al imamah wal khilafah

38
Al-Imâmah secara literal (lughawi) berarti “kepemimpinan”. Al- Imâm berarti “pemimpin”. Dalam terminologi Islam al-Imâmah bermakna “otoritas semesta dalam seluruh urusan agama dan dunia, yang menggantikan peran Nabi Saw.[1] Al-Imâm berarti: “Seorang (pria) yang – menggantikan Nabi – memiliki hak untuk memerintah secara mutlak dalam urusan kaum muslimin baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Kata “seorang (pria)” menunjukkan bahwa seorang wanita tidak dapat menjadi seorang imam. “Memerintah secara mutlak” tidak termasuk mereka yang memimpin salat – mereka juga dipanggil imam – tapi dalam konteks salat jamaah. Tetapi mereka tidak memiliki otoritas mutlak. Dalam suksesi nabi, suksesi tersebut menunjukkan perbedaan antara seorang nabi dan seorang imam. Imam menjalankan otoritas ini secara tidak langsung, melainkan menjalankan tugas ini untuk menggantikan kedudukan Nabi. Kata “khilafah” berarti “pergantian” dan “al-khalifah” bemakna “pengganti”. Dalam terminologi Islam “al-khilafah” dan “al-khalifahsecara praktis menandakan arti yang sama dengan “al-imamah” dan al-imam“. Adapun al-Wisayah berarti “pelaksanaan wasiat” dan “al-Wasibermakna “pelaksana wasiat”. Secara signifikan maknanya sama dengan “al-khilafah” dan “al-khalifah“. Menarik untuk diperhatikan bahwa banyak nabi-nabi sebelumnya juga khalifah dari nabi-nabi pendahulunya, jadi mereka adalah nabi dan khalifah; sementara nabi-nabi yang lain (yang membawa syari’at baru) bukan khalifah dari nabi-nabi sebelumnya. Dan diantara mereka ada yang menjadi khalifah nabi-nabi tetapi bukan nabi. Masalah imamah dan khilafah telah meretas – memecah – keutuhan kaum muslimin dan mempengaruhi pola-pikir, falsafah dari kelompok yang berbeda yang telah sedemikian hebat sehingga persamaan yang ada yakni tauhid, meyakini Allah (at-Tauhid) dan nabi (nubuwwah) tidak lagi dapat diselamatkan dari pandangan- pandangan yang berbeda ini. Inilah subjek yang menjadi perdebatan yang paling hebat dalam teologi (ilmu kalam) Islam. Banyak kaum Muslim yang telah menulis ratusan kitab tentang masalah khilafah. Masalah yang

Upload: dinie-rizqie

Post on 13-Aug-2015

81 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

sebuah tulisan

TRANSCRIPT

Al-Imâmah secara literal (lughawi) berarti “kepemimpinan”. Al-Imâm berarti “pemimpin”. Dalam terminologi Islam al-Imâmah bermakna “otoritas semesta dalam seluruh urusan agama dan dunia, yang menggantikan peran Nabi Saw.[1] Al-Imâm berarti: “Seorang (pria) yang – menggantikan Nabi – memiliki hak untuk memerintah secara mutlak dalam urusan kaum muslimin baik dalam urusan dunia maupun akhirat.

Kata “seorang (pria)” menunjukkan bahwa seorang wanita tidak dapat menjadi seorang imam. “Memerintah secara mutlak” tidak termasuk mereka yang memimpin salat – mereka juga dipanggil imam – tapi  dalam konteks salat jamaah. Tetapi mereka tidak memiliki otoritas mutlak. Dalam suksesi nabi, suksesi tersebut menunjukkan perbedaan antara seorang nabi dan seorang imam. Imam menjalankan otoritas ini secara tidak langsung, melainkan menjalankan tugas ini untuk menggantikan kedudukan Nabi.

Kata “khilafah” berarti “pergantian” dan “al-khalifah” bemakna “pengganti”. Dalam terminologi Islam “al-khilafah” dan “al-khalifah” secara praktis menandakan arti yang sama dengan “al-imamah” dan “al-imam“.

Adapun al-Wisayah berarti “pelaksanaan wasiat” dan “al-Wasi” bermakna “pelaksana wasiat”. Secara signifikan maknanya sama dengan “al-khilafah” dan “al-khalifah“.

Menarik untuk diperhatikan bahwa banyak nabi-nabi sebelumnya juga khalifah dari nabi-nabi pendahulunya, jadi mereka adalah nabi dan khalifah; sementara nabi-nabi yang lain (yang membawa syari’at baru) bukan khalifah dari nabi-nabi sebelumnya. Dan diantara mereka ada yang menjadi khalifah nabi-nabi tetapi bukan nabi.

Masalah imamah dan khilafah telah meretas – memecah – keutuhan kaum muslimin dan mempengaruhi pola-pikir, falsafah dari kelompok yang berbeda yang telah sedemikian hebat sehingga persamaan yang ada yakni tauhid, meyakini Allah (at-Tauhid) dan nabi (nubuwwah) tidak lagi dapat diselamatkan dari pandangan-pandangan yang berbeda ini.

Inilah subjek yang menjadi perdebatan yang paling hebat dalam teologi (ilmu kalam) Islam. Banyak kaum Muslim yang telah menulis ratusan kitab tentang masalah khilafah.  Masalah yang ada dihadapan penulis, bukan apa yang harus ditulis; melainkan apa yang tidak harus ditulis. Dalam karya kecil seperti ini – anda tidak dapat menyentuh seluruh ragam aspek dari permasalahan ini – biarkan mereka mencarinya sampai detail ihwal topik-topik yang dibahas di dalam buku ini. Buku ini hanya menyuguhkan sebuah garis besar dari ikhtilaf yang ada diantara beberapa madzhab dalam Islam tentang masalah khilafah.

Mungkin dengan menyebutkan bahwa dalam Islam terbagi dalam dua madzhab yang berbeda dalam menyikapi masalah ini, dapat membantu para pembaca dalam berurusan dengan masalah ini. Madzhab Sunni meyakini bahwa Abu Bakar adalah khalifah pertama selepas Nabi Saw. Madzhab Syiah meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Tâlib merupakan Imam dan Khalifah setelah wafatnya Nabi Saw.

Perbedaan azasi ini telah menuntun kepada perbedaan-perbedaan yang ada yang akan dijelaskan pada bagian-bagian selanjutnya dari buku ini.

Ikhtisar Perbedaan

Nabi Saw bersabda dalam sebuah hadits yang validitasnya diterima oleh seluruh madzhab dalam Islam:

“Umatku akan terbagi menjadi tujuh puluh firqah (bagian), seluruhnya akan binasa kecuali satu firqah “.[2]

Pencari keselamatan akan selalu – tentu saja – tanpa lelah berusaha untuk mencari tahu masalah ini kemudian menemukan jalan yang benar – jalan keselamatan -, dan memang mesti bagi setiap orang untuk mencarinya, melakukan yang terbaik dan tidak pernah berputus asa untuk mencari kebenaran. Tapi ini hanya mungkin  bila ia memiliki sebuah pandangan yang jernih dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada di sekelilingnya, dan membuang segala bias dan prasangka, menguji suatu kebenaran dengan pemikiran yang matang dan dewasa, senantiasa berdoa kepada Allah Swt agar membimbingnya kepada jalan kebenaran.

Atas alasan ini, saya mengajukan secara singkat di sini ikhtilaf-ikhtilaf yang penting dan konflik-konflik yang ada kita hadapi bersama dengan argumen-argumen, dalil-dalil dan penalaran yang sehat dari setiap madzhab, dalam rangka memudahkan kita mencapai kebenaran yang kita cari. Pertanyaan-pertanyaan utama yang mengemukan di sini adalah:

1. Apakah pengganti Nabi, pengangkatannya dari Allah Swt atau diserahkan sepenuhnya kepada umat untuk memilih siapa saja yang mereka kehendaki sebagai pengganti Nabi?

2. Dalam kasus terakhir, apakah Allah atau Nabi menyerahkan kepada umat kaidah-kaidah sistematis yang mengandung aturan-aturan dan prosedur bagi pengangkatan seorang khalifah, atau apakah umat dengan kesepakatan yang mereka capai sebelum mengangkat seorang khalifah, menyiapkan seperangkat aturan-aturan yang mereka terapkan dalam mengangkat seorang khalifah, atau apakah umat bertindak berdasarkan kepada apa yang mereka anggap perlu pada suatu waktu dan memanfaatkan kesempatan yang ada.

3. Apakah akal dan dustur Ilahi menuntut adanya syarat-syarat dan kualifikasi dalam diri seorang imam atau seorang khalifah? Jika demikian, apa saja syarat-syarat dan kualifikasi tersebut?

4. Apakah Nabi Saw menunjuk seseorang sebagai khalifahnya dan penggantinya atau tidak? Jika memang menunjuk seseorang, siapa orang tersebut? Jika tidak, mengapa?

5. Setelah wafatnya Nabi Saw, siapa yang dikenali sebagai khalifahnya dan apakah orang ini memiliki kualifikasi-kualifikasi yang ada sebagai syarat untuk menjadi seorang khalifah?[3]

Perbedaan Azasi

Akan menghemat waktu, jika kita menjelaskan permulaan sebab azasi ikhtilaf ihwal tabiat dan karakter imamah dan khalifah. Apakah

karakteristik utama yang ada pada urusan imamah? Apakah seorang imam, pertama dan utama, adalah seorang penguasa sebuah kerajaan? Atau ia merupakan khalifahtullâh dan khalifaturasul?

Karena imamah dan khilafah diterima secara umum sebagai pengganti Nabi, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab hingga keputusan dibuat berdasarkan kepada karakter

asasi seorang nabi. Kita harus memutuskan apakah seorang nabi adalah penguasa sebuah kerajaan atau merupakan wakil Tuhan di muka bumi.

Dalam sejarah Islam, kita temukan suatu kelompok yang bila ditinjau dari misi kedatangan Nabi Saw, terlihat sebuah usaha yang ingin mendirikan sebuah kerajaan. Pandangan mereka bersifat material, tidak maknawi; gagasan-gagasan mereka bertumpu pada pengumpulan harta, kecantikan dan kekuasaan. Mereka – secara tabiat – menisbahkan motif-motif yang mereka bangun kepada Nabi Saw.

