akhlak belajar dan karakter guru (studi...
TRANSCRIPT
AKHLAK BELAJAR DAN KARAKTER GURU (STUDI
PEMIKIRAN SYEKH AZ-ZARNUJI DALAM KITAB
TA’LIM MUTA’ALLIM)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Oleh
MUZTABA
NIM: 109011000096
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M
iii
ABSTRAK
Muztaba, NIM 109011000096 “Akhlak Belajar dan Karakter Guru (Studi
Pemikiran Syekh Az-Zarnuji Dalam Kitab Ta’lim Al-Muta’allim”. Skripsi
Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini membahas tentang akhlak belajar dan karakter guru atas pemikiran
Syekh Az-Zarnuji dalam kitabnya yaitu Ta’lim Muta’allim. Pembahasan skripsi
ini bertujuan untuk menyingkap ahlak belajar bagi pelajar dan karakter guru
dalam pandangan Az-Zarnûjî yang terdapat dalam karyanya Ta’lîm al-Muta’allim.
Untuk memperoleh ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu lainnya, sudah
barang tentu kita harus memperhatikan adab (tata krama) yang seharusnya kita
ikuti agar ilmu yang kita pelajari tersebut dapat bermanfaat bagi diri kita dan
orang lain. Akhlak mulia merupakan barometer terhadap kebahagiaan, keamanan,
ketertiban dalam kehidupan manusia dan dapat dikatakan bahwa ahklak
merupakan tiang berdirinya umat, sebagaimana shalat sebagai tiang agama Islam.
Dengan kata lain apabila rusak akhlak suatu umat maka rusaklah bangsanya Dan
salah satu unsur terpenting dalam proses pendidikan adalah guru. Eksistensi guru
memiliki peran yang amat penting dalam pendidikan.
Skripsi ini mencoba mennjawab persoalan tentang karakter guru agama Islam
yang telah digagaskan oleh Az-Zarnûjî. Metode yang dipakai dalam penelitian ini
adalah deskriptif analisis dengan memakai teknik content analisis yaitu teknik
analisis dari berbagai sumber informasi yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian.
Akhlak belajar atau etika pembelajaran yang harus dimiliki oleh para pelajar
Islam adalah: pertama, niat saat belajar, kedua,memilih guru ketiga, menghormati
guru, keempat,keseriusan ketekunan dan cita-cita luhur, kelima metode belajar,
keenam tawakal dan ketujuh wara .
Sedangkan karakter atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh guru agama Islam
adalah: pertama, al-a’lam atau lebih alim (profesional), kedua, al-awra’ atau
lebih wara’ (yang dapat menjauhi diri dari perbuatan tercela) ketiga, al-asanna
atau lebih tua (lebih tua umur dan ilmunya), keempat, berwibawa, kelima, al-hilm
(santun) dan keenam, penyabar.
iv
Abstract
Muztaba, NIM 109011000096 “ Behavior of learning and teacher’s
character (a study of Syekh Az-Zanruji’s idea in the book Ta’lim-
muta’lim)”, it is a skripsi – the major of Department of Islam Religion at Faculty
of Tarbiyah and teacher’s training of State Islamic University Syarif HIdayatulah
Jakarta.
This skripsi researches about behavior of learning and teacher’s character
which is Syekh Az-Zarnuji’s idea in the his book namely Ta’lim-Muta’lim. The
study of this skripsi aims to tell behavior of learning for students, and teachers in
Az-Zarnuji’s opinion being in his creation, Ta’lim-Muta’lim.
To get knowledge, both religion knowledge and others, of course we have to
pay attention which we had better to follow, so that knowledge studied can be
useful for ourselves and others. Good attitude is barometer to happiness, security,
and correctness in our life, it can be called that behavior is pillar of the members
of a religious community the same as Shalat as post of Islam religion, in otherwise
it is if behavior of members of a religious community was broken, would it’s the
nation be broken, and the one of element most important in education process is a
teacher. Teacher’s existence has vitally role in the education.
The skripsi tries to answer problems about teacher’s character of Islam
religion which was identified by Az-Zarnuji. The method used in this research is
analyses descriptive, content analyses, that analyses technic from various source
information which are related to problem of reseach.
Behavior or attitude learning which have to be have by all Islam’s students
are: the first, moment intention study, second choosing the teacher, third
respecting the teacher, fourth seriously, diligence, and good ambition, fifth start of
size measurement and discipline learning, sixth tawakal and wara’.
It is while character or attitude that have to be have by teacher’s Islam
religion are: firt al’a’lam, smartest, (professional), second al-awra’ –-most
wara’—which can avoid self from bad behavior, third al-asanna, older, both
knowledge and old, fourth authoritative, fifth al-hilm (good manners), sixth be
patient.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur tiada terhingga penulis sampaikan kehadirat Ilahi Rabbi Allah
SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya, dan seluruh pengikutnya
yang telah mengenalkan Islam kepada seluruh umat manusia.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidak
sedikit mengalami kesulitan, hambatan, dan gangguan baik yang berasal dari
penulis sendiri maupun dari luar. Namun berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan
pengarahan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu dengan penuh ketulusan hati penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. Selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Nurlena Rifa’i, Ph.d, MA. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Majid Khon, M.Ag. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Marhamah Saleh ,Lc, MA. Selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Zaimuddin, M.A. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
bersedia dengan tulus memberikan bimbingan, petunjuk dan saran kepada
peneliti selama menyelesaikan skripsi ini.
vi
6. Semua Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen serta seluruh staf Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah dengan sabar dan tekun, rela mentransfer ilmunya kepada penulis
selama penulis menempuh studi di UIN Jakarta ini.
8. Untuk kedua orang tua tercinta H. Naseri dan Hj. Hayati, yang tiada henti-
hentinya mengucurkan semua pengorbanan baik materi, semangat, dan
yang terpenting do’a. Semoga beliau selalu diberkahkan hidupnya.
9. Ucapan terima kasih kepada H. Zainal Arifin S.Ag. H. Syamullah M.Pd.
Muhammad Ali S.pd.I. H. Rahman Hakim. Robiatul Adawiyah S.Pd.I.
Syarifah Mudaimah SS. Siti Wahdah. Selaku kakak-kakak dan adik-adik
ku yang telah membantu secara materil. Syahril Aziz S.Pd.I. Triana
Wiranti, Agil Syahrial, Ahmad Fauzi S.pd.I. teman-teman yang tiada
henti memberikan semangat, dan selalu mendo’akan penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi di UIN Jakarta.
10. Untuk teman-teman PAI C 2009 tercinta, yang selalu mengobarkan api
semangat dalam keputusasaan penulis dan telah memberikan bantuan baik
langsung maupun tidak langsung dengan penuh toleransi ikut serta
memberikan sumbangan yang amat berharga dalam penyelesaian skripsi
ini yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.
Bagi mereka semua, tiada untaian kata dan ungkapan hati selain ucapan terima
kasih penulis, semoga Allah SWT membalas semua amal baik mereka, dan
akhirnya peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi peneliti
dan umumnya kepada pembaca.
Jakarta, 27 Maret 2014
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ……………………………………………… i
SURAT PERNYATAAN ILMIAH …………………………………………………. ii
ABSTRAK …………………………………………………………………………... iii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………..v
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..…. .vii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………… . ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 8
BAB II KAJIAN TEORI
A. Akhlak Belajar ...................................................................................... 9
1. Akhlak ................................................................................................ 9
2. Belajar ............................................................................................... 13
B. Karakter Guru yang Diharapkan dalam Islam .................................. 17
C. Hasil Penelitian yang Relevan ............................................................... 20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian dan Tempat Penelitian ............................................. 22
B. Metodologi Penelitian ............................................................................. 22
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengelohan data...................................... 22
D. Pengecekan Keabsahan Data ................................................................. 23
E. Analisa Data ............................................................................................. 24
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data ......................................................................................... 26
1. Riwayat Hidup Az-Zarnuji ................................................................ 26
viii
2. Pendidikan Az-Zarnuji ...................................................................... 28
3. Karya-karya Az-Zarnuji ................................................................... 30
A. Latar Belakang Penyusunan Kitab Ta’limul Muta’allim .......... 31
B. Sistematika Penulisan Kitab ..................................................... 33
C. Urutan-Urutan Penjelasan ......................................................... 36
D. Komentar Para Ahli Tentang Kitab Ta’limul Muta’allim ........ 37
B. Pembahasan ............................................................................................. 39
1. Akhlak Belajar ......................................................................................... 39
a. Niat saat belajar .................................................................................. 41
b. Memilih Ilmu, Guru dan Teman ........................................................ 43
c. Menghormati Ilmu dan Ahli Ilmu ...................................................... 47
d. Keseriusan, Ketekunan dan Cita-Cita Luhur .................................... 52
e. Metode Belajar ................................................................................... 54
f. Tawakal .............................................................................................. 58
g. Wara ................................................................................................... 60
2. Karakter Guru ......................................................................................... 62
a. al-A’lam (lebih alim) .......................................................................... 64
b. al-Awra’ (Menjaga diri) ..................................................................... 68
c. al-Asanna (Kebapakan)...................................................................... 70
d. Berwibawa ......................................................................................... 72
e. al-Hilm (Santun) ................................................................................ 75
f. Penyabar ............................................................................................. 82
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................................. 89
B. Implikasi ................................................................................................. 89
C. Saran ....................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 91
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 2. Surat Pernyataan Jurusan
Lampiran 3. Surat Uji Referensi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimat.
Demikianlah sabda Rasulullah Saw. Mengenai pentingnya belajar, belajar tidak
bisa dilakukan dengan asal-asalan. Karena jika itu dilakukan, pencarian ilmu
menjadi aktivitas yang sia-sia karena tidak menghasilkan apa-apa. Kalau pun
mampu menguasai ilmu, ilmu tersebut tidak akan memberinya kemanfaatan. Ilmu
hanya sekedar wacana, ilmu menjadi fashion yang diperbincangkan dari mulut ke
mulut, ilmu tidak menjadi berguna sama sekali. Tidak untuk perkembangan
peradaban, tidak untuk kesejahteraan manusia, apalagi mengubah dunia. Ilmu
tidak mampu menolong pemiliknya untuk semakin mendekat kepada tuhan. Justru
sebaliknya, ilmu demikian bisa menjadi petaka.1
Untuk memperoleh ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu lainnya, sudah
barang tentu kita harus memperhatikan adab (tata krama) yang seharusnya kita
ikuti agar ilmu yang kita pelajari tersebut dapat bermanfaat bagi diri kita dan
orang lain. Dan usaha yang intens harus dilakukan agar kita dapat menjadikan
adab tersebut sebagai pakaian yang melekat dalam diri kita, keluarga kita saudara
kita dan di manapun kita berada. Akhlak harus diapresiasikan dalam bentuk riil,
baik itu di sarana pendidikan formal maupun informal.
Akhlak mulia merupakan barometer terhadap kebahagiaan, keamanan,
ketertiban dalam kehidupan manusia dan dapat dikatakan bahwa ahklak
merupakan tiang berdirinya umat, sebagaimana shalat sebagai tiang agama Islam.
Dengan kata lain apabila rusak akhlak suatu umat maka rusaklah bangsanya.
Penyair besar Syauqi pernah menulis:
1 Ahmad Mujib El-Shirazy dan Fahmi arief Al-Muniry, Landasan Etika Belajar Santri,
(Ciputat: Sukses Bersama, 2007), Cet. II h. 62. 2Umar Bin Ahmad Baraja, Akhlak lil Banin, (Surabaya: Ahmad Nabhan, tt), Juz II, h. 2.
2
“Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlaknya selagi
mereka berakhlak/berbudi perangai utama, jika pada mereka telah hilang
akhlaknya, maka jatuhlah umat (bangsa) ini.”
Untuk mencapai akhlak yang baik, manusia bisa mencapainya melalui dua
cara. M. Yatimin Abdullah menjabarkannya sebagai berikut.
Pertama, melalui karunia Tuhan yang menciptakan manusia dengan fitrahnya
yang sempurna, akhlak yang baik, serta nafsu syahwat yang tunduk kepada
akal dan agama. Manusia tersebut dapat memperoleh ilmu tanpa belajar dan
tanpa melalui proses pendidikan. Manusia yang tergolong ke dalam kelompok
ini adalah para nabi dan rasul Allah. Kedua, melalui cara berjuang secara
bersungguh-sungguh (mujahadah) dan latihan (riyadhah), yakni
membiasakan diri melakukan akhlak-akhlak mulia. Ini yang dapat dilakukan
oleh manusia biasa, yaitu dengan belajar dan terus-menerus berlatih.3
Sejak manusia dilahirkan ke alam dunia, tak pernah luput dari dirinya hak dan
kewajiban yang selalu menyertainya dalam mengarungi kehidupan di dunia. Salah
satu hak dan sekaligus kewajiban yang manusia kerjakan adalah menuntut ilmu
(belajar). Belajar merupakan hak yang patut dimiliki oleh manusia, karena dengan
belajar manusia akan mendapatkan ilmu, dimana ilmu merupakan salah satu
bentuk nikmat yang dianugerahkan Allah swt kepada manusia. Adapun belajar
dikatakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, karena tanpa belajar manusia
tidak akan pernah dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban lain yang harus dia
tunaikan di muka bumi ini. Bahkan bagi seorang muslim kewajiban belajar ini
sangat ditekankan sekali, karena ada Hadist yang menerangkan bahwa
“Menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar, menceritakan kepada kami
Hafsu bin Sulaiman, menceritakan kepada kami katsir bin Syindhir dari
Muhammad bin Sirin dari Anas bin Malik dia berkata: Rasulullah Saw. Telah
3M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur'an, (Jakarta: Amzah, 2007),
h. 21.
3
bersabda: Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan orang yang
meletakkan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya (orang yang enggan untuk
menerimanya dan orang yang menertawakan ilmu agama) seperti orang yang
mengalungi beberapa babi dengan beberapa permata, dan emas. (HR. Ibnu
Majah). 4
Hadis itu wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslimin, karena merupakan
suatu tuntutan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Yang patut kita turuti sebagai
suatu bentuk ketaatan kita terhadap rasul setelah ketaatan yang dilakukan kita
kepada Allah.
Islam sebagai agama samawi yang terakhir, dikenal sebagai agama yang
paling universal di antara agama-agama samawi lain yang ada sebelum Islam.
Keuniversalan Islam dikarenakan ajarannya yang bersifat universal terhadap
semua sendi-sendi kehidupan. Sehingga akhlak dalam menuntut ilmu (belajar)
pun ikut tercakup dalam ajaran Islam.
Sejak manusia mengenal peradaban, belajar adalah proses mengenai
peradaban itu sendiri. Dengan demikian, belajar menjadi sebuah aktivitas yang
harus dijalani oleh manusia yang menginginkan nilai peradaban dinamis, baik
untuk dirinya sendiri maupun untuk lingkungannya.
Dalam kaitannya dengan perkembangan manusia, belajar adalah merupakan
faktor penentu proses perkembangan; manusia memperoleh hasil perkembangan
berupa pengetahuan, sikap, keterampilan, nilai, reaksi, keyakinan dan lain-lain
tingkah laku yang dimiliki menusia adalah diperoleh melalui belajar.5 Pendidikan
Islam sangat peduli terhadap hak dan kewajiban para murid (anak didik)
sebagaimana ia juga sangat peduli terhadap hak dan kewajiban para guru termasuk
di dalamnya etika-etika yang harus menjadi pedoman bagi para murid.6
Berangkat dari kesadaran ini, upaya menciptakan belajar yang mempercepat
dan menjamin kesuksesan belajar menjadi sebuah pemikiran tersendiri di
4Imam Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, (Riyadh:
Darussalam, 609-673), h.34. 5Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2007), Cet. III, h.
54. 6Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, penerjemah:
Syamsuddin Asyrafi, dkk., (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), Cet. I, h. 72.
4
kalangan para ilmuan. Sebut saja misalnya Socrates dengan konsep dialektikanya.
Begitu pula dengan tokoh-tokoh lainnya.
Dalam sejarah Islam terdapat seorang yang mempunyai kepedulian yang
tinggi terhadap proses belajar, syaikh Az-Zarnuji, demikian namanya,
menuangkan rangkaian pengalaman dan renungannya tentang bagaimana
seseorang mestinya sukses belajar dalam sebuah kitab. Kitab tersebut diberi nama
kitab Ta’lim Muta’allim. Apa yang beliau tuliskan kemudian menjadi referensi
dasar dari para santri (sebutan pelajar bagi siswa di lingkungan pondok pesantren)
hingga saat ini. Terutama di pondok pesantren salaf.
Salah satu unsur penting dari proses kependidikan adalah guru. Oleh karena
itu guru mempunyai tanggung jawab mengantarkan peserta didik untuk mencapai
tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan
tersebut, guru harus memenuhi kebutuhan peserta didik, baik spiritual, intelektual,
moral maupun kebutuhan fisik peserta didik.7
Keberhasilan pendidikan tergantung pada banyak faktor, namun yang
terpenting di antara faktor-faktor tersebut adalah sumber daya pontensial guru.
Pendidik akan berhasil menjalankan tugasnya apabila mempunyai kompetensi
personal-religius, sosial-religius, dan profesional religius. Kata religius selalu
dikaitkan dengan tiap-tiap kompetensi, karena menunjukan adanya komitmen
pendidik dengan ajaran Islam sebagai kriteria utama, sehingga segala masalah
pendidikan dihadapi, dipertimbangkan, dan dipecahkan, serta ditempatkan dalam
persfektif Islam.8
Guru agama Islam sebagai salah satu komponen proses belajar mengajar
memiliki multi peran, tidak terbatas hanya sebagai “pengajar” yang melakukan
transfer of knowledge tetapi juga bertanggung jawab atas pengelolaan (manager
of learning), pengarah (director of learning), fasilitator, dan perencanaan (the
planner of future society).9 Sebagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara: “Tut Wuri
7 Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2005), h. 41. 8 Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, ilmu pendidikan islam, (Jakarta: kencana, 2006), h.
95. 9 Bukhori Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 88.
5
Handayani, Ing Garso Sung Tolodo, Ing madyo mangun karso". Tidak cukup
dengan menguasai materi pelajaran akan tetapi mengayomi murid, menjadi contoh
atau teladan bagi murid serta selalu mendorong murid untuk lebih baik dan
maju.10
Bagi seorang guru agama, diperlukan syarat lain, di samping syarat-syarat
yang biasanya diperlukan bagi seorang guru, yang bukan pengajar agama. Guru
agama hendaknya mengetahui sekedarnya ciri perkembangan jiwa agama pada
anak dalam tiap tahap umur, serta mengetahui pula latar belakang dan pengaruh
pendidikan, serta lingkungan, dimana si anak lahir dan dibesarkan. Dan guru
agama hendaknya menyadari bahwa pendidikan agama bukanlah sekedar
mengajarkan pengetahuan agama dan melatih keterampilan anak dalam
melaksanakan ibadah. Akan tetapi pendidikan agama jauh lebih luas dari pada itu,
ia pertama bertujuan untuk membentuk kepribadian anak sesuai dengan
pengajaran agama. Pembinaan sikap, mental, dan akhlak jauh lebih penting dari
pada pandai menghafal dalil-dalil dan hukum agama, yang tidak diresapkan dan
dihayatinya dalam hidup. Oleh sebab itu pendidikan agama hendaknya diberikan
oleh guru yang benar-benar tercermin agama dalam hidupnya, atau dengan singkat
bahwa pendidikan agama sukses, apabila ajaran agama itu hidup dan tercermin
dalam pribadi guru agama itu.11
Bagaimanakah sosok guru yang diharapkan yang bisa diterima oleh setiap
pihak, baik dari sudut pandang siswa, pemerintah orang tua maupun masyarakat?
Dari sudut pandang siswa, guru idaman adalah guru yang memiliki
penampilan sedemikian rupa sebagai sumber motivasi belajar yang
menyenangkan. Pada umumnya siswa mengidamkan gurunya memiliki sifat-
sifat yang ideal sebagai sumber keteladanan, bersikap ramah dan penuh kasih
sayang, penyabar, menguasai materi ajar, mampu mengajar dengan suasana
menyenangkan. Dari sudut pandang orang tua murid, guru yang diharapkan
adalah guru yang dapat menjadi mitra pendidik bagi anak-anak yang
dititipkan untuk dididik. Dari sudut pandang pemerintah, menginginkan agar
guru itu mampu berperan secara profesional sebagai unsur penunjang dalam
kebijakan. Dari sudut pandang masyarakat luas, pada hakikatnya guru adalah
10
Martinis Yamin, Sertifikasi Profesi Keguruan Di Indonesia, ( Jakarta: Gaung Persada
Press, 2007), h. 23. 11
Zakiyah Daradzat, Ilmu Jiwa agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 106.
6
wakil masyarakat di lembaga pendidikan, dan wakil lembaga pendidikan di
masyarakat”.12
Banyak para filosof muslim memberikan perhatian yang sangat besar lewat
berbagai tulisanya terhadap eksistensi guru, termasuk di dalamnya mengenai hak
dan kewajibannya. Mereka banyak menulis tentang beberapa sifat yang harus
dimiliki olehnya. Di antaranya adalah Burhanuddin Az-Zarnûjî yang hidup sekitar
akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13 M pada masa Bani Abbasiyah.
Az-Zarnûjî adalah sosok pemikir pendidikan Islam yang banyak menyoroti
tentang etika dan dimensi spiritual dalam pendidikan Islam. Dalam karyanya Az-
Zarnûjî lebih mengedepankan pendidikan tentang etika dalam proses pendidikan.
Beliau mengisyaratkan pendidikan yang penekanannya pada mengolah hati
sebagai asas sentral bagi pendidikan.
Az-Zarnûjî dalam muqaddimah kitabnya “Ta’lîm al-Muta’allim” menjelaskan
latar belakang penyusunan kitabnya. Yaitu diawali karena banyaknya para pencari
ilmu yang tidak mendapat ilmu atau dia mendapat ilmu tapi tidak mendapat
kemanfaatan dari ilmu tersebut. Itu disebabkan karena kurangnya akhlak atau
etika dalam mencari ilmu. Kemerosotan moral para pencari ilmu dan pendidik
yang dirasakan Az-Zarnuji pada saat itu, kini masih kita rasakan bahkan jauh
lebih mengkhawtirkan.
Kemerosotan moral banyak terjadi di dunia pendidikan bangsa ini. seperti
beberapa kasus oknum pendidik dan pelajar yang melakukan perilaku tidak
bermoral. Seperti kasus siswi SMK di Bandung yang menjadi korban pelecehan
kepala sekolah,13
kasus oknum guru SMA di Sanden yang melakukan tindak
asusila terhadap seorang siswa SMP di Bambangliporo,14
kasus mantan kepala
12
Mohamad Surya, Bunga Rampai Guru Dan Pendidikan, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004),
h. 21. 13
Oris Riswan, “Kisah Siswi SMK Korban Pelecehan Seksual Kepala Sekolah,” Artikel
diakses pada Senin, 03 Juni 2013 12:50 wib dari Okezone.com. 14
M. Nur Huda, “Guru Pelaku Asusila di Bantul Ditolak mengajar oleh Muridnya,”
Artikel diakses pada Jumat, 22 November 2013 11:57 wib. Dari Tribun News.com.
7
sekolah SMKN 4 Bandung divonis 3 tahun penjara setelah mencabuli 5 siswinya15
dan kasus 7 siswa SD di Tulungagung yang mencabuli temanya di kelas.16
Dari beberapa kasus tidak bermoral oknum pendidik dan pelajar tersebut,
menurut hemat penulis akhlak belajar dan karakter guru yang ditawarkan oleh Az-
Zarnûjî perlu mendapat sorotan yang serius dan sungguh-sungguh. Hal itu
diharapkan bisa memberikan solusi alternatif bagi persoalan guru di Indonesia.
Oleh karena itu, untuk mengenal lebih jauh tentang karakter guru versi Az-Zarnûjî
dan diri pribadinya, maka penulis memberi judul “AKHLAK BELAJAR DAN
KARAKTER GURU (STUDI PEMIKIRAN SYEKH AZ-ZARNUZI
DALAM KITAB TA’LÎM AL-MUTA’ALLIM)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1. Banyaknya murid yang kurang memiliki akhlak di dalam belajar.
2. Kurangnya kesadaran guru akan pentingnya akhlak yang mulia.
3. Kurangnya kepribadian guru Pendidikan Agama Islam yang mencakup aspek
jasmani, intelektual, sosial dan moral dilihat dari sudut pandang Islam.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Az-Zarnûjî adalah salah satu tokoh pendidikan Islam yang hidup pada zaman
pemerintahan Abbasiyah. Pemikirannya dituangkan dalam sebuah karyanya yang
diberi judul Ta’lîm al-Muta’allim yang memuat tentang adab atau etika murid
dalam mencari ilmu dan di dalamnya terdiri dari tiga belas pasal.
Agar permasalahan tidak melebar, maka pada penelitian ini dibatasi hanya
pada seputar akhlak murid dan karakter guru Pendidikan Agama Islam menurut
Az-Zarnûjî yang terdapat dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim. Karakter adalah
“sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti.”17
Adapun yang dimaksud karakter
dalam penelitian ini adalah sifat-sifat yang baik yang harus dimiliki oleh guru
15
Oris Riswan, “Cabuli 5 Siswi SMK, Mantan Kepsek Divonis 3 Tahun Penjara,” Artikel
diakses pada Selasa, 04 Maret 2014 15:43 wib. Dari Okezone.com. 16
M. Nur Huda, “7 Siswa SD di Tulungagung Cabuli Teman di Kelas,” Artikel diakses
pada Selasa, 10 Desember 2013 11:07 wib. Dari Tribun News.Com. 17
Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2008), Cet. IV, h. 628.
