akuntan muda - juni 2011

42

Upload: akuntanmuda

Post on 05-Jul-2015

219 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Akuntan Muda edisi Juni 2011 ini berisi artikel berikut:- Hipotesis Pasar Efisien dan Anomali Pasar Modal- Tanya Uni Hesty: Bagaimana Seharusnya Penelitian Mahasiswa D3 vs. Mahasiswa S1- PSAK No.1 (Revisi 2009): Komponen Laporan Keuangan Lengkap, Penyajian Laporan Keuangan, dan Extraordinary Items- Biaya Tetap vs. Biaya Variabel- Paradoks Produktivitas dan Tata Kelola Sistem Informasi- Yuk Bikin Paper: #2 Mencari Literatur

TRANSCRIPT

Page 1: Akuntan Muda - Juni 2011
Page 2: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 1

Pengantar

Ada 2 hal baru dalam Akuntan Muda edisi Juni 2011 ini. Pertama adalah perubahan

ukuran kertas yang sekarang menggunakan ukuran A4. Ukuran ini lebih umum kita

gunakan daripada ukuran A5 yang kami gunakan sebelumnya. Perubahan ini dibuat

dengan harapan versi cetak Akuntan Muda yang di-print oleh masing-masing pembaca

menjadi lebih nyaman untuk dibaca.

Kedua, Akuntan Muda sekarang juga berisi kolom yang didedikasikan khusus untuk sistem

informasi. Pertanyaan yang sering muncul terkait sistem informasi adalah ‘di mana

akuntansinya?’ Oke, kami tidak memiliki dasar yang cukup baik untuk menjawab

pertanyaan ini dari sudut pandang keilmuan ataupun filsafat ilmu. Hanya saja, kami

memandang bahwa sistem informasi sebagai sarana penghasil informasi adalah penting

untuk dipelajari oleh akuntan, sebanding dengan pentingnya seorang chef memahami

alat-alat dapur (i.e. microwave, blender) yang ia gunakan untuk menghasilkan makanan.

Sebuah sistem yang baik akan menghasilkan informasi yang benar, berguna, dan dapat

diandalkan. Akuntan, secara umum, tentu saja berkepentingan langsung terhadap

pengembangan sistem yang baik. Selamat mempelajari sistem informasi! ^_^

arie rahayu

Penasihat

Prof. Dr. Zaki Baridwan, MSc.; Prof. Dr. Suwardjono, MSc.

Redaksi: Arie Rahayu, Arif Perdana, Hesty Wulandari, Yeni Januarsi

Blog: http://akuntanmuda.wordpress.com/

E-mail: [email protected] atau [email protected]

Foto diambil dari website Microsoft Office: http://office.microsoft.com/en-us/

Page 3: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 2

Daftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar Isi

1 Pengantar

2 Daftar Isi

3 Hipotesis Pasar Efisien dan Anomali Pasar Modal

6 Tanya Uni Hesty: Bagaimana Seharusnya Penelitian

Mahasiswa D3 vs. Mahasiswa S1

9 PSAK No.1 (Revisi 2009): Komponen Laporan Keuangan

Lengkap, Penyajian Laporan Keuangan, dan Extraordinary

Items

17 Biaya Tetap versus Biaya Variabel

21 Paradoks Produktivitas dan Tata Kelola Sistem Informasi

26 Yuk Bikin Paper: #2 Mencari Literatur

Page 4: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 3

Hipot_sis P[s[r Efisi_n ^[n Hipot_sis P[s[r Efisi_n ^[n Hipot_sis P[s[r Efisi_n ^[n Hipot_sis P[s[r Efisi_n ^[n

@nom[li P[s[r Mo^[l@nom[li P[s[r Mo^[l@nom[li P[s[r Mo^[l@nom[li P[s[r Mo^[l

Keganjilan yang diakibatkan oleh

adanya efek kalender dalam pasar

modal sangat berkaitan erat dengan

hipotesis tentang pasar modal yang

efisien. Efek ini akan mengakibatkan

efisiensi itu mengalami gangguan. Pasar

dikatakan efisien apabila harga-harga

sekuritas yang ada mencerminkan

secara penuh informasi yang tersedia (Fama 1970). Mengapa efisiensi pasar ini sangat

diperlukan? Efisiensi pasar berkaitan erat dengan alokasi dana dan pertumbuhan ekonomi.

Pasar yang tidak efisien akan mengakibatkan adanya kesalahan dalam alokasi dana investasi

pada aset-aset tertentu secara berlebihan atau berkekurangan. Sementara itu secara

agregat kondisi ini akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dimana pemerintah akan

mengalami permasalahan dalam pengalokasian sumber daya akibat adanya kesalahan

dalam pengalokasian modal (misalloacation of capital) dari para investor.

Hipotesis mengenai pasar yang efisien merupakan suatu kerangka yang ideal dan

diharapkan dapat terjadi di pasar modal, meskipun pada kenyataannya pasar tidak dapat

efisien secara penuh. Kondisi ini dapat terjadi dikarenakan adanya biaya atas analisa dan

pengumpulan informasi, biaya investasi, dan terbatasnya modal yang dimiliki oleh para

investor (Singal 2003). Faktor-faktor di atas selanjutnya akan berakibat pada munculnya

berbagai keganjilan atau anomali pasar. Anomali ini akan mengakibatkan terjadinya

kesalahan dalam penetapan harga-harga sekuritas. Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari

adanya kesalahan-kesalahan dan asumsi-asumsi yang digunakan oleh pasar. Dengan

demikian anomali pasar tidak sepenuhnya dapat hilang, dikarenakan faktor-faktor yang

Page 5: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 4

mempengaruhinya tetap ada ditambah lagi dengan faktor keperilakuan dari pihak investor

dalam menyikapi informasi yang diberikan oleh pasar.

Jones (1996 dalam Jogiyanto 2005, h.96) mendefinisi anomali pasar sebagai teknik atau

strategi yang tampaknya bertentangan dengan pasar efisien. Anomali kalender merupakan

salah satu dari beberapa anomali pasar yang mengganggu hipotesis pasar efisien bentuk

lemah. Berdasarkan penelitian-penelitian tentang anomali kalender yang dilakukan pada

beberapa pasar modal di dunia seperti di Amerika, Kanada, Perancis, Italia, Hongkong,

China, India, Bangladesh, Singapura, Mesir dan sebagainya menunjukkan bahwa keganjilan

ini terjadi secara berulang-ulang sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah fenomena yang

menarik untuk diamati di pasar modal.

Keberadaan anomali ini akan menyebabkan kenaikan dan penurunan harga-harga

saham yang berimplikasi pada keuntungan/return investasi di pasar modal dapat diprediksi

oleh para investor. Adanya pola-pola pergerakan return saham yang dapat diprediksi akibat

pengaruh anomali kalender mengakibatkan return yang terjadi tidak lagi bersifat

acak/random. Pola pergerakan return ini dapat diamati oleh para investor sehingga mereka

dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan return yang tidak normal. Return saham yang

seharusnya acak dan tidak dapat diprediksi sesuai dengan hipotesis pasar efisien bentuk

lemah akan menjadi bertentangan akibat adanya anomali tersebut. Hartono (2005, h. 18)

mengatakan bahwa pasar dikatakan efisien dalam bentuk lemah apabila harga sekuritas

mencerminkan secara penuh informasi masa lalu. Jika pasar efisien secara bentuk lemah,

maka nilai-nilai masa lalu tidak dapat digunakan untuk memprediksi harga sekarang.

Anomali atau keganjilan yang terjadi di

pasar modal dapat diakibatkan oleh adanya

pengaruh hari dan bulan di dalam kalender.

Hingga saat ini masih fenomena tersebut

masih banyak menarik minat peneliti untuk

mempelajarinya secara mendalam. Alat

analisis yang digunakan juga bergam. Mulai

dari penggunaan persamaan regresi biasa

(ordinary least squares), analysis of

Page 6: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 5

variances, Kruskal-Wallis, Mann-Whitney, Wilcoxon hingga yang terakhir menggunakan

generalised autoregressive conditional heteroskedasticity.

Penelitian-penelitian yang dilakukan di sejumlah pasar modal dunia memiliki hasil yang

beragam tentang anomali pasar modal. Beberapa penelitian tersebut menemukan anomali

sebagai berikut:

1. Efek hari dalam minggu (day-of-the-week effect)

2. Efek Senin (Monday effect)

3. Efek Rabu (Wednesday effect),

4. Efek Jumat (Friday effect)

5. Efek akhir minggu (weekend effect)

6. Efek hari libur (holiday effect)

7. Efek bulan dalam tahun (month-of-the-year effect)

Berbagai anomali di atas secara umum terjadi di hampir seluruh pasar modal di dunia,

perbedaan yang terjadi hanya pada level dan bentuk anomali apa saja yang terjadi. Anomali

tersebut akan menyesuaikan dengan beberapa faktor seperti: aspek kultural masyarakat,

masa pelaporan pajak, penerbitan laporan keuangan, dan akhir tahun fiskal.

(Oleh: Arif Perdana)

R_f_r_nsi:

Fama, E.F., (1970), Efficient Capital Markets: A Review of Theory & Empirical Work. Journal

of Finance, Vol. 25, No. 2, tersedia di : http://dv1litvip.jstor.org/stable/2325486

Hartono, Jogiyanto, (2005), Pasar Efisien secara Keputusan, Jakarta : Gramedia.

Singal, Vijay, (2003), Beyond the Random Walk: A Guide to Stock Market Anomalies and

Low-Risk Investing, New York: Oxford Universty Press.

Page 7: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 6

Tanya Uni Hesty

Uni Hesty saat ini mengajar di jurusan akuntansi Politeknik Caltex di

kota bertuah Pekanbaru dan akan segera mengajar di Fakultas Ekonomi

Universitas Islam Negri Sutan Syarif Kasim Pekanbaru. Uni menamatkan

S1 di Universitas Andalas, Padang. Setelah berkutat dengan kuliah

selama 5,5 tahun dengan nilai ala kadarnya, meneruskan kuliah profesi

akuntan dan menamatkan studi S2 di kampus biru UGM, tempat yang

kemudian mengubahnya menjadi pencinta pembelajaran.

Silakan kirim pertanyaan apa saja seputaran akuntansi kepada Uni Hesty melalui e-mail di :

[email protected]

Bagaimana Seharusnya Penelitian Mahasiswa D3 vs

Penelitian Mahasiswa S1?

Seorang kolega pernah bertanya kepada

saya tentang perbedaan antara penelitian

yang dilakukan oleh mahasiswa D3 dan S1.

Pertanyaan ini ia ajukan karena ia merasa

belum menemukan standar yang pas dan

baku tentang tata cara penelitian

dimasing-masing jenjang pendidikan.

Selain belum adanya standar, kadang

sebagai dosen, saya dan kolega sering

dibuat bingung oleh judul yang diajukan

mahasiswa. Judul yang diajukan

mahasiswa S1 seringkali terlalu rendah

untuk level mereka (lebih cocok untuk

dijadikan penelitian oleh mahasiswa D3)

atau sebaliknya, judul yang diajukan oleh

mahasiswa D3 malah kadang terlalu tinggi

(lebih cocok dijadikan skripsi atau malah

tesis).

