aktivitas ekonomi perkotaan pkl di kawasan alun-alun selatan kraton kasunanan surakarta

20
5432 Any Street West Townsville, State 54321 USA (543) 555-0150 (800) 555- 0150 PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA PENGARUH AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI ALUN- ALUN KRATON KASUNANAN SURAKARTA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH KARESIDENAN SURAKARTA Disusun oleh: 1. Anggit Pratomo (I0612003) 2. Ardita Putri U (I0612005) 3. Hasbi Asidiqi (I0612023) 4. Nilla Teni Pratiwi (I0612030) 5. Nurul Handayani (I0612035) 6. Yuli Alfiani Tauda (I0612044) 7. Yulvia Dwitya P (I0612045)

Upload: adisty-yoeliandri

Post on 13-Dec-2015

20 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

5432 Any Street West

Townsville, State 54321 USA

(543) 555-0150 (800) 555-

0150

(543) 555-0151 fax

www.adatum.com

PROGRAM STUDI

PERENCANAAN WILAYAH DAN

KOTA

JURUSAN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2014

PENGARUH AKTIVITAS

PEDAGANG KAKI LIMA DI ALUN-

ALUN KRATON KASUNANAN

SURAKARTA TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI

WILAYAH KARESIDENAN

SURAKARTA

Disusun oleh:

1. Anggit Pratomo (I0612003)

2. Ardita Putri U (I0612005)

3. Hasbi Asidiqi (I0612023)

4. Nilla Teni Pratiwi (I0612030)

5. Nurul Handayani (I0612035)

6. Yuli Alfiani Tauda (I0612044)

7. Yulvia Dwitya P (I0612045)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan ekonomi merupakan suatu aktivitas yang dapat membangkitkan

petumbuhan ekonomi suatu wilayah atau kota guna mencapai kemakmuran. Kegiatan

ekonomi meliputi kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi. Ekonomi kota merupakan

aktivitas ekonomi dengan sumberdaya terbatas dengan efisiensi berbasis lokasi. Kota

sendiri memiliki karakteristik sebagai pusat distribusi koleksi yang mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi kota. Ekonomi kota lebih terfokus pada kegiatan industri dan

perdagangan serta jasa. Kegaiatan industri ini banyak menyerap teknologi di dalam proses

kegiatannya untuk dapat menghasilkan barang siap pakai.

Aktivitas ekonomi perkotaan secara umum dibedakan menjadi dua sektor yaitu

sektor formal dan sektor informal. Sektor formal merupakan kegiatan ekonomi atau

bidang usaha yang dikelola pemerintah yang masuk ke dalam anggaran PDRB suatu kota

atau wilayah. Sektor informal ini biasanya muncul untuk mendukung sektor formal,

contohnya pedagang makanan di sekitar perkantoran, pendidikan, pusat perbelanjaan, dan

pusat rekreasi.

Tumbuhnya sektor informal di kota disebabkan karena krisis ekonomi

berkepanjangan yang membuat banyaknya pengangguran serta kegagalan pemerintah

dalam menyediakan lapangan kerja formal, karena kurangnya lapangan pekerjaan ini

memaksa mereka untuk menciptakan lapangan kerja baru. Pemerintah menganggap bahwa

hanya sektor formal yang dapat mengatasi keterbelakangan ekonomi. Pada kenyataannya

dewasa ini ternyata sektor formal belum mampu untuk memacahkan kemiskinan sebagian

masyarakat.

Sektor informal muncul akibat tidak adanya kebebasan masyarakat untuk

mengembangkan akses ekonominya. Keberadaan sektor informal ini menimbulkan

dampak positif dan dampak negatif. Dampak negatif dari tumbuhnya sektor informal

adalah timbulnya permasalahan tata ruang dan sosial seperti kawasan kumuh, liar, dan

kemacetan lalu lintas sehingga fungsi ruang publik menjadi menurun. Sedangkan untuk

dampak positif dari sektor informal adalah mampu mengurangi pengangguran dan mampu

mencukupi kebutuhan masyarakat kelas menengah dan bawah serta memberikan

kontribusi terhadap pendapatan daerah.

Sektor informal sendiri dapat diartikan sebagai unit-unit usaha yang berskala kecil

yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok

menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi dirinya sendiri (Agung Ridlo, 2001)

Keberadaan sektor informal memiliki timbal balik bagi sektor formal. Sektor formal

tergantung pada sektor informal terutama dalam hal input murah dan penyedian barang-

barang bagi pekerja di sektor formal. Sebaliknya, sektor informal tergantung dari

pertumbuhan di sektor formal. Pilihan untuk bekerja pada sektor informal mempunyai

banyak hambatan karena pemerintah memperlakukan sektor informal berbeda dengan

sektor formal. Sektor informal yang tidak diakomodir dalam rencana tata ruang dalam

aktivitasnya hampir selalu menempati ruang publik kota dengan segala

ketidakteraturannya dan pemerintah kabupaten atau kota cenderung menggunakan

pendekatan kekuasaan (pola usir dan gusur) untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Salah satu sektor informal yaitu pedagang kaki lima (PKL) yang tidak diakomodir

dalam rencana tata ruang kota sehingga dalam aktivitasnya selalu “menyerbu” ruang

publik kota. Ruang publik yang menjadi lokasi aktivitas PKL diantaranya trotoar dan bahu

jalan di kawasan pedagangan yang mengakibatkan gangguan bagi pengguna yang lain

seperti pembeli, pemilik toko, dan pejalan kaki yang sekadar ingin menikmati kawasan

tersebut.

