 cm. Bila dikenakan bagian atasnya harus disambung
kain polos, supaya songket mencapai mata kaki. Pakem
wajib sebuah songket tetap dipertahankan seperti adanya
tumpal pucuk rebung, dan motif pinggiran. Yang baru
adalah motif tengahnya, seperti kucing, buah anggur,
burung kecil, bunga mawar bertangkai, kembang goyang.
Benang sutera yang digunakan lebih halus membuat
songket ini ringan dan lembut, sehingga nyaman saat
dikenakan.43 Para responden menyebutkan bahwa
umumnya motif yang ditampilkan mirip dengan helaian
daun-daun kecil yang panjang atau bulu ayam (lar). Sambil
ditenun, benang emas pun disisipkan. Kain songket limar
bisa berupa songket tawur maupun songket lepus. Hasil
karya yang muncul dengan berbagai macam motif yang
diambil dari alam sekitar baik flora maupun fauna seperti
bunga, dedaunan, sulur daun, kumbang, ikan, burung, dan
43
Wawancara dengan perajin songket tanggal 22-28 Sepember
2010; Lihat juga Ki Agus Zainal Abidin, Songket Palembang: Indahnya
Tradisi di Tenun Sepenuh Hati, 65-69.
213
sebagainya. Warna dasar kain yang klasik adalah merah
anggur, hijau tua, dan kuning. Tetapi songket sekarang
sangat beragam warnanya. Beberapa yang sifatnya klasik,
namun bukan sebagai penanda si pemakai, salah satunya
adalah songket Janda Berhias. Songketnya berlatar merah
anggur dengan kombinasi kuning dan hijau. Motif dari
benang emas ditambahkan pada kedua ujung secara
berserak (tawur), dan pada tumbal yang bermotif pucuk
rebung, sementara bagian tengahnya dibiarkan polos saja
berwarna hijau.44
Di era tahun 2000 hingga tahun 2010 aktifitas usaha
songket Palembang masih mempertahankan tenun songket
dengan memberikan berbagai modifikasi dalam bentuk
souvenir.45 Dari sini, pergeseran karakteristik usaha pada
penguatan seni. Aktifitas kerja dikembangkan dengan
sentra-sentra yang dikembangkan oleh para pengrajin
44
Warna-warna lain yang muncul seperti motif bunga mawar
dimaknai sebagai penawar rasa atau sebuah ungkapan mencegah
malapetaka. Bunga melati yang putih dimaknakan sebagai lambang
kesucian hati dan sikap sopan beradab tinggi. Bunga manggis
dimaknakan manisnya kehidupan. Bunga tanjung menunjukkan
keramahtamahan. Penamaan songket selain mengandung arti, juga lebih
banyak kepada bentuk yang nampak. Diantaranya binatang berakam,
naga besaung, limar bintang berantai, pacar cina, tetes mider, tampuk
manggis, limar pulir, tiga negeri, nampan berserak, belah belimbing,
kupu-kupu pita, buah cermin, dan seterusnya. Motif-motif ini sampai
sekarang masih dipakai dan tetap di kalangan penenun. Responden
menyatakan bahwa para penenun profesional yang sudah menenun
bertahun-tahun tidak lagi memerlukan pola yang digambar pada sehelai
kertas, bahkan hanya dengan melihat contoh perajin tahu bagaimana
menghitung benang lungsi dan membentuk motifnya. Sedangkan, untuk
para pemula pola pada kertas berpetak masih diperlukan. Hasil
wawancara tanggal 22-28 September 2010. 45
Stephanus Hamy dan Debbie S. Suryawan, Chic Mengolah
Wastra Indonesia: Batik Jawa Barat (Jakarta: Gramedia, 2009), 4; Tina
Sardadi dan Amy Wira Budy, Muslimah Berbusana Nusantra (Jakarta:
Gramedia, 2009).
214
songket Palembang. Hasil wawancara dengan beberapa
pengrajin diketahui pergeseran terjadi karena: (1) para
perajin songket sudah mulai terbuka dengan gerakan
persaingan usaha global; (2) adanya berbagai pelatihan
yang mengarahkan pada pengembangan songket kedalam
berbagai desain, motif maupun pembentukan souvenir yang
digemari oleh pasar dan laku terjual. Dari alat-alat tersebut
dibuatlah songket dengan perbedaan dari banyaknya
penggunaan benang emas dalam sehelai kain. Ada dua
sebutan besar untuk jenis songket Palembang ditambah
dengan penamaaan motif-motifnya yang semuanya
mengacu pada alam sekitar. Responden perajin
menyebutkan dari tempat usaha sederhana dan peralatan
pembuat songket diarahkan ke songket Tawur adalah jenis
songket yang penggunaan benang emasnya tidak banyak
dan rapat, namun menyebar dalam motif-motif tunggal.
Selain menyebar, benang emas ditambahkan pada motif
pinggiran dan tumpalnya. Ada juga songket Lepus, yakni
jenis songket yang penggunaan benang emas penuh sampai
hampir menutupi seluruh dasar kain. Songket Lepus tentu
saja lebih mahal dibandingkan songket tawur. Bukan saja
banyaknya benang emas yang dipakai, tapi juga motif yang
dipilih lebih rumit dan rapat.46
Dari berbagai data dapat disimpulkan adanya
perbedaan karakteristik usaha songket Palembang yang
terbagi: Pertama, masa kerajaan di Sumatera Selatan,
terutama masa Kesultanan Palembang Darussalam,
menenun songket berbasis nilai adat dan nilai-nilai agama
dalam setiap motif, lebih berorientasi penenun kerajaan,
tersedia bahan baku lengkap dan berkualitas, motif belum
berkembang dan statis namun diarahkan pada keanggunan,
dan kemewahan. Pada umumnya pembuatan motif terbagi
46
Hasil observasi dan wawancara tanggal 4-18 Oktober 2010.
215
dua kelompok, yaitu: kelompok perajin pelestari adat dan
budaya; dan kelompok perajin pengikut syariat Islam.
Kedua, masa kemerdekaan sampai masa-masa Orde Baru,
para penenun eksis mempertahankan budaya tenun songket
dengan mempertahankan nilai-nilai adat, orientasi produktif
dan konsumtif, berbasis keluarga sebab tenun merupakan
warisan turun temurun, bahan baku lengkap dan mudah
didapat, berkembangnya berbagai pola dan pengembangan
motif. Ketiga, masa kontemporer (era transisi hingga
reformasi 2011), para pengrajin dan perajin songket
mempertahankan dan memodifikasi desain tenun songket,
membangun kerjasama dengan desain pakaian, berbagai
aksesories, lebih mengutamakan seni dan bersifat
konsumtif, berkembangnya kerjasama dalam sentra-sentra
usaha terutama dengan perajin di kabupaten/kota di
Sumatera Selatan.47
B. Pendayagunaan Kapital Konstruk pendayagunaan kapital berarti (1) melihat
mesin dan pabrik yang dipergunakan untuk memproduksi
barang lain, dan (2) proses yang berhubungan dengan
subjek manusia dalam mempergunakan alat-alat tersebut
untuk menenun dan meningkatkan usaha songket secara
bersama. Dari aspek proses usaha songket Palembang
didapatkan. Hasil observasi menunjukkan bahwa proses
pembuatan kain songket telah membuktikan bangun
kebersamaan, dan saling bergantung antara satu keahlian
dengan keahlian yang lain. Artinya, ketika salah satu rantai
proses pembuatan kain songket tidak lancar, maka semua
proses produksinya menjadi terganggu. Karena itu, jalinan
komunikasi yang saling menguntungkan bersama menjadi
47
Hasil Observasi di wilayah sentral penjualan kain songket di Ilir
Barat Permai Palembang (15 dan 18 September 2011), dan hasil
wawancara tangga 22-25 September 2010.
216
prioritas dalam memproduksi kain songket. Persaudaraan
dalam melakukan pendayagunaan kapital terlihat dengan
hasil wawancara dengan Mariana (M), pengrajin songket
dan Jumputan Mustika Mandiri yang menjelaskan jaring
usaha songket yang dimilikinya. Pertama, M pada awalnya
hanya sebagai penjahit karung terigu, limbah usaha Indomie
di Palembang dengan beberapa karyawannya hingga
perkembangan usaha tersebut berkembang. Dalam proses
usahanya, ia berkenalan dengan tetangga yang menawarkan
keahliannya menenun songket untuk bergabung dalam
usahanya. M kemudian mengajak ibu-ibu lingkungannya
untuk belajar menenun, sehingga terkumpul 10 ibu-ibu
yang mau belajar menenun. Kerjasama dan proses awal
membangun kesejahteraan bersama muncul.
Kedua, kerjasama dalam mengelola bahan dan alat-
alat tenun dikembangkannya, dengan memberdayakan
kelompok yang khusus memintal benang tenun songket.
Kelompok yang mengurusi benang, dari pewarnaan,
pemasangan benang, mencoket/membuat motif, melimas,
dan kelompok menenun. Responden (1) kemudian mampu
mengkoordinir tenaga kerja bidang produksi songket
sebanyak 31 pekerja yang terdiri dari: (1) 8 orang laki-laki
dan 5 orang perempuan yang khusus mengurusi masalah
bahan baku benang, mewarnai dan memasang benang ke
alat tenun; (2) 3 orang perempuan dan satu orang laki-laki
yang berkreasi membuat motif; (3) 2 orang laki-laki dan 1
orang perempuan yang melimas; (4) 10 orang penenun; (5)
2 orang laki-laki sebagai tenaga administrasi. Dari jumlah
karyawan tersebut, M kemudian mampu menghasilkan
songket antara 15 dan 20 stel perbulan.48
Hampir sama, responden (2) memiliki hingga 40
orang karyawan, yang terbagi dalam kelompok-kelompok
48
Wawancara tanggal 24 September 2010.
217
tersebut yang mampu menghasil 30 stel kain songket.49 Dari
berbagai tempat usaha songket juga memiliki karyawan
yang variatif dan selalu berhubungan, dan ini berarti
solidaritas kerja terwujud dalam proses produksi dilingkup
karyawan. Kelemahan yang muncul pada persoalan
loyalitas dan dedikasi kerja sentra-sentra usaha terutama
yang berhubungan dengan ketidakseragaman dalam
memberikan upah kepada para perajin. Responden (3) dan
responden (4) perajin songket menjelaskan bahwa pada
umumnya perajin songket di Palembang ini tidak
menginduk kepada pengrajin. Mereka bekerja sesuai
dengan besaran upah yang diberikan. Pengrajin yang loyal
dan perhatian pada para perajin-perajin sentra akan diterima
dan dikerjakan dengan baik. Sementara pengrajin yang
tidak perhatian terhadap kebijakan pembayaran upah yang
sesuai diabaikan para perajin.50 Dari perspektif ini
memperlihatkan bahwa perajin sebagai orang yang
memiliki keahlian keturunan terposisikan sebagai objek
yang hanya menerima upah untuk keperluan sehari-hari dan
jauh dari penguatan efisiensi berkeadilan
Para responden penelitian ini menyebutkan persoalan
tersebut terletak pada kekuatan modal dan distribusi. Dari
sisi ini, secara umum para pengrajin telah melakukan proses
spesialisasi dan penguatan nilai tambah sekunder, dalam
meningkatkan ekonomi para pengrajin dan perajin. Bahan
baku benang yang diimpor dari negeri China, Thailand atau
India, selanjutnya diolah menjadi berbagai aneka benang
warna untuk kepentingan menenun, untuk sebagian
konsumen meminta untuk dicelup dengan warna emas.
Dampak dari hal tersebut, pemberdayaan masyarakat dalam
49
Wawancara tanggal 28 September 2010. 50
Wawancara tanggal 14-15 Oktober 2010.
218
proses membuat tenun songket menjadi baik.51 Perubahan
terjadi ketika persoalan modal menjadi kendala.
Pada sisi modal, semua responden dari pengrajin dan
perajin memiliki keterbatasan modal yang berimplikasi
pada berbagai aspek produksi terutama dalam hubungannya
dengan proses produksi yaitu (1) keterbatasan tempat usaha;
(2) keterbatasan ATBM; (3) keterbatasan sumber daya
penenun; (4) keterbatasan penyediaan bahan baku dan
keterbatasan distribusi terutama dalam promosi.52 Hasil
wawancara diketahui rata-rata modal sendiri perajin dan
pengrajin songket yang terjadi antara tahun 2008-2010
terbagi dalam: (1) modal sendiri pengrajin antara Rp
5.000.000,- sampai Rp 30.000.000,- (2) dan
modal sendiri pengrajin pemula dan perajin Rp 500.000,-
Rp 4.000.000,-.53 (3) hanya memiliki modal alat tenun dan
ketrampilan bertenun. Data akurat terhadap keuangan para
pengrajin maupun perajin tidak bisa diakses dengan baik.
Hal tersebut terkait dengan ketiadaan data keuangan
sederhana secara baik. Seperti tidak adanya buku
penerimaan kas, buku pengeluaran kas, buku pembelian,
51
Pengrajin yang memiliki modal langsung membeli benang yang
sudah jadi dalam bentuk gelondongan benang emas dan benang sutra ke
pedagang-pedagang benang. 52
Sebagian besar pengusaha mikro terutama yang bergerak di
sektor pertanian dan sektor informal memiliki pendapatan bersih kurang
dari USD1. 440 per keluarga pertahun. Dengan pendapatan sekecil itu,
mereka masih tergolong kelompok miskin yang berpendapatan kurang
dari USD1 per orang per hari. Namun demikian kelompok usaha ini
menyerap lebih kurang 89 juta tenaga kerja atau identik dengan 96,7%
tenaga kerja. Lihat Hg Suseno Triyanto Widodo, et.al, Reposisi Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah dalam Perekonomian Nasional
(Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2005). Lihat juga
Tulus Tambunan, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa
Isu Penting (Jakarta: Salemba Empat, 2002). 53
Modal sendiri adalah dana pengrajin/perajin dan saldo
keuntungan yang ditanamkan kembali dalam usaha songketnya.
219
maupun buku memorial. Walaupun ada, tidak disertai bukti-
bukti yang memungkinkan pelacakan dengan mudah.
Pengrajin yang sudah memiliki, hanya pengrajin yang
sudah bersentuhan dengan kemitraan, dan mau mengelola
keuangan usahanya dengan benar. Pada umumnya,
pengrajin dan perajin songket hanya memiliki catatan serba
serbi, yang didalamnya hanya catatan kunci seperti daftar
piutang, daftar hutang. Walaupun tidak ditelusuri secara
mendalam, asumsi peneliti dengan minimnya adminstrasi
keuangan, maka neraca keuangan dan daftar rugi laba hanya
dalam bentuk proyeksi, sehingga sulit mengetahui
perkembangan usaha kerajinan songket, ditambah lagi
sistem usaha menggunakan manajemen keluarga. Maka,
semakin sulit mengukur laba rugi usaha songket tersebut.54
Seiring dengan lemahnya modal usaha, alat-alat
tenun, maupun bahan baku mengalami persoalan, terutama
bagi perajin di luar kota Palembang. Bahan baku benang
dari: (1) benang emas sintesis dari pabrik benang di Jepang.
Benang ini halus, dan tidak mengkilap, hasil tenunannya
lebih halus dan ringan dan lebih mudah diolah kembali; (2)
Jenis benang emas dari Bangkok yang tidak mudah putus,
sehingga ketika diolah dengan macam-macam warna lebih
kuat; (3) benang emas lokal yang sulit ditenun, kasar dan
mudah putus ketika diolah kembali. Ketiga jenis benang
bahan baku tersebut sudah mudah di dapat dari pemasok di
beberapa toko yang berada di pasar tradisonal di kota
Palembang. Persoalan pada aspek harga jual dari pemasok
yang sangat tinggi, tanpa terjadi tawar-menawar. Para
pengrajin dan perajin songket di Palembang mengeluh
terjadinya monopoli perdagangan bahan baku utama
songket, seperti benang sutra dan emas. Pasalnya, mereka
terpaksa membeli bahan baku dari satu sumber dengan
54
Hasil olah dan analisis data wawancara tanggal 22-25 Oktober
2010.
220
harga yang relatif tinggi, karena dipermainkan oleh
pedagang.
Responden menjelaskan bahwa perdagangan bahan
baku songket saat ini dimonopoli beberapa pedagang kain
dari India. Pedagang India mampu mendatangkan benang
sutra dari China, dan benang emas dari Perancis, Jepang,
dan Bangkok. Sementara, pedagang lokal tidak mampu
mendatangkan bahan baku tersebut. Dampaknya, mereka
terus merasakan kenaikan harga bahan baku. Saat ini, harga
benang emas sudah naik menjadi Rp 25.000,- dari beberapa
bulan sebelumnya yang hanya seharga Rp 22.000,- per
gulung. Sementara benang sutra sudah naik menjadi Rp
27.000,- per gulung dari sebelumnya Rp 24.000,-.
Permintaan turun, masalah tingginya harga bahan baku,
diperparah dengan minimnya pesanan dari luar negeri.55
Dampak yang muncul akibat tidak terkontrolnya
modal usaha songket dari aspek internal: Pertama, sulitnya
mengetahui ril keadaan keuangan apabila dibutuhkan untuk
mendapatkan kemitraan dengan BUMN atau bank; Kedua,
usaha songket Palembang masih kental dengan sistem
manajemen keluarga, yaitu hasil yang didapat lebih
diprioritaskan untuk konsumsi dibandingkan investasi dan
tidak tercatat. Seperti penjelasan seorang perajin responden
yang memiliki 5 orang anak. Ia menjelaskan bahwa upah
yang didapat dari bertenun atau hasil penjualan dari
bertenun sebesar Rp 2.000.000-Rp 3.000.000/bulan dicatat
dalam buku sederhana, namun realnya diperuntukkan untuk
dana makan, keperluan rumah tangga dan tambahan biaya
sekolah anak-anak. Ia juga menegaskan bahwa kelompok-
kelompok yang bersama-sama dan berhubungan dengannya
memiliki tipologi yang sama.56 Ini berarti wujud kemitraan
antara pengrajin dan perajin hanya sekedar untuk
55
Wawancara tanggal 26-28 September 2010. 56
Wawancara tanggal 17 September 2010.
221
mencukupi kebutuhan sehari-hari belum sampai pada
pemberdayaan; Ketiga, ketrampilan menenun sekedar bisa
berkreasi dan menghasilkan untuk membantu perekonomian
keluarga. Sumber daya penenun di samping dalam
lingkungan keluarga saja, bisa diambil dari luar yang
mereka (para penenun) yang tidak terlalu banyak menuntut
dalam soal upah.57
Dari aspek tempat usaha dengan berbagai
karakteristik seperti: (1) dalam wilayah komunitas usaha
songket binaan, seperti Kampung BNI Tenun Songket di
Desa Muara Penimbung Indalaya Ogan Ilir dalam PKBL
(Program Kerja Bina Lingkungan);58 (2) usaha mandiri
tempat pencelupan, dan memproses benang; dan (3) usaha
tempat menenun. Kedua tempat tersebut (2 dan 3) dibagi
dalam 3 bentuk, yaitu: (1) tempat kerja yang bersentuhan
dengan aktifitas rumah; (2) tempat kerja yang bersentuhan
dengan aktifitas rumah, dan toko penjualan, terutama pada
sentral-sentral pengrajin songket. Unsur tempat usaha
berdasarkan indikator efisiensi berkeadilan cukup responsif.
Ini terbukti dengan keseimbangan dalam proses kerja.
Keterbatasan ruang usaha menambah kebersamaan dalam
meningkatkan omset penjualan kain songket.59 Hasil
observasi dan wawancara diketahui bahwa aktifitas dengan
57
Kesimpulan wawancara, beberapa pengrajin yang ditemukan
mereka menyebutkan dengan kira-kira tanpa data otentik, selama
melakukan proses wawancara, pertanyaan persoalan pembiayaan
diarahkan dengan memperlihatkan hasil karya dan harga jual. 58
Kampung usaha songket ini diresmikan oleh Hatta Rajasa pada
tanggal 11 Februari 2010. Program kampung ini adalah salah satu
langkah meningkatkan produktifitas usaha kecil berbasis daerah dengan
diberikan pelatihan, binaan, modal, dan pemasaran. Di akses dari
http://www.koperasiku.com/aggregator/, Tanggal 16 Oktober 2010. 59
Hasil wawancara dengan pengrajin dan perajin diketahui bahwa
omset penjualan kain songket terbagi dalam dua kelompok: (1) omset
antara Rp 2 juta hingga Rp 15 juta/bulan; (2) omset antara Rp 15 juta
hingga Rp 40 juta/bulan.
222
bentuk-bentuk tempat usaha demikian tidak mengganggu
aktifitas rumah tangga. Persoalan yang muncul justru pada
wilayah sekitar, yang berhubungan erat dengan
perkembangan penduduk di wilayah sentra usaha songket
yang semakin padat, dan memarginalkan aktifitas usaha,
sehingga sulit berkembang. Contoh yang nampak pada
sentra usaha songket di salah satu wilayah objek penelitian
yang masing masing terdiri dari 15 unit usaha songket yang
mempekerjakan 95 perajin ditambah aktifitas kerajinan kain
lain yang dikenal jumputan. Pada tahun 1980 hingga tahun
2000, perajin songket di wilayah tersebut mudah di akses,
jalan kendaraan untuk ke dalam wilayah pengrajin dan
perajin mudah. Sejak tahun 2001 hingga 2010 wilayah
pengrajin mulai tergeser dengan pembangunan rumah
rumah sekitar, sehingga infra struktur menjadi menyempit
dan sekarang terlihat lebih kumuh dan tidak teratur.60
Apabila ditarik dalam wilayah filosofis efisiensi
berkeadilan dengan indikator yang dibuat, maka persoalan
tersebut berhubungan dengan penjabaran dari
keterbawasertaan usaha songket dalam program
pembangunan lokal. Dalam hal ini, peran pemerintah
daerah menjembatani problem wilayah usaha songket yang
mulai tergerus dengan perkembangan pembangunan
perkampungan. Solusi yang nampak berdasarkan hasil
observasi dan wawancara dengan memperbaiki, dan
memperluas jalan akses ke wilayah perkampungan-
perkampungan pengrajin dan perajin songket Palembang.
Hal ini penting, sebab hasil observasi dengan menelusuri
jalan yang beraspal, berkerikil, dan ke sentra pembuat
benang limar dan rumah penenun. Lingkungan dengan
kondisi rumah yang saling berhimpitan satu dengan lainya,
60
Hasil observasi sentra usaha kelompok perajin songket di
Palembang, dan wawancara dengan responden pengrajin Tanggal 15-18
Oktober 2010.
223
tidak ada kesan glamour, layaknya kain songket yang sudah
jadi dengan bandrol jutaan rupiah. Rumah mereka sangat
sederhana. Tidak ada kesan mewah, selayaknya pengrajin
tenun kelas dunia. Apabila kesan ini tidak segera
dituntaskan akan menimbulkan kesan dua sisi.
Pertama, akan ada sentimen perajin songket terhadap
kesenjangan keadaan mereka, yang berakibat menurunnya
motivasi dalam meningkatkan salah satu aset daerah ini.61
Kedua, regenerasi penenun akan semakin sulit didapat,
karena adanya kesan tidak majunya kehidupan penenun.62
Solusi yang lain, adanya pembinaan pemerintah provinsi
Sumatera Selatan melalui dunia perbankan dan BUMN,
dengan cara memberikan tempat kluster usaha songket
Kampung BNI Tenun Songket dalam program Kerja Bina
Lingkungan. Solusi yang sudah dilakukan dengan
menguatkan kapital usaha songket mendapatkan bantuan
melalui beberapa jalur program, yaitu: Pertama,
pembangunan Kampung BNI Tenun Songket di Desa
Muara Penimbung Indalaya Ogan Ilir dalam PKBL
(Program Kerja Bina Lingkungan) yang mengkondisikan
400 KK sebagai perajin songket. Kampung usaha songket
yang diresmikan oleh Hatta Rajasa pada 11 Februari 2010
merupakan salah satu langkah untuk mengembangkan
industri kreatif dalam meningkatkan produktifitas usaha
61
Penelusuran dokomentasi pemerintah melalui Departemen
Perindustrian ditemukan sudi kelayakan terhadap pengembangan usaha
mikro dan kecil di kota Palembang lewat program pembangunan
Perkampungan Industri Kecil (PIK) sejak tahun 1998. Baru tahun 2008
terealisir pada wilayah kabupaen kota. Sementara kota Palembang masih
terpeta-peta seperti dijelaskan dari hasil observasi dalam pengantar bab
III ini. 62
Khusus analisis atas regenerasi penenun dibahas dalam sub bab
selanjutnya.
224
kecil berbasis daerah dengan diberikan pelatihan, binaan,
modal, dan pemasaran.63
Kedua, bantuan dalam program Bapak Angkat
Industri Kecil (BAIK), yang dirancang sejak masa Orde
Baru pada program repelita V (1988-1993), dan
dikembangkan dengan program kemitraan. Seperti program
kemitraan PT Telkom Kandatel Sumatera Bagian Selatan
Rp 2,099 miliar, dengan 120 mitra binaan terdiri dari:
Palembang Rp 1,035 miliar dengan 61 mitra binaan, Lubuk
Linggau Rp 500 juta dengan 30 mitra binaan, sedangkan
63
Kajian atasIndustri kreatif yang digagas Richard Florida, Daniel
Pink, John Howkin sampai kepada John Hartley telah membangunkan
negara-negara di seluruh benua untuk menggali dan mengembangkan
potensi kreativitas yang dimilikinya. Bahkan ekonomi kreatif telah di
daulat sebagai gelombang ekonomi keempat setelah era ekonomi
informasi. Inggris berbenah melalui DCMSnya, Selandia Baru melalui
NZTEnya, Singapura melalui MICA dengan konsep Renaisssance City,
Media 21 dan Design Singapore-nya, Malaysia melalui MDICnya,
Thailand dengan TCDCnya, dan RRT secara bertahap melahirkan kota-
kota kreatif baru, dan telah menjadi yang terdepan dalam kontribusi
ekonomi kreatif. Arus ekonomi kreatif juga melanda Indonesia. Kampung
BNI ini merupakan salah satu dari sekian banyak program pemerintah pro
rakyat untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Ada juga Kampung BNP di Kabupaten Subang, Jawa Barat yang
menekuni usaha beternak sapi dan memerah susu, Kampung BNP di
Imogin, Yogyakarta berhasil mengembangkan usaha kacang mete dan
ulat sutra, "Kampung BNI di Lumajang, Jawa Timur, menjadi kelompok
yang berhasil mengembangkan usaha budidaya pisang hingga
berkembang maju. Pada negara-negara maju, seperti Amerika usaha
kecil telah memberikan banyak lapangan kerja. Di Jerman barat,
perusahaan yang digolongkan dalam bisnis kecil menghasilkan 2/3
produk nasional bruto mereka. Lihat Departemen Perdagangan RI,
Program Kerja Pengembangan Industri Kreatif Nasional 2009- 2015
(Jakarta: Departemen Perdagangan RI, Kelompok Kerja Indonesia
Design Power-Departemen Perdagangan, 2010). Kajian atas ekonomi
kreatif dapat dilihat dalam Ricard Florida, Cities and The Creative Class
(New York: Routledge, 2005); John, Hartley Creative Industries
(Malden, Mass.: Blackwell, 2006).
225
Baturaja Rp 500 juta disalurkan kepada 29 mitra binaan.
Dari sejumlah penerima bantuan 35 usaha songket masuk
dalam pembinaan PT Telkom Kandatel Sumatera Bagian
Selatan. Beberapa BUMN lain, seperti PT. PUSRI
menyalurkan dana kemitraan pada 25 pengrajin dan perajin
songket yang berada di wilayah Sumatera Selatan.
Ketiga, membuat program Kredit Usaha Rakyat
(KUR). Pada tanggal 5 November 2007, Presiden
meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) melalui
Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
(KUKM), dengan fasilitas penjaminan kredit dari
Pemerintah melalui PT. Askrindo dan Perum Sarana
Pengembangan Usaha. KUR ini bertujuan untuk membantu
usaha-usaha masyarakat mikro-ke bawah agar mampu
berkembang, dan meningkatkan badan usaha mereka.
Selain itu, pemberian KUR bertujuan untuk pemberdayaan
UMKM, penciptaan lapangan kerja dan penanggulangan
kemiskinan.
Jenis kegiatan upaya yang diverifikasi bervariasi,
antara lain: bantuan permodalan, pemberian pelatihan,
pendampingan dan fasilitasi, bantuan teknis dan konsultasi,
penyediaan informasi, bantuan sarana, serta bantuan
promosi pasar. Umumnya, dalam satu upaya terdapat lebih
dari satu kegiatan, misalnya bantuan modal disertai dengan
kegiatan pelatihan atau bimbingan teknis. Setiap tahun
kredit yang dikucurkan pemerintah terus mengalami
peningkatan. Hingga April 2009 pemerintah sudah
mengucurkan sekitar Rp 5 triliun Kredit Usaha Rakyat
(KUR).64 Pemerintah akan mengoptimalkan peranan
64
Rendahnya produktivitas. Perkembangan yang meningkat dari
segi kuantitas tersebut belum diimbangi dengan peningkatan kualitas
UMKM yang memadai khususnya skala usaha mikro. Masalah yang
masih dihadapi adalah rendahnya produktivitas, sehingga menimbulkan
kesenjangan yang sangat lebar antar pelaku usaha kecil, menengah, dan
226
koperasi simpan pinjam maupun unit simpan pinjam
(KSP/USP) di seluruh provinsi untuk mendongkrak
penyaluran permodalan UMKM melalui program kredit
usaha rakyat (KUR), Program Perkassa (Program
Perempuan Keluarga Sehat dan Sejahtera), melalui berbagai
bentuk program perkreditan, antara lain program Modal
Awal dan Padanan (MAP), program perkuatan sektoral,
program USP/KSP konvensional, program USP/KSP pola
agribisnis; Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL)
lewat BUMN (PT. PUSRI, SUCOFINDO,
besar. Atas dasar harga konstan tahun 1993, produktivitas per unit usaha
selama periode 2000-2003 tidak menunjukkan perkembangan yang
berarti, yaitu produktivitas usaha mikro dan kecil masih sekitar Rp 4,3 juta
per unit usaha per tahun dan usaha menengah sebesar Rp 1,2 miliar,
sementara itu produktivitas per unit usaha besar telah mencapai Rp 82,6
miliar. Demikian pula dengan perkembangan produktivitas per tenaga
kerja usaha mikro dan kecil, serta usaha menengah belum menunjukkan
perkembangan yang berarti, yaitu masing-masing berkisar Rp 2,6 juta dan
Rp 8,7 juta, sedangkan produktivitas per tenaga kerja usaha besar telah
mencapai Rp 423,0 juta. Kinerja seperti itu berkaitan dengan: (a)
rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia UMKM khususnya dalam
bidang manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran;
dan (b) rendahnya kompetensi kewirausahaan UMKM. Peningkatan
produktivitas UMKM sangat diperlukan untuk mengatasi ketimpangan
antarpelaku, antar golongan pendapatan dan antardaerah, termasuk
penanggulangan kemiskinan, selain sekaligus mendorong peningkatan
daya saing nasional. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah dalam 10 terakhir menyebutkan, jumlah Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM) terus menaik. Akhir 2009, jumlahnya mencapai
51,26 juta unit, terus naik hingga 39,5 persen sejak 1998. Pada 2009
sebagian pelaku usaha kecil menengah yang berbisnis kurang dari 10
tahun terakhir berhasil melakukan ekspor ke Eropa, Menteri Koordinator
(Menko) Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, penyerapan Kredit
Usaha Rakyat (KUR) hingga Agustus 2010 sudah mencapai 50% dari
target Rp13,1 triliun tahun ini. Diakses dari http://www.koperasiku.com,
Tanggal 16 Oktober 2010.
227
PERTAMINA).65 Artinya, Pemerintah Indonesia dengan
berbagai program tersebut telah melakukan bantuan penguat
kapital para pengrajin dan perajin, yang diwujudkan dalam
hubungan participatory-emancipatory, bukan hubungan
subordinasi yang diskriminatory, yang menumbuhkan
ketergantungan.66
65
Johnny W. Situmorang, “Analisis Tipologi dan Posisi Koperasi
Penerima Program Perkassa Studi Kasus di Sumatera Selatan”, Jurnal
Pengkajian Koperasi dan UKM, vol. 5, Agustus 2010. Hasil olah data
didapatkan berbagai program yang diupayakan untuk usaha kecil
hingga tahun 2010 tidak terkecuali untuk usaha songket Palembang,
seperti Kementrian Perindustrian dan Perdagangan dengan proyek
peningkatan peran serta wanita; Kementrian Koperasi dan UKM
dengan Program Modal Awal dan Padanan (MAP), Business
Development Services Sentra UKM (BDS Sentra), Perkuatan Permodalan
UKMK dan Lembaga Keuangannya dengan Penyediaan Modal Awal dan
Padanan (P2LK-MAP); Perbankan dengan program Program Hubungan
Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK), Kupedes,
Kredit Mikro, Program Swamitra. Ada juga program pengembangan
BMT dari organisasi sosial non politik (ornop), BUMN dengan
progam Program Pemberdayaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK),
Program BAIK (Bapak Anak Industri Kecil). 66
Pada tahun 2009 sebagaimana dikutip dari menitdotkom, Sri-
Edi Swasono telah mengingatkan bahwa alokasi dana untuk usaha kecil
sangat minim bahkan dalam penyalurannya juga tidak sampai pada
sasaran. Dia mencontohkan, Kredit Usaha Tani (KUT) senilai Rp 8,6
triliun akhirnya penyalurannya lebih banyak menyimpang. Usaha kecil
merupakan ekonomi rakyat. Upaya menggerakkan ekonomi rakyat ini
harus berbasis akar rumput, sumber daya dan berorientasi pada orang.
Sementara usaha menengah, menurut Swasono, walaupun tidak
semuanya, selama ini menjadi beban bagi usaha kecil dengan melakukan
eksploitasi dan kadang-kadang berperan sebagai predator. Usaha
menengah yang jumlahnya sedikit sebagian hanya menjadi brokrer atau
distributor untuk usaha kecil. “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan”
adalah kata-kata dan makna mulia yang harus tetap dipertahankan…
Menghilangkan “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” bisa diartikan
sebagai mengabaikan nilai-nilai agama, mengabaikan moralitas ukhuwah
di dalam berperikehidupan yang menjadi kewajiban agama. Sumber:
www.bappenas.go.id
228
Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Koperasi (DisPerinDagKop) kota
Palembang (2009-2010) diperkirakan 225 unit usaha
songket dari 660 unit usaha, dengan jumlah 1800 pengrajin
dan perajin songket dari 4000 pengrajin dan perajin yang
menyebar di wilayah Sumatera Selatan telah mendapatkan
dana PKBL, KSP/USP dan KUR tersebut. Sisanya belum
mendapatkan bantuan terkait dengan kelayakan manajemen
pada masing-masing usaha songket.67 Secara umum
program keterbawasertaan usaha songket didasarkan pada
pendayagunaan kapital sebagai langkah peningkatan
kesejahteraan dan usaha rakyat melalui pendekatan
kelompok yang tepat sasaran, efisien, dan ada proses
pembelajaran di dalamnya telah nampak. Dari perspektif
ini, maka konsep ekonomi Islam mengatasi ketidak-
merataan pendapatan dan menjalankan apa yang dinamakan
”maq}a>sid shari>ah.68 Peran pemerintah (tada>khul
dauliyah) yang menjaga maqa>sid untuk kemas}lahatan
orang banyak. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa
maq}a>sid shari>ah menurut al-Ghazali adalah
meningkatkan kesejahteraan seluruh manusia yang terletak
pada perlindungan keimanan mereka, jiwa mereka, akal
mereka, keturunan mereka, dan kekayaan mereka. Apapun
yang menjamin kelima hal ini, menjamin kepentingan
publik, dan merupakan hal yang diinginkan.69 Hal-hal
tersebut diatas pula yang sebenarnya diinginkan oleh
ekonomi kerakyatan, dimana pemerataan kesejahteraan dan
kepentingan rakyat yang diutamakan.
67
Analisis penyebab dikaji selanjutnya pada bab kemitraan pada
studi ini. (pen.) 68
QS. al-Hashr [59]: 7. 69
Dikutip dari M. Umer Chapra, the Future of Economics, an
Islamic Perspective, 8-10; lihat juga Ikwan Abidin Basri, Menguak
Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik (Solo: Aqwan, 2007), 120-121.
229
Menurut responden, ada solusi dari permasalahan ini,
yakni dengan menyatukan para perajin songket ke dalam
sebuah asosiasi. Asosiasi perajin songket akan memperkuat
posisi tawar perajin dari pedagang bahan baku yang
dimonopoli. Selain itu, asosiasi akan membuat para perajin
mampu memperluas jaringan pasar songket. Namun,
asosiasi selalu sulit untuk dibentuk. Para perajin belum
memiliki kesadaran untuk menyatu, demi memperkuat
eksistensi perajin dalam menghadapi persaingan, mereka
lebih suka melakukan aktifitas pengembangan sendiri-
sendiri.70 Dalam persepktif ini, akan terjadi dua persoalan
penting. Pertama, akibat bahan baku mahal, maka harga
jualpun mahal, dan persaingan harga hasil usaha songket
bisa kalah bersaing dengan bentukan songket dari negara
lain terutama dari negara China. Sejak diberlakukannya
ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA), sepertinya
mengkhawatirkan perajin songket. Jika kualitas,
kreativitas, dan corak-corak songket tidak diperkuat, maka
dikhawatirkan kerajian akan kalah saing dengan produk
China. Apalagi, pembuatan songket Palembang
menggunakan tangan, waktunya cukup lama dan harganya
cukup tinggi dari Rp 6000.000,- hingga ratusan juta.
Tetapi, jika China juga mengeluarkan songket dengan
kualitas baik, bagus, harga murah dan menggunakan alat
canggih, maka bisa dipastikan songket Palembang akan
kalah bersaing.
Kedua, permainan harga bahan baku tanpa ada
kontrol pemerintah, akan berdampak pula pada proses
produksi usaha perajin yang bermodal minim, dan belum
mendapat bantuan kemitraan dari pemerintah. Hasil
wawancara diketahui sebagian pengrajin dan perajin daerah
melakukan kerjasama untuk pembelian bahan baku tersebut.
70
Wawancara tanggal 26-28 September 2010.
230
Mereka sama-sama mengumpulkan uang kepada salah
seorang dari mereka yang dipercayai untuk membeli bahan
baku pada pemasok, yang selanjutnya dibagi berdasarkan
jumlah uang yang disetor. Dari aspek ini, memperlihatkan
belum adanya koperasi yang mewadahi persoalan tersebut.
Penelusuran mendalam diketahui bahwa pengrajin dan
perajin belum terbangun kelembagaan lewat koperasi dan
asosiasi, ditambah dengan aktifitas koperasi yang lebih
mengutamakan pengurusnya.71
Para pengrajin songket Palembang menyatakan
bahwa terjadi struktur tempat usaha kerja songket yang
terpilah-pilah dengan sistem menggunakan sentra usaha,
merupakan langkah dalam meningkatkan efisiensi perajin
songket sebagai pekerja rumahan (home workers).72 Dari
sini, memperlihatkan adanya upaya efisiensi kapital dengan
memberdayakan semua pihak. Lebih lanjut, dijelaskan
argumentasi pola mempekerjakan penenun sebagai tenaga
kerja, tanpa menyediakan gedung, dan fasilitas disepakati
pula oleh para pengrajin dengan alasan kegiatan menenun
songket lebih banyak melibatkan ketrampilan perorang, dan
ketrampilan yang diwariskan dalam lingkup masing-masing
perajin songket. Pola ini juga dapat menekan biaya
produksi, sehingga mampu menghadapi persaingan pasar.
Pendayagunaan kapital demikian menjadikan satu
kekuatan untuk sama-sama mendapatkan keuntungan
bersama, dan kapital yang mereka miliki terus berjalan.73
71
Wawancara tanggal 11Oktober 2010. 72
Lihat Josept Migga Kizza, Ethical and Social Issues in the
Information Age (London: Springer, 2010); Herbert Applebaum, the
Concept of Work: Ancient, Medieval, and Modern (Albany: Univ. of New
York Press 1992); Hesti R. Wijaya, “Sektor Informal: Katup Pengaman
dan Sang Penyelamat yang Terabaikan”, dalam jurnal FPBN, edisi ke-8,
Maret-September 2008. 73
Hasil wawancara dengan pengrajin songket tanggal 22-28
September 2010.
231
Pola pendayagunaan kapital demikian tidak memiliki
konsekuensi berkeadilan sosial. Hasil penelusuran melalui
wawancara diketahui bahwa para perajin memberdayakan
kapital hanya untuk mendapatkan hasil, dan bisa membiayai
keluarga, atau membantu perekonomian keluarga.
Sementara, dari sisi efek dari pola sentra usaha dan efek
dari menerima upah dari pemesan songket. Ini dibuktikan
dengan tidak adanya hak-hak yang layak diterima, seperti
dalam sebuah perusahaan. Indikasi yang sangat jelas
dengan tidak adanya ikatan kerja yang formal, kecuali
menggunakan konsep kepercayaan. Pendayagunaan kapital
digunakan hanya untuk meningkatkan produksi, dan
memberikan keuntungan maksimal bagi pengrajin, maupun
pemesan songket dari kalangan pedagang.74
Jika ditelaah lebih mendalam, pendayagunaan kapital
perajin tidak dibarengi dengan hak dan kewajiban, seperti
diterangkan pada sub selanjutnya. Artinya, upaya
pendayagunaan kapital baik oleh pengrajin maupun perajin
songket untuk memproduksi maksimal songket untuk
menutupi pengeluaran dan pembayaran pinjaman kredit
modal usaha. Sehingga perajin songket menjadi buruh
dalam perekonomi, dan tidak sebagai pemilik atau memiliki
saham di sektor produksi. Asumsi penilaian adalah sebagai
berikut: Perajin songket dengan keahlian yang dimiliki
hanya mendapat upah tenun rata-rata Rp 160 ribu per
songket, dengan rincian: untuk sarung bawahan Rp 100 ribu
dan untuk selendang upahnya Rp 60 ribu yang dikerjakan
dalam waktu 2 Minggu. Perbulan penenun bisa
mendapatkan Rp 320.000,- bila produktif. Hasil dari upah
kerja hanya sampai untuk menutupi biaya keluarga, dan
tidak mampu berinvestasi. Ini artinya perajin hanya
74
Wawancara dengan para perajin tanggal 13-14 Oktober 2010.
232
mendapatkan keuntungan minimum dari nilai keahlian yang
dimiliki secara turun temurun.
Berbeda dengan pengrajin yang memiliki cukup
modal dan jaringan usaha. Disamping mendapatkan nilai
tambah (primer) yang didapat dari kemitraan dengan para
perajin, mereka juga mampu menghasilkan nilai-nilai
sekunder dengan mengembangkan desain tenun songket
menjadi berbagai aksesories dan ragam busana yang
mengikuti pasar. Pada akhirnya para pengrajin mampu
mendapatkan keuntungan jauh melebihi para perajin. Para
pengrajin juga mampu melakukan investasi berdasarkan
hasil usahanya. Pertama, seorang pengrajin melakukan
kemitraan dengan 1 orang perajin untuk membuat tenun
songket motif X sebanyak 5 stel kain songket. Pengrajin
kemudian memberikan modal kepada perajin bahan baku
tenunan. Perbandingan pendapatan antara pengrajin dan
perajin untuk 5 stel kain songket Rp 5.310.000 : Rp
800.000.
Perajin yang memiliki ketrampilan turun temurun
mendapatkan penghasilan jauh lebih rendah dengan
pengrajin/pengusaha yang hanya berdasarkan kemampuan
modal dan finansial semata. Ini artinya berdasarkan
perhitungan sederhana dari data lapangan tersebut
memperlihatkan kesenjangan penghasilan antara pengrajin
dan perajin, yang menunjukkan bahwa kemitraan belum
pada tingkat saling menguntungkan dan memberdayakan.
Keuntungan dalam arti tidak ada transpransi dalam soal
hasil penjualan songket yang diproduksi penenun. Ketika
mendapat hasil penjualan maksimal, pengrajin lebih arif
dalam membayar upah dan memperhatikan karyawan,
ketika hasil penjualan minimal, perajin yang disalahkan,
dan upah produksi bagi perajin ikut terimbas tanpa tahu
233
penyebab utama, demikian salah seorang perajin
menjelaskan dalam wawancara.75
Kedua, jika kemudian pengrajin mengelola pula kain
songket hasil tenunan perajin menjadi berbagai aksesories
seperti gantungan kunci, bantal kursi, tanjak, boneka gadis
dan bujang Palembang, sandal, pakaian, tas laptop,
pajangan songket, maka keuntungan yang diperoleh
pengrajin jauh melebihi keuntungan perajin yang memiliki
ketrampilan menenun. Dari kedua aspek ini, efisiensi
berkeadilan tidak terlihat. Apalagi kemudian pemerintah
daerah membantu kelompok-kelompok pengrajin tidak
kepada perajin. Maka akan semakin terlihat ketidakadilan
dalam memaksimalkan usaha.
Berdasarkan aktifitas faktor produksi alat atau sarana
untuk melakukan proses produksi usaha songket Palembang
sudah berdasarkan pada pemberdayaan alat, yang tidak
sekedar menghasilkan alat pemuas kebutuhan manusia,
namun memberikan keuntungan sesuai dengan tingkat
usaha yang dikerjakan. Dalam konstruk ekonomi Islam,
prinsip dan tujuan produksi songket adalah sebuah usaha
bernilai halal. Dalam perspektif ekonomi Islam dasar
efisiensi dalam pendayagunaan kapital pada usaha tenun
songket dibangun dalam konsep dasar amanah dan moral.
Dari sisi ini, maka baik pengrajin maupun perajin tidak
hanya sekedar mempercepat produksi songket bertujuan
pada capital oriented an sich, tapi juga melakukan
perbaikan peralatan produksi dan peningkatan kualitas
ketrampilan. Amanah dan moralitas dalam pendayagunaan
kapital pada usaha songket tidak bisa menafikan visi
manusia dimuka bumi sebagai penebar rahmatan li al-
a>lami>n.76 Melalui serangkaian aktifitas ekonomi bisnis
yang berhenti pada tujuan pencapaian Ridlo Allah Swt.,
75
Wawancara tanggal 11 dan 14 Oktober 2010. 76
Q.S. an-Nisa>‟[4]: 58.
234
dimana ekspektasi keuntungan yang diharapkan (tinggi)
yang sesuai dengan konsep mas}lahat. Pendayagunaan
kapital pada usaha songket walaupun mendatangkan
keuntungan yang sangat besar, namun merugikan salah satu
pihak tidak dapat dibenarkan, sebab walaupun efisiensi
pendayagunaan kapital sudah baik namun tidak seiring nilai
keadilan sosial77.
Keadilan ekonomi mengandung pengertian bahwa
Islam sangat menekankan persamaan manusia
(egalitarianism) dan menghindarkan kepincangan ekonomi,
seperti eksploitasi, keserakahan, konsentrasi harta pada
segelintir orang. Dengan demikian, konsep keadilan sosial-
ekonomi yang berhubungan dengan pendayagunaan kapital
adalah persaudaraan (Q.S. al-Hujara>t [49]: 13 dan al-
Ma>‟idah [5]: 8). Sehingga pengrajin, perajin maupun
pedagang songket sama-sama mendapatkan keuntungan
tanpa membedakan status kerja. Hal yang juga dikaji dalam
konstruk Islam dalam upaya memberdayakan, dan
menguatkan kapital pengrajin dan perajin songket, dengan
dukungan dari pemerintah.
Islam menentukan fungsi pokok negara dan
pemerintah dalam bidang ekonomi, yaitu menghapuskan
kesulitan ekonomi yang dialami rakyat, memberi
kemudahan pada akses pengembangan ekonomi kepada
seluruh lapisan rakyat dan menciptakan kemakmuran (Q.S.
Ta>ha> [20]: 118-119). Nilai tanggung jawab sosial dalam
visi negara seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur‟an
tersebut adalah tanggung jawab negara membantu rakyat
ketika menghadapi persoalan dari aspek kapital.78 Ini
77
Konsep keadilan ekonomi dalam Islam dapat ditelaah pada sub
bab sebelumnya. 78
Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economic: Theory and
Practice. Larangan bunga yang dilekatkan dengan kronologisnya dalam
al-Qur‟an, (1) Q. S. ar-Ru>m [30]: 39; (2) Q.S. al-Baqarah [2]: 275-278,
235
berarti, pemberdayaan dalam studi ini mempunyai filosofi
dasar sebagai suatu cara mengubah pengrajin perajin
songket dari yang tidak mampu menjadi berdaya, baik
secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Pendayagunaan
kapital pengrajin dan perajin songket sebagai bagian usaha
mikro dan kecil tidak bisa berdiri sendiri untuk mencapai
indikator studi ini tanpa peran pemerintah Provinsi
Sumatera Selatan.
C. Hak dan Kewajiban Bersama
Berdasarkan data hingga tahun 2010 diketahui bahwa
jumlah keseluruhan baik pengrajin maupun para perajin
songket berjumlah 4000 orang yang menyebar di berbagai
kabupaten kota di Sumatera Selatan, dan 1500 dari mereka
berdomisili di Palembang dalam katagori perajin dalam
lingkup pengrajin maupun menerima pesanan penjual
songket.79 Mereka melaksanakan kewajibannya dengan
berusaha meningkatkan produktifitas sesuai dengan pesanan
maupun kemampuan modal yang didapat atau dimiliki.
dan 280.; (3) Q. S. ali-Imra>n [3]: 130 dan (4) Q.S. an-Nisa>‟ [4]: 29
yang kesemuanya disebutkan sebanyak 7 kali. Beberapa hadits yang juga
membahas persoalan tersebut dapat dikutip dari hadits yang diriwayatkan
al-Bukhari dalam kitab al-Buyu> ‟. no. 2084. Lihat juga. Heri Junaidi,
Fiqh Muamalah Kontemporer (Palembang: P3RF-Press, 2005).
Muhammad Syafei Antonio, Bank Syari‟ah: Sebuah Pengenalan Umum,
70-71; dalam bukunya juga diterangkan beberapa bentuk undang-undang
yang dikeluarkan gereja tentang masalah larangan praktek bunga. Seperti:
Council of Elvira (Spanyol tahun 306) yang mengeluarkan canon 20;
Council of Aries (tahun 314 mengeluarkan canon 44; First Ciuncil of
Nicea (tahun 325) mengeluarkan canon 17. 79
“49 motif songket dipatenkan”, Diakses dari
http//kompas.realveawusa.com, Tanggal 26 April 2010. Data di
Disperindakkop Kota Palembang (2010) setidaknya terdapat sekitar 120
pengrajin songket yang tersebar dalam komunitas dan sentra songket
yang ada dengan rata-rata memiliki perajin 10 hingga 50 perajin baik
dalam satu tampat kerja terkoordinir maupun dalam sentra-sentra perajin
songket yang menyebar di seluruh wilayah Sumatera Selatan.
236
Jaring kebersamaan dan kekeluargaan dalam membangun
hak dan kewajiban yang berkeadilan dalam kluster
pengrajin dan perajin songket terkendala dengan kondisi
tempat usaha, solidaritas kerja dan pemberian upah.
Para responden sangat memahami pemakanaan
tanggungjawab atas hak dan kewajiban. Ini terbukti, para
responden dapat menjelaskan hak dan kewajiban yang
disimpulkan dalam 3 pemahaman pengrajin/perajin: (1) hak
dan kewajiban adalah sebuah kepastian dalam setiap usaha;
(2) hak dan kewajiban wujud kebersamaan dalam
meningkatkan perekonomian masing-masing individu; (3)
hak dan kewajiban adalah fondasi kelanggengan usaha
songket Palembang.80 Namun, ketika masuk kepada realitas
tempat usaha pengrajin dan perajin maka pemahaman itu
tidak terapresiasi sebagaimana mestinya. Perhatian terhadap
pengrajin sebagai pemberi kewajiban kepada perajin
songket tidak terwujud solidaritas sosial. Penilaian atas hal
tersebut nampak ketidakperhatiannya para pengrajin dengan
lingkungan perajin. Para penenun hidup ditempat kumuh,
rumah berhimpitan, kegiatan menenun bersamaan dengan
kehidupan keluarga yang kemudian selalu diwanti-wanti
untuk segera menyelesaikan tenunan tepat waktu. Artinya,
para penenun untuk dipaksa menyelesaikan tenunan sesuai
dengan kesepakatan dan tepat waktu
Penelusuran hasil wawancara ketidakberdayaan
perajin pada aspek ini karena upah yang sudah diberikan,
atau karena keterikatan dengan keterkaitan hutang dengan
pengrajin. Ketidakberdayaan tersebut juga bisa terjadi
karena kepasrahan akibat himpitan ekonomi keluarga disatu
sisi, dan ketidakmampuan perajin membangun jaringan
produksi. Sehingga, perajin hanya terfokus pada pemberian
80
Wawancara dengan para pengrajin, Tanggal 22-28 September
2010.
237
kerja dari satu pengrajin yang dikenal.81 Dalam masalah
upah didapatkan sistem upah yang dibayar secara cicilan.
Seperti kasus yang disampaikan responden yang
menceritakan bagaimana upah yang harus diterima secara
cicilan. Misalnya, hasil tenunan mereka selesai dengan
jumlah upah Rp 1.500.000,- pada bulan Januari 2010.
Pengrajin kemudian memberikan upah Rp 1.000.000,-
sisanya diberikan kemudian sambil menunggu perkerjaan
selanjutnya selesai. Pada bulan Februari 2010 perajin
mampu bekerja dan menghasilkan tenun songket dengan
upah Rp 2.000.000 plus dengan sisa upah yang belum
dibayar pada bulan sebelumnya, sehingga pengrajin
membayar bulan Februari sebesar Rp 2.500.000. namun
kemudian dibayar dahulu Rp 1.250.000,- sisanya dibayar
bulan depan seperti janji. Namun realitasnya tidak
demikian, dan itu berlanjut terus setiap bulan.
Responden perajin menyatakan mereka tidak bisa
berbuat banyak, sebab mereka tidak punya daya tawar.
Sementara, dari sisi pengrajin memberikan respon bahwa
hal tersebut tidak semua terjadi. Terjadinya hal tersebut
karena pengrajin yang berusaha untuk memenuhi target
pesanan, namun sering mengalami persoalan dalam pesanan
tersebut.82
Dari aspek ini, tidak sesuai dengan nilai-nilai
efisiensi berkeadilan yang diantaranya kemitraan yang
sama-sama menguntungkan. Hatta dalam karyanya
menegaskan bahwa “setiap orang yang melakukan pekerjaan
yang sama dalam hal-hal yang sama, berhak atas pengupahan
yang sama dan atas perjanjian-perjanjian pekerjaan yang
sama baiknya”. Oleh karena itu, menurut Hatta “setiap
orang yang melakukan pekerjaan berhak atas pengupahan
81
Hasil wawancara tanggal 5-7 Oktober 2010. 82
Pendalaman atas hal tersebut dalam sub kemitraan dalam
disertasi ini. (pen)
238
yang adil yang menjamin kehidupannya bersama dengan
keluarganya, sepadan dengan martabat manusia”.83 Dalam
konstruk ekonomi kerakyatan masalah gaji dan upah tidak
hanya punya dimensi ekonomis, tetapi juga politis, karena
gaji dan upah yang rendah akan mengundang masuknya
infiltrasi paham komunisme. Itulah sebabnya, Hatta dengan
keras mengkritik kelemahan “syarikat Islam yang kurang
memperhatikan nasib buruh”. Untuk menghilangkan
perbedaan yang besar dan tajam antara tingkat
kemakmuran rakyat, maka pemerintah perlu “menentukan
upah minimum berdasarkan keperluan hidup yang layak bagi
kemanusiaan” (Q.S. at-Taubah [9]: 105).84
83
Mohammad Hatta, Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Penerbit
Mutiara, 1979). 84
Mohammad Hatta, “Sesudah Dua Puluh Lima Tahun”, Pidato
pada Dies Natalis Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 2 September
1970, dalam I. Wangsa Widjaja dan Meutia Farida Swasono, Mohammad
Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia (Jakarta: Inti Idayu Press, 1985).
Tentang berapa ukuran dari upah minimum itu, para ahli telah
membuatnya dengan standar yang berbeda-beda. menurut Hatta “upah
minimum sehari ditentukan sama dengan harga 5 kilo beras. Jadi, kalau
sekarang harga beras Rp. 5.000,-/kg, maka berarti gaji dan upah mereka
sehari adalah Rp. 25.000,- dan sebulan lebih kurang Rp.750.000,-
perkembangan hingga tahun 2011 Secara kebijakan, pemerintah di tiap-
tiap kabupaten atau kota dan provinsi memang sudah sudah
mengeluarkan peraturan mengenai standar upah terendah bagi buruh,
upah minimum regional (UMR). Namun upah minum regional yang ada,
juga tergolong rendah, jika dibandingkan dengan tingkat kebutuhan
sehari-hari buruh. Dapat dilihat, misalnya UMR di tiap-tiap provinsi.
Besarannya hanya antara Rp. 675.000 sampai Rp. 1.410.000. Peringkat
terendah adalah Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan, peringkat tertinggi
Provinsi Papua Barat. Untuk Provinsi DKI Jakarta yang tingkat
kebutuhan hidup masyarakatnya dapat dikatakan sangat tinggi, karena
merupakan ibukota negara dan kota metropolitan terbesar, tingkat UMR
yang ditetapkan pemerintah daerahnya hanya sebesar Rp. 1.250.000. Ada
kenaikan UMR hampir setiap tahunnya. Tapi itu tidak signifikan.
Kenaikan tahun ini, misalnya, prosentase kenaikan tertinggi terjadi di
Provinsi Papua Barat yang mengalami peningkatan sebesar 16,53 persen.
239
Masalah upah dan gaji di samping sangat
menentukan tingkat kesejahteraan buruh/pekerja, juga
berfungsi sebagai instrument dalam meningkatkan
pemerataan dan peningkatan rasa kebersamaan dan
stabilitas, karena dengan dekatnya jarak gaji dan upah maka
tingkat kecemburuan dan saling iri akan berkurang, kalau
tidak bisa dikatakan akan hilang. Dasar pengupahan yang
dibutuhkan untuk memungkinkan perajin songket hidup
layak pada kondisi dan situasi di mana ia hidup, karena itu
perbedaan gaji dan upah85 tidak boleh terlalu besar. Dalam
perspektif Islam hal ini bisa dicegah, jika terjadi sebelum
terjadi proses menenun terjadi akad upah yang tegas dari
aspek: (1) waktu memberikan sistem mingguan, bulanan,
setelah selesai barang tenunan; (2) besaran upah yang
diterima penenun. Besaran ini penting sebab upah yang
setara ditetapkan dengan cara yang sama dengan harga yang
adil. Misalnya, jika pengrajin membutuhkan perajin,
kemudian tidak siap memberikan pelayanan kepada perajin,
otoritas bisa menetapkan upah yang setara. Jadi, pemberi
kerja (employer) tak boleh mengurangi upah dari pekerja,
atau pekerja itu menginginkan upah yang lebih tinggi
ketimbang upah yang adil.86
Pemikiran fiqh Islam tentang penetapan upah di atas
menggambarkan bahwa upah yang setara akan Sedangkan untuk Provinsi DKI Jakarta menempati peringkat kedua
dengan kenaikan sebesar 15,38 persen. 85
Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi
kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan
akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang
layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam
bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang
dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara
pemberi dan penerima kerja. Lihat Gray, S. A. dan Thomson, A., the
Development of Economic Doctrine Longman (New York: t.p., 1980). 86
Ibnu Taimiyah, al-Hisbah wa Mas‟u>liyah al-Huku>mah al-
Isla<>miyah (Kairo: Dar Al-Shab, 1976).
240
dipertimbangkan oleh penetapan upah (musamma), jika
ketetapan upah itu ada, di mana dua pihak bisa menerima.
Adil, seperti dalam kasus penjual atau penerima upah/harga
yang ditetapkan berpijak pada harga yang setara.87 Prinsip
ini berlaku bagi pemerintah maupun individu. Jadi, jika
pemerintah ingin menetapkan upah atau kedua pihak tidak
bersepakat tentang besarnya upah, mereka harus bersepakat
tentang besarnya upah yang ditetapkan pemerintah, yang
berpijak pada kondisi normal. Ini seyogianya berlaku dalam
penetapan dan penerimaan, untuk jenis pekerjaan tertentu.
Pendapat ini merupakan sebuah pemikiran yang sangat
mendalam dan lebih maju dalam menginterpretasikan
makna upah yang adil dalam al-Qur‟an dan Sunnah.88
Sehingga terjadi kerid}ahan dan tidak terjadi gharar
(spekulasi). Jika dianalisis terjadinya hal tersebut karena
tidak ada akad yang tertulis, dan cuma berdasarkan
kepercayaan dan kebaikan.89
Perbedaan upah akibat bakat dan kesanggupan diakui
oleh Islam, namun tetap berpegang pada konsep
persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh
anggota masyarakat di muka hukum yang disertai dengan
keadilan, memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas
sumbangannya terhadap masyarakat atau terhadap produksi
sosial. Agar tidak ada eksploitasi terhadap seseorang oleh
orang lain, karena itu konsep mas}lahah dibutuhkan dan al-
Qur‟an juga mendesak kaum Muslimin untuk “tidak
menahan hak orang lain”. Untuk itu, perubahan terhadap
87
Ibnu Taimiyah, Majmu‟ Fatawa Shaikh al-Islam (Riyad:
Matabi‟ Al-Riyad, tt, vol. 34). 88
Muhammad Amin Suma, Ijtihad Fiqh Islam dalam Fiqih Islam
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002). 89
Lihat Muhammad Shahrir Sula, Asuransi Syari‟ah (Jakarta:
Gema Insani Press, 2004); Muhammad Suyanto, Muhammad: Business
Strategy and Ethics (Jogjakarta: Andi Offset).
241
pola penggajian dengan sistem cicil perlu diubah, karena
tidak sesuai dengan semangat efisiensi berkeadilan.
Terbitnya UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan
yang menjadi pengganti UU No.25/1997 disebutkan: “upah
adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau
pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan,
atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”. Pasal ini
tidak menjelaskan kata “layak” dan “kemanusiaan”.
Sementara, kelayakan dimunculkan pasal 88 sebagai syarat
tambahan berupa “....dan dengan memperhatikan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi”. Ini berarti hak
penghidupan layak akan diberikan kepada buruh sejauh
menunjang produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Maka,
kemudian hak dan kewajiban diukur berdasarkan
produktifitas perajin songket.
Hasil olah dan analisis data juga, diketahui adanya
„eksploitasi‟ pemberi kerja baik seorang perantara ataupun
pengrajin pemilik modal terhadap sentra-sentra perajin
tenun yang rata-rata perempuan. Bukan hanya jam-jam
domestik rumah tangga mereka saja yang tereksploitasi,
aktivitas kerja menenggelamkan aktivitas keluarga atau
menggeser aktivitas keluarga menjadi aktivitas kerja.90
Rumah pengrajin maupun perajin songket berorientasi
bukan hanya tempat proses produksi, tetapi telah berubah
menjadi pabrik mini, karena berpindahnya gudang bahan
90
Hasil kajian sebelumnya menunjukkan hal yang sama, lihat
Dedi Haryadi et. al., Tahap Perkembangan Usaha Kecil: Dinamika dan
Peta Potensi Pertumbuhan (Bandung: AKATIGA, 1998); Nur Syam,
“Buruh Perempuan, Pekerja Rumahan, Sosok Manusia Teralienasi”,
dalam Jurnal Paramedia, vol.1. no. 2., bulan Juni 2000.
242
baku dan semua sarana yang berkenaan dengan proses
pembuatan kain songket. Dinamika ini merupakan bagian
dari persoalan economic recovery menuntut adanya
solidaritas. Sebab, tanpa adanya solidaritas, masing-masing
pengrajin dan perajin hanya akan mengutamakan
kepentingan sendiri, serta mempertajam kesenjangan sosial
dan ekonomi. Jika terjadi kesenjangan dan ketidakadilan
ekonomi dalam kehidupan pengrajin dan perajin akan
mengalami keguncangan, sehingga rentan memicu
terjadinya konflik antara sesama pengrajin dan perajin.
Selanjutnya, dalam kewajiban untuk melakukan
kemitraan baik antara pengrajin, perajin songket, maupun
dengan pemerintah daerah tidak terbangun secara optimal.
Indikator yang muncul berdasarkan hasil olah data
wawancara adalah: Pertama, baik pengrajin maupun
perajin songket memiliki jaringan usaha yang saling
merahasiakan. Pada umumnya, mereka berusaha mencari
pelanggan dengan membentuk kelompok sendiri-sendiri.
Efisiensi menjaga solidaritas dan kekeluargaan adalah
dengan cara memperkuat jaringan yang dimiliki dengan
berbagai cara.91 Kedua, produktifitas perajin songket
bergantung kepada pengrajin atau pemesan. Karena itu,
para pengrajin berusaha meningkatkan produktifitas tenun
songket walau sistem upah borongan Rp 940.000,- dan
harus mengorbankan jam-jam pribadi, dan domestik, juga
ruang (rumah) pribadi dari keluarga menjadi bagian dari
proses produksi, yang tanpa mereka sadari tidak mendapat
kompensasi apa pun.92
91
Deskripsi wawancara dengan pengrajin tanggal 24-26
September 2010. 92
Deskripsi wawancara dengan perajin songket tanggal 8-11
Oktober 2010. Harga 1 songket bervariasi antara Rp 200.000,- sampai Rp
8.000.000,. Sementara untuk perajin songket diupah rata-rata Rp
160.000,-/songket dengan rincian upah tenun untuk sarung bawah Rp
100.000 dan selendang Rp 60.000,-. 1 songket dihasilkan selama 7 hari.
243
Dari berbagai pandangan tersebut, menunjukkan
bahwa hak dan kewajiban pengrajin dan perajin songket
Palembang terbangun berdasarkan siklus sosial ekonomi
antara komunitas pengrajin dan perajin pada masing-masing
wilayah dan sentra usaha. Terjadinya kesenjangan hak dan
kewajiban secara tersembunyi diantara pengrajin maupun
diantara para perajin, termasuk kesenjangan dalam hak
mendapatkan bantuan usaha kecil baik dari aspek modal
usaha, pelatihan ketrampilan maupun pelatihan manajemen
sederhana. Sementara, kewajiban para pengrajin songket
dieksploitasi maksimal untuk dapat bersaing dalam pasar
global.
Dari aspek ini, memperlihatkan bahwa adanya
perbedaan yang sangat jelas antara pekerja yang memiliki
hubungan kerja yang ditegaskan dalam perundang-
undangan dengan para perajin songket Palembang yang
dapat dikatagorikan pekerja rumahan (home workers).93
Dari sisi ini, maka hak dan kewajiban para perajin songket
terpasung dalam: (1) subbordinasi ekonomi dan tekhnis
industrial (pengrajin-perajin); (2) minimnya akses
pemasaran produk; (3) perajin songket mendapatkan
penghasilan dengan dibayar berdasarkan jumlah produk
yang mampu dihasilkannya, bukan berdasarkan lama jam
kerja dalam memproses songket. Sementara, hak dan
kewajiban pengrajin songket dibatasi dengan modal usaha
dan pengembangan usaha.94 Hasil analisis data
Maka 1 bulan seorang perajin menghasilkan 4 buah songket dengan upah
Rp 940.000,-. 93
Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003,
mendefinisikan pekerja atau buruh sebagai seseorang yang menerima
perintah kerja dan menerima upah (BAB I, Pasal 1 [1]. 94
Kerja rumahan secara khusus dapat didefinisikan sebagai proses
produksi barang dan jasa yang dikerjakan di lingkungan rumah untuk
memperoleh pendapatan ataupun upah. Kerja rumahan untuk untuk
memperoleh pendapatan dilakukan dengan melakukan usaha baik dalam
244
memperlihatkan hak perajin yang juga dilupakan oleh para
pengrajin yang memiliki perajin tenun songket dan para bentuk produksi barang dan jasa maupun usaha dagang, sedangkan kerja
rumahan untuk memperoleh upah dilakukan dengan melakukan proses
produksi barang dan jasa dengan upah persatuan (piece rate) dan sama
sekali tidak tergantung pada lamanya (jam) kerja. Secara khusus kerja
rumahan (homework) dikonotasikan secara langsung dengan pekerja
rumahan (homeworkers), bahkan ILO (International labour organization)
Perserikan Bangsa-Bangsa dalam konvensi 1996 mendefinisikan “kerja
oleh seseorang di dalam rumahnya atau ditempat lain yang dipilihnya,
diluar tempat kerja milik majikan (pengusaha); untuk memperoleh upah;
dan hasilnya berupa produk atau jasa yang ditetapkan oleh majikan
(pengusaha) terlepas dari siapa yang menyediakan bahan baku, peralatan
dan masukan lain yang dipergunakan. Pekerja rumahan merupakan buruh
yang bekerja bukan di pabrik, tapi di rumah dengan bekerja seperti
layaknya di pabrik. Pekerja rumahan mengerjakan atau memproduksi
produk dan jasa yang layaknya di kerjakan oleh pabrik. Pekerjaan yang
dilakukan mulai dari aktifitas pabrikasi seperti memintal benang hingga
menenun (pada usaha songket). Pekerja rumahan bekerja mandiri tanpa
memiliki atasan tetapi juga tidak punya bawahan, karena pekerja
rumahan yang bekerja sendiri di rumah tidak dibayar berdasar jam kerja
tetapi berdasar jumlah produksi tertentu yang dihasilkannya. Pada
dasarnya, Pemberi kerja baik itu perantara maupun sang majikan sendiri
tidak mau tahu proses kerja yang dilakukan pekerja rumahan, tidak mau
tahu berapa banyak sumber daya domestik yang dipergunakan oleh
pekerja rumahan, yang perantara atau majikan tahu adalah jumlah produk
tertentu dengan standar mutu tertentu sesuai dengan perjanjian lisan tanpa
pernah ada kontrak resmi. Lihat Erwin Alampay, Living the Information
Society in Asia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies 2009);
Lynda A C Macdonald, Managing Fixed-Term and Part-Time Workers: a
Practical Guide to Employing Temporary and Part-Time Staff (London:
Tolley, 2003); lihat juga istilah pekerja rumahan dalam Eka Chandra,
Membangun Forum Warga: Implementasi Gagasan Partisipasi dan
Penguatan Masyarakat Sipil di Kabupaten Bandung (Bandung: Akatiga,
2003); Gunanto Surjono dan Henry Azwar, Peningkatan Partisipasi Ibu-
Ibu Rumah Tangga dalam Pemecahan Masalah Kemiskinan Keluarga
Melalui Program Usaha Ekonomi Kampung (PUEK) (Yogyakarta:
Departemen Sosial RI, Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial, Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial,
2003); Kian Wie Thee, Industrialisasi di Indonesia: Beberapa Kajian
(Jakarta: LP3ES, 1994).
245
pemberi upah tenun terhadap hak tunjangan hari raya atau
hak kesehatan. Ada indikasi bahwa mereka mendapatkan
hak itu hanya sebagai kebaikan, bukan karena adanya
kekuatan hukum yang mengharuskan mereka mendapatkan
hak hak tersebut.95
Dari hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak
dan kewajiban yang berlaku antara pengrajin dan perajin
atau antara perajin induk dengan perajin dibawah
naungannya memperlihatkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama dari aspek kewajiban memperlihatkan (1)
produktifitas tenunan dipaksakan; (2) kemitraan dan
kebersamaan semu karena semua aktifitas berorientasi
pemenuhan jumlah tenunan tanpa melihat nilai-nilai yang
lain, semisal kondisi tempat usaha dan kondisi penenun; (3)
keuntungan jumlah penjualan dari hasil tenunan terprioritas
pada pengrajin; (4) mengkristalnya solidaritas perajin
songket yang tidak terapresiasi dengan baik.
95
Sumber: analisis data, 2010. Sementara dalam realitasnya, di
awal abad ke-21 ini, sebagian besar masyarakat pekerja di dunia
memperoleh mata pencahariannya pada kondisi perekonomian informal yang
rentan dan tidak terjamin. Pekerjaan informal diperkirakan mencapai sekitar 65
persen pekerjaan di sektor non-pertanian di Asia, 51 persen di Amerika Latin,
48 persen di Afrika Utara, dan 72 persen di Afrika Sub-Sahara. Angka-
angka ini bisa jadi jauh lebih besar di beberapa negara, apabila pekerjaan
informal di sektor pertanian turut dimasukkan. Perempuan, remaja, orang tua,
kelompok minoritas, pekerja pendatang, masyarakat adat dan suku tidak diwakili
secara proporsional. Perekonomian informal mencakup sebagian besar
kegiatan skala kecil di sektor perekonomian tradisional, serta menjadi
bagian dari strategi produksi baru dan perubahan pola pekerjaan dalam
perekonomian global. Di beberapa bagian di dunia ini, bagian yang lebih
besar dari pekerjaan baru yang diciptakan adalah pekerjaan informal, baik
wiraswasta maupun pekerjaan berupah. Informalitas tidak akan surut saat
negara berkembang mengalami pertumbuhan informalisasi walaupun
kinerja perekonomian sudah membaik. Lihat International Labour Office,
“The Informal Economy: Enabling Transition to Formalization”
(Swizerland: ILO Publications, 2007).
246
Kedua, dari aspek hak memperlihatkan: (1) sistem
upah yang dibentuk berdasarkan kebijakan pengrajin, dan
atau permintaan perajin yang membentuk ketidakberayaan;
(2) penenun tidak mendapatkan hak-hak selayaknya
pekerja/karyawan yang bekerja pada perusahaan-
perusahaan yang terlindungi oleh UU RI No 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan.
Ekonomi Islam memberikan tata aturan yang sangat
jelas dalam menguatkan satu usaha yang didasarkan pada
konsep keseimbangan. Nilai-nilai keseimbangan tersebut
dapat dilakukan dengan membangun konsep mud}ara>bah
dan mushara>kah. Bila para perajin songket sering tidak
diakui sumbangannya, tidak mengetahui haknya, mereka
menyediakan sendiri fasilitas kerja.96 Disini kemudian nilai
etika ekonomi Islam tidak terbangun. Al-Qur‟an sangat
banyak mendorong manusia untuk melakukan bisnis (Q.S.
al-Jum‟ah [62]:10). Al-Qur‟an memberi pentunjuk agar
dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling rid}a,
tidak ada unsur eksploitasi (Q.S. an-Nisa>‟ [4]: 29) dan
bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan
membuat administrasi transaksi kredit (Q.S. (al-Baqarah
[2]: 282). Antara pengrajin, perajin maupun pemberi upah
pembuatan songket dari para pedagang sama-sama
memahami eksistensi manusia yang kesemuanya bertujuan
96
Dalam proses penggunaan kapital tidak dapat lepas juga dari
pandangan tradisional terhadap administrasi ketenagakerjaan yang
menekankan peran protektif yang dimilikinya, termasuk: (1)
perlindungan terhadap upah untuk memastikan pembayaran upah
dilakukan secara tunai (bukan dalam bentuk barang atau jasa) dan tepat
waktu; (2) perlindungan terhadap waktu kerja melalui peraturan
mengenai jam kerja dan cuti; (3) perlindungan terhadap kondisi kerja melalui
pelayanan pengawasan ketenagakerjaan; (4) perlindungan dari cedera dan
penyakit akibat kerja melalui sistem pengawasan dan skema kompensasi.
Lihat Robert Heron, Administrasi Ketenagakerjaan (Jakarta: Kantor
Perburuhan Internasional, 2002).
247
untuk mencukupi kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan,
pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi,
serta memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama
yang mengancam kehidupannya.97
Berbagai hal tersebut, maka ekonomi Islam
kemudian memberikan konstruk keadilan, kesetaraan yang
diukur dari konsep standar pengupahan berbasis pendapatan
layak, berkeadilan sosial dan manusiawi. Konsep standar
tersebut juga mengembalikan fungsi negara agar
menempatkan buruh sebagai manusia dengan menanggung
kesejahteraan yang berkeadilan sosial (jaminan pekerjaan,
jaminan pendapatan, dan jaminan sosial). Modal sosial
diwarnai oleh saling tukar informasi antar perajin dan
pengrajin songket. Trust adalah sikap saling
mempercayai memungkinkan pengrajin dan perajin songket
saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi
pada peningkatan modal sosial. Berbagai tindakan kolektif
yang didasari atas rasa saling mempercayai yang tinggi,
akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
berbagai ragam bentuk dan dimensi, terutama dalam
konteks membangun hak dan kewajiban bersama.98
97
Dalam konsep Syatibi yang dimodifikasi Murasa Sarkaniputra
lima kebutuhan dasar adalah: (1) pemeliharaan iman, khususnya
keagamaan dalam arti luas [al-din]; (2) pemeliharaan pendidikan yang
menjadikan dirinya berpotensi untuk mampu berperan di masyarakat [al-
aql]; pemeliharaan kesehatan dan keamanan diri serta kemerdekaan untuk
menyatakan pendapat (al-nafs); (3) pemeliharaan rumah tangga yang
penuh kasih sayang dan tanggap menjaga kehormatannya (al-nasl); (4)
pemeliharaan atas kecukupan sandang, pangan, papan dan kekayaan
lainnya yang mendukung berlangsungnya pergaulan antar warga
masyarakat (al-Mal). Murasa Sarkaniputra, Ruqyah Syar‟iyyah: Teori,
Model dan Sistem Ekonomi, General Equilibrum Ghazali-Khaldun-
Syatibi Melalui Analisis Leontief-Sraffa. 98
Muhammad Baqir as}-S}ada>r dan M Hashem, Keunggulan
Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka
Pemikiran Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002).
248
Penegasan harus bisa dipahami bahwa kaum pekerja
dan rakyat itu sejak kemerdekaan sudah diurus oleh Pendiri
Republik. Itu sebabnya ada pasal 27 ayat 2 UUD 1945.
Artinya, berhak akan pekerjaan itu kewajiban Negara untuk
pro-job. Penghidupan yang layak berarti anti kemiskinan
atau pro-poor. Sedangkan bagi kemanusiaan adalah
moralitas humanitarian. Tiap-tiap orang berhak akan
pekerjaan, tentu itu bisa sebagai bekerja swakarsa atau
bekerja sebagai buruh. Negara harus bisa menjamin hal itu
terpenuhi. Dengan demikian, maka potensi buruh sebagai
agen pembangunan juga dapat berjalan dengan baik. Saya
tidak ingin dalam negara Pancasila ini buruh sebagai
kekuatan yang melawan, atau diterapkan teori konflik
antara buruh dan majikan. Dua-duanya harus menjadi agen
pembangunan dan agen kemajuan. Oleh karena itu,
pemerintah menetapkan diri untuk menjaga keharmonian
antara buruh dan majikan. Jangan sampai pemerintah
didikte majikan atau didikte kapitalis, lalu pemerintah
menekan buruh atau suara pemerintah menjadi suara
majikan untuk mengeksploitasi buruh.
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama, bukan
usaha perorangan, maka yang berlaku adalah asas
kebersamaan di Indonesia, bukan asas perorangan. Buruh
(perajin songket) bukan sebagai kekuatan yang melawan
majikan (pemilik modal, pengrajin songket, pengusaha
songket) sebagaimana dalam teori konflik Marxisme. Dua-
duanya harus menjadi agen pembangunan dan agen
kemajuan. Sementara, pemerintah menetapkan diri untuk
menjaga keharmonian buruh dan majikan. Terjadinya
konflik, sentimen dan kecemburuan sosial karena
kapitalisme telah menjadi dasar kehidupan ekonomi di
Indonesia. Buruh, Majikan dan Pemerintah terus berkonflik
sehingga tidak muncul menjadi agen pembangunan dan
agen kemajuan bangsa. kapitalisme itu asasnya perorangan,
249
maximum profit, kepuasan maksimal, dan ujungnya self
interest. Maka di situlah kapitalisme akan menekan buruh.
Buruh sebagai alat faktor produksi, bukan manusia. Di
dalam alam kapitalisme yang inception adalah jika menekan
ongkos atau biaya dan buruh dianggap bagian biaya.
Menaikkan upahnya berarti menaikkan biaya. Langkah
penting untuk mengatasi kondisi itu, sudah tentu dengan
kembali kepada konsep ekonomi Pancasila99 dan nilai-nilai
Islam. Hubungan baik antara pengusaha dan buruh diatur
dalam islam yang menawarkan sistem sosial yang
berkeadilan dan bermartabat. Islam memberikan
penghargaa yang tinggi terhadap pekerjaan. Para buruh
yang bekerja dan mendapatkan penghasilan dengan tenaga
sendiri wajib dihormati termasuk dalam meningkatkan
kreativitas beserta penghargaan yang didapat seperti
dijelaskan dalam sub bab berikut.
D. Kebebasan Berusaha dan Berkreativitas Usaha songket adalah suatu pilar perekonomian yang masih
eksis menyangga kehidupan sebagian masyarakat Sumatera
Selatan. Dengan demikian sektor kerajinan sampai sekarang masih
tetap di usahakan sebagai mata pencaharian, baik dilakukan secara
perorangan, maupun kelompok. Dalam bentuk usaha, ada yang
dilakukan secara tradisional perorangan, kelompok masyarakat.
Makin majunya dunia usaha, serta taraf kehidupan masyarakat
produsen maupun konsumen, tak pelak menuntut pencitraan
bentuk-bentuk kerajinan, sehingga kerajinan dapat berkembang
begitu dinamis. Tuntutan gaya hidup konsumen serta kemampuan
desainer dalam merespon, dapat menyuburkan perkembangan
mode kerajinan, dari waktu ke waktu.
Konsep efisiensi berkeadilan yang dilihat selanjutnya
pada kebebasan berusaha dan berkreativitas para pengrajin
99
Lihat http://www.intelijen.co.id/profil/1460-prof-dr-sri-edi-
swasono, Juni 2011.
250
dan perajin songket. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa
karakteristik perajin songket Palembang terbagi dalam dua
tipe, yaitu: tipe kelompok perajin songket yang memegang
tradisi tenun songket yang terwarisi turun temurun, dan tipe
kedua kelompok perajin yang menerima pembaharuan
songket dengan pengembangan desain. Realitas di lapangan
perajin songket mendapatkan kebebasan dalam berusaha
dan berkreativitas. Beberapa pandangan perajin maupun
pengrajin, kebebasan berusaha dan berkreativitas dalam
menenun bertujuan untuk menilai bagaimana hasil tenun
songket terus berkembang sesuai dengan perubahan-
perubahan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakatnya.100
Sehingga, perluasan kreativitas perajin dapat memberikan
gambaran bagaimana praktik tenun merepresentasikan juga
estetik sebuah masyarakat yang majemuk. Ada pula karya-
karya perancang mode ternama, maupun benda-benda
keseharian yang menggunakan tenun, maupun dilapisi kain
tenun sebagai suatu alternatif yang secara kreatif bisa
dikembangkan lebih lanjut.
Hasil observasi dan wawancara dengan perajin
diketahui dari sisi kebebasan berusaha dan berkreativitas,
efisiensi berkeadilan dilakukan oleh perajin. Artinya,
pengrajin dan perajin memberikan kesempatan konsumen
dari semua kalangan untuk memiliki kain songket bernilai
100Pengaruh kontak budaya melalui jalur-jalur perdagangan dari
peradaban lampau, hingga kemudian dengan rentang masa era kolonial,
telah menghasilkan beragam olahan artistik dalam kehidupan seni tradisi
khususnya kain tenun. Pengaruh ini sama sekali tidak melemahkan
keberadaan seni tenun sebagai sebuah bentuk seni tradisi dalam konteks
kehidupan sakral, tapi justru memperkaya nilai-nilai estetikanya. Bahkan
lebih jauh bila ditelusuri dan pencermatan melalui motif-motifnya,
niscaya kita bisa membaca tanda-tanda budaya atau narasi. Oleh karena
itu seni kriya, khususnya seni tenun mempunyai dimensi nilai simbolik.