Seperti pada kasus ‘Utbah bin Rabi’ah – bapak mertua Abu Sufyan – yang diutus untuk menjumpai Nabi menyampaikan pesan suku Quraisy.

“Wahai Muhammad! Jika engkau menginginkan kekuasan dan wibawa, kami akan menjadikan engkau sebagai maharaja di Makkah. Apakah engkau berhasrat menikah dengan putri  bangsawan? Engkau dapat meminang putri tercantik di negeri ini. Apakah engkau ingin emas dan perak? Kami dapat menyediakanmu segalanya bahkan lebih dari itu. Tapi engkau harus meninggalkan dakwahmu yang menyerang kami dan menghina nenek-moyang kami yang menyembah berhala.”

Suku Quraisy hampir pasti yakin bahwa Muhammad akan menanggapi tawaran yang menggiurkan itu. Tapi Nabi Muhammad Saw membacakan sebuah ayat suci al-Qur’an sebagai jawaban  beliau – berisikan ancaman – kepada suku Quraisy itu. “Jika mereka berpaling maka katakanlah: “Aku telah memperingatkanmu dengan petir yang menimpa kaum Aad dan kaum Tsamud.“ (Qs. Fussilat:13)

‘Utbah sangat emosional dengan ancaman yang nyata ini. Ia tidak menerima Islam, tapi memberikan nasihat kepada kaum Quraisy supaya tidak mengganggu Muhammad dan melihat bagaimana ia akan berjalan dengan suku-suku lainnya. Suku Quraisy mengklaim bahwa ‘Utbah pun telah terpengaruh sihir Muhammad.[4]

Kemudian ia ingin menyerahkan urusan Muhammad kepada suku-suku lain. Di satu sisi, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah dan suku Quraisy berperang satu sama lainnya, suku-suku yang lain berpikir lebih baik meninggalkan Muhammad kepada sukunya sendiri. ‘Amr bin Salamah, seorang sahabat Nabi berkata:

“Bangsa Arab menantikan suku Quraisy menerima Islam. Mereka berkata bahwa Muhammad harus diserahkan kepada kaumnya sendiri. Jika ia muncul sebagai pemenang, tanpa ragu dia adalah seorang Nabi yang hak. Ketika Mekkah ditaklukkan, seluruh suku-suku berlomba-lomba untuk menerima Islam.”[5]

Oleh karena itu, dan menurut mereka, kemenangan adalah kriteria kebenaran! Jika Muhammad Saw ditaklukkan, maka ia akan dipandang sebagai pendusta!!

Pandangan bahwa misi suci ini tidak lain kecuali sebuah urusan duniawi yang berulang kali diumumkan oleh Abu Sufyan dan kaumnya (Bani Umayyah, -penj.).

Pada waktu kejatuhan Mekkah, Abu Sufyan meninggalkan Mekkah untuk menghindar dari kekuatan pasukan muslim. Ia terlihat oleh Abbas – paman Nabi – yang membawanya ke hadapan Nabi dan memberi nasihat kepada Nabi bahwa sebaiknya ia diberikan perlindungan dan penghormatan, dengan harapan semoga ia dapat menerima Islam.

Untuk menyingkat cerita ini, al-’Abbâs membawa Abu Sufyan untuk melihat-lihat lasykar Islam. Ia menunjukkan kepada Abu Sufyan orang-orang besar dari suku yang berlainan dalam susunan pasukan Islam. Sementara itu, Nabi Saw melewati pasukannya yang berseragam hijau. Abu Sufyan berteriak: “Wahai ‘Abbâs! Sesungguhnya kemenakanmu telah memperoleh sebuah kerajaan!”. Al-’Abbâs berkata: “Celakalah engkau! Ini bukan kerajaan; ini adalah kenabian.”[6]

Di sini, kita melihat dua pandangan yang saling berseberangan. Pandangan Abu Sufyan tidak berubah. Ketika ‘Utsman menjadi khalifah, Abu Sufyan datang kepadanya dan memberi nasihat, “Wahai putra Umayyah! Kini kerajaan ini telah datang padamu, mainkanlah ia sebagaimana anak kecil bermain bola dan serahkanlah secara turun- temurun kepada sanak keluargamu. Ini adalah hakikat kebenaran; kita tidak tahu apakah surga dan neraka ada atau tidak.”[7]

Lalu, ia pergi ke Uhud dan menendang kuburan Hamzah (paman Nabi), dan berkata: ” Wahai Abu Ya’la! Lihatlah kerajaan yang engkau berperang atasnya akhirnya telah datang kepada kami.”[8]

Pandangan yang sama diwarisi oleh cucunya yang berkata: Bani Hasyim telah bermain dengan kerajaan; namun akhirnya kini tidak ada kabar, juga tidak ada wahyu yang turun sama sekali.”[9]

Jika pandangan seperti ini dianut oleh kaum muslimin, niscaya ia menyamakan imamah dengan penguasa. Sesuai dengan pemikiran semacam ini, fungsi utama Nabi adalah sebagai penguasa kerajaan, Oleh karena itu, siapa saja yang mengendalikan kekuasaan adalah pengganti sah Nabi Saw.

Tapi masalah yang mengedepan kemudian adalah lebih dari sembilan puluh persen nabi-nabi yang diutus tidak memiliki kekuasaan politik; dan kebanyakan mereka menjadi tumbal atau korban kekuasaan-kekuasaan politik pada masanya. Kejayaan mereka tidak terletak pada takhta dan mahkota, namun pada syahadah dan pengorbanan. Jika karakteristik utama kenabian adalah kekuasaan politik dan penguasaan, maka barangkali – bahkan – tidak ada 50  (dari 124.000) nabi-nabi yang diutus akan bertahan dengan gelar Ilahi mereka sebagai  nabi.

Jadi, sangat jelas bahwa karakteristik utama Nabi Saw tidaklah pada kekuasaan politik, tapi pada khalifatullah, dan bahwa perwakilan ini tidak dianugerahkan kepadanya oleh orang-orang; namun perwakilan ini dianugerahkan oleh Allah Swt sendiri.

Demikian juga, pengganti Nabi, karakteristik utamanya juga tidak pada kekuasaan politik; melainkan pada kenyataan bahwa ia adalah wakil Allah Swt, dan perwakilan ini tidak akan pernah dianugerahkan oleh manusia, perwakilan ini niscaya dan mesti dari Allah Swt sendiri. Singkatnya, jika seorang imam adalah wakil Allah Swt, maka yang mengangkatnya sebagai wakil juga haruslah Allah Swt.

Sistem Kepemimpinan Dalam Islam

Pernah suatu waktu, sistem pemerintahan monarki adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang dikenal oleh manusia. Pada saat yang bersamaan, ulama-ulama muslim mengagungkan sistem monarki dengan berkata: “Raja adalah bayangan Tuhan,” seakan-akan Tuhan memiliki bayangan! Kini di abad kiwari, demokrasi sedang digemari dan ulama-ulama Sunni tanpa

mengenal lelah menegaskannya dalam artikel-artikel, buku-buku dan risalah-risalah mereka, bahwa sistem pemerintahan Islam berdasarkan sistem pemerintahan demokrasi. Mereka bahkan terlalu cepat mengklaim bahwa demokrasi didirikan oleh Islam, dengan melupakan kota republik Yunani. Pada babak kedua dari abad ini, sosialisme dan komunisme telah mendapatkan perhatian khusus oleh negara-negara yang sedang berkembang atau pun yang sudah berkembang; dan saya tidak terkejut mendengar bahwa banyak cendekiawan muslim menegaskan bahwa Islam mengajarkan dan menciptakan sosialisme. Beberapa orang di Pakistan dan di beberapa tempat yang lain, telah menciptakan slogan “Sosialisme Islam”. Apa maksud dari “Sosialisme Islam” ini, saya tidak tahu. Tapi saya tidak akan terkejut jika dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan orang-orang seperti ini akan memulai mengklaim bahwa Islam juga mengajarkan komunisme.

Seluruh kecenderungan “berubah bersama angin” ini sedang membuat sebuah lelucon dari kepemimpinan Islam. Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah majelis kaum muslimin di sebuah negara di Afrika, seorang pemimpin muslim menyebutkan bahwa Islam mengajarkan: Taati Allah, taati Rasulnya dan penguasa di antara kalian”. Dalam jawabannya, seorang presiden (yang kebetulan adalah seorang penganut Katolik Roma yang setia) berkata bahwa ia  sangat menghargai hikmah dari perintah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya; tapi ia tidak dapat mengerti logika dibalik perintah itu mentaati penguasa kalian ini.

Bagaimana jika seorang penguasa itu tidak adil dan seorang tiran? Apakah Islam memerintahkan kaum muslimin untuk mentaatinya secara membabi-buta tanpa sedikit pun perlawanan.

Pertanyaan yang rasional menuntut jawaban yang rasional pula. Hal ini tidak dapat dipandang remeh. Kenyataan bahwa orang yang mengundang kritikan pedas, melakukan hal itu karena kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an.

Mari kita uji sistem kepemimpinan dalam Islam. Apakah ia berwarna demokratis? Definisi terbaik demokrasi diberikan oleh Abraham Lincoln (Presiden Amerika yang ke-16, 1861-1865) ketika ia berkata bahwa demokrasi adalah “Pemerintahan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.

Akan tetapi dalam Islam, bukanlah pemerintahan dari rakyat, namun pemerintahan dari Allah Swt. Bagaimana manusia dapat memerintah diri mereka sendiri? Mereka memerintah diri mereka sendiri dengan membuat aturan-aturan sendiri; dalam Islam, hukum tidak dibuat oleh manusia, tapi oleh Allah Swt; hukum ini diajarkan tidak berdasarkan kesepakatan dan keputusan manusia, tapi oleh Nabi Saw sesuai dengan perintah dari Allah Swt. Manusia tidak memilki suara dalam legislasi; mereka diminta untuk mengikuti segala ketentuan yang dibuat oleh Allah Swt, tanpa ada komentar atau usulan tentang hukum-hukum ini dan legislasi.

