akuntan muda - juni 2011
DESCRIPTION
Akuntan Muda edisi Juni 2011 ini berisi artikel berikut:- Hipotesis Pasar Efisien dan Anomali Pasar Modal- Tanya Uni Hesty: Bagaimana Seharusnya Penelitian Mahasiswa D3 vs. Mahasiswa S1- PSAK No.1 (Revisi 2009): Komponen Laporan Keuangan Lengkap, Penyajian Laporan Keuangan, dan Extraordinary Items- Biaya Tetap vs. Biaya Variabel- Paradoks Produktivitas dan Tata Kelola Sistem Informasi- Yuk Bikin Paper: #2 Mencari LiteraturTRANSCRIPT
A k u n t a n M u d a Halaman 1
Pengantar
Ada 2 hal baru dalam Akuntan Muda edisi Juni 2011 ini. Pertama adalah perubahan
ukuran kertas yang sekarang menggunakan ukuran A4. Ukuran ini lebih umum kita
gunakan daripada ukuran A5 yang kami gunakan sebelumnya. Perubahan ini dibuat
dengan harapan versi cetak Akuntan Muda yang di-print oleh masing-masing pembaca
menjadi lebih nyaman untuk dibaca.
Kedua, Akuntan Muda sekarang juga berisi kolom yang didedikasikan khusus untuk sistem
informasi. Pertanyaan yang sering muncul terkait sistem informasi adalah ‘di mana
akuntansinya?’ Oke, kami tidak memiliki dasar yang cukup baik untuk menjawab
pertanyaan ini dari sudut pandang keilmuan ataupun filsafat ilmu. Hanya saja, kami
memandang bahwa sistem informasi sebagai sarana penghasil informasi adalah penting
untuk dipelajari oleh akuntan, sebanding dengan pentingnya seorang chef memahami
alat-alat dapur (i.e. microwave, blender) yang ia gunakan untuk menghasilkan makanan.
Sebuah sistem yang baik akan menghasilkan informasi yang benar, berguna, dan dapat
diandalkan. Akuntan, secara umum, tentu saja berkepentingan langsung terhadap
pengembangan sistem yang baik. Selamat mempelajari sistem informasi! ^_^
arie rahayu
Penasihat
Prof. Dr. Zaki Baridwan, MSc.; Prof. Dr. Suwardjono, MSc.
Redaksi: Arie Rahayu, Arif Perdana, Hesty Wulandari, Yeni Januarsi
Blog: http://akuntanmuda.wordpress.com/
E-mail: [email protected] atau [email protected]
Foto diambil dari website Microsoft Office: http://office.microsoft.com/en-us/
A k u n t a n M u d a Halaman 2
Daftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar Isi
1 Pengantar
2 Daftar Isi
3 Hipotesis Pasar Efisien dan Anomali Pasar Modal
6 Tanya Uni Hesty: Bagaimana Seharusnya Penelitian
Mahasiswa D3 vs. Mahasiswa S1
9 PSAK No.1 (Revisi 2009): Komponen Laporan Keuangan
Lengkap, Penyajian Laporan Keuangan, dan Extraordinary
Items
17 Biaya Tetap versus Biaya Variabel
21 Paradoks Produktivitas dan Tata Kelola Sistem Informasi
26 Yuk Bikin Paper: #2 Mencari Literatur
A k u n t a n M u d a Halaman 3
Hipot_sis P[s[r Efisi_n ^[n Hipot_sis P[s[r Efisi_n ^[n Hipot_sis P[s[r Efisi_n ^[n Hipot_sis P[s[r Efisi_n ^[n
@nom[li P[s[r Mo^[l@nom[li P[s[r Mo^[l@nom[li P[s[r Mo^[l@nom[li P[s[r Mo^[l
Keganjilan yang diakibatkan oleh
adanya efek kalender dalam pasar
modal sangat berkaitan erat dengan
hipotesis tentang pasar modal yang
efisien. Efek ini akan mengakibatkan
efisiensi itu mengalami gangguan. Pasar
dikatakan efisien apabila harga-harga
sekuritas yang ada mencerminkan
secara penuh informasi yang tersedia (Fama 1970). Mengapa efisiensi pasar ini sangat
diperlukan? Efisiensi pasar berkaitan erat dengan alokasi dana dan pertumbuhan ekonomi.
Pasar yang tidak efisien akan mengakibatkan adanya kesalahan dalam alokasi dana investasi
pada aset-aset tertentu secara berlebihan atau berkekurangan. Sementara itu secara
agregat kondisi ini akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dimana pemerintah akan
mengalami permasalahan dalam pengalokasian sumber daya akibat adanya kesalahan
dalam pengalokasian modal (misalloacation of capital) dari para investor.
Hipotesis mengenai pasar yang efisien merupakan suatu kerangka yang ideal dan
diharapkan dapat terjadi di pasar modal, meskipun pada kenyataannya pasar tidak dapat
efisien secara penuh. Kondisi ini dapat terjadi dikarenakan adanya biaya atas analisa dan
pengumpulan informasi, biaya investasi, dan terbatasnya modal yang dimiliki oleh para
investor (Singal 2003). Faktor-faktor di atas selanjutnya akan berakibat pada munculnya
berbagai keganjilan atau anomali pasar. Anomali ini akan mengakibatkan terjadinya
kesalahan dalam penetapan harga-harga sekuritas. Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari
adanya kesalahan-kesalahan dan asumsi-asumsi yang digunakan oleh pasar. Dengan
demikian anomali pasar tidak sepenuhnya dapat hilang, dikarenakan faktor-faktor yang
A k u n t a n M u d a Halaman 4
mempengaruhinya tetap ada ditambah lagi dengan faktor keperilakuan dari pihak investor
dalam menyikapi informasi yang diberikan oleh pasar.
Jones (1996 dalam Jogiyanto 2005, h.96) mendefinisi anomali pasar sebagai teknik atau
strategi yang tampaknya bertentangan dengan pasar efisien. Anomali kalender merupakan
salah satu dari beberapa anomali pasar yang mengganggu hipotesis pasar efisien bentuk
lemah. Berdasarkan penelitian-penelitian tentang anomali kalender yang dilakukan pada
beberapa pasar modal di dunia seperti di Amerika, Kanada, Perancis, Italia, Hongkong,
China, India, Bangladesh, Singapura, Mesir dan sebagainya menunjukkan bahwa keganjilan
ini terjadi secara berulang-ulang sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah fenomena yang
menarik untuk diamati di pasar modal.
Keberadaan anomali ini akan menyebabkan kenaikan dan penurunan harga-harga
saham yang berimplikasi pada keuntungan/return investasi di pasar modal dapat diprediksi
oleh para investor. Adanya pola-pola pergerakan return saham yang dapat diprediksi akibat
pengaruh anomali kalender mengakibatkan return yang terjadi tidak lagi bersifat
acak/random. Pola pergerakan return ini dapat diamati oleh para investor sehingga mereka
dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan return yang tidak normal. Return saham yang
seharusnya acak dan tidak dapat diprediksi sesuai dengan hipotesis pasar efisien bentuk
lemah akan menjadi bertentangan akibat adanya anomali tersebut. Hartono (2005, h. 18)
mengatakan bahwa pasar dikatakan efisien dalam bentuk lemah apabila harga sekuritas
mencerminkan secara penuh informasi masa lalu. Jika pasar efisien secara bentuk lemah,
maka nilai-nilai masa lalu tidak dapat digunakan untuk memprediksi harga sekarang.
Anomali atau keganjilan yang terjadi di
pasar modal dapat diakibatkan oleh adanya
pengaruh hari dan bulan di dalam kalender.
Hingga saat ini masih fenomena tersebut
masih banyak menarik minat peneliti untuk
mempelajarinya secara mendalam. Alat
analisis yang digunakan juga bergam. Mulai
dari penggunaan persamaan regresi biasa
(ordinary least squares), analysis of
A k u n t a n M u d a Halaman 5
variances, Kruskal-Wallis, Mann-Whitney, Wilcoxon hingga yang terakhir menggunakan
generalised autoregressive conditional heteroskedasticity.
Penelitian-penelitian yang dilakukan di sejumlah pasar modal dunia memiliki hasil yang
beragam tentang anomali pasar modal. Beberapa penelitian tersebut menemukan anomali
sebagai berikut:
1. Efek hari dalam minggu (day-of-the-week effect)
2. Efek Senin (Monday effect)
3. Efek Rabu (Wednesday effect),
4. Efek Jumat (Friday effect)
5. Efek akhir minggu (weekend effect)
6. Efek hari libur (holiday effect)
7. Efek bulan dalam tahun (month-of-the-year effect)
Berbagai anomali di atas secara umum terjadi di hampir seluruh pasar modal di dunia,
perbedaan yang terjadi hanya pada level dan bentuk anomali apa saja yang terjadi. Anomali
tersebut akan menyesuaikan dengan beberapa faktor seperti: aspek kultural masyarakat,
masa pelaporan pajak, penerbitan laporan keuangan, dan akhir tahun fiskal.
(Oleh: Arif Perdana)
R_f_r_nsi:
Fama, E.F., (1970), Efficient Capital Markets: A Review of Theory & Empirical Work. Journal
of Finance, Vol. 25, No. 2, tersedia di : http://dv1litvip.jstor.org/stable/2325486
Hartono, Jogiyanto, (2005), Pasar Efisien secara Keputusan, Jakarta : Gramedia.
Singal, Vijay, (2003), Beyond the Random Walk: A Guide to Stock Market Anomalies and
Low-Risk Investing, New York: Oxford Universty Press.
A k u n t a n M u d a Halaman 6
Tanya Uni Hesty
Uni Hesty saat ini mengajar di jurusan akuntansi Politeknik Caltex di
kota bertuah Pekanbaru dan akan segera mengajar di Fakultas Ekonomi
Universitas Islam Negri Sutan Syarif Kasim Pekanbaru. Uni menamatkan
S1 di Universitas Andalas, Padang. Setelah berkutat dengan kuliah
selama 5,5 tahun dengan nilai ala kadarnya, meneruskan kuliah profesi
akuntan dan menamatkan studi S2 di kampus biru UGM, tempat yang
kemudian mengubahnya menjadi pencinta pembelajaran.
Silakan kirim pertanyaan apa saja seputaran akuntansi kepada Uni Hesty melalui e-mail di :
Bagaimana Seharusnya Penelitian Mahasiswa D3 vs
Penelitian Mahasiswa S1?
Seorang kolega pernah bertanya kepada
saya tentang perbedaan antara penelitian
yang dilakukan oleh mahasiswa D3 dan S1.
Pertanyaan ini ia ajukan karena ia merasa
belum menemukan standar yang pas dan
baku tentang tata cara penelitian
dimasing-masing jenjang pendidikan.
Selain belum adanya standar, kadang
sebagai dosen, saya dan kolega sering
dibuat bingung oleh judul yang diajukan
mahasiswa. Judul yang diajukan
mahasiswa S1 seringkali terlalu rendah
untuk level mereka (lebih cocok untuk
dijadikan penelitian oleh mahasiswa D3)
atau sebaliknya, judul yang diajukan oleh
mahasiswa D3 malah kadang terlalu tinggi
(lebih cocok dijadikan skripsi atau malah
tesis).
Lalu Bagaimana Seharusnya?
