alterasi hidrotermal dan mineralisasi logam … · samping yang memungkinkan, geodinamika ......

14
Seminar Nasional Ke III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI LOGAM BERHARGA DI CEKUNGAN YOGYAKARTA : Sebuah Pemikiran dari Kehadiran Sistem Hidrotermal daerah Godean Okki Verdiansyah 1 , Hill Gendoet Hartono 1 1 Staff pengajar Jurusan Teknik Geologi, STTNAS Yogyakarta 2 Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta Jl. Babarsari, Sleman, Yogyakarta Email : [email protected] Abstrak Penelitian mengenai mineralisasi logam berharga belum banyak dilakukan pada daerah Yogyakarta bagian tengah. Cekungan Yogyakarta dibatasi oleh Sesar Progo dan Sesar Opak. Pada bagian tengah cekungan ini ditemukan adanya gejala magmatisme dan vulkanisme di daerah Godean, Sleman. Kemungkinan keterdapatan endapan mineral logam berharga pada cekungan Yogyakarta dapat dikaji berdasarkan faktor tatanan tektonik, geologi regional, karakter batuan beku, keberadaan mineral sulfida dan kontrol cebakannya berdasarkan konsep endapan mineral. Cekungan Yogyakarta memiliki 3 jenis litologi yaitu batan beku, yang nampak pada permukaan seperti Godean, batuan sedimen Tersier seperti Formasi Nanggulan dan Sentolo, dan batuan pra- tersier, serta endapan Kuarter. Magmatisme pada Yogyakarta tengah atau cekungan Yogyakarta, terlihat dari adanya kompleks batuan beku di daerah Godean berupa intrusi mikrodiorit andesit porfir, batuan subvulkanik lava andesit sampai dasit, serta endapan piroklastika. Magma daerah Godean bertipe menengah asam, saturasi peralumina kuat, berupa andesit basaltik sampai dasit, dengan afinitas low-medium K-Alkali, sebagai busur gunungapi (Magmatic Arc). Sistem hidrotermal dikaji berdasarkan data magmatisme, litologi, struktur geologi, dan keberadaan hidrotermal. Sistem hidrotermal dibuktikan adanya zonasi alterasi cukup luas berupa kaolinit-smektit, smektit-illit, klorit-pirit, silika-kaolinit, dan kehadiran vein kuarsa berkadar 1.4 ppm Ag, 0.6% S, 482 ppm As, 0.24 ppm Bi, 13.1 ppm Sb. Magmatisme sebagai pembawa mineralisasi terdapat pada daerah Godean yang ditandai dengan banyaknya tekstur khusus berupa lubang miarolitik, sheeted veins, dan beberapa magnetite-hematite bleb, dan aplit monzonit. Sistem hidrotermal dibawah permukaan, dimungkinkan mengikuti pola pola struktur geologi pada Eosen-Miosen Akhir, terutama pada daerah dekat dengan sistem gunung api. Litologi yang dapat menjadi hostrock mineralisasi diinterpretasi adalah batuan beku dan vulkanik yang hadir pada sistem magmatisme di Yogyakarta, ataupun pada batuan sedimen berumur Eosen - Miosen seperti Formasi Nanggulan, atau batuan Pra-Tersier. Reaksi intrusi dasit dan batuan sedimen anggota Formasi Nanggulan terlihat dari adanya proses pengisian dan replacement massif epidot-aktinolit yang berasosiasi dengan kuarsa, hematit dan pirit. Perkiraan waktu mineralisasi, didsarakan adanya magmatisme di Godean dengan umur perkiraan Oligo-Miosen dan Pliosen. Tipe endapan mineral kemungkinan berasosiasi dengan busur magmatik (Magmatic Arc), berasosiasi dengan tubuh intrusi seperti porfiri Cu-Au, Skarn, Sediment-hosted Au, dan beberapa tipe endapan epitermal. Pemikiran ini diharapkan menjadi awal penelitian geologi dan yang terkait lainnya. Kata Kunci : Mineralisasi, Cekungan, Yogyakarta, Magmatisme, Logam .

Upload: vanxuyen

Post on 08-Mar-2019

242 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI LOGAM

BERHARGA DI CEKUNGAN YOGYAKARTA : Sebuah Pemikiran dari Kehadiran Sistem Hidrotermal daerah Godean

Okki Verdiansyah1, Hill Gendoet Hartono1

1 Staff pengajar Jurusan Teknik Geologi, STTNAS Yogyakarta 2 Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta

Jl. Babarsari, Sleman, Yogyakarta

Email : [email protected]

Abstrak

Penelitian mengenai mineralisasi logam berharga belum banyak dilakukan pada daerah

Yogyakarta bagian tengah. Cekungan Yogyakarta dibatasi oleh Sesar Progo dan Sesar Opak. Pada

bagian tengah cekungan ini ditemukan adanya gejala magmatisme dan vulkanisme di daerah Godean, Sleman. Kemungkinan keterdapatan endapan mineral logam berharga pada cekungan

Yogyakarta dapat dikaji berdasarkan faktor tatanan tektonik, geologi regional, karakter batuan beku,

keberadaan mineral sulfida dan kontrol cebakannya berdasarkan konsep endapan mineral.