Salah satu pedagang kaki lima yang (PKL) yang menempati ruang publik kota

adalah PKL yang berada di Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta. Alun-alun ini

merupakan salah satu ruang publik kota yang dimanfaatkan oleh masyarakat Surakarta dan

sekitarnya untuk menghabiskan waktu luang. Banyaknya masyarakat Kota Surakarta dan

sekitarnya yang memanfaatkan ruang publik ini memunculkan peluang bagi PKL untuk

menjajakan dagangannya. Mereka menganggap bahwa alun-alun selatan ini merupakan

lahan pekerjaan yang cukup potensial untuk mengembangkan usaha kecil mereka, karena

bagi sebagian PKL ini merupakan pekerjaan utama.

Peluang usaha yang ditimbulkan oleh alun-alun selatan seakan menjadi magnet yang

menyebabkan menjamurnya PKL disana. Keberadaan PKL ini sepenuhnya dikelola oleh

pihak kraton dan memberikan keuntungan finansial bagi pihak kraton karena para

pedagang diwajibkan membayar uang retribusi. Alun-alun selatan ini juga memunculkan

peluang bagi para pedagang di luar Kota Surakarta untuk berjualan disana. Selain berasal

dari Kota Surakarta para pedagang juga banyak berasal dari wilayah lain seperti dari

Kabupaten Sukoharjo. Para pedagang yang berasal dari Kota Surakarta ini umumnya

tinggal di sekitar Kraton Kasunanan Surakarta dan biasanya PKL ini membeli bahan baku

untuk dagangan mereka tidak jauh dari tempat tinggalnya. Bahkan tidak sedikit pedagang

yang berasal dari luar Kota Surakarta bermigrasi dan bertempat tinggal di sekitar kraton

agar mudah untuk berjualan di alun-alun.

Sebagian pedagang mengolah bahan baku dan memproduksi sendiri barang

dagangan mereka. Namun tidak sedikit dari pedagang itu yang tidak memproduksi sendiri

dan mengambil dari produsen makanan maupun mainan. Pedagang yang tidak

memproduksi barang dagangannya sendiri biasanya disebabkan karena keterbatasan modal

untuk memulai usaha dan mereka mencari fasilitator untuk berjualan di alun-alun,

sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan modal untuk membeli bahan baku dan

memproduksi sendiri

B. Objek Kajian

Objek kajian merupakan lingkup objek yang akan dibahas dalam penelitian. Objek

kajian dibagi menjadi dua yaitu lingkup objek primer yang merupakan pelaku utama dari

objek kajian itu sendiri dan lingkup objek sekunder yang merupakan pelaku pendukung

dari objek primer.

1. Lingkup Objek Primer

Lingkup objek primer pada penelitian ini adalah para pedagang kaki lima di sekitar

kawasan Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta yang berasal dari wilayah

Karesidenan Surakarta.

2. Lingkup Objek Sekunder

Lingkup objek sekunder pada penelitian ini adalah pihak kraton, dan wisatawan

lokal yang berkunjung ke Kraton Surakarta.

C. Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh aktivitas PKL di

Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah

Karesidenan Surakarta.

Adapun sasaran yang ingin dicapai untuk mencapai tujuan tersebut antara lain:

1. Mengidentifikasi karakter ruang Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta

2. Mengidentifikasi karakter aktivitas ekonomi di Alun-alun Selatan Kraton

Kasunanan Surakarta.

3. Mengidentifikasi sekelompok pelaku ekonomi di Alun-alun Selatan Kraton

Kasunanan Surakarta

4. Mengidentifikasi interaksi ekonomi antar lokasi dalam wilayah objek kajian

BAB II

KAJIAN LITERATUR

Kota Surakarta memiliki luas wilayah 44,1 km2 (0,14 % luas Jawa Tengah). Kota

Surakarta mempunyai batas administrasi yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten

Karanganyar dan Kabupaten Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten

Karanganyar, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan sebelah barat

berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Kota Surakarta

merupakan kota yang terkenal dengan kentalnya budaya jawa dan memiliki salah satu

peninggalan monarki yang menjadi ikon kota yaitu Kraton Kasunanan Surakarta

Kraton Kasunanan Surakarta masih berfungsi sebagai mana mestinya dan sampai

sekarang masih menjalankan sistem kratonnya, namun pihak Kraton Kasunanan Surakarta

tidak ikut mengambil andil dalam sistem Pemerintah Kota Surakarta, tidak seperti Kraton

Yogyakarta. Selain sebagai cagar budaya di Kota Surakarta, Kraton Kasunanan Surakarta

dijadikan tempat wisata yang ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun asing. Kraton

Kasunanan Surakarta memiliki 2 alun-alun yaitu alun-alun selatan Surakarta dan alun-alun

utara Surakarta. Alun-alun berfungsi untuk tempat rekreasi keluarga kraton dan kerabat

kraton. Seiring berjalannya waktu alun-alun ini menjadi ruang publik yang dimanfaatkan oleh

masyarakat Surakarta dan sekitarnya.

Sekarang ini, Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta menjadi tempat rekreasi

dan berkumpulnya masyarakat Surakarta untuk menghabiskan waktu luang, karena semakin

ramai dikunjungi maka alun-alun selatan memiliki potensi ekonomi yang cukup besar.

