akreditasi idi – 2 skp luaran (outcome) terapi pada ... mayor_nurmiati am… · subtipe...

5
CONTINUING MEDICAL EDUCATION Akreditasi IDI – 2 SKP Luaran (Outcome) Terapi pada Gangguan Depresi Mayor Nurmiati Amir Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia PENDAHULUAN Gangguan depresi mayor (GDM) meru- pakan gangguan jiwa serius dan sering re- kuren. Gangguan depresi mayor menjadi isu utama kesehatan masyarakat dan beban berat bagi manusia. Mekanisme terjadinya depresi belum sepe- nuhnya diketahui. Penyebabnya multifak- torial. Terdapat perbedaan respons terapi, derajat kesembuhan, dan prognosis jangka panjang di antara pasien. Perbedaan ini di- sebabkan oleh tidak samanya patofisiologi, subtipe psikopatologi, kontribusi neurobi- ologi, serta komorbiditas dengan penyakit fisik dan psikitarik lainnya. Akibatnya, luar- an hasil terapi, misalnya durasi respons dan remisi, sangat bervariasi. 1 Banyak tantangan dalam mengobati depre- si. Pasien depresi sering tidak puas dengan obat antidepresan yang tersedia saat ini, disebabkan tidak efektif dan tidak baiknya tolerabilitas. Akibatnya, sebagian besar pa- sien GDM mengalami gejala sisa (residual symptom). Gejala sisa merupakan faktor risiko relaps, rekurensi, serta buruknya kua- litas hidup. Pasien yang mencapai remisi sempurna setelah pengobatan, prognosis dan derajat fungsinya lebih baik bila diban- dingkan dengan pasien yang tidak menca- pai remisi sempurna. Akhir-akhir ini, konsep remisi dalam meng- obati GDM menjadi perhatian utama. Untuk menilai efisiensi klinis antidepresan, tidak hanya sekedar memperhatikan angka respons, tetapi juga angka remisi. Angka remisi dapat memprediksi stabilitas jangka panjang dan menjadi indikator dalam me- nilai luaran (outcome) hasil terapi. 2 Etiologi Depresi Penyebab depresi secara pasti belum dike- tahui. Ada empat faktor risiko yang diduga berperan dalam terjadinya depresi. Keem- pat faktor risiko tersebut yaitu psikologik, lingkungan, biologik, dan genetik. Stresor Kehidupan dan Interaksi Gen-Ling- kungan Kejadian-kejadian berbentuk stresor yang terjadi selama kehidupan manusia (stress- ful life events) dapat mempengaruhi awitan (onset) atau perjalanan GDM. Hubungan antara stresor kehidupan yang bersifat de- penden (peristiwa kehidupan akibat peri- laku yang bersangkutan) atau stresor kehi- dupan yang bersifat independen (peristiwa kehidupan akibat ketidakberuntungan, mi- salnya gempa bumi) telah banyak diteliti, baik pada kembar monozigot maupun dizigot. Baik stresor kehidupan yang bersi- fat dependen maupun independen berhu- bungan dengan episode depresi. Hubung- an yang sangat kuat terlihat pada peristiwa kehidupan yang bersifat dependen. 3 Stresor kehidupan yang berbentuk kehi- langan (loss) berhubungan erat dengan depresi, yang berbentuk ancaman atau bahaya berhubungan dengan ansietas, se- dangkan gabungan kedua stresor tersebut (kehilangan dan bahaya) berhubungan de- ngan komorbiditas antara depresi dengan ansietas. Selain itu, derajat gejala pada ko- morbiditas lebih berat dan lebih menetap. 4 Dampak stresor kehidupan lebih berat ter- hadap perempuan. Perbedaan dampak ini menyebabkan adanya perbedaan preva- lensi depresi antara laki-laki dengan perem- puan. 5 Gangguan depresi mayor dapat terjadi tanpa stresor kehidupan sebelumnya. Se- baliknya, tidak semua individu yang terpa- jan dengan stresor kehidupan mengalami depresi. Stresor kehidupan dapat menye- babkan depresi hanya pada orang-orang tertentu. Ada dugaan bahwa depresi terja- di akibat interaksi antara gen dengan ling- kungan. Penelitian yang dilakukan terhadap 1.037 anak yang dinilai secara komprehen- sif pada usia 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 18, dan 21 tahun menunjukkan bahwa polimorfisme fungsional pada gen transporter serotonin (5-HT) berperan dalam terjadinya depresi. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa: 1. Stresor kehidupan yang terjadi setelah usia 21 tahun, secara bermakna menye- babkan terjadinya depresi pada usia 26 tahun. Depresi hanya terjadi pada kari- er dengan S-alel yang tidak mempunyai riwayat depresi sebelumnya. Depresi tidak terjadi pada l/l homozigot. 2. Ide bunuh diri - biasanya mempunyai dasar genetik – juga terjadi pada indi- vidu dengan S-alel bukan pada l/l ho- mozigot. 3. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah (maltreatment) selama dekade pertama kehidupannya dan kemudian mengalami depresi setelah dewasa adalah anak-anak dengan S-alel bukan yang dengan l/l homozigot. 6 Hipotesis Defisiensi Monoamin Hipotesis defisiensi monoamin tetap pen- ting. Antidepresan bekerja setidaknya pada salah satu monoamin (dopamin, serotonin, norepinefrin). Triptofan merupakan sumber serotonin. Rendahnya kadar triptofan da- pat menimbulkan depresi pada pasien yang berhasil diobati dengan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI). Pada orang nor- mal, defisiensi -methyl paratyrosine tidak menimbulkan depresi, kecuali pada pasien yang berhasil dengan pengobatan norepi- nephrin reuptake inhibitor (NRI). 7 Hypothalamic-Pituitary-Adrenal-Axis (HPA) Hubungan antara stresor kehidupan de- ngan depresi diduga melalui aksis HPA. Peningkatan kadar kortisol plasma dan 92 CDK-190/ vol. 39 no. 2, th. 2012 CDK-190 OK.indd 92 03/02/2012 13:51:10