Jika dianalogikan dengan tingkatan
pendidikan dari TK, SD, SMP dan SLTA,
sebenarnya dalam penelitian, mahasiswa
D3 berada pada level anak TK. Analogi ini
bukan dimaksudkan untuk merendahkan
suatu strata. Dalam analogi tadi, jika siswa
A k u n t a n M u d a Halaman 7
SD sudah mulai bisa mengeja atau
membaca sedikit demi sedikit maka siswa
TK baru diajarkan untuk mengenal huruf.
Siswa yang baru belajar mengenal huruf
tentu saja tidak bisa dipaksa untuk
membaca satu paragraf kalimat dan
sebaliknya bagi mereka yang sudah
belajar membaca, tentu saja huruf-huruf
menjadi hal yang sudah tidak perlu lagi
diajarkan, melainkan perlu didorong untuk
membaca lebih banyak tulisan lagi.
JIka dipindahkan kembali ke dalam
analogi penelitian maka seharusnya
mahasiswa D3 tidak terlalu dituntut untuk
melakukan penelitian yang canggih, cukup
yang sederhana saja. Lalu, bagaimana
defenisi dari kata-kata sederhana itu
sendiri? Menurut saya, dalam taraf ini,
mereka cukup sampai pada taraf
memahami tentang aktivitas penelitian itu
sendiri seperti belajar menyusun latar
belakang yang baik; menemukan literatur
yang bisa disadur dengan pas; serta
menyimpulkan hasil penelitian mereka
dengan baik. Untuk level D3, mereka
cukup melakukan penelitian yang bersifat
deskriptif dan kualitatif saja, misalnya
dengan melakukan penelitian yang
bersifat studi kasus, melakukan replikasi
penelitian dan menggantinya dengan
sampel yang berbeda, atau jika harus
memakai perhitungan statistik cukup
dengan memakai perhitungan yang
sederhana saja seperti perhitungan
statistik deskriptif. Yang paling penting
untuk diingat adalah bahwa mereka
sedang belajar meneliti, sehingga tidak
perlu menuntut mereka terlalu tinggi.
Jadi, kalaupun tugas akhir mahasiswa D3
lebih mirip dengan laporan magang dan
PKL pada mahasiswa S1, itu seharusnya
masih bisa dimaklumi. Kalau meminta
mereka untuk bisa memahami dan
melakukan penelitian dengan pengujian
statistik yang rumit itu? Menurut saya itu
belum saatnya, namun juga bukan berarti
hal ini menjadi pembatas untuk mereka
yang ingin melakukan penelitian yang
levelnya diatas level D3.
Jika mahasiswa D3 baru belajar
meneliti maka mahasiswa S1 sudah
sampai ke taraf belajar untuk meneliti
dengan baik. Apa yang dimaksud dengan
meneliti dengan baik itu? Kalau menurut
saya, belajar meneliti dengan baik itu
berarti memiliki pemahaman terhadap
jenis penelitian yang mereka lakukan;
hubungan antara penelitian yang mereka
lakukan dengan bidang keilmuan yang
mereka pelajari, bagaimana sifat
penelitian yang dilakukan; apakah ia
bersifat kualitatif atau kuantitatif; variabel
A k u n t a n M u d a Halaman 8
apa saja yang ada di dalam penelitian
tersebut; bagaimana mendefenisikannya;
bagaimana ia harus diuji, bagaimana
sampel dipilih hingga bagaimana
kesimpulan terhadap penelitian tersebut
harus diambil. Sehingga untuk mendukung
tujuan agar mahasiswa S1 sampai ke
tahap ini, mereka sudah mulai
diperkenalkan dengan mata kuliah
statistik, metodologi penelitian, dan
rancangan skripsi.
Mereka yang sudah mulai belajar
mengeja dan membaca, sudah mulai bisa
diminta untuk membaca baris demi baris,
hingga meningkat ke paragraf dan
kemudian meningkat menjadi halaman
atau bahkan menjadi bab. Begitu juga
dalam melakukan penelitian, mereka yang
sedang belajar meneliti dengan baik,
seharusnya sudah mulai bisa diminta
untuk melakukan penelitian yang tidak
sederhana lagi, seperti melakukan
penelitian yang menggunakan model
penelitian tertentu, atau penelitian yang
sudah mulai menggunakan pengujian
statistik yang lebih kompleks. Namun
demikian, bukan berarti penelitian dengan
menggunakan pengujian statistik menjadi
harga mati sebuah untuk mengatakan
sebuah penelitian menjadi rumit atau
tidak. Penelitian yang bersifat studi
kasuspun banyak yang tidak kalah rumit
asal dilakukan dengan kajian yang
mendalam dan detil.
Di luar perdebatan bagaimana
seharusnya sebuah penelitian dilakukan
oleh mahasiswa D3 dan S1, kita jangan
pernah melupakan bahwa yang penting
dari sebuah penelitian itu adalah
kontribusinya terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan dan penelitian itu
sendiri dan kontribusinya terhadap
pengalaman belajar mahasiswa itu sendiri.
A k u n t a n M u d a Halaman 9
PSAK NO.1 (Revisi 2009)
Komponen Laporan Keuangan
Lengkap, Penyajian Laporan
Keuangan, dan Extraordinary Items
1. Pendahuluan
Jika seorang investor ingin mengambil
keputusan bisnis, maka salah satu
pertimbangannya adalah dengan melihat
dan menganalisis laporan keuangan
perusahaan. Kenapa laporan keuangan?
Laporan keuangan merupakan salah satu
media utama yang dapat digunakan oleh
perusahaan untuk mengkomunikasikan informasi keuangannya kepada pihak luar. Laporan
ini juga merekam peristiwa kejadian bisnis dalam bentuk unit moneter. Dengan
disediakannya laporan keuangan maka keadaan ekonomi perusahan (yang dituangkan ke
dalam bentuk angka-angka moneter) tercermin dalam laporan keuangan tersebut. Untuk
menganalisis laporan keuangan perusahaan, tentu saja diperlukan komponen-komponen
laporan keuangan yang lengkap.
Dalam kaitannya dengan komponen laporan keuangan, Dewan Standar Akuntansi
Keuangan (DSAK) telah mensahkan PSAK 1 (Revisi 2009) tentang penyajian laporan
keuangan pada tanggal 15 Desember 2009 yang merupakan revisi dari PSAK 1 tahun 1998.
Pada kesempatan ini, akan dipaparkan tentang beberapa perubahan-perubahan yang terkait
dengan PSAK 1 tantang penyajian laporan keuangan yang akan dimulai dari istilah-istilah apa
saja yang berubah, disusul dengan komponen laporan keuangan yang lengkap, dan
bagaimana bentuk penyajian laporan keuangan, dan alasan mengapa pos luar biasa
(extraordinary items) tidak diperbolehkan lagi disajikan dalam laporan keuangan.
A k u n t a n M u d a Halaman 10
2. Istilah dan Perubahan Istilah
Dalam PSAK 1 (Revisi 2009) terdapat beberapa istilah baru yang diungkap dan terdapat juga
beberapa istilah yang telah berubah jika dibandingkan dengan PSAK 1 tahun 1998. Istilah-
istilah baru yang diungkap dalam PSAK 1 (Revisi 2009), yang sebelumnya tidak diungkap
dalam PSAK 1 (Revisi 1998), adalah:
a. catatan atas laporan keuangan
b. laba atau rugi
c. laporan keuangan bertujuan umum
d. material
e. pemilik
f. pendapatan komprehensif lain
g. penyesuaian reklasifikais
h. standar akuntansi keuangan
i. tidak praktis
j. Total Laba rugi komprehansif
Beberapa perubahan istilah diantaranya adalah
a. Penggantian istilah “kewajiban” pada PSAK 1 (Revisi 1998) menjadi “liabilitas” pada
PSAK 1 (Revisi 2009).
b. Penggantian istilah “aktiva” pada PSAK 1 (Revisi 1998) menjadi “aset” pada PSAK 1
(Revisi 2009).
c. Penggantian istilah “neraca” pada PSAK 1 (Revisi 1998) menjadi “laporan posisi
keuangan” pada PSAK 1 (Revisi 2009)
Satu hal penting dalam kaitannya dengan istilah, PSAK 1 (Revisi 2009) tidak lagi
memperkenankan penggunaan istilah “Pos Luar Biasa”, sedangkan PSAK 1 (1998) masih
memperkenankan penggunaan istilah tersebut. Pertanyaannya adalah, mengapa pos luar
biasa tidak diperkenankan lagi ada? Sayangnya, PSAK 1 (Revisi 2009) tidak menjelaskan
alasan mengapa pos luar biasa dihilangkan. Alasan akan hal ini berdasar pandangan penulis
akan dibahas pada bagian 5.
A k u n t a n M u d a Halaman 11
3. Komponen Laporan Keuangan Lengkap
Berdasar pada PSAK 1 (Revisi 2009), komponen laporan keuangan lengkap mengalami
perubahan dari yang tadinya hanya mencakup lima item, sekarang mencakup enam item.
Berdasar PSAK 1 (Revisi 1998), komponen laporan keuangan lengkap meliputi:
1 neraca,
2 laporan laba rugi,
3 laporan perubahan ekuitas,
4 laporan arus kas, dan
5 catatan atas laporan keuangan.
Sedangkan menurut PSAK No. 1 (Revisi 2009) yang disahkan pada tanggal 15 Desember
2009 dan mulai yang efektif berlaku untuk periode tahun buku yang dimulai pada atau
setelah tanggal 1 Januari 2011, laporan keuangan yang lengkap harus meliputi komponen-
komponen berikut ini :
1 laporan posisi keuangan pada akhir periode
2 laporan laba rugi komprehensif selama periode
3 laporan perubahan ekuitas selama periode
4 laporan arus kas selama periode
5 catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan
informasi penjelasan lain; dan
6 laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas
menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara restrospektif atau membuat penyajian
kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam
laporan keuangannya.
Jika kita bandingkan antara PSAK 1 (Revisi 1998) dengan PSAK No. 1 (Revisi 2009), terkait
komponen laporan keuangan, maka terdapat dua perbedaan utama yaitu:
1. perubahan pada laporan laba rugi, dimana sebelumnya hanya mensyaratkan laporan
laba rugi, sekarang harus menyajikan laporan laba rugi komprehensif
2. PSAK 1 (Revisi 1998) tidak mensyaratkan adanya laporan posisi keuangan pada awal
periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi
A k u n t a n M u d a Halaman 12
secara restrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau
ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.
Perlu ditekankan bahwa antara laporan laba rugi dengan laporan laba rugi komprehensif
memiliki perbedaan. Laporan laba rugi adalah total pendapatan dikurangi beban, tidak
termasuk komponen-komponen pendapatan komprehensif lain. Sedangkan laporan laba
rugi komprehensif termasuk didalamnya laporan laba rugi dan pendapatan komprehensif.
