ai hiv

35
PRIA YANG TIDAK MENIKAH DENGAN DIARE LAMA KELOMPOK 6 Abdullah (030.08.002) Shane Tuty Cornish (030.08.223) Dyka Jafar Hutama Putra (030.09.076) Ricka Hardi (030.09.203) Adisti Zakyatunnisa (030.10.006) Almirazada Zhes Putri (030.10.022) Arifi (030.10.039) Bella Ammara Karlinda (030.10.051) Cindy Herno Chrysela (030.10.064) Diana Nur Julyani (030.10.080) Etika Tunjung Kencana (030.10.094) Fendy Ferdian (030.10.105) Hani Aqmarina (030.10.120) Teguh Imanudin .E.N (030.08.238)

Upload: rising-force

Post on 22-Dec-2015

15 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

AI

TRANSCRIPT

PRIA YANG TIDAK MENIKAH DENGAN DIARE LAMA

KELOMPOK 6

Abdullah

(030.08.002)

Shane Tuty Cornish

(030.08.223)

Dyka Jafar Hutama Putra

(030.09.076)

Ricka Hardi

(030.09.203)

Adisti Zakyatunnisa

(030.10.006)

Almirazada Zhes Putri

(030.10.022)

Arifi

(030.10.039)

Bella Ammara Karlinda

(030.10.051)

Cindy Herno Chrysela

(030.10.064)

Diana Nur Julyani

(030.10.080)

Etika Tunjung Kencana

(030.10.094)

Fendy Ferdian

(030.10.105)

Hani Aqmarina

(030.10.120)

Teguh Imanudin .E.N

(030.08.238)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TRISAKTI

BAB I

PENDAHULUAN

Integritas sistem imun adalah esensial untuk pertahanan terhadap infeksi mikroba dan produk

toksiknya. Defek salah satu komponen sistem imun dapat menimbulkan penyakit berat bahkan

fatal yang secara kolektif disebut penyakit defisiensi imun. Secara umum, penyakit defisiensi

imun dapat dibagi menjadi kongenital dan didapat.

Defisiensi imun kongenital atau primer merupakan defek genetik yang meningkatkan kerentanan

terhadap infeksi yang sering sudah bermanifestasi pada bayi dan anak, tetapi kadang secara klinis

baru ditemukan pada usia lanjut. Defisiensi imun didapat atau sekunder timbul akibat malnutrisi,

kanker yang menyebar, pengobatan dengan imunosupresan, infeksi sel sistem imun yang nampak

jelas pada infeksi virus HIV, yang merupakan sebab AIDS.

Pada umumnya AIDS disebabkan oleh HIV-1 dan beberapa kasus di Afrika Tengah disebabkan

HIV-2 yang merupakan homolog HIV-1. Keduanya merupakan virus lenti yang menginfeksi sel

CD4+ T yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV, makrofag dan jenis sel yang

lain. Transmisi virus terjadi melalui cairan tubuh yang terinfeksi seperti hubungan seksual,

homoseksual, penggunaan jarum yang terkontaminasi, transfusi darah atau produk darah seperti

hemofil dan bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV. Perkiraan distribusi kasus AIDS diseluruh

dunia per Desember 2005 yaitu sekitar 40,3 juta penduduk dunia hidup dengan AIDS. Terbanyak

dari mereka hidup di Sahara, Afrika dan Asia Tenggara. Di Amerika Utara dan Eropa Barat

sekitar 75% dari mereka yang terkena adalah pria, sedang di Sub Sahara Afrika, sekitar 57%

adalah wanita (4).

2

BAB II

LAPORAN KASUS

Pria 35 tahun berobat kerumah sakit karena diare hilang timbul selama 4 minggu.

Dalam 4 minggu, pria ini merasa demam ringan, batuk-batuk berdahak, merasa letih,dan berat

badan turun dalam 3 bulan teakhir . nafsu makan menurun. Hingga sejak 2 minggu lalu pasien

sering diare hilang timbul, perut mulas. Feces terdapat lendir dan darah. Pasien hanya minum

obat warung untuk mengobati penyakitnya

Selama 1 tahun terakhir ini ia sering mengalami batuk pilek dan radang tenggorokan yang bila

berobat ke dokter sembuh, kemudian terulang kembali. Ia juga mengeluh sering sariawan .

pasien belium menikah , pernah memakai jasa pekerja seks komersial.

Pemerikasaan fisik: Keadaan umum tampak lemah dan agak pucat TB 165cm, BB 50Kg. Tanda

vital: suhu 37,5 c. nadi lemah ,90x/menit ,tensi 100/70 mmHg, nafas 24x/menit.