8
Pendidikan Agama Islam dan kepribadian guru Pendidikan Agama Islam. Seperti
wara’, sabar, berwibawa, dan sebagainya.
Adapun perumusan masalah dalam pembahasan ini adalah:
1. Bagaimana akhlak belajar siswa yang baik menurut Az-Zarnuji dalam
kitab Ta’lim al-Muta’allim?
2. Bagaimana karakter yang harus dimiliki oleh guru Pendidikan Agama
Islam yang baik menurut Az-Zarnûjî dalam kitab Ta’lîm al-
Muta’allim?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menyingkap akhlak belajar dalam pandangan Az-Zarnuji yang
terdapat dalam kitab Ta’lim al-muta’allim.
2. Untuk menyingkap karakter guru yang diharapkan Islam dalam pandangan
Az-Zarnûjî yang terdapat dalam kitab Ta’lîm al-muta’allim.
3. Untuk mengenal dan mengetahui lebih dalam pemikiran Az-Zarnûjî.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini sedikit banyaknya dapat menambah kontribusi dalam
ilmu pengetahuan khususnya dibidang pendidikan.
2. Hasil penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindaklanjuti oleh
penulis berikutnya.
3. Memberikan sumbangsih karya ilmiah yang bermanfaat untuk
dipersembahkan kepada para pembaca pada umumnya dan khususnya bagi
penulis sendiri.
9
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Akhlak Belajar
1. Akhlak
Rasulullah Saw. diutus di muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak.
Dalam pergaulan, akhlak sangatlah penting untuk menciptakan kehidupan
yang harmonis antar sesama. Untuk lebih memperjelas seyogyanya kita harus
mengerti apa itu akhlak. Adapun pengertian akhlak dari segi bahasa berasal
dari bahasa Arab yang merupakan jamak dari kata khalaqa yang berarti
tabi‟at atau budi pekerti.1
Secara linguistik (kebahasaan) kata akhlak merupakan isim jamid atau
isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan
kata tersebut memang begitu adanya. Kata akhlak adalah jama dari kata
khulqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti akhlak sebagaimana telah
disebutkan di atas. Baik kata akhlak atau khuluq kedua-duanya dijumpai
pemakaiannya dalam al-Qur‟an maupun Hadis, sebagaimana terlihat berikut
ini :
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS.
al-Qalam/68: 4)
“(agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu”. (QS.
asy-Syu‟ara/26: 137)
1 A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 2002), cet. XXV, h. 364.
10
“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada
kami Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin Amer, telah menceritakan
kepada kami Abu Salamah dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah Saw.
bersabda: Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang
yang sempurna budi pekertinya.” (H.R. Tirmiżî)
“Menceritakan kepada aku dari Malik bahwasannya benar-benar sampai
kepadanya sesungguhnya Rasulallah Saw. bersabda (Aku diutus untuk
memperbaiki kemuliaan akhlak).” (H.R. Malik bin Anas dari Anas bin
Malik).3
Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, akhlak atau kelakuan manusia
sangat beragam, dan bahwa firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu
argumen keanekaragaman tersebut.4
“Sungguh, usahamu memang beraneka macam.”5 (Q.S. al-Lail/92: 4)
Ayat pertama di atas menggunakan khuluq dalam arti budi pekerti, ayat kedua
menggunakan kata akhlâq untuk arti adat kebiasaan. Selanjutnya hadis yang
pertama menggunakan kata khuluq untuk arti budi pekerti, dan hadis kedua
menggunakan kata akhlâq, juga untuk arti budi pekerti. Dengan demikian, kata
2 Sunan At-turmidji, Software Mausugul Hadits As-Syrief, (Kitab Rodho‟, No. Hadits
1082). 3Imam Jalaludin Abdurrahman as-Suyuti, Kitab al- Muwaththa, (Beirut: Dar al-Fikr, 95-
179), 756. 4M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. IV, h. 253-254.
5Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya…, h. 595.
11
akhlâq dan khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan,
perangai, muru'ah, atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabiat atau tradisi.6
Akhlak dari segi bahasa ini membantu penulis dalam menjelaskan pengertian
akhlak dari segi istilah. Namun demikian, pengertian akhlak dari segi bahasa ini
sering digunakan untuk mengartikan akhlak secara umum. Akibatnya segala
sesuatu perbuatan yang sudah dibiasakan dalam masyarakat atau nilai-nilai
budaya yang berkembang dalam masyarakat disebut akhlak.
Demikian pula aturan baik buruk yang berasal dari pemikiran manusia,
seperti: etika, moral, dan adat kebiasaan juga dinamakan akhlak. Persepsi ini tidak
sepenuhnya tepat, sebab antara akhlak, moral, etika dan adat kebiasaan terdapat
perbedaan. Akhlak bersumber dari agama, sedangkan etika, moral, adat kebiasaan
berasal dari pemikiran manusia.
Perlu dijelaskan pengertian akhlak menurut istilah yang diberikan para ahli di
bidangnya. Ibnu Miskawih sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dalam
kitabnya Tahdzibul Akhlak. Dalam masalah ini, ia termasuk pemikir Islam yang
terkenal. Dalam setiap pembahasan akhlak dalam Islam, pemikirannnya selalu
menjadi perhatian orang. Hal ini karena pengalaman hidupnya sendiri yang ada
waktu usia muda sering dihabiskan pada perbuatan-perbuatan yang sia-sia, telah
menjadi dorongan kuat baginya untuk menulis kitab tentang akhlak sebagai
tuntunan bagi generasi berikutnya.7
“Sikap yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan
perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.
Dalam konsepnya akhlak adalah suatu sikap mental (halun lin nafs) yang
mendorong untuk berbuat tanpa pikir dari pertimbangan. Keadaan atau sikap jiwa
ini terbagi dua: ada yang berasal dari watak (tempramen) dan ada yang berasal
dari kebiasaan dan latihan. Dengan kata lain tingkah laku manusia mengandung
dua unsur: unsur watak naluri dan unsur usaha lewat kebiasaan dan latihan.
6Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : CV. Karya Mulia,2005), Cet. II, h. 26.
7Ibid., h. 27.
12
Sementara itu al-Ghazali yang bergelar sebagai Hujjatul Islam (pembela
Islam), karena kepiawaiannya membela Islam dari berbagai paham yang
menyesatkan, lebih luas lagi dengan dikemukakan oleh Ibnu Miskawih di atas.
Menurut Imâm al-Ġazâli, akhlak ialah:
“Sikap yang mengakar dalam jiwa manusia yang darinya lahir berbagai
perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan
pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan
terpuji, baik dari segi akal syara‟, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan
jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak
yang buruk.”
Akhlak dalam konsepsi al-Ghazali tidak hanya terbatas pada apa yang dikenal
dengan teori “teori menengah” dalam keutamaan seperti yang disebut oleh
Aristoteles, dan pada sejumlah sifat keutamaan akali dan amali, perorangan dan
masyarakat. Semua sifat ini bekerja dalam suatu kerangka umum yang mengarah
kepada suatu sasaran dan tujuan yang telah ditentukan.
Adapun M. Abdullah Diraz mendefinisikan “akhlak sebagai sesuatu kekuatan
dalam kehendak yang mantap, kekuatan berkombinasi membawa kecenderungan
dalam pemilihan pihak yang benar (akhlak baik) atau pihak yang jahat (akhlak
rendah)”.9
Sedangkan menurut Ahmad Amin sebagaimana yang dikutip oleh M. Yatim
mengatakan “bahwa akhlak ialah kebiasaan baik dan buruk. Contohnya apabila
8Abû Hâmid al-Ġazâlî, Ihyâ' „Ulûm ad-Dîn, Jilid III, (Beirut: Dâr al-kutub ilmiyah, 1987),
h. 73. 9 Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan Bag. III,
(Jakarta: Grasindo, 2007), Cet. II, h. 21.
13
kebiasaan memberi sesuatu yang baik, maka disebut akhlaqul karimah dan bila
perbuatan itu tidak baik disebut akhlaqul madzmumah”.10
Menurut Farid Ma‟ruf sebagaimana yang dikutip oleh M. Yatim
mendefinisikan “akhlak sebagai kehendak jiwa manusia yang menimbulkan
perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan
pikiran terlebih dahulu”.11
Jika diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa seluruh definisi akhlak
sebagaimana tersebut diatas tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi,
yaitu suatu sifat yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan
lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan
sudah menjadi kebiasaan.
2. Belajar
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan belajar, langkah awal harus
dipahami apa arti belajar itu sendiri.
Kata belajar secara leksikal berarti usaha memperoleh kepandaian atau
ilmu.12
Karena belajar merupakan sebuah usaha mencapai ilmu tertentu, maka
seseorang yang sedang belajar seharusnya rajin berlatih.
Sedangkan secara terminologis, belajar menurut B.F. Skinner sebagaimana
yang dikutip oleh Muhibbin Syah dalam bukunya Psikologi Belajar berpendapat
bahwa belajar adalah “… a process of progressive behavior adaption”, yaitu
suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara
progresif”.13
Pendapat Chaplin dalam Dictionary of Pschology sebagaimana yang dikutip
oleh Muhibbin Syah membatasi belajar dengan dua macam rumusan, yaitu “…
acquisition of any relatively permanent change in behavior is a result of practice
and experience (perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai
10
M. Yatim Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif al-Quran, (Jakarta: Amzah 2007), h.
3. 11
Ibid., h. 4. 12
Pusat Bahasa Depeartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2008) edisi ke-IV, h. 23. 13
Muhibbin Syah, Psikolgi Belajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), Cet. X,
h. 64.
14
akibat latihan dan pengalaman) dan process of acquiring responses as a result of
special practice (proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan
khusus)”.14
Menurut James O. Wittaker sebagaimana yang dikutip oleh Wasty Soemanto,
“belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau
diubah melalui latihan atau pengalaman.”15
Muhibbin Syah mengutip Hintzman dalam bukunya the psychology of
learnning and memory berpendapat bahwa “ learning is a change in organism due
to experience whicc can effect the organism‟s behavior (belajar adalah suatu
perubahan yang terjadi dalam diri organisme, manusia atau hewan, disebabkan
oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut)”.16
Lain halnya dengan Wittig dalam bukunya Psychology of Learning
mendefinisikan belajar sebagai: “any relatively permanent change in an organism
behavioral repertoire that accurs as a result experince” (belajar ialah perubahan
yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku
suatu organisme sebagai hasil pengalaman).17
Sedangkan menurut Reber, dalam kamusnya Dictionary Psychology
membatasi belajar dengan dua definisi, yaitu: “The process of acquiring
knowledge (proses mempeeroleh pengetahuan)”, dan pengertian yang lain
menurut Reber adalah “A relatively permanent change in respons potentiality
which occurs as a result of reinporced practice (suatu perubahan kemampuan
bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat)”.18
Banyak sekali macam kegiatan yang dapat digolongkan sebagai kegiatan
belajar, seperti mencari arti sebuah kata dalam kamus, mengingat dan menghafal
puisi, mengoperasikan mesin ketik, membaca pelajaran, membuat latihan
pekerjaan rumah, mendengarkan penjelasan guru, menelaah ulang apa yang sudah
dipelajari di sekolah, meringkas, berdiskusi, dan lain sebagainya. Robert M.
14
Ibid., h. 65. 15
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan,
(Jakarta, Rineke Cipta 2006), Cet . V, h.104. 16
Muhibbin, loc.cit. 17
Muhibbin, Ibid., h. 66. 18
Muhibbin, Ibid.
15
Gagne dalam bukunya “Essential of Learning for Instruction” memberikan
definisinya tentang belajar atau yang dikenal dalam istilah lain dengan Learning.
“Learning is a process of which certain kind of living organisms are capable-
many animals, including human beings, but not plants. It is a process which
enable these organisms to modify their behavior fairly rapidly in a more or less
permanent way, so that the same modification does not have to occur again and
again in each new situation”.19
Dari paparan Robert M. Gagne di atas, dapat dipahami bahwa belajar
merupakan suatu proses yang dilakukan oleh mahluk hidup, kecuali tumbuhan,
yang dengan proses itu diharapkan adanya perubahan pada perilaku dan tindakan
sehingga mereka siap untuk kehidupan yang baru.
Di dalam pendidikan Islam banyak sekali orang-orang yang berperan dalam
mengembangkan Pendidikan Islam. Al-Ghazali dan Al-Zarnuji merupakan salah
satu tokoh Islam yang peduli dan menyumbangkan pemikirannya tentang aktivitas
belajar. Menurut al-Ghazali, belajar adalah usaha orang untuk mencari ilmu20
.
Belajar sangat berkaitan dengan ilmu, karena dalam proses belajar ada tujuan
yang ingin dicapai oleh si-pembelajar dan tujuan itu adalah ilmu, lebih jauh al-
Ghazali menerangkan bahwa pendekatan belajar dalam mencari ilmu dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan ta‟lim insani dan ta‟lim rabbani.
Lebih lanjut al-Ghazali menerangkan bahwa ta‟lim insani adalah belajar dengan
bimbingan manusia21
, yaitu pendekatan yang umum dipakai dalam proses
pendidikan, baik di lingkungan pendidikan formal ataupun di lingkungan
pendidikan non-formal. Sedangkan ta‟lim rabbani yaitu proses belajar dengan
bimbingan Tuhan.22
Dalam proses ini dilakukan dengan Tafakkur, yaitu membaca
realitas dalam berbagai dimensi kehidupan spiritual.
Selain al-Ghazali yang banyak dikenal sebagai praktisi dan pemikir
pendidikan dalam Islam, dikenal juga Burhanuddin al-Islam Az-Zarnuji. Beliau
19
Robert M.Gagne, Essential of Learning for Instruction, (Dryden Press. 1974), h. 5. 20
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran,(Jogjakarta: Ar-
Ruzz, 2009), cet.II, h. 42. 21
Baharuddin, Ibid., h. 44. 22
Baharuddin, Ibid., h. 48.
16
adalah pengarang kitab “Ta‟lim al-Muta‟allim Thuruq al-Ta‟allum”. Di dalam
kitab tersebut, Az-Zarnuji membagi ilmu dalam empat kategori. Pertama, ilmu
fardu „ain, yaitu ilmu yang wajib dipelajari. Kedua, ilmu fardu kifayah, yaitu ilmu
yang dibutuhkan hanya pada saat-saat tertentu saja. Ketiga, ilmu haram, yaitu
ilmu yang tidak diperbolehkan untuk dipelajari, karena ditakutkan hanya dipakai
untuk menipu dan berbuat jahat. Keempat, ilmu jawaz, yaitu ilmu yang boleh
dipelajari karena bermanfaat bagi manusia23
.
Di dunia pendidikan barat kita banyak mengenal tokoh-tokoh yang berperan
di dalam pendidikan. Dari tokoh-tokoh inilah kemudian lahir berbagai definisi
dari belajar. Menurut teori kognitif, belajar menunjukan adanya jiwa yang sangat
aktif, jiwa mengolah informasi yang kita terima, tidak sekedar menyimpannya
saja tanpa mengadakan transformasi. Menurut teori ini anak memiliki sifat aktif,
konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Sedangkan menurut teori
psikologi asosiasi atau koneksionisme dengan tokohnya yang terkenal Thorndike.
Berangkat dari salah satu hukum belajarnya "law of exercise", ia mengemukakan
bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan
pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang
timbulnya respons benar. Seperti pepatah "latihan menjadikan sempurna".24
Lebih
jauh DR. Prayitno menafsirkan belajar merupakan proses perubahan tingkah laku
individu yang diperoleh melalui pengalaman, melalui stimulus respon, melalui
pembiasaan, melalui peniruan, melalui pengalaman dan melalui penghayatan,
melalui aktivitas individu meraih sesuatu yang dikehendakinya.25
Berbagai definisi tentang belajar dari bermacam-macam tokoh dengan latar
belakang yang berbeda-beda. Tetapi ada beberapa ciri yang dapat
diidentifikasikan sebagai kegiatan belajar yaitu bahwa belajar itu adalah suatu
proses perubahan di dalam pribadi manusia, dan perubahan tersebut ditampakan
dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan
23
Baharuddin, Ibid., h. 53. 24
Dimyati Dan Mudjiono, Belajar Dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h.
44-47. 25
Prayitno, Dasar Teori Dan Praksis Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2009 ), h. 203.
17
kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman keterampilan, daya pikir,
dan lain-lain26
.
Dari beberapa pengertian belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar
adalah proses perubahan yang menetap dari tingkah laku individu sebagai hasil
pengalaman, ilmu pengetahuan, dan interaksi dengan lingkungan.
Dari pengertian belajar di atas, dan setelah melihat kembali pembahasan
akhlak pada bagian terdahulu tampaknya dapat ditarik satu garis merah bahwa
akhlak belajar merupakan sikap dan perilaku yang seharusnya dimiliki oleh setiap
pelajar dalam proses perubahan yang menetap dari tingah laku individu sebagai
hasil pengalaman dan lmu pengetahuan serta interaksi dengan lingkungan. Akhlak
belajar berarti juga serangkaian etika yang hendaknya menjadi „pakaian‟ bagi
seseorang yang sedang menuntut ilmu.
Setiap pelajar senyatanya menginginkan kesuksesan terhadap apa yang
sedang dipelajarinya. Aklak belajar tidak lain adalah sikap batin dalam diri sang
pelajar yang mendukungnya mencapai kesuksesan dalam belajar. Dengan
sendirinya akhlak belajar akan terwujud kedalam metode belajar.
B. Karakter Guru yang Diharapkan dalam Islam
Istilah karakter dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan baru muncul
pada abad 18, terminologi ini biasanya mengacu kepada sebuah pendekatan
idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan
normatif. Namun sebenarnya pendidikan karakter telah lama menjadi inti sejarah
pendidikan itu sendiri.27
Menurut Wyyne, istilah karakter berasal dari kata Yunani yang berarti "To
Mark" (menandai), yang lebih terfokus pada melihat tindakan atau tingkah laku.
Selanjutnya Wyyne mengatakan bahwa ada dua pengertian tentang karakter.
Pertama, ia menunjukan bagaimana seseorang bertingkah laku apabila seseorang
berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut
memanifestasikan perilaku buruk, sebaliknya apabila seseorang berperilaku jujur,
26
Thursan Hakim, Belajar Dan Prinsif belajar, (Jakarta: Puspa Suara, 2010), h. 1. 27
Dony Koesoema, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak Di Zaman Global,
(Jakarta: Grasindo, 2007), h. 9.
18
suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua,
istilah karakter erat kaitannya dengan "personality" seseorang baru bisa disebut
orang berkarakter "a person of Character" apabila tingkah laku sesuai kaidah
moral.28
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter berarti “tabiat, watak; sifat-
sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang
lain. Berkarakter artinya berkepribadian: bertabiat dan berwatak.”29
Karakter memang sulit didefinisikan tetapi lebih mudah dipahami melalui
uraian-uraian (describe) berisikan pengertian. Berikut ini beberapa pengertian
karakter yang saling isi-mengisi dan memperjelas pemahaman kita tentang arti
karakter.
Menurut Sigmund Freud: "Character is a striving system which underly
behaviour". Karakter dapat diartikan sebagai kumpulan tata nilai yang mewujud
dalam suatu sistem daya juang yang melandai pemikiran, sikap dan perilaku.30
Sedangkan karakter menurut Prof. Dr. Conny R. Semiawan, karakter adalah
keseluruhan kehidupan psikis seseorang hasil interaksi antara faktor-faktor
endogin dan faktor eksogin atau pengalaman seluruh pengaruh lingkungan.
Pengertian karakter dalam agama Islam lebih dikenal dengan istilah akhlak,
seperti yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali: akhlak adalah sifat yang tertanam
atau menghujam di dalam jiwa dan dengan sifat itu seseorang akan secara spontan
dapat dengan mudah memancarkan sikap, tindakan dan perbuatan.
Pengertian karakter menurut Webster New Word Dictionary adalah
distinctive trait (sikap yang jelas), distinctive quality (kualitas yang tinggi), moral
strength (kekuatan moral), the pattern of behaviour found in an individual or
group (pola perilaku yang ditemukan dalam individu maupun kelompok).31
28
Hernowo, Mengobrolkan Kegiatan Belajar Mengajar Berbasiskan Emosi, (Bandung:
MLC, 2005), Cet. I, h. 99 & 101. 29
Pusat Bahasa Depeartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2008), edisi ke-IV, h. 628. 30
Soemarno Soedarsono, Jati Diri Bangsa (Jakarta: Elex Media Komputindo,2007), h..
15. 31
Soedarsono, Ibid., h. 17.
19
Di dalam bukunya Alisuf Sabri disebutkan bahwa “character is personality
evaluated. If by saying some one has “personality” you menat that he is friendly,
enthusiastic, moderate, honest, open or loving, you are really refering to
character”. Watak merupakan kepribadian yang bernilai (baik menurut standar
moral dan kode etik) seperti: ramah tamah, bersemangat, tabah, tulus hati,
terbuka, penyayang dan sebagainya.32
Menurut Ibnu Miskawaih, karakter (khuluq) merupakan suatu keadaan jiwa.
Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan
secara mendalam.33
Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa karakter pendidik/guru adalah
kualitas mental atau kekuatan moral, akhlak atau budi pekerti pendidik/guru yang
merupakan kepribadian khusus yang harus melekat pada pendidik. Seseorang
dapat dikatakan berkarakter apabila telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan
yang dikehendaki masyarakat, melekat sebagai perilakunya serta digunakan
sebagai kekuatan moral di dalam hidupnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Guru Agama
adalah “guru yang mengajarkan mata pelajaran agama.”34
Menurut Mohammad Natsir seorang guru agama Islam harus memahami
dasar dan tujuan pendidikan. Bahwa dasar dari pelaksanaan pendidikan adalah
tauhid, dan tujuannya adalah penghambaan kepada Allah li ya'buduni.35
.
Dalam hal pendidik Islam ini Al-Ghozali mewajibkan kepada para pendidik
Islam harus memiliki adab yang baik, karena anak didiknya selalu melihat
pendidiknya sebagai contoh yang harus diikuti.36
Dari pengertian di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa guru
pendidikan agama Islam adalah orang yang telah mengkhususkan dirinya untuk
melakukan kegiatan menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam terhadap peserta
32
Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1993), h. 92-93. 33
Abdullah, op. cit., h. 4. 34
Tim Penyusun Pusat Bahasa. op.cit., h. 377. 35
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 123. 36
Zuhairini Dkk, Filsafat Pendidikan islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet. V, h. 170.
20
didiknya sebagai pelaksana dari sistem pendidikan untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan.
C. Hasil Penelitian yang Relevan
Dalam proses penulisan skripsi ini penulis mendapatkan kajian yang relevan
selama proses penelitian dan penulisan, yang membahas tentang Syekh Az-
Zarnuji dan karya satu-satunya yaitu kitab Ta‟limul Muta‟allim. Terdapat dalam
beberapa buku dan juga terdapat dalam Disertasi dan Skripsi, di antaranya
terdapat banyak terjamah kitab ini. Yaitu, buku karangan Drs. H. Aliy As‟ad yang
berjudul Terjemah Ta‟limul Muta‟allim, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu
Pengetahuan. Buku karangan Muhammad Thaifuri yang berjudul Pedoman
Belajar Bagi Penuntut Ilmu Secara Islami, buku karangan Drs. M. Ali Chasan
Umar yang berjudul Petunjuk Menjadi Cendikiawan Muslim. Buku karangan
Ahmad Mudjib dan Fahmi Arief yang berjudul Landasan Etika Belajar Santri.
Buku-buku tersebut di samping menerjemahkan kitab Ta‟lim Muta‟allim,
juga banyak memuat informasi lain seperti biografi Syekh. Az-Zarnuji,
menjelaskan tentang kedudukan hadits yang terdapat di kitab Ta‟lim Muta‟allim
dan analisa dari masing-masing pendapat sang penerjemah.
Adapun skripsi dan tesis yang relevan dengan kajian penulis yaitu, skripsi
mahasiswa IAIN Semarang tahun 2008. M. Mahfuzh yang berjudul Nilai-nilai
Pendidikan Akhak dalam Syairan Kitab Ta‟lim Muta‟allim. Yang isinya menelaah
syair dalam kitab Ta‟lim Muta‟allim yang berkaitan dengan akhlak. Dalam kitab
Ta`lim al-Muta`allim terdapat beberapa syairan yang mempunyai nilai-nilai
mengajarkan proses pembelajaran yang baik dan syairan ini merupakan penguat
dari isi kitab Ta`lim al-Muta`allim. Reward and Punishment: Sebagai Metode
Pendidikan Anak (Studi Pemikiran Ibnu Maskawaih, Al-Ghozali dan Al-Zarnuji):
Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2001, yang ditulis oleh
Maemonah, yang mana dalam hubungannya dengan metode reward and
punishmemnt, dalam kitab ta‟lim menurutnya dapat dilihat melalui hubungan guru
dan murid. Skripsi Unun Zumairoh Asri Himsyah yang berjudul Konsep
Pendidikan Islam Menurut Perspektif Al-Zarnuji. Dalam skripsi tersebut hanya
membahas tentang konsep pendidikan al Zarnuji yang terdiri dari 13 fasal yang
21
terpengaruhi dari budaya tempat dimana al Zarnuji tinggal dan menciptakan
tulisannya itu.
Adapun skripsi yang akan penulis ajukan ini adalah sebagai lanjutan dan
pengembangan dari penelitian yang telah ditulis oleh para peneliti sebelumnya,
dengan mencoba menelaah dan mencari tahu tentang signifikansi dari kitab Ta‟lim,
untuk mengungkap pemikiran pendidikan al-Zarnuji lebih spesifik tentang akhlak
belajar dan karakter guru yang tertuang dalam kitab Ta‟lim al-Muta‟allim.