Upload: vuongtram

Post on 06-Feb-2018

224 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: akreditasi iDi – 2 SkP luaran (Outcome) terapi pada ... Mayor_Nurmiati Am… · subtipe psikopatologi, kontribusi neurobi- ... Gejala sisa merupakan faktor risiko relaps, rekurensi,

ConTinuing mediCal eduCaTion

akreditasi iDi – 2 SkP

luaran (Outcome) terapi pada Gangguan Depresi Mayor

Nurmiati AmirDepartemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia

PEnDaHuluanGangguan depresi mayor (GDM) meru-pakan gangguan jiwa serius dan sering re-kuren. Gangguan depresi mayor menjadi isu utama kesehatan masyarakat dan beban berat bagi manusia.

Mekanisme terjadinya depresi belum sepe-nuhnya diketahui. Penyebabnya multifak-torial. Terdapat perbedaan respons terapi, derajat kesembuhan, dan prognosis jangka panjang di antara pasien. Perbedaan ini di-sebabkan oleh tidak samanya patofisiologi, subtipe psikopatologi, kontribusi neurobi-ologi, serta komorbiditas dengan penyakit fisik dan psikitarik lainnya. Akibatnya, luar-an hasil terapi, misalnya durasi respons dan remisi, sangat bervariasi.1

Banyak tantangan dalam mengobati depre-si. Pasien depresi sering tidak puas dengan obat antidepresan yang tersedia saat ini, disebabkan tidak efektif dan tidak baiknya tolerabilitas. Akibatnya, sebagian besar pa-sien GDM mengalami gejala sisa (residual symptom). Gejala sisa merupakan faktor risiko relaps, rekurensi, serta buruknya kua-litas hidup. Pasien yang mencapai remisi sempurna setelah pengobatan, prognosis dan derajat fungsinya lebih baik bila diban-dingkan dengan pasien yang tidak menca-pai remisi sempurna.

Akhir-akhir ini, konsep remisi dalam meng-obati GDM menjadi perhatian utama. Untuk menilai efisiensi klinis antidepresan, tidak hanya sekedar memperhatikan angka respons, tetapi juga angka remisi. Angka remisi dapat memprediksi stabilitas jangka panjang dan menjadi indikator dalam me-nilai luaran (outcome) hasil terapi.2

Etiologi DepresiPenyebab depresi secara pasti belum dike-tahui. Ada empat faktor risiko yang diduga

berperan dalam terjadinya depresi. Keem-pat faktor risiko tersebut yaitu psikologik, lingkungan, biologik, dan genetik.

Stresor Kehidupan dan Interaksi Gen-Ling-kungan Kejadian-kejadian berbentuk stresor yang terjadi selama kehidupan manusia (stress-ful life events) dapat mempengaruhi awitan (onset) atau perjalanan GDM. Hubungan antara stresor kehidupan yang bersifat de-penden (peristiwa kehidupan akibat peri-laku yang bersangkutan) atau stresor kehi-dupan yang bersifat independen (peristiwa kehidupan akibat ketidakberuntungan, mi-salnya gempa bumi) telah banyak diteliti, baik pada kembar monozigot maupun dizigot. Baik stresor kehidupan yang bersi-fat dependen maupun independen berhu-bungan dengan episode depresi. Hubung-an yang sangat kuat terlihat pada peristiwa kehidupan yang bersifat dependen.3