Munculnya potensi ekonomi alun-alun selatan ini mengakibatkan timbulnya aktivitas

ekonomi.

Aktivitas ekonomi perkotaan secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu sektor

formal dan sektor informal. Menurut Manning (1996) aktivitas disebut formal atau tidak yang

membedakannya adalah birokrasi dalam bidang perijinan. Sektor formal cenderung lebih

banyak mendapatkan perlindungan dari pemerintah daripada usaha informal. Sektor formal

mendapat prioritas dari pemerintah karena dianggap dapat mengatasi masalah perekonomian.

Anggapan ini membuat sektor formal banyak dicari oleh masyarakat untuk mendapatkan

pekerjaan. Namun, pada kenyataannya sektor formal sudah tidak mampu menyediakan

lapangan pekerjaan.

Dampak dari kurangnya lapangan pekerjaan di sektor formal menyebabkan

munculnya sektor informal di perkotaan. Sedangkan pengertian sektor informal menurut

kamus tata ruang (1997) adalah usaha pelayanan tidak resmi yang dilakukan perorangan

dengan tujuan untuk memperolah imbalan terhadap jasa atau bantuan pelayanan yang

diberikan.

Pemerintah hanya menyediakan ruang-ruang untuk pengembangan kegiatan formal.

Namun, seiring berjalannya waktu keberadaan sektor formal mendorong munculnya kegiatan

sektor informal untuk menyediakan kebutuhan para pekerja sektor formal. Setiap pelaku

sektor informal memiliki pilihan yang berbeda dalam upaya memenuhi barang dagangannya.

Upaya untuk memperoleh barang dagangannya ini disebut rantai sektor informal. Para pelaku

sektor informal dapat memperoleh barang dagangannya dari produsen langsung, melalui

distributor, toko pengecer maupun dari sesama pelaku sektor informal (Chandrakirana, 1994).

Pelaku sektor informal memiliki kebebasan untuk memperoleh barang dagangannya, mereka

dengan bebas memilih dengan siapa dan bagaimana caranya untuk bisa memperoleh barang

dagangnya. Para pelaku sektor informal memakai prinsip ekonomi yaitu melakukan

pengeluaran seminimal mungkin tetapi memperoleh keuntungan yang lebih besar. Salah satu

pelaku sektor informal adalah Pedagang Kaki Lima (PKL).

Dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 mendefinisikan PKL

adalah setiap orang yang melakukan usaha dagang maupun jasa di tanah milik negara. Dari

definisi ini dapat diartikan bahwa lokasi yang dijadikan oleh PKL untuk berjualan tidak

memiliki ijin/ilegal karena tanah merupakan milik negara yang berarti diperuntukkan kepada

publik, bukan untuk komersil.

Menurut Permen No. 41 Tahun 2012, PKL adalah pelaku usaha yang melakukan

usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak,

menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik

pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara atau tidak menetap. PKL menggunakan

fasilitas kota untuk menjajakan barang dagangannya dan tidak sedikit PKL yang

menggunakan bahu jalan, trotoar, dan taman kota sebagai lokasi berjualan. Fungsi utama

taman kota adalah sebagai ruang publik yang dimanfaatkan masyarakat untuk menghabiskan

waktu luang atau hanya sekedar berjalan-jalan.

Sifat PKL yang tidak menetap atau sementara ini merupakan salah satu karakteristik

yang mencerminkan keberadaan PKL itu sendiri. mereka tidak memiliki kebebasan untuk

mengembangkan usaha karena tidak memiliki ijin usaha secara resmi. Selain sifatnya yang

tidak menetap, PKL memiliki karakteristik yang lain diantaranya modal usaha terbatas atau

kecil, karena sebagaian pedagang memiliki tingkat ekonomi menengah kebawah. Sebagian

besar pedagang juga tidak memiliki kemampuan khusus yang mumpuni untuk bekerja di

sektor formal. Karakteristik PKL menurut Simanjutak (1989) adalah aktivitas usaha yang

relatif sederhana dan tidak memilki sistem kerjasama yang rumit dan pembagian kerja yang

fleksibel, skala usaha relatif kecil dengan modal usaha, modal usaha dan pendapatan yang

umumnya relatif kecil.

Munculnya pedagang kaki lima telah memberikan berbagai dampak baik dampak

positif maupun dampak negatif. Menurut Usman (2006) PKL merupakan sabuk penyelamat

yang menampung kelebihan tenaga kerja yang tidak tertampung dalam sektor formal

sehingga dapat mengurangi angka pengangguran. Seiring berjalannya waktu angka angkatan

kerja terus meningkat setiap tahunnya. Namun, jumlah angkatan kerja ini tidak seimbang

dengan lapangan kerja formal yang disediakan oleh pemerintah. Salah satu lahan pekerjaan

yang memungkinkan adalah sebagai pelaku sektor informal atau PKL. Tanpa disadari

pemerintah ternyata sektor informal ini dapat memunculkan lapangan kerja baru bagi

angkatan kerja yang kurang memiliki kemampuan khusus. Pedagang kaki lima ini dapat

meningkatkan pendapatan daerah itu sendiri dan mengurangi kemiskinan.