22
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian dan Tempat Penelitian
Penelitian yang berjudul “Akhlak Belajar dan Karakter Guru (Studi Atas
Pemikiran Syekh Az-Zarnuji dalam Kitab Ta’limul Muta’allim)”. Penulisan
skripsi ini dilaksanakan dari bulan Mei 2013 sampai bulan Januari 2014
digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang
diperoleh dari teks book yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang
mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan pemikiran Syekh Az-
Zarnuji tentang akhlak belajar dan karakter guru.
B. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dan metode
yang digunakan Metode Deskriptif. Yaitu penelitian yang bermaksud
menggambarkan tentang suatu variabel, gejala atau keadaan “apa adanya”, dan
tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu.1 Ditunjang oleh data-data
yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Karena
permasalahan yang akan diteliti mengkaji sejarah maka dari itu diperlukan
banyaknya literatur-literatur yang relevan dengan skripsi ini.
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Teknik pengumpulan data
Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang
mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, maka
penulis menggunakan metode penelitian studi dokumentasi, yaitu
mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan
bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruangan perpustakaan,2
misalnya berupa buku-buku, naskah, catatan kisah sejarah; internet dan
1Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), Cet. 10, h.
234. 2Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
(Bandung: PT Alfabeta, 2008), h. 329.
23
sumber lain, yang berhubungan dengan Syekh Az-Zarnuji dan pemikirannya
tentang akhlak belajar dan karakter guru.
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari literatur
yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan
data-data melalui bahan bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer
dan buku-buku sekunder atau sumber sekunder lainnya.
Penelitian skripsi ini dilakukan melalui riset pustaka (library research).
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data primer
Data primer adalah literatur-literatur yang membahas secara
langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu berupa karya dari
Az-Zarnûjî, yakni kitab Ta’lîm al-Muta’allim.
b. Data sekunder
Sumber data sekunder sebagai data pendukung yaitu berupa data-
data tertulis baik itu buku-buku maupun sumber lain yang memiliki
relevansi dengan masalah yang dibahas.
2. Teknik Pengelolahan data
Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan
adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklasifikasi
data-data yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk
selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh.
D. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data pada skripsi ini dapat dilakukan dengan empat
cara, yaitu:
1. Kredibilitas data
Kriteria kredibilitas melibatkan penetapan hasil penelitian kualitatif adalah
kredibel atau dapat dipercaya dari perspektif partisipan dalam penelitian
tersebut. Strateginya meliputi perpanjangan pengamatan, ketekunan
penelitian, triangulasi (mengecek keabsahan data dengan memanfaatkan
berbagai sumber dari luar data sebagi bahan perbandingan), diskusi teman
sejawat, analisis kasus negatif dan membercheking.
24
2. Transferabilitas.
Dilakukan dengan cara memberikan kesempatan kepada semua orang
untuk membaca laporan penelitian sementara yang telah dihasilkan oleh
peneliti, kemudian pembaca diminta untuk menilai substansi penelitian
tersebut dalam kaitannya dengan fokus penelitian. Peneliti dapat
meningkatkan transferabilitas dengan melakukan suatu pekerjaan
mendeskripsikan konteks penelitian dan asumsi yang menjadi sentral pada
penelitian tersebut. Dengan kata lain apakah hasil penelitian ini dapat
diterapkan pada situasi yang lain.
3. Dependabilitas Data
Apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam
mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep
ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Artinya apakah
peneliti akan memperoleh hasil yang sama jika peneliti melakukan
pengamatan yang sama untuk kedua kalinya.3
4. Konfirmabilitas
Yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil
penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam
laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian
dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian
dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif.4
E. Analisa Data
Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan pengaturan
transkripsi wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi yang lain yang telah
terkumpul untuk meningkatkan pemahaman peneliti mengenai materi-materi
tersebut dan untuk memungkinkan peneliti menyajikan apa yang sudah
ditemukannya kepada orang lain.5
3Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2011), Cet. 2, h. 79-80. 4Emzir, Ibid., h. 81.
5Emzir, Ibid., h. 85.
25
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis Isi (content
analysis) dalam bentuk deskriptif yaitu berupa catatan informasi faktual yang
menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan mencakup penggambaran secara
rinci dan akurat terhadap berbagai dimensi yang terkait dengan semua aspek yang
diteliti. Maka, di sini penulis menggambarkan permasalahan yang dibahas dengan
mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan, kemudian
dianalisis, dipadukan, sehingga dihasilkan suatu kesimpulan.6
6Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. 3, h. 155-159.
26
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
1. Riwayat hidup Az-Zarnûjî
Kata Syaikh adalah panggilan kehormatan untuk pengarang kitab Ta'lim
Al-Muta'allim ini. Sedang Az-Zarnuji adalah nama marga yang diambil dari
nama kota tempat beliau berada, yaitu kota Zarnuj. Di antara dua kata itu ada
yang menuliskan gelar Burhanuddin (bukti kebenaran agama), sehinnga
menjadi Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji.1 Namun demikian nama ini masih
diperdebatkan kebenarannya, karena masih belum ditemukan data yang valid
mengenai nama asli Az-Zarnûjî. Khairuddin al-Zarkeli menuliskan nama Az-
Zarnûjî dengan an-Nu‘mân bin Ibrâhim bin Khalîl al-Zarnûjî Tajuddin.2
Nama akhirnya dinisbahkan dari daerah tempat dia berasal, yakni Zarnûj,
yang akhirnya melekat sebagai nama panggilan. Plessner, dalam The
Encyclopedia of Islam mengatakan bahwa nama asli tokoh ini sampai
sekarang belum diketahui secara pasti, begitu pula karir dan kehidupannya.3
Menurut M. Plessner, Az-Zarnûjî hidup antara abad ke-12 dan ke-13. Dia
adalah seorang ulama fiqh bermadzhab Hanafiyah4, dan tinggal di wilayah
Persia.
Plessner memperkirakan tahun yang relatif lebih mendekati pasti
mengenai kehidupan Az-Zarnûjî. Dia juga merujuk pada data yang
dinyatakan oleh Ahlwardt dalam katalog perpustakaan Berlin, Nomor III,
bahwa Az-Zarnûjî hidup pada sekitar tahun 640 H (1243 M), perkiraan ini
1 Aliy As'ad, Terjemah Ta'limul Muta'allim, (Kudus: Menara Kudus, 2007), hal. ii
2Khairuddin al-Zarkeli, al-A‟lâm Qâmûs Tarâjum, Juz VIII, (Beirut: Dar al-Ilm), h. 35
3M. Plessner ―az-Zarnûjî‖ dalam A. J. Wensinck (Eds.), The Encyclopedia of Islam, Vol.
VIII (Leiden: E. J. Brill, 1913-1934), h. 1218 4Mazhab Hanafiyah adalah aliran mazhab fiqh yang disponsori oleh Imam Abu Hanifah.
Ciri utama mazhab ini adalah mengutamakan ra‘yu dan qiyas di samping al-Qur‘an dan al-Hadits
sebagai pedoman. Aliran ini berkembang di Khurasan dan Transoxiana. Lihat, Abû al-A‘la al-
Maudûdî, al-Khilâfah wa al-Mulk,Terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1990), Cet. III h.
285-303
27
didasarkan pada informasi dari Mahmud bin Sulaiman al-Kafrawi dalam
kitabnya, al-A‟lâm al-Akhyâr min Fuqahâ' Mażhab al-Nu‟mân al-Mukhđar,
yang menempatkan Az-Zarnûjî dalam kelompok generasi ke-12 ulama
madzhab Hanafiyah.5 Kemudian, Plessner menguji perkiraan Ahlwardt
dengan mengumpulkan data kehidupan sejumlah ulama yang
diidentifikasikan sebagai guru Az-Zarnûjî, atau paling tidak, pernah
berhubungan langsung dengannya. Di antaranya adalah :
a. Imam Burhân al-Dîn ‗Alî bin Abî Bakr al- Farghinanî al-Marghinanî (w.
593 H/ 1195 M).
b. Imam Fakhr al-Islâm Hasan bin Manșûr al-Farghani Khadikan (w. 592
H/ 1196 M).
c. Imam Ẕahir al-Dîn al-Hasan bin ‗Alî al-Marghinanî (w. 600 H/ 1204 M).
d. Imam Fakhr al-Dîn al-Khasani (w. 587 H/ 1191 M).
e. Imam Rukn al-Dîn Muhammad bin Abî Bakr Imam Khawaharzada (573
H/ 1177).6
Berdasarkan data di atas, Plessner sampai pada kesimpulan bahwa waktu
kehidupan Az-Zarnûjî lebih awal dari waktu yang diperkirakan oleh
Ahlwardt. Namun, Plessner sendiri tidak menyebut tahun secara pasti, hal
lain yang disimpulkan secara lebih meyakinkan adalah bahwa kitab Ta‟lîm al-
Muta‟allim ditulis setelah tahun 593 H.7
Ahmad Fuad al-Ahwani memperkirakan bahwa Az-Zarnûjî wafat pada
tahun 591 H/ 1195M.8 Dengan demikian, belum diketahui hidupnya secara
pasti, namun jika diambil jalan tengah dari berbagai pendapat di atas, al-
Zarnûjî wafat sekitar tahun 620-an H.
5M. Plessner ―Az-Zarnûjî‖ dalam Ahmad al-Syantanawî, Dâ‟irât al-Ma‟ârif al-Islâmiyah,
Juz. 10, h.345 6M. Plessner ―Az-Zarnûjî‖ dalam A. J. Wensinck (Eds.), The Encyclopedia of Islam, Vol.
VIII, h. 1218 7Wensinck. Ibid., h
8Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Tarbiyah fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Ma‘arif), h. 238.
28
2. Pendidikan Az-Zarnûjî
Mengenai riwayat pendidikannya bahwa Az-Zarnûjî menuntut ilmu di
Bukhara dan Samarkand. Yaitu kota yang menjadi pusat kegiatan keilmuan,
pengajaran dan lain-lainnya. Sedangkan guru-gurunya adalah Burhanuddiin Ali
Bin Abu Bakar Al-Marghinani, ulama besar bermazhab Hanafi yang mengarang
kitab Al-Hidayah, Ruknul Islam Muhammad Bin Abu Bakarpopuler dengan
Imaam Zadeh. Beliau ulama besar ahli fikih bermazhab Hanafi, pujangga
sekaligus penyair, pernah menjadi mufti di Bukhoro dan sangat mashur fatwa-
fatwanya. Wafat tahun 573H/1177 M. Ruknuddin al-Firginanî, seorang ahli fiqih,
sastrawan dan penyair yang wafat tahun 594 H/ 1196 M; Hammâd bin Ibrâhim,
seorang ahli ilmu kalam di samping sebagai sastrawan dan penyair, yang wafat
tahun 594 H/ 1170 M. Syaikh Fakhrudi Al-Kasyani, pengarang kitab Bada-i 'us
shana'i wafat tahun 587 H/1191 M. Syaikh Fakhrudin Qadli Khan Al Ouzjandi.
Beliau wafat tahun 592 H/1196 M.9
Berdasarkan informasi tersebut, ada kemungkinan besar bahwa Az-Zarnûjî
selain ahli dalam bidang pendidikan dan tasawuf, beliau juga menguasai bidang
ilmu pengetahuan yang lainnya, seperti sastra, fiqih, ilmu kalam dan lain
sebagainya, sekalipun belum diketahui dengan pasti bahwa untuk bidang tasawuf
ia memiliki seorang guru tasawuf yang masyhur. Namun dapat diduga bahwa
dengan memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang fiqih dan ilmu kalam
disertai jiwa sastra yang halus dan mendalam, seseorang telah memperoleh akses
(peluang) yang tinggi untuk masuk ke dalam dunia tasawuf.
Dalam sejarah pendidikan kita mencatat, paling kurang ada lima tahap
pertumbuhan dan perkembangan dalam bidang pendidikan Islam. Pertama
pendidikan pada masa Nabi Muhammad saw. (571-632 M.), kedua pendidikan
pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M.), ketiga pendidikan pada masa Bani
Umayyah di Damsyik (661-750 M.), keempat pendidikan pada masa Kekuasaan
9 As'ad, op,cit., h. iii
29
Abbasiyah di Baghdad (750-1250 M.), dan kelima pendidikan pada masa jatuhnya
kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-sekarang).10
Jika melihat guru-guru Syaikh Zarnuji tersebut, dan dikaitkan dalam
periodisasi di atas, bahwa Az-Zarnûjî hidup sekitar akhir abad ke-12 dan awal
abad ke-13 (591-640 H./ 1195-1243 M.). Dari kurun waktu tersebut dapat
diketahui bahwa Az-Zarnûjî hidup pada masa keempat dari periode pertumbuhan
dan perkembangan pendidikan Islam sebagaimana disebutkan di atas, yaitu antara
tahun 750-1250 M. Dalam catatan sejarah, periode ini merupakan zaman
keemasan atau kejayaan Peradaban Islam pada umumnya, dan pendidikan Islam
pada khususnya.
Pada masa tersebut, kebudayaan Islam berkembang dengan pesat yang
ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar
sampai pendidikan dengan tingkat perguruan tinggi. Di antara lembaga-lembaga
tersebut adalah Madrasah Niẕamiyah yang didirikan oleh Niẕam al-Muluk
(457H./106M.), Madrasah al-Nuriyah al-Kubra yang didirikan oleh Nuruddin
Mahmud Zanki pada tahun 563H./1234M. di Damaskus dengan cabangnya yang
amat banyak di kota Damaskus, Madrasah al-Mustansiriyah Billah di Baghdad
pada tahun 631 H./1234 M.11
Sekolah yang disebut terakhir ini dilengkapi dengan
berbagai fasilitas yang memadai seperti setiap siswa dibuatkan kamar sendiri
(dalam komplek asrama dan diberikan beasiswa bulanan. Pada setiap madrasah,
dan di tempat-tempat umum, selalu didirikan perpustakaan. Sebagai contoh di
Marv saja, terdapat 10 perpustakaan, dan setiap perpustakaan terdapat 12.000 jilid
buku. Setiap peminjaman buku sudah dibatasi waktunya, serta denda
keterlambatannya. Guru-gurunya sudag terbagi atas Mudarris (Profesor) dan
Mu'ids (asistens). Pengajarnya dalammemberikan pelajaran sudah duduk di kursi.
10
Zuharini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet. III, h. 7 11
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2009), Cet. II, h. 51
30
Sementara kurikulum pembelajaran diutamakan fikih, hadits, tafsir dan teori-teori
keilmuan (umum), matematika dan pengobatan.12
Di samping ketiga madrasah tersebut, masih banyak lagi lembaga-lembaga
pendidikan Islam lainnya yang tumbuh dan berkembang pesat pada zaman Az-
Zarnûjî hidup. Dengan memperhatikan infomasi tersebut di atas, tampak jelas,
bahwa Az-Zarnûjî hidup pada masa ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam
tengah mencapai puncak keemasan dan kejayaannya. Yaitu pada akhir masa
Abbasiyah yang ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir Islam ensiklopedik
yang sukar ditandingi oleh pemikir-pemikir yang datang kemudian.
Kondisi pertumbuhan dan perkembangan tersebut di atas amat
menguntungkan bagi pembentukan Az-Zarnûjî sebagai seorang ilmuan atau ulama
yang luas pengetahuannya. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Plessner,
seorang orientalist, menyebutkan dalam ensiklopedinya bahwa Az-Zarnûjî
termasuk seorang filosof Arab.13
3. Karya-karya Az-Zarnûjî
Kitab Talîm al-Muta‟allim, merupakan satu-satunya karya Az-Zarnûjî yang
sampai sekarang masih ada. Sebagaimana pendapat Haji Khalifah dalam bukunya
―Kasf al-Dzunûn „an Asmâ' al-Kitâb al-Funûn‖, dikatakan bahwa Ta‟lîm al-
Muta‟allim merupakan satu-satunya karya Imam al-Zarnûjî. Kitab ini telah diberi
catatan komentar (Syarah) oleh Ibnu Ismâ‘il.14
Dua alasan, paling tidak bisa diungkap untuk menjelaskan masalah ini.
Pertama, sang pengarang tidak begitu menonjol dalam dunia peradaban muslim,
tidak seperti Imam Ghazali, Ibnu Hajar atau Imam syafi‘I, membuat tidak adanya
orang yang tertarik untuk membukukan biografi tokoh ini. Kedua, masih
berkolerasi dengan alasan pertama, ketidak masyhuran sang pengarang sebagai
12
Muhammad Sholikhin, Menyatu diri dengan Ilahi, (Yogyakarta: Narasi, 2010), Cet. I,
h. 76 13
As'ad, op.cit., h. iv 14
Umar Rida Kahhalah, Mu‟jâm al-Muallifîn: Tarâjim Muannif al-Kutub al-Arâbiyah, Juz
III, (Beirut: Dar al-Ihya‘), h. 43. Lihat juga M. Plessner ―Al-Zarnûjî‖ dalam Ahmad al-Syantanawi,
Dâ‟irat al-Ma‟ârif al-Islâmiyah, Juz. 10, h.345
31
alasan pertama, bisa juga disebabkan karena kurang produktifnya sang pengarang
dalam menelurkan karya-karyanya. Buktinya, di Indonesia sendiri kitab dengan
pengarang yang sama dengan Ta‟limul Muta‟allim tidak ditemukan.15
Kitab karya Az-Zarnûjî ini telah menarik banyak perhatian yang sangat besar
dari berbagai ulama dan peneliti baik dari Islam sendiri maupun dari non
Islam/Barat. Di antara ulama yang telah memberikan syarah atas kitab Ta‟lîm ini
adalah Ibrâhim ibn Ismâ‘il, Yahya ibn Ali Nașuh, Abdul Wahâb al-Sya‘ranî, al-
Qadhi, Zakaria al-Anșârî, Nau‘I, Ishâq Ibn Ibrâhim al-Anșârî, dan Osman Fazari.
16
Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa kitab karya Az-Zarnûjî ini telah
banyak menarik perhatian yang sangat besar dari para orientalis dan para penulis
barat. Di antara tulisan yang menyinggung kitab ini dapat dikemukakan antara
lain: G.E. Von Grunebaum dan T.M. Abel yang menulis Ta‟lîm al-Muta‟allim
Thurûq al-Ta‟allum: Instruction of the Students: The Method of Leaning; Carl
Brockelmann dengan bukunya Gescicte der Arabischem Litteratur; Mehdi
nakosten dengan tulisannya History of Islamic Origins of Western Education A.D.
800-1350, dan lain sebagainya.
Untuk lebih jelas dan lebih mengenal karya satu-satunya dari Az-Zarnuji ini,
penulis akan memaparkan tentang kitab Ta‘limul Muta‘allim ini.
A. Latar Belakang Penyusunan Kitab
15
Ahmad Mujib El-Shirazy dan Fahmi Arif El-Muniry, Landasan Etika Belajar Santri,
(Ciputat: Sukses Bersama, 2007), Cet. II, h, 65 16
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992), Cet.
VII, h.155
32
Teks di atas pendahuluan dari kitab Ta'lim Al-Muta'allim, yang menjelaskan
latar belakang penulisan kitab ini, kitab ini ditulis bermula dari kegundahan
pengarangnya, Syaikh Az-Zarnûjî, saat melihat banyaknya para pencari ilmu pada
masanya yang gagal memperoleh apa yang mereka cari, sebagaimana yang beliau
ungkapkan dalam pendahuluannya bahwa ―Banyak para pencari ilmu yang
ternyata banyak di antara mereka yang mendapatkan ilmu, tetapi ternyata tidak
bisa mendapatkan manfaat dan buahnya ilmu, yaitu dapat mengamalkan dan
menyebarkan ilmu yang diperolehnya‖.17
Menurut Syekh Az-Zarnûjî hal tersebut bisa terjadi, karena mereka salah jalan
dalam mencari ilmu dan setiap orang yang salah jalan pastinya akan tersesat dan
tidak sampai pada tujuannya. Mereka tidak tahu syarat-syarat yang harus dipenuhi
dalam mencari ilmu sehingga mereka tidak mendapatkan ilmu pengetahuan
sebagaimana diharapakan.18
Jika dilihat dari latar belakang penulisan kitab Ta'lim al-Muta'allim ini, Syekh
Az-Zarnuji menggunakan penelitian eksploratif yaitu seorang peneliti ingin
menggali secara luas tentang sebab-sebab atau hal-hal yang mempengaruhi
terjadinya sesuatu.19
Belajar sebagai sarana untuk memperoleh ilmu, haruslah melalui jalan dan
persyaratan yang benar. Karena jalan yang benar dan persyaratan yang terpenuhi
dalam belajar adalah kunci untuk mencapai keberhasilan belajar. Maka dari itu
dalam kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim Az-Zarnûjî lebih memfokuskan
pembahasannya pada jalan atau persyaratan (metode) yang harus ditempuh guna
memperoleh keberhasilan belajar. Oleh karena itu sudah sepantasnya bagi para
pencari ilmu harus mengetahui dan memahami syarat-syarat yang harus dipenuhi
17
Az-Zarnûjî, Ibid., h. 2 18
Az-Zarnûjî, Ibid. 19
Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), cet. XIV h. 14
33
dalam mencari ilmu agar apa yang mereka harapkan bisa tercapai, yaitu
mendapakan ilmu yang bermanfaat dan bisa mengamalkannya.
Melihat kenyataan tersebut, terbesit dalam diri Az-Zarnûjî untuk menyusun
sebuah kitab yang diberi nama Ta‟lîm al-Muta‟allim untuk membantu para
pencari ilmu agar mereka mengetahui syarat-syarat yang harus mereka penuhi
sebagai penuntut ilmu. Harapan dari penulis, kitab tersebut dapat membantu
mengarahkan para penuntut ilmu melalui petunjuk-petunjuk praktis, seperti
bagaimana memilih ilmu, guru dan teman, waktu-waktu yang ideal untuk belajar,
bagaimana metode belajar yang baik dan sebaginya.
Kitab yang beliau tulis bukan semata-mata hasil renungan spekulatif belaka,
melainkan melalui penelitian terlebih dahulu terhadap para ulama sebelumnya
yang dianggapnya telah berhasil yang banyak beliau kisahkan di dalamnya.
Oleh karena itu kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim sebaiknya perlu kita kaji dan
pelajari kembali oleh para penuntut ilmu dan para guru karena isinya masih
relevan untuk pendidikan masa kini.
B. Sistematika Penulisan Kitab
Kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim adalah kitab yang menjelaskan tentang adab atau
etika pelajar dalam menuntut ilmu. Kitab ini merupakan karya penelitian atas
ulama-ulama sebelumnya yang dianggap berhasil. Dalam kitab Ta‘lîm
diterangkan tiga belas bab20
, agar berhasil dalam mencari ilmu. Adapun isi
kandungannya adalah sebagai berikut:
1. Bab tentang hakikat ilmu dan fiqih serta keutamaannya.
Dalam bab ini diterangkan panjang lebar tentang keutamaan orang yang
memiliki ilmu pengetahuan dibanding orang yang tidak memiliki ilmu.
Dalam konteks ke-Islaman mencari ilmu adalah kewajiban yang tidak bias
ditawar dimulai dari buaian sampai liang lahat. Mencari ilmu wajib bagi
muslim dan muslimat. Perlu digaris bawahi bahwa dalam bab ini kewajiban
20
Az-Zarnûjî, Ibid., h. 3
34
yang paling utama mencari ilmu adalah ilmu agama. Kemudian setelah
meiliki ilmu diwajibkan orang tersebut memahami fiqh dengan mendalam.
2. Bab tentang niat di waktu belajar.
Dalam bab ini, mencari ilmu harus diniati dengan niat yang baik sebab
dengan niat itu dapat mengantarkan pada pencapaian keberhasilan. Niat yang
sungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan keridaan Allah akan mendapatkan
pahala. Dalam mencari ilmu tidak diperkenankan niat mendapatkan harta
banyak.
3. Bab tentang memilih ilmu, guru dan teman.
Dalam bab ini diterangkan bagaimana memilih ilmu, bagaimana cara
memilih guru, dan teman karena hal tersebut bisa mempengaruhi kehidupan
peserta didik.
4. Bab tentang menghormati ilmu dan ahlinya.
Bab ini menerangkan bahwa memuliakan guru adalah paling utama
dibanding memuliakan yang lain. Sebab dengan gurulah manusia dapat
memahami tentang hidup, dapat membedakan antara yang hak dan batil.
Memuliakan tidak terbatas pada sang guru namun seluruh keluarganya juga
harus dimuliakan.
5. Bab tentang tekun, kontinuitas dan minat (cita-cita).
Bab ini menerangkan bahwa orang yang mencari ilmu itu harus
bersungguh-sungguh dan kontinyu. Orang yang mencari ilmu tidak boleh
banyak tidur yang menyebabkan banyak waktu terbuang sia-sia, dan
dianjurkan banyak waktu malam yang digunakan belajar. Untuk memperoleh
ilmu yang berkah harus menjauhi maksiat.
6. Bab tentang permulaan, ukuran dan tata tertib belajar.
Dalam bab ini diterangkan bahwa permulaan dalam mencari ilmu yang
lebih utama adalah hari Rabu. Kemudian ukuran dalam belajar sesuai dengan
35
kadar kemampuan seseorang dan dalam belajar harus tertib artinya harus
diulang kembali untuk mengingat pelajaran yang telah diajarkan.
7. Bab tentang tawakal.
Dalam bab ini diterangkan bahwa setiap pelajar hendaknya selalu
bertawakal selama dalam mencari ilmu. Selama dalam mencari ilmu jangan
sering disusahkan mengenai rezeki, hatinya jangan sampai direpotkan
memikirkan masalah rezeki. Dalam belajar harus diimbangi dengan tawakal
yang kuat.