Cekungan Yogyakarta memiliki 3 jenis litologi yaitu batan beku, yang nampak pada permukaan

seperti Godean, batuan sedimen Tersier seperti Formasi Nanggulan dan Sentolo, dan batuan pra-

tersier, serta endapan Kuarter. Magmatisme pada Yogyakarta tengah atau cekungan Yogyakarta,

terlihat dari adanya kompleks batuan beku di daerah Godean berupa intrusi mikrodiorit – andesit

porfir, batuan subvulkanik – lava andesit sampai dasit, serta endapan piroklastika. Magma daerah

Godean bertipe menengah – asam, saturasi peralumina kuat, berupa andesit basaltik sampai dasit,

dengan afinitas low-medium K-Alkali, sebagai busur gunungapi (Magmatic Arc). Sistem hidrotermal

dikaji berdasarkan data magmatisme, litologi, struktur geologi, dan keberadaan hidrotermal. Sistem

hidrotermal dibuktikan adanya zonasi alterasi cukup luas berupa kaolinit-smektit, smektit-illit,

klorit-pirit, silika-kaolinit, dan kehadiran vein kuarsa berkadar 1.4 ppm Ag, 0.6% S, 482 ppm As,

0.24 ppm Bi, 13.1 ppm Sb. Magmatisme sebagai pembawa mineralisasi terdapat pada daerah

Godean yang ditandai dengan banyaknya tekstur khusus berupa lubang miarolitik, sheeted veins,

dan beberapa magnetite-hematite bleb, dan aplit monzonit. Sistem hidrotermal dibawah permukaan,

dimungkinkan mengikuti pola – pola struktur geologi pada Eosen-Miosen Akhir, terutama pada

daerah dekat dengan sistem gunung api. Litologi yang dapat menjadi hostrock mineralisasi

diinterpretasi adalah batuan beku dan vulkanik yang hadir pada sistem magmatisme di Yogyakarta,

ataupun pada batuan sedimen berumur Eosen - Miosen seperti Formasi Nanggulan, atau batuan

Pra-Tersier. Reaksi intrusi dasit dan batuan sedimen anggota Formasi Nanggulan terlihat dari

adanya proses pengisian dan replacement massif epidot-aktinolit yang berasosiasi dengan kuarsa,

hematit dan pirit. Perkiraan waktu mineralisasi, didsarakan adanya magmatisme di Godean dengan

umur perkiraan Oligo-Miosen dan Pliosen. Tipe endapan mineral kemungkinan berasosiasi dengan

busur magmatik (Magmatic Arc), berasosiasi dengan tubuh intrusi seperti porfiri Cu-Au, Skarn,

Sediment-hosted Au, dan beberapa tipe endapan epitermal. Pemikiran ini diharapkan menjadi awal

penelitian geologi dan yang terkait lainnya.

Kata Kunci : Mineralisasi, Cekungan, Yogyakarta, Magmatisme, Logam .

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

1. Pendahuluan

Penelitian geologi daerah Yogyakarta,

selama ini banyak menyangkut hal-hal

berkaitan dengan tektonik (Sudarno, 1999;

Syafrie, dkk., 2013; Smyth, et al., 2005;

Budiadi, 2008), Sedimentologi dan

Paleontologi (Pandita & Pambudi, 2009;

Barianto, dkk, 2009; Barianto, dkk., 2010;

Takahashi, 1982), analisis untuk minyak dan

gas bumi (Winardi, dkk., 2013; Smyht, et al.,

2003), serta untuk geohidrologi (Santosa,

2010; Hendrayana, 2013). Adapun penelitian

mengenai konsep mineralisasi secara regional

telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti

Setiadji, dkk. (2006); Setiadji & Marjono

(2012).

Penelitian mengenai mineralisasi dan

kandungan logam berharga belum banyak

dilakukan pada daerah Yogyakarta bagian

tengah, sehingga penulis mencoba mengawali

pemikiran adanya hal tersebut, berdasarkan

data-data mendukung seperti sumber panas

berupa magmatisme (intrusi dan gunung ai

purba), keberadaan kontrol tektonik, batuan

samping yang memungkinkan, geodinamika

dan kesamaan daerah dengan model yang ada.

Cekungan Yogyakarta secara konsep

berada pada bagian tengah Yogyakarta, yang

secara tektonik terbatasi oleh Sesar Progo dan

Sesar Opak. Pada bagian tengah cekungan ini

ditemukan adanya gejala magmatisme dan

vulkanisme di daerah Godean, Kabupaten

Sleman (Bronto, 1999; 2014, Verdiansyah,

2016), yang berumur Miosen yang

diinterpretasi seumur dengan jajaran

Pegunungan Selatan bagian utara yang

berumur Oligo-Miosen. Vulkanisme dan

magmatisme daerah Godean diinterpretasi

serupa dengan Gajahmungkur (Wonogiri) dan

Menoreh (Magelang) yang berumur 11.3 –

17.2 Juta tahun lalu (jtl), yang disertai tahapan

mineralisasi pada bagian fasies pusat

erupsinya.

2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah

metode kualitatif berdasarkan kajian data

sekunder, namun diikuti pemetaan geologi

dan geokimia pada batuan yang diinterpretasi

dapat membawa mineralisasi pada daerah

Godean, sebagai dasar pemikiran regional.

3. Hasil dan Analisis

Penelitian ini merupakan kajian

terhadap fenomena sistem hidrotermal pada

daerah Godean, dan dikaitkan dengan daerah

sekitarnya. Kemungkinan keterdapatan

endapan mineral logam berharga pada

cekungan Yogyakarta dapat dikaji

berdasarkan faktor tatanan tektonik, geologi

regional, karakter batuan beku, keberadaan

mineral sulfida dan kontrol cebakannya

berdasarkan konsep endapan mineral oleh

Hedenquist, et al. (2000), Einaudi et al.

(2003), Sillitoe (1999; 2010). Penjabaran

geologi regional dan cekungan Yogyakarta

menggunakan data sekunder yaitu Rahardjo,

dkk. (1997), Sudarno (1999), Barianto, dkk

(2009), Winardi, dkk. (2013), dan

Verdiansyah (2016).

3.1. Cekungan Yogyakarta

Cekungan Yogyakarta, merupakan dataran

rendah yang dibatasi oleh Kali Progo pada sisi

Barat, Kali Opak pada sisi Timur, dan

Gunung Merapi pada bagian utara, sebagai

tempat pengendapan endapan fluvio-vulkanik

Merapi pada masa Kuarter. Cekungan

Yogyakarta terbentuk akibat Graben

Yogyakarta (Asikin, 2006; Barianto dkk,

2010; Rahardjo, dkk., 1997) yang mengalami

penurunan sekitar 14 jtl berdasarkan data

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

pembandingan paleontologi pada batuan

karbonat oleh Barianto, dkk (2009).