Pendapatan komprehensif mencakup (paragraf 7):
a. perubahan dalam surplus revaluasi (lihat PSAK 16 (Revisi 2007): Aset Tetap dan
PSAK 19 (Revisi 2009): Aset Tidak Berwujud)
b. keuntungan dan kerugian aktuarial atas program manfaat pasti yang diakui sesuai
dengan PSAK 24: Imbalan Kerja
c. keuntungan dan kerugian yang timbul dari penjabaran laporan keuangan dari
entitas asing (lihat PSAK 10 (Revisi 2009): Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Valuta
Asing)
d. keuntungan dan kerugian dari pengukuran kembali aset keuangan yang
dikategorikan sebagai ‘tersedia untuk dijual’ (lihat PSAK 55 (Revisi 2006) : Instrumen
Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran)
e. bagian efektif dari keuntungan dan kerugian instrumen lindung nilai dalam rangka
lindung nilai arus kas (lihat PSAK 55 (Revisi 2006) : Instrumen Keuangan : Pengakuan
dan Pengukuran)
4. Penyajian Laporan Keuangan
Penyajian laporan keuangan yang dituangkan dalam PSAK No.1 merupakan adopsi dari IAS 1
Presentation of Financial Statements (2009). Terdapat beberapa perbedaan berdasar PSAK 1
(Revisi 2009) dengan PSAK 1 (Revisi 1998). Beberapa perbedaan terkait penyajian laporan
keuangan di antaranya:
a. Dalam paragraf 9 PSAK 1 (Revisi 2009), laporan keuangan menyajikan beberapa
informasi mengenai entitas yang meliputi: aset, liabilitas, ekuitas, pendapatan dan
beban termasuk keuntungan dan kerugian, kontribusi dari dan distribusi kepada
A k u n t a n M u d a Halaman 13
pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik, serta arus kas sedangkan menurut
PSAK 1 (1998), informasi yang disajikan dalam laporan keuangan meliputi: aset,
kewajiban, ekuitas, pendapatan dan beban, serta arus kas.
b. PSAK 1 (Revisi 2009) tidak mengatur kapan entitas sebaiknya mengeluarkan laporan
keuangan, sedangkan PSAK 1 (1998) mengatur bahwa entitas sebaiknya
mengeluarkan laporan keuangan paling lama 4 bulan setelah tanggal neraca.
c. Paragraf 84 PSAK 1 (Revisi 2009) tidak memperkenankan penyajian “pos luar biasa”
dalam laporan laba rugi komprehensif (akan dibahas spada bagian berikutnya).
d. Dalam paragraf 78 PSAK 1 (Revisi 2009) mensyaratkan bahwa seluruh pos
penghasilan dan beban yang diakui dalam satu periode dapat disajikan dengan
dengan memilih salah satu format berikut:
• Dalam bentuk satu laporan laba rugi komprehensif, atau
• Dalam bentuk dua laporan, yaitu:
i. Laporan yang menunjukkan komponen laba rugi (laporan laba rugi
terpisah), dan
ii. Laporan yang dimulai dengan laba rugi dan menunjukkan komponen
pendapatan komprehensif lain (laporan laba rugi komprehensif)
5. Mengapa Pos Luar Biasa (Extraordinary Items)
Dihilangkan?
Tidak kita pungkiri bahwa sudah menjadi perdebatan sejak lama tentang apa yang harus
dimasukkan dalam net income, apakah hanya kegiatan yang berasal dari aktivitas operasi
ataukah juga memasukkan kegiatan yang berasal dari aktivitas tidak biasa (irregular items).
Isu ini sangat penting mengingat tidak sedikit jumlah irregular item yang dilaporkan oleh
entitas.1 Berdasarkan pendekatan modified all inclusive concept, perusahaan dapat
melaporkan irregular items sebagai bagian dari net income-nya. Salah satu irregular items
adalah pos luar biasa (extraordinary items)
1 Survey dari 600 perusahaan besar menunjukkan bahwa lebih dari 40% perusahaan melaporkan restructuring charges,
sekitar 20% melaporkan baik extraordinary items atau perubahan discontinued operation, dan banyak perusahaan yang
mencatat assets write-down atau laba penjualan aset.
A k u n t a n M u d a Halaman 14
Secara konsep, pos luar biasa merupakan transaksi dan kejadian yang tidak berulang
yang berbeda secara signifikan dari kegiatan normal perusahaan. Untuk menentukan
apakah suatu kejadian dikatakan luar biasa harus dikaitkan dengan kegiatan normal
perusahaan atau dikaitkan dengan karakteristik perusahaan. Sebagai contoh, kerugian
akibat terjadinya gempa bagi perusahaan yang terletak di negara Jepang (sering dilanda
gempa) akan menjadi kejadian yang biasa saja, tetapi kerugian yang diderita oleh
perusahaan di Indonesia (yang jarang terjadi gempa) dapat dikatakan sebagai kejadian yang
luar biasa. Ini mengandung makna kriteria “luar biasa” akan berbeda antara satu
perusahaan dengan perusahana lainnya sehingga perlu menetapkan suatu kriteria untuk
dapat mengkategorikan suatu kejadian masuk dalam “pos luar biasa”.
Suatu aktivitas dikategorikan sebagai pos luar biasa jika memenuhi 2 persyaratan berikut:
1. Bersifat tidak normal; kejadian atau transaksi yang bersangkutan memiliki tingkat
abnormalitas yang tinggi dan tidak mempunyai hubungan dengan kegiatan normal
perusahaan.
2. Tidak sering terjadi; kejadian atau transaksi yang bersangkutan tidak sering terjadi
dalam kegiatan normal perusahaan.
Sebagai pertimbangan lain, untuk menentukan apakah peristiwa atau transaksi
dikatagorikan sebagai pos luar biasa maka entitas perlu mempertimbangkan lingkungan
tempat entitas tersebut beroperasi. Sebagai contoh Weyerhaeuser Company (forest and
lumber) memasukan pos luar biasa atas terjadinya aktivitas volkanik pada gunung St. Helens
sejumlah $36 juta. Erupsi volkanik ini menghancurkan logistik, bangunan, equipment, sistem
transportasi, dan kayu. Bagi Weyerhaeuser Company kerugian yang ditimbukan oleh
aktivitas volkanik tersebut sangat jarang terjadi dan bersifat tidak normal sehingga dapat
diklasifikasikan sebagai extraordinary items, tetapi mungkin saja bagi perusahaan lain yang
terletak didaerah rawan terjadinya aktivitas volkanik, kerugian sebagai akibat adanya
aktivitas volkanik tidak dapat dikatagorikan sebagai extraordinary items.
Dalam kaitannya dengan pos luar biasa, Paragraf 84 PSAK 1 (Revisi 2009) Tidak
diperkenankan lagi penyajian pos-pos penghasilan dan beban sebagai “pos luar biasa”
dalam laporan laba rugi komprehensif, laporan laba rugi terpisah (jika disajikan), atau
catatan atas laporan keuangan. Aturan ini menunjukkan bahwa memang standar kita sudah
A k u n t a n M u d a Halaman 15
tidak lagi memperkenankan disajikannya pos luar biasa dalam laporan keuangan.
sebelumnya, penyajian pos luar biasa dalam laporan laba rugi perusahaan diatur
berdasarkan PSAK No. 25 mengenai ‘Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan,
Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi’, paragraf 10 - 14.
Pertanyaan yang timbul adalah mengapa pos luar biasa tidak diperkenankan lagi
disajikan dalam laporan keuangan? Jika melihat ke belakang ketika terjadi tragedi serangan
teroris di Amerika tanggal 11 september 2001 dan peristiwa terjadinya badai Katrina tahun
2005, seluruh media di Amerika mengkatagorikan dua peristiwa tersebut sebagai
“extraordinary.” Namun FASB’s Emerging Issues Task Forces (EITF) menyatakan bahwa
melampirkan kerugian yang berasal dari kejadian tanggal 11 September akan menjadi tidak
efektif dalam mengkomunikasikan akibat dari adanya serangan tanggal 11 September
sehingga hal ini bertentangan dengan tujuan luas dari disediakannya laporan keuangan yaitu
mengkomunikasikan secara efektif dan jelas (informasi laporan keuangan). Alasan lain yang
dikemukakan oleh EITF adalah sulitnya “menangkap” akibat-akibat finansial dari serangan
teroris pada satu item laporan keuangan. Sementara menurut IAS, dikeluarkannya
extraordinary items dari laporan keuangan karena terdapat kesulitan dalam memisahkan
efek-efek finansial dari satu kejadian dengan kejadian lain secara objektif.
Secara umum, alasan eliminasi extraordinary items dari laporan keuangan dapat
dirangkum sebagai berikut:
1) Terdapat kesuliatan untuk menentukan apakah suatu peristiwa/transaksi dapat
dikatagorkan sebagai pos luar biasa. Hal ini disebabkan karena kriteria penentuan pos
luar biasa masih membutuhkan judgement.
2) Terdapat kesulitan untuk memisahkan efek finansial yang terjadi karena adanya
serangan teroris dengan efek finansial yang terjadi karena adanya kegiatan ekonomi
yang lemah sebelum terjadinya serangan teroris. Dengan kata lain, terdapat kesulitan
untuk memisahkan efek finansial akibat adanya kejadian yang diduga sebagai
extraordinary dengan kejadian lain sebelum adanya extraordinary.
A k u n t a n M u d a Halaman 16
3) Memisahkan kos yang termasuk dalam extraordinary item dengan yang tidak termasuk
dalam extraordinary items bukan saja merupakan hal yang tidak praktis2 , tetapi juga
merupakan hal yang tdak berguna bagi pengguna laporan keuangan yang berfokus pada
informasi yang dapat membantu prediksi future earnings dan akibat cash flow dari
adanya kejadian–kejadian tersebut. Sehingga udaha untuk memisahkan kos dalam
ordinary atau extraordinary akan menghalangi (bukan meningkatkan) komunikasi
informasi keuangan
4) Salah satu katagori extraordinary items adalah tidak sering terjadi (infrequently in
practice) sehingga karena tidak sering terjadi makan sebaiknya dieliminasi.
Secara umum penulis sependapat dengan Massoud et al. (2007) bahwa memang sudah
saatnya extraordinary items dihilangkan karena telah cukup lama manfaat dari disajikannya
extraordinary item menjadi tidak jelas. Mengapa? Dengan mengklasifikasikan suatu kejadian
dalam extraordinary items tidak akan mengubah efek bottom-line atas kejadian tersebut
terhadap organisasi, karena extraordinary items hanya sebagian kecil dari semua pos yang
ada dalam kaporan keuangan yang bisa dijadikan pertimbangan organisasi.
(Oleh: Yeni Januarsi)
Referensi
Massoud, Raiborn, and Humphrey. 2007. Extraordinary Items: Time To Eliminate The
Classification. CPA Journal
Burke, J.A. 2006. An Extraordinary Decision Leads to Extraordinary Changes. CPA Journal
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan per 1 Juli 2009. Salemba
Empat. Jakarta
Kieso, Weygandt, and Warfields. 2010. Intermediate Accounting. Wiley.
2 Dalam PSAK 1 (revisi 2009) dinyataka definisi tidak praktis jika entitas tidak dapat menerapkannya setelah melakukan
segala upaya yang rasional
A k u n t a n M u d a Halaman 17
Biaya Tetap Biaya Tetap Biaya Tetap Biaya Tetap vs.vs.vs.vs. Biaya VariabelBiaya VariabelBiaya VariabelBiaya Variabel
Dalam mata kuliah akuntansi manajerial
ataupun akuntansi biaya, kita sering
sekali berhubungan dengan berbagai
macam biaya; mulai dari biaya tetap,
biaya variabel, biaya diferensial, biaya
relevan dan biaya lain-lain. Secara
sederhana, biaya merupakan sejumlah
pengorbanan (baik yang berupa uang
ataupun yang bisa diubah atau dikonversikan dengan sejumlah uang) yang kita keluarkan
untuk memperoleh atau menghasilkan sesuatu. Sebagai contoh, untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan di kampus, kita mengorbankan uang kuliah, uang buku, fotokopi, ongkos
angkutan umum, hingga uang yang tiap bulan dibayarkan untuk sewa rumah.