Sampai pada frase “oleh rakyat”,  mari kita timbang bagaimana manusia memerintah diri mereka sendiri. Mereka melakukannya dengan memilih penguasa mereka sendiri. Nabi Saw merupakan orang yang memangku badan eksekutif, hukum dan seluruh otoritas dalam pemerintahan Islam, dan beliau tidak dipilih oleh manusia. Dalam kenyataannya, jika penduduk Mekkah dibolehkan untuk memilih sendiri, mereka akan memilih, ‘Urwah bin Mas’ud (dari suku Taif) atau al-Maulid bin Mughira (dari Mekkah) sebagai nabi Allah! Menurut al-Qur’an, “Dan mereka berkata: “Mengapa  al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari satu dua negeri (Mekkah dan Taif) ini.”[10]

Jadi, Nabi Saw tidak hanya seorang kepala negara agung dari negara Islam  yang ditunjuk tanpa konsultasi manusia, namun kenyataanya beliau dipilih bertentangan dengan keinginan mereka. Nabi Saw adalah pemegang otoritas tertinggi dalam Islam. Beliau menggabungkan personalianya dalam fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam pemerintahan; dan beliau tidak dipilih oleh manusia (rakyat).

Dengan demikian, Islam  bukan pemerintahan rakyat, bukan “oleh rakyat”. Tidak ada legislasi oleh rakyat; eksekutif dan  yudikatif tidak bertanggung jawab kepada rakyat, juga bukan sebuah pemerintahan untuk rakyat”.

Sistem Islam , sejak awal hingga akhir, adalah untuk Allah. Segala sesuatunya harus dilakukan semata-mata untuk Allah; jika dilakukan untuk rakyat, maka ini disebut sebagai “syirik tersembunyi”.  Apa saja yang anda lakukan – apakah salat atau sadaqah, amal sosial atau keluarga, ketaatan kepada orang tua atau cinta kepada tetangga, memimpin salat berjamaah atau memutuskan sebuah perkara, memasuki medan perang atau menyepakati perdamaian – harus dilakukan “qurbatan ilallah” (sebagai pendekatan kepada Allah), untuk meraih keridaan Allah. Dalam Islam, segalanya untuk Allah.

Singkatnya, bentuk pemerintahan Islam adalah pemerintahan Allah melalui perwakilan-Nya, untuk meraih keridaan Allah.

Pemerintahan ini adalah pemerintahan teokrasi, dan merupakan tabiat dan karakter kepemimpinan Islam, dan bagaimana pengaruh makna ayat di atas berkenaan dengan ketaatan, akan kita lihat pada bagian terakhir dari buku ini.

MENGENAL KONSEP IMAMAH dan KHALIFAH

 MAQALAH ULAMA-ULAMA SUNNI TENTANG

WAJIBNYA NASBUL IMAMIL A’DZAM ATAU KHALIFAHTa’rif Imamah dan KhilafahTa’rif Imamah dan Khilafah

 ***

1. Ta’rif lughawi.

Imamul lughah Al-fairus Abadi dalam Qamus Al-muhith menjelaskan sebagai berikut:1[1]

Ta’rif Imamah dan Khilafah

1 Ta’rif syar’I imamah dan khilafah

Tentang Imamah Imam Al-mawardi Asy-syafi’I menyatakan:[8]

) اإلمامة موضوعة لخالفة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به (أ . هـ .

“Imamah itu obyeknya adalah khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi”

Imam Al-haramain berkata:[9]

) اإلمامة رياسة تامة ، وزعامــة تتعلــق بالخاصــة والعامــة في مهمــات .الدين والدنيا ( أ . هـ

“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh. Kepemimpinan yang berkaitan dengan hal umum maupun khusus dalam tugas-tugas agama maupun dunia”.

Shahibul mawaqif menyatakan:[10]

في إقامة الدين بحيث يجب إتباعــه على كافــة r) هي خالفة الرسول األمة ( .

“Imamah adalah merupakan khilafah Rasul SAW dalam menegakkan agama, dimana seluruh umat wajib mengikutinya. Itulah sebagian penjelasan para Ulama’ tentang imamah”.

Pada bagian yang lain pengarang kitab Al-mawaqif menyatakan[11]:

قــال قــوم من أصــحابنا اإلمامــة رياســة عامــة في أمــور الــدين والــدنيالشخص من األشخاص

“Telah berkata sebagaian golongan dari ashab kami bahwa imamah itu adalah kepemimpinan umum dalam berbagai urusan agama dan dunia”.

Tentang khilafah, Imam Ar-ramli menyatakan[12]:

الخليفة هو االمام االعظــام, القــائم بخالفــة النبــوة, فى حراســة الــدينوسياسة الدنيا

“Khalifah itu adalah imam yang agung, yang tegak dalam khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta politik yang sifatnya duniawi”

Syeikh Musthafa Shabri, syeikhul Islam khilafah Ustmaniyyah, menyatakan:[13]

الخالفة عن الرسول الله صلى الله عليه وسلم فى تنفيذ ما أتى به منشريعة االسالم

“Khilafah itu adalah penganti dari Rasulullah SAW dalam melaksanakan syariat Islam yang datang melalui beliau”.

Shahibu Ma’atsiril Inafah fii Ma’alimil Khilafah menyatakan:

هى الوالية العامة على كافة االمة“Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya untuk untuk umat secara keseluruhan”.

Dari paparan para Ulama’ diatas paling tidak ada dua hal yang bisa simpulkan. Pertama, para Ulama’ mendivinisikan Imamah dan khilafah dengan berbagai devinisi, serta dengan ungkapan yang berbeda antara satu dengan yang lain namun dari sisi maksud kurang lebih sama. Kedua, ketika mereka mendiskripsikan imamah dan khilafah mereka menunjuk pada obyek yang sama, atau dengan kata lain khilafah dan imamah al-udzma adalah sama.

Hal yang sama dikemukakan oleh Syeikh Mahmud A majid Al-khalidiy, dalam tesis doktornya yang berjudul Qawa’idu Nidzamil Hukmi fii Al-islam. Beliau menegaskan bahwa Imam dan khalifah itu menunjuk pada obyek sama. Bahkan setelah mengkaji dan selanjutnya merangkum pendapat para ulama’ tentang imamah dan khilafah ini Dr Mahmud A Majid mengemukakan devinisi tentang imamah atau khilafah yang lebih konprehensif. Beliau menegaskan bahwa ta’rif khilafah adalah[14]:

ــدنيا القامــة احكــام الشــرعى ــا فى ال رئاســة عامــة للمســلمين جميعاالسالمي, وحمل الدعوة االسالمية الى العالم

“Kepemimpinan yang sifatnya bagi kaum Muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ yang Islami serta mengemban dakwah islam ke suluruh dunia”.

3. At-taraaduf antara lafadz Imam, Khalifah dan Amirul Mukminin.

Dr Abdullah bin Umar Ad-dumaiji dalam tesis masternya di Univ Ummul Qura yang berjudul Imamatul Udzma inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah menyatakan:[15] “Bagi mereka yang malakukan eksplorasi secara seksama terhadap hadits-hadits tentang khilafah dan imamah akan mendapatkan fakta bahwa Rasulullah SAW, dan para shahabat, serta para Tabi’in, yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut, tidak membeda-bedakan lafadz khalifah dan imam. Bahkan setelah pengangkatan Sayidina Umar Ibn Al-khattab RA sebagai khalifah para shahabat malah menambahkan panggilan pada beliau dengan amirul Mukminin”.

Karena itulah para Ulama’ menjadikan kata Imam dan Khalifah sebagai kata yang sinonim yang menunjuk pada pengertian yang sama. Misalnya Imam Al-hafidz An-nawawi. Beliau menyatakan:[16]

) يجوز أن يقال لإلمام : الخليفة ، واإلمام ، وأمير المؤمنين ( “)untuk( imam Boleh disebut khalifah, imam atau amirul Mukminin”.

Al-allamah Aburrahman Ibnu Khaldun berkata:[17]

�ا حقيقة هــذا المنصــف وأنــه نيابــة عن صــاحب الشــريعة في �ن وإذ قد بي حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خالفة وإمامــة والقــائم بــه خليفــة

وإمام ( أ . هـ “Dan ketika telah menjadi jelas bagi kita penjelasan ini, bahwa imam itu adalah wakil pemilik syariah dalam menjaga agama serta politik duniawi di dalamnya disebut khilafah dan imamah. Sedangkan yang menempatinya adalah khalifah atau imam”.

Sedangkan Ibnu Mandzur mendifiniskan bahwa Khilafah itu adalah Imarah[18]

Hal yang sama dikemukakan oleh Syeikh Muhammad Najib Al-muthi’I dalam takmilahnya terhadap kitab Al-majmu’ karya Imam An-nawawi. Beliau menegaskan:

) اإلمامة والخالفة وإمارة المؤمنين مترادفة (“Imamah, khilafah dan imaratul mukminin itu sinonim”

Syeikh Muhammad abu Zahrah menegaskan:[19]

) المذاهب السياسية كلها تدور حــول الخالفــة وهي اإلمامــة الكــبرى ، وســميت خالفــة ألن الــذي يتوالهــا ويكــون الحــاكم األعظم للمســلمين

ــانrيخلف النبي في إدارة ــة ك شؤونهم ، وتسمى إمامة : ألن الخليف يسمى إمام�ا ، وألن طاعته واجبة ، وألن النــاس كــانوا يســيرون وراءه

كما يصلون وراء من يؤمهم الصالة (

“Madzhab-madzahab politik secara keseluruhan )selalu( seputar khilafah. Khilafah adalah imamah al-kubra )imamah yang agung(. Disebut khilafah karena yang memegang dan yang menjadi penguasa yang agung atas kaum Muslim menggantikan Nabi SAW dalam mengatur urusan mereka. Disebut imamah karena khalifah itu disebut Imam. Karena ta’at padanya adalah wajib. Karena manusia berjalan di belakang imam tersebut layaknya mereka shalat dibelakang yang menjadi imam shalat mereka”.