PKL juga memberikan dampak negatif bagi kehidupan kota karena mereka

menempati lokasi yang tidak seharusnya. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah

penurunan kualitas ruang kota yang diakibatkan oleh perkembangan PKL yang semakin tidak

terkendali setiap tahunnya. Fenomena menjamurnya PKL di kota-kota ini seakan menjadi

identitas kota-kota besar terutama di pusat keramaian. Berdasarkan Permen No. 41 tahun

2012 pasal 33 tentang penetapan lokasi PKL, para pegadang kaki lima berdagang di lokasi

binaan yang ditetapkan bupati atau walikota. Lokasi binaan terdiri atas lokasi permanen dan

lokasi sementara. Lokasi PKL yang besifat permanen dilengkapi dengan aksesibilitas dan

sarana serta prasarana antara lain fasilitas listrik, air, tempat sampah dan toilet umum.

Sedangkan lokasi sementara, merupakan lokasi tempat usaha PKL yang terjadwal sampai

jangka waktu yang ditetapkan oleh pemerintah kabupatan atau kota. Salah satu pusat

keramaian kota yang banyak digunakan oleh PKL untuk berjualan adalah ruang publik kota.

Ruang publik memiliki aksesibilitas tinggi yang dapat mendatangkan konsumen bagi PKL.

Ruang publik merupakan ruang terbuka yang disediakan pemerintah untuk

kepentingan masyarakat kota dan sebagai wadah untuk menampung aktivitas masyarakat

kota. Ruang terbuka adalah bagian dari ruang yang memiliki definisi sebagai wadah yang

menampung aktivitas manusia dalam suatu lingkungan yang tidak mempunyai penutup dalam

bentuk fisik (Budihardjo, 1998). Kemampuan ruang publik untuk menampung aktivitas

masyarakat semakin berkurang karena sebagai besar PKL menempati ruang publik.

Menjamurnya PKL membuat keindahan atau estetika ruang publik menjadi menurun, karena

disebabkan sampah yang dihasilkan oleh PKL.

Ruang publik yang digunakan oleh PKL salah satunya alun-alun selatan Kota

Surakarta. Alun-alun selatan memilki ruang publik yang memungkinkan PKL untuk

menjajakan dagangannya. Alun-alun selatan ini disediakan oleh pihak kraton untuk

melakukan upacara kenegaraan dan dibuka untuk masyarakat umum. Masyarakat

memanfaatkan alun-alun untuk menghabiskan waktu luang. Ruang publik di alun-alun

selatan ini tidak hanya dimanfaatkam oleh masyarakat sekitar Karesidenan Surakarta tetapi

juga oleh wisatawan lokal yang mengunjungi Kota Surakarta.

PKL di alun-alun ini didominasi oleh pedagang yang berasal dari Kota Surakarta itu

sendiri, namun tidak sedikit pedagang berasal dari Karesidenan Surakarta. Umumnya mereka

melakukan migrsi dari daerah asalnya karena adanya peluang usaha yang ditawarkan oleh

pihak kraton. Salah satu PKL di alun-alun selatan adalah penyewaan mainan anak-anak. PKL

ini berasal dari Kabupaten Sukoharjo yang bermigrasi sementara ke Surakarta hanya untuk

menyewakan jasa mainan. Sektor informal memilki rantai ekonomi yang berfokus pada

upaya PKL dalam memenuhi kebutuhan barang dagangannya. Rantai sektor informal disini

diartikan, bahwa PKL ini membeli peralatan mainan mereka dari produsen mainan di

Sukoharjo. Tenaga kerja yang diberdayakan juga berasal dari Sukoharjo.

Pedagang yang berasal dari luar Surakarta menganggap bahwa Kota Surakarta

menyediakan peluang lapangan pekerjaan di sektor informal dan akhirnya membuat

pedagang ini melakukan migrasi sementara. Interaksi keruangan yang diciptakan antara Kota

Surakarta dan Kabupaten sekitarnya membuat alun-alun selatan menjadi magnet bagi PKL

untuk datang dan menjajakan dagangannya.

Salah satu penyebab yang menyebabakan munculnya interaksi keruangan ini adalah

batas administrasi Kota Surakarta dengan beberapa Kabupaten di sekitarnya. Interaksi

keruangan ini mengakibatkan bervariasinya jenis dagangan dan asal pedagang. Interaksi

keruangan yang ditimbulkan antara Kota Surakarta dengan wilayah sekitarnya memiliki

lingkup yang kecil, karena pedagang di alun-alun ini hanya berpengaruh untuk pihak kraton

dan dirinya sendiri.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam pelaporan ini menggunakan dua metode yaitu

pengumpulan data secara primer dengan cara observasi dan wawancara serta pengumpulan

data secara sekunder dengan cara pengambilan data melalui dokumen tertulis pada instansi

terkait atau pihak kraton yang mengelola Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta.

Berikut ini merupakan uraian pengumpulan data secara primer dan sekunder :

Data primer:

a. Observasi

Observasi dilakukan untuk mengetahui kondisi sebenarnya dari daerah ruang

lingkup. Observasi dilaksanakan dengan cara mengunjungi kawasan Alun-alun

Selatan Kraton Kasunanan Surakarta secara langsung pada tanggal 13 Desember

2013 oleh seluruh anggota kelompok. Dari observasi yang dilakukan, didapatkan

gambaran aktivitas dari daerah ruang lingkup yang diteliti. Sebagai bukti observasi

diambil beberapa foto kondisi di kawasan Alun-alun Selatan Kota Surakarta.