Di antara berbagai macam biaya tadi, di bagian paling dasar dari biaya terdapat biaya
yang bernama biaya tetap dan biaya variabel. Kedua biaya ini merupakan jenis biaya yang
hampir selalu ada dalam berbagai komposisi biaya, terutama digunakan untuk menghasilkan
sebuah produk. Meskipun seringkali berjalan beriringan, kedua biaya ini sebenarnya
memiliki karakteristik yang berlawanan.
Apa itu Biaya Tetap?Apa itu Biaya Tetap?Apa itu Biaya Tetap?Apa itu Biaya Tetap?
Biaya tetap merupakan jenis biaya yang bersifat statis (tidak berubah) dalam ukuran
tertentu. Biaya ini akan tetap kita keluarkan meskipun kita tidak melakukan aktivitas apapun
atau bahkan ketika kita melakukan aktivitas yang sangat banyak sekalipun. Dalam proses
produksi, biaya tetap akan selalu kita bayarkan atau keluarkan tanpa menghitung berapa
banyak produksi yang kita lakukan, baik ketika tidak berproduksi atau sebaliknya saat
produksi dilakukan dalam kapasitas maksimal. Jadi, dengan kata lain, secara total biaya ini
akan selalu sama, tidak terpengaruh oleh jumlah unit yang diproduksi atau jumlah aktivitas
yang dilakukan. Bagaiman jika dihitung per unit produk yang dihasilkan atau per aktivitas
A k u n t a n M u d a Halaman 18
yang kita lakukan? Biaya tetap dan unit yang diproduksi atau aktivitas yang dilakukan
memiliki hubungan yang terbalik. Hubungan terbalik ini maksudnya adalah semakin banyak
unit yang kita produksi atau semakin banyak aktivitas yang kita lakukan maka biaya tetap
per unit atau per aktivitas yang kita lakukan akan semakin kecil jumlahnya.
Contoh I: Contoh I: Contoh I: Contoh I:
Jika dihubungkan dengan aktivitas produksi, kita bisa mengambil contoh sebuah gudang
yang disewa untuk lokasi pabrik dengan biaya sewa Rp 100.000.000 per tahun. Pada tahun
awal, ketika produksi belum dimulai, kita mengeluarkan biaya sewa sejumlah Rp.100 juta
per tahun. Ketika mulai berproduksi, kita tetap membayar jumlah yang sama. Bahkan ketika
jumlah produksi semakin banyak, jumlah sewa pabrik yang kita bayarkan masih sama.
Skema biaya tetap dalam produksi dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 1
Contoh Perhitungan Biaya Tetap
Biaya Sewa per Tahun Jumlah Unit yang
Diproduksi
Biaya sewa gudang per
unit
Rp 100.000.000 200 Rp. 500.000
Rp 100.000.000 500 Rp. 200.000
Rp 100.000.000 2500 Rp. 40.000
Contoh 2Contoh 2Contoh 2Contoh 2
Adapun contoh nonproduksi dari biaya tetap adalah biaya abonemen pada tagihan listrik
dan telepon. Biaya abonemen ini adalah jumlah biaya yang harus kita bayarkan setiap
bulannya meskipun pada bulan itu kita tidak menyalakan satu alat listrik pun di rumah atau
tidak melakukan satu percakapan lewat telepon.
Apa itu Biaya Variabel?Apa itu Biaya Variabel?Apa itu Biaya Variabel?Apa itu Biaya Variabel?
Berkebalikan dengan biaya tetap, biaya variabel ini bersifat dinamis. Ia mengikuti banyaknya
jumlah unit yang diproduksi ataupun banyaknya aktivitas yang dilakukan. Pada biaya ini,
jumlah yang akan kita keluarkan per unit atau per aktivitas justru berjumlah tetap
A k u n t a n M u d a Halaman 19
sedangkan untuk biaya secara total jumlahnya akan menyesuaikan dengan banyaknya
jumlah unit yang diproduksi ataupun jumlah aktivitas yang dilakukan. Jika biaya tetap
memiliki hubungan terbalik dengan jumlah unit yang diproduksi atau aktivitas yang
dilakukan maka, secara total, biaya variabel memiliki hubungan searah dengan jumlah unit
yang diproduksi atau aktivitas yang dilakukan. Hubungan searah ini maksudnya adalah
semakin banyak unit yang kita produksi atau semakin banyak aktivitas yang kita lakukan,
maka akan semakin banyak biaya variabel yang kita keluarkan.
Contoh 3 : Contoh 3 : Contoh 3 : Contoh 3 :
Untuk memasarkan produk yang kita buat, kita menyewa tenaga penjual dengan
membayarkan komisi sebanyak Rp.10.000 dari tiap barang yang berhasil ia jual. Jika si
penjual hanya mampu menjual 10 buah produk dengan harga satuan Rp.100.000, maka
besarnya biaya komisi yang harus kita keluarkan untuk si penjual adalah : Rp10.000 x 10 =
Rp.100.000. Jika dalam sebulan ia mampu menjual hingga 200 unit, maka biaya komisi yang
harus kita keluarkan adalah Rp.10.000 x 200 = Rp. 2.000.000. Selanjutnya, besarnya biaya
komisi yang akan kita keluarkan adalah sebesar jumlah unit yang mampu dijual si penjual
kita kalikan dengan biaya komisi per unit yang kita berikan. Untuk lebih jelasnya, kita bisa
melihat skema perhitungan biaya variabel pada tabel di bawah ini:
Tabel 2
Contoh Perhitungan Biaya Variabel
Biaya Komisi per Unit Jumlah Unit yang Terjual Total Biaya Komisi yang
Dikeluarkan
Rp. 10.000 10 Rp. 100.000
Rp. 10.000 200 Rp. 2.000.000
Rp. 10.000 750 Rp. 7.500.000
Contoh 4 Contoh 4 Contoh 4 Contoh 4
Contoh lain dari biaya variabel adalah pulsa telepon genggam. Banyaknya pulsa yang kita
habiskan adalah sebanyak jumlah sms yang kita kirimkan x tarif yang dikenakan untuk tiap
sms serta jumlah menit yang kita habiskan untuk menelpon x tarif menelpon per menit.
A k u n t a n M u d a Halaman 20
Bagaimana Jika Biaya Tetap dan Biaya Variabel Bagaimana Jika Biaya Tetap dan Biaya Variabel Bagaimana Jika Biaya Tetap dan Biaya Variabel Bagaimana Jika Biaya Tetap dan Biaya Variabel
Digabungkan?Digabungkan?Digabungkan?Digabungkan?
Biaya tetap dan biaya variabel memang biasa disandingkan. Dalam komposisi tagihan
telepon misalnya, total biaya yang harus kita bayarkan merupakan gabungan dari biaya
tetap dan biaya variabel. Seperti yang tertulis pada contoh 2 di atas, abonemen merupakan
biaya tetap, sedangkan biaya percakapan merupakan biaya variabel; yang berasal dari
jumlah menit percakapan yang kita lakukan x tarif percakapan per menitnya.
Selain tagihan telepon, contoh lain dari gabungan biaya tetap dan biaya variabel adalah
total uang kuliah yang harus dibayarkan setiap semester. Dalam komposisi pembayaran
uang kuliah, SPP merupakan biaya tetap karena jumlah yang akan kita bayarkan tidak
berubah meskipun kita berada di semester 1 ataupun di semester 10 sedangkan biaya sks
merupakan biaya variabel, yang besar jumlahnya tergantung pada jumlah sks yang kita
ambil x biaya per sks yang telah ditetapkan.
(Oleh: Hesty Wulandari)
A k u n t a n M u d a Halaman 21
Tidak sedikit perusahaan yang mengalami
kegagalan dalam implementasi teknologi
informasi (TI) atau sistem teknologi
informasi (STI), termasuk juga yang
berkaitan dengan sistem informasi
akuntansi. Ada beberapa penyebab yang
dapat ditelusuri. Secara garis besar ada
yang bersifat teknis dan non-teknis. Sisi
teknis berkaitan dengan teknologi yang
berada di belakang sistem tersebut,
sementara sisi non teknis berada pada
aspek keperilakuan dan managerial dalam
penggunaan sistem tersebut.
Tulisan ini akan memberikan
gambaran mengenai aspek
managerial yang mempengaruhi
kesuksesan penerapan sistem
teknologi informasi.
Keller (2004) dalam
bukunya yang berjudul
‘Technology Paradise Lost: Why
Companies Will Spend Less to
Get More from Information
Technology’ mengungkapkan secara jelas
bagaimana peran STI dalam korporasi
modern saat ini, terutama untuk
mentrasformasikan investasi yang telah
dilakukan dalam bidang STI yang
tergolong besar agar menghasilkan nilai
dan profitabilitas bagi perusahaan.
Investasi-invetasi di bidang STI seringkali
tidak diikuti dengan hasil yang maksimal
bagi perusahaan, baik dari sisi
produktivitas, profitabilitas maupun nilai
A k u n t a n M u d a Halaman 22
yang akan diterima oleh suatu entitas
bisnis. Berkaitan dengan hal ini muncul
terminologi productivity paradox. Istilah
productivity paradox pertama kali
dikemukakan oleh Steven Roach dalam
penelitiannya yang berjudul America's
Technology Dilemma: A Profile of the
Information Economy yang dipublikasikan
pada tanggal 22 April 1987 (Brynjolfsson &
Hitt 1998). Kesimpulan mengenai
productivity paradox diperoleh karena
adanya peningkatan yang sangat besar
dalam teknologi komputasi, namun
demikian tidak diimbangi dengan imbas
yang dihasilkan dari sisi kinerja ekonomi,
khususnya untuk sektor ekonomi yang
didominasi oleh “pekerja informasi”.
(Brynjolfsson & Hitt 1998).
Perdebatan panjang mengenai
productivity paradox bermunculan, ada
yang mendukung dan ada juga yang
menentang. Argumen yang mendukung
dikemukakan oleh Carr (2003) yang
menyatakan bahwa investasi dalam
bidang teknologi seringkali tidak sejalan
dengan hasil yang dapat diperoleh. STI
tidak lagi menjadi sesuatu yang strategis
bagi perusahaan dan telah menjadi suatu
komoditas. Sejumlah survey dan
penelitian menemukan bahwa
productivity paradox tidak sepenuhnya
benar dan tidak juga sepenuhnya salah.