Hukum Nashbul Imam Al-a’dzam atau Khalifah adalah Fardhu Kifayah

Pada point ini kami kompilasikan sebagian maqalah para ulama' Mu'tabar dari berbagai madzhab, terutama madzhab Syafi'I yang merupakan madzhab kebanyakan kaum Muslimin di Indonesia, tentang wajibnya imamah atau khilafah. Tentu pernyataan mereka tersebut adalah merupakan hasil istimbath mereka dari dalil-dalil syara', baik apakah mereka menjelaskan hal tersebut

maupun tidak. Syeikh Al-Islam Al-imam Al-hafidz Abu Zakaria An-nawawi berkata[20]:

الفصل الثاني في وجوب اإلمامة وبيان طرقها ال بد لألمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق

ويضعها مواضعها. قلت تولي اإلمامة فرض كفاية …

“…pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan metode )mewujudkan( nya. Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurus )untuk mewujudkan( imamah itu adalah fardhu kifayah”.

Penulis kitab Tuhfatul Muhtaj fii Syarhil Minhaj menyatakan[21]:

ض� ¢م¡ام¡ة¢ . ه¢ي¡ ف¡ر  ق¢ اإل  ¡ان¢ ط�ر� ¡ي ¢ و¡ب ¡ع ظ¡م ¢ األ  ¢م¡ام وِط¢ اإل  ر� ) ف¡ص ل¤ ( ف¢ي ش��ول¢ و¡ع¡ق�ب¡  ق¡ب ¡ة� م¢ن  الَّط�ل¡ب¢ و¡ال ¢ي ت ام�ه� اآْل  ¡ق س¡ ¢ي ف¢يه¡ا أ  ت ¡ْأ  ق¡ض¡اء¢ ف¡ي ¡ال ¡ة̈ ك ¢ف¡اي ك

¡ْغ ي¡  ب ¡ن� ال ¢ه¡ذ¡ا ؛ أل¢ ¡ع�ا ب ¡ب ¡ر  إال� ت �ذ ك ¡م  ت ¢م¡ام¡ة� ل ¡ه�م  و¡اإل  ¡اب¢ ع�ق¢د¡ ل ¢ت  ك ¡و ن¢ ال ¢ك �ْغ¡اة¢ ل  ب ال

ة¢ الد»ين¢ اس¡ �و�ة¢ ف¢ي ح¢ر¡ ¬ب ف¡ة¢ الن ¢خ¢ال¡ ¢ ب ¢م  ق¡ائ ¢ ال ¡ع ظ¡م ¢ األ  ¢م¡ام وٌج¤ ع¡ل¡ى اإل  خ�ر�¡ا ...  ي ة¢ الد¬ن ¡اس¡ ي و¡س¢

“…)Pasal ( tentang syarat-syarat imam yang agung )khalifah( serta penjelasan metode-metode )pengangkatan( imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan”.

Syeikh Al-Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab berkata[22]:

)فصل( في شروِط االمام االعظم، وفي بيان طرق انعقاد االمامة، وهي فرض كفاية كالقضاء )شرِط االمام كونه أهال للقضاء( بْأن يكون

مسلما حرا مكلفا عدال ذكرا مجتهدا ذا رآى وسمع وبصر ونَّطق لما يْأتي في باب القضاء وفي عبارتي زيادة العدل )قرشيا( لخبر النسائي

االئمة من قريش فإن فقد فكناني، ثم رجل من بني إسماعيل ثم عجمي على ما في التهذيب أو جر همي على ما في التتمة، ثم رجل من بني إسحاق )شجاعا( ليْغزو بنفسه، ويعالج الجيوش ويقوي على

فتح البالد ويحمي البيضة، وتعتبر سالمته من نقص يمنع استيفاء

الحركة وسرعة النهوض، كما دخل في الشجاعة ...

“…)Pasal( tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode in'iqad imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan )salah satu syarat menjadi imam adalah kavabel untuk peradilan(. Maka hendaknya imam yang agung tersebut adalah muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, memiliki visi, mendengar, melihat dan bisa bicara. Berdasar pada apa yang ada pada bab tentang peradilan dan pada ungkapan saya dengan penambahan adil adalah )dari kabilah Quraisy( berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa'I: "bahwa para Imam itu dari golongan Quraisy". Apabila tidak ada golongan Quraisy maka dari Kinanah, kemudian pria dari keturunan Ismail lalu orang asing )selain orang Arab( berdasarkan apa yang ada pada )kitab( At-tahdzib atau Jurhumi berdasarkan apa yang terdapat dalam )kitab( At-tatimmah. Kemudian pria dari keturunan Ishaq. Selanjutnya )pemberani( agar )berani( berperang dengan diri sendiri, mengatur pasukan serta memperkuat )pasukan( untuk menaklukkan negeri serta melindungi kemurnian )Islam(. Juga termasuk )sebagian dari syarat imamah( adalah bebas dari kekurangan yang akan menghalangi kesempurnaan serta cekatannya gerakan sebagaimana hal tersebut merupakan bagian dari keberanian …”

Ketika Imam Fakhruddin Ar-razi, penulis kitab Manaqib Asy-syafi'i, menjelaskan firman-Nya Ta'ala pada Surah Al-maidah ayat 38, beliau menegaskan[23]:

...احتج المتكلمون بهذه اآْلية في أنه يجب على األمة أن ينصبوا� والدليل عليه أنه تعالى أوجب بهذه اآْلية إقامة � معينا ألنفسهم إماما

� بهذا الحد على السراق والزناة ، فال بدº من شخص يكون مخاطبا الخَّطاب ، وأجمعت األمة على أنه ليس آْلحاد الرعية إقامة الحدود

على الجناة ، بل أجمعوا على أنه ال يجوز إقامة الحدود على األحرار� وال يمكن الخروٌج � جازما الجناة إال لإلمام ، فلما كان هذا التكليف تكليفا

عن عهدة هذا التكليف إال عند وجود اإلمام ، وما ال يتْأتى الواجب إال� للمكلف ، فهو واجب ، فلزم القَّطع بوجوب نصب به ، وكان مقدورا

اإلمام حينئذ̈

“… para Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta'ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak

seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku criminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh )haram( menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku criminal kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti )jazim( dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka )adanya( imam adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti qath'inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula…”

Imam Abul Qasim An-naisaburi Asy-syafi'i berkata[24]:

... أجمعت األمة على أن المخاطب بقوله } فاجلدوا { هو اإلمام حتى احتجوا به على وجوب نصب اإلمام فإن ما ال يتم الواجب إال به فهو

واجب.

“…umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab )"maka jilidlah"( adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula”.

Al-allamah Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani menyatakan[25]:

قوله: )هي فرض كفاية( إذ ال بد لالمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينصف المظلوم من الظالم ويستوفي الحقوق ويضعها

موضعها...

“ …perkataannya: )mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah( karena adalah merupakan keharusan bagi umat adanya imam untuk menegakkan agama dan menolong sunnah serta memberikan hak orang yang didzalimi dari orang yang dzalim serta menunaikan hak-hak dan menempatkan hak-hak tersebut pada tempatnya...”

Al-allamah Asy-syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-bajairimi berkata[26]:

ض� ¢م¡ام¡ة¢ و¡ه¢ي¡ ف¡ر   ع¢ق¡اد¢ اإل  ق¢ ان ¡ان¢ ط�ر� ¡ي ¢ و¡ف¢ي ب ¡ع ظ¡م ¢ األ  ¢م¡ام وِط¢ اإل  ر� ...ف¢ي ش�¢م�ة� ¡ئ ¡ر¢ : } األ  ب ¢خ¡ Àا ل ي ش¢  ق¡ض¡اء¢ ق�ر¡ ¢ل ¡ه ال� ل �ه� أ ¡و ن ¢م¡ام̈ ك ر¢ِط¡ إل¢  ق¡ض¡اء¢ ف¡ش� ¡ال ¡ة̈ . ك ¢ف¡اي ك

¡ع� ¡م ن ¡ق ̈ص ي �ه� م¢ن  ن م¡ت ال¡ ¡ر� س¡ ¡ب �ع ت ه¢ و¡ت ¡ف س¢ ¢ن و¡ ب ¡ْغ ز� ¢ي ج¡اع�ا ل  ̈ش { ش� ي م¢ن  ق�ر¡ج¡اع¡ة... ¡م¡ا د¡خ¡ل¡ ف¢ي الش� ¬ه�وض¢ ك ع¡ة¡ الن ر  ¡ة¢ و¡س� ك  ح¡ر¡ ¢يف¡اء¡ ال ت اس 

“…tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode sahnya in'iqad imamah. Dan mewujudkan imamah tersebut adalah fardhu

kifayah sebagaimana peradilan. Maka disyaratkan untuk imam itu hendaknya layak untuk peradilan )menjadi hakim(. )syarat( Quraisy, karena berdasarkan hadits: "bahwa para imam itu adalah dari Quraisy". )syarat( Berani, agar berani berperang secara langsung. Begitu pula )dengan syarat( bebasnya dari kekurangan yang menghalangi kesempurnaan dan kegesitan gerakan dia sebagaimana masuknya keberanian sebagai salah satu syarat imamah…”

Dalam kitab Hasyiyyah Al-bajairimi alal Minhaj dinyatakan[27]:

¢م¡ام¡ة¢  ع¢ق¡اد¢ اإل  ق¢ ان ¡ان¢ ط�ر� ¡ي ¢ و¡ف¢ي ب ¡ع ظ¡م ¢ األ  ¢م¡ام وِط¢ اإل  ر� ) ف¡ص ل¤ ( ف¢ي ش� ق¡ض¡اء¢ ... ¡ال ¡ة̈ ك ¢ف¡اي و¡ه¢ي¡ ف¡ر ض� ك

“…)Pasal( tentang syarat-syarat imam yang agung dan penjelasan metode-metode in'iqad imamah. Dan )adanya( imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan…”

Imam Al-hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri mendokumentasikan ijma' Ulama' bahwa )keberadaan( Imamah itu fardhu[28]:

... واتفقوا أن االمامة فرض وانه ال بد من امام حاشا النجدات وأراهم قد حادوا االجماع وقد تقدمهم واتفقوا انه ال يجوز أن يكون

على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا امامان ال متفقان والمفترقان وال في مكانين وال في مكان واحد ...