Saat ini Cekungan Yogyakarta sebagian besar

merupakan endapan fluvio-vulkanik Gunung

Merapi kuarter cukup tebal, dengan potensi

hidrogeologi yang baik. Endapan kuarter

dibatasi oleh perbukitan Sentolo dan

Jonggrangan pada daerah Selatan Yogyakarta.

Batasan pemikiran mineralisasi untuk daerah

Yogyakarta bagian tengah adalah

kemungkinan terjadinya mineralisasi pada

batuan dasar di Cekungan Yogyakarta.

Batuan dasar cekungan Yogyakarta sendiri

banyak diinterpretasi sebagai batuan sedimen

berumur Eosen – Miosen yang identik dengan

formasi Nanggulan, atau bisa juga sebagai

satuan vulkanik berupa lava dan breksi serupa

dengan Formasi Andesit Tua di Kulon Progo.

Berdasarkan data bawah permukaan (Winardi,

dkk., 2013; Widiyanto, 2009 dalam Syafri,

dkk., 2013; Barianto, dkk., 2009) maka dapat

disimpulkan cekungan Yogyakarta memiliki 3

jenis litologi yaitu : (1). Batuan beku kristalin,

yang Nampak pada permukaan seperti

Godean, (2) Batuan sedimen Tersier seperti

Formasi Nanggulan dan Sentolo, (3). Batuan

pra-tersier, (4). Endapan Kuarter.

Gambar 1. Model geologi dibawah Cekungan Yogyakarta berdasarkan data bawah

permukaan. (a) oleh Widiyanto, 2013 dan (b) oleh Pertamina, 2008 (dalam Winardi,

2013).

3.2. Geologi daerah Yogyakarta bagian

tengah

Raharjo, dkk. (1997) menyebutkan Batuan

tertua dimasukkan ke dalam Formasi

Nanggulan (Teon), yang berumur Eosen.

Formasi ini terdiri atas batupasir dengan

sisipan lignit, napal pasiran, batulempung

dengan konkresi limonit, sisipan napal dan

batugamping, batupasir dan tuf. Di atas

Formasi Nanggulan diendapkan Formasi

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

Kebobutak (Tmok), yang tersusun oleh breksi

andesit, tuf, tuf lapili, aglomeratdan sisipan

aliran lava andesit dan berumur Oligo-

Miosen. Kedua satuan batuan tersebut

kemudian diterobos oleh diorit (dr) dan

andesit (a), yang berumur Miosen Bawah.

Lebih ke selatan dari Godean, yakni di daerah

Kabupaten Bantul, terdapat Formasi Sentolo

(Tmps), yang terdiri atas batugamping dan

batupasir napalan berumur Miosen - Pliosen.

Volkanisme Kuarter di daerah Yogyakarta

membentuk Gunung api Merapi, yang

materialnya dibagi menjadi Endapan Gunung

api Merapi Tua (Qmo) dan Endapan Gunung

api Merapi Muda (Qmi). Hanya Endapan

Gunung api Merapi Muda yang sampai di

daerah Godean dan Bantul.

Pada daerah Yogyakarta bagian tengah

terdapat morfologi perbukitan terisolir pada

daerah Godean terbentuk akibat pengaruh dari

kontrol denudasional pada batuan beku dan

gunungapi, sebagai sisa dari pelapukan dari

erosi permukaan sehingga tampak sebagai

tinggian. Morfologi dataran pada sekeliling

daerah Godean, dihasilkan oleh endapan

kuarter berupa endapan fluvio -vulkanik dan

longsoran raksasa dari Gunung Merapi

(Bronto, 2014), yang secara lokal terlihat

dataran yang sedikit bergelombang akibat

pengendapan material dalam sistem pekat.

Struktur geologi pada batuan berumur

Paleogen, dan utamanya pada daerah Godean

terlihat membentuk pola jajaran genjang,

sebagai gabungan struktur berarah barat –

timur dan utara-selatan yang membentuk

graben Yogyakarta – Bantul (Sudarno, 1999;

Barianto, 2009), dan dengan pola tektonik

beupa sesar berarah selatan-baratlaut dan

sesar turun berarah barat – timur (Widyanto,

2013 dalam Syafri, dkk., 2013) yang

mempengaruhi pola anomali pada Godean

dan Banguntapan yang dinterpretasi sebagai

perlapisan sedimen yang dipengaruhi adanya

intrusi (interpretasi dari data Barianto, dkk.,

2009; Winardi, dkk., 2013).

3.3. Magmatisme dan vulkanisme

Indonesia merupakan bagian dari tatanan

tektonik Asia Tenggara, yang berumur

Cenozoic yang membentuk jalur magmatisme

dan gunungapi Tersier yang membentuk jalur

mineralisasi pada umur Tersier (Oligosen –

Pliosen), seperti pada sabuk – sabuk tektonik

Sunda – Banda. Pada daerah Jawa, evolusi

magmatisme selama Paleosen-Eosen masih

belum pasti ditentukan polanya, sehingga pola

magmatisme batu dapat diketahui mulai dari

Oligosen (Setiadji, et al., 2006; Setiadji dan

Maryono, 2013). Magmatisme di daerah

Kulon Progo merupakan seri magma kalk-

alkali dengan komposisi andesit basaltik

sampai dasit, yang terjadi dalam dua periode

yaitu Oligosen akhir – Miosen Awal (25.4 –

29.6 jtl) dan pada Miosen Akhir (8.1 ± 1.19

jtl) (Harjanto, 2011).

Pegunungan selatan, sebagian besar

merupakan kompleks gunungapi yang

membentuk gumuk, khuluk dan bregada, serta

beberapa kaldera purba (Hartono, 2010).