8. Bab tentang masa belajar yang efektif.
Dalam bab ini diterangkan bahwa waktu menghasilkan ilmu tidak
terbatas, yaitu mulai masih dalam ayunan (bayi) sampai ke liang lahat
(kubur), dan waktu yang utama untuk belajar adalah waktu sahur (menjelang
subuh), dan antara magrib dan Isya‘.
9. Bab tentang kasih sayang dan nasihat.
Dalam bab ini diterangkan bahwa orang yang berilmu hendaklah
mempunyai sifat belas kasihan kalau sedang memberi ilmu. Tidak dibolehkan
mempunyai maksud jahat dan iri hati, sebab sifat itu adalah sifat yang
membahayakan dan tidak ada manfaatnya.
10. Bab tentang mencari faedah.
Dalam bab ini diterangkan bahwa dalam mencari ilmu dan mendapatkan
faedah adalah agar dalam setiap waktu dan kesempatan selalu membawa alat
tulis (pulpen dan kertas) untuk mencatat segala yang didengar, yang
berhubungan dengan faedah ilmu.
11. Bab tentang wara‟ ketika belajar.
Dalam bab ini diterangkan bahwa sebagian dari wara‟ adalah menjaga
diri dari kekenyangan, terlalu banyak tidur, terlalu banyak bicara
(membicarakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya) dan sedapat mungkin
menjaga jangan sampai memakan makanan pasar.
36
12. Bab tentang faktor penyebab hafal dan lupa dalam belajar.
Dalam bab ini diterangkan bahwa yang menyebabkan mudah hafal
adalah bersungguh-sungguh dalam belajar, rajin, tetap, mengurangi makan
dan mengerjakan salat malam. Adapun yang menyebabkan mudah lupa
adalah maksiat, banyak dosa, susah, dan prihatin memikirkan perkara dunia.
13. Bab tentang faktor yang mendatangkan dan penghalang rezeki serta
faktor penyebab panjang dan pendek umur.
Dalam bab ini diterangkan bahwa sabda Rasulullah ―Tidak ada yang
mampu menolak takdir kecuali doa. Dan tidak ada yang bisa menambah
umur, kecuali berbuat kebaikan. Orang yang rezekinya sial (sempit),
disebabkan dia melakukan dosa‖. Kemudian yang menyebabkan kefakiran
adalah tidur telanjang, kencing telanjang, makan dalam keadaan junub, dan
sebagainya. Kemudian sesuatu yang dapat menambah umur adalah berbuat
kebaikan, tidak menyakiti hati orang lain, memuliakan orang tua.
C. Urutan-urutan Penjelasan
Penampilan materi kitab ini dikatakan baik, hal ini dapat dibuktikan dengan
urutannya sebagai berikut: setelah basmalah, hamdalah dan shalawat secukupnya,
kemudian menyebutkan judul kitab yang sesuai dengan isinya yang diabstraksikan
sebelumnya. Sebelum itu pula dikemukakan alasan penyusunannya. Kemudian
menampilkan keutamaan dan pengertian ilmu, hukum mempelajarinya sampai
kepada bagaimana cara mengagungkan ilmu. 21
Materi yang dibahas di dalam kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim mencakup semua
hal yang dibutuhkan oleh para santri dalam menuntut ilmu yang bermanfaat.
Ayat-ayat al-Qur‘an dan hadis-hadis Nabi saw yang menjelaskan tentang
pentingnya menuntut ilmu dipaparkan oleh Az-Zarnûjî dengan bahasa yang
mudah dipahami dan gamblang. Ujaran-ujaran sahabat dan petuah-petuah para
salaf saleh juga menghiasi lembaran-lembaran kitab ini sehingga dapat dijadikan
semacam catatan penting atau petunjuk bagi para santri agar meraih ilmu yang
21
Az-Zarnûjî, Ibid., h. 4
37
bermanfaat. Tidak jarang Az-Zarnûjî juga menyampaikan saran-saran berharga
bagi para pelajar serta menyarikan nasihat-nasihat bijak dari para salaf saleh
tersebut.
Tampaknya Az-Zarnuji mencoba merumuskan methode belajar yang
komprehensif holistik; yaitu metodhe dengan perspektif teknis dan moral bahkan
spiritual sebagai paradigmanya. Suatu tantangan bagi kita untuk berkompeten di
bidang pendidikan untuk memahami dan merumuskan kembali apa yang selama
ini kita lakukan.22
D. Komentar Para Ahli tentang Kitab Ta’limul Muta’allim
Dalam kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim ini , ada disebutkan tidak kurang dari 21
matan hadits, semuanya hadits mu‟allaq, jika dilihat sanadnya yang ada di situ.
Kesemuaanya dikemukakan dalam konteks ke-adab-an, atau sebagai nasehat
biasa, bukan sebagai hujjah dalam hukum syar‘iy.23
Namun para ulama
sependapat bahwa hadits-hadits tidak shahih boleh dipegang untuk fadhoilul
A‟mal, termasuk tata adab dan akhlak, selama isinya tidak bertentangan dengan
Al-Qur‘an.24
Adapun satu hadits yang dicantumkan sebagai hujjah untuk menentukan
hukum syar‘I adalah ―Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim, laki-laki
maupun perempuan”, hadits ini digunakan sebagai dalil untuk menentukan
hukum wajib dalam hal menuntut ilmu. Karena itu harus ditentukan status ke-
shahih-annya. Dan Al-Bazzar (215-292H) menyatakan perawi dalam hadits ini
semuanya shahih.25
Jadi Ta‟limul Muta‟allim ini adalah kitab adab bukan kitab hukum, artinya
penekanannya bukan pada masalah salah dan benar atau shahih dan dha‘if. Kitab
ini menjelaskan adab atau etika yang membawa kesuksesan orang menuntut ilmu.
22
As‘ad, op.cit., h. vii 23
As‘ad, Ibid. 24
As‘ad, Ibid., h. x 25
As‘ad, Ibid., h. viii
38
Akan tetapi apa yang disampaikan oleh Az-Zarnûjî, selain mendapatkan apresiasi
yang tinggi juga tak dapat dipungkiri ada beberapa kritik dan saran yang diajukan
kepada kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim, antara lain: kitab tersebut kurang
menumbuhkan minat dan gairah belajar serta tidak memberikan ruang bagi
perbedaan pendapat antara guru dan murid. Dalam kitab tersebut, murid
sepertinya harus ikut kepada guru dan tidak boleh mengkritiknya.26
Kemudian kita bisa melihat, misalnya komentar Dr. Fuad al-Ahnawi sebagai
berikut:
Nilai buku kecil ini (Ta‟lîm al-Muta‟allim) menurut saya tidaklah tinggi.
Formatnya kecil menyerupai satu pasal tentang pendidikan dalam kitab-
kitab fiqih. Penulisnya tidak ada membawa soal-soal yang baru. Dia hanya
menulis hal-hal yang sudah umum diketahui, dan pendapatnya diselingi
dengan hikayat-hikayat, syair-syair dan matsal-matsal. Dia memberi
konsumsi kepada masyarakat awam mengenai masalah iktiqadiyah dengan
pemikiran-pemikiran imajinatif (waham-waham) yang tidak mempunyai
dasar ilmiyah. Mengenai hal-hal yang menghambat rezeki, penulis
mengatakan suatu yang tidak patut bagi seorang ulama. Di antara yang
menghambat rezeki itu dia mengatakan ―menyapu rumah di malam hari,
membakar kulit bawang, bersisir dengan sisir patah dan lain-lain.27
Kemudian komentar dari KH. Kholil Bishri, menurutnya:
Pada kurun masa segala aspek tata kehidupan sudah bergeser seperti
sekarang ini dan menjelang berlakunya era indrustrialisasi, saya kira konsep
yang ada pada kandungan Ta‟lîm al-Muta‟allim, sebaiknya didukung untuk
disosialisasikan dan dikembangkan secara adapatatif. Dengan melibatkan
para pakar disiplin ilmu tertentu dan penambahan tata nilai. Sebab dapat
saja saya mengatakan: untuk membentuk generasi penerus yang terdidik lagi
bertakwa kepada Allah swt belum ada pedoman khususnya selain kitab
Ta‟lîm al-Muta'alim.28
Terlepas dari pro dan kontra di atas, kita tetap harus memberikan apresiasi
yang tinggi terhadap Az-Zarnûjî lewat kitab Ta‟lîm-nya karena tujuan dari beliau
menulis kitab tersebut semata-mata karena ingin mengungkapkan bagaimana cara
26
Toto Edi, Dkk., Ensiklopedi Kitab Kuning, (Jakarta: Aulia Press, 2007), h.190 27
Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Tarbiyah fi al-Islâm, (Kairo: Dar al-Ma‘arif), h. 238 28
Kholil Bisri, ―Konsep Pendidikan dalam Kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim dan Relevansinya
dengan Dunia Pendidikan Masa Kini,‖ artikel diakses pada 15 November 2010 dari
http://www.thohiriyyah.com/2010/09/kh-m-kholil-bisrikonsep-pendidikan.html
39
yang sepantasnya bagi seorang pelajar dalam mencari ilmu. Akan tetapi hal ini
perlu kita kaji kembali dan disesuaikan dengan kontekas pendidikan masa kini
khususnya di Indonesia.
B. Pembahasan
1. Akhlak Belajar
Pencarian pengetahuan tidak bisa dilakukan dengan asal-asalan. Karena
jika itu dilakukan, pencarian ilmu menjadi aktivitas yang sia-sia karena tidak
menghasilkan apa-apa. Kalau pun mampu menguasi ilmu, ilmu tersebut tidak
akan memberinya kemanfaatan. Ilmu hanya sekedar wacana, ilmu menjadi
fashion yang diperbincangkan dari mulut ke mulut, ilmu tidak menjadi
berguna sama sekali. Tidak untuk perkembangan peradaban, tidak untuk
kesejahteraan manusia, apalagi mengubah dunia. Ilmu tidak mampu
menolong pemiliknya untuk semakin mendekat kepada tuhan. Justru
sebaliknya, ilmu demikian bisa menjadi petaka. Oleh sebab itu penulisan
kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim bermula dari kegundahan pengarangnya, yaitu
Syaikh Az-Zarnûjî, saat melihat banyaknya para pencari ilmu pada masanya
yang gagal memperoleh apa yang mereka cari atau di antara mereka yang
mendapatkan ilmu, tetapi ternyata tidak bisa mendapatkan manfaat dan
buahnya ilmu, yaitu dapat mengamalkan dan menyebarkan ilmu yang
diperolehnya.
Menurut Az-Zarnûjî hal tersebut bisa terjadi karena mereka salah jalan
dalam mencari ilmu dan setiap orang yang salah jalan pastinya akan tersesat
dan tidak sampai pada tujuannya. Mereka tidak tahu akhlak dan syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam mencari ilmu sehingga mereka tidak mendapatkan
ilmu pengetahuan sebagaimana yang mereka harapakan.29
Belajar sebagai sarana untuk memperoleh ilmu, haruslah melalui jalan
dan persyaratan yang benar. Karena jalan yang benar dan persyaratan yang
terpenuhi dalam belajar adalah kunci untuk mencapai keberhasilan belajar.
Maka dari itu dalam kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim Az-Zarnûjî lebih
29
Az-Zarnûjî, op.cit., h. 2
40
memfokuskan pembahasannya pada jalan atau persyaratan (metode) yang
harus ditempuh guna memperoleh keberhasilan belajar. Oleh karena itu sudah
sepantasnya bagi para pencari ilmu harus mengetahui dan memahami syarat-
syarat yang harus dipenuhi dalam mencari ilmu agar apa yang mereka
harapkan bisa tercapai, yaitu mendapakan ilmu yang bermanfaat dan bisa
mengamalkannya.
Melihat kenyataan tersebut, terbesit dalam diri Az-Zarnûjî untuk
menyusun sebuah kitab yang diberi nama Ta‟lîm al-Muta‟allim untuk
membantu para pencari ilmu agar mereka mengetahui syarat-syarat yang
harus mereka penuhi sebagai penuntut ilmu. Harapan dari penulis, kitab
tersebut dapat membantu mengarahkan para penuntut ilmu melalui petunjuk-
petunjuk praktis, seperti bagaimana memilih ilmu, guru dan teman, waktu-
waktu yang ideal untuk belajar, bagaimana metode belajar yang baik dan
sebaginya.
Kitab yang beliau tulis bukan semata-mata hasil renungan spekulatif
belaka, melainkan melalui penelitian terlebih dahulu terhadap para ulama
sebelumnya yang dianggapnya telah berhasil yang banyak beliau kisahkan di
dalamnya.
Menurut Az-Zarnûjî akhlak belajar meliputi: Bagimana berniat dalam
belajar, bagaimana memilih ilmu, guru, teman, dan ketabahan di dalam
belajar, kemudian bagaimana penghormatan terhadap ilmu dan ulama,
bagaimana keseriusan, ketekunan, dan minat dalam belajar, permulaan
belajar, tata tertib belajar, tawakal dalam belajar, dan wara‟ dalam belajar.30
Itu semua adalah akhlak dan norma-norma serta tata urut belajar menurut Az-
Zarnûjî yang dijelaskan dalam kitabnya Ta‟lîm al-Muta‟allim.
Dari batasan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak
belajar adalah suatu proses dalam mendapatkan dan menerapkan ilmu
pengetahuan dalam kehidupan, sehingga ilmu itu bermanfaat bagi
kehidupannya, lingkungannya dan bangsanya. Yang merupakan pola belajar
yang didasarkan pada niat yang tulus dan ikhlas yang disesuaikan dengan
30
As‘ad, op.cit., h. 16
41
minat dan bakatnya, yang disampaikan oleh guru yang cerdas dan profesional
dan teman-teman sebaya yang saling mendukung dalam proses belajar demi
tercapainya tujuan belajar. Adapun penjelasannya sebagai berikut;
a. Niat saat belajar
Menurut Az-Zarnûjî dalam kitab Ta‟lîm-nya menyatakan bahwa belajar harus
diniati untuk mencari ridha Allah, mengharap kebahagiaan di akhirat,
menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan dari segenap orang-orang
bodoh,31
menghidupkan agama dan melestarikan agama.32
Dan dalam menuntut ilmu hendaklah diniatkan juga untuk mensyukuri atas
karunia akal dan kebugaran badan, hendaklah tidak diniati untuk mencari
popularitas, tidak untuk kekayaan, juga tidak diniati untuk mencari jabatan dan
semacamnya.33
Menurut Az-Zarnûjî, seyogyanya bagi para pencari ilmu harus berpikir
dengan serius, supaya ilmu yang mereka cari tidaklah sia-sia. Jangan sampai ilmu
yang ia peroleh digunakan untuk tujuan duniawi yang hina.34
Dari pendapat beliau di atas, Az-Zarnûjî sangat mengecam bagi para penuntut
ilmu yang hanya bertujuan untuk keduniawiaan belaka. Beliau lebih menekankan
pada tujuan ukhrawi karena pada hakikatnya dunia adalah tempat singgah singgah
sementara dalam perjalanan menuju akhirat.
Namun demikian, Az-Zarnûjî memperbolehkan mencari jabatan dengan
pendidikannya dengan syarat hanya untuk menyeru kebaikan dan mencegah
31
Dengan kata lain, niat menuntut ilmu adalah untuk meningkatkan budaya hidup dan
membangun masyarakat yang berbudaya atau berperadaban tinggi. 32
As‘ad, op.cit., h. 17 33
As‘ad, Ibid., h. 19 34
Az-Zarnûjî, op.cit., h. 19
42
kemunkaran, menegakkan kebenaran dan mengagungkan agama bukan untuk
kepentingan hawa nafsunya.35
Pendapat Az-Zarnûjî di atas sejalan dengan pendapat para pakar pendidikan
Islam lainnya. Misalnya Muhammad Athiyah al-Abrasyi, mencari ilmu hendaknya
mengorientasikan belajarnya dalam rangka memperbaiki dan menghiasi jiwanya
dengan sifat-sifat yang mulia, dekat kepada Allah, dan bukan belajar dalam
rangka membangga-banggakan diri.36
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir
dari pendidikan Islam adalah membentuk insan kamil, manusia yang sempurna,
yaitu manusia yang dewasa jasmani dan rohaninya, baik secara intelektual, moral,
sosial dan sebagainya.
Akan tetapi jika dilihat secara kondisional di zaman sekarang ini, sepertinya
jauh dari yang diharapkan oleh para ahli pendidikan Islam tersebut. Karena
kebanyakan para pencari ilmu lebih mengutamakan kepentingan pribadi yang
bersifat duniawi. Hal ini sulit untuk dipungkiri, karena kebanyakan dari mereka
sudah terkontaminasi oleh gemerlap kehidupan dunia. Seperti kekayaan,
kehormatan, kedudukan dan sebagainya.
Pandangan ini tidak berarti menafikan orang-orang yang secara ikhlas
mencari ilmu. Akan tetapi jika dianalogikan maka tepatnya seperti ungkapan
―mencari jarum dalam tumpukan jerami‖. Karena sangat sulit membedakan mana
yang mencari ilmu secara ikhlas dan mana yang mencari ilmu karena kepentingan
dunia.
Akan tetapi kesulitan membedakan mana pencari ilmu yang ikhlas dan mana
yang mencari ilmu karena kepentingan dunia sedikit teringankan dengan adanya
komentar Imam Nawawi dalam kitabnya at-Tibyân fi adabi Hamalatil Qur‟an
menyebutkan riwayat dari Zinnun al-Misri (salah satu ulama shufi) bahwa ada
tiga ciri tentang ikhlas:
1. Mensejajarkan pujian dan celaan dari kalangan umum.
2. Tidak melihat amal yang dia lakukan pada segala amalnya.
35
Az-Zarnûjî, Ibid 36
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, penerjemah:
Syamsuddin at.al., (Yogyakarta; Titian Ilahi Press, 1996), h. 73
43
3. Mencari pahala untuk diakhirat.37
Maka dari itulah betapa pentingnya pendidikan Islam, yaitu membentuk
pribadi yang sempurna yang tidak hanya bertujuan untuk kebahagian di dunia
saja akan tetapi bahagia dunia dan akhirat. Jangan sampai pendidikan Islam yang
mulia ini yang berorientasi untuk kebahagian akhirat kita nodai dengan hal-hal
yang bersifat keduniawian yang hina.
b. Memilih ilmu, guru dan teman
1. Memilih ilmu
Dalam Ta‟lîm al-Muta‟allim sebagaimana karya ulama‘ salaf lainnya,
Az-Zarnûjî menempatkan ilmu dalam skala prioritas paling utama, sebab
eksistensinya sangat menentukan pola pandang hidup, corak berpikir, sikap
dan prilaku seseorang.
Beragamnya ilmu pengetahuan yang berkembang, menuntut seorang
pelajar harus berhati-hati dalam memilih dan memilah mana di antara buku-
buku bacaan ilmiah yang bisa mengantarkannya ke jalan yang lebih positif
dan berpikir dengan benar terutama bila menyangkut teologis.
Penuntut ilmu hendaklah memilih yang terbagus dari setiap bidang ilmu –
ilmu yang terbagus adalah ilmu pengetahuan yang subtansi maupun illaborasinya
jelas, tidak debatable dan tidak konroversial. Hal ini penting dinyatakan karena di
sini kita sedang berbicara mengenai proses belajar atau Thuruqut Ta‘allum-,
memilih ilmu apa yang diperlukan dalam urusan agama di saat ini, kemudian apa
yang diperlukan di waktu nanti.38
Dalam memilih ilmu (mentukan pilihan bidang studi/jurusan) para
santri/siswa harus memilih ilmu/bidang studi yang paling baik atau paling cocok
37
Imam Nawawi, At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur‟an. (Software Maktabah Syamilah),
Al-Bab Ar-rabi‘ Fi Adabi Muallimil Qur‘an Wa Muta‘allimihi 38
As‘ad, op.cit.,h. 24
44
dengan dirinya.39
Suatu bidang ilmu yang dikaji akan sangat menarik dan
menantang bagi mereka yang menyenanginya dan yang merasa cocok dengan
bidang ilmu itu, sehingga motivasi berprestasi dari santri/siswa akan
mendorongnya untuk tekun belajar, keseriusan dalam mengerjakan tugas-tugas,
serta kedisiplinan yang tinggi dalam mengikuti seluruh proses belajar yang
mengajar, bahkan proses itu tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah/kampus
ataupun pondok saja. Proses itu akan menjadi sumber kekuatan di manapun dan
kapanpun, sehingga dalam konteks ini proses belajar mengajar tidak lagi
mengenal tempat dan waktu, karena setiap saat dimana saja para santri/siswa
dapat terjadi proses belajar mengajar.
Dalam kaitannya dengan memilih ilmu, Az-Zarnuji menganjurkan supaya
mempelajari ilmu tauhid terlebih dahulu, kemudian ilmu-ilmu lama (karangan
ulama salaf) dan menghindari ilmu-ilmu baru.40
Ilmu-ilmu lama atau kuna adalah ilmu yang diajarkan oleh nabi Muhammad
Saw. Sedang ilmu baru adalah ilmu-ilmu yang lahir setelah periode tersebut,
semacam ilmu perdebatan dan peramalan nasib. Batasan seperti ini tentu
dimaksudkan dalam konteks mempelajari agama, karena dalam belajar ilmu
agama memang diperlukan kemurnian atau akurasi ilmu dan faliditas
informasinya, sedang akurasi dan faliditas ini bias diperoleh dari sumber asalnya
(Nabi) dan generasi terdekat setelahnya (Sahabat dan Tabi‘in). belajar ilmu agama
tidak boleh gegabah, sebab akan berakibat nilai-nilai agama terdistorsi dengan
pemaksaan logika, sehingga ajarannya tidak murni lagi.41
Belajar adalah kewajiban setiap insan laki-laki dan perempuan. Semenjak
dilahirkan hingga akhir hayatnya, orang muslim menurut Az-Zarnūji, tidak
diwajibkan menuntut segala cabang ilmu pengetahuan, tetapi diwajibkan
menuntut ilmu al-Hal.
39
Az-Zarnûjî, op.cit., h. 23 40
Az-Zarnûjî, Ibid., h. 24 41
As‘ad, op.cit., h. 25
45
Orang muslim juga diwajibkan menuntut ilmu yang selalu diperlukan setiap
saat. Karena orang muslim diwajibkan menunaikan ibadah sholat, puasa dan haji,
maka ia diwajibkan menuntut ilmu yang berkaitan dengan kewajiban tersebut.
Sebab apa yang menjadi perantara perbuatan wajib, wajib pula bagi muslim
mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
Wajib bagi muslim mempelajari ilmu-ilmu perdagangan jikalau mereka
berdagang. Misalnya bagaimana cara menyingkiri hal-hal yang haram, makruh
dan syubhat. Setiap orang yang mengerjakan muamalah, wajib mengetahui ilmu-
ilmu tentang bagaimana cara menyingkiri haram yang mungkin terjadi dalam
muamalah tersebut. Termasuk yang wajib diketahui oleh setiap muslim pula,
adalah ilmu gerak hati (ahwal al-qalb) seperti tawakkal, ridla, inabah, taqwa dan
rendah hati.
2. Memilih Guru
Adapun karakter guru yang bisa dijadikan pendidik bagi murid menurut
Az-Zarnuji akan dibahas lebih terinci lagi pada bab karakter guru pendidikan
agama islam.
3. Memilih Teman
Selain peran guru, adalah peran lingkungan teman relasi juga tak kalah
besaranya dalam membentuk karakter berpikir, pandangan hidup dan perilaku
seorang pelajar.
Dalam kaitannya dengan hal ini menurut Az-Zarnuji sebaiknya memilih
teman yang rajin belajar, bersifat wara‘ dan berwatak itiqamah (lurus) dan
mudah paham (tanggap). Hindarilah orang yang malas, penganggur, pembual,
suka berbuat onar dan suka memfitnah.42
Hal ini dianggap sangat penting oleh Az-Zarnûjî dikarenakan banyak
orang yang baik-baik berubah menjadi rusak disebabkan oleh kesalahan
mereka dalam memilih teman.
Anak yang tumbuh di dalam keluarga yang menyimpang, belajar di
lingkungan yang sesat dan bergaul dengan masyarakat yang rusak, maka anak
42
Az-Zarnûjî, op,cit., h. 31
46
akan menyerap kerusakan itu, terdidik dengan akhlak yang paling buruk, di
samping menerima dasar-dasar kekufuran dan kesesatan. Kemudian dia akan
beralih dari kebahagian kepada kesengsaraan, dari keimanan kepada
kemurtadan dan dari Islam kepada kekufuran. Jika semua ini telah terjadi,
maka sangat sulit mengembalikan anak kepada kebenaran, keimanan dan
jalan mendapakan hidayah.
Dari paparan yang telah disebutkan, kita dapat memahami bahwa
sepantasnya seorang pencari ilmu memilih ilmu yang akan dipelajari terlebih
dahulu dengan melihat kadar kemampuan dirinya dalam belajar, memilih
guru yang sesuai dengan ilmu yang ditekuninya dan memilih teman yang
dapat mendorong dirinya untuk terus meningkatkan kemampuan belajarnya.
Akan tetapi pada kenyataannya hal tersebut bertolak belakang jika dilihat
pada saat ini, yaitu banyak pencari ilmu yang hanya mencari ilmu semaunya
saja tanpa melihat kadar kemampuannya. Hal inilah yang banyak
menyebabkan kejenuhan yang menghantarkan kepada pemberhentian proses
belajar tersebut.
Hal lain yang bertolak belakang juga adalah proses pemilihan guru dan
teman. Tidak sedikit pencari ilmu yang pencarian ilmunya terhambat karena
ketidaktepatan memilih guru yang mengajarkan pelajaran yang dia tekuni dan
memilih teman yang tepat dalam proses belajarnya. Kedua hal ini jika tidak
tepat dalam penempatannya, maka akan menghambat perkembangan
keilmuan si pencari ilmu.
c. Menghormati ilmu dan ahli ilmu
Dalam melaksanakan pendidikan Islam, peranan guru sangat penting sekali,
artinya guru memiliki tanggung jawab untuk menentukan arah pendidikan
tersebut. Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang
yang berilmu.