“…Meraka )para ulama'( sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali An-najdat. Pendapat mereka sungguh telah menyalahi ijma' dan telah lewat pembahasan )tentang( mereka. Mereka )para ulama'( sepakat bahwa tidak boleh pada satu waktu di seluruh dunia adanya dua imam bagi kaum Muslimin baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat…”

Berkata Imam 'Alauddin Al-kasani Al-hanafi[29]: ح¡ق» ، و¡ال¡ ¡ه ل¢ ال  ن¡ أ ¡ي ٍ̈ف ب ¢ال¡ خ¢ال¡ ¢ ف¡ر ض¤ ، ب ¡ع ظ¡م ¢ األ  ¢م¡ام ¡ص ب¡ اإل  ¡ن� ن ... و¡أل¢

 ه�م  ع¡ل¡ى �ه� ع¡ن ض¢ي¡ الل ¡ة¢ ر¡ اب ¢ج م¡اع¢ الص�ح¡ �ة¢ - ؛ إل¢  ق¡د¡ر¢ي ¡ع ِض¢ ال ٍف¢ ب ¢خ¢ال¡ ة¡ - ب  ر¡ ب ع¢¢ م¢ن  �وم  م¡ظ ل  ص¡اٍف¢ ال ¢ن ¢ ، و¡إ ¡ام ¡ح ك ¬د¢ األ  ¡ق¡ي ¢ت  ه¢ ؛ ل ¡ي  ح¡اج¡ة¢ إل ¢م¢س¡اس¢ ال ¢َك¡ ، و¡ل ذ¡ل

¢َك¡ م¢ن   ر¢ ذ¡ل اد¢ ، و¡َغ¡ي  ف¡س¡ ¢ي ه¢ي¡ م¡اد�ة� ال �ت ع¡ات¢ ال ¡از¡  م�ن ¢ ، و¡ق¡َّط ع¢ ال ¢م الظ�ال¢م¡ام̈ ، ... ¢إ ¡ق�وم� إال� ب ¢ي ال¡ ت �ت ¢ح¢ ال  م¡ص¡ال ال

“ …dan karena sesungguhnya mengangkat imam yang agung itu adalah fardhu. )ini( tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq. Dan tidak diperhatikan—perbedaan dengan sebagian Qadariyyah—karena ijma' shahabat ra atas hal

tersebut, serta urgensitas kebutuhan terhadap imam yang agung tersebut. Untuk keteritakan terhadap hukum. Untuk menyelematkan orang yang didzalimi dari orang yang dzalim. Untuk memutuskan perselisihan yang merupakan obyek yang menimbulkan kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatn yang lain yang memang tidak akan tegak kecuali dengan adanya imam…”

Imam Al-hafidz Abul Fida' Ismail ibn Katsir ketika menjelaskan firman Allah surah Al Baqarah ayat 30 beliau berkata[30]:

...وقد استدل القرطبي وَغيره بهذه اآْلية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما يختلفون فيه، ويقَّطع تنازعهم، وينتصر

لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش، إلى َغير ذلَك من األمور المهمة التي ال يمكن إقامتها إال باإلمام، وما ال

يتم الواجب إال به فهو واجب.

“…dan sungguh Al Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas wajibnya mengangkat khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong atas yang didzalimi dari yang mengdzalimi, menegakkan had-had, dan menganyahkan kerusakan dsb. yang merupakan hal-hal penting yang memang tidak memungkinkan untuk menagakkan hal tersebut kecuali dengan imam, dan ما apabila suatu kewajiban tidak akan sempurna ( اليتم الواجب اال به فهو واجبkecuali dengan suatu tersebut maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula(”.

Imam Al-qurthubi ketika menafsirkan Surah Al-baqarah ayat 30 berkata[31]:

... هذه اآْلية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويَّطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. وال خالٍف في وجوب ذلَك بين االمة

وال بين االئمة إال ما روي عن االصم ... ثم قال القرطبي: فلو كان فرض االمامة َغير واجب ال في قريش وال في َغيرهم لما ساَغت هذه

المناظرة والمحاورة عليها، ولقال قائل: إنها ليست بواجبة ال في قريش وال في َغيرهم، فما لتنازعكم وجه وال فائدة في أمر ليس

بواجب ... وقال, اي القرطبي, وإذا كان كذلَك ثبت أنها واجبة من جهة الشرع ال

من جهة العقل، وهذا واضح.

“…ayat ini pokok )yang menegaskan( bahwa mengangkat imam dan khalifah untuk didengar dan dita'ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan, melalui khalifah, hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbadaan tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham …” Selanjutnya Beliau berkata: “…Maka kalau seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun untuk yang lain lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Maka sungguh orang akan berkata: bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu yang diwajibkan baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu untuk apa kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal yang tidak wajib”. Kemudian beliau menegaskan: “…Dengan demikian maka )telah( menjadi ketetapan bahwa imamah itu wajib berdasarkan syara' bukan akal. Dan ini jelas sekali”.

Imam Umar bin Ali bin Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, yang dikenal dengan Ibnu Adil, ketika menjelaskan firman Allah Ta'ala surah Al-baqarah ayat 30 berkata[32]:

...وقال » ابن الخَّطيب « : الخليفة : اسم يصلح للواحد والجمع كما يصلح للذكر واألنثى ... ثم قال: هذه اآْلية دليل¤ على وجوب نصب�َّط¡اع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام إمام وخليفة يسمع له وي

، ºما روي عن األص¡م º  ن¡ األئمة إال ¡ي الخليفة ، وال خالٍف في وجوب ذلَك بوأتباعه ...

“… dan berkata Ibn Al-khatib khalifah itu isim yang cocok baik untuk tunggal maupun plural sebagaimana cocoknya untuk laki-laki dan wanita. Kemudian beliau berkata: ….ayat ini adalah dalil wajibnya mengangkat Imam dan khalifah untuk didengar dan dita'ati, untuk menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham dan orang yang mengikuti dia…”

Berkata Imam Abu al-hasan Al-mirdawi Al-hambali dalam kitab Al-inshaf[33]:

¡ة̈ . ¢ف¡اي ¢ : ف¡ر ض� ك ¢م¡ام ¡ص ب� اإل  ¡ان¢ إح د¡اه�م¡ا : ن ¢د¡ت ¡ْغ ي¢ ف¡ائ  ب ¡ه ل¢ ال ¡ال¢ أ ¡اب� ق¢ت ...ب¢ج م¡ا̈ع ، ¢إ �ه� ب ¡ت  إم¡ام¡ت ¡ت ¡ب ص¡ح» . ف¡م¡ن  ث

¡ ¡ة̈ ع¡ل¡ى األ  ¢ف¡اي وع¢ : ف¡ر ض� ك  ف�ر� ق¡ال¡ ف¢ي ال ه¢ . ¡ي ¡ه� ع¡ل  ل ¡ص» م¡ن  ق¡ب ¢ن و  ب

¡ ¢ه¡اد̈ ، أ ت ¢اج  و  ب¡ ¡صÊ ، أ ¢ن و  ب

¡ أ

“…bab memerangi orang yang Bughat, terdapat dua faedah. Pertama, mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah. Dia berkata di dalam al-furu': fardhu kifayahlah yang paling tepat….”

Imam Al-bahuti Al-hanafi berkata[34]:

�اس¢ ¢الن ¡ن� ب ¡ة̈ ( أل¢ ¢ف¡اي ¢م¢ين¡ ) ف¡ر ض� ك ل  م�س  ¢ ( ع¡ل¡ى ال ¡ع ظ¡م ¢ األ  ¢م¡ام ¡ص ب� اإل  ...) ن ح�د�ود¢ ¢ق¡ام¡ة¢ ال ة¢ و¡إ  ح¡و ز¡  ض¡ة¢ و¡الذ�ب» ع¡ن  ال ¡ي  ب ¡ة¢ ال ¢ح¢م¡اي ¢َك¡ ل ح¡اج¡ة¤ إل¡ى ذ¡ل

¡ر...  ك  م�ن �ه ي¢ ع¡ن  ال وٍف¢ و¡الن  م¡ع ر� ¢ال ¡م ر¢ ب  ح�ق�وق¢ و¡األ  ¢يف¡اء¢ ال ت و¡اس 

“…)mengangkat Imam yang agung itu( atas kaum Muslimin )adalah fardhu kifayah(. Karena manusia membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian )agama(, menjaga konsistensi )agama(, penegakan had, penunaian hak serta amar ma'ruf dan nahi munkar…”.

Sedangkan dalam kitab Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha dinyatakan[35]:

¡ة¢ ¢ح¢م¡اي ¢َك¡ ل ¢ذ¡ل �اس¢ ح¡اج¡ة� ل ¢الن ¡ن� ب ¡ة̈ ( ؛ أل¢ ¢ف¡اي ¢ ف¡ر ض� ك ¢م¡ام ¡ص ب� اإل  ...) و¡ن¡م ر¢  ح�ق�وق¢ ، و¡األ  ¢ْغ¡اء¢ ال  ت  ح�د�ود¢ ، و¡اب ¢ق¡ام¡ة¢ ال ة¢ ، و¡إ  ح¡و ز¡  ض¡ة¢ ، و¡الذ�ب» ع¡ن  ال ¡ي  ب ال

¡ه ل� ¡ح¡د�ه�م¡ا : أ ¡ان¢ : أ ¢ف¡ت ¢َك¡ ط¡ائ ¢ذ¡ل �خ¡اط¡ب� ب ¡ر¢ ، و¡ي  ك  م�ن �ه ي¢ ع¡ن  ال وٍف¢ و¡الن  م¡ع ر� ¢ال ب�ى ¢م¡ام¡ة¢ ح¡ت ¢ُط� اإل  ائ ر¡ �وج¡د� ف¢يه¢م  ش¡ ¡ة� : م¡ن  ت ¢ي �ان وا. الث ¡ار� ت ¡خ  �ى ي ¢ه¡اد¢ ح¡ت ت ج  اال¢

 م�  ع¢ل ¡ة� و¡ال  ع¡د¡ال ¡ر� ف¢يه¢م  ال ¡ب �ع ت ¡ار¢ ف¡ي ¢ي ت خ  ¡ه ل� اال¢ م�ا أ¡ ¡ح¡د�ه�م  : أ ¡ه¡ا أ ¡ص¢ب¡ ل  ت ¡ن ي

¡ى  م�ؤ¡د»ي إل ¢ير� ال �د ب ي� و¡الت  أ ¢م¡ام¡ة¡ و¡الر� ¡ح¢ق¬ اإل  ت ¡س   م�و¡ص»ل� إل¡ى م¡ع ر¢ف¡ة¢ م¡ن  ي ال

¡ح� . ص ل¡ ¢م¡ام¡ة¢ أ ¢إل  ¡ار¢ م¡ن  ه�و¡ ل ¢ي ت اخ 

“…)dan mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah( karena manusia memang membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian )agama(, memelihara konsitensi )agama(, menegakkan had, menunaikan hak-hak, dan amar makruf serta nahi munkar”.