Batuan beku dalam kompleks gunung api

tersebut mempunyai umur berkisar Oligosen –

Miosen, yang pada peta geologi regional

disebut sebagai Old Andesite Formation

(OAF) pada sisi barat seperti Kulonprogo dan

Godean, serta disebut Mandalika pada bagian

timurnnya. Magmatisme pegunungan selatan

yang kemungkinan serupa dengan Godean

adalah pada umur 11.3 – 17.2 Jtl seperti

Gajahmungkur (Wonogiri), Gunung Ijo

(Kulonprogo) dan Menoreh (Magelang), yang

disertai tahapan mineralisasi pada bagian

fasies pusat erupsinya.

Magmatisme pada Yogyakarta tengah atau

cekungan Yogyakarta, terlihat dari adanya

kompleks batuan beku di daerah Godean

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

berupa intrusi mikrodiorit – andesit porfir,

batuan subvulkanik – lava andesit sampai

dasit, serta setempat dijumpai endapan

piroklastika. Pada daerah lainnya

diinterpretasi adanya vulkanisme yang

menghasilkan batuan andesit di daerah

Banguntapan (Bantul), namun belum ada data

penelitian detil pada daerah ini.

Tipe magmatisme pada daerah Godean inilah,

yang menjadikan faktor utama adanya

mineralisasi pada cekungan Yogyakarta yang

didasarkan pada karakter geokimia batuan,

petrologi, dan keberadaan mineral sekunder.

Geokimia batuan beku pada daerah Godean

ditunjukan dengan magma tipe menengah –

asam (55.0 – 66.9% SiO2), dengan afinitas

kapur alkali dan saturasi peralumina kuat.

Korelasi unsur oksida utama terlihat SiO2

positif terhadap K2O, Na2O, P2O5, dan MnO,

serta negatif terhadap TiO2, Al2O3, Fe2O3, dan

MgO. Batuan beku daerah Godean berupa

andesit basaltik sampai dasit, dengan afinitas

kapur alkali (TAS diagram), dengan

magmatisme sebagai busur gunungapi

(Magmatic Arc) dengan perkiraan kedalaman

benioff zone adalah 101 - 143 km berdasarkan

perhitungan Hutchison (1976) dari data SiO2,

Sr, Rb, dan K2O.

Gambar 2. Data geokimia Kulonprogo (elips merah) dan Godean (elips hijau), (a)

TAS Diagram oleh Le Bas, et al., 1986. dan (b) Diagram ternari diskriminan tataan

tektonik magmatisme oleh Mullen, 1983.

Vulkanisme pada daerah Godean,

diinterpretasi sebagai hadirnya batuan

subvulkanik andesit – dasit dan kubah lava

dasitik pada Gunung Wungkal, yang diikuti

alterasi hidrotermal tipe asam. Interpretasi

berdasarkan kajian data sekunder (geofisika,

struktur, geologi, geokimia) menunjukan

kemungkinan adanya sistem kaldera di daerah

Godean dengan diameter sekitar 15 km,

dimana Kalisongo dan Mujil sebagai related

intrusion yang membentuk gunungapi pada

tepi kaldera, sedangkan Godean adalah bagian

dari gunungapi membentuk intrusi dan kubah

lava berada di dalam kaldera. Konsep kaldera

ini, tentunya masih sangat membutuhkan data

penunjang dan peneliian detil mengenai hal

ini.

Petrologi batuan beku daerah Godean,

menunjukan adanya kehadiran mineral kaya

potassium seperti sanidin dan biotit yang

hadir sebagai fenokris dalam andesit porfir

dan dasit. Hal ini menunjukan bahwa

batholith dari sistem magmatisme daerah

Godean dimungkinan adalah Monzonitik –

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

Granodiorit dimana hal ini sedikit berbeda

dengan daerah pegunungan selatan lainnya

yang tidak memiliki komposisi K-Feldspar.

menunjukan adanya tekstur khusus dan

mineralogi penciri pembawa mineralisasi baik

pada batuan intrusi maupun pada batuan

subvulkanik.

Andesit porfir - mikrodiorit

Litologi ini diinterpretasi sebagai

batuan intrusi dangkal sekitar 0.5 – 1 km

dibawah permukaan purba, yang menembus

batuan beku lainnya seperti diorit,

monzodiorit yang hanya dijumpai sebagai

senolit didalam andesit porfir.

Tekstur batuan ini adalah porfiritik,

dengan fenokris terdiri dari hornblenda,

plagioklas (An 37-45), dan beberapa sanidin

pada masa dasar kristal – kristal berukuran

halus 0.3 – 0.8 mm, yang terdiri dari

plagioklas dan hornblenda. Tekstur batuan ini

porfiritik sampai intersertal, dengan Kristal

tidak mengalami reaksi rim, sehingga

diperkirakan batuan ini merupakan intrusi

yang tidak mengalami pergerakan berarti.

Andesit, dasit hornblenda dan basal

Andesit hornblenda dengan fenokris

32.5% berupa plagioklas (andesin), sanidin,

hornblenda, kuarsa, biotit dan masa dasar

berupa kuarsa, dan kristalit, plagioklas,

hornblenda, gelas vulkanik, mikrolit, serta

terdapat beberapa mineral sekunder seperti

kalsit. Batuan daerah Wungkal sampai juring

telah banyak mengandung sanidin (K-

Feldspar) sebanyak 10 -15% sebagai fenokris

dan massadasar, yang jika dianalogikan

menjadi batuan plutonik identik dengan

komposisi dari monzodiorit. Keberadaan

biotit dan Fe-Hornblenda menandakan bahwa

magmatisme Wungkal – Juring telah

mengalami fraksinasi kristalisasi dengan ciri

pengkayaan potassium (K) dan terjadinya

reaksi pada pingiran kristal (rim reaction)

berupa pengkayaan sodium pada zoning

plagioklas, perubahan mineral pada kuarsa

dan sanidin, serta adanya retakan terisi

mineral opak. Pada fase akhir magmatisme,

hadir basal berupa terobosan vertikal pada

tubuh dasit. Karakter batuan ini sangat mirip

dengan batuan beku pada daerah Kalisongo,

Kulonprogo.