Lalu Bagaimana Seharusnya?

Jika dianalogikan dengan tingkatan

pendidikan dari TK, SD, SMP dan SLTA,

sebenarnya dalam penelitian, mahasiswa

D3 berada pada level anak TK. Analogi ini

bukan dimaksudkan untuk merendahkan

suatu strata. Dalam analogi tadi, jika siswa

Page 8: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 7

SD sudah mulai bisa mengeja atau

membaca sedikit demi sedikit maka siswa

TK baru diajarkan untuk mengenal huruf.

Siswa yang baru belajar mengenal huruf

tentu saja tidak bisa dipaksa untuk

membaca satu paragraf kalimat dan

sebaliknya bagi mereka yang sudah

belajar membaca, tentu saja huruf-huruf

menjadi hal yang sudah tidak perlu lagi

diajarkan, melainkan perlu didorong untuk

membaca lebih banyak tulisan lagi.

JIka dipindahkan kembali ke dalam

analogi penelitian maka seharusnya

mahasiswa D3 tidak terlalu dituntut untuk

melakukan penelitian yang canggih, cukup

yang sederhana saja. Lalu, bagaimana

defenisi dari kata-kata sederhana itu

sendiri? Menurut saya, dalam taraf ini,

mereka cukup sampai pada taraf

memahami tentang aktivitas penelitian itu

sendiri seperti belajar menyusun latar

belakang yang baik; menemukan literatur

yang bisa disadur dengan pas; serta

menyimpulkan hasil penelitian mereka

dengan baik. Untuk level D3, mereka

cukup melakukan penelitian yang bersifat

deskriptif dan kualitatif saja, misalnya

dengan melakukan penelitian yang

bersifat studi kasus, melakukan replikasi

penelitian dan menggantinya dengan

sampel yang berbeda, atau jika harus

memakai perhitungan statistik cukup

dengan memakai perhitungan yang

sederhana saja seperti perhitungan

statistik deskriptif. Yang paling penting

untuk diingat adalah bahwa mereka

sedang belajar meneliti, sehingga tidak

perlu menuntut mereka terlalu tinggi.

Jadi, kalaupun tugas akhir mahasiswa D3

lebih mirip dengan laporan magang dan

PKL pada mahasiswa S1, itu seharusnya

masih bisa dimaklumi. Kalau meminta

mereka untuk bisa memahami dan

melakukan penelitian dengan pengujian

statistik yang rumit itu? Menurut saya itu

belum saatnya, namun juga bukan berarti

hal ini menjadi pembatas untuk mereka

yang ingin melakukan penelitian yang

levelnya diatas level D3.

Jika mahasiswa D3 baru belajar

meneliti maka mahasiswa S1 sudah

sampai ke taraf belajar untuk meneliti

dengan baik. Apa yang dimaksud dengan

meneliti dengan baik itu? Kalau menurut

saya, belajar meneliti dengan baik itu

berarti memiliki pemahaman terhadap

jenis penelitian yang mereka lakukan;

hubungan antara penelitian yang mereka

lakukan dengan bidang keilmuan yang

mereka pelajari, bagaimana sifat

penelitian yang dilakukan; apakah ia

bersifat kualitatif atau kuantitatif; variabel

Page 9: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 8

apa saja yang ada di dalam penelitian

tersebut; bagaimana mendefenisikannya;

bagaimana ia harus diuji, bagaimana

sampel dipilih hingga bagaimana

kesimpulan terhadap penelitian tersebut

harus diambil. Sehingga untuk mendukung

tujuan agar mahasiswa S1 sampai ke

tahap ini, mereka sudah mulai

diperkenalkan dengan mata kuliah

statistik, metodologi penelitian, dan

rancangan skripsi.

Mereka yang sudah mulai belajar

mengeja dan membaca, sudah mulai bisa

diminta untuk membaca baris demi baris,

hingga meningkat ke paragraf dan

kemudian meningkat menjadi halaman

atau bahkan menjadi bab. Begitu juga

dalam melakukan penelitian, mereka yang

sedang belajar meneliti dengan baik,

seharusnya sudah mulai bisa diminta

untuk melakukan penelitian yang tidak

sederhana lagi, seperti melakukan

penelitian yang menggunakan model

penelitian tertentu, atau penelitian yang

sudah mulai menggunakan pengujian

statistik yang lebih kompleks. Namun

demikian, bukan berarti penelitian dengan

menggunakan pengujian statistik menjadi

harga mati sebuah untuk mengatakan

sebuah penelitian menjadi rumit atau

tidak. Penelitian yang bersifat studi

kasuspun banyak yang tidak kalah rumit

asal dilakukan dengan kajian yang

mendalam dan detil.

Di luar perdebatan bagaimana

seharusnya sebuah penelitian dilakukan

oleh mahasiswa D3 dan S1, kita jangan

pernah melupakan bahwa yang penting

dari sebuah penelitian itu adalah

kontribusinya terhadap perkembangan

ilmu pengetahuan dan penelitian itu

sendiri dan kontribusinya terhadap

pengalaman belajar mahasiswa itu sendiri.

Page 10: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 9

PSAK NO.1 (Revisi 2009)

Komponen Laporan Keuangan

Lengkap, Penyajian Laporan

Keuangan, dan Extraordinary Items

1. Pendahuluan

Jika seorang investor ingin mengambil

keputusan bisnis, maka salah satu

pertimbangannya adalah dengan melihat

dan menganalisis laporan keuangan

perusahaan. Kenapa laporan keuangan?

Laporan keuangan merupakan salah satu

media utama yang dapat digunakan oleh

perusahaan untuk mengkomunikasikan informasi keuangannya kepada pihak luar. Laporan

ini juga merekam peristiwa kejadian bisnis dalam bentuk unit moneter. Dengan

disediakannya laporan keuangan maka keadaan ekonomi perusahan (yang dituangkan ke

dalam bentuk angka-angka moneter) tercermin dalam laporan keuangan tersebut. Untuk

menganalisis laporan keuangan perusahaan, tentu saja diperlukan komponen-komponen

laporan keuangan yang lengkap.

Dalam kaitannya dengan komponen laporan keuangan, Dewan Standar Akuntansi

Keuangan (DSAK) telah mensahkan PSAK 1 (Revisi 2009) tentang penyajian laporan

keuangan pada tanggal 15 Desember 2009 yang merupakan revisi dari PSAK 1 tahun 1998.

Pada kesempatan ini, akan dipaparkan tentang beberapa perubahan-perubahan yang terkait

dengan PSAK 1 tantang penyajian laporan keuangan yang akan dimulai dari istilah-istilah apa

saja yang berubah, disusul dengan komponen laporan keuangan yang lengkap, dan

bagaimana bentuk penyajian laporan keuangan, dan alasan mengapa pos luar biasa

(extraordinary items) tidak diperbolehkan lagi disajikan dalam laporan keuangan.

Page 11: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 10

2. Istilah dan Perubahan Istilah

Dalam PSAK 1 (Revisi 2009) terdapat beberapa istilah baru yang diungkap dan terdapat juga

beberapa istilah yang telah berubah jika dibandingkan dengan PSAK 1 tahun 1998. Istilah-

istilah baru yang diungkap dalam PSAK 1 (Revisi 2009), yang sebelumnya tidak diungkap

dalam PSAK 1 (Revisi 1998), adalah:

a. catatan atas laporan keuangan

b. laba atau rugi

c. laporan keuangan bertujuan umum

d. material

e. pemilik

f. pendapatan komprehensif lain

g. penyesuaian reklasifikais

h. standar akuntansi keuangan

i. tidak praktis

j. Total Laba rugi komprehansif

Beberapa perubahan istilah diantaranya adalah

a. Penggantian istilah “kewajiban” pada PSAK 1 (Revisi 1998) menjadi “liabilitas” pada

PSAK 1 (Revisi 2009).

b. Penggantian istilah “aktiva” pada PSAK 1 (Revisi 1998) menjadi “aset” pada PSAK 1

(Revisi 2009).

c. Penggantian istilah “neraca” pada PSAK 1 (Revisi 1998) menjadi “laporan posisi

keuangan” pada PSAK 1 (Revisi 2009)

Satu hal penting dalam kaitannya dengan istilah, PSAK 1 (Revisi 2009) tidak lagi

memperkenankan penggunaan istilah “Pos Luar Biasa”, sedangkan PSAK 1 (1998) masih

memperkenankan penggunaan istilah tersebut. Pertanyaannya adalah, mengapa pos luar

biasa tidak diperkenankan lagi ada? Sayangnya, PSAK 1 (Revisi 2009) tidak menjelaskan

alasan mengapa pos luar biasa dihilangkan. Alasan akan hal ini berdasar pandangan penulis

akan dibahas pada bagian 5.

Page 12: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 11

3. Komponen Laporan Keuangan Lengkap

Berdasar pada PSAK 1 (Revisi 2009), komponen laporan keuangan lengkap mengalami

perubahan dari yang tadinya hanya mencakup lima item, sekarang mencakup enam item.

Berdasar PSAK 1 (Revisi 1998), komponen laporan keuangan lengkap meliputi:

1 neraca,

2 laporan laba rugi,

3 laporan perubahan ekuitas,

4 laporan arus kas, dan

5 catatan atas laporan keuangan.

Sedangkan menurut PSAK No. 1 (Revisi 2009) yang disahkan pada tanggal 15 Desember

2009 dan mulai yang efektif berlaku untuk periode tahun buku yang dimulai pada atau

setelah tanggal 1 Januari 2011, laporan keuangan yang lengkap harus meliputi komponen-

komponen berikut ini :

1 laporan posisi keuangan pada akhir periode

2 laporan laba rugi komprehensif selama periode

3 laporan perubahan ekuitas selama periode

4 laporan arus kas selama periode

5 catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan

informasi penjelasan lain; dan

6 laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas

menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara restrospektif atau membuat penyajian

kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam

laporan keuangannya.

Jika kita bandingkan antara PSAK 1 (Revisi 1998) dengan PSAK No. 1 (Revisi 2009), terkait

komponen laporan keuangan, maka terdapat dua perbedaan utama yaitu:

1. perubahan pada laporan laba rugi, dimana sebelumnya hanya mensyaratkan laporan

laba rugi, sekarang harus menyajikan laporan laba rugi komprehensif

2. PSAK 1 (Revisi 1998) tidak mensyaratkan adanya laporan posisi keuangan pada awal

periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi

Page 13: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 12

secara restrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau

ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.

Perlu ditekankan bahwa antara laporan laba rugi dengan laporan laba rugi komprehensif

memiliki perbedaan. Laporan laba rugi adalah total pendapatan dikurangi beban, tidak

termasuk komponen-komponen pendapatan komprehensif lain. Sedangkan laporan laba

rugi komprehensif termasuk didalamnya laporan laba rugi dan pendapatan komprehensif.