Bukan pelajar sejati kalau tidak menghormati jasa pahlawannya dan setiap
pelajar sejati tentu selalu mendambakan dirinya bisa menyerap pelajaran dengan
mudah. Untuk mendapatkannya, seorang pelajar harus menghormati ilmu dan
47
mencintainya. Dengan kecintaannya terhadap ilmu maka akan menjadi sumber
segala inspirasi yang sangat potensial membantu daya berpikir.
Di antara menghormati ilmu, menurut Az-Zarnuji adalah sebagai berikut:
―Di antara menghormati ilmu adalah memuliakan kitab, seorang pelajar
(santri) sebaiknya tidak memegang kitab kecuali dalam keadaan suci dari
hadas…hal ini disebabkan ilmu adalah cahay dan wudu juga cahaya.
Dengan demikian cahaya ilmu tidak akan bertambah kecuali dengan
berwudu.‖43
Bila kecintaan ilmu bisa mengasah otak sedemikian rupa, maka
penghormatan siswa terhadap pemiliknya (guru) akan membentuk pribadinya
menjadi orang yang santun, tahu diri dan menghargai jasa pahlawannya yang jelas
tidak mampu dinilai dengan harta.
Az-Zarnuji memberikan kedudukan yang sangat tinggi terhadap guru. Dia
harus dihormati dan dimuliakan. Kedudukan guru bagi muridnya tak ubahnya
seperti orang tua terhadap anaknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Az-Zarnuji:
“Sesungguhnya orang yang mengajarkan padamu satu huruf yang kamu
butuhkan dalam urusan agamamu, maka ia merupakan ayahmu dalam
kehidupan agamamu.”44
Sehubungan dengan hal di atas, menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip
Yusuf al-Qardawi, bahwa:
―Hak guru lebih besar daripada hak kedua orang tua. Orang tua adalah sebab
lahirnya seseorang dalam kehidupan fana, sedangkan guru menjadi sebab
seseorang berada dalam kehidupan abadi (di akhirat). Kalaulah tidak ada
guru, apa yang diterima oleh seseorang dari bapaknya niscaya menjulur
43
Az-Zarnûjî, Ibid., h. 21 44
Az-Zarnuji, Pedoman Belajar Bagi Penuntut Ilmu (Terjemah Ta‟lim al-muta‟allim),
Penerjemah: Muhammadun Thaifuri, (Surabaya:Menara Suci 2008), h. 36
48
kepada kebinasaan. Guru adalah orang yang memberikan makna hidup di
akhirat‖.45
Az-Zarnuji memposisikan ahli ilmu (orang yang memiliki ilmu) terutama ahli
fiqih jauh tingkatannya lebi tinggi dibandingkan dengan orang yang ahli ibadah.
Beliau mengutip syair Muhammad bin Hasan bin Abdullah sebagai berikut:
―Sesungguhnya seorang ahli fiqih yang wara‟ (teguh) lebih berat bagi setan
(untuk menggodanya) dibanding seribu ahli ibadah.‖46
Hal ini sejalan dengan hadis Nabi sebagai berikut:
―Telah mnceritakan kepada kami Muhammad bin Ismail, berkata: Telah
menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa, berkata: Telah menceritakan
kepada kami Al-Walid bin Muslim, telah menceritakan kepada kami Rauh bin
Janah, dari Mujahid dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah saw. Bersabda:
Seorang ahli fiqih itu lebih berat bagi setan (untuk menggodanya) dibanding
seribu ahli ibadah.‖ (HR. at-Tirmidzi)47
Keutamaan orang yang memiliki ilmu dan mengajarkannya dijelaskan di
dalam hadis Nabi, yaitu sebagai berikut:
―Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdi Al-A‟la As-San‟ani,
telah menceritakan kepada kami Salamah bin Raja‟. Telaah menceritakan
kepada kami Walid bin Jamil, telah menceritakan kepada kami Qosim Abu
45
Yusuf al-Qardawi, Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah,
penerjemah: Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: CV Rosda, 1989), h. 117 46
Az-Zarnuji, op.cit., h. 8 47
Abi ‗Isa Muhammad Ibn ‗Isa Ibn Saurah, Sunan at-Tirmidzi al-Jami‟ al-Shahih, (Beirut:
Dar el-Marefah, 2002), h. 2681
49
Abdurrahman berkata: Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Yang
Maha Suci, malaikat-Nya, penghuni-penghuni langit-Nya dan bumi-Nya
termasuk semut dalam lubangnya dan termasuk ikan akan mendoakan
keselamatan bagi orang-orang yang mengajar manusia kepada kebaikan.‖
(HR. at-Tirmidzi)48
Sehubungan dengan kedudukan guru yang demikian tinggi, al-Ghazali
memberikan penjelasan. Menurutnya ―seorang sarjana yang bekerja mengamalkan
ilmunya adalah lebih baik daripada seorang yang hanya beribadah saja, puasa saja
setiap hari dan bersembahyang setiap malam.‖49
Sejalan dengan hal itu Muhammad Athiyah al-Abrasyi sebagaimana dikutip
Abudin Nata mengatakan,
―Seorang yang berilmu dan kemudian ia mengamalkan ilmunya itu, maka
orang itulah yang dinamakan orang yang berjasa besar di kolong langit ini.
Orang tersebut bagaikan matahari yang menyinari orang lain dan menerangi
pula dirinya sendiri, ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain
dan ia sendiripun harum. Siapa yang bekerja di bidang pendidikan, maka
sesungguhnya ia telah memilih pekerjaan yang terhormat dan sangat penting,
maka hendaknya ia memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya itu‖.50
Oleh karena guru adalah orang yang harus dihormati, lalu bagaimana cara
murid untuk menghormati guru? Islam sangat menganjurkan agar umatnya
menghormati para ulama dan guru. Dalam kitab Ta'lim Muta'allim, kitab tentang
sopan santun menuntut ilmu yang banyak digunakan di pesantren salaf
(tradisional), dijelaskan bagaimana cara menghormati guru. Al-Zarnuji
menjelaskan tentang penghormatan terhadap guru dalam pasal tertentu, yaitu pasal
ke empat tentang mengagungkan ilmu dan ahli ilmu. Yaitu sebagai berikut:
a. Memberikan sesuatu berupa hartanya atau apapun berupa sesuatu yang
bermanfaat walaupun sedikit. Hal tersebut dilakukan agar anaknya bisa
menjadi orang yang alim, jika anaknya tidak berhasil menjadi orang alim
maka cucunya yang akan menjadi orang alim.51
b. Tidak berjalan kencang di depannya.
c. Tidak duduk di tempat duduk gurunya.
48
Ibn Saurah, Ibid., h. 2685 49
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 68 50
Abudin Nata, Ibid. 51
Ibrahim Ibn Ismail, Syarah Ta‟lîm al-Muta‟allim, (Surabaya: al-Hidayah, t.th), h. 16
50
d. Tidak memulai percakapan dengannya kecuali atas izinnya.
e. Tidak banyak bicara di hadapan guru.
f. Tidak menanyakan sesuatu ketika guru sedang bosan.
g. Menjaga waktu dan tidak mengetuk pintu atau kamarnya, tetapi harus
menunggu sampai beliau keluar.
h. Menjauhi amarahnya dan menjalankan perintah yang baik darinya. Jika guru
memerintahkan hal yang bertentangan dengan agama maka tidak boleh
patuh kepadanya.
i. Menghormati anak-anaknya dan orang-orang yang memiliki hubungan
kerabat dengannya.52
Menghormati guru adalah keharusan yang tidak dapat ditawar. Tanpa
menghormati guru proses pendidikan berjalan tidak sesuai dengan koridornya.
Proses pendidikan dianggap mengalami kegagalan. Pendidikan hanya
memunculkan generasi yang cerdas tetapi tuna-akhlak. Akibatnya, tidak jarang
siswa tidak menghormati guru. Tragisnya beberapa siswa mencaci-maki guru.
Padahal, kecerdasan otak dan luasnya cakrawala pengetahuan siswa tidak hadir
sendirinya tanpa sentuhan dan doa para guru mereka yang mengajarkan secara
ikhlas.
Walau demikian guru bukanlah Tuhan yang harus sangat diagung-agungkan.
Menghormati guru tidaklah meninggalkan dimensi rasional, ada batas-batas
tertentu secara akal terhadap penghormatan kepada guru. Dengan kata lain bukan
berarti seorang murid harus meninggalkan proses pembelajaran dan harus selalu
menghormati guru saja melainkan murid harus tetap berikhtiar yaitu dengan tetap
belajar kemudian menghormati guru yang mengajari kita, maka dari itu ilmu kita
akan bermanfaat.
Kemudian termasuk dalam menghormati ilmu yaitu menghormati teman. Az-
Zarnuji menjelaskan dalam kitabnya:
52
Az-Zarnuji, op.cit., h. 37-40
51
―Termasuk memuliakan ilmu adalah menghormati teman dan orang yang
memberikan pelajaran. Pertalian dan ketegantungan adalah sikap yang
tercela kecuali dalam hal menuntut ilmu. Bahkan sebaiknya mengikat
pertalian dan ketergantungan dengan guru dan teman-teman belajar.”53
Kaitannya dengan hal ini, menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi pelajar
hendaknya menciptakan suasana kecintaan dan kesenangan antara sesama murid,
sehingga terlihat seolah-olah mereka merupakan anak dari satu orang.54
Menghormati ilmu dan ahli ilmu bila diterapkan pada konteks saat ini, berarti
harus ada pembatas antara murid dan guru karena ta‘dzim itu berupa akhlak yang
mana tidak diperbolehkan seorang murid melakukan hal-hal yang tidak disukai
oleh gurunya tersebut, dan dalam kitab ini pula terdapat pernyataan bahwa
seorang murid tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat kecuali ia bertindak
hormat terhadap gurunya.
Menurut pengamatan saya, terkait hormat terhadap guru pada saat ini kitab ini
masih relevan, akan tetapi mengingat seiring berkembangnya budaya yang
bercampur pada budaya barat, maka makna menghormati itu berubah yang
dulunya klasik menjadi modern, yang dulunya ketika siswa bertemu guru itu
tunduk (patuh), dan ketika dalam pembelajaran siswa hanya menerima pelajaran
tanpa bertanya kecuali ditawarkan pertanyaan yang kesemua itu berubah menjadi
ketika siswa bertemu guru itu saling menyapa, kemudian dihampiri dan terjadilah
percakapan antara guru dan murid layaknya teman dekat dan dalam pembelajaran
siswapun bertanya ketika tidak mengerti tanpa ada penawaran dari guru. Hal itu
semua menurut konteks pemahaman saya masih dalam batas menghormati. Jadi
tergantung kita memaknai konteks memaknai pada masa sekarang.
d. Keseriusan, ketekunan dan cita-cita luhur
Pelajar seyogyanya bersungguh-sungguh hati dalam belajar serta tekun. Az-
zarnuzi menukil ayat alquran berikut untuk memeperkuat pendapat :
53
Az-Zarnuji, Ibid., h. 45 54
al-Abrasyi, op.cit., h. 74
52
―Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhoan) kami, niscaya
kami akan berikan mereka kepada jalan-jalan kami‖. (Q.S. Al-Ankabut :29)
Selanjutnya Az-Zarnuzi mengarang syair yang isinya menceritakan
kesungguhan para penuntut ilmu dalam memanfaatkan waktu belajar mereka.
Syair itu sebagai berikut :
:“barang siapa ingin semua maksudnya tercapai”
“jadikanlah malam, tunggangan untuk mencapai”
“kurangilah makan, agar kau mampu menjaga”
“Bila kau idamkan mendapat sempurna”
Mengenai keharusan untuk tekun dalam belajar Az-zarnuzi menjelaskan :
adalah suatu keharusan bagi pelajar untuk tekun atau rutin dalam belajar
serta mengulangi pada setiap awal dan akhir malam, karena antara waktu
maghrib dan isya serta waktu sahur adalah waktu yang penuh berkah.55
Berkenaan dengan cita-cita luhur, Az-zarnuzi mencatat sebagai berikut :
seorang penuntut ilmu harus memili cita-cita yang luhur dalam berilmu.
Karena sesungguhnya seseorang akan terbang dengan cita-citanya
sebagaimana burung tebang dengan sayapnya.56
55
Az-Zarnuji, op.cit., h. 55 56
Az-Zarnuji, Ibid., h. 57-58
53
Az-Zarnnuji mewajibkan hal ini karena menurutnya kesungguhan dan cita-
cita tinggi adalah adalah pangkal kesuksesan. Baginya cita-cita tinggi tapi tidak
ada kesungguhan berusaha, sungguh-sungguh tetapi tidak ada cita-cita tinggi
hanya akan memperoleh sedikit ilmu. Az-Zarnuji menandaskan pendapatya ini
dengan syair gubahannya :
wahai jiwaku, tinggalkan kemalasan dan penundaan masalah, maka kau
jatuhkan aku dalam kehinaan. Tak pernah kulihat sesuatu yang dapat diraih
bagi pemalas kecuali penyesalan dan cita-cita yang tak terwujud.57
Karena itu, bagi Az-Zarnuji belum dianggap bersungguh-sungguh seorang
penuntut ilmu melakukan aktifitas belajar, kalau belum mencapai kelelahan dan
keletihan guna mencapai kesuksessan.
Keseriusan, ketekunan dan cita-cita luhur merupakan 3 hal yang harus ada
dalam jiwa seorang pencari ilmu. Tapi jika dihubungkan dengan kondisi sekarang
ini, rasanya sulit untuk menemui orang yang mencari ilmu dengan kriteria 3 hal
ini. Hal ini bukan dikarenakan kurangnya fasilitas dalam belajar, akan tetapi lebih
dikarenakan oleh kelabilan jiwa si pencari ilmu. Mereka seolah-olah menganggap
remeh persoalan mencari ilmu, maka hal inilah meurut penulis yang sering
mengakibatkan timbulnya ketidakseriusan dan berkurangnya ketekunan dalam
belajar.
Dan satu hal yang sering terlupakan oleh para pencari ilmu, yaitu cita-cita
yang luhur. Keseriusan dan ketekunan dapat muncul jika dilandasi oleh cita-cita
yang luhur, karena dengan adanya cita-cita yang luhur maka akan muncul
semangat yang berimbas pada munculnya keinginan untuk mendapatkan
tujuannya tersebut. Jika kita perhatikan cita-cita luhur sepertinya sedikit banyak
telah hilang dari jiwa seorang pencari ilmu di masa sekarang ini. Poin ini erat
kaitannya dengan poin satu yaitu niat awal disaat melakukan prose belajar.
e. Metode Belajar
Dalam proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena ia merupakan sarana dalam
menyampaikan materi pelajaran.
57
Az-Zarnuji, Ibid., h. 61-62
54
Secara literal metode berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kosa
kata, yaitu meta yang berarti ―melalui‖ dan hodos yang berarti ―jalan‖. Jadi
metode berarti jalan yang dilalui.58
Sedangkan metode pendidikan menururt Samsul Nizar adalah ―teknik yang
digunakan peserta didik untuk menguasai materi tertentu dalam proses mencari
ilmu pengetahuan.‖59
Menurut Ahmad Tafsir, metode pendidikan ialah ―semua cara yang
digunakan dalam upaya mendidik.‖
Kemudian menurut Abdul Munir Mulkan, sebagaimana dikutip oleh Samsul
Nizar metode pendidikan adalah ―suatu cara yang dipergunakan untuk
menyampaikan atau mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak
didik‖.60
Jadi metode adalah cara guru dalam menyampaikan materi terhadap
peserta didiknya.
Az-Zarnûjî dalam Ta‟lîm-nya menawarkan kepada para pelajar untuk
menggunakan metode-metode sebagai berikut:
a. Mengulang dan menghafal
Az-Zarnûjî menganjurkan agar selalu mengulang-ulang pelajaran yang telah
diperolehnya, karena dengan cara mengulang-ulang maka akan mudah diingat
dan dihafal.61
Metode ini diasumsikan untuk belajar tempo dulu, dimana masih amat sulit
diperoleh kertas sehingga setiap pelajaran harus dihafalkan di luar kepala.
b. Memahami dan mencatat
Az-Zarnûjî menganjurkan kepada para penuntut ilmu agar membuat (Ta‟liq
pelajaran) catatan sendiri. Akan tetapi sebelum mencatat sebaiknya dipahami
terlebih dahulu dan mengulanginya berkali-kali. Karena bila mencatat sesuatu
yang belum dipahami akan membuat bosan, menghilangkan kecerdasan dan
58
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), Cet. II, h.
65 59
Nizar, Ibid., h. 66 60
Nizar, Ibid. 61
Az-Zarnûjî, op.cit., h. 74
55
menyia-nyiakan waktu. Oleh karena itu anak didik harus bersungguh-sungguh
memahami materi pelajaran lalu kemudian membuat catatan sendiri.62
Ta‟liq pelajaran adalah catatan yang dibuat oleh murid sendiri tentang
pengertian atau persepsi yang diperoleh dari pelajaran tersebut sesuai dengan
penjelasan gurunya. Sekarang mirip dengan notulasi pelajaran. Praktek di
pesantren, kebanyakan berujud catatan-catatan kecil yang ditulis pada bagian
tepi lembaran-lembaran kitab, biasaya berderet miring.
c. Mużakarah
Metode mużakarah ini bisa dikatakan metode soal-jawab antara sesama pelajar
atau bisa juga dikatakan tukar pendapat untuk saling melengkapi pengetahuan
masing-masing. Hal ini dilakukan untuk membangkitkan ingatannya terhadap
pelajaran-pelajaran yang sudah diterimanya.63
d. Munaẕarah
Munaẕarah diambil dari kata naẕarun, artinya ―pandangan.‖ Metode ini bisa
disebut dengan metode diskusi kelompok yaitu saling mengkritisi pendapat
masing-masing Masing-masing anggota mempunyai pandangan atau pendapat
tersendiri untuk disampaikan kepada anggota yang lainnya.64
e. Muṯarahah
Muṯarahah diambil dari kata ṯarahum, artinya menurut bahasa ―melontarkan.‖
Metode ini dapat dikatakan dengan metode diskusi kelas, anggota yang satu
mengkritik anggota yang lain. atau metode adu pendapat untuk diuji dan dicari
mana yang benar. Dalam metode ini berbeda dengan diskusi kelompok yang
mana dalam diskusi kelompok dipimpin oleh salah seorang anggota sedang
pada diskusi kelas dipimpin oleh guru.65
Az-Zarnuji menekankan pendidikan pada hafalan mungkin banyak kalangan
yang mengkritisinya, terutama pada era moderen ini. Permasalahannya adalah
apakah betul pembelajaran yang menggunakan teknik menghafal menjadikan anak
62
Az-Zarnûjî, Ibid., h.76 63
Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan para Filosofi Muslim (Yogyakarta: Al Amin press
2007) h. 115. 64
Madjidi, Ibid. 65
Madjidi, Ibid., h. 151
56
didik yang kurang kreatif, tidak mampu mengembangkan pengetahuan yang
dimiliki, dan ada dalam kadar keaktifan mental yang paling rendah sebagaimana
dituduhkan.
Hal itu mungkin benar jika dalam proses pembelajaran hanya dipraktekan
metode hafalan saja tanpa dibarengi dengan aspek-aspek kognitif-rasional dan
pengembangan wawasan, seperti yang sering dijumpai dalam proses pengajaran
kitab kuning di banyak pesantren. Namun, jika yang terjadi adalah
mengkolaborasikan antara keduanya, yaitu metode hafalan yang diberengi dengan
aspek-aspek kognitif-rasional, hal ini dapat dikatakan suatu keberhasilan dalam
proses pendidikan, karena pada dasarnya hafalan akan memperkuat argumen
dalam suatu keilmuan.
Sebenarnya kolaborasi antara metode hafalan yang diberengi dengan aspek-
aspek kognitif-rasional telah digariskan Az-Zarnuji dalam Kitab Ta‘lim al-
Muta‘allim ini, hal ini tampak dalam kalimat
―Sebaiknya siswa selalu mencatat sendiri mengenai pelajaran yang telah
dihafalnya dan banyak mengulang karena sesungguhnya sangat bermanfaat
‖66
―Seorang siswa hendaknya melakukan mudzakarah, munadharah, dan
mutharahah‖67
Jelas bahwa ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa di satu sisi Az-Zarnuji
menganjurkan membuat catatan yang telah dihafal. Sementara itu, di sisi lain
bagaimana mudzakarah (saling mengingatkan), munadharah (saling mengadu
pandangan), dan mutharahah (diskusi) dijadikan sarana untuk mengembangkan
aspek-aspek kognitif-rasional dan pengembangan wawasan.
Sebagai ukuran bahwa metode hafalan dalam kenyataannya tidak memasung
kreatifitas dan rasionalitas seseorang, mungkin bisa melihat sejarah hidup salah
66
Az-Zarnûjî, op.cit., h.75 67
Az-Zarnûjî, Ibid., h. 79
57
satu dari sekian tokoh besar yang dalam proses belajarnya dilalui dengan hafal
menghafal, yaitu Imam Abu Hanifah seorang tokoh yang sering dikutip
pendapatnya oleh Az-Zarnuji dalam kitabnya Ta‟lim al-Muta„allim. Dia tergolong
orang yang menganut aliran pemikiran yang rasional. Diceritakan bahwa sejak
masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal al-Qur‟an dan beliau
dengan tekun senantiasa mengulang-ulang bacaannya dan mendalami makna yang
dikandung ayat-ayat tersebut.
Metode mużakarah, Munaẕarah dan muṯarahah ini memiliki kelebihan
dibandingkan metode mengulang-ulang dan menghafal. Dalam metode diskusi ini,
Az-Zarnûjî memperingatkan agar dilakukan dengan penuh kesadaran dan kehati-
hatian dalam berpikir karena fungsi dari metode diskusi ini hanya untuk mencari
kebenaran bukan mencari kemenangan.68
Dalam poin ini Az-Zarnûjî menyarankan beberapa metode dalam hal belajar
menurut pandangannya. Dalam pendidikan era modern ini ada sebagian pendapat
Az-Zarnûjî yang dipakai yaitu metode diskusi, sebagai sarana pengembangan cara
berpikir seorang pencari ilmu.
Akan tetapi yang sangat disayangkan adalah berkurangnya daya ingat pencari
ilmu karena kurangnya kebiasaan menghafal. Sebagaimana yang telah dikatakan
Az-Zarnûjî, metode menghafal di era modern ini dianggap metode yang
mengurangi kreatifitas seorang pencari ilmu. Menurut penulis, padahal jika
dibiasakan menghafal maka kemampuan daya ingat akan semakin meningkat. Jika
Az-Zarnûjî mengutamakan memahami dibanding mencatat, maka penulis berbeda
pandangan dengan beliau. Dalam hal ini bukan berarti penulis menyalahkan
beliau, akan tetapi lebih melihat kepada kondisi daya tangkap para pencari ilmu
dimasa sekarang ini.
f. Tawakkal
Tawakal terambil dari kata Wakal-yakilu yang berati "mewakilkan", dan dari
kata ini terbentuk kata Wakil. Dalam beberapa ayat dijelaskan bahwa, "Dan Dia
(Allah) atas segala sesuatu menjadi wakil (Q.S. Al-An'am: 102). dan cukuplah
68
Az-Zarnûjî, Ibid., h. 76, 81
58
Allah sebagai wakil (An-Nisa': 81). Kata wakil bisa juga diterjemahkan sebagai
"pelindung".69
Maksdunya menyerahkan kepada Tuhan segala perkara. Bertawakkal adalah
akhir dari proses dan ikhtiar seorang mukmin untuk mengatasi urusannya.70
Namun Tawakkal bukan berarti penyerahan mutlak kepada Allah, tetapi
penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusiawi dan melakukan
sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.71
Dalam hal ini Az-Zarnuji mengatakan :
pelajar harus bertawakal dalam menuntut ilmu. Jangan goncang masalah
rizki, hatinya pun jangan terbawa kesana.
Pendapat Az-Zarnuji ini merupakan satu hal yang sangat benar, bahwa
serang pelajar harus bertawakkal penuh terhadap Allah ketika sedang
melaksanakan proses mencari ilmu atau hal-ha lain. Karena ketika seorang pelajar
sudah berkurang rasa tawakkalnya maka lambat laun proses belajarnya pun akan
terganggu. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah yang sering
mendera seorang pelajar adalah masalah rizqi (keuangan).
Oleh karenannya, dalam kondisi seperti inilah peran seorang guru untuk
menekankan kepada muridnya agar senantiasa konsisten dan tawakkal dalam
menuntut ilmu. Tawakkal bukan berarti mengesampingkan usaha dan bukan juga
berpangku tangan. Akan tetapi lebih kepada menyerahkan hasil akhir kepada
Allah. Seorang pelajar yang mau bertawakkal hendaknya tidak perlu khawatir
terhadap masalah-masalah yang dia hadapi terutama masalah rizqi (keuangan),
karena Allah telah menjamin bagi oang mukmin yang mau bertawakkal maka
Allah yang akan mencukupi urusannya. Sebagaimana Firman Allah dalam surat
At-Tholaq: 65
69
M. Quraish Sihab, Secerah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur'an, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2007), Cet. I h.171 70
Madjidi, op.cit., h. 107. 71
Sihab, op.cit., h. 173
59
Az-zarnuji megingatkan pengaruh urusan dunia dengan penjelasanya sebagai
berikut:
Orang yang berakal sehat tidak akan gundah memikirkan urusan dunia,
karena kegundahan dan kesedihan tidak akan menghindarkan musibah dan
tidak akan memberikan manfaat. Sebaliknya, ia akan membahayakan hati,
akal dan fisik serta akan menodai amal kebaikan yang perlu mendapat
perhatian adalah urusan akhirat, karena itulah yang akan memberikan
manfaat.