Stresor kehidupan yang berbentuk kehi-langan (loss) berhubungan erat dengan depresi, yang berbentuk ancaman atau bahaya berhubungan dengan ansietas, se-dangkan gabungan kedua stresor tersebut (kehilangan dan bahaya) berhubungan de-ngan komorbiditas antara depresi dengan ansietas. Selain itu, derajat gejala pada ko-morbiditas lebih berat dan lebih menetap.4 Dampak stresor kehidupan lebih berat ter-hadap perempuan. Perbedaan dampak ini menyebabkan adanya perbedaan preva-lensi depresi antara laki-laki dengan perem-puan.5

Gangguan depresi mayor dapat terjadi tanpa stresor kehidupan sebelumnya. Se-baliknya, tidak semua individu yang terpa-jan dengan stresor kehidupan mengalami depresi. Stresor kehidupan dapat menye-babkan depresi hanya pada orang-orang tertentu. Ada dugaan bahwa depresi terja-

di akibat interaksi antara gen dengan ling-kungan. Penelitian yang dilakukan terhadap 1.037 anak yang dinilai secara komprehen-sif pada usia 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 18, dan 21 tahun menunjukkan bahwa polimorfisme fungsional pada gen transporter serotonin (5-HT) berperan dalam terjadinya depresi. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa:1. Stresor kehidupan yang terjadi setelah

usia 21 tahun, secara bermakna menye-babkan terjadinya depresi pada usia 26 tahun. Depresi hanya terjadi pada kari-er dengan S-alel yang tidak mempunyai riwayat depresi sebelumnya. Depresi tidak terjadi pada l/l homozigot.

2. Ide bunuh diri - biasanya mempunyai dasar genetik – juga terjadi pada indi-vidu dengan S-alel bukan pada l/l ho-mozigot.

3. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah (maltreatment) selama dekade pertama kehidupannya dan kemudian mengalami depresi setelah dewasa adalah anak-anak dengan S-alel bukan yang dengan l/l homozigot.6

Hipotesis Defisiensi MonoaminHipotesis defisiensi monoamin tetap pen-ting. Antidepresan bekerja setidaknya pada salah satu monoamin (dopamin, serotonin, norepinefrin). Triptofan merupakan sumber serotonin. Rendahnya kadar triptofan da-pat menimbulkan depresi pada pasien yang berhasil diobati dengan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI). Pada orang nor-mal, defisiensi -methyl paratyrosine tidak menimbulkan depresi, kecuali pada pasien yang berhasil dengan pengobatan norepi-nephrin reuptake inhibitor (NRI).7

Hypothalamic-Pituitary-Adrenal-Axis (HPA)Hubungan antara stresor kehidupan de-ngan depresi diduga melalui aksis HPA. Peningkatan kadar kortisol plasma dan

92 CDK-190/ vol. 39 no. 2, th. 2012

CDK-190 OK.indd 92 03/02/2012 13:51:10

Page 2: akreditasi iDi – 2 SkP luaran (Outcome) terapi pada ... Mayor_Nurmiati Am… · subtipe psikopatologi, kontribusi neurobi- ... Gejala sisa merupakan faktor risiko relaps, rekurensi,

ConTinuing mediCal eduCaTion

corticotrophin releasing hormone (CRH) di cairan serebrospinal (CSS) sering terlihat pada pasien depresi.8 Pada sebagian be-sar penderita depresi, terdapat respons tes supresi kortisol, atau dexamethasone sup-pression test (DST), yang abnormal. An-tidepresan yang menyebabkan perbaikan depresi dikaitkan dengan kemampuannya menormalkan kembali hasil pemeriksaan DST. Hal ini menunjukkan adanya hubung-an antara depresi dengan aktivitas HPA. Beberapa obat antidepresan terbaru beker-ja dengan menghambat reseptor glukokor-tikoid.9

Tingginya kadar glukokortikoid dikaitkan dengan berkurangnya neurogenesis dan mengecilnya ukuran hipokampus pada pasien dengan depresi. Selain itu, brain-derived neurotrophic factor (BDNF)—yang berperan penting dalam neurogenesis, plastisitas neuron, pertumbuhan sinaps, dan kehidupan sel—secara bermakna berkurang pada individu yang melakukan bunuh diri. Terapi antidepresan, aktivitas fisik teratur, dan electroconvulsive therapy (ECT) dapat meningkatkan BDNF secara bermakna.10