Berkata shahibu Al-husun Al-hamidiyyah, Syeikh Sayyid Husain Afandi[36]:

اعلم انه يجب على المسلمين شرعا نصب امام يقوم باقامة الحدودوسد الثْغور وتجهيز الجيش ...

"ketahuilah bahwa mengangkat Imam yang yang menegakkan had, memelihara perbatasan )negara(, menyiapkan pasukan, … secara syar'i adalah wajib".

Khulashatul qaul, dapat kita simpulkan bahwa para Ulama' Mu'tabar dari berbagai madzhab menegaskan bahwa hukum nasbu al-Imam atau al-Khalifah adalah wajib. Kifayah atau ain? Adalah Imam al-Hafidz an-Nawawi, antara lain,

yang menjelaskan bahwa kwajiban tersebut masuk kategori fardhu kifayah.

Pelaksaan Fardhu Kifayah.

Adalah suatu hal yang ma’lumun minad din bidz-dzarurah bahwa fardhu itu ada dua macam. Fardhu kifayah dan fardhu ain. Sebagai kwajiban sebenarnya fardhu kifayah maupun fardhu ain sama, sama-sama fardhu, meski dari sisi pelaksanaannya berbeda. Imam Saifuddin al-Amidi dalam kitab al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam menegaskan[37]:

المسْألة الثانية ال فرق عند أصحابنا بين واجب العين، والواجب على الكفاية من جهة الوجوب، لشمول حد الواجب لهما

" masalah yang ke dua. Tidak ada perbedaan )menurut ashab kita( antara wajib ain dan wajib kifayah. Dari sisi kwajiban. Karena inklusinya batas kwajiban untuk keduanya".

Untuk batasan kesempurnaan pelaksanaan fardhu kifayah Imam Asy-syirazi, dalam kitab Al-luma' fii Ushul Al-fiqh, menjelaskan[38]:

فصل إذا ورد الخَّطاب بلفظ العموم دخل فيه كل من صلح له الخَّطاب وال يسقُط ذلَك الفعل عن بعضهم بفعل البعِض إال فيما ورد الشرع به

وقررة تعالى أنه فرض كفاية كالجهاد وتكفين الميت والصالة عليهودفنه فإنه إذا أقام به من يقع به الكفاية سقُط عن الباقين ...

" Fashal. Apabila terdapat khitab dengan lafadz umum maka masuk di dalamnya siapa saja yang kitab tersebut visible baginya dan perbuatan tersebut tidak gugur atas sebagian karena perbuatan sebagian )yang lain(, kecuali atas apabila syara' datang di dalamnya, dan Allah menetapkan bahwa khitab tersebut adalah fardhu kifayah. Seperti jihad, mengkafani jenazah, menshalatkan dan menguburkannya. Maka apabila kwajiban tersebut telah selesai ditunaikan )disini Imam sy-Syirazi menggunakan kata "aqaama", bukan "qaama"; dalam bahasa arab kata "aqaama" artinya adalah "ja'alahu yaqumu"[39]( oleh siapa saja yang mampu, gugurlah )kwajiban( tersebut atas yang lain …".

Artinya, menurut Imam Asy-syirazi, apabila fardhu kifayah belum selesai ditunaikan maka kwajiban tersebut masih tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf yang menjadi obyek khitab taklif.

Syeikhul Islam Imam al-Hafidz an-Nawawi, dalam kitab Al-majmu' Syarh Al-muhadz-dzab menjelaskan[40]:

... وَغسل الميت فرض كفاية باجماع المسلمين ومعني فرض الكفاية انه إذا فعله من فيه كفاية سقُط الحرٌج عن الباقين وان تركوه كلهم

اثموا كلهم واعلم ان َغسل الميت وتكفينه والصالة عليه ودفنه فروضكفاية بال خالٍف

" dan memandikan jenazah itu adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma' kaum Muslimin. Makna fardhu kifayah adalah apabila siapa saja yang pada dirinya ada kifayah )kecukupan untuk melaksanakan kwajiban tsb( telah melaksanakan maka akan menggugurkan beban atas yang lain. Namun apabila mereka semua meninggalkan kwajiban tersebut, mereka semua berdosa. Ketahuilah bahwa memandikan mayyit, mengkafaninya, menshalatinya serta menguburkannya adalah fardhu kifayah, tidak ada perbedaan pendapat )dalam hal ini(".

Disini Imam An-nawawi menegaskan, apabila fardhu tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki "kifayah" maka beban )kwajiban( tersebut gugur atas yang lain. Tapi, jika semua meninggalkan kwajiban tersebut, semuanya berdosa.

Al-allamah Asy-syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-malibari menegaskan[41]:

باب الجهاد. )هو فرض كفاية كل عام( ولو مرة إذا كان الكفار ببالدهم، ويتعين إذا دخلوا بالدنا كما يْأتي: وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من

فيهم كفاية سقُط الحرٌج عنه وعن الباقين. ويْأثم كل من ال عذر له منالمسلمين إن تركوه وإن جهلوا.

"Bab Jihad. )jihad itu adalah fardhu kifayah setiap tahun( meski satu kali, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka, dan menjadi fardhu 'ain apabila mereka )menyerang( masuk di negeri kita, sebagaimana yang akan datang )pembaha-sannya(; dan hukum fardhu kifayah itu adalah apabila fardhu kifayah tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang memiliki "kifayah" maka akan gugurlah beban atas orang tersebut dan juga bagi yang lain. Dan berdosa atas setiap orang yang tidak udzur baginya dari kaum Muslimin apabila mereka meninggalkannya meski mereka tidak tahu"

Disini Shahibu Fathil Mu'in menegaskan kembali apa yang dijelaskan oleh Imam An-nawawi. Beliau menambahkan catatan bahwa kaum Muslimin yang tidak ada udzur, tapi meninggalkan kwajiban tersebut berdosa.

Masih tentang fardhu kifayah, Syeikh Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab Nihayah Az-zain menjelaskan hal yang senada dengan yang dijelaskan oleh Imam An-nawawi. Namun beliau menambahkan bahwa yang

melaksanakan kwajiban tersebut bisa jadi bukan orang yang terkena kwajiban. Beliau berkata[42]:

باب الجهاد أي القتال في سبيل الله هو فرض كفاية كل عام إذا كان الكفار ببالدهم وأقله مرة في كل سنة فإذا زاد فهو أفضل ما لم تدع حاجة إلى أكثر من مرة وإال وجب لبعِض طلب الجهاد بْأحد أمرين إما بدخول اإلمام أو نائبه دارهم بالجيش لقتالهم وإما بتشحين الثْغور أي أطراٍف بالدنا بمكافئين لهم لو قصدونا مع إحكام الحصون والخنادق

وتقليد ذلَك لألمراء المؤتمنين المشهورين بالشجاعة والنصح للمسلمين وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية وإن لم يكونوا من أهل فرضه كصبيان وإناث ومجانين سقُط الحرٌج عنه إن

كان من أهله وعن الباقين رخصة وتخفيفا عليهم بفرض العين أفضلبفرض الكفاية كما قاله الرملي وفروض الكفاية كثيرة

"Kitab Jihad. Maksudnya adalah )jihad( di jalan Allah. Jihad itu adalah fardhu kifayah untuk setiap tahun, apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu tahun, tapi apabila lebih tentu lebih utama, selama tidak ada kebutuhan lebih dari satu kali. Jika jihad tidak dilakukan maka wajib atas sebagian )kaum Muslimin( untuk mengajak jihad, dengan salah satu dari dua cara. Dengan masuknya Imam atau wakilnya ke negeri mereka )orang-orang kafir( dengan tentara untuk memerangi mereka atau dengan memanaskan )situasi( perbatasan atau sudut-sudut )wilayah( negeri kita orang-orang yang kapabel untuk mereka, jika seandainya mereka, orang-orang kafir tersebut, bermaksud )menyerang( kita dengan adanya benteng atau parit dan dibawah kendali para pemimpin yang tidak diragukan, yang masyhur dengan keberanian dan nasehatnya atas kaum Muslimin. Hukum jihad itu fardhu kifayah, karena apabila siapa saja yang memiliki kafa'ah mengerjakannya meski bukan yang termasuk yang diwajibkan seperti anak kecil, para wanita atau bahkan sukarelawan maka gugurlah beban )kwajiban( tersebut dari yang diwajibkan. Sedangkan yang lain mendapat rukhshah serta keringanan. Fardhu 'ain itu lebih utama dibanding fardhu kifayah, sebagaimana yang dinyatakan oleh )Imam( Ar-ramli. Fardhu kifayah itu banyak …"

Alhasil, jika kita rangkum penjelasan para ulama' diatas, fardhu kifayah itu meski tidak harus semua kaum Muslimin yang mukallaf wajib melaksanakan layaknya fardhu 'ain tapi kwajiban tersebut harus dilaksanakan oleh jumlah yang memiliki "kifayah". Itu pertama. Kedua, kwajiban tersebut dianggap terlaksana secara sempurna apabila telah sempurna ditunaikan. Contoh kwajiban merawat

jenazah seorang Muslim yang dibebankan pada suatu komunitas. Kwajiban yang sifatnya fardhu kifayah tersebut dikategorikan selesai dilaksanakan apabila jenazah tersebut telah selesai dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan. Ketiga, bagi yang meninggalkan fardhu kifayah tanpa udzur berdosa, dan pelaksanaan fardhu kifayah itu tidak menutup kemungkinan dilaksanakan oleh yang tidak diwajibkan.

Nashbul khalifah, berdasarkan ibarah para ulama' diatas, adalah fardhu kifayah. Selama kwajiban tersebut belum ditunaikan secara sempurna maka kwajiban tersebut, tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf dari kaum Muslimin, dan meninggalkan kwajiban yang masuk kategori fardhu kifayah tanpa udzur adalah dosa.