Beberapa sektor produksi ada yang
mengalami peningkatan dalam
produktivitas dalam kaitannya dengan
penggunaan STI, namun ada juga yang
tidak menunjukkan perubahan yang
berarti. Hasil survey yang dilakukan oleh
Federal Reserve Board, Information
Technology and Productivity: Where Are
We Now and Where Are We Going, pada
tahun 2002 menemukan bahwa
peningkatan produktivitas hanya terjadi
pada beberapa sektor industri seperti
industri perakitan komputer, sekuritas
(keuangan), pabrikan semikonduktor,
telekomunikasi, dan grosir. Produktivitas
terbesar yang dicapai oleh industri-
industri tersebut berada dalam rentang
waktu 6 tahun sejak tahun 1995 hingga
2000 (Keller 2004). Argumen yang kontra
productivity paradox datang dari
Organisation for Economic Co-operation
and Development (OECD) pada tahun
2003 yang menganjurkan investasi besar-
besaran dalam TI karena akan berdampak
pada produktivitas dan pertumbuhan GDP
seperti yang telah dialami oleh Amerika.
U.S. Department of Commerce dalam
laporannya Digital Economy 2002,
melaporkan bahwa pergerakan dan
pertumbuhan dalam ekonomi Amerika
sangat erat kaitannya dengan
A k u n t a n M u d a Halaman 23
pengeluaran dan penggunaan STI. Salah
satunya adalah penciptaan bidang-bidang
kerja yang bergaji tinggi yang
berhubungan dengan penyediaan jasa dan
penjualan STI. (Keller 2004). Survey yang
dilakukan oleh OECD dan U.S. Department
of Commerce ini melihat imbas STI secara
lebih luas dalam konteks negara dan
bukan pada tingkatan perusahaan. Jika
dilihat secara lebih luas, dapat
disimpulkan STI memiliki imbas yang
besar dalam produktivitas perekonomian
saat ini.
Pertanyaan penting yang patut
dikemukakan berkaitan dengan
productivity
paradox adalah
mengapa ada
sebagian
perusahaan yang
berhasil
menikmati
keuntungan dari
investasi STI yang
mereka lakukan
sementara ada
sebagian lain yang
mengalami
kegagalan. Kegagalan sebagian
perusahaan dalam memanfaatkan STI
seharusnya tidak dapat menjadi justifikasi
productivity paradox.
Kesukesan perusahaan-perusahaan
yang memanfaatkan STI dalam proses
bisnisnya seharusnya menjadi pelajaran
berharga bagi perusahaan-perusahaan
yang belum mendapatkan hasil yang
maksimal dalam investasi di bidang STI.
Productivity paradox yang menjadi bahan
perdebatan sesungguhnya berada pada
lingkup perusahaan atau industri tertentu
saja dan bukan berada pada lingkup yang
lebih luas seperti negara dan regional
tertentu. Oleh karena itu fenomena
productivity paradox sebenarnya tidak
dapat
digeneralisasikan
sebagai salah
satu dampak dari
penggunaan STI
dalam proses
bisnis.
Penelitian
empiris
menunjukkan
bahwa kegagalan
dalam
implementasi STI
sebenarnya terjadi karena kesalahan
dalam pengelolaan STI itu sendiri dan
tidak adanya ukuran yang jelas bagaimana
Mengapa ada sebagian
perusahaan berhasil menikmati
keuntungan dari investasi STI
yang mereka lakukan, sementara
ada sebagian yang lain
mengalami kegagalan?
A k u n t a n M u d a Halaman 24
mengukur kesuksesan implementasi STI.
Kegagalan dalam STI umumnya terjadi
karena proses perencanaan dan analisis
masalah yang salah sehingga hasil
pengembangan STI kedalam perusahaan
menjadi tidak berhasil. Faktor
kepemimpinan juga memainkan peranan
yang amat penting. Keterlibatan dan
partisipasi manajemen puncak akan
sangat menentukan kesuksesan
implementasi STI. Beberapa studi yang
berkaitan dengan hal tersebut
menemukan terdapat keterkaitan yang
erat antara kesuksesan implementasi STI
dengan hubungan eksekutif yang
didalamnya melibatkan CEO dan CIO
(Feeny et al. 1992; Earl & Feeny 1995;
Chen & Preston, 2007). Dari sisi
pengukuran kesuksesan, STI tidak hanya
diukur dari perspektif keuangan, namun
juga harus diukur dari persepektif non
keuangan lainnya seperti kepuasan
pelanggan, kepuasan karyawan, akurasi
proses bisnis, dsb. Pengukuran kesuksesan
STI yang hanya diukur dari perspektif
keuangan tidak tepat, karena dua variabel
ini tidak selalu berhubungan secara
langsung.
Berkaitan dengan adanya kesalahan
dalam pengelolaan dan pengukuran
kesuksesan implementasi STI, pemikiran
mengenai tata kelola teknologi informasi
(IT governance) kini berkembang. Ada
berbagai definisi yang dikemukakan
berkaitan dengan tata kelola TI. Ross &
Weill (2004) Mendefinisikan tata kelola TI
sebagai spesifikasi atas rerangka dalam
pengambilan keputusan keputusan,
pendelegasian wewenang dan
akuntabilitas untuk mendorong perilaku
yang diinginkan dalam penggunaan
teknologi informasi. Definisi ini lebih
menekankan kepada sistem dan proses
dalam pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan kesuksesan dalam
penggunaan teknologi. Definisi lainnya
yang lebih luas dikemukakan oleh The IT
Governance Institute (ITGI), tata kelola TI
didefinisikan sebagai tanggung jawab
eksekutif dan dewan komisaris yang
melibatkan kepemimpinan, struktur
organisasional, dan proses untuk
meyakinkan keberlanjutan TI, pencapaian
strategi dan tujuan perusahaan.
Mekanisme tata kelola TI memiliki tiga
komponen yaitu struktur, proses dan
mekanisme relasional (Van Grembergen &
De Haes 2008). Struktur meliputi
organisasi, lokasi fungsi TI, eksistensi, dan
kejelasan tugas serta tanggung jawab dari
peran TI yang beragam dalam organisasi.
Proses merujuk pada pengambilan
keputusan, perencanaan sistem informasi
A k u n t a n M u d a Halaman 25
strategis, pengendalian dan rerangka
proses. Mekanisme relasional merupakan
komponen yang melengkapi rerangka tata
kelola TI. Mekanisme sangat dibutuhkan
dalam tataran operasional, tata kelola TI
tidak akan berhasil tanpa adanya
mekanisme meskipun telah memiliki
struktur dan proses yang baik. Mekanisme
ini meliputi partisipasi bisnis/TI, dialog
strategis, pelatihan, pembelajaran dan
komunikasi. Dalam tataran operasional,
panduan operasional tata kelola TI dapat
menggunakan COBIT, CMMi, COSO,
ISO/IEC 17799:2005, ISO/IEC TR 13335,
ISO/IEC 15408:2005, ITIL, NIST 800-14,
PRINCE2, PMBOK, TickIT (Van
Grembergen & De Haes 2008).
Aspek managerial terutama yang
berkaitan dengan tata kelola teknologi
informasi memegang peranan penting
dalam kesuksesan implementasi STI.
Dengan demikian, penerapan STI semata
tanpa mempertimbangkan bagaimana
memanfaatkannya dengan benar, sama
sekali tidak bermanfaat bagi perusahaan.
(Oleh: Arif Perdana)
Referensi:Referensi:Referensi:Referensi:
Brynjolfsson, Erik & Lorin M. Hitt. 1998. Beyond the Productivity Paradox: Computers are the
Catalyst for Bigger Changes. Forthcoming in the Communications of the ACM.
Carr, Nicholas. G. 2003. IT Doesn’t Matter. Harvard Business Review. May 2003. USA:
Harvard Business School Press.
Chen. Daniel Q & David S. Preston. 2007. Understanding CIO Role Effectiveness: the
Antecedents and Consequents. Proceedings of the 40th Hawaii International Conference
on System Sciences – 2007
Earl M.J. and David.F. Feeny. 1995. Is Your CIO Adding Value, The McKinsey Quarterly.
Feeny, David. F. et.al. 1992. Understanding the CEO/CIO Relationship. MIS Quarterly, Vol. 16
Issue 4.
Keller, Erik. 2004. Technology Paradise Lost: Why Companies Will Spend Less to Get More
from Information Technology. Greenwich, CT: Manning Publications Co
vanGrembergen, Wim & Steven De Haes. 2008. Implementing Information Technology
Governance: Models, Practices, and Cases. United States of America: IGI Global.
Weill, Peter and J.W. Ross. 2004. IT Governance: How Top Performers Manage IT Decision
Rights for Superior Results, Watertown, MA: Harvard Business School Press.
A k u n t a n M u d a Halaman 26
Yuk, Bikin Paper!Yuk, Bikin Paper!Yuk, Bikin Paper!Yuk, Bikin Paper!
#2 Mencari Literatur
Setelah menemukan topik, sebagaimana dibahas di
‘Kolom Uni Hesty’ bulan April kemarin, langkah
berikutnya adalah mencari literatur. Literatur
berperan penting bagi pemahaman kita atas suatu
topik. Hal ini karena pemahaman kita hanya akan
sebagus literatur yang kita pelajari. Literatur yang
baik adalah literatur yang memiliki kualitas tinggi pada:
1) Isi atau kandungan/content penelitian.
� Penelitian dilakukan secara benar.
Ini berarti penelitian terkait memiliki rumusan masalah yang baik dan terjustifikasi;
pengembangan hipotesis yang valid; benar dalam menggunakan, mengadaptasi, dan
mengaplikasi model; serta benar dalam menginterpretasi hasil. Singkat cerita,
penelitian ini haruslah melakukan segala langkah-langkah penelitian dengan tepat
dan hati-hati sehingga hasilnya pun benar, tidak dirusak oleh kekeliruan (error)
ataupun bias.
� Hasil penelitian memiliki kontribusi penting.
Kontribusi suatu paper dilihat dari perspektif dunia penelitian di saat penelitian itu
dipublikasi. Contohnya paper Ray Ball dan Philip Brown (1968) yang berjudul ‘An
Empirical Evaluation of Accounting Income Numbers.’1 Bila kita lihat saat ini maka
paper itu tampak sederhana dan biasa. Namun, tidak demikian ketika paper itu
dipublikasi pada tahun 1968. Saat itu, tren penelitian akuntansi adalah penelitian
1 Ball, R., dan P. Brown. 1968. An empirical evaluation of income accounting number. Journal of Accounting
Research 6 (20): 159-178.
A k u n t a n M u d a Halaman 27
normatif dan penelitian Ball dan Brown (bersama dengan penelitian William H.
Beaver [1968]2) merupakan pionir penelitian akuntansi positif. Paper-paper serupa
yang dibuat kemudian (replikasi) tidak memiliki peran sepenting peran paper Ball
dan Brown (1968) walaupun bukan tidak mungkin paper-paper yang lebih baru
tersebut justru menggunakan metode yang lebih canggih.
2) Pemaparan ide, pemikiran, dan aspek penelitian.
Kualitas kedua ini terkait dengan bagaimana peneliti mengkomunikasikan penelitiannya
ke pembaca melalui tulisan. Selain melakukan penelitian dengan benar, paper yang baik
juga memudahkan pembaca untuk memahami penelitiannya. Ini berarti paper yang baik
umumnya memiliki ciri-ciri berikut ini:
� Argumen dipaparkan secara runut.
� Pemikiran disampaikan dalam bahasa yang baik dan benar serta lugas. Kalimat yang
digunakan tidak canggung ataupun ambigu.