Irama SirkadianGangguan irama sirkadian dapat terja-di pada depresi. Gangguan tersebut tidak saja menganggu parameter fisiologik (mi-salnya, temperatur tubuh) atau parameter biologik (misalnya, sekresi kortisol), tetapi juga mengganggu siklus tidur-bangun dan mood. Terapi yang bertujuan menormalkan kembali ritme sirkadian, secara bermakna, dapat menghilangkan gejala depresi.11

Karena keanekaragaman dan kompleksnya etiopatogenesis depresi dan mekanisme kerja farmakologi antidepresan, pende-katan pengobatan depresi hendaklah ber-sifat individual. Berbedanya kondisi medis, respons terapi, dan derajat remisi yang dicapai menyebabkan strategi terapi tidak mungkin dalam bentuk tunggal. Dengan kata lain, untuk mencapai tujuan terapi yang baik, hendaklah digunakan kombi-nasi berbagai modalitas terapi, misalnya penggunaan psikofarmakologi, kombinasi farmakologi, strategi augmentasi, terapi cahaya, deprivasi tidur, ECT, transcranial magnetic stimulation (TMS), dan psiko-terapi.12

luaran terapi pada Gangguan DepresiDepresi merupakan penyakit kronik yang cenderung rekuren. Tujuan pengobatan depresi adalah asimptomatik atau pulih. Ada tiga jenis luaran terapi depresi:1. Responsif, yaitu berkurangnya gejala

depresi, bila dibandingkan dengan saat terapi dimulai (baseline), sebanyak ≥50%, dinilai dengan HAM-D17, se-lama tiga minggu berturut-turut.

3. Remisi, yaitu gejala depresi hampir atau tidak ada sama sekali. Nilai skor HAM-D17 ≤7 atau skor MADRS ≤3, tiga minggu berturut-turut.

3. Pulih, yaitu menetapnya remisi (asimp-tomatik) dalam waktu yang lebih lama (± 4-6 bulan). Fungsi pekerjaan dan sosial kembali pulih seperti semula.

Sampai saat ini, belum ada konsensus me-ngenai definisi remisi. American College of Neuropsychopharmacology Task Force mendefinisikan remisi sebagai tidak adanya gejala utama depresi (mood depresif dan hilangnya minat atau rasa senang) disertai dengan hampir atau tidak adanya sembilan gejala depresi lainnya, sesuai kriteria diag-nosis depresi berdasarkan DSM-IV, paling sedikit 2-3 minggu berturut-turut.

Konsensus American College of Neurop-sychopharmacology (ACNP) Task Force menetapkan kriteria remisi, yaitu bila nilai HAM-D17 ≤7 menetap dalam tiga minggu berturut-turut. Fungsi sehari-hari tidak me-rupakan kriteria untuk definisi remisi.13

Kriteria lain untuk remisi adalah bila skor HAM-D17 ≤7 atau HAM-D7 ≤3. Dika-takan remisi parsial bila skor HAM-D17 antara 7-13. Skor 3 pada HAM-D7 ekuiva-len dengan skor 7 pada HAM-D17. Skala HAM-D7 cukup sensitif untuk menilai beratnya gejala depresi.14 Apabila menggu-nakan MADRS, skor untuk menilai remisi bervariasi, yaitu ≤8, ≤9, ≤10, atau ≤11.15

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ang-ka remisi setelah terapi selama 8-12 minggu dengan bupropion dan SSRI, skor HAM-D17 ≤7 tercatat sebanyak 47%, sedangkan pada kelompok yang mendapat plasebo adalah 36%. Angka remisi pada praktik klinik, setelah diterapi selama 8-12 minggu, terlapor lebih rendah, yaitu sebesar 32% (HAM-D ≤8). Angka remisi yang dilaporkan oleh pe-

nelitian Sequenced Treatment Alternatives to Relieve Depression (STAR*D), meng-gunakan citalopram setelah pengobatan 12 minggu, nilai skor HAM-D ≤ 8 tercatat se-banyak 27,5%. Tidak ada perbedaan angka remisi antara pasien yang diobati di perawat-an primer (26,6%) dengan yang dirawat di perawatan psikiatri (28,0%).16

Definisi remisi parsial adalah:a. Beberapa gejala depresi mayor masih

ada (residual), tetapi tidak lagi me-menuhi kriteria episode depresi, atau

b. Gejala depresi tidak ada lagi, tetapi la-manya kurang dari dua bulan.