Lihat Bernhard Bart, et.al., Revitalisasi Songket Lama Minangkabau
(Padang: Studio Songket ErikaRianti, 2006); Denys Lombard, Jaringan
Asia (Jakarta: Gramedia, 1996).
251
sejarah tersebut. Data adanya kebebasan mendesain tenun
songket dengan berbagai teroboson kreativitas, semakin
meningkatkan distribusi hasil kerajinan songket, dan
semakin menambah pemasukan pengrajin dan perajin
songket. Sebelum ada terobosan desain mereka sulit
mendapatkan pemasukan Rp 1.000.000,- pada hari biasa,
kini meningkat hingga Rp 2.000.000,- perhari pada hari
biasa. Kalau libur bisa sampai Rp 5.000.000,-/hari.
Kreativitas perajin songket dilakukan juga dengan strategi
mengikuti selera konsumen. Saat ini, kain songket berbahan
katun bisa dibeli hanya dengan harga Rp 15.000,- per
meter. Harga ini jauh lebih murah dari kain songket
berbahan sutra yang mencapai Rp 100.000,- per meter.
Kebebasan kreativitas dilakukan dengan membuat kain
songket dengan motif dibordir dengan harga yang
bervariasi, mulai dari Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta per
kain, sesuai pesanan motif bordir.101
Hasil wawancara mendalam, terjadinya perubahan
pola dengan perubahan aktifitas yang mulai berkembang,
dengan berbagai bentuk dan desain berbahan songket di
kalangan pengrajin dan perajin songket, tidak lepas dari
solidaritas kerja. Dimana, pengrajin yang eksis terhadap
komitmen, membangun tenun mengikuti pola turun
temurun, menerima perkembangan desain dengan motif
songket dari pengrajin dan perajin songket lainnya. Hasil
wawancara diketahui beberapa dasar utama terjadi
kebebasan berkreasi, yaitu: Pertama, pemanfaatan limbah
sisa-sisa tenun songket. Hal ini muncul karena sisa tersebut
bisa menjadi peluang untuk menambah keuangan.
mendesain songket menjadi baju siap pakai perlu
kecermatan tinggi.
101
Hasil wawancara dengan pengrajin tanggal 22-28 September
2010.
252
Salah seorang responden dari Kampung Songket BNI
menceritakan dampak positif dari kebebasan berapresiasi
dan berkreativitas dapat memajukan ekonomi masyarakat
desa dengan songket Palembang. Awalnya, tenunan
songket hanya sebagai pekerjaan sampingan remaja putus
sekolah, atau ibu-ibu yang sekedar menenun, menghabiskan
waktu sehingga tidak ada kreasi. Pada tahun 2006 selembar
tenun songket hanya dihargai Rp 200.000,- sampai dengan
Rp 300.000,- akibatnya penenun terkendala dengan
ketersedian bahan kain dan benang. Kemudian, diadakan
terobosan dengan membuat motif-motif baru dengan tetap
mempertahankan motif bintang, melakukan terobosan
dalam pewarnaan. Jika biasanya songket Palembang
cenderung berwarna terang keemasan, dibuat dengan warna
gelap. Terobosan tersebut mampu meningkatkan penjualan
hingga 60% dengan harga berkisar Rp 900.000 sampai Rp 5
juta per helai, dan meraup omzet hingga Rp 40 juta per
bulan.
Dampak lain, mampu memberdayakan 38 perajin,
dan meningkatkan perekonomian keluarga masing-masing
perajin, serta membayar upah sesuai dengan tingkat
kesulitan dan jenis bahan. Dampak lainnya, kreatifas untuk
membuat aksesoris semakin bertambah dengan
menggunakan limbah tenun songket yang tidak terpakai.102
Dalam konsep ekonomi Islam, upaya kreativitas para
perajin songket membangun kebebasan berusaha dan
berkreativitas tetap berpegang dengan „fitrah‟ dan tidak
bebas dalam arti „bebas‟ (hur) dari ikatan hukum, dan dari
sifat-sifat mafsadah. Para perajin melaksanakan kebebasan
berusaha dan berkreativitas dengan berpegang pada
ikhtiya>r, untuk dapat berprestasi melahirkan produk dan
102
Wawancara tanggal 26 September 2010.
253
desain yang marketable, dan mampu memberikan produk
yang halal.
Kreativitas demikian itu untuk dapat bersaing dalam
perdagangan bebas instrumen dari paham neoliberalisme.103
Manusia memiliki kebebasan dalam kehendak dan
perbuatan. Dengan kebebasan itu manusia menjadi aktif dan
dinamis. Kebebasan manusia sesuai dengan ajaran yang
terdapat dalam Al-Qur‟an, misalnya: “berbuatlah apa yang
kamu kehendaki” (Q.S. al-Mukmin [40]: 41); “…siapa yang
mau percaya, percayalah ia, dan siapa yang tidak mau
percaya, janganlah ia percaya…” (Q.S. al-Kahf [18]: 29);
“…Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (umat)
sebelum umat itu sendiri mengubah keadaannya…” (Q.S.
al-Ra‟d [13]: 11).
Tuhan telah menganugerahkan akal pada manusia.
Dengan akalnya manusia dapat membedakan antara
kebaikan dengan kejahatan. Oleh karena itu, manusia bebas
memilih antara kebaikan dan kejahatan, yang disertai
dengan tanggung jawab moral atas segala perbuatannya.
Manusia mempunyai kebebasan dalam kehendak (free will)
dan kebebasan dalam perbuatan (free act). Dengan
kebebasan tersebut, manusia menjadi aktif dan dinamis.
Bila manusia tidak punya kebebasan dan berkeyakinan
bahwa segala sesuatu tergantung pada kehendak mutlak
Tuhan, maka manusia akan bersifat pasif dan menyerahkan
masa depannya kepada nasib dan perkembangan zaman.
Secara umum, makna kebebasan dalam ekonomi, dapat
melahirkan dua pengertian yang luas, yakni: kreatif dan
kompetitif. Dengan kreativitas, seseorang bisa
103
Dalam liberalisasi, ukuran kemajuan dilihat dari meningkatnya
pendapatan, perdagangan dan arus barang-barang. Lihat A Prasetyantoko,
Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang Publik (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2008); A Prasetyantoko, Krisis Finansial dalam
Perangkap Ekonomi Neoliberal (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009).
254
mengeluarkan ide-ide, bisa mengekplorasi dan
mengekspresikan potensi yang ada dalam diri dan
ekonominya untuk menghasilkan sesuatu. Sedangkan
dengan kemampuan kompetisi, seseorang boleh berjuang
mempertahankan, memperluas dan menambah lebih banyak
apa yang diinginkannya.
Dalam ekonomi Islam, makna kebebasan adalah
memperjuangkan apa yang menjadi haknya dan
menunaikan apa yang menjadi kewajibannya sesuai
perintah syari‟at Islam. Sebagaimana konsep kepemilikan,
konsep kebebasan dalam berekonomi menurut Islam, tidak
boleh keluar dari aturan-aturan syari‟at. Bahwa manusia
diberi keluasan dan keleluasaan oleh Allah untuk berusaha
mencari rizki Allah pada segala bidang. Kebebasan
ekonomi Islam adalah kebebasan berakhlak. Berakhlak
dalam berkonsumsi, berproduksi dan berdistribusi. Dengan
kebebasan berkreasi dan berkompetisi akan melahirkan
produktifitas dalam ekonomi. Kegiatan produksi adalah
bagian penting dalam perekonomian. Produksi atau al-intaj
atau istishna‟ adalah pelayanan jasa yang jelas dengan
menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur
produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas.104
Proses produksi yang dijadikan ukuran utamanya adalah
nilai manfaat (utility) yang diambil dari hasil produksi
tersebut.105
Produksi harus mengacu pada nilai utility, dan masih
dalam bingkai nilai halal, serta tidak membahayakan bagi
diri seseorang ataupun sekelompok masyarakat. Di samping
104
Muhammad Rawwas Qalahji, Mabahis fi al-Iqtishad al-
Islamiy min Ushulihi al-Fiqhiyyah (Beirut: Dar an-Nafes, 2000). 105
Abdurrahman Yusro Ahmad, Muqaddimah fi „Ilm al-Iqtishad
al-Islamiy (Iskandariyah, 1988); Taqyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-
Iqtis}a>di fi al-Isla>m (Beirut: Darul Ummah, 1990), yang dalam edisi
bahasa Indonesia diberi judul Membangun Sistem Ekonomi Alternatif
Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1996).
255
itu, manusia diberi kemampuan untuk mengembangkan ilmu
dan daya nalarnya, Kesempurnaan manusia, menurut al-
Ghazali, juga terkait dengan alfad}a>'il (keutamaan-
keutamaan), yakni berfungsinya daya-daya yang melekat
pada diri manusia selaras dengan kesempurnaan manusia
itu sendiri.106 al-fad}a>'il yang dimaksud adalah al-
hikmah (sebagai keutamaaan dan daya akal), al-
shaja>'ah (sebagai keutamaan daya ghad}}ab), al-'iffah
(sebagai keutamaan daya shahwah) dan al-„Adalah (sebagai
keseimbangan dan ketiga keutamaan tersebut di atas).107
Dengan demikian, pengembangan kreativitas pengrajin
dan perajin songket memperlihatkan upaya dan semangat
berkembang dalam nilai-nilai ekonomi Islam. Jangan
sampai sebagaimana digambarkan Swasono sikap manusia
saat ini sebagai homo economicus, digambarkan sebagai
individual yang bercirikan egois, rational dan menginginkan
maksimalisasi kepuasan serta oportunis. Ia bertindak secara
independen, dan terisolasi dari lingkar sosial, tidak dapat
dipercaya mempercayai orang lain.108
Efisiensi berkeadilan yang terjadi dalam apresiasi
para pengrajin dan perajin memberikan jamin stimulus atau
rangsangan bagi perajin untuk bekerja dan bertindak lebih
kreatif dan inovatif, karena tidak ada ketakutan kalau
pikiran dan cara-cara ”baru” itu mendatangkan bahaya bagi
dirinya sendiri. Karena itu, pemerintah daerah memiliki
tangung jawab untuk menjamin kreativitas tersebut, tidak
terganggu dengan masyarakat yang tidak menyukai
perombakan bentuk songket. Sekaligus menjamin bahwa
kreativitas yang tidak bebas nilai. Sebab, bagaimanapun
106
a1-Ghazali, Ma „a>rij al-Qudsi (Kairo: Da>r al-Ma‟a>rif,
1964). 107
a1-Ghazali, Miza>n al-A‟ma>l, ed.: Sulaiman Dunya (Kairo:
Da>r al-Ma‟a>rif, tt). 108
Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika, 4.
256
kreativitas perajin songket merupakan inovasi sesuai
dengan zamannya. Kreativitas yang terbangun untuk
menyempurnakan tenun songket lebih murah dan efisien,
bukan untuk mengubah olah tenun songket yang sudah ada,
dan pada akhirnya menghancurkan tradisi tenun itu
sendiri.109
Upaya membangun efisiensi berkeadilan dalam
melakukan kreativitas tenun songket dilakukan dalam
tahapan yaitu: Pertama, eksplorasi berupa identifikasi
bentuk-bentuk desain yang dimungkinkan dapat digunakan
sebagai kreasi pasar. Kedua, inventing, yaitu aktifitas
pengrajin dan perajin songket untuk melihat atau mereview
berbagai alat, teknik dan metode yang telah dimiliki yang
mungkin dapat membantu dalam menghilangkan cara
berpikir yang tradisional. Ketiga, tahap memilih dimana
pengrajin dan perajin songket mengidentifikasi dan memilih
ide-ide yang paling mungkin untuk dilaksanakan
dikerjakan. Keempat, implementasi dari semua tahapan
yang dilakukan. Langkah selanjutnya adalah dengan
beberapa pola, yaitu: Pertama, memasukkan desain
kreativitas tenun songket ke dalam evaluasi kerja; Kedua,
mencari perajin yang mau untuk melakukan terobosan
desain. Ketiga, hasilnya dapat dijual dalam berbagai
pameran regional dan nasional.
Dari berbagai problematika dalam produksi usaha
songket, memperlihatkan umumnya upaya berupa pelatihan
dan bimbingan/pendampingan tidak diberikan langsung
kepada pengrajin songket, melainkan kepada lembaga yang
109
Perhatikan kembali konstruk adaptive problem solving dan
innovative problem solving, Lihat Masudul Alam Choudhury,
Comparative Economic Theory: Occidental and Islamic Perspectives
(Boston: Kluwer 1999). Lihat juga M Dawam Rahardjo, Islam dan
Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan
Filsafat, 1999).
257
menjembataninya. Misalnya, Kementrian Perdagangan dan
Perindustrian kota Palembang kepada Ornop yang ditunjuk,
atau BUMN yang menjadi mitra, atau perbankan. Materi
pelatihan lebih terkait dengan kegiatan program dan cara
mengelolanya, misalnya tentang pemberian kredit.
Pelatihan/bimbingan/pendampingan yang diberikan
langsung kepada pengrajin songket maupun perajin songket
dengan jumlah terbatas dan peserta terbatas. Termasuk
keterbatasan dalam keikutsertaan program studi banding ke
usaha tenunan di daerah lain, seperti di Lasem, Bali, atau
dalam aktifitas pameran. Aspek keterbatasan hanya
dinikmati oleh pengrajin tertentu yang memiliki nama
usaha yang sudah dikenal. Ada juga pengrajin songket yang
dimanfaatkan untuk melaksanakan kegiatan pelatihan tenun
atau manajemen sederhana, dan harus menyediakan sarana
dan prasarana, serta tenaga pengajar untuk
menyelenggarakan kegiatan pelatihan selama beberapa hari
kepada sejumlah orang yang sudah ditentukan instansi yang
bersangkutan. Meskipun pada akhirnya pengrajin songket
yang ditunjuk tersebut menerima insentif, namun jumlahnya
sangat tidak sebanding dengan apa yang sudah dilakukan,
khususnya untuk menggantikan kerugian, karena
tertundanya kegiatan usaha selama persiapan dan
pelaksanaan pelatihan. Bantuan sarana pada umumnya
sudah tepat guna, namun tidak merata, hanya diperuntukkan
dengan pengrajin songket yang sudah dikenal, sementara
para pengrajin atau perajin yang tidak dikenal tidak
mendapakan sarana yang sangat dibutuhkan.
Berdasarkan kajian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa aktifitas usaha songket dalam kebersamaan memiliki
berbagai kendala yang dapat dinilai pada umumnya, yakni:
(1) aktifitas produksi usaha songket tidak memiliki visi,
misi dan tujuan kecuali hanya ingin mendapat keuntungan
untuk menghidupi keluarga; (2) kurang membangun
258
kecerdasan kreatif dan inovatif; (3) masih berorientasi
usaha sambilan dan berharap bantuan, belum membangun
manajemen usaha dan masih berorientasi pada manajemen
keluarga, hal ini tidak lepas dari tingkat pengetahuan
terhadap pentingnya manajemen yang tertib, tim kerja
berbasis keluarga dan kenalan sehingga mudah rapuh.
Pemerintah telah memberikan berbagai upaya membangun
kebersamaan dalam memberdayakan dan meningkatkan
usaha songket. Namun demikian usaha songket Palembang
dengan berbagai kelebihan dan kelemahan di bidang
produksi menunjukkan usaha kekuatan lokal sosial ekonomi
di Indonesia memiliki kemampuan yang tetap bertahan.
Ketahanan kekuatan lokal tersebut disebabkan rakyat
Indonesia pada waktu itu mengembangkan pula sistem
sosial-ekonomi tradisional.110
Lauren mengatakan bahwa di wilayah pedesaan,
upaya diversifikasi pencarian nafkah, di luar aktivitas
pertanian, dilakukan oleh rakyat Indonesia, dengan aktivitas
non pertanian cukup beragam, terutama di sektor jasa
(warung, pasar, tambal ban, penarik becak, pedagang
eceran). Hal tersebut terakumulasi akibat wilayah pedesaan,
adalah salah satu akibat dari kepemilikan lahan yang sangat
110
Victor T. King and William D. Wilder, the Modern
Antrophology of South-East Asia (London: Routledge, 2003). Kontra
pemikiran dikembang Clifford Geertz (1963) yang menyimpulkan
involusi (perputaran kedalam) pertanian mewarnai pesimisme kekuatan
lokal rakyat Indonesia. Dengan penggambarannya atas ”Mangan Ora
Mangan Asal Kumpul” adalah salah satu refleksi kultur dari ‟shared
poverty‟ (kemiskinan terbagi) yang melahirkan ketidakberdayaan
masyarakat dalam kehidupannya. Lihat Clifford Geertz, Agricultural
Involution the Process of Ecological Change in Indonesia (Berkeley:
University of California Press 2000). Beberapa ide Geertz dikutip juga
dalam Arskal Salim, Shari'a and Politics in Modern Indonesia
(Singapore: Inst. of Southeast Asian Studies, 2003).
259
terbatas para petani di Jawa.111 Swasono menegaskan
bahwa mengapa buruh dengan gaji rendah tetapi tetap bisa
hidup. Hal ini lantaran ada sektor informal yang
menyediakan kehidupan murah. Ada PKL atau warteg. Ini
yang menopang kehidupan mereka dan itu berarti
menopang kehidupan perusahaan tempat mereka bekerja.
Jadi, sesungguhnya terjadi trickle up mechanism. Kondisi
ini tidak disadari oleh pemerintah maupun korporasi-
korporasi besar itu. Malah pemerintah menggusuri sektor
informal itu.
Kebiasaan membawa hasil bumi dari kampung, yang
kemudian membangun suasana guyup di kampung atau
desanya membuktikan rakyat Indonesia yang selama ini
berada pada posisi marjinal, sesungguhnya memiliki
inisiatif dan mekanisme kebertahanan hidup yang cukup
efektif, lewat bangunan-bangunan kekuatan sistem lokal,
yang co-exist dengan sistem global. Paling penting adalah
keberadaan sistem-sistem dan kekuatan tersebut secara
kultur menjadikan rakyat memiliki ‟tempat perlindungan‟
pada saat sistem global dirasa tidak dapat menjamin
kelangsungan hidupnya, baik dari aspek sosial maupun
aspek ekonomi. Dalam bahasa lain, ‟modal sosial‟ (capital
social) sebagai akumulasi dari interaksi manusia, dalam
bentuk rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai
dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan
kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya
kerjasama.112
111
Diane Wolf Lauren. Factory Daughters: Gender, Household
Dynamics, and Rural Industrialization in Java (California: University of
California Press. Berkeley, 1992), 3-9. 112
Keberhasilan Cina sebagai penguasa ekonomi baru di Asia
merupakan cerminan penerapan konsep ekonomi yang berdasarkan
jaringan sosial. Jaringan sosial, yang kemudian menjelma menjadi
jaringan bisnis antara masyarakat dalam negeri dan masyarakat di
perantauan, efektif untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi negara
260
Swasono menjelaskan modal cultural-social suatu
bangsa yang bersifat nasionalistik, ketidakmauan atas
ketertindasan, dan kemandirian, jika tertanam dalam pada
jiwa tiap warga bangsa dan pemerintahan negara tersebut,
juga akan membangun suatu “ketangguhan” dan
“semangat” yang luar biasa bagi bangsa negara tersebut
dalam melakukan pembangunannya (modal sosial kultural).
Ketika ketersediaan sumber daya dalam suatu bangsa
yang melimpah sebagai karunia tiada terkira dari
Tuhan YME, dikelola dan digunakan sebaik-baiknya
dalam proses pembangunan sepenuhnya untuk
memperbaiki taraf hidup dan derajat hidup rakyat.
Penguatan atas saving dan investasi tidak saja mampu
melakukan keputusan ekonomi yang bertujuan
meningkatkan pendapatan, namun juga memiliki
kemampuan untuk melakukan saving yang digunakan
untuk investasi (Modal Sumber Daya Alam-Modal Ekonomi).
Selanjutnya, pembanguan suatu negara juga
membutuhkan kemampuan produksi, kreasi dan inovasi
sebagai wujud proses peningkatan kemampuan rakyat, dan
terus-menerus meningkatkan kreativitas rakyat demi
terangkatnya harkat martabat rakyat dan sebagai
suatu bangsa (Modal Ketangguhan-Entreprenurship).113
Cina. Lihat TM. Siregar, Pembaharuan Ekonomi Tiongkok: dari Fokus
Pedesaan ke Pasar Internasional (Jakarta: Pustaka Pena, 2002). 113
Sri-Edi Swasono. “Robinson Cruzoe‟s Struggle for Freedom
and Take-Off”. Naskah Ajar Mata Kuliah Perkembangan Pemikiran
dan Perbandingan Sistem Ekonomi . Program Doktoral Ilmu
Ekonomi Islam Universitas` Airlangga. 24 Oktober 2009. Dikutip dari
http://www.scribd.com/doc/53952840/PROF-EDI-A-Blog.
DISTRIBUSI BERBASIS KEMITRAAN
Bab ini berhubungan erat dengan bab-bab sebelumnya,
dalam menggali implementasi efisiensi berkeadilan yang
dibangun pada wilayah kemitraan usaha. Bab ini menjadi
penting sebagai penilaian atas proses distribusi usaha
songket Palembang yang sama-sama menguntungkan, dan
memberdayakan, baik antara pengrajin dengan pengrajin,
pengrajin dengan perajin, pengrajin-perajin dengan pihak
pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Sekaligus menilai
makna kebersamaan dan konsensus sosial atas jaminan
usaha. Sejarah dan perkembangan songket dengan penilaian
atas aktifitas usaha songket menjadi elemen krusial
kehidupan salah satu produk lokal di Sumatera Selatan.
Seperti dipahami sebelumnya, bahwa kemitraan adalah
suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau
lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan
bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling
membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis, maka
keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya
kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika
bisnis.
A. Pola Kemitraan Dalam pengembangan ekonomi lokal keberadaan
kerajinan tenun songket memiliki peranan yang penting,
karena umumnya berkembang dengan adanya semangat
Keempat
263
264
kewirausahaan lokal, dan lebih mengutamakan pemanfaatan
input bahan baku dan tenaga kerja lokal, sehingga
keberadaan industri kecil ini dapat berpotensi sebagai
penggerak tumbuhnya kegiatan ekonomi lokal di Sumatera
Selatan.1 Salah satu strategi pengembangan usaha songket
Palembang dalam mendukung pengembangan ekonomi
lokal adalah melalui distribusi kemitraan. Hal ini dilakukan
sebagai salah satu upaya untuk menumbuhkan lokalitas
dengan memadukan, mengorganisasi, dan mentransformasi
seluruh potensi lokal yang ada, terutama aspek pemasaran
dan pendanaan, sehingga dapat menciptakan sinergi
pembangunan. Dalam perspektif umum, keberadaan usaha
tenun songket sangat memberikan sumbangan terhadap
eksistensi budaya lokal, namun masih bersifat job order,
sehingga perajin songket sangat tergantung pada pengrajin,
pemesan, maupun pedagang songket melalui kemitraan
yang berkesinambungan.
Kemitraan diciptakan dan dipertahankan oleh
anggota-anggotanya melalui proses komunikasi.2
1Lihat Departemen Dalam Negeri. Direktorat Jenderal Bina
Pembangunan Daerah (Bangda), Pengembangan Ekonomi Lokal: Manual
Best Practices (Jakarta: Bangda: JICA, 2006); Herman Haeruman J. S.;
Eriyanto, Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal: Bunga
Rampai (Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota: Business Innovation
Center of Indonesia, 2001). 2Konsep kemitraan tertuang jelas dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1997 Tentang Kemitraan. Seperti
tertuang dalam pasal 4 disebutkan bahwa dalam hal kemitraan Usaha Besar
dan atau Usaha Menengah dengan Usaha Kecil berlangsung dalam
rangka sub kontrak untuk memproduksi barang dan atau jasa,
Usaha Besar atau Usaha Menengah memberikan bantuan berupa
kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen;
kesempatan yang seluas-luasnya dalam memperoleh bahan baku yang
diproduksinya secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang
wajar; bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen;
265
Kemitraan ini dibentuk untuk melayani berbagai maksud
dan tujuan. Oleh sebab itu, kemitraan akan terwujud
apabila berbagai orientasi dari semua sub-sub sistem tadi
dapat dikoordinasikan, disalurkan, dan difokuskan.
Kondisi ini akan mempertajam identifikasi permasalahan
yang dihadapi, serta mendukung pilihan terhadap jawaban
permasalahan diikuti dengan strategi yang akan ditempuh.
Keberhasilan dalam menggalang kemitraan dapat dilihat
dari dua dimensi, yaitu produktivitas-distribusi dan
moral/etika. Dari segi produktivitas-distribusi didapatkan
model kekeluargaan.
Dalam prosesnya diketahui kemitraan distribusi kain
songket dengan wilayah perkotaan adalah sistem distribusi
berdasarkan kepercayaan dan akte di bawah tangan.
Informasi data ditemukan contoh sebagai berikut: seorang
datang kepada perajin atau pengrajin songket yang dikenal.
Kemudian orang tersebut mengambil beberapa kain songket
untuk dijual. Pada saat pengambilan barang tidak dibuat
sebuah transaksi yang jelas cukup dengan prinsip
kepercayaan dan janji lisan. Prinsip kemitraan tersebut
berdampak negatif, dengan tidak terkontrolnya keluar
masuk kain songket, tidak terjalinnya konsep manajemen
yang rapi, terjadinya wanprestasi dengan tidak tepat
waktunya penyetoran, bahkan kain songket yang tidak
kembali.
Akibat hal tersebut, sirkulasi penjualan songket
menjadi tersendat yang berdampak pada sulitnya
pengembangan usaha songket pada masa selanjutnya. Kasus
ini juga terjadi pada wilayah tenun di pedesaan. Bahkan
untuk kasus ini, sering sekali ditemukan hasil tenunan
songket yang dijualkan seseorang atas dasar kepercayaan
perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan;
pembiayaan.
266
tidak kembali, sehingga menimbulkan kebangkrutan
penenun.
Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan pola
kemitraan distribusi berbasis kekeluargaan. Hal ini terjadi
karena faktor demand masih terbatas, tidak ada komunikasi
yang terbuka untuk melakukan studi kelayakan usaha,
termasuk masih rendahnya upaya penguatan jaringan
distribusi dan eksistensi distribusi berkeadilan pada
pengrajin dan perajin songket Palembang. Hasil wawancara
mendalam dengan para responden diketahui berbagai
persoalan yang berkenaan dengan kemitraan yang terjadi
antara pengrajin dan perajin songket, distributor dan
pengumpul maupun pedagang songket yang persoalannya
terpeta dalam dua wilayah, yaitu: (1) wilayah penenun
songket di desa kabupaten kota; (2) wilayah penenun di
kota Palembang. Untuk wilayah responden yang berada di
desa penenun songket, ditemukan kemitraan yang tidak
menguntungkan dan memberdayakan. Ditemukan
distributor yang dikenal dengan “pengumpul”.
Pengumpul adalah orang yang memiliki modal yang
melakukan kemitraan di wilayah masyarakat penenun
songket. Model kemitraan yang terjadi terbagi dalam tiga
bentuk. Pertama, orang (pengumpul) datang ke perajin
songket dengan memberikan dana untuk dibuatkan kain
songket sejumlah dana yang diberikan, terjadi transaksi
dengan melakukan kalkulasi bersama yang saling
memberikan keuntungan ditambah dengan kesepakatan
waktu penyelesaian. Kedua, perajin songket datang ke
“pengumpul” untuk meminjam sejumlah uang, dan
biasanya dibayar dengan hasil tenun songket yang
ditentukan oleh “pengumpul” dengan waktu yang
ditentukan. Apabila kesepakatan waktu tidak ditepati, maka
pengumpul memberikan tenggang waktu hingga selesai.
Untuk kasus ini, biasanya dengan memberikan sanksi
267
sosial, dengan tidak diberikan lagi pinjaman oleh
„pengumpul‟ tersebut atau dipersulit dengan berbagai
syarat. Karena „pengumpul‟ adalah pemilik modal yang
kuat di desa tersebut, maka perajin yang wan-prestasi akan
sulit bermitra („berasan‟) kembali di lingkungan tersebut.
Ketiga, perajin songket karena kebutuhan uang
mendesak, datang kepada pengumpul untuk menjual hasil
tenunannya. Pengumpul membeli dengan harga sangat di
bawah standar, bergantung dengan ketentuan dan taksiran
pengumpul. Jika di pasaran hasil tenunan songket si perajin
ditaksir Rp 1.000.000,- maka pengumpul bisa membeli
dengan harga Rp 600.000,-. Biasanya perajin karena
terdesak ekonomi keluarga dan memerlukan uang cepat
tidak bisa menolak tawaran harga pengumpul.3
Kasus yang juga terjadi dengan kemitraan dalam
distribusi yang juga ditemukan adalah sistem titip-setor.
Sistem ini biasanya dilakukan perajin tenun songket yang
tidak memiliki jaringan distribusi dan tidak masuk dalam
kelompok asosiasi. Para perajin songket tersebut kemudian
mendatangi pedagang songket kemudian menitipkan
tenunan untuk dijualkan. Perjanjian apabila barang tersebut
laku akan disetor. Hasil observasi diketahui bahwa sistem
titip setor tidak bernilai efisisensi. Indikator yang muncul
dengan tidak adanya perhatian para pedagang dengan
barang titipan. Sebagai dagangan sekunder. Ketika
jualannya tidak ada stok maka barang titipan ditawarkan.
Akibatnya, barang tenun songket pengrajin lama bisa terjual
sehinga sirkulasi distribusi terhambat.
Pola tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan
apabila salah seorang komplain terhadap kemitraan
tersebut. Karena tidak ada perjanjian kedua belah pihak
yang saling menguntungkan. Dinamika ini memperlihatkan
3Hasil wawancara tanggal 6-11 Oktober 2010.
268
efisiensi distribusi yang tidak berkeadilan dimana pada
akhirnya perajin songket tersebut hanya pasrah dengan hal
tersebut. Akibat dari hal tersebut sirkulasi produksi perajin
songket tersendat, sementara ekonomi keluarga mendesak.
Maka, salah satu solusi yang terjadi adalah menjual kepada
pengumpul dengan konsekuensi yang harus ditanggung
perajin songket. Pola kemitraan yang lain dengan
mengikutsertakan unit usaha tenun songket dalam acara
berbagai pameran-pameran tingkat regional nasional
maupun Internasional. Akifitas ini menjadi salah satu
program pemerintah dalam upaya meningkatkan sekaligus
memperkenalkan perkembangan kreatifitas tenun songket.
Hasil pendalaman data antara tahun 2008 hingga
tahun 2010 diketahui berbagai aktifitas pameran tingkat
regional dan nasional yang mengikutkan perajin songket,
diantaranya: (1) Bazar Rakyat dan Pojok Rakyat; (2) Road
Show Franchise and Business Concept Expo 2009; (3)
“Regional Expo, Pameran "Campus Expo” bekerjasama
dengan perguruan tinggi di Sumatera Selatan (IAIN Raden
Fatah Palembang, Universitas Sriwijaya Palembang,
Univeristas Bina Darma Palembang); (4) pameran kerajinan
rakyat yang diselenggarakan oleh Dekranasda Provinsi
Sumatera Selatan; (5) program Visit Musi, (6) Pameran
Kridaya di Convention Hall, Jakarta; (7) Resource of
Indonesia Craft (CRAFINA) 2010.4 Beberapa data jadwal
4Pameran merupakan salah satu kegiatan yang mengakomodasi
promosi produk sekaligus sebagai sarana pembelajaran untuk
meningkatkan daya saing terhadap produk-produk negara lain. Tujuan
umum program pengembangan/perluasan pasar ekspor produk usaha kecil
melalui berbagai pameran luar negeri antara lain untuk meningkatkan
akses dan pangsa pasar produk di pasar internasional termasuk kerajinan
songket. Program pameran bisa juga digunakan untuk sarana mem-
perkenalkan, dan tes pasar produk di luar negeri. Kemudian, sejak tahun
2008 Pemerintah Provinsi sudah mulai membangun gedung pusat
269
pameran yang telah dilaksanakan untuk usaha kecil dan
menengah yang diikutsertakan unit usaha songket
Palembang berdasarkan data hingga tahun 2010,
diantaranya: (1) Dubai Global Village di Dubailand, Dubai,
Uni Emirat Arab; (2) International Consumer Goods and
Technologies Fair di Plovdiv, Bulgaria; (3) Texmed Tunisia
di Parc des exposotion du Kram, Tunisia; (4) Hongkong
Fashion Week for Spring/Summer 2010 di Hongkong
Convetion and Exhibition Centre; (5) Discover Indonesia
Trade and Investment Fair di Mid Valley, Kuala Lumpur,
Malaysia; (6) Kuala Lumpur Lebaran Fair di PWTC, Kuala
Lumpur, Malaysia; (7) Vietnam International Trade Fair di
Ho Chi Minh, Vietnam.5
Aktifitas pameran yang diikutsertakan para pengrajin
dan perajin songket dalam unit usaha yang terpilih sebagai
ruang penghubung, yang dapat digunakan sebagai wadah
interaksi para pengrajin, para pemerhati dan pengurus dan
asosiasi yang bergerak di bidang kerajinan serta semua
orang untuk membangun produk kerajinan dan melebarkan
jaringan yang lebih luas. Dari penilaian proses mengikuti
pameran ditemukan adanya ketidakadilan. Ini terbukti
aktivitas dan promosi Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) di
areal dua hekter. Pada saatnya gedung yang diprakirakan memakan biaya
Rp 21,1 milyar tersebut dapat menjadi ajang promosi usaha kecil dalam
pameran skala nasional ataupun internasional. Pembangunan gedung ini
sejalan pula dengan program Kementerian Koperasi dan UKM
mengalokasikan anggaran untuk membangun pusat promosi dan
pemasaran produk usaha kecil di empat provinsi. Di samping Sriwijaya
Promotion Centre di Palembang, (Sumatera Selatan) ada juga Pusat
Promosi Sentra Bisnis KUKM (Jawa Barat), Borneo Promotion Center
(Kalimantan Barat), dan Paradise Promotion Center (Sulawesi Utara).
Lihat “Gedung Promosi Butuh Rp 21,1 Milyar”, Di akses dari
http://www.sumeks.co.id/index.ph, 10 Januari 2010. 5Ikhwan Asrin, “Pameran Perluas Pasar Ekspor Produk KUKM”,
Jurnal KUKM, (Mei 2009).
270
dengan para peserta yang mengikuti pameran adalah
kelompok-kelompok pengrajin yang sudah dikenal.
Sementara para pengrajin dan perajin yang jauh dari akses
aktifitas pameran tidak dapat menyentuh wilayah tersebut.
Kemitraan yang terjadi adalah kemitraan satu arah.
Gambaran hal tersebut adalah sebagai berikut:
Pengrajin (X) mendapat tawaran untuk ikut dalam pameran
(Y) karena (X) tidak memiliki stok songket, atau memang
tidak memproduksi tenun songket, maka X mengambil
barang kepada pengrajin, pedagang atau penenun songket
(M) dengan perjanjian sederhana bahwa barang tersebut
akan dijual dalam pameran (Y). Harga songket dan
aksesories berdasar songket berdasarkan negoisasi antara X
dan M yang memungkinkan ditawar serendah mungkin dan
kemudian dijual X dalam pameran Y dengan harga berlipat.
Sistem negoisasinya dibenarkan, namun dari sisi M
hanya mendapat keuntungan yang secukupnya untuk
kepentingan kelanjutan usaha dan keluarga. Sementara X
mendapatkan dua keuntungan, yaitu: (1) laba besar dengan
hanya mengandalkan kedekatan dengan pemerintah atau
BUMN/BUMND yang mengutus atau yang
menyelenggarakan; (2) tidak mengeluarkan dana
penyewaan stand serta dana transportasi dan akomodasi
lainnya; (3) menambah jaringan untuk kepentingan
pengembangan usahanya dan kepentingan dirinya sendiri.
Baik pengrajin, perajin atau pedagang songket yang
memiliki jaringan terbatas menyadari hal tersebut, namun
mereka tidak bisa berbuat banyak. Alih-alih yang penting
produksi terus berjalan dan mendapatkan keuntungan untuk
menghidupi keluarga.6
6Hasil wawancara dengan responden tanggal 19 Oktober 2010.
Dari kegiatan pameran diketahui pula bahwa kain songket dapat
dikatakan sebagai salah satu jenis pakaian yang mewah. Untuk satu set
271
Kemitraan yang berkembang juga dengan sistem
pesanan. Aktifitas produksi berdasarkan jumlah pesanan,
dan kontinyunitas pesanan, serta ketepatan pembayaran.
Dalam sistem ini ada dua pola. Pertama, pemesan
memberikan modal benang dan bentuk motif yang
diinginkan pemesan, perajin mengerjakan sesuai pesanan;
Kedua, pemesan memberi down payment (persekot) dan
perajin mengerjakan. Apabila kekurangan modal, perajin
biasanya meminjam kepada tengkulak dan akan dilunasi
pada saat pembayaran lunas dari pemesan. Problem yang
kain songket dengan kualitas bagus, yang terdiri dari tumpal (kepala kain)
dan selendangnya, dijual dari Rp. 2.000.000,- sampai Rp 50.000.000,-.
Untuk kelas songket yang paling murah, yaitu kain super dengan benang
mamilon, dan ukuran selendangnya kecil, harga jualnya Rp 250.000 per
set. Jika selendangnya berukuran tanggung, harganya menjadi Rp
350.000 per set. Sedangkan, jika selendangnya dodot maka harganya Rp
500.000 per set. Dengan melihat betapa sulitnya membuat songket tentu
harga yang ditawarkan tersebut dapat dikatakan sesuai. Proses yang
telaten dengan tingkat kesabaran tinggi, serta bahan baku benang yang
harus diimpor dari China, India, atau Thailand. Sedangkan untuk
pemasaran yang lebih luas, karena songket memiliki unsur estetika dan
nilai jual yang tinggi tentu pangsa pasarnya pun terbuka lebar. Kota-kota
besar seperti Jakarta, Bandung, Bali, Surabaya dan di beberapa negara
merupakan daerah pemasaran yang menjanjikan. Para desainer terkenal
Indonesia pun banyak yang menaruh perhatian pada kain songket ini. Ini
menggambarkan bahwa memang songket telah menjadi komoditi dagang
yang sangat bernilai. Bahkan, sebelum Indonesia merdeka songket
merupakan salah satu barang dagangan yang diandalkan dalam pasar
dagang internasional. Lihat Dhorifi Zumar, Tenun Tradisional Indonesia
(Jakarta: Dewan Kerajinan Nasional Bekerjasama dengan Direktorat
Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Departemen Perindustrian, 2009;
Lihat juga Tim Badan Pengembangan Ekspor Nasional, Indonesia Export
Product and Producer for International Market (Jakarta: Fery Agung
Corindotama, 2007), 63. Lihat juga sebagai perbandingan pengembangan
eksport awal pada berbagai usaha terutama hasil songket dalam Denys
Lombard, Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia, 1996). 6Wawancara dengan perajin tanggal 22-26 September 2010.
272
sering terjadi adalah ketika pesanan tidak diambil dan
dibayar tepat waktu. Maka perajin mendapat persoalan
dengan pemodal (tengkulak) hingga sampai batas kerugian
dan kebangkrutan perajin.
Hasil wawancara yang berhubungan dengan hal
tersebut terjadi dengan proses sebagai berikut: A (pemesan)
datang ke pengrajin (B) dan minta dibuatkan 20 stell kain
songket dengan berbagai macam bentuk dengan tenggang
waktu 2 minggu, kemudian A (pemesan) memberikan dana
awal Rp 5 juta. Jika harga produk 20 stel kain songket
sebesar Rp 15.000.000,- maka kemudian pengrajin yang
mendapat orderan tersebut mencari dana talangan cepat
dengan meminjam, dengan harapan segera membeli bahan
baku, dan memberikan order kepada perajin di sentra unit
usahanya. Setelah selesai, dan dengan kepercayaan produk
20 stel kain songket selesai, dan diberikan kepada A
(pemesan) dengan janji seminggu setelah barang selesai,
semua kekurangan pembayaran akan dilunasi. Realitas
perjanjian itu terjadi, hingga batas waktu pengrajin belum
mendapatkan sisa bayaran, sementara tagihan pinjaman dan
pembayaran untuk upah perajin menunggu. Pengrajin tidak
bisa menuntut, sebab tidak ada perjanjian tertulis. Akibat
hal tersebut, pengrajin merugi dengan hutang di sana sini
serta mendapat hukuman sosial (dianggap ingkar janji),
sementara pemesan (A) pergi dengan keuntungan.7
Kemitraan yang lain yang juga dibangun adalah
dengan cara mencari kenalan. Cara ini dilakukan perajin
songket dengan dua cara. Pertama, mempromosikan hasil
kerajinannya lewat mulut ke mulut; Kedua. melakukan
hubungan dengan para pengrajin songket. Dua cara ini
merupakan kemitraan alternatif yang biasa dilakukan oleh
setiap perajin songket, maupun pengrajin songket.
7Seperti diceritakan pengrajin tanggal 23 September 2010.
273
Berdasarkan hasil wawancara, alternatif kemitraan dengan
pola seperti ini memberikan keuntungan yang tidak optimal.
Sebab, perajin songket hanya menunggu hingga datang
pembeli. Apabila tidak terjual, maka alternatif yang
termudah bagi mereka adalah menyimpan hasil tenunannya,
dan mengerjakan aktifitas lain yang menguntungkan. Pada
akhirnya, ketika datang persoalan ekonomi keluarga, hasil
tenun di jual kepada pengumpul dengan harga di bawah
standar.8
Aktifitas lain yang juga dilakukan pengrajin-
pengrajin yang memiliki unit usaha songket untuk
membangun jaringan kebersamaan yang menguntungkan
dengan memanfaatkan jejaring internet.9 Namun, pola ini
belum banyak dilakukan, kecuali beberapa pengrajin
songket. Hal ini disebabkan karena keterbatasan
pengetahuan pengrajin atau perajin songket. Hasil
wawancara diketahui, penggunaan internet hanya sekedar
mencari informasi yang berhubungan dengan akses dan
aktifitas pameran kerajinan, bukan untuk melakukan
transaksi perdagangan, itupun jika pengrajin memiliki anak
yang sekolah atau kuliah, dan bisa membuka internet.
Beberapa contoh pengrajin songket yang sudah
menggunakan teknologi internet sebagai media distribusi
dapat dilihat dalam iklan house.com, toko online.com.
ebisnis.com, songket blog, blog pengrajin Zainal Songket
atau Cek Ipah. Namun demikian, para pengrajin mengakui
bahwa media internet hanya untuk memajang produk, sebab
mereka tidak menguasai managemen sistem informasi. Jika
8Hasil wawancara dengan perajin responden 22-28 September
2010. 9Persoalan kesulitan teknologi internet bagi usaha mikro dapat
dilihat dalam Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, Cakap Kecap,
1972-2003 (Yogyakarta: Galang Press, 2004).
274
ada yang memesan dilakukan sistem konvensional. Pembeli
langsung bisa diarahkan ke wilayah unit usaha songket
yang menggunakan internet, kemudian terjadi transaksi.
Berdasarkan hasil wawancara, tingkat kemitraan cara
ini sangat rendah, sebab penggunaan orang ketiga yang
tinggal di wilayah Sumatera Selatan menjadi sangat
penting. Responden mencontohkan, Jika ada pemesan dari
Kalimantan dan menginginkan produk songket yang
ditawarkan dalam situs internet, maka pemesan biasanya
menelpon untuk transaksi. Jika belum terjadi kesepakatan
dalam model dan cara membayar, maka solusi yang
ditawarkan pengrajin adalah “siapa kira-kira keluarga yang
ada di Palembang yang bisa menjadi penghubung?”. Jika
tidak ada, maka transaksi bisa tidak terjadi, atau terjadi
dengan kepercayaan dan sistem “ada uang ada barang”.10
Solusi yang telah dilakukan dalam membangun
wawasan dan pengetahuan dalam melakukan transaksi
perdagangan lewat internet untuk pengrajin dan perajin
songket dengan mengikutkan peran pemerintah Daerah
Palembang dan Perguruan Tinggi. Hasil observasi dan
wawancara diketahui keterbawasertaan unit songket dalam
aktifitas ini telah dilakukan lewat aplikasi E-Commerce,
yaitu suatu situs web yang berisi barang dagangan yang
ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan tertentu.11 Aktifitas
10Wawancara tanggal 22-24 September 2010. Pernyataan tersebut
dapat dilihat juga dalam penelitian Hasni Yusrianti, Noviar Marzuki
et.al., ”Aplkasi E-Commerce dalam Pengembangan Usaha Sentra Industri
Songket 30 dan 32 Ilir Palembang”, Kegiatan Pengabdian Kepada
Masyarakat Program Penerapan IPTEKS dan VUCER (Palembang:
Universitas Sriwijaya, 2009). 11
Lihat H. Snijders dan S Weatherill, E-Commerce Law: National
and Transnational Topics and Perspectives (The Hague: Aspen
Publishers Inc, 2003); Hannes Werthner dan Martin Bichler, Lectures in
e-Commerce (New York: Springer, cop. 2001); Theerasak Thanasankit,
275
tersebut baru sebatas pada pengrajin dan perajin songket
yang berada di kota Palembang. Ini kemudian terbukti
dengan situs www.songket-palembang.com. Walaupun
belum terlihat hasilnya, namun upaya program
pemberdayaan usaha songket dalam program
keterbawasertaan dalam pembangunan telah dilakukan oleh
pemerintah.
Seiring dengan perkembangan desain dan mode, para
perancang mode internasional seperti Jepang mengakui
bahwa tenun Indonesia memberikan sebuah inspirasi
tersendiri dalam menghasilkan sebuah trend pakaian bertaraf
internasional. Banyak sekali trend baju kontemporer yang
mulai berkiblat, dan memanfaatkan seni tenun. Hingga saat
ini, minat masyarakat mancanegara terhadap tenun sangatlah
besar. Itu bisa dilihat dari banyaknya permintaan dari
mereka untuk mengimpor hasil tenun, baik songket,
maupun batik Indonesia dengan harga yang bersaing. Satu
contoh berdasarkan data tahun 2009-2010 pengiriman kain
songket rata-rata 200 stel perbulan ke Malaysia dan Brunei
Darussalam.12 Kelemahan dalam penjualan produk keluar
negeri melalui sistem paket bila ada pesanan, dan tidak
memiliki agen atau sentra penjualan di mancanegara.
Kemitraan dengan koperasi yang berhubungan
dengan kemitraan produksi dan distribusi belum terlihat.
Para pengrajin dan perajin songket tidak terlalu mengenal
koperasi yang berhubungan dengan usaha songket.13
E-commerce and Cultural Values (Hershey, Pa.: Idea Group Publishing,
2002). 12
Sumber: Majalah Berita Potret Indonesia, Tanggal 6 November
2010. 13
Nampaknya sejalan dengan Peraturan Presiden No. 7 Tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004-
2009 yang di bab 20 bagian IV yang menyebutkan bahwa tertinggalnya
kinerja koperasi dan kurang baiknya citra koperasi. Kurangnya
276
Mereka hanya mengenal Dinas Perindustrian Perdagangan
dan Koperasi Kota Palembang yang sedang
memperjuangkan hak paten terhadap songket dan program
bantuan pembiayaan. Beberapa pengrajin telah berupaya
untuk membentuk semacam asosiasi pengrajin songket.
Asosiasi perajin songket akan memperkuat posisi tawar
perajin dari pedagang bahan baku yang dimonopoli, dan
perbaikan kemitraan dalam distribusi. Ide membentuk
asosiasi pengrajin dan perajin songket belum mendapat
respon positif. Para responden menilai kesulitan terletak
pada “kepercayaan”. Analisis dilapangan ditemukan bahwa:
Pertama, ketidakmengertian terhadap koperasi karena
belum tersosilisasinya konsep koperasi pada masyarakat
perajin songket. Asumsi yang muncul dari ketidaksiapan
pemahaman tentang koperasi sebagai badan usaha yang memiliki struktur
kelembagaan (struktur organisasi, struktur kekuasaan, dan struktur
insentif) yang unik/khas dibandingkan badan usaha lainnya, serta kurang
memasyarakatnya informasi tentang praktek-praktek berkoperasi yang
benar (best practices) telah menimbulkan berbagai permasalahan
mendasar yang menjadi kendala bagi kemajuan perkoperasian di
Indonesia. Pertama, banyak koperasi yang terbentuk tanpa didasari oleh
adanya kebutuhan/kepentingan ekonomi bersama dan prinsip
kesukarelaan dari para anggotanya, sehingga kehilangan jati dirinya
sebagai koperasi sejati yang otonom dan swadaya/mandiri. Kedua,
banyak koperasi yang tidak dikelola secara profesional dengan
menggunakan teknologi dan kaidah ekonomi modern sebagaimana
layaknya sebuah badan usaha. Ketiga, masih terdapat kebijakan dan
regulasi yang kurang mendukung kemajuan koperasi. Keempat, koperasi
masih sering dijadikan alat oleh segelintir orang/kelompok, baik di luar
maupun di dalam gerakan koperasi itu sendiri, untuk mewujudkan
kepentingan pribadi atau golongannya yang tidak sejalan atau bahkan
bertentangan dengan kepentingan anggota koperasi yang bersangkutan dan
nilai-nilai luhur serta prinsip-prinsip koperasi. Sebagai akibatnya: (i) kinerja
dan kontribusi koperasi dalam perekonomian relatif tertinggal dibandingkan
badan usaha lainnya, dan (ii) citra koperasi di mata masyarakat kurang
baik. Lebih lanjut, kondisi tersebut mengakibatkan terkikisnya
kepercayaan, kepedulian dan dukungan masyarakat kepada koperasi.
277
masyarakat perajin songket terhadap ide pembentukan
koperasi untuk wilayah studi ini, dan lebih memilih untuk
bernegosiasi dengan “pengumpul”. Sosialisasi terhadap
eksistensi koperasi, dan bagaimana membangun, dan
membentuknya tidak termunculkan (terutama dalam proses
penelitian rentan waktu antara tahun 2007-2010), terutama
di sentra-sentra usaha songket di desa.
Kedua, jaringan-jaringan usaha pada masing-masing
pengrajin dan perajin saling menutupi. Upaya membentuk
kebersamaan dalam pengembangan terutama dalam
distribusi sulit dilaksanakan. Pengrajin lebih memilih
melakukan proses produksi dan distribusi dalam lingkup
masing-masing. Ketiga, pengrajin dan perajin songket
mengharap, bergantung dan mengandalkan bantuan dari
berbagai instansi dan BUM, setelah mendapat bantuan dana
perkembangan usahapun tetap stagnan. Pola pikir tersebut
membentuk pengrajin dan perajin melakukan kerja
maksimal untuk mengembalikan dana bantuan tersebut,
sehingga ide-ide yang muncul semacam membangun
koperasi unit songket tidak terapresiasi.
Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam
kemitraan melalui pembiayaan pengrajin dan perajin sudah
mendapatkan bantuan dalam bentuk PKBL (Program Kerja
Bina Lingkungan) dan Program Kredit Usaha Kerja (KUK)
dari Sucofindo, Pusri, Pertamina. Hasil pendalaman pada
aspek pembiayaan diketahui mereka yang belum
mendapatkan bantuan, disebabkan adanya ketakutan untuk
berspekulasi, dan takut tidak dapat membayar. Menurut
responden, perasaan takut untuk melakukan kemitraan
dengan pemerintah lewat BUMN/BUMD yang
menyediakan dana karena persoalan pembayaran dengan
sistem bunga. Responden berpikir bahwa kalau bicara
“bunga”, maka akan mempersulit dalam pembayaran.
Alasan yang mereka sampaikan bukan dalam perspektif
278
agama, tapi dari hasil informasi yang diterima dari media
bahwa Indonesia terlibat hutang yang tidak pernah terbayar
karena bunga, mereka berasumsi, negara saja sulit
membayar bunga pinjaman apalagi kami usaha mikro.14
Hasil pendalaman wawancara kepada responden juga
diketahui bahwa mereka tidak memiliki akses untuk
mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah melalui
BUMN/BUMD, karena tidak adanya saling keterbukaan
informasi antar pengrajin-perajin. Responden berpandangan
adanya ketidakadilan dalam mendapatkan akses. Alih-alih
komunitas tersebut, kemudian hanya bisa menunggu dan
berharap. Kesimpulan penulis terhadap dua pernyataan
tersebut merupakan bahasa-bahasa kecewa karena mereka
tidak bisa menembus kemitraan. Kesimpulan ini diambil
dengan menilai perbandingan para responden lain yang
menerima bantuan walau dengan bunga. Alasan yang
disampaikan bahwa: Pertama, lebih baik menerima
kesepakatan bantuan dengan kejelasan bunga, daripada
mereka selalu dihantui dengan pinjaman para tengkulak
yang tidak pernah habis-habis bayaran karena bunga yang
berlipat-lipat. Artinya, penulis menilai bahwa para
pengrajin-perajin yang biasa terkukung dengan
tengkulak/ijon kemudian merasa lebih nyaman dengan
bantuan pinjaman dari BUMN/BUMD.
Kedua, dengan lolosnya kelayakan mendapat
bantuan dari pemerintah, mereka merasa manajemen
pembukuan yang dibuat sederhana yang selama ini
digunakan dalam versi mereka diterima oleh tim dari
perusahaan memberi bantuan. Bagi mereka ini, merupakan
langkah awal untuk memperbaiki manajemen yang sudah
14Wawancara tanggal 16-18 Oktober 2010, kalimat tersebut dari
peneliti yang pada umumnya arah mereka menjawab dalam asumsi-
asumsi seperti yang ditulis diatas. (pen)
279
mereka kerjakan selama bertahun-tahun tersebut. Ketiga,
pengrajin-perajin yang mendapatkan bantuan pembiayaan
menjawab bahwa bunga yang diberlakukan pada BUMN,
hanya bunga rendah sebesar 6% setahun (1/2 % perbulan).
Jika pinjaman Rp 40.000.000,- dengan bunga 6% setahun.
Maka, pengrajin atau perajin mengembalikan dana sebesar
Rp 46.600.000,- selama kurun waktu 3 tahun. Mereka tidak
pernah dikenalkan konsep bagi hasil dan pada umumnya
menjawab yang penting efisien dan mudah mendapatkan
tanpa banyak prosedur yang berlebihan.15 Sebagian lain
mengetahui konsep bagi hasil dapat dari informasi
mahasiswa yang kebetulan tinggal di wilayah usaha atau
anak dan keluarga pengrajin/perajin yang kuliah di IAIN
Raden Palembang.16
Dalam kajian masih terjadi silang pendapat
berkenaan dengan bergulirnya sistem bunga dalam dunia
perekonomian di Indonesia. Secara umum ada dua
kelompok yang menilai bunga dalam pembiayaan. Pertama,
kelompok yang membolehkan bunga. Mereka yang
membolehkan bunga bank berpijak pada: (a) teori
abstinence, yaitu bahwa kreditor menahan diri, atau
menangguhkan keinginan mamanfaatkan uangnya sendiri
semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain. Ia
meminjamkan modal yang semestinya dapat mendaangkan
keuntungan bagi dirinya sendiri. Jika peminjam
menggunakan uang untuk memenuhi keinginan pribadi, ia
dianggap wajib membayar sewa atas uang yang
15Wawancara tanggal 15-18 Oktober 2010.
16Wawancara tanggal 22-25 September 2010. Hasil penelusuran
kemitraan dalam pembiayaan melalui situs-situs internet yang
berhubungan dengan konsep bagi hasil juga tidak nampak. Unit usaha
pengrajin yang sudah masuk dan memperkenalkan produk usaha mereka
terbangun selalu berkat pinjaman dari bank yang memberlakukan sistem
bunga.
280
dipinjamkannya. Sama halnya, ia membayar sewa terhadap
sebuah rumah, perabotan, maupun kendaraan; (b) bunga
sebagai imbalan sewa; (c) opportunity cost; (d) teori
kemutlakan produktivitas modal, artinya disini fungsi
modal dalam produksi sangatlah penting. Modal dianggap
mempunyai daya untuk menghasilkan barang lebih banyak,
daripada yang dapat dihasilkan tanpa modal itu. Dengan
demikian, mereka yang memberikan modal layak
mendapatkan imbalan bunga; (e) teori nilai uang pada masa
mendatang lebih rendah dibanding masa sekarang; (f)
inflasi atau dalam istilah lain decreasing purchasing power
of money.
Kedua, kelompok yang melarang bunga. Mereka
yang berkeyakinan untuk mengharamkan riba disebabkan:
(a) bunga menumbuhkan sikap egois, bakhil dan
berwawasan sempit, cenderung bersikap tidak mengenal
belas kasih; (b) bunga adalah bagian dari hidup ribawi; (c)
secara sosial, institusi bunga merusak semangat berkhidmat
kepada masyarakat, menghancukan solidaritas dan
kepentingan yang akan membawa kepada perpecahan; (d)
bunga membawa kepada kezaliman ekonomi, dan
merendahkan standar kehidupan masyarakat; (e) bunga
menimbulkan kecemasan bagi individu yang malah
menghancurkan efesiensi kerja mereka. Sebab, setiap hari
dia selalu berpikir pada suku bunga pinjamannya.17 dalam
berbagai istilah (bunga, rente, bantuan usaha bunga rendah,
kredit bunga rendah) tetap sebagai upaya merampas harta
orang lain, dimana peminjam berada dalam tekanan
17Lihat misalnya Anwar Qureshi, Islam and the Theory of Interest
(Lahore: tp, 1970); Vithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics:
Ekonomi Syari‟ah bukan OPSI tapi Solusi (Jakarta: Bumi Aksara, 2009);
Muhammad Amin Suma, Menggali Akar dan Mengurai Serat Ekonomi
dan Keuangan Islam.
281
eksploitasi, dan menimbulkan monopoli sumber dana. Para
pengrajin dan perajin yang ingin berpacu dalam tingkat
produktifitas usaha mereka sering terhambat, karena
penguasaan modal oleh para kapitalis. Sama halnya, bunga
yang dibebankan melalui pinjaman pemerintah,
sesungguhnya merupakan manipestasi dari pemberatan
hutang kepada masyarakat luas, bukan memberikan
pemerataan pendapatan.18
Dalam persepktif studi ini, tidak menyoroti
perdebatan masalah boleh dan tidak bolehnya bunga. Yang
ingin dilihat dari sudut kemitraan, terutama dalam kendala
mereka yang mendapat bantuan pembiayaan dengan sistem
bunga. Responden yang mendapatkan bantuan dengan
bunga 6% setahun mendapat kendala, terutama dalam
proses pengembalian yang berhubungan dengan kesulitan
pengrajin-perajin. Menurut responden, pada umumnya
tidak ada persoalan dalam pengembalian modal usaha,
walau kadang harus tidak tepat waktu atau menunggak 1
atau 2 bulan, yang sulit adalah dalam membuat laporan
keuangan, karena tidak terbiasa dengan sistem manajemen
yang ribet. Sementara satu sisi pemberi modal tidak terlalu
banyak memberi perhatian pada aspek manajemen
keuangan. Pemberi modal hanya tahunya bantuan dana
dikembalikan tepat waktu. Jika terjadi keterlambatan lebih
banyak diingatkan dengan telepon atau surat. Jika terjadi
pemanggilan selalu difokuskan hanya masalah
keterlambatan pembayaran. Pertanyaan sekitar penyebab
keterlambatan hanya sebagai formalitas perhatian.19
18Murasa Sarkaniputra, Ruqyah Syar‟iyyah: Teori, Model dan
Sistem Ekonomi, General Equilibrum Ghazali-Khaldun-Syatibi melalui
Analisis Leontief-Sraffa (Jakarta: al-Ishlah Press dan STEI, 2009). 19
Wawancara dengan responden pengrajin Tanggal 24-25
September 2010.
282
Akses kemitraan dalam pembiayaan usaha tidak
terakses pada perajin-perajin songket maupun pengrajin
songket menurut responden disebabkan kurangnya
informasi sumber pembiayaan dari lembaga keuangan
non-b a n k , m i s a l n y a d a n a penyisihan laba
BUMN dan modal ventura. Termasuk informasi jenis
sumber pembiayaan, serta persyaratan dan prosedur
pengajuan. Disamping itu, perbankan maupun BUMN
yang memiliki konsep kemitraan dengan usaha mikro
dan kecil kurang menginformasikan standar proposal
pengajuan kredit, sehingga pengusaha kecil tidak
mampu membuat proposal yang sesuai dengan kriteria
pemilik modal. Akibatnya, banyak perajin yang kemudian
pasrah dan menunggu kebijakan pemerintah provinsi.20
Seiring dengan hal tersebut, hasil wawancara dengan
para responden diketahui ada upaya untuk membangun
Kelompok Usaha Bersama (KUB). Realisasi di lapangan
KUB, songket hanya sebagai dasar untuk mendapatkan
pembiayaan yang selanjutnya dibagikan untuk komunitas
KUB. Setelah pembiayaan didapat, perajin lebih banyak
menggunakan bantuan pembiayaan untuk hal-hal konsumtif
yang tidak berhubungan dengan peningkatan usaha tenun.
Alih-alih ketika masa pembayaran datang, para perajin
meningkatkan tenunan dan hasilnya hanya untuk memenuhi
kewajiban pembayaran dari pembiayaan yang didapat.
Pada akhirnya, pembiayaan yang di dapat
berhubungan dengan kegiatan tenunan untuk menutupi
hutang dari pembiayaan yang didapat. Beberapa pengrajin
walaupun sudah masuk dalam kelompok KUB yang dibuat,
masih berusaha mendapatkan bantuan pembiayaan dengan
cara menggunakan berbagai nama usaha, dengan
20Wawancara dengan responden pengrajin, Tanggal 22-23
September 2010.
283
mencantumkan beberapa nama dalam keluarga. Hasil
analisis data, spekulasi untuk mendapatkan modal usaha
dengan cara tersebut ditemukan. Disisi yang lain, perajin
yang berani untuk menerima pembiayaan dengan alasan
ketidaksiapan untuk membayar. Maka, perajin model ini
hanya bekerja menenun, hingga kecapean, dan akhirnya
menyerah.21
Ditemukan pula, kasus yang berkenaan dengan
mendapatkan kemitraan lewat modal usaha yang
didramatisasi unit usaha songket, dan unit usaha lain. Kasus
yang ditemukan terutama pada proses aplikasi studi
kelayakan usaha oleh instansi penyandang modal pada saat
proses bantuan “bisa atau tidak bisa dicairkan. Unit usaha
yang akan dinilai kelayakannya, melakukan berbagai cara
untuk membentuk, dan membangun suasana seakan
produks unit usahanya memang ada dan berkembang.
Solidaritas sesama pengrajin dan perajin muncul di wilayah
ini. Pengrajin meminjam beberapa produk perajin untuk
mengisi ruang usaha sesama studi kelayakan. Setelah
selesai studi kelayakan, aktifitas berjalan seperti biasa, dan
ketika dana dicairkan, unit-unit pengelola bantuan usaha
kecil pada instansi tertentu hanya berpatokan pada evaluasi
lancar dan tidak lancarnya pembayaran dana bantuan.22
Selanjutnya, para pengrajin dan perajin songket belum
mempercayai konsep asosiasi. Mereka masih berpandangan
asosiasi hanyalah upaya untuk memperkaya sekelompok
pengrajin semata.
Berdasarkan dinamika kemitraan ada beberapa hal
yang muncul. Pertama, efisiensi berkeadilan dalam upaya
membangun kebersamaan dan asas kekeluargaan melalui
21Olah data wawancara dengan responden tanggal 22-28
September 2010. 22
Wawancara tanggal 22-28 September 2011.
284
jalur koperasi masih memerlukan intensitas perbaikan,
terutama pada respon awal menyadarkan pengrajin songket
dan perajin songket bahwa koperasi bukan hanya untuk
meningkatkan keuntungan bersama, lebih dari itu menjadi
salah satu upaya meningkatkan integrasi (kerukunan sosial).
Kedua, komitmen bersama ditengah upaya memarginalkan
gerakan koperasi, seperti ditegaskan Hatta dengan
kesadaran pribadi (individualitet) dan kesetiakawanan
(kolektivita).23 Jika tidak pengrajin dan perajin songket
yang kecil-kecil, yang hanya mengandalkan kemampuan
menenun tanpa modal, akan mudah kena jerat si lintah
darat (rentenir), pada akhirnya perajin songket hanya
menjadi tukang tenun, sedangkan hasilnya dinikmati orang
lain dengan keuntungan yang melimpah.
Studi ini tidak sampai pada pengembangan koperasi
songket, namun upaya pengenalan konsep koperasi terus
menerus yang tidak bisa diabaikan. Visi, misi dan tujuan
koperasi sebagaimana digagas Hatta dan dikembangkan
oleh ekonom pro-ekonomi Pancasila dan ekonomi
kerakyatan perlu disinerjikan dengan perkembangan pola
kerjasama yang dikembangkan pemerintah Indonesia saat
ini. Potret program koperasi meskipun mencatat
keberhasilan bagi pelaksanaan pemeliharaan stabilitas
ekonomi, namun masih menyimpan antipati masyarakat
karena berbagai kegagalan yang terjadi. Sementara, praktis
sejak akhir tahun 2000 semua bentuk fasilitas perkreditan
program melalui koperasi dihentikan, dan mengikuti prinsip
perbankan komersial biasa. Agar dapat bersikap proaktif,
koperasi tentu dituntut untuk memiliki rumusan strategi
yang jelas, artinya selain harus memiliki tujuan dan sasaran
usaha yang berorientasi ke depan, koperasi juga dituntut
23Lihat Sri-Edi Swasono, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan
(Jakarta: UNJ Press, 2005).
285
untuk merumuskan strategi yang tepat dalam mencapai
tujuan dan sasaran tersebut.
Upaya mendukung peningkatan profesionalitas
usahanya, maka setiap koperasi songket harus secara tegas
menentukan misi usahanya. Kecenderungan koperasi
songket untuk melakukan diversifikasi usaha semata-mata
untuk melayani kebutuhan anggota sebagaimana
berlangsung selama ini, tentu perlu dikaji ulang secara
sungguh-sungguh. Selain itu, agar masing-masing unit
usaha koperasi benar-benar memiliki keunggulan kompetitif
terhadap pelaku-pelaku ekonomi yang lain, maka setiap unit
usaha koperasi tidak bisa tidak harus memilih apakah akan
bersaing dengan menonjolkan aspek keunikan produk,
harga murah, atau fokus pada sasaran pasar tertentu.24
Berdasarkan gambaran tersebut, dapat diketahui
bahwa beberapa masalah dalam kemitraan distribusi antara
pengrajin, perajin, pedagang dan pemerintah adalah,
Pertama, kerjasama yang dibangun masih berorientasi
untuk keuntungan sepihak. Kedua, pengrajin dan perajin
sangat bergantung bantuan modal dari program pemerintah.
Sementara disisi lain perbaikan manajemen semata-mata
beroerintasi pada bantuan pembiayaan tersebut. Ketiga,
lebih mengakui eksistensi diri dibandingkan eksistensi
pengrajin lain, yang menyebabkan sulitnya duduk bersama
mengkomunikasikan persoalan produksi maupun distribusi.
Keempat, fenomena ”ganti pemerintah, ganti kebijakan”
24Lihat Machwal Huda, Etos Kerja, Kebijaksanaan Pembinaan
dan Perkembangan Industri Kecil: Studi Kasus INTAKO (Jogakarta:
Universitas Gadjah Mada, 2006); M. Irsan Azhary Saleh, Industri Kecil:
Pemihakan Setengah (Bandung: Akatiga, 2000). Data Koperasi kredit
(kredit, simpan pinjam dan kegiatan pembiayaan oleh koperasi)
menguasai 55 persen dari aset koperasi, melayani hampir 11 juta
nasabah serta menempati tempat ke dua dalam pasar kredit mikro setelah
BRI Unit Desa.
286
yang mendatangkan ketidakpastian kebersinambungan
sebuah inisiatif yang sudah dilaksanakan, atau yang sedang
direncanakan, atau yang sedang dalam proses pelaksanaan
kemitraan. Kelima, faktor resiko yang sulit dikelola, karena
banyaknya hal-hal eksternal yang mendatangkan
ketidakpastian terhadap nasib kemitraan di kemudian
hari.
Menurut Swasono, bahwa asas kekeluargaan dapat
pula dijelmakan di dalam bangun usaha non-koperasi.
Buruh dan karyawan bukan faktor produksi, tetapi adalah
partner berproduksi. Seperti dijelaskan dalam landasan
teori ini ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan” dengan memaknai
perekonomian bukan hanya badan usaha koperasi, tetapi
juga meliputi Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha
Milik Swasta yang ketiganya harus disusun sebagai usaha
bersama yang berdasar asas kekeluargaan. Perkataan
“disusun” berarti tidak dibiarkan tersusun sesuai dengan
kehendak dan selera pasar yang merupakan selera
kelompok orang-orang kaya penentu wujud pola-produksi
dan pola konsumsi nasional. Usaha bersama merupakan
cerminan doktrin kebangsaan Indonesia yang
mengutamakan rasa bersama, bergotong royong saling
menolong, tidak mengutamakan egoisme pribadi (self-
interest), mengemban solidaritas antar sesama,
mengetengahkan mutualisme yang dalam bahasa agama
disebut ke-jemaah-an. Sedangkan “asas kekeluargaan”
adalah budaya antara sesama sebagai saudara,
mengemukakan pentingnya the brotherhood of men atau ke-
ukhuwahan, wujud dari idealisme peaceful-coexistence
antar sesama dan seluruh umat yang bhineka namun
287
tunggal-ika itu.25 Dengan demikian kemitraan harus secara
sadar diatur, tidak dibiarkan tumbuh tersusun sendiri.
Peraturan perundangan dalam hal perizinan harus berperan
secara aktif untuk menyusun perekonomian nasional,
menetapkan dan membentuk sistem dan orde ekonomi yang
dikehendaki itu. Maka, apabila ada suatu perusahaan yang
tidak melaksanakan kebersamaan dan kekeluargaan itu,
hendaknya dianggap tidak berhak menjadi bagian dari
perekonomian nasional, dan ini dapat dianggap
disfungsional terhadap sistem ekonomi Pancasila.
Konsep kemitraan dalam ekonomi Islam adalah
bagian dari muamalat, yang pada dasarnya merealisasikan
kemas}lahatan-kemas}lahatan manusia dalam pencaharian
dan kehidupan, serta melenyapkan kesulitan mereka dengan
menjauhi yang haram. Oleh karenanya, orang-orang yang
terjun di dunia usaha, berkewajiban mengetahui hal-hal
yang dapat mengakibatkan jual beli itu sah atau tidak.26 Hal
ini dimaksudkan, agar mu‟amalah berjalan syah serta segala
sikap dan tindakannya jauh dari kerusakan yang tidak
dibenarkan. Tatanan jual beli dalam syariat sebagai
pemberian keluangan dan keluasaan dari-Nya untuk hamba-
hamba-Nya. Karena semua manusia secara pribadi
mempunyai kebutuhan berupa sandang pangan dan papan.
Dalam hal ini, tidak ada satu halpun yang lebih sempurna
dari pertukaran; dimana seseorang memberikan apa yang
dimiliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang
25Sri-Edi Swasono,”Keabadian Koperasi dan Kooperativisme”,
Media Suara Pembaharuan, Senin, 11 Juli 2011. 26
Jual beli menurut pengertian lughawinya adalah saling
menukar. Kata al-Ba‟i dan al-Syira dipergunakan dalam pengertian yang
sama. Dalam pengertian syari‟at: jual beli ialah pertukaran harta (semua
yang memiliki dan dapat dimanfaatkan) atas dasar saling rela, atau
memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Lihat Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 12 (Bandung: al-Ma‟arif, 1988).
288
berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhan masing-
masing. Dalam istilah para ulama fiqh disebutkan dengan:
perikatan adalah ijab dan qabul (serah terima) menurut bentuk yang disyari‟atkan agama, nampak bekasnya pada yang diakadkan itu.27 Dalam melaksanakan transaksi tidak ada kemestian menggunakan kata-kata khusus, karena ketentuan hukumnya ada pada akad dengan tujuan dan ma‟na, bukan dengan kata-kata dan bentuk kata-kata itu sendiri. Paling utama dalam pelaksanaan itu adalah saling rid}a (antar ra>d}in),28 direalisasikan dalam bentuk mengambil dan memberi atau cara lain yang dapat menunjukkan kerid}aan, dan berdasarkan makna kepemilikan dan mempermilikan. Seperti contoh ucapan pembeli: “aku beli…”, “aku ambil…”, aku mau beli…”, ”aku ingin kan…”; dan jawaban penjual: “ambilah dengan harga…”, “silahkan”, kalau setuju…”; “kalau harga Rp… maka, ambillah”, “barang…ini menjadi milikmu” .
Etika transaksi semakin bermacam-macam cara. Baik melalui telepon, melalui perantara orang ketiga, sistem penjualan di supermarket (“lihat …!, suka…?, ambil dan bayar di kasir sesuai dengan label yang tertera di barang, selesai), dan yang paling canggih adalah sistem jual beli melalui internet(internet advertisiment), yang pada prinsipnya adalah pertukaran harta atas dasar saling rela. Sistem penjualan yang bermacam-macam sekarang ini pada
27Hamzah Ya‟kub, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola
Pembinaan Hidup dalam Berekonomi. Para ulama sebagaian
menyepakati boleh tidak terjadi ijab dan kabul pada barang-barang kecil,
cukup dengan saling memberi sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Di
samping transaksi, untuk bisa mendapatkan barang dapat dengan jalan,
(1) ihrazul muba>hat, yaitu (memiliki benda yang boleh dimiliki atau
menempatkan sesuatu yang boleh dimiliki di tempat yang boleh dimiliki,
(2) al-Tawalludu min al mamlu>k, yaitu memperoleh benda karena
beranak pinak. 28
Q.S. al-Nisa >(4): 29.
289
dasarnya halal bila telah mencukupi rukun29 dan syarat jual beli30, serta mencukupi syarat-syarat shighat jual beli31. Begitu juga cukup syarat barang yang diakadkan.
Islam sendiri telah memerintahkan umatnya untuk
melaksanakan ketatalaksanaan niaga yang baik guna
mewujudkan kelancaran dan keserasian dalam hubungan-
hubungan dagang (Q.S. al-Baqarah [2]: 282). Dalam
masalah kemitraan yang berhubungan dengan hutang-
piutang terkaji dalam beberapa pendapat. (1) jumhur ulama
berpendapat, bahwa perintah penulisan apabila diadakan
perikatan jual beli secara hutang adalah sunnah, (2)
sedangkan At}a‟ al-Sya‟bi dan ibn Jari>r berpendapat bila
terjadi perikatan melalui hutang, penulisannya wajib.
Alasan yang dikemukakan adalah dengan melihat surat al-
Baqarah ayat 282. Secara detilnya hukum penulisan kontrak
dagang atau pengadaan dokumen dalam transaksi adalah
sebagai berikut: Pertama, barang-barang yang bernilai
tinggi yang memerlukan pendukung surat menyurat, maka
hukumnya sunnat. Seperti contoh: jual beli kendaraan baik
roda dua maupun roda tiga, jual beli tanah.
Kedua, perikatan melalui hutang piutang, maka
penulisan dengan bukti surat hukumnya wajib. Dan
disyaratkan adanya saksi sebagai penguat surat. Beberapa
kasus ditemukan, bahwa hutang piutang dengan
menggunakan akte di bawah tangan akan berdampak
29Rukun jual beli: (1) adanya ijab dan kabul dan (2) adanya saling
rela (rid}a). 30
Syarat-syarat jual beli: (1) orang yang berakad (berakal, valid);
dan (2) lengkap syarat barang yang diakadkan: (bersihnya barang, dapat
dimanfaatkan, milik orang yang melakukan akad, mampu
menyerahkannya, mengetahui, barang ada di tangan). 31
Syarat-syarat sighat: (1) satu sama lainnya berhubungan di satu
tempat tanpa ada pemisahan yang merusak, (2) ada kesepakatan ijab
dangan qabul, (3) ungkapan menunjukkan ketetapan membeli dan
melepaskan.
290
negatif dikemudian hari, bila tidak ada saksi sebagai bukti
kedua setelah surat.32 Sebenarnya, bila ingin membuat
sebuat administrasi niaga yang baik kata “maka tulislah”
dalam surat al-Baqarah ayat 282 memberikan inspirasi
bahwa setiap apapun yang berkenaan dengan tatalaksana
perdagangan hendaklah dicatat dengan rapi, jelas dan
lengkap. Sehingga bila terjadi misunderstanding kesalahan
di masa-masa selanjutnya segera dapat diselesaikan, tanpa
harus merugikan pihak manapun. Para ulama pun sepakat
bahwa mencatat penjualan dan pembelian sekalipun secara
tunai disukai, misalnya dalam bentuk kwintansi dan nota
pembelian.33
B. Etika Nilai Kemitraan Etika memiliki tiga komitmen yang saling
berhubungan, yaitu: Pertama, etika adalah norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika
merupakan asas atau nilai moral. Ketiga, etika merupakan
ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika tidak membatasi
diri pada gejala-gejala konkret seperti ilmu-ilmu lainnya
(non empiris) yang secara faktual dilakukan, tetapi ia
bertanya tentang yang harus dilakukan atau tidak boleh
dilakukan, tentang apa yang baik dan buruk. Walaupun
etika bersifat non empiris, tetapi ia tetap dapat disebut
sebagai sebuah ilmu, karena memiliki metode kritis dan
32Heri Junaidi, Efektifitas Akte di Bawah Tangan Usaha
Kerajinan Songket dan Jumputan dalam Perspektif Muamalah Islam
(Palembang: IAIN Raden Fatah Palembang, 1994). 33
Ahmad bin Abdurrazaq al-Duwaisy, Fatwa Jual Beli oleh
Ulama-Ulama Besar Terkemuka (Jakarta: Pustaka Imam Syafei, 2006), 2.
Lihat juga Ahmad Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam
Ekonomi Islami (Jakarta: Salemba Empat, 2002); Chairuddin Hadri,
Klasifikasi al-Qur‟an, jilid 2 (Jakarta: Geama Insani Press, 2005).
291
sistematis dalam mengamati perilaku manusia. Etika tidak
berwenang untuk menetapkan apa yang boleh dilakukan
dan apa yang tidak, tetapi berusaha untuk mengerti
mengapa, atau atas dasar apa seseorang harus hidup
menurut norma-norma tertentu.34 Suma mengartikan
dengan filsafat tentang nilai-nilai kesusilaan tentang baik
dan buruk. Kecuali etika mempelajari tentang nilai-nilai, ia
juga merupakan pengetahuan tentang batin, tiap orang
mempunyai etosnya, yaitu sikap batin yang sesuai dengan
norma-norma etik.35
Dengan demikian, secara hakiki etika selalu memiliki
keterarahan kepada realitas moral, bukan ajaran-ajaran
moral, etika tidak menyediakan ajaran atau pandangan yang
berhubungan dengan syarat atau kondisi dengannya
manusia menjadi orang baik secara moral, namun etika
justru menuntut agar pandangan atau ajaran moral
dipertanggungjawabkan. Manusia beretika, berarti manusia
mengamati realitas moral.36 Aktifitas etika dan moral dalam
34L. Sinuor Yosephus, Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral
terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer (Jakarta: Pustaka Obor, 2010);
Emily Post, Etiquette in Society, in Business, in Politics and at Home
(New York: Cosmo Classics, 2007); Ron Scapp, Brian Seitz, Etiquette:
Reflections on Contemporary Comportment (Albany: State University of
New York Press, 2007). 35
Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat
Ekonomi dan Keuangan Islam (Ciputat: Kholam Pubslishing, 2008). 36
L. Sinuor Yosephus, Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral
terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer. Sama seperti moral Sama
seperti moral, akhlak diartikan dengan perangai; kelakuan, tabiat, watak
dasar, kebiasaan, kelaziman. Konsep akhlak dapat ditemui Q.S. al-
Shu‟ara [22]: 147. Secara terminologi akhlak adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Dapat juga dipahami dengan
sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam
perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan keseluruhan definisi al-akhla>q di atas melahirkan lima
292
aplikasinya dalam ekonomi dengan menilai sebagai berikut:
dalam konsep ekonomi, setiap usaha dikerjakan bukan
untuk merugi dan tidak mau rugi. Dalam moral ada
kejujuran dan keadilan. Pertanyaan kemudian, apakah
dengan kejujuran dan keadilan bebisnis bisa meraup
keuntungan?. Peran etika kemudian membangun pandangan
masyarakat terhadap kejujuran dan penerimaan masyarakat
atas pebisnis yang jujur dan adil. Berdasarkan berbagai
sintesa, maka dapat dipahami bahwa kejujuran dan
keadilan bukan halangan untuk meraup keuntungan.
Secara normatif landasan idiil sistem ekonomi
Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945. Dengan
demikian, maka sistem ekonomi Indonesia adalah sistem
ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan
materialisme); Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak
mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia
(berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-
nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi);
Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat
dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial
(persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang
utama bukan kemakmuran orang-seorang). Dari butir-butir
ciri, yaitu: Pertama, perbuatan al-akhla>q tersebut merupakan sudah
menjadi kepribadian yang tertanam kuat di dalam jiwa seseorang. Kedua,
perbuatan al-akhla>q merupakan perbuatan yang dilakukan dengan
acceptable dan tanpa pemikiran (unthought). Ketiga, perbuatan al-
akhla>q merupakan perbuatan tanpa paksaan Keempat, perbuatan
dilakukan dengan sebenarnya tanpa ada unsur sandiwara. Kelima,
Perbuatan dilakukan untuk mendapat Ridha Allah Swt. Lihat Ibn.
Miskawih, Tahzi>b al-Akhla>q Wa Tahri>r al-A‟ra>q (Mesir: al-
Mat}ba‟ah al-Mishriyah,tt); Imam al-Ghazali. Ihya> Ulu>m al-Di>n
(Beirut: Da>r al-Fikr, tt. jilid III); Ibrahim Anis. al-Mu‟ja>m al-Wasi>th
(Mesir: Da>r al-Ma‟a>rif. 1972).
293
di atas, keadilan menjadi sangat utama di dalam sistem
ekonomi Indonesia. Keadilan merupakan titik-tolak, proses
dan tujuan sekaligus. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal
utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang
berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya, yaitu pasal-
pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34.37
Secara hakiki, etika ekonomi Islam mengajarkan
secara mendalam dan mendasar secara kritis, dan sistematis
terhadap konsep moral. Islam memuat ajaran moral seperti
mengajarkan kejujuran, keadilan, membantu yang lemah,
meningkatkan kerjasama.38 Berdasarkan Al-Qur‟a>n dan
37Lihat Sri-Edi Swasono, “Sistem Ekonomi Indonesia”, dalam
Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel Th. I, No. 2, April 2002. Beberapa
pandangan luas dapat dilihat kembali dalam beberapa buku karyanya.
Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan (Jakarta: UNJ Press, 2005);
Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Prakarsa, 2006);
tentang Demokrasi Ekonomi dan Pasal 33 UUD 1945 (Jakarta:
BAPPENAS, 2008); Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan
Pasar Bebas (Jogjakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM, 2010);
Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial dari Klasikal dan
Neoklasikal sampai ke the end of Laissez-Faire (Jakarta: Perkumpulan
Prakarsa, 2010); Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak
Neoliberalisme (Jakarta: Yayasan Hatta, 2010). 38
Berdasarkan Al-Qur‟a>n dan al-Hadits dalam diri manusia juga
terdapat berbagai macam fitrah yang antara lain adalah: Pertama, fitrah
agama, fitrah beragama sudah tertanam dalam jiwa manusia semenjak
dari alam arwah dulu. Kedua, fitrah suci, keadaan yang membuat manusia
kotor adalah dosa, dan itupun bila manusia itu sudah mencapai baligh dan
mumayyiz. Ketiga, fitrah beral-akhla>q, ajaran Islam menyatakan secara
tegas sekali bahwa Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah untuk
menyempurnakan al-akhla>q. Allah juga menyatakan bahwa manusia
diciptakan dalam sebaik-baik kejadian termasuk dalam kejadian adalah
moralnya. Keempat, fitrah kebenaran, dalam Al-Qur‟a>n bahwa manusia
mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran (al-Baqarah [2]: 26
dan 144). Kelima, fitrah kasih sayang, menurut Al-Qur‟a>n dalam diri
manusia telah diberi fitrah kasih sayang (al-Ru>m [30]: 21; al-
Mumtahanah [60]:7; al-Bala>d:17). Lihat Hasan ibn Ali Hasan al-
294
al–Hadits dalam diri manusia juga terdapat berbagai macam
fitrah yang antara lain adalah: Pertama, fitrah agama, fitrah
beragama sudah tertanam dalam jiwa manusia semenjak
dari alam arwah dulu (al-A‟raf; 172). Kedua, fitrah suci,
keadaan yang membuat manusia kotor adalah dosa, dan
itupun bila manusia itu sudah mencapai baligh dan
mumayyiz (al-Muthafifin: 14). Ketiga, fitrah beral-akhla>q,
ajaran Islam menyatakan secara tegas sekali bahwa Nabi
Muhammad Saw diutus oleh Allah untuk menyempurnakan
al-akhla>q. Allah juga menyatakan bahwa manusia
diciptakan dalam sebaik-baik kejadian (at-Ti>n [95]: 4)
termasuk dalam kejadian adalah moralnya. Keempat, fitrah
kebenaran, dalam Al-Qur‟a>n bahwa manusia mempunyai
kemampuan untuk mengetahui kebenaran (al-Baqarah [2]:
26 dan 144). Kelima, fitrah kasih sayang, menurut Al-
Qur‟a>n dalam diri manusia telah diberi fitrah kasih sayang
(ar-Ru>m [30]: 21; al-Mumtahanah [60]: 7; al-Bala>d [90]:
17).39
Berdasarkan hal itu, maka ketika seorang
mengatakan bahwa si “Fulan” adalah pebisnis yang
beretika, maka si “Fulan” sedang merefleksikan sistem
moral dan akhlak yang menuntun perilakunya. Dia
berakhlak dan bermoral karena semua tingkah lakunya
selalu bersadarkan pada norma agama dan nilai-nilai di
dalam masyarakat. Sekaligus, ia beretika karena selalu
memeriksa secara kritis dan sistematis semua tingkah dan
tindakannya. Ia kemudian tidak bingung dalam menentukan
arah berekonomi, karena memiliki pedoman hidup. Ia juga
Hija>zy, al-Fikru al-Tarbawy „Inda Ibnu Qayyi>m al-Jauzy (Beiru>t:
Da>r al-Hafi>dz li- al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 1998); Jalaluddin, Teologi
Pendidikan (Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2001). 39
Untuk jelasnya lihat Fazlur Rahman, “Law and Ethics in
Islam”, dalam Ethics in Islam, Richard G. Hovanisian eds. (California:
Undena Publications Malibu. 1985).
295
tidak mengalami kerancuan ketika memutuskan apa yang
harus dilakukan dan apa yang wajib ditabukan dalam
aktifitas ekonominya, karena etika akan menyelesaikan
kerancuan diantara beragam norma dan nilai yang dihadapi.
Memaknai etika tidak dapat lepas dari manusia dengan
kehidupan sehari-harinya. Myrdal (Swedia),40 Myint
(Burma/Myanmar),41 Sen (India),42 Sarkar (India),43 Hatta
(Indonesia),44 al-Qarad}awi (Mesir),45 Chapra (Pakistan),46
Mannan (Islamabad),47 as}-S{ada>r (Irak),48 hampir
berpendapat sama bahwa jika etika tidak ada dalam ilmu
ekonomi, maka akan berdampak pada kemelaratan untuk
mayoritas manusia, dan memperkaya sebagian kecil pemilik
modal. Etika dalam ekonomi bagaimana membangun
40Gunnar Myrdal, the Political Element in the Development of
Economic Theory (London: Routledge and Kegan Paul, Ltd, 2002). 41
Deepak Lal dan H. Myint, the Political Economy of Poverty,
Equity and Growth (London: Oxford Press, 1999). 42
Amartya Kumar Sen, the Idea of Justice (Cambridge, Mass.:
Belknap Press of Harvard University Press, 2009). 43
Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on
Economic Liberation (India: Ananda Marga Publications, 1991). 44
Mohammad Hatta, “Pengembangan Pengusaha Kecil: Salah
Satu Aspek Ekonomi Terpimpin“, Sambutan Tertulis pada Pelantikan
Badan Pimpinan Daerah dan Cabang HIPKI Sumatera Barat di Padang,
pada Tanggal 18 April 1979, dalam I. Wangsa Widjaja dan Meutia F.
Swasono, Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato II dari Tahun 1951 s.d
1979 (Jakarta: Inti Idayu Press, 1983). Lihat juga Mubyarto, Sistem dan
Moral Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1988). 45
Yusuf Qarad}awi>, Dar al-Qiya>m wa al-Akhla>q fi> al-
Iqtis}a>di al-Isla>mi (Beirut: Dar al-Furqa>n al-Nasr wa al-Tauzi‟,
1999). 46
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi (Surabaya:
Risalah Gusti, 2000). 47
Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam
(Jogjakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993). 48
Muhammad Baqir As} S{ada>r, Iqtis}aduna (Buku Induk
Ekonomi Islam), penerjemah Yudi (Jakarta: Zahra, 2008).
296
persamaan (equality) dan pemerataan (equity),
mengedepankan kemanusiaan (humanity), serta mengemban
nilai-nilai agama (religious values). Dalam dimensi etika
mengenal dan menghormati kepentingan-kepentingan
bersama, seperti societal welfare, public needs, public
interests, solidarity, juga menghormati kepentingan-
kepentingan individu seperti kebebasan, kebahagiaan,
kejujuran, kebaikan, kebajikan, perasaan belas kasihan, dan
sifat mementingkan orang lain.
Dalam ekonomi sekuler masalah pilihan untuk
melakukan kegiatan ekonomi dalam produksi, sirkulasi
(distribusi), maupun konsumsi sangat tergantung pada
masing-masing individu.49 Sedangkan, ekonomi Islam
mengacu pada asumsi etis bahwa kesejahteraan sosial dapat
dimaksimalkan, jika Sumber Daya Ekonomi dialokasikan
sedemikian rupa, sehingga tidak seorangpun akan dinilai
baik, jika menjadikan orang lain lebih buruk.
Etika ekonomi Islam yang mendasari bidang
produksi diantaranya adalah: (1) bahwa Allah menciptakan
alam dan seisinya ini agar dimanfaatkan oleh manusia (Q.S.
Ibra>hi>m [14]: 32-34); (2) bahwa Allah menjamin rejeki
bagi orang yang bekerja (Q.S. al-Mulk [67]: 15); (3) bahwa
49Sistem ekonomi sekuler pun memiliki landasan filsafat etika.
Tetapi dalam prakteknya seringkali pandangan etika ini dilupakan dan
lebih memfokuskan kepada usaha mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya sehingga terjebak dalam kebebasan ekonomi yang
dikendalikan pasar tanpa campur tangan pemerintah dan potensial
menimbulkan monopoli. Pada sistem ekonomi sosialis dan komunis
dimana sumber-sumber ekonomi dikendalikan sepenuhnya oleh negara
bahkan kemudian membatasi kebebasan individu dalam berusaha dan
meningkatkan taraf hidupnya. Lihat Fachrizal A Halim, Beragama dalam
Belenggu Kapitalisme (Magelang: Indonesia Tera, 2002); Abdul Jalil,
Teologi Buruh (Yogyakarta: LKiS 2008); Krishna Adityangga,
Membumikan Ekonomi Islam: Diskursus Pengembangan Ekonomi
Berbasis Syari'ah (Yogyakarta: Pilar Media, 2006).
297
bekerja dan kegiatan ekonomi adalah ibadah bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan hidup, untuk kemas}lahatan
keluarga, untuk kemas}lahatan masyarakat, untuk
kemanfaatan seluruh makhluk hidup.50
Etika ekonomi Islam yang mendasari bidang
distribusi, adalah: (1) larangan memperdagangkan barang-
barang haram (Q. S al-Muthaffifin [83]: 2-3); (2) benar,
menepati amanat dan jujur atau setia (Q.S. al-Mu‟min [40]:
8); (3) bersikap adil dan tidak melakukan riba (Q.S. al-
Hu>d (11): 18 dan Q.S. al-Baqarah [2]: 279); (4) kasih
sayang dan larangan terhadap monopoli (Q.S. al-Anbiya>‟
[21]: 107). (5) menumbuhkan toleransi, persaudaraan dan
sedekah (Q.S. al-Baqarah [2]: 280); (6) orientasi
keakhiratan dengan tidak lupa mengingat Allah (Q.S. al-
Jumu‟ah [62]: 9-11) dan memiliki sikap dengan meluruskan
niat, melaksanakan fard}u kifayah, memperhatikan pasar
akhirat (Q.S. an-Nu>r [24]: 36-37 ), terus berzikir, tidak
rakus, menghindari syubhat (Q.S. al-Baqarah [2]: 172) dan
selalu melakukan introspeksi.51
Dalam konstruk bisnis dan usaha etika akan tercirikan
dalam: (1) dimensi sosial berciri, antara lain melibatkan
paling kurang dua pihak, demi tujuan tertentu,
menguntungkan semua pihak. (2) dimensi ekonomi
bercirikan profit oriented, efisiesi dalam proses, produktifitas,
biaya produksi rendah, harga produk bersaing dan kualitas
produk dan pelayan prima. (3) dimensi yuridis bercirikan
pada dasar hukum, tidak memanfaatkan kelemahan hukum
untuk kepentingan diri sendiri, tunduk kepada semua
peraturan yang berlaku. (4) dimensi moral berciri nilai-nilai
50R Lukman Fauroni et.al., Etika Bisnis dalam Al-Qur'an
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), 215. 51
Lihat juga Samir Muhammad Naufal, Daur al-Aqi>dah fi> al-
Iqtis}a>di al-Isla>mi (www.kotobarabiah.com, 2005), 18-27.
298
keadilan, kejujuran, kesetaraan antara hak dan kewajiban,
serta dilaksanakan secara bertanggung jawab.52
Ekonomi Islam membangun etika berhubungan
dengan aktifitas dan kerja manusia, dengan ketegasan
bahwa bekerja bukan hanya mencari uang sebanyak-
banyaknya dengan jalan apapun, namun juga diberikan
suatu garis pemisah antara yang boleh dan yang tidak boleh
dalam mencari perbekalan hidup, dengan menitikberatkan
juga kepada mas}lahat. Dalam etika Islam juga ditegaskan
bahwa Pertama, kemitraan itu harus dilakukan atas dasar
saling rela antara kedua belah pihak. Tidak boleh
bermanfaat untuk satu pihak dengan merugikan pihak lain.
Kedua, tidak boleh saling merugikan baik untuk diri sendiri
maupun orang lain, termasuk dalam kemitraan diperlukan
sebuah komunikasi antara dua pihak, sebab sebagaimana
dipahami bahwa kemitraan adalah kerjasama usaha
antara usaha kecil dengan usaha menengah dan atau
dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan
oleh usaha menengah dan atau usaha besar dengan
memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat dan saling menguntungkan.53
Etika yang didalamnya terdiri dari nilai keimanan,
ketakwaan, ketaatan pada asas yang berarti bekerja
mengacu pada landasan hukum, peraturan perundang-
undangan, membentuk manajemen terbuka yang
menghilangkan rasa curiga (su‟uz}on) bertemu dengan
langkah kemitraan yang menemukan saling menghargai
sikap, pandangan dan kritik, saling memahami kekurangan
dan kelebihan, bertindak berdasarkan norma, serta saling
52L. Sinuor Yosephus, Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral
terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer. 53
Muhammad Najib Hamadi Jaw‟a>ni, D}awa>bit al-tija>rah
fi> al-iq}tisa>d al-Isla>mi (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2005).
299
menghormati. Nilai-nilai etika dan konsep dasar kemitraan
tersebut menjadi seseorang dalam etos kerjanya selalu
melakukan aktifitas dengan suka rela, sesuai dengan sasaran
dan tujuan program yang dibuat. Mampu puncak dedikasi
kerja yang diharapkan adalah optimal, artinya sungguh-
sungguh tidak setengah tengah hati dan penuh rasa
tanggung jawab.54
Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis yang
dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu
tertentu untuk meraih keuntungan bersama, dengan prinsip
saling membutuhkan dan saling membesarkan. Kemitraan
juga dipahami dengan suatu rangkaian proses yang dimulai
dengan mengenal calon mitranya, mengetahui posisi
keunggulan dan kelemahan usahanya, memulai membangun
strategi, melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi
sampai target tercapai. Hal ini melahirkan konsep supply
chain management, yaitu jaringan perusahaan-perusahaan
yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan
menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir.55
54Didin Hafiduddin, Islam Aflikatif (Jakarta: Gema Insani, 2004);
Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: Gramedia,
2004); M. Dawam Rahardjo, Etika Ekonomi dan Manajemen (Jogjakarta:
Tiara Wacana, 1990). 55
Birgit Dam Jespersen, Supply Chain Management: in Theory
and Practice (Copenhagen: Business School Press, 2005); John Tom
Mentzer, Supply Chain Management (California: Sage Publ., 2001). Pasal
6 UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Sebagai perbandingan lihat
juga Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1983, yang dimaksud dengan
industri kecil yang layak untuk dibantu adalah semua industri yang
memiliki investasi mesin dan peralatan yang nilainya tidak lebih dari Rp
70 juta,- dengan investasi per-tenaga kerja tidak lebih dari Rp 625.000,-,
Sedangkan pengusaha ekonomi lemah adalah perorangan atau badan
usaha yang mempunyai asset/activa setinggi-tingginya Rp 300 juta,- atau
omzet maksimal Rp 300 juta.,- pertahun. Selain itu, dapat juga dilihat dari
faktor lain. Diantaranya ditinjau dari jumlah tenaga kerja. Pada umumnya
suatu industri kecil atau kerajinan rumah tangga mempunyai tenaga kerja
300
Selanjutnya, dalam kemitraan diperlukan relasional
yang tidak bisa mengabaikan salah satu yang lainnya.
Dalam usaha songket, kemitraan dilakukan saling
berhubungan dengan nilai keadilan, berupa kesamaan untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas usaha, dengan tidak
mengorbankan hak-hak orang lain. Dimulai dari kemitraan
dengan komunitas petani ulat sutra, selanjutnya ke
komunitas petani yang menjadikan kapas. Dari komunitas
tersebut ke wilayah pabrik pemintalan, sehingga menjadi
berbagai benang yang didistribusikan ke pabrik tekstil dan
ke pertenunan, termasuk tenun songket. Bisa juga
komunikasi usaha saling menguntungkan antara pemasok
benang-benang untuk tenun songket yang didatangkan dari
Thailand, Bangkok, India dengan pengrajin dan perajin
songket Palembang. Dari pertenunan, adanya kemitraan
dengan semua struktur kerja hingga sampai ke produk
menenun yang menghasilkan kain songket. Dari hasil
tersebut dimasukkan dalam komunitas penjahit, komunitas
desain sehingga melahirkan berbagai bentuk kain songket
dan aksesoriesnya. Hasil tersebut kemudian diatur oleh
kemunitas pengepakan, sebelum di lempar ke pasar.
1-4 orang bila mempunyai peralatan dan mesin, atau 1-9 orang jika tidak
mempergunakan peralatan dan mesin. Sedangkan ciri-ciri umumnya
adalah: lemah modal; peralatan produksi sederhana; pendidikan dan
ketrampilan lemah; kemampuan organisasi dan manajemen rendah; cara
produksi masih tradisional; hasil produksi berkualitas sedang; tidak
mampu bersaing; ketergantungan kepada perusahaan dan pedagang besar;
sulit mendapat kredit modal; persoalan bahan baku dan lainnya. Industri
kecil terbagi dalam empat jenis yang meliputi: Pertama, industri kecil
logam (kerajinan pembuatan kompor; pengecoran logam; pandai besi;
pengolahan logam; alat-alat memasak; dll); Kedua, industri sandang dan
kulit (pakaian jadi; tenun daerah; sepatu/sandal kulit; dll); dan Ketiga,
industri kecil makanan dan minuman (pembuatan tahu/tempe;
kerupuk/kemplang; minuman ringan; makanan khas daerah); industri
kecil kerajinan rotan).
301
Relasional tersebut melibatkan banyak orang, dan
lembaga. Karena itulah, kemudian diperlukan konsep yang
sama dalam membangun kemitraan yang saling
menguntungkan bukan saling menjatuhkan. Kemitraan yang
berjalan tidak lepas pula dari struktur sosial budaya
masyarakat. Perbedaan kebudayaan dan peradaban yang ada
di masyarakat manusia pada dasarnya menyebabkan
perbedaan pemahaman terhadap lingkungan. Pada
masyarakat yang mempunyai peradaban lebih tinggi,
kemungkinan mendominasi terhadap masyarakat lainnya
akan terjadi, dan juga pendominasian terhadap
pengelolaan lingkungan yang dapat berakibat pada
termarjinalisasinya kelompok-kelompok manusia
lainnya dengan peradaban yang berbeda. Untuk itu,
pembangunan diarahkan pada segi kemanusiaan itu
sendiri sebagai salah satu model pembangunan yang
berkelanjutan, yaitu keberlanjutan pada kualitas manusia.
Kemitraan dalam bangun sosial ekonomi dibentuk
dalam sebuah kesepakatan. Kesepakatan akan selalu terjaga
apabila dapat diatur berdasarkan perubahan yang terjadi,
dan semua pelaku siap, dan mau melakukan perubahan.
Salah satu contoh atas perubahan transaksi yang terkait
dengan usaha pengembangan modal. Kemitraan yang baik
adalah kemitraan yang berkeinginan sama. Pemiliki modal
(bank/koperasi) memahami keinginan seseorang atas nama
usaha untuk menambah pembiayaan usaha. Maka, pemiliki
modal mencari solusi konstruktif untuk dapat melayani
keinginan mitranya dengan membangun prinsip bagi hasil
sesuai dengan syari‟at Islam. Dengan demikian, kemitraan
akan berjalan kesepakatan bersama. Dari sisi ini timbul
semangat untuk meningkatkan keuntungan bersama dengan
komitmen dan loyalitas. Jika terjadi pailit, maka keduanya
memiliki pertanggungjawaban yang sama (loss sharring)
untuk menyelesaikan persoalan kepailitan tersebut.
302
Kemitraan berdasarkan kebersamaan, kekeluargaan dan
semangat kerjasama dapat terjalin.56
Kemitraan antara pengrajin-perajin dalam unit usaha
songket dan penguasa merupakan kerjasama yang terbuka
dan saling mendukung. Kerjasama antara pengusaha dan
pengusaha merupaka inti etika bisnis. Dalam prakteknya,
perusahaan besar (BUMN) membantu pengusaha kecil
untuk membagi keuntungan secara efisiensi berkeadilan,
bukan karena kerangka belas kasihan. Manfaat yang dapat
diperoleh bagi pengrajin-perajin dan pemerintah melalui
BUMN untuk kemitraan diantaranya, adalah: (1)
meningkatnya produktivitas; (2) memberdayakan penenun;
(3) menambah tenaga kerja pada sektor produksi dan
distribusi usaha songket; (4) meningkatkan jaminan
kualitas, kuantitas, dan kontinuitas tenunan songket; (5)
memberikan social benefit yang cukup tinggi; dan (6)
meningkatkan ketahanan ekonomi secara nasional.
Kemanfaatan kemitraan yang memiliki nilai etika dapat
ditinjau dari 3 (tiga) sudut pandang.
Pertama, dari sudut pandang ekonomi, kemitraan
usaha menuntut menguatnya nilai-nilai efisiensi
berkeadilan, produktivitas, peningkatan kualitas produk,
menekan biaya produksi, mencegah fluktuasi suplai,
menekan biaya penelitian dan pengembangan, dan
meningkatkan daya saing. Kedua, dari sudut moral,
kemitraan usaha menunjukkan upaya kebersamaan dam
kesetaraan. Ketiga, dari sudut pandang soial-politik,
kemitraan usaha dapat mencegah kesenjangan sosial,
kecemburuan sosial, dan gejolah sosial-politik.
56Lihat juga Achjar Iljas, Reformasi Sistem Pembiayaan Usaha
Kecil (Jakarta: Global Mahardika, 2004); Darwin, Model-Model
Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (Jakarta: Pusat Penelitian
Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2003).
303
Kemanfaatan ini dapat dicapai sepanjang kemitraan yang
dilakukan didasarkan pada prinsip saling memperkuat,
memerlukan, dan menguntungkan.
Keberhasilan kemitraan usaha sangat ditentukan oleh
adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam
menjalankan etika bisnisnya. Pelaku-pelaku yang terlibat
langsung dalam kemitraan harus memiliki dasar-dasar etika
bisnis yang dipahami, dan dianut bersama sebagai titik tolak
dalam menjalankan kemitraan. Sebab, etika adalah sebuah
refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral
yang menentukan, dan terwujud dalam sikap dan pola
perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun
sebagai kelompok. Dengan demikian, keberhasilan
kemitraan usaha tergantung pada adanya kesamaan nilai,
norma, sikap, dan perilaku dari para pelaku yang
menjalankan kemitraan tersebut. Kegagalan kemitraan pada
umumnya disebabkan oleh fondasi dari kemitraan yang
kurang kuat dan hanya didasari oleh belas kasihan semata
atau atas dasar paksaan pihak lain, bukan atas kebutuhan
untuk maju dan berkembang bersama dari pihak-pihak yang
bermitra. Kalau kemitraan tidak didasari oleh etika bisnis
(nilai, moral, sikap, dan perilaku) yang baik, maka dapat
menyebabkan kemitraan tersebut tidak dapat berjalan
dengan baik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berjalan
tidaknya kemitraan usaha, dalam hal ini antara usaha kecil
dan usaha besar tergantung pada kesetaraan nilai-nilai,
moral, sikap, dan perilaku dari para pelaku kemitraan. Atau
dengan perkataan lain, keberhasilan kemitraan usaha
tergantung pada adanya kesetaran budaya organisasi.
Sustainabilitas sebuah kemitraan hanya akan terjadi
apabila sejumlah faktor kunci diperhatikan, yaitu: (1)
kepercayaan dan kesungguhan untuk berhasil yang tinggi di
antara mereka yang bermitra (trust, faith, and passion); (2)
304
ekseskusi yang konsisten dan kontinyu, dalam arti kata
tidak mudah menyerah atau mudah mengganti-ganti
pendekatan setiap menemukan berbagai kendala teknis; (3)
secara periodik melakukan proses ”plan-do-check” terhadap
manfaat aliansi ditinjau dari kacamata masing-masing
organisasi yang bermitra secara transparan, tidak perlu
ditutup-tutupi terhadap berbagai kekecewaan yang timbul
(tentu saja untuk dikomunikasikan dan dicari jalan
keluarnya); (3) selalu melakukan; dan (4) proses
penyelenggaraan kemitraan yang menjunjung nilai-nilai
profesional dan etika yang tinggi.57
Daya saing kemitraan akan dihasilkan oleh produktivitas
dan efisiensi. Sebab, produktifitas tidak bisa lepas dari unsur
pokoknya yaitu Sumber Daya Manusia (SDM) dan teknologi.
Efisiensi menyangkut aspek kelembagaan ekonomi, terutama
bekerjanya mekanisme pasar secara efektif dan sedikitnya
hambatan dalam transaksi. Ekonomi yang mandiri, dipahami
sebagai ketidaktergantungan kepada pihak lain (dependency).
Ketidaktergantungan tidak berarti keterisolasian, dan tidak
berarti tidak mengenal adanya saling ketergantungan
(interdependency). Oleh karena tidak semua negara
memiliki potensi atau endowment yang sama, maka ada
kebutuhan untuk saling mengisi, dan kebutuhan ini menciptakan
perdagangan, dan dengan demikian mengakibatkan adanya
lembaga yang disebut pasar.58
57Lihat juga Richardus Eko Indrajit, Ragam Model Bisnis
Kemitraan Pemerintah Swasta: Kunci Sukses Pengembangan E-
Government di Indonesia. Di akses dari www.indrajit@post.harvard.edu,
Tanggal 7 November 2010. 58
David Barsamian dan Siok Lian Liem, Menembus Batas
Beyond Boundaries: Damai untuk Semesta (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008). Lihat juga Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter
dalam Ekonomi Islami (Jakarta: Salemba Empat, 2002).
305
Tidak ada negara di dunia yang tidak membutuhkan
perdagangan, baik barang maupun jasa, karena saling
ketergantungan adalah wajar, dan bahkan mencerminkan
kehidupan perekonomian yang modern. Teknologi telah
membuat konsep keunggulan komparatif menjadi makin
relative, sehingga lahir konsep keunggulan kompetitif.
Saling ketergantungan dengan kemitraan adalah kesadaran
bahwa setiap jalur menuju produktifitas saling
berhubungan. Ketergantungan yang tidak dibenarkan adalah
ketergantungan pada satu hal (bahan baku, misalnya) yang
menyebabkan pihak yang dibutuhkan melakukan penjualan
dengan mendapatkan keuntungan sekehendaknya.59
Penggambaran relasional dan hubungannya dengan
aktifitas kerajinan songket Palembang dengan siklus
kemitraan sebagai berikut:
Pertama, persutraan alam yaitu kegiatan agro-
industri yang meliputi pembibitan ulat sutera, tanaman
Murbei sebagai pakan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera.
Kedua, hasil dari ulat sutra kemudian diolah dalam pabrik
pemintalan untuk diolah menjadi benang, selanjutnya
dikemas untuk di pasarkan. Ketiga, pabrik benang
kemudian mendistribusikan ke kelompok tekstil dan
kelompok penenun, termasuk penenun songket Palembang.
Ketiga proses tersebut memerlukan tenaga kerja yang tidak
sedikit.60 Keempat, aktifitas kerajinan songket memerlukan
tenaga kerja kasar dan trampil sejak dari penggulungan
59Wahyupuspitowati, Teknik Dasar Sulam Pita, Payet dan
Benang (Jakarta: Kawan Pustaka, 2008); lihat juga M T Zen et.al., Dialog
Teknologi dan Industri: Pemacuan Teknologi Menuju Terbentuknya
Industri Nasional yang Kuat dan Berdaya Saing Tinggi (Jakarta: Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 1995). 60
Sebagai contoh lihat Eka Chandra, Membangun Forum Warga:
Implementasi Gagasan Partisipasi dan Penguatan Masyarakat Sipil di
Kabupaten Bandung (Bandung: Akatiga, 2003).
306
benang, pemintalan, mempola desain, mendisain, menjahit,
mengepakkan. Kelima, dipasarkan dengan berbagai model
distribusi sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Keenam,
pengembangan tersebut berhubungan dengan lembaga
keuangan, BUMN/BUMD, koperasi dan asosiasi. Terjadi
struktur kerja yang profesional dan proporsional akan
terjalin baik jika adanya kesetaraan, kesepakatan,
penyesuaian dengan kinerja dan budaya masing-masing,
komitmen dan loyalitas pada masing-masing kelompok.
Pemerintah menjadi fasilitator, mediator sekaligus evaluator
terhadap aktifitas ekonomi tersebut. Inilah kekuatan
implementasi nilai-nilai filosofis efisiensi berkeadilan yang
terbangun.
Aktifitas yang terfokus pada efisiensi saja, dengan
memunculkan para pemasok yang dengan modal besar dan
jaringannya mampu mengimpor benang ke negara-negara
lain untuk kemudian di jual kepada pengrajin dan perajin
songket dengan harga tanpa kontrol pemerintah. Kemudian
muncul pula, kelompok “pengumpul” yang berorientasi
kepada keuntungan pribadi dengan memanfaatkan ekonomi
dan kebutuhan penenun. Padahal, jika dinilai bahwa secara
umum pola kemitraan di Indonesia antara Usaha Kecil dan
Menengah dengan Usaha Besar di Indonesia yang telah
dibakukan, menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha
Kecil dan PP No. 44 Tahun 1997 tentang kemitraan. Dalam
pasal 5 disebutkan bahwa dalam kegiatan perdagangan
pada umumnya, kemitraan antara Usaha Besar, dan atau
Usaha Menengah dengan Usaha Kecil dapat berlangsung
dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi
usaha, atau penerimaan pasokan dari Usaha Kecil mitra
usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh
Usaha Besar dan atau Usaha Menengah yang bersangkutan.
Manfaat yang dapat diperoleh bagi UKM dan UB yang
melakukan kemitraan diantaranya, adalah: (1)
307
meningkatkatnya produktivitas; (2) efisiensi; (3) jaminan
kualitas, kuantitas, dan kontinuitas; (4) menurunkan resiko
kerugian; (5) memberikan social benefit yang cukup tinggi;
dan (6) meningkatkan ketahanan ekonomi secara nasional.61
Kemanfaatan kemitraan dapat ditinjau dari 3 (tiga)
sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang ekonomi,
kemitraan usaha menuntut efisiensi, produktivitas,
peningkatan kualitas produk, menekan biaya produksi,
mencegah fluktuasi suplai, menekan biaya penelitian dan
pengembangan, dan meningkatkan daya saing. Kedua, dari
sudut moral, kemitraan usaha menunjukkan upaya
kebersamaan dam kesetaraan. Ketiga, dari sudut pandang
soial-politik, kemitraan usaha dapat mencegah kesenjangan
sosial, kecemburuan sosial, dan gejola sosial-politik.
Kemanfaatan ini dapat dicapai sepanjang kemitraan yang
dilakukan didasarkan pada prinsip saling memperkuat,
memerlukan, dan menguntungkan. Keberhasilan kemitraan
usaha sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara
yang bermitra dalam menjalankan etika bisnisnya.
Pelaku-pelaku yang terlibat langsung dalam
kemitraan harus memiliki dasar-dasar etika bisnis yang
dipahami dan dianut bersama sebagai titik tolak dalam
menjalankan kemitraan. Dalam etika, akan memunculkan
sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma
moral yang menentukan, dan terwujud dalam sikap dan pola
perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun
61Informasi tentang peraturan kemitraan dapat lihat Tanri Abeng
dan Faisal Siagian, Reformasi BUMN dalam Perspektif Krisis Ekonomi
Makro (Jakarta: Pusat Reformasi dan Pengembangan BUMN, 1999);
Masalah-Masalah di Seputar Usaha Kecil Indonesia (Jakarta: Kerjasama
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Kamar Dagang dan Industri
Indonesia, the Asia Foundation, 1998); Sejarah perkreditan di Indonesia
lihat Tim Pustaka Binaman Pressindo, Informasi Kredit Usaha Kecil
(Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1997).
308
sebagai kelompok. Dengan demikian, keberhasilan
kemitraan usaha tergantung pada adanya kesamaan nilai,
norma, sikap, dan perilaku dari para pelaku yang
menjalankan kemitraan tersebut. Esensi kemitraan jika
ditinjau dari sudut pandang tujuan perlindungan usaha
adalah agar kesempatan usaha yang ada dapat dimanfaatkan
pula oleh yang tidak mempunyai modal keuangan, tetapi
punya keahlian untuk memupuk jiwa wirausaha.
Pada dasarnya, kemitraan secara alamiah akan
mencapai tujuannya jika kaidah saling memerlukan, saling
memperkuat, dan saling menguntungkan dapat
dipertahankan dan dijadikan komitmen dasar yang kuat di
antara para pelaku kemitraan. Implementasi kemitraan yang
berhasil harus bertumpu kepada persaingan sehat dan
mencegah terjadinya penyalahgunaan posisi dominan dalam
persekutuan usaha. Disamping itu, ada banyak prasyarat
dalam melakukan kemitraan usaha, diantaranya adalah
harus adanya komitmen yang kuat diantara pihak-pihak
yang bermitra. Kemitraan usaha memerlukan adanya
kesiapan yang akan bermitra, terutama pada pihak UKM
yang umumnya tingkat manajemen usaha dan penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang rendah, agar mampu
berperan seabagai mitra yang handal. Pembenahan
manajemen, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia,
dan pemantapan organisasi usaha mutlak harus diserasikan
dan diselaraskan, sehingga kemitraan usaha dapat
dijalankan memenuhi kaidah-kaidah yang semestinya.
Kegagalan kemitraan pada umumnya disebabkan
oleh fondasi dari kemitraan yang kurang kuat, dan hanya
didasari oleh belas kasihan semata atau atas dasar paksaan
pihak lain, bukan atas kebutuhan untuk maju dan
berkembang bersama dari pihak-pihak yang bermitra. Kalau
kemitraan tidak didasari oleh etika bisnis (nilai, moral,
sikap, dan perilaku) yang baik, maka dapat menyebabkan
309
kemitraan tersebut tidak dapat berjalan dengan baik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berjalan
tidaknya kemitraan usaha, dalam hal ini antara usaha kecl
dan usaha besar, tergantung pada kesetaraan nilai-nilai,
moral, sikap, dan perilaku dari para pelaku kemitraan. Atau
dengan perkataan lain, keberhasilan kemitraan usaha
tergantung pada adanya kesetaran budaya organisasi.62
Problem kemitraan yang dihadapi adalah modal
untuk investasi dan modal untuk kerja. Karena jangkauan
pasar yang masih terbatas, teknologi dan ketrampilan turun
62Usaha mikro dan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang
menguasai 99,99% dan mampu menyerap lebih dari 99% angkatan kerja
menjadi salah satu program penguatan perekonomian di Indonesia dan
mampu memberikan kontribusi yang besar juga dalam ekspor dan Produk
Domestik Bruto (PDB). Namun saat ini mereka masih menyumbang
tidak lebih dari 20% dalam ekspor dan 59.36% dalam PDB. Peran
UMKM dalam perekonomian nasional sampai tahun 2009 dari sumber
Menko Ekuin dengan jumlah pelaku UMK 51.3 juta unit usaha dengan
perbandingan usaha besar 4.372 unit; usaha menengah 39.65 ribu unit;
usaha kecil 520 ribu unit; dan usaha mikro 50.69 juta unit dengan total
penyerapan tenaga kerja UMK sebanyak 90.9 juta pekerja. Lihat M.
Faisal Badroen, ”Pengembangan Pusat Kewirausahaan Mahasiswa pada
Perguruan Tinggi”, Makalah Workshop Asosiasi Dosen Indonesia, 2010,
2. Di beberapa negara di dunia, Aktifitas UKM sangat mendukung
perekonomian masyarakat negara tersebut. Amerika Serikat, Italia,
Jepang, dan Taiwan memberikan forsi peran UKM-nya sudah melebihi
peran Usaha Besar. Dalam ekspor, misalnya sudah lebih dari 55%
merupakan kontribusi UKM di negara-negara tersebut. Bahkan di Italia,
peran UKM dalam ekspor sudah mencapai lebih dari 75%. Lihat Tulus
Tambunan, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia: Beberapa Isu
Penting (Jakarta: Salemba Empat, 2002); Bambang N Rachmadi et.al,
Franchising, the Most Practical and Excellent Way for Succeeding:
Membedah Tawaran Franchise Lokal Indonesia (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2007); David Barsamian dan Siok Lian Liem, Beyond
Boundaries (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008). Peran UMKM
dalam perekonomian nasional sampai tahun 2009 dari sumber Menko
Ekuin.
310
temurun, dan manajemen usaha yang belum efisien, maka
resiko kegagalannya cukup tinggi. Tingginya resiko gagal
menyebabkan resiko investasinya juga besar. Tingginya
resiko investasi dan rendahnya pemilikan collateral,
menyebabkan lembaga keuangan bank kurang berminat
memberi pinjaman kepada UKM. Jumlah dana yang
diberikan bank kepada UKM jauh di bawah tingkat
permintaan UKM. Kekurangan pasokan ini selanjutnya diisi
oleh lembaga kredit non bank, seperti pengijon, dengan
tingkat bunga jauh di atas tingkat bunga pasar. Upaya
tersebut tidak lepas dari persaingan dalam dunia usaha yang
merupakan syarat mutlak bagi terselenggaranya ekonomi
pasar. Persaingan dapat dibedakan atas persaingan sehat
(fair competition), dan persaingan tidak sehat (unfair
competition). Persaingan usaha yang tidak sehat pada
akhirnya akan mematikan persaingan, dan dapat
menimbulkan monopoli. Monopolitik dibidang ekonomi ini
sangat berbahaya dan merugikan kepentingan umum
apabila diciptakan dan didukung oleh pemerintah, karena
mematikan jalannya mekanisme pasar yang sehat dan
kompetitif, yang pada akhirnya akan dapat melumpuhkan
sistem politik yang demokratis.63
Intervensi pemerintah, melalui dana bantuan
langsung ke masyarakat, seperti dalam Program
Pengembangan Kecamatan (PPK), Inpres Desa Tertinggal
(IDT), dan program sejenis, ternyata kurang efektif dan
kurang efisien. Kelembagaan keuangan mikro (micro
finance) yang terbentuk dari program-program dimaksud,
tingkat keberlanjutannya rendah, dan hampir tidak mampu
memecahkan permasalahan tingkat suku bunga yang tinggi.
63Editorial, “Membudayakan Persaingan Sehat”, Jurnal Hukum
Bisnis, Yayasan Penggembangan Hukum Bisnis, vol. 19, Mei-Juni,
Jakarta, 2002.
311
Selain itu juga banyak menimbulkan ketergantungan
kepada pemerintah dan membutuhkan biaya delivery yang
tinggi. Dari permintaan kredit yang cukup besar dari
lembaga keuangan non bank, walaupun dengan tingkat
bunga di atas bunga pasar, membuktikan bahwa yang
dibutuhkan unit produksi rakyat sebenarnya bukan subsidi
bunga dan bukan dana block grant, tetapi akses untuk
mendapatkan bantuan pengembangan produksi dan
distribusi.
Dalam amanat etis bisnis di Indonesia diterapkan
berdasarkan pasal 33 UUD 1945. Pada bab XIV ditegaskan
bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas azas kekeluargaan. Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional. Dari perspektif ini, maka pasar bertujuan
untuk menggembangkan mekanisme ekonomi pasar
terkendali yang diabdikan bagi kesejahteraan masyarakat.
Kemudian mendorong inisiatif swasta dalam kegiatan
ekonomi dengan tetap memelihara keseimbangan
kepentingan swasta, dan kepentingan sosial dalam
manajemen perekonomian melalui instrument pengendali,
sebagai bentuk dari intervensi pemerintah untuk
mempertahankan persaingan sehat dan wajar.64 Kejahatan
bisnis yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang
merugikan para pelaku usaha yang lain, dapat menimbulkan
konflik yang tidak kondusif bagi pembangunan ekonomi
negara. Penerapan aturan hukum tegas merupakan salah
64Syamsul Ma‟arif, “Tantangan Penegakan Hukum Persaingan
Usaha di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Penggembangan
Hukum Bisnis, vol. 19, Mei-Juni, Jakarta, 2002.
312
satu upaya untuk mencegah bentuk-bentuk kejahatan bisnis
tersebut, diantaranya dengan melahirkan UU Anti
Monopoli. Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999,
monopoli didefinisikan sebagai suatu bentuk penguasaan
atas produksi, dan atau pemasaran barang, dan atau
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu
kelompok usaha. Dalam prakteknya, membentuk pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasainya alat-alat produksi oleh
seseorang atau sekelompok kecil orang saja.
Upaya meminimalisir praktek tersebut dilakukan dan
dikembangkan lewat koperasi dan kemudian baitul ma>l
wa tamwi>l65. Etika nilai yang dikembangkan kedua
lembaga non perbankan berdasarkan kebersamaan dan
kepedulian terhadap orang lain,66 disamping adanya upaya
pembagian keuntungan seimbang dengan tidak membeda-
65Baitul ma>l wa tanwi>l adalah balai usaha mandiri terpadu
yaitu lembaga usaha ekonomi kerakyatan yang dapat dan mampu
melayani nasabah usaha kecil-bawah berdasarkan sistem bagi hasil, dan
jual beli dengan memanfaatkan potensi jaminan dalam lingkungannya
sendiri. Peristilahan tersebut diambil dari konsep dasar baitul ma>l dan
baitu tanwi>l. Kegiatan baitu al-tamwi>l mengutamakan pengembangan
kegiatan kegiatan investasi dan produktif dengan sasaran ekonomi yang
dalam pelaksanaannya saling mendukung untuk pembangunan usaha-
usaha kesejahtraan masyarakat. Sedangkan baitu al-ma>l mengutamakan
kegiatan kesejahtraan bersifat nirlaba yang diharapkan mampu
mengakumulasi dana zakat, infaq, sadaqah yang pada gilirannya
berfungsi mendukung kemungkinan resiko yang terjadi dalam kegiatan
ekonomi pengusaha kecil-bawah itu. Lihat Gemala Dewi, Aspek-Aspek
Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2004); Didin Hafiduddin, Dakwah Aktual (Jakarta:
Gema Insani Press, 1981). 66
Revrisond Baswir, Koperasi Indonesia (Jogjakarta: BPEF,
2000), 37; lihat juga Tiktik Sartika Partomo, Ekonomi Koperasi
(Jogjakarta: BPEF, 2008).
313
bedakan aliran dan agama anggota.67 Etika ekonomi
koperasi, yaitu melayani tetapi sekaligus melindungi
kepentingan umum. Karena itu, nilai etika kemitraan
yang didasarkan pada hal tersebut dapat terbangun
bersama-sama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
secara maksimal (sebesar-besar kemakmuran rakyat)
antara pemerintah, lembaga dan masyarakat.
Konsep etika ekonomi Pancasila oleh Mubyarto
dalam bukunya Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila
dicirikan, sebagai berikut: (1) roda perekonomian digerak-
kan oleh rangsangan ekonomi, moral dan sosial; (2) ada
kehendak kuat dari seluruh anggota masyarakat untuk
mewujudkan keadaan kemerataan sosial ekonomi;
(3)prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah
pengembangan ekonomi nasional yang kuat dan tangguh,
yang berarti nasionalisme selalu menjiwai setiap
kebijaksanaan ekonomi; (4) koperasi merupakan soko guru
perekonomian nasional; (5) adanya imbangan yang jelas
dan tegas antara sentralisme dan desentralisme
kebijaksanaan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi
dan keadilan sosial dengan sekaligus menjaga efisiensi dan
pertumbuhan ekonomi. Artinya, etika kemitraan dalam
wilayah koperasi yang mengusahakan modal bersama
untuk suatu usaha perdagangan atau jasa yang dikelola
bersama, dan hasil keuntungan dibagi bersama.
Dalam pasal tersebut tersimpul dasar ekonomi yang
teratur, yang mengacu pada dasar perekonomian rakyat
67Prinsip-prinsip koperasi yang pertama kali dikenal dan dirintis
oleh Koperasi Rochdale tahun 1844. Lihat Tiktik Sartika Partomo,
Ekonomi Koperasi (Jogjakarta: BPEF, 2008). Catatan Revrisond Baswir,
masih ditambah lagi dengan 3 (tiga) unsur, yaitu: (1) pembatasan bunga
atas modal; (2) keanggotaan bersifat sukarela; dan (3) semua anggota
menyumbang dalam permodalan. Lihat Revrisond Baswir, Koperasi
Indonesia (Jogjakarta: BPEF, 2000).
314
dengan usaha bersama yang dikerjakan secara
kekeluargaan. Usaha bersama berdasar asas kekeluargaan
itu dikenal dengan koperasi. Paham koperasi Indonesia
menciptakan masyarakat Indonesia yang kolektif, berakar
pada adat-istiadat masyarakat Indonesia yang asli.
Semangat kolektivisme Indonesia yang dihidupkan
dengan koperasi mengutamakan kerjasama dalam suasana
kekeluargaan antara manusia pribadi, bebas dari
penindasan, intimidasi, dan paksaan. Paham koperasi
menghargai pribadi manusia sebagai makhluk Allah yang
bertanggung jawab atas keselamatan keluarganya dan
masyarakat. Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi
nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang
politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di
bidang budaya.
Moral pembangunan yang mendasari paradigma
pembangunan yang berkeadilan sosial mencakup: (1)
peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat baik laki-laki
maupun perempuan dengan otonomi daerah yang penuh dan
bertanggung jawab; (2) penyegaran nasionalisme ekonomi
melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan
ekonomi; (3) pendekatan pembangunan berkelanjutan yang
multidisipliner dan multikultural; (4) pencegahan
kecenderungan disintegrasi sosial; (5) penghormatan Hak-
Hak Asasi Manusia (HAM) dan masyarakat.68
Koperasi pada hakekatnya merupakan gerakan
ekonomi rakyat, yang lahir dari kultur ekonomi
masyarakat. Kultur yang terbangun secara alamiah
68Lihat juga Kamto Utomo, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
dalam Kancah Globalisasi (Bogor: Yayasan Agro-Ekonomika, Sains,
2005); A Ariobimo Nusantara dan R Masri Sareb Putra, Keadilan dalam
Masyarakat: Kajian dan Renungan Sosial bagi Komunitas Basis
(Jogjakarta: Kanisius, 2007), 32-33; Maria S Sumardjono, Tanah dalam
Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Jakarta: Kompas, 2008).
315
melalui nilai-nilai budaya seperti gotong royong,
menampilkan adanya tolong menolong (mutual aid), dan
kebersamaan di dalam kerjasama kolektif untuk
mewujudkan kesejahteraan bersama. Gotong royong yang
semula bersifat tradisional lahir dari adat kebiasaan,
dikembangkan menjadi bentuk kerjasama yang lebih
permanen dan memenuhi kebutuhan modern, yaitu
koperasi. Hanya melalui koperasi semangat gotong royong
dapat dilembagakan.69 Pengembangan koperasi dalam
konsep ekonomi global, bukan merupakan sesuatu yang
tidak mungkin. Koperasi tidak boleh anti pasar, justru
dengan prinsip nilai-nilai ekonomi "etis"nya, koperasi bisa
menciptakan kondisi pasar yang berkeadilan, dan bahkan
populis (market friendly). Nilai-nilai etis yang dimiliki
koperasi berpotensi untuk meminimalisir biaya-biaya
ekonomi yang berkembang akibat ketidak-jujuran,
kecurangan, penipuan, diskriminasi, egoistik dan sikap
tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, memunculkan
bahwa masyarakat adalah makhluk sosial, hidup berjamaah.
Masyarakatlah yang utama dan individu orang-orang
mengikuti kaedah sosial.70
Kemitraan yang dibangun berdasarkan konsep
koperasi sangat mempertimbangkan proyeksi usaha, yang
merupakan gambaran masa mendatang sehubungan dengan
adanya penambahan modal kerja. Dari hasil perhitungan
akan kebutuhan modal kerja itu, dapat diproyeksikan biaya
yang akan timbul dan profit margin yang diharapkan. Untuk
modal kerja yang dibutuhkan dalam rangka investasi
69Lihat Murbyarto, Ekonomi dan Sistem Ekonomi Menurut
Pancasila dan UUD 1945 (Bandung: Rosda Karya); lihat juga Sri-Edi
Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Prakarsa,
2006). 70
Lebih luas lihat Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin
Kesejahteraan Sosial.
316
(misalnya, pembelian mesin, pembangunan gedung, atau
pembelian mobil), maka harus melakukan perhitungan dan
perincian secara cermat atas investasi yang diperlukan.
Misalnya, jenis barang yang akan dibeli, dibangun atau
direhabilitasi, jumlah harga yang akan dibayar yang
didasarkan atas surat penawaran dari pihak ketiga,
mengecek kembali kebenaran data yang diterima, dan
membuat cash flow (rencana perputaran kas). Hal tersebut
mutlak diperlukan, karena pendekatan itu merupakan cara
yang cocok, baik dalam penetapan jadwal pencairan modal
kerja maupun mengukur jangka waktu pemakaian dan
pelunasan pinjaman jika modal kerja itu diperoleh dari
pinjaman. Dalam menghitung modal kerja, dilarang untuk
di-mark up dengan harapan mendapat pinjaman besar.
Pengrajin/perajin songket dalam menjalankan usaha
memerlukan 3 jenis modal yang dikeluarkan, yaitu:
Pertama, modal investasi awal yaitu jenis modal yang harus
dikeluarkan di awal, dan biasanya dipakai untuk jangka
panjang. Contoh-contoh modal ini adalah tempat menenun,
tempat menyimpan dan mengatur peralatan alat-alat
tenunan, perabotan-perabotan sekunder yang dipakai untuk
jangka panjang. Kedua, modal kerja dalam bentuk alat-alat
menenun seperti gedongan berlungsi, Cacak, merupakan
tumpuan untuk meletakkan dayan. Terdiri dari dua buah
tiang yang berukir ataupun polosan; Dayan, berupa
sekeping papan tempat penggulung benang lungsing
(benang emasnya); Apit, tempat menggulung benang;
Lampaut/por, penahan yang digunakan untuk menahan
benang lungsing dan diletakkan dipunggung penenun.71
71Data alat-alat tenunan dapat dilihat Ade Riyanti, “Makna
Simbolis Kain Songket sebagai Simbol Status Sosial di Kelurahan
Serengam 32 ilir Kecamatan ilir Barat Kota Palembang Provinsi
Sumatera Selatan” (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2005); lihat
317
Ketiga, modal operasional, yakni modal yang harus
dikeluarkan para pengrajin/perajin songket untuk membayar
biaya operasi bulanan seperti pembayaran gaji pegawai,
pulsa telepon bulanan, PLN, air, bahkan retribusi. Dengan
kejelasan modal-modal tersebut akan memberikan
kepercayaan, sehingga jalinan kemitraan makin berjalan
dengan profesional dan proporsional. Etika kemitraan yang
juga perlu menjadi dasar kerja adalah kejujuran dalam
menghitung harga jual. Hal ini sangat berhubungan dengan
kebersamaan dalam penjualan. Terjadinya harga yang
melonjak disebabkan para pengusaha kecil, termasuk
pengusaha songket tidak memisahkan antara biaya
dagangan dan biaya rumah tangga. Kegagalan bukan hanya
karena masalah pasar dan pemodalan namun, justru pada
pola pikir, sikap dan pola tindak para pelaku usaha itu
sendiri. Dalam kasus itu, kelemahan bukan terletak pada
pasar dan suplai barang, tetapi lebih terkonsentrasi pada
pola perhitungan biaya dan pembagian arus kas yang masih
lemah.
Penghitungan nilai jual yang dapat menguatkan
kemitraan yang saling menguntungkan dapat dilakukan
dengan cara: Pertama, kejujuran dalam menentukan biaya
sesuai dengan akad yang digunakan, sekaligus semua
jaringan kemitraan dalam distribusi demikian membutuhkan
kepekaan terhadap dinamika pasar, disamping dibutuhkan
efisiensi dan konsistensi untuk terus membentuk jaringan
pasar. Dengan adanya laba maka perlu pencatatan,
juga Reimar Schefold et.al., Indonesian Houses (Singapore: Singapore
University Press, 2004); Dahlan, Sejarah ringkas Museum Sumatera
Selatan (Palembang: Proyek Pengembangan Permuseuman Sumatera
Selatan, 1984); lihat juga Yudhi Syarofie, “Songket Palembang: Nilai
Filosofis, Jejak Sejarah, dan Tradisi,” (Palembang: Pemerintah Provinsi
Sumatera Selatan, Kegiatan Pengelolaan Kelestarian dan Pembinaan
Nilai Budaya Sumatera Selatan, 2007).
318
pengelompokkan, dan pengikhtisaran dengan cara
sistematis dan dalam ukuran moneter atas transaksi dan
kejadian yang bersifat keuangan dan menjelaskan
hasilnya72.
Dalam menguatkan hal tersebut, diperlukan juga
peran pemerintah untuk menguatkan nilai etika kemitraan
para usahawan diantaranya dengan memberikan payung
hukum yang tegas terhadap pola kemitraan. Kemitraan
sebagai kerjasama usaha yang telah dipilih oleh pemerintah
untuk dijadikan pola untuk memberdayakan usaha kecil,
melibatkan beberapa pihak, yakni: Pertama, pemrakarsa, para
pemrakarsa adalah pengusaha besar baik swasta maupun
BUMN yang bersedia menjalin kemitraan dengan pengusaha
kecil. Kedua, mitra usaha yaitu pengusaha kecil termasuk
koperasi dapat dipertimbangkan menjadi peserta dalam
kemitraan usaha nasional dengan mempertimbangkan antara
lain, yaitu: (a) kesediaan menjalin kemitraan dengan
pengusaha besar, (b) mempunyai kinerja yang baik. Ketiga,
pemerintah. Pemerintah berperan dalam koordinasi, fasililitasi,
dan pengawasan bagi kemitraan usaha nasional.73
Dalam koordinasi dilakukan oleh unsur instansi
pemerintah tetapi juga meliputi dunia usaha, perguruan tinggi
dan tokoh masyarakat sebagaimana ketentuan dalam Pasal
72Untuk penjelasan lebih luas terhadap akuntansi lihat Sofyan
Syafri Harahap, Teori Akuntansi (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003); Iwan
Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari'ah (Yogjakarta, LKiS,
2000). Lihat juga Cecily A. Raibon, Core Concepts of Accounting (New
York: Wiley), 2010; W. Steve Albrecht, Accounting, Concepts and
Applications (Ohio: Thomson/South-Western, 2007); Rika Lidyah,
“Akuntansi Syari‟ah Sebagai Bentuk Transparansi dan Akuntabilitas”,
Jurnal Ekonomi Islam, IAIN Raden Fatah Palembang, vol. 1/2010. 73
Herman Haeruman dan Eriyanto, Kemitraan dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal: Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Mitra
Pembangunan Desa-Kota, 2001).
319
26 Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997.
Selanjutnya, di dalam melakukan koordinasi ruang lingkupnya
meliputi kegiatan dalam hal penyusunan kebijakan dan
program pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta
pengendalian umum terhadap pelaksanaan kemitraan
usaha nasional (Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor. 44
Tahun 1997 ). Aspek fasilitasi dari pemerintah hendaknya
dilaksanakan semaksimal mungkin, terutama dalam
mengupayakan penyediaan dan pemberian fasilitas baik
modal, teknologi dan jaringan pasar dalam dan luar negeri,
sehingga masyarakat dapat menikmati dan menggunakan peluang
yang sama. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi ketimpangan
sosial di dalam masyarakat, karena ada sekelompok kecil
masyarakat yang sangat mudah mendapat peluang,
sementara sebagian besar masyarakat lainnya sulit
mendapatkannya.
Sesuai dengan konstruk nilai etika kemitraan, maka
program kemitraan sebagai kebijakan hukum sesuai dengan
apa yang diamanatkan oleh GBHN Republik Indonesia
Tahun 1999, di dalam prakteknya tentunya tidak lepas dari
peran serta dari pemerintah.74 Isi ketentuan Pasal 23
tersebut di atas jelas memberikan amanat untuk melakukan
pengawasan pengendalian kemitraan. Adapun peran
pemerintah sebagai pelaksana kemitraan tentunya meliputi
aspek-aspek kegiatan kebijakan hukum pada umumnya, yaitu
formulating, executing, controling. Ketiga tahap kebijakan di
bidang kemitraan tersebut, tentunya tidak bisa berjalan
sendiri-sendiri, dan kesemuanya menjadi variabel pengaruh
74Sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 23 Peraturan
Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 yang isinya: “Menteri teknis
bertanggungjawab memantau dan mengevaluasi pembinaan
pengembangan pelaksanaan kemitraan usaha sesuai dengan bidang tugasnya
masing-masing”.
320
(independent variable) dan sekaligus variabel terpengaruh
(dependent variable). Fungsi formulasi tentunya sangat
ditentukan dengan model pelaksanaan (executing) ataupun
model pengawasan (controlling) yang akan dijalankan dan
demikian pula sebaliknya.
Khusus yang berkaitan dengan masalah controlling
dapat diartikan sebagai pengawasan, namun pada sisi yang
lainnya dapat pula diartikan sebagai pengendalian, fungsi
pengawasan lebih menekankan kepada kegiatan yang tidak
aktif, sedangkan pengendalian sebenarnya merupakan
pengawasan dalam bentuk kegiatan yang aktif. Fungsi-
fungsi pengawasan dan atau pengendalian ini dilakukan
dalam beberapa tahapan proses gabungan antara
pengawasan dan pengendalian.75 Masalah yang mendasar
untuk diperhatikan dalam kemitraan adalah mempersiapkan
rambu-rambu hukum kemitraan terutama dalam proses
pengawasan dan pengendalian kemitraan, hal ini penting
karena bagaimanapun juga bentuk usaha kemitraannya
tentu pelaksanaannya akan merujuk kepada perjanjian
kemitraan tersebut. Dengan demikian, maka kesalahan atau
kekurangakuratan dalam pembuatan perjanjian hukum
kemitraan tentunya dapat berakibat patal, dan akan
menimbulkan permasalahan-permasalahan dikemudian hari.
Dalam proses pembimbingan terhadap Usaha Kecil
tidak selalu dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi dapat
dilakukan oleh lembaga-lembaga pendukung lainnya,
sebagaimana menurut ketentuan Pasal 22 Peraturan
Pemerintah Nomor 44 tahun 1997 sebagai berikut:
“Lembaga pendukung lain berperan mempersiapkan dan
menjembatani Usaha Kecil yang akan bermitra dengan
75Sudadi Martodireso dan Widada Agus Suryanto, Agribisnis
Kemitraan Usaha Bersama: Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani
(Jogjakarta: Kanisius, 2002).
321
Usaha Besar dan atau Usaha Menengah melalui; (a)
penyediaan informasi, bantuan manajemen dan teknologi
terutama kepada usaha kecil, (b) persiapan usaha kecil yang
potensial untuk bermitra, (c) pemberian bimbingan dan
konsultasi kepada usaha kecil, (d) pelaksanaan advokasi
kepada berbagi pihak untuk kepentingan usaha kecil, (e)
pelatihan dan praktek kerja bagi usaha kecil yang akan
bermitra”. Dengan demikian pembimbingan sebagai salah
satu kegiatan pengawasan dan pengendalian preventif
sangat dibutuhkan terutama bagi usaha kecil, karena
pembimbingan ini bertujuan untuk menyiapkan usaha kecil
dalam segala aspek untuk siap melaksanakan perjanjian
kemitraan.76
Dari berbagai perspektif etika nilai kemitraan, dapat
diketahui bahwa semua komponen dalam proses
pengembangan usaha kecil tidak bisa berjalan sendiri-sendiri
namun memerlukan kebersamaan, termasuk peran LSM dan
masyarakat yang menilai, mengamati dan mengawasi aktifitas
tersebut. Artinya, terjadi hubungan antara kelompok
pengrajin-perajin songket sebagai pelaksana,
BUMN/BUMD/BUMS sebagai pemberi bantuan
pembiayaan, Pemerintah memberikan rambu-rambu dalam
bentuk aturan. Sebagai pengawas dalam mekanisme tersebut
adalah perguruan tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan
masyarakat.
C. Kemitraan yang Berkeadilan
76Hg Suseno Triyanto Widodo et.al., Reposisi Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah dalam Perekonomian Nasional (Yogyakarta:
Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2005); lihat juga Ahmad Ifham
Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2010).
322
Nilai-nilai etika yang dibangun dan dikembangkan
dalam subjudul di atas memperlihatkan, bahwa efisiensi
berkeadilan telah menjadi konstruk dasar dalam wilayah
peraturan dan perundang-undangan, dasar kerja dan upaya
menguatkan dan meningkatkan usaha kerajinan songket
serta berbagai usaha mikro dan kecil di Indonesia. Seperti
dijelaskan pada kajian sebelumnya, bahwa secara umum
aktifitas produksi dan distribusi kapitalisme didasarkan
kepada azas pengembangan hak milik pribadi dan
pemeliharaannya, serta perluasan paham kebebasan.
Perbedaan dengan prinsip ekonomi kerakyatan maupun
ekonomi Islam terletak pada prinsip kesejahteraan dan
pemberdayaan. Semua proses dalam produksi maupun
distribusi untuk memaksimalkan kegunaan dan distribusi
dari seluruh sumber dan potensi dunia secara rasional baik
itu fisik, mental, maupun spiritual dan pembentukan tata
tertib sosial humanistis yang harmonis, serta keadilan
merata. Kesemuanya dilakukan untuk memenuhi lima
kebutuhan pokok minimum (al-d}aru>riya>t al-khams).77
Ini semua menjadi dasar efisiensi berkeadilan sebagaimana
dipahami dalam penjelasan UU No. 20 tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, serta isi amandemen
pasal 33 (ayat 4) UUD 1945.
Kata "efisiensi" dibutuhkan untuk mendorong
percepatan produktivitas yang diikuti dengan kata
berkeadilan hingga harus dilakukan dengan adil, yang berarti
setiap setiap warga negara dapat menikmati hasilnya sesuai
dengan kemanusiaan dan darma baktinya. Hasil penelitian
ini memperlihatkan hal yang sama dimana semua
77al-Zuhaili>, Wahbah, Us}u>l al-Fiqhi al-Isla>mi> (Damaskus:
Dar al Fikr, 1986), jilid. 2. Lihat juga Al-Bu>t}i>, Muhammad Sa‟i>d
Ramad}a>n, D}awa>bit} al-Mas}lahah fi> al-Shari>‟ah al-Isla>miyah
(Beirut: Da>r al-Muttahidah, 1992).
323
komponen melakukan upaya untuk mempercepat
produktifitas yang berdaya saing global, namun tetap
berpegang pada nilai-nilai “efisiensi berkeadilan”
sebagaimana diamanatkan pada UUD 1945 dan Pancasila
yaitu prinsip kebersamaan, kegotongroyongan, dan
kekeluargaan.78 Berbagai data yang ditemukan bahwa nilai-
nilai dalam prinsip kebersamaan, kegotongroyongan dan
kekeluargaan masih menyentuh pada pengertian yang sempit.
Artinya, kebersamaan dan gotong royong masih diartikan
bersama-sama untuk menenun untuk sekedar mendapat
penghasilan tambahan.
Realiasi nilai-nilai sosial menjadi tidak terlihat.
Pengrajin memaknai hal tersebut adalah sekedar membantu
dan menambah penghasilan. Pada akhirnya hak-hak sosial
para perajin, seperti hak tunjangan hari raya, hak jaminan
kerja, dan hak-hak sosial lainnya sebagaimana layaknya
perusahaan-perusahaan besar yang sudah memiliki standar
kode etik tidak muncul pada unit usaha pengrajin songket.
Ini artinya, aktifas produksi songket hanya mengacu pada
untung rugi. Mereka yang tidak bisa mengikuti proses
tersebut akan termarginalkan dalam kelompok usaha tenun,
seperti terlalu menuntut gaji, atau sering mengoreksi aturan
yang dibuat pengrajin terutama dalam hal ketetapan waktu
dan hasil pengerjaan. Jika perajin terlalu menuntut, maka
yang muncul adalah bahasa “kami mencari penenun dari
lingkungan keluarga saja”.79 Dari wilayah ini, pola majikan-
buruh dalam bungkus kebersamaan dan kekeluargaan
muncul.
78Lihat Mohammad Hatta, Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Penerbit
Mutiara, 1979); Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan
Sosial dari Klasikal dan Neoklasikal sampai ke the End of Laissez-Faire
(Jakarta: Perkumpulan Prakarsa, 2010). 79
Wawancara dengan responden pengrajin dan perajin songket
pada tanggal 4-13 Oktober 2010
324
Dalam usaha songket, semua komponen dalam
lingkar proses aktifitas memiliki etika bisnis berangkat dari
masyarakat yang terdorong oleh keinginan untuk hidup
damai baik dengan orang lain, maupun damai dalam diri
sendiri, mereka termotivasi untuk selalu menghindari
konflik-konflik kepentingan,. Karena itu, secara normatif
etika bisnis di Indonesia baru mulai diberi tempat khusus
semenjak diberlakukannya UUD 1945, khususnya pasal 33
yang memiliki pesan moral bahwa pembangunan ekonomi
negara Indonesia semata-mata demi kesejahteraan seluruh
rakyat Indonesia yang merupakan subjek atau pemilik
negeri ini, dan ini berarti pembangunan tidak diperuntukkan
bagi segelintir orang yang memperkaya diri atau untuk
kelompok orang tertentu saja yang kebetulan tengah
berposisi strategis, melainkan demi seluruh rakyat
Indonesia. Nilai sosial yang muncul, berarti sistem ekonomi
yang khas bagi rakyat Indonesia adalah ekonomi yang
tertata dalam sistem yang tidak pernah membiarkan
segelintir orang tertentu memperkaya diri sendiri dengan
memanfaatkan wewenang, atau kesempatan yang ada, atau
dengan membiarkan sebagian besar rakyat hidup dalam
kondisi ekonomi yang memprihatinkan.
Sementara itu, keadilan sosial itu didasarkan dalam
pasal 27 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 yang
dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara itu berhak
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, hal tersebut akan terwujud dengan dukungan
sifat-sifat kebenaran, keadilan, kebaikan yang meliputi
perbuatan dan tindakan manusia Indonesia dalam
kedudukannya memimpin dan dipimpin.80 Hatta juga menilai
80Mohammad Hatta, Demokrasi Kita (Jakarta: Pustaka Antara,
t.t), 125-126; lihat juga Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila (Jakarta:
Idayu Press, 1977), 17-20.
325
bahwa keadilan sosial sangat signifikan untuk
diimplementasikan sebagai tujuan yang mesti dilaksanakan
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur.81 Pemaknaan UUD 1945 pasal 33
berbunyi: (1) perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Suma menegaskan kata „bersama‟ dan „asas
kekeluargan‟ memperlihatkan makna masyarakat Indonesia
secara keseluruhan, bukan segelintir orang dengan asas
kekeluargan yang bukan diartikan keluarga (nepotisme).
Termasuk cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara, dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara yang menunjukkan keberpihakan
pemerintah kepada rakyat.82 Untuk itu, aktifitas usaha
songket juga menjadi perhatian yang tidak bisa diabaikan,
melalui peran pemerintah pada aspek kebijakan-kebijakan
untuk usaha tersebut, sehingga semua kesenjangan dalam
aktifitas usaha mikro dan kecil secara umum bisa
terapresiasi dan terkontrol dengan baik. Fokus dasar untuk
peningkatan demikian, berdasarkan bahwa srategi
pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat
merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi,
yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan di
81Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, 34.
82Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat
Ekonomi dan Keuangan Islam.
326
bawah pimpinan dan kepemilikan anggota-anggota
masyarakat.
Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan
ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka, kemiskinan
tidak dapat di toleransi, sehingga setiap kebijakan dan
program pembangunan harus memberi manfaat pada
mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera.
Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus
memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin
dan tertinggal. Dalam konteks keadilan, kembali ditegaskan
bahwa norma didalamnya menuntut agar dalam mencapai
tujuan-tujuan tertentu, termasuk dalam dunia bisnis,
seseorang tidak boleh mengorbankan hak-hak dan
kepentingan-kepentingan orang lain. Prinsip dasar ini akan
membantu untuk memahami hakikat dan arti keadilan
sebagai norma moral yang berlaku umum bagi semua
orang, termasuk para pebisnis. Pada masa Romawi Kuno,
Celcus seorang tokoh era tersebut mendefinisikan keadilan
sebagai “tribuere quique suum” atau to give every body his
own yaitu memberikan kepada setiap orang lain apa yang
menjadi haknya. Implikasi konkret dalam kehidupan,
jangan mendapat sesuatu dengan cara mengorbankan hak-
hak orang lain.83 Dari perspektif tersebut, menunjukkan bahwa
keadilan sebagai etika memberikan kepada setiap pengrajin dan perajin songket apa yang menjadi haknya dengan berciri other-directedness. Artinya, masalah keadilan hanya muncul dalam konteks relasi antar makhluk. Jadi, sekurang-kurangnya antar dua pihak atau dua orang. Selain itu, dikatakan bahwa keadilan harus ditegakkan adalah identik dengan menegaskan bahwa keadilan bersifat mengikat. Pada tataran ini, keadilan menuntut agar hak-hak orang lain
83Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarakat (Bantul: Pondok
Edukasi, 2003).
327
wajib ditegakkan sesuai proporsinya.84 misalnya dengan mewajibkan pengusaha untuk membayar gaji atau upah karyawan atau buruh di akhir bulan. Hal itu disebabkan, karena karyawan sudah terlebih dahulu melaksanakan kewajiban mereka. Oleh karena usaha mencapai suatu imbalan materi yang tepat bagi nilai kerja dan keusahaan seseorang dalam bentuk upah dan laba merupakan suatu hal penting, tidak hanya untuk memenuhi kewajiban keadilan, melainkan juga merealisasikan efisiensi. Dengan demikian, menahan imbalan materi seseorang akan mengurangi insentif untuk mendapatkan pendapatan dan penghasilan, serta kurangya insentif akan menyebabkan berhentinya usaha dan berkarya. Jika penahanan imbalan materi itu sudah sedemikian menyebar di semua sektor ekonomi, maka akan ada kemandegan umum dalam penghasilan karena tiadanya insentif.85
Pendalaman hal tersebut sejalan dengan teori efisiensi berkeadilan yang memberikan lima prinsip ini pada dasarnya, yaitu: (1) kebersamaan; (2) pembagian rasional; (3) pemanfaatan Sumber Daya Manusia secara optimal; (4) inspiratif sebagai motivasi kerja; (5) kreatifitas
84Lain halnya dengan memberi sejumlah uang kepada pengemis
di pinggir jalan atau dibawah kolong jembatan. Dalam hal seperti ini,
dasar tindakan seseorang memberi atau tidak memberikan uang kepada
pengemis kita tidak sebut sebagai orang adil, melainkan dermawan.
Bagaimana dengan pengamen yang meminta uang setelah menyanyikan
sejumlah lagu dengan alasan untuk menghibur para penumpang dalam
sebuah bus. Hal itu juga lebih berhubungan dengan kemurahan hati,
bukan soal keadilan. Implikasinya, pengamen dengan alasan apapun tidak
bisa memaksa penumpang bus untuk bermurah hati kepadanya. Keadilan
juga menuntut equality atau kesetaraan. Lihat Sinuor Yosephus, Etika
Bisnis (Jakarta: Pustaka Obor, 2010). Lihat juga Haidar Bagir, “Etika
„Barat‟, Etika Islam” (suatu pengantar) dalam M. Amin Abdullah, antara
al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam (Bandung: Mizan Media
Utama, 2002). 85
M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan
Islam (The Future of Economics: an Islamic Perspective) (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001).
328
dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan.86 Karenanya, penghindaran terhadap pemerasan (eksploitasi) dengan melarang badan-badan usaha yang menyediakaan kebutuhan dasar bagi orang banyak ditaruh ditangan pribadi-pribadi. Jika sumber-sumber daya merupakan suatu bentuk amanah dari Allah dan manusia akan mempertanggungjawabkan di hadapan-Nya, maka tak ada opsi, kecuali menggunakannya dengan keadilan. Al-Quran dan as-Sunnah menempatkan penekanan tegas terhadap keadilan, menjadikannya salah satu tujuan pokok. Dalam konsep al-Qur‟an penegakan keadilan merupakan salah satu tujuan pokok Allah menurunkan para Rasul-Nya (Q.S. al-Hadi>d [57]: 25).
Keadilan oleh al-Qur‟an sangat berorientasi dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga masyarakat terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya dalam zona ekonomi, seperti perajin songket yang tidak pernah mendapatkan akses bantuan usaha, seperti layaknya pengrajin atau perajin-perajin songket lain yang memiliki akses kepada patron. Dengan demikian, keadilan tidak bisa lepas juga dari nilai-nilai amanat dan persaudaraan (Q.S an-Nisa>‟ [4]: 58) dan ketaqwaan.87 Tanpa itu akan selalu terjadi kezaliman yang menghapuskan persaudaraan dan solidaritas, mempertajam konflik, ketegangan dan kejahatan, memperburuk problem kemanusiaan, dan pada gilirannya hanya akan mengantarkan kepada kegelapan di dunia dan azab di akhirat. Karena itu, semua fuqaha tanpa kecuali disepanjang sejarah kaum muslimin memandang keadilan sebagai isi utama maqa>sid tujuan-tujuan pokok syariah.
Abu Yusuf seperti menjelaskan keadilan kepada khalifah Harun ar-Rasyi>d yang mengatakan bahwa
86Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on
Economic Liberation (India: Ananda Marga Publications, 1991). 87
Sahih Muslim, Kitab al-Birr was-Shillah wal-Adab, vol 4,
1996.
329
dengan memberikan keadilan kepada mereka yang disakiti dan menghapuskan kezaliman akan meningkatkan penghasilan, mempercepat pembangunan negara, dan membawa keberkahan, di samping mendapatkan pahala di akhirat.88 Keadilan komprehensif menanamkan rasa saling mencintai dan kasih sayang, ketaatan kepada hukum, pembangunan negara, perluasan kekayaan, pertumbuhan keturunan, dan keamanan kedaulatan yang banyak ditegaskan oleh Syekh Muhammad Abduh (w. 1323/1905), memandang kezaliman atau keadilan sebagai kemungkaran yang paling buruk (aqa>bah al-munkara>t) dalam kerangka nilai-nilai Islam. Sayyid Quthb (w. 1385/1966), Sayyid Abul A‟la Maududi (w.1399/1979), dan Baqir as}-S}adar (w.1400/1980).89
Dari berbagai kajian tersebut, memperlihatkan kemitraan yang terbangun dalam nilai-nilai efisiensi berkeadilan memiliki kelemahan terutama dalam proses manajemen pemasaran pada usaha songket Palembang yang membangun hanya berdasarkan kepercayaan. Terbatasnya akses kemitraan dalam pembiayaan melalui perbankan dan BUMN merupakan penjelasan penting, yakni: (1) mengapa memunculkan kepasrahan pengrajin dan perajin songket yang tidak mendapatkan bantuan; (2) mengapa terjadi ketakutan dalam mendapatkan pembiayaan dengan bunga rendah; (3) mengapa para ”pengumpul” kain songket dapat leluasa mempermainkan harga tenunan songket tanpa memikirkan kondisi dan tingkat kesulitan menenun songket. Sementara terbatasnya akses informasi dalam pengembangan usaha songket melalui pameran-pameran menjadi penyebab utama kesenjangan dalam membangun kebersamaan, dan meningkatkan keuntungan bersama.
88Ya‟qub ibn Ibrahim Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, edisi ke 3
(Kairo: al-Matba‟ah al-Salafiyyah, 1352 H). 89
M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan
Islam (The Future of Economics: an Islamic Perspective), 58.
330
Hasil observasi dan wawancara dari bab sebelumnya dan sub-sub bab studi ini, memperlihat masalah-masalah usaha songket Palembang yang muncul seiring dengan nilai-nilai filosofis efisiensi berkeadilan pada aspek: Pertama, bahan baku yang fluktuatif disebab struktur pasar bersifat monopolistik. Suplai bahan baku yang dilakukan oleh pembeli dari pedagang-pedagang besar, dan keengganan mereka untuk membuat kontrak dengan para perajin songket. Hal tersebut terkait dengan sistem pembelian bahan baku secara tunai yang menyulitkan pengrajin dan perajin songket bermodal kecil. Kedua, permodalan yang berkaitan dengan suku bunga dan intervensi pengumpul, infomasi sumber pembiayaan baik dari aspek jenis sumber pembiayaan, persyaratan dan prosedur pengajuan dari lembaga keuangan non perbankan masih belum terakses keseluruh kluster usaha songket, Informasi standar proposal pengajuan yang tidak terealisasi sehingga perajin songket tidak mampu mengikuti standar. Disamping, persoalan manejemen keuangan yang masih menggunakan manajemen keluarga. Persoalan lain terhadap peta kebutuhan masing-masing kluster usaha kecil tidak dimiliki secara proporsional. Sehingga calon penyandang dana baik dari pihak perbankan, dan pihak non perbankan (BUMN, BUMD) memberikan jumlah kredit yang disetujui tidak sesuai dengan kebutuhan usaha songket. Akibat dari hal tersebut, bantuan dana tersebut digunakan untuk urusan keluarga menjadi prioritas dibandingkan untuk mengembangkan usaha. Ini berarti, pemberdayaan yang seharusnya ke wilayah produktif bergeser ke wilayah konsumtif.
Kedua, terjadinya bargaining power pada wilayah pemasaran. Belum terjalinnya kolektifitas kemitraan dalam pemasaran. Kelompok usaha yang dekat pada patron institusi yang berhubungan dengan pengembangan usaha kecil dan menengah lebih mendominasi dalam perluasan pemasaran. Asosiasi dan koperasi belum berperan optimal dalam mengkoordinir pemasaran produk, yang banyak menimbulkan persaingan tidak sehat antara pengrajin dan
331
perajin songket. Informasi perluasan pemasaran ke luar negeri hanya terakses pada sekelompok kecil pengrajin seperti produk songket yang diinginkan, potensi pasar, tatacara memasarkan produk, serta berbagai jasa yang berhubungan dengan wilayah pemasaran. Ketiga, tenaga kerja yang tidak stabil, penegasan akan terlihat dalam penjabaran pada bab selanjutnya dalam studi ini.
PENGEMBANGAN PRODUKSI DAN DISTRIBUSI
BERWAWASAN HUMANIS SPRITUAL
Dalam bab ini penulis mengajukan upaya mengembangkan
usaha kecil dan usaha mikro melalui pintu usaha songket
Palembang dari hasil kajian nilai-nilai filosofis efisiensi
berkeadilan dengan memperluas dalam ranah sosial dan
spritual. Manfaat tersebut seperti dijelaskan dalam
pendahuluan adalah untuk membangun suatu kerangka
sistematik yang utuh dalam memahami problematika usaha
songket Palembang, sekaligus memberikan strategi
konstruktif dalam membangun usaha kecil yang berpijak
pada efisiensi berkeadilan berbasis nilai-nilai ekonomi
Islam.
A. Analisis SWOT Usaha
Berbagai pemahaman terhadap analisis SWOT
dapat disimpulkan sebagai instrumen perencanaan
strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman dalam suatu usaha
bisnis. Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik
dari spekulasi bisnis atau proyek, dan mengidentifikasi
faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang
tidak dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan
menggunakan kerangka kerja kekuatan dan kelemahan dan
kesempatan ekternal dan ancaman, instrumen ini
Kelima
334
memberikan cara sederhana untuk memperkirakan cara
terbaik untuk melaksanakan sebuah strategi. Instrumen ini
menolong para perencana apa yang bisa dicapai, dan hal-hal
apa saja yang perlu diperhatikan oleh mereka.1 Analisis
SWOT atas usaha songket Palembang berdasarkan berbagai
kajian mendalam diidentifitkasikan SWOT usaha songket
Palembang berdasarkan pertanyaan studi adalah sebagai
berikut;
Dalam perspektif studi ini, hasil observasi dan
wawancara mendalam yang dijelaskan dalam studi ini
analisis SWOT usaha songket Palembang dideskripsikan
sebagai berikut: Pertama, pendayagunaan kapital (1) aspek
kekuatan (strengths), alat tenun tersedia dan mudah dibuat
dan diperbaki, ketersedian dan kesiapan penenun, jiwa
kewirausahaan yang handal dan siap bekerja optima; (2)
kelemahan (weaknesses), ketersedian bahan baku benang,
lemah modal, lingkungan kerja tidak kondusif; (3)
kesempatan (opportunities), program bantuan pemerintah,
dukungan pelestarian dari masyarakat Sumatera Selatan; (4)
ancaman (threats), permainan harga bahan baku benang,
permainan “pengumpul” berorientasi ekonomis, kebijakan
suku bunga yang relatif tinggi.2
Kedua, hak dan kewajiban, (1) aspek kekuatan
(strengths), memahami konsep hak dan kewajiban dalam
berusaha di bidang usaha songket, bertanggung jawab
1SWOT merupakan singkatan dari strengths (“kekuatan”),
weaknesses (“kelemahan”), opportunities (“kesempatan”), dan threats
(“ancaman”). Lihat Lawrence G Fine, the Swot Analysis: Using Your
Strength to Overcome Weaknesses, Using Opportunities to Overcome
Threats (London: CreateSpace, 2009); lihat juga Fredy Rangkuti,
Business Plan: Teknik Membuat Perencanaan Bisnis dan Analisis Kasus
(Jakarta: Gramedia, 2001); Muhammad Ismail Yusanto; Muhammad
Karebet Wirjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami (Jakarta: Gema Insani
Press, 2002). 2Analisis data wawancara dan observasi, 2010.
334
335
terhadap kewajiban dalam bertenun, solidaritas terhadap
hak-hak yang didapat; (2) kelemahan (weaknesses), rendah
solidaritas sosial, sistem upah yang gharar, akad
berorientasi “kepercayaan”, eksploitasi waktu, tidak adanya
asosiasi; (3) kesempatan (opportunities), ketersedian
lembaga-lembaga bantuan hukum/konsultasi hukum,
kesiapan lembaga pengabdian dan lembaga penelitian
perguruan tinggi; (4) ancaman (threats), belum terlindungi
oleh UU RI no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
ketidak jelasan proses mendapat bantuan modal usaha dan
hibah.3
Ketiga, kebersamaan mengembangkan SDM, (1)
aspek kekuatan (strengths), motivasi belajar yang kuat,
kesedian mengikuti berbagai ketrampilan usaha dan
kewirausahaan; (2) kelemahan (weaknesses), rendahnya
motivasi generasi muda terhadap tenunan songket, orientasi
pengembangan SDM bernilai ekonomis, ketidakpercayaan
terhadap koperasi; (3) kesempatan
(opportunities), menguatnya program bantuan tenun
songket terutama dalam berbagai pelatihan SDM; (4)
ancaman (threats), pola pikir yang serba praktis, aktifitas
generasi berorientasi matrealistis.4
Keempat, kebebasan berusaha dan berkreatifitas, (1)
aspek kekuatan (strengths), keterbukaan masyarakat
terhadap perkembangan tenun songket, perajin tenun yang
memiliki semangat untuk mengembangkan pertenunan,
mampu mengembangkan limbah tenun songket menjadi
berbagai aksesories; (2) kelemahan (weaknesses), tidak
memiliki modal mengembangkan usaha, tidak mengetahui
perkembangan pangsa pasar bidang fasion dan desain,
belum memiliki kebersamaan dengan perajin yang mampu
mengelola kain songket menjadi berbagai desain dan
3Analisis data wawancara dan observasi, 2010.
4Analisis data wawancara dan observasi, 2010.
336
aksesoris; (3) kesempatan (opportunities), penerimaan
pasar pada produk-produk modifikasi, respon positif
masyarakat terhadap perkembangan desain dan aksesoris
songket; (4) ancaman (threats), pengusaha besar yang
mengolah untuk kepentingan usahanya sendiri, orientasi
pebisnis pada perkembangan efisiensi ekonomis semata.5
Kelima, kemitraan, (1) aspek kekuatan (strengths),
semangat menjalin kebersamaan usaha, semangat
meningkatkan distribusi kain songket, ketersediaan
membangun komunikasi produksi antara pengrajin, perajin
dan pemerintah; (2) kelemahan (weaknesses), tertutup dari
jaringan distribusi masing-masing pengrajin dan perajin,
akad yang berbasis akte di bawah tangan, akad berkembang
berdasarkan kepercayaan dan kekeluargaan, keterbatasan
promosi, tidak munculnya koperasi sebagai wadah
kebersamaan dalam membangun dan meningkatkan usaha,
ketidaksiapan manajemen dalam membangun
profesionalitas kemitraan dana dan keahlian, masih
mementingkan kekeluargaan untuk menghemat biaya; (3)
kesempatan (opportunities), terbukanya akses pameran
tingkat regional, nasional dan internasional yang
berhubungan dengan usaha tenun songket, terbukanya
bantuan kerjasama melalui kebersamaan peran pemerintah
dan BUMN; (4) ancaman (threats), bantuan pemberdayaan
masih tebang pilih, pemerintah tidak memiliki peta usaha
songket di Sumatera Selatan, lebih mementingkan pengrajin
daripada perajin songket palembang.6
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil
identifikasi SWOT tersebut memperlihatkan Pertama,
aspek kekuatan (strenght). Kekuatan utama usaha songket
adalah eksistensi kain songket yang merupakan usaha turun
temurun yang memiliki nilai sejarah, nilai budaya hingga
5Analisis data wawancara dan observasi, 2010.