Status generalis:

Mata : konjungtiva pucat -/-,sclera ikterik -/-,mata cekung (-)

THT : oral thrush (+), bibir kering

Paru : vesikuler +/+, rhonki +/+ basah ksar,wheezinf -/-

Jantung : s1s2 reguler,murmur(-), gallop(-)

Abdomen : supel, nyeri tekan (-),bising usus (+), turgor cukup

Ekstremitas : akral hangat,edema -/-, CRT (capillary refill time)<2”

Pemeriksaan lab: Hb 11,5 g/dL, Ht 40%, Eri 4jt/µL, trombosit 170.000/µL, LED 30mm/jam.

Hitung jenis: 0/3/70/15/8. Anti HIV reaktif, CD4 T cell 200/µL.

Rontgen thorax: infiltrat pada kedua apex pulmo.

3

BAB III

PEMBAHASAN

Anamnesis:

Identitas pasien

Nama : X

Jenis kelamin : Pria

Usia : 35 tahun

Status : belum menikah

Keluhan utama: diare hilang timbul selama 4 minggu

Riwayat penyakit sekarang: demam ringan, batuk-batuk berdahak, merasa letih,dan berat

badan turun dalam 3 bulan teakhir . Nafsu makan menurun. Hingga sejak 2 minggu lalu pasien

sering diare hilang timbul, perut mulas. Feces terdapat lendir dan darah.

Riwayat penyakit dahulu: Selama 1 tahun terakhir ini ia sering mengalami batuk pilek dan

radang tenggorokan yang bila berobat ke dokter sembuh, kemudian terulang kembali. Ia juga

mengeluh sering sariawan . Pernah memakai jasa pekerja seks komersial.

Pemeriksaan fisik:

Keadaan umum tampak lemah dan agak pucat

TB 165cm, BB 50Kg (termasuk kurus)

Suhu 37,5 c (subfebris, normal= 36,5 – 37,2)

nadi lemah 90x/menit

tensi 100/70 mmHg (hipotensi, normal= 120/80)

nafas 24x/menit (tachypnoe, normal= 14-18x/menit)

Status generalisata:

4

Mata : konjungtiva pucat -/-,sclera ikterik -/-,mata cekung (-)

THT : oral thrush (+), bibir kering

Paru : vesikuler +/+, rhonki +/+ basah ksar,wheezinf -/-

Jantung : s1s2 reguler,murmur(-), gallop(-)

Abdomen : supel, nyeri tekan (-),bising usus (+), turgor cukup

Ekstremitas : akral hangat,edema -/-, CRT (capillary refill time)<2”

Pemeriksaan lab:

Hb 11,5 g/dL (anemia, normal= 13-18 g/dL)

Ht 40% (normal= 40-48%)

Eri 4jt/µL (normal= 4,5-5,9jt/µL)

Trombosit 170.000/µL (normal= 150.000-350.000/µL)

LED 30mm/jam (LED , normal= 0-10 mm/jam)

Hitung jenis:

Basofil 0% (normal= 0-1%)

Eusinofil 3% (normal= 1-3%)

Netrofil batang 4% (normal= 2-6%)

Netrofil segmen 70% (normal= 50-70%)

Limfosit 15% (normal= 20-40%)

Monosit 8% (normal= 2-6%)

Anti HIV reaktif, CD4 T cell 200/µL (normal= 600-1200/µL)

Pemeriksaan penunjang: Rontgen thorax terdapat infiltrat pada kedua apex pulmo.

5

Diagnosis pasti: Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Penatalaksanaan:

Non-medika mentosa

Tanpa pengobatan, rata-rata kehidupan orang yang terinfeksi virus HIV berkisar antara 9-11

tahun. Konseling dan edukasi perlu diberikan segera sesudah diagnosis HIV/AIDS ditegakkan

dan dilakukan secara berkesinambungan. Bahkan, konseling dan edukasi merupakan pilar

pertama dan utama dalam penatalaksanaan HIV/AIDS karena keberhasilan pencegahan

penularan horizontal maupun vertikal, pengendalian kepadatan virus dengan ARV, peningkatan

CD4, pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik (IO) serta komplikasi lainnya akan

berhasil jika konseling dan edukasi berhasil dilakukan dengan baik. Pada konseling dan edukasi

perlu diberikan dukungan psikososial supaya ODHA mampu memahami, percaya diri dan tidak

takut tentang status dan perjalanan alami HIV/AIDS, cara penularan, pencegahan, serta

pengobatan HIV/AIDS dan IO (9).

Medika mentosa

Terapi HAART (Highly Active Retroviral Therapy) yang telah berkembang pesat menurunkan

angka kematian dan memperpanjang umur penderita hingga berkisar antara 20 tahun. Namun

walaupun dengan obat ARV, penderita masih bisa mendapatkan kanker, kelainan system saraf,

neuropati dan kelainan system kardiovaskular. Kebanyakan kasus kematian karena AIDS ini

biasa disebabkan oleh infeksi tuberculosis.