Remisi parsial atau adanya gejala sisa me-rupakan faktor risiko relaps. Menetapnya gejala, meskipun ringan, dapat mengurangi harapan pulihnya fungsi secara sempurna. Karena itu, mengevaluasi gejala sisa meru-pakan strategi terapeutik untuk mencapai remisi sempurna.17

Fungsi psikososial pasien yang memiliki skor HAM-D17 ≤2 atau skor MADRS ≤4 lebih baik bila dibandingkan dengan yang memiliki skor HAM-D17 antara 3-7 atau MADRS antara 5-9. Penetapan skor HAM-D17 atau MADRS untuk mendefinisikan remisi, sebelum ini, dianggap terlalu ting-gi.18 Sebaliknya, bila nilai skor remisi terlalu rendah, individu yang tidak depresi bisa dinilai seperti dalam keadaan depresi. Se-buah penelitian melaporkan bahwa rerata skor HAM-D17 pada kelompok kontrol se-hat yaitu 3,2 ± 3,2 (SD).19

Untuk menilai ada/tidaknya depresi, Struc-tured Clinical Interview for DSM-IV (SCID) dapat digunakan. Instrumen yang dapat digunakan untuk menilai beratnya derajat depresi, antara lain, adalah Hamilton De-pression Rating Scale (HAM-D) dan Mont-gomery-Asberg Depression Rating Scale (MADRS). Ada dua gejala kunci pada GDM, yaitu mood yang sedih dan hilang-nya minat. Kedua gejala ini tidak boleh ada dalam keadaan remisi.

Sebuah penelitian naturalistik, yang mengi-kutsertakan 1.014 pasien rawat inap, me-laporkan bahwa setelah dua minggu per-tama pengobatan, skor HAM-D21 turun sebanyak 34% dan skor MADRS sebanyak 33%.20 Sebuah penelitian lain pada 11.760

93CDK-190/ vol. 39 no. 2, th. 2012

CDK-190 OK.indd 93 03/02/2012 13:51:10

Page 3: akreditasi iDi – 2 SkP luaran (Outcome) terapi pada ... Mayor_Nurmiati Am… · subtipe psikopatologi, kontribusi neurobi- ... Gejala sisa merupakan faktor risiko relaps, rekurensi,

ConTinuing mediCal eduCaTion

pasien GDM rawat jalan menunjukkan bahwa setelah dua minggu pengobatan de-ngan escitalopram, terjadi penurunan skor MADRS sebanyak 30%.21

Antidepresan mulai bekerja setelah satu bulan. Awitan kerja golongan obat ini masih menjadi perdebatan. Ada yang me-nyatakan bahwa perbedaan awitan kerja antara antidepresan dengan plasebo dapat dilihat sebelum tiga minggu pengobat-an. Perbaikan lebih awal dikaitkan dengan efek plasebo sehingga perbaikannya tidak menetap. Awitan efek antidepresan lebih lambat, tetapi perbaikannya lebih menetap. Cepatnya awitan perbaikan dapat mem-prediksi luaran. Perbaikan dini didefinisikan dengan berkurangnya skor HAM-D17 se-banyak 20% dalam dua minggu pertama pengobatan. Cepatnya awitan kerja anti-depresan menunjukkan baiknya respons antidepresan. Bila setelah dua minggu tidak terlihat sama sekali perbaikan de-ngan suatu antidepresan, obat sebaiknya disesuaikan atau diganti karena meskipun pengobatan diperpanjang, kemungkinan akan berespons dengan antidepresan yang sedang digunakan sangatlah kecil (≤20%). Karena itu, lebih baik segera dilakukan pe-nyesuaian atau penggantian obat. Sebagai contoh contoh, pasien dapat diberi terapi yang lebih sesuai, misalnya antidepersan kerja ganda, strategi penambahan (dengan litium, antipsikotik atipikal), atau ECT. Bila dalam dua minggu pertama terlihat ada perubahan, meskipun kecil, sebaiknya obat diteruskan atau dosis disesuaikan.22

Evaluasi remisi fungsi pada DepresiEvaluasi perlu dilakukan untuk menilai re-misi fungsi. Beberapa hal yang perlu dieva-luasi yaitu fungsi sosial, pekerjaan, fungsi eksekutif, rasa senang, dan kualitas hidup. Ada tiga hal penting yang perlu dijadikan pertimbangan untuk menyatakan seorang pasien mengalami remisi:1. Memiliki kesehatan mental positif (mi-

salnya, optimis dan percaya diri)2. Kembali ke kehidupan normal3. Kembali ke derajat fungsi sebelumnya.