Gambar 1. Tempat duduk pembeli

Gambar 2. Penjual bakso bakar di Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta

b. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mengetahui kondisi umum daerah secara

subyektif sehingga dapat dilakukan pembandingan antara kebijakan dan kondisi

yang dirasakan masyarakat. Wawancara dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan

observasi pada tanggal 13 Desember 2013. Narasumber dari wawancara yang

dilakukan adalah Bp. Winardi selaku pedagang siomay dan bakso bakar, Bp. Agus

selaku pedagang bakso bakar, Ibu Mul selaku pedagang angkringan, serta Bp.

Sumardi dan Bp. Wahyu selaku penjaja mainan. Dari beragam data wawancara

tersebut diambil kesimpulan yang lebih objektif.

Data sekunder:

a. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang

Kaki Lima

b. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan PKL

c. Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 17b Tahun 2012 sebagai penjabaran Peraturan

Daerah (Perda) Nomor 3/2008 tentang Pengelolaan PKL

d. Data jumlah Pedagang Kaki Lima di Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta

e. Data jumlah Pedagang Kaki Lima di Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta

Tahun 2012

f. Data persyaratan dan aturan berjualan di Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan

Surakarta

B. Metode Analisis

Tabel 1. Proses dan Metode Analisis

No. Aspek Input Proses Output Teknik Analisis

1. Keruangan • Data hasil

observasi

lapangan

• Literatur berupa

peraturan serta

artikel terkait

pemanfaatan

Alun-Alun

Selatan Kraton

Kasunanan

Surakara

Analisis Karakter Ruang

1. Mengetahui fungsi Alun-alun Selatan Kraton

Kasunanan Surakarta sebagai bagian dari

Kompleks Kraton Kasunanan Surakarta

2. Mengidentifikasi pemanfaatan lahan Alun-

alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta

saat ini

Pemanfaatan lahan di

Alun-alun Selatan

Kraton Kasunanan

Surakarta telah

didominasi untuk

kegiatan ekonomi

Pedagang Kaki Lima

(PKL) yang mendirikan

lapak di sekeliling alun-

alun

Kualitatif

2. Ekonomi • Data hasil

observasi

lapangan

• Data hasil

wawancara

dengan PKL

• Literatur tentang

proses produksi

Analisis Karakter Aktivitas Ekonomi

1. Mengidentifikasi aktivitas ekonomi yang

berlangsung di Alun-alun Selatan Kraton

Kasunanan Surakarta

2. Membuat susunan proses produksi komoditas

yang diperdagangkan oleh PKL di Alun-alun

Selatan Kraton Kasunanan Surakarta

Aktivitas ekonomi PKL

yang berlangsung di

Alun-alun Selatan

Kraton Kasunanan

Surakarta tergolong

dalam aktivitas

ekonomi sektor

informal dengan

komoditas utama

berupa kuliner ringan

(bakso bakar,

angkringan, jagung

Kualitatif

• Data hasil

observasi

lapangan

• Data hasil

Analisis Sekelompok Pelaku Ekonomi

• Mengidentifikasi karakter pelaku ekonomi

yang berjualan di Alun-alun Selatan Kraton

Kasunanan Surakarta berdasarkan jenis

No. Aspek Input Proses Output Teknik Analisis

wawancara

dengan PKL

dagangan serta daerah asal

bakar, dll) yang

dijajakan oleh pedagang

baik dengan mendirikan

lapak semi permanen

maupun dengan

kendaraan roda dua

yang berasal dari

wilayah di sekitaran

Kompleks Kraton

Kasunanan Surakarta

3. Ekonomi

Wilayah

• Data hasil

wawancara

dengan PKL

Analisis Keterkaitan Ekonomi antar Lokasi

• Membuat mata rantai kegiatan ekonomi

(produksi, distribusi, konsumsi) yang

berkaitan dengan komoditas yang

diperdagangkan oleh PKL di Alun-alun

Selatan Kraton Kasunanan Surakarta dengan

menitikberatkan pada lokasi berlangsungnya

kegiatan

Aktivitas ekonomi PKL

di Alun-alun Selatan

Kraton Kasunanan

Surakarta tidak hanya

ditandai dengan

kegiatan jual beli di

Alun-Alun tetapi juga

pada saat proses

produksi dan distribusi

yang terjadi di wilayah

sekitar Kompleks

Kraton Kasunanan

Surakarta sehingga

adanya aktivitas PKL di

Alun-alun Selatan

Kraton Kasunanan

Surakarta

menumbuhkan aktivitas

ekonomi pula di tempat

lain yang menopang

berlangsungnya

aktivitas PKL

Kualitatif

C. Metode Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dalam laporan ini diuraikan sesuai dengan data-data yang

didapatkan dari hasil penelitian, baik itu data primer maupun sekunder, dari data-data

tersebut kemudian dibentuknya suatu tujuan dan sasaran untuk dilakukannya analisis data

atau pembahasan yang meliputi kajian literatur, gambaran wilayah, dan aktivitas ekonomi

yang ada dilokasi penilitian serta interaksi keruangan aktivitas ekonomi yang diteliti.

Kemudian dari data- data tersebut, maka yang terakhir dilakukan penarikan kesimpulan

yang merupakan bagian akhir dari penelitian dalam menganalisis karakter ekonomi yang

lebih spesifik di lokasi penelitian, yang dimana penarikan kesimpulan ini dibuat

berdasarkan analisis data yang dibandingkan dengan tujuan dan sasaran kemudian

dibuatnya suatu kesimpulan akhir.