Pendapatan komprehensif mencakup (paragraf 7):

a. perubahan dalam surplus revaluasi (lihat PSAK 16 (Revisi 2007): Aset Tetap dan

PSAK 19 (Revisi 2009): Aset Tidak Berwujud)

b. keuntungan dan kerugian aktuarial atas program manfaat pasti yang diakui sesuai

dengan PSAK 24: Imbalan Kerja

c. keuntungan dan kerugian yang timbul dari penjabaran laporan keuangan dari

entitas asing (lihat PSAK 10 (Revisi 2009): Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Valuta

Asing)

d. keuntungan dan kerugian dari pengukuran kembali aset keuangan yang

dikategorikan sebagai ‘tersedia untuk dijual’ (lihat PSAK 55 (Revisi 2006) : Instrumen

Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran)

e. bagian efektif dari keuntungan dan kerugian instrumen lindung nilai dalam rangka

lindung nilai arus kas (lihat PSAK 55 (Revisi 2006) : Instrumen Keuangan : Pengakuan

dan Pengukuran)

4. Penyajian Laporan Keuangan

Penyajian laporan keuangan yang dituangkan dalam PSAK No.1 merupakan adopsi dari IAS 1

Presentation of Financial Statements (2009). Terdapat beberapa perbedaan berdasar PSAK 1

(Revisi 2009) dengan PSAK 1 (Revisi 1998). Beberapa perbedaan terkait penyajian laporan

keuangan di antaranya:

a. Dalam paragraf 9 PSAK 1 (Revisi 2009), laporan keuangan menyajikan beberapa

informasi mengenai entitas yang meliputi: aset, liabilitas, ekuitas, pendapatan dan

beban termasuk keuntungan dan kerugian, kontribusi dari dan distribusi kepada

Page 14: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 13

pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik, serta arus kas sedangkan menurut

PSAK 1 (1998), informasi yang disajikan dalam laporan keuangan meliputi: aset,

kewajiban, ekuitas, pendapatan dan beban, serta arus kas.

b. PSAK 1 (Revisi 2009) tidak mengatur kapan entitas sebaiknya mengeluarkan laporan

keuangan, sedangkan PSAK 1 (1998) mengatur bahwa entitas sebaiknya

mengeluarkan laporan keuangan paling lama 4 bulan setelah tanggal neraca.

c. Paragraf 84 PSAK 1 (Revisi 2009) tidak memperkenankan penyajian “pos luar biasa”

dalam laporan laba rugi komprehensif (akan dibahas spada bagian berikutnya).

d. Dalam paragraf 78 PSAK 1 (Revisi 2009) mensyaratkan bahwa seluruh pos

penghasilan dan beban yang diakui dalam satu periode dapat disajikan dengan

dengan memilih salah satu format berikut:

• Dalam bentuk satu laporan laba rugi komprehensif, atau

• Dalam bentuk dua laporan, yaitu:

i. Laporan yang menunjukkan komponen laba rugi (laporan laba rugi

terpisah), dan

ii. Laporan yang dimulai dengan laba rugi dan menunjukkan komponen

pendapatan komprehensif lain (laporan laba rugi komprehensif)

5. Mengapa Pos Luar Biasa (Extraordinary Items)

Dihilangkan?

Tidak kita pungkiri bahwa sudah menjadi perdebatan sejak lama tentang apa yang harus

dimasukkan dalam net income, apakah hanya kegiatan yang berasal dari aktivitas operasi

ataukah juga memasukkan kegiatan yang berasal dari aktivitas tidak biasa (irregular items).

Isu ini sangat penting mengingat tidak sedikit jumlah irregular item yang dilaporkan oleh

entitas.1 Berdasarkan pendekatan modified all inclusive concept, perusahaan dapat

melaporkan irregular items sebagai bagian dari net income-nya. Salah satu irregular items

adalah pos luar biasa (extraordinary items)

1 Survey dari 600 perusahaan besar menunjukkan bahwa lebih dari 40% perusahaan melaporkan restructuring charges,

sekitar 20% melaporkan baik extraordinary items atau perubahan discontinued operation, dan banyak perusahaan yang

mencatat assets write-down atau laba penjualan aset.

Page 15: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 14

Secara konsep, pos luar biasa merupakan transaksi dan kejadian yang tidak berulang

yang berbeda secara signifikan dari kegiatan normal perusahaan. Untuk menentukan

apakah suatu kejadian dikatakan luar biasa harus dikaitkan dengan kegiatan normal

perusahaan atau dikaitkan dengan karakteristik perusahaan. Sebagai contoh, kerugian

akibat terjadinya gempa bagi perusahaan yang terletak di negara Jepang (sering dilanda

gempa) akan menjadi kejadian yang biasa saja, tetapi kerugian yang diderita oleh

perusahaan di Indonesia (yang jarang terjadi gempa) dapat dikatakan sebagai kejadian yang

luar biasa. Ini mengandung makna kriteria “luar biasa” akan berbeda antara satu

perusahaan dengan perusahana lainnya sehingga perlu menetapkan suatu kriteria untuk

dapat mengkategorikan suatu kejadian masuk dalam “pos luar biasa”.

Suatu aktivitas dikategorikan sebagai pos luar biasa jika memenuhi 2 persyaratan berikut:

1. Bersifat tidak normal; kejadian atau transaksi yang bersangkutan memiliki tingkat

abnormalitas yang tinggi dan tidak mempunyai hubungan dengan kegiatan normal

perusahaan.

2. Tidak sering terjadi; kejadian atau transaksi yang bersangkutan tidak sering terjadi

dalam kegiatan normal perusahaan.

Sebagai pertimbangan lain, untuk menentukan apakah peristiwa atau transaksi

dikatagorikan sebagai pos luar biasa maka entitas perlu mempertimbangkan lingkungan

tempat entitas tersebut beroperasi. Sebagai contoh Weyerhaeuser Company (forest and

lumber) memasukan pos luar biasa atas terjadinya aktivitas volkanik pada gunung St. Helens

sejumlah $36 juta. Erupsi volkanik ini menghancurkan logistik, bangunan, equipment, sistem

transportasi, dan kayu. Bagi Weyerhaeuser Company kerugian yang ditimbukan oleh

aktivitas volkanik tersebut sangat jarang terjadi dan bersifat tidak normal sehingga dapat

diklasifikasikan sebagai extraordinary items, tetapi mungkin saja bagi perusahaan lain yang

terletak didaerah rawan terjadinya aktivitas volkanik, kerugian sebagai akibat adanya

aktivitas volkanik tidak dapat dikatagorikan sebagai extraordinary items.

Dalam kaitannya dengan pos luar biasa, Paragraf 84 PSAK 1 (Revisi 2009) Tidak

diperkenankan lagi penyajian pos-pos penghasilan dan beban sebagai “pos luar biasa”

dalam laporan laba rugi komprehensif, laporan laba rugi terpisah (jika disajikan), atau

catatan atas laporan keuangan. Aturan ini menunjukkan bahwa memang standar kita sudah

Page 16: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 15

tidak lagi memperkenankan disajikannya pos luar biasa dalam laporan keuangan.

sebelumnya, penyajian pos luar biasa dalam laporan laba rugi perusahaan diatur

berdasarkan PSAK No. 25 mengenai ‘Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan,

Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi’, paragraf 10 - 14.

Pertanyaan yang timbul adalah mengapa pos luar biasa tidak diperkenankan lagi

disajikan dalam laporan keuangan? Jika melihat ke belakang ketika terjadi tragedi serangan

teroris di Amerika tanggal 11 september 2001 dan peristiwa terjadinya badai Katrina tahun

2005, seluruh media di Amerika mengkatagorikan dua peristiwa tersebut sebagai

“extraordinary.” Namun FASB’s Emerging Issues Task Forces (EITF) menyatakan bahwa

melampirkan kerugian yang berasal dari kejadian tanggal 11 September akan menjadi tidak

efektif dalam mengkomunikasikan akibat dari adanya serangan tanggal 11 September

sehingga hal ini bertentangan dengan tujuan luas dari disediakannya laporan keuangan yaitu

mengkomunikasikan secara efektif dan jelas (informasi laporan keuangan). Alasan lain yang

dikemukakan oleh EITF adalah sulitnya “menangkap” akibat-akibat finansial dari serangan

teroris pada satu item laporan keuangan. Sementara menurut IAS, dikeluarkannya

extraordinary items dari laporan keuangan karena terdapat kesulitan dalam memisahkan

efek-efek finansial dari satu kejadian dengan kejadian lain secara objektif.

Secara umum, alasan eliminasi extraordinary items dari laporan keuangan dapat

dirangkum sebagai berikut:

1) Terdapat kesuliatan untuk menentukan apakah suatu peristiwa/transaksi dapat

dikatagorkan sebagai pos luar biasa. Hal ini disebabkan karena kriteria penentuan pos

luar biasa masih membutuhkan judgement.

2) Terdapat kesulitan untuk memisahkan efek finansial yang terjadi karena adanya

serangan teroris dengan efek finansial yang terjadi karena adanya kegiatan ekonomi

yang lemah sebelum terjadinya serangan teroris. Dengan kata lain, terdapat kesulitan

untuk memisahkan efek finansial akibat adanya kejadian yang diduga sebagai

extraordinary dengan kejadian lain sebelum adanya extraordinary.

Page 17: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 16

3) Memisahkan kos yang termasuk dalam extraordinary item dengan yang tidak termasuk

dalam extraordinary items bukan saja merupakan hal yang tidak praktis2 , tetapi juga

merupakan hal yang tdak berguna bagi pengguna laporan keuangan yang berfokus pada

informasi yang dapat membantu prediksi future earnings dan akibat cash flow dari

adanya kejadian–kejadian tersebut. Sehingga udaha untuk memisahkan kos dalam

ordinary atau extraordinary akan menghalangi (bukan meningkatkan) komunikasi

informasi keuangan

4) Salah satu katagori extraordinary items adalah tidak sering terjadi (infrequently in

practice) sehingga karena tidak sering terjadi makan sebaiknya dieliminasi.

Secara umum penulis sependapat dengan Massoud et al. (2007) bahwa memang sudah

saatnya extraordinary items dihilangkan karena telah cukup lama manfaat dari disajikannya

extraordinary item menjadi tidak jelas. Mengapa? Dengan mengklasifikasikan suatu kejadian

dalam extraordinary items tidak akan mengubah efek bottom-line atas kejadian tersebut

terhadap organisasi, karena extraordinary items hanya sebagian kecil dari semua pos yang

ada dalam kaporan keuangan yang bisa dijadikan pertimbangan organisasi.

(Oleh: Yeni Januarsi)

Referensi

Massoud, Raiborn, and Humphrey. 2007. Extraordinary Items: Time To Eliminate The

Classification. CPA Journal

Burke, J.A. 2006. An Extraordinary Decision Leads to Extraordinary Changes. CPA Journal

Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan per 1 Juli 2009. Salemba

Empat. Jakarta

Kieso, Weygandt, and Warfields. 2010. Intermediate Accounting. Wiley.