Selain tiga faktor di atas, tidak adanya gejala depresi merupakan prasyarat un-tuk mendefinisikan remisi. Jadi, kualitas hidup dan derajat fungsi merupakan aspek penting yang perlu dievaluasi secara rutin

dalam menentukan remisi pada depresi. Tujuan terapi depresi saat ini yaitu kem-balinya ke aktivitas normal dan fungsi pre-morbid.23

Apabila fungsi tetap terganggu, sedangkan gejala sudah tidak ada lagi, evaluasi kem-bali adanya gangguan kepribadian. Instru-men yang dapat digunakan yaitu SCID, Structured Interview for DSM-IV Personal-ity (SIDP-IV), atau Personality Assessment Schedule (PAS).24

Gejala Sisa DepresiRemisi sempurna menentukan luaran pe-nyakit. Luaran pada pasien yang bebas gejala lebih baik bila dibandingkan dengan pasien dengan gejala sisa. Gejala sisa, mi-salnya ansietas dan keluhan somatik, dapat menimbulkan kekambuhan atau rekurensi. Kadang-kadang, sulit membedakan antara gejala sisa dengan efek samping antidepre-san. Beberapa gejala dapat disebabkan oleh efek samping antidepresan, misalnya ganggguan tidur, hendaya kognitif, dan be-berapa keluhan somatik lainnya.25

Hendaya fungsi pekerjaan dan aktivitas lain-nya sering lebih dahulu hilang dibandingkan dengan gejala sisa. Status remisi hilang bila muncul episode baru yang memenuhi kri-teria episode depresi mayor. Apabila terjadi perburukan gejala, tetapi tidak memenuhi kriteria remisi, status remisi masih tetap da-pat digunakan.26

fase Pengobatan DepresiAda tiga fase pengobatan depresi27:1. Fase akut, biasanya berlangsung selama

6-10 minggu2. Fase lanjutan, sering berlangsung seki-

tar 16-20 minggu dan dapat hingga 9-12 bulan

3. Fase rumatan; pada pasien depresi re-kuren, fase ini dapat berlangsung se-lama hidup.

Tujuan terapi pada fase lanjutan yaitu un-tuk mempertahankan atau untuk mening-katkan respons terhadap terapi akut dan mencegah relaps. Terapi rumatan bertujuan untuk mencegah rekurensi.28

Pasien depresi membutuhkan terapi jangka panjang. Pada beberapa pasien, durasi epi-sode depresi berlangsung sangat panjang.

Sekitar 50% individu dengan episode per-tama depresi mayor pulih dalam tiga bu-lan.29 Sebanyak 37% tidak pulih setelah 6 bulan dan 20% tidak pulih setelah 24 bulan. Terapi jangka panjang dapat mengurangi relaps. Obat antidepresan, psikoterapi, dan kombinasi keduanya efektif mencegah re-laps dan rekurensi.28 Angka relaps dengan terapi antidepresan adalah 18%, sedangkan dengan plasebo sebesar 41%.30

tuntunan terapi Episode Depresi MayorFarmakoterapiRespons terapi akan berkurang bila peng-obatan terlambat. Makin kronis depresi, makin buruk respons terhadap pengobatan. Episode depresi mayor sering tidak berha-sil diobati. Tidak ada ketentuan pasti lama pengobatan yang dianggap tidak berhasil. Tahapan dalam pengobatan depresi:a. Meningkatkan dosis obat, bila tidak ada

respons Hal ini dapat dilakukan bila obat memi-

liki efek samping minimal atau tidak ada efek samping.

b. Mengganti dengan antidepresan lain Sering dilakukan dengan mengganti

obat, terutama dari kelas yang sama. Terjadi peningkatan efikasi setelah SSRI diganti dengan venlafaxine. Potensi interaksi farmakokinetik atau farmako-dinamik perlu diperhatikan. Misalnya, penggantian dari monoamine oxidase inhibitor (MAOI) ke SSRI dapat me-nimbulkan sindrom serotonin.

c. Penambahan obat lain Terdapat bukti adanya perbaikan depresi

setelah antidepresan ditambah dengan lithium, olanzapine, risperidone, quetia-pine, atau aripiprazole. Penambahan de-ngan aripiprazole terlihat lebih efektif.31

Terapi PsikologikKombinasi antidepresan dengan cognitive behavioral therapy (CBT) lebih efektif di-bandingkan antidepresan atau CBT saja.

Terapi FisikElectroconvulsive therapy dapat digunakan pada depresi sangat berat yang tidak ber-hasil diatasi dengan dua atau lebih terapi lainnya. Penempatan elektroda mempe-ngaruhi efikasi dan efek samping; unilateral lebih baik. Vagal nerve stimulation, meru-pakan pilihan untuk pasien depresi kronik yang resisten terhadap pengobatan.27

94 CDK-190/ vol. 39 no. 2, th. 2012

CDK-190 OK.indd 94 03/02/2012 13:51:11

Page 4: akreditasi iDi – 2 SkP luaran (Outcome) terapi pada ... Mayor_Nurmiati Am… · subtipe psikopatologi, kontribusi neurobi- ... Gejala sisa merupakan faktor risiko relaps, rekurensi,

ConTinuing mediCal eduCaTion

SiMPulanGangguan depresi mayor merupakan gangguan berat dan sering rekuren. Terda-pat perbedaan respons terapi, derajat ke-sembuhan, dan prognosis jangka panjang di antara pasien, yang terjadi karena tidak samanya etiopatogenesis. Akibatnya, lu-aran hasil terapi, seperti durasi respons dan remisi, sangat bervariasi.