Dalam komentarnya ini Az-Zarnuji memberkan peringatan kepada para
pelajar khususnya dan kalangan umum pada umumnya. Ada beberapa hal yang
dapat kita ambil dari komentarnya ini, yaitu untuk orang-orang yang berakal
terutama penuntut ilmu hendaknya tidak terbebani dengan urusan-urusan dan
masalah-masalah keduniaan, karena merasa sedih dan khawatir terhadap dunia
tidak akan menimbulkan manfaat atau keuntungan sedikitpun. Bahkan akan
menimbulkan efek yang buruk bagi hati, akal, dan badan, serta bisa mencacati
amal-amal kebaikan. Beliau mengharapkan agar urusan akhiratlah yang lebih
diutamakan yaitu mencari ilmu agama untuk kepentingan agama, karena hal itu
akan memberikan manfaat untuk kehidupannya di dunia maupun akhirat.
g. Wara’
Selanjutnya menurut Az-Zarnûjî, seorang pelajar harus bersifat wara‘ (Self
Protection) dalam mencari ilmu, Dapatlah dilihat, secara harfiah kata wara‟
berarti ―menjauhkan diri dari dosa, maksiat dan perkara syubhat.‖72
Ia juga berarti
Iffah yaitu mencegah diri melakukan sesuatu yang tidak pantas.73
Menurut Ibrahim bin Adham, wara‟ adalah ―meninggalkan segala yang masih
diragukan dan meninggalkan kemewahan.‖74
Sedangkan menurut Syaikh al-
Haddad wara‟ adalah
72
Munawwir, op.cit., h.1552 73
Lalu Heri Afrizal, Ibadah Hati, (Jakarta: Garfindo Media Pratama, 2008), Cet. I, h.179 74
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Amzah, 2005), h.
284
60
―Bersikaplah menerima kesederhanaan hidup, dan jangan berpanjang
angan-angan, dan bersikaplah waspada (wara‟) terhadap apa yang tidak
halal.‖75
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mendefinisikan wara' sebagai berikut:
―Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan akan berbahaya ahirat". Sedangkan
menurut As-Sayyid Al-Jurjani sebagai berikut: ―Meninggalkan perkara syubhat
karena takut terjerumus ke dalam perbuatan haram".76
Jadi wara‟ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat atau samar-samar
hukumnya baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan apapun.
Meninggalkan apa-apa yang haram merupakan keharusan setiap Muslim.
Setiap Muslim juga harus sekuat mungkin meninggalkan apa saja yang makruh.
Ini merupakan sikap dasar setiap Muslim. Jika demikian sudah sepantasnya
seorang pelajar harus memiliki sifat wara‟.
Sikap wara‟ itu tumbuh karena iman yang terus hidup di dada, harapan pada
keridaan Allah yang terus bersemi dan rasa takut yang terus menyala terhadap
azab-Nya akibat keharaman meski sangat kecil atau sedikit.
Ulama membagi wara' menjadi tiga macam. Pertama, wara' wajib, yaitu:
mencegah diri dari perbuatan haram, dan ini wajib dilaksanakan oleh setiap orang.
Kedua, Wara Mandub (sunnah), yaitu: mencegah diri dari perkara-perkara
syubhat, dan ini biasanya dilakukan oleh sebagian kecil orang. Ketiga, Wara' dari
Mubahat (Perbuatan yang boleh dilakukan) yang tidak penting, dan ini sifat dan
karakter pribadi para nabi, syuhada dan orang-orang shaleh.77
Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara‟ adalah kehati-
hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya
keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang
haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah saw bersabda:
75
Jumantoro, Ibid. 76
Afrizal, op.cit., h. 180 77
Afrizal, Ibid., h. 187
61
“Menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir: Mengkhabarkan kepada
kami Sufyan dari Abi Farwah dari Sya‟bi dari Nu‟man bin Basyir berkata:
Rasulullah Saw. Bersabda: (perkara) yang halal itu jelas dan (perkara) yang
haram juga jelas. Sementara itu, (perkara yang ada) di antara keduanya
adalah perkara-perkara syubhat (yang samar) yang tidak diketahui oleh
bagian besar manusia. Barang siapa yang menhindari (semua perkara)
syubhat, maka dia telah menjaga kesucian agama dan dirinya. Namun,
barang siap yang terjerumus ke dalam (perkara) syubhat, maka dia telah
terjerumus ke dalam perkara yang haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)78
Hadis di atas menjelaskan bahwa yang halal dan yang haram itu sudah jelas
dan yang berada di antaranya itu adalah perkara syubhat. Orang yang hatinya
bersih dan takut terhadap Allah, dia akan meninggalkan hal-hal yang berada di
antara halal dan haram (perkara syubhat), karena bila terjerumus ke dalam perkara
yang syubhat (samar-samar hukumnya) maka akan terjerumus ke dalam perkara
yang haram pula. Beliau juga bersabda:
―Menceritakan kepada kami Abu Mushir dari Ismail bin Abdillah bin Samaah
dari Awza‟I dari Qurroh dari zuhri dari Abi Salamah dari Abi Huroiroh
berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: Termasuk tanda baik keislaman
seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya.‖ (HR.
Tirmidzi).79
78
Abî Abdillah Muhammad Ibn Ismâ‘il al-Bukhârî, Şahih Bukhâri, (Saudi Arabia: Baitul
Afkar ad-Dauliyah, 2008), hadis No. 2051, h. 288. 79
Abî Isa Muhammad Ibnu Isa Ibnu Saurah, Sunan al-Tirmiżi, Juz I, (Mesir: Dar al-Ibnu
Al-Jauzi, 2011), Kitab Zuhud, hadis No. 2317, h. 426
62
―Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukan‖.
(HR. Bukhari).80
Dengan demikin, sikap wara‟ merupakan sikap kritis dan antisipasi diri
terhadap apapun yang bisa menjadi aib; mengedepankan kehati-hatian bertindak;
keluar dari yang samar menuju yang jelas; meninggalkan yang meragukan menuju
yang tak meragukan; tidak memperturutkan keinginan, tetapi mengambil sesuai
yang dibutuhkan atau sekadarnya; mengambil hal mubah untuk menguatkan
ibadah, meningkatkan ketaatan, dan manambah taqarrub kepada Allah.
Di samping kehati-hatian itu kita juga butuh bekal yang terbaik dalam hidup
kita, yaitu ―istighfar‖, karena apabila ada sesuatu yang haram yang tidak sengaja
kita makan maka masih ada netralisatornya yaitu ampunan Allah dan untuk
mendapatkan ampunan Allah kita harus membiasakan diri ber-istighfar.
B. Karakter Guru
Sebagaimana telah diuraikan di bab sebelumnya bahwa dalam ajaran Islam,
guru mendapatkan penghormatan dan kedudukan yang tinggi. Sangat logis jika
penghormatan dan kedudukan yang tinggi tersebut diberikan kepada guru karena
guru sangat berjasa dalam membimbing, memberikan pengetahuan, membentuk
akhlak peserta didiknya hingga dia menjadi manusia yang seutuhnya yang dapat
melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi.
Para ahli pendidikan Islam sangat memperhatikan budi perangai atau sifat-
sifat yang baik yang harus dimiliki oleh guru di samping harus mengetahui ilmu
atau pengetahuan yang akan diajarkan kepada muridnya. Dengan sifat-sifat yang
baik tersebut diharapkan apa yang disampaikan oleh guru bisa didengar dan
dipatuhi, tingkah lakunya dapat diteladani dan ditiru dengan baik. Atas dasar ini
para ahli sepakat menetapkan sifat-sifat tertentu yang harus dimiliki oleh guru.
Untuk menjadi orang yang pantas ditaati dan diikuti, tidaklah salah apabila
sebagai guru menengok kembali apa yang telah diungkapkan Az-Zarnûjî bahwa:
80
al-Bukhârî, op.cit., h.228
63
―Adapun dalam memilih guru, hendaknya memilih orang yang lebih alim
(pandai), lebih wara‟ dan lebih tua.”81
Az-Zarnûjî juga mengutip pendapat Abu Hanifah mengenai sifat-sifat tertentu
yang harus dimiliki oleh guru, sebagai berikut:
―Saya dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Dan
beliau berkata “Maka aku menetap di samping Hammad bin Abi Sulaiman, dan
akupun tumbuh dan berkembang”.82
Hammad bin Abu Sulaiman Al Asy‘ary, salah seorang ulama‘ ahli fikih yang
luas ilmunya, masuk periode Tabi‘in. imam Abu Hanifah berguru kepada beliau
dan manetap di sana selama 18 tahun, mengangsu ilmu sangat banyak dan
meriwayatkan hadits-hadits beliau. Syaikh Ahmad wafat tahun 120 H/ 738 M.83
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa „alim, wara‟, dan lebih tua usianya
dibanding muridnya, menurut Az-Zarnuji adalah syarat yang harus dipenuhi
ketika menjadi guru. Sifat-sifat itulah yang dimiliki Hammad bin Abu Sulaiman,
sehingga Abu Hanifah memilih menjadi gurunya, karena semata-mata seorang
guru yang tua dan berwibawa, murah hati, serta penyabar, sehingga Abu Hanifah
menetapkan untuk menimba ilmu kepadanya sampai ―berkembang‖. Kata
berkembang, menurut Ibrahim bin Ismail mengandung arti bahwa Abu Hanifah
tidak pernah berpindah guru dalam menimba ilmu hingga menjadi seorang
Mujtahid kecuali hanya kepada Hammad bin Abu Sulaiman.84
Dengan melihat kedudukan baik guru maupun siswa serta syarat-syarat yang
harus dipenuhi ketika menjadi guru tersebut, tentu saja akan lebih tepat,
sebagaimana dikatakan Az-Zarnuji bahwa guru sebaiknya orang yang lebih tua
dibanding muridnya. Dalam arti yang lebih luas lagi, kata tua dapat diartikan tidak
sekedar lebih tua dalam umur, namun sebagaimana ditambahkan, ―tua‖ dapat juga
81
Az-Zarnûjî, op.cit., h. 13 82
Az-Zarnûjî, Ibid 83
As‘ad, op.cit., h. 27 84
Ibrâhim Ibn Ismâ‘il, op.cit., h. 13.
64
berarti orang yang banyak pengalamannya dalam segala hal maupun dalam
menghadapi anak didik. Dalam konteks ini, mungkin sesuai dengan teori
revitalisasi budaya yang mengatakan bahwa subyek didik pada hakekatnya adalah
orang yang masih perlu mendapat tuntunan, sehingga lebih tepat apabila guru
adalah orang yang lebih dewasa.
a. Al-A’lam (lebih alim)
Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata alim. Alim adalah
isim fail dari kata dasar: alima yang artinya ―yang terpelajar, sarjana, yang
berpengetahuan, ahli ilmu.‖85
Jadi alim adalah orang yang berilmu dan ulama
adalah orang-orang yang punya ilmu. Sedangkan kata a‟lam merupakan isim
tafdhil yang berarti lebih alim.
Syekh Ibrâhim bin Ismâ‘il memberikan penjelas tentang kata a‟lam yang
dimaksud oleh Az-Zarnûjî, yaitu
Yang dimaksud lebih alim yaitu guru yang ilmunya selalu bertambah. Bila
kita menganalisis dari segi bahasa bahwa kata a‟lam merupakan isim tafdhil yang
berarti lebih alim. Jadi sosok guru yang diinginkan oleh Az-Zarnûjî adalah guru
yang tidak hanya sekedar alim tetapi guru yang lebih alim yang ilmunya selalu
bertambah.
Di sisi lain, kata ‗alim dapat juga disamakan dengan kata ulu al-albâb, ulu al-
nuha, al-mudzakki, dan al-mudzakkir. Oleh karena itu, dengan mengacu makna
yang terkandung dalam kata-kata tersebut, guru yang ‗alim sesuai dengan kata ulu
al-albâb berarti dia harus memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi
sehingga mampu menangkap pesan-pesan ajaran, hikmah, petunjuk, dan rahmat
dari segala ciptaan Tuhan, serta memiliki potensi batiniah yang kuat sehingga dia
dapat mengarahkan hasil kerja dan kecerdasannya untuk diabdikan kepada Tuhan.
Ulu al-nuha, berarti guru harus dapat mempergunakan kemampuan intelektual
dan emosional spiritualnya untuk memberikan peringatan kepada manusia
85
Munawwir, op.cit., h. 966. 86
Ibrâhim Ibn Ismâ‘il, op.cit., h. 12.
65
lainnya, sehingga manusia-manusia tersebut dapat beribadah kepada Allah swt.
Al-mudzakki, berarti seorang guru harus dapat membersihkan diri orang lain dari
segala perbuatan dan akhlak yang tercela. Adapun arti kata al-mudzakkir, maka
seorang guru harus berfungsi sebagai pemelihara, pembina dan pengarah,
pembimbing, dan pemberi bekal pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan
kepada orang yang memerlukannya.87
Jadi guru harus selalu menanambah pengetahuannya. Jika pengetahuan guru
tidak bertambah maka tidak akan mungkin berhasil dengan baik. Jangan sampai
ilmu guru lebih rendah dari muridnya apalagi di zaman modern seperti sekarang
ini di mana peserta didik bisa mengakses lewat internet seperti google dan
sebagainya yang kemungkinan peserta didik sudah tahu terlebih dahulu sebelum
pelajaran dimulai. Oleh karenanya guru harus sudah siap sebelum mengajar dan
selalu menambah ilmu pengetahuannya, seperti muṯala‟ah untuk materi yang akan
disampaikan kepada muridnya dan sebagainya.
Mengapa guru harus memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan selalu harus
menambahnya? Menurut M. Ngalim Purwanto, pertanyaan seperti itu sangat
mudah untuk dijawab. ―Guru tidak boleh tradisional. Guru bukannya mesin yang
dapat memberikan pengajaran tiap-tiap tahun dengan cara yang sama dan tentang
pengetahuan yang itu-itu saja.‖88
Dan memang harus kita akui bahwa dunia sudah
berubah dan kebudayaan manusia juga berubah. Bahan bacaan semakin banyak
diterbitkan, dan jaringan internet semakin mudah diakses. Jika guru ilmunya itu-
itu saja maka ada kemungkinan guru bisa tidak dihormati oleh muridnya karena
merasa dirinya lebih pintar dibandingkan gurunya.
Kemudian menurut Abdurrahman an-Nahlawi seorang guru harus
meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan kajiannya,89
sebagaimana diserukan
Allah kepada para pengikiut Rasul
87
Abudin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran
Tasawuf al-Ghazâlî, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), Cet. I, h. 44-47. 88
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006), Cet. XVII, h. 147. 89
Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat,
penerjemah: Syihabuddin, (Jakarta, Gema Insani Press, 1995), h. 172
66
Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab
dan kamu mempelajarinya!‖ (QS. Ali Imran/3 :79)
Jika banyak kekeliruan yang dilakukan guru maka kepercayaan peserta didik
akan berkurang bahkan peserta didik akan menyepelekan ilmu yang diberikan
kepadanya serta akan menimbulkan keraguan dalam diri siswa. Maka,
penambahan wawasan bagi guru akan mendapat simpati dan minat belajar siswa.
Kemudian menurut Martinis Yamin, seorang guru yang sukses selalu
mengembangkan dirinya terhadap pengetahuan dan mendalami keahliannya,
kemudian guru tersebut rajin membaca literatur-literatur, dengan tidak merasa
rugi membeli buku-buku yang berkaitan dengan pengetahuan yang digelutinya.90
Seorang guru agama Islam perlu memiliki ilmu tentang pokok-pokok
pendidikan yang dibawa oleh syari'at Islam. Menguasai hukum halal dan haram,
mengetahui prinsip-prinsip etika Islam, serta memahami secara global peraturan-
peraturan Islam. Dengan mengetahui semua ini guru akan menjadi seorang yang
bijak, meletakkan segala sesuatu pada tempat yang sebenarnya, mendidik anak
pada pokok persyaratannya, dan memperbaiki dengan berpijak pada dasar-dasar
yang kokoh dari ajaran al-Qur'an. Allah berfirman:
―Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-
orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran.‖ (QS. az-Zumar/39 :9)
Jika batasan arti kata alim di atas yang dipegang, tentu saja bahwa guru yang
alim dapat berarti guru yang mempunyai keahlian khusus dalam bidangnya
(profesional) yang memegang nilai-nilai moral atau dapat juga berarti guru yang
mempunyai kompetensi. Guru yang alim dapat berarti juga orang yang
90
Martinis Yamin, Sertifikasi Profesi Keguruan Di Indonesia ( Jakarta: Gaung Persada
Press, 2007), h. 23
67
mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai yang telah
menjadi bagian dari dirinya, sehingga mampu melakukan prilaku-prilaku kognitif,
afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.
Salah satu ciri lain orang berilmu dalam Al-Qur'an ialah memiliki rasa takut.
Ini tertera dalam surat Fathir ayat 28:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama”. (Q.S Fathir 28)
Adapun tanda-tanda orang yang memiliki rasa takut menurut Ibnu Ibad ialah
meninggalkan empat ketergantungan yaitu: pertama,, tidak cinta dunia. Kedua,
tidak berharap kepada makhluk. Ketiga. Menahan hawa nafsu. Keempat.
Meninggalkan perbuatan syaitan.91
Alim (berilmu) adalah karakter pertama yang disandangkan pada seorang
guru oleh Az-Zarnûjî. Guru yang alim dalam konteks pendidikan saat ini dapat
diartikan sebagai persyaratan intelektual (akademis) yang termasuk dalam
kompetensi profesional, yaitu kemampuan menguasai materi pembelajaran secara
luas dan mendalam yang memungkinkan peserta didik memenuhi standar
kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.
Guru yang berlatih baik, akan mempersiapkan empat bidang kompetensi guru
yang efektif dalam mencapai hasil hasil belajar yang diharapkan. Empat bidang
kompetensi tersebut sebagai berikut.
1) Memiliki pengetahuan tentang teori belajar dan tingkah laku manusia.
2) Menunjukan sikap dalam membantu siswa belajar dan memupuk
hubungan dengan manusia lain secara tulus.
3) Menguasai mata pelajaran yang diajarkan.
4) Mengontrol keterampilan teknik mengajar sehingga memudahkan siswa.92
91
Sayid Alwi Bin Ahmad As-Segaf, Majmuah Sab'atu Kutubu Mufidah, (Haramain,
2004), Cet. II Hal. 5 92
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2009), h. 17
68
Yang perlu diperhatikan, bahwa guru sebagai orang yang alim atau berilmu,
maka harus melekatkan nilai-nilai moral pada dirinya. Hal ini sebagaimana
diungkapkan Az-Zarnûjî bahwa
―Sebaiknya bagi orang yang berilmu, janganlah membuat dirinya sendiri
menjadi hina lantaran berbuat tamak terhadap sesuatu yang tidak semestinya,
dan hendaknya menjaga dari perkara yang dapat menjadikan hinanya ilmu dan
para pemegang ilmu, sebaliknya, berbuatlah tawadlu (sikap tengah-tengah antara
sombong dan kecil hati) dan iffah‖.93
Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa orang yang berilmu adalah orang
yang selalu menghindarkan diri dari segala akhlak dan perbuatan yang tercela
memelihara diri dari kenistaan, seperti sifat tamak (mengharap sesuatu dari orang
lain secara berlebih-lebihan), sehingga tidak menimbulkan kesan yang hina
terhadap ilmu dan sifat ilmuwan. Demikian pula orang yang berilmu hendaknya
bersifat tawadu (merendahkan hati tetapi tidak minder) dan jangan bersifat
sebaliknya (sombong), dan juga orang berilmu haruslah memiliki sifat iffah
(memelihara diri dari beragam barang haram).
b. Al-Awra’ (Menjaga Diri)
Selanjutnya, syarat yang kedua, menurut Az-Zarnûjî, bahwa guru harus wara‟
hal ini jelas mengandung muatan moral. Mengenai pengertian wara‘ sudah
dibahas pada bab akhlak belajar siswa.
Terkait dengan guru, Syekh Ibrâhim bin Ismâ‘il mengungkapkan bahwa guru
yang wara‟ berarti guru yang dapat menjauhi dari pembicaraan yang tidak
bermanfaat, senda gurau dan menyia-nyiakan umur atau waktu, menjauhi
perbuatan ghibah (menuturkan kejelakan orang lain) dan bergaul bersama orang
yang banyak bicara tanpa membuahkan hasil dalam pembicaraan, ngobrol, dan
omong kosong.94
93
Az-Zarnûjî, op.cit., h. 11 94
Ibrâhim Ibn Ismâ‘il, op.cit., h. 39
69
Begitu jeli Az-Zarnûjî menguak kepekaan sosial ini, sampai-sampai, sesuatu
yang seringkali kita pandang sebagai yang biasa-biasa ternyata memiliki efek yag
panjang. Pandangan semacam ini, pasti susah dijumpai dalam epististimologi
masyarakat Barat. Bagi mereka persoalan ilmu adalah masalah yang lain,
sedangkan kepekaan sosial dalah masalah yang lain lagi.
Sehubungan dengan hal ini, seorang guru hendaknya memiliki kepribadian
dan harga diri. Ia harus menjaga kehormatan, menghindari hal-hal yang rendah
dan hina, menahan diri dari sesuatu yang buruk, tidak membuat keributan, dan
tidak berteriak-teriak minta dihormati. Selain itu seorang guru harus memiliki
sifat-sifat khusus sesuai dengan martabatnya sebagai seorang guru. Umpamanya
dia harus menjaga kehebatannya dan ketenangannya dalam mengajar. Untuk
menciptakan situasi seperti ini seorang guru harus mempunyai pretise dan
terhormat.95
Karena itu, tidak aneh jika sikap wara‟ melahirkan pribadi-pribadi yang
menakjubkan, mendekatkan pemiliknya sedekat mungkin dengan sosok pribadi
Rasulullah saw.
Rasa takut kepada Allah akan membuahkan wara' dan wara' akan
membuahkan Zuhud. berarti masalah ini sangat penting. Adapun wara' itu
mempunyai banyak faedah antara lain:
1) Terhindar dari azab Tuhan yang maha pemurah.
2) Terhindar dari hal-hal yang diharamkan.
3) Dijauhkan dari sikap membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak
berfaedah.
4) Mendatangkan kecintaan Allah.
5) Do'a orang yang bersangkutan dikabulkan.
6) Beroleh keridhaan dari tuhan dan pahala amal kebaikannya ditambah.
7) Manusia berbeda-beda tingkatannya Keuntungan di dalam surga nanti
sesuai dengan perbedaan tingkatan mereka dalam hal ke-wara'an.96
95
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. 1,
h. 74 96
Muhammad Sholikhin, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syaikh Abdul Qodir Al-
Jailani, (Yogyakarta: Mutira Media, 2009), Cet. I, h. 253
70
Dalam konteks ini, tampak jelas bahwa mensyaratkan guru harus wara‟
berarti bagaimana dimensi moral dikedepankan pada guru. Alangkah indah dan
damainya masyarakat terutama dalam lingkungan sekolah atau lingkungan di
mana guru mengajar, apabila guru memiliki sifat wara‟, yaitu sikap kehati-hatian
dalam makanan, berpakaian, berbicra dan bertindak karena akibat dari sikap
wara‟ ini bukan hanya pada hamba yang berhubungan dengan Tuhannya
melainkan juga terhadap sesama manusia.
Oleh karena itu, penulis berharap kepada Allah agar Dia mengaruniakan kita
etika wara‟, dan semoga Dia berkenan untuk mengumpulkan kita bersama
golongan orang-orang yang wara‟, terutama Rasulullah saw di surga-Nya, amin.
c. Al-Asanna (Kebapakan)
Dalam hal ini Az-Zarnûjî memang tidak memberikan penjelasan yang lebih
spesifik, akan tetapi kita bisa menganalisis dari apa yang dimaksudkan oleh Az-
Zarnûjî. Yang pasti guru harus lebih tua atau dewasa dibanding muridnya karena
guru yang lebih tua lebih mengerti dan ilmunya lebih luas. Dan di dalam
pengertian pendidikan itu sendiri ada unsur bimbingan oleh orang dewasa
terhadap peserta didiknya. Oleh karenanya pendidikan tidak akan berjalan sesuai
dengan tujuan yang diinginkan apabila tidak dilakukan oleh orang yang dewasa.
Ibrâhim bin Ismâ‘il memberikan sedikit penjelasan tentang hal ini dalam
mensyarahi kitab Ta‟lîm, yaitu sebagai berikut:
Yang dimaksud lebih tua, yaitu guru yang bertambah umur dan
kedewasaannya. hal ini mungkin tepat karena mengingat bahwa posisi guru
adalah sebagai pendidik, dan mereka adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan anak atau karena guru mempunyai makna sebagai
seseorang yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mendidik peserta
didik dalam mengembangkan kepribadian, baik di sekolah maupun di luar
sekolah.
Demikian pula, bahwa menjadi guru berarti mereka dituntut harus memiliki
keahlian sebagai guru, memiliki kepribadian dan terintegrasi, memiliki mental
yang sehat, berbadan sehat, dan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas.