2 Dalam PSAK 1 (revisi 2009) dinyataka definisi tidak praktis jika entitas tidak dapat menerapkannya setelah melakukan

segala upaya yang rasional

Page 18: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 17

Biaya Tetap Biaya Tetap Biaya Tetap Biaya Tetap vs.vs.vs.vs. Biaya VariabelBiaya VariabelBiaya VariabelBiaya Variabel

Dalam mata kuliah akuntansi manajerial

ataupun akuntansi biaya, kita sering

sekali berhubungan dengan berbagai

macam biaya; mulai dari biaya tetap,

biaya variabel, biaya diferensial, biaya

relevan dan biaya lain-lain. Secara

sederhana, biaya merupakan sejumlah

pengorbanan (baik yang berupa uang

ataupun yang bisa diubah atau dikonversikan dengan sejumlah uang) yang kita keluarkan

untuk memperoleh atau menghasilkan sesuatu. Sebagai contoh, untuk mendapatkan ilmu

pengetahuan di kampus, kita mengorbankan uang kuliah, uang buku, fotokopi, ongkos

angkutan umum, hingga uang yang tiap bulan dibayarkan untuk sewa rumah.

Di antara berbagai macam biaya tadi, di bagian paling dasar dari biaya terdapat biaya

yang bernama biaya tetap dan biaya variabel. Kedua biaya ini merupakan jenis biaya yang

hampir selalu ada dalam berbagai komposisi biaya, terutama digunakan untuk menghasilkan

sebuah produk. Meskipun seringkali berjalan beriringan, kedua biaya ini sebenarnya

memiliki karakteristik yang berlawanan.

Apa itu Biaya Tetap?Apa itu Biaya Tetap?Apa itu Biaya Tetap?Apa itu Biaya Tetap?

Biaya tetap merupakan jenis biaya yang bersifat statis (tidak berubah) dalam ukuran

tertentu. Biaya ini akan tetap kita keluarkan meskipun kita tidak melakukan aktivitas apapun

atau bahkan ketika kita melakukan aktivitas yang sangat banyak sekalipun. Dalam proses

produksi, biaya tetap akan selalu kita bayarkan atau keluarkan tanpa menghitung berapa

banyak produksi yang kita lakukan, baik ketika tidak berproduksi atau sebaliknya saat

produksi dilakukan dalam kapasitas maksimal. Jadi, dengan kata lain, secara total biaya ini

akan selalu sama, tidak terpengaruh oleh jumlah unit yang diproduksi atau jumlah aktivitas

yang dilakukan. Bagaiman jika dihitung per unit produk yang dihasilkan atau per aktivitas

Page 19: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 18

yang kita lakukan? Biaya tetap dan unit yang diproduksi atau aktivitas yang dilakukan

memiliki hubungan yang terbalik. Hubungan terbalik ini maksudnya adalah semakin banyak

unit yang kita produksi atau semakin banyak aktivitas yang kita lakukan maka biaya tetap

per unit atau per aktivitas yang kita lakukan akan semakin kecil jumlahnya.

Contoh I: Contoh I: Contoh I: Contoh I:

Jika dihubungkan dengan aktivitas produksi, kita bisa mengambil contoh sebuah gudang

yang disewa untuk lokasi pabrik dengan biaya sewa Rp 100.000.000 per tahun. Pada tahun

awal, ketika produksi belum dimulai, kita mengeluarkan biaya sewa sejumlah Rp.100 juta

per tahun. Ketika mulai berproduksi, kita tetap membayar jumlah yang sama. Bahkan ketika

jumlah produksi semakin banyak, jumlah sewa pabrik yang kita bayarkan masih sama.

Skema biaya tetap dalam produksi dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1

Contoh Perhitungan Biaya Tetap

Biaya Sewa per Tahun Jumlah Unit yang

Diproduksi

Biaya sewa gudang per

unit

Rp 100.000.000 200 Rp. 500.000

Rp 100.000.000 500 Rp. 200.000

Rp 100.000.000 2500 Rp. 40.000

Contoh 2Contoh 2Contoh 2Contoh 2

Adapun contoh nonproduksi dari biaya tetap adalah biaya abonemen pada tagihan listrik

dan telepon. Biaya abonemen ini adalah jumlah biaya yang harus kita bayarkan setiap

bulannya meskipun pada bulan itu kita tidak menyalakan satu alat listrik pun di rumah atau

tidak melakukan satu percakapan lewat telepon.

Apa itu Biaya Variabel?Apa itu Biaya Variabel?Apa itu Biaya Variabel?Apa itu Biaya Variabel?

Berkebalikan dengan biaya tetap, biaya variabel ini bersifat dinamis. Ia mengikuti banyaknya

jumlah unit yang diproduksi ataupun banyaknya aktivitas yang dilakukan. Pada biaya ini,

jumlah yang akan kita keluarkan per unit atau per aktivitas justru berjumlah tetap

Page 20: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 19

sedangkan untuk biaya secara total jumlahnya akan menyesuaikan dengan banyaknya

jumlah unit yang diproduksi ataupun jumlah aktivitas yang dilakukan. Jika biaya tetap

memiliki hubungan terbalik dengan jumlah unit yang diproduksi atau aktivitas yang

dilakukan maka, secara total, biaya variabel memiliki hubungan searah dengan jumlah unit

yang diproduksi atau aktivitas yang dilakukan. Hubungan searah ini maksudnya adalah

semakin banyak unit yang kita produksi atau semakin banyak aktivitas yang kita lakukan,

maka akan semakin banyak biaya variabel yang kita keluarkan.

Contoh 3 : Contoh 3 : Contoh 3 : Contoh 3 :

Untuk memasarkan produk yang kita buat, kita menyewa tenaga penjual dengan

membayarkan komisi sebanyak Rp.10.000 dari tiap barang yang berhasil ia jual. Jika si

penjual hanya mampu menjual 10 buah produk dengan harga satuan Rp.100.000, maka

besarnya biaya komisi yang harus kita keluarkan untuk si penjual adalah : Rp10.000 x 10 =

Rp.100.000. Jika dalam sebulan ia mampu menjual hingga 200 unit, maka biaya komisi yang

harus kita keluarkan adalah Rp.10.000 x 200 = Rp. 2.000.000. Selanjutnya, besarnya biaya

komisi yang akan kita keluarkan adalah sebesar jumlah unit yang mampu dijual si penjual

kita kalikan dengan biaya komisi per unit yang kita berikan. Untuk lebih jelasnya, kita bisa

melihat skema perhitungan biaya variabel pada tabel di bawah ini:

Tabel 2

Contoh Perhitungan Biaya Variabel

Biaya Komisi per Unit Jumlah Unit yang Terjual Total Biaya Komisi yang

Dikeluarkan

Rp. 10.000 10 Rp. 100.000

Rp. 10.000 200 Rp. 2.000.000

Rp. 10.000 750 Rp. 7.500.000

Contoh 4 Contoh 4 Contoh 4 Contoh 4

Contoh lain dari biaya variabel adalah pulsa telepon genggam. Banyaknya pulsa yang kita

habiskan adalah sebanyak jumlah sms yang kita kirimkan x tarif yang dikenakan untuk tiap

sms serta jumlah menit yang kita habiskan untuk menelpon x tarif menelpon per menit.

Page 21: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 20

Bagaimana Jika Biaya Tetap dan Biaya Variabel Bagaimana Jika Biaya Tetap dan Biaya Variabel Bagaimana Jika Biaya Tetap dan Biaya Variabel Bagaimana Jika Biaya Tetap dan Biaya Variabel

Digabungkan?Digabungkan?Digabungkan?Digabungkan?

Biaya tetap dan biaya variabel memang biasa disandingkan. Dalam komposisi tagihan

telepon misalnya, total biaya yang harus kita bayarkan merupakan gabungan dari biaya

tetap dan biaya variabel. Seperti yang tertulis pada contoh 2 di atas, abonemen merupakan

biaya tetap, sedangkan biaya percakapan merupakan biaya variabel; yang berasal dari

jumlah menit percakapan yang kita lakukan x tarif percakapan per menitnya.

Selain tagihan telepon, contoh lain dari gabungan biaya tetap dan biaya variabel adalah

total uang kuliah yang harus dibayarkan setiap semester. Dalam komposisi pembayaran

uang kuliah, SPP merupakan biaya tetap karena jumlah yang akan kita bayarkan tidak

berubah meskipun kita berada di semester 1 ataupun di semester 10 sedangkan biaya sks

merupakan biaya variabel, yang besar jumlahnya tergantung pada jumlah sks yang kita

ambil x biaya per sks yang telah ditetapkan.

(Oleh: Hesty Wulandari)

Page 22: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 21

Tidak sedikit perusahaan yang mengalami

kegagalan dalam implementasi teknologi

informasi (TI) atau sistem teknologi

informasi (STI), termasuk juga yang

berkaitan dengan sistem informasi

akuntansi. Ada beberapa penyebab yang

dapat ditelusuri. Secara garis besar ada

yang bersifat teknis dan non-teknis. Sisi

teknis berkaitan dengan teknologi yang

berada di belakang sistem tersebut,

sementara sisi non teknis berada pada

aspek keperilakuan dan managerial dalam

penggunaan sistem tersebut.

Tulisan ini akan memberikan

gambaran mengenai aspek

managerial yang mempengaruhi

kesuksesan penerapan sistem

teknologi informasi.

Keller (2004) dalam

bukunya yang berjudul

‘Technology Paradise Lost: Why

Companies Will Spend Less to

Get More from Information

Technology’ mengungkapkan secara jelas

bagaimana peran STI dalam korporasi

modern saat ini, terutama untuk

mentrasformasikan investasi yang telah

dilakukan dalam bidang STI yang

tergolong besar agar menghasilkan nilai

dan profitabilitas bagi perusahaan.

Investasi-invetasi di bidang STI seringkali

tidak diikuti dengan hasil yang maksimal

bagi perusahaan, baik dari sisi

produktivitas, profitabilitas maupun nilai

Page 23: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 22

yang akan diterima oleh suatu entitas

bisnis. Berkaitan dengan hal ini muncul

terminologi productivity paradox. Istilah

productivity paradox pertama kali

dikemukakan oleh Steven Roach dalam

penelitiannya yang berjudul America's

Technology Dilemma: A Profile of the

Information Economy yang dipublikasikan

pada tanggal 22 April 1987 (Brynjolfsson &

Hitt 1998). Kesimpulan mengenai

productivity paradox diperoleh karena

adanya peningkatan yang sangat besar

dalam teknologi komputasi, namun

demikian tidak diimbangi dengan imbas

yang dihasilkan dari sisi kinerja ekonomi,

khususnya untuk sektor ekonomi yang

didominasi oleh “pekerja informasi”.

(Brynjolfsson & Hitt 1998).

Perdebatan panjang mengenai

productivity paradox bermunculan, ada

yang mendukung dan ada juga yang

menentang. Argumen yang mendukung

dikemukakan oleh Carr (2003) yang

menyatakan bahwa investasi dalam

bidang teknologi seringkali tidak sejalan

dengan hasil yang dapat diperoleh. STI

tidak lagi menjadi sesuatu yang strategis

bagi perusahaan dan telah menjadi suatu

komoditas. Sejumlah survey dan

penelitian menemukan bahwa

productivity paradox tidak sepenuhnya

benar dan tidak juga sepenuhnya salah.