� Aspek-aspek penelitian disajikan dalam cara-cara yang memudahkan pembaca
mengerti penelitian tersebut.
Kedua kualitas di atas memastikan bahwa kita mempelajari penelitian yang ‘benar’ dan
penting dengan relatif mudah. ‘Benar’ di sini berarti penelitian dilakukan dengan benar,
bukan penelitian yang dilakukan secara serampangan atau yang punya banyak kekeliruan.
Penelitian yang tidak dilakukan dengan benar membuat hasilnya tidak dapat dipercaya dan,
oleh karenanya, tidak dapat dijadikan dasar bagi penelitian lain, termasuk penelitian kita.
Selain itu, kita juga perlu melandaskan penelitian kita pada penelitian yang penting. Hal
ini terkait dengan keterandalan/reliabilitas asumsi yang kita gunakan, argumen yang kita
bangun, model yang kita adopsi atau adaptasi, dan sebagainya. Prinsipnya, informasi atau
pengetahuan tangan pertama itu lebih baik daripada turunan/derivasinya. Misalnya, ketika
kita meneliti manipulasi aktivitas real dan mengadopsi Model Roychowdhury maka
pengetahuan yang diperoleh dari mempelajari paper Roychowdhury (2006)3 akan jauh lebih
2 Beaver, W.H. 1968. The information content of annual earnings announcements. Journal of Accounting
Research 6: 67-92. 3 Roychowdhury, S. 2006. Earnings management through real activities manipulation. Journal of Accounting
and Economics 42: 335-370.
A k u n t a n M u d a Halaman 28
baik daripada mempelajari paper lain yang sekedar mengutip atau juga menggunakan
model Roychowdhury (2006).
Sementara itu, kualitas pemaparan dan penulisan ide, pemikiran, dan aspek penelitian
yang baik akan memudahkan kita memahami penelitian itu sendiri. Misalnya saja,
Roychowdhury (2006) bahkan menjelaskan mengapa ia keluar dari kebiasaan umum dengan
menambahkan konstan/intercept yang tidak terskala (unscaled) ke dalam modelnya.
Penjelasan ini terdapat pada footnote 18, Roychowdhury (2006).
It is general convention in the literature to include a scaled intercept, ∝ �1 ����⁄ ,
when estimating nondiscretionary accruals. This avoids a spurious correlation between
scaled CFO and scaled sales due to variation in the scaling variable, total assets. I also
include an unscaled intercept, ∝, to ensure that the mean abnormal CFO for every
industry-year is zero. Including the intercepts allows the average �� � ����⁄ for a
particular industry-year to be non-zero even when the primary explanatory variables in
the model, sales and change-in-sales, are zero. Eliminating the unscaled intercept does
not materially affect the results, nor does retaining the unscaled intercept, but eliminating
the scaled intercept 1 ��⁄ .
Kedua kualitas yang dimiliki oleh paper yang baik tersebut memastikan bahwa kita
mempelajari penelitian yang dilakukan dengan benar dan mudah memahaminya. Ini sangat
berguna buat orang yang relatif baru dalam melakukan penelitian.4 Topik-topik ‘berat’
seperti relevansi nilai, manipulasi laba, dan lainnya akan menjadi sangat masuk akal dan
mudah dipahami bila kita mempelajarinya melalui literatur yang berkualitas. Tulisan ini
berusaha memberi gambaran jenis-jenis literatur yang baik dan, oleh karenanya, perlu kita
pelajari ketika sudah menentukan topik penelitian.5
4 Bila kita masih baru dalam melakukan penelitian (e.g. saat menyusun skripsi) maka kita tidak/belum memiliki
standar tertentu dan cenderung menganggap semua referensi sebagai ‘benar dan baik’. Masalahnya, hal ini
membuat kita mudah terjebak ke dalam referensi yang tidak ‘benar dan baik’ dan, kemudian, melakukan
penelitian dengan tidak ‘benar dan baik’ pula. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengembangkan
otot-otot standar mutu yang baik dalam penelitian dengan cara mempelajari literatur yang berkualitas. 5 Jenis-jenis paper ini tidak mutually exclusive melainkan overlapping. Paper seminal, misalnya, sebenarnya
bahkan merupakan bentuk khusus dari paper klasik.
A k u n t a n M u d a Halaman 29
1)1)1)1) PPPPaper aper aper aper TTTTeranyareranyareranyareranyar yangyangyangyang BBBBerkualitaserkualitaserkualitaserkualitas
Pertanyaan penting sebelum kita melakukan sesuatu adalah ‘kenapa’? Jadi, kenapa kita
perlu baca paper teranyar? 6
� Kita belum tahu topik itu mau dibawa ke mana dan apa yang mau dilakukan dengannya.
Ini terjadi bila kita hanya memiliki topik namun belum punya gambaran spesifik tentang apa
yang mau kita teliti. Seumpama kita tertarik isu manipulasi laba (earnings management).
Namun kita belum tahu isu spesifik manipulasi laba yang ingin atau bisa kita teliti, model
yang perlu digunakan, perkembangan isu manipulasi laba itu sendiri, dan lain-lain. Paper
teranyar memberi gambaran terkini tentang berbagai alternatif yang bisa kita pilih dalam
aspek-aspek tadi serta menunjukkan kelebihan dan kelemahan suatu alternatif. Ini
merupakan fitur yang tidak bisa anda peroleh dengan paper selain paper teranyar.
Contoh: Pengukuran akrual diskresioner oleh Cohen et al. (2007: p. 10-11)7
We use a cross-sectional model of discretionary accruals, where for each year we
estimate the model for every industry classified by its 2-digit SIC code. Thus, our
approach partially controls for industry-wide changes in economic conditions that affect
total accruals while allowing the coefficients to vary across time (Kasznik 1999, DeFond
and Jiambalvo 1994). 12
Our primary model is the modified cross-sectional Jones model (Jones 1991) as
described in Dechow et al. (1995).13 ....
...We also repeat our tests by using a measure based on the performance-matched
discretionary accruals advanced in Kothari, Leone, and Wasley (2005).
[footnote 12] We obtain qualitatively the same results when we use a time-series
approach which assumes temporal stationarity of the parameters for each firm.
6 Untuk kepentingan pembahasan, esai ini menggunakan working paper Daniel A. Cohen, Aiyesha Dey, dan
Thomas Z. Lys, ‘Real and Accrual-based Earnings Management in the Pre- and Post-Sarbanes Oxley Periods,’
versi Juni 2007 sebagai contoh. Working paper versi 2007 ini sudah tidak tersedia di SSRN, namun anda bisa
menggunakan versi 2008 yang bisa diunduh secara bebas di SSRN:
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1280711 7 Cohen, D.A., A. Dey, dan T.Z. Lys. 2007. Real and accrual-based earnings management in the pre- and post-
Sarbanes-Oxley periods. Working paper.
A k u n t a n M u d a Halaman 30
[footnote 13] A caveat: various studies in the literature raise the concern that
discretionary accruals measured using the Jones model might be capturing
nondiscretionary components, and these errors in discretionary accruals are likely to be
correlated with stock prices and performance measures in general. While this concern is
valid and we acknowledge this limitation in measuring discretionary accruals, note that
we use discretionary accruals as a dependent variable and not as an explanatory variable.
If indeed discretionary accruals are measured with error, the only consequence in our
case will be a lower explanatory power of the model, i.e., we eill obtain lower R-squares.
Otherwise, using discretionary accruals measured using the Jones model as a dependent
variable is not likely to introduce any bias in our results.
Berdasar penjelasan dalam paper Cohen et al. (2007) tersebut, kita bisa membuat
gambaran mengenai pengukuran akrual diskresioner sebagaimana ‘Orat-Oret 1’ berikut.
Orat-oret 1
Pembahasan ukuran manipulasi laba oleh paper Cohen et al. (2007) secara implisit
menggambarkan perkembangan model akrual diskresioner dan alasan penggunaan aspek-
aspeknya. Paper Cohen et al. (2007) menunjukkan perkembangan pengukuran akrual
1991
•Model Jones
•model awal pengukur akrual diskresioner
1995
•Dechow et al.
•modifikasi cross-sectional atas Model Jones
1999
•Kasznik (serta DeFond dan Jiambalvo 1994)
•pengestimasian model dilakukan untuk setiap industri berdasar
klasifikasi 2-digit kode SIC
2005
•Kothari et al.
•performance-matched discretionary accruals
A k u n t a n M u d a Halaman 31
diskresioner dari model Jones (1991)8 yang dimodifikasi oleh Dechow et al. (1995)9 dan
kemudian pendekatan kontekstualnya diperbaiki oleh Kothari et al. (2005).10 Paper ini
menjelaskan alasan mengapa pengestimasian model dilakukan untuk setiap industri yang
diklasifikasi dengan 2-digit kode SIC (Kasznik 1999).11 Paper ini juga menjelaskan mengapa ia
tetap menggunakan model Jones meskipun model ini banyak dikritik atas kekeliruan dalam
menangkap komponen akrual diskresioner (lihat footnote 13). Di samping itu, Cohen et al.
(2007) menunjukkan bahwa mereka juga menguji hipotesis dengan menggunakan ukuran
akrual diskresioner tercanggih yang ada (Kothari et al. 2005) walaupun mereka tidak secara
spesifik menjelaskan alasan penggunaannya.
Oleh karena itu, mempelajari paper teranyar sangat bermanfaat untuk dengan cepat
memperoleh gambaran alternatif aspek penelitian yang ada. Gambaran mengapa sebaiknya
kita menggunakan atau tidak menggunakan suatu model, meneliti atau tidak meneliti suatu
variabel, dan lain-lain. Dengan mempelajari beberapa paper teranyar saja, kita sudah bisa
memperoleh gambaran mengenai apa yang sebaiknya kita lakukan atau tidak lakukan serta
memperoleh gambarang mengenai aspek-aspek apa saja yang harus kita perhatikan dalam
penelitian kita.
� Kita perlu tahu apakah ide penelitian kita sudah diteliti atau belum.
Kadang kala peneliti sudah memiliki gambaran umum terkait ide penelitiannya. Namun
demikian, (hampir) tidak ada gunanya mengerjakan ulang apa yang telah diteliti peneliti lain.
Selain tidak/kurang berguna secara keilmuan, meneliti hal yang sama dengan peneliti lain
itu juga tidak/kurang berguna bagi si peneliti itu sendiri. Hal ini dikarenakan biasanya jurnal
(yang bagus) tidak bersedia menerima naskah artikel penelitian yang sama sehingga hampir
bisa dipastikan naskah itu tidak akan terpublikasi. Oleh karenanya, kita perlu mengecek
apakah ide penelitian yang kita usulkan telah dikerjakan peneliti lain atau belum.
Pengecekan ini dilakukan dengan melihat apakah ada paper-paper teranyar yang
mengusung ide penelitian yang sama dengan yang kita ajukan. Bila tidak/belum ada maka
8 Jones, J.J. 1991. Earnings management during import relief investigation. Journal of Accounting Research 29
(2): 193-228. 9 Dechow, P.M., R.G. Sloan, dan A.P. Sweeney. 1995. Detecting earnings management. The Accounting Review
70 (2): 193-225. 10
Kothari, S.P., A.J. Leone, dan C.E. Wasley. 2005. Performance matched discretionary accrual measures.