Tujuan pengobatan depresi adalah asimp-

tomatik atau pulih. Ada tiga bentuk luaran terapi depresi, yaitu responsif, remisi, dan pulih. Tidak ada kesepakatan tentang defi-nisi masing-masing bentuk luaran tersebut. Pencapaian remisi sempurna masih sangat rendah. Sebanyak 37% tidak pulih setelah 6 bulan dan 20% tidak pulih setelah 24 bulan. Dengan kata lain, remisi parsial atau gejala sisa sering ditemukan. Gejala sisa perlu di-evaluasi karena merupakan faktor risiko re-laps. Kualitas hidup dan fungsi lebih buruk

pada pasien yang mempunyai gejala sisa.

Pasien depresi membutuhkan terapi jangka panjang agar dapat mengurangi relaps atau rekurensi. Karena beragamnya penyebab depresi, beberapa modalitas terapi dapat digunakan. Kombinasi farmakoterapi de-ngan psikoterapi lebih efektif untuk meng-obati depresi dan mencegah relaps atau rekurensi, dibandingkan dengan hanya far-makoterapi atau psikoterapi.

Daftar PuStaka

Moller HJ, Seemuler FH, Riedel M. Time course of response and remission during antidepressant treatment. Medicographia 2009;31:118-25. 1. Mendlewicz J. Defining remission in depression: the challenge of complete recovery. Medicographia 2009;31:113.2. Kendler KS, Karskowski LM, Presscott CA. Causal relationship between stressful life events and the onset of major depression. Am J Psychiatry 1999;156:837-41. 3. Kessler RC. The effects of stressful life events on depression. Ann Rev Psychol. 1997;48:191-214. 4. Kendler KS, Kessler RC, Walters EE. Stressful life events, genetic liability, and onset of an episode of major depression in women. Am J Psychiatry 1995;152:833-42.5. Caspi A, Sugden K, Moffitt TE. Influence of life stress on depression: moderation by a polymorphism in the 5-HTT gene. Science 2003;301:386-9.6. Ruhe HG, Mason NS, Schene AH. Mood is indirectly related to serotonin, norepinephrine, and dopamine levels in human: a meta-analysis of monoamine depletion 7. studies. Mol Psychiatry 2007;12:331-59.Burke HM, Davis MC, Otte C, Mohr DC. Depression and cortisol responses to psychological stress: a meta-analysis. Psychoneuroendocrinology 2005;30:846-56.8. Flores BH, Kenna H, Keller J, Solvason HB, Schatzberg AF. Clinical and biological effects of mifepristone treatment for psychotic depression. Neuropsychopharmacol-9. ogy 2006;31:628-36.Karege F, Vaudan G, Schwald M, Perraud L, LaHarpe R. Neurotrophin levels in postmortem brains of suicide victims and the effects of antemortem diagnosis and 10. psychotropic drugs. Brain Res Mol Brain Res. 2005;136:29-37.Kennedy SH. Agomelatine: an antidepressant with a novel mechanism of action. Future Neurolgy 2007;2:145-51.11. Nierrenberg AA, McLean NE, Alpert JE, Worthington JJ, Rosenbaum JF, Fava F. Early no response to fluoxetine as a predictor of poor 8-week outcome. Am J Psy-12. chiatry 1995;152:1500-3.Rush AJ, Kraemer HC, Sackeim HA, Fava M, Trivedi MH, Frank E. Report by the ACNP Task Force on response and remission in major depressive disorder. Neurop-13. sychipharmacology 2006;31:1841-53.McIntyre R, Kennedy S, Bagby RM, Bakish D. Assessing full remission. J Psychiatr Neurosci. 2002;27:235-9.14. Carmody TJ, Rush AJ, Berinstein I, Warden D, Brannan S, Burnham D. The Montgomery Asberg and the Hamilton ratings of depression: a comparison of measure. 15. Eur Neuropsychopharmacol 2006;16:601-11. Trivedi MH, Rush AJ, Wisniewki SR, Nierenber AA, Warden D, Ritz L. Evaluation of outcome with citalopram for depression using measurement based-care in 16. STAR*D: implication for clinical practice. Am J Psychiatry 2006;163:28-40.Thase ME. Evaluating antidepressant therapies: remission as the optimal outcome. J Clin Psychiatry 2003;64(suppl 13):18-25.17. Zimmerman M, Posternak M, Chelmisnki I. Is the cutoff to define remission on the Hamilton Rating Scale for Depression too high? J Nerv Ment Dis. 2005;193:170-5.18. Zimmerman M, Chelminski I, Posternak M. A review of the Hamilton Depression Rating Scale in healthy controls: implications for the definition of remission in treat-19. ment studies of depression. J Rev Ment Dis. 2004;192:595-601.Seemuller F, Riedel M, Obermeier M. Outcomes of 1014 naturalistic treated-inpatients with major depressive episode. Poster Presented at: XXVI CINP Congress; July 20. 13-17, 2008, Munich, Germany.Moller HJ, Langer S, Schmauss M. Escilatopram in clinical practice: results of an open-label trial in outpatients with naturalistic setting in Germany. Pharmacopsychiatry 21. 2007;40:53-7.Quitkin FM, McGrath PJ, Stewart JW, Taylor BP, Klein DF. Can the effects of antidepressants be observed in the first two weeks of treatment? Neuropsychopharmacol-22. ogy 1996;15:390-4. Zimmerman M, McGlinchey JB, Posternak MA, Friedman M, Boerescu D, Attiullah N. Discordance between self reported symptom severity and psychosocial function-23. ing ratings in depressed outpatients: implications for how remission from depression should be defined. Psychiatry Res. 2006;141:185-91. Pfohl B, Blum N, Zimmerman M. Structured Interview for DSM-IV Personality (SIDP-IV). Iowa City, USA: University of Iowa Hospitals and Clinics; 1983. Tyrer P, Cic-24. chetti DV, Casey PR. Cross-national reliability study of schedule for assessing personality disorders. J Nerv Ment Dis. 1984;172:718-21.Fava M, Graves LM, Benazzi F. A cross-sectional study of the prevalence of cognitive and physical symptoms during long-term antidepressant treatment. J Clin Psy-25. chiatry 2006;67:1754-9.