Beberapa sektor produksi ada yang

mengalami peningkatan dalam

produktivitas dalam kaitannya dengan

penggunaan STI, namun ada juga yang

tidak menunjukkan perubahan yang

berarti. Hasil survey yang dilakukan oleh

Federal Reserve Board, Information

Technology and Productivity: Where Are

We Now and Where Are We Going, pada

tahun 2002 menemukan bahwa

peningkatan produktivitas hanya terjadi

pada beberapa sektor industri seperti

industri perakitan komputer, sekuritas

(keuangan), pabrikan semikonduktor,

telekomunikasi, dan grosir. Produktivitas

terbesar yang dicapai oleh industri-

industri tersebut berada dalam rentang

waktu 6 tahun sejak tahun 1995 hingga

2000 (Keller 2004). Argumen yang kontra

productivity paradox datang dari

Organisation for Economic Co-operation

and Development (OECD) pada tahun

2003 yang menganjurkan investasi besar-

besaran dalam TI karena akan berdampak

pada produktivitas dan pertumbuhan GDP

seperti yang telah dialami oleh Amerika.

U.S. Department of Commerce dalam

laporannya Digital Economy 2002,

melaporkan bahwa pergerakan dan

pertumbuhan dalam ekonomi Amerika

sangat erat kaitannya dengan

Page 24: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 23

pengeluaran dan penggunaan STI. Salah

satunya adalah penciptaan bidang-bidang

kerja yang bergaji tinggi yang

berhubungan dengan penyediaan jasa dan

penjualan STI. (Keller 2004). Survey yang

dilakukan oleh OECD dan U.S. Department

of Commerce ini melihat imbas STI secara

lebih luas dalam konteks negara dan

bukan pada tingkatan perusahaan. Jika

dilihat secara lebih luas, dapat

disimpulkan STI memiliki imbas yang

besar dalam produktivitas perekonomian

saat ini.

Pertanyaan penting yang patut

dikemukakan berkaitan dengan

productivity

paradox adalah

mengapa ada

sebagian

perusahaan yang

berhasil

menikmati

keuntungan dari

investasi STI yang

mereka lakukan

sementara ada

sebagian lain yang

mengalami

kegagalan. Kegagalan sebagian

perusahaan dalam memanfaatkan STI

seharusnya tidak dapat menjadi justifikasi

productivity paradox.

Kesukesan perusahaan-perusahaan

yang memanfaatkan STI dalam proses

bisnisnya seharusnya menjadi pelajaran

berharga bagi perusahaan-perusahaan

yang belum mendapatkan hasil yang

maksimal dalam investasi di bidang STI.

Productivity paradox yang menjadi bahan

perdebatan sesungguhnya berada pada

lingkup perusahaan atau industri tertentu

saja dan bukan berada pada lingkup yang

lebih luas seperti negara dan regional

tertentu. Oleh karena itu fenomena

productivity paradox sebenarnya tidak

dapat

digeneralisasikan

sebagai salah

satu dampak dari

penggunaan STI

dalam proses

bisnis.

Penelitian

empiris

menunjukkan

bahwa kegagalan

dalam

implementasi STI

sebenarnya terjadi karena kesalahan

dalam pengelolaan STI itu sendiri dan

tidak adanya ukuran yang jelas bagaimana

Mengapa ada sebagian

perusahaan berhasil menikmati

keuntungan dari investasi STI

yang mereka lakukan, sementara

ada sebagian yang lain

mengalami kegagalan?

Page 25: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 24

mengukur kesuksesan implementasi STI.

Kegagalan dalam STI umumnya terjadi

karena proses perencanaan dan analisis

masalah yang salah sehingga hasil

pengembangan STI kedalam perusahaan

menjadi tidak berhasil. Faktor

kepemimpinan juga memainkan peranan

yang amat penting. Keterlibatan dan

partisipasi manajemen puncak akan

sangat menentukan kesuksesan

implementasi STI. Beberapa studi yang

berkaitan dengan hal tersebut

menemukan terdapat keterkaitan yang

erat antara kesuksesan implementasi STI

dengan hubungan eksekutif yang

didalamnya melibatkan CEO dan CIO

(Feeny et al. 1992; Earl & Feeny 1995;

Chen & Preston, 2007). Dari sisi

pengukuran kesuksesan, STI tidak hanya

diukur dari perspektif keuangan, namun

juga harus diukur dari persepektif non

keuangan lainnya seperti kepuasan

pelanggan, kepuasan karyawan, akurasi

proses bisnis, dsb. Pengukuran kesuksesan

STI yang hanya diukur dari perspektif

keuangan tidak tepat, karena dua variabel

ini tidak selalu berhubungan secara

langsung.

Berkaitan dengan adanya kesalahan

dalam pengelolaan dan pengukuran

kesuksesan implementasi STI, pemikiran

mengenai tata kelola teknologi informasi

(IT governance) kini berkembang. Ada

berbagai definisi yang dikemukakan

berkaitan dengan tata kelola TI. Ross &

Weill (2004) Mendefinisikan tata kelola TI

sebagai spesifikasi atas rerangka dalam

pengambilan keputusan keputusan,

pendelegasian wewenang dan

akuntabilitas untuk mendorong perilaku

yang diinginkan dalam penggunaan

teknologi informasi. Definisi ini lebih

menekankan kepada sistem dan proses

dalam pengambilan keputusan yang

berhubungan dengan kesuksesan dalam

penggunaan teknologi. Definisi lainnya

yang lebih luas dikemukakan oleh The IT

Governance Institute (ITGI), tata kelola TI

didefinisikan sebagai tanggung jawab

eksekutif dan dewan komisaris yang

melibatkan kepemimpinan, struktur

organisasional, dan proses untuk

meyakinkan keberlanjutan TI, pencapaian

strategi dan tujuan perusahaan.

Mekanisme tata kelola TI memiliki tiga

komponen yaitu struktur, proses dan

mekanisme relasional (Van Grembergen &

De Haes 2008). Struktur meliputi

organisasi, lokasi fungsi TI, eksistensi, dan

kejelasan tugas serta tanggung jawab dari

peran TI yang beragam dalam organisasi.

Proses merujuk pada pengambilan

keputusan, perencanaan sistem informasi

Page 26: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 25

strategis, pengendalian dan rerangka

proses. Mekanisme relasional merupakan

komponen yang melengkapi rerangka tata

kelola TI. Mekanisme sangat dibutuhkan

dalam tataran operasional, tata kelola TI

tidak akan berhasil tanpa adanya

mekanisme meskipun telah memiliki

struktur dan proses yang baik. Mekanisme

ini meliputi partisipasi bisnis/TI, dialog

strategis, pelatihan, pembelajaran dan

komunikasi. Dalam tataran operasional,

panduan operasional tata kelola TI dapat

menggunakan COBIT, CMMi, COSO,

ISO/IEC 17799:2005, ISO/IEC TR 13335,

ISO/IEC 15408:2005, ITIL, NIST 800-14,

PRINCE2, PMBOK, TickIT (Van

Grembergen & De Haes 2008).

Aspek managerial terutama yang

berkaitan dengan tata kelola teknologi

informasi memegang peranan penting

dalam kesuksesan implementasi STI.

Dengan demikian, penerapan STI semata

tanpa mempertimbangkan bagaimana

memanfaatkannya dengan benar, sama

sekali tidak bermanfaat bagi perusahaan.

(Oleh: Arif Perdana)

Referensi:Referensi:Referensi:Referensi:

Brynjolfsson, Erik & Lorin M. Hitt. 1998. Beyond the Productivity Paradox: Computers are the

Catalyst for Bigger Changes. Forthcoming in the Communications of the ACM.

Carr, Nicholas. G. 2003. IT Doesn’t Matter. Harvard Business Review. May 2003. USA:

Harvard Business School Press.

Chen. Daniel Q & David S. Preston. 2007. Understanding CIO Role Effectiveness: the

Antecedents and Consequents. Proceedings of the 40th Hawaii International Conference

on System Sciences – 2007

Earl M.J. and David.F. Feeny. 1995. Is Your CIO Adding Value, The McKinsey Quarterly.

Feeny, David. F. et.al. 1992. Understanding the CEO/CIO Relationship. MIS Quarterly, Vol. 16

Issue 4.

Keller, Erik. 2004. Technology Paradise Lost: Why Companies Will Spend Less to Get More

from Information Technology. Greenwich, CT: Manning Publications Co

vanGrembergen, Wim & Steven De Haes. 2008. Implementing Information Technology

Governance: Models, Practices, and Cases. United States of America: IGI Global.

Weill, Peter and J.W. Ross. 2004. IT Governance: How Top Performers Manage IT Decision

Rights for Superior Results, Watertown, MA: Harvard Business School Press.

Page 27: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 26

Yuk, Bikin Paper!Yuk, Bikin Paper!Yuk, Bikin Paper!Yuk, Bikin Paper!

#2 Mencari Literatur

Setelah menemukan topik, sebagaimana dibahas di

‘Kolom Uni Hesty’ bulan April kemarin, langkah

berikutnya adalah mencari literatur. Literatur

berperan penting bagi pemahaman kita atas suatu

topik. Hal ini karena pemahaman kita hanya akan

sebagus literatur yang kita pelajari. Literatur yang

baik adalah literatur yang memiliki kualitas tinggi pada:

1) Isi atau kandungan/content penelitian.

� Penelitian dilakukan secara benar.

Ini berarti penelitian terkait memiliki rumusan masalah yang baik dan terjustifikasi;

pengembangan hipotesis yang valid; benar dalam menggunakan, mengadaptasi, dan

mengaplikasi model; serta benar dalam menginterpretasi hasil. Singkat cerita,

penelitian ini haruslah melakukan segala langkah-langkah penelitian dengan tepat

dan hati-hati sehingga hasilnya pun benar, tidak dirusak oleh kekeliruan (error)

ataupun bias.

� Hasil penelitian memiliki kontribusi penting.

Kontribusi suatu paper dilihat dari perspektif dunia penelitian di saat penelitian itu

dipublikasi. Contohnya paper Ray Ball dan Philip Brown (1968) yang berjudul ‘An

Empirical Evaluation of Accounting Income Numbers.’1 Bila kita lihat saat ini maka

paper itu tampak sederhana dan biasa. Namun, tidak demikian ketika paper itu

dipublikasi pada tahun 1968. Saat itu, tren penelitian akuntansi adalah penelitian

1 Ball, R., dan P. Brown. 1968. An empirical evaluation of income accounting number. Journal of Accounting

Research 6 (20): 159-178.

Page 28: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 27

normatif dan penelitian Ball dan Brown (bersama dengan penelitian William H.

Beaver [1968]2) merupakan pionir penelitian akuntansi positif. Paper-paper serupa

yang dibuat kemudian (replikasi) tidak memiliki peran sepenting peran paper Ball

dan Brown (1968) walaupun bukan tidak mungkin paper-paper yang lebih baru

tersebut justru menggunakan metode yang lebih canggih.

2) Pemaparan ide, pemikiran, dan aspek penelitian.

Kualitas kedua ini terkait dengan bagaimana peneliti mengkomunikasikan penelitiannya

ke pembaca melalui tulisan. Selain melakukan penelitian dengan benar, paper yang baik

juga memudahkan pembaca untuk memahami penelitiannya. Ini berarti paper yang baik

umumnya memiliki ciri-ciri berikut ini:

� Argumen dipaparkan secara runut.

� Pemikiran disampaikan dalam bahasa yang baik dan benar serta lugas. Kalimat yang

digunakan tidak canggung ataupun ambigu.