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien ini yaitu diberikan obat-obat HAART seumur

hidupnya serta pengobatan terhadap penyakit-penyakit lainnya yang disebabkan oleh infeksi

oportunistik. Seperti pemberian anti jamur untuk mengobati Oral Thrush, pemberian cairan

untuk mengantisipasi dehidrasi akibat diare. Serta pasien juga harus dijauhkan dari penderita

penyakit non-HIV yang menular seperti penderita hepatitis.

Prognosis6

Prognosis pasien ini dikatakan dubia ad malam dari segi ad vitam, ad sanationam dan ad

fungsionam. Dikarenakan system imun tubuh akan terus mengalami penurunan dan akan terjadi

kematian yang biasanya disebabkan oleh infeksi oportunistik. Serta masih blum dapat

ditemukannya obat penyembuh AIDS secara total.

Komplikasi

AIDS dementia complex (ADC), atau ensefalopati terkait HIV, muncul terutama pada orang

dengan infeksi HIV lebih lanjut. Gejala termasuk ensefalitis (peradangan otak), perubahan

perilaku, dan penurunan fungsi kognitif secara bertahap, termasuk kesulitan berkonsentrasi,

ingatan dan perhatian. Orang dengan ADC juga menunjukkan pengembangan fungsi motor yang

melambat dan kehilangan ketangkasan serta koordinasi. Apabila tidak diobati, ADC dapat

mematikan.

Limfoma sususnan saraf pusat (SSP) adalah tumor ganas yang mulai di otak atau akibat

kanker yang menyebar dari bagian tubuh lain. Limfoma SSP hampir selalu dikaitkan dengan

virus Epstein-Barr (jenis virus herpes yang umum pada manusia). Gejala termasuk sakit kepala,

kejang, masalah penglihatan, pusing, gangguan bicara, paralisis dan penurunan mental. Pasien

AIDS dapat mengembangkan satu atau lebih limfoma SSP. Prognosis adalah kurang baik karena

kekebalan yang semakin rusak.

Meningitis kriptokokus terlihat pada kurang lebih 10% pasien AIDS yang tidak diobati dan

pada orang lain dengan sistem kekebalannya sangat tertekan oleh penyakit atau obat. Penyakit ini

disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans, yang umum ditemukan pada tanah dan tinja

burung. Jamur ini pertama-tama menyerang paru dan menyebar ke otak dan saraf tulang

7

belakang, menyebabkan peradangan. Gejala termasuk kelelahan, demam, sakit kepala, mual,

kehilangan ingatan, bingung, pusing dan muntah. Apabila tidak diobati, pasien meningitis

kriptokokus dapat jatuh dalam koma dan meninggal.

Infeksi cytomegalovirus (CMV) dapat muncul bersamaan dengan infeksi lain. Gejala

ensepalitis CMV termasuk lemas pada lengan dan kaki, masalah pendengaran dan

keseimbangan, tingkat mental yang berubah, demensia, neuropati perifer, koma dan penyakit

retina yang dapat mengakibatkan kebutaan. Infeksi CMV pada urat saraf tulang belakang dan

saraf dapat mengakibatkan lemahnya tungkai bagian bawah dan beberapa paralisis, nyeri bagian

bawah yang berat dan kehilangan fungsi kandung kemih. Infeksi ini juga dapat menyebabkan

pneumonia dan penyakit lambung-usus.

Infeksi virus herpes sering terlihat pada pasien AIDS. Virus herpes zoster   yang menyebabkan

cacar dan sinanaga, dapat menginfeksi otak dan mengakibatkan ensepalitis dan mielitis

(peradangan saraf tulang belakang). Virus ini umumnya menghasilkan ruam, yang melepuh dan

sangat nyeri di kulit akibat saraf yang terinfeksi. Pada orang yang terpajan dengan herpes zoster,

virus dapat tidur di jaringan saraf selama bertahun-tahun hingga muncul kembali sebagai ruam.

Reaktivasi ini umum pada orang yang AIDS karena sistem kekebalannya melemah. Tanda

sinanaga termasuk bentol yang menyakitkan (serupa dengan cacar), gatal, kesemutan

(menggelitik) dan nyeri pada saraf.