BAB IV

GAMBARAN AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA

DI ALUN-ALUN SELATAN KRATON KASUNANAN SURAKARTA

Kota Surakarta tergolong salah satu kota besar di Indonesia. Sebagaimana kota-kota

besar di Indonesia, pertumbuhan penduduk Kota Surakarta mengalami peningkatan yang

tajam, karena Kota Surakarta selain berfungsi melayani masyarakat kota secara administratif

juga berperan melayani masyarakat regional yaitu daerah-daerah sekitar Kota Surakarta

tanpa melihat batas administrasi pemerintahan, seperti Kabupaten Sukoharjo, Boyolali,

Karanganyar,Wonogiri, Sragen dan Klaten (Subosuka Wonosraten). Pertumbuhan penduduk

Kota Surakarta yang semakin pesat tersebut berimplikasi terhadap jumlah angkatan kerja

yang jika tidak segera ditangani akan meningkatkan jumlah pengangguran di kota.

Meningkatnya jumlah tenaga kerja harus diimbangi dengan peluang lapangan kerja.

Kondisi saat ini peluang lapangan pekerjaan sektor formal memerlukan persyaratan-

persyaratan yang tidak mudah dipenuhi oleh pencari kerja, dengan tingkat pendidikan dan

keterampilan mereka yang serba terbatas. Perkembangan ekonomi Kota Surakarta

sebagaimana yang terjadi pula di kota-kota Indonesia tidak hanya terjadi pada sektor

formal saja tetapi juga terjadi pada sektor informal. Kota Surakarta mempunyai sifat

dualisme modern formal dengan informal tradisional yang mengandung berbagai macam

fungsi yaitu sebagai kota perdagangan, industri, pendidikan, budaya, pemerintahan, dan

fasilitas sosial dimana setiap fungsi memiliki skala pelayanan yang berbeda-beda.

PKL (Pedagang Kaki Lima) merupakan salah satu penyumbang perputaran ekonomi di

suatu daerah. Walaupun unit usahanya tergolong kecil tetapi ketika PKL dikumpulkan akan

mempunyai nilai yang tinggi bagi perkembangan suatu daerah.

A. Karakter Ruang

Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta sebagai salah satu peninggalan

budaya dan sejarah di Kota Surakarta pada dasarnya merupakan suatu kawasan yang

memiliki nilai historis dan merupakan sebuah kawasan yang memiliki warisan yang

berupa bangunan dan desain arsitektur tertentu yang mencirikan keadaan masa lalu

ataupun kondisi yang ada pada masa tersebut. Kawasan ini dulunya merupakan bagian dari

salah satu pusat pemerintahan kerajaan di Jawa Tengah (Kraton Surakarta). Pada awal

berdirinya kraton dan hingga masa kemerdekaan, kawasan ini diperuntukkan sebagai

bagian ruang publik untuk menunjang aktivitas dari pihak Kraton Pakubuwono. Berdirinya

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) membawa pengaruh terhadap status kraton

sebagai bagian dari pengaruh aristokrat (LPM-ITB, 2001).

Pada akhirnya, juga terdapat pengaruh pada perubahan pemanfaatan Alun-alun

Selatan Kraton Kasunanan Surakarta yang kemudian berkembang sebagai ruang publik

dan bisa diakses oleh segala kalangan. Status ruang publik yang diberlakukan terhadap

alun-alun ditambah lagi dibukanya Kraton Surakarta sebagai salah satu objek wisata di

Surakarta kemudian memberikan implikasi salah satunya adalah masuknya pedagang

informal di kawasan Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta ini. Banyak sekali

dijumpai pedagang kaki lima yang memenuhi kawasan tersebut sehingga menutupi

keberadaannya sebagai kawasan yang mempunyai nilai historis tinggi. Alasan sebagian

besar Pedagang Kaki Lima berdagang disini karena birokrasinya yang mudah. Hanya

melihat celah yang kosong, melapor pada pihak kraton, meminta ijin, mau menaati

peraturan yang ada, akhirnya ijin pun diberikan, dan pedagang berhak berdagang di tempat

tersebut. Semakin hari semakin banyak pihak yang berdagang dan semakin banyak pula

pengunjung yang berdatangan. Hal ini menyebabkan Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan

Surakarta seakan menjadi tempat kegiatan masyarakat sekitar untuk bersosialisasi dan

bersantai serta berbagai kegiatan-kegiatan lainnya.

B. Gambaran Aktivitas PKL di Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta

1. Karakter Aktivitas Ekonomi PKL di Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta

Pedagang Kaki Lima yang berjualan di Alun-alun Kraton Kasunanan Surakarta

ini cukup banyak berkisar antara 150-200 PKL, hampir semua sisi alun-alun dapat

dijumpai PKL yang berjualan di sana, para pedagang yang berjualan di alun-alun

selatan ini datang dari berbagai daerah ada yang dari Surakarta dan ada juga yang

berasal dari luar Surakarta seperti dari Solo baru, Sukoharjo, Boyolali dan daerah

lainya.

Menurut hasil wawancara dari beberapa PKL yang berjualan di sana, bahwa

untuk mencukupi kebutuhan hidup, ada sebagian PKL yang berjualan di tempat lain

setelah pulang berjualan dari Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta ini .

Mereka cenderung mencari tempat keramaian lain untuk berjualan. “Biasanya sepulang

dari sini saya langsung menuju ke depan Bank Indonesia, di sana juga laris bisa dari jam 22.00 –

04.00 itu masih ramai, tapi berjualan tetapnya disni dari tahun 2009”, tutur pak Agus (penjual

bakso bakar). Jadi para pedagang yang berjualan di kawasan alun-alun ini juga

banyak yang berjualan di tempat lain sepulang dari alun-alun, tetapi kawasan alun-

alun ini telah menjadi tempat tetap mereka untuk berjualan sejak tahun 2009 sampai

sekarang.