� Aspek-aspek penelitian disajikan dalam cara-cara yang memudahkan pembaca

mengerti penelitian tersebut.

Kedua kualitas di atas memastikan bahwa kita mempelajari penelitian yang ‘benar’ dan

penting dengan relatif mudah. ‘Benar’ di sini berarti penelitian dilakukan dengan benar,

bukan penelitian yang dilakukan secara serampangan atau yang punya banyak kekeliruan.

Penelitian yang tidak dilakukan dengan benar membuat hasilnya tidak dapat dipercaya dan,

oleh karenanya, tidak dapat dijadikan dasar bagi penelitian lain, termasuk penelitian kita.

Selain itu, kita juga perlu melandaskan penelitian kita pada penelitian yang penting. Hal

ini terkait dengan keterandalan/reliabilitas asumsi yang kita gunakan, argumen yang kita

bangun, model yang kita adopsi atau adaptasi, dan sebagainya. Prinsipnya, informasi atau

pengetahuan tangan pertama itu lebih baik daripada turunan/derivasinya. Misalnya, ketika

kita meneliti manipulasi aktivitas real dan mengadopsi Model Roychowdhury maka

pengetahuan yang diperoleh dari mempelajari paper Roychowdhury (2006)3 akan jauh lebih

2 Beaver, W.H. 1968. The information content of annual earnings announcements. Journal of Accounting

Research 6: 67-92. 3 Roychowdhury, S. 2006. Earnings management through real activities manipulation. Journal of Accounting

and Economics 42: 335-370.

Page 29: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 28

baik daripada mempelajari paper lain yang sekedar mengutip atau juga menggunakan

model Roychowdhury (2006).

Sementara itu, kualitas pemaparan dan penulisan ide, pemikiran, dan aspek penelitian

yang baik akan memudahkan kita memahami penelitian itu sendiri. Misalnya saja,

Roychowdhury (2006) bahkan menjelaskan mengapa ia keluar dari kebiasaan umum dengan

menambahkan konstan/intercept yang tidak terskala (unscaled) ke dalam modelnya.

Penjelasan ini terdapat pada footnote 18, Roychowdhury (2006).

It is general convention in the literature to include a scaled intercept, ∝ �1 ����⁄ ,

when estimating nondiscretionary accruals. This avoids a spurious correlation between

scaled CFO and scaled sales due to variation in the scaling variable, total assets. I also

include an unscaled intercept, ∝, to ensure that the mean abnormal CFO for every

industry-year is zero. Including the intercepts allows the average �� � ����⁄ for a

particular industry-year to be non-zero even when the primary explanatory variables in

the model, sales and change-in-sales, are zero. Eliminating the unscaled intercept does

not materially affect the results, nor does retaining the unscaled intercept, but eliminating

the scaled intercept 1 ��⁄ .

Kedua kualitas yang dimiliki oleh paper yang baik tersebut memastikan bahwa kita

mempelajari penelitian yang dilakukan dengan benar dan mudah memahaminya. Ini sangat

berguna buat orang yang relatif baru dalam melakukan penelitian.4 Topik-topik ‘berat’

seperti relevansi nilai, manipulasi laba, dan lainnya akan menjadi sangat masuk akal dan

mudah dipahami bila kita mempelajarinya melalui literatur yang berkualitas. Tulisan ini

berusaha memberi gambaran jenis-jenis literatur yang baik dan, oleh karenanya, perlu kita

pelajari ketika sudah menentukan topik penelitian.5

4 Bila kita masih baru dalam melakukan penelitian (e.g. saat menyusun skripsi) maka kita tidak/belum memiliki

standar tertentu dan cenderung menganggap semua referensi sebagai ‘benar dan baik’. Masalahnya, hal ini

membuat kita mudah terjebak ke dalam referensi yang tidak ‘benar dan baik’ dan, kemudian, melakukan

penelitian dengan tidak ‘benar dan baik’ pula. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengembangkan

otot-otot standar mutu yang baik dalam penelitian dengan cara mempelajari literatur yang berkualitas. 5 Jenis-jenis paper ini tidak mutually exclusive melainkan overlapping. Paper seminal, misalnya, sebenarnya

bahkan merupakan bentuk khusus dari paper klasik.

Page 30: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 29

1)1)1)1) PPPPaper aper aper aper TTTTeranyareranyareranyareranyar yangyangyangyang BBBBerkualitaserkualitaserkualitaserkualitas

Pertanyaan penting sebelum kita melakukan sesuatu adalah ‘kenapa’? Jadi, kenapa kita

perlu baca paper teranyar? 6

� Kita belum tahu topik itu mau dibawa ke mana dan apa yang mau dilakukan dengannya.

Ini terjadi bila kita hanya memiliki topik namun belum punya gambaran spesifik tentang apa

yang mau kita teliti. Seumpama kita tertarik isu manipulasi laba (earnings management).

Namun kita belum tahu isu spesifik manipulasi laba yang ingin atau bisa kita teliti, model

yang perlu digunakan, perkembangan isu manipulasi laba itu sendiri, dan lain-lain. Paper

teranyar memberi gambaran terkini tentang berbagai alternatif yang bisa kita pilih dalam

aspek-aspek tadi serta menunjukkan kelebihan dan kelemahan suatu alternatif. Ini

merupakan fitur yang tidak bisa anda peroleh dengan paper selain paper teranyar.

Contoh: Pengukuran akrual diskresioner oleh Cohen et al. (2007: p. 10-11)7

We use a cross-sectional model of discretionary accruals, where for each year we

estimate the model for every industry classified by its 2-digit SIC code. Thus, our

approach partially controls for industry-wide changes in economic conditions that affect

total accruals while allowing the coefficients to vary across time (Kasznik 1999, DeFond

and Jiambalvo 1994). 12

Our primary model is the modified cross-sectional Jones model (Jones 1991) as

described in Dechow et al. (1995).13 ....

...We also repeat our tests by using a measure based on the performance-matched

discretionary accruals advanced in Kothari, Leone, and Wasley (2005).

[footnote 12] We obtain qualitatively the same results when we use a time-series

approach which assumes temporal stationarity of the parameters for each firm.

6 Untuk kepentingan pembahasan, esai ini menggunakan working paper Daniel A. Cohen, Aiyesha Dey, dan

Thomas Z. Lys, ‘Real and Accrual-based Earnings Management in the Pre- and Post-Sarbanes Oxley Periods,’

versi Juni 2007 sebagai contoh. Working paper versi 2007 ini sudah tidak tersedia di SSRN, namun anda bisa

menggunakan versi 2008 yang bisa diunduh secara bebas di SSRN:

http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1280711 7 Cohen, D.A., A. Dey, dan T.Z. Lys. 2007. Real and accrual-based earnings management in the pre- and post-

Sarbanes-Oxley periods. Working paper.

Page 31: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 30

[footnote 13] A caveat: various studies in the literature raise the concern that

discretionary accruals measured using the Jones model might be capturing

nondiscretionary components, and these errors in discretionary accruals are likely to be

correlated with stock prices and performance measures in general. While this concern is

valid and we acknowledge this limitation in measuring discretionary accruals, note that

we use discretionary accruals as a dependent variable and not as an explanatory variable.

If indeed discretionary accruals are measured with error, the only consequence in our

case will be a lower explanatory power of the model, i.e., we eill obtain lower R-squares.

Otherwise, using discretionary accruals measured using the Jones model as a dependent

variable is not likely to introduce any bias in our results.

Berdasar penjelasan dalam paper Cohen et al. (2007) tersebut, kita bisa membuat

gambaran mengenai pengukuran akrual diskresioner sebagaimana ‘Orat-Oret 1’ berikut.

Orat-oret 1

Pembahasan ukuran manipulasi laba oleh paper Cohen et al. (2007) secara implisit

menggambarkan perkembangan model akrual diskresioner dan alasan penggunaan aspek-

aspeknya. Paper Cohen et al. (2007) menunjukkan perkembangan pengukuran akrual

1991

•Model Jones

•model awal pengukur akrual diskresioner

1995

•Dechow et al.

•modifikasi cross-sectional atas Model Jones

1999

•Kasznik (serta DeFond dan Jiambalvo 1994)

•pengestimasian model dilakukan untuk setiap industri berdasar

klasifikasi 2-digit kode SIC

2005

•Kothari et al.

•performance-matched discretionary accruals

Page 32: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 31

diskresioner dari model Jones (1991)8 yang dimodifikasi oleh Dechow et al. (1995)9 dan

kemudian pendekatan kontekstualnya diperbaiki oleh Kothari et al. (2005).10 Paper ini

menjelaskan alasan mengapa pengestimasian model dilakukan untuk setiap industri yang

diklasifikasi dengan 2-digit kode SIC (Kasznik 1999).11 Paper ini juga menjelaskan mengapa ia

tetap menggunakan model Jones meskipun model ini banyak dikritik atas kekeliruan dalam

menangkap komponen akrual diskresioner (lihat footnote 13). Di samping itu, Cohen et al.

(2007) menunjukkan bahwa mereka juga menguji hipotesis dengan menggunakan ukuran

akrual diskresioner tercanggih yang ada (Kothari et al. 2005) walaupun mereka tidak secara

spesifik menjelaskan alasan penggunaannya.

Oleh karena itu, mempelajari paper teranyar sangat bermanfaat untuk dengan cepat

memperoleh gambaran alternatif aspek penelitian yang ada. Gambaran mengapa sebaiknya

kita menggunakan atau tidak menggunakan suatu model, meneliti atau tidak meneliti suatu

variabel, dan lain-lain. Dengan mempelajari beberapa paper teranyar saja, kita sudah bisa

memperoleh gambaran mengenai apa yang sebaiknya kita lakukan atau tidak lakukan serta

memperoleh gambarang mengenai aspek-aspek apa saja yang harus kita perhatikan dalam

penelitian kita.

� Kita perlu tahu apakah ide penelitian kita sudah diteliti atau belum.

Kadang kala peneliti sudah memiliki gambaran umum terkait ide penelitiannya. Namun

demikian, (hampir) tidak ada gunanya mengerjakan ulang apa yang telah diteliti peneliti lain.

Selain tidak/kurang berguna secara keilmuan, meneliti hal yang sama dengan peneliti lain

itu juga tidak/kurang berguna bagi si peneliti itu sendiri. Hal ini dikarenakan biasanya jurnal

(yang bagus) tidak bersedia menerima naskah artikel penelitian yang sama sehingga hampir

bisa dipastikan naskah itu tidak akan terpublikasi. Oleh karenanya, kita perlu mengecek

apakah ide penelitian yang kita usulkan telah dikerjakan peneliti lain atau belum.

Pengecekan ini dilakukan dengan melihat apakah ada paper-paper teranyar yang

mengusung ide penelitian yang sama dengan yang kita ajukan. Bila tidak/belum ada maka

8 Jones, J.J. 1991. Earnings management during import relief investigation. Journal of Accounting Research 29

(2): 193-228. 9 Dechow, P.M., R.G. Sloan, dan A.P. Sweeney. 1995. Detecting earnings management. The Accounting Review

70 (2): 193-225. 10

Kothari, S.P., A.J. Leone, dan C.E. Wasley. 2005. Performance matched discretionary accrual measures.