Pasien AIDS mungkin menderita berbagai bentuk neuropati, atau nyeri saraf, masing-masing

sangat terkait dengan penyakit kerusakan kekebalan stadium tertentu. Neuropati perifer

menggambarkan kerusakan pada saraf perifer, jaringan komunikasi yang luas yang mengantar

informasi dari otak dan saraf tulang belakang ke setiap bagian tubuh. Saraf perifer juga mengirim

8

informasi sensorik kembali ke otak dan saraf tulang belakang. HIV merusak serat saraf yang

membantu melakukan sinyal dan dapat menyebabkan beberapa bentuk neropati. Distal sensory

polyneuropathy menyebabkan mati rasa atau perih yang ringan hingga sangat nyeri atau rasa

kesemutan yang biasanya mulai di kaki dan telapak kaki. Sensasi ini terutama kuat pada malam

hari dan dapat menjalar ke tangan. Orang yang terdampak memiliki kepekaan yang meningkat

terhadap nyeri, sentuhan atau rangsangan lain. Pada awal biasanya muncul pada stadium infeksi

HIV lebih lanjut dan dapat berdampak pada kebanyakan pasien stadium HIV lanjut.

Neurosifilis, akibat infeksi sifilis yang tidak diobati secara tepat, tampak lebih sering dan lebih

cepat berkembang pada orang terinfeksi HIV. Neurosifilis dapat menyebabkan degenerasi secara

perlahan pada sel saraf dan serat saraf yang membawa informasi sensori ke otak. Gejala yang

mungkin baru muncul setelah puluhan tahun setelah infeksi awal dan berbeda antar pasien,

termasuk kelemahan, refleks yang menghilang, jalan yang tidak mantap, pengembangan

degenerasi sendi, hilangnya koordinasi, episode nyeri hebat dan gangguan sensasi, perubahan

kepribadian, demensia, tuli, kerusakan penglihatan dan kerusakan tanggapan terhadap cahaya.

Penyakit ini lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan. Penyakit ini umum biasa mulai

pada usia setengah baya.

Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML) terutama berdampak pada orang dengan

penekanan sistem kekebalan (termasuk hampir 5% pasien AIDS). PML disebabkan oleh virus

JC, yang bergerak menuju otak, menulari berbagai tempat dan merusak sel yang membuat

mielin - lemak pelindung yang menutupi banyak sel saraf dan otak. Gejala termasuk berbagai

tipe penurunan kejiwaan, kehilangan penglihatan, gangguan berbicara, ataksia (ketidakmampuan

untuk mengatur gerakan), kelumpuhan, lesi otak dan terakhir koma. Beberapa pasien mungkin

9

mengalami gangguan ingatan dan kognitif, dan mungkin muncul kejang. PML berkembang

terus-menerus dan kematian biasanya terjadi dalam enam bulan setelah gejala awal.

Kelainan psikologis dan neuropsikiatri   dapat muncul dalam fase infeksi HIV dan AIDS yang

berbeda, dan dapat berupa bentuk yang beragam dan rumit. Beberapa penyakit misalnya

demensia kompleks terkait AIDS yang secara langsung disebabkan oleh infeksi HIV pada otak,

sementara kondisi lain mungkin dipicu oleh obat yang dipakai untuk melawan infeksi. Pasien

mungkin mengalami kegelisahan, depresi, keingingan bunuh diri yang kuat, paranoid, demensia,

delirium, kerusakan kognitif, kebingungan, halusinasi, perilaku yang tidak normal, malaise, dan

mania akut.

Stroke   yang disebabkan oleh penyakit pembuluh darah otak jarang dianggap sebagai komplikasi

AIDS, walaupun hubungan antara AIDS dan stroke mungkin jauh lebih besar dari dugaan. Para

peneliti di Universitas Maryland, AS melakukan penelitian pertama berbasis populasi untuk

menghitung risiko stroke terkait AIDS dan menemukan bahwa AIDS meningkatkan

kemungkinan menderita stroke hampir sepuluh kali lipat. Para peneliti mengingatkan bahwa

penelitian tambahan diperlukan untuk mengkonfirmasi hubungan ini. Penelitian sebelumnya

menunjukkan bahwa infeksi HIV, infeksi lain atau reaksi sistem kekebalan terhadap HIV, dapat

menyebabkan kelainan pembuluh darah dan/atau membuat pembuluh darah kurang menanggapi

perubahan dalam tekanan darah yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah dan

stroke.

Ensefalitis toksoplasma, juga disebut toksoplasmosis otak, muncul pada kurang lebih 10%

pasien AIDS yang tidak diobati. Hal ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang

dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar

10

oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke

dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana; tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat

melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit. Gejala termasuk ensefalitis, demam,

sakit kepala berat yang tidak menanggapi pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang,

kelesuan, kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan

berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi.

Mielopati vakuolar menyebabkan lapisan mielin yang melindungi untuk melepaskan diri dari

sel saraf di saraf tulang belakang, membentuk lubang kecil yang disebut vakuol dalam serat

saraf. Gejala termasuk kaki lemas dan kaku serta tidak berjalan secara mantap. Berjalan menjadi

sulit dan penyakit semakin parah dan lama-kelamaan pasien membutuhkan kursi roda. Beberapa

pasien juga mengembangkan demensia terkait AIDS. Mielopati vakuolar dapat berdampak pada

hampir 30% pasien AIDS dewasa yang tidak diobati dan kejadiannya tersebut mungkin lebih

tinggi pada anak yang terinfeksi HIV (5).