Journal of Accounting and Economics 39: 163-197. 11
Kasznik, R. 1999. On the association between voluntary disclosure and earnings management. Journal of
Accounting Research 37: 57-81.
A k u n t a n M u d a Halaman 32
kita bisa terus melanjutkan penelitian kita. Namun, bila sudah ada yang mengerjakan maka
sebaiknya kita memikirkan hal tambahan yang bisa kita berikan pada penelitian yang telah
ada tersebut sehingga penelitian kita menjadi ‘baru’ atau sedikitnya berkontribusi lebih
terhadap penelitian yang sudah ada.
� Kita perlu tahu perkembangan teranyar suatu topik.
Ketika kita meneliti, kita perlu tahu sampai di mana perkembangan suatu ilmu pengetahuan
dan apa kontribusi penelitian kita terhadap ilmu pengetahuan yang telah ada. Pemahaman
atas perkembangan ilmu pengetahuan dan kontribusi penelitian kita terhadapnya
memerlukan pengetahuan atas penelitian-penelitian teranyar. Apakah kita mengkonfirmasi
suatu teori? Apakah penelitian kita menambah pemahaman atas suatu isu? Apakah
penelitian kita justru mengangkat suatu isu yang selama ini tidak pernah diperhatikan?
Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa terjawab bila kita memiliki pemahaman yang lengkap
atas topik yang kita teliti. Bagaimana topik ini dibangun, bagaimana ia berkembang, dan,
untuk kepentingan pembahasan kita, sejauh mana topik ini telah berkembang?
Di sisi lain, secara teknis, kita perlu melakukan ini sebagai landasan latar belakang
penelitian kita. Latar belakang penelitian menceritakan mengapa penelitian kita penting dan
perlu untuk dilakukan. Ini, sekali lagi, menuntut pemahaman yang lengkap atas topik yang
kita teliti dan sejauh mana perkembangannya saat ini. Paper terbaru biasanya memberi
gambaran yang cukup lengkap atas perkembangan suatu topik.
Contoh: Motivasi penelitian Cohen et al. (2007, p. 4-5)
The primary purpose of this paper is to examine the extent of earnings management in
the period leading to the scandals and prior to SOX and the changes in such activities
after the passage of SOX. Our examination of changes in firms’ earnings management
activities is motivated in part by the literature documenting that managerial propensity to
manage earnings and to avoid negative earnings surprises has increased significantly
over time (Brown 2001, Bartov et al. 2002, Lopez and Rees 2001, Matsumoto 2002, Brown
and Caylor 2003). Our main objective is to examine whether the degree of earnings
management increased over time and reached a zenith in the period surrounding the
corporate accounting scandals and declined after the passage of SOX.
Consistent with the literature, we examine earnings management activities using
discretionary accruals. However, in addition to using accrual-based accounting estimates
A k u n t a n M u d a Halaman 33
and methods, firms are likely to employ real operational activities to manipulate earnings
numbers as well (Healy and Wahlen 1999, Fudenberg and Tirole 1995, Dechow and
Skinner 2000). In fact, in their survey Graham et al. (2005) report....
Orat-oret 2 menggambarkan peta penelitian tren manipulasi laba terkait Sarbanes
Oxley Act (SOX). Cohen et al. (2007) bertujuan menguji apakah derajat manipulasi laba
meningkat dari waktu ke waktu dan mencapai puncaknya di periode skandal akuntansi serta
kemudian menurun setelah berlakunya SOX. Berdasar tujuan ini, mereka memberi
gambaran penelitian manipulasi laba yang melatari ide atau isu penelitian. Cohen et al.
(2007) menyebutkan bahwa kecenderungan memanipulasi akuntansi dan untuk
menghindari laba negatif (i.e. rugi) meningkat dari waktu ke waktu sebelum SOX. Hal ini
ditunjukkan oleh hasil penelitian Brown (2001), Bartov et al. (2002), Lopez dan Rees (2001),
Matsumoto (2002), dan Brown dan Caylor (2003). Sementara itu, pola manipulasi faktor
real, yang juga merupakan bentuk manipulasi laba, belum diketahui. Namun demikian,
menurut penelitian terkait, manipulasi faktor real merupakan hal yang juga digunakan
managemen dalam memanipulasi laba. Pendukung argumen keberadaan manipulasi faktor
real ini antara lain Healy dan Wahlen (1999), Fudenberg dan Tirole (1995), Dechow dan
Skinner (2000), serta hasil survei yang dilakukan oleh Graham et al. (2005).
Tren Manipulasi Laba
sebelum sesudah
Manipulasi
akuntansi (Brown 2001, Bartov et al. 2002, Lopez
and Rees 2001, Matsumoto 2002, Brown
and Caylor 2003)
?
Orat-oret 2
Manipulasi
faktor real
Naik
SOX
? ?
(Riset terkait: Healy and Wahlen 1999, Fudenberg and Tirole 1995,
Dechow and Skinner 2000, Graham et al. 2005)
A k u n t a n M u d a Halaman 34
Tips Memilih Paper Tips Memilih Paper Tips Memilih Paper Tips Memilih Paper Teranyar yang BerkualitasTeranyar yang BerkualitasTeranyar yang BerkualitasTeranyar yang Berkualitas
Idealnya, kita merujuk pada paper yang sudah dipublikasi di jurnal. Hal ini karena suatu
jurnal memiliki reputasi tertentu yang (diharapkan dan dianggap) bisa menjamin kualitas
paper/artikel yang terbit di dalamnya. Artikel yang terbit di The Accounting Review,
misalnya, dapat dipastikan memiliki kualitas yang sangat baik, entah itu dari segi
isi/kandungan (content) maupun dari segi pemaparan. Hal ini karena The Accounting
Review, yang merupakan salah satu jurnal top di Amerika Serikat, akan sangat serius dalam
proses reviewnya dan dengan standar kualitas yang begitu tinggi.12
Namun demikian, tidak mudah mempublikasi paper di jurnal dan dalam kasus jurnal
top, prosesnya berlangsung cukup lama. Review di suatu jurnal ternama bisa berjalan
sampai dengan 2 tahun sehingga ketika penelitian itu dipublikasi di jurnal, sebenarnya ia
tidak lagi merupakan topik teranyar. Paper Cohen et al. (2007) yang menjadi contoh kita,
misalnya, telah dipresentasi pada ‘AAA 2006 Financial Accounting and Reporting Section
(FARS) Meeting Paper’, namun baru berhasil dipublikasi di jurnal, The Accounting Review,
pada tahun 2008. Oleh karenanya, kita tidak bisa menggunakan paper/artikel dari jurnal
sebagai referensi kita akan paper atau penelitian teranyar.
Lalu, bagaimana caranya mencari penelitian teranyar? Kita bisa mencari
penelitian/paper yang sedang dikerjakan alias working paper. Satu tempat yang
menyenangkan untuk mencari working paper ini adalah SSRN. SSRN berupa database besar
di mana kita bisa mencari paper berdasar pengarang, judul, topik/tema, dan periode
pengunggahan (uploading) paper.
Namun demikian, kita perlu berhati-hati dalam memanfaatkan SSRN. Hal ini karena
SSRN bersifat terbuka sehingga semua orang dan siapa saja dapat membuat akun serta
mengunggah paper. Ini berarti paper di SSRN tidak memiliki standar kualitas tertentu,
berbeda dengan refereed atau peer-reviewed journal. Namun demikian, kita masih bisa
memperkirakan kualitas suatur working paper berdasar penulis ataupun institusinya. Ini
dikarenaka seorang penulis/peneliti berkualitas biasanya akan menulis paper berkualitas
pula. Demikian juga dengan institusi berkualitas, mereka biasanya memiliki sistem yang baik
12
Pembahasan lebih lengkap mengenai top journals disajikan di bagian berikutnya.
A k u n t a n M u d a Halaman 35
sehingga paper-paper yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang baik. Oleh karenanya, ada
baiknya memilih paper dengan ciri-ciri berikut:
� ditulis oleh peneliti ternama
� ditulis oleh peneliti yang pernah publikasi di jurnal top
� ditulis oleh pengarang yang berasal dari universitas ternama
� merupakan working paper universitas ternama
2)2)2)2) Paper Klasik Paper Klasik Paper Klasik Paper Klasik
Ketika seseorang menyebut ‘paper klasik’ maka umumnya ia merujuk ke suatu paper yang
pasti dibaca dan dikutip orang pada bidang penelitian tertentu. Singkatnya, suatu paper
yang sangat berpengaruh. Misalnya, ketika kita mendengar paper ‘Towards a Positive
Theory of the Determination of Accounting Standards’ yang ditulis Ross L Watts dan Jerold L.
Zimmerman pada tahun 1978 maka kita tidak memiliki keraguan sedikit pun bahwa paper
ini merupakan bacaan wajib bagi orang-orang yang
ingin mempelajari ‘akuntansi positif.’
Namun demikian, tidak ada standar atau kriteria
khusus mengenai paper klasik. Penetapan apakah
suatu paper sudah tergolong klasik atau belum
biasanya dilakukan secara subjektif dengan mengikuti
kaidah-kaidah tertentu. Salah satu contoh usaha
formal penetapan apakah suatu paper sudah tergolong klasik dilakukan oleh Association for
the Advancement of Artificial Intelligence (AAAI) melalui ‘AAAI Classic Paper Award’.
AAAI Classic Paper Award13 menyebutkan bahwa penghargaan ini diberikan pada paper
yang sangat berpengaruh dalam bidang artificial intelligence. Penentuan apakah suatu
paper klasik atau tidak dilihat melalui dampak paper terkait, seperti:
� Memulai area atau sub-area penelitian baru,14
13
Sumber: http://www.aaai.org/Awards/classic.php
A k u n t a n M u d a Halaman 36
� Memungkinkan munculnya pengaplikasian-pengaplikasian penting,
� Menjawab suatu isu atau pertanyaan yang telah lama belum memiliki penjelasan atau
jawaban yang memuaskan ataupun mengklarifikasi sesuatu isu yang belum jelas
(murky),
� Membuat satu kemajuan besar yang menentukan sejarah dalam subarea terkait,
� Diakui sebagai paper penting dan digunakan oleh area lain, baik di dalam atau di luar
bidang artificial intelligence,
� Sangat banyak dikutip.
Sekarang, bagaimana caranya kita mengetahui apakah suatu paper itu tergolong klasik atau
tidak? Satu cara yang mudah adalah dengan bertanya pada dosen atau peneliti yang
berkutat dalam bidang penelitian terkait. Sementara cara lain yang kurang praktis adalah
dengan melihat paper yang mereview literatur di bidang tertentu. Paper ini, yang sering
disebut paper review literatur, memberi gambaran perkembangan penelitian di bidang
terkait lengkap dengan berbagai aspeknya. Satu paper review literatur yang terkenal adalah
paper S.P. Kothari (2001) berjudul ‘Capital Markets Research in Accounting.’15|16 Bila kita
mempelajari paper review literatur maka kita bisa membuat perkiraan paper yang menjadi
landasan dalam bidang tertentu.