Pada perhitungan geokimia normatif-

CIPW, batuan dasit terlihat memiliki 26.10 %

kuarsa, 52.78% plagioklas, dan 11,2 % K-

feldspar, serta 8.4% mineral mafik.

3.4. Sistem Hidrotermal

Sistem hidrotermal membutuhkan dua

parameter utama yaitu pemanas

(magmatisme) dan sirkulasi air (meteorik,

magmatik) yang membentuk larutan

hidrotermal pada kondisi tertentu. Bentuk dan

karakter cebakan dikontrol oleh 3 hal yaitu

litologi, struktur geologi (sesar), dan breksi

hidrotermal (Sillitoe, 1999). Parameter sistem

hidrotermal utama adalah pH, temperatur, dan

durasi interaksi hidrotermal (Corbett &

Leach, 1997) dimana hal ini akan

menghasilkan alterasi hidrotermal yang

kemudian diikuti sulfidasi mineral logam.

Sistem hidrotermal pada daerah Yogyakarta

bagian tengah, telah terlihat pada daerah

Godean dengan adanya alterasi hidrotermal

kuat pada Gunung Wungkal dan keberadaan

tekstur khusus pada tubuh intrusi, yang

diinterpretasi sebagai bagian transisi

magmatik menuju hidrotermal. Pada daerah

G. Wungkal, alterasi tersebut membentuk

zonasi alterasi cukup luas yang terdiri dari

kaolinit-smektit, smektit-illit, klorit-pirit,

silika-kaolinit, dan kehadiran vein kuarsa

setempat dengan kadar 1.4 ppm Ag, 0.6% S,

482 ppm As, 0.24 ppm Bi, 13.1 ppm Sb,

(unsur Au tidak dilakukan analisa) yang

diinterpretasi sebagai sistem epitermal

sulfidasi rendah.

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

Gambar 3. Mikrofotograf dari mineralogi penyusun batuan dasit di Gunung Wungkal. (a)

Glomero-fenokris berupa sanidin dan plagioklas yang mengalami reaksi berupa pengisian

retakan mineral opak pada kristal sanidin. (b) kuarsa embayment, (c) oscilating-zoning pada

plagioklas. (d) Biotit yang sebagian terubah menjadi klorit, (e) Hornblenda dam k-feldspar

sebagai fenokris, (f) massa dasar berupa kuarsa, mikrolit, kristalit yang sebagian terubah menjadi

klorit – smektit.

Kehadiran sistem hidrotermal di permukaan,

merupakan implikasi adanya sistem

hidrotermal lainnya yang kemunngkinan

tertutup oleh endapan kuarter yang cukup

tebal atau berada dibawah permukaan. Tipe

litologi batuan beku yang mempunyai tekstur

khusus dan mempunyai mineral kaya

potassium, biasanya akan menghasilkan

endapan – endapan mineral cukup baik, selain

faktor lainnya yang mendukung yaitu

keberadaan batuan sedimen yang diterobos

atau berada pada sistem hidrotermal ini.

[a]. Batuan pembawa mineralisasi

Batuan pembawa mineralisasi

diinterpretasi adalah batuan beku yang

memiliki satu sistem magmatisme sama

dengan Godean, dimana Godean

diinterpretasi sebagai bagian dari Kaldera

besar di Yogyakarta. Tipe magma kalk-

alkali, terbentuk pada lingkungan busur

magmatik, dengan batuan beku memiliki

mineral kaya potassium, telah mengalami

fraksinasi kristalisasi mencapai batuan

asam berupa dasit menandakan sistem

magmatisme daerah Godean lebih baik

dibanding daerah regional lainnya di

Pegunungan Selatan, yang telah

dibuktikan adanya endapan mineral tipe

porfiri Cu-Au di Selogiri, dan epitermal

Au di Salaman, Magelang serta Kompleks

vein epitermal di Kokap, Kulon Progo.

Geokimia batuan menunjukan rasio Sr/Y

21.3 dan Y : 11.7 ppm, yang merupakan

bagian dari sistem magma tipe adakitik

pada normal magmatisme busur

kepulauan di jawa tengah (Setiadji, dkk.,

2000)

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

Magmatisme sebagai pembawa

mineralisasi terdapat pada daerah Godean

yang ditandai dengan banyaknya tekstur

khusus berupa lubang miarolitik, sheeted

veins, dan beberapa magnetit-hematit bleb

serta diikuti dengan pembentukan aplit

monzonit pada beberapa tempat. Tekstur

miarolitik ini banyak dijumpai di dalam

batuan beku Berjo dan Butak, dengan

karakter terisi oleh epidot, kuarsa, dan

feldspar, mineral karbonat serta sedikit

apatit yang juga diikuti mineral opak

(hematit dan magnetit). Tekstur-tekstur

seperti ini merupakan tekstur yang banyak

berkembang pada batuan beku atau

magma yang mengandung banyak volatil

(gas dan larutan), dan biasanya akan

berasosiasi dengan sistem hidrotermal

(Candela, 1997; Johnson, 2014; Kirwin,

2006), yang kemungkinan juga bernilai

ekonomis (Kirwin, 2006). Magmatisme

pembentuk batuan intrusi andesit –

mikrodiorit ini mempunyai fase transisi

menuju hidrotermal dengan suhu 300ºC-

500ºC berdasarkan keberadaan mineral

epidot dan apatit.