Journal of Accounting and Economics 39: 163-197. 11

Kasznik, R. 1999. On the association between voluntary disclosure and earnings management. Journal of

Accounting Research 37: 57-81.

Page 33: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 32

kita bisa terus melanjutkan penelitian kita. Namun, bila sudah ada yang mengerjakan maka

sebaiknya kita memikirkan hal tambahan yang bisa kita berikan pada penelitian yang telah

ada tersebut sehingga penelitian kita menjadi ‘baru’ atau sedikitnya berkontribusi lebih

terhadap penelitian yang sudah ada.

� Kita perlu tahu perkembangan teranyar suatu topik.

Ketika kita meneliti, kita perlu tahu sampai di mana perkembangan suatu ilmu pengetahuan

dan apa kontribusi penelitian kita terhadap ilmu pengetahuan yang telah ada. Pemahaman

atas perkembangan ilmu pengetahuan dan kontribusi penelitian kita terhadapnya

memerlukan pengetahuan atas penelitian-penelitian teranyar. Apakah kita mengkonfirmasi

suatu teori? Apakah penelitian kita menambah pemahaman atas suatu isu? Apakah

penelitian kita justru mengangkat suatu isu yang selama ini tidak pernah diperhatikan?

Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa terjawab bila kita memiliki pemahaman yang lengkap

atas topik yang kita teliti. Bagaimana topik ini dibangun, bagaimana ia berkembang, dan,

untuk kepentingan pembahasan kita, sejauh mana topik ini telah berkembang?

Di sisi lain, secara teknis, kita perlu melakukan ini sebagai landasan latar belakang

penelitian kita. Latar belakang penelitian menceritakan mengapa penelitian kita penting dan

perlu untuk dilakukan. Ini, sekali lagi, menuntut pemahaman yang lengkap atas topik yang

kita teliti dan sejauh mana perkembangannya saat ini. Paper terbaru biasanya memberi

gambaran yang cukup lengkap atas perkembangan suatu topik.

Contoh: Motivasi penelitian Cohen et al. (2007, p. 4-5)

The primary purpose of this paper is to examine the extent of earnings management in

the period leading to the scandals and prior to SOX and the changes in such activities

after the passage of SOX. Our examination of changes in firms’ earnings management

activities is motivated in part by the literature documenting that managerial propensity to

manage earnings and to avoid negative earnings surprises has increased significantly

over time (Brown 2001, Bartov et al. 2002, Lopez and Rees 2001, Matsumoto 2002, Brown

and Caylor 2003). Our main objective is to examine whether the degree of earnings

management increased over time and reached a zenith in the period surrounding the

corporate accounting scandals and declined after the passage of SOX.

Consistent with the literature, we examine earnings management activities using

discretionary accruals. However, in addition to using accrual-based accounting estimates

Page 34: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 33

and methods, firms are likely to employ real operational activities to manipulate earnings

numbers as well (Healy and Wahlen 1999, Fudenberg and Tirole 1995, Dechow and

Skinner 2000). In fact, in their survey Graham et al. (2005) report....

Orat-oret 2 menggambarkan peta penelitian tren manipulasi laba terkait Sarbanes

Oxley Act (SOX). Cohen et al. (2007) bertujuan menguji apakah derajat manipulasi laba

meningkat dari waktu ke waktu dan mencapai puncaknya di periode skandal akuntansi serta

kemudian menurun setelah berlakunya SOX. Berdasar tujuan ini, mereka memberi

gambaran penelitian manipulasi laba yang melatari ide atau isu penelitian. Cohen et al.

(2007) menyebutkan bahwa kecenderungan memanipulasi akuntansi dan untuk

menghindari laba negatif (i.e. rugi) meningkat dari waktu ke waktu sebelum SOX. Hal ini

ditunjukkan oleh hasil penelitian Brown (2001), Bartov et al. (2002), Lopez dan Rees (2001),

Matsumoto (2002), dan Brown dan Caylor (2003). Sementara itu, pola manipulasi faktor

real, yang juga merupakan bentuk manipulasi laba, belum diketahui. Namun demikian,

menurut penelitian terkait, manipulasi faktor real merupakan hal yang juga digunakan

managemen dalam memanipulasi laba. Pendukung argumen keberadaan manipulasi faktor

real ini antara lain Healy dan Wahlen (1999), Fudenberg dan Tirole (1995), Dechow dan

Skinner (2000), serta hasil survei yang dilakukan oleh Graham et al. (2005).

Tren Manipulasi Laba

sebelum sesudah

Manipulasi

akuntansi (Brown 2001, Bartov et al. 2002, Lopez

and Rees 2001, Matsumoto 2002, Brown

and Caylor 2003)

?

Orat-oret 2

Manipulasi

faktor real

Naik

SOX

? ?

(Riset terkait: Healy and Wahlen 1999, Fudenberg and Tirole 1995,

Dechow and Skinner 2000, Graham et al. 2005)

Page 35: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 34

Tips Memilih Paper Tips Memilih Paper Tips Memilih Paper Tips Memilih Paper Teranyar yang BerkualitasTeranyar yang BerkualitasTeranyar yang BerkualitasTeranyar yang Berkualitas

Idealnya, kita merujuk pada paper yang sudah dipublikasi di jurnal. Hal ini karena suatu

jurnal memiliki reputasi tertentu yang (diharapkan dan dianggap) bisa menjamin kualitas

paper/artikel yang terbit di dalamnya. Artikel yang terbit di The Accounting Review,

misalnya, dapat dipastikan memiliki kualitas yang sangat baik, entah itu dari segi

isi/kandungan (content) maupun dari segi pemaparan. Hal ini karena The Accounting

Review, yang merupakan salah satu jurnal top di Amerika Serikat, akan sangat serius dalam

proses reviewnya dan dengan standar kualitas yang begitu tinggi.12

Namun demikian, tidak mudah mempublikasi paper di jurnal dan dalam kasus jurnal

top, prosesnya berlangsung cukup lama. Review di suatu jurnal ternama bisa berjalan

sampai dengan 2 tahun sehingga ketika penelitian itu dipublikasi di jurnal, sebenarnya ia

tidak lagi merupakan topik teranyar. Paper Cohen et al. (2007) yang menjadi contoh kita,

misalnya, telah dipresentasi pada ‘AAA 2006 Financial Accounting and Reporting Section

(FARS) Meeting Paper’, namun baru berhasil dipublikasi di jurnal, The Accounting Review,

pada tahun 2008. Oleh karenanya, kita tidak bisa menggunakan paper/artikel dari jurnal

sebagai referensi kita akan paper atau penelitian teranyar.

Lalu, bagaimana caranya mencari penelitian teranyar? Kita bisa mencari

penelitian/paper yang sedang dikerjakan alias working paper. Satu tempat yang

menyenangkan untuk mencari working paper ini adalah SSRN. SSRN berupa database besar

di mana kita bisa mencari paper berdasar pengarang, judul, topik/tema, dan periode

pengunggahan (uploading) paper.

Namun demikian, kita perlu berhati-hati dalam memanfaatkan SSRN. Hal ini karena

SSRN bersifat terbuka sehingga semua orang dan siapa saja dapat membuat akun serta

mengunggah paper. Ini berarti paper di SSRN tidak memiliki standar kualitas tertentu,

berbeda dengan refereed atau peer-reviewed journal. Namun demikian, kita masih bisa

memperkirakan kualitas suatur working paper berdasar penulis ataupun institusinya. Ini

dikarenaka seorang penulis/peneliti berkualitas biasanya akan menulis paper berkualitas

pula. Demikian juga dengan institusi berkualitas, mereka biasanya memiliki sistem yang baik

12

Pembahasan lebih lengkap mengenai top journals disajikan di bagian berikutnya.

Page 36: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 35

sehingga paper-paper yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang baik. Oleh karenanya, ada

baiknya memilih paper dengan ciri-ciri berikut:

� ditulis oleh peneliti ternama

� ditulis oleh peneliti yang pernah publikasi di jurnal top

� ditulis oleh pengarang yang berasal dari universitas ternama

� merupakan working paper universitas ternama

2)2)2)2) Paper Klasik Paper Klasik Paper Klasik Paper Klasik

Ketika seseorang menyebut ‘paper klasik’ maka umumnya ia merujuk ke suatu paper yang

pasti dibaca dan dikutip orang pada bidang penelitian tertentu. Singkatnya, suatu paper

yang sangat berpengaruh. Misalnya, ketika kita mendengar paper ‘Towards a Positive

Theory of the Determination of Accounting Standards’ yang ditulis Ross L Watts dan Jerold L.

Zimmerman pada tahun 1978 maka kita tidak memiliki keraguan sedikit pun bahwa paper

ini merupakan bacaan wajib bagi orang-orang yang

ingin mempelajari ‘akuntansi positif.’

Namun demikian, tidak ada standar atau kriteria

khusus mengenai paper klasik. Penetapan apakah

suatu paper sudah tergolong klasik atau belum

biasanya dilakukan secara subjektif dengan mengikuti

kaidah-kaidah tertentu. Salah satu contoh usaha

formal penetapan apakah suatu paper sudah tergolong klasik dilakukan oleh Association for

the Advancement of Artificial Intelligence (AAAI) melalui ‘AAAI Classic Paper Award’.

AAAI Classic Paper Award13 menyebutkan bahwa penghargaan ini diberikan pada paper

yang sangat berpengaruh dalam bidang artificial intelligence. Penentuan apakah suatu

paper klasik atau tidak dilihat melalui dampak paper terkait, seperti:

� Memulai area atau sub-area penelitian baru,14

13

Sumber: http://www.aaai.org/Awards/classic.php

Page 37: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 36

� Memungkinkan munculnya pengaplikasian-pengaplikasian penting,

� Menjawab suatu isu atau pertanyaan yang telah lama belum memiliki penjelasan atau

jawaban yang memuaskan ataupun mengklarifikasi sesuatu isu yang belum jelas

(murky),

� Membuat satu kemajuan besar yang menentukan sejarah dalam subarea terkait,

� Diakui sebagai paper penting dan digunakan oleh area lain, baik di dalam atau di luar

bidang artificial intelligence,

� Sangat banyak dikutip.

Sekarang, bagaimana caranya kita mengetahui apakah suatu paper itu tergolong klasik atau

tidak? Satu cara yang mudah adalah dengan bertanya pada dosen atau peneliti yang

berkutat dalam bidang penelitian terkait. Sementara cara lain yang kurang praktis adalah

dengan melihat paper yang mereview literatur di bidang tertentu. Paper ini, yang sering

disebut paper review literatur, memberi gambaran perkembangan penelitian di bidang

terkait lengkap dengan berbagai aspeknya. Satu paper review literatur yang terkenal adalah

paper S.P. Kothari (2001) berjudul ‘Capital Markets Research in Accounting.’15|16 Bila kita

mempelajari paper review literatur maka kita bisa membuat perkiraan paper yang menjadi

landasan dalam bidang tertentu.