Di sisi lain, paper klasik tidak berjumlah banyak dan biasanya memiliki bahasan yang
bersifat umum seperti teori akuntansi positif, hubungan angka akuntansi dengan nilai
saham, dan sebagainya. Padahal, umumnya, kita memiliki topik penelitian yang sudah
sangat spesifik seperti relevansi nilai (value relevance), manipulasi laba,
pengungkapan/disclosure, dan sebagainya. Oleh karenanya, kita perlu mencari paper semi-
klasik. Paper semi-klasik adalah paper yang memiliki karakteristik paper klasik namun tidak
memiliki pengaruh sekuat dan seluas paper klasik.
Lantas, bagaimana mencari/mengetahui suatu paper semi-klasik? Satu cara yang relatif
mudah adalah dengan mencari, berdasar topik tertentu, daftar artikel yang dipublikasi di
jurnal top, kemudian perhatikan referensinya. Kita akan menemukan beberapa paper yang
14
Aspek ini dibahas lebih mendalam di bagian ‘Paper Seminal.’ 15
Kothari, S.P. 2001. Capital markets research in accounting. Journal of Accounting and Economics 31: 105-231. 16
Paper ini dapat diperoleh dengan googling ‘Kothari Capital Markets Research.’
A k u n t a n M u d a Halaman 37
direferensi oleh hampir semua artikel jurnal top dalam paper kita. Inilah paper semi-klasik.
Berikut ini adalah contoh paper semi-klasik di beberapa bidang:
No. Bidang Paper
1) Manipulasi laba ‘Earnings Management during Import Relief Investigation’
oleh Jennifer J. Jones (1991)
2) Relevansi nilai ‘Earnings, Book Values, and Dividends in Equity Valuation’
oleh James A. Ohlson (1995)17
3)3)3)3) PPPPaperaperaperaper SSSSeminaleminaleminaleminal
Merriam-Webster’s 11th Collegiate Dictionary:
Paper seminal adalah paper klasik yang (dianggap) memulai perkembangan suatu topik.
Paper seminal paling terkenal di akuntansi mungkin adalah paper Ball dan Brown (1968)
yang berjudul ‘An Empirical Evaluation of Accounting Income Numbers.’18 Paper ini
mengubah tren penelitian akuntansi yang semula normatif menjadi positivis. Berikut adalah
gambaran American Accounting Association (AAA) mengenai paper seminal yang tercermin
dalam penghargaan ‘Seminal Contributions to Accounting Literature Award: 19
Suatu kontribusi seminal adalah karya yang telah teruji oleh waktu (memiliki dampak yang
panjang sejak ditulisnya hingga saat ini, paper harus ‘berumur’ minimal 15 tahun) dan yang memiliki
kontribusi fundamental bagi penelitian-penelitian sesudahnya. Seminal didefinisi sebagai ‘(i) memiliki
17
Ohlson, J.A. 1995. Earnings, book values, and dividends in equity valuation. Contemporary Accounting
Research 11 (2): 661-687. 18
Anda bisa memperoleh paper ini dengan googling ‘Ball and Brown 1968.’ 19
Sumber: http://aaahq.org/awards/award2.htm
Seminal = 2: containing or contributing the
seeds of later development :
CREATIVE, ORIGINAL *a seminal
book*
A k u n t a n M u d a Halaman 38
karakter suatu prinsip, sumber, atau kuasa memulai/mengawali; (ii) mengandung atau berkontribusi
kepada bibit pengembangan riset berikutnya.’
Sejauh ini, AAA telah menganugerahkan penghargaan ‘Seminal Contributions to Accounting
Literature Award’ ini kepada paper-paper berikut:
� 2007 — "Relevance Lost: The Rise and Fall of Management Accounting"
by H. Thomas Johnson and Robert S. Kaplan
Harvard Business School Press 1987
� 2004 — "Towards a Positive Theory of the Determination of Accounting Standards"
by Ross L. Watts and Jerold L. Zimmerman
The Accounting Review (January) 1978
� 1994 — "Economic Incentives in Budgetary Control Systems"
by Joel S. Demski and Gerald A. Feltham
The Accounting Review (April) 1978
� 1989 — "Information Content of Annual Earnings Announcements"
by William H. Beaver
Journal of Accounting Research 1968
� 1986 — "An Empirical Evaluation of Accounting Income Numbers"
by Ray Ball and Philip Brown
Journal of Accounting Research 1968
Kenapa kita perlu mempelajari paper seminal? Penting sekali untuk mengetahui sejarah
suatu penelitian dan mengapa ia dimulai sehingga anda bisa mengetahui konteks penelitian
itu dibuat dan menyesuaikannya dengan konteks penelitian anda. Paper seminal, sebagai
paper pembaharu di bidang riset tertentu, biasanya membuat argumentasi yang kuat dan
komprehensif mengapa penelitian tertentu harus dilakukan. Misalnya, paper Ball dan Brown
(1968) menjelaskan mengapa penting sekali untuk melakukan penelitian positivis, tidak
hanya penelitian normatif. Sementara, paper-paper sesudahnya, secara umum, tidak lagi
memuat argumentasi serupa karena telah mendasarkan diri pada argumentasi paper
seminal dan hasil penelitiannya.
Contoh: Paper Ball dan Brown (1968, p.159-160)
A k u n t a n M u d a Halaman 39
Accounting theorists have generally evaluated the usefulness of accounting practices by
the extent of their agreement with a particular analytic model. The model may consist of
only a few assertions or it may be a rigorously developed argument. In each case, the
method of evaluation has been to compare existing practices with the more preferable
practices implied by the model or with some standard which the model implies all
practices should possess. The shortcoming of this method is that it ignores a significant
source of knowledge of the world, namely, the extent to which the predictions of the
model conform to observed behavior.
It is not enough to defend an analytical inquiry on the basis that its assumptions are
empirically supportable, for how is one to know that a theory embraces all of the relevant
supportable assumptions? And how does one explain the predictive powers of
propositions which are based on unverifiable assumptions such as the maximization of
utility functions? Further, how is one to resolve differences between propositions which
arise from considering different aspects of the world?
The limitations of a completely analytical approach to usefulness are illustrated by the
argument that income numbers cannot be defined substantively, that they lack
“meaning” and are therefore of doubtful utility. The argument stems in part from the
patchwork development of accounting practices to meet new situations as they arise.
Accountants have had to deal with consolidations, leases, mergers, research and
development, price-level changes, and taxation charges, to name just a few problem
areas. Because accounting lacks an all-embracing theoretical framework, dissimilarities in
practices have evolved. As a consequence, net income is an aggregate of components
which are not homogenous. It is thus alleged to be a “meaningless” figure, not unlike the
difference between twenty-seven tables and eight chairs. Under this view, net income can
be defined only as the result of the application of a set of procedures {X1, X2, ...} to a set
of events {Y1, Y2, ...} with no other definitive substantive meaning at all. Canning observes:
“What is set out as a measure of net income can never be supposed to be a fact in any
sense at all except that it is the figure that results when the accountant has finished
applying the procedures which he adopts.”
The value of analytical attempts to develop measurements capable of definitive
interpretation is not at issue. What is at issue is the fact that an analytical model does not
itself assess the significance of departures from its implied measurements. Hence it is
dangerous to conclude, in the absence of further empirical testing, that a lack of
substantive meaning implies a lack of utility.
A k u n t a n M u d a Halaman 40
An empirical evaluation of accounting income numbers requires agreement as to what
real-world outcome constitutes an appropriate test of usefulness. Because net income is
a number of particular interest to investors, the outcome we use as a predictive criterion
is the investment decision as it is reflected in security prices. Both the content and the
timing of existing annual net income numbers will be evaluated since usefulness could be
impaired by deficiencies either.
Ketika komunitas akademik akuntansi dipenuhi oleh pemikiran-pemikiran normatif, Ball dan
Brown (1968) mengajukan penelitian positif mereka. Pertama-tama, sebelum mengajukan
hasil penelitian, mereka harus mampu meyakinkan komunitas akademik bahwa penelitian
positif itu sendiri penting untuk dilakukan. Ball dan Brown (1968) kemudian mengajukan
argumen mengapa penelitian positif penting.
Keputusan investasi
Penelitian Normatif Praktik
akuntansi
Orat-oret 3
Asumsi
beberapa
asersi
argumen yang
dibangun dengan baik
model analitis
praktik ideal praktik
Perilaku amatan
terhadap akuntansi
Penyusun standar
?
Penelitian positif
A k u n t a n M u d a Halaman 41
Orat-oret 3 menggambarkan letak perbedaan penelitian normatif dan penelitian positif
menurut Ball dan Brown (1968). Penelitian normatif dianggap gagal menilai perbedaan
signifikan antara praktik akuntansi senyatanya dengan model praktik ideal yang diajukan
para peneliti normatif. Hal ini menunjukkan kekurangan penelitian normatif dalam
fungsinya menilai praktik akuntansi. Sementara itu, penelitian positif mengatasi kelemahan
tersebut dengan mempelajari bagaimana perilaku pengguna akuntansi terhadap hasil
praktik akuntansi tertentu (e.g. angka laba). Perilaku pengguna akuntansi ini (dianggap)
relevan untuk dijadikan patokan/benchmark penilaian kebermanfaatan akuntansi karena
para pengguna inilah yang bisa merasakan seberapa jauh atau besar kebermanfaatan
akuntansi. Bila suatu angka akuntansi tertentu dianggap tidak berguna maka ia tidak akan
digunakan, vice versa.20
Tantangan: Bikin oret-oretmu sendiri untuk kasus definisi laba yang diceritakan dalam
paper Ball and Brown (1964) sebagaimana dikutip dalam artikel ini.
Serupa dengan kasus pada paper klasik, tidak banyak paper yang tergolong seminal. Hal ini
menyulitkan kita ketika melakukan penelitian yang temanya cukup sempit. Solusinya, serupa
dengan kasus paper klasik, kita mencari penelitian yang mengawali suatu subtopik tanpa
terlalu memperhatikan pengaruhnya dalam penelitian akuntansi secara umum. Penelitian
oleh Linda Elizabeth DeAngelo (1981) dengan judul ‘Auditor Size and Audit Quality’,
misalnya, mengawali penelitian kaitan kualitas auditor dengan ukuran auditor tersebut
(salah satunya dikotomi Big 4 – nonBig 4). Namun demikian, mencari paper jenis ini lebih
sulit daripada mencari paper semi-klasik. Satu cara yang direkomendasi adalah bertanya
pada dosen anda atau dengan membaca paper yang mereview literatur dalam topik terkait.
bersambung...
(Oleh: Arie Rahayu)
20
Penelitian positif semacam ini tentu saja juga memiliki kelemahannya sendiri. Kelemahan ini timbul dari 2
asumsi yang sesungguhnya digunakan agar penelitian positif ini benar-benar mencapai tujuannya. Pertama,
investor mengambil keputusan sesuai dengan cara yang diekspektasi oleh peneliti akuntansi positif. Misalnya,
investor melakukan analisis fundamental sebagaimana yang dibayangkan peneliti akuntansi, investor menilai
saham secara individual, investor berperilaku rasional, dan lain-lain. Kedua, ada kesesuaian sudut pandang
investor dan akuntan terkait peran angka akuntansi tertentu. Misal, laba memang dipandang memiliki makna
(absolut) tertentu bukan sekedar menilai bagaimana laba digunakan oleh investor lain yaitu angka laba itu
penting per se, bukan penting karena ia mempengaruhi tren harga saham (di sini yang penting adalah
pengaruh praktis laba terhadap saham).