Banyaknya pedagang yang berjualan di kawasan ini sehingga banyak pula jenis

dagangan yang dijajakan. Jenis dagangan yang dijual di Alun-alun Selatan Kasunanan

Surakarta ini meliputi dagangan makanan dan permainan anak-anak yang dapat

dikelompokan sebagai berikut :

Tabel 2. Pengelompokan Jenis Dagangan

No Jenis Dagangan Nama Dagangan

1 Makanan - Bakso Bakar

- Siomay

- Batagor

- Angkringan

2 Permainan - Trampolin (sewa)

- Mobil-mobilan (sewa)

- Aneka permainan anak

Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa jenis dagangan makanan yang dijual lebih

banyak dari pada dagangan permainan. Hal ini juga sesuai dengan hasil pengamatan di

lapangan bahwa jumlah PKL yang menjual makanan kawasan alun-alun lebih banyak

dibandingkan dengan penjual permainan.

2. Proses Produksi

Proses produksi merupakan kegiatan untuk menciptakan atau menambah nilai

guna suatu barang atau jasa dengan menggunakan faktor-faktor yang ada seperti

tenaga kerja, mesin, bahan baku, dan biaya agar lebih bermanfaat bagi kehidupan

manusia (Ahyari, 2002). Proses produksi komoditas yang ditawarkan oleh PKL di

Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta tergolong sederhana karena tidak

membutuhkan bahan serta proses yang rumit.

Komoditas yang ditawarkan oleh PKL di Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan

Surakarta berupa bakso bakar, siomay, batagor, angkringan, serta jasa penyewaan

mainan, berasal dari berbagai wilayah di sekitar kompleks kraton. PKL yang berjualan

di Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta sebagian mendapatkan suplai

barang dagangan dari para produsen yang berasal dari wilayah sekitar kompleks

kraton seperti Solo Baru, serta sebagian kecil PKL lainnya memilih untuk

memproduksi barang dagangannya secara mandiri karena bahan baku yang mudah

diperoleh.

Berdasarkan tipe produksi (Yamit, 2002), proses produksi komoditas yang

ditawarkan oleh PKL di Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta khususnya

yang berupa makanan termasuk proses produksi terus-menerus. Proses produksi terus-

menerus adalah proses produksi barang atas dasar aliran produk dari satu operasi ke

operasi berikutnya tanpa penumpukan di suatu titik dalam proses. Hal ini dikarenakan

hasil produksi direncanakan dalam jumlah besar, variasi produk yang dihasilkan

rendah sebab umumnya satu produsen hanya menghasilkan satu jenis produk seperti

misalnya produsen bakso bakar, dan produk bersifat standard (tidak mengandung

bahan-bahan kimia yang memerlukan pengujian klinis).

BAB V

INTERAKSI KERUANGAN DALAM AKTIVITAS EKONOMI DI ALUN-ALUN

SELATAN KRATON KASUNANAN SURAKARTA

Aktivitas ekonomi di Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta muncul karena

adanya tuntutan ekonomi setiap penjual (barang dan jasa) guna memenuhi kebutuhannya

serta tersedianya ruang terbuka yang memberikan peluang untuk membuka usaha. Hal

tersebut menarik perhatian penjual-penjual yang biasanya tidak berjualan di Alun-alun

Selatan Kraton Kasunanan Surakarta untuk pindah dan berjualan di sana. Selain itu orang

yang tidak memiliki pekerjaan juga beralih menjadi penjual di Alun-alun Selatan Kraton

Kasunanan Surakarta. Pedagang disini tidak hanya di dominasi oleh pedagang yang berasal

dari daerah Kraton Kasunan Surakarta sendiri tetapi juga terdapat pedagang yang berasal dari

luar daerah Kraton Kasunan Surakarta. Para pedagang tersebut tidak memproduksi barang

dagangan tersebut tetapi mereka mengambil dari daerah lain. Pedagang yang asli dari daerah

Kraton Kasunanan Surakarta sendiri juga mengambil barang dagangan di daerah lain tetapi

tidak sedikit dari pedagang yang mereka produksi sendiri.

Asal barang dan jasa yang tidak diproduksi langsung di daerah penjual atau

mengambil dari daerah lain akan mengakibatkan interaksi antar ruang. Interaksi yang terjadi

disini adalah antara PKL Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta dan daerah asal

barang yakni Solo Baru. Adanya interaksi antar kedua daerah tersebut karena adanya

hubungan timbal balik yang saling berpengaruh antara pedagang di Alun-alun Selatan Kraton

Kasunanan Surakarta dan produsen di Solo Baru sebagai penghasil sumber barang yang ingin

dijajakkan oleh PKL di alun-alun seperti bakso bakar, siomay, dan wahana permainan

(trampoline dan mobil-mobilan). Pendistribusian barang tersebut dilakukan oleh para

distributor setiap masing-masing produsen yang ada. Interaksi yang muncul dalam aktivitas

ini adalah interaksi asal bahan baku. Dalam hal ini para produsen yang berada di Solo Baru

melakukan interaksi kepada para pedagang di pasar yang ada di kawasan Solo Baru. Mereka

mendapatkan bahan baku seperti tepung terigu, telur, sayuran dll. Khusus untuk wahana

permainan mereka bermodal sendiri dengan kata lain mereka membeli semua wahana.