11

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

1. Imunodefisiensi

Defisiensi imun terjadi akibat kegagalan satu atau lebih komponen system imun. Defisiensi

imun primer atau defisiensi kongenital ditemukan pada waktu lahir akibat adanya mutasi gen,

polymorphisms atau polygenic disorder (1). Gejala klinis penyakit defisiensi kongenital

biasanya di atas usia 3-4bulan yaitu sekitar 6 bulan sampai 2 tahun, karena usia dibawah 3-4

bulan ada efek proteksi dari antibodi maternal (2). Sedangkan defisiensi imun sekunder adalah

penurunan fungsi sitem imun yang timbul setelah lahir. Imunoefisiensi ini dapat timbul akibat

infeksi,malnutrisi, penyakit sistemik, keganasan juga penggunaan obat-obat tertentu dan lainnya.

Biasanya diderita oleh kaum dewasa. Defisiensi imun sekunder ini lebih sering terjadi daripada

defisiensi imun primer.

Untuk terapi, beberapa imunodefisiensi primer berupa pemberian globulin gama kepada

penderita dengan defisiensi Ig tertentu. Untuk defisiensi kedua sel T san sel B terapi dengan

penanaman sel stem memberi hasil yang menjanjikan. Untuk Imunodefisiensi sekunder terapinya

antara lain adalah dengan menggunakan antibiotic atau antiviral yang tepat ,transplantasi

sumsum tulang ,perbaikan nutrisi bagi yang malnutrisi dan lain lain disesuiakan dengan

etiologinya. Khusus untuk HIV bisa mengikuti program HAART (highly active retroviral

therapy) untuk terapi retrovirus dengan kombinasi beberapa obat (3).

Jenis infeksi dapat memberi petunjuk mengenai jenis imunodefisiensinya Seperti infeksi bacteria

dengan kapsul rekuren menandai imunodefisensi selB yang trjadi di ekstraseluler. Defisiensi sel

12

B dapaet berupa gangguan perkembangan sel B. Berbagai akibat dapat ditemukan seperti tidak

adanya satu kelas atau sub kelas Ig atau semua Ig.

Infeksi rekuren virus, jamur atau protozoa menandai imunodefisiensi sel T yang terjadi di

intraseluler. Sel T dan makrofag mempunyai peran dalam mengenali dan memusnahkan infeksi

intraseluler .Kelainan pada sel T dan makrofag dapat menyebabkan infeksi karena organisme

intraseluler seperti protozoa, virus, bakteri intraseluler dan mikobakteri.

Defisiensi fagosit yang disertai ketidakmampuan untuk memakan dan menghancurkan patogen

biasanya terjadi dengan infeksi bakteri rekuren

Defisiensi komplemen menunjukan defek dalam jalur klasik,alternative dan lektin yang

meningkatkan mekanisme pertahanan pejamu spesifik (2).

13

Jenis infeksi oportunistik dapat memberikan petunjuk untuk derajat keparahan dan penyebab

kerusakan kekebalan. Sebagai contoh, mikrobakteri menunjukkan cacat imunitas sel T

sedangkan ekstraselular bakteria berkapsul menunjukkan cacat pada antibodi atau komplemen.

Tingkat keparahan defisiensi imun juga tercermin pada jenis infeksi. Kandida dapat

menyebabkan infeksi pada defisiensi kekebalan tubuh yang sangat ringan, sedangkan infeksi

jamur invasif hampir selalu menunjukkan defisiensi kekebalan yang parah (1).

Seperti kita ketahui sebelumnya defisiensi sekunder adalah penurunan system imun yang timbul

setelah lahir. Pola hidup yang buruk ternyata bisa berdampak pada imunodefisiensi antara lain

Sex bebas. Sex bebas disini bisa artikan berganti-ganti pasangan dalam hubungan sex

ataupun menggunakan jasa pekerja seks komersial dapat membuat seseorang rentan

terinfeksi HIV . karena Transmisi virus ini terjadi melalui cairan tubuh yang terinfeksi

seperti hubungan sexual.

Penggunaan obat-obat terlarang. Selain melalui hubungan sexual transmisi virus HIV

juga dapat menular lewat penggunaan jarum yang terkontaminasi virus HIV. Para

pengguna obat-obatan telarang sering kali menggunakan jarum suntik secara bergantian

sehingga apabila ada satu orang terinfeksi HIV akan menularkannya ke yang lain lewat

jarum suntik tersebut (3).