6Analisis data wawancara dan observasi, 2010.
337
nilai jati diri. Sebagai salah satu kain adat, keanggunan kain
songket dipakai pada berbagai acara adat khas daerah
Palembang maupun acara perkawinan. Kain songket
Palembang masih menjadi industri andalan di Sumatera
Selatan, terutama dalam upaya mengembangkan dunia
pariwisata di bumi Sriwijaya tersebut. Hal itu
memperlihatkan pula bahwa usaha songket bukan hanya
mendatangkan pendapatan bagi sekelompok orang, tetapi
juga menjadi sumber pendapatan daerah. Kekuatan usaha
songket yang menjadi andalan pada motif kain baik dari
nilai filosif.7 Motif dan bahan yang memberi kesan menarik
bagi para pemakainya, dan bisa menjadi materi yang
menarik dijadikan gubahan yang dikreasikan pada pakaian
oleh para disainer, fashion kontemporer, dan berbagai
aksesoris berbahan songket.
Ketersedian bahan baku di pasaran setempat, dan
ketersedian perlengkapan alat-alat tenun yang mudah
diperoleh, serta ketrampilan yang bisa diwariskan kepada
siapapun merupakan bagian dari kekuatan usaha songket
tersebut. Di samping itu, adanya dukungan kebijakan
pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, serta program
BUMN dan BUMS menjadi kekuatan penting pula dalam
melestarikan usaha songket, termasuk upaya mempatenkan
motif-motif kain songket.
Kedua, aspek kelemahan (weakness), prilaku
mengharap dan menunggu bantuan pemerintah menjadi
kelemahan utama perajin dan sebagian pengrajin songket di
Sumatera Selatan. Disamping itu, keterbatasan modal yang
memunculkan ketidakseragaman dalam memberikan upah
kepada para perajin, pola pembayaran upah cicilan yang
7Penjelasan luas eksistensi kain songket lihat Yudhy Syarofie,
Songket Palembang: Nilai Filosofis, Jejak Sejarah, dan Tradisi
(Palembang: Kementerian Pendidikan Nasional, Kegiatan Pengelolaan
Kelestarian dan Pembinaan Nilai Budaya Sumatera Selatan, 2007).
338
menyebabkan sentimen perajin dan menurunnya motivasi
kerja. Regenerasi penenun akan semakin sulit didapat,
karena adanya kesan tidak majunya kehidupan penenun.
Hal tersebut menjadi rentan terhadap perkembangan usaha
songket. Kelemahan lain dalam manajemen yang masih
didominasi sistem manajemen keluarga. Akibatnya,
ketidakjelasan dan transparansi keadaan keuangan pengrajin
dan perajin songket.8
Kelemahan lain yang mendominasi internal
pengrajin dan perajin adalah: ketertutupan dalam berbagai
kemitraan antara perajin, pengrajin dan antar pengrajin.
Disamping itu, masih adanya ketidakpercayaan terhadap
asosiasi dan koperasi menyebabkan organisasi tersebut
tidak berjalan. Dari aspek peralatan masih sederhana,
sehingga kurang efisien hal ini terkait dengan spesialisasi
yang tidak terbangun. Sikap dan perilaku perajin dan
sebagian pengrajin “apa adanya” menyebabkan
keterbatasan akses informasi pasar, lemahnya jaringan
kemitraan dengan distributor luar daerah dan luar negeri.
Tingginya biaya produksi dan lemahnya promosi
akibat rendahnya penguasaan teknologi sebagai media
informasi, serta kemasan yang belum memenuhi
persyaratan teknis dan tidak menarik konsumen juga
menjadi bagian kelemahan yang penting penyebab
ketidakmampuan bersaing. Pola manajemen yang sesuai
dengan kebutuhan hampir pasti tidak ditemukan, antara lain
karena pengetahuan dan strategi penjabaran manajemen
tidak dimiliki pengrajin dan perajin songket. Ketidak
mampuan mengontrol dan mengatur cash flow akibat
ketiadaan pemisahan antara manajemen keuangan usaha
dan keuangan keluarga. Dampak yang paling pasti, yakni
tidak tersedianya perencanaan dan laporan keuangan yang
8Analisis data, 2010.
339
siap digunakan untuk berbagai keperluan. Pengorganisasian
yang terlalu berorientasi pada kekerabatan dan
kekeluargaan menutup akses untuk melakukan kolektifitas
usaha.
Ketiga, kesempatan (opportunity). Usaha songket
Palembang memiliki pangsa pasar dalam negeri cukup luas
dan berarti pengembangan usaha bisa terus dioptimalkan
hingga ke pasar ekspor. Meningkatnya kebutuhan tenun
songket seiring dengan pencanangan visit musi, serta
berbagai kegiatan dan aktifitas tingkat nasional maupun
internasional yang diadakan di Sumatera Selatan.
Kesempatan juga bisa dimiliki dengan makin membaiknya
perhatian pemerintah terhadap usaha mikro dan kecil
dengan berbagai bentuk bantuan dana dan hibah.
Keempat, ancaman (treats). Persaingan semakin
ketat dalam usaha pertenunan di lokal maupun barang
impor tenun mancanegara seperti India, Malaysia dan
China. Iklim usaha tenun songket yang sangat berhubungan
dengan bahan baku dari luar negeri (India, Thailand dan
China) sehingga membangkitkan iklim usaha yang tidak
stabil dibandingkan dengan fasilitas negara-negara pesaing
tenun yang relatif stabil. Kebijakan pemerintah di berbagai
bidang seperti tarif BBM, tarif listrik dan tarif transport
termasuk kebijakan suku bunga berdampak pada
peningkatan biaya bagi perajin dan pengrajin songket.
Ancaman yang juga menjadi salah satu persoalan
terhadap aktifitas para “pengumpul” yang ada dalam bagian
aktifitas perajin songket. Kebijakan bantuan permodalan
baik dalam dunia perbankan dan kemitraan BUMN lebih
berorientasi pengembalian bantuan dibandingkan dengan
pemberdayaan menjadi ancaman perkembangan usaha
perajin dan pengrajin.9 TABEL 5.1
9Analisis data wawancara dan observasi, 2010.
340
MATRIK ANALISIS SWOT USAHA SONGKET PALEMBANG
INTERNAL Analisis lingkungan
internal
EKSTERNAL Analisis lingkungan eksternal
Strengths (Kekuatan) 1. Ketersedian alat tenun 2. Sumber daya trampil
turun temurun 3. Jiwa kewirausahaan 4. Solidaritas 5. Amanah 6. Keterbukaan 7. Komunikatif 8. Budaya kerja optima 9. Apresiatif terhadap
konsep ekonomi Islam
Weaknesses (Kelemahan)
1. Sumber dana minim 2. Manajemen keluarga 3. Akad kepercayaan 4. Lemah promosi 5. Lemah kemitraan 6. Pengembangan usaha
tidak merata 7.
Opportunies (Peluang)
1. Dukungan pelestarian dari masyarakat Sumatera Selatan
2. Dukungan perguruan tinggi terhadap pelestarian dan perkembangan usaha songket
3. Kebijakan pemerintah dalam bantuan dana dan hibah
4. Ketersedian lembaga-lembaga bantuan hukum
5. Pasar yang kondusif untuk usaha songket dan semua aksesoris
1. Mengikat sumber daya trampil dengan solidaritas dan jiwa kewirausahaan
2. Menguatkan budaya kerja islami untuk memperkuat dukungan pemerintah dan masyarakat
3. Menjadikan keterbukaan dan komunikatif untuk mendapatkan simpati pemerintah dan BUMN penyandang dana dan hibah
4. Menjalin hubungan dengan lembaga bantuan hukum dan perguruan tinggi.
5. Memberikan amanah kepada generasi penenun untuk melestarikan songket melalui program pelatihan bertenun
1. Memanfaatkan dukungan masyarakat dan lembaga-lembaga perguruan tinggi untuk meningkatkan manajemen usaha
2. Memperbaiki manajemen untuk mendapatkan dana bantuan dari pemerintah melalui perbankan dan BUMN
3. Melakukan kemitraan dengan lembaga-lembaga bantuan hukum untuk menyelesaikan persoalan yang berkenaan dengan hak dan kewajiban dalam aktifitas usaha songket
Pakai Kekuatan untuk
memanfaatkan peluang Tanggulangi kelemahan
dengan peluang
341
Treaths (Ancaman)
1. Permainan harga bahan baku benang
2. Gerakan ekonomis para “pengumpul”
3. Kebijakan suku bunga yang relatif tinggi
4. Belum terlindungi oleh UU RI No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
5. Ketidakjelasan proses mendapat bantuan modal usaha dan hibah
6. Bantuan pemberdayaan masih tebang pilih
7. Pemerintah tidak memiliki peta usaha songket di Sumatera Selatan
8. Lebih mementingkan pengrajin daripada perajin songket Palembang
9. Pola pikir yang serba praktis
10. Aktifitas generasi berorientasi matrealistis
1. Ketrampilan turun temurun digunakan untuk daya tawar
2. Menguatkan ukhuwah dan solidaritas untuk mengantisipasi ancaman
3. Meningkatkan jiwa kewirausahaan untuk bisa memperlihatkan eksistensi
4. Membangun komunikasi dan keterbukaan setiap survey yang berhubungan dengan lokasi dan keadaan usaha songket
5. Memberikan ketauladanan dalam budaya kerja optima kepada generasi penerus
6. Meningkatkan pemahaman terhadap parameter ekonomi Islam (bagi hasil, musyarakah, etika kerja islami)
1. Penguatan sumber daya pengrajin dan perajin
2. Eksis melestarikan nilai-nilai sosial yang dikandung karya songket sebagai budaya adiluhung anak bangsa
3. Menghindari para pengumpul dengan membangun asosiasi dan koperasi
4. Mengimplemntasi etika dan moral Islam dalam usaha
5. Memperbaiki manajemen usaha
6. Melakukan kemitraan dalam menguatkan kaderisasi penenun-penenun profesional
7. Melakukan koordinasi dengan pemerintah provinsi dan daerah dalam memperbaiki promosi dan distribusi usaha
Model analisis: Fredy Rangkuti, Business Plan: Teknik Membuat Perencanaan Bisnis dan Analisis Kasus (Jakarta: Gramedia, 2001); Muhammad Ismail Yusanto; Muhammad Karebet Wirjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami (Jakarta: Gema Insani Press, 2002).
B. Penguatan Sumber Daya Manusia Dalam analisis SWOT dan berbagai analisis yang
berhubungan dengan tersebut memperlihatkan kata kunci
utama pada penguatan sumber daya para pengrajin dan
Pakai Kekuatan untuk
Menghadapi Ancaman Ancaman
Perkecil Kelemahan dan
Hindari Ancaman
342
perajin. Dalam bab sebelumnya, dijelaskan bahwa menenun
songket merupakan kerajinan tangan yang memerlukan
kesabaran, dan ketenangan dengan tingkat kesulitan yang
tinggi. Karena itu, semua faktor pendukung dalam aktifitas
ini tidak dapat diabaikan, seperti tempat usaha, suasana
lingkungan, dan suasana hati. Pekerjaan menenun biasanya
dilakukan kaum wanita, walaupun akhir-akhir ini kaum pria
juga sudah berpartisipasi membuatnya. Menenun songket
dengan kreatifitas rumit tersebut merupakan kerajinan turun
temurun yang mulai tidak banyak diminati remaja, akibat
pergeseran global. Hasil wawancara diketahui ada dua
tipologi remaja dalam menilai aktifitas songket tersebut:
Pertama, kelompok anak-anak keturunan yang memiliki
keahlian menenun songket yang lebih menyukai melihat,
menilai dan memakainya daripada ikut menenun. Mereka
lebih berminat untuk bekerja di sektor modern. Mereka
lebih suka bekerja di mall atau di toko-toko yang tidak
memerlukan ketekunan. Faktor mudah bosan, dan berprinsif
hidup praktis merupakan bagian dari penyebab
ketidaksukaan terhadap dunia penenunan.
Kedua, mereka tertarik mengikuti tradisi menenun
karena keadaan ekonomi, pada umumnya mereka yang
putus sekolah atau keluarga yang tidak memiliki dana untuk
melanjutkan studi. Keterpaksaan tersebut menyebabkan
regenerasi menenun menjadi lambat. Sebab, tingkat
kesulitan dan kesabaran memerlukan latihan dan motivasi
dari dalam. Ketiga, kelompok remaja yang memang
terpanggil untuk belajar menenun. Kelompok ini sudah
sangat sulit ditemukan, kecuali di sentra-sentra tenun
songket wilayah kabupaten/kota yang sedikit mendapatkan
akses modernisasi.10
10
Hasil wawancara dengan responden penelitian antara tanggal 22
September hingga 18 Oktober 2010.
343
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka penguatan
Sumber Daya Manusia menampakkan aktifitas persaingan
untuk saling mengalahkan/mengorbankan antara satu
pengrajin dengan pengrajin, atau antara perajin songket
Palembang. Penguatan Sumber Daya Manusia dalam
bertenun, memberikan solusi atas persoalan dalam
pembagian waktu dan penggunaan waktu. Adanya asumsi
bahwa aktifitas perempuan untuk beberapa kasus hanya
menanti suami, menunggu nafkah suami tanpa berbuat apa-
apa. Laki-laki yang merasa tidak memiliki kemampuan,
sehingga tumbuh perasaan minder dengan ketiadaan
ketrampilan akan terbuka peluang untuk membangun usaha
berbasis budaya lokal yang tetap diperhatikan dan
dilestarikan tersebut. Implementasi dari sikap imani dalam
menghargai waktu sebagai karunia ilahi dapat ditumbuh
kembangkan lewat aktifitas usaha songket tersebut. Hasil
wawancara diketahui bahwa anak-anak penenun ada yang
tidak berminat untuk berlatih bertenun, mereka lebih suka
bekerja di mall atau di toko-toko yang tidak memerlukan
ketekunan. Mereka lebih suka memandang orang-orang
yang menenun yang rata-rata sudah cukup umur (di atas 40
tahun).11 Tanpa kreatifitas dan inovasi pengrajin, maka
sinyal ketakutan kaum tua jika anak-anak muda tidak
tertarik lagi menenun, maka 10 tahun kedepan, tenunan
songket menghilang karena tidak ada lagi alih generasi,
akan berdampak psikologis bagi penenun itu sendiri.12
Karena itu, harus ada peran serta pemerintah untuk mencari
solusi pengkaderan tenunan songket, dan sekaligus
kreatifitas para pengrajin dan perajin profesional untuk
dapat mengarahkan bahwa menenun itu mudah, indah, dan
11
Hasil wawancara Tanggal 22-28 Oktober 2010. 12
Hasil kesimpulan wawancara Tanggal 4-18 Oktober 2010.
344
bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa tekanan13 dan memberi
penghasilan yang memadai.
Akibat dari hal tersebut menyebabkan terjadinya 2
(dua) masalah krisis, yaitu: Pertama, berkurangnya
produksi dan pengembangan tenun songket; Kedua,
ancaman kepunahan budaya tenun songket tradisional.
Observasi lapangan memperlihatkan pula bahwa sumber daya
penenun hanya berkisar pada bertenun dengan model dan
gaya turun temurun. Walaupun, ada keinginan untuk
mengembangkan kreasi menenun, namun mereka pada
umumnya kesulitan untuk bisa melakukan perubahan
kreatifitas. Pada umumnya sangat terikat pada tempat
kediamannya dan tidak mampu/tidak bersedia
menempatkan orang lain untuk ikut memberikan usulan
kreatifitas. Alasan yang juga menjadi problem kurangnya
daya inovasi dan kreatifitas perajin songket Palembang,
akibat rendahnya modal usaha yang dimiliki.
Bagaimana memberdayakan penenun songket
terutama dalam meningkatkan sumber daya penenun,
erat kaitannya dengan hakikat dari daya itu sendiri. Kata
„daya‟ dapat dipahami dengan kemampuan, kekuatan
ataupun kekuasaan yang dipengaruhi dengan berbagai
faktor yang saling terkait (interlinking factors)14 antara lain
13
Hasil wawancara dengan beberapa anak pengrajin songket di
kota Palembang pada saat wawancara hadir mendengarkan, dan tidak
tertarik untuk belajar menenun, seperti yang dilakukan orang tua dan
uwaknya karena ketakutan ketinggalam dalam pergaulan, tidak bisa
berkiprah diluar rumah, takut ditingal pacar, capek. Hasil penilaian
peneliti, ketidak-tertarikan juga disebabkan tidak ada upaya orang tua
yang mengarahkan anaknya untuk menenun dengan memberikan alasan
yang menyenangkan. Mereka juga lebih membanggakan anaknya kerja di
toko, atau disektor-sektor swasta lainnya yang tidak membangun jiwa
wirausaha, hanya sekedar menambah penghasilan diri sendiri (wawancara
tanggal 24 dan 28 September 2010. 14
Heru Nugroho, Globalisasi dan Tantangan Daya Saing
Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005); Akhmad Fauzi. Ekonomi Sumber
345
seperti pengetahuan pengrajin dan perajin songket,
kemampuan kerja dan berusaha, kapital. Faktor-faktor yang
saling terkait tersebut pada akhirnya membentuk simbolis
mutualis antar pengrajin, perajin, kreatifitas tenunannya dan
peran pemerintah provinsi. Efisiensi pengembangan sumber
daya penenun songket tidak bisa hanya dilakukan oleh
internal penenun, namun semua pihak terkait termasuk
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan beserta semua
institusi terkait berbasis kebhinekaan yang didalamnya ada
unsur kekeluargaan, kegotongroyongan, dan memandirikan
penenun menjadi sesuatu yang menjadi target
pengembangan tenun songket.
Hasil wawancara dengan pengrajin dan perajin
diketahui adanya ketidakadilan dalam pelaksanaan.
Beberapa pengrajin responden mengaku pengembangan
sumber daya penenun dengan mengikutkan pada pelatihan-
pelatihan desain songket modern masih tebang pilih.
Mereka yang jauh dari akses pemerintah daerah belum
disentuh dengan program bantuan pelatihan tenun, maupun
pelatihan manajemen sederhana.15 Implementasi efisien
berkeadilan dilakukan melalui identifikasi kebutuhan
pembinaan, sehingga mendapatkan peta wilayah tenun
songket yang dapat dijadikan modal penentuan kawasan
pembinaan pada setiap program tahunan yang berhubungan
dengan pembinaan dan pelatihan tersebut. Walau tidak
secara tersurat, para responden menilai bahwa pelatihan
dan pembinaan bukan untuk membentuk sumber daya
perajin songket (human‟s songket resources) berkembang
menjadi perajin berdaya saing, namun tidak lebih sebagai
Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi (Jakarta: Gramedia,
2004). Lihat juga Tsuraya Kiswati, al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi
Rasional (Jakarta: Erlangga, 2005). 15
Wawancara dengan pengrajin dan perajin responden. Antara
tanggal 22 September-18 Oktober 2010.
346
upaya melestarikan songket dari kepunahan.16 Padahal,
seharusnya melestarikan songket dari kepunahan dengan
menguatkan regenerasi penenun. Sehingga, program-
program yang berkenaan dengan pelestarian tenun songket
dilakukan secara berkesinambungan, terarah menyebar
dengan berbagai pelatihan manajemen penunjang lainnya
dengan kejelasan nilai program, pendekatan dan kelompok-
kelompok penenun yang dijadikan target, sehingga tidak
terkesan bahwa implementasi penguatan usaha kecil
semacam tenun songket tidak digambarkan seperti
ungkapan Hakim sebagai pasukan kebakaran (fire-bridge)
yang menyelenggarakan program-program jangka pendek
pada masa-masa krisis.17
Analisis sederhana dilihat dari hasil proses kemitraan
sebelumnya, yang memperlihatkan adanya kelompok
perajin yang mendapatkan pelatihan manajemen sederhana,
sementara kelompok perajin yang lain sama sekali belum
mendapatkan pelatihan. Sementara, pelatihan ini penting
untuk memberikan dasar-dasar awal bagaimana
membangun sebuah usaha yang bisa dinilai berhasil dari
aspek produksi dan distribusi. Pelatihan ini juga
memberikan dasar-dasar untuk dapat mengevaluasi hasil
kerajinan songket, untuk dikembangkan baik melalui
penguatan bantuan modal usaha, maupun untuk
kepentingan kemitraan lainnya. Kelompok pengrajin
maupun perajin yang telah dibina tidak dievaluasi dan tidak
dijadikan modal untuk penguatan pengrajin yang lain. Alih-
alih aktifitas pelatihan sampai batas untuk unit usaha yang
ikut pelatihan sementara yang belum mendapatkan
16
Wawancara dengan Tanggal 22-28 September 2010. 17
Budi Rahman Hakim, Rethinking Sosial Work Indonesia
(Jakarta: Wahana Semesta Intermedia, 2010).
347
pelatihan menunggu proyek instansi terkait.18 Realitas ini
memungkinkan semangat kompetisi dan individualisasi
yang dibawa oleh kapitalisme telah memitoskan gotong
royong menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, sebab
kreatifitas lewat pengembangan sumber daya perajin
songket hanya untuk meningkatkan produktifitas bersaing
dan menghilangkan sifat kegotongroyongan.19
Merubah paradigma tersebut sangat diprioritaskan,
sebab identifikasi kebutuhan pembinaan dan peningkatan
kreasi dan kreatifitas perajin songket dalam wilayah
ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar sebuah pola
kebersamaan, namun dikuatkan nilai-nilai kepada semua
pelaku usaha songket. Oleh karena itu, menurut Hatta
pembangunan yang dijalankan tidaklah boleh hanya
berorientasi kepada pertumbuhan, tetapi yang lebih
penting lagi adalah bagaimana pembangunan itu
berperikemanusian seperti telah dituangkan dalam pasal 27
18
Wawancara dengan pengrajin songket tanggal 24-27 September
2010. 19
Selama ini gotong royong dianggap sebagai kearifan lokal
bangsa Indonesia yang diwariskan secara turun temurun di setiap
generasi. Istilah gotong royong dapat dimaknai sebagai “bekerja bersama-
sama dalam menyelesaikan pekerjaan, dan secara bersama-sama
menikmati hasil pekerjaan tersebut secara adil. Atau suatu usaha atau
pekerjaan yang dilakukan tanpa pamrih, dan secara sukarela oleh semua
warga menurut batas kemampuannya masing-masing”. Dengan kata lain,
gotong royong dapat dimaknai sebagai saling tolong menolong untuk
mengerjakan sesuatu, khususnya sesuatu yang bermakna sosial dan
ekonomis. Dilihat dari sudut agama Islam, gotong royong adalah salah
satu perwujudan dari nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan yang
melahirkan prestasi sosial. Lihat pemaknaan mendalam konsep gotong
royong dalam membangun usaha rakyat. Bur Rasuanto, Keadilan Sosial:
Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas: Dua Teori Filsafat Politik
Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005); Y Harsoyo, Ideologi
Koperasi Menatap Masa Depan (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma
Bekerjasama dengan Penerbit Pustaka Widyatama, 2006).
348
ayat 2 UUD 1945.20 Artinya, pembangunan ekonomi tidak
sekedar menguatkan pertumbuhan dan melupakan
pemerataan.
Berdasarkan hal tersebut, pengembangan unit usaha
songket dilakukan melalui pendekatan resources based
management, dan nilai-nilai Triple-Co. Resources based
management yakni pengembangan ekonomi yang bertolak
dari potensi-potensi transpormatif yang berada pada
lingkaran usaha songket. Sementara Triple-Co membentuk
ril kebersamaan, yaitu Co-ownership (ikut serta dalam
pemilikan bersama), Co-determination (ikut memiliki dan
ikut menentukan kebijakan perusahaan), Co-responsibility
(ikut serta bertanggung jawab).21 Dalam kerangka ini, unit
usaha songket Palembang di Sumatera Selatan berkembang
di tengah masyarakat tidak ditempatkan sebagai objek,
melainkan sebagai mitra. Ini artinya, ada kerjasama yang
saling memberi dan menguntungkan tolong menolong
dalam kebaikan, dimana pengrajin yang telah memiliki
wawasan dari hasil pelatihan dikembangkan kepada
pengrajin dan perajin lain yang membutuhkan. Quthb
menegaskan bahwa pengembangan sumber daya adalah
perilaku muamalah dalam membentuk dan membangun tata
nilai kehidupan bermasyarakat dalam bentuk taka>ful
(solidaritas) dan ta‟a>wun (kerjasama) berdasarkan pada
20
Mohammad Hatta, Ilmu dan Agama (Jakarta: Yayasan Idayu,
1983); lihat juga Adi Isbandi R, Pemberdayaan, Pengembangan
Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Jakarta: Lembaga Penelitian
Ekonomi UI, 2003); Sutarmadi, Islam dan Masalah Kemasyarakatan
(Jakarta: Kalimah, 2000). 21
Lihat kembali Sri-Edi Swasono, Kembali ke Pasal 33 UUD
1945 Menolak Liberalisme; Kelengahan Kultural dalam Pemikiran
Ekonomi: Pacasila Pasal 33 UUD 1945 Koperasi Entrepreneurship-
Kooperatif.
349
nash.22 Dalam konsep ekonomi Islam, kebersamaan dalam
pengembangan sumber daya perajin songket seharusnya
tidak dapat lepas dari norma manusia sebagai khali>fah fi>
al-ard}i yang menjadi hak dan memiliki kesempatan untuk
diraih.
Alam semesta ini bukanlah milik manusia, tetapi
milik absolut Tuhan. Manusia sebagai khalifah-Nya hanya
dititipi dan diberi amanat untuk mengelola dan mengambil
manfaat darinya. Pemanfaatan tersebut tidak bisa
mengandalkan sumber daya yang tidak bisa menerima
pengembangan, dan tidak bisa mengembangkan diri hanya
untuk diri sendiri. Karena itu, perlu efisiensi berkeadilan
dalam pengembangan sumber daya perajin songket harus
ada jiwa, serta semangat tolong menolong antara sesama
perajin dan pengrajin. Ditambah peran aktif negara dalam
memantau mekanisme pasar.
Diantara yang penting diselaraskan pengembangan
sumber daya perajin songket dengan menjadikan dunia
pendidikan sebagai salah satu medianya. Seperti
memberikan mata pelajaran tambahan ketrampilan
menenun songket.23 Disini, peran pemerintah daerah
berfungsi sebagai penguat efisiensi berkeadilan
pemberdayaan Sumber Daya Manusia. Artinya, pemerintah,
dan pasar tidak selalu memberikan tanggung jawab produk
songket optimal dan kaderisasi kepada perajin, namun juga
didistribusikan lewat peran pemerintah daerah.
Strategi pengembangan usaha songket seiring pula
dengan langkah-langkah strategis yang dilakukan
22
Sayyid Quthb, fî Zhila>l al-Qur‟a>n II, juz 3 (Beirut: Dar al-
Syuruq, 1992). 23
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengrajin yang pernah
melakukan pengembangan kerajinan songket, dengan mengajar
pembuatan kain songket kepada 30 narapidana (napi) perempuan di
Lembaga Permasyarakatan Pakjo Palembang, pada tahun 1989 selama
dua tahun (1991).
350
pemerintah baik dalam menyederhanakan prosedur
perijinanan, memperluas dan meningkatkan kualitas
institusi pendukung yang menjalankan fungsi intermediasi
sebagai penyedia jasa pengembangan usaha, teknologi,
manajemen, pemasaran dan informasi, kebijakan bunga
rendah, hingga kebijakan bagi hasil yang proporsional.
Hal yang tidak kalah pentingnya, dengan cara
meningkatkan kualitas kelembagaan koperasi, sebagai
wadah organisasi kepentingan usaha bersama untuk
memperoleh efisiensi kolektif. Langkah tersebut tidak dapat
lepas dari manajemen Sumber Daya Manusia, sebagai salah
satu faktor penentu kemampuan keberhasilan suatu usaha
tenun songket. Dengan adanya kebersamaan dari semua
pihak akan terlihat ukuran keberhasilan dari kinerja
organisasi (organizational performance), dan manajemen
Sumber Daya Manusia menjadi satu kesatuan dengan
keberhasilan usaha. Upaya menganalisis kinerja organisasi
tidak cukup hanya dari kinerja keuangan saja. Kinerja
keuangan digolongkan sebagai hard issue.
Selain aspek keuangan, suatu usaha harus dievaluasi
berdasarkan soft issues yang bersifat non-finansial atau
aspek aspek keperilakuan (behavioral). Aktifitas menenun
songket terkait dengan kinerja organisasional dengan cara
menciptakan nilai (value creation), yang berarti
menggunakan keahlian Sumber Daya Manusia untuk
mengkaitkan praktek manajemen dan organisasi internal
dengan bisnis eksternal.24
Peningkatan sumber daya berkualitas melalui
keterbawasertaan dalam program pembangunan lokal,
terutama menguatkan regenerasi perajin songket yang tidak
24
Lihat Robert A Giacalone dan Carole L Jurkiewicz, Handbook
of Workplace Spirituality and Organizational Performance (Armonk,
N.Y.: M.E. Sharpe, 2010); Richard L Daft, Organization Theory and
Design (Mason, Ohio: South-Western Cengage Learning, 2010).
351
terpisahkan dalam melakukan persaingan dan kemampuan
wiraswasta25. Pengembangan efisiensi kerja tidak bisa
pula dipisahkan dengan Sumber Daya Manusia (SDM)
dan aktifitas pasar. Ekonomi Islam memandang bahwa
pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan
(iqtis{a>d), tidak boleh ada sub-ordinat, sehingga salah
satunya menjadi dominan dari yang lain.
Perspektif Islam, pasar dijamin kebebasannya, bebas
menentukan cara-cara produksi dan harga, tidak boleh ada
gangguan yang mengakibatkan rusaknya keseimbangan
pasar. Namun, dalam kenyataannya sulit ditemukan pasar
yang berjalan sendiri secara adil (fair). Distorasi pasar tetap
sering terjadi, sehingga dapat merugikan para pihak.26 Dari
sini, pasar menunjang untuk menguatkan kemampuan ide-
ide para pengrajin dan perajin tenun, sehingga mampu
bersaing di pasar bebas, ketika pasar berfungsi memberikan
signal kepada produsen dan konsumen produk yang harus
dibuat atau harus dikembangkan dengan menggunakan
Sumber Daya Alam lokal.27
25
Raghuram G Rajan dan Luigi Zingales, Saving Capitalism from
the Capitalists: Unleashing the Power of Financial Markets to Create
Wealth and Spread Opportunity (Princeton, NJ: Princeton University
Press, 2004); lihat juga Prijono Tjiptoherijanto dan Laila Nagib,
Pengembangan Sumber Daya Manusia: di antara Peluang dan
Tantangan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008). 26
Ade Warman Karim, Kajian Islam Kontemporer (Jakarta: TIII,
2003). 27
Aburizal Bakrie, Merebut Hati Rakyat melalui Nasionalisme,
Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi: Sumbangan Pemikiran Aburizal
Bakrie (Jakarta: Primamedia Pustaka, 2004). Data tersebut menunjukkan
pula bahwa ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai kajian tentang
perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-
sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang-barang dan
jasa-jasa, serta mendistribusikannya untuk dikosumsi, termasuk
didalamnya pengembangan sumber daya perajin songket.
352
Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa pola
pengembangan efisiensi berkeadilan dalam penguatan
sumber daya perajin songket didasarkan pada sumber daya
perajin, terdiri dari penenun yang bekerja berdasarkan
ketrampilan warisan, dan pengrajin-perajin melakukan
aktifitas kerjasama dalam membuat desain berbagai
aksesories yang bernilai jual dan bersaing di pasar.
Aktifitas dari semua komunitas yang ada dalam
kluster usaha songket, terbangun pula dengan
keterbawasertaan semua unit usaha songket oleh
pemerintah dalam semua aktifitas pengembangan seperti
pelatihan, pendidikan, dan kerjasama. Sehingga, terjadi
pelestarian seni tenun songket yang inovatif dan berdaya
saing yang terjalin dalam kebersamaan. Realitas yang
terjadi, adanya indikasi para pengrajin dan perajin songket
yang hanya menunggu bantuan pemerintah satu sisi, sisi
lain tanggung jawab pelestarian diberikan kepada perajin
dan pengrajin, sisi yang lain penguatan usaha lebih pada
penguatan masing-masing komunitas unit usaha.28
28
Membangun hal tersebut tidak dapat lepas dari kepemimpinan
yang memiliki visi, misi, strategi, dan program pemberdayaan Sumber
Daya Manusia. Mohammad Hatta dengan kegigihannya membangun
dan mengimplementasikan UUD 1945 terutama pasal 27, 33 dan 34
dapat menjadi contoh untuk Indonesia. Mahathir Mohamad memimpin
Malaysia dengan program New Economic Policy (1970-2000) melalui
visi membangun ekonomi bumiputra dan menciptakan good governence
berhasil menyalip Indonesia sejak tahun 1990-an. Demikian juga Kim
Young Sam dan Kim Dae Jung (Korea Selatan), Chuan Leek Pai dan
Thaksin (Thailand). Kedua, adanya proses demokratisasi yang
menyejahterakan rakyat banyak. Proses demokratisasi di Korea dari peran
para konglomerat (Chaebol) menuju kebersamaan hingga mampu
menyelesaikan problem ketimpangan rakyatnya dengan penegakan
hukum terhadap korupsi skala mega, termasuk mencontohkan hukuman
mati terhadap dua mantan Presidennya. Ketiga, resource based economic
development. Malaysia dan Thailand mampu mencapai keberhasilan
pembangunan ekonominya yang memadukan antara kemajuan Iptek
dengan pengelolaan sumber daya alamnya. Thailand merajai ekspor
353
Kerajinan songket memerlukan kreativitas sebagai
modal utama, untuk mengacu pada kemampuan individu
yang mengandalkan keunikan dan kemahirannya untuk
menghasilkan gagasan baru bernilai bagi. Kreativitas dapat
juga dianggap sebagai suatu pengalaman untuk
mengungkapkan, dan mengaktualisasikan kemampuan atau
kemahiran menenun secara terpadu bagi dirinya sendiri,
maupun untuk orang lain. Kreatifitas berkaitan dengan inovasi
yang tepat sasaran (appropriate).29 Kreativitas muncul di
karya tenunan, sedangkan inovasi berhubungan dengan
pengembangan teknologi yang dimiliki, sehingga lebih
mudah dalam berkreasi. Kreatifitas pengrajin-perajin
songket memiliki dua unsur, yaitu: Pertama, kefasihan yang
produk-produk agro industri di dunia untuk teknologi menengah dan
sederhana. Pendapatan penduduk rata-rata kedua negara tersebut jauh
melampaui Indonesia. Keempat, kemampuan mereaktualisasikan nilai-nilai
agama, tradisi, dan nilai lokal bersamaan dengan proses ekselerasi
industrialisasinya. Jepang, bahkan memunculkan nilai-nilai model
manajemen Total Quality Control (TQC, Toyotaism) seperti nilai-nilai
seniorism, long-live worker, dan loyalitas karyawan terhadap perusahaan
dikutip dari nilai-nilai ajaran agama (Sintoisme). Implementasi Indonesia
memiliki kekuatan dalam membangun bangsa lebih maju jika saja
Pancasila, UUD 1945 menekankan kesejahteraan sosial yang societal
welfare dan menafsirkan sekaligus mengimplementasikan semua pasal
yang ada termasuk pasal 27, 33, 34 UUD 1945 dan parameter nilai-nilai
agama (ekonomi Islam) dan payung bagi ekonomi Syari‟ah dapat disadari
dan dilakukan oleh semua komponen dan strata masyarakat Indonesia
tanpa “malu-malu”, maka penghambaan terhadap kapitalisme dan
neoliberalisme yang menghilangkan jati diri bangsa Indonesia akan
terkikis dan menjadikan masyarakat memiliki jati diri bangsa Indonesia
berdaulat. Lihat kembali berbagai pemikiran ekonomi dalam karya
Mohammad Hatta, Sri-Edi Swasono, Mubyarto, Sritua Arif, Dawam
Rahardjo, Muhammad Amin Suma, Revrisond Baswir, Didin S.
Damanhuri, Murasa Sarkani Putra, Fathurrahman Djamil, Abdul Hamid,
Rodoni dalam disertasi ini 29
Kiagus Zainal Arifin, Songket Palembang: Indahnya Tradisi
Ditenun Sepenuh Hati (Jakarta: Dian Rakyat, 2006); Netti Tinaprilla, Jadi
Kaya dengan Berbisnis di Rumah (Jakarta: Gramedia, 2007).
354
ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan sejumlah besar
gagasan pemecahan masalah secara dini dan cepat. Pada saat
kain songket mengalami penurunan pembelian, maka seorang
pengrajin-perajin melakukan terobosan desain yang lebih
berorientasi pasar, dengan tidak meninggalkan eksistensi dan
ciri khas kain songket. Kreatifitas dalam mendaur ulang kain
songket ke dalam berbagai aksesoris sebagai cinderamata
yang sudah dilakukan, memperlihatkan ada upaya melakukan
kreatifitas dan inovasi. Kreatifitas lain yang bisa ditawarkan
seperti membuat map untuk kegiatan formil seperti
penandatangan MOU, kaligrafi berbahan dasar kain songket.
Kaos dengan motif kain songket yang didesain menjadi lebih
terkesan menarik, sarung bantal songket.30
Hal-hal tersebut memerlukan kemitraan dengan
kelompok lain, sehingga kreatifitas kain songket semakin
menjadi lebih bervariasi dan menjadi salah satu komoditas
eksport daerah unggulan provinsi Sumatera Selatan dan
sekaligus menjadi ciri khas budaya masyarakat Sumatera
Selatan. Kedua: keluwesan dalam memanfaatkan jaringan dan
komunikasi dengan pengrajin lain maupun dengan para
pelanggan, distributor untuk mendapatkan ide-ide
pengembangan usaha songket. Seiring dengan kreatifitas
sebagai penguat sumber daya pengrajin dan perajin songket
yang ingin maju akan merasakan bahwa: (1) kreatifitas
merupakan kemampuan (ability) yang bisa terus
dikembangkan untuk mendapatkan hal-hal yang baru; (2)
kreatifitas merupakan sikap (attitude) untuk menerima
perubahan dan sesuatu yang baru sambil memberikan
penjelasan pada masyarakat yang belum siap menerima
30
Susan Rodgers et.al., Gold Cloths of Sumatra: Indonesia's
Songkets from Ceremony to Commodity (Leiden: KITLV Press;
Worcester, Mass: Iris and B. Gerald Cantor Art Gallery, College of the
Holy Cross, 2007); Justine Vaisutis, Indonesia (Melbourne: Lonely
Planet, 2007).
355
perubahan songket dengan modifikasi mengikuti arus pasar;
(3) kreatifitas merupakan sebuah proses (process) secara
berkelanjutan untuk membuat perubahan dan perbaikan
secara bertahap pada usaha songket.
Konsep Islam dalam berkreatifitas berstandar pada
kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan
fungsi kehambaan kepada Allah, dan menempuh jalan
menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan
taraf hidup, serta memberi manfaat kepada sesama. Untuk
itu, tatanan nilai dalam berkreatifitas tidak dapat lepas dari
nilai nilai syari‟ah seperti: (1) al-s}ala>h, yaitu setiap
aktifitas bertenun memberi nilai baik dan berdaya guna
(Q.S. al-An‟a>m [6]: 132; (2) al-itqa>n, yaitu kemantapan
untuk melakukan yang terbaik dalam setiap bertenun, tidak
asal jadi, dan karenanya diperlukan dukungan pengetahuan
dan pengalaman yang diamalkan baik untuk diri sendiri,
maupun untuk para kader penenun pemula (Q.S. an-Naml
[27]: 88); Q.S. al-Baqarah [2]: 263; (3) al-Ihsan sebagai
upaya memaksimalkan pekerjaan dengan semangat ibadah
(Q.S. Fus}s}ilat [41]: 34, (4) al-Muja>hadah yang
berkenaan dengan optimalisasi dalam bekerja (Q.S. a>li-
„Imra>n [3]: 142, Q.S. al-Ma>‟idah [5]: 35, Q.S. al-Hajj
[22]: 77, Q.S al-Furqa>n [25]: 25, dan Q.S. al-„Ankabu>t
[29]: 69); (5) tanafus dan ta‟a>wun, yaitu berkompetisi
namun tetap berusaha saling tolong menolong, fastabiqul
al-khaira>t (Q.S. al-Baqarah [2]: 108; Q.S. a>li-Imra>n
[3]: 133-135; Q.S. at-Tat}fi>f [83]: 22-26; Q.S. al-Hujura>t
[49]: 13). Ayat ayat tersebut menyuratkan dan menyiratkan
etos persaingan dalam kualitas kerja.31
31
Saneya Hendrawan, Spritual Management: from Personal
Enlightman to Words God Corporate Govermance (Jakarta: Mizan,
2009). Pemahaman al-Ihsan lebih luas lihat. al-Alu>si, Ru>h al-
Ma‟a<>ni fi> Tafsi>r al-Qur‟a>n al-Azi>m wa Sab‟a al Masta‟ni
(Beirut: Dar Kutub al-Imiyyah, 1974), juz 12; juz 14.
356
C. Corak Usaha Berbasis Nilai
Seperti dijelaskan sebelumnya, kain songket
memiliki nilai sejarah budaya serta memiliki keistimewaan.
Masyarakat Palembang memiliki keharusan untuk
memakai kain songket dalam setiap upacara adat,
perkawinan ataupun upacara adat lainnya dan tidak untuk
dipakai sehari-hari. Pemakaian kain songket untuk upacara
perkawinan berbeda dengan yang digunakan untuk upacara
keagamaan, dan upacara adat lainnya. Kain songket
merupakan tenun budaya yang menjadi bagian penting untuk
dilestarikan. Karena itu, setelah menguatkan Sumber Daya
Manusia dalam kerangka efisiensi berkeadilan dengan nilai
sosial, maka corak usaha juga dibangun berdasarkan konsep
tersebut dengan nilai-nilai humanis spritualis. Pentingnya
penegasan humanis32 spritual33 dalam wilayah efisiensi
32
Humanisme sama dengan kemanusiaan. Inti pemikiran
humanisme adalah melihat bahwa manusia adalah makhluk yang
berharga, yang punya potensi sangat besar, yang mampu menaklukan
berbagai persoalan berat humanisme sangat mendewakan kemampuan
manusia dan rasionalitas humanisme mulai "booming" saat era
renaissans, karena ilmu pengetahuan dan rasio manusia sangat dihargai
saat itu dalam batas tertentu, humanisme bisa mendorong
ketidakpercayaan terhadap Tuhan, karena merasa manusia sudah begitu.
Secara khusus, humanisme tidak berkaitan dengan kegiatan sosial,
humanisme lebih ke cara pikir mendewakan kemampuan manusia.
Konsep ini pada mulanya ditujukan pada guru atau murid yang
mempelajari kebudayaan seperti gramatika, retorika, sejarah, seni puisi
atau filsafat moral. Pelajaran inilah yang dalam konsep humanisme biasa
disebut sebagai studia humanitatis. Pada era renaisans, ilmu-ilmu tersebut
menduduki kedudukan yang amat penting. Oleh sebab itu, kaum humanis
memilki kedudukan yang cukup terpandang dalam komunitas intelektual.
Secara umum, humanisme berarti martabat dan nilai dari setiap manusia,
dan semua upaya untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan
alamiahnya (fisik non fisik) secara penuh. Dalam istilah umum untuk
berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan
keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan
357
tidak lepas dari nilai dasar produktifitas dan distribusi
dalam bisnis, memerlukan suatu proses memanusiakan
manusia dengan disemangati oleh nilai-nilai ilahiyah,
sehingga terjadi keseimbangan antara aspek rohani dan
aspek jasad menuju kesejahteraan sosial. Pelaku bisnis
selalu berpegang teguh tentang hakikat manusia, sehingga
tidak terjebak dalam wilayah materialisme. Sementara dari
sisi yang bersamaan, membangun spiritualisme adalah
usaha melakukan refressing mental atau ruhani berupa
keyakinan, iman, ideologi, etika, dan pedoman atau
tuntunan.
Membangun spritualisme dapat dilakukan dengan
berbagai media. Salah satunya adalah yang membangun
dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang
cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia,
berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku
bagi kelompok-kelompok etnis tertentu. Lihat Ensiklopedia Britannica,
2007; Abdurrachman Mas'ud, Menuju Paradigma Islam Humanis
(Yogyakarta: Gama Media, 2003); Jakob Oetama, Berpikir Ulang tentang
Keindonesiaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001). 33
Spiritualisme di dalam agama adalah kepercayaan, atau
praktek-praktek yang berdasarkan kepercayaan. Dalam sub ini tidak
membahas perdebatan manifesto humanis seperti (1) kajian bahwa
humanis yang memandang alam semesta ada dengan sendirinya dan tidak
diciptakan; (2) kepercayaan bahwa manusia adalah bagian dari alam dan
bahwa dia muncul sebagai hasil dari proses yang berkelanjutan; (3)
bahwa dualisme tradisional tentang pikiran dan jasad harus ditolak. Dari
hal tersebut memperlihatkan ekspresi dari sebuah filsafat umum yang
mewujudkan dirinya di bawah nama materialisme, Darwinisme, ateisme,
dan agnotisisme. Lebih mengkaji humanis spritualis atau humanis
teosentris yang mengarahkan manusia untuk dapat membangun nilai-nilai
humanisme dalam bangun nilai-nilai keagamaan. Lihat Said Aqiel Siradj,
Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi,
bukan Aspirasi (Bandung: Mizan, 2006); Syamsul Arifin et.al.,
Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: Sipress,
2000); Dody S Truna dan Ismatu Ropi, Pranata Islam di Indonesia:
Pergulatan Sosial, Politik, Hukum, dan Pendidikan (Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2002).
358
spiritualitas yang bersumber dari agama yang dinamakan
spritualisme religius yang pada dasarnya merupakan bentuk
spritualitas yang bersumber dari ajaran Tuhan, diyakini
memiliki kekuatan spiritual yang lebih kuat, murni, suci,
terarah, dan abadi dibandingkan spritualitas sekuler dengan
berbagai coraknya. Membangun spritualitas religius dengan
demikian merupakan kebutuhan untuk diwujudkan di
tengah kehidupan masyarakat modern.34
Selama ini banyak berkembang dalam masyarakat
kita sebuah pandangan dikotomis antara dunia dan akhirat.
Dikotomisasi antara unsur-unsur kebendaan dan unsur
agama, antara unsur kasat mata dan tak kasat mata. Mereka
yang memilih keberhasilan di alam vertikal cenderung
berpikir bahwa kesuksesan dunia justru adalah sesuatu
yang bisa dinisbikan, atau sesuatu yang demikian
mudahnya dimarginalkan. Hasilnya, mereka unggul dalam
kekhusyu‟an dzikir dan kenikmatan berkontemplasi, namun
menjadi kalah dalam percaturan ekonomi, ilmu
pengetahuan, sosial, politik dan perdagangan di alam
horizontal. Sebaliknya, seseorang yang berpijak hanya
pada alam kebendaan, kekuatan berpikirnya tidak pernah
diimbangi oleh kekuatan dzikir.35
Manusia sebagai makhluk ciptaan dilengkapi dengan
potensi pengembangan diri secara bebas dan kontinyu
sepanjang kemampuan dirinya dalam memahami inti proses
kehidupannya. Usaha peningkatan tenun songket, maupun
ekonomi mikro dan kecil lainnya tidak terlepas dari pelaku
usaha sebagai makhluk alternatif yang ditawarkan pilihan
34
Said Aqil Husin al-Munawar dan Abdul Halim, al-Qur'an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002). 35
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spiritual (Jakarta: Arga, 2001), xxxviii; lihat juga
Kisdarto Atmosoeprapto, Temukan Kembali Jati Diri Anda (Jakarta: PT
Elex Media Komputindo, 2004).
359
nilai yang terbaik yaitu nilai ilahiyat, sehingga kemudian
dikatagorikan sebagai makhluk bebas, tetapi tidak bebas
nilai (nilai alternatif). Sekaligus empat potensi, yaitu:
naluriah, indrawi, akal, dan potensi keagamaan membawa
keragaman dalam mencapai kualitas diri.
Dari persepktif tersebut, maka kajian etika pada diri
manusia terdapat keragaman dan kecenderungan untuk
menundukkan diri pada sesuatu yang dikagumi, di samping
jiwa yang selalu merasa menyesal dan merasa bersalah
(sense of quilty). Al-Qur‟a>n dan al-Hadits juga
menjelaskan tentang potensi diri manusia dengan berbagai
macam fitrah yang antara lain, adalah: Pertama, fitrah
agama, fitrah beragama sudah tertanam dalam jiwa manusia
semenjak dari alam arwah dulu (Q.S. al-A‟ra>f [7]: 172).
Kedua, fitrah suci, keadaan yang membuat manusia kotor
adalah dosa, dan itupun bila manusia itu sudah mencapai
baligh dan mumayyiz (Q.S. at-Tat}fi>f [83]: 14). Ketiga,
fitrah beral-akhla>q, ajaran Islam menyatakan secara tegas
sekali bahwa Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah
untuk menyempurnakan al-akhla>q. Allah juga
menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam sebaik-baik
kejadian (Q.S. at-Ti>n [95]: 4) termasuk dalam kejadian
adalah etika moralnya. Keempat, fitrah kebenaran, dalam
al-Qur‟a>n bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
mengetahui kebenaran (al-Baqarah [2]: 26 dan 144).
Kelima, fitrah kasih sayang, menurut al-Qur‟a>n dalam diri
manusia telah diberi fitrah kasih sayang (Q.S. ar-Ru>m
[30]: 21; Q.S. al-Mumtah}anah [60]: 7; Q.S. al-Balad [90]:
17).
Kelima potensi yang terangkum pada fitrah potensi
dasar manusia menunjukkan bahwa manusia adalah
makhluk biologis (basyr dan nafs), sedangkan hidayat al-
aqliyah (aqal), dan hidayat al-di>niyah (agama) termuat
dalam ruh. Oleh karena itu kecerdasan emosi, seperti
360
keterampilan sosial, ketangguhan bekerja, loyalitas,
komitmen, optimisme yang dapat membentuk karakter
seorang pengrajin maupun perajin songket jauh lebih
penting bagi faktor keberhasilan, dibandingkan dengan
ranah kognitf yang diukur melalui kecerdasan otak.
Pada hakekatnya keberhasilan sangat ditentukan
faktor usaha (ikhtiar) yang dilakukan.36 Tetapi, setiap usaha
tidak selalu membuahkan hasil, karena keberhasilan sangat
dipengaruhi banyak faktor, termasuk faktor keterbatasan
dan kelemahan manusia, termasuk memaknai kegagalan,
kecemasan, frustasi, dan sejenisnya. Meskipun semuanya
manusiawi dan hal yang fitrah dalam diri manusia,
kecerdasan emosi sangat diperlukan untuk mengatasi
problem-problem tersebut. Emosi bukanlah suatu hal yang
negatif.
Emosi yang dapat dikendalikan dan dikelola secara
baik justru memiliki potensi besar untuk mengarahkan
seseorang kepada keberhasilan. Sebaliknya, emosi akan
menyebabkan malapetaka, jika kita tidak dapat
mengendalikan dan mengelolanya secara baik. Dalam
pengertian yang lain, bahwa emosi mempengaruhi energi
mental seseorang dalam menumbuhkan kreatifitas.
Masing-masing aspek inteligensi, emosi dan
kreatifitas terkait satu sama lain, dan imajinasi kreatif
(creative imagination) terkait dengan memberfungsikan
belahan otak kanan (right brain).37 Nilai-nilai tersebut
36
Muhammad Sa‟i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i>, D}awa>bit} al-
Mas}lahah fî al-Shari>‟ah al-Isla>miyah (Beirut: Da>r al-Muttahidah,
1992); Anas al-Zarqa>, Islamic Economic an Approach to Human
Welfare in Studies in Islamic Economic (Leicester: the Islamic
Foundation, 1980); S.M Ghazanfar dan Azim Islahi, Economic Thought
of an Arab Scholastic Abuha>mid al-Gha>za>li>, History of Political
Economy (London: Duke University Press, 1998). 37
Kisdarto Atmosoeprapto, Temukan Kembali Jati Diri Anda
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004). Peranan IQ sebagai ukuran
361
penting untuk ditekankan bagi para pengrajin-perajin
songket, sebab dengan adanya nilai tersebut akan terpatri
dalam diri pengrajin-perajin bahwa ketrampilan yang
dimiliki adalah sebuah anugrah yang tidak boleh disia-
siakan, dengan standar hanya untuk menambah pendapatan
keluarga, bukan sekedar hanya mendapat upah dan harta
untuk dikonsumsi, tapi hasil karyanya dapat berdaya guna
bagi masyarakat.38 Lebih dari itu, bahwa ketrampilan yang
dimiliki dapat menjadi penerus dan pelestari sejarah budaya
lokal Sumatera Selatan, sekaligus menambah penguat
kecerdasan seseorang menjadi pemain tunggal sekaligus pemain utama
dalam memprediksi kemampuan seseorang baik selama masa
pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi maupun sebagai calon
karyawan dan karyawati. Seolah-olah IQ adalah segalanya. Namun dari
hasil test IQ, kebanyakan orang memiliki IQ tinggi menunjukan kinerja
buruk dalam pekerjaan, sementara yang ber IQ sedang, justru sangat
berprestasi. Kemampuan akademik, nilai rapor, predikat kelulusan
pendidikan tinggi tidak bisa menjadi tolak ukur seberapa baik kinerja
seseorang sesudah bekerja atau seberapa tinggi sukses yang akan dicapai.
Saat ini, perusahan-perusahaan raksasa dunia sudah menyadari hal ini.
Mereka menyimpulkan pribadi dan sosial yang merupakan kunci utama
keberhasilan seseorang adalah kecerdasan emosi (EQ). Dengan
munculnya EQ sebagai tolak ukur baru yang mampu memprediksi
kemampuan seseorang tidak hanya dalam bidang akademik, bidang yang
berkaitan dengan rasio dan kemampuan analisis, tetapi menyangkut
hampir seluruh bidang dalam segala aspek kehidupan, dunia menjadi
gempar, terutama di kalangan ilmuwan dan EQ langsung menggeser IQ,
menjadi pemain utama yang lebih menentukan jalan cerita dan IQ hanya
sebagai pemain pendamping yang kontribusinya dalam menentukan
jalannya cerita dalam kehidupan tidak lebih dari 20. Lihat Steven J. Stein
dan Howard E, Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emotional
Meraih Sukses (Bandung: Penerbit Kaifa, 2002). 38
Afar, al-Iqtis}a>d al-Isla>mi> al-Juz-i> (Jeddah: Da>r al-
Baya>n al-„Arabi>, 1985), jld. 3; Malcom Brownlee, Tugas Manusia
dalam Dunia Milik Tuhan (Jakarta: Gunung Mulia, 2004).
362
keimanan, dimana semua aktifitas yang dikelola dengan
baik, ditekuni, dan fokus akan memberikan kontribusi.39
Model penenunan dengan sepenuh hati meretas
adanya ketenangan batin, dan ketenangan batin akan
tercipta manakala seseorang merasakan adanya kedekatan
dengan Ilahi.40 Kecerdasan tersebut harus pula didasari oleh
kesadaran akan kebenaran sejati, yang didorong oleh
kekuatan dan kesadaran untuk mencapai ridho Allah,
sehingga terbentuk suatu pribadi yang memiliki komitmen
dan integritas tinggi, serta ketakwaan. Adanya kerjasama
antara otak sebelah kanan yang berperan dalam emosi,
sedangkan otak sebelah kiri yang berperan dalam rasio, dan
otak sebelah kanan ini akan menghasilkan efek sinergis
yang mempunyai daya luar biasa dan bisa berkembang
nyaris tanpa batas, namun yang akan memberi arah yang
benar adalah hati nurani atau spiritual yang intellegensinya
disebut spiritual intellegence.41
Kesimpulan yang didapatkan pada proporsi di atas
bahwa dalam membangun corak pengembangan usaha
songket berbasis nilai dibentuk dengan keseimbangan
antara keahlian, intelektual, dan spritualitas sehingga
produktif. Dampak dari hal tersebut, upah yang dapat
39
M Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya
(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa bekerjasama dengan the
International Institute of Islamic Thought Indonesia [IIIT] dan Lembaga
Studi Agama dan Filsafat, 2002). 40
Nilai-nilai ketenangan batin dapat dilihat M Cholil Bisri,
Menuju Ketenangan Batin (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008), 97-
98; M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi (Jakarta: Gema
Insani, 2006). 41
Lihat Alan E. Nelson, Spiritual Intellegence: Discover Your SQ
Deepen Your Fath (USA: Baker Publishing Group, 2010); lihat juga
Tony Buzan, the Power of Spiritual Intelligence (Jakarta: Gramedia,
2003). Sebagai perbandingan dalam menggali spiritual intelegence lihat
juga Brian Draper, Spiritual Intelligence: a New Way of Being (Oxford:
Lion, 2009).
363
menjamin kelangsungan hajat yang sesuai dan usaha yang
berdaya guna, sehingga menimbulkan ketenangan yang
membentuk keimanan menjadi lebih baik. Corak
pengembangan usaha songket berbasis nilai selanjutnya
adalah dengan membentuk kemitraan melalui akad42
shari>‟ah. Titik lemah usaha songket Palembang
sebagaimana ditemukan dalam studi ini adalah kemitraan
yang tidak produktif.
Penyalahgunaan kepercayaan, hingga persoalan
keadilan memberikan jalur informasi peta penjualan,
maupun peta distribusi. Sehingga, menimbulkan konflik
kepercayaan dan ketidakadilan distribusi. Sebagaimana
dipahami sebelumnya, bahwa konsep dasar transaksi
42
Untuk diingat kembali bahwa al-„Aqdu, yaitu بقبول ايجاب ارتباط
Hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan محله فى أثره مشروع وجه على
kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh/akibat hukum pada
obyek akadnya. Salah satu bentuk akad yang sesuai dengan investasi
(ististmar) harta adalah akad mud{a>rabah berdasarkan lughat penduduk
Iraq, yaitu kerja sama antara pemilik modal dengan pengelola modal
dalam kerangka hukum dan ketentuan shari>‟at Islam. Beberapa istilah
yang berkaitan dengan janji atau perjanjian, yaitu kata wa‟ad (al-wa‟du),
akad (al-‟aqdu), dan ‟ahd (al-‟aqdu), janji, perjanjian, perikatan,
persetujuan. Secara umum, kata-kata tersebut sering dianggap sama atau
mempunyai pengertian yang serupa. Tetapi, dalam kajian hukum istilah
tersebut memiliki arti dan implikasi yang berbeda. Sebagian ahli hukum
Islam yang menilai bahwa janji (wa‟ad) ini tidak hanya mengikat secara
moral tetapi juga secara hukum apabila dikaitkan dengan suatu sebab,
baik sebab itu disebutkan dalam pernyataan janji atau tidak disebutkan
(QS. al-Shaff [60]: 2-3) dan Hadis tentang tanda orang munafik, yang
salah satunya apabila berjanji dia mengingkari. Orang yang memberikan
“janji” (wa‟ad), bila menjalankan janji tersebut merupakan suatu bentuk
etika yang baik (akhlak karimah) karena didasarkan pada kebajikan
(tabarru‟) sebagaimana hibah. Lihat Ahmad ibn Abdurroza>q al-
Duwaisy, Fata>wa al-Lajnah al-Da>imah li al-Buhu>ts al-Ilmiyyah wa
al-Ifta (Riyadh: Da>r al-S}imah, 2000), bab al-buyu‟; Fathurrahman
Djamil, “Akad dan Aspek Legalitas dalam Transaksi Ekonomi Syariah”,
naskah ajar Fiqh Muamalat dalam Keuangan dan Perbankan Islam
(Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syahid, 2010), 1.
364
ekonomi Islam adalah membangun efisiensi yang mengacu
pada upaya berusaha, dengan mencapai laba, dengan biaya
yang dikeluarkan selayaknya. Dengan adanya prinsip
tersebut, maka hubungan kemitraan adalah „an tara>d}in
dan saling isi dalam meningkatkan produktifas usaha.
Berkenaan dengan hal tersebut, salah satu rukun jual
beli dalam Islam adalah ada barang dan ada uang.
Rukun jual beli tersebut adalah sesuatu yang harus
wujud. Terpenuhi dan tidaknya atau ada dan tidaknya
rukun tersebut menentukan sah dan tidaknya
perdagangan yang dilakukan.43 Sementara bentuk-bentuk
pengembangan modal menurut ketentuan shari>‟ah
mu‟amalah, dapat dilakukan dalam bentuk: (1) transaksi
akad jual-beli, yaitu pengembangan modal usaha di mana
seseorang berada dalam posisi sebagai penjual dan yang
lainnya sebagai pembeli, seperti dalam akad al-ba‟i (2)
transaksi akad bagi-hasil, yaitu pengembangan modal usaha di
mana seseorang dapat bertindak sebagai pemberi
modal, dan yang lainnya bertindak sebagai pengelola
modal, dengan ketentuan akan membagi hasil yang
diperoleh sesuai perjanjian yang telah disepakati.
Transaksi ini dapat dilihat dalam akad-akad bagi hasil,
seperti dalam akad as-shirkah seperti akad al-mud}a>rabah
dan akad as-shirkah. (3)transaksi akad jasa, yaitu
43
Muhammad Bagir S}adar, Islam and Schools of Economic.
Lihat juga J. Snider, R. P. Hill dan D. Martin, “Corporate Social
Responsibility in the 21st Century: a View from the World‟s Most
Successful Firms,” Journal of Business Ethics, no. 48, 2003; Jusmaliani,
Kajian Teori Ekonomi dalam Islam: Kebijakan dalam Perekonomian
Islam (Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, 2004). Bandingkan dengan Muhammad Baqir ash-Shadr,
Islam and Schools of Economic, diterjemahkan oleh M Hashem,
Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan
Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Pustaka Zahra,
2002).
365
pengembangan modal di mana seseorang bertindak sebagai
konsumen/pemakai jasa, dan wajib memberikan harga
kepada pihak yang telah memberikan jasa tersebut
menurut kesepakatan yang dibuat, seperti dalam akad al-
rahn, al-wadi‟ah.
Kemitraan juga ditegaskan dalam konsep
mud}a>rabah, yaitu seseorang memberikan harta kepada
pekerja untuk diperdagangkan sedangkan keuntungan
menjadi milik bersama,44 sehingga mud}a>rabah (profit
and loss sharing system) adalah suatu sistem usaha berbagi
atas laba dan rugi, di mana pihak-pihak yang melakukan
investasi bersama memberikan modal, tenaga kerja dan
manajemen pada kesepakatan kontrak untuk usaha
patungan dengan persentase nisbah yang ditentukan diawal
kontrak. Konsekuensi logis dari kemitraan melalui
pelaksanaan mud}a>rabah ada pada tanggungan kerugian.
Kerugian sebagai resiko usaha (dalam bentuk materi)
ditanggung oleh pemodal, kecuali kerugian itu karena
kealpaan pengusaha. Dapat dipahami bahwa pengusaha
secara tidak langsung juga mengalami kerugian dari segi
kerja dan waktu. Tentu saja disini dituntut kredibilitas dan
profesionalitas usaha.
44
Muhammad Abdul Mun‟im Abu Zaid, al- wa Tat}biqatiha al-
„Amaliyah fi> al- Mas}arif al-Islamiyah (al-Qa>hirah; al-Ma‟ahad al-
„A>limi li al-fikr al-Islam, 1996). Mud}a>rabah menurut Hanabilah
menyebutkan dengan memberikan harta untuk diperdagangkan kepada orang
lain dan keuntungan (dibagi) pada keduanya. Lihat ibn-Qudamah, al-
Mughni, jiid 5 (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1376 H). Hanafiah dengan akad
kerja sama untuk mencari keuntungan dimana harta dari pemiliknya dan
kerja dari pihak pengusaha. Lihat Hasyiyah ibn „Abidin, Rad al-
Mukhta>r (Beirut: Da>r al-Fikr. tth). jilid 5; Malikiyah mengartikan
pemodal memberikan uang dalam jumlah tertentu dan di ketahui kepada
pedagang (pemberian) bagian dari keuntungan (yang diperoleh). Lihat al-
Khatib al-Sharbaini, Mughni al-Muhta>j, jilid 2 (Beirut: Da>r al-Fikr,
1994).
366
Impelemtasi mud}a>rabah dimana terjadi akad kerja
sama usaha di bidang kerajinan songket Palembang antara
dua belah pihak dimana pihak pertama (sahibul maal)
menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain menjadi
pengelola (perajin). Keuntungan usaha dibagi menurut
kesempatan yang dituangkan dalam kontrak. Konsekuensi
kerugian ditanggung oleh pihak modal selama bukan
akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian
diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian pengelola,
maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian.
Berdasarkan ijma‟ para ulama juga telah membolehkan
mud}a>rabah, bahkan ada juga sebagian ulama yang
membolehkan berdasarkan qiyas kepada al-Musaqah.45
Aspek kemitraan antara pengrajin dan pengrajin
songket dalam keuntungan adalah jumlah yang didapat
sebagai kelebihan dari modal. Kejelasan jumlah keuntungan
yang diperoleh dari hasil usaha merupakan salah satu
prasyarat keuntungan. Karena, keuntungan adalah tujuan
akhir mud}a>rabah. Keuntungan yang tidak jelas
berimplikasi pada kerusakan (fasad) mud}a>rabah, berarti
syarat batal. Namun meskipun syarat keuntungan batal,
akad tetap sah.46 Pembagian keuntungan bagi masing-
masing pihak pada mud}a>rabah ditetapkan melalui
perjanjian bersama dengan persentase. Jadi, tidak ada jumlah
pasti dari keuntungan yang harus diterima pada perjanjian
mud}a>rabah, dan tidak selayaknya bagi salah satu pihak
45
al-Musaqah adalah penyerahaan sebidang kebun pada petani
untuk digarap dan dirawat dengan ketentuaan bahwa petani mendapatkan
bagian dari hasil kebun itu. Lihat Hasyiyah ibn „Abidin, Rad al-
Mukhta>r. Petani yang bekerja disebut al-musaqi, sedangkan yang punya
kebun disebut rab al-syajr. Lihat Said Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid 3 (tt:
al-Muallaf, 1998 M). 46
Al-Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhta>j, jiid 2 (Beirut Da>r
al-Fikir, 1978).
367
diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa
membagi pada pihak yang lain.
Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus
diketahui pada waktu berkontrak, dan proporsi tersebut
harus dari keuntungan. Misalnya 60% dari keuntungan
untuk pemodal dan 40% dari keuntungan untuk pengelola.
Tidak dibenarkan syarat dengan menentukan bagian
mud}arib dengan jumlah tertentu, karena porsi masing-
masing pihak tidak jelas. Ketidakjelasan porsi masing-
masing pihak dapat merusak mud}a>rabah. Seperti: pemilik
modal menentukan bahwa porsi mud}arib adalah seratus
dinar atau lebih dan sisanya diambil oleh shahib al-mal.
Kalau jangka waktu akad mud}a>rabah relatif lama, ini
berlaku pada mud}a>rabah mustamirrah seperti
mud}a>rabah untuk jangka panjang, maka nisbah
keuntungan disepakati untuk ditinjau dari waktu ke waktu.
Secara teknis, tinjauan keuntungan dapat dilihat pada
laporan periodik keuangan.
Dari kajian tersebut, memperlihatkan bahwa nilai
keadilan47 yang dibangun dalam usaha terlihat jelas dan hal
tersebut tidak dapat lepas dari konsep aqd. Aqd yang
47
Al-Qur‟an banyak sekali berbicara tentang keadilan. Ada
beberapa ayat yang memuat kata adil, yaitu: an-Nah}l (16): 90, al-A‟ra>f
(7): 7, as}-S}u‟ara>‟ (26): 181-183, an-Nisa>‟ (4): 58, S}a>d (38): 26, al-
Ma>‟idah (5): 8, an-Nisa>‟ (4): 135, al-Baqarah (2): 177. Dari beberapa ayat
tersebut dapat diambil beberapa pengertian adil, yaitu: 1. Adil diartikan
dengan ihsan bukan kekejian dan bukan kebatilan. 2. Adil bisa diartikan
kejujuran yang tidak merugikan orang lain, yaitu bagimana bersikap
terhadap hak orang lain (tidak korupsi karena dapat merusak dan merugikan
seperti merusak perdagangan dan ekonomi). 3. Adil juga dapat diartikan
amanah. Oleh sebab itu, pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang
adil dan harus ditaati. 4. Adil dapat diartikan dengan pengendalian hawa
nafsu atau perasaan-perasaan subjektifitas seperti senang dan benci. 5.
Adil berarti keadilan komutatif atau keadilan etis seperti yang dikatakan
oleh Aristotales dan keadilan distribusi atau keadilan sosial.
368
diisyaratkan dalam fiqh muamalah adalah aqd yang tidak
mengandung unsur riba, dan hubungannya dengan bunga.
Berdasarkan kajian di atas, juga dipahami bahwa
pemilihan kontrak bagi muslim ditentukan oleh minimal
dua faktor penentu, yaitu: (1) ekspektasi keuntungan yang
diharapkan (tinggi), dan (2) sesuai dengan shari>‟ah.
Berbeda dari preferensi non-muslim yang hanya
berdasarkan keuntungan semata, preferensi muslim dalam
memilih tipe kontrak harus sesuai dengan konsep mas}lahat
yang sesuai dengan shari>‟ah. Konsep sharing, merupakan
suatu kontrak usaha yang berimplikasi pada rasa tolong
menolong dalam menghadapi ketidakpastian dalam dunia
usaha.
Anjuran Islam tersebut ditambah lagi dengan
petunjuk yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas
transaksi kontrak. Anjuran itu misalnya perintah untuk
berbuat jujur (siddiq). Konsep kejujuran akan mendorong
transparansi dalam berkontrak. Transparansi dapat
melahirkan kontrak usaha yang bermutu dan berkualitas.48
Ilustrasi ikhtisar rugi laba dalam revenue sharing dan profit
sharing antara pemilik modal dan perajin songket dalam
sebulan sebagai berikut:
Revenue: Pendapat usaha (kotor) = XX
Harga pokok = XX
Pendapatan usaha (bersih) = Y (revenue
sharing)
Expenses
Biaya operasional = XX
Biaya pemasaran = XX
48
Khurshid Ahmad, “Economic Develovement in an Islamic
Framework”, dalam Studies in Islamic Economic, Khurshid Ahmad eds.
(Jeddah: International Centre for Research in Islamic Economics, King
Abdul Aziz University, and the Islamic Foundation, 1980).
369
Biaya manajemen = XX
Biaya lain-lain = XX
Total biaya = XXX
EBT = XX
Pajak (N%) = XXX
EAT = Y (Profit Sharing)
Islam juga mempunyai konsep penghargaan terhadap
waktu dan dorongan untuk bekerja keras di dunia.
Penghargaan terhadap waktu dan bekerja keras adalah
syarat untuk keberhasilan suatu usaha. Islam juga
mewajibkan amanah terhadap sesuatu yang dipercayakan
orang kepada seseorang. Konsep amanah adalah konsep
yang sangat diperlukan dalam sebuah kontrak usaha,
apalagi sharing. Ketiga konsep Islam tersebut tentu sangat
mendorong terjadinya kontrak yang berkualitas dalam
sharing. Karena itu, konsep aqd non ribawi sangat
memberikan dampak terutama penguatan kedermawanan
sosial perusahaan-perusahaan besar di Indonesia dalam
membantu usaha kecil dan mikro.49 Melalui aqd non ribawi
dan aktifitas mud}a>rabah menjadi antara kedua pemilik
modal (usaha besar) dengan pengguna modal (usaha mikro
dan usaha kecil) sama-sama saling membangun kekuatan
dibidang usaha, dan saling memberikan keuntungan dengan
tetap menjaga nilai nilai shari>‟ah, paling kurang jalinan
silaturahmi yang menumbuhkembangkan kebersamaam
dalam dunia bisnis.
Upaya menambah kekuatan dalam kemitraan, maka
peluang baitu mal wa tamwil yang benar-benar
mengutamakan pembiayaan proyek-proyek usaha kecil
dapat bermitra dengan para pengrajin-perajin songket,
49
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (USA: the
Islamic Foundation and the International Institute of Islamic Thought
UK, 1992).
370
terutama bagi pengrajin dan perajin songket yang baru
tumbuh. Seperti contoh, BMT membuat alat-alat tenun
songket, membiayai dan sekaligus mengajak para perajin
senior untuk melatih para perajin pemula. Setiap minggu
atau sesuai dengan program BMT dapat membicarakan dan
melatih nilai-nilai usaha untung ruginya sambil melatih sifat
amanah bagi perajin sebagai mitra usaha. Selanjutnya, hasil
tenunan dijual oleh BMT dengan distributor maupun mitra
lain yang dapat menjadi mitra penjual dengan harga awal
yang disepakati.
Corak pengembangan usaha yang menjauhkan
prinsip pareto optimum juga dilakukan melalui nilai-nilai
humanisme yang terdiri dari: (1) kebebasan, (2) kesejajaran
manusia, (3) naturalisme, (4) kecerdasan emosi. Wilayah
perdebatan tentang konsep humanisme sangat banyak,50
setidaknya yang dipahami seperti dijelaskan dalam bab
sebelumnya bahwa hakekat manusia sebagai “ khalifatullah
fi al-Ard}i” yang dilandasi dengan: (1) tauhidiyah yang
melibatkan ketundukan dan tujuan pola hidup manusia
terhadap kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan merupakan
sumber nilai dan menjadi tujuan akhir manusia; (2)
rububiyyah terkait erat dengan hukum Tuhan atas alam,
50
Perdebatan terhadap konsep manusia dan kemanusian lihat
misalnya dalam Arief Budiman et.al., Mencari Konsep Manusia
Indonesia: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Erlangga, 1986); Adde Maruf
W. S. dan Haedar Nashir, Masa Depan Kemanusiaan (Jogjakarta:
Jendela, 2003); Muhammad Natsir, Islam dan Pancasila: Konstituante
1957 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001); Charles Kendall Franklin, the
Socialization of Humanity: an Analysis and Synthesis of the Phenomena
of Nature, Life, Mind and Society Through the Law of Repetition; a
System of Monistic Philosophy (USA: C.H. Kerr and Company, 1904);
Mieke Bal, Travelling Concepts in the Humanities: a Rough Guide
(Toronto: Univ. of Toronto Press, 2002); E Sumaryono, Etika dan
Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas (Yogyakarta:
Kanisius, 2002); Yasraf Amir Piliang dan Sukini, Hantu-Hantu Politik
dan Matinya Sosial (Solo: Tiga Serangkai, 2003).
371
yang memberikan gambaran tentang model ketuhanan bagi
pengembangan sumber daya, dan hukum-hukumnya yang
saling terkait; (3) khila>fah yang didefinisikan sebagai
status dan peranan manusia, khususnya tanggungjawab
manusia muslim sebagai wadah khila>fah.
Dari konsep ini berkembang dengan konsep-konsep
lainnya. Seperti konsep amanah, moral, politik dan
ekonomi; (4) tazkiyah berhubungan dengan pertumbuhan
dan ekspansi pada arah kesempurnaan melalui pemurnian
sikap, dan hasilnya berupa fala>h (kemenangan); (5)
akuntabilitas yang tumbuh dari diri muslim yang menyadari
dan yakin akan adanya hari pembalasan, tempat segala
sesuatu dipertanggung jawabkan.51
Sebagai manusia berpredikat khalifatullah fi al-
Ard}i. Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya
merupakan amanah Allah kepada manusia agar digunakan
sebaik-baiknya. Dan dalam mencapai tujuan ini Allah
memberikan petunjuk melalui rasulnya, baik berupa aqidah,
akhlaq maupun shari>‟ah. Universalisme shari>‟ah Islam
dapat diterapkan dalam setiap waktu terutama pada bidang
muamalah. Selain luas, fleksibel juga pluralis. Kenyataan
ini tersirat sebagaimana sabda Rasulullah bahwa “kamu
lebih mengetahui tentang urusan duniamu” ataupun
ungkapan yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib, ”dalam
bidang muamalah kewajiban mereka adalah kewajiban kita,
dan hak mereka adalah hak kita”.52 Pembangunan
diarahkan pada segi kemanusiaan itu sendiri, sebagai
salah satu model pembangunan yang berkelanjutan, yaitu
keberlanjutan pada kualitas manusia (human
51
Landasan filosofis ini lihat Khurshid Ahmad, “Economic
Develovement in an Islamic Framework”, dalam Studies in Islamic
Economic. 52
Gharib Jama>l, al-Masha>rif wa A‟ma>lu al Masha>rafiyyah
fi al-Shariatu al-Isla>miyah wa al-Qa>nun (Jeddah: Da>r al-Syuruq, tt.).
372
sustainability). Pembangunan terhadap pengetahuan pada
diri manusia dikenal dengan peningkatan kualitas hidup,
yang tidak hanya menyangkut segi-segi fisik dari manusia
itu seperti kesehatan (termasuk berat dan tinggi badan),
pendidikan, tetapi juga segi moral agama. Disinilah
implementasi kesalehan berbisnis yang diperlukan.
Dalam pendefinisian ini, dengan jelas menunjukkan
bahwa moral merupakan buah iman yang telah tertanam di
dalam diri manusia. Karenanya, Gandhi misalnya
memberikan satu statement bahwa “Agama dan moral yang
luhur adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Agama adalah ruh moral, sedangkan moral merupakan
cuaca bagi ruh itu”. Demikian pula Pachtah, seorang filosof
Jerman mengatakan” moral tanpa agama adalah sia-sia.53
Bahkan lebih jauh lagi pemikir muslim telah memberikan
nilai-nilai moral pada wilayah ekonomi, Qarad}a>wi yang
membangun landasan moral dalam ekonomi Islam dalam
berbagai aspeknya.54 Chapra yang meletakkan moral dalam
sejarah perkembangan ekonomi di dunia Muslim.55 Suma
yang memberikan kontribusi etika bisnis dari aksioma
hingga etika konsumsi.56 Hal yang juga tidak kalah
pentingnya bahwa kedudukan nilai-nilai ekonomi Islam
tidak bertentangan apalagi melanggar Pancasila terutama
“Sila Ketuhanan yang Maha Esa,” juga sama sekali tidak
bertentangan apalagi melawan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia baik bagian Pembukaan
(preambule) yang di dalamnya antara lain termaktub
53
Dikutip dari Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi: Pemikiran
Nurcholish Madjid, (Jakarta: Katalis, 2004). 54
Yusuf Qarad}a>wi, Da>rul Qiya>m wa akhla>q fi> al-
Iqtisa>d{ al-Isla>mi (Cairo: Maktabah Wahbah, 2000). 55
M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan
Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001). 56
Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat
Ekonomi dan Keuangan Islam (Ciputat: Khalam Publishing, 2008).
373
kalimat: “… dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia,” maupun dengan bagian isinya
terutama yang tertera dalam BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat
(1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33 dan 34 yang mengatur
perihal perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial
Indonesia.57
Konstruk humanitas yang sudah menjiwai bangsa
Indonesia seperti ungkapan yang berkembang di Jawa
dengan tepo seliro (tenggang rasa), sepi ing pamrih, rame
ing gawe (mau bekerja keras tanpa pamrih), dan gotong
royong (berat ringan ditanggung bersama). Dibeberapa
wilayah lain dikenal konsep humanitas seperti Minagkabau
dengan ungkapan penghulu beraja ke mufakat, mufakat
beraja kebenaran, atau konsep religiusitas adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah. Di Maluku terkenal
kaulete mulowang lalang walidase nausavo sotoneisa
etolomai kukuramese upasasi netane kwelenetane ainetane
(mari kita bersatu baik di laut maupun di darat untuk
menentang kezaliman), di salah satu wilayah Sumatera
Selatan dikenal istilah dik de ngiluki, jage jadiha (tidak bisa
57
Ir. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia
menyebutkan bahwa Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri dan
dikristalisasikan dari nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan
rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Nilai-nilai tersebut dapat diamati
pada kelompok masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia yang
dalam implementasinya sangat disesuaikan dengan kultur masyarakat
yang bersangkutan. Dengan demikian, nampak jelas bahwa sesungguhnya
Pancasila telah menjadi living reality (kehidupan nyata) jauh sebelum
berdirinya negara republik Indonesia. Lihat Soekarno, Filsafat Pancasila
Menurut Bung Karno (Yogyakarta: Media Pressindo, 2006); Badri
Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme (Jakarta: Wacana Ilmu, 1999);
B Sukarno, Tinjauan Filosofis tentang Pancasila sebagai Filsafat
(Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2005). Beberapa pandangan
yang menekankan pentingnya pemahaman tersebut, lihat Sri-edi
Swasono, Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Neoliberalisme
(Jakarta: Yayasan Hatta, 2010).
374
memperbaiki, menjaga jadilah) atau kalimat “Wong Kito
Galo” sebagai ekpresi kebersamaan dalam bahasa daerah.58
Dari nilai-nilai tersebut, maka tidak bisa tidak bahwa
kualitas manusia berhubungan dengan masalah etika yang
mendasar yang terdapat pada kebudayaan manusia itu
sendiri. Kedudukan etika dalam kebudayaan menjadi
modal penting dalam pengembangan wawasan
pembangunan berkelanjutan. Bila mendengar kata etika,
berarti termasuk didalamnya suatu tatanan tentang cara-
cara berbuat baik, atau sekelompok perbuatan-perbuatan
baik diselimuti oleh perasaan-perasaan keagamaan.
Etika merupakan pemikiran manusia yang tercakup
dalam sebuah perangkat penilaian manusia dalam
menghadapi lingkungannya. Etika secara aksiologi adalah
bagian atau salah satu sisi dalam pemikiran manusia.
Merupakan penjelasan-penjelasan dalam filsafat yang
membicarakan masalah predikat “betul” (right) dan
“salah”(wrong) dalam arti “susila” (moral) dan “tidak
susila” (immoral). Predikat-predikat tersebut tidak
mempunyai makna apapun bila tidak terwujud dalam
tindakan manusia di alam empiris. Bila seseorang
mengantarkan simbol pada bentuk atribut yang sesuai
dengan pendapat dan aturan umum, maka dapat dikatakan
bahwa tindakan tersebut ber”susila” atau “baik” atau “etis”.
Sehingga dengan demikian, pada sisi “baik” atau “susila”
adalah etika. Orang yang tidak sesuai dengan kebiasaan
umum komunitinya maka dikatakan sebagai tidak baik,
58
Lihat Heri Junaidi, Nilai Filosofis Wong Kito Galo: Studi
Penelusuran Sikap Pluralis Masyarakat Kota Palembang (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, 2009).