95CDK-190/ vol. 39 no. 2, th. 2012

CDK-190 OK.indd 95 03/02/2012 13:51:11

Page 5: akreditasi iDi – 2 SkP luaran (Outcome) terapi pada ... Mayor_Nurmiati Am… · subtipe psikopatologi, kontribusi neurobi- ... Gejala sisa merupakan faktor risiko relaps, rekurensi,

ConTinuing mediCal eduCaTion

Mojtabai R. Residual symptoms and impairment in major depression in the community. Am J Psychiatry 2001;158:1645-51.26. Mann JJ. The medical management of depression. New Eng J Med. 2005;353:1819-34.27. Blier P, Keller MB, Pollack MH, Thase ME, Zajecka JM, Dunner DL. Preventing recurrent depression: long-term treatment for major depressive disorder. J Clin Psy-28. chiatry 2007;68:e06. Spijker J, de Graaf R, Bijl RV, Beekman ATF, Ormel J, Nolen WA. Duration of major depressive episodes in the general population: results from The Netherlands Mental 29. Health Survey and Incidence Study (NEMESIS). Br J Psychiatry 2002;181:208-13. Geddes JR, Carney SM, Davies C, Furukawa TA, Kupfer DJ, Frank E. Relapse prevention with antidepressant drug treatment in depressive disorders: a systematic 30. review. Lancet 2003;361:653-61. Nelson JC, Papaskostas GI. Atypical antipsychotic augmentation in major depressive disorder: a meta-analysis of place-controlled randomized trials. Am J Psychiatry 31. 209;166:980-91.

AN ESSENTIAL COMPONENT OF WOUND BED-PREPARATION

Delivering Sustained Release Iodine,Removing Exudate and Reducing Odour Memberikan aktivitas anti-mikroba (dengan cara melepaskan Iodine secara

lepas lambat sampai 72 jam)2

slough)

Untuk Informasi lebih lanjut hubungi:

PT KALBE FARMA, Tbk.Gedung KALBE, Jl. Let. Jend. Suprapto, Jakarta 10510PO BOX 3105 JAK, Jakarta - IndonesiaCall center: (021) 4288 4888 Fax. : (021) 426 4428SMS: (021) 9889 4848

www.kalbemed.comwww.smith-nephew.com

1. Hansson C. The e�ect of cadexomer iodine paste in the treatment of venous leg ulcer compared with hydrocolloid dressing and para�n gauze dressing. Int. J. Dermatol 1998;37(S): 390-6.2. IODOSORB/Product Pro�le, Smith & Nephew.

96 CDK-190/ vol. 39 no. 2, th. 2012

CDK-190 OK.indd 96 03/02/2012 13:51:14