Merokok. Merokok merupakan salah satu factor pemicu kanker. Terapi kanker meliputi

pembedahan, kemoterapi dan penyinaran. Hal inilah yang membuat defisiensi system

imun. Seperti pemakaian obat kemoterapi jumlah neutrofil yang berfungsi sebagai fagosit

dapat menurun. Dan penyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid,

sedangkan dosis rendah dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif.

14

Pola makan, malnutrisi dan diabetes juga salah satu sebab imunodefisiensi. Pola

makan yang buruk seperti kekurangan protein,kalori atauoun elemen gizi tertentu dapat

menyebabkan malnutrisi. Sedangkan pola makan yang berlebihan serta mengandung

banyak glukosa meningkatkan faktor resiko diabetes. Dan diabetes erat sekali

hubungannya dengan infeksi yang menekan system imun.

Imunodefisiensi sekunder dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi oportunistik.

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan defisiensi imun sekunder adalah infeksi, mikroba

imunosupresif, proses penuaan, obat imunosupresif, obat sitotoksik/iradiasi, malnutrisi,

tumor, trauma, diabetes dan lain-lain. Contoh mikroba imunosupresif yaitu malaria, virus,

campak, terutama HIV; mekanismenya melibatkan penurunan fungsi sel T dan APC. Pada

proses penuaan infeksi meningkat, penurunan respons terhadap vaksinasi, penurunan respons

sel T dan B serta perubahan dalam kualitas respons imun. Contoh obat imunosupresif adalah

steroid. Obat sitotoksik/iradiasi adalah obat yang banyak dihunakan terhadap tumor, juga

membunuh sel penting dan system imun termasuk sel induk, progenitor neutrofil dan limfosit

yang cepat membelah dalam organ limfoid. Contoh malnutrisi seperti malnutrisi protein-

kalori dan kekurangan elemen gizi tertentu(besi, seng/Zn); malnutrisi adalah sebab tersering

terjadinya imundefisiensi sekunder. Tumor adalah efek direk dari tumor terhadap system

imun melalui penglepasan molekul imunoregulator imunosupresif(TNF-β). Pada Trauma

terjadi peningkatan infeksi, berhubungan dengan penglepasan molekul imunosupresif seperti

glukokortikoid. Pada diabetes sering berhubungan dengan infeksi. Penyebab lainnya adalah

depresi, penyakit Alzheimer, penyakit celiac, sarkoidosis, penyakit limfoproliferatif,

mikrglobulinemia Waldenstrom, anemia aplastik, neoplasia (2).

15

2. Human Immunodeficiency Virus (HIV)

ODHA atau Orang Hidup Dengan HIV AIDS adalah salah satu contoh dari penyakit yang

disebabkan oleh imunodefisiensi sekunder. Jumlah penderita AIDS di Indonesia mengalami

peningkatan setiap tahunnya sehingga para dokter harus belajar untuk menangani pendeita

AIDS secara optimal. Dokter harus memahami cara penatalaksaan pasien serta cara

penularan virus HIV, hal ini dimaksudkan untuk memberi tahu kepada pasien agar pasien

tidak menularkan penyakitnya ke orang lain dan agar dirinya sendiri juga terhindar dari

penularan penyakit dari pasiennya.

a. Struktur HIV

HIV atau Human Immunodeficiency Virus terdiri

dari 2 protein terletak diantara lipid bilayer sebagai

kapsul virus bernama gp120 dan gp41. Bagian

berikutnya teridiri dari lapisan p17 sebagai matrix

protein dan didalamnya terdapat nucleocapsid/p24

protein yang berisi RNA virus beserta 3 macam

enzim yang digunakan virus ini untuk bereplikasi di

dalam tubuh host, yaitu enzim reverse transcriptase,

protease & integrase.

b. Patogenesis

Ketika virus ini memasuki tubuh host, ia akan mencari sel-sel inang untuk melakukan

replikasi. Sel-sel yang menjadi target HIV ini adalah sel dendritik, makrofag dan sel T yang

16

secara keseluruhan disebut Antigen Presenting Cell/APC. Sel-sel APC ini biasa ditemukan

pada lapisan mukosa terutama sel dendritik. Kemudian setelah virus menempel pada sel-sel

host, protein gp120 dari virus ini akan mengikat CD4 yang dimiliki oleh APC, dilanjutkan

dengan pengikatan chemokin reseptor pada permukaan APC tersebut. Setelah CD4 dan

chemokin reseptor terikat dengan gp120 dari virus, gp41 akan merusak membrane sel APC

dan mentransferkan nukleokapsid berisi RNA virus kedalam sel APC tersebut.