Kasatuan Imamah dan KhilafahDi dalam kitab Shahih Muslim bisyarhin Nawawi, ketika Imam Al-hafidz An-

nawawi menjelaskan hadits dari Abu Hurairah ra[43]:

¢ي� ¡ب �ه� ال¡ ن ¢ن ¢يÐ و¡إ ¡ب ¡ف¡ه� ن ل ¢يÐ خ¡ ¡ب ¡َك¡ ن �م¡ا ه¡ل �ل ¡اء� ك ¢ي  ب ¡ن ه�م  األ  ¡س�وس� ¢يل¡ ت ائ ر¡ ¢س  �و إ ¡ن ¡ت  ب ¡ان ك¡ع َّط�وه�م  و�ل¢ و¡أ

¡ و�ل¢ ف¡األ ¡  ع¡ة¢ األ  ¡ي ¢ب ¡ا ق¡ال¡ ف�وا ب ن م�ر�

  ¡ْأ �ر� ت  ث ¡ك ¡ف¡اء� ت ل �ون� خ� ¡ك ت ¡ع د¢ي و¡س¡ بع¡اه�م  ¡ر  ت �ه�م  ع¡م�ا اس  ¢ل ائ �ه¡ س¡ ¢ن� الل ح¡ق�ه�م  ف¡إ

Beliau menjelaskan bahwa pengertian "tasusuhum al-anbiyaa'" dengan: Mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan wali terhadap rakyat )nya([44].

Selanjutnya Imam An-wawawi menegaskan[45]:

ح¢يح¡ة و�ل صــ¡¡ ة األ   عــ¡ ¡ي ة ف¡ب ¢يفــ¡ ل د خ¡ ¡عــ  ¢يف¡ة̈ ب ل ¢خ¡ ¢ع¡ ل �وي ¢ذ¡ا ب  ح¡د¢يث : إ ¡ى ه¡ذ¡ا ال و¡م¡ع ن

ه¢ ــ  ¡ي م ع¡ل ر� ¡حــ  ا ، و¡ي ¢هــ¡ اء ب  و¡فــ¡ م ال ر� ¡حــ  ة ي ــ¡ ¡اط¢ل ¢ي ب �ان  ع¡ة الث ¡ي ¢ه¡ا ، و¡ب  و¡ف¡اء ب ¡ج¢ب ال يو¡اء ¢ين¡ ، و¡ســ¡ اه¢ل و  جــ¡

¡ و�ل أ¡ د¢ األ  ¢ع¡قــ  ¢م¢ين¡ ب ال ¢ي عــ¡ ان ــ� ¢لث و¡اء ع¡ق¡د�وا ل ¡به¡ا ، و¡س¡ ط¡ل

ر ف¢ي خــ¡ ل و¡اآْل   ف¡صــ¢  م�ن ام ال ¢مــ¡ د اإل  ــ¡ ¡ل ¡ح¡دهم¡ا ف¢ي ب و  أ¡ ¡د ، أ ¡ل و  ب

¡  ن¢ أ ¡د¡ي ¡ل ¡ا ف¢ي ب ¡ان ك¡م¡اء  ع�ل ¡ا و¡ج¡م¡اه¢ير ال ابن ص ح¡

¡  ه¢ أ ¡ي �ذ¢ي ع¡ل  ره ، ه¡ذ¡ا ه�و¡ الص�و¡اب ال ...َغ¡ي

"Makna hadits ini adalah apabila terjadi bai'ah untuk seorang khalifah setelah )sebelumnya dibai'ah( khalifah, maka bai'ah yang pertamalah yang benar, dan wajib mencukupkan diri dengan bai'ah untuk yang pertama tersebut. Sedangkan bai'ah yang kedua adalah bathil dan haram mencukupkan diri dengan bai'ah tersebut. Dan haram atas yang kedua menuntut bai'ah, baik apakah dia tahu ataupun tidak terhadap bai'ah yang pertama. Baik mereka berdua ada di dua negeri atau di satu negeri, atau salah satu dari keduanya berada di negerinya

yang )posisinya( terpisah sedangkan yang lain di luar negerinya. Inilah yang benar dimana shahabat-shahabat kita di dalamnya, begitupula Jamahir Al-ulama'…"

Imam Abu Hayyan Al-andalusi berkata[46]:

... فنقول : الذي عليه أصحاب الحديث والسنة ، أن نصب اإلمام فرض� لفرقة من الخوارٌج ، وهم أصحاب نجدة الحروري . زعموا أن ، خالفا

اإلمامة ليست بفرض ، وإنما على الناس إقامة كتاب الله وسنة رسوله ، وال يحتاجون إلى إمام ، ولفرقة من اإلباضية زعمت أن ذلَك تَّطوع .

� للرافضة ، إذ واستناد فرضية نصب اإلمام للشرع ال للعقل ، خالفا�.... ثم قال االمام ابى الحيان االندلوسي : وال ينعقد أوجبت ذلَك عقال� للكرامية ، إذ أجازوا ذلَك ، وزعموا أن إلمامين في عصر واحد ، خالفا

� ومعاوية كانا إمامين في وقت واحد ... عليا

“…Kami nyatakan, dimana para ahli hadits dan sunnah juga berpendapat yang sama, bahwa mengangkat seorang imam itu fardhu, berbeda dengan Khawarij. Yaitu shahabat-shahabat Najdah Al-hururi. Mereka mengklaim bahwa imamah itu bukanlah suatu kewajiban, meski adalah kwajiban bagi manusia untuk menegakkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan untuk menegakkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tersebut tidak membutuhkan imam. Sedangkan menurut firqah Ibadhiyyah mengklaim bahwa imamah itu adalah sunnah. Landasan kewajiban )adanya( imam adalah syara', bukan akal. Ini berbeda dengan Rafidhah. Mereka berpendapat bahwa wajibnya imamah itu berdasarkan akal…”

Selanjutnya beliau, Imam Abu Hayyan Al-andalusi, menyatakan: “bahwa tidak )boleh( diangkat dua imam pada masa yang sama, ini berbeda dengan Karamiyyah. Mereka membolehkan hal tersebut…”

Allah SWT tidak akan Mentaklifkan sesuatu Melebihi Isthitha'ah Hamba-Nya

Setelah kita simpulkan bahwa nashbul khalifah adalah fardhu kifayah atas kaum Muslimin, pembahasan berikutnya adalah isthitha'ah. Adalah suatu yang ma'ruf bahwa isthitha'ah kaum Muslimin itu berbeda satu dengan yang lain; pemahaman, tenaga maupun harta. Keberagaman ini kadang kala dijadikan

hujjah oleh sebagian kaum Muslimin untuk menyatakan bahwa kaum Muslimin sekarang ini tidak mampu melaksanakan kwajiban tersebut. Benarkah?

Pengertian isthitha'ah )kemampuan(. Allah Tabaraka wa Ta'ala ber-firman:

ع¡ه¡ا )البقرة : ¢ال� و�س  ا إ ¡ف س� �ه� ن ¡ل»ف� الل �ك (286ال¡ ي

Imam al-Hafidz Abu Al-fida' Ismail Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur'an al-Adzim menjelaskan[47]:

وقوله "ال يكلف الله نفسا إال وسعها" أي ال يكل�ف أحد فوق طاقته ...

" … dan firman-Nya " ال يكلف الله نفسا إال وسعها " adalah bahwa tidak dibebankan pada seseorang melebihi kemampuannya".

Imam al-Qurthubi dalam Tafsirnya, al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, men-jelaskan secara panjang lebar sebagai berikut[48]:

التكليف هو األمر بما يشق عليه وتكلفت األمر تجشمته; حكاه الجوهري. والوسع: الَّطاقة والجدة. وهذا خبر جزم. نص الله تعالى

على أنه ال يكلف العباد من وقت نزول اآْلية عبادة من أعمال القلب أو الجوارح إال وهي في وسع المكلف وفي مقتضى إدراكه وبنيته; وبهذا

.انكشفت الكربة عن المسلمين في تْأولهم أمر الخواطر

"Taklif itu adalah perintah untuk hal-hal yang memberatkan padanya dan )ungkapan( suatu perintah itu membebani artinya bahwa perkara tersebut telah membebaninya. Itulah yang dikemukakan oleh al-Jauhari. Sedangkan al-wus'u adalah kemampuan dan kesungguhan. Ini adalah informasi yang sifatnya pasti. Allah Ta'ala menegaskan bahwa Allah tidak mentaklifkan hamba sejak turunnya ayat tersebut dengan ibadah baik yang merupakan aktifitas hati atau anggota tubuh kecuali dalam batas kemampuan seorang mukallaf dan dalam lingkup pengetahuan serta niatnya. Dengan ayat ini terangkatlah kesusahan atas kaum Muslimin dalam menjelaskan hal-hal yang membahayakan".

Imam al-Baidhawi, dalam kitab tafsirnya, menjelaskan[49]:

� ورحمة� ، أو ع¡ه¡ا { إال ما تسعه قدرتها فضال � و�س  ¢ال ا إ ¡ف س� ¡لºف� الله ن �ك ¡ ي } ال ما دون مدى طاقتها بحيث يتسع فيه طوقها ويتيسر عليها كقوله تعالى

�م� العسر { وهو يدل على عدم ¢ك �ر¢يد� ب ¡ ي �م� اليسر و¡ال ¢ك �ر¢يد� الله ب : } يوقوع التكليف بالمحال ...

ع¡ه¡ا � و�س  ¢ال ا إ ¡ف س� ¡لºف� الله ن �ك ¡ ي "الKecuali apa yang dalam cakupan kemampuannya, sebagai bentuk keutamaan dan merupakan rahmat )Allah(, atau dengan pengertian lain apa yang tidak melebihi jangkauan kemampuannya, dalam arti bahwa taklif tersebut dalam lingkup kemampuan manusia serta memudahkannya, sebagaimana firman Allah:

�م� العسر ¢ك �ر¢يد� ب ¡ ي �م� اليسر و¡ال ¢ك �ر¢يد� الله ب يFirman Allah tersebut menunjukkan bahwa taklif itu tidak jatuh pada hal yang mustahil )dilakukan( …"

Dalam tafsir Lubab At-ta'wil fi Ma'ani At-tanzil yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Khazin dinukil riwayat jawaban Imam Sufyan ibn Uyainah ketika ditanya pengertian ayat diatas. Beliau berkata[50]:

º يسرها ولم يكلفها فوق طاقتها وهذا قول حسن ، ألن الوسع قال : إالº وسعها فال � إال ما دون الَّطاقة وقيل معناه أن الله تعالى ال يكلف نفسا

يتعبدها بما ال تَّطيق .