71
Sebaliknya, siswa atau anak didik adalah manusia yang belum dewasa. Sebagai
manusia yang belum dewasa, tentu saja siswa belum dapat ―mandiri pribadi‖
(zelfstanding), dia masih mempunyai moral yang heteronom, dan masih
membutuhkan pendapat-pendapat orang yang lebih dewasa (pendidik) sebagai
pedoman bagi sikap dan tingkah lakunya97
Tugas mendidik adalah tugas yang sangat penting karena menyangkut
perkembangan seseorang. Oleh karena itu, tugas itu harus dilakukan secara
bertanggung jawab. Itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang lebih dewasa. Di
negara kita, seseorang dianggap dewasa sejak ia berumur 18 tahun atau ia sudah
kawin. Menurut ilmu pendidikan adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi
perempuan. Bagi pendidik asli, yaitu orang tua anak, tidak dibatasi umur minimal;
bila mereka telah mempunyai anak, maka mereka boleh mendidik anaknya.
Dilihat dari segi ini, sebaiknya umur kawin ialah 21 bagi laki-laki dan minimal 18
bagi perempuan.98
Kemudian menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi bahwa guru harus
memiliki sifat kebapakan—karena seorang ayah sudah bisa dikatakan dewasa--
sebelum menjadi guru. Dia harus mencintai murid-muridnya seperti halnya ia
mencintai anak-anaknya dan memikirkan mereka sama seperti memikirkan anak-
anaknya sendiri. 99
Dalam kaitannya dengan hal di atas, al-Ghazali juga berpendapat bahwa guru
hendaknya memandang murid seperti anaknya sendiri menyayangi dan
memperlakukan mereka seperti layaknya anak sendiri.100
Dalam hal ini jelas
dibutuhkan sosok seorang yang sudah dewasa baik dalam umur atau ilmunya.
lebih tua usianya maksudnya lebih matang karena telah mengenyam pendidikan
dalam waktu yang lebih lama sehingga lebih berpengalaman baik secara teoritis
maupun praktek di lapangan.
Ada tiga ciri kedewasaan, yaitu:
97
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 297 98
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1994), Cet. II, h. 80 99
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, at-Tarbiyah al-Islamiyah, (Qahirah: Dar at-Tarbiyah,
1964), h. 120-121 100
Nata, op.cit., h.162
72
1) Orang yang telah dewasa telah memiliki tujuan dan pedoman hidup
(philosophy of life), yaitu sekumpulan nilai yang ia yakini kebenarannya
dan menjadi pegangan dan pedoman hidupnya. Seorang yang dewasa
tidak mudah terombang ambing karena telah punya pegangan yang jelas.
2) Orang yang dewasa adalah orang yang mampu melihat segala sesuatu
secar objektif. Tidak hanya dipengaruhi subjektivitas dirinya. Mampu
melihat dirinya dan orang lain secara objektif, melihat kelebihan dan
kekurangan dirinya dan orang lain.
3) Seorang dewasa adalah orang yang telah bisa bertanggung jawab. Orang
dewasa adalah orang yang telah memiliki kemerdekaan, kebebasan; tetapi
sisi lain dari kebebasan adalah tanggung jawab.101
d. Berwibawa
Az-Zarnûjî memasukkan sifat wibawa sebagai karakter guru karena tanpa
adanya kewibawaan seorang guru maka pendidikan tidak akan berhasil dengan
baik.
Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak
yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan
kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di
kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya
kepada tujuan yang hendak dicapai.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia wibawa berarti ―pembawaan untuk
dapat menguasai dan mempengaruhi, dihormati orang lain melalui sikap dan
tingkah laku yang mengundang kepemimpinan dan penuh dengan daya tarik‖.103
Guru yang berwibawa berarti guru yang dapat membuat siswanya terpengaruhi
oleh tutur katanya, pengajarannya, patuh kepada nasihatnya, dan mampu menjadi
101
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2009), Cet. V, h. 254 102
Az-Zarnûjî, op.cit., h. 13-14 103
Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2008), Edisi ketiga, Cet. IV, h. 1561
73
magnet bagi siswanya sehingga siswanya akan terkesima dan tekun menyimak
pengajarannya.
Dalam melaksanakan tugas sebagai guru, hal penting yang harus diperhatikan
bagi seorang guru adalah persoalan kewibawaan. Guru harus meliliki kewibawaan
(keluasan batin dalam mendidik) dan menghindari penggunaan kekuasaan lahir,
yaitu kekuasaan semata-mata pada unsur kewenangan jabatan. Kewibawan justru
menjadikan suatu pancaran batin yang dapat memimbulkan pada pihak lain untuk
mengakui, menerima dan menuruti dengan penuh pengertian atas kekuasaan
tersebut, tetapi tidak sampai guru dijadikan sebagai sesuatu yang sangat agung
yang terlepas dari kritik.
Kewibawaan itu ada pada orang dewasa, terutama pada orang tua.
Kewibawaan yang ada pada orang tua itu bisa dikatakan asli. Karena orang tua
langsung mendapat tugas dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya. Orang tua
atau keluarga mendapat hak untuk mendidik anak-anaknya, suatu hak tidak dapat
dicabut karena terikat oleh kewajiban. Hak dan kewajiban yang ada pada orang
tua tidak dapat dipisahkan.104
Sedangkan kewibawaan guru berbeda dengan kewibawaan orang tua, karena
guru mendapat tugas mendidik bukan dari kodrat (dari Tuhan), melainkan dari
pemerintah. Ia ditetapkan dan diberi kekuasaan sebagai pendidik oleh negara dan
masyarakat.105
Guru tanpa wibawa akan diremehkan murid tetapi bila tidak bersahabat
dengan murid maka murid akan takut, jauh serta benci pada guru. Guru yang
berwibawa tapi bersahabat dengan murid yang dimaksud adalah guru yang dekat
dengan murid dan komunikasinya juga baik, namun murid tetap hormat dan tidak
meremehkan karena kedekatannya itu. Walau antara guru dengan murid dekat,
namun masih ada semacam batas di antara mereka, mungkin dari segi bahasa atau
dari perilaku saat berbicara.
104
Purwanto, op.cit., h. 49 105
Purwanto, Ibid., h. 50
74
Bagi siswa guru adalah sosok yang pintar yang tahu tentang segala-galanya.
Juga pembawaan guru yang berwibawa akan menjadikan murid untuk selalu
hormat dan patuh terhadap guru.
Sehubungan dengan sifat wibawa, Zakiyah Darajat berpendapat bahwa guru
yang berwibawa itu bukanlah memukul-mukul meja, berteriak saat murid
membuat keributan di dalam kelas sehingga suasana menjadi kondusif, karena hal
itu bersifat semu. Guru yang berwibawa itu ialah guru yang mampu menguasai
muridnya dengan tenang di saat ada keributan sehingga kelas menjadi tenang.106
Jadi kewibawaan seorang guru bukan dilihat dari postur tubuhnya yang tinggi
besar, berbadan gempal, berkumis tebal, bermuka seram dan suara yang
menggelegar melainkan dari penyampaiannya yang tenang, santun dan anggun
sehingga murid segan untuk melakukan keributan.
Berkaitan dengan kewibawaan guru, penulis akan memberikan contoh
sebagai berikut:
Pada suatu sekolah ada seorang guru A yang sangat disegani oleh murid-
muridnya. Mereka sangat takut dan patuh kepadanya. Setiap harinya, sebelum
guru A masuk ke dalam kelas, murid-murid sudah duduk dengan tenang dan tertib
,emamtikan Bapak Guru A itu mengajar. Semua perintah dan larangan serta
nasihat-nasihatnya yang diberikan kepada murid-muridnya, diturut dan dipatuhi
oleh anak-anak. Anak-anak hormat kepadanya.
Sebaliknya, guru B yang ada di sekolah itu kurang disegani murid-muridnya.
Setiap guru B itu mengajar, anak-anak ada saja yang selalu membuat ribut di
dalam kelas, sehingga kelas menjadi ribut. Peringatan-peringatan dan nasihat-
nasihat yang diberikannya tidak atau kurang dihiraukan murid-muridnya. Anak-
anak tidak merasa segan atau patuh kepadanya. Perintah-perintah atau tugas-tugas
yang diberikannya sering tidak dikerjakan oleh murid-muridnya. Karena itu, guru
B sering marah dan menghukum anak dalam kelas. Tetapi, anak itu bukan
semakin patuh atau menurut kepadanya, bahkan sebaliknya. Anak-anak mau
106
Zakiah Daradjat, at.al., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. III,
h. 43
75
mengerjakan apa yang diperintahkannya karena mereka takut; jadi bukan karena
mereka insaf atau percaya kepadanya.107
Dari cotoh di atas dapat kita katakan bahwa guru A lebih berwibawa dari
pada guru B. Murid-murid lebih segan dan patuh tehadap guru A. peringatan yang
diberikan oleh guru A lebih meresap ke dalam jiwa anak-anak dan mereka dengan
senang menjalankan perintahnya karena Guru A penyampaiannya lebih tenang
dan tidak mudah marah terhadap murid-muridnya. Berbeda dengan guru B yang
suka marah sehingga murid mau melakukan perintahnya bukan karena
kesadarannya melainkan karena takut dan terpaksa.
Hilangnya kewibawaan guru akan menyebabkan anak-anak tidak
menghormati dan mendengar saran-saran dari pendidiknya. Oleh karena itu guru
memang harus berwibawa. Karena kewibawaan identik dengan menghormati,
menghargai, mengagumi dan sebagainya.
e. Al-Hilm (Santun)
Sifat pokok lain yang menolong keberhasilan pendidik atau guru dalam tugas
kependidikannya adalah sifat santun.108
Dengan sifat santun anak akan tertarik
pada gurunya sebab anak akan memberikan tanggapan positif pada perkataannya.
Dengan kesantunan guru, anak akan berhias dengan akhlak yang terpuji, dan
terhindar dari perangai yang tercela. Ciri-ciri santun adalah: lembut dalam kata-
kata, perintah, maupun larangan; penyayang terhadap sesamanya apalagi terhadap
orang-orang yang lebih lemah dan orang-orang yang lebih tua; menjadi penolong
pada saat orang lain memerlukan pertolongannya.
Kita harus mengakui bahwa saat ini kita hidup pada masa-masa krisis kasih
sayang. Pembahasan kasih sayang seakan telah tertutup dan hanya menjadi
dongeng manis, imajinasi atau kumpulan kisah seribu satu malam. Sifat kasih
sayang telah langka dan jarang ditemukan, bahkan di antara kaum muslimin
sendiri, kecuali orang-orang yang memperoleh rahmat Allah. Tiada daya dan
upaya kecuali dengan bantuan-Nya.
107
Purwanto, op.cit., h. 48 108
Az-Zarnûjî, loc.cit.
76
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia santun berarti ―halus dan baik (budi
bahasanya, tingkah lakunya), sabar dan tenang, sopan, penuh rasa belas kasih,
suka menolong.‖109
Az-Zarnûjî dalam kitab Ta‟lîm-nya menginginkan guru yang halîman—
jamak dari kata hilm—yang artinya banyak kasih sayangnya, sebagaimana
Hammâd bin Abû Sulaiman yang dipilih oleh Imam Abu Hanifah sebagai gurunya
sehingga ia menjadi berkembang ilmu pengetahuaanya berkat kasih sayangnya
dalam mengajar dan membimbing.110
Pada dasarnya, sifat ini bermuara dari dalam jiwa manusia, yaitu menyayangi
sesama mereka; perasaan yang kemudian mengundang kasih sayang Allah.
Hati orang mukmin secara alamiah memiliki sifat kasih sayang kepada orang
lain. Ia yakin bahwa dengan menyayangi orang lain, ia akan memperoleh balasan
kasih sayang yang jauh lebih besar dan luas di dunia dan akhirat.
Hati yang penuh kasih, tidak pernah lama ada isinya, karena kasihnya
diberikan. Berati jika kasihnya kosong, maka yang akan mengisi kasih berikutnya
adalah Allah. Orang yang mengasihi sesama, hatinya diisi kasih sayang Allah.
Allah menyayangi siapa pun yang menyayangi hamba-hamba-Nya. Rasul
bersabda:
―Telah menceritakan kepada kami Abdan dan Muhammad keduanya berkata:
telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah, telah mengkhabarkan kepada kami
Ashim bin Sulaiman bin Abi Usman berkata: telah menceritakan kepada kami
usamah bin Zaid beerkata: sesungguhnya Rasullulah Saw bersabda: Allah hanya
akan menyayangi hamba yang menyayangi (makhluk-Nya).‖ (HR. Bukhari).111
109
Tim Penyusun Pusat Bahasa, op.cit., h. 1224. 110
Az-Zarnûjî, loc,cit. 111
Ahmad Bin Ali Al-Asqolani, Fathul Bari Bi Syarhi Shohih Al-Bukhori, (Darul Hadits:,
2004) Juz. III hadis No. 1284, h. 78
77
―Telah menceritakan kepada kami ibnu Abi Umar, telah menceritakan
kepada kami Supyan dari Amru bin Dinar dari Abi Kobusa dari Abdullah bin
Amru berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: Orang-orang yang menyayangi (orang
lain) pasti akan disayang Allah. Sayangilah setiap penduduk bumi, niscaya
engkau akan disayangi para penghuni langit,‖ (HR. Tirmidzi)112
Dalam hal sifat kasih sayang ini, Az-Zarnûjî mengungkapkan lewat kitab
Ta‟lîm-nya
“Orang yang berilmu hendaknya memiliki rasa kasih sayang, bersedia
memberi nasihat tanpa disertai rasa hasud (dengki), karena hasud adalah sifat
yang membahayakan diri sendiri dan tidak bermanfaat.”113
Menurut Syaikhul Islam Burhanuddin Rahimahullah, bahwa para ulama
banyak yang berkata bahwa putra guru dapat menjadi seorang yang alim, karena
guru selalu menghendaki murid-muridnya selalu menjadi ulama dalam bidang al-
Qur‘an. Lantas karena berkah, itikad serta kasih sayangnya, maka anaknya
menjadi seorang yang alim.114
Menurut para ahli pendidikan Islam, kasih sayang guru terhadap muridnya
sangat ditekankan. Sepertinya pendapat mereka didasarkan atas sabda Rasulullah
yang artinya ―Tidak beriman kamu bila tidak mengasihi saudara-saudaramu
seperti mengasihi dirimu sendiri.‖ Menurut Imam suhaimi saudara yang dimaksud
disini adalah saudara sesama makhluk manusia meskipun dia non muslim.115
Asma Hasan Fahmi menjelaskan sebagai mana yang dikutip oleh Ahmad Tafsir,
bahwa kasih sayang itu dapat dibagi dua: pertama, kasih sayang dalam pergaulan;
berarti guru harus lemah lembut dalam pergaulan. Konsep ini mengajarkan agar
tatkala menasihati murid yang melakukan kesalahan, hendaknya menegurnya
112
Abî Isa Muhammad Ibnu Isa Ibnu Saurah, Sunan al-Tirmidzi…, Kitab al-Birri hadis
No. 1931, h. 371. 113
Az-Zarnûjî, op.cit., h. 53. 114
Az-Zarnûjî, op.cit., h. 53. 115
Muhammad Nawawi, Syarah Qomiut Thugyan, (Darul Ihayail Kutub) Hal. 27
78
dengan cara memberikan penjelasan, bukan dengan cara mencelanya karena
celaan akan melukai prestisenya. Kedua, kasih sayang yang diterapkan dalam
mengajar. Ini berarti guru tidak boleh memaksa murid mempelajari sesuatu yang
belum dapat dijangkaunya. Pengajaran harus dirasakan mudah oleh anak
didiknya. Dalam kasih sayang yang kedua ini terkandung pengertian bahwa guru
harus mengetahui perkembangan kemampuan muridnya.116
Syekh Adul Qodir mengatakan, seorang guru mesti memperlakukan murid
dengan memberi nasihat dan memperhatikannya dengan kasih sayang dan
bersikap lemah lembut ketika merasa berat menanggung proses belajar, serta
mendidiknya layaknya pendidikan yang diberikan seorang ayah kepada anaknya.
Pendidikan yang penuh dengan kasih sayang, kebijaksanaan, dan kepandaian
dalam menghadapi anaknya tersebut.117
Jika benar-benar ingin menghiasi diri dengan sifat kasih sayang ini, guru
harus mengambil teladan dari Nabi Muhammad saw karena beliau telah mengisi
seluruh sisi kehidupannya dengan kasih sayang.
Dengan sifat kasih sayang ini, seorang guru dapat meraih cinta Allah dan
cinta manusia. Sifat kasih sayang ini juga menjadi bukti riil kelembutan hati dan
keluhuran jiwa. Sifat ini dapat merekatkan hubungan guru dan peserta didik. Sifat
ini bisa menyatukan perbedaan-perbedaan dan meningkatkan tingkat peradaban.
Sifat kasih sayang ini apabila sudah tertanam dalam diri seorang guru, maka
guru akan berusaha sekuat-kuatnya untuk meningkatkan keahliannya karena ia
ingin memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya.
Selain kasih sayang, Murah hati dan lemah-lembut adalah dua sifat yang
sangat mulia. Allah swt dengan kedua sifat ini akan membuka, melembutkan, dan
meluluhkan hati manusia, oleh karena itu, setiap guru harus menghiasi dirinya
dengan sifat tersebut agar ia bisa meluluhkan hati murid-muridnya.
Lemah lembut dalam bahasa Arab diungkapkan dengan kata al-rifqu yang
berarti ―keramahan, kelemah-lembutan, kehalusan‖118
dikatakan dalam Al-
116
Tafsir, op.cit., h. 84-84. 117
Abdul Razak Kailani, Syaikh Abdul Qodir Guru Pencari Tuhan, (Bandung: Mizan
Media Utama, 2009), Cet. I, h. 250 118
Munawwir, op.cit., h. 518.
79
Majma': Ar-Rifqu (ra' dibaca kasroh) kebalikan dari ar khurqu, ialah orang itu
memperindah atau mempercantik perbuatan. ―lemah lembut atau rifq‖ adalah
lawan kata dari ―unf‖ (kekerasan). Kata rafiq juga dimaknai dengan keramahan
dan keharmonisan. Dan rifq bermakna layin janib (lemah lembut, ramah
tamah).119
Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa yang dikaruniai sifat Ar-Rifqu (lemah
lembut atau kasih sayang), sungguh ia telah diberikan bagiannya dari kebaikan
dunia akhirat, demikian pula menghubungkan tali silatur rahmi dan berbudi
pekerti yang baik keduanya akan menambah rezeki dan menambah umur. (HR.
Ahmad).120
Ar-Rifqu merupakan akhlak yang paling baik. Oleh karena itu, Allah Swt.
Memberi pujian di dunia bagi yang melakukan sikap lemah lembut ini, serta
pahala yang sangat besar melebihi pahala yang lain. Ketika seorang lemah lembut,
berarti dia telah berhias dan mempercantik diri di hadapan setiap orang, jugadi
mata Allah Swt. Apabila seorang muslim meninggalkan sikap lemah lembut,
berarti dia telah menampakan aib di mata orang lain dan di mata Allah Swt.
Sesungguhnya Allah Maha kasih sayang dan mencintai kelemah lembutan.121
Kekejaman bisa disebabkan oleh kamarahan yang tidak terkendali, keinginan
untuk berkuasa, dan ketamakan. Sifat-sifat buruk tersebut dapat mengacaukan
cara berpikir guru dan menyebabkan tidak bisa mengambil tindakan yang tepat.
Jika guru telah berhasil menyikapi setiap perkara dengan lemah lembut, hal itu
adalah buah dari perangai yang terpuji. Selain itu, seseorang dikatakan memiliki
sifat terpuj dan mulia, jika dia mampu menahan marah dan nafsu syahwat serta
menjaga keduanya agar tetap seimbang. Karena itulah, rasulullah memuji orang
yang memiliki sifat lemah-lembut.
Beliau memerintahkan kita untuk berlemah-lembut, beliau bersabda:
119
M. Ilyas, Insan Ilahiah, (Jakarta: Madani Grafika, 2004), Cet. I, h. 313 120
Amirulloh Syarbini, Sedekah Maha bisnis Dengan Allah, (Jakarta: Qultum Media,
2012), Cet. I, h. VI 121
Majdi Sayid Ibrohim, Menjadi Muslimah Bahagia Sepanjang Masa, 2010), Cet. I,h.
245
80
―Telah menceritakan kepada kami Abu Nuaim dari Ibnu Uyaynah dari Az-
Zuhri dari Urwah dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: Sesungguhnya
Allah itu Maha lemah lembut dan menyukai kelemah-lembutan.‖ (HR Bukhari dan
Muslim)122
Lemah-lembut dan selalu berbakti kepada Allah termasuk sifat orang berilmu,
sedangkan orang berharta sering kali memiliki sifat takabur dan ingkar kepada
Allah. Oleh sebab itu, ilmu lebih istimewa daripada harta.123
Seorang guru sebaiknya jangan bertindak gegabah, ceroboh dan terburu-buru
ketika menyelesaikan setiap urusan dan mengambil putusan karena hal itu akan
mengakibatkan kerugian dan menghilangkan kemanfaatan. Kebaikan dibangun
atas dasar sikap lemah-lembut, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Telah menceritakan kepada kami Usman dan Abu Bakar keduanya anak Abi
Syaibah dan Muhammad bin Sabah Al-Bazaz, mereka berkata: telah
menceritakan kepada kami Syarik dari Mikdam bin Syuraih dari bapaknya
berkata: Rasulullah saw. Bersbda: Sesungguhnya kelemah-lembutan itu ada
pada sesuatu, ia akan menghiasinya dan jika kelemah-lembutan itu dicabut
dari sesuatu, ia akan menodainya.‖ (HR. Abu Daud).124
Kelemah-lembutan guru dalam berinteraksi dengan murid-muridnya akan
membuat roh, hati, dan jiwa murid-murid tunduk dan luluh. Kelemah-lembutan
ibarat kunci kebaikan dan keberuntungan. Jiwa pemberontak akan melunak dan
hati pendengki akan menyadari kekeliruannya karena tersentuh oleh kelembutan.
Para ahli pendidikan sepakat bahwa cinta kasih, kelembutan dan kehangatan
yang tulus merupakan dasar yang penting dalam mendidik anak. Kesemuanya itu
122
Ahmad Bin Ali Bin Hajar Al-Atsqolani, Fathul Bari, (Darul Hadits: 2004), juz: XII,
hadis No. 6927, h. 322. 123
Wawan Susetya, Cermin Hati Perjalanan Rohani Menuju Ilahi, (Solo: PT. Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2006), Cet. I, h. 165 124
Imam al-Hafiẕ Abî Dâud Sulaimân Ibn Asy‘ats al-Sijistanî, Sunan Abû Dâud, (Saudi
Arabia: Darul Hadits, 2001), Juz: IIX, Kitab Adab, Bab fi al-Rifqi, hadis No. 4800, h. 201.
81
terpancar dalam kehangatan komunikasi antara orang tua dan anak, guru dan
murid. Anak-anak pada usia dini meskipun belum berfungsi daya nalarnya, sudah
menangkap getaran lembut kasih sayang yang mengasuhnya.125
Jika guru bersikap sopan dan santun dengan siswa, siswa akan menanggapi
dengan cara yang sama, jika guru menggunakan bahasa yang inklusif, siswa
akanmengambil pola-pola tersebut dan menggunakannya sendiri.126
Santun juga berarti memaafkan. Al-Qur‘an menyuruh umat manusia untuk
santun, menahan amarah, dan memberi maaf ketika ada manusia menyakiti yang
lain.
Santun (al-Halîm) merupakan salah satu sifat Allah, yang banyak disebutkan
dalam al-Qur‘an, di antaranya adalah sebagai berikut:
―Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang
diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha
Kaya lagi Maha Penyantun.‖ (QS. al-Baqarah/2 :263).
Rasulullah adalah orang yang sukses dengan mengandalkan akhlak yang baik,
di antaranya adalah sifat kelemah-lembutannya, pemaaf dan sebagainya. Firman
Allah:
―Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut
terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka
125
Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Anak Terhadap Anak Laki-Lak,
(Jakarta: Gema Insani, 2005), Cet" III, h. 57 126
Les Parsons, Bullied Teacher Bullied Student Guru Dan siswa yang terintimidasi,
(Jakarta: Grasindo, 2012), h. 59
82
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.‖ (QS Ali Imran/3 : 159)
Sebagai seorang guru kita harus meneladani kepemimpinan Rasulullah, yaitu
pemaaf. Sehubungan dengan sifat ini, menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi,
guru hendaknya memiliki sifat santun terhadap muridnya, mampu mengendalikan
dirinya dari bersikap marah, bersikap lapang dada, banyak bersabar dan tidak
marah karena hal-hal yang mengganggunya.127
f. Penyabar
Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab, dan sudah
menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah "sabara", yang
membentuk infinitif (mashdar) menjadi ―sabran‖ Dari segi bahasa, sabar berarti
―menahan, tabah hati.‖128
Sedangkan dari segi Istilah, sabar adalah keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan
konsekuen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan, pendiriannya tidak
berubah bagaimanapun berat tantangan yang dihadapi.129
Ar-Raghib berkata, "Sabar adalah kata umum". Nama atau sebutannya bisa
berubah sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing.130
Sehingga
istilahnya pun berbeda-beda. Ketika seseorang mendapatkan musibah, dia harus
bersabar yang lawannya adalah jaza'u (keluh kesah). Ketika dia hidup
berkecukupan atau berlebihan, dia harus mengendalikan nafsu yang disebut
dengan zuhud yang kebalikannya adalah serakah (al-hirshu). Jika dia menghadapi
peperangan, kesabarannya disebut syaja'ah (berani), bukan Jubnu (takut,
pengecut), jika dia sedang marah kesabarannya adalahlemah lembut (al-hilmu)
yang lawannya adalah emosional (tadzammur), jika dia menghadapi bencana,
sabarnya adalah lapang dada, jika dia menyimpan perkataan (rahasia), sabarnya
127
al-Abrasyi, op.cit., h. 137 128
Munawwir, op.cit., h. 760 129
Jumantoro,op.cit., h. 197. 130
Mutawalli Sya'rowi, Kenikmatan Taubat, (Jakarta: Qultum Media, 2006) Cet. I h. 39
83
adalah kitmanus sirri, jika dia memperoleh sesuatu yang tidak banyak, sabarnya
adalah qona'ah (menerima).131
Adapun macam-macam sabar yang lain adalah sebagai berikut:
1) sabar karena Allah. Allah berfirman, "Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepda-
Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan demikian itulah jalan
yang lurus". (Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5).