Begitu Virus tersebut memasuki sel, maka genom virus tersebut yang dibuat dari RNA,

dengan enzim reverse transcriptase akan diubah kembali menjadi DNA yang dengan bantuan

enzim Integrase, RNA virus yang telah diubah menjadi DNA dengan bantuan enzim reverse

transcriptase akan memasuki nucleus dari sel APC dan untuk sementara bersembunyi di

dalam sel APC dari system imun seluler seperti CTLs dan NK sel hingga pada waktu ketika

APC tersebut aktif kembali karena serangan bakteri/virus lain, DNA virus HIV akan

teraktivasi sehingga membentuk sebuah poliprotein yang kemudian dengan bantuan enzim

protease, poliprotein itu dipecahkan menjadi berebagai protein kecil yang akan membentuk

virus HIV baru dengan menggunakan membrane dari sel APC dan menginvasi sel sel APC

lainnya (6).

c. Gejala klinis

Subyek yang baru terinveksi HIV dapat disertai gejala atau tidak. Gejala utama berupa sakit

kepala, sakit tenggorok, panas, ruam dan malaise yang terjadi sekitar 2-6 minggu setelah

infeksi.

17

Gejala klinis infeksi primer dapat berupa demam, nyeri otot/sendi, lemah, mukokutan (ruam

kulit, ulkus di mulut), limfaddenopati, neurologis (nyeri kepala, nyeri belakang mata,

fotofobia, meningitis, ensefalitis) dan saluran cerna (anoreksia, nausea, diare, jamur di

mulut). Gejala-gejala bervariasi dari ringan sampai berat sehingga memerlukan perawatan di

rumah sakit (4)

d. Oral Trush

Oral thrush merupakan infeksi jamur candida albicans yang terakumulasi dalam mulut karena

imunodefisiensi dan menyebabkan nyeri hebat sewaktu menelan dan mengunyah. Pada

individu yang imunokompeten umumnya resisten terhadap infeksi jamur, sedangkan pada

individu yang munocompromise sangat rentan terhadap infeksi jamur, keadaan ini yang

disebut degan infeksi opotrunistis. Kandidiasis oral sering dijumpai kapan saja dalam

perjalanan infeksi HIV (3).

e. Obat-obat golongan ARV (Anti Retroviral)

Dengan kemajuan ilmu kedokteran, maka muncul obat-obatan yang disebut ARV atau Anti

Retro Viral. Obat-obatan ARV, tidak menyembuhkan penyakit AIDS, tetapi lebih kearah

pencegahan virus-virus HIV itu berreplikasi dan menginvasi sel sel lainnya. Terdapat 4 jenis

obat-obatan ARV yang bekerja dengan cara me-non-aktifkan enzim-enzim tertentu pada

virus HIV, yaitu:

1. Reverse Transcriptase Inhibitors

NRTI (Nucleotides Reverse Transcriptase Inhibitors)

NNRTI (Non-Nucleotides Reverse Transcriptase Inhibitors)

18

2. Protease Inhibitors

3. Fusion Inhibitors

4. Integrase Inhibitors

Reverse Transcriptase Inhibitors bekerja dengan menghambat enzim reverse transcriptase

selama proses transkripsi RNA virus kepada DNA host. NRTI akan mengalami fosforilasi

menjadi bentuk trifosfat yang secara kompetitif mengganggu transkripsi nukleotida. Contoh

obat golongan NRTI adalah zidovudin, abacavir, didanosine, stavudine, lamifudine dan

tenofovir. Sedangkan pada NNRTI akan berikatan langsung kepada enzim reverse

transcriptase dan menonaktifkan enzim tersebut. Contoh obat golongan NNRTI adalah

efavirenz, nevirapine dan delavirdine

Protease Inhibitors bekerja dengan menghambat enzim protease HIV. Dengan pemberian

Protease Inhibitors, produksi virion dan perlekatan sel host tetap terjadi namun virus gagal

berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel. Contoh golongan obat Protease Inhibitors adalah

amprenavir, atazanavir, darunavir, fosamprenavir, indinavir, lopinavir, nelfinavir, ritonavir,

saquinavir dan tipranavir.

Fusion Inhibitors bekerja dengan menghambat masuknya sel virus kedalam sel host dangan

cara berikatan dengan subunit gp41. Contoh golongan obat Fusion Inhibitors adalah

enfuvirtide dan maraviroc. Namun bedanya, maraviroc bekerja dengan cara berikatan dengan

reseptor CCR5 atau chemokin reseptor 5 di permukaan sel CD4 dan mencegah perlekatan sel

virus HIV dengan sel host.

19

Integrase Inhibitors bekerja dengan menghambat penggabungan DNA virus dengan sel host.

Obat yang termasuk golongan Integrase Inhibitors adalah raltegravir.