"beliau berkata kecuali Allah akan memudahkannya dan Allah tidak mentaklifkannya melebihi kemampuannya dan ini adalah ungkapan yang bagus. Karena )kata( al-wus'u itu adalah apa yang tidak melebihi kemampuan".

")Selanjutnya Imam Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Umar Asy-syaihi yang lebih dikenal dengan Al-khazin menjelaskan(, juga dikatakan bahwa pengertian:

º وسعها � إال ال يكلف الله نفساadalah bahwa sesungguhnya Allah Ta'ala tidak mentaklifkan pada manusia kecuali dalam batas kemampuannya, maka Allah tidak memerintahkan manusia untuk beribadah dengan hal-hal yang di luar kemampuannya"

Para mufassir terkemuka diatas telah memaparkan secara gamblang pengertian Surah Al-baqarah ayat 286. Benar, bahwa Allah telah menegaskan bi nash ash-sharih bahwa Dia tidak akan mentaklifkan pada hamba-Nya perkara yang diluar kemampuannya. Bahkan pada Surah at-Taghabun ayat 16, Allah SWT memerintahkan kita untuk bertaqwa sesuai dengan isthitha'ah kita. Allah berfirman:

(16فاتقوا الله ماستَّطعتم ... )التْغابن:

Al-hafidz Ibnu Katsir menjelaskan[51]:

وقوله تعالى "فاتقوا الله ما استَّطعتم" أي جهدكم وطاقتكم كما ثبت في الصحيحين عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إذا أمرتكم بْأمر فائتوا منه ما استَّطعتم وما

نهيتكم عنه فاجتنبوه"

" Dan firman-Nya Ta'ala: "فاتقوا الله ما استطعتم" maksudnya adalah dengan kesungguhan dan kemampuan kalian, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam dua kitab shahih dari Abi Hurairah RA. Dia berkata: bahwa Rasulullah SAW: " apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka tunaikan berdasarkan kemampuan kalian, sedangkan perkara yang aku larang untuk kalian maka jauhilah … ".

Inilah yang ditegaskan Allah SWT atas kita, Allah tidak mentaklifkan pada kita suatu perkara yang diluar batas kemampuan kita. Pertanyaannya adalah, apakah nashbul khalifah litathbiqi syari'atillah merupakan kwajiban yang diluar batas ke-mampuan kita? Memang, kalau kwajiban tersebut hanya dilaksanakan oleh individu-individu kaum Muslimin, tentu akan melampaui batas kemampuan mareka. Tapi bukankah kwajiban nasbu al-khalifah tersebut adalah fardhu kifayah? kwajiban yang dibebankan terhadap kita kaum Muslimin secara umum? Artinya, selama kwajiban tersebut belum tertunaikan maka kwajiban nashbul khalifah tetap dibebankan diatas pundak kita, Seluruh kaum Muslimin.

Jadi nashbul khalifah adalah kwajiban kita. Tidak sungguh-sungguh untuk nashbul khalifah, tanpa udzur syar'i, secara syar'i terkategorikan sebagai penelantaran kwajiban yang dibebankan Allah atas kita. Apatah lagi diam, menghambat atau bahkan melawan perjuangan tersebut.

Khulashatul qaul kwajiban nashbul khalifah adalah fardhu atas seluruh kaum Muslimin, dan yang mengabaikan hal tersebut tanpa udzur syar'i berdosa. Wallahu a'lam bi ash-shawab wa huwa al- musta’an wa ‘ailihi al-ittikal.

اإلمامــة في اللْغــة مصــدر من الفعــل ) أم� ( تقــول : ) أم�هم وأم� بهم :تقدمهم ، وهي اإلمامة ، واإلمام : كل ما ائتم به من رئيس أو َغيره ( .

“Secara bahasa Imamah merupakan masdar dari kata kerja “amma”, )maka( anda menyatakan: ammahum dan amma bihim artinya adalah yang memimpin mereka. Yaitu imamah. Sedangkan imamah adalah setiap yang menjadi pembimbing di dalamnya baik pemimpin maupun yang lain”.

Imam Ibnu Mandzur berkata:[2]

اإلمـام كـل من ائتم بـه قـوم كـانوا على الصـراِط المسـتقيم أو كـانواــرآن �مه والمصلح له ، والق ضالين .. والجمع : أئمة ، وإمام كل شيء قي

ــة rإمام المسلمين ، وسيدنا محمد رسول الله إمام األئمة ، والخليفإمام الرعية ، وأممت القوم في الصالة إمامة ، وائتم به : اقتدي به .

“Imam adalah setiap orang yang membimbing suatu kaum baik menuju jalan yang lurus maupun sesat… jama’nya adalah “a’immah”. Dan imam itu adalah setiap hal yang meluruskan dan yang mereform dirinya, )maka( Al-qur’an adalah imam bagi kaum Muslim. Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW adalah imamnya para imam. Khalifah adalah imamnya rakyat. Anda mengimami suatu kaum dalam shalat sebagai imam. Dan )makna( I’tamma bihi: memberi contoh di dalamnya”.

Sedangkan pengarang kitab Tajul ‘Arusy min Jawahir al-Qamus, Al-allamah

Muhammad Murtadlo Az-zubaidi menyatakan:[3]

¨ ام ¢مــ¡ ¢إ ¡ب ا ل �ه�مــ¡ ¢ن ) واإلمام : الَّطريق الواسع ، وبه ف�س»ر قولــه تعــالى : و¡إ¢ي̈ن( ســورة الحجــر آيــة ؤم ، أي : يقصــد فيتمــيز79م¬ب ــ� ) أي : بَّطريــق ي

قال : ) والخليفة إمام الرعية ، قال أبــو بكــر : يقــال فالن إمــام القــومــام ــَك : إم ا كقول ــام رئيســ� ــون اإلم ــدم عليهم ، ويك ــو المتق ــاه : ه معن المسلمين ( ، قال : ) والدليل : إمام السفر ، والحــادي : إمــام اإلبــل ،

وإن كان وراءها ألنه الهادي لها .. ( أ . هـ .

“Imamah adalah jalan yang lapang. Pengertian tersebut ditafsirkan dari firman-Nya Ta’ala:

¢ي̈ن( سورة الحجر آية ¢م¡ام̈ م¬ب ¢إ ¡ب �ه�م¡ا ل ¢ن )79 و¡إ

Maksudnya pada jalan yang “yu’ammu”. artinya )jalan( yang dituju sehingga bisa dispesifikasikan. )orang( berkata: Khalifah adalah imamnya rakyat. Abu Bakar berkata: )kalau( fulan dikatakan sebagai imam suatu kaum artinya dia orang yang terkemuka dari kaum tersebut. Maka imam itu adalah kepala, sebagaimana pernyataan anda: imamnya kaum muslim. Selanjutnya )dia( berkata: buktinya adalah: imam safar, dan penghalau )unta( adalah imamnya unta meski dia di belakang unta, karena dialah yang mengarahkan unta…”

Dalam Ash-shihhah Al-jauhari berkata[4]:

مºه وأممه وتْأممه إذا قصده ( ¡ ) األم¬ بالفتح القصد ، يقال : أ

“Al-‘ammu, dengan fathah )maksudnya( adalah tujuan. Maka dikatakan ammahu, wa ammamahu, wa ta’ammamahu apabila tujuannya padanya”. Dan seterusnya.

Dari semua diskripsi yang disampaikan oleh para Ulama’ terkemuka di bidang bahasa diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian imam, imamah kurang lebih sama.

Sedangkan pengertian khilafah secara bahasa Imam al-Qalqasandi berkata[5]:

ان الخالفة فى االصــل )مصــدر خلــف, يقــال: خلفــه فى قومــه, يخلفــه خالفة, فهو خليفة, ومنه قوله تعالى: وقال موسى الخيه هارون اخلفني

(142فى قومي )االعراٍف: “Bahwa sesungguhnya khilafah itu adalah masdar dari khalafa, dikatakan bahwa dia menggantikannya pada kaumnya, )artinya( dia menggantikannya sebagai khilafah. Maka dia itu adalah khalifah. Pengertian yang semacam itu antara lain dalam firman-Nya Ta’ala:

“Dan Berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah Aku dalam (memimpin) kaumku…” )TQS Al-a’raf: 142(

Imam Al-hafidz Ibn Jarir Ath-thabari berkata[6]:

ــاالمر ــام ب قيل سلَّطان االعظام: الخليفة, النه خلف الذي كان قبله, فق مقامــه, فكــان عنــه خلفــا. يقــال منــه: خلــف الخليفــة, يخلــف خالفــة,

وخليفا..

“Sulthanul a’dzam )penguasa yang agung( disebut khalifah, karena dia menggantikan yang sebelumnya. Dia menempati posisi )yang sebelumnya( dalam memegang pemerintahan. Maka dia itu baginya adalah pengganti. Juga dikatakan: dia menggantikan khalifah, dia menggantikannya sebagai khilafah dan khalifah”

Al-allamah Ibn Mandzur menjelaskan:[7]

الخليفة الذي يستخلف ممن قبله. والجمع خالئف. جاؤا به على االصل, مثل كريمة وكرائم. وهو الخليف, والجمــع: خلفــاء. أمــا ســيبويه, فقــال

خليفة وخلفاء, …اه

“Khalifah itu adalah yang menganggantikan orang yang sebelumnya. Jama’nya adalah khala’if. Mereka )menghadirkan( jama’ tersebut pada pokok. Seperti kata “kariimah” dan “karaa’im”. Dan dia adalah pengganti, jama’nya adalah khulafah’. Adapun )Imam( Sibawaih menyatakan khalifah dan )jama’nya( khulafa’.

Dari diskripsi diatas dapat disimpulkan bahwa makna khalifah secara bahasa adalah pengganti orang yang sebelumnya.