2) Sabar dengan pertolongan Allah. Allah berfirman, "bersabarlah (hai
Muhammad). Tiadalah kesabaran mu itu melainkan pertolongan Allah."
(Q.S. An-Nahl: 127) "(mereka berdo'a), "ya tuhan kami, limpahkanlah
kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah
diri (kepada-Mu). (Q.S. Al-A'rof: 126).
3) Sabar dari Allah. Inilah yang haram. Ini terjadi pada orang yang telah
merasakan kenikmatan dekat dengan Allah, kemudian dia terus menjauhi
Allah setelah itu.132
Sehubungan dengan sifat sabar ini, Allah berfirman:
―Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai
penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.‖ (QS. al-
Baqarah/2 :153)
―Dan memohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan
(salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusu‟.‖ (QS. Al-
Baqarah/2 :45).
Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir al-Mishbah, beliau
berpendapat bahwa sabar adalah menahan diri dari sesuatu yang tidak berkenan di
131
Ahmad Yani, Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji, (Jakarta: Al-Qolam, 2007), Cet. I,
h. 125 132
Sya'rowi, op.cit., h. 40
84
hati. Imam al-Ghazali mendefinisikan sabar sebagai ketetapan hati melaksanakan
tuntunan agama menghadapi rayuan nafsu.133
Penutup ayat yang menyatakan sesungguhnya Allah bersama orang- orang
yang sabar mengisyaratkan bahwa jika seseorang ingin teratasi penyebab
kesedihan atau kesulitannya, jika ia ingin berhasil memperjuangkan kebenaran
dan keadilan, maka ia harus menyertakan Allah dalam setiap langkahnya. Ia harus
bersama Allah dalam kesulitannya dan dalam perjuangannya. Ketika itu, Allah
yang Maha Mengetahui, Maha Perkasa, lagi Maha Kuasa pasti membantunya,
karena Dia pun telah bersama hamba-Nya. Tanpa kebersamaan itu, kesulitan tidak
akan tertanggulangi bahkan tidak mustahil kesulitan di perbesar oleh setan dan
nafsu amarah manusia sendiri.134
Sebagaimana dalam al-Qur'an, dalam hadits juga banyak sekali sabda-sabda
Rasulullah saw yang menggambarkan mengenai kesabaran, di antaranya adalah
sebagai berikut:
―Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ibrohim Ad-Dimiski.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Syuaib bin Syabur, telah
mengkhabarkan kepada aku Mu‟awiyah bin Salam dari saudaranya,
bahwasannya dia telah mengkhabarkan dari kakeknya Abi Salam dari
Abdurrahman bin Ghonim dari Abi Malik Al-Asy‟ari. Sesungguhnya Rasulullah
Saw. Bersabda: Kesabaran merupakan cahaya yang amat terang.” (HR. Ibn
Majah).135
Jika kesabaran merupakan cahaya, maka orang yang memiliki sifat sabar akan
mampu menyingkap kegelapan.
133
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, V. I,
(Jakarta: Lentara Hati, 2010), cet. Ke 10, h. 221. 134
Shihab, op.cit., h. 221 135
Ibn Mâjah al-Qazwaini, Sunan Ibn Mâjah…, Kitab Ţaharah bab al-Wudlu‘u Syaṯ ru
al-Iman, h. 46
85
Kalau kita kaitkan makna sabar dengan pendidikan, maka akan tergambar
satu relasi yang cukup kuat antara keduanya, karena makna sabar tidak akan
terlepas dari yang namanya pendidikan.
Az-Zarnûjî bukan hanya mensyaratkan guru harus sabar melainkan beliau
menggunakan kata Shabûran yang bentuk jamak dari kata al-Sabru yang berarti
banyak kesabarannya. Karena menjadi guru pasti bergaul dengan anak muridnya,
dengan watak dan pemikiran yang berbeda. Ada di antara mereka yang baik dan
ada pula yang lemah. Hal itu merupakan suatu kewajaran bagi seorang guru ketika
ia hadir dan mengajar mereka sehari-hari. Bersamaan dengan itu, begitu banyak
problem yang dipikul oleh murid ataupun hal-hal yang berhubungan dengan
pendidikan guru. Karena itulah seorang guru sangat dituntut untuk bisa bersabar
dan bertanggung jawab. Kesabaran tidak gampang diraih, ia butuh kontinuitas
hingga bisa terbisaa. Tidak adanya kesabaran bagi seorang guru akan berdampak
negatif pada psikologinya. Sifat ini juga yang membuat Imam Abu Hanifah
berkembang ilmu pengetahuannya saat ia berguru kepada Hammad yang sangat
penyabar.
Sehubungan dengan hal ini, menurut Abdurrahman an-Nahlawi bahwa guru
hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar. Dengan begitu, ketika ia harus
memberikan latihan yang berulang-ulang kepada anak didiknya, dia mlakukannya
dengan kesadaran bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda.
Denga begitu, dia tidak tergesa-gesa dan memaksakan keinginannya kepada siswa
serta ingin segera melihat hasil karyanya berupa siswa yang pintar dan siap pakai
tanpa memperhatikan kedalaman ajaran serta pengaruhnya dalam diri siswa.136
Pekerjaan mendidik dan mengajar tidaklah mudah dan hasilnya tidak dapat
ditunjukkan seketika itu, maka dari itu dibutuhkan kesabaran agar tujuan
pendidikan tercapai. Menurut M. Ngalim Purwanto, pekerjaan mendidik tidaklah
seperti membuat roti yang hasilnya dapat dilihat beberapa jam kemudian. Akan
sia-sialah jika guru ingin lekas dapat menikmati datau membanggakan hasil
pekerjaannya, seperti hasil hukumannya atau nasihatnya yang telah diberikan
kepada seorang anak. Banyak usaha guru dalam mendidik anak-anak yang belum
136
An-Nahlawi, op.cit., h. 171
86
bisa kelihatan hasilnya sampai anak itu kelaur dari sekolah. Dan banyak juga
usaha guru yang baru dapat dipetik buahnya setelah anak itu menjadi orang
dewasa, setelah ia berdiri sendiri dalam masyarakat.137
Sifat sabar tersebut akan
ada apabila guru juga mempunyai rasa cinta kasih terhadap anak didiknya.
Guru harus mengetahui bahwa sabar adalah salah satu sifat keutamaan jiwa
dan akhlak yang menjadikannya pada puncak kesopanan (tata krama), puncak
kesempurnaan dan pada tingkatan akhlak yang paling tinggi. Ini semua bukan
berarti seorang guru harus menerima dan berdiam diri saat menghadapi masalah,
seperti ketika ada keributan di dalam kelas dan sebagainya, melainkan bagaimana
cara guru untuk menghadapi hal tersebut dengan tanpa menimbulkan sifat marah
dan emosi.
Seorang guru pasti berhadapan dengan rasio anak murid yang beragam, baik
dalam menyerap, menerima ataupun merespon pelajaran. Banyak kasus ketika
seorang guru menyampaikan materi pelajaran dengan waktu yang lama, tiba-tiba
ada seorang murid yang mengaku tidak paham sama sekali pelajarannya. Atau
ketika seorang guru mendapatkan pertanyaan yang melenceng dari pembahasan,
juga ketika ia sedang mengajar, tiba-tiba anak muridnya ada yang tidur. Bahkan
yang lebih parah lagi, ketika seorang murid mengeluarkan kata-kata yang kasar
terhadap guru.
Kendatipun watak dan karakter mereka berbeda, namun bukan berarti seorang
guru harus menghindar atau menolak perbedaan tersebut. Perlu diketahui,
kesanggupan menguasai amarah merupakan tanda kekuatan seorang. Hal ini
sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
‖Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengkhabarkan
kepada kami Malik dari bin Syihab dari Sa‟id bin Musayab dari Abi Hurairah
RA. Sesungguhnya Rasulullah Saw. Kekuatan bukanlah ketika ia mampu
137
Purwanto, op.cit., h.144-145
87
menguasai manusia, akan tetapi kekuatan adalah ketika ia mampu menguasai
dirinya ketika ia marah.‖ (HR. Bukhari).138
Anak bukanlah seperti malaikat Allah, yang ketika diperintahkan lalu ia
menurutinya dan tidak membangkang, akan tetapi ia adalah makhluk Allah yang
lemah, yang memiliki keragaman pola pikir dan sikap, sehingga dalam pengaturan
dan pembinaannya dibutuhkan jiwa yang sabar dan keilmuwan yang luas dalam
mengatasinya.
Saat ini masih banyak guru yang kurang memperhatikan sifat sabar dalam
mendidik, yang terpenting baginya kewajibannya telah selesai. Padahal seorang
guru tidak hanya dituntut memiliki kompetensi profesionalisme melainkan juga
harus memiliki kompetensi kepribadian. Tidak salah apabila Az-Zarnûjî
mensyaratkan agar guru harus memiliki sifat sabar karena begitu pentingnya sifat
sabar bagi seorang guru.
Setiap orang memiliki rasa sifat sabar, apakah ia orang baik atau tidak,
beriman atau tidak. Hanya saja, sifat mana yang lebih awal muncul ketika
dihadapi masalah, apakah sabar yang akan menghadapi masalah tersebut atau
emosi.
Jika ia memiliki keimanan yang kuat disisi Allah, dengan menjauhi segala
larangan-Nya dan mengerjakan segala perintah-Nya, maka kesabaranlah yang
akan lebih dahulu muncul ketika dihadapi cobaan, begitu pula sebaliknya.
Sifat-sifat guru seperti di jelaskan di atas sangat banyak dijumpai di buku-
buku pendidikan. Walaupun sifat-sifat guru yang disebutkan oleh Az-Zarnûjî
tidak sespesifik para ahli pendidikan yang lainnya, hal ini bukan berarti apa yang
disampaikan oleh Az-Zarnûjî melalui Ta‟lîm-nya sudah tidak relevan lagi.
Alim (berilmu) yang dimaksud oleh Az-Zarnûjî tidak bisa kita artikan secara
sempit, melainkan harus kita artikan secara luas dan mendalam sesuai dengan
konteks keadaan saat ini. Alim bila kita kaitkan dengan konteks pendidikan saat
ini bisa kita masukkan ke dalam dua kompetensi guru, yaitu kompetensi
paedagodik yakni kemampuan mengolah pembelajaran peserta didik dan
138
Ahmad Bin Ali Bin Hajar Al-Atsqolani, Fathul Bari (Darul Hadits, 2004), Juz; 10
Kitab Adab bab al-Hadzari min al-Ghadab, hadis No. 6114, h. 584
88
kompetensi profesional yakni penguasaan materi pembelajaran secara luas dan
mendalam.
Dengan melihat kedudukan guru serta syarat-syarat yang harus dipenuhi
ketika menjadi guru tersebut, tentu saja akan lebih tepat, sebagaimana dikatakan
Az-Zarnûjî bahwa guru sebaiknya orang yang lebih tua umurnya dibanding
muridnya. Dalam arti yang lebih luas lagi, kata tua dapat diartikan tidak sekedar
lebih tua dalam umur, namun sebagaimana ditambahkan, ―tua‖ dapat juga berarti
orang yang banyak pengalamannya dalam segala hal maupun dalam menghadapi
anak didik.
Sedangkan sifat-sifat yang lainnya, seperti wara‘, sabar, berwibawa, santun
bisa kita golongkan ke dalam kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan personal
yang mencerminkan kepribadian yang mantab.
89
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari rangkaian pembahasan dan beberapa uraian di atas, maka akhlak belajar
siswa dan karakter guru dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Akhlak belajar dalam kitab Ta’lim Al Muta’allim merupakan kumpulan
sikap dan perilaku yang harus dijalani oleh para pelajar dalam menjalani
proses pembelajaran. Dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa akhlak
belajar atau etika yang harus dimiliki oleh para pelajar Islam adalah:
pertama, niat saat belajar, kedua,memilih guru ketiga, menghormati guru,
keempat, keseriusan ketekunan dan cita-cita luhur, kelima metode belajar,
keenam tawakal dan ketujuh wara
2. Dan adapun karakter guru dalam penelitian kitab Ta’limul muta’allim ini
ialah Kepemimpinan kepribadian guru yang ditawarkan oleh al-Zarnûjî
melalui kitab Ta’lîm-nya seperti lebih alim, lebih wara’, Kebapakan,
berwibawa, santun dan penyabar tidak bisa ditawar lagi karena hal tersebut
merupakan dua kompetensi, yaitu kompetensi professional dan kompetensi
kepribadian yang harus dimiliki oleh guru.
B. Implikasi
Dari beberapa kesimpulan di atas, adapun implikasinya adalah pemerintah
dan lembaga pendidikan hendaknya membuka diri, mau melakukan
pengembangan karakter baik secara metode, kurikulum, maupun keilmuwan.
Sehingga krisis kemerosotan moral yang terjadi di Negara ini dapat diminimalisir
dengan diadakannya pembinaan akhlak di sekolah-sekolah untuk peserta didik
dengan dituntun oleh guru yang berkarakter.
Dan perlu juga diadakan pembinaan tujuan belajar bagi para penuntut ilmu.
Karena pada saat ini ilmu hanya menjadi fashion yang diperbincangkan dari mulut
ke mulut, ilmu tidak menjadi berguna sama sekali. Tidak untuk perkembangan
peradaban, tidak untuk kesejahteraan manusia, apalagi mengubah dunia. Ilmu
tidak mampu menolong pemiliknya untuk semakin mendekat kepada tuhan. Justru
90
sebaliknya, ilmu demikian bisa menjadi petaka. Dan sekarang ini, itu semua sudah
terjadi dengan banyaknya orang-orang berilmu yang melakukan perbuatan tidak
terpuji seperti, seorang guru melakukan pelecehan seksual dan para pejabat yang
melakukan praktik korupsi.
C. Saran
1. Bagi para pelajar sebaiknya harus memperhatikan akhlak yang harus ia
miliki ketika belajar, Karena Akhlak belajar tidak lain adalah sikap batin
dalam diri sang pelajar yang mendukungnya mencapai kesuksesan dalam
belajar.
2. Pemerintah sebaiknya tidak mengesampingkan etika atau akhlak yang
dimliliki para pelajar dan tidak pula mengesampingkan karakter yang
dimiliki guru dari pada kapasitas keilmuan guru dalam merekrut tenaga
kependidikan.
3. Bagi lembaga pendidikan juga perlu memperhatikan karakter atau akhlak
yang dimiliki oleh pelajar yang dididiknya dan memperhatikan karakter
atau akhlak yang dimiliki oleh guru dalam merekrut tenaga pendidik.
4. Bagi guru agama Islam sebaiknya lebih memperhatikan karakter atau
akhlak yang harus ia miliki ketika menjalankan profesinya, karena segala
gerak gerik dan tingkah laku guru akan dijadikan patokan tingkah laku
semua murid.
5. Akhlak belajar dan karakter guru yang dikembangkan oleh al-Zarnûjî
perlu adanya kontekstualisasi dengan keadaan sekarang.
6. Untuk civitas akademika, penulis berharap agar dapat melanjutkan dan
mengembangkan pemikiran serta menjalankan gagasan Syekh. Az-Zarnuji,
untuk berperan yang signifikan terhadap perkembangan pendidikan Islam.
7. Bagi pembaca kitab Ta’limul Muta’llim ini hendaknya tidak menyalahkan
sebelum adanya pengkajian yang mendalam terhadap kitab ini.
91
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah Muhammad Ibn Ismâ‟il al-Bukhârî, Abî, Şahih Bukhâri, Saudi Arabia:
Baitul Afkar ad-Dauliyah, 2008.
Abdullah, M. Yatim, Studi Akhlak dalam Perspektif al-Quran, Jakarta: Amzah
2007.
Abdurrahman as-Suyuti, Imam Jalaludin, Kitab al- Muwaththa, Beirut: Dar al-
Fikr, 95-179
Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah , Imam Hafidz, Riyadh:
Darussalam,
Afrizal, Lalu Heri, Ibadah Hati, Jakarta: Garfindo Media Pratama, Cet. I, 2008.
Ahmad Baraja, Umar , Akhlak lil Banin, Surabaya: Ahmad Nabhan, tt, Juz II.
al-Ġazâlî, Abû Hâmid, Ihyâ' ‘Ulûm ad-Dîn, Jilid III, Beirut: Dâr al-kutub ilmiyah,
1987.
al-Hafiẕ Abî Dâud Sulaimân Ibn Asy‟ats al-Sijistanî, Imam, Sunan Abû Dâud,
Saudi Arabia: Darul Hadits, Juz: IIX, Kitab Adab, Bab fi al-Rifqi, hadis No.
4800, 2001.
al-Maudûdî, Abû al-A‟la, al-Khilâfah wa al-Mulk,Terj. Muhammad al-Baqir
Bandung: Mizan, Cet. III, 1990.
al-Qardawi, Yusuf, Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah,
penerjemah: Kamaluddin A. Marzuki, Bandung: CV Rosda, 1989.
Al-Rasyidin dan Nizar, Syamsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat
Press, 2005.
Alwi Bin Ahmad As-Segaf, Sayid, Majmuah Sab'atu Kutubu Mufidah, Haramain,
Cet. II, 2004.
al-Zarkeli, Khairuddin, al-A’lâm Qâmûs Tarâjum, Juz VIII, Beirut: Dar al-Ilmi.
92
an-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat, penerjemah: Syihabuddin, Jakarta, Gema Insani Press, 1995.
Ardani, Moh, Akhlak Tasawuf, Jakarta : CV. Karya Mulia, Cet. II, 2005.
Arikunto, Suharismi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:
Rineka Cipta, cet. XIV, 2010.
Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. 10, 2007.
As‟ad, Aliy, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Menara
Kudus 1978.
As‟ad, Aliy, Terjemah Ta’limul Muta’allim Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu
Pengetahuan, Kudus: Menara Kudus, 2007.
Athiyah al-Abrasyi, Muhammad, at-Tarbiyah al-Islamiyah, Qahirah: Dar at-
Tarbiyah, 1964.
Athiyah al-Abrasyi, Muhammad, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, Cet. I, 1996.
Athiyah al-Abrasyi, Muhammad, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam,
penerjemah: Syamsuddin at.al., Yogyakarta; Titian Ilahi Press, 1996.
At-turmidji, Sunan, Software Mausugul Hadits As-Syrief, Kitab Rodho‟, No.
Hadits 1082
Az-Zarnuji, Pedoman Belajar Bagi Penuntut Ilmu Terjemah Ta’lim al-muta’allim,
Penerjemah: Muhammadun
Baharuddin dan Nur Wahyuni Esa, Teori Belajar dan Pembelajaran, Jogjakarta:
Ar-Ruzz, cet.II, 2009.
Bisr,i Kholil, “Konsep Pendidikan dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan
Relevansinya dengan Dunia Pendidikan Masa Kini,” artikel diakses pada 15
November 2010 dari http://www.thohiriyyah.com/2010/09/kh-m-kholil-
bisrikonsep-pendidikan.html
93
Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial hLainnya,
Daradjat, Zakiah, at.al., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III,
1996.
Daradzat, Zakiyah, Ilmu Jiwa agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya.
Dimyati Dan Mudjiono, Belajar Dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2013.
Edi, Toto, Dkk., Ensiklopedi Kitab Kuning, Jakarta: Aulia Press, 2007.
El-Shirazy, Ahmad Mujib dan arief Al-Muniry, Fahmi, Landasan Etika Belajar
Santri, Ciputat: Sukses Bersama, , Cet. II . 2007
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data Jakarta: RajaGrafindo
Persada, Cet. 2, 2011.
Esti Wuryani Djiwandono, Sri, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 2009.
Fuad al-Ahwani, Ahmad, al-Tarbiyah fi al-Islam, Kairo: Dar al-Ma‟arif.
Hakim, Prayitno, Dasar Teori Dan Praksis Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 2009.
Hakim, Thursan, Belajar Dan Prinsif belajar, Jakarta: Puspa Suara, 2010.
Hasan Shalih Baharits, Adnan, Tanggung Jawab Anak Terhadap Anak Laki-Lak,
Jakarta: Gema Insani, Cet" III, 2005.
Hernowo, Mengobrolkan Kegiatan Belajar Mengajar Berbasiskan Emosi,
Bandung: MLC, Cet. I, 2005
Ibn Ismâ‟il, Ibrâhim, Syarah Ta’lîm al-Muta’allim, Surabaya: al-Hidayah, t.th.
Ilyas, M., Insan Ilahiah, Jakarta: Madani Grafika, 2004.
Isa Muhammad Ibn „Isa Ibn Saurah, Abi „, Sunan at-Tirmidzi al-Jami’ al-Shahih,
Beirut: Dar el-Marefah, 2002.
Isa Muhammad Ibnu Isa Ibnu Saurah, Abî, Sunan al-Tirmiżi, Juz I, Mesir: Dar al-
Ibnu Al-Jauzi, 2011.
Jumantoro, Totok dan Munir Amin, Samsul, Kamus Ilmu Tasawuf, Amzah, 2005.
94
Koesoema, Dony, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak Di Zaman
Global, Jakarta: Grasindo, 2007.
M.Gagne, Robert, Essential of Learning for Instruction, Dryden Press. 1974.
Madjidi, Busyairi, Konsep Pendidikan para Filosofi Muslim Yogyakarta: Al
Amin press 2007.
Madjidi, M. x, Secerah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur'an, Bandung: Mizan
Pustaka, Cet. I , 2007.
Mudjib, Abdul dan Mudzakir , Jusuf, ilmu pendidikan islam, Jakarta: kencana,
2006.
Mujib El-Shirazy, Ahmad dan Arif El-Muniry, Fahmi, Landasan Etika Belajar
Santri, Ciputat: Sukses Bersama, Cet. II 2007.
Munawwir, A. W., Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap, Surabaya:
Pustaka Progresif, cet. XXV, 2002.
Nata Abudin, Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. 1,
1997.
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nata, Abudin, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi
Pemikiran Tasawuf al-Ghazâlî, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001.
Nawawi, Imam, At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an. (Software Maktabah
Syamilah), Al-Bab Ar-rabi‟ Fi Adabi Muallimil Qur‟an Wa Muta‟allimihi
Ngalim Purwanto, M., Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja
Rosdakarya, Cet. XVII, 2006.
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Jakarta: PT. Ciputat Press, Cet. II, 2005.
Parsons, Les, Bullied Teacher Bullied Student Guru Dan siswa yang
terintimidasi, Jakarta: Grasindo, 2012.
95
Plessner, M. “az-Zarnûjî” dalam Wensinck, A. J. (Eds.), The Encyclopedia of
Islam, Vol. VIII (Leiden: E. J. Brill, 1913-1934.
Pusat Bahasa Depeartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, edisi ke-IV, 2008.
Pusat Bahasa Depeartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, edisi ke-IV, 2008.
Quraish Shihab, M., Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
V. I, Jakarta: Lentara Hati, cet. Ke 10, 2010.
Razak Kailani, Abdul, Syaikh Abdul Qodir Guru Pencari Tuhan, Bandung: Mizan
Media Utama, Cet. I, 2009.
Rida Kahhalah, Umar, Mu’jâm al-Muallifîn: Tarâjim Muannif al-Kutub al-
Arâbiyah, Juz III, Beirut: Dar al-Ihya.
Sabri, Alisuf , Psikologi Pendidikan, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, Cet. III,
2007.
Sabri, Alisuf, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1993.
Sayid Ibrohim, Majdi, Menjadi Muslimah Bahagia Sepanjang Masa, Cet. I, 2010.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, Cet. IV, 1997.
Sholikhin, Muhammad, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syaikh Abdul Qodir
Al-Jailani, Yogyakarta: Mutira Media, Cet. I 2009.
Sholikhin, Muhammad, Menyatu diri dengan Ilahi, Yogyakarta: Narasi, Cet. I,
2010.
Soedarsono, Soemarno, Jati Diri Bangsa, Jakarta: Elex Media Komputindo,2007.
Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan,
Jakarta, Rineke Cipta, Cet . V 2006.
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D, Bandung: PT Alfabeta, 2008.
96
Surya, Mohamad, Bunga Rampai Guru Dan Pendidikan, Jakarta: Balai Pustaka,
2004.
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.
Susanto A., Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009.
Susetya, Wawan, Cermin Hati Perjalanan Rohani Menuju Ilahi, Solo: PT. Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, Cet. I, 2006.
Syah, Muhibbin, Psikolgi Belajar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. X ,
2010.
Syaodih Sukmadinata, Nana, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, Cet. V, 2009,.
Syarbini, Amirulloh, Sedekah Mahabisnis Dengan Allah, Jakarta: Qultum Media,
Cet. I, 2012.
Sya'rowi, Mutawalli, Kenikmatan Taubat, Jakarta: Qultum Media, Cet. I, 2006.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, Cet. II , 1994.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan Bag.
III, Jakarta: Grasindo, Cet. II, 2007.
Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, Cet. IV , 2008
Umar, Bukhori, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Amzah, 2010.
Warson Munawwir, Ahmad, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997.
Yamin, Martinis, Sertifikasi Profesi Keguruan Di Indonesia, Jakarta: Gaung
Persada Press, 2007.
Yani, Ahmad, Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji, Jakarta: Al-Qolam, Cet. I ,
2007.
97
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, Cet.
VII, 1992.
Zuharini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 1992.