Terdapat juga kombinasi kombinasi dari obat-obatan ARV yang dinamakan HAART atau

Highly Active Retroviral Therapy yang menggunakan kombinasi minimal 3 obat ARV

seperti kombinasi dari obat reverse transcriptase NRTI (lamivudine & zidovudine) dengan

obat protease inhibitors (fosamprenavir & lopinavir/ritonavir) dan 2 obat NRTI ditambah

dengan obat NNRTI (efavirenz). Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi virus

sampai kadar dibawah ambang deteksi (6).

f. Anti-HIV

Tidak seperti kebanyakan Anti-Viral lainnya, Anti-HIV ini bisa dikatakan tidak protektif,

karena Anti-HIV ini tidak dapat membunuh virus HIV yang bersembunyi dalam sel, serta

tidak dapat mengaktifkan system imun seluler pada tubuh penderita dikarenakan system

imun tubuh yaitu limfosit T helper dan monosit sudah dilumpuhkan oleh virus HIV tersebut.

Serta vaksin HIV masih tidak efektif karena protein gp120 yang terdapat di kapsul virus

HIV sering bermutasi sehingga vaksinasi tidak dapat berpengaruh terhadap penyebaran virus

ini (7).

g. Faktor genetik mempengaruhi angka kejadian dan perjalanan penyakit

Angka kejadian AIDS semakin meningkat dari tahun ke tahun, dikarenakan gaya hidup

manusia, dan turut serta juga faktor genetik menentukan kenaikan dari angka kejadian AIDS

ini. Persalinan ibu yang tidak steril dan tidak sesuai prosedur, serta ketidak penggunaan obat-

obatan tertentu pada saat persalinan sehingga penyakit ini dapat diturunkan dari ibu ke anak

20

nya. Fenomena penyakit ini juga seperti gunung es karena banyak orang yang sudah

terinfeksi virus HIV namun belum menunjukkan gejala-gejalanya.

h. Pencegahan infeksi HIV

Pencegahan terhadap infeksi HIV harus dilakukan agar angka kejadian nya dapat berkurang.

Seperti tidak melakukan hubungan seksual diluar nikah atau berganti-ganti pasangan,

penggunaan kondom, penggunaan single needle/tidak saling berbagi pemakaian jarum suntik

dan pengecekan aktivitas donor darah sehingga darah yang terkontaminasi HIV tidak

diberikan kepada orang sehat (8).

Pencegahan infeksi HIV di anak-anak juga dapat dilakukan dengan cara pemberian ZDV atau

Nevirapine secara perinatal kepada ibu yang positif HIV dan anaknya. Serta ibu yang positif

HIV tidak boleh menyusui anaknya dan operasi Caesar lebih diutamakan untuk ibu positif

HIV yang mau melahirkan karena penularan infeksi HIV jika melakukan operasi Caesar

lebih sedikit daripada melahirkan pervaginam. Dikarenakan jika kelahiran secara normal,

dikhawatirkan dapat terjadi banyak robekan/perdarahan sehingga virus HIV tersebut dapat

memasuki tubuh bayi.

21

BAB V

KESIMPULAN

Pada kasus ini, ditemukan gejala-gejala yang mengacu pada diagnosis infeksi HIV yaitu wasting,

oral thrush candidiasis, diare hilang timbul dan pada pemeriksaan labolatorium, ditemukan

adanya penurunan jumlah CD4 atau Limfosit T Helper yang signifikan yakni < 200, dan

ditemukan adanya infiltrate pada kedua apeks pulmo yang dicurigai infeksi TBC. Dapat

disimpulkan bahwa pasien ini berada pada stadium 2 dari infeksi HIV karena mulai timbulnya

gejala-gejala infeksi bakteri seperti TBC.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Nairn R, Helbert M. Immunology for Medical Students. 2nd ed. China; Mosby Elsivier; 2007

2. Baratawijaya KG, Rengganis I. Defisiensi Imun. 9th ed. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI; 2010. p. 479-513

3. Corwin JE. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC; 2009. p. 164-77

4. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Defisiensi Imun. 8th ed. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI; 2009. p. 479-99

5.Komplikasi Syaraf terkait AIDS. Accessed on 1 Oktober 2011. Available at

http://www.odhaindonesia.org/content/2008/03/02/komplikasi-saraf-terkait-aids

6. Human Immunodeficiency Virus. Chapter 45. P. 299-306

7. Abbas AK, Lichtman AH. Congenital and acquired immunodeficiencies. 3rd ed. Basic

Immunology. China: Saunders; 2011. p. 236-7

8. Helbert M. HIV: What can be done to prevent and treat infection. Flesh and Bones of

Immunology. Spain: Mosby Elsevier; 2006. 110-111

9. Wibowo C. Penatalaksanaan Baku dan Menyeluruh pada HIV/AIDS. Accessed on 1 Oktober

2011. Available at

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/10_PenatalaksanaanBaku.pdf/10_PenatalaksanaanBaku.html

23