Dengan kondisi magmatisme lebih

mendukung, tentunya mineralisasi akan

berkembang baik di daerah Yogyakarta

tengah, namun saat ini tidak terlihat

karena faktor pembentukan rendahan

Yogyakarta ini. Berdasarkan data

petrologi, maka kemungkinan tipe batuan

intrusi yang hadir sebagai batolit

diperkirakan adalah monzodiorit kuarsa

atau granodiorit, dimanan pada

permukaan membentuk dasit porfir yang

kaya sanidin dan biotit.

Pada bagian selatan Godean dijumpai

batupasir berlaminasi yang diinterpretasi

lebih muda dari batuan intrusi, dan

mempunyai material asal dari Godean.

Analisa petrografi menunjukan batuan ini

berupa batupasir yang kaya mineral mafik

dan opak, dengan derajat kedewasaaan

immature. Jika dilihat dari material

penyusunya, memperlihatkan bahwa

sedimen ini berasal dari rombakan batuan

beku dan vulkanik, dengan mineral mafik

utamanya adalah hornblenda, feldspar

dominan adalah K-feldspar, hal ini

menandalkan bahwa daerah Godean

memang banyak terbentuk oleh batuan

kayak mineral pembawa potassium.

Gambar 3. Mikrograf dari sayatan tipis tekstur miarolitik pada andesit porfir.

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

Gambar 4. Model skematik intrusi dan keberadaan tekstur khasnya pada bagian

atas tubuh oleh Kirwin (2006) dan keterdapatan tekstur khusus di daerah Berjo dan

Butak seperti (a) aplit monzonit, (b) lubang miarolitik, dan (c-d) urat sheeted kuarsa-

feldspar-magnetit.

Gambar 5. Batuan sedimen yang diinterpretasi hasil rombakan dari batuan beku dan vulkanik

Godean. (a-b) terlihat litik batuan vulkanik yaitu trasitik (sanidin fenokris) dan glass tuff, mineral

biotit dan hornblenda, serta feldspar, (c) penjajaran mineral opak pada batupasir.

[b]. Kontrol struktur

Kontrol struktur geologi terhadap

hidrotermal masih terlihat lokal terdapat pada

sitem hidrotermal di Godean, berupa zonasi

alterasi dan pengarahan urat kuarsa.

Keberadaan struktur bawah

permukaan telah diinterpretasi oleh Sudarno

(1999), yang terbagi menjadi 4 pola struktur

di Pegunungan Selatan (Gunung Kidul) yaitu

sesar mengkiri Baratdaya – Timur laut akibat

kompresi oleh subduksi Indo-Australia

selama Eosen – Miosen akhir, pola Utara –

Selatan, sebagian besar berupa sesar

mengkiri, kecuali pada daerah parangtritis dan

bagian barat Pegunungan Selatan, Baratlaut –

Tenggara berupa sesar menganan, sebagai

hasil kompresi Utara Barat laut – Selatan

Tenggara yangberkembang pada Pliosen

akhir, pola Barat – Timur, berupa sesar

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

normal hasil gaya ekstensi utara – selatan

selama Pliosen akhir, dimana tahapan ini

menghasilkan reaktifasi beberapa sesar yang

ada menjadi sesar normal.

Pola sistem hidrotermal dibawah

permukaan, dimungkinkan mengikuti pola –

pola tersebut, terutama pada daerah dengan

sistem gunung api Godean, dan juga

kemungkinan pada sisa sisa gunung api purba

yang belum diketahui secara pasti seperti di

Banguntapan (Bantul).

[c]. Kontrol litologi

Litologi yang dapat menjadi hostrock

mineralisasi diinterpretasi adalah batuan beku

dan vulkanik yang hadir pada sistem

magmatisme di Yogyakarta, ataupun pada

batuan sedimen berumur Eosen - Miosen

seperti Formasi Nanggulan, atau batuan Pra-

Tersier yang belum diketahui secara fisik,

namun telah diinterpretasi oleh Winardi, dkk

(2013) terdapat pada kedalaman > 1 km.

Kontrol litologi pada sistem mineralisasi

biasanya terjadi pada batuan sedimen kaya

karbon dan karbonatan, seperti pada endapan

mineral logam emas daerah Messel (Sulawesi Utara), Sihayo (Sumatera Selatan), dan

beberapa endapan sulfidasi tinggi. Endapan

ini sangat berhubungan dengan adanya intrusi

dibawah permukaan, yang dimungkinkan

hadir sebagai tubuh batolit dan intrusi di

bawah permukaan.

Karaketeristik batuan sedimen pada cekungan

Yogyakarta, diinterpretasi oleh Syafri, dkk.

(2013), dan Winardi, dkk. (2013) sebagai

batuan Paleogen atau Tersier yang setipe

dengan Formasi Nanggulan, yang terdiri dari

batu pasir, sisipan lignit, napal pasiran dan

batu lempungan dengan konkresi limonit,

batu gamping dan tuff, kaya akan fosil

foraminifera dan moluska dengan ketebalan

300 m (Rahardjo, dkk., 1997), yang terbagi

menjadi Axinea Beds; batupasir, dan

batulempung dengan sisipan lignit yang

semuanya berfasies litoral, memiliki banyak

fosil pelecypoda, Yogyakarta beds : terdiri

dari batulempung yang mengkonkresi nodul,

napal, batulempung, dan batupasir, fosil

foraminifera besar dan gastropoda.

Discocyclina beds terdiri dari batunapal yang

terinteklasi dengan batugamping dan tuf, serta

batuan arkose, dengan fosil discocyclina. Data

regional memperlihatkan hanya terdata

sebagai Formasi Nanggulan yang lebih muda

dari satuan terobosan dasit dan Formasi

Andesit tua (Sulianto, 1996; Rahardjo, dkk,

1995 dalam Winardi, dkk., 2013), yang

disebut sebagai sedimen Paleogen oleh

Pertamina (1998, dalam Winardi, dkk., 2013)

dengan umur perkiraan 58.4 jtl, dengan

ketebalan 1100 m, kedalaman mencapai 3600

m.