375
atau tidak susila atau tidak etis, dan dianggap melanggar
etika. 59
Keterkaitan etika dengan keagamaan dan atau
keyakinan sangatlah kuat, sehingga agama juga menjadi
acuan dalam pemilihan etika.60 Karenanya sering sekali
spritualitas dan jiwa sosial dibangun untuk mengetahui
kemampuan dalam mengenali perasaan, meraih dan
membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,
memahami perasaan dan maknanya, serta mengendalikan
perasaan secara mendalam, sehingga membantu
perkembangan emosi dan intelektual kemampuan untuk
mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri, dan kemampuan mengelola
59
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21 (Bandung:
Alfabeta, 2005). 60
Etika pada dasarnya tergantung pada ruang dan waktu. Pada
masa pra-industri cara-cara protestan aliran Calvin merupakan aktivitas
sekelompok orang yang menentang dominasi gereja Katholik dalam
pemerintahan. Kemudian, pada masa industri cara-cara ini dianggap
sebagai suatu etika (etika Protestan), sehingga memunculkan prinsip
kapitalis (Weber). Hal ini bersumber pada etika Protestan yang
menyatakan bahwa orang yang bisa masuk surga adalah orang
yang terpilih, dan untuk menjadi orang yang terpilih, maka ia harus
bekerja. Dari sini, tampak bahwa ketika cara-cara protestan tersebut
dibuat pada masa pemerintahan keuskupan, maka itu merupakan
cara-cara yang deviant yang tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku
dan bisa mengakibatkan ketidak-seimbangan. Akan tetapi, ketika cara
tersebut berada pada masa industry, dimana diharapkan individu
melakukan kegiatan bekerja untuk menghasilkan, maka cara ini
menjadi suatu etika. Peran dan status dari masing-masing individunya
yang terlibat interaksi di dalamnya, dan pengaturan struktur sosial dalam
pranata ini mengandung juga sistem etika. Dengan kata lain, tindakan
individu terwujud dan mempunyai arti bagi individu lainnya dalam
sebuah rangkaian peran sesuai dengan status yang disandangnya pada
pranata sosial tertentu. Lihat R Lukman Fauroni et.al., Etika Bisnis dalam
Al-Qur'an (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006); Abdul Jalil, Teologi
Buruh (Yogyakarta: LKiS, 2008).
376
emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan
dengan orang lain.
Kesadaran diri adalah untuk mengetahui apa yang
dirasakan suatu saat dan menggunakannya untuk
mengambil keputusan diri sendiri. Pengaturan diri yaitu
menangani emosi, sehingga berdampak positif terhadap
pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup
menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran;
mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Motivasi yaitu
menggunakan hasrat yang paling tinggi untuk
menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu
mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan untuk
bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
Empati berarti merasakan apa yang dirasakan orang
lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan
hubungan saling percaya, dan menyelaraskan diri dengan
bermacam-macam orang. Ketrampilan sosial, yaitu
menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan
orang lain, dan dengan cermat membaca situasi dan
jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar; menggunakan
keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan
memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan
perselisihan, dan untuk bekerja sama serta bekerja dalam
tim.61 Hal ini karena, menurut pemahaman mereka yang
keliru, mereka hanya ada di dunia satu kali, dan karenanya,
akan mengambil sebanyak-banyaknya. Lagi pula, menurut
keyakinan keliru ini, tidak ada balasan bagi kecurangan
maupun kejahatan yang mereka lakukan di dunia. Padahal,
moralitas hanya terbina di masyarakat berdisiplin agama.
Pada landasan moralitas tiada arogansi dan egoisme, dan
satu-satunya yang dapat mewujudkan keadaan ini adalah
mereka yang menyadari tanggung jawab mereka terhadap
61
Steven J. Stein dan Howard E, Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar
Kecerdasan Emotional Meraih Sukses (Bandung: Kaifa, 2003).
377
Tuhan. Di dalam al-Qur‟a>n, setelah Allah menceritakan
tentang pengorbanan diri orang beriman, Dia
memerintahkan, “...dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung” (QS. al-Hasyr [59]: 9). Karenanya sering sekali
spritulitas, humanis, dan jiwa sosial dibangun untuk
mengetahui kemampuan dalam mengenali perasaan, meraih
dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,
memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan
perasaan secara mendalam, sehingga membantu
perkembangan emosi dan intelektual.
Manusia mampu menyadari keberadaan dirinya di
dunia ini. Dengan kesadaran diri inilah manusia dapat
mendeteksi kebutuhan-kebutuhannya dan keinginan-
keinginanya. Manusia butuh makan, ingin hidup enak, ingin
menikmati alam, ingin mencipta, ingin meraih sesuatu,
ingin memiliki makna hidup. Kesadaran diri akhirnya
menggerakkan karunia kecerdasan pertama, yaitu
kemampuan manusia untuk bermimpi, membuat tujuan, dan
cita-cita. Manusia mampu beraspirasi, dan inilah yang
dinamakan kecerdasan aspirasi (aspiration intelligence),
kecerdasan membuat cita-cita.62 Kecerdasan adalah
anugerah istimewa yang dimiliki manusia. Makhluk lain
memiliki kecerdasan yang terbatas, sedangkan manusia
diberi Allah Swt. kecerdasan yang sangat tinggi. Dengan
kecerdasan manusia mampu memahami fenomena
kehidupan secara mendalam, dengan kecerdasan manusia
mampu mengetahui suatu kejadian kemudian mengambil
hikmah dan pelajaran darinya, dan dengan kecerdasan pula
manusia menjadi lebih beradab dan lebih bijak. Karena
manusia mampu menganalisa sesuatu yang terjadi di alam,
maka hal ini dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang
62
Khairul Ummah, 5 Kecerdasan Utama Meraih Bahagia dan
Sukses (Bandung: Penerbit Ahaa Pustaka, 2003).
378
merupakan buah dari kecerdasan, dan di era modern ini
ilmu pengetahuan sangat berperan dalam segala hal.
Humanis spritual memperlihatkan hubungan antara
nilai ajaran tauhid dalam pengamalan dan penghayatan
agama Islam terbagi dalam tiga aspek, yakni: iman,63
Islam,64 dan ihsan65. Dan pada gilirannya, ketiga aspek
tersebut mewujudkan tiga macam orientasi keagamaan
dalam etimologi Islam. Antara keimanan dan ilmu fiqh
yang mensistematisasikan hukum shari>‟ah, telah
membentuk orientasi keagamaan yang lebih eksoteris.
Sedangkan, aspek “ihsan” melalui proses yang sejajar, dan
oleh sebab kewajaran, serta kesadaran perlunya ada faktor
pengimbang atas rasionalisasi dari agama, membentuk
persepsi keagamaan yang lebih bersifat intuitif, yang lebih
menekankan pentingnya menghayatan melalui pengalaman-
pengalaman nyata dalam olah-rohani, sekaligus dapat
mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan untuk
masyarakat Indonesia seluruhnya, makmur, adil dan
merata.66 Kecendrungan demikian bukan hanya membentuk
63
Aspek “iman” telah mendapatkan kajian sistematis, selain
persoalan transendentalisme, diskusi-diskusi masalah keimanan/aqidah
telah melahirkan ilmu kalam, yang mengutamakan pemahaman dengan
pendekatan rasional dan logis. 64
Aspek “Islam” yang memperoleh kajian luas dalam usaha
memformulasikan hukum-hukum Islam yang terorganisir, dengan
melahirkan cabang keilmuan yang sangat besar pengaruhnya dalam
kehidupan kaum muslimin selanjutnya, yakni ilmu fiqh, yang bersifat
lebih formalis. 65
Lihat al-Asqala>ni>, Fath al-Ba>ri> Syarh Shahi>h al-
Bukha>ri (Da>r al-Kutub alIlmiyyah, Bairut, 1997), juz I. 66
Tujuan pembangunan nasional sesuai dengan Garis-Garis Besar
Haluan negara, yaitu pembangunan nasional bertujuan untuk
mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material
dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan
RI yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam
suasana prikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib, dan dinamis
379
sikap-laku dan pandangan moral saja, tapi juga melahirkan
wawasan keilmuan, yakni ilmu tas}awuf dan akhlak, salah
satu wawasan keilmuan yang merupakan orientasi
keagamaan yang lebih esoteris, yang lebih banyak
mempertanyakan makna dan nilai-nilai dari ajaran-ajaran
agama (Islam) itu.67
Ihsan mencakup pengertian segala sesuatu yang baik,
semua interaksi antara manusia dengan Tuhannya, atau
antara manusia dengan sesama manusia maupun
lingkungannya, yang dapat mengangkat dan meningkatkan
martabat dan kedudukan kemanusianya, mengembangkan
kualitas dirinya, dan juga dapat mendekatkan pada Tuhan
(al-Qas}as} [28]: 77). Al-Ihsan membangun tiga dimensi
kesadaran batin, yaitu: (1) adanya intensitas hubungan
manusia dan Tuhan; (2) kepedulian sosial; dan (3)
ketahanan mental dalam menghadapi tantangan kehidupan
yang sulit dengan menggunakan konsep etika moral, seperti
sabar, qona‟ah, tawakkal, iffah, shaja‟ah, dan istiqomah,
telah membentuk budaya pribadi (private culture) yang
mandiri, tegar, optimis dan sederhana.68 Spritualitas yang
disandarkan dengan keimanan yang benar dan diyakini
secara mendalam, akan membentuk perangkat nilai dalam
kehidupan manusia, yang akan memberi arah pandangan
dan sikap hidupnya yang mendasar, kemudian dalam
kegiatan teraganya memotivasi tindakan, dan usaha
lahiriahnya. Perajin songket mempunyai pembagian kerja
antara kewajiban menenun dan kewajiban rumah tangga
serta dalam lingkungan pergaulan yang merdeka, bersahabat, tertib dan
damai. 67
Lebih berbagai sudut kajian dalam abu Hamid Muhammad al-
Gazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Fikr), jilid I dan IV. 68
Lihat al-Razi>, al-Tafsi>r al-Kabi>r Mafa>tih al-Ghayb, jilid
9 (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 80; Muhammad Jama>l al-
Di>n al-Qa>simi>, al-Tafsi>r al-Qa>simi: Maha>sin al-Ta‟wi>l
(Beirut: Dar al-Fikr, 1978), juz 5.
380
dengan imbalan kecil, karena dilatarbelakangi nilai-nilai
keyakinan dan keimanan dapat melakukan dengan baik.
Sebab seperti dijelaskan sebelumnya, menenun songket
tidak dapat lepas dari ketenangan hati.
Kritik pareto optimum oleh pemikir Calabresi dan
A.D. Melamed dan berbagai kajian pemikir ekonomi
kerakyatan dan ekonomi Islam dengan konsep efisiensi
ekonomi, preferensi distribusi, pertimbangan-pertimbangan
keadilan lainnya yang tidak acceptable akan melemahkan
dorongan pertumbuhan ekonomi lebih maksimal,69 maka
ajaran ihsan, sebagai aspek esoteris dari orientasi
keagamaan Islam, yang banyak memberi nilai dasar dan
memberi arah pandangan hidup kepada umatnya, yang
mempengaruhi sikap-laku dan tindakan sosialnya,
membentuk suatu private culture yang pada giliran
selanjutnya dapat mewarnai budaya masyarakat (public
culture) dapat dimanfaatkan dengan baik dalam
memperkaya motivasi, memberi makna dan sekaligus
mereduksi timbulnya penyimpangan-penyimpangan dan
kesesatan-kesesatan pembangunan.
Keadilan humanis dalam nilai-nilai spritual,
memperlihatkan bahwa manusia sebagai objek sekaligus
subjek ekonomi walaupun aktifitas pada galibnya
bersumber dari upaya bagaimana mendapatkan uang, dan
bagaimana membelanjakannya tetap bersifat teosentris,
dengan satu kenyataan bahwa manusia mempunyai
kebutuhan, dan kebutuhan itu pada umumnya tidak dapat
dipenuhi tanpa pengeluaran sumber daya energi manusia.
Dengan demikian, walaupun “uang” yang menjadi sasaran
mencapai kesejahteraan ekonomi, namun Islam
mengaturnya sehingga dapat bermanfaat untuk
kesejahteraan semua pihak.
69
Haa-Joon Chang dan Ilene Grabel, Reclaiming Development:
an-Alternative Economic Policy Manual (New York: Zed Books, 2004).
381
Upaya pemanfaatan tersebut subjek utama
bagaimana manusia muslim bisa mentransformasi secara
benar keuangan tersebut. Salah satu membangun pareto
optimum dengan berbasis Q.S al-Baqarah ayat 215.70 (Q.S.
al-Baqarah [2]: 60, 68; Q.S. al-Ma>idah [5]: 87-88. Dalam
mendapatkan uang, maka Islam mengajarkan umatnya
mempunyai sifat dan sikap: (1) berusaha untuk membina
ketentraman dan kebahagian, (2) berusaha untuk memenuhi
nafkah keluarga, (3) berusaha untuk memenuhi hajat
masyarakat, (4) berusaha sebagai sarana ibadah, (5)
berusaha untuk melaksanakan amal ma‟ruf dan nahi munkar
di setiap lapangan pekerjaan apapun.71 Artinya, pokok
kesejahteraan harus sejalan dengan prinsip-prinsip universal
Islam. Terbatas bahwa baik konsumen maupun produsen
bukanlah raja. Perilaku keduanya harus dituntun oleh
kesejahteraan umum, individual dan sosial sebagaimana
dipahami dalam shari>‟at.
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa usaha di
Indonesia tertuang dalam perundang-undangan beserta
berbagai penafsiran didalamnya terdiri dari Usaha Mikro,
Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar.
Pembagian hal tersebut memperlihatkan adanya kelas-kelas
dalam dunia ekonomi, yang pada akhirnya memunculkan
teori kelas ketiga usungan Geertz sebagai pengembangan
70Lihat Muhammad Suyanto, Etika dan Strategi Bisnis Nabi
Muhammad (Jogyakarta: Andi Offset, 2008), 172; Ashjar Chalil, Hudaya
Latuconsina, Pembelajaran Berbasis Fitrah (Jakarta: Balai Pustaka,
2008). 71
Diantara perbuatan itu: tidak menggunakan cara yang bathil,
tidak didzalimi dan mendzalimi, menjauhkan diri dari unsur riba, atau
melakukan prinisp ekonomi “mengambil sebesar-besarnya dengan
mendapatkan untung sebesarnya” secara berlebihan, melakukan intended
speculation. Tolak ukur yang digunakan al-Ghaza>li> sesuai kebutuhan
makanan seorang menjalani hidup secara “zuhud” pada tingkatan paling
rendah. al-Gha>zali>, Ihya> „Ulu>m al-Di>n, bab Baya>n tafs}i>l al-
Zuhd fî ma>huwa min daru>riyya>t al-haya>t, jilid. 4.
382
konsep ekonomi kerakyatan di Indonesia.72 Sejalan dengan
krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia sampai
saat ini, merupakan akibat dari biasnya strategi
pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah. Kebijakan
yang cenderung menumbuhkan kelas-kelas ekonomi besar
tanpa diimbangi oleh kelas ekonomi kecil menengah
yang kuat dan mandiri, mengakibatkan tujuan
pembangunan untuk mencapai kemakmuran rakyat
belum bisa tercapai. Oleh karena itu, konsep
"pembangunan ekonomi Indonesia" yang selama ini
diterapkan harus diubah menuju konsep
“pembangunan ekonomi di Indonesia”, dengan titik berat
pada sektor ekonomi mikro dan usaha kecil.73 Dalam
pengertian yang khusus, nilai-nilai ekonomi kerakyatan
dengan partisipasi penuh dari rakyat dalam bidang
ekonomi dicerminkan dalam konsep ekonomi di Indonesia
72
Buku Clifford Geertz yang berjudul the Religion of Java,
teorinya Max Weber bahwa masyarakat memiliki tiga kelas. Hal itu
kemudian diikuti oleh Geertz dengan teori trikotomi yaitu abangan,
santri, dan priyayi, terutama dalam masyarakat Jawa. Teori Geertz
tersebut dikembangkan oleh Mubyarto lewat teori mengenai usaha-usaha
kecil dan menengah di Indonesia. Juga mengenai pertanian yang
dikembangkan oleh Marhaenisme. Involusi pertanian itu singkatnya
berisi fakta tentang pembagian kemiskinan (sharing poverty) di kalangan
petani di Jawa karena beberapa faktor. Geertz melihat, yang terjadi dalam
masyarakat petani Jawa selama dia meneliti bukanlah pemberdayaan
ekonomi rakyat, tapi pembagian kemiskinan saja. Walau tesisnya itu
tidak selamanya benar, namun atas dasar itulah kemudian dikembangkan
teori mengenai pengembangan ekonomi kerakyatan. Pengembangan
konsep ekonomi kerakyatan itu sebenarnya merupakan pengembangan
teori kelas ketiga yang mula-mula diperkenalkan Geertz tersebut. Lihat
Mubyarto, Teori Ekonomi dan Penerapannya di Asia (Jakarta: Gramedia,
1981). 73
Elfindri, Strategi Sukses Membangun Daerah (Jakarta: Gorga
Media, 2008).
383
dengan ketegasan pembangunan koperasi sebagai wadah
pengembangan UKM.74
Ekonomi nasional yang tangguh dan mandiri hanya
mungkin dapat terwujud apabila pelaku-pelakunya tangguh
dan mandiri, dan seluruh potensi masyarakat dapat dikerahkan,
berarti partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya. Jika kegiatan
ekonomi terpusat pada kelompok yang terbatas dan di wilayah
yang terbatas, maka perekonomian tidak berkembang sesuai
dengan potensinya atau tertinggal. Dasar pendekatan diarahkan
langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan
kemampuan rakyat atau dalam istilah “pemberdayaan”75 sebagai
fondasi corak pengembangan usaha berbasis nilai. Secara praktis,
upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk
mengembangkan potensi ekonomi rakyat ini diarahkan untuk
meningkatkan produktivitas rakyat, sehingga baik Sumber
Daya Manusia maupun Sumber Daya Alam di sekitar keberadaan
rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya.76
Pemberdayaan akan menguatkan partisifasi yang
menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis, dan
meminimalisir pengangguran dan kemiskinan. Dengan
demikian, pemberdayaan dapat meningkatkan income
masyarakat lemah, dan sekaligus merangkum nilai-nilai
sosial. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling).
Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia,
74
Lihat Sri-Edi Swasono, “Keabadian Koperasi dan
Kooperativisme”, 75
Departemen Pendididkan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001); Soetandyo Wignjoaoebroto,
dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995). 76
Zulkarnain, Membangun Ekonomi Rakyat: Persepsi tentang
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Yogjakarta: Adicita, 2003); Randy R.
Wrihatnolo dan Rianti Nugroho Dwidjowiyoto, Manajemen
Pemberdayaan (Jakarta; Gramedia, 2007).
384
setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan.
Keberpihakan (semangat profetik) pada pengembangan
ekonomi masyarakat melalui sektor ril yang berdimensi
kemandirian domestik merupakan semangat Qur‟anik (Q.S.
ali- „Imra>n [3]: 114). Artinya, tidak ada masyarakat yang
sama sekali tanpa daya, dengan mendorong memotivasikan dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya,
serta berupaya untuk mengembangkannya.77
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh
masyarakat (empowering). Perkuatan ini meliputi langkah-
langkah yang menyangkut penyediaan berbagai masukan
(input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang
(opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin
berdaya. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat
yang kurang berdaya, karena program-program umum yang
berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan
masyarakat ini. Karena itu, dibutuhkan kearifan lokal yang
dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam
Islam berkaitan dengan „urf, kearifan berarti ada yang
memiliki kearifan (al-„addah al-ma‟rifah), yang
dilawankan dengan al-„addah al-jahiliyyah. Kearifan adat
dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan
dan diakui akal, serta dianggap baik oleh ketentuan agama.
Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan
niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan
tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami
77
Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Safei, Pengembangan
Masyarakat Islam: dari Ideologi, Strategi, sampai Tradisi (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001).
385
penguatan (reinforcement).78 Karakter khas yang inherent
dalam kearifan lokal yakni sifatnya dinamis, kontinyu dan
diikat dalam komunitasnya.79
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti
melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang
lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena
kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena
itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat
mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat.
Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari
interaksi. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk
mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta
eksploitasi yang kuat atas yang lemah.80 Pemberdayaan
masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin
tergantung pada berbagai program pemberian (charity) karena
pada dasarnya setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas
usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan
pihak lain). Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah
memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun
kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih
baik secara sinambung. Permberdayaan ekonomi rakyat adalah
tanggung jawab pemerintah. Akan tetapi, juga merupakan
78
Perdagangan berbasis urf dapat dilihat dalam Antony Black,
Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi hingga Masa Kini (Jakarta:
Serambi), 2006. 79
Muhammad Ridwan Lubis, Menelusuri Kearifan Lokal di Bumi
Nusantara: Catatan Perjalanan dan Hasil Dialog Pengembangan
Wawasan Multikultural antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah, 2002-
2005 (Jakarta: Departemen Agama, Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan, Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005); Wawan Sobari,
Fahmi Wibawa, Moch Yunus, Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun
Otonomi Daerah dan Otonomi Award (Surabaya, Indonesia: Jawa Pos
Institute of Pro-Otonomi, 2004). 80
Darwin, Model-Model Pemberdayaan Usaha Kecil dan
Menengah (Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, 2003).
386
tanggung jawab masyarakat, terutama mereka yang telah
lebih maju, karena telah terlebih dahulu memperoleh
kesempatan bahkan mungkin memperoleh fasilitas yang tidak
diperoleh kelompok masyarakat lain. Salah satu strategi agar
yang kuat membantu yang lemah adalah dengan melalui
kemitraan.81
Seperti dijelaskan juga sebelumnya, pengembangan
usaha kecil tidak dapat pula lepas dari dua persoalan utama
yang harus dipecahkan. Usaha kecil pada umumnya
memperoleh modal berasal dari sumber tidak resmi seperti
tabungan keluarga, pinjaman dari kerabat dan mungkin dari
“lintah darat”. Sifat pengelolaan terpusat, demikian pula
pengambilan, keputusan tanpa atau dengan sedikit
pendelegasian fungsi dalam bidang-bidang pemasaran,
keuangan, produksi dan lain sebagainya. Tenaga kerja yang
ada umumnya terdiri dari anggota keluarga atau kerabat
dekat, dengan sifat hubungan kerja yang “informal” dengan
kualifikasi teknis yang apa adanya atau dikembangkan
sambil bekerja. Hubungan antara keterampilan teknis dan
keahlian dalam pengelolaan usaha industri kecil ini dengan
pendidikan formal yang dimiliki para pekerjanya umumnya
lemah. Hal lain ditemukan pula bahwa peralatan yang
digunakan adalah sederhana dengan kapasitas output
yang rendah pula.82
Persoalan lain juga, yaitu: Pertama, kurangnya
modal. Sering keluhan yang disampaikan oleh usaha mikro
dan kecil adalah kurangnya modal untuk mengembangkan
usahanya, apalagi ketika permintaan meningkat sementara
81
Ziauddin Sardar, “Teknologi dan Kemandirian Domestik:
Sebuah Alternatif Islam”, dalam Ulumul Qur‟an, vol. II.1991/1411H. no.
8. 82
Lihat sebagai perbandingan Sentot Harman Glendoh,
Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Di akses dari
http://puslit.petra.ac.id/journals/management/, 2010.
387
modal minim, yang akhirnya hilanglah pelanggan yang
memberikan order. Kurangnya akses mendapat modal,
karena lemahnya pengetahuan terutama dalam membuat
usulan dan informasi tentang tata cara mendapatkan dana.
Kedua, kemampuan manajerial yang rendah.
Kebanyakan usaha skala kecil dalam menjalankan usaha
tanpa adanya perencanaan, pengendalian maupun juga
evalusi kegiatan usaha. Kegiatan usaha yang tanpa
membuat rencana seperti menjalankan usaha yang penting
bisa jalan, tanpa mengantisipasi hambatan, ancaman yang
akan terjadi dalam kegiatan usahanya tersebut dan juga
dalam penggunaan dana.83 Dari pola pemberdayaan dan
problem yang muncul mulai pula dikembangkan konstruk
pengembangan, upaya pengembangan tetap berpijak pada
pola pemberdayaan. Namun demikian, pengembangan tidak
dapat lepas dari nilai. Salah satunya dengan pendidikan.
Sebab, pendidikan adalah hak rakyat yang dapat dilakukan
dengan berbagai mekanisme. Pendidikan yang dimaksud
adalah proses belajar terus menerus yang bertujuan untuk
mengembangkan usaha. Ada banyak sumber belajar dan
cara yang dapat dilakukan, bisa dengan membaca buku-
buku tentang pengembangan usaha kecil, menjelajahi
internet untuk menemukan tulisan-tulisan berkualitas, atau
bertanya dan berdiskusi dengan sesama pemilik usaha
lainnya.
Melalui pelatihan ketrampilan, maupun pelatihan
manajemen sederhana bagi pengusaha mikro dan pengusaha
kecil. Hal tersebut selaras dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1998 pasal 1 yang menyebutkan bahwa
pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh
83
Hal tersebut dibuktikan juga dengan penelitian Triani Sofiani,
“Pendayagunaan Hukum di Sektor Koperasi Berbasis Nilai-nilai
Ekonomi Kerakyatan”, (Program Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2007).
388
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat melalui pemberian
bimbingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan kemampuan usaha kecil, agar menjadi usaha
yang tangguh dan mandiri, serta dapat berkembang menjadi
usaha menengah.84
Nilai-nilai dalam pendidikan yang dikembangkan
untuk usaha kecil melalui prinsip-prinsip dasar tauhid, yang
mengajarkan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak dan
manusia hanyalah sebagai pemegang amanah, mempunyai
konsekuensi, bahwa di dalam harta yang dimiliki setiap
individu terdapat hak-hak orang lain. Pengembangan usaha
tetap berbasis keadilan dan persaudaraan. Keduanya
menuntut agar semua sumber daya yang menjadi amanat
untuk mewujudkan maq}a>s}id shari>‟ah, yakni
pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan
dasar (primer), seperti sandang, pangan, papan, pendidikan
dan kesehatan. Secara operasional, faktor kewirausahaan
dan manajerial bagi pengembangan usaha yang meliputi
kompetensi usaha, dasar pendidikan, keinovasian, dan
motivasi menjadi mutlak dalam pengembangan usaha
berbasis nilai. Karenanya survival, consolidation, control,
planning and expectation sangat diperlukan sebagai
penguasaan manajemen. Mampu merekrut tenaga yang
diberi wewenang secara jelas. Di bidang pemasaran,
mengubah dari “getting customer” menjadi “improve
competitive situation”. Demikan juga di bidang keuangan,
dari tahap “cash-flow” berubah menjadi “improve margin
and control cost” dan menjadikan dana yang ada menjadi
“venture capital”.85
84
Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang
Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil. 85
Lihat Timo B Poser, the Impact of Corporate Venture Capital:
Potentials of Competitive Advantages for the Investing Company
(Wiesbaden: Deutscher Universitats-Verlag, 2003); Chary T
389
Sistem keuangan dan perbankan, serta kebijakan
moneter yang mengarah pada pemberdayaan, dan
pengembangan usaha mikro maupun usaha kecil dirancang
semuanya secara organis, dan terkait satu sama lain untuk
memberikan sumbangan yang positif bagi pengurangan
ketidak-adilan dalam ekonomi dalam bentuk pengucuran
pembiayaan (kredit) bagi masyarakat, serta memberikan
pinjaman lunak bagi masyarakat ekonomi lemah melalui
produk qard}ul hasan, mud}a>rabah, mus}a>rakah.
Karena itu, konstruk perbankan shari>‟ah, koperasi
shari>‟ah ataupun bait al-ma>l wa tanwi>l dengan produk
yang sudah dibangun sudah bisa dipahami, disosialisasikan
secara terus menerus, hingga bisa menjadi bagian
penguatan usaha mikro dan kecil.86 Berdasarkan prinsip ini,
maka konsep pertumbuhan ekonomi tidak menggunakan
indikator PDB (Produk Dosmetik Bruto) dan perkapita,
namun pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan.
Prioritas yang dijelaskan secara terus menerus dengan
memberikan pola pengembangan usaha kecil dengan
memprioritaskan advokasi pengentasan kemiskinan dan
pengurangan pengangguran. Karena itu, Islam menekankan
keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan.
Pertumbuhan an sich bukan menjadi tujuan utama, kecuali
dibarengi dengan pemerataan. Dalam konsep Islam,
pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua sisi dari
Satyanarayana, Venture Capital, Concepts and Applications (New Delhi:
Macmillan India, 2005). 86
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil
(BMT) (Jogjakarta: Penerbit UII Press, 2004); untuk kajian perbandingan
lihat Baihaqi Abd Madjid; Saifuddin A Rasyid, Paradigma Baru
Ekonomi Kerakyatan Sistem Syari'ah: Perjalanan Gagasan dan Gerakan
BMT di Indonesia (Jakarta: Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil, 2000).
390
sebuah entitas yang tak terpisahkan, karena itu keduanya
tak boleh dipisahkan.87
Pendidikan untuk usaha mikro dan kecil tidak
diarahkan untuk menonjolkan peran perusahaan swasta
(private ownership) dengan motivasi mencari keuntungan
maksimum, harga pasar akan mengatur alokasi sumber
daya, dan efisiensi. Namun tetap diarahkan pada konstruk
persaudaraan dan kebersamaan yang proporsional dalam
terma prestasi, etos kerja dan kemampuan seseorang. al-
Qur‟a>n dalam memaknai hak orang lain pada harta
seseorang (QS. al-Ma‟a>rij [70]: 24), bukanlah
dimaksudkan untuk mematahkan semangat karya pada
setiap individu atau menimbulkan rasa malas bagi sebagian
orang. Landasannya, antara lain bahwa etos kerja dan
kemampuan seseorang harus dihargai, dibanding seorang
pemalas atau yang tidak mampu berusaha. Bentuk
penghargaannya yang memperkenankan pendapatan
seseorang berbeda dengan orang lain, karena usaha dan
ikhtiarnya (Q.S. al-Nah}l [16]: 71). Dari sisi yang sama,
mereka yang sudah menguat dari aspek pemberdayaan dan
pengembangan usaha dapat mengeluarkan sebagian
hartanya untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu
(d}u‟afa). Sehingga, seluruh masyarakat terlepas dari
kemiskinan absolut.
Konstruk pengembangan berbasis nilai menjadikan
semua aktifitas usaha mikro dan kecil pada akhirnya
diarahkan dalam penegakkan keadilan sosio-ekonomi
berbasis rasa persaudaraan (ukhuwah), saling mencintai
(mahabbah), bahu membahu (taka>ful), dan saling tolong
menolong (ta‟a>wun), baik antara si kaya dan si miskin,
87
Y.Harsoyo, Ideologi Koperasi Menatap Masa Depan
(Jogjakarta: Pustaka Widyatama, 2006). Untuk melihat persoalan
koperasi lihat Hadi Soesastro, 1966-1982: Paruh Pertama Ekonomi Orde
Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2005).
391
maupun antara penguasa dan rakyat. Nilai-nilai Pancasila
juga menekankan filosofis bahwa manusia dan perilaku
manusia yang pancasilais menjadi sokoguru sistem
perekonomian, yaitu keseimbangan harmoni manusia
sebagai makhluk, ekonomi dengan makhluk sosial.88
Pengembangan berbasis nilai bagi usaha mikro dan
usaha kecil harus mendapat dukungan pemerintah, serta
membantu sarana dan prasarana usaha melalui peraturan-
peraturan, bahkan proteksi untuk menjamin pengembangan
usaha kecil dan usaha mikro, agar tetap menjadi milik
rakyat.89 Bila tidak sektor usaha mikro dan usaha kecil
hanya sebagai pekerja, bukan pengusaha. Berapa banyak
ditemukan produk usaha kecil dibungkus oleh logo
hypermarket, seolah-olah itu adalah produksi hypermarket
tersebut.90 Untuk itu, peran pemerintah di samping
melakukan proteksi juga melakukan upaya ikut menguatkan
nilai-nilai nasionalisme dengan membangun supermarket
usaha kecil.
D. Strategi Pengembangan Usaha
Upaya mengembangkan usaha songket Palembang
memerlukan sebuah strategi. Strategi adalah faktor penting
dalam pengorganisasian, yang merupakan sebuah proses
dimana manajemen memutuskan tujuan dan cara
mencapainya. Dalam ekonomi Islam, strategi dapat akan
berkembang efisien apabila ada sinergitas diantara semua
pihak melakukan proses penyatuan atau penggabungan
aspek-aspek sosialisasi, riset dan pengembangan, keuangan
88
M. Umer Chapra, the Future of Eonomics: an Islamic
Perspective (London: The Islamic Foundation, 2000). 89
Gunawan Sumodiningrat et.al., Membangun Indonesia Emas:
Model Pembangunan Indonesia Baru Menuju Negara-Bangsa yang
Unggul dalam Persaingan Global (Jakarta: Gramedia, 2005). 90
Beberapa produk sembako yang merupakan produk usaha kecil
di Indonesia telah dibalut dengan logo hypermarket.Observasi, 2010.
392
dan operasional dari sebuah bisnis. Dalam berbagai data
diketahui bahwa proses strategi dilakukan terdiri dari: (1)
pembuatan strategi (formulating); (2) penerapan strategi
(implementing); dan (3) adanya evaluasi/control strategi
(controling).91
Dalam pembuatan strategi (formulating)
dipertegaskan bersama bahwa songket tidak lagi dilihat
sebagai karya agung masyarakat Palembang dalam
eksklusivisme local specifics, tetapi telah menjadi milik
seluruh bangsa Indonesia dan kebanggaan bangsa
Indonesia. Dengan kata lain, songket Palembang tidak
boleh mati karena tidak memenuhi efisiensi saja, dimensi
efisiensi berkeadilan harus ditegakkan sebagai tuntutan
eksistensinya. Untuk itu, pemerintah Provinsi Sumatera
Selatan memberikan prioritas subsidi berbasis
pemberdayaan di bidang produk budaya ini. Pertama,
Memperluas akses sumber bantuan permodalan92 ke semua
perajin songket. Peran pemerintah provinsi dan lembaga-
lembaga perguruan tinggi Sumatera Selatan menjadi
91
Alfred Allen Marcus, Management Strategy: Achieving
Sustained Competitive Advantage (New York : McGraw-Hill Irwin,
2005); Andrew M Pettigrew et.al., Handbook of Strategy and
Management; Hetifah Sjaifudian; Erna Ermawati Chotim, Dimensi
Strategis Pengembangan Usaha Kecil: Subkontrak pada Industri Garmen
Batik (Bandung: AKATIGA, 1994); M. Tohar, Membuka Usaha Kecil
(Jogjakarta: Kanisius, 2002). 92
Hal tersebut sinergi dengan berbagai upaya telah dilakukan oleh
Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu telah menetapkan Pembangunan
UKM termasuk koperasi sebagai program perioritas, dan telah
diformalkan dalam bentuk Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7
tahun 2005 tentang “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Tahun 2004-2009”. Pada bagian IV dari agenda meningkatkan
kesejahteraan rakyat, yakni bab 20 secara khusus memuat
“Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah”, yang
menjadi acuan pemerintah untuk pemberdayaan koperasi dan usaha
mikro, kecil dan menengah selama 5 tahun ke depan.
393
kemitraan penting untuk mendapatkan data base peta
perajin songket dan berbagai persoalan yang berhubungan
dengan bantuan modal pemberdayaan, penguatan
manajemen usaha, dan perbaikan lingkungan. Dari 225 unit
usaha songket dengan jumlah 1800 pengrajin dan perajin
songket yang menerima bantuan tersebar di wilayah
Sumatera Selatan (tahun 2009-2010) dapat ditingkatkan
hingga ke semua usaha songket yang tercatat (660 unit
usaha, dengan jumlah dari 4000 pengrajin dan perajin).93
Data base tersebut memberikan akses informasi
Pemerintah Sumatera Selatan dalam mengoptimalkan
pemberdayaan usaha-usaha songket melalui peranan
Koperasi Simpan Pinjam (KSP) maupun Unit Simpan
Pinjam (USP), program Kredit Usaha Rakyat (KUR),
Program Perkassa (Program Perempuan Keluarga Sehat dan
Sejahtera) dengan program Modal Awal dan Padanan
(MAP). Termasuk juga Program Kemitraan Bina
Lingkungan (PKBL) lewat BUMN (PT. PUSRI,
SUCOFINDO, PERTAMINA).94
93
Catatan jumlah berdasarkan data dari Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Koperasi (DisPerinDagKop) kota Palembang (2009-
2010). 94
Johnny W. Situmorang, “Analisis Tipologi dan Posisi Koperasi
Penerima Program Perkassa Studi Kasus di Sumatera Selatan”, Jurnal
Pengkajian Koperasi dan UKM, vol. 5, Agustus 2010, 1-29. Hasil olah
data didapatkan berbagai program yang diupayakan untuk usaha
kecil hingga tahun 2010 tidak terkecuali untuk usaha songket
Palembang, seperti Kementrian Perindustrian dan Perdagangan
dengan proyek peningkatan peran serta wanita; Kementrian
Koperasi dan UKM dengan Program Modal Awal dan Padanan (MAP),
Business Development Services Sentra UKM (BDS Sentra), Perkuatan
Permodalan UKMK dan Lembaga Keuangannya dengan Penyediaan
Modal Awal dan Padanan (P2LK-MAP); Perbankan dengan program
Program Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat
(PHBK), Kupedes, Kredit Mikro, Program Swamitra. Ada juga
program pengembangan BMT dari organisasi sosial non politik
394
Kedua, penguatan sinergisitas pemberdayaan antara
pemerintah dan perajin songket terhadap makna penting
bantuan permodalan. Dalam perspektif ini, nilai-nilai
ekonomi Islam dalam pemberdayaan modal usaha menjadi
dasar arahan melalui untuk pada perajin dan pengrajin.
Menurut penulis, teoritisasi efisiensi berkeadilan yang
diantaranya menyebutkan pemanfaatan maksimum dengan
strategi perencanaan berasas kekeluargaan dan
kesejahteraan bersama.95
Dari sini, kekuatan teori pembangunan yang berpusat
pada rakyat, yaitu memusatkan pemikiran dan tindakan
kebijaksanaan pemerintah pada penciptaan keadaan yang
mendorong dan mendukung usaha-usaha rakyat untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, dan untuk
memecahkan masalah-masalah mereka sendiri pada tingkat
individual, keluarga, dan komunitas.96 Langkah penting
seiring dengan konsep tersebut adalah merubah paradigma
dari bantuan yang berorientasi pada ekonomis dan rutinitas
pengembalian menuju kemitraan yang memberdayakan,
sistem bagi hasil dan program-program pendanaan yang
tidak memberatkan kelompok perajin. Ini artinya kelompok
pemberi bantuan selalu melakukan evaluasi perbaikan
kepada usaha songket yang menjadi mitranya. Pola
pendampingan yang memberdayakan dapat berakibat
perubahan paradigma pemikiran para perajin songket yang
hanya sekedar bekerja memenuhi pengembalian pinjaman
(ornop), BUMN dengan progam Program Pemberdayaan Usaha Kecil
dan Koperasi (PUKK), Program BAIK (Bapak Anak Industri Kecil). 95
Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on
Economic Liberation (India: Ananda Marga Publications, 1991). 96
Masaaki Satake, People's Economy: Philippine Community-
Based Industries and Alternative Development (Manila, Philippines:
Solidaridad Pub. House, 2003). Lihat juga Adi Sasono dan Achmad
Rofi'ie, People's Economy (Jakarta: Southeast Asian Forum for
Development Alternatives, 1988).
395
dan menghidupi keluarga menuju pengembangan kretifitas
produktif. Ini berarti, konsep ekonomi Islam yang
mengarahkan bahwa keahlian ini merupakan anugrah dan
amanat dari Allah Swt. yang dititipkan kepada perajin untuk
diwariskan kepada generasi selanjutnya dan mampu
berdaya guna usaha.
Pemberdayaan lainnya adalah perbaikan pembukuan
yang berhubungan dengan manajemen ketatalaksanaan
usaha berkesinambungan. Seperti dijelaskan sebelumnya,
perajin songket tidak memiliki data keuangan usaha.
Kelompok yang memiliki data keuangan baru pada
pengrajin-pengrajin songket yang sudah memiliki jaringan
kemitraan dengan dunia perbankan maupun BUMN. Hasil
studi memperlihatkan dalam proporsi 90% responden hanya
memiliki buku hutang piutang dengan sedikit bukti-bukti.
10% responden memiliki pembukuan yang cukup baik
seperti laporan keuangan disertai bukti-bukti, surat
menyurat yang tertata baik. Untuk itu, peran serta
pemerintah dan perguruan tinggi di Sumatera Selatan
menjadi penting guna membantu perbaikan manajemen
usaha songket tersebut. Seperti mengadakan pelatihan
manajemen keuangan sederhana yang didalamnya
menemukan masalah, memperbaiki dan di evaluasi terus
menerus hingga mampu berjalan sendiri. Pendampingan
melalui perbaikan manajemen tersebut memberikan dampak
positif terutama melihat perkembangan usaha songket
masing-masing, dan mendapatkan kelemahan masing-
masing sehingga bisa maju sebagaimana diharapkan.97
97
Data ini menjadi salah satu harapan para perajin yang ingin
meningkatkan usaha mereka terkendala pada kesulitan untuk
mendapatkan bantuan modal usaha, akibat kelemahan bidang manajemen
dan laporan keuangan. Wawancara dengan responden pengrajin dan
perajin songket tanggal 22-28 September 2010.
396
Pada prinsipnya para penenun songket diberikan
penjabaran bahwa kegiatan produksi merupakan suatu hal
yang diwajibkan untuk mendapatkan nilai-nilai kebutuhan
lain. Tanpa kegiatan produksi, maka aktifitas kehidupan
akan berhenti. Manusia butuh makan, minum agar bisa
beraktifitas dan beribadah, perlu pakaian untuk menutupi
aurat dan beribadah, butuh tempat tinggal untuk melindungi
dirinya serta beribadah, juga berbagai kebutuhan lainnya.
Allah Swt. telah menyediakan bahan bakunya, berupa
kekayaan alam yang sepenuhnya diciptakan untuk
kepentingan manusia. Itu semua baru bisa diperoleh dan
bisa dinikmati manusia jika manusia mengelolanya, agar
menjadi barang dan jasa yang siap dikonsumsi dengan jalan
diproduksi terlebih dahulu. Melihat pentingnya peranan
produksi yang nyata-nyata menentukan kemakmuran suatu
bangsa dan taraf hidup manusia, al-Qur‟a>n telah
meletakkan landasan yang sangat kuat terhadap sistem
produksi.
Eksistensi nilai-nilai al-Qur‟a>n memberikan
konsep produksi barang dalam artian luas, dan menekankan
manfaat dari barang yang diproduksi menjadi dasar
kekuatan para pengrajin dan perajin songket. Dalam Surah
an-Nah}l (16): 10,11,12,18 telah diuraikan secara singkat
bahwa Allah telah menyediakan kekayaan alam untuk
kepentingan dan kesejahteraan manusia. Pada beberapa
ayat yang lainnya (QS al-Qas}as} [28]:73; Q.S. ar-Ru>m
[30]: 23, Q.S. an-Nisa>‟ [4]: 32, Q.S. al-Qalam [68]: 11)
Allah memerintahkan manusia untuk bekerja keras
memanfaatkan semua sumber daya itu seoptimal mungkin
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.98 Al-Qur‟a>n juga
telah memberikan berbagai alternatif kepada manusia
98
Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek
(Jogjakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993); R. Lukman Fauroni et.al., Etika
Bisnis dalam Al-Qur'an (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006).
397
bagaimana melakukan perubahan yang lebih baik, dengan
menggali dan menggunakan Sumber Daya Alam yang tak
terbatas di dunia ini, melalui pengelolaan, modal,
kemampuan dan kecenderungannya di dalam proses
produksi.
Dalam ekonomi Islam, pengrajin atau perajin songket
tidak hanya memaksimalkan utility pribadinya di dunia, tapi
juga kemas}lahatan umat secara umum, serta imbalan yang
akan dia dapatkan di akhirat. Dalam hal produksi, ekonomi
Islam tidak melihat bahwa tujuan memaksimalkan
kemas}lahatan umat adalah motivasi yang inheren. Tidak
ada pertentangan antara memaksimumkan keuntungan
perusahaan dan manfaat sosial, sehingga altruisme dengan
sendirinya masuk dalam variabel yang menentukan
bagaimana pengrajin menetapkan tingkat produksi dan
harga. Dengan demikian, pada prinsipnya kegiatan produksi
usaha songket sebagaimana kegiatan konsumsi terikat
sepenuhnya dengan shari>‟at Islam. Karena kegiatan
produksi merupakan mata rantai dari konsumsi, maka tanpa
kegiatan produksi yang menghasilkan barang dan jasa tak
akan ada yang bisa dikonsumsi atau digunakan. Oleh karena
itu, kegiatan produksi merupakan suatu hal yang
diwajibkan, karena tanpa kegiatan produksi maka aktifitas
kehidupan akan berhenti.
Dalam sistem nilai, produksi dalam perspektif Islam
adalah suatu usaha untuk menghasilkan dan menambah daya
guna dari suatu barang baik dari sisi fisik materialnya
maupun dari sisi moralitasnya, sebagai sarana untuk
mencapai tujuan hidup manusia sebagaimana yang
digariskan dalam agama Islam, yaitu mencapai
kesejahteraan dunia dan akhirat. Karena pada dasarnya,
produksi adalah kegiatan yang menghasilkan barang dan
jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen, maka
398
tujuan produksi harus sejalan dengan tujuan konsumsi
sendiri, yaitu mencapai falah.99
Langkah penting memperkuat pengembangan usaha
dengan mematenkan semua motif songket oleh pemerintah
Provinsi Sumatera Selatan sesuai dengan prinsip Undang-
Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri. Hingga
tahun 2010 baru 22 hak cipta motif songket dari 71 motif
yang diusulkan sejak 9 November 2004 yang sudah
mendapatkan hak paten oleh Direktorat Jenderal Hak atas
Kekayaan Intelektual (Dirjen HAKI).100 Strategi ini penting
dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk
ikut memberikan perlindungan kreasi perajin songket
terhadap keterbatasan pemahaman perajin songket atas
hukum hak perlindungan tersebut sekaligus memberikan
sikap positif perajin atas partisifasi mereka di dunia
pertenunan di Indonesia. Menurut penulis, menghormati
dan melindungi hak cipta perajin songket berarti juga
melindungi hak-hak sosial dan budaya masyarakat
Sumatera Selatan. Strategi ini akan membangun kesadaran
99
Lihat Kembali Ahmad Raisu>ni>, Nażariyat al-Maqa>sid
„Inda al-Ima>m al-S}atibi (Beiru>t: al-Ma‟had al-„Lami li al-Fikri al-
Islami, 1995). Sebagai perbandingan lihat Shaikh „Abd al-Qa>dir al-
Jaila>ni al-H}asani, al-Ghunyah li T}a>lib T{a>riq al-Haqq fi> al-
Akhla>q wa al-Tas}awwuf wa al-Ada>b al-Isla>miyyah (Da>r al-Kutub
al-Isla>miyyah, t.t., juz I). Lihat juga Izzuddin ibn Abd al-Salam,
Qawa>id al-Ahka>m fi> Masa>lih al-Ana>m (Kairo: al-Istiqa>mat, t.t);
Hamka Haq, al-Shat}}}ibi Aspek Teologis Konsep Mas}lahah dalam
Kitab al-Muwafaqat (Jakarta: Erlangga, 2007). 100
Beberapa nama motif songket yang dipatenkan, antara lain:
lepus bintang berakam, bungo pacik, tabur limar bintang gajah mada,
jupri, bungo bakung, bungo kayu apui, bungo tabur limar kucing tidur
tajung rompak, dan limar tigo negeri cempuk kupu, bungo intan, limar
mawar jepang, limar berantai, limar negeri, lepus pulir tigo negeri, dan
limar emas berantai. Sumber: dokumentasi Bidang Industri Dinas
Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (DisPerinDagKop) Pemerintah
Kota Palembang, 2010.
399
kepada semua masyarakat pentingnya karya seni tradisional
songket. Hal ini juga berarti songket lebih diapresiasi, dan
terus mendapat sambutan positif oleh masyarakat Indonesia
yang berkembang, diapresiasi oleh pihak asing sebagai
konsumen.
Strategi dasar yang harus dimiliki oleh pengrajin dan
perajin adalah menguatkan tujuan terjun ke dunia usaha
pertenunan songket. Sementara, para pemberi bantuan
modal usaha lewat berbagai program pemerintah melalui
jaringan BUMN dan Perbankan. Tujuan yang selalu
dibangun selama ini hanyalah sebagai upaya konsumtif
dalam membantu ekonomi keluarga, dan sekedar mengisi
waktu luang satu sisi, dan menjalankan proyek dan
perputaran uang bagi pemberi modal. Tujuan kerja seperti
ini menjadi gerakan usaha sambilan dan penyelesaian
proyek. Sehingga, tujuan sebenarnya untuk melestarikan
kerajinan songket dan meningkatkan kualitas hidup
pengrajin dan perajin tidak tercapai. Upaya yang perlu
disatukan adalah penguatan visi, misi dan tujuan kreatifitas
usaha songket yang dibangun bersama-sama dengan
mengikutkan peranserta pemerintah, pengrajin, perajin dan
akademisi dengan berpijak pada rencana pembangunan
nasional pemerintah republik Indonesia.
Dengan pemaknaan seperti tersebut, implikasi
mendasar bagi kegiatan produksi songket, adalah: Pertama,
seluruh kegiatan produksi songket terikat pada tatanan nilai
moral dan etika Islami, tidak melakukan kecurangan dalam
mengatur bahan baku benang atau desain yang dapat
merugikan pelanggan, walaupun secara ekonomi
menguntungkan. Kedua, nilai-nilai produksi songket
menjaga nilai-nilai keseimbangan dan harmoni lingkungan
sosial dan lingkungan hidup masyarakat sekitar usaha.
Keberisikan dalam proses menenun diupayakan untuk
diminimalisir, terutama pembicaraan saat bertenun,
400
dengan demikian memproduksi songket bukan hanya
untuk kepentingan produsen semata, tetapi masyarakat
secara keseluruhan harus dapat menikmati proses secara
memadai, proforsional dan berkualitas.
Ketiga, kreatifitas, semangat kerja dan pengabaian
optimalisasi segala karunia Allah Swt., baik dalam bentuk
Sumber Daya Manusia maupun Sumber Daya Alam.
Artinya, bahwa prinsip produksi dalam pandangan Islam
bukan sekedar efisiensi, tetapi secara luas adalah
bagaimana mengoptimalkan Sumber Daya Ekonomi dalam
upaya pengabdian manusia kepada Tuhannya.101
Dalam sistem nilai, prinsip produksi pada usaha
songket dapat bersifat altruistik, yaitu mementingkan
kepentingan orang lain tanpa mengabaikan kepentingan diri
sendiri, karena secara umum Islam menekankan
keseimbangan antara keduanya. Adanya perilaku
altruistik ini menuntut produsen songket tidak hanya
mengejar keuntungan maksimum saja, namun berupaya
mencapai falah di dunia dan akhirat. Lebih jauh sebagai
konsekuensi dari sifat altruistik ini, maka prinsip produksi
songket menolak pareto optimum, karena tidak sejalan
dengan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam. Dengan
demikian, dalam tatanan nilai Islam fokus produksi tidak
hanya produk finansial, namun mendesign proses
sosial-ekonomi yang mempunyai hubungan strategis
dengan pengembangan produk, pelestarian budaya bangsa,
dan kebersamaan untuk mencapai maq}a>sid shari>‟ah.
Prinsip penting lain yang digairahkan dalam produksi
songket Palembang adalah: (1) memiliki komitmen penuh
terhadap keadilan; dan (2) memiliki dorongan untuk
101
Lihat kembali M. Umer Chapra, the Future of Economics: an
Islamic Perspektif, 19; Hilad Jone, Strategic Management: an Integrate
Approach, 38; Ali Abdul Rasul, Maba>di al-Iqtis}a>di fi> al Isla>m wa
al-Iqt}as}a>di li ad-Daulah al-Isla>miyah, 10-11.
401
menciptakan kebajikan. Dengan demikian optimalisasi
keuntungan diperkenankan dengan batasan keadilan dan
kebijakan. Argumentasi atas hal tersebut, bahwa penerapan
prinsip-prinsip produksi dalam Islam ternyata sangat
kondusif bagi upaya produsen untuk mencapai keuntungan
yang maksimum, terutama dalam jangka panjang. Jika
pengrajin songket mengutamakan keadilan dan kebajikan
dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat, maka
dengan sendirinya dalam jangka panjang eksistensi
usaha songket akan lebih terjamin. Dengan demikian,
tujuan keadilan dan kebajikan dalam produksi akan
berkorelasi positif dengan keuntungan yang dicapai
perusahaan. Sekaligus memberikan kaderisasi penguasaan
tenun songket yang lebih baik untuk generasi-generasi
selanjutnya.
Seperti juga sistem nilai produksi, distribusi songket
berstandar pula pada kemitraan yang berkeadilan dan
kebijaksanaan. Tata aturan dibangun berstandar pada
komitemen untuk menjamin ketersediaan songket dan
aksesories yang berkualitas dengan harga yang sesuai.
Karenanya, mata rantai distribusi hingga sampai pada
konsumen harus memiliki nilai kerjasama dan kemitraan
yang amanah, jujur, transparan dan saling menguntungkan.
Islam mentolerir ketidak-samaan pendapatan sampai tingkat
tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat,
kemampuan, dan pelayanannya kepada konsumen (QS. al-
An‟a>m [6]:165; 16: Q.S. Nu>h} [71]; Q.S. az-Zukhruf
[43]: 32).102
102Şaqar, Muhammad Ahmad, Qira>‟a>t fî al-Iqtis}a>di> al-
Isla>mi> bahs} Manshu>r, al-Iqtis}a>di> al-Isla>mi> Mafa>hi>m wa
Murtazaka>t (Jeddah: Markaz al-Nasyr al-„Ilmi>, 1987); lihat juga Yusri
Abd al-Rahma>n, Usus „Ilm al-Iqtis}a>d (t.t.: Da>r al-Nahd}ah al-
Arabiyah, 1976).
402
Mekanisme pasar juga dapat dipandang sebagai
bagian integral dari sistem ekonomi Islam, aktifitas usaha
songket tidak akan berjalan produktif tanpa pasar, di sisi
yang sama pasar memberikan kesempatan kepada para
konsumen untuk mengungkapkan keinginannya terhadap
produk songket, dan berbagai desain didalamnya yang
disenangi dengan kesediaan untuk membayar harganya, dan
juga memberikan kepada para pengrajin, perajin atau
pedagang songket kesempatan untuk menjual produk
barang atau jasanya sesuai dengan keinginan bebas mereka.
Motif mencari keuntungan, yang mendasari keberhasilan
pelaksanaan sistem yang dijiwai kebebasan berusaha, juga
diakui oleh Islam. Hal ini dikarenakan, keuntungan
memberikan insentif yang perlu bagi efisiensi pemakaian
sumber daya yang telah dianugerahkan Allah kepada umat
manusia.
Efisiensi dalam alokasi sumber daya ini merupakan
unsur yang perlu dalam kehidupan masyarakat yang sehat
dan dinamis dengan batasan-batasan moral tertentu atas
motif mencari keuntungan, sehingga motif tersebut
menunjang kepentingan individu dalam konteks sosial dan
tidak melanggar tujuan Islam dalam keadilan ekonomi dan
sosial, serta distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil.
Artinya, nilai kebebasan dalam distribusi maupun produksi
adalah nilai pemberlakuan setiap orang untuk berusaha
untuk menjual kepada dan membeli dari siapapun yang
dikehendakinya dengan harga yang disetujui oleh kedua
belah pihak („an tara>din).
Kesimpulan yang muncul, bahwa penegasan atas
sistem nilai distribusi unit usaha songket dalam efisiensi
berkeadilan dimana kemitraan dalam konstruk
keseimbangan, kebersamaan, demokrasi, patnership,
kebebasan yang dilakukan dari semua pelaku usaha songket
mulai dari pengrajin, perajin, distributor hingga
403
kelembagaan terbangun dalam nilai-nilai tauhid. Pengakuan
Islam atas model kemitraan dalam distribusi yang
digambarkan tersebut berbeda dengan sistem nilai
kapitalisme, sebab walaupun pemilikan harta benda secara
pribadi diizinkan, namun ia harus dipandang sebagai
amanat dari Allah, karena segala sesuatu yang ada di langit
dan di bumi sebenarnya adalah milik Allah, dan manusia
sebagai wakil (khalifah) Allah hanya mempunyai hak untuk
memilikinya dengan status amanat (Q.S. al-Baqarah [2]: 84;
Q.S. al-Mu‟minu>n [23]: 84-85; Q.S.an-Nu>r [24]: 33).
Seperti juga dalam pembahasan sebelumnya, maka
dalam tatanan nilai dipertegas lagi bahwa sesungguhnya
manusia adalah wakil Allah di bumi, dan harta benda yang
dimilikinya adalah amanat dari-Nya, maka manusia terikat
oleh syarat-syarat amanat, dan nilai-nilai moral Islam,
seperti nilai-nilai halal dan haram, persaudaraan, keadilan
sosial dan ekonomi, distribusi pendapatan dan kekayaan
yang adil, dan menunjang kesejahteraan masyarakat umum.
Ini berarti, konsep efisiensi berkeadilan dalam ekonomi
berangkat dari persaudaraan dan kebersamaan, yang
kemudian dikembangkan dalam salah satu konsep dasar
ekonomi kerakyatan yang dapat menciptakan pengunaan
tenaga kerja maksimal dan mampu mengunakan kapital
atau modal, membuat seseorang sejahtera dengan tidak
membuat orang lain dirugikan.103
E. Membangun Pola Usaha Berbasis kemitraan
103
Lihat kembali Mohammad Hatta, Pengembangan Usaha Kecil:
Salah Satu Aspek Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Idayu, 1979); Mahbub al-
Haq, Islam Property and Income Distribution (Leicester UK: The Islamic
Foundation, 1991); N. Gregory Mankiw, Priciples of Economics, 2nd
edition, 2001; Thomson Learning, Pengantar Ekonomi, terjemahan
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003); Dessler, Human Resource
Management (New Jesrey: Hall Inc, 2000); Rivai, Manajemen Sumber
Daya Manusia untuk Perusahaan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).
404
Pembuatan perencanaan yang dimiliki adalah untuk
mendorong pengembangan dasar tersebut diolah kembali
kinerja yang sudah ada dari aspek produksi dan distribusi.
Dari aspek produksi, pengrajin dan perajin songket dapat
menentukan kembali secara proforsional, efisiensi dan
efektif pada: (1) apa yang dikerjakan dan dikembangkan
dari songket yang sudah ada? Hasil evaluasi dari hasil yang
sudah dibuat; (2) bagaimana mengerjakannya? Dengan
melihat kondisi fasilitas dan perlengkapan yang sudah
dimiliki; (3) kapan akan dikerjakan? Dengan melihat
kondisi efisiensi dan efektifitas waktu yang sudah berjalan
selama ini; (4) dengan melihat kondisi riil perajin dan
kaderisasi perajin yang sudah ada dan yang sudah
disiapkan.
Dari aspek distribusi, pengrajin dan perajin songket
dapat menentukan kembali secara proforsional, efisiensi
dan efektif pada: (1) apa yang dikerjakan dan
dikembangkan dalam memperbaiki kualitas (product
improvement) songket beserta modifikasinya (product
development) dan keanekaragamannya (product
diversification)?; (2) bagaimana cara penyajiannya,
persaingan harga dan cara menyalurkannya? Dengan
membuat peta pemasaran sederhana; (3) siapa mitra yang
mampu mengembangkan jaringan distribusi songket?
Dengan melihat hasil evalusi dalam jaringan kemitraan
yang telah atau sedang dilaksanakan; (4) Bagaimana
melakukan pengembangan kemitraan beretika?.
Dalam perencanaan pengrajin maupun perajin
melakukan aktifitas tahapan yang memungkinkan diambil
keputusan meliputi: (1) menentukan permasalahan dan
mencari gejala-gejala permasalahan yang menyangkut
produktifitas dan distribusi; (2) mengembangkan alternatif
dan kemungkinan. Dalam proses pembuatan perencanan al-
mas}lahah al-mursalah sangat efektif dalam menyikapi, dan
405
menjawab permasalahan-permasalahan, dan perkembangan
baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan, dan
teknologi modern untuk tetap menguatkan eksistensi para
pengrajin songket, baik dalam mas}lahah sosial maupun
dalam meningkatkan pemenuhan kebutuhan hidup sesuai
dengan nilai-nilai Shari>‟at Islam.104 Selanjutnya, dalam
penerapan strategi (implementing) dibutuhkan
pengorganisasian sebagai sebuah proses pengelompokan
orang-orang dengan tugas dan wewenang dengan jelas,
dengan semua perlengkapan proses tenun songketnya.
Kesemua komponen sama-sama saling bersinergi dalam
kerangka efisiensi berkeadilan dengan nilai-nilai etika.
Dalam proses produksi, semua komponen usaha
sama-sama terlibat dan sama-sama bertanggung jawab
dalam pendayagunaan kapital, membangun hak dan
kewajiban bersama, kebersamaan pengembangan sumber
daya pengrajin, dan kebebasan berusaha dan berkreatifitas.
Penggunaan faktor produksi tersebut direncanakan dengan
optimal, efisien dengan biaya efisien dan berkeadilan.
Dalam pengertian keadilan dalam pandangan Islam tidak
diartikan sama rata, akan tetapi pengertiannya adalah
menempatkan sesuatu sesuai dengan proporsinya atau hak-
haknya. Sikap adil sangat diperlukan dalam setiap tindakan
termasuk dalam tindakan berekonomi. Dengan sikap adil
setiap orang yang terlibat dalam kegiatan ekonomi akan
memberikan dan mendapatkan hak-haknya dengan benar.
Dalam menentukan honor, harga, porsentase, ukuran,
timbangan dan kerugian akan tepat dan terhindar dari sifat
dzulmun (aniaya).
104
Lihat kembali Abu Ishaq al-Shathibi, al-Muwa>faqāt Fi>
Us}ūl al-Syari>‟ah, jilid II (Beirut: Da>r al-Ma‟rifah, 1973); Muhammad
Adib Shaleh, Mas}a>dir al-Tasyri‟ al-Isla>mi (Damaskus, Al-
Mat}ba‟ah al-Ta‟awuniyah, tt).
406
Al-Qur‟a>n memerintahkan setiap tindakan harus
didasari dengan sikap adil, karena bentuk keadilan akan
mendekatkan kepada ketaqwaan (Q.S. al-Ma>idah, [5]: 8).
Dari aspek biaya produksi bukan hanya sekedar rendah,
namun bisa mencakup kesejahteraan dari semua pihak.
Sehingga, dalam wilayah pemasaran tenun songket beserta
semua modifikasi dalam berbagai bentuknya dapat berdaya
guna sebagai produk usaha berciri khas, bernilai
kebersamaan, memiliki nilai etika dan estetika, dan dapat
dijual dengan harga yang wajar dan bersaing.
Dalam konsep ini, maka faktor produksi perlu
direncanakan secara baik. penerapan yang efisiensi adalah
semua faktor produksi dikembangkan secara seimbang.
Tidak terlalu kecil yang akhirnya produksi terhenti, dan
tidak terlalu besar yang menimbulkan investasi yang
tertanam dalam aktiva lancar yang dapat mengganggu
kemampuan untuk membayar pembiayaan jangka pendek,
walaupun menguntungkan dalam penciptaan laba.
Sementara, bahan baku yang minim menguntungkan dalam
sudut keuangan, karena modal pembiayaan yang tertanam
kecil, namun rugi dalam proses produksi yang
menyebabkan pengrajin tidak dapat melayani permintaan
pembeli, sehingga berdampak pada perolehan keuntungan
yang kecil pula. Dalam hal itu, maka diperlukan di dalam
suatu usaha atau bisnis atau berwirausaha, kita harus
memerlukan perhitungan untuk estimasi atau proyeksi laba
yang akan atau ingin diperoleh pengrajin. Karena itu salah
satu strategi untuk membangun hal tersebut dengan
memiliki pola penyusunan rencana keuangan.
Jadi, kerangka penyusunan rencana keuangan untuk
usaha songket Palembang terdiri dari rencana penjualan,
rencana produksi yaitu mulai dari rencana penjualan,
rencana produksi, yaitu mulai dari penyusunan rencana
kebutuhan bahan baku, rencana biaya tenaga langsung,
407
rencana penggunaan jam kerja mesin dan penggunaan
peralatan sampai dengan penyusunan rencana anggaran
biaya pemasaran dan bidang administrasi umum. Dalam
penyusunan rencana keuangan, usaha songket perlu
memperhatikan faktor-faktor internal maupun eksternal.
Internal seperti hasil dan perkembangan penjualan
masa lalu, target penjualan yang dicapai, kapasitas produksi
yang tersedia. Faktor eksternal seperti perkembangan dunia
usaha, perkembangan usaha songket, peraturan pemerintah,
keadaan ekonomi dan pola konsumsi masyarakat.105
Strategi lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah
penghitungan harga pokok. Penetapan harga pokok yang
tinggi mengakibatkan lemahnya usaha songket menghadapi
saingan, dan penetapan harga pokok yang rendah dapat
berakibat kurangnya kemampuan untuk memperoleh laba.
Di samping, strategi yang terus menjadi dasar kerja agar
memilik nilai lebih (added value) yang berorientasi pada
pemenuhan permintaan pasar (market driven), dibutuhkan
dukungan kebijakan untuk menciptakan iklim yang
kondusif, dukungan finansial dalam bentuk Modal Awal
dan Padanan (MAP), dan dukungan non finansial berupa
pendidikan dan latihan.
Dengan berbagai dukungan yang diberikan, terutama
LPB/BDS dan lembaga keuangan mikro yang terkait
dengan lembaga keuangan modern, yang saling
bersinergi dengan pengrajin dan perajin songket yang
dapat meningkatkan dinamika bisnis mereka. Terlebih lagi,
secara kultural, aktifitas pengrajin dan perajin songket tidak
akan mengalami perubahan budaya, karena sentra usaha
mereka tetap berada di tempat semula dengan aktifitas turun
temurun. Sehingga, penerapan strategi tersebut maka hasil
tenun songket dapat terpasarkan dengan baik, menyerap
105
Adji Suratman, Konsep, Proses, dan Implementasi Rencana
Jangka Panjang Perusahaan (Jakarta: Intama Artha Indonusa, 2000).
408
tenaga kerja potensial, serta memberi multiplayer effect
bagi masyarakat sekitar. Kemampuan mengembangkan ide
dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah, dan
menemukan peluang. Di samping itu, memiliki inovasi
yaitu kemampuan menerapkan kreatifitas dalam
memecahkan masalah dan menemukan peluang. Maka
kebijakan pemerintah, aktifitas pengrajin dan perajin, dan
masyarakat, serta peran perguruan tinggi selalu disinerjikan
merupakan komponen penting dalam membangun strategi
usaha songket yang berdaya guna, terutama dalam
meningkatkan jiwa kewirausahaan setiap pengrajin dan
perajin songket.
Peningkatan kewirausahaan tersebut dapat dilakukan
melalui internal dan eksternal, sebab keberhasilan suatu
usaha sangat ditentukan oleh faktor eksternal dan faktor
internal. Faktor eksternal meliputi situasi perekonomian,
kebijakan pemerintah, perubahan lingkungan persaingan,
serta perubahan selera konsumen, yang sulit dikendalikan
oleh suatu usaha, karena keberadaannya di luar organisasi.
Faktor eksternal semakin kompleks dan tidak dapat
diprediksi, sehingga suatu usaha semakin sulit untuk
mencapai dan mempertahankan kesuksesan organisasi.106
Faktor internal sepenuhnya berada di usaha songket
Palembang, seperti sumber daya keuangan, kebijakan
pengrajin terhadap perajin, praktek Sumber Daya Manusia,
manajemen dan struktur organisasi, sikap dan perilaku
perajin yang terkait dengan keadaan jiwa perajin yang dapat
dikendalikan oleh organisasi. Permasalahan yang dihadapi
suatu usaha adalah menyangkut kemampuan mengelola
106
Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet
Widjayakusuma, Menggagas Ekonomi Islami (Jakarta: Gema Insani
Press, 2002); Hadi Soesastro, Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di
Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2005).
409
faktor internal dan eksternal. Keberhasilan mengelola faktor
internal akan memiliki kontribusi yang sangat berarti
terhadap keberhasilan suatu usaha.107
Kemampuan mengelola faktor internal tidak dapat
dipisahkan dengan kemampuan manajemen Sumber Daya
Manusia mengembangkan kreatifitas dalam meningkatkan
usaha tenun songket dengan beradaptasi pada faktor
eksternal. Kemampuan menyesuaikan terhadap lingkungan
menjadi hal yang utama bagi suatu usaha songket untuk
mencapai keberhasilan. Kemitraan sebagai kerjasama usaha
yang telah dipilih oleh pemerintah untuk dijadikan pola
untuk memberdayakan usaha kecil, melibatkan beberapa pihak,
yaitu: Pertama, pemrakarsa, para pemrakarsa adalah pengusaha
besar baik swasta maupun BUMN yang bersedia menjalin
kemitraan dengan pengusaha kecil. Kedua, mitra usaha, yaitu
pengusaha kecil termasuk koperasi dapat dipertimbangkan
menjadi peserta dalam kemitraan usaha nasional dengan
mempertimbangkan antara lain, yaitu: (a) kesediaan menjalin
kemitraan dengan pengusaha besar, (b) mempunyai kinerja
yang baik. Ketiga, pemerintah. Pemerintah berperan dalam
koordinasi, fasililitasi, dan pengawasan bagi kemitraan.
Hal yang mendasar adalah bagaimana suatu usaha
mampu menyeimbangkan strategi lingkungan internal
(controllable) seperti proses, produk, harga, distribusi, dan
budaya dan eksternal (uncontrollable) seperti persaingan,
teknologi, globalisasi, legislasi dan demograpi, sehingga
dapat terjadi keseimbangan untuk mencapai tujuan usaha.
107
Lihat James D Thompson, Organizations in Action: Social
Science Bases of Administrative Theory (New Brunswick, N.J.:
Transaction Publishers, 2003); lihat juga Mahmud Thoha, Dinamika
Usaha Kecil dan Rumah Tangga (Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan, 2001); Noer Soetrisno,
Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Sosial (Jakarta: Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia (STEKPI),
2003).
410
Dalam wilayah internal, setiap pengrajin memiliki semangat
untuk selalu konsisten melakukan aktifitas proses
penenunan. Penurunan motivasi kerja selalu menjadi bahan
evaluasi kerja setiap saat.108 Untuk wilayah eksternal
pemerintah juga turut memberikan stimulan kerja sesuai
dengan masing-masing job description.
Kemitraan sebagai kerjasama usaha yang telah
dipilih oleh pemerintah untuk dijadikan pola untuk
memberdayakan usaha kecil, melibatkan beberapa pihak yaitu:
Pertama, pemrakarsa. Para pemrakarsa adalah pengusaha besar
baik swasta maupun BUMN yang bersedia menjalin
kemitraan dengan pengusaha kecil. Kedua, mitra usaha, yaitu
pengusaha kecil termasuk koperasi dapat dipertimbangkan
menjadi peserta dalam kemitraan usaha nasional dengan
mempertimbangkan antara lain yaitu: (a) kesediaan menjalin
kemitraan dengan pengusaha besar, (b) mempunyai kinerja
yang baik. Ketiga, pemerintah. Pemerintah berperan dalam
koordinasi, fasililitasi, dan pengawasan bagi kemitraan usaha
nasional.109 Strategi lewat intervensi eksternal dapat dilihat
dari pembagian kerja pada masing-masing instansi.
Dari aspek koordinasi, pada dasarnya lembaga yang
melakukan koodinasi sebenarnya tidak hanya dari unsur
instansi pemerintah tetapi juga meliputi dunia usaha,
perguruan tinggi, dan tokoh masyarakat.110 Selanjutnya, di
dalam melakukan koordinasi ruang lingkupnya meliputi
kegiatan dalam hal penyusunan kebijakan dan program
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta pengendalian
umum terhadap pelaksanaan kemitraan usaha nasional.111
108
Responden sering mengeluh terhadap penurunan dalam
aktifitas menenun dikarenakan faktor kebosanan, usia, perasaan dan
merasa sudah tidak mampu berkreasi lagi (wawancara dengan perajin
songket pada tanggal 19 Oktober 2010. 109
Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997. 110
Lihat ketentuan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 ( pasal 26). 111
Lihat Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997 (Pasal 24).
411
Peran fasilitasi dari pemerintah terutama dalam
mengupayakan penyediaan dan pemberian fasilitas baik
modal, teknologi dan jaringan pasar dalam dan luar negeri,
sehingga masyarakat dapat menikmati dan menggunakan peluang
yang sama. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi ketimpangan
sosial di dalam masyarakat, karena ada sekelompok kecil
masyarakat yang sangat mudah mendapat peluang,
sementara sebagian besar masyarakat lainnya sulit
mendapatkannya.
Program kemitraan sebagai kebijakan hukum sesuai
dengan apa yang diamanatkan oleh GBHN Republik
Indonesia Tahun 1999, di dalam prakteknya tentunya tidak
dapat dilaksanakan begitu saja tanpa peran serta dari
pemerintah. Sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan
Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor. 44 Tahun 1997.
Salah satu BUMN yang memiliki strategi dalam
mengembangkan songket melalui penerapan strategis
adalah Pusri. Contoh usaha kecil yang telah mendapat
bantuan antara lain berupa industri kerajinan khas daerah
seperti songket, kayu ukir khas Palembang, kerupuk atau
kemplang Palembang, pempek, keramik, dan lain-lain.
Banyak pengusaha kecil yang telah menjadi mitra binaan
PT Pusri dan berhasil mengembangkan usahanya. Strategi
yang digunakan PT. PUSRI seperti dijelaskan Departemen
Kemitraan Usaha Kecil dan Bina Wilayah dengan
menentukan karakteristik dan spesifikasi pengusaha kecil
dan koperasi yang bisa dijadikan mitra binaan. Calon mitra
harus berdomisili di lingkungan bisnis PT Pusri,
memproduksi atau menjual produk maupun komoditas khas
unggulan daerah dan berpeluang untuk ekspor. Selain itu,
produk tersebut juga harus dapat dipergunakan oleh PT
Pusri, dan jenis usaha yang diajukan sebaiknya
berhubungan langsung dengan core bisnis PT Pusri.
412
Syarat-syarat untuk menjadi mitra binaan: (1) usaha
telah berjalan minimal 1-2 tahun; (2) belum pernah
mendapatkan bantuan dari BUMN pembina lain; (3)
mempunyai prospek untuk berkembang; (4)Usaha Kecil
dan Koperasi yang diajukan belum termasuk katagori
bankable; (5) penjualan atau omzet per tahun maksimal Rp
1 miliar atau memiliki aktiva/aset maksimum Rp 200 juta di
luar tanah dan bangunan yang ditempati.
Bantuan pinjaman akan diberikan setelah melewati
prosedur yang telah ditetapkan. Inti dari sebuah prosedur
pemberian bantuan pinjaman di Pusri adalah proposal yang
baik dan survey yang terkontrol. Tahapan awal yang harus
dilaksanakan adalah calon mitra binaan mengajukan
permohonan kepada PT Pusri atau melalui Dinas/Badan
Koperasi PKM Kabupaten/Kota untuk diteruskan kepada
BUMN Pembina. Berdasarkan permohonan tersebut PT
Pusri akan melakukan pengkajian atau survey ke lokasi
calon mitra binaan dengan memperhatikan aspek organisasi,
aspek teknologi produksi dan bahan baku, aspek pemasaran,
aspek keuangan, dan lain-lain aspek yang memegang
peranan penting untuk keberhasilan calon mitra binaan.
Dana pinjaman akan segera dikucurkan untuk
permohonan atau proposal yang dinyatakan layak. Satu-
satunya syarat terakhir yang harus dilakukan adalah
menandatangani surat perjanjian yang dilakukan oleh kedua
belah pihak. Realisasi kucuran dana yang diberikan adalah
pinjaman berbunga sebesar Rp 6 persen hingga 12 persen
efektif per tahun, dengan jangka waktu dua tahun untuk
modal kerja.
Dari sisi kelembagaan, dibangun intervensi eksternal
pada usaha songket dengan satu program bersama yang
disebut “Jaring Penguat Tenun Tradisional Songket.112
112
Pengembangan konsep sejalan dengan Permendagri No. 24
tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
413
Progam ini bisa masuk dalam wilayah sistem manajemen
satu atap ataupun program kebersamaan semua institusi
yang berhubungan dengan usaha mikro dan usaha kecil.
Semua institusi memiliki satu program utama yang tidak
tumpang tindih, seperti Kementrian Perindustrian dan
Perdagangan dan Kementrian tenaga kerja yang khusus
mensurvey, mengkaji, menfasilitasi pelatihan kader
penenun songket, dan mengevaluasi dengan target penenun
muda yang lebih kreatif. Kementrian Pendidikan untuk
memfasilitasi program ekstra-kurikuler sekolah yang
ditunjuk sebagai percontohan termasuk memprogramkan
pendidikan luar sekolah pada aktifitas produksi songket.
Selanjutnya, Kementrian Sosial bekerjasama Bappeda dan
Dinas Tata Kota menfasilitasi kemudahan dalam aspek
perizinan untuk unit usaha songket yang baru merintis.
Kementrian Tenaga Kerja memberikan penyuluhan
dengan program kembali ke kewirausahaan berbasis daerah.
Selanjutnya, calon-calon peminat menenun di data,
dikoordinasikan dan bekerjasama dengan Departemen
Perinsdusrian dan Perdagangan untuk dilatih sebagai
regenerasi perajin songket. Hasil kegiatan diarahkan oleh
Kementrian Tenaga Kerja disalurkan pada pengrajin-
pengrajin unit usaha yang telah terdaftar pada data base
Kementrian Perindustrian dan Perdagangan, Kementrian
Tenaga Kerja maupun instusi yang berhubungan dengan
data base unit usaha songket di seluruh wilayah Sumatera
Selatan.
Atap merupakan salah satu instrumen untuk menciptakan iklim investasi
yang kondusif bagi penanaman modal dan investasi, sehingga lebih
meningkatkan dan menggairahkan ekonomi kerakyatan, serta
perekonomian daerah. Pembangunan ekonomi daerah, selain ditujukan
untuk memperkuat ketahanan ekonomi daerah itu sendiri, juga
mewujudkan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan. Ketahanan
ekonomi daerah sangat tergantung kepada potensi ekonomi yang ada
didaerah untuk dikelola dengan benar dan efisiensi berkeadilan.
414
Kementrian Koperasi wilayah Provinsi Sumatera
Selatan merumuskan kebijakan pengembangan usaha kecil,
serta mengembangkan koperasi sebagai satu-satunya wadah
kegiatan ekonomi rakyat. Kementrian Keuangan khusus
mekanisme yang berhubungan dengan perajin yang telah
terbina untuk membangun usaha sendiri melalui bantuan
modal usaha, termasuk program pelatihan manajemen
sederhana yang dapat menjadi standar pengelolaan usaha
songket yang lebih baik dan proporsional dan profesional.
Perguruan tinggi menjadi mitra masing-masing institusi
baik sebagai konsultan, nara sumber, peneliti survey,
pengevaluasi, sekaligus konsultan dan pembinaan usaha
songket, serta berbagai distribusi informasi yang
berhubungan dengan pengembangan jalur usaha. Semua
struktur tersebut saling bertanggungjawab dengan program
utama. Sehingga, ketika memerlukan informasi apapun
yang berkenaan dengan pengembangan kluster usaha
songket. Masing-masing institusi memiliki data base dan
tempat menyalurkan informasi bagi yang membutuhkan.
Inilah asas kebersamaan dan kekeluargaan yang terbangun
dalam menciptakan iklim usaha kerakyatan yang berdaya
saing.
Langkah yang juga bisa menjadi bagian
pengembangan usaha berbasis nilai dengan mulai
melakukan konsep One Village One Product (OVOP), yaitu
suatu gerakan revitalisasi daerah, untuk mengembangkan
potensi asli daerah supaya mampu bersaing di tingkat global.
OVOP akan disesuaikan dengan kompetensi daerah, di
mana akan dipilih produk unggulan yang unik dan
khas.113 Dalam prosesnya, terjadi persebaran
113
Konsep OVOP pada mulanya diterapkan oleh pemerintah
Jepang dalam memperkuat produk lokal khas daerah mereka. Indonesia
mencanangkan konsep OVOP pada tahun 2008 melalui Peraturan
Menperin Nomor 78 Tahun 2007. Lihat Saiful Ulum et.al., “Konsep One
415
Perkampungan Industri Kecil (PIK) di seluruh Indonesia
dengan ciri khas masing-masing.114 Dengan adanya konsep
One Village One Product atau perkampungan industri kecil
di semua daerah akan memberikan solusi konstruktif,
terutama membangun juga nilai-nilai motivasi membangun
ciri khas wilayah masing-masing.
Pembentukan perkampungan tersebut tidak sekedar
memberikan pemukiman para usaha kecil, teratur dan sehat,
namun juga dibangun fasilitas mendukung pengembangan
usaha berbasis nilai. Seperti pendirian pelayanan tehnis,
pendirian balai pengembangan industri, pendirian aula
pameran hasil usaha bersama. Dengan demikian,
perkampungan industri kecil yang dibangun memiliki nilai
bukan sekedar mengumpulkan usaha kecil pada satu
tempat. Perkampungan tersebut akan berdaya guna, dan
dapat dengan cepat pemerintah memberikan solusi
konstruktif. Semua aktifitas mulai dari survey penelitian
dan pengembangan, bantuan studi kelayakan, bantuan studi
perbandingan, pendidikan dan pelatihan, serta bimbingan
dan penyuluhan dapat dikontrol, dan dievaluasi secara
berkesinambungan. Penggambaran rancang bangun usaha
berbasis nilai dengan membangun kebersamaan antara
Village One Product (OVOP ) Melalui Peran Triple Helix Sebuah Strategi
Penguatan Produk Lokal Menyambut Free Trade Agreement (Fta) Asean-
China 2010”, dalam Penjurnalan Karya Ilmiah (Reseach Study Club
(RSC )FIA UB 2009, edisi ke-2). 114
Salah satu contoh kawasan sentra home industri
Perkampungan Industri Kecil (PIK) Pulogadung, Jakarta, menampung
495 pengusaha dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 5.706 pekerja. Di
dalam kawasan PIK terdapat lima kelompok pengusaha kecil dan
menengah, antara lain sentra garmen sebanyak 273 pengusaha dengan
jumlah pekerja 3.619 orang, logam 96 pengusaha (927 pekerja), kulit 72
pengusaha (632 pekerja), aneka komoditi 46 pengusaha (491 pekerja) dan
meubel (delapan pengusaha dengan 37 pekerja). Pekerja memproduksi
kaus di bengkel produksi di Perkampungan Industri Kecil (PIK) Cakung,
Jakarta Utara.
416
cluster songket dengan unit pelayanan teknis, balai
pengembangan usaha, pemukiman dan aula pameran
kreatifitas usaha bersama. Implementasi kebersamaan
digunakan untuk aktifitas studi kelayakan, studi banding,
pendidikan dan pelatihan, pemasaran.
Aktifitas tenun songket yang progresif ditandai
adanya kinerja yang meningkat, peningkatan kemampuan
karyawan, motivasi karyawan, dan struktur kerja yang
fleksibel. Sehingga, usaha tetap survive di tengah-tengah
lingkungan usaha yang penuh ketidakpastian dan
turbulence. Strategi pengembangan tenun songket adalah
mendorong untuk mengembangkan dan memanfaatkan
keterampilan, menolong memelihara kinerja standar dan
meningkatkan produktivitas melalui efektivitas job design,
menyediakan ketepatan orientasi, pelatihan dan
pengembangan, menyediakan hubungan timbal balik
kinerja, dan memastikan komunikasi dua arah secara
efektif. Membantu memantapkan dan memelihara
hubungan antara karyawan dan pemilik yang harmonis.
Program pengembangan untuk mempertemukan kebutuhan
sosial, psikologi, ekonomi bagi karyawan sekaligus
menolong organisasi mempertahankan produktivitas
perajin.
Strategi pengembangan sumber daya perajin songket
dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui
pendidikan lewat mata pelajaran ekstra kurikuler menenun
dari semua jenjang pendidikan lewat modul dalam berbagai
tingkatan.115 Pelatihan berkesinambungan melalui program
instansi yang terkait dengan perajin songket sebagai bagian
dari aktifitas usaha kecil, dalam mencapai peningkatan
115
Untuk membuat modul dapat dilakukan lewat kerjasama antara
kementrian pendidian nasional, dengan yang perguruan tinggi, dan
perajin profesional.
417
kompetensi Sumber Daya Manusia yang fokus pada
kreatifitas tenun songket.
Strategi pengrajin songket dengan melakukan
terobosan-terobosan dalam penerapannya mampu
meningkatkan kualitas kerja, sehingga terbangun organisasi
bisnis yang fleksibel dan agility (cerdas), Pertama,
mendapatkan hasil maksimum dari tenun songket,
kreatifitas inovatif dari tenun dalam bentuk souvenenir yang
berdaya saing. Sehingga semakin meningkatkan
pendapatan, serta meningkatkan aliran kas, dan
meminimalisir biaya operasi yang berkeadilan; Kedua,
dengan berbagai variabel penetapan dan penerapan strategis
dapat membangun usaha yang terorganisir secara
profesional, dan mampu menyesuaikan perubahan
kebutuhan usaha; Ketiga, berusaha selalu menguatkan
kinerja para penenun songket dengan memberikan hak-hak
yang adil dan manusiawi, sehingga mampu meminimalisir
ekspos resiko faktor internal dan eksternal.
Keempat, berorientasi pada kepuasaan pelanggan
pencinta kerajinan tenun khas, dan menjaring kemitraan
dalam distribusi yang sama-sama membangun keuntungan,
baik lewat jalur kebijakan pengrajin, maupun intervensi
pemerintah dan BUMN mitra lewat aktifitas pameran
ekspor daerah maupun regional. Dalam aktifitas ini, Islam
mengajarkan konstruk ta‟aw>un (Q.S. al-Ma>‟idah [5]: 2).
Ketika ta‟a>wun dijadikan landasan dalam berekonomi
pelaku bisnis akan terhindar dari sikap-sikap yang
merugikan orang lain termasuk sikap monopoli.
Seorang produsen akan menjaga kualitas
produksinya untuk membantu orang lain yang tidak mampu
berproduksi, seorang pengrajin punya tujuan membantu
pembeli yang membutuhkan tenunan songket sesuai dengan
kemampuannya. Sehingga penjual tadi akan memberikan
hak-hak bagi pembeli. Artinya, suatu usaha akan sukses
418
dengan fokus pada inovasi penjualan dengan memahami
kebutuhan pelanggan. Di dalam kasus ini, model
kompetensi menekankan pada kemampuan
mengembangkan produk sekaligus membangun dan
mempertahankan loyalitas dan hubungan.116
Islam menempatkan majikan dan pekerja dalam
kedudukan yang setara, keduanya saling membutuhkan satu
dengan yang lainnya. Hubungan keduanya adalah kemitraan
dalam bekerja, majikan adalah orang yang memiliki dana
dan membutuhkan kerja manusia, sementara pekerja adalah
pemilik tenaga yang memerlukan dana. Keduanya saling
membutuhkan, karenanya harus diatur agar masing-masing
dari keduanya menjalankan tugasnya dengan baik dan
mendapatkan bagiannya secara benar (Q.S. az-Zukhruf
(43): 32). Karena itu, konsep Islam tentang hubungan kerja
majikan-pekerja adalah konsep penyewaan (ija>rah).
Konsep penyewaan meniscayakan keseimbangan antara
kedua belah pihak, sebagai musta‟ji>r (penyewa) dan
mu‟ji>r (pemberi sewa). Penyewa adalah pihak yang
menyerahkan upah dan mendapatkan manfaat, sedangkan
mu‟ji>r adalah pihak yang memberikan manfaat dan
mendapatkan upah. Antara musta‟ji>r dan mu‟ji>r terikat
perjanjian selama waktu tertentu sesuai kesepakatan.
Selama waktu itu pula, kedua belah pihak menjalankan
kewajiban dan menerima hak masing-masing.
116
Lihat Michael Martone, Flatness and Other Landscapes
(Athens: Univ Of Georgia Press, 2003), Craig John Benham,
Mathematics of Dna Structure, Function and Interactions (New York:
Springer, 2009). Beberapa konsep membangun teknik penjualan strategis
dapat dilihat Arthur Middleton Hughes, Strategic Database Marketing:
the Masterplan for Starting and Managing a Profitable, Customer-Based
Marketing Program (New York: McGraw-Hill), 2005; Joan Capelin,
Communication by Design: Marketing Professional Services (Atlanta:
Greenway Communications), 2004.
419
Dalam akad ija>rah tersebut, musta‟ji>r tidak dapat
menguasai mu‟ji>r, karena status mu‟ji>r adalah mandiri,
dan hanya diambil manfaatnya saja.117 Berbeda dengan jual
beli, ketika akad selesai maka pembeli dapat menguasai
sepenuhnya barang yang dibelinya. Beberapa bangun yang
dilakukan dalam konstruks pengrajin (majikan)-perajin
(pekerja) adalah: (1) musharakah yang menempatkan sama-
sama menanggung profit and loss sharing (QS. S{a>d (38):
24); (2) mud}a>rabah dimana keuntungan dibagi
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, dan
kerugian finansial menjadi beban pemilik dana, sedangkan
pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah
dilakukan; (3) al-Ju‟a>lah yaitu kompensasi atas sebuah
pekerjaan tenun songket tepat waktu dan produktif baik
dalam bentuk hadiah atau persenan.118
Dalam evaluasi dalam meningkatkan kinerja usaha
songket pada aspek gaji/upah dibutuhkan paradigma bahwa
penenun bukanlah salah satu faktor produksi dari Sumber
Daya Alam, tenaga kerja, modal, dan teknologi. Pola
hubungan pengrajin (majikan)-perajin (pekerja) memiliki
dasar bahwa para pekerja yang membantu aktifitas usaha
telah mengorbankan waktu, tenaga, keahlian demi untuk
kemajuan usaha songket.119 Hal tersebut berbeda pola
117
Ahmad Hasan, Nazhariya>t al-Uju>r fi> al-Fiqh al-Isla>miy
(Suria: Da>r Iqra>‟, 2002). 118
Lihat Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam
(Yogyakarta: BPFE, 2004). 119
Penegasan kembali terhadap konsep upah yang menurut
pengertian Barat terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak
tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan
kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan
harian. Sedangkan, gaji menurut pengertian Barat terkait dengan imbalan
uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap dan
dibayarkan sebulan sekali. Sehingga dalam pengertian Barat, perbedaan
gaji dan upah itu terletak pada jenis karyawannya (tetap atau tidak tetap),
dan sistem pembayarannya (bulanan atau tidak). Meskipun titik berat
420
hubungan majikan-pekerja dalam ekonomi konvensional
ditempatkan pada dua ranah yang berbeda, majikan adalah
pihak yang menguasai faktor-faktor produksi, sementara
pekerja adalah faktor produksi yang berfungsi melakukan
proses produksi. Hubungan kedua entitas ini tidak
seimbang. Akibatnya, majikan karena tujuan meningkatkan
hasil produksi, selalu memaksimalkan kinerja tenaga kerja
dan mengurangi biaya produksi dari tenaga kerja (upah).
Hubungan yang “dikotomis” ini merupakan salah satu
pemicu dari ketegangan-ketegangan yang terjadi antara
majikan dan pekerja. Ketidakseimbangan kedudukan ini
berimbas pada perbedaan perlakuan yang akhirnya
mempengaruhi sikap dan perilaku kedua belah pihak.
Konsep upah seperti dijelaskan dalam Q.S at-
Tawbah (9): 105; Q.S. an-Nah}l (16): 97; Q.S. al-Kahf
(18): 30, memperlihatkan bahwa dengan bekerja maka
kamu akan mendapatkan ganjaran amalan tersebut, tanpa
melihat jenis kelamin (laki-laki ataupun perempuan) baik
di dunia dan imbalan di akhirat. Tidak adanya perbedaan
gender dalam menerima upah menunjukkan konsep
larangan diskriminasi upah dalam Islam, jika mereka
mengerjakan pekerjaan yang sama. Hal yang menarik dari
ayat ini, adalah balasan Allah langsung di dunia (kehidupan
yang baik/rezeki yang halal) dan balasan di akherat (dalam antara upah dan gaji terletak pada jenis karyawannya apakah tetap
ataukah tidak. “upah atau gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap
emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak langsung,
apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada
pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja” (Konvensi ILO nomor
100). Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional: Upah adalah suatu
penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk
suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi
sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan
produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan
menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan
atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.
421
bentuk pahala). Rasulullah Saw. juga menegaskan seperti
haditsnya kepada Aisyah bahwa “pahala kamu adalah
kesuksesan kamu”.120
Dari hadits ini dapat didefinisikan bahwa upah yang
sifatnya materi (upah di dunia) mestilah terkait dengan
keterjaminan dan ketercukupan pangan dan
sandang. Ketercukupan tersebut setimpal dengan kualitas
kerja pada masing-masing karyawan, artinya upah setimpal
dengan kualitas kerja (Q.S. an-Nisa>‟ [4]: 6, 32. Disamping
itu, prinsip keadilan dalam pengupahan mencerminkan
pengrajin telah melakukan nilai-nilai orang-orang bertaqwa
(Q.S. al-Ma>‟idah [5]: 8). Adil dalam pemahaman jelas dan
transparan (Q.S al-Baqarah [2]: 282; Q.S al-Ma>‟idah: 1),
dari dua ayat al-Qur‟an ini dipahami bahwa prinsip utama
keadilan terletak pada kejelasan aqad (transaksi), dan
komitmen melakukannya antara pengrajin dan perajin
songket.121
Dalam arti, bahwa seorang pekerja hanya berhak atas
upahnya, jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan
semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat
Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka, kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram. Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan
yang benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak
semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan untuk
dipotong upahnya, karena setiap hak dibarengi dengan
kewajiban. Selama ia mendapatkan upah secara penuh,
maka kewajibannya juga harus dipenuhi. Oleh karenanya,
dalam “peraturan kerja” yang menjelaskan masing-masing
120
Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim, jilid 2 (Libanon: Dar al-
Fikr, tt), 876. 121
Abdurrahma>n al-Jaziry, al-Fiqh ala Madza>hib al-‟Arba‟ah,
jilid 3 (Kairo: Da>r al-Hadi>s, 2004).
422
hak dan kewajiban kedua belah pihak secara layak122 dan
proporsional (equal pay for equal job) [Q.S. al-Ahqa>f
(46): 19; Q.S. Ya>si>n (36): 54].123
Dari perspektif tersebut, memperlihatkan penerapan
strategi pengembangan usaha songket dalam upah menjadi
perhitungan penting, sebab upah atau gaji merupakan
perajin songket selama bekerja dengan baik, jika tenunan
tidak sesuai dengan harapan tanpa ada alasan, maka gajinya
dapat dipotong atau disesuaikan. Artinya, strategi hak-
kewajiban pengrajin-perajin dari aspek upah menjadi titik
dasar untuk meningkatkan kualitas tenun songket.
Berdasarkan observasi dan wawancara dengan perajin maka
pengrajin, pengusaha maupun pedagang yang memiliki
perajin harus memperhatikan hak-hak lain, seperti hak
memberikan ketenangan karena aktifitas tenun berhubungan
dengan hati, hak pembatasan jam kerja; hak mendapatkan
perlindungan; hak berserikat; hak beristirahat (cuti); dan
hak mendapatkan jaminan sosial.124
122
Pemahaman terhadap kebercukupan sandang, papan dan
pangan. Dalam perspektif sejarah Islam, karyawan merupakan bagian
dari keluarga, pengusaha muslim seringkali memperhatikan kehidupan
karyawannya di luar lingkungan kerjanya, artinya upah tidak dapat
dipisahkan dari konsep moral. Layak juga dipahami sesuai dengan
peraturan pemerintah yang ditetapkan dalam UMR (Upah Minimum
Regional). Lihat Baqir Sharief Qorashi, Keringat Buruh, Hak dan Peran
Pekerja dalam Islam, terj. (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2007);
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (Yayasan
Swarna Bhumi, 1997). 123
Yusuf Qarad}a>wi, Peran Nilai dan Moral dalam
Perekonomian Islam, terj Didin Hafidudin (Jakarta: Rabbani Press,
2001). 124
Lihat juga Muhammad Mushthafa al-Syinqit}i, Dira>sah
Shar‟iyyah li> Ahammi al-‟Uqu>d al-Ma>liyah al-Mustahdatsah
(Madinah: Maktabah al-‟Ulu>m wa al-Hika>m, 2001); Ahmad Hasan,
Naz}ariya>t al-Uju>r fi> al-Fiqh al-Isla>miy; Eko Prasetyo, Upah dan
Pekerja (Yogyakarta: Resist Book, 2006).
423
Program lain yang perlu menjadi penguatan usaha
songket dengan menguatkan koperasi bahan baku. Koperasi
ini akan membeli bahan baku dalam jumlah besar, sehingga
harga bahan baku menjadi lebih murah, akibat keuntungan
skala. Kemudian, pengrajin-perajin bisa membeli bahan
baku dari koperasi dengan harga yang lebih bersaing.
Sumber pembiayaan koperasi, dapat berasal sepenuhnya
dari investasi swasta, kerjasama antara swasta dan
pemerintah, sepenuhnya berasal dari investasi pemerintah,
baik itu pemerintah provinsi dan/atau pemerintah daerah.
Oleh karena itu, jumlah koperasi bahan baku yang akan
dikembangkan, tidak terbatas pada satu koperasi pada satu
daerah tertentu, tetapi terbuka kemungkinan untuk
dikembangkan beberapa koperasi di berbagai lokasi yang
membutuhkan, sebagai upaya untuk kluster songket dapat
memperoleh bahan baku dengan harga yang kompetitif,
melalui konsep skala ekonomi, sehingga meningkatkan
efisiensi produksi UKM bidang usaha songket, yang pada
akhirnya meningkatkan daya saing industri.
Program lain yang tidak kalah pentingnya
memfasilitasi pengembangan jaringan songket yang
mengupayakan agar para pengrajin-perajin kreatif Indonesia
dapat memasuki jaringan/komunitas pelaku kreatif di dalam
negeri dan di luar negeri. Kegiatan fasilitasi pengembangan
jaringan pelaku kreatif dalam negeri maupun luar negeri
perlu dilakukan karena: Pertama, dapat meningkatkan
permintaan produk songket di pasar internasional. Jika
pengrajin-perajin aktif dalam jaringan/komunitas di dalam
negeri maupun luar negeri, maka pelaku kreatif akan saling
mengenal dan dapat bersinergi maupun berkolaborasi untuk
menciptakan produk kreatif, mendistribusikan produk, atau
saling mengkonsumsi produk kreatif yang dihasilkan.
Kedua, mendukung proses pencitraan yang positif
bagi bangsa Indonesia di dunia internasional. Pengrajin-
424
perajin songket kreatif merupakan duta-duta nasional yang
mengemban tugas untuk mensosialisasikan budaya dan
produk lokal negara Indonesia di tingkat internasional,
terlebih mengenai hal yang terkait dengan ekonomi kreatif,
sehingga citra Indonesia sebagai bangsa yang kreatif dapat
semakin meningkat di mata dunia. Ketiga, meningkatkan
minat investor dan masyarakat dunia untuk berkreasi dan
berinvestasi atau berwisata ke Indonesia. Dalam jangka
panjang, semakin menguatnya jaringan kreatif Indonesia di
dunia akan membentuk persepsi positif masyarakat dunia,
sehingga mereka berminat ntuk melakukan investasi,
berkreasi ataupun berwisata ke Indonesia, terkhusus ke
Sumatera Selatan sebagai sentral tenun songket.
Keterbatasan dalam kemitraan dalam akses pasar dan
kemampuan komersialisasi, kembali menjadi latar belakang
pentingnya aplikasi promosi online, ini diharapkan
memampukan produk-produk songket semakin dikenal luas
di pasar dalam dan luar negeri, dan meningkatkan
penguasaan pangsa pasar. Aplikasi juga akan mampu
menciptakan prosedur yang efektif dan efisien dalam
pelaksanaan promosi, lebih penting lagi, aplikasi sistem
promosi online ini memberi kesempatan yang sama kepada
seluruh pengrajin-perajin songket untuk berpromosi, selama
mampu memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan.
Aplikasi sistem promosi ini dapat dijadikan sebagai sub-
domain website Departemen Perdagangan. Di tahun-tahun
berikutnya, diharapkan sistem promosi ini semakin
membesar menjadi sistem promosi sekelas
www.alibaba.com, atau bahkan www.ebay.com.
Program lain yang dapat membantu penguatan
distribusi tenun songket dan aksesoriesnya bermitra dengan
pasar ritel modern secara berkesinambungan. Kendala-
kendala yang dihadapi oleh pengrajin songket dan
aksesories yang ingin memasuki pasar ritel modern, adalah
425
tidak dapat memenuhi standar yang diisyaratkan oleh ritel
modern, misalnya terkait dengan: bentuk kemasan,
kapasitas/kesinambungan pasokan, standar pemprosesan,
serta berbagai prosedur lainnya. Sedangkan kendala yang
sering dihadapi oleh pengrajin songket yang sudah berhasil
memasuki ritel modern, adalah pemenuhan pasokan produk
yang diisyaratkan harus dipenuhi untuk jaringan pasar ritel
modern. Kondisi-kondisi ini merupakan latar belakang
perlunya dilakukan kegiatan pengembangan kemitraan ritel
modern-UKM yang saling menguntungkan.
Pengembangan desain produk kreatif Indonesia agar
berdaya saing di pasar internasional, adalah kegiatan
Departemen Perdagangan untuk meningkatkan kualitas
desain dan fungsi dari produk produk kerajinan Indonesia
dengan mengusung ciri khas bangsa Indonesia lebih dalam,
dikolaborasikan dengan sentuhan-sentuhan kontemporer,
selera konsumen dan faktor-faktor lain, melalui kerjasama
dengan desainer-desainer handal dalam dan luar negeri,
melalui metode live in di sentra-sentra, seperti yang
dilakukan stasiun TVRI Palembang pada industri kerajinan
dan fesyen tersebut. Munculnya kegiatan ini
dilatarbelakangi oleh kondisi dimana produk kerajinan
songket tidak memiliki desain yang baru, inovatif dan
kreatif. Produk yang dijual di pasar adalah produk dengan
desain lama atau tiruan dengan sedikit modifikasi, atau
hanyalah memproduksi sesuai dengan desain yang
diberikan. Kekeringan dalam kreasi desain ini akan
berdampak langsung pada daya saing sub sektor kerajinan
di pasar domestik dan asing, baik jangka pendek maupun
jangka panjang.
Kerjasama intensif dengan desainer handal dalam
dan luar negeri melalui metode live in ini, diharapkan dapat
meningkatkan kualitas produk kerajinan Indonesia agar
dapat unggul di pasar domestik dan memiliki daya saing di
426
pasar internasional. Kegiatan ini juga untuk: (1)
meningkatkan citra positif dunia pertenunan terutama tenun
songket di mata dunia; (2) mempertegas bahwa Indonesia
memiliki banyak kelebihan yang kurang dimanfaatkan
sebagai sebuah keunggulan, bangsa Indonesia adalah
bangsa yang kreatif; (3) memberikan kesadaran akan
keberadaan dan kualitas produk-produk kreatif Indonesia;
(4) menghilangkan persepsi yang negatif atas Negara
Indonesia, serta kualitas SDM Indonesia.
Keberhasilan terhadap aktifitas yang berkenaan
dengan promosi melalui pameran songket dalam ajang-
ajang nasional maupun internasional yang diusung institusi
terkait dapat diukur berdasarkan: (1) kesepakatan bisnis
yang terjalin selama masa promosi; kesan para pengunjung
terhadap produk kreatif usaha songket. Keberhasilan
promosi ini sangatlah dipengaruhi oleh ketepatan pameran,
yang diikuti dengan berbagai bentuk produk yang akan
dipromosikan berbasis songket, serta kualitas produk yang
ditawarkan. Oleh karena itu, proses fasilitasi ini haruslah
mengacu kepada hasil kajian pemilihan pameran luar negeri
yang sesuai dengan konsep pameran yang akan dilakukan
dan tujuan promosi yang ingin dicapai.
Strategi pengembangan usaha lain yang penting
untuk meningkatkan efisiensi berkeadilan pada aspek
penjualan dan pemasaran kain songket. Langkah untuk
merebut hati para konsumen untuk mengenal, membeli dan
mencintai kain songket dan aksesories. Karena itu, strategi
pemasaran shari>‟ah dapat dibangun dalam variabel bauran
seperti pada produk songket, dan aksesories berbasis
songket yang berkualitas, dan sesuai dengan yang
dijanjikan. Variabel harga songket dengan harga yang
kompetitif, variabel distribusi berbasis kebaikan tidak
dalam kerangka kezoliman terhadap pengrajin atau perajin
songket lain dan terbangun etika kemitraan, serta
427
membangun profesionalitas termasuk variabel promosi
yang menjauhi iklan fiktif, tidak jujur dan tidak
mengandung unsur gharar dan tadli>s. Kesemuanya
dibangun berdasarkan kehalalan dan keadilan.
Efisiensi berkeadilan di bidang pemasaran dilakukan
oleh pengrajin songket ataupun perajin songket yang
langsung menjual tenunnya selalu bernilai ilahiyah,
menguatkan kesejahteraan, dan selalu berusaha untuk
memperbaiki mutu produk baik dari aspek pengembangan
desain produk, ketepatan pemesanan dan keadalan, serta
kejujuran untuk tidak menyembunyikan kecacatan atau
nilai kreatifitas dari benang tenun songket. Pemasaran
bukan wilayah yang sekedar untuk menyenangkan
pelanggan dengan membangun imej jelek kepada pengrajin
lain dengan harapan akan meningkatkan pelanggan, atau
menggunakan cara rayuan sehingga pelanggan tertarik.
Dengan demikian, strategi pemasaran kain songket berbasis
shari>‟ah diawali dengan: Pertama, produk yang dibuat
berkualitas sesuai dengan realitas yang terdiri dari (1) aspek
tampilan; (2) aspek keanekaragaman desain; (3) aspek
kualitas dan kemasan; dan (4) aspek merk yang
mencerminkan kemitraan.
Kedua, harga (price), dimana semua harga disesuai
dengan produk hasil dan bisa memberikan keuntungan
bersama, serta potongan harga yang realistis. Ketiga,
distribusi dilakukan oleh distributor yang amanah,
pelayanan yang profesional, semua pemasukan ditulis dan
menggunakan pembukuan yang baik dan amanah. Keempat,
promosi. Jujur tidak fiktif, profesional bukan sekedar
iming-iming, dan memiliki ketertarikan aset daerah yang
prospektif. Jika itu dilakukan, maka akan menimbulkan
kepuasaan konsumen dari produk tenun dan aksesories
yang dibuat.
428
Berdasarkan realitas tersebut, maka penggambaran
atas metode yang dapat digunakan dalam efisiensi
berkeadilan dalam strategi pengembangan usaha songket
dalam nilai-nilai shari>‟ah secara keseluruhan. Keberhasilan
pengembangan UKM di beberapa negara maju diantaranya
karena jaringan usahanya (business networks) berkembang
dengan baik. Taiwan mengembangkan dua konsep, yaitu:
sektor industri dikenal dengan satelite factory system, dan
sektor non industri jaringan usaha yang dikembangkan
disebut cooperative exchange program.125 Konsep satelite
factory system mengungkapkan identik dengan pola sub
kontrak sebagaimana berkembang pada industri otomotif di
Jepang. Industri-industri besar melakukan sub kontrak
beberapa komponen yang dikerjakan oleh industri kecil dan
menengah. Dalam kaitan ini, industri besar hanya
memproduksi bagian-bagian penting dan merakit produk
yang dihasilkan.126 Di Taiwan, industri-industri yang terus
mengembangkan industri perakitan mobil, industri elektronik
(ACER, SONY, Motorolla, dll), dan industri mesin pesawat
(Thunder Tiger).127
Konsep cooperative exchange program, merupakan
forum kerjasama informasi dan pengalaman dalam
pengembangan usaha. Jaringan usaha seperti ini dilakukan
secara multi sektoral. Misalnya, UKM yang bergerak di
125Milton T. Wolf dan Marjorie E. Bloss, Creating New
Strategies for Cooperative Collection Development (USA: The Haworth
Information Press, 2000). 126
Hasegawa Harukiyo dan Glenn D. Hook, Javaness Bussines
Management: Rectruturing for Low Growth and Globalization (London:
Routledge, 2002). 127
Cheng Tian Kuo, Global Competitives and Industrial Growth
in Taiwan and Philippines (USA: University of Pitsburgh Press, 1995);
sebagai perbandingan dapat dilihat dalam T.M. Siregar, Pembaruan
Ekonomi Tiongkok: dari Fokus Pedesaan ke Pasar Internasional
(China‟s Economic Reform from Rural Focus to International Market)
(Jakarta: Pustaka Pena, 2002).
429
sektor pertanian melakukan kerjasama dengan sektor
perdagangan dan jasa. Kerjasama usaha ketiga sektor ini
bermanfaat untuk memperoleh informasi harga atau
informasi komoditi yang memiliki prospek cerah ke depan.
Di samping tentunya untuk memasarkan produk yang
dihasilkan. Di Australia pengembangan jaringan usaha yang
dirintis melalui proyek program network antara tahun 1991
dan 1993. Pilot proyek jaringan usaha di Australia
dilaksanakan oleh “the National Industry Extension Service
(NIES)”, yaitu suatu joint venture antara pemerintah
commonwealth dengan delapan negara bagian teritori.
Dari pilot proyek tersebut diklasifikasikan dua
konsepsi jaringan usaha yang berkembang, yaitu “hard” dan
“soft” networks. Hard networks merupakan jaringan usaha
yang betul-betul terjadi secara solid dalam mengembangkan
usaha. Sedangkan soft networks lebih ke arah jaringan usaha
informal yang pada dasarnya untuk saling tukar-menukar
informasi.128
128
Bureau of Industry Economics, the National Industry
Extension Service (NIES) and Industry Development (Australia: BIE
Press, tt) volume 9 dari Occasional Paper, 1-8. Lihat juga Richard Hatch.
Overcoming the Limitations of Size: Network Strategies in Asia (Paper for
the ABD/OECD workshop on SME Financing in Asia, 2000); bandingkan
dengan John Dean, Business Networks and Strategic Alliances in Australia
(Australia: Departement of Industry, Science and Tourism, Australia, 1997).
Beberapa contoh pengembangan jaringan usaha yang berhasil di Australia
adalah : (1) Asia Pacific Design Group. Jaringan usaha ini dibentuk oleh 11
perusahaan yang bergerak dalam jasa konsultasi untuk seluruh aspek
bangunan dan konstruksi; (2) ATVC. ATVC adalah Automotive Trim and
Upholstrey Contractors Network. Dimana 8 perusahaan membentuk
jaringan usaha untuk memenangkan kontrak-kontrak tender pemasangan rel
untuk Trim, dimana yang selama ini selalu dimenangkan oleh Bridgestone
dari Jepang atau Amerika Utara; (3) Daplar. Daplar merupakan jaringan
kerjasama dari 4 perusahaan pembuat kabinet dan penyambungan yang
memproduksi kitchen set dan kamar mandi. Jaringan usaha ini mampu
memproduksi rangka-rangka rumah yang “knocked down”; (4) Ambulances
to Asia. Jaringan ini menyediakan paket ambulances siap pakai untuk
430
Berbagai contoh tersebut menunjukkan efisiensi kerja
akan profesional dengan kekuatan motivasi bersama yang
tidak dipaksakan. Karenanya, kemitraan dan usaha dibangun
atas dasar prakarsa sendiri dengan terbangun pada nilai-nilai
keagamaan. Sebagai langkah strategis yang tidak bisa
diabaikan yang perlu dilakukan adalah merubah kultur bisnis
(changing business culture). Orientasi mengejar keuntungan
dan monopoli dalam usaha songket Palembang diubah dalam
konsep kebersamaan, keadilan dan kemitraan dengan tetap
melakukan perbaikan manajemen usaha profesional.
Perubahan merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan sekali
jalan, apalagi usaha yang sudah menikmati hasil yang besar
dan semakin besar dari kegiatan bisnis yang dilakukan.
Sarana promosi media cetak maupun elektronik lebih
mempercepat proses terjadinya jaringan usaha antara
pengrajin dan perajin songket, atau antara pengrajin dengan
pengrajin, dan perajin dengan perajin, maupun dan antar
pengrajin-perajin dengan BUMN/BUMS, baik di dalam dan
di luar negeri. Melalui media inilah diinformasikan konsep
jaringan usaha dan apa manfaatnya. Di samping itu juga perlu
ada talk shows melalui televisi atau radio, presentasi pada
asosiasi-asosiasi perdagangan dengan para nara sumber yang
capable dan profesional.
Setelah sosialisasi tersebut berhasil dan telah tumbuh
kesadaran para pengrajin songket untuk melakukan
kerjasama, maka dilakukan aktifitas jaringan usaha melalui
intervensi pemerintah. Di dalam pelatihan tersebut mereka
diberikan studi kasus mengenai struktur dan fungsi jaringan,
layanan medis guna memenuhi permintaan di pasaran Asia; (5) Oz
Electronics Manufacturing. Jaringan tersebut adalah kerjasama usaha antara
3 (tiga) perusahaan elektronik kecil dimana menghadapi masalah yang
sama, yaitu biaya komponen perusahaan tersebut yang tinggi yang
dibutuhkan. Tanpa jaringan ini tampaknya mereka tidak mungkin bisa
bertahan dalam menghadapi biaya tinggi tersebut.
431
teknik berorganisasi, resolusi konflik, perencanaan strategi
kelompok, dan pengembangan pasar. Hal yang juga
diperlukan dalam penerapan strategi untuk menguatkan
usaha kerajinan songket di Sumatera Selatan adalah
sosialisasi berkelanjutan semua bank-bank syari‟ah dengan
merangkul semua pengrajin dan perajin songket tersebut.
Pada umumnya, para pengrajin dan perajin songket yang
berkeinginan mengembangkan usaha membutuhkan akses
mendapatkan bantuan modal dan bantuan pemasaran, bukan
subsidi bunga, dan bukan dana block grant. Karena itu,
intervensi yang diperlukan dari pemerintah adalah adanya
penjaminan bantuan modal dan pemasaran untuk
pengrajin-perajin songket khususnya, dan semua usaha
mikro dan kecil di Indonesia pada umumnya. Strategi ini
perlu ditegaskan, sebab bank adalah risk aversion, sehingga
tidak berminat memberikan kredit kepada usaha mikro dan
kecil yang memang memiliki default risk tinggi.
Dalam konstruks ini, bank-bank syari‟ah dapat
melakukan efisiensi berkeadilan dengan berpegang pada
konsep fiqh muamalah. Proses pemberdayaan usaha
songket melalui perbankan syariah perlu memperhatikan
beberapa hal antara lain: skim pendanaan, skim penyaluran,
dan skim restrukturisasi usaha songket bermasalah. Selain
menggunakan sumber dana yang telah ada, yakni sebagian
keuntungan BUMN, sumber dana pengelolaan juga dapat
diperoleh dari Badan/Lembaga Amil Zakat berupa dana
zakat, infaq, sedekah, wakaf sehingga dapat diperoleh
akumulasi dana yang lebih besar. Untuk pengelolaan secara
profesional, maka pemerintah harus memberikan
kesempatan kepada perbankan syariah untuk mengelola
dana tersebut di atas, baik pengumpulan maupun
penyalurannya. Hal ini penting, sebab walaupun bank
konvensional tidak serta merta identik dengan riba, namun
praktek kebanyakan bank konvensional digolongkan
432
sebagai transaksi riba.129 Hal ini sangat relevan jika
pemerintah hendak mengubah sistem pengelolaan dana
untuk usaha songket maupun usaha-usaha mikro dan usaha
kecil lainnya dengan sistem bagi hasil, karena perbankan
syariah merupakan satu-satunya bank yang memiliki skim
pembiayaan secara bagi hasil.
Penyaluran dana untuk UKM oleh perbankan syariah
dapat dilakukan dengan skim musharakah ataupun
mud}a>rabah. Kedua skim ini pada hakikatnya, adalah
penggabungan beberapa potensi dana dan profesionalisme
dalam sebuah usaha dengan perjanjian saling berbagi hasil
atas keuntungan yang akan diperoleh. Perbedaannya
terletak pada komposisi dananya saja. Dalam mud}a>rabah,
modal hanya berasal dari satu pihak, yaitu pihak bank
sebagai sahibul mal dengan penyertaan modal 100 persen,
sedangkan dalam musharakah penyertaan modal berasal
dari dua pihak atau lebih yang besarnya ditentukan diawal
kesepakatan secara bersama. Dalam pengertian lain bahwa
pada musharakah, pengrajin songket harus menyediakan
dana tertentu sebagai porsi modal usaha, sedangkan pada
skim mud}a>rabah pengrajin atau perajin songket tidak
perlu menyediakan modal. Kelebihan skim ini adalah tidak
mutlak diperlukannya jaminan dan sistem angsuran yang
disesuaikan dengan kinerja usaha.
Hal ini tentunya dapat menjawab kesulitan usaha
mikro dan usaha kecil terutama usaha songket dalam
berhubungan dengan bank, yakni jaminan. Pola
mud}a>rabah dan musharakah adalah pola investasi
langsung pada sektor riil, return pada sektor keuangan (bagi
hasil), dalam prinsip ajaran Islam, sangat ditentukan oleh
sektor riil. Hal ini berarti, keberadaan bank syariah harus
mampu memberikan kontribusi yang meningkatkan
129
Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah
(Jakarta: Zikrul Hakim, 2008).
433
pertumbuhan sektor riil, fungsi tersebut akan terwujud bila
bank syariah menggunakan akad profit and loss sharing
(mud}a>rabah dan musharakah) sebagai core productnya.
Di samping lebih adil dan tidak memberatkan, sistem
angsuran yang disesuaikan dengan kinerja usaha dapat
meningkatkan pendapatan pemerintah, jika kinerja usaha
usaha kerajinan songket maupun usaha mikro dan kecil
lainnya meningkat.130
Dalam perjalanannya porsi pembiayaan profit and
loss sharing pada bank syariah umumnya rendah karena
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya besarnya
resiko dalam pembiayaan bagi hasil, moral hazard dan
adverse selection, rendahnya total asset bank syariah yang
market share sebesar 1,77 persen dari perbankan nasional
menyebabkan bank syariah harus berhati-hati dalam
menyalurkan dananya ke nasabah. Faktor-faktor yang
menyebabkan pembiayaan bagi hasil kurang menarik bagi
bank syariah antara lain: Pertama, sumber dana bank
syariah yang sebagian besar berjangka pendek tidak dapat
digunakan untuk pembiayaan bagi hasil yang biasanya
berjangka panjang. Kedua, kebanyakan pengusaha yang
memilih pembiayaan bagi hasil adalah mereka yang
130
Dalam perjalanan usahanya, bank syariah tidak bisa
memberikan kontribusi yang maksimal untuk mendukung kemajuan
sektor riil, khususnya UMKM. Hal ini terjadi karena pembiayaan yang
diberikan di dominasi oleh pembiayaan non bagi hasil (murabahah dan
ijarah). Dalam statistik perbankan syariah bulan November 2007, porsi
produk untuk jenis pembiaayaan murabahah mencapai 58,93 persen dan
piutang istishna‟ mencapai 1,26 persen, sementara proporsi pembiayaan
musyarakah sebesar 16,06 persen dan pembiayaan mud}arabah sebesar
20,49 persen. Selain itu, perannya untuk memberdayakan perekonomian
ummat secara keseluruhan tidak berjalan dengan optimal, karena
pembiayaan masih fokus pada sektor jasa yang cenderung menggunakan
skema pembiayaan non-bagi hasil mencapai 31,16 persen, sedangkan
untuk sektor industri mencapai 4,94 persen, dan sektor pertanian
mencapai 2,40 persen.
434
berbisnis dengan risiko tinggi termasuk mereka yang baru
terjun ke dunia bisnis, Ketiga, banyak pengusaha yang
mempunyai dua pembukuan, pembukuan yang diberikan
kepada bank adalah yang tingkat keuntungannya kecil,
sehingga porsi keuntungan yang harus diberikan kepada
bank juga kecil, padahal pada pembukuan sebenarnya
pengusaha membukukan keuntungan besar.131
Mencermati pola bagi hasil yang didasari
kepercayaan antar pihak yang terlibat, maka dibutuhkan
proses pendampingan yang optimal antara lain pembinaan
aspek administrasi dan pengelolaan keuangan, pembinaan
aspek manajerial, dan pembentukan akses terhadap pasar
songket. Upaya untuk mengoptimalkan mud}a>rabah pada
bank syariah melalui berbagai langkah, antara lain adalah:
Pertama, kesinambungan dan transparansi informasi
terhadap usaha yang akan dijalankan. Informasi usaha dan
pasar adalah sesuatu yang sangat penting dan berharga
dalam setiap usaha. Oleh karena itu, langkah ini bisa
dimaksimalkan melalui database yang aktual, rinci, dan
faktual, sambil terus mencari dan menemukan format usaha
yang sesuai dengan iklim usaha kerajinan songket. Kedua,
pengembangan usaha-usaha kerajinan songket yang dibina
langsung oleh bank syariah. Industri ini benar-benar milik
rakyat, prospektif, dan dikelola dengan amanah. Ketiga,
membuat aturan dan regulasi yang tepat, terstandarisasi, dan
sesuai dengan prinsip shari>‟ah.
Hal tersebut untuk menegaskan keyakinan kepada
masyarakat usaha songket bahwa bank syari‟ah lahir dari
antusias mayoritas umat Islam di kalangan bawah (grass
root). Salah satu strategi yang dapat dilakukan dengan pola
131
Ahmad Sumiyanto, Problem dan Solusi Transaksi Muharabah
(Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2005); Muhammad, Permasalahan
Agency dalam Pembiayaan Mudarabah pada Bank Syariah di Indonesia,
Disertasi (Yogyakarta: UII Yogyakarta, 2005).
435
penerapan sistem bapak angkat dalam jasa bagi hasil. Yaitu
kerjasama usaha antara dua pihak. Pihak pertama (bank
syari‟ah) sebagai penyedia modal, pihak kedua
(pengrajin/perajin songket) sebagai pengelola yang
keduanya bergabung sebagai mitra usaha.132 Untuk dapat
menggabungkan dalam kemitraan diperlukan pendataan
dari bank syari‟ah bekerjasama dengan kementrian terkait
di provinsi Sumatera Selatan semua pengrajin dan perajin
songket yang aktif dan prospektif.
Hasil pendataan disampaikan kepada para pengrajin
dan perajin melalui proposal bantuan bapak angkat sistem
bagi hasil yang dilakukan pihak perbankan syari‟ah,
sekaligus sebagai upaya pendekatan dan sosialisasi konsep
muamalah dalam perbankan syari‟ah. Strategi selanjutnya,
memberikan kesempatan semua pengrajin dan perajin
songket untuk membuat proposal bantuan dana, dan
diserahkan kepada pihak bank syari‟ah yang ditindaklanjuti
lewat studi kelayakan ke tempat usaha yang sudah berjalan.
Pengrajin atau perajin yang layak dibantu dituangkan dalam
132
Hal ini penting dibangun, sebab data wawancara menunjukkan
bahwa para pengrajin/perajin songket belum banyak mengetahui pola
akad dalam dunia perbankan syari‟ah, bahkan ada kesan para pengrajin
masih menilai bahwa bank syari‟ah tidak membangun keadilan bagi
usaha mikro dan kecil. Seperti ungkapan dimana ketika mereka
mengikuti tabungan wadi‟ah mereka tidak mendapat imbalan, kecuali
bonus yang tidak ditetapkan dan berdasarkan kebijakan bank, Walaupun
hal tersebut sudah terbantahkan dengan konsep tabungan yang
dikembangkan oleh bank syari‟ah. sementara bank syari‟ah sangat over
hati-hati dalam memberikan bantuan dana pinjaman. Hasil wawancara
dengan responden baik dari pengrajin maupun perajin (antara 22
September-18 Oktober 2010. Dampak dari pola kehati-hatian tersebut
para pengrajin songket lebih menyukai sistem bunga rendah yang
ditawarkan oleh kemitraan BUMN, beberapa responden ditanyakan
sistem bagi hasil, mereka malah balik bertanya apa itu “bagi hasil”, bagi
kami ada bantuan modal, kami bekerja untuk menutupi pinjaman dan bisa
untuk hidup sehari-hari sudah cukup.
436
sebuah Memorandum of Understanding (MoU) atau
(qira>d) yang benar-benar dipahami oleh pengrajin/perajin
yang menjadi mitra.133 Untuk meningkatkan kemitraan yang
membangun keuntungan bersama hasil tenun songket dan
aksesoris yang sudah dibawah naungan bank syari‟ah dapat
dijual dan di pasarkan melalui jalur bank sebagai bapak
angkat lewat pengaturan strategi kelancaran sistem
penjualan produknya, termasuk juga bank syari‟ah dapat
memberikan pelatihan manajemen sederhana berbasis
shari>‟ah.
Salah satu penerapan strategi tersebut, akan
memberikan dampak kemitraan yang humanis dan
berkesinambungan. Termasuk juga dalam pembagian
keuntungan dengan memberikan penentuan besarnya nisbah
bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada
kemungkinan untuk rugi, besarnya rasio bagi hasil
berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh, bagi
hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan.
Dalam hal terjadi kerugian akan ditanggung bersama oleh
kedua belah pihak, namun jumlah pembagian laba
meningkat sesuai dengan jumlah peningkatan jumlah
pendapatan.134 Penilaian motivasi dan semangat
pengembangan melalui beberapa hal berikut: Pertama,
pengrajin-perajin berorientasi pada kewirausahaan melalui
penilaian (1) kreatif dan inovatif; (2) menjaga perasaan; (3)
pekerja keras; (4) bertanggung jawab. Kedua, produksi
dengan menilai pada (1) penggunaan sarana dan prasarana
133
Penjelasan perjanjian mud}}}arabah (qira>d) dengan sistem
bagi hasil. Lihat Abdul Hamid Mahmud al-Ba‟ly, al-Madkha>l li al-
Fiqhi al Banu>k al-Isla>miyah (Cairo: al-Ma‟had al-Dauli li al-Bu>nuk
wa al-Iqtisha>di al-Isla>miah, 1983). 134
Muhammad Syafe‟I Antonio, Bank Syari‟ah: Suatu
Pengenalan Umum (Jakarta: Tazkia Institute-Bank Indonesia, 1999). 134
Murasa Sarkaniputra, Ruqyah Syar‟iyyah: Teori, Model, dan
Sistem Ekonomi (Cirebon: al-Ishlah dan STEI Bobos, 2009).
437
yang lebih baik; (2) kemudahan akses kerja, sarana dan
prasarana; (3) peningkatan dan pengembangan kemampuan
keterampilan Sumber Daya Manusia (SDM); (4)
ketersediaan bahan baku yang berkualitas.
Ketiga, strategi pemasaran melalui penilaian seluruh
proses dari pembuatan, penawaran, dan harga distribusi
terbangun dalam nilai-nilai shari>‟ah. Keempat, informasi
keuangan melalui penilaian pedoman tata buku tunggal
penilaian dengan (1) kelengkapan laporan keuangan beserta
bukti pembukuan; (2) kelengkapan sumber dan penggunaan
dana. Kelima, kesadaran untuk membangun dan
memperluas jaringan kemitraan. Keenam, membuka
peluang untuk melakukan pendampingan melalui program-
program binaan usaha mikro dan usaha kecil; dan kesiapan
untuk melakukan transaksi dan penggunaan produk
perbankan syari‟ah dengan tetap membuka peluang
kemitraan dengan BUMN yang eksis membangun
kemitraan. Ketujuh, siap membantu institusi yang
berhubungan dengan penguatan kaderisasi penenun/perajin
songket.
Selanjutnya, penekanan terhadap konsep dan
penerapan strategis tidak bisa lepas dengan evaluasi
(controling) dari infrastruktur Sumber Daya Manusia.
Kegiatan analisis pekerjaan dalam organisasi pengrajin
songket merupakan hal yang sangat penting, karena
berbagai tindakan dalam pengelolaan Sumber Daya
Manusia tergantung pada informasi-informasi tentang
analisis pekerjaan para perajin songket dari para konsumen
dan pelanggan. Teori manajemen Sumber Daya Manusia
memberi petunjuk bahwa ada paling sedikit sepuluh
kegiatan pengelolaan Sumber Daya Manusia yang
penyelenggaraannya dengan baik didasarkan pada informasi
yang berhasil dikumpulkan, yaitu: Pertama, informasi
analisis pekerjaan memberikan gambaran tentang tantangan
438
yang bersumber dari lingkungan yang mempengaruhi
pekerjaan para perajin songket. Salah satu implikasinya
ialah bidang pelatihan yang harus segera direncanakan dan
dilaksanakan, sehingga apabila ada permintaan
pengembangan desain songket, para perajin yang tadinya
melakukan pekerjaan tersebut langsung dibekali dengan
keterampilan lain, sehingga mereka tetap diberikan
kesempatan memberikan kontribusinya yang maksimum.
Kedua, menghilangkan persyaratan pekerjaan yang
sebenarnya tidak diperlukan karena didasarkan pada
pemikiran yang diskriminatif. Di masyarakat yang
menganut paham demokrasi dan tidak mengenal perlakuan
yang bersifat deskriminatif dalam bentuk apapun, hal ini
mungkin tidak menjadi masalah. Akan tetapi, para analis
pekerjaan tetap harus mewaspadai situasi organisasi agar
jangan sampai ada kebijaksanaan di bidang aktifitas
penenun yang bernada diskriminatif. Terutama dalam
merealisasikan upah yang diiming-imingkan kepada
perajin, yang akhirnya mendiskriditkan pengrajin lain yang
memiliki modal usaha minim. Ketiga, analisis pekerjaan
harus juga mampu menemukan unsur-unsur pekerjaan yang
mendorong atau menghambat mutu tenunan songket,
terutama dalam memberikan suasana yang menenangkan
para perajin songket dalam menenun. Sebab ketenangan
dan ketentraman hati para penenun songket sangat
berdampak dari hasil tenunan perajin.
Keempat, merencanakan ketenagakerjaan untuk masa
depan melalui analisis pekerjaan harus dapat diperoleh
gambaran tentang kemampuan para perajin songket yang
ada sekarang, arah dan kecenderungan perubahan dimasa
depan yang dikaitkan dengan dampaknya kaderisasi
penenun yang cenderung mulai kurang diminati generasi
muda. Kelima, analisis pekerjaan harus mampu menilai
secara tepat kader penenun, sehingga ketika diperlukan
439
penenun yang baru maka dengan segera dilakukan realisasi
dan peradaptasian dengan aktifitas penenun songket
lainnya. Keenam. analisis pekerjaan sangat membantu
dalam menentukan kebijaksanaan dan program pelatihan,
program pelatihan yang bersifat praktis dalam arti kata
berkaitan langsung dengan tugas tenun songket tetap
diperlukan, mengingat bahwa pengetahuan atau
keterampilan yang diperoleh di lembaga pendidikan formal
itu masih bersifat teoritikal. Ketujuh, menyusun rencana
pengembangan potensi para perajin. Pengembangan harus
mempunyai dua sasaran sekaligus, yaitu satu pihak agar
para perajin semakin mampu memberikan kontribusi, dan di
lain pihak agar mutu kekaryaan di bidang tenun songket
semakin meningkat, yang pada giliranya memungkinkan
para perajin yang menekuni dunia tenun songket dapat
memenuhi berbagai jenis kebutuhan.
Kesembilan, informasi analisis pekerjaan sangat
penting pula arti dan perannya dalam pemberian tugas
menenun agar benar-benar sesuai dengan pengetahuan,
keterampilan dan pengalaman yang dimilikinya. Kesepuluh,
informasi tentang analisis pekerjaan juga sangat penting
artinya dalam merumuskan, dan menentukan system, serta
tingkat imbalan yang adil dan tepat. Segi keadilan penting
mendapat perhatian, sebab perbedaan persepsi antara
manajemen dapat para pekerjaan tentang keadilan dalam
pemberian upah dapat merupakan salah satu sumber konflik
yang harus di atasi. Secara umum para perajin tenun
songket menggunakan tiga “alat” pembanding, yaitu: (1)
diri sendiri berdasarkan harapan-harapan; (2) diri sendiri
dengan orang lain dalam lingkup usaha; (3) diri sendiri
dengan orang lain di luar lingkup usaha.
Upaya mendapatkan informasi mengenai semua hal
tersebut disusun suatu kuesioner yang disusun untuk
kepentingan pengumpulan informasi tentang pekerjaan
440
mengandung paling sedikit lima hal, yaitu: (1) status
informasi yang dimiliki pengrajin dikaitkan dengan
pekerjaan perajin yang diidentifikasikan lewat pernyataan
konsumen; (2) tugas dan tanggung jawab yang dibangun
para perajin; (3) karakteristik insani; (4) kondisi kerja; (5)
standar prestasi kerja. Dalam menilai usaha menggunakan
dua sudut pandang yaitu shari>‟at (dunia) dan hakikat
(ukhrawi). Bagi pelaku ekonomi yang menggunakan dua
sudut pandang dalam menilai hasil sangat penting, karena
dalam dunia usaha untung dan rugi dalam kaca mata materi
pasti terjadi, sehingga ketika hasil usaha dianggap rugi
sekalipun ia masih punya harapan besar dan panjang,
karena masih ada keuntungan yang bersifat ukhrawi (Q.S
Fa>t}ir, [35]: 29).
Islam adalah ajaran rasional dan senantiasa mengajak
kepada umat manusia untuk memberdayakan potensi akal
termasuk dalam tindakan ekonomi, setiap kegiatan ekonomi
harus bersipat logis dan rasional tidak berdasarkan emosinal
semata. Evaluasi dilakukan dengan rancangan yang tepat,
ketelitian dan perhitungan yang akurat. Bagi muslim dalam
berekonomi tentu harus punya managemen yang kokoh,
planning yang terarah, tindakan dan perhitungan ekonomi
yang cermat dan akurat, yang semua itu menjadi indikator
pada profesionalime ekonomi. Sehingga, dalam menilai
beberapa langkah menjawab evaluasi dengan indikator
pertanyaan: (1) bagaimana kesiapan Sumber Daya Manusia
untuk mencapai hasil yang diinginkan [fungsi sebagai
F(Pi)]; (2) bagaimana manusia yang tepat dengan
keterampilan tepat pada tempat yang tepat dan biaya yang
tepat (proses sebagai F (Q); (3) kebutuhan Sumber Daya
Manusia (F). Serta kemampuan beradaptasi dengan
perubahan untuk memelihara manusia yang siap terhadap
tantangan berikutnya (hasil usaha sebagai fungsi f (R).
441
Dengan demikian dapat diilustrasikan F(R)=F (Pi) + F (Q)
+ F (C ).135
Dari berbagai sub kajian, pada dasarnya berorientasi
pada efisiensi berkeadilan pada nilai-nilai sistem ekonomi
Islam baik aspek produksi, maupun aspek distribusi dengan
semua unsur manajemen didalamnya. Tumbuh dan
diakuinya manajemen sebagai suatu cabang ilmu
pengetahuan, antara lain ditandai oleh lahirnya apa yang
sekarang dikenal dengan istilah “gerakan manajemen
ilmiah” atau “gerakan efisiensi” dengan pendekatan
mekanistik. Begitu pentingnya hasil studi tersebut, sehingga
sering dipandang sebagai dasar rekayasa industrial yang
banyak digunakan hingga sekarang ini. Pendekatan
mekanistik bermanfaat dalam rancang bangun pekerjaan
yang sifatnya spesialistik dan repetitif.
Pendekatan tersebut memberikan dorongan bagi
para pekerja/karyawan/perajin untuk berusaha
menghasilkan buah pekerjaan semaksimal mungkin. Hal
kedua yang merupakan unsur organisasional dalam rancang
bangun pekerjaan adalah arus pekerjaan. Bentuk barang
atau jasa yang dihasilkan memberi petunjuk tentang urutan
dan keseimbangan antara berbagai jenis pekerjaan
sedemikian rupa, sehingga proses produksinya berlangsung
dengan efisien. Hal ketiga yang penting mendapat perhatian
menyangkut kebiasaan-kebiasaan dalam aktifitas kerajinan
songket dan keinginan manajemen untuk meningkatkan
produktivitas kerja organisasi, tradisi dan kesepakatan
bersama yang selalu diperhatikan. Jika akan terjadi
perubahan kebijakan menyangkut persoalan kemanusiaan,
sebaiknya para perajin diikutsertakan dalam memikirkan,
dan memutuskan perubahan yang akan terjadi.
135
Marwan Ja'far, Infrastruktur Pro Rakyat: Strategi Investasi
Infrastruktur Indonesia Abad 21 (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa,
2007).
442
Selanjutnya, unsur lingkungan suatu kenyataan yang
tidak dapat disangkal adalah bahwa apa yang mungkin, dan
tidak mungkin dilakukan oleh suatu usaha kerajinan
songket ditentukan pula oleh kondisi lingkungan, dengan
mana setiap usaha pasti berinteraksi. Corak pengembangan
penting untuk ditegaskan, sebab secara umum songket
merupakan salah satu pusaka budaya Indonesia yang
tergabung dalam pusaka tangible (bendawi) dan non
intangible (non bendawi)136. Pelestarian budaya bukan
hanya yang berhubungan dengan masa lalu, namun justru
membangun masa depan yang menyinambungkan berbagai
potensi masa lalu dengan berbagai perkembangan zaman
yang terseleksi. Kesinambungan yang menerima perubahan
merupakan konsep utama pelestarian. Tujuannya adalah
untuk memelihara sumber budaya dan identitas suatu
lingkungan pusaka, dan membangun aspek tertentu untuk
memenuhi kebutuhan masa depan tanpa merusak, serta
menghasilkan kualitas hidup yang lebih baik.
Usaha songket salah satu usaha ekonomi kerakyatan
memerlukan corak baku yang dapat dinilai tidak hanya
aspek kreatifitas budaya daerah yang memerlukan
pelestarian, namun juga dituntut untuk mampu merefleksi
nilai-nilai efisiensi berkeadilan dalam proses usaha.
Sehingga, kreatifitas usaha tenun songket menjadi salah
satu produk yang bisa meningkatkan ekonomi keluarga.
Untuk membangun corak pengembangan usaha songket
diawali dengan melakukan menilai faktor pendukung dan
penghambat usaha tenun songket. Aspek pendukung
terletak pada efisiensi berkeadilan pada nilai, yaitu:
Pertama, modal sebagai alat mengukur suatu sumber daya,
136
Pusaka tangible (bendawi) memperlihatkan bahwa songket
adalah hasil tenunan tangan kreatif tradisional yang terlestarikan, dan non
intangible (non bendawi) yang mengarah pada semua kreatifitas,
hingga hasil tenun songket menjadi bagian proses adat.
443
termasuk didalamnya digunakan sebagai pengukur potensi
manusia dengan cara menilai pengetahuan, keterampilan
dan sifat kognitif yang lain, yang kemudian didekati dengan
nilai uang dan direalisasikan dalam bentuk gaji atau upah
kerja yang berkeadilan.
Kedua, alat dan bahan baku, yang merupakan salah
satu faktor pendukung dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan keluarga terkait dengan kegiatan pertenunan,
yang dilakukan baik secara perseorangan maupun dalam
kelompok-kelompok sentra. Dengan tersedianya alat, maka
dapat terjadi kegiatan produksi barang, sehingga
menghasilkan keuntungan. Ketiga, waktu produksi yang
tercukupi dalam menenun tanpa terganggu oleh kegiatan
rumah tangga lainnya, sehingga dalam memproduksi barang
ini dapat diperoleh hasil maksimal dan berdaya saing.
Keempat, ketrampilan sebagai syarat utama dalam
melakukan kegiatan produksi. Ketrampilan ini pada
akhirnya akan berhubungan erat dengan sumber daya
penenun dan kualitas hasil dalam bentuk kain songket yang
dibuat. Kelima, tersedianya cukup ruang untuk melakukan
kegiatan produksi. Dimana alat-alat produksi dapat
ditempatkan secara efektif, sehingga mendukung
kelancaran kegiatan produksi itu sendiri.
Sementara faktor penghambat yang ada diantaranya,
Pertama, keterbatasan modal usaha untuk melakukan
kegiatan produksi, berakibat pada kurangnya upah yang
diperoleh dari hasil bekerja sebagai perajin tenun songket.
Kedua, terjadinya tumpang tindih antara waktu untuk
bekerja dan memproduksi barang dengan waktu untuk
mengurus urusan rumah tangga. Ketiga, peta wilayah
pemasaran yang tidak jelas. Hal ini akan mempersulit
perluasan dan pengembangan usaha. Ketidakjelasan peta
pemasaran memberikan dampak menurunnya produksi, dan
444
lesunya keinginan perajin maupun pengrajin untuk
melakukan aktifitas pertenunan
Dari berbagai pendukung dan penghambat dijadikan
dasar untuk membentuk corak pengembangan yang mampu
mengangkat kreatifitas tenun songket. Jika tidak, akan
terjadi kemandekan dalam dunia pertenunan songket, sebab
penenun setiap tahun akan berkurang karena usia. Karena
itu, diperlukan corak pengembangan usaha songket berbasis
penguatan. Pada aspek uang dijadikan sebagai sebuah
gerakan produktif, terutama ketika sudah mendapatkan
bantuan modal usaha, bantuan pemasaran tenun songket
yang prospektif. Selanjutnya, dibangun corak
pengembangan usaha songket dalam term efisiensi
berkeadilan yang terletak pada tiga ciri, yaitu: Pertama,
kafa>‟ah, yaitu adanya keahlian dan kecakapan dalam
menenun yang terus dilestarikan melalui kaderisasi
penenun. muamalah dan ibadah.
Kedua, himmatul „amal, yaitu selalu berkreasi
dengan semangat dan etos kerja yang bertanggung jawab
atas kelestarian tenun songket dalam berbagai tujuan, sebab
sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya diantara
perempuan penenun, selain bekerja sendiri, ada yang
menjadi tenaga kerja lepas dari para pengrajin pertenunan
(house based worked) dari kalangan perempuan yang sudah
menikah, karena mereka bisa bekerja sambil melakukan
tugas-tugas domestik.
Ketiga, amanah, yakni terpercaya dan bertanggung
jawab dalam menjalankan aktifitas tenun tanpa ada merasa
keterpaksaan. Dengan corak demikian, akan memberikan
pembentukan citra adalah perkembangan gambaran dalam
pikiran berdasarkan beberapa kesan yang dipilih pelbagai
informasi.
Pembentukan corak usaha dalam pencitraan bagi satu
daerah di Indonesia di era otonomi ini, memang sesuatu
445
yang perlu dilakukan, terutama untuk memberikan daya
tarik di dunia pariwisata. Seperti Bali dikenal dengan pulau
dewata dan pariwisata, Padang dikenal sebagai bandar
gadang dan “masakan”, Yogyakarta dikenal sebagai bandar
gudeg dan bandar pelajar, Malang dikenal dengan bandar
apel, Aceh dikenal dengan sebutan serambi Makkah,
Sulawesi dikenal dengan budaya bugisnya, dan Palembang
dikenal sebagai bandar songket dan jembatan musi.137
Aspek yang paling penting dalam membangun corak satu
usaha adalah nilai-nilai agama yang hidup dan berkembang
di dalam aktifitas dan proses satu usaha.
Berbagai masalah terjadi pada usaha songket
Palembang tetap memerlukan corak pengembangan usaha
songket Palembang, tidak bisa lepas dari sejarah songket itu
sendiri yang memiliki nilai-nilai keagamaan yang kuat.
Dalam bertenun para perajin memiliki jiwa yang tenang,
sepenuh hati serta membangun corak-corak bernuasa
agama, dan nilai ini menjadi dasar corak pengembangan
usaha songket Palembang. Di dalam aktifitas tersebut
137
Pembentukan citra bandar, tidak dapat hanya sekadar
ungkapan semata, namun memerlukan motivasi dan usaha kerja keras
menciptakan hal tersebut. Sebagai usaha mengembangkan nilai bandar
dapat dilakukan dengan tiga citra, yaitu citra organik, citra ciptaan, dan
citra tujuan. Citra organik adalah citra yang didasarkan pada informasi
yang diperoleh dari sumber-sumber di luar daerah, seperti media umum
(laporan, majalah, buku), pendidikan (mata pelajaran sejarah daerah), dan
beberapa pendapat para pakar mengenai pengembangan bandar. Citra
ciptaan dipakai untuk mengembangkan eksistensi bandar yang
diharapkan melalui media promosi. Berbagai bentuk model promosi yang
dapat dipakai, berupa promosi dalaman di kalangan masyarakat daerah,
dan promosi luaran melalui kegiatan antar daerah, seperti contoh
pengadaan pameran, pembuatan jalur-jalur sebagai wadah pengembangan
bandar, pelaksanaan acara atau kegiatan nasional dengan membuat slogan
pembentukan baru, dan sebagainya. Sedangkan citra tujuan, setelah dua
citra sebelumnya dilaksanakan, maka langkah akhir adalah membentuk
kemudahan bandar yang mengarah pada citra bandar.
446
perajin tenun songket dibutuhkan keseimbangan antara doa
dan kerja yang selaras dalam dimensi waktu, ruang dan
energi. Hubungan penenun dengan alat-alat tenun, dan
hubungannya dengan sesama manusia dan lingkungan
sekitar memiliki arti yang mendalam yang masuk dalam
kesatuan-Nya.138
Dengan demikian, dalam pengembangan usaha
songket berdasarkan alur studi ini maka Pertama, dalam
pendayagunaan kapital usaha songket Palembang dengan
melakukan kemitraan dengan BUMN atau institusi
pemerintah maupun perbankan syari‟ah untuk mendapatkan
modal usaha, sehingga terjadi keseimbangan antara modal
usaha dengan ketrampilan untuk mendapatkan bantuan
modal usaha, maka pengrajin-perajin songket memerlukan
transparansi usaha lewat laporan keuangan yang dibuat
sesuai dengan standar akuntansi, ditambah dengan amanah
dalam menjalankan usaha. Dapat juga dengan membangun
Kelompok Usaha Bersama (KUB) yang benar, jujur,
membangun kebersamaan. Sehubungan dengan tempat
usaha diupayakan untuk ditata, sehingga tidak terkesan
kumuh yang menyebabkan keengganan pelanggan untuk
melihat para perajin menenun yang menjadi daya tarik
aktifitas usaha songket Palembang. Alat atau sarana untuk
melakukan proses produksi usaha songket tidak sekedar
menghasilkan alat pemuas kebutuhan manusia, namun
memberikan keuntungan sesuai dengan tingkat usaha yang
dikerjakan.
Kedua, dari aspek hak dan kewajiban. Meninggalkan
sikap „eksploitasi‟ pemberi kerja baik seorang perantara
ataupun pengrajin pemilik modal terhadap sentra-sentra
perajin tenun yang rata-rata perempuan. Rumah pengrajin
maupun perajin songket berorientasi bukan hanya tempat
138
Murasa Sarkaniputra, Ruqyah Syar‟iyyah: Teori, Model, dan
Sistem Ekonomi.
447
proses produksi, tetapi telah berubah menjadi pabrik mini
karena berpindahnya gudang bahan baku dan semua sarana
yang berkenaan dengan proses pembuatan kain songket.
Kesamaan dalam menerima bantuan, dan tidak
memarginalkan para perajin yang tidak terakses. Untuk itu,
intansi yang terkait dengan usaha mikro dan kecil memiliki
peta usaha yang dapat menilai wilayah-wilayah usaha yang
memerlukan bantuan modal usaha, dan bantuan-bantuan
lain yang seiring dengan peningkatan usaha. Antara
pengrajin, perajin, maupun pemberi upah pembuatan
songket dari para pedagang sama-sama memahami
eksistensi manusia yang kesemuanya bertujuan untuk
mencukupi kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan,
pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi,
serta memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama
yang mengancam kehidupannya.
Ketiga, dalam pengembangan sumber daya penenun
songket memerlukan strategi tepat guna yang tidak sekedar
untuk meningkatkan kuantitas penenun, membangun sikap
gotong royong yang memiliki nilai-nilai eknomi Islam dan
ekonomi kerakyatan. Melakukan pekerjaan sendiri-sendiri
untuk mendapatkan pengembangan sumber daya perajin
dan melupakan semangat berbagi informasi, berbagi
pengalaman yang semestinya terkandung dalam gotong
royong. Perajin songket bukan sekedar faktor produksi
yang dipergunakan dalam proses produksi untuk
menghasilkan tenunan songket. Pengembangan efisiensi
kerja tidak bisa pula dipisahkan dengan Sumber Daya
Manusia (SDM) dan aktifitas pasar. Keempat, kebebasan
berusaha dimaknai usaha dan kerja yang tidak bebas nilai.
Untuk mendapatkan simpati pasar, maka pengrajin dan
perajin songket menjadi produk usaha yang dibuat menjadi
khazanah budaya lokal yang berdaya saing global. Pada
akhirnya, dalam kemitraan terbangun dalam nilai-nilai
448
kebersamaan dengan berbagai etika dan moral seperti
dijelaskan sebelumnya.
F. Rekonstruksi Pengembangan Usaha
Dari berbagai kajian yang dijelaskan dalam bab dan
sub-bab studi ini memperlihatkan bahwa efisiensi
berkeadilan juga memerlukan jaminan sosial. Tataran
normatif keadilan menjadi tidak berarti, manakala masih
terjadi ketimpangan sosial, dan tidak terwujud
keseimbangan ekonomi. Salah satu wujud yang menggeser
nilai-nilai efisiensi berkeadilan adalah pemberlakuan
prinsip ribawi untuk usaha mikro dan usaha kecil, seperti
dijelaskan dalam olah data penelitian pada bab sebelumnya.
Dari sini, memperlihatkan bahwa kebijakan ekonomi hanya
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sementara
kebutuhan bangsa tidak hanya terdiri dari kebutuhan
ekonomi materil saja, tetapi juga kebutuhan sosial dan etik.
Penggambaran berdasarkan kasus dialurkan sebagai
berikut: Pertama, Pancasila, UUD 1945, UU bidang
perekonomian, dan peraturan pemerintah bidang
perekonomian diarahkan menuju konsep efisiensi
berkeadilan dengan indikator yang dibangun dalam studi
ini.
Kedua, unit usaha songket yang terdiri dari
pengrajin, perajin dan distributor songket yang diakumulasi
dari hasil observasi dan pendalaman wawancara, yaitu: (1)
amanah untuk tetap melestarikan budaya bangsa Indonesia;
(2) profit oriented (orientasi keuntungan) dan benefit
oriented (orientasi pelayanan); (3) kreatifitas dalam proses;
(4) manajemen keluarga; (5) kebersamaan semu; (6)
manajemen berbasis; (7) bantuan usaha percepatan
produktivitas dengan kemanusiaan berdasarkan kebijakan
pribadi; (8) bantuan (modal dan pemasaran) belum merata.
Dari realitas tersebut, memperlihatkan nilai-nilai
yang tidak terlihat dalam kebersamaan sosial, keselarasan,
449
jaminan sosial, jaringan kemitraan dalam termin
kegotongroyongan sosial. Ini artinya, jika ditarik ke dalam
wilayah yang lebih luas, maka nilai-nilai sosial sebagai
sebuah kesatuan dalam keadilan seperti tertuang dalam
perundang-undangan belum menyatu. Karena itu, diperlukan
satu kesatuan kalimat yang mampu dikembangkan secara
selaras, yaitu efisiensi berkeadilan sosial. Dalam wilayah alur
konstitusi di Indonesia sudah ditegaskan dengan jelas istilah
keadilan sosial, yaitu dalam tataran konstitusi disebutkan
dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: ketuhanan
yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.139 Kemudian … Maka demi ini kami
menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam
negara yang berbentuk republik federasi, berdasarkan
pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan,
kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.140 ... Maka
demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu
Piagam negara yang berbentuk republik-kesatuan,
berdasarkan pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan
sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan,
perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
Negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat
sempurna.141
Banyak pengertian keadilan sosial yang dapat
dipahami memelihara hak-hak individu dan memberikan
139
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. 140
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949). 141
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (1950).
450
hak-hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya.142
Artinya, produktifitas berkeadilan yang menitikberatkan
peranan uang (capital centered development) sebagai
pembangunan sosial yang dilaksanakan melalui proses
humanisasi (people centered development) dengan
pemberdayaan masyarakat sebagai kuncinya, sehingga
pertumbuhan ekonomi yang dicapai akan menjadi
“pelayan” bagi pemenuhan berbagai aspek kebutuhan
masyarakat secara berkeadilan. Penguatan kata kunci pada
konsep keadilan sosial sebagai dasar penting bahwa
pembangunan yang dilaksanakan bukan sekedar dinilai
dari pertumbuhan ekonominya tinggi, yang pada
gilirannya akan memberikan efek tetesan ke bawah (trickle
down effect), dan dirasakan oleh semua strata masyarakat
tanpa kecuali. Hal ini seiring dengan konsep amandemen
pasal 33 UUD 1945. Disamping itu manusia adalah
makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa berdiri sendiri
dalam memenuhi segala kebutuhannya. Inilah salah satu
alasan Allah menciptakan manusia dalam beragam warna
kulit dan bahasa, suku dan ras, agar tercipta sebuah
kebersamaan dan keharmonisan di antara manusia. Dengan
manusia saling memenuhi kebutuhan masing-masing, maka
142
Berbagai pengertian yang ditemukan diantara Sayyid Quṭb, al-
„Ada>latu al-Ijtima>iyyah fi> al-Isla>m (Beirut: Dār al-Shurūq, 1975);
Bernice Q Madison, the Meaning of Social Policy. (London: Croom
Helm, 1980); Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil:
Problematik Filsafat Hukum (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,
1999); Andang L. Binawan dan A. Prasetyantoko, Keadilan Sosial:
Upaya Mencari Makna Kesejahteraaan Bersama di Indonesia (Jakarta:
Kompas, 2004); Bur Rasuanto, Keadillan Sosial: Pandangan
Deontologis Rawls dan Habermas (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2005); Khalil Abdul Maksu>d Abdul Hami>d, al-Khidmatu al-
Ijtima>iyyah wa al-Huqu>q al-Insa>ni (www.kotobarabia.com); David
Harvey, Social Justice and the City (USA: University of Georgia Press,
2009).
451
kebersamaan dan saling ketergantunganpun tercipta, dan ini
merupakan kedilan Allah yang Maha Adil.
Keadilan sosial pada dasarnya merupakan konsep yang
multidimensi. Terdapat keadilan sosial yang menekankan
aspek regional, ras, gender, dan antar golongan. Dalam
teoritisasi studi ini diarahkan hanya pada kesenjangan zona
ekonomi pada usaha mikro dan usaha kecil untuk perwujudan
tujuan pembangunan sosial. Nilai-nilai dalam teori efisiensi
dan efisiensi berkeadilan sosial memaknai pembangunan
sebagai usaha produktifitas pemenuhan dasar minimum
melalui peningkatan produksi dan penguatan distribusi.143
Todaro menyimpulkan bahwa tiga makna dan tujuan
pembangunan adalah subsisten atau pemenuhan kebutuhan
dasar, penegakan harga diri, dan kebebasan untuk bertindak
namun tidak bebas nilai. Sama halnya, konsep ekonomi
Islam yang memaknai pembangunan sebagai upaya
membangun masyarakat untuk kesejahteraan umat manusia
dalam memelihara lima mas}lahat berdasarkan aturan
shari‟ah. Sen bahkan mendefinisikan pembangunan sebagai
sebuah kebebasan (development as freedom) dengan
mensyaratkan ”protective security”, yaitu sebuah jaminan
bagi kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan
dari gerak utama pembangunan untuk tetap dapat hidup
nyaman. Pengambil kebijakan tidak hanya
bertanggungjawab memberikan segala fasilitas-fasilitas
publik untuk kebutuhan dasar, tetapi juga menjamin tidak
adanya pelanggaran hak bagi kelompok tersebut untuk
143
Prabhat Ranjan Sarkar, Proutist Economics: Discourses on
Economic Liberation (India: Ananda Marga Publications, 1991). Lihat
juga Jenna Allard et.al., Solidarity Economy: Building Alternatives for
People and Planet; Papers and Reports from the U.S. Social Forum 2007
(Chicago : ChangeMaker Publications, 2008).
452
berpartisipasi dalam seluruh aktivitas kehidupan, termasuk
dalam penentuan kebijakan atas dirinya.144
Pembangunan tidak saja harus menghasilkan “nilai-
nilai ekonomi” tetapi juga nilai-tambah sosial-kultural.
Artinya, pembangunan adalah proses humanisasi, proses
ditingkatkannya harkat-martabat, dengan kualitas hidupnya
yang mampu memahami betapa pentingnya meraih suatu
kecerdasan hidup.145 Dari aspek tersebut, maka efisiensi
keadilan sosial akan membangun asumsi bahwa kreatifitas
usaha mikro dan usaha kecil atau kreatifitas lokal adalah
titik tolak dari segala aktivitas pembangunan. Untuk itu,
diperlukan kebersamaan dan membangun kegotong-
royongan dalam meningkatkan kesadaran berorganisasi
masyarakat lokal, dan kemampuan dalam mengelola
manajemen usaha yang lebih produktif dan bersama-sama
dalam kemitraan.
Sebagai sebuah strategi bisnis yang dilakukan oleh
dua pihak atau lebih dalam jangka waktu manfaat bersama
ataupun keuntungan bersama tertentu untuk meraih sesuatu
sesuai prinsip saling membutuhkan, dan saling mengisi
sesuai kesepakatan yang muncul (mutual). Kemitraan yang
ingin diwujudkan dengan misi utamanya adalah membantu
memecahkan masalah ketimpangan dalam kesempatan
berusaha, ketimpangan pendapatan, ketimpangan antar
wilayah, ketimpangan kota dan desa. Kemitraan yang
dibangun atas landasan saling membutuhkan, saling
menguntungkan, dan saling memperkuat dengan fungsi
dan tanggung jawab yang sesuai dengan kemampuan, dan
proporsi yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang
144
Amartya Sen, Development as Freedom (London: Oxford
University Press, 1999). 145
Sri-Edi Swasono, Kelengahan Kultural dalam Pemikiran
Ekonomi, Pancasila Pasal 33 UUD 1945, Koperasi, Entrepreneurship-
Kooperatif.
453
terlibat dalam kemitraan tersebut. Hal itu juga lebih
menguatkan partisifasi politik yang pro-rakyat yang
berkelanjutan.
Pada alur ini, maka usaha mikro dan usaha kecil
tidak sekedar diperhatikan ketika perekonomian sedang
kesulitan, namun sudah menjadi kerjasama untuk
meningkatkan pemberdayaan usaha mikro dan usaha kecil,
serta tidak terkecuali koperasi sebagai soko kedua tersebut.
Penguatan teori efisiensi berkeadilan sosial juga
memberikan akses untuk lebih menekankan arti kemitraan
dalam kegotongroyongan untuk meningkatkan taraf
kehidupan semua strata masyarakat secara proporsional dan
profesional. Keadilan sosial bertujuan memberikan dasar-
dasar bagi kerja sama sosial masyarakat bangsa pluralistik
modern.
Berbeda dari masyarakat tradisional, mereka
berpendapat masyarakat modern tak terelakkan menjadi
masyarakat pluralistik dengan kepentingan dan anutan nilai
hidup berbeda-beda, bahkan mungkin bertentangan.
Bagaimanapun pengaturan masyarakat pluralistik modern
itu tidak boleh didasarkan atas suatu anutan nilai hidup
tertentu, melainkan haruslah dikendalikan oleh prinsip yang
menjamin dan mengekspresikan kepentingan bersama.
Sebagaimana tercermin sejak terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 3 tahun 1983 tentang tata cara
pembinaan dan pengawasan perusahaan jawatan,
perusahaan umum dan perusahaan perseroan, kemudian
Keputusan Menteri Keuangan Nomor
1232/KMK.013/1989 tanggal 11 November 1989 tentang
pedoman pembinaan pengusaha ekonomi lemah dan
koperasi melalui Badan Usaha Milik Negara yang
kemudian dikenal dengan program Pagelkop yang
kemudian pada tahun 1994, program tersebut diubah
menjadi Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (Program
454
PUKK) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni tentang Pedoman
Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui pemanfaatan
dana dari bagian laba Badan Usaha Milik Negara.146
Selanjutnya, ditetapkan dari Keputusan Menteri
Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembina
BUMN Nomor. Kep-216/M-PBUMN/1999 Tanggal 28
September 1999 tentang Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan BUMN. Kemudian adanya Keputusan Menteri
BUMN Nomor Kep-236/MBU/2003 Tanggal 17 Juni 2003
tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil
dan Program Bina Lingkungan, pada akhirnya Peraturan
Menteri Negera BUMN Nomor Per-05/MBU/2007 tanggal
27 April 2007 tentang program kemitraan BUMN dengan
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Terakhir,
Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah. Dari semua peraturan yang ada akan
semakin berdaya guna manakala saling terjadi keterkaitan
antara pemerintah, BUMN dan masyarakat termasuk
didalamnya usaha-usaha mikro, kecil dalam membangun
efisiensi berkeadilan sosial.
Efisiensi berkeadilan sosial menjadi bagian konsep
ekonomi kerakyatan yang memperlihatkan demokrasi
ekonomi, bermoralitas nondiskriminatori, noneksploitatori,
anti monopoli pada penguasaan aset produktif yang
berlandaskan etika suci (berketuhanan), berkeadilan sosial
(emansipatori ekonomi) yang mengutamakan kerjasama
(berasas kebersamaan dan kekeluargaan [ukhuwah]), dan
sekaligus anti firqah (tidak fair).
Dalam sudut pandang Swasono, demokrasi ekonomi
Indonesia tidak harus sepenuhnya diartikan sebagai
146
Dalam keputusan tersebut dijelaskan bahwa dana pembinaan
disediakan dari penyisihan sebagian laba sebesar 1%-5% dari laba setelah
pajak.
455
berlakunya prinsip equal treatment secara mutlak.147
Demokrasi ekonomi Indonesia bercita-cita mewujudkan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia (social justice,
fairness, equity, equality) sehingga menyandang pemihakan
(parsialisme, spesial vapor) terhadap yang lemah, yang
miskin, dan yang terbelakang untuk mendapatkan perhatian
dan perlakuan khusus ke arah pemberdayaan. Disinilah titik
tolak untuk menegaskan bahwa efisiensi ekonomi
berdimensi kepentingan sosial.148 Demokrasi ekonomi
berarti produktifitas keseluruhan masyarakat menyatu
dalam partisifasi dan emansipasi ekonomi. Berdasarkan
teoritisasi yang ada, maka penegasan efisiensi berkeadilan
sosial menjadi penting sebagai sukma pasal 33 UUD 1945
sekaligus penekanan atas asas individualisme149 yang
mengabaikan kebersamaan, terutama dalam penegasan pada
aspek kemitraan sebagaimana digambarkan usaha songket
Palembang.
Penegasan tersebut juga menguatkan eksistensi
paham kebersamaan dan asas kekeluargaan untuk
kepentingan masyarakat. Dalam arti, bahwa negara
merupakan wujud sosial, bukan merupakan suatu
kesepakatan individualistik, bukan pula konstrak sosial,
147
Sri-Edi Sawasono, “Ekonomi Islam dalam Pancasila”, Paper
the Indonesian of Islamic Economist DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam
(IAEI) Bekerjasama dengan Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah
Palembang, International On Islamic Economics On Global Cricis”,
Agustus 2009. 148
Sri-Edi Swasono, tentang Demokrasi Ekonomi dan Pasal 33
UUD 1945 (Jakarta: BAPPENAS, 2008). 149
Konsep Individualisme dialurkan sebagaimana ditafsirkan oleh
Sri Edi Swasono merupakan individu-individu dengan paham perfect
individual liberty dan self interest berkedudukan utama, bersepakat
membentuk masyarakat (society) melalui suatu kontak sosial (social
contract atau vertrag). Bukan Individualisme yang berdasar liberalisme
melalui proses panjang yang kemudian membentukkan kapitalisme, Sri-
Edi Sawasono, “Ekonomi Islam dalam Pancasila”.
456
sehingga kepentingan masyarakat yang diutamakan
terkhusus pada wilayah usaha mikro dan usaha kecil.
Pandangan pada efisiensi berkeadilan sosial pada hak-hak
produksi dibatasi dimensi sosial. Pada saat satu usaha yang
masuk dalam zona bangkrut, maka kluster usaha yang sama
melakukan langkah memberi solusi penguatan usaha
tersebut dengan memberikan bantuan arah perbaikan,
sementara sektor lain (pemerintah dan BUMN) memberikan
solusi produktif. Disini, usaha mikro dan kecil mendapatkan
garansi sosial.
Selanjutnya, dalam nilai filosofis dari konsep
efisiensi berkeadilan bukanlah dimaknai kesamaan dalam
sejahtera, namun memberi kesempatan kepada setiap orang
yang memiliki kemauan berusaha diberi kesempatan untuk
merealisasikan kemamuan diri untuk berusaha. Disinilah
peran pemerintah untuk menjadi mediasi memberikan jalan
tersebut. Efisiensi berkeadilan sosial juga dapat dipahami,
Pertama, kepuasaan dan bisnis usaha songket harus diukur
dengan standar yang lebih manusia. Uang sering digunakan
untuk menjadi indikator kesejahteraan, tetapi masalahnya
uang tidak mampu menjelaskan kualitas hidup. Bisa jadi
seorang pengrajin mendapatkan pendapatan berkali-kali
lipat dari sebelumnya karena mendapat orderan atau
keikutsertaan dalam pameran, namun mendzolimi usaha
songket lain, atau melakukan spekulasi dengan
menghancurkan usaha lain yang pada akhirnya merusak
tatanan kluster usaha tersebut, atau lebih luas merusak
tatanan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, tidak ada
artinya sejahtera jika merusak kesejahteraan masyarakat
secara umum, dan satu usaha secara khusus.
Kedua, apabila standar kepuasan diukur menurut
standar yang lebih manusiawi, standar tersebut harus bisa
menjelaskan kebaikan riil hidup manusia secara
keseluruhan. Ekonomi harus tunduk kepada etika dan
457
moral. Seperti kejujuran berkaitan dengan penghargaan
pada kebenaran dalam menyampaikan realitas keberhasilan
usaha songket dalam melaporkan hasil distribusi pada mitra
pemberi bantuan modal usaha dengan kesadaran. Jika tidak
ada pengaturan, maka yang akan menang dan berhasil
hanyalah golongan yang kuat. Dengan demikian,
golongan lemah seperti yang tercantum dalam GBHN harus
mendapat perlindungan, yang sebenarnya merupakan hak
mereka.
Ketiga, solidaritas juga tidak diabaikan dalam
konsep efisiensi berkeadilan sosial. Hasil studi ini dan
studi-studi yang lain memperlihatkan bahwa jalinan
solidaritas kelompok usaha mampu mempengaruhi
perkembangan usaha dengan cara memberikan informasi
peluang usaha dan perkembangan usaha, hingga informasi
pemasaran yang disebar-luaskan untuk kepentingan usaha
memberikan penguatan usaha. Seyogyanya para pengrajin
songket saling membantu dalam menguatkan jaringan
kluster usaha, tidak bisa hanya sekedar kemitraan
kamuplase seperti dijelaskan sebelumnya. Satu sisi
membangun kelompok usaha bersama untuk mendapatkan
modal bersama, namun sisi lain mencari dana tambahan
melalui jalur lain lewat cara yang tidak tepat. Solidaritas
memberikan makna adanya satu langkah untuk memahami
eksistensi manusia sebagai khali>fatulla>h fi> al-ard}i.
Keempat, dengan produktifitas usaha dengan
berdasarkan pada kebutuhan manusia semakin menguatkan
martabat manusia, sekaliguskan mengembangkan kebaikan
bersama untuk mendapatkan hak-hak ekonominya. Jika
mencari langkah mendapatkan dana dengan berbagai
bentuk, akan berdampak pada pengabaian atas pembayaran
bersama dalam kelompok usaha yang merugikan kelompok,
dan mencari untuk membayar bantuan lain. Akibat dari hal
tersebut, hukum akan menindak kelompok bukan hanya
458
salah seorang dalam kelompok itu saja. Dari sisi ini,
memperlihatkan konsep efisiensi semakin memberikan
kejelasan dalam menguatkan usaha berbasis ekonomi
kerakyatan.
Rekonstruksi pengembangan usaha yang tidak kalah
pentingnya adalah memfokuskan pada penguatan semua
aspek sebagaimana dijelaskan pada studi ini, di wilayah
perajin sebagai pemilik ketrampilan turun temurun.
Pemberdayaan kelompok ini akan membuka kebersamaan
yang dapat benar-benar mampu mensejajarkan mereka
dengan para pengrajin sebagai pengusaha yang sudah lebih
dahulu mengembangkan songket menjadi komoditas
sekunder, dan tersier yang menguntungkan kelompok
pengrajin saja.
Mengangkat komunitas perajin untuk sama-sama
berkarya luas di bidang keahliannya merupakan bagian
penting dalam membangun kriteria efisiensi berkeadilan.
Orientasi bangun yang diterapkan menggunakan parameter
ekonomi Islam seperti dijabarkan luas dalam bab-bab
sebelumnya.
Kesimpulan, Implikasi dan Saran
A. Kesimpulam Berdasarkan hasil studi ini disimpulkan rendahnya
pemahaman nilai-nilai efisiensi berkeadilan, serta kuatnya hegemoni
kapitalisme-neoliberalisme menjadi penyebab belum
terimplementasikannya pemberdayaan dalam meningkatkan
kesejahteraan bersama pada usaha songket Palembang. Persamaan
dan perbedaan dengan kesimpulan akademik lain dimana studi ini
turut memperkuat teori efisiensi berkeadilan beserta berbagai
variannya yang telah diusung Sri-Edi Swasono, yang diantaranya
menyebutkan efisiensi berkeadilan sama dengan efisiensi sosial yang
tidak diartikan dengan ekonomi berorientasi untung rugi semata,
namun membangun ekonomi yang memberdayakan, dan
memberikan kesejahteraan serta kemakmuran untuk semua bukan
kemakmuran orang perorang. Bahwa efisiensi berkeadilan memiliki
nilai-nilai kekuatan ekonomi berbasis pemberdayaan dalam
meningkatkan kesejahteraan bersama.
Teori tersebut diperkuat pula dengan pemikiran diantaranya
Bagir S}ada>r, Umer Chapra yang menggambarkan bahwa
kekayaan bukan perhitungan moneter sederhana, namun mampu
membangun ihsa>n, itqa>n dan falah dalam berusaha. Kemudian,
Amartya Sendi antara konsep pembangunan seberapa jauh individu
memiliki kesempatan untuk memperoleh hasil yang bukan dihargai
saja, tetapi juga yang mereka ketahui mengapa hasil tersebut pantas
dihargai. Sritua Arief dan Mubyarto menyatakan dasar tata
ekonomi yang dapat memberikan jaminan keadilan bagi rakyat, bila
pemilikan aset ekonomi nasional terdistribusi secara baik kepada
seluruh rakyat. Kemudian, Amin Suma yang menguatkan dengan
keadilan sosial berbasis kitab suci.
Keenam
464
Studi ini kemudian membuktikan ketidakbenaran teori trickle
down effect yang diusung Walt W. Rostow dan Harrod-Domar yang
memproyeksikan hasil kemajuan oleh seseorang atau satu perusahan
yang dengan sendirinya keuntungan yang didapat akan merembes ke
bawah. Sekaligus membantah analisis pareto optimum yang diusung
Vilfredo Federico Damaso Pareto bahwa penggunaan sumber daya,
dana yang terbatas dalam pola dan dengan cara maksimal untuk
mendapat kepuasaan maksimal. Disertasi ini menunjukkan bahwa
(1) efisiensi berkeadilan memiliki nilai-nilai kekuatan ekonomi
berbasis pemberdayaan dalam meningkatkan kesejahteraan bersama;
(2) teori trickle down effect maupun pareto optimum hanya
melahirkan kapitalis semu dan kejahatan moral karena kekayaan,
harta, dan penumpukan modal sebenarnya hanya dimiliki oleh para
pelaku ekonomi modal kuat, bukan oleh semua kalangan; (3)
pemerintah harus memiliki peran dalam mengatur agar masyarakat
kaya tidak merugi (tidak worse off) dan masyarakat miskin
memperoleh untung (menjadi better off).
Data hasil temuan studi memperlihatkan Pertama, dalam
ranah pendayagunaan kapital dari keadaan modal usaha antara
pengrajin dan perajin yang bertolak belakang. Perajin songket yang
hanya mendapatkan keuntungan minimum dari modal ketrampilan
turun temurun, sementara pengrajin dan pengusaha songket
mendapatkan keuntungan maksimal dengan menjadikan hasil
tenunan perajin menjadi berbagai ragam produk. Pemerintah daerah
lebih memprioritaskan para pengrajin dalam memberikan tambahan
modal usaha dan berbagai ketrampilan pengembangan produk
songket dibandingkan dengan perajin. Sehingga para
pengrajin/pengusaha menjadi kaya dan memiliki jaringan luas,
sedangkan para perajin songket tetap miskin dan menunggu pesanan.
Kedua, dalam ranah hak dan kewajiban bersama belum
memberikan kesejahteraan bersama. Perajin songket sebagai pemilik
ketrampilan utama mendapatkan kewajiban untuk menyelesaikan
semua tenunan maksimal, dan mendapatkan upah yang berstandar
pada pengrajin/pengusaha bukan pada aturan UMR yang berlaku.
Perajin belum mendapatkan hak-hak tunjangan sosial seperti
tunjangan hari raya, tunjangan kesehatan, hak perhatian terhadap
465
tempat usaha, dan hak sosial lainnya. Hak tunjangan sosial hanya
berdasarkan kebaikan para pengrajin/pengusaha sebagai mitra kerja.
Ketiga, kebersamaan dalam pengembangan sumber daya
belum nampak secara profesional dan proporsonal. Ini terbukti dari
manajemen usaha yang masih menggunakan manajemen keluarga.
Artinya, pengembangan sumber daya di lingkungan usaha songket
masih seadanya, memfokuskan pada nilai konsumtif dan
menyampingkan investasi. Pada umumnya, perajin dan pengrajin
songket tidak memiliki manajemen pembukuan yang bisa
dipertanggungjawabkan, dan dapat dijadikan modal studi kelayakan
bagi BUMN/BUMD untuk memberikan bantuan modal usaha.
Sementara, pelatihan-pelatihan dalam bentuk manajemen sederhana
hanya terbatas pada pengrajin dan perajin yang memiliki akses
dengan instansi pemerintah yang memiliki program-program
pelatihan tersebut. Para pengrajin dan perajin songket belum
melakukan upaya kebersamaan dalam mengembangkan sumber daya
manusia. Upaya memberikan ketrampilan menenun songket yang
hanya dilakukan hanya sebatas lingkup keluarga atau tetangga yang
terkendala ekonomi dan pendidikan. Pengembangan sumber daya
pengembangan berharap keadilan dari kebijakan pemerintah provinsi
Sumatera Selatan dalam mengakses berbagai bantuan seperti
pelatihan, binaan, modal, dan pemasaran. Ini artinya, pemerintah
daerah belum melakukan gerakan memasyarakatkan cara bertenun
kepada generasi muda, dengan program-program yang
berkesinambungan, melalui kemitraan dengan para perajin. Alih-alih
regenerasi tenun songket sulit tercapai, akibat ketidaksiapan generasi
muda untuk ikut menguatkan tenunan songket, di samping budaya
konsumerisme dan budaya ingin serba praktis lebih mendominasi
aktifitas generasi muda. Beberapa penenun yang mau belajar
menenun disebabkan karena ketidakmampuan bersaing dalam usaha
lain dan putus sekolah.
Keempat, dalam kebebasan berusaha dan berkreatifitas sudah
dimiliki para pengrajin maupun perajin. Terbukti berbagai kreatifitas
berbahan songket dinilai dari kreasi pengrajin songket sesuai dengan
kebutuhan pasar seperti berbagai aksesories gantungan kunci
berbahan songket, baju motif songket, sarung gorden, songket untuk
alas meja, songket untuk bedcover. Seiring dengan kebebasan
466
kreatifitas dimanfaatkan oleh pengusaha melupakan akar budaya
kain songket dengan melakukan plagiasi motif-motif tradisional
yang menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan oleh
perusahaan tenun mesin, sehingga jadilah songket modern, bahannya
dari kain satin tetapi motifnya songket dengan harga yang jauh lebih
murah. Para perajin yang memiliki hak paten motif ditinggalkan.
Kelima, distribusi dinilai dari penjualan kain songket dalam
kemitraan berorientasi pada untung rugi ekonomi semata terutama
para pengumpul yang melakukan spekulasi untuk mendapatkan
keuntungan maksimal tanpa memikirkan keadaan perajin. Beberapa
model kemitraan seperti sistem titip-setor tidak produktif dan tidak
membangun kebersamaan, kemitraan satu arah dalam mengikuti
pameran usaha, pesanan berdasarkan kekeluargaan dan pesanan
songket yang dibayar tidak tepat waktu menyebabkan kebangkrutan
usaha songket. Akad gharar terjadi karena kepercayaan perajin
yang tidak dibarengi dengan manajemen pembukuan dan perjanjian
yang jelas.
Keenam, ketidaktersedian pemerinah daerah data base unit
usaha songket baik dalam bentuk: (1) peta sentra-sentra usaha
berserta berbagai persoalan masing-masing sentra, (2) peta
kelemahan manajemen, dan (3) peta akses pemasaran yang lebih luas
dan menyeluruh menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam
membangun kebersamaan, dan meningkatkan keuntungan bersama.
Ketujuh, program-program pemberdayaan usaha songket Palembang
yang ada juga lebih ditonjolkan, sementara koperasi sebagai wadah
usaha songket belum dijadikan prioritas penguataan usaha songket.
Ini juga salah satu penyebab berkembangnya individualis di ranah
usaha songket Palembang
Upaya meningkatkan usaha songket Palembang dengan
melakukan rekonstruksi melalui kekuatan kebersamaan,
kekeluargaan, gotong royong dan moralitas kerja. Pola dasar dengan
meningkatkan pemberdayaan perajin sebagai orang-orang yang
memiliki ketrampilan menenun songket turun temurun. Ini berarti,
bantuan modal usaha dan hibah pelatihan manajemen usaha yang
diprogramkan pemerintah provinsi diprioritaskan utama untuk para
perajin tersebut. Sehingga, perajin songket dapat ikut bersama para
pengrajin dalam membangun kebersamaan usaha. Capaian langkah
467
terjadi apabila pemerintah memiliki peta sentra-sentra perajin
songket di seluruh pelosok wilayah provinsi Sumatera Selatan
beserta keadaan bantuan dana dan hibah yang sudah, sedang, pernah
dan belum didapat para perajin. Untuk itu, pemerintah provinsi
melakukan kemitraan dengan Perguruan Tinggi di Sumatera Selatan
dalam melakukan survey peta produksi dan distribusi perajin.
Data-data itu juga dibutuhkan untuk membuat berbagai
kebijakan yang berhubungan dengan peran BUMN/BUMD yang
ada pada masing-masing kabupaten/kota terhadap pemberdayaan
perajin songket, melalui bantuan modal usaha dengan kesadaran
bahwa ketiadaan jaminan dari perajin songket, karena mereka usaha
kecil yang berkeinginan untuk sejahtera bersama, maupun penguatan
kebijakan sistem bagi hasil yang proporsional, bantuan hibah dalam
bentuk pelatihan manajemen usaha dan pendampingan, promosi
serta distribusi. Langkah penting lainnya dengan menjalankan
produk-produk bank-bank syari’ah sebagai bagian dari penguatan
modal usaha untuk para perajin-perajin songket tersebut. Hal penting
lainnya, penguatan koperasi sebagai wadah usaha songket tidak bisa
diabaikan dalam membangun demokrasi ekonomi. Dengan kata lain
songket Palembang tidak boleh mati karena tidak memenuhi dimensi
efisiensi berkeadilan (lihat lampiran gambar).
B. Implikasi Dalam studi ini menunjukkan bahwa mendalami potret
pembangunan usaha mikro dan kecil secara nasional masih
memerlukan perhatian, sebab konseptualisasi yang sempurna tidak
sampai menyentuh akar usaha mikro dan kecil, sehingga menyimpan
berbagai kesalah-pengertian dan pemahaman bagi sementara pihak,
sehingga implementasinyapun menjadi jauh dari hakikat tujuan
pengembangan usaha mikro itu sendiri. Pengrajin dan perajin
songket adalah salah satu dari ribuan usaha dan produk mikro di
Indonesia mengalami hal yang sama. Konsep efisiensi berkeadilan
yang lahir dalam amandemen perekonomian nasional Pasal 33 UUD
1945 yang idealnya menjadi model penguatan usaha kecil dalam
kerangka menjauhkan dan menghindarkan ekonomi Indonesia dari
proses pemusatan kekuasan yang terbangun dari pemusatan
penguasaan faktor produksi. Pemusatan kekuasaan faktor produksi
tersebut akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat yang
468
pengusaha pinggiran, menciptakan dua kelompok masyarakat,
masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai.
Efisiensi berkeadilan membangun nilai-nilai progresif
ditandai adanya kinerja yang meningkat, peningkatan kemampuan
karyawan, motivasi karyawan dan struktur kerja yang fleksibel.
Strategi pengembangan tenun songket adalah mendorong untuk
mengembangkan dan memanfaatkan keterampilan, menolong
memelihara kinerja standar dan meningkatkan produktivitas melalui
efektivitas job design, menyediakan ketepatan orientasi, pelatihan
dan pengembangan, menyediakan hubungan timbal balik kinerja,
dan memastikan komunikasi dua arah secara efektif. Membantu
memantapkan dan memelihara hubungan antara karyawan dan
pemilik yang harmonis. Program pengembangan untuk
mempertemukan kebutuhan sosial, psikologi, ekonomi bagi
karyawan sekaligus menolong organisasi mempertahankan
produktivitas perajin.
Penguatan atas efisiensi berkeadilan ditawarkan pula dengan
konsep “sosial” sehingga teoritisasi yang muncul menjadi efisiensi
berkeadilan sosial yang membawa: Pertama, penguatan aktifitas
dengan nilai kegotongroyongan. Karena walaupun ada kebersamaan
tanpa sifat gotong royong yang tersurat seperti kata “efisiensi
berkeadilan” akan memunculkan ketimpangan pola. Karena itu
penguatan teoritisasi dengan penambahan kata sosial, sehingga menjadi
efisiensi berkeadilan sosial semakin memberi kelengkapan dari
efisiensi berkeadilan istilah Sri-Edi Swasono seperti dikaji dalam studi
ini. Kedua, pentingnya dimunculkan nilai-nilai sosial memberikan
tambahan kekuatan dasar dan hak-hak karyawan sesuai dengan
peraturan yang berlaku seperti hak tunjangan hari raya, hak jaminan
kerja, dan hak-hak sosial bukan hanya karena kewelas asihan
pimpinan usaha. Ini berarti, tawaran efisiensi berkeadilan sosial akan
memberikan kekuatan arahan kesejahteraan dan kebersamaan yang
lebih komprehensif.
Ketiga, peluang memunculkan konsep sosial akan
memberikan kesempatan kepada semua usaha mikro dan kecil dapat
berkembang melalui BUMN sebagai tangan kanan pemerintah dalam
menyelesaikan persoalan penambahan modal, hibah dalam bentuk
pelatihan manajemen usaha dan peta pemasaran secara bersama-
469
sama dalam masing-masing kluster, tanpa ada kesempatan
memunculkan pemarginalan pada satu kluster dengan kluster yang
lain, akibat kolusi dan nepotisme. Keempat, efsiensi berkeadilan
sosial membentuk tanggungjawab dalam wilayah ketrampilan, dan
usaha masing-masing terutama membangun modal sosial bersama-
sama (tenaga kerja yang berkemampuan baru) profesional dan
amanah.
Efisiensi berkeadilan sosial sebagai sebuah pengembangan
teori studi mengarahkan pada kemitraan melalui komunikasi,
berpegang pada nilai moral dan etika bermuamalah, serta
berpegang pada prinsip cultural social. Hal tersebut dapat
dinilai dari keselarasan, kebersamaan yang diciptakan dalam
siklus produksi usaha. Hukum sosial berlaku pada individu maupun
usaha yang melakukan kecurangan dalam bermitra, dan bergotong
royong termasuk ketidakamanahan dalam menjalankan
kelembagaan koperasi ataupun asosiasi, dan baitul mal wa tamwil.
Pada akhirnya konsep, dan regulasi atas nilai-nilai efisiensi
berkeadilan sosial yang kokoh dan terhubung simbiosis mutualis
antara pemerintah, BUMN, usaha kecil dan perguruan tinggi akan
memperkokoh pasar usaha.
Teori lain yang ditawarkan seiring dengan studi ini pada
efisiensi humanis spritualis. Tawaran atas teori ini dari penilaian
dasar bahwa efisiensi keadilan, atau efisiensi berkeadilan sosial tidak
bisa lepas dari parameter ekonomi Islam seperti zakat, infak,
sadakah, penguatan bagi hasil secara proporsional, musyarakat, dan
etika moral Islam. Secara khusus manusia adalah makhluk biologis
(bas}r dan nafs), yang memerlukan hidayat al-aqliyah (aqal), dan
hidayat al-di>niyah (agama). Sebab kecerdasan otak yang dibarengi
dengan ketrampilan sosial, ketangguhan bekerja, loyalitas,
komitmen, optimisme memerlukan nilai-nilai spritual yang ada di
dalam agama. Karena itu, penelitian ini semakin memperkuat
perlunya implementasi konsep pemberdayaan dan pendampingan
terhadap usaha songket Palembang secara proporsional. Dalam arti,
pemberdayaan adalah membangun kemitraan yang berbasis
kemandirian usaha mikro dan kecil yang disupport dari usaha-
usaha besar. Bentuk implementasinya tidak hanya memberikan
pemberian bantuan modal usaha, mengembangkan sumber daya,
470
menguatkan usaha dan membantu profesionalisme koperasi
syari’ah atau bait al-mal wa tamwil sebagai soko usaha mikro dan
kecil didukung dengan kebijakan operasional. Implikasi hasil
penelitian ini menjadi dasar penelaahan civitas akademik di
lingungan PTAIN terhadap pengembangan mata kuliah ekonomi
Islam dan fiqh muamalah dengan model pemahaman sederhana
yang bisa dapat dicerna oleh pelaku usaha mikro dan kecil, dan dapat
pula dipahami oleh BUMN atau institusi yang berhubungan dengan
kelompok usaha usaha mikro dan usaha kecil.
Implikasi penelitian ini juga dapat mengubah paradigma dari
pemberi bantuan modal usaha, lewat berbagai program pemerintah
melalui jaringan BUMN dan Perbankan hanya berorientasi pada
finansial, dan rutinitas pengembalian menuju paradigma kemitraan
serta pembinaan berbasis nilai-nilai shari>’ah dan ekonomi
kerakyatan dalam kerangka ekonomi Pancasila.
C. Saran Kekuatan nilai-nilai efisiensi berkeadilan yang telah
diperjuangkan ekonom muslim, Sri-Edi Swasono dalam pergulatan
politik menggoalkan pasal 33 dalam amandemen UUD 1945 di MPR
disarankan untuk dikaji dalam kuliah ekonomi. Sehingga,
memunculkan kajian-kajian lebih mendalam terhadap efisiensi
berkeadilan dalam ilmu ekonomi Islam. Peran dunia akademik yang
mengkaji ekonomi Islam maupun fiqh muamalah lebih mempertegas
efisiensi berkeadilan beserta parameter-parameternya. Ini penting
untuk ditegaskan dalam mata kuliah dengan harapan mahasiswa
alumni pengkajian ekonomi Islam tidak hanya berkutat dalam
penggalian perbedaan antara pemikiran ekonomi umum yang
konvesional versus ekonomi Islam, namun lebih dari itu mampu
menjelaskan berbagai kajian muamalah ma’daniyyah maupun
ma>liyah dalam bahasa yang bisa dipahami oleh pengambil
kebijakan, dan masyarakat ekonomi mikro-kecil yang mayoritas
muslim untuk melakukan efisiensi berkeadilan. Dalam pada itu, Sri-
Edi Swasono minta agar para mahasiswa mampu memahami dan
memanfaatkan ilmu ekonomi umum yang kontemporer, serta
mengembangkan ekonomi Islam konvensional ke arah ekonomi
Islam yang kontemporer.
471
Bagi para pengrajin dan perajin songket, dengan modal kerja
yang terbatas, kredit perbankan yang terbatas, mereka secara
bersama harus mampu menghasilkan produksi secara maksima, baik
kualitas maupun kuantitasnya. Atau dengan pola pikir yang lain,
dengan target-target produksi tertentu (sesuai permintaan pasar).
Masing-masing dari pengrajin maupun perajin songket tersebut
secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama mengusahakan
dicapainya biaya yang minima, menghindari segala macam
pemborosan. Jika mereka menyadari makna efisiensi sosial yang
akan secara bersama-sama meningkatkan benefit ataupun
kesejahteraan bersama, maka mereka harus melaksanakannya dalam
payung ataupun mekanisme koperasi. Ini artinya, para pengrajin dan
perajin songket harus mampu melakukan transformasi mindset
bahwa mereka harus membeli bahan secara bersama, mencari
pinjaman secara bersama, menikmati keuntungan secara bersama,
mendesain rancangan produksi secara bersama-sama, sehingga dapat
ditumbuhkan komitmen bersama dan langkah bersama, membangun
marketing bersama, menanggung resiko kerugian secara bersama
dan seterusnya. Lebih penting dari itu adalah membuat rencana kerja
termasuk veasibility study secara bersama-sama.
Bagi pemerintah, sudah saatnya menyadari bahwa saat ini
telah tumbuh kesadaran nasional dan pentingnya mengangkat local
specifics sebagai kebanggaan dan kekayaan nasional akan
keanekaragaman Indonesia. Demikian pula, dalam keanekaragaman
yang membanggakan itu telah diangkat berbagai kreatifitas lokal
(local wisdom) yang mengagumkan. Sri-Edi Swasono pada
pertemuan International Wisdom 2010 menegaskan tentang perlunya
memamerkan local wisdom untuk menginspirasikan “global
solutions”.1 Masalah songket adalah kebanggaan nasional terhadap
local specifics Indonesia yang harus menjadi kebanggaan tidak saja
bagi masyarakat Palembang, tetapi juga Pemda Palembang bahkan
Pemerinah Indonesia. Eksistensi dari usaha songket ini harus
1Sri-Edi Swasono dalam Wisdom 2010 menyatakan, apa yang dicari oleh
Staglitz dalam bukunya Free Fall (April 2010) adalah Pasal 33 UUD 1945 sebagai
Indonesia’s Local Wisdom that inspires global solutions. Lihat kembali Sri-Edi
Swasono, Kelengahan Kultural dalam Pemikiran Ekonomi: Pancasila Pasal 33
UUD 1945 Koperasi, Entrepreneurship-Kooperatif (Jakarta: BAPPENAS, 2011).
472
dikembangkan, keterlibatan seluruh masyarakat, Pemerintah Daerah
dan Pemerintah Pusat harus mampu mewujudkan efisiensi sosial
yang akan menjamin kelestarian hasil budaya tenun songket
Indonesia. Apa yang dipamerkan di musium tekstil pada 11 April
2010 yang lalu mampu menarik kalangan dalam negeri maupun luar
negeri, telah menuntut eksistensi dan pengembangan usaha songket
di Palembang, serta di segenap penjuru tanah air harus
dipertahankan.
DAFTAR PUSTAKA
A‟fa>r, Muhammad Abdul Mun‟im. al-Tanmiya al-Iqtis}a>diya li
Duwali al-‘Ālam al-Isla>mi>. Jeddah, Da>r al-Mujtama‟
al-Ilmi>, tt.
Abbas, Anwar dan Mukhaer Pakkana. Bung Hatta dan Ekonomi
Islam: Menangkap Makna Maqasyid al Syari>'ah.
Jakarta: Buku Kompas, 2010.
Abbas, Anwar. Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta Ditinjau dari
Perspektif Islam. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2008.
Abdillah, Masykuri. ”Kata Pengantar Syura dan Demokrasi”.
dalam Musyawarah dan Demokrasi: Analisis Konseptual
Aplikatif dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam,
Artani Hasbi. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Abdullah, Makmun. Kota Palembang sebagai Kota Dagang dan
Industri. Jakarata: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional, tt.
Abdurrahman, Moeslim. Islam sebagai Kritik Sosial. Jakarta:
Erlangga, 2003.
Abeng, Tanri dan Faisal Siagian. Reformasi BUMN dalam
Perspektif Krisis Ekonomi Makro. Jakarta: Pusat
Reformasi dan Pengembangan BUMN, 1999.
Abu Zaid, Muhammad Abdul Mun‟im. al- wa Tat}biqatiha al-
‘Amaliyah fi> al- Mas}arif al-Islamiyah. al-Qa>hirah: al-
Ma‟ahad al-„A>limi li al-fikr al-Islam, 1996.
Adi, Isbandi R. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan
Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga Penelitian
Ekonomi UI, 2003.
_______. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Jakarta:
FISIP UI Press, 2005.
Adityangga, Krishna. Membumikan Ekonomi Islam: Diskursus
Pengembangan Ekonomi Berbasis Syari'ah. Yogyakarta:
Pilar Media, 2006.
Afzalurrahman. Muhammad sebagai Seorang Pedagang. Yayasan
Swarna Bhumi, 1997.
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan
Emosi dan Spiritual. Jakarta: Arga, 2001.
Ahmad, Abdurrahman Yusro. Muqaddimah fi> ‘Ilm al-Iqtis}a>d
al-Isla>miy. Iskandariyah, 1988.
Ahmad, Habib. Theoritical Foundation of Islamic Economics.
Jeddah: IRTI dan IDB, 2002.
Ahmad, Khurshid. “Economic Develovement in an Islamic
Framework”. dalam Khurshid Ahmad eds. Studies in
Islamic Economic. Jeddah: International Centre For
research in Islamic Economics, King Abdul Aziz
University, And The Islamic Faudation, 1980.
Alam, Wawan Tunggul. Demi Bangsaku: Pertentangan Bung
Karno vs. Bung Hatta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2003.
Alampay, Erwin. Living the Information Society in Asia.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009.
Albrecht, W. Steve. Accounting, Concepts and Applications. Ohio:
Thomson/South-Western, 2007.
Ali, As‟ad Said. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan
Berbangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2009.
Ali, Salman. Islamic Capital Market Products: Developments and
Challenges. Jeddah: Islamic Research and Training
Institute, 2005.
Alimin, Muhamad. Etika dan Perlindungan Konsumen dalam
Ekonomi Islam. Yogyakarta: Badan Penerbitan Fakultas
Ekonomi, Universitas Gajah Mada, 2004.
Allard, Jenna. Solidarity Economy: Building Alternatives for
People and Planet; papers and reports from the U.S.
Social forum 2007. Chicago: Change Maker Publications,
2008.
Alusy, Abu al-Fad}al Syiha>b al-Di>n al-Sayyid Mahmu>d. Tafsir
Ru>h al-Ma’a>ni Fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Ad}im wa
al Sab’a al-Ma’a>ni, jilid XII. Beirut: Da>r al-Fikr, tt.
Ambadar, Jackie. Menentukan Mitra Usaha. Jakarta: Bina Karsa
Mandiri, 2005.
Amien, Mappadjantji. Kemandirian Lokal: Konsepsi
Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dari
Perspektif Sains Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2005.
Ananta, Aris eds. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Pusat antar-
Universitas Bidang Ekonomi Universitas Indonesia, 1990.
Andaya, Barbara Watson. the Cloth Trade in Jambi and
Palembang during the 17th
and 18 th Centuries. New
York: tp. 1989.
Anderson. Enviromental Improvement Through Economic
Incentives: Resourch of Future. Amerika: Baltimore,
1977.
Anonimus. Penemuan Hari Jadi Kota Palembang. Palembang:
Humas Pemda Kotamadya Palembang, 1973.
Anshoriy, Nasruddin. Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi
Semangat Kebangsaan. Yogyakarta: LKiS, 2008.
Antonio, Muhammad Syafi‟i. Bank Syari’ah: Suatu Pengenalan
Umum. Jakarta: Tazkie Institut dan Bank Indonesia, 1999.
_______. Bank Syari’ah: dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema
Insani Press, 2001.
Applebaum, Herbert. the Concept of Work: Ancient, Medieval, and
Modern. Albany: Univ. of New York Press 1992.
Arief, Sritua. Ekonomi Kerakyatan Indonesia: Mengenang Bung
Hatta, Bapak Ekonomi Kerakyatan Indonesia. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002.
Arifin, Ki Agus Zainal. Songket Palembang: a Resplendent
Tradition Woven with Devout Passions. Jakarta: Dian
Rakyat, 2006.
_______. “Negeri di Tepi Sungai Musi”. dalam Songket
Palembang: Indahnya Tradisi di tenun Sepenuh Hati
(Songket Palembang: a Resplendent Tradition Woven with
Devout Passions). Jakarta: Dian Rakyat, 2006.
Arifin, Syamsul et.al. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa
Depan. Yogyakarta: Sipress, 2000.
Armiadi. Zakat Produktif: Solusi Alternatif Pemberdayaan
Ekonomi Umat. Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2008.
Arnold, Roger A. Micro Economics. Princeton, N.J.: Recording for
the Blind and Dyslexic, 2008.
Asqala>ni>. Fath al-Ba>ri> Syarh Shahi>h al-Bukha>ri. Da>r al-
Kutub alIlmiyyah, Bairut, 1997, juz I.
Asyarie, Musa. Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi
Umat. Yogyakarta: Lesfi, 2000.
At}iyah, Jamaluddin. Nahwa Taf’i>l al Maqa>sid. Beirut: Da>r
al-Kutub al-Arabiah, 2003.
Atmosoeprapto, Kisdarto. Temukan Kembali Jati Diri Anda.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004.
Ayub, Muhammad. Understanding Islamic Finance. Hoboken, NJ:
John Wiley and Sons, 2007.
Aziz, H Moh Ali. Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma
Aksi Metodologi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren atas
Kerjasama dengan Dakwah Press, Fakultas Dakwah, IAIN
Sunan Ampel Surabaya: Distribusi, LKiS Pelangi Aksara,
2005.
Ba>‟ly, Abdul Ha>mid Mahmu>d. al-Madkha>l li al-Fiqhi al
Banu>k al-Isla>miyah. Cairo: al-Ma‟had al-Dauli li al-
Bunu>k wa al-Iqtis}a>di al-Isla>miah, 1983.
Ba>qi, Muhammad Fu‟ad Abdul. al-Mu’ja>m al-Mufahras li
alfa>z al-Qur’a>n al-Kari>m. Mesir: Da>r al-Fikr, 1981.
Babarti>, Akmaluddin Muhammad ibn Mahmu>d. al-Ina>yah
Ma’a al-Hida>yah biha>s}iati Fathi al-Qa>dir. Mesir:
Maktabah Must}afa al-Ba>bi al-Halaby, 1970.
Bablali>, Mahmu>d Muhammad. al-Kasbu wa al-infa>q wa
ada>lat al-Tauzi>’ fi> al-Mujtama’ al-Isla>mi>. Beirut:
Maktab al-Isla>mi>, 1988.
Bachtiar, Harsya W. Menuju Indonesia yang Demokratis, Adil dan
Pluralis. Jakarta: Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa,
2002.
Baharuddin. Negara dan Sistem Perekonomian dalam Pemikiran
Ibnu Taimiyah dan Adam Smith. Mataram, Yayasan
Cerdas Press, 2006.
Bakrie, Aburizal. Merebut Hati Rakyat Melalui Nasionalisme,
Demokrasi, dan Pembangunan Ekonomi: Sumbangan
Pemikiran Aburizal Bakrie. Jakarta: Primamedia Pustaka,
2004.
Bal, Mieke. Travelling Concepts in the Humanities: a Rough
Guide. Toronto: Univ. of Toronto Press, 2002.
Bar‟i, Muhammad Khali>k dan Ali Hafi>z Manshu>r.
Muqaddimah fi> Iqt}is}a>diyyah al-Nuqu>d wa al-
Bunu>k. Kairo: Maktabah al-Shuru>q}, tt.
Barazangi, Nimat Hafez. Islamic Identity and the Struggle for
Justice. Gainesville: Univ. Press of Florida 2000.
Barr, N. Economics of the Welfare State. New York: Oxford
University Press, 2004.
Barro, Robert J. dan Xavier Sala-i-Martin. Economic Growth.
Cambridge. Mass.: MIT Press, 2003.
Barsamian, David dan Siok Lian Liem. Beyond Boundaries.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Bart, Bernhard et.al. Revitalisasi Songket Lama Minangkabau.
Padang: Studio Songket ErikaRianti, 2006.
Basri, Faisal dan Haris Munandar. Lanskap Ekonomi Indonesia;
Kajian dan Renungan Terhadap Masalah-Masalah
Struktural, Transformasi Baru dan Prospek Perekonomian
Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Basri, Ikhwan Abidin. Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik.
Solo: Aqwan, 2008.
Baswir, Revrisond. Agenda Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Institute of
Development and Economic Analysis, 1997.
_______. Koperasi Indonesia. Jogjakarta: BPEF, 2000.
Bathaniyah, Muhammad D{aifullah. fi> Ta>ri>kh al-Had}arah al-
Arabiyah al-Isla>miyah al Haya>t al-Iqtis}a>diyah fi>
s}adr al-Isla>m. Oman: Da>r al-Furqa>n, 2000.
Batra, Raveendra N. Progressive Utilization Theory: Prout: an
Economic Solution to Poverty in The Third World.
Philippines: Ananda Marga Publications, 1989.
_______. the Crash of the Millennium: Surviving the Coming
Inflationary Depression. New York: Harmony Books,
1999.
Baumol, William J. dan Alan S Blinder. Economics: Principles and
Policy. Mason, Ohio: Cengage Learning, 2009.
Benne, Robert. the Ethic of Democratic Capitalism a Moral
Reassessment. Philadelphia: Fortress Press, 1981.
Bennett, James. Crescent Moon: Islamic Art and Civilisation in
Southeast Asia. Adelaide: Art Gallery of South Australia,
2005.
Bernal, J.D. the Emergence of Science. Cambridge: MIT Press,
2000.
Best, Steven dan Anthony J Nocella. Igniting a Revolution: Voices
in Defense of the Earth. Edinburgh: AK Press, 2006.
Binawan, Andang L. dan A. Prasetyantoko. Keadilan Sosial:
Upaya Mencari Makna Kesejahteraaan Bersama di
Indonesia. Jakarta: Kompas, 2004.
Bingham, Jane. Science and Technology. Chicago: Raintree, 2006.
Birch, Charles dan David Paul. Life and Work: Challenging
Economic Man. Sidney: UNSW Press, 2003.
Bisri, M. Cholil. Menuju Ketenangan Batin. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2008.
Black, Antony. Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi hingga
Masa Kini. Jakarta: Serambi, 2006.
Blakely, Edward J. dan Ted K Bradshaw. Planning Local
Economic Development: Theory and Practice. London:
Paul Chapman, 2002.
Blaug, Mark. Who's Who in Economics. Cheltenham: Elgar, 2003.
Boone dan Kurt, Contemporary Business. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat, 2007.
Bottomore, T. B. the Socialist Economy: Theory and Practice.
London: Harvester Wheatsheaf, 2000.
Bottomore, Tom dan Robert J Brym. the Capitalist Class: an
International Study. Hemel Hempstead: Harvester
Wheatsheaf, 1989.
Boulter, Nick et.al. Achieving the Perfect Fit: How to Win with the
Right People in the Right Jobs. Houston, Tex.: Gulf
Publication. Co., 2001.
Bragg, Steven M. Outsourcing: a Guide Toselecting the Correct
Business Unit Negotiating the Contractmaintaining
Control of the Process. Hoboken: Wiley, 2006.
Braudel, F. a History of Civilizations. New York: Penguin Books,
1993.
Brownlee, Malcom. Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan.
Jakarta: Gunung Mulia, 2004.
Buchanan, Allen E. Marx and Justice: the Radical Critique of
Liberalism. London: Methuen, 1982.
Buchanan, James M. ”The Supply of Labour and Extent of The
Market,” dalam Michal Frey. eds. Adam Smith’s Legacy:
His Place in the Development of Modern Economics,
London: Taylor and Francis e-Library, 2005.
Budiman, Arief et.al. Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah
Bunga Rampai. Jakarta: Erlangga, 1986.
Bull, Malcolm dan Keith Lockhart, Seeking a Sanctuary: Seventh-
Day Adventism and the American Dream. Bloomington:
Indiana University Press, 2007.
Burkholder, Nicholas C. Outsourcing: the Definitive View,
Applications and Implications. Hoboken, N.J.: Wiley,
2006.
Buzan, Tony. the Power of Spiritual Intelligence. Jakarta:
Gramedia, 2003.
Canterbery, E Ray. the Making of Economics. River Edge, N.J.:
World Scientific Pub., 2003.
Capelin, Joan. Communication by Design: Marketing Professional
Services. Atlanta: Greenway Communications, 2004.
Chalil, Ashjar dan Hudaya Latuconsina. Pembelajaran Berbasis
Fitrah. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Chang, Haa-Joon dan Ilene Grabel. Reclaiming Development: an-
Alternative Economic Policy Manual. New York: Zed
Books, 2004.
Chapra, M. Umer. Islam and the Economic Challenge. USA: The
Islamic Foundation and The International Institute of
Islamic Thought UK, 1992.
______. Islam and Economic Development: a Strategy for
Development with Justice and Stability. Islamabad,
Pakistan: International Institute of Islamic Thought:
Islamic Research Institute, 1993.
______. al-Isla>m wa al-Tahaddi> al-Iqtis}a>di>, terj. Arab
Muhammad Zuheir al-Samhuri>. Amma>n: al-Ma‟had al-
„a>lami>, li al-Fikr al-Isla>mi>, 1996.
______. Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Ikhwan Abidin.
Jakarta: Gema Insani, 2000.
______. the Future of Economics: an Islamic Perspective. Leicester:
The Islamic Foundation, 2000.
______. al-Qur’an Menuju Sistem Moneter yang Adil. Yogyakarta:
Dana Bakti Prima Yasa, 2003.
Chenery, William L. Industry and Human Welfare. New York:
Arno Press, 1977.
Cho, Dong-Sung dan Hwy-Chang Moon. from Adam Smith to
Michael Porter: Evolution of Competitiveness Theory.
Singapore: World Scientific, 2000.
Choudhury, Masudul Alam. Comparative Economic Theory:
Occidental and Islamic Perspectives. Boston: Kluwer
1999.
ChoudhuryI, Masudul Alam. Islamic Economic Co-Operation.
Basingstoke: Macmillan, 1989.
Clarke, Matthew dan Sardar M N. Islam Economic Growth and
Social Welfare: Operationalising Normative Social
Choice Theory. Boston: Elsevier, 2004.
Cramme, Olaf dan Patrick Diamond. Social Justice in the Global
Age. USA: Polity Press, 2009.
Craven, Bruce D. dan Sardar M N Islam. Optimization in
Economics and Finance. New York: Springer, 2005.
Cudd, Ann E. Analyzing Oppression. New York: Oxford
University Press, 2006.
Cutler, Anthony. Marx's 'Capital' and Capitalism Today. London:
Routledge, 1978.
Daft, Richard L. Organization Theory and Design. Mason, Ohio:
South-Western Cengage Learning, 2010.
Dahlan. Sejarah Ringkas Museum Sumatera Selatan. Palembang:
Penerbit Proyek Pengembangan Permuseuman Sumatera
Selatan, 1984.
Daniel, Teresa A dan Gary S. Metcalf. The Management of People
in Mergers and Acquisitions. Westport, Conn.: Quorum
Books, 2001.
Darmaputera, Eka. Pancasila and the Search for Identity and
Modernity in Indonesian Society: a Cultural and Ethical
Analysis. Leiden: E.J. Brill, 1988.
Darwin. Model-Model Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah.
Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, 2003.
David N. dan Michael Veseth. Introduction to International
Political Economy. New Jersey: Pearson Education Inc,
2005.
Davidson, Carl. Solidarity Economy: Building Alternatives for
People and Planet. London: Changemaker Publications,
2001.
Davis, John Bunnell. the Social Economics of Human Material
Need. Carbondale u.a. Southern Illinois Univ. Press 1994.
Dean, John. Business Networks and Strategic Alliances in Australia.
Australia: Department of Industry, Science and Tourism,
Australia, 1997.
Deliarnov. Ekonomi Politik. Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006.
Departemen Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah. Ekonomi
Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi. Jakarta:
Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah,
Republik Indonesia, 2003.
Departemen Perdagangan RI. Program Kerja Pengembangan
Industri Kreatif Nasional 2009-2015. Jakarta: Departemen
Perdagangan RI, Kelompok Kerja Indonesia Design
Power-Departemen Perdagangan, 2010.
Dessler. Human Resource Management. New Jesrey: Hall Inc,
2000.
Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan
Perasuransian Syari’ah di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2004.
Dillon, Michele. Introduction to Sociological Theory: Theorists,
Concepts, and Their Applicability to the Twenty-First
Century. Chichester, U.K.; Malden, MA: Wiley-
Blackwell, 2010.
Djafri, Chamroel. Gagasan Seputar Pengembangan Industri dan
Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil. Jakarta: Asosiasi
Pertekstilan Indonesia (API) dan Cidesindo, 2003.
Djamarin. Pengetahuan Barang Tekstil. Bandung: ITT Bandung,
1977.
Djamil, Fathurrahman. “Akad dan Aspek Legalitas dalam
Transaksi Ekonomi Syariah”, Naskah ajar. Jakarta:
Sekolah Pascasarjana UIN Syahid, 2010.
Djoemena, Nian, S. Lurik: Garis-Garis Bertuah. Jakarta:
Djambatan, 2000.
Djojohadikusumo, Soemitro. Perkembangan Pemikiran Ekonomi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Dobb, Maurice. Theories of Value and Distribution Since Adam
Smith: Ideology and Economic Theory. Cambridge:
Cambridge, 1973.
Dofa, Anesia Aryunda. Batik Indonesia. Jakarta: Golden Terayon
Press, 1996.
Dunning, John H. Making Globalization Good: the Moral
Challenges of Global Capitalism. Oxford: Oxford
University Press, 2003.
Duwaisy, Ahmad bin Abdurrazaq. Fatwa Jual Beli oleh Ulama-
Ulama Besar Terkemuka. Jakarta: Pustaka Imam Syafei,
2006.
Dwivedi, D.N. Microeconomis: Theory and Application.
Singapore: Perason Education, ltd, 2008.
Draper, Brian. Spiritual Intelligence: a New Way of Being. Oxford:
Lion, 2009.
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21. Bandung: Alfabeta,
2005.
Elfindri. Strategi Sukses Membangun Daerah. Jakarta: Gorga
Media, 2008.
Emmett, Ross B. Research in the History of Economic Thought and
Methodology a Research Annual. Emerald Group Pub Ltd,
2009.
Esposito, John L. dan John Obert Voll. Makers of Contemporary
Islam. Oxford: Oxford University Press, 2001.
Essid, Yassine. a Critique of the Origins of Islamic Economic
Thought. Leiden: Brill, 1995.
Fagen, Richard R. Capitalism and the State in U.S.-Latin American
Relations. Stanford, Calif.: Stanford University Press,
1979.
Fakhr, Saqr Abu. al-Di>n wa al-Dahma wa al-Dam. Beirut: al
Muassasah al-Arabiyah lil-Dira>sat wa-al-Nashr, 2007.
Fauroni, R Lukman et.al. Etika Bisnis dalam Al-Qur'an.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006.
Fauzan, Uzair dan Heru Prasetyo. Teori Keadilan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006.
Fauzi, Akhmad. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan:
Teori dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia, 2004.
Fine, Lawrence G. the Swot Analysis: Using Your Strength to
Overcome Weaknesses, Using Opportunities to Overcome
Threats. London: CreateSpace, 2009.
Florida, Ricard. Cities and the Creative Class. New York:
Routledge, 2005.
Franklin, Charles Kendall. the Socialization of Humanity: an
Analysis and Synthesis of the Phenomena of Nature, Life,
Mind and Society Through the Law Of Repetition; a
System of Monistic Philosophy. USA: C.H. Kerr and
Company, 1904.
Frederick, Robert E. Business Ethics: Readings and Cases in
Corporate Morality. New York: McGraw-Hill, 2001.
Freedman, Craig. Economic Reform in Japan: Can the Japanese
Change?. Cheltenham, UK Elgar 2001.
Freeman, Samuel Richard. the Cambridge Companion to Rawls.
Cambridge: Cambridge University Press, 2003.
Friedrich, Carl Joachim. Filsafat Hukum Perspektif Historis.
Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004.
Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris
hingga Emansipatoris. Yogyakarta: LkiS, 2005.
Galbraith, Jhon K. the New Industrial State. New York: New
American Library, 2000.
_______. Organizations: Behavior Structure Process. America:
McGraw International Edition, 2006.
Galtung, Johan and Sohail Inayatullah eds. Macrohistory and
Macrohistorians: Perspectives on Individual, Social and
Civilizational Change. Wesport: Ct. Praeger, 1997.
Geertz, Clifford. Agricultural Involution the Process of Ecological
Change in Indonesia. Berkeley: University of California
Press 2000.
Ghazali, Abdel Hamid. Man is the Basis of the Islamic Strategy for
Economic Development. Jeddah: Islamic Research and
Training Institute Islamic Development Bank, 1994.
Giacalone, Robert A dan Carole L Jurkiewicz. Handbook of
Workplace Spirituality and Organizational Performance.
Armonk, N.Y.: M.E. Sharpe, 2010.
Ginsberg, Morris. Keadilan dalam Masayarakat. Bantul: Pondok
Edukasi, 2003.
Gittinger, Mattiebelle. to Speak with Cloth: Studies in Indonesian.
USA: Museum of Cultural History, University of
California, 1989.
Gittinger, Mattiebelle dan H. Leedom Lefferts. Textiles and the
Tai Experience in Southeast Asia. Washington, D.C.:
Textile Museum, 1992.
Graffin, Ricky. W. dan Ronald. J. Ebert. Bisnis, alih bahasa oleh
Wardani. Jakarta: Erlangga, 2010.
Greenspan, Alan. Abad Prahara: Ramalan Kehancuran Ekonomi
Dunia Abad ke-21. Jakarta: Gramedia, 2007.
Gregor, Anthony James et.al. Ideology and Development. Berkeley:
Inst. of East Asian Studies, Univ. of Calif., Center for
Chinese Studies, 1981.
Gunadi. Pengetahuan Dasar tentang Kain-kain Tekstil dan
Pakaian Jadi. Jakarta: Yayasan Pembinaan Keluarga UPN
Veteran, 1984.
H}asani, Shaikh „Abd al-Qa>dir al-Jaila>ni. al-Ghunyah li T}a>lib
T{a>riq al-Haqq fi> al-Akhla>q wa al-Tas}awwuf wa al-
Ada>b al-Isla>miyyah. Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah,
t.t., juz I.
Ha>syim, Isma>‟i>l Muhammad dan Shari>kuhu>. Usus ‘Ilmu al-
Iqtis}a>d. Kairo: Da>r al-Nahd}ah al-„Arabiyah, 1976.
Haakonssen, Knud. the Cambridge Companion to Adam Smith.
Cambridge: Cambridge University Press, 2006.
Haeruman, Herman dan Eriyanto. Kemitraan dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal: Bunga Rampai. Jakarta:
Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota, 2001.
Hafiduddin, Didin. Islam Aflikatif. Jakarta: Gema Insani, 2004.
Hafner, Robert W. Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal,
Kapitalisme dan Demokrasi,. Yogyakarta: LKiS, 2000.
Hakim, Budi Rahman. Rethinking Sosial Work Indonesia. Jakarta:
Wahana Semesta Intermedia, 2010.
Halim, Fachrizal A. Beragama dalam Belenggu Kapitalisme.
Magelang: IndonesiaTera, 2002.
Hami>d, Maji>d. Atsaru al-Mas}lahah fi> al-Shari>’at. Jordaniah:
al-Da>r al-I‟lmiyyah al-Dauliyah wa Da>r li an-Nasr wa
al-Tauzi‟, jilid I, 2002.
Hanafi, Mamduh M. Manajemen. Yogyakarta: UPP AMPYKM, tt.
Haneef, Mohamed Aslam. Contemporary Islamic Economic
Thought: a Selected Comparative Analysis. Malaysia:
Selangor Ikraq 1995.
Haq, Hamka. al-Shat}hibi Aspek Teologis Konsep Mashlahah
dalam Kitab al-Muwafaqat. Jakarta: Erlangga, 2007.
Haq, Mahbub. Islam Property and Income Distribution. Leicester
UK: The Islamic Foundation, 1991.
Haque. Riba: the Moral Economy of Usury, Interest, and Profil.
Kuala Lumpur: S. Abdul Majeed and CO, 1995.
Harahap, Sofyan Syafri. Teori Akuntansi. Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2003.
Harsoyo, Y. Ideologi Koperasi Menatap Masa Depan. Yogyakarta:
Penerbit Universitas Sanata Dharma Bekerjasama dengan
Penerbit Pustaka Widyatama, 2006.
Hartono, M Dimyati. Problematik dan Solusi Amandemen Undang-
Undang Dasar 1945. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2009.
Hartono, Tony. Mekanisme Ekonomi dalam Konteks Ekonomi
Indonesia. Bandung: Rosdakarya, 2006.
Harukiyo, Hasegawa dan Glenn D. Hook. Javaness Bussines
Management: Rectruturing for Low Growth and
Globalization. London: Routledge, 2002.
Haryadi, Dedi. Tahap Perkembangan Usaha Kecil: Dinamika dan
Peta Potensi Pertumbuhan. Bandung: AKATIGA, 1998.
Hasan, Ahmad. Mata Uang Islami: Telaah Komprehensif Sistem
Keuangan Islami. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
Hasan, Ahmad Yusuf dan Donald Routledge Hill. Islamic
Technology: an Illustrated. Cambridge: Cambridge
University Press, 1992.
Hasan, Zubair, “Profit Maximization: Secular versus Islamic”.
dalam Sayyid Taher eds. Reading in Microeconomics: an
Islamic Perspective. Kuala Lumpur: Longman Malaysia,
2000\.
Hasibuan, S. Case Study of Muslim-managed Organizations, the
Case of Indonesian Development Agenda. Jakarta:
Fakultas Ekonomi Universitas Al Azhar, 2006.
Hatta, Mohammad. Pengertian Pancasila. Jakarta: Idayu Press,
1977.
______. Ekonomi Terpimpin. Jakarta: Penerbit Mutiara, 1979.
______. Pengembangan Usaha Kecil: Salah Satu Aspek Ekonomi
Terpimpin. Jakarta: Idayu, 1979.
______. Ilmu dan Agama. Jakarta, Yayasan Idayu, 1983.
Hayek. “Price Expectations, Monetary Disturbances, and
Malinvestments”. dalam Profits, Interest, and Investment.
New York: Augustus M. Kelley, 1975.
Henda, Riza Prima. Kemiskinan dan Kemandirian: Catatan
Perjalanan dan Reneksi Bina Swadaya. Jakarta: Yayasan
Bina Swadaya, 2003.
Hendrawan, Saneya. Spritual Management: from Personal
Enlightman to Words God Corporate Govermance.
Jakarta: Mizan, 2009.
Hendro, E.P. Ketika Tenun Mengubah Desa Troso. Semarang:
Bendera, 2000.
Hennon, Charles B. dan Suzanne Loker Rosemary Adams Walker.
Gender and Home-Based Employment. Westport, Conn:
Auburn House, 2000.
Herman, V.J. Seni Ragam Hias pada Kain Tenun. Mataram:
Depdikbud, 1990.
Heron, Robert. Administrasi Ketenagakerjaan. Jakarta: Kantor
Perburuhan Internasional, 2002.
Huda, Machwal. Etos Kerja, Kebijaksanaan Pembinaan dan
Perkembangan Industri Kecil: Studi Kasus INTAKO.
Jogakarta: Universitas Gadjah Mada, 2006.
Hughes, Arthur Middleton. Strategic Database Marketing: the
Masterplan for Starting and Managing a Profitable,
Customer-Based Marketing Program. New York:
McGraw-Hill, 2005.
Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Surabaya: Bayumedia Publishing, 2006.
Ikram, Achadiati. Jati Diri yang Terlupakan: Naskah-Naskah
Palembang. Palembang: Yanassa, 2004.
Iljas, Achjar. Reformasi Sistem Pembiayaan Usaha Kecil. Jakarta:
Global Mahardika, 2004.
Inayatullah, Sohail dan Jennifer Fitzgerald, eds. Transcending
Boundaries: Prabhat Rainjan Sarkar's Theories of
Individual and Social Transformation. Maleny, Australia:
Gurukul Publications. 1999.
Inayatullah, Sohail. Understanding Sarkar: the Indian Episteme,
Macrohistory and Transformative Knowledge. Leiden:
Brill, 2002.
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. Metodologi Penelitian
Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta:
BPFE-UGM, 2002.
Ingham, Geoffrey K. Capitalism. Cambridge, UK; Malden, MA:
Polity Press, 2008.
Intan, Benyamin Fleming. Public Religion and the Pancasila Based
State of Indonesia an Ethical and Sociological Analysis.
New York: Oxford Lang, 2006.
Iqbal, Muhammad. the Reconstruction of Religious Thought in
Islam. Lahore: Sang-E-Mell Publications, 2004.
Ismail, Siti Zainon. Tekstil Tenunan Melayu: Keindahan Budaya
Tradisional Nusantara. Malaysia: Dewan Bahasa dan
Pustaka, Kementerian Pendidikan, 1994.
Jadjuli, Suroso Imam. Reformasi Ilmu Pengetahuan dan
Pembangunan Masyarakat. Surabaya: Pascasarjana
Universitas Airlangga, 2007.
Ja'far, Marwan. Infrastruktur pro Rakyat: Strategi Investasi
Infrastruktur Indonesia Abad 21. Yogyakarta: Pustaka
Tokoh Bangsa, 2007.
Jalaluddin. Petunjuk Kota Palembang dari Manua ke Kotamadaya.
Palembang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tk-
II, 1992.
Jalil, Abdul. Teologi Buruh. Yogyakarta: LKiS, 2008.
Jaw‟a>ni, Muhammad Najib Hamadi. D}awa>bit al-tija>rah fi>
al-iq}tisa>d al-Isla>mi. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah,
2005.
Jespersen, Birgit Dam. Supply Chain Management: in Theory and
Practice. Copenhagen: Business School Press, 2005.
Jhingan, ML. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta:
Rajawali Pres, 2000.
John. Hartley Creative Industries. Malden, Mass.: Blackwell, 2006.
Junaidi, Heri. “Efektifitas Perjanjian Akte di Bawah Tangan Usaha
Songket Palembang dalam Perspektif Fiqh Muamalah”.
Palembang: Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Fatah
Palembang, 1997.
______eds. Fiqh Zakat Sumatera Selatan. Jogjakarta: Gama Media,
2004.
______. Fiqh Muamalah Kontemporer. Palembang: IAIN RF,
2008.
______. Nilai Filosofis Wong Kito Galo: Studi Penelusuran Sikap
Pluralis Masyarakat Kota Palembang. Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang Dan
Diklat Departemen Agama RI, 2009\.
Jusmaliani. Kajian Teori Ekonomi dalam Islam: Kebijakan dalam
Perekonomian Islam. Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2004.
Kahf, Monzer. “a Contribution to the Theory of Consumer
Behavior in an Islamic Society”. dalam Studies in Islamic
Economics, eds. Khursid Ahmed. America, Leicester: The
Islamic Foundation 1980.
Kahin, George McTurnan. Nationalism and Revolution in
Indonesia. Ithaca, NY: Cornell Southeast Asia Program,
2003.
Karim, Adiwarman A. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer.
Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
______. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: IIIT Indonesia, 2003.
______. Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan (Teori, Praktek, dan
Realitas Ekonomi Islam). Yogyakarta: Magistra Insania
Press, 2004.
Kartiwa, Suwati. Kain Songket Indonesia. Jakarta: Djambatan,
1996.
______. Tenun Ikat: Ragam Kain Tradisional Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Keester, Paul Heinze. Tokoh-Tokoh Ekonomi Mengubah Dunia.
Jakarta: Gramedia, 1987.
Keraf, Sonny. Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Kha>dimi, Nur al-Di>n Mukhta>r. al-Ijtiha>d al-Maqa>s}id.
Qatar: Wiza>rat al-Awqa>f wa al-Syuu>n al-Isla>miyah,
2003.
Korten, David C. the Post-Corporate World; Life after Capitalism.
London: Mc.Grow-Hill, 2000.
Kropp, Erhard W. dan B R. Quinones. Financial System
Development in Support of People's Economy. Bangkok:
APRACA Publications, 1992.
Kuhn, T.S. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The
University of Chicago Press, 1996.
Kuncoro, Mudrjat. Ekonomika Industri Indonesia: Menuju Negara
Industri 2030?. Yogyakarta: Andi, 2007.
Kuntowijoyo dan A. E. Priyono. Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi. Bandung: Mizan, 2008.
Kuo, Cheng Tian. Global Competitives and Industrial Growth in
Taiwan and Philippines. USA: University of Pitsburgh
Press, 1995.
LAN. Beberapa Catatan Kecil Menyongsong dan Melewati 2004:
Fokus dan Solusi Menuju Terwujudnya Good
Governance. Jakarta: LAN, 2003.
Lauren, Diane Wolf. Factory Daughters: Gender, Household
Dynamics, and Rural Industrialization in Java. California:
University of California Press. Berkeley, 1992.
Leeuwen, Bas van. Human Capital and Economic Growth in India,
Indonesia, and Japan: a Quantitative Analysis, 1890-
2000. The Netherlands: Universiteit Utrecht, 2007.
Lin, Nan. Social Capital: a Theory of Social Structure and Action.
New York: Cambridge University Press, 2007.
Lindawati, “Songket: Simbol Kekuatan Budaya Lokal.” Tesis.
Malaysia: Universitas Kebangsaan Malaysia, 2004.
Lombard, Murice. the Golden Age of Islam. New York: Markus
Wiener Publishers, 2003.
Lunati, M. Teresa. Ethical Issues in Economic: from Altruism to
Cooperation to Equity. London: Mac Millan Press, 1997.
Lyotard, Jean F. The Postmodern Condition. USA: Manchester
University Press, 1984.
Ma‟luf, Lois. al-Munji>d fi> al-Lughah wa al-‘A’la>m. Beirut:
Da>r al Masyri>q, 1987.
Macdonald, Lynda A C. Managing Fixed-Term and Part-Time
Workers: a Practical Guide to Employing Temporary and
Part-Time Staff . London: Tolley, 2003.
Machendrawaty, Nanih dan Agus Ahmad Safei. Pengembangan
Masyarakat Islam: dari Ideologi, Strategi, sampai Tradisi.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Madjid, Baihaqi Abd dan Saifuddin, Rasyid. Paradigma Baru
Ekonomi Kerakyatan Sistem Syari'ah: Perjalanan
Gagasan dan Gerakan BMT di Indonesia. Jakarta: Pusat
Inkubasi Bisnis Usaha Kecil, 2000.
Mahmud, Amir. Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual
Muslim Indonesia. Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005.
Mannan, Muhammad Abdul. the Frontiers of Islamic Economics.
Delhi: Ida>rah Adabiyyati Delli, 1984.
_______. the Making of Islamic Economic Society: Islamic
Dimensions in Economic Analysis. Kairo, Egypt:
International Association of Islamic Banks; Turkish
Federated State of Kibris, Turkish Cyprus: International
Institute for Islamic Banking and Economics, 1984.
_______. Islamic Economic: Theory and Practice. Hounder and
Stouhgten, Ltd, 1992.
_______. Ekonomi Islam: Teori dan Praktek. terjemah.
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2006.
Marcus, Alfred Allen. Management Strategy: Achieving Sustained
Competitive Advantage. New York: McGraw-Hill Irwin,
2005.
Martodireso, Sudadi dan Widada Agus Suryanto. Agribisnis
Kemitraan Usaha Bersama: Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Petani. Jogjakarta: Kanisius, 2002.
Martone, Michael. Flatness and Other Landscapes. Athens: Univ
Of Georgia Press, 2003.
Mass, Michael. Readings in Late Antiquity: a Sources Book. USA
and Canada: Rouldge, Inc, 2000.
Mas'ud. Abdurrachman. Menuju Paradigma Islam Humanis.
Yogyakarta: Gema Media, 2003.
Masyhuri. Kajian Teori Ekonomi dalam Islam. Jakarta: Pusat
Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, 2003.
_____. Ekonomi Mikro. Malang: UIN Malang, 2004.
Maurer, Bill. Mutual Life, Limited: Islamic Banking, Alternative
Currencies, Lateral Reason. Princeton, N.J.: Princeton
University Press, 2005.
Maxwell, Robyn. Textiles of Southeast Asia: Tradition, Trade and
Transformation. Singapore: Periplus, 2003.
McHenry, Leemon. Science and the Pursuit of Wisdom: Studies in
the Philosophy of Nicholas Maxwell. Frankfurt: Ontos,
2009.
McLaren, Peter. Capitalists and Conquerors: a Critical Pedagogy
Against Empire. Lanham, MD: Rowman And Littlefield
Publishers, 2005.
Mehmed, Ozay. Islamic Identity and Development: Studies of the
Islamic Periphery. New York: Chapman and Hall Inc,
2001.
Mentzer, John Tom. Supply Chain Management. California: Sage
Publ., 2001.
Miyamoto, Sadao. Introduction to Prout: a Spiritual Socio-
Economic Theory. Bellingham, Wash.: Huxley College of
Environmental Studies, Western Washington University,
1982.
Morris, Brian. Western Conceptions of the Individual. New York;
Oxford: Berg, 1999.
MS, Sinis Munandar. Program Pemberdayaan Ekonomi
Kerakyatan melalui Pembangunan Sumber Daya Manusia
dan Pelayanan Keuangan Mikro. Jakarta: Badan
Pengembangan SDM, Departemen Pertanian, 2002.
Mubyarto. Teori Ekonomi dan Penerapannya di Asia. Jakarta:
Gramedia, 1981.
_______. Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan.
Yogyakarta: LP3ES, 1987.
_______.Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES,
1988.
_______. Ekonomi Rakyat dan Program IDT. Yogyakarta: Aditya
Media, 1996.
_______. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Yogyakarta: Aditya
Media, 1998.
_______.Reformasi Sistem Ekonomi: dari Kapitalisme Menuju
Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta: Aditya Media, 1998.
______.Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi.
Yogyakarta: Aditya Media, 2001.
______. Etika, Agama dan Sistem Ekonomi. Jakarta: YAE-Bina
Swadaya, di Financial Club, 2002.
______. Ekonomi Pancasila: Renungan Satu Tahun PUSTEP
UGM. Yogyakarta: PUSTEP UGM, 2003.
Muhammad, Ahmad. Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam
Ekonomi Islami. Jakarta: Salemba Empat, 2002.
Muhammad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Yogyakarta:
BPFE, 2004.
______. Permasalahan Agency dalam Pembiayaan Mudharabah
pada Bank Syariah di Indonesia. Disertasi. Yogyakarta:
UII Yogyakarta, 2005.
Mull, Steve et.al. the Cotton History. Kansas City: Walsworth
Publishing Company.
Muller, Jerry Z. the Mind and the Market: Capitalism in Modern
European Thought. New York: Alfred A. Knopf, 2002.
al-Munawar, Said Aqil Husin dan Abdul Halim. al-Qur'an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat
Press, 2002.
Muqrin, Khālid ibn Sad ibn Muhammad. Awa>bi al-intaj fi> al-
iqtia>d al-isla>mi> wa-atharuha> alá al-inta>j wa-al-
inta>ji>yah. al-Riyād: al-Mamlakah al-Arabīyah al-
Sa‟ūdīyah, Wizārat al-Ta‟līm al-Āli>, Jāmi‟at al-Imām
Muhammad ibn Sa‟ūd al-Islāmīyah, 2004.
Muslih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi. Ma> la Yasa’ al-ta>jira
Jahluhu>. diterjemahkan oleh Abu Umar Basyir. Fiqh
Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Dar al-Haq, 2008.
Myint, Deepak Lal, H. the Political Economy of Poverty, Equity
and Growth. London: Oxford Press, 1999.
Myrdal, Gunnar. the Political Element in the Development of
Economic Theory. London: Routledge and Kegan Paul,
Ltd, 2002.
Nabhani, Taqyuddin. an-Nidzam al-Iqtis}a>di fi al-Isla>m. Beirut:
Darul Ummah, 1990.
Naim, Ahmed. "Syari'ah and Basic Human Rights Concerns",
dalam Liberal Islam: a Sourcebook, eds. Charles
Kurzman. Oxford: Oxford University Press, 1998.
Naqvi, Syed Nawab Haider. Islam, Economic, and Society.
London: Kegan Paul International, 1993.
_____. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.
Nasr, Husein. Islamic Work Ethics. England: Hamdard Islamicus,
tt.
Nasr, Sayyed Hossein dan Oliver Leaman. Routledge History of
World Philosophies. USA and Canada: Rouldge, Inc,
2002.
Natsir, Muhammad. Islam dan Pancasila: Konstituante 1957.
Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001.
Nazir, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia,
2003.
Nee, Victor. on Capitalism. Stanford: Calif. Stanford Univ. Press,
2007.
Nelson, Alan E. Spiritual Intellegence: Discover Your SQ Deepen
Your Fath. USA: Baker Publishing Group, 2010.
Nugroho, Heru. Globalisasi dan Tantangan Daya Saing Indonesia.
Jakarta: LIPI Press, 2005.
Nusantara, A Ariobimo dan R Masri Sareb Putra. Keadilan dalam
Masyarakat: Kajian dan Renungan Sosial bagi Komunitas
Basis. Jogjakarta: Kanisius, 2007.
Oetama, Jakob. Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2001.
Okezie, B. Onuma dan Vladimir Podsolonko. Strengthening
Teaching and Outreach Capabilities in Business and
Management Education at Tavrida National University,
Ukraine, Under a Market-oriented Economy: the Final
Report. Alabama: A and M University, 2004.
Olson, Mancur. Kebangkitan dan Kemerosotan Perkembangan
Bangsa-Bangsa: dari Pertumbuhan Ekonomi ke Stagnasi-
Inflasi dan Kemandegan Sosial. Rajawali: Jakarta, tt.
Pangestu, Mari Elka et.al. Studi Industri Kreatif Indonesia. Jakarta:
Departemen Perdagangan RI, 2008.
Pareto, Vilfredo dan Hans L Zetterberg. the Rise and Fall of Elites:
an Application of Theoretical Sociology. New Brunswick,
N.J.: Transaction Publishers, 1991.
Parker, Phillip M. Utilization: Webster’s Quatations, Facts and
Phrases. California: Icon Group, Inc..
Partomo, Tiktik Sartika. Ekonomi Koperasi. Jogjakarta: BPEF,
2008.
Paton, Rob dan James McCalman. Change Management: a Guide
to Effective Implementation. London: SAGE, 2008.
Perwataatmadja, Karnaen A. Membumikan Ekonomi Islam di
Indonesia. Jakarta: Usaha Kami, 1996.
Pindyck, Robert S. dan Daniel L. Rubinfeld. Microeconomics. New
Jersey: Prentice-Hall Inc., 2007.
Porritt, Jonathon. Capitalism as if the World Matters. Sterling, VA:
Earthscan, 2007.
Poser, Timo B. the Impact of Corporate Venture Capital:
Potentials of Competitive Advantages for the Investing
Company. Wiesbaden: Deutscher Universitats-Verlag,
2003.
Posner, R.A. the Problem of Jurisprudence. Cambridge: Harvard
University Press, 1990.
Post, Emily. Etiquette in Society, in Business, in Politics and at
Home. New York: Cosmo Classics, 2007.
Prasetyo, Eko. Upah dan Pekerja. Yogyakarta: Resist Book, 2006.
Prasetyantoko, A. Bencana Finansial: Stabilitas sebagai Barang
Publik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008.
_______. Krisis Finansial dalam Perangkap Ekonomi Neoliberal.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009.
Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
Traditional Ceremony in Relation with Natural Event and
Belief of the People in Sumatera Selatan Region. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan
Nilai-Nilai Budaya, 2000.
Purba, R. Produktivitas Tenaga Kerja Industri Kecil: Studi Kasus
pada Industri Barang-barang Kulit di Manding,
Kabupaten Bantul. Yogyakarta: UGM, 1990.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, UII
Yogyakarta. Ekonomi Islam. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2008.
Putra, Murasa Sarkani. Adil dan Ihsan dalam Perspektif Ekonomi
Islam. Jakarta: P3EI, 2004.
Qalahji, Muhammad Rawwas. Maba>his fi> al-Iqtis}a>d al-
Isla>miy min Us}u>lihi al-Fiqhiyyah. Beirut: Da>r an-
Nafes, 2000.
Qarad}a>wi, Yusu>f. Da>r al-Qiya>m wa al-Akhla>q fi> al-
Iqtisha>di al-Isla>mi. Kairo: Maktabah Wahwah , 1995.
_______. al-Isla>m wa al-Ilmaniyah, Wajhan li Wajhin. Kairo:
Maktabah Wahbah, 2000.
_______. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. terj
Didin Hafidudin. Jakarta: Rabbani Press, 2001.
Qorashi, Baqir Sharief. Keringat Buruh, Hak dan Peran Pekerja
dalam Islam. Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2007.
Qudaimi, Nauwaf. Muhawarat: al-Isla>miyun wa-Aslat an-Nahda
al-Mua}qa. Beirut: al-Muassasa al-Arabiya li al-Dira>sat
wa-'n-Nasr, 2006.
Qureshi, Anwar. Islam and the Theory of Interest. Lahore: tp, 1970.
Qurtu>bi, Muhammad ibn Ahmad al-Ansho>ri. al-Ja>mi’ah li
Ahka>m al-Qur’a>n, juz. 33. Beirut: Da>r al-Qutb al-
„Ilmiyya, 1993.
Quthb, Sayyid. fî Zhila>l al-Qur’a>n. II. juz 3. Beirut: Dar al-
Syuruq, 1992.
Rachman, Ali M. A. Masyarakat Kecil dalam Era Global. Bangi:
Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 2000.
Rachmadi, Bambang N et.al. Franchising, the Most Practical and
Excellent Way for Succeeding: Membedah Tawaran
Franchise Lokal Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2007.
Rae, Jhon. Life of Adam Smith. New York: Cosimo, 2006.
Rahardjo, Dawam. Kapitalisme Dulu dan Sekarang. Jakarta: PT.
New Aqua Press, 1987.
_______. Etika Ekonomi dan Manajemen. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1990.
_______.Ensiklopedi al-Quran:Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.
_______. Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. Jakarta:
Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999.
_______. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: Aditya Media, 2004.
Rahardjo, M. Dawam dan Achmad Tirtosudiro. Pembangunan
Ekonomi Nasional: Suatu Pendekatan Pemerataan,
Keadilan, dan Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: Intermasa,
1997.
Rahman, Fazlur. Economic Doctrines of Islam. Lahore: Islamic
Publications, 1980.
_______. Islam and Modernity, Transformation of Intellectual
Tradition. Chicago: The University of Chicago Press,
1982.
_______. “Law and Ethics in Islam”. dalam Richard G. Hovanisian
eds. Ethics in Islam. California: Undena Publications
Malibu. 1985.
Rajan, Raghuram G. dan Luigi Zingales. Saving Capitalism from
the Capitalists: Unleashing the Power of Financial
Markets to Create Wealth and Spread Opportunity.
Princeton, NJ: Princeton University Press, 2004.
Ramad}a>n, Al-Bu>t}i>, Muhammad Sa‟i>d. D}awa>bit} al-
Mas}lahah fi> al-Shari>’ah al-Isla>miyah,. Beirut: Da>r
al-Muttahidah, 1992.
Rangkuti, Fredy. Business Plan: Teknik Membuat Perencanaan
Bisnis dan Analisis Kasus. Jakarta: Gramedia, 2001.
Rasuanto, Bur. Keadillan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls
dan Habermas: Dua Teori Filsafat Politik Modern.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Ratnawati, Latifah. “Kebudayaan Palembang”. dalam Jati Diri
yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang, Achdiati
Ikram. Palembang YANASSA, 2004.
Raysuni, Ahmad. Naz}ariyah al-Maqa>sid ‘inda al-Ima>m al-
Sha>tibi. Riyad}: Dar al-„Alamiyyah Kita>b al-Isla>mi,
1992.
Reksoprayitno, Soediyono. Ekonomi Makro: Analisis Islam dan
Permintaan-Penawaran Agregatif . Yogyakarta: Badan
Penerbit Fakultas Ekonomi, 2000.
Ridjaluddin, Nuansa-Nuansa Ekonomi Islam. Jakarta: Sejahtera,
2007.
Ridwan, Muhammad. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT).
Jogjakarta: Penerbit UII Press, 2004.
Rima, Inggrid H. Devolopment of Economics Analysis. London:
Routledge, 2001.
Rindjin, Ketut. Etika Bisnis dan Implementasinya. Jakarta:
Gramedia, 2004.
Rivai, Veithzal. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk
Perusahaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
_______. Islamic Human Capital dari Teori ke Praktek. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2009.
Rivai, Veithzal dan Andi Buchari. Islamic Economics: Ekonomi
Syari’ah bukan Opsi, tetapi Solusi. Jakarta: Bumi Aksara,
2009.
Riyanti, Sari Ade. “Makna Simbolis Kain Songket sebagai Simbol
Status.” Semarang: Fakultas Teknik, Teknologi Jasa dan
Produksi Busana, Universitas Negeri Semarang, 2006.
Rizq, Yunan Labib. Urubbah fi>’asr al-Ra’suma>liyah. Kairo:
Da>r al-Thaqa>fah al-Arabiyah, 2000.
Robert J. Barro. Getting it Right: Market and Choices in a Free
Society. USA: Massachusetts Institute of Technology,
1996.
Rodgers, Susan. Gold Cloths of Sumatra: Indonesia's Songkets
from Ceremony to Commodity. Leiden: KITLV Press;
Worcester, Mass: Iris and B. Gerald Cantor Art Gallery,
College of the Holy Cross, 2007.
Rodoni, Ahmad dan Abdul Hamid. Lembaga Keuangan Syariah.
Jakarta: Zikrul Hakim, 2008.
Rothbard, Murray N. Classical Economics. Hants.: Edward Elgar,
1995.
Rudito, Bambang. Akses Peran serta Masyarakat. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2003.
Ruky, Ahmad S. Manajemen Penggajian dan Pengupahan
Karyawan Perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2001.
S{ada>r, Muhammad Baqir. Islam and Schools of Economic,
penerjemah M. Hashem, Keunggulan Ekonomi Islam:
Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan Kerangka
Pemikiran Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Pustaka Zahra,
2002.
_______. Iqtis}aduna (Buku Induk Ekonomi Islam). penerjemah
Yudi. Jakarta: Zahra, 2008.
Sabirin, Syahril. Terobosan Pemulihan Ekonomi Indonesia.
Jakarta: Forum Kampus Kuning, 2002.
Sadoko, Isomo et.al. Pengembangan Usaha Kecil: Pemihakan
Setengah Hati. Bandung: Akatiga, 1995.
Saeed, Abdullah. Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi
Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis. diterjemahkan oleh Arif
Maftuhin. Jakarta: Paramadina, 2006.
Saefuddin, Ahmad Muflih. “Filafat, Nilai Dasar, Nilai
Instrumental, dan Fungsionalisasi Konsep Ekonomi
Islam.” dalam Solusi Islam atas Problematika Umat, Adi
Sasono, et.al. Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Sait, Siraj dan Land Hilary Lim. Law and Islam: Property and
Human Rights in the Muslim World. London: Zed Books,
2006.
Salam, Burhanuddin. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Penerbit
Bina Aksara, tt.
Salam, Izzuddin ibn Abd. Qawa>id al-Ahka>m fi> Masa>lih al-
Ana>m. Kairo: al-Istiqa>mat, t.t.
Saleh, Irsan Azhary. Industri Kecil: Pemihakan Setengah.
Bandung: Akatiga, 2000.
Salim, Arskal. Shari'a and Politics in Modern Indonesia.
Singapore: Inst. of Southeast Asian Studies, 2003.
Samuelson, Paul Anthony dan William D. Nordhaus. Economics.
Boston, Mass.: McGraw-Hill/Irwin, 2001.
Sardadi, Tina dan Amy Wira Budy. Seri Serasi dan Gaya Berkain.
Jakarta: Gramedia, 2007.
_______. Muslimah Berbusana Nusantra. Jakarta: Gramedia, 2009.
Sarkaniputra, Murasa. Proutist Economics: Discourses on
Economic Liberation. India: Ananda Marga Publications,
1991.
_______. Ruqyah Syar’iyyah: Teori, Model dan Sistem Ekonomi.
Jakarta: al-Ishalah, 2009.
Sarkar, Prabhat Ranjan. Varna Vijinana (The Science of Letters).
Calcutta: Ananda Marga Publications, 2003.
Sasono, Adi dan Achmad Rofi'ie. People's Economy. Jakarta:
Southeast Asian Forum for Development Alternatives,
1988.
Sasono, Adi. Solusi Islam atas Problematika Umat: Ekonomi,
Pendidikan, dan Dakwah. Jakarta: Gema Insani Press,
1998.
Satake, Masaaki. People's Economy: Philippine Community-Based
Industries and Alternative Development. Manila,
Philippines: Solidaridad Pub. House, 2003.
Satyanarayana, Chary T. Venture Capital, Concepts and
Applications. New Delhi: Macmillan India, 2005.
Scapp, Ron dan Brian Seitz. Etiquette: Reflections on
Contemporary Comportment. Albany: State University of
New York Press, 2007.
Schefold, Reimar et.al. Indonesian Houses. Singapore: Singapore
University Press, 2004.
Schultz, Walter J. the Moral Conditions of Economic Efficiency.
London: Cambridge University Press, 2001.
Schumpeter, Joseph A. Capitalism, Socialism and Democracy.
London: Routledge, 1994.
Sekaren. Research Method for Business: a Skill Building Approach.
New York: John Wiley and Sons, Inc., 1992.
Selvayagam, Grace I. Songket Malaysia’s Woven Treasure. New
York: Oxford University Press, 1991.
Sen, Amartya. Development As Freedoem. New York: Oxford
University, 1999.
Sennett, Richard. the Culture of the New Capitalism. London: Yale
University Press, 2006.
Sevenhoven, J.L. Van. Lukisan Ibukota Palembang. Jakarta:
Bhatara, 1998.
Shaleh, Muhammad Adib. Mas}a>dir al-Tasyri’ al-Isla>mi.
Damaskus: Al-Mat}ba‟ah al-Ta‟awuniyah, tt.
Shiddiqie, Jimly. Konstitusi Ekonomi. Jakarta : Buku Kompas,
2010.
Shihab, Quraish.Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas
Berbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1999.
_______. Tafsir al-Misbah. vol. 5. Bandung: Mizan, 2000.
Sholihin, Ahmad Ifham. Buku Pintar Ekonomi Syariah. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Siddiqi, Muhammad Nejatullah. Some Aspects of the Islamic
Economy. Delhi: Markazi Maktaba Islami, 1972.
Sigar, Edi. Buku Pintar Budaya Bangsa Nusantara. Jakarta:
Penerbit AMA, 2000.
Singh, Nagendra K. Social Justice and Human Rights in Islam.
New Delhi: Gyan Publ. House, 1998.
Siraj, Muhammad Ahmad. al-Nid}am al-Mas}arafi fi> al-Isla>m.
Lahore: Muhammad Asharaf, 1987.
Siradj, Said Aqiel. Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan
Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi. Bandung: Mizan,
2006.
Siregar, T.M. Pembaharuan Ekonomi Tiongkok: dari Fokus
Pedesaan ke Pasar Internasional (China’s Economic
Reform From Rural Focus to International Market).
Jakarta: Pustaka Pena, 2002.
Sjaifudian, Hetifah dan Erna Ermawati Chotim, Dimensi Strategis
Pengembangan Usaha Kecil: Subkontrak pada Industri
Garmen Batik. Bandung: AKATIGA, 1994.
Smelser, Neil J. Social Change in the Industrial Revolution: an
Application of Theory to the British Cotton Industry.
London: Routledge, 2005.
Smith, Roger. Being Human: Historical Knowledge and the
Creation of Human Nature. New York: Columbia
University Press, 2007.
Snijders, H. dan S Weatherill. E-Commerce Law: National and
Transnational Topics and Perspectives. The Hague:
Aspen Publishers Inc, 2003.
Sobari, Wawan et.al. Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun
Otonomi Daerah dan Otonomi Award. Surabaya,
Indonesia: Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi, 2004.
Soekarno. Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno. Yogyakarta:
Media Pressindo, 2006.
Soesastro, Hadi. Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan
Sosial. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan
dan Perbankan Indonesia (STEKPI), 2003.
_______.1966-1982: Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru.
Yogyakarta: Kanisius, 2005.
_______. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia
dalam Setengah Abad Terakhir. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2005.
Soetrisno, Benny. Perspektif dan Tantangan Industri Tekstil
Nasional Pasca Kuota, Implikasi dan Urgensinya
terhadap Perbankan. Jakarta: Asosiasi Pertekstilan
Indonesia [API], 2004.
Soetrisno, Loekman. Kemiskinan, Perempuan, dan
Pemberdayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Soetrisno, Noer. Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan
Sosial. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan
dan Perbankan Indonesia (STEKPI), 2003.
Stearns, Peter N. the Industrial Revolution in World History.
Oxford: Westview Press, 1998.
Stiglitz, Joseph E. Globalization and its Discontents. New York:
Norton, 2003.
Sukanti. Tenun Tradisional Sumatera Selatan. Palembang:
Departemen Pendidikan Nasional, 2000.
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar
1945. Jakarta: UI Press; 1995.
Sukarno, B. Tinjauan Filosofis tentang Pancasila sebagai Filsafat.
Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2005.
Sukarno, Fakhruddin. “Etika Produksi dalam Perspektif Ekonomi
Islam”. Disertasi Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2010.
Sukarno, Suyoso. Pembinaan Tenaga Manusia. Jakarta: Logos,
2002.
Sulastomo. The Indonesian Dream: Kapita Selekta. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2008.
Sulistia, Teguh. Aspek Hukum Usaha Kecil dalam Ekonomi
Kerakyatan. Padang, Indonesia: Andalas University Press,
2006.
Sulistiyo dan Agnes Mawarni. Kapas: Kajian Sosial-Ekonomi.