Di sisi lain, paper klasik tidak berjumlah banyak dan biasanya memiliki bahasan yang

bersifat umum seperti teori akuntansi positif, hubungan angka akuntansi dengan nilai

saham, dan sebagainya. Padahal, umumnya, kita memiliki topik penelitian yang sudah

sangat spesifik seperti relevansi nilai (value relevance), manipulasi laba,

pengungkapan/disclosure, dan sebagainya. Oleh karenanya, kita perlu mencari paper semi-

klasik. Paper semi-klasik adalah paper yang memiliki karakteristik paper klasik namun tidak

memiliki pengaruh sekuat dan seluas paper klasik.

Lantas, bagaimana mencari/mengetahui suatu paper semi-klasik? Satu cara yang relatif

mudah adalah dengan mencari, berdasar topik tertentu, daftar artikel yang dipublikasi di

jurnal top, kemudian perhatikan referensinya. Kita akan menemukan beberapa paper yang

14

Aspek ini dibahas lebih mendalam di bagian ‘Paper Seminal.’ 15

Kothari, S.P. 2001. Capital markets research in accounting. Journal of Accounting and Economics 31: 105-231. 16

Paper ini dapat diperoleh dengan googling ‘Kothari Capital Markets Research.’

Page 38: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 37

direferensi oleh hampir semua artikel jurnal top dalam paper kita. Inilah paper semi-klasik.

Berikut ini adalah contoh paper semi-klasik di beberapa bidang:

No. Bidang Paper

1) Manipulasi laba ‘Earnings Management during Import Relief Investigation’

oleh Jennifer J. Jones (1991)

2) Relevansi nilai ‘Earnings, Book Values, and Dividends in Equity Valuation’

oleh James A. Ohlson (1995)17

3)3)3)3) PPPPaperaperaperaper SSSSeminaleminaleminaleminal

Merriam-Webster’s 11th Collegiate Dictionary:

Paper seminal adalah paper klasik yang (dianggap) memulai perkembangan suatu topik.

Paper seminal paling terkenal di akuntansi mungkin adalah paper Ball dan Brown (1968)

yang berjudul ‘An Empirical Evaluation of Accounting Income Numbers.’18 Paper ini

mengubah tren penelitian akuntansi yang semula normatif menjadi positivis. Berikut adalah

gambaran American Accounting Association (AAA) mengenai paper seminal yang tercermin

dalam penghargaan ‘Seminal Contributions to Accounting Literature Award: 19

Suatu kontribusi seminal adalah karya yang telah teruji oleh waktu (memiliki dampak yang

panjang sejak ditulisnya hingga saat ini, paper harus ‘berumur’ minimal 15 tahun) dan yang memiliki

kontribusi fundamental bagi penelitian-penelitian sesudahnya. Seminal didefinisi sebagai ‘(i) memiliki

17

Ohlson, J.A. 1995. Earnings, book values, and dividends in equity valuation. Contemporary Accounting

Research 11 (2): 661-687. 18

Anda bisa memperoleh paper ini dengan googling ‘Ball and Brown 1968.’ 19

Sumber: http://aaahq.org/awards/award2.htm

Seminal = 2: containing or contributing the

seeds of later development :

CREATIVE, ORIGINAL *a seminal

book*

Page 39: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 38

karakter suatu prinsip, sumber, atau kuasa memulai/mengawali; (ii) mengandung atau berkontribusi

kepada bibit pengembangan riset berikutnya.’

Sejauh ini, AAA telah menganugerahkan penghargaan ‘Seminal Contributions to Accounting

Literature Award’ ini kepada paper-paper berikut:

� 2007 — "Relevance Lost: The Rise and Fall of Management Accounting"

by H. Thomas Johnson and Robert S. Kaplan

Harvard Business School Press 1987

� 2004 — "Towards a Positive Theory of the Determination of Accounting Standards"

by Ross L. Watts and Jerold L. Zimmerman

The Accounting Review (January) 1978

� 1994 — "Economic Incentives in Budgetary Control Systems"

by Joel S. Demski and Gerald A. Feltham

The Accounting Review (April) 1978

� 1989 — "Information Content of Annual Earnings Announcements"

by William H. Beaver

Journal of Accounting Research 1968

� 1986 — "An Empirical Evaluation of Accounting Income Numbers"

by Ray Ball and Philip Brown

Journal of Accounting Research 1968

Kenapa kita perlu mempelajari paper seminal? Penting sekali untuk mengetahui sejarah

suatu penelitian dan mengapa ia dimulai sehingga anda bisa mengetahui konteks penelitian

itu dibuat dan menyesuaikannya dengan konteks penelitian anda. Paper seminal, sebagai

paper pembaharu di bidang riset tertentu, biasanya membuat argumentasi yang kuat dan

komprehensif mengapa penelitian tertentu harus dilakukan. Misalnya, paper Ball dan Brown

(1968) menjelaskan mengapa penting sekali untuk melakukan penelitian positivis, tidak

hanya penelitian normatif. Sementara, paper-paper sesudahnya, secara umum, tidak lagi

memuat argumentasi serupa karena telah mendasarkan diri pada argumentasi paper

seminal dan hasil penelitiannya.

Contoh: Paper Ball dan Brown (1968, p.159-160)

Page 40: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 39

Accounting theorists have generally evaluated the usefulness of accounting practices by

the extent of their agreement with a particular analytic model. The model may consist of

only a few assertions or it may be a rigorously developed argument. In each case, the

method of evaluation has been to compare existing practices with the more preferable

practices implied by the model or with some standard which the model implies all

practices should possess. The shortcoming of this method is that it ignores a significant

source of knowledge of the world, namely, the extent to which the predictions of the

model conform to observed behavior.

It is not enough to defend an analytical inquiry on the basis that its assumptions are

empirically supportable, for how is one to know that a theory embraces all of the relevant

supportable assumptions? And how does one explain the predictive powers of

propositions which are based on unverifiable assumptions such as the maximization of

utility functions? Further, how is one to resolve differences between propositions which

arise from considering different aspects of the world?

The limitations of a completely analytical approach to usefulness are illustrated by the

argument that income numbers cannot be defined substantively, that they lack

“meaning” and are therefore of doubtful utility. The argument stems in part from the

patchwork development of accounting practices to meet new situations as they arise.

Accountants have had to deal with consolidations, leases, mergers, research and

development, price-level changes, and taxation charges, to name just a few problem

areas. Because accounting lacks an all-embracing theoretical framework, dissimilarities in

practices have evolved. As a consequence, net income is an aggregate of components

which are not homogenous. It is thus alleged to be a “meaningless” figure, not unlike the

difference between twenty-seven tables and eight chairs. Under this view, net income can

be defined only as the result of the application of a set of procedures {X1, X2, ...} to a set

of events {Y1, Y2, ...} with no other definitive substantive meaning at all. Canning observes:

“What is set out as a measure of net income can never be supposed to be a fact in any

sense at all except that it is the figure that results when the accountant has finished

applying the procedures which he adopts.”

The value of analytical attempts to develop measurements capable of definitive

interpretation is not at issue. What is at issue is the fact that an analytical model does not

itself assess the significance of departures from its implied measurements. Hence it is

dangerous to conclude, in the absence of further empirical testing, that a lack of

substantive meaning implies a lack of utility.

Page 41: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 40

An empirical evaluation of accounting income numbers requires agreement as to what

real-world outcome constitutes an appropriate test of usefulness. Because net income is

a number of particular interest to investors, the outcome we use as a predictive criterion

is the investment decision as it is reflected in security prices. Both the content and the

timing of existing annual net income numbers will be evaluated since usefulness could be

impaired by deficiencies either.

Ketika komunitas akademik akuntansi dipenuhi oleh pemikiran-pemikiran normatif, Ball dan

Brown (1968) mengajukan penelitian positif mereka. Pertama-tama, sebelum mengajukan

hasil penelitian, mereka harus mampu meyakinkan komunitas akademik bahwa penelitian

positif itu sendiri penting untuk dilakukan. Ball dan Brown (1968) kemudian mengajukan

argumen mengapa penelitian positif penting.

Keputusan investasi

Penelitian Normatif Praktik

akuntansi

Orat-oret 3

Asumsi

beberapa

asersi

argumen yang

dibangun dengan baik

model analitis

praktik ideal praktik

Perilaku amatan

terhadap akuntansi

Penyusun standar

?

Penelitian positif

Page 42: Akuntan Muda - Juni 2011

A k u n t a n M u d a Halaman 41

Orat-oret 3 menggambarkan letak perbedaan penelitian normatif dan penelitian positif

menurut Ball dan Brown (1968). Penelitian normatif dianggap gagal menilai perbedaan

signifikan antara praktik akuntansi senyatanya dengan model praktik ideal yang diajukan

para peneliti normatif. Hal ini menunjukkan kekurangan penelitian normatif dalam

fungsinya menilai praktik akuntansi. Sementara itu, penelitian positif mengatasi kelemahan

tersebut dengan mempelajari bagaimana perilaku pengguna akuntansi terhadap hasil

praktik akuntansi tertentu (e.g. angka laba). Perilaku pengguna akuntansi ini (dianggap)

relevan untuk dijadikan patokan/benchmark penilaian kebermanfaatan akuntansi karena

para pengguna inilah yang bisa merasakan seberapa jauh atau besar kebermanfaatan

akuntansi. Bila suatu angka akuntansi tertentu dianggap tidak berguna maka ia tidak akan

digunakan, vice versa.20

Tantangan: Bikin oret-oretmu sendiri untuk kasus definisi laba yang diceritakan dalam

paper Ball and Brown (1964) sebagaimana dikutip dalam artikel ini.

Serupa dengan kasus pada paper klasik, tidak banyak paper yang tergolong seminal. Hal ini

menyulitkan kita ketika melakukan penelitian yang temanya cukup sempit. Solusinya, serupa

dengan kasus paper klasik, kita mencari penelitian yang mengawali suatu subtopik tanpa

terlalu memperhatikan pengaruhnya dalam penelitian akuntansi secara umum. Penelitian

oleh Linda Elizabeth DeAngelo (1981) dengan judul ‘Auditor Size and Audit Quality’,

misalnya, mengawali penelitian kaitan kualitas auditor dengan ukuran auditor tersebut

(salah satunya dikotomi Big 4 – nonBig 4). Namun demikian, mencari paper jenis ini lebih

sulit daripada mencari paper semi-klasik. Satu cara yang direkomendasi adalah bertanya

pada dosen anda atau dengan membaca paper yang mereview literatur dalam topik terkait.

bersambung...

(Oleh: Arie Rahayu)

20

Penelitian positif semacam ini tentu saja juga memiliki kelemahannya sendiri. Kelemahan ini timbul dari 2

asumsi yang sesungguhnya digunakan agar penelitian positif ini benar-benar mencapai tujuannya. Pertama,

investor mengambil keputusan sesuai dengan cara yang diekspektasi oleh peneliti akuntansi positif. Misalnya,

investor melakukan analisis fundamental sebagaimana yang dibayangkan peneliti akuntansi, investor menilai

saham secara individual, investor berperilaku rasional, dan lain-lain. Kedua, ada kesesuaian sudut pandang

investor dan akuntan terkait peran angka akuntansi tertentu. Misal, laba memang dipandang memiliki makna

(absolut) tertentu bukan sekedar menilai bagaimana laba digunakan oleh investor lain yaitu angka laba itu

penting per se, bukan penting karena ia mempengaruhi tren harga saham (di sini yang penting adalah

pengaruh praktis laba terhadap saham).