Sedangkan makanan yang di perdagangkan oleh PKL itu di produksi sendiri. Alun-alun

Selatan Kraton Kasunanan Surakarta merupakan daerah perkotaan yang menjadi tempat

menjual hasil industri kecil yang ada di Solo Baru. Hal tersebut memberi gambaran bahwa

interaksi antara dua wilayah tersebut penting bagi kelangsungan PKL di alun-alun.

Dari interaksi di atas memunculkan siklus aktivitas ekonomi di Alun-alun Selatan

Kraton Kasunanan Surakarta. Berikut ini adalah alur terjadinya aktivitas ekonomi di Alun-

alun Selatan.

Setelah dijajakan, hasil penjualan barang (makanan dan jasa permainan) di daerah

tersebut akan dialihkan ke daerah asal produksi yakni Solo Baru. PKL di alun-alun pada

awalnya menerima barang distributor dengan cara pembayaran setelah mereka menjualkan

barang tersebut. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam remitans atau rantai produksi

yang di lakukan oleh PKL di Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta dan pihak

produsen di Solo Baru. Remitans yang dilakukan bukan dengan cara transfer dari Bank tetapi

PKL langsung menyetorkan pembayaran ke para distributor lalu pihak distributor

menyetorkan langsung ke pihak produsen.

Selain harus membayar uang modal kepada produsen, PKL setiap harinya dituntut

untuk membayar uang retribusi ke pihak kraton. Selain uang retribusi, PKL juga membayar

uang kebersihan dan uang keamanan. Pembayaran biasanya dilakukan setiap malam dan

sudah ada petugas yang akan mengambil ke setiap pedagang. Uang retribusi tiap jenis barang

yang dijajakan oleh PKL berbeda nominalnya dan waktu penyetorannya, ada yang setiap hari

ada pula yang setiap bulan.

BAB VI

PENUTUP

KESIMPULAN

Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta sebagai bagian dari kompleks Kraton

Kasunanan Surakara yang merupakan kawasan cagar budaya dan memiliki fungsi utama

untuk menunjang aktivitas dari pihak kraton namun seiring berjalannya waktu terjadi

perubahan fungsi sebagai ruang publik yang dapat dimanfaatkan berbagai kalangan

masyarakat. Perubahan fungsi alun-alun selatan menjadi ruang publik ini yang kemudian

dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Surakarta sebagai objek wisata, kemudian memberikan

implikasi bagi wilayah Kraton Kasunanan Surakarta itu sendiri. Salah satu implikasi yang

ditimbulkan dari beralihnya fungsi ini adalah munculnya pelaku ekonomi khususnya pelaku

sektor informal di Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta.

Sektor informal yang muncul di alun-alun ini berupa pedagang kaki lima yang

sebagian besar berasal dari wilayah Karesidenan Surakarta. Kegiatan ekonomi yang

dilakukan pedagang kaki lima (PKL) di Alun-alun Selatan Kraton Kasunanan Surakarta

memunculkan adanya interaksi keruangan antar wilayah di sekitar kompleks kraton. Interaksi

tersebut berlangsung karena adanya proses produksi, distribusi, dan konsumsi komoditas

yang dijajakan oleh PKL yang melibatkan berbagai pihak di wilayah Karesidenan Surakarta.

Interaksi ini tidak hanya berdampak positif bagi pihak kraton selaku pengelola dan penerima

retribusi tetapi juga mampu menyejahterakan PKL di alun-alun serta pelaku ekonomi terkait

yang terlibat dalam penyediaan barang dagangan PKL sehingga membentuk rantai produksi

antara Kompleks Kraton Kasunanan Surakarta dengan wilayah yang termasuk dalam lingkup

Karesidenan Surakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Agung Ridlo, Muhammad. 2001. Kemiskinan di Perkotaan. Semarang: Unissula Press

Ahyari, Agus. 2002. Manajemen Produksi. Yogyakarta: Gramedia

Budirdjo, Eko. 1998. Kota yang Berkelanjutan. Jakarta: Universitas Indonesia Press

Candhrakirana, Kamala dan Isono. 1994. Dinamika Ekonomi Informal di Jakata Industri Dur

Ulang, Angkutan Becak dan Dagang Kaki Lima. Jakarta: Center of Policy and

Implementation Studies CIP

Manning, Chris dan Effendi, Tadjuddin . 1996. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor

Informal di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Rahman. Arif. 2001. Pengaruh PKL Terhadap Historis Kraton Kasunanan Surakarta.

Bandung: Lembaga Penelitian Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri No. 41 tentang Pedoman Penataan dan

Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Jakarta: Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia. 1995. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 8 tentang Penataan dan

Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Surakarta: Wali Kotamadya Kepala Daerah

Republik Indonesia. 1997. Kamus Tata Ruang. Jakata: Dinas Jenderal Pekerjaan Umum dan

Ikatan Ahli Perencana Indonesia

Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri No. 41 Pasal 33 tentang Penetapan Lokasi

Pedagang Kaki Lima, Jakarta: Menteri Dalam Negeri

Simanjuntak, Payaman J. 1989. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia. Jakarta: Lembaga

Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Usman. 2006. Negara vs Kaum Miskin. Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Yamit, Zulian. 2002. Manajemen Kualitas Produk dan Jasa. Yogyakarta: Ekonisia