Batuan lainnya seperti karbonat (Formasi

Sentolo) tidak diasumsikan sebagai hostrock

karena mempunyai umur lebih muda dari

batuan beku, atau seiringan dengan

pembentukan fasies karbonat dan kegiatan

gunungapi masa lalu (Pandita & Pambudi,

2009), serta banyaknya dijumpai bongkah

batugamping fragmental di atas gunung

Wungkal.

Adapun Pertamina (1998, dalam Winardi,

dkk., 2013) menyebutkan adanya batuan

vulkaniklastik Neogen dan batuan karbonat

dibawah permukaan masih memungkinkan

jika dilakukan penelitian detil bawah

permukaan di sekitar Godean. Batuan

vulkaniklastik dibawah permukaan dapat saja

terbentuk sebagai bagian dari vulkanisme

Godean dan lainnya, yang banyak terpendam

di Yogyakarta.

Reaksi antara sedimen dan intrusi

Kontrol litologi pada sistem mineralisasi

tentunya tidak terlepas dari adanya reaksi

metasomatisme, yang dapat terjadi secara

prograde ataupun retrograde. Litologi batuan

sedimen yang dimungkinan bereaksi adalah

dari anggota Formasi Nanggulan, dimana

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

Winardi, dkk. (2013) menyebutkan adanya

peningkatan suhu dengan kenaikan gradien

geotermal sekitar 3-4 ºC/100 m, akibatkan

intrusi Godean.

Reaksi intrusi dasit dan batuan sedimen

anggota Formasi Nanggulan terlihat dari

adanya proses pengisian dan replacement

massif epidot-aktinolit yang berasosiasi

dengan kuarsa, hematit dan pirit (Gambar 5)

pada beberapa tempat di Gunung Wungkal.

Reaksi metasomatisme ini menandakan

batuan samping bersifat aktif dan reaktif

terhadap magmatisme dan hidrotermal,

sehingga dapat diasumsikan aka nada

mineralisasi dibawah permukaan dengan

kontrol utama litologi.

Gambar 5. Kontak dasit dan batupasir anggota Fotmasi Nanggulan, dan terlihat beberapa proses

metasomatisme dan pembentukan mineral hidrotermal massif pada lubang dan retakan batuan.

Kondisi singkapan lapuk kuat dan merata. (a) Singkapan bentuk kontak batuan, (b) epidot-

aktinolit massif, (c-d) epidot-klorit pada lubang batuan, (e-f) petrografi sampel b, terlihat epidot

dominan, dan beberapa aktinolit, serta kuarsa hidrotermal, (g) petrogradi sampel b, terlihat

mineral opak, yang diinterpretasi hematit – pirit.

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

[d]. Perkiraan umur dan kesamaan sistem

regional

Perkiraan waktu mineralisasi, didasarkan

adanya magmatisme di Godean dengan umur

perkiraan Oligo-Miosen seumur dengan

Formasi Andesit Tua (Rahardjo, dkk., 1997)

atau dengan umur intrusi 28.5 jtl (Pertamina,

1998 dalam Winardi, dkk., 2013).

Magmatisme regional daerah pegunungan

selatan memiliki karakteristik kisaran umur

yang berbeda pada setiap fase kristalisasi

magmanya seperti pada daerah Kulon Progo

tercatat adanya umur relatif 47.5 jtl – 8.1 jtl

atau di Gadjah Mungkur dari 21.7 jtl – 9.6 jtl

(Gambar 6). Kisaran umur Godean dan intrusi

lainnya di bagian Yogyakarta tengah belum

banyak data, namun dapat diinterpretasi

sebagai pola yang sama dengan lainnya.

Umur mineralisasi tipe hidrotermal pada

sabuk banda, menurut Setiadji, dkk., (2006)

berasosiasi dengan vulkanisme berumur

panjang di Jawa pada Oligosen - Miosen akhir

(59.1 %), dan Pliosen (29.1%), seperti Kubah

Bayah (Miosen - Pliosen), Ciemas (Miosen),

Kulon Progo (Oligosen – Miosen atas),

Pacitan (Oligosen- Miosen atas) dan

Merubetiri (Oligosen- Miosen atas). Pada

sector Jawa bagian barat mineralisasi emas

tipe epitermal terbentuk pada 1.7 jtl (Cirotan)

sampai 2.4 jtl (Cikidang).

Gambar 6. Peta interpretasi gunungapi purba daerah Pegunungan Selatan Jawa (modifikasi

dari Hartono, 2010; Bronto, 2010), dan umur relatif batuan beku (SoeriaAtmadja, et al.1994;

Sutanto, et al. 1994; Saefudin, 1994; Hartono, 2000; Soesilo, 2003; Smyth, et al. 2003;

Sutanto, 2004; Smyth, et al. 2005; Ngkoimani, 2005; Surono, 2006; Akmaluddin, et al. 2005;

Setijadji, et al. 2006; Surono, 2008; Harjanto, 2008; Smyth, et al. 2008; Setijadji &

Watanabe, 2009; dalam Hartono, 2010).

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

4. Kesimpulan dan Diskusi

Tipe endapan yang memungkinkan

bterbentuk pada daerah Yogyakarta bagian

tengah adalah yang berasosiasi dengan busur

magmatik (Magmatic Arc), yang berasosiasi

dengan tubuh intrusi seperti porfiri Cu-Au,

Skarn, Sediment-hosted Au, dan beberapa tipe

endapan epitermal. Hal ini didasarkan atas

karakteristik magma yang hadir pada daerah

Godean yang berafinitas low-medium K-

Alkali seperti magmatisme batuhijau (Idrus,

2005) dan Selogiri (Sutarto, dkk., 2014),

memiliki >10% mineral kaya potassium (seri

K-Feldspar, biotit), serta dengan rasio Sr/Y

sebesar 21.3, rasio Rb/K sebesar 1.93,

Na2O+K2O tinggi (< 6.01), dengan rasio

K2O/Na2O rendah (<0.4), yang umumnya

berpotensi membentuk tipe porfiri dan

asosiasinya (Setiadji, dkk., 2006)

5. Saran

Tulisan ini hanya ingin menunjukan adanya

potensi mineralisasi dari keterbatasan data

yang ada. Pemikiran awal ini diharapkan

dapat mengundang pemikiran lainnya yang

diikuti penelitian detil mengenai hal ini,

termasuk didalamnya adanya sebagai bahan

kekayaan ilmu pengetahuan geologi,

khususnya magmatisme dan mineralisasi

masa lalu di Yogyakarta. Penelitian

permukaan dan bawah permukaan dibutuhkan

menjawab fenomena alam di Yogyakarta,

yang juga dapat digunakan untuk

kemaslahatan lingkungan dan sosial.