Yogyakarta: Adity Media, 1991.
Suma, Muhammad Amin. Ijtihad dalam Fiqih Islam. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002.
______. Membangun Ekonomi Negeri Berbasis Kitab Suci dan
Konstitusi. Tangerang: Kholam Publishing, tt.
______. Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan
Islam. Ciputat: Kholam Publishing, 2008.
Sumardjono, Maria S. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya. Jakarta: Kompas, 2008.
Sumaryono, E. Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat
Thomas Aquinas. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Sumawinata, Sarbini. Politik Ekonomi Kerakyatan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Sumiyanto, Ahmad. Problem dan Solusi Transaksi Muharabah.
Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2005.
Sumodiningrat, Gunawan; Riant Nugraha, Membangun Indonesia
Emas: Model Pembangunan Indonesia Baru Menuju
Negara-Bangsa yang Unggul dalam Persaingan Global.
Jakarta: Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia,
2005.
Sunoto. Mengenal Filsafat Pancasila: Pendekatan Melalui Sejarah
dan Pelaksanaannya. Yogyakarta: Hanindita, 2001.
Surjono, Gunanto dan Henry Azwar. Peningkatan Partisipasi Ibu-
Ibu Rumah Tangga dalam Pemecahan Masalah
Kemiskinan Keluarga Melalui Program Usaha Ekonomi
Kampung (PUEK). Yogyakarta: Departemen Sosial RI,
Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial, Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan
Sosial, 2003.
Soesastro, Hadi, Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di
Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir: 1959-1966.
Jakarta: Kanisius, 2005.
Susetyo, Benny. Teologi Ekonomi: Partisipasi Kaum Awam dalam
Pembangunan Menuju Kemandirian Ekonomi. Malang:
Averroes Press, 2006.
Sutarmadi. Islam dan Masalah Kemasyarakatan. Jakarta: Kalimah,
2000.
Suyanto, M. Muhammad Business Strategy and Ethics.
Yogyakarta: Andi Offset, 2004.
Swasono, Sri-Edi. Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera
Selatan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
______. Pembangunan Berwawasan Sejarah: Kedaulatan Rakyat,
Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Politik. Jakarta: UI-
Press, 1990.
______. Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Yayasan
Hatta, 2002.
______. Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan. Jakarta: UNJ Press,
2005.
______. tentang Demokrasi Ekonomi dan Pasal 33 UUD 1945.
Jakarta: Bappenas, 2008.
______. the End of Laissez-Faire. Jakarta: Bappenas, 2009.
______. Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar
Bebas. Jogjakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM,
2010.
______. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial dari Klasikal
dan Neoklasikal sampai ke the end of Laissez-Faire.
Jakarta: Perkumpulan Prakarsa, 2010.
______. Kembali ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Neoliberalisme.
Jakarta: Yayasan Hatta, 2010.
______.Pembangunan Berwawasan Pancasila. Jakarta: Bappenas,
2011.
______. Kelengahan Kultural dalam Pemikiran Ekonomi:
Pancasila Pasal 33 UUD 1945 Koperasi
Entrepreneurship-Kooperatif. Jakarta: Bappenas, 2011.
______. Strategi Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2011.
Swedberg, Richard. Max Weber and the Idea of Economic
Sociology. Princeton: Princeton University Press, 2000.
Sya‟rawi, Mukhtar. Islam di antara Kapitalisme dan Komunisme.
Jakarta: Gema Insani Press, 1991.
Syarofie, Yudhi. Songket Palembang: Nilai Filosofis, Jejak
Sejarah, dan Tradisi. Palembang: Pemerintah Provinsi
Sumatera Selatan, Kegiatan Pengelolaan Kelestarian dan
Pembinaan Nilai Budaya Sumatera Selatan, 2007.
______. Legenda Tepian Musi. Palembang: Pemerintah Provinsi
Sumatera Selatan, Kegiatan Pengelolaan Kelestarian dan
Pembinaan Nilai Budaya, Sumatera Selatan, 2008.
Syathibi, Abu Ishaq. al-Muwa>faqāt fi> Us}ūl al-Shari>’ah. jilid
II. Beirut: Da>r al-Ma‟rifah, 1973.
Shinqit}i, Muhammad Musht}afa. Dira>sah Shar’iyyah li Ahammi
al-’Uqu>d al-Ma>liyah al-Mustahdatsah. Madinah:
Maktabah al-‟Ulu>m wa al-Hika>m, 2001.
Szenberg, Michael. Paul A. Samuelson: on Being an Economist.
New York: Jorge Pinto Books, 2005.
Szentes, Tamas. the Transformation of the World Economy: New
Directions and New Interests. Tokyo: United Nations
University, 1988.
ibn-Taimiyah. al-Hisbah wa Mas’u>liyah al-Huku>mah al-
Isla<>miyah. Kairo: Dar Al-Shab, 1976.
Tambunan, Tulus. Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia:
Beberapa Isu Penting. Jakarta: Salemba Empat, 2002.
Thanasankit, Theerasak. E-commerce and Cultural Values.
Hershey, Pa.: Idea Group Publishing, 2002.
Thee, Kian Wie. Industrialisasi di Indonesia: Beberapa Kajian.
Jakarta: LP3ES, 1994.
Thoha, Mahmud. Dinamika Usaha Kecil dan Rumah Tangga.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi dan
Pembangunan, 2001.
______.Globalisasi, Krisis Ekonomi, dan Kebangkitan Ekonomi
Kerakyatan. Jakarta, Indonesia: Pustaka Quantum, 2002.
Thompson, James D. Organizations in Action: Social Science
Bases of Administrative Theory. New Brunswick, N.J.:
Transaction Publishers, 2003.
Thompson, Noel W. the People's Science: the Popular Political
Economy of Exploitation and Crisis 1816-34. Cambridge:
Cambridge University Press, 2002.
Thomsett, Michael C. Getting Started in Options. New York: John
Wiley and Sons Ltd, 2003.
Tim Badan Pengembangan Ekspor Nasional. Indonesia Export
Product and Producer for International Market. Jakarta:
Fery Agung Corindotama, 2007.
Tim Peneliti Deperindag. Keberhasilan Pemberdayaan Usaha
Kecil dan Koperasi oleh BUMN di Lingkungan
Departemen Perdagangan dan Perindustrian. Jakarta:
Departemen Perdagangan dan Perindustrian, 2003.
Tim peneliti Direktorat Kerjasama dan Perdagangan Internasional.
Peningkatan Nilai Tambah Komoditas Indonesia dengan
Pengembangan Indikasi Geografis non Pertanian. Jakarta:
Direktorat Kerjasama dan Perdagangan Internasional,
2008.
Tim Penulis Depdikbud Dinas Permuseuman Pembinaan Sumatera
Selatan. Tenun Tradisional Sumatera Selatan. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2000.
Tim Pustaka Binaman Pressindo. Informasi Kredit Usaha Kecil.
Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1997.
Tinaprilla, Netti. Jadi Kaya dengan Berbisnis di Rumah. Jakarta:
Gramedia, 2007.
Tisdell, Clem dan Keith Hartley. Microeconomic Policy: a New
Perspective. Cheltenham: Edward Elgar, 2008.
Tjiptoherijanto, Prijono dan Laila Nagib. Pengembangan Sumber
Daya Manusia: di antara Peluang dan Tantangan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Tohar, M. Membuka Usaha Kecil. Jogjakarta: Kanisius, 2002.
Triyuwono, Iwan. dan Ahmad Erani Yustika. Emansipasi Nilai
Lokal: Ekonomi dan Bisnis Pascasentralisasi
Pembangunan. Malang: Bayumedia Pub., 2003.
Triyuwono, Iwan. Organisasi dan Akuntansi Syari'ah. Yogjakarta,
LKiS, 2000.
Truna, Dody S dan Ismatu Ropi. Pranata Islam di Indonesia:
Pergulatan Sosial, Politik, Hukum, dan Pendidikan.
Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2002.
Ummah, Khairul. 5 Kecerdasan Utama Meraih Bahagia dan
Sukses. Bandung: Penerbit Ahaa Pustaka, 2003.
Utomo, Bambang Budi. Perkembangan Industri Kerajinan Rumah
Tangga dan Intervensi Pembinaan dan Yayasan Pekerti
Dai Kabupaten Tasikmalaya. Jawa Barat: Proyek
Penelitian Sektor non Pertanian Pedesaan Jawa Barat no.
A-4, PSP-IPB, 1990.
Utomo, Kamto. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dalam Kancah
Globalisasi. Bogor: Yayasan Agro-Ekonomika, Sains,
2005.
Vaitheeswaran, Vijay V. Power to the People: How the Coming
Energy Revolution Will Transform an Industry, Change
Our Lives, and Maybe Even Save the Planet. New York:
Farrar, Straus and Giroux, 2003.
W. S., Adde Maruf dan Haedar Nashir. Masa Depan Kemanusiaan.
Jogjakarta: Jendela, 2003.
Wahyupuspitowati.Teknik Dasar Sulam Pita, Payet dan Benang.
Jakarta: Kawan Pustaka, 2008.
Warming, Wanda dan Michael Gaworski. The World of Indonesian
Textiles. New York: Kodanska Internat, 1981.
Werthner, Hannes dan Martin Bichler. Lectures in e-Commerce.
New York: Springer, 2001.
Wessels, Walter J. Economics Hauppauge. N.Y.: Barron's, 2006.
Wibisono, Christianto. Anatonomi Efesiensi BUMN. Jakarta: Pusat
Data Bisnis Indonesia, 1996.
Wibowo. Belajar dari Cina: Bagaimana Cina Merebut Peluang
Pasar Global. Jakarta: Kompas, 2004.
Widiowati, Didiet. Kesejahteraan Sosial: Wacana, Implementasi,
dan Pengalaman. Jakarta: PenerbitPusat Pengkajian
Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR
RI, 2005.
Widjaja, I. Wangsa dan Meutia Farida Swasono. Mohammad Hatta,
Membangun Ekonomi Indonesia. Jakarta: Inti Idayu Press,
1985.
Widodo, Hg Suseno Triyanto et.al. Reposisi Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah dalam Perekonomian Nasional.
Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2005.
Winardi. Kamus Ekonomi. Bandung: Alumni, 2000.
Wolf, Milton T. dan Marjorie E. Bloss. Creating New Strategies for
Cooperative Collection Development. USA: The Haworth
Information Press, 2000.
Wrihatnolo, Randy R. dan Rianti Nugroho Dwidjowiyoto.
Manajemen Pemberdayaan. Jakarta: Gramedia, 2007.
Yafa, Stephen H. Cotton: the Biography of a Revolutionary Fiber.
New York: Penguin Books, 2005.
Yasni, Z. Bung Hatta Menjawab. Jakarta, Gunung Agung,
1978.
Yosephus, L. Sinuor. Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral
terhadap Perilaku Pebisnis Kontemporer. Jakarta: Pustaka
Obor, 2010.
Younkins, Edward Wayne. Capitalism and Commerce: Conceptual
Foundations of Free Enterprise. Lanham: Md. Lexington
Books, 2002. Yu>nus, Muhammad. Maba>di’ ‘ilmi al-Iqtisa>d. al-
Iskanda>riyah: al-Da>r al-Ja>mi‟iyyah, 1993.
Yusanto, Muhammad Ismail dan Muhammad Karebet Widjayakusuma. Menggagas Ekonomi Islami. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Yusuf, Ya‟qub ibn Ibrahim Abu. Kitab al-Kharaj. edisi ke 3. Kairo: al-Matba‟ah al-Salafiyyah, 1352 H.
ibn-Zakaria, Abu Husain ibn Faris. Mu’ja>m Muqayis al-Lugha>t. jilid III. Mesir: Must}afa al-Ba>bi al-Halabi, 1972.
Zarqa, Musthafa Ahmad. al-Uqu>d al-Musamma. Damascus: al-Mat}baah Fata al-Ara>b, tt.
Zen, M. T. et.al. Dialog Teknologi dan Industri: Pemacuan
Teknologi Menuju Terbentuknya Industri Nasional yang
Kuat dan Berdaya Saing Tinggi. Jakarta: Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 1995.
Zimmerman, Joseph Francis. Interstate Economic Relations.
Albany: State University of New York Press, 2004.
Zucchetto, J. Board on Energy and Environmental Systems, Trends
in Oil Supply and Demand, the Potential for Peaking of
Conventional Oil Production, and Possible Mitigation
Options: a Summary Report of the Workshop.
Washington, DC: National Academies Press, 2006.
Zulkarnain. Membangun Ekonomi Rakyat: Persepsi tentang
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Yogjakarta: Adicita,
2003. Zumar, Dhorifi. Tenun Tradisional Indonesia. Jakarta: Dewan
Kerajinan Nasional bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Departemen Perindustrian, 2009.
JURNAL Adams, Dale dan Robert C. Vogel. ”Rural Financial Markets in
Low-Income Countries and Lesson.” World Development. vol. 14, no. 4, 1986, 477-487.
Ahsan, Fahrul. “on the Nature and Signifance of BankingWithout Interest”. Bangladesh Bank Bulitten. vol. 56, February 2007, 9-11.
Akhtar, Shamshad. "Islamic Finance: Emerging Challenges of Supervision". Paper presented in the 4
th Islamic Services
Board Summit held at Dubai, United Arab Emirates on May 15. (2007), 4.
Araby, Muhammad Abdullah. “Private Property and It‟s Limit‟s In Islam”. Akademi al-Azhar untuk Riset Islam, Konfrensi pertama, 1964.
Arbor, Ann. the New York Times Biographical Service. jilid 18, University Microfilms International, 880.
Arif, Muhammad. “Toward the Syari‟ah Paradigm of Islamic Economics: the Beginning of a Scientific Revolution.” dalam the American Journal of Islamic Social Science 2 (1), 1985, 79-8.
Asrin, Ikhwan. “Pameran Perluas Pasar Ekspor Produk KUKM”. Jurnal KUKM, (Mei 2009), 16.
Basjir, Wahyu W. “Informalisasi dan Tantangan Perburuhan”. Jurnal Analisis Sosial. vol. no.3, Desember 2003, 41-42.
Beker, Jeanne. “Sari to Sarong: Five Hundred Years of Indian and Indonesia Textile Exchange”. American Craft, Augst/Sep, vol. 64, Iss. 4 (New York: 2004), 30.
Blakeney, M. “Geographical Indications and TRIPS”. Occasional Paper, no. 8. Geneva: Quaker United Nations Office, 2001.
Brutton, Henry J. “A Reconsideration of Import Substitution”. Journal of Economic Literature, vp. xxxvi, 903.
Escudero, S. “International Protection of Geographical Indications and Developing Countries”. TRADE Working Papers, no. 10 (Geneva: South Centre, 2005).
Fay, M. dan T. Yepes. “Investing in Infrastructure: What is Needed from 2000 to 2010?” World Bank Policy Research Working Paper 3102, Washington DC.
G. Calabresi and A.D. Melamed. “Property Rules, Liabbility Rules and Inalienability: One View of the Cathedral”. Harvad Law Review 85 (1972): 1089-1128.
Gray, S. A. dan Thomson, A. the Development of Economic
Doctrine Longman. New York: t.p., 1980.
http://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/01/31
Hasan, Ahmad. http://p3ei.blogdetik.com/2008/07/10/buruh-dalam-
islam/ - _ftnref8Naz}ariya>t al-Uju>r fi> al-Fiqh al-
Isla>miy. Suria, Da>r Iqra>‟, 2002. Hadisuwito, S. ”Memanfaatkan Momentum Kenaikan Upah”.
Prisma, no. 7 (Jakarta, 2001), 79-96. Hussin, Haziyah. “Peranan Songket dalam Perkawinan Melayu:
Golongan Istana dan Rakyat Biasa”. dalam Jurnal Arkeologi Malaysia, Bilangan 17-2004, KDN PP 6026/10/03, 34.
Job, Charles A. “Waterlaw in Muslim Countries as to Ground
Water”. dalam Groundwater Economics. USA: Taylor and
Francis Group, LLc, 2010. Kramet, Jonathan dan Thomas Hyclak. “Why Strikes Occur:
Evidence from the Capital Markets”. Industrial Relaions, vol. 41, Issue 1, 2002, 80-93.
Lidyah, Rika. “Akuntansi Syari‟ah Sebagai Bentuk Transparansi dan Akuntabilitas”. Jurnal Ekonomi Islam (IAIN Raden Fatah Palembang, vol. 1, 2010, 14-23.
Ma‟arif, Syamsul. ”Tantangan Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia”. Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Penggembangan Hukum Bisnis, Jakarta Volume 19, Mei-Juni 2002, 34-35.
Manna>n, Muhammad Abdul. “the Behaviour of the Firm and Its Objective in an Islamic Framework”. Readings in Microeconomics: an Islamic Perspektif. Malaysia: Longman,1992.
Metwally, M.M. “A Behavioural Model of An Islamic Firm”. Readings in Microeconomics: an Islamic Perspektif . Malaysia: Longman,1992, 135.
Petersen, Henry L dan Harrie Vredenburg. “Morals or Economics Institutional Investor Preferences for Corporate Social Responsibility”. Journal of Business Ethics, vol. 90, Iss., Nov 2009.
Raharjana, Destha T. ”Siasat Usaha Kaum Santri: Ekonomi Moral
dan Rasional dalam Usaha Konfeksi di Mlangi
Yogyakarta”. dalam Ahimsa-Putra. Yogyakarta: Kepel,
2003.
Roskamp, Karl W. “Pareto Optimal Redistribution, Utility
Interdependence and Social Optimum”. Journal Review of
World Economics, vol. 109, no. 2/Juni, 1973, 337.
S., Hadisuwito.”Memanfaatkan Momentum Kenaikan Upah”.
Prisma. Jakarta, 2001, 79-96.
Sardar, Ziauddin. “Teknologi dan Kemandirian Domestik: Sebuah
Alternatif Islam”. Dalam Ulumul Qur’an, voll
II.1991/1411H. no.8, 17.
Sarmini. ”Politik Usaha Pengusaha Islam: Kiat Manipulatif dalam
Industri Penyamakan Kulit di Magetan Jawa Timur”.
dalam Ahimsa-Putra. Yogyakarta: Kepel, 2003, 251-385.
Situmorang, Johnny W. “Analisis Tipologi dan Posisi Koperasi
Penerima Program Perkasa Studi Kasus di Sumatera
Selatan”. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM, vol. 5,
Agustus 2010, 1-29.
Smith, Jeremy N. “the Adam Smith of Supply Chain
Management”. World Trade. Troy, Sep 2006, vol. 19, Iss.
9, 62.
Solow, Robert M. ”Growth Theory and After”. The American
Economic Review, vol. 78, Iss., 3 Jun 1988, Nashville,
307.
Stein, Steven J. dan Howard E. Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar
Kecerdasan Emotional Meraih Sukses. Bandung: Penerbit
Kaifa, 2002.
Supratikno, Hendawan. “Pengembangan Industri Kecil di
Indonesia: Pelajaran Analisis Dampak dari Jawa Tengah.”
Prisma, no. 23, September, Jakarta, 25-34.
Suseno, Priyonggo. “Analisis Efisiensi dan Skala Ekonomi pada
Industri Perbankan Syariah di Indonesia”. Journal of
Islamic and Economics, vol. 2, no. 1, Juni 2008.
Sutarmadi. Islam dan Masalah Kemasyarakatan. Jakarta: Kalimah,
2000.
Suyanto, Muhammad. Etika dan Strategi Bisnis Nabi Muhammad.
Jogyakarta: Andi Offset, 2008.
Swasono, Sri Edi. “Ekonomi Islam dalam Pancasila”. Paper the
Indonesian of Islamic Economist DPP Ikatan Ahli
Ekonomi Islam (IAEI) Bekerjasama dengan Program
Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang, International
on Islamic Economics on Global Cricis”, Agustus 2009.
_______. “Indonesia Tidak untuk Dijual”, Media Kompas, Kamis,
4 November 2010.
_______”Pancasila dan Nasionalisme Kampus”, Opini, dalam
Kompas, Jum'at 3 Juni 2011.
_______. “Robinson Cruzoe‟s Struggle For Freedom and Take-
Off”. Naskah Ajar Mata Kuliah Perkembangan
Pemikiran dan Perbandingan Sistem Ekonomi .
Program Dokotoral Ilmu Ekonomi Islam
Universitas` Airlangga. 24 Oktober 2009. dikutip dari
http://www.scribd.com/doc/53952840/PROF-EDI-A-Blog
______. “Poverty, Impoverishment, Empowerment,
Disempowerment Pendekatan Paradigmatik: Mengatasi
Kemiskinan (Beyond the Economics of Poverty)”, Naskah
Ajar Current Issue UIN, 2011.
______. “Kelengahan Kultural dalam Pemikiran Ekonomi:
Neoliberalisme adalah Penjajahan Baru”, Naskah Ajar, S3
UIN, Current Issues, No. 40, 2011.
_______.“Keabadian Koperasi dan Kooperativisme”, dalam Media
Suara Pembaharuan, Senin 11 Juli 2011.
Syam, Nur. “Buruh Perempuan, Pekerja Rumahan, Sosok Manusia
Teralienasi”. dalam Jurnal Paramedia, vol.1. no. 2., bulan
Juni 2000, 9.
Tambunan, T. ”the Role of Small Industry in Indonesia: a General
Reviw”. Ekonomi Keuangan Indonesia, 37(1), Jakarta,
1990, 88-114.
Uchino, Megumi. “Socio-Cultural History of Palembang”. Songket,
Indonesia and the Malay World”,
http://www.informaworld.com/smpp/2134469411-
59916903/- v3333, Issue 96 July 2006, 205-223.
Ulum, Saiful et.al, “Konsep One Village One Product (OVOP )
Melalui Peran Triple Helix Sebuah Strategi Penguatan
Produk Lokal Menyambut Free Trade Agreement (Fta)
Asean-China 2010”. dalam Penjurnalan Karya Ilmiah
(Reseach Study Club (RSC ) FIA UB 2009, edisi ke-2, 34.
Waynes, Deborah. ”Management of The United Nations Laissez-
passer”. Articel 11.2 of Justatute. Geneva: United Nations,
2005, 3.
Wijaya, Hesti R. “Sektor Informal: Katup Pengaman dan Sang
Penyelamat yang Terabaikan”. dalam jurnal FPBN, edisi
ke-8, Maret- September 2008.
Yusrianti, Hasni et.al.”Aplkasi E-Commerce dalam Pengembangan
Usaha Sentra Industri Songket 30 dan 32 Ilir Palembang”.
Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat Program
Penerapan IPTEKS dan VUCER. Palembang: Universitas
Sriwijaya, 2009, 18-19.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
GAMBAR 1
PERBEDAAN EFISIENSI BERKEADILAN KAPITALIS, EKONOMI
KERAKYATAN DAN ISLAM
Ekonomi Kapitalis Ekonomi Kerakyatan Ekonomi Islam
Produksi dan Distribusi
Bebas Nilai
Orientasi Pasar
Bebas
Tampa intervensi
Pemerintah
Nilai Nilai Peraturan dan
Perundang-undangan
intervensi
Pemerintah
Kebersamaan,
kemandirian,
Keseimbangan pasar, negara, dan
individu berada dalam
keseimbangan(iqtisha>d)
Nash
Fiqh
Akhlak
Keuntungan
Maksimal
Terpenuhinya lima
kebutuhan dasar
Pemenuhan al-
dharu>riya>t al-
khams
310
311
GAMBAR 2
EFISIENSI BERKEADILAN DALAM NILAI-NILAI EKONOMI ISLAM
GAMBAR 3
KONSEP DAN REGULASI KEMITRAAN EFISIENSI BERKEADILAN
GAMBAR 4
AMANDEMEN PASAL 33
UUD 1945
…Efisiensi berkeadilan…
(Istilah SES)
Demokrasi Ekonomi
Ekonomi Kerakyatan
Ekonomi Pancasila
Menguatkan
Dipengaruhi
oleh Nilai-
Nilai Islam
Parameter Ekonomi Islam
1. Konsep Khalifatulla>h
fi> al-Ard}i
2. Ukhuwah
3. Himmatu al-Amal
4. Kafaah
5. Amanah
6. Mudharabah
7. Musyarakah
8. Murabahah
9. Etika Moral Islami
Hasil Perjuangan tokoh-tokoh
ekonom Muslim Indonesia
Payung Hukum
EFISIENSI
BERKEADILAN Faktor produksi
Usaha songket
Kesejahteraan
Bersama
proses
1. Tenaga Kerja
2. Kapital
3. Tanah
1. Nash
2. UUD 1945
3. Pancasila
4. Peraturan
5. Hukum
Penjabaran 1. Pemerintah
2. BUMN
3. Dunia Usaha
1. Kesejahteraan dan kemakmuran bersama
2. Solidaritas dan kegotongroyongan 3. Kemitraan dalam profit and sharing System
4. Kebersamaan dan Kekeluargaan
5. Jaminan Sosial
6. Keselarasan
Nilai-nilai
Distribusi
Produksi
1. Perbankan
2. Koperasi
312
MASALAH USAHA SONGKET PALEMBANG
GAMBAR 5
POHON MASALAH AKAR PENYEBAB
Produk Berdasarkan Pesanan
Berbasis Konsumtif
Manajemen Keluarga
Mengikuti desain yang
berlaku turun temurun
Berdiri Sendiri Sesuai
Dengan Kelompok Usaha
Bergantung Pemberi
Modal Usaha
Menurunkan Ketrampilan
berdasarkan struktur
keluarga
Koordinasi Internal
Tidak ada kesiapan bersaing
Hasil usaha digunaka untuk kehidupan
sehari-hari tanpa ada catatan
Minim Modal
Dihitung dan dicatat secara sederhana
Pemasaran berorientasi kepercayaan sehingga
banyak menggunakan akte di bawah tangan
Menguatkan ketrampilan pada lingkup
keluarga
Asosiasi pengrajin songket tidak berjalan
Koperasi yang tidak berjalan
Pendidikan pelatihan dan ketrampilan
yang rendah dan tidak terkoordinir
Rendahnya kemitraan dengan
perbankan dan BUMN
Rendahnya kepercayaan
313
POLA PRODUKSI USAHA SONGKET: REALITAS DAN IDEALITAS
GAMBAR 6
EFISIENSI BERKEADILAN DALAM
PERAJIN
( A )
Memenuhi Nilai
Anugrah Dari Tuhan
(Primer)
Keahlian Turun
Temurun Menenun
Songket
Keuntungan
Minimum
Songket
PENGRAJIN
( B )
Memenuhi Nilai
Sekunder Anugrah
Dari Tuhan
1. Pengembangan desain
2. Pengembangan dalam
bentuk aksesories dan
souvenir
3. Pakaian songket
4. Perluasan jaring usaha
Keuntungan
Maksimal
Bantuan Pemerintah 1. Dana
2. Hibah
REALITA
A + B
Pemerintah
Bangun Teori Triple CO (SES)
1. Co-Ownership
2. Co-Determination
3. Co-Responsibilty
Parameter Ekonomi Islam:
1. Konsep Khalifatulla>h
fi> al-Ard}i
2. Mudharabah
3. Musyarakah
4. Murabahah
5. Etika Moral
EFISIENSI
BERKEADILAN
KESEJAHTERAAN
BERSAMA
IDEAL
314
PENGUATAN SUMBER DAYA PERAJIN SONGKET
GAMBAR 7
PENGEMBANGAN USAHA BERBASIS
EFISIENSI BERKEADILAN
REALITAS
YANG SEHARUSNYA
Sumber daya perajin
Bekerja berdasarkan ketrampilan warisan
Berusaha melakukan terobosan desain
Menunggu Bantuan
Pemerintah
Tanggung jawab
pelestarian dari perajin
Orientasi Kelompok Pro aktif
pemerintah
(arra>i)
Tanggung jawab
pelestarian bersama
1. Pelatihan
2. Pendidikan
3. Kerjasama
1. Peningkatan kualitas individu
2. Peningkatan kualitas usaha
3. Peningkatan usaha bersama
Pemenuhan hak dasar
315
PENGRAJIN/
PERAJIN SONGKET
Berorientasi pada
Kewirausahaan
Kreatif dan Inovatif
Menjaga perasaan
Pekerja Keras
Bertanggungjawab
Stratejik
Pemasaran
Seluruh proses dari pembuatan,
penawaran, dan harga distribusi
terbangun dalam nilai-nilai
syari’ah
Kejelasan informasi
keuangan usaha 1. Laporan keuangan beserta
bukti pembukuan
2. Sumber dan penggunaan
dana
Efisiensi Produksi
1. Penggunaan sarana dan prasarana
yang lebih baik
2. Kemudahan akses kerja, sarana dan
prasarana
3. Peningkatan dan pengembangan
kemampuan ktrampilan SDM
4. Ketersediaan bahan baku yang
berkualitas
1. Membangun Koperasi
2. Perluasan jaringan
kemitraan
Kesadaran
Penambahan modal usaha dan
pemasaran melalui bank-bank syari’ah Pendampingan
INDEKS
INDEKS ISTILAH Alat produksi 112, 444
Alat tenun 2, 5, 8, 38, 115, 334, 337, 340, 370, 447
Apit 208 318
Asas kekeluargaan 284, 286, 293, 315, 326
Asosiasi perajin songket 277
ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) 188, 219
Bahan baku 2, 5, 7, 9, 11, 29, 32, 68, 74, 75, 81, 91, 106,
112, 116, 199, 208, 215, 217, 219, 220, 221, 230,
231, 233, 243, 245, 264, 271, 272, 277, 301, 306,
331, 334, 337, 339, 341, 400, 406, 407, 413, 423,
438, 444, 448
Bapak Angkat Industri Kecil (BAIK) 226
Bekerja 203, 206, 210, 218, 238, 245, 247, 249, 251, 257,
261
Beliro 209
Berkeadilan 1, 5, 6, 7, 9, 10, 12, 16, 17, 21, 22, 29, 31,
34, 35, 41, 49, 50, 51, 52, 56, 333
Berkeadilan sosial 232, 249, 315
Better-off 33, 14
Cacak 318
Cakcak 208
Calabresi 21
Capital social 261
Cash flow 317
Co-ownership 16, 348
Co-responsibility 16, 348
Dayan 318
Demand 48
Demokrasi ekonomi 5, 7, 9
Distribusi 4, 7, 9, 11, 13, 14, 21, 23, 25, 28, 29, 30, 31,
32, 33, 35, 36, 41, 43, 47, 48, 51, 54, 69, 71, 72, 73,
78, 82, 86, 93, 95, 96, 106, 110, 120, 126, 263, 264,
265, 266, 267, 268, 274, 276, 277, 286, 297, 298,
303, 307, 312, 319, 323, 336, 341, 346, 357, 364,
368, 380, 401, 403, 404, 405, 410, 414, 418, 425,
427, 428, 438, 442, 452, 458, 464
Distribusi sosial 42
Distribusi usaha 7, 11
Distributor 6, 22, 38, 71, 96, 117, 266, 338, 354, 370,
403, 428, 449
Divition of labor 211
Dunia bisnis 328
Efektifitas 27
Efisien 229, 258
Efisiensi 1, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 16, 17, 18, 19,
20, 21, 22, 23, 24, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 39,
40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 48, 49, 50, 51, 52, 56, 58,
60, 62, 68, 70, 71, 72, 73, 74, 92, 95, 96, 99, 100,
110, 112, 113, 117, 118, 120, 121, 122, 124, 125,
126, 127, 186, 206, 218, 223, 231, 234, 239, 242,
251, 252, 258, 263, 268, 284, 303, 305, 307, 308,
312, 315, 319, 323, 324, 329, 331, 333, 336, 349,
350, 351, 352, 356, 364, 380, 390, 392, 394, 400,
402, 403, 404, 405, 406, 424, 427, 428, 431, 432,
442, 444, 445, 449, 450, 452, 453, 454, 456, 457,
458, 459
Efisiensi berkeadilan 1, 5, 7, 9, 10, 11, 12, 14, 16, 17, 20,
21, 24, 29, 31, 33, 41, 42, 44, 46, 47, 50, 52, 60, 62,
71, 73, 95, 96, 100, 110, 112, 113, 117, 118, 120,
122, 124, 125, 126, 127, 186, 218, 223, 234, 239,
242, 251, 252, 257, 258, 263, 284, 303, 307, 312,
323, 324, 329, 331, 333, 349, 352, 356, 392, 394,
403, 405, 427, 428, 432, 442, 444, 445, 449, 450,
452, 454, 456, 457, 458, 459, 461, 462, 465, 466,
467, 468
Efisiensi humanis spritualis, 467
Efisiensi sosial 13, 14, 16, 46
Egalitarianism 235
Ekonomi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17,
19, 20, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 34,
35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 49,
50, 51, 52, 54, 57, 59, 60, 62, 63, 65, 67, 68, 69, 70,
71, 74, 75, 81, 82, 85, 89, 92, 109, 110, 111, 116,
117, 119, 120, 121, 123, 124, 127, 128, 188, 205,
218, 225, 228, 229, 234, 235, 238, 239, 242, 243,
244, 245, 248, 249, 250, 252, 253, 254, 255, 256,
257, 260, 261, 262, 263, 267, 268, 273, 276, 281,
285, 287, 288, 293, 294, 296, 297, 298, 300, 302,
303, 305, 307, 308, 311, 312, 313, 314, 315, 316,
323, 325, 327, 329, 330, 333, 340, 341, 342, 347,
348, 349, 351, 352, 358, 359, 364, 368, 371, 372,
380, 381, 382, 383, 384, 386, 389, 391, 392, 394,
395, 397, 399, 400, 401, 402, 403, 406, 407, 413,
414, 417, 421, 424, 441, 442, 443, 448, 449, 451,
452, 453, 455, 456, 459, 460, 461, 462, 463, 464,
465, 466, 467, 468
Ekonomi Islam 1, 5, 8, 9, 10, 12, 13, 17, 19, 21, 31, 32,
39, 40, 41, 48, 49, 50, 52, 60, 62, 63, 65, 69, 70, 110,
120, 128, 229, 234, 247, 248, 249, 254, 256, 257,
262, 297, 323, 333, 340, 341, 349, 353, 364, 372,
380, 392, 394, 395, 397, 401, 402, 442, 452, 460
Ekonomi kapitalis 8, 10
Ekonomi kerakyatan 5, 7, 10, 13, 15, 17, 24, 25, 28, 31,
36, 48, 50, 52, 72, 81, 111, 116, 124, 127, 333, 340,
341, 349, 353, 364, 372, 380, 392, 394, 395, 397,
401, 402, 442, 452, 460
Ekonomi konvensional 8, 18
Ekonomi nasional 5, 6, 10, 15, 16, 17, 25, 38, 44, 51, 383
Ekonomi Pancasila 13, 15, 16, 17, 22, 44, 287, 294, 314,
470
Ekonomi sosial 5, 13
Ekonomi sosialis 24
Equality 296, 328
Equity 296
Etika 9, 26, 27, 31, 41, 42, 43, 47, 68, 73, 74, 95, 117,
124, 126, 263, 265, 291, 292, 294, 296, 297, 298,
299, 300, 303, 304, 305, 309, 310, 314, 319, 321,
323, 325, 328, 341, 358, 359, 363, 373, 374, 375,
379, 400, 405, 406, 427, 449, 456, 458
Etika bisnis 39, 263, 303, 304, 309, 310, 325
Etika ekonomi 297
Etika konsumsi 41, 373
Etika transaksi 289
Etos kerja 19
Fiqh muamalah 7, 36, 100, 368, 432, 468
Free act 255
Free will 255
Gerakan efisiensi 110, 442
Gotong royong 15, 42, 46, 116, 316, 325, 347, 374, 448,
464, 466
Home industry 203
Home workers 231, 245
Homo economicus 257
Homo homini lupus 46
Human capital 16
Humanis spritualis 46
Ideologi kerakyatan 43
Industri kecil 38
Jaminan sosial 91, 117, 118, 423, 449, 450
Jaminan usaha 263
Jaringan kebersamaan 186, 237
Jaringan kemitraan 319
Jaringan pemasaran 28
Jaringan usaha 97, 98, 99, 233, 243, 429, 430, 431
Jual beli 288, 289, 290, 313
Kain songket 3, 4, 5, 9, 11, 17, 22, 24, 95, 96, 112, 116,
194, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 206,
209, 211, 216, 218, 223, 224, 233, 234, 243, 252,
335, 336, 337, 349, 354, 356, 427, 428, 444, 448
Kain tenun songket 204
Kampung Songket BNI 253
Kampung usaha songket 225
Kapitalisme 2, 4, 24, 250, 323
Keadilan 8, 16, 17, 21, 24, 28, 36, 48, 235, 242, 249, 293,
294, 298, 301, 312, 315, 324, 326, 327, 328, 330
Keadilan ekonomi 48, 71, 235, 403
Keadilan humanis 49, 381
Keadilan sosial 22, 48, 49, 235, 293, 464
Kebersamaan 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 15, 16, 17, 18, 20,
29, 30, 31, 32, 42, 44, 46, 52, 55, 58, 69, 71, 74, 81,
83, 84, 99, 115, 117, 118, 120, 121, 124, 125, 127,
206, 216, 223, 237, 240, 247, 250, 259, 263, 273,
277, 284, 287, 293, 303, 304, 308, 312, 314, 316,
318, 323, 324, 325, 329, 331, 335, 336, 347, 348,
350, 352, 374, 390, 401, 403, 406, 413, 415, 416,
431, 447, 449, 450, 452, 453, 456, 457, 459, 463,
464, 466, 467
Kebijakan ekonomi 42, 117, 449
Kebijaksanaan ekonomi 314
Kegiatan ekonomi lokal 264
Kekeluargaan 4, 5, 6, 7, 10, 13, 62, 83, 124, 125, 336,
339, 345, 394, 415, 456, 457
Kemakmuran 15, 16, 22, 43, 44, 51, 64, 190, 198, 236,
239, 327, 383, 396
Kemas}lahatan 24, 45, 47, 49, 229
Kemiskinan 226, 227, 249, 260
Kemitraan 4, 6, 7, 8, 9, 11, 14, 22, 28, 29, 31, 32, 33, 34,
35, 38, 40, 52, 54, 61, 63, 69, 71, 72, 73, 77, 78, 79,
80, 86, 87, 93, 94, 95, 96, 99, 104, 105, 106, 115,
117, 118, 121, 122, 123, 125, 127, 186, 199, 202,
220, 221, 226, 229, 231, 233, 239, 243, 247, 263,
264, 265, 266, 267, 270, 271, 273, 274, 276, 278,
279, 281, 282, 283, 284, 286, 287, 288, 290, 291,
299, 300, 301, 302, 303, 304, 305, 307, 308, 309,
310, 311, 314, 315, 317, 318, 319, 320, 321, 322,
323, 331, 332, 336, 338, 339, 340, 341, 346, 354,
363, 364, 366, 370, 386, 393, 395, 401, 403, 404,
405, 410, 411, 418, 419, 425, 426, 427, 428, 431,
436, 437, 438, 447, 449, 450, 453, 454, 455, 457,
459
Kerajaan Sriwijaya 192, 196, 197
Kerajinan songket 269, 306, 307, 323
Kerja 264, 277, 281, 299, 300, 301, 303, 307, 310, 311,
317, 318, 322, 323, 325, 329, 332
Kerjasama 4, 11, 14, 15, 16, 20, 30, 70, 77, 78, 85, 92, 94,
97, 98, 99, 104, 122, 124, 206, 216, 217, 231, 261,
285, 286, 294, 299, 303, 308, 315, 316, 319, 336,
348, 352, 362, 402, 409, 410, 417, 424, 426, 429,
430, 431, 436, 454, 456
Kesejahteraan 3, 15, 16, 21, 23, 24, 25, 27, 36, 40, 41, 43,
44, 47, 49,50, 61, 62, 65, 66, 69, 71, 74, 96, 112,
119, 120, 126, 198, 217, 225, 229, 240, 249, 353,
357, 373, 381, 382, 393, 394, 397, 398, 401, 403,
406, 428, 444, 451, 452, 458
Kesejahteraan ekonomi 49, 381
Kesejahteraan sosial 15, 42, 43, 46, 297
Kesenjangan sosial 304, 308
Ketidakadilan 270, 278, 315
Ketidakadilan ekonomi 15
Keuntungan 186, 219, 232, 233, 234, 235, 247, 259
Kewirausahaan 2, 3, 8, 9, 56, 76, 82, 106, 264, 334, 335,
340, 341, 388, 408, 414, 438
Kode etik 325
Konsep humanitas 42, 374
Konsep supply chain management 300
Konsumen 6, 19, 33, 50, 66, 67, 70, 76, 94, 95, 96, 106,
109, 219, 251, 252, 338, 351, 365, 382, 398, 399,
402, 408, 426, 427, 428, 438, 441
Konsumsi 18, 48, 65, 66, 75, 397, 398, 407
Koperasi 3, 4, 6, 9, 15, 16, 18, 30, 43, 51, 55, 57,58, 61,
62, 67, 78, 79, 80, 81, 82, 91, 121, 122, 123, 227,
231, 269, 276, 277, 284, 285, 286, 302, 307, 313,
314, 315, 316, 317, 320, 332, 335, 336, 338, 341,
350, 383, 389, 390, 393, 410, 411, 412, 414, 423,
454, 455
Kreatifitas 10, 11, 12, 13, 15, 21, 22, 29, 68, 76, 77, 84,
85, 96, 111, 113, 118, 121, 188, 189, 204, 212, 251,
252, 254, 255, 257, 258, 262, 335, 336, 338, 341,
342, 343, 344, 345, 347, 350, 353, 354, 361, 383,
389, 390, 393, 400, 408, 409, 410, 411, 412, 414,
416, 417, 423, 428, 443, 445, 450, 453, 454, 455
KUB (Kelompok Usaha Bersama) 115, 203, 283, 447
KUK (Kredit Usaha Kerja) 278, 393
KUKM (Koperasi dan Usaha Kecil Menengah) 226
KUR (Kredit Usaha Rakyat) 61, 226, 227, 229
Laissez faire 2
Lidi 209
Limbang Jaya 51
Manajemen 4, 6, 8, 9, 13, 14, 18, 21, 34, 37, 49, 53, 56,
57, 60, 61, 63, 64, 77, 81, 82, 99, 105, 106, 108, 110,
111, 118, 121, 203, 220, 221, 227, 229, 244, 259,
260, 265, 279, 282, 299, 301, 309, 311, 313, 322,
331, 332, 336, 338, 340, 341, 345, 346, 350, 353,
366, 369, 388, 389, 392, 393, 395, 396, 409, 413,
414, 431, 437, 438, 440, 442, 443, 450, 453
Manajemen keluarga 203, 220, 221, 260
Maqa>s}id shari>’ah 23, 36, 47, 52, 69, 229, 401
Mas}lahat 36, 120, 368, 452
Maximum profit 250
Micro finance 312
MAP (Modal Awal dan Padanan) 228
Modal 2, 3, 5, 9, 12, 13, 14, 16, 17, 21, 24, 26, 29, 30, 31,
32, 34, 35, 37, 38, 40,42, 53, 54, 55, 61, 62, 64, 65,
67, 72, 74, 76, 79, 81, 82, 88, 100, 101, 104, 107,
112, 113, 115, 116, 118, 126, 127, 203, 218, 219,
220, 221, 222, 225, 227, 232, 233, 237, 243, 244,
245, 249, 250, 261, 262, 266, 271, 280, 281, 282,
283, 284, 286, 296, 301, 302, 307, 309, 311, 314,
315, 317, 318, 320, 334, 335, 338, 341, 344, 345,
346, 353, 363, 364, 366, 367, 369, 370, 374, 386,
387, 393, 394, 396, 397, 399, 404, 406, 408, 411,
413, 414, 420, 432, 433, 436, 439, 444, 445, 447,
448, 450, 458, 459
Modal ekonomi 262
Modal intelektual 17
Modal kerja 317, 318
Modal kultural 16
Modal kultural-sosial 262
Modal sosial 16
Modal sosial-kultural 262
Modal spiritual 17
Moral 9, 16, 20, 24, 31, 38, 39, 40, 42, 47, 68, 70, 71, 90,
102, 117, 126, 341, 356, 363, 371, 372, 374, 379,
400, 402, 403, 422, 434, 449, 458
Motif songket 66, 211, 398
Mud}a>rabah 33, 34, 35, 37, 57, 88, 101, 103, 247, 365,
366, 367, 369, 389, 420, 433, 435
Multiplayer effect 76, 408
Mushara>kah 247
Negoisasi 270
NIES, 430
Nilai spritualis 49, 381
OVOP 83, 415
Pareto optimum 7, 13, 14, 33, 38, 48, 49, 69, 370, 380,
381, 401
Pareto, 1, 2, 3, 14, 25
Pasal 33 UUD 1945 5, 7, 8, 9, 14, 16, 18, 37, 41, 45, 120,
121, 124, 125, 293, 294, 312, 324, 325, 326, 348,
373, 453, 452, 456, 457
Pasar 2, 3, 6, 7, 17, 19, 20, 22, 23, 24, 34, 49, 58, 70, 76,
79, 92, 93, 94, 100, 103, 117, 202, 204, 208, 215,
221, 226, 230, 232, 233, 244, 258, 260, 268, 271,
286, 287, 297, 298, 302, 305, 311, 312, 316, 319,
320, 331, 332, 335, 338, 339, 349, 351, 352, 354,
355, 390, 402, 408, 411, 424, 425, 426, 432, 435,
449
Pedagang songket 235, 264, 266, 267, 270
Pemasaran 18, 37, 54, 57, 73, 74, 75, 81, 84, 95, 96, 100,
106, 113, 118, 126, 264, 269, 271, 308, 313, 331,
332, 350, 369, 386, 389, 405, 406, 407, 413, 416,
427, 428, 432, 438, 445, 450, 458
Pembangunan ekonomi 16, 51, 81, 313, 348, 383, 413
Pemberdayaan 4, 7, 9, 16, 17, 20, 28, 50, 51, 52, 53, 54,
55, 57, 59, 61, 62, 63, 100, 119, 122, 124, 127, 219,
222, 226, 234, 236, 336, 339, 341, 348, 349, 352,
382, 383, 384, 385, 386, 387, 389, 391, 393, 394,
395, 432, 451, 454, 456, 459
Pemerintah 2, 4, 5, 7, 8, 9, 11, 13, 17, 18, 20, 21, 24, 30,
36, 43, 49, 50, 54, 55, 56, 59, 60, 61, 62, 64, 66, 67,
75, 76, 78, 79, 80, 83, 84, 86, 91, 92, 98, 99, 100,
102, 115, 117, 123, 124, 125, , 188, 223, 224, 225,
227, 229, 231, 234, 235, 239, 240, 241, 243, 250,
257, 261263, 264, 268, 269, 270, 274, 278, 279, 281,
282, 285, 286, 297, 300,303, 305, 307, 311, 312,
313, 314, 318, 319, 320, 321, 322, 323, 327, 334,
336, 337, 339, 340, 341, 343, 345, 349, 350, 352,
382, 386, 388, 391, 392, 393, 394, 396, 398, 399,
407, 408, 410, 411, 412, 415, 416, 418, 423, 424,
430, 431, 432, 434, 447, 449, 456, 457, 462, 463,
465, 470
Pemerintah daerah 462, 463
Pemipil 209
Pendapatan 5, 30, 58, 70, 71, 85, 102, 105, 116, 122, 126,
205, 219, 227, 229, 233, 245, 248, 249, 255, 262,
337, 362, 390, 402, 403, 417, 434, 437, 448, 454,
458
Penenun 197, 199, 200, 201, 203, 207, 208, 210, 211,
214, 215, 217, 219, 222, 224, 231, 233, 234, 237,
241, 247, 254
Penenun songket 12, 64, 82, 86, 107, 108, 116, 266, 270,
307, 344, 396, 414, 418, 439, 440, 448
Pengrajin 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19,
20, 22, 27, 28, 29, 34, 38, 40, 51, 53, 61, 62, 63, 64,
65, 67, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 82, 85,
86, 87, 88, 90, 91, 92, 93, 95, 96, 99, 101, 104, 105,
106, 107, 109, 113, 115, 116, 117, 126, 127, 186,
190, 202, 203, 205, 207, 210, 215, 216, 217, 218,
219, 221, 222, 223, 224, 226, 228, 229, 231, 232,
233, 234, 235, 236, 237, 238, 241, 243, 244, 245,
247, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 257, 258, 259,
263, 264, 265, 266, 267, 269, 270, 272, 273, 274,
276, 277, 278, 279, 281, 282, 283, 284, 286, 301,
303, 307, 318, 323, 325, 328, 330, 331, 332, 336,
337, 338, 339, 340, 341, 342, 343, 344, 345, 346,
347, 348, 349, 351, 352, 354, 360, 361, 366, 370,
393, 394, 395, 396, 397, 399, 401, 402, 403, 404,
405, 406, 407, 408, 409, 410, 414, 417, 418, 419,
420, 422, 423, 424, 425, 427, 428, 431, 433,
436,묈437, 438, 439, 441, 445, 447, 448, 449, 458,
459, 462, 463, 465, 469
Pengusaha songket 319
Penyencang 209
Perajin 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19,
20, 22, 28, 29, 34, 37, 38, 39, 51, 53, 61, 62, 63, 64,
65, 67, 70, 71, 72, 73, 76, 77, 78, 82, 85, 87, 88, 90,
91, 92, 93, 95, 96, 99, 100, 101, 104, 105, 106, 107,
108, 109, 110, 113, 115, 116, 117, 127, 263, 264,
265, 266, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 273, 274,
276, 277, 278, 279, 281, 282, 283, 284, 286, 301,
303, 307, 317, 318, 323, 325, 328, 330, 331, 335,
336, 337, 338, 339, 341, 342, 343, 344, 345, 346,
347, 348, 349, 351, 352, 354, 360, 361, 366, 369,
370, 393, 394, 395, 396, 397, 399, 402, 403, 404,
405, 408, 409, 410, 414, 417, 419, 420, 422, 423,
424, 425, 427, 428, 431, 432, 433, 436, 437,
438,묈439, 440, 441, 442, 445, 447, 448, 449, 459,
462
Perekonomian Islam 47, 50
Pesanan 271, 276
PIK 83, 415
PKBL, 222, 225, 228, 229
Por 208, 318
Posner 22
Produk lokal 263
Produk 58, 83, 94, 390, 415, 426
Produksi 4, 6, 12, 14, 18, 19, 21, 23, 28, 29, 31, 32, 34,
35, 39, 41, 42, 44, 45, 47, 48, 51, 52, 54, 59, 64, 65,
66, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 75, 81, 82, 84, 88, 92, 106,
110, 112, 113, 116, 120, 125, 187, 188, 189, 194,
195, 196, 217, 218, 219, 231, 232, 234, 238, 240,
242, 243, 244, 245, 247, 250, 256, 258, 259, 262,
264, 268, 271, 276, 277, 280, 286, 297, 298, 301,
303, 308, 312, 313, 323, 325, 326, 327, 336, 338,
344, 346, 351, 386, 391, 396, 397, 398, 400, 401,
403, 404, 405, 406, 407, 413, 414, 416, 420, 424,
438, 442, 444, 445, 448, 452, 457, 465, 466, 467,
469
Produktifitas 15, 17, 25, 28, 29, 40, 45, 73, 119, 120, 124,
127, 202, 222, 225, 237, 243, 244, 247, 256, 265,
280, 281, 298, 303, 305, 308, 324, 347, 357, 405,
451, 452, 456, 459
Produsen 19, 50, 68, 69, 86, 351, 382, 400, 401, 418
Pro-job 249
PROUT 43, 52
Religious values 296
Sejahtera 17, 45
Sentra usaha 203, 205, 216, 218, 223, 231, 232, 244
Sistem ekonomi Indonesia 293
Social movement 38
Solidaritas kerja 20, 186, 218, 237, 253
Solidaritas sosial 2, 335
Solidaritas 186, 218, 237, 243, 244, 247, 253
Songket lepus 215
Songket Palembang 1, 2, 5, 60, 115, 193, 195, 197, 203,
208, 215, 231, 254, 333, 334, 337, 392, 447, 464,
465, 468
Songket tawur 210, 213, 215
Sosial ekonomi 314
Sosialisme demokrasi 50, 51
Sosialisme Islam 50, 51
Sosialisme kerakyatan 50, 51
Spritualitas 26, 31, 44, 48, 358, 363, 376, 380
Sulam cruisstick 207
Sumber daya 8, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22,
23, 29, 30, 39, 43, 45, 47, 49, 51, 52, 56, 58, 65, 68,
70, 74, 77, 85, 112, 116, 340, 342, 344, 345, 347,
348, 349, 350, 351, 352, 353, 354, 371, 381, 383,
388, 390, 397, 400, 402, 406, 409, 417, 444, 448
Sumber Daya Alam (SDA)13, 19, 52, 65, 68, 88, 262,
345, 351, 384, 397, 400, 420
Sumber Daya Ekonomi (SDE) 68, 297, 400
Sumber Daya Manusia (SDM) 3, 9,11, 17, 18, 19, 20, 24,
31, 52, 68, 77, 85, 95, 106, 109, 117, 305, 335, 342,
343, 349, 350, 351, 352, 356, 384, 400, 409, 417,
427, 438, 441, 449, 463
Suri 209
Tenaga kerja 17, 26, 34, 35, 36, 48
Tenaga kerja lokal 264
Tenun 3, 4, 7, 11, 12, 13, 18, 19, 20, 24, 27, 69, 73, 74,
76, 77, 84, 85, 86, 88, 91, 93, 94, 96, 105, 108, 111,
112, 113, 114, 115, 116, 335, 336, 339, 343, 344,
345, 350, 351, 352, 356, 359, 401, 405, 406, 408,
409, 416, 417, 418, 420, 423, 425, 426, 428, 437,
440, 443, 444, 445, 446, 447, 448
Tenun ikat 195, 207
Tenun songket 3, 4, 7, 11, 12, 13, 18, 20, 27, 30, 31, 55,
69, 74, 76, 77, 84, 85, 88, 91, 93, 94, 96, 105, 108,
111, 112, 113, 115, 263, 266, 267, 268, 270, 301,
335, 336, 339, 343, 344, 345, 350, 352, 359, 401,
406, 408, 409, 416, 417, 420, 423, 425, 426, 428,
437, 440, 443, 444, 445, 447
Teori trickle down effect 1, 13, 15, 462
Teori triple-Co 46
Tradisi tenun 196
Transaksi 22, 48
Triple-Co 16, 348
UKM (Usaha Kecil dan Menengah) 51, 61, 62, 92, 94,
96, 97, 101, 269, 303, 307, 308, 309, 310, 311, 383,
393, 394, 424, 426, 428, 429, 433
UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) 6, 10, 25,
226, 227, 228
UMR (Upah Minimum Regional) 30
Unsur-unsur produksi 256
Untung rugi 14
Upah 2, 11, 5, 17, 30, 31, 87, 88, 89, 90, 91, 107, 108,
112, 113, 116, 218, 221, 232, 233, 234, 237, 238,
239, 240, 241, 242, 244, 245, 246, 247, 248, 254,
335, 338, 362, 363, 419, 420, 421, 422, 423, 439,
440, 444, 445, 448
Usaha bersama 287, 315
Usaha kecil 1, 9, 11, 12, 14, 26, 37, 38, 50, 51, 54, 56, 57,
58, 59, 60, 62, 72, 77, 78, 80, 81, 82, 84, 85, 101,
106, 117, 120, 121, 122, 123, 125, 186, 222, 225,
227, 228, 244, 268, 269, 284, 299, 304, 310, 313,
320, 322, 323, 332, 333, 346, 369, 370, 382, 383,
386, 387, 388, 389, 390, 392, 391, 394, 404, 409,
410, 412, 413, 414, 416, 417, 433, 438, 449, 452,
453, 454, 455, 457
Usaha kerakyatan 12
Usaha menengah 50, 382
Usaha mikro 1, 7, 9, 12, 26, 38, 50, 55, 57, 58, 59, 61, 81,
100, 101, 104, 106, 116, 117, 120, 121, 122, 123,
124, 125, 273, 278, 282, 310, 323, 327, 333, 339,
370, 382, 387, 389, 390, 391, 393, 413, 432, 433,
436, 438, 448, 449, 452, 453, 454, , 455 456, 457
Usaha songket 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,11, 12, 15, 16, 18,
20, 22, 27, 29, 30, 31, 32, 39, 41, 51, 52, 54, 60, 61,
62, 63, 64, 65, 68, 69, 70, 71, 75, 76, 77, 81, 82, 88,
91, 95, 96, 99, 100, 101, 103, 112, 113, 115, 117,
125, 126, 186, 191, 198, 201, 202, 203, 204, 214,
215, 216, 218, 220, 221, 222, 223, 224, 226, 228,
229, 230, 234, 237, 245, 258, 259, 263, 264, 265,
269, 273, 275, 276, 283, 301, 303, 325, 327, 331,
333, 334, 336, 337, 338, 340, 341, 343, 347, 348,
350, 352, 354, 363, 392, 393, 394, 395, 396, 397,
400, 401, 402, 403, 407, 408, 409, 413, 414, 420,
423, 427, 428, 431, 432, 433, 435, 444, 445, 447,
449, 457, 458
Usaha tenun songket 264, 268
Usaha tenun 7, 112, 339, 444
Utility 65, 256, 397
UU No. 20 tahun 2008 6, 10
Worse off 33
INDEKS TOKOH Hamid, Abdul 21, 101, 105, 353, 433, 437
Qarad}a>wi, Yusu>f 296
S{ada>r, Muhammad Baqir 22, 42, 296, 461, 463
Barro, Robert J. 33
Ipah, Cek 274
Chapra, Muhammad Umer 22, 30, 35, 37, 41, 49, 51, 230,
296, 329, 331, 362, 369, 373, 461
Dessler 17
Domar, Evsey 1
Djamil, Fathurrahman 21, 32, 353, 364
Hatta, Mohammad 5, 6, 15, 16, 17, 18, 20, 27, 34, 36, 37,
41, 42, 43, 46, 72, 222, 225, 227, 239, 284, 285, 294,
296, 324, 326, 347, 348, 352, 373, 404
Junaidi, Heri 42, 206, 236, 290, 374
Arifin, Ki Agus Zainal 21, 191, 207, 353
al-Haq, Mahbub 17
Mankiw, N. Gregory 17
Manna>n, Muhammad Abdul 35, 36, 236, 296
Melamed, A.D. 21
Mubyarto 17, 21, 22, 38, 50, 296, 314, 316, 353, 382, 461
Suma, Muhammad Amin 20, 21, 22, 33, 41, 241, 292,
327, 353, 373, 462
Antonio, Muhammad Syafei 236
Putra, Murasa Sarkani 23, 248, 281
Myint, H. 296
Myrdal, Gunnar 296
Sarkar, Prabhat Ranjan 43, 62, 120, 296, 329, 394, 452
Rodoni, Muhammad 21, 101, 353, 433
Swasono, Sri-edi 1, 5, 6, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 21, 27,
36, 41, 43, 44, 46, 51, 121, 124, 125, 284, 286, 316,
317, 324, 348, 353, 373, 383, 453, 456, 457, 461,
466, 468, 470
Rostow, Walt W. 1
INDEKS TEMPAT Australia 98, 430
Cina 7, 187, 192, 193, 197, 208, 261, 339
Desa Tanjung Laut 51
India 7, 57, 62, 120, 271, 296, 301, 329, 339, 389, 394,
452
Indonesia 1, 2, 5, 6, 7, 8, 9, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20,
22, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 34, 35, 36, 37, 38, 39,
40, 41, 43, 44, 46, 47, 50, 51, 53, 54, 58, 59, 60, 61,
67, 68, 77, 79, 83, 92, 94, 100, 103, 105, 110, 111,
114, 118, 119, 124, 187, 188, 190, 191, 193, 194,
195, 197, 198, 199, 201, 204, 214, 219, 225, 228,
239, 246, 250, 256, 260, 261, 264, 268, 271, 273,
275, 276, 278, 280, 285, 287, 293, 296, 303, 305,
306, 307, 308, 310, 312, 313, 314, 315, 316, 317,
321, 323, 324, 325, 326, 327, 345, 346, 347, 351,
352, 354, 357, 362, 364, 369, 370, 373, 379, 382,
383, 385, 386, 390, 391, 392, 393, 399, 400, 409,
411, 415, 424, 426, 432, 435, 437, 442, 443, 446,
450, 451, 456, 469
Jepang 208, 220, 221, 275, 310
Kabupaten Ogan Ilir 51, 55
Kecamatan Ilir Barat II 51, 54
Kecamatan Ilr Barat I 51
Kecamatan Tanjungbatu 51
Palembang 1, 2, 4, 5, 7, 9, 11, 12, 16, 17, 21, 24, 26, 27,
28, 29, 31, 32, 33, 34, 39, 40, 41, 42, 50, 51, 52, 54,
55, 56, 60, 61, 62, 67, 69, 75, 77, 80, 94, 99, 114,
115, 124, 125, 186, 190, 191, 193, 194, 195, 196,
197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 206, 207,
208, 210, 212, 213, 214, 215, 216, 218, 220, 221,
223, 224, 226, 228, 229, 230, 231, 234, 236, 237,
244, 245, 251, 253, 259, 260, 263, 264, 266, 268,
269, 274, 275, 276, 279, 290, 301, 306, 307, 318,
319, 331, 333, 334, 337, 339, 341, 343, 344, 348,
349, 353, 356, 364, 366, 374, 392, 393, 394, 399,
401, 407, 409, 412, 426, 431, 446, 447, 456, 457,
464, 470
Seberang Ulu 51, 55
Sumatera Selatan 5, 7, 8, 9, 13, 16, 22, 28, 30, 31, 40, 42,
51, 52, 53, 54, 60, 61, 62, 64, 66, 82, 93, 100, 104,
190, 191, 192, 193, 194, 197, 200, 215, 224, 226,
228, 229, 236, 237, 251, 263, 264, 268, 269, 274,
318, 337, 338, 339, 340, 341, 345, 348, 354, 362,
374, 392, 393, 394, 396, 398, 414, 425, 432, 436
Tangga Buntung 51, 54
Tanjung Pinang 51
Thailand 7, 20, 208, 219, 225, 271, 301, 339, 352
Tionghoa 190
INDEKS AL-QUR’AN al-Baqarah ayat 6 126, 141
ayat 213 129
ayat 30 129, 146, 151
ayat 254 142
ayat 282 290, 422
ayat 26 dan 144 360
ayat 279 298
ayat 280 298
ayat 172 298
ayat 263 355
ayat 108 355
ayat 215 381
ayat 60, 68 381
ayat 84 403
ali-Imra>n ayat 14 129
ayat 189 129
ayat 159 173
ayat 142 355
ayat 133-135 355
ayat 114 384
al-Ma>’idah ayat 8 22
ayat 120 126
ayat 20 141
ayat 2 142
ayat 42 142
ayat 8 235, 406, 422
ayat 35 355
ayat 87-88 381
ayat 1 422
al-Hujura>t ayat 13 22, 151, 235, 355
an-Nah}l ayat 71 23, 391
ayat 10-16 142
ayat 97 158, 421
ayat 10,11,12,18 160, 397
al-An’a>m ayat 165 23
ayat 142-145 142
ayat 164 159
ayat 132 355
al-Hadi>d ayat 7 126, 142
ayat 25 330
asy-Syu>ra> ayat 183 22
al-Furqa>n ayat 183 242
az-Zukhruf ayat 32 23
ar-Ru>m ayat 23 160, 397
ayat 21 295, 360
al-Hashr ayat 7 49, 157
al-Mu’min ayat 13 129
ayat 41 255
ayat 8 298
al-Muzzammil ayat 20 136
al-A’ra>f ayat 172 294, 359
al-Ahqa>f ayat 19 422
al-Ahza>b ayat 72 146
al-Anbiya>’ ayat 107 298
al-Anfa>l ayat 25 159
al-’Ankabu>t ayat 69 355
al-Bala>d ayat 17 295, 360
Fa>t}ir ayat 27-29 142
ayat 29 441
al-Furqa>n ayat 25 355
ayat 34 355
al-Hajj ayat 77 355
Hud> ayat 61 146
ayat 84-87 164
ayat 18 298
Ibra>hi>m ayat 32-34 297
al-Ja>s}iyah ayat 18 157
ayat 12-13 151
al-Jumu’ah ayat 10 168
ayat 9-11 298
al-Kahf ayat 30 158, 421
ayat 29 152, 255
al-Mu’minu>n ayat 84-85 403
al-Muddaththir ayat 3 159
al-Mulk ayat 15 297
ayat 2 157
al-Mumtah}anah ayat 7 295, 360
at-tat}fif ayat 22-26 355
ayat 14 295, 359
ayat 2-3 298
ayat 1-3 142
al-Muzzammil ayat 20 168
an-Naml ayat 88 355
an-Nisa> ayat 32 160, 397, 422
ayat 58 142, 330
ayat 65 157
an-Nu>r ayat 33 403
ayat 36-37 298
al-Qalam ayat 11 397
al-Qas}as} ayat 77 146
ayat 73 160, 397
ar-Ra’d ayat 11 159, 255
an-Naba’ ayat 11 160
Syu>ra> ayat 20 152
Ta>ha> ayat 118-119 236
at-Taubah ayat 105 158, 239, 421
at-Ti>n ayat 4 295, 360
Ya>si>n ayat 54 422
az-Z{ukhruf ayat 38 173
az-Z{umar ayat 21 142
GLOSARI
Alat gedokan : Alat tenun tradisional dari sejumlah
rangkaian kayu. Perajin duduk dilantai
dengan kaki lurus ke depan. Setiap kali
benang pakan dirapatkan dengan bantuan
sebilah papan akan mengeluarkan bunyi
yang disebut gedokan
Al-Ijarah Operasional Lease; akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan
penggantian
Altruistic considerations : Pertimbangan Kemashlahatan
Bai’u al-Istishna’ Purchase By Order Or Manufacture; sistem jual beli berdasarkan pesanan.
Bai’u al-Murabahah Defferend Payment Sale; jual beli barang dari harga pabrik (asal) dengan tambahan keuntungan yang disepakati
Bai’u Salam
In-Front Payment Sale; pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari sementara pembayaran dilakukan dimuka
Basic needs fulfillment : pemenuhan kebutuhan pokok
Bazaar : Sebuah pasar dimana diperdagangkan benda-benda yang digemari oleh umum
Benang lungsi : Benang dasar menenun yang dipasang
memanjang (vertikal). Pada alat enun
ATBM lungsi bisa mencapai 20-50 m
Benang pakan : Benang dasar menenun yang dipasangi
melebar (horizontal) yang biasanya
berukuran 90-10 cm
Capital output ratio : produktivitas modal
Cukitan : Sulaman, Mencukit= menyulam
Distribution of resources : distribusi kekayaan
Equilibrum : Hal yang berhubungan dengan keadaan yang bila sekali dicapai akan berlangsung terus menerus kecuali terdapat adanya suatu perubahan dalam keadaan non ekonomi
Flexible budget : Anggaran belanja yang fleksibel. Sebuah 333
334
anggaran belanja yang memuat perkiraan
perkiraan mengenai berapa banyak uang
tunai dibutuhkan, perkiraan mengenai
laba serta kebutuhan-kebutuhan
permodalan untuk tingkat-tingkat yang
berbeda itu
Homo economicus : sebutan orang awam terhadap mereka-
mereka yang senantiasa berorientasikan
dan mendewa-dewakan profit,
produktivitas, modal, dan hal-hal yang
berbau materi lainnya.
Human development : pembangunan manusia
Inflasi : decreasing purchasing power of money.
Laissez faire-laissez
passer
: Dari bahasa Perancis yang artinya
“biarkan segala sesuatu terjadi, biarkan
segala sesuatu berlangsung. Sebuah
doktrin yang menekankan tindakan untuk
memberikan kepada si individu
kebebasan maksimal, untuk memelihara
/mengejar kepentingan sendiri. Inti teori
ini adalah setiap individu akan
melakukan pekerjaan terbaik bilamana ia
mencapai balas jasa tertinggi.
Lepus : Kain songket yang kainnya sepenuhnya
adalah cukitan benang emas dari China.
Kadangkala benang emas ini diambil
dari kain songket yang sudah sangat tua
(ratusan tahun) karena kainnya menjadi
rapuh, benang emas disulam kembali ke
kain yang baru. Kualitas jenis songket
lepus merupakankualitas yang tertinggi
dan termahal harganya
Levels of living : tingkat kehidupan
Market-failures : Kegagalan pasar
Masagus : Gelar ini diberikan kepada anak laki-laki
dari hasil perkawinan seorang Pangeran
atau Raden dengan seorang pempuan
335
dari golongan rakyat biasa
Meiji : Kelompok orang-orang yang mempunyai
keahlian atau ketrampilan tertentu, baik
tentara, pekerjaan tanganatau membuat
karya seni
Mud}a>rabah
Trust Financing, Trust Investment; kerjasama usaha antara dua pihak. Pihak pertama sebagai penyedia modal, pihak kedua sebagai pengelola yang keduanya bergabung sebagai mitra usaha. Kemitraan tersebut dituangkan dalam sebuah master of understanding (nota kesepahaman) dengan segala pasal-pasal yang tertera didalamnya, baik keuntungan maupun kerugian, serta hal-hal yang berhubungan dengan human error
Omnipotent : Sifat berkuasa
Omniscient : Maha Tahu
One villaga one product
(ovov),
: suatu gerakan revitalisasi daerah, untuk mengembangkan potensi asli daerah supaya mampu bersaing di tingkat global.
Pangeran : Gelar tertinggi kepada putera mahkota
(biasanya anak laki-laki tertua dari sultan
palembang dan keturunannya hingga
sekarang
Pengumpul : Sebutan untuk orang yang menjadi
perantara pembeli songket dengan cepat
kepada perajin yang ada di pedesaan
wilayah kabupaten/kota di Sumatera
Selatan
Pucuk rebung : Salah satu motif yang sangat banyak
ditemui pada hampir semua kain tenun.
Inspirasinya diambil dari tunas pohon
bambu semasa muda. Dan semasa tua
tetap berguna, motip pucuk rebung
biasanya diletakkan pada bagian kepala
kain (tumpal)
Raden : Dijunjung atau dicintai. Gelar ini
336
diberikan kepada anak laki-laki dari hasil
perkawinan seorang Pangeran dengan
anak perempuan seorang Pangeran.
Gelar ini berlaku otomatis dan tidak
diberikan kepada orang lain
Raden ayu/denayu : adalah gelar istri dan anak perempuan
dari pangeran dan raden
Rumpak/ bumpak : Istilah kain songket untuk pria
Saerge taijin : Dekat pada realitas, dekat pada rakyat,
dan dekat pada kehidupan, sementara
ekonomi Jepang berangkat dari harmoni
hubungan antar manusia, dan antara
manusia dan alam
Self regulation : Mengatur diri sendiri
Self-correcting : Koreksi diri sendiri
Senam : Kelompok orang yang rendah dari Miji,
tetapi tidak boleh dipekerjakan kecuali
oleh sultan
Stelsel laissez-faire : Ekonomi pasar-bebas
Syirkah Patnership, Project Financing
Participation
Tanjak : Kain songket persegi empat yang dibuat
khusus untuk menutup kepala laki-laki
sepasang dengan kain rumpak
Trah : Urutan keturunan atau asal usul
seseorang dalam komunitasnya
Tribuere quique suum : memberikan kepada setiap orang lain apa yang menjadi haknya. Implikasi konkret dalam kehidupan, jangan mendapat sesuatu dengan cara mengorbankan hak-hak orang lain.
Trickle down effect : Efek penetesan ke bawah
Tumpal : Kepala kain yang berada di tengah
bentangan kain
Utility Diartikan kepuasan yang digambarkan
sebagai beberapa tingkat kepuasan
(satisfaction) yang terukur yang didapat
oleh konsumen dari mengkonsumsi
barang atau jasa. Sebagian besar
337
konsumen menghabiskan banyak uang
untuk memuaskan kebutuhannya.
Kepuasan konsumen dalam kajian
ekonomi makro dikenal dengan istilah
utility.
Preferensi=preference : Berarti bahwa seseorang akan
mempunyai satu bundel yang disukai,
dan indifference berarti seseorang tidak
membedakan masing-masing bundel.
Dalil ini menyatakan bahwa konsumen
dapat membuat perbandingan berkitu
untuk setiap kemungkinan pasangan
kombinasi dari bundel tersebut
Hukum Gossen (Law of
Diminishing Marginal
Utility)
: Yaitu bahwa semakin banyak sesuatu
barang dikonsumsikan, maka tambahan
kepuasan (marginal utility) yang
diperoleh dari setiap satuan tambahan
yang dikonsumsikan akan menurun.
Distingsi : Disparitas= perbedaan, jarak
Teori triple-Co yaitu Co-ownership (ikut serta dalam
pemilikan bersama), Co-determination
(ikut memiliki dan ikut menentukan
kebijakan perusahaan), Co-responsibility
(ikut serta bertanggung jawab)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Heri Junaidi, Berasal dari keluarga Bengkulu,
dan mengabdi sebagai dosen Fiqh Muamalah pada Fakultas Syari’ah
IAIN Raden Fatah Palembang. Pendidikan awal dari SDN No. 110
Palembang, SMP Tarbiyah Curup Rejang Lebong Dan kemudian melanjut
ke Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo hingga selesai tahun
1990. Strata 1 pada jurusan Perdata Pidana Islam Fakultas Syari’ah IAIN
Raden Fatah Palembang hingga mendapat gelar sarjana pada tahun 1994.
Melanjutkan S2 pada program pascasarjana Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan gelar magester (MA) pada
tahun 2002. Masuk pada program S3 pada tahun 2009 pada sekolah
pascasarjana di Universitas yang sama.
Anak dari pasangan Umar Usman dan Mariana memiliki berbagai
pengalaman pekerjaan seiring dengan perkembangan akademik
diantaranya pernah menjadi Wakil Kepala Sekolah Yayasan Pendidikan
Daruraja Cikalong Wetan Bandung (1989) dan Kepala Yayasan TK-SD-
SMP-SMA Al-Manar Cikajang Garut Jawa Barat (1999). Membangun
kursus dan bimbingan showdown (2000), dari tahun 2000 sampai tahun
2008 menjadi guru honor di SD Negeri No. 1 Palembang, SD Negeri No.
33 Palembang, SMP Ethika Palembang, SMU Muhammadiyah VII
Palembang, SMA Yanusa Jakarta Selatan. Di tahun yang sama mengajar
pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah, Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata Palembang, Universitas
Palembang, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang, Fakultas
Tarbiyah IAIN Raden Palembang pada mata kuliah metodologi, fiqh
Muamalah dan Bahasa Inggris hingga kemudian menjadi dosen tetap pada
Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang.
Pengalaman jabatan diantaranya pernah ikut pelatihan IELS Guru-
Guru Bahasa Inggris Se Indonesia di Cimahi Jawa Barat, Training of
Trainner penjamin mutu, Bina Skripsi Jurusan Ahwal al-Skhasyiah
Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang, Sekretaris Jurusan
Ahwal al-Skhasyiah Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang,
Kepala Pusat Penjamin Mutu Pendidikan IAIN Raden Fatah Palembang,
dan kepala laboratorium terpadu Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah
(2010-2014) Dalam keorganisasian pernah menjadi Ketua Theater Islam
Darussalam (Therisda) Pondok Modern Gontor Ponorogo (1987-1989, Hakim Bahasa Rayon Pondok Modern Gontor Ponorogo (1990), Sekertaris Angkatan Muda Islam Indonesia (AMII) Provinsi Sumatera Selatan (2000), Direktur Lembaga Pemerhati Ekonomi, Sosial dan Keagamaan el-Fikra Kampung Utan-Ciputat (2001-2002) Presidium III Ikatan Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2001-2002), Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Sumatera Selatan Jakarta (2001), Wakil Bidang Pengembangan keilmuan Majelis Sinergi Kalam (MASIKA) ICMI Orwil Sumatera Selatan (2005), Sekretaris Umum Lembaga Kajian Hukum Islam (LKHI) IAIN Raden Fatah Palembang (2005-2010);Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Hukum, Lembaga Penelitian IAIN Raden Fatah Palembang (2007-2009). Karya ilmiah yang sudah dimiliki baik ditulis sendiri maupun
bersama-sama tim adalah. Pertama, dalam bentuk buku yaitu:
Terjemahan Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporer tentang
isu-isu global (Jakarta: Ford Foundation-Paramadina, 2000, 2002);
Paradigma Ilmu Syari’ah (Jogjakarta: Gama Media, 2003); Anatomi Fiqh
Zakat (Jogjakarta: gama media, 2004); Negara Bangsa dan Negara
Syari’ah dalam Perspketif (Jogjakarta: Gama Media, 2005); Figh
Muamalah Kontemporer (Palembang: P3RF, 2004); Komunikasi Ulama
Umara Sumatera Selatan (Palembang: P3RF, 2006); Profil
Pengembangan Wisata Islami Kota Pagar Alam (Palembang: P3RF,
2007); Penjaminan Mutu IAIN Raden Fatah Palembang (Palembang:
P3RF, 2008); Standar Penulisan Karya Tulis Ilmiah untuk Jurnal
(Palembang: P3RF, 2008); Wacana Bilik Kampus: Kumpulan Karya
Sanggar Kerja Penulisan Karya Ilmiah (Palembang: P3RF, 2009); Jendela
Ilmiah Kampus: Kumpulan Tulisan Terpilih Dosen IAIN Raden Fatah
Palembang (Palembang: P3RF, 2009); Peta Alumni IAIN Raden Fatah
Palembang 2000-2009 (Palembang: P3RF, 2010); Menggagas Fiqh
Lingkungan Hidup (Jogjakarta: Gama Media, 2009); Membangun Daerah
Berbasis Agama: Belajar dari Musi Banyu Asin (Jogjakarta: Gama Media,
2010); Standar SAP IAIN Raden Fatah Palembang (Palembang: P3RF,
2010). 3 buku dalam proses Menulis dan editing adalah: (1) Fiqh Gender;
(2) Meretas Pemikiran Ekonom Kapitalis dan Muslim Kontemporer; (3)
Dari Bilik Kamar Kost Ciputat [tulisan lepas masa proses kuliah dalam
catatan Face book].
Kedua, Penelitian regional dan nasional, Sejarah Kudeta Dalam
Kebudayan Islam: Analisa Siyasah Kesultanan Palembang Darussalam
(2001); Bina Kesadaran Tertib Administrasi Kependudukan Masyarakat
di 11 Kabupaten/Kota wilayah Sumatera Melalui Peran Ulama (2002);
Gerakan Oposisi Ormas Islam Ekstra Parlementer Masa Pemerintahan
Abdurrahman Wahid (2001); Gagasan Sistem Ekonomi Sayyid Quthb (
Studi Tematik Atas Kitab Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an ) [2002]; Islam Dan
Politik di Indonesia (Studi Analisa Atas Kegagalan Mazhab Islam Politik
di Indonesia) [2003]; Problematika Mahasiswa IAIN Raden Fatah Dalam
Penulisan Karya Tulis Ilmiah (2003); Respon Mahasiswa IAIN Raden
Fatah Terhadap Program Kekerasan dan Sensualitas di Media Televisi
(2004); Filsafat “Wong Kito Galo”: Penelusuran Sosial Ekonomi
Masyarakat Palembang Studi Penelusuran Sikap Masyarakat Pluralistik di
Kawasan Sumatera Selatan (2004); Negara Bangsa Versus Negara
Syari’ah (Pandangan Ulama Sumatera Selatan Antara Penentang dan
Pendukung) [2005]; Rekonstruksi Lingkungan Belajar di Kota
Perdagangan (Studi Pemikiran di Perguruan Tinggi Palembang (2005);
Studi Analisis Kebijakan Pendidikan Berwawasan Gender Dalam Rangka
Penyusunan Kebijakan Pendidikan dan dan Pendidikan Luar Sekolah di
Wilayah Sumatera Selatan (2005); Teologi Maut: Memaknai Konsep
Jihad Kelompok Radikalisme (2006); Analisis Pemikiran Ekonomi H.M.
Soeharto (2007); Pemahaman Majelis Taklim Perempuan Kota
Palembang Terhadap Pembagian Tugas Bidang Ekonomi Keluarga
(2007); Respon Dosen IAIN Raden Fatah Palembang Terhadap Fiqh
Lintas Agama (2008); Studi Kebijakan IAIN Raden Fatah Palembang
Berwawasan Gender Melalui Gender Analysis Pathway (GAP) [2008];
Survey Dosen Ideal Menurut Mahasiswa IAIN Raden Fatah Palembang
(2009); Pergeseran Peran Ulama Era Otonomi Daerah di SUmatera
Selatan (2009); Peta Potensi Alumni IAIN Raden Fatah Palembang
(2010); Reproductive Health in Madrasah’s Curriculum of South Sumatra,
Partnership Research Program Ministry For Women Empowerment And
Child Protection, Flinders University and Center For Gender Studies
(PSG) IAIN Raden Fatah Palembang (2011)
Ketiga, Hasil Karya Ilmiah dalam Jurnal Regional, Nasional dan
Internasional diantaranya: Pendidikan Keberagaman: Peluang dan
tantangan menuju kehidupan pluralistik di Indonesia (concencia, 2000);
Model pembelajaran berbasis Emotional Spritual Quentient (concencia,
2000); Pendidikan Keluarga Berbasis Tauhidiyah (concencia, 2001);
Ekonomi dan Intervensi Spritualitas (Nurani, 2001); Islam Liberal:
Benarkah Sekulerisasi Berkedok Muslim (Nurani, 2002); Islam dan
Substansialisme (Nurani, 2002); Pola Relasi Gender Dalam Islam (al-
Fatah, 2002); Membangun Desa Madani (al-Fatah, 2003 ); Moralitas
Pembangunan Masyarakat dalam Perspektif Agama-Agama (al-Fatah,
2003); Gerakan Kudeta Kesultanan Palembang Darussalam: Benarkah
Perebutan Kepentingan Keturunan (intizar, 2004); Intervensi spritualitas
dalam dunia ekonomi umat (Nurani, 2005); Manuskrif Islam Pesantren:
Telaah Konsep berbasis Sumatera Selatan (Makalah juara II Penulisan
Karya Tulis Ilmiah Kalangan Akademisi Tingkat Propinsi, 2005); Respon
Komunitas Santri Pedesaan Dan Perubahan Sosial (jurnal al-Fatah, 2006);
Nikah Sirri: Subbordinasi Perempuan Berbungkus Hukum (Jurnal an-
nissa, 2006); Tenunan Songket Melayu Palembang: Sejarah, Filosofi,
Dan Perkembangannya (Jurnal Internasional di Malaysia, 2007);
Feminisme dan Gender Menurut Islam (2007); Respon Komunitas Santri
Pedesaan Dan Perubahan Sosial (jurnal al-Fatah, 2008); Nikah Sirri:
Subbordinasi Perempuan Berbungkus Hukum (Jurnal an-nissa, 2008);
Tarbiyah As-Siyasah: Belajar Dari Kegagalan Calon Legislatif Pemilu
2009 (Jurnal Nurani, 2009); Efesiensi dalam Sistem Ekonomi Islam
(jurnal ekonomi Fakultas Syari’ah, 2009; Transaksi Valas Dalam
Perspektif Syari’ah (Jurnal Iqtishad Fak. Syari’ah UIN Jakarta, 2010);
Pendidikan Efisiensi: Sebuah Pendekatan Budaya Masyarakat Belajar
(2010); Koperasi Sebagai Soko Ekonomi Kerakyatan: Studi Komparatif
Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Dan Pakistan (2010) Aqd Non Ribawi
Pada Corporate Social Responsibilty: Konsep, Dan Tawaran (2011);
Menggugat Pemikiran Ekonomi Kaum Muda Kapitalis (Jurnal Ekonomi
Fak.Syari’ah, 2011). Komunikasi dapat dilakukan lewat email:
heri_junaidi24@yahoo.com, dan alamat blog: http://heriju-
naidi.blogspot.com/
top related