Ucapan Terimakasih

Tulisan ini merupakan buah pikir dari

perkerjaan bersama beberapa mahasiswa dan

dosen di lingkungan STTNAS, sehingga

penulis mengucapakan terimakasih kepada

Agung Romadhon, Irdan Syafaat, Mulyan

Pratama, Adri M Taher, Wirawan atas

kerjasama dan sampel, serta STTNAS atas

pendanaan atas penelitian yang telah

dilakukan.

Daftar Pustaka

Bronto, S., Ratdomopurbo, A., Asmoro, P.,

Adityarini, M., 2014, Longsoran

Raksasa Gunung Api Merapi

Yogyakarta - Jawa Tengah Gigantic

Landslides Of Merapi Volcano,

Yogyakarta - Central Java, Jurnal

Geologi Sumberdaya Mineral, vol. 15,

hal 165 – 183, No.4.

Barianto, D., H., Aboud E., Setijadji, L., D.,

2009, Structural Analysis using

Landsat TM, Gravity Data, and

Paleontological Data from Tertiary

Rocks in Yogyakarta, Indonesia,

Memoirs of the Faculty of

Engineering, Kyushu University,

Vol.69, No.2, June 2009

Einaudi, M. T., Hedenquist, J. W., & Inan, E.

E. (2003). Sulfidation state of fluids in

active and extinct hydrothermal

systems: transitions from porphyry to

epithermal environments. Special

Publication-Society of Economic

Geologists, 10, 285-314.

Grant, J., A., 2005, Isocon Analysis : A Brief

review of the method and applications,

Journal Physics and chemistry of the

earth 30 (2005), p. 997-1004.

Hartono, G., 2000, Studi Gunung api Tersier:

Sebaran Pusat erupsi dan Petrologi di

Pegunungan Selatan Yogyakarta.

Tesis S2, ITB, 168 p, tidak

diterbitkan.

Hedenquist, J. W., Arribas, A., & Gonzalez-

Urien, E. (2000). Exploration for

epithermal gold deposits. Reviews in

Economic Geology, 13(2), 45-77.

Idrus, A. (2005) Petrology, geochemistry and

compositional changes of diagnostic

Seminar Nasional Ke – III

Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”

hydrothermal minerals within the Batu

Hijau porphyry copper-gold deposit.

Sumbawa island, Indonesia. Doctor

dissertation. RWTH Aachen. 352p.

Johnson, T., (2014). Mineralogy and Genesis

of Miarolitic Cavities in Altered

Andesitic Dikes on West S..panish

Peak, Colorado, USA, Undergraduate

Honors Theses. Paper 124.

http://scholar.colorado.edu/

Kirwin, D., J., (2006), Unidirectional

Solidification Solidification Textures,

Miarolitic Cavities And Orbicles :

Field Evidence For The Magmatic To

Hydrothermal Transition In Intrusion

In Intrusion Related Mineral Deposits,

SEEGF Conference 2006, SE Europe

Foundation.

Le Bas, M.J., Le Maitre, R.W., Streckeisen,

A. & Zanettin, B., 1986. A Chemical

Classification Of Volcanic Rocks

Based On The Total Alkali – Silica

Diagram. Journal Of Petrology.

Oxford. Vol.27, p.745–750.

Rahardjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi,

(1997), Peta Geologi Lembar

Yogyakarta, PSG, Bandung

Sillitoe, R. H. (2010). Porphyry copper

systems. Economic Geology, 105(1),

3-41.

Sudarno, Ign., Kendali tektonik terhadap

pembentukan struktur pada batuan

Paleogen dan Neogen di Pegunungan

Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta

dan sekitarnya., Thesis S2, Intitut

Teknologi Bandung, 1999.

Setijadji, D.L., Kajino, S., Imai, A., dan

Watanabe, K., 2006, Cenozoic Island

Arc Magmatism in Java Island (Sunda

Arc, Indonesia): Clues on

Relationships between Geodynamics

of Volcanic Centers and Ore

Mineralization, Journal of Resources

Geology vol.56, no.3, pp. 267-292

Setijadji, D.L., Maryono, A., 2012, Geology

and Arc Magmatism of the Eastern

Sunda Arc, Indonesia, Proceeding

BESA 2012, MGEI Convention.

Syafri, I., Budiadi, E., Sudrajat, A., 2013,

Geotectonic Configuration of Kulon

Progo Area, Yogyakarta. Indonesian

Journal of Geology, Vol. 8, No. 4, p

185-190.

Smyth, H., Hall, R., Hamilto, J., Kinny, P.,

2005, East Java Cenozoic Basins,

Volcanoes and Ancient Basement,

Proceeding, Indonesia Petroleum

Association

Winardi, S., Toha, B., Imron, M., Amijaya,

D., H., 2013, The Potential of Eocene

Shale of Nanggulan Formation as a

Hydrocarbon Source Rock,Indonesian

Journal of Geology, Vol. 8, No. 1, p

13-23.

Verdiansyah, O., Studi Karakteristik dan

Genesa Mineral Lempung Gunung

Wungkal, Godean, Yogyakarta,

Laporan penelitian STTNAS, 2016,

tidak